Media Massa: Perang Melawan Korupsi dan Penguatan Integritas Oleh: Heri Budianto* Pendahuluan Di Negara demokratis, peran media massa sangat penting dalam penegakan integritas dan perang melawan korupsi. Media massa merupakan salah satu wahana penting dalam penyebarluasan pemahaman publik tentang integritas, terutama dalam pemberitaan mengenai kasus dan pemberantasan korupsi. Di Indonesia media massa bersama-sama masyarakat madani diharapkan menjadi kekuatan civil society secara kontinyu dan konsisten dalam genderang perang melawan korupsi dan memperjuangkan penegakan integritas. Dengan kekuatannya media massa dapat menjadi kekuatan efektif ditengah ketidakpercayaan publik terhadap lembagalembaga penegakan hukum yang menangani persoalan korupsi. Selain itu juga, media media massa digarapkan concern terhadap penguatan terhadap integritas, sebagai antisipasi terhadap korupsi. Tanpa penegakan integritas yang secara massal dilakukan, perjuangan melawan korupsi tidaklah menjadi kekuatan yang dominan.
Korupsi : Ditinjau dari Berbagai Perspektif. Berbicara mengenai korupsi tentunya kita akan mulai dari pengertian tentang korupsi. Istilah Korupsi berasal dari kata latin ”corruptio” atau ”corruptus” yang berarti kerusakan atau kebobrokan, atau perbuatan tidak jujur yang dikaitkan dengan keuangan. Ada pula yang berpendapat bahwa dari segi istilah ”korupsi” yang berasal dari kata ”corrupteia” yang dalam bahasa Latin berarti ”bribery” atau ”seduction”, maka yang diartikan ”corruptio” dalam bahasa 1 Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
Latin ialah ”corrupter” atau ”seducer”. ”Bribery” dapat diartikan sebagai memberikan kepada seseorang agar seseorang tersebut berbuat untuk keuntungan pemberi. Sementara ”seduction” berarti sesuatu yang menarik agar seseorang menyeleweng. Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsurunsur sebagai berikut: 1. perbuatan melawan hukum; 2. penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana; memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi; 3. merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya: a. memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan); b. penggelapan dalam jabatan; c. pemerasan dalam jabatan; d. ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara); 4. menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara). Dalam Black’s Law Dictionary, korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain. 2 Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
Pasal 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, menyatakan sebagai berikut : “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonoman negara...” Selanjutnya dalam Pasal 3 Undang-Udang No. 31 Tahun 1999, menyatakan : “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
yang
dapat
merugikan
keuangan
negara
atau
perekonomian
negara...”
Dalam pengertian yuridis, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, memberikan batasan tentang pengertian Tindak Pidana Korupsi dengan cakupan yang lebih luas sehingga meliputi berbagai tindakan termasuk tindakan ”penyuapan”, yang dapat dipahami dari bunyi teks pasal-pasalnya, kemudian mengelompokannya ke dalam beberapa rumusan delik. Dengan memahami hal tersebut diharapkan segala tindakan hukum dalam rangka pemberantaan korupsi akan terwujud, baik dalam bentuk pencegahan (preventif) maupun tindakan (represif). Pemberantasan korupsi tidak hanya memberikan efek jera bagi pelaku, tetapi juga berfungsi sebagai daya tangkal. Pendapat lain dikemukakan Alatas , dalam bukunya “The Sociology of Corruption” mengemukakan pengertian korupsi dengan menyebutkan benang merah yang menjelujuri dalam aktivitas korupsi, yaitu subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan tujuan-tujuan pribadi yang mencakup pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum, dibarengi dengan kerahasian, penghianatan, penipuan dan kemasabodohan yang luar biasa akan akibat yang diderita oleh masyarakat. Menurutnya, “corruption is the abuse of trust in the interest of 3 Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
private
gain”
yakni
penyelahgunaan
amanah
untuk
kepentingan
pribadi.
