Draft # 7 – 5 Januari 2010
MASYARAKAT KAMPUNG DI KABUPATEN BERAU DAN REKOMENDASI KETERLIBATANNYA DALAM SKEMA PENGURANGAN EMISI DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN (REDD)
LAPORAN KAJIAN
Ilya Moeliono Warno Hadi Winarno Edy Dwi Hartono Tomy Satria Yulianto
WORLD EDUCATION Melindungi Alam, Melestarikan Kehidupan
Januari 2010 i
Draft # 7 – 5 Januari 2010
Ringkasan Eksekutif Salah satu keputusan penting Konperensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Perubahan Iklim (UNCCC) adalah upaya pengurangan emisi karbon melalui pemberian insentif yang kemudian dikenal dengan Skema REDD (Reducing Emisions from Deforestation and Forest Degradation) atau pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Indonesia, sebagai wilayah berhutan tropis terluas nomer tiga di dunia tentu sangat berkepentingan. Berau, sebagai salah satu kabupaten di Indonesia yang hutan alamnya masih relatif luas dan utuh, sudah berkomitmen untuk berpartisipasi dalam Skema REDD dan telah membentuk Pokja REDD Kabupaten. Untuk membantu kabupaten mempersiapkan dirinya, TNC telah memprakarsai berbagai kajian yang akan bermuara pada pengembangan rencana persiapan yang diperlukan pada tingkat kabupaten, termasuk kajian tentang aspek keterlibatan masyarakat yang merupakan salah satu prasyarat REDD Sebagai dasar pengembangan strategi pengembangan masyarakat, Berau Forest Carbon Project (BFCP), The Nature Conservancy (TNC) bekerjasama dengan World Education (WE) memprakarsai kajian di 20 desa. Kajian yang dilaksanakan pada bulan Oktober dan November 2009 berusaha menjawab pertanyaan kajian sebagai berikut; “Bagaimana masyarakat kampung dapat dilibatkan dalam BFCP (REDD)?” dan “Bagaimana BFCP dapat membantu masyarakat untuk terlibat dalam pengelolaan sumberdaya alam?” Kajian dilakukan dengan diskusi kelompok fokus di beberapa kampung di kecamatan Segah dan Kelay, wawancara dengan kepala kampung tokoh masyarakat di kampung-kampung di wilayah perkebunan, transmigrasi dan pesisir. Selain itu tim kajian juga berkonsultasi dengan pejabat pemerintah dan perwakilan manajemen perusahaan. Berdasarkan informasi awal kajian, untuk kepentingan generalisasi dan perencanaan kampung-kampung yang berpotensi untuk dilibatkan dalam BFCP di kelompokan berdasarkan lokasi dan karakteristiknya sebagai berikut; Daerah hulu sungai, yakni (1) Kampungkampung di hulu DAS Kelay dan (2) Kampung-kampung di hulu DAS Segah, (3) kampungkampung di daerah hilir DAS Segah, (4) kampung-kampung di wilayah Lesan, dan (5) kampung-kampung di wilayah pesisir. Kajian berusaha untuk menemukenali karakteristik kampung-kampung di masing-masing wilayah itu, serta potensi, masalah dan kendala yang perlu dihadapi jika program pengelolaan sumberdaya alam bersama masyarakat akan dikembangkan. Ditemukan bahwa kampung-kampung di Berau sangat beraneka-ragam, mulai dari kampung-kampung tradisional masyarakat Punan yang kecil dan tersebar di daerah hulu, kampung-kampung transisional dengan penduduk heterogen di daerah hilir, kampungkampung transmigran, sampai pada kampung-kampung masyarakat nelayan dari Sulawesi di pesisir. Walaupun dengan tingkat yang berbeda, pada umumnya tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya alam masih tinggi; mulai dari masyarakat di hilir yang kehidupannya sepenuhnya tergantung pada hutan dan nelayan yang tergantung pada sumberdaya laut, sampai pada masyarakat bertani yang tergantung pada lahan. Walaupun disemua kampung ada potensi kelembagaan, termasuk aturan-aturan pengelolaan sumberdaya alam, pada umumnya kelembagaan ini – terutamanya pemerintah kampung dan BPK – tidak sekuat yang diharapkan. Masalah lain, yang sangat mengemuka di daerah hulu dan hilir DAS Segah dan Kelay adalah kenyataan bahwa nyaris semua kampung yang ada berada di wilayah konsesi kehutanan dan perkebunan, sehingga i
Draft # 7 – 5 Januari 2010 hubungan masyarakat kampung dengan perusahaan-perusahaan itu menjadi penting dan menentukan dalam pengembangan kerjasama dalam pengelolaan sumberdaya alam. Namun ditemukan justru dalam hubungan itulah banyak masalah yang terjadi; mulai dari fakta bahwa konsesi diberikan tanpa memperhatikan hak masyarakat di wilayah yang bersangkutan, sampai pada berbagai sengketa laten antara masyarakat dan perusahaan. Beberapa rekomendasi untuk mengembangkan kerjasama multi-pihak antara semua pemangku kepentingan adalah, antara lain: penguatan kelembagaan kampung; kajitindak partisipatif dan perencanaan di tingkat kampung; pengembangan sumber-sumber penghidupan alternatif bagi masyarakat; pembangunan dan penguatan jaringan-jaringan antar kampung; pemetaan partisipatif guna penataan batas-batas kampung dan perencanaan tata-guna lahan di kampung; pembangunan hubungan kerjasama yang lebih konstruktif antara kampung dan perusahaan melalui proses pengelolaan sengketa dan perencanaan bersama; pengembangan jaringan-jaringan kerjasama multi-pihak yang melibatkan semua pemangku kepentingan sebagai dasar perencanaaan pengelolaan sumberdaya alam pada tingkat bentang-alam; serta advokasi kebijakan guna memastikan hal-hak masyarakat atas sumberdaya alam dan pengembangan kebijakan-kebijakan yang mendukung program. Dan semua upaya itu tentu perlu didukung oleh prakarsa memfasilitasi komunikasi untuk penyadaran dan pembelajaran semua pihak. Semua kegiatan itu, baik di tingkat kampung maupun di tingkat wilayah dan kabupaten, tentu perlu direncanakan dalam suatu program yang tertata dan terkoordinasiikan dengan baik dalam program BFCP yang lebih luas dan dengan kebijakan-kebijakan dan programprogram pembangunan pemerintah kabupaten Berau pada umumnya.
