MEDIASI KONFLIK PENANGANAN KERUSAKAN PANTAI (Studi Kasus Penanganan Abrasi Pantai Kuta Bali)
Tesis
Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan Mencapai derajat Sarjana S-2 pada Program Studi Ilmu Lingkungan
Putut Handoko L4K004011
PROGRAM MAGISTER ILMU LINGKUNGAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2007
PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang saya susun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Program Magister Ilmu Lingkungan seluruhnya merupakan hasil karya saya sendiri. Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan tesis yang saya kutip dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah. Apabila dikemudian hari ditemukan seluruh dan sebagian tesis ini bukan hasil karya saya sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Semarang, 20 Maret 2007
Putut Handoko
ii
RIWAYAT PENULIS
Lahir di Semarang pada tanggal 25 Juli 1970 dengan nama Putut Handoko. Pendidikan dasar ditempuh di SD Karang Asem I dan sekolah menengah pertama ditempuh di SMPN 5 Semarang. Sekolah menengah Atas ditempuh di SMAN 1 Semarang, lulus tahun 1989. Pendidikan Tinggi (S1) ditempuh di Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro Semarang, lulus tahun 1996. Pada tahun 2004 melanjutkan Pendidikan Tinggi (S2) pada Program Magister Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro Semarang.
iii
KATA PENGANTAR Puji syukur karena ‘ Allah SWT ’ tesis ini dapat penulis selesaikan. Tesis ini merupakan tugas akhir sebagai salah satu syarat menempuh Sarjana (S2) pada Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro Semarang. Tesis ini disusun melalui proses yang panjang dan berliku, memberikan pembelajaran berharga atas kekurangan dan kelemahan penulis. Sebagai karya tulis, penyusunan tesis ini melibatkan banyak pihak yang telah memberikan andil baik moril maupun materiil. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada beberapa pihak: 1.
Prof. Dr. Sudharto P. Hadi, MES selaku Ketua Program Magister Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro sekaligus Dosen Penguji yang dengan kearifan dan ilmunya telah berkenan memberikan masukan dan kemudahan.
2.
Ir. Agus Hadiyanto, MT selaku Sekretaris Program Magister Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro yang telah berkenan memberikan perhatian, pengertian dan mendorong penyelesaian tesis ini.
3.
Dr. Tukiman Taruna selaku Dosen Pembimbing Utama yang telah berkenan memberikan arahan, pemikiran, perhatian dan motivasi terhadap penyusunan tesis ini.
4.
Dra. Sri Suryoko, MSi selaku Dosen Pembimbing Kedua yang telah memberikan waktunya, arahan, masukan serta kemudahan dalam penulisan tesis ini.
5.
Dr. Adji Samekto, SH. MHum selaku Dosen Penguji yang dengan rendah hati telah berkenan menguji, memberikan masukan dan saran-saran untuk penyempurnaan tesis ini.
6.
Satuan Kerja N.V.T. Pengamanan Daerah Pantai Bali Selatan, Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Sumber Daya Air beserta Konsultan Nippon Koei Co, Ltd yang telah berkenan membantu mengijinkan memberikan data penelitian.
7.
Bapak Nugre mewakili masyarakat Desa Adat Kuta dan Yay. GUS, Bp. Keddy dan Ibu Viebeke mewakili Parum Samigita, Nyoman dan Kadek iv
mewakili Yay. Pratista, Bp. Agus dan Bp. Anom Rajendra mewakili proyek yang telah berkenan memberikan waktunya menjadi nara sumber. 8.
Bapak/Ibu dosen di lingkungan Program Magister Ilmu Lingkungan yang selama proses perkuliahan telah memberikan ilmu pengetahuannya.
9.
Teman-teman di MIL Undip (Fitri, Eva, Hastomo, Sulis dan Doni) atas pengertian dan bantuannya.
10. Teman-teman sekolah (Pak Gan, Pak Bambang, Pak Budi, Bu Peni, Pak Krus, Aswir, Heru, Eko, Khairul, Rusman, Aris, Muksin, Anna, Yulia, Ika dan Ratna) atas kerja sama, dukungan semangat dan dorongan untuk penyelesaian tesis ini. 11. Ufi Najib dan keluarga, Mas Pras dan keluarga, Mar dan Mirna sekeluarga, Ganjur, Aris, Diah, Juvan, Indrawan, Kleco, Sastro dan Ong atas bantuan, perhatian dan dorongannya. 12. Keluarga penulis yang memberikan semangat dan dukungan dalam penyelesaian tesis ini. Ketulusan Bapak/Ibu/Saudara/teman-teman semuanya semoga mendapat amal kebaikan Allah SWT. Amin.
Putut Handoko
v
DAFTAR ISI
Halaman LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... i LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................... ii RIWAYAT HIDUP ....................................................................................... iii KATA PENGANTAR ................................................................................... iv DAFTAR ISI .................................................................................................. vi DAFTAR TABEL ......................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR...................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. x ABSTRAK ..................................................................................................... xi ABSTRACT .................................................................................................... xii BAB I.
PENDAHULUAN ....................................................................... 1.1. Latar Belakang .................................................................... 1.2. Perumusan Masalah ............................................................ 1.3. Tujuan Penelitian ................................................................ 1.4. Manfaat Penelitian ..............................................................
1 1 4 5 5
BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 2.1. Teori Perencanaan Pembangunan ....................................... 2.2. Konflik ................................................................................ 2.3. Alternatif Penyelesaian Konflik ......................................... 2.4. Peran Mediator Dalam Mediasi .......................................... 2.5. Partisipasi Masyarakat ........................................................ 2.6. Aspek-Aspek Lingkungan Dalam Konflik dan Mediasi .....
7 7 11 12 13 16 19
BAB III. METODE PENELITIAN .......................................................... 3.1. Ruang Lingkup ................................................................... 3.2. Jenis Penelitian ................................................................... 3.3. Jenis dan Sumber Data ........................................................ 3.4. Teknik Pengumpulan Data ................................................. 3.5. Teknik Pengambilan Sampel .............................................. 3.6. Teknik Analisis Data ..........................................................
22 22 22 22 23 23 24
BAB IV.
25 25 29 30 33 38
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................. 4.1. Gambaran Wilayah Kuta ..................................................... 4.2. Abrasi Pantai Kuta .............................................................. 4.3. Penanganan Hotel -Hotel .................................................... 4.4. Desain Pengamanan Pantai Kuta ........................................ 4.5. Partisipasi Masyarakat Dalam Penanganan Pantai ............. 4.6. Pendampingan Masyarakat dan Pemilihan Fasilitator (Mediator) ...........................................................................
vi
43
4.7. Mediasi Konflik .................................................................. 4.7.1. Konflik Pantai Kuta .............................................. 4.7.2. Para Pihak (Disputing Parties) .............................. 4.7.3. Dinamika Penyelesaian (Proses) ........................... 4.7.4. Mediator ................................................................
45 45 48 49 66
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................. 5.1. Kesimpulan ......................................................................... 5.2. Saran ...................................................................................
71 71 73
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
74
BAB V.
LAMPIRAN
vii
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1. Karakteristik Teori Perencanaan dan Peran Perencana ................
9
Tabel 2.2. Tipologi Mediator ........................................................................
14
Tabel 4.1. Tipologi dan Peran Mediator dalam Mediasi Konflik Penanganan Pantai Kuta ...............................................................
68
viii
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1. Kategori Peran Perencana oleh Christensen ............................
10
Gambar 2.2. Tangga Peran Serta Masyarakat dari Arstein ..........................
18
Gambar 4.1. Peta Kecamatan Kuta (Sumber:BPS Bali, Kec. Kuta Dalam Angka 2005 ..................................................................................................
26
Gambar 4.2. Tinjauan Penyebab Utama Abrasi di Pantai Kuta .............................
30
Gambar 4.3. Perubahan Garis Pantai Kuta 1944-1997 .........................................
31
Gambar 4.4. Konstruksi Seawall di Depan Pantai Hotel Kartika Plaza Hancur Diterjang Ombak .............................................................................
32
Gambar 4.5. Desain Pengamanan Pantai Tahun 1989 ..........................................
36
Gambar 4.6. Desain Pengamanan Pantai Tahun 1998 ..........................................
36
Gambar 4.7. Desain 2003 Hasil Kesepakatan Urun Rembug II ............................
37
Gambar 4.8. Desain 2004 Hasil Urun Rembug III ................................................
37
Gambar 4.9. Pertemuan Site Visit Pantai Kuta antara Masyarakat, Proyek dan Pihak Hotel .......................................................................................
59
Gambar 4.10. Flow Chart Proses Penyelesaian (Perundingan) ..............................
65
ix
DAFTAR LAMPIRAN
No Lampiran. : 1. Hasil Wawancara dengan Nara Sumber 2. Hasil Pertemuan Urun Rembug I 3. Hasil Pertemuan Urun Rembug II 4. Hasil Pertemuan 21 Juli 2004 di Simkotaku 5. Hasil Pertemuan 27 Desember 2004 di SIMPK
x
ABSTRAK Konflik Pantai Kuta menyangkut pertentangan pola penanganan abrasi antara pihak proyek pengamanan pantai PU Bali dengan masyarakat Kuta. Konflik diselesaikan melalui mediasi dibantu oleh mediator yang berperan dalam mewujudkan kesepakatan. Studi ini dilakukan untuk menelusuri dinamika konflik dan aspek-aspek lingkungan dapat diakomodasikan dalam mediasi. Penelitian ini merupakan rekonstruksi penyelesaian konflik penanganan Pantai Kuta dari tahun 1998 sampai 2004. Pendekatan penelitian menggunakan metode kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui penelusuran dokumen proyek Pantai Kuta dan wawancara mendalam dengan beberapa nara sumber. Nara sumber sebagai sampel penelitian dipilih menggunakan teknik purposive sampling. Analisis data menggunakan analisis naratif yang berfokus pada struktur kisah atau narasi penyelesaian konflik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik Pantai Kuta disebabkan oleh perbedaan kepentingan, nilai serta pemahaman menyangkut abrasi dan pola penanganannya. Pihak utama (primary parties) antara lain adalah Dinas PU Bali, masyarakat Kuta dan pengelola hotel-hotel di Kuta. Adapun pihak lainnya (secondary parties) diantaranya meliputi Bapedalda Propinsi Bali, Pemda Badung serta masyarakat Seminyak dan Legian. Mediasi dilakukan melalui serangkaian pertemuan informal dan formal, melibatkan mediator Pratista, Parum Samigita, dan GUS. Hasil mediasi berupa kesepakatan awal dimantapkan melalui kunjungan lapangan (1x) dan pertemuan untuk menegaskan kesepakatan pilihan pemecahan masalah. Hasil kesepakatan ini kemudian direvisi karena ada pertimbangan biaya operasional dan pemeliharaan (O&P) yang harus ditanggung pemerintah. Kesepakatan akhir/final menetapkan penanganan abrasi menggunakan revetment dan sand nourishment yang bersifat ramah lingkungan/tidak berdampak buruk pada pantai. Selain itu juga dilakukan landscaping sebagai upaya penataan lingkungan pantai diantaranya dengan rencana pembuatan walkway, public space dan penghijauan. Adapun penggunaan sub merged breakwater disertai dengan transplantasi karang sebagai upaya merehabilitasi terumbu karang di Pantai Kuta yang merupakan sumber pasir putih pantai dan barrier alami. Rekomendasi penelitian ini, dalam menangani permasalahan kerusakan pantai dimanapun, pemerintah seharusnya melibatkan mediator karena lingkungan pantai memiliki potensi sumber konflik yang beragam dengan banyaknya kepentingan yang ada. Mediasi (mediator) diupayakan dapat membantu mencapai kesepakatan yang komprehensif yaitu menyangkut dampak maupun sumber kerusakan pantai. Kata Kunci : Konflik, Mediasi, Lingkungan Pantai
xi
ABSTRACT Kuta Beach conflict is related with abrasion involving beach safety project parties, in this case PU Bali and Kuta communities with difference views. The conflict was resolved by mediation facilitated by mediator that has a role to realize agreement. This study is aimed to examine conflict dynamics, and environmental aspects can be accommodated in the mediation. This study is a reconstruction of Kuta Beach conflict resolution from 1998 to 2004. The approach used in this study is qualitative method. Data collection was conducted by tracking of Kuta Beach project documents and in-depth interview with several key informants. The informants as a study sample are selected by purposive sampling technique. Data analysis use narrative focused on story structure or conflict resolution narration. The results show that Kuta Beach conflict caused difference interests, values and understanding about abrasion and handling pattern. Primary parties are Bali PU Department, Kuta communities and hotels management in Kuta. The secondary parties are Bapedalda of Bali Province, Badung Government and Seminyak and Legian communities. The mediation was conducted by a set of formal and informal meetings involving mediators such as Pratista, Parum Samigita, and GUS. The mediation results were initial agreement and supported by field visit (one time), and meetings to establish the agreement about conflict resolution options. The agreement results then were revised because operational and maintenance costs that must be incurred by government. The final agreements determine that abrasion handlings are using revetment and sand nourishment that are considered environmentally friendly. Besides, landscaping is an effort to manage coastal such as making walkway, public space and planting. Sub merged breakwater usage is accompanied by coral transplantation as an effort to rehabilitee coral reef in Kuta Beach as a source of white sands and natural barrier. This study recommended that in beach damages problem management, the government should involve mediator because beach environment has many conflict sources potential. Mediation can help in achieving comprehensive agreement that related with the impact or the source of beach damage. Keywords: Conflict, Mediation, Beach Environment.
xii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Potensi pembangunan yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan menurut Dahuri (2001) dapat dikelompokkan sebagai sumberdaya dapat pulih (renewable resources), sumberdaya tidak dapat pulih (non renewable resources), dan jasajasa lingkungan (environmental services). Jasa-jasa lingkungan meliputi fungsi kawasan pesisir dan lautan sebagai tempat rekreasi dan pariwisata, media transportasi, sumber energi, fungsi ekologis dan lain lainnya. Fungsi pesisir sebagai tempat rekreasi dan pariwisata utamanya mengandalkan keindahan dan keaslian alam. Perubahan dan kerusakan lingkungan pesisir akan dapat mempengaruhi kelangsungan aktivitas pariwisata serta masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sektor ini. Wilayah pesisir (coastal area) merupakan suatu ekosistem yang khas dan bila dilihat dari perspektif produktivitas biologik disebut sebagai ‘Parabolic Domain.’ Karena wilayah pesisir memiliki produktivitas paling tinggi namun juga paling rentan dan berpeluang mendapat tekanan dari darat maupun dari laut (Guelorget dan Perthuisot, 1992). Konsepsi ini menegaskan bahwa wilayah pesisir merupakan ekosistem dinamik di mana potensi pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang beragam dan tinggi juga mengandung resiko timbulnya tekanan lingkungan. Pembangunan wilayah pesisir memiliki kecenderungan menimbulkan dampak dan ancaman terhadap kapasitas keberkelanjutan pesisir dalam menunjang kesinambungan fungsi pemanfaatannya. Seperti halnya permasalahan pencemaran laut, over fishing; degradasi mangrove dan terumbu karang serta abrasi pantai yang merupakan fenomena umum yang terjadi di wilayah pesisir. Fenomena ini terutama berlangsung di kawasan pesisir yang padat penduduknya dan tinggi tingkat pembangunannya, seperti Selat Malaka, Pantai Utara Jawa, Sulawesi Selatan dan Bali (Dahuri, 2001). Indikasi ini disebabkan oleh perencanaan wilayah pesisir dilakukan secara tidak terpadu dan menyeluruh. 1
2
Pulau Bali dikenal luas sebagai daerah tujuan wisata terkenal. Industri pariwisata Bali telah memberikan kontribusi bagi perekonomian lokal maupun nasional. Industri pariwisata Bali diantaranya terpusat di daerah Selatan yaitu meliputi Pantai Sanur, Pantai Nusa Dua, dan Pantai Kuta. Pantai-pantai Bali pada umumnya merupakan pantai karang dengan pasir pantainya berwarna putih. Pantai-pantai ini banyak dimanfaatkan sebagai pantai wisata. Untuk menunjang pengembangan pariwisata telah banyak dibangun sarana dan prasarana seperti hotel, restoran, pertokoan, fasilitas rekreasi pantai serta bandara. Sebagian besar sarana penunjang tersebut dibangun di pinggir pantai. Dengan semakin meningkatnya aktivitas pembangunan pantai pada akhirnya menimbulkan persoalan pada wilayah pantai. Salah satu persoalan pantai adalah erosi atau abrasi. Sekitar 70 kilometer dari 530 kilometer panjang pantai di Pulau Bali telah rusak akibat abrasi, dan sekitar 70 kilometer panjang pantai yang rusak, yang ditangani baru 38 kilometer (Kompas, Juni 2005). Perencanaan dan pengelolaan pembangunan wilayah pesisir yang tidak terpadu dapat menimbulkan konflik lingkungan. Dahuri (2001) menyatakan bahwa
perencanaan
terpadu
ditujukan
untuk
mengharmoniskan
dan
mengoptimalkan kepentingan pemeliharaan lingkungan, partisipasi masyarakat dan pembangunan ekonomi. Lebih lanjut dinyatakannya bahwa keterpaduan dalam pengelolaan perlu memperhatikan dimensi sektoral, keilmuan serta keterkaitan ekologis. Konflik lingkungan di antaranya telah terjadi sehubungan dengan adanya permasalahan abrasi pantai. Seperti pada kasus abrasi pantai di Mangunharjo Semarang dan kasus penangangan abrasi di Pantai Kuta Bali. Kasus abrasi di Pantai Mangunharjo dan Pantai Kuta sama-sama dipicu oleh adanya upaya pembangunan di pinggir pantai, yaitu oleh industri kayu lapis dan Bandara Ngurah Rai. Bangunan-bangunan pantai yang menjorok ke tengah laut tersebut menyebabkan perubahan pola arus dan gelombang, yang pada akhirnya menimbulkan erosi dan sedimentasi pada wilayah pantai di sekitarnya. Kasuskasus abrasi pantai ini kemudian memunculkan konflik baik antara pemerintah, industri dan dengan masyarakat sekitar pantai.
3
Konflik menurut Johson dan Duinker dalam Mitchell (2003) adalah pertentangan kepentingan, nilai, tindakan atau arah. Konflik lingkungan dipandang Hadi (2004) terjadi oleh sifat atau ciri-ciri yang melekat pada sumberdaya alam dan lingkungan. Perbedaan kepentingan dalam memandang lingkungan dapat memicu terjadinya konflik lingkungan disebabkan oleh sifat atau ciri-ciri sumberdaya alam dan lingkungan sebagai sumberdaya milik bersama (common property), tidak mudah dikuantifikasi (intangibility) serta dampaknya bersifat eksternal dan jangka panjang. Sebagaimana dengan sumberdaya pasir, ombak dan terumbu karang di pantai yang memiliki fungsi diantaranya menjaga keseimbangan pantai, sebagai habitat organisme laut, sumber energi, estetika dan lain-lainnya yang dipandang milik bersama untuk berbagai kepentingan yang tidak mudah dikuantifikasi nilainya. Perencanaan dan
pengelolaan
lingkungan
dan
sumberdaya
alam
membutuhkan kemampuan untuk menghadapi konflik. Konflik merupakan sesuatu yang tak terelakkan, yang dapat bersifat positif maupun negatif. Konflik bersifat positif menurut Mitchell (2003) ketika membantu mengidentifikasi sebuah proses pengelolaan yang tidak berjalan secara efektif, mempertajam gagasan atau informasi yang tidak jelas, menjelaskan kesalahpahaman dan mempertanyakan status quo sehingga memunculkan pendekatan kreatif. Sedangkan konflik bersifat negatif jika diabaikan dan tidak terselesaikan serta menjadi buruk apabila menyebabkan semakin meluasnya hambatan-hambatan untuk saling bekerjasama antar berbagai pihak. Konflik di antaranya dapat diselesaikan melalui pendekatan alternatif ataupun pendekatan secara informal. Salah satu bentuk penyelesaian dari pendekatan tersebut dikenal sebagai mediasi. Mediasi merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian konflik dimana kesepakatan penyelesaian diputuskan oleh para pihak yang bersengketa (berkonflik). Mediasi juga merupakan media penyelesaian konflik menggunakan pihak ketiga (mediator) yang bertindak netral untuk membantu para pihak mencapai kesepakatan. Merujuk pada kategori Moore, dinyatakan Hadi (2004) bahwa mediasi potensial menghasilkan kesepakatan yang memuaskan (win-win) bagi para pihak.
