MEKANISME KOLABORASI UNTUK PENINGKATAN KAPASITAS MASYARAKAT DALAM PROGRAM KEBUN BIBIT RAKYAT DI KABUPATEN POHUWATO
IVANA BUTOLO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir berjudul Mekanisme Kolaborasi untuk Peningkatan Kapasitas Masyarakat dalam Program Kebun Bibit Rakyat di Kabupaten Pohuwato adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2014 Ivana Butolo NRP H252124085
RINGKASAN IVANA BUTOLO. Mekanisme Kolaborasi untuk Peningkatan Kapasitas Masyarakat dalam Program Kebun Bibit Rakyat di Kabupaten Pohuwato. Dibimbing oleh LUKMAN M, BAGA dan IRDIKA MANSUR. Program Kebun Bibit Rakyat (KBR) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk lebih memberdayakan masyarakat dalam upaya untuk mengurangi laju kerusakan hutan dan lahan kritis. Program KBR ini adalah fasilitasi pemerintah dalam penyediaan bibit tanaman hutan dan jenis tanaman serbaguna yang dibuat secara swakelola oleh kelompok masyarakat. Pada sektor kehutanan pola pemberdayaan masyarakat diwujudkan dengan pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang penekanannya adalah pada proses belajar masyarakat dan tujuan praktis untuk pengembangan program. Masyarakat didorong untuk turut serta meningkatkan kapasitasnya dalam mengkaji pengetahuan mereka mengenai kehidupan dan kondisi mereka sendiri, agar mereka dapat menyusun rencana dan tindakan dan diharapkan akan ada hubungan yang erat antara masyarakat dan pemerintah secara terus menerus. Tujuan dari program KBR adalah untuk meningkatkan produktivitas lahan dengan berbagai hasil tanaman KBR berupa tanaman kayu- kayuan dan non kayu, serta memberikan peluang kesempatan kerja dan kesempatan berusaha sehingga dapat meningkatan pendapatan masyarakat. Sasaran penggunaan bibit KBR yaitu untuk kegiatan hutan rakyat, penghijauan lingkungan pada fasilitas umum, rehabilitasi mangrove dan areal kerja hutan kemasyarakatan dan hutan desa. Untuk keberhasilan pelaksanaan KBR ini perlu adanya kesamaan sikap dan tindakan yang terkoordinasi oleh seluruh aktor dalam sektor kehutanan melalui kolaborasi. Dengan kolaborasi maka ada kejelasan hak, peran, tanggung jawab, manfaat dan hubungan diantara parapihak, sehingga akan tercipta ruang-ruang partisipasi publik bagi parapihak yang berkepentingan terhadap hutan. Pengelolaan hutan secara bersama selain memberi kontribusi kepada upaya-upaya pelestarian hutan juga memberikan keuntungan kepada masyarakat setempat dalam menunjukkan inisiatif dan kapasitas dalam pengelolaan sumberdaya. Dalam hubungan dengan peningkatan kapasitas, mekanisme kolaborasi merupakan suatu proses pembangunan masyarakat dalam mempelajari, memahami dan pendayagunaan sumberdaya-sumberdaya yang tersedia di wilayah tersebut. Pelaksanaan KBR tahun 2013 di Kabupaten Pohuwato dilaksanakan di 10 kecamatan, 27 desa dengan 27 kelompok masyarakat. Setiap kelompok terdiri dari 15 orang yang terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara, ketua tim perencana, ketua tim pelaksana, ketua tim pengawas dan anggotanya masing-masing dengan lokasi persemaian dan penanaman bibit berada dilahan milik masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk 1) Mengidentifikasi peran stakeholder untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam program KBR di Kabupaten Pohuwato. 2) Mengevaluasi tingkat kapasitas masyarakat dalam program KBR di Kabupaten Pohuwato, 3) Merumuskan strategi kolaborasi untuk keberhasilan program KBR di Kabupaten Pohuwato. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara, observasi dilapangan dan kuesioner, kemudian data dianalisis dengan menggunakan analisis stakeholder, gap, dan SWOT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) Stakeholder yang terlibat dalam program KBR lebih
didominasi oleh stakeholder primer, sementara stakeholder sekunder tidak dilibatkan dalam proses KBR padahal dari hasil identifikasi berkepentingan dan mempunyai pengaruh terhadap peningkatan kapasitas masyarakat dalam program KBR; 2) Evaluasi kapasitas masyarakat pada program KBR dengan menggunakan analisis gap menunjukkan bahwa selisih antara kinerja dan harapan semuanya bernilai negatif baik pada tingkat kebijakan, organisasi maupun individual. Meskipun jumlah gap yang terjadi relatif kecil, akan tetapi tetap membutuhkan upaya kolaborasi dari semua stakeholder yang berkepentingan dan berpengaruh terhadap implementasi program KBR. Mulai dari tingkat kebijakan dengan membuat perumusan atau formulasi kebijakan yang memastikan pokok isu dari permasalahan yang dihadapi kelompok masyarakat. Pada tingkatan organisasi dengan lebih memperhatikan struktur dan proses yang dapat mendukung perubahan organisasi secara keseluruhan. Pada tingkat individual dengan lebih melakukan pendampingan kepada kelompok masyarakat serta bimbingan teknis tentang cara pembuatan bibit yang baik dan benar hingga proses pemeliharaan dan penanaman bibit KBR; 3) berdasarkan hasil analisis SWOT diperoleh beberapa strategi yang kemudian dirumuskan kedalam beberapa program dan selanjutnya dipetakan kedalam gambar arsitektur strategik. Dalam kondisi inilah maka kolaborasi menjadi penting karena setiap stakeholder dapat memberikan kontribusinya bagi upaya peningkatan kapasitas masyarakat. Kata Kunci : Kolaborasi, stakeholder, peningkatan kapasitas masyarakat, Program Kebun Bibit Rakyat (KBR).
SUMMARY IVANA BUTOLO. Collaboration Mechanism in Community Capacity Building Through The Program of Kebun Bibit Rakyat at Pohuwato Regency. Supervised by LUKMAN M, BAGA and IRDIKA MANSUR. Kebun Bibit Rakyat (KBR) is one of government’s efforts to empower the society in order to combat degraded land through reforestation. This is government’s program in facilitating and providing forest plant seeds and versatile plant which is fully managed by the group of people. In forestry sector, community empowerment role mode is formed by forest management based on the community which emphasized on community learning process and developing program as its purpose. The people are encouraged to develop their capacity and broaden the knowledge in facing the obstacles which may emerge in their own life, therefore, to support peoples’s initiative in arranging action plan program. Moreover, it is expected that there will be a close relationship between the community and government continously. The KBR program aiming to improve land productivity by providing various products of KBR plants, for instance wood and non wood plants, as well as to give the opportunity for the people in working field in enhancing their income. The target of KBR utilization are to support people’s activity in forest, to promote green environment in public facility, as well as mangrove rehabilitation and community forest working area and village forest. To achieve these goals to be successful, it is required to have the same ways of thinking, managing by all actors in forestry to make coordination and collaboration in a program implementation. Through the collaboration, there will create a right clarity, a role, a responsibility, a benefit as well as a relationship among parties, hence, there will open the rooms for public participation to those who interested in forestry sector. The sequences of forest management as mutually will grant not only in contribution to the forest perservation efforts but also will benefit to the community in promoting their initiative and resource management capacity. Regarding to the capacity building, collaboration mechanism is a process of community development in learning, understanding, and utilizing the resources availability in the area. The implementation of KBR in 2013 at Pohuwato Regency was done in 10 districts, 27 villages with 27 groups of community. Every group consisted of 15 persons including the chairman, secretary, treasurer, the planning team leader, manager, supervisor, and the members inside the seedbed location and seed planting within the area owned by the people. This research aimed: 1) to identify the role of stakeholder in capacity building of the community within KBR program at Pohuwato regency. 2) to evaluate the capacity level of the community within KBR program at Pohuwato regency, 3) to formulate the collaborative strategy to the succeed of KBR program at Pohuwato regency. The datas were collected through interview, observation and questioners. The datas then were analyzed by using stakeholder analysis, gap, and SWOT. The results showed that 1) the stakeholder involved in KBR program was mostly dominated by primary stakeholder, meanwhile secondary stakeholder was
not involved in KBR program even though from the identification, secondary stakeholder was concerned and influential enough towards the community capacity building within KBR program; 2) the evaluation of community capacity in KBR program were using gaps analysis showed that the difference between the performance and expectation were negative either in policy level or organization or individual level. In spite of the gaps existing were relatively small, still need collaborative effort from all stakeholders who concerned and influential enough to the implementation of KBR program. Starting from the level of policy maker, in formulating policy is determined to the main issue faced by the community group. In the organization level more concerning in emphasized to the structure and process in supporting the changes of organization as a whole. The individual level assisting the group of community and providing technical guidance in term of the seed productivity, how to cultivate good seeds and how to maintain and plant KBR seeds; 3) based on SWOT analysis, there were some strategies that could be formulated into the programs, and they were mapped into strategic architecture portrait. Within this condition, collaboration is very important because every stakeholder would give contribution to the community capacity building. Key words: collaboration, stakeholders,community capacity building, Kebun Bibit Rakyat (KBR) program.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
MEKANISME KOLABORASI UNTUK PENINGKATAN KAPASITAS MASYARAKAT DALAM PROGRAM KEBUN BIBIT RAKYAT DI KABUPATEN POHUWATO
IVANA BUTOLO
Tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji luar komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS
Judul Tugas Akhir : Mekanisme Kolaborasi untuk Peningkatan Kapasitas Masyarakat dalam Program Kebun Bibit Rakyat di Kabupaten Pohuwato Nama : Ivana Butolo NRP : H252124085
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Lukman M Baga, MAEc Ketua
Dr Ir Irdika Mansur, MForSc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
Dr Ir Ma’mun Sarma, MS MEc
Tanggal Ujian: 30 Juni 2014
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2014 ini ialah kolaborasi untuk peningkatan kapasitas masyarakat, dengan judul Mekanisme Kolaborasi untuk Peningkatan Kapasitas Masyarakat dalam Program Kebun Bibit Rakyat di Kabupaten Pohuwato. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Lukman M Baga, MAEc dan Bapak Dr Ir Irdika Mansur, MForSc atas bimbingan dan ilmunya. Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada Pemerintah Provinsi Gorontalo dalam hal ini Bapak Drs H Rusli Habibie, MAP selaku Gubernur Gorontalo, Bapak Drs H Idris Rahim, MM selaku Wakil Gubernur Gorontalo, Ibu Prof Dr Ir Hj Winarni Monoarfa, MSc selaku Sekretaris Daerah Provinsi Gorontalo dan Bapak Drs H Sofyan Maku, MM selaku Kepala BKPPD Provinsi Gorontalo atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan studi S2. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh staf Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Bone Bolango Provinsi Gorontalo dan Dinas Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Pohuwato, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suami, anak, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2014 Ivana Butolo
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 6 9 9 9
2 TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Hutan Program Kebun Bibit Rakyat Konsep Umum Peningkatan Kapasitas Masyarakat Partisipasi dan Pemberdayaan Masyarakat Mekanisme Kolaborasi Hasil Penelitian Terdahulu
10 10 11 13 14 16 17
3 METODE Kerangka Pemikiran Lokasi dan Waktu Kajian Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Metode Pengambilan Sampel Analisis Data
19 19 22 22 23 24
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Gambaran Umum Pelaksanaan KBR di Kabupaten Pohuwato Identifikasi Peran Stakeholder Dalam Peningkatan Kapasitas Masyarakat Evaluasi Tingkat Kapasitas Masyarakat Dalam Program KBR
28 28 29 33 38
5 PERUMUSAN STRATEGI Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal Strategi Kolaborasi Dalam Program KBR Perumusan Program
45 45 51 55
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
59 59 59
DAFTAR PUSTAKA
60
LAMPIRAN
63
RIWAYAT HIDUP
83
DAFTAR TABEL 1 Luas kawasan hutan di Provinsi Gorontalo dalam hektar (ha) tahun 2013 2 Luas kawasan hutan per fungsi hutan di Kabupaten Pohuwato (ha) tahun 2013 3 Penetapan lokasi KBR di Kabupaten Pohuwato tahun 2010-2013 4 Daftar dan jumlah responden 5 Kategorisasi stakeholder pada program KBR Kabupaten Pohuwato 6 Faktor internal dan eksternal di dalam masyarakat 7 Matriks SWOT 8 Lingkup data yang digunakan dalam penelitian 9 Luas wilayah dan jumlah penduduk menurut kecamatan tahun 2012 10 Penduduk yang bekerja menurut lapangan usaha di Kabupaten Pohuwato tahun 2010-2012 11 Lokasi KBR di Kabupaten Pohuwato tahun 2013 12 Rekapitulasi penanaman KBR tahun 2013 13 Kategorisasi stakeholder pada program KBR Kabupaten Pohuwato 14 Hubungan kolaborasi antar stakeholder 15 Hasil uji validitas 16 Hasil perhitungan analisis gap 17 Ringkasan analisis faktor internal dan faktor eksternal dalam program KBR di Kabupaten Pohuwato 18 Matrik SWOT strategi kolaborasi untuk keberhasilan program KBR di Kabupaten Pohuwato
2 3 5 23 24 27 27 28 29 29 30 32 33 38 40 41 50 54
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kerangka pemikiran penelitian Klasifikasi stakeholder menurut pengaruh dan pentingnya Jenis dan jumlah bibit tanaman hutan Jenis dan jumlah bibit tanaman serbaguna Jenis dan jumlah bibit tanaman mangrove Klasifikasi stakeholder program KBR menurut pengaruh dan pentingnya terhadap peningkatan kapasitas masyarakat Tingkatan pengembangan kapasitas Analisis gap pada tingkatan kebijakan Analisis gap pada tingkatan organisasi Analisis gap pada tingkatan individual Arsitektur strategi mekanisme kolaborasi dalam peningkatan kapasitas masyarakat
21 25 31 31 32 36 39 42 43 44 58
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8
Kuesioner analisis stakeholder Kuesioner analisis gap Uji validitas kuesioner Data isian kuesioner untuk tingkat kebijakan Data isian kuesioner untuk tingkatan organisasi Data isian kuesioner untuk tingkatan individual Kuesioner SWOT Rata-rata jawaban responden
63 64 68 74 75 76 77 81
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan termasuk salah satu sumberdaya alam yang memerlukan pengelolaan secara arif dan bijak guna mendukung pembangunan berkelanjutan. Menurut penjelasan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Ishak (2003) mengemukakan bagi Indonesia hutan merupakan sumber daya yang penting dalam upaya menjaga kelangsungan pembangunan nasional, karena di samping merupakan sumber kekayaan alam hutan juga merupakan salah satu basis pertahanan nasional. Untuk itu hutan di samping dimanfaatkan secara optimal juga harus dipikirkan sekaligus aspek pelestariannya agar hutan tidak habis atau kehilangan daya dukungnya terhadap proses pembangunan. Pengelolaan hutan, dengan demikian harus tetap berada dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Lebih lanjut Ishak (2003) mengemukakan kondisi berkelanjutan dalam pengelolaan hutan mencakup aspek-aspek ekonomi, sosial maupun lingkungan (ekologi). Secara ekonomis, pemanfaatan terhadap sumberdaya hutan harus memberikan keuntungan sebanyak mungkin kepada pihak yang terkait. Secara sosial, kebijakan pemanfaatan hutan harus dapat diterima dan menguntungkan masyarakat secara keseluruhan, dan bukannya mengganggu atau menghancurkan kehidupan sosial mereka. Dari segi lingkungan, pemanfaatan hutan harus tetap menjaga potensi sumberdaya alam. Harus ada keseimbangan antara fungsi produksi dan fungsi perlindungan. Pada praktiknya, pengelolaan hutan seringkali tidak memperhatikan kepentingan keberlanjutan tersebut, baik secara ekologis, sosial maupun ekonomis. Secara perlahan tetapi meyakinkan telah terjadi kerusakan hutan yang sangat parah di Indonesia, hal ini disebabkan karena aktivitas penebangan liar, penyelundupan kayu, kebakaran hutan dan konversi kawasan hutan menjadi areal penggunaan lainnya yang semakin merajalela tanpa mengindahkan hukum dan kaidah-kaidah pengelolaan hutan yang lestari. Menurut Awang (2003), kekuasaan negara atas sumberdaya hutan melalui sistem pemerintahan orde baru berdampak pada monopoli pengelolaan kawasan (mono-interpretasi) oleh konglomerat dan penggunaan dana reboisasi secara sewenang-wenang. Sementara posisi masyarakat hanya menjadi penonton proses penghancuran hutan tropis dan marjinalisasi lahan serta konflik atas sumberdaya hutan antara pemerintah dan masyarakat adat. Lebih lanjut ditambahkan bahwa secara politik, pendayagunaan sumberdaya hutan yang tidak berpihak kepada rakyat selama ini (walaupun slogan selalu untuk kesejahteraan rakyat) telah menghasilkan apatisme rakyat terhadap sistem perlindungan sumberdaya hutan itu sendiri, padahal semua kita tahu bahwa sistem perlindungan paling efektif jika dilakukan secara bersama-sama dengan rakyat dan masyarakat.
2 Pada era reformasi saat ini telah terjadi perubahan paradigma dalam kehidupan politik dan sistem ketatanegaraan di Indonesia. Diawali dengan lahirnya Undang-undang Otonomi Daerah yaitu UU No.22 Tahun 1999 yang kemudian diubah dengan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU Otonomi Daerah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus semua urusan pemerintahan, kecuali yang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. UU No.32 Tahun 2004, pasal 10 mengatur bahwa : Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah (yang dimaksud Pemerintah Pusat) meliputi: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Dalam urusan pemerintahan di bidang kehutanan memasuki era reformasi UU Pokok Kehutanan, yaitu UU No.5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan diganti dengan UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Undang-Undang Kehutanan ini senapas dengan Undang-Undang Otonomi Daerah, dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan pengelolaan hutan kepada pemerintah daerah, termasuk Pemerintah Provinsi Gorontalo. Provinsi Gorontalo adalah provinsi yang ke-32 berdasarkan UndangUndang No 38 tahun 2000 tanggal 22 Desember 2000. Provinsi ini memiliki luas wilayah 12.435,00 km2 yang mencakup Lima kabupaten dan satu kota, yaitu Kabupaten Gorontalo, Boalemo, Pohuwato, Bone Bolango, Gorontalo Utara dan Kota Gorontalo. Provinsi Gorontalo memiliki potensi hutan seluas ± 824.670 Ha, seperti pada Tabel 1. Tabel 1 Luas kawasan hutan di Provinsi Gorontalo dalam hektar (ha) tahun 2013 Kabupaten/Kota Hutan Hutan Suaka Alam Jumlah Luas Produksi Lindung Hutan Kabupaten : Boalemo 62.937 28.990 10.918 102.845 Gorontalo 59.662 13.180 24.839 97.681 Pohuwato 194.540 138.110 39.767 372.417 Bone Bolango 19.471 16.054 104.905 140.430 Gorut 86.798 8.016 16.224 111.038 Kota : Gorontalo 259 259 Total 251.098 89.878 196.653 824.670 Sumber : Dinas Kehutanan dan Pertambangan Provinsi Gorontalo 2013 Tabel 1 menunjukkan bahwa Kabupaten Pohuwato memiliki luas hutan 372.417 Ha atau terbesar di Provinsi Gorontalo. Kabupaten ini berada di ujung barat wilayah Provinsi Gorontalo dengan luas wilayah 4.244,31 km2. Luas kawasan hutan di Kabupaten Pohuwato adalah 87,74 persen dari total luas wilayahnya. Keberadaan hutan yang luas di kabupaten ini terbentang dari Kecamatan Paguat sampai Kecamatan Popayato Barat, seperti pada Tabel 2.
3 Tabel 2 Luas kawasan hutan per fungsi hutan di Kabupaten Pohuwato (ha) tahun 2013 No Kecamatan Hutan KSA Hutan Jumlah Presentasi (%) Lindung Produksi (ha) 1 Paguat 362 1.462 1.694 3.518 0,95 2 Dengilo 5.505 11.266 17.585 34.356 9,22 3 Marisa 589 160 749 0,20 4 Buntulia 17.054 14.076 16.572 47.702 12,81 5 Duhiadaa 557 557 0,14 6 Wanggarasi 18.473 1.514 20.782 40.769 10,95 7 Patilanggio 11.220 7.925 7.753 26.898 7,22 8 Taluditi 31.583 1.317 28.997 61.897 16,63 9 Randangan 2.016 1.618 3.198 6.832 1,84 10 Lemito 11.517 33.991 45.508 12,21 11 Popayato 4.352 21.307 25.659 6,89 Timur 12 Popayato 3.533 9.178 12.711 3,41 13 Popayato 31.938 33.323 65.261 17,53 Barat Total 138.110 39.767 194.540 372.417 100 Sumber : Dinas Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Pohuwato 2013 Tabel 2 menunjukkan bahwa luas hutan lindung adalah 138.110 Ha atau 37,08 persen dari total luas hutan, Kawasan Suaka Alam (KSA) sebesar 39.767 Ha atau 10,68 persen dan hutan produksi dengan luas 194.540 Ha atau 52,24 persen untuk hutan produksi. Sumber daya hutan dan lahan sebagai bagian dari sumber daya alam mempunyai fungsi yang sangat penting untuk menjaga kelestarian ekosistem dalam menyangga kehidupan. Namun saat ini kondisi hutan di Kabupaten Pohuwato telah mengalami banyak kerusakan akibat adanya aktivitas pengelolaan hutan yang tidak lestari, kebakaran hutan, konversi kawasan hutan menjadi areal penggunaan lain serta penebangan liar yang terjadi akibat fungsi-fungsi unit manajemen tidak optimal. Masalah penebangan liar merupakan cerita lama yang tidak pernah tuntas, masalah penebangan liar bukan hal yang mudah karena penebangan liar adalah sebuah fenomena yang kompleks yang disebabkan oleh lemahnya kapabilitas negara, rendahnya modal sosial dan mandulnya penegakan hukum. Selain itu penebangan liar juga di pengaruhi oleh buruknya sistem manajemen sektor kehutanan (Nurrochmat, 2012). Banyak akibat negatif dari kerusakan hutan salah satunya adalah merosotnya nilai ekonomi dan produktivitas tanah, akibatnya lahan menjadi kritis dan tidak dapat berfungsi optimal. Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) merupakan salah satu upaya untuk memulihkan kerusakan sumber daya hutan dan lahan yang semakin meluas dan berlangsung semakin cepat sebagai akibat dari berbagai aktivitas pembangunan yang tidak terencana dan terkoordinasi dengan baik. Munculnya paradigma baru perhutanan berbasis komunitas memberi peranan yang besar kepada masyarakat. Dalam paradigma ini dipahami bahwa hasil hutan bukan hanya kayu dan bahwa fungsi hutan bukan hanya untuk menghasilkan devisa. Fungsi hutan sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat
4 sekitarnya mulai diperhatiakan, faedah hutan untuk keseimbangan ekosistem kembali diapresiasi. Dengan community based forestry, masyarakat dihargai sebagai pelaku pengelolaan hutan, bukan sebagai pengganggu, parasit ataupun perusak sebagaimana diinterpretasi dalam paradigma state based forestry. Masyarakat diserahi tanggung jawab untuk memelihara, merehabilitasi, dan mengambil manfaat dari hutan Selain itu kebijakan hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat membuka peluang lebih besar kepada masyarakat untuk akses pada dan memegang hak pengelolaan atas sumberdaya hutan yang dikuasai negara dengan suatu jaminan kepastian secara hukum yang lebih kuat, meskipun masih mengandung pembatasan-pembatasan. Penempatan masyarakat sebagai pelaku pembangunan mutlak diperlukan sehingga masyarakat akan dapat berperan serta secara aktif mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga monitoring dan evaluasi pembangunan. Menurut Saharuddin (2009) paradigma pembangunan nasional telah bergeser dari pengutamaan pendekatan top down ke arah yang lebih memperkuat proses-proses pembangunan dari bawah yang lebih mengedepankan peran aktif masyarakat, yaitu menempatkan masyarakat sebagai titik sentral pembangunan, melalui program-program pemberdayaan masyarakat. Program tersebut merupakan jawaban dari kebutuhan masyarakat setempat dalam upaya untuk memperkuat kapasitas masyarakat agar mampu mewujudkan dan meningkatkan harkat dan martabat masyarakat setempat. Salah satu upaya pemerintah untuk lebih memberdayakan masyarakat dalam upaya untuk mengurangi laju kerusakan hutan dan lahan kritis adalah melalui kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang berbasis pemberdayaan masyarakat yaitu program Kebun Bibit Rakyat (KBR). Program KBR ini merupakan fasilitasi pemerintah dalam penyediaan bibit tanaman hutan dan jenis tanaman serbaguna yang dibuat secara swakelola oleh masyarakat. Bibit hasil KBR digunakan untuk merehabilitasi hutan dan lahan kritis, penghijauan lingkungan, rehabilitasi mangrove dan penanaman di kawasan hutan yang telah diarahkan sebagai areal kerja hutan kemasyarakatan dengan cara melakukan penanaman yang dihasilkan oleh kelompok tani dengan prinsip utama adalah mengutamakan pemberdayaan masyarakat. Tujuan dari program KBR adalah terlaksananya penyelenggaraan KBR melalui fasilitasi yang tepat, efektif, dan efisien; untuk meningkatkan produktivitas lahan dengan berbagai hasil tanaman KBR berupa tanaman kayukayuan dan non kayu, serta memberikan peluang kesempatan kerja dan kesempatan berusaha sehingga dapat meningkatan pendapatan masyarakat. Di samping itu, KBR juga diharapkan dapat digunakan sebagai wahana pembelajaran bagi masyarakat dalam pembuatan pembibitan secara baik dan benar. Kreativitas dan partisipasi masyarakat dapat dikembangkan dengan lebih luas, tidak terbatas hanya penerima manfaat program, tapi juga secara aktif terlibat langsung dalam proses KBR. Proses ini diarahkan agar setiap upaya pemberdayaan dapat meningkatkan kapasitas masyarakat guna merealisasikan tujuan yang diinginkan bersama yaitu kelestarian hutan. Program KBR dilaksanakan di Kabupaten Pohuwato mulai tahun 2010 dan terus berlanjut dilakukan sampai tahun 2013, berdasarkan penetapan lokasi dari
5 Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai seperti pada Tabel 3.
