perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PEREMPUAN DAN PROFESI JURNALIS (Studi Kasus Mengenai Persepsi Perempuan terhadap Profesi
Jurnalis di Kalangan Mahasiswi S-1 Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS)
SKRIPSI
Disusun Oleh: FRANCISKA ANISTIYATI D0206054 Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Program Studi Ilmu Komunikasi
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012 commiti to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commitii to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commitiiito user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Motto: If you can dream it, you can do it (Walt Disney)
commitivto user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Persembahan:
Untuk Bapak, Ibu dan Mas Ulik
commitv to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kepada Allah Bapa Yang Maha Kasih, karena hanya dengan kehendak-Nya, skripsi berjudul PEREMPUAN DAN PROFESI JURNALIS (Studi Kasus mengenai Persepsi Perempuan terhadap Profesi Jurnalis di Kalangan Mahasiswi S-1 Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS) telah terselesaikan dengan baik. Skripsi ini dilatarbelakangi oleh minat Penulis pada kajian perempuan khususnya di bidang media. Ada pun secara khusus, buku telah menginspirasi Penulis untuk menyusun skripsi ini. Buku tersebut memaparkan data bahwa jumlah jurnalis perempuan di Indonesia begitu sedikit. Dari situ Penulis menjadi tertarik untuk mengetahui mengapa hanya sedikit perempuan yang tertarik menjadi jurnalis. Sebagai penelitian komunikasi, Penulis kemudian membatasi permasalahan ini dalam bingkai konsep persepsi. Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari dukungan dan pertolongan baik moril maupun material dari berbagai pihak. Atas selesainya skripsi ini, Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah berbaik hati memberikan dukungan: 1. Prof. Drs. H. Pawito, Ph.D, selaku Dekan FISIP UNS sekaligus Ketua Panitia Ujian Skripsi Penulis. Terima kasih atas koreksi dan masukan yang bermanfaat bagi penyempurnaan skripsi ini.
commitvito user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Dra. Prahastiwi Utari, M.Si, Ph.D, selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS sekaligus pembimbing skripsi Penulis, terima kasih untuk setiap diskusi yang mencerahkan. Terima kasih pula telah mengajari Penulis tentang arti kesabaran dan ketekunan. Penulis yakin, kehadiran Ibu dalam skripsi ini bukanlah sebuah kebetulan. 3. Mahfud Anshori, S.Sos, M.Si selaku Sekretaris Panitia Ujian Skripsi Penulis. Terima kasih atas koreksi dan masukan yang membangun sehingga skripsi ini menjadi lebih baik. 4. Drs. H. Dwi Tiyanto, SU selaku pembimbing Akademik Penulis. Terima kasih untuk motivasi yang diberikan. 5. Teman-teman Informan: Annisa Fitri dkk, Dian Erika dkk dan Ema Yuliani dkk, t
berhenti
sebagai impian belaka. 6. Bapak Supriyono, Ibu MM. Suti Rahayu dan Mas Yoseph Kelik Prirahayanto, terima kasih karena telah bersabar, terima kasih untuk doa dan semangat yang terus mengalir. Semoga skripsi ini dapat menjadi alasan untuk tersenyum dan menghirup nafas yang dalam 7. Cosmas Irmawan Henry Asmanto, terima kasih telah menjadi sahabat, kakak dan partner yang setia. 8. Suki Family tercinta: Mutiara Oktaviani, Dara Narendra Dhuhita, Lopiana Sita Hirlawati, Tri Setyo Ariyanti, Galuh Anindhita, Wahyu Aji Putranto, Aditya Wisnu Wicaksana, Meggi Girbaldi, Freddy Kurniawan dan Yonatan
commitviito user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Satria Yudha. Terima kasih telah menjadi teman curhat mulai dari urusan remeh temeh hingga impian masa depan. 9. Saudara-saudariku seibu: Candra, Mas Fijar, Mbak Dhita, Era, Dewi, Mbak Elya, Aang, Asiska, Dinda. Kebersamaan dan perjuangan bersama kalian tak pernah terlupa teman. Sukses untuk kita semua, 10. Teman-teman Komunikasi 2006 yang baik hati: Cesil, Duo Arum, Fika, Nunung, Lalak dan semuanya saja, sukses untuk kita semua. Yang masih berjuang semangat ya, kebersamaan dengan kalian akan menjadi kenangan indah di masa depan. 11. Bapak Argyo Dewantoto, terima kasih atas pinjaman buku-buku gender yang sangat bermanfaat. 12. Mas Budi, staff pendidikan, dan pihak-pihak yang tak dapat disebut satu per satu, terima kasih atas kebaikannya Penulis tak menutup mata bahwa sebagai pekerjaan manusia, skripsi ini bukanlah pekerjaan yang sempurna. Oleh sebab itu Penulis membuka diri untuk setiap kritik dan saran yang membangun. Akhir kata, terima kasih.
Penulis
viii commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK FRANCISKA ANISTIYATI, D0206054, PEREMPUAN DAN PROFESI JURNALIS (Studi Kasus mengenai Persepsi Perempuan terhadap Profesi Jurnalis di Kalangan Mahasiswi S-1 Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS) Skripsi, Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret (FISIP UNS) Surakarta, 2012.
Media massa disebut-sebut sebagai dunia maskulin. Bias gender yang cenderung merugikan perempuan masih mewarnai media di berbagai aspek mulai dari struktur organisasi, ritme kerja hingga berita yang dihasilkan. Rendahnya jumlah jurnalis perempuan dituding sebagai salah satu faktor pelestari maskulinitas media. Dengan tanpa mengurangi rasa hormat pada laki-laki penganut prinsip kesetaraan gender, perjuangan keadilan bagi perempuan di media idealnya dipelopori oleh perempuan itu sendiri. Sebagaimana termaktup dalam rumusan jurnalisme sensitif gender, peningkatan jumlah jurnalis perempuan pun menjadi agenda mendesak dalam rangka menciptakan media yang lebih adil gender. Tingginya harapan akan peningkatan partisipasi perempuan sebagai jurnalis pada perjalanannya harus terkendala oleh minat perempuan yang masih rendah. Kondisi ini patut dipertanyakan karena jurusan Ilmu Komunikasi yang merupakan pendidikan untuk mencetak praktisi media tengah dibanjiri peminat. Perlu pula untuk digarisbawahi bahwa mayoritas peminat jurusan Ilmu Komunikasi adalah perempuan. Disini Penulis melihat adanya kesenjangan antara perempuan yang berpotensi sebagai jurnalis dengan mereka yang kemudian memutuskan menjadi jurnalis. Berdasarkan uraian di atas, masalah yang diangkat pada penelitian ini yaitu bagaimana persepsi mahasiswi terhadap profesi jurnalis serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi. Ada pun subjek penelitian ini yaitu Mahasiswi S-1 Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS dengan pertimbangan aksesbilitas. Untuk menjawab persoalan tersebut, Penulis menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan pendekatan postpositivistik rasionalistik. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Untuk pengumpulan data digunakan metode wawancara mendalam (indepth interview). Selanjutnya dengan menggunakan teknik purpossive sampling diperoleh 18 orang informan penelitian. Untuk validitas data diuji melalui teknik triangulasi sumber (data) dan analisa data menggunakan model interaktif Miles dan Huberman. Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa terdapat dua tipe persepsi yang muncul mengenai profesi jurnalis yaitu persepsi idealistis dan persepsi realistis.
commitixto user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Persepsi idealistis terjadi pada mahasiswi semester awal dimana jurnalis menjadi pekerjaan ideal bagi mereka. Menurut mereka profesi ini menjanjikan berbagai kesenangan diantaranya seperti jalan-jalan dan menyalurkan hobi menulis. Namun, minat tersebut mengalami pergeseran dan munculkan persepsi realistis. Beberapa mahasiswi menjadi kurang tertarik menjadi jurnalis karena menurut mereka pekerjaan ini terlalu berat untuk perempuan, diantaranya dalam hal jam kerja yang tidak tentu, lokasi kerja di lapangan dan juga sisi keamanan. Pergeseran minat tersebut terjadi setelah mereka mengikuti mata kuliah profesi dan ada program Kuliah Kerja Komunikasi (K3). Terbentuknya persepsi mahasiswi S-1 Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS terhadap profesi jurnalis kiranya sesuai dengan teori Pembelajaran Sosial yang disampaikan oleh Osgood. Secara terus menerus mahasiswi S-1 Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNS menghimpun informasi mengenai profesi sebagai jurnalis dan selanjutnya menunjukkan sikap/perilaku terhadap profesi tersebut. Penulis melihat adanya pengaruh negatif yang kuat dari lingkungan dan kurangnya motivasi pada diri perempuan untuk menjadi jurnalis. Secara umum budaya patriarki telah menghambat perempuan untuk menjadi jurnalis.
commitx to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT FRANCISKA ANISTIYATI, D0206054, YOUNG WOMEN AND JOURNALIST (Case Study about Young Women Perception toward Journalist in Undergraduate Female Students on Communication Department of Social and Political Faculty Sebelas Maret University Surakarta), Paper, Communication Science Majors, Social and Political Science Faculty, Surakarta Sebelas Maret University (FISIP UNS), 2012 Mass media is regarded as masculine world. Gender bias still colors the media in many aspects such as the organization structure, work rhythm, and the presenting of sensitive gender news. The low number of female journalist is regarded as one of the supportive factor of media masculinity. Without decreasing the respect to men must be started by women theirselves. The improvement of female journalist number is expected can give more fair perspective dealing with gender in media, such as formulated in sensitive gender journalism. fact should face any obstacles because women have low interest to be a journalist. This condition must be asked because people who are interested in Communication Department Education increases recently and one thing that must be underlined is woman have been the majority of people who are interested in this department. The writter see that there was gap between women who are potential as journalist and women who decide to be a journalist. Based on the statement above, the problem raised in this research is how of this research are Undergraduate Female Students of Communication Department of Social and Political Faculty Sebelas Maret University Surakarta with the accessibility consideration. To answer that problem, researcher uses qualitative research methodology with postpositivism-rasionalism approach. Meanwhile, the writter used case study as a method research. Meanwhile the data collection uses in depth interview. Purposive sampling technique is used to choose eighteen research informants. The validity of the data is tested through source triangulation technique (data) and the data analysis uses Miles and Huberman Interactive model. From the result of research, the writer found that there was two type perception of journalist, idealistic and realistic perception. Idealistic perception happened in early time study of Undergraduate Female Students of Communication Department of Social and Political Faculty Sebelas Maret University Surakarta. Journalisr was their ideal work type. They thought that journalist was so interesting in many thing such as a chance to have traveling and practice hobby of writting. But
commitxi to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
there is a change after that. This is the rising of realistic perception. Many student became uninterested to be journalist because it feel too hard for woman such as uncertain work time, outdoor place, and the safety. This change happen after they follow profession class dan Kuliah Kerja Komunikasi (K3). The perception of Female Students to journalist was happen through social learning process by Osgood . They try to collect information about journalist to get final evaluation that become the basic of their attitude exchange. The writer sees there is a strong negative impact from the environment and the lack of motivation of for women to be a journalist.
commitxiito user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI Halaman JUDUL ...........................................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN ....................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................
iii
HALAMAN MOTTO ...................................................................................
iv
PERSEMBAHAN .........................................................................................
v
KATA PENGANTAR ..................................................................................
vi
ABSTRAK .....................................................................................................
ix
DAFTAR ISI ..................................................................................................
xiii
DAFTAR TABEL .........................................................................................
xvi
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
xvii
DAFTAR BAGAN.........................................................................................
xviii
BAB I. PENDAHULUAN ..........................................................................
1
A. B. C. D. E. F. G. H.
Latar Belakang Masalah ...................................................................... Rumusan Masalah ............................................................................... Tujuan Penelitian ................................................................................ Manfaat Penelitian ............................................................................. Telaah Pustaka .................................................................................... Review Penelitian Terdahulu .............................................................. Kerangka Berpikir ............................................................................... Definisi Konseptual............................................................................. 1. Persepsi......................................................................................... 2. Perempuan .................................................................................... 3. Jurnalis ......................................................................................... I. Metodologi Penelitian ......................................................................... 1. Paradigma Penelitian .................................................................... 2. Metode Penelitian ......................................................................... xiii commit to user
1 14 14 15 16 53 57 58 58 59 59 60 60 63
perpustakaan.uns.ac.id
3. 4. 5. 6. 7. 8.
digilib.uns.ac.id
Subjek Penelitian .......................................................................... Sumber Data ................................................................................. Teknik Sampling........................................................................... Teknik Pengumpulan Data ........................................................... Validitas Data ............................................................................... Teknik Analisis Data ....................................................................
65 65 65 66 67 68
BAB II. DESKRIPSI LOKASI DAN SUBJEK PENELITIAN.... ...........
72
A. Gambaran Umum Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNS ...................... 1. Sejarah Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNS ................................ 2. Struktur Organisasi Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNS............. 3. Visi Program Studi ....................................................................... 4. Misi Program Studi ...................................................................... 5. Tujuan Program Studi .................................................................. 6. Kurikulum .................................................................................... 7. Substansi Mata Kuliah Spesialisasi.............................................. 8. Profil Dosen.................................................................................. 9. Kemahasiswaan ............................................................................ 10. Sarana dan Prasarana Pendidikan................................................. 11. Profil Lulusan ............................................................................... B. Gambaran Umum Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNS ... C. Data Subjek Penelitian ........................................................................
72 72 73 74 74 75 76 80 81 82 82 84 84 86
BAB III. PERSEPSI MAHASISWI S-1 PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FISIP UNS TERHADAP PROFESI JURNALIS ................................................................................. A. Pemilihan Jurusan Ilmu Komunikasi .................................................. 1. Faktor Personal ............................................................................... 1.1. Pengetahuan Mengenai Jurusan Ilmu Komunikasi ................. 1.2. Motif Kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi .............................. 2. Faktor Situasional ........................................................................... 2.1. Significant Others .................................................................... 2.2. Media Massa ............................................................................
xiv commit to user
95 97 98 94 112 130 131 143
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Pemilihan Pekerjaan Bidang Komunikasi ........................................... 1. Ideal Type ....................................................................................... 2. Transition Type .............................................................................. 3. Real Type ........................................................................................ C. Persepsi Mahasiswi S-1 Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS terhadap Profesi Jurnalis ........................................................... 1. Persepsi Idealistis ........................................................................... 2. Persepsi Realistis ............................................................................ 3. Pengaruh Significant Others ...........................................................
154 155 173 181 195 196 213 228
BAB IV. PENUTUP ......................................................................................
235
A. Kesimpulan.......................................................................................... B. Saran ....................................................................................................
235 240
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
242
LAMPIRAN
commitxvto user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL Halaman Tabel I.1 Desk dibawah Redaktur Perempuan di Sembilan Surat Kabar di 4 Tabel I.2 Komposisi Wartawan Laki-laki dan Perempuan dari Sembilan 6 Tabel I.3 Jumlah Reporte
7
Tabel I.4 Rekapitulasi Penerbitan Pers Berdasarkan bentuk/format
9
Tabel II.1 Daftar Mata Kuliah Semester 1
77
Tabel II.2 Daftar Mata Kuliah Semester 2
77
Tabel II.3 Daftar Mata Kuliah Semester 3
78
Tabel II.4 Daftar Mata Kuliah Semester 4
78
Tabel II.5 Daftar Mata Kuliah Semester 5
78
Tabel II.6 Daftar Mata Kuliah Semester 6
79
Tabel II.7 Daftar Mata Kuliah Semester 7
79
Tabel II.8 Daftar Mata Kuliah Semester 8
79
Tabel II.9 Daftar Mata Kuliah Pilihan
79
Tabel II.10Jumlah Mahasiswa S-1 Reguler Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS Akademik 2010/2011 Tabel II.11Daftar Informan
85 86
xvi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar I.1 Model Komunikasi Riley
22
Gambar I.2 Analisis Data Model Interaktif Miles dan Huberman
71
xvii commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR BAGAN
Halaman Bagan I.1
Bagan I.2
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi menurut Robbins dan Judge
32
Kerangka Berpikir
58
Bagan II.1 Struktur Organisasi Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS .... 73 Bagan III.1 Pemilihan Jurusan Ilmu Komunikasi
153
Bagan III.2
193
Bagan III.3 Pergeseran Pilihan Pekerjaan Bidang Komunikasi
193
Bagan III.4 Pemilihan Pekerjaan Bidang Komunikasi
194
xviii commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Media massa disebut-sebut sebagai dunia maskulin. Kepekaan media terhadap persoalan-persoalan gender dianggap masih kurang dan cenderung merugikan perempuan. Mengutip pernyataan Marwah Daud Ibrahim dalam Ibrahim dan Suranto, sejauh ini media dianggap masih melanggengkan stereotip yang merugikan perempuan. Perempuan disosialisasikan sebagai makhluk yang pasif, tergantung pada pria, didominasi, menerima keputusan yang dibuat oleh pria dan terutama pasrah melihat dirinya sebagai simbol seks1. Bias gender di media pertama-tama dapat dilihat dari bagaimana surat kabar, majalah, film, televisi, iklan, dan buku-buku menampilkan potret diri perempuan. Mari kita sejenak melihat fenomena perempuan dalam berita kejahatan dan kriminal. 2
3
;
. Tanpa membaca berita lebih
lanjut, dari judul dapat ditangkap bahwa korban dari tindak pelecehan seksual adalah 1
Marwah Daud Ibrahim dalam Idi Subandy Ibrahim, dkk (ed), Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi gender dalam Ruang Publik Orde Baru. (Bandung:Remaja Rosdakarya, 1998), hlm.107 2 eptember 2010 3 Ahmad Tarmizi, 12 Desember 2010
commit1 to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2
perempuan dan laki-laki berperan sebagai pelaku. Tidak dapat disangkal bahwa kasus pelecehan seksual selama ini begitu identik dengan keberadaan laki-laki sebagai pelaku dan perempuan sebagai korban. Selanjutnya, ada beberapa kata yang sering muncul dalam berita kriminal khususnya berita perkosaan antara lain sebagai berikut: dsb. Secara tidak langsung korban (perempuan) justru semakin dieksploitasi dengan pilihan-pilihan kata di berita. Sebaliknya, sosok pelaku (laki-laki) yang semestinya
mereka lakukan. Dalam kasus ini lengkaplah sudah derita perempuan. Sudah jatuh masih tertimpa tangga. Sudah menjadi korban yang menanggung beban psikologis masih diberitakan tanpa rasa simpati yang semakin menambah luka. Menjadikan berita kriminal sebagai bukti dari bias gender di media mungkin terlalu ekstrim. Ada baiknya kita mencoba mengamati berita-berita regular tentang perempuan yang dimuat dalam rubrik atau media khusus perempuan. Hasilnya, menurut Debra H. Yatim selama ini media perempuan cenderung menyajikan berita atau artikel yang bersifat domestik yaitu menyangkut rumah tangga, mode, perawatan, keluarga dan anak, serta profil tokoh perempuan yang berhasil pada bidang-bidang tersebut4. Disini dapat dirasakan bagaimana media mengkonstruksikan peran perempuan sebagai penguasa wilayah domestik.
4
Debra H Yatim dalam Idi Subandy Ibrahim, dkk (ed), Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi gender dalam Ruang Publik Orde Baru. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998), hlm. 137
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3
Sekadar sebagai pembelaan terhadap media, kerap dikatakan bahwa media tidak lebih, tidak kurang adalah cermin bagi realitas yang beredar di masyarakat. Namun, pembelaan itu ditangkis oleh Debra H. Yatim dengan mengajukan sudut pandang lain bahwa media memiliki hubungan dua arah dengan realitas sosial. Selain menjadi cermin dari realitas, media sebenarnya juga menciptakan realitas (realitas media)5. Saat sebuah berita dianggap kurang sensitif gender, melalui kaca mata Debra H Yatim penyebabnya dapat dirunut dari dua sumber: pertama, kenyataan di masyarakat memang demikian, atau kedua, subjektivitas wartawan dan editorlah yang bermain. Kiranya berita bias gender dapat diminimalisir jika didasari oleh kesadaran akan kemungkinan kedua. Nursyahbani Katjasungkana dalam sebuah artikel pernah menuliskan harapannya untuk gerakan kesetaraan gender, yang tentunya ini relevan juga jika dihadapkan pada bias gender yang masih mewarnai media: eputusan, mungkin akan lebih cepat mewujudkan kesetaraan dan keadilan antara laki-laki 6
.
Pada kenyataannya, media masih sepi dari campur tangan perempuan. Jumlah redaktur perempuan di media sejauh ini masih minim. Menurut hasil penelitian dari Lembaga Penelitian Pendidikan Penerbitan Yogyakarta (LP3Y) dan Ford Foundation tahun 1998, pada sembilan surat kabar di Jawa (Kompas, Republika, Suara 5 6
Ibid, hlm. 134
Tempo (18-24 Desember 2006) hlm.93
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4
Pembaharuan, Pos Kota, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Surabaya Post, Jawa Pos) maksimal baru terdapat dua jurnalis perempuan yang menduduki jabatan sebagai redaktur desk dan bidang7. Ada pun desk-desk yang diampu oleh para redaktur perempuan di kesembilan surat kabar itu antara lain Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek), Minggu dan Feature. Sejauh ini belum ada perempuan yang pernah menduduki posisi puncak sebagai redaktur desk metro, kriminal apalagi sebagai pemimpin redaksi. (Lihat Tabel I.1). Tabel I.1 Desk dibawah Redaktur Perempuan di Sembilan Surat Kabar di Jawa No
Media
Redaktur Desk/ Bidang Lunak
Keras
1
Kompas
2
0
2
Suara Pembaharuan
1
0
3
Republika
2
0
4
Pos Kota
1
0
5
Pikiran Rakyat
0
0
6
Kedaulatan Rakyat
0
0
7
Suara Merderka
2
0
8
Jawa Pos
2
0
9
Surabaya Post
0
0
10
0
Jumlah Sumber: Media & Gender, 1998
7
Ashadi Siregar dkk (ed), Media & Gender: Perspektif Gender atas Industri Suratkabar Indonesia. (Yogyakarta: LP3Y, 1999), hlm. 45-61
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5
Di lingkup yang lebih sempit, Dalam struktur kepengurusan PWI Cabang Surakarta masa bakti 2006-2010 hasil Konferensi Cabang 2 Desember 2006 terdapat kenderungan sama. Dari 14 pengurus, hanya dua orang perempuan yang masuk dalam struktur organisasi PWI Cabang Surakarta. Itu pun masih menjadi orang nomer dua, masing-masing sebagai Wakil Sekretaris II dan Wakil Ketua Seksi Seni, Budaya dan Pariwisata8. Melalui stuktur keorganisasian, maskulinitas media begitu terasa melalui pembagian kerjanya yang bersifat sex-line. Laki-laki ditempatkan pada bidang kerja keras (hard) seperti bidang politik, ekonomi, hukum dan kriminal serta olahraga. Sedangkan perempuan ditempatkan pada bidang yang lunak (soft) seperti pendidikan, kesejahteraan masyarakat, pariwisata, budaya, dan hiburan serta ilmu pengetahuan dan teknologi9. Terdapat sebuah kecenderungan bahwa perempuan masih dianggap sebagai orang nomer dua di media. Lemahnya bargaining position maupun peran strategis perempuan di media menjadi tak mengherankan karena jumlah jurnalis yang ada di industri media selama ini ternyata didominasi oleh laki-laki. Data tahun 1998 menunjukkan masih adanya ketimpangan yang cukup jauh antara proporsi jurnalis perempuan dan laki-laki. Data sembilan surat kabar harian besar yang terbit di Jawa yakni; harian Kompas, Suara Pembaharuan, Republika, Pos Kota, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Suara 8 9
Sumber: Data PWI Cabang Surakarta Siregar, Op.Cit. hal.45
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6
Merdeka, Jawa Pos dan Surabaya Pos menunjukkan bahwa rata-rata hanya terdapat 14 orang jurnalis perempuan dari total 129 orang jurnalis yang bekerja, atau sekitar 11 persen saja. (Lihat pada Tabel I. 2)10. Tabel I. 2 Komposisi Wartawan Laki-laki dan Perempuan dari Sembilan Surat Kabar Harian No
Media
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
Rasio (%)
156
28
184
15,22
82
15
97
15,46
1
Kompas
2
Suara Pembaharuan
3
Republika
108
21
129
16,27
4
Pos Kota
103
8
111
7,21
5
Pikiran Rakyat
69
12
81
14,81
6
Kedaulatan Rakyat
133
14
147
9,52
7
Suara Merdeka
121
12
133
9,02
8
Jawa Pos
119
8
127
6,30
9
Surabaya Pos
143
9
152
5,92
1.034
127
1.161
10,94
Jumlah Sumber: Media dan Gender, 1999
Kondisi yang sama juga terjadi di industri televisi. Dari Lima stasiun televisi swasta di Indonesia yaitu SCTV, RCTI, ANTV, IVM dan TPI (sekarang MNCTV), rata-rata perbandingan reporter perempuan dan laki-laki adalah 1: 211. Perbandingan itu akan berubah nilainya jika seluruh kameramen masuk hitungan. Angka
10
Ibid. hlm.14 Priyo Soemandoyo, Wacana Gender dan Layar Televisi: Studi Perempuan dalam Pemberitaan Televisi Swasta, (Yogyakarta: LP3Y, 1999), hlm. 128 11
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7
perbandingan bisa membengkak menjadi 1: 412 karena tidak ada kameramen perempuan (Lihat Tabel I.3). Tak berbeda dari media cetak, industri televisi pun membagi peran perempuan dan laki-laki dalam penugasan. Kebanyakan perempuan berada di depan layar sedangkan laki-laki di balik layar dengan spesifikasi mengoperasian alat.
Tabel I. 3 Jumlah Reporter dan Kameramen televisi Swasta No
Jenis Pekerjaan
SCTV RCTI ANTV
IVM
TPI
Jmlh
1
Reporter Laki-laki
38
42
34
16
22
152
2
Reporter perempuan
15
20
14
8
13
70
3
Kamrmn laki-laki
34
32
30
26
20
142
4
Kamrmn perempuan
-
-
-
-
-
-
5
Presenter laki-laki
6
8
2
2
4
24
6
Presenter perempuan
7
6
5
2
5
25
100
108
85
54
64
413
Jumlah Sumber: Soemandoyo:1998
Dalam lingkup yang lebih luas, Data PWI tahun 1998 tentang data jumlah wartawan di Indonesia menampilkan kecenderungan yang sama. Dari 4.687 orang wartawan di Indonesia, diperoleh data bahwa jumlah wartawan perempuan hanya 461 orang atau sekitar 10 persen13.
12
ibid Nur Iman Subono, Maret (2003), hlm.57 13
, Jurnal Perempuan, Nomor. 28,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8
Adanya kecenderungan berita yang merugikan perempuan, sedikitnya redaktur perempuan hingga rendahnya jumlah jurnalis perempuan, menjadi fakta dari bias gender di media massa yang terjadi secara sistematis. Tak berlebihan jika Debra H. Yatim kemudian menyebut media massa selama ini digarap, disunting, dan diedarkan oleh pria untuk pria14. Peningkatan jumlah jurnalis perempuan kemudian mengemuka sebagai salah satu solusi untuk memutus mata rantai bias gender di media. Hal itu didukung oleh Ana Nadhya Abrar yang menyatakan bahwa dengan tanpa mengurangi penghargaan pada jurnalis laki-laki yang menganut prinsip kesetaraan gender, pelopor kesetaraan gender di media tetaplah perempuan15. Masih rendahnya jumlah jurnalis perempuan mengkondisikan peran perempuan yang masih terbatas dan untuk memperbesar kekuatan perempuan di media maka dibutuhkah jumlah jurnalis perempuan yang lebih banyak. Harapan akan adanya peningkatan jumlah jurnalis perempuan di Indonesia cukup terpupuk oleh pesatnya pertumbuhan industri media belakangan ini. Sejak era booming pers16, Direktorat Pembinaan Pers tahun 1999 mencatat fenomena yang
14
Ibrahim, Op.Cit, hlm.139 Ana Nadhya Abrar , Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada Volume 7 No.3, Maret 2004, hlm. 384 16 Mursito BM, Memahami Institusi Media:Sebuah Pengantar, (Surakarta:Lindu Pustaka & Spikom,2006), hlm.190 Sekurang-kurangnya di Indonesia telah terjadi dua kali ledakan pertumbuhan industri pers (booming pers). Pertama tahun 1980-an ketika TVRI dilarang beriklan, sementara televisi swasta belum beroperasi. Akibatnya pers menjadi ladang utama untuk beriklan dan semakin banyaklah media baru yang muncul. Kedua, terjadi ketika Orde Baru tumbang dan mulai memasuki babak baru kehidupan 15
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
9
terjadi khusus pada penerbitan cetak rata-rata terjadi lonjakan hingga 3 kali lipat. Lonjakan paling tinggi terjadi pada tabloid disusul oleh surat kabar dan majalah. Satu-satunya media cetak yang pertumbuhannya kurang signifikan yaitu buletin. Ia hanya bertumbuh 30 persen17 (Lihat Tabel I.4). Tabel I.4 Rekapitulasi Penerbitan Pers Berdasarkan bentuk/format No Jenis penerbitan pers Pra reformasi Era reformasi Jumlah 1 Surat Kabar 90 285 375 2 Tabloid 91 625 716 3 Majalah 100 334 434 4 Buletin 8 3 11 Jumlah 289 1.247 1.536 Sumber: Direktorat Pembinaan Pers 1999 Industri pertelevisian pun tak mau kalah. Menjelang tahun 2000 muncul hampir secara serentak lima stasiun televisi nasional baru. Stasiun televisi tersebut antara lain; Metro, Trans Tv, Tv 7 (sekarang Trans 7), Lativi (sekarang Tv One), dan Global18. Pers semakin diramaikan pula oleh munculnya media-media lokal19. Sampai dengan tahun 2005 tercatat pertumbuhan televisi lokal mencapai angka 86 stasiun, tersebar di lebih dari 50 kota besar dan di hampir semua provinsi di Indonesia 20.
politik yang dikenal dengan era reformasi. Lonjakan pendirian penerbitan pers terjadi karena pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). 17 Ibid, hlm.192 18 www.jiastisipolcandradimuka.blogspot.com diakses pada 19 Maret 2012 pukul 10: 29 WIB 19 http://www.mercubuana.ac.id/file/modul/CIPTONOSETYOBUDI-TEKNOLOGIKOMUNIKASI diakses pada 9 Desember 2011 pukul 06.53 WIB 20 www.atvli.com diakses pada 19 Maret 2012 pukul 10: 25 WIB
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
10
Fenomena pertumbuhan media cetak dan televisi di atas dapat menjadi pijakan untuk membayangkan betapa industri media di Indonesia sejak reformasi 1998 mengalami pertumbuhan yang signifikan. Kondisi itu menyiratkan adanya peluang kerja di industri media salah satunya sebagai jurnalis, baik itu untuk laki-laki maupun perempuan. Idealnya, booming pers dapat menjadi peluang bagi perempuan untuk tampil sebagai jurnalis. Namun pada kenyataannya profesi ini belum cukup berhasil menarik minat perempuan. Data tahun 2006 menunjukkan kondisi yang tak jauh berbeda dari tahun 1998. Mengacu Laporan Kementerian Komunikasi dan Informasi RI tahun itu, jumlah jurnalis laki-laki adalah 11.603 orang sedangkan jurnalis perempuan hanya 2.031 orang atau sekitar 15 persen21. Permasalahan mengenai rendahnya jumlah jurnalis perempuan jika digali ke akar pada akhirnya akan sampai pada institusi pendidikan tinggi. Hafied Cangara dalam sebuah artikel mengatakan: merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kajian komunikasi yang selama ini banyak dikaitkan dengan media, kebijakan komunikasi (communication policies), isi (content), dan juga para pekerja komunikasi itu sendiri (wartawan, presenter, public relations officer, dan juga para dosen komunikasi),22. Dengan kata lain saat kita
21
Laporan Kementrian Komunikasi dan Informasi RI 2006 Hafied Cangara, dalam Farid Hamid dan Heri Budianto, Ilmu Komunikasi: Sekarang dan Tantangan Masa Depan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 30 22
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
11
membicarakan rendahnya jumlah jurnalis perempuan kita pun harus menelusuri persoalan itu dari hulunya yaitu pendidikan Ilmu Komunikasi. Di Indonesia, pendidikan Ilmu Komunikasi mengalami pertumbuhan yang cukup bagus. Menurut catatan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, pada tahun 2011 jumlah pendidikan Ilmu Komunikasi di Indonesia telah mencapai 199 perguruan
tinggi
negeri
maupun
swasta,
baik
dalam
bentuk
fakultas,
jurusan/departemen, STIKOM, politeknik maupun dalam bentuk program studi (prodi) yang dicangkokkan di bawah jurusan non-komunikasi. Besarnya jumlah lembaga pendidikan komunikasi ini menempatkan ilmu komunikasi di Indonesia pada posisi ketiga program studi yang paling banyak ditawarkan setelah program studi Ilmu Komputer (sekitar 500-an) sebagai peringkat pertama, dan program studi akuntansi (sekitar 300-an) sebagai peringkat kedua 23. Pertumbuhan itu tak lepas dari tingginya minat calon mahasiswa baru untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi. Dari tahun ke tahun peminat jurusan Ilmu Komunikasi meningkat sejalan dengan pertumbuhan media massa belakangan ini. Katakanlah pada SNMPTN tahun 2010, Ilmu Komunikasi menempati urutan pertama sebagai program studi dengan peminat tertinggi. Disusul kemudian prodi Pendidikan Dokter sebagai peminat tertinggi kedua, dan prodi Manajemen dengan peminat tertinggi ketiga24.
23 24
Ibid, hlm. 32 www.unpad.ac.id, dikases pada 13 Januari 2011 pukul 11:15 WIB
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
12
Tingginya minat untuk mendaftar di jurusan Ilmu Komunikasi sudah tak terbantahkan. Lantas bagaimana dengan input mahasiswa Ilmu Komunikasi sendiri? Jika dipilah berdasarkan jenis kelaminnya, ternyata diperoleh fakta bahwa komposisi mahasiswa di jurusan Ilmu Komunikasi di Indonesia rata-rata di dominasi oleh perempuan. Lock dalam Utari & Nilan menyebutkan bahwa perbandingan antara perempuan dan laki-laki yang menempuh pendidikan di jurusan Ilmu Komunikasi di Indonesia kurang lebih 7: 325. Kondisi yang sama berlaku pula di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS. Turun temurun jumlah mahasiswi lebih banyak dari mahasiswa. Sebagai contoh pada tahun ajaran 2010/2011. Berdasarkan data yang diperoleh dari Bagian Pendidikan FISIP UNS tahun 2010, mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNS yang masih aktif sampai saat itu sebanyak 410 orang, yang terdiri dari 260 orang mahasiswi dan 150 orang mahasiswa26. Banyaknya perempuan yang menempuh pendidikan Ilmu Komunikasi dapat dibaca pula sebagai peluang semakin banyaknya perempuan yang akan masuk dalam industri komunikasi salah satunya sebagai jurnalis. Namun, input mahasiswi jurusan Ilmu Komunikasi yang cukup besar ternyata tidak menjamin terpenuhinya pekerja di bidang komunikasi. Sebagai contoh yang terjadi pada mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNS angkatan 2005. Berdasarkan catatan alumni angkatan 25
The Lucky Few: Female Graduates of Communication Studies in the Indonesian Media Industry 26 Data Sekunder Bagian Pendidikan FISIP UNS 2010
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
13
tersebut dari 51 alumni, 31 diantaranya adalah perempuan. Hanya ada dua alumni perempuan yang bekerja sebagai jurnalis (1 di majalah dan datu di surat kabar lokal). Alumni perempuan lainnya bekerja di instansi-instansi lain seperti perbankan, pendidikan dan pemerintahan27. Dari secuil data di atas nampak adanya keengganan alumni jurusan Ilmu Komunikasi untuk menjadi jurnalis. Secara keilmuan tentunya mereka mampu, namun mengapa mereka justru lebih tertarik pada bidang pekerjaan lain bahkan sampai menyeberang ke bidang kerja disiplin lain. Kiranya keengganan ini menjadi kondisi yang perlu digali lebih dalam, mengapa perempuan tidak ingin menjadi jurnalis. Pengalaman subjektif perempuan menjadi kunci jawabannya. Fenomena ini menarik untuk diteliti karena rendahnya jumlah jurnalis perempuan akhir-akhir ini mulai diperbincangkan terkait dengan agenda jurnalisme humanitarian khususnya jurnalisme sensitif gender. Kehadiran jurnalis perempuan dirasa perlu untuk menciptakan iklim hubungan gender yang lebih seimbang dan adil di media. Namun sayang sekali harapan yang digantungkan pada jurusan Ilmu Komunikasi untuk memasok jurnalis-jurnalis perempuan yang handal tidak membuahkan hasil yang signifikan. Penelitian ini kemudian difokuskan pada konsep persepsi. Dalam konteks penelitian komunikasi, penelitian ini termasuk sebagai
27
Data Base Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP UNS Angkatan 2005
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
14
audience analysis atau studi khalayak yaitu penelitian yang fokus pada
unsur
komunikan (perempuan)28. Sebagai mahasiswa komunikasi, penelitian ini menarik karena dapat mempelajari bagaimana sebuah pesan dimaknai sehingga berpengaruh terhadap sikap/perilaku manusia. Penelitian ini melihat komunikasi sebagai sebuah proses namun yang dilihat bukanlah keseluruhan prosesnya melainkan terfokus pada efek yang ditimbulkan oleh pesan. Metodologi penelitian ini adalah kualitatif. Adapun metode penelitian ini menerapkan studi kasus.
B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang masalah di atas, maka Penulis merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana persepsi mahasiswi S-1 Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS terhadap profesi jurnalis? 2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi mahasiswi S-1 Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS terhadap profesi jurnalis?
C. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 28
Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1990), hlm.10
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
15
1. Persepsi mahasiswi S-1 Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS terhadap profesi jurnalis 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi mahasiswi S-1 Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS terhadap profesi jurnalis
D. MANFAAT PENELITIAN Penulis berharap, penelitian ini dapat bermanfaat bagi : 1. Perempuan yang ingin berprofesi sebagai jurnalis, Semoga penelitian ini dapat memberi gambaran mengenai realitas profesi sebagai jurnalis sehingga para perempuan dapat mempersiapkan diri lebih matang baik dalam hal pengetahuan, keterampilan maupun kesiapan mental. 2. Pengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi Semoga penelitian ini dapat menjadi bahan evaluasi bagi para pengajar di jurusan Ilmu Komunikasi terkait salah satu tujuan akademis di jurusan Ilmu Komunikasi yaitu mencetak praktisi di bidang media. Semoga penelitian ini menjadi awal dari evaluasi kurikulum pendidikan di jurusan Ilmu Komunikasi khususnya terkait dengan pendidikan jurnalistik. 3. Pemerhati media dan gender Semoga penelitian ini dapat memberi gambaran kesadaran gender di kalangan mahasiswi, untuk selanjutnya menyelenggarakan penelitian atau membuat program-program yang semakin memperkaya kajian media dan gender
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
16
E. TELAAH PUSTAKA 1. Komunikasi 1.1. Definisi Komunikasi Sebagai makhluk sosial, manusia akan terus berinteraksi dengan sesamanya. Selama itu pula manusia akan berkomunikasi. Menurut Habermas dalam Bungin, komunikasi adalah inti dari interaksi sosial29. Pemikiran itu kemudian disempurnakan John Fiske dengan mendefinisikan komunikasi sebagai interaksi sosial melalui pesan30. Berpijak pada definisinya, Fiske kemudian mengelompokkan komunikasi ke dalam dua mazhab yaitu Mazhab Proses dan Mazhab Semiotika. Mazhab Proses melihat komunikasi sebagai transmisi pesan. Bagaimana pengirim-penerima
mengkonstruksi
pesan
(encode)
kemudian
menerjemahkannya (decode) dan bagaimana transmiter menggunakan saluran dan media komunikasi merupakan fokus dari mazhab ini. Mazhab ini menaruh ketertarikan pada efisiensi dan akurasi komunikasi yaitu saat komunikasi mampu mempengaruhi perilaku atau state of mind orang lain. Komunikasi akan dianggap gagal, apabila efek yang terjadi berbeda dari atau lebih kecil daripada yang diharapkan31.
29
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, Cet.ke-2 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007)hlm.26 30 John Fiske, Cultural and Communication Studies, (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), hlm. 8 31 Ibid, hlm.8-9
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
17
Di sisi lain, Mazhab Semiotika melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Mazhab ini berkenaan dengan bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang-orang dalam rangka menghasilkan makna. Bagi mazhab ini, studi komunikasi adalah studi tentang teks dan kebudayaan. Berbeda dengan Mazhab Proses, Mazhab Semiotika tidak memandang kesalahpahaman sebagai bukti yang penting dari kegagalan komunikasi32. Antara Mazhab Proses dan Semiotika terdapat beberapa perbedaan yang signifikan. Pertama fokus studi: Mazhab Proses memusatkan diri pada perilaku atau tindakan komunikasi, sedangkan Mazhab Semiotika lebih fokus pada karya komunikasi33. Kedua pendekatan keilmuan: Mazhab Proses cenderung mempergunakan ilmu-ilmu sosial seperti psikologi dan sosiologi sedangkan Mazhab Semiotika cenderung mempergunakan linguistik dan subjek seni34. Dan ketiga sifat pesan: menurut Mazhab Proses pesan bersifat statis. Artinya, pesan yang disampaikan adalah sama, tidak berubah. Yang dinamis adalah cara penyampaiannya. Sebaliknya menurut Mazhab Semiotika pesan bersifat dinamis. Mazhab ini lebih fokus pada bagaimana pesan dimaknai berdasarkan referensi
setiap
orang
yang
tentunya
berubah-ubah
sesuai
dengan
perkembangan kerangka referensi. Mengacu pada pemikiran Fiske di atas, kiranya penelitian ini termasuk dalam kategori mazhab komunikasi yang pertama yaitu komunikasi sebagai 32
Ibid, hlm.9 Ibid 34 Ibid 33
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
18
proses. Hal itu karena fokus penelitian ini adalah mengamati perilaku komunikasi yaitu bagaimana perempuan menanggapi profesi sebagai jurnalis. Dan karena mengamati gejala perilaku maka penelitian ini tak luput dari pengaruh disiplin ilmu sosiologi dan psikologi. Harold Lasswell dalam karyanya yang berjudul The Structure and Function of Communication in Society mengutarakan bahwa cara terbaik untuk menjelaskan komunikasi sebagai proses adalah dengan menjawab pertanyaan: Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect?35 Jawaban dari pertanyaan itu tidak lain adalah komponen-komponen komunikasi yaitu: komunikator (orang yang menyampaikan pesan), pesan (pernyataan yang didukung oleh lambang), komunikan (orang yang menerima pesan), media (sarana atau saluran yang mendukung pesan bila komunikan jauh tempatnya atau banyak jumlahnya) dan efek (dampak sebagai pengaruh dari pesan). Jadi berdasarkan Paradigma Lasswell, komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu36. Menurut Effendy, setidaknya terdapat tiga tingkatan efek yang diharapkan dalam proses komunikasi yaitu: efek kognitif, efek afektif dan efek behavioral. Efek kognitif yaitu saat komunikan menjadi tahu atau intelektualitasnya meningkat; efek afektif yaitu saat komunikan tergerak hatinya 35
Effendy,Op.cit. hlm.10 Ibid
36
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
19
sehingga memiliki perasaan tertentu dan efek behavioral yaitu saat komunikan tergerak untuk mengubah perilaku37. Idealnya, komunikasi disebut efektif bilamana ia menghasilkan efek behavioral. Hal itu seperti didefinisikan oleh Hovland, Janis dan Kelly dalam Rakhmat bahwa komunikasi adalah proses dimana individu menyalurkan rangsangan untuk mengubah perilaku orang lain (communication is the process by which an individual transmits stimuli to modify the behavior of the other individuals)38. Sebagai proses, kelima komponen komunikasi yang terkandung dalam paradigma Lasswell mutlak harus ada dalam setiap fenomena komunikasi. Namun, penelitian ini tidak berniat mempelajari proses komunikasi dari awal dan lebih fokus pada efek yang terjadi pada komunikan (perempuan). Menurut Lasswell, penelitian ini disebut sebagai studi khalayak (audience analysis)39. Ada pun berdasarkan jumlah dan karakter komunikannya, penelitian ini termasuk
dalam
konteks
komunikasi
antarpribadi
(interpersonal
communication). Menurut Ruesch dan Bateson dalam Littlejohn yang kemudian dikutip oleh Liliweri, komunikasi antarpribadi yaitu relasi individual dengan orang lain dalam konteks sosialnya. Melalui proses ini individu menyesuaikan dirinya dengan orang lain lewat peran yang disebut transmitting dan
37
Onong Uchjana Effendy, Dinamika Komunikasi, Cet. ke-6, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hlm.7 38 Marhaeni Fajar, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hlm. 31 39 Effendy. Loc.Cit
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
20
receiving40. Transmitting yaitu pemindahan pesan baik verbal maupun nonverbal sebagaimana telah dipaparkan di muka, sedangkan receiving merupakan proses penerimaan pesan-pesan41. Messege reception merupakan proses aktif yang terdiri dari tiga elemen yaitu: seleksi, interpretasi dan memori42. Seleksi yaitu bagaimana seseorang memilih suatu pesan di antara banyaknya pesan yang ada di sekitarnya. Interpretasi yaitu bagaimana seseorang memaknai pesan yang ia terima dan memori adalah bagaimana seseorang mengorganisasikan pesan dalam sistem ingatan43. Menurut Littlejohn, proses messege reception mengarah pada tiga aktivitas yang saling berhubungan yaitu interpretation, organization dan judgement. Interpretation yaitu bagaimana individu memaknai suatu pesan, mencoba mengetahui maksud dari pesan, mencari sebab akibat. Organization yaitu internalisasi pesan dalam sistem kepercayaan dan sikap. Sedangkan judgement adalah penilaian berdasarkan informasi44. Penelitian ini sendiri lebih fokus pada aktivitas pertama yaitu interpretation, sebagai dasar dari persepsi khalayak terhadap profesi sebagai
40
Alo Liliweri, Perspektif Teoritis Komunikasi Antarpribadi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), hlm. 3 Ibid 42 th Brent D. Ruben & Lea P. Stewart, Communication and Human Behavior, 4 ed. (MA: Viacom Company, 1998), hlm. 85 43 Ibid, hlm. 88-92 44 th Stephen W Littlejohn, Theories of Human Communication, 7 ed (NY: Wadsworth, 2001), hlm. 118 41
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
21
jurnalis. Menurut Deddy Mulyana, persepsi adalah inti dari komunikasi45. Disebut sebagai inti komunikasi karena efektivitas komunikasi sangat tergantung pada proses persepsi. Pembahasan persepsi lebih lanjut ada pada point 2. 1.2. Teori Pembelajaran Sosial (Sosial Learning Theory) Penelitian ini menggunakan Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning Theory) yang disampaikan oleh Charles Osgood. Teori ini berpijak pada model komunikasi paling sederhana yaitu Stimulus-Respon (S-R) yang berasumsi bahwa individu akan memberi respon terhadap rangsangan yang ada di sekitarnya46. Model komunikasi S-R kemudian dikoreksi oleh John W. Riley dan Mathilda W. Riley dalam tulisannya yang berjudul Mass Communication and the Social System. Menurut mereka, komunikan dalam menerima pesan yang disampaikan oleh komunikator tidak langsung bereaksi begitu saja. Ada faktor-faktor di luar dirinya yang turut mempengaruhi dan bahkan mengendalikan aksi dan reaksinya terhadap suatu pesan yang diterimanya 47. Faktor-faktor yang dimaksud terutama berkaitan dengan pesan dan kelompok primer (misalnya keluarga) dan kelompok lainnya yang menjadi rujukan (referensi) dari si komunikan. Nilai-nilai yang berlaku pada kelompok primer dan kelompok rujukan ini lah yang lazimnya mempengaruhi komunikan
45
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi:Suatu Pengantar, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003 ), hlm. 151 46 Littlejohn, Op.Cit, hlm. 118 47 Fajar, Op.Cit, hlm. 107-108
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
22
dalam menetukan sikap dan tindakan-tindakan. Hal ini terjadi karena umumnya orang akan selalu berusaha agar sikap dan tindakannya tidak terlalu menyimpang dari nilai-nilai kelompok lingkungannya48. Berikut adalah ilustrasi dari model komunikasi Riley. Gambar I. 1 Model Komunikasi Riley (1959)49
Teori Pembelajaran Sosial membicarakan tentang bagaimana faktor lingkungan dan kognitif berinteraksi untuk mempengaruhi pemahaman dan perilaku seseorang. Teori yang dicetuskan oleh Albert Bandura ini terfokus pada pembelajaran dalam konteks sosial. Seseorang mempelajari suatu konsep dari sesamanya melalui proses observasi, imitasi dan mengamati model50. Teori ini menganggap media massa sebagai agen sosialisasi yang pertama dalam komunikasi di samping keluarga, guru di sekolah dan sahabat 48
Ibid http://extension.missouri.edu , Developing Effective Communications, diakses pada 28 april 2012 pukul 21:18 50 http://www.southalabama.edu/oll/mobile/theory_workbook/social_learning_theory.htm , diakses pada 2 Mei 2012 pukul 13.00 WIB 49
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
23
karib51. Menurut teori ini, media massa menjadi objek imitasi dan identifikasi bagi setiap orang. Imitasi adalah replika atau peniruan secara langsung dari perilaku yang diamati. Sedangkan identifikasi merupakan perilaku meniru yang bersifat khusus dimana pengamat tidak meniru secara persis sama apa yang dilihatnya. Meskipun lebih sulit untuk dilihat dan dipelajari, identifikasi dinilai memberikan pengaruh terhadap perilaku individu52. Teori Pembelajaran Sosial mengukur makna dengan menggunakan semantic differential dimana makna dapat ditunjukkan dengan kata sifat. Terdapat dua kata sifat yang saling berlawanan53. Kata sifat dipasangkan secara berlawanan seperti baik-buruk, tinggi-rendah, lambat-cepat54. Dalam proses belajar sosial terdapat empat tahapan yaitu perhatian (attention process), retensi (retention process), reproduksi motor (motor reproduction motor) dan motivasional (motivational process)55. Perhatian. Seseorang pertama-tama perlu untuk melihat model yaitu berupa perilaku atau tindakan orang lain yang ingin ditiru Retensi. Hasil pengamatan kemudian akan disimpan dalam ingatan untuk digunakan di kemudian hari saat menghadapi situasi yang sama
51
Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 282 52 Morisan, Psikologi Komunikasi, (Bogor: Ghalia, 2010), hlm. 242 53 Littlejohn, Op.Cit, hlm. 120 54 Morisan, Op.Cit, hlm. 80 55 Effendy, Op.Cit. hlm. 282-283
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
24
Reproduksi tindakan. Pada tahap praktek, seseorang dituntut untuk bisa mengaplikasikan pengetahuan yang didapat dalam tindakan nyata. Motivasi. Perilaku meniru orang lain sangat ditentukan oleh faktor motivasi yang dimiliki orang yang ingin meniru56. Menurut teori ini, terbentuknya perilaku adalah perpaduan dari sejumlah kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam diri khalayak yaitu faktor internal dan faktor situasional atau faktor eksternal57. 1. Faktor Internal Kemampuan memahami pesan sangat tergantung pada pengetahuan atau pengalaman. Proses belajar tidak lepas dari kemampuan berpikir (kognitif) seseorang. Berpikir berarti menganalisa, mengabstraksi dan seterusnya atau merangkaikan tanggapan yang satu dengan tanggapan yang lain. Hal itu disebut dengan field of experience 58. Dr. Astrid Susanto menyebut lapangan pengalaman itu sebagai pedoman individu yang dibuat atas dasar hal yang pernah dialaminya sendiri. Segala sesuatu yang pernah dialami menjadi pedoman. Kemudian pengalaman-pengalaman orang lain yang tidak dialaminya, tetapi menjadi pedoman dalam lingkungan sosialnya atau masyarakat, dan diambil juga sebagai pedomannya disebut frame of reference atau kerangka referensi59.
