2
Komponen Cadangan Sebagaimana dimaksud RUU
4
“Bela Negara atau “Bela Republik”: Pendidikan Kewargaan Dalam Republik Demokratis
6
Wajib Militer dan Hak Warga Negara
8
Wajib Militer: Belajar dari Negara Lain
no.5 desember 2007
konstelasi
Analisis Dua Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)
Melampaui Pro-Kontra RUU Komponen Cadangan PERDEBATAN SEPUTAR hak dan kewajiban konstitusional warga negara mengiringi pro-kontra RUU Komponen Cadangan. Perdebatan itu tidak terelakkan sebab norma konstitusional yang mendasari rancangan aturan mengenai komponen cadangan (compulsory military services) masih rancu. Kerancuan dalam konstitusi terjadi karena hal fondasional yang semestinya menjadi fokus perubahan telah diabaikan oleh para pengamandemen. Komplikasi pemaknaan yang disebabkan penyandingan hak dan kewajiban seperti dalam rumusan Pasal 30 Ayat (1) yang menggunakan frasa “berhak dan wajib”, tetap dibiarkan begitu saja. Secara prinsipil, hak dan kewajiban tidak bisa disandingkan secara bersamaan, karena keduanya diletakkan pada dua dasar yang berbeda. Hak diletakkan kepada individu atas dirinya sendiri, seperti hak untuk hidup, pendidikan dan kesejahteraan. Sementara kewajiban diletakkan pada individu untuk apa yang berada di luar dirinya. Seperti kewajiban membayar pajak yang dibebankan kepada individu untuk ikut membiayai keuangan negara. Dalam konsep hak, individu dapat menolak suatu hal apabila itu tidak berkesesuaian dengan keinginannya dan untuk ini negara harus memberikan perlindungan. Di sisi lain, pada kewajiban individu tidak memiliki kebebasan untuk menolaknya, kecuali atas alasan-alasan tertentu yang ditetapkan secara legal-normatif. Pokok persoalan RUU ini sebenarnya
sudah beranjak dari sini, karena amandemen konstitusi tidak cukup berhasil memberikan dasar yang kuat untuk meletakkan hak dan kewajiban dalam proporsinya masing-masing. Akibat kerancuan — karena penyandingan hak dan kewajiban — yang terdapat di dalam konstitusi kita, para penyokong RUU Komponen Cadangan ataupun para penentangnya sama-sama dapat menggunakan norma konstitusional sebagai landasan argumen mereka. Pro-kontra RUU cadangan telah meyulut perdebatan sengit yang mempertentangkan hak dengan kewajiban konstitusional warga negara. Kerancuan itu justru semakin parah ketika dalam UUD 1945 Perubahan Kedua dimasukkan Bab XII mengenai Pertahanan dan Keamanan Negara, Pasal 30 Ayat (1). Pasal itu sepintas mirip dengan Pasal 30 Ayat (1) UUD 1945 Awal. Namun demikian, karena Pasal 30 ayat (1) UUD 1945 Awal tetap ada dalam konstitusi dan hanya digeser penempatannya di dalam Bab X Warga Negara dan Penduduk serta diubah penomorannya menjadi Pasal 27 Ayat (3), maka Pasal 30 Ayat (1) UUD 1945 Perubahan Kedua itu harus dilihat sebagai norma konstitusi yang baru. Dengan demikian, sejak perubahan kedua UUD 1945, di dalam konstitusi kita terdapat Pasal 27 Ayat (3) mengatur hak dan kewajiban warga negara untuk ikut serta dalam upaya pembelaan negara dan Pasal 30 Ayat
(1) dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Kedua pasal itu mengandung perbedaan yang sangat mendasar. Pasal 27 Ayat (3) yang merupakan rumusan para pendiri bangsa mengamanatkan bela negara sebagai wujud patriotisme setiap warga negara, sementara Pasal 30 Ayat (1) hasil Perubahan Kedua bersumber dari doktrin militer Orde Baru “Sishankamrata”. Dalam hal ini perlu ada pengkajian untuk kemudian menentukan konsepsi bela negara yang mana yang lebih tepat: apakah konsepsi bela negara yang dirumuskan lewat perdebatan para pendiri bangsa di awal berdirinya republik, atau konsepsi Sishankamrata warisan Orde Baru? Ini perlu, sebab ada dua konsepsi bela negara yang saling bertentangan di dalam konstitusi kita. Selanjutnya, pengaturan mengenai keterlibatan warga negara itu semestinya juga tidak perlu dicantumkan dalam 2 (dua) pasal konstitusi. Untuk itu, perlu ada upaya melampaui pro-kontra RUU Komponen Cadangan. Perbincangan selanjutnya perlu diarahkan untuk menjawab persoalan yang lebih penting dan mendesak, yaitu perumusan kembali makna bela negara. Akhirnya, lewat cara itu kita akan mencapai pemahaman mengenai patriotisme yang tentu saja lebih luas dari sekedar urusan keprajuritan dan sekaligus mampu merumuskan keutamaan (virtue) yang harus dijalankan oleh setiap warga negara AB-19
www.p2d.org — konstelasi
1