ii
Draft # 7 – 5 Januari 2010
Daftar Isi Ringkasan Eksekutif ..........................................................................................i Daftar Isi ..................................................................................................... iii UCAPAN TERIMAKASIH ..................................................................................... vi Daftar Istilah dan Singkatan ..............................................................................vii Pengembangan Strategi Pelibatan Masyarakat dalam Program REDD pada Skala Kabupaten di Berau .......................................................................................................... 1 I. Pengembangan REDD di Kabupaten Berau..................................................... 1 II. Keterlibatan Masyarakat dalam Skema REDD, Mengapa Perlu? ............................ 1 A. Tuntutan Masyarakat Internasional............................................................ 1 B. Alasan Ideologis................................................................................... 2 C. Prasyarat Politik dan Hukum ................................................................... 3 D. Alasan Sosial ...................................................................................... 3 E. Prasyarat Metodologis ........................................................................... 4 III. Tugas Kami ......................................................................................... 4 IV. Rancangan Kajian dan Pelaksanaannya ........................................................ 4 A. Apa yang Kami Kaji............................................................................... 5 B. Bagaimana Kajian Kita Lakukan................................................................ 6 1. Unit Kajian dan Analisa ........................................................................ 6 2. Pilihan kampung (sampling) ................................................................... 6 3. Teknik Pengumpulan Informasi di Lapangan................................................ 7 4. Konsultasi dengan Narasumber ............................................................... 8 5. Kajian Dokumen dan Kepustakaan ........................................................... 8 6. Tim Pelaksana Kajian........................................................................... 8 V. Gambaran Pelaksanaan Kegiatan ............................................................... 8 VI. Apa yang Kami Pelajari ........................................................................... 9 A. Pengamatan Umum .............................................................................. 9 B. Karakteristik Kampung .......................................................................... 9 1. Kampung di Daerah Hulu dan Konsesi Kehutanan.......................................... 9 2. Kampung di Daerah Hilir dan Konsesi Perkebunan........................................ 10 3. Kampung Transmigrasi ........................................................................ 11 4. Kampung Pesisir ................................................................................ 12 C. Ketergantungan terhadap Hutan.............................................................. 12 D. Pertanian Tebas Bakar.......................................................................... 14 E. Kelembagaan dan Kepemimpinan............................................................. 16 F. Kelembagaan yang Lebih Luas................................................................. 18 G. Sumberdaya Alam, Aturan-aturan Pengelolaan dan Penegakannya ..................... 19 H. Hubungan Masyarakat dengan Perusahaan .................................................. 21 1. Masyarakat dan Perusahaan Kayu. .......................................................... 21 2. Masyarakat dan Perusahaan Perkebunan Sawit. .......................................... 22 I. Sengketa Sumberdaya Alam dan Pengelolaannya .......................................... 22 J. Jaringan Informasi dan Komunikasi........................................................... 23 VII. Analisa: Kapasitas Masyarakat dalam Mengelola Hutan ....................................25 A. Kelembagaan dan Kepemimpinan............................................................. 25 B. Kelembagaan yang Lebih Luas................................................................. 28 C. Sumberdaya Alam dan Aturan-aturan Pengelolaanya ..................................... 32 D. Penegakan Aturan ............................................................................... 34 E. Hubungan Masyarakat dengan Perusahaan .................................................. 35 F. Pengelolaan Sengketa .......................................................................... 39 iii