56
Morisan, Op.Cit, hlm. 246 Fajar, Op.Cit, hlm.170 58 Ibid, hlm. 171 59 Ibid 57
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
25
Dalam kerangka referensi ini segala hal-hal baru, ide baru, gagasan baru atau pengalaman-pengalaman baru akan diletakkan, tiap kali pengalaman-pengalaman baru itu datang. Seseorang melakukan penyesuaian (enactive) dengan mengkonfrontasi lapangan pengalaman dan kerangka referensi lama dengan baru. Bila sesuai, pesan itu akan diterima, dan bila tidak, akan ditolaknya60. Skinner menemukan bahwa komunikasi akan berlangsung selama expectation of reward harapan akan memperoleh keuntungan dari pelaksanaan komunikasi. Keuntungan atau reward yang diharapkan bisa merupakan pemenuhan kebutuhan orang dalam bentuk: personal need atau social needs 61. expectation of reward Motif adalah suatu pengertian mengenai keadaan mobilisasi energi dengan suatu tujuan62. Motif menerangkan mengapa tingkah laku terarah kepada suatu tujuan tertentu. Dengan kata lain, motif merupakan dorongan dari dalam diri yang menggerakkan seseorang untuk melakukan suatu aktivitas guna mewujudkan tujuan tertentu. Motif-motif yang dikemukakan para tokoh seperti: W.I Thomas dan Znaniecki, David McCelland, Abraham Maslow dan Melvin H. Marx tidak
60
Morisan, Op.Cit, hlm. 244 Fajar, hlm. 173 62 Theodore M. Newcomb dkk, Penerjemah Tim Fakultas Psikologi UI, Psikologi Sosial, (Bandung: Diponegoro, 1978), hal.38 61
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
26
menunjukkan perbedaan yang tegas. Oleh karena itu Jalaluddin Rakhmat kemudian merangkum motif-motif tersebut dan dihasilkan enam jenis motif, yaitu: Motif Ingin Tahu. Kecenderungan setiap orang untuk mengerti, menata dan menduga. Motif Kompetensi. Keinginan membuktikan kemampuan mengatasi persoalan hidup. Motif Cinta. Keinginan untuk memperoleh kehangatan persahabatan, ketulusan kasih sayang dan penerimaan dari orang lain. Motif harga diri dan kebutuhan untuk mencari identitas. Seseorang berharap supaya keberadaannya tidak hanya dilihat sebagai bilangan tetapi juga diperhitungkan. Kebutuhan akan nilai, kedambaan dan makna kehidupan. Ini erat kaitannya
dengan
kebidupan
spiritual
dimana
setiap
orang
membutuhkan nilai-nilai sebagai pegangan menghadapi realitas hidup Kebutuhan akan pemenuhan diri. Setiap orang ingin mempertahankan dan meningkatkan kualitas kehidupan dengan memenuhi potensi-potensi yang dimiliki63.
63
Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, Cet. ke-17, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 37-39
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
27
2. Faktor eksternal Seperti telah disinggung di awal, kehadiran media massa dan orangorang sekitar penting dalam proses belajar sosial. Jika media berperan dalam modeling, maka orang-orang disekitar pengaruhnya jauh lebih kuat yaitu persuatif. Menurut George Herbert Mead, orang-orang yang berpengaruh dalam proses belajar sosial atau orang-orang yang sangat penting bagi setiap orang disebut dengan Siginificant others. Dalam perkembangannya, significant others meliputi semua orang yang mempengaruhi perilaku, pikiran dan perasaan kita64. Ada pun lebih lanjut menurut Mead, terdapat significant others yang terhimpun dalam kelompok dan mereka disebut sebagai kelompok rujukan (reference group)65. Keberadaan
significant
others maupun reference group pada
prinsipnya menghasilkan dua efek yaitu efek larangan (inhibitory effect) dan efek suruhan (disinhibitory effect). Efek larangan terjadi ketika significant others menghalangi atau mencegah seseorang untuk melakukan sesuatu. Sedangkan efek suruhan merupakan kebalikan dari efek larangan yang justru mendorong orang untuk melakukan suatu tindakan atau perilaku66.
64
Ibid, hlm. 103 Ibid, hlm. 104 66 Morisan, Op.Cit, hlm. 247-248 65
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
28
2. Persepsi Persepsi menurut Joseph A. Devito didefinisikan sebagai proses dimana kita menjadi sadar terhadap sebuah objek, peristiwa, khususnya manusia melalui indera (Perception is the process by which you became aware of objects, events, and especially people through your sense: sight, smell, taste, touch and hearing)67. Selanjutnya menurut Berelson dan Steiner dalam Severin dan Tankard, persepsi didefinisikan sebagai proses yang kompleks dimana orang memilih, mengorganisasikan dan menginterpretasikan respons terhadap suatu rangsangan ke dalam situasi masyarakat dunia yang penuh arti dan logis68. Dalam hal ini persepsi merupakan aktivitas belajar yang aktif dan berkesinambungan sebagaimana disampaikan oleh Bennett, Hoffman dan Prakash dalam Severin dan Tankard bahwa persepsi adalah aktivitas aktif yang melibatkan pembelajaran, pembaharuan cara pandang, dan pengaruh timbal balik dalam pengamatan69. Severin & Tankard kemudian merumuskan adanya faktor-faktor psikologis yang berpengaruh terhadap persepsi. Terdapat lima faktor yang mempengaruhi persepsi yaitu asumsi (yang didasarkan pada
67
th
Joseph A. DeVito, The Interpersonal Communications, 9 ed, (New York: Addison Wesley Longman, 1986), hlm. 93 68 Werner J. Severin & James W. Tankard, Jr, Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa), Alih Bahasa; Sugeng Hariyanto, Cet. ke-4, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2009), hlm. 84 69 Ibid
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
29
pengalaman-pengalaman masa lalu), harapan-harapan budaya, motivasi (kebutuhan), suasana hati (mood), serta sikap70. Definisi persepsi pada perjalanannya mulai menyentuh pula aspek fungsional. Deddy Mulyana yang mendefinisikan persepsi sebagai proses internal
yang
menafsirkan
memungkinkan
rangsangan
dari
kita
memilih,
lingkungan
kita,
mengorganisasikan dan
proses
dan
tersebut
mempengaruhi perilaku kita71. Hal ini sesuai dengan pemikiran Robbins dan Judge yang menyatakan bahwa persepsi penting untuk mempengaruhi perilaku manusia. Perilaku manusia tergantung dari persepsinya mengenai realitas bukan realitas itu sendiri. based on their perception of what reality is, not on reality itself. The world as its perceived is the world that is behaviorally important)72. Pentingnya persepsi dalam pembentukan perilaku kiranya dipertegas oleh pernyataan Toeti Heraty Noerhadi yang menyatakan bahwa persepsi adalah suatu persiapan ke perilaku konkret73. Disini benang merah antara persepsi dan komunikasi mulai terlihat. Komunikasi disebut efektif jika dapat mengubah perilaku manusia. Ada pun persepsi disebut-sebut sebagai aktivitas penting yang menentukan perilaku
70
Ibid, hlm. 85 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003), hlm. 167 72 Stephen P Robbins & Timothy A Judge, Organizational Behavior. (New Jersey: Pearson Prentice Hall, 2009), hlm. 173 73 Alfian, Persepsi Masyarakat tentang kebudayaan, (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 209 71
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
30
manusia. Menurut Deddy Mulyana, persepsi adalah inti dari komunikasi, sedangkan penafsiran (interpretasi) adalah inti dari persepsi yang identik dengan penyandian balik (decoding) dalam proses komunikasi74. Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi. Menurut Bimo Walgito, terdapat dua faktor yang berpengaruh terhadap persepsi yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu apa yang ada dalam diri individu. Sedangkan faktor eksterrnal terdiri dari faktor stimulus itu sendiri dan faktor lingkungan dimana persepsi itu berlangsung75. Ada pun menurut Jalaluddin Rakhmat, terdapat tiga faktor yang mempengaruhi persepsi yaitu perhatian, faktor fungsional dan faktor struktural76. Kenneth A. Andersen dalam Rakhmat menyebut perhatian sebagai proses mental ketika stimuli menjadi menonjol dalam kesadaran dan stimuli lainnya melemah77. Menurut David Krech dan Richard S. Crutchfield dalam Rakhmat, faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu, pengetahuan dsb yang bersifat personal atau disebut juga sebagai kerangka rujukan (frame of reference). Selanjutnya, faktor struktural memandang persepsi semata-mata dipengaruhi oleh sifat stimuli fisik dan efek-efek saraf yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu78
74
Mulyana, Op.Cit, hlm. 180-181 Bimo Walgito, Psikologi sosial, Cetakan ke-4, (Yogyakarta: Andi Offset, 2003), hlm.46 76 Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, Cetakan ke-17. (Bandung: Remaja Rosdakarya Rakhmat, 2001), hlm. 51 77 Ibid, hlm. 52 78 Ibid 75
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
31
Selanjutnya, Robbins dan Judge memberi perspektif lain dalam merumuskan faktor-faktor pembentuk persepsi. Terdapat tiga faktor yaitu faktor subjek, situasi dan objek. Faktor subjek meliputi: sikap, motif, ketertarikan, pengalaman masa lalu dan dugaan. Faktor situasi terdiri dari: waktu, latar belakang pekerjaan dan latar belakang sosial. Sedangkan faktor objek terdiri dari: kebaruan, gerakan, suara, ukuran, latarbelakang, kedekatan dan kemiripan79. (Lihat bagan I.1 ) Dari definisi-definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa persepsi merupakan proses penafsiran terhadap informasi inderawi yang bersifat internal, aktif dan vital bagi setiap orang dalam proses komunikasi. Terbentuknya persepsi dipengaruhi oleh banyak faktor. Kiranya faktor-faktor yang sampaikan oleh Robbins dan Judge dapat merangkum kompleksitas faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi yang disampaikan oleh Bimo Walgito, Jalaluddin Rakhmat serta Severin dan Tankard.
79
Robbins & Judge, Op.Cit, hlm. 174
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Bagan I. 1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi menurut Robbins dan Judge80
3. Jurnalis sebagai Pesan Jurnalis merupakan kata serapan dari kata journal dalam bahasa Inggris dan kata diurnal dalam bahasa Latin yang artinya orang yang melakukan pekerjaan jurnalistik81. Jurnalistik atau jurnalisme sendiri diartikan sebagai kegiatan menghimpun berita, mencari fakta dan melaporkan peristiwa82.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
33
Dengan demikian secara sederhana jurnalis dapat diartikan sebagai seseorang yang bertugas menghimpun berita, mencari fakta dan melaporkan peristiwa. Ada tiga sebutan yang berbeda untuk sebuah profesi yang sama, yaitu: jurnalis, wartawan dan reporter. Ketiga sebutan tersebut sebenarnya mempunyai makna yang sama yaitu sebuah profesi yang tugasnya mencari, mengumpulkan, menyeleksi dan menyebarluaskan informasi kepada khalayak melalui media massa83. Yang membedakan adalah medianya. Di Indonesia, sebutan wartawan identik dengan mereka yang bekerja di media massa cetak, reporter cenderung digunakan untuk media massa televisi dan radio, sementara sebutan jurnalis untuk wartawan asing84. Wartawan adalah profesi. Disebut sebagai profesi karena ia memiliki empat ciri yaitu: 1) Mempunyai kebebasan dalam melakukan pekerjaan, 2) Didasari atas panggilan hati dan keterikatan dengan pekerjaan, 3) Dibutuhkan keahlian dan 4) Bertanggung jawab dan terikat pada kode etik pekerjaan85. Oleh karena itu, masyarakat memandang wartawan sebagai professional. Profesional disini memuat tiga arti: pertama, professional adalah kebalikan dari amatir; kedua, sifat pekerjaan wartawan menuntut pelatihan khusus; norma-norma yang mengatur perilakunya dititik beratkan pada kepentingan khalayak pembaca 86.
83
Jani Yosef, To Be A Journalist, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hlm. 43 Ibid, hlm. 44 85 Ibid 86 Ibid.hlm. 115 84
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
34
Ada pun di China ternyata tidak setiap jurnalis bisa merasakan predikat sebagai tenaga profesional. Berdasarkan wawancara yang dilakukan Lin
oleh golongan menengah ke atas. Mereka adalah redaktur dan pemimpin umum. Di sisi lain, jurnalis yang jabatannya di bawah mereka merasa bahwa pekerjaan mereka tak ubahnya pekerjaan lain yang membutuhkan kerja keras dengan tanpa jaminan kerja yang memadai. -level managing editors or directors of a department are more likely to proudly label themselves as professionals. The -mockery for most working journalists who are at the bottom of the hierarchy in the organization, usually younger and with less working experience, who have a contract-based employment relationship with the organization. Some of the working journalists do not have medical insurance, and they can be expected to change jobs relatively more frequently. Some of them ev journalism as a job87. Secara umum, sebagai turunan dari kegiatan komunikasi, wartawan adalah elemen yang berfungsi sebagai komunikator di tubuh pers. Wartawan
87
FEN J. LIN (City University of Hong Kong), Liter Communication Vol. 4 (2010), hlm. 8
commit to user
International Journal of
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
35
atau reporter adalah seseorang yang bertugas mencari, mengumpulkan dan mengolah informasi menjadi berita, untuk disiarkan melalui media massa 88. Kedudukan
jurnalis
sebagai
komunikator
professional
dalam
komunikasi massa telah menjadi pesan tersendiri. Seperti disampaikan oleh Marshal McLuhan bahwa media adalah pesan (The medium is the messege). Bukan isi media yang mempengaruhi khalayak melainkan media itu sendiri89. Dapat dipastikan tentunya bahwa media tak sungguh-sungguh berniat mempengaruhi khalayak agar tertarik menjadi jurnalis tetapi diluar kontrol media, justru jurnalis dapat menjadi pesan yang berdampak pada orang-orang yang menerimanya. 4. Budaya Patriarki Kata patriarch
90
patriarki
secara
harafiah
berarti
kekuasaan
bapak
atau
. Melekat dalam sistem ini yaitu ideologi yang menyatakan bahwa
laki-laki lebih tinggi daripada perempuan, bahwa perempuan harus dikontrol oleh laki-laki dan bahwa perempuan adalah milik laki-laki91. Sebagaimana disampaikan oleh Duru bahwa hakikat patriarki terletak pada adanya dominasi laki-laki terhadap perempuan.
subordination (Hunnicutt, 2009). In patriarchal societies, men are in charge 88
Totok Djuroto, Manajemen Penerbitan Pers,Cetakan Ketiga, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hlm.22 89 Rakhmat. Op.Cit, hlm. 220 90 Kamla Bhasin.Menggugat Patriarki: Pengantar tentang Persoalan Dominasi terhadap Kaum Perempuan. (Yogyakarta: Bentang, 1996), hlm. 1 91 Ibid.hlm. 4
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
36
of establishing the social order, and they are situated in dominant position of authority (Lawrence-Webb, Littlefield, & Okundaye, 2004)92. Selama ini patriarki dianggap alamiah. Alasannya adalah bahwa lakilaki karena kekuatan badannya yang lebih besar, menjadi pemburu dan pencari nafkah, dan karena itu juga ksatria, sementara kaum perempuan, karena mereka melahirkan dan mengasuh dan membesarkan anak, membutuhkan perlindungan laki-laki. Penjelasan biologis deterministis ini, kata Lerner turun temurun terus menerus dari zaman batu ke zaman sekarang dan diyakini bahwa kaum laki-laki lahir superior93. Patriarki pada prinsipnya berakar dari pemikiran bahwa manusia tercipta dengan identitas seks yang berbeda yaitu laki-laki dan perempuan. Perbedaan identitas seks kemudian memunculkan adanya perbedaan identitas gender. Meskipun saling berkaitan namun pengertian antara seks dan gender tidak bisa disamakan. Seks bersifat statis. Perempuan dianggap berbeda dari laki-laki karena secara biologis mereka memiliki organ biologis yang tak dapat dipertukarkan. Menjadi perempuan atau laki-laki bersifat permanen tidak
92
Annie N. Duru (Howard University, Washington DC, US) Ideological Criticism of a Nigerian Video Film, August Meeting: A Feminist Perspectiv -journalist Vol.10.no2 (2010), hlm.75 93 Bhasin, Op.Cit, hlm.29
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
37
berubah dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat94. Hal itu berbeda dengan gender yang merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural dan dapat dipertukarkan95 dimana kemudian muncul konsep feminim (kewanitaan) dan maskulin (kelelakian). Menurut Illich, gender mengisyaratkan polaritas sosial yang sifatnya fundamental dan tak akan serupa di dua tempat yang berlainan96. Lebih lanjut ia menyebut gender dengan istilah dengan gender kedaerahan (vernacular)97. Gender differences (perbedaan gender) sebenarnya bukan suatu masalah sepanjang tidak menimbulkan gender inequalities (ketidakadilan gender). Namun yang menjadi masalah ternyata adalah gender differences ini telah menimbulkan berbagai ketidakadilan. Gender Inequalities merupakan sistem dan struktur dimana kaum laki-laki atau perempuan menjadi korban dari sistem tersebut98.
94
Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus-Utamanya di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm 21 95 Ibid, hlm. 18 96 Ivan Illich, Matinya Gender, Cetakan ke-5, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 45 97 Ibid, hlm.43 98 Nugroho, Op.Cit, hlm.9
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
38
Bayang-bayang ptriarki tak dapat lepas dari munculnya ketimpangan gender. Hal itu seperti dipikirkan oleh Duru bahwa ideologi patriarki senantiasa diasosiasikan dengan isu ketidakadilan gender.
inequality.99 Ada pun secara umum terdapat perdebatan mengenai asal-usul patriarki yang berakar dari dua teori besar yaitu teori Nature dan Teori Nurture100. Menurut Teori Nature, perbedaan psikologis antara laki-laki dan perempuan disebabkan oleh faktor-faktor biologis kedua insan. Disini, patriarki dianggap bersifat alami sebagai kodrat hubungan laki-laki dan perempuan. Hal ini didukung oleh kaum tradisional101. Si sisi lain, penganut Teori Nurture beranggapan bahwa perbedaan itu tercipta melalui proses belajar dari lingkungan percaya patriarki adalah bentukan manusia. Patriarki diciptakan dan bisa untuk dihapuskan102. Diluar mana yang benar dari perdebatan itu, faktanya adalah ideologi patriarki bisa
99
Duru, Op.Cit, hlm. 77 Dwi Ismi Astuti Nurhaeni, Kebijakan Publik Pro Gender, (Surakarta: UNS Press, 2009), hlm.19 101 Ibid, hlm. 28 102 Ibid 100
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
39
langgeng karena terus dipelihara secara sadar maupun tidak sadar hingga kini103. 5. Perempuan 5.1. Definisi Perempuan Konsep perempuan merujuk pada salah satu dari dua jenis kelamin manusia selain laki-laki. Menurut Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa perempuan adalah orang (manusia) yang mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui104. Sedangkan laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, memiliki jakala (kala menjing) dan memproduksi sperma105.
berarti gelar kehormatan yg berarti "tuan"106. Kata perempuan memiliki konotassi positif. Ada pun dalam kamus, kata perempuan sering disinomkan dengan kata wanita. Namun kedua kata tersebut ternyata tak sunguhsungguh sama. Di Indonesia sendiri, terdapat upaya men-set sebuah mitos peran elah terjebak dengan upaya tersebut. Kata
103
Julia I. Suryakusuma, Perempuan dan Konservatisme Media, dalam Idi Subandy Ibrahim, dkk (ed), Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi gender dalam Ruang Publik Orde Baru. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998), hlm.150 104 www.KamusBahasaIndonesia.org 105 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm.8 106 www.KamusBahasaIndonesia.org
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
40
(cenderung) dalam konteks perbedaan jenis kelamin (misalnya: jenis
konteks gender. Dengan demikian menjadi beralasanlah penggunaan kata
merupakan suatu pemberontakan gerakan
perempuan
dari tafsiran
patriarki107. 5.2. Perempuan dalam Budaya Patriarkhi Mempertanyakan posisi kaum perempuan dalam budaya patriarki pada dasarnya menggoncang struktur dan sistem status quo ketidakadilan tertua dalam masyarakat108. Bagaimana tidak jika budaya yang telah terbentuk lama, hampir sebagian besar peran yang ditempelkan pada perempuan adalah peran yang sifatnya lemah, kurang menantang dan bersifat kedalam atau ranah domestik. Menurut Raharjo dalam Hermawati, citra, peran serta status perempuan dan laki-laki khususnya di Jawa sangat lekat dengan budaya patriarki. Citra bagi seorang perempuan seperti yang diidealkan oleh budaya,
laki-laki. Peran yang diidealkan seperti pengelola rumah tangga, sebagai 107
Ayu Utami dalam May Lan, Pers, Negara dan Perempuan: Refleksi atas Praktik Jurnalisme Sensitif Gender pada Masa Orde Baru, (Yogyakarta: Kalika, 2002), hlm. 83 108 Fakih, Op. Cit, hlm. 5
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
41
pendukung karir suami, istri yang penurut dan ibu yang mrantasi109. Di sisi lain, citra yang dibuat untuk laki-laki yang ideal adalah sebagai pencari nafkah sedangkan status idealnya adalah kepala keluarga110. Kontrol patriarki terhdap kehidupan perempuan begitu kuat. Bidangbidang kehidupan perempuan yang dikontrol patriarki antara lain: 1. Daya produktif atau tenaga kerja perempuan 2. Reproduksi perempuan 3. Kontrol dan seksualitas perempuan 4. Gerak perempuan 5. Harta milik dan sumber daya ekonomi lainnya 111. Berangkat dari kesimpangsiuran permasalahan gender, sebenarnya secara nyata ketidakadilan gender telah terjadi di kebanyakan Negara di dunia. Manifestasi ketidakadilan gender dikategorikan dalam 5 bidang yang satu sama lain saling berkaitan dan saling mempengaruhi: 1. Gender dan Marginalisasi Perempuan (Marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi) 109
Tanti Hermawati, Jurnal Komunikasi Massa. Vol. 1, nomor 1, Juli 2007, hlm.21 110 Ibid 111 Jane C. Ollenburger & Helen A. Moore, Sosiologi Wanita, Terj. (Jakarta: Rineka Cipta,1996), hlm.15
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
42
2. Gender dan Subordinasi: Subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik 3. Gender dan Stereotipe: Pembentukan stereotype atau melalui pelabelan negatif. 4. Gender dan Kekerasan: Kekerasan dapat terjadi baik secara fisik maupun psikologis karena bias gender. 5. Gender dan Beban Kerja: Beban Kerja lebih panjang dan lebih banyak serta sosialisasi idelogi nilai peran gender 112
Manifestasi ketidakadilan gender pertama adalah marginalisasi. Marginalisasi adalah suatu proses penyisihan yang mengakibatkan kemiskinan, baik pada laki-laki maupun perempuan. Marginalisasi dapat terjadi karena adanya bencana alam, konflik bersenjata, penggusuran, proses eksploitasi atau bahkan kebijakan pembangunan. Marginalisasi/ pemiskinan bagi perempuan sering terjadi karena keyakinan gender113. Manifestasi ketidakadilan gender yang kedua adalah subordinasi. Subordinasi adalah sikap dan tindakan masyarakat yang menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dari laki-laki. Subordinasi didasarkan pada keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih
112 113
Ibid, hlm 12-24 Ibid. hlm.13-15
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
43
penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya 114. Sebagai contoh
domestik115. Manifestasi
ketidakadilan
gender
ketiga
adalah
stereotype.
Stereotipe/ pelabelan negatif merupakan suatu sikap negatif masyarakat terhadap perempuan yang membuat posisi perempuan selalu pada pihak yang dirugikan116. Sebagai contoh adalah ilustrasi sebuah profesi dengan jenis kelamin tertentu semisal direktur digambarkan dengan sosok laki-laki sedang perempuan sebagai sekertaris. Manifestasi ketidakadilan gender yang keempat adalah kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan meliputi dua bidang yaitu fisik maupun psikologis. Kategori kekerasan gender antara lain a.
Pemerkosaan
b.
Kekerasan dalam rumah tangga
c.
Penyiksaan organ alat kelamin
d.
Prostitusi
e.
Pornografi
f.
Sterilisasi
114
Ibid. hlm.15-16 Ismi Astuti Nurhaeni. Op.Cit, hlm.28 116 Fakih. Op.Cit.hlm.16-17 115
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
44
g.
Kekerasan terselubung
h.
Pelecehan seksual Secara fisik meliputi tindakan memukul, menampat, mencekik dsb
yang menyebabkan luka fisik. Sedangkan secara psikologis mencakup tindakan membentak, menyumpahi, berkata-kata kotor, pelecehan dsb yang menyebabkan rasa takut117. Manifestasi ketidakadilan gender kelima yaitu beban ganda. Beban ganda adalah pembagian tugas dan tanggung jawab yang selalu memberatkan. Semisal anggapan perempuan yang berkarakter perawat dan pemelihara sehingga pantasnya bekerja di ruang domestik saja118. Kelima bentuk manifestasi ketidakadilan gender di atas pada kenyataannya tak dapat dipisahkan sebagai bagian-bagian yang berdiri sendiri, tetapi terintegrasi. Satu ketidakadilan gender menjadi pemicu ketidakadilan gender yang lain. Seperti yang disampaikan Mansour Fakih bahwa manifestasi ketidakadilan gender tak dapat dipisah-pisahkan, saling berkaitan, saling berkaitan, berhubungan secara dialektis119. Namun, sebagai acuan utama, penelitian ini lebih difokuskan pertama-tama pada persoalan subordinasi dalam bidang pekerjaan.
117
Ibid. hlm.17-20 Ibid. hlm.21-23 119 . Ollenburger & Moore Op.Cit. hlm 13 118
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
45
5.3. Perempuan dan Pendidikan Betapa berharganya pendidikan. Dalam kisah klasik di negeri ini, perempuan menjadi pihak Sebut saja tokoh RA. Kartini dan Dewi Sartika. Mereka adalah tokoh pelopor pendidikan bagi perempuan di Indonesia. C.Lekkerker (1914) dalam Subadio dan Ihroni menuliskan arti penting pendidikan bagi perempuan Indonesia. Menurutnya, pendidikan
ia kerjakan sepanjang hidupnya. Bagaimana ia dapat mengembangkan sifatsifat yang lebih hemat, rapi dan teratur dalam rumah tangga dan turut pula membantu untuk mengurangi kecenderungan tingginya angka kelahiran yang melekat pada rumah tangga kalangan bawah (miskin dan kurang terpelajar)120. Selain itu, pendidikan di kalangan perempuan dinilai dapat merintangi poligami dan perkawinan yang disatu pihak tidak diingini. Pendidikan di kalangan perempuan dapat meningkatkan harapan hidup karena kesadaran akan kesehatan yang lebih tinggi121. Kini, secara kuantitas terlihat semakin banyaknya perempuan yang terlibat di dunia pendidikan mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Taman Kanak-Kanak, sekolah menengah hingga perguruan tinggi. Bukan 120
Maria Ulfah Subadio & T.O Ihromi, Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia: Bunga Rampai, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1994), hlm. 267 121 Ibid
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
46
hal yang langka lagi jika di tingkatan pendidikan pasca sarjana begitu banyak perempuan di situ dalam berbagai disiplin keilmuan. Dengan kata lain, akses perempuan untuk masuk ke bidang pendidikan sudah tak memiliki kendala berarti. Namun, ternyata secara alami sekolah masih memisahkan perempuan dalam pola-pola tertentu dimana terdapat feminisasi dan maskulinasi dalam pembagian disiplin ilmu. Hal yang masih tampak yaitu dalam hal kurikulum. Menjadi laki-laki atau perempuan digambarkan dalam konteks peran-peran, naskah-naskah dan proses pendidikan. Di samping kurikulum formal, sekolah menyediakan arena untuk menyampaikan gagasan-gagasan, nilainilai dan kepercayaan-kepercayaan melalui interaksi dengan pendidik122. Pengetahuan dan pendidikan disebut-sebut telah didominasi oleh laki-laki, sehingga menciptakan dan melanggengkan ideologi patriarki123. 5.4. Perempuan dan Pekerjaan Adanya sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga menjaddi tanggung jawab kamu perempuan. Konsekwensinya banyak kaum perempuan yang harus bekerja keras dalam
122 123
Ibid, hlm.139 Ibid
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
47
waktu lama untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangganya hingga memelihara anak124. Banyak perempuan masih belum menyadari bahwa peran mereka sebagai istri tradisional, ibu dan pengurus rumah tangga telah meluas menjadi pencari nafkah keluarga di samping peran asli tadi. Sebagian beranggapan bahwa sekalipun berhasil mendapatkan penghasilan, itu pun sifatnya membantu suami karena suami mereka tidak ingin peran ekonomi mereka dinyatakan secara terbuka125. Namun, kini perlahan tetapi pasti perempuan mulai mengembangkan diri dengan berkarir. Irwan Abdullah dalam Buku Sangkan Paran Gender menuliskan, gejala keterlibatan perempuan di luar rumah menandakan bahwa kini perempuan telah berusaha merekonstruksi sejarah hidupnya dengan membangun identitas baru bagi dirinya, tidak hanya sebagai ibu atau istri tetapi juga sebagai pekerja dan wanita karir126. Ekspansi perempuan ke dunia publik memposisikan mereka pada peran ganda. Hal ini terasa cukup berat karena bagaimana pun pekerjaan -
124
Fakih, Op.Cit, hlm. 22 Albert Hester L dan Wai Lan J.To, Pedoman untuk Wartawan, (Jakarta: United Nation Information Service (USIS),1992), hlm. 127-129 126 Irwan Abdullah, Sangkan Paran Gender: Kumpulan Tulisan Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 13 125
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
48
olah menutup kemungkinan laki-laki ikut turun tangan dalam wilayah domestik. Meskipun hubungan antara kaum perempuan dengan pria di ranah profesi semakin meluas, tetapi pada kenyataannya perempuan masih dianggap sebagai orang kedua yang kurang mampu mengerjakan tugas-tugas yang selama ini lazim dikerjakan laki-laki. 5.5. Perempuan dan Media
Marwah Daud Ibrahim pernah mengatakan bahwa media adalah mikroskop yang dapat membantu kita mengintip keadaan perempuan dalam masyarakat127. Selama ini realitas perempuan di masyarakat memang belum menggembirakan. Media masih menjadi cermin dari realitas128.
Media dianggap masih kurang peka terhadap persoalan-persoalan gender. Bias gender di media massa dapat dilihat dari bagaimana surat kabar, majalah, film, televisi, iklan, dan buku-buku menampilkan potret diri perempuan. Selama ini media masih memperlihatkan stereotip yang merugikan bahwa perempuan itu pasif, tergantung pada pria, didominasi,
127 128
Ibrahim, Op.Cit, hlm. 108 Ibid
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
49
menerima keputusan yang dibuat oleh pria dan terutama pasrah melihat dirinya sebagai simbol seks129. Kemunculan jurnalisme baru yang bermuatan humanitarian130 menjadi angin segar bagi upaya pembenahan media agar lebih adil gender. Adalah jurnalisme sensitif gender atau jurnalisme berperspektif gender yang merupakan kegiatan atau praktik jurnalistik yang selalu menginformasikan atau bahkan mempermasalahkan atau menggugat secara terus menerus, baik dalam media cetak maupun media elektronik adanya hubungan yang tidak setara atau ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan131. Permasalahan bias gender yang ada di media massa selama ini kurang lebih menyangkut posisi marginalisasi dan subordinasi perempuan dalam berbagai bidang, yaitu: 1) Legitimasi Bias Gender oleh Media 2) Minimnya Keterlibatan Perempuan dalam Aktivitas jurnalisme 3) Dominasi kepentingan ekonomi-Politik 4) Regulasi Media tidak sensitive gender 5) Penggunaan bahasa di media massa masih sangat seksis
129
Ibid.107
130
Ilmu Politik Universitas Gajah Mada Volume 7 No.3, Maret 2004, hlm.363 131 Subono, Op.Cit, hlm. 59
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
50
6) Kesenjangan jurnalisme konvensional dan jurnalisme sensitive gender132 Melalui jurnalisme sensitif gender diharapkan akan ada sebuah media dengan kekuatan baru untuk menciptakan tatanan dunia baru yang lebih adil gender. 5.6. Perempuan sebagai Pekerja Media Hubungan antara kaum perempuan dengan pria di ranah profesi semakin meluas, salah satu bidang kerja yang dulu begitu identiik sebagai wilayah laki-laki dan kini mulai dirambah oleh perempuan adalah media khususnya sebagai jurnalis. Dalam sejarah profesi kewartawanan di Indonesia, kehadiran perempuan sebenarnya bukan perkara baru. Rohana Kudus133 sudah malang melintang di zaman kebangkitan kebangsaan. Sebelum kemerdekaan RI, penerbitan pers dihiasi pula oleh partisipasi perempuan seperti yang terjadi tahun 1909, majalah pertama perempuan, Putri Hindia, terbit di Bandung diprakarsai oleh R.A Tjikroadikusumo. Hingga tahun 1925 terbit beberapa surat kabar yang diprakarsai kaum perempuan yaitu; Koran Sunting Melayu di Padang(1912) dan Surat Kabar Wanito Sworo di Pacitan(1913).
132
Yusuf, Op.Cit. hlm.359-363 Rohana Kudus (1884-1972) hidup di Agam, Sumatera Barat. Ia menerbitkan surat kabar khusus untuk perempuan dengan nama Sunting Melayu(1912), yang merupakan koran khusus wanita pertama di Indonesia. Pada 25 Agustus 1974, Rohana Kudus diberi gelar pelopor wartawati Sumatera Barat. (http://www.gatra.com/2008-02-18/artikel ) diakses pada 20 September 2010 pukul 18.00 WIB 133
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
51
Sedangkan beberapa penerbitan yang secara khusus menjadi media pergerakan perempuan antara lain; Putri Mardika di Jakarta(1914), Penuntun Istri di Bandung(1918), Istri Utomo di Semarang(1918), Suara Perempuan di Padang(1920), Perempuan Bergerak di Medan(1920) dan Koran Suara Aisyah(1925)134. Menurut Naomi, Jurnalis adalah jurnalis memungkinkan wanita memperluas wawasan, tanpa harus terikat pada aturan tertentu. Misalnya jam kerja, penampilan dan sebagainya135. Namun dinamika kerja yang yang ketat kembali mempertanyakan kehadiran perempuan sebagai jurnalis yang dituntut siap setiap saat. Belum lagi jika pekerjaan itu ada di surat kabar yang memiliki mitos sebagai pekerjaan dengan aktivitas professional dengan mobilitas sangat tinggi, kerja keras, tekanan deadline yang amat ketat, tidak ada batas waktu yang jelas, -bisa sampai 24 jam-. Serta banyaknya kendala dan tantangan yang bersifat teknis maupun non teknis136. Bagi wanita, pilihan profesi menjadi wartawan tentunya jauh lebih berat posisinya dibandingkan laki-laki. Hal tersebut mengingat perempuan selama ini diidentikkan saja dengan pekerjaan yang berisfat domestik. Banyak wartawan pria masih meremehkan kegiatan wanita dengan menepiskan tangan- menganggap mereka sebagai satu lagi forum dimana 134
Para Perempuan di Puncak Zaman
135
-24 Desember 2006) hlm.63
Tulisan Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm 2003,. hlm.109 136 Siregar, Op.Cit, hlm. 13
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
52
perempuan berkumpul untuk mempergunjingkan orang, mode busana terakhir dan berbagai obrolan yang masuk dan tidak masuk akal daripada memperbincangkan persoalan dan gagasan sebagaimana dilakukan kaum pria137. Anggapan di atas ditepis oleh dua wartawati Nigeria yaitu Theresa Oguibe dan Unaku Ekwegbalu. Mereka sama-sama menunjukkan bahwa mereka mampu mengerjakan tugas jurnalistik sampai pada posisi redaktur. -rekan dan Atasan Anda tidak bisa mempermainkan Anda kalau mereka menyadari bahwa Anda tahu pekerjaan 138
.
Secara tradisional. Di Dunia Ketiga, wanita adalah untuk dilihat, bukan
didengarkan;
tetapi
sekarang
wanita
Dunia
Ketiga
sudah
menambahkan pada peran asli mereka beban untuk mencari nafkah keluarga 139. Bagi wartawan wanita Dunia Ketiga yang mempunyai peran penting dalam jurnalisme pembangunan, falsafahnya haruslah selalu memenuhi citacita jurnalisme, yaitu untuk mendidik, menghibur dan secara objektif mengumpulkan dan menyiarkan berita. Dia juga harus memobilisasi wanita untuk melaksanakan berbagai kebijakan pemerintah mengenai pembangunan
137
Albert L Hester dan Wai Lan J.To, Pedoman untuk Wartawan. (Jakarta: United Nation Information Service, 1992), hlm.129 138 Ibid.hlm.131 139 Ibid
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
53
pedesaan bagi perbaikan hidup sebagian terbesar rakyat Negara-negara ini yang tinggal di desa, dusun-dusun tanpa jalan, listrik, air dan lebih menderita lagi, tanpa pangan140.
F. REVIEW PENELITIAN TERDAHULU Sebagai ilmu yang bersifat multidisipliner, Ilmu Komunikasi tidak luput dari pengaruh ilmu sosial lain, salah satunya sosiologi. Adalah kajian gender yaitu sebuah kajian Ilmu sosiologi yang kini mulai meluas dan berpengaruh dalam Ilmu Komunikasi. Menurut Abdullah, kajian mengenai komunikasi, gender dan seks merupakan salah satu topik yang mencoba menganalisis data interaksi sosial, seperti bahasa laki-laki dan perempuan, pornografi, jilbab, homoseksualitas, tingkah laku seksual dan hubungan gender141. Ada pun kajian yang secara khusus menjadi acuan bagi penelitian ini yaitu kajian media dan gender. Belakangan ini kajian media dan gender menjadi isu yang cukup diminati oleh para Peneliti. Tercatat sejak tahun 1997 hingga tahun 2004 terdapat dua penelitian media gender yang bermanfaat bagi penelitian ini. Ada pun batasan dari penelitian terdahulu yang tergolong bermanfaat yaitu penelitian yang memiliki tema sama dan atau hampir sama dengan penelitian ini, yaitu mengenai perempuan dan media khususnya profesi jurnalis.
140
Ibid, hlm.133 Irwan Abdullah, 271 141
Jurnal Humaniora Vol. XV, No. 3, (2003), hlm.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
54
Penelitian yang kemudian dibukukan dengan judul Media & Gender: Perspektif Gender atas Industri Suratkabar Indonesia menjadi acuan pertama penelitian ini. Penelitian yang dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian Pendidikan Penerbitan Yogyakarta (LP3Y) dan Ford Foundation pada tahun 1997 ini bertujuan untuk mengetahui perspektif gender di media cetak mulai dari organisasi keredaksian, kesadaran gender secara kolektif di kalangan jurnalis dan pengalaman subjektif jurnalis perempuan seputar profesinya. Disini peneliti adalah tim yang terdiri dari Akhmad Zaini Abar, Amiruddin, Ismay Prihastuti, Rondang Pasaribu, S. Bayu Wahyono dan Sukaelan Z. Wafa. Mereka menggunakan metode studi kasus dengan teknik riset dokumentasi dan wawancara mendalam dalam upaya untuk menggali data para wartawan di Sembilan surat kabar harian besar di Jawa yaitu Kompas, Republika, Suara Pembaharuan, Pos Kota, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Jawa Pos dan Surabaya Post. Penelitian ini memperoleh empat fakta serius yang sering dikritisi. Pertama masalah jumlah jurnalis perempuan yang hingga penelitian tersebut berlangsung hanya berkisat antara 5 s.d 15 persen dari seluruh wartawan penerbitan pers harian terkemuka di Indonesia. Kedua, kebanyakan jurnalis perempuan tersebut masih menduduki level bawah dalam struktur keredaksian media. Rata-rata baru terdapat 2 redaktur perempuan. Ketiga, pembagian kerja masih bersifat seksis dimana antara laki-laki dan perempuan ada perbedaaan. Dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
55
keempat, terdapat perbedaan tunjangan kesejahteraan antara jurnalis laki-laki dan perempuan. Ada pun sebuah penelitian yang menjadi titik tolak dari penelitian ini sendiri dilakukan oleh Utari pada tahun 2004 sebagai disertasi untuk memperoleh gelar doktor di The University of Newcastle Australia. Penelitian yang berjudul The Gap Between Indonesian Media Training and the Profession: Factors ini mengangkat persoalan tentang adanya kesenjangan antara banyaknya perempuan yang menempuh pendidikan di jurusan Ilmu Komunikasi dengan sedikitnya perempuan yang bekerja di industri komunikasi. Penelitian tersebut mengambil lokasi di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS.
Dengan
menggunakan
metode
studi
kasus,
penelitian
tersebut
mengumpulkan banyak data dari berbagai pihak yaitu: mahasiswi Ilmu Komunikasi, Alumni Jurusan Ilmu Komunikasi yang telah bekerja di industri komunikasi, orangtua mahasiswi, dosen dan praktisi media. Untuk meneliti mahasiwi Ilmu Komunikasi (260 orang) digunakan teknik survei, untuk alumni, dosen dan pekerja media menggunakan teknik Indepth Interview sedangkan pada orangtua menggunakan teknik Focus Group Discussion (FGD). Dari hasil penelitian dengan mahasiswi Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNS diperoleh data bahwa mereka memiliki kebebasan penuh dari orangtua untuk menentukan pendidikan. Dalam hal pendidikan, perempuan mendapatkan kemerdekaan penuh untuk menjadi seperti apa yang mereka kehendaki.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
56
Keputusan mahasiswi untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi dilatarbelakangi oleh impian yang begitu ideal untuk bekerja di bidang komunikasi diantaranya menjadi presenter, MC dan wartawan. Namun pada perjalanannya ada mahasiswi yang merasa ragu untuk meneruskan cita-cita mereka. Selain karena pekerjaannya yang dinilai berat, ada pula harapan-harapan dari orangtua yang cenderung menghambat, salah satunya melalui anjuran agar mereka memilih tempat kerja yang tidak terlalu jauh dari orangtua. Di level alumni jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS, diperoleh data bahwa masih sedikit dari mereka yang bekerja di media. Dalam proses mencari pekerjaan sendiri terdapat kecenderungan adanya sikap mengandalkan informasi dari jaringan alumni. Fenomena ini menarik karena ternyata masih adanya rasa kurang percaya diri pada diri alumni Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS untuk tampil secara pribadi mendapatkan pekerjaan yang diharapkan. Di kalangan orangtua, meskipun mereka kurang mengetahui seperti apa pendidikan Ilmu Komunikasi itu tetapi mereka memberi dukungan penuh pada keputusan putri mereka untuk kuliah di jurusan tersebut. Bagi para orangtua yang latar belakang pendidikannya tidak sampai ke perguruan tinggi, dapat menyekolahkan putri mereka hingga perguruan tinggi merupakan kebanggaan terseniri. Saat membicarakan tentang pekerjaan, para orangtua berharap agar putri mereka mencari pekerjaan yang letak geografisnya dekat dengan orang tua, menghindari pekerjaan yang terlalu menyita waktu dan mempertimbangkan pula
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
57
peran sebagai istri saat kelak menikah. Secara umum orangtua kurang mendukung jika putrinya menjadi jurnalis. Di kalangan para pengajar diperoleh data bahwa berdasarkan pengamatan mereka selama menghadapi mahasiswa, mereka menemukan kecenderungan yang khas pada mahasiswa (laki-laki) dan mahasiswi (perempuan). Perempuan lebih dominan dalam hal teori sedangkan laki-laki lebih dominan dalam hal-hal bersifat teknis. Terakhir di level pengelola media diperoleh data bahwa kehadiran perempuan di media masih terbatas baik dalam hal kuantitas maupun peran. Secara umum lingkungan media dirasa menjadi dunia laki-laki dimana kehadiran perempuan di situ harus mengikuti standart-standart yang lazim menurut pria.
G. KERANGKA BERPIKIR Ada pun konsepsi kerangka berpikir Penulis rangkum dalam skema berikut ini:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Bagan I.2 Kerangka Berpikir
H. DEFINISI KONSEPTUAL 1. Persepsi John R. Welburg dan William W Wilmot dalam Mulyana mendefinisikan persepsi sebagai cara organisme memberi makna sedangkan Rudolph F. Verderber
mendefinisikannya
sebagai
proses
menafsirkan
informasi
inderawi142. Jika kedua definisi di atas dikaitkan, maka definisi itu dapat ditemukan pada pemikiran Jalaluddin Rakhmat bahwa persepsi adalah sebagai
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
59
pengalaman tentang obyek, peristiwa, dan hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan143. Dari definisidefinisi di atas dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya persepsi adalah pemaknaan (interpretasi) yang didahului oleh sensasi. 2. Perempuan Konsep perempuan merujuk pada salah satu dari dua jenis kelamin manusia selain laki-laki. Menurut definisi dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa perempuan adalah orang (manusia) yang mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui144. Secara etimologis, hormatan berarti
"tuan"145.