analisis Komponen Cadangan Sebagaimana ADA DUA perundangan yang dijadikan dasar penyusunan RUU Komponen Cadangan, menjadi dasar pembentukan RUU Komponen Cadangan, yaitu: Pasal 30 UUD 1945 dan UU No.3/2002 tentang Pertahanan Negara — yang menyebutkan bahwa kekuatan pertahanan meliputi tiga komponen yaitu Komponen Utama yang didukung oleh Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung. Dalam RUU ini, Komponen Cadangan diartikan Komponen Cadangan Pertahanan Negara, yang terdiri dari segenap sumber daya nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan Komponen Utama. Selanjutnya, sumber daya nasional diartikan sebagai sumber daya manusia, sumber daya alam dan sumber daya buatan, sarana dan prasarana nasional, nilai-nilai, teknologi serta dana yang dapat didayagunakan untuk pertahanan negara. Dengan demikian, unsur yang dapat direkrut sebagai komponen cadangan tidak hanya warga negara tetapi juga sumber daya alam, sumber daya buatan, sarana dan prasarana nasional termasuk pula harta benda yang dianggap dapat digunakan untuk pertahanan negara. Pada dasarnya, setiap warga negara yang berusia antara 18 hingga 45 tahun dapat dipanggil dan diwajibkan untuk menjadi anggota komponen cadangan ini. Baik berstatus pegawai negeri sipil, karyawan badan usaha milik negara atau daerah, bahkan lembaga atau badan non pemerintah. Termasuk pula mantan prajurit TNI dan mantan anggota Polri. Selain itu, warga negara dapat pula secara suka rela mengajukan diri untuk menjadi anggota Komponen cadangan tanpa harus dipanggil. Penangguhan untuk menjadi
2
konstelasi — www.p2d.org
Hari Juang Kartika 2006. Sumber: http://www.tniad.mil.id
anggota komponen cadangan dapat dilakukan terhadap warga negara yang: (a) sedang menjalani penahanan; (b) sedang menjalani hukuman penjara atau kurungan; (c) kesehatannya tidak mengijinkan; (d) keberadaannya diperlukan masyarakat; (e) sedang menjalani tahap ujian akhir atau tugas akhir pendidikan yang tidak dapat ditinggalkan; (f) sedang menunaikan ibadah haji; atau (g) sedang melaksanakan tugas penting yang tidak dapat digantikan oleh orang lain. Anggota Komponen Cadangan wajib menjalani masa bakti dalam dinas Komponen Cadangan selama 5 (lima) tahun dan setelah masa b akti berakhir secara sukarela dapat diperpanjang selama-lamanya 5 (lima)
tahun lagi, atau berakhir setelah yang bersangkutan mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun. Sementara itu, sumber daya alam, sumber daya buatan, sarana dan prasarana nasional milik negara, badan swasta dan atau perseorangan termasuk manusia dan yang mengawakinya dapat digunakan sebagai unsur dalam Komponen Cadangan. Setiap pemilik, pengelola, atau penanggungjawabnya wajib menyerahkan sumber daya tersebut termasuk anggota atau awaknya yang berada di bawah kekuasaannya kepada pejabat yang ditunjuk guna dibentuk menjadi Komponen Cadangan. Selanjutnya, RUU menyebutkan bahwa Komponen Cadangan digunakan dalam keadaan darurat militer
dimaksud RUU atau keadaan perang melalui keputusan mobilisasi dan demobilisasi yang ditetapkan oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Komponen Cadangan digunakan apabila telah diperhitungkan bahwa kekuatan TNI tidak mampu untuk menghadapi ancaman militer yang ada. Selain itu, anggota Komponen Cadangan dapat dikerahkan untuk kegiatan kemanusiaan penanggulangan bencana alam.
Berdasarkan pengaturan dalam RUU, terlihat bahwa komponen cadangan murni digunakan untuk membantu kekuatan TNI dalam melakukan tugas pertahanan. Baik itu untuk menghadapi ancaman dari luar maupun ancaman dari dalam. Secara prinsip, pengaturan RUU ini bertolak belakang dengan reformasi TNI. Di satu sisi TNI menarik diri dari aktivitas sipil, tetapi di sisi lain, melalui
RUU ini TNI menarik masyarakat sipil ke dalam aktivitasnya. Pengaturan yang cukup berbahaya dari RUU ini adalah ketika sumber daya alam, dalam artian harta benda, diwajibkan pula menjadi unsur komponen cadangan. Dengan dalih untuk pertahanan dan keamanan, generasi baru perampasan harta-benda oleh negara dapat terjadi FJ-11
Konsep Komponen Cadangan dalam RUU KOMPONEN CADANGAN adalah Komponen Cadangan Pertahanan Negara yang terdiri dari segenap sumber daya nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan Komponen Utama.
Matra Udara
Matra Udara
Warga Negara Dberstatus pegawai negeri sipil, karyawan badan usaha milik negara atau daerah, dan anggota lembaga atau badan non pemerintah, yang dipanggil Dberstatus mantan prajurit TNI dan mantan anggota Polri Dsecara perseorangan dengan suka rela menjalani masa bhakti dalam dinas selama 5 tahun dan setelah masa bhakti berakhir secara sukarela dapat diperpanjang selama-lamanya 5 (lima) tahun lagi, atau berakhir setelah yang bersangkutan mencapai usia 55 tahun
Matra Udara
DSumber daya alam Dsumber daya buatan, Dsarana dan prasarana nasional milik negara, badan swasta dan atau perseorangan termasuk manusia dan yang mengawakinya Setiap pemilik, pengelola atau penanggung jawab sumber daya alam, sumber daya buatan, sarana dan prasarana yang diperlukan untuk kepentingan Komponen Cadangan wajib mendukung pendayagunaannya wajib didayagunakan sebagai Komponen Cadangan dalam waktu yang tidak lebih dari setengah masa daur hidup atau usia pakainya dan dapat diperpanjang atas persetujuan pemilik, penanggung jawab, atau pengelola. Dapat diperpanjang jika: (a) masih diperlukan dan (b) masih laik pakai
Ddigunakan dalam keadaan darurat militer atau keadaan perang melalui keputusan mobilisasi dan demobilisasi yang ditetapkan oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Ddigunakan apabila telah diperhitungkan bahwa kekuatan TNI tidak mampu untuk menghadapi ancaman militer yang ada