4
Kesepekatan yang memuaskan ini sangat penting bagi keberlanjutan hubungan baik diantara para pihak, khususnya dengan resistensi masyarakat dengan adanya/masuknya kegiatan yang bersinggungan dengan kegiatan mereka. Seperti halnya pada konflik kegiatan penanganan abrasi Pantai Kuta yang bersinggungan dengan kegiatan pariwisata yang menjadi tumpuan hidup masyarakat Kuta. 1.2. Perumusan Masalah Untuk menangani masalah abrasi di beberapa lokasi pantai di Pulau Bali telah dibentuk Satuan Kerja Sementara Pengamanan Daerah Pantai Bali Selatan. Studi kelayakan pengamanan pantai telah dilakukan pada tahun 1989. Hasil dari studi kelayakan ini telah diidentifikasi daerah yang dalam keadaan bahaya dan dikelompokkan kedalam kategori yang mendesak untuk dilakukan pengamanan, diantaranya adalah Pantai Sanur, Pantai Tanah Lot, Pantai Nusa Dua dan Pantai Kuta. Pada tahun 1991-1992 dilanjutkan dengan studi perencanaan yang lebih rinci (Detail Design Study). Pelaksanaan pembangunan proyek pengamanan Pantai Bali mulai dijalankan pada tahun 1992 untuk Pantai Sanur, Nusa Dua dan Tanah Lot. Pelaksanaan proyek pengamanan untuk Pantai Kuta baru dilakukan setelah tahun 1996. Proyek pembangunan pengamanan Pantai Kuta seharusnya sudah dapat diselesaikan pada tahun 2004. Kegiatan proyek pembangunan pengamanan Pantai Kuta mengalami kemunduran dari rencana yang telah disusun sebelumnya. Pada saat sosialisasi tahun 1998 desain proyek pengamanan Pantai Kuta ditolak oleh masyarakat. Masyarakat
Kuta
keberatan
dengan
desain
pengamanan
pantai
menggunakan groin atau krib-krib (semacam tanjung buatan) seperti yang telah dilakukan di Pantai Sanur maupun Pantai Nusa Dua. Penanganan abrasi menggunakan groin ataupun struktur beton dianggap akan lebih memperburuk kondisi pantai. Penggunaan struktur beton yang menjorok ke tengah laut seperti halnya groin atau krib-krib dikuatirkan akan menghilangkan ombak. Sementara ombak adalah asset wisata Pantai Kuta yang berharga, khususnya untuk kegiatan surfing. Masyarakat Kuta menginginkan pola penanganan abrasi pantai yang alami seperti penghijauan ataupun lainnya yang selaras dengan alam.
5
Konflik penanganan abrasi Pantai Kuta antara masyarakat dengan pemerintah dalam hal ini Proyek Pengamanan Pantai Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Bali diselesaikan melalui pendekatan ‘Community Based Development (CBD)’ yang dibantu oleh beberapa pihak, antara lain adalah Yayasan Pratista, Parum Samigita serta Yayasan GUS. Upaya ini dipandang sebagai resolusi konflik, yaitu penyelesaian konflik baik langsung maupun melalui mediasi (Santosa dalam Hadi, 2004). Yayasan Pratista, Parum Samigita dan Yayasan GUS bertindak sebagai mediator yang memiliki peran penting mewujudkan kesepakatan yang dicapai para pihak. Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah penelitian yang diajukan adalah : 1. Bagaimana dinamika konflik dan upaya penyelesaian penanganan abrasi Pantai Kuta ? 2. Bagaimana aspek-aspek lingkungan diakomodasikan dalam hasil kesepakatan mediasi? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini merupakan studi kasus penyelesaian konflik penanganan Pantai Kuta. Penelitian ini ditujukan untuk menelusuri upaya penyelesaian konflik beserta hasil-hasil kesepakatan yang dicapai dalam penanganan Pantai Kuta. Penelitian ini juga ditujukan untuk mengetahui sejauhmana kepentingankepentingan lingkungan dapat dipenuhi atau diakomodasikan dalam penyelesaian konflik penanganan Pantai Kuta. Berdasarkan tujuan di atas, penelitian ini diharapkan dapat diperoleh gambaran pemahaman mengenai upaya mediasi dalam mendukung kebutuhan dan kepentingan penanganan lingkungan Pantai Kuta. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini pada dasarnya merupakan upaya untuk pembelajaran yang diharapkan dapat menambah khasanah ilmu lingkungan, khususnya menyangkut penyelesaian konflik kaitannya di dalam mewujudkan pembangunan lingkungan pantai yang berkelanjutan. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat berguna sebagai upaya mendokumentasi praktek-praktek penyelesaian konflik lingkungan
6
dan partisipasi para pihak dalam penanganan persoalan lingkungan yang diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan sebagai sebuah inspirasi, perbandingan, pertimbangan atau pun lainnya yang berguna.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Perencanaan Pembangunan Pembangunan adalah upaya sadar dan berencana untuk mengadakan perubahan dan pembaharuan dalam rangka memecahkan masalah dikemudian hari.
Soerjani,
(2000)
menjelaskan
pembangunan
adalah
upaya
untuk
meningkatkan kualitas hidup secara terus menerus atau berkelanjutan dengan memanfaatkan berbagai sumber daya pendukungnya (sustainable resources), khususnya manusia sebagai potensi pokok pembangunan disamping sumber daya alam melalui perubahan tatanan lingkungan hidup serta kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya secara keseluruhan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa upaya pembangunan perlu mengacu kepada kepentingan wilayah, yakni habitat keberadaan kehidupan secara keseluruhan, dan aspirasi masyarakat yang berkewajiban melaksanakan pembangunan dengan memperoleh hak sesuai dengan peranannya. Kuswarojo,
(1999)
menyatakan
bahwa
pembangunan
mencakup
perencanaan dimana ciri utama perencanaan adalah memecahkan persoalan yang bersifat dinamis dan yang utama adalah masalah ekonomi dan sosial. Perencanaan menurut Kuswarojo, (1999) adalah suatu persiapan langkah dan kegiatan yang disusun atas pemikiran yang logis untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Perencanaan dinyatakan oleh Friedman dalam Hadi (2001) sebagai suatu strategi pengambilan keputusan, sebagai suatu aktivitas tentang keputusan atau implementasi. Perencanaan merupakan seperangkat proses keputusan untuk melakukan tindakan di masa depan. Perencanaan dinyatakan oleh Hadi (2001) sebagai bentuk strategi yang dapat diterapkan untuk organisasi publik maupun privat. Produk perencanaan adalah rencana. Perencanaan menurut Patusuri, (2004) mempunyai rentang pengertian yang sangat luas dan beragam. Perencanaan merupakan suatu yang lingkupnya menyeluruh mencakup bidang yang sangat luas, kompleks dan berbagai komponennya
saling
kait-mengkait.
Pengertian 7
perencanaan
tidak
saja
8
berorientasi pada tujuan dan pemecahan masalah, namun mengandung aktivitas moral melalui pemahaman akan perilaku manusia. Pengertian perencanaan dapat dilihat dari prespektif dan pendekatan yang berbeda. Berdasarkan identifikasi Friedman dalam Hadi (2001) ada dua perbedaan prespektif perencanaan. Pertama, perencanaan mengkaitkan antara dunia ilmiah dengan pengetahuan teknis untuk membentuk pedoman sosial. Kedua, perencanaan mengkaitkan dunia ilmiah dengan pengetahuan teknis untuk memproses transformasi sosial. Perspektif atau pendekatan perilaku merupakan kritik atas perspektif rasional atau pendekatan normatif. Teori-teori perencanaan yang dominan sekarang ini dinyatakan oleh Hadi, (2001) sedang mengalami krisis. Krisis teori perencanaan menurut Friedman dalam Hadi (2001) salah satu sebabnya ialah karena tidak ada keterkaitan antara pengetahuan dengan penerapan. Teori perencanaan ideal adalah yang mampu mengakomodasi kepentingan dan kebutuhan masyarakat serta memadukan nilai dari berbagai kepentingan yang terlibat (Hadi, 2001). Salah satu teori perencanaan yang dikenal memiliki karakteristik mampu memadukan atau mengakomodasi kepentingan adalah perencanaan transaktif. Burchel dalam Hadi (2001) menyatakan bahwa pendekatan transaktif merupakan suatu media untuk mengeliminasi kontradiksi antara yang kita ketahui dengan bagaimana kita harus melakukan. Ditambahkan oleh Friedman dalam Hadi (2001) bahwa perencanaan transaktif dimaksudkan sebagai upaya menjembatani komunikasi antara pengetahuan teknis dari para perencana dengan pengetahuan keseharian dari masyarakat. Lebih lanjut, Hadi (2001) menyatakan bahwa perencanaan transaktif dapat didayagunakan sebagai media dalam mana perencana dapat bertindak sebagai mediator. Fungsi mediator adalah memfasilitasi berbagai pihak yang berkepentingan dengan mendasarkan pada interest. Tinjauan teori-teori perencanaan pembangunan selengkapnya ditunjukkan oleh tabel berikut di bawah ini yang menyajikan beberapa Karakteristik teori-teori perencanaan serta peran perencana yang dikutip dari Hadi, (2001). Karakteristik teori-teori perencanaan di bawah ini didasarkan pada kategori Hudson.
9
Tabel 2.1. Karakteristik Teori Perencanaan dan Peran Perencana Teori Perencanaan Sinoptik/Komprehensif
Karakteristik Lingkup
luas;
ilmiah;
Peran Perencana
Rasional Birokrat
Standarisasi; Teknisi
Sentralisasi;
Sifat
tujuan
utama ekonomi Inkremental
Lingkup
terfokus;
sektor Teknisi
terdesentralisasi;
yang
pragmatis
pemeliharaan sistem; sifat tujuan ekonomis Transaktif
Pembelajaran timbal balik; Fasilitator tidak
hirarkis;
kontekstual;
fleksibel; Mediator
sifat
tujuan Pendidik
utama sosial Advokasi
Situasi konflik; reformasi Advokat sosial;
represntasi
pada
klien Anarki
Skala kecil; desentralisasi; Katalis kerjasama
timbal
balik; Promotor
fleksibel Marxis
Kritik sosial; konflik kelas; Agen perubahan mobilisasi
sosial;
transformasi sosial Sumber: Hadi, (2001)
Perbedaan dan pertentangan kepentingan seringkali muncul dalam pengalokasian sumber daya dan pengambilan keputusan. Tantangan bagi para pengelola lingkungan untuk dapat mengakomodasikan berbagai perbedaan tersebut serta mencari jalan tengah yang dapat diterima semua pihak. Waldrop dalam Mitchell, (2003) menyatakan bahwa kompleksitas merupakan tantangan utama para analis, perencana dan pengambil keputusan di bidang lingkungan. Kompleksitas dalam pengelolaan dan perencanaan lingkungan menimbulkan
10
situasi pengambilan keputusan dalam keadaan ketidakpastian yang besar. Pemahaman yang mendalam terhadap ketidakpastian akan membantu mengenali jenis analisa dan perencanaan yang paling tepat. Analisis
dan
perencanaan
masalah-masalah
lingkungan
menurut
Christensen dalam Mitchell, (2003) akan beragam menyesuaikan ketidakjelasan tujuan dan cara-cara penyelesaiannya. Dijelaskan bahwa kepastian menjadi tinggi jika ada kesepakatan tentang apa yang menjadi tujuan dan cara mencapainya sehingga perencanaan akan menjadi lebih rasional. Namun, ketika tujuan disepakati dan cara mencapainya tidak maka perencanaan akan menjadi suatu proses belajar bersama. Jika cara-cara mencapai masalah disepakati sedang tujuannya tidak maka perencanaan akan menjadi proses tawar-menawar. Yang terakhir apabila tidak ada kesepakatan tujuan dan cara-cara mencapainya maka perencanaan akan menjadi proses yang kacau. TUJUAN
diketahui tidak diketahui
TEKNOLOGI
disetujui
tidak disetujui
A
C
Penyusunan program Penyusunan standarisasi Pembuatan aturan Pengatur Penyusun jadwal Optimistis Penganalisa Pengelola
Pengacara Partisipasi penyelenggara Fasilitator Mediator Penyusun undang-undang Penawar
B
D
Pragmatis Penaksir Peneliti Pelaksana percobaan Pembaharu
(Pemimpin yg kharismatik) Perumus masalah
Sumber : Mitchell, (2003)
Gambar 2.1. Kategori Peran Perencana oleh Christensen
11
2.2. Konflik Johson dan Duinker dalam Mitchell (2003) menuliskan “Konflik adalah pertentangan antar banyak kepentingan, nilai, tindakan atau arah serta sudah merupakan bagian yang menyatu sejak kehidupan ada”. Definisi konflik menurut Kovach dijelaskan dalam Hadi (2004) adalah suatu perjuangan mental dan spiritual manusia yang menyangkut perbedaan berbagai prinsip, pernyataan dan argumen yang berlawanan. Hadi, (2004) menjelaskan bahwa dalam istilah asing, konflik (conflict) dibedakan dengan sengketa (dispute). Namun dalam penggunaan secara umum di Indonesia, istilah konflik selalu ditukargunakan (interchangeably) dengan sengketa. Beberapa penyebab atau akar timbulnya konflik, dinyatakan oleh Mitchell (2003), adalah sebagai berikut : (1) Perbedaan pengetahuan atau pemahaman (informasi/fakta); (2) Perbedaan nilai (prinsip); (3) Perbedaan kepentingan (alokasi untung rugi); dan (4) Perbedaan latar belakang personal/sejarah. Adapun Santosa dalam Hadi (2004), membedakan konflik dalam beberapa kategori. Pertama konflik sebagai persepsi dinyatakan karena adanya perbedaan kebutuhan, kepentingan, keinginan atau nilai dari seseorang/pihak dengan orang/pihak lain. Kedua, konflik sebagai perasaan ditandai dengan munculnya reaksi emosional terhadap situasi atau interaksi yang memperlihatkan adanya ketidaksesuaian. Ketiga, konflik sebagai tindakan merupakan bentuk ekspresi perasaan dan pengartikulasian dari persepsi kedalam tindakan untuk memperoleh sesuatu kebutuhan yang memasuki wilayah kebutuhan orang lain. Secara garis besar, Hadi (2004) menggolongkan bentuk-bentuk konflik lingkungan sebagai konflik peninggalan masa lalu dan sebagai konflik di era reformasi. Bentuk konflik peninggalan masa lalu umumnya diwarnai oleh adanya pertentangan pemanfaatan sumber daya alam. Konflik ini bisa antara pemerintah dan pengusaha di satu pihak dengan masyarakat di pihak lain. Konflik juga ditimbulkan karena dominasi atau sentralisasi kekuasaan pemerintah yang sangat kuat. Adapun bentuk konflik di era reformasi dinyatakan oleh Hadi (2004) makin beragam. Konflik terjadi bisa antar pemerintah, antar sektor, antar daerah dan antar masyarakat sendiri.
12
2.3. Alternatif Penyelesaian Konflik Mitchell (2003) menyebutkan empat pendekatan yang dapat dipakai untuk penyelesaian sengketa, yaitu: (1) politis; (2) administrasi; (3) hukum; dan (4) alternatif penyelesaian konflik. Lebih lanjut dijelaskannya mengenai alternatif penyelesaian konflik yaitu ada 4 jenis alternatif penyelesaian: (1) konsultasi publik; (2) negosiasi; (3) mediasi; (4) arbitrasi. Moore dalam Hadi (2004) menyatakan bahwa
penyelesaian konflik
sangat bervariasi, mulai dari
penyelesaian secara informal dari masing-masing pihak yang bersengketa, jalur hukum sampai dengan cara-cara koersif. Lebih jauh Moore dalam Hadi (2004) mengkategorikan penyelesaian konflik sebagai berikut: 1. Private decision making by parties : conflict avoidance, informal discusion and problem solving, negotiation and mediation. 2. Private third party : administrative decision dan arbitration 3. Judicial decision dan legislatif decision 4. Extra legal coecion decision making : non-violent direct action dan violence Menurut Hadi (2004), sejalan dengan Moore, Santosa membagi tipologi penanganan konflik menjadi beberapa kategori sebagai berikut: 1. Penghindaran konflik (conflict avoidance) 2. Pencegahan konflik (conflict prevention) 3. Pengelolaan konflik (conflict management) adalah upaya penanganan untuk menanggulangi dampak negatif konflik. 4. Resolusi konflik (conflict resolution) adalah penyelesaian baik langsung (negosiasi) maupun melalui mediasi. 5. Penyelesaian konflik (conflict settlement) adalah upaya penyelesaian yang memfokuskan pada hasil yang tidak selalu memenuhi kepentingan para pihak. 6. Rekonsiliasi adalah upaya mencari solusi terhadap akar permasalahan dan berusaha memperbaiki hubungan diantara para pihak ke arah yang lebih baik. Konsultasi publik menurut Mitchell (2003) dapat diartikan sebagai cara untuk menyelesaikan masalah atau sengketa, serta merupakan satu alternatif disamping cara-cara melalui hukum, administrasi dan politis. Dengan konsultasi publik isu-isu yang dipertentangkan dapat diselesaikan sebelumnya sehingga
13
konflik atau sengketa dapat dihindari. Hal ini karena melalui konsultasi publik dapat dilakukan untuk saling membagi informasi, meyakinkan berbagai pandangan yang dapat dikemukakan, membuka proses manajemen secara efesien dan adil, sehingga semua pihak mendapat kepuasan yang sama. Negosiasi dinyatakan oleh Mitchell (2003) merupakan upaya sukarela pihak-pihak yang bersengketa untuk bertemu dalam usaha mencari isu-isu yang menyebabkan konflik diantara mereka. Tujuan negosiasi adalah untuk meraih kesepakatan yang saling diterima oleh semua pihak secara konsensus. Dalam negosiasi tidak ada pihak luar yang memberikan bantuan. Mitchell (2003) menyatakan bahwa mediasi mempunyai karakteristik negoasiasi ditambah dengan keterlibatan pihak ketiga yang netral sebagai mediator. Pihak ketiga tidak mempunyai kekuatan untuk memutuskan kesepakatan akan tetapi berfungsi sebagai fasilitator dan perumus persoalan dengan tujuan untuk membantu pihak yang bersengketa agar sepakat. Berbeda dengan mediasi, pada arbitrasi keterlibatan pihak ketiga sebagai arbitrator yang dapat bertindak dan mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan yang mengikat maupun tidak mengingat, Mitchell (2003). 2.4. Peran Mediator Dalam Mediasi Mediator memiliki peran yang sangat penting dalam kesuksesan tercapainya
kesepakatan
dalam
mediasi.
Moore
dalam
Hadi
(2004)
menggolongkan tipologi mediator (1) Mediator jaringan sosial; (2) Mediator otoritatif; (3) Mediator independen. Mediator jaringan sosial adalah mediator yang dipilih karena adanya jaringan atau hubungan sosial. Mediator otoritatif adalah mediator yang dipilih karena yang bersangkutan memiliki otoritas atau kewenangan. Mediator mandiri adalah mediator yang dipilih karena pertimbangan profesional. Peran mediator dijelaskan oleh Hadi (2004) meliputi beberapa hal. Pada tahap awal menjelaskan pentingnya wahana penyelesaian konflik. Selanjutnya mediator harus menganalisis konflik dan mendesain mediasi. Setelah itu mediator perlu membantu mengembangkan pilihan-pilihan, menyatukan keinginan para pihak dengan pilihan dimaksud, dan memformulasikan kesepakatan.
14
Tabel 2.2 Tipologi Mediator Mediator Hubungan Sosial Hubungan masa lalu dari masa depan yang diharapkan di anatara pihak yang menyatu ke dalam hub. sosial. Tidak harus tak berpihak, tetapi dipandang berlaku adil.
Lebih peduli pada upaya hub jangka panjang diantara para pihak dan para pengikut serta seringkali terlibat dalam implementasi kesepakatan. Umumnya memiliki hubungan dengan para pihak.
Mediator Benevolent Dapat memiliki atau tidak memiliki hubungan dengan para pihak.
Mencari penyelesaian terbaik bagi para pihak.
Tidak berpihak dalam hal hasil substansif.
Mungkin memiliki sumber daya untuk membantu pemantauan dan implementasi kesepakatan.
Dapat mengunakan pengaruh, wibawanya guna menekan para pihak untuk mendorong para pihak agar menghasilkan kesepakatan
Tipologi Mediator Mediator Otoritatif Mediator Administratif Memiliki hubungan dengan para pihak sebelum dan sesudah sengketa berakhir.
Mencari penyelesaian yang diupayakan bersama-sama dengan para pihak dalam lingkup ukuran mandat/kewenangannya. Berwenang untuk memberi nasihat, saran dan jika para pihak tidak berhasil mencapai kesepakatan, ia juga berwenang memutuskan.
Mediator Vested Interest Memiliki hub. dengan para pihak/ diharapkan memiliki hubungan masa depan dengan para pihak. Memiliki kepentingan yang kuat terhadap hasil akhir
Mediator Mandiri Netral tidak memihak mengenai hubungan dan hasil.
Melayani para pihak
Mencari penyelesaian yang dapat memenuhi kepentingan mediator atau pihak yang disukai.
Dapat tetapi tidak selalu mediator profesional.
Mungkin memiliki sumber daya untuk membantu pemantauan dan implementasi kesepakatan.
Mungkin memiliki sumber daya untuk membantu pemantauan dan implementasi kesepakatan.