Bone Bolango Provinsi Gorontalo
Tabel 3 Pelaksanaan KBR di Kabupaten Pohuwato tahun 2010-2013 Tahun Jumlah Jumlah Jumlah Luas areal pelaksanaan kecamatan desa kelompok penanaman/kelompok masyarakat (ha) 2010 9 17 17 125 2011 13 37 37 125 2012 12 34 34 65 2013 10 27 27 65 Sumber : Dinas Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Pohuwato 2013 Dalam pelaksanaan KBR, secara umum personil yang terlibat telah menunjukkan semangat yang tinggi walaupun terkendala pada masih awamnya pengetahuan anggota kelompok masyarakat dalam menghasilkan bibit-bibit yang berkualitas. Dipahami bersama bahwa keberhasilan pelaksanaan KBR ditentukan oleh partisipasi aktif kelompok masyarakat, oleh karena itu pengetahuan dan kemampuan kelompok masyarakat masih memerlukan upaya peningkatan baik yang bersifat teknis maupun administratif. Dalam hal ini perlu adanya kesamaan sikap dan tindakan yang terkoordinasi oleh seluruh aktor dalam sektor kehutanan. Program KBR ini harus ditangani secara serius oleh kolaborasi seluruh pihak, sehingga upaya penyediaan bibit tanaman hutan maupun tanaman serbaguna dengan kualitas yang baik dapat terpenuhi untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan agar daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Menurut Tadjudin (2000), tujuan pengelolaan hutan secara kolaboratif adalah sebagai berikut : 1) Menyediakan instrument untuk mengenali stakeholder yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya hutan secara proporsional. Dalam setiap stakeholder itu akan melekat atribut-atribut berupa hak, aspirasi, tujuan individual, kelembagaan dan potensi konflik. Keberadaan stakeholder itu dipahami dan diakui secara adil, tanpa pretensi untuk memenangkan kepentingan suatu stakeholder tertentu atas stakeholder lainnya; 2) Meningkatkan potensi kerjasama antar stakeholder secara egaliter dengan memperhatikan prinsip sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dan prinsip kelestarian lingkungan; 3) Menciptakan mekanisme pemberdayaan masyarakat agar dapat mengaktualisasikan pengetahuan dan kearifan lokalnya secara baik dan menyumbangkannya dalam wahana manajemen pengelolaan sumberdaya hutan, sehingga diperoleh sistem pendistribusian manfaat dan resiko yang adil diantara stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya hutan; 4) Menciptakan mekanisme pembelajaran yang dialogik untuk memperoleh rumusan tentang bentuk dan pola pendayagunaan sumberdaya hutan yang produktif dan lestari dengan meloloskan sesedikit mungkin tindakan coba-coba (trial and error) yang mengandung ketidakmenentuan yang tinggi; 5) Memperbaiki tindakan-tindakan perlindungan sumberdaya hutan melalui mekanisme internalisasi hal-hak eksternal yang mengancam kelestarian sumberdaya hutan yang bersangkutan; 6) menyediakan sistem manajemen yang membuka kesempatan selebar-lebarnya bagi tindakan perbaikan dalam setiap tahapan manajerialnya.
6 Menurut Bembah (2007), dalam proses kolaborasi harus ada kejelasan hak, peran, tanggung jawab, manfaat dan hubungan diantara parapihak, sehingga akan tercipta ruang-ruang partisipasi publik bagi parapihak yang berkepentingan terhadap hutan. Pengelolaan hutan secara bersama selain memberi kontribusi kepada upaya-upaya pelestarian hutan juga memberikan keuntungan kepada masyarakat setempat dalam menunjukkan inisiatif dan kapasitas besar dalam pengelolaan sumberdaya. Secara lebih spesifik, beberapa ahli yaitu Wondolleck dan Yaffee (2000) dalam Suporahardjo (2005), melihat pendekatan proses kolaborasi dari segi empat kegunaan utamanya, yaitu: 1) Membangun pemahaman melalui peningkatan pertukaran informasi dan gagasan antara lembaga pemerintah, organisasi dan publik serta memberikan suatu mekanisme untuk penyelesaian ketidakpastian; 2) memberikan suatu mekanisme untuk pembuatan keputusan yang efektif melalui proses-proses yang memfokuskan pada problem bersama dan membangun dukungan untuk keputusan; 3) menghasilkan suatu alat untuk membuat kerja yang bagus melalui koordinasi aktivitas lintas batas, meningkatkan manajemen bersama, dan memobilisasi suatu perluasan skenario sumberdaya; dan 4) Pengembangan kapasitas lembaga pemerintah, organisasi dan komunitas untuk menghadapi tantangan-tantangan masa depan. Konsep mekanisme kolaborasi untuk peningkatkan kapasitas masyarakat akan menjadi kajian yang menarik untuk diteliti lebih mendalam maka pertanyaannya adalah bagaimana mekanisme kolaborasi untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam Program KBR di Kabupaten Pohuwato.
Perumusan Masalah Proses pembelajaran bersama adalah salah satu konsep strategi pengelolaan hutan yang mendorong proses-proses kolaboratif antara pihak-pihak kepentingan (stakeholder) yang pada gilirannya dapat membawa mereka pada sikap terbuka untuk penyesuaian-penyesuaian dalam pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan kolaboratif pada intinya dapat dijadikan pijakan berbagai pola pengelolaan hutan dimana para pengelolanya termotivasi untuk meningkatkan kemampuan berkolaborasi (Kusumanto, 2002). Pendekatan kolaborasi dapat dirangkum dalam berbagai tahapan, yaitu: 1) Pemberdayaan masyarakat; 2) Transformasi posisi masyarakat dari posisi sebagai penerima manfaat ke posisi sebagai pelaku perubahan; 3) Perwujudan kontribusi bersama; 4) Pelibatan multipihak dalam perubahan yang lebih kompleks; 5) Evolusi multipihak secara bersama (JICA, 2012). Di Kabupaten Pohuwato, pendekatan kolaborasi mulai nampak sejak tahun 2007 dengan cara menggali isu-isu strategis yang menjadi latar belakang rencana aksi. Masih minimnya tingkat kapasitas masyarakat menjadi isu yang penting dan harus segera dicarikan solusi untuk mengatasi hal tersebut. Untuk menumbuhkan prakarsa masyarakat, pemerintah kabupaten melakukan seleksi bagi community facilitator (CF) dan kemudian melaksanakan pelatihan terhadap CF terpilih. Setelah memiliki ilmu dari hasil pelatihan, CF diharapkan ke masyarakat untuk melakukan penggalian fakta-fakta pada hutan, tanah, dan air yang selama ini dipahami sebagai elemen dasar dalam sebuah masyarakat.
7 Pendekatan konsep mekanisme kolaborasi yang dilakukan telah menghasilkan kegiatan-kegiatan yang merupakan hasil swadaya dari masyarakat sendiri seperti: 1) Penanaman pohon sengong di Kecamatan Popayato Timur; 2) Pembangunan jalan usaha tani di Kecamatan Dengilo; 3) Pembuatan jembatan di Kecamatan Marisa; 4) Penyusunan Perdes di Kecamatan Taluditi; 5) Pembangunan drainase di Kecamatan Popayato; 6) Penanaman mangrove di Kecamatan Duhiadaa; 7) Pengkayaan hutan seluas 125 Ha di Kecamatan Popayato Barat; 8) Perbaiakan jalan di Kecamatan Buntulia, (JICA, 2012). Lahirnya prakarsa masyarakat mampu memberikan bukti kepada pemerintah desa, kecamatan bahkan kabupaten bahwa pada dasarnya masyarakat mau berpartisipasi dalam pembangunan jika mereka dituntun dengan benar dalam hal ini CF mampu berkontribusi dalam peran tersebut. Berdasarkan uraian di atas, adanya program KBR ini bisa menjadi salah satu wadah untuk diterapkannya konsep kolaborasi untuk peningkatan kapasitas masyarakat, yang harus didukung oleh kerjasama yang kuat antar stakeholder. Menurut Tadjudin (2000), pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan itu mengandung unsur-unsur sebagai berikut : 1) Pemanfaatan hasil hutan dan jasanya oleh manusia secara adil dan berkelanjutan. Dalam konteks ini, seluruh manfaat dan resiko ekonomi yang ditimbulkan dari kegiatan pelestarian dan produksi hutan didistribusikan secara adil kepada masyarakat lokal, swasta, dan pemerintah; 2) Manajemen terpadu pada skala yang tepat.; 3) Partisipasi yang sederajat oleh seluruh stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Untuk meningkatkan efisien dan efektivitas keberhasilan pelaksanaan program sesuai tujuan dan sasarannya agar tercapai optimal, maka sistem penyelenggaraan harus dilakukan terintegrasi dan terkoordinasi sejak tahap perencanaan, pembibitan, pelaksanaan, penanaman, pengembangan kelembagaan hingga tahap pengendalian oleh berbagai pihak yang terlibat dalam program KBR, sehingga kapasitas masyarakat menjadi lebih baik. Keutamaan dari mekanisme kolaborasi ini adalah proses, peran dan inisiatif-inisiatif stakeholder yang dilandasi pemahaman bersama tentang kondisi masyarakat sebagai subyek dalam program KBR, maka bagaimana peran stakeholder untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam program KBR di Kabupaten Pohuwato. Ditinjau dari konsep pemberdayaan masyarakat, program ini erat kaitannya dengan penguatan kolaboratif antara perencana program dan partsipasi masyarakat. Dalam hubungan dengan peningkatan kapasitas, mekanisme kolaborasi merupakan suatu proses pembangunan masyarakat dalam mempelajari, memahami dan pendayagunaan sumberdaya-sumberdaya yang tersedia di wilayah tersebut. Pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses pengembangan kesempatan, kemauan/motivasi, dan kemampuan masyarakat terhadap sumber daya, serta mengembangkan kewenangan untuk itu, sehingga meningkatkan kapasitasnya untuk menentukan masa depan sendiri dengan berpartisipasi dalam mempengaruhi dan mewujudkan kualitas kehidupan diri dan komunitasnya. Tujuan jangka pendek pemberdayaan sebaiknya jelas, terukur dan sederhana, sehingga merupakan kondisi yang mendorong minat masyarakat untuk mewujudkannya dalam waktu tertentu. Tujuan pemberdayaan yang lebih kompleks perlu ada dan sebaiknya ditetapkan sebagai tujuan dalam jangka panjang. Visi yang jelas
8 berpotensi untuk menjadi pemandu kegiatan kerjasama diantara masyarakat untuk menetapkan tujuan-tujuan jangka pendek pemberdayaan, sehingga proses pemberdayaan menjadi lebih terarah, efektif dan efisien. (Sumardjo, 2009) Pada sektor kehutanan pola pemberdayaan masyarakat diwujudkan dengan pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang penekanannya adalah pada proses belajar masyarakat dan tujuan praktis untuk pengembangan program. Masyarakat didorong untuk turut serta meningkatkan kapasitasnya dalam mengkaji pengetahuan mereka mengenai kehidupan dan kondisi mereka sendiri, agar mereka dapat menyusun rencana dan tindakan. Melalui metode perencanaan partisipatif ini diharapkan akan ada hubungan yang erat antara masyarakat dan pemerintah secara terus menerus. Pada berbagai program yang pernah dilakukan sebelumnya, sering menghadapi berbagai kondisi yang kurang menguntungkan misalnya salah sasaran, menumbuhkan ketergantungan masyarakat pada bantuan luar dan melemahnya modal sosial yang ada pada masyarakat itu sendiri. Lemahnya modal sosial pada gilirannya juga mendorong pergeseran perubahan perilaku masyarakat yang semakin jauh dari semangat kemandirian, kebersamaan dan kepedulian untuk mengatasi persoalannya secara bersama. Menurut Sardjono (2004), kemampuan beberapa kelompok masyarakat miskin untuk dapat bertahan hidup pada kondisi yang kurang menguntungkan menunjukkan bahwa mereka cukup terampil dalam mengatasi kebutuhan dasarnya. Seringkali program-program pemerintah yang berusaha memperbaiki kondisi semacam ini tidak diarahkan pada penguatan kapasitas untuk mandiri, melainkan mengerjakan hal yang sama dengan pemerintah sebagai pengambil keputusan dan penyedia sumberdaya. Akibatnya, masyarakat menjadi sangat tergantung kepada pemerintah dan kehidupannya jauh lebih sulit daripada sebelumnya. Dalam program KBR ini, masyarakat atau kelompok tani dapat memilih tanaman apa saja yang cocok secara teknis dan diminati oleh masyarakat itu sendiri. Hal ini merupakan peluang bagi masyarakat atau kelompok tani untuk memilih bibit yang berkualitas baik. Di samping itu, hal ini juga sebagai sarana meningkatkan kapasitas masyarakat itu sendiri sehingga mampu memberdayakan dirinya sendiri dalam mengurangi terjadinya resiko sosial berupa kemiskinan akibat degradasi hutan dan lahan. Sehubungan dengan hal tersebut, bagaimana tingkat kapasitas masyarakat dalam program KBR di Kabupaten Pohuwato. Persoalan siapa yang seharusnya mengelola hutan merupakan perbincangan yang tak kunjung selesai dalam wacana kehutanan. Pedoman penyelenggaraan KBR untuk rehabilitasi hutan dan lahan di lahan kritis, lahan kosong dan lahan tidak produktif dengan berbasis pemberdayaan masyarakat memposisikan masyarakat lokal sebagai aktor utama dalam pengelolaan hutan. Pengelolaan KBR tidak hanya melibatkan satu pihak melainkan beberapa pihak antara lain, pemerintah desa, pemerintah kecamatan, pemerintah kabupaten dan provinsi, instansi vertikal dan juga pihak lain seperti LSM dan perguruan tinggi. Untuk menyatukan beberapa elemen ini diperlukan satu mekanisme kolaborasi yang mendorong setiap pihak untuk memberikan kontribusi positif terhadap pelaksanaan KBR berdasar kompetensi masing-masing. Hasil evaluasi peran stakeholder untuk peningkatan kapasitas masyarakat dalam pelaksanaan program KBR dan evaluasi terhadap tingkat kapasitas masyarakat dalam program KBR ini diharapkan dapat dijadikan acuan untuk
9 perbaikan penyelenggaraan program pada waktu yang akan datang. Pendampingan atau penguatan kelembagaan kelompok masyarakat oleh petugas lapangan KBR ataupun oleh petugas penyuluh di Kabupaten Pohuwato harus terus dilakukan sehingga kelompok masyarakat dapat lebih memahami cara-cara pembuatan bibit yang baik dan benar untuk menghasilkan bibit yang berkualitas. Oleh karena itu, bagaimana strategi kolaborasi untuk keberhasilan program KBR di Kabupaten Pohuwato.
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, dapat disampaikan beberapa tujuan dari penelitian ini, yakni : Tujuan umum dilaksanakannya kajian ini adalah untuk mengetahui bagaimana mekanisme kolaborasi dalam meningkatkan kapasitas masyarakat melalui program KBR di Kabupaten Pohuwato. Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam kajian ini adalah : a. Mengidentifikasi peran stakeholder untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam program KBR di Kabupaten Pohuwato. b. Mengevaluasi tingkat kapasitas masyarakat dalam program KBR di Kabupaten Pohuwato. c. Merumuskan strategi kolaborasi untuk keberhasilan program KBR di Kabupaten Pohuwato.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wawasan keilmuan tentang upaya untuk meningkatkan kapasitas masyarakat melalui mekanisme kolaborasi antara kebijakan inovatif pemerintah daerah dan partisipasi masyarakat dalam pengembangan program KBR yang berkelanjutan di Kabupaten Pohuwato.
Ruang Lingkup Penelitian Prinsip otonomi daerah akan lebih bermakna bagi peningkatan efektifitas dan efisiensi pemerintahan daerah apabila diikuti upaya pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan kapasitas masyarakat dan meningkatnya kemampuan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pelayanan. Karena disadari bahwa program KBR hanya akan berkesinambungan dalam jangka panjang jika tercipta sinergitas pelaku program kegiatan. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, maka pendekatan dalam penelitian ini dirancang melalui penguatan mekanisme kolaborasi bagi usaha-usaha pengembangan kesinergian program dengan peran multipihak serta tingkat kapasitas masyarakat guna mendukung partisipasi masyarakat secara berkelanjutan. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir dampak negatif dari pengembangan program KBR jika hanya mengandalkan intervensi pihak pemerintah.
10 2 TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Hutan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang dimaksud dengan hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Lebih lanjut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ini, membagi hutan berdasarkan statusnya menjadi dua, yaitu hutan negara dan hutan hak. Secara definisi pada pasal 1, hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah, sedangkan hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Menurut Mutiono (2012) Dari pembagian hutan tersebut, terdapat beberapa opsi pengelolaan hutan berbasis masyarakat (community based forest management) dalam small scale forestry yang dapat dilakukan. Pada hutan negara dapat dilakukan pengelolaan hutan menggunakan beberapa konsep, yaitu hutan kemasyarakatan yang diatur dalam Permenhut No. P. 37/Menhut-II/2007 dan perubahan ketiga No. P. 52/Menhut-II/2011, hutan desa yang diatur dalam Permenhut No. P. 49/Menhut-II/2008 dan perubahan kedua No. P. 53/MenhutII/2011, hutan tanaman rakyat yang diatur dalam Permenhut No. P. 23/MenhutII/2007 dan perubahannya No. P. 5/Menhut-II/2008. Hutan kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat, sedangkan hutan desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa serta belum dibebani izin/hak. Sementara hutan tanaman rakyat adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh perorangan atau koperasi untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumberdaya hutan. Pada hutan hak, konsep pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang dapat dilakukan adalah dengan hutan rakyat. Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh diatas tanah milik dengan luas minimal 0,25 ha. Penutupan tajuk didominasi oleh tanaman perkayuan, dan atau tanaman tahun pertama minimal 500 batang (Dephut, 1999). Pengelolaan hutan berbasis hutan rakyat memiliki kelebihan dibanding dengan pengelolaan hutan pada hutan negara, yaitu tidak terkendala oleh peraturan-peraturan yang mengikat didalamnya karena memang murni hutan tersebut pada tanah hak sehingga rakyat bebas melakukan apa saja pada hutan mereka, sedangkan pengelolaan hutan pada hutan negara, kendala utamanya adalah pada peraturan-peraturan yang mengikatnya, mulai dari perizinan hingga pelaporan yang harus dilakukan masyarakat dalam mengelola hutan padahal hampir keseluruhan masyarakat lokal disekitar hutan masih sangat banyak yang buta huruf, buta teknologi, buta informasi serta belum berpendidikan sehingga menjadi kendala tersendiri untuk memperoleh akses pengelolaan hutan dalam hutan negara (Mutiono, 2012) Menurut Ishak (2003), kerusakan sumberdaya hutan dan lahan kritis telah menyebabkan mundurnya kualitas lingkungan yang antara lain ditandai dengan rendahnya produktivitas lahan, tingginya laju erosi dan besarnya peluang
11 terjadinya banjir dan kekeringan yang akan mengakibatkan turunnya kualitas kehidupan. Untuk itu upaya rehabilitasi merupakan salah satu prioritas pembangunan subsektor kehutanan termasuk di dalamnya penegakan hukum terhadap pelaku penyebab kerusakan kualitas lingkungan. Dalam konteks ini, yang perlu diperhatikan adalah pengembangan penatagunaan hutan konversi secara terpadu untuk meningkatkan nilai tambah kawasan hutan. Menurut Sardjono (2004) ada dua faktor utama yang mempengaruhi pemanfaatan hutan secara berlebihan, pertama, peningkatan jumlah populasi manusia yang selanjutnya mengakibatkan peningkatan kebutuhan hidup. Kondisi ini tidak saja menuntut pemikiran pemenuhan kebutuhan, tetapi juga sejauhmana sumberdaya mampu memenuhinya. Kedua, peningkatan kualitas kebutuhan sendiri dari yang pada awalnya bersifat primer saja (sifatnya terbatas dan objektif) bertambah dengan kebutuhan yang bersifat sekunder dan bahkan tersier (bersifat subyektif dan seringkali tidak terbatas). Sumberdaya hutan tercipta dengan segala bentuk keunikan dan keindahannya, dan oleh karena itu hutan menyimpan kekayaan alam yang sangat beragam, baik langsung terkait dengan nilai ekonomi maupun yang terkait dengan nilai lingkungan. Seperti yang dikemukakan oleh (Awang, 2003) secara rinici nilai hutan adalah sebagai berikut: 1) Hutan menghasilkan sejumlah kayu untuk kepentingan negara, wilayah, daerah dan masyarakat; 2) Hutan memungkinkan habitat satwa tertentu dimana mereka hidup di dalamnya, mulai biota mikro sampai primata dan lain-lain; 3) Hutan berfungsi mengatur tata air dan sumber mata air, dan oleh karena itu air mempunyai nilai ekonomi tinggi selain kayu; 4) Hutan mampu mencegah terjadinya erosi tanah yang berlebihan, sehingga hutan bernilai dalam mengatur kesuburan tanah perairan di sekitarnya; 5) Hutan banyak menghasilkan barang-barang dan jasa selain kayu seperti rotan, jamur, pangan, obat-obatan tradisional, buah-buahan, wisata, kayu bakar dan pakan ternak; 6) Hutan sebagai penghasil oksigen yang nilai ekonomisnya tinggi bagi kepentingan makhluk hidup; 7) Hutan mampu menyerap karbon bebas yang dapat membahayakan kehidupan manusia; 8) Hutan sebagai penyangga kehidupan manusia dalam arti luas. Dari berbagai uraian diatas dapat kita ketahui bagaimana pentingnya hutan sehingga dibutuhkan pemanfaatan dan pengelolaan yang berkelanjutan guna kelestarian hutan yang merupakan salah satu kekayaan alam yang dianugerahkan Tuhan kepada bangsa Indonesia. Karena pengabaian terhadap sektor kehutanan tidak hanya melenceng dari amanat konstitusi, tetapi juga menciderai amanah-Nya.
Program Kebun Bibit Rakyat Rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) di lahan kritis, lahan kosong dan lahan tidak produktif merupakan salah satu upaya pemulihan kondisi daerah aliran sungai yang kritis. Upaya tersebut memberikan hasil antara lain berupa kayu, getah, buah, daun, bunga, serat, pakan ternak, yang dapat meningkatkan ekonomi masyarakat (pro growth) sekaligus penyerapan tenaga kerja (pro job) dan mengurangi tingkat kemiskinan (pro poor) serta menurunkan emisi karbon (pro environment). Salah satu kegiatan untuk mendukung program rehabilitasi hutan dan lahan dengan pemberdayaan masyarakat adalah pembangunan Kebun Bibit Rakyat (KBR). KBR dimaksud adalah untuk menyediakan bibit tanaman kayu-
12 kayuan atau tanaman serbaguna (MPTS) dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mendukung pemulihan fungsi dan daya dukung DAS. KBR dilaksanakan secara swakelola oleh kelompok masyarakat, untuk menghasilkan jenis tanaman KBR berupa kayu-kayuan dan tanaman serbaguna. Bibit hasil KBR digunakan untuk merehabilitasi hutan dan lahan kritis serta kegiatan penghijauan lingkungan. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.12/Menhut-II/2013, persyaratan calon lokasi KBR adalah 1) Topografi relatif datar (kemiringan lereng 0-8%); 2) aksesibilitas baik atau mudah dijangkau; 3) khusus untuk jenis mangrove, persemaian berada pada lokasi yang dipengaruhi pasang surut air laut. Sedangkan kriteria desa calon lokasi KBR adalah berada pada sasaran areal rehabilitasi hutan dan lahan berdasarkan rencana teknik rehabilitasi hutan dan lahan Daerah Aliran Sungai atau rencana pengelolaan rehabilitasi hutan dan lahan serta lahan tidak produktif lainnya. Sasaran penggunaan bibit KBR digunakan untuk kegiatan hutan rakyat, penghijauan lingkungan pada fasilitas umum/fasilitas sosial (ruang terbuka hijau, turus jalan, kanan kiri sungai, halaman sekolah/perkantoran/rumah ibadah/pertokoan/pasar, dll), rehabilitasi mangrove dan penanaman dikawasan hutan yang telah diarahkan sebagai areal kerja Hutan Kemasyarakatan (HKm)/Hutan Desa (HD) atau yang telah memiliki izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) dan Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD). Pada setiap calon desa lokasi KBR ditetapkan kelompok masyarakat sebagai pelaksana KBR yaitu kelompok masyarakat yang menyusun rencana, melaksanakan dan mengawasi pembangunan KBR. Dengan jumlah anggota paling sedikit 15 (lima belas) orang baik laki-laki maupun perempuan yang berdomisili di desa/kelurahan setempat. Setelah hasil verifikasi teknis disampaikan secara tertulis kepada Dinas Kabupaten/Kota untuk diinformasikan kepada calon kelompok KBR, maka kelompok masyarakat terpilih segera menyusun Rencana Usulan Kegiatan Kelompok (RUKK). RUKK disusun secara partisipatif dan dibimbing oleh tenaga pendamping. RUKK memuat antara lain : a) nama dan anggota kelompok; b) nama pengurus dan anggota; c) lokasi persemaian dan penanaman; d) jenis dan jumlah bibit; e) bahan dan peralatan; f) jenis kegiatan dan rencana biaya dan g) tata waktu. Dalam setiap tahap pelaksanaan KBR, kelompok masyarakat didampingi oleh tenaga pendamping. Pendamping KBR berasal dari petugas lapangan KBR rehabilitasi hutan dan lahan, petugas lapangan penyuluhan kehutanan pada Badan Pelaksana Penyuluh atau instansi penyelenggara penyuluhan di Kabupaten/Kota. Kekurangan tenaga pendamping, dapat ditambah dari penyuluh kehutanan swadaya masyarakat dan penerimaan tenaga baru yang memenuhi kriteria yang ditetapkan Direktur Jenderal. Pendamping bertugas : a) melakukan bimbingan kepada kelompok KBR dalam hal penyusunan RUKK dan rancangan penanaman, informasi penyediaan benih, bahan dan peralatan, teknis pembuatan dan pemeliharaan bibit, teknis penanaman, pembuatan laporan dan dokumentasi; b) bersama kelompok masyarakat melaksanakan evaluasi penanaman bibit KBR dan c) membuat laporan tugas pendampingan setiap bulan kepada kepala BPDAS.