Anggota Komponen Cadangan dapat dikerahkan untuk kegiatan kemanusiaan penanggulangan bencana alam Sumber: RUU Komponen Cadangan versi Agustus 2005
www.p2d.org — konstelasi
3
analisis “Bela Negara” atau “Bela Republik”: Pendidikan KEWAJIBAN MEMBELA negara merupakan salah satu prinsip dalam konsep kewargaan aktif (active citizenship), di mana bela negara menjadi tanggung jawab setiap warga untuk bertindak bagi virtue kemaslahatan bersama, dan bukan semata-mata untuk kepentingan individu warga. Dalam kaitan ini, menjadi sangat penting bagi setiap warga untuk benar-benar menyadari dan memahami kewajiban untuk ikut serta pembelaan negara. Jawaban atas beberapa pertanyaan mendasar seperti mengapa warga memiliki tanggung jawab atas pertahanan (bela negara)? Bilamana tanggung jawab tersebut dapat digunakan dan tunaikan oleh setiap warga? Apa akibatnya bila warga mengabaikan tanggung jawab ini? Pada titik ini kita akan berbicara mengenai pendidikan sebagai satu sarana untuk membentuk kesadaran tanggung jawab warga. Sebelum lebih jauh, menarik untuk melihat bagaimana konsep bela negara dan pendidikannya dipahami dan dilaksanakan. Pertama-tama bela negara dipahami sebagai upaya mempertahankan negara dari serangan militer pihak luar. Kedua, akibat dari pemahaman pertama, bela negara dan hal-hal yang terkait dengannya (termasuk pendidikan bela negara) menjadi wilayah kerja militer. Ketiga, wujud dari peran warga dalam upaya bela negara adalah keikutsertaan dalam wajib militer (komponen cadangan). Sebagai ilustrasi, bisa kita lihat apa yang dilakukan dalam Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN). Aktifitas ini dilaksanakan di bawah koordinasi TNI dan Dephan. DEPO Pendidikan (Dodik) Bela Negara, tempat penyelenggaraan PPBN, berdiri pada Juni 2003 di Desa Cikole, Kecamatan Lembang, Bandung. Idenya berasal dari Panglima Kodam III Siliwangi Mayjen Iwan R. Sulanjana dan Gubernur Jawa Barat ketika itu H. Nuriana. Tujuannya
4
konstelasi — www.p2d.org
adalah memperkaya wawasan kebangsaan masyarakat, khususnya generasi muda (KCM, 13/12/2004). Syarat untuk mengikuti PPBN cukup mudah, yaitu berbadan sehat dan berusia maksimal 50 tahun. Materi PPBN yang diberikan antara lain wawasan nusantara, UUD1945, sistem pertahanan semesta, Pancasila, dan otonomi daerah. Adapun praktik lapangan meliputi pelajaran barisberbaris, peraturan penghormatan militer, taktik regu, kegiatan alam bebas, dan ketahanan mars (KCM, 13/12/2004).
Mahasiwa Universitas Siliwangi (Unsil) Tasikmalaya mengikuti kegiatan PPBN Sumber: Pikiran Rakyat - Yusuf Aji.
Selain Dodik PPBN, kegiatan ini juga pernah dilaksanakan oleh Universitas Siliwangi (Unsil) Tasikmalaya. Bahkan PPBN menjadi kegiatan wajib setiap tahun bukan hanya untuk mahasiswa tapi juga dosen dan karyawan. Peserta yang mengikuti kegiatan PPBN tahun akademik 2005/2006, terdiri dari mahasiswa reguler 1.129 orang, dan kelas karyawan 245 orang. Tujuan dari PPBN Unsil adalah agar mahasiswa memiliki kesiapan melak-
sanakan bela negara, terkait dengan cinta tanah air (Pikiran Rakyat, 13/2/2006). PENDIDIKAN
KEWARGAAN
DAN
BELA NEGARA
Memang ada aspek kemiliteran dalam aktivitas bela negara. Namun menyerahkan tanggung jawab pendidikan bela negara hanya kepada militer akan menimbulkan persoalan. Selain aspek kemiliteran, bela negara juga mengandung aspek tanggung jawab dan kewajiban warga (civic duties). Dengan kata lain, dari sisi warga, bela negara merupakan bagian dari politik kewargaan (citizenship) kita. Untuk melakukan pendidikan politik kewargaan, militer bukanlah institusi yang tepat, karena bukan semata-mata aspek kemiliteran yang ada dalam konsep bela negara, justru prinsip dan nilai kewargaan yang menjadi pokok dari konsep bela negara. Karena itu pendidikan kewargaan (civic education) menjadi penting untuk dilaksanakan secara intensif. Di dalam civic education inilah tiga pertanyaan di awal tulisan ini akan dijawab. Jawaban bagi pertanyaan pertama, terletak pada alasan mengapa kita berkumpul dalam satu ikatan politik yang berbentuk republik. Dalam republik, kemaslahatan umum atau bersama (common good) dan kebebasan (dalam pengertian non-dominasi) adalah dua pilar utama. Untuk itu dibutuhkan partisipasi aktif setiap warga (active citizenship) dalam memperjuangkan pencapaian kemaslahatan umum dan menjaga kebebasan. Artinya, politik kewargaan ditujukan terutama bagi kemaslahatan umum bukan sematamata individu atau kelompok. Di sinilah pentingnya pendidikan kewargaan terutama dalam menanamkan kesadaran agar setiap warga berpartisipasi aktif dalam selu-
Kewargaan Kewargaan dalam Republik
Sumber: http://www.citizen.org.uk