Kata
perempuan
memiliki
konotassi
positif.
Pada
pemberontakan gerakan perempuan dari tafsiran patriarki146. 3. Jurnalis Jurnalis secara harafiah diartikan sebagai orang yang melakukan pekerjaan jurnalistik147. Jurnalis dapat diartikan sebagai seseorang yang bertugas menghimpun berita, mencari fakta dan melaporkan peristiwa. Ada tiga sebutan yang berbeda untuk sebuah profesi yang sama, yaitu: jurnalis,
143
Rahmat. Op.Cit, hlm 51 www.KamusBahasaIndonesia.org 145 www.KamusBahasaIndonesia.org 146 Ayu Utami dalam May Lan, Pers, Negara dan Perempuan: Refleksi atas Praktik Jurnalisme Sensitif Gender pada Masa Orde Baru, (Yogyakarta: Kalika, 2002), hlm. 83 147 Apriansyah, Op.Cit, hlm. 32 144
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
60
wartawan dan reporter. Ketiga sebutan tersebut sebenarnya mempunyai makna yang sama yaitu sebuah profesi yang tugasnya mencari, mengumpulkan, menyeleksi dan menyebarluaskan informasi kepada khalayak melalui media massa148.
H. METODOLOGI PENELITIAN 1. Paradigma Penelitian Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan paradigma postpositivistik rasionalisme. Pengkategorian tersebut mengacu pada pemaparan Muhajir yang membagi paradigma menjadi tiga yaitu paradigma positivistik, postpositivistik dan postmodern. Ada pun untuk paradigma postpostivistik terdiri dari empat jenis yaitu postpositivistik rasionalisme, phenomenologi-interpretif, teori kritis dan pragmatisme meta-etik149. Secara umum, pendekatan postpositivistik bertujuan untuk mencari makna dibalik data. Ada pun secara khusus setidaknya terdapat tiga aksioma yang melandasi paradigma postpositivistik rasionalisme yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Pertama, ontologi (realitas). Realitas adalah tunggal tetapi mengakui adanya perspektif realitas yaitu realitas dalam perspektif sensual, realitas dalam
148 149
79
Yosef, Op.Cit, hlm. 43 Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet. ke-4 (Yogyakarta: Rake Sarakin, 2000), hlm.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
61
perspektif logik dan realitas dalam perspektif etik150. Dalam konteks penelitian ini, yang menjadi realitas yaitu persepsi mahasiswi Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNS mengenai profesi jurnalis. Penelitian tidak berhenti pada apa yang dikatakan oleh para Informan secara eksplisit tetapi coba menemukan makna yang tersirat dengan didukung oleh teori-teori
argumentatif dengan
memasukkan pula nilai-nilai etik. Kedua,
epistemologi
(cara
memperoleh
realitas).
Dibutuhkan
pendekatan holistik, dimana objek yang diteliti tidak dilepaskan dari konteksnya. Sifat holistik yang dituntut oleh pendekatan rasionalistik adalah digunakannya konstruksi pemaknaan atas empiri sensual, logik dan etik. Argumentasi dan pemaknaan atas empiri menjadi penting sebagai landasan penelitian kualitatif berlandaskan pendekatan rasionalisme151. Ketiga,
aksiologi
(nilai-nilai).
Rasionalisme
mengakui
tentang
penghayatan manusia mengenai nilai baik-buruk/ mengakui kebenaran etik152. Semua pengetahuan pada hakikatnya adalah pengetahuan atas kepentingan, meskipun tidak bermaksud mengaitkan dengan kepentingan tertentu tetapi adanya penelitian itu sendiri tidak lepas dari suatu kepentingan. Bagaimana pun orang berupaya untuk tidak mempunyai kepentingan tetap saja ada kepentingan yang masuk. Penelitian ini sendiri berhubungan dengan isu gender yang tidak dapat lepas dari nilai-nilai kemanusiaan khususnya keadilan gender. 150
Ibid, hlm. 82 Ibid, hlm. 84 152 Ibid, hlm. 82 151
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Menurut Bogdan dan Taylor dalam Moleong, metodologi penelitian kualitatif didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati153. Selanjutnya menurut Pawito terdapat lima karakteristik metodologi penelitian kualitatif yaitu: Pertama orientasi. Penelitian kualitatif lebih berorientasi pada kasus dan konteks, misalnya sifat unik, lain, urgen, menakjubkan atau mungkin memilukan. Kedua tujuan. Penelitian kualitatif lebih dimaksudkan untuk memberi gambaran atau pemahaman mengenai gejala (dari perspektif subjek), atau membuat teori. Ketiga penggunaan bukti empirik. Penelitian kualitatif lebih menekankan materi bersifat diskursif serta konversi ke dalam materi diskursif dari materi-materi nondiskursif. Keempat, sifat analisis. Kerapkali bersifat siklis dan fleksibel dan sangat memperhatikan konteks yang berkenaan dengan kategori-kategori yang digunakan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kelima prosedur. Penelitian kualitatif kerap kali bersifat intersubjektif dan cenderung bersifat interpretif namun ada prinsip triangulasi154. 2. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu studi kasus. Menurut Robert K. Yin, studi kasus adalah suatu inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena di dalam konteks kehidupan nyata bilamana batas-batas antara fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas dan di mana multi sumber bukti dimanfaatkan155. Selanjutnya menurut Deddy Mulyana, studi kasus didefinisikan sebagai uraian dan penjelasan komprehensif mengenai berbagai aspek seorang individu, suatu kelompok, suatu organisasi (komunitas), suatu program, atau suatu situasi sosial.156. Dari kedua definisi di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa esensi studi kasus terletak pada kemampuannya untuk menangkap fenemona yang unik, menggali data mengenai fenomena itu secara mendalam, kemudian menyajikan data secara lengkap. Penelitian ini sendiri dapat digolongkan sebagai studi kasus karena telah memenuhi ciri-ciri studi kasus menurut Rachmat Kriyantono. Ciri-ciri yang dimaksud yaitu:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
64
a. Partikularistik. Artinya studi kasus terfokus pada situasi, peristiwa, program atau fenomena tertentu. Penelitian ini pun sudah terfokus pada sebuah fenomena yaitu rendahnya partisipasi perempuan sebagai jurnalis yang relatif konsisten dari masa ke masa. b. Deskriptif. Hasil akhir metode ini adalah deskriptif detail dari topik yang diteliti. c. Heuristik. Metode studi kasus membantu khalayak memahami apa yang sedang diteliti melalui interpretasi baru. Penelitian ini berniat untuk menggali, memaparkan dan memberi wawasan bagi khalayak mengenai fenomena perempuan khususnya terkait dengan profesi jurnalis. d. Induktif. Studi kasus berangkat dari fakta-fakta di lapangan, kemudian menyimpulkan ke dalam tataran teori dan konsep. Sebagaimana lazimnya penelitian kualitatif, langkah pertama dalam penelitian ini adalah mengumpulkan
data
di
lapangan
baru
kemudian
temuan
data
digeneralisasikan dalam teori yang sesuai157. Keempat ciri di atas merupakan indikator metode studi kasus yang implisit. Di samping indikator implisit, studi kasus memiliki pula indikator eksplisit yang dapat dilihat sekilas yaitu melalui tipe rumusan masalahnya. how
why
kata tanya itu dirasa dapat menjembatani keterbatasan peneliti dalam 157
Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, Cetakan ke-3, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008), hlm. 66
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
65
mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki, dan bilamana fokus penelitiannya terletak pada fenomena kekinian di dalam konteks kehidupan nyata158. Berdasarkan karakteristik tersebut, metode penelitian ini pun semakin kuat disebut studi kasus karena tipe pertanyaan penelitian dalam rumusan masalah penelitian ini adalah perempuan terhadap profesi jurnalis. 3. Subjek Penelitian Subjek penelitian ini yaitu mahasiswi S-1 Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS angkatan 2007 s.d 2010. 4. Sumber data a. Data primer Data primer dalam penelitian ini yaitu hasil wawancara mendalam (Indepth Interview) dengan subjek penelitian. b. Data Sekunder Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh melalui studi kepustakaan dan artikel-artikel di situs internet yang berkaitan dengan tujuan penelitian ini. 5. Teknik Sampling Sebagaimana lazimnya penelitian dengan metodologi kualitatif, penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Purposive sampling lebih
158
Yin, Op.Cit, hlm. 1-4
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
66
mendasarkan diri pada alasan atau pertimbangan-pertimbangan tertentu (purposeful selection) sesuai dengan tujuan penelitian159. Teknik sampling yang termasuk dalam kategori nonprobabilitas (sampel tidak melalui teknik random/acak) ini mencakup orang-orang yang diseleksi atas dasar kriteria-kriteria tertentu yang dibuat periset berdasarkan tujuan riset160. Purposive sampling tidak digunakan untuk melakukan generalisasi statistik atau sekedar mewakili populasi melainkan lebih mengarah pada generalisasi teoritis. Sumber data yang digunakan disini tidak sebagai yang mewakili populasinya tetapi lebih cenderung mewakili informasinya161. Untuk penelitian ini, yang dipilih sebagai subjek penelitian yaitu mahasiswi (perempuan) saja karena tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengalaman subjektif perempuan. 6. Teknik Pengumpulan Data Teknik penumpulan data untuk penelitian ini adalah wawancara mendalam (Indepth Interview). Wawancara mendalam adalah suatu cara mengumpulkan data atau informasi dengan cara langsung bertatap muka dengan informan agar mendapatkan data lengkap dan mendalam162.
159
Pawito, Op.Cit, hlm. 88 Kriyantono, Op.Cit, hlm156 161 H.B. Sutopo, Metode Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan Penerapannya dalam Penelitian, (Solo: UNS Press, 2002), hlm. 56 162 Kriyantono, Op.Cit. hlm.100 160
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
67
Teknik wawancara dilakukan den
open
ended yang tidak secara formal terstruktur, guna menggali informasi secara lebih jauh dan mendalam163. Wawancara ini bersifat luwes, susunan pertanyaannya dan susunan katakata dalam setiap pertanyaan dapat diubah pada saat wawancara, disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi saat wawancara, termasuk karakteristik sosial budaya (agama, suku, gender, usia, tingkat pendidikan, pekerjaan dsb.) responden yang dihadapi164. 7. Validitas Data Validitas (validity) data dalam penelitian ini menggunakan teknik triangulasi. Triangulasi adalah upaya untuk menunjukkan bukti empirik untuk meningkatkan pemahaman terhadap realitas atau gejala yang diteliti165. Dengan cara menggali data dari sumber yang berbeda-beda dan juga teknik pengumpulan data yang berbeda, data sejenis bisa teruji kemantapan dan kebenarannya 166. Menurut Patton dalam Sutopo, terdapat empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan untuk mencapai keabsahan, yaitu: triangulasi data,
163
Sutopo, Op.Cit. hal.59 Mulyana. Op.Cit, hlm. 181 165 Ibid, hal.98 166 Sutopo, Op.Cit, hal.80 164
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
68
triangulasi metode, triangulasi peneliti dan triangulasi teori167. Ada pun penelitian ini menggunakan triangulasi data untuk validitas data. Triangulasi data menunjuk pada upaya peneliti untuk mengakses sumber-sumber yang lebih bervariasi guna memperoleh data berkenaan dengan persoalan yang sama. Dengan cara ini Peneliti dapat mengungkapkan gambaran yang lebih memadai (beragam perspektif) mengenai gejala yang diteliti168. Untuk penelitian ini, Penulis mempraktikkan triangulasi data dengan melaksanakan wawancara mendalam secara bertahap pada setiap Informan. Interpretasi data dari wawancara pertama coba Penulis verifikasi kepada Informan bersangkutan. Setidaknya Penulis melakukan wawancara mendalam dua kali untuk setiap informan. 8. Teknik Analisis Data Teknik analisis data untuk penelitian ini menggunakan model Interaktif Miles dan Huberman atau lazim disebut sebagai model interaktif169. Sebagaimana penelitian komunikasi kualitatif pada umumnya, analisis data ini bermaksud hendak memberikan makna (making sense of) terhadap data,
167
Ibid, hlm. 79-83 Ibid 169 Pawito, Op.Cit, hlm. 104 168
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
69
menafsirkan (interpreting), dan akhirnya sampai pada kesimpulan-kesimpulan final170. a. Penyajian Data (Data display) Setelah melakukan pengumpulan data dengan teknik wawancara mendalam (Indepth Interview), Peneliti membuat transkip wawancara. Setelah itu, Peneliti mengedit dan meringkas dengan mengacu pada interview guide yang merupakan operasionalisasi dari rumusan masalah. Proses ini menghasilkan data primer. Data primer kemudian diolah lagi, diberi kode-kode dan catatancatatan (memo) untuk menemukan tema-tema, kelompok-kelompok, dan pola-pola data. Proses ini lazim disebut dengan koding. Selanjutnya,
Peneliti
membuat
rancangan
konsep-konsep
(mengupayakan konseptualisasi) dari hasil proses koding. Data yang tersaji berupa kelompok-kelompok kemudian saling dikaitkan sesuai dengan kerangka teori yang digunakan. Untuk memvisualisasikannya, dibuatkan gambar-gambar dan diagram yang menunjukkan keterkaitan antara gejala satu dengan yang lain. Pada tahap ini, Peneliti membangun jembatan untuk memasuki teoritisasi.
170
Ibid. hal.101
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
70
b. Reduksi Data (Data Reduction) Berdasarkan penyajian data, dapat dilihat adanya kemungkinan datadata yang kurang relevan dan juga adanya data yang belum lengkap. Reduksi data menjadi proses penting untuk memastikan penyajian data lengkap dan menyeluruh sebelum memasuki tahap penarikan/pengujian kesimpulan. Dalam proses analisis data yang Peneliti lakukan, terdapat kondisi dimana data yang telah Peneliti terkumpul kurang relevan dengan rumusan masalah. Oleh karena itu, hasil penelitian itu tidak peneliti gunakan. Untuk data-data yang masih kurang lengkap, Peneliti melakukan lagi wawancara mendalam (Indepth Interview). Terhitung maksimal wawancara mendalam dilakukan dua kali pada setiap Informan untuk memenuhi kelengkapan data. Hasil dari proses wawancara susulan ini diproses seperti halnya tahap penyajian data yang telah disampaikan di muka. c. Penarikan/pengujian kesimpulan (drawing and verifying conclusions) Pada komponen terakhir ini, Peneliti pada dasarnya mengimplementasikan prinsip induktif dengan mempertimbangkan pola-pola data yang ada dan atau kecenderungan dari display data yang telah dibuat. Dalam proses ini, ada kalanya kesimpulan telah tergambar sejak awal, namun kesimpulan final tetaplah berada di akhir proses penelitian pernah. Hubungan ketiga komponen analisis ini dapat digambarkan sebagai berikut :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
71
Gambar I.1 Komponen-komponen Analisis Data : Model Interaktif Miles dan Huberman171
Pengumpulan data
Reduksi data
171
Penyajian data
Kesimpulankesimpulan: Penarikan/Verifikasi
Ibid, hlm. 105
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II DESKRIPSI LOKASI DAN SUBJEK PENELITIAN A. GAMBARAN UMUM PRODI ILMU KOMUNIKASI FISIP UNS 1.
Sejarah Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS Program Studi Ilmu Komunikasi berdiri bersamaan dengan berdirinya
Universitas Negeri Sebelas Maret, disingkat UNS, pada tanggal 11 Maret 1976 berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1976 tertanggal 8 Maret 1976. Pada awal berdirinya Program Studi ini bernama Jurusan Publisistik yang merupakan bagian dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Berdasarkan SK Dirjen Dikti No.39/DIKTI/Kep/1984, Jurusan Publisistik berubah menjadi Jurusan Ilmu Komunikasi dengan Program Studi Komunikasi Massa. Pada tahun 2007 keluar SK Dirjen No.163/DIKTI/Kep/2007 tentang Penataan dan Koodifikasi Program Studi pada Perguruan Tinggi, Jurusan Ilmu Komunikasi dan Program Studi Komunikasi Massa berubah menjadi Program Studi Ilmu Komunikasi. Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS pertama kali mendapatkan Akreditasi A dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi tertanggal 11 Agustus 1998 dengan Nomor sertifikat: 00935/Ak-I.1/USFILM/VIII/1998, kemudian untuk yang kedua kalinya Program Studi Ilmu Komunikasi memperoleh kembali Akreditasi A tertanggal 17 Juni 2004 dengan No. 06556/Ak-VIII-S1-022/USFILM/VI/2004. Sedangkan untuk yang ketiga Program Studi Ilmu Komunikasi lagi-lagi mendapat
commit72to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
73
Akreditasi A tertanggal 21 Agustus 2009 dengan nomor sertifikat 024/BAN-PT/AKXII/S1/VIII/2009. 2.
Struktur Organisasi Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS Struktur Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS terdiri dari: Rektor yang
dibantu oleh Pembantu Rektor I, II, III dan IV; Dekan yang dibantu oleh Pembantu Dekan I, II dan III; Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi. Untuk lebih jelasnya struktur organisasi Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS dapat dijelaskan melalui bagan dibawah ini: Bagan II.1 Struktur Organisasi Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS Rektor PR I
PR II
Senat
PR III
PR IV
Dekan PD I
PD II
PD III
Perpustakaan
Kepala Bagian Tata Usaha
Kasub. Umum & Perkap.
Kasub. Keu & Pegawai
Kasub. Pendidi kan
Kasub. Kemaha siswaan
Program Studi Ilmu Komunikasi HMJ
LAB Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Sumber: Buku Pedoman FISIP UNS Tahun 2005/2006
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
74
3.
Visi Program Studi Menjadi pusat unggulan (center of excellence) dalam penyelenggaraan
pendidikan dan pengabdian masyarakat (professional services) di bidang Ilmu Komunikasi yang secara manajerial, intelektual serta moral berlandaskan nilai-nilai luhur budaya Nasional sehingga memiliki daya saing ditingkat nasional maupun global. 4. a.
Misi Program Studi Menyelenggarakan
proses
pengajaran
yang
bermutu
dalam
rangka
menghasilkan lulusan yang berdaya saing tinggi di tingkat nasional maupun global, baik secara akademis maupun moral serta berperan dalam membangun dan memelihara integritas bangsa b.
Meningkatkan kualitas pendidikan yang mendukung pendidikan dan kemajuan ilmu teknologi dan pengkayaan budaya
c.
Meningkatkan
Pengabdian pada Masyarakat dengan penekanan
pada
tema/bidang yang sesuai dengan kompetensi Program Studi Ilmu Komunikasi d.
Menjalin kerjasama dengam lembaga-lembaga dalam dan luar negeri untuk meningkatkan Tri Dharma Perguruan Tinggi
e.
Mengembangkan sumber daya manusia baik tenaga akademik maupun non akademik yang professional (handal, beretika dan sejahtera) dalam rangka peningkatan mutu pelayanan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
75
f.
Menetapkan sistem manajemen professional berbasis transparansi dan akuntabilitas dalam rangka menciptakan tata kerja yang baik, kinerja tinggi, serta efisiensi dan efektivitas organisasi.
g.
Menciptakan iklim kerja yang kondusif ditandai oleh berkembangnya semangat kerja sama, saling percaya (mutual trust), dan terbentuknya nilai-nilai bersama (shared value)
5.
Tujuan Program Studi
a. Menghasilkan lulusan yang berdaya saing tinggi baik secara akademis maupun secara moral sehingga dapat menjadi modal bagi pembangunan bangsa dan negara. Diukur berdasarkan indikator lulusan yang memiliki indeks prestasi kumulatif tinggi dengan masa studi yang tepat waktu, waktu tunggu mendapatkan pekerjaan yang pendek, dan mampu berkarya di dalam dunia komunikasi b. Menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi di bidang Ilmu Komunikasi meliputi: praktisi media, pengelola media massa, peneliti media massa dan praktisi public relation dan periklanan c. Menghasilkan karya-karya penelitian yang berkualitas dan berguna bagi komunikasi akademik, mahasiswa, pemerintah, industri dan masyarakat. Ditandai dengan publikasi dan jurnal-jurnal ilmiah lokal, nasional maupun internasional terakreditasi. d. Memberikan pengabdian terbaik kepada masyarakat di bidang yang sesuai dengan kompetensi Program Studi Ilmu Komunikasi melalui upaya-upaya positif
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
76
yang menumbuhkan kesadaran dan kepercayaan diri masyarakat serta menjadikan masyarakat sebagai kekuatan dan modal bagi pembangunan bangsa dan negara. 6.
Kurikulum Kurikulum di Program Studi Ilmu Komunikasi disusun dengan mengacu pada
peraturan Dikti tentang penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan sesuai dengan Visi, Misi dan Tujuan Program Studi. Kurikulum ini juga dirancang dengan memberi aksentuasi sesuai karakteristik dan kemampuan lokal prodi yang dimiliki. Kurikulum didesain selain untuk kemampuan teoritik dan konseptual yang kuat, juga untuk mengakomodasi kemampuan praktis dalam studi komunikasi. Perbandingan bobot kemampuan teoritis dan praktis sebesar 60%:40%. Relevan dengan tuntutan dan kebutuhan stakeholders, dalam ini industri media. Kurikulum di Prodi Ilmu komunikasi memiliki aspek yang menonjol pada pengelompokan mata kuliah spesialisasi profesi. Mata kuliah ini antara lain: Jurnalistik,
Video,
Radio,
Humas
dan
Periklanan
dan
Design
Grafis.
Pemberlakuannya dijalani mahasiswa secara berkesinambungan dari semester 5 s.d semester 8. Mahasiswa kemudian diwajibkan memilih 3 dari 5 mata kuliah yang ditawarkan. Ada pun pada perkembangannya, mulai tahun ajaran 2009/2010 mata kuliah spesialisasi Humas dan Periklanan dipisah masing-masing sebagai mata kuliah PR dan Periklanan, dan untuk mata kuliah Design Grafis akhirnya dihapus karena
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
77
kurangnya peminat. Selanjutnya terjadi pemadatan masa studi mata kuliah spesialisasi yang sebelumnya selama 4 semester menjadi 3 semester sehingga hanya berlaku sampai semester 7. Perubahan itu diikuti pula dengan pemadatan sks untuk setiap mata kuliah spesialisasi dari 3 sks menjadi 4 sks per mata kuliah spesialisasi. Berikut ini daftar mata kuliah sesuai kurikulum terbaru di program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS. Tabel II.1 Daftar Mata Kuliah Semester 1 No Mata Kuliah Semester 1 1 Pendidikan Agama 2 Pengantar Ilmu Komunikasi 3 General English 4 Pengantar Psikologi (massa) 5 Pengantar Sosiologi 6 Pengantar Ilmu Politik 7 Dasar-Dasar Logika 8 Komposisi 9 Pendidikan Kewarganegaraan Jumlah
Jumlah SKS 2 3 2 3 3 3 3 2 2 22
Status Wajib Wajib Wajib Wajib Wajib Wajib Wajib Wajib Wajib
Tabel II.2 Daftar Mata Kuliah Semester 2 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Jumlah
Mata Kuliah Semester 2 Ilmu Kealaman Dasar English for Social Science Azas-Azas Manajemen Komunikasi Massa Sistem Sosial Budaya Indonesia Sistem Politik Indonesia Sistem Hukum Indonesia Kewirausahaan Filsafat Ilmu
commit to user
Jumlah SKS 2 2 2 3 3 3 3 3 2 22
Status Wajib Wajib Wajib Wajib Wajib Wajib Wajib Wajib Wajib
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
78
Tabel II.3 Daftar Mata Kuliah Semester 3 No Mata Kuliah Semester 3 1 MPS 2 Sosiologi Komunikasi 3 Manajemen Media Massa 4 Teknologi Komunikasi 5 Teori Komunikasi 6 Psikologi Komunikasi 7 Hukum Media Massa 8 Teori Sosial Politik Jumlah
Jumlah SKS 3 3 3 3 3 3 3 2 23
Status Wajib Wajib Wajib Wajib Wajib Wajib Wajib Wajib
Tabel II.4 Daftar Mata Kuliah Semester 4 No Mata Kuliah Semester 4 1 Statistik Sosial 2 Komunikasi Politik 3 Fotografi 4 Perencanaan Komunikasi 5 Filsafat & Etika Komunikasi 6 Komunikasi Antar Budaya 7 MPK Kualitatif 8 Komunikasi Sosial dan Pembangunan Jumlah
Jumlah SKS 3 3 3 3 3 3 3 3 22
Status Wajib Wajib Wajib Wajib Wajib Wajib Wajib Wajib
Tabel II.5 Daftar Mata Kuliah Semester 5 No Mata Kuliah Semester 5 1 Jurnalistik 1 2 Radio 1 3 Video 1 4 Public Relations 1 5 Advertising 1 6 MPK Kuantitatif Jumlah
Jumlah SKS 4 4 4 4 4 3 23
commit to user
Status Pilihan Wajib Pilihan Wajib Pilihan Wajib Pilihan Wajib Pilihan Wajib Wajib
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
79
Tabel II.6 Daftar Mata Kuliah Semester 6 No Mata Kuliah Semester 6 1 Jurnalistik 2 2 Radio 2 3 Video 2 4 Public Relations 2 5 Advertising 2 6 Isu-Isu Komtemporer Jumlah
Jumlah SKS 4 4 4 4 4 3 23
Status Pilihan Wajib Pilihan Wajib Pilihan Wajib Pilihan Wajib Pilihan Wajib Wajib
Tabel II.7 Daftar Mata Kuliah Semester 7 No Mata Kuliah Semester 7 1 Jurnalistik 3 2 Radio 3 3 Video 3 4 Public Relations 3 5 Advertising 3 6 Kapita Selekta Jumlah
Jumlah SKS 4 4 4 4 4 3 23
Status Pilihan Wajib Pilihan Wajib Pilihan Wajib Pilihan Wajib Pilihan Wajib Wajib
Tabel II.8 Daftar Mata Kuliah Semester 8 No Mata Kuliah Semester 8 1 Kuliah Kerja Komunikasi 2 Skripsi/TA Jumlah
Jumlah SKS 3 6 9
Status Wajib Wajib
Tabel II.9 Daftar Mata Kuliah Mata Kuliah Pilihan No Mata Kuliah Jumlah SKS 1 Komunikasi Organisasi 2 2 Penulisan Kreatif 2 3 Media dan Gender 2 4 Komunikasi Bisnis 2 5 Sistem Komunikasi Indonesia 2 Jumlah 10 Sumber: Company Profile Program Studi Ilmu Komunikasi 2010
commit to user
Status Smt. Ganjil Smt. Genap Smt. Ganjil Smt. Genap Smt. Genap
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
80
7.
Substansi Mata Kuliah Spesialisasi
a. Jurnalistik 1, 2 dan 3: Meliputi pemahaman konsep jurnalistik, objektivitas, framing, format jurnalistik, unsur dan nilai berita, karangan khas, anatomi karangan khas, teknik penulisan karangan khas (profil, news, feature, catatan perjalanan, iptek, berita mendalam), Junalistik foto, memahami UU Pers, Kode Etik, pembagian kerja produksi media, SOP Majalah berita b. Video 1, 2, dan 3 Fotografi meliputi: pengenalan instrument kamera, prinsip kerja kamera, aplikasi kamera, komposisi, framing dan focus Videografi meliputi: Teknik dasar reportase, Alphabetis, kerabat kerja, SOP(Standart Operasional Procedur, Musical Show, Talk Show, Bulletin, Features, Magazine, Berita, Live Broadcast, Lighting, Sound, Menyiapkan berita, presenter dan pembacaan berita, reportase, sumber berita, pemahaman UU Penyiaran, Pedoman Perilaku Penyiaran, Kode Etik, Organisasi Produksi, Konsep Kreatif Iklan Televisi, SOP Program Iklan dan Karya Dokumenter c. Radio 1,2 dan 3 Standart Operasional Procedure(SOP) siaran radio, Manajemen siaran Radio, Simulasi Siaran Radio, segmentase pendengar radio, penulisan naskah siaran radio, produksi program hiburan dan informasi, olah vocal, editing, profesionalisme siaran, bahasa dan musik iklan radio, iklan adlib dan layanan masyarakat, iklan komersial, basic cool edit pro, kompetensi broadcaster, bulletin news, talkshow, UU Penyiaran, Struktur dan manajemen perusahaan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
81
penyiaran radio, pengaturan Program siaran, Kode Etik, Pemantauan dan Evaluasi Program Siaran d. Public Relations 1, 2 dan 3 Pemahaman konsep Public Relations, Coorporate Public Relations, Marketing Public Relations, Citra dan Reputasi, Etika Public Relations, Press Relations, Tool of Public Relations, Employee Relations, Investor Relations, Kapita Selekta Public Relations, Perencanaan PR, Publisitas, Pameran, Special Event, Konsep dan Penerapan Coorporate Social Responsibility, Crisis PR, dan Riset Public Relations e. Advertising 1, 2 dan 3 Pemahaman Iklan, perencanaan iklan, brand equity, image dan personality, perilaku konsumen, proses dan model dalam komunikasi pemasaran, Integrated Marketing Communications (IMC), Strategi Kreatif Iklan, Strategi Media, Positioning, Etika dan Regulasi iklan, Biro Iklan, Profesi iklan, pemahaman konsep grafis, aplikasi desain grafis iklan, karakteristik desain efektif, software desain iklan. 8.
Profil Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS saat ini memiliki dosen tetap
sejumlah 31 orang, dengan kualifikasi 25 orang sarjana strata dua (S2), 3 orang Doktor (S3) dan 3 orang Profesor Doktor. Selain dosen tetap, prodi juga dibantu oleh dosen-dosen tidak tetap yang berasal dari lingkungan UNS dan kalangan luar UNS terutama para praktisi professional seperti surat kabar, radio, humas, periklanan dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lain sebagainya. Perbandingan rasio dosen dan mahasiswa yang ada di Program Studi Ilmu Komunikasi adalah 32:531 atau sekitar 1:16. 9.
Kemahasiswaan Penerimaan mahasiswa pada Program Studi Ilmu Komunikasi dilakukan
melalui SNMPTN, PMDK, SPMB Swadana dan SPMB Transfer S-1 Non Pendidikan. Angka persaingan untuk memasuki Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS relatif tinggi, hal ini tampak dari data pada lima tahun terakhir rata-rata tingkat kompetisi mahasiswa baru melalui jalur SPMB/SNMPTN 24:1, dengan nilai rata-rata 731 (informasi lebih lanjut dapat diakses melalui www.spmb.uns.ac.id). 10. Sarana dan Prasarana Pendidikan Untuk menjamin tersenggaranya proses belajar mengajar yang nyaman, tersedia beberapa fasilitas pendidikan yang memadai dan tempat berinteraksi yang rekreatif: Laboratorium Program Studi Ilmu Komunikasi memiliki Laboratorium Audiovisual, Laboratorium Radio, Laboratorium Editing Digital, Laboratorium Fotografi dan Laboratorium Komputer Multimedia. Laboratorium ini dimanfaatkan untuk penyelenggaraan praktikum matakuliah spesialisasi: Jurnalistik, Video, Radio, Public Relations dan Periklanan. Laboratorium Program Studi Ilmu Komunikasi memiliki peralatan yang cukup memadai baik dari aspek kuantitas maupun kualitas. Selain sebagai tempat praktikum mahasiswa, laboratorium ini juga menyediakan berbagai layanan jasa produksi media
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
peraga sosialisasi dan dokumentasi, seperti peraga audio visual pengajaran atau pun company profile. Perpustakaan Ketersediaan
perpusatakaan
bagi
program
studi,
menyatu
dengan
perpustakaan yang dikelola oleh Fakultas yaitu perpustakaan FISIP UNS yang memiliki koleksi buku sekitar 10.099 judul dengan jumlah eksemplar mencapai 11.391 buah. Khusus buku-buku yang berkaitan dengan bidang komunikasi, perpustakaan memiliki 1.255 buku teks, 21 jurnal ilmiah nasional, 10 jurnal ilmiah internasional, 19 buletin/majalah ilmiah local. Perpustakaan FISIP ini melayani pengunjung mulai dari pukul 08.00 s,d pukul 16.00 WIB. Hotspot Area Kebutuhan civitas akademika untuk mengakses content internet baik berupa informasi akademik maupun non akademik, nyata sekali sudah tidak bisa dibendung oleh alasan apa pun, maka untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Program
Studi
Ilmu
Komunikasi
bersama-sama
dengan
fakultas
;menyediakan banyak titik hotspot sehingga mahasiswa dan dosen bisa mengakses internet disegala sudut kampus sepanjang waktu. Public Sphere Dalam
rangka
mengembangkan
minat
dan
bakatnya,
mahasiswa
mengekspresikan hasil kreasinya ditempat terbuka yang mudah diakses oleh civitas akademika yang lain. Oleh karena itu, prodi bersama fakultas juga
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
84
menyediakan fasilitas umum berupa ruang terbuka baik untuk berlatih teater, bermain music, berdiskusi, memutar film, open talk, pameran foto atau poster, atau sekedar untuk berbincang mengisi waktu luang. 11. Profil Lulusan Kurikulum pembelajaran di Program Studi Ilmu Komunikasi didesan untuk menghasilkan output yang memiliki kompetensi di bidang Ilmu Komunikasi meliputi: praktisi media(jurnalis surat kabar atau majalah, jurnalis televisi, jurnalis radio, jurnalis kantor berita), tenaga edukatif komunikasi, pengelola media massa, peneliti media massa dan praktisi public relations serta praktisi periklanan.
B. GAMBARAN
UMUM
MAHASISWA
PROGRAM
STUDI
ILMU
KOMUNIKASI FISIP UNS Berdasarkan data yang diperoleh dari Bagian Pendidikan FISIP UNS tahun 2010, mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNS yang masih aktif sampai pada tahun ajaran 2010/2011 tercatat sebanyak 410 orang, yang terdiri dari 260 orang mahasiswi dan 150 orang mahasiswa. Berikut adalah data lengkap jumlah mahasiswa S-1 Reguler Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS angkatan 2007 s.d 2010:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
85
Tabel II.10 Jumlah Mahasiswa S-1 Reguler Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS Akademik 2010/2011 No
Angkatan
Laki-Laki
Perempuan
Jumlah
1
2007
32
70
102
2
2008
35
63
98
3
2009
38
47
85
4
2010
45
80
125
Jumlah
150
260
410
Sumber: Data Sekunder Bagian Pendidikan FISIP UNS 2010
Mahasiswa S-1 Reguler Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS diterima melalui beberapa jalur yaitu: PMDK, SNMPTN dan Swadana. Mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia, tidak hanya dari Surakarta dan sekitarnya. Hal itu karena UNS memiliki cakupan nasional sehingga tidak heran jika sebagian mahasiswa merupakan pendatang dari berbagai kota di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Magelang, Blitar, Temanggung, Ngawi, Yogyakarta dan beberapa kota lainnya. Melihat hal tersebut patut dikedepankan bahwa informan dalam penelitian ini memiliki latar belakang budaya, pergaulan, dan adat istiadat yang berbeda. Belum lagi sebagai mahasiswa yang memiliki tolak ukur berpikir kritis dalam menghadapi suatu fenomena sosial, sehingga diharapkan dalam penelitian ini Mahasiswi S-1 Regular Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS yang terpilih sebagai informan dapat memberikan penilaian terhadap permasalah yang diajukan dalam peneltian ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
86
C. DATA SUBJEK PENELITIAN Setelah menggunakan teknik purposive sampling dan triangulasi sumber, Peneliti memperoleh 18 orang mahasiswi sebagai informan/ subjek penelitian. Berikut ini adalah data selengkapnya: Tabel II.11 Data Informan (berdasarkan NIM, Tahun Angkatan dan Usia) No Nama NIM Tahun Usia (Tahun) Angkt. 1 Annisa Fitri D0210014 2010 20 2 Ambar Kusuma Ningrum D0210008 2010 18 3 Triendah Fibriani D0209080 2009 20 4 Fauziah Nurlina D0210044 2010 19 5 Nabilla Noor Khudori D0209057 2009 20 6 Dian Erika D0208053 2008 22 7 Aviana Cahyaningsih D0208041 2008 21 8 Twinika Sativa D0208017 2008 21 Febriandini 9 Dhyanayu Lutfi Almitra D0208020 2008 21 10 Fannani Norrohmah D0208064 2008 22 11 Destriana K. D0208050 2008 21 12 Devi Anggrahini D0208003 2008 21 13 Agnes Amanda D0207001 2007 22 14 Veronika Juwita Hapsari D0207105 2007 22 15 Mia Ajeng Yulivia D0207015 2007 22 16 Rahajeng Kartikarani D0207130 2007 22 17 Putu Ayu Gayatri D0207083 2007 22 18 Ema Yuliani Utami D0207052 2007 21 Sumber: Diolah dari data penelitian Profil Informan: Informan 1: Annisa Fitri (20). Perempuan yang lahir dan dibesarkan di Solo ini lulus dari SMA pada tahun 2009. Pada Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2009 ia memilih jurusan Ilmu Komunikasi sebagai pilihan pertama namun belum berhasil lolos. Pada
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
87
tahun yang sama ia kemudian memutuskan untuk kuliah di D3 Broadcasting FISIP UNS. Satu tahun kemudian, perempuan yang memiliki hobi fotografi ini mencoba peruntungan untuk kembali mengikuti SNMPTN dengan pilihan yang sama dan akhirnya diterima. Sejak awal kuliah hingga kini ia aktif bergabung dalam beberapa organisasi diantaranya Solo International Ethnic Music (SIEM) Community, Solo International Performing Art (SIPA) Community, Himpunan Foto Solo Bengawan (HSB), Fisip Fotografi Club (FFC) FISIP UNS dan Kaskus Regional Solo. Informan 2: Ambar Kusuma Ningrum (18). Dara yang lahir dan dibesarkan di Jakarta ini mengaku memiliki hobi travelling dan nonton film.
membawanya memilih Universitas Sebelas Maret Solo sebagai tempat kuliah. Tahun pertamanya sebagai mahasiswi di UNS banyak diisi dengan berkegiatan di Kine Club FISIP UNS dan Fisip Fotografi Club (FFC). Informan 3: Triendah Fibriani (20). Perempuan berkacamata minus ini lulus dari pendidikan SMA pada tahun 2009. Setelah tidak berhasil lolos untuk jurusan kuliah Ilmu Komunikasi FISIP UNS melalui jalur PMDK tahun 2009, perempuan asal Blitar Jawa Timur ini mencoba untuk masuk di prodi dan universitas yang sama melalui jalur SNMPTN, dan diterima. Di tahun kedua semenjak menjadi mahasiswa, waktunya banyak ia
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
88
gunakan untuk berkegiatan di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FISIP UNS, Himakom FISIP UNS dan Sensor. Informan 4: Fauziah Nurlina lahir di Magelang, 22 Mei pada 19 tahun silam. Saat ini tercatat sebagai mahasiswi Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNS angkatan 2010. Perempuan yang energik dan spontan ini termotivasi kuliah di Prodi Ilmu Komunikasi karena tertarik dengan jurnalistik dan politik. Saat ini ia sedang aktif berkegiatan di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) VISI dan BEM FISIP UNS. Informan 5: Nabilla Noor Khudori lahir di Wonogiri bertepatan dengan peringatan hari Kartini 20 tahun silam. Saat ini tercatat sebagai mahasiswi Ilmu Komunikasi FISIP UNS angkatan 2009. Sebelum akhirnya kuliah di Prodi Ilmu Komunikasi, ia sempat break satu tahun setelah keinginannya kuliah di Hubungan Internasional gagal. Perempuan yang mengaku blank sama sekali dengan Ilmu Komunikasi saat pertama kuliah ini memiliki ketertarikan terhadap dunia tulis menulis. Saat ini ia tengah aktif berkegiatan di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di bidang jurnalistik yaitu Mediator dan VISI. Informan 6: Dian Erika (22). Perempuan yang gemar mengoleksi barangbarang antik ini lahir di Wonogiri pada 13 Juli 1989. Jurusan Ilmu Komunikasi adalah pengalaman kuliahnya yang kedua setelah satu tahun sebelumnya yaitu tahun 2007-2008 ia lewatkan dengan mengenyam pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Negeri Semarang (Unnes).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
89
Keputusannya untuk beralih jurusan kuliah ke Jurusan Ilmu Komunikasi diantaranya terdorong oleh keinginannya untuk merasakan pendidikan yang memberi ruang aktualisasi diri di bidang kejurnalistikan. Untuk mata kuliah spesialisasi ia mengikuti mata kuliah jurnalistik, Design Grafis dan Video. Selain kegiatan kuliah, hingga kini ia masih aktif tergabung dalam Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Kentingan UNS. Informan 7: Aviana Cahyaningsih (21). Perempuan berjilbab ini lahir dan dibesarkan di Sukoharjo. Lepas dari SMA pada tahun 2008 ia langsung diterima di jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS melalui jalur SNMPTN. Sekalipun pilihannya untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi sempat
termotivasi ingin menjadi wartawan. Menurutnya, sosok wartawan atau jurnalis perempuan itu keren karena jumlahnya yang belum sebanyak lakilaki. Untuk mata kuliah spesialisasi ia mengikuti mata kuliah jurnalistik, PR/Advert dan Video. Selain kuliah, saat ini ia aktif pula di kegiatan ekstra kampus Fisip Fotografi Club (FFC). Informan 8: Twinika Sativa Febriandini (21). Perempuan yang memiliki kegemaran menulis ini diterima di jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS pada tahun 2008 melalui jalur PMDK. Keputusannya untuk kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi mendapat dukungan dari orangtua terlebih ibu. Motivasinya memilih jurusan ini yaitu ingin meningkatkan softskill dalam mencari relasi. Untuk mata kuliah spesialisasi ia mengikuti mata kuliah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
90
jurnalistik, PR/Advert dan Video. Setelah memasuki mata kuliah spesialisasi, kini ini telah memantapkan diri untuk fokus mempelajari Public Relations. Informan 9: Dhyanayu Lutfi Almitra (21). Keputusannya untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi salah satunya berkat dorongan dari temantemannya SMA yang menilai bahwa ia pandai berbicara sehingga pantas kuliah di jurusan tersebut. Melalui jalur penerimaan SNMPTN, ia berhasil diterima di jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS pada tahun 2008. Perempuan yang memiliki hobi membaca dan nonton ini memilih mata kuliah jurnalistik, video dan PR/Advert sebagai mata kuliah spesialisasi profesinya. Setelah sempat mengikuti beberapa kegiatan ekstra kampus di awal kuliah seperti Teater SOPO dan FFC, kini ia memutuskan untuk fokus pada kuliah semenjak memasuki mata kuliah spesialisasi. Informan 10: Fannani Norrohmahn (22). Perempuan berjilbab ini lahir dan di besarkan di Klaten. Kegemarannya pada dunia penyiaran sempat membawanya menjadi seorang penyiar di sebuah radio swasta di kota kelahirannya. Setelah sempat berhenti berkecimpung selama 3 tahun dari dunia penyiaran selama masa SMA, akhirnya ia memutuskan untuk kembali menekuninya di perguruan tinggi dengan masuk jurusan Ilmu Komunikasi. Untuk mata kuliah spesialisasi ia memilih Radio, Jurnalistik dan PR/Advertising. Setelah memasuki mata kuliah spesialisasi, kini ia lebih memfokuskan diri pada perkuliahan dan sedikit-demi sedikit
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
91
mengurangi kegiatan ekstra kampus seperti BEM dan Studi Ilmiah Mahasiswa. Informan 11: Destriana K. (21). Keputusan Destri, begitu ia disapa, untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi dilatarbelakangi oleh keinginannya mengikuti jejak kakak perempuannya yang pernah menjadi penyiar radio. Perempuan yang lahir dan dibesarkan di Wonogiri ini akhirnya dapat diterima di juruasan Ilmu Komunikasi melalui jalur SNMPTN tahun 2008. Fokusnya untuk menekuni Radio memotivasinya untuk bergabung di UKM al kuliah. Untuk mata kuliah spesialisasi ia memilih Radio, Jurnalistik dan PR/Advertising. Selain kuliah, kini ia masih aktif berkegiatan di Radio Fiesta FM. Informan 12: Devi Anggrahini (21). Pemain basket di Tim Bhineka Solo ini masuk di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS melalui jalur PMDK prestasi pada tahun 2008. Bisa dibilang keputusan Devi untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi bukan sepenuhnya keinginannya karena keterbatasan pilihan jurusan sosial yang ditawarkan melalui jalur PMDK prestasi. Selain kuliah, berlatih basket merupakan kegiatannya sehari-hari sebagai atlet. Ia sempat tertarik untuk mengikuti mata kuliah video namun akhirnya ia urunkan karena mata kuliah tersebut ia rasa terlalu padat dan tidak sejalan dengan kegiatannya sebagai atlet. Akhirnya ia memilih Radio, Jurnalistik dan Design Grafis sebagai mata kuliah spesialisasi karena ketiga mata kuliah itu dirasa sebagai yang paling longgar.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
92
Informan 13: Agnes Amanda (22). Agnes terdaftar sebagai mahasiswi Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS pada tahun 2007 melalui jalur PMDK. Perempuan yang lahir dan dibesarkan di Kabupaten Karanganyar ia memilih kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi karena tertarik pada dunia pertelevisian. Pada saat penjurusan kuliah ia mengambil mata kuliah spesialisasi video, jurnalistik dan
PR/Advertising. Sedangkan pada
semester VI ia mengikuti K3 di televisi lokal JogjaTV sebagai crew Divisi Produksi. Informan 14: Veronika Juwita Hapsari (22). Prodi Ilmu Komunikasi sebenarnya merupakan pilihan alternatif untuk Ita, begitu ia akrab disapa, pada saat mengikuti SNMPTN tahun 2007. Meskipun demikian ia memantapkan hati untuk menjalani kuliah di jurusan ini atas motivasi dari temannya yang merupakan mahasiswa di jurusan yang sama. Perempuan yang memiliki hobi menulis ini me di jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS, yaitu Video, Jurnalistik dan PR/Advert. Adapun untuk K3, ia diterima di stasiun TV Swasta Metro TV Biro Jawa Timur. Informan 15: Mia Ayu Yuliavia (22). Kisah mengapa Mia memutuskan kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi berawal dari keputusannya saat penjurusan SMA yang memilih masuk ke jurusan Bahasa. Keterbatasan pengetahuan mengenai materi tes SNMPTN dari jurusan tersebut membuatnya enggan mengikuti SNMPTN. Ia kemudian berjuang untuk
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
93
dapat diterima kuliah melalui jalur PMDK. Berkat dukungan dari beberapa pihak akhirnya ia memantapkan diri untuk mendaftarkan diri ke jurusan Ilmu Komunikasi guna mengembangkan minatnya di dunia broadcasting. Untuk mata kuliah spesialisasi ia mengambil mata kuliah Radio, Jurnalistik dan PR/Advertising. Sedangkan untuk K3 ia mengikuti magang di RSPD Kabupaten Sukoharjo. Selain kuliah, saat ini ia bekerja sebagai penyiar di radio tempatnya mengikuti K3. Informan 16: Rahajeng Kartikarani (22). Berawal dari kegemaran Fotografi, ia memutuskan kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi. Perempuan yang lahir dan dibesarkan di Solo ini memilih mata kuliah spesialisasi video, jurnalistik dan PR/Advert saat penjurusan kuliah. Sedangkan untuk rls di Semarang sebagai jurnalis. Hingga kini ia masih memiliki ketertarikan untuk bekerja di industri media khususnya majalah. Informan 17: Putu Ayu Gayatri (22). Keputusan untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi dilatarbelakangi oleh hasil test psikologi yang ia ikuti saat SMA yang didalamnya mencantumkan rekomendasi pilihan kuliah ke jurusan Ilmu Komunikasi. Berkat dukungan dari sang kakek yang kebetulan mengidolakan sosok jurnalis perempuan, ia didukung untuk kuliah di jurusan tersebut agar menjadi jurnalis. Sejak awal kuliah ia mulai berkecimpung ke dunia penyiaran. Hingga kini ia masih bekerja sebagai penyiar di stasiun radio swasta Solo Radio. Perempuan yang mengaku
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
94
tertarik terhadap budaya dan pariwisata ini memilih mata kuliah radio, jurnalistik dan PR/Advert sebagai mata kuliah spesialisasi. Sedangkan pilihannya untuk K3 jatuh di Suara Merdeka Biro Solo. Untuk angkatan 2007, ia adalah satu-satunya mahasiswa yang memutuskan magang di surat kabar harian. Informan 18: Ema Yuliani Utami (21). Perempuan yang lahir dan dibesarkan di Solo ini sejak awal kuliah mulai menekuni dunia jurnalistik hingga sekarang dengan bergabung di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Visi FISIP UNS. Konsentrasinya di dunia jurnalistik ia perkuat dengan keputusan untuk mengambil mata kuliah jurnalitik sebagai spesialisasi jurusan disamping mata kuliah video dan PR/Advert. Ia merupakan satu dari dua mahasiswi angkatan 2007 yang mengikuti K3 di kantor berita. Sejak Juli 2010 ia menjalani program magang sebagai jurnalis di Lembaga Kantor Berita ANTARA Biro Jawa Tengah. Bersamaan dengan dibukanya program perekrutan koresponden oleh LKBN Antara, ia akhirnya direkut sebagai koresponden dengan daerah liputan di Kabupaten Klaten. Setelah sempat break sekitar satu semester, kemudian ia melanjutkan karirnya di ANTARA dengan daerah liputan di Kabupaten Sukoharjo.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III PERSEPSI MAHASISWI S-1 PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FISIP UNS TERHADAP PROFESI JURNALIS
Ada
gula
ada
semut.