Memiliki kewenangan untuk membuat keputusan
Dapat atau mungkin menggunakan tekanan agar para pihak mencapai kesepakatan
Mencari penyelesaian tidak bersifat paksaan tetapi berdasarkan kesukarelaan dan yang dapat diterima oleh para pihak. Mungkin dilibatkan dalam pemantauan dan implementasi kesepakatan.
tdk memiliki kewenangan memaksakan kesepakatan Sumber : Hadi (2004)
15
Beberapa peran mediator diidentifikasi dalam Hadi (2004) sebagai peran terlemah dan peran yang kuat. Untuk peran mediator yang lemah, Hadi (2004) mengutip Raifia meliputi sebagai berikut: 1). Sebagai penyelenggara pertemuan 2). Pemimpin diskusi yang netral 3). Pemelihara atau penjaga aturan-aturan perundingan agar perdebatan berjalan baik 4). Pengendali emosi para pihak 5). Mendorong para pihak untuk mengungkapkan pandangan dan gagasannya. Adapun peran mediator yang kuat meliputi : 1). Mempersiapkan dan membuat notulasi perundingan 2). Mengartikulasikan titiktemu kepentingan para pihak 3). Menumbuhkan kesadaran para pihak bahwa sengketa bukan pertarungan untuk dimenangkan tapi untuk diselesaikan. 4). Menyusun pilihan-pilihan pemecahan masalah 5). Membantu para pihak menganalisis alternatif-alternatif pemecahan masalah. Sementara Kovach dalam Hadi (2004) menguraikan peran mediator meliputi hal-hal berikut: 1). Mengarahkan komunikasi diantara para pihak 2). Memfasilitasi proses perundingan 3). Mengevaluasi kemajuan proses perundingan 4). Membantu para pihak untuk memahami masalah yang pokok 5). Mengajukan usulan pemecahan masalah 6). Mendorong para pihak kearah penyelesaian masalah 7). Mengendalikan jalannya proses perundingan. Berdasarkan dari berbagai pandangan antara lain Moore, Kovach, Folberg dan Taylor, serta CDR Associates dalam Hadi (2004) dapat diuraikan peran mediator dalam beberapa tahapan mediasi atau perundingan. 1). Membangun hubungan baik dengan para pihak Membangun hubungan baik dengan para pihak dapat dimulai dari adanya kontak awal yang bisa berupa inisiatif para pihak/salah satu pihak, inisiatif
16
mediator, referensi dari pihak luar ataupun dari pemegang otoritas (misalnya pemerintah). Kepercayaan juga merupakan upaya membangun hubungan baik, meliputi kepercayaan personal, kelembagaan serta prosedural. Hal yang penting dalam membangun hubungan ini adalah diperolehnya komitmen untuk menyelesaikan sengketa melalui mediasi. 2). Memilih strategi mediasi Strategi mediasi menyangkut hal teknis dan substansi (wahana). Untuk menetapkan strategi, mediator perlu pemahaman tentang kepentingan para pihak serta memperkirakan kemungkinan hasil kesepakatan. Beberapa wahana yang dapat digunakan oleh mediator antara lain : kompetisi, penghindaran konflik, akomodasi, kompromi negosiasi dan negosiasi berdasarkan kepentingan. 3). Mengumpulkan dan menganalisis informasi Pengumpulan informasi dapat digunakan mediator untuk mengembangkan desain mediasi, mencegah terjadinya miskomunikasi dan mispersepsi, mengklarifikasi isu-isu dan kepentingan, serta mengidentifikasi orang-orang kunci yang terlibat. 4). Mendesain mediasi Untuk mendesain mediasi beberapa hal yang dipertimbangkan antaranya meliputi keterlibatan para pihak, peserta, tempat, setting atau tata letak, atauran serta kondisi psikologi para pihak. 5). Memulai mediasi 6). Mengungkapkan kepentingan tersembunyi 7). Membangkitkan alternati/pilihan-pilihan 8). Proses tawar menawar 9). Perumusan kesepakatan formal 2.5. Partisipasi Masyarakat Suatu proses yang melibatkan masyarakat umum dikenal sebagai peran serta masyarakat. Partisipasi merupakan bentuk dari peran serta masyarakat dimana masyarakat turut serta dalam proses perencanaan, pengambilan keputusan, pelaksanaan dan pengawasan. Soetrisno (1995) menyatakan bahwa partisipasi
17
berarti memberikan sumbangan dalam turut menentukan arah dan tujuan pembangunan dimana ditekankan bahwa partisipasi adalah hak dan kewajiban dari setiap masyarakat. Hardjasoemantri (2005) menyatakan bahwa dengan adanya partisipasi menjadikan anggota masyarakat mempunyai motivasi kuat untuk bersama-sama mengatasi masalah lingkungan dan mengusahakan keberhasilannya. Berbagai bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan antara lain : 1) Keterlibatan dalam setiap proses pengambilan keputusan dari kegiatan pembangunan. 2) Kontribusi masyarakat setempat dalam setiap pekerjaan bangunan yang berbentuk tenaga kerja atau bahan bangunan setempat. 3) Berbagai proyek yang dilakukan oleh masyarakat sendiri. 4) Konsultasi yang berkaitan dengan pekerjaan yang akan dilakukan misalnya pekerjaan bangunan pantai. Terdapat 3 variabel utama yang perlu mendapat perhatian menyangkut partisipasi masyarakat yaitu: 1) Keterlibatan pikiran dan perasaan yang lebih besar dari keterlibatan jasmani. 2) Kesedian memberikan bantuan atau kontribusi pada pencapaian tujuan kelompok sebagai refleksi rasa senang dan suka rela. 3) Terdapat tanggung jawab sebagai faktor yang sangat dominan dari rasa menjadi bagian kelompok sebagai manifestasi sense of belonging and togeterness. Canter dalam Santosa (1999) menunjukkan peran serta masyarakat dalam perencanaan akan menghasilkan masukan dan persepsi yang berguna dalam meningkatkan kualitas keputusan lingkungan. Dengan melibatkan masyarakat akan dapat ditangkap pandangan, kebutuhan dan pengharapan yang berguna dalam perumusan konsep, penentuan prioritas dan kepentingan dan arah yang positip dari berbagai faktor. Santosa (1999) menyatakan bahwa selama ini peran serta masyarakat banyak digunakan sebagai sarana mencapai tujuan sekaligus juga digunakan sebagai tujuan (participation itself). Pendapat mengenai persepsi peran
18
serta masyarakat dinyatakan oleh Wingert dalam Santosa (1999) antara lain meliputi : 1) Peran serta masyarakat sebagai suatu kebijakan Peran serta sebagai suatu kebijaksanaan karena potensi masyarakat dikorbankan atau terkorbankan dalam suatu kegiatan pembangunan. 2) Peran serta masyarakat sebagai strategi Pengertian ini menunjukkan bahwa peran serta sebagai sarana untuk menjadikan keputusan memiliki kredibilitas. 3) Peran serta masyarakat sebagai alat komunikasi Pandangan ini menggambarkan peran serta dipakai sebagai alat untuk menunjukkan preferensi dan masukan agar keputusan menjadi lebih responsif. 4) Peran serta masyarakat sebagai alat penyelesaian sengketa Pengertian ini dipandang sebagai cara untuk mengurangi ketegangan dan sengketa melalui konsensus bersama agar tercipta pengertian dan toleransi sehingga mengurangi kepercayaan dan bias keputusan. 5) Peran serta masyarakat sebagai terapi Pandangan merupakan obat bagi permasalah psikologis masyarakat seperti tidakberdaya, tidak percaya diri dan perasaan bukan bagian penting. Arstein mengelaborasi perbedaan peran serta berdasarkan kadar kekuatan masyarakat dalam program atau perencanaan dengan menerangkan perbedaan peran serta yang sumir dan real, seperti ditunjukkan dalam diagram berikut: 8
Citizen Control
7
Delegated Power
6
Partnership
5
Placation
4
Consultation
3
Informing
2
Therapy
1
Manipulation
Degrees of citizen power
Degrees of tokenism
Non participation
Sumber : Arstein, Sherry R dalam Hadi (1999)
Gambar 2.2. Tangga Peran Serta Masyarakat dari Arstein
19
2.6. Aspek-Aspek Lingkungan dalam Konflik dan Mediasi Kajian lingkungan selalu dicirikan dengan konflik dan kontroversi (Sadler dan Armour dalam Mitchell, 2003). Hal ini merupakan konsekuensi perbedaan nilai dan kepentingan yang terdapat dalam masyarakat majemuk dalam kaitannya dengan penggunaan dan pengelolaan tanah, air, dan sumber alam. Mitchell, (2003) menyatakan perubahan atau kelangkaan sumber daya lingkungan menimbulkan implikasi peningkatan konflik antar manusia dan bangsa. Kerusakan lingkungan atau kelangkaan sumber daya alam ini disebabkan oleh kegiatan manusia yang disebutkan oleh Homer-Dixon dalam Mitchell, (2003) melalui tiga cara yang dapat terjadi sendiri-sendiri atau kombinasi, yaitu : 1. Penurunan jumlah/kuantitas sumber daya alam yang dieksploitasi dengan tingkat kecepatan yang melebihi daya pulihnya 2. Pertumbuhan penduduk 3. Akses terhadap lingkungan dan sumber daya alam yang tidak seimbang. Mendasarkan pada hubungan antara perubahan lingkungan dan konflik, Bryant dalam Mitchell (2003) menyatakan telah dikembangkan konsep ekologi politik. Konsep ini meliputi dimensi sumber politik yaitu menyangkut kebijakan negara, hubungan antar negara dan kapitalisme global yang memacu tekanan nasional dan global terhadap lingkungan. Dimensi selanjutnya adalah kondisi ekologi politik yang menekankan pada bagaimana sekelompok masyarakat dengan kekuasaan terbatas dapat dan terus berjuang untuk mempertahankan kondisi suatu lingkungan yang menjadi tumpuan kehidupan mereka. Sehingga dimensi ini membutuhkan pemahaman latar belakang sejarah dan dinamika konflik. Dimensi terakhir adalah ramifikasi yang merupakan konsekuensi politik perubahan lingkungan yang menekankan pada dampak sosial-ekonomi dan proses politik. Kebijakan pembangunan dan lingkungan menurut Glasbergen dalam Baiquini (2002) seringkali menimbulkan kesenjangan antara kondisi yang diharapkan dengan hasil yang terjadi. Lebih lanjut dijelaskannya adanya tiga pola tahapan konflik lingkungan yang masing-masing memerlukan pola pemecahan masalah dan penggunaan strategi manajemen yang berbeda, yaitu:
20
1. Konflik eksploitasi sumber daya alam : ditimbulkan dari penguasaan sumberdaya alam yang berakibat pada marginalisasi kepentingan masyarakat. 2. Konflik NIMBY syndrome : bersumber pada pemindahan masalah ke tempat lain, merupakan gejala sikap individualistis bahwa masyarakat tidak mau menanggung masalah disekitarnya akibat pencemaran kerusakan lingkungan. 3. Konflik kepentingan global : diwarnai oleh nuansa problematika dan kepentingan global, terkait dengan isu-isu yang luas seperti hak asasi manusia, keadilan antar generasi dan penghargaan terhadap alam. Hasan Poerbo dalam Kuswarojo, (1999) menyatakan pembangunan wilayah beserta pengelolaan lingkungan merupakan tiga segi yang saling berkaitan dan menunjang. Hal ini merupakan suatu pendekatan yang bersifat sintesis yang tidak membiarkan pemecahan berjalan sendiri-sendiri. Pengelolaan lingkungan dinyatakan bukanlah pengelolaan yang dilakukan atas lingkungan tetapi merupakan pengelolaan dari segala kegiatan manusia dalam batas kendala dengan mempertimbangkan faktor ekologi yang ada. Gagasan di atas oleh Mitchell, (2003) menjadikan pengelolaan lingkungan dan sumber alam sebagai suatu proses pengelolaan konflik. Adapun menurut Hadi, (2004) potensi terjadinya konflik lingkungan dikarenakan ciri-ciri yang melekat pada lingkungan dan sumber daya alam. Hal ini menimbulkan perbedaan cara pandang pihak-pihak yang berkepentingan terhadap lingkungan. Beberapa ciri-ciri lingkungan/sumber daya alam yang melekat tersebut antara lain : (1) Sifat intangible (tidak mudah dikuantifikasi); (2) eksternalitas negatif; (3) jangka panjang serta; dan (4) anggapan lingkungan sebagai barang publik. Homer- Dixon dalam Mitchell, (2003) menyatakan bahwa kelangkaan sumber daya alam yang dapat diperbarui telah mengakibatkan banyak konflik yang menyedihkan di banyak negara berkembang. Lebih jauh dinyatakannya bahwa konflik-konflik akan menjadi semakin besar pada dekade mendatang khususnya di negara miskin. Konsekuensinya para ahli lingkungan dan sumber daya harus mampu mengkaitkan antara perubahan lingkungan dan variabel lain yang berperan dalam konflik dan penyelesaiannya.
21
Undang-Undang no 23 tahun 1997, pasal 30 menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara suka rela para pihak yang bersengketa. Penyelesaian di luar pengadilan diantaranya dikenal sebagai pilihan penyelesaian sengketa (ADR) melalui jalur perundingan yang dapat dilakukan langsung diantara para pihak atau melalui pihak ketiga netral. Ketentuan di atas kemudian ditindaklanjuti dengan PP no 54 tahun 2000. Penyelesaian melalui jalur perundingan memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. Bersifat pilihan, artinya bahwa pihak-pihak yang bersengketa bersepakat memilih perundingan sebagai media penyelesaian. 2. Tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup, artinya bahwa tindak pidana tetap harus diproses melalui media pengadilan. 3. Gugatan perdata tidak boleh diajukan ke pengadilan ketika proses perundingan sedang berjalan. 4. Cakupan kesepakatan tidak hanya berkenaan dengan ganti rugi atas kerugian yang diderita karena kegiatan pihak lain, tetapi juga menyangkut tindakan tertentu yang bisa menyangkut penanggulangan sumber kerusakan atau pencemaran dan tindakan melakukan rehabilitasi lingkungan yang rusak. 5. ADR dapat menggunakan jasa pihak ketiga netral sebagai penengah (mediator) atau wasit (arbiter). Mediasi merupakan salah satu bentuk pilihan penyelesaian konflik atau sengketa. Mediasi konflik lingkungan hidup merupakan alternatif penyelesaian diluar pengadilan menggunakan pihak ketiga netral. Penyelesaian konflik melalui mediasi ditujukan untuk mendapatkan penyelesaian yang berfokus pada kepentingan dan kebutuhan agar dapat dihasilkan kesepakatan yang saling menguntungkan para pihak. Mediasi penyelesaian konflik lingkungan memiliki keunggulan mampu memperoleh kesepakatan yang komprehensif. Kesepakatan yang komprehensif dinyatakan oleh Hadi, (2004) ialah kesepakatan yang mampu menyelesaikan masalah menyangkut dampak-dampak lingkungan serta sumber kerusakan. Selain itu hasil kesepakatan diperlukan pemantauan pelaksanaan kesepakatan, yang dapat didaftarkan pada Panitera Pengadilan Negara.
BAB III METODE PENELITIAN
Metode penelitian disusun sebagai panduan di dalam mendapatkan, mengungkapkan dan menganalisa data berdasar pada fakta-fakta permasalahan yang dikaji secara obyektif dan sistematis. Metode penelitian pada dasarnya merupakan suatu cara untuk mencapai tujuan atau penyelesaian. Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2006, dengan menelusuri kasus penyelesain konflik penanganan abrasi di Pantai Kuta Bali. 3.1. Ruang Lingkup Studi mediasi konflik penanganan abrasi pantai ini dilakukan di Kawasan Pantai Kuta Kelurahan Kuta Kecamatan Kuta Tengah Kabupaten Badung. Kajian ini hanya melingkupi persoalan-persoalan penanganan lingkungan yang ada di Pantai Kuta, khususnya abrasi. Permasalahan yang dikaji juga dibatasi pada persoalan-persoalan yang dihadapi oleh pihak-pihak yang berada disekitar wilayah Pantai Kuta seperti masyarakat adat Kuta dan hotel-hotel. Upaya penelusuran penyelesaian konflik dimulai dari awal muncul konflik yaitu dari tahun 1998 sampai dengan dicapainya kesepakatan akhir (final) pada tahun 2004. 3.2. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan rekonstruksi atas upaya penyelesaian konflik yang terjadi di Pantai Kuta. Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini dipilih dikarenakan penelitian ini tidak mendasarkan pada jumlah (kuantitas) data namun pada kedalaman data yaitu dari beberapa nara sumber terpilih dan dokumen-dokumen tertulis proyek penanganan Pantai Kuta. 3.3. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan 2 macam data, yaitu data primer dan data sekunder. Sumber data primer diperoleh melalui wawancara dengan pihak masyarakat dan mediator. Sedangkan sumber data sekunder diperoleh melalui penelusuran arsip-arsip dokumen proses penyelesaian dari pemerintah (PU Bali) dan mediator (Yayasan Pratista). 22
23
1. Data primer Data primer berupa hasil wawancara mendalam dengan Ketua Yayasan Pratista, Tokoh Desa Adat Kuta yaitu Prajuru adat yang mewakili bendesa, Ketua
Parum
Samigita
dan
Koordinator
Divisi
Lingkungan
dan
Kependudukan Parum Samigita serta Yayasan GUS 2. Data sekunder Data sekunder berupa arsip proses penyelesaian konflik meliputi dokumen: laporan kegiatan, hasil pertemuan/kesepakatan, foto-foto kegiatan serta literatur dan hasil studi terkait. 3.4. Teknik Pengumpulan data Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui wawancara mendalam serta penelusuran dokumen tertulis yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Wawancara mendalam (depth interview) dilakukan untuk memperoleh
keterangan,
penjelasan
dan
informasi
menyangkut
konflik
penanganan Pantai Kuta dari beberapa nara sumber terpilih. Wawancara dilakukan dengan beberapa nara sumber yang dipandang memiliki pengetahuan dan informasi tentang permasalahan yang diteliti. Nara sumber yang diwawancarai antara lain Ketua Yayasan Pratista, Bendesa Adat Kuta, Ketua Yayasan GUS, Ketua dan Koordinator Bidang Lingkungan Parum Samigita. 3.5. Teknik Pengambilan Sampel (Nara Sumber) Sampel yang digunakan dalam penelitian ini merupakan nara sumber. Teknik pengambilan sampel atau nara sumber yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling. Teknik purposive sampling mendasarkan pemilihan sampel atas pertimbangan sifat-sifat dan tujuan yang tertentu. Hal-hal yang dipertimbangan dari sampel atau nara sumber antara lain: •
Orang yang terlibat dalam penyelesaian konflik Pantai Kuta dan memiliki informasi atau pengetahuan.
•
orang yang memiliki peran dalam penyelesaian konflik
•
orang yang dapat mewakili atau memahami kepentingan masyarakat di Pantai Kuta ataupun kepentingan pihak-pihak terkait lain
24
3.6. Teknik Analisis Data Analisis data disusun untuk mendapatkan gambaran upaya serta peran mediator dalam penyelesaian konflik. Data dalam penelitian ini dianalisis menggunakan analisis naratif (narative analysis). Stokes (2003) menyatakan bahwa dalam analisis naratif keseluruhan teks digunakan sebagai obyek analisis yang berfokus pada struktur kisah atau narasi. Dalam analisis naratif dapat diidentifikasi peran-peran fungsional sebagai unsur-unsur yang dimiliki sebuah kisah (perestiwa/kejadian).
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Konflik yang terjadi di Pantai Kuta berada di wilayah Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Tengah Kabupaten Badung. Kuta merupakan wilayah yang kompleks, dan karakteristik masyarakatnya sangat heterogen. Sebagai daerah pariwisata wilayah Kuta tergolong sangat strategis. Di sekitarnya banyak terdapat sarana dan prasarana yang sangat mendukung kegiatan pariwisata seperti Bandara Internasional
Ngurah
Rai,
hotel-hotel
besar
serta
pertokoan.
Pesatnya
perkembangan pariwisata sehingga Kuta menyerupai “Kota Pariwisata”. Penduduk asli, pendatang, wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara berbaur menjadi suatu masyarakat yang memiliki corak dan karakteristik tersendiri, yaitu masyarakat yang menginternasional. Kuta sudah menjadi global village yang dihuni oleh masyarakat multietnik dan multibudaya. 4.1. Gambaran Wilayah Kuta Sejarah Kuta tidak lepas dari kejayaan Kerajaan Majapahit yang mengadakan invasi untuk menaklukan kerajaan Bali. Untuk melabuhkan pasukannya, Majapahit memilih sebuah tempat mendarat yang kemudian diberi nama Tuban untuk pelabuhan kecil di sebelah selatan dan Canggu di bagian utara. Adapun Kuta artinya ‘Benteng’ berada diantara Tuban (sebelah Selatan) dan Canggu (sebelah Utara). Kawasan Kuta secara geografis terletak pada posisi 08o 36’ 20”- 08o 50’80” Lintang Selatan (LS) dan 115o 5’ 0”-115o 14’ 30” Bujur Timur (BT), berbentuk dataran membentang dari pinggir pantai Samudera Indonesia, dengan ketinggian berada kurang lebih 500 meter di atas permukaan laut. Pada awalnya Kuta adalah sebuah kesatuan pemerintahan desa yang terdiri dari tiga desa adat, yaitu Legian, Seminyak dan Kuta. Sekitar pertengahan tahun 80-an, Desa Kuta berubah menjadi sebuah pemerintahan kelurahan. Dengan semakin kompleksnya kondisi wilayah, Kelurahan Kuta Sejak tanggal 17 September 1999 dipecah menjadi 3 wilayah. Kelurahan Kuta dengan wilayah seluas Desa Adat Kuta serta Lingkungan Abianbase. Kelurahan Legian dengan 25
26
wilayah seluas Desa Adat Legian. Kelurahan Seminyak dengan wilayah seluas Desa Adat Seminyak serta Lingkungan Basangka yang secara adat masuk Desa Adat Kerobokan. Namun demikian ketiga kelurahan ini masih dianggap dalam satu kawasan yakni Kawasan Kuta, yang sering dikenal dengan sebutan “Segitiga Emas Samigita (Seminyak, Legian dan Kuta).”