Draft # 7 – 5 Januari 2010 G. Jaringan Informasi .............................................................................. 42 VIII. Rekomendasi Umum: Strategi Pelibatan Masyarakat .......................................43 A. Kejelasan dan Kepastian Hak Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam..... 43 1. Hak Masyarakat di Wilayah Hutan (KBK) ................................................... 43 a.Hutan Adat – Penegasan Hak Ulayat .........................................................43 b. Hutan Desa......................................................................................44 c. Social Forestry berdasarkan Kesepakatan Multi Pihak ....................................44 d. Enclave. .........................................................................................46 e.Litigasi; Menggugat Keabsahan Konsesi Hak Pengusahaan Hutan .......................46 f. Memperjuangkan Pelaksanaan Proses Penetapan Tata Batas Kehutanan..............46 g. Pola Kemitraan ..................................................................................47 2. Hak Masyarakat di Wilayah Non-kehutanan (KBNK) ...................................... 48 3. Hak Masyarakat di Wilayah Pesisir .......................................................... 48 B. Masyarakat Kampung sebagai Unit Pengelola Hutan....................................... 48 C. Wilayah Kelola Masyarakat dalam Tata-ruang Kabupaten ................................ 49 D. Penguatan Kelembagaan dan Pengembangan Perwakilan ................................ 49 E. Insentif REDD harus sampai ke Kampung .................................................... 50 F. Konsultasi, Kajian dan Perencanaan di Kampung .......................................... 51 G. Pengembangan Sumber-sumber Penghidupan Masyarakat dan Peningkatan Pelayanan Dasar .............................................................................................. 52 H. Jaringan dan Kerjasama antar Kampung dengan Pendekatan Bentang Alam. ......... 53 I. Jaringan dan Kerjasama Multi Pihak ......................................................... 54 J. Struktur dan Mekanisme dari Kabupaten sampai ke Kampung ........................... 54 IX. Rekomendasi Khusus: ............................................................................55 A. Kunjungan Orientasi Pimpinan Perusahaan dan Pejabat Pemerintah................... 55 B. Pendidikan dan Pendampingan Hukum bagi Masyarakat .................................. 56 C. Advokasi .......................................................................................... 56 D. Lembaga Pendamping dan Pendampingan yang Berlanjut................................ 57 E. Metodologi Kajitindak Partisipatif ............................................................ 57 F. Strategi Kependidikan dan Komunikasi ...................................................... 58 1. Pendekatan ..................................................................................... 58 2. Metoda ........................................................................................... 58 3. Tujuan-tujuan Komunikasi.................................................................... 59 a.Penyadaran Para Pemangku Kepentingan tentang Permasalahan Lingkungan ........59 b. Penyadaran Para Pemangku Kepentingan tentang Keberadaan Pihak Lainnya ......59 c. Konsultasi untuk Persetujuan yang Diberi Secara Bebas dan Berdasar Pemahaman yang Memadai ...................................................................................60 d. Perencanaan dan Komunikasi didalam Kampung .........................................60 e.Komunikasi untuk Kerjasama Antar Kampung..............................................60 f. Perundingan, Pengelolaan Sengketa, dan Perencanaan ..................................60 g. Partisipasi Masyarakat dalam Prakarsa yang Lebih Luas..................................60 h. Advokasi Kebijakan ............................................................................60 4. Tahapan-tahapan Strategi Komunikasi ..................................................... 61 a.Tahap Perencanaan ............................................................................61 b. Tahap Penyadaran .............................................................................61 c. Tahap Pengkajian dan Perencanaan .........................................................61 d. Tahap Pengorganisasian dan Pelaksanaan .................................................62 5. Media Komunikasi dan Pembelajaran ....................................................... 62 6. Pembelajaran Masyarakat yang Lebih Luas ................................................ 62 X. Penutup ............................................................................................63 iv
Draft # 7 – 5 Januari 2010 LAMPIRAN-LAMPIRAN .......................................................................................64 Lampiran #1: Kerangka Acuan Pengkajian .......................................................... 65 Lampiran #2: DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 70
Catatan Di bagian-bagian tertentu dari teks dan illustrasi dalam naskah ini, walaupun merujuk pada keadaan di kampung tertentu, nama kampung yang bersangkutan tidak disebutkan secara spesifik. Penyamaran ini dilakukan untuk melindungi mereka yang menjadi sumber informasi kami. Walaupun para responden bersedia mengungkapkan berbagai informasi kepada kami, kami menganggap bahwa prinsip persetujuan bebas berdasarkan informasi sebelumnya (free prior informed consent) belum terpenuhi dan informasi itu diberikan secara konfidensial. Karena satuan analisa adalah kabupaten kiranya hal itu tidak mengganggu pemahaman para pembaca tentang keberadaan masyarakat yang ingin kami sampaikan.
