PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TER ORISME
i
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
ii
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TER ORISME Tim AJI Jakarta
AJI Jakarta
2011 iii
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
Panduan Jurnalis Meliput Terorisme Penulis: Tim AJI Jakarta: Hadi Rahman, Agustinus Jojo Raharjo, Ahmad Nurhasim, Umar Idris, Edy Can, Musdalifah Fachri, Aditya Heru Wardhana Penyunting : Wahyu Dhyatmika Desain Cover dan Layout: Muid Mularnoidin Foto Cover: Arie Basuki Cetakan Pertama 2011 Hak Cipta © AJI Jakarta Panduan Jurnalis Meliput Terorisme Cetakan Pertama, Jakarta: AJI Jakarta, 2011 xvi + 222 hlm; 11x 19cm ISBN:978-979-16381-5-9 Diterbitkan oleh: AJI Jakarta Jl. Kalibata Timur IV G No. 10, Kalibata Jakarta Selatan, 12740 Telp./Faks.: 021 7984105 E-mail:
[email protected] website: www.ajijakarta.org
iv
DAFTAR ISI Pengantar Bab 1. Mengapa Liputan Terorisme Dipersoalkan................................................1 Bab 2. Sembilan Dosa Jurnalis Dalam Liputan Terorisme.........................15 Bab 3. Kuncinya: Memahami Masalah.................53 Bab 4. Tak Kenal Lelah di Lapangan.....................81 Bab 5. Akurasi, Akurasi, dan Akurasi...................121 Bab 6. Masih Ada Penerus Noordin.....................153 Bab 7. Jerat Hukum Penebar Teror......................189
v
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
Lampiran: Undang-Undang Republilk Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang .....................................199 PERPU No 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme....................................203
vi
PENGANTAR
S
emuanya dimulai dari perang melawan teror. Dicanangkan Presiden Amerika Serikat George W Bush Jr. pascaserangan yang meluluhlantakkan menara kembar World Trade Center di New York, 11 September 2001, inilah kebijakan Amerika yang benar-benar mengubah wajah dunia. Menggunakan hancurnya gedung kebanggaan New York itu sebagai alasan, pasukan Abang Sam menyerbu rezim Taliban di Afganistan dan merontokkannya dalam semalam. Tak berhenti di sana, mereka lalu pindah ke Irak, dan menyeret jatuh Presiden Saddam Hussein. Apa hasilnya? Seperti sudah diduga, —alihalih menyelesaikan masalah— dua perang terbuka itu malah menyuburkan radikalisme kelompok-kelompok garis keras dalam Islam. Para fundamentalis menuding gempuran Amerika ini adalah perang terhadap Islam dan serangan balik pun sah dilakukan. Maka kita menyaksikan intensitas serangan teroris di hampir semua belahan dunia, justru meningkat pasca-perang Afganistan dan Irak. Kepentingan Amerika dan sekutunya di semua
vii
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
negara makin rawan jadi ancaman. Sebaliknya, Usamah bin Ladin, pemimpin Al-Qaidah —sosok yang paling diburu oleh pasukan Amerika— makin tak jelas jejaknya. Dampak perang melawan teror ini juga terasa di Indonesia. Sejak 2002, setiap tahun Indonesia menjadi sasaran serangan teror. Kelompokkelompok Islam radikal yang memilih jalan kekerasan untuk mencapai tujuan, tumbuh makin banyak dan subur. Reaksi balik pun muncul. Negara-negara Barat merespon dengan mengirimkan bantuan besar-besaran untuk memperkuat kapasitas operasi kontra terorisme di tanah air. Aksi terorisme pertama yang mendapat liputan luas di media massa kita adalah rangkaian ledakan bom di sejumlah gereja, pada malam Natal 2000. Ketika itu, semua orang terhenyak dan bertanya-tanya: siapa gerangan pelakunya? Media pun belum punya pengalaman meliput aksi peledakan dalam skala masif seperti itu. Jurnalis kebingungan memahami fenomena baru ini. Ada media yang melansir tudingan pada desertir tentara sebagai dalang di balik bom. Yang lain, menuduh para pendukung Soeharto yang tersingkir. Spekulasi makin subur karena penyidikan polisi saat itu tak pernah tuntas.
viii
Pasca ledakan bom Bali di Sari Club dan Paddy’s Café, Kuta, 12 Oktober 2002, wartawan dan media massa masih terjebak pada kebingungan yang sama. Kali ini, bahkan ada media yang mengutip seorang ‘pengamat intelijen’ yang menuding Amerika Serikat-lah yang mengebom Pulau Dewata dengan mini nuklir yang ditorpedo dari kapal selam. Ada juga media yang terang-terangan mengaitkan pemboman itu dengan pertemuan sejumlah jenderal TNI di Bali, beberapa hari sebelumnya. Semua analisa menggelikan dan kisah fantasi konyol itu dimuat mentah-mentah di media massa kita. Semua spekulasi itu akhirnya pupus oleh penyidikan kasus Bom Bali yang dipimpin oleh Kapolda Bali Irjen Mangku Pastika. Polisi dengan konklusif menyimpulkan adanya kelompok Islam radikal yang bermain api di Kuta. Penyidikan yang transparan, metode penelusuran data yang ilmiah dan bisa dipertanggungjawabkan, dan pengakuan para pemain kunci –terutama dari Ali Imron yang bahkan sempat memeragakan bagaimana dia merakit bom— nyaris tidak menyisakan ruang untuk skeptis. Sejak itu, media mulai bisa membangun kerangka perspektif dan analisa dalam meliput kasuskasus terorisme.
ix
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
Terbongkarnya pelaku bom Bali membuat sel demi sel, operator demi operator, jejaring sebuah kelompok bawah tanah yang menamakan diri ‘Jemaah Islamiyah’ pun terkuak. Mereka ingin mendirikan sebuah Negara Islam di Indonesia, dan sebagian dari anggotanya, menghalalkan penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan itu. Tahap demi tahap penyidikan polisi dilaporkan dengan detail di media massa kita. Sejak itulah, publik Indonesia semakin akrab dengan istilah ‘terorisme’ dengan segala konsekuensinya. Semua pendukung gagasan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam misalnya, tiba-tiba menemukan dirinya di media massa dikelompokkan dalam satu definisi besar: ‘kelompok teroris’ —tanpa peduli apakah mereka berjuang menggunakan kekerasan atau tidak. Polisi pun kemudian punya ‘prestasi’ baru: mengungkap jejaring ‘terorisme’, menangkap ‘teroris’ dan mencegah ‘aksi terorisme’. Pada akhirnya, muncul satu masalah besar. Sadar atau tidak sadar, kerangka berpikir jurnalis dan pengelola media mulai dibatasi oleh wacana ‘perang melawan terorisme’. Dalam meliput terorisme, para jurnalis seakan dipaksa untuk mengambil posisi –seperti kata Presiden Amerika Serikat, George Bush Jr—‘Anda
x
bersama kami, atau melawan kami.” With or against us. Kerangka berpikir macam ini menjadi masalah serius dalam peliputan jurnalistik. Kode etik jurnalistik mensyaratkan wartawan seharusnya menjadi juru warta yang berimbang, adil, dan imparsial. Kerangka ‘kami melawan mereka’ macam ini membuat kerja-kerja jurnalistik menjadi sulit. Pasalnya para narasumber dalam isu terorisme –baik polisi maupun mereka yang diburu— kerap mencurigai jurnalis dan menuntut afirmasi atas tindakan mereka sebelum bersedia diwawancarai. Wartawan yang tidak waspada, akan terjebak dalam perkubuan macam itu. Tak hanya soal itu. Adu kuat dua kelompok ini —pro dan kontra terorisme, dengan alasan dan pembenaran masing-masing— menimbulkan problem susulan dalam peliputan. Korban pertamanya adalah standar-standar verifikasi yang tak mungkin dipenuhi seperti dalam peliputan konvensional. Para polisi penyidik terorisme umumnya tidak mau pernyataan mereka dikutip, sementara sumber resmi polisi hanya menawarkan pernyataanpernyataan yang kering dari informasi. Dengan alasan ‘rahasia operasi’, jurnalis dipaksa menelan mentah-mentah fakta apa saja yang
xi
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
disodorkan aparat keamanan. Kubu seberang berlaku sama saja. Liputan media akhirnya sering terpeleset menjadi corong semata. Jurnalis yang tak punya akses ke tempat kejadian, saksi mata, atau pelaku langsung, akhirnya hanya bisa mengaisngais fakta: mewawancarai pihak manapun yang bisa menjelaskan bagaimana peristiwa itu terjadi. Dalam posisi seperti itu, mereka rawan dimanfaatkan sebagai alat propaganda. Walhasil, yang kemudian tersaji ke hadapan publik adalah sebuah liputan dangkal, bombastis, yang kadang terjebak sekadar menjadi perang pernyataan. Satu tuduhan dibalas dengan satu bantahan, bagaikan berbalas pantun saja. Kalau sudah begini, jelas publik yang dirugikan. Model peliputan terorisme yang memperihatinkan ini diadopsi oleh hampir semua media. Setiapkali sebuah aksi teror terjadi, mudah ditebak, jurnalis biasanya langsung terjun ke lokasi, memberitakan dampak teror dan jumlah korban. Satu dua jam pasca aksi teror, tanpa ba-bi-bu, jurnalis biasanya menyerbu pengamat terorisme, bekas polisi, atau bekas narapidana kasus terorisme, untuk “menganalisa” siapa pelakunya. Sejumlah jurnalis dengan akses ke tim kontra teroris
xii
seperti Densus 88 misalnya, akan langsung saja mengutip “sumber kami di kepolisian.” Model peliputan seperti ini menandakan persepsi jurnalis soal pelaku dan motif-motif mereka sudah terbentuk, bahkan sebelum hasil uji forensik tim laboratorium kriminal polisi rampung dilakukan. Stigma teroris pada kelompok dengan ciri-ciri tertentu sudah demikian melekat, bahkan di kepala jurnalis sendiri. Peliputan model ini tentu mengkhawatirkan. Publik kita tidak bodoh. Mereka bisa menarik kesimpulan sendiri atas informasi yang disajikan untuk mereka. Lama-kelamaan –jika terus dicekoki liputan yang kurang baik— publik bisa kehilangan sensitifitasnya pada aksi kekerasan berkedok ideologi atau agama tertentu. Sebagian mungkin malah berbalik simpati. Pada titik ekstrem yang lain, publik bisa juga menganggap operasi-operasi polisi yang cenderung kian brutal, sekadar angin lalu. Mereka menjadi permisif. Kedua reaksi ini tentu tak diharapkan. Pers punya kewajiban mengabarkan informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik. Pers juga berkepentingan membentuk wacana sosial yang produktif untuk masyarakatnya. Pada akhirnya, semua pihak ingin agar jurnalis dan media
xiii
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
massa menjadi alat kontrol yang efektif untuk menjaga akuntabilitas aparat keamanan. Untuk itulah buku ini terbit. Isinya merupakan kompilasi dari hasil tiga diskusi terfokus yang menghadirkan belasan jurnalis, senior maupun yunior, yang sudah menggeluti liputan terorisme selama sepuluh tahun terakhir. Diskusi juga melibatkan dosen, wakil publik/konsumen media, lembaga swadaya masyarakat, pengamat media dan pengamat isu terorisme. Semuanya urun bicara, menyampaikan apa yang sebaiknya dilakukan oleh jurnalis dan media, untuk melayani publik dalam pelaporan isu-isu terorisme. Hasil diskusi itu kami lengkapi dengan riset dan wawancara. Salahsatu poin penting buku ini adalah pentingnya menyegarkan ingatan kita soal prinsip-prinsip jurnalisme damai. Tidak banyak orang sadar, kalau prinsip-prinsip jurnalisme damai ternyata relevan diterapkan dalam peliputan terorisme. Model peliputan yang umum dipakai di wilayah konflik ini ternyata bisa menawarkan panduan agar jurnalis terhindar dari kesalahan-kesalahan elementer dalam memotret akar kekerasan di balik suatu aksi terorisme. Kami dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta berharap buku ini bisa mendorong
xiv
refleksi di kalangan jurnalis soal model peliputan terorisme di Indonesia. Selain itu, kami juga berharap bisa memberikan kontribusi untuk memperbaiki kualitas liputan jurnalistik tentang isu-isu terorisme di negeri ini. Sebuah karya jurnalistik seyogyanya menjernihkan dan membuat terang sebuah masalah. Bukan malah memperkeruh dan membuat bingung. []
xv
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
xvi
BAB 1
Mengapa Liputan Terorisme Dipersoalkan Liputan terorisme di media kita dituding sepihak, tidak berempati pada korban dan dangkal. Akibat jurnalis banyak menggunakan sumber anonim, konsumen media tak diberi ruang untuk memeriksa kesahihan metodologi jurnalistik yang digunakan.
S
EBUAH berita mendadak –breaking news— menyela siaran rutin di sebuah stasiun televisi nasonal. Pada awal Maret 2010 itu, sebuah kantor polisi di Kecamatan Leupung, Kabupaten Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam diserbu sekelompok teroris. Terjadi baku tembak yang seru. Media itu lalu mengutip pernyataan seorang perwira polisi. Berdasarkan keterangan “sumber”, penyerbuan teroris itu adalah imbas penggrebekan Detasemen Khusus 88 — pasukan elite anti teror Markas Besar Kepolisian
1
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
Republik Indonesia— atas sebuah kamp pelatihan teroris di kawasan perbukitan Jalin, Jantho, sekitar 70 km di utara Banda Aceh. Dengan kata lain, penyerbuan itu sebuah aksi balasan. Penonton tentu makin tercekam. Layar kaca kemudian menampilkan sekelompok polisi dengan penutup wajah, merunduk-runduk dengan senjata terkokang. Sesekali terdengar suara letusan senapan. Dar, der, dor. Di tengah jalan, sebuah mayat tergolek.Darah menggenang di sekelilingnya. Suasana terasa genting. Publik kian terpaku di depan televisi, menanti bagaimana kisah penyerbuan dramatis ini akan berakhir. Demikianlah sekilas bagaimana media massa kita meliput isu terorisme. Dramatis, mengandalkan deskripsi –terutama gambargambar—kekerasan dan hampir selalu merangkaikannya dengan pernyataanpernyataan tak resmi dari “sumber-sumber” di kepolisian. Ahmad Arif, jurnalis Harian Kompas, kebetulan ada di Leupung, hari itu. Dan, dia menyaksikan sendiri bahwa situasi sebenarnya di lapangan, tidaklah sedramatis itu. “Saat itu, aparat keamanan di Polsek Leupung, sedang mengadakan sweeping. Mereka diperintahkan untuk mengantisipasi kaburnya buron teroris
2
yang sedang dikejar Densus 88 di sisi lain Aceh Besar,” kata Arif. Di tengah penyisiran kendaraan warga, polisi menemukan satu mobil yang mencurigakan. Di jok belakang mobil itu, ada satu karung goni yang terkesan disembunyikan. Ketika dibuka, isinya penuh senjata api. Saat itu pula, spontan satu orang penumpang lari keluar mobil, membawa senapan. Dor, polisi tak kalah sigap menembak. Si penumpang tewas seketika. Peristiwa pun berakhir. Dengan cepat, polisi setempat menangkap semua penumpang mobil yang tersisa, dan mulai memeriksa mereka. Barang bukti, satu per satu, dikumpulkan. Namun, situasi yang berangsur tenang itu berubah ketika tim Densus 88 dan rombongan jurnalis televisi lain tiba di lokasi itu. Ahmad Arif bercerita bagaimana dia melihat anggota Densus langsung mengurung mobil yang tadinya membawa senjata itu. Mereka merunduk-runduk bagai tengah diincar sniper dari kejauhan. Aksi menarik mereka ini tentu tak putus-putus direkam kamera-kamera televisi. Ahmad Arif mengaku sampai geleng-geleng kepala melihat peristiwa itu. Makin kaget, setelah dia melihat tayangan televisi mengenai peristiwa itu. “Di sana dikesankan terjadi penyerbuan, baku tembak. Padahal
3
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
penembakan dan penangkapan sekelompok teroris itu adalah hasil sweeping kendaraan Polsek setempat,” katanya. Bagaimana media bisa begitu berbeda memberitakan sebuah peristiwa yang sederhana itu? *** KANTOR Badan Intelijen Negara di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, adalah tempat yang angker untuk banyak orang. Tak terkecuali bagi jurnalis. Tak sedikit jurnalis yang menemui jalan buntu ketika mencoba mengorek apa yang terjadi di sana. Jangankan mencoba menelisik apa yang terjadi di dalam gedung BIN, mengambil foto atau merekam tampak depan kantor itu saja, sudah merupakan tindakan terlarang. Sejumlah petugas berbadan kekar siap menghalau siapapun dengan tindak tanduk mencurigakan. Namun, pada suatu hari di awal 2004, Zamira Loebis, jurnalis sebuah majalah asing yang berkantor di Jakarta, beruntung. Dia dan seorang rekannya, tiba-tiba mendapat undangan khusus untuk datang ke Kalibata. Pengundangnya salahsatu pejabat tinggi di sana. Mencium ada berita, mereka berdua bergegas datang.
4
“Kami disambut dengan amat hangat,” kata Zamira. Setelah berbasa-basi sejenak, perbincangan pun masuk ke pokok persoalan. Segepok dokumen diserahkan. “Majalah kalian pasti suka,” kata Zamira, menirukan saran si pejabat yang memberikan dokumen itu. Ketika membacanya, Zamira terbelalak. Dokumen yang diberikan pejabat BIN itu berisi informasi detail mengenai masuknya seorang agen Al-Qaidah bernama Omar al-Faruq ke Indonesia. Di sana, ada data lengkap soal riwayat hidup, latar belakangnya di Al-Qaidah dan jejak perjalanannya selama di Indonesia. Alamatnya di Bogor, Jawa Barat, juga tertera jelas, beserta nama istri dan sanak familinya. Semua peristiwa yang terkait dengan Al-Faruq di Indonesia, rencana-rencana operasi terornya juga dibeberkan lengkap di sana. Tapi, keterangan yang membuat Zamira terhenyak adalah informasi bahwa Al-Faruq sudah ditangkap diam-diam di Terminal Baranangsiang, Bogor, beberapa waktu sebelumnya. Segera setelah ditangkap, Al-Faruq diserahkan ke dinas intelijen Amerika Serikat, CIA. Ini jelas berita besar, pikirnya. Kabar ini pun segera dikirim ke kantor pusat majalah tempat dia bekerja, nun jauh di Amerika Serikat sana. Setelah dimuat, berita Zamira mengenai
5
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
operasi penangkapan seorang teroris kelas kakap di Indonesia dan keterlibatan CIA dalam operasi transfer tahanan itu, segera menggemparkan publik. Media-media lokal di Indonesia beramai-ramai mengangkat isu ini dalam pemberitaannya. Rumah AlFaruq di Cijeruk pun didatangi puluhan wartawan. “Apapun kontroversi setelah itu, saya saat itu mulai bertanya-tanya. Ada apa ini? Mengapa sebuah dokumen resmi dibocorkan sendiri oleh pejabat dinas intelijen Indonesia? Apa tujuannya? Apa motifnya?” kata Zamira. Jelas pejabat BIN memperoleh keuntungan dari pemberitaan massif atas penangkapan AlFaruq di Indonesia. Kesigapan BIN menuai pujian dunia internasional, meski intervensi CIA dikritik kanan kiri di dalam negeri. Tapi yang mengkhawatirkan Zamira bukan hanya itu. “Kalau kita menelan mentah-mentah semua bahan dan dokumen dari mereka, apa kita tidak menjadi corong untuk kepentingan mereka? Apa media tidak sekadar menjadi alat?” ***
6
PADA 8 Agustus 2009 lalu, nyaris selama 17 jam nonstop, berbagai layar televisi, radio, dan situs berita online terus memberitakan penyerbuan sebuah rumah kecil di Temanggung, Jawa Tengah. Koran-koran tak mau ketinggalan, dua hari berturut-turut memasang kabar itu sebagai berita utama, headline. Polisi tampaknya yakin benar ada buron kakap di dalam rumah. Mereka mengepung rumah ringkih itu dari semua sudut. Di ketinggian bukit di belakang rumah berdinding bambu itu, sejumlah polisi pembidik jitu bersiaga. Saat itu, tak jelas benar siapa yang ada di dalam rumah. Namun, jurnalis yang mengikuti insting beritanya segera mengendus peristiwa besar. Mereka pun berupaya dengan berbagai cara mengorek keterangan dari semua sumber yang mungkin, untuk mencari tahu. Sumber yang paling mungkin memberi keterangan sahih dalam situasi pengepungan macam itu ya siapa lagi kalau bukan aparat keamanan. Dengan cepat, keterangan satu penyidik menyebar dari satu jurnalis ke jurnalis lain: Noordin Mohd. Top, buron teroris paling kakap di Indonesia, ada di dalam rumah itu. Begitu informasi itu menyebar, situasi pun menegang. Jurnalis seolah tak mau beranjak,
7
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
kamera video dicagak menghadap rumah, supaya tak ada satupun gerak gerik polisi yang lepas dari sorotan. Setelah belasan jam menunggu dan mengirim pelbagai bahan peledak ke dalam rumah, polisi akhirnya merasa sudah saatnya masuk. Dua polisi berpakaian sipil menodongkan pistol dan memuntahkan peluru berkali-kali ke dalam rumah, sebelum menjebol pintu. Di dalam, sesosok pria sudah tergeletak jadi mayat. Dari penampakan sekilas saja sudah jelas dia bukan Noordin. Siapa yang salah? Publik yang kecewa menyalahkan media. Polisi berkilah mereka tak pernah resmi mengumumkan buron yang tengah dikepung itu adalah Noordin. Malangnya, semua kabar di media yang menyebutkan nama Noordin memang hanya mengutip “sumber” yang tak jelas identitasnya. Jurnalis pun terpojok. Kredibilitas media jadi bulan-bulanan publik. *** DAFTAR liputan terorisme di media yang mendapat kritik pedas dari publik masih panjang. Namun tiga contoh di atas, sudah bisa
8
memberikan gambaran bahwa ada yang kurang pas dalam liputan media kita. Publik pun kian lama kian terbelah, ada yang skeptis dan curiga pada liputan media, dan dengan demikian, juga sinis pada kinerja polisi. Dan ada yang memilih untuk menelan bulat-bulat informasi yang disajikan media. Tentu ini tidak bisa dibiarkan. Publik yang merasa ada rekayasa dalam proses penyidikan kasus-kasus terorisme, bisa membuat upaya pemerintah menangani isu terorisme secara komprehensif, jadi tersendat. Persepsi bahwa polisi –dan dengan demikian, pemerintah—tak serius mengusut kasus terorisme dan hanya mengejar proyek bantuan miliaran dollar dari Amerika Serikat dan Australia, tentu tak sejalan dengan upaya besar mencari dan menyelesaikan akar persoalan radikalisme yang mengatasnamakan agama ini. Makin lama, tudingan macam itu makin gencar disuarakan publik kita. Tak hanya itu. Kadang liputan terorisme dituduh sebagai pengalihan isu dari topik-topik panas yang membuat elite negeri ini kewalahan menjawab. Kalau warga sudah mempertanyakan kredibilitas dan kompetensi media dalam meliput isu terorisme, sudah saatnya para awak
9
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
redaksi berkaca dan mencari tahu: apa yang salah? Konsekuensi dari buruknya liputan media soal terorisme bisa punya buntut panjang. Liputan media yang sepihak dan dangkal menyumbang pada berlarut-larutnya persoalan. Media yang seharusnya bisa menawarkan penjelasan atas latar belakang aksi-aksi terorisme, malah terjebak memberitakan kulit luar dari aksi terorisme –yakni semata-mata kekerasan yang berdarah-darah. Media yang seharusnya menjadi forum dimana berbagai persepsi dan informasi diartikulasikan dan diperdebatkan, akhirnya dituduh lalai menjalankan fungsinya. Arya Gunawan, pengamat media menilai pers Indonesia tidak lagi sensitif memberitakan aspek kekerasan dari terorisme. Korban bom, gedung dan kendaraan yang luluh lantak, baku tembak polisi dan teroris, ditampilkan secara telanjang saja. “Dampaknya berbahaya untuk publik, lama-kelamaan mereka bisa menganggap kekerasan adalah hal yang biasa,” katanya. Selain itu, Arya juga menilai media semakin terjebak pada satu versi mengenai apa yang jadi pemicu aksi terorisme. Arya
10
mengaku makin jarang melihat media yang berusaha menampilkan versi-versi lain dari berbagai aspek sejarah dan sosiologis, yang bisa menjelaskan kenapa sebuah aksi teror terjadi. “Tidak tampak ada upaya dari media untuk merefleksikan semua rangkaian peristiwa teror di dunia, mencari logika dari semua aksi itu dengan merujuk pada konteks besar peristiwa 11 September di New York, misalnya,” kata Arya dengan nada menyesalkan. Mencari latar belakang sebuah aksi teror, tentu bukan bermaksud mendukung atau membenarkan aksi teror tersebut. Lila Fitri Aly, seorang ibu rumah tangga yang rajin mengamati siaran berita di media massa soal terorisme, punya pandangan serupa. Dia secara khusus menggarisbawahi hilangnya empati dari liputan media kita tentang terorisme. “Narasumber dari keluarga teroris, atau keluarga korban, dicecar dengan pertanyaan seperti pesakitan. Padahal banyak pertanyaan yang tidak relevan dengan mereka,” katanya. Kami yang menonton di rumah, kata Laila, jadi kasihan pada narasumber yang dipojokkan seperti itu. “Padahal, bisa saja mereka benar-benar tidak tahu apa yang terjadi,” katanya lagi.
11
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
Johan Galtung, seorang profesor studi-studi perdamaian asal Norwegia, pernah berkomentar soal liputan media mengenai terorisme. Dia mengkritik media yang tidak menjelaskan konteks dan latar belakang dari suatu peristiwa kekerasan yang dituding terkait terorisme. “Banyak jurnalis yang lupa menyertakan fakta bahwa ketegangan antara Barat dan Islam punya sejarah panjang,” katanya. Peristiwa 11 September 2001 bukanlah sebuah serangan yang ada di ruang hampa: dia berakar pada sejarah panjang orang-orang Islam di Arab yang merasa dipojokkan oleh politik dan kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Tentu tak mudah menerapkan prinsip-prinsip jurnalisme damai dalam liputan terorisme. Bahkan menggunakan metode jurnalistik standar yang meliputi verifikasi sumber dan cover bothsides saja, kadang tak mungkin. Apalagi ada kendala ruang yang terbatas di media-media kita, kepentingan komersial para pemilik dan pemasang iklan, dan keterbatasan keterampilan jurnalistik awak redaksi. Namun, bukan berarti redaksi harus berpangku tangan dan menerima saja keadaan ini. Adalah kewajiban jurnalis untuk meliput isuisu terorisme dengan profesional. Tidak hanya
12
untuk menjernihkan masalah dan mendudukkan persoalan pada konteks dan proporsinya yang tepat, namun juga untuk mencerahkan dan membuka ruang bagi publik untuk mencerna informasi apa adanya soal gerakan terorisme di negeri kita. []
13
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
14
BAB 2
Sembilan Dosa Jurnalis Dalam Liputan Terorisme Dalam liputan terorisme, banyak jurnalis tergelincir menjadi corong salah satu pihak. Ada juga yang terjebak sensasi.
T
IDAK banyak orang sadar, kalau prinsip-prinsip jurnalisme damai ternyata relevan diterapkan dalam peliputan terorisme. Model peliputan yang umum dipakai di wilayah konflik ini ternyata bisa menawarkan panduan untuk menghindarkan jurnalis dari kesalahan-kesalahan elementer dalam memotret akar kekerasan di balik suatu aksi terorisme. Namun, sebelum mengupas prinsip-prinsip dasar jurnalisme damai dan relevansinya untuk liputan terorisme, ada baiknya kita menelusuri satu demi satu dosa-dosa yang kerap dilakukan jurnalis dalam meliput isu terorisme. Dari riset sederhana atas beberapa berita yang dibuat wartawan berbagai media di
15
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir, terdapat sejumlah kesalahan elementer yang terjadi dalam hampir semua rantai proses jurnalistik. Ada yang terjadi ketika wartawan turun ke lapangan mengumpulkan data dan melakukan wawancara, ada juga yang muncul pada saat semua informasi itu dikemas menjadi artikel atau paket liputan dan disiarkan di media massa. Kesalahan ternyata pernah terjadi di hampir semua lini kerja jurnalistik. Ada banyak motif di balik kesilapan-kesilapan itu. Sebagian terjadi murni sebagai kelalaian. Namun ada juga yang didorong nafsu jurnalis untuk menghasilkan liputan terbaik, tercepat maupun terbaru. Terkadang, —harus diakui— dorongan untuk menghasilkan liputan eksklusif memang membuat jurnalis gelap mata dan mengabaikan etika jurnalistik. Apalagi jika dorongan mengejar eksklusivitas itu dipupuk oleh manajemen keredaksian yang selalu menanamkan kompetisi dengan media-media pesaing di lapangan. Kadang kita lupa, yang lebih penting dari itu adalah pemenuhan rasa ingin tahu publik secara komprehensif, bukan sekadar sikut-sikutan menjadi yang pertama mengabarkan. Selain itu, ketidakpahaman jurnalis akan kode etik jurnalistik dan kelelahan atau
16
kejenuhan di lapangan, juga kadang berkontribusi pada munculnya kesalahankesalahan elementer dalam peliputan isu terorisme di lapangan. Inilah sebagian dosa jurnalis dalam peliputan terorisme: ***
DOSA PERTAMA Mengandalkan Satu Narasumber Resmi ENAM hari setelah ledakan bom mengguncang Bali, Harian Kompas edisi 7 Oktober 2005, di halaman mukanya menurunkan berita berjudul “Misteri Sang Perekam Peledak Bom.” Isinya menarik perhatian khalayak karena menawarkan informasi mengenai siapa sebenarnya yang merekam video detik-detik menjelang ledakan bom di R.AJAs Bar and Restaurant, Kuta. Video yang ramai disiarkan berbagai stasiun televisi selama hari-hari pertama pasca-ledakan bom itu memang menjadi kontroversi. Pasalnya, selama sekian menit, kamera si pengambil
17
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
gambar justru sepertinya fokus pada pria lokal yang membawa tas ransel —yang belakangan diketahui sebagai pembawa bom. Pria itu terekam terus oleh kamera sampai bom meledak di dalam restoran. Sebagian publik menilai video itu janggal karena sedikitnya dua alasan. Pertama, seorang gadis bule yang disorot kamera —dan diklaim sebagai keluarga si perekam video— justru tidak melambaikan tangan kepada kamera. Kedua, dan ini yang paling mencurigakan— sesaat setelah bom meledak, si perekam ini tidak berlari pontang panting seperti orangorang di sekelilingnya. Banyak orang lalu berspekulasi bahwa si perekam ini adalah bagian dari kelompok pengebom. Nah, berita Kompas yang dimuat di halaman muka itu tampaknya berusaha menjernihkan dan meredakan kontroversi ini. Jurnalis Kompas menjelaskan bahwa si perekam adalah warga negara Australia yang kebetulan sedang berada di dekat restoran itu. Dia sedang berlibur bersama sembilan orang anggota keluarga dan handai taulannya di Kuta. Kronologis perekaman video heboh itu dan penjelasan bagaimana video itu sampai ke tangan polisi, juga dikisahkan dengan rinci di koran itu. Berita itu lalu ditutup dengan sebuah
18
paragraf kesimpulan: “Sudah sepantasnya kita berterimakasih kepada pria yang merekam gambar tersebut dan bukannya curiga kepada sebuah niat baik. Apalagi, pria itu pun terluka, menjadi korban ledakan. Juga keluarganya yang lain. Kita sementara ini telah menjelma menjadi sebuah bangsa yang penuh curiga. Tidak saja kepada orang asing, tetapi bahkan kepada kebaikan sekalipun. Sikap itu sering kita dengar, bahkan mungkin sering kita lakukan. Lalu kapan kita akan menjadi bangsa yang dewasa?” Pengamat media, Arya Gunawan, menyesalkan paragraf akhir berita itu. “Masak pembaca yang tidak satu pandangan dengan isi berita itu, dicurigai bisa menghambat proses pendewasaan bangsa?” kata Arya. Arya juga mempertanyakan mengapa seperti tidak ada ‘ruang keraguan’ pada jurnalis penulis berita itu. “Padahal berita itu tidak menyertakan identitas jelas dari para narasumbernya,” kata Arya. Inti kritik Arya Gunawan adalah berita itu lemah dalam hal verifikasi, karena sebagian besar memakai sumber resmi. “Jurnalis penulis berita itu terlihat tak berupaya menggugat keabsahan informasi itu lebih jauh,” kata Arya. ***
19
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
DALAM peliputan isu terorisme, seringkali wartawan memang kesulitan mendapatkan narasumber tangan pertama –yang melihat, mendengar dan mengalami sendiri— yang bersedia berbicara panjang lebar sebagai informan primer. Dalam situasi kusut masai setelah sebuah ledakan bom, biasanya semua saksi kunci dengan cepat dikarantina oleh polisi, untuk diinterogasi. Mereka juga kadangkala diwanti-wanti untuk tidak sembarangan berbicara kepada jurnalis, agar berita yang beredar tidak mengganggu proses penyidikan polisi. Tentu kepentingan aparat penegak hukum untuk mengungkap siapa yang bertanggungjawab di balik sebuah peristiwa terorisme, harus dihormati. Namun, jurnalis yang baik tak hanya melayani hak warga untuk memperoleh informasi. Jurnalis juga punya kewajiban melakukan kontrol dan memastikan kerja polisi akuntabel dan bisa dipertanggungjawabkan secara hukum. Untuk itulah, mau tak mau, jurnalis tak bisa hanya mengandalkan keterangan dari kepolisian. Sulitnya memperoleh narasumber primer di lapangan, bukanlah alasan untuk tidak memberitakan informasi secara seimbang (cover both sides). ***
20
DOSA KEDUA Lalai Melakukan Verifikasi PADA awal Agustus 2010 lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meninjau Sekolah Calon Tamtama Resimen Kodam Siliwangi di Pangalengan, Jawa Barat. Ketika memberikan sambutan, Presiden malah bercerita soal laporan polisi tentang ancaman pembunuhan atas dirinya. ”Saya baru mendapat laporan tadi malam dari jajaran pengamanan. Ada anak bangsa yang punya niat tidak baik,” katanya. ”Tapi saya akan tetap menjalankan tugas tanpa terpengaruh ancaman apapun,” kata Yudhoyono lagi. Keesokan harinya, sepotong pernyataan Presiden ini kemudian menjadi kepala berita dimana-mana. Tanpa melakukan cross-check maupun check and recheck, hampir semua media memampangkan besar-besar berita tentang ancaman pembunuhan yang diterima Presiden ini. Koran Tempo memasang judul berita, “Presiden Mengaku Lagi Ada Ancaman Teroris.” Sementara itu, Kompas memasang judul nyaris serupa: “Lagi Presiden Diancam Teroris.” Sayangnya, kebanyakkan berita itu hanya
21
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
bersumber dari pidato SBY. Tidak ada upaya untuk mencaritahu kebenaran kabar yang disampaikan Presiden. Tidak ada media yang menelisik siapa sebenarnya yang mengancam Presiden, dan seperti apa rencana detail pembunuhan Presiden yang dikhawatirkan itu. Beberapa media memang berhasil mengendus informasi bahwa Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian Negara RI menangkap sejumlah orang yang diduga terkait terorisme di Jawa Barat. Namun, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri Irjen Edward Aritonang tidak bisa memastikan apakah penangkapan itu terkait ancaman terhadap Presiden atau tidak. Walhasil, berita itu berhenti pada sinyalemen saja, tanpa upaya verifikasi mendalam. Publik dibuat bingung: benarkah ada yang mengancam Presiden? Kalau benar, siapa? Beberapa hari kemudian, berita di media makin menjadi-jadi, ketika Amir Jama’ah Anshorut Tauhid, Abu Bakar Ba’asyir, dicokok polisi di Banjar Patroman. Media lalu berusaha menghubung-hubungkan dua peristiwa ini. Bukannya melakukan verifikasi atas laporan pertama, media terbawa arus melaporkan insiden kedua. ***
22
DALAM meliput isu terorisme, media memang seringkali hanya mempublikasikan pernyataan sepihak atau klaim dari satu sisi masalah saja. Terkesan, jurnalis dan media massa umumnya cenderung mempercayai saja apapun yang disampaikan oleh narasumber dalam sebuah pidato atau konferensi pers. Ketika polisi mengumumkan temuannya dalam suatu kasus terorisme, media meneruskannya begitu saja kepada publik. Demikian juga sebaliknya, ketika tim pembela tersangka terorisme membantah tudingan aparat keamanan, media pun mengeksposnya mentah-mentah kepada khalayak ramai. Dengan pola kerja macam ini, tak heran jika media dituding hanya menjadi pengeras suara alias corong dari pihak-pihak yang berseteru. Itulah yang terjadi pada insiden penyerbuan polisi di Temanggung, pada 8 Agustus 2009 silam, misalnya. Selama belasan jam, jurnalis hanya menjadi penonton drama pengepungan itu. Mereka percaya saja ketika seorang polisi berbisik bahwa ada Noordin M. Top di dalam rumah yang diserbu itu. Belakangan terungkap bahwa pria di dalam rumah bukan Noordin, melainkan Ibrahim — salah satu operator peledakan bom di Hotel JW Marriot-Ritz Carlton, Jakarta pada 17 Juli 2009.