Gambar 4.1. Peta Kecamatan Kuta (Sumber:BPS Bali, Kec. Kuta Dalam Angka 2005)
Kelurahan Kuta memiliki potensi wisata paling besar diantara kelurahan yang ada di Kecamatan Kuta Tengah. Sesuai dengan Keputusan Gubernur Bali Nomor 528 Tahun 1993 tentang Kawasan Pariwisata Bali, Kelurahan Kuta termasuk dalam Kawasan Pariwisata Kuta dan juga Kawasan Pariwisata Tuban. Kawasan Pariwisata Kuta sangat dikenal oleh masyarakat umum terutama dengan wisata pantainya. Keindahan ombak dan pasir putih Pantai Kuta yang luar biasa
27
memunculkan aktivitas tiga S-wisata pantai (sea-sand-sun). Selain itu Pantai Kuta juga dikenal dengan pemandangan matahari terbenamnya (sunset). Keindahan dan keelokan Pantai Kuta awalnya ditemukan oleh sekelompok wisatawan yang mengunjungi Pulau Bali sekitar tahun 60-an. Pada waktu itu masyarakat masih kuat dengan budaya aslinya dan hidup sederhana yang sangat berbeda dengan budaya atau kebiasaan pendatang/wisatawan. Penduduk umumnya bekerja sebagai nelayan, bertani atau berkebun. Setelah didatangi banyak wisatawan masyarakat mulai berkembang melalui usaha yang bersifat individual atau keluarga. Jenis usaha yang dikembangkan awalnya adalah homestay dan toko-toko. Wisata Pantai Kuta semakin berkembang dengan mulainya ‘surfing’ yang akhirnya menjadi kehidupan utama masyarakat. Sebagaimana cerita yang dituturkan oleh Ibu Viebeke mengenai sejarah berkembangnya masyarakat Pantai Kuta. “..Pantai sudah menjadi kehidupan masyarakat….apalagi masyarakat saat itu yang sangat miskin ketika tidak ada hotel yang ada rumah masyarakat yang jadi penginapan….kemudian datanglah turis kemudian masyarakat mulai jualan minuman tahun 1970-1972…kemudian berkembang-berkembang mulai surfing dan itu menjadi kehidupan utamanya, kalau di pantai duduk renang itu biasa surfing beginning of live.” Salah satu lembaga tradisional yang sampai kini tetap eksis di Bali adalah desa adat. Desa adat menurut Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 03 tahun 2001 tentang desa pekraman (desa adat) menyebutkan sebagai berikut: “Suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli, hak asal usul yang bersifat istimewa bersumber pada agama Hindu, bersumber kebudayaan Bali, berdasarkan Tri Hita Karana, mempunyai Kahyangan Tiga/Kahyangan Desa.” Desa adat mempunyai wilayah tertentu serta berhak mengurus rumah tangga dan kekayaannya sendiri. Kepentingan-kepentingan desa adat yang memerlukan pengaturan secara khusus diatur didalam Perarem-Perarem yang disepakati oleh Krama Desa melalui Paruman desa adat. Setiap tiga bulan desa adat melaksanakan Paruman yang terdiri dari Prajuru ditambah utusan dari banjarbanjar bertempat di Pura Desa. Paruman itu membahas segala permasalahan yang dihadapi oleh Krama Desa. Paruman yang sifatnya rutin umumnya membahas
28
tentang pertanggungjawaban keuangan desa adat, perencanaan pembangunan, serta pelaksanaan kegiatan upacara. Apabila terdapat kasus-kasus yang memerlukan penanganan segera, Bendesa Adat bersama para Prajuru desa adat mengadakan rapat untuk menyelesaikannya. Kasus-kasus yang berkaitan dengan kepentingan Krama Desa juga dapat diselesaikan dalam rapat Prajuru desa adat. Jika terjadi kasus-kasus yang menyangkut kepentingan publik hal itu diteruskan kepada pihak berwajib dan Prajuru desa membantu proses penyelesainnya. Untuk Paruman Prajuru Banjar berlangsung sebulan sekali. Kelurahan Kuta terdiri dari 12 lingkungan (disebut banjar dinas) dan 13 banjar adat. Berdasarkan data kependudukan tahun 2005, jumlah penduduk Kelurahan Kuta relatif besar dan padat. Data jumlah penduduk Kuta tahun 2005 sebesar 9.818 jiwa yang terdiri atas 4.917 laki-laki dan 4.827 perempuan. Tingkat pendidikan penduduk Kuta cukup baik, sebesar 64,33% berpendidikan SLTA dan sebesar 2,36 % berpendidikan tinggi dan sisanya sebesar 33,31% berpendidikan rendah. Penduduk memiliki mata pencaharian cukup beragam yang kebanyakan bergerak di bidang jasa. Saat ini, di kawasan wisata Pantai Kuta terdapat beberapa kelompok yang bersifat ekonomi. Kelompok tersebut meliputi kelompok pedagang kaki lima; kelompok pedagang acung atau pedagang pantai; LPD (Lembaga Perkreditan Desa); dan pedagang pasar seni yang dikelola desa adat. Pedagang pantai adalah pedagang yang menjajakan dagangannya berpindah-pindah dalam suatu areal tertentu di kawasan pantai. Pedagang pantai bernaung di bawah suatu organisasi yang disebut Persatuan Pedagang Pantai Kuta (PPKP). Selain itu ada kelompok nelayan yang telah beralih fungsi dengan mendirikan organisasi jukung wisata sebagai jasa mengangkut wisatawan rekreasi di laut. Berkembang pesatnya pariwisata di Kuta selain memberikan dampak positif juga membawa dampak negatif. Pembangunan sarana dan prasarana pariwisata Kuta di pinggir-pinggir pantai menimbulkan dampak kerusakan pantai. Salah satu bentuk kerusakan pantai yang saat ini mengancam adalah abrasi pantai. Abrasi atau erosi yang terjadi di Pantai Kuta telah mengikis dan menghilangkan daratan serta mengancam bangunan hotel dan pure-pure dipinggir pantai.
29
Sebagaimana yang dinyatakan Bp. Nugre mengenai abrasi yang telah mengancam pure sebagai kegiatan sosial keagamaan masyarakat. “Masyarakat merasa terganggu karena kuatir karena banyak Pure di pinggir pantai, seberapa pun kecilnya secara spiritual penting, juga ada kuburan, pernah ada keluar isinya.” 4.2. Abrasi Pantai Kuta Abrasi terjadi di bagian selatan Pantai Kuta, dan dirasakan paling parah di pantai depan Hotel Patra Jasa. Pada tahun 1985, pantai di depan Hotel Patra Jasa berkurang (mundur) sejauh 70 meter. Sedang pantai di depan Setra (Pasar Seni Kuta) menurut Satgas Pengelola Pantai Kuta, telah mundur lebih kurang 10 meter. Berdasarkan studi Lennart Burg, dkk (2004) abrasi di Pantai Kuta telah mengakibatkan hilangnya pantai rata-rata sekitar 30 meter. “Dulu namanya Pantai Jerman ada penangkaran perahu, disebut Pantai Jerman karena tanah dimana kalo dihitung kebarat lagi tanahnya 3x, perumahan insinyur Jerman. Yang ada sekarang bagian belakangnya, bunglow, hilang semua.” (disampaikan Bp. Nugre) Abrasi Pantai Kuta menurut anggapan masyarakat berkaitan dengan pembangunan landasan pacu (runway) Bandara Ngurah Rai. Masyarakat beranggapan sejak adanya pembangunan runway pantai dirasakan semakin terkikis. Pembangunan runway ini dilakukan dengan membangun bangunan yang menjorok ke tengah laut. Pembangunan runway juga tidak disertai gorong-gorong untuk meneruskan aliran air (arus). Sebagaimana diungkapkan oleh masyarakat mengenai pembangunan runway Bandara Ngurah Rai. “Mulai dibangun airport tahun 1962/1963, mulai kegiatan pengambilan lahan pantai kita rasakan setiap meter pantai dimakan semenanjung airport, erosi mulai nampak. Sampai tahapan pertama airport selesai terus berhenti. Waktu Pemerintah Pak Harto Bali dikembangkan, sejak ada PDC Nusa Dua syarat airport bandara dipanjangkan secara maksimal, pantai terus hilang.” (Bp. Nugre) “…misalnya guna mendukung kemajuan pariwisata, pemerintah telah membangun landasan pacu di airport Ngurah Rai yang selanjutnya mendorong terjadinya abrasi.” (Dok. Keg. Sitas, Bp. Budi) “…adanya kesalahan pada konstruksi landasan pacu di airport yang mana semestinya pada landasan tersebut dibuat gorong-gorong yang berfungsi mengalirkan atau mengembalikan sedimen/pasir dan meneruskan arus ke kedonganan..”(Dok. Keg. Sitas, Bp. Mangku)
30
Pembangunan perpanjangan landasan pacu Bandara Ngurah Rai dimulai pada tahun 1964 dan selesai tahun 1969. Tahun 1964 panjang landasan pacu kurang lebih 800 meter dan sekarang sudah diperpanjang sampai 3000 meter. Menurut pengelola bandara dan pemerintah (PU Bali) pembangunan bandara bukan faktor utama penyebab terjadinya abrasi. Landasan pacu hanya salah satu penyebab dan masih banyak lainnya seperti rusaknya terumbu karang serta pola arus yang ada di Pantai Kuta. “Hasil kajian terhadap landasan pacu rupanya abrasi tidak semata-mata diakibatkan oleh landasan pacu tersebut.. Terdapat arus sejajar pantai dari landasan pacu hingga di depan pasar seni.” (Dok. Sitas) “Masyarakat memang mengklaim bandara. Dari pendapat ahli (dari malaysia), pengambilan karang juga penyebab timbulnya abrasi. Mungkin keberadaan landasan pacu memberikan kontribusi tapi tidak mutlak.” (Dok. Pratista koordinasi dengan Angkasa Pura) Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Lennart Burg, dkk (2004) mengenai abrasi Pantai Kuta terutama disebabkan oleh dua (2) hal, yaitu: 1. Terhalangnya pola arus dari arah selatan ke utara oleh adanya runway sehingga transport sedimen terganggu. 2. Peningkatan serangan gelombang melalui celah karang.
Sumber:Lennart Burg, dkk (2004)
Gambar 4.2. Tinjauan Penyebab utama Abrasi Pantai Kuta Selain itu, Lennart Burg, dkk (2004) juga menunjukkan perubahan garis pantai akibat abrasi melalui analisis data citra satelit (foto udara) tahun 1944, 1972 dan tahun 1997. Berdasarkan overlay data citra tahun 1944-1972, pantai
31
sepanjang 1 km yaitu dari jarak 250 meter sampai 1250 meter dari runway garis pantainya berubah mundur lebih kurang sejauh 50 meter (lihat Gambar 4.3. di bawah). Sedangkan overlay data citra tahun 1972-1997 menunjukkan pergeseran kemunduran atau perubahan garis pantai ke arah utara dari jarak 1000 meter sampai 2000 meter (lihat Gambar 4.3. di bawah). Pergeseran ini dinyatakan Lennart Burg ditimbulkan oleh karena dibangunnya bangunan-bangunan
Perubahan pantai (meter)
pelindung pantai (groin, breakwater, dll) pada sekitar tahun 1975 oleh hotel-hotel.
Jarak pantai dari runway (meter) Sumber: diambil dari hasil studi lennart Burg, dkk (2004)
Gambar 4.3. Perubahan Garis Pantai Kuta 1944-1997 4.3. Penanganan Hotel-Hotel Sejak dirasakan terjadi abrasi hotel-hotel melakukan upaya penanganan untuk mencegah dan melindungi pantainya dengan membangun bangunan pelindung pantai seperti seawall, breakwater ataupun groin. Upaya penanganan diawali oleh Hotel Pertamina dengan membangun seawall sepanjang 200 meter pada tahun 1975 yang setahun kemudian hancur. Setelah itu tahun 1976 seawall dibangun kembali. Tahun 1988 Hotel Pertamina membangun lagi tiga (3) buah ‘groin’ yang diperpanjang hingga mencapai 90 meter guna memulihkan pantai di depan hotelnya yang hilang. Tahun 1984, Hotel Santika Plaza mengikuti tindakan Hotel Pertamina membangun seawall sepanjang 125 meter dikombinasikan dengan ‘groin’ yang panjangnya 20 meter (di bagian selatan seawall) dan 60 meter (di bagian utara seawall). Selanjutnya abrasi semakin ke arah utara sampai di pantai Hotel Kartika Plaza. Sekitar tahun 1990 Hotel Kartika Plaza lalu membangun seawall sepanjang 600 meter dan empat (4) buah groin masing-masing panjangnya 30 meter.
32
Upaya penanganan secara sendiri-sendiri oleh hotel-hotel dengan membangun seawall ataupun groin pada akhirnya dianggap tidak mampu mengatasi abrasi. Masyarakat memandang penanganan hotel-hotel ini tidak efektif bahkan dirasakan malah semakin memperburuk kondisi pantai. Karena penanganan hotel-hotel ini akhirnya memicu abrasi di daerah lain. Selain itu bangunan-bangunan pelindung tersebut tidak dapat bertahan karena sebagian pada hancur. Upaya hotel-hotel ini tidak terintegrasi, karena penanganannya lebih ditujukan untuk melindungi dan mengamankan pantainya masing-masing. Seperti yang diungkapkan oleh Bp. Nugre dan Bp. Keddy mengenai upaya penanganan hotel-hotel. “Masing-masing hotel membuat bentuk penahan ombak di depan pantainya tapi hanya mementingkan lingkungan sendiri-sendiri tanpa memikirkan tempat lainnya, sehingga membentuk pulau kecil-kecil, pantai yang kiri aman yang kanan tererosi/rusak. Pihak hotel Tidak ada koordinasi dengan masyarakat, sampai tahun 1998 krib berdiri sendirisendiri sehingga pantai habis, publik space semakin menipis.” (disampaikan Bp. Nugre) “pengusaha sendiri-sendiri membuat penahan tidak satu kesatuan sehingga efektifitasnya diragukan, dibuat dengan kajian apa tidak? jadi mengamankan masing-masing, disebut krib, secara estetika tidak bagus tidak enak dilihat tidak aman karena banyak beton tidak bisa beraktivitas apalagi ada nelayan..”(disampaikan Bp. Keddy)
Gambar 4.4.
Konstruksi Seawall Hotel Kartika Plaza hancur diterjang ombak (Sumber : Pratista, diambil tahun 2003)
33
4.4. Desain Pengamanan Pantai Kuta Sebelum muncul proyek pengamanan pantai, sekitar tahun 1985 pemerintah telah melakukan penanganan abrasi di Pantai Kuta. Penanganan tersebut dikarenakan abrasi yang terjadi di sekitar Pantai Jerman yang dulunya merupakan perumahan insinyur Jerman. Penanganan ini hanya ditujukan untuk menyelamatkan bangunan pemerintah yang ada di pinggir pantai. Pemerintah melakukan penanganan Pantai Jerman dengan membangun breakwater sepanjang 60 meter disebelah Utara pantai di depan Pertamina. Tahun 1992 pemerintah punya program konservasi pantai-pantai Pulau Bali. Program konservasi Pantai Bali ditujukan untuk menyelamatkan pantaipantai di Bali yang mengalami kerusakan, khususnya erosi pantai. Proyek pengamanan Pantai Kuta merupakan bagian dari program ini. Proyek pengamanan Pantai Kuta dilaksanakan oleh Dinas Pekerjaan Umum (PU) Bali. Perencanaan proyek pengamanan untuk Pantai Kuta telah dilakukan sejak tahun 1996. Pada tahun 1998 rencana pengamanan pantai disosialisasikan kepada masyarakat Kuta. Setelah disosialisasikan desain proyek pengamanan Pantai Kuta mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan ini dikarenakan masyarakat Kuta awalnya keberatan dan menolak desain tersebut. Setelah melalui serangkaian pertemuan dan dialog dengan semua komponen masyarakat, akhirnya dapat dihasilkan kesepakatan desain. Berikut ini uraian ringkas perubahan rencana desain proyek pengamanan Pantai Kuta dari tahun 1998 sampai tahun 2004. Desain proyek pengamanan Pantai Kuta tahun 1989 menggunakan groin yaitu bangunan yang menjorok ke tengah laut untuk menahan pasir dengan bentuk T disertai sand nourishment (pengisian pasir). Selanjutnya desain tahun 1989 mengalami perubahan pada tahun 1998. Desain proyek pengamanan Pantai Kuta tahun 1998 menggunakan groin berbentuk Y sebanyak 3 buah dan bangunan dengan bentuk memanjang 1 buah. Desain tahun 1998 ini masih belum dapat diterima, bahkan masyarakat Kuta menolak adanya proyek. Selanjutnya proyek pengamanan Pantai Kuta mengalami jeda cukup lama. …kebetulan pemerintah punya program…ditawarkan dengan sosialisasi dengan model groin seperti di Sanur dan Benoa Nusa Dua pulau karang dengan huruf Y lalu masyarakat melalui perwakilan kan ada pengurus
34
masyarakat di banjar-banjar diundang…dan masyarakat belum bisa menerima ….” (Sumber: Bp. Keddy, Parum Samigita) Bentuk perlawanan masyarakat Kuta terhadap rencana pemerintah menurut penjelasan Ibu Viebeke yang merupakan salah satu tokoh masyarakat Kuta, ditunjukkan dengan membuat petisi. “..1998 petisi keluar ditandatangani 1596 kk suratnya dibuat bendesa kita melawan kita ndak mau. Dari permulaan mereka udah tau tapi masyarakat tidak punya kekuatan apa-apa satu-satu jalannya masyarakat bikin petisi..” (disampaikan Ibu Viebeke) Masyarakat Kuta menolak rencana pembangunan pantai dikarenakan desain penanganan yang ditawarkan pemerintah menggunakan groin atau oleh masyarakat dikenal sebagai krib-krib. Desain penanganan menggunakan ‘groin’ ini bentuknya menyerupai tanjung atau pulau buatan yang menjorok ke laut yang mempunyai fungsi untuk melindungi serangan ombak dan menahan pasir. Penanganan dengan desain menggunakan krib-krib ini dipandang sama atau mirip dengan penanganan yang dilakukan oleh hotel-hotel sebelumnya, yang kemudian dibongkar masyarakat. Menurut pendapat masyarakat, desain penanganan dengan menggunakan krib-krib akan menjadikan Pantai Kuta bertambah rusak. Sebagaimana dapat ditunjukkan dari pendapat beberapa tokoh masyarakat berikut mengenai krib-krib. “…pemerintah ingin memasukan model krib tapi masyarakat tahu dan tidak diterima…desain yang modelnya seperti krib-krib yaitu tanah yang menjorok laut sebagai pemecah ombak sehinga terbentuk palung pantai sebagai penahan….sehingga membentuk pulau kecil-kecil, pantai yang kiri aman yang kanan tererosi/rusak…kita menyoroti model penataan selama pake krib pantai akan hancur.” (disampaikan Bp Nugre) “…waktu mereka bikin peer keluar karena abrasi, hotel-hotel bikin peerpeer menjorok ke laut ujung-ujungnya masyarakat bilang enak ya kita hidup sepanjang tahun tapi pantai tambah rusak mau dibikin peer yang lebih besar lagi.” (disampaikan Ibu Viebeke) “…disebut krib secara estetika tidak bagus tidak enak dilihat tidak aman karena banyak beton tidak bisa beraktivitas apalagi ada nelayan …” (disampaikan Bp. Keddy) “…proyek di kuta pake headland pertanyaan masyarakat banyak yang tidak terjawab oleh PU, karena pake headland dipandang masyarakat tidak menjamin tidak timbul abrasi lagi.” (disampaikan Pratista)
35
Pemerintah melalui penjelasan Kasubdin Sumber Daya Air PU Bali, Pimpro maupun konsultan menyatakan bahwa penanganan menggunakan headland (groin) merupakan teknologi yang paling tepat diterapkan untuk Pantai Kuta. Penggunaan headland (groin) ini akan membentuk teluk-teluk yang menjadikan pantai lebih stabil. “……Terdapat arus sejajar pantai dari landasan pacu hingga di depan pasar seni. Sehingga penanganan abrasi yang sesuai dengan teknologi saat ini adalah dapat dilakukan dengan pengisian pasir dan disertai dengan bangunan penahan pasir yaitu headland.” (dokumen. Sitas) “…headland memiliki fungsi sebagai tanjung buatan yang mampu membuat kestabilan sehingga abrasi dapat tercegah. Kondisi ini dapat terlihat dari adanya landasan pacu yang berfungsi tanjung buatan dan membentuk teluk hingga tanjung alam di bukit jimbaran. Pantai di teluk tersebut terlihat sangat stabil sehingga dengan membangun headland akan dapat membentuk teluk-teluk yang menjadi kestabilan pantai.” (dokumen. Sitas) Akhirnya setelah melalui proses penyelesaian yang cukup lama dan pendekatan yang berbeda dengan dibantu pihak-pihak lain dapat dihasilkan alternatif desain pada tahun 2003. Perubahan mendasar pada rencana desain tahun 2003 adalah tidak digunakannya groin atau krib. Selain itu rencana pengamanan Pantai Kuta diperluas tidak hanya penanganan tapi juga penataan untuk kawasan pantai Seminyak dan Legian. Rencana desain tahun 2003 meliputi revetment, sand nourishment
(pengisian
pasir),
landscaping
(penataan
lingkungan)
dan