Kiranya
peribahasa
tersebut
cocok
untuk
menggambarkan terjadinya lonjakan peminat pendidikan Ilmu Komunikasi di Indonesia belakangan ini. Berdasarkan data SNMPTN tahun 2010, jurusan Ilmu Komunikasi menempati urutan pertama sebagai program studi dengan peminat tertinggi. Disusul kemudian prodi Pendidikan Dokter sebagai peminat tertinggi kedua, dan prodi Manajemen dengan peminat tertinggi ketiga 172. Pertumbuhan industri media menjadi salah satu faktor yang memicu dinamika pendidikan Ilmu Komunikasi. Meski terkesan sebagai trend, minat calon mahasiswa baru untuk menempuh pendidikan di Jurusan Ilmu Komunikasi harus tetap diapresiasi. Bagaimana pun juga, peningkatan jumlah mahasiswa Ilmu Komunikasi dapat menjadi gerbang dari pemenuhan kebutuhan tenaga profesional di bidang komunikasi baik itu sebagai wartawan, presenter, public relations officer, dan sebagainya. Di antara beragam jenis pekerjaan yang terdapat di media massa, profesi sebagai jurnalis dapat menjadi alternatif pilihan karir bagi mahasiswi Ilmu Komunikasi. Jurnalis merujuk pada pengertian orang yang melakukan pekerjaan
172
www.unpad.ac.id, dikases pada 13 Januari 2011 pukul 11:15 WIB
commit95to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
96
jurnalistik173. Mereka tinggal memilih media apa yang lebih sesuai. Meminjam pernyataan Illich, pekerjaan ini terbilang bersifat unisex174 yaitu terbuka untuk lakilaki maupun perempuan. Faktanya jurnalis ternyata kurang diminati oleh perempuan. Data sejak tahun 1998 hingga 2006 telah menunjukkannya bahwa jumlah jurnalis perempuan relatif konsisten di kisaran angka 10 s.d 20 persen dari keseluruhan jurnalis. (Lihat Tabel I.2, I.3, data PWI dan Laporan Kementrian Komunikasi dan Informasi RI 2006). Fenomena
yang
telah
berlangsung
lama
itu
lah
yang
kemudian
melatarbelakangi penelitian ini. Penulis melihat arti penting pengalaman subjektif atau yang menurut Siregar disebut dengan inner world175 perempuan mengenai profesi jurnalis untuk membongkar sebab musabab mengapa hanya sedikit perempuan yang tertarik menjadi jurnalis. Penelitian ini kemudian difokuskan pada konsep persepsi. Sekedar mereview, menurut Deddy Mulyana persepsi adalah proses internal yang memungkinkan individu memilih, mengorganisasikan dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan kita, dan proses tersebut mempengaruhi perilaku176. Ada pun sebelum sampai pada pembahasan tentang persepsi, terlebih dahulu Penulis mengetengahkan data tentang pemilihan pendidikan di jurusan Ilmu Komunikasi dan juga pekerjaan bidang Komunikasi. Kedua data tersebut menjadi
173
Iwan Ogan Apriansyah, Karier Top sebagai Reporter, (Jakarta: PPM Managemen, 2011), hlm. 32 Ivan Illich, Matinya Gender, Cetakan ke-5, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 43 175 Ashadi Siregar dkk, Media & Gender: Perspektif Gender atas Industri Suratkabar Indonesia,(Yogyakarta: LP3Y,1999), hlm 161 176 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 151Ibid 174
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
97
latar belakang yang dapat menjelaskan persepsi mahasiswi Ilmu Komunikasi terhadap profesi sebagai jurnalis secara kronologis. A. PEMILIHAN JURUSAN ILMU KOMUNIKASI Membicarakan profesi jurnalis tak dapat dipisahkan dari pendidikan Ilmu Komunikasi. Sebagaimana disampaikan oleh Cangara dalam Hamid: bagaimana kita dapat membicarakan produk komunikasi jika tidak dikaitkan dengan ilmu komunikasi, dan bagaimana kita dapat membicarakan ilmu kalau tidak membicarakan institusi pendidikan komunikasi177. Sadar atau tidak, keputusan para Informan untuk menempuh pendidikan di jurusan Ilmu Komunikasi telah menjadi langkah awal mereka untuk mendekati peluang kerja di bidang komunikasi, salah satunya sebagai jurnalis. Pendidikan berperan sebagai konteks yang membingkai arah pencarian kerja. Idealnya pemilihan pekerjaan memang berdasarkan disiplin Ilmu yang tengah dipelajari. Pemilihan
jurusan
Ilmu
komunikasi
di
kalangan
para
Informan
mengingatkan Penulis pada sosok RA. Kartini. Dari buku berjudul 178
, yang merupakan terjemahan dari surat-surat RA
Kartini kepada sahabat penanya yang bernama Stella Zeehandelaar 179. Dalam buku
177
Hafied Cangara, dalam Farid Hamid dan Heri Budianto, Ilmu Komunikasi: Sekarang dan Tantangan Masa Depan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm 30 178 Vissia Ita Yulianto, Penj. Aku Mau: Feminisme dan Nasionalisme, Jakarta: Kompas, 2004 179 R.A Kartini adalah anak ke-4 (puteri ke-2) dari Bupati Jepara bernama R.M.A.A Sosroningrat. Hak istimewa dari seorang anak pejabat memberinya akses untuk memperoleh pendidikan. Bersama adiknya yang bernama Roekmini, ia bercita-cita untuk melanjutkan pendidikan ke negeri Belanda melalui beasiswa. Lebih dari keinginan belajar, ia memiliki cita-cita untuk mendirikan sebuah sekolah untuk warga Bumi Putera khususnya bagi kaumnya. Kartini memiliki beberapa sahabat pena di negeri
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
98
yang diterjemahkan oleh Vissia Ita Yulianto itu, Penulis berkenalan dengan sosok Kartini sebagai perempuan muda yang hari-harinya dipenuhi oleh mimpi untuk belajar ke negeri Belanda. Antara Kartini dengan para Informan memang bukan perbandingan yang sepadan karena mereka hidup pada masa, dinamika dan tantangan yang berbeda. Namun dibalik perbedaan-perbedaan itu, Penulis menemukan adanya kesamaan yang membuat mereka seperti hidup pada masa yang sama yaitu dalam hal kepercayaan diri membangun mimpi. Karena kepercayaan diri itu mereka samasama menjadi potret dari perempuan muda yang te 1. Faktor Personal Faktor personal yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu sebab-sebab pemilihan pendidikan di jurusan Ilmu Komunikasi yang berasal dari diri sendiri. Oleh Edward E. Sampson dalam Rakhmat, faktor personal disebut juga sebagai perspektif yang berpusat pada persona (person-centered perspective)180. Berdasarkan data penelitian terdapat dua aspek dari dalam diri para Informan yang mendasari keputusan mereka untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi. Kedua aspek itu yaitu pengetahuan mengenai Jurusan Ilmu Komunikasi dan motif kuliah di jurusan tersebut.
Belanda yang salah satunya adalah Stella Zeehandelaar. Stella adalah seorang perempuan muda biasa di Negeri Belanda yang tahu sedikit-sedikit tentang Hindia Belanda. Dalam surat-suratnya kepada Stella, Kartini banyak berkisah tentang keinginan-keinginannya di atas: mendapat beasiswa, belajar dan mendirikan sekolah. Namun pada akhirnya hubungan mereka harus terputus setelah Kartini menikah pada tahun 1903 dan akhirnya meninggal pada usia 23 tahun, setahun setelah ia menikah. Ibid, hlm. viii, 197-200 180 Jalaluddin Rahmat. Psikologi Komunikasi. Cetakan Ke-6 (Bandung: Remaja Rosdakarya), hal. 33
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
99
1.1. Pengetahuan Mengenai Jurusan Ilmu Komunikasi Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu181. Pengetahuan mengenai jurusan Ilmu Komunikasi tidak lain adalah segala sesuatu yang kita ketahui tentang jurusan tersebut. 1.1.1. Pengetahuan Umum Jurusan Favorit Jurusan Ilmu Komunikasi dinilai secara positif sebagai program studi yang bergengsi dengan banyak peminat. Penilaian itu diutarakan oleh beberapa Informan seperti: Twinika S.F (2008), Mia Ayu Yulivia (2007), Ema Yuliani Utami (2007) dan Veronika Juwita Hapsari (2007). Menurut passing grade182. Passing grade sendiri adalah nilai minimum yang harus didapatkan untuk bisa lulus ujian masuk perguruan tinggi183. Semakin tinggi passing grade suatu jurusan maka semakin tinggi pula tingkat kesukaran untuk masuk ke jurusan itu. Salah satu rujukan informasi mengenai kualitas jurusan Ilmu Komunikasi adalah lembaga bimbingan belajar. Hal itu seperti dialami oleh 181
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Cetakan ke-18 (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), hal. 104 182 Rumus passing grade = (B x 4) - (S x 1) x 100 JS x 4 Keterangan : B = Jumlah jawaban benar S = Jumlah jawaban salah JS = Jumlah soal http://lembijarairlanggacollege.blogspot.com/p/snmptn.html diakses pada 16 Februari 2012 pukul 19:11 WIB 183 www.snmptn.or.id/passing grade/ di akses pada 1 Agustus 2011 pukul 11.55 WIB
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
100
Twinika. Melalui lembaga bimbingan belajar ia diajari menganalisa kualitas jurusan kuliah dari skor passing grade-nya. ada buku semacam kaya grade184
Penilaian senada disampaikan oleh Mia A.Y. Disini, sang kakak yang menjadi sumber referensi. apik banget lho Komunikasi UNS ki, gradenya apik banget, percayalah padaku (dulu kakakku bilang, bagus banget lho Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS itu, gradenya bagus banget, percayalah padaku),185
Ada pun sama-sama meyakini skor passing grade sebagai indikator dari kualitas pendidikan, kiranya Ema Yuliani Utami menunjukkan sikap yang lebih tegas. Iya memutuskan kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi karena yakin jurusan tersebut bagus. saya milih komunikasi. Kenapa, karena passing gradenya , soalnya dari situ kan kita bisa tahu seberapa berkualitas prodi yang mau kita masukin186.
Dalam kondisi lain, indikator kualitas pendidikan dilihat pula dari animo peminatnya. Memilih jurusan kuliah seperti halnya saat kita akan membeli makanan di sentra kuliner. Dengan pengalaman yang nol, insting pertama yang akan dilakukan adalah mencari yang paling ramai.
184
Hasil wawancara mendalam dengan Twinika Sativa pada hari Kamis, 12 Mei 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Mia Ayu Y. pada hari Rabu, 23 Februari 2011 186 Hasil wawancara mendalam dengan Ema Yuliani Utami pada hari Rabu, 23 Februari 2011 185
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
101
Asumsinya, yang paling banyak diminati berarti berkualitas tinggi. Hal itu seperti diutarakan oleh Veronika J.H. cuman berdasarkan pendapat kalau itu lho, komunikasi UNS itu bagus passing gradenya tinggi, yang mau masuk kesana juga banyak. Cuman modal kaya gitu aja.187 Sejauh ini passing grade Jurusan Ilmu Komunikasi memang tercatat relatif tinggi. Berdasarkan data Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2010 kategori IPS, skor passing grade Jurusan Ilmu Komunikasi di Indonesia rata-rata berada di angka 50 persen. Duduk di posisi tertinggi yaitu jurusan Ilmu Komunikasi UI dengan skor 55,01 persen. Diikuti oleh UGM yaitu 54,71 persen, UNPAD persen 53,15 persen UNAIR 53,05 persen dan UNDIP 52,05 persen. Ada pun UNS berada tepat dibawah UNDIP dengan skor 51,43 persen 188. Ada pun animo untuk memilih Jurusan Ilmu Komunikasi di Indonesia akhir-akhir ini memang tinggi. Peningkatan jumlah pendaftar prodi ilmu komunikasi terasa sekitar 1990-an, di mana saat itu, banyak pembukaan perusahaan penerbitan media koran dan televisi189. Berdasarkan data wawancara di atas, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan mengenai passing grade sangat berharga bagi para Informan saat akan menentukan jurusan kuliah. Passing grade membantu mereka mengukur kualitas pendidikan di suatu jurusan. Bagaimana pun aspek 187
Hasil wawancara mendalam dengan Veronika Juwita Hapsari pada hari Rabu, 23 Februari 2011 http://www.ptn-online.com/passing-garde-snmptn-2010-ips-vers-z-e-r-o/ diakses pada 16 Februari pukul 13:31 WIB 189 http://www.pendis.depag.go.id diakses pada 20 Februari 2012 pukul 09:51 WIB 188
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
102
kualitas menjadi pertimbangan bagi para Informan dalam pemilihan jurusan kuliah. Lembaga pendidikan yang berkualitas diyakini akan mencetak output yang berkualitas sehingga dimudahkan dalam proses pencarian kerja. Pendidikan Public Speaking Beberapa Informan menilai bahwa Jurusan Ilmu Komunikasi merupakan pendidikan yang mengajarkan teknik berbicara (public speaking). Kira-kira pengertian itu diturunkan dari konsep komunikasi yang secara sederhana disamakan dengan aktivitas percakapan. Para Informan yang memiliki penilaian seperti itu di antaranya adalah Annisa Fitri (2010) dan Dian Erika (2008). Komunikasi itu kuliah buat orang yang suka ngomong
190
.
dulu sih taunya komunikasi itu ngomong sih mbak jadi orangorang yang terkumpul di situ adalah kumpulan orang yang speakspeak, ya orang yang dari sononya suka speak-speak gitu atau berbakat speak-speak191 Menurut Annisa dan Dian, kriteria orang yang dianggap layak kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi yaitu mereka yang memiliki bakat atau talenta berbicara. Mereka beranggapan bahwa Jurusan Ilmu Komunikasi merupakan pendidikan bagi seseorang untuk meningkatkan keterampilan berbicara.
190 191
Hasil wawancara mendalam dengan Annisa Fitri pada hari Rabu, 2 Maret 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Dian Erika pada hari Minggu, 8 Mei 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
103
Jika kedua Informan di atas mencoba mendefinisikan komunikasi secara objektif, maka hal itu sedikit berbeda dengan Fauziah Nurlina (2010) dan Dyanayu L.F (2008). Mereka menempatkan diri sendiri sebagai golongan orang yang pantas kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi. Mereka merasa pandai berbicara. .aku dibilangin mbakku, kamu kan pinter ngomong, yaudah kamu masuk komunikasi aja.192
Kowe kuliah komunikasi wae. Ketoke kowe cocok mu yo gor neng komunikasi adalah orang-orang yang pinter ngomong itu pasnya masuk komunikasi (Kamu kuliah komunikasi saja, kamu kan cerewet. Dari dulu itu sepertinya pencitraan komunikasi adalah orang-orang yang pandai berbicara itu pasnya masuk komunikasi).193
Dalam hal ini terdapat pelaziman atau penyesuaian antara ciri suatu kelompok dengan ciri anggotanya. Karena jurusan Ilmu Komunikasi diyakini
mempelajari
teknik
berbicara
maka
orang-orang
yang
mempelajarinya adalah orang-orang yang pada dasarnya telah memiliki bakat atau talenta berbicara. Jurusan dengan Perkuliahan Menyenangkan Sekalipun belum pernah mengalami sendiri, tetapi beberapa Informan merasa yakin jika perkuliahan di Jurusan Ilmu Komunikasi menyenangkan. Penilaian itu diutarakan oleh beberapa Informan seperti Fauziah Nurlina (2010), Dian Erika (2008) dan Devi Anggrahini (2008), 192 193
Hasil wawancara mendalam dengan Dyanayu Lutfi Almitra pada hari Jumat, 13 Mei 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Dyanayu Lutfi Almitra pada hari Jumat, 13 Mei 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
104
Sisi menyenangkan dari Jurusan Ilmu Komunikasi pertama-tama berkaitan dengan sifatnya pendidikan yang dinamis. Jurusan ilmu Komunikasi dikenal sebagai pendidikan yang dekat dengan pemanfaatan teknonogi baru. Di samping itu faktor perkuliahan yang tidak melulu berada di lingkungan kampus membuat pendidikan di jurusan tersebut diekspektasi secara positif. Hal itu seperti disampaikan oleh Fauziah Nurlina (2010): kayake itu kog lapangan banget, seru banget, ya kaya berurusan sama gadget-gadget gitu, aku suka aja, kayaknya lucu gitu.194
Untuk memperjelas kondisi itu, ia membandingkan Jurusan Ilmu Komunikasi dengan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) yang ia nilai lebih kaku. kayaknya enak banget kuliahnya, gak berat, gak terlalu mikir. Serunya itu, kalau dibandingin sama FKIP gitu kan beda banget. Komunikasi lebih santai kuliahnya, terus bisa lebih mengekspresikan diri gitu.195 Dalam kondisi lain, Dian Erika (2008) menilai jurusan Ilmu Komunikasi menyenangkan karena memberi keleluasaan berkreatifitas. Jurusan Ilmu Komunikasi merupakan pendidikan bagi mereka yang memiliki pikiran alternatif dan kreatif.
194 195
Hasil wawancara mendalam dengan Fauziah Nurlina pada hari Rabu, 23 Maret 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Fauziah Nurlina pada hari Rabu, 23 Maret 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
105
orang-orang di sastra apa komunikasi gitu ra ketang sithik ana unsur seninya mbak dan pikirane rada alternatif.196
Ada pun selanjutnya, jurusan Ilmu Komunikasi menurut Devi Anggrahini (2008) justru dinilai kurang menyenangkan meskipun oleh beberapa orang disekitarnya dikatakan menyenangkan. dia bilang santai gitu Malah belibet ya. Itu nek menurutku. Kan kayak kuliah jadi reporter,aku kepikirane nanti nek kuliah komunikasi itu reporternya itu. Aku malah mikirnya susah gitu.197 Penilaian Devi yang negatif mengenai pendidikan di Jurusan Ilmu Komunikasi berasal dari ketidaksukaannya pada pekerjaan wartawan atau reporter yang ia tahu merupakan salah satu pekerjaan perpanjangan dari pendidikan Ilmu Komunikasi. Ia menilai pekerjaan menjadi wartawan sulit, sehingga akhirnya ia menilai bahwa pendidikan di jurusan Ilmu Komunikasi merupakan jurusan yang sulit atau sukar juga. Berdasarkan penilaian para Informan, dapat disimpulkan bahwa mereka memiliki antusiasme pada jurusan Ilmu Komunikasi yang relatif tinggi. Ungkapan: santai, dinamis dan juga bebas berekspresi menjadi label positif bagi jurusan Ilmu Komunikasi yang menunjukkan besarnya antusiasme itu. Jika ditelaah, antusiasme para Informan terhadap jurusan Ilmu Komunikasi berkaitan dengan kefleksibelan pendidikan itu baik aspek kognitif maupun praktis. 196 197
Hasil wawancara mendalam dengan Dian Erika pada hari Minggu, 8 Mei 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Devi Anggrahini pada hari Selasa, 31 Mei 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
106
Materi pendidikan perpaduan antara teori dan praktek Sebagai pendidikan srata satu (S-1), jurusan Ilmu Komunikasi dipandang sebagai pendidikan yang memberikan dasar teori sebelum praktek. Hal itu seperti disampaikan oleh beberapa Informan seperti Annisa Fitri (2010), Twinika S.F (2008), Rahajeng Kartikarani (2007), Destriana K (2008) dan Dhyanayu L.A (2008). kuliahnya dikasih teori dulu, jadi gak langsung praktek.198
Menurut Annisa Fitri, perkuliahan di jurusan Ilmu Komunikasi pertama-tama fokus pada teori. Teori menjadi dasar dari kuliah praktek yang dipelajari selanjutnya. Demikian juga disampaikan oleh Twinika. Setelah sempat berbincang dengan kakak kelasnya yang kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi,
ia
mendapatkan
pengetahuan
bahwa
jurusan
Ilmu
Komunikasi didominasi oleh kegiatan lapangan. Berikut pernyataan Twinika: komunikasi yang aku tahu malah ini, cenderung ke membuat film gitu lho video gitu ternyata enggak, disini ada ternyata komunikasi itu luas gitu. Gak hanya teori prakteknya juga ada.199
198 199
Hasil wawancara mendalam dengan Annisa Fitri pada hari Kamis, 2 Maret 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Twinika Sativa pada hari Kamis, 12 Mei 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
107
Apa yang disampaikan oleh Twinika menyiratkan adanya pengetahuan bahwa jurusan Ilmu Komunikasi memiliki kuliah praktek yang lebih beragam dibandingkan dengan kuliah yang bersifat teoritis. Selanjutnya, jurusan Ilmu Komunikasi oleh beberapa Informan dipandang sebagai jurusan yang banyak memiliki kegiatan praktek. Pengetahuan itu seperti dimiliki oleh Rahajeng Kartikarani (2007) berikut: dulu sih gambarannya komunikasi itu banyak prakteknya, kaya pegang kamera, terus pokoknya soal broadcast gitu lho200 Demikian juga disampaikan oleh Destriana K (2008) berikut: gambaran masuk komunikasi itu pasti diajarin video gitu, bisa mengoperasikan alat-alat kaya gitu sih dulu, ke praktekprakteknya. Cuman berarti yang kerja di TV-TV kaya gitu, gitu pasti kuliahnya di komunikasi, bisa maen kamera, bisa apa, maen mixer, gitu-gitu, hehehe, lebih ke teknis kaya gitu. 201 Ada pun pengetahuan yang lebih luas dimiliki oleh Dyanayu L.A (2008) yaitu bahwa selain broadcasting, jurusan Ilmu Komunikasi juga mempelajari PR, dan jurnalistik.
Karena pengetahuan mengenai mata
kuliah praktek tersebut, ia akhirnya lebih memilih kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS. Berikut kutipan wawancara dengan Dyanayu: Komunikasi itu banyak prakteknya terutama yang di UNS nya bakalan ana praktekke dan aku ki kayake senang bangsa video, terus PR, dan jurnalistik, nulis-nulis ngono barang (Aku lihat sepertinya lebih menarik di UNS karena aka nada prakteknya, dan aku itu sepertinya
200 201
Hasil wawancara mendalam dengan Rahajeng Kartikarani pada hari Rabu, 23 Februari 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Destriana K. pada hari Senin, 16 Mei 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
108
memang lebih tertarik dengan bidang video, lalu PR, dan jurnalitik, nulis-nulis gitu juga).202
Dari data di atas, diperoleh gambaran bahwa jurusan Ilmu Komunikasi tediri dari dua jenis materi kuliah yaitu teori dan praktek. Teori dipandang sebagai pengetahuan dasar sedangkan praktek sebagai aplikasi dari teori. 1.1.2. Gambaran Pekerjaan bagi lulusan Jurusan Ilmu Komunikasi Peluang Kerja Luas Hampir semua Informan berpikir bahwa peluang kerja bagi lulusan jurusan Ilmu Komunikasi itu luas. Selain luas, kebutuhan akan tenaga kerja dari lulusan jurusan Ilmu Komunikasi dianggap konstan dalam jangka waktu yang lama. Hal itu seperti disampaikan oleh Dyanayu L.A (2008). Menurutnya, keberadaan media massa sebagai institusi penyedia dan penyampai berita merupakan jaminan dari bagaimana profesi di bidang tersebut akan terus dibutuhkan khususnya di era masyarakat informasi belakangan ini. komunikasi kan malah berkembang, jaman sekarang gitu lho, media kan juga berkembang. Berati kan nyari pekerjaan bisa di bilang lebih mudah lah dari di banding kan dengan ekonomi atau hukum203 Selanjutnya, luasnya lapangan pekerjaan bagi lulusan jurusan Ilmu Komunikasi bahkan disebut-sebut melewati batas disiplin ilmu itu sendiri. 202 203
Hasil wawancara mendalam dengan Dyanayu Lutfi Almitra pada hari Jumat, 13 Mei 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Dyanayu Lutfi Almitra pada hari Jumat, 13 Mei 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
109
Hal itu disampaikan oleh Fauziah Nurlina (2010). Selain pekerjaan di bidang media, ia perpandangan bahwa lulusan dari jurusan Ilmu Komunikasi memiliki peluang untuk pekerja di instansi pemerintahan. Kayaknya sih di TV, di Broadcast, terus jurnalistik, pers, majalah, majalah gitu, terus departemen-departemen, ya ambil kesimpulan departemen-departemen butuh juga lulusan komunikasi gitu.204 Ada pun luasnya peluang kerja bagi lulusan jurusan Ilmu Komunikasi oleh Dian Erika (2008) dipandang dari perspektif lain. Menurutnya, lulusan jurusan Ilmu Komunikasi memiliki kesempatan untuk bekerja di bidang apapun karena memiliki bekal pengetahuan yang luas. Berikut kutipan wawancaranya: anak-anak sastra atau komunikasi kaya gitu, jadi apa pun mungkin, maksudnya karena mikirnya alternatif kaya gitu ya, mungkin karena wawasannya bisa di bilang luas jadi apa pun,205 Selanjutnya ia menyebutkan beberapa kemungkinan pekerjaan bagi jurusan Ilmu Komunikasi yang ia pikirkan: Jadi guru bisa, jadi admin bisa, apalagi di bidangnya sendiri yang kaya video, terus jurnalistik atau pun PR. Terus di media elektronik baik mereka yang teknis maupun ini yang menyajikan berita, terus yang meliput dan jadi reporter segala macam. Terus jadi wartawan kan pasti juga, design grafis juga bisa. Pokoknya dari tingkatan paling bawah sampai atas.206
204
Hasil wawancara mendalam dengan Fauziah Nurlina pada hari Rabu, 23 Maret 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Dian Erika pada hari Minggu, 8 Mei 2011 206 Hasil wawancara mendalam dengan Dian Erika pada hari Minggu, 8 Mei 2011 205
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
110
Dari pernyataan Dian Erika di atas, luasnya peluang kerja bagi lulusan jurusan Ilmu Komunikasi berdasarkan pada pandangan bahwa mahasiswa Ilmu Komunikasi memiliki kemampuan berpikir kreatif yang memungkinkan mereka mendapatkan pengetahuan yang luas. Oleh sebab itu tak ada pekerjaan yang tak mungkin dikerjakan bagi lulusan Jurusan Ilmu Komunikasi baik itu pekerjaan di bidang komunikasi maupun non komunikasi. Baik itu pekerjaan tingkat rendah maupun atas. Secara garis besar, luasnya peluang kerja bagi lulusan Program Studi Ilmu Komunikasi jika dikategorikan akan terbagi menjadi dua kelompok: 1). Pekerjaan Bidang Komunikasi dan 2). Pekerjaan Non Komunikasi. Dari data tersebut, peneliti menangkap kecenderungan bahwa para Informan telah memiliki pengetahuan cukup mengenai bidang-bidang pekerjaan yang akan menjadi peluang kerja selepas kuliah. Adanya pemikiran bahwa lulusan Prodi Ilmu Komunikasi bisa bekerja lintas disiplin menggambarkan semakin luasnya peluang kerja bagi lulusan Prodi Ilmu Komunikasi. Bahkan untuk menonjolkan tingginya peluang kerja bagi lulusan Prodi Ilmu Komunikasi Dhyanayu membandingkannya dengan kemungkinan peluang pada fakultas lain yaitu fakultas Ekonomi dan Hukum.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
111
Media Massa dan Public Relations (PR) Seperti telah disebutkan di atas, peluang kerja untuk lulusan jurusan Ilmu Komunikasi dianggap luas. Tak hanya terbatas pada disiplin ilmu, lulusan jurusan Ilmu Komunikasi diperkirakan dapat menembus pekerjaan dari displin ilmu lain. Meskipun demikian pekerjaan bidang komunikasi tetap menjadi top of mind para Informan. Pekerjaan-pekerjaan bidang komunikasi yang disebutkan terkait dengan media massa dan PR. Hal itu seperti disampaikan oleh Aviana Cahyaningsih (2008). Bayangannya kala itu jurusan Ilmu Komunikasi adalah pendidikan untuk menjadi wartawan, khususnya di media cetak. -bener yang ini, menyiapkan orang menjadi wartawan, cuma wartawan tok gitu lho, jadi bayangane komunikasi yang dipelajari gimana jadi wartawan yang baik, piye kerja di Itu pun aku mikire cuma yang media cetak207 Pada kesempatan lain Putu Ayu Gayatri (2007) mengungkapkan hal yang senada. 208
Hal itu diamini pula oleh beberapa Informan seperti Mia Ayu Yuliavia (2007) dan Ema Yuliani Utami (2007). Hanya saja Ema kemudian menambahkan adanya profesi Public Relations Officer (PRO) dalam gambarannya. 207 208
Hasil wawancara mendalam dengan Aviana Cahyaningsih pada hari Rabu, 11 Mei 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Mia Ajeng Yulivia pada hari Rabu, 23 Februari 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
112
Ya ini sih, ya tadi, idem sama Ayu, ketika cari-cari pun kebanyakan itu lebih ke media, sama PR kalau bayanganku dulu.209
Ada pun untuk beberapa Informan, Jurusan Ilmu Komunikasi dipandang sebagai jurusan untuk belajar menjadi Public Relations (PR) saja. Hal itu diutarakan oleh Ambar Kusuma Ningrum (2010) dan Nabila N.K (2009). Kan komunikasi itu PR ya, oh iya mbak, saya tahunya komunikasi itu PR.210 komunikasi itu humas gitu.211
Kiranya berdasarkan data di atas, pendidikan di Jurusan Ilmu Komunikasi dipandang sebagai pendidikan profesi yang pada ujungnya mempersiapkan seseorang untuk berprofesi di bidang tertentu. Secara umum para Informan memiliki pemikiran yang sama bahwa pekerjaan utama di bidang komunikasi yaitu pekerjaan di industri media (cetak, majalah, radio dan tv) dan PR. 1.2. Motif Kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi Keputusan para Informan untuk kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi merupakan hal yang bersifat subjektif dan unik. Dibalik keputusan itu terdapat motif-motif yang melatarbelakangi. Motif adalah suatu pengertian mengenai
209
Hasil wawancara mendalam dengan Ema yUliani Utami pada hari Rabu, 23 Februari 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Ambar Kusuma Ningrum pada hari Kamis, 10 Maret 2011 211 Hasil wawancara mendalam dengan Nabila Nur Khudori pada hari Rabu 23 Maret 2011 210
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
113
keadaan mobilisasi energi dengan suatu tujuan212. Motif menerangkan mengapa tingkah laku terarah kepada suatu tujuan tertentu. Dengan kata lain, motif merupakan dorongan dari dalam diri yang menggerakkan seseorang untuk melakukan suatu aktivitas guna mewujudkan tujuan tertentu. 1.2.1. Memperoleh Pengetahuan tentang Media Massa Keputusan para Informan untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi ada sangkut pautnya dengan media massa. Citra Jurusan Ilmu Komunikasi yang tertangkap oleh beberapa Informan ternyata lekat dengan keberadaan media massa. Jurusan Ilmu Komunikasi duduk sebagai institusi pendidikan dan media massa sebagai objek studi sekaligus aplikasi dalam dunia riil. Beberapa Informan yang mengalaminya diantaranya adalah Dian Erika (2008), Mia A.Y (2007) dan Fannany Noorohmah (2008). Pada Dian Erika, keinginan untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi secara tidak langsung terkait dengan pengalaman masa kecilnya yang sudah familiar dengan keberadaan media massa. Dari situ ia memiliki rasa penasaran dan tertarik untuk mempelajarinya lebih dalam. di rumah itu banyak koran, majalah, intine banyak bacaan. Terus radio juga 24 jam mengasyikkan...Awalnya itu aku gak ngerti itu jurusan apa. Pokoknya saya pengen belajar itu (media massa),. 213
212
Theodore M. Newcomb dkk, Penerjemah Tim Fakultas Psikologi UI, Psikologi Sosial, (Bandung: Diponegoro, 1978), hal.38 213 Hasil wawancara mendalam dengan Dian Erika pada hari Minggu, 8 Mei 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
114
Sama-sama ingin belajar tentang media, namun yang terjadi pada Mia A.Y (2007) dan Fannany Norrohmah (2008) sedikit berbeda dengan Dian Erika. Mereka lebih fokus pada satu bidang media saja yaitu Broadcasting atau penyiaran. Hal itu karena keduanya telah memiliki cita-cita untuk menjadi penyiar. Pada Mia, fokusnya untuk belajar Broadcasting telah membawanya pada obsesi untuk kuliah di jurusan Broadcasting. Namun, karena pengetahuannya yang masih terbatas, ia sedikit mengalami kebingungan saat dihadapkan pada jurusan D3 dan S1. dulu aku belum kenal sama ilmu komunikasi. Dulu aku tahunya itu ada jurusan broadcast yang S1, aku ditanya sama guru BP, Mia mau ambil apa? Aku ambil broadcast yang S1 pak. Adanya D3 katanya. Padahal kan aku emang harus sekalian S1 mbak, pengen sekalian S1 gitu. Akhirnyalah memutuskan, yasudah aku berarti broadcastnya langsung S1, Komunikasi214. Keputusan Mia untuk kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi program S-1 dilatarbelakangi oleh kesadaran akan pentingnya pengetahuan teoritis khususnya mengenai penyiaran sebelum nantinya ia menekuni dunia penyiaran. Pengetahuan teoritis menjadi prioritas kuliah karena dianggap sebagai dasar atau pedoman sebelum terjun dalam kegiatan praktis. Senada dengan Mia, Fananny pun lebih memilih S1 daripada D3. Pernah terpikir olehnya untuk kuliah di Jurusan Brodcasting program D3, tetapi atas saran dari beberapa orang ia kemudian lebih memilih untuk kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi program S-1. Ia menyimpulkan bahwa kuliah di 214
Hasil wawancara mendalam dengan Mia Ajeng Yulivia pada hari Rabu, 23 Februari 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
115
ebih memilih program S-1 karena memberi pengetahuan yang lebih luas. Berikut ini seperti disampaikan oleh Fannany: Awalnya mau langsung ke Broadcastnya, cuma, banyak saran, emaneman kalo cuman ke Broadcastnya aja. Kenapa gak langsung komunikasi aja. Yang langsung semuanya bisa dapat gitu lho, gak hanya Terus akhire yaudah lah, akhire ambil komunikasi 215 Baik Mia maupun Fannany, keduanya lebih berorientasi untuk kuliah di jurusan yang pertama-tama memberi bekal pengetahuan yang kuat (teori) daripada praktek. Dalam hal ini, program S-1 menjadi pilihan yang dinilai lebih pas dari pendidikan diploma. 1.2.2. Mendapat Keterampilan Berdasarkan data di atas, terindikasi bahwa para Informan memutuskan kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi karena memiliki tujuan untuk bekerja di bidang komunikasi. Proyeksi masa depan untuk bekerja itu tidak hanya ditanggapi dengan persiapan secara keilmuan tetapi juga dengan keterampilan. Para Informan telah menyadari arti penting keterampilan di samping penguasaan pengetahuan. Keterampilan Tata Bahasa dan Penulisan Menurut Goris Keraf, bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi, yang dihasilkan oleh alat ucap manusia.216 Istilah komunikasi sendiri secara sederhana kerap dipahami sebagai bentuk percakapan dimana bahasa menjadi intinya. Hal itu
215 216
Hasil wawancara mendalam dengan Fannany Norohmah pada hari Senin, 16 Mei 2011 www.wismasastra.wordpress.com/DefinisiBahasa, diakses pada 11 Agustus pukul 12.15 WIB
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
116
berdampak pada penilaian tentang jurusan Ilmu Komunikasi sebagai jurusan yang mempelajari bahasa. Pengalaman Nabilla N.K (2009) berikut dapat menjadi contohnya. Ia ingin kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi lantaran ingin mengembangkan potensinya di bidang bahasa. karena aku menonjolnya di bidang bahasa, biar berkembang saja, kalau di komunikasi kan cakupannya luas 217
Ada pun pengalaman Aviana Cahyaningsih (2008) sedikit berbeda dalam hal fokus keterampilan. Keinginan kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi terkait dengan cita-cita untuk menjadi jurnalis. Dari situ ia berpikir untuk meningkatkan keterampilannya di bidang tulis menulis khususnya penulisan berita yang sejak SMA sudah mulai ia sukai. Berikut ini kutipan wawancara dengan Aviana: basiknya dari awal emang suka nulis di majalah sekolah dan sudah ngerti piye senenge, yo istilahnya dasare udah tahu gitu lho...browsing-browsing tentang komunikasi. Eh ternyata emang kog ngarahnya ke kaya wartawan, nulis-nulis gitu. Terus akhirnya memutuskan ya sudahlah ketoke jiwaku pilih neng komunikasi wae. Akhirnya kuliah komunikasi itu218
Dari data di atas, baik Nabilla maupun Aviana keduanya memutuskan kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi diawali terlebih dahulu oleh kesadaran akan bakat dan juga minat mereka. Jurusan Ilmu
217 218
Hasil wawancara mendalam dengan Nabila Nur Khudori pada hari Rabu 23 Maret 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Aviana Cahyaningsih pada hari Rabu, 11 Mei 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
117
Komunikasi dinilai sebagai jurusan yang dapat mewadahi potensi mereka tersebut. Keterampilan Fotografi Fotografi merupakan salah satu bidang kajian di studi Ilmu Komunikasi. Fotografi disebut sebagai media komunikasi visual. Secara umum, fotografi dilihat sebagai sebuh teknik praktis untuk mengoperasikan kamera guna menghasilkan gambar yang bagus. Pada beberapa informan, dengan latar belakang hobi di bidang fotografi, mereka kemudian memutuskan untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi. Mereka adalah Rahajeng K (2007) dan Annisa Fitri (2010). Menurutku sih komunikasi, ya, sesuailah sama aku, daripada jurusan-jurusan lain gitu kan, komunikasi kan kalau aku lihat dulu itu yang di UNS itu kaya kebanyakan praktek gitu, bisa sesuai sama apa yang aku suka gitu, foto-foto kan, jadi aku gak mau masuk jurusan yang aku sendiri gak suka.219 Pemikiran yang sama dimiliki juga oleh Annisa Fitri (2010). Bahkan Annisa sudah berpikir untuk menekuni fotografi sebagai profesinya kelak. Ia bercita-cita menjadi foto jurnalis. Aku pengen jadi foto jurnalis sebenarnya, tapi setelah sudah mulai berkenalan dengan banyak orang yang bekerja di bidang itu, aku malah ngrasa, aku bisa gak nih, aku mampu ndak ya, ternyata masih banyak ilmu yang perlu aku pelajari dari orang lain, untuk jadi foto jurnalis masih butuh banyak belajar dari orang lain, masih butuh banyak banget tahapannya untuk jadi foto jurnalis220
219 220
Hasil wawancara mendalam dengan Rahajeng Kartikarani pada Rabu, 23 Februari 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Annisa Fitri pada hari Rabu, 2 Maret 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
118
Annisa Fitri memutuskan kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi atas keyakinan bahwa melalui pendidikan di jurusan tersebut ia akan memiliki masa depan yang lebih baik dan lebih mapan. Menurutnya, kehidupan yang lebih baik itu terwujud karena pendidikan di Jurusan Ilmu Komunikasi memiliki dasar teori tidak hanya praktek. For better life...Kuliahnya dikasih teori dulu, jadi gak langsung praktek, apa lagi ya, setauku lulusan komunikasi kalo kerja dapat posisi yang lebih mapan, istilahnya seatle gitu221 Ada pun mapan yang ia maksud yaitu berkaitan dengan kesejahteraan dan kesempatan untuk mendapatkan jaringan yang luas. Mapan buat aku itu ya, e dia at less punya simpanan di bank yang lumayan banyak, terus dia punya link yang bagus, having good connection, terus apa ya, dia lebih gampang membaur sama orang, terus dia punya pekerjaan yang bagus yang emang bener banyak orang pengen. Buat aku lulusan komunikasi akan seatle dengan pekerjaan semacam itu222 Dari data di atas, keputusan untuk kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi dilandasi oleh keyakinan akan adanya masa depan yang cerah setelah menyandang gelar sarjana Ilmu Komunikasi. Baik Rahajeng maupun Annisa, fotografi merupakan kesenangan atau hobi. Dalam kondisi ini, hobi telah menjadi penunjuk arah kemana fokus pendidikan tinggi akan diputuskan.
221 222
Hasil wawancara mendalam dengan Annisa Fitri pada hari Rabu, 2 Maret 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Annisa Fitri pada hari Rabu, 2 Maret 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
119
Keterampilan Menjalin Relasi Secara sederhana, relasi diartikan sebagai hubungan223. Menjalin hubungan merupakan bentuk komunikasi yang begitu mendasar bagi setiap orang seperti halnya mencari teman dalam kehidupan sehari-hari. Dalam dunia komunikasi, terdapat sebuah kajian yang secara khusus mempelajari hal ini yaitu Public Relations (PR). Adalah Twinika Sativa S.F (2008). Ia tertarik untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi karena ingin memperoleh softskill dalam mencari relasi. Hal itu terkait dengan cita-citanya yang ingin menekuni dunia Public Relations (PR). Masuknya di komunikasi karena alasannya yang pertama dari segi soft skill, kan di situ dia gak hanya teori tapi ada praktek. Tapi kalau aku, aku itu cenderung komunikasi karena mungkin dari tulisannya ilmu komunikasi jadi itu lebih ke softskill kita untuk mencari relasi kayak gitu224 Keputusan Twinika memilih jurusan kuliah telah dilandasi oleh proyeksi masa depan nya untuk menjadi Public Relations Officer (PRO). Dalam hal ini dapat dilihat bahwa, proyeksi masa depan begitu kuat mempengaruhi keputusan seseorang. 1.2.3. Menampilkan identitas diri Pada beberapa informan, keputusan mereka untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi ternyata tak luput pula dari keinginan untuk menampilkan identitas
223 224
Sulchan Yasyin, Kamus Pintar Bahasa Indonesia, (Surabaya: Amanah, 1995) Hasil wawancara mendalam dengan Twinika pada hari Kamis, 12 Mei 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
120
dirinya. Disini jurusan Ilmu Komunikasi dilabeli secara positif oleh para Informan. Tampil beda Identitas diri yang pertama yaitu tampil beda. Pemilihan Jurusan Ilmu Komunikasi oleh Dian Erika (2008), salah satunya dilatarbelakangi oleh keinginan untuk berbeda dari teman-teman sebaya di lingkungan tempat tinggalnya. Aku emoh podho karo liyane (Saya tidak mau sama dengan yang lainnya)225
Ia memilih kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi di tengah kecenderungan orang-orang di lingkungannya yang kuliah di fakultas keguruan dan kesehatan. Menurutnya, tampil beda adalah membanggakan. ehm karena gengsi, beneran. Soalnya gak ada yang kuliah di komunikasi. Soalnya lingkunganku rata-rata jadi pegawai, kalau ndak kesehatan ya jadi guru. Cuma kaya gitu kaya gitu. Terus yo, walaupun rada-rada mentereng, tapi aku gak suka...Kan kalo misalnya orang-orang di sastra apa komunikasi gitu ra ketang sithik ana unsur seninya mbak dan pikirane rada alternatif. Lha aku pengennya kaya gitu226
Dari pengalaman Dian Erika, keinginan untuk kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi terdorong oleh keinginannya menentang arus. Yang dimaksud arus yaitu kecenderungan pilihan pendidikan dan pekerjaan di lingkungannya yang berlangsung turun temurun sebagai tenaga kesehatan
225 226
Hasil wawancara mendalam dengan Dian Erika pada hari Minggu, 8 Mei 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Dian Erika pada hari Minggu, 8 Mei 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
121
dan pendidikan. Peneliti menginterpretasikan bahwa ada semacam kepuasan yang dirasakan oleh Dian Erika saat ia memberanikan diri menantang arus. Kepuasaan itu kemudian meningkatkan gengsinya dan secara tidak langsung membentuk identitas diri sebagai orang yang bebas dengan keberaniannya membuat keputusan yang berbeda dari yang lain. Pamer (Show Off) Identitas diri yang kedua terkait dengan kebanggaan dapat masuk di jurusan dengan passing grade tinggi. Seperti telah di sebutkan pada sub bab terdahulu, passing grade adalah nilai minimum yang harus didapatkan untuk bisa lulus ujian masuk perguruan tinggi227. Semakin tinggi passing grade maka akan semakin tinggi pula tingkat kesukaran untuk masuk ke suatu jurusan. Keberhasilan diterima di jurusan berpassing grade tinggi dalam hal ini dianggap sebagai sebuah prestasi yang patut dibanggakan. Hal itu seperti diungkap oleh Ema Yuliani Utami (2007). kalo aku merasa bisa kuliah di jurusan yang passing gradenya tinggi itu sepertinya bakal lebih kompetitif. Berarti kan teman-temanku itu juga cerdas-cerdas dan lebih pentingnya buat nanti ketika aku nglamar kerja, bisa jadi aku diperhitungkan karena lulus dari prodi yang berpassing grade tinggi228 Formalitas peningkatan status pendidikan Keputusan untuk kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi oleh Devi Anggrahini (2008) dan Veronika J.H (2007) dapat diartikan sebagai formalitas. Formalitas disini kaitannya dengan keinginan mendapatkan 227 228
www.snmptn.or.id/passing grade/ di akses pada 1 Agustus 2011 pukul 11.55 WIB Hasil wawancara mendalam dengan Ema Yuliani Utami pada hari Rabu, 23 Februari 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
122
pendidikan yang berkesinambungan dari sekolah menengah tingkat atas ke perguruan tinggi. Formalitas untuk kuliah oleh Devi berhubungan dengan latar belakangnya sebagai siswa berprestasi yang mendapatkan beasiswa melalui jalur PMDK. Sebenarnya ia lebih berminat untuk kuliah di Fakultas Ekonomi, hanya saja jurusan yang ia inginkan tidak tercantum di daftar penerima PMDK jalur prestasi dan yang ada hanya Ilmu Komunikasi. Dalam kondisi tersebut mau tak mau dia akhirnya memilih jurusan Ilmu Komunikasi. Sebenare kalau dulu, gak pengen sih dulu. Pengennya malah ekonomi ya. Terus, PMDK Ekonominya gak ada. Kan Cuma ada apa ya kemarin, di IPS itu komunikasi sama apa gitu. Terus yowes aku tertariknya sama itu 229
Hal senada juga terjadi pada Veronika JH (2007). Veronika memiliki obsesi untuk menjadi dokter sehingga ia menempatkan Jurusan Kedokteran Umum sebagai pilihan pertama saat SPMB. Pada saat itu, Ilmu Komunikasi ia pilih sebagai pilihan kedua. Saat pengumuman test, ternyata ia justru diterima di Jurusan Ilmu Komunikasi dan memutuskan untuk mencobanya. Hal itu seperti ia ungkapkan berikut ini: Sebenarnya aku masuk komunikasi itu nyasar... Jadi bukan, bukan citanamanya, dulu itu pengen banget jadi dokter, ternyata kan gak kesampaian, yasudah. Ya sekarang ternyata setelah masuk kesini ya belajar mencintailah. 230 229 230
Hasil wawancara mendalam dengan Devi Anggrahini pada hari Selasa, 31 Mei 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Veronika Juwita Hapsari pada hari Rabu, 23 Februari 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sekalipun
para
Informan
menyadari
bahwa
Jurusan
Ilmu
Komunikasi bukan jurusan yang mereka inginkan tetapi mereka memutuskan untuk tetap mencoba menjalaninya. Keputusan tersebut
di Jurusan Ilmu Komunikasi karena hanya di jurusan itu mereka diterima. Namun pada akhirnya mereka berusaha untuk bertahan karena lebih fokus pada tujuan memperoleh pendidikan tinggi bukan jurusannya. 1.2.4. Meniru model Seperti telah dikemukakan di muka, keputusan untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi berkaitan dengan proyeksi masa depan untuk bekerja di bidang komunikasi. Dalam hal ini, proses itu melibatkan beberapa pihak yang menjadi model. Model yang menjadi inspirasi untuk belajar dan bekerja di jurusan Ilmu Komunikasi yaitu orang-orang yang pernah atau sedang berkecimpung di dunia Komunikasi. Beberapa Informan yang tertarik kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi lantaran tertarik meniru model di antaranya yaitu Agnes Amanda (2007), Destriana K (2008), Triendah F (2009), Fannany N (2008) dan Ambar K.N (2010). Berikut ini model-model yang ditiru oleh para Informan: Keluarga Model pertama dari kalangan keluarga. Hal itu seperti terjadi pada Agnes Amanda (2007) dan Destriani K (2008). Status kedua model adalah kakak.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
124
Pada Agnes Amanda (2007) sosok yang menginspirasinya untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi yaitu kakak sepupu. Kakaknya itu pernah kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi. Dari kakaknya ia mengetahui gambaran kuliah dan pekerjaan yang menjadi perpanjangan program studi tersebut. Ia pun kemudian tertarik untuk mencoba mengikuti apa yang telah dilakukan kakak sepupunya. Berikut pernyataan Agnes: ada kakak sepupu yang dulu kuliah di komunikasi juga, dan sekarang udah nya saya lebih ke melihat dia, jadi saya melihat, oh kalau komunikasi nanti kerjanya seperti ini, ini, ini. Jadi akhirnya ya udah terus ambil komunikasi231
Seperti halnya Agnes, Destriana K (2008) merujuk kakaknya sebagai model saat ia memutuskan jurusan kuliah. Ia menjadikan kakak perempuannya sebagai model ideal yang ingin ia tiru. Saat kakaknya menjadi penyiar dan ingin kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi, ia turut tersuntik juga untuk melakukan hal yang sama. Hal itu seperti diungkapkan oleh Destriana berikut ini:
roles modelnya kakakku Dia kan pengen kuliah komunikasi tapi gak ketrima kaya gitu...Wah kanyaknya seru kalo jadi sosok penyiar kaya gitu gitu. Kan dulu kakakku penyiar di Radio GIS (Radio Lokal di 232
231 232
Hasil wawancara mendalam dengan Agnes Amanda pada hari Rabu, 23 Februari 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Destriana K. pada hari Senin, 16 Mei 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Baik Agnes maupun Destriana, keduanya memperoleh pengetahuan mengenai jurusan Ilmu Komunikasi dari pengalaman mengamati orangorang dekat mereka yang bekerja di bidang komunikasi. Berawal dari pengamatan mereka kemudian tertarik untuk meniru. Dalam hal ini, daya ikat ketertarikan mereka terhadap model dan yang dimodelkan relatif kuat
personal dan memungkinkan mereka untuk mengadakan komunikasi tatap muka untuk bertanya mengenai banyak hal guna mengurangi ketidaktahuan mereka mengenai pendidikan maupun pekerjaan. Profesi Kategori model yang kedua yaitu pekerja atau profesi di bidang komunikasi. i.