13 Konsep Umum Peningkatan Kapasitas Masyarakat Desawa ini upaya peningkatan kapasitas merupakan bagian yang penting di dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam kehidupan sehari-hari peningkatan kapasitas misalnya dilaksanakan dengan pendidikan, baik secara formal maupun informal. Dalam konteks pembangunan secara keseluruhan pun upaya peningkatan kapasitas menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Dengan kata lain tidak mungkin terjadi suatu proses pembangunan dalam hal apapun tanpa upaya peningkatan kapasitas bagi pelaku maupun sistem yang mengaturnya. Sumodiningrat (1999) mengemukakan bahwa kita memerlukan suatu strategi baru dari kebijaksanaan pembangunan yang memadukan pertumbuhan dan pemerataan. Strategi pembangunan itu dipahami sebagai suatu proses transformasi dalam hubungan sosial, ekonomi, budaya dan politik masyarakat. Proses ini diarahkan agar setiap upaya pemberdayaan masyarakat dapat meningkatkan kapasitas masyarakat. Kata kapasitas sering digunakan ketika kita berbicara tentang peningkatan kemampuan seseorang (JICA, 2012). Dalam pengertian yang lebih luas, yang sekarang digunakan dalam pembangunan masyarakat, kapasitas tidak hanya berkaitan dengan keterampilan dan kemampuan individu, tetapi juga dengan kemampuan organisasi untuk mencapai misinya secara efektif dan kemampuan mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam jangka panjang. Soeprapto, 2010 mengatakan bahwa World Bank menekankan perhatian capacity building pada : 1) Pengembangan sumberdaya manusia; training, rekruitmen, dan pemutusan pegawai professional, manajerial, dan teknis 2) Keorganisasian, yaitu pengaturan struktur, proses, sumber daya dan gaya manajemen; 3) Jaringan kerja (network), berupa koordinasi, aktifitas organisasi, fungsi network, serta interaksi formal dan informal; 4) Lingkungan organisasi, yaitu aturan (rule) dan undang-undang (legislation) yang mengatur pelayanan publik, tanggung jawab dan kekuasaan antara lembaga, kebijakan yang menjadi hambatan bagi development tasks, serta dukungan keuangan dan anggaran; 5) Lingkungan kegiatan lebih luas lainnya, meliputi faktor-faktor politik, ekonomi dan situasi kondisi yang mempengaruhi kinerja. Peningkatan kapasitas adalah upaya meningkatkan kemampuan masyarakat untuk dapat mengatasi keterbatasan yang membatasi kesempatan hidup mereka, sehingga memperoleh hak yang sama terhadap sumberdaya dan menjadi perencana pembangunan bagi diri mereka. Melalui pengembangan kapasitas, masyarakat lebih berdaya dan mandiri dalam meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraannya (Aly, 2005) Dari beberapa penjelasan tersebut, peningkatan kapasitas dalam kajian ini adalah usaha untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan masyarakat agar mereka mampu memanfaatkan semua potensi dan kemampuan yang ada pada dirinya untuk dapat dimanfaatkan demi kemajuan masyarakat sekitarnya, upaya peningkatan kapasitas masyarakat dalam program KBR ini meliputi usaha baik dari ranah ilmu pengetahuan, sikap atau penyadaran dan keterampilannya.
14 Partisipasi dan Pemberdayaan Masyarakat Berkaitan dengan penyelenggaraan desentralisasi di era otonomi daerah, koalisi partisipasi dan pemberdayaan masyarakat berpandangan bahwa ketika pemahaman konsep otonomi hanya diterjemahkan sebagai sistem pemerintahan, maka ada hal-hal penting (esensial) yang hilang dan akan menyisakan persoalan mendasar (Hardinata, 2010). Sehubungan dengan hal tersebut, Sulistiyani (2004) menyebutkan bahwa dengan pendekatan bottom-up sebagai model pendekatan ideal dalam pembangunan yang memperhatikan inisiatif dan potensi yang dihadapi. Akan tetapi menunggu tumbuhnya inisiatif membangun dari bawah untuk kondisi sebagian besar masyarakat Indonesia belum memungkinkan, begitu pula dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat. Pendekatan ini menekankan upaya masyarakat untuk dapat mandiri melalui peningkatan kapasitas. Partisipasi merupakan komponen penting dalam pengembangan kemandirian dan proses pemberdayaan (Craig & Mayo 1995; Hikmat 2004). Partisipasi masyarakat merupakan jaminan terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan. Keterlibatan aktif masyarakat dalam proses pemberdayaan menyebabkannya dapat lebih mampu secara proporsional memperhatikan hidupnya untuk memperoleh rasa percaya diri, memiliki harga diri dan pengetahuan untuk mengembangkan keahlian baru. Semakin tinggi wawasan, keterampilan seseorang semakin termotivasi untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Oleh karena itu, berbicara tentang pemberdayaan masyarakat tidak lepas dari konsep partisipasi masyarakat. Konsep ini menurut Adi (2002) merupakan salah satu pilar dari demokrasi dan value based social development, karena melalui partisipasi masyarakat ini diharapkan akan tercapai pengambilan keputusan yang demokratis. Conyers (1991) mengemukakan tiga alasan mengapa partisipasi masyarakat menjadi penting, yaitu : 1) Partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal. 2) Masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek tersebut. 3) Merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat sendiri. Syarat utama warga negara disebut berpartisipasi dalam konteks kepentingan negara dan pemerintahan menurut Nihan (2011) adalah; a) dengan suka rela/tidak dengan paksaan; b) terlibat secara emosional; c) memperoleh manfaat secara langsung maupun tidak langsung dari keterlibatan tersebut baik dalam proses maupun sesudahnya. Dalam pemberdayaan masyakat, partisipasi masyarakat merupakan suatu proses ketika masyarakat itu sendiri atau bersama dengan pihak luar terlibat dalam suatu proses saling belajar satu dengan yang lain dalam semangat kesetaraan dan saling memberi. Proses belajar itu sendiri haruslah partisipatif dan mengacu sepenuhnya kepada kebutuhan masyarakat. Melalui proses belajar yang partisipatif dalam semangat kesetaraan, saling belajar dan saling memberi, keberdayaan masyarakat dapat tercapai (Maryono dan Adiyoga, 2001).
15 Seperti dikemukakan oleh Kartasasmita (1996) bahwa upaya memberdayakan masyarakat harus dilakukan melalui tiga aspek yaitu: pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat dan ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dari beberapa konsep tersebut dapat diambil suatu rumusan bahwa pemberdayaan masyarakat adalah pemenuhan energi atau sumberdaya yang tidak dimiliki oleh masyarakat, sehingga mereka mampu untuk mengembangkan kemampuannya, memiliki daya dan kesempatan untuk mengembangkan kehidupannya. Pemberdayaan masyarakat adalah proses mengembangkan partisipasi aktif masyarakat dan dengan intervensi pihak luar yang minimal, baik dalam mengidentifikasi kebutuhan, mengidentifikasi pilihan strategis, keputusan atau tindakan, memobilisasi sumber-sumber, maupun menggerakan tindakan untuk mencapai tujuan yang dikehendakinya. Intervensi pihak luar yang berlebihan dan tidak proporsional hanya akan menyebabkan ketidakberdayaan pada masyarakat, karena tidak terjadi proses pembelajaran diri atau proses pemberdayaan masyarakat itu sendiri (Sumardjo, 2009). Sulistiyani (2004) menyatakan bahwa proses belajar dalam rangka pemberdayaan masyarakat akan berlangsung secara bertahap. Tahap-tahap yang harus dilalui tersebut meliputi:1) Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku sadar dan peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri; 2) Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapan keterampilan agar terbuka wawasan dan pemberian keterampilan dasar sehingga dapat mengambil peran di dalam pembangunan; 3) Tahap peningkatan kemampuan intelektual sehingga terbentuklah inisiatif dan kemampuan untuk mengantarkan pada kemandirian. Adi (2003) menggambarkan bahwa ada tiga unsur dasar yang menjadi cirri khas pendekatan pemberdayaan yang bertumpu pada komunitas. Pertama, bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mendefinisikan dan memenuhi kebutuhan mereka; kedua, proses pelaksanaannya melibatkan kreatifitas dan kerjasama masyarakat ataupun kelompok-kelompok masyarakat; ketiga, partisipasi yang menggunakan intervensi ini lebih banyak menggunakan pendekatan pengembangan masyarakat non direktif, artinya intervensi yang dilakukan bukan bersifat instruktif tetapi partisipatif. Lebih lanjut dikemukanan bahwa pemberdayaan individu/masyarakat merupakan suatu proses yang tidak berhenti pada satu masa saja. Proses pemberdayaan tidak akan berakhir dengan selesainya suatu program, baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun lembaga non pemerintah. Proses pemberdayaan akan terus berlangsung selama komunitas tersebut tetap ada dan mau berusaha untuk memberdayakan dirinya. Dari berbagai uraian diatas disimpulkan bahwa upaya yang mampu mendukung terciptanya pembangunan yang berwawasan kerakyatan adalah melalui proses pemberdayaan masyarakat dalam menjalankan program-program pembangunan. Demikian pula halnya dengan pengelolaan hutan di Indonesia, hutan akan semakin meningkatkan peran dan fungsinya bagi kehidupan rakyat apabila rakyat ikut dilibatkan dalam pengelolaan hutan tersebut melalui programprogram pemberdayaan dengan berpartisipasi secara aktif dalam program KBR.
16 Mekanisme Kolaborasi Jika dilihat dari sejarahnya, perkembangan pendekatan kolaborasi mulai muncul sebagai respon atas tuntutan kebutuhan akan manajemen pengelolaan sumberdaya yang baru, yang demokratis, yang lebih mengakui perluasan yang lebih besar atas dimensi manusia dalam mengelola pilihan-pilihan, mengelola ketidakpastian, mengelola kerumitan dari potensi keputusan dan membangun kesepahaman, dukungan, kepemilikan atas pilihan-pilihan bersama (Suparahardjo, 2005). Uraian Batemen dan Snell (2009) menyimpulkan bahwa pendekatan berbasis kolaborasi erat kaitannya membangun sebuah tim (team). Tim yang ideal sebenarnya terdiri atas orang-orang yang saling mempercayai, dengan keterampilan yang saling melengkapi dan berkomitmen untuk tujuan yang sama, tujuan prestasi yang sama, dan pendekatan yang sama untuk membuat diri mereka bisa diandalkan satu sama lain. Selain itu, sebuah tim sebenarnya memiliki komitmen untuk bekerjasama sehingga bisa mencapi prestasi yang tinggi. Tim akan membentuk kecepatan dan menjadi kekuatan yang sangat besar bagi suatu inovasi dan perubahan karena didalamnya terdapat proses dan mekanisme pembelajaran yang terbaik bagi semua pihak. Memperkuat pemahaman di atas, Riley (dikutip dari Raharja, 2007) menyatakan bahwa : collaboration merupakan bentuk relasi yang lebih kompleks, yang dicirikan adanya sifat interdependensi (kesalingtergantungan) dimana multipihak terlibat dalam penentuan kebijakan dalam alokasi sumberdaya maupun dalam fokus dan proses program. Dengan demikian pemahaman mengenai prinsip kolaborasi dapat menjadi kurang berdasar jika hanya dipandang dari hasilnya saja. Pembahasan bagaimana proses kolaborasi itu terjadi justru menjadi point penting yang harus disikapi. Bagaimana masing-masing profesi memahami dan menerjemahkan tujuan kolaborasi bagi pemangku kepentingan sehingga dapat menjadi suatu aksi kolektif bagi perubahan yang diinginkan. Selain itu, pernyataan Hartley (2008) mengarahkan bahwa upaya langkah kolaborasi berhubungan erat dengan proses dalam mendesain dan menentukan komponen kearah kemajuan/keberlanjutan yang akan dicapai. Faktor-faktor implementasi program dalam hubungannya membangun kolaborasi ini umumnya muncul dari kondisi yang meliputi tindakan untuk mengatasi sikap dan persepsi skeptis. Kolaborasi adalah suatu proses dimana pihak-pihak yang saling bergantung bekerja bersama-sama untuk mempengaruhi masa depan isu kepentingan bersama (Gray, 1989). Secara lebih spesifik, Gray mendefinisikan kolaborasi sebagai penampungan apresiasi dan/atau kepedulian yang tampak, misalnya, informasi, uang, buruh, dan sebagainya oleh dua stakeholder atau lebih untuk memecahkan seperangkat masalah yang tak dapat dipecahkan secara individual. Dalam menjabarkan gagasan Gray, Selin dan Chavez (1995) mengatakan bahwa kolaborasi mengimplikasikan pendekatan pembuatan keputusan bersama terhadap penyelesaian masalah dimana terdapat pembagian kekuatan dan stakeholder bertanggung jawab bersama-sama terhadap tindakan dan akibatnya (Suporahardjo, 2005). Lebih lanjut dikemukakan menciptakan pendekatan kolaboratif untuk pengelolaan sumberdaya alam mencakup pengakuan terhadap : 1) kebutuhan untuk memadukan pelestarian dan pembangunan, 2) legitimasi hak-hak
17 masyarakat untuk memperoleh masa depan ekonomi mereka, dan 3) nilai atas upaya pelibatan aktif masyarakat setempat dalam perawatan lingkungan dan pengelolaannya. Salman (2004) mengemukakan kondisi yang mendorong promosi pola kolaborasi tersebut yakni : Pertama, kesadaran bahwa manajemen pembangunan yang hanya mengandalkan satu pelaku merupakan praktek yang bertentangan dengan demokratisasi pembangunan. kedua, dengan mengandalkan sumberdaya hanya dari satu pihak, di satu sisi sulit memenuhi kebutuhan, di sisi lain memubazirkan sumberdaya pada pihak lain. ketiga, bahwa dengan mempromosikan kolaborasi dalam manajemen pembangunan maka perwujudan good governance yang meniscayakan keterlibatan tiga pilar governance menjadi lebih mudah terwujud. Lebih lanjut dipaparkan bahwa kolaborasi merupakan keterlibatan berbagai pihak dengan asal-usul kelembagaan yang berbeda dalam suatu implementasi rencana pembangunan. Penekanan kolaborasi adalah keberbedaan asal-usul dari pihak yang terlibat. Dengan perbedaan asal-usul tersebut, sebuah implemtasi pembangunan akan melibatkan sumberdaya (resources/R), organisasi (organization/O) dan norma-norma (norms/N) yang beragam. Berdasarkan penjelasan diatas maka pelaksanaan program KBR seharusnyalah diwujudkan melalui penguatan kolaborasi pemerintah, masyarakat dan non pemerintah maupun perguruan tinggi sebagai sebuah tim dalam membangun pemahaman, fasilitasi dan mensinergikan aksi kolektif baik kondisi sumberdaya, upaya pengorganisasian serta nilai dan norma yang akan menjadi aturan pelaksanaan. Dengan demikian akan terbangun jaringan kerja berdasarkan prinsip partisipatif dalam mengimplementasikan rencana yang dibuat bersama. Hasil Penelitian Terdahulu Berbagai penelitian mengenai rehabilitasi hutan dan lahan melalui programprogram kehutanan telah banyak dilakukan oleh para peneliti dalam berbagai literatur yang ada diantaranya adalah Kartodihardjo, (2006) dalam kajian Masalah Kelembagaan dan Arah Kebijakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan menunjukkan bahwa pelaksanaan program rehabilitasi hutan dan lahan, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun pemerintah daerah, belum disertai oleh upaya penguatan kelembagaan. Orientasi kebijakan kehutanan secara keseluruhan tertuju kepada formulasi masalah-masalah teknis, sedangkan faktor-faktor sosial, ekonomi dan politik dianggap sebagai faktor eksogen. Lemahnya kelembagaan terbukti diikuti oleh kegagalan implementasi kebijakan untuk mencapai tujuannya. Kesulitan pembaruan kebijakan bersumber dari narasi kebijakan dan diskursus yang telah melekat dalam keyakinan para pembuat kebijakan. Elvida dan Alviya (2009) dalam penelitian Kendala dan Strategi Implementasi Pembangunan KPH Rinjani Barat menunjukkan bahwa implementasi pembangunan KPH Rinjani Barat terhambat disebabkan antara lain karena keterbatasan SDM, keterbatasan anggaran, belum adanya dukungan PERDA dan adanya klaim lahan oleh masyarakat. Adapun stakeholder yang terlibat dalam pembangunan KPH Rinjani Barat lebih didominasi oleh Dinas Kehutanan NTB sementara stakeholder lain seperti universitas, LSM, masyarakat,
18 Bappeda kurang dilibatkan dalam pembangunan KPH. Keterbatasan SDM, anggaran serta belum adanya dukungan Peraturan Daerah membutuhkan penanganan secara serius. Pemanfaatan kekuatan masyarakat dan luasnya lahan dalam upaya memenuhi permintaan kayu serta peran akademisi dan LSM dalam membantu menyusun draft rancangan rencana pengelolaan KPH menjadi rekomendasi untuk strategi pengembangan KPH Rinjani Barat. Hasil penelitian Hafsah, Elfa dan Heriyanto, Meyzi (2010) terhadap Implementasi Program Kebun Bibit Rakyat di Kabupaten Pelalawan menunjukkan bahwa implementasi program KBR sudah terlaksana namun belum berhasil secara optimal. Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi program KBR adalah: pertama, tidak adanya bantuan biaya atau dana dari pemerintah untuk melakukan pembersihan lokasi yang akan dijadikan sebagai lahan. Kelompok tani harus mengeluarkan tenaga dan biaya untuk melakukan pembersihan lokasi atau lahan. Kedua, jangka waktu panen yang panjang dari penanaman bibit, hal ini mengakibatkan keengganan para kelompok tani untuk melakukan penanaman bibit. Ketiga, setelah menjadi kebun atau setelah berhasil dipanen, maka pohon atau kayu yang akan dijual harus menggunakan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) kayu. Penelitian Hidayat, Muhamad Yusup dan Sriati (2010) dalam Implementasi Program Kebun Bibit Rakyat (KBR) di Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa program KBR terkendala oleh permasalahan ketidaktepatan sasaran, media dan informasi yang disampaikan, ketidaktersediaan staf serta sumber dana pendamping yang memadai, tumpang tindih wewenang diantara implementor dan keterbatasan sarana dan prasarana, permasalahan lingkungan serta kekurangpatuhan terhadap Standar Operating Procedures (SOP). Selain itu output yang ditetapkan dalam pelaksanaan program KBR di Kabupaten Bandung Barat hanya tercapai dalam hal pemenuhan jumlah yang ditargetkan dalam Rencana Usula Kerja Kelompok akan tetapi kualitas dan komposisi tidak tercapai dengan baik. Hakim, Ismatul (2010) dalam kajian Analisis Kelembagaan Hutan Rakyat Pada Tingkat Mikro Di Kabupaten Pandeglang menunjukkan bahwa kelembagaan pengelolaan hutan rakyat tampak masih sangat lemah terutama dalam hal tata organisasi, kemampuan sumberdaya manusia dan tata pengaturan secara teknis dan manajemen. Perlu adanya kesamaan pemahaman antara para pihak dan kebersamaan manajemen kolaborasi agar tidak terjadi pengkotak-kotakan dalam program pengelolaan hutan rakyat serta koordinasi dalam kaitannya dengan pemanfaatan hutan rakyat dari sisi penyediaan bahan baku dan pengembangan unit-unit usaha pengolahan kayu. Hal tersebut diperlukan untuk mendukung kebijakan pengelolaan hutan secara lestari dan memberikan manfaat ekonomi kepada daerah. Pemerintah daerah diharapkan dapat melakukan peyeimbangan antara sisi pasokan dan kebutuhan kayu untuk masyarakat dan industri kayu yang bahan bakunya berasal dari hutan rakyat. Penelitian tentang Mekanisme Kolaborasi Dalam Implementasi Program Kecamatan Inovasi Terpadu mandiri Di Kabupaten Gorontalo Utara, oleh Masia, Israwanto (2010) menunjukkan bahwa dalam pelaksanaannya, mekanisme kolaborasi ini menyisakan faktor-faktor penghambat prakarsa dan swadaya masyarakat seperti ketidakpahaman masyarakat tentang program KITM, ketergantungan warga pada bantuan-bantuan program serta peran lembaga formal
19 di masyarakat terbatas pada ketersediaan dana dan proyek. Selain itu lemahnya peran fasilitator masyarakat dalam membangun kebersamaan menyebabkan program ini belum berjalan maksimal. Hasil penelitian Winara, Aji dan Mukhtar, Abdullah Syarief (2011) dalam potensi Kolaborasi Dalam Pengelolaan Taman Nasional Teluk Cendrawasih di Papua menunjukkan bahwa kawasan Taman Nasional Teluk Cendrawasih memiliki keunikan dan kekhasan karakteristik ekologi, namun mengalami permasalahan sosial. Banyaknya pemangku kepentingan terhadap sumberdaya alam yang terdapat di dalam kawasan mengakibatkan terjadinya konflik kepentingan dalam pengelolaannya. Manajemen kolaborasi sangat diperlukan dalam mereduksi konflik kepentingan tersebut. Para pemangku kepentingan memiliki kesamaan kepentingan terhadap taman nasional yaitu untuk tujuan konservasi, mengambil manfaat dan aktivitas lain yang mendukung pengelolaan. Potensi pemangku kepentingan dalam pengelolaan kawasan taman nasional sangat besar sehingga memungkinkan untuk dilaksanakannya praktek kolaborasi sesuai Permenhut No. P.19/Menhut-II/2004. Patang (2012) dalam Analisis Strategi Pengelolaan Hutan Mangrove Kausus di Desa Tongke-Tongke Kabupaten Sinjai menunjukkan bahwa strategi yang harus ditempuh yaitu masyarakat melakukan penanaman berdasarkan potensi yang ada, lebih memberdayakan masyarakat, sosialisasi kepada masyarakat tentang bahaya penebangan mangrove, penyuluhan tentang ekosistem mangrove serta peningkatan pendidikan dan pelatihan kepada masyarakat. Safitri dan Fajarwati (2012) dalam Kajian Persepsi dan Partisipasi Masyarakat terhadap Progran Kebun Bibit Rakyat (KBR) di Desa Bulusulur Kabupaten Wonogiri menunjukkan bahwa tingginya antusias masyarakat terhadap program KBR, selain itu masyarakat juga merasa terbantu dengan adanya program pembagian bibit yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat terhadap tanaman keras. Partisipasi masyarakat yang meliputi peran, potensi serta review pelaksanaan program telah terlaksana dengan baik sesuai peraturan yang menaungi. Masyarakat dan panitia inti memiliki porsi keterlibatan dalam bentuk partisipasi yang hampir sama, hanya saja pada tahap rencana dan rancangan serta dalam partisipasi ide dan gagasan masyarakat tidak turut dilibatkan.