transplantasi terumbu karang. Hasil desain tahun 2003 kemudian dikonsultasikan dengan JBIC (Japan Bank International Coorporation). Desain tahun 2003 menurut JBIC memiliki konsekuensi terhadap biaya operasional dan pemeliharaan (O&P). Dikarenakan adanya pertimbangan tersebut desain tahun 2003 kemudian mengalami perubahan kembali. Pada tahun 2004 akhirnya disetujui desain final rencana pembangunan pengamanan Pantai Kuta menggunakan revetment, pengisian pasir (sand nourishment), landscaping, submerged breakwater dan offshore breakwater. “Ada pertemuan setelah desain final disepakati lalu ada pertemuan lagi 2 kali mempertajam tidak akan ada lagi pembohongan publik masingmasing sudah bawa bentuk desainnya di Kantor Simkotaku.” (Bp. Nugre, Parum Samigita)
36
Sumber:PU Bali (2006)
Gambar 4.5. Desain Pengamanan Pantai Tahun 1989
Sumber:PU Bali (2006)
Gambar 4.6. Desain Pengamanan Pantai Tahun 1998
37
Sumber: PU Bali (2006)
Gambar 4.7. Desain 2003 Hasil Kesepakatan Urun Rembug II
Sumber: PU Bali (2006)
Gambar 4.8. Desain 2004 Hasil Urun Rembug III
38
4.5. Partisipasi Masyarakat Dalam Penanganan Pantai Perencanaan proyek pengamanan Pantai Kuta sudah dilakukan sejak tahun 1996 dan ditolak masyarakat pada tahun 1998. Pada tahun 1998 di Indonesia terjadi perubahan sistem politik yang kemudian dikenal sebagai orde reformasi. Perubahan tersebut mempengaruhi perkembangan masalah penanganan Pantai Kuta. Salah satu wujud perubahan tersebut adalah tumbuhnya partisipasi masyarakat dalam penanganan pantai. Pada tahun 1999 masyarakat diberi wewenang untuk mengelola Pantai Kuta melalui lembaga desa adat oleh Pemerintah Kabupaten Badung. Pada mulanya pengelolaan Pantai Kuta dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Badung melalui Puskopad. Sejak tanggal 1 Juni 1999 pengelolaan Pantai Kuta telah diserahterimakan dari Pemerintah Kabupaten Badung kepada desa adat. Sebagaimana penjelasan Bp. Nugre mengenai pengelolaan Pantai Kuta oleh desa adat berikut ini. “….pantai dulu dikelola Puskopad, tidak bertangung jawab dengan kebersihan, tempat hiburan yang ndak benar, masyarakat tidak nyaman. Orang Bali pantai tempat suci untuk keagamaan, tempat rekreasi murah meriah. Pantai pariwisata untuk potensi kesejahteraan masyarakat kita tata baik lingkungan maupun orangnya, yang mana kita komersialkan dan yang mana kita pake untuk upacara. Oleh Pak Bupati disahkan desa adat yang mengurusnya, pedagang kita atur. Target kita Kuta aman nyaman, masyarakat akan lebih menikmati. Itu program yang kita pake disini. Tidak ada dana pemerintah, dari retribusi pedagang….kalo diandalkan pemerintah ndak bisa. Kebijakan Pemerintah Badung memberikan alat berat ada 2, guna membersihkan sampah pada musim hujan, sampah pantai berton/hari (±10 ton)…..ada SK dalam pengelolaan.” Pengelola pantai untuk Desa Adat Kuta berbeda dengan Desa Adat Legian dan Seminyak. Desa Adat Kuta membentuk Satgas (Satuan Tugas) sebagai pengelola pantai untuk membantu tugas mengurus pantai, sedangkan pengelola pantai di legian dan Seminyak dilakukan oleh LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa). Penanganan abrasi khususnya pantai di daerah Setra, desa adat bersama satgas pantai melakukan penanaman karung-karung pasir. Setelah Pemerintah Daerah Kabupaten Badung memberikan bantuan 2 unit alat berat untuk membersihkan sampah di pantai, penanaman karung-karung pasir
39
digantikan dengan pengambilan pasir di laut yang dilakukan setiap hari. Karena pengambilan pasir menyebabkan ‘ruang terbuka’ maka juga dilakukan penghijauan dengan menanam pohon belindo yang sifatnya tahan penggaraman dan dapat menahan abrasi. Selain itu melakukan penanaman katang-katang agar pasir tidak beterbangan. Pada musim angin barat untuk mencegah pasir beterbangan di sepanjang jalan depan pantai dibuatkan tembok (planter box). Berdasarkan hasil peparuman, desa adat tidak menyetujui penggunaan krib-krib. Sedangkan untuk dinding penahan (seawall) desa adat masih mengijinkan selama pantai tetap alami dan tidak menimbulkan akibat sampingan atau ramah lingkungan. Sekitar tahun 2000 Desa Adat Kuta membongkar kribkrib yang dibangun oleh hotel-hotel. Setelah pembongkaran, beberapa hotel seperti Hotel Ramada dan Hotel Rama melakukan penanganan pantainya melalui pengerukan dan perataan pasir menggunakan alat-alat berat yang dipinjam melalui Desa Adat Kuta dengan dibantu masyarakat sekitar. Kegiatan penggerukan dan perataan pasir ini dilakukan sekitar 2 sampai 3 bulan sekali. Setelah pembongkaran groin atau Krib-krib (sebutan masyarakat) tersebut kondisi pantai dirasa bertambah baik. Sebagaimana yang dinyatakan masyarakat berikut ini. “Warga masyarakat Kuta berkenan menjaga pantainya dengan cara membongkar krib-krib yang ada, dimana saat ini sudah hampir selesai dikerjakan dan perlu dilakukan pemeliharaan yang dilaksanakan oleh pemerintah secara kontinyu.” (Bp. Made Budi, Dok. Sitas) “Dari peparuman desa adat disepakati tidak setuju dengan penggunaan krib-krib yang menjorok ke laut untuk penanganan pantai. Tindak lanjutnya dilakukannya pembongkaran krib-krib di depan Hotel Patra Jasa sampai Hotel Kartika Plaza. Dampak pembongkaran volume pasir didepan Setra Desa Adat Kuta telah bertambah dan ombak telah muncul lagi.” (Kelian Banjar Pelasa, Dok. Pratista) “Sejak krib-krib hotel yang menjorok ke laut di bongkat oleh desa adat terjadi penambahan pasir di sebelah utara Hotel Kartika Plaza (Setra dan Bangsal Nelayan). Untuk tanggul-tanggul atau seawall di depan hotel yang sejajar garis pantai tetap dipertahankan untuk menahan abrasi.” (Kelian Banjar Pering, Dok. Pratista) Kemudian pada tahun 2000, Pemerintah Kabupaten Badung ada program Penataan Kawasan Pantai Kuta yang mensyaratkan pelibatan stakeholder yang selanjutnya dibentuk sebuah forum warga yang diberi nama Parum Samigita.
40
Parum Samigita adalah institusi lokal yang mewakili masyarakat Samigita. Terbentuknya Parum Samigita berkaitan dengan adanya Simkotaku (Sistem Informasi Manajemen Perkotaan Kuta) sebagai sistem pendukung Penataan Kawasan Perkotaan Kuta. Parum Samigita (PSG) dibentuk secara formal pada tanggal 6 Maret 2001, adalah suatu wadah atau forum untuk berkomunikasi, berkoordinasi dan menyuarakan aspirasi masyarakat Samigita (Seminyak, Legian dan Kuta). PSG berkedudukan di satu wilayah kesatuan Seminyak, Legian dan Kuta yang tidak memiliki hubungan struktural dengan lembaga lain melainkan sebagai mitra strategis pemerintah untuk melakukan koordinasi. PSG merupakan bentuk peran serta masyarakat untuk menampung pemikiran dan aspirasi masyarakat selama penyusunan Strategic Structural Plan For Kuta (SSPK). PSG beranggotakan 19 orang yang merepresentasikan unsur-unsur masyarakat, organisasi kepariwisataan, LSM, Asosiasi, tokoh masyarakat, praktisi dan kelompok intelektual di wilayah Samigita. “Parum terbentuk karena adanya kebutuhan penataan kawasan mulainya tahun 2000 padahal proyek pantai ditolak sudah lewat waktu itu…. dimana syarat berjalannya penataan harus didampingi oleh stakeholder (Parum) lalu dimana mencari stakeholder (Parum), pemerintah memutuskan ambil masyarakat tapi yang tidak duduk di pemerintah dari profesi yang beragam… sesudah itu bekerja penyusunan SSBK (Strategic Suitenable Building for Kuta) sampai 2002 bersamaan itu muncul proyek sekaligus diminta diikutkan”(Bp. Keddy, Ketua Parum Samigita) “Kuta ada 3 desa terlibat (Desa Kuta, Desa Legian dan Seminyak) membentuk lembaga suatu parum yang namanya Parum Samigita mulai tahun 2000, tahun 2001 terbentuknya orang yang punya potensi memahami hukum, mereka yang mewakili desa dalam berdialog….. porsi lembaga adat mewakilkan samigita sebagai corong karena mereka punya tugas yang banyak, kadang-kadang kelemahan lembaga adat soal waktu…” (Bp. Nugre, Anggota Parum & pengurus Desa Adat Kuta) “Kita di Samigita adalah think tank, Samigita adalah CBO (community Based Organization)….” (Ibu Viebeke, Anggota Parum) Mulai tahun 2002, Parum Samigita mulai terlibat dalam pembahasan proyek pengamanan Pantai Kuta. Parum Samigita mendorong dilakukan upaya partisipatif dalam penanganan pantai. “Konon datanglah mereka dengan upaya baru lagi, tahun 2001 mulai lagi mereka kemudian saya bidang lingkungan (environtmental)....lihat ini
41
sudah melanggar aturan lingkungan lalu minta partisipatory process ayo kita dialog dengan masyarakat”(sumber Ibu Viebeke) Permasalahan penanganan Pantai Kuta tidak hanya menyangkut penggunaan groin/headland juga menyangkut kurangnya pelibatan masyarakat. Kurangnya partisipasi masyarakat pada proyek penanganan pantai terlihat dalam pendapat berikut ini. “Pemerintah/proyek selanjutnya menawarkan program yaitu penanganan pantai, yaitu dengan konstruksi headland dan pengisian pasir. Warga masyarakat merasa belum diajak di dalam penentuan teknik penanganan pantai tersebut….” (dokumen. Sitas) “Rencana yang didesain…itu berdasarkan proyek aja tidak berdasarkan kebutuhan. Dibicarakan sejak tahun 1992 kenapa gak jadi karena tidak didasarkan oleh kebutuhan…Masyarakat tidak punya daya belajar sehingga tidak punya daya tawar….” (sumber Ibu Viebeke) “Awalnya masyarakat tidak benar dilibatkan baru saat keluar desain masyarakat masuk, aspirasi mereka kemudian.”(sumber Pratista) Pada tahun 2002 dilakukan pertemuan antara pemerintah dengan masyarakat Kuta. Pihak pemerintah diwakili oleh Kasubdin Sumber Daya Air PU Bali, Pimpro dan konsultan. Sedangkan pihak masyarakat diwakili oleh Desa Adat Kuta, LSM-Denpasar dan Parum Samigita. Pertemuan tersebut dikemas dalam kegiatan ‘Diskusi Terbatas’ yang ditujukan untuk mempertemukan pemahaman mengenai kondisi abrasi dan merumuskan alternatif penanganannya. Kegiatan ‘Diskusi Terbatas (Sitas)’ diselenggarakan oleh Pusat Kajian Pemberdayaan Masyarakat Universitas Dwijendra Denpasar pada tanggal 5 Februari 2002 bertempat di Universitas Dwijendra dan dilanjutkan pada tanggal 25 Februari 2002 bertempat di Kantor Camat Kuta. Pertemuan dibuka dengan presentasi dari Bp. Gede Sedana selaku penyelenggara yang menekankan pentingnya pendekatan partisipasi dalam penanganan Pantai Kuta. “Keterlibatan warga masyarakat dalam pengambilan keputusan, khususnya dalam perencanaan dan implementasi dari suatu proyek adalah sangat penting guna menciptakan suasana yang kondusif di masyarakat karena warga merasakan aspirasinya diakomodasikan oleh pihak pemerintah/proyek.” (dokumen. Sitas) Pada pertemuan itu Bp. Made Budi selaku tokoh masyarakat (Parum Samigita)
menyampaikan
bahwa
masyarakat
Kuta
menyadari
perlunya
42
penanganan pantai, namun masyarakat menginginkan ada alternatif penanganan menggunakan pola/cara yang alami dan ramah lingkungan. “Pemerintah/proyek selanjutnya menawarkan program yaitu penanganan pantai, yaitu dengan konstruksi headland dan pengisian pasir. Warga masyarakat merasa belum diajak di dalam penentuan teknik penanganan pantai tersebut, namun demikian dia sangat sepakat bahwa pantai Kuta perlu ditangani dimana pola penanganannya haruslah ramah lingkungan.” (dokumen. Sitas) Pertemuan antara pihak masyarakat Kuta dengan pihak pemerintah dalam kegiatan Sitas tidak menghasilkan kesepakatan apapun. Hasil rangkuman tanggapan-tanggapan masyarakat dalam pertemuan tersebut sebagai berikut: 1). Diperlukan adanya kajian yang holistik yang tidak hanya berkaitan dengan abrasi saja, tetapi juga berkenan dengan limbah dan kualitas hidup masyarakat. 2). Diperlukan adanya keterlibatan masyarakat didalam kajian-kajian dan penentuan pola penanganan pantai. 3). Diperlukan adanya jaminan bahwa pelaksanaan proyek tidak akan memberikan dampak negatif bagi masyarakat, wilayah Kuta dan sekitarnya. 4). Pola penanganan yang ditawarkan oleh proyek tidak dapat diterima oleh masyarakat. Diperlukan adanya pola penanganan yang baru yang disepakati oleh masyarakat dan proyek, bila perlu. (dokumen Sitas) Setelah tidak dapat dicapai pemahaman yang sama dalam masalah penanganan pantai antara pemerintah dengan masyarakat Kuta melalui kegiatan diskusi terbatas. Pada bulan April 2002 dilakukan peninjauan perkembangan kondisi abrasi di Pantai Kuta yang diwakili oleh Bp. Made Budi selaku sekretaris Parum Samigita dengan pemerintah yang diwakili oleh PU Bali (Proyek dan Konsultan) serta Pemda Badung. Hasil dari kunjungan pantai kemudian dilanjutkan dengan diskusi, yang mana dinyatakan oleh Bp. Made Budi bahwa masyarakat masih ingin mempertimbangkan keputusan penanganan Pantai Kuta yang ditawarkan proyek dan diperlukan pertemuan yang dihadiri wakil-wakil masyarakat. Kemudian, selama bulan Juni sampai awal Agustus 2002, dilakukan dialog interaktif pembahasan proyek penanganan Pantai Kuta antara lain melalui media TV lokal oleh tokoh masyarakat, Parum Samigita serta pihak proyek.
43
4.6. Pendampingan Masyarakat dan Pemilihan Fasilitator (Mediator) Pada tanggal 15 dan 17 Juli 2002 Parum Samigita melakukan pertemuandengan pihak proyek pengamanan pantai. Pada pertemuan tersebut Parum Samigita menyarankan upaya pembahasan proyek melalui pelibatan masyarakat. Akhirnya pada tanggal 30 Juli 2002 dilakukan pertemuan antara Parum Samigita dengan pihak proyek beserta konsultan di Restauran Pantai Kuta. Pada pertemuan tersebut disetujui untuk dilakukan komunikasi yang lebih intensif antara proyek dan masyarakat. Untuk menjembatani komunikasi antara proyek dengan masyarakat
diperlukan
tenaga
fasilitator.
Selanjutnya
Parum
Samigita
merekomondasikan Yayasan Pratista untuk digunakan sebagai fasilitator masyarakat. Setelah itu pada tanggal 9 Agustus 2002 proyek diwakili oleh konsultan bertemu dengan Pratista di kantornya. Pada pertemuan tersebut konsultan menjelaskan permasalahan proyek dan menyampaikan maksudnya untuk menggunakan tenaga Pratista memfasilitasi permasalahan proyek. Yayasan Pratista dipilih atas rekomendasi Parum Samigita karena pernah bekerja sama dalam proyek sosialisasi Parum Samigita pada tahun 2002 serta proyek penataan kawasan ground zero pada tahun 2003. Yayasan ini sebelumnya juga pernah bekerja sama dengan Pemda Denpasar menangani proyek pembangunan dan penataan Pantai Sanur pada tahun 1997. Sebagaimana penjelasan yang disampaikan oleh Nyoman dan Kadek berikut ini. “Awalnya di wilayah Kuta, Legian dan Seminyak ada Parum Samigita, diminta oleh Parum untuk membantu sosialisasi di wilayah Samigita karena mungkin dipandang sudah biasa dan mengenal wilayah Samigita. Awalnya kita tahun 1997 sudah ada kegiatan, berdiri resmi tahun 2000 aktivitas sudah dimulai 1997 ada senior yang ahli di CBD Pak Anton Ismail, membantu pendampingan di Sanur 2001-2002, diluar proyek …..Sebagai fasilitator masyarakat sudah lama dilihat dari kinerja CBD, dipandang berkompeten oleh Parum.” (Sumber Pratista) Berdasarkan catatan pertemuan di Kantor Yayasan Pratista tanggal 9 Agustus 2002, Pratista ditunjuk sebagai mitra kerja pemerintah untuk menjembatani komunikasi antara proyek dengan masyarakat Kuta. Kontrak kerja dilakukan pada tanggal 26 Agustus 2002 di Kantor Proyek Pengamanan Daerah Pantai Selatan Bali. Yayasan Pratista awalnya dikontrak selama 6 bulan (26
44
Agustus 2002 – Februari 2003) yang kemudian diperpanjang kontrak kerjanya sampai bulan Juli 2003. “Kenapa Pratista untuk kami disiplin kami belum cukup.…dan Pratista sudah ada kontraknya tangung jawab sudah jelas kalo kami hanya mengabdi kalo ada yang dibicarakan kami yang mengundang….karena kemampuan gerak kami terbatas dan tanggung jawab berbeda. Secara moral kami bertanggung jawab, fasilitator dengan tanggung jawab kontrak untuk menjembatani, kita juga dapat pelajaran dari situ.” (Bp. Keddy, Ketua Parum Samigita) Pratista kemudian mendesain upaya penyelesaian permasalahan proyek dalam bentuk kegiatan yang diberi label Diskusi Dengan Masyarakat Dalam Rangka Penyelamatan Pantai Kuta, Bali. Kegiatan Diskusi Dengan Masyarakat merupakan upaya pelibatan masyarakat dalam perencanaan desain proyek penanganan pantai. “….karena masyarakat menolak karena kurang sosialisasi dan pendekatan PU kurang tepat sehingga informasi masyarakat simpang siur, dipandang Parum berkompeten…..dari Parum bagaimana aspirasi masyarakat itu bisa di sosialisasikan, menggali aspirasi dari bawah tidak langsung dari atas dan dari atas diketemukan sebenarnya bagaimana?”(Nyoman dan Kadek, Pratista) Dalam kegiatan tersebut, pemerintah berkomitmen untuk mendesain ulang proyek dengan menyertakan masyarakat. Kegiatan Diskusi Dengan Masyarakat ini dimaksudkan sebagai pendekatan untuk dapat menyerap aspirasi masyarakat karena mempertimbangkan perkembangan masalah penanganan Pantai Kuta, sebagai berikut : 1). Masyarakat Kuta tetap menentang desain groin yang disusun proyek. 2). Perubahan paradigma strategi pembangunan melalui partisipasi masyarakat. 3). Prasangka masyarakat bahwa proyek akan memaksakan desain groin. 4). Adanya keinginan dan kebutuhan membangun hubungan baik serta menjalin kepercayaan antara masyarakat dengan proyek. Kegiatan Diskusi Dengan Masyarakat pada prinsipnya merupakan upaya pembangunan
berbasis
masyarakat
Development)
digunakan
sebagai
(CBD).
pendekatan
CBD
(Community
untuk
mengatasi
Based masalah
pembangunan di Pantai Kuta. Kegiatan CBD ini meliputi kegiatan diskusi dengan tokoh-tokoh masyarakat, kegiatan rembug serta kegiatan urun rembug. Pada
45
kegiatan rembug dan urun rembug Pratista mempertemukan pihak masyarakat dengan pihak pemerintah dalam sebuah pertemuan bersama pihak terkait lain untuk membahas, merundingkan dan menyepakati rencana penanganan dan penataan Pantai Kuta. Yayasan Pratista dalam kegiatan ini bertindak sebagai tenaga fasilitator untuk mendampingi masyarakat (TFM) sekaligus memfasilitasi konflik antara proyek dengan masyarakat. “Kita di Samigita adalah think tank, Samigita adalah CBO (community based organization) sedang Pratista adalah pelaksana CBD (Community Based Development).” (Ibu Viebeke, Parum Samigita) “Menjadi mediator mempertemukan berapa kali melakukan rembug…... Sebagai lembaga independen 2 tahun bekerja (2002 s/d 2003) sampai akhirnya PU menemukan alternatif yang disepakati. Pertama gali aspirasi, transformasi PU desainnya, sosialisasi sesuai dengan aspirasi masyarakat secara teknis. Tidak memberikan masukan teknis hanya menangani masyarakatnya saja. Masyarakat yang langsung berinteraksi dengan PU, Pratista hanya menjadi media.” (Sumber Pratista) “Pratista ahli dibidang masyarakat penghubung kepentingan masyarakat dengan pemerintah, ada friksi tentang pemahaman untuk menyatukan pemahaman didiskusikan di Samigita ya disini peran Pratista. Samigita yang minta dipake pada pemerintah.” ( Bp. Nugre, Parum Samigita) Pada perkembangan selanjutnya dalam kegiatan CBD ini, Pratista tidak sendirian dalam mengupayakan penyelesaian masalah proyek. Pratista setiap ada kesempatan senantiasa melakukan koordinasi dengan Parum Samigita. Selain itu Pratista juga melibatkan Yayasan GUS yang ada di kawasan Pantai Kuta. Yayasan ini dipandang Pratista memiliki sumber daya baik tenaga ahli maupun informasi menyangkut permasalahan penanganan pantai. 4.7. Mediasi Konflik Pantai Kuta 4.7.1.