ruh kehidupan bermasyarakat. Dalam partisipasinya setiap warga harus memiliki civic virtue yaitu mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi, memiliki sikap toleran dan menghargai pluralitas, memiliki kepedulian, keberanian, keadaban (civility) dan kejujuran (Bobbio, 2003: 36-37; dan Maynor: 2003, 180-182). Persoalannya sekarang adalah bagaimana hubungan antara pendidikan kewargaan, dan bela negara? Dalam republik, negara adalah organisasi politik warga yang berfungsi untuk menjamin dan menjaga seluruh partisipasi warga dapat dilaksanakan demi kebebasan dan kemaslahatan umum. Apa yang disebut sebagai ancaman terhadap negara harus kita lihat sebagai ancaman terhadap kebebasan (non-dominasi) dan kemaslahatan umum. Untuk itulah, seperti yang dikatakan oleh Machiavelli, setiap warga harus ter-
libat dalam mempertahankan negara untuk melindungi kemaslahatan umum, dengan demikian melindungi kebebasan mereka. (Maynor: 29) Inilah yang disebut sebagai patriotisme dalam republik modern, yaitu kerelaan berkorban untuk mencapai dan melindungi kemaslahatan umum dan kebebasan.Tanpa kebebasan nondominasi dan kemaslahatan umum, tidak ada republik. Jadi, dengan mempertahankan kedua pilar tersebut berarti juga mempertahankan keberadaan republik. Uraian ini menjawab pertanyaan kedua dan ketiga sekaligus.Tanggung jawab dalam bela negara digunakan ketika kebebasan dan kemaslahatan umum terancam, baik ancaman dari luar maupun dari dalam. Jika warga mengabaikan hak dan kewajibannya maka kebebasan dan kemaslahatan umum akan terancam. Dengan kata lain segala macam pelibatan warga dalam aktivitas yang akan meng-
ancam kebebasan dan kemaslahatan umum harus ditolak, seperti wajib militer bagi perang yang bertujuan mendominasi negara lain (misalnya pada perang Vietnam atau perang Irak). Tugas dari pendidikan kewargaan adalah memberikan pemahaman, nilai-nilai dan ketrampilan bagi setiap warga untuk terlibat dalam republik. Dalam kaitannya dengan bela negara (republik) pendidikan kewargaan berkewajiban membentuk patriotisme sehingga segala upaya melindungi kebebasan dan common good dapat dilakukan. Setiap warga yang terlibat dalam aktivitas bela negara sadar betul akan alasan keterlibatannya karena memiliki jawaban atas tiga pertanyaan mendasar di atas. Bukan karena terpaksa atau karena perasaan nasionalisme yang right or wrong is my country.Akan tetapi karena kecintaannya akan kebebasan dan tujuan kemaslahatan semua warga IK-06 www.p2d.org — konstelasi
5
opini Wajib Militer dan Hak Warga Negara WILLY ADITYA Mahasiswa Program Master Defence and Security Study, Cranfield University UK dan ITB Bandung
PEMIKIRAN Yunani kuno, militer diasosiasikan sebagai sesuatu yang “tidak mulia atau kotor” dan tidak memiliki otoritas apapun kecuali berperang. Wajib militer sering kali dipandang sebagai intervensi res privata ke dalam res publica di mana terjadi pengaburan batas antara warga negara berseragam dan warga negara sipil. Apakah wajib militer bertentangan dengan semangat demokrasi? Secara konsepsi, demokrasi mensyaratkan partisipasi aktif warga negara tanpa diskriminasi terhadap jenis kelamin, suku, dan ras, serta persamaan hak untuk membela negara. Di beberapa negara demokrasi, wajib militer juga memiliki payung hukum sebagai sumber daya pertahanan negara dalam menghadapi ancaman dan situasi perang. Hampir semua doktrin pertahanan negara mencantumkan tanggung jawab setiap warga negara, secara politis ataupun moral, untuk berkontribusi mempertahankan eksistensi negara terhadap ancaman (invasi) dari luar. Wajib militer dalam pengertian sederhana dapat dipandang sebagai pelibatan warga negara sipil ke dalam organisasi kemiliteran atas dasar menjalankan tugas-tugas kenegaraan dalam bentuk mobilisasi. Dalam perspektif keamanan tradisional, yang menggunakan konsep sistem pertahanan rakyat semesta (Total Defence System), wajib militer merupakan prasyarat tak terhindarkan. Asumsi ini dengan alasan bahwa pertahanan semesta memfungsikan semua komponen bangsa sebagai alat pertahanan. Wajib militer juga dikenal dengan istilah compulsory military service. Istilah ini dipakai di Singapura, Iran, dan Amerika Serikat. Dalam mengeDALAM
6
konstelasi — www.p2d.org
Sumber: http://www.bluejacket.com
lola cadangan strategis, Indonesia tertinggal dari dua negara tetangga, Malaysia dan Singapura. Singapura sudah menerapkan wajib militer sejak tahun 1976, sementara Malaysia mulai menerapkan wajib militer pada 2002. Di Iran, wajib militer juga digunakan sebagai pemenuhan hak ekonomi warga negara dengan mewajibkan kerja sosial bagi warga yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang setingkat SMU dan per-guruan tinggi. Sementara Korea Selatan menetapkan wajib militer sebagai
prasyarat bagi para pencari kerja. Pada Perang Dunia II, Amerika Serikat mempromosikan concription untuk membentuk citizen soldier yang membebaskan Eropa dari ancaman “setan fasisme”. Concription dibentuk tidak hanya semata-mata atas dasar instruksi negara, tetapi juga atas dasar kesukarelaan dari warga negara. Citizen soldier melibatkan warga negara yang memiliki pekerjaan tetap, cukup umur, juga pada warga negara yang akan berpergian keluar negeri.