3 METODE Kerangka Pemikiran Hutan merupakan salah satu kekayaan alam yang dianugerahkan Tuhan kepada bangsa Indonesia yang terbentang dihampir seluruh kepulauan nusantara. Untuk itu hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Namun saat ini aktivitas penebangan liar, penyeludupan kayu dan konversi kawasan hutan menjadi areal penggunaan lain¸ semakin merajalela tanpa mengindahkan hukum dan kaidah-kaidah pengelolaan hutan yang lestari. Kerusakan hutan dan lahan kritis telah menyebabkan mundurnya kualitas lingkungan yang antara lain ditandai dengan rendahnya produktivitas lahan, tingginya laju erosi dan besarnya peluang terjadinya banjir dan kekeringan yang
20 akan mengakibatkan turunnya kualitas kehidupan. Untuk itu salah satu prioritas pembangunan sektor kehutanan sekarang ini sedang digalakkan untuk perbaikan permasalahan lingkungan seperti degradasi hutan dan lahan kritis. Degradasi hutan adalah suatu penurunan kerapatan pohon atau meningkatnya kerusakan terhadap hutan yang menyebabkan hilangnya hasil-hasil hutan dan berbagai layanan ekologi yang berasal dari hutan. Hutan yang terdegradasi adalah suatu keadaan dimana fungsi ekologis, ekonomis dan sosial hutan tidak terpenuhi. Sedangkan lahan kritis adalah lahan yang keadaan fisiknya tidak dapat berfungsi secara baik sesuai peruntukkannya sebagai media produksi dan tata air. Untuk memulihkan kembali fungsi hutan dan lahan kritis diperlukan upaya rehabilitasi hutan dan lahan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktifitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Rehabilitasi hutan dan lahan merupakan bagian dari sistem pengelolaan hutan dan lahan yang ditempatkan pada kerangka daerah aliran sungai (DAS). Sedangkan penghijauan adalah upaya memulihkan atau memperbaiki kembali keadaan lahan kritis di luar kawasan hutan agar dapat berfungsi sebagai media produksi dan pengatur tata air yang baik serta mempertahankan dan meningkatkan daya guna lahan sesuai dengan peruntukannya. Untuk mengembalikan fungsi hutan dan lahan yang rusak perlu adanya bibit untuk ditanam pada lahan-lahan tersebut. Salah satu program pemerintah yaitu program Kebun Bibit Rakyat (KBR) yang diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.12/MenHut-II/2013 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kebun Bibit Rakyat, merupakan bentuk fasilitasi pemerintah dalam penyediaan bibit tanaman hutan dan jenis tanaman serbaguna yang prosesnya dibuat secara swakelola oleh kelompok tani. Program KBR ini pelaksanaannya berkonsep pada pemberdayaan masyarakat sehingga memberikan peluang kesempatan kerja dan kesempatan berusaha kepada masyarakat dan sekaligus sebagai tempat pembelajaran bagi masyarakat dalam menambah pengetahuan dan keterampilan mengenai pembuatan benih dan bibit yang berkualitas sehingga dapat meningkatkan kapasitas masyarakat itu sendiri melalui partisipasi secara aktif pada setiap tahap kegiatan dalam program KBR. Tahapan kegiatan dalam program KBR yakni tahap perencanaan, pelaksanaan, dan selanjutnya adalah pengawasan, pengendalian dan pelaporan. Untuk mengurangi berbagai kesenjangan dalam program KBR perlu dilakukan pengidentifikasian peran multipihak dalam pelaksanaan program untuk mengakomodasikan berbagai kepentingan multipihak yang beragam. Terkait dengan hal ini diperlukan evaluasi terhadap kapasitas masyarakat dalam program KBR. Selanjutnya dengan menggunakan teknik analisa SWOT akan diformulasikan strategi kolaborasi dalam program tersebut yang diharapkan akan melahirkan sebuah mekanisme program KBR berbasis kolaborasi yang mampu mengurangi kesenjangan yang terjadi serta berkontribusi terhadap pembangunan sektor kehutanan. Kerangka pemikiran disajikan seperti dalam Gambar 1.
21 Pembangunan Sektor Kehutanan
Degradasi Hutan
Lahan Kritis Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Reboisasi dan Penghijauan
Program Kebun Bibit Rakyat
Tujuan Pemberdayaan masyarakat Partisipasi masyarakat Peningkatan kapasitas masyarakat
Kegiatan Perencanaan Pelaksanaan Pengawasan/ pelaporan
GAP
Evaluasi kapasitas masyarakat
Peran stakeholder
Strategi Kolaborasi Program KBR
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
22 Lokasi dan Waktu Kajian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan bulan Mei tahun 2014 dengan lokasi penelitian di Kabupaten Pohuwato. Lokasi ini dipilih karena Kabupaten Pohuwato merupakan kabupaten dengan luas hutan terbesar selaku penerima program KBR oleh Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Bone Bolango Provinsi Gorontalo.
Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dilapangan melalui beberapa instrument pendukung seperti kamera dan catatan lapangan. Teknik pengumpulan data dalam data primer ini akan diidentifikasi melalui proses observasi dan wawancara dengan informan yang telah ditentukan. Uraian proses dalam teknik pengumpulan data tersebut adalah sebagai berikut: a. Wawancara, dilakukan dengan mengajukan seperangkat pertanyaan-pertanyaan secara verbal kepada informan melalui sebuah proses interaksi. Wawancara dilakukan ditempat kerja ataupun ditempat tinggal informan. Teknik ini dilakukan untuk mengetahui dan mendapatkan data dan informasi baik tentang kolaborasi multipihak, partisipasi dan kapasitas masyarakat serta informasi tentang arahan strategi mekanisme kolaborasi dalam rangka keberhasilan program. b. Observasi, digunakan untuk melengkapi keakuratan data hasil wawancara melalui kegiatan pengamatan langsung mengenai kondisi empiric dilokasi penelitian. Dengan demikian melalui observasi akan diperoleh gambaran nyata atas fenomena yang terjadi secara obyektif. Teknik pengumpulan data ini digunakan untuk mendapatkan informasi secara langsung dalam mempelajari karakteristik dan aktivitas lokal masyarakat sekaligus crosscheck atas kebenaran informasi yang diperoleh dari informan. c. Kuesioner, merupakan teknik pengambilan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya sehinggga mendapatkan data-data mengenai sikap, cara pandang, pengetahuan, kemampuan dan tingkat kapasitas masyarakat guna pengevaluasian dan keberlanjutan program. Selanjutnya, sumber data lain dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder merupakan data yang diperoleh melalui publikasi dari instansi terkait atau dokumen yang ada pada lembaga-lembaga oleh SKPD terkait (BPDAS Bone Bolango Provinsi Gorontalo dan Dinas Kehutanan Provinsi Gorontalo serta Kabupaten Pohuwato), dukungan regulasi serta dokumen presentasi kebijakan daerah dalam pengelolaan sumberdaya (bappeda kabupaten/provinsi), profil geografis dan administratif dilokasi penelitian serta dokumen lain yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah yang relevan dalam penelitian ini.
23 Metode Pengambilan Sampel Dalam penelitian ini teknik pengambilan sampel dilakukan secara purposive. Dalam hal ini sampel dipilih berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu (Singarimbun dan Effendi, 1987), sedangkan pertimbangan yang diambil itu berdasarkan tujuan penelitian. Daftar reponden untuk masing-masing tujuan penelitian seperti pada tabel 4. Tabel 4 Daftar dan jumlah responden No Responden I. Analisis Stakeholder 1 Bupati Pohuwato 2 BPDAS Provinsi Gorontalo 3 Dishuttam Kab. Pohuwato 4 BP4K Kab. Pohuwato 5 BLH Kab. Pohuwato 6 7 8 9 10 11 12 13 14 II. 1
Bappeda Kab. Pohuwato DPRD Kab. Pohuwato Camat Kepala desa Tenaga pendamping Koordinator sumber benih Perguruan Tinggi LSM Pemuka agama Analisis gap Kecamatan Paguat
Jumlah 1 1 1 1 1 1 1 1 2 4 1 1 1 1 18 8
2
Kecamatan Dengilo
8
3
Kecamatan Buntulia
8
4
Kecamatan Taluditi
8 8
Keterangan
PPTK KBR Bidang rehabilitasi hutan dan lahan Bidang informasi penyuluhan Bidang konservasi dan pemulihan kerusakan lingkungan Sekretaris Bappeda Komisi bidang ekonomi dan keuangan Kecamatan Taluditi Desa Siduan, Desa Hulawa Dishuttam 3 orang, BP4K 1 orang Wilayah Gorontalo Universitas Gorontalo LSM Madani Imam mesjid
Desa Siduan Kelompok mayarakat Mekar Desa Karya Baru, Kelompok masyarakat Semangat Baru Desa Hulawa Kelompok masyarakat Maju Bersama Desa Panca Karsa II Kelompok masyarakat Karya Bersama Desa Puncak Jaya Kelompok masyarakat Cempaka Putih
40 III 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Analisis SWOT BPDAS Provinsi Gorontalo Dishuttam Kab. Pohuwtao BP4K Kab. Pohuwato BLH Kab. Pohuwato Bappeda Kab. Pohuwato Perguruan Tinggi LSM Masyarakat Koordinator PIC PO JICA CD Project
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 10
PPTK KBR Bidang rehabilitasi hutan dan lahan Bidang informasi penyuluhan Bidang konservasi Bidang ekonomi Universitas Gorontalo LSM Madani Kelompok masyarakat Karya Bersama Pakar Pakar
24 Untuk tujuan penelitian pertama, responden yang dipilih adalah stakeholder yang terlibat dalam program KBR maupun yang belum terlibat tapi mempunyai pengaruh dan kepentingan terhadap peningkatan kapasitas mayarakat. Sementara untuk tujuan penelitian kedua karena lingkup penelitian adalah menyangkut peningkatan kapasitas masyarakat maka sampel yang dipilih dalam penelitian ini adalah masyarakat yang terlibat atau termasuk dalam anggota kelompok masyarakat program KBR dengan jumlah responden 40 orang. Selanjutnya untuk merumuskan strategi kolaborasi, responden penting yang dipilih yaitu para stakeholder (institusi pemerintah, non pemerintah, masyarakat dan perguruan tinggi) yang terkait kepentingan dengan program KBR dalam upaya meningkatkan kapasitas masyarakat.
Analisis Data Setelah data dan informasi sesuai lingkup permasalahan diperoleh, selanjutnya pengolahan data dengan cara pengklasifikasian dan pentabulasian data sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. 1. Tujuan pertama yakni mengidentifikasi peran stakeholder untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam program KBR digunakan metode analisis stakeholder. Stakeholder adalah orang-orang yang berarti bagi suatu sistem, sedangkan definisi umum analisis stakeholder menurut Suporahardjo (2005) adalah suatu pendekatan dan prosedur untuk mencapai pemahaman suatu sistem dengan cara mengidentifikasi aktor-aktor kunci atau stakeholder kunci di dalam sistem dan menilai kepentingan masing-masing di dalam sistem tersebut. Dengan istilah stakeholder dimaksudkan semua yang mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh kebijakan, keputusan dan tindakan sistem tersebut. Hal itu dapat bersifat individual, masyarakat, kelompok sosial atau institusi dalam berbagai ukuran, kesatuan atau tingkat dalam masyarakat. Dengan demikian istilah ini meliputi pembuat kebijakan, perancang dan administrator dalam pemerintah dan organisasi-organisasi lain serta kelompok pengguna. Analisis stakeholder tujaannya adalah: Mengidentifikasi dan mendaftar semua keterlibatan stakeholder dan menggolongkan kedalam beberapa kelompok. Ini dilakukan menurut penilaian apakah stakeholder tersebut telah terlibat langsung atau belum terlibat langsung terhadap upaya peningkatan kapasitas masyarakat seperti pada Tabel 5. Tabel 5 Kategorisasi stakeholder pada program KBR Kabupaten Pohuwato No Kategori Stakeholder 1 Primer
2
Sekunder
25 Mengklasifikasikan stakeholder menurut pengaruh dan pentingnya. Kepentingan Tinggi
I
II
III
IV
Kepentingan Rendah
Pengaruh Rendah
Pengaruh Tinggi
Gambar 2 Klasifikasi stakeholder menurut pengaruh dan pentingnya Menghubungkan keterkaitan antar stakeholder dalam sebuah sinergi kolaborasi 2. Tujuan kedua untuk mengevaluasi tingkat kapasitas masyarakat dalam program KBR dianalisis dengan menggunakan metode analisis Gap. Model Gap ini dikembangkan oleh Parasuraman, Zeithament dan Barry tahun 1995 dalam serangkaian penelitian. Gap analysis dapat dikatakan sebagai alat analisis yang mempunyai pendekatan bottom-up yang dapat memberikan input berharga bagi pemerintah, terutama dalam perbaikan dan peningkatan kinerja pelayanan kepada masyarakat. Beberapa manfaat dari Gap analysis adalah menilai seberapa besar kesenjangan antara kinerja aktual dengan suatu yang diharapkan, mengetahui peningkatan kerja yang diperlukan untuk menutup kesenjangan tersebut dan mengetahui kondisi terkini dan tindakan apa yang akan dilakukan di masa yang akan datang (Allomboky, 2013). Kerangka konsep yang akan diukur dalam tujuan penelitian ini mencakup beberapa hal yaitu sebagai berikut: Tingkatan kebijakan dan sistem Tingkatan organisasi Tingkatan individual Dengan menggunakan analisis Gap dalam kajian ini diharapkan mendapatkan deskripsi singkat tentang sikap, cara pandang dan pengetahuan masyarakat (responden) dalam pengelolaan program KBR yang diperoleh dari pengolahan data hasil kuesioner yang diisi oleh anggota kelompok masyarakat, yaitu : Gap pada tingkatan kebijakan
26 Gap pada tingkatan organisasi Gap pada tingkatan individual Hasil perhitungan selanjutnya dianalisis dengan pendekatan deskriptif kualitatif untuk menggambarkan apa adanya serta menjelaskan secara komprehensif tingkat kapasitas masyarakat dalam program KBR. 3. Tujuan ketiga adalah menyusun strategi kolaborasi untuk keberhasilan program kebun bibit rakyat melalui analisis SWOT. Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal peluang dan ancaman dengan faktor internal kekuatan dan kelemahan (Rangkuti 2006). Menurut Soesilo (2002), sebelum menjabarkan analisis SWOT maka hal utama yang harus diputuskan adalah siapakah stakeholder utama. Dalam kajian ini, kelompok masyarakat pengelola KBR menjadi stakeholder utama. Analisis lingkungan internal masyarakat bertujuan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan dalam implementasi program KBR dengan mengacu pada dua faktor utama yakni: a. Sumberdaya mencakup sumberdaya alam, sumberdaya manusia, serta sarana dan prasarana. Merupakan kumpulan dari faktor-faktor yang tersedia dan dikendalikan atau dimiliki oleh masyarakat yang dapat menunjang pelaksanaan program KBR. Analisis ini penting untuk memberikan gambaran mengenai hal-hal yang telah dan sedang dilakukan masyarakat untuk mengelola potensi yang dimilikinya. Gambaran hasil analisis ini dapat dijadikan tolak ukur untuk menyusun rencana strategis selanjutnya. b. Organisasi masyarakat Aspek ini merupakan uraian kinerja terhadap kelompok masyarakat program KBR yang mencakup kemampuannya dalam menjalankan aturan main organisasi, sistem manajemen dan secara kolektif melaksanakan fungsi, memecahkan masalah serta menetapkan dan mencapai tujuan bersama organisasi. Indikator kinerja lembaga formal ini akan diidentifikasi berdasar atas peran organisasi dan lembaga lokal dalam upayanya untuk; a) mengorganisir dan memobilisasi sumberdaya; b) mengembangkan sikap dan tindakan kolektif kelompok masyarakat. Selanjutnya analisis lingkungan eksternal masyarakat pada pelaksanaan program KBR bertujuan untuk mengetahui peluang dan ancaman kontribusi pihak luar dalam implementasi program KBR dengan mengacu pada dua faktor utama yakni: a. Faktor politik Merupakan hal-hal yang terkait dengan regulasi atau kebijakan pemerintah baik arahan kebijakan pembangunan daerah secara umum maupun arahan kebijakan pemberdayaan masyarakat dan pengurangan kemiskinan secara khusus dalam menunjang program KBR. Faktor ini dapat berpotensi menjadi sumber peluang ataupun ancaman bagi implementasi program. b. Faktor jaringan kerja
27 Merupakan faktor yang memungkinkan terciptanya kerjasama yang terjalin antara perwakilan masyarakat dari unsur LSM, aparat kabupaten, kecamatan, SKPD kabupaten dan provinsi serta instansi vertikal. Organisasi-organisasi tersebut akan menjadi sumber peluang ataupun ancaman dalam pengalokasian sumberdayanya pada masyarakat sebagai sasaran kegiatan dalam program KBR. Untuk penjabaran dari faktor internal dan eksternal masyarakat dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Faktor internal dan eksternal di dalam masyarakat No Faktor S W 1 Faktor Internal Masyarakat Sumberdaya alam Sumberdaya manusia Sarana dan prasarana Organisasi masyarakat 2 Faktor Eksternal Masyarakat Faktor politik Jaringan kerja
O
T
Setelah dilakukan pengidentifikasian terhadap lingkungan internal dan eksternal, langkah selanjutnya adalah melakukan analisis internal (strengths and weaknesses) dan analisis eksternal (opportunities and threats) yang disajikan dalam tabel IFAS (Internal Strategy Factor Analysis System) dan tabel EFAS (Eksternal Strategy Factor Analysis System). Selanjutnya untuk mengetahui bagaimana kekuatan dan kelemahan internal dapat disesuaikan dengan peluang dan ancaman ekternal dan bagaimana memilih strategi yang akan diambil maka disusun matriks SWOT seperti pada Tabel 7. Tabel 7 Matriks SWOT IFAS
EFAS Peluang (O) 1. …. 2. …. Dst Ancaman (T) 1. …. 2. …. Dst (sumber : Soesilo,2002)
Kekuatan (S) Menyusun daftar kekuatan: 1. …. 2. …. Dst
Kelemahan (W) Menyusun daftar kelemahan 1. …. 2. …. Dst
SO
WO
ST
WT
28 Secara garis besar jenis data, sumber data serta metode analisis yang digunakan untuk setiap tujuan penelitian dalam kajian ini disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Lingkup data yang digunakan dalam penelitian No Tujuan Penelitian Jenis Data Sumber Data
Metode Analisis Analisis Stakeholder
1
Mengidentifikasi peran stakeholder dalam pelaksanaan program KBR
Data Primer
Responden: Masyarakat, Lembaga Pemerintah/swasta terkait
2
Mengevaluasi kapasitas masyarakat dalam program KBR
Data Primer
Responden: Kelompok Masyarakat KBR
3
Merumuskan Strategi kolaborasi untuk keberhasilan program KBR
Data Primer
Responden: SWOT Masyarakat, Lembaga Pemerintah/swasta terkait
Analisis Gap
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Secara umum Kabupaten Pohuwato merupakan wilayah administrasi yang merupakan daerah hasil pemekaran dari Kabupaten Boalemo yang disahkan melaui Undang-undang nomor 6 Tahun 2003 tentang pembentukan Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo. Secara geografis, Kabupaten Pohuwato terletak di antara 00.22’ – 00.57’ Lintang Utara dan 1210.23’ – 1220.19’ Bujur Timur. Di sebelah utara berbatasan langsung dengan Kabupaten Buol (Sulawesi Tengah) dan Kecamatan Sumalata (Kabupaten Gorontalo Utara). Sementara di sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Mananggu (Kabupaten Boalemo), di sebelah selatan berbatasan dengan Teluk Tomini dan di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Buol (Sulawesi Tengah). Kabupaten Pohuwato terdiri dari 13 kecamatan yang terbagi dalam 103 desa, dengan ibukota Kecamatan Marisa. Jumlah penduduk Pohuwato pada tahun 2012 adalah 139.110 jiwa, terdiri dari penduduk laki-laki 70.853 dan penduduk perempuan 68.287 jiwa. Kepadatan penduduk Pohuwato pada tahun 2012 sebesar 33 jiwa per km2. Kecamatan yang paling padat penduduknya adalah Kecamatan Marisa, yaitu 564 jiwa per km2, sedangkan yang terendah adalah Kecamatan Popayato Timur yaitu 11 jiwa per km2 seperti pada Tabel 9.
29 Tabel 9 Luas wilayah dan jumlah penduduk menurut kecamatan tahun 2012 Luas wilayah Penduduk Kepadatan Kecamatan 2 Penduduk Km % Jumlah % Popayato 90,92 2,14 9 662 6,95 106 Popayato Barat 578,24 13,62 7 471 5,37 13 Popayato Timur 723,74 17,05 8 134 5,85 11 Lemito 619,50 14,60 11 135 8,00 18 Wanggarasi 188,08 4,43 4 899 3,52 26 Marisa 34,65 0,82 19 551 14,05 564 Patilanggio 375,64 8,85 9 549 6,86 25 Buntulia 39,53 0,93 11 002 7,91 278 Duhiadaa 298,82 7,04 11 630 8,36 39 Randangan 331,90 7,82 16 521 11,88 50 Taluditi 159,97 3,77 8 066 5,80 50 Paguat 560,93 13,22 15 685 11,28 28 Dengilo 242,39 5,71 5 805 4,17 24 Kabupaten Pohuwato 4.244,31 100 139 110 100 33 Sumber : Pohuwato dalam angka 2012 Mata pencaharian penduduk Kabupaten Pohuwato sebagian besar bekerja pada sektor pertanian dalam arti luas seperti pada Tabel 10. Tabel 10 Penduduk yang bekerja menurut lapangan usaha di Kabupaten Pohuwato tahun 2010-2012 Lapangan usaha 2010 2011 2012 Pertanian 49,60 42,20 37,28 Industri pengolahan 4,39 3,32 3,86 Perdagangan, rumah makan dan hotel 14,95 15,01 15,82 Jasa kemasyarakatan 16,63 21,51 21,44 Lainnya 14.43 17,96 21,61 Jumlah 100 100 100 Sumber : Pohuwato dalam angka 2012 Pada tahun 2012, Angka Partisipasi Sekolah (APS) di Kabupaten Pohuwato pada penduduk kelompok usia sekolah 7-12 tahun sebesar 98,14 persen atau naik dari tahun 2011 yang sebesar 95,85 persen. Sementara untuk fasilitas kesehatan di Kabupaten Pohuwato pada tahun 2012, terdiri dari satu buah Rumah Sakit, 16 Puskesmas, 24 Puskesmas Pembantu, 16 Puskesmas Keliling, dan 64 Posyandu. Kerukunan hidup antar umat beragama merupakan hal yang penting dalam kehidupan bermasyarakat. Dilihat dari agama yang dianut, 95,24 persen penduduk Pohuwato beragama Islam, 3,41 persen Protestan, 0,23 persen Katolik, 1,08 persen Hindu dan 0,04 persen Budha.
Gambaran Umum Pelaksanaan KBR di Kabupaten Pohuwato Pelaksanaan KBR tahun 2013 di Kabupaten Pohuwato dilaksanakan di 10 kecamatan, 27 desa dengan 27 kelompok masyarakat seperti pada Tabel 11.
30 Tabel 11 Lokasi KBR di Kabupaten Pohuwato tahun 2013 No Kecamatan Desa Kelompok masyarakat 1 Paguat Siduan Mekar 2 Dengilo Karya Baru Semangat Baru 3 Buntulia Hulawa Maju Bersama 4 Patilanggio Iloheluma Sinar Jaya 5 Taluditi Panca Karsa II Karya Bersama 6 Puncak Jaya Cempaka Putih 7 Tirto Asri Rimba Lestari 8 Kalimas Rimba Hutan 9 Malango Agritama 10 Wanggarasi Lembah Permai Lestari Satu 11 Tuweya Alam Lestari 12 Bukit Harapan Bukit Hijau 13 Bohusami Mapalus 14 Lemito Lomuli Tumbuh Lestari 15 Babalonge Huyula 16 Lemito Pasir Putih (Mangrove) 17 Popayato Timur Milangodaa Usaha Baru 18 Marisa Sengon Jaya 19 Bunto Bunto Lestari (Mangrove) 20 Popayato Dambalo Dambalo Raya 21 Bukit Tinggi Beringin Indah 22 Telaga Bersatu 23 Telaga Biru Panua 24 Popayato Barat Persatuan Rahmat Jaya 25 Padengo Kenari 26 Dudewolo Harapan Baru (Mangrove) 27 Tunas Jaya Karya Nyata Sumber: Dinas Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Pohuwato, 2013 Penetapan lokasi tersebut ditetapkan oleh Kepala BPDAS Bone Bolango Provinsi Gorontalo setelah melalui prosedur yang tercantum dalam peraturan pedoman penyelenggaraan KBR. Pada tahap awal, kelompok masyarakat KBR menyusun Rencana Usulan Kegiatan Kelompok (RUKK) yang berisi antara lain: 1) Struktur organisasi kelompok masyarakat yang terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara, ketua tim perencana, ketua tim pelaksana, ketua tim pengawas dan anggotanya masing-masing; 2) Lokasi persemaian dan penanaman berada dalam wilayah desa kelompok masyarakat tersebut; 3) Biaya pembangunan sarana persemaian, produksi bibit, pertemuan kelompok serta tata waktu pelaksanaan kegiatan; 4) Jenis dan jumlah bibit yang akan dibuat oleh kelompok masyarakat tersebut. Berdasarkan data yang diperoleh dilapangan, jumlah bibit dan jenis bibit yang tercantum dalam RUKK yang akan di buat oleh kelompok masyarakat KBR di Kabupaten Pohuwato pada tahun 2013 seperti pada Gambar 3.
31 Sengon 4,89%
Jabon 3,28%
Jati 3,98%
Gmelina 5,63%
Nyatoh 35,19%
Trembesi 21,04 % Mahoni 25,99 %
Gambar 3 Jenis dan jumlah bibit tanaman hutan Gambar 3 menunjukkan bahwa rencana pembuatan bibit KBR oleh kelompok masyarakat untuk jenis tanaman hutan pada tahun 2013 adalah 515.100 bibit dengan jenis tanaman Nyatoh paling besar yaitu 181.244 bibit atau 35,19 persen, Mahoni 133.900 bibit, Trembesi 108.363 bibit, Gmelina 28.993 bibit, Sengon 25.200 bibit, Jati 20.500 bibit dan paling sedikit adalah bibit tanaman Jabon sebesar 16.900 bibit atau 3,28 persen. Sedangkan untuk jenis tanaman serbaguna yang akan dibuat oleh kelompok masyarakat KBR seperti pada Gambar 4. Pala 4,78%
Aren 3,02%
Cengkih 2,51%
Kakao 6,54% Jambu Mente 22,50 %
Durian 11,06%
Nangka 19,59%
Rambutan 14,05 % Langsat 15,96%
Gambar 4 Jenis dan jumlah bibit tanaman serbaguna Gambar 4 menunjukkan bahwa rencana pembuatan bibit untuk tanaman serbaguna sebesar 198.900 bibit dengan jumlah bibit yang paling banyak adalah bibit Jambu Mente sebanyak 44.750 bibit atau 22,50 persen, kemudian nangka 38.955 bibit, langsat 31.750, rambutan 27.945, durian 22.000 bibit, kakao 13.000 bibit , kemudian pala dengan 9.500 bibit, aren 6.000 bibit dan paling sedikit adalah cengkeh yaitu 5.000 bibit atau 2,51 persen. Untuk rehabilitasi mangrove ada 3 kelompok masyarakat KBR dengan jenis bibit tanaman mangrove terbesar adalah pembuatan bibit rhizopora dengan 60.000 bibit dan ceriop dengan dengan 30.000 bibit, seperti pada Gambar 5.