Konflik Pantai Kuta Konflik Pantai Kuta berkaitan dengan adanya rencana pemerintah
melakukan kegiatan pembangunan untuk mengamankan pantai dari serangan atau kerusakan abrasi. Konflik ini timbul karena pemerintah tidak cukup melibatkan masyarakat dalam perencanaannya. Akibatnya hasil perencanaan pemerintah tidak sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Pada dasarnya antara masyarakat dengan pemerintah sama-sama menyadari adanya masalah pantai,
46
yaitu abrasi. Namun keduanya tidak memiliki kesamaan menyangkut penyebab dan cara penyelesaian masalahnya. Masyarakat memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pantai yang merupakan sumber kehidupannya. Pantai Kuta merupakan bagian dari Kawasan wisata, dimana sebagian besar masyarakat Kuta menggantungkan hidup pada aktivitas wisata pantai. Keindahan pantai dengan segala kondisi alaminya merupakan modal (asset) kehidupan masyarakat. Sebagaimana beberapa pendapat dibawah ini menyangkut pantai sebagai sumber kehidupan masyarakat Kuta. “Orang Bali pantai tempat suci untuk keagamaan, tempat rekreasi murah meriah, pantai pariwisata untuk potensi kesejahteraan masyarakat.”(disampaikan Bp. Nugre) “…kemudian berkembang-berkembang mulai surfing dan itu menjadi kehidupan utamanya, kalau di pantai duduk renang itu biasa surfing beginning of live.”(disampaikan Ibu Viebeke) “Masyarakat patuh pada pimpinan mereka, bagaimana pantainya tidak rusak. Banyak kepentingan ada pihak hotel, nelayan, pelaku bisnis surfing….sementara masyarakat pengen tidak ada konstruksi karena pantai benar-benar menjadi sumber hidup mereka.”(disampaikan Pratista) Dalam prespektif kehidupan sosial-budaya masyarakat Bali pada umumnya atau Kuta khususnya, dikenal konsep ‘Tri Hita Karana’. Berpijak pada konsep tersebut, pantai memiliki kedudukan yang tinggi (Sakral) yaitu sebagai bagian dari ‘Palemahan’ atau alam semesta, yang tidak mungkin dilawan. Sehingga cara-cara penanganan pantai yang melawan alam seperti halnya groin bertentangan dengan keyakinan masyarakat. Penanganan pantai menggunakan konstruksi beton seperti ‘groin’ atau ‘krib-krib’, disamping dipandang melawan alam juga dikuatirkan menimbulkan dampak negatif. Selain pasir dan sunset, potensi wisata Pantai Kuta adalah daya tarik ombaknya. Ombak Pantai Kuta banyak diminati wisatawan untuk bermain surfing, dan ini menjadi awal kehidupan utama masyarakat. Masyarakat menguatirkan penanganan abrasi menggunakan konstruksi beton yang dibangun menjorok ke tengah laut akan berdampak merubah kondisi alamiah pantai, terutama ombaknya, yang menjadi modal kehidupan masyarakat.
47
“…tapi masyarakat bayangan tentang itu, masyarakat bayangan ya malah ombaknya rusak bukan karena yang lain.” (Bp. Keddy) “Menurut kita di kuta mempelajari dari pengalaman negara lain ada teman orang barat memberi informasi kaitan bentuk ombak dilindungi memang pantai digerogoti arus, arus cipta ombak, ombak cipta potensi biar potensi tidak hilang…. Kondisi yang ingin dipertahankan dan perlu diketahui untuk apa sebuah penataan kalo kita kehilangan potensi. Itu yang disampaikan pada pemerintah dan juga pada Bank JBIC, harus ikut memelihara ombak disini juga.”(Bp. Nugre) Konflik yang terjadi di Pantai Kuta disebabkan oleh adanya perbedaan persepsi dalam penanganan pantai. Santosa dalam Hadi (2004) membedakan konflik dalam tiga (3) kategori, yaitu konflik sebagai persepsi, konflik sebagai perasaan dan konflik sebagai tindakan. Konflik penanganan Pantai Kuta berdasarkan penjelasan Santosa di atas dapat dimasukkan dalam pengertian konflik sebagai persepsi. Konflik sebagai persepsi dinyatakan oleh Santosa dalam Hadi (2004) menunjukkan adanya perbedaan kebutuhan, kepentingan, keinginan atau nilai dari seseorang/pihak dengan orang/pihak lain. Konflik Pantai Kuta sebagai persepsi menunjukkan adanya perbedaan atau pertentangan menyangkut pemahaman, penilaian maupun kepentingan mengenai pantai dan penanganannya. Konflik Pantai Kuta jika ditinjau dari konsep circle of conflic dari Moore dalam Hadi (2004) menunjukkan adanya perbedaan atau pertentangan pengetahuan (data) menyangkut faktor penyebab abrasi. Berdasarkan pengetahuan masyarakat abrasi muncul sejak adanya pembangunan runway yang menjorok ke laut. Pembangunan runway ini juga tidak disertai gorong-gorong (saluran air) sehingga menghalangi arus. Sementara berdasarkan kajiannya pemerintah, banyak faktor yang menyebabkan abrasi tidak hanya runway tetapi juga pola arus. Selain itu konflik ini juga menunjukkan adanya perbedaan penilaian atau cara pandang menyangkut tujuan penanganan abrasi. Masyarakat menginginkan penanganan pantai yang lestari yaitu yang alami dan selaras dengan alam. Oleh karenanya masyarakat lebih menitikberatkan penanganan secara alami (soft structure) untuk menyelaraskan alam sedang pemerintah mengutamakan penanganan buatan (hard structure) untuk mengendalikan alam.
48
Konflik ini juga menunjukkan adanya pertentangan kepentingan. Konflik penanganan Pantai Kuta juga menggambarkan adanya perbedaan kepentingan. Mitchell, (2003) menyatakan bahwa sumber timbulnya perbedaan kepentingan menyangkut alokasi untung-rugi. Penanganan Pantai Kuta menggunakan groin dikuatirkan masyarakat akan berdampak pada hilangnya potensi ombak di pantai. Sedangkan ombak pantai merupakan asset pariwisata Kuta yang selama ini menguntungkan masyarakat, khususnya untuk kegiatan surfing. Sementara berdasarkan
kajian
teknis
perencanaan,
pemerintah
memandang
bahwa
penggunaan groin akan lebih efektif mengatasi abrasi dan lebih efesien dalam biaya operasional maupun pemeliharaannya. 4.7.2.
Para Pihak (Dispute Parties) Pada awalnya konflik ini hanya menyangkut pertentangan penanganan
pantai antara pihak masyarakat Kuta dengan pihak pemerintah, yaitu Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Bali melalui Proyek Pengamanan Pantai Kuta. Pada perkembangannya
pihak
masyarakat
memandang
bahwa
permasalahan
penanganan abrasi di Pantai Kuta juga berkaitan dengan tindakan pihak hotel dan pembangunan runway oleh Bandara Ngurah Rai. Pihak hotel-hotel dianggap bertindak sendiri-sendiri dan tidak ada koordinasi dengan desa adat (masyarakat). Masyarakat juga beranggapan bahwa abrasi merupakan dampak pembangunan perpanjangan landasan pacu/runway Bandara Ngurah Rai yang menjorok ke tengah laut. Masyarakat meminta pihak bandara juga harus ikut bertanggung jawab. Parum Samigita yang merupakan wadah komunikasi masyarakat di wilayah Seminyak, Legian dan Kuta yang merupakan bagian dari pendukung Sistem Informasi Manajemen Kawasan Perkotaan Kuta (Simkotaku). Konflik ini berkembang dengan terlibatnya Parum Samigita serta masyarakat Legian dan Seminyak. Keterlibatan Desa Adat Legian dan Seminyak disamping karena adanya ikatan historis wilayah juga adanya kekuatiran dampak penanganan terhadap wilayah pantai di Legian dan Seminyak. Konflik ini pada akhirnya juga melibatkan Pemerintah Propinsi Bali dan Pemerintah Daerah Kabupaten Badung
49
menyangkut beban biaya operasional dan pemeliharaan penanganan pantai setelah selesai konstruksi. Para pihak yang berkonflik menurut Hadi (2004) dapat dikelompokkan sebagai primary parties dan secondary parties. Konflik yang terjadi di Pantai Kuta yang dapat disebut sebagai primary parties (pihak utama) adalah pihak pemerintah dalam hal ini adalah Dinas Pekerjaan Umum Bali (PU Bali) melalui Proyek Pengamanan Daerah Pantai Selatan Bali dan pihak masyarakat yang meliputi Desa Adat Kuta dan Parum Samigita serta pihak hotel-hotel di wilayah Kuta. Sedangkan masyarakat Desa Adat Legian dan Seminyak serta Instansi di lingkungan Pemerintah Propinsi Bali dan Kabupaten Badung dapat dipandang sebagai secondary parties (pihak lain). Konflik ini diselesaikan melalui pertemuan para pihak yang terkait penanganan Pantai Kuta. Sebelum para pihak dengan suka rela melakukan pertemuan, diperlukan pendekatan khususnya kepada pihak masyarakat Kuta. Pendekatan pihak masyarakat meliputi bendesa dan klian banjar adat, kelompok nelayan, pengelola pantai, serta masyarakat yang ada di pantai. Selain itu juga dilakukan pendekatan dengan pengelola hotel-hotel di wilayah Pantai Kuta diantaranya adalah Hotel Patra Jasa, Kartika Plaza, Hotel Bali Inn, Inna Beach Hotel, Hotel Rama, Hotel Ramada, serta Café Pantai. Pendekatan dengan tokohtokoh masyarakat Kuta awalnya tidak mudah dikarenakan masyarakat sudah apriori terhadap pemerintah (PU). “Pada awalnya susah karena awalnya membahas pantai aja masyarakat menolak……Dari PU sudah pengalaman mentok, masyarakat sudah gak mau dengar, kita sendiri awalnya masuk sulit karena apriori sama PU.” (Sumber Pratista) 4.7.3.
Dinamika Penyelesaian (Proses) Konflik ini awalnya hanya menyangkut wilayah pantai di Desa Adat Kuta
yang rusak oleh abrasi. Dalam perkembangan penyelesaian konflik, pemerintah (pihak proyek PU Bali) memperluas program menjadi penanganan dan penataan pantai yang meliputi wilayah pantai Desa Adat Legian dan Seminyak yang tidak terkena abrasi. Namun penyelesaian konflik ini tetap memprioritaskan rencana
50
penanganan abrasi untuk pantai di wilayah Desa Adat Kuta. Penyelesaian dilakukan melalui serangkaian pertemuan-pertemuan informal dan formal. 1. Pendekatan Kepada Pihak Masyarakat Kuta Sebelum para pihak yang berkonflik sampai pada pertemuan untuk membahas kesepakatan desain penanganan Pantai Kuta, diperlukan upaya pendekatan khususnya kepada masyarakat Kuta. Pendekatan kepada masyarakat ditujukan untuk membangun hubungan baik. Hal ini juga merupakan langkah awal untuk memperkenalkan diri dalam rangka membangun kepercayaan masyarakat serta untuk membuka pintu komunikasi. Sebagai langkah awal, Pratista melakukan pertemuan dengan para tokoh masyarakat yaitu Bendesa Adat dan beberapa Kelian Banjar Adat serta kelompok masyarakat yang beraktivitas di pantai. Pertemuan dengan elemen dan tokoh masyarakat tersebut dilakukan secara terpisah selama bulan September 2002. Pertemuan dengan tokoh masyarakat ini juga sebagai bahan pengumpulan data dan informasi yang ditujukan untuk menggali aspirasi masyarakat berkaitan dengan masalah penanganan pantai. Berdasarkan pertemuan dan diskusi dengan tokoh-tokoh masyarakat Kuta, didapatkan hasil-hasil sebagai berikut: 1). Masyarakat menolak penanganan pantai dengan struktur yang menjorok ke laut, seperti groin/krib-krib yang dapat mengubah arus dan gelombang serta menggangu surfing. Setelah pembongkaran krib-krib yang ada di depan hotel, abrasi nampak berkurang dan pantai bertambah baik. 2). Masyarakat beranggapan abrasi terjadi sejak dibangunnya landasan pacu/runway Bandara Ngurah Rai yang mengakibatkan perubahan arus dan tidak dibuatkan gorong-gorong yang memungkinkan air untuk lewat. 3). Masyarakat menginginkan penanganan dengan prinsip-prinsip alami (seperti penghijauan), ramah lingkungan dan tidak mengubah kondisi pantai. 4). Pantai kuta berfungsi sebagai tempat upacara, aktivitas nelayan, dan wisatawan. 5). Berdasarkan peparuman, masyarakat mengijinkan pembangunan seawall selama pantai tetap alami.
51
6). Penanganan dan penataan pantai di wilayah Kuta, Legian dan Seminyak sebaiknya dilakukan secara holistik dan terpadu (tidak sepotong-sepotong). 7). Masalah pantai selain abrasi adalah sampah, kerusakan karang dan ditutupnya loloan. Pendekatan dengan bandara sudah dilakukan sejak akhir September 2002. Pendekatan dengan pihak bandara dikarenakan adanya wacana masyarakat mengenai pengaruh runway (landasan pacu) terhadap abrasi, dan pihak masyarakat mengusulkan agar runway dipotong. Pertemuan dengan pihak pengelola Bandara Ngurah Rai baru dapat direalisasikan pada tanggal 21 Januari 2003, tertunda karena adanya tragedi bom Bali. Pihak bandara beranggapan berdasarkan pendapat ahli bahwa pembangunan runway hanya salah satu penyebab abrasi dan masih banyak faktor lain seperti rusaknya karang. Pihak Bandara Ngurah Rai juga menanggapi wacana masyarakat mengenai pembuatan gorong-gorong
yang
dipandangnya
tidak
menyelesaikan
masalah.
Jika
menginginkan landasan pacu dipotong atau dipendekkan hal yang perlu dipertimbangkan adalah dampak positip keberadaan Bandara Ngurah Rai sebagai bandara international terhadap pariwisata di Bali. Berdasarkan hasil pendekatan dan pertemuan dengan masyarakat, Pratista menilai masyarakat akan bersedia melakukan pertemuan untuk membahas masalah penanganan pantai asal tidak membicarakan apa yang telah ditolak masyarakat. Pratista membuat usulan ke PU agar proyek tidak selalu berbentuk fisik tetapi lebih ke arah non fisik berupa proses penyadaran dan pembelajaran melalui penyusunan data based yang dilakukan bersama masyarakat. Selain itu karena masyarakat tidak memiliki pengetahuan teknis, Pratista mengusulkan agar Dinas Pekerjaan Umum menyiapkan beberapa alternatif penanganan pantai sesuai dengan prinsip-prinsip yang diinginkan masyarakat. Masyarakat menginginkan sebuah penanganan pantai yang menjadikan Pantai Kuta tetap lestari dan alami, serta kelihatan indah. Pratista merencanakan akan menggulirkan alternatif yang disiapkan PU pada awal Desember dan pada akhir Desember dilakukan workshop.