Wartawan Pada pengalaman Triendah Febriani (2009), yang menjadi roles
modelnya untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi yaitu sosok wartawan yang pernah kost di rumahnya. Berawal dari proses pengamatan, ia merasa tertarik untuk bekerja sebagai wartawan seperti apa yang biasa ia lihat dalam kehidupan sehari-hari. Ehm, dulu itu kan ada wartawan sempat ngekost di rumahku. Jadi aku tahu lah malam-malam ditelfon ke luar, pergi sampai sore, gak di rumah, terus nanti udah pulang eh tengah malam keluar lagi Pertamanya sih garatanyatanya sama guru BK (Bimbingan Konseling) terus aku dikasih buku
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
126
tentang penjelasan jurusan-jurusan di kampus-kampus. Ya udah taunya komunikasi dari situ233 Berdasarkan data di atas, jika diurutkan secara kronologis maka pertama-tama Triendah memperoleh kesempatan mengamati pekerjaan sebagai wartawan secara langsung; kedua, ia kemudian tertarik pada profesi tersebut; ketiga, ia ingin menjadi wartawan; keempat, ia mencari informasi mengenai cara untuk menjadi wartawan dan kelima, akhirnya ia memutuskan untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi demi keingannya itu. Dalam hal ini, pengalaman mengamati profesi sebagai jurnalis secara langsung telah memberi dampak yang cukup positif pada Triendah. Hal itu karena informasi yang ia peroleh mengenai profesi sebagai jurnalis jauh lebih jelas, berbeda dengan jika ia mendengarkan cerita atau melihat gambar atau cara-cara lain yang melalui pihak lain terlebih dahulu. ii. Pembaca Berita/ Anchor Kesan pintar dan multitalenta untuk pekerja bidang komunikasi dimiliki oleh Triendah Febriani (2009). Ia cukup tertarik dengan Tina Talisa (TV One) dan Isyana Bagus Oka (RCTI). Menurutnya, kedua orang itu pintar dan cantik. orangnya kelihatan pinter, kadang dia biasanya itu waktu mau siaran gitu dia sempat nyanyi. Kayaknya multitalenta banget gitu. Bahasa inggrisnya juga lancar banget gitu. Jadi kayaknya perfect gitu lho 233
Hasil wawancara mendalam dengan Triendah Febriani pada hari Senin, 21 Maret 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
127
orangnya. Siapa ya, yang di RCTI, Isyana Bagus Oka. Ya itu, dia sebenarnya juga hampir sama kaya Tina Talisa. Kelihatan pinter gitu. Kalau cewek pinter kaya gitu kan sepertinya gimana ya, keihatannya eksklusif banget, cantik juga.234
Berdasarkan data di atas, sosok Tina Talisa dan Isyana Bagus Oka dianggap sebagai model ideal oleh Triendah bukan hanya karena perannya sebagai pembaca berita namun juga karena pencitraan mereka secara personal. Hal itu berkaitan erat dengan kesamaan identitas jenis kelamin -sama perempuan. Mereka dianggap sebagai model ideal karena memiliki perpaduan antara penampilan yang menarik dan juga kecerdasan intelektual yang tinggi atau yang lazim disebut sebagai kecantikan luar dalam oleh kebanyakan orang. Melalui kecantikan luar dalam itu, mereka kemudian dipandang sebagai sosok yang pantas untuk ditiru. Ada pun keputusan Fannany Norrohmah (2008) untuk kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi secara spesifik telah dilatarbelakangi oleh ketertarikannya untuk menjadi pembaca berita (Anchor) di TV. Ketertarikannya itu ia dapat dari pengalaman melihat sebuah film Korea yang mengisahkan kehidupan beberapa orang yang bekerja di televisi. Ia mendapatkan pengetahuan mengenai kegiatan-kegiatan broadcasting seperti liputan, editing dan menjadi pembaca berita. Dari film itu juga ia mendapat pengetahuan bahwa pendidikan untuk menekuni dunia
234
Hasil wawancara mendalam dengan Triendah Fibriani pada hari Senin, 21 Maret 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
128
broadcasting yaitu Jurusan Ilmu Komunikasi. Berikut kutipan wawancara dengan Fannany: Aku sempat ada satu film Korea, aku lupa apa judulnya. Jadi itu tu lebih ke TV, dia jadi jurnalis tapi lebih ke TV. Mereka jadi anchornya, terus mereka liputan, terus mereka editing, mereka kuliahnya juga di komunikasi massa. Asyik kayaknya gitu235 Dari data di atas, Fannany mendapat pengetahuan mengenai pendidikan di Jurusan Ilmu Komunikasi Massa beserta pekerjaan-pekerjaan yang menjadi perpanjangan dari pendidikan tersebut dari film. Dalam hal ini model yang ingin ditiru sesungguhnya adalah para artis yang memerankan profesi sebagai pekerja media, khususnya pembaca berita. Terlepas dari latarbelakang cerita itu fiksi atau non fiksi tapi yang menjadi menarik disini adalah film telah memberi pengetahuan bahkan sampai mendorong penontonnya tertarik untuk menjadi sama dengan apa yang dilihat. iii. Presenter Pengalaman terinspirasi oleh sosok yang familiar di televisi dialami oleh Dian Erika (2008). Ia terinspirasi oleh beberapa presenter yaitu: Susan Bachtiar, Sarah Sechan dan Nadia Hutagalung. Berikut kutipan wawancaranya: Kalau menginspirasi sih ada, Susan Bachtiar kan pintar sekali kelihatannya. Terus waktu dulu kan jaman-jamannya MTV masih bagus waktu itu, Sarah Sechan sama Nadia Hutagalung. Walau dia gak pintar-pintar amat tapi dia sangat ini, good looking236 235 236
Hasil wawancara mendalam dengan Fannany Norohmah pada hari Senin, 16 Mei 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Dian Erika pada hari Minggu, 8 Mei 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
129
Berdasarkan data di atas, penempatan presenter sebagai roles model pemilihan jurusan kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi tidak berbeda jauh dengan yang terjadi pada analisis sebelumnya mengenai penempatan pembaca berita sebagai sosok roles model. Berawal dari kesamaan identitas sebagai perempuan, mereka yang muncul di media dipandang sebagai sosok ideal melalui penampilan mereka yang menarik dan juga penguasaan keterampilan berbicara yang mereka miliki. iv. Public Relations Officer (PRO) Ada pun motivasi untuk kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi pada Ambar K.N (2010), berangkat dari ketertarikan pada sosok Public Relations (PR) yang ia kenal dari televisi. Waktu SMP kelas 3 itu, saya ini kan nonton acara di TV tentang tempat-tempat gitu. Dan itu yang selalu ngomong itu PR nya. Terus oh yaudah, yaudah, tar gue kuliah komunikasi biar jadi PR gitu. Yaudah, jadi awalnya gitu 237.
Saat ditanya mengenai alasan dibalik ketertarikannya itu ia mengatakan bahwa PR memiliki penampilan yang menarik: Penampilannya menarik, cewek-ceweknya cantik, ya semacam saya lah, haha, terus enak dilihat gitu kanyaknya PR-PR itu238
237 238
Hasil wawancara mendalam dengan Ambar Kusuma Ningrum pada hari Kamis, 10 Maret 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Ambar Kusuma Ningrum pada hari Kamis 10 Maret 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
130
Berdasarkan pengalaman Ambar di atas maka ketertarikannya pada sosok PR berawal dari kekaguman akan penampilan orang yang bekerja sebagai PR bukan pada apa yang dikerjakan PR. Dalam hal ini ia terpesona oleh penampilan PR yang menarik dan ia ingin mengalami pengalaman yang sama dengan sosok PR yang ia lihat di televisi. Keputusannya kala itu untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi lebih didasarkan pada keinginan untuk memperoleh pengalaman yang sama dengan sosok yang ia jadikan model. Dari data di atas, baik keinginan untuk meniru keluarga atau pun profesi, keduanya sama-sama berasal dari proses belajar: berkenalan, mengamati dan memahami. Ada pun selanjutnya, proses belajar tak hanya memberi pengetahuan (intelektual) tetapi juga memberi rasa kagum (emosional) pada sosok-sosok tertentu. Saat emosi telah tersentuh maka mereka kemudian terdorong untuk menjadi sama dengan sosok-sosok yang mereka anggap ideal. 2. Faktor Situasional Yang disebut dengan faktor situasional dalam penelitian ini yaitu hal-hal dari luar diri Informan yang berpengaruh secara positif terhadap keputusan para mereka untuk kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi. Faktor situasional oleh Edward E. Sampson dalam Rakhmat disebut sebagai perspektif yang berpusat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
131
pada situasi (situation-centered perspective)239. Ada pun disebut pengaruh positif karena keberadaan mereka mendukung para Informan untuk memutuskan kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi. 2.1. Significant Others Siginificant others menurut George Herbert Mead dalam Rakhmat disebut sebagai orang lain yang sangat penting 240. Dalam konteks penelitian ini, significant others kemudian diterjemahkan sebagai orang-orang yang paling berpengaruh terhadap pengambilan keputusan para Informan untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi. Ada pun berikut ini adalah orang-orang yang secara lugas menganjurkan Informan untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi: 2.1.1. Orang tua Orang tua adalah ayah dan ibu241. Dalam penelitian ini, sebutan orang tua berkembang pula pada sosok orang tua dari orang tua kita (kakek dan nenek) atau orang-orang yang kita hormati. Berikut ini alasan-alasan di balik dukungan mereka: Jurusan Ilmu Komunikasi meningkatkan kualitas diri Pengalaman mendapatkan dorongan dari orang tua untuk memilih kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi salah satunya dialami oleh Twinika S.F (2009). Kedua orang tuanya, khususnya ibu, memberikan dukungan penuh agar ia kuliah di jurusan tersebut. Berikut kutipan wawancaranya:
239
Rahmat. Op.Cit, hal. 33 Ibid, Hal. 103 241 Kamus Besar Bahasa Indonesia/ Orang tua 240
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
132
Kalau waktu pemilihan jurusan komunikasi, orang tua mengarahkan, orang tua juga mendukung,242 Dukungan itu berdasarkan pada pemikiran bahwa jurusan Ilmu Komunikasi akan memberi pengetahuan dan keterampilan yang luas sebagai bekal memasuki dunia kerja. Bahkan orang tuanya secara spesifik telah memberi dukungan untuknya menekuni Public Relations (PR). karena adanya gambaran kuliah komunikasi akan memberi gak hanya dari teori mbak, kita perlu relasi dan itu bisa di bentuk dari situ, dari komunikas -sangat mendukung ketika saya masuk di komunikasi malah mendukungnya lebih ke spesialisasi kok, dia mengarahkan, kamu masuk ini aja, spesialisasi ini, dan aku akhirnya fokus di PR 243
Dari kutipan wawancara di atas, dukungan orang tua agar anaknya kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi dilatarbelakangi oleh pengetahuan orangtua mengenai jurusan tersebut. Orang tua telah memperhitungkan perlunya kualitas diri yang terbentuk dari pengetahuan secara intelektual dan juga keterampilan. Dalam hal ini, orang tua Twinika menilai perlunya jaringan yang luas untuk memasuki dunia kerja nanti, oleh sebab itu mereka mendukung agar anaknya belajar menjalin relasi dan juga menekuni PR di Jurusan Ilmu Komunikasi. Pengalaman senada dialami juga oleh Nabilla N.K (2009). Bertolak pada bakat di bidang bahasa yang ia miliki, ayahnya menyarankan agar ia kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi. Menurut ayahnya, jurusan tersebut akan mengakomodir kemampuannya berbahasa yang lebih luas.
242
Hasil wawancara mendalam dengan Twinika Sativa pada hari Kamis, 12 Mei 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Twinika Sativa pada hari Kamis, 12 Mei 2011
243
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
133
Masuk komunikasi ada saran gitulah dari bapak, kalau kamu nekunin bahasa, bahasa tok nanti gak berkembang gitu. Sarannya kamu masuk bahasa tapi yang lebih luas gitu.244 Dari kutipan wawancara di atas, jurusan Ilmu Komunikasi dinilai secara sederhana
sebagai
pendidikan
yang
akan
mempelajari
kemampuan
berkomunikasi. Menurut ayah Nabilla, bahasa merupakan bagian dari studi Ilmu Komunikasi sehingga ia menarik kesimpulan bahwa jurusan Ilmu Komunikasi memiliki bidang kajian yang lebih luas dari jurusan sastra. Oleh karena itu, ia lebih menyarankan anaknya untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi untuk mengembangkan bakat/potensi. Baik Twinika maupun Nabilla, keputusan mereka untuk kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi salah satunya atas pengaruh dari orang tua mereka. Mereka mendengarkan dan juga melaksanakan anjuran dari orang tua mereka, karena apa yang dianjurkan cukup rasional untuk mereka terima yaitu berkaitan dengan pengenalan potensi diri dan bagaimana dapat mengembangkan potensi itu untuk kelak memiliki pekerjaan yang menjanjikan. Di samping itu rasa hormat atau segan pada sosok orang tua sepertinya turut memperkuat diterimanya dorongan itu. Lapangan kerja luas Adapun dorongan pada Ambar Kusuma Ningrum ia dapat dari ibunya. Persetujuan dan juga dorongan dari ibunya saat ia mengemukakan rencana
244
Hasil wawancara mendalam dengan Nabila Nur Khudori pada hari Rabu 23 Maret 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
134
untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi berdasarkan pemikiran bahwa lulusan jurusan Ilmu Komunikasi memiliki peluang kerja yang luas. Mama mikirnya nanti pas kerja banyak lah, lulusan komunikasi itu bisa diterima dimana-mana, PNS juga butuh kog, sarjana komunikasi itu PNS butuh bisa jadi ini itu, mama sih gak tahu komunikasi itu belajar apa-apa, pokoknya jadi pegawai negeri itu ada deh sarjana komunikasi, udah kamu ambil aja komunikasi, nanti bisa kerja kemana-mana245
Berdasarkan data di atas, dorongan yang Ambar peroleh untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi berasal dari harapan ibunya agar ia memiliki masa depan yang cerah. Menurut ibunya, jurusan Ilmu Komunikasi adalah jawabannya karena berdasarkan pengetahuan yang ia miliki, lapangan kerja untuk lulusan jurusan Ilmu Komunikasi relatif luas, dengan lapangan kerja luas maka peluang kerjanya pun luas dan semakin cepatnya mendapatkan pekerjaan. Ibunya berharap agar pendidikan yang akan dijalani oleh Ambar mampu menjanjikan kemapanan di masa depan. Berdasarkan data di atas, pada prinsipnya orang tua menjadi pihak yang potensial berpengaruh terhadap pengambilan keputusan Informan untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi. Dalam hal ini, orang tua merekomendasikan Program Studi Ilmu Komunikasi karena jurusan tersebut dipandang sebagai pendidikan yang menjanjikan peningkatan kualitas diri dan juga lapangan pekerjaan yang luas. Kedua pertimbangan itu menyiratkan adaya harapan orangtua agar anak-anak mereka memiliki masa depan yang pasti.
245
Hasil wawancara mendalam dengan Ambar Kusuma Ningrum pada hari Kamis, 10 Maret 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
135
Di lain pihak, anjuran atau dorongan orang tua ditanggapi secara positif oleh Informan karena anjuran itu cukup rasional untuk mereka cerna. Hal itu terkait keberadaan orangtua sebagai pihak yang paling dekat dan dihormati, dimana setiap saran, masukan dan juga dorongan akan diperhatikan oleh anak sebagai bentuk kepatuhan. 2.1.2. Bibi Selain orang tua, terdapat anggota keluarga lain yang turut berpengaruh terhadap keputusan para Informan untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi. Di antaranya anggota keluarga itu adalah sosok Bibi. Hal itu dialami oleh Annisa Fitri (2010). Ketika kecil ia sudah berkenalan dengan Ilmu Komunikasi dan pengetahuan itu ia dapat dari bibinya yang saat itu kuliah di jurusan tersebut. Dari bibinya ia mendapatkan gambaran bahwa kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi menyenangkan, sehingga ia akhirnya tertarik untuk kuliah di jurusan itu juga.
dia cerita, sekolahnya enak dek, gini gini gini, terus nanti kamu lapangan kerjanya ke depan kaya gini, nanti kalo kamu mau masuk kuliah, begitu kamu selesai pasti laku banget tu komunikasi. Oh, berarti harus masuk komunikasi ni246
Dari kutipan wawancara di atas, pengaruh untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi telah Annisa dapat jauh sebelum ia harus menentukan jurusan
246
Hasil wawancara mendalam dengan Annisa Fitri pada hari Rabu, 2 Maret 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
136
kuliah. Namun demikian, pengaruh yang diberikan saat masih kecil itu bekerja efektif saat besar karena pesan itu disampaikan oleh orang yang cukup dekat secara emosional dan juga dilatarbelakangi oleh pengelaman pribadi sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi saat itu. 2.1.3. Kakak Pada beberapa Informan, keputusan untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi mendapatkan suntikan pengaruh dari sosok kakak. Dorongan dari kakak berdasarkan pada pertimbangan sebagai berikut: Jurusan Ilmu Komunikasi mendukung pengembangan bakat Pengaruh pemilihan jurusan kuliah dari sosok kakak salah satunya dialami oleh Fauziah Nurlina (2010). Melalui kakak perempuannya ia mendapatkan penilaian bahwa ia merupakan siswa yang berbakat di bidang komunikasi, sehingga kakaknya menganjurkan agar ia mencoba kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi. aku dibilangin mbakku, kamu kan pinter ngomong, yaudah kamu masuk komunikasi aja. Jadi dari kelas 2 SMA aku udah pengen masuk komunikasi walaupun belum tahu tar ke depannya gimana247 Berdasarkan kutipan wawancara di atas, terdapat dukungan dari seorang kakak kepada adiknya untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi. Dorongan tersebut berdasarkan pada pengetahuan yang dimiliki sang kakak bahwa jurusan Ilmu Komunikasi merupakan jurusan untuk orang-orang yang pandai berbicara.
247
Hasil wawancara mendalam dengan Fauziah Nurlina pada hari Rabu, 23 Maret 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
137
Saat ia melihat dalam diri adiknya terdapat bakat atau kemampuan di bidang komunikasi maka ia menyarankan adiknya untuk kuliah di jurusan tersebut. Sang adik kemudian menerima saran itu karena percaya bahwa saran kakaknya pasti baik, meskipun belum ada gambaran sedikit pun mengenai jurusan Ilmu Komunikasi. Jurusan Ilmu Komunikasi: Jurusan Berkualitas Informasi mengenai jurusan Ilmu Komunikasi sebagai jurusan yang berkualitas pada Mia A.Y (2007) didapat dari kakaknya yang kuliah di jurusan Public Relations FISIP UNS. Ia kemudian meyakinkan Mia bahwa Jurusan Ilmu Komunikasi bagus karena memiliki passing grade yang tinggi.
dulu kakak PR, cuma dulu kakak ku bilang, apik banget lho UNS ki, gradenya apik banget, percayalah padaku,248 Dari kutipan wawancara di atas, pengalaman kakak Mia yang telah memiliki pengetahuan mengenai jurusan Ilmu Komunikasi ditularkan kepada adiknya dengan tujuan agar adiknya mengindahkan sarannya untuk selanjutnya Mia memutuskan kuliah di jurusan tersebut. Sebagai penguat informasi, penilaian mengenai passing grade disertakan agar dapat lebih dipercaya. Secara umum, peran kakak dalam pengambilan keputusan jurusan kuliah relatif postif. Mereka mendukung adiknya untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi dengan pertimbangannya masing-masing. Dengan latar belakang pernah mengenyam pendidikan tinggi, maka pertimbangan mereka diperhatikan
248
Hasil wawancara mendalam dengan Mia Ajeng Yulivia pada 23 Februari 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
138
dengan baik oleh para Informan yang pada saat itu masih saat awam terhadap dunia perkuliahan. Longgarnya hubungan yang terjalin antara adik dan kakak tetap menyiratkan adanya rasa hormat seorang adik kepada kakaknya karena faktor pengalaman. 2.1.4. Guru Guru adalah orang yang profesinya mengajar 249. Dalam pengambilan keputusan untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi, beberapa Informan memiliki pengalaman mendapatkan pengaruh dari guru mereka. Ada pun sosok guru disini yaitu tentor atau pengajar di lembaga bimbingan belajar. Mengingat salah satu tujuan lembaga bimbingan belajar yaitu membantu peserta didiknya untuk menentukan jurusan kuliah, maka terdapat kesempatan bagi para peserta didik untuk berdiskusi dengan tentor-tentor mereka mengenai rencana jurusan kuliah yang akan diambil. Dalam proses ini, wawasan mengenai passing grade diberikan oleh lembaga bimbingan belajar sebagai acuan untuk mengukur peluang dan tingkat kesulitan suatu jurusan, sehingga pada akhirya para peserta didik dapat menentukan pilihan jurusan yang sesuai dengan kemampuannya. Demikian yang dialami oleh Fauziah Nurlina (2010), melalui bimbingan belajar ia memperoleh kesempatan berdiskusi mengenai penjurusan kelas sampai pemilihan jurusan kuliah. Ia bahkan diarahkan juga untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi. Berikut kutipan wawancara dengannya:
249
Kamus Besar Bahasa Indonesia/ Guru
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
139
Tentorku bilang aja, kan aku langsung kelihatan dari caraku ngomong bla bla bla, yaudah gini, kamu masuk IPS aja, Terus disaranin masalah passing grade, habis itu universitasnya. Dia juga bilang kalau UNS bagus lho komunikasinya. Ya secara dia anak UNS kan, tahu gimana komunikasi UNS. Jadi dia tawar-tawar gitu ke aku. Oh iya ya, bagus bagus bagus. Terus aku coba gitu deh250 Adapun pengalaman yang sama dialami oleh Ambar Kusuma Ningrum (2009). Diskusi dengan salah satu tentor di lembaga bimbingan belajar membuat dia yakin untuk mengambil jurusan Ilmu Komunikasi sebagai pilihan kuliahnya.
kecil, kecil, bener-bener kecil, dalem banget. Yaudah, komunikasi aja, ari dulu kan kamu sukanya komunikasi, udah ambil aja komunikasi. Menurut aku kamu itu emang pengennya komunikasi, dia bilang gitu, dia langsung jebret gitu, 251
Dari kutipan wawancara di atas, nampak adanya hubungan yang cukup dekat antara Fauziah dan Ambar dengan tentornya. Hubungan yang dekat itu terbentuk karena sistem belajar di lembaga bimbingan belajar yang jauh lebih longgar daripada pendidikan formal di sekolah. Kedekatan hubungan itu menjadi bekal penting bagi terciptanya komunikasi yang efektif hingga khirnya ia cenderung mendengarkan dan menuruti apa yang disarankan oleh tentornya. Pengalaman sang tentor yang pernah mengenyam pendidikan di perguruan
250 251
Hasil wawancara mendalam dengan Fauziah Nurlina pada 23 Maret 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Ambar Kusuma Ningrum pada hari Kamis, 10 Maret 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
140
tinggi membuat saran-saran yang diberikannya semakin kuat potensinya untuk diterima. 2.1.5. Teman Pada beberapa Informan, keputusan untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi dilatarbelakangi oleh masukan dari teman. Hal itu seperti dialami oleh Dhyanayu Lutfi Almitra (2008), Devi Anggrahini (2008) dan Veronika Juwita Hapsari (2007). Ketika akan menentukan jurusan kuliah, Dhyanayu sempat berdiskusi dengan teman-temannya SMA. Ia menjadi semakin diteguhkan untuk mengambil jurusan Ilmu Komunikasi sebagai piihan kuliah. Berikut kutipan wawancara dengannya: Aku kan emang pengennya rono (komunikasi). Terus aku kan yo critacrita karo kanca-kancaku. Kowe kuliah komunikasi wae. Ketoke kowe cocok mu yo gur neng kono. Ngono kuwi to mbak. Kowe kan crewet. (Aku kan sebenarnya ingin komunikasi. Terus aku kan cerita sama temantemanku. Kamu kuliah komunikasi aja. Sepertinya kmau cocoknya ya cuma disitu, gitu mbak, kamu kan cerewet.)252 Dari pengalaman Dhyanayu, dapat diketahui bahwa keberadaan temanteman dapat pula memberi pengaruh dalam pengambilan keputusan jurusan kuliah. Dalam hal ini, pendapat teman-temannya berperan sebagai pemantap keputusan mengingat sebelumnya ia sudah merrencanakan untuk kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi.
252
Hasil wawancara mendalam dengan Dhyanayu Lutfi Almitra pada hari Jumat, 13 Mei 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
141
Adapun yang terjadi pada Devi, saat akan menentukan jurusan kuliah ia sedikit mengalami kebingungan karena pilihan jurusan yang ia inginkan tidak tercantum dalam daftar jurusan yang ditawarkan melalui jalur PMDK. Ia kemudian bertanya kepada salah satu temannya yang kuliah di jurusan itu dan kemudian terinspirasi untuk ikut kuliah di jurusan yang sama. Berikut diceritakan oleh Devi: Sebenare kalau dulu,gak pengen sih dulu. Pengennya malah ekonomi ya. Terus PMDK Ekonominya gak ada. Kan cuma ada apa ya kemarin, di IPS itu komunikasi sama apa gitu. Terus yowes aku tertariknya sama itu (Komunikasi), dulu kan, si Lusi sama Dyah (mahasiswi komunikasi angkatan 2006 dan 2007) kan di situ juga.253 Adapun pada Veronika J.H, secara langsung ia disarankan oleh salah seorang temannya untuk kuliah di jurusan Ilmu Komuniaksi untuk kuliah di jurusan tersebut. Ia kemudian percaya dan mengikuti saran itu. Kepercayaan Veronika pada saran itu berdasarkan pengalaman yang telah dialami oleh temannya itu: Ada yang nyaranin sih, katanya udah masuk komunikasi aja, komunikasi UNS kan bagus. Yang nyaranin kan anak komunikasi UNS juga, anak komunikasi angkatan 2006, jadi menurutku dia udah tahu gitu.254 Baik pengalaman Devi maupun Veronika, keduanya sama-sama mantap memutuskan Ilmu Komunikasi sebagai pilihan jurusan kuliah karena rekomendasi yang diberikan oleh teman mereka yang kuliah di jurusan tersebut.
253
Hasil wawancara mendalam dengan Devi Anggrahini pada hari Selasa, 31 Mei 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Veronika Juwita Hapsari pada 23 Februari 2011
254
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
142
Mereka percaya pada saran yang diberikan karena saran itu berdasarkan pada pengalaman mereka sendiri. 2.1.6. Psikolog Psikolog merupakan praktisi psikologi yang mempelajari mengenai perilaku manusia atau aktivitas-aktivitas individu.
Perilaku atau aktivitas-
aktivitas tersebut dalam pengertian yang luas terdiri dari aktivitas emosional dan kognitif255. Kemampuan Psikolog membaca perilaku manusia membuat Putu Ayu Gayatri (2007) yakin pada beberapa pertimbangan atau saran yang diberikannya. Dalam hal ini, terkait pemilihan jurusan kuliah pertama-tama ia mempertimbangkan saran jurusan kuliah berdasarkan hasil psikotest yang pernah ia ikuti saat SMA. Berikut kutipan wawancaranya: Dulu waktu SMA kan ada test psikologi, ada saran jurusan kuliah juga kan, justru disitu aku malah disarananinnya masuk Komunikasi sama matematika. Itu yang nyaranin Psikolog, itu berdasarkan psikotes. Yaudah deh, akhirnya jadi bimbang, kog kayaknya emang gak berbakat gitu, kerjanya itu juga lebih gampang komunikasi.256 Adapun selanjutnya ia berkonsultasi langsung dengan seorang psikolog terkait keinginannya untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi dan ia disarankan untuk kuliah di UNS Solo. Waktu itu juga konsultasi juga sama psikolog juga dosen, namanya Pak Darsono. Dia ngajar juga di komunikasi juga, sempat dia bilang mending komunikasi UNS gitu.257 255
Bimo Walgito, Psikologi Sosial: Suatu Pengantar (Edisi Revisi), (Yogyakarta: Andi Offset, 1994), hal.15 256 Hasil wawancara mendalam dengan Putu Ayu Gayatri pada 23 Februari 2011 257 Hasil wawancara mendalam dengan Putu Ayu Gayatri pada 23 Februari 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
143
Berdasarkan kutipan wawancara di atas, Putu Ayu Gayatri menjadikan ilmu Psikologi sebagai acuan pemilihan jurusan. Ia ingin untuk kuliah di jurusan yang benar-benar sesuai dengan minat dan kemampuannya. Melalui bantuan Psikolog ia kemudian diarahkan untuk kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi dan ia sungguh-sungguh menjalaninya. 2.2. Media Massa Selain significant others, media massa turut berpengaruh terhadap pengambilan keputusan para Informan untuk kuliah di juruan Ilmu Komunikasi. Media massa adalah media yang digunakan dalam komunikasi massa. Media massa diantaranya terdiri dari: surat kabar, majalah, radio, televisi dan film258. Melalui media-media itu lah para Informan kemudian digiring untuk mengenai jurusan Ilmu Komunikasi 2.2.1. Media Menyajikan Gambaran Pekerjaan Bidang Komunikasi yang Serba Menyenangkan Yang dimaksud dengan pekerjaan bidang komunikasi yaitu semua pekerjaan yang menjadi perpanjangan dari disiplin ilmu Komunikasi mulai dari Jurnalistik, Public Relations (PR) hingga Advertising. Meski tak semuanya terpantau namun pekerjaan bidang komunikasi ada yang dapat diamati oleh masyarakat. Pekerjaan-pekerjaan itu khususnya yang berhubungan dengan audio visual. Menurut para Informan, pekerjaan bidang komunikasi itu menyenangkan.
258
Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990), hal.20
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
144
Banyak Kawan Menurut Aviana Cahyaningsing (2008), pekerjaan bidang komunikasi khususnya wartawan dinilai sebagai pekerjaan yang menyenangkan memiliki pergaulan luas. kog asik ya, bisa ketemu orang-orang setiap hari, ketemu orang-orang yang beda, entah itu orang yang penting atau orang yang biasa, tapi bisa nambah ilmu juga, dari apa sih, wawancara kaya gitu. Seneng, kayaknya ada kepuasan tersendiri ketika bisa ngobrol sama orang-orang, nambah teman.259
Berdasarkan data di atas, Aviana tertarik untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi pertama-tama berangkat dari ketertarikan pada pergaulan. Baginya, pergaulan adalah gerbang wawasan. Semakin luas pergaulan yang terjalin maka akan semakin luas pula wawasan yang diperoleh. Berpenampilan Menarik Karena kelebihannya secara visual, media televisi dapat memunculkan sosok pekerja media seperti reporter dan pembaca berita. Kemunculan itu membuat mereka cukup dikenal oleh masyarakat, minimal bagi mereka yang gemar menyaksikan siaran berita televisi. Keputusan
untuk
kuliah
di
jurusan
Ilmu
Komunikasi
yang
dilatarbelakangi oleh ketertarikan pada kedua profesi itu salah satunya dialami oleh Ambar Kusuma Ningrum (2010). Menurutnya, sosok reporter dan pembaca berita menarik karena penampilan mereka yang anggun. Berikut kutipan wawancaranya: 259
Hasil wawancara mendalam dengan Aviana Cahyaningsih pada hari Rabu, 11 Mei 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
145
saya itu SMP memang pengen kuliah di komunikasi, soalnya waktu itu pengen jadi apa ya, semacam reporter, pembawa acara, ya gitu lah yang anggun-anggun gimana gitu, hehehe.260 Berdasarkan data di atas, kehadiran sosok reporter dan pembaca berita telah menjadi daya tarik tersendiri bagi para pirsawan televisi. Penampilan reporter dan pembaca berita yang relatif menarik (cantik dan tampan) seolaholah sengaja ditampilkan oleh media sebagai daya jual tersendiri bagi stasiun televisi itu. Tidak dapat dipungkiri bahwa guna menarik perhatian massa beberapa pendekatan harus dilakukan, salah satunya dengan
menyajikan
penampilan yang serba menarik. Karena faktanya memang manusia akan cenderung lebih menyukai melihat gambar orang-orang berwajah cantik daripada sebaliknya Jalan-jalan Pengalaman Dhyanayu Lutfi Almitra (2008) untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi diawali oleh ketertarikannya pada pekerjaan sebagai reporter televisi. Menurutnya bekerja di stasiun televisi akan menyenangkan karena memungkinkannya traveling ke berbagai tempat. Berikut diungkapkan olehnya: misale ke media sih elektronik misale jadi wartawane apa piye, tapi sing bagian jalan-jalan ngono lho mbak, misale opo sing kuliner-kuliner koyo ngono kuwi. Ya pokoknya lapangan gitu lah. (Aku misalnya media sih elektronik, misalnya jadi reporternya gitu, tapi yang tugas jalan-jalan aja lho mbak, misalnya apa yang kuliner-kuliner seperti itu. Ya pokoknya lapangan gitu lah)261
260 261
Hasil wawancara mendalam dengan Ambar Kusuma Ningrum pada hari Kamis, 10 Maret 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Dhyanayu Lutfi Almitra pada hari Jumat, 13 Mei 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
146
Berdasarkan data di atas, media televisi hadir dengan sisi lainnya untuk menghibur. Acara-acara seperti feature dan magazine sengaja dikemas santai seperti: jalan-jalan dari satu kota ke kota lain, menikmati tempat-tempat pariwisata dan kuliner-kuliner tertentu. Dan untuk beberapa orang, tampaknya hal itu menimbulkan penilaian bahwa pekerjaan-pekerjaan di media merupakan pekerjaan yang menyenangkan dengan segala pengalaman yang mungkin dapat dirasakan. 2.2.2. Media Memunculkan sosok Roles Model Pada beberapa Informan, roles model menjadi awal ketertarikan kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi. Dalam hal ini roles model yang dimaksud yaitu sosok pekerja media maupun talent yang dikenal melalui layar telvisi. Berikut ini sosok roles model yang muncul berdasarkan profesinya: i.
Presenter Pengalaman terinspirasi oleh sosok presenter dialami oleh Dian Erika
(2008). Presenter-presenter yang menginspirasinya anatar lain Susan Bachtiar, Sarah Sechan dan Nadia Hutagalung. Kalau menginspirasi sih ada, Susan Bachtiar kan pintar sekali kelihatannya. Terus waktu dulu kan jaman-jamannya MTV masih bagus waktu itu, Sarah Sechan sama Nadia Hutagalung. Walau dia gak pintarpintar amat tapi dia sangat ini, good looking262 Dalam kondisi ini, televisi dengan keunggulannya di bidang audio visual memberi keleluasaan bagi para Informan untuk menyaksikan sebuah program acara . Program acara sendiri ibarat barang dagangan yang akan dikemas sebaik 262
Hasil wawancara mendalam dengan Dian Erika pada hari Minggu, 8 Mei 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
147
mungkin untuk menarik perhatian pemirsa. Maka tak heran jika apa yang disajikan pasti hal-hal yang bagus. Satu diantaranya terkait dengan para presenter. Yang dipilih menjadi presenter adalah mereka yang berparas menawan. Orang yang melihat Susan Bachtiar, Nadia Hutagalung atau Sarah Sechan pastilah akan sepakat jika mereka cantik. Secara tidak langsung, kehadiran para artis yang berparas cantik itu mengarahkan
persepsi
pemirsanya bahwa
bekerja di
bidang
tersebut
menyenangkan. Bekerja di media massa menjanjikan popularitas. ii.
Pembaca Berita Hal yang terjadi dengan pekerjaan sebagai pembaca berita tak jauh
berbeda dari pekerjaan sebagai presenter. Mereka sama-sama muncul di televisi tentunya dengan penampilan yang sempurna. Namun sama-sama terkenal label untuk mereka sedikit berbeda terkait kemampuan secara intelektual. Pembaca berita dikenal sebagai pribadi yang pintar dan multitalenta. Hal itu seperti yang dialami oleh Triendah Febriani (2009). Ia cukup tertarik dengan Tina Talisa (TV One) dan Isyana Bagus Oka (RCTI). Ia mengidolakan kedua presenter itu karena kepandaiannya.
kelihatan pinter, kadang dia biasanya itu waktu mau siaran gitu dia sempat nyanyi. Kayaknya multitalenta banget gitu. Bahasa inggrisnya juga lancar banget gitu. Jadi kayaknya perfect gitu lho orangnya. Siapa ya, yang di RCTI, Isyana Bagus Oka. Ya itu, dia sebenarnya juga hampir sama kaya Tina Talisa. Kelihatan pinter gitu. Kalau cewek pinter kaya gitu kan sepertinya gimana ya, keihatannya eksklusif banget, cantik juga.263 263
Hasil wawancara mendalam dengan Triendah Fibriani pada hari Senin, 21 Maret 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
148
Keputusan para Informan untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi merupakan hasil dari proses berpikir yang cukup panjang. Bagaimana pun juga saat itu mereka dihadapkan pada pendidikan baru dengan karakter yang berbeda dari pendidikan-pendidikan mereka sebelumnya. Jika dulu ukuran pemilihan sekolah berdasarkan pada kualifikasi sekolah itu, maka yang terjadi saat menentukan jurusan kuliah sedikit bergeser. Faktor universitas tetap penting namun tergantung pada fokus studinya terlebih dahulu. Sebagai proses internal, pengambilan keputusan untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi melibatkan wawasan atau pengetahuan mengenai jurusan tersebut. Pengetahuan mengenai jurusan Ilmu Komunikasi menjadi modal awal bagi para Informan dalam memutuskan kuliah di jurusan tersebut. Pengetahuan itu ibarat peta. Ia menunjukkan letak pendidikan Jurusan Ilmu Komunikasi di antara berbagai kelebihan, kekurangan, peluang serta hambatannya. Secara umum, pengetahuan para Informan mengenai jurusan Ilmu Komunikasi relatif luas namun masih dangkal. Keterbatasan itu terjadi tidak lain karena akses terhadap sumber pengetahuan masih melewati perantara (teman, keluarga, media massa) yang tentunya tak luput dari distorsi-distorsi. Ada pun jika dirangkum pengetahuan itu kurang lebih berkaitan dengan: kualitas pendidikan, persaingan masuk, kualifikasi mahasiswa, materi pendidikan dan lapangan kerja. Berbekal pengetahuan itu, Para Informan memiliki gambaran yang lebih jelas mengenai jurusan Ilmu Komunikasi. Mereka pun kemudian tertarik untuk belajar di jurusan tersebut. Berdasarkan data penelitian, Penulis menemukan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
149
hubungan antara pengetahuan para Informan dengan motif dibalik keputusan mereka untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi. Sebagai contoh, keputusan kuliah di juursan Ilmu Komunikasi karena ingin menjadi wartawan. Hal itu didasari oleh pengetahuan mereka bahwa jurusan Ilmu Komunikasi merupakan pendidikan yang memepelajari media massa. Selain itu motif ingin tampil beda, kali ini dilatarbelakangi oleh pengetahuan bahwa jurusan Ilmu Komunikasi iklim kompetisi tinggi. Hal itu berlaku pula pada kondisi lainnya. Sebagai proses internal, keputusan para Informan sepenuhnya berada di tangan para Informan, namun sebagai makhluk sosial mereka tak luput dari pengaruh beberapa pihak di sekitar mereka. Pihak pertama yang berpengaruh adalah orang-orang di sekitar Informan yang secara emosional memiliki kedekatan. Berdasarkan data mengenai significant others, Penulis menarik kesimpulan bahwa efektivitas dorongan yang diberikan oleh significant others pertama-tama terjadi karena kepercayaan para Informan terhadap personality mereka baru kemudian merembet pada informasi yang diberikan. Kepercayaan tersebut terjadi karena: 1) Familiarity Kedekatan emosional erat kaitannya dengan familiarity. Seberapa sering kita berinteraksi maka akan semakin akrab dan semakin dekat hubungan kita. Kedekatan emosional dengan keluarga (ayah, ibu, bibi, dan kakak), selain terjadi karena hubungan genetika, dipengaruhi pula oleh intensitas komunikasi dalam kurun waktu yang relatif lama. Adapun selanjutnya, hubungan antar anggota keluarga terjadi atas dasar kasih sayang sehingga menjadikan komunikasi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
150
didalamnya berjalan dengan begitu dekat. Jika terjadi pengaruh yang kuat dari keluarga
maka hal itu akan dimakhlumi karena keluarga pada prinsipnya
merupakan lingkungan terdekat bagi setiap orang sejak lahir dimana segala hal tentang anggotanya akan menjadi kepentingan bersama. Adapun kedekatan emosional dengan teman terjadi karena hubungan yang telah terspesifik pada kesamaan identitas tertentu. Beberapa bentuk hubungan pertemanan antara lain teman bermain, teman kuliah, teman komunitas atau pun teman kerja. Kesamaan identitas itu yang kemudian membentuk rasa percaya untuk berbagi pikiran dan juga membuka diri untuk adanya masukan atau saran. 2) Kompetensi/keahlian Dalam hal ini, guru dan psikolog dipercaya karena keahlian atau kompetensi mereka. Guru dilihat sebagai sosok yang berkompeten dalam pendidikan sehingga ia akan didengarkan saat memberikan masukan-masukan mengenai pendidikan. Sedangkan psikolog dilihat sebagai sosok yang berkompeten di bidang ilmu jiwa. Berkaitan dengan pilihan jurusan kuliah, ia didengarkan karena kemampuannya menganalisis minat personal. Hal itu terjadi karena kita akan cenderung menyenangi orang-orang yang memiliki kemampuan lebih tinggi daripada kita, atau lebih berhasil dalam kehidupannya264.