23
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
Namun, kekeliruan telah terjadi. Polisi yang jadi sumber informasi ini tentu cepat-cepat cuci tangan. Tinggallah media yang harus menanggung kerusakan kredibilitas akibat menyiarkan informasi tanpa verifikasi. Pengamat media, Ade Armando, menilai kealpaan jurnalis melakukan verifikasi, kadang juga didorong oleh mekanisme kerja keredaksian. ”Ada media yang mengutamakan keuntungan komersial, sehingga enggan masuk ke wilayah liputan yang berbahaya,” katanya. Buat media macam itu, Ade menilai, sulit mengharapkan ada perbaikan. ”Untuk mereka, lebih aman mengutip Kapolri, pakar terorisme dan mengait-ngaitkan semua kepingan parsial itu secara subyektif, ketimbang melakukan verifikasi –apalagi investigasi—untuk mengungkap apa yang sebenarnya terjadi,” kata Ade. Arya Gunawan tidak menyalahkan jurnalis yang mendapatkan bahan awal dari laporan polisi. Namun, kata dia, seharusnya ada proses verifikasi yang cukup dan berimbang. ”Jurnalis harus tetap skeptis, jangan sampai terkesan semua informasi dari satu sisi narasumber ditelan mentah-mentah,” katanya. Mantan wartawan Kompas ini menegaskan bahwa ketergantungan yang berlebihan pada
24
informasi satu sisi dari narasumber adalah salahsatu dosa jurnalis yang amat sering berulang dalam setiap liputan terorisme. Setiap kali ada penangkapan orang yang diklaim polisi sebagai teroris, nyaris semua rangkaian cerita, konstruksi dan narasi berita disusun jurnalis berdasarkan informasi dari polisi. Jarang sekali ada media yang mencoba menggali peristiwa itu dari perspektif sebaliknya. ”Dari tahun ke tahun, ada kecenderungan jurnalis terlalu mengandalkan informasi dari satu sisi saja: sisi polisi,” kata Arya. Tentu saja, ini tidak sehat dan tak bisa terus dibiarkan. ***
DOSA KETIGA Malas Menggali Informasi di Lapangan MUSTAKIM adalah reporter Kantor Berita Radio 68H di Jakarta. Pada 13 November 2006, dia mendapat tugas meliput ledakan bom kecil di Plaza Kramat Jati Indah, Jakarta Barat. Ledakan terjadi di dalam restoran A&W, sebuah
25
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
restoran franchise dari Amerika Serikat, yang menjual burger dan kentang goreng. Peristiwa ini menjadi berita besar karena terjadi hanya selang beberapa hari sebelum kedatangan Presiden AS George Walker Bush ke Indonesia. Petinggi polisi langsung meninjau ke lokasi ledakan. Irjen Adang Firman (Kapolda Metro Jaya), Kombes Ketut Untung Yoga (Kabid Humas Polda Metro Jaya) dan Komjen Makbul Padmanegara (Kabareskrim Mabes Polri) tampak serius berdiskusi di lapangan. ”Polisi memang tidak langsung mengatakan ledakan bom itu sebagai sebuah aksi terorisme, tapi secara tersirat mereka menyimpulkan ada kemungkinan itu terorisme,” kisah Mustakim. Namun, Mustakim tak puas dengan sepotong keterangan yang mengambang itu. Pada saat semua wartawan lain berbondong-bondong pulang atau berancang-ancang menginap di Mabes Polri sembari menunggu perkembangan penyidikan, Mustakim justru kembali ke Kramat Jati. Dia bertanya kanan kiri, mencari alamat si tersangka pelaku peledakan. Dan berhasil. ”Malam itu, saya mendapat keterangan langsung dari pihak keluarga, bahwa pelaku peledakan sama sekali tidak terkait jaringan terorisme,” kata Mustakim.
26
Si tersangka, Muhammad Nuh, 36 tahun, warga Jl. Otista, Jatinegara, ternyata mengalami kelainan jiwa. Pada persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Nuh dijatuhi vonis empat tahun penjara. Jauh lebih ringan dari tuntutan 10 tahun penjara yang diminta jaksa. Satu hal yang menghibur Mustakim, hakim membenarkan temuannya bahwa Nuh bukan jaringan teroris yang biasa menebar ancaman di negeri ini. “Meskipun terdakwa bukan termasuk jaringan teroris internasional, tetapi undang-undang tidak mesyaratkan hal itu,” kata Ketua Majelis Hakim, Farid Fauzi. Kegigihan Mustakim menggali fakta di lapangan harus diapresiasi. Umumnya, wartawan lain lebih senang menanti ‘bola matang’ dari mulut penyidik polisi atau bantahan dari pengacara, pembela tersangka. Mereka biasanya merasa cukup dengan menanti di depan kantor Mabes Polri atau rumahsakit, sampai ada perwira polisi, keluarga korban, atau dokter yang berbaik hati membagi informasi soal perkembangan penyidikan. Masalahnya, dengan cara bekerja macam itu, tak banyak informasi baru yang bisa digali. Para narasumber tentu tak akan mau sembarangan membuka fakta-fakta sensitif yang sedang mereka kerjakan kepada semua jurnalis.
27
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
Namun, menjadi rajin di lapangan, tentu bukan hal mudah. Mustakim misalnya, mengaku kerap menghadapi kendala soal akses kepada narasumber. ”Banyak berita soal terorisme menjadi tidak berimbang dan tidak dikonfirmasi, karena tidak ada akses ke narasumber yang berkaitan langsung dengan berita yang hendak ditulis,” katanya. Untuk itu, jurnalis memang mau tak mau harus membangun kepercayaan dengan narasumber. Meski tentu butuh waktu, pendekatan macam itu tetap harus dilakukan. ***
DOSA KEEMPAT Lalai Memahami Konteks MUSDALIFAH Fachri, reporter Jurnal Nasional, punya pengalaman menarik. Pada 17 Juli 2009 silam, dia mendadak mendapat tugas istimewa: meliput ledakan bom di Hotel JW Mariott, Kuningan, Jakarta. Dia kaget. Bukan apa-apa, dia baru setahun menjadi reporter dan baru saja pindah dari Makassar ke Ibukota. Namun, Musdalifah tak patah semangat. Dia
28
segera melompat ke kendaraan umum, berpacu ke kawasan Kuningan. “Saya sempat tanyatanya arah dulu, karena saya tidak tahu Hotel Mariott itu ada dimana,” katanya, tersenyum geli mengingat pengalaman itu. Sesampainya di lokasi ledakan, lagi-lagi kebingungan kembali menyergap. Musdalifah mengaku sama sekali buta soal isu terorisme. Dia tak tahu bagaimana memulai liputan. “Ternyata susah sekali mencari narasumber,” katanya. “Bahkan mewawancarai pihak berwajib seperti kepolisian dan sumber resmi lain juga sama susahnya,” kata Musdalifah. Pengalaman perdana ini jelas amat berharga buat gadis berjilbab ini. Sekarang dia rajin melahap banyak buku yang mengulas terorisme dan aktif mengikuti diskusi soal isu ini. Dia tak ingin kebingungannya di lapangan, kembali terulang di masa depan. Namun di luar sana, sebagian besar jurnalis enggan menambah pengetahuan tentang terorisme. Padahal pengetahuan itu sangat penting agar jurnalis memahami konteks masalah saat meliput. Inilah dosa jurnalis yang keempat: sering lalai memahami konteks aksi terorisme. Pengamat media, Arya Gunawan, setuju. Dia menilai saat ini banyak jurnalis peliput
29
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
terorisme bahkan tak mendalami pro-kontra dan konteks seputar peristiwa 11 September 2001, peledakan menara kembar World Trade Center, di New York, Amerika Serikat. Padahal tragedi itulah yang menjadi pemicu perang global Amerika dan sekutunya memburu teroris. Arya menilai, seharusnya sejarah konflik ini terus menerus disiarkan, untuk memberikan konteks pada peristiwa-peristiwa yang terjadi belakangan. Kurangnya pemahaman itu kadang membuat jurnalis terjebak mengambil posisi yang salah. Hal ini diakui Mustakim, reporter Kantor Berita Radio 68H. ”Seringkali, karena sering liputan di isu ini, isi kepala kita jadi sama dengan polisi. Walhasil yang muncul adalah penghakiman dan apatisme pada nasib tersangka teroris,” katanya terus terang. Akibatnya, ketika jumlah tersangka teroris yang ditembak mati oleh polisi kian meningkat, jarang sekali ada media dan jurnalis yang mencoba bersikap kritis. ”Ada pikiran: teroris memang pantas dibinasakan,” katanya menyesalkan. Oleh karena itu, Mustakim menilai amat penting jurnalis peliput isu terorisme memahami peta perkembangan gerakan terorisme, ideologinya dan perspektif mereka dalam memandang persoalan. Dari sana, diharapkan
30
muncul empati. Dan dari empati, jurnalis akan mampu meliput peristiwa-peristiwa terorisme dengan lebih baik. Ujung-ujungnya, publik yang akan diuntungkan. Salahsatu dampak paling nyata dari ketidakpahaman jurnalis ini adalah media massa kurang perhatian pada isu-isu deradikalisasi teroris. Karena wartawan seringkali hanya memperhatikan ujung dari sebuah gerakan terorisme, yakni ketika bom meledak, atau kantor pemerintah diserbu, mereka luput menganalisa bagaimana sebuah gerakan terorisme berawal. Karena minimnya perhatian media, usahausaha deradikalisasi yang digagas Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan Yayasan Prasasti Perdamaian, misalnya, kesulitan memperoleh dukungan, baik secara pendanaan maupun dukungan politik. Polisi dianggap sudah berhasil jika berhasil menembak mati atau memenjarakan pelaku tindak pidana terorisme. Padahal, setelah keluar dari bui, ratusan narapidana terorisme kembali ke jejaring mereka semula. Publik baru terhenyak, ketika tahu bahwa sebagian pelaku aksi teror dalam dua tahun terakhir ini, sudah pernah ditangkap dan dipenjara karena terlibat terorisme. Barulah
31
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
media beramai-ramai mengangkat isu soal penjara yang menjadi ladang penyebaran ideologi radikal dan rekruitmen terorisme. Padahal, kerisauan soal ini sudah lama diangkat oleh para pakar terorisme dan penggiat lembaga swadaya masyarakat. Bayangkan berapa banyak insiden yang bisa dicegah jika saja media sejak awal memahami pentingnya menyukseskan program deradikalisasi ini. *** TENTU, tak semua masalah disebabkan oleh kemalasan jurnalis untuk belajar lebih banyak. Kadang, mekanisme kerja keredaksian juga berkontribusi. Yophiandi Kurniawan, jurnalis MajalahTempo, mengalami hal seperti ini. Dia intens meliput isu terorisme sejak peristiwa peledakan bom di Kedubes Australia, Kuningan, Jakarta, pada pertengahan 2004. Sejak itu, dia perlahan membangun koneksi dan pengetahuan soal seluk beluk jejaring teroris di negeri ini. Namun, di tengah keasyikannya menguliti isu ini, dia dipindah ke kompartemen liputan lain. Walhasil, reporter baru yang ditugasi meliput isu terorisme untuk Tempo, harus belajar lagi dari nol. Solusinya memang membutuhkan kerjasama.
32
Meski tak lagi menulis berita tentang terorisme, Yophiandi rajin menjaga hubungannya dengan para narasumber. “Saya berusaha tidak kehilangan kontak dengan mereka,” katanya. “Dari bincang-bincang ringan, kadang ada informasi penting yang saya terima. Semuanya saya teruskan pada reporter yang sekarang bertanggungjawab meliput isu terorisme di Mabes Polri,” kata Yophiandi. Si reporter baru pun tak kehilangan akal. Ketika kesulitan menembus sumber penting di Detasemen Khusus 88 Antiteror, dia tak segan-segan mengajak Yophiandi. ***
DOSA KELIMA Terlalu Mendramatisasi Peristiwa LIPUTAN sepanjang 17 jam seputar pengepungan buron teroris nomor wahid, Noordin Mohd. Top, di Temanggung, Jawa Tengah, Agustus 2009 lalu, kerap dijadikan contoh buruk bagaimana media mendramatisasi sebuah peristiwa faktual. Liputan tersebut dilakukan oleh sejumlah stasiun televisi swasta.
33
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
“Sebagai penonton televisi, saya jadi ikut tercekam dari detik ke detik, menit ke menit, dan jam ke jam,” kata Ignatius Haryanto, Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pers dan Pembangunan. “Tapi ketika liputan berakhir, saya justru tidak mendapat informasi apa-apa. Misalnya soal siapa sebenarnya yang sedang dikepung di Temanggung itu?” katanya sambil mengangkat bahu. Ignatius Haryanto menyarankan siaran tentang isu terorisme, sebaiknya tak usah ditayangkan secara langsung. “Apa perlu?” katanya skeptis. Dia malah menilai liputan media akan jauh lebih efektif jika beberapa bagian dari segmen itu disunting dulu sebelum disiarkan. “Pesannya akan jauh lebih jelas sampai kepada publik, daripada semua disiarkan langsung belasan jam,” katanya. Karni Ilyas, Direktur Pemberitaan tvOne – salahsatu stasiun yang menayangkan siaran dramatis belasan jam di Temanggung itu— sepakat dengan Haryanto. Dia mengaku sempat mengingatkan anakbuahnya di redaksi agar tidak terbawa mendramatisasi suasana dalam liputan mereka soal terorisme. “Saya juga tidak setuju dramatisasi,” kata Karni, dalam sebuah wawancara dengan Harian Kompas, 13 September 2009 lalu. “Justru yang faktual, yang
34
akan bertahan,” katanya. Kesan yang sama muncul ketika publik mencermati peristiwa eksekusi mati tiga terpidana bom Bali: Amrozi, Imam Samudera dan Mukhlas, di perbukitan Pulau Nusakambangan, akhir 2008 lalu. Juga prosesi penguburan ketiganya, yang menyusul kemudian. Dalam liputan penguburan duo pengebom yang dieksekusi, Amrozi dan Mukhlas, akhir November 2008 lalu misalnya, sejumlah media memberitakan soal kemunculan beberapa burung yang terbang melayang di atas kuburan keduanya. Jurnalis menambah efek dramatis dari berita soal burung itu dengan mewawancarai sejumlah sumber yang menjelaskan bahwa kemunculan burung itu menandakan para pengebom ini sudah mati sahid. Dalam semua liputan itu, kerapkali jurnalis terbawa suasana, atau sengaja membangun suasana mencekam, penuh kecemasan, atau dramatis, tanpa didukung fakta yang memadai. Pengamat media, Ade Armando, menilai saat ini ada kecenderungan yang mengkhawatirkan di media massa. “Semua yang tampil di media merupakan entertaiment,” katanya. Karena itu, dia mengaku tak terlampau heran melihat liputan
35
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
isu terorisme yang cenderung dangkal dan mendramatisasi suasana. “Media enggan mengeluarkan uang untuk investasi liputan investigasi, karena sudah puas dengan keuntungan komersial yang diperoleh dengan kualitas liputan seperti saat ini,” katanya. Walhasil, dia pesimis akan ada perubahan. ***
DOSA KEENAM Tidak Berempati pada Narasumber PRODUSER senior tvOne, Agung Rulianto, sempat kesulitan menembus keluarga Amrozi di Lamongan, Jawa Timur, akhir November 2008. Ketika itu, hampir semua media di Indonesia memfokuskan liputannya ke desa Tenggulun, desa kelahiran trio pengebom Bali –Amrozi, Mukhlas dan Ali Imron—itu. Ketika itu, dua terpidana teroris yang mendalangi aksi pengeboman di Bali itu, baru saja dieksekusi dan jenazahnya akan segera dibawa pulang ke Lamongan. Keluarga Amrozi jelas tertekan menghadapi liputan media yang begitu gencar. Puluhan
36
jurnalis, dalam dan luar negeri, menginap di desa itu, dan mengikuti kemanapun anggota keluarga Amrozi melangkah. Tak heran, setelah beberapa hari, sikap penduduk desa Tenggulun berubah menjadi dingin. Mereka terusik oleh liputan media yang bak sirkus di kawasan tempat tinggal mereka. Agung Rulianto tak kehilangan akal. Saat mengamati situasi, dia melihat sendiri bagaimana para jurnalis cenderung memperlakukan keluarga Amrozi sebagai ‘obyek’ liputan semata. “Ketika mereka sekeluarga pergi sholat, semua juru kamera dan fotografer, menunggu di luar, menyoroti mereka dari balik jendela,” kata Agung. “Keluarga itu diperlakukan seperti ikan di dalam akuarium, yang hanya pantas ditonton dari balik kaca,” katanya lagi. Karena itu, Agung mengambil pendekatan berbeda. Dia bertamu ke rumah saudara tertua Amrozi, Khozin, dan memohon ijin untuk melakukan peliputan di desa itu. Ketika Agung sedang bernegosiasi, mobil-mobil liputan tvOne –termasuk mobil Satellite News Gathering (SNG)—sengaja diparkir jauh-jauh di luar perbatasan desa. Dia mengikuti kemana Khozin pergi dan ikut menunaikan ibadah sholat bersama keluarga Amrozi. “Ketika semua
37
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
jurnalis lain memilih mengabadikan ibadah keluarga Amrozi dari luar, saya masuk dan sholat bersama mereka,” kata Agung. Pendekatannya berhasil. Rombongan jurnalis tvOne adalah satu-satunya kru media yang diperkenankan menggunakan rumah keluarga Amrozi sebagai basis liputan. Mobil SNG mereka yang besar, juga boleh diparkir di tempat yang paling dekat dengan rumah Amrozi. “Bandingkan dengan pendekatan sebuah stasiun teve lain,” kata Agung, tanpa bermaksud menyombong. “Hari pertama mereka datang, mobil SNG langsung dibawa masuk dan parkir di seberang rumah Ibu Amrozi,” katanya. Walhasil, selang beberapa jam saja, sejumlah pemuda Desa Tenggulun sudah mengancam akan membakar mobil itu, jika tidak segera dipindahkan. Banyak wartawan, kata Agung, lupa menjalin hubungan personal dengan keluarga narasumber. Padahal, kedekatan itu penting untuk menjamin akses. Setelah Amrozi dikuburkan, dengan pendekatan serupa, Agung berhasil membujuk istri Mukhlas dan adik Amrozi, tampil live untuk diwawancarai tvOne. Sayangnya, pendekatan susah payah di lapangan ini kerap dibuyarkan oleh cara bertanya anchor di studio, yang kadang mendikte
38
dan mengarahkan jawaban narasumber. Sikap serupa kadang juga ditampilkan para jurnalis di lapangan, yang kadang memperlakukan narasumber sebagai tertuduh dan tersangka, yang layak dipojokkan di hadapan audiens mereka. ***
DOSA KETUJUH Menonjolkan Kekerasan LEDAKAN bom di Hotel JW Mariott dan Ritz Carlton pada suatu pagi, 17 Juli 2009 silam, benar-benar mengejutkan banyak orang. Terjadi di jantung kawasan bisnis elite Jakarta, Mega Kuningan, korban pun berjatuhan dari kalangan ekspatriat dan pebisnis terkemuka. Begitu kabar ini sampai ke telinga jurnalis, mereka pun menyerbu lokasi ledakan dan rumahsakit terdekat. Gambar-gambar mayat bergelimpangan, korban luka-luka mengenaskan pun tersebar ke khalayak ramai. Kejadian serupa terjadi nyaris setiap kali sebuah insiden terorisme terjadi di negeri ini. Hampir secara instingtif, jurnalis –termasuk
39
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
fotografer dan juru kamera—mengarahkan lensa kepada korban. Tujuannya jelas, jurnalis ingin mengabarkan kepada publik, sejauhmana dampak dari ledakan bom atau serangan kali ini: besar, sedang, atau kecil saja. Tengok saja bagaimana media memberitakan aksi penggrebekan kamp pelatihan teroris di Bukit Jalin, Jantho, Maret 2010 lalu. Televisi, radio dan media cetak benar-benar menampilkan baku tembak di sana, sebagaimana adanya. Letusan senjata, mayat yang terkapar, dan suasana yang mencekam, masuk ke ruang-ruang keluarga setiap rumah tangga di Indonesia yang menyaksikan tayangan itu. Tentu yang ideal bukanlah menyensor realita yang benar-benar terjadi di lapangan. Yang jadi masalah adalah jika media massa terlalu memusatkan perhatian pada gambar-gambar kekerasan dan korban kekerasan saja. Misalnya, ada televisi yang terus menerus menayangkan gambar mengenai korban-korban ledakan Mariott secara berulang-ulang. Ada juga koran yang terang-terangan memasang foto korban ledakan bom yang kehilangan kakinya, di halaman muka. Pengamat media, Arya Gunawan, khawatir jika publik tak henti-hentinya diterpa dengan informasi macam itu, maka lama-kelamaan
40
mereka akan kehilangan sensitivitasnya pada kekerasan. ”Lama kelamaan, masyarakat bisa tidak peka lagi, dan kehilangan empati,” katanya. Dia mengutip teori kultivasi dalam disiplin ilmu yang dirumuskan oleh George Gerbner, yang menyebutkan bahwa tayangan kekerasan yang berulang-ulang di media bisa menimbulkan dua dampak. Pertama, publik jadi terbiasa pada kekerasan. Mereka akan menganggap ceceran darah sebagai hal yang biasa saja. Kedua, bisa jadi publik akan beranggapan bahwa penyelesaian masalah dengan cara kekerasan adalah sah. Dikhawatirkan, kemudian akan berkembang pembenaran untuk menyelesaikan masalah dengan cara menikam, menembak, dan membunuh. ***
DOSA KEDELAPAN Tidak Memperhatikan Keamanan dan Keselamatan Diri PENGALAMAN Ecep Suwardani Yasa, produser tvOne, meliput isu terorisme, tak selalu
41
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
menyenangkan. Maret 2010 lalu, dia mendapat bocoran informasi menarik: Detasemen Khusus 88 Antiterorisme akan menyerbu sebuah kamp pelatihan teroris di Bukit Jalin, Jantho, Aceh Besar. Tak mau buang waktu, berangkatlah Ecep ke Nanggroe Aceh Darussalam. Liputan pertama Ecep di tvOne menimbulkan kehebohan. Selain karena informasi yang dia sampaikan benar-benar baru dan mengguncang publik, juga karena penampilannya di layar kaca. Saat memberikan laporan secara langsung dari Aceh, Ecep mengenakan rompi antipeluru dan helm besi. Sekelompok jurnalis Aceh menyesalkan tindakan Ecep ini. Menurutnya, penggunaan peralatan pengaman seperti itu mengingatkan masyarakat lokal pada konflik panjang antara pemerintah Jakarta dan Gerakan Aceh Merdeka. Padahal, Ecep memakai peralatan lengkap itu karena tuntutan situasi semata. Ketika dia meliput, kondisi di Jantho memang sedang panas: ada kontak senjata. “Bisa saja ada peluru nyasar,” kata Ecep. Pro kontra mengenai penggunaan rompi dan helm Ecep ini sebenarnya mengindikasikan persoalan lain. Dalam meliput berbagai peristiwa terkait terorisme, jurnalis seringkali lupa melindungi keamanan dan keselamatan dirinya sendiri.
42
Padahal, di media internasional, masalah keselamatan jurnalis selalu menjadi isu utama. ”Kami di British Broadcasting Corporation (BBC) menganggap isu safety adalah isu penting karena terkait soal sumber daya manusia (SDM). Di sini, SDM adalah aset utama kami,” kata Asep Setiawan, Editor BBC Siaran Indonesia. Kesadaran itu berbeda 180 derajat dibandingkan di sini. Banyak redaksi tidak memberikan asuransi keselamatan untuk jurnalis yang meliput di daerah rawan konflik. Pelatihan mengenai pedoman peliputan yang aman, juga amat jarang diberikan. Di BBC saja, seorang reporter harus selalu memiliki sertifikat pernah mengikuti pelatihan keselamatan (safety training) yang berlaku selama dua tahun. Di Indonesia, jurnalis dengan gagah berani mendekati lokasi baku tembak antara polisi dan tersangka teroris, masuk ke bangunan yang baru saja dilanda ledakan bom, tanpa mengindahkan keselamatan jiwanya sendiri. Yang memprihatinkan, kadang keberanian itu bukan disebabkan oleh kesadaran akan pentingnya informasi yang bakal diperoleh, melainkan lebih karena ketidaktahuan dan ketidakpedulian. Sungguh sangat disayangkan. ***
43
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
DOSA KESEMBILAN Menyiarkan Berita Bohong PADA edisi 3 Oktober 2005, tepat dua hari setelah tiga rangkaian bom meluluhlantakkan sejumlah restoran di Jimbaran dan Kuta, Bali, Harian Jawa Pos mempublikasikan sebuah artikel berjudul, “Kasihan, Warga Tak Berdosa Jadi Korban.” Artikel itu dibuat berdasarkan wawancara koran itu dengan Nur Aini, istri dari buron tersangka teroris, Dr. Azahari. Wawancara dilakukan melalui telepon oleh jurnalis Jawa Pos Rizal Husen, karena Nur ada di Johor, Malaysia. Tidak lupa, redaksi koran itu menambahi keterangan bahwa wawancara itu dilakukan secara eksklusif. Satu bulan kemudian, Jawa Pos kembali mempublikasikan wawancaranya dengan Nur Aini. Artikel itu dimuat pada 10 November 2005, beberapa hari setelah Azahari dilaporkan tewas dalam operasi penyergapan polisi di Villa Flamboyan, Batu, Jawa Timur. Judul artikelnya juga menyiratkan wawancara dilakukan langsung dengan istri Azahari, “Isteri Doakan Azahari Mati Syahid.” Pada artikel kedua ini, Jawa Pos menulis kalau Nur Aini berbicara dengan terbata-bata.
44
Suara perempuan Malaysia itu juga digambarkannya sesekali seperti terisak menahan tangis. Di alinea lain, koran itu menggambarkan dialek Nur Aini yang kental dengan logat Melayu. Wawancara lagi-lagi dilakukan wartawan Jawa Pos Rizal Husen melalui telepon. Artinya, istri Azahari harus bicara dengan volume yang cukup keras untuk didengar telinga normal. Dalam artikel koran itu, Nur digambarkan bisa berkomunikasi dengan baik, sesekali menangis haru dan mendoakan suaminya yang tewas setelah dikejar-kejar polisi Indonesia. Tak ada yang aneh dari wawancara itu kecuali satu fakta penting: Rizal dan redaksi Jawa Pos tidak tahu, bahwa Nur Aini sama sekali tidak bisa bicara. Sejak beberapa tahun sebelumnya, perempuan itu menderita penyakit kanker thyroid, yang membuat pita suara di tenggorokannya terganggu. Kebohongan Rizal makin kentara ketika beberapa saat kemudian, stasiun televisi Trans TV menayangkan wawancara langsung mereka dengan Nur Aini. Dalam tayangan TransTV itu, Nur hanya bisa berkomunikasi lewat tulisan tangan. Melihat fakta yang demikian terang benderang bahwa jurnalis mereka telah
45
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
membuat berita bohong, tim ombudsman Jawa Pos pun bertindak cepat. Mereka menggelar beberapa kali pertemuan dan verifikasi, sebelum menyimpulkan wawancara Rizal dengan istri Azahari itu memang tak pernah terjadi. Salahsatu fakta yang paling telak adalah tidak adanya catatan data percakapan telepon dari nomor telepon yang digunakan Rizal, di pangkalan data (database) Telkom. Selain itu, konfirmasi yang dilakukan tim ombdusman langsung kepada Nur Aini, juga menegaskan bahwa wartawan Jawa Pos sama sekali tidak pernah menghubungi perempuan itu. Tanpa ampun, Rizal Husen pun dinyatakan telah menulis berita bohong. Seorang anggota ombudsman Jawa Pos, Maksum, mengatakan, “Kami kebobolan dan minta maaf.” Kepada tim ombudsman, Rizal sendiri mengaku tak punya itikad jahat. Dia hanya ingin Jawa Pos menjadi media terdepan dalam liputan terorisme. *** JELAS tidak ada ampun untuk jurnalis yang membuat berita bohong, fiktif, atau rekayasa.