32
Ceriop 33,33% Rhizopora 66,67%
Gambar 5 Jenis dan jumlah bibit tanaman mangrove Untuk rekapitulasi penanaman bibit KBR untuk tahun 2013 seperti pada Tabel 12. Tabel 12 Rekapitulasi penanaman KBR tahun 2013 No Nama bibit Jumlah yang dibuat
Jumlah yang ditanam
Jumlah yang mati
Jumlah yang belum ditanam
181.244 133.900 108.363 28.993 25.200 20.500 16.900
129.265 100.754 85.651 24.756 23.800 17.400 9.740
14.979 12.146 12.212 4.537 1.400 1.600 1.660
37.000 21.000 10.500 300 1.500 5.500
44.750
32.300
3.950
8.500
38.955 31.750 27.945
25.825 26.450 19.115
5.830 5.300 2.330
7.300 6.500
22.000 13.000 9.500 6.000 5.000
14.820 8.000 1.000 5.200 -
5.180 800 -
2.000 5.000 8.500 5.000
60.000 56.000 4.000 30.000 28.000 2.000 804.000 608.076 77.924 Sumber: Dinas Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Pohuwato, 2014
118.000
1
Tanaman Hutan 1. Nyatoh/Palaquium sp 2. Mahoni/Swietenia macrophylla 3. Trembesi/Samanea saman 4. Gmelina/Gmelina arborea 5. Sengon/Falcataria moluccana
2
3
6. Jati/Tectona grandis 7. Jabon/Anthocephalus cadamba Tanaman Serbaguna 1. Jambu Mente / Anacardium occidentale 2. Nangka/Artocarpus integra 3. Langsat/Aglaila tomentosa 4. Rambutan/Nephelium lappaceum 5. Durian/Durio zibethinus 6. Kakao/Theobroma cacao 7. Pala/Myristica fragrans 8. Aren/Arenga pinnata 9. Cengkih/Syzygium aromaticum Tanaman Mangrove 1. Rhizopora 2. Ceriop
33 Pada tabel 12 dapat dilihat bahwa realisasi penanaman bibit tidak sesuai dengan jumlah pembuatan benih seperti yang tercantum dalam RUKK. Banyak bibit yang mati dan bahkan sampai akhir tahun 2013 belum ditanam pada lokasilokasi penanaman. Hal ini disebabkan karena kelompok masyarakat tidak merawat dan memelihara bibit yang dibuat tersebut. Selain itu masalah keterlambatan anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah juga ikut mempengaruhi realisasi penanaman. Dari total bibit yang dibuat sebanyak 804.00 bibit jumlah yang berhasil ditanam pada lokasi-lokasi penanaman sebesar 75,63%, bibit yang mati 9,69% dan bibit yang belum ditanam sampai pada akhir tahun penganggaran 2013 adalah sebesar 14,67%.
Identifikasi Peran Stakeholder Dalam Peningkatan Kapasitas Masyarakat Analisis ini dimulai dengan menyusun stakeholder berdasarkan keterlibatan maupun belum dalam program KBR yang berpengaruh terhadap upaya peningkatan kapasitas masyarakat. Tadjudin (2000) membedakan stakeholder yang berkaitan dengan sumberdaya hutan sebagai berikut: 1) Stakeholder primer, yaitu pelaku yang terlibat langsung dalam kegiatan pendayagunaan sumberdaya hutan; 2) Stakeholder sekunder yaitu pelaku yang tidak bertanggung jawab langsung dalam hal pengelolaan sumberdaya hutan namun berkepentingan terhadap sumberdaya yang bersangkutan. Hasil identifikasi peran stakeholder pada program KBR menunjukkan ada dua kategorisasi stakeholder, yang dapat dibedakan atas stakeholder primer yaitu stakeholder yang terlibat dan mempunyai kaitan kepentingan dan berpengaruh dalam kegiatan KBR dan stakeholder sekunder yaitu stakeholder yang tidak bertanggung jawab langsung dalam pelaksanaan program KBR namun sesuai identifikasi mempunyai kepentingan dan pengaruh terhadap program tersebut. Sebagaimana disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Kategorisasi stakeholder pada program KBR Kabupaten Pohuwato No Kategori Stakeholder 1 Primer Bupati BPDAS Bone Bolango Provinsi Gorontalo Dinas Kehutanan dan Pertambangan Kab. Pohuwato Kepala Desa Petugas lapangan/tenaga pendamping Koordinator sumber benih 2 Sekunder BP4K Kabupaten Pohuwato BLH Kabupaten Pohuwato Bappeda Kabupaten Pohuwato DPRD Kabupaten Pohuwato LSM Perguruan Tinggi Camat Pemuka agama Sumber: Data primer, 2014
34 Tabel 13 menunjukkan sejumlah stakeholder yang terkait langsung dengan program KBR terdiri dari tujuh stakeholder yaitu Bupati, BPDAS, Dinas Kehutanan, kepala desa, tenaga pendamping, dan koordinator sumber benih. Keenam stakeholder ini termasuk belum lengkap dan belum mewakili semua sektor yang berpotensi untuk membangun kolaborasi sebagai upaya meningkatkan kapasitas masyarakat karena masih banyaknya stakeholder sekunder yang belum terlibat langsung padahal mempunyai pengaruh dan kepentingan dalam peningkatan kapasitas masyarakat. Seperti dalam penelitian Elvida dan Alviya (2009) yang mengemukakan bahwa permasalahan utama yang ditemui di lapangan terkait dengan pembangunan KPH antara lain adalah faktor sosial ekonomi dan kelembagaan yang meliputi belum bersinerginya antara stakeholder yang terkait dalam membangun KPH dan rancangan perencanaan yang belum optimal sehingga implementasi pembangunan KPH masih rendah. Langkah selanjutnya adalah mengklasifikasikan stakeholder pada matriks menurut seberapa pentingnya dan pengaruhnya terhadap peningkatan kapasitas masyarakat. Menurut Suporahardjo (2005), pengukuran derajat pentingnya dinilai dari besarnya peran dalam mencapai hasil dan tujuan proyek. Pengaruh dinilai kekuatan yang dapat mereka keluarkan untuk proses dan hasil proyek. Berdasarkan kategorisasi stakeholder yang teridentifikasi diatas, kepentingan dan pengaruh stakeholder dalam program KBR sebagai upaya untuk meningkatkan kapasitas masyarakat diuraikan sebagai berikut: 1. Bupati Bupati sebagai kepala pemerintah daerah, memiliki kepentingan dan pengaruh dalam pengelolaan KBR karena menyangkut kebijakan wilayah administrasi dan pembangunan daerah. 2. BPDAS Bone Bolango Provinsi Gorontalo BPDAS merupakan instansi pusat di daerah yang tupoksinya secara spesifik untuk menangani masalah pengelolaan DAS, khususnya masalah perencanaan dan monev. Pengaruhnya juga besar dalam hal pendanaan pada program KBR 3. Dinas Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Pohuwato Dinas Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Pohuwato adalah pelaksana langsung di lapangan program-program yang terkait dengan pengelolaan DAS termasuk program KBR sehingga mempunyai kemampuan untuk memobilisasi sumberdaya dalam keberhasilan program KBR serta upaya peningkatan kapasitas masyarakat. 4. Kepala Desa Sebagai pucuk pimpinan tertinggi sekaligus wakil pemerintah di Desa, kepala desa berkepentingan terhadap manfaat langsung dari program KBR untuk kemakmuran warga desanya serta mempunyai pengaruh dalam pembinaan terhadap anggota kelompok masyarakat KBR. 5. Petugas lapangan/tenaga pendamping Petugas lapangan/tenaga pendamping KBR ditetapkan untuk melakukan bimbingan kepada kelompok masyarakat pada setiap tahap rangkaian kegiatan program KBR, dalam artian petugas lapangan berpengaruh terhadap perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam program KBR. 6. Koordinator sumber benih Sebagai koordinator sumber benih yang ditunjuk oleh BPTH Sulawesi untuk wilayah Gorontalo maka koordinator mempunyai keterlibatan secara langsung
35 dalam hal penyediaan benih yang akan digunakan oleh kelompok masyarakat untuk pelaksanaan kegiatan KBR. 7. BP4K Kabupaten Pohuwato Badan Penyuluh mempunyai kaitan yang cukup erat dengan pengelolaan sumberdaya hutan karena sesuai dengan tupoksinya dalam melaksanakan pembinaan teknis terhadap pengembangan mekanisme dan tata cara penyuluhan kehutanan. 8. BLH Kabupaten Pohuwato Badan lingkungan hidup berkepentingan terhadap masalah pencemaran lingkungan yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan kritis. Melalui pembinaan teknis bidang pemantauan, pencegahan serta pemulihan kualitas lingkungan dapat meminimalisir masalah pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh kerusakan hutan dan lahan kritis. 9. Bappeda Kabupaten Pohuwato Badan Perencanaan Pembangunan Daerah merupakan lembaga perencana makro pembangunan daerah. Instansi ini berkepentingan menjaring programprogram dari instansi teknis lainnya maupun aspirasi dari masyarakat untuk dikoordinasikan dan disahkan. Selain itu, pengaruhnya juga besar dalam hal pendanaan karena instansi ini berwenang menyusun rencana anggaran pendapatan dan belanja daerah berdasarkan program-program pembangunan daerah yang telah ditetapkan. 10. DPRD Kabupaten Pohuwato Tupoksi DPRD tidak secara langsung berkaitan dengan kehutanan akan tetapi dalam banyak hal DPRD berkepentingan melakukan kontrol dan suport terhadap pemerintah daerah, terkait kebijakan pengelolaan program KBR untuk rehabilitasi hutan dan lahan selain itu pengaruhnya juga besar dalam penyusunan PERDA terkait. 11. LSM Sebagai lembaga swadaya masyarakat berkepentingan untuk menjaga kelestarian hutan, penguatan kelembagaan masyarakat, pemberdayaan masyarakat serta fasilitasi komunikasi antar pihak yang berkepentingan. 12. Perguruan Tinggi Tri Dharma Perguruan Tinggi mewajibkan lembaga pendidikan tinggi sebagai centre of excellence dalam hal pendidikan, penelitian, dan pengabdian. Perguruan tinggi berkepentingan untuk melakukan penelitian dan memberikan saran-saran dan arahan dalam bentuk tulisan ataupun laporan tentang pengembangan program KBR. 13. Camat Tugas pemerintahan seorang camat salah satunya adalah koordinasi pemberdayaan masyarakat diwilayah kepemimpinannya. Dalam artian seorang camat haruslah berperan dalam setiap program pemberdayaan masyarakat dengan melakukan pembinaan ataupun pengawasan dalam program KBR. 14. Pemuka agama Sebagai pemuka agama di desa baik imam mesjid ataupun dewan gereja berkepentingan terhadap eksistensi umat dalam hal sikap dan perilaku masyarakat desa yang mendukung kelestarian sumberdaya hutan melalui pembinaan keagamaan
36 Klasifikasi stakeholder menurut kepentingan dan pengaruh tersebut diatas kemudian dipetakan pada gambar 6. Kepentingan I Tinggi
II Koordinator sumber benih
LSM
Bupati
Dishutam Perguruan tinggi
BPDAS
Kades
Pemuka agama
III
Tenaga Pendamping
Badan Penyuluh
Badan Lingkungan Hidup
Camat
IV Bappeda
DPRD
Kepentingan Rendah
Pengaruh Rendah
Pengaruh Tinggi
Gambar 6 Klasifikasi stakeholder pada program KBR di Kabupaten Pohuwato menurut kepentingan dan pengaruhnya terhadap peningkatan kapasitas masyarakat
Gambar 6 adalah klasifikasi stakeholder berdasarkan kepentingan serta pengaruhnya dalam program KBR untuk meningkatkan kapasitas masyarakat. Kuadran I adalah stakeholder yang mempunyai kepentingan tinggi namun memiliki pengaruh yang rendah. Stakeholder ini mempunyai minat yang besar terhadap KBR dengan ikut memberikan kontribusi bagi program KBR walaupun tidak mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi atau membuat peraturanperaturan tentang program KBR di Kabupaten Pohuwato. Ada 6 (enam)
37 Stakeholder yang termasuk dalam kuadran ini yaitu koordinator sumber benih, LSM, perguruan tinggi , pemuka agama Kuadran II adalah stakeholder dengan derajat pengaruh dan kepentingan tinggi terhadap keberhasilan program KBR. Stakeholder ini mempunyai pengaruh yang besar untuk melakukan sesuatu atau membuat aturan untuk pengelolaan program KBR guna meningkatkan kapasitas masyarakat. Selain itu peran yang dapat stakeholder lakukan juga besar sebagai upaya pencapaian hasil KBR yang terdiri dari 8 (delapan) stakeholder yaitu Bupati Pohuwato, BPDAS Bone Bolango Provinsi Gorontalo, Dinas Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Pohuwato, kepala desa, penyuluh lapangan/tenaga pendamping, BP4K Kabupaten Pohuwato, Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Pohuwato dan Camat. Kuadran IV menunjukkan Stakeholder berpengaruh tinggi, tetapi derajat kepentingannya rendah. Penggolongan ini dilatarbelakangi oleh lingkup kerja yang teramat luas, sedangkan masalah dalam bidang kehutanan telah ditangani oleh dinas teknis, sehingga dimasukkan dalam stakeholder dengan peran kecil tapi mempunyai pengaruh yang besar dalam mengesahkan program-program dari dinas terkait yang berhubungan langsung dengan program KBR yaitu Bappeda Kabupaten Pohuwato, DPRD Kabupaten Pohuwato. Sementara itu pada kuadran III, tidak terdapat stakeholder yang mempunyai kepentingan rendah dan pengaruh rendah yang berpotensi sebagai ancaman semata bagi pengelolaan program KBR. Mengakomodasikan berbagai kepentingan adalah suatu keharusan dalam pengelolaan sumberdaya alam. Pendekatan kolaborasi memberikan banyak manfaat sehingga pendekatan ini menjadi alternatif untuk membangun kerjasama antar stakeholder. Wondolleck dan Yaffee (2000) dalam Suporahardjo (2005) mengemukakan 1) Kolaborasi dapat berjalan sukses bila berhasil membangun pandangan yang sama; 2) pentingnya menciptakan kesempatan baru untuk berinteraksi, misalnya melalui upaya membangun jalur komunikasi baru dan menetapkan struktur baru baik melalui mekanisme formal maupun informal; 3) pentingnya melibatkan stakeholder ke dalam proses interaksi, bukan hanya pada produk akhir; 4) pentingnya memfokuskan mengatasi problem dengan cara-cara baru dan berbeda; 5) pentingnya meningkatkan kepekaan terhadap tanggungjawab dan komitmen; 6) banyak kasus kolaboratif sukses karena berusaha mendapatkan dan mengakui bantuan pihak lain. Hal tersebut di atas menekankan pada pentingnya bagaimana melakukan interaksi yang baik diantara para stakeholder dalam setiap kegiatan KBR. Program KBR berpotensi untuk didistribusikan pada pihak lain dalam sebuah sinergi mekanisme kolaborasi meskipun keberhasilan penerapan mekanisme kolaborasi harus didukung oleh aspek kelembagaan yang kuat. Seperti yang dikemukakan Winara, Aji dan Mukhtar, Abdullah (2011), bahwa optimalisasi kolaborasi harus intensif dilakukan untuk menyamakan pandangan tentang urgensi pengelolaan dan kontribusi nyata setiap pemangku kepentingan. Proses komunikasi dalam mengakomodasikan berbagai kepentingan dan membangun konsensus bersama membutuhkan proses yang tidak cepat. Meskipun demikian, menurut Suparahardjo (2005), walaupun kolaborasi memiliki kesulitan dalam pelaksanaannya, meningkatnya kesuksesan dan manfaat kolaborasi dalam menyelesaikan permasalahan telah membuat pendekatan ini semakin populer. Kepedulian terhadap hutan harus disadarkan pada setiap individu masyarakat,
38 namun tantangan terbesar adalah bagaimana memobilisasi kesadaran individu menjadi aksi kolektif dan kolaborasi stakeholder yang dapat menjadi gerbang awal kesinergian. Untuk mendukung sinergi antar stakeholder dalam pelaksanaan program KBR dapat dilihat dari hubungan kolaborasi antar stakeholder. Seperti pada Tabel 14. Tabel 14 Hubungan kolaborasi antar stakeholder No Kolaborasi Program Stakeholder 1 Tahap perencanaan - Sinkronisasi program terkait Bupati, DPRD, Bappeda, Dinas Kehutanan, BPDAS, BP4K, BLH, kelompok masyarakat, Perguruan Tinggi, LSM. - Penyuluhan Dinas Kehutanan, BPDAS, BP4K, kelompok masyarakat, Perguruan Tinggi, LSM - Pembinaan Pemuka agama, kepala desa, camat, kelompok masyarakat , LSM, Perguruan Tinggi 2 Tahap pelaksanaan BPDAS, Dinas Kehutanan, BP4K, BLH, kelompok masyarakat, tenaga pendamping, koordinator sumber benih, LSM, Perguruan Tinggi 3 Monitoring dan evaluasi Dinas Kehutanan, BPDAS, BP4K, BLH, kepala desa, camat, LSM, Perguruan Tinggi, kelompok masyarakat Sumber: Data primer, 2014 Salah satu permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan program KBR di Kabupaten Pohuwato adalah kurangnya partisipasi antar stakeholder terkait. Upaya yang dapat dilakukan adalah mendorong partisipasi semua pihak dimulai dengan menginformasikan mengenai kegiatan KBR, melakukan koordinasi serta mensinkronkan kegiatan yang terkait antar stakeholder sehingga upaya peningkatan kapasitas melalui kolaborasi antar stakeholder dapat tercapai. Membangun kolaborasi peran stakeholder dalam program KBR dapat dilakukan melalui beberapa langkah antara lain : 1) membangun kesamaan pandangan kolaborasi dari para pihak yang terlibat; 2) membangun iklim kolaborasi yang kondusif; 3) menghadirkan pihak yang mampu menjadi inisiator dalam mengawali proses kolaborasi.
Evaluasi Tingkat Kapasitas Masyarakat dalam Program KBR Kata kunci dari peningkatan kapasitas masyarakat adalah upaya membangun komunitas melalui perbaikan interaksi sosial, saling kerjasama dan pengambilan
39 keputusan sehingga terlahirkan kemampuan memecahkan masalah pada komunitas tersebut. Implementasi program KBR yang menempatkan masyarakat sebagai basis pengelolaan, sehingga selain mewujudkan tujuan program juga berefek pada peningkatan kapasitas masyarakat itu sendiri. Menurut Soeprapto (2010), upaya untuk meningkatkatkan kapasitas masyarakat dilaksanakan dalam berbagai tingkatan yaitu sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 7.
Tingkatan Kebijakan
Tingkatan Organisasi
Tingkatan Individual
Kerangka kerja yang berhubungan dengan aturan dan kebijakan
Struktur organisasi Proses pengambilan keputusan Prosedur pekerjaan Hubungan-hubungan
Pengetahuan Ketrampilan
Gambar 7 Tingkatan pengembangan kapasitas Dari gambar tersebut di atas dapatlah dikemukakan bahwa pengembangan kapasitas harus dilaksanakan secara efektif dan berkesinambungan pada 3 (tiga) tingkatan, yaitu: 1. Tingkatan sistem, seperti kerangka kerja yang berhubungan dengan pengaturan, kebijakan-kebijakan dan kondisi dasar yang mendukung pencapaian obyektivitas kebijakan tertentu; 2. Tingkatan organisasi, contoh struktur organisasi-organisasi, proses pengambilan keputusan di dalam organisasi-organisasi, prosedur dan mekanisme-mekanisme pekerjaan, pengaturan sarana dan prasarana, hubungan-hubungan dan jaringan-jaringan organisasi; 3. Tingkatan individual, contohnya ketrampilan-ketrampilan individu dan persyaratan-persyaratan, pengetahuan, tingkah laku, pengelompokan pekerjaan dan motivasi-motivasi dari pekerjaan orang-orang di dalam organisasi-organisasi. Pada tujuan penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Agar hasil penelitian dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka dilakukan uji validitas konstruk yaitu berdasarkan tingkatan pengembangan kapasitas. Uji validitas dilakukan pada item-item pernyataan pada tiap-tiap pertanyaan menyangkut tingkatan kebijakan/sistem, organisasi dan
40 individual. Dari pengolahan data (lampiran 3) dengan rumus korelasi product moment diperoleh hasil uji validitas seperti pada Tabel 15. Tabel 15 hasil uji validitas Item Pertanyaan
No
1 Sosialisasi KBR 2 Pelatihan teknis 3 Tenaga pendamping 4 Kepuasan pendampingan 5 Koordinasi 6 Penyuluhan 7 Kebijakan 8 Komitmen Pemkab 9 Proses perencanaan 10 Proses pelaksanaan 11 Proses pengawasan 12 Pendistribusian bibit 13 Pertemuan kelompok 14 Kemampuan berorganisasi 15 Peraturan kelompok 16 Komitmen kelompok 17 Teknis pembibitan 18 Pemilihan benih 19 Penyemaian benih 20 Pembuatan bedeng sapih 21 Pemupukan 22 Pemeliharaan bibit 23 Kriteria bibit 24 Kemampuan individu Sumber : Data primer, diolah 2014
Nilai korelasi (r) 0,748 0,877 0,365 0,776 0,597 0,604 0,305 0,280 0,761 0,657 0,487 0,544 0,806 0,817 0,580 0,694 0,848 0,878 0,765 0,765 0,854 0,792 0,734 0,933
Nilai r tabel (N=40, α=5%)
0,2638
Kesimpulan Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid
Secara statistik, angka korelasi dibandingkan dengan angka kritik Tabel korelasi nilai – r. Untuk taraf signifikasi 5% angka kritik adalah 0,2638. Berhubung angka korelasi yang diperoleh di atas angka kritik 5% maka dapat dikatakan bahwa item-item pernyataan tersebut dapat digunakan untuk mengukur dimensi yang diukur. Langkah selanjutnya adalah menghitung kualitas kelompok masyarakat pada setiap tingkatan kebijakan, organisasi dan individu dengan menggunakan analisis gap. Muchsam (2011) mengemukakan secara umum analisis gap merupakan suatu metode atau alat yang digunakan untuk mengetahui tingkat kinerja dari sistem yang sedang berjalan dengan sistem standar, analisis ini merupakan salah satu langkah yang sangat penting dalam tahapan evaluasi kerja suatu program. Secara harfiah gap mengidentifikasi adanya suatu perbedaan antara satu hal dengan hal lainnya. Dalam program KBR, Gap yang dimaksud disini adalah selisih antara kinerja masyarakat kelompok KBR dengan harapan standar program pada umumnya. Berdasarkan data kuesioner yang diperoleh
41 dilapangan maka berikut adalah hasil perhitungan untuk analisis gap seperti pada Tabel 16. Tabel 16 Hasil perhitungan analisis gap No Item pertanyaan Kinerja 1 Sosialisasi KBR 2 Pelatihan teknis 3 Tenaga pendamping 4 Kepuasan pendampingan 5 Koordinasi 6 Penyuluhan 7 Kebijakan 8 Komitmen Pemkab 9 Proses perencanaan 10 Proses pelaksanaan 11 Proses pengawasan 12 Pendistribusian bibit 13 Pertemuan kelompok 14 Kemampuan berorganisasi 15 Peraturan kelompok 16 Komitmen kelompok 17 Teknis pembibitan 18 Pemilihan benih 19 Penyemaian benih 20 Pembuatan bedeng sapih 21 Pemupukan 22 Pemeliharaan bibit 23 Kriteria bibit 24 Kemampuan individu Sumber: Data primer diolah, 2014
0,6 0,55 0,525 0,625 0,725 0,75 0,55 0,775 1,4 1,8 1,65 1,65 1,65 1,625 1,5 1,475 1,55 1,175 1,6 1,6 1,325 1,575 1,625 1,5
Harapan 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
Gap Jumlah gap per tingkatan 0,4 0,45 0,475 0,375 0,275 0,25 0,45 0,225 2,9 0,6 0,2 0,35 0,35 0,35 0,375 0,5 0,525 3,25 0,45 0,825 0,4 0,4 0,675 0,425 0,375 0,5 4,05
Hasil analisis pada tingkatan kebijakan menunjukkan gap yang terjadi sebesar 2,9 yang dirinci sebagai berikut: 1. Gap terbesar adalah 0,475 pada kehadiran petugas lapangan KBR di lokasi. Hal ini disebabkan karena kurangnya jumlah petugas lapangan yang ditunjuk untuk melakukan pendampingan terhadap kelompok masyarakat. Di kabupaten Pohuwato hanya ada empat orang petugas lapangan yang dibagi tugaskan kedalam 10 kecamatan dan 27 desa. Jauhnya lokasi persemaian benih antar kecamatan serta sarana dan prasarana yang masih menggunakan milik pribadi, mengakibatkan petugas lapangan tidak bisa mendampingi kelompok masyarakat setiap saat. 2. Gap kedua adalah 0,45 pada pelaksanaan pelatihan yang hanya mengikutsertakan ketua kelompok saja serta kebijakan pemerintah yang hanya memberikan satu kali kesempatan kepada anggota masyarakat untuk masuk dalam kelompok masyarakat penerima program KBR. 3. Gap ketiga sebesar 0,4 pada pelaksanaan sosialisasi KBR kepada kelompok masyarakat. Walaupun sosialisasi merupakan bentuk nyata komunikasi yang
42
4.
5.