Argumentasi dominan diberlakukannya wajib militer adalah situasi perang atau ancaman terhadap eksistensi negara dari luar negeri. Sebagai contoh, status adanya ancaman perang diberlakukan di Iran karena adanya potensi ancaman terhadap kondisi keamanan negara dari negara tetangga. Status yang sama juga diberlakukan di negara-negara seperti Korea Selatan dan Israel. Penerapan wajib militer bagi negara dalam ancaman perang dan status perang dilakukan berdasarkan kebutuhan (temporary). Sementara wajib militer yag bersifat permanen diterapkan oleh negara-negara dengan jumlah penduduk yang terbatas, seperti Singapura dan Swiss misalnya. Keterbatasan jumlah militer aktif menjadi alasan utama untuk membekali semua warga negara memiliki kemampuan pertahanan negara.Wajib militer di negara-negara ini memiliki payung hukum legal dan ketentuan khusus seperti usia, pekerjaan, prosedur perekrutan, dan masa dinas. Argumentasi wajib militer lainnya adalah pembentukan semangat bela negara (patriotisme) di kalangan generasi muda, serta sebagai komponen cadangan pertahanan negara. Merujuk konsep modern defence (profesional military) jumlah tentara haruslah terbatas, keahlian tinggi (expert), serta persenjataan high tech. Tentara profesional berfungsi sebagai special force dan wajib militer menjadi tenaga volunteer paruh waktu untuk misi kemanusiaan atau dimobilisasi di masa perang. Penolakan terhadap wajib militer berangkat dari filsafat humanisme tentang semangat anti kekerasaan dalam penyelesaian konflik (non-violence action) serta seruan moral agama tentang “larangan membunuh sesama”. Gerakan menolak pelibatan warga sipil untuk memanggul senjata marak di negara-negara Eropa Barat setelah Perang Dingin selesai. Di beberapa negara penolakan tersebut mencapai kemenangan hukum dengan dicabutnya wajib militer bagi warga sipil. Penolakan hati nurani (conscientious objection) merepresentasikan semangat
hak asasi manusia yang menentang pendekatan konflik bersenjata. Persoalan hak asasi manusia menjadi pasal khusus dalam bentuk conscientious objectors yang di beberapa negara diatur dalam keadaan apa saja warga negara yang dipanggil untuk wajib militer dapat bebas dari kewajiban tersebut. Keberhasilan penolakan wajib militer di negara-negara Euro Atlantik tidak terlepas dari berkurangnya ancaman atau dihilangkan status perang paska perang dingin. Negara-negara Euro-Atlantik melakukan perubahan postur pertahanan yang ditandai dengan penyusutan jumlah pasukan dan mempromosikan peace dividend sebagai jalan keluar dari konflik dan ketegangan antar negara. Transformasi kemiliteran berimplikasi terhadap fungsi wajib militer di negara-negara Euro-Atlantik menjadi lebih banyak bertujuan membawa misi perdamaian di daerah paskakonflik. Modernisasi konflik pun menuntut militer dilengkapi dengan keterampilan yang lebih civilian seperti negosiasi dan layanan kesehatan. Di Indonesia, wajib militer di Indonesia menjadi wacana seiring dengan pembahasan RUU Komponen Cadangan Strategis. Usulan tersebut berpijak pada UndangUndang No.3/2002 tentang Pertahanan Nasional bahwa dalam menghadapi ancaman TNI ditempatkan sebagai komponen utama, selanjutnya ada komponen cadangan dan pendukung. Selama berkuasa Orde Baru menerapkan konsep negara integralistik, di mana sulit membedakan antara militer sebagai pendukung kekuasaan dengan militer sebagai alat negara yang melindungi semua komponen bangsa. Akibatnya abuse of power juga terjadi pada warga sipil berseragam seperti Kamra, Hansip, sampai Satpam. Wajib militer menjadi permasalahan pelik karena kekaburan pemahaman terhadap substansi militer sebagai alat demokrasi dengan bayangan militerisme di masa otoritarian. Dalam pemerintahan otoriter, militer menjadi aktor dominan yang
menyelewengkan kekuasaan. Realitas tersebut berbanding terbalik dengan pengalaman negara-negara demokratik seperti di Eropa, di mana penyelewengan kekuasaan didominasi oleh aktor-aktor sipil sendiri seperti aparat-aparat polisi, imigrasi, dan kejaksaan. Samuel P. Huntington dalam tulisannya The Soldier and the State, mendefenisikan otoritas politik sipil atas militer sebagai pemberian kekuasaan secukupnya pada profesional militer yang kompeten melalui kebijakan yang ditentukan penguasa sipil. Di sinilah program wajib militer menjadi sarana yang efektif mendorong TNI lebih profesional karena masyarakat sipil memiliki akses terhadap sektor keamanan. Dalam sistem pemerintahan demokratis, otoritas politik sipil yang mengatur dan memutuskan persoalan seperti wajib militer, anggaran militer, sistem persenjataan, pengerahan pasukan, dan aset militer.