Dalam arti yang luas, korupsi adalah penyalahgunaan jabatan untuk keuntungan pribadi. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali. Menurut Alatas (1987), dalam wujud nyata, devriasi dari esensi korupsi itu dapat berupa: (a) korupsi transaktif (transactive corruption), dimana korupsi itu muncul disebabkan oleh adanya kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan penerima semi keuntungan kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan ini oleh kedua-duanya. Korupsi jenis ini biasanya melibatkan pengusaha-pemerintah tetapi untuk juga diingat bahwa korupsi jenis ini tidak mustahil terjadi juga secara samar antara guru dan murid di lembaga pendidikan. Lazimnya melalui serangkaian kegiatan ekstra kurikuler seperti les tambahan dst. Kegiatan itu seolah-olah bagian dari kegiatan sukarela, tetapi dapat berubah menjadi ajang suap dan transaksi nilai antara guru dan murid; (b) korupsi yang memeras (extortive corruption), korupsi jenis ini berbentuk, pihak pemberi dipaksa untuk menyuap guna mencegah kerugian yang sedang mengancam diri pemberi itu, kepentingannya atau orang-orang disekitarnya; (c) korupsi investif (investive corruption), yaitu pembelian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan ketika itu, tetapi lebih untuk mejangkau kepentingan dalam jangka panjang;
4 Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
(d) korupsi perkerabatan (nepotistic corruption), jenis korupsi ini adalah penunjukkan yang tidak sah terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan, atau tindakan yang memberikan perlakuan yang mengutamakan, dalam bentuk uang atau bentukbentuk lain, kepada mereka dan bertentangan dengan etika serta peraturan; (e) korupsi defensif (defensive corruption), pada hakikatnya korupsi ini tidak mutlak dapat disebut korupsi, karena pelakunya adalah korban korupsi akibat proses pemerasan atau korupsinya dalam rangka mempertahankan diri; (f) korupsi otogenik (autogenic / autocorruption), ini adalah jenis korupsi yang tidak melibatkan orang lain, tetapi hanya melibatkan diri sendiri, karena jabatan dan posisi strategisnya. Misalnya, seseorang yang mengetahui betul rahasia kalkulasi fiskal dan moneter di suatu negara, karena posisinya di Bank Sentral di negara tersebut. Informasi yang berupa rahasia jabatan tersebut, kemudian digunakannya untuk terlibat di dalam bursa saham atau bursa valuta asing (insider trading) sehingga dia mendapat keuntungan sangat besar denga mengakses first hand information tersebut; (g) korupsi dukungan (supportive corruption), jenis korupsi ini tidak secara langsung menyangkut uang atau imbalan tetapi lebih kepada penguatan sistem untuk melindungi, mengamankan dan memperkuat praktik korupsi yang sudah ada sebelumnya. Lazimnya, jenis korupsi yang terakhir ini dilakukan dengan praktik-praktik curang di dalam pemilihan umum untuk memenangkan yang bersifat lembek (friendly) terhadap korupsi, misalnya dengan mengintimidasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang netral dan independen, memanipulasi daftar pemilih atau lebih jauh dengan cara kekerasan, semisal, mensponsori dan mendukung terjadinya huru-hara di dalam pemilihan umum ketika yang dijagokan terlihat akan kalah atau
5 Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
menghambat dengan cara-cara kekerasan atau politik uang agar pejabat yang jujur tidak dapat meduduki posisi strategis yang dapat mengancam kepentingannya.1
Korupsi di Indonesia: Akar Masalah, Era Kolonialisme hingga Sekarang. “Cap sebagai negara terkorup belum juga menjauh dari Indonesia. Padahal perang total terhadap korupsi di negeri ini terus saja dikumandangkan. Toh korupsi tetap saja menggurita. Persepsi tentang negara terkorup pun tidak kunjung terkikis dari benak para pelaku bisnis internasional. Hasil survei terbaru Political and Economic Risk Consultancy (PERC) awal pekan ini menegaskan hal itu hal itu. PERC menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup dari 16 negara se-Asia Pasifik. Indonesia terkorup dengan skor 8,32 atau lebih buruk dibandingkan Thailand (7,63). Negara yang paling bersih dari korupsi adalah Singapura dengan skor 1,07. Fakta itu jelas bakal menambah suram wajah investasi di negeri ini. Suram karena survei sebelumnya yang dilakukan Bank Dunia dan International Financial Corporation (IFC) menunjukkan posisi Indonesia dalam hal kemudahan berinvestasi tergolong paling rendah di Asia Tenggara” (Editorial Harian Media Indonesia, 12 Maret 2010). Berdasarkan data Transparency International, sebuah organisasi nonpemerintah yang berpusat di Berlin, menempatkan Indonesia di peringkat bawah dalam Indeks Persepsi Korupsi atau dalam jajaran negara terkorupsi di dunia. Tabel di bawah ini menunjukkan perbandingan peringkat Indonesia dalam CPI enam tahun terakhir.
Tabel 1. Nilai dan Peringkat Indonesia Berdasarkan Corruption Perception Index Tahun
Skor CPI
Peringkat
Jumlah Sampel (negara)
2000
1.7
86
90
2001
1.9
88
91
2002
1.9
96
102
2003
1.9
122
133
2004
2.0
137
146
2005
2.2
140
159
1
Baca JM. Muslimin. Korupsi:Pengertian, sebab, dan dampaknya dalam Pendidikan Anti Korupsi di Perguruan Tinggi Islam. CSRC-UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2006 6 Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
Sumber : Corruption Perception Index (www.transparency.org), diolah.2
Predikat Negara terkorup bagi Indonesia merupakan predikat yang mestinya membuat bangsa ini berbenah memperbaiki semua sistem yang terkait dengan pemberantasan korupsi. Bila kita telusuri lebih jauh, mengenai persoalan korupsi di Indonesia maka kita akan melihat dari berbagai perspektif antara lain yaitu Detirminisme Kultural, hingga secara historis merupakan peninggalan kolonialisme terutama belanda dengan VOC-nya, hingga berbagai bentuk korupsi yang terjadi masa orde lama, orde baru, hingga era reformasi sekarang ini. Cultural determinisme merupakan cara pandang bahwa suatu kebudayaan tertentu dan etnis tertentu memberi landasan mentalitas menguatkan perilaku korupsi. Untuk kasus di Indonesia, kebudayaan Jawa sering di tuding sebagai penyokong tradisi korupsi di Indonesia. Fiona Robertson-Snape (dalam Margana:2006) penjelasan praktik korupsi di Indonesia dihubungkan dengan kebiasaan-kebiasaaan kuno orang Jawa. Tradisi itu adalah kebiasaan menawarkan upeti atau persembahan kepada penguasa. Kebiasaan ini menjadi akar dari praktikpraktik bribery (penyuapan) yang tersebar luas. 3 Secara historis pada masa kolonialisme, korupsi terbesar pertama adalah yang terjadi pada organisasi dagang Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Pada mulanya, VOC yang berdiri pada tahun 1602 bertujuan menjadi organisasi dagang multinasional yang berbasiskan
2
Saefullah, eep Fatah. 2006. Puisi Indah Proposa Buruk: Evaluasi Dua Tahun Kebijakan Pemerintahan SBY-JK. Simbiosa Rekatama Media-Bandung. 3 Baca: Margana: Akar Historis Korupsi di Indonesia; dalam Korupsi Mengurupsi Indonesia: 2009. 7 Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
pada liberalisme ekonomi dan merkantilisme pasar. Namun, dalam praktiknya organisasi ini menjalankan pola dagang oligopolies dan monopolis serta kerapkali menggunakan siasat dan strategi dagang yang sangat represif intimidatif dan curang. Khususnya ketika bermitra dengan partner-partner lokalnya dari kalangan pribumi. Desember, 1642 – pada paruh kedua abad ke-18 VOC digerogoti oleh korupsi yang akut. Pada 12 Desember 1642, Gubernur Jenderal Antonio Van Diemen menyurati Heeren XVII, tentang parahnya korupsi yang terjadi di tubuh VOC. Berbagai upaya untuk memberantas korupsi terus dilakukan, meskipun tidak menghasilkan apa-apa. Tahun 1743- Dalam sebuah laporan yang diterbitkan di London pada 1743, “A Description of Holland, or the Present State of the United Provices,” dilaporkan banyak kapal VOC yang karam akibat kelebihan muatan. Ini muncul karena banyak oknum VOC yang menitipkan barang lewat kapal VOC tapi bukan untuk kepentingan VOC sendiri. Pada Tahun 1779, Asosiasi dengan VOC (Verenigde Oost Indische Compagne) diplesetkan menjadi Verhaan Onder Corruption, runtuh lantaran korupsi. Catatan sejarah menunjukan bahwa pada paruh kedua abad ke-18 VOC digerogoti korupsi yang akut. Pasal utama penyebab korupsi pada saat itu adalah kecilnya gaji yang diterima para pegawai VOC. Sementara gaji pegawai rendahan VOC, yang hanya berkisar antara 16 gulden hingga 24 gulden per bulan, tidak sesuai dengan gaya hidup di Batavia pada saat itu. Para pegawai setingkat juru tulis rata-rata menerima gaji 24 gulden setiap bulan, sementara seorang gubernur jendral menerima 600 hingga 700 gulden setiap bulan. VOC kemudian ambruk dan bubar pada tahun 1779 dengan meninggalkan hutang yang tidak sedikit. Ketika pemerintahan pendudukan dipegang oleh Gubernur Jenderal van den Bosch, 8 Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
Kerajaan Belanda berniat untuk membayar semua hutang-hutang VOC tersebut. Untuk merealisasikan tugas tersebut, diperkenalkan kebijakan tanam paksa (cultuur stelsel) dan pembagian prosentase (cultuur procenten). Pada masa orde lama selang sekitar lima tahun setelah Indonesia merdeka dan seirng dengan jatuh bangunnya kabinet, praktik korupsi mulai membudaya dan dilakukan oleh para penguasa pribumi itu sendiri. Korupsi mulai tidak mengenal batasan dan warna kulit. Negarawan dan mantan Wakil Presiden Republik Indonesia, Mohammad Hatta, ditahun 1950-an, menulis : Penyuapan dan intrik makin lama makin umum dilakukan orang, dangan akibat buruk bagi masyarakat dan negara kita.Setiap tahun pemerintah dirugikan ratusan juta rupiah karena tidak dibayarnya cukai dan pajak sebagai akibat pemalsuan dan penyelundupan, baik yang illegal maupun yang legal. Di era Orde Lama, dimana politik adalah panglima, rivalitas dan perlombaan pengaruh politik, khususnya antara sayap komunis dan non-komunis dan umumnya antara berbagai faksi politik (islamis, sekularis dan sosialis) semakin menyuburkan praktik korupsi. Bahkan, terdapat indikasi kuat bahwa selain menimpa para politisi, korupsi juga mulai menjangkiti dunia militer, aparat penegak hukum, dan pengusaha. Pada tahun 1958, pemerintah mengeluarkan UU No. 86/1958 tentang kebijakan nasionalisasi perusahaan Belanda untuk memproteksi pengusaha pribumi (Politik Benteng). Kebijakan ini justru mendorong praktik KKN. Pengusaha yang mendapatkan lisensi hanyalah yang dekat dengan pemerintah. Pengusaha pribumi tersebut “menyewakan” lisensi kepada pengusaha China (Ali Baba: Si Ali yang memiliki lisensi dan si Baba yang menjalankan dan memiliki usaha). Pada Juni, 1957- Menetapkan Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/061957 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. April, 1958Tanggal 16 April Penguasa Perang Pusat kepala Staf Angkatan darat Genderal Abdul Haris 9 Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
Nasution mengeluarkan peratutan antikorupsi, nomor Prt/Peperpu/C13/1958 serta peraturan pelaksanaannya. Dan Mei, 1960- Orde Lama (ORLA) mengeluarkan satu peraturan baru terkait dengan upayapemberantasan korupsi berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Sementara itu pada 1963- melalui Keputusan Presiden No. 273 Yahun 1963, pemerintah menunjuk A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menko Pertahanan dan Keamanan, untuk memimpin Operasi Budhi, ditugaskan untuk menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan Negara serta lembaga-lembaga Negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Pada masa Orde Baru ternyata tidak juga dapat menyelesaikan masalah korupsi. Bulan Januari 1970, Presiden soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 12 yang isinya membentuk tim baru, yaitu Komisi Empat yang tugas utamanya tidak lain adalah pemberantasan korupsi. Ketua tim merangkap anggota dijabat oleh Wilopo dengan anggota-anggota lainnya, yaitu IJ Kasimo, Prof. Johannes, dan Anwar Cokroaminoto. Sebagai sekretariat tim dingkat Mayjen Sutopo Yuwono, sedangkan untuk penasihat komisi dipegang oleh Muhammad Hatta (mantan Wakil Presiden RI). Berlanjut pada
tahun 1970, Protes mahasiswa dan kritik pers terhadap korupsi
menghasilkan pembentukan Komisi IV yang bertugas menganalisis permasalahan korupsi dalam birokrasi dan mengeluarkan rekomendasi untuk mengatasinya. Pada tahun 1970, Bung Hatta mengungkapkan “Korupsi telah membudaya di Indonesia”. Pernyataan Bung Hatta itu diungkapkan ketika usia Indonesia sebagai bangsa merdeka baru genap dua puluh lima tahun.
10 Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
Pada tahun 1971, Presiden soeharto mengeluarkan UU baru nomor 3 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam UU baru ini ancaman ancaman pidana penjara maksimum seumur hidup bagi semua delik yang dikategorikan sebagai korupsi, baik yang kecil, sedang, maupun yang besar. Ancaman ini masih ditambah dengan denda maksimum Rp. 30 juta rupiah (harga per gram emas saat itu, Rp. 3.000). Empat tahun berikutnya yakni tahun 1974, Pemerintah mulai sering mengintervensi proses pengadilan, sebagai respons atas kerusuhan Malaria. Ini merupakan tonggak melemahnya lembaga peradilan di Indonesia, serta tititk balik upaya perang melawan korupsi. September, 1977, Presiden Soeharto mengeluarkan Inpres Nomor 9 Tahun 1977 berupa pembentukan tim serupa yang bernama Tim Operasi Ketertiban (Opstib). Koordinator tim ini adalah Menteri Pendayagunaan Aparatur sedangkan pelaksanaan operasionalnya adalah Pangkopkamtib. Sebagai ketua I adalah Kapolri, sedangkan ketua II adalah Jaksa Agung dengan Para Irjen di setiap departemen. Tim ini juga memiliki organisasi vertikal ke bawah dengan pelaksanaan operasional Laksusda, Ketua I Kapolda dan Ketua II Kejati dan Irwilda. Tahun 1982, Presiden Soeharto menghidupkan kembali aktivitas Tim Pemberantasan Korupsi dengan penggantian personil. Pelaksana dari tim ini terdiri atas Menpan JB. Sumarlin, Pangkopkamtib Sudomo, Ketua MA Mudjiono, Menteri Kehakiman Ali Said, Jaksa Agung Ismail Saleh, dan Kapolri Awaloeddin Djamin. Pada Bulan Juli, 1995, Transpansi Internasional mengeluarkan laporan tentang Corruption Perception Index yang pertama, dan menempatkan Indonesia sebagai negara paling dari 41 negara yang disurvei.4
4
Baca: Rukmana; Korupsi di Indonesia dalam Lintasan Sejarah; Dalam Korupsi Mengurupsi Indonesia: 2009.
11 Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
Era reformasi saat ini persoalan korupsi semakin menggurita. Perubahan sistem politik telah membawa perubahan besar pada tata pemerintahan Negara. Era otonomi daerah telah menjadikan persoalan korupsi makin melebar kemana-mana. Setelah adanya perubahan struktur politik sebagai akibat dari reformasi dan Pemilihan Umum tahun 1999, praktik korupsi kemudian bermutasi dari yang semula bercorak president-centered corruption, dimana presiden adalah aktor dan titik utama dari rotasi korupsi, kemudian berkembang menjadi lebih bersifat fragmentatif dan merata. Ringkasnya seiring dengan proses desentralisasi administrative dan fiscal terjadi juga desentralisasi korupsi ke beberapa daerah.
Dalam
banyak
kasus,
pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung akhir-akhir ini diwarnai dengan berbagai praktik kotor money politics untuk membiayai tim sukses calon masing-masing dengan memanfaatkan akses-akses pengambilan keputusan di daerah tersebut dan memanipulasi pengalokasian anggaran pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). 5 Kekuatan media massa dalam melawan korupsi Beberapa tahun belakangan, perdebatan akademis tentang peran media dalam upaya pemberantasan korupsi sangat mengemuka.
Berbagai kasus korupsi di Indonesia terjadi
melibatkan berbagai kalangan eksekutif, legislatif, dan bahkan yudikatif yang seharusnya menjadi garda terdepan penegakan hukum termasuk kasus-kasus korupsi. Di kala lembaga penegakan hukum belum tegak sepenuhnya, maka pers (media massa) bisa menjadi roda penegakan hukum bisa beputar dengan ekspose besar-besaran. Disaat orang-orang kuat mencoba menyembunyikan dan memutarbalikkan fakta, investigasi media yang baik dapat mengungkap
5
Baca: JM. Muslimin. Korupsi:Pengertian, sebab, dan dampaknya dalam Pendidikan Anti Korupsi di Perguruan Tinggi Islam. CSRC-UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2006. 12 Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
dan melempangkannya atau malah kadang
bisa mendorong proses hukum terhadapnya.
(Dharmasaputra:2009;693) Media massa semakin berperan membangkitkan solidaritas masyarakat untuk menghadapi kasus korupsi, bahkan mampu menggantikan posisi pemerintah maupun parlemen yang tidak dilandasi ideologi kepeloporan partai (vanguard party), kata Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), J. Danang Widoyoko. "Di Indonesia tekanan anti-korupsi menjadi lebih efektif karena media massa berperan memberikan informasi untuk menggalang solidaritas, kemudian menyatukan kepentingan masyarakat," ujarnya dalam diskusi di Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS), Gedung Dewan Pers, Jakarta, Danang menilai, posisi media massa dan sinergi masyarakat Indonesia terbukti membuat pergerakan anti-korupsi di Indonesia jauh berbeda dengan negara lain. "Biasanya gerakan anti-korupsi memerlukan keinginan kuat pimpinan negara yang konsisten memerangi praktik korupsi. Di Indonesia hal ini justru terbukti banyak gagalnya. Media massa dan publiknya yang mengambilalih peran ini,".6
Sementara itu MacDonell dan Pesic dalam Dharmasaputra:2009;697 mengemukakan peran media dalam pemberitaan korupsi terdapat dua kategori besar yaitu secara kasat mata dan efek tak kasat mata. Kategori yang pertama efek kasat mata, mereka mengidentifikasi ada tujuh fungsi penting media: 1. Mengekspose pejabat-pejabat korup; 2. Mendorong aparat hukum menggelar penyelidikan; 3. Mengungkap berbagai penyelewengan bisnis; 4. Memperkuat komisi antikorupsi; 5. Meningkatkan aluntabilitas pemilu; 6
ANTARA News. Jumat, 3 Desember 2010 21:03 WIB. 13
Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
6. Mendesak perubahan hukum dan peraturan perundangan-perundangan; serta 7. Meciptakan efek jera. Namun demikian, impak jurnalisme dalam mengungkap kasus-kasus korupsi kerap kali tidaklah sekasat mata dan selangsung itu. Kerap kali ia memainkan peran melalui sejumlah faktor. Berbagai studi memperlihatkan tingkat kematangan demokrasi, level kompetisi politik, derajat persaingan bisnis amat menentukan kadar korupsi di suatu Negara. Telah disepakati bahwa banyak pakar bahwa otoritarianisme, rezim politik yang monolitik, dan sistem ekonomi yang monopolistik cenderung menyemai benih korupsi. Disini pers memainkan peran pentingnya. Legenda tentang peran media dalam membongkar kasus korupsi, tentu saja, adalah investigasi fenomenal dua wartawan Washington Post, Carl Bernstein dan Bob Woodward, yang dengan brilian berhasil membongkar skandal Watergate pada 1974. Impak liputan mereka luar biasa: pergantian kekuasaan di Gedung Putih yang ditandai dengan mundurnya Presiden AS Richard Nixon untuk menghindari ancaman impeachment dari Kongres (Bernstein & Woodward, 1974). Jati diri narasumber yang menghantarkan Bernstein dan Woodward pada berbagai fakta penting, dirahasiakan rapat-rapat di balik nama samara “Deep Throat” selama hamper 31 tahun. Baru pada 2005. Identitasnya terungkap setelah sumber kunci itu membuat pengakuan terbuka ke hadapan publik. Dialah Mark Felt yang saat itu menjadi orang nomor dua di Langley dengan jabatan Asisten Direktur CIA (Drehle, 2005). Tak begitu jauh dari Indonesia, peran serupa pernah dimainkan oleh Philipine Center for Investigative Journalism (PCIJ) semacam kelompok jurnalis investigasi-yang pada 2000 melancarkan serangkaian investigasi yang berhasil membongkar berbagai kekayaan illegal 14 Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
presiden Filipina ketika itu, Joseph Estrada. Berbagai bukti yang dikumpulkan PCIJ bahkan digunakan dalam proses persidangan impeachment Estrada. Tak cuma itu, hasil investigasi Januari 2001 yang berujung pada penahanan dan jatuhnya mantan aktor film ini dari tampuk Malacanang (MacDonell & Pesic, 2006).7 Media massa merupakan salah satu wahana penting dalam penyebarluasan pemahaman publik tentang integritas, terutama dalam pemberitaan mengenai kasus dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Sayangnya, tak banyak media yang dengan sadar dan sukarela menyajikan pemberitaan yang lengkap dan komprehensif mengenai sebab akibat dan prospek pemberantasan korupsi. Dalam pengamatan sepintas, ada kecenderungan sudut pandang pemberitaan lebih banyak berkisar di pemberitaan mengenai besaran peristiwa kasus korupsi. Kiranya sudah menjadi sebuah kesepakatan di berbagai literatur korupsi bahwa media punya peran penting dalam upaya pemberantasan korupsi. Di Negara-negara demokratis, media dinilai punya peran penting-bersama kelompok masyarakat madani-untuk memfasilitasi diskusi publik tentang apa yang patut dan tidak patut untuk dilakukan, serta untuk melancarkan kritik terhadap pemerintah dalam menangani korupsi. Selain itu, media juga diyakini punya kemampuan untuk menekan pemerintah supaya mengambil tindakan yang selaras dengan kepentingan publik untuk melakukan reformasi sistem yang berlandaskan pada tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Bahkan, di negara-negara yang tak demokratis sekalipun, seperti China dan Uni Sovyet (kini Rusia), pers dilihat tetap bisa memainkan peran yang cukup penting sebagai alat kampanye antikorupsi rezim yang berkuasa yang ingin memelihara citra bersihnya di mata publik (Rose-Ackerman, 1999).
7
Baca: Dharmasaputra: Media dan Foklor Korupsi: dalam Korupsi Mengurupsi Indonesia; 2009
15 Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
Visi misi media, ideologi media serta segmen media juga mempengaruhi sudut pandang pemberitaan tentang korupsi. Ketika media memainkan fungsi sebagai wahana penyebarluasan informasi dan penyediaan ruang publik yang mampu merepresentasikan nilai, norma dan perspektif terhadap setiap masalah yang beragam di masyarakat (Mosco, 1996:75), maka konten media tersebut bisa mendorong kemajuan masyarakat. Apalagi, karakter media cetak memiliki potensi untuk menyimpan informasi yang disajikan agar lebih melekat lama dan biasa dikonsumsi oleh kelompok menengah ke atas yang menjadi aktor utama perubahan sosial. Galtung dan Ruge dalam McQuail (2005: 310) menunjukkan tiga faktor penting yang memengaruhi pemilihan kemasan informasi dalam konten media atau pemberitaan yaitu : Faktor organisasi, faktor yang berkaitan dengan aliran, dan faktor sosial budaya. Faktor organisasi merupakan faktor yang paling universal dan mengandung konsekuensi kepentingan tertentu. Biasanya suatu media lebih menyukai peristiwa besar atau penting yang terjadi dalam skala waktu yang sesuai dengan jadwal produksi normal, serta menyukai peristiwa pula peristiwa yang paling mudah diliput dan dilaporkan, mudah dikenal, dan dipandang relevan (McQuail, 2005: 310)
Adapun faktor lain yang berkaitan dengan aliran yaitu, preferensi media terhadap peristiwa yang sesuai dengan harapan khalayak, keinginan mengemas peristiwa yang dipandang layak diberitakan dan menyeimbangkan semua produk berita. Sejalan dengan faktor budaya, Galtung dan Ruge dalam McQuail (2005: 375) menyebut berita yang dianggap menarik dengan nilai yang berlaku, sejalan dengan persyaratan pemilihan organisasi dan dengan aliran atau kehendak publik. Kerangka Galtung dan Ruge cukup banyak mengungkapkan jenis berita yang cenderung dilaporkan dan hal-hal yang diabaikan. Saat kita bicara tentang korupsi dan penguatan integritas, Robert Klitgaard (1988) menjelaskan bahwa: 16 Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
“Illicit behaviour flourishes when agents have monopoly power over clients, when agents have great discretion, and when accountability of agents to the principal is weak. A stylizzed equation holds, Corruption = Monopoly + Discretion – Accountability” (Perilaku haram berkembang saat pelaku memiliki kekuatan monopoli atas klien, ketika pelaku memiliki diskresi yang tidak terbatas, dan ketika akutabilitas pelaku kepada pimpinan lemah. Hal tersebut memiliki persamaan : korupsi sama dengan monopoli ditambah diskresi, minus akuntabilitas).
Dari apa yang diutarakan oleh Klitgaard tersebut, maka ada 3 (tiga) aspek penting untuk memahami anatomi atau kerangka dasar mengapa korupsi bisa terjadi, yakni : adanya monopoli kekuasaan, adanya kewenangan atau diskresi yang tidak terbatas, dan tidak adanya proses pertanggungjawaban yang jelas. Sedangkan Peter Langseth dalam Wijayanto (2009:6) mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi atau privat yang merugikan publik dengan cara-cara bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Saat berbicara tentang fungsi media untuk pendidikan publik. Isi pemberitaan walaupun berangkat dari peristiwa namun akan diubah dalam bentuk berita yang informatif di wilayah sosial (pembaca) dan membentuk struktur pengetahuan pada pembaca , potter (2005:17) menjelaskan tentang kunci dari informasi adalah pesan, informasi faktual, dan informasi sosial. Pemberitaan dalam surat kabar mengenai korupsi secara tidak langsung akan menjadi referensi informasi bagi masyarakat dan membentuk pengetahuan tentang korupsi, sedang sudut pandang pemberitaan akan menunjukkan tema-tema
yang diangkat apakah
meningkatkan pemahaman tentang bagaimana cara mengorupsi bukan bagaimana penguatan integritas dengan bahasan sebab, akibat dan pemberantasannya.
17 Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
Representasi ruang publik yang paling jelas sebagai wahana bagi diskusi publik adalah media massa. Oleh karena itu, media massa, tidak hanya terbatas sebagai sarana untuk meraup keuntungan ekonomis, melainkan dalam fungsi editorialnya ia menjadi medium bagi ruang publik. Media massa, dengan demikian, bisa berperan dalam memperjuangkan terciptanya ruang kebebasan untuk menyatakan dan menampung opini publik (public opinion) atau untuk membentuk wacana publik (public discourse) (Ibrahim, 2004 :5). Hal ini diperkuat oleh pendapat Kenneth Janda dan kawan-kawan (1987:337) yang menyatakan bahwa “Although more people today depend on television than on newspaper for news, those with more education rely more on newspapers. Newspapers usually do a more thorough job of informing the public about politics.” Dalam keseharian, pengungkapan realitas oleh wartawan acapkali diwarnai oleh kecenderungan-kecenderungan tertentu. Obsesi media atau wartawan acapkali muncul dalam wujud usaha menciptakan atau mengubah suatu realitas tertentu. Hal itu berkait dengan persepsi atau difinisi yang dipunyai wartawan tentang realitas peran dirinya, dan realitas sosial yang ada di sekitarnya. Wartawan misalnya, mempersepsikan dirinya sebagai “penegak moralitas sosial” akan cenderung untuk menggali dan menyajikan berita-berita dari sisi kerusakan moral. Mereka secara tidak sadar akan mengharapkan terdapat realitas yang dapat memperkuat perannya untuk mengungkap terjadinya kerusakan moral. Perspektif individu wartawan untuk melihat realitas menjadi bias sesuai dengan predisposisi persepsi dirinya. Gambaran tentang realitas yang “dibentuk” oleh isi media massa inilah yang nantinya mendasari respon dan sikap khalayak terhadap berbagai obyek sosial. Informasi yang salah dari media massa akan memunculkan gambaran yang salah pula pada khalayak, sehingga akan 18 Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
memunculkan respon dan sikap yang salah juga terhadap obyek sosial itu. Karenanya media massa dituntut menyampaikan informasi secara akurat dan berkualitas. Kualitas informasi inilah yang merupakan tuntutan etis dan moral penyajian isi media. Sudibyo (2009) menyatakan bahwa “media massa berfungsi menyambungkan realitas penyelenggaraan kekuasaan di berbagai level dan lini pemerintahan dengan realitas-realitas yang berlangsung dalam masyarakat. Media massa pada arah yang sama juga sering disebut sebagai cermin masyarakat. Bukan hanya dalam arti tempat di mana masyarakat dapat melihat dirinya sendiri, tetapi juga tempat di mana diharapkan dapat terjadi pembentukan watak kultural masyarakat”.
Wacana Korupsi dan Integritas Terkait dengan korupsi dan penguatan integritas, Robert Klitgaard (1988) menjelaskan bahwa: “Illicit behaviour flourishes when agents have monopoly power over clients, when agents have great discretion, and when accountability of agents to the principal is weak. A stylizzed equation holds, Corruption = Monopoly + Discretion – Accountability” (Perilaku haram berkembang saat pelaku memiliki kekuatan monopoli atas klien, ketika pelaku memiliki diskresi yang tidak terbatas, dan ketika akutabilitas pelaku kepada pimpinan lemah. Hal tersebut memiliki persamaan : korupsi sama dengan monopoli ditambah diskresi, minus akuntabilitas).
Dari apa yang diutarakan oleh Klitgaard tersebut, maka ada 3 (tiga) aspek penting untuk memahami anatomi atau kerangka dasar mengapa korupsi bisa terjadi, yakni : adanya monopoli kekuasaan, adanya kewenangan atau diskresi yang tidak terbatas, dan tidak adanya proses pertanggungjawaban yang jelas. Sedangkan Peter Langseth dalam Wijayanto (2009:6) 19 Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi atau privat yang merugikan publik dengan cara-cara bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Sedang berdasar arti istilah, integritas adalah mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan; kejujuran; wujud keutuhan prinsip moral dan etika bangsa dalam kehidupan bernegara . Integritas kerja adalah bertindak konsisten sesuai dengan kebijakan dan kode etik perusahaan. Memiliki pemahaman dan keinginan untuk menyesuaikan diri dengan kebijakan dan etika tersebut, dan bertindak secara konsisten walaupun sulit untuk melakukannya. Michael Johnston menyebutkan empat penyebab mengapa korupsi harus dikaji dan ditangani dari sapek politik, ekonomi, kelembagaan, yaitu : 1. Biaya akibat korupsi yang tinggi terbukti menghambat dan mendistorsi pembangunan politikk dan ekonomi. 2. Perilaku korup menimbulkan efek sistemik yang berbahaya. 3. Kesekuensi ekonomi akibat korupsi yang bersifat meluas, terutama dalam bentuk berbagai inefisiensi dalam hubungan antara kepentingan negara dan privat. 4. Implikasi korupsi mengarahkan kepada monopoli politik dan kurangnya akuntabilitas (Riyana dan Rukmana dalam Widjayanto, 2009 : 607)
Penutup
20 Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
Persoalan korupsi di negeri ini telah berlangsung dari masa ke masa seiring dengan perubahan tampuk kepemimpinan dan sistem politik yang menghantarkan rezim pemerintahan pada masanya. Berbagai latar belakang dijadikan alasan mengapa korupsi sulit di berantas di negeri ini?. Mulai dari Determinisme Kultural hingga secara historis merupakan peninggalan kolonialisme terutama belanda dengan VOC-nya, sampai kepada perosoalan sistem politik dan pemerintahan pada masa orde lama, orde baru, hingga era reformasi saat ini. Apapun alasannya korupsi di tanah air ini harus diatasi, sebab praktik korupsi sangat merugikan Negara. Meski upaya pemberantasan korupsi gencar dilaksanakan, kondisi tidak kunjung membaik. Korupsi merupakan isu multidimensional yang mempunyai komponen politik, ekonomi, sosial dan budaya, yang sering melibatkan para pemegang kekuasaan sehingga memberantas korupsi bukanlah perkara mudah.
Korupsi merupakan kejahatan yang sulit
diungkap karena korupsi melibatkan dua pihak, yaitu koruptor dan klien yang keduanya berupaya untuk menyembunyikan kejadian tersebut.8 Media massa merupakan kekuatan ke-empat setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam pilar Negara. Maka media massa memegang peranan sangat penting dalam pelaksanaan tata pemerintahan dalam kerangka Negara. Media mempunyai fungsi melakukan kontrol dan kritik
dalam pelaksanaan tata pemerintahan. Media massa juga dapat membangun public
opinion dengan jangkauan khalayak yang luas yang dimiliki oleh media massa. Karenanya media diharapkan dapat menjalankan peran “perang melawan korupsi” dengan menggunakan kekuatan yag dimilikinya. Keberadaan media massa sangat penting dalam persoalan korupsi terutama genderang perang melawan korupsi ditabuh. Media massa merupakan harapan penting yang dapat 8
Baca Wijayanto: Memahami Korupsi: Dalam Korupsi Mengorupsi Indonesia. 2009.
21 Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
dimaksimalkan dalam pemberantasan korupsi ketika lemahnya kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga penegakan hukum yang mestinya melakukan pemberantasan terhadap korupsi. Perang melawan korupsi dalam konstruksi media massa tidak hanya dengan melakukan ekpose terhadap pelaku-pelaku korupsi dan melakukan investigasi terkait dengan berbagai penyimpangan dalam pengelolaan Negara. Namun penegakan integritas sebagai langkah awal untuk mencegah korupsi juga perlu dilakukan. Dalam hal ini media massa dapat membangun dan menanamkan nilai-nilai positif kepada masyarakat, membangun budaya bersih-anti suap-anti korupsi, dan secara terus menerus melakukan kampanye anti korupsi sebagai bagian dan penegakan integritas dan perang terhadap korupsi.
Daftar Pustaka
ANTARA News ; Media Massa Gantikan Pemerintah Hadapi Korupsi; Jumat, 3 Desember 2010 21:03 WIB | 744 Views. Alatas, 1980. The Sociology of Corruption. Singapore; Time International. Ardianto, Elvinaro dan Bambang Q-Anees. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi, Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Bamualim, Chaider S & JM. Muslimin. 2006. Pendidikan Anti Korupsi di Perguruan Tinggi Islam. CSRC-UIN Syarifhidayatullah-Jakarta. Curran, James dan Michael Gurevitch. 1992. Mass Media and Society. London, New York: Edward Arnold. De Fleur, Melvin. 1985. Understanding Mass Communication. Boston: Flonglifon Millin. Effendy, Amir Siregar.2010. Potret Manajemen Media di Indonesia. Yogyakarta:Prodi Komunikasi UII. Flournoy, Don Michael. 1989. Analisa Isi Suratkabar-Suratkabar Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 22 Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa : Sebuah studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-berita Politik. Jakarta:Granit. _______, Ibnu.2010. Komunikasi sebagai Wacana. Jakarta: La Tofi Enterprise.
Klitgaard, Robert. 2001. Membasmi Korupsi. Diterjemahkan oleh Hermoyo. Yayasan OborJakarta. Littlejohn, Stephen W, 1992. Theories of Human Communication. New Mexico: Wadsworth Company, Sixth Edition. McQuail, Dennis. 2000. Mass Communication Theory, London: Sage Publication. ______. 1991. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Penerbit Airlangga. _________. 1987. Mass Communication Theory: An Introduction. Beverly Hill, California : Sage Publication. _______ and Windahl. 1981. Communication Models, London: Longman. Miller, Katherine.2005. Communications Theories: Perspective, Processes, and Contexts.Second Edition.Singapura:Mc Graw Hill. Media Indonesia, 12 Maret 2010 O’ Shaughnessy, Michael dan Jane Stadler.2005. Media And Society : an introduction. Third Edition. Victoria: Oxford University Press. Sen, Krishna dan David T. Hill.2001. Media, Budaya dan Politik Di Indonesia. Penerjemah: Sirikit Syah, Jakarta: ISAI. Severin, Werner J dan James W. tankard, Jr. 2005. Teori Komunikasi : Sejarah, Metode, dan Terapan di dalam Media Massa. Jakarta : Kencana Shoemaker, Pamela J. 1991. Communication Concepts 3: Gatekeeping. London, New Delhi: Sage Publications halaman Wijayanto dan Ridwan Zachrie, 2009, Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
*adalah: Mahasiswa Program Doktor Kajian Budaya dan Media (KBM) Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), dosen Program Magister Ilmu Komunikasi dan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana Jakarta. Aktif di berbagai organisasi yaitu Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi Indonesia (ASPIKOM), Ketua IV (Kajian Keilmuan) Forum Komunikasi Pembangunan Indonesia (FORKAPI). Aktif melakukan aktivitas pemantauan media dan pengembangan media literacy melalui Buana Media Watch (BMW) dan 23 Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
merupakan Kepala Pusat Studi Komunikasi dan Bisnis (PUSKOMBIS) Pascasarjana Univeritas Mercu Buana. Merupakan nara sumber di berbagai seminar nasional dan nara sumber di media massa dengan isu-isi media, politik dan masyarakat.
24 Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id