PERLINDUNGAN ABRASI PANTAI AKIBAT GELOMBANG DI TANAH LOT BALI Oleh : Bambang Surendro Fakultas Teknik Universitas Tidar Magelang
ABSTRACT Tanah Lot Temple is located in Tabanan Regency in Bali. This temple is very impaortance for the Hindu people of Bali and in addition, it is a valuable tourist asset. The temple is situated on a rock stack separated at high tide from the cliffs of coastline by 50 meters of surf. The location standing west of a rocky coastline in an aggressive marine environment is the couse of erosion of the rock stack on which the tample stands. In order to protect the Tanah Lot Temple from abrasion, protection works has already built using tetrapod structure around the rock stack (seaword side). This structure encourage to create sand formation between the temple and the cliff, and this protection structure under water level, so the structure do not lock natural (submerge breakwater). Under the above condition the conservation works has formulated and the preliminary design has already done. The structure used for the conservation work is artificial reef (reef breakwater) placed at the sea, within 75 m from the temple. In order to study the prrformance of the reef breakwater, the physical model is utilized. The main purposed of this physical model test are to study the wave pattern due to the effect of the reef breakwater and stability of the armor used for the reef breakwater. The expected wave height after being transmitted through the reef is approximated using experimental studies bassed on regular
1
Vol. 37 No. 1, 15 September 2012 : 94-114
and irregular wave transmission through submerge breakwater by Uda et al 1988, Tanaka 1876, and Nakamura 1967. The result of the calculation is given for convenience in the table. LWL HWL Ho’ Kt Ht Ho’ Kt Ht 0,8 0,4 0,32 3,4 0,59 2,01 1,33 0,32 0,41 5.3 0,47 2,46 Keywords : Submerge breakwater, wave transmission
A.
PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara kepulauan dengan panjang pantai kurang lebih 80 ribu km. Pantai sepanjang itu merupakan anugerah Tuhan yang harus dilestarikan dan dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kepentingan rakyat. Daerah pantai merupakan daerah yang spesifik, karena berada di antara dua pengaruh yaitu pengaruh daratan dan pengaruh lautan. Sesuai dengan posisinya daerah pantai merupakan daerah yang sangat strategis (Yuwono N, 1993). Meningkatnya usaha pengembangan daerah pantai untuk daerah pemukiman, wisata, perikanan, industri, wisata dan sebagianya telah mengakibatkan berbagai tekanan terhadap kualitas lingkungan pantai. Berbagai upaya manusia dalam modifikasi daerah pantai untuk keperluan tersebut di atas sering tidak diimbangi dengan pemahaman yang benar terhadap perilaku dinamika pantai, sehingga menimbulkan dampak yang cenderung merusak lingkungan pantai. Salah satu contoh kerusakan pantai di Indonesia adalah kerusakan pantai yang terjadi di Tanah Lot Bali. Menurut Bali 2
Perlindungan Abrasi Pantai Akibat Gelombang Di Tanah Lot Bali (Bambang Surendro)
Beach Concervation Project (2005), Bali memiliki panjang pantai ± 430 km, sekitar 18 % nya merupakan pantai karang dengan pasir putih. Sekitar 16 % atau 70 km dari panjang pantai yang ada telah mengalami erosi/abrasi akibat faktor alam maupun akibat ulah manusia. Beberapa daerah pantai Bali yang telah mengalami kerusakan antara lain Pantai Kuta, Sanur, dan Tanah Lot. Abrasi pantai yang terjadi di Tanah Lot telah mencapai 1,5 cm sampai 2 cm per tahunnya. Apabila abrasi yang tejadi tidak segera ditangani maka dapat mengakibatkan rusaknya Pure yang berada di Tanah Lot