P2D konstelasi diterbitkan oleh Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)
Redaksi Abdul Qodir Agil Daniel Hutagalung Donny Ardyanto Elisabet R. Kuswijayanti Fajrimei A. Gofar Hendrik A. Boli Tobi Ikravany Hilman Isfahani Otto Pratama Rachland Nashidik Robby Kurniawan Robertus Robet Santi Nuri
Alamat Redaksi Jl. Sawo No.11, Jakarta 10310 Tel/Fax: (021) 31925734 http://www.p2d.org E-mail:
[email protected]
www.p2d.org — konstelasi
7
analisis Wajib Militer: Belajar dari Negara WaCANA MENGENAI pemberlakuan wajib militer di Indonesia bukanlah sesuatu hal yang baru. Perdebatan yang sama juga terjadi ketika almarhum Matori Abdul Djalil menjabat sebagai Menteri Pertahanan RI pada masa pemerintahan Kabinet Gotong Royong dan Mahmud M. D. pada masa kepemimpinan mantan Presiden Abdurrahman Wahid. Meskipun demikian, isu wajib militer belum pernah terealisasi sampai Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono mengajukannya sebagai RUU. Rencana pemberlakuan wajib militer itu kini telah dituangkan ke dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Komponen Cadangan dan akan masuk ke DPR pada awal tahun 2008 mendatang. Melalui rancangan tersebut, seluruh warga negara Indonesia yang berusia 18 sampai dengan 45 tahun diwajibkan untuk mengikuti pelatihan dasar militer. Kontroversi tidak hanya terjadi di internal bangsa, tetapi pada tataran dunia, konsep bela negara yang termanifestasi dalam pemberlakuan wajib militer juga masih menjadi suatu dilema. Terlepas dari tujuan utama yang mengarus pada kepentingan negara dalam bidang militer dan pertahanan, wajib militer juga menyinggung sisi hak asasi manusia yang melekat pada diri setiap warga negara. Baiknya kita belajar dari pengalaman negara-negara tetangga yang sedang atau pernah menerapkan sistem pelayanan terhadap negara atau yang lebih sering dikenal dengan istilah wajib militer (compulsory military service). Misalnya Singapura, negara yang memiliki populasi sebanyak 4,5 juta jiwa ini telah memberlakukan sistem wajib militer sejak tahun 1976. Peraturan di Singapura menghendaki setiap warga negara laki-laki yang sehat dan penduduk laki-laki permanen yang sudah menetap selama dua
8
konstelasi — www.p2d.org
Aktivitas pelayanan kepada komunitas di Singapura. Sumber: http://www.cnb.gov.sg generasi dan berusia 18 tahun untuk menjalani pelatihan dasar militer atau national service selama minimal dua tahun. Pengecualian diberikan kepada warga atau penduduk yang memiliki masalah dengan kesehatan atau alasan penting lainnya. Setelah dua tahun menjalani pelayanan tersebut, maka setiap laki-laki dapat dikatakan siap secara operasional dan bisa dimanfaatkan sebagai tenaga cadangan sebelum usianya mencapai 40 tahun. Pemerintah Singapura memberikan
dua jalur pelayanan yang bisa dipilih oleh tiap penduduk laki-laki yang akan mendaftar. Pilihan pertama adalah jalur untuk mengikuti pelatihan dasar militer, dan pilihan kedua adalah jalur untuk mengikuti pelayanan kepada komunitas (community works) yang mengharuskan mereka untuk bekerja di bidang administrasi kantor-kantor pemerintahan. Ada beberapa alasan mendasari kebijakan pemerintah Singapura menerapkan sistem wajib militer.
Lain
Pertama, sistem wajib militer ditujukan untuk mendidik warga laki-laki yang sedang beranjak dewasa mengenai kedisplinan. Kedua, demi menjamin kepentingan negara, penerapan sistem wajib militer ini penting sebagai alat pertahanan negara. Warga negara laki-laki yang siap secara operasional merupakan aset pertahanan yang bisa dikerahkan oleh negara ketika ada ancaman agresi dari luar. Ketiga, penerapan wajib militer di Singapura secara efisien dapat
...kita perlu mencermati motif dan tujuan dibalik rencana pemerintah untuk menyusun RUU Komponen Cadangan, khususnya klausul yang menjelaskan mengenai peraturan wajib militer. Seperti yang diperlihatkan oleh Singapura dan Jerman, wajib militer tidak selamanya digunakan sebagai suatu cara untuk membangun kekuatan militeristik, akan tetapi juga diperuntukkan kepada tujuan yang sifatnya lebih sosial dan berguna bagi komunitas. menutupi 70.000 kekurangan tentara dalam militer. Sementara itu Jerman mulai memberlakukan wajib militer sejak 1 April 1957. Sejak itu sudah lebih dari 8 juta warga Jerman menunaikan kewajiban ini. Meski wajib, tidak semua pemuda Jerman ingin melakukan wajib militer. Oleh karena itu pemerintah memberikan alternatif
wajib kerja sosial (Zivildienstleistenden) bagi mereka yang tidak ingin melakukan wajib militer. Seiring dengan perbaikan situasi politik dan keamanan di wilayah Jerman dan Eropa Barat secara keseluruhan, pemerintah Jerman lebih mengarahkan komponen wajib militer selama satu tahun untuk penanganan bencana dan kecelakaan, termasuk pemadaman kebakaran. Fasilitas militer, helikopter, pesawat dan truk digunakan oleh peserta wajib militer untuk evakuasi penduduk. Sementara itu wajib kerja sosial sebagai alternatif program wajib militer diarahkan pada pemenuhan tenaga kerja di fasilitasfasilitas publik seperti rumah sakit demi menghemat biaya operasional. Selanjutnya program alternatif ini dikembangkan menjadi bagian dari pendidikan sosial dan kewarganegaraan. Dengan demikian, Jerman memperlihatkan sebuah sistem pendidikan yang tidak selamanya berorientasi pada kebutuhan militaristik akan tetapi juga kebutuhan pembangunan karakter dan watak bangsa melalui pemberlakuan sistem wajib militer. Berbeda dengan contoh kedua negara di atas, Amerika Serikat yang pada awalnya menerapkan wajib militer, sejak tahun 1973 telah mencabut peraturan tersebut. Wajib militer ketika itu diselenggarakan sebagai upaya untuk memperkuat pertahanan negara pada masa perang Vietnam. Pembekuan wajib militer pasca perang Vietnam merupakan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah AS karena situasi politik dan keamanan sudah stabil dan tidak memerlukan penambahan personil dalam pengamanan negara. Pengalaman Amerika menunjukkan bahwa pemberlakuan wajib militer memang hanya diterapkan ketika negara sedang dalam kondisi perang sehingga membutuhkan mobilisasi pasukan. Oleh karena itu tentara-ten-