v
Draft # 7 – 5 Januari 2010
UCAPAN TERIMAKASIH Informasi yang menggambarkan keadaan kampung-kampung di Berau di bagian pertama kajian ini sesungguhnya adalah milik masyarakat, dan Tim pengkaji hanya menuliskan informasi yang diperoleh dari warga masyarakat. Untuk itu kami menyampaikan terimakasih kepada semua Kepala Kampung dan pejabat pemerintah kampung, anggota BPK, tokoh-tokoh masyarakat, guru, gembala dan tokoh agama serta warga kampung di 20 kampung yang telah menerima kami serta bersedia berbagi informasi dengan kami. Demikian pula untuk informasi tentang perusahaan kami sampaikan terimakasih kami kepada perwakilan PT. Mardika Insan Mulia, PT. Kharisma PT. Inhutani I, PT. Wana Bakti dan PT. Amindo Wana Persada yang telah membuka diri untuk berbincang-bincang dengan kami. Juga kami sampaikan apresiasi kami kepada para pejabat Pemerintahan Kabupaten Berau — Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Berau, para Kepala Dinas dan Kepala Badan serta Camat di lingkungan kabupaten Berau — yang selain memberi informasi juga memberi dukungan dalam pelaksanaan kajian ini. Penghargaan juga kami sampaikan pada anggota DPRD yang telah memperkaya wawasan kami. Tak lupa penghargaan kami sampaikan pula pada perwakilan LSM BESTARI dan MENAPAK, serta Forum Masyarakat Hulu Kelay, BP Segah, BP Lesan, dan Forum Penyelamat Lingkungan Kecamatan Derawan yang juga telah bersedia meluangkan waktu untuk menjawab pertanyaan-peryanyaan kami. Perlu kami sampaikan pula apresiasi kami atas dukungan rekan-rekan World Education, The Nature Conservancy, Poja REDD Berau serta semua rekan Joint Working Group atas dukungan serta tanggapan kritisnya serta dukungannya dalam pelaksanaan kajian ini. Tentu tidak ada gading yang tak retak dan sangat bisa jadi bahwa keadaan dan permasalahan yang kami gambarkan dalam laporan ini kurang tepat atau bahkan salah sama sekali; ini tentu bukan kesalahan mereka yang telah berbagi informasi dengan kami, tetapi sepenuhnya menjadi tanggung-jawab kami sebagai penulisnya. Tanjung Redeb, Januari 2009 Penulis
vi
Draft # 7 – 5 Januari 2010
Daftar Istilah dan Singkatan ADD APL Askes Gakin Bestari BLT BPN BPS CBO CCBA CIFOR DAS FGD FSC HCVF HPH JWG Kaur KBK KBNK KTP KUD LEI LSM Musrenbang PAD PAR Perda Perkam Permen PMD PNPM Pokja PRA PTUN Raskin REDD RKT SK TNC UNFCCC
Alokasi Dana Desa Area Penggunaan Lain Assuransi kesehatan keluarga miskin Berau Lestari Bantuan Langsung Tunai Badan Pertanahan Nasional Badan Pusat Statistik Community Based Organization. Organisasi Berbasis di Masyarakat The Climate, Community & Biodiversity Alliance. Aliansi untuk Iklim, Komunitas dan Keanekaragaman-hayati Center for International Forest Research. Pusat Penelitian Kehutanan Internasional Daerah Aliran Sungai Focus Group Discussion, diskusi kelompok terfokus Forest Stewardship Council High Conservation Value Forest- Hutan dengan Nilai Konservasi Tinggi Hak Pengusahaan Hutan Joint Working Group; Kelompok Kerja Gabungan Kepala Urusan Kawasan Budidaya Kehutanan Kawasan Budidaya Non-Kehutanan Kartu Tanda Penduduk Koperasi Unit Desa Lembaga Ekolabel Indonesia Lembaga Swadaya Masyarakat Musyawarah Perencanaan Pembangunan Pendapatan Asli Daerah Participatory Action Research; Kajitindak Partisipatif Peraturan Daerah Peraturan Kampung Peraturan Menteri Pemberdayaan Masyarakat Desa Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Kelompok Kerja Participatory Rural Appraisal. Penilaian Pedesaan secara Partisipatif Peraturan Tata-Usaha Negara Beras untuk rakyat miskin. Program pemerintah yang membagikan beras pada warga masyarakat yang diidentifikasi sebagai miskin. Reduced Emissions from Deforestation and Degradation, Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi Hutan Rencana Kerja Tahunan Surat Keputusan The Nature Conservancy United Nations Framework Convention on Climate Change. Konvensi Kerangka-kerja Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Perubahan Iklim vii
Draft # 7 – 5 Januari 2010 UU WE YAP
Undang-undang World Education Yayasan Adat Punan
viii
Draft # 7 – 5 Januari 2010
Pengembangan Strategi Pelibatan Masyarakat dalam Program REDD pada Skala Kabupaten di Berau I.