tersebut. Mengingat Tanah Lot Bali merupakan daerah wisata, maka dalam penanganannya tidak boleh menganggu keindahan panorama pantai, sehingga untuk mengatasi abrasi pantai yang terjadi di Tanah Lot dilakukan dengan mebangun pemecah gelombang bawah air (PGBA). Beberapa kelebihan penggunaan bangunan pelidung pantai dengan pemecah gelombang bawah air (submerged breakwater) antara lain sebagai berikut : 1. tidak mengganggu keindahan pantai, karena konstruksinya tidak terlihat (di bawah permukaan air), 2. karena konstruksi di bawah muka air, maka apabila ada gelombang datang sebagian energi gelombang dapat terserap/terpatahkan, namun masih terjadi gelombang di pantai untuk keperluan wisata. Meskipun pemakaian pemecah gelombang bawah air ada kelebihannya, namun demikian masih juga terdapat kelemahannya yaitu antara lain sebagai berikut : 1. Pemecah gelombang bawah air, terutama yang dibangun dengan menggunakan tumpukan batu (batu alam maupun batu buatan) pada umumnya membutuhkan batu pelindung ukuran 3
Vol. 37 No. 1, 15 September 2012 : 94-114
besar, dengan jumlah yang banyak, sehingga dalam pembangunannya memerlukan biaya yang cukup besar. Sebagaimana pembangunan pemecah gelombang bawah air yang dibangun di Tanah Lot Bali. Jumlah batu buatan (tetrapod) yang diperlukan adalah sebanyak 7110 buah, dengan rincian 4411 buah dengan berat masing-masing (W) = 6,3 ton/buah dan 2699 buah dengan berat masing-masing (W) = 16 ton/buah. 2. Pembangunannya memerlukan sarana penunjang yang relatip besar seperti alat angkut (truk besar), “crane” (alat angkat) dengan kemampuan angkat yang besar, jembatan yang cukup panjang sebagai sarana jalan truk dalam mengangkut batu lindung ke posisi yang telah ditentukan. Bahkan kadang kadang, karena posisi peletakan batu sulit dijangkau dengan alat pengangkat, maka diperlukan alat peletak batu lain misalnya helikopter. B.
PENGUMPULAN DATA
2.1. Data Perencanaan Data yang diperlukan guna perancangan pemecah gelombang bawah air paling tidak terdiri atas data angin, data gelombang, dan bathymetri pantai. 1. Data angin Data angin dikumpulkan dari data angin yang tercatat di lapangan terbang Ngurah Rai tahun 1996 – 1997. Data angin dimaksud adalah kecepatan angin harian yang mencakup kecepatan rata-rata, kecepatan maksimum, dan arah angin.
4
Perlindungan Abrasi Pantai Akibat Gelombang Di Tanah Lot Bali (Bambang Surendro)
2. Data gelombang Pure Tanah Lot senantiasa mendapat serangan gelombang dari berbagai arah terutama dari arah selatan, barat daya, dan dari arah barat, sehingga pengumpulan data gelombang sebagai dasar perencanaan didasarkan pada gelombang yang datang dari arah tersebut. Tinggi gelombang diprediksi dengan menggunakan model empiris yang dikembangkan oleh Sverdrup, Munk, dan Bretschneider (SMB method) berdasar kecepatan angin, dan arah angin, dengan durasi 10 jam. Jarak seret gelombang (fetch) ditentukan berdasar peta lokasi dimana gelombang dibangkitkan, kemudian tinggi gelombang rencana dianalisis berdasar probabilitas gelombang jangka panjang (Fisher Tippet Type I and Weibul Distribution) dari gelombang ekstrim. Hasil analisis tersebut sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 1. Berdasarkan data angin harian (1996-1997), kemudian data angin dikelompokkan ke dalam delapan kelompok arah angin yaitu utara (N), timur laut (NE), timur (E), tenggara (SE), selatan (S), barat daya (SW), dan barat laut (NW) dan empat kelompok kecepatan angin yang ditunjukkan dengan tinggi gelombang 0 – 1 m, 1 – 2 m, 2 – 3 m, dan > 3,0 m. Hasil analisis prosentase tinggi gelombang diperlihatkan pada Tabel 2 dan Gambar 1.
5
Vol. 37 No. 1, 15 September 2012 : 94-114
Tabel 1. Prediksi tinggi gelombang ekstrim No
Kala Ulang (tahun)
1 2 3 4 5 6
2 5 10 25 50 100
Fisher Tippet Type I R = 0,958 Hs (m) 2,56 3,22 3,65 4,20 4,61 5,02
Weibul Distribution R = 0,971 Hs (m) 2,58 3,28 3,68 4,13 4,42 4,69
Tabel 2. Hasil analisis prosentase tinggi gelombang (berdasar data angin 1996-1997) Prosentase tinggi gelombang (%) Prosentase Arah Angin Total (%) 0–1m 1–2m 2–3m >3m Utara N 0.391 0,154 0,545 Timur laut NE 0,321 0,070 0,391 Timur E 29,416 2,567 0,028 32,001 Tenggara SE 29,528 1,998 31,528 Selatan S 3,997 0,084 4,081 Baratdaya SW 9,600 0,489 0,056 0,014 10,159 Barat W 14,757 3,158 0,922 0,042 18,879 Baratlaut NW 2,040 0,294 0,070 2,404 Arah tidak jelas 0,014 0,014 TOTAL 100,00 %
6
Perlindungan Abrasi Pantai Akibat Gelombang Di Tanah Lot Bali (Bambang Surendro)
2.2. Perbandingan Tinggi Gelombang Dari Berbagai Hasil Studi Berbagai studi dilakukan, berkaitan dengan data tinggi gelombang yang akan digunakan sebagai dasar perencanaan. Hasil studi yang telah dilakukan ditunjukkan pada Tabel 3. Sesuai hasil penelitian yang dilakukan di Samodra Indonesia oleh JICA (1089), U.S. Navy Marine Climatic Atlas of The World L. Vol.3 Indian Ocean (1976), berdasar analisis statistik mengenai tinggi, periode, dan arah gelombang untuk kurun waktu 120 tahun, hasilnya ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 3.1. Mawar gelombang di sebelah selatan P.Bali 7
Vol. 37 No. 1, 15 September 2012 : 94-114
Tabel 3. Prediksi tinggi gelombang berdasarkan berbagai hasil studi Kala Ulang (Tahun) 5 10 50 100
US Navy (JICA) (m) 2.70 3,40 4,95 5,40 (swell
Prediksi Tinggi Gelombang (m) 5,01 5,37 5,91 6,12 (sea, Hs)
Pengamatan di Pantai Kuta (m) 4,13 4,13 5,44 5,89
Prediksi Tinggi Gelombang (UGM) (m) 3,28 3,69 4,61 6,02
Sesuai hasil penelitian yang dilakukan di Samodra Indonesia oleh JICA (1089), U.S. Navy Marine Climatic Atlas of The World L. Vol.3 Indian Ocean (1976), berdasar analisis statistik mengenai tinggi, periode, dan arah gelombang untuk kurun waktu 120 tahun, hasilnya ditunjukkan pada Gambar 2.
8
Perlindungan Abrasi Pantai Akibat Gelombang Di Tanah Lot Bali (Bambang Surendro)
Gambar 2.
Mawar gelombang, untuk gelombang Swell Sumber JICA 1989 9
Vol. 37 No. 1, 15 September 2012 : 94-114
2.3. Data Gelombang Untuk Pemodelan Ada dua macam gelombang yang disebut dengan gelombang Sea dan gelombang Swell. Tinggi gelombang Sea diprediksi dengan menggunakan data angin, sedang gelombang Swell dipakai data hasil studi JICA (1989). Kedua gelombang tersebut sama tingginya tapi berbeda periodenya, lihat Tabel 3. Gelombang Swell mempunyai periode antara 15 s.d 16 detik, sedang gelombang Sea mempunyai periode antara 10 s.d 13 detik. Kedua macam gelombang dipakai dalam pemodelan. Tabel 4. menunjukkan kondisi gelombang kemiringan dasar laut. Tabel 4. Gelombang rencana dan kondisi dasar laut untuk Tanah Lot
No
1 2
H0 Tinggi Gelombang di Laut Dalam
H0’ Eq.Tinggi Gelombang di Laut Dalam
T1/3 Periode Tinggi Gelombang Signifikan
5,5
5,3
16 15
i Kemirinn gan Dasar Laut 1/50
Muka Air Pasang Surut HWL
M W
LW L
2,6
1,3
0,0
Kondisi gelombang yang dipakai sebagai dasar perencanaan adalah dengan kala ulang 50 tahun equivalent dengan H = 5,3 m. Kemiringan dasar laut di Tanah Lot pada kedalaman 0,0 s.d 6,0 mempunyai kemiringan 0,04, sementara di daerah yang dalam mempunyai kemiringan 0,02. Kemiringan dasar yang terakhir tersebut dipakai sebagai dasar perencanaan selanjutnya.
10
Perlindungan Abrasi Pantai Akibat Gelombang Di Tanah Lot Bali (Bambang Surendro)
C.
KONSEP DASAR MODEL PHISIK
3.1. Prinsip Modelisasi (Modelling) Menurut Yuwono, (1990) pemecahan model untuk keperluan perencanaan bangunan teknik hidrolik pada prinsipnya pemecahannya dilaksanakan sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 3. Dalam modelisasi terdapat tiga kegiatan yang saling terkait yaitu : modelling (proses membuat model), solving (proses pemecahan masalah) dan interpretation (menginter-pretasikan atau menjabarkan hasil penelitian dari model ke prototip). Agar penelitian dengan model dapat memberikan hasil yang baik maka ketiga kegiatan tersebut harus memenuhi kaidah-kaidah yang benar, artinya harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. solving masalah pada model
Modelling
Pemecahan masalah pada model
Interpretation
masalah pada prototip
pemecahan masalah prototip
Gambar 3. Sketsa penyelesaian masalah lewat modelisasi (fisical model) Modelling adalah proses peniruan masalah yang ada di prototip dengan skala yang lebih kecil dan dilakukan dengan cara yang benar. Untuk melakukan modelisasi, peneliti dituntut mempunyai ilmu pengetahuan yang memadai berkaitan dengan 11
Vol. 37 No. 1, 15 September 2012 : 94-114
penentuan fenomena - fenomena yang terdapat dalam permasalahan. Dengan demikian model yang dihasilkan dapat merupakan model yang bermanfaat dan hasil yang didapat dari penelitian dapat diinterpretasikan ke prototip. Solving adalah usaha penyelesaian masalah yang ada di model. Jadi penyelesaian ini sesungguhnya hanya berlaku di model tersebut. Untuk menyelesaikan masalah, maka pembuat model (peneliti) dituntut untuk mempunyai kemampuan dan teknik pemecahan masalah, karena model sendiri tidak menyelesaikan masalah dan yang menyelesaikan masalah adalah peneliti. Interpretation adalah suatu usaha untuk memindahkan hasil penyelesaian masalah yang dikerjakan di model untuk keperluan pemecahan masalah yang berlaku di prototip. Proses interpretasi dilakukan dengan cara yang sama pada waktu membawa permasalahan tersebut ke model (modelling). Model dibuat berdasarkan masalah atau problema yang ada di prototip, sehingga kejadian (fenomena) yang ada di model sebangun dinamik (mirip) dengan kejadian yang ada di prototip. Agar pada proses modelling terdapat kesaksamaan yang tinggi maka perlu adanya dua tahap pengecekan model. Tahap pertama adalah kalibrasi, yaitu melakukan pengaturan model agar data-data yang ada di prototip sesuai dengan yang ada di model. Setelah model memenuhi syarat kalibrasi, tahap selanjutnya adalah pengecekan. Tahap yang kedua yang dinamakan verifikasi, yaitu pembuktian bahwa model sudah sesuai dengan yang ada di prototip tanpa merubah atau mengatur model lagi. Kalibrasi dan verifikasi suatu model merupakan suatu keharusan, namun kasus tertentu kalibrasi dan verifikasi tidak dapat dilakukan mengingat barang yang ada di prorotip belum ada (Yuwono., 1990). 12
Perlindungan Abrasi Pantai Akibat Gelombang Di Tanah Lot Bali (Bambang Surendro)
3.2. Model kesebangunan Studi model harus memperhatikan proses phisik yang akan ditirukan, sehingga kejadian yang ada di model sebangun (mirip) dengan yang ada di prototip. Kesebangunan tersebut dapat berupa sebangun geometrik (geometric similarity), sebangun kinematik (kinematic similarity), dan sebangun dinamik (dynamic similarity). 1. Sebangun geometrik Sebangun geometrik dapat dipenuhi apabila bentuk model dan bentuk prototip sebangun, dalam arti bahwa perbandingan antara ukuran panjang pada model dan prototip ukuran panjang pada model dan prototip sebanding Lp ................................................................................. (1) nL= Lm dengan : n L = skala panjang L p = ukuran di prototip L m = ukuran di model Proses fisik yang terjadi pada bangunan pantai ditentukan oleh gaya akibat percepatan gravitasi (Vries., 1977; Simon., 1986), oleh karena itu kriteria kesebangunan yang harus dipenuhi adalah sebangun dinamik menurut kondisi bilangan Froude. Bilangan Froude ( Fr ) dapat diekspresikan sebagai rasio gaya inersia dan gaya gravitasi. horisontal dan vertikal sama, sedang model distorsi adalah model dengan skalapanjang horisontal dan vertikal tidak sama. 2. Sebangun kinematik Sebangun kinematik dapat dipenuhi jika aliran pada model dan prototip sebangun. Hal ini berarti bahwa kecepatan aliran di 13
Vol. 37 No. 1, 15 September 2012 : 94-114
titik-titik yang sama pada model dan prototip mempunyai arah sama dan sebanding. Berdasarkan kesebangunan kinematik, dapat didefinisikan nilai-nilai skala berikut : Tp a. skala waktu : nT = ...................................... (3) Tm b. skala kecepatan
:
nU =
c. skala percepatan
: na =
d. skala debit
: nq =
Up Um ap am qp qm
.....................................
(4)
......................................
(5)
.....................................
(6)
3.
Sebangun dinamik Proses fisik yang terjadi pada bangunan pantai ditentukan oleh gaya akibat percepatan gravitasi (Vries., 1977; Simon., 1986), oleh karena itu kriteria kesebangunan yang harus dipenuhi adalah sebangun dinamik menurut kondisi bilangan Froude. Bilangan Froude ( Fr ) dapat diekspresikan sebagai rasio gaya inersia dan gaya gravitasi. Fr
2
=
( L3 )(U 2 / L) U 2 = g .L g .L3
................................................
(7)
dengan : U = kecepatan (meter / detik) L = panjang spesifik (meter) dengan demikian apabila gaya grafitasi dan gaya inersia sama-sama memegang peranan penting dalam permasalahan, maka rasio kedua gaya tersebut pada model dan prototip harus sama.
14
Perlindungan Abrasi Pantai Akibat Gelombang Di Tanah Lot Bali (Bambang Surendro)
n Fr =
nU = 1 ................................................................. (n L ) 0,5
(8)
Test model untuk stabilitas bangunan di lakukan dengan “undistorted model“ sehingga skala model ditentukan berdasarkan kriteria sebagai berikut : n H = nd = n L Hubungan antara model dan prototip dinyatakan dengan beberapa rasio besaran sebagai berikut : n L = nd = n H sesuai dengan kriteria sebangun dinamik menurut bilangan Froude, maka : nT = n L
1/ 2
na = n g = 1 nm = nW =n L
2
Berdasarkan persamaan Froude dan dengan mempertimbangkan ukuran saluran pembangkit gelombang, maka ukuran model stuktur diambil perbandingan 1 : 40. Kedalaman maksimum adalah 30 cm di model dan 16 m di prototip, selanjutnya lihat Tabel 5. Tabel 5. Skala model No. Ukuran Notasi 1 Panjang puncak PGBA nL 2 Kedalaman air nd 3 Tinggi gelombang nH 4 (signifikan) nT Periode gelombang (signifikan) 15
Skala Model 40 40 40 40
Vol. 37 No. 1, 15 September 2012 : 94-114
Kemudian berdasar skala model pada Tabel 5. maka untuk keperluan tes model dipakai ukuran sebagai berikut, lihat Tabel 6. Tabel 6. Ukuran model dan prototip No.
Ukuran
1 2 3 4
Panjang puncak PGBA Kedalaman air Tinggi gelombang (signifikan) Periode gelombang (signifikan)
D.
Ukuran Prototip 70 m 5,72 m 5,3 m 16 detik
Ukuran Model 1,75 m 0,14 m 0,133 m 2,53 detik
PEMODELAN
1.1. Bentuk model struktur Model phisik pemecah gelombang ditentukan dengan bentuk sebagaimana pada Gambar 4. hasil perencanaan Nippon Koei, Co.Ltd dengan tata letak sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 5. Nippon Koei, Co.Ltd (1997) juga menyampaikan data tentang material pemecah gelombang bawah air sebagai berikut, lihat Gambar 4 dan Gambar 5. Tetrapod : 16 ton Blok beton : 6 ton Berat tetrapod dihitung berdasar persamaan Hudson pada kondisi HWL
16
Perlindungan Abrasi Pantai Akibat Gelombang Di Tanah Lot Bali (Bambang Surendro)
Gambar 4. Potongan memanjang pemecah gelombang bawah air Sumber Nippon Koei & Associates Pemecah gelombang bawah air (PGBA) 182 m
W = 16 ton/buah 70 m
W = 6 ton/buah
50 m
TANAH LOT
17
Garis pantai waktu surut
Vol. 37 No. 1, 15 September 2012 : 94-114
Gambar 5. Sketsa tata letak pembangunan pemecah gelombang bawah air di Tanah Lot (Sumber : FT. UGM., PAU. UGM., dan NIPPON KOEI., 2004) E.
TRANSMISI GELOMBANG Menurut Surendro B (2012) gelombang datang ( H i ) yang
begerak dari laut dalam menuju laut dangkal, atau gelombang datang yang dalam perjalanannya mengalami pendangkalan karena adanya pemecah gelombang bawah air, maka karena adanya gesekan dasar (bottom friction), gelombang yang bergerak akan mengalami kehilangan tenaga. Kehilangan tenaga tersebut ditunjukkan dengan adanya perubahan tinggi gelombang datang menjadi gelombang transmisi (Ht), sehingga tinggi gelombang transmisi lebih kecil dibanding tinggi gelombang datang (Hi > Ht ). Tinggi gelombang yang telah melalui pemecah gelombang bawah air (PGBA) dalam hal ini pemecah gelombang bawah air yang dibangun guna mengatasi abrasi di Tanah Lot diketahui dengan melakukan eksperimen dengan menggunakan gelombang regular dan gelombang irregular dan berdasar hasil eksperimen yang dilakukan oleh Uda et.al 1988, Tanaka 1976, dan Nakamura 1967. Adapun hasil eksperimen yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Tinggi gelombang transmisi yang melalui gelombang bawah air (Sumber Nippon Koei & Asociates.)
Ho’ 0,8 1,33
LWL Kt 0,4 0,32
Ht 0,32 0,41
Ho’ 3,4 5.3 18
HWL Kt 0,59 0,47
Ht 2,01 2,46
Perlindungan Abrasi Pantai Akibat Gelombang Di Tanah Lot Bali (Bambang Surendro)
Berdasarkan hasil eksperimen di atas (Tabel 7) dapat diketahui bahwa apabila gelombang yang melewati pemecah gelombang bawah air (PGBA) semakin besar, baik pada kondisi LWL maupun HWL maka koefisien transmisi gelombang (Kt) yang terjadi semakin kecil. Dengan melihat tinggi gelombang transmisi yang terjadi, maka dapat diharapkan kerusakan dinding tebing Pure Tanah Lot dapat teratasi dengan baik, karena energi gelombang yang terjadi dapat terhancurkan dengan dibangunnya pemecah gelombang bawah air. F.
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, dapat disampaikan kesimpulan dan saran sebagai berikut : 1. Pemecah gelombang bawah air sangat cocok untuk keperluan penanggulangan abrasi yang diakibatkan oleh gelombang, terutama untuk kawasan wisata pantai. 2. Karena konstruksinya tidak terlihat, maka pemecah gelombang bawah air tidak akan mengurangi keindahan panorama pantai. 3. Pemecah gelombang bawah air dapat menghancurkan energi gelombang berkisar antara 32 s.d 60 %. 6.2. Saran 1. Untuk menjaga keefektifan pemecah gelombang bawah air dalam menahan energi gelombang, maka setelah pemecah gelombang bawah air terpasang,perlu dilakukan evsluasi secara berkelanjutan.
19
Vol. 37 No. 1, 15 September 2012 : 94-114
2.
3.
Untuk memperoleh data hasil penelitian yang lebih akurat, maka perlu silakukan tes model dengan jumlah tes yang lebih besar lagi. Dalam uji keefetifan pemecah gelombang bawah air, maka dalam penelitian yang dilaksanakan perlu diperbanyak lagi variabel bebasnya, dengan demikian hasil diperoleh lebih akurat.
DAFTAR PUSTAKA FT UGM; PAU UGM; dan NIPPON KOEI CO LTD., 1998, ‘Tanah Lot Protection Works”, Phisical Modeling Final Report, Goverment of Republic of Indonesia Mninistry of Public Works Directorate General of Water Resoursces Development. Goda, Y., 1969, “Re-Analysis of Laboratory Data on Wave Transmission Over Breakwater”, Rep. port Harbor, Res. Inst. Horikawa, K., 1978. “Coastal Engineering”. Univercity of Tokyo Press, Tokyo. Pilarczyk W. Krystian., 2003. “Alternative System For Coastal Protection an Overview”. Journal, International Conference on Eastuaries and Coasts, Hangzhou, China.
20
Perlindungan Abrasi Pantai Akibat Gelombang Di Tanah Lot Bali (Bambang Surendro)
Surendro B, 2012, Transmisi dan Refleksi gelombang pada pemecah gelombang bawah air ganda, Disertasi, Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang Triatmodjo, B., 1999. “Teknik Pantai”. Beta Offset, Yogyakarta. U.S. Army Coastal Engineering Research Center., 1984,. “Shore Protection Manual”. Departement of The Army, Waterways Experiment Station, Vickburg, Mississipi. Yuwono, N.,1990, “Model Hidrolik”, Fakultas Pascasarjana UGM, Yogyakarta. Yuwono, N., 1993. “Dasar-Dasar Perencanaan Bangunan Pantai Volume II”, PAU Ilmu Teknik UGM, Yogyakarta. Yoshida, A., Yan, S., Yamashiro, M., and Irie I., 2002. “Wave Field Behind a Double Submerged Brakwater”. Journal, Dept. of Civil Engineering Kyushu University, Hikozaki, Higashi-ku, Fokuoka 812, Japan.
21