52
2. Pertemuan Pihak Hotel di Kuta Selain dengan masyarakat adat, pada bulan Okotober 2002 Pratista melakukan pertemuan dengan pengelola hotel-hotel di wilayah Pantai Kuta diantaranya adalah Inna Beach Hotel, Hotel Rama, Hotel Ramada, serta Café Pantai. Pada prinsipnya pihak hotel menyetujui rencana pemerintah dan meminta untuk secepatnya dilaksanakan penanganan pantai. Pada tanggal 8 Oktober 2002,
Pratista melakukan pertemuan dengan
Kelian Banjar Segara menyangkut adanya rencana penanganan oleh Hotel Patra. Berdasarkan informasi dari Banjar Segara pihak Hotel Patra Jasa telah menyiapkan rencana penanganan abrasi di pantainya yang akan disosialisasikan pada tanggal 10 Oktober 2002. Selanjutnya Pratista dibantu Kelian Banjar Segara menyiapkan rencana pertemuan 3 banjar yang meliputi Banjar Segara, Anyar dan Merthajati dengan pihak hotel. Pada tanggal 17 Januarai 2003 Pratista melakukan koordinasi dengan Bp. Kantra, Kelian Banjar Segara membahas rencana pertemuan 3 banjar dengan pihak hotel. Pertemuan dijadwalkan pada tanggal 25 atau 28 Januari 2003 dan mengundang bendesa. Rencana pertemuan ini tidak jadi setelah Hotel Patra mengadakan pertemuan dengan Desa Adat Kuta dan Parum pada tanggal 20 Januari 2003. Pantai di depan Hotel Patra mengalami abrasi terparah yang telah mengikis pantai menjadi curam/terjal. Hotel Patra Jasa memiliki rencana untuk menanggulangi abrasi dengan cara menambah atau menambal di beberapa bagian dari terumbu karang yang ada di depan pantainya. Hotel Patra Jasa merencanakan membangun revetment dan breakwater yang sejajar pantai sejauh 100 meter dari pantai. Hotel Patra Jasa mengundang tokoh-tokoh masyarakat Desa Adat Kuta serta banjar dan Parum Samigita untuk melakukan pertemuan pada tanggal 20 Januari 2003. Oleh desa adat rencana Patra Jasa membangun breakwater dikuatirkan akan dapat merubah ombak dan menimbulkan dampak yang tidak terduga. Desa adat hanya menyetujui pembangunan revetment untuk melindungi kepemilikan Patra Jasa dan mempertahankan garis pantai yang ada. Bentuk, kemiringan dan bahannya disarankan yang ramah lingkungan dan mendapat persetujuan dari desa adat dan Dinas PU. Pada saat peninjauan lapangan disepakati revetment yang akan
53
dibangun mengambil lahan 50 % ke arah timur (ke arah Patra Jasa) dan 50 % ke arah barat (ke arah pantai). 3. Pertemuan Parum Samigita dan Yayasan GUS Koordinasi dengan Parum Samigita selalu dilakukan Pratista setiap ada perkembangan penanganan pantai di wilayah Samigita. Setelah bertemu dengan Bendesa Adat Kuta, pada tanggal 10 September 2002, Pratista bertemu untuk berkoordinasi dengan Parum Samigita yang diwakili oleh Div. Lingkungan Ibu Viebeke. Pada pertemuan tersebut ditetapkan adanya 2 program pantai di Samigita, yaitu penanganan untuk pantai yang rusak dan program penataan untuk pantai yang masih bagus. Pada tanggal 13 September 2002, Pratista melakukan pertemuan dengan Yayasan GUS untuk diminta bantuan dan masukan menyangkut kegiatan penanganan pantai. Pada pertemuan tersebut GUS siap mendukung sepenuhnya kegiatan Pratista dalam workshop maupun informasi terkait. Pada tanggal 9 Desember 2002, dilakukan pertemuan dengan Parum Samigita untuk koordinasi keseluruhan hasil pendekatan Pratista terhadap pihak masyarakat dan hotel-hotel. Pertemuan diawali dengan paparan Pratista mengenai perkembangan hasil kegiatan pendekatan pada masyarakat Samigita. Selain itu Pratista juga mengungkapkan gagasan mengenai penanaman terumbu karang dan rencana kegiatan workshop pada akhir Desember. Setelah itu, Bp. Nugre dari Parum Samigita menyampaikan tawaran Parum kepada PU. Parum Samigita menawarkan kepada PU, (1) melakukan penelitian ulang dan Parum Samigita bersedia mencarikan ahlinya/pihak netral dan pembiayaannya dari PU; (2) Parum Samigita akan melakukan pengujian atau meminta second opinion kepada pihak netral dan mampu dibidangnya terhadap alternatif-alternatif yang ditetapkan PU. Selanjutnya Parum menginginkan data hasil kajian PU sebagai bahan untuk diuji atau dimintakan masukan dari pihak lain. Selanjutnya, berdasarkan hasil pertemuan Parum Samigita mengeluarkan rumusan pendapat yang minta kepada Pratista untuk disampaikan kepada pemerintah (PU) dan Parum akan meminta pertemuan dengan PU tanpa konsultannya. Selain itu rencana workshop akhir Desember tidak disetujui dengan alasan waktunya sangat singkat dan masyarakat
54
Kuta belum siap. Hasil rumusan pendapat Parum Samigita selengkapnya adalah sebagai berikut : 1). Parum Samigita siap bekerja sama dengan pemerintah atau siapa saja, terutama dalam program atau proyek yang berorientasi pada kesejahteraan dan kebaikan masyarakat maupun lingkungan. 2). Berkaitan dengan penanganan dan penataan pantai hal yang harus dilakukan pemerintah antara lain: penegakan hukum menyangkut sempadan pantai, penyelesaian diambil didasarkan pada konsep penyerapan arus bukan pemantulan atau pengalihan, dan setiap program yang diterapkan harus holistik. 3). Untuk ke depan, Parum Samigita mengusulkan agar PU mau membiayai riset yang akan dilakukan oleh Parum bekerjasama dengan pihak netral atau Parum akan melakukan pengujian/second opinion terhadap alternatif yang ditetapkan dengan dukungan penuh dari PU. 4). Parum Samigita siap melakukan pertemuan dan komunikasi dengan pihak PU Propinsi Bali guna mewujudkan suatu konsensus sebelum diambil suatu langkah-langkah selanjutnya. Tindak lanjut dari pertemuan Parum Samigita tanggal 9 Desember 2002, pihak pemerintah (PU) bertemu dengan Parum Samigita di Kantor PU pada tanggal 18 Januari 2003. Hasil pertemuan PU dengan Parum Samigita ditindaklanjuti dengan undangan pertemuan di Kantor Yayasan GUS pada tanggal 24 Januari 2003 untuk membahas gagasan/pendapat yang disampaikan Parum. Pertemuan tanggal 24 Januari 2003 merupakan pertemuan Parum, 3 Bendesa Adat ,dan PU (tanpa konsultan). Pada pertemuan tersebut gagasan atau prinsip alternatif penanganan pantai diharapkan lebih awal diketahu oleh Parum Samigita dan PU Pertemuan dibuka oleh Ketua Parum Samigita, Bp. Keddy, dan dilanjutkan dengan pemaparan prinsip dan kebutuhan masyarakat terhadap penanganan dan panataan Pantai Kuta oleh masing-masing bendesa adat di wilayah Samigita. Bendesa Adat Kuta menyampaikan keinginan masyarakat Kuta agar pantainya tetap lestari, pasirnya tetap putih, dan ombaknya masih ada untuk surfing serta ada penghijauan. Bendesa Adat Legian menyampaikan keinginan penataan pantainya dengan pepohonan yang sesuai dan juga fasilitas pendukung pantai. Bendesa Adat
55
Seminyak juga menyampaikan perlunya penataan lansekap dan menambahkan perlu juga adanya jalan di pinggir pantai sebagai batas kepemilikan hotel dan publik. Selanjutnya pada kesempatan tersebut Pratista menyampaikan perlakuan penanganan yang berbeda antara Kuta dengan yang di Legian dan Seminyak. Untuk Kuta dibeberapa bagian memerlukan penanganan dengan struktur dan di Legian dan Seminyak lebih kepada mempercantik dan perlengkapan pengelolaan. GUS singkatan dari ‘Gelombang Udara Segar’ adalah sebuah yayasan atau LSM di Kuta yang peduli pada ombak pantai yang ditujukan untuk kegiatan surfing. Yayasan ini didukung oleh pemilik-pemilik toko surfer. GUS memiliki sumber daya manusia (SDM) ahli pantai dan koneksi dengan salah satu universitas di Australia. “Secara formal (masyarakat) tidak ada SDM melalui dialog, kita mengali informasi dari luar, bertemu dengan PU ini yang kita dapat kalo kita pake dengan sistem ini akan begini kalo……ada sistem breakawter ketingian pada saat pasang naik dia hilang, kalo dibendung mengamuk air, ombak hilang kita pikirkan sebatas berapa? kalo dibendung air disini ombak akan hilang orang tidak bisa surfing semuanya teknis dipikirkan.…..sumber informasi yang ahli kelautan di sydney pake batu ditanam tanpa lem air masuk lalu berjalan dibawah sebagai air laut. Yay GUS memberi informasi PU menerima argumentasi kita.” (Sumber Bp. Nugre, Yay. GUS &Pemilik Toko Surfer). Yayasan GUS menyampaikan pendapatnya bahwa mekanisme alam di pantai sudah hilang, dengan begitu pembangunan tanggul akan hancur. Penanggulangannya dengan mencegah gelombang besar ke pantai dengan membangun atau menambahkan sesuatu di dalam laut dari runway sampai daerah yang terkena abrasi yaitu ke arah Hotel Kartika Plaza. GUS memaparkan idenya mengenai pembuatan breakwater dengan mengikuti gugusan karang yang memerlukan riset lebih lanjut serta dana. Selanjutnya Bp. Sura Adnyana dari PU Bali menyampaikan sejarah kajian abrasi pantai di Bali dari tahun 1986 – 1988 serta menyampaikan 2 model penanganan yaitu tanpa struktur dan dengan struktur (konstruksi). Lebih lanjut disampaikan beberapa alternatif penanganan, yaitu (1) membangun headland yang kurang estetis; (2) submerged breakwater yang mempengaruhi gelombang; (3) revetment yang kelihatan kaku; (4) set back atau memundurkan garis pantai. Hasil
56
akhir pertemuan ini menyepakati untuk dilakukan pertemuan yang pesertanya lebih lengkap. Setelah dipertimbangkan bersama disepakati direncanakan pada tanggal 8 Februari 2003. 4. Pertemuan Urun Rembug I Setelah ada kesepakatan rencana pertemuan pada tanggal 8 Februari 2003, Pratista mempersiapkan rencana dan agenda acaranya. Tim Pratista menyepakati nama kegiatannya adalah “Urun Rembug Penanganan dan Penataan Pantai Kuta (Sebelah Utara Bandara-Peti Tenget).” Pratista merencanakan pertemuan urun rembug dibagi menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama adalah perwakilan masyarakat dan hotel yang menyampaikan kebutuhan dan aspirasinya. Kelompok kedua
adalah
Dinas
PU
(proyek/konsultan)
dan
Yayasan
GUS
yang
menyampaikan alternatif solusi penanganan pantai. Sedang kelompok ke-3 adalah yang menanggapi alternatif penanganan pantai dari FKPPB (Forum Koordinasi Penanganan Pantai Bali). Dalam acara urun rembug Pratista menjadi panitia pelaksana yang membantu menyiapkan tempat, pembicara, penanggap, moderator dan undangan serta mengatur waktu untuk masing-masing pembicara. Urun rembug merupakan pertemuan stakeholder Pantai Kuta untuk membahas dan mendiskusikan alternatif penanganan pantai. Pertemuan urun rembug direncanakan oleh Pratista sebagai langkah awal menuju workshop. Pada urun rembug hanya akan membahas pengajuan alternatif. Selanjutnya melalui workshop dilakukan finalisasi penentuan alternatif penanganan pantai. Kegiatan urun rembug ini memiliki tujuan sebagai berikut : 1). Mempertemukan aspirasi dan kebutuhan masyarakat Samigita termasuk pihak hotel yang terlibat langsung dalam penanganan abrasi pantai serta pemerintah selaku pembuat kebijakan. 2). Mencari masukan dari para stakeholder, khususnya masyarakat Kuta, para tokoh adat, dan lainnya. 3). Mendapatkan suatu titik temu yang akan digunakan sebagai acuan dalam melakukan tindakan penanganan pantai selanjutnya. Kegiatan urun rembug dilaksanakan pada tanggal 8 Februari 2003 di Bale Banjar Hotel Inna Kuta Beach. Kegiatan ini diikuti oleh masyarakat Kuta, Legian
57
dan Seminyak, pihak hotel, LSM, instansi-instansi terkait tingkat Propinsi Bali dan Kabupaten Badung, serta instansi pemerintah tingkat Kelurahan dan Kecamatan Kuta. Pertemuan dibuka oleh Kepala Dinas PU Bali dan dilanjutkan dengan presentasi para pembicara yang telah ditunjuk. Aspirasi masyarakat Kuta disampaikan oleh Ketua Parum Samigita, Bp. Keddy, yang menjelaskan mengenai prinsip-prinsip penanganan pantai yang diinginkan masyarakat. Aspirasi pihak hotel diwakili oleh GM (General Manager) Patra Jasa, Bp. Sukirman yang menceritakan abrasi pantai di depan Hotel Patra serta mengharapkan segera ditangani dengan cara yang sesuai dan dampak negatif seminimal mungkin. Pada urun rembug I (pertama) alternatif penanganan disampaikan oleh Dinas PU Bali dan Yayasan GUS. Dinas PU mengajukan beberapa metode penanganan yaitu: (1) struktural; (2) non struktural; (3) kombinasi strukturalnon struktural. Beberapa alternatif penanganan disampaikan oleh PU yaitu, (1) pembangunan revetment dan landscaping; (2) pembangunan revetment, landscaping dan nourishment; (3) Nourishment dan landscaping; (4) setback dan revetment; (5) artificial reef dan revetment. Yayasan GUS menyampaikan alternatif penanganan menggunakan bangunan pemecah gelombang atau breakwater untuk mengurangi tinggi gelombang di saat pasang disertai dengan pembuatan kolam untuk berenang saat kondisi surut. Selanjutnya ditanggapi oleh FKPPB dan dilanjutkan dengan diskusi. Hasil kesimpulan urun rembug I pada tanggal 8 Februari 2003 sebagai berikut: 1). Segala tindakan yang diambil Dinas PU sesuai dengan aspirasi masyarakat. 2). Masyarakat menyadari terjadi abrasi di Pantai Kuta, khususnya di bagian selatan, sehingga menginginkan penanganan dan penataan dengan segera tetapi tetap dengan prinsip ketelitian dan kehati-hatian. 3). Aspirasi masyarakat menolak krib, tetap memperhatikan nilai spiritual pantai, menerapkan prinsip ramah lingkungan, penanganan secara menyeluruh, ombak tidak hilang dan pasir tetap putih, rasionalisasi lolan, pengadaan sarana dan prasarana pengelolaan pantai, pengadaan public space, tidak ada bangunan komersial di pinggir pantai, penataan tanah hak milik dan negara.
58
4). Metode penanganan yang diterima masyarakat adalah kombinasi antara struktur dan non struktur. 5). Penanganan struktur yang diterima masyarakat adalah revetment dimana dimensi, bentuk dan bahannya harus disepakati bersama berdasarkan prinsip ramah lingkungan, transparan, dan mengakomodasi kepentingan publik serta tidak mudah rusak. Penanganan dengan breakwater menunggu hasil dari revetment yang akan dibuat, jika dengan revetment belum mencukupi baru dipikirkan adanya breakwater mengingat breakwater dapat mengubah kondisi gelombang. 6). Untuk penanganan non struktur dilakukan landscaping (penanaman jenis tanaman yang sesuai) beserta sarana dan prasarana pendukung lainnya. 7). Perlu dilakukan pemetaan terhadap karakteristik masing-masing wilayah pantai sebagai acuan terhadap penanganan yang dilakukan. 8). Dinas PU agar segera menindaklanjuti dengan hal-hal yang konkrit antara lain melalui pengecekan bersama di lapangan serta melanjutkan diskusi untuk detail desain dan finalisasinya melalui pertemuan/workshop. 9). Untuk ke depan dari alternatif yang terpilih harus disiapkan teknis panduan pengelolaannya dan untuk pelaksanaan di lapangan diperlukan suatu “Badan Koordinasi Pengelolaan Pantai.” 5. Pertemuan Site Visit di Pantai Kuta Sebagai tindak lanjut hasil pertemuan urun rembug tanggal 8 Februari 2003, Dinas PU Bali mengadakan pertemuan kunjungan lapangan (site visit) di Pantai Kuta pada tanggal 26 Februari 2003. Pertemuan diikuti oleh tokoh desa adat di Samigita, kelian banjar di Kuta, pihak hotel, Parum Samigita serta kelompok masyarakat Pantai Kuta. Peninjauan lapangan dilakukan dari Selatan Hotel Patra Jasa – Hotel Bali Hai dan dilanjutkan dari Hotel Ramada - Hotel Bali Garden. Kesimpulan dari pertemuan site visit ini diantaranya adalah sebagai berikut: 1). Penanganan Pantai Kuta dilakukan secara terpadu menyesuaikan karakteristik kondisi wilayah.
59
2). Semua usulan diterima dan akan dipadukan dengan kajian teknis, setelah dapat disusun desainnya akan didiskusikan lagi. 3). Batas paling Selatan disepakati ujung Utara pagar kawat Bandara. Dari Hotel Patra – Bali Hai direncanakan dibangun revetment, jalan setapak, landscaping dan pengisian pasir. Dari Utara Bali Hai – Selatan Ramada dilakukan pengisian pasir dan landscaping. Dari Utara Ramada – Setra Desa Adat Kuta (Selatan pangkalan perahu) dibuatkan lagi revetment, dan di depan Setra dilakukan sand nourishment dan ditanami katang-katang serta tidak dibangun jalan setapak. 4). Dilakukan rasionalisasi loloan yang ada di Selatan Patra Jasa 5). Revetment di pantai depan Hotel Garden yang mempunyai belokan yang tajam (sudutnya hampir tegak lurus) akan dirubah menjadi lebih landai. 6). Jalan di Utara Hotel Bali Garden (Selatan Setra) dipertahankan untuk akses kepentingan ke pantai seperti upacara dan pembersihan sampah. 7). Perlu negosiasi dengan hotel mengenai keberadaan bangunan yang menjorok ke pantai.
Gambar 4.9 Pertemuan saat site visit di Pantai Kuta 26 Februari 2003 Berdasarkan hasil pertemuan site visit di Pantai Kuta, Pratista melakukan pertemuan pada bulan Maret 2003 dengan Hotel Santika dan Café Pantai membicarakan keberadaan bangunan yang menjorok ke pantai. Pada prinsipnya
60
pihak hotel mendukung dan mengijinkan penanganan bangunan yang menjorok ke pantai. Pada pertemuan in Hotel Santika juga menyampaikan kekuatiran terganggunya privacy hotel dengan adanya rencana pembangunan walk way. 6. Pertemuan Urun Rembug II Sebagai tindak lanjut pertemuan urun rembug dan site visit yang telah dilakukan sebelumnya, pada tanggal 28 April 2003 Pratista mempertemukan kembali para pihak terkait melalui pertemuan urun rembug yang ke-2. Pertemuan urun rembug ini tujuannya membahas alternatif desain yang telah disusun dan disesuaikan dengan karakteristik pantai serta aspirasi dan kebutuhan semua pihak terkait yang bermuara pada satu disain terpilih. Urun rembug ini merupakan upaya menetapkan alternatif desain penanganan pantai. Pertemuan dibuka dengan presentasi oleh Kasubdis SDA DPU Bali, setelah itu dilakukan diskusi. Pada urun rembug ini, hasil pertemuan dirumuskan oleh tim perumus yang terdiri dari Bendesa Adat Kuta, Legian dan Seminyak; Ketua Parum Samigita; Camat Kuta; Pimpro; Kasubdis SDA PU Bali dan Kasubdis Pengairan Kabupaten Badung. Hasil rumusan pertemuan urun rembug ke-2 disimpulkan sebagai berikut: 1). Masyarakat sepakat dan setuju pelaksanaan pembangunan penanganan dan penataan pantai Kuta, Legian dan Seminyak untuk segera direalisasikan. 2). Bentuk penanganan yang disepakati adalah alternatif II berupa pembangunan revetment dengan pengisian pasir, dan landscaping sesuai karakteristik, kondisi dan situasi pantai. 3). Penanganan dan penataan Pantai Kuta, Legian dan Seminyak agar segera ditindaklanjuti baik oleh Proyek Pengamanan Daerah Pantai Bali Selatan, Dinas PU Propinsi Bali/Direktorat Jendral Sumber Daya Air, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah maupun instansi lain sesuai hasil persetujuan tersebut. 4). Hal-hal lain yang berkaitan dengan langkah tindak lanjut berikutnya, baik dalam perencanaan maupun implementasi konstruksi termasuk pengawasan akan selalu dikoordinasikan bersama masyarakat dan instansi terkait.
61
7. Perubahan Hasil Kesepakatan Perkembangan selanjutnya, setelah berhasil disepakati alternatif desain penanganan, Pratista mempersiapkan pembahasan detail desainnya. Pembahasan detail desain menunggu rancangan gambar desain PU, yang baru selesai pada bulan Juli 2003. Namun pada akhir Juli 2003, Pratista mendapat informasi bahwa pembahasan detail desain ditunda. Penundaaan ini dikarenakan menunggu proses persetujuan pendanaan dari Pemerintah Jepang (JBIC). Mulai bulan September 2004, Pratista tidak lagi ikut dalam penyelesaian konflik dikarenakan kontrak kerjanya telah habis dan tidak diperpanjang. Selanjutnya proses penyelesaian dilakukan melalui pertemuan-pertemuan secara langsung antara pihak pemerintah dengan pihak masyarakat serta pihak terkait lain-lainnya. Penundaan persetujuaan proyek oleh Pemerintah Jepang (JBIC) berkaitan dengan alternatif desain yang disepakati hanya mencakup pembangunan revetment dan pengisian pasir tanpa bangunan penahan pasir. Alternatif desain ini membuat kehilangan pasir (sand lost) menjadi lebih besar sehingga memerlukan biaya operasi dan pemeliharan yang lebih tinggi. Pemerintah Jepang menginginkan agar masalah ini disadari dan dipahami semua pihak. JBIC selanjutnya melakukan pertemuan dengan pihak pemerintah, masyarakat Kuta dan pihak hotel untuk meyakinkan hal ini. Setelah kunjungan JBIC dilakukan pertemuan antara pihak pemerintah dengan masyarakat yang diwakili Parum Samigita dan LPM-LPM di Kantor Simkotaku pada tanggal 27 April 2004. Pertemuan ini sebagai persiapan penyamaan pemahaman semua pihak sehubungan adanya rencana ‘Dengar Pendapat’ dengan Dirjen SDA Dep. Permukiman dan Sarana Wilayah. Pada pertemuan ini ditegaskan bahwa kesediaan untuk menanggung biaya operasional dan pemelihararaan setelah konstruksi oleh pemerintah sudah menjadi suatu kesepakatan. Selanjutnya untuk meyakinkan Pemerintah Jepang (JBIC) pada tanggal 1 Mei 2004, dilakukan pertemuan ‘Dengar Pendapat’ dengan Dirjen SDA Dep. Permukiman dan Sarana Wilayah. Pertemuan ini ditujukan untuk menegaskan persetujuan semua pihak yang terkait terhadap alternatif desain proyek penanganan Pantai Kuta. Pada saat acara ‘Dengar Pendapat’, desain yang
62
disampaikan ada perubahan dengan penambahan bangunan ‘sunset garden’ yang menonjol yang tidak sesuai dengan hasil kesepakatan ‘Urun Rembug 2’. Bangunan fungsinya mirip dengan headland untuk meminimalkan pasir yang hilang. Hasil kesimpulan dari pertemuan dengar pendapat ini sebagai berikut: 1). Pada prinsipnya Proyek Pengamanan Pantai Kuta disetujui dan diterima masyarakat Kuta dan sudah sangat diharapkan pelaksanaanya. 2). Disetujui adanya pusat informasi untuk memberikan informasi secara rinci manfaat penanganan abrasi pantai, dengan revetment, sand nourishment, landscaping, coral transplatation dan sunset garden dengan segala konsekuensinya. 3). Hal-hal menyangkut teknis termasuk upaya untuk menekan biaya operasional dan pemeliharaan dengan sunset garden diserahkan untuk dikaji lagi dengan memperhatikan dan mempertimbangkan aspirasi masyarakat. 4). Selama dan setelah selesai pelaksanaan proyek ada tanggung jawab pelaksanaan operasi dan pemeliharaan yang biayanya akan dipikul bersama Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi Bali, Pemerintah Kabupaten Badung dan masyarakat dalam arti luas Setelah hasil pertemuan ‘Dengar Pendapat’ disampaikan pada JBIC, proyek Pantai Kuta mendapat persetujuan untuk dilaksanakan. Setelah pertemuan ‘Dengar Pendapat’ tanggal 1 Mei 2004, pada tanggal 21 Juli 2004 dilakukan pertemuan di Kantor Simkotaku untuk membahas rencana pembuatan breakwater. Pertemuan tersebut dihadiri oleh Parum Samigita, LPM-LPM di Samigita dan Bendesa Kuta. Pada pertemuan tersebut, pihak proyek menawarkan rencana tambahan pada desain yang sudah disepakati sebelumnya dengan membuat breakwater. Breakwater ini dibutuhkan sebagai usaha mengurangi kehilangan pasir. Pada kesempatan tersebut Parum Samigita dan masyarakat Kuta mempersoalkan kembali adanya tonjolan ‘sunset garden’. Hasil kesimpulan selengkapnya pertemuan tanggal 21 Juli 2004 adalah sebagai berikut: 1). Penataan pantai memang dibutuhkan. 2). Desain yang disepakati adalah sesuai dengan hasil kesepakatan tanggal 28 April 2003 yaitu tanpa benjolan (sunset garden).
63
3). Untuk mengurangi biaya O&M perlu dibuat 1 buah submerged breakwater dan 2 buah breakwater dengan tinggi maksimun setinggi muka air pasang tanpa ada bangunan di atasnya. 4). Proyek ini agar segera dilaksanakan. 5). Hal-hal lain yang menyangkut tentang teknis pelaksanaan akan dibicarakan lebih lanjut. Setelah pertemuan ‘Simkotaku’ tanggal 21 Juli 2004, kembali dilakukan pertemuan pembahasan perubahan desain. Pertemuan dilakukan pada tanggal 27 Desember 2004 di Kantor Simkotaku. Pembahasan perubahan desain pada pertemuan ini mengacu pada kesimpulan hasil pertemuan tanggal 21 Juli 2004, khususnya butir ke-3. Hasil kesimpulan pertemuan tanggal 21 Juli 2004, butir ke3 sebelumnya telah menyepakati pembuatan 2 (dua) buah offshore breakwater dengan tinggi mercu maksimum setinggi muka air pasang tanpa ada bangunan apapun diatasnya dan 1 (satu) submerged breakwater. Setelah mempertimbangkan aspek teknis, fungsi breakwater, landscaping, penggunaan breakwater dan lingkungan dilakukan perubahan atau direvisi pada pertemuan tanggal 27 Desember 2004 sebagai berikut. 1). Disepakati untuk merevisi kesepakatan tersebut (kesepakatan sebelumnya 2 buah) menjadi 3 buah offshore breakwater yaitu dengan menggeser lokasi submerged breakwater yang semula di kedalaman laut DL-2,5 m sampai DL 4,0 m (DL = Datum Level yaitu kondisi muka air rendah), yang berada di luar daerah karang ke lokasi yang berada di dalam daerah karang dengan kedalaman DL -1,0 m sampai DL + 0,0 m. 2). Disepakati bahwa bentuk, ukuran dan lokasi masing-masing offshore breakwater adalah sebagai berikut: -
Breakwater 1 (BWN 1) : berbentuk lengkung, tinggi mercu kombinasi (DL +2,0 m, DL +2,6 m dan DL +3,6 m), panjang 150 m, lokasi di depan Hotel Patra Bali.
-
Breakwater 2 (BWN 2) : berbentuk lengkung, tinggi mercu kombinasi (DL +2,0 m, DL +2,6 m dan DL +3,6 m), panjang 120 m, lokasi di depan Hotel Bintang Bali.
64
-
Breakwater 3 (BWN 3) : berbentuk lengkung, tinggi mercu kombinasi (DL +2,0 m dan DL +2,6 m), panjang 100 m, lokasi di depan Hotel Bali Garden.
3). Disepakati tidak ada bangunan apapun di atas breakwater, tetapi setiap breakwater harus dilengkapi dengan tangga (step) untuk akses ke atas breakwater yang didesain sedemikian rupa sehingga nyaman dan aman bagi pengguna breakwater. 4). Pengangkutan material utama, pasir untuk konstruksi sand nourishment (pengisian pasir), dan batu kapur (limestone) akan dilakukan melalui jalur laut. Sebagian pasir terlebih dahulu akan ditampung di tempat penampungan pasir sementara yang telah ditentukan (temporary stockpile) yang kemudian didistribusikan ke sepanjang pantai yang akan diisi pasir, dan sebagian lain dipompakan langsung dari kapal keruk ke pantai. Sedangkan material pendukung lain akan diangkut melalui jalur transportasi darat. 5). Hal-hal lain yang menyangkut tentang detail teknis dipercayakan kepada pengelola proyek beserta konsultan ahlinya.
65
Pertemuan informal Pertemuan dgn tokoh masy
Pertemuan dgn pengelola hotel
Koordinasi dgn Parum & PU
Input
Pertemuan formal
Output
Solusi awal
Pertemuan awal PU-Parum-Bendesa
Rencana Pertemuan UR I
Alternatif 2 solusi
Pertemuan Urun Rembug I
Kesepakatan I Pilihan alternatif
Karakteristik wil dan kondisi pantai (lapangan)
Pertemuan Site Visit
Pemantapan pilihan
Pilihan alternatif
Pertemuan Urun Rembug II
Kesepakatan II alternatif penanganan
Pertimbangan biaya O&P
Revisi Kesepakatan
Kesepakatan akhir/final
Rivetment, sand nourishment, landscaping, off shore breakwater (3 bh) & sub merged breakwater
Gambar 4.10 Flow Chart Proses Penyelesaian
66
4.7.4.
Mediator Penyelesaian konflik Pantai Kuta dilakukan melalui pendekatan/model
CBD (Community Based Development) yang dibantu oleh fasilitator masyarakat. Fasilitator ini berfungsi sebagai mediator untuk menjembatani konflik. Fasilitator/mediator yang dipilih adalah Yayasan Pratista atas rekomendasi dari Parum samigita. Yayasan Pratista Parisara Karana adalah sebuah organisasi independen non pemerintah serta tidak berafiliasi dengan partai politik manapun. Yayasan Pratista bergerak dalam bidang konsultan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Awalnya Yayasan Pratista merupakan bagian dari ‘Triaco Development Consultant / Triaco Dev-co (PT. Triaco) yang telah berpengalaman dalam bidang konsultan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. PT. Triaco Dev-co mulai aktif dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat sejak tahun 1993. Pada tanggal 20 Maret 2000 Yayasan Pratista didirikan yang secara manajemen dan struktur organisasi berdiri sendiri dan tidak lagi menjadi bagian dari PT. Triaco. Yayasan Pratista Parisara Karana beralamat di Pertokoan Kertha Wijaya Blok D-11 Lt. 2 Jl. Diponegoro No. 98 Denpasar Bali. Yayasan Pratista dipimpin oleh Ketua Harian Bapak Ida Bagus Anom Wiyadnyana dengan jumlah staf sebanyak 11 orang. Selaku mediator, Yayasan Pratista berdasarkan pendapat Moore dalam Hadi (2004) dapat digolongkan sebagai mediator independen (independent mediator). Selain itu, berdasarkan proses atau mekanisme pemilihan Yayasan Pratista sebagai mediator dapat dimasukkan dalam pola referral by interested secondary party atau referensi dari pihak kedua yang tidak langsung terkait dengan konflik. “…..waktu itu fasilitator Pratista memfasilitasi pemerintah dan masyarakat, kebetulan sudah ada Parum adalah forum warga yang tadinya tugasnya membantu pemerintah menata kawasan sehingga membantu banyaklah munculnya. Akhirnya apa namanya alternatif pengamanan yang disebut revetment, ahli/konsultan revetment tidak cukup lalu ada breakwater, submerged, penyemprotan pasir jadi partisipasinya melalui diskusi-diskusi seperti itu.”
67
Selain Pratista penyelesain konflik ini juga melibatkan Parum Samigita dan Yayasan GUS. Pratista meminta bantuan dan masukan yayasan ini untuk mendukung kegiatannya karena GUS memiliki sumber daya baik informasi, relasi maupun tenaga ahli pantai. Keduanya memiliki peran yang membantu para pihak yang berkonflik mencapai atau mewujudkan kesepakatan. Keduanya dalam proses penyelesaian konflik ini dapat dipandang sebagai mediator. Parum Samigita yang menjadi wadah masyarakat Samigita yang dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten Badung (Bappeda Badung) dapat dinyatakan sebagai mediator otoritatif vested interest. Adapun Yayasan GUS dapat dipandang sebagai mediator otoritatif benevolent yang memiliki keahlian dan hubungan dengan pemilik toko surfing. “PU sudah all out yang bisa dipercaya untuk meyakinkan pratista, ini bagus bukan hanya dengan fasilitator tapi juga dengan Yay. GUS akhirnya muncul desain seperti itu. Mungkin juga muncul pemerataan atau keadilan dengan masuk Parum penataan dari Legian sampai Seminyak walo proyek pengamanan pantai kenapa kita tidak merasakan penataan sekaligus.” (Sumber: Bp. Keddy, Parum Samigita) Ketiga mediator tersebut membantu mewujudkan penyelesaian yang masing-masing memiliki peran yang beragam. Peran dan fungsi Pratista sebagai mediator independen adalah membantu melakukan pendekatan dan membuka pintu komunikasi dengan pihak masyarakat, menggali dan mengeksplore pendapat/pandangan/gagasan masyarakat, merumuskan jalan/cara mencapai penyelesaian, serta membantu menyiapkan dan mengatur acara pertemuan. Peran Parum Samigita adalah mengkoordinasikan dan mengevaluasi perkembangan penyelesaian serta membantu memfasilitasi pertemuan awal penyampaian gagasan pemecahan masalah. Adapun Yay. GUS membantu memberikan dukungan teknis dan informasi dalam pemahaman masalah serta mengajukan usulan pemecahan masalah.
Tabel 4.1. Tipologi dan Peran Mediator Dalam Mediasi Konflik Penanganan Pantai Kuta No Mediator/Negosiator 1.
Langkah/proses
Peran
Hasil/Keterangan
Parum Samigita Negosiator/mediator otoritatif
Pertemuan
koordinasi
dgn • Mengevaluasi
vested Pratista di Kantor Parum tgl 9
interest
Menyampaikan
perkembangan penyelesaian • Menawarkan
Desember 2002
Parum,
sbg
penyampaian
penanganan
pendapat pantai
dan
bantuan menawarkan riset/second opinion terhadap
mengkaji pemecahan mslh Pertemuan PU, 3 Bendesa,
menyangkut
rumusan
• Penyelenggara/memfasilitasi
alternatif rencana
Menyepakati
dilakukan
pertemuan
dgn
peserta yg lebih lengkap (Urun Rembug) tgl
pertemuan awal
8 Feb 03
gagasan awal penanganan tgl 24 Jan 2003 di Kantor GUS 2.
Yay. Pratista Mediator Mandiri
Diskusi dgn tokoh masy dan • Pendekatan hotel
bulan
Oktober 2002
September
-
&
membuka • Masyarakat siap diajak bertemu asal tdk
pintu komunikasi • menggali aspirasi/ informasi
membicarakan apa yg sudah ditolak • Penanganan yg diinginkan sesuai dgn prinsip2 masy: tanpa struktur menjorok, tdk mengubah kondisi pantai/ombak • Anggapan masy abrasi disebabkan runway
23
24
Pertemuan
pengelola • Mengkonfirmasikan wacana • Pandangan pihak bandara, runway hanya
dgn
Bandara tgl 21 Jan 2003
salah satu faktor dan ada yg lain.
masy soal abrasi
Keberadaan runway dampak positip byk • 13 Sept 2002 pertemuan dgn • mencarikan GUS
minta
masukan
bantuan utk
&
jalan/cara Workshop
penyelesaian dgn workshop
yang
direncanakan
tidak
dilakukan.
rencana
workshop setelah pertemuan dgn pihak • membuat masyarakat dan hotel
usulan/gagasan Pihak
langkah penyelesaian
PU
alternatif
menyusun
penanganan
pilihan-pilihan (struktural,
non
struktural atau kombinasi) • Pertemuan 3 banjar adat dgn • Merencanakan, menyiapkan, • Pertemuan 3 banjar dgn hotel tidak jadi hotel sehub rencana Patra • 8 Feb 2003 Urun Rembug I
mengatur dan sbg pelaksana pertemuan
dilakukan • Dilaksanakan urun rembug I dan II, masy
pengguliran alternatif rencana
menyepakati
penanganan
metode
• 28 April 2003 Urun Rembug II penentuan alternatif
alternatif
kombinasi
nourishment dipertimbangkan.
dgn
menggunakan
revetment,
sand
breakwater
25
3.
Yay. GUS Mediator Benevolent
Otoritatif • Pertemuan dg Pratista tgl 13 • Menyediakan diri membantu • Siap Mendukung rencana keg pratista Sept 2002 di Yay GUS
memberikan
pemahaman
masalah penanganan pantai
(materi workshop, video & informasi terkait)
• Pertemuan Parum-3 Bendesa • mengajukan alternatif solusi • Memaparkan pemikiran ttg kondisi pantai Adat-PU tgl 24 Jan 2003 di Yay. GUS • Urun Rembug I pengguliran alternatif penanganan tgl 8 Feb 2003
rcn penanganan
dan gagasan penanganan dgn breakwater mengikuti gugusan karang yg ada • alternatif breakwater dipertimbangkan jika revetment tidak memadai
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan 1. Konflik Pantai Kuta disebabkan oleh adanya perbedaan dan pertentangan menyangkut pengetahuan (data) tentang abrasi dan teknologi penanganan, cara pandang (nilai-nilai) serta kepentingan terhadap pantai dan penggunaan teknologi dalam penanganan abrasi antara masyarakat Kuta dengan pemerintah
(PU
Bali). Konflik berkembang
melibatkan
Pemerintah
Kabupaten Badung, pihak Bandara Ngurah Rai, hotel-hotel di pantai serta masyarakat Legian dan Seminyak. Sebagai pihak utama (primary parties) dalam konflik ini adalah pihak PU Bali, masyarakat dan hotel-hotel di Kuta. Instansi-instansi Pemerintah Propinsi Bali dan Pemda Badung serta masyarakat Seminyak dan Legian sebagai pihak lain (secondary parties). 2. Proses penyelesaian dilakukan melalui serangkaian pertemuan informal dan formal, yaitu : 1). Permasalahan abrasi dan penanganannya pantai dieksplore/digali oleh Pratista melalui pertemuan-pertemuan dan diskusi dengan tokoh-tokoh masyarakat dan pengelola hotel-hotel. 2). Setelah memahami permasalahan, Pratista, PU, Parum dan GUS merumuskan gagasan serta jalan/cara pemecahan masalah. 3). Kemudian gagasan-gagasan pemecahan masalah dipertemukan melalui pertemuan awal dan pertemuan lanjutan. 4). Setelah dicapai kesepakatan awal atau kecenderungan pilihan pemecahan lalu dimantapkan melalui kunjungan lapangan dan pertemuan untuk lebih menegaskan
pilihan
pemecahan
masalah
dan
akhirnya
dibuat
kesepakatan. 5). Hasil kesepakatan ini kemudian direvisi karena ada pertimbangan biaya operasional dan pemeliharaan (O&P) yang harus ditanggung pemerintah. Pertimbangan ini dominan (kuat) mempengaruhi perubahan hasil kesepakatan sebelumnya,dan diterima semua pihak. 71
72
3. Mediasi konflik Pantai Kuta dibantu oleh 3 mediator yang memiliki peran beragam dan saling menunjang untuk membawa pihak-pihak yang bersengketa/berkonflik mencapai kesepakatan, yaitu Yayasan Pratista sebagai mediator independent, Parum Samigita sebagai mediator otoritatif vested interest dan Yayasan GUS sebagai mediator otoritatif benevolent. 4. Upaya penyelesaian konflik lingkungan melalui mediasi di Pantai Kuta mampu
mengakomodasi
beberapa
kepentingan
lingkungan
melalui
penyampaian aspirasi masyarakat Kuta, rumusan pendapat atau gagasan dari Parum Samigita, serta usulan-usulan alternatif penanganan pantai baik dari pihak pemerintah (PU Bali) dan Yayasan GUS. Beberapa kepentingan lingkungan yang terakomodasi dalam mediasi konflik di Pantai Kuta meliputi: a. Prinsip penanganan yang ramah lingkungan seperti revetment/seawall, pemulihan loloan (estuari), pengelolaan pembuangan limbah/sampah ke pantai serta penanganan yang alami seperti penghijauan muncul melalui penyampaian aspirasi/gagasan masyarakat Kuta baik pada proses penggalian aspirasi dan pendekatan oleh Pratista, pada proses penyampaian gagasan awal pertemuan PU-Parum-3 bendesa adat, serta pada pertemuan urun rembug I. b. Beberapa
rumusan
pendapat
menyangkut
penanganan
pantai
menggunakan konsep penyerapan arus bukan pemantulan maupun pengalihan, penegakan aturan sempadan pantai, serta penanganan pantai yang terpadu yang tidak berdampak pada daerah/wilayah lain disampaikan oleh Parum Samigita. c. Usulan-usulan
alternatif
penanganan
dan
penataan
pantai
yang
disampaikan baik oleh Pihak PU bali dan GUS melalui pertemuan awal dan urun rembug yaitu menyangkut upaya atau rencana perlindungan pantai dengan pembuatan revetment dengan batu limestone yang tidak masif (berongga) untuk meredam gelombang, sand nourishment atau pengisian pasir, penataan (landscaping) lingkungan pantai yang meliputi walkway dan public space, serta rehabilitasi terumbu karang melalui transplantasi karang pada submerged breakwater.
73
5.2. Saran 1. Hal yang bisa kita petik/pelajari bahwa konflik bisa dimediasi tidak hanya oleh satu mediator. Pola kerja sama beberapa mediator dalam mediasi konflik bisa menjadi contoh atau inspirasi bagi penanganan lainnya. Namun begitu sebaiknya mediator benar-benar mendapat persetujuan secara nyata oleh pihak-pihak yang bersengketa/berkonflik dan memiliki kordinasi dan rencana kerja yang matang atau dapat benar-benar menjadi team work. 2. Masyarakat sekitar pantai yang umumnya kurang memiliki pengetahuan teknis dan kecakapan komunikasi memerlukan upaya-upaya pembelajaran dan pemberdayaan menyangkut alternatif-alternatif penanganan konflik guna meningkatkan kapasitas peran masyarakat yang umumnya menjadi pihak utama dalam konflik lingkungan. 3. Mediasi sebagai sarana atau media komunikasi dalam upaya penyelesaian konflik lingkungan pantai dapat dimanfaatkan baik melalui peran institusi lokal yang ada maupun institusi-institusi pemerintahan yang terkait. 4. Upaya-upaya
mengakomodasi
kepentingan-kepentingan
lingkungan
khususnya dalam penanganan kerusakan pantai dapat dilakukan melalui peningkatan peran-peran mediator. 5. Agar aspek-aspek lingkungan dalam penanganan kerusakan lingkungan pantai seperti abrasi dapat terakomodasi, upaya mediasi penyelesaian konflik harus dapat melarutkan kepentingan-kepentingan pemerintah maupun masyarakat ke dalam kepentingan lingkungan. Oleh karenanya untuk pihak pemerintah dapat : -
Menerapkan prinsip-prinsip penanganan yang ramah lingkungan seperti konsep penyerapan arus yang dilakukan pada pembuatan bangunan penahan ombak misalnya dengan menggunakan bahan berongga, penghijauan ataupun upaya rehabilitasi seperti penanaman karang.
Selain itu untuk pihak masyarakat sendiri sebaiknya dapat : -
Benar-benar memahami peranan dan fungsi mediasi sehingga mampu menjaga pelaksanaan kesepakatan yang telah dibuat, bisa dengan ketentuan sangsi apabila kesepakatan dilanggar atau tidak dilaksanakan.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, 2002, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Rhineka Cipta, Jakarta. Baiquni, M. dan Susilawardani, 2002. Pembangunan Yang Tidak Berkelanjutan: Refleksi Kritis Pembangunan Indonesia. Transmedia Global Wacana, Yogyakarta. BAKORSUTANAL, 2005, Pedoman Survei Cepat Terintegrasi Wilayah Kepesisiran (Rapid Integrated for Coastal Area). Badan Penerbit Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Dahuri, R. dkk, 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Fauzi, Akhmad, 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam Dan Lingkungan, Teori Dan Aplikasi. PT. Gramedia, Jakarta. Fluornoy, D.M.,1989. Analisa Isi Surat Kabar Indonesia. Gadjah Mada University Press,Yogyakarta. Guelorget, O. and Pethuisot, J.P., 1992, A New Approach of Coastal Environment Science and Volarisation. University Montpellier II, France. Hadi, P. Sudhartho., 2000. Manusia dan Lingkungan. Universitas Diponegoro. Semarang ----------------------., 2001. Dimensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan, Gadjah Mada University Press. Yokyakarta. ----------------------., 2002. Dimensi Hukum Pembangunan Berkelanjutan. Universitas Diponegoro. Semarang. ----------------------., 2004. Resolusi Konflik Lingkungan. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. ----------------------., 1999. Peran Serta Masyarakat dan Keterbukaan Informasi dalam Proses AMDAL. PPLH Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro. Disampaikan pada Seminar Partisipasi Masyarakat dan Keterbukaan Informasi dalam Proses AMDAL. Diselenggarakan oleh Bapedal. Jakarta 3 – 4 Pebuari 1999. ----------------------. 1997. Metodologi Penelitian Sosial: Kuantitatif, Kualitatif dan Kajian Tindak. Bahan Kuliah. Fisip – Undip. Semarang Hardjasoemantri, Koesnadi.,2005. Hukum Tata Lingkungan. Gadjahmada University Press,Yogyakarta. Koentjaraningrat, 1997, Metode-Metode Penelitian Masyarakat. PT. Gramedia, Jakarta.
74
75
Kuswarojo, T. 1999,. Buku Gelar Nalar Prof. Hasan Poerbo “Lingkungan Binaan Untuk Rakyat : Mementingkan Manusia Dan Masyarakat, Akatiga, Bandung. Lipton W. Douglas, 1995. Economic Valuation Of Natural Resources, A Handbook For Coastal Resource Policymakers. NOAA Coastal ocean program, US Departement of Commerce. Mitchell, Bruce, B. Setiawan dan Dwita H.R. 2003. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Gajdah Mada University Press, Yogyakarta. Patusuri, Syamsul Alam., 2004. Perencanaan Kawasan Pariwisata. Modul Kuliah Prog. Magister Pariwisata Universitas Udayana, Tidak dipublikasikan. Santosa, M.A. dan Horoepoetri, 1999. Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan. Bahan Kuliah MIL Undip Soerjani, M., 2000. Laporan dari Komisi Mandiri Kependudukan dan Kualitas Hidup: Kepedulian Masa Depan (Alih Bahasa). Institut Pendidikan dan Pengembangan Lingkungan, Jakarta. Stokes, Jane, 2003. How To Do Media and Cultural Studies: Panduan untuk Melaksanakan Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya. PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta. Sumanto, Hetifah Sj, 2003. Inovasi, Partisipasi dan Good Governance : 20 Prakarsa Inovatif dan Partisipatif di Indonesia. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Sutrisno, L., 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Kanisius, Jakarta. Lennart, Burg. Dkk, 2004. Integrated Coastal Conservation: Study for Kuta Bali. unpublished