Pengembangan REDD di Kabupaten Berau
Skema REDD yang disepakati pada Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC/United Nations Framework Convention on Climate Change) di Bali pada tahun 2008, nampaknya sungguh menjanjikan; selain mengurangi emisi dinegaranya masing-masing, negara-negara maju berkomitmen untuk memberi dukungan keuangan berupa insentif untuk pengurangnan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan. Konon, jika berhasil dikembangkan Indonesia bisa memperoleh US$3,75 miliar (Rp. 33,75 triliun) per tahun dari negaranegara maju melalui skema itu1. Walaupun pemberian insentif itulah yang merupakan gagasan inti skema REDD tentu diharapkan bahwa insentif finansial itu bukanlah menjadi motivasi utama untuk prakarsa konservasi. Walau belum diketahui dengan pasti, dengan tutupan hutan seluas 2.191.253,94 hektar, potensi karbon di Berau niscaya sangat baik dan kompetitif di pasar karbon internasional, serta semestinya dapat menjadi sumber PAD dan penghasilan masyarakat yang cukup bermakna. Karenanya, guna mempersiapkan diri untuk berpartisipasi dalam skema tersebut, baik ditingkat nasional maupun di Kabupaten Berau sudah dibentuk Pokja REDD, dan dengan dukungan TNC Pokja REDD di Berau sudah mulai bekerja. Untuk mendukung persiapan rencana partisipasi Kabupaten Berau dalam skema REDD tersebut, TNC telah memprakarsai berbagai kajian yang akan bermuara pada pengembangan rencana persiapan yang diperlukan pada tingkat kabupaten, termasuk kajian tentang aspek keterlibatan masyarakat yang laporannya sedang anda baca saat ini2.
II.
Keterlibatan Masyarakat dalam Skema REDD, Mengapa Perlu?
Kajian ini dilakukan sebagai langkah awal pengembangan alternatif pelibatan masyarakat dalam skema REDD yang akan dikembangkan di Kabupaten Berau. Ada berbagai alasan yang saling berkelit-kelindan untuk mengupayakan keterlibatan masyarakat dalam Skema REDD tersebut, antara lain:
A. Tuntutan Masyarakat Internasional Karena REDD adalah skema kerjasama internasional maka tuntutan masyarakat internasional tentang keterlibatan masyarakat sebagai salah satu prasyarat dalam skema REDD menjadi salah satu pertimbangan yang utama. Sebagai contoh, dalam UNFCCC COP13 di Bali suatu keputusan yang diadopsi tentang REDD menyatakan bahwa:
1 2
Indonesia Usulkan REDD, Kompas 6 November 2007 Ada 13 Sub-tim yang masing-masing terfokus pada persoalan tertentu. Ke-13 sub-tim itu adalah: (1) Penghitungan karbon; (2) Pengelolaan data; (3) Analisa kelembagaan, hukum, dan tata-aturan; (4) Perencanaan tataguna lahan dan pengambilan keputusan; (5) Struktur kepemerintahan; (6) Mekanisme keuangan; (7) Pendekatan managemen; (8) Pemacu perubahan tata-guna lahan dan analisa keuntungan; (9) Keterlibatan masyarakat; (10) Strategi konsesi HPH; (11) Strategi hutan-lindung; (12) Strategi perkebunan sawit; dan (13) Strategi pertambangan.