6. 7.
dilakukan oleh pemerintah melalui Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, akan tetapi hanya ketua kelompok yang diundang akibatnya anggota kelompok masyarakat lainnya tidak terlalu memahami apa itu program KBR. Gap keempat sebesar 0,375 pada tingkat kepuasan pendampingan yang dilakukan oleh penyuluh lapangan. Kelompok masyarakat merasakan ketidakpuasan terhadap pendampingan yang dilakukan oleh penyuluh lapangan karena kehadiran mereka tidak setiap hari di lokasi KBR. Gap kelima pada koordinasi sebesar 0,275. Kelompok masyarakat jarang melakukan koordinasi dengan dinas terkait karena disebabkan oleh jauhnya jarak yang harus ditempuh oleh kelompok masyarakat. Gap keenam sebesar 0,25 pada keinginan masyarakat untuk mendapatkan penyuluhan dari instansi pemerintah lainnya. Gap ketujuh sebesar 0,225, dimana sebagian besar responden menilai bahwa pemerintah daerah telah memberikan yang terbaik sehingga kelompok masyarakat telah merasa puas dengan apa yang telah mereka dapatkan dalam program KBR ini
Q1 Q2 Q3 Gap
Q4
Harapan
Q5
Kinerja Q6 Q7 Q8 -0.5
0
0.5
1
Gambar 8 Analisis gap pada tingkatan kebijakan Pada tingkatan organisasi hasil analisis data menunjukkan ada gap yang terjadi sebesar 3,25 diantaranya adalah: 1. Gap terbesar adalah 0,6 pada tahap perencanaan, karena sebagian besar responden tidak ikut serta terlibat dalam tahap perencanaan program KBR 2. Gap kedua sebesar 0,525 pada penilaian kelompok masyarakat itu sendiri terhadap kinerja yang telah dilakukan oleh kelompok masyarakatnya. Dimana responden menilai bahwa kelompok masyarakat mereka belum optimal dalam melaksanakan program KBR ini. 3. Gap ketiga adalah 0,5 pada aturan yang ada dalam organisasi kelompok masyarakat. 4. Gap keempat sebesar 0,375 pada tingkat keberanian masyarakat dalam memberikan usulan atau masukan pada setiap pertemuan kelompok, dimana
43
5.
6.
anggota kelompok masyarakat yang aktif dalam berpendapat hanya orangorang tertentu saja. Gap kelima sebesar 0,35 yaitu pada keikutsertaan anggota kelompok dalam tahap pengawasan bibit, pendistribusian bibit dan pertemuan kelompok. Dimana setiap anggota kelompok masyarakat telah terlibat dalam setiap tahapan tersebut walaupun tidak rutin sehingga tetap ada gap yang terjadi Gap keenam adalah 0,2 pada tahap pelaksanaan kegiatan dimana ada beberapa responden yang tidak terlibat sepenuhnya dalam tahapan pelaksanaan kegiatan KBR tersebut.
Q9 Q10 Q11 Gap
Q12
Harapan
Q13
Kinerja
Q14 Q15 Q16 -1
-0.5
0
0.5
1
1.5
2
Gambar 9 Analisis gap pada tingkatan organisasi Untuk tingkatan individual, gap yang terjadi cukup besar yaitu 4,05 yang dapat dirinci sebagai berikut: 1. Gap terbesar adalah 0,825 pada pengetahuan kelompok masyarakat dalam pemilihan biji yang baik untuk pembuatan bibit 2. Gap kedua adalah 0,675 pada pengetahuan kelompok masyarakat dalam pemupukan benih 3. Gap ketiga sebesar 0,5 pada penilaian terhadap diri responden sendiri dalam kemampuannya untuk membuat bibit yang lebih baik pasca program KBR. 4. Gap keempat adalah 0,45 pada pengetahuan masyarakat dalam teknis pembuatan bibit 5. Gap kelima sebesar 0,425 pada pemeliharaan bibit 6. Gap keenam sebesar 0,4 pada pengetahuan kelompok masyarakat dalam penyemaian benih dan pembuatan bedeng sapih 7. Gap ketujuh atau terkecil sebesar 0,375 pada pengetahuan kelompok masyarakat dalam mengetahui kriteria bibit yang siap tanam.
44
Q17 Q18 Q19 Gap
Q20
Harapan
Q21
Kinerja Q22 Q23 Q24 -1
-0.5
0
0.5
1
1.5
2
Gambar 10 Analisis gap pada tingkatan individual Dari hasil analisis terlihat bahwa selisih antara kinerja dan harapan semuanya bernilai negatif yang diuraikan sebagai berikut: 1. Tingkatan individual dengan gap sebesar 4,05 Rendahnya pengetahuan kelompok masyarakat dalam membuat bibit yang berkualitas disebabkan karena sebagian besar kelompok masyarakat KBR merupakan kelompok pemula yang baru berdiri. Sehingga pengetahuan dan kemampuan kelompok masyarakat dalam membuat, memelihara dan menanam bibit masih sangat rendah. Pada akhirnya kuantitas pencapaian bibit yang dihasilkan berada dibawah rencana yang ditetapkan pada awal penyusunan RUKK. Hal ini tentu saja membutuhkan kerjasama yang kuat antar stakeholder terkait melalui kolaborasi untuk memberikan pelatihan teknis ataupun penyuluhan kepada kelompok masyarakat KBR sehingga bisa meningkatkan kapasitas kelompok masyarakat tersebut. 2. Tingkatan organisasi dengan gap sebesar 3,25 Pemahaman yang tidak memadai dari kelompok masyarakat menyebabkan kesenjangan pada tingkatan organisasi. Akibatnya, organisasi kelompok yang seharusnya menjadi pengembangan wadah partisipasi, saling belajar antar kelompok masyarakat menjadi tidak optimal. Untuk itu, pengembangan organisasi ini perlu mendapat perhatian serius dari stakeholder terkait yang didasarkan pada praktek-praktek dan ilmu pengetahuan mengenai perilaku seperti kepemimpinan, dinamika kelompok, desain pekerjaan dengan partisipasi aktif sehingga akan meningkatkan efektifitas organisasi kelompok masyarakat KBR. Keefektifitasan organisasi kelompok masyarakat tentu saja dapat menambah pengetahuan dan kemampuan kelompok masyarakat tersebut. 3. Tingkatan kebijakan dengan gap sebesar 2,9 Kurangnya pelatihan, penyuluhan serta tenaga pendamping dalam program KBR mengakibatkan kesenjangan ini terjadi. Masalah dana yang hanya
45 bersumber dari APBN melalui BPDAS dan tidak adanya dana pendamping dari APBD kabupaten sedikit menimbulkan permasalahan dalam kelancaran pelaksanaan program KBR. Untuk itu kedepannya perlu dipertimbangkan untuk segera mengajukan anggaran yang dapat mendukung kegiatan KBR yang bersumber dari dana APBD kabupaten. Utamanya untuk kegiatankegiatan pelatihan dan penyuluhan mengenai teknis pembuatan, pemeliharaan dan penanaman bibit kepada kelompok masyarakat KBR sehingga dapat meningkatkan kapasitas dari kelompok masyarakat tersebut. Adanya gap yang terjadi pada tingakatan individual, organisasi dan tingkatan kebijakan perlu mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah daerah. Pemberlakuan kebijakan pengembangan kapasitas dengan memfasilitasi pembelajaran dan organisasi sehingga kelompok masyarakat dapat belajar meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan mengubah perilaku sehingga dapat mencapai tujuan yaitu perbaikan kualitas hidup menjadi masyarakat yang mandiri. Hal ini tentu saja menjadi upaya bersama yang perlu terus didorong oleh kolaborasi seluruh stakeholder yang terkait dengan program KBR pada khususnya serta pemerintah daerah Kabupaten Pohuwato pada umumnya.
5 PERUMUSAN STRATEGI Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal Berdasarkan hasil analisis stakeholder dan analisis gap, dirasakan perlu untuk mencari strategi untuk menangani masalah tersebut. Strategi ini diperlukan dalam rangka mencari solusi yang tepat sehingga dapat dikembangkan sebuah program KBR yang efektif. Maka akan dikaji potensi lingkungan internal dan lingkungan eksternal guna diarahkan dalam merumuskan kajian strategi mekanisme kolaborasi dalam peningkatan kapasitas masyarakat melalui program KBR. Perumusan strategi tersebut terdiri dari tiga tahap yakni identifikasi faktor internal dan eksternal, perumusan strategi dalam matrik SWOT dan perumusan program. Identifikasi Faktor Internal Kondisi atau aktivitas dalam masyarakat merupakan karakteristik lokal yang termasuk dalam lingkungan internal. Analisis terhadap faktor internal akan dikaji dalam dua aspek yang relevan. Kedua aspek tersebut dapat berpotensi sebagai kekuatan dan kelemahan yang akan diuraikan sebagai berikut: 1. Aspek sumberdaya Sumberdaya merupakan input yang dapat menjadi sumber kekuatan ataupun kelemahan dalam pemberdayaan masyarakat dalam program KBR Kabupaten Pohuwato. Aspek sumberdaya meliputi keadaan potensi sumberdaya alam, potensi sumberdaya manusia, sarana dan prasarana a. Potensi sumberdaya alam (SDA) Aspek yang dikaji dalam potensi SDA ini yaitu hamparan areal penanaman yang dimiliki oleh warga masyarakat dan menjadi lokasi penanaman bibit KBR. Secara umum dapat dikatakan bahwa seluruh kelompok masyarakat sangat tergantung dengan sumberdaya ini, karena adanya lokasi lahan penanaman bibit KBR seluas 40 hektar merupakan salah satu syarat utama
46 untuk penetapan penerima program KBR. Hamparan lahan yang digunakan untuk penanaman bibit KBR ini merupakan milik sendiri dari anggota kelompok masyarakat KBR. Selain lahan, ketersediaan sumber air juga merupakan persyaratan calon lokasi KBR, karena sangat menunjang dalam hal pemeliharaan bibit tanaman KBR. b. Potensi sumberdaya manusia (SDM) Sumberdaya manusia merupakan modal yang sangat penting dalam melakukan pembangunan. Keterkaitan program KBR dengan pemberdayaan masyarakat sangat besar, pendekatan pemberdayaan masyarakat harus mampu menempatkan masyarakat pada posisi pelaku dan penerima manfaat program bukan hanya sekedar untuk meningkatkan pendapatan tetapi lebih luas lagi yaitu meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia individu dan masyarakat sehingga mampu menolong diri mereka sendiri untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik dengan menggunakan sumberdaya internal dan eksternal. Dengan demikian aspek yang menjadi perhatian terkait dengan SDM yaitu rendahnya kualitas masyarakat dalam teknis pembuatan bibit yang baik dan berkualitas. Pendekatan pemberdayaan harus mampu menempatkan manusia pada posisi pelaku dan penerima manfaat tanpa memilah latar belakang tingkat pendidikan yang dimilikinya. Dengan demikian maka masyarakat akan mampu meningkatkan kualitas kemandirian mengatasi masalah yang dihadapi. c. Sarana dan prasarana. Sarana jalan berperan penting dalam menunjang pelaksanaan program KBR, utamanya untuk lokasi-lokasi yang berada didalam kawasan hutan. Adanya akses jalan dibeberapa lokasi yang berada di kawasan hutan sangat membantu pelaksanaan program KBR baik untuk pemuatan benih ataupun pemindahan bibit ke lokasi penanaman bibit. 2. Aspek kelembagaan lokal sebagai kondisi masyarakat dalam lingkup program KBR. a. Organisasi Organisasi adalah pelaku yang menjalankan program KBR yang berwujud kelompok masyarakat yang ada disetiap desa penerima program KBR. Setiap kelompok masyarakat terdiri dari 15 orang yang terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara, ketua tim perencana, ketua tim pelaksana, ketua tim pengawasan dan 3 orang anggota untuk masing-masing tim. Organisasi ini diharapkan menjadi arena baru sebagai tempat saling belajar antar anggota kelompok masyarakat serta pengembangan jaringan organisasi dengan pihak lain. Hasil identifikasi dari faktor internal dalam program KBR di Kabupaten Pohuwato diuraikan sebagai berikut: a. Kekuatan 1. Lahan adanya hamparan lahan atau areal penanaman yang cukup luas dan dimiliki oleh masyarakat dapat dimanfaatkan oleh warga sebagai areal penanaman bibit KBR. 2. Sumber air
47 Ketersediaan air baik kuantitas dan kualitasnya secara langsung berkaitan dengan kualitas hutan. Adanya sumber air di kawasan DAS sangat bermanfaat bagi kehidupan kelompok masyarakat KBR. Air adalah salah satu komponen fisik yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman, kekurangan air akan menyebabkan tanaman menjadi kerdil, perkembangannya menjadi abnormal. Kekurangan yang terjadi terus menerus selama periode pertumbuhan akan menyebabkan tanaman tersebut menderita dan kemudian mati. 3. Akses jalan didalam kawasan hutan Adanya akses jalan menuju lokasi persemaian benih ataupun jalan yang berada di dalam kawasan hutan merupakan salah satu persyaratan dalam calon lokasi penerima program KBR. Secara umum dapat dikatakan hal ini telah terpenuhi karena kelompok masyarakat ini telah terpilih menjadi penerima program KBR. 4. Kesiapan tenaga kerja Pada dasarnya masyarakat yang berada disekitar kawasan hutan siap untuk bekerja pada program-program ataupun kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah. Pengaruh ketersediaan tenaga kerja terhadap program KBR ini diketahui dari banyaknya calon-calon kelompok masyarakat yang mengajukan permohonan untuk menjadi penerima program KBR. 5. Kemampuan masyarakat dalam mengelola dana Jumlah anggaran yang besar untuk tiap kelompok masyarakat penerima KBR membutuhkan kemampuan masyarakat dalam hal mengelola penggunaan dana tersebut karena pengelolaan dananya langsung dilakukan oleh kelompok masyarakat KBR tersebut. b. Kelemahan 1. Tingkat pengetahuan kelompok masyarakat Berdasarkan hasil analisis gap terlihat pengetahuan kelompok masyarakat dalam hal pembuatan bibit, pemeliharaan dan penanaman bibit masih rendah 2. Pengalaman kerja dalam bidang kehutanan Salah satu syarat untuk menjadi penerima program KBR adalah adanya kelompok yang beranggotakan 15 orang masyarakat baik laki-laki dan perempuan. Hal ini mengakibatkan kelompok-kelompok yang terbentuk adalah kelompok pemula yang belum memiliki pengalaman dalam bidang tanaman hutan 3. Kesadaran masyarakat dalam menanam bibit Berdasarkan hasil observasi dilapangan adanya rentang waktu antara pencairan dana untuk penanaman bibit hasil KBR menyebabkan adanya bibit-bibit yang mati karena belum ditanam pada lokasi-lokasi penanaman yang telah ditetapkan pada awal perencanaan. Hal ini disebabkan karena masyarakat malas dan enggan untuk melakukan penanaman sebelum anggaran dikeluarkan oleh pemerintah. 4. Kurangnya komitmen kelompok masyarakat dalam pemeliharaan bibit Keberadaan kelompok masyarakat ini bukanlah tanpa kekurangan, dari hasil observasi terkesan bahwa kelompok masyarakat ini hanya untuk mengisi struktur organisasi dan belum berfungsi optimal. Menyikapi kondisi tersebut, kedepan diperlukan kader fasilitator pendamping ditingkat masyarakat sebagai motivator yang selalu menggerakkan kegiatan ditingkat masyarakat. Hal ini perlu mendapatkan perhatian lebih, karena fungsinya seringkali berkembang
48 menjadi tempat menemukenali solusi terhadap masalah yang dihadapi bagi warga masyarakat desa lainnya. 5. Keterlibatan kelompok masyarakat Keterlibatan anggota kelompok masyarakat dalam KBR terkesan belum optimal dilakukan. Hal ini terlihat dari keengganan anggota kelompok untuk bekerja selama belum ada anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah. Identifikasi Faktor Eksternal Dalam lingkup aspek eksternal, faktor-faktor yang terkait dengan implementasi program KBR meliputi faktor politik dan jaringan kerja yang dapat mempengaruhi aktivitas kelompok masyarakat KBR. Faktor-faktor tersebut dapat menjadi peluang atau ancaman dalam implementasi program KBR di Kabupaten Pohuwato. 1. Faktor politik Faktor politik dalam lingkungan eksternal merupakan kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang dapat mempengaruhi implementasi program KBR di Kabupaten Pohuwato. 2. Faktor jaringan kerja Aspek yang menjadi penilaian dalam elemen ini yaitu adanya jaringan kerja (networking) yang berpengaruh terhadap implementasi program KBR. Jaringan kerja ini terjalin antara kelompok masyarakat, aparat desa, aparat kecamatan, pemerintah Kabupaten Pohuwato, instansi vertikal, dukungan LSM dan perguruan tinggi. Karakateristik wilayah Pohuwato yang didominasi oleh areal hutan serta lahan yang berpotensial untuk dilakakukannya penanaman bibit KBR tentunya membutuhkan perhatian dan penanganan yang tidak kalah pentingnya. Penataan kewenangan dalam suatu jaringan kerja terhadap implementasi program KBR mutlak dibutuhkan, dapat berfungsi sebagai wadah konsolidasi sosial di masyarakat yang mengadaptasi nilai-nilai pemberdayaan masyarakat guna mewujudkan masyarakat yang mandiri, sehingga kedepan jaringan kerja pun akan mampu berfungsi secara efektif dalam meningkatkan kapasitas masyarakat lokal. a. Peluang 1. Peraturan Nomor P.12/Menhut-II/2013 Peraturan Menteri Kehutanan tentang Pedoman Penyelenggaraan KBR ini merupakan peluang besar untuk masyarakat guna meningkatkan kesejahteraan sekaligus mendukung pemulihan fungsi dan daya dukung DAS. 2. Penetapan areal kerja HKm/HD Adanya usulan pemerintah Kabupaten Pohuwato untuk penetapan areal kerja HKm/HD juga merupakan peluang besar kepada masyarakat karena dilihat dari tujuan pemanfaatan utamanya untuk memberdayakan masyarakat setempat. 3. Komitmen Dinas Kehutanan dalam rehabilitasi hutan dan lahan Dinas Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Pohuwato selaku dinas teknis yang menangani masalah kehutanan secara langsung memiliki komitmen yang kuat untuk masalah rehabilitasi hutan dan lahan di daerah ini. Bentuk nyata yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan yaitu dengan memberikan pendampingan kepada kelompok masyarakat KBR serta dengan mengadakan monitoring dan evaluasi terhadap kinerja kelompok masyarakat KBR. 4. Tingginya permintaan kayu
49
5.
b. 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Semakin banyaknya jumlah pembangunan kantor, perumahan ataupun fasilitas umum mengakibatkan permintaan kayu juga semakin meningkat. Selama penerbitan izin pemanfaatan dan pengolahan kayu diatur dengan benar dan jelas maka hal ini akan menjadi peluang bagi masyarakat untuk terus melakukan penanaman pohon dari bibit-bibit yamg dihasilkan dalam program KBR. Dukungan LSM dan Universitas Adanya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memiliki kepedulian untuk masalah kerusakan hutan serta pemberdayaan masyarakat dan juga didukung oleh lembaga perguruan tinggi yang memiliki minat dan perhatian besar untuk kelestarian hutan merupakan peluang yang harus bisa dimanfaatkan oleh pemerintah kabupaten untuk bekerjasama guna memulihkan fungsi hutan serta keefektifan program KBR. Ancaman Dana pendamping Sumberdaya finansial yang dipergunakan dalam pelaksanaan KBR ini keseluruhannya bersumber dari dana APBN. Hal ini menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaan KBR itu sendiri. Keterlambatan pencairan dana untuk penanaman seringkali mengakibatkan bibit yang telah tersedia menjadi terlalu tua untuk ditanam dan kualitas bibit menurun. Koordinasi Dishut antar stakeholder Dari segi koordinasi dan komunikasi antar stakeholder lainnya tidak dilakukan oleh pihak Dishut. Sehingga beberapa stakeholder yang mempunyai pengaruh dan kepentingan terhadap program KBR tidak mendapatkan informasi yang jelas. Penyebaran informasi cenderung seadanya dari mulut kemulut atau pembicaraan tidak sengaja. Hal ini tentu saja menjadi ancaman karena interaktif tidak tercipta dengan baik. Pelatihan yang tidak efektif Kurangnya sosialiasi mengenai tujuan program serta pelaksanaan pelatihan yang hanya mengikutsertakan segelintir masyarakat menyebabkan informasi yang disampaikan menjadi bias sebab informasi yang disampaikan seringkali bersifat setengah-setengah. Akibatnya program KBR ini belum dapat berjalan maksimal. Jumlah Petugas Lapangan Kurangnya jumlah petugas lapangan atau tenaga pendamping kelompok masyarakat juga merupakan ancaman untuk program KBR ini. Karena dari 27 desa yang menjadi pelaksana program KBR hanya didampingi oleh empat (4) orang petugas lapangan sementara lokasi dan jarak yang harus ditempuh cukup jauh. PERDA Hutan Rakyat Perlindungan kawasan hutan rakyat harus diatur secara tegas dalam sebuah regulasi daerah. Hal ini sebagai wujud nyata komitmen perlindungan hutan rakyat dari kerusakan dan pengalihan fungsi lahan serta sanksi bagi pelanggarnya. Dengan adanya PERDA maka penatausahaan hasil hutan kayu dari hutan rakyat yang digunakan untuk menanam bibit hasil KBR mengenai perijinan panen, penebangan kayu maupun legalitas dokumen pengangkutan kayu dari hutan rakyat menjadi lebih jelas dan teratur. Alih fungsi hutan dan lahan
50 Alih fungsi hutan yang masih produktif di Kabupaten Pohuwato, untuk perkebunan sawit dikhawatirkan akan menimbulkan banjir. selain itu alih fungsi hutan mangrove menjadi tambak juga semakin merajalela. Hal ini harus mendapat perhatian serius dari pemerintah daerah misalnya dengan mengusulkan perubahan alih status hutan tersebut menjadi hutan kemasyarakatan sehingga bisa dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk kesejahteraannya. Berdasarkan uraian faktor-faktor tersebut, ringkasan terhadap analisis lingkungan internal dan eksternal dalam program KBR, seperti pada Tabel 17. Tabel 17 Ringkasan analisis faktor internal dan faktor eksternal dalam program KBR di Kabupaten Pohuwato No Faktor 1 Faktor Internal Masyarakat Sumberdaya alam : 1. Kepemilikan lahan penanaman bibit yang cukup luas 2. Ketersediaan sumber air Sumberdaya manusia 3. Pengetahuan tentang teknis pembuatan bibit 4. Kemampuan mengelola dana 5. Pengalaman kerja di bidang tanaman hutan 6. Kesadaran masyarakat dalam menanam bibit 7. Tersedianya tenaga kerja dalam kelompok masyarakat Sarana dan prasarana 8. Akses jalan Organisasi masyarakat 9. Komitmen dari kelompok masyarakat 10. Keterlibatan kelompok masyarakat 2 Faktor Eksternal Masyarakat Faktor politik 1. Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor: P.12/Menhut-II/2013 tentang Pedoman Penyelenggaraan KBR 2. Usulan Penetapan Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan/Hutan desa oleh Bupati Pohuwato 3. Komitmen yang tinggi dari segenap jajaran aparat Dinas Kehutanan Kabupaten Pohuwato dalam rehabilitasi hutan dan lahan 4. Tingginya permintaan kayu 5. Kebijakan Pemerintah dalam pelaksanaan pelatihan program KBR 6. Dukungan PERDA tentang Hutan Rakyat 7. Dana pendamping 8. Keterbatasan tenaga pendamping/penyuluh lapangan 9. Alih fungsi hutan dan lahan Jaringan kerja 10. Koordinasi dengan stakeholder terkait 11. Dukungan LSM dan Perguruan tinggi Sumber: Data primer,2014
51 Strategi Kolaborasi Dalam Program KBR Langkah selanjutnya dalam penyusunan strategi kolaborasi dalam program KBR di Kabupaten Pohuwato adalah tahap penggabungan dengan teknik matriks SWOT. Analisis SWOT ini digunakan dengan menggabung antara faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dengan faktor eksternal (peluang dan ancaman) sebagaimana dituliskan diatas. Adapun hasil penggabungan tersebut diuraikan sebagai berikut: Strategi Strengths – Opportunities (S-O) Strategi S-O merupakan penggabungan faktor internal kekuatan dan faktor eksternal peluang dengan cara menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang. Strategi S-O dalam program KBR ini adalah: 1) Pemanfaatan kekuatan kelompok masyarakat untuk keberhasilan program KBR (S1, S2, S3, S4, S5, S6 – O1, O2, O3, O4, O5) Sumberdaya alam berupa luas hutan, ketersediaan sumber air serta sarana jalan yang didukung oleh kekuatan masyarakat dapat lebih dioptimalkan dengan adanya berbagai peluang dari faktor eksternal. Apabila hal ini dapat dapat dikelola dengan baik maka akan memberikan manfaat yang besar terhadap lingkungan kawasan hutan, yaitu menurunkan emisi karbon (pro environment) serta untuk masyakat itu sendiri dalam hal peningkatan ekonomi masyarakat (pro growth) sekaligus penyerapan tenaga kerja (pro job) dan mengurangi kemiskinan (pro poor) yang menjadi latar belakang adanya program KBR. 2) Menciptakan iklim usaha yang kondusif untuk hasil panen KBR (S1, S6 – O1, O2, O4) Strategi ini dilakukan agar pada saat panen dan menjual kayu hasil KBR dapat memberi rangsangan kepada dunia usaha sehingga harga kayu menjadi lebih baik. Dengan adanya jaminan Surat Keterangan Hasil Usaha (SKHU) maka masyarakat akan semakin mengoptimalkan kinerjanya dalam program KBR. 3) Meningkatkan pengendalian keseimbangan persediaan bibit dan kebutuhan terhadap kayu (S1 – O4) Dengan adanya kekuatan yang dimiliki masyarakat serta adanya peluang dalam hal usulan penetapan areal Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa maka masyarakat akan semakin terbiasa untuk menanam bibit karena pemanfaatan hasil hutan kayu akan semakin jelas. Dengan kondisi seperti ini maka akan ada keseimbangan anatara persediaan bibit dan kebutuhan terhadap kayu.
1.
Strategi Weaknesses – Opportunities (W-O) Strategi W-O merupakan penggabungan faktor internal kelemahan dan faktor eksternal peluang dengan cara meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang. Strategi W-O dalam program KBR ini adalah: 1) Peningkatan kualitas SDM masyarakat dalam program KBR (W1, W2, W3, W4, W5 – O1, O2, O3, O4, O5) Sebelumnya program kehutanan lebih banyak dijalankan oleh pihak ketiga dimana masyarakat hanya terlibat pada saat penanaman saja. Dengan adanya 2.
52 program KBR yang menyerahkan semua pengelolaan langsung kepada masyarakat merupakan peluang yang besar bagi masyarakat untuk lebih ikut terlibat secara aktif dalam program kehutanan tersebut. Sehingga masyarakat ikut memiliki rasa bertanggung jawab terhadap pelestarian dan pengelolaan hutan. Hal ini tentu saja harus didukung oleh kapasitas yang memadai dari anggota kelompok masyarakat sehingga program KBR ini dapat tercapai dengan baik. 2) Melakukan pendampingan kepada kelompok masyarakat KBR (W1,W2, W3, W4, W5, – O1, O2, O3, O4, O5) Rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai cara pembuatan bibit yang baik dan benar menyebabkan banyak bibit yang mati dan tidak sesuai target yang tercantum dalm RUKK, hal ini membutuhkan kerjasama dari stakeholder terkait dalam bentuk pendampingan seperti penyuluhan, sosialisasi maupun pelatihan kepada kelompok masyarakat. Selain itu rendahnya kesadaran masyarakat maupun kurangnya komitmen dan keterlibatan yang hanya karena ada program KBR memerlukan upaya fasilitasi bagi penyadaran perilaku individu untuk mencapai tujuan KBR itu sendiri. Pendampingan dapat berupa kemandirian, pengandalan diri, apresiasi terhadap pengetahuan dan kearifan lokal dan nilai-nilai baru yang diperlukan untuk kemajuan bersama. Proses ini dapat dilakukan melalui diaolog maupun refleksi pengalaman dilapangan. Strategi Strengths – Threats (S-T) Strategi S-T merupakan penggabungan faktor internal kekuatan dan faktor eksternal ancaman dengan cara menciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman. Strategi S-T dalam program KBR ini adalah: 1) Pengajuan dana APBD kepada Badan Anggaran yang dapat mendukung program KBR (S1, S2, S3, S4, S5, S6 – T1, T3, T5) Anggaran yang dipergunakan dalam pelaksanaan program KBR keseluruhannya bersumber dari dana APBN. Hal ini menimbulkan permasalahan dalam tahapan awal pelaksanaan program karena kegiatan sosialisasi dan bimbingan teknis yang hanya menghadirkan masing-masing ketua kelompok dalam kegiatan tersebut serta minimnya jumlah tenaga pendamping lapangan. Tenaga pendamping ataupun penyuluh lapangan KBR merupakan salah satu penentu keberhasilan program KBR, sebab mereka mendampingi kelompok masyarakat dalam hal administrasi maupun teknis dilapangan. Minimnya jumlah tenaga pendamping perlu segera diatasi dengan penambahan jumlah personil tenaga pendamping/penyuluh lapangan yang berkualifikasi dan siap bekerja. Dalam kondisi mendesak dapat diambil dari instansi lainnya yang memiliki personil dan berkompeten untuk diperbantukan atau dialihtugaskan. Selain itu sarana dan prasarana dari personil tenaga pendamping juga lebih diperhatikan guna mendukung keberhasilan program KBR. Oleh karena itu, kedepannya perlu dipertimbangkan untuk segera mengajukan anggaran pendukung dari APBD Kabupaten melalui Badan Anggaran sehingga dapat menunjang pelaksanaan program KBR di Kabupaten Pohuwato. 2) Peningkatan komunikasi dan koordinasi stakeholder (S1, S3, S6 – T2, T4, T6)
3.
53 Belum adanya wujud riil PERDA Hutan Rakyat menjadi salah satu masalah mendasar yang berakibat belum tercapainya tujuan pengelolaan hutan lestari. Perlu adanya komitmen dari semua pihak mengingat kepastian usaha dalam jangka panjang tidak dapat dicapai hanya melalui satu program atau proyek tertentu, melainkan diperlukan segenap program yang saling bersinergi. Selain itu perlu adanya perbaikan proses dan media penyebarluasan informasi mengenai KBR melalui rapat kerja, sehingga interaktif antar stakeholder dapat tercipta dengan baik. Hal ini berguna untuk menyeragamkan informasi mengenai pelaksanaan KBR dilapangan sehingga tidak terjadi sikap saling menyalahkan antar stakeholder apabila dikemudian hari terjadi konflik ataupun permasalahan dalam program KBR. 3) Penyusunan PERDA Hutan Rakyat (S1, S2, S3, S4, S5, S6 – T4, T6) Sistem pengelolaan hutan rakyat yang teratur belum dilakukan oleh masyarakat karena belum adanya PERDA yang mengatur hal tersebut. Akibatnya kelestarian dan kesinambungan hutan rakyat menjadi kekhawatiran dari beberapa pihak karena laju penebangan pohon relatif lebih cepat daripada laju penanamannya kembali. Oleh karena itu dalam rangka pengembangan hutan rakyat yang mendukung program KBR ini agar lebih terarah dan terpadu perlu segera di wujudkannya PERDA tentang hutan rakyat. Strategi Weaknesses – Threats (W-T) Strategi WT merupakan penggabungan faktor internal kelemahan dan faktor eksternal ancaman dengan cara meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman. Strategi W-T dalam program KBR ini adalah: 1) Sosialisasi mengenai fungsi hutan dan pemanfaatan hutan. Strategi ini dilatarbelakangi oleh kondisi kelemahan masyarakat, dengan adanya pemahaman melalui sosialisasi mengenai fungsi hutan dan keberadaan hutan yang merupakan sumberdaya alam yang wajib dijaga kelestariannya baik generasi sekarang maupun generasi mendatang, maka masyarakat dapat bertahan untuk tidak melakukan hal-hal yang akan semakin memperburuk kondisi hutan disekitarnya dengan berbagai ancaman yang ada.
4.
Hasil penggabungan analisis SWOT baik dalam bentuk analisa faktor internal maupun faktor eksternal sebagaimana diuraikan di atas telah menemukenali berbagai isu strategis yang dapat digunakan untuk menghasilkan arahan terhadap peningkatan kapasitas masyarakat dalam program KBR dan disajikan pada Tabel 18.
54 Tabel 18 Matrik SWOT strategi kolaborasi untuk keberhasilan program KBR di Kabupaten Pohuwato Faktor Internal
Faktor Eksternal
Peluang (O) 1. Peraturan Nomor P.12/ Menhut-II/2013 2. Usulan penetapan areal kerja HKm/HD oleh pemerintah Kabupaten Pohuwato 3. Komitmen yang tinggi dari segenap aparat Dishut dalam rehabilitasi hutan dan lahan 4. Tingginya permintaan kayu 5. Dukungan LSM dan perguruan tinggi Ancaman (T) 1. Belum tersedianya dana pendamping 2. Rendahnya koordinasi Dishut antar stakeholder lainnya 3. Kurangnya jumlah tenaga pendamping 4. Belum adanya dukungan PERDA tentang hutan rakyat 5. Tidak efektifnya pelatihan teknis 6. Alih fungsi hutan dan lahan
Kekuatan (S) 1. Lahan penanaman 2. Kemampuan masyarakat dalam mengelola dana 3. Kesiapan tenaga kerja 4. Ketersediaan sumber air 5. Tersedianya akses jalan di dalam kawasan hutan
Kelemahan (W) 1. Rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat 2. Kurangnya pengalaman kerja dalam bidang tanaman hutan 3. Rendahnya kesadaran masyarakat dalam menanam bibit hasil KBR 4. Kurangnya komitmen kelompok masyarakat dalam pemeliharaan bibit 5. Keterlibatan kelompok masyarakat hanya pada saat ada program KBR Strategi S-O Strategi W-O 1. Pemanfaatan kekuatan 1. Peningkatan kualitas kelompok masyarakat, SDM kelompok untuk keberhasilan masyarakat dalam program KBR program KBR 2. Menciptakan iklim usaha 2. Melakukan yang kondusif untuk pendampingan untuk hasil panen KBR kelompok masyarakat 3. Meningkatkan pengendalian keseimbangan persediaan bibit dan kebutuhan terhadap kayu
Strategi S-T 1. Pengajuan dana pendamping APBD kepada Banggar 2. Peningkatan Komunikasi dan koordinasi stakeholder 3. Mendorong pemerintah untuk terbitkan PERDA Hutan Rakyat
Sumber: data primer, diolah, 2014.
Strategi W-T 1. Sosialisasi mengenai fungsi hutan dan pemanfaatan hutan
55 Perumusan Program Berdasarkan Tabel 18, strategi yang telah dirumuskan berdasarkan analisis SWOT selanjutnya dipetakan kedalam bentuk arsitektur strategi, dengan tetap menganggap penting kesemua strategi yang telah dirumuskan pada tahapan sebelumnya. Beberapa program yang dapat diusulkan untuk mendukung keberhasilan program KBR melalui kolaborasi stakeholder guna meningkatkan kapasitas masyarakat di Kabupaten Pohuwato adalah sebagai berikut: 1. Program peningkatan kapasitas pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Kapasitas bukan hanya dilihat dari kemampuan atau tingkat pengetahuan masyarakat secara teknis dalam membuat bibit yang berkualitas tapi juga dari keterampilan, kompeten, etika dan sebagainya. Sumberdaya manusia yang ada harus diubah menjadi suatu aset yang bermanfaat bagi pembangunan. Program ini muncul dari hasil identifikasi penulis karena kelompok-kelompok masyarakat yang terbentuk lebih dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mendapatkan bantuan dana. Akibatnya setelah program selesai, tidak ada rasa memiliki akan hasil yang diperoleh dari program KBR dan secara perlahan partisipasi masyarakat menurun dan tidak terlihat lagi. Beberapa kegiatan yang harus dilakukan untuk menunjang program tersebut adalah sebagai berikut: a. Sosialisasi dampak dan pencegahan kerusakan hutan dan lahan b. Pelatihan teknis c. Penyuluhan d. Fasilitasi pembinaan dan pendampingan masyarakat 2. Program optimalisasi program KBR Pelaksanaan program KBR harus didukung oleh anggaran pendamping yang berasal dari dana APBD kabupaten. Masalah yang terjadi sekarang adalah, pelaksanaan sosialisasi KBR, Pelatihan pembuatan bibit hanya mengikutsertakan 1 orang wakil dari setiap kelompok masyarakat. Akibatnya anggota kelompok masyarakat lainnya tidak terlalu mengerti akan tujuan dan manfaat dari program KBR itu sendiri. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam program ini diantaranya adalah: a. Koordinasi perencanaan kegiatan b. Forum sinkronisasi program dan kegiatan antar stakeholder c. Peningkatan sarana dan prasarana d. Konsultasi publik rancangan Perda Hutan Rakyat e. Pembuatan regulasi alih fungsi hutan dan lahan 3. Program rehabilitasi dan perlindungan hutan Kerusakan hutan dan lahan kritis dapat dicarikan solusinya melalui program rehabilitasi dan perlindungan hutan. Adanya bibit-bibit yang dihasilkan dalam program KBR sangat menunjang pelaksanaan program ini. Selain itu upaya kolaborasi dari pemerintah daerah adalah dengan memberikan bantuan bibit yang berasal dari dana APBD untuk masyarakat-masyarakat yang tidak mendapatkan bantuan dari program KBR, maka kegiatan penghijauan akan cepat direalisasikan. Beberapa kegiatan yang dilakukan dalam program ini antara lain yaitu: a. Pemberdayaan masyarakat dalam gerakan rehabilitasi hutan dan lahan
56
4.
b. Pengamanan hutan Program pemantapan pemanfaatan hutan Dengan kondisi masyarakat yang berdaya serta didukung oleh kebijakan dari pemerintah daerah maka, kondisi masyarakat akan menjadi lebih mandiri dalam hal memanfaatkan hutan sesuai dengan fungsinya. Kegiatan yang dapat dilakukan yaitu: a. Pengembangan Hutan Kemasyarakatan/Hutan Desa b. Peningkatan usaha masyarakat sekitar hutan c. Monitoring dan evaluasi
Keempat program ini secara garis besar menunjukkan perlu adanya pelibatan stakeholder dalam implementasi kegiatan yang dapat mendukung pelaksanaan KBR. Dalam kaitan inilah makna kolaborasi menjadi urgen, yakni bagaimana pemerintah, masyarakat maupun non pemerintah dapat berkolaborasi dalam mewujudkan program KBR serta menciptakan masyarakat yang mandiri dan berkapasitas tinggi. Secara ringkas, tahapan dari pelaksanaan strategi, program dan kegiatan tersebut di atas dapat digambarkan pada sebuah alur melalui pendekatan arsitektur strategik seperti pada Gambar 11. Sumbu X (horisontal) merupakan rentang waktu yang dipersiapkan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat. Sumbu Y (vertikal) merupakan kondisi masyarakat yang terus mengalami peningkatan seiring dengan program dan kegiatan yang dilaksanakan. Kondisi yang terjadi sekarang adalah kelompok masyarakat yang terbentuk adalah kelompok based program sehingga langkah awal yang harus dilakukan adalah program peningkatan kapasitas pengelolaan SDA dan lingkungan. Program ini dirumuskan berdasarkan strategi sosialisasi mengenai fungsi hutan dan pemanfaatan hutan serta strategi peningkatan kualitas SDM kelompok masyarakat dalam program KBR. Dengan adanya pemahaman dari masyarakat mengenai fungsi dan manfaat hutan akan dapat merubah pola berfikir masyarakat untuk lebih menjaga keberadaan dari hutan tersebut. Program selanjutnya yang harus dilakukan adalah optimalisasi program KBR. Program ini dilatarbelakangi oleh 4 (empat) strategi yang saling berkaitan satu dengan lainnya yaitu pemanfaatan kekuatan kelompok masyarakat untuk keberhasilan program KBR, pengajuan dana pendamping APBD kepada Badan Anggaran (Banggar), peningkatan komunikasi dan koordinasi stakeholder serta penerbitan PERDA Hutan Rakyat. Kekuatan yang telah dimiliki oleh kelompok masyarakat dapat dimanfaatkan untuk mengoptimalkan program KBR. Kemuadian anggaran pendamping yang diajukan kepada Banggar dapat digunakan untuk membiayai kegiatan sosialisasi KBR sehingga dapat terwadahi dalam suatu saluran media yang resmi dan terkoordinir dengan baik. Selanjutnya peningkatan komunikasi dan koordinasi antar stakeholder yang mempunyai kaitan kepentingan dengan sumberdaya hutan, sehingga ada sinkronisasi program/kegiatan antar stakeholder pemerintah dan juga konsultasi mengenai PERDA Hutan rakyat dan regulasi mengenai alih fungsi hutan dan lahan. Pada fase ini kondisi masyarakat disebut membangun pemberdayaan. Seiring dengan adanya peningkatkan kapasitas masyarakat tersebut maka pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan yang menjadi tujuan dari program KBR akan dapat dioptimalkan karena kondisi masyarakat yang telah berdaya.
57 Pelaksanaan program rehabilitasi dan perlindungan hutan merupakan program selanjutnya yang mengacu kepada strategi pengendalian keseimbangan persediaan bibit dan kebutuhan terhadap kayu, dengan melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam penanaman bibit dan melakukan pengamanan hutan. Baik terhadap hasil hutan kayu dan non kayu sehingga keberlanjutannya tetap terjaga. Pada fase ini adalah tahap penguatan dari pemberdayaan masyarakat. Program selanjutnya adalah pelaksanaan pemantapan pemanfaatan hutan, dengan kegiatan pembinaan hutan kemasyarakatan/hutan desa, peningkatan usaha masyarakat sekitar hutan dan monitoring evaluasi terhadap program KBR agar dapat diketahui seberapa besar perubahan yang terjadi pada kondisi akhir masyarakat, sehingga penciptaan iklim usaha yang kondusif dapat tercapai dengan kondisi masyarakat yang telah mandiri. Strategi pendampingan untuk kelompok masyarakat merupakan strategi yang penting karena dapat diberlakukan pada setiap tahap program dan kegiatan. Pendampingan ini dapat dilakukan oleh pemerintah ataupun non pemerintah dalam hal ini lsm dan perguruan tinggi. Berdasarkan uraian di atas, maka upaya kolaborasi stakeholder dalam meningkatkan kapasitas masyarakat membutuhkan perjalanan yang tidak pendek. Oleh karena itu dibutuhkan kesadaran penuh untuk berubah, bekerjasama sesuai dengan fungsi dan peran masing-masing stakeholder. Pemerintah sebagai penyedia sumber dana, dan juga pengambil kebijakan, lembaga non pemerintah dalam hal ini LSM dan perguruan tinggi dalam memberikan pendampingan, penyadaran serta pembinaan bukan hanya untuk masyarakat tapi juga untuk pemerintah dalam hal konsultasi PERDA hutan rakyat maupun pembuatan regulasi mengenai alih fungsi hutan dan lahan yang menjadi ancaman untuk kelompok masyarakat. Bagi masyarakat sendiri upaya kolaborasi ini dapat dijadikan wadah untuk belajar memberdayakan diri, mengatur organisasi kelompok dengan lebih baik, sehingga menciptakan masyarakat yang berkapasitas dan bisa terus melanjutkan upaya rehabilitasi hutan dan lahan disaat program KBR telah selesai. Dengan kolaborasi yang kuat, kesadaran yang penuh tanggung jawab dari seluruh aktor kehutanan maka upaya rehabilitasi hutan dan lahan kritis dapat tercapai. Kolaborasi stakeholder dalam setiap program yang diusulkan ini sangat diperlukan guna mengimplementasikan rencana yang dibuat bersama. Membangun kolaborasi pada tahap awal adalah membangun kesepahaman antar pemangku kepentingan. Dampak kerusakan hutan dan lahan kritis harus disadarkan pada setiap individu masyarakat guna peningkatan kapasitasnya. Namun tantangan terbesar adalah bagaimana memobilisasi kesadaran individu menjadi aksi kolektif dan kolaborasi stakeholder menjadi gerbang awal dalam pelaksanaan program KBR di tahun-tahun yang akan datang.
Kondisi Masyarakat
Ketergantungan program Rendahnya kapasitas
Kondisi Awal
Based Program
Berdaya
Penguatan
Mandiri
Kapasitas Tinggi
2014 2015
Pendekatan Menggali isu Rencana aksi Implementasi
2016
Optimalisasi Program KBR
2018 Time Frame : Seven Years
2017
Sosialisasi Sinkronisasi/ Program kegiatan Perda/ Regulasi
Rehabilitasi dan Perlindungan hutan
2019
Gambar 11 Arsitektur strategik mekanisme kolaborasi dalam peningkatan kapasitas masyarakat
Peningkatan Kapasitas Pengelolaan SDA & Lingkungan
9. Sosialisasi
4. Peningkatan Kualitas SDM
8. PERDA Hutan Rakyat
7. Komunikasi & Koordinasi
6. Anggaran Pendampingan
Pemberdayaan masyarakat Pengamanan hutan
2. Iklim usaha yang kondusif
3. Pengendalian keseimbangan kayu 1. Pemanfaatan Kekuatan Kelompok Masyarakat
5. Pendampingan
2020
Pembinaan HKm/ HD Peningkatan usaha Monitoring
Pemantapan Pemanfaatan Hutan
2021
Mandiri Kompeten Kapabilitas
Kondisi Akhir
58
59 6. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari hasil penelitian dan pembahasan yang disampaikan, maka disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Stakeholder yang terlibat dalam program KBR lebih didominasi oleh stakeholder primer, sementara stakeholder sekunder tidak dilibatkan dalam proses program KBR padahal dari hasil identifikasi ada beberapa stakeholder sekunder yang berkepentingan dan mempunyai pengaruh terhadap peningkatan kapasitas masyarakat dalam program KBR. Upaya membangun kolaborasi antar stakeholder dapat dilakukan dalam program kerja yang saling bersinergi untuk mendukung pelaksanaan program KBR, sehingga akan tercipta sebuah organisasi yang proaktif dan mempunyai kepekaan yang tinggi dalam upaya meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan program KBR dan kelestarian hutan. 2. Evaluasi kapasitas masyarakat pada program KBR dengan menggunakan analisis gap menunjukkan bahwa selisih antara kinerja dan harapan semuanya bernilai negatif baik pada tingkat kebijakan, organisasi maupun individual. Meskipun jumlah gap yang terjadi relatif kecil, akan tetapi tetap membutuhkan upaya kolaborasi dari semua stakeholder yang berkepentingan dan berpengaruh terhadap implementasi program KBR. Mulai dari tingkat kebijakan dengan membuat perumusan atau formulasi kebijakan yang memastikan pokok isu dari permasalahan yang dihadapi kelompok masyarakat. Pada tingkatan organisasi dengan lebih memperhatikan struktur dan proses yang dapat mendukung perubahan secara keseluruhan. Pada tingkat individual dengan lebih melakukan pendampingan kepada kelompok masyarakat serta bimbingan teknis tentang cara pembuatan bibit yang baik dan benar hingga proses pemeliharaan dan penanaman bibit KBR. 3. Strategi kolaborasi dalam program KBR berdasarkan hasil analisis SWOT kemudian dirumuskan kedalam beberapa program yang kemudian dipetakan kedalam gambar arsitektur strategik. Dalam kondisi inilah maka kolaborasi stakeholder saling bersinergi sesuai dengan kontribusinya bagi upaya peningkatan kapasitas kelompok masyarakat pelaksana program KBR ataupun calon kelompok masyarakat penerima program KBR tahun mendatang di Kabupaten Pohuwato
Saran Apabila uraian hasil penelitian ini dapat disikapi positif oleh para pengambil kebijakan, maka beberapa hal yang penulis sarankan, yaitu : 1. Dalam implementasi program KBR yang berbasis pemberdayaan masyarakat perlu adanya pihak/lembaga non pemerintah yang menguasai teknik/teknik fasilitasi masyarakat dengan harapan setelah kegiatan KBR ini selesai dilaksanakan masyarakat dapat menjadi inisiator secara mandiri.
60 2. Perlu adanya upaya membangun kesepahaman dari semua stakeholder serta mensinkronkan kegiatan terkait antar stakeholder dengan membentuk forum kolaborasi pengelolaan KBR guna menciptakan hutan yang lestari. 3. Perlu adanya penambahan-penambahan kegiatan dan porsi pembelajaran yang lebih banyak untuk kelompok masyarakat. Untuk itu peran dan keberadaan fasilitator pendamping harus tetap diperhatikan sampai masyarakat benar-benar telah terbiasa dan mempunyai tingkat kemandirian serta berkapasitas tinggi dalam menjalankan proses-proses pembangunan.
DAFTAR PUSTAKA Adi IR. 2002. Pemikiran-pemikiran dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial. Jakarta : LPFE-UI. Aly RI, 2005. Pengembangan Kapasitas Petani Miskin Melalui Program Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Komunitas. IPB. Bogor. Awang SA. 2003. Politik Kehutanan Masyarakat. Center For Critical Social studies dan Kreasi Wacana Yogyakarta. Batemen TS, Snell SA. 2009. Manajemen : Kepemimpinan dan Kolaborasi dalam Dunia yang Kompetitif. Edisi 7 Buku 2. Penerbit Salemba Empat, Jakarta. Bempah I. 2007. Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Manajemen Kolaborasi di Suaka Margasatwa Nantu. Universitas Mulawarman, Samarinda. Conyers D. 1991. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga, Suatu Pengantar Terjemahan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Elvida, Alviya. 2009. Kendala dan Strategi Implementasi Pembangunan KPH Rinjani Barat. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Bogor. Hafsah E, Heriyanto M. 2010. Implementasi Program Kebun Bibit Rakyat (KBR). Fisip Universitas Riau. Pekanbaru. Hakim I. 2010. Analisis Kelembagaan Hutan Rakyat Pada Tingkat Mikro Di Kabupaten Pandeglang. Provinsi Banten. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. Vol 7 No. 1 Maret 2010. Hal 23-40. Hardinata. 2010. Partisipasi dan Pemberdayaan Masyarakat di Era Otonomi Daerah. Jurnal Ilmiah Dinamika. Volume 3 No 6 ISSN : 1979-0899X. Hartley G, Robertson. 2008. Communities: An Approach to Manage Change. Human Ecology Review, Department of Resource Economics and Development University of New Hampshire Durham, NH. Hidayat MY, Sriati. 2010. Implementasi Program Kebun Bibit Rakyat di Kabupaten Bandung Barat. Jawa Barat Hikmat H. 2004. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung : Humaniora Utama Press. Ishak AF. 2003. Paradigma Hutan Lestari dan Pemberdayaan Masyarakat Lokal. Indomedia. Jakarta. [JICA] Japan International Cooperation Agency. 2012. Prakarsa Masyarakat yang Difasilitasi Oleh CF dalam Rancangan Mekanisme Kolaborasi di Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo.
61 Kartasasmita G. 1996. Pembangunan Untuk Rakyat. Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Pustaka Cidesindo. Jakarta. Kartodihardjo H. 2006. Masalah Kelembagaan dan Arah Kebijakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutananan Volume 3, No 1: 29-41. Kusumanto Y. 2002. Sebuah Perjalanan Bersama Dalam Pengelolaan Hutan: Konsep, Penelitian Partisipatoris dan Praktis, Buletin Langkah, Edisi Nomor 1. ACM-CIFOR, Jambi. H 1-3. Maryono E, Adiyoga. 2001. Pengembangan Partisipasi Masyarakat Hingga Penguatan Otonomi Masyarakat Desa. Transparansi Pembangunan, Program Pengembangan Kecamatan. CESDA – LP3ES. Jakarta. Masia I. 2010. Mekanisme Kolaborasi Dalam Implementasi Program Kecamatan Inovasi Terpadu Mandiri. Program Pasacasarjana. Universitas Hasanuddin. Makassar. Muchsam Y. 2011. Penerapan Gap Analysis Pada Pengembangan Sistem Pendukung Keputusan Penilaian Kinerja Karyawan. Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi. ISSN 1907-5022. Yogyakarta. Nihan R. 2011. Otonomi Daeah dan Pemberdayaan Masyarakat Menuju Perubahan Sosial. Jurnal Ilmiah Dinamika. Volume 4 No 7 ISSN: 19790899X. Nurrochmat DR. 2012. Ekonomi Politik Kehutanan Mengurai Mitos dan Fakta Pengelolaan Hutan. Indef. Jakarta. Patang. 2012. Analisis Strategi Pengelolaan Hutan Mangrove Kasus di Desa Tongke-Tongke Kabupaten Sinjai. Jurnal Agrisistem. Desember 2012, Vol. 8 No. 2, ISSN 2089-0036. Raharja HSJ. 2007. Kolaborasi Pengelolaan Sumberdaya Air Sungai : Tinjuan dari Perspektif Kelembagaan. Disampaikan padaLokakarya Nasional Jaringan Komunikasi Irigasi Indonesia,Jakarta. Rangkuti F. 2006. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Safitri D, Fajarwati A. 2012. Kajian Persepsi dan Partisipasi Masyarakat Terhadap Program Kebun Bibit Rakyat (KBR) di Desa Bulusulur Kabupaten Wonogiri. Saharuddin. 2009. Pemberdayaan Masyarakat Miskin Berbasis Kearifan Lokal. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia,Vol 3, No 1. Salman D. 2004. Interkoneksitas Multi Pelaku dalam Pembangunan Ekonomi Wilayah. Makalah disampaikan dalam “Diklat Perencanaan Pembangunan Ekonomi Wilayah Berbasis Kependudukan”, Pusdiklat Pembangunan dan Kependudukan Badan Diklat Depdagri, Jakarta. Sardjono MA. 2004. Mosaik Sosiologis Kehutanan : Masyarakat Lokal, Politik dan Kelestarian Sumberdaya. Debut Press. Yogyakarta. Singarimbun M, Effendi S. 1987. Metode Penelitian Survai. LP3ES. Yogyakarta. Soeprapto HRR. 2010. The Capacity Building For Local Government Toward Good Governance. Word Bank. Soesilo IN. 2002. Manajemen Strategik di Sektor Publik (Pendekatan Praktis), Buku II, Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik. Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Sulistiyani AT. 2004. Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan. Yogyakarta. Gava Media.
62 Sumardjo. 2009. Peningkatan Kapasitas Modal Sosial dan Kualitas Pendamping Pengembangan Masyarakat Berkelanjutan, Dalam Prosiding Seminar Nasional Komunikasi Pembangunan Mendukung Peningkatan Kualitas SDM dalam Kerangka Pengembangan Masyarakat, Forum Komunikasi Pembangunan Indonesia, IICC, Bogor, Kamis, 19 November 2009. Sumodiningrat G. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengaman Sosial. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Suporahardjo. 2005. Manajemen Kolaborasi. Memahami Pluralisme Membangun Konsensus. Pustaka Latin. Bogor. Tadjudin D. 2000. Manajemen Kolaborasi. Pustaka Latin. Bogor. Winara A, Mukhtar AS. 2011. Potensi Kolaborasi Dalam Pengelolaan Taman Nasional Teluk Cendrawasih Di Papua. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol 8 No.3 217-226.
63 Lampiran 1 Kuesioner Analisis Stakeholder Pertanyaan kunci untuk penilaian Program KBR 1. Apa yang diketahui tentang Program KBR 2. Bagaimana akurasi pemahaman tentang Program KBR 3. Bagaimana keterlibatan dalam Program KBR 4. Peran apa yang bisa stakeholder lakukan untuk program KBR 5. Pengaruh apa yang bisa stakeholder berikan untuk program KBR 6. Apa peningkatan umum terhadap lingkungan sekitar yang dirasakan stakeholder dengan Program KBR 7. Apa yang ingin dilihat stakeholder dari Program KBR 8. Apakah manfaat Program KBR sudah dirasakan stakeholder 9. Bagaimana Program KBR diperbaiki dari kacamata stakeholder 10. Apa yang dipikirkan tentang solusi manajemen yang telah dilakukan dalam Program KBR
64 Lampiran 2 Kuesioner Analisis Gap Gorontalo, April 2014 Perihal : Permohonan Pengisian Kuesioner Kepada: Yth. Bapak/Ibu/Saudara Anggota Kelompok Tani KBR Kab. Pohuwato Di Pohuwato Assalamu’alaikum wr. wb. Bersama ini saya beritahukan bahwa dalam rangka penyusunan tesis pada studi saya di Program Pascasarjana Manajemen Pembangunan Daerah Institut Pertanian Bogor, bapak/ibu/saudara, telah saya pilih untuk menjadi salah satu responden dalam penelitian ini. Penelitian yang saya lakukan berjudul “Mekanisme Kolaborasi Dalam Peningkatan Kapasitas Masyarakat Melalui Program Kebun Bibit Rakyat di Kabupaten Pohuwato” yang bertujuan untuk mengevaluasi tingkat kapasitas masyarakat melalui program KBR di Kabupaten Pohuwato. Sebelumnya perkenankan saya memperkenalkan diri sebagai pelaksana dalam studi ini sebagai berikut: Nama
: Ivana Butolo
NRP
: H252124085
Alamat Rumah
: Jln Yusuf Hasiru No 60 Kelurahan Tanggikiki Kecamatan Sipatanah Kota Gorontalo
No. HP
: 085256667360
Saya berharap Bapak/Ibu/Saudara berkenan mengisi kuesioner ini dengan apa adanya sesuai dengan pandangan atau pengetahuan Bapak/Ibu/Saudara. Penelitian ini bersifat ilmiah dan tidak bertendensi politis atau golongan tertentu serta bersifat netral. Data‐data yang Bapak/Ibu/Saudara sampaikan akan kami jamin kerahasiaannya dan diharapkan dapat menjadi masukan bagi pelaksanaan Program KBR ke depan yang lebih baik. Demikian atas perhatian dan kesediaan Bapak/Ibu/Saudara mengisi kuesioner ini saya ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum wr. wb. Hormat saya,
Ivana Butolo
65 PETUNJUK PENGISIAN: 1. Pertanyaan ini bersifat pilihan, maka silakan memilih jawaban yang dianggap paling sesuai dengan pandangan atau pengetahuan Bapak/Ibu/Saudara, dengan cara memberikan tanda X atau √ pada kotak yang disediakan. 2. Daftar pertanyaan berikut mohon diisi dengan kondisi yang sebenarnya atau menurut pengetahuan Bapak/Ibu/Saudara. IDENTITAS RESPONDEN a. Nama
: ……………………………………………………
b. Umur
: …………………… Tahun
c. Jenis Kelamin
: Laki-laki / Perempuan (coret salah satu)
d. Pekerjaan
: ……………………………………………………
e. Pendidikan Terakhir
:
Tidak Sekolah Tamat SD / SR SMP /
SMP / MTs
SMA / SMK / SMA D3 / SARJANA
f. Alamat
: Desa ……………….…Kec….....................………
g. Nama Kelompok
:……………………………………………………..
II. DAFTAR PERTANYAAN 1. Apakah anda pernah mengikuti kegiatan sosialisasi KBR? Ya Tidak 2. Apakah anda pernah mengikuti kegiatan pelatihan dalam program KBR? Ya Tidak
3. Apakah tenaga pendamping KBR selalu mendampingi anda dalam program KBR? Ya Tidak
66 4. Apakah anda puas dengan pendampingan oleh tenaga pendamping dalam program KBR? Ya Tidak
5. Apakah anda sering berkoordinasi dengan dinas terkait dalam program KBR? Ya Tidak
6. Menurut anda perlukan ada penyuluhan dari instansi lainnya selain dari Dinas kehutanan dalam program KBR? Ya Tidak
7. Menurut anda apakah kebijakan pemerintah yang hanya memberikan satu kali kesempatan kepada kelompok masyarakat sebagai penerima program KBR adalah kebijakan yang tepat? Ya Tidak
8. Menurut anda apakah pemerintah daerah telah memberikan yang terbaik dalam program KBR ini? Ya Tidak
9. Apakah anda terlibat dalam proses perencanaan KBR ? Ya, terlibat Kadang-kadang Tidak terlibat 10. Apakah anda berperan aktif dalam tahapan pelaksanaan kegiatan KBR?
67 Ya Kadang-kadang Tidak
11. Apakah anda terlibat dalam proses pengawasan pelaksanaan KBR ? Ya, terlibat Kadang-kadang Tidak terlibat
12. Apakah anda terlibat dalam proses pendistribusian bibit KBR yang siap tanam ? Ya, terlibat Kadang-kadang Tidak terlibat
13. Apakah anda selalu menghadiri setiap pertemuan yang dilaksanakan oleh kelompok masyarakat anda? Ya Kadang-kadang Tidak
14. Apakah anda selalu memberikan usulan atau masukan dalam setiap pertemuan/rapat yang dilakukan kelompok masyarakat anda? Ya Kadang-kadang Tidak
15. Apakah aturan yang dibuat di kelompok masyarakat anda selalu dipertanggung jawabkan? Ya Kadang-kadang
68 Tidak
16. Menurut anda, apakah kelompok masyarakat anda telah melakukan yang terbaik untuk program KBR? Ya Cukup Tidak
17. Apakah anda mengetahui tentang teknis pembuatan bibit? Ya, Saya mengetahui teknisnya Cukup tahu Tidak tahu
18. Apakah anda mengetahui cara pemilihan biji yang baik ? Ya Cukup tahu Tidak tahu
19. Apakah anda mengetahui cara penyemaian benih ? Ya Cukup tahu Tidak tahu 20. Apakah anda mengetahui cara pembuatan bedeng sapih ? Ya Cukup tahu Tidak tahu
21. Apakah anda mengetahui cara pemupukan yang baik terhadap benih? Ya Cukup tahu Tidak tahu
69 22. Apakah anda mengetahui cara pemeliharaan bibit ? Ya Cukup tahu Tidak tahu 23. Apakah anda mengetahui kriteria bibit yang siap tanam? Ya Cukup Tidak
24. Apakah setelah mengikuti kegiatan KBR ini anda merasa kemampuan anda dalam membuat bibit menjadi lebih baik? Ya Cukup Tidak
70 Lampiran 3 Uji Validitas Kuesioner Perhitungan korelasi antara masing-masing pernyataan responden dengan skor total dengan menggunakan rumus teknik korelasi product moment dengan rumus sebagai berikut: (N ∑XY) – (∑X ∑Y)
r = √ Q1
(40 x 3572) – (64 x 2152)
r= √ r=
0,748
Q2 (40 x 3489) – (62 x 2152)
r= √ r=
0,877
Q3 (40 x 3346) – (61 x 2152)
r= √ r=
0,365
Q4 (40 x 3629) – (65 x 2152)
r= √ r=
0,776
Q5 (40 x 3806) – (69 x 2152)
r= √ r=
0,597
Q6 (40 x 3858) – (70 x 2152)
r= √ r=
0,604
71
Q7 (40 x 3389) – (62 x 2152)
r= √ r=
0,305
Q8 (40 x 3861) – (71 x 2152)
r= √ r=
0,280
Q9 (40 x 5410) – (96 x 2152)
r= √ r=
0,761
Q10 (40 x 6118) – (112 x 2152)
r= √ r=
0,657
Q11 (40 x 5793) – (106 x 2152)
r= √ r=
0,487
Q12 (40 x 5794) – (106 x 2152)
r= √ r=
0,544
Q13 (40 x 5838) – (106 x 2152)
r= √ r=
0,806
72
Q14 (40 x 5788) – (105 x 2152)
r= √ r=
0,817
Q15 (40 x 5482) – (100 x 2152)
r= √ r=
0,580
Q16 (40 x 5448) – (99 x 2152)
r= √ r=
0,694
Q17 (40 x 5636) – (102 x 2152)
r= √ r=
0,848
Q18 (40 x 4947) – (87 x 2152)
r= √ r=
0,878
Q19 (40 x 5727) – (104 x 2152)
r= √ r=
0,765
Q20 (40 x 5727) – (104 x 2152)
r= √ r=
0,765
73 Q21 (40 x 5209) – (93 x 2152)
r= √ r=
0,854
Q22 (40 x 5679) – (103 x 2152)
r= √ r=
0,792
Q23 (40 x 5774) – (105 x 2152)
r= √ r=
0,734
Q24 (40 x 5544) – (100 x 2152)
r= √ r=
0,933
74 Lampiran 4 Data isian kuesioner untuk tingkat kebijakan Responden 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 Total
Q1 1 0 1 1 1 0 0 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 24
Q2 1 0 1 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 1 0 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 22
Q3 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 0 0 0 0 1 1 1 0 1 0 1 1 0 0 0 0 1 0 1 0 0 1 0 1 0 1 0 0 21
Q4 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 0 1 0 0 1 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 25
Q5 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 29
Q6 1 1 0 1 1 0 0 1 1 1 0 0 1 1 1 0 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 30
Q7 1 0 0 0 0 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 0 0 1 1 0 1 0 0 0 1 1 0 0 0 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 0 22
Q8 1 1 0 1 1 0 0 1 1 1 0 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 31
75 Lampiran 5 Data isian kuesioner untuk tingkatan organisasi Responden 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 Total
Q9 2 2 2 2 2 0 0 2 2 2 0 2 2 2 2 2 2 2 0 0 2 0 2 0 0 2 0 0 2 2 2 2 0 2 2 2 2 2 2 0 56
Q10 2 2 2 2 2 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 2 1 2 2 1 2 1 2 2 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 1 72
Q11 2 0 1 2 2 2 1 2 2 1 2 1 2 2 1 1 2 1 1 2 2 1 1 2 2 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 66
Q12 2 1 1 2 2 2 1 2 2 1 2 1 2 2 1 1 2 1 1 2 2 1 1 1 2 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 66
Q13 2 2 2 2 2 1 1 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 2 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 1 66
Q14 2 2 2 2 2 1 1 2 2 1 1 2 2 2 1 2 2 2 1 1 2 1 1 1 1 2 1 1 2 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 1 65
Q15 2 2 2 2 1 1 1 2 2 2 1 2 2 2 2 1 2 1 1 1 2 1 2 1 1 1 1 1 2 1 1 2 1 1 2 2 2 2 1 1 60
Q16 2 2 1 2 2 1 1 2 2 2 1 2 2 1 2 1 2 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 2 1 1 2 2 2 2 2 1 59
76 Lampiran 6 Data isian kuesioner untuk tingkatan individual Responden 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Q17 2 1 1 2 2 1 1 2 2 1 1 1 2 2 1 1 2 1 2 1 2 1 1 2 1 1 2 1 2 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 1 62
Q18 2 1 0 2 2 0 0 2 2 0 1 0 2 2 0 0 2 1 1 0 2 0 0 1 0 1 1 0 2 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 1 47
Q19 2 1 1 2 2 1 2 2 2 1 2 2 2 2 1 1 2 1 2 1 2 1 1 2 1 1 1 1 2 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 1 64
Q20 2 1 1 2 2 1 2 2 2 1 2 2 2 2 1 1 2 1 2 1 2 1 1 2 1 1 1 1 2 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 1 64
Q21 2 1 1 2 2 1 0 1 2 0 0 1 2 2 1 1 2 0 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 0 2 2 2 2 2 2 1 53
Q22 2 1 1 2 2 1 1 2 2 1 1 1 2 2 1 1 2 1 2 1 2 1 1 2 1 1 2 2 2 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 1 63
Q23 2 1 2 2 2 2 1 2 2 1 1 1 2 2 1 1 2 1 2 1 2 1 1 2 2 1 2 1 2 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 1 65
Q24 2 2 1 2 2 1 1 2 2 1 1 1 2 2 1 1 2 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 1 60
77
Lampiran 7 KUESIONER SWOT MEKANISME KOLABORASI DALAM PENINGKATAN KAPASITAS MASYARAKAT MELALUI PROGRAM KEBUN BIBIT RAKYAT DI KABUPATEN POHUWATO
Nama Responden
: …………………………………………………….
Pekerjaan Responden
: …………………………………………………….
Pendidikan Terakhir
: …………………………………………………....
Umur Responden
: ……………...…………………………………….
Alamat
: ……………………………………………………………
Informasi dari kuesioner ini akan digunakan sebagai bahan masukan untuk menyusun tesis atas nama Ivana Butolo, mahasiswa Magister Pembangunan Daerah, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Mengingat pentingnya masukan dari Bapak/Ibu/Sdr, maka saya mohon kiranya dapat membantu sepenuhnya dengan mengisi penilaian dengan sungguh-sungguh atau dengan keadaan yang sebenarnya, agar hasil yang dicapai dapat memberikan alternatif kebijakan yang terbaik bagi kelangsungan Program KBR di Kabupaten Pohuwato. Semua jawaban dan identitas diri Bapak/Ibu/Sdr akan dijamin kerahasiannya dan hanya dipergunakan untuk keperluan penelitian tesis ini.
78 Petunjuk Pengisian
Berilah penilaian atas pernyataan-pernyataan dibawah ini dengan memberikan tanda silang (X) pada salah satu pilihan angka dibawah ini :
Angka 9 = amat sangat baik
Angka 8 = sangat baik
Angka 7 = baik
Angka 6 = sedikit baik
Angka 5 = sedang/netral
Angka 4 = sedkit buruk
Angka 3 = buruk
Angka 2 = sangat buruk
Angka 1 = amat sangat buruk
Berilah penilaian urgensi penanganan atas faktor internal dan faktor eksternal tersebut dengan memberikan tanda silang (X) pada salah satu pilihan huruf berikut ini :
Huruf a = penting sekali
Huruf b = penting
Huruf c = kurang penting
Huruf d = tidak penting
Selamat menjawab, Terima Kasih
79 Faktor Internal di dalam masyarakat
1.
Kepemilikan lahan
Penilaian Responden Buruk Netral Baik 1 2 3 456 7 8 9
Urgensi Penanganan a b
c d
2.
Rendahnya tingkat Pengetahuan
1 2 3 456
7 8 9
a b
c d
1 2 3 45 6
7 8 9
a b
c d
1 2 3 45 6
7 8 9
a b
c d
1 2 3 45 6
7 8 9
a b
c d
1 2 3 45 6
7 8 9
a b
c d
1 2 3 45 6
7 8 9
a b
c d
kelompok masyarakat tentang teknis pembuatan bibit 3.
Kemampuan masyarakat dalam mengelola dana
4.
Kurangnya pengalaman kerja dalam bidang tanaman hutan
5.
Rendahnya kesadaran masyarakat dalam menanam bibit hasil KBR
6.
Kesiapan tenaga kerja masyarakat
7.
Tersedianya akses jalan di dalam kawasan hutan
8.
Ketersediaan sumber air
1 2 3 45 6
7 8 9
a b
c d
9.
Kurangnya Komitmen kelompok
1 2 3 45 6
7 8 9
a b
c d
1 2 3 45 6
7 8 9
a b
c d
masyarakat dalam menanam bibit 10. keterlibatan kelompok masyarakat hanya pada saat ada program
80 Faktor Ekternal di luar masyarakat
1. Peraturan
Menteri
Penilaian Responden Buruk Netral Baik Kehutanan 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Urgensi Penanganan a b
c d
7 8 9
a b
c d
78 9
a b
c d
tentang Pedoman Penyelenggaraan KBR 2. Usulan
Penetapan
Areal
Kerja 1 2 3 4 5 6
Hutan Kemasyarakatan/Hutan Desa oleh
pemerintah
Kabupaten
Pohuwato 3. Komitmen yang tinggi dari segenap 1 2 3 4 5 6 jajaran aparat Dinas Kehutanan Kabupaten
Pohuwato
dalam
rehabilitasi hutan dan lahan 4. Tidak efektifnya pelatihan teknis
1 2 3 45 6
7 8 9
a b
c d
5. Belum ada dukungan PERDA
1 2 3 45 6
7 8 9
a b
c d
6. Belum tersedia dana pendamping
1 2 3 45 6
7 8 9
a b
c d
7. Rendahnya koordinasi Dishut antar
1 2 3 45 6
7 8 9
a b
c d
1 2 3 45 6
7 8 9
a b
c d
1 2 3 45 6
7 8 9
a b
c d
10. Tingginya permintaan kayu
1 2 3 45 6
7 8 9
a b
c d
11. Alih fungsi hutan dan lahan
1 2 3 45 6
7 8 9
a b
c d
tentang Hutan Rakyat
stakeholder lainnya 8. Kurangnya jumlah tenaga pendamping/penyuluh lapangan 9. Dukungan LSM dan Perguruan Tinggi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
9 6 8 5 5 8 8 9 6 6
No pertanyaan faktor 1 internal
9 5 8 5 5 7 8 8 6 6
2
8 6 8 5 5 8 7 9 5 5
3
9 8 9 9 6 6 6 6 8 8 8 8 5 4 5 6 6 5 6 6 8 8 7 8 8 8 7 8 9 9 9 9 4 6 5 6 6 6 5 5 Rata-rata kolom
8 6 8 5 6 9 8 9 6 6
9 6 9 5 6 8 8 8 4 6
9 6 9 5 6 8 7 9 6 6
Bobot Penilaian Responden Responden 4 5 6 7 8 9 10
Lampiran 8 Rata-rata jawaban responden Bobot (rata-rata Rata- Ket kolom rata dikurangi baris rata-rata baris) 8,7 S 8,7 5,9 W 9,1 8,2 S 8,2 5 W 8,1 5,6 W 8,7 7,9 S 7,9 7,7 S 7,7 8,8 S 8,8 5,4 W 8,5 5,7 W 8,8 6,89 3 4 4 3 4 3 3 3 3 3
1
3 4 4 3 4 3 3 3 3 3
2
3 4 3 3 4 3 4 3 4 4
3
4 4 3 4 4 3 4 4 4 4
3 4 3 4 3 4 3 4 4 4
3 3 3 3 3 4 3 3 3 3
3 4 4 3 3 3 4 3 3 4
4 4 3 3 4 3 4 3 4 4
3 3 3 4 4 3 3 3 4 3
Urgensi penanganan Responden 4 5 6 7 8 9
3 4 3 4 3 3 3 4 4 4
10
3,2 3,8 3,3 3,4 3,6 3,2 3,4 3,3 3,6 3,6
Ratarata baris
27,84 34,24 27,06 27,57 31,35 25,28 26,18 29,04 30,63 31,71
Bobot x urgensi
81
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
9 8 9 4 5 4 5 5 8 9 4
No pertanyaan faktor 1 eksternal
82
9 9 8 4 6 5 5 5 8 9 3
2
9 9 9 5 5 4 4 5 9 8 3
3
9 8 9 9 9 9 9 8 9 9 9 9 4 3 3 3 5 5 4 4 5 4 5 4 4 5 4 4 4 4 5 6 8 8 8 8 9 8 9 8 3 2 4 3 Rata-rata kolom
8 9 9 4 4 5 4 5 9 9 2
9 9 9 4 4 4 5 5 8 9 3
9 9 9 3 4 5 4 5 8 9 4
Bobot Penilaian Responden Responden 4 5 6 7 8 9 10
Bobot Rata- Ket (rata-rata kolom rata dikurangi baris rata-rata baris) 8,8 O 8,8 8,8 O 8,8 8,8 O 8,8 3,7 T 7,4 4,6 T 8,3 4,5 T 8,2 4,4 T 8,1 4,9 T 8,6 8,2 O 8,2 8,7 O 8,7 3,1 T 6,8 6,2 4 4 3 4 4 4 3 4 3 4 4
1
3 4 3 4 4 4 4 4 3 4 3
2
4 4 3 4 3 4 4 4 3 3 3
3
3 4 4 4 3 3 4 4 3 3 3
3 3 3 3 4 4 3 4 3 4 4
4 3 3 3 4 3 4 3 3 3 4
4 4 3 3 4 4 3 3 3 4 3
3 3 4 4 4 4 4 4 3 3 4
3 4 3 4 4 4 3 3 3 3 4
Urgensi penanganan Responden 4 5 6 7 8 9
3 3 3 3 4 4 4 3 4 4 4
10
3,4 3,6 3,2 3,6 3,8 3,8 3,6 3,6 3,1 3,5 3,6
Ratarata baris
29,92 31,68 28,16 27,72 32,68 32,3 30,24 32,04 25,42 30,45 25,56
Bobot x urgensi
83 RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Gorontalo pada tanggal 5 Oktober 1981, sebagai anak ke-4 dari 4 bersaudara dari pasangan Syamsuddin dan Irvan Butolo. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi Universitas Sam Ratulangi Manado, lulus pada tahun 2002. Kesempatan untuk melanjutkan ke program magister pada Program Studi Magister Profesional Manajemen Pembangunan Daerah IPB tahun 2012. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Pemerintah Provinsi Gorontalo melalui Badan Kepegawaian dan Pendidikan Pelatihan Daerah Provinsi Gorontalo. Saat ini penulis masih bekerja di Bappeda Provinsi Gorontalo.