www.p2d.org — konstelasi
9
Sumber: http://subjunctive.net tara cadangan hasil cetakan wajib militer disebut sebagai "citizen soldier”, mengikuti konsep concriptio yang digunakan pada masa Perang Dunia II ketika blok Barat berusaha untuk menampis ancaman setan fasisme. Disini bisa kita cermati bwa sistem wajib militer di AS diterapkan untuk memenuhi kepentingan militer. Sama dengan apa yang dilakukan saat ini oleh pemerintah Korea Selatan yang tetap menerapkan wajib militer sebagai salah satu usaha membangun kekuatan militer untuk menghadang potensi serangan dari Korea Utara. Dari contoh pengalaman kedua negara tersebut, wajib militer dilaksanakan sebagai salah satu komponen bela negara yang diperkuat dengan unsur adanya instruksi negara; sifatnya dianggap esensial demi stabilitas keamanan wilayah
10
konstelasi — www.p2d.org
guna menanggapi potensi serangan eksternal dari negara tetangga. Belajar dari deskripsi di atas, kita perlu mencermati motif dan tujuan dibalik rencana pemerintah untuk menyusun RUU Komponen Cadangan, khususnya klausul yang menjelaskan mengenai peraturan wajib militer. Seperti yang diperlihatkan oleh Singapura dan Jerman, wajib militer tidak selamanya digunakan sebagai suatu cara untuk membangun kekuatan militeristik, akan tetapi juga diperuntukkan kepada tujuan yang sifatnya lebih sosial dan berguna bagi komunitas. Dengan demikian warga negara juga dididik untuk bersikap layaknya penduduk yang bertanggung jawab dan setia terhadap sesama dan negara. Pengalaman AS dan Korea Selatan juga sepatutnya dijadikan
pertimbangan apabila memang sistem wajib militer hendak ditujukan demi kebutuhan kekuatan pertahanan dan keamanan sehubungan dengan adanya potensi ancaman eksternal. Komponen cadangan disusun sesuai dengan konteks kondisi negara, baik dari sisi politik, pertahanan dan keamanan, sosial, dan ekonomi. Sementara RUU Komponen Cadangan yang sedang dipersiapkan masih belum bisa keluar dari landasan filosofis apakah merupakan hak atau kewajiban (sementara RUU ini menyetarakan kedua prinsip yang berbeda itu dengan menyebut sebagai “hak dan kewajiban”), dan juga belum jelasnya tujuan-tujuan strategis untuk kemaslahatan umum seperti apa yang sebenarnya hendak dicapai melalui RUU ini jika menjadi UU SN-04
analisis Evolusi Wajib Militer dan Peperangan Modern PERAN PARA wajib militer (Wamil) atau milisi sipil dalam doktrin militer klasik adalah elemen yang penting untuk pertahanan wilayah negara. Di tahun 1800an, Napoleon Bonaparte memperkenalkan konsep mobilisasi wajib militer secara massal. Kemampuan Perancis memobilisasi wajib militer secara cepat ketika itu dapat dilihat sebagai faktor yang mendukung suksesnya kampanye agresif Napoleon. Di zaman itu besarnya pasukan berbanding lurus dengan daya ledak senapan di medan pertempuran. Semakin besar jumlah pasukan yang dapat digelar di medan tempur menjadi faktor yang menentukan kemenangan. Di akhir abad 19 bersamaan dengan kemajuan teknologi kanon (meriam) dan pemakaian senapan mesin, membuat gelar pasukan yang besar tidak lagi jadi faktor deteren lagi. Di sisi yang lain perkembangan konsep mobilisasi wajib militer secara masal ini diterapkan sebagai metode yang dapat menanggulangi agressi militer negara asing. Kemampuan memobilisasi para wajib militer ini dapat menentukan nasib bangsa dalam menangkal ancaman agressi militer negara asing. Pada abad ke duapuluh, konsep militer yang baru adalah kemampuan menggerakan pasukan secara massal, cepat dan tepat menjadi penentu keunggulan dalam medan tempur. Pada Perang Dunia II, konsep Blitzkrieg (perang kilat) membuktikan bahwa kemampuan melakukan manuver dengan mobilitas yang tinggi menjadi penentu kemenangan di medan perang. Dalam konsep perang kilat, yang digelar adalah pasukan profesional yang memiliki kemampuan khusus. Kelompok pasukan ini menjadi ujung tombak di medan pertempuran yang mendapatkan dukungan dari segenap kekuatan angkatan perang. Doktrin militer klasik dan konsep perang kilat menjadi landasan untuk pengem-
Sumber: http://www.defense-update.com
bangan model kekuatan angkatan bersenjata modern. Dalam model ini para wajib militer (conscript) dikembangkan secara massal, cepat dan memiliki kemampuan khusus, serta diberikan dukungan logistik yang maksimal. Pada periode perang dingin, model ini diterapkan di negaranegara Pakta Atlantik Utara (NATO) dan juga di beberapa negara yang wilayah geopolitiknya rentan, seperti Korea Selatan, Singapura dan Israel. Di negara-negara ini para wajib militer memiliki combat readiness yang tidak kalah dengan tentara profesional. Dengan berakhirnya perang dingin di tahun 90-an, ada perubahan sikap di banyak negara dalam menggunakan kekuatan perang (darat). Keberadaan jumlah angkatan darat yang terdiri dari tentara profesional dan para wajib militer secara drastis dikurangi. Keberadaan tentara profesional diperkirakan cukup untuk untuk menghadapi segala macam bentuk ancaman bagi perdamaian dunia. Dalam skenario peperangan modern (modern warfare) abad 21, peranan para wajib militer maupun milisi sipil sudah dianggap hal yang berlebihan. Dalam teater perang modern pengerahan jumlah pasukan sudah tidak lagi menjadi ele-
men deteren dalam pemenangan pertempuran. Kemajuan teknologi komunikasi-informasi dan elektronik berhasil mengurangi penggunaan tentara secara signifikan. Contohnya adalah invasi Amerika di Irak yang hanya memerlukan jumlah pasukan yang relatif kecil dibandingkan luas wilayah. Misalnya pengerahan pasukan yang besar dalam medan tempur dilakukan cukup dengan mengerahkan pesawat tanpa awak yang dapat terbang terus menerus selama 7x24 jam. Apabila di wilayah tersebut terjadi gangguan keamanan atau ancaman dari luar wilayah, maka gelar pasukan dapat segara dilakukan. Dengan kemajuan teknologi seperti ini, penguasaan suatu wilayah cukup dengan mengerahkan pasukan tentara profesional. Dalam pengertian ini maka wajib militer tidak bisa secara semena-mena diartikan sebagai bela negara atau patriotisme. Wajib militer dilakukan dalam suatu kondisi yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Artinya wajib militer hanya bagian kecil saja dalam konsep bela negara dan patriotisme. Jadi, bukan suatu kebutuhan mendesak bagi negara seperti Indonesia yang tidak berada dalam kondisi ancaman perang, maupun jumlah penduduk yang tidak memadai, sehingga diperlukan pembekalan kemampuan militer bagi warga negara untuk pertahanan negara. Pendidikan bela negara dan patriotisme bisa diselenggarakan dalam lingkup institusi pendidikan sipil, dan bukan hanya militer. Jadi penggunaan biaya untuk wajib militer lebih baik digunakan untuk mengembangkan pendidikan kewargaan (yang di dalamnya terdapat pendidikan bela negara) atau mengembangkan teknologi militer untuk membangun kekuatan pertahanan profesional OT-68 www.p2d.org — konstelasi
11
analisis Machiavelli dan Negara dalam “Bela Negara” MACHIAVELLI MENERIMA warisan Aristoteles mengenai cita-cita masyarakat yang baik serta pemisahan yang ketat antara polis (yang publik) dan oikos (yang privat). Machiavelli menjadikan warisan Aristoteles itu sebagai landasan untuk memperkuat cita-cita pendirian republik yang — dalam istilah Cicero — merupakan sebuah persekutuan politik yang paling memungkinkan kebebasan dilindungi oleh hukum. Bahkan oleh Machiavelli pandangan Aristoteles ini diturunkan sedemikian rupa ke dalam suatu teori mengenai etika politik yang konkret. Bagi Machiavelli, kehendak bersama untuk membentuk suatu masyarakat yang baik hanya mungkin apabila baik para pemimpin maupun warga disatukan oleh sifat kesejatian untuk mengedepankan apa yang ia sebut sebagai virtue atau keutamaan. Kualitas untuk selalu mendahulukan “common good” atau kemaslahatan orang banyak. Inilah terjemahan etis Machiavelli atas konsep polis Aristoteles. Machiavelli mengemukakan ini karena melihat pengalaman jatuh berantakannya polis, atau negara kota di Italia, karena dipimpin oleh para pangeran dan bangsawan yang korup. Dengan pendasaran semacam ini, maka negara di dalam Machiavelli diterjemahkan benar-benar sebagai polis dalam pengertian yang paling etisnya, yakni kepentingan umum. Artinya, negara bukanlah sebongkah identitas komunal, melainkan sebuah kerangka etis ekspresi kepentingan orang banyak. Machiavelli menyimpulkan bahwa memang pada dasarnya manusia adalah mahluk yang tidak jujur dan cenderung picik. Tapi sifat dasar itu bisa diubah dengan dididik. Dengan pendidikan manusia bisa dipersiapkan menjadi warga yang baik, sehingga memiliki kualitas untuk mempertahankan keutamaan dalam arti keberanian membela kemaslahatan
12
konstelasi — www.p2d.org
Machiavelli. Sumber: www.mrdowling.com
umum. Inilah yang disebut oleh Machiavelli dengan patriotisme. Dalam kerangka ini, Machiavelli memang menganjurkan apa yang ia sebut sebagai militia yakni dididik sebagai militer sebagai salah satu metode untuk membentuk warga yang ber-virtue. Dari sini banyak orang menafsirkan ide Machiavelli sebagai ide “proto-fasis”. Ini adalah tafsir yang keliru. Sebaliknya, Machiavelli sebenarnya secara lebih baik memberikan kita penjelasan apa makna patriotisme sesungguhnya. Baginya, patriotisme pertamatama tidak berurusan dengan militer melainkan berurusan dengan virtue dan polis, yakni tekad untuk mempertahankan kemaslahatan umum. Di dalam konteks jamannya, musuh terbesar virtue adalah kebusukan korupsi. Sementara militer adalah salah satu instrumen pendidikan untuk warga. Dengan demikian di sini ia kembali memperkuat Aristoteles di satu sisi, yakni bahwa
keutamaan publik di atas militer. Lebih unik lagi, di dalam Machiavelli militer dilihat dalam kerangka kewargaan. Militer ada karena keperluan untuk mempertahankan tujuantujuan masyarakat umum yang didefinisikan oleh pemerintahan republik sebelumnya. Dengan demikian patriotisme di dalam Machiavelli tidak identik secara ekslusif dengan klaim militer. Patriotisme justru awal mulanya adalah klaim kewargaan, yang kemudian disebarkan dalam modus pendidikan yang lebih khusus ke dalam militer. Pengertian ini penting untuk menjelaskan makna patriotisme yang sebenarnya. Patriotisme tidak identik dengan perang dan kekerasan. Patriotisme juga tidak identik dengan nasionalisme. Ada banyak klaim perang, nasionalisme dan militerisme, namun apabila klaim itu bertentangan dengan kemaslahatan umum dan cita-cita masyarakat yang adil, maka ide militerisme dan nasionalisme di situ adalah ide yang sama sekali tidak patriotik. Jadi, misalnya ada orang menyeru-nyerukan nasionalisme, NKRI dan sebagainya, tetapi pada saat yang sama ia memimpin secara korup, mengobral kekerasan dan kekejaman di mana-mana sehingga malah menimbulkan perpecahan dan merusak keadilan, maka jelas ia bukan patriotik. Sebaliknya, apabila ada yang secara serius memperjuangkan kepentingan umum, melawan kebusukan korupsi dan kekerasan, meski tanpa terlebih dahulu menyerunyerukan nasionalisme, bisa jadi ia lebih patriotik ketimbang sepuluh jenderal digabung sekalipun. Dengan demikian dalam kerangka Machiavelli ini, bela negara memang sangat ditekankan, namun bela negara yang tertinggi justru bukan di ladang militer, melainkan dalam perjuangan membela kemaslahatan umum RB-09