1
Draft # 7 – 5 Januari 2010 “Recognizing also that the needs of local and indigenous communities should be addressed when action is taken to reduce emissions from deforestation and forest degradation in developing countries” [Mengakui juga bahwa kebutuhan masyarakat setempat dan masyarakat asli harus diperhatikan ketika tindakan diambil untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di negara berkembang]. Hal yang sama ditegaskan kembali di UNFCCC COP 14 di Poznan: “regarding reducing emissions from deforestation in developing countries: approaches to stimulate action”, recognizes “the need to promote the full and effective participation of indigenous people and local communities, taking into account national circumstances and noting relevant international agreements.” [berkenaan dengan pengurangan emisi di negara-negara berkembang; pendekatan untuk merangsang kegiatan, mengakui adanya kebutuhan untuk mempromosikan partisipasi penuh dan efektif masyarakat asli dan masyarakat setempat, dengan mengingat keadaan nasional dan memempertimbangkan perjanjian-perjanjian internasional yang relevan] Pada saat ini salah satu acuan utama dunia internasional dalam transaksi antar negara dalam rangka pengembangan REDD adalah kriteria CCBA (The Climate, Community and Biodiversity Alliance), yakni kriteria program REDD yang dikembangkan bersama oleh beberapa perusaaan dan lembaga non-pemerintah.3 Selain kriteria timbunan karbon, kriteria CCBA itu mencakup pula kriteria keanekaragaman hayati dan kriteria sosial. Disebutkan bahwa program REDD harus “ … generate net positive impacts on the social and economic well-being of communities and ensure that costs and benefits are equitably shared among community members and constituent groups…”4 [menghasilkan dampak positif pada kondisi kesejahteraan sosial dan ekonomi komunitas serta memastikan bahwa biaya dan manfaat terbagi dengan adil antara warga masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya]. Singkatnya, harus ada pengakuan dan akomodasi terhadap hak-hak masyarakat terhadap sumberdaya alam di dalam dan disekitar hutan dalam Skema REDD. Selain itu, wilayah hutan yang potensial untuk REDD seringkali juga merupakan wilayah masyarakat asli, dan dalam hal seperti ini dunia Internasional Mengacu pada Deklarasi PBB tentang Masyarakat Adat5 (The UN Declaration on the Rights of Indigineous Peoples) dan Konvensi ILO No. 169 tentang Masyarakat Asli dan Masyarakat Adat (Indigenous and Tribal Peoples Convention).
B. Alasan Ideologis Sila keempat Pancasila, yakni “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan, Dalam Permusyawaratan Perwakilan” merupakan dasar ideologis dari demokrasi di Indonesia, dan seharusnya tercermin dalam setiap kebijakan. Dalam pelaksanaan ketatanegaraan Permusyawaratan Perwakilan diartikan representasi dan demokrasi
3
4 5
Anggota CCBA mencakup antara lain Conservation International, CARE, Rainforest Alliance, The Nature Conservancy, Wildlife Conservation Society, BP, GFA Envest, Intel, SC Johnson, Sustainable Forestry Management Ltd., Weyerhaeuser, dan beberapa lembaga penasehatnya Kriteria nomer CM1 dalam panduan kriteria CCBA Di Indonesia masih ada perdebatan tentang istilah indigenous tersebut; ada yang menyebutkan masyarakat asli, masyarakat adat, dan masyarakat hukum adat, masing-masing dengan pengertian yang berbeda.
2
Draft # 7 – 5 Januari 2010 representatif yang terlembagakan secara formal seperti di MPR, DPR, DPD dan DPRD. Namun demokrasi representatif melalui perwakilan formal dan permusyawaratan di lembaga-lembaga formal tidaklah memadai dan demokrasi partisipatif pada tingkat akar rumput perlu dikembangkan sebagai salah satu wujud kedaulatan masyarakat. Dalam kegiatan pembangunan hal ini berarti bahwa masyarakat harus terlibat aktif dalam setiap tahapan program mulai dari proses penggalian gagasan, pengkajian awal, perencaan, pengelolaan sampai dengan evaluasinya. Dan yang lebih penting lagi adalah bahwa masyarakat harus menikmati hasil dari program tersebut dan bertangungjawab terhadap dampak yang terjadi akibat adanya program REDD.
