MATA-MATA Arthur B. Reeve
2016
Mata-mata Diterjemahkan dari The Unofficial Spy karangan Arthur B. Reeve terbit tahun 1912 (Hak cipta dalam Domain Publik) Penerjemah Penyunting Penyelaras akhir Penata sampul
: Ilunga d’Uzak : Kalima Insani : Bared Lukaku : Bait El Fatih
Diterbitkan dalam bentuk e-Book oleh: RELIFT MEDIA Jl. Amil Sukron No. 47 Kec. Cibadak Kab. Sukabumi Jawa Barat 43351 SMS : 0853 1179 4533 Surel :
[email protected] Situs : reliftmedia.com Pertama kali dipublikasikan pada: April 2016 Revisi terakhir: Copyright © 2016 CV. RELIFT Hak kekayaan intelektual atas terjemahan dalam buku ini adalah milik penerbit. Dilarang mengutip dan/atau memperbanyak seluruh atau sebagian isi buku ini dalam bentuk dan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
Buku ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat, peristiwa, dan kejadian hanyalah imajinasi penulis. Segala kemiripan dengan seseorang, hidup atau mati, peristiwa, atau lokasi kejadian hanyalah kebetulan belaka.
Ebook ini adalah wujud kesungguhan kami dalam proyek penerjemahan sastra klasik asing. Kami menyebutnya RELIFT: Mengangkat Kembali, dari masa lalu untuk masa kini hingga masa depan. Pembaca dapat turut mendukung kami dengan mengklik iklan sponsor di situs dan blog kami.
“CRAIG, kau lihat lelaki dekat meja itu, yang sedang bicara dengan resepsionis malam?” tanyaku pada Kennedy suatu malam sambil berjalan santai ke dalam lobi Hotel Vanderveer usai meminta kembali
topi
kami
dari
plutokrat
yang
memegang
hak
pemeriksaan. Kami habis makan malam di taman atap Vanderveer tanpa keperluan apa-apa selain hasrat untuk berkenalan dengan hotel baru. “Ya,” sahut Kennedy, “kenapa dengannya?” “Dia detektif hotel, namanya McBride. Mau menemuinya? Dia punya banyak cerita bagus, orangnya menarik. Beberapa waktu lalu kami bertemu di sebuah makan malam yang diadakan untuk Presiden. Dia menuturkan bagaimana dinas rahasia, kepolisian, dan hotel bersatu untuk menjaga Presiden selama makan malam. Kau tahu, hotel besar adalah tempat favorit segala macam orang aneh dan brengsek.” Detektif hotel itu berpaling dan menangkap sorot mataku. Tak dinyana, dia maju menghampiri. “Hai—ehm—ehm—Jameson,”
sapanya,
akhirnya
ingat
namaku, meski kami baru bertemu satu kali dan tidak lama. “Kau kerja di koran Star, bukan?” “Ya,” jawabku, penasaran apa yang dia mau. “Well—ehm—kira-kira apa kau bisa sedikit—ehm—membantu hotel ini?” tanyanya, bimbang dan menurunkan suara. “Ada apa?” selidikku, tidak begitu yakin tapi kurasa itu upaya terselubung untuk memperoleh iklan gratis kecil-kecilan untuk Vanderveer. “Ngomong-ngomong, McBride, perkenalkan ini 5
temanku, Kennedy.” “Craig Kennedy?” bisiknya pelan, cepat-cepat menoleh padaku. Aku mengangguk. “Tn. Kennedy,” seru si orang hotel penuh hormat, “apa kau sibuk sekarang?” “Tidak juga,” sahut Craig. “Barusan temanku Jameson bilang kau punya kisah menarik tentang kehidupan detektif hotel. Aku ingin dengar sebagiannya, kalau kau tidak terlalu—” “Mungkin kau mau melihatnya langsung?” potong si detektif hotel, antusias mengamati wajah Craig. “Tentu, aku akan senang sekali. Soal apa itu—‘penipu’ atau ‘ronda’ hotel?” McBride menengok sekeliling untuk memastikan tak ada yang mendengar. “Bukan dua-duanya,” bisiknya. “Entah bunuh diri atau pembunuhan. Ikut ke atas denganku. Saat ini tak ada orang di dunia ini yang ingin kutemui selain kau, Tn. Kennedy.” Kami mengikuti McBride ke dalam elevator yang dia hentikan di lantai 15. Diawali anggukan kepada seorang gadis muda, resepsionis di lantai tersebut, sang detektif hotel memimpin jalan menyusuri lorong berkarpet tebal, berhenti di sebuah kamar yang lampunya memancar keluar jendela loster di atas pintu. Dia menarik seikat kunci dari saku, lalu memasukkan kunci induk ke dalam dudukannya. Pintu berayun terbuka ke ruang duduk berperabot mewah. Aku menengok ke dalam, setengah takut. Tapi walaupun semua lampu dinyalakan, ruangan tersebut kosong. McBride langsung melintasi 6
ruangan, membuka pintu sebuah kamar tidur, dan menyentak kepalanya ke belakang dengan gerak cepat, menandakan agar kami ikut. Sosok seorang wanita tergolek tak bernyawa di atas tempat tidur apik berlapis seprei linen putih. Wanita ini cantik, meski tidak menampakkan kesegaran yang membuat kaum hawa Amerika begitu menarik. Ada kesan tak alami dari kecantikannya, ketidakalamian yang mengisyaratkan cerita rahasia seorang wanita dengan masa lalu tertentu. Dia orang asing, kelihatannya dari ras Latin, walaupun aku tak mampu menebak kebangsaannya di depan kengerian tragedi ini. Sudah cukup bagiku di sini terbaring seorang wanita cantik dingin, keras, kaku, berbalut gaun teranyar Paris, sendirian di kamar berperabot elegan, di sebuah hotel eksklusif di mana ratusan tamu riang sedang makan malam, bercengkerama, dan tertawa-tawa tanpa menyangka adanya rahasia seram beberapa kaki dari mereka. Sesaat kami terpana. “Koroner pasti kemari sewaktu-waktu,” ujar McBride. Bahkan sifat dingin detektif terlatih tidak cukup untuk menyembunyikan perasaan sejati orang ini. Namun pikiran realistisnya segera kembali, dan dia melanjutkan, “Nah, Jameson, bisakah kau gunakan sedikit pengaruhmu di kalangan orang-orang suratkabar untuk menjauhkan ini dari halaman depan? Tentunya harus ada yang dicetak tentang ini. Tapi kami tak mau membuat sial hotel yang baru mulai ini. Tempo hari seseorang bunuh diri di sini dan meninggalkan catatan permintaan maaf yang digembar-gemborkan 7
oleh sebagian koran. Sekarang muncul kasus ini. Manajemen ingin sekali kejahatan ini dibereskan—jika ini kejahatan. Tapi tak bisakah dilakukan tanpa gaduh? Kami takkan segan soal biaya— asalkan nama Vanderveer tetap terjaga. Hanya saja, aku khawatir koroner mencoba membesar-besarkannya dan membuat sensasi.” “Siapa namanya?” tanya Kennedy. “Paling tidak, dengan nama apa dia terdaftar?” “Dia terdaftar sebagai Madame de Nevers. Belum sampai sepekan dia kemari, datang langsung dari kapal uap Tripolitania. Lihat saja kopor dan barang-barang miliknya, semua ditempeli label luar negeri, tak satupun label Amerika. Aku yakin namanya fiktif, sebab sejauh yang bisa kulihat semua tanda pengenal biasa sudah dilenyapkan. Akan butuh waktu untuk mengidentifikasinya. Dan sementara itu, jika memang terjadi kejahatan, pelakunya dapat melarikan diri. Yang kumau sekarang adalah tindakan.” “Apa tindak-tanduk wanita ini tidak memberi petunjuk, sekecil apapun?” tanya Kennedy. “Banyak sekali,” tanggap McBride cepat. “Salah satunya, dia tidak banyak memakai bahasa Inggris dan pelayannya sering mewakili, bahkan sampai memesankan makanan, yang selalu dihidangkan di sini. Aku memang memperhatikan Madame beberapa kali di sekitar hotel, meski sebagian besar waktunya dihabiskan di dalam kamar. Dia sangat memikat, dan para lelaki memandanginya setiap kali dia keluar kamar. Dia tak pernah memperhatikan mereka. Tapi jelas-jelas dia menantikan seseorang, sebab pelayannya meninggalkan pesan di meja bahwa jika Tn. 8