46
Ada tiga pasal dalam Kode Etik Jurnalistik yang jelas-jelas mengatur soal ini. Pasal 1 dalam Kode Etik Jurnalistik menegaskan, “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.” Sementara Pasal 2 menyebutkan, “Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.” Terakhir, Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik menegaskan, “Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.” Ketiga pasal ini jelas memberikan panduan kerja bagi jurnalis agar profesional dalam menjalankan tugasnya. Pembuatan berita bohong, apalagi rekayasa, jelas tak sesuai dengan ketiga pasal dalam kode etik ini. Jika terjadi pelanggaran, apa sanksinya? Tentu hanya media tempat si jurnalis itu bekerja yang bisa menjatuhkan hukuman. Dewan Pers tidak punya kapasitas selain memberi fatwa benar tidaknya telah terjadi pelanggaran etik. Sementara itu, sebagai acuan kerja media elektronik di Indonesia, ada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran (P3SPS). Pedoman ini dirumuskan oleh Komisi Penyiaran
47
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
Indonesia pada 2009 lalu dan akan diperbarui secara berkala. Pasal 1 Pedoman itu menegaskan bahwa produk jurnalistik dalam siaran radio dan televisi masuk dalam program faktual, yakni program siaran yang menyajikan fakta-fakta non-fiksi. Dengan aturan ini, maka semua program berita, feature, dokumentasi, program realita (reality show), konsultasi on-air, diskusi, bincangbincang (talkshow), jajak pendapat, pidato, ceramah, editorial, kuis, perlombaan, pertandingan olahraga, dan program sejenis, seharusnya bersifat nyata alias tanpa rekayasa. Dengan demikian, Pedoman ini menegaskan pentingnya semua lembaga penyiaran menjunjung tinggi dan menerapkan prinsip jurnalistik. Apalagi pasal 2 Pedoman menyebutkan bahwa semua lembaga penyiaran yang melaksanakan kegiatan jurnalistik wajib tunduk kepada peraturan perundang-undangan dan berpedoman pada Kode Etik Jurnalistik yang ditetapkan oleh Dewan Pers. Bagian dari Pedoman Perilaku Penyiaran yang secara khusus membahas prinsip-prinsip jurnalistik yang harus dianut oleh semua lembaga penyiaran ada di Pasal 18 sampai
48
Pasal 20. Ketiga pasal itu dengan tegas dan detail menyebutkan kewajiban lembaga penyiaran untuk selalu menjunjung tinggi prinsip-prinsip jurnalistik. Sesuai aturan ini, program berita di semua stasiun televisi harus akurat, berimbang, adil, dan tidak beritikad buruk. Selain itu, berita di lembaga penyiaran juga tidak boleh menghasut dan menyesatkan, tidak mencampuradukkan fakta dan opini pribadi, tidak menonjolkan unsur sadistis, serta tidak mempertentangkan suku, agama, ras dan antargolongan. Bahkan larangan untuk membuat berita bohong juga disebutkan secara khusus. Menyadari peliknya liputan terorisme, Komisi Penyiaran Indonesia juga memberi perhatian khusus. Pedoman Perilaku Penyiaran menyebutkan bahwa dalam meliput dan/atau menyiarkan program berita tentang terorisme, lembaga penyiaran wajib memperhatikan kepentingan publik, keamanan, dan rahasia negara. Jelas sekali kepentingan publik diletakkan di urutan pertama, baru kemudian disusul kepentingankepentingan lainnya. Mantan Ketua Dewan Pers, Atmakusumah Astraatmadja, menegaskan bahwa pembuatan berita bohong merupakan pelanggaran kode etik
49
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
terbesar dan tidak bisa ditoleransi. Dia setuju jika wartawan pelakunya diberhentikan atau secara sukarela mengundurkan diri, tidak hanya dari perusahaan tempat dia bekerja, tapi juga dari dunia jurnalistik. Dalam sebuah wawancara di Majalah Tempo, Atmakusumah membandingkan kasus berita bohong Jawa Pos di atas dengan kasus serupa yang terjadi di Washington Post, 31 tahun lalu. Ketika itu, seorang jurnalis, Janet Leslie Cooke, menulis feature dramatis tentang seorang anak kecil berkulit hitam berumur 8 tahun yang menjadi pecandu berat narkotika. Dia tinggal bersama ibu dan ayah tirinya yang pengedar narkoba. Ayahnya bahkan ikut menyuntikkan narkotik kepada anaknya jika sedang kecanduan. Janet mendapat hadiah jurnalistik tertinggi di Amerika Serikat, Pulitzer, berkat tulisan itu. Namun belakangan, Janet tak bisa menunjukkan keberadaan si anak malang dalam beritanya. Ketika tersingkap cerita mengharukan tentang anak itu ternyata hanya isapan jempol belaka, dia tanpa ampun dipecat dari The Washington Post. Menurut Atmakusumah, itulah konsekuensi seorang wartawan pembuat berita bohong. “Itu sangat pantas, langsung diberhentikan.” Nama
50
Janet Cooke, katanya, kini tertera dalam sejarah pers Amerika Serikat. “Sudah waktunya wartawan diberi tanggung jawab moral jika ingin kemerdekaan pers terjaga dengan baik,” katanya. []
51
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
52
BAB 3
Kuncinya: Memahami Masalah Banyak jurnalis terjun ke lapangan tanpa benarbenar tahu apa yang sebenarnya mereka liput. Akibatnya, liputan mereka menyesatkan. Riset yang memadai dan penerapan jurnalisme damai adalah solusinya.
A
WAL Oktober 2010 lalu, sekelompok jurnalis di Medan, Sumatera Utara, mendapat pesan pendek penting di telepon genggam mereka. Narasumber mereka di Polda Sumatera Utara mengabarkan ada titik terang dalam perburuan gerombolan “teroris” yang menyerbu kantor Polsek Hamparan Perak sepekan sebelumnya dan merampok Bank CIMB Niaga di Medan, medio Agustus lalu. Belasan pria dengan senjata api konon sudah terkepung di dalam kebun karet dan kelapa sawit di Kecamatan Dolok Masihu, Medan. Tanpa pikir panjang, mereka pun tancap gas sepeda motor. Mereka berpacu dengan waktu agar segera sampai di lokasi. Mereka juga
53
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
membayangkan sebuah liputan yang ekslusif dan hebat. Namun, alangkah terkejutnya para jurnalis ini ketika sampai di lapangan. Wilayah yang dimaksud adalah sebuah perkebunan kelapa sawit yang luasnya berhektar-hektar. Mereka tidak tahu pasukan polisi ada dimana. Lebih parah lagi, mereka juga tidak tahu gerombolan “teroris” yang dikejar polisi bersembunyi di mana. Bahkan mereka juga tidak tahu pasti, apakah kelompok yang diburu itu benar-benar “teroris” yang memiliki ideologi tertentu atau sekadar gerombolan perampok bersenjata? Kekonyolan macam ini sebenarnya bisa dihindari. Jika saja, para jurnalis ini bersabar sedikit, mau melakukan riset pendahuluan untuk mengenali medan yang dituju, mereka bisa menghemat banyak waktu dan energi. Setelah riset singkat, mereka tinggal buka peta sambil menelepon warga lokal yang lebih paham likaliku medan, seraya memastikan di mana tepatnya operasi perburuan polisi tengah berlangsung. Memang, kata kunci dalam fase persiapan meliput isu terorisme adalah memahami masalah. Memahami masalah bukan hanya seputar informasi di mana, apa, atau siapa yang hendak diliput supaya tidak konyol seperti kasus jurnalis nyasar di atas, namun juga soal
54
bagaimana sebuah isu akan diliput. Dalam kasus pengejaran gerombolan bersenjata di Medan, yang juga harus diperhatikan, selain memiliki informasi tentang lapangan, juga mengenali siapa kelompok yang sedang diburu. Kita bisa melacak jejak rekam orang yang “disangka” teroris ini, melalui versi polisi maupun sumber lain. Lebih baik lagi kalau kita bertemu dengan sumber primer yang bisa menjelaskan latar belakang sosok yang diburu ini. Seringkali para jurnalis abai dengan kompleksitas latar belakang orang-orang yang dipandang “teroris” ini. Pengabaian terhadap kompleksitas ini, bisa menjebak jurnalis pada model peliputan teroris yang hitam dan putih, yang dengan mudah membuat kita keliru mengambil kesimpulan. Peliknya peliputan isu terorisme dan sederet kesalahan elementer yang kerap dilakukan jurnalis sudah panjang lebar dikupas dalam bab terdahulu. Salah satu kesimpulan yang bisa ditarik bahwa pemahaman tentang isu terorisme akan jauh lebih mudah jika dilakukan dengan perspektif yang tepat. Perspektif yang tepat dalam memandang isu terorisme tidak hanya akan memudahkan jurnalis mengambil posisi yang pas saat menggali bahan dan mewawancarai narasumber. Namun juga
55
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
akan amat membantu saat jurnalis mulai menyusun naskah siaran atau menulis artikel. Selama ini, jurnalis kadang tidak punya perspektif ketika meliput isu terorisme. Karena itulah, jurnalis kemudian terjebak menjadi suporter setia polisi, sehingga apapun yang dilakukan polisi akan dibela secara membabi buta. Bahkan sampai mempengaruhi jurnalis menggunakan kata-kata atau istilah polisi ke dalam artikel atau laporannya (Lihat Bab 2). Tapi ada juga kubu jurnalis yang memilih curiga pada semua yang dilakukan polisi. Kelompok ini yakin bahwa semua ribut-ribut mengenai isu terorisme ini hanyalah propaganda yang didalangi oleh Amerika Serikat. Kedua perspektif itu memiliki pembenaran dan argumentasi masing-masing. Namun, di lapangan, posisi ekstrem semacam itu kerap menimbulkan persoalan: membuat perspektif wartawan menjadi tertutup karena jurnalis sudah punya kesimpulan sendiri. Bisa dibilang, biasanya jurnalis seperti ini akan gagal dalam mengungkap fakta sebenarnya. Fakta-fakta di lapangan hanya dipilih untuk membenarkan asumsinya sendiri. Walhasil, ketika berhadapan dengan narasumber dalam peliputan isu terorisme, perspektif yang tertutup itu bisa merugikan
56
jurnalis. Narasumber yang diuntungkan oleh sikap jurnalis seperti itu, akan membuka pintu lebar-lebar. Sementara kelompok yang dirugikan atau merasa dicurigai, bisa-bisa menolak diwawancarai sama sekali. Penutupan akses dari salah satu pihak dalam peliputan tentu akan mempengaruhi keberimbangan berita yang dihasilkan. Pada akhirnya, kegagalan memperoleh konfirmasi atau ketiadaan ruang untuk mereka yang ada di kubu seberang, akan merugikan publik yang menyimak berita tersebut. Sebab khalayak disuguhi sebuah berita setengah matang dan sepihak. Dalam kasus ini, wartawan bisa menjadi sosok yang menyesatkan publik. Lalu apa solusinya? Prinsip jurnalisme damai bisa jadi jalan keluar. Johan Galtung, profesor asal Norwegia yang rajin mendalami isu-isu perang dan damai, menjelaskan bahwa jurnalisme damai menawarkan alternatif untuk liputan-liputan konflik yang selama ini terkesan lebih bersifat ‘mengadudomba’ ketimbang benar-benar menyediakan sebuah informasi yang kuat dan akurat. Galtung mengibaratkan liputan konflik di media massa seringkali terjebak pada model liputan olahraga. Artinya jurnalis mengamati dua pihak yang sedang bertikai seperti melihat dua tim sepakbola sedang bersiap bermain,
57
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
berkonsentrasi pada momen-momen bentrokan, mengulas kekuatan dan kesiapan barisan yang siap beradu itu dan menghitung skor kemenangan dan kekalahan mereka. Setiap kemenangan dan kekalahan dianalisa secara detil, dari satu babak ke babak berikutnya. Tentu bisa dibayangkan apa dampaknya jika model jurnalisme olahraga macam itu diterapkan dalam peliputan isu terorisme. Polisi diposisikan berhadap-hadapan dengan kelompok teroris radikal dan para pendukungnya, dianalisa bangun kekuatannya dan potensi ragam serangan yang mereka lancarkan pada pihak lawan. Tokoh-tokoh penting dari kedua barisan disejajarkan, lalu diadu head to head, sambil diprediksi siapa yang kira-kira lebih unggul. Itu belum seberapa: ketika sebuah bom meledak, atau sebuah bentrokan berdarah terjadi, jurnalis kadang lebih tertarik menyorot detik demi detik terjadinya peristiwa itu sambil menonjolkan dampak kerusakan atau kehancuran yang ditimbulkan. Gaya jurnalisme macam itu mengandung semua potensi kesalahan peliputan isu terorisme yang sudah diulas di bab sebelumnya. Ada dramatisasi yang berlebihan, fokus yang tidak proporsional pada kekerasan, penekanan pada pernyataan-pernyataan sepihak tanpa upaya verifikasi, ketidakpahaman pada konteks
58
besar isu terorisme, dan seterusnya. Meliput terorisme dengan gaya jurnalisme olahraga seperti itu mungkin memuaskan audiens media dalam jangka pendek. Tapi secara jangka panjang, sajian informasi macam itu berpotensi membodohkan publik, bahkan bisa menyesatkan publik dalam memahami esensi terorisme. Strategi serta pola penanganan terhadap terorisme, yang membutuhkan dukungan publik, juga tak akan terwujud. Jika pemahaman publik sudah melenceng, maka pendekatan penyelesaian masalah terorisme pun bisa-bisa salah kaprah. Semua konsumen media: khalayak ramai, parlemen, pemerintah, sampai polisi bisa termakan oleh perspektif negatif yang dikembangkan media massa. Akibatnya bisa fatal. Sebagai solusi, Johan Galtung menawarkan pendekatan liputan yang mirip jurnalisme kesehatan. Ketika media meliput seseorang didiagnosa menderita penyakit kanker misalnya, maka jurnalis akan pertama-tama mencaritahu bagaimana kanker itu bisa menginfeksi si penderita. Jurnalis akan mengupas rekam jejak medis si pasien, perilaku-perilaku resikonya, sampai pola penanganan dokter di fase-fase awal. Akar penyakit itu dicari, dikupas dan diberitakan. Perjuangan si pasien untuk
59
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
melawan penyakitnya juga bisa menjadi bagian cerita yang memikat bagi publik. Itulah yang mestinya dilakukan pada liputan terorisme. Jurnalis seyogyanya tak hanya terfokus pada besaran kerusakan dan jumlah korban, melainkan juga mengabarkan konteks dan sejarah konflik itu terjadi. Dengan demikian, publik mendapat informasi yang luas seputar peristiwa terorisme. Namun, untuk sampai pada perspektif itu, jurnalis harus punya bahan yang cukup. Mereka harus rajin membaca buku dan berdiskusi soal isu ini. Mustakim, reporter Kantor Berita Radio 68H mengaku redaksinya memberi ruang yang cukup kepada jurnalis peliput isu terorisme untuk belajar. “Kami sering mengadakan talkshow di radio, mengundang narasumber yang kompeten dan yang terkait langsung dengan isu ini. Dari sana, kami sekaligus belajar,” katanya. Narasumber yang diundang –bisa polisi, mantan teroris, sampai pengamat terorismebiasanya lebih punya kesempatan untuk terbuka dan berdiskusi panjang lebar, jika diundang ke studio atau kantor redaksi media. “Perspektif kami jadi tambah kaya,” kata Mustakim. “Di lapangan, dampaknya terasa. Kami tak mudah menghakimi seseorang itu teroris atau bukan. Jadi lebih hati-hati dan tak mudah terbawa oleh
60
narasumber,” katanya lagi. Buku-buku dan dokumen sejarah gerakan terorisme di Indonesia, mulai dari pemberontakan Darul Islam, Komando Jihad, sampai pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla, juga dilalap oleh para reporter di Kantor Berita Radio 68H. “Ini penting agar kami memahami gambar besar isu ini,” kata Mustakim. Pengayaan informasi dan konteks ini jadi amat krusial buat reporter radio yang dituntut untuk mengirim laporan singkat (straight news) secara berkala, langsung dari lapangan. Soalnya, kata Mustakim, reporter yang meliput isu terorisme, seringkali hanya bisa menunggu narasumber atau perkembangan penyidikan. “Jurnalis hanya bisa nongkrong di luar rumah sakit, di luar kantor polisi. Ketika narasumber muncul, sebagai reporter radio, ya informasi dari satu sumber itulah yang kami siarkan,” katanya. Nah, supaya si reporter bisa mengimbangi pernyataan satu sisi dari narasumber itu, dia harus rajin memberi konteks dan mengaitkan pernyataan si sumber dengan informasiinformasi lain yang beredar sebelumnya. Dengan demikian, pendengar radio tidak hanya dicekoki informasi dari satu sisi saja. Pentingnya persiapan yang memadai sebelum peliputan juga diungkapkan oleh Satrio
61
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
Arismunandar, kini produser eksekutif Trans TV. Dia mengaku sempat tergagap ketika pertama kali meliput sesuatu berbau teror. Ketika itu, tahun 1991, sebagai wartawan Kompas, dia ditugaskan mendadak meliput medan perang di Irak. Untunglah perjalanan udara dari Jakarta ke Baghdad, ibukota Irak, memakan waktu cukup lama. Selama berjam-jam di kabin pesawat, Satrio masih sempat mempelajari hal-hal penting yang bisa menunjang sukses liputan. Buku-buku tentang Timur Tengah, persenjataan perang, akar konflik, dan lain-lain ia baca dengan teliti. Sembari itu, ia menyiapkan mental agar tak gentar mendengar dentum meriam, menyaksikan darah berceceran serta bangunan porak-poranda, dan seterusnya. Mental juga penting untuk menjaga pikiran tetap jernih dalam melaporkan hasil liputan. Pengalaman pertama adalah keniscayaan. Seorang wartawan tak akan pernah jadi andal tanpa melewati pengalaman pertama. Namun, menghadapi pengalaman pertama tanpa persiapan apa-apa sungguh tidaklah bijak. Wartawan berpengalaman sekalipun sebaiknya selalu mempersiapkan diri sebelum menjejak pengalaman baru. ***
62
JIKA tidak hati-hati, meliput isu terorisme kadang membuat jurnalis mengabaikan kode etiknya. Kode etik jurnalistik jelas menegaskan bahwa jurnalis harus imparsial dan berimbang dalam kerja-kerja jurnalistiknya. Namun pada kenyataannya, ada saja jurnalis yang terpeleset menjadi corong salahsatu pihak. Punya opini tentang satu isu tentu sah-sah saja. Yang jadi persoalan adalah kalau opini itu membuatnya tak mampu membedakan mana fakta dan mana yang hanya rekayasa. Salahsatu cara untuk menjaga independensi posisi jurnalis adalah dengan selalu membuka ruang keraguan, atau skeptisisme. Pengamat media, Arya Gunawan, menilai saat ini dia sulit menemukan jurnalis yang serius membaca literatur dari kubu yang berseberangan dengan kelompok pengusung perang melawan terorisme. “Padahal, seharusnya jurnalis adalah pihak pertama yang membuka ruang untuk meragukan peristiwa pengeboman gedung World Trade Center, di New York, AS, itu aksi terorisme atau bukan,” katanya, memberi contoh. “Semua menuding ini teori konspirasi saja, tak ada media mainstream yang memberi ruang skeptis,” keluhnya. Jurnalis peliput isu terorisme, menurut mantan koresponden British Broadcasting
63
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
Corporation (BBC) ini, seharusnya mengendapkan semua informasi yang dia terima, menalarnya secara logika dan menganalisanya dengan hati-hati, sebelum sampai pada kesimpulan. “Jangan mudah percaya pada satu informasi,” katanya. Jangan juga cepat menuduh kalau jurnalis yang skeptis pada agenda ’perang melawan terorisme’ adalah simpatisan ideologi Islam garis keras atau tergolong mereka yang tidak bisa berempati pada korban kekerasan. Justru keraguan atau skeptisisme ini pada akhirnya akan mendorong mereka untuk lebih giat dan rajin mengejar verifikasi. *** JURNALIS senior, Hasudungan Sirait dalam bukunya Jurnalisme Sadar Konflik (AJI, 2007) menekankan bahwa kesulitan utama seorang peliput isu konflik –termasuk yang berkutat dengan isu-isu terorisme tentunya— adalah dia berada dalam sebuah atmosfer liputan yang sangat tidak normal, yang ditandai dengan adanya sejumlah medan pengaruh yang kuat, tensi yang serba tinggi dan syak wasangka. “Atmosfer ini tercipta karena adanya persepsi dari pihak yang bertikai sebagai kubu berposisi
64
dilematis: membinasakan atau dibinasakan,” tulisnya. Sebelum terjun ke lapangan, para jurnalis harus sadar benar akan hal ini. Persepsi itulah yang memunculkan semacam demarkasi psikologis yang sangat tegas di benak para narasumber dalam isu terorisme: ‘kita’ dan ‘mereka’. ‘Mereka’ adalah musuh yang harus dibinasakan. Sedangkan, yang bukan ‘kita’ dan bukan ‘mereka’ selalu berpotensi sebagai ancaman. Jurnalis yang berusaha untuk tidak partisan, mau tidak mau ada di wilayah abu-abu (bukan ‘kita’, dan bukan ‘mereka’), dan berpotensi untuk dianggap sebagai ancaman. Tantangan bagi jurnalis peliput isu ini jadi semakin berlipat, karena meski ada dalam atmosfer tidak normal, mereka tetap dituntut untuk bekerja secara profesional. Prinsip cover both-sides, jujur, objektif, check and recheck, dan senantiasa berusaha imparsial, harus tetap diingat dan diterapkan. Selain itu, sebelum mulai bergerak ke titik liputan, jurnalis harus mencoba memahami isu terorisme yang melatarbelakangi sebuah aksi kekerasan. Untuk itu, perlu dua persyaratan dasar: (1) jurnalis peliput konflik/terorisme harus mengetahui hakekat terorisme dan (2) jurnalis
65
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
harus mengenal bangun (struktur) konflik yang dia liput. Pendekatan ini biasanya dianjurkan untuk jurnalisme sadar konflik, namun dapat juga dilakukan untuk peliputan isu terorisme. Tanpa kedua wawasan mendasar itu, akan sulit muncul reportase yang kaya dimensi, bernas, mendalam dan akurat. Nah, untuk mengetahui hakekat dan struktur konflik dalam satu liputan terorisme, jurnalis harus melakukan proses analisa konflik. Namun proses analisa ini sebaiknya didahului dengan riset untuk memperoleh basis informasi yang cukup. Tanpa latar belakang informasi yang memadai, semua pisau analisa akan gagal mengungkap realitas yang sebenarnya. Analisa konflik sendiri adalah sebuah pendekatan khazanah sosiologi politik, yang bisa membantu jurnalis memahami dan merekonstruksi sebuah konflik. Ada tiga unsur yang menjadi fokus analisa konflik: (1) hakekat konflik, (2) struktur, dan (3) pemetaan konflik. Dalam buku Jurnalisme Sadar Konflik, dijelaskan bahwa akar/hakekat semua konflik pada dasarnya adalah tali-temali permasalahan yang saling membelit di permukaan. Umumnya akar masalah ini tidak tunggal dan bisa berkaitan dengan isu-isu politik, ekonomi, budaya, hukum, sosial dan seterusnya. Jurnalis harus rajin
66
menggali ada apa di balik atmosfer konflik yang tertangkap di permukaan, sehingga akar/hakekat sebuah konflik bisa terungkap dengan terang. Selama ini, ada yang menilai isu terorisme bermula dari benturan ideologi antara kepercayaan Islam radikal yang dianut sejumlah kelompok fundamentalis dan kepentingan ekspansionis Amerika Serikat sebagai pusat hegemoni nilai-nilai barat. Artinya isu terorisme ini berawal dari perbenturan nilai-nilai dan sistem kepercayaan. Masing-masing merasa terancam dengan keberadaan musuhnya. Ada juga yang menilai isu terorisme ini berawal dari persepsi ketidakadilan dan ketertindasan kaum muslim oleh negara-negara Barat. Ketidakadilan ini punya sejarah panjang namun terutama disimbolkan dalam konflik Israel-Palestina. Banyak pendukung terorisme yang menilai aksi kekerasan mereka adalah pembalasan atas nama penderitaan bangsa Palestina. Tak sedikit pula, yang menilai isu terorisme di tanah air adalah perlawanan kelompok Islam tertentu atas dominasi kekuasaan negara. Isu terorisme di Indonesia memang bisa dilacak ke belakang, sejak perdebatan Piagam Jakarta di awal masa pembentukan Republik pada 1945 silam dan pemberontakan Darul Islam/Tentara
67
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
Islam Indonesia. Pemicu (trigger) munculnya kekerasan terbuka dalam isu terorisme, juga harus dianalisa secara teliti. Juga pemicu untuk setiap perubahan pola dan strategi dalam gerakan terorisme di Indonesia. Ini penting sebab dari sinilah akan muncul penjelasan soal motif dan struktur konflik yang lebih mendalam. Pengungkapan hal-hal mendasar ini akan membuat liputan terorisme lebih kaya informasi, relevan dengan konteks dan bernas. Audiens akan mengerti bahwa liputan ini memang hasil karya para jurnalis yang paham benar akar terorisme –tak hanya menerka-nerka apa yang terlihat di permukaan. Terakhir, soal struktur konflik. Bagian ini umumnya bisa dianalisa setelah semua pemangku kepentingan terkait isu terorisme dipetakan. Hati-hati, karena setiap fase konflik biasanya melibatkan sejumlah pihak yang berbeda. Untuk menganalisa struktur dan memetakan pelaku, jurnalis peliput isu terorisme misalnya harus paham benar bahwa gerakan Islam radikal di Indonesia punya akar panjang. Kelompokkelompok seperti kubu Negara Islam Indonesia (NII), dan pesantren-pesantren radikal, punya kaitan dengan gerakan Darul Islam yang
68
dipelopori Sekarmadji Manidjan (SM) Kartosoewirjo. Jamaah Islamiyah yang dibangun Abu Bakar Baasyir misalnya, adalah turunan langsung dari gerakan DI/TII. Pemetaan juga harus bisa menggambarkan bagaimana gerakan terorisme di Indonesia mulai berjejaring dengan kelompok-kelompok radikal lain di Malaysia, Thailand, dan Filipina, bahkan sampai Pakistan hingga Afganistan. Meski terkesan sederhana, pemetaan pelaku ini penting. Masalahnya, seringkali penggambaran pelaku terorisme di media massa bersifat reduktif dan tidak proporsional. Bahkan terkadang bisa keliru. Satu kelompok teror disebut berkaitan dengan kelompok radikal yang lain, padahal di masa lalu, keduanya tidak pernah berhubungan. Jurnalis harus sadar, ada banyak kelompok radikal yang saling berkelindan dalam isu terorisme. Tidak bisa semuanya disebut dalam satu payung besar: Jamaah Islamiyah (JI). Di dalam JI sendiri, ada banyak faksi. Bahkan belakangan Abu Bakar Baasyir sendiri membuat kelompok sempalan: Jamaah Anshorut Tauhid. Jurnalis peliput isu terorisme harus paham benar soal konstelasi ini. Pasalnya, kalau jurnalis salah memetakan pelaku dari satu aksi terorisme, akibatnya bisa fatal. Analisa motif dan pendekatan resolusi
69
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
konfliknya pun bisa keliru. Kesalahan identifikasi semacam ini umumnya muncul karena jurnalis tak mengenali para pihak. Kekeliruan ini berpotensi memicu konflik baru. Karena itu, akurasi dalam mengidentifikasi para pihak yang terlibat merupakan syarat mutlak sebuah peliputan terorisme yang baik. Prinsip ini tak bisa ditawar-tawar. Sebelum melangkah lebih jauh, jurnalis harus paham dulu definisi ‘para pihak’ dalam isu ini. (1) Pihak pertama adalah mereka yang secara langsung saling berhadapan/menantang dalam konflik, sekaligus pihak yang paling berkepentingan atas hasil konflik. (2) Sedangkan pihak kedua adalah mereka yang tidak berkepentingan secara langsung atas hasil konflik, namun biasanya merupakan sekutu/simpatisan dari pihak pertama. Akan tetapi, jika situasi memanas, bisa saja barisan pihak kedua ini berubah menjadi pihak pertama. (3) Pihak ketiga adalah mereka yang berkepentingan dengan resolusi isu terorisme ini. Biasanya mereka ini adalah mediator, fasilitator, pasukan penjaga perdamaian, akademisi, lembaga non-pemerintah dan seterusnya. Untuk memudahkan pemetaan konflik, jurnalis bisa menjawab daftar pertanyaan di
70
bawah ini: apa sumber masalah/pertikaian? Apa keadaan yang membuat konflik muncul dan mempengaruhi karakter konflik? Bagaimana tingkat konflik saat ini? Siapa saja yang terlibat dan bagaimana mereka sampai terlibat? Kemampuan dan kekuasaan apa yang dimiliki para pihak yang terlibat? Bagaimana aturan hukum soal isu ini? Bagaimana kerangka pendekatan para pihak dalam penyelesaian konflik ini? Apa konteks sejarah dan hubungan antar kelompok dalam jejaring pihak yang terlibat? Pihak ketiga dalam konflik harus mendapat perhatian khusus. Jurnalis kadang luput mengangkat apa yang dilakukan kelompok ini. Padahal, tak sedikit orang dan lembaga yang berjuang untuk memecahkan akar penyebab terorisme, lewat berbagai pendekatan akademik dan kemanusiaan. Isu-isu deradikalisasi misalnya, juga harus dipahami tersendiri oleh semua jajaran redaksi, sehingga jurnalis punya perspektif damai dalam melaporkan isu terorisme. Dalam konteks ini, jurnalis jelas amat perlu berdiskusi panjang dengan tokoh-tokoh dan lembaga di balik strategi deradikalisasi terorisme, untuk mendapatkan perspektif berbeda dalam penanganan isu terorisme.
71
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
Eskalasi atau dinamika konflik juga merupakan satu hal yang perlu mendapat perhatian khusus. Johan Galtung mengibaratkan konflik sebagai sebuah organisme hidup dengan logikanya sendiri. Karena itu, jurnalis harus sadar pada faktor-faktor yang menyebabkan konflik makin berkobar atau justru kian reda. Kecenderungan umum konflik di lapangan secara keseluruhan, juga perlu dipantau. ***
PERSIAPAN DI LAPANGAN SETELAH semua riset dilakukan dan seorang memiliki perspektif serta pemahaman yang benar soal isu terorisme, seorang jurnalis sudah berada pada jalur yang benar. Maka tiba saatnya untuk mulai terjun ke lapangan. Namun, apa yang bisa diliput? Berdasarkan materi liputannya, peliputan terorisme bisa dibagi menjadi dua: (1) peliputan momen terjadinya aksi terorisme –ini bisa mengambil bentuk apa saja seperti ledakan bom, perampokan bank, penyerbuan gedung dan seterusnya. Serta (2) semua peliputan pasca-
72
aksi terorisme, misalnya: pengadilan pelaku teror, operasi penangkapan, pembuatan undang-undang yang terkait terorisme, profil pelaku atau lembaga yang merupakan pihakpihak dalam liputan terorisme. Sebagaimana liputan isu-isu lainnya, dalam peliputan terorisme, tentu ada beberapa tips praktis yang bisa menjadi panduan. Peserta pertemuan Nasional Jurnalisme Sadar Konflik, yang diselenggarakan AJI dan IFJ, pada April 2006 di Jakarta, menelurkan kesepakatan yang rinci soal apa saja yang perlu dipersiapkan jurnalis dan kantor redaksinya sebelum melakukan peliputan berbau konflik. Kesepakatan ini bisa digunakan untuk meliput isu terorisme. Panduan ini bisa sangat berguna untuk reporter yang hendak meliput dan menulis isu terorisme. Secara ringkas, panduan ini merangkum semua prinsip penting peliputan terorisme yang sudah diuraikan di atas. Menurut panduan ini, dalam meliput isu konflik, jurnalis perlu: Menjunjung tinggi kode etik Mendalami permasalahan, termasuk pemicu, para pihak yang terlibat dan berkepentingan (stakeholders), perkembangan tingkat ketegangan (eskalasi) dan dampak konflik. Mengenal medan konflik dan membawa perbekalan yang dibutuhkan untuk peliputan
73
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
untuk jangka waktu yang tak terbatas, di daerah sulit. (Perbekalan setidaknya harus meliputi: peralatan kerja, pakaian, makanan tahan lama, obat, peta, alat pelindung dan uang). Mewawancarai narasumber yang beragam, tak sebatas mereka yang berbenturan langsung (para kombatan), namun juga masyarakat awam yang menderita akibat konflik, serta kelompok yang mengupayakan rekonsiliasi/rehabilitasi. Mengetahui identitas jelas narasumber, meski dalam penyiaran/penulisan, bisa saja dikaburkan demi keselamatan. Melobi para narasumber di lapangan, agar daya tembus besar. Bekerja dalam tim, tidak sendiri-sendiri. Melakukan verifikasi, dengan check and recheck serta cross check di lapangan. Menjalankan prinsip keberimbangan (cover bothsides dan imparsialitas, serta berusaha tidak menguntungkan salahsatu pihak yang bertikai, misalnya dengan memainkan nuansa pemberitaan). Senantiasa menjaga akurasi, jujur dan menghindari provokasi dengan senantiasa memperhitungkan dampak pemberitaan. Memperhatikan sisi-sisi kemanusiaan serta selalu memperhatikan kemajemukan masyarakat setempat.
74
Cermat berbahasa dengan menghindari pilihan kata (diksi) yang bisa memperkeruh suasana dan membekali diri dengan pengetahuan pendukung (sosiologi, antropologi, hukum, forensik, balistik dan lain-lain)
Di sisi lain, meski berada di kantor, editor dan atasan langsung reporter di lapangan juga harus mempersiapkan diri untuk menghasilkan liputan terorisme yang baik. Hasil kerja jurnalis di lapangan bisa sia-sia jika editor di kantor redaksi tak punya pemahaman yang sama soal panduan ideal peliputan terorisme. Berikut ini beberapa tips praktis panduan peliputan terorisme untuk kantor redaksi media, yakni: Mempersiapkan betul jurnalis yang akan dikirim meliput isu-isu bernuansa konflik. Jurnalis yang dikirim perlu dilengkapi dengan pengetahuan keselamatan diri, pengenalan lapangan dan penguasaan masalah. Menyiapkan tim kerja, bukan individu. Kalaupun yang di lapangan hanya satu orang, sebaiknya ada tenaga pendukung yang standby di kantor. Liputan konflik yang imparsial dan efektif sulit dilakukan satu orang. Menyediakan semua kebutuhan yang diperlukan jurnalis untuk peliputan yang efektif di lapangan, termasuk asuransi, peralatan keselamatan dan lain-lain.
75
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
Selain itu, Peter Mclntyre penulis buku Panduan Bertahan Hidup bagi Jurnalis (AJI Indonesia dan IFJ, 2007), memberikan sejumlah tips praktis soal apa yang harus dilakukan jurnalis sebelum berangkat ke lapangan: 1. Pastikan kesiapan fisik dan mental Tidak sedikit jurnalis siap menerima tugas apa saja dan kapan saja, walaupun bahaya menghadang di depan mata. Sepanjang kemampuan fisik dan kecakapan jurnalistik si reporter memenuhi syarat, cara pandang “apa saja dan kapan saja” tentu sah-sah saja. Namun akan menjadi persoalan jika sebelum menerima tugas, jurnalis sedang tak siap, entah karena sedang tak enak badan atau sedang dirundung masalah pelik. Untuk itu, ketika penugasan diberikan, seorang reporter harus jujur kepada atasan. Jika memang tak siap, jurnalis tidak perlu memaksakan diri mengerjakan penugasan yang menuntut ketahanan fisik dan mental yang prima. 2. Lakukan riset Rumus penting untuk peliputan apapun adalah jangan berangkat ke lapangan dengan kepala kosong. Riset adalah kebutuhan mutlak setiap jurnalis sebelum mulai meliput suatu isu. Dua hal penting yang
76
harus digali seorang jurnalis dalam riset pendahuluannya adalah soal kondisi geografis tempat tujuan dan isu atau kasus yang hendak diliput. 3. Cari pernyataan dari narasumber resmi Rilis atau pernyataan awal dari lembagalembaga resmi bisa menjadi petunjuk awal untuk penggalian lebih lanjut di lapangan. Dalam isu terorisme, biasanya selalu ada keterangan dari polisi atau rumahsakit yang bisa memberikan gambaran mengenai skala masalah dan besaran aksi terorisme yang sedang terjadi. 4. Hubungi kontak lokal Jika meliput di daerah yang baru dikenal, jurnalis sebaiknya punya kontak lokal. Kontak itu bisa datang dari jurnalis lokal, orangorang yang Anda kenal di wilayah itu, atau aparat pemerintah setempat. Tujuannya sederhana. Selain untuk memperoleh informasi awal soal isu yang bakal diliput, kontak lokal ini penting untuk memahami kondisi medan. Mereka tentu lebih paham banyak informasi praktis yang penting untuk Anda, misalnya apa rute tercepat mencapai alamat tertentu, nilai-nilai lokal masyarakat, dan latar belakang isu atau tokoh tertentu di daerah itu.
77
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
5. Periksa ulang jadwal keberangkatan dan jaminan asuransi Sebelum berangkat ke lapangan, ada baiknya reporter memeriksa kembali tiket dan jadwal penerbangan pesawat, kereta api atau bus menuju lokasi liputan. Jangan sampai jurnalis terlambat sampai di tujuan, hanya karena salah membaca tanggal dan waktu keberangkatan. Soal lain yang harus disiapkan adalah asuransi. Jaminan asuransi memudahkan jurnalis mencari rumahsakit yang terdekat jika mengalami kecelakaan atau hal-hal yang tak diinginkan. 6. Buat sistem komunikasi dan koordinasi dengan kantor Komunikasi yang lancar akan memudahkan jurnalis untuk mengirim berita dan melaporkan semua perkembangan terkini kepada atasan atau penanggung jawab berita di kantor. Laporkan selalu posisi dan keadaan Anda kepada atasan atau penanggung jawab desk berita. Dengan demikian, jika karena suatu sebab, Anda kehilangan kontak dengan kantor, redaksi bisa cepat mengambil keputusan. 7. Jangan lupa bawa peralatan yang tepat Membawa alat yang tepat berarti menyiapkan alat-alat kerja yang akan efektif
78
untuk mendukung pekerjaan Anda. Ingat peliputan terorisme bukan liputan biasa. Anda bisa saja harus menunggu berhari-hari untuk menyaksikan langsung sebuah operasi penyergapan terorisme. Inilah sejumlah peralatan yang wajib dibawa: kartu pers, laptop untuk mengirim berita, dan daftar nomor-nomor telepon penting (nomor telepon ambulans, mobil kebakaran dan lain-lain). Selain itu, telepon organisasi profesi jurnalis, lembaga bantuan hukum, kantor polisi, dan nomor penting lainnya juga disertakan. Bagi jurnalis televisi, fotografer, dan radio, bawalah selalu kaset, recorder, dan kamera cadangan. Bila satu kaset sudah terisi, apabila isinya sensitif, segera amankan dan gunakan kaset cadangan untuk mengecoh mereka yang ingin menghapus isinya.[]
79
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
80
BAB 4
Tak Kenal Lelah di Lapangan Saat menggali data, jurnalis harus selalu awas dan membuka mata lebar-lebar. Jangan puas pada fakta di permukaan.
P
ERTENGAHAN Mei 2010 lalu, sejumlah wartawan yang biasa meliput isu terorisme, dikumpulkan di sebuah rumah makan di Solo, Jawa Tengah. Di sana, mereka mendapat briefing dari sejumlah polisi anggota Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri tentang rencana penggrebekan sebuah lokasi yang diyakini sebagai sarang teroris. “Akan ada gunung meletus di Solo,” kata seorang petinggi Densus 88 sebelum pertemuan. Ketika itu, polisi memang sedang giat-giatnya mengejar sisa-sisa pelarian dari kamp pelatihan militer sebuah kelompok yang menamakan dirinya Tandzim Al Qaidah di Aceh, di Bukit Jalin, Jantho, Aceh Besar, dua bulan
81
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
sebelumnya. Kelompok itu kabarnya dibangun dari berbagai sempalan kelompok garis keras, yang melebur jadi satu. Sebelum sampai ke Solo, hanya selang beberapa hari sebelumnya, polisi sudah menangkap belasan orang di Pejaten, Jakarta Selatan. Setelah itu, polisi juga menyerbu sebuah rumah di Cikampek, Jawa Barat dan menembak mati dua penghuninya yang diduga melawan dengan senjata api. Sesaat setelah bentrok di Cikampek, polisi menembak mati tiga tersangka teroris saat mereka baru turun dari taksi di Cililitan, Jakarta Selatan. Dengan serangkaian operasi mematikan itu, wajar, jika para jurnalis menanti dengan harapharap cemas; apa lagi yang bakal dibongkar Densus 88 di Solo, hari itu. Namun siang itu, suasana briefing jauh dari aura ketegangan yang diduga para jurnalis. Anggota Densus saling bercanda ketika memasang perlengkapan tempur: rompi anti peluru, sabuk dan penutup kepala. Dengan santai, mereka memeriksa senjata api yang akan dibawa. Mereka bahkan melakukannya di depan umum, tanpa terkesan berusaha menyembunyikan aktivitas yang biasanya tak diumbar sembarangan itu. Kejanggalan tak berhenti sampai di sana.
82
Ketika pasukan mulai bergerak, hampir semua jurnalis terperangah. Ternyata lokasi yang digrebek adalah sebuah bengkel yang jaraknya hanya 200 meter dari rumah makan tempat briefing tadi dilakukan. Kepada jurnalis, sejurus kemudian, polisi lalu memamerkan temuan dan barang bukti yang ditemukan di dalam rumah itu. Ada sepucuk senjata M16, pistol, peluru, dan buku-buku tentang jihad. Semua bukti itu sudah rapi dijejer di dalam rumah, ketika para jurnalis berdatangan. Usut punya usut, seorang warga lokal mengaku rumah yang sama sebenarnya sudah digrebeg polisi sehari sebelumnya. *** CERITA di balik layar diungkapkan oleh Hanibal Wijayanto, jurnalis ANTV. Sayangnya cerita itu tidak kita dengar di media massa kita. Jurnalis seakan terikat dengan perjanjian tak tertulis dengan para polisi antiteror untuk tidak mempublikasikan tingkah polah mereka di luar operasi kontra terorisme yang mereka lakukan. Akibatnya, selama ini, publik hanya disuguhi dengan satu sisi profil para polisi anggota Detasemen Khusus 88. Semacam ada situasi yang memaksa jurnalis untuk hanya memotret
83
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
sisi baik, sisi heroik dari para polisi ini. Kondisi ini juga tercermin dari kosakata yang digunakan sebagian jurnalis untuk meng-gambarkan pertempuran antara polisi dan teroris. Polisi yang tewas dalam baku tembak disebut “gugur” sementara anggota kelompok yang diburu, hanya disebut “tewas” jika tertembak mati oleh aparat keamanan. Model peliputan macam ini tentu tidak tepat. Jurnalis adalah kepanjangan tangan publik, khalayak ramai. Sudah seharusnya jurnalis bersikap kritis dan berimbang. Polisi adalah bagian dari mereka yang seharusnya juga diawasi dengan ketat oleh para jurnalis. Patut diingat, pujian dan makian tak seharusnya masuk ke ranah berita. Itu bagian dari opini redaksi, yang seharusnya cukup dituangkan di tajuk rencana atau editorial. Selain problem psikologis itu –yang umumnya berasal dari kesalahan jurnalis menempatkan posisi dan perspektif dirinya dalam peliputan isu terorisme–, jurnalis juga kadang kurang gigih di lapangan. Para juru warta umumnya sudah puas jika menemukan fakta-fakta dasar di permukaan: sekian tersangka teroris ditangkap, sekian orang ditembak mati, sekian rumah rusak oleh ledakan
84
bom. Jarang sekali publik disuguhi informasi yang lebih dalam: bagaimana likaliku sebuah operasi perburuan teroris, bagaimana teknik polisi memaksa tersangka teroris untuk mengakui kesalahannya, apakah pengakuan tersangka teroris didapatkan dengan interogasi yang menjurus pada penyiksaan atau tidak, apakah tersangka yang ditembak mati oleh polisi, memang layak ditembak mati di lapangan atau tidak? Dan seterusnya. Jurnalis peliput terorisme juga perlu memahami konsep extra -judicial killing. Konsep ini pada intinya menegaskan bahwa pelakukriminalpun berhak mendapatkan perlindungan dari penyiksaan atau pembunuhan di luar hukum.Ini penting agar penembakan seseorang yang diduga teroris tidak dianggap wajar, hanya karena mereka dikatakan “bersenjata” atau “berusaha melarikan diri”. Setelah itu perlu dipaparkan tentang pola siapa-siapa saja yang didor. Bila ada waktu melakukan riset yang mendalam, rata-rata orang yang didor adalah bekas residivis kasus terorisme. Apakah polisi merasa kapok memenjarakan mereka karena mereka akan kembali ke kelompoknya dan mengulang tindakannya lagi?
85
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
Padahal justru sederet pertanyaan itulah yang berkecamuk di benak khalayak. Itulah mengapa belakangan ini publik makin kritis dan sering mempertanyakan akuntabilitas polisi dalam menjalankan operasi-operasi kontraterorisme. Sebagian skeptisisme itu muncul akibat jurnalis dinilai tak awas lagi mengawasi kinerja polisi. Informasi soal apa yang terjadi dalam briefing polisi di Solo, Mei 2010 lalu –seperti dikisahkan kembali di awal bab ini— misalnya, tak pernah sampai ke halaman-halaman koran atau siaran media kita. Wajar jika publik menduga ada ‘persekongkolan’ antara jurnalis peliput isu terorisme dan polisi. Konsumen media dewasa ini sudah cerdas. Informasi yang disembunyikan, atau fakta yang hanya ditampilkan sepotong-sepotong, lamakelamaan pasti tercium. Publik tahu jika ada informasi yang tidak disampaikan dengan utuh. “Dalam liputan terorisme, media seharusnya bisa memberikan informasi yang mencerahkan, memberi inspirasi. Bukan sekadar informasi yang ecek-ecek,” kata Lila Fitri Aly, seorang konsumen media di Jakarta. Tentu ada banyak sebab dibalik ketakpuasan konsumen media seperti Lila. Tapi jelas salahsatu sumbernya ada pada proses
86
penggalian bahan di lapangan. Semua berita yang muncul di media adalah hasil dari sebuah proses liputan jurnalistik yang panjang. Informasi yang kemudian menjadi artikel di koran atau paket berita di radio dan televisi sudah melalui proses dan penyaringan yang berjenjang. Nah, untuk mencaritahu apa yang salah dan perlu diperbaiki dalam proses penggalian bahan di lapangan, kita perlu mengupas satu demi satu elemen dari proses pencarian bahan ini. Jika pada bab terdahulu, sudah dijelaskan persiapan apa saja yang perlu dilakukan oleh jurnalis sebelum terjun ke lapangan, maka bab ini akan mengupas apa dan bagaimana proses penggalian bahan di lapangan yang ideal untuk reportase isu-isu terorisme. Dalam teori jurnalistik, fase penggalian bahan terdiri dari proses riset, wawancara dan reportase. Riset dibutuhkan untuk mencari dan memahami latar belakang dan konteks isu yang diliput. Seringkali jurnalis harus mewawancarai pakar atau pengamat sebuah isu, untuk mendapatkan bahan riset yang dibutuhkan. Namun di era digital seperti sekarang, seringkali dokumen, data dan angka statistik yang terkait suatu topik, tinggal dicari di internet. Setiap jurnalis yang menjunjung tinggi
87
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
kewajibannya menyaring informasi untuk publik, harus memahami isu apa yang dia liput untuk audiensnya. Karena itu, melakukan riset sebelum terjun ke lapangan dan sebelum melakukan wawancara dengan narasumber, adalah sebuah keharusan. Proses penggalian bahan berikutnya adalah wawancara. Sebuah wawancara bisa dilakukan untuk menggali informasi dari seorang narasumber, atau sekadar meminta konfirmasi. Ada banyak teknik yang bisa digunakan untuk mewawancarai seorang narasumber. Namun, umumnya teknik terbaik amat bergantung pada sejauhmana kita mengenali profil si narasumber serta menguasai bahan yang kita tanyakan. Fase terakhir adalah reportase. Di dalam tahap ini, jurnalis melakukan pengamatan langsung atas obyek berita atau narasumber yang sedang diliput. Caranya: jurnalis memaksimalkan panca indranya dalam melakukan pengamatan. Amati dengan seksama setiap gerak-gerik narasumber dan perkembangan di lapangan, serta dengarkan setiap denting, derak dan gemeretak objek peliputan. Menurut Redaktur Pelaksana Majalah Tempo, Budi Setyarso, peliputan terorisme biasanya diawali dengan laporan soal aksi terorisme. Tengok
88
saja polah jurnalis pasca-ledakan bom di Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz-Carlton di Mega Kuningan, Jakarta Selatan, 17 Juli 2009 silam. Reporter dari berbagai media langsung terjun ke lokasi untuk memberitakan kejadian tersebut. Setelah peristiwa habis diberitakan, peliputan berikutnya akan bergeser pada kondisi para korban –baik yang meninggal maupun yang selamat. Dari liputan ini, kata Budi, jurnalis perlu mendorong timbulnya empati di kalangan masyarakat. Dia mengingatkan agar pemberitaan jangan terpusat pada korban-korban yang berdarah-darah dan tewas. “Jurnalis jangan menciptakan ketakutan baru,” katanya. Justru dengan memberi ruang liputan untuk para korban yang selamat dan relawan yang gigih membantu para korban, media bisa menunjukkan bahwa masih ada harapan dan kekuatan menghadapi aksi-aksi terorisme. Setelah pekan pertama lewat, biasanya peliputan akan bergeser lagi pada upaya polisi mencari pelaku teror. Pada fase ini, jurnalis biasanya akan mencari akses kepada data hasil uji forensik, dan data-data hasil penyidikan polisi yang bisa memberi petunjuk soal siapa pelaku. Di sinilah peliputan mulai bergantung pada polisi. “Supaya tetap independen, kata kuncinya adalah sikap kritis,” kata Budi.
89
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
Dengan memiliki sikap kritis, kata Budi, jurnalis akan tergerak untuk terus menerus melakukan verifikasi atas setiap pernyataan yang dirilis polisi. “Salahsatunya, kalau kita diberi data, selalu minta yang tertulis,” kata Budi. Dengan demikian, jurnalis bisa lebih mudah mengeceknya ke lapangan. *** HARUS diakui, tingkat kesulitan peliputan isu terorisme ada di atas kebanyakan peliputan isu lain. Tantangan terberat bagi jurnalis adalah memperoleh akses untuk masuk ke dalam dua kelompok yang saling berhadap-hadapan: satuan elite polisi Detasemen Khusus 88 Antiteror dan jejaring kelompok yang sering disangka melakukan teror seperti alumni Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki, anggota Jamaah Islamiyah atau kelompok garis keras lain. Kadangkala, kelompok-kelompok ini berusaha menipu lawannya, dengan memanfaatkan media massa. Informasi yang mereka berikan, bisa saja merupakan sebuah kode intelijen untuk mengelabui musuh. Jurnalis harus ekstra hati-hati agar tidak terjebak dan menjadi corong satu pihak. Selalu ingat, bahwa jurnalis membawa
90
kepentingan publik, bukan para pihak yang sedang menjadi objek liputan. Jangan biarkan ideologi pribadi, keyakinan dan kepercayaan personal mengganggu perspektif dan penilaian Anda sebagai jurnalis. Di luar prasyarat itu, ada banyak strategi yang dilakukan sejumlah jurnalis yang sukses meliput isu ini. Berikut ini sejumlah tips praktis yang bisa digunakan dalam fase penggalian informasi di lapangan:
1. Mewawancarai narasumber lebih dari sekali PADA Maret 2007 silam, polisi menangkap Saiful Anam alias Mujadid alias Brekele, di Temanggung, Jawa Tengah. Dia disangka terlibat dalam pengeboman Pasar Tentena, di Poso, Sulawesi Tengah. Dalam penangkapan, kaki Brekele ditembak polisi, sehingga dia harus dirawat di rumahsakit. Wartawan Majalah Tempo, Budi Setyarso, mendapat akses dari Detasemen Khusus 88 untuk mewawancarai Brekele di Paviliun Wijayakusuma, Rumah Sakit Sardjito, Yogyakarta, beberapa hari pasca-penangkapan. “Saya bisa bertemu langsung dengan tersangka, dan bisa melakukan wawancara,” kata Budi.
91
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
Namun, ada satu masalah. Selama wawancara, polisi penjaga Brekele terus menerus mendampingi sang tersangka. Kadang, jika ada pertanyaan yang mempersoalkan cara penangkapan polisi, atau pertanyaan yang mencoba menguji kesahihan tuduhan versi polisi, Brekele hanya bisa tergagap. “Saya tahu, akan sulit buat Brekele berkata terus terang jika ada polisi selama proses wawancara,” kata Budi. Karena itulah, ketika wawancara berakhir, dan polisi yang mengantarkan Budi juga ikut meninggalkan rumahsakit, Budi menyelinap kembali ke ruangan tempat Brekele dirawat. “Saya ulangi lagi semua pertanyaan saya sebelumnya, untuk menguji kebenaran pengakuan dia,” kata Budi. Terbukti dengan taktik itu, Brekele bisa lebih terbuka. Tersangka kasus terorisme itu berkisah lebih mendetail dan lebih jujur. Pendek kata, Budi berhasil mengelabui polisi, untuk mendapatkan akses terhadap narasumber yang penting. Jika menghadapi situasi dimana semua akses informasi dikuasai oleh polisi, dan tak ada cara lain untuk melakukan verifikasi selain menggunakan jalur yang disediakan polisi, Budi menegaskan satu-satunya senjata jurnalis adalah sikap kritis. “Selalu buka ruang skeptis, dan jangan mau didikte oleh siapapun,” katanya.
92
Asep Setiawan, Editor Radio BBC di Jakarta, setuju dengan Budi. “Agar kerja jurnalis memiliki integritas dan dipercaya oleh publik, maka jurnalis harus menjaga jarak dengan narasumber,” katanya, memberi pedoman praktis. Tentu skeptisme dan keberjarakan itu perlu diimbangi dengan penguasaan masalah. Jurnalis yang baik bisa dinilai dari bobot pertanyaan yang dia ajukan kepada narasumber. Pengamat media, Arya Gunawan, menegaskan bahwa dalam jurnalistik, berlaku adagium “You are what you ask,” atau pertanyaan Anda menggambarkan siapa Anda. Kedalaman dan ketajaman pertanyaan seorang jurnalis menandai sejauhmana dia menguasai masalah yang diliputnya. Namun, menjaga jarak dengan narasumber dalam laporan terorisme, bukan soal mudah. Karena sensitifnya isu ini —kadangkala, jurnalis lupa bahwa dia bukan bagian dari pihak yang bertikai. Jarak juga jadi makin musykil dijaga jika jurnalis sudah terlalu lama dekat dengan narasumber yang harus diliput. Sarie Febriane, wartawan Kompas yang biasa meliput Detasemen Khusus 88 Antiteror, memberi tips menarik: “Apapun kedekatan yang kita punya, kita harus tetap skeptis, karena kita bukan bagian dari mereka. Ini penting agar jurnalis terhindar dari kekonyolan,” kata Sarie. Jurnalis yang merasa sulit menjaga jarak
93
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
dengan narasumbernya mungkin perlu ingat bahwa setiap narasumber memiliki kepentingan terhadap pemberitaan di media. Bagi aparat keamanan, pemberitaan media yang positif tentu menguntungkan institusinya. Sedangkan bagi pelaku teror dan kelompok seperti mereka, media bisa digunakan untuk menyebarkan ideologi kekerasan. Ini harus selalu disadari oleh jurnalis peliput terorisme. “Jurnalis yang meliput terorisme butuh ketajaman insting yang prima, karena ada berbagai kepentingan dalam liputan ini,” kata Zamira Loebis, seorang jurnalis senior di Jakarta yang bekerja untuk sebuah majalah asing. Trik ala Budi Setyarso untuk melakukan wawancara lebih dari satu kali bisa menyiasati sulitnya verifikasi. Selain itu, Budi juga menyarankan agar setiap pernyataan dari narasumber dirunut ke belakang.”Caranya, kita menemui sejumlah orang yang pernah mengenal pelaku, dan membuktikan apakah cerita dia sebelumnya benar atau salah,” kata Budi.
2. Menempel pada narasumber SETELAH bom menghancurkan dua hotel berbintang, Hotel Ritz-Carlton dan JW Mariott di jantung kota Jakarta, Juli 2009, salahsatu
94
wartawan pertama yang tiba di lokasi adalah Ecep Suwardani Yasa, produser tvOne. Dia memang spesialis liputan terorisme di redaksi stasiun televisi itu. Setibanya di lokasi bom, tanpa banyak kesulitan, Ecep langsung dibawa oleh narasumbernya di Detasemen Khusus 88 masuk ke dalam hotel dan melihat langsung kondisi tempat kejadian perkara pasca-ledakan. Ketika itu, tak ada jurnalis lain yang mendapatkan akses seleluasa dia. Setelah mendapatkan briefing singkat soal apa dan bagaimana bom itu meledak, Ecep bahkan mendapatkan salinan rekaman kamera sirkuit pendek atau CCTV. Rekaman itu menunjukkan dengan jelas bagaimana detik-detik terjadinya ledakan di lobi kedua hotel. Dengan segera, rekaman itu ditayangkan berulang-ulang di tvOne. “Semua itu saya peroleh berkat lobi yang dibangun sejak lama,” kata Ecep, pada diskusi yang digelar Agustus 2010 lalu. Dia membantah rekaman CCTV ledakan bom di kedua hotel itu diperolehnya dengan menawarkan sejumlah uang. Praktek yang disebut sebagai ’jurnalisme transaksional’ ditengarai marak terjadi dalam peliputan isu-isu terorisme. Tak bisa disangkal, saking ketatnya
95
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
kompetisi antar media, banyak jurnalis yang tak segan-segan membeli bahan liputan, terutama foto atau video, dari narasumber. Tapi Ecep menilai pendekatan transaksional macam itu tak akan bertahan lama. “Kuncinya adalah membangun kepercayaan dengan narasumber,” katanya. Strategi dasar Ecep dalam membangun akses ke dalam Detasemen Khusus 88 adalah embedded journalism alias jurnalisme melekat. Dia melebur menjadi bagian dari tim anti-teror itu, bermalam bersama di tengah-tengah operasi perburuan, mengintai berhari-hari menunggu momen yang pas untuk menyergap. “Tidak mudah dan butuh waktu,” katanya kemudian. Secara resmi, polisi memang hanya merilis informasi melalui satu pintu yaitu Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri. “Di luar itu, para wartawan mencari informasi dengan jejaring yang dia miliki. Disinilah terjadi kompetisi antar jurnalis dan media untuk melakukan lobi. Bisa tembus atau tidak?” kata Ecep, tanpa bermaksud jumawa. Tentu ada risikonya. Ecep tak menampik, sebagian orang menuding medianya berlaku seperti ‘TV-nya Detasemen Khusus 88 Anti Teror’. “Itu risiko. Dalam liputan lain, kami
96
dituding sebagai TV-nya teroris,” katanya sambil tertawa. **** SALAH satu persoalan mengapa narasumber dalam isu terorisme sulit ditembus adalah ketiadaan kepercayaan. Karena itu, langkah sebagian reporter untuk menempel pada polisi dan perlahan-lahan mendapatkan kepercayaan dari mereka, memang jadi pilihan menarik untuk sebagian jurnalis. Trik ini sebenarnya bukan hal baru dan sudah sering dilakukan untuk peliputan di daerah berbahaya yang narasumbernya terlibat dalam konflik bersenjata. Model ini pertamakali diperkenalkan secara massif, oleh militer Amerika Serikat dalam peliputan operasi militer Amerika dan sekutunya ke Irak, pada 2003 silam. Belakangan, strategi menempelkan jurnalis pada narasumber tentara ini diterapkan militer Indonesia dalam operasi militer mereka di Aceh. Hubungan Ecep Suwardani Yasa dengan para polisi, anggota Detasemen Khusus 88 Antiteror, tak dibangun dalam semalam. Dia lalu bercerita soal kedekatannya dengan sejumlah petinggi polisi saat ini, yang sudah terjalin sejak polisi
97
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
itu masih berpangkat komisaris. Kedekatan itulah yang membuat Ecep sering mendapat informasi penting lebih awal. Persoalannya, meliput isu terorisme dengan menggunakan trik ini membutuhkan kecakapan khusus. Jurnalis harus jeli mengenali kebiasaan dan tradisi di lingkungan narasumber yang mereka tempel dan dengan cepat melakukan adaptasi. Sarie Febriani, wartawati Kompas, mengaku berusaha mengenali kebiasaan komunitas yang dilobi di pekan-pekan pertama ditugasi di kelompok itu. Dia sudah menempel di Detasemen Khusus 88 selama lima tahun terakhir. Misalnya saja, kata Sarie, di kalangan aparat keamanan tertentu nampak ada ikatan persaudaraan yang kuat. Menyadari hal itu, dia mencoba masuk ke komunitas tersebut dengan menonjolkan nilai-nilai persaudaraan. Begitu dianggap “saudara”, Sarie menjelaskan, informasi akan mengalir lancar. Langkah berikutnya tinggal memahami sensitivitas topik-topik serta isu-isu tertentu dalam pergaulan dengan narasumber dan sesekali menjaga jarak. Reporter yang menerapkan teknik embedded journalism memang diminta agar jangan sembarang mengumbar informasi di luar kebutuhan liputan. Jangan pula sekali-kali membocorkan rahasia yang sudah
98
disepakati. Informasi tentang teknik polisi memburu teroris misalnya, haram hukumnya diungkap. “Jaringan teroris selalu mempelajari bagaimana polisi bisa menemukan mereka. Jika tekniknya saya ungkapkan blak-blakan berarti saya mengajarkan itu pada teroris,” kata Sarie menyebut satu contoh informasi yang tak pernah dia tulis di medianya. Seperti Ecep, Sarie juga seringkali dicap tak bisa lagi berimbang karena terlampau dekat dengan polisi. “Banyak kawan yang bilang, Sarie Kompas wartawannya Densus. Padahal tidak begitu. Yang betul, kita dekat di mata jauh di hati. Karena tidak semua info yang mereka berikan adalah kebenaran, maka kita harus pintar bersikap,” kata Sarie. Meski memiliki hubungan yang “super-dekat” sekalipun dengan narasumber, Sarie mengaku berusaha tak meninggalkan sikap kritisnya. “Apapun kedekatan yang kita punya dengan polisi, kita harus tetap skeptis, karena kita bukan bagian dari mereka,” katanya. *** SEBENARNYA sudah banyak jurnalis di Indonesia yang menerapkan stretegi embedded journalism dalam meliput terorisme. Persoalan
99
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
sulitnya akses menembus polisi, yang mau tak mau menjadi sumber informasi utama dalam isuisu ini—membuat media kadang tak punya opsi lain. Polisi pun sengaja membuka akses. Dalam banyak operasi penangkapan, mereka menawarkan kesempatan bagi jurnalis untuk tandem dengan para polisi di lapangan. Ada beberapa keuntungan menjadi jurnalis yang melekat pada narasumber macam itu. Pertama, keamanan wartawan terjamin. Meliput peristiwa penyergapan teroris yang sering diwarnai baku tembak, tentu mengandung banyak risiko. Melaporkan berita dari balik barisan pasukan Densus 88 menawarkan jaminan keselamatan yang menjanjikan. Kedua, bisa lebih cepat mendapatkan informasi dan peluang peliputan. Tak jarang, wartawan yang melekat pada Densus, akan mendapat pesan pendek mengenai aksi-aksi penangkapan tersangka aksi terorisme yang dilakukan polisi. Undangan peliputan operasi polisi pun biasanya khusus diberikan kepada reporter yang dinilai bisa diterima oleh Densus. Tawaran keuntungan inilah yang kerapkali menjadi alasan untuk menerapkan trik embedded journalism dalam peliputan isu terorisme. Tentu tujuannya adalah bagaimana menyampaikan
100
informasi lebih cepat dan lebih akurat untuk publik. Namun ada juga sisi merugikan buat jurnalis. Sulit dipungkiri, ada “pengorbanan” yang harus mereka berikan sebagai imbalan mendapatkan akses berharga ke dalam korps polisi antiterorisme yang terkenal tertutup. Misalnya, jurnalis melekat nyaris tak mungkin diminta menghasilkan berita yang berimbang dan kritis soal polisi. Kalau itu dilakukan, mereka bisa terancam kehilangan akses dan jejaring lobi yang sudah dibangun bertahun-tahun. Kesulitan ini diakui oleh jurnalis yang sering menerapkan teknik ini. “Sulit melakukan proses cover bothside dalam konteks liputan terorisme,” kata Ecep. Biasanya, kata Ecep, begitu aksi teror terjadi atau seorang tersangka ditangkap polisi, hampir tidak ada pelaku teror yang mau berbicara kepada publik. Aksi terorisme dalam skala apa pun memang sulit dibenarkan. Tapi, tindakan yang hanya mendefinisikan mereka dari satu sudut pandang dan tidak memberi ruang bagi mereka untuk berkomunikasi dengan publik, sama halnya memperbesar api dalam sekam. Sebenarnya media bisa menyiasati kendala ini dengan mengirim reporter berbeda, untuk menulis isu terorisme dari perspektif lain.
101
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
Dengan trik ini, si jurnalis melekat selamat dan kredibilitas media pun bisa diselamatkan.
3. Membentuk dua tim peliput BUKIT Jalin, Jantho, Aceh Besar, 22-23 Februari 2010. Puluhan polisi anggota Detasemen Khusus 88 mengepung sebuah kamp pelatihan militer yang diselenggarakan sebuah kelompok Islam garis keras yang menamakan dirinya Tandzim al-Qaidah di Aceh. Harian Kompas ingin meliput peristiwa penting ini. Baru pertamakali, mereka yang diburu polisi mengadakan aksi pelatihan dalam skala massif seperti yang ada di Bukit Jalin. Demi akurasi dan mudahnya verifikasi, Kompas menurunkan dua orang reporter ke Aceh. Sarie Febriani dikirim untuk mengikuti pergerakan operasi polisi di lapangan, sementara Ahmad Arif diminta bergerilya di lapangan, mencari sisi lain operasi perburuan teroris polisi itu. Arif juga diminta mewawancarai keluarga tersangka-tersangka teroris yang ditangkap polisi, untuk melengkapi informasi sekaligus menguji kesahihan informasi dari polisi. Dalam satu peristiwa, kehadiran dua tim peliput ini berhasil mengungkap sebuah
102
peristiwa penting. Salahsatu tersangka teroris yang ditangkap polisi adalah seorang pemuda bernama julukan Abu Rimba. Dari reporter yang melekat pada Densus, Arif mendapat informasi lengkap soal detail tuduhan polisi. Informasi itulah yang dia bawa ke keluarga korban untuk diverifikasi. “Polisi menggambarkan tersangka ini sebagai orang yang sangat berbahaya, namun di lapangan, kesan keluarga dan orang-orang dekatnya amat berbeda 180 derajat,” kata Arif. “Dia cuma pemuda tanggung, anak kemarin sore, yang cuma ikut-ikutan saja masuk ke pelatihan militer di Bukit Jalin.” Temuan penting tim Kompas ini membuktikan pentingnya verifikasi dalam peliputan isu terorisme. Dan verifikasi bisa lebih mudah dilakukan jika dilakukan oleh dua tim berbeda. Media ini menunjukkan bahwa cara ini efektif menghasilkan karya jurnalistik yang berimbang. Trik ini bisa sekaligus menjawab kritik gencar publik yang menuding media tak imbang dalam meliput isu terorisme, karena terlalu sering mengutip narasumber dari aparat keamanan.
103
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
4. Mencatat detail peristiwa secara apa adanya KETIKA pemimpin Jamaah Anshorut Tauhid, Abu Bakar Baasyir, ditangkap di Cimahi, Jawa Barat, awal Agustus 2010 lalu, hampir semua media massa memberitakannya besar-besaran. Pimpinan Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Solo itu sedang berada di dalam sebuah mobil van ketika ditangkap. Dia langsung ditahan dengan tuduhan membiayai dan menjadi dalang pelatihan militer kelompok Islam garis keras yang menamakan dirinya Tandzim Al-Qaidah di Aceh, awal 2010 lalu. Detail soal penangkapan pun kemudian tersebar luas. Para jurnalis yang biasa meliput isu terorisme mendapat informasi bahwa penangkapan Abu Bakar Baasyir bernuansa kekerasan. Polisi sempat memecahkan kaca depan mobil yang dia tumpangi. Namun, kisah menarik ini tak banyak diulas media. Padahal menarik untuk mengetahui apa yang menyebabkan polisi begitu naik pitam, sampaisampai perlu menggedor kaca mobil sampai pecah berantakan. Inilah salahsatu trik penggalian bahan yang kerap diabaikan para jurnalis: melaporkan secara detail peristiwa yang terjadi, secara apa adanya. Informasi yang terperinci dan jujur sangat berguna
104
untuk menjawab rasa ingin tahu masyarakat. Jika Detasemen Khusus 88 benar-benar melakukan tugasnya dengan profesional, maka laporan jurnalistik yang berimbang dan akurat bisa menepis tudingan bahwa polisi melakukan pelanggaran hak asasi manusia atau bertindak berlebihan dalam operasi-operasi penangkapannya. Apa saja detail yang bisa diliput? Dari sisi aparat keamanan, jurnalis bisa menggambarkan persiapan-persiapan yang dilakukan sebelum operasi dilakukan, juga proses penyisiran lokasi sampai ke titik dimana sang tersangka diringkus. Sementara dari sisi tersangka yang diburu, juga sama. Jurnalis bisa menggambarkan dengan detail profil si tersangka, dari keadaan rumahnya, keluarganya, orangtuanya, pekerjaannya dan seterusnya. Reportase yang basah dan terperinci akan membuat liputan terorisme di media lebih bernas dan berisi. Kondisi psikologis para pelaku dalam suatu insiden bentrok antara polisi dan teroris misalnya, bisa menjadi elemen penting dari sebuah laporan mengenai sebuah operasi penangkapan yang dramatis. Dengan laporan yang detail, publik akan mendapat gambaran bagaimana para polisi mempersepsikan ancaman terorisme, atau bagaimana para tersangka teroris memandang
105
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
kerja-kerja aparat memberangus gerakan mereka. Namun tentu, dalam liputan sensitif macam peliputan isu terorisme, tak semua informasi bisa dibuka telanjang. Sejumlah jurnalis peliput isu terorisme mengaku ada risiko jika detail yang bisa mendorong aksi terorisme makin kuat, diungkap di media. “Informasi soal teknik operasi, sebaiknya tidak diumbar, karena itu bisa menguntungkan salahsatu kelompok,” kata satu jurnalis. Sebagai pengamat yang netral, laporan jurnalis memang seharusnya tidak memberikan keuntungan pada salahsatu pihak yang bertikai.
5. Berempati pada posisi narasumber JURNALIS peliput isu terorisme, Edy Hariadi, sempat punya pengalaman tak enak saat meliput peristiwa eksekusi mati tiga terpidana bom Bali: Imam Samudera, Mukhlas dan Amrozi, di LP Nusakambangan, akhir 2008 silam. Demi mendapatkan perspektif yang lebih mendalam, Edy masuk ke dalam LP Nusakambangan dengan menyamar sebagai anggota keluarga besar salahsatu terpidana mati. Edi berharap cara ini bisa mengantarkannya ke dalam LP Nusa Kambangan dan menyaksikan langsung eksekusi mati. Edy ikut berangkat bersama rombongan
106
keluarga tersebut. Ia duduk semobil di dalam Mitsubishi L-300, berharap dapat banyak cerita dari keluarga itu sepanjang perjalanan. Sayangnya, perjalanan menuju Nusa Kambangan lumayan jauh. Edy yang perokok berat tak bisa menahan kebiasaannya. Sebatang demi sebatang ia hisap rokok kreteknya. Seiring kepul asap, lamat-lamat ia menangkap gelagat tak sedap. Keluarga yang semula akrab dengan dirinya tiba-tiba memasang muka masam. Tak sepatah cerita pun keluar dari mulut mereka. Edy bahkan merasa dicurigai. Selidik punya selidik, keluarga ini ternyata menilai rokok adalah barang haram. Mereka sama sekali tidak merokok dan tidak tahan berdekatan dengan orang yang terus-menerus mengepulkan asap rokok. Alih-alih mendapat informasi lebih dalam, ia kemudian malah sibuk bersiasat agar suasana kembali cair. Cerita ini menginggalkan pesan penting untuk jurnalis peliput terorisme. Untuk berhasil membangun lobi dengan narasumber yang sulit berbagi informasi, Anda harus benar-benar berempati pada posisi mereka. Tak cukup hanya dengan senyum dan simpati, namun juga empati dan pemahaman yang tulus. Hubungan yang baik jelas tidak bisa terbangun dalam waktu sekejap. Perlu intensitas dan butuh pemahaman terhadap
107
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
kebiasaan orang yang dilobi. Dalam meliput terorisme, jurnalis sering tidak bisa berempati dan akhirnya, salah menempatkan narasumber. Kesalahan yang sering terjadi adalah memposisikan keluarga pelaku teror sebagai teroris. Akibatnya, pertanyaan dan laporan jurnalis pun cenderung memojokkan dan menempatkan keluarga sama dengan pelaku teroris. Posisi keluarga teroris yang sering salah dipersepsikan adalah istri, anak, orangtua dan saudara tersangka teroris. Mereka memang memiliki ikatan keluarga langsung dengan pelaku teror, namun tidak bisa langsung dicap sebagai teroris. Ketika menghadapi mereka dalam wawancara, jurnalis harus memilih katakata yang pas dan tidak menghakimi. Ini penting agar keluarga membuka akses dan bersedia berbagi. Pasalnya, informasi dari keluarga soal latar belakang pelaku teror amat penting untuk menggambarkan profil si pelaku dan menguji kesahihan tuduhan polisi. Berempati dan menempatkan narasumber pada porsinya, bukan berarti jurnalis harus mengagungkan kelompok teror. Liputan terorisme tentu harus tetap berorientasi pada prinsip bahwa semua aksi terorisme dan kekerasan mengancam keamanan dan keselamatan manusia.
108
Justru karena itulah, jurnalis harus hati-hati menyikapi sangkaan, tuduhan dan tudingan yang menyimpulkan bahwa pelaku sebuah aksi teror adalah kelompok atau individu tertentu. Tuduhan seserius itu harus bisa dibuktikan dan didukung saksi serta bukti yang memadai. Bukan bukti dan saksi yang disediakan oleh polisi, namun bukti dan saksi yang dicari sendiri dan diverifikasi oleh jurnalis.
6. Tetap mementingkan keselamatan dini SUDAH banyak contoh jurnalis menjadi korban saat menjalankan tugas. Ada yang tertembak, terkena peluru nyasar, dibunuh, atau menjadi korban kekerasan dari pihak yang saling berkonflik. Liputan terorisme juga tak lepas dari bahaya. Tak jarang para pelaku teror menggenggam senjata api dan menyimpan bahan peledak. Jika tidak bisa menempatkan diri, jurnalis bisa terjebak dalam baku tembak antara teroris dengan aparat sehingga menjadi korban. Sayangnya, banyak jurnalis meremehkan masalah keselamatan diri ini. Bahkan, beberapa jurnalis menertawakan jurnalis yang telah mengenakan rompi pengaman anti peluru dan helm baja saat meliput terorisme.
109
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
Ingat, sebaik-baiknya sebuah laporan jurnalistik, tidak ada artinya jika sang jurnalisnya tewas. “Meliput apapun, termasuk terorisme, yang pertama itu keselamatan. Tapi banyak jurnalis yang saya lihat meliput tanpa safety,” kata Asep Setiawan, Desk Editor, BBC Biro Jakarta. Idealnya, seorang jurnalis yang meliput di daerah berbahaya seperti operasi kontra terorisme, harus memiliki sertifikat lulus pelatihan safety journalism. Kebijakan ini sudah diterapkan oleh BBC kepada seluruh jurnalisnya di dunia. Sertifikat safety training tersebut berlaku untuk masa waktu tertentu dan wajib diperbarui secara berkala. Tapi kalaupun tidak punya sertifikat macam itu, paling tidak jurnalis harus mendapat pembekalan tentang aspek keselamatan selama peliputan di lapangan dari kantornya, atau organisasi jurnalis tempatnya bergabung. Jangan lupa, selama meliput di lapangan yang berpotensi konflik bersenjata, jurnalis harus selalu mengenakan rompi pengaman serta mengenakan tanda pengenal yang mudah dikenali. ***
110
Panduan Selamat Dalam Meliput
S
ebuah lembaga internasional yang khusus mengkaji seluk beluk peliputan jurnalistik yang aman, International News Safety Institute (INSI), punya pedoman penting untuk jurnalis. Lembaga nirlaba ini digagas oleh sejumlah jurnalis, editor, dan perusahaan media, bersama International Federation of Journalist (IFJ), pada November 2002, di Brussels, Belgia. Panduan keselamatan dari INSI ini berguna sebagai referensi dalam peliputan isu terorisme. Harus diakui, dalam sejumlah aspek, meliput isu terorisme sama bahayanya dengan meliput medan perang. Ini sebagian tips INSI agar jurnalis selamat meliput isu yang sensitif dan berpotensi membahayakan: 1. Bersiaplah secara fisik dan mental. Jika memungkinkan, ikuti pelatihan dasar pertolongan pertama sebelum bertugas ke daerah berbahaya. Selain itu, ingat bahwa sebagian besar peliputan di daerah konflik mengharuskan jurnalis untuk setidaknya berlari, berjalan jauh dan bertahan dalam keadaan yang tidak menyenangkan. Pastikan Anda siap untuk itu.
111
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
2. Sebelum berangkat, periksakan diri ke dokter dan pastikan Anda sudah disuntik agar kebal dari gangguan penyakit menular yang mewabah di daerah peliputan. Bawalah kotak medis standar yang dilengkapi jarum suntik steril. Jangan lupa membawa catatan alergi, golongan darah, serta riwayat penyakit Anda. 3. Pelajari latar belakang orang-orang, tempat penugasan dan akar masalah perselisihan yang akan Anda liput. Pelajari beberapa frase yang berguna dalam bahasa setempat, terutama “wartawan asing” atau “jurnalis”. Jangan lupa, ketahuilah makna gerak isyarat dalam budaya setempat yang mungkin penting untuk Anda.
4. Jangan bergerak sendirian di daerah konflik. Jika bepergian, pakailah supir yang aman dan bertanggung jawab. Supir Anda setidaknya harus mengetahui seluk beluk lapangan termasuk daerah-daerah yang berbahaya. Berikan tanda pada mobil Anda sebagai mobil media atau pers kecuali jika hal itu akan mengundang serangan. Bepergianlah dalam iring-iringan yang dekat jika memungkinkan. 5. Jangan memakai mobil militer atau sejenisnya kecuali jika sedang menemani
112
patroli tentara. Pastikan mobil Anda dalam keadaan yang baik, dengan bensin penuh. Dalam cuaca yang panas periksa tekanan pada ban secara teratur karena ban meledak dapat mendatangkan malapetaka. 6. Sebelum berpergian, carilah nasehat para penguasa dan penduduk setempat tentang bahaya yang mungkin terjadi. Periksa segera jalan di depan dengan selang waktu yang aman. Jangan lupa beritahukan kolega dan kantor pusat Anda ke mana Anda akan pergi, rencana waktu tiba dan kepulangan Anda. Sering-seringlah melapor. 7. Hati-hati bila membawa peta yang penuh tanda-tanda yang dapat ditafsirkan sebagai bagian militer. 8. Temuilah kontak-kontak yang tidak Anda kenal di tempat umum dan beritahukan rencana tersebut kepada kantor atau kolega Anda yang dapat dipercaya. Sebaiknya jangan berpergian sendirian ke daerah yang berbahaya. Rencanakan jalan keluar yang cepat dan aman sebelum memasuki daerah bahaya. 9. Jangan membawa senjata atau berpergian dengan jurnalis yang membawa senjata. Berhati-hatilah sewaktu memotret.
113
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
Mintalah persetujuan para serdadu sebelum memotret. Berusahalah mengetahui kepekaan penduduk setempat tentang pengambilan foto. 10.Bawalah dokumen pengenal yang mencantumkan foto. Jangan berpura-pura menjadi bukan jurnalis. Perkenalkan diri Anda dengan jelas jika ditanya. 11.Jika kerja Anda mengharuskan Anda berhubungan dengan kedua belah pihak yang tengah berkonflik di garis depan, jangan memberikan informasi ke salah satu pihak tentang pihak lainnya. 12.Bawalah barang yang menarik dan hadiahhadiah lain sebagai “uang pelicin”. Tetaplah bersikap tenang dan cobalah agar terlihat santai jika pasukan tentara atau penduduk setempat terlihat mengancam. Bersikap ramah dan tersenyumlah. 13.Bawalah uang lebih untuk keadaan darurat dan simpanlah salinan kartu pengenal Anda di tempat yang tersembunyi di tubuh Anda. Sediakanlah uang hadiah yang dapat diberikan segera sewaktu-waktu. Selain itu, simpanlah nomor telepon darurat setiap saat. Program nomor tersebut ke telepon satelit
114
dan telepon genggam Anda, supaya dapat ditekan dalam waktu singkat (speed dial). 14.Ketahuilah lokasi rumah sakit dan fasilitas pelayanan mereka. Juga kenalilah senjatasenjata umum yang biasa digunakan di daerah konflik, jarak tembak dan kekuatan tembusnya sehingga Anda dapat mencari perlindungan yang paling efektif. Ketahuilah perbedaan arah datang dan keluarnya. Kenalilah bentuk ranjau dan senjata lainnya. Jangan memegang senjata yang tergeletak atau peluru yang berserakan. 15.Pakailah baju sipil kecuali jika diakui sebagai koresponden perang dan diharuskan memakai baju khusus. Hindari baju tipe paramiliter. Hindari membawa benda-benda yang menyilaukan dan berhati-hatilah dengan lensa kamera. Pantulan sinar matahari dapat membuatnya seperti kilauan tembakan. 16.Bersiaplah memakai jaket lapis anti peluru, rompi besi, helm, masker gas dan pakaian anti senjata nuklir, biologi dan kimia. Untuk peliputan demonstrasi, pakailah baju yang tidak menyolok seperti topi keras tipe baseball dan pakaian dalam pelindung. 17.Ketahuilah hak-hak Anda secara lokal maupun internasional. Pelajari Konvensi
115
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
Geneva karena hal tersebut berhubungan dengan penduduk sipil di daerah perang. 18.Para jurnalis yang telah mengalami situasi sangat bahaya dan menyaksikan berbagai peristiwa yang mengerikan dapat mengalami stres dan trauma beberapa minggu kemudian. Jangan merasa malu untuk mencari penyuluhan atau konseling. *** UNTUK pihak-pihak lain di luar jurnalis, yang kerapkali berhubungan dengan media dalam peliputan isu-isu berbau konflik, INSI juga menyediakan sejumlah pedoman. Polisi, aparat pemerintah, tentara, atau kelompok radikal prokekerasan dianjurkan mempelajari dan menerapkannya. Namun, panduan ini paling bermanfaat untuk para pemilik media dan redaktur di kantor-kantor redaksi. Ini sebagian di antaranya: 1. Melindungi jiwa dan keselamatan manusia adalah hal yang paling utama. Semua jurnalis –baik yang berstatus karyawan tetap maupun pekerja lepas— harus tahu bahwa perusahaan media melarang keras dan tidak menerima risiko-risiko yang tidak berdasar dalam meliput suatu berita. 2. Perusahaan media disarankan untuk
116
mendahulukan keselamatan kerja para reporternya di atas motif mencari profit dan keuntungan kompetitif. 3. Penugasan ke daerah perang dan meliput isu berbahaya harus dilakukan secara sukarela dan hanya melibatkan jurnalis yang sudah berpengalaman, serta yang berada langsung di bawah pengawasan mereka (bukan stringer atau kontributor lepas). Jurnalis yang menolak penugasan berbahaya dengan alasan yang masuk akal dan bisa diterima, tak boleh menerima sanksi atau hambatan dalam karirnya di masa depan. 4. Jika situasi di lapangan berkembang dan tidak bisa diantisipasi lagi, para editor di kantor bersama para jurnalis di lapangan dapat memutuskan untuk menghentikan penugasan dan jurnalis kembali ke kantor, setelah berunding bersama. 5. Seluruh jurnalis dan karyawan media harus menerima pelatihan safety journalism yang layak sebelum ditugaskan ke daerah yang berbahaya. Perusahaan dihimbau agar mengharuskan hal ini. 6. Perusahaan pers dan editor harus memastikan bahwa sebelum terjun ke lapangan, jurnalis telah mempelajari kondisi
117
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
politik, fisik dan sosial yang berlaku di tempat tugas mereka dan mengetahui peraturan internasional tentang konfik bersenjata seperti yang tercantum dalam Konvensi Geneva dan dokumen-dokumen penting lainnya tentang hukum humaniter. 7. Perusahaan harus menyediakan peralatan keselamatan kerja yang efisien dan perlindungan kesehatan yang memadai, sesuai dengan ancaman yang akan dihadapi oleh jurnalis di lapangan. Selain itu, jurnalis harus dilengkapi dengan asuransi pribadi — atas kecelakaan dan kematian— selama bekerja di daerah yang berbahaya. 8. Perusahaan harus menyediakan akses bebas biaya untuk konseling yang bersifat rahasia bagi para jurnalis yang terlibat dalam peliputan topik yang sensitif dan traumatik. Perusahaan harus melatih para editor dan manajer untuk mengenali stres akibat trauma dan memberitahukan dengan cepat kabar terakhir si reporter kepada keluarganya. 9. Para jurnalis adalah pengamat yang netral, karena itu mereka tidak diperbolehkan membawa senjata pada saat bekerja. Pemerintah dan seluruh angkatan militer dan aparat keamanan dihimbau agar
118
menghormati keselamatan para jurnalis di daerah operasinya, apakah para jurnalis itu menemani satuan keamanan mereka sendiri atau tidak. Mereka dilarang membatasi pergerakan bebas jurnalis dan dilarang mengurangi hak jurnalis untuk mengumpulkan dan menyebarkan informasi. 10.Petugas keamanan dilarang mengusik, mengintimidasi atau menyerang secara fisik para jurnalis yang sedang bekerja. []
119
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
120
BAB 5
Akurasi, Akurasi dan Akurasi Dalam melaporkan isu terorisme, jurnalis harus menghindari dramatisasi yang berlebihan. Laporan yang akurat, bukan yang mengumbar sensasi, justru bisa mengangkat kredibilitas jurnalis dan media.
D
UA pekan setelah bom meledak di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton, Jakarta pada 17 Juli 2009 lalu, pengamat media Arya Gunawan mencoba melakukan riset sederhana untuk mengevaluasi liputan beberapa media terhadap tragedi memilukan tersebut. Hasilnya membuat dia geram. Mantan wartawan BBC itu menyebutkan setidaknya ada tiga dosa wartawan saat itu. Dosa pertama yakni media mengabaikan asas kepatutan dalam laporannya. Menurut Arya, kesalahan ini terlihat sangat nyata pada media televisi yang menyiarkan potongan bagian tubuh korban yang telah terpotong akibat bom. Dosa kedua, menurut Arya, media telah
121
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
menempatkan dirinya sebagai interogator bahkan sebagai inkuisitor atau pengadilan. Arya mengatakan dosa ini terlihat saat wartawan mewawancarai sejumlah anggota keluarga atau kerabat dari nama-nama yang diduga oleh pihak kepolisian terlibat dalam aksi pengeboman itu. Sedangkan dosa ketiga, media malas untuk mencari alternatif versi cerita di luar apa yang disorongkan oleh lembaga resmi. Arya menyimpulkan, kesalahan-kesalahan elementer ini sebenarnya bisa disembuhkan dengan satu jurus sederhana: wartawan harus memahami dan menerapkan kode etik jurnalistik. Kode etik jurnalistik sudah seharusnya menjadi pedoman baku bagi wartawan untuk menyajikan beritanya, termasuk berita soal isu terorisme. Bersama organisasi profesi jurnalis, Dewan Pers telah membuat sebuah kode etik bagi wartawan Indonesia yang bisa menjadi pedoman penulisan dan pelaporan berita. Kode etik ini tertuang dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 6 Tahun 2008 tentang Kode Etik Jurnalistik. Sedangkan, bagi jurnalis media elektronik, televisi dan radio, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah membuat sebuah pedoman penyiaran yang diberi nama Pedoman Perilaku Penyiaran (PPP) dan Standar Program Siaran (SPS).
122
Pada tiga panduan ini, terdapat berbagai batasan dan prinsip dasar etika dalam penulisan atau pelaporan berita. Semua batasan tersebut wajib dipatuhi oleh wartawan. Berikut ini adalah contoh beberapa turunan normanorma dari kode etik jurnalistik, yang harus dipatuhi oleh wartawan Indonesia dalam penulisan dan pelaporan berita kepada publik.
1. Berita harus berdasarkan fakta HUKUM paling suci dan utama dalam dunia jurnalistik adalah bahwa berita harus berdasarkan fakta. Kode etik jurnalistik secara tegas menyatakan hal ini. Dengan membuat berita berlandaskan fakta, wartawan dilarang menuliskan atau menyiarkan berita bohong, rekayasa, dan melakukan plagiat atau memasukkan hasil karya wartawan lain sebagai milik sendiri. Untuk memilah-milah mana yang fakta atau tidak, seorang wartawan harus rajin melakukan verifikasi di lapangan bahkan terhadap sumbersumber resmi seperti kepolisian/Detasemen Khusus Antiteror 88 dan kejaksaan. Proses verifikasi bisa dilakukan dengan reportase dan mewawancarai banyak narasumber. Nah, setelah bahan-bahan terkumpul, baru tiba
123
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
saatnya untuk memilah-milah, mana fakta yang masuk akal dan tidak. Dalam penulisan berita, wartawan tak bisa memberikan bumbu-bumbu atau “kecap” yang berlebihan alias mengada-mengada atau mengarang. Sebagai contoh, jika hanya mendengar bunyi ledakan yang disertai dengan asap dari sebuah kamar hotel maka kita tak bisa langsung menyimpulkannya sebagai sebuah serangan bom. Sebab, bunyi ledakan tersebut belum tentu berasal sebuah bom. Bisa saja, bunyi ledakan dan asap itu berasal dari tabung gas elpiji atau kompor. Demikian pula, wartawan tak bisa menyembunyikan sebuah fakta. Fakta-fakta tersebut harus dihadirkan ke pembaca secara utuh. Sebagai contoh, jika melakukan rekonstruksi sebuah peristiwa, seorang reporter harus mengatakan bahwa itu realitas yang terjadi. Dia harus jujur menyatakan bahwa tayangan tersebut merupakan hasil reka ulang yang diolah dari hasil wawancara dengan berbagai sumber. Lantas bagaimana dengan pernyataan dari sumber anonim? Pasal 9 Kode Etik Jurnalistik secara tegas menyatakan, wartawan Indonesia harus menghormati nara sumber. Dengan demikian bila nara sumber meminta untuk tidak
124
menuliskan identitasnya, wartawan yang terikat perjanjian wajib mematuhi komitmen tersebut. Namun, untuk menilai apakah ucapan sumber itu layak dikutip atau tidak, tentu perlu ada tipsnya. Joe Lelyveld, redaktur New York Times memberikan dua tips untuk bisa mengutip pernyataan dari sumber anomin ini. Pertama, kita harus mengetahui seberapa banyak pengetahuan langsung yang dimiliki sumber anonim terhadap suatu kejadian? Kedua, apa motif —jika ada— yang mungkin dipunyai sumber untuk menyesatkan kita, berpura-pura baik atau menyembunyikan fakta penting, yang mungkin mengubah kesan kita terhadap informasi tersebut. Satu hal yang juga harus diperhatikan adalah konsekuensi memakai nara sumber anonim ini. Dengan menolak mengungkapkan identitas narasumber, artinya segala risiko atas pernyataan sumber menjadi tanggung jawab jurnalis. Kasus seperti ini pernah terjadi kepada wartawan New York Times lain, Myron Farber. Dia menolak menyerahkan buku catatan sehingga seorang dokter di New Jersey diadili dengan tuduhan pembunuhan. Myron Farber akhirnya harus menjalani hukuman penjara sampai dokter tersebut diputus bebas.
125
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
2. Berita harus akurat MENYAJIKAN berita secara akurat merupakan harga mati. Kendati dalam ruang dan waktu yang sempit serta tekanan dari kantor, wartawan yang meliput isu terorisme tetap harus memberikan laporan yang akurat. Sebab, tinggi dan rendahnya reputasi seorang wartawan sangat tergantung bagaimana mereka menuliskan atau melaporkan berita secara akurat. Bila sering melakukan ralat atas pemberitaannya, kredibilitas wartawan tersebut layak dipertanyakan. Akurasi bisa diukur dari hal yang sangat mudah seperti ketepatan penulisan nama, kota, tanggal, dan seterusnya. Kita harus memastikan apakah penulisan nama seorang atau kota sudah sesuai atau tidak. Atau apakah penulisan tersebut sudah sesuai dengan ejaannya atau tidak. Jika ragu, sebaiknya memastikan lagi kepada narasumber bagaimana penulisan namanya yang benar. Salah satu trik yang umum dipakai adalah dengan meminta kartu nama sumber. Namun, tak semua sumber biasanya mempunyai kartu nama. Biasanya salah satu cara yang paling mudah adalah meminta narasumber mengeja
126
namanya dan langsung mencatatnya di hadapan si sumber. Selain itu, jangan terlalu percaya dengan siaran pers yang dilansir oleh kepolisian, kejaksaan atau instansi lainnya. Sebab, dari berbagai pengalaman, akurasi lembaga penegakan hukum ini sangat buruk terutama untuk penulisan nama seseorang atau instansi, alamat dan sebagainya. Akurasi bisa juga diukur dari ketepatan pemilihan kata (diksi). Gorys Keraf dalam bukunya Diksi dan Gaya Bahasa mengatakan, ketepatan pilihan kata bisa menyampaikan gagasan-gagasan kepada imajinasi pembaca atau pendengarnya seperti apa yang dipikirkan penulis atau pembicara. Ada satu contoh yang menarik dilakukan oleh kantor berita Inggris, BBC. Dalam kebijakan redaksionalnya tentang peliputan terorisme, BBC secara tegas menyatakan sangat berhatihati menggunakan kata teroris. BBC lebih memilih menggunakan kata-kata yang lebih khusus seperti pengebom, penembak, penyerang, penculik untuk menyebutkan pelaku suatu kejahatan atau kelompok. Dengan tidak buru-buru menggunakan kata teroris, BBC juga menyatakan ingin tidak memihak (imparsial) atau menghakimi pelaku sebagai teroris. “Kata
127
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
teroris sendiri bisa menjadi penghalang ketimbang suatu alat untuk memahami suatu peristiwa,” begitu kata BBC dalam kebijakan redaksionalnya. Contoh yang buruk dalam konteks penyebutan pelaku-pelaku aksi kekerasan macam ini mudah ditemui dalam liputan media kita. Seseorang yang masih dalam status tersangka, atau baru saja ditangkap polisi dan belum dinyatakan sebagai tersangka, tentu tidak tepat jika sudah disebut jelas-jelas namanya sebagai pelaku terorisme atau teroris. Lebih tepat jika mereka disebut sebagai buron polisi, atau orang yang diduga polisi berada di balik aksi terorisme tertentu. Parahnya lagi, jurnalis Indonesia sering membedakan sebutan untuk polisi dan tersangka terorisme yang tewas. Jika polisi yang tertembak dan tewas dalam tugasnya mengejar pelaku teror, media menyebutnya “gugur”, sementara jika si pelaku teror sendiri yang meregang nyawa, media cukup menyebut mereka “tewas”. Selain soal ketepatan menggunakan kata dan metafora, akurasi juga berkaitan dengan ketepatan penulisan/penyebutan nama. Karena itu, amat dianjurkan bagi jurnalis untuk check dan re-check untuk memeriksa fakta-fakta yang ditulis.
128
Apakah benar nama korban itu Amir atau Amin? Apakah benar bom itu ditanam di kamar 309 atau 308? Apakah korban yang tewas lima orang atau enam orang? Apa benar orang yang ditembak itu Noordin M. Top atau Ibrahim? Jangan-jangan Ali Ghufron atau mungkin saja Ali Imron? Setidaknya, wartawan harus menyisakan ruang keraguan ketika hendak menuliskan fakta-fakta tersebut. Beberapa kantor media biasanya mempunyai semacam daftar checklist untuk memastikan keakuratan penulisan fakta-fakta ini. Sebagai contoh, American Society of News Editors (ASNE) membuat sebuah daftar panjang untuk memastikan akurasi sebuah berita. Di dalamnya terdapat 44 butir petunjuk untuk memastikan akurasi sebuah berita mulai dari penulisan nama, daerah dan sebagainya. Nah, bila tetap ada kesalahan setelah berita terbit , segeralah melakukan ralat. Anda harus jujur mengatakan bahwa pada laporan sebelumnya telah salah menyebutkan angka atau nama seseorang. Jangan lupa meminta maaf. Dengan demikian, pembaca juga bisa tahu mana fakta yang akurat dan tidak. Sebagai catatan, ralat bukanlah hal yang memalukan bagi seorang wartawan. Setidaknya, si penulis atau pembawa berita sudah bersikap
129
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
jujur dan sportif. Namun, kalau kesalahan terjadi berulang-ulang, tentu hal ini memalukan bagi seorang wartawan. Craig Silverman, penulis buku Regret the Error, yang juga Managing Editor PBS, memberikan beberapa tips bagi wartawan untuk mencegah terjadinya kesalahan yang berulang-ulang. Pertama, mendiagnosa sendiri. Apakah anda kerap membuat atau melupakan kesalahan tertentu? Apakah ada ejaan nama yang selalu salah? Angka yang selalu tertukar posisinya? Tips praktis yang menarik untuk memperbaiki kualitas tulisan/naskah Anda adalah dengan membuat rapor bulanan untuk tulisan Anda. Caranya mudah, periksa setiap tulisan Anda dalam satu bulan. Setelah itu, tuliskan skor Anda dan catat di buku khusus. Jangan lupa mencantumkan bagaimana kesalahan itu terjadi dan informasi lainnya. Nah di akhir bulan, hitung berapa banyak kesalahan yang anda lakukan dan dimana letak kesalahannya. Kedua, buat kebiasaan yang baik. Jika Anda cenderung sering salah menuliskan nama narasumber, maka dalam setiap wawancara, usahakan meminta narasumber untuk mengeja namanya sendiri. Setelah itu, periksa setiap nama yang Anda kutip dan sesuaikan dengan catatan ejaan nama narasumber di buku catatan
130
Anda. Intinya, untuk mulai membuat kebiasaan yang baik, Anda harus pertama-tama menyadari dimana letak kesalahan Anda.
3. Berita harus berimbang, proporsional dan imparsial INI pertanyaan yang sering berkecamuk dalam benak reporter. Sulit dihindari, dalam liputan tragedi-tragedi pengeboman atau kekerasan lain, jurnalis menjadi terlalu terlibat secara personal. Kemarahan dan duka setelah melihat sebuah tragedi kemanusiaan yang keji sering membuat jurnalis tak bisa lagi memosisikan diri sebagai pengamat yang netral. Dalam keterbatasan mencari dan memilih narasumber untuk liputan terorisme, satu hal yang harus senantiasa dipegang setiap wartawan adalah kewajiban untuk berusaha sekuat tenaga melaporkan berita yang berimbang dan secara proporsional. Kode Etik Jurnalistik menegaskan, wartawan wajib memberikan kesempatan bagi semua pihak untuk bicara. Memang ada kontroversi soal asas keberimbangan dalam peliputan isu terorisme ini. Sebagian kalangan mengatakan wartawan tak perlu memberikan ruang dan waktu bagi
131
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
seorang pelaku terorisme untuk bicara di media massa. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Ban Kim Moon termasuk orang yang tak setuju dalam hal ini. Alasannya, berbagai wawancara tersebut justru memberikan peluang bagi pelaku untuk menyebarkan ideologi garis keras dan mengubah media menjadi saluran propaganda. Namun, jurnalis tentu bukanlah hakim atau aparat penegak hukum. Tentu tidak pada tempatnya jika wartawan tidak memberikan kesempatan yang sama bagi si pelaku maupun korban aksi terorisme, untuk bicara dan menyampaikan apa yang mereka pikirkan. Jurnalis harus memberikan kesempatan kepada semua pihak –termasuk pihak yang dianggap bersalah sekalipun—untuk bersuara. Dengan demikian, pembaca bisa mengetahui suatu kejadian secara komprehensif dan mendekati objektifitas. Tentu, jurnalis harus sensitif dan segera mengambil tindakan ketika kesempatan wawancara itu justru dimanfaatkan oleh si pelaku atau tersangka, untuk menyebarkan ideologi kekerasannya. Akan tetapi, harus diakui bahwa apa dan bagaimana tolak ukur berita yang berimbang, tidak memihak dan proporsional ini sendiri masih merupakan perdebatan tanpa ujung.
132
Apakah jumlah narasumber yang setara dari kedua pihak, bisa menjamin keberimbangan? Apa itu justru berpotensi memberikan kesan yang salah soal besaran kekuatan keduabelah pihak? Bagaimana jika versi cerita kedua pihak justru bertolak belakang, dengan sederet kesaksian dan bukti yang sumir? Dalam situasi dilematis macam ini, sejumlah pedoman praktis dari koran terkemuka The Washington Post mungkin bisa diterapkan: Berita yang imparsial atau tidak berpihak bila berita itu tidak menghilangkan berbagai fakta yang memiliki kepentingan, relevansi atau keterkaitan utama, dan signifikansi dengan topik. Jadi sikap imparsial menuntut pemuatan fakta yang komprehensif dan mencakup semua pihak. Berita tidak memihak jika ia secara sengaja tidak menyesatkan atau menipu pembaca. Artinya, sikap imparsial mencakup pentingnya kejujuran terhadap pembaca. Berita tidak memihak jika reporter tidak menyembunyikan prasangka atau emosi jurnalis atau media itu di balik kata-kata negatif atau positif digunakan. Jadi sikap tidak memihak mensyaratkan keterusterangan dari jurnalis dan media yang bersangkutan.
133
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
4. Berita tidak boleh sadis dan cabul LIPUTAN terorisme memang hampir identik dengan kekerasan. Liputan topik ini hampir selalu melibatkan aksi tembak-menembak, ledakan bom, atau bahkan perang terbuka. Dalam situasi obyek liputan seperti itu, Kode Etik Jurnalistik, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran telah memberikan panduan yang senada. Wartawan dianjurkan tidak menyiarkan kondisi korban-korban aksi kejahatan secara vulgar. Stasiun televisi misalnya dilarang menyiarkan gambar korban yang berdarahdarah, tubuh atau potongan korban atau mayat yang kondisinya mengenaskan. Semua panduan ini cukup jelas.
5. Berita harus menganut asas praduga tak bersalah JURNALIS wajib menjunjung asas praduga tak bersalah. Seseorang hanya bisa dikatakan bersalah bila sudah ada putusan hukum atau vonis berkekuatan hukum tetap. Dalam hal ini, seorang bisa dinyatakan bersalah bila sudah
134
ada putusan dari Mahkamah Agung. Sebelum ada putusan berkekuatan hukum tetap itu, wartawan tak bisa mengatakan seorang terdakwa atau tersangka sebagai pelaku terorisme. Kata-kata seperti dugaan, tersangka, terdakwa, dianggap, dituding, disangka dan sejenisnya, harus dilekatkan pada sebuah kasus yang belum memiliki hukum tetap dari Mahkamah Agung. Karena itu, jurnalis harus paham dan bisa menggunakan dengan tepat istilah hukum seperti tersangka, terdakwa, terpidana, penyidikan, penyelidikan dan sebagainya. Kita tentu harus faham bagaimana menempatkan kata-kata tersebut. Sebagai contoh, seorang pelaku terorisme yang divonis 10 tahun di pengadilan tingkat pertama belum bisa dianggap sebagai terpidana. Sebab, terdakwa tersebut masih punya kesempatan mengajukan permohonan banding dan kasasi. Dengan demikian, dia juga masih berpeluang untuk bebas. *** KELIMA pedoman di atas harus diakui lebih bermanfaat untuk jurnalis yang bekerja di media cetak. Jurnalis yang bekerja di media televisi, online atau radio, perlu menerapkan panduan
135
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
yang lebih khusus, mengingat karakternya yang berbeda.
A. MEDIA TELEVISI SALAHSATU model peliputan yang selalu dipakai oleh stasiun televisi dalam meliput isu terorisme adalah menayangkan siaran langsung. Fenomena siaran langsung ini dimulai dari operasi penggrebekan tersangka terorisme di Wonosobo, Jawa Tengah pada 2006 silam. Ketika itu, stasiun televisi ANTV menayangkan secara langsung detik demi detik operasi penyerbuan Detasemen Khusus 88 Antiterorisme ke sebuah rumah yang diduga penuh dengan tersangka pelaku teror. Tak tanggung-tanggung, Pemimpin Redaksi ANTV saat itu, Karni Ilyas, turun ke lapangan, memandu pemirsa. Sejak itulah, setiapkali ada tragedi pengeboman atau operasi penangkapan orangorang yang disangka teroris, semua stasiun televisi seperti berlomba-lomba mengirimkan unit mobil Satellite News Gathering (SNG) ke lapangan. Model peliputan macam ini tentu punya kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya, pemirsa mendapatkan informasi dengan cepat, dan seketika. Perkembangan apapun yang terjadi
136
di lapangan, pada saat itu juga bisa diketahui oleh audiens di seluruh Indonesia. Namun, kelemahannya adalah pada akurasi penyampaian fakta dan informasi. Meliput suatu peristiwa yang sedang terjadi dan bergulir, membutuhkan kedalaman pengetahuan, pemahaman akan konteks, dan kejujuran penuh dari reporter di lapangan. Salahsatu insiden laporan langsung di televisi yang banyak dibicarakan orang adalah kasus siaran live operasi perburuan Noordin M. Top di Temanggung, Jawa Tengah, pada 8 Agustus 2009 silam. Ketika itu, media televisi yakin benar bahwa buron yang sedang dikepung polisi adalah Noordin. Dua stasiun teve, MetroTV dan tvOne, bahkan menyiarkan siaran langsung sampai 17 jam penuh. Di tengah siaran langsung yang begitu panjang itu, muncul sejumlah masalah. Koordinasi yang buruk antara penyiar di studio dan reporter di lapangan, rekaman yang diulangulang dan bercampur dengan tayangan langsung dan penyebutan sumber anonim tanpa atribusi yang jelas. Tapi yang paling disoroti adalah keberanian jurnalis untuk memastikan identitas sang buron sebelum polisi secara resmi melakukan verifikasi dengan tes DNA. Belakangan baru terungkap bahwa buron
137
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
polisi saat itu bukan Noordin, melainkan Ibrahim –seorang penata bunga yang diduga terkait bom Mariott di Kuningan, Jakarta Selatan, sebulan sebelumnya. Publik pun marah karena merasa dibohongi oleh media massa. Untuk menghindari masalah dalam siaran langsung macam itu, sebenarnya Komisi Penyiaran Indonesia sudah membuat sejumlah batasan. Bab XXII pasal 32 Pedoman Perilaku Penyiaran misalnya menyatakan bahwa dalam memproduksi dan menyiarkan berbagai program siaran dalam bentuk siaran langsung, lembaga penyiaran wajib berpedoman pada penggolongan program siaran, durasi program, dan waktu siar program yang sesuai usia khalayak penonton. Karena berita di televisi termasuk program faktual, maka Pedoman ini mensyaratkan agar peliputan isu terorisme menjunjung tinggi prinsip-prinsip jurnalistik. Seperti media-media lain, televisi harus menampilkan berita yang akurat, berimbang, adil, tidak beritikad buruk, tidak menghasut dan menyesatkan, tidak mencampuradukkan fakta dan opini pribadi, tidak menonjolkan unsur sadistis, tidak mempertentangkan suku, agama, ras dan antargolongan, tidak membuat berita bohong, fitnah, dan cabul.
138
Belajar dari pengalaman liputan operasi penangkapan Noordin, Agustus lalu itu, sudah sewajarnya penyiar televisi lebih berhati-hati dalam menyampaikan berita kepada pemirsa. Berita apapun yang disampaikan sudah seharusnya sesuai fakta. Selain itu, penyiar dan jurnalis di lapangan hanya menyampaikan apa yang dilihatnya atau didengarnya dari sumber yang terpercaya. Tidak boleh ada upaya melebih-lebihkan dan mendramatisasi. Bila memang tidak tahu soal sebuah topik, sebaiknya penyiar juga tak perlu ragu menyatakan tidak tahu. Penyiar juga tak bisa menyampaikan komentar, opini atau bahkan analisa atas suatu peristiwa. Sebaiknya penyiar tak perlu mendugaduga siapa yang meninggal, siapa pelaku tindak kekerasan tersebut atau berapa jumlah korban yang tewas, bila reporter belum menemukan sumber yang jelas dan kredibel untuk menyampaikan hal itu. Reporter juga tak perlu melakukan berbagai spekulasi terhadap kejadian yang dia liput. Pendeknya, sampaikan saja fakta yang didapat. Bila materi siaran sudah disampaikan, produser di studio tidak sepatutnya meminta perpanjangan durasi program dengan membuat ulasan, reportase at large, atau hal-hal lain yang
139
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
berisiko membuat spekulasi atau opini. Atau bila reporter dianggap tidak lebih tahu dari semua crew redaksi, penyiar televisi harus menghindari memberi pertanyaan-pertanyaan spekulatif hanya untuk mengulur-ulur waktu siaran karena kadung menayangkan program dengan tajuk “Breaking News”. Jurnalis juga harus berhati-hati dalam menyiarkan korban terorisme. Pertimbangkan dampak yang akan timbul jika televisi memberikan fakta yang sangat detil terhadap korban terorisme. Apakah pemberitaan itu bisa membahayakan nyawa korban?Apakah pemberitaan itu bisa melanggar kode etik seperti terlalu sadis, mengandung unsur SARA dan sebagainya? Di sisi lain, jangan pula menutupi atau mengurangi fakta tertentu. Seringkali, penyiar terperangkap dalam opini atau hanyut dalam pikiran tertentu sehingga terpaksa memangkas atau menutupi fakta tertentu. Padahal, sesuai kode etik jurnalistik, wartawan harus menyampaikan fakta secara lengkap dan komprehensif. Sebagai tips, ada baiknya membuat persiapan terlebih dahulu. Bikinlah naskah berita yang ingin disampaikan kepada penonton. Naskah tersebut hendaknya singkat padat, jelas dan informatif. Penulisan berita televisi tentu berbeda
140
dengan media cetak. Dalam media penyiaran, berita yang disampaikan sebaiknya menggunakan bahasa yang dipakai sehari-hari. Selain itu, struktur kalimatnya juga sederhana. Pakailah kalimat aktif agar memberikan kesan yang lebih hidup. Selain itu, hindari pengunaan angka dan statistik yang bisa membikin dahi pemirsa berkerut. Ada kalanya lebih baik menggunakan perbandingan ketimbang angka. Sebagai contoh, lebih nyaman menggunakan kalimat separuh atau sebagian ketimbang memakai “50%”. Mervin Block, penulis CBS News memberikan sejumlah hal yang tidak boleh dilakukan oleh jurnalis televisi; Menakutkan pendengar. Block mengatakan, jangan mengawali kalimat dengan pernyataan seperti ini, “Inilah cerita yang kompleks dan membingungkan.” Serumit apa pun jalinan cerita dalam laporan, jurnalis harus bisa menghadirkannya dengan singkat dan jelas kepada penonton. Memberikan perintah. Maksudnya, jangan menyuruh pemirsa melakukan sesuatu hal seperti menyuruh mendengar, melihat, diam atau mengambil. Sampaikan saja berita yang Anda tulis. Ini tugas reporter. Membenamkan kata kerja yang kuat dengan kata benda. Sebagai contoh, lebih
141
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
baik menuliskan,” Sebuah bom meledak” ketimbang “Ledakan bom”. Memulai naskah dengan kata “seperti yang diharapkan”. Menurut Block, bila ada anchor berita yang mengawali berita dengan kalimat seperti yang diharapkan, berarti berita itu sebenarnya tidak diharapkan. Siapa yang mengharapkan berita itu? Wartawan atau penonton? Block juga menyarankan reporter tidak memulai suatu berita dengan kalimat, secara mengejutkan. Mengkategorikan berita itu baik atau buruk, menarik atau mengejutkan. Sebagai seorang wartawan, kita bertugas hanya menyampaikan berita. Penilaian buruk atau tidaknya suatu peristiwa serahkan kepada penilaian penonton. Sebab, suatu berita yang kita anggap baik belum tentu sama dengan pendapat orang lain. Jadi, jangan mengatakan,”Kabar gembira, atau “Berita mengejutkan,” dan sejenisnya. Memulai kalimat pembuka dengan kutipan. Penonton atau pendengar televisi tak bisa melihat tanda kutip sehingga mereka tak bisa mengenali apakah itu kutipan dari sumber atau dari pembaca sendiri. Jika cerita tersebut membutukan atribusi sebaiknya ucapkan nama sumber.
142
Memulai berita dengan kalimat tanya. Memulai berita dengan kalimat tanya menandakan program Anda seperti acara kuis atau komersial. Penonton tak membutuhkan pertanyaan melainkan jawaban atas suatu peristiwa. Memulai berita dengan menggunakan nama orang yang tidak dikenal atau popular. Name makes news jika orang tersebut sangat terkenal atau populer di masyarakat. Nama yang tidak populer bisa membingungkan atau mengganggu penonton. Jangan pula memulai kalimat dengan kata ganti orang seperti dia. Kata ganti di awal kalimat pembuka bisa membingungkan. Penonton akan bertanya-tanya siapa dia yang dimaksud? Memulai kalimat pertama dengan menggunakan kemarin atau selanjutnya. Kedua kata itu sangat buruk bagi dunia televisi. Sebab, para penonton ingin mendengar kabar terbaru bukan berita yang kemarin. Jangan pula memulai kalimat pertama dengan menggunakan kata tidak. Sebaiknya bukalah berita dengan kalimat positif. Hindarkan penggunaan kata tidak. Seperti “Tidak disangka-sangka, ternyata…” Memulai berita dengan kata seperti lagi,
143
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
yang lain dan sekali lagi. Kata-kata itu hanya bisa dipakai pada peristiwa yang sama terjadi sebelumnya dengan yang sekarang. Contohnya, kemarin ada ledakan bom dan sekarang ada ledakan bom lagi. Menjejalkan informasi terlalu banyak dalam berita. Ini artinya reporter memasukan berbagai fakta, angka, nama dan berita sehingga membuat penonton kewalahan mencerna informasi yang disampaikan. Bila ada suatu peristiwa yang kompleks, reporter harus berusaha memadatkannya tanpa mengurangi esensi. Menggunakan konstruksi berita media cetak. Media cetak dengan televisi adalah dua medium yang berbeda. Kesalahan menafsirkan jenis medium ini bisa membuat televisi kehilangan pemirsa. Salah satu cara menangkap pendengar, jurnalis membayangkan tengah berbicara langsung dengan penonton. Jangan membuat kesalahan faktual. Kesalahan faktual adalah hal yang paling mematikan. Kesalahan ini bisa menjatuhkan kredibilitas reporter.
Satu hal yang paling berbeda dalam media siaran adalah pentingnya intonasi dan bahasa tubuh atau ekspresi/mimik muka. Penyiar harus
144
berhati-hati menggunakan intonasi atau nada saat menyampaikan berita. Intonasi atau nada dalam penyampaian berita itu juga akan berpengaruh pada penonton misalnya menimbulkan kepanikan. Jadi, jurnalis sebaiknya berhati-hati dengan intonasi atau nada berita, agar intonasi itu tidak memicu penonton menjadi panik atau takut. Dalam sebuah peliputan, wartawan televisi terkadang juga harus mempertimbangkan melakukan stand up atau menyiarkan secara langsung dari lokasi kejadian. Yang patut dicatat, stand up tidak bertujuan membuat seorang wartawan televisi terkenal. Model pelaporan berita macam ini adalah cara untuk meningkatkan kredibilitas berita yang disampaikan. Dengan stand up ini, reporter menegaskan bahwa dia benarbenar ada di tempat kejadian. Ini juga menegaskan bahwa fakta yang disampaikan benar-benar berasal dari reporter yang berada di lapangan. Tetapi tidak semua jurnalis televisi piawai melakukan Stand Up. Dibutuhkan kepercayaan diri dan penguasaan masalah yang mumpuni sebelum bisa menyampaikan laporan live secara ciamik. Berikut ini ada sejumlah tips untuk melakukan stand up yang baik: Buatlah naskah yang sederhana dan singkat. Hindari nama, tanggal dan informasi yang
145
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
rumit. Sebab, anda bakal kesulitan menghafalnya. Ingatlah bahwa stand up adalah bagian dari naratif berita yang ditampilkan. Cobalah membaca dengan suara keras sebanyak-banyaknya pada saat operator kamera bersiap mengambil gambar. Cobalah melupakan orang-orang di sekitar anda. Fokuskanlah pada lensa kamera dan berkonsentrasi. Ketika mengarah pada kamera, bayangkanlah Anda sedang berbicara dengan seorang teman. Jagalah mata terfokus pada lensa kamera sepanjang waktu selama melakukan stand up. Bahkan memandang sepintas keluar dari komposisi akan membuat Anda terkesan gugup. Mulailah menatap lensa beberapa detik sebelum mulai berbicara dan teruslah melihat beberapa detik setelah selesai. Cara ini akan membantu proses pengeditan rekaman itu. Belajarlah mengeraskan suara lebih dari biasanya terutama pada siaran di luar ruangan. Suara Anda harus mengalahkan suara di sekitarnya. Kedipan atau kedutan bukan hal terlarang. Tetapi gerakkanlah kepala dan tubuh secara
146
wajar kalau tidak Anda akan terlihat kaku. Sampaikanlah kalimat dengan suara jernih, berwibawa dan dengan langkah yang wajar. Jangan terburu-buru. Pada saat yang sama, jangan pula terlalu lamban dengan roman muka yang tidak berubah. Sebab tingkah laku seperti ini akan membosankan penonton. Stand up yang direkam harus disampaikan tanpa cacat. Ini berbeda dengan siaran langsung. Apabila memerlukan pencahayaan mintalah. Hal yang penting berita harus disampaikan dengan tepat. Dalam sebuah stand up, gambar sama pentingnya dengan isi berita. Ingatlah, latar belakang berita itu sendiri yang memotivasi timbulnya stand up. Sebagai contoh, jika memberitakan suatu ledakan bom, Anda dapat berdiri dengan latar belakang hotel yang luluh lantak.
B. MEDIA RADIO Karakteristik radio berbeda dengan media cetak dan televisi. Daya jangkaunya sangat luas namun sifatnya auditif dan hanya sekilas. Ini tak seperti media cetak, dimana orang setiap saat bisa membaca kembali berita yang tidak sempat
147
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
dibaca atau mengulang bagian yang tidak dimengerti. Tapi justru inilah kekuatan radio sejatinya. Radio bisa membangun imajinasi para pendengarnya lewat suara. Wartawan radio diharapkan bisa menceritakan suatu peristiwa dengan suara. Michele Betz dari BBC memberikan beberapa catatan agar sistem pemberitaan radio ini bisa berhasil memenuhi targetnya. Tips dari Betz ini dikembangkan lagi berdasarkan beberapa pengalaman: Jangan berusaha untuk menjelaskan cerita keseluruhan. Ketika peristiwa terjadi, reporter sering tergoda untuk menguraikan apa saja yang muncul dari peristiwa atau yang didengar dari sebuah pertemuan dengan lengkap. Namun itu tidak memungkinkan, mengingat waktu yang tersedia umumnya hanya 2-3 menit. Jadi jangan berpretensi ingin menjelaskan semuanya dalam tempo beberapa menit. Fokus kepada satu hal pada suatu waktu. Memfokuskan diri pada satu hal saja – misalnya jumlah korban dalam ledakan bom di Mariott – akan memberikan dampak kuat kepada pendengar daripada menjelaskan semuanya pada saat yang sama. Fokus akan
148
membantu memudahkan pendengar mendapatkan gambaran yang jelas. Meski tidak semua dipaparkan namun setidaknya sudah ada potongan informasi yang bisa dijadikan pedoman dalam melihat gambaran menyeluruh. Harus diingat bahwa berita radio tidak berpretensi untuk menjelaskan secara keseluruhan sebuah peristiwa. Menuliskan berita dalam bahasa lisan akan memudahkan pendengar. Karena radio itu mengandalkan suara penyiar/reporternya, maka penyajian sebuah laporan di dengan bahasa lisan akan lebih mudah dipahami ketimbang bahasa tulisan. Bahasa lisan lebih akrab bagi para pendengar, lebih mengalir dan hidup. Sedangkan bahasa tulisan kadang-kadang kurang dalam intonasi dan penekanan. Bahasa lisan seharusnya memang menjadi bagian dari penulisan dan penyampaian berita radio. Karena itulah, dalam penulisan berita radio yang dipakai adalah bahasa percakapan. Bahasanya bertutur seperti yang lazim dipakai seharihari oleh pendengarnya. Prinsip dasar menulis bahasa tutur adalah write the way you talk, yaitu “Menulislah seperti kau bicara.”
149
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
C. MEDIA ONLINE KETIKA bom Mariott meledak, pada sebuah pagi di awal Juli 2009 lalu, Indra Subagja, redaktur situs berita online Detik.com, baru bersiap pulang selepas piket malam di kantornya. Sebuah surat elektronik dari pembaca mampir di layar komputer. Isinya, laporan awal soal adanya ledakan bom di Hotel JW Marriot, Kuningan, Jakarta Selatan. Spontan Indra berpikir, ini berita dahsyat. Sangat layak untuk disampaikan ke pembaca. Tanpa ba-bi-bu, dia segera bersiap mengunggah berita tersebut. “Eit! Tunggu dulu,” nalurinya mendadak berbicara lain. Sebagai jurnalis ia tak boleh percaya begitu saja terhadap informasi apa pun. Tapi ia sadar sedang bekerja di media online yang sangat mengandalkan kecepatan. Akhirnya, dia mengambil keputusan cepat. Laporan pembaca itu tetap ditulis dan diunggah ke Detik.com. Namun, dia menyelipkan kata “diduga” di tengah berita. Inilah jalan tengah antara keharusan media online bergerak cepat, dan keharusan untuk menjunjung akurasi di atas segalanya. Kelengkapan informasi akan berjalan seiring berita selanjutnya. Media online memang biasa menampung informasi apa pun dari siapa pun dan kapan pun.
150
Selanjutnya, adalah tugas para reporter mereka di lapangan untuk melakukan verifikasi dan konfirmasi dari mulut narasumber yang kompeten. Berita pun biasanya bergulir begini: informasi awal yang masih penuh tanda tanya – berita kebenaran peristiwa – pernyataan narasumber – berita-berita lanjutan. Dalam isu terorisme, pengelola media dotcom menerapkan metode yang sama. Apalagi, menurut Indra, pembaca Detik.com amat cepat melalap kabar-kabar seputar terorisme. Setiap kali ada kabar ledakan bom dan sejenisnya, hampir pasti publik akan lebih dulu memeriksa situs berita online. Karena itulah, pengakses media dotcom bisa melonjak berlipat-lipat jika ada aksi terorisme meletus di tanah air. Fenomena ini tercatat di situs penaksir akses seperti Alexa.com, Google Analitic, dan lain-lain. Itu juga yang membuat Indra harus mengambil keputusan secepat mungkin ketika mendengar isu soal ledakan bom Mariott pertama kali. Jika saja, saat itu Detik.com memilih tidak langsung menyiarkan isu itu dan bersiap memeriksanya dulu, situs-situs berita lain pesaingnya belum tentu mengambil sikap serupa. Dalam pertempuran di dunia online, kecepatan adalah senjata utama. Meski begitu, Indra setuju kalau media online tetap tak boleh melupakan konfirmasi[]
151
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
Saya Noordin
152
BAB 6
Masih Ada Penerus Noordin Setelah tewasnya Noordin Mohd. Top, Dr. Azahari dan Dulmatin, jejaring pelaku teror masih kuat. Pola jejaringnya mengandalkan kedekatan personal.
H
AMPIR semua peristiwa terorisme di Indonesia dikaitkan dengan sebuah organisasi bernama Jamaah Islamiyah (JI). Kelompok ini dibentuk pada awal 1993, oleh seorang ulama kharismatis dari Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Solo (Jawa Tengah), bernama Abdullah Sungkar. Sebelum mendirikan JI, Sungkar adalah bagian dari kelompok Darul Islam dan Negara Islam Indonesia di bawah pimpinan Ajengan Masduki. Sepeninggal Sungkar, kepemimpinan organisasi ini jatuh ke tangan sekondannya, Abu Bakar Baasyir. Sejak awal JI memang bertujuan mendirikan sebuah negara Islam di Asia Tenggara. Mereka berupaya menyatukan wilayah Indonesia, Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand, Filipina,
153
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
juga Papua dan Australia— di bawah panji-panji Negara Islam. Caranya beragam: mulai dari dakwah sampai jihad dengan kekerasan. Sepak terjang orang-orang JI yang sebelumnya selalu bergerak diam-diam dan di belakang layar, mulai terkuak setelah peristiwa bom Bali pertama pada Oktober 2002. Polisi mengendus jejak sejumlah orang JI sebagai pelaku yang diduga –dan kemudian divonis pengadilan— terlibat sebagai pelaksana operasi teror bom di Bali. Empat dari mereka adalah Imam Samudera, Ali Imron, Mukhlas, dan Amrozi. Semuanya langsung dan tak langsung, punya keterkaitan dengan kelompok Jamaah Islamiyah. Sejak itu, nama JI dan terorisme selalu muncul dalam pemberitaan media pasca sebuah ledakan bom. Radikalisme orang-orang JI bisa dirunut dari guru dan pendahulu mereka: Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir. Keduanya sudah dekat dengan kelompok Islam garis keras pada 1967 lewat Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Mereka berdua memimpin cabang Dewan Dakwah di Jawa Tengah. Untuk menyerukan jihad, mereka mendirikan Radio Dakwah Islamiyah Surakarta. Namun, karena dianggap membahayakan azas tunggal Pancasila yang dikeramatkan rejim Orde Baru, pada 1975
154
stasiun radio ini ditutup paksa. Pasca insiden penutupan radio itu, Sungkar dan Baasyir bergabung dengan Darul Islam (DI) pada 1976. Setahun kemudian, pada Februari 1977, Abdullah Sungkar terpilih sebagai Gubernur Militer untuk Negara Islam Indonesia (NII) wilayah Jawa Tengah. Tanpa buang waktu, Sungkar langsung membentuk kelompok pejuang Islam yang dia namakan Jamaah Mujahidin Ansharullah. Kelompok inilah yang di kemudian hari, dianggap sebagai cikal bakal gerakan Jemaah Islamiyah di Indonesia. Peneliti gerakan terorisme di Asia Tenggara, Sidney Jones, menilai ada empat gerakan Islam yang mewarnai dan mempengaruhi kerangka berpikir dan prinsip perjuangan Jamaah Islamiyah di masa-masa awalnya. Pertama, gerakan Darul Islam (DI) dengan ideologi Salafiyah-nya. Gerakan ini berjuang mewujudkan negara Islam dan menegakkan syariat Islam semurni-murninya. Mereka bermimpi mendirikan negara yang hukum dan aturannya persis sama seperti yang diterapkan oleh Nabi Muhammad SAW pada jamannya. Pengaruh kedua datang dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDI) yang didirikan oleh politikus Masyumi, Mohammad Natsir dan
155
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
rekan-rekannya, pada 1967. Orientasi ideologis DDI jelas tak lepas dari Salafiyah. Apalagi diperkuat dengan keterkaitan DDI dengan Rabithah al-Alam al-Islami (Islamic World League), sebuah lembaga donor global di Arab Saudi yang aktif memberikan dana bantuan pendidikan, dakwah dan pembangunan mesjid. Belakangan, Rabithah juga menyokong latihan ketentaraan pasukan mujahidin pengikut Abdullah Sungkar di Afghanistan. Pengaruh ketiga datang dari Ikhwan al Muslimin (IM) di Mesir dan berbagai organisasi sempalannya. Pemikiran tokoh-tokoh IM ini jelas mempengaruhi cara pandang Sungkar dan Ba’asyir dalam membaca kondisi politik nasional serta merumuskan posisi mereka. Terakhir, ideologi JI juga dipengaruhi perjuangan Mujahidin Afghanistan dan garis AlQaidah. Tokoh Al-Qaidah macam Abdullah Azzam bahkan ikut memberi pembekalan pada rombongan mujahidin Indonesia yang diantar Sungkar ke Afghanistan pada pertengahan 1980-an. Untuk lebih jauh memahami kelompok ini, aturan-aturan dasar yang berlaku di JI perlu juga ditelaah seksama. Misalnya saja, untuk menerima seseorang sebagai anggota, JI menetapkan persyaratan yang amat ketat. Sang
156
kandidat diharuskan mengikuti sekolah khusus selama 1,5 tahun untuk memahami pentingnya garis perjuangan JI. Selain itu, calon anggota juga harus dibaiat secara khusus sebagai ikrar setia untuk beramal sesuai syariat Islam. Rekrutmen Jamaah Islamiyah sendiri dilakukan dengan sistem sel. Setiap anggota dikelompokkan sesuai wilayah gerakan dan aktivitas. Setiap kelompok punya pemimpin kelompok. Jumlah personel dan deskripsi tugas masing-masing kelompok amat tergantung peran wilayah itu dalam konteks besar gerakan JI. Salahsatu pengaruh terbesar gerakan Ikhwan al-Muslimin di Mesir terhadap JI di Indonesia adalah kepercayaan bahwa pembentukan Negara Islam harus didahului dengan usaha Islamisasi terhadap setiap warga negara, dimulai dari tingkat akar rumput. Karena itulah, strategi penyebaran dan rekrutmen JI biasanya selalu dimulai dari dakwah intensif di masjidmasjid. Setelah terkumpul sejumlah individu, sel JI di daerah itu akan membentuk usrah atau kelompok kecil. Kelompok ini mulai mendapat pendidikan ideologi yang lebih intensif dan dilakukan tertutup di suatu lokasi. Pada dasarnya, seluruh kelompok Jamaah Islamiyah terdiri dari ratusan usrah yang tersebar
157
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
di berbagai lokasi, termasuk berbagai kampus perguruan tinggi. Sebagian digerakkan oleh alumni Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Solo.
Pola Rekruitmen POLA rekruitmen sel Jamaah Islamiyah dilakukan dalam beberapa tahap. Langkah pertama selalu diawali dengan berdakwah di mesjid dan pondok pesantren. Peserta pengajian yang menunjukkan minat lebih dengan substansi dakwah –biasanya menyangkut kewajiban jihad kaum muslim— kemudian dijemput untuk diajak menghadiri halaqah, yaitu pengajian tertutup dalam kumpulan kecil yang keanggotaannya lebih sedikit (usrah). Dalam halaqah ini, anggota baru akan dibimbing oleh seorang murabbi (instruktur) untuk melalui empat tahap. Pertama, tabligh berupa penyampaian dakwah dan informasi. Kedua, ta’lim yaitu pengajaran intensif agama Islam. Ketiga, tarbiyah berupa pendidikan dan latihan mental serta tamhiz yaitu penyaringan. Pada tahap terakhir ini, para peserta akan disaring dan diuji bakat serta kemampuannya. Hanya mereka yang dinilai siap dan loyal yang
158
akan di-baiat menjadi pengikut JI. Kumpulan anggota JI yang siap berjihad ini kemudian disebut laskar. Dalam struktur JI, setidaknya terdapat tiga jenis laskar. Pertama, laskar biasa yang anggotanya pernah ikut latihan militer selama empat sampai enam bulan. Kedua, Laskar Khos, yaitu satuan khusus yang memiliki kemampuan perang dan senjata, minimal ikut latihan militer tiga tahun. Ketiga, Laskar Istimata, yang dianggap paling militan karena siap melakukan bom bunuh diri dan mati sahid (amaliyah istishadiyah). Persiapan untuk mereka yang siap melakukan bom bunuh diri biasanya jauh lebih intensif. Setiap malam, mereka mendapat taushiyah. Biasanya “calon pengantin” —orang yang siap melakukan bom bunuh diri— dididik selama satu tahun.
Area Operasi KELOMPOK Jamaah Islamiyah membagi kawasan Asia Tenggara menjadi beberapa wilayah kepemimpinan atau mantiqi. Wilayah pertama meliputi Semenanjung Malaysia dan Singapura, dipimpin oleh Hambali. Setelah ia tertangkap, wilayah ini dipimpin Mukhlas alias Ali Ghufron, salah satu terpidana mati bom Bali.
159
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
Mantiqi ini berperan menyediakan dana untuk seluruh operasi JI. Mantiqi II meliputi sebagian besar wilayah Indonesia. Banyak dokumen JI menyebutkan bahwa kawasan ini sah menjadi sasaran jihad. Pemimpinnya adalah Abdullah Anshori alias Abu Fatih. Sedangkan, Mantiqi III meliputi Mindanao, Sabah dan Sulawesi serta berperan sebagai tempat latihan ketentaraan. Kawasan ini dipimpin oleh Mustofa, yang kemudian diteruskan oleh Nasir Abbas. Kawasan terakhir, Mantiqi IV meliputi Papua dan Australia. Kawasan ini dipimpin Abdul Rahim dan berfungsi sebagai tempat pengembangan JI ke depan. Masing-masing kawasan ini dibagi lagi menjadi distrik atau perwakilan (wakalah) dan kemudian dibagi lagi menjadi kelompok atau sel (fi’ah). Mantiqi I adalah kawasan JI yang paling bersemangat menanggapi seruan Usamah bin Ladin melakukan jihad global memerangi Amerika Serikat dan sekutunya dimanapun mereka berada. Anggota Mantiqi I bukan saja orang Indonesia, tetapi juga orang Malaysia dan Singapura. Menurut Sidney Jones, orientasi anggota Mantiqi I berbeda dengan Mantiqi II. Jika anggota Mantiqi I lebih tertarik dengan ideologi Al Qaidah, anggota Mantiqi II lebih tertarik pada
160
konflik di Ambon dan Poso. Para anggota Mantiqi I juga lebih fokus pada Negara Islam Asia Tenggara sementara Mantiqi II lebih percaya bahwa Negara Islam Indonesia harus didirikan lebih dahulu.
Struktur Organisasi PIMPINAN tertinggi dalam organisasi JI yang mengatur seluruh gerakan organisasi adalah Amir Jamaah. Amir JI yang pertama adalah Abdul Halim atau Abdullah Sungkar. Sepeninggal Sungkar yang meninggal pada 1999, jabatan Amir JI dipegang oleh Abdus Somad atau Abu Bakar Baasyir. Namun di berbagai kesempatan, Abu Bakar Baasyir membantah dirinya ada dalam struktur JI. Selama melaksanakan tugas sebagai Amir, dia dibantu oleh Majelis Syura, Majelis Fatwa, Majelis Hisbah dan Majelis Qiyadah Markaziyah. Masa jabatan seorang Amir nyaris tak terbatas. Dia hanya bisa diganti jika wafat, tua renta, cacat, pikun atau gila. Namun, masa jabatannya juga bisa berakhir bila mendapat tekanan dari luar (organisasi) seperti ditangkap atau dipenjarakan dalam tempo waktu tertentu. Majelis Syura dilantik oleh Amir JI dan anggotanya berasal dari kalangan yang dinilai
161
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
memiliki kepakaran tertentu. Majelis Syura bertugas menyusun peraturan dan mengajukan rancangan perubahan atas aturan organisasi. Majelis ini juga mengadakan evaluasi kepengurusan organisasi. Sedangkan Majelis Fatwa dipilih dari anggota yang memiliki pendidikan agama Islam yang mumpuni. Fungsinya menguatkan dan meluruskan keputusan-keputusan Amir JI. Di sisi lain, Majelis Hisbah bertugas mengawasi Amir JI dan seluruh anggota JI dalam hubungan dengan kepengurusan Jamaah ataupun amal-amal pribadi. Organ Amir yang terakhir adalah Majelis Qiyadah Markaziyah. Majelis ini terdiri dari sekelompok orang yang bertugas menjadi pusat pengurus JI. Di bawah struktur ini, ada wilayah-wilayah administratif dan kelompok perjuangan yang menamakan dirinya Mantiqi/Mantiqiah (wilayah), Wakalah (perwakilan), Saroyah/Sariyah (batalion), Katibah (kompi), Kirdas (peleton), Fiah (regu) dan Toifah (kelompok yang lebih kecil dari regu).
Pendanaan DANA untuk membiayai aksi terorisme dapat diperoleh dengan banyak cara. Sebagian didapat dari sumbangan donatur di luar negeri. Biasanya, dana itu dikirim melalui transfer
162
perbankan dan ditujukan pada seseorang yang diklaim sebagai kerabat atau keluarga jauhnya. Sebagian besar dana itu berasal dari simpatisan jihad atau pendukung Jamaah Islamiyah di Pakistan dan Afganistan. Polisi mengaku sempat melacak transfer dana dari kelompok teroris internasional AlQaidah ke Indonesia sebesar US$ 45 ribu atau sekitar Rp 400 juta, yang dikirim melalui salahsatu pentolan JI, Hambali. Uang itu lalu dibagikan lewat kurir dan transfer bank untuk membiayai berbagai aksi teror di Indonesia. Pada Agustus 2006 lalu, pemerintah Amerika Serikat menuding kantor cabang International Islamic Relief Organization (IIRO) —sebuah organisasi yang resminya dimiliki pemerintah Arab Saudi— di Filipina dan Indonesia menjadi sumber dana kegiatan terorisme. Amerika mengaku berhasil melacak kemana saja dana yang dikelola lembaga itu, dikucurkan. Selain lewat donasi, zakat dan sedekah, aksi terorisme banyak juga dibiayai dari transaksi perbankan, seperti bursa saham, jual-beli permata dan logam mulia, serta bisnis asuransi. Tak hanya terbatas pada cara-cara konvensional, dalam keadaan terdesak, kelompok-kelompok terorisme juga menghalalkan perampokan sebagai metode penggalian dana. Mereka menyebutnya fa’i.
163
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
Pola Jejaring MESKIPUN sudah tewas ditembak polisi Indonesia, sepak terjang Noordin Mohd. Top, eks buron kasus terorisme nomor wahid di negeri ini, tetap menarik untuk dipelajari. Pergerakan Noordin bisa menunjukkan bagaimana jejaring pelaku terorisme di Indonesia terbentuk dan berkembang sampai melakukan aksi-aksi kekerasan. Noordin sendiri sebenarnya tidak berangkat dari pendidikan agama yang terlampau mendalam. Dia bahkan tidak bisa berbahasa Arab dan bukan seorang orator ulung. Dia bukan jenis orang yang bisa memukau hadirin dengan pidato-pidato yang panjang dan mengesankan. Kelebihan utama Noordin adalah kemampuannya untuk meyakinkan orang secara persuasif, dan merekrut mereka menjadi bagian dari kelompoknya. Dengan cerdik, Noordin mengajak pelbagai orang dengan beragam latar belakang keahlian untuk mendukung berbagai aksi yang dirancangnya. Selain itu, Noordin adalah seorang perencana yang andal. Dia adalah otak di balik serangkaian aksi bom, yakni bom Marriot 2003, bom Kedubes Australia di Kuningan 2004 dan bom di tiga restoran di Jimbaran dan Kuta, Bali
164
pada 2005. Yang menarik, menurut riset International Crisis Group (ICG), Noordin tampaknya beraksi sendiri di luar komando JI. Meski menganggap dirinya masih anggota JI, Noordin berdalih seorang individu diperbolehkan menghadapi musuh dalam situasi darurat tanpa terlebih dahulu menunggu perintah dari seorang imam. Pada 2005, Noordin dan para pengikutnya mulai menyebut diri mereka “Thoifah Muqotilah”, yang artinya “pasukan tempur”. Ini adalah istilah lama yang digunakan JI untuk menyebut pasukan khusus yang memiliki otoritas sendiri. Namun pembentukan Thoifah, lagi-lagi tanpa restu dari pimpinan JI. Selain tak mau dikekang oleh aturan formal JI, Noordin juga tampak benar mengidolakan AlQaidah. Dia misalnya menggunakan nama “Tandzim qoidatul jihad” —nama resmi AlQaidah—untuk kelompok teroris di Gugus Kepulauan Melayu yang dia pimpin. Selain itu Noordin juga meniru bahan dan taktik yang digunakan oleh Al-Qaidah. Ini nampak ketika Noordin memimpin situs Anshar.net pada periode Juli sampai September 2005. Dia mengunggah banyak artikel-artikel terjemahan dari tabloid online milik Al-Qaidah ke situs Anshar.net. Tak hanya itu, Noordin
165
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
bahkan meniru penampilan Zarqawi, seorang tokoh Al Qaidah Irak dalam sebuah video yang dibuatnya. Noordin juga sempat menggunakan nama samaran Aiman pada medio 2004. Aiman adalah nama orang kedua di Al-Qaidah yaitu Aiman Zawaheri. Noordin memiliki hubungan dekat dengan Ali Gufron alias Mukhlas, salah satu pelaku bom Bali I. Dia menganggap Mukhlas sebagai mentornya. Bahan-bahan pengajian yang dibuat Mukhlas di penjara, digunakan Noordin untuk memperluas jaringannya. Pola jejaring Noordin sendiri amat cair dan terus berubah seiring waktu. Perubahan demi perubahan ini juga mencerminkan proses menjauhnya Noordin dari JI. Semakin lama, jaringan Noordin kian mengandalkan hubungan pertemanan maupun pertalian keluarga. Struktur JI tidak lagi menjadi pertimbangan dalam proses rekrutmen sel baru di kelompoknya. Untuk mempersiapkan aksi bom Marriot pada 2003 lalu misalnya, seluruh anggota utama tim operasi Noordin berasal jaringan JI yang berbasis di Sumatera. Sedangkan, untuk aksi bom Kuningan setahun kemudian, Noordin menggunakan jaringan JI di Jawa Timur, kader dari sekolah-sekolah JI di Jawa Tengah dan
166
sebuah kelompok Darul Islam di Jawa Barat yang terpisah dari rantai komando Darul Islam. Bentuk jejaring operasi seperti ini tak biasa dalam standar praktek JI. Pola pembentukan jejaring yang amat cair dan dinamis ini kadang dipengaruhi juga oleh serangan balik dari polisi. Pada 2004 lalu misalnya, Noordin sempat berusaha menggabungkan dua kelompok radikal: Kompak dan Darul Islam, ke dalam kelompoknya. Dia mendekati Ketua Kompak Abdulah Sunata dan pimpinan DI Akram alias Shamsudin alias Taufiqurahman. Tapi kedua tokoh ini menolak bergabung dengan Noordin. Pada pertengahan 2005, ada perkembangan baru yang mengubah konstelasi jejaring Noordin. Sunata dan Akram mendadak ditangkap polisi. Selain dituduh menyembunyikan senjata dan terlibat aksi pengeboman, keduanya dijerat dengan sangkaan turut serta menyembunyikan buron terorisme. Buron yang dimaksud polisi adalah Noordin sendiri. Rupanya aparat keamanan tidak tahu kalau kedua tangkapan mereka sebenarnya menolak bergabung dengan kelompok teror Noordin. Di luar penjara, hilangnya dua pentolan itu, justru membuat Noordin leluasa memperluas
167
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
jejaring dengan Kompak dan Darul Islam. Para aktivis kedua kelompok ini terlibat intens dalam perencanaan dan persiapan bom Bali kedua, pada Oktober 2005. Untuk lebih memahami pola jejaring kelompok teroris di Indonesia, ada baiknya kita mempelajari dokumen persidangan yang sudah dikumpulkan International Crisis Group di bawah ini, mengenai pembentukan jejaring aktor terorisme pada aksi peledakan di Hotel JW Mariott pada 2003 dan aksi bom di Kedubes Australia, Kuningan, pada 2004. Kedua aksi ini diduga kuat didalangi Noordin Mohd. Top.
Jaringan Bom Marriot 2003 PADA aksi bom ini, Noordin diduga menggunakan jaringan perkawanan pribadi yang hampir seluruhnya terdiri dari lulusan pesantren Luqmanul Hakim, Johor, Malaysia dan AlMukmin, Ngruki. Pesantren Luqmanul Hakim sendiri berdiri pada 1992 atas instruksi Abdulah Sungkar, dengan Mukhlas sebagai kepala sekolah pertamanya. Kurikulumnya mengadopsi apa yang dipelajari di Pesantren Al-Mukmin, Ngruki. Al-Mukmin memang juga didirikan oleh Abdulah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir 24 tahun
168
sebelumnya. Guru-guru di Luqmanul-Hakim pun banyak yang alumni Ngruki. Sejak JI resmi didirikan pada 1993, Pesantren Luqmanul-Hakim menjadi pusat kendali Mantiqi I. Seluruh anggota JI pelaku utama bom Bali pertama pada 2002 silam: Hambali, Mukhlas, Amrozi, Ali Imron, Zulkarnaen, Faturrahman al Ghozi, Dulmatin, Imam Samudra, Dr. Azahari dan Noordin sendiri pernah belajar atau mengajar disana. Noordin bergabung dengan LuqmanulHakim pada 1995. Ketika itu, dia masih belajar di Universiti Teknologi Malaysia, tak jauh dari pesantren tersebut. Khotbah dan ceramah agama yang bergelora di pesantren itu, menarik minat Noordin. Setelah sekian lama menjadi staff pengajar, Noordin belakangan diangkat menjadi Kepala Sekolah. Pada akhir 2001 pemerintah Malaysia melarang semua kegiatan JI. Tekanan yang luar biasa membuat Luqmanul Hakim harus berhenti beroperasi pada awal 2002. Kehilangan pekerjaan dan menganggur, pada awal 2002 itu pula, Noordin menyeberang pergi ke Indonesia, tepatnya ke Riau. Tak betah di sana, dia memboyong keluarganya untuk tinggal bersama saudara iparnya, Rais, di Bukittinggi. Di kota tua itu, keluarga Noordin dan
169
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
keluarga Rais hidup berdampingan. Mereka mencukupi kebutuhan keluarga dengan membuka bengkel shockbreaker sepeda motor. Seorang alumni Luqmanul Hakim, Ismail, juga bekerja bersama mereka. Belakangan, Dr. Azahari juga bergabung di sana. Dua bulan setelah aksi peledakan bom di Bali, pada Desember 2002, Toni Togar — anggota JI lulusan Ngruki yang berbasis di Medan— hendak membuang bahan peledak sisa Bom Natal 2000 yang disimpan di rumahnya. Toni cemas akan keberadaan bahan peledak tersebut karena sejak insiden bom di Bali, polisi meningkatkan pencarian terhadap orang-orang JI. Toni Togar dan Azahari adalah anggota tim Hambali yang beraksi di luar struktur administrasi JI. Mereka bukan bagian dari pasukan khusus JI yang bernama laskar Khos. Toni lalu menghubungi Noordin, sebagai orang yang dipercayainya di dalam lingkaran tim rahasia di luar struktur resmi JI dengan Hambali sebagai pelopornya. Tapi Noordin punya ide lebih baik. Ketimbang dibuang, kata dia, mending bahan peledak itu dipakai lagi. Akhirnya, pada Januari 2003, Rais, Noordin dan Azahari pindah ke Bengkulu. Di Bengkulu mereka berencana mengambil bahan
170
bom itu, sekaligus bertemu dengan beberapa anggota JI lain termasuk Asmar Latin Sani, calon pelaku bom bunuh diri di Hotel JW Marriot. Sementara Noordin merencanakan serangan bom spektakuler, anggota lain dari wakalah mereka justru memilih mengikuti latihan militer. Bagi hampir seluruh pimpinan JI saat itu, training dan konsolidasi adalah hal yang terpenting untuk dilakukan sebagai respon atas banyaknya penangkapan atas anggota JI pasca Bom Bali. Mereka tak setuju ada serangan teroris baru. Namun, Noordin bersikeras melanjutkan aksinya. Kengototan Noordin ini semakin menunjukkan bahwa jaringan Noordin beroperasi di luar struktur JI. Dia mengikuti jejak Hambali yang memelopori operasi mandiri di luar struktur komando JI. Singkat cerita, bahan peledak yang dikirim Toni tiba di Bengkulu dari Dumai. Bahan peledak ini dikirim sebagai paket biasa lewat angkutan bis antar kota. Bahan-bahan ini kemudian disimpan di rumah anggota JI lulusan Ngruki, Sardona Siliwangi. Sardona dan Asmar Latin Sani, pada saat itu tengah berusaha mendirikan sebuah ponpes seperti Ngruki di Bengkulu. Pada Februari 2003 kelompok ini mendapatkan bahan-bahan tambahan seperti
171
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
detonator. Mereka juga mendapatkan seorang anggota baru yaitu Marizal bin Ali Umar alias Tohir, sahabat Rais. Tohir adalah alumni Ngruki dan pengajar di Luqmanul Hakim. Pada akhir April, tanpa disangka Rais ditangkap polisi. Tapi rencana Noordin bisa berjalan terus karena seorang anggota JI lain dari Riau bergabung dengan mereka. Namanya Mohamed Ihsan alias Jhoni Hendrawan alias Gembrot alias Idris. Dia pernah terlibat bom malam Natal 2000 di Pekanbaru. Idris adalah lulusan Ngruki. Sebulan kemudian, pada Mei 2003, Sardona tertangkap. Polisi terus berusaha mengejar buntut kelompok Noordin. Namun, sang buron memang luar biasa licin. Untuk mendanai aksi terornya, Noordin meminta Toni Togar merampok sebuah bank di Medan, pada awal Mei 2003. Selain itu, Noordin juga mendapat dana dari Hambali. Lewat seorang kurir, Hambali mengirim uang dalam bentuk dollar Australia. Pada Juni 2003, susunan tim peledak Bom Mariott akhirnya disepakati. Mereka yang akan aktif terlibat adalah Noordin, Azahari, Ismail, Asmar Latin Sani dan Tohir. Noordin berperan sebagai pemimpin operasi sementara Azahari sebagai komandan lapangan dengan Ismail
172
sebagai asistennya. Asmar dan Tohir bertugas mencari rumah kontrakan, membeli kendaraan dan membawa bahan peledak ke Jakarta. Puncaknya, Asmar telah bersedia bunuh diri bersama mobil bom yang mereka siapkan. Setiba di Jakarta, tim Noordin berpencar menjadi dua kelompok untuk melakukan survei terhadap empat lokasi yang akan dipilih menjadi sasaran. Azahari dan Ismail mempelajari dua lokasi yaitu Hotel Marriot dan sebuah kantor cabang Citibank; Noordin dan Tohir mengamati Jakarta International School dan Australian International School. Setelah berembug, mereka memutuskan memilih Hotel JW Marriot, Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Selain lokasinya mudah dicapai, hotel itu menggunakan nama Amerika sehingga dampak simbolisnya sesuai dengan tujuan mereka. Setelah semua siap, barulah Noordin meminta ijin dari pengurus JI. Menurut keterangan di persidangan, pada 7 Juni 2003, Noordin menemui dua pentolan Jamaah Islamiyah: Abu Dujanah dan Qotadah. Tak jelas benar apa hasil pertemuan tersebut. Yang jelas, awal Agustus 2003, Hotel JW Mariott luluh lantak dihajar bom mobil. Belasan
173
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
tewas dan luka-luka. Beberapa pekan setelah aksi, Noordin dan Azahari kembali menemui Abu Dujana. Berdasarkan dua pertemuan itu, polisi menyimpulkan aksi-aksi Noordin mendapat restu dari Jamaah Islamiyah. Apalagi, Abu Dujana terus terang menegaskan bahwa kelompoknya wajib melindungi anggota, meski mereka tak sepakat soal perlu tidaknya melakukan aksi-aksi bom. Dari pemaparan ini, tampak jelas bahwa Noordin menggunakan jejaring perkawanan dan persaudaraan pribadinya, untuk menyiapkan bom Mariott 2003. Kebetulan, semua relasinya adalah lulusan Pesantren Luqmanul Hakim dan Pesantren Al-Mukmin, Ngruki.
Jaringan Bom Kedubes Australia 2004 SETAHUN setelah aksi peledakan bom di Hotel JW Mariott, Kuningan, Jakarta, Noordin terus mempersiapkan aksi baru. September 2004, dia dan komplotannya berhasil menghancurkan gedung Kedutaan Besar Australia, di Jl. HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Kali ini, Noordin menggunakan jaringan yang berasal dari tiga sumber: divisi JI Jawa Timur,
174
asosiasi informal para alumni sekolah-sekolah JI di Jawa Tengah dan bagian dari kelompok Darul Islam (DI) yang berbasis di Banten, Jawa Barat. Untuk membuat ceritanya runut, mari kita kembali pada aksi peledakan bom Mariott, Agustus 2003. Setelah aksi itu, Noordin dan Azahari menjadi buronan kelas kakap. Keduanya membutuhkan tempat persembunyian dari kejaran Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri. Selama Oktober, keduanya bersembunyi di daerah sekitar Bandung, dan baru bergerak ke Solo, pada November 2003. Di Solo, mereka bertemu dengan Usman bin Sef alias Fahim, Ketua Wakalah JI untuk Jawa Timur. Fahim juga sedang bersembunyi dari kejaran polisi, akibat aktivitasnya dalam JI. Tanpa ragu, Fahim mengaku sanggup melindungi Noordin. Dengan pengaruhnya sebagai Ketua Wakalah Jawa Timur, seorang ustadz yang disegani serta kedudukannya sebagai ketua Yayasan Darussalam –organisasi buatan (front) JI di Surabaya—dia bertekad melindungi Noordin dan Azahari. Untuk kelancaran upaya perlindungan ini, Fahim memanggil Son Hadi, anggota JI dari Surabaya, dan memerintahkan dia mencarikan
175
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
tempat persembunyian bagi Noordin dan Azahari di kota itu. Son Hadi sendiri lulusan Pesantren Ngruki angkatan 1991. Dia bekerja pada Fahim di Yayasan Darussalam. Son Hadi menjadi kontak Noordin dan Azahari di Jawa Timur. Pertama-tama, Noordin dititipkan di rumah Ismail, di kawasan Mojoagung, Jawa Timur. Kurang lebih satu bulan disana, duet Noordin-Azahari harus kembali pindah karena mendadak orangtua Ismail datang. Son Hadi membawa mereka ke Blitar. Di Blitar, persiapan untuk aksi berikutnya mulai dilakukan. Fahim tampaknya diplot menjadi koordinator aksi ini, karena dialah yang membawa Heri Samboja, seorang pemuda lulusan Ngruki, untuk menjadi kader Azahari dalam teknik pembuatan bom. Heri dengan sukarela bergabung dalam tim persiapan aksi. Fahim juga yang mempersiapkan anggota tim lainnya. Sekitar akhir November 2003, Fahim datang ke Kediri –tak jauh dari rumah persembunyian Noordin-Azahari di Blitar, untuk memperkenalkan Adung dan Qatadah.Keduanya membawa 25 kg potassium klorat dan 10 kg sulfur. Tak lama kemudian seorang tamu lain mengirimkan sekitar 30 kg TNT. Semua bahan yang dibutuhkan kini sudah siap. Setelah belajar merakit bom kurang lebih
176
satu bulan, awal Februari 2004, Heri dan rekannya dianggap telah menyelesaikan pelajaran. Adung dan Qatadah menemani Heri pulang ke Solo. Di sana, Heri kembali melanjutkan tugasnya sebagai guru pesantren. Setelah itu, persiapan aksi mulai berjalan cepat. Son Hadi diperintahkan membawa Noordin dan Azahari serta bahan peledak di Blitar ke Pasuruan, Jawa Timur. Di sana, mereka disembunyikan di kediaman seorang kenalan Son Hadi bernama Chandra alias Farouk. Namun kepindahan Noordin dan Azahari ke Pasuruan nampaknya tidak sepengetahuan pengurus JI di Jawa Timur. Para pentolan JI di Surabaya, seperti Adung dan Abu Fida, menilai pemindahan itu amat beresiko dan mengambilalih tanggungjawab perlindungan Noordin dan Azahari dari tangan Son Hadi dan Fahim. Pada Maret 2004, sel-sel JI di Jawa Tengah mulai bergerak. Abu Fida memanggil dua muridnya, Urwah dan Ubeid, ke Surabaya. Sebelumnya, dua pemuda ini bekerja di Solo, Jawa Tengah. Abu Fida meminta kedua muridnya ini membantu aksi Noordin berikutnya. Urwah kemudian menjadi kepanjangan tangan Noordin untuk merekrut sel-sel Darul Islam di Jawa Barat. Urwah merekomendasikan
177
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
agar Iwan alias Rois, anggota Darul Islam di Bandung, untuk masuk tim persiapan aksi Noordin ini. Hubungan Urwah dan Rois cukup dekat karena sama-sama pernah terkait dengan Pesantren An-Nur di Solo. Pada Mei 2004, Urwah bertemu Rois di Solo. Tak sampai sepekan, Noordin merestui bergabungnya Rois dan memberinya tugas pertama: membangun sebuah kamp latihan kemiliteran di Gunung Peti, Cisolok, Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Kamp ini kabarnya didesain khusus untuk memilih para pelaku bom bunuh diri. Peserta kamp ini antara lain Heri Golun, yang belakangan dipilih menjadi pelaku bom bunuh diri di Kedutaan Besar Australia di Kuningan. Pengajarnya adalah Umar alias Heri –adik Ubeid, dan Deni –murid Fahim dari Yayasan Darussalam, Surabaya. Rois dan pamannya, Saptono, juga aktif memberikan materi pelatihan. Urwah dan Ubeid sempat berkunjung untuk melihat situasi pelatihan. Ketika itu, Urwah memberi Rois sepucuk pistol revolver kecil beserta 4 buah peluru kaliber 2,2 sebagai hadiah dari Noordin. Selama Noordin di Surabaya, Azahari tetap bersembunyi di Pasuruan. Pada Juni 2004, dia menerima murid baru untuk dilatih teknik
178
merakit bahan peledak. Namanya Gempur Budi Sasongko alias Jabir. Jabir adalah lulusan Pesantren Ngruki dan sepupu Faturrahman alGozi. Gozi yang tewas bersama pemberontak Moro di Mindanao tewas pada 2003 adalah tokoh JI yang satu angkatan dengan Hambali. Pada 22 Juni 2004, Urwah, Rois dan Saptono menemui Noordin di Surabaya. Mereka melaporkan bahwa sudah ada tiga calon pengebom bunuh diri, yakni: Apuy alias Epul, Didi alias Rijal dan Heri Golun. Ketiganya berteman sejak kecil,dan berasal dari desa yang sama di Cigarug, Sukabumi. Ayah mereka masing-masing adalah anggota Darul Islam. Untuk mempersiapkan ketiga calon pengantin itu, Noordin meminta seorang guru bernama Baharudin Soleh alias Abdul Hadi, menemui mereka. Pematangan dilakukan di Pesantren Miftahul Huda, Cikampek. Pada awal Juli 2004, ketika persiapan sudah semakin matang, polisi mendadak mencium keberadaan Adung dan Fahim di Solo. Keduanya tertangkap. Sempat ada yang khawatir kalau rencana mereka sudah tercium. Pada akhir Juli, dua pekan setelah penangkapan Adung dan Fahim, tim pengebom sudah ada di Jakarta. Malam pertama di Ibukota, tim menginap di rumah Agus Ahmad, kenalan Rois, di Ciganjur.
179
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
Agus adalah anggota Darul Islam, putra dari Engkos Kosasih alias Kamal, mantan pasukan tempur Darul Islam pada 1960-an. Di belakang mereka, polisi terus bergerak. Empat hari setelah tim berpindah ke Jakarta, Urwah dan Ubeid tertangkap di Solo. Mendengar itu, tim di Jakarta kembali berpindah tempat. Rois membawa Noordin dan Azahari ke Banten. Di sana, dengan dibantu jejaring Darul Islam, Noordin dan Azahari hidup nomaden. Mereka tidak pernah tinggal di satu tempat lebih dari empat malam. Pada 5 Agustus 2004, persiapan aksi mulai dijalankan. Rois menjemput Heri Golun di Cikampek dengan sebuah mobil Daihatsu yang akan diledakkan. Dia lalu dipertemukan dengan Noordin dan Azahari, yang dengan rutin memberikan wejangan dan siraman rohani. Pada 23 Agustus, Heri mulai belajar menyetir. Dua pekan kemudian, dia melakukan aksi bom bunuh diri di depan Kedutaan Besar Australia. Pola jaringan yang digunakan Noordin pada aksi peledakan bom di Kuningan ini, menunjukkan bahwa aksi-aksi Noordin mulai ditinggalkan oleh arus utama Jamaah Islamiyah. Karena itulah, dia terpaksa menggunakan orang-orang Kompak dan Darul Islam, yang sebenarnya berada di luar arus utama JI. Tentu
180
pentolan JI masih berperan walaupun hanya sebatas memberikan perlindungan dan persembunyian. Sama seperti pelaku bom Mariott 2003, pola jejaring Noordin pada aksi ini menunjukkan ciri jaringannya yang bersifat cair. Setelah dia memilih satu atau dua orang menjadi bagian dari kelompoknya, jaringan ini bisa berkembang sendiri dengan sistem sel, melalui relasi pribadi masing-masing anggota. Kedekatan hubungan keluarga, pertemanan, bisnis, pekerjaan, dan pendidikan biasanya menjadi pintu masuk untuk membuat perluasan jejaring. Komitmen antar kelompok ini amat kuat karena direkatkan oleh hubungan personal. Afiliasi anggota JI dan DI misalnya seringkali merupakan hasil hubungan perkawinan di antara sesama anggota. Inilah kunci dari pembangunan jejaring Noordin Mohd. Top.
Tokoh Kunci NOORDIN Mohd. Top lahir di Kluang, Joho, Malaysia 11 Agustus 1968. Dia adalah buron teroris yang diduga menjadi dalang dari serangkaian pemboman di Indonesia. Menurut mantan pimpinan JI, Nasir Abbas dalam bukunya
181
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
Memberantas Terorisme, Memburu Noordin M Top, Noordin berpegang kepada paham jihad Usamah bin Ladin, yang sangat membenci nonmuslim. Noordin pernah belajar akuntansi di Universiti Teknologi Malaysia (UTM) dan pernah mengajar di Pesantren Luqmanul Hakim, Johor, bersama Dr Azahari. Dia tewas dalam umur 41 tahun saat penggerebekan polisi di Jebres, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia pada tanggal 17 September 2009. DR. AZAHARI adalah seorang insinyur Malaysia yang diduga kuat merupakan otak di belakang serangkaian peledakan bom di Indonesia. Bersama Noordin M. Top, dia sempat menjadi target operasi polisi yang paling dicari di Indonesia dan Malaysia. Azahari pernah tinggal di Australia selama empat tahun sejak 1975. Ia menyelesaikan pendidikan menengahnya di Norwood High School, lalu melanjutkan ke Universitas Adelaide, mempelajari teknik mesin. Sebelum lulus, dia pindah ke Universitas Teknologi Malaysia di Johor, Malaysia. Dia memperoleh gelar Ph.D dari Universitas Reading di Inggris di bidang penilai properti (property valuation). Pada Juli 2004, Noordin dan Azahari lolos dari
182
operasi penyergapan polisi di sebuah rumah sewaan di sebelah barat Jakarta, di mana para ahli forensik kemudian menemukan sisa-sisa bahan peledak yang digunakan dalam Bom Kedubes Australia, satu bulan kemudian. Sebelumnya, pada 2003 mereka juga berhasil lolos dari penyergapan lain di Bandung. Dr. Azahari meninggal pada 9 November 2005 dalam operasi penyergapan Densus 88 di Kota Batu, Malang. Harian The Star di Malaysia menyebut Azahari selalu siap dengan rompi bom terikat di seluruh tubuhnya sebagai persiapan jika tertangkap. Dia dikenal lebih baik bunuh diri, ketimbang ditangkap polisi. HAMBALI adalah Sekjen Organisasi Jihad seAsia Tenggara dan koordinator peledakan bom malam Natal 2000 di 34 lokasi di Indonesia. Pemuda asal Cianjur, Jawa Barat, itu ditangkap polisi Thailand dan dinas intelijen Amerika, CIA. ABDUL AZIS alias Imam Samudra adalah pelaku utama bom Bali 2002. Dia kini telah divonis mati. Sebelum ditangkap 11 November 2002, ia selalu disebut dalam berbagai aksi kekerasan bernuansa terorisme di Indonesia. Dia terlibat dalam peledakan empat gereja di Batam (Gereja Pantekosta Pelita, Gereja GKPS
183
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
Sei Panas, Gereja Betani May Mart, dan Gereja Beato Damian) yang total melukai 23 orang. AMROZI, ALI GUFRON/MUKHLAS merupakan kakak-beradik kelahiran Selokuro, Lamongan, Jawa Timur. Mukhlas adalah guru pada Pondok Pesantren Luqmanul Hakim, Johor Baru, Malaysia. Ia pindah ke Thailand, kemudian kembali ke Indonesia setelah dicari pemerintah Malaysia. Mukhlas ditangkap pada 3 Desember 2002. Dua bersaudara ini divonis mati pengadilan Denpasar. Aksi mereka antara lain bekerja sama dengan Hambali dan Dulmatin meledakkan gereja di Mojokerto, Jawa Timur, pada malam Natal 24 Desember 2000. Mereka juga pelaku utama bom Bali, 12 Oktober 2002. ABDUL JABBAR, ASEP/DARWIN. Aksi yang pernah dilakukan antara lain bersama Amrozi (kelompok Lamongan) dan Fathurrohman alGozi meledakkan rumah Duta Besar Filipina, Leonides Caday, Agustus 2000 dan malam Natal 2000. Darwin pernah aktif di Gerakan Pemuda Islam, sedangkan Abdul Jabbar adalah anak Ahmad Kandai, pelaku penggranatan Presiden Sukarno di Cikini, 1957. Ia menyerah kepada
184
polisi Dompu, Nusa Tenggara Barat, 17 Januari 2003 lalu. AGUS DWIKARNA. Dia adalah Panglima Laskar Jundullah di Makassar yang pernah mendekam di penjara Manila atas tuduhan menyelundupkan bahan peledak[]
Aksi-aksi Terorisme di Indonesia 01 Agustus 2000 Bom meledak di depan kediaman Duta Besar Filipina di Jakarta. Dua orang terbunuh. 13 September 2000 Ledakan di gedung Bursa Efek Jakarta. Lima belas orang meninggal, puluhan cedera 24 Desember 2000 Rangkaian serangan di gereja-gereja Jakarta dan kota-kota lain. Menewaskan 17 orang. Lebih dari 100 orang mengalami luka-luka 12 Oktober 2002 Dikenal sebagai Bom Bali, aksi itu menyerang sebuah klub di Kuta, Bali dan menewaskan 202 orang tewas, kebanyakan turis asing. 88 orang diantaranya warga Australia. Ratusan orang terluka.
185
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
05 Desember 2002 Ledakan bom di rumah makan McDonald di Makassar, Sulawesi. Tiga orang terbunuh. 05 Agustus 2003 Serangan bom pertama terhadap hotel JW Marriott di Jakarta. Dua belas korban tewas, termasuk seorang warga Belanda. Lebih dari 150 orang terluka. 10 Januari 2004 Bom meledak di lokasi karaoke, Kafe Sampodo di Palopo, Sulawesi. Empat orang meninggal dunia. 09 September 2004 Bom mobil berkekuatan 1 ton meledak di depan Kedutaan Australia, Jakarta. Menewaskan 10 warga Indonesia. Lebih dari seratus orang cedera. 13 November 2004 Ledakan di dekat kantor polisi Kendari, Sulawesi. Lima orang tewas, empat orang terluka. 28 Mei 2005 Bom di pasar Tentena, Sulawesi menewaskan 22 orang dan menyebabkan 90 orang cedera. 31 Desember 2005 Bom meledak di sebuah pasar Palu, Sulawesi. Delapan orang tewas dan sedikitnya 48 orang lainnya terluka.
186
01 Oktober 2005 Serangan bom bunuh diri di dua lokasi Jimbaran dan Kuta, Bali 23 orang tewas dan 129 orang lainnya luka-luka. Dikenal dengan bom Bali II. 10 November 2005 Kapolri Jenderal Sutanto menyatakan Dr. Azahari tewas dalam penggrebekan di sebuah rumah, di Batu, Malang pada 9 November 2005. 17 Juli 2009 Hotel JW Marriott kembali menjadi target serangan bom beruntun, berikut dengan ledakan bom di hotel Ritz-Carlton, Jakarta. Sampai kini diketahui, 9 orang meninggal dan 42 orang cedera. 8 Agustus 2009 Ibrahim, perangkai bunga yang terlibat dalam bom Mariott-Ritz, tewas ditembak polisi di Temanggung, Jawa Tengah. Ibrahim tewas dalam drama penggrebekan selama lebih dari 17 jam. 17 September 2009 Kapolri Bambang Hendarso Danuri menyatakan Noordin M. Top tewas. Buron selama sembilan tahun itu tewas ditembak di sebuah rumah di Mojosongo, Jebres, Jawa Tengah sehari sebelumnya.[]
187
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
188
BAB 7
Jerat Hukum Penebar Teror Penanganan terorisme menggunakan undangundang khusus. Deradikalisasi belum diatur rinci.
A
BU Jibril berteriak keras. Dia memprotes tindakan aparat keamanan yang secara paksa menjemput anaknya, Mohamad Jibril Abdul Rahman, akhir Agustus 2009 silam. “Anak saya diculik,” katanya kepada para jurnalis di Mabes Polri. Menurut ulama yang dikenal berpandangan radikal ini, tiga orang tak dikenal mendatangi anaknya pada sore hari, dan langsung memasukkannya ke sebuah mobil Honda CRV perak. “Jibril ditidurkan, diborgol dan dibawa pergi. Itu sama saja diculik,” kata Abu Jibril. Hari itu nama Mohamad Jibril memang baru saja diumumkan polisi sebagai buron dalam kasus peledakan bom di Hotel JW Mariott dan Ritz Carlton, Mega Kuningan, Jakarta, 17 Juli 2009. “Begitu melihat pengumuman itu di teve,
189
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
saya minta anak saya segera pulang ke rumah,” katanya. Dalam perjalanan pulang itulah, kata Abu, anaknya dibuntuti dan disergap. Polisi sendiri membantah ihwal penculikan ini. “Belum ada laporan masuk,” kata juru bicara Polri waktu itu Inspektur Jenderal Nanan Soekarna. Dalam banyak kasus, polisi –terutama Detasemen Khusus 88 Antiterorisme— memang sering dituding menggunakan cara brutal dan mirip penculikan dalam menangkap tersangka terorisme. Namun, polisi berkilah mereka memang mendapat kekuasaan untuk menahan orang selama tujuh hari, sebelum memberitahukan keluarga tersangka. Dasar penahanan itu cukup dengan data intelijen. Kekuasaan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Selain kasus Abu Jibril, penangkapan Khairul Ghazali di Tanjung Balai, Sumatera Utara, Oktober 2010 lalu, juga menuai kritik serupa. Bahkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) saat itu menuding Densus 88 melakukan pelanggaran HAM saat menangkap Khairul yang dituding terlibat perampokan Bank CIMB, di Medan, Sumatera Utara. “Ini merupakan pelanggaran serius terhadap
190
prosedur hukum dan HAM,” kata Ketua Komnas HAM, Ifdal Kasim. Meski mengakui kewenangan Densus 88 menangkap orang tanpa pemberitahuan selama sepekan, Komnas menilai ada tindakan berlebihan yang perlu diverifikasi lebih dalam. *** SEBELUM ledakan bom di Bali, Oktober 2002, pemerintah belum punya payung hukum untuk menangani tindak pidana terorisme di Indonesia. Karena itu, Presiden Megawati Soekarnoputri menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 pada 18 Oktober 2002. Perpu tersebut lalu ditetapkan menjadi UndangUndang Nomor 15 Tahun tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada 4 April 2003. Pada bab awalnya, peraturan ini menegaskan sejumlah poin penting yang bisa menjelaskan cara pandang negara atas tindak pidana terorisme. Pertama, terorisme dinilai telah menghilangkan nyawa secara luas tanpa pandang bulu, merampas kemerdekaaan warga dan menimbulkan kerugian harta benda, sehingga menimbulkan ketakutan di
191
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
masyarakat. Kedua, pemerintah menilai pelaku terorisme mempunyai jaringan yang luas sehingga merupakan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional. Selain itu, disadari bahwa peraturan perundangundangan yang berlaku saat itu belum mampu secara komprehensif dan memadai, memberantas tindak pidana terorisme. Seperti apa seseorang bisa dianggap sebagai teroris? Pada pasal 6 peraturan itu dijelaskan bahwa pelaku terorisme adalah setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan —atau ancaman kekerasan— menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional. Menurut aturan ini, tersangka tindak pidana terorisme dapat dikenai sanksi seberat-beratnya pidana mati atau penjara seumur hidup atau seringan-ringannya pidana penjara 4 (empat) tahun. Tapi tak hanya pelaku langsung yang disasar aturan ini. Pasal berikutnya, yakni pasal 8, menjelaskan
192
contoh-contoh gangguan terhadap fasilitas publik. Antara lain merusak bangunan untuk lalu lintas udara, memindahkan penunjuk lalu lintas penerbangan, atau merusak pesawat udara. Di pasal berikutnya, yakni pasal 9, dijelaskan definisi teroris yang lain. Yakni siapapun yang menguasai, membawa senjata api, bahan peledak, dan amunisi bisa dikategorikan sebagai pelaku tindak pidana terorisme yang dapat diancam pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun. Belakangan, aturan inilah yang kerap menjerat beberapa tersangka teroris. Misalnya Abu Dujana yang divonis 15 tahun penjara. Pengumpul atau penyandang dana untuk kegiatan terorisme pun tak lepas dari jerat hukum. Mereka dikenai ancaman paling ringan 3 tahun penjara dan paling lama 15 tahun. Ini dijelaskan di pasal 11. Mohammad Jibril terjerat pasal ini karena dituduh menyediakan dana untuk aksi pengeboman di Mariott. Dia dihukum 5 tahun penjara. Kategori terakhir pelaku tindak pidana terorisme adalah mereka yang dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan bagi pelaku tindak pidana terorisme, dengan memberikan atau meminjamkan uang atau barang atau harta kekayaan lainnya. Mereka
193
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
yang menyembunyikan pelaku tindak pidana terorisme atau menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme juga bisa terkena pasal ini. Ancaman sanksinya tak mainmain: paling ringan 3 tahun, dan maksimal sampai 15 tahun penjara. Adanya pasal terakhir ini bagai pisau bermata dua. Di satu sisi, aturan ini bermaksud membatasi ruang gerak para pelarian kasus terorisme yang masih lolos dari jerat hukum. Namun, di sisi lain, pasal ini membuat siapapun, tanpa terkecuali, yang pernah berhubungan dengan para buron terorisme, ikut berpotensi terseret ke balik jeruji bui. Saefudin Zuhri, yang diadili di Pengadilan Jakarta Selatan karena terkait bom kembar Mariott-Ritz misalnya, terkena pasal ini. Dia dituduh membantu pelarian Noordin M Top dan akhirnya diganjar hukuman 10 tahun penjara. Radikalisasi di dalam penjara terbukti dalam kasus pelatihan militer untuk kader Tanzim Al Qaidah Serambi Aceh, di Bukit Jalin, Jantho, awal 2010 itu. Sebagian besar pesertanya adalah tokoh-tokoh pinggiran Jamaah Islamiyah, yang berubah menjadi keras setelah bergesekan dengan banyak ulama penyokong radikalisme, ketika mereka sama-sama ada di dalam penjara. ***
194
PENYIDIKAN, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan untuk semua kasus terorisme diatur dalam pasal 25 ayat 2 Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Ada banyak kewenangan baru yang diberikan untuk polisi. Misalnya saja, untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan, penyidik diberi wewenang untuk melakukan penahanan terhadap tersangka paling lama 6 (enam) bulan. Ini lebih lama dibanding penahanan pelaku kejahatan biasa sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, yang hanya maksimal 20 hari. Selain itu, penyidik juga dapat menggunakan laporan intelijen untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup. Laporan intelijen yang dimaksud adalah informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, serta data rekaman. Dari data permulaan itu, penyidik dapat menangkap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana terorisme dan menahannya selama tujuh hari atau 7x24 jam (pasal 28). Kesaktian lain Densus 88 dan penyidik kasus terorisme adalah keleluasaan untuk memutus aliran dana bagi kegiatan terorisme. Mereka bisa memblokir harta kekayaan seseorang yang
195
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
diduga merupakan hasil tindak pidana terorisme atau berkaitan dengan terorisme. Tak hanya itu, Densus 88 juga memberikan kewenangan bagi penyidik untuk menyadap seseorang yang dicurigai pelaku teror. Syaratnya, penyadapan hanya bisa dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Untuk melindungi para saksi dan pelapor, Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme juga mengatur perlindungan saksi berupa perlindungan dari ancaman, serta jaminan atas kerahasiaan identitas saksi. Selain itu, yang hebat, saksi dapat memberikan keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka teroris. Bahkan, untuk kasus dimana pelaku terorisme belum tertangkap, persidangan dapat dijalankan secara in absentia (tanpa kehadiran terdakwa). Pada Juli 2004, Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal 46 dalam UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang retroaktif. Artinya semua penyidikan kasus Bom Bali –yang terjadi sebelum peraturan itu diundangkan— tidak boleh menggunakan UU ini. ***
196
SATU hal yang sering diributkan publik dalam kasus-kasus penanganan terorisme, adalah sinergi antara polisi dan tentara. Seringkali publik mendapat kesan polisi memonopoli penanganan terorisme, dan membiarkan kapasitas dan pengalaman unit anti-teror di Tentara Nasional Indonesia (TNI) –seperti Kopassus milik TNI AD, Paskhas atau Pasukan Khusus TNI AU, dan Marinir TNI AL misalnya— menganggur. Memang, polisi mempunyai kewenangan penuh menyidik aksi-aksi kekerasan bernuansa terorisme. Tapi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI mengatur bagaimana tentara dapat terlibat mengatasi aksi terorisme. Korps baju hijau dapat membantu dalam hal deteksi dini, pencegahan, dan penindakan. Deteksi dapat dilakukan melalui unit teritorial dan intelijen. Demikian juga pencegahan dan penindakan. Masalahnya semua informasi dan bantuan itu harus disampaikan ke atas dulu ke Pusat Komando TNI lalu ke kantor Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan. Dari sana, barulah semua informasi disampaikan ke polisi. Pola koordinasi macam ini memang terpaksa dilakukan karena menurut UU Nomor Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, mekanisme
197
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
perbantuan TNI kepada polisi diatur dalam Peraturan Pemerintah. Selain itu, kerjasama intelijen antar dua institusi atau lebih, memang nyaris mustahil dilakukan. “Bagi aparat intelijen, membagi informasi ke lembaga lain sama saja dengan kebocoran,” kata pengamat intelijen Andi Widjajanto. Saat ini ada harapan baru. Juni 2010 lalu, pemerintah membentuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Melalui badan ini, isu-isu lama dalam penanganan masalah ini, diharapkan bisa diatasi. Misalnya saja soal program deradikalisasi dan juga soal pelibatan TNI dalam operasi kontra-terorisme. Tentu masih perlu waktu untuk menilai berhasil tidaknya upaya ini dalam meningkatkan efektifitas penanganan terorisme di negeri ini. []
198
Lampiran
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME, MENJADI UNDANG-UNDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
:
a.
bahwa dalam mewujudkan tujuan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta dalam memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka mutlak diperlukan penegakan hukum dan ketertiban secara konsisten dan berkesinambungan;
b.
bahwa rangkaian peristiwa pemboman yang terjadi di wilayah Negara Republik Indonesia telah mengakibatkan hilangnya nyawa tanpa memandang korban, menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas, dan kerugian harta benda, sehingga menimbulkan dampak yang luas terhadap kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan hubungan internasional;
c.
bahwa terorisme merupakan kejahatan lintas negara, terorganisasi, dan mempunyai jaringan luas sehingga mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional;
d.
bahwa untuk memulihkan kehidupan masyarakat yang tertib, dan aman serta untuk memberikan landasan hukum yang kuat dan kepastian hukum dalam mengatasi permasalahan yang mendesak dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, maka dengan mengacu pada konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan nasional yang berkaitan dengan terorisme, Presiden Republik Indonesia telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme;
199
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
e.
Mengingat
:
bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-undang;
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 22 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dengan persetujuan bersama antara DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME, MENJADI UNDANGUNDANG.
Pasal 1
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4232) ditetapkan menjadi Undang-undang. Pasal 2
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 4 April 2003 PRESIDEN
REPUBLIK
INDONESIA, Ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 4 April 2003 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. BAMBANG KESOWO
200
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 45
Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT KABINET RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan II, ttd. Edy Sudibyo
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG
PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME, MENJADI UNDANG-UNDANG
I.
UMUM Rangkaian peristiwa pemboman yang terjadi di wilayah Negara Republik Indonesia telah menimbulkan rasa takut masyarakat secara luas, mengakibatkan hilangnya nyawa serta kerugian harta benda, sehingga menimbulkan pengaruh yang tidak menguntungkan pada kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan hubungan Indonesia dengan dunia internasional. Peledakan bom tersebut merupakan salah satu modus pelaku terorisme yang telah menjadi fenomena umum di beberapa negara. Terorisme merupakan kejahatan lintas negara, terorganisasi, dan bahkan merupakan tindak pidana internasional yang mempunyai jaringan luas, yang mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional. Pemerintah Indonesia sejalan dengan amanat sebagaimana ditentukan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta dalam memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi dan keadilan sosial, berkewajiban untuk melindungi warganya dari setiap ancaman kejahatan baik bersifat nasional, transnasional, maupun bersifat internasional. Pemerintah juga berkewajiban untuk mempertahankan kedaulatan serta memelihara keutuhan dan integritas nasional dari setiap bentuk ancaman baik yang datang dari luar maupun dari dalam. Untuk itu, maka mutlak diperlukan penegakan hukum dan ketertiban secara konsisten dan berkesinambungan.
201
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
Untuk menciptakan suasana tertib dan aman, maka dengan mengacu pada konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan terorisme, serta untuk memberi landasan hukum yang kuat dan kepastian hukum dalam mengatasi masalah yang mendesak dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, Presiden Republik Indonesia telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, menjadi Undang-undang.
II.
PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4284
202
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam mewujudkan tujuan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka mutlak diperlukan penegakan hukum dan ketertiban secara konsisten dan berkesinambungan; b. bahwa terorisme telah menghilangkan nyawa tanpa memandang korban dan menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas, atau hilangnya kemerdekaan, serta kerugian harta benda, oleh karena itu perlu dilaksanakan langkah-langkah pemberantasan; c. bahwa terorisme mempunyai jaringan yang luas sehingga merupakan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional; d. bahwa pemberantasan terorisme didasarkan pada komitmen nasional dan internasional dengan membentuk peraturan perundang-undangan nasional yang mengacu pada konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan terorisme; e. bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku sampai saat ini belum secara komprehensif dan memadai untuk memberantas tindak pidana terorisme; f.
bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, dan adanya kebutuhan yang sangat mendesak perlu mengatur pemberantasan tindak pidana terorisme dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
203
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
Mengingat : Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945;
MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini. 2. Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang baik sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual, atau korporasi. 3. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. 4. Kekerasan adalah setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya. 5. Ancaman kekerasan adalah setiap perbuatan yang dengan sengaja dilakukan untuk memberikan pertanda atau peringatan mengenai suatu keadaan yang cenderung dapat menimbulkan rasa takut terhadap orang atau masyarakat secara luas. 6. Pemerintah Republik Indonesia adalah pemerintah Republik Indonesia dan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.
204
7. Perwakilan negara asing adalah perwakilan diplomatik dan konsuler asing beserta anggota-anggotanya. 8. Organisasi internasional adalah organisasi yang berada dalam lingkup struktur organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa atau organisasi internasional lainnya di luar Perserikatan BangsaBangsa atau yang menjalankan tugas mewakili Perserikatan Bangsa-Bangsa. 9. Harta kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud. 10. Obyek vital yang strategis adalah tempat, lokasi, atau bangunan yang mempunyai nilai ekonomis, politis, sosial, budaya, dan pertahanan serta keamanan yang sangat tinggi, termasuk fasilitas internasional. 11. Fasilitas publik adalah tempat yang dipergunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum. 12. Bahan peledak adalah semua bahan yang dapat meledak, semua jenis mesiu, bom, bom pembakar, ranjau, granat tangan, atau semua bahan peledak dari bahan kimia atau bahan lain yang dipergunakan untuk menimbulkan ledakan.
Pasal 2 Pemberantasan tindak pidana terorisme dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini merupakan kebijakan dan langkah-langkah strategis untuk memperkuat ketertiban masyarakat, dan keselamatan masyarakat dengan tetap menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia, tidak bersifat diskriminatif, baik berdasarkan suku, agama, ras, maupun antargolongan.
BAB II LINGKUP BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
Pasal 3 (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini berlaku terhadap setiap orang yang melakukan atau bermaksud melakukan tindak pidana terorisme di wilayah negara Republik Indonesia dan/atau negara lain juga mempunyai yurisdiksi dan menyatakan maksudnya untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku tersebut.
205
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
(2) Negara lain mempunyai yurisdiksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), apabila: a. kejahatan dilakukan oleh warga negara dari negara yang bersangkutan; b. kejahatan dilakukan terhadap warga negara dari negara yang bersangkutan; c. kejahatan tersebut juga dilakukan di negara yang bersangkutan; d. kejahatan dilakukan terhadap suatu negara atau fasilitas pemerintah dari negara yang bersangkutan di luar negeri termasuk perwakilan negara asing atau tempat kediaman pejabat diplomatik atau konsuler dari negara yang bersangkutan; e. kejahatan dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa negara yang bersangkutan melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu; f.
kejahatan dilakukan terhadap pesawat udara yang dioperasikan oleh pemerintah negara yang bersangkutan; atau
g. kejahatan dilakukan di atas kapal yang berbendera negara tersebut atau pesawat udara yang terdaftar berdasarkan undang-undang negara yang bersangkutan pada saat kejahatan itu dilakukan.
Pasal 4 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini berlaku juga terhadap tindak pidana terorisme yang dilakukan: a. terhadap warga negara Republik Indonesia di luar wilayah negara Republik Indonesia; b. terhadap fasilitas negara Republik Indonesia di luar negeri termasuk tempat kediaman pejabat diplomatik dan konsuler Republik Indonesia; c. dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memaksa pemerintah Republik Indonesia melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu; d. untuk memaksa organisasi internasional di Indonesia melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu; e. di atas kapal yang berbendera negara Republik Indonesia atau pesawat udara yang terdaftar berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia pada saat kejahatan itu dilakukan; atau f.
oleh setiap orang yang tidak memiliki kewarganegaraan dan bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia.
206
Pasal 5 Tindak pidana terorisme yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dikecualikan dari tindak pidana politik, tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana politik, tindak pidana dengan motif politik, dan tindak pidana dengan tujuan politik, yang menghambat proses ekstradisi.
BAB III TINDAK PIDANA TERORISME
Pasal 6 Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 7 Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.
Pasal 8 Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap orang yang: a. menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara atau menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan tersebut;
207
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
b. menyebabkan hancurnya, tidak dapat dipakainya atau rusaknya bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara, atau gagalnya usaha untuk pengamanan bangunan tersebut; c. dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak, mengambil, atau memindahkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan, atau menggagalkan bekerjanya tanda atau alat tersebut, atau memasang tanda atau alat yang keliru; d. karena kealpaannya menyebabkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah atau menyebabkan terpasangnya tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan yang keliru; e. dengan sengaja atau melawan hukum, menghancurkan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain; f. dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan, menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak pesawat udara; g. karena kealpaannya menyebabkan pesawat udara celaka, hancur, tidak dapat dipakai, atau rusak; h. dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, atas penanggung asuransi menimbulkan kebakaran atau ledakan, kecelakaan kehancuran, kerusakan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang dipertanggungkan terhadap bahaya atau yang dipertanggungkan muatannya maupun upah yang akan diterima untuk pengangkutan muatannya, ataupun untuk kepentingan muatan tersebut telah diterima uang tanggungan; i. dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan hukum, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pesawat udara dalam penerbangan; j. dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman dalam bentuk lainnya, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pengendalian pesawat udara dalam penerbangan; k. melakukan bersama-sama sebagai kelanjutan permufakatan jahat, dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, mengakibatkan luka berat seseorang, mengakibatkan kerusakan pada pesawat udara sehingga dapat membahayakan penerbangannya, dilakukan dengan maksud untuk merampas kemerdekaan atau meneruskan merampas kemerdekaan seseorang; l. dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatan kekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam penerbangan, jika perbuatan itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara tersebut; m. dengan sengaja dan melawan hukum merusak pesawat udara dalam dinas atau menyebabkan kerusakan atas pesawat udara
208
tersebut yang menyebabkan tidak dapat terbang atau membahayakan keamanan penerbangan; n. dengan sengaja dan melawan hukum menempatkan atau menyebabkan ditempatkannya di dalam pesawat udara dalam dinas, dengan cara apapun, alat atau bahan yang dapat menghancurkan pesawat udara yang membuatnya tidak dapat terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut yang dapat membahayakan keamanan dalam penerbangan; o. melakukan secara bersama-sama 2 (dua) orang atau lebih, sebagai kelanjutan dari permufakatan jahat, melakukan dengan direncanakan lebih dahulu, dan mengakibatkan luka berat bagi seseorang dari perbuatan sebagaimana dimaksud dalam huruf l, huruf m, dan huruf n; p. memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu dan karena perbuatan itu membahayakan keamanan pesawat udara dalam penerbangan; q. di dalam pesawat udara melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dalam pesawat udara dalam penerbangan; r. di dalam pesawat udara melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengganggu ketertiban dan tata tertib di dalam pesawat udara dalam penerbangan.
Pasal 9 Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 10 Dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap orang yang dengan sengaja menggunakan senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya, sehingga menimbulkan suasana teror, atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, membahayakan terhadap kesehatan, terjadi kekacauan terhadap kehidupan, keamanan, dan hak-hak orang, atau terjadi kerusakan, kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional.
209
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
Pasal 11 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10.
Pasal 12 Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan : a. tindakan secara melawan hukum menerima, memiliki, menggunakan, menyerahkan, mengubah, membuang bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya yang mengakibatkan atau dapat mengakibatkan kematian atau luka berat atau menimbulkan kerusakan harta benda; b. mencuri atau merampas bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya ; c. penggelapan atau memperoleh secara tidak sah bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya; d. meminta bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya secara paksa atau ancaman kekerasan atau dengan segala bentuk intimidasi; e. mengancam : 1) menggunakan bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya untuk menimbulkan kematian atau luka berat atau kerusakan harta benda; atau 2) melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf b dengan tujuan untuk memaksa orang lain, organisasi internasional, atau negara lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. f. mencoba melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, atau huruf c; dan g. ikut serta dalam melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf f.
210
Pasal 13 Setiap orang yang dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, dengan : a. memberikan atau meminjamkan uang atau barang atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku tindak pidana terorisme; b. menyembunyikan pelaku tindak pidana terorisme; atau c. menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 14 Setiap orang yang merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.
Pasal 15 Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidananya.
Pasal 16 Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kemudahan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.
Pasal 17 (1) Dalam hal tindak pidana terorisme dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. (2) Tindak pidana terorisme dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan
211
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama. (3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.
Pasal 18 (1) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor. (2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000.000,- (satu triliun rupiah). (3) Korporasi yang terlibat tindak pidana terorisme dapat dibekukan atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi yang terlarang.
Pasal 19 Ketentuan mengenai penjatuhan pidana minimum khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 15, Pasal 16 dan ketentuan mengenai penjatuhan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, tidak berlaku untuk pelaku tindak pidana terorisme yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.
BAB IV TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA TERORISME
Pasal 20 Setiap orang yang dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan mengintimidasi penyelidik, penyidik, penuntut umum, penasihat hukum, dan/atau hakim yang menangani tindak pidana terorisme sehingga proses peradilan menjadi terganggu, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
212
Pasal 21 Setiap orang yang memberikan kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti palsu atau barang bukti palsu, dan mempengaruhi saksi secara melawan hukum di sidang pengadilan, atau melakukan penyerangan terhadap saksi, termasuk petugas pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 22 Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun.
Pasal 23 Setiap saksi dan orang lain yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 24 Ketentuan mengenai penjatuhan pidana minimum khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22, tidak berlaku untuk pelaku tindak pidana terorisme yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.
BAB V PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 25 (1) Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme, dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini.
213
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
(2) Untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan, penyidik diberi wewenang untuk melakukan penahanan terhadap tersangka paling lama 6 (enam) bulan.
Pasal 26 (1) Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen. (2) Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri. (3) Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari. (4) Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan adanya bukti permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan dilaksanakan penyidikan.
Pasal 27 Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi : a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana; b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan c. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada : 1) tulisan, suara, atau gambar; 2) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; 3) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
Pasal 28 Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) untuk paling lama 7 x 24 (tujuh kali dua puluh empat) jam.
214
Pasal 29 (1) Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan kepada bank dan lembaga jasa keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap harta kekayaan setiap orang yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana terorisme dan/atau tindak pidana yang berkaitan dengan terorisme. (2) Perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas mengenai : a. nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim; b. identitas setiap orang yang telah dilaporkan oleh bank dan lembaga jasa keuangan kepada penyidik, tersangka, atau terdakwa; c. alasan pemblokiran; d. tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan e. tempat harta kekayaan berada. (3) Bank dan lembaga jasa keuangan setelah menerima perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib melaksanakan pemblokiran sesaat setelah surat perintah pemblokiran diterima. (4) Bank dan lembaga jasa keuangan wajib menyerahkan berita acara pelaksanaan pemblokiran kepada penyidik, penuntut umum, atau hakim paling lambat 1 (satu) hari kerja terhitung sejak tanggal pelaksanaan pemblokiran. (5) Harta kekayaan yang diblokir harus tetap berada pada bank dan lembaga jasa keuangan yang bersangkutan. (6) Bank dan lembaga jasa keuangan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Pasal 30 (1) Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana terorisme, maka penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang untuk meminta keterangan dari bank dan lembaga jasa keuangan mengenai harta kekayaan setiap orang yang diketahui atau patut diduga melakukan tindak pidana terorisme. (2) Dalam meminta keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terhadap penyidik, penuntut umum, atau hakim tidak berlaku
215
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
ketentuan Undang-undang yang mengatur tentang rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya. (3) Permintaan keterangan harus diajukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas mengenai : a. nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim; b. identitas setiap orang yang diketahui atau patut diduga melakukan tindak pidana terorisme; c. tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan d. tempat harta kekayaan berada. (4) Surat permintaan untuk memperoleh keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus ditandatangani oleh : a. Kepala Kepolisian Daerah atau pejabat yang setingkat pada tingkat Pusat dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik; b. Kepala Kejaksaan Tinggi dalam hal permintaan diajukan oleh penuntut umum; c. Hakim Ketua Majelis yang memeriksa perkara yang bersangkutan.
Pasal 31 (1) Berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4), penyidik berhak: a. membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos atau jasa pengiriman lainnya yang mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana terorisme yang sedang diperiksa; b. menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak pidana terorisme. (2) Tindakan penyadapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, hanya dapat dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. (3) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus dilaporkan atau dipertanggungjawabkan kepada atasan penyidik.
Pasal 32 (1) Dalam pemeriksaan, saksi memberikan keterangan terhadap apa yang dilihat dan dialami sendiri dengan bebas dan tanpa tekanan. (2) Dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana terorisme
216
dilarang menyebutkan nama atau alamat pelapor atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor. (3) Sebelum pemeriksaan dilakukan, larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberitahukan kepada saksi dan orang lain tersebut.
Pasal 33 Saksi, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang memeriksa beserta keluarganya dalam perkara tindak pidana terorisme wajib diberi perlindungan oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, baik sebelum, selama, maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.
Pasal 34 (1) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dilakukan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan berupa : a. perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik dan mental; b. kerahasiaan identitas saksi; c. pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka. (2) Ketentuan mengenai tata cara perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 35 (1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa. (2) Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat-surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang. (3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya. (4) Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan kasasi atas putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (5) Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah
217
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
melakukan tindak pidana terorisme, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan harta kekayaan yang telah disita. (6) Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat dimohonkan upaya hukum. (7) Setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
BAB VI KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN REHABILITASI
Pasal 36 (1) Setiap korban atau ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme berhak mendapatkan kompensasi atau restitusi. (2) Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pembiayaannya dibebankan kepada negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah. (3) Restitusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), merupakan ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku kepada korban atau ahli warisnya. (4) Kompensasi dan/atau restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan. Pasal 37 (1) Setiap orang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. (2) Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 38 (1) Pengajuan kompensasi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepada Menteri Keuangan berdasarkan amar putusan pengadilan negeri. (2) Pengajuan restitusi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan amar putusan. (3) Pengajuan rehabilitasi dilakukan oleh korban kepada Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.
218
Pasal 39 Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) dan pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) memberikan kompensasi dan/atau restitusi, paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak penerimaan permohonan.
Pasal 40 (1) Pelaksanaan pemberian kompensasi dan/atau restitusi dilaporkan oleh Menteri Keuangan, pelaku, atau pihak ketiga kepada Ketua Pengadilan yang memutus perkara, disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi tersebut. (2) Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi, dan/atau restitusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada korban atau ahli warisnya. (3) Setelah Ketua Pengadilan menerima tanda bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan mengumumkan pelaksanaan tersebut pada papan pengumuman pengadilan yang bersangkutan.
Pasal 41 (1) Dalam hal pelaksanaan pemberian kompensasi dan/atau restitusi kepada pihak korban melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, korban atau ahli warisnya dapat melaporkan hal tersebut kepada pengadilan. (2) Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) segera memerintahkan Menteri Keuangan, pelaku, atau pihak ketiga untuk melaksanakan putusan tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal perintah tersebut diterima.
Pasal 42 Dalam hal pemberian kompensasi dan/atau restitusi dapat dilakukan secara bertahap, maka setiap tahapan pelaksanaan atau keterlambatan pelaksanaan dilaporkan kepada pengadilan.
219
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
BAB VII
KERJA SAMA INTERNASIONAL
Pasal 43 Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme, Pemerintah Republik Indonesia melaksanakan kerja sama internasional dengan negara lain di bidang intelijen, kepolisian dan kerjasama teknis lainnya yang berkaitan dengan tindakan melawan terorisme sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VIII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 44 Ketentuan mengenai : a. kewenangan atasan yang berhak menghukum yakni : 1) melakukan penyidikan terhadap prajurit bawahannya yang ada di bawah wewenang komandonya yang pelaksanaannya dilakukan oleh penyidik polisi militer atau penyidik oditur; 2) menerima laporan pelaksanaan penyidikan dari penyidik polisi militer atau penyidik oditur; 3) menerima berkas perkara hasil penyidikan dari penyidik polisi militer atau penyidik oditur; dan 4) melakukan penahanan terhadap tersangka anggota bawahannya yang ada di bawah wewenang komandonya. b. kewenangan perwira penyerah perkara yang : 1) memerintahkan penyidik untuk melakukan penyidikan; 2) menerima laporan tentang pelaksanaan penyidikan; 3) memerintahkan dilakukannya upaya paksa; 4) memperpanjang penahanan; 5) menerima atau meminta pendapat hukum dari oditur tentang penyelesaian suatu perkara; 6) menyerahkan perkara kepada pengadilan yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili;
220
7) menentukan perkara untuk diselesaikan menurut hukum disiplin prajurit; dan 8) menutup perkara demi kepentingan hukum atau demi kepentingan umum/militer, dinyatakan tidak berlaku dalam pemeriksaan tindak pidana terorisme menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini.
Pasal 45 Presiden dapat mengambil langkah-langkah untuk merumuskan kebijakan dan langkah-langkah operasional pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini.
Pasal 46 Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dapat diperlakukan surut untuk tindakan hukum bagi kasus tertentu sebelum mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang ini, yang penerapannya ditetapkan dengan Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersendiri.
Pasal 47 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 18 Oktober 2002 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
221
PANDUAN JURNALIS MELIPUT
TERORISME
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 18 Oktober 2002 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 106
Salinan sesuai dengan aslinya Deputi Sekretaris Kabinet Bidang Hukum dan Perundang-undangan,
Lambock V. Nahattands
222