C. Prasyarat Politik dan Hukum Sistim politik dan hukum suatu negara seharusnya merupakan pengejewantahan dari ideologi negara, dan sesuai dengan itu dalam berbagai peraturan perundangundangan Indonesia, terutama dalam aturan-aturan yang dirumuskan dalam era reformasi, partisipasi masyarakat disebutkan sebagai sesuatu yang sudah seharusnya dilakukan. Dalam peraturan perundang-undangan tentang sistem perencanaan (UU No 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional), lingkungan (UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup), tata-ruang (UU No 24/1992 tentang Penataan Ruang), dan sebagainya, partisipasi masyarakat dan konsultasi dengan para pemangku kepentingan diamanatkan untuk dilakukan melalui proses partisipatif dan berbasis kepentingan publik. Kepentingan publik yang dimandatkan kepada pengelola negara dan dituangkan dalam butir-butir regulasi (UU, PP, Permen, Kepmen, PERDA, PERDES/ PERKAM) mencerminkan bahwa tidak ada regulasi yang diterbitkan yang tidak berbasis kepentingan masyarakat. Skema REDD yang akan diterapkan di Kabupaten Berau merupakan keputusan politik dan tentu saja memerlukan seperangkat regulasi pendukung dari pemerintah tingkat pusat sampai dengan regulasi terendah, misalnya PERKAM. Tanpa regulasi yang cukup REDD akan banyak menemui hambatan terutama dalam pengambilan keputusan di tingkat kabupaten.
D. Alasan Sosial Bagaimana pemerintah dapat membangun hubungan yang baik dengan masyarakatnya adalah salah satu alasan lain mengapa pemerintah perlu melibatkan masyarakat bukan saja sebagai penerima pasif berbagai program, tetapi sebagai mitra dalam perencanaan berbagai program yang pada dasarnya adalah pelayanan untuk masyarakat. Pengalaman dengan cukup jelas menunjukan bahwa berbagai masalah sosial yang akan muncul apabila dalam menjalankan pemerintahan dan programprogram pembangunan salah satu pemangku kepentingan penting – dalam hal ini masyarakat – tidak dilibatkan, merasa diperlakukan dengan tidak adil, atau dimarginalkan dari proses pengambilan keputusan tentang hal-hal yang berdampak pada kehidupannya. Jika kita melihat kenyataan bahwa tidak sedikit program pemerintah yang dirancang tanpa melibatkan masyarakat dan kemudian dikeluhkan masyarakat karena dirasakan tidak menyentuh kepentingannya maka kita dapat memahami pula bahwa program itu justru menjadi pangkal kekecewaan terhadap pemerintah dan menimbulkan sikap kritis atau justru sering pula sikap apatis dan acuh-tak-acuh. Kondisi seperti ini tentu tidak diinginkan dalam penyusunan programprogram ke depan termasuk dalam Skema REDD. Karenanya usaha pelibatan 3
Draft # 7 – 5 Januari 2010 masyarakat dalam perencanaan program merupakan salah satu strategi membangun hubungan yang baik antara pemerintah dengan masyarakat.
E. Prasyarat Metodologis Pendekatan partisipatif juga merupakan pendekatan kependidikan dan pemberdayaan masyarakat. Proses pengkajian, analisa, dan perencanaan yang dilakukan dengan partisipasi masyarakat juga mempunyai nilai guna sebagai ajang pertemuan dan membangun hubungan kerjasama yang konstruktif antara semua pelaku pembangunan, dan untuk membangun dasar pemahaman bersama tentang keadaan yang dihadapi. Perencanaan yang dikembangkan dengan partisipasi masyarakat yang cukup bermakna bisa dipastikan akan lebih relevan, lebih sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi, dan karena itu lebih mungkin untuk dilaksanakan. Artinya, walaupun proses partisipatif memerlukan waktu dan biaya yang cukup besar, karena yang dihasilkan adalah rencana yang tepatguna yang didukung oleh para pemangku kepentingan, maka keseluruhan proses dapat dikatakan lebih cost effective daripada proses perencanaan top-down yang menghasilkan rencana yang nampak bagus diatas kertas tetapi tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Selain itu, pendekatan multi-pihak dengan partisipasi semua pemangku kepentingan sudah menjadi konsep yang umum diterima sebagai mekanisme yang teptguna dalam membanggun kerjasama antara para pemangku kepentingan dan mengelola sengketasengketa yang niscaya akan timbul dalam kerjasama antar mereka,
III.
Tugas Kami
Para penulis laporan ini adalah salah satu dari beberapa sub-tim yang dibentuk untuk mengkaji berbagai aspek persiapan REDD di kabupaten Berau. Sub-tim ini terfokus pada aspek keperlibatan masyarakat lokal di dalam dan di sekitar hutan dalam Skema REDD Skala Kabupaten yang akan dikembangkan. Tujuan-tujuan kajian yang dilakukan oleh sub-tim “Pelibatan Masyarakat” ini adalah: •
Mengembangkan dasar informasi untuk perencanaan program persiapan masyarakat kearah pelibatan dalam skema REDD pada tahun 2012
•
Identifikasi best practices pengelolaan sumberdaya alam yang dapat menjadi acuan dalam mengembangkan metodologi pelibatan masyarakat dalam REDD
•
Mengembangkan gagasan-gagasan strategi pelibatan masyarakat dalam Program REDD Skala Kabupaten yang akan datang
•
Mengembangkan rancangan awal komponen pelibatan masyarakat dalam program persiapan/penciptaan prakondisi umum untuk skema REDD kabupaten Berau, termasuk strategi komunikasinya
IV.