Gonzales berkunjung, dia ada di kamar; jika yang lain, dia sedang keluar. Selama satu atau dua hari pertama dia terus mengurung diri, kecuali di penghujung hari kedua di mana dia berkeliling sebentar melintasi taman dengan taksi—tertutup, bahkan dalam cuaca panas begini. Ke mana perginya aku tak tahu, tapi saat mereka pulang si pelayan terlihat agak kalut. Setidaknya dia kalut beberapa menit kemudian saat menuruni tangga jauh-jauh untuk melakukan panggilan telepon dari sebuah kiostel, alih-alih memakai telepon kamar. Di berbagai kesempatan si pelayan diutus untuk melaksanakan tugas tertentu, tapi selalu segera kembali. Madame de Nevers betul-betul wanita misterius, tapi asalkan misterinya tidak ramai, kupikir bukan urusan kami untuk mencampuri urusannya.” “Apa dia pernah kedatangan tamu? Apa Tn. Gonzales ini berkunjung?” tanya Kennedy. “Pernah ada tamu, seorang wanita datang dan menanyakan apakah Madame de Nevers menginap di hotel ini,” jawab McBride. “Itulah yang disampaikan resepsionis saat kebetulan aku melihatmu tadi. Dia bilang, menuruti perintah si pelayan, dia menyebutkan Madame sedang keluar.” “Siapa tamu ini, menurut dugaanmu?” tanya Craig. “Apa dia titip kartu atau pesan? Apa ada petunjuk tentangnya?” Detektif menatapnya serius beberapa lama, seolah bimbang untuk menceritakan sesuatu yang boleh jadi gosip belaka. “Resepsionis tidak tahu sama sekali, tapi dari pengetahuannya tentang berita para tokoh dan koran bergambar, dia yakin 9
mengenalnya. Dia bilang itu Nona Catharine Lovelace.” “Sang pewaris Southern,” seru Kennedy. “Ah, koran-koran bilang dia bertunangan—” “Tepat,” sela McBride, “pewaris yang dirumorkan bertunangan dengan Duc de Chateaurouge.” Aku dan Kennedy bertukar pandang. “Ya,” imbuhku, teringat ucapan yang kudengar beberapa hari lalu dari reporter berita tokoh di Star, “konon Chateaurouge sedang ada di negara ini, menyamar.” “Benang ramping cantik untuk menggantung tanda pengenal,” ujar McBride buru-buru. “Foto-foto suratkabar bukan sarana terbaik untuk mengenali seseorang. Apapun yang ada di dalamnya, tetap saja faktanya Madame de Nevers, anggap itu nama aslinya, telah mati sekurangnya satu atau dua hari. Yang harus diputuskan pertama-tama adalah apa ini kematian wajar, bunuh diri, atau pembunuhan. Setelah menetapkannya
kita
dapat mengejar
petunjuk Lovelace ini.” Kennedy tak berucap apa-apa dan aku tak bisa simpulkan apakah dia memberi nilai besar atau kecil pada kecurigaan resepsionis hotel. Dia sedang memeriksa mayat di ranjang secara sepintas. Tak mendapat hasil, dia melihat-lihat kamar seolah mencari suatu bukti bagaimana tindak kejahatan ini dilakukan. Bagiku keadaan ini sulit dimengerti, bahwa tanpa terdengar teriakan oleh satupun tamu, pembunuhan dapat dilakukan di sebuah hotel padat di mana kamar-kamar di setiap sisi telah berpenghuni dan orang berlalu-lalang di koridor sepanjang waktu. 10
Apa ini memang bunuh diri, terlepas dari keyakinan McBride sebaliknya? Seruan pelan dari Kennedy menarik perhatian kami. Dia menemukan beberapa potong kaca kecil dan tipis tersangkut pada lipatan renda tipis gaun si wanita. Dia asyik memperhatikan serpihan itu, sampai terlupa akan sekitarnya. Setelah dibolak-balik dan dipasangkan, rupanya mereka membentuk separuh bola hampa berbahan kaca tipis, dengan diameter kira-kira seperempat inchi. “Bagaimana mayatnya ditemukan?” tanya Craig, buru-buru mendongak pada McBride. “Dua hari lalu pelayan Madame pergi ke kasir,” ulang detektif pelan-pelan, seolah menceritakan kasus untuk dirinya sendiri, “dan mengaku diminta oleh Madame untuk menyampaikan bahwa dia akan pergi beberapa hari dan kamarnya tidak boleh diganggu selama kepergiannya. Si pelayan ditugaskan membayar tagihan, bukan hanya untuk waktu inap mereka di sini, tapi juga untuk sisa pekan, saat Madame kemungkinan besar akan pulang, kalau tidak lebih awal. Tagihan pun dijumlahkan dan dibayar. “Semenjak itu, hanya pelayan kamar yang masuk ke suite ini. Kunci lemari dinding di pojok hilang, dan akan terus menyembunyikan rahasianya hingga akhir pekan atau bahkan satu atau dua hari lebih lama andai pelayan kamar tidak penasaran. Dia berburu sampai menemukan kunci lain yang pas, kemudian membuka pintu lemari, guna memeriksa apa yang Madame simpan secara khusus selama kepergiannya. Di sana terdapat mayat Madame, berpakaian lengkap, terdesak ke ruang sempit dan 11
berjubel di sudut. Pelayan kamar menjerit, dan bocorlah rahasia ini.” “Lalu pelayan Madame de Nevers? Bagaimana dengannya?” tanya Kennedy penuh semangat. “Dia raib,” jawab McBride. “Sejak tagihan dibayar, tak ada yang melihatnya.” “Tapi kau punya deskripsi lengkap dirinya, yang bisa kau edarkan untuk mencarinya kalau perlu?” “Ya, sepertinya aku bisa berikan deskripsi lengkap.” Mata Kennedy bertemu tatapan heran McBride. “Boleh jadi kasus ini tidak biasa,” ujarnya menjawab pertanyaan tersirat sang detektif. “Kukira kau sudah dengar tentang para ‘endormeur’ dari Paris?” McBride menggeleng. “Itu istilah Prancis untuk seseorang yang menidurkan orang lain, pembuat tidur,” terang Kennedy. “Mereka adalah aliran penjahat ilmiah terbaru yang memanfaatkan obat pelumpuh paling manjur dan paling cepat. Sebagian perbuatan mereka melampaui apa yang dibayangkan kepolisian Eropa. Polisi Amerika sudah diperingatkan secara resmi akan eksistensi para endormeur dan deskripsi metode dan foto perlengkapan mereka sudah dikirim kemari. “Dalam daftar mereka tak ada teknik mentah semacam kloral atau obat tetes pemingsan. Semua turunan opium seperti morfin, kodein, heroin, dionin, narsein, dan narkotin, belum lagi etil bromida, bromoform, amil nitrit, dan amilin, dimanfaatkan oleh 12
para endormeur untuk menidurkan korban mereka, dan keahlian memakai obat-obat manjur ini menjadikan mereka salah satu kelompok penjahat paling berbahaya. Kaum lelakinya sangat cerdas dan pemberani; syarat utama kaum wanitanya adalah kecantikan ekstrim dan tak pandang moral. “Mereka membawa bola kaca tipis berisi salah satu cairan ini, disimpan dalam saputangan saku, lalu dipecah dan ditodongkan ke hidung korban, dan—wuus!—korban tak sadarkan diri. Tapi biasanya endormeur tidak membunuh. Biasanya dia puas melumpuhkan, merampok, terus meninggalkan korbannya. Kasus ini lebih dari sekadar bunuh diri atau pembunuhan, McBride. Memang bisa saja dia bunuh diri dengan obat-obat endormeur; atau bisa saja dia cuma dibuat pingsan oleh obat tersebut lalu diberi racun lain. Tergantung pada dua kemungkinan ini, ada sesuatu yang lebih tersembunyi dalam kasus ini daripada yang tampak di permukaan. Sejauh yang kucermati, aku tidak ragu untuk menyatakan kita sedang berurusan dengan ulah seorang atau sekelompok penjahat paling mutakhir dan ilmiah.” Kennedy hampir belum menyelesaikan kalimatnya saat McBride meninju telapak tangan kirinya sendiri disusul bunyi menggema. “Hei,” serunya heboh, “ada satu hal lain yang entah berkaitan dengan kasus ini atau tidak. Satu malam pasca kedatangan Madame, kebetulan aku berjalan-jalan di kafe, di mana kulihat satu wajah yang familiar. Dia pria berambut gelap berkulit zaitun, dengan wajah mempesona tapi menakutkan. Dari pengalamanku di 13
kepolisian, rasanya aku ingat dia adalah bajingan terkenal yang bertahun-tahun tak kelihatan di New York, seseorang yang dahulu biasa bertaruh dengan maut dalam revolusi-revolusi Amerika Selatan, seorang serdadu bayaran. “Well, aku berkedip kepada pelayan, Charley, terus dia menemuiku di belakang kafe, di pojok. Kau tahu, di hotel ini kami punya sistem reguler untuk mengubah semua orang menjadi detektif amatir. Aku bilang padanya agar berhati-hati terhadap pria berwajah gelap dan pemuda yang bersamanya, agar melayani mereka secara khusus, dan menangkap sekelumit percakapan sebisa mungkin. “Charley paham, dan isyarat sesederhana apapun dariku menjadikannya pelayan taat. Tentu saja pria gelap itu tidak memperhatikan, tapi andai lebih awas, dia akan lihat bahwa tiga kali selama mengobrol dengan rekannya, Charley berlama-lama mengelap mejanya dengan tangan. Dua kali dia memasukkan air soda segar ke dalam minumannya. Seperti pelayan baik yang selalu bekerja demi tip besar, dia terus menempel dekat-dekat, wajahnya kosong dan matanya hampa. Tapi pelayan itu mata rantai penting dalam rantai perlindunganku atas hotel ini dari setiap bajingan. Dia di sana untuk mendengarkan dan memberiku isyarat, yang dilakukannya sesuai perintah. “Tidak banyak yang dia kuping, tapi isinya mencurigakan. Jadi aku tak ragu untuk menyimpulkan orang tersebut tamu tak diinginkan. Itu berkenaan dengan Terusan Panama, dan stasiun pengisian batu bara kapal uap dan perusahaan buah di pantai salah 14
satu negara Amerika Latin. Sebetulnya, dia bilang, itu adalah stasiun pengisian batu bara milik adidaya Eropa tertentu yang tidak dia sebutkan namanya, tapi si rekan muda tampak tahu. Mereka membahas dermaga dan bidang tanah, kedaulatan dan cetak biru, Doktrin Monroe, kemanfaatan perang, dan banyak hal lain. Terus mereka menyinggung soal uang. Meski Charley sangat tekun, dia cuma mendengar ‘sepuluh ribu franc’ dan ‘menyogok wanita itu’, dan terakhir sebuah rahasia yang dibisikkan. Dia menangkap katakatanya, ‘pengadangan untuk membawa wanita itu kemari, jauh dari Paris’. Akhirnya pria gelap dalam ledakan kepercayaan diri itu menyebutkan ‘rencana lain adalah hal nyata biar bagaimanapun’, dan bahwa semua urusan itu akan memberinya lima puluh ribu franc, yang dengannya dia bisa leluasa. Charley tidak punya firasat, hal lain apa itu. “Tapi aku yakin dia sudah mendengar cukup banyak untuk menjamin itu adalah pembahasan suatu jenis penipuan. Waktu itu terus-terang aku tak begitu peduli apa maksudnya. Mungkin saja itu upaya si muka gelap untuk menjual Terusan kepada seorang umpan. Yang ingin kutahu adalah Vanderveer tidak menjadi tempat pelarian orang-orang macam ini. Tapi aku khawatir ini jauh lebih serius dari yang kupikirkan saat itu. “Well, si pria gelap akhirnya pamit dan berjalan-jalan ke lobi hingga meja penerimaan. Aku menyusulnya dari arah berlawanan. Dia sedang memeriksa buku daftar kedatangan hari itu. Kuputuskan sudah waktunya berbuat sesuatu. Aku berdiri persis di sampingnya, menyalakan cerutu. Aku segera berbalik padanya dan 15
sengaja menginjak sepatu kulit perlak yang dia pakai. Dia memelototiku karena tidak mendapat permintaan maaf. ‘Astaga,’ serunya, ‘apa yang—’ Tapi sebelum dia sempat selesai, aku bergeser lebih dekat lagi dan kucubit sikunya. Pancaran merah amarah tertahan menyebar di wajahnya, tapi dia mengakhiri perkataannya. Dia sadar dan aku tahu dia sadar. Itu adalah isyarat di hotel-hotel daratan Eropa bila mereka menemukan seorang bajingan dan diam-diam memintanya angkat kaki. Orang itu berputar dan tergesa-gesa melangkah keluar hotel. Tak lama, si pemuda di kafe, lumayan kesal dengan ketidakacuhan mendadak pelayan kami yang seolah tidak puas atas tip darinya, berjalan ke lobi. Karena tak menjumpai rekan berkulit gelap, dia ikut menghilang. Andai saja kubuntuti mereka. Pemuda itu bukan umpan sama sekali. Ada sesuatu di antara mereka berdua, camkan kata-kataku.” “Tapi kenapa kau kaitkan insiden tersebut dengan kasus Madame de Nevers?” tanya Kennedy, sedikit bingung. “Karena esok harinya, hari menghilangnya pelayan Madame, kebetulan aku lihat seorang pria mengucapkan selamat tinggal kepada seorang wanita di pintu masuk belakang khusus kereta kuda. Wanita itu pelayan Madame dan pria itu adalah pria gelap yang pernah duduk di kafe.” “Tadi kau bilang punya deskripsi lengkap sosok si pelayan atau dapat menuliskannya. Menurutmu kau bisa temukan dia?” Detektif hotel berpikir satu atau dua menit. “Kalau dia pergi ke salah satu hotel lain di kota ini, aku bisa.” jawabnya pelan. “Kau 16
tahu, baru-baru ini kami detektif hotel membuat semacam kantor informasi, dan kami bekerjasama sangat baik, meski sembunyisembunyi. Agak mungkin dia pergi ke hotel lain. Mungkin dia berpikir, ketidaktahumaluan dapat menjadi pelindung.” “Kalau begitu bisa kuserahkan bagian itu padamu, McBride?” tanya Kennedy sambil merenung, seperti sedang menyusun program aksi dalam kepalanya. “Kau dan para detektif hotel akan melakukan penelusuran, bersama kepolisian kota ini, dan kota-kota lain, kau akan mengadakan penyelidikan di kapal-kapal uap dan rel-rel kereta, dan semacamnya? Sekaligus cari jejak dua pria yang pernah kau lihat di kafe. Tapi sementara ini jangan kendurkan usaha untuk menemukan gadis itu.” “Percayakan padaku,” tandas McBride percaya diri. Terdengar ketukan berat pada pintu, McBride membukanya. Ternyata koroner. Tak perlu kudalami penyelidikan panjang-lebar yang koroner lakukan, menanyai pelayan dan karyawan satu persatu tanpa membuahkan informasi lebih nyata daripada yang sudah kami peroleh singkat dari detektif hotel. Koroner, tentu saja, marah atas pemindahan mayat dari lemari dinding ke tempat tidur. Dia ingin melihatnya dalam posisi ditemukan, tapi karena itu sudah terlanjur dilakukan oleh para pelayan sebelum McBride sempat mencegah, mau tak mau kenyataan ini harus diterima. “Kasus yang sangat ganjil,” ujar koroner di akhir pemeriksaan, terkesan seperti seseorang yang mampu menerangkan lebih banyak berdasarkan pengalaman panjangnya kalau dia mau. “Namun, ada 17
satu poin yang harus kita jernihkan. Apa penyebab kematiannya? Tak ada gas di ruangan ini. Berarti bukan gas penerangan. Tidak, pasti sejenis racun. Terus motifnya,” imbuhnya, berusaha tampak yakin padahal sebetulnya menembakkan ucapan ragu kepada Craig dan detektif hotel, yang tak berkata apa-apa. “Kelihatannya bunuh diri—setidaknya bunuh diri yang coba disembunyikan oleh seseorang,” tambahnya, buru-buru mengingat bagaimana mayat ditemukan dan kritiknya terhadap pemindahan mayat dari lemari dinding. ***** “Bukankah sudah kubilang?” ketus McBride setelah kami meninggalkan koroner menuju lantai bawah beberapa menit kemudian. “Aku tahu dia akan mengira hotel ini menyembunyikan sesuatu darinya.” “Apa boleh buat,” kata Craig. “Yang bisa kita lakukan hanya menelusuri petunjuk dalam genggaman kita. Kuserahkan pencarian pelayan itu pada organisasimu, McBride. Tunggu, teater dan taman atap pasti menampakkan rahasia kali ini. Aku akan cek apa ada informasi yang bisa didapat dari Nona Lovelace. Temukan alamatnya, Walter, dan tolong panggil taksi.” Sang pewaris Southern lebih menarik perhatian dengan kecantikannya daripada kekayaannya yang terbilang moderat sebagaimana kaum kaya Amerika dewasa ini. Dia tinggal di apartemen menghadap taman bersama ibunya, seorang wanita yang 18
ambisi sosialnya dikenal tak terbatas dan seringkali dipaksakan. Untungnya kami tiba di apartemen tak lama setelah kepulangan ibu dan anak ini. Walau sudah larut, Kennedy menyampaikan kartu berisi pesan urgen untuk menemui mereka. Mereka menjamu kami di ruang kumpul besar dan jelas-jelas terganggu oleh kunjungan kami, padahal tentu saja itu dapat ditafsirkan secara wajar. “Ada apa kalian mau menemuiku?” Ny. Lovelace angkat bicara dengan nada yang dimaksudkan menutup percakapan sebelum dimulai. Kennedy bukan ingin menemuinya, tapi sudah pasti hal ini tidak ditampakkan dalam jawaban yang dia berikan kepadanya padahal ditujukan kepada Nona Lovelace. “Bisakah kau ceritakan sesuatu tentang Madame de Nevers yang menginap di Vanderveer?” tanya Craig, cepat-cepat menoleh pada sang puteri untuk menangkap efek pertanyaannya, lalu menunggu, mengharap jawaban darinya. Paras nona muda sedikit memucat dan dia tampak menahan nafas sekejap, tapi dia tetap tenang luar biasa terlepas dari kejutan pertanyaan Craig. “Aku pernah dengar tentangnya,” jawab Nona Lovelace dengan ketenangan dipaksakan, sementara Craig terus memandanginya, menunggu jawaban. “Kenapa kau tanyakan?” “Karena seorang wanita yang diduga Madame de Nevers melakukan bunuh diri di Vanderveer dan barangkali kau bisa mengidentifikasinya.” 19
Kali ini dia sudah menguasai diri lagi. Berdasarkan hal ini aku berargumen, apapun yang dia ketahui tentang Madame, itu hanya sampai waktu sebelum tragedi. “Aku, mengidentifikasinya? Ah, aku tak pernah bertemu dengannya. Aku cuma tahu ada makhluk semacam itu.” Dia mengatakannya dengan sikap menantang dan dingin, yang lebih jelas daripada ucapan semata bahwa dia memandang rendah perkenalan dengan seorang demi-mondaine1. “Apa menurutmu Duc de Chateaurouge akan bisa mengidentifikasinya?” tanya Kennedy tanpa ampun. “Tunggu sebentar,” tambahnya, mengantisipasi raut hampa heran di wajah Nona Lovelace. “Aku punya alasan untuk percaya duke tersebut sedang berada di negeri ini secara menyamar—bukan?” Alih-alih bicara, Nona Lovelace cuma mengangkat bahu sedikit. “Entah di New York atau Washington,” desak Kennedy. “Kenapa tanya aku?” akhirnya dia bersuara. “Bukankah sudah cukup beberapa suratkabar memberitakan begitu? Kalau kau baca itu dalam suratkabar, artinya memang begitu—mungkin—kan?” Kami tidak mengalami kemajuan dalam tanya-jawab ini, setidaknya menurutku. Kennedy mengakhirinya, terutama karena melihat kegelisahan Ny. Lovelace. Namun maksudnya sudah tercapai. Entah benar atau tidak duke berada di New York atau Washington atau Spitzbergen, kini dia yakin Nona Lovelace tahu 1
Wanita hedonis asusila kelas atas. 20
Madame de Nevers, dan barangkali tahu sesuatu tentangnya. Agaknya mendiang pernah berkomunikasi dengannya dan Nona Lovelace adalah wanita yang dilihat resepsionis hotel di Vanderveer. Kami undur diri seluwes mungkin dengan posisi kami yang canggung. Karena tak ada lagi yang perlu dikerjakan larut malam itu, Craig memutuskan untuk tidur nyenyak, metode sempurnanya dalam memulai awal baru setelah bertemu jalan buntu. ***** Bayangkan betapa kagetnya kami di pagi hari lantaran ditunggui oleh koroner sendiri, yang dalam beberapa patah kata menyatakan sangat tidak puas dengan perkembangan yang didapat kantornya terkait kasus ini. “Kau paham,” simpulnya setelah pengakuan dan pengelakan panjang-lebar, “kami tak punya fasilitas laboratorium bagus untuk melakukan uji kimiawi, patologis, dan bakteriologis dalam kasus pembunuhan dan bunuh diri. Kami sering terpaksa berpaling pada laboratorium swasta, seperti saat aku minta bantuanmu di masa lalu. Nah, Profesor Kennedy, kalau kami serahkan bagian riset kasus ini kepadamu, akan kupastikan tagihan layak untuk jasa profesionalmu disetujui oleh kantor pengawas keuangan kota secepatnya.” Serta-merta Craig memanfaatkan kesempatan ini, meski dia tak mengesankannya kepada koroner. 21
“Baiklah,” sepakat sang pejabat, “akan kupastikan semua organ yang diperlukan untuk uji menyeluruh terkait penyebab kematian wanita ini segera dikirim ke Chemistry Building.” Koroner menepati janji. Kami hampir tidak sarapan dan tiba di bengkel ilmiah milik Craig sebelum pejabat itu menampakkan diri, ditemani seseorang yang membawa toples-toples aneh berisi material penting untuk penyelidikan pasca otopsi. Kennedy senang bukan kepalang. Kasus ini mengalami perkembangan tak terduga yang menjadikan dirinya faktor utama penyelesaian. Kecurigaan apapun yang dipertimbangkannya secara tak resmi tadi malam, kini dapat dia buktikan terang-terangan dan cepat-cepat. Dia mengambil sepotong jaringan tisu paru-paru, terus disayatnya dengan pisau tajam steril. Dia membuatnya agak alkali dengan sedikit sodium karbonat, sambil bicara pada kami dan dirinya sendiri. Langkah berikutnya adalah menempatkan materi tersebut ke dalam labu kaca di bak air, lalu dipanaskan. Dari labu, pipa kaca Bohemian mengarah ke bejana dingin. Api sedang memanaskan sebagian pipa hingga merah sepanjang dua atau tiga inchi. Beberapa menit kami menunggu tanpa suara. Akhirnya, setelah proses ini berlangsung cukup lama, Kennedy mengambil sehelai kertas yang sudah dilumuri kanji beryodium, sebagaimana dijelaskannya kemudian. Dia celupkan kertasnya ke dalam bejana dingin. Lambat-laun itu berubah warna jadi biru pekat. Craig tak berkata apa-apa, tapi jelas dia puas sekali dengan apa 22
yang terjadi. Buru-buru dia meraih botol di rak di depannya, dan aku bisa lihat dari label pada kaca cokelatnya bahwa itu perak nitrat. Selagi dia mencelupkannya sedikit di dalam tabung reaksi ke dalam bejana, endapan pekat berangsur-angsur terbentuk. “Tak salah lagi, ini reaksi terhadap kloroform,” serunya menjawab pertanyaan kami yang tak terucap. “Kloroform,” timpal koroner, agak ragu. Dia mengharapkan suatu racun dan tidak menduga hasil apapun dari pemeriksaan paru-paru, bukan dari perut yang sejauh ini menjadi fokus penyelidikannya. “Bisakah kloroform ditemukan dalam paru-paru atau rongga perut setelah berhari-hari? Ada satu kasus kloroform terkenal yang membuat seseorang dipenjara seumur hidup di Sing Sing padahal menurut pemahamanku terdapat keraguan besar di benak para ahli. Dengar, aku tak bermaksud mempertanyakan hasil kerjamu kecuali sebagaimana dipertanyakan di persidangan. Menurutku, volatilitas kloroform membuatnya hampir tidak mungkin ditemukan meski baru sebentar. Tak mungkinkah mayat menghasilkan zat-zat lain yang akan memberi reaksi seperti kloroform? Kita harus pertimbangkan semua pertanyaan ini sebelum membuang teori racun, pak. Ingat, sekarang musim panas, dan kloroform akan menguap jauh lebih pesat daripada di musim dingin.” Kennedy tersenyum, tapi keyakinannya tak tergoyahkan. “Aku sudah siap menjawab segala keberatanmu,” jelasnya ringkas. “Rasanya bisa kutetapkan sebagai kaidah bahwa, dengan metode tepat, kloroform dapat ditemukan di rongga perut pasca 23
kematian jauh lebih lama daripada yang umumnya dikira—di musim panas dari enam hari sampai tiga pekan, dengan praktek kerja katakanlah dua belas hari, sementara di musim dingin dapat ditemukan bahkan setelah beberapa bulan—dengan metode tepat. Sudah pasti kasus ini berada dalam rentang waktu rata-rata. Selain itu, proses pembusukan takkan menghasilkan zat yang melampaui uji klorofom seperti barusan. Kloroform memiliki afinitas terhadap air dan juga bersifat preservatif, dan berdasarkan semua fakta ini kurasa cukup aman untuk menyimpulkan jejaknya terkadang dapat ditemukan dalam dua pekan pasca diberikan, apalagi dalam beberapa hari saja.” “Dan
Madame
de
Nevers?”
selidik
koroner,
seolah
perkembangan peristiwa mengharuskan teorinya direkonstruksi total. “Dibunuh,” Kennedy melengkapinya dengan nada tegas. “Tapi,” kukuh koroner, “kalau dia dibunuh dengan kloroform, bagaimana kau menerangkan fakta bahwa itu dilakukan tanpa pergulatan? Tak ada tanda kekerasan dan aku tidak percaya, dalam keadaan normal, seseorang akan tunduk diberi zat semacam itu tanpa perlawanan keras.” Dari sakunya Kennedy menarik kotak karton kecil berisi bolabola mungil, beberapa kembang gula dan tablet obat manis, satu semprit hipodermik kecil, dan beberapa batang cerutu dan rokok. Dia menahannya di telapak tangan agar dapat kami lihat. “Ini,” ujarnya, “adalah peralatan standar endormeur. Siapapun yang mendapat izin masuk kamar Madame, entah secara wajar 24
ataupun sembunyi-sembunyi, pasti telah mengajaknya bercakapcakap, melucuti kecurigaan, dan tahu-tahu membekap hidungnya dengan saputangan saku. Si penjahat meremukkan bola cairan di dalam saputangan, korban tak sadarkan diri, kloroform diberikan tanpa pergulatan, semua tanda pengenal dilenyapkan, tubuhnya ditempatkan di dalam lemari dinding, dan pelayan—entah sebagai pelaku atau antek—mengambil langkah paling mungkin untuk mengulur penemuan mayat dengan membayar tagihan di muka, kemudian menghilang.” Kennedy menyelipkan kotaknya kembali ke dalam saku. Kurasa Koroner menantikan putusan Craig, walaupun dia enggan membuang teori bunuh diri dan mempertahankannya hingga detik terakhir. Biar bagaimanapun, sejauh ini dia belum bicara banyak, rupanya lebih suka menyimpan rencana tindakannya dan memilih menggerakkan mekanismenya sendiri. Dia menarik catatan dari saku. “Kuduga,” katanya sementara, menggoyang catatan sambil melirik ragu pada kami, “kau sudah dengar bahwa di antara para tamu wanita naas ini terdapat nona berkedudukan sosial tinggi di kota ini?” “Aku sudah dengar rumor itu,” jawab Kennedy seraya sibuk membersihkan peralatan tadi. Sikapnya tak mengisyaratkan fakta bahwa kami sudah melangkah lebih jauh dengan menanyai nona muda yang dimaksud. “Well,” sambung koroner, “mengingat apa yang barusan kau temukan, aku tak keberatan memberitahumu bahwa itu lebih dari sekadar rumor. Kusuruh seseorang memantau nona tersebut dan ini 25
laporan yang kuterima sebelum datang kemari.” Kami membaca catatan yang dia serahkan. Hanya satu baris singkat: “Nona Lovelace buru-buru berangkat menuju Washington pagi ini.” Apa artinya? Jelas, seiring kami selidiki lebih dalam, percabangan kasus ini semakin lebar dari yang kami perkirakan. Kenapa Nona Lovelace pergi ke Washington, di antara semua tempat, di musim terik ini? Koroner belum lama meninggalkan kami, lebih bingung daripada sebelumnya, saat datang pesan telepon dari McBride bahwa ada kabar penting untuk kami jika bersedia menemuinya di St. Cenis Hotel dalam waktu satu jam. Dia tak mau menyampaikannya lewat telegram. Sambil menaruh gagang telepon Kennedy mengambil pistol dari laci meja, dibukanya dengan cepat, dan diamatinya pelor-pelor di dalam silinder. Lalu dia menutupnya keras dan dimasukkan ke dalam saku. “Tak perlu kukatakan apa yang mungkin kita hadapi sebelum kembali ke laboratorium,” ujarnya. Kami pun berkendara menemui McBride. Deskripsi yang disebarkan sang detektif hotel kepada detektifdetektif lain tadi malam telah membuahkan hasil. Dalam dua hari terakhir seorang lelaki yang menyerupai gambaran pemuda di kafe dan seorang wanita yang kemungkinan besar pelayan Madame pernah datang ke St. Cenis sebagai Tn. dan Ny. Duval. Kopor mereka ringan, tapi mereka bersusah-payah mengesankan kepada 26
hotel bahwa mereka punya kedudukan dan itu adalah perjalanan langsung dari kereta ke kapal uap, usai tamasya di Amerika. Sebetulnya mereka tidak berbuat sesuatu yang mencurigakan sampai datang permintaan informasi ini. Detektif hotel St. Cenis menyambut kami dengan ramah setelah diperkenalkan oleh McBride dan bersedia mengajak kami ke kamar pasangan aneh tersebut sekiranya mereka tidak di tempat. Kebetulan sedang jam makan siang, dan mereka tidak berada di kamar. Tapi Kennedy tetap tak berani terlalu teliti dalam menggeledah
barang-barang
mereka,
sebab
dia
tak
mau
menimbulkan kecurigaan mereka jika kembali nanti, sekurangnya belum mau. “Menurut hematku, Craig,” usulku setelah kami mencari-cari beberapa menit, tapi tak mendapat apa-apa, “ini kasus menonjol, kau pakai diktograf seperti dalam kasus Tangan Hitam.” Dia menggeleng ragu, walaupun kulihat ide ini menarik perhatiannya. “Diktograf sudah mendapat terlalu banyak publisitas belakangan
ini,”
katanya.
“Aku
khawatir
mereka
akan
menemukannya, kalau mereka cerdik seperti yang kuduga. Lagipula aku harus kirim seseorang ke laboratorium untuk mengambilnya, dan pada saat kurir kembali mereka mungkin sudah selesai makan siang. Tidak, kita harus berbuat sesuatu yang lain, dan cepat.” Dia melihat-lihat kamar tanpa tujuan. Pada dinding samping tergantung sebuah etsa murah berisi pemandangan hutan. Kennedy tampak
terpikat
olehnya
sementara 27
kami
gelisah
dengan
perlambatan ini. “Bisa tolong beri aku pesawat telepon bekas?” tanyanya setelah sekian lama, berbalik pada kami dan menyapa detektif St. Cenis. Si detektif mengangguk dan menghilang ke koridor. Beberapa menit kemudian dia menaruh telepon di atas meja. Entah dari mana dia peroleh, tapi aku curiga itu dicabut dari kamar kosong. “Sekarang kabel tembaga Nomor 30 dan sel kering,” perintah Kennedy, berjongkok untuk segera bekerja dengan pesawat telepon. Detektif mengutus pelayan ke besmen untuk meminta kabel dari tukang listrik hotel. Kennedy melepas pemancar telepon, mengambil kapsul-kapsul karbon darinya, terus ditaruh hati-hati di atas meja. Kemudian dia turunkan etsa dari dinding dan ditelungkupkan di hadapan kami. Buru-buru dia bongkar bagian belakang lukisan ini. Dengan kapsul karbon dia menekan muka pemancar ke kertas dan kaca lukisan. Dia tempelkan pemancar agar kertas dan kaca bertindak sebagai diafragma besar untuk menghimpun semua suara di kamar. “Ukuran
diafragma
kaca
ini,”
jelasnya
selagi
kami
berkerumun, tertarik oleh aksinya, “akan menghasilkan kerja mikrofon yang amat peka. Bisikan sekalipun dapat direproduksi dengan kejernihan luar biasa.” Si pelayan membawa kabel serta kabar bahwa pasangan pemilik kamar hampir selesai makan siang dan diperkirakan akan kembali dalam beberapa menit. 28
Kennedy
mengambil
kabel-kabel
kecil
tersebut.
Usai
menyambung mereka, dia gantung kembali lukisannya dan dia hubungkan mereka dengan kabel lukisan yang memanjang dari pemancar besar ke bingkai ukir. Dari puncak bingkai dan keluar jendela loster, cukup mudah memanjangkan kabel sampai koridor menuju kamar kosong, di mana Craig buru-buru menyematkannya pada gagang penerima telepon bekas. Kami
pun
duduk
di
ruangan
ini
untuk
menunggu
perkembangan dari detektif mikrofon bingkai lukisan yang dibuat seadanya. Akhirnya terdengar bunyi pintu elevator ditutup di lantai kami. Sekejap kemudian, raut Kennedy menampakkan ekspresi bahwa seseorang memasuki kamar yang barusan kami tinggalkan. Dia tidak segera selesai. “Untung aku tidak pasang diktograf di sana,” katanya. “Perhitunganku bukan tanpa alasan. Pasangan itu, siapapun mereka, sedang bicara dengan suara rendah dan melihat-lihat ruangan untuk mencaritahu apa ada yang diusik selama kepergian mereka.” Hanya Kennedy yang dapat mengikuti perkataan mereka lewat ujung telepon. Tak ada yang bisa kami lakukan selain menunggu. Tapi dari catatan yang Craig buat sambil menguping percakapan, akan kureka ulang semua itu seolah kami mendengarnya. Ada momen cemas sebelum akhirnya mereka yakin tak ada yang menguping, dan bahwa tak ada diktograf atau mesin penguping lain, sebagaimana mereka dengar dari orang-orang, yang 29
disembunyikan di dalam furnitur atau belakangnya. “Kenapa kau begitu teliti, Henri?’ kata suara seorang wanita. “Louise, sudah lama aku berpikir kita dikelilingi oleh matamata di hotel-hotel ini. Kau ingat, aku pernah cerita apa yang terjadi di Vanderveer di malam kedatanganmu dan Madame? Aku yakin pelayan itu mencuri dengar apa yang aku dan Gonzales bicarakan.” “Well, kita aman sekarang. Apa yang tak mau kau katakan saat makan siang tadi?” tanya si wanita, yang Kennedy kenali sebagai pelayan Madame de Nevers. “Aku
dapat
sandi
rahasia
dari
Washington.
Tunggu,
kuterjemahkan dulu.” Jeda sejenak. “Apa katanya?” tanya si wanita tak sabar. “Katanya,” ulang si pria pelan-pelan, “Nona Lovelace sudah pergi ke Washington. Dia bersikeras tahu apakah kematian Marie bunuh diri atau bukan. Lebih dari itu, Dinas Rahasia pasti dapat informasi tentang sebagian skema kita, sebab tindakan mereka mencurigakan. Aku harus pergi ke sana atau urusan ini bisa terbongkar dan gagal total. Keadaan sedikit memburuk, terutama langkah mendadak Nona Lovelace ini.” “Siapa detektif yang memaksa bertemu dengannya pada malam ditemukannya mayat Marie?” tanya si wanita. “Kuharap itu juga bukan Dinas Rahasia. Menurutmu mereka curiga?” “Kurasa tidak,” jawab si pria. “Selain kematian Madame, mereka tak mencurigai apa-apa di New York ini, aku yakin. Kau yakin semua suratnya sudah diamankan, semua petunjuk yang 30
mengaitkannya dengan urusan ini sudah dimusnahkan, dan terutama paket yang hendak dia kirimkan sudah aman?” “Paket? Maksudmu denah stasiun pengisian batu bara di Pasifik dekat Terusan? Henri, aku tahu itu.” “Ha, ha, ya,” balas si pria. “Louise, mau kuberitahu sebuah rahasia? Kau mampu menjaganya?” “Kau tahu aku mampu, Henri,” “Well, Louise, skema ini lebih dalam dari yang kau pikirkan. Kita sedang membenturkan satu negara dengan negara lain, Amerika dengan—kau tahu untuk pemerintah siapa rekan kita Schmidt bekerja di Paris. Nah, dengar. Denah stasiun pengisian batu bara itu palsu—palsu. Itu cuma spekulasi komersial. Tak ada negara yang cukup bodoh untuk mengusahakan hal semacam itu. Kita tahu itu palsu. Tapi kita akan menjualnya lewat teman kita di Departemen Perang Amerika Serikat. Tapi itu hanya bagian dari kudeta, bagian yang akan memberi kita uang untuk mengarahkan kudeta-kudeta lebih besar di masa depan. Kau bisa maklum kenapa itu harus dikerjakan diam-diam dan betapa menjengkelkannya selusin rintangan baru terus bermunculan setiap selesai satu masalah. Lousie, ini rahasia besar. Dengan memakai denah palsu itu sebagai umpan, kita akan memperoleh sesuatu yang dapat ditukar menjadi ribuan franc begitu kita semua pulang ke Paris. Nah, aku tak bisa bicara lebih banyak lagi. Tapi aku sudah mengungkap banyak hal untuk mengingatkanmu akan perlunya kewaspadaan ekstrim.” “Lalu berapa banyak yang None Lovelace ketahui?” 31
“Sedikit sekali—kuharap. Itu sebabnya aku harus ke Washington. Dia pasti tak tahu soal kudeta ini ataupun jati diri de Nevers, atau seluruh skema ini bisa gagal total. Ini pasti sudah gagal total, Louise, seandainya kau mengecewakan kami dan membiarkan surat-surat de Nevers sampai ke tangan Nona Lovelace.
Dia
patut
menerima
nasibnya
atas
tindakan
pengkhianatan tersebut. Keberuntungan mengiringi kita sampai kecemburuan buta mendorongnya berkunjung kepada Nona Lovelace. Untung saja nona muda itu sedang keluar saat Madame mendatangi tempatnya, kalau tidak semuanya akan sirna. Ah, kami berutang banyak padamu, Louise, dan kami takkan lupa itu, takkan pernah. Kau akan berhati-hati selagi aku pergi?” “Tentu saja. Kapan kau kembali, Henri?” “Paling lambat besok pagi. Sore ini denah stasiun pengisian batu bara palsu akan diserahkan kepada antek kita di Departemen Perang dan sebagai gantinya dia akan memberi kita sesuatu— rahasia yang barusan kusebutkan. Kau lihat, jejak ini mengarah ke lingkaran tinggi. Ini jauh lebih penting dari yang kau kira. Kalau ketahuan
akan
mengakibatkan
komplikasi
internasional
berbahaya.” “Berarti kau akan temui temanmu di Washington malam ini? Kapan kau berangkat, Henri? Jangan biarkan waktu berlalu begitu saja. Tak boleh ada kesalahan kali ini, jangan sampai seperti waktu kita bekerja untuk Jepang dan nyaris mendapat cetak biru Corregidor di Manila hanya untuk kehilangannya di jalanan Calcutta.” 32
“Percayalah padaku. Kami akan bertemu sekitar jam sembilan, makanya aku berangkat dengan kereta ekspres setengah empat, kurang-lebih satu jam lagi. Dari stasiun aku akan langsung ke rumah di Jalan Z—tunggu, sandi ini bilang nomornya 101—dan menanyakan seseorang bernama Gonzales. Aku akan pakai nama Montez. Dia akan muncul, menyerahkan paket—yang sudah kuceritakan tadi—terus aku pulang kemari dengan kereta tengah malam. Bagaimanapun caranya, kita tak boleh biarkan terjadi sesuatu yang akan sampai ke telinga Nona Lovelace. Kita bertemu besok pagi-pagi sekali, sayangku, dan ingat, bersiap-siaplah untuk pelayaran Aquitania jam sepuluh. Pembagian uang akan dilakukan di Paris. Kemudian kita semua akan pergi terpisah.” Dengan kalut Kennedy menelepon lewat jasa reguler hotel untuk
mencaritahu
bagaimana
caranya
kereta
sampai
ke
Washington. Satu-satunya yang akan sampai ke sana sebelum jam sembilan adalah kereta setengah empat; jadwal berikutnya, yang berangkat satu jam kemudian, akan sampai di sana jam sebelas kurang. Dia dapat ide untuk merekayasa keterlambatan yang akan mengakibatkan teman kita di koridor ketinggalan kereta ekspres, tapi dia abaikan. Skema demikian justru akan mengirim pesan waspada kepada gang di Washington dan
menggagalkan
rencananya. “Bagaimanapun caranya kita harus cegah orang ini,” seru Craig, tidak mendengar apa-apa lagi dari diktograf ciptaannya. “Ayo, Walter, kita harus kejar kereta ekspres menuju Washington. McBride, kau dan detektif hotel bayangi wanita ini. Jangan 33
lepaskan penglihatanmu darinya sedetik pun.” Sewaktu kami berkendara di kota menuju terminal kereta baru, Craig segera memberitahukan apa yang dikupingnya. Kami mengambil posisi sedemikian rupa agar dapat melihat para pelancong yang berangkat. Beberapa menit kemudian Craig melihat pria yang sesuai deskripsi McBride, dan berhasil memperoleh kursi di gerbong yang sama dengannya. Secara keseluruhan, tak banyak peristiwa dalam perjalanan ini. Lima jam suntuk kami duduk di gerbong tidur atau bermain-main dengan makanan di gerbong makan, tak pernah membiarkan pria itu lepas dari penglihatan kami, tapi tak menampakkan padanya bahwa kami sedang mengawasi. Meski begitu, mau tak mau aku bertanya-tanya apa manfaatnya. Kenapa Kennedy tidak menyewa polisi khusus jika kasusnya sepenting ini? Bagaimana kami akan mendahuluinya di Washington, lebih daripada di New York? Aku tahu, ada suatu rencana di balik paras Kennedy yang kalem dan misterius, meski tak dapat kubaca. Kereta berhenti di Union Station. Buruan kami berjalan cepat di peron ke arah pangkalan taksi. Tahu-tahu Kennedy melesat ke depan dan kami pun berjalan berdampingan. “Mohon maaf,” kata Craig sewaktu kami sampai di belokan dalam bayangan lampu-lampu busur, “apa Anda punya korek?” Pria itu berhenti dan meraba-raba saku untuk mencari korek api. Serta-merta Kennedy menutupkan saputangannya ke hidung orang tersebut. “Sedikit obat dari geng endormeur kalian,” kertuk Kennedy, 34
melumat beberapa bola kaca kecil di bawah saputangan untuk memastikan efeknya. Pria itu oleng dan hampir jatuh andaikan tidak kami tahan. Di peron kami menggiringnya dalam keadaan tak sadar. “Sini,” teriak Craig kepada seorang sopir taksi, “temanku tak enak badan. Bawa kami keliling sebentar. Itu akan melegakannya. Ayo, Walter, masuklah, angin segar baik untuk kita.” ***** Orang-orang di Washington musim panas itu akan ingat aktivitas teredam di Departemen Luar Negeri, Departemen Perang, dan Departemen Angkatan Laut pada suatu malam yang lembab. Waktu itu penyebabnya tidak sampai bocor, tapi di kemudian hari diketahui bahwa sebuah krisis telah terhindarkan di musim yang tak tepat, di mana para kepala departemen sedang pergi, Presiden sedang di rumah musim panas di Utara, dan bahkan sebagian wakil menteri keluar kota. Pesan-pesan rahasia mendesis cepat lewat telegram selama berjam-jam. Aku ingat, sewaktu kami berkendara lewat Gedung Angkatan Darat, sedikit menyimpang dari jalan biasa, hanya untuk mencaritahu apa ada kehebohan, ternyata tempat itu bermandikan cahaya. Sudah jelas, terjadi sesuatu di masa yang biasanya menjemukan ini. Ada semacam pengkhianatan dan melibatkan pegawai terpercaya, menurut naluriku. Adapun Craig, dia hanya melirik sosok pingsan di antara kami dan berkata singkat bahwa 35
setahunya cuma ada satu negara yang biasa melaksanakan kudeta diplomatik dan lainnya dalam cuaca panas. Pernyataan ini mengindikasikan misi kami lebih penting dari biasanya. Orang itu belum siuman ketika kami tinggal beberapa blok lagi dari tempat tujuan. Dia tak menampakkan tanda-tanda akan siuman dari pingsan lelapnya. Kennedy memberhentikan taksi di jalan samping, meremaskan selembar uang kertas ke tangan sopir, dan menyuruhnya menunggu sampai kami kembali. Kami sudah berbelok di Jalan Z dan sedang mendekati rumah sasaran tatkala seseorang yang berjalan ke arah berlawanan menatap kami curiga, lalu berbalik dan membuntuti kami satu atau dua langkah di belakang. “Kennedy!” serunya. Andai sebuah senapan 14 inchi meletus di belakang kami, aku takkan terperanjat. Di sini, terlepas dari ketergesaan dan kerahasiaan kami, rupa-rupanya kami dibuntuti, dipantau, dan dikalahkan. Craig sontak berputar. Direnggutnya lengan orang tersebut. “Ayo,” katanya cepat. Kami bertiga mengendap ke dalam bayangan gang. Selagi kami berhenti, Kennedy bicara paling awal. “Astaga, Walter, ini Burke dari Dinas Rahasia,” serunya. “Syukurlah,” timpal orang itu puas. “Ternyata kau masih punya ingatan wajah.” Dia menyinggung pengalaman kami dengan urusan deskripsi dan identifikasi dalam kasus yang Craig pecahkan untuknya beberapa bulan lalu. 36
Sesaat Burke dan Kennedy berbisik-bisik. Di bawah cahaya redup dari jalan, aku bisa lihat raut Kennedy serius dan girang. “Pantas saja Departemen Perang bermandikan cahaya,” serunya begitu kami keluar dari bayang-bayang, meninggalkan orang Dinas Rahasia itu. “Burke, saat mengambil kasus ini aku tak menyangka akan turut melayani negaraku. Kita harus berhasil apapun resikonya. Bila kau dengar tembakan pistol, Burke, berarti kami membutuhkanmu. Dobrak pintunya kalau belum terbuka. Kau benar soal jalannya tapi tidak nomornya. Rumahnya sebelah sana. Ayo, Walter.” Kami mendaki anak-anak tangga rumah yang rendah, lalu seorang wanita negro menjawab bel. “Apa Tn. Gonzales di rumah?” tanya Kennedy. Kami dipersilakan masuk ke dalam lorong gelap tapi mengarah ke sebuah ruang duduk di mana lampu menyala redup di balik tirai pintu yang tebal. Tanpa sepatah kata, si negro mengantar kami ke ruangan kosong ini. “Sampaikan padanya Tn. Montez sudah datang,” tambah Craig sementara kami duduk. Si negro menghilang ke lantai atas dan tak lama kemudian kembali dengan membawa pesan bahwa Tn. Gonzales akan segera turun. Begitu seretan langkah kakinya memudar, Kennedy bangkit dan mendengar-dengarkan di pintu. Tak ada suara. Dia ambil sebuah kursi, terus berjinjit ke lorong gelap sambil menggotongnya. Dia menaruhnya terbalik di dasar tangga, empat 37
kakinya mengarah miring ke atas. Lalu dia menarikku ke pojok. Berapa lama kami menunggu, aku tak tahu pasti. Yang kutahu selanjutnya ada langkah teredam di peron atas, terus jejakan di tangga. Dentaman keras dan berondongan serapah dalam bahasa Prancis membahana setelah pria itu tersungkur melewati kursi di anak tangga yang gelap. Kennedy mengeluarkan revolver dan menembak sosok tak berdaya tersebut dari jarak dekat. Aku tak tahu apa etika menembak seseorang yang ambruk, aku tak punya waktu untuk berpikir. Craig menjambret lenganku dan menarikku ke arah pintu. Bau memualkan merembesi udara. Dari lantai atas terdengar teriakan dan bantingan pintu. “Lebih rapat, Walter,” rengutnya, “lebih rapat ke pintu, bukakan sedikit, atau kita akan tercekik. Barusan kutembakkan senapan Dinas Rahasia—pistol yang melepaskan gas pelemas dari peluru berisi uap dan melumpuhkan penjahat tanpa membunuhnya. Dengan satu tarikan pelatuk, kapnya meledak, serbuk mesiu dan tenaga ledakan menggabungkan capsicum dan lycopodium, menghasilkan uap membutakan dan mencekik yang efek buruknya bisa kau lihat sendiri. Di sini, hei kalian yang di atas,” teriaknya, “kalau maju satu inchi atau menampakkan kepala di atas pegangan tangga, akan kutembak juga kalian. Walter, keluarkan senapanmu. Tembak mereka jika bergerak. Kurasa gasnya sudah cukup menipis sekarang. Aku harus membawanya sebelum dia siuman.” 38
Datanglah ketukan di pintu. Tanpa memalingkan mata dari tangga, aku membukanya. Burke menyelip masuk dan menelan atmosfer memualkan. “Ada apa?” megapnya. “Aku dengar tembakan. Mana Kennedy?” Aku memberi isyarat dalam gelap. Senter elektrik milik Kennedy menyala pada saat itu dan kami lihat dia cekatan membelenggu pergelangan tangan pria yang sedang bernafas berat di lantai, sementara darah mengalir dari beberapa luka kecil akibat jatuh tadi. Tangkas bagai pencopet, Craig merogoh ke dalam mantel pria itu, mengambil sepaket dokumen, dan diamatinya satu demi satu. Dia membentangkan salah satu dokumen yang ditulis dalam bahasa Prancis untuk Madame Marie de Nevers beberapa pekan sebelumnya. Biar kuterjemahkan: MARIE SAYANG: Herr Schmidt memberitahuku bahwa agennya di Departemen Perang di Washington, AS, telah mengamankan suatu informasi penting yang akan menarik perhatian Pemerintah tempat Herr Schmidt mengabdi sebagai agen—tentunya kau tahu siapa itu. Penting sekali kau membawa paket yang nanti kau terima (kalau kau menyetujui proposalku) ke New York dengan kapal uap Tripolitania. Pergilah ke Hotel Vanderveer.
Dalam
pertukaran
tertentu
beberapa dapat 39
hari,
segera
dilakukan,
setelah
temanku
di
Washington atau aku sendiri akan mengunjungimu, dengan nama Gonzales. Sebagai ganti paket yang kau bawa, dia akan memberimu paket lain. Jangan buang waktu untuk membawa pulang paket kedua ke Paris. Aku sudah atur agar kau menerima sepuluh ribu franc dan ongkos atas jasamu dalam urusan ini. Jangan bocorkan pertalianmu dengan Herr Schmidt dalam keadaan apapun. Sebetulnya aku sendiri dapat membawa paketnya ke Amerika dan melakukan penukaran, tapi berhubung kau butuh uang, kusimpan pekerjaan itu untukmu. Sebaiknya kau ajak pelayanmu, dan sebaiknya kau pergi dengan pertimbangan. Namun, jika kau terima tugas ini, kuanggap kau bersedia melepas hakmu atas namaku. Untuk itu aku setuju membayarmu lima puluh ribu franc atas pernikahanku dengan ahli waris Amerika yang sudah kau kenal itu. Segera kabari aku lewat teman kita Henri Duval apakah proposal ini memuaskan. Henri akan memberitahumu bahwa lima puluh ribu adalah ultimatumku. Chateaurouge “Dasar bangsat,” kertuk Kennedy. “Dia rayu isterinya dari Paris ke New York. Dia anggap polisi Paris terlalu tajam. Lalu, berkat pengkhianatan Louise si pelayan dan Duval rekannya— seorang bajingan yang bahkan sudi menjadi kacungnya dan jatuh 40
cinta pada si pelayan—dia berhasil menyingkirkan wanita yang menghalanginya dari konglomerat Amerika.” “Marie,” lantur Chateaurouge sambil berkedip-kedip, bersin, dan tercekik dari kelengernya, “Marie, kau cerdik, tapi tak terlalu cerdik bagiku. Pemerasan ini harus berhenti. Nona Lovelace tahu sesuatu, berkat dirimu, tapi dia takkan pernah tahu semuanya— takkan—takkan pernah. Kau—kau—uh! Hentikan. Kau pikir bisa menahan pergelanganku dengan tangan mungil pucat itu? Nanti kupelintir—jadi—dan—uh! Apa ini? Di mana aku?” Pria itu melongo linglung pada belenggu yang menahannya, alih-alih tangan rapuh yang dia mimpikan dalam adegan pergulatan dengan isterinya di Vanderveer. “Chateaurouge,” desis Kennedy murka, “bangsawan palsu, penipu asli di lima benua. Semasa hidup, Marie de Nevers menghalangi pernikahanmu dengan sang pewaris Nona Lovelace. Setelah mati, dia mencegahnya sama sekali.” Kemudian Craig membalik-balik kumpulan dokumen di tangannya, seraya bicara. Akhirnya dia sampai pada paket kecil dalam sutera berminyak. Begitu segelnya terurai, dia membacanya sepintas dengan kaget, dan cepat-cepat berseru, “Nah, Burke, bawa ini ke Departemen Perang dan sampaikan sekarang mereka dapat memadamkan
lampu-lampu
dan
menghentikan
telegram.
Tampaknya ini salinan denah milik pemerintah kita untuk pembentengan Terusan Panama, bukit senjata, lokasi lampu sorot, stasiun pengawas kebakaran, semuanya dari penggalian cermat terhadap catatan resmi dan konfidensial. Itulah yang diperoleh 41
orang ini sebagai ganti cetak biru palsunya untuk stasiun pengisian batu bara di Pasifik. “Kuserahkan urusan mencari kebocoran di Departemen Perang kepada Dinas Rahasia. Aku tak berminat pada orang yang menjadi mata-mata untuk dua negara dan mengkhianati salah satunya. Bagiku, petualang yang menyebut diri Chateaurouge ini tak lain hanyalah pembunuh Madame de Nevers.”
42