264
Rakhmat, Op.Cit, hal.42
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
151
3) Pengalaman Adapun selanjutnya, significant others dipercaya karena mereka memiliki keunggulan dalam pengalaman. Saat para Informan belum mengalami sendiri apa yang namanya kuliah, maka ia akan berusaha untuk mencari informasi mengenai dunia perkuliahan dari orang-orang yang pernah mengalaminya. Meskipun terbagi menjadi tiga komponen, pada kenyataannya kepercayaan personality terbentuk oleh unsur kedekatan emosional, kompetensi dan pengalaman secara bersamaan. Selanjutnya, pengaruh kedua berasal dari media massa terkait dengan informasi yang diproduksi dan ditampilkan. Hal yang tampak adalah munculnya sosok roles model baik dari kalangan presenter maupun pembaca berita. Uniknya, keduanya sama-sama berasal dari kalangan berjenis kelamin perempuan. Secara umum, roles models itu muncul karena mampu menginspirasi para Informan dalam dua hal yaitu: kecantikan dan kepandaian. Dalam konteks ini, media massa khususnya televisi telah menghadirkan sosok ideal untuk kaum perempuan yaitu sosok yang memiliki perpaduan antara kecantikan secara fisik dan juga kepandaian secara intelektual. Konsep itu yang kemudian dipercaya oleh para Informan dan kemudian memotivasi mereka untuk menjadi sama dengan apa yang ia lihat. Terkait dengan lapangan pekerjaan, sepengetahuan para Informan pekerjaan-pekerjaan yang menjadi perpanjangan dari jurusan Ilmu Komunikasi terdiri dari dua bidang yaitu Media Massa dan Public Relations (PR). Untuk
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
152
pekerjaan di media massa, sudah terdapat pengetahuan pekerjaan berdasarkan medianya seperti: wartawan cetak, fotografer, penyiar, reporter dan juga anchor. Untuk bidang PR, satu-satunya bekerjaan yang diketahui adalah Public Relations Officer (PRO). Di samping kedua bidang itu, para Informan menilai fleksibilitas lulusan jurusan Ilmu Komunikasi dimana mereka dapat bekerja lintas disiplin ilmu seperti sebagai admin, pengajar dan juga terfavorit yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ada pun jika dikaji lebih dalam, dorongan dari sisi afektif (perasaan) lebih mendominasi keputusan para Informan daripada dorongan dari sisi kognitif (pikiran). Meskipun tidak dapat dipisahkan secara tegas, namun upaya para Informan untuk mendapatkan informasi mengenai jurusan Ilmu Komunikasi didahului terlebih dahulu oleh rasa suka. Atas dasar itulah, penilaian-penilaian selanjutnya yang muncul berupa hal-hal positif yang mendukung rasa suka itu. Dari situ bermuara pada sikap yang nyata yaitu keputusan pemilihan jurusan Ilmu Komunikasi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
153
Bagan III.1 Pemilihan Jurusan Ilmu Komunikasi Pendidikan Ilmu Komunikasi Keinginan Memperoleh Pengetahuan
Keinginan Meniru Model
Keinginan Memperoleh Keterampilan
Keinginan Menampilkan Identitas diri
Jurusan Ilmu Komunikasi:
Jurusan Ilmu Komunikasi:
- Perpaduan teori dan praktek - Mempelajari Public speaking - Pekerjaan luas
-
Passing grade tinggi Berkualitas Iklim kompetitif Rame Peminat
Media Massa Ket:
Jurusan Ilkom: - Menyenangkan - Dinamis - Media dan PR
Siginificant Others
Menyebabkan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
154
B. PEMILIHAN PEKERJAAN BIDANG KOMUNIKASI Seluk beluk pemilihan jurusan Ilmu Komunikasi telah dibahas pada sub pertama. Dari situ dapat dilihat bahwa pekerjaan bidang komunikasi telah dipikirkan oleh para Informan sejak mereka memutuskan kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi. Memiliki pekerjaan di bidang komunikasi adalah impian dari setiap Informan pada penelitian ini. Berdasarkan data penelitian, jenis-jenis pekerjaan yang mereka inginkan cukup beragam, namun jika dipersempit terangkum dalam tiga bidang pekerjaan komunikasi yaitu: industri media massa, Public Relations (PR) dan Design Grafis. Keinginan bekerja di bidang komunikasi bagi mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi pada prinsipnya merupakan kewajaran jika hal itu berdasarkan pada pandangan umum yang menilai bahwa pekerjaan ideal adalah pekerjaan yang sesuai dengan disiplin ilmu yang tengah dipelajari. Namun pada kenyataannya, terdapat fenomena menarik yang tak setiap orang mengetahuinya. Dari hasil penelitian, diperoleh gambaran bahwa meskipun terlihat mudah, pemilihan pekerjaan bidang komunikasi melibatkan pergumulan panjang dalam diri para Informan. Mereka melakukan tawar menawar idealisme dengan diri mereka sendiri dengan terus mempertanyakan kemantapan diri dalam dua pertimbangan yaitu: keinginan dan kemampuan. Dan jika pemilihan pekerjaan bidang komunikasi itu dikelompokkan berdasarkan derajad idealismenya, maka dapat dipetakan adanya tiga tipe atau model pemilihan pekerjaan bidang komunikasi pada pengalaman para Informan. Ketiga tipe
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
155
itu adalah: Ideal Type (Tipe Ideal), Transition Type (Tipe Transisi) dan Real Type (Tipe Nyata). 1. Ideal type Yang dimaksud dengan ideal type dalam penelitian ini yaitu pemilihan pekerjaan bidang komunikasi berdasrkan pada gambaran-gambaran serba ideal mengenai pekerjaan itu. Suatu pekerjaan lebih banyak dilihat sejauh atribut-atribut yang tampak di luar saja. Umumnya hal-hal itu menyenangkan menurut ukuran para Informan. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data bahwa setiap Informan pernah mengalami fase ini. Pemilihan pekerjaan tipe ini dihuni oleh paling banyak Informan karena fase ini berlangsung di masa awal kuliah. Berikut ini adalah jenis-jenis pekerjaan bidang komunikasi yang termasuk tipe ini. 1.1. Media Massa 1.1.1. Wartawan Wartawan
adalah
sebuah
profesi
yang
tugasnya
mencari
mengumpulkan, menyeleksi dan menyebarluaskan informasi kepada khalayak melalui media massa 265. Berdasarkan data penelitian, pekerjaan ini tergolong populer di kalangan para Informan. Alasan-alasan yang melatarbelakanginya yaitu:
265
Jani Yosef, To Be A Journalist, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hlm. 43
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
156
Jalan-jalan/traveling Dalam hal ini, pekerjaan sebagai wartawan bisa diartikan sebagai perantara cita-cita bukan cita-cita itu sendiri. Cita-cita yang sesungguhnya adalah melakukan traveling sedangkan menjadi wartawan hanyalah cara untuk mengakomodir cita-cita itu. Berikut seperti diutarakan oleh Nabilla Noor Khudori (2009): basiknya aku suka traveling, suka tempat baru, terus, terbiasa beradaptasi, kalau di satu tempat yang udah di kenal terlalu lama rasanya jadi gak berkembang, jadi selalu pengen sesuatu Kalau aku sekarang ya dengan berbagai pengaruh gitu, sekarang itu pertama pengen jadi wartawan, tapi jangan wartawan lokalan aja, yang jauhjauh gitu, dikirim kemana lah, Palestina atau mana gitu.266 Dari situ dapat dilihat bahwa pemilihan pekerjaan sebagai wartawan lebih mengarah pada keinginan untuk memperoleh atribut-atribut yang menyertai pekerjaan sebagai wartawan yaitu: traveling, berhadapan dengan halhal yang selalu baru dan pergi ke luar negeri. Jika masuk dalam konsep kewartawanan, keinginan Nabilla untuk menjadi wartawan luar negeri mengarah pada posisi sebagai koresponden luar negeri. Koresponden luar negeri adalah mereka yang ditugaskan secara permanen di luar kota baik di dalam maupun luar negeri267. Hal yang kemudian menarik adalah penyebutan Palestina sebagai daerah yang ingin dijadikan sebagai wilayah penugasan. Palestina sendiri merupakan
266
Hasil wawancara mendalam dengan Nabila Nur Khudori pada hari Rabu 23 Maret 2011 Deddy Iskandar Muda, Jurnalistik Televisi: Menjadi Reporter Profesional, Cetakan ke-2 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 14 267
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
157
wilayah konflik di Timur Tengah yang hingga kini masih sering bergejolak sejak tahun 1948268 enunjukkan keinginannya bekerja di tempat yang jauh, namun Penulis menangkap adanya kecenderungan sebagai perempuan yang ingin menentang arus. Hal itu karena selama ini pekerjaan sebagai wartawan pada umumnya dan wartawan di daerah konflik pada khususnya lebih banyak diserahkan pada laki-laki269. Keinginan untuk menjadi wartawan di daerah konflik bagi perempuan menunjukkan adanya keinginan untuk melakukan pembuktian diri bahwa perempuan mampu melakukan sebuah pekerjaan yang lazim dilakukan oleh laki-laki. Banyak Teman Berteman adalah kebutuhan afiliasi yang bersifat alamiah. Setiap orang pastilah senang jika memiliki banyak teman. Terkait kebutuhan itu, profesi sebagai jurnalis dinilai sebagai pekerjaan yang mengkondisikan pelakunya untuk memiliki banyak teman. Berdasarkan pengakuan beberapa Informan, diperoleh kesimpulan bahwa keinginan bergaul dengan banyak orang menjadi alasan untuk menekuni pekerjaan sebagai wartawan. Hal itu seperti dialami oleh Mia Ayu Yulivia (2007) dan Aviana Cahyaningsih (2008) 268
http://abisyakir.wordpress.com/2009/01/02/special-akar-konflik-palestina-israel/, diakses pada Selasa, 13 Desember 2011 pukul 10:15 WIB 269 Bdk. Pengalaman Yuli Ismartono dalam Profil Jurnal Perempuan, Eko Bambang Subiyantoro -107
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
158
jadi wartawan kayaknya enak, bisa kenal sama banyak orang Berarti waktu itu yang terrpikirkan adalah jadi wartawan270
dulu sih mikirnya kog asik ya, bisa ketemu orang-orang setiap hari, ketemu orang-orang yang beda, entah itu orang yang penting atau orang yang biasa ngobrol sama orang-orang, nambah teman.271
soalnya aku orangnya bukan tipe orang yang milih untuk kerja di belakang meja, tinggal duduk seharian dengan jadwal kerja yang terus menerus, monoton, pagi sampai sore gitu, nanti bosen. Aku lebih suka pekerjaan yang outdoor, lebih ke kaya wartawan itu 272.
Ada pun sama-sama ingin menjadi jurnalis agar memiliki pergaulan yang luas, Triendah Febriani (2009) memiliki desk impian yaitu desk politik. Wartawan politik keren aja kayaknya. Kayaknya itu kalau dunia politik itu apa ya, kalau kita dengerin kata politik itu kan bayangannya elite, terus orang-orang penting, hal-hal yang rumit, pastinya soal korupsi, kolusi, banyak hal yang bisa kita kritisi banget di dunia politik.273 Jika ditilik dari definisinya, pekerjaan sebagai wartawan menuntut seseorang untuk memiliki kemampuan menggali informasi dari berbagai narasumber yang tentunya akan berbeda-beda setiap harinya. Tanggung jawab itulah yang kemudian mengkondisikan para wartawan untuk memiliki kecerdasan sosial untuk terus memperluas pergaulan. Pergaulan bagi wartawan adalah modal yang mungkin sama pentingnya dengan kemampuan tata bahasa dan menyusun berita dengan cepat. Bagaimana 270
Hasil wawancara mendalam dengan Mia Ajeng Yulivia pada hari Rabu, 23 Februari 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Aviana Cahyaningsih pada hari Rabu, 11 Mei 2011 272 Hasil wawancara mendalam dengan Triendah Febriani pada hari Senin, 21 Maret 2011 273 Hasil wawancara mendalam dengan Triendah Febriani pada hari Senin, 21 Maret 2011 271
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
159
tidak kalau setiap harinya wartawan harus menghasilkan informasi yang update dan akurat tanpa adanya kemampuan yang luwes dalam bergaul. Pergaulan yang luas ibarat membangun pipa-pipa saluran air yang akan dengan mudah memberikan suplai air. Pipa-pipa yang banyak dibutuhkan agar semakin cepat air sampai. Dengan demikian, tak berlebihan jika kemudian Mia Ayu Yulivia, Aviana Cahyaningsih dan Triendah Febriani tertarik pada pekerjaan sebagai wartawan karena memiliki jaringan yang luas memang bagian dari pekerjaan seorang wartawan. Hanya saja yang perlu digarisbawahi disini adalah, ketertarikan para Informan terhadap pekerjaan sebagai wartawan di atas masih terfokus pada halhal yang tampak menyenangkan dari pekerjaan itu. Memiliki jaringan yang luas tentunya tak serta merta diperoleh oleh para wartawan. Mereka harus melakukan pendekatan, terus memelihara hubungan baik dsb. Wawasan Luas Bekerja di bidang informasi mengkondisikan para wartawan untuk terus meningkatkan wawasan demi penulisan berita yang berbobot. Kiranya tak berlebihan jika wartawan disebut sebagai orang pandai karena pekerjaan lah yang mengkondisikannya. Terkait label untuk jurnalis sebagai pekerjaan intelek, beberapa Informan menjadi termotivasi untuk menjadi jurnalis. Mereka ingin
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
160
meningkatkan kemampuan intelektualitasnya. Hal itu seperti dialami oleh Dian Erika (2008) dan Fauziah Nurlina (2010). Menurut Dian Erika, media cetak merupakan media dengan iklim belajar paling tinggi yang dapat mengkondisikan wartawannya untuk cerdas. Karena bisa mengkaji. Sama sih TV mungkin juga bisa mengkaji, semua bisa mengkaji. Cuman lebih ini ya, kayaknya orang kerja di media cetak walaupun kita gak ngerti apa-apa tapi kita terpacu buat ngerti apaapa.274
Pengennya kan jadi wartawan gitu kan, wartawan cetak gitu, Koran Mereka itu pinter banget bikin pertanyaan, pinter banget menyusun kata-kata. 275
Demikianlah ketertarikan Dian Erika dan Fauziah untuk menjadi wartawan berasal dari penilaian mereka bahwa pekerjaan itu akan terus mengkondisikan mereka untuk terus belajar melalui pola kerjanya sehari-hari. Wartawan surat kabar dinilai sebagai pekerjaan ideal karena memacu mereka untuk terus belajar meski pun sudah memasuki dunia kerja. Gemar Menulis Keinginan menjadi wartawan ternyata salah satunya berhubungan dari hobi menulis. Hal itu dialami oleh Ema Yuliani Utami (2007): Saya suka menulis. Saya suka bekerja di bawah tekanan deadline. Karena ikut UKM itu (UKM VISI) jadi tertarik buat kerja di media, secara khusus pengen di cetak.....276
274
Hasil wawancara mendalam dengan Dian Erika pada hari Minggu, 8 Mei 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Fauziah Nurlina pada hari Rabu, 23 Maret 2011 276 Hasil wawancara mendalam dengan Ema Yuliani Utami pada hari Rabu, 23 Februari 2011 275
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
161
Oleh para Psikolog, hobi memang direkomendasikan sebagai salah satu faktor penentu pilihan pekerjaan karena hal itu dapat mencegah rasa jenuh dalam bekerja.277 Dari pengalaman Ema, suatu pekerjaan dicari tidak hanya sebagai upaya untuk memperoleh penghasilan tetapi juga sebagai aktivitas yang dapat memberikan kepuasan batin. Tak berlebihan jika akhirnya Ema memilih bekerja sebagai wartawan di media cetak karena melalui media itu ia akan memiliki kesempatan bekerja dengan format penulisan mendalam. Sebuah pekerjaan yang tentunya membutuhkan spesifikasi kemampuan menulis yang tinggi. Cita-cita yang cukup ideal bagi mereka yang mengaku memiliki hobi menulis. Disamping soal hobi, ketertarikan Ema terhadap pekerjaan sebagai wartawan
secara langsung atau pun tidak terkondisikan pula oleh
keikutsertaannya pada lembaga pers mahasiswa (LPM). Keberadaan Ema di komunitas itu mengkondisikan ia untuk menyukai jurnalistik. Dalam hal ini, LPM berperan sebagai kerangka rujukan praktek kerja sebagai wartawan. Menarik untuk Perempuan Menurut anggapan beberapa Informan, dunia wartawan merupakan dunia yang menarik khususnya untuk perempuan. Mungkin kata menarik itu lebih tepat jika diterjemahkan sebagai sebuah tantangan yang pantas dicoba oleh perempuan.
277
http://www.tabloidnova.com/Nova/Karier/Pengembangan-Diri/Trik-Atasi-Jenuh-2, diakses pada 26 Oktober 2011 pukul 19.04 WIB
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
162
Sebagai contoh seperti apa yang dipikirkan oleh Aviana Cahyaningsih (2008) berikut: dulu pengen jadi wartawan itu karena kerennya, ya embuh kenapa keren, keren aja, keren. Apalagi kalau wartawan cewek itu patin kesini-kesini dan biasanya itu cowok gitu lho, harus yang punya mental yang bagus, ketahanan fisik yang bagus juga. Kalau cewek i ketoke jik jarang, jadi keren gitu sih mikirnya dulu.278 Hal senada diutarakan oleh Destriana K (2008): Apa ya, keren Mungkin pas kerusuhan-kerusuhan nyari berita gitu kan, keren gitu aja sih.279 Secara tidak langsung terdapat sebuah pemakluman bahwa dunia wartawan adalah dunia laki-laki. Yang dimaksud dengan dunia laki-laki disini adalah: pertama, mayoritas wartawan adalah laki-laki sehingga pekerjaan itu menjadi identik sebagai pekerjaan laki-laki. Kedua, bidang pekerjaannya penuh
lebih lemah dari laki-laki. Hal yang kemudian menarik adalah: dibalik pemakluman para Informan akan dunia wartawan sebagai dunia laki-laki ternyata tak membuat mereka mundur justru membuat mereka maju untuk mencoba. Tampaknya mereka lebih tertarik pada sisi prestasi yang akan mereka peroleh dari keberanian menantang arus itu.
278
Hasil wawancara mendalam dengan Aviana Cahyaningsih pada hari Rabu, 11 Mei 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Destriana K. pada hari Senin, 16 Mei 2011
279
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
163
Ternyata pekerjaan yang ideal menurut para Informan adalah pekerjaan yang mampu memberikan kebanggaan, khususnya berkaitan dengan status sebagai perempuan yang berani tampil beda. Dan menjadi wartawan adalah bentuk konkritnya. 1.1.2. Wartawan Foto Menjadi wartawan foto atau lazim pula disebut fotografer jurnalistik adalah keinginan dari Annisa Fitri (2010). Keinginan itu telah ia sadari sejak duduk di bangku sekolah menengah tingkat pertama sekaligus menjadi sumber motivasinya untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi. Aku pengen jadi foto jurnalis. Karena suka motret beberapa majalah aku pengen jadi editor in chief di majalah fashion gitu-gitu,280 Ia tertarik menjadi editor in chief karena ingin menyumbangkan ideidenya dalam konsep majalah perempuan. sejauh aku tahu, di majalah-majalah fashion itu fashionnya tidak bisa diaplikasikan ke semua orang, rata-rata cuma buat orang yang tingginya 170 cm, ukuran breastnya 34B, ukuran bajunya supersmall padahal gak semua orang Indonesia tingginya 170 cm, gak semua orang Indonesia breastnya 34B, gak semua ukuran bajunya super small jadi gak merakyat gitu. tidak bisa diaplikasikan ke semua orang, Kita harus punya patokan sendiri, jangan terlalu berkiblat dengan yang di luar.281 Keinginan Annisa untuk menjadi editor termotivasi oleh idealismenya yang ingin melakukan perubahan di dapur majalah fashion. Untuk bisa mewujudkan idealisme itu, menjadi editor in chief adalah jawabannya. Editor
280 281
Hasil wawancara mendalam dengan Annisa Fitri pada hari Kamis, 2 Maret 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Annisa Fitri pada hari Kamis, 2 Maret 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
164
adalah mereka yang bertanggung jawab penuh atas isi rubrik-rubrik yang dipercayakan untuk dikelola. Selain itu mereka bertugas untuk menentukan, menyeleksi, mengedit serta mengoreksi naskah, termasuk dalam pembuatan judul dan tema naskah yang akan dimuat pada rubrik yang menjadi tanggung jawabnya282. Dalam hal ini, seorang pada prinsipnya adalah bagian dari pekerjaan sebagai wartawan tetapi dengan jenjang kepangkatan yang lebih tinggi. Ia sudah mulai jarang melakukan reportase ke lapangan dan lebih banyak bekerja di belakang meja. Oleh karena itu pekerjaan ini menurutnya ideal karena posisinya yang strategis sebagai pembuat kebijakan-kebijakan dalam media. 1.2. Televisi Satu-satunya pekerjaan bidang komunikasi di media televisi yang muncul dalam tipe ideal yaitu reporter. Reporter adalah salah satu sebutan untuk tiga profesi yang sama selain jurnalis dan wartawan. Pekerjaan ini identik dengan mereka yang bekerja di media massa televisi dan radio283. Disini, pengertian reporter lebih mengarah kepada media televisi. Beberapa alasan menjadi reporter yaitu: Terkenal Ketertarikan untuk menjadi reporter televisi diantaranya dimiliki oleh Ambar Kusuma Ningrum (2010). 282
Fitriyan Dennis, Bekerja sebagai Wartawan, (Jakarta: Esensi, 2008), hlm. 51 Deddy Iskandar Muda, Jurnalistik Televisi: Menjadi Reporter Profesional, Cetakan ke-2(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hlm.44 283
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
165
saya itu SMP memang pengen kuliah di komunikasi, soalnya waktu itu pengen jadi apa ya, semacam reporter, pembawa acara, ya gitu lah yang anggun-anggun gimana gitu, hehehe.284 Ada pun selanjutnya ia mengutarakan keinginannya untuk menjadi penyiar atau anchor. Anchor adalah crew televisi yang bertugas hanya membacakan berita yang disusun oleh para reporter dan dirangkai oleh tim redaksi285. Pengen jadi penyiar. Penyiar kan penampilan menarik, berwawasan luas, ya harus pintar ngomong lah.286
Sebagai pekerjaan dalam industri televisi, reporter memiliki kesempatan lebih besar untuk dikenal masyarakat. Sebagai konsekwensinya unsur penampilan menjadi aspek penting bagi para reporter. Lazimnya sosok penyiar atau reporter memiliki daya tarik secara fisik dan juga intelektual. Pengelola stasiun televisi sangat memperhatikan terpenuhinya unsur daya tarik karena dua hal itu287. Oleh sebab itu, untuk memenuhi posisi ini pada info-info rekuitmen biasanya
salah
satu
butir
persyaratannya
communication skill and good looking
288
menyebutkan
Excellent
yang kurang lebih artinya fasih
dalam berkomunikasi dan berpenampilan menarik.
284
Hasil wawancara mendalam dengan Ambar Kusuma Ningrum pada hari Kamis 10 Maret 2011 Muda, Op.Cit,hlm.149 286 Hasil wawancara mendalam dengan Ambar Kusuma Ningrum pada hari Kamis 10 Maret 2011 287 Muda, Op.Cit, hlm. 147 288 http://www.bumncpns.com/lowongan-kerja-reporter-presenter-trans-7-mei-2011-jakarta.html, diakses pada Senin, 31 Oktober 2011 pukul 08.29 WIB 285
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
166
Dalam hal ini, ketertarikan Ambar pada profesi sebagai reporter dan juga pembawa acara berkaitan dengan kesamaan identitas seksnya dengan figur reporter yang ia lihat. Sebagai sesama perempuan, ada ketertarikan untuk memiliki pengalaman yang sama yaitu: terkenal dan memiliki pesona yang menarik.
Pekerjaan
yang
ideal
menurutnya
adalah
pekerjaan
yang
memunculkan sisi femininitasnya sebagai perempuan dan juga memberi kesempatan untuk terkenal.
Jalan-Jalan Sama halnya dengan yang terjadi dengan profesi sebagai wartawan di media cetak, reporter televisi memiliki kemungkinan juga untuk melakukan tugas perjalanan. Bahkan bagi reporter televisi kondisinya mungkin akan jauh lebih berkesan karena sifat dokumentasinya yang berupa audio visual. Aku misale ke media sih elektronik, misale jadi wartawane tapi sing bagian jalan-jalan ngono lho mbak, misale opo sing kuliner-kuliner koyo ngono kuwi. Ya pokoknya lapangan gitu lah (Aku misalnya ke media sih elektronik, misalnya jadi wartawannya tapi yang bagian jalan-jalan gitu lho mbak, misalnya apa sih, kuliner-kuliner kaya gitu. Ya pokoknya lapangan gitu lah).289
Pernyataan Dhyanayu Lutfi Almitra (2008) di atas kurang lebih senada dengan pemikiran Fannany Norohmah (2008) berikut: Sebagai wartawan secara umum ya, pertama menantang, dua bertemu dengan orang-orang yang penting, terus, ehm gimana ya, bisa pergi ke banyak tempat, kalau kita mau liputan dimana gitu290 289 290
Hasil wawancara mendalam dengan Dyanayu Lutfi Almitra pada hari Jumat, 13 Mei 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Fannany Norohmah pada hari Senin, 16 Mei 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
167
Dari kedua pernyataan di atas, pekerjaan sebagai reporter dipilih karena dianggap sebagai alternatif pekerjaan selain pekerjaan kantoran yang terkesan menjemukan. Jika dicermati, para Informan masih melihat pekerjaan sebagai reporter dari hasil kerjanya yang ditampilkan di layar televisi yang memang terlihat sempurna. Mereka belum memiliki pengetahuan yang cukup mengenai proses kerja dari profesi itu secara seksama yang sesungguhnya membutuhkan kerja keras karena seorang reporter televisi berperan juga sebagai produser. Selain aktif dalam peliputan mulai dari mengumpulkan informasi, menyusun berita dan melaporkannya ia harus mengarahkan tim agar melaksanakan tugas secara bersinerrgi. Ia juga pengambil keputusan akhir tentang suatu hal yang perlu dilakukan atau tidak291. Dalam hal ini pekerjaan yang ideal menurut Dhyanayu dan Fannany adalah pekerjaan lapangan dan secara konkrit pekerjaan itu adalah sebagai reporter televisi. 1.3. Radio Pekerjaan di bidang radio yang dimaksud disini adalah sebagai penyiar. Hal itu dialami oleh Putu Ayu Gayatri (2007) berikut: Aku
kepikiran secara khusus aku pengen jadi penyiarnya, karena untuk menjadi penyiar memang butuh kemampuan tentang bagaimana caranya penyiar membuat skrip, tulisan kita bahasakan menjadi bahasa lisan gitu, dan itu juga butuh keahlian khusus, ya supaya tidak
291
Muda, Op.Cit, hlm. 15
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
168
terdengar kaku supaya aku bisa membedakan mana yang bahasa lisan dan tulis.292
Kesadaran diri yang cenderung menyukai bahasa telah mendorong Putu Ayu untuk menjadi penyiar. Ia merasa memiliki modal untuk menekuni dunia itu. Dalam hal ini, hobi dan juga kesadaran bakat kembali menjadi acuan dari pemilihan pekerjaan bidang komunikasi.Pada perjalanannya, cita-citanya sebagai penyiar itu sudah tercapai. Ia telah merintis karir di dunia ini sejak masa awal kuliah. 1.4. Public Relations (PR) Penampilan Menarik Alasan pertama yang muncul terkait cita-cita bekerja sebagai PR Officer yaitu mengenai penampilan yang menarik.
Pengen jadi PR, soale penampilannya menarik, cewek-ceweknya cantik, ya semacam saya lah, haha.. Terus enak dilihat gitu kanyaknya PRPR itu.293
Sejauh ini, penampilan adalah unsur penting dalam pekerjaan di dunia PR. Maka tak mengherankan jika sosok PR Officer selalu tampak cantik atau tampan dalam segala kondisi. Hal tersebut terkait dengan upaya menciptakan citra diri yang positif sebagai awal dari menciptaka citra positif untuk perusahaan dimana PR Officer itu bekerja.
292 293
Hasil wawancara mendalam dengan Putu Ayu Gayatri pada hari Rabu, 23 Februari 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Ambar Kusuma Ningrum pada hari Kamis 10 Maret 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
169
Tampaknya upaya PR Officer menciptakan citra diri telah menarik perhatian Ambar. Dari perhatian itu, ia kemudian membuat kesimpulan sementara bahwa pekerjaan sebagai PR Officer merupakan pekerjaan yang menarik karena mengondisikan seseorang untuk berpenampilan menarik. Jika dikaji lebih dalam, keinginan untuk bekerja di bidang PR Officer masih didasari oleh pengetahuan yang sangat terbatas. Pengetahuan itu belum menyentuh sisi realistis dari pola kerja dan juga jenis-jenis pekerjaanya. Namun demikian, dengan pengetahuan yang terbatas itu ternyata sudah cukup untuk membuat Ambar tertarik pada pekerjaan itu. Dalam hal ini, gambaran ideal Ambar terkait pekerjaan yang ingin ia miliki yaitu sebuah pekerjaan yang memberinya ruang untuk menonjolkan sisi femininitasnya sebagai perempuan: cantik dan menarik. Secara konkrit, pekerjaan itu adalah sebagai PR Officer. Pekerjaan Mudah Pengalaman tertarik pada pekerjaan sebagai PR Officer juga dialami oleh Nabilla Noor Khudori (2009). Namun, alasannya tertarik pada profesi ini berbed. Ia hanya berpikir untuk mencoba sesuatu yang ekstrim disamping keinginannya sebagai wartawan. Berikut disampaikan oleh Nabilla: Kalau gak wartawan ya jadi humas lah, kerja di kantor. Sekalian aja yang ekstrim gitu mbak, kalo gak yang susah ya gampang banget gitu,hehe 294
294
Hasil wawancara mendalam dengan Nabila Nur Khudori pada hari Rabu 23 Maret 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
170
Dari pernyataan Nabilla di atas, terdapat kesan bahwa ketertarikannya pada profesi sebagai PR Officer lebih karena pandangan bahwa pekerjaan itu lebih ringan atau lebih mudah jika dibandingkan dengan pekejaan sebagai wartawan. Alasan ia tertarik pada pekerjaan ini lebih karena dorongan untuk mencoba sesuatu hal yang berbeda. Banyak Teman Public relations dinilai sebagai dunia kerja yang memungkinkan orangorang yang berkecimpung di dalamnya untuk memiliki akses yang luas. Hal itu seperti disampaikan oleh Twinika S.F (2008)berikut: suka yang keluar,yang bisa kemasyarakat.295 Berdasarkan pernyataan Twinika S.F (2008) di atas PR Officer dibayangkan
sebagai
pekerjaan
yang
memberi
kesempatan
untuk
mengaplikasikan ilmu dalam kegiatan praktek, khususnya dalam hal menjalin relasi.
untuk terus membina hubungan yang baik dengan para relasi. Tak berbeda dengan soal pertemanan, keinginan memiliki relasi terkait dengan bagaimana seseorang merasa membutuhkan kemampuan diterima oleh orang lain. Dalam hal ini, Twinika merasa tertarik dengan PR karena memberi sebuah harapan untuk memiliki pekerjaan yang memberi ruang untuk memiliki
295
Hasil wawancara mendalam dengan Twinika Sativa pada hari Kamis, 12 Mei 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
171
pergaulan yang luas, untuk mendapatkan kesempatan diterima oleh lebih banyak orang tak hanya dalam pekerjaan tetapi juga dalam pergaulan. 1.5. Design Grafis Keinginan untuk bekerja sebagai designer grafis dimiliki oleh Devi Anggrahini (2008). design gitu.296 Keinginan Devi untuk menekuni usaha Design grafis senyatanya belum cukup konkret. Baik design maupun usaha keduanya terdeskripsikan dengan jelas. Faktor suka lah yang menjadi alasan di balik rencana itu. Dalam kondisi ini, hobi telah menjadi jembatan untuk menemukan pilihan pekerjaan. Jika dilihat berdasarkan bidang pekerjaannya, pemilihan pekerjaan tipe ini terdiri dari lima bidang pekerjaan yaitu: media cetak, radio, televisi, Public Relations dan Design Grafis. Sedangkan berdasarkan jenisnya tipe ini terdiri dari 8 jenis pekerjaan yaitu: wartawan, wartawan foto, editor majalah fashion, penyiar, reporter, anchor, PR Officer dan Designer Grafis. Pada prinsipnya. pemilihan pekerjaan pada tipe ini dilandasi oleh alasan yang sama yaitu keinginan untuk memiliki pekerjaan yang menyenangkan. Menurut penuturan para Informan, yang dimaksud pekerjaan menyenangkan yaitu pekerjaan yang: memperluas pergaulan, dinamis, popular, dan memberi kesempatan berpenampilan menarik sebagai perempuan. 296
Hasil wawancara mendalam dengan Devi Anggrahini pada hari Selasa, 31 Mei 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ada pun dasar dari pemilihan pekerjaan tipe ini lebih banyak berdasarkan pada hobi. Sebuah pekerjaan dipilih karena sesuai dengan kesenangan seperti: menulis, membaca, menggambar dan jalan-jalan. Pemilihan pekerjaan tipe ini mewujudkannya. Beberapa faktor yang telah mempengaruhi pemilihan pekerjaan bidang komunikasi pada tipe ini yaitu: Idealisme Para
Informan
ingin
memiliki
pekerjaan
yang
sesuai
dengan
keinginannya. Paling tidak pekerjaan-pekerjaan yang dipilih atas dasar kesenangan dan tak jarang terkait dengan misi-misi pribadi untuk bisa berguna bagi orang-orang disekitarnya. Hal itu dapat dilihat dari pengalaman Annisa Fitri (2010) dan Triendah Febriani (2009) di atas. Status Pendidikan Status sebagai mahasiswi di jurusan Ilmu Komunikasi membuat para Informan termotivasi untuk bisa bekerja di bidang yang sesuai dengan pendidikan yang tengah mereka tempuh. Keterbatasan Pengetahuan Seperti telah disebutkan di awal, tipe ini lebih banyak terjadi saat para Informan masih menjadi mahasiswi semester awal. Status baru sebagai mahasiswi di jurusan Ilmu Komunikasi belum sepenuhnya mereka pahami. Mereka masih mencoba meraba-raba dunia komunikasi. Masih terbatasnya pengetahuan baik mengenai pendidikan di jurusan Ilmu Komunikasi maupun
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pekerjaan di dunia komunikasi menyebabkan para Informan mencoba membuat keputusan yang cepat berdasarkan pengetahuan yang terbatas itu. Pemilihan pekerjaan pada tipe ini masih fokus pada sejauh mana keinginan diri berbicara. Keanggotaan pada Unit Kegiatan Mahasiswa Keikutsertaan pada suatu organisasi bakat dan minat membuat para Informan terus berupaya menyesuaikan diri dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh organisasinya. Katakanlah bergabung dengan orang-orang yang menyukai fotografi dan ingin menjadi fotografer membuat seseorang akan menerima sebuah pesan bahwa menjadi fotografer adalah pekerjaan yang lazim di lingkungannya dan juga akan mungkin juga untuknya. Terpaan Media Disamping keberadaan media itu sendiri yang sudah cukup menarik perhatian khalayak, selama ini media massa telah menjadi etalase atau mungkin showroom dari dunia komunikasi. Mulai dari media cetak hingga elektonik, disana disajikan potret pekerjaan orang-orang di bidang komunikasi. 2. Transition Type Yang dimaksud dengan transition type dalam penelitian ini yaitu pemilihan pekerjaan bidang komunikasi yang sifatnya masih labil dan belum sepenuhnya kokoh untuk terus diperjuangkan. Para Informan masih berada dalam upaya meraba-raba bentuk pekerjaan yang paling sesuai untuk mereka. Pengalaman mengalami situasi ini diantaranya dialami oleh Agnes Amanda (2007) dan Mia Ayu Yuliavia (2007). Memasuki tahun-tahun terakhir di jurusan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
174
Ilmu Komunikasi, mereka mengaku merasa dilema untuk menentukan pilihan pekerjaan bidang komunikasi. aku malah jadi tambah wawasan ya mbak, oh ternyata luas ya, gak hanya di media, kaya media massa doang, bisa jadi PR juga, di periklanan juga, terus ya pokoknya banyak di design juga ada spesialisasi juga kan, berarti kan designnya juga bisa. Dan saya malah semakin dilema karena semakin banyak pilihan297
berhubung semakin banyak pilihan, kalo aku jadi tambah bingung, hehe. Wah, luas ya, ilmu komunikasi bisa kemana-mana, terus jadi pengen punya radio sendiri, hehe.298 Dilema muncul saat seseorang dihadapkan pada beberapa pilihan. Munculnya pilihan-pilihan baru seperti yang dialami Agnes dan Mia di atas berasal dari semakin luasnya konsep pekerjaan bidang komunikasi seiring bertambahnya masa studi di Jurusan Ilmu Komunikasi. Berikut adalah pekerjaanpekerjaan yang dipilih dalam tipe ini: 2.1 Majalah Menjadi jurnalis majalah adalah perkembangan proyeksi
bidang
komunikasi pada Dian Erika (2008). Pada saat awal kuliah, Dian sempat memiliki ketertarikan untuk menekuni pekerjaan sebagai wartawan di surat kabar. Namun pada saat penelitian ini berlangsung ia mengatakan lebih tertarik dengan majalah daripada surat kabat. Berikut disampaikan oleh Dian Erika: Haduh, bukan serba salah, bukan rumit,tapi usah ngomongnya ...Kalau aku sih pengennya semuanya beres, di keluarga beres, pekerjaan juga beres tapi ternyata setelah di lakoni oh gak bisa beres, gak bisa semuanya 297
Hasil wawancara mendalam dengan Agnes Amanda pada hari Rabu, 23 Februari 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Mia Ayu Yulivia pada hari Rabu, 23 Februari 2011
298
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
175
seimbang, dan misalnya kalau jadi ibu dan punya anak gitu,ehm pengennya anaknya diperhatikan dengan baik dan misalnya masih terus seperti ini walau pengennya seimbang tapi jadinya gak seimbang agak repot ya kaya gitu. Jadi mungkin nanti masih dalam dunia ini tapi lebih ke hal-hal yang sedikit lunak aj harian di majalah.299
Pemilihan pekerjaan tidak lagi satu melainkan dua. Terdapat sebuah alternatif pilihan pekerjaan yang sedang dipersiapkan seandainya pilihan pekerjaan pertama tidak bisa terwujud. Majalah dipilih sebagai alternatif pilihan pekerjaan karena pekerjaan itu dinilai lebih longgar dan dapat sejalan dengan tanggung jawabnya mengurus ibunya kelak.
kalo misalnya mau sih mau banget kalau jadi kaya gitu (wartawan). Cuman nanti kan kerjanya lebih berat gimana dengan ibu. Ya cuman Yo kalau majalah kan waktunya mungkin lebih longgar ,terus e,bisa milih juga, maksude bisa milih di majalah perempuan atau majalah seni dan lain-lain.300
Berdasarkan data di atas, pergantian orientasi pada Dian Erika terjadi karena pertimbangan tanggung jawabnya pada keluarga. Oleh sebab itu ia mencari
pekerjaan
yang
dapat
menjembatani
idealismenya
dan
juga
tanggungjawabnya pada keluarga. Ia merasa majalah adalah jawabannya karena pekerjaannya yang tak seberat di surat kabar. Fakta itulah yang kemudian mendorongnya untuk coba mencari pekerjaan lain sebagai alternatif. 2.2 Televisi
299 300
Hasil wawancara mendalam dengan Dian Erika pada hari Minggu, 8 Mei 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Dian Erika pada hari Minggu, 8 Mei 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
176
Seiring dengan bertambahnya pengetahuan mengenai pekerjaan sebagai wartawan, Aviana Cahyaningsih (2008) mulai tertarik untuk menjajagi pekerjaan sebagai penyiar televisi. Sebelumnya ia sempat mengetakan tertarik untuk menjadi jurnalis di media cetak. Berikut disampaikan oleh Aviana: Kalo kepikirannya tetap wartawan, tapi yang TV itu yang, jadi kaya pembawa berita atau pewawancara yang terkonsep yang gak di lapangan.301 Menurutnya, pekerjaan sebagai penyiar lebih longgar daripada wartawan. Kalau dulu tertariknya ke yang cetak, tapi setelah tahu kerjanya, maksudnya sing em, menurutku kaya media TV itu lebih bisa apa sih, lebih teratur, lebih terkonsep gitu lho. Kalo dulu lebih cenderung ke cetak tapi kalo sekarang lebih pengen ke TV nya.302 Berdasarkan pengalaman Aviana di atas, keputusannya berganti orientasi karir terjadi karena ia mulai meragukan kekuatannya untuk bekerja sebagai wartawan media cetak. Menurutnya, pekerjaan wartawan media cetak lebih berat karena harus berada di lapangan. Ia kemudian memilih pekerja di televisi sebagai penyiar karena pekerjaannya terkesan lebih ringan dengan aktivitas yang lebih banyak berada di ruangan. Surat kabar sejauh ini memang dianggap sebagai media yang citra maskulinnya paling kuat. Dinamika kerja di surat kabar dianggap sebagai aktivitas profesional dengan mobilitas yang sangat tinggi, kerja keras, tekanan deadline yang amat ketat, tidak ada batas waktu kerja yang jelas, -bisa sampai 24
301 302
Hasil wawancara mendalam dengan Aviana Cahyaningsih pada hari Rabu, 11 Mei 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Aviana Cahyaningsih pada hari Rabu, 11 Mei 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
177
jam-, serta banyaknya kendala dan tantangan yang bersifat teknis maupun sosiologis303. Pekerjaan awal dipilih lebih atas dorongan keinginan. Namun seiring berjalannya waktu, dengan masa studi yang bertambah serta pengalaman yang semakin bertambah pula, ia mulai menyadari bahwa gambaran pekerjaan sebagai wartawan tidak sesuai dengan hati nuraninya yang menginginkan pekerjaan yang lebih ringan. Dalam proses pencarian bentuk itulah untuk sementara televisi menjadi jawabannya. Bidang pekerjaan itu dinilai lebih pas untuk perempuan. 2.3 PR Ada pun setelah memasuki mata kuliah spesialisasi, Informan yang tertarik menjadi PR semakin banyak. Beberapa pertimbangan yang bersifat personal melatarbelakangi pergantian orientasi itu. Pengalaman berganti orientasi diantaranya dimiliki oleh Fannany Norrohmah (2008) dan Aviana Cahyaningsih (2008). Berikut seperti disampaikan oleh Fannany. Ia yang dulunya tertarik pada dunia broadcasting akhirnya mengaku mulai tertarik pada PR. aku emang dari awal pengennya di radio, sekarang radionya Pertimbangannya dari orangtua gitu. Jujur aneh juga sih mereka nyuruh kuliah di komunikasi, tapi ketika nanti kalau lulus mau kerja dimana Aku jawabnya, kepengennya kerja jadi Nanti di daerah konflik perang atau gimana. Pengennya itu aku yang kantoran aja, gitu. Kalau misalnya setidaknya menurut orangtua kan kantoran yang emang dekat dengan kita kan ya jadi PR official kan.304
303 304
Siregar. Op.Cit, hlm.13 Hasil wawancara mendalam dengan Fannany Norohmah pada hari Senin, 16 Mei 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
178
Dalam hal ini, faktor keluarga begitu kuat berpengaruh dalam perubahan orientasi pekerjaan. Keluarga menilai pekerjaan sebagai wartawan terlalu berat untuk perempuan dengan aktivitasnya yang memiliki mobilitas tinggi sedangkan pekerjaan sebagai PR officer dinilai lebih pantas karena aktivitasnya yang lebih ringan dengan berada di kantor. Pada kondisi yang hampir sama, pengalaman berganti orientasi dirasakan pula oleh Aviana Cahyaningsih (2008). Menurutnya, PR Officer jauh lebih ringan dari wartawan. Hal itu seperti ia ungkapkan berikut ini: Em, gak tahu, semakin jalan kesini kog rasanya berat ya wartawan. Ya kan ngliat dari teman-teman juga, dari cerita-cerita juga. Apalagi cewek kan. Aku juga melihat kemampuan diriku juga kan dari masalah fisik. Dapat tugas apa baru kerja gini wes drop, baru kerja gini drop gitu. Melihat kemampuan diri, wah to ketoke yo ra patut ya, gak apa ya, gak memenuhi syarat lah kalo misalnya mau jadi wartawan yang harus kesana kesana kesana.305
Dari dua pengalaman pergantian orientasi karir ke bidang PR di atas, diperoleh gambaran bahwa pekerjaan sebagai PR officer dinilai sebagai pekerjaan yang relatif lebih aman untuk perempuan. Sisi aman itu antara lain berupa: pekerjaan kantoran, pekerjaan yang minim resiko, pekerjaan yang tidak menguras tenaga. Di lain pihak, para perempuan di atas mulai memasukkan sebuah sugesti pada diri mereka sendiri baik itu yang berasal dari pernyataan orang lain maupun dari hasil refleksi atas pengalaman orang lain, bahwasanya perempuan adalah makhluk yang lemah dan kurang pantas jika bekerja di dunia pekerjaan dengan mobilitas tinggi. 305
Hasil wawancara mendalam dengan Aviana Cahyaningsih pada hari Rabu, 11 Mei 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam proses internalisasi keyakinan itu, pilihan awal untuk menjadi wartawan akhirnya menjadi goyah. Pekerjaan yang diketahui memiliki mobilitas tinggi, lebih banyak berkutat di lapangan dinilai dengan ukuran baru sebagai pekerjaan yang berat dan kurang pantas untuk perempuan. Di sini, pengetahuan yang diperoleh baik tentang pekerjaan sebagai wartawan, sebagai PR officer sedang bertambah. Namun di satu sisi terdapat pula nilai-nilai gender yang mulai bertambah hanya saja belum sampai pada sebuah pemahaman yang utuh justru menimbulkan ketakutan-ketakutan.
Dari keseluruhan data di atas dapat dilihat mulai adanya pergeseran konsep pekerjaan di kalangan mahasiswi jurusan Ilmu Komunikasi. Hal itu terjadi karena mereka dengan masa studi yang mulai bertambah mulai menyerap konsep-konsep baru yang membuat mereka memiliki wawasan yang luas mengenai dunia komunikasi. Bertambahnya wawasan itu pada beberapa Informan justru membuat mereka mengalami kebingungan untuk memilih pekerjaan karena apa yang ia bayangkan sebelumnya tentang pekerjaan tak seideal yang dibayangkan. Dari sini dapat dilihat adanya tiga faktor yang berpengaruh terhadap pemilihan pekerjaan bidang komunikasi: Kesadaran Kemampuan Diri Jika sebelumnya faktor kesenangan telah menjadi pertimbangan dalam pemilihan pekerjaan bidang komunikasi, pada tipe ini pertimbangan itu mulai merembet pada sisi kemampuan diri. Disini. tingkat keidealan dalam
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memilih pekerjaan sudah mulai berkurang dan mencoba untuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan minat mereka. Mata Kuliah Spesialisasi Profesi Keinginan bekerja sesuai dengan bidang studi masih menjadi motivasi utama dari para Informan. Hanya saja disini telah mengerucut pada mahasiswi semester tengah dan akhir. Semakin bertambahnya pengetahuan yang berasal dari mata kuliah spesialisasi telah membuka cakrawala para Informan mengenai dunia komunikasi. Masukan dari Orangtua Pada tipe ini, beberapa Informan telah merasakan sikap aktif orangtua untuk menanyakan prospek pekerjaan selepas para Informan lulus kuliah. Sebagai pihak yang bertanggung jawab langsung pada anak, para orangtua mencoba untuk terus memonitor perkembangan anak-anaknya dan tak jarang memberi
masukan
terkait
pertimbangan-pertimbangan
yang
harus
diperhatikan dalam memilih pekerjaan. Pertimbangan itu antara lain berupa identitas para Informan sebagai perempuan yang suatu saat akan menikah sehingga seyogyanya mencari pekerjaan yang tetap memberi mereka ruang untuk mengurus tumah tangga. Dalam hal ini, para Informan mulai menyerap konsep gender sesuai dengan yang diyakini oleh masyarakat di sekitarnya khususnya mengenai pekerjaan. Mereka mencoba untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
181
dianut oleh orang-orang disekitarnya dimana kelaziman adalah sebuah kebenaran 3. Real Type Yang dimaksud dengan real type dalam penelitian ini yaitu pemilihan pekerjaan bidang komunikasi yang berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan logis/rasional mengenai kemampuan diri. Jika dilihat dari jenis-jenis pekerjaannya, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara jenis pekerjaan pada tipe ini dengan jenis pekerjaan pada kedua tipe sebelumnya. Ketiganya masih berada pada bidang yang sama yaitu media massa dan public relations (PR). Yang kemudian membedakan adalah alasannya yang berdasarkan pengalaman yang semakin kaya. Ada pun dilihat dari sisi kuantitas, pemilihan pekerjaan tipe ini dialami oleh paling sedikit Informan. Berikut ini adalah data selengkapnya: 3.1 Majalah Ketertarikan terhadap profesi sebagai wartawan khususnya sebagai wartawan majalah dimiliki oleh Rahajeng Kartikarani (2007). kalo aku suka jurnalis majalah, karena kalo majalah kan ini mbak, setiap minggu itu ada topik, jadinya akan lebih terkonsep aja kerjanya, terjadwal. Ngerti lah minggu ini mau bahas apa aja gitu.306
Berdasarkan data di atas, dapat ditangkap adanya kecenderungan bahwa Rahajeng tidak menginginkan pekerjaan yang kurang terkonsep. Hal itu kontras dengan pekerjaan sebagai jurnalis yang lebih membutuhkan improvisasi. 306
Hasil wawancara mendalam dengan Rahajeng Kartikarani pada hari Rabu, 23 Februari 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
182
Sebagaimana kita tahu, pekerjaan di media massa bersifat dinamis dan membutuhkan kejelian untuk mengikuti perkembangannya dari waktu ke waktu. Sebelumnya, Rahajeng memiliki pengalaman magang/ Kuliah Kerja Komunikasi (K3) di sebuah majalah remaja, Olga Girl. Melalui pengalamannya itu ia mendapat pengetahuan yang cukup mengenai pola kerja di dunia majalah pada khususnya dan dunia kewartawanan pada umumnya. Penilaiannya mengenai majalah sebagai pekerjaan yang lebih longgar telah berdasarkan pada pengalaman. Pertimbangan jam kerja dalam profesi sebagai wartawan sejauh ini memang masih dianggap sebagai pekerjaan yang tak mengenal jam kerja. Waktu 24 jam adalah waktu kerja wartawan yang juga tak memberi batasan yang jelas kapan ia memiliki waktu libur yang lazim dimiliki oleh pekerjaan lainnya. Karena itulah, pekerjaan sebagai wartawan kerap kali menyelipkan perasaan angker untuk perempuan. Dari keputusan Rahajeng di atas, secara tidak langsung ia memberikan pengakuan bahwa wartawan adalah pekerjaan yang kurang pantas untuk perempuan. Dan kalau pun akan tetap dicoba oleh perempuan maka majalah adalah pilihan yang lebih tepat terkait waktu yang lebih leluasa. Waktu yang longgar untuk perempuan dalam kehidupan sehari-hari terkait dengan porsi untuk mengurus keluarga. Dalam masyarakat tradisional, sekali pun perempuan bekerja, namun urusan domestic tetaplah menjadi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
183
tanggung jawab yang harus dikerjakan sehingga sebisa mungkin dapat membagi waktu. 3.2 Kantor Berita Keinginan untuk menjadi wartawan di kantor berita ada pada Ema Yuliani Utami (2007). Berikut disampaikan oleh Ema: Sebenere kalau ditanya, saya pengen kerja itu pengen jadi jurnalis. Cuma kemarin sempat kepikiran pengen kerja di Kantor Berita aja, aku mikirnya gak mungkin kita selamanya akan ada di lapangan ya mbak, maksudnya, ya apa nantinya saya akan menikah dan punya anak dan mendidik mereka, maksude ya apa ya, gak tahu kenapa mungkin nanti ketika jadi wartawan dan ketika di kantor berita itu nanti kan ada jenjang kariernya. Gak tahu jangka panjangnya, pengen jadi redaktur misalnya, jadi kita gak harus kerja di lapangan dan kita punya waktu di rumah juga gitu.307 Berdasarkan data di atas, keputusan Ema untuk bekerja di kantor berita telah dilandasi oleh pertimbangan yang cukup kuat. Atas dasar suka ia ingin untuk terus bertahan di industri media, tetapi ia mencoba mempertimbangkan media yang tepat yang dapat memberinya keseimbangan hidup antara karier dan juga keluarga. Pertimbangan itu salah satunya berasal dari pengalamannya yang sebelumnya bergabung di UKM jurnalistik dan telah melakukan magang di LKBN Antara Biro Jawa Tengah. Pemilihan pekerjaan sebagai wartawan masih menunjukkan adanya idealisme yang ingin diperjuangkan. Namun demikian, pekerjaan lapangan menurut Ema memiliki batasan untuk perempuan yang menekuninya. Hal tersebut terkait dengan kehidupan berumah tangga yang membuat perempuan
307
Hasil wawancara mendalam dengan Ema Yuliani Utami pada hari Rabu, 23 Februari 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
184
akan memiliki waktu yang kurang untuk bekerja. Mereka akan memiliki tanggung jawab sebagai ibu di rumah yang tak kalah pentingnya. Dalam hal ini, ia mengincar pekerjaan sebagai redaktur yang memiliki pengurangan pekerjaan lapangan dan hanya berada di lapangan. Faktor pengalaman telah memberikan pengetahuan yang lebih konkrit sebagai pertimbangan pengambilan keputusan pilihan pekerjaan. 3.3 Televisi Ketertarikan untuk menekuni dunia televisi dimiliki oleh Veronika Juwita Hapsari (2007). aku suka banget nonton TV, terus sekarang banyak nonton berita, jadi aku pengen banget kerja di TV berita gitu, jadi wartawan TV lah. Plus kemarin sempat magang di metro itu308 Hal senada disampikan oleh Agnes Amanda (2007). Hanya saja disini ia menjadikan pekerjaan sebagai jurnalis televisi sebagai rencana jangka pendek karena merasa pekerjaan itu tidak selamanya bisa ia tekuni. Kalo aku ada jangka pendek ada jangka panjang mbak. Pendeknya di TV, panjangnya gak ada hubungannya dengan jurnalistik, berwirausaha, hehe -bagi dengan yang lain, kan ada masanya kita akan mundur, kalo udah tua kan gak mungkin jadi wartawan terus309 Baik Veronika dan Agnes, keduanya sama-sama memiliki pengalaman magang K3 di stasiun televisi. Karena pengalaman itu, mereka memiliki pengetahuan yang lebih konkrit mengenai dunia pertelevisian. Mereka memilih
308 309
Hasil wawancara mendalam dengan Veronika Juwita Hapsari pada hari Rabu, 23 Februari 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Agnes Amanda pada hari Rabu, 23 Februari 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
185
merancang karir di televisi karena mereka telah mengukur kemampuan mereka disitu. Khusus pada Agnes, ia meramalkan bahwa pekerjaan sebagai wartawan tidak akan bisa ia jadikan sebagai mata pencaharian utama hingga hari tua. Ada masa berlaku kehadiran perempuan di situ yang mendorongnya memikirkan pekerjaan alternatif jika ia sudah tidak bekerja di media. 3.4 Humas/ Public Relations Adapun keinginan menjadi PRO dialami Putu Ayu Gayatri (2007). Ia memiliki impian untuk menjadi staff Dinas Pariwisata. Ia termotivasi untuk memberikan kontribusi pada perkembangan pariwisata Indonesia melalui tulisan. Menurutnya dinas pariwisata adalah pilihan yang tepat. aku pengen kerja di Disbudpar, jadi pengennya menulis tentang budaya dan pariwisata Indonesia gitu, hehe.310 Jika mengacu pada pilihan pekerjaan saat awal kuliah, Putu Ayu tidak begitu mengalami pergeseran pilihan pekerjaan. Ia masih konsisten untuk menekuni dunia tulis menulis hanya saja akhirnya ia memilih menjadi staff Disbudpar karena dapat sekaligus mengakomodir ketertarikannya pada dunia pariwisata.
Pada tipe ini, pemilihan pekerjaan telah terfokus pada dua bidang pekerjaan yaitu industri media (majalah, kantor berita dan televisi) dan PR.
Alasan
pemilihan pekerjaan tipe ini pun lebih konkrit, berbeda dengan alasan yang 310
Hasil wawancara mendalam dengan Putu Ayu Gayatri pada hari Rabu, 23 Februari 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
muncul pada dua tipe terdahulu. Alasan-alasan yang muncul antara lain terkait: jam kerja teratur, pekerjaan terkonsep, ada waktu luang yang cukup, kelangsungannya hingga masa depan dan ada juga yang telah memikirkan rencana pernikahan. Disini para Informan lebih selektif dalam menentukan pilihan pekerjaan karena mereka dihadapkan pada masa akhir studi dan juga persiapan untuk segera masuk ke dunia kerja. Dalam hal ini, dapat disimpulkan bahwa para Informan memiliki cita-cita untuk menjadi wanita karier setelah mereka lulus dari Prodi Ilmu Komunikasi suatu saat nanti. Pekerjaan bidang komunikasi masih menjadi prioritas pilihan sebagai bentuk idealisme: bekerja sesuai dengan disiplin ilmu. Namun pada perjalannya, terdapat beberapa pertimbangan rasional yang muncul berkaitan dengan identitas mereka sebagai perempuan. Ada sebuah usaha untuk mencari jalan tengah bagaimana supaya tetap bisa bekerja tetapi sekaligus dapat mengurus rumah tangga saat mereka nanti menikah. Disini dapat dipetakan beberapa faktor yang melatarbelakangi pemilihan pekerjaan tipe ini: Status Pendidikan Memiliki pekerjaan yang sesuai dengan disiplin ilmu masih menjadi motivasi para Informan terkait pemilihan pekerjaan bidang komunikasi. Kencederungan ini relatif konsisten pada ketiga tipe pemilihan pekerjaan bidang komunikasi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Magang K3 Pengalaman mengikuti magang K3 telah menjadi gerbang bagi para Informan untuk memasuki dunia kerja. Paling tidak dengan magang para Informan mendapatkan pengetahuan dari pengamatan dan juga praktek langsung di dunia kerja. Terkait pekerjaan di industri media, para Informan menilai bahwa perempuan memiliki karir yang cenderung lebih pendek daripada laki-laki. Keterbatasan perempuan berkaitan dengan tenaga dan juga beban ganda sebagai ibu setelah mereka menikah. Konsep Perempuan dan Pernikahan Jika mengacu pada tradisi di Jawa pada khususnya dan kebiasaan orang Indonesia pada umumnya, usia pernikahan yang tepat untuk perempuan berkisar pada usia 20 tahun. Dalam hal ini, para Informan, khususnya mahasiwi semester telah masuk dalam kriteria itu. Tampaknya konsep pernikahan itu mulai dipikirkan oleh para Informan yang berdampak pada upaya mereka mengaitkan
konsep pekerjaan dengan pernikahan
sehingga harapannya keduanya dapat dijalani dengan seimbang
Berdasarkan data penelitian, sampai pada penelitian ini berlangsung para Informan masih menikmati masa-masa pencarian konsep pekerjaan yang tepat. Mereka berada dalam dua kutub yang saling berlawanan yaitu idealisme dan realistis. Idealisme ada di awal masa kuliah dan realistis ada di akhir masa kuliah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
188
Di antaranya terdapat ruang transisi yang relatif tidak stabil. Namun diproses itulah inti dari keputusan akhir yang akan diambil. Pekerjaan pertama yang diminati oleh para Informan yaitu jurnalis. Istilah jurnalis, wartawan, atau reporter pada prinsipnya sama. Penggunaannya saja yang akhir-akhir ini diidentikkan dengan media tertentu. Jurnalis dan wartawan bersifat lebih universal, sedangkan reporter identik dengan radio dan televisi. Profesi sebagai jurnalis sendiri telah muncul sejak awal masa kuliah. Bisa dikatakan pekerjaan ini merupakan pekerjaan paling populer di kalangan para Informan. Ada pun berdasarkan medianya, jurnalis surat kabar menjadi spesialisasi yang paling diminati. Profesi ini dianggap sebagai pekerjaan paling ideal bagi lulusan prodi Ilmu Komunikasi. Meski masih cukup populer hingga akhir masa kuliah namun kecenderungan minat untuk menjadi jurnalis mulai bergeser. Konsentrasi para Informan telah terpecah pada profesi jurnalis di majalah, kantor berita dan televisi. Belum lagi ada yang kemudian menyeberang ke profesi PRO. Pekerjaan bidang komunikasi terpopuler kedua yaitu PRO. Sama halnya dengan profesi sebagai jurnalis, dari awal kuliah profesi ini sudah dikenal oleh mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi. Namun minat untuk berkecimpung di bidang ini justru bertolak belakang dengan profesi sebagai jurnalis. Pencitraannya -olah menjadi jalan tengah antara keinginan para Informan untuk berkarier dan tetap memiliki waktu luang untuk keluarga.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
189
Pekerjaan bidang komunikasi lain yang muncul dalam penelitian ini yaitu anchor. Profesi ini merupakan bagian dari crew media massa khususnya televisi. Secara umum para Informan berekspektasi bahwa sama-sama bekerja di media pekerjaan ini relatif lebih ringan daripada jurnalis. Job desk nya yang lebih banyak berada di studio menyebabkan profesi ini dianggap lebih ringan dari jurnalis yang berada di lapangan. Saat profesi jurnalis goncang pada masa transisi, profesi sebagai anchor turut diperhitungkan menjadi pekerjaan alternatif di samping PRO. Ada pun terakhir adalah profesi sebagai penyiar radio dan designer grafis. Masing-masing pekerjaan ini hanya diminati oleh segelintir Informan. Latar belakang pemilihan ketiga pekerjaan itu kurang begitu kuat hanya berdasarkan hobi. Oleh karena itu dalam penelitian ini kedua profesi ini kurang mendapat perhatian khusus. Seperti telah disebutkan dimuka, pemilihan pekerjaan bidang komunikasi disisipi oleh pergeseran-pergeseran konsep. Hal ini mulai terasa sejak pertengahan masa kuliah dimana pengetahuan dan pengalaman mulai bertambah. Pergeseran konsep pekerjaan bidang komunikasi pada prinsipnya berhubungan dengan upaya para Informan meredefinisi identitas mereka sebagai perempuan. Mereka mencoba memetakan potensi, kekuatan fisik, tak terkecuali peran-peran sebagai perempuan dewasa. Berikut adalah pergeseran konsep pekerjaan bidang komunikasi selengkapnya:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
190
4.1. Surat Kabar Mengerikan untuk perempuan Awalnya profesi sebagai jurnalis surat kabar diidolakan para Informan di awal kuliah. Namun perlahan mereka mundur secara teratur dari
Jurnalis surat kabar perlahan tetapi pasti mereka nilai sebagai pekerjaan yang berat. Pekerjaan sebagai jurnalis dinilai berat terkait dengan identitas para Informan sebagai perempuan. Ada ketakutan tidak bisa membagi waktu dan jika kelak berkeluarga. Ada ketidaknyamanan untuk bekerja di malam hari dan masih banyak lagi. Belum lagi ada stereotip yang diyakini oleh para perempuan mengenai dirinya sendiri sebagai makhluk lemah yang kurang pantas mengerjakan pekerjaan berat seperti di media massa khususnya surat kabar. 4.2. Majalah lebih berpihak pada Perempuan Sama-sama sebagai media cetak, karakter majalah dinilai lebih lunak daripada surat kabar. Hal itu lantaran majalah terbit tidak setiap hari melainkan memiliki jangka waktu yang lebih jarang, ada yang seminggu sekali, atau sebulan dua kali. Longgarnya penerbitan majalah sesungguhnya memiliki konsekwensi terhadap konsep berita dan kedalaman yang lebih daripada surat kabar, namun hal tersebut tidak dipersoalkan oleh para Informan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
191
Disini, majalah menjadi sebuah media yang lebih bersahabat dengan perempuan karena kelonggaran jam kerjanya. Majalah menjadi alternatif bagi perempuan yang masih ingin berkecimpung di industri media dengan tanpa terlalu kehilangan banyak waktu dengan keluarga. 4.3. Kesejahteraan Kantor Berita lebih terjamin Wacana berprofesi di Kantor Berita baru muncul pada masa akhir kuliah. Kantor berita sendiri merupakan media dengan tingkat sirkulasi berita tinggi karena tidak dibatasi oleh deadline seperti halnya media lainnya. Namun memang untuk status kepegawaian disini dinilai lebih jelas kepangkatannya. Secara khusus yang dimaksud disini adalah Kantor berita Antara. Sebagai media milik pemerintah menjadikan para stafnya dalam jangka waktu tertentu akan diangkat sebagai pegawai negeri. Dalam hal ini kantor berita dinilai aman untuk perempuan karena status kepegawaiannya. 4.4. Televisi lebih tolerir untuk perempuan Seperti halnya majalah dan kantor berita, televisi dinilai lebih kooperatif untuk perempuan karena jam kerjanya yang menurut mereka relatif lebih longgar dan juga berada dalam sebuah tim yang memastikan seorang reporter televisi tidak sendiri dalam menjalankan tugas.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
192
Dan untuk televisi sendiri dipilih dengan alasan tambahan berkaitan dengan sifat audio visual yang dia miliki sehingga memungkinkan mereka menjadi orang terkenal jika berkecimpung di dalamnya. 4.5. PRO: pekerjaan yang tepat untuk perempuan Pekerjaan di bidang PR nampaknya menjadi bidang yang dinilai paling pas untuk perempuan. Berdasarkan data penelitian, pada masa pertengahan kuliah para Informan mulai berpikir bahwa pekerjaan itu lebih ringan daripada media sehingga mereka memutuskan beralih atau paling tidak mulai membuka ruang untuk kemungkinan berkecimpung di dunia PR. PR dinilai lebih ringan karena pekerjaannya yang bersifat kantoran yang notabene dilihat sebagai bentuk pekerjaan yang lebih terkonsep/terstruktur mulai dari jam kerja dan juga bentuk pekerjaan. Dari keseluruhan data di atas, dapat dilihat bahwa pergeseran konsep pekerjaan Ilmu Komunikasi yang paling jauh ada pada profesi sebagai jurnalis surat kabar. Untuk pekerjaan yang lainnya penilaiannya cenderung tetap hanya ada perspektif gender sebagai perempuan. Selangkapnya dapat dilihat dalam bagan berikut ini. Pertama berkaitan dengan kriteris pekerjaan dan kedua berupa jenis-jenis pekerjaan konkritnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Bagan III.2 Pergeseran Kriteria Pekerjaan Bidang Komunikasi
Bagan III.3 Pergeseran Pilihan Pekerjaan Bidang Komunikasi
Ada pun pada akhirnya berikut Penulis petakan proses terbentuknya pemilihan pekerjaan bidang komunikasi. Terdapat dua faktor yang berpengaruh yaitu dirinya sendiri dan juga pihak-pihak yang ada di luar dirinya. Faktor dari dalam dirinya meliputi latar belakang bakat dan juga pengetahuan yang mereka dapat di jurusan Ilmu Komunikasi. Sedangkan faktor-faktor dari sekitar berupa kelompok significant, orangtua, media masa dan nilai-nilai budaya di sekitar.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Bagan III.4 Pemilihan Pekerjaan Bidang Komunikasi Faktor Internal: Bakat/Talenta Pendidikan Ilmu Komunikasi Pemilihan Pekerjaan Bidang Komunikasi
Faktor Eksternal:
Ket:
Keanggotaan dalam UKM Pengaruh Orangtua Pengaruh Media Nilai-nilai budaya = mempengaruhi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
195
C. PERSEPSI MAHASISWI S-1 PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FISIP UNS TERHADAP PROFESI JURNALIS Pada sub bab A telah dipaparkan bagaimana jurnalis begitu identik dengan pendidikan Ilmu Komunikasi. Para Informan berpikir bahwa pendidikan Ilmu Komunikasi adalah pendidikan untuk orang-orang yang ingin menjadi jurnalis. Beberapa Informan pun mengakui bahwa keputusan mereka kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi dilatarbelakangi oleh dita-citanya untuk menjadi jurnalis. Selanjutnya pada sub bab B diketahui bahwa profesi jurnalis menjadi tipe pekerjaan yang ideal bagi para Informan, setidaknya pada awal masa kuliah. Hebatnya keyakinan bahwa pendidikan Ilmu Komunikasi merupakan pendidikan untuk mencetak jurnalis tak hanya berhenti pada mereka yang sebelum kuliah telah tertarik menjadi jurnalis. Beberapa Informan yang sebelumnya bersikap netral, setelah resmi menjadi mahasiswi Ilmu Komunikasi menjadi ikut tertarik pada profesi jurnalis. Sayang sekali pada perjalanannya kisah para Informan dalam membangun mimpi menjadi jurnalis bergerak antiklimaks. Dari waktu ke waktu mereka justru merasa ragu bahkan ada yang kemudian memutuskan untuk tidak melanjutkan mimpi menjadi jurnalis. Apa yang terjadi dengan para Informan sehingga mereka lebih memilih mundur daripada melanjutkan rencananya untuk menjadi jurnalis? Kiranya disinilah arti penting mengetahui persepsi mahasiswi S-1 Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNS mengenai profesi jurnalis. Menurut Berelson dan Steiner dalam Severin dan Tankard, persepsi didefinisikan sebagai proses yang kompleks
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
196
dimana orang memilih, mengorganisasikan dan menginterpretasikan respons terhadap suatu rangsangan ke dalam situasi masyarakat dunia yang penuh arti dan logis 311. Ada pun menurut Bennett, Hoffman dan Prakash dalam Severin dan Tankard, persepsi adalah aktivitas aktif yang melibatkan pembelajaran, pembaharuan cara pandang, dan pengaruh timbal balik dalam pengamatan312. Persepsi mahasiswi S-1 Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNS terhadap profesi jurnalis tidak lain adalah bagaimana mahasiswi S-1 Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNS menyadari adanya profesi jurnalis melalui indera mereka dan dari situ berusaha memberikan makna mengenai profesi tersebut secara berkelanjutan. Dari hasil penelitian, Penulis menemukan adanya keragaman data yang dilatarbelakangi oleh pengalaman personal setiap Informan. Adapun jika ditelaah, kiranya terdapat dua kategori persepsi Informan terhadap profesi jurnalis yaitu persepsi yang bersifat ideal dan persepsi yang bersifat realistis. Berikut Penulis paparkan persepsi mahasiswi S-1 Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNS selengkapnya. 1. Persepsi Idealistis Yang dimaksud dengan persepsi idealistis yaitu persepsi mengenai profesi jurnalis yang bersifat serba ideal, sempurna dan utopis. Jurnalis dibayangkan sebagai profesi yang menjanjikan beragam kesenangan dan kebanggaan.
311
Werner J. Severin & James W. Tankard, Jr, Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa), Alih Bahasa; Sugeng Hariyanto, Cet. ke-4, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2009), hlm. 84 312 Ibid
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
197
1.1. Jurnalis secara Umum Penampilan Santai Jurnalis memiliki kantor tetapi pekerjaannya tidak melulu berada di kantor. Bahkan bisa dibilang sebagian besar waktunya adalah di lapangan untuk melakukan peliputan ke berbagai tempat. Konsekwensi sebagai pekerjaan lapangan yaitu penampilan yang tidak terikat pada aturan kaku dan
Dalam hal ini, penampilan jurnalis sebagai pekerja lapangan cukup disoroti oleh beberapa Informan seperti Dhyanayu Luthfia Almitra (2008), dan Annisa Fitri (2010). Menurut mereka jurnalis memiliki penampilan yang santai atau informal bahkan cenderung acak-acakan. orang lapangan gitu sih, penampilane sing yo sak-sake, mlakumlaku sak-sake (jalan-jalan suka-suka). 313
Lebih casual, nyantai, asal rapi, asal bersih, walaupun ada beberapa wartawan juga yang awut-awutan.hehehe314 Tak begitu jauh dengan apa yang disampaikan oleh Dhyanayu dan Annisa, Aviana Cahyaningsih (2008) dan Twinika SF (2008) memiliki pemikiran yang hampir sama tetapi lebih menekankan sisi fleksibilitas: Wartawan itu cuek, namanya juga diburu waktu kan, kesana sini ya, menurutku ala kadarnya. Kecuali kalau wartawan yang kerja memang kerja di TV yang harus wawancara siapa, dengan persiapan gini gini gini ya beda ya315 313
Hasil wawancara mendalam dengan Dyanayu Lutfi Almitra pada hari Jumat, 13 Mei 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Annisa Fitri pada hari Kamis, 2 Maret 2011 315 Hasil wawancara mendalam dengan Aviana Cahyaningsih pada hari Rabu, 11 Mei 2011 314
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
198
wartawan sih secara penampilan its ok penampilannya rapi, Cuman gini, kadang-kadang e, kalau kita terlalu rapi-rapi malah kita gak bisa masuk ke berbagai kalangan. Kan kalangan kan ada yang menengah dan ke atas. Ya dia harus bisa menyesuaikan,tapi ya jangan terlalu rapi gitu lho soalnya emang wartawan itu kerjaannya berat gitu jadi biar lebih fleksibel gitu316
Penilaian di atas berdasarkan pengalaman para Informan saat berjumpa dengan para wartawan. Dari penilaian di atas, ada kesan jurnalis sebagai pekerjaan yang maskulin. Kurang memperhatikan penampilan dan pencitraan itu lebih dekat dengan sosok laki-laki daripada perempuan. Hal ini berbeda dengan pandangan Fauziah Nurlina (2010). Ia justru membayangkan wartawan sebagai sosok perempuan. Hanya saja disini ia mengasosiasikan jurnalis sebagai pekerja televisi yang secara fisik terlihat saat sedang bertugas. ik, langsing, hehehe. Oke, cantik gak harus langsing sih, yang penting cantik, yang 317 penting good looking .
jurnalisnya. Seperti diungkap oleh Fauziah di atas, ini ada kaitannya dengan sifat media televisi yang menampilkan si jurnalis di layar kaca maka penampilan cukup diperhatikan. Televisi biasanya memberi seragam untuk para wartawannya. Seragam yang dipakai oleh para jurnalis televisi merupakan pakaian lapangan yang menonjolkan sisi sporty untuk memberi
316
Hasil wawancara mendalam dengan Twinika Sativa pada hari Kamis, 12 Mei 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Fauziah Nurlina pada hari Rabu, 23 Maret 2011
317
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
199
keleluasaan bagi si pemakai yang pekerjaannya lebih banyak berada di lapangan. Hal ini yang ditangkap oleh Fannany Norohmah (2008) dan Destriana K (2008) hanya saja pendapat mereka ini lebih universal, tidak mengarah pada identitas seks tertentu.
penampilannya, kalau aku biasanya lihat wartawan itu pakaiannya itu rapi, harus pakai kartu pers, yah, something like that lah318
wartawan itu gak harus dituntut pakai seragam ya, kecuali wartawan TV, kan emang harus pakai seragam, kaya MetroTV kaya gitu. Ya, gambarannya biasa sih, pakai pakaian rapi, sepatu, dengan cocard dikalungin, bawa alat perekam, bawa apa, bawa notes kecil, nulis-nulis gitu sih.319 Kiranya pengalaman mengamati menjadi faktor penting yang mempengaruhi persepsi Informan mengenai penampilan jurnalis. Ada di antaranya yang melihat secara langsung ada pula yang melihatnya dari media televisi. Jurnalis secara umum dipersepsikan memiliki penampilan yang lebih santai cenderung asal. Sedangkan jurnalis televisi dinilai lebih rapi. Banyak Teman Dalam hal ini, profesi sebagai jurnalis dinilai menyenangkan karena membuka akses pertemanan yang luas. Berikut seperti diutarakan oleh Dian Erika (2008) dan Aviana Cahyaningsih (2008):
318 319
Hasil wawancara mendalam dengan Fannany Norohmah pada hari Senin, 16 Mei 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Destriana K. pada hari Senin, 16 Mei 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
200
menyenangkan karena banyak kenalan orang kenal orang-orang penting, orang biasa belum tentu kenal orang itu, kita bisa kenal 320 kog asik ya, bisa ketemu orang-orang setiap hari, ketemu orang-orang yang beda, entah itu orang yang penting atau bisa ngobrol sama orang-orang, nambah teman.321 jadi wartawan kayaknya enak, bisa kenal sama banyak 322
orang.
Dari ketiga kutipan wawancara di atas, profesi sebagai jurnalis dinilai sebagai pekerjaan yang menyenangkan karena memberi kesempatan untuk memperluas pergaulan. Pergaulan yang luas telah menjadi daya tarik tersendiri dari pekerjaan ini sebagai pekerjaan lapangan. Dibalik penilaian tersebut,
tersirat
sebuah
kebutuhan
mendasar
dari
manusia
untuk
mengaktualisasikan dirinya untuk memiliki teman. Sebagai pekerjaan lapangan, profesi wartawan mengkondisikan pelakunya untuk terus membina hubungan baik dengan masyarakat. Tanggung jawab itulah yang kemudian mengkondisikan para wartawan untuk memiliki kecerdasan sosial untuk terus memperluas pergaulan. Pergaulan yang luas ibarat membangun pipa-pipa saluran air yang akan dengan mudah memberikan suplai air. Pipa-pipa yang banyak dibutuhkan agar semakin cepat air sampai.
320
Hasil wawancara mendalam dengan Dian Erika pada hari Minggu, 8 Mei 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Aviana Cahyaningsih pada hari Rabu, 11 Mei 2011 322 Hasil wawancara mendalam dengan Mia Ayu Yulivia pada hari Rabu, 23 Februari 2011 321
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
201
Gaji Sedikit yang Penting Senang Saat ditanya mengenai gaji, para Informan berpikir hampir seragam bahwa gaji jurnalis kecil. Hal itu seperti disampaikan olehDevi Anggrahini (2008) dan Dhyanayu Lutfia Almitra (2008) berikut. Sedikit ya sepertinya.323 sithik mbak, ketoke sithik.(Sepertinya sedikit mbak, sepertinya sedikit)324 Selanjutnya, pemikiran bahwa pekerjaan sebagai wartawan memiliki upah sedikit juga ada pada Destriana K (2008) dan Aviana Cahyaningsih (2008). Haya saja mereka mencoba menyikapinya lebih positif dengan melihat sisi kesenangan yaitu sesuai dengan hobi sebagai penghapus masalah gaji yang kecil. Pas-pasan gitu. Kalau menurutku sih, kan hobi, karena suka, kayake capek juga gak terasa gitu. Lebih kesitu sih, ya kalau gaji sih pengennya dapat banyak ya, ada uang makan gitu.325 denger-dengernya masih yang di bawah, gak gitu terjamin. Tapi dulu ya itu, mikirnya masih pendek, masih yang sing penting kan seneng, sing penting jenenge kerjo wes seneng, mbok ameh digaji piro wae yowes, seneng-seneng aja.326. Dari pernyataan Destriana dan Aviana di atas, dapat ditangkap bahwa penilaian mereka terkait pekerjaan sebagai wartawan masih begitu subjektif 323
Hasil wawancara mendalam dengan Devi Anggrahini pada hari Selasa, 31 Mei 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Dyanayu Lutfi Almitra pada hari Jumat, 13 Mei 2011 325 Hasil wawancara mendalam dengan Destriana K. pada hari Senin, 16 Mei 2011 326 Hasil wawancara mendalam dengan Aviana Cahyaningsih pada hari Rabu, 11 Mei 2011 324
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
202
berdasarkan suka semata. Dalam hal penghasilan yang merupakan tujuan dari digelutinya sebuah pekerjaan belum begitu tersentuh. Tak banyak Informan yang memiliki wawasan mengenai penghasilan jurnalis. Adalah Annisa Fitri (2010) menilai gaji seorang wartawan besar. Namun yang ia maksud disini adalah pengasuh sebuah rubrik di majalah. Misalnya pengasuh rubrik di suatu majalah. Pengasuh rubrik itu kan salarynya lumayan, itu kan sekitar 15an juta per bulan kan ternyata.327
Dari data di atas, pekerjaan sebagai jurnalis seolah-olah menjanjikan kesejahteraan yang cukup tinggi. Namun disini yang dimaksud adalah jurnalis yang telah menduduki posisi sebagai editor dimana mereka memang secara penghasilan lebih tinggi karena jam kerja dan senioritas yang lebih tinggi. Hal tersebut masih bersifat idealis dan belum menyentuh pekerjaan sebagai jurnalis lapangan. Pengetahuan yang masih kurang menyebabkan Annisa mengeneralkan penghasilan editor dengan jurnalis kebanyakan. Pekerjaan Intelek Sebagai pekerja media dimana informasi menjadi teman sehariharinya, jurnalis dicitrakan sebagai pribadi yang memiliki kemampuan intelektual tinggi. Hal itu seperti dipikirkan oleh Devi Anggrahini (2008) dan Dian Erika (2008) berikut: beritane harus update-update terus.328 327 328
Hasil wawancara mendalam dengan Annisa Fitri pada hari Kamis, 2 Maret 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Devi Anggrahini pada hari Selasa, 31 Mei 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
203
Wartawan adalah orang yang pertama kali tahu hal-hal yang luar biasa yang tidak di alami orang biasa. Terus selalu harus dituntut pintar kan, maksudnya harus membaca apa pun, kalau gak pintar ya wawasannya luas, jadi ya mungkin dia mikirnya agak beda, rada-rada 329 . Kemampuan intelektual yang tinggi memang tidak bisa dipisahkan dari profesi sebagai jurnalis. Lihat saja pada info perekrutan jurnalis yang
karena pekerjaan seorang jurnalis membutuhkan kemampuan analisis yang tinggi, tanpa intelektualitas tinggi dan wawasan yang luas maka akan berat bagi seorang wartawan dalam bertugas. Selain sebagai modal dasar sebelum masuk, pekerjaan ini secara tidak langsung memang terus mengkondisikan para pelakunya untuk cerdas. Hal itu karena sebagai pekerja komunikasi, setiap harinya ia akan bergelut dengan informasi yang baru dari setiap pengalaman demi pengalaman yang mereka hadapi. Profesi jurnalis dinilai sebagai pekerjaan intelek karena para Informan sudah memiliki gambaran yang cukup jelas mengenai tugas jurnalis. Pembentuk Opini Publik Pekerjaan sebagai wartawan oleh seorang Informan yaitu Annisa Fitri (2010), diinilai sebagai pekerjaan yang memiliki kekuasaan, khususnya dalam membentuk opini publik. di majalah-majalah fashion itu fashionnya tidak bisa diaplikasikan ke semua orang, rata-rata cuma buat orang yang tingginya 170 cm, ukuran breastnya 34B, ukuran bajunya supersmall padahal gak semua Kita harus punya patokan sendiri, 329
Hasil wawancara mendalam dengan Dian Erika pada hari Minggu, 8 Mei 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
204
jangan terlalu berkiblat dengan yang di luar Dan itu tugas seorang editor in chief buat mastiin, oh oke tulisannya sudah beres, terus fotonya juga bagus, jadi bisa next naik cetak gitu.330 Dengan tugas utama untuk mencari, mengumpulkan, menyeleksi dan menyebarluaskan informasi kepada khalayak melalui media massa 331, seorang wartawan memiliki peran yang besar untuk mengatur pemikiran masyarakat melalui berita yang ia tulis. Ada pun peran yang lebih besar berada ditangan seorang editor karena ia berperan sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh atas isi rubrik-rubrik yang dipercayakan untuk dikelola. Seorang editor akan menentukan, menyeleksi, mengedit serta mengoreksi naskah, termasuk dalam pembuatan judul dan tema naskah yang akan dimuat pada rubrik yang menjadi tanggung jawabnya 332. Annisa melihat kekuasaan seorang editor sebagai pembentuk opini publik. Ia menangkap adanya peran yang cukup vital pada pekerjaan wartawan. Pada umumnya apa yang dilakukan oleh wartawan dan editor pada khususnya dalam kondisi ini dalam konsep kejurnalistikan lazim disebut dengan fungsi penjawa gawang atau gate keeper. Gate keeper adalah orang yang memilih, mengubah dan menolak pesan, dapat mempengaruhi aliran informasi kepada seseorang atau sekelompok penerima333. 330
Hasil wawancara mendalam dengan Annisa Fitri pada hari Kamis, 2 Maret 2011 Jani Yosef, To Be A Journalist, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hlm. 43 332 Fitriyan Dennis, Bekerja sebagai Wartawan. (Jakarta: Esensi 2008), hlm. 51 333 Mursito BM, Memahami Institusi Media, (Karanganyar: Lindu Pustaka dan SPIKOM Solo, 2006), hlm.33 331
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
205
Pekerjaan Mulia Merujuk pada pernyataan Jacob Oetama dalam Mursito, selain berita tentang: keberhasilan, kegagalan, kesuksesan, seks, kriminalitas dan glamour, konflik dan perang adalah peristiwa dengan nilai berita yang tinggi 334. Oleh karena itu, perang selalu menjadi peristiwa penting yang dikawal oleh media massa. Hal itu menuntut konsekwensi bagi para jurnalis untuk selalu siap dengan kemungkinan penugasan di wilayah konflik. Telah banyak kejadian dimana para jurnalis mengalami luka bahkan terenggut nyawanya saat bertugas di daerah perang. Tengok saja pengalaman reporter Metro TV, Meutia Hafidz serta juru kamera Budiyanto yang sempat beberapa hari ditahan teroris di Irak saat bertugas 335, dan juga pengalaman Alm. Ersa Siregar, reporter RCTI yang meninggal di penghujung tahun 2003, setelah lebih dari setengah tahun ditahan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam sebuah pertempuran antara TNI dan GAM336. Tugas para jurnalis yang relatif berat, khususnya saat bertugas di wilayah konflik mengundang simpati Triendah Febriani (2009). Menurutnya, karena pengorbanannya yang besar wartawan pantas disebut sebagai pahlawan. bagiku wartawan itu juga seorang pahlawan. Mereka mau ditaruh di daerah perang kaya di Jalur Gaza cuma buat menyampaikan informasi k Jadi menurutku wartawan itu sudah pahlawan337 334
Ibid. hlm. 180 Dennis, Op.Cit, hlm. 6 336 Ibid 337 Hasil wawancara mendalam dengan Triendah Febriani pada hari Senin, 21 Maret 2011 335
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
206
Hal senada seperti disampaikan oleh Dian Erika (2008). Ia mencontohkannya dengan kisah seorang wartawan perang yang harus menulis berita di tengah situasi mencekam yang sewaktu-waktu dapat merenggut keselamatan jiwa. Luar biasa itu bukan dalam artian wah kaya artis, luar biasanya mungkin karena gak banyak yang melirik ya, pada gak mau juga kan, ngapain. Karena aku suka nonton TV, kaya wartawan CNN yang hidupnya kayak begitu-begitu, dia bisa bertahan hidup walau di belakangnya ada berbagai macam bom meledak dan sebagainya seperti itu, kaya gitu kan, dia masih hidup dan dia mau terus, baik itu pria maupun wanita itu luar biasa. Siapa sih yang mau-mau nya karena dia punya anak juga punya keluarga,suami juga.338 Bagi pihak di luar lingkaran media, entah itu sebagai penonton, pendengar atau pembaca media, seperti halnya pengalaman Triendah dan Dian Erika di atas, jurnalis yang berada di daerah perang memberi kesan mendalam bagi mereka yang menyiratkan rasa bangga pada profesi itu. Mereka adalah sosok yang dengan sadar mengabdi bagi kebenaran melalui berita yang mereka buat sekali pun harus menantang maut. Citra kepahlawanan semacam itulah yang sekiranya muncul dalam benak Triendah Pekerjaan Keren untuk Perempuan Jumlah jurnalis yang masih sedikit menimbulkan keterterikan Aviana Cahyaningsih (2008) dan Destriana K (2008) pada sosok jurnalis perempuan. Menurut mereka jurnalis perempuan adalah sosok keren atau hebat
338
Hasil wawancara mendalam dengan Dian Erika pada hari Minggu, 8 Mei 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
207
kalo dulu ngrasane wartawan keren, ya embuh kenapa keren, keren aja, keren. Apalagi kalau wartawan cewek itu masih jarang...Padahal wartawan kan nanti ditempatin kesini-kesini dan biasanya itu cowok gitu lho, harus yang punya mental yang bagus, ketahanan fisik yang bagus juga. Kalau cewek i ketoke jik jarang, jadi keren gitu sih mikirnya dulu.339 keren aja. Kaya, wah, cewek, apa, dia berani gitu kan cari berita. Mungkin pas kerusuhan-kerusuhan nyari berita gitu kan, keren gitu aja sih kaya gitu. Dengan ada cocard dikalungin kaya gitu, bawa alat perekam kaya gitu, apa, jadi kaya lebih kalo dikejar deadline kan kaya lebih menghargai waktu gitu.340 Ada pengakuan dari Aviana maupun Destriana bahwa jurnalis adalah pekerjaan berat, khususnya bagi perempuan. Penilaian jurnalis sebagai pekerjaan berat bukannya membuat mereka ngeri justru membuat mereka kagum Ada empati yang mereka bangun sebagai sesama perempuan. Keberanian perempuan masuk dalam dunia laki-laki dinilai sebagai prestasi yang membanggakan. Jam Kerja Abu-Abu Menurut Triendah Febriani profesi jurnalis memiliki aktivitas yang padat tetapi tidak memiliki patokan jam kerja yang jelas. Penilaian itu ia dapat dari pengamatan terhadap seorang wartawan yang pernah ia kenal dekat. rus sempat ngekost di rumahku. Jadi aku tahu lah malam-malam ditelfon ke luar, pergi sampai sore, gak di rumah, terus nanti udah pulang eh tengah malam keluar lagi soalnya kita kan gak tahu suatu kejadian itu datangnya jam berapa, jadi kita harus siap. Jadi ya taunya gitu, harus siap sedia setiap saat gitu lho.341 Hal senada diungkapkan oleh Nabilla Nur Khudori (2009berikut: 339
Hasil wawancara mendalam dengan Aviana Cahyaningsih pada hari Rabu, 11 Mei 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Destriana K. pada hari Senin, 16 Mei 2011 341 Hasil wawancara mendalam dengan Triendah Febriani pada hari Senin, 21 Maret 2011 340
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
208
Ya gak jelas, karena begitu ada tugas mereka kan langsung berangkat. Kalau gak ada apa-apa ya udah, tidur seharian, kaya gitu bayanganku, hehe.342 Ada pun selanjutnya menurut Annisa Fitri (2010) dan Fauziah Nurlina (2010), ketidakjelasan jam kerja pada profesi sebagai wartawan membuat pekerjaan ini ia nilai berat. Wartawan, ngejar berita, ngejar narasumber, benar-benar gak ada istirahatnya, mereka bikin tulisannya malam, paginya kerja lagi343 Kayaknya wartawan itu capek ya, kayaknya gitu, kalau pagi, siang, sore gitu kayaknya itu masih gak ada jadwalnya gitu, kalau ada berita ya diuber-uber.344 Dalam sebuah pekerjaan, jam kerja menjadi unsur penting untuk menentukan batasan tanggung jawab pekerja terhadap instansi dimana ia bekerja. Untuk itu, hampir semua instansi membuat aturan kapan seorang pekerja memulai dan mengakhiri pekerjaannya. Pengaturan jam kerja dapat dilihat dengan jelas pada instansi-instansi pemerintahan yang memulai jam dinasnya sekitar pukul tujuh atau delapan pagi dan berakhir maksimal pada pukul lima sore. Itu pun berlaku lima hari saja dari tujuh hari yang ada. Namun gambaran jam kerja seperti di atas seperti termentahkan saat menyelami pekerjaan sebagai wartawan pada khususnya dan pekerjaan di media pada umumnya. Sebagai pekerjaan lapangan, wartawan memiliki dua sifat pekerjaan yang kontras namun menyatu yaitu: sibuk dan fleksibel. 342
Hasil wawancara mendalam dengan Nabila Nur Khudori pada hari Rabu 23 Maret 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Annisa Fitri pada hari Kamis, 2 Maret 2011 344 Hasil wawancara mendalam dengan Fauziah Nurlina pada hari Rabu, 23 Maret 2011 343
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
209
Ketidakjelasan jam kerja wartawan itu berkaitan erat dengan produksi berita yang menekankan sisi kekinian (update) dimana sebuah peristiwa tidak dapat begitu saja diramalkan. Meskipun ada kesan pekerjaan wartawan itu fleksibel tetapi kondisi itu justru membuat beberapa Informan menilainya sebagai pekerjaan yang berat dan melelahkan. Pekerjaan sebagai wartawan oleh Aviana Cahyaningsih (2008) dan Dhyanayu Lutfia Almitra (2008) dinilai sebagai pekerjaan dengan jam kerja abu-abu dimana tidak ada batasan yang jelas. Sampai sekarang mikirnya wartawan itu pekerjaan yang sangat tidak teratur, gak terduga gitu lho, maksudnya e, jam kerja gak jelas, terus serba tidak teratur, emang kalau malam ada kejadian harus standby, harus siap kaya gitu, harus siap ditempatin dimana pun juga345 toke ya hampir 24jam, dari pagi sampai sore. Terus dia masih nulis beritanya sebelum sampai ke meja redaksinya,ya gitu lah. Pokoknya hampir 24 jam.346 Dalam kondisi ini, pekerjaan sebagai jurnalis dipandang sebagai pekerjaan yang tidak memiliki patokan pasti dalam hal jam kerja. Jam kerja wartawan dalam rentang waktu dari pagi hingga pagi lagi, yang ditegaskan
adalah meskipun mereka tahu bahwa pekerjaan ini berat mereka masih begitu antusias menjadikannya sebagai cita-cita di kemudian hari. 1.2. Jurnalis berdasarkan Jenis Media Jurnalis Surat Kabar 345 346
Hasil wawancara mendalam dengan Aviana Cahyaningsih pada hari Rabu, 11 Mei 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Dyanayu Lutfi Almitra pada hari Jumat, 13 Mei 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
210
Sebagai salah satu bentuk dari media cetak, suratkabar identik dengan berita dalam format tertulis, berupa tulisan panjang dan mendalam. Oleh karena itu, seorang jurnalis suratkabar diidentikkan dengan seseorang yang memiliki keterampilan menulis di atas rata-rata. Hal itu seperti diungkapkan oleh Fauziah Nurlina (2010) berikut:
Dulu sih aku mikirnya seru yang di cetak gitu kan serunya sih itu kadang bisa menbangun kata-kata gitu lho, menciptakan suasana dalam satu berita gitu347 Dalam hal ini, pekerjaan sebagai wartawan surat kabar dinilai tepat bagi mereka yang ingin memiliki hobi atau kelebihan di bidang tulis menulis untuk dapat mengaktualisasi diri mereka. Jurnalis Radio Sebagai media massa, radio memiliki program berita yang membutuhkan peran jurnalis. Untuk praktek jurnalistik di radio, beberapa Informan cenderung menilai negatif. Radio itu gak menantang aja soalnya kan, gimana ya, kita gak usah nulis, terus kita gak usah cari-cari gambar, kita cuma siaran gitu kan, kayaknya gak menantang gitu lho, jadi aku gak suka aja sama proses kerjanya.348
kalau buat ke depann ngomong sendiri, kecuali kalau ada narasumbernya.349
347
Hasil wawancara mendalam dengan Fauziah Nurlina pada hari Rabu, 23 Maret 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Nabila Nur Khudori pada hari Rabu 23 Maret 2011 349 Hasil wawancara mendalam dengan Annisa Fitri pada hari Kamis, 2 Maret 2011 348
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
211
Baik Nabilla Nur Khudori (2009) maupun Annisa Fitri (2010), keduanya menilai aktivitas di radio kurang menantang dan membosankan. Penilaian itu jika ditelisik terkait dengan karakteristik radio yang menjadikan audio sebagai materi pemberitaan. Audio atau suara dinilai sebagai hal yang yang lebih mudah daripada merangkai berita tertulis atau juga menangkap berita visual dalam bentuk rekaman gambar. Jurnalis Televisi Adapun media televisi menjadi potret dari dunia yang lebih dinamis dan menyenangkan. Hal itu seperti disampaikan oleh Aviana Cahyaningsih (2008) dan Destriani K (2008) berikut: ketoke lebih menyenangkan bekerja dengan dunia yang bergerak gitu..kalau di TV kan aku ngrekam video gitu, merekam gambar gitu lho, enggak harus menulis gitu lho. Bisa di sampaikan lewat, iki lho, ana gambare iki lho. Ngono-ngono kui lah mbak.350 aku lebih suka di TV atau radio itu gimana ya, gak terlalu banyak apa ya istilahnya, saringan mungkin ya, kaya di media cetak kan kita ngetik misalnya 9 berita, kan gak semuanya bisa naik cetak. Kalau di TV atau radio kan emang tetap ada sih filter, tapi gak seketat di media cetak gitu.351 Reporter televisi secara keseluruhan dinilai sebagai pekerjaan menyenangkan karena memberi kesempatan untuk memiliki pengalaman baru dan mengasah kreativitas. Hal itu seperti diutarakan oleh Fauziah Nurlina (2010) berikut:
350 351
Hasil wawancara mendalam dengan Dyanayu Lutfi Almitra pada hari Jumat, 13 Mei 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Fannany Norohmah pada hari Senin, 16 Mei 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
212
Kalau di TV kan juga bisa selain program berita, bisa nyoba program TV lainnya. Jadi mikirnya mereka kreatif gitu lho, bikin programprogram kaya gitu yang menarik, kaya Kick Andy gitu, kan mendidik tapi juga menghibur.352 Hal senada diutarakan oleh Triendah Febriani (2009) berikut: kayaknya seru di TV gi kayaknya kalau di TV itu lebih seru aja gitu, kita gak terfokus pada satu pekerjaan, kita lebih bisa pelajari soal videonya juga, jadi kayake lebih aktif di TV gitu.353
Tingkat kerumitan media televisi dalam merancang, memproduksi dan menampilkan informasi kepada masyarakat membuat pekerjaan di dunia televisi dinilai sebagai pekerjaan yang membutuhkan kreativitas tinggi. Bergelut dalam dunia yang menekankan kreativitas tinggi seperti televisi, dinilai oleh Informan sebagai dunia yang menyenangkan. Ada pun penilaian yang berbeda disampaikan oleh Annisa Fitri (2010). Menurutnya menjadi jurnalis televisi justru kurang menyenangkan karena deadline pemberitaan yang dirasa lebih ketat. sebenarnya tergantung posisinya juga, tapi misalnya sama-sama mungkin nanti jadi wartawan lebih enak di majalah, kalau TV deadlinenya apa ya, lebih strigh, lebih ketat354 Penilaian para Informan begitu lekat dengan pengetahuan mereka mengenai karakteristik media. Televisi sebagai media massa berbasis audio
352
Hasil wawancara mendalam dengan Fauziah Nurlina pada hari Rabu, 23 Maret 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Triendah Febriani pada hari Senin, 21 Maret 2011 354 Hasil wawancara mendalam dengan Annisa Fitri pada hari Kamis, 2 Maret 2011 353
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
213
visual dinilai sebagai media yang canggih. Kecanggihan itu disikapi beragam, di satu sisi menyenangkan, di satu sisi dinilai berat harus terus menampilkan informasi yang terkini sesaat setelah sebuah peristiwa terja 2. Persepsi Realistis Yang dimaksud dengan persepsi realistis yaitu persepsi mengenai profesi jurnalis yang lebih cermat berdasarkan fakta-fakta yang rasional. 2.1. Jurnalis secara Umum Fleksibilitas Tinggi Profesi jurnalis sebagai pekerjaan lapangan dilihat sebagai pekerjaan yang menyenangkan karena memiliki fleksibilitas yang tinggi. Hal ini seperti diungkapkan oleh Ema Yuliani Utami dan Putu Ayu Gayatri. saya merasa senang dengan apa yang saya kerjakan. Jadi mikirnya, pekerjaan aku itu menyenangkan. Aku mikirnya wartawan itu pekerjaan jalan-jalan, ngobrol sama orang, nulis, dapat duit kan kasarane kaya gitu.355 seneng-seneng aja sih karena aku gak di dalam kantor dengan ritme kerjanya misalnya besok kita liputan jam segini, disini, bisa keluar, selesai liputan yang harus ngerjain gitu, terserah sih, jadi boleh fleksibel gitu.356 Baik Ema maupun Ayu keduanya memberi penilaian berdasarkan pengalaman mereka yang pernah mengikuti program magang di media. Ema di LKBN Antara Biro Jawa Tengah sedangkan Ayu di Suara Merdeka Biro
355 356
Hasil wawancara mendalam dengan Ema Yuliani Utami pada hari Rabu, 23 Februari 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Putu Ayu Gyatri pada hari Rabu, 23 Februari 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
214
Solo. Menurut mereka profesi jurnalis menyenangkan karena tidak monoton, begitu dinamis dengan kesempatan untuk melakukan perjalanan ke berbagai tempat, memperluas relasi, mengasah keterampilan menulis dan memiliki kelonggaran kerja yang tidak ada pada pekerjaan kantoran. Dalam hal ini, pengalaman menjadi sumber pengetahuan yang berharga untuk memberi penilaian yang lebih tepat mengenai profesi sebagai jurnalis. Pengabdian untuk Masyarakat Dalam menjalankan tugasnya, sosok jurnalis dinilai positif karena pekerjaannya yang berhubungan dengan masyarakat. Hal itu seperti diutarakan oleh Ema Yuliani Utami berikut: ada kesenangan tersendiri saat kita bisa menyampaikan informasi itu ke orang dan tadi sih aku ngrasanya mungkin karena aku magangnya di kantor berita yang mana kan itu Kantor Beritanya pemerintah kan mbak, ya mungkin ada sedikit mindset bahwa goodnews is a goodnews gitu, bukan lagi badnews is a goodnews gitu lho....keluar dengan berita yang manis dan membuat orang itu lega ketika membaca ditengah ketakutan dengan media. Itu disitu ada kepuasan tersendiri gitu lho mbak 357
Dalam kondisi ini, penilaian Ema merangkap sebagai pengalaman subjektifnya sebagai seorang jurnalis perempuan. Ia merasa senang dengan pengalaman yang telah ia lewati. Bahkan dari proses itu ia merasa semakin mencintai profesi sebagai jurnalis. Ada dorongan untuk mengabdi kepada masyarakat. Ia merasa terpanggil untuk memberi pencerahan kepada
357
Hasil wawancara mendalam dengan Ema Yuliani Utami pada hari Rabu, 23 Februari 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
215
masyarakat melalui berita yang ia tulis di tengah pemberitaan yang selama ini cenderung lebih suka mengambil sudut pandang negatif . Terkait jurnalis sebagai pengabdi masyarakat, Rahajeng Kartikarani dan Agnes Amanda juga memiliki pemikiran senada: wartawan itu meliput acara-acara, buat berita, dan apa ya, jadi dia menulis berita yang dia dapat sama liputan dan menulis itu, dia gak hanya untuk diri sendiri tapi nulis untuk orang lain.358
sebagai wartawan, gak cuma menulis berita aja, tapi dia benar-benar memberikan informasi kepada pembaca, jadi lebih bisa menghargai wartawan359
Dalam kondisi ini, pekerjaan sebagai jurnalis yaitu meliput dan menulis berita dinilai begitu penting bagi kehidupan banyak orang sehingga membawanya sebagai pekerjaan yang berjasa. Pekerjaan Laki-laki Saat profesi sebagai jurnalis dihadapkan dengan identitas seks sebagai perempuan, beberapa Informan merasa ngeri. Untuk beberapa Informan yang lain, mereka mulai memikirkan beban ganda yang harus mereka panggul setelah menikah. Dalam kondisi ini para Informan mulai merasa diri sebagai orang yang ditakdirkan berbeda dari laki-laki baik secara fisik maupun tanggung jawab. semakin jalan kesini kog rasanya berat ya wartawan. Apalagi cewek kan jadi wartawan kan emang 358 359
Hasil wawancara mendalam dengan Rahajeng Kartikarani pada hari Rabu, 23 Februari 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Agnes Amanda pada hari Rabu, 23 Februari 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
216
butuh ketahanan fisik yang betul-betul kuat gitu. Terus yang benarbenar bisa bagi waktu. Yang namanya cewek kan gak secuek cowok. Maksudnya banyak yang harus dipikirkan, lebih banyak yang harus dipikirkan cewek daripada cowok gitu. Kaya misalnya, ya gitu lah, loh, kalo nanti pun akhirnya nikah kaya gitu kan mikirin anak juga, mikirin keluarga. Kalau cowok kan udah dasarnya dia harus jadi kepala keluarga, kalau cewek kan gimana pun ada tanggung jawab dia sebagai ibu, ya ngurusin suami juga, jadi ya banyak pertimbangan lah. Kalau cewek gak bisa bagi waktu ya matia wae, hehehe.360 kayaknya susah nya di kejar deadline, untuk seorang wanita dan juga masalah fisik kalau yang namanya cowok kan mungkin bisa untuk misalnya ada suatu paspampers gitu ya, dorong-dorong atau apa, kalau cowok kan masih punya ketahanan fisik dan mental yang bagus, kalau wanita kan susah mungkin secara niat dia baik, tapi secara apa namanya ya, mental juga, mentalnya juga cenderung lebih baik yang pria dari awar, kerjanya itu malam tapi pagi malah enggak. Jadi dia kerjanya muter, meres otak banget nanti sementara kalau wanita kan gak baik kerja sampai tengah malam kayak gitu.361
Dari pernyataan keempat Informan di atas, jurnalisme mulai dipahami sebagai dunia yang keras yang membutuhkan totalitas dalam hal pikiran dan tenaga. Saat kesadaran akan diri dan juga kesadaran mengenai profesi sebagai jurnalis beradu, terjadi ketimpangan yang membuat para perempuan itu mendefinisikan ulang minat mereka terhadap profesi sebagai jurnalis. Dan sampailah mereka pada kesimpulan bahwa jurnalis adalah pekerjaan yang berat dan kurang pantas untuk perempuan. Kalau pun mereka masih ingin tetap bertahan maka mereka harus mencari alternatif pekerjaan dengan jobdesk dan juga jam kerja yang lebih
360 361
Hasil wawancara mendalam dengan Aviana Cahyaningsih pada hari Rabu, 11 Mei 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Twinika Sativa pada hari Kamis, 12 Mei 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
217
longgar agar memungkinkan mereka tetap bisa menjalankan peran sebagai ibu rumah tangga. Seperti halnya kejadian pada dua sub bab terdahulu, profesi sebagai jurnalis lagi-lagi dinilai berat, khususnya untuk perempuan. Seperti halnya persepsi pada dua kelompok sebelumnya, jurnalis dinilai sebagai pekerjaan yang tidak memiliki jam kerja pasti. alo jam kerjanya jam 8 sampai jam 5. Kadang jam 9-4 sore, senin sampai jumat. Tapi kalau ada liputan mendadak ya harus mau kerja walaupun itu libur cara umum kerja jadi wartawan itu menurutku kerja di bawah tekanan.362 Adapun pemikiran berbeda ada pada Putu Ayu Gayatri yang lebih melihat beratnya pekerjaan jurnalis pada peran yang mereka emban sebagai pembentuk opini publik yang harus jeli, objektif dan berimbang.
karena tahu pekerjaannya berat salah ambil angle, salah menyebut nama orang, tulis nama salah, ini ini ini, bebannya berat gitu. Jadi berat aja membentuk opini masyarakat. Beratnya adalah bagaimana kita memfilter ini, informasi yang penting atau tidak untuk diangkat. Terus bagaimana kita memberikan angle berita yang menarik, tapi juga memiliki pesan ke masyarakat gitu. 363
Ema Yuliani Utami juga menilai berat. Namun ia memakai sudut pandang mobilitas jurnalis yang cukup tinggi. Masalah geografis kali ya. Kalau soal geografis itu lebih pada setiap hari harus ada di lapangan dan belum pernah lihat itu sebelumnya.364
362
Hasil wawancara mendalam dengan Rahajeng Kartikarani pada hari Rabu, 23 Februari 2011 Hasil wawancara mendalam dengan pada hari Rabu, 23 Februari 2011 364 Hasil wawancara mendalam dengan Ema Yuliani Utami pada hari Rabu, 23 Februari 2011 363
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
218
Lingkungan kerja jurnalis oleh Putu Ayu Gayatri dinilai kurang nyaman untuk perempuan. Hal itu terkait posisinya sebai perempuan di tengah lingkungan yang mayoritas terdiri dari laki-laki. nyaman sih nyaman ya, cuman aku tidak nyaman menulis berita disana karena mayoritas cowok dan mereka ngegangguin gitu kan. Eh, facebook kamu apa tanya gitu-gitu. Terus mereka mayoritas ngrokok semua, jadi ruangannya itu penuh dengan asap rokok. Ceweknya dikit banget365
Dalam hal ini, sisi kenyamanan untuk perempuan terganggu karena laki-laki yang secara kuantitas mendominasi sehingga pola kerjanya pun mengikuti mereka dengan adanya selingan rokok yang sejauh ini kurang disukai oleh perempuan kebanyakan. Terdapat Diskriminasi Gender Pekerjaan sebagai jurnalis secara umum dinilai menganak bawangkan perempuan. Pokoknya maksimal ngumpulin berita jam 5 sore, itu udah harus jadi dan teredit. Udah siap. Cuma kadang yang cewek di Suara Merdeka kebagian liputan yang mudah dan jam 7 paling sampai jam 12 itu udah selesai gak terlalu berat ya karena terasa dibedakan kalo kamu wartawan cewek apa cowok.366
Lebih lanjut Ayu mengungkapkan pembagian desk liputan yang berjalan di Harian Suara Merdeka yang membedakan tugas antara laki-laki dan perempuan.
365 366
Hasil wawancara mendalam dengan Putu Ayu Gayatri pada hari Rabu, 23 Februari 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Putu Ayu Gayatri pada hari Rabu, 23 Februari 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
219
Biasanya kalo cewek ditempatkan di bagian pendidikan karena biasanya kan event-event pendidikan biasanya hanya terjadi di pagi hari sampai siang gitu. Kalau ekonomi kan kadang bisa terjadi malam, apalagi criminal itu gak mungkin cewek ditaruh disitu, hehe. 367
Namun demikian, apa yang disampaikan oleh Ayu itu coba ditepis oleh Ema Yuliani Utami yang merasakan pengalaman berbeda selama magang di Kantor Berita Antara.
Ayu bilang ada perbedaan antara pekerjaan wartawan cewek dan cowok. Kalo aku kurang sepakat ya. Karena aku jujur gak ngalamin itu selama aku magang. Aku ngrasane mungkin ketika kemarin itu magang juga sempat ditaruh di desknya itu satu kota, dan dari kantor pun gak ada perbedaan kamu cewek apa kamu cowok kaya gitu. Yo liputan liputan gitu 368
Dalam kondisi ini, perempuan ditempatkan di posisi kelas dua (periferal). Mereka dinilai kurang pantas untuk mengampu desk-desk utama dan diberi tugas yang dinilai lebih ringan. Dari satu sisi, penempatan perempuan pada desk yang relative ringan dapat dilihat sebagai penghargaan pada perempuan untuk tidak terlalu sibuk namun di satu sisi dapat pula dilihat bahwa penempatan perempuan pada desk yang lunak adalah bukti bahwa media masih kurang percaya pada kemampuan perempuan. Maka tak berlebihan jika perempuan disini hanya bersifat sebagai pelengkap saja.
367 368
Hasil wawancara mendalam dengan Putu Ayu Gayatri pada hari Rabu, 23 Februari 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Ema Yuliani Utami pada hari Rabu, 23 Februari 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
220
Lebih pantas menjadi sebagai pekerjaan Sementara Beberapa Informan menilai pekerjaan sebagai jurnalis sebagai pekerjaan sementara. ada jangka pendek ada jangka panjang mbak. Pendeknya di TV, panjangnya gak ada hubungannya dengan jurnalistik, berwirausaha, -bagi dengan yang lain, kan ada masanya kita akan mundur, kalo udah tua kan gak mungkin jadi wartawan terus.369
Kayake pasnya jadi pekerjaan sampingan aja deh. Soalnya melihat jobdesknya, pekerjaannya ngapain aja, butuh bensin dan tenaga untuk sampai ke lokasi, untuk makan, belum lagi nyari narasumbernya kesulitan untuk mencari narasumber, butuh pulsa dan ada juga kesulitankesulitan lain secara teknis, seperti framing berita dan laindibayanganku emang tidak sebanding370
Masih seputar pengidentikan jurnalis sebagai pekerjaan kaum lelaki, profesi sebagai jurnalis dinilai kurang pas untuk perempuan karena perempuan terlebih saat ia sudah menikah maka ia akan memiliki tanggung jawab utama sebagai ibu rumah tangga. Dengan demikian jika sebelumnya sudah bekerja maka saat sudah menikah pekerjaan itu harus dipikirkan ulang.Hal itulah yang kemuadian dipikirkan oleh beberapa Informan dimana mereka mulai memikirkan jangka waktu profesi sebagai jurnalis untuk perempuan yang kurang memungkinkan untuk tetap dijalani saat telah memasuki pernikahan.
369 370
Hasil wawancara mendalam dengan Agnes Amanda pada hari Rabu, 23 Februari 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Rahajeng Kartikarani pada hari Rabu, 23 Februari 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
221
Penghasilan Kecil Ada pun mengenai penghasilan, para Informan memiliki pemikiran bahwa gaji wartawan itu sedikit. Hal itu seperti disampaikan oleh Fannany Norrohmah (2008). Ia mencoba menjadikan Upah Minimum Regional (UMR) sebagai indikator. Disini UMR menjadi ukurannya dalam menilai gaji yang sedikit tetapi relatif cukup. memenuhi UMR kali ya, hehehe 371 Ada pun pada Dian Erika (2008), ia lebih melihat sisi gaji tergantung pada instansi dimana wartawan itu bekerja. Namun pada prinsipnya masih sejalan dengan pemikiran Informan lainnya bahwa gaji jurnalis itu sedikit: sebenare gak tahu spesifikasinya cuman kayaknya yo gak mulyo to mbak tergantung ininya, instansinya. Jadi kadang ada yang pesen kalau misalnya jadi wartawan pilihlah media yang bisa menggajimu dengan seimbang kaya gitu. Ada teman jadi potografer, gajinya itu 1 juta berapa gitu/bulan, pasnya gak tahu.372 Dan selanjutnya Twinika S.F (2008) mencoba membandingkan pekerjaan
wartawan
dengan
pekerjaan
kantoran
untuk
memperkuat
penilaiannya bahwa gaji wartawan rendah. kog gajinya maaf bisa di bilang sedikit dibandingkan kerja yang di kantor meskipun dia jadi 373
gak gedhe gak pernah lihat juga kan, orang kaya gara-gara jadi wartawan, hehehe.374 371
Hasil wawancara mendalam dengan Fannany Norohmah pada hari Senin, 16 Mei 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Dian Erika pada hari Minggu, 8 Mei 2011 373 Hasil wawancara mendalam dengan Twinika Sativa pada hari Kamis, 12 Mei 2011 372
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
222
karena kemarin yang aku rasakan adalah ketika menjadi kontributor itu kan ketika kamu bekerja keras, maka akan ada hasil yang dianggap setimpal sama kantor lah emang beda media mungkin beda ya mbak, kalau aku ngrasa untuk menghargai pekerjaan jurnalis yang bertanggung jawab pada orang banyak itu kurang.375
Profesi sebagia jurnalis khususnya sebagai pewarta tulis dinilai sebagai pekerjaan yang kurang menghasilkan. Sebagai pekerjaan berbasis idealisme, pekerjaan ini telah disadari sebagai pekerjaan yang tak mudah untuk menjadikan orang kaya. Pekerjaan Berat Pola kerja jurnalis dinilai sebagai pekerjaan yang berat penuh resiko. Hal itu seperti disampaikan oleh Ambar Kusuma Ningrum (2010), Ia membayangkan pekerjaan jurnalis sebagai pekerjaan yang keras karena menguras tenaga dan pikiran. Reporter, reporter itu cari berita, kesana-kesini, kepanasan terus, kalau gak dapat berita nanti dimarahin sama atasannya, kalau beritanya standart dimarahin lagi sama atasannya, ini, apa ya, penuh resiko gitu lah kerjanya. Kan lihat aja di TV-TV kan, reporter yang ditampolin sama massa lah, yang di dorong sama polisi lah, belum lagi masalah Metro (MetroTV) waktu itu yang ditawan lah.376 Apa yang disampaikan oleh Ambar di atas baru menyinggung pola kerja seorang wartawan khususnya reporter dalam kondisi-kondisi umum yang dapat terjadi sehari-hari. Ada pun pada Triendah Febriani (2009) secara 374
Hasil wawancara mendalam dengan Putu Ayu Gayatri pada hari Rabu, 23 Februari 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Ema Yuliani Utami pada hari Rabu, 23 Februari 2011 376 Hasil wawancara mendalam dengan Ambar Kusuma Ningrum pada hari Kamis 10 Maret 2011 375
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
223
spesifik ia telah membayangkan beratnya pola kerja seorang wartawan dalam penugasan di wilayah konflik. kalau masalah gaji ya tetep nerima lah, tapi susah gitu lho cari orang yang yang mau dikirim ke tempat-tempat bencana atau yang lagi perang padahal itu kan resikonya tinggi banget 377.
Dari kedua kutipan wawancara di atas, beratnya pekerjaan sebagai jurnalis terbagi dalam dua kategori. Pertama, iklim kerja di media sendiri sudah cukup berat, disini diilustrasikan pada hubungan atasan dan bawahan dalam jabatan struktural. Sedangkan kategori kedua terkait dengan ladang kerja jurnalis yang tak jarang akan berhadapan dengan konflik. Terkait dengan hubungan dalam jabatan struktural, penugasan peliputan memang membutuhkan tanggung jawab yang besar dalam menjalankannya. Terlambat atau salah dalam mengambil sudut pandang pemberitaan akan berakibat fatal maka seorang jurnalis harus benar-benar jeli dalam bertugas. 2.2. Jurnalis berdasarkan jenis media Jurnalis Surat Kabar Secara umum, profesi sebagai jurnalis di surat kabar dinilai memiliki prestis yang lebih tinggi daripada jurnalis di media lainnya. Penempatan jurnalis surat kabar di posisi tinggi ini terkait dengan karakteristik surat kabar itu sendiri. 377
Hasil wawancara mendalam dengan Triendah Febriani pada hari Senin, 21 Maret 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
224
Pertama, surat kabar dianggap sebagai pekerjaan yang membutuhkan spesifikasi lebih ketat dalam memilih jurnalis terkait hal kemampuan intelektual. Hal itu seperti disampaikan oleh Dian Erika (2008) berikut: kayaknya orang kerja di media cetak walaupun kita gak ngerti apa-apa tapi terpacu buat ngerti apa-apa. Kayak misalnya mengkaji masalah atau mungkin pemikiran apa atau mungkin info apa, terpacu istilahnya untuk lebih aware begitu.378 Kedua, pola kerja jurnalis surat kabar dinilai lebih berat karena deadline yang lebih ketat. Hal itu seperti diutarakan oleh Dhyanayu Lutfia Almitra (2008) berikut: Wartawan itu terutama wartawan media massa deadline nya ketoke tick banget i lho. Dalam satu hari itu harus ngejar berapa orang,berapa berita yang harus,ya mondar-mandir sana-sini,kayake ki kok ya rodo kabotan. Nek buat aku sendiri lho ya, Yo mungkin aku pikirkan dulu lah.379 Sejauh ini, surat kabar dinilai sebagai media yang paling ketat dalam hal penulisan dan juga deadline. Kedua hal itu membuat jurnalis surat kabar dinilai sebagai pekerjaan yang lebih berat dari jurnalis di media lain. Secara umum, jurnalis surat kabar dinilai negatif. Hal itu terlihat dari kurang antusiasnya mereka mengenai profesi sebagai jurnalis ini. kalo cetak dia terbit tiap hari, deadlinenya tiap hari. Kalau cetak itu di bawah tekanan sekali, 24 jam harus siap gitu sih, saya tidak suka, hehe 380
378
Hasil wawancara mendalam dengan Dian Erika pada hari Minggu, 8 Mei 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Dyanayu Lutfi Almitra pada hari Jumat, 13 Mei 2011 380 Hasil wawancara mendalam dengan Agnes Amanda pada hari Rabu, 23 Februari 2011 379
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
225
engen jadi wartawan iya, di cetak, tapi mungkin e, yang di sekitar Solo-Solo aja. Mungkin karena, geografisnya gitu, gak tahu, gak ngerti lokasi kerjanya gitu kayake gimana gitu ya.381 Dari kedua pernyataan di atas, pekerjaan sebagai jurnalis surat kabar dinilai berat karena sifat kerjanya yang lebih individual dan juga dengan deadline yang lebih ketat. Namun pemikiran yang berbeda coba disampaikan oleh Ema Yuliani Utami dan Putu Ayu Gayatri berikut: Aku suka atau paling tertariknya cetak ya mbak sama kantor berita kayake lebih ada nama, ketika kowe ngomong, kamu dari Solopos dengan dari Antara, Antara gak dikenal, hehehe. Jadi mungkin lebih ini sih, ke masalah prestige, identitasnya kantor berita itu belum gitu banyak orang tahu. Lagian kalau di cetak juga ada tantangan untuk belajar terus, soalnya kan kalo setiap hari mencari berita, berproses, ya aka nada masukan dan kritik setiap hari yang menantang ya382
paling suka cetak nulis dan fokus gitu, aku kan suka sosial budaya atau pendidikan. Jadi mungkin yang paling cocok di cetak.383
Untuk Ayu, ia menilai positif jurnalis surat kabar karena ia merasa tertarik dengan dunia tulis menulis dimana surat kabar dinilai menjadi media yang secara total dapat mewadahi hasratnya untuk menulis. Adapun pada Ema, penilaian positifnya pada jurnalis surat kabar terkait popularitas media tersebut dimana dalam kehidupan sehari-hari surat kabar adalah media yang
381
Hasil wawancara mendalam dengan Veronika Juwita Hapsari pada hari Rabu, 23 Februari 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Ema Yuliani Utami pada hari Rabu, 23 Februari 2011 383 Hasil wawancara mendalam dengan Putu Ayu Gayatri pada hari Rabu, 23 Februari 2011 382
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
226
paling akrab dengan masyarakat. Menurutnya menjadi kebanggaan tersendiri saat ia bisa bekerja di institusi yang sudah dikenal luas oleh masyarakat. Jurnalis Majalah Jurnalis majalah mendapat penilaian yang lebih positif daripada jurnalis suratkabar. Berikut seperti diungkapkan oleh Rahajeng Kartikarani: kemarin kan aku magangnya di majalah ya mbak, kalo yang dari aku lihat itu di majalah mungkin ini sih mbak, ya mungkin gak seketat Koran harian yang deadline setiap hari kaya gitu kan ini mbak, setiap minggu edisi itu ada topik, jadinya akan lebih cetak soalnya, kerja di bawah tekanan dan harus kerja full seminggu Mungkin majalah yang lebih pas buatku karena apa ya, lebih fun aja sih mbak, deadlinenya juga lebih longgar.384
Penilaian
Rahajeng
dalam
hal
ini
dilatarbelakangi
oleh
pengalamannya mengikuti magang di majalah. Ia merasa pekerjaan jurnalis majalah jauh lebih ringan daripada suratkabar. Jangka waktu penerbitan yang lebih lama menjadi dasar kenapa pekerjaan di majalah dianggap lebih ringan. Jurnalis Kantor Berita Penilaian profesi sebagai jurnalis di kantor berita dinilai positif terkait jenjang kepangkatan yang lebih jelas dan lebih menjamin untuk ditekuni dalam jangka panjang. Hal itu disampaikan oleh Ema Yuliani Utami berikut:
384
Hasil wawancara mendalam dengan Rahajeng Kartikarani pada hari Rabu, 23 Februari 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
227
gak mungkin kita selamanya akan ada di lapangan ya mbak, maksudnya, ya apa nantinya saya akan menikah dan punya anak dan mendidik mereka, maksude ya apa ya, gak tahu kenapa mungkin nanti ketika jadi wartawan dan ketika di kantor berita itu nanti kan ada jenjang kariernya. Gak tahu jangka panjangnya, pengen jadi redaktur misalnya, jadi kita gak harus kerja di lapangan dan kita punya waktu di 385
Dari pernyataan Ema, termuat harapan bahwa ia ingin berkarir sebagai jurnalis. Namun masih ada kekhawatiran tentang fase hidup berumahtangga yang kedepannya akan ia hadapi. Terkait dengan proyeksi hidup masa depan tersebut, ia berharap dapat menyeimbangkan karir dan keluarga. Dan berdasarkan pengetahuan serta pengalamannya, bekerja di kantor berita dianggap sebagai jalan keluar. Kantor berita dianggap lebih aman baik itu dilihat dari jejang kepangkatan dan ujungnya adalah status sebagai pegawai negeri yang dianggap lebih aman daripada pegawai swasta atau kontrak. Jurnalis Televisi Jurnalis televisi mendapat penilaian yang positif karena sifat kerjanya yang bekerja dalam tim dan juga jam kerja yang dinilai lebih longgar. tim, jadi ada temannya.386 Ritme kerjanya menurutku TV lebih teratur, terjadwal gitu lho, kalau dengan cara kerja yang 24 jam harus siap kaya gitu kayake harus ada 387 pertimbangan khusus sih,
385
Hasil wawancara mendalam dengan Ema Yuliani Utami pada hari Rabu, 23 Februari 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Veronika Juwita Hapsari pada hari Rabu, 23 Februari 2011 387 Hasil wawancara mendalam dengan Agnes Amanda pada hari Rabu, 23 Februari 2011 386
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
228
Baik Veronika maupun Agnes keduanya pernah mengikuti magang di stasiun televisi. Mereka merasa nyaman dengan pekerjaan tim dan juga lebih terjadwal seperti yang terjadi di televisi. 3. Pengaruh Significant Others Terbentuknya persepsi selain dari dalam diri sendiri ternyata dipengaruhi juga oleh beberapa pihak di sekitar Informan. Significant others justru membuat para Informan merasa ngeri untuk masuk lebih jauh di media massa.Terdapat dua pihak yang menjadi figur significant others yaitu orangtua dan jurnalis. a. Orangtua Significant others yang pertama dan paling dominan dalam kondisi ini adalah orangtua. Dari penuturan para Informan, hampir setiap orangtua memberi penilaian negatif dan juga melarang para putrinya untuk menjadi jurnalis. Alasan persepsi yang muncul dari para orangtua antara lain: Jurnalis tidak menjanjikan kesejahteraan Minat Annisa Fitri (2010) untuk menjadi jurnalis terbentur oleh penilaian kedua orangtuanya yang kurang yakin akan kesejahteraan pekerjaan sebagai fotografer jurnalistik. amu ngapain sih motret emang motret bisa everlasting sampai kamu tua. Karena mama papaku itu nganggep foto itu lebih gampang dijiplak daripada lukisan gitu lho, udah gitu kita kan cuma mengabadikan sesuatu,
Ada pun ia lebih disarankan untuk menjadi dosen.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
229
Pertimbangannya kalo dosen kan waktunya lebih luang, duitnya lebih banyak dari foto jurnalis, terus kerjaan lebih enak, jadi ya memang mempertimbangkan realistisnya ke depan gitu lho. Kamu mau jadi foto jurnalis jempalitan cari duit, kalo jadi dosen kamu punya ilmu, masuk kelas, dingin, ketemu mahasiswa, ngasih ujian, dapat duit, hehehe.388
Dalam hal ini, selain sisi kesejahteraan secara finansial, pola kerja sebagai dosen dinilai jauh lebih ringan daripada sebagai jurnalis. Orangtua
Annisa
mencoba
mengarahkan
putrinya
untuk
mempertimbangankan pilihannya sebagai jurnalis secara lebih matang. Jurnalis kurang pantas untuk perempuan Dalam kondisi ini, secara umum para orangtua menilai bahwa jurnalis lebih pantas untuk laki-laki karena pekerjaan ini berat dalam beberapa aspek. Penilaian tersebut berujung pada pelarangan anak menjadi jurnalis. Pelarangan itu terbentang dari yang tanpa rasionalitas sampai dengan yang rasional. Pelarangan yang tanpa didukung oleh rasionalitas yang kuat dialami oleh Ambar Kusuma Ningrum (2010) dan Aviana Cahyaningsih (2008). mama gak setuju saya jadi reporter, gak boleh, pokoknya gak boleh. Tapi adek pengen jadi pembaca berita mah, kata mama, pembaca berita kan awalnya reporter dulu dek.389 Yaampun, cewek, wartawan, kowe mengko masa bengi-bengi ditelp enek kebakaran terus kowe lunga, terus bar kuwi mengko jam kerjane yo ra jelas, gini gini kaya gitu lah.390 388 389
Hasil wawancara mendalam dengan Annisa Fitri pada hari Kamis, 2 Maret 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Ambar Kusuma Ningrum pada hari Kamis 10 Maret 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
230
Ada pun kondisi yang lebih rasional dialami oleh Triendah Febriani (2009) karena orangtuanya pernah memiliki pengelaman mengamati pekerjaan jurnalis secara langsung. yang kost itu, gimana kerjanya, malam harus keluar, jadinya agak khawatir juga. Terus cewek juga. Masa ta mau keluar malam391
Kekhawatiran yang sama dialami oleh orangtua Fannany Norrohmah (2008), Twinika S.F (2008) dan Destriana K (2008) Menganjurkannya itu tadi, kerja kantoran itu tadi, udah kamu itu diem aja, kalau wartawan kan pencilakan kemana-kemana, sampai malam, sampai apa gitu kan. Malah kemarin sempat nambahi kemarin kan ada kenalan juga, wartawan yang datang kerumah, cewek mbak, kan kaya gitu. Terus cerita-cerita gitu, cerita kalau ya kemarin liputan bola-bali nunggu di Ngruki itu dari jam 2 malam sampai pagi. Yaudah, bapak ibu, apalagi ibu kan, jadi udah gak usah jadi wartawan gitu-gitu-gitu. Gitulah, pokonya menganjurkannya ya perempuan diem aja di kantor 392
gak usah kerja yang susah-susah di kejar deadline gitu banget. Boleh jadi itu apa namanya,jurnalis,misalnya di bagian editing atau apa tapi kalau kerja di praktek lapangannya kegiatan aku kurang begitu maksimal. 393
ka ya, tapi lebih ntar gimana kasian kerja di lapangan gitu. Ya mungkin karena dia lihat di TV kerjanya kaya gitu, apa, ketemu sama pejabat,apa, nyodorin alat perekam, itu-itu kerjanya, kaya gitu, 390
Hasil wawancara mendalam dengan Aviana Cahyaningsih pada hari Rabu, 11 Mei 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Triendah Febriani pada hari Senin, 21 Maret 2011 392 Hasil wawancara mendalam dengan Fannany Norohmah pada hari Senin, 16 Mei 2011 393 Hasil wawancara mendalam dengan Twinika Sativa pada hari Kamis, 12 Mei 2011 391
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
231
cewek, terus paling kerja sampai malam gitu-gitu kan. Ibu ya lebih ke ibu, udah kerjanya di kantor aja, apalagi nanti apalagi kalau udah punya anak. Masa anakmu masih kecil-kecil gitu mbok tinggal kemana-mana nyari berita kaya gitu.394
Dalam kondisi ini, pekerjaan sebagai jurnalis tidak dianjurkan oleh para orangtua karena jam kerja yang tidak teratur. Secara tidak langsung, para orangtua menganut keyakinan bahwa perempuan semestinya mencari pekerjaan yang memiliki jam kerja jelas dan juga tidak menyita waktu terlalu banyak. Perempuan diantaranya dianggap tabu jika keluar malam hari apalagi untuk bekerja. Secara konkrit, pekerjaan yang dianjurkan oleh para orangtua yaitu pekerjaan kantoran. Perempuan lebih pantas jadi Pegawai Kantoran Seperti telah dibahas pada point di depan, jurnalis sebagai lapangan dinilai kurang tepat untuk perempun. Sebaliknya pekerjaan kantoran dinilai menjadi pekerjaan yang tepat. Secara umum, pekerjaan kantoran yang disarankan para orangtua adalah untuk menjadi PNS. Hal itu seperti dialami oleh Triendah Febriani (2009), Fauziah Nurlina (2010) dan Dhyanayu Lutfia Almitra (2008). Jadi PNS mbak, tapi akunya yang gak minat. Dulu ibu pernah nyaranin jadi guru aja tinggal duduk, terus ngajar, kasih PR (Pekerjaan Rumah), udah selesai Kalau orangtua pesannya, cari kerja yang bisa bikin seneng, santai, rileks, tapi jangan sampai lupa kondisi tubuh gitu395
394
Hasil wawancara mendalam dengan Destriana K. pada hari Senin, 16 Mei 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Triendah Febriani pada hari Senin, 21 Maret 2011
395
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
232
kalau PNS kan lebih tertata gitu lho waktunya. Terus tar masih bisa kuliah, masih ada waktu sabtu minggu buat kuliah. Waktunya lebih tertata gitu. Gajinya kan PNS kan lebih menjamin aja, lagian kita cewek, jadi kalau wartawan itu, apa namanya, nanti capek gitu.396
Jadi PNS, Asal PNS lah, kamu PNS wae malah penak, gari lungguh, nampa gaji tiap bulan gak perlu rekasa. Kalo orangtua menginginkannya untuk menjadi pegawai negeri. Katanya kalau cewek itu lebih aman disitu. Aman dalam artian cewek bisa kerja jadi pegawai negeri gajinya cukup, terus bisa ngurusin keluarga gitu sih..397 Untuk beberapa orangtua, saran mereka kepada putrinya untuk menjadi pekerja kantoran berlatarbelakang keingin agar mereka dapat meneruskan pekerjaannya. Hal itu seperti dialami oleh Agnes Amanda (2007) dan Rahajeng Kartikarani (2007) berikut: Kalau meruntut ke background bapak ibu yang PNS, guru kerja apa aja gak papa, tapi pernah diskusi sama bapak, bapak pengennya ya standart, PNS. Bapak sih usulnya jadi dosen aja gitu. Mungkin pertimbangannya kan soal gaji, gaji tetap. Terus kalau dosen itu kalau dipandang orang juga pintar, gitu. Jadi kamu boleh kerja apa aja yang penting ada pegangan pasti.398
Karena background orangtua itu kerja di bank, jadi mereka juga punya kepenginan kalau aku bisa kerja di bank399
396
Hasil wawancara mendalam dengan Fauziah Nurlina pada hari Rabu, 23 Maret 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Dyanayu Lutfi Almitra pada hari Jumat, 13 Mei 2011 398 Hasil wawancara mendalam dengan Agnes Amanda pada hari Rabu, 23 Februari 2011 399 Hasil wawancara mendalam dengan Rahajeng Kartikarani pada hari Rabu, 23 Februari 2011 397
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
233
Ungkapan yang lebih ekstrim dialami oleh Dian Erika (2008). Menurut orangtuanya, seyogyanya ia memilih pekerjaannya yang normal. Dalam kondisi ini, jurnalis dinilai sebagai pekerjaan yang tidak normal.
disaranin kenapa enggak pekerjaan-pekerjaan yang normalnormal saja kaya misalnya pegawai, pegawai bank, guru kaya gitu dan semacam yang lain.400
Lokasi kerja dekat dengan orangtua Orangtua dari Putu Ayu Gayatri (2009) mencoba membahasakan ketidaksetujuannya jika putrinya akan menjadi jurnalis dalam topik tempat kerja. kerjanya dimana gak masaah, Cuma geografisnya orangtua menyarankan aku gak boleh kerja di Jakarta. Karena katanya waktu bakal habis di jalan, orang-orangnya disana kan gitu. Pengennya sih aku kerja di Bali entah ngapain. Nah, jadi misalnya akan kerja di Bali, kalau jadi wartawan ya mungkin jadi waratwan di Bali itu, atau kerja di hotel, kan Bali yang bagus hotel.401 b. Jurnalis Selain dari pihak orangtua, stereotype diberikan pula oleh para jurnalis. Hal itu seperti dialami oleh Putu Ayu Gayatri (2007) saat ia magang sebagai pewarta di harian Suara Merdeka tahun 2009. kamu kenapa sih pengen jadi wartawan, banyak banget yang ngomong gitu mbak. Ngapain lah, janganlah jadi wartawan. Bahkan wartawannya sendiri itu
400 401
Hasil wawancara mendalam dengan Dian Erika pada hari Minggu, 8 Mei 2011 Hasil wawancara mendalam dengan pada hari Rabu, 23 Februari 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
234
ngomong ke aku, ngapain daftar magang jadi wartawan, tar jadi jelek lho, tar jadi item gini-gini gini, kumal, jadi jelek gitu pokoknya.402 Pengalaman Ayu menyiratkan adanya rasa sanksi pada wartawan saat ada seorang perempuan mencoba masuk dalam dunia media. Perempuan mereka pandang sebagai makhluk pesolek dan menurut mereka media tidak tepat bagi mereka. Pengalaman yang berbeda di alami oleh Veronika Juwita Hapsari (2007). Sama-sama dalam pengalaman selama magang, namun ia merasakan adanya pembedaan pekerjaan yang diberikan antara perempuan dan laki-laki. Jadi disana itu cewek kayaknya lebih diistimewakan , jadi dikasih kerjanya kaya yang ringan-ringan aja, jadi apa, disana mengoperasikan kaya audiomixer, terus edit script. Untuk pegang kamera disana susah, em, bukan susah sih, lebih seringnya kalo kamera itu yang pegang cowok, tapi sebenarnya yang cewek juga punya kesempatan sih buat pegang alat.403 Dari pernyataan Veronika di atas, perempuan dinilai kurang menguasai hal-hal teknis dan juga secara fisik lemah sehingga mendapat tugas yang relatif lebih ringan dari laki-laki
402 403
Hasil wawancara mendalam dengan Putu Ayu Gayatri pada hari Rabu, 23 Februari 2011 Hasil wawancara mendalam dengan Veronika Juwita Hapsari pada hari Rabu, 23 Februari 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP
A. KESIMPULAN Dari serangkaian analisa data pada Bab III dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Persepsi mahasiswi S-1 Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS terhadap profesi jurnalis Persepsi mahasiswi S-1 Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS terhadap profesi jurnalis terdiri dari dua tipe yaitu tipe idealistis dan tipe rasionalistis. Persepsi idealistis melihat jurnalis sebagai profesi ideal. Menurut tipe ini, jurnalis adalah profesi yang menjanjikan beragam kesenangan seperti: jalanjalan, banyak teman, dan menambah wawasan. Disamping itu jurnalis dilihat pula sebagai pekerjaan mulia yang dicontohkan dengan peliputan di wilayah konflik. Jurnalis surat kabar dianggap sebagai bentuk pekerjaan jurnalis yang paling ideal. Ada kesadaran bahwa jurnalis surat kabar memiliki ritme kerja yang lebih ketat, namun mereka justru tertarik pada hal itu dan membayangkan akan sangat bangga jika bisa menjadi seorang jurnalis surat kabar. Adapun jika dilihat berdasarkan latarbelakang masa studi, persepsi tipe ini muncul pada mahasiswa semester awal.
235 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
236
Selanjutnya, persepsi realistis yaitu persepsi terhadap profesi jurnalis yang didasari oleh fakta-fakta yang lebih realistis. Muatan persepsi tidak hanya melulu soal suka atau tidak suka melainkan mampu atau tidak mampu. Ada proses berpikir reflektif dibalik munculnya persepsi realistis ini. Format kerja sebagai kerja lapangan, kesempatan bertemu dengan banyak orang dan juga kesempatan mengabdi bagi masyarakat masih menjadi topik yang mewarnai tipe ini. Bedanya, persepsi ini sudah lebih jelas dalam menggambarkan profesi jurnalis. Jenis profesi jurnalis yang diaggap ideal bagi perempuan yaitu jurnalis televisi dan majalah. Pertimbangannya adalah faktor jam kerja dan keamanan yang lebihy terjamin. Jurnalis surat kabar tidak lagi disukai. Jika dilihat berdasarkan latar belakang masa studi, persepsi tipe ini muncul pada mahasiswi semester tengah dan akhir. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi mahasiswi S-1 Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS terhadap profesi jurnalis Persepsi mahasiswi S-1 Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS terhadap profesi jurnalis baik itu tipe idealistis maupun realistis pada prinsipnya sama-sama dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor pesan (jurnalis), penerima (perempuan) dan faktor stuasional. Hanya saja pada masing-masing tipe tersebut terdapat kecenderungan faktor dominan yang berbeda. Persepsi Idealistis Persepsi tipe idealistis didominasi oleh pengaruh dari faktor pesan dan personal. Sebagaimana telah disampaikan di awal bahwa persepsi ini
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
237
muncul pada masa awal kuliah, munculnya persepsi masih berada pada suasana euphoria setelah berhasil diterima di jurusan Ilmu Komunikasi. Mahasiswi Ilmu Komunikasi menyadari bahwa mereka belajar di lembaga pendidikan yang salah satu tujuannya yaitu mencetak praktisi di bidang media. Idealisme untuk memiliki pekerjaan sesuai disiplin ilmu telah mendorong mahasiswi semester awal merancang karir sebagai jurnalis. Pengetahuan Informan mengenai pendidikan Ilmu Komunikasi dan profesi jurnalis masih sangat terbatas sehingga persepsi yang muncul pun belum akurat sebatas pengetahuan mereka. Dalam kondisi ini media massa cukup berpengaruh dalam pembentukan persepsi. Media ibarat aquarium. Secara tidak langsung media telah menjadi objek observasi para Informan untuk memahami dan menilai profesi sebagai jurnalis. Media tidak memiliki maksud untuk mempengaruhi persepsi mahasiswi mengenai profesi sebagai jurnalis, namun kehadiran mereka secara tidak langsung telah menjadi daya tarik bagi para Informan. Persepsi Realistis Pada tipe realistis, terbentuknya persepsi sangat dipengaruhi oleh faktor personal dan situasional. Mahsiswi masih memiliki ketertarikan untuk menjadi jurnalis, namun dibalik ketertarikan itu terselip keraguan apakah jurnalis sungguh-sungguh pantas untuk dirinya yang beridentitas seks sebagai perempuan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
238
Keraguan
itu
muncul
karena
pengalaman
belajar
dan
mempraktekkannya jurnalistik secara langsung. Hal itu ditambah lagi dengan pengalaman melaksanakan magang di media sehingga gambaran konkrit praktek kerja jurnalis semakin jelas. Bagi yang serius ingin menjadi jurnalis mereka dibantu untuk mendefinisikan ulang media apa yang mereka pilih. Namun bagi yang kurang berminat ada yang memilih mundur karena merasa tidak yakin dapat bertahan. Seperti halnya yang terjadi pada mahasiswi semester tengah, konsep femininitas mulai aktif pada mahasiswi semester akhir. Bahkan untuk kelompok ini jauh lebih serius. Mereka semakin dekat dengan kelulusan, dunia kerja dan rencana pernikahan. Pernikahan menjadi agenda mendesak yang perlu untuk mereka pikirkan. Jurnalis dinilai kurang sejalan dengan beran ibu rumah tangga yang mereka anggap mutlak sebagai tugas perempuan. Significant others menjadi manifestasi budaya patriarkhi yang merongrong mahasiswi untuk melepas mimpi menjadi jurnalis. Saran-saran mereka membuat persepsi mengenai jurnalis semakin negatif. Sosok ayah, ibu menjadi peletak nilai-nilai femininitas bagi perempuan. Sedangkan adanya stereotipe jurnalis laki-laki bagi para perempuan yang akan berprofesi sebagai jurnalis mewakili iklim media yang maskulin. Significant others telah berhasil mengurunkan niat perempuan untuk menyeberang terlampau jauh ke ranah publik.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
239
Secara umum, baik itu tipe idealistis maupun realistis, terjadinya persepsi menunjukkan adanya proses pengamatan dan pembelajaran secara terus menerus. Persepsi yang muncul pada awal masa kuliah berbeda dengan persepsi yang muncul pada pertengahan masa kuliah dan akhir masa kuliah. Pengalaman dan pengetahuan membuka pikiran para Informan untuk memperbaiki penilaian mereka mengenai profesi jurnalis. Idealisme yang mereka bangun perlahan mengalami pergeseran karena adanya harapan yang ternyata kurang sesuai dengan pola kerja jurnalis. Disamping pergulatan secara kognitif, pergeseran persepsi terjadi berkat pengaruh pihak-pihak lain yang secara emosional dekat seperti orangtua, guru dan teman. Masukan dari para significant others itu justru semakin menguatkan mereka untuk melihat jurnalis secara lebih rasional. Penulis melihat, fenomena ini sesuai dengan teori pembelajaran sosial yang disampaikan oleh Charles Osgood dimana media massa sebagai agen sosialisasi yang pertama dalam komunikasi di samping keluarga, guru di sekolah dan sahabat karib. Menurut teori ini, media massa menjadi objek imitasi dan identifikasi bagi setiap orang. Imitasi adalah replika atau peniruan secara langsung dari perilaku yang diamati. Sedangkan identifikasi merupakan perilaku meniru yang bersifat khusus dimana pengamat tidak meniru secara persis sama apa yang dilihatnya. Meskipun lebih sulit untuk dilihat dan dipelajari, identifikasi dinilai memberikan pengaruh terhadap perilaku individu.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
240
B. SARAN Setelah Penulis melakukan analisa, maka Penulis dapat memberikan saran sebagai berikut : 1. Bagi Perempuan yang berminat menjadi Jurnalis Secara umum, budaya patriarkhi telah menjadi belenggu bagi perempuan untuk menjadi jurnalis. Meskipun masyarakat mulai menerima peran perempuan di pekerjaan ini, namun beberapa orangtua ada yang tidak setuju jika anak perempuannya menjadi jurnalis. Alasannya berkaitan dengan sisi keamanan dan kepantasan sebagai perempuan. Jika perempuan sungguh-sungguh ingin menjadi jurnalis maka mereka harus membekali diri dengan wawasan dan keterampilan yang memadai untuk bisa terjun sebagai jurnalis. Di samping itu, perempuan perlu memiliki memotivasi tinggi agar siap menghadapi segala tantangan sebagai jurnalis yang identik dengan pekerjaan laki-laki. Alangkah lebih baik jika perempuan mampu memberi pencerahan bagi praktek jurnalisme konvensional melalui pemikiran jurnalisme berprespektif gender. 2. Bagi Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi Dari temuan data di lapangan, jurusan Ilmu Komunikasi dipercaya oleh para Informan dapat menghantarkan mereka menjadi jurnalis. Sayangnya, proses yang mereka alami di jurusan Ilmu Komunikasi tak seperti yang mereka bayangkan. Pendidikan profesi media dan kuliah kerja komunikasi bukannya membuat mereka semakin siap menjadi jurnalis justru sebaliknya, mereka takut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
241
Kiranya hasil penelitian ini menjadi perhatian para pengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi sebagai pijakan untuk meninjau kembali kurikulum yang telah diterapkan di Jurusan Ilmu Komunikasi. Bagaimana pun juga salah satu tujuan jurusan Ilmu Komunikasi adalah mencetak jurnalis. Jurusan Ilmu Komunikasi seyogyanya tak hanya fokus pada pemberian materi jurnalistik secara teori dan praktek. Lebih dari itu kiranya pengajar dapat memotivasi mahasiswa supaya mengembangkan karir di industri media.
commit to user