Rancangan Kajian dan Pelaksanaannya
Langkah awal dalam setiap kajian adalah pengembangan rancangan kajiannnya. Berangkat dari tujuan-tujuan kajian sebagaimana tersebut diatas, kami mengembangkan rancangan kajian sebagaimana disampaikan berikut ini. Secara ringkas pokok-pokok rancangan kajian itu adalah sebagai berikut:
4
Draft # 7 – 5 Januari 2010
A. Apa yang Kami Kaji Pertanyaan-peryanyaan pengkajian6 yang kami rumuskan adalah: •
Bagaimana masyarakat dapat dan sepatutnya dilibatkan dalam program REDD? dan…
•
Bagaimana program REDD dapat membantu masyarakat untuk terlibat dalam pengelolaan sumberdaya alam?
Untuk menjawab kedua pertanyaan itu kajian ini terfokus pada usaha untuk menjajaki kemampuan nyata masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam, kendala-kendala yang mereka hadapi dalam hal itu, serta gagasan-gagasan alternatif untuk mengembangkan prasyarat yang belum terpenuhi dan kemampuan untuk menghadapi kendala-kendala yang dihadapi tersebut. Untuk ini pokok-pokok kajian adalah berbagai prasyarat yang secara teoretis harus dipenuhi suatu komunitas untuk dapat mengelola sumberdaya alam secara efektif. Prasyarat-prasyarat itu adalah7:
6
7
•
Adanya hak-hak yang jelas dan diakui atas sumberdaya alam tertentu, dalam hal ini sumberdaya alam yang akan menjadi objek kesepakatan REDD yakni hutan.
•
Adanya kelembagaan dan kepemimpinan yang kuat dan demokratis.
•
Adanya pengetahuan dan kesadaran lingkungan yang menjadi dasar pengembangan aturan-aturan pengelolaan sumberdaya alam
•
Adanya praktek pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan
•
Adanya aturan-aturan pengelolaan sumberdaya alam yang berkembang di komunitas dan kemampuan nyata penegakan aturan-aturan itu, baik secara internal dalam komunitas yang bersangkutan maupun terhadap para pendatang. Dengan kata lain adanya kemampuan nyata untuk menjaga sumberdaya alam dari penggunaan illegal baik oleh warga komunitas maupun oleh pemangku kepentingan lainnya
•
Adanya unit sumberdaya alam dengan luasan dan sebaran yang sesuai dengan kemampuan pengelolaan nyata yang dimiliki komunitas.
•
Adanya unit-unit kelola yang berjenjang dengan konsistensi antar jenjang; artinya kesesuaian sistem pengelolaan sumberdaya alam komunitas dengan sistem pengelolaan sumberdaya alam yang lebih luas, baik konsesi perusahaan maupun sistem pengelolaan sumberdaya alam pemerintah.
•
Adanya mekanisme pengelolaan sengketa lingkungan dan sumberdaya alam, baik penyelesaian sengketa internal dalam komunitas maupun secara eksternal dengan pemangku kepentingan lainnya.
•
Adanya kemampuan untuk bernegosiasi dengan pemangku kepentingan lainnya; artinya komunitas mempunyai kekuatan politik, ekonomi, sosial, budaya serta modal sosial yang memadai untuk menghadapi pemangku kepentingan lainnya secara konstruktif.
Yang dimaksudkan dengan “pertanyaan pengkajian” adalah pertanyaan umum yang memandu keseluruhan pengkajian. Padanannya dalam penelitian formal adalah “pertanyaan penelitian” (research questions) Acuan: Elinor Ostrom, Governing the Commons: The Evolution of Institutions for Collective Action, Cambridge University Press, Cambridge, 2002
5
Draft # 7 – 5 Januari 2010 •
Adanya kemampuan untuk berencana bersama dan bekerjasama dengan pemangku kepentingan lainnya.
Masing-masing prasyarat itu tidaklah berdiri sendiri, tetapi bertumpang-tindih dan berkait-kelindan menjadi dasar suatu sistem tata-kelola sumberdaya bersama (common property regime) yang berkelanjutan. Sementara itu, yang dimaksudkan dengan masyarakat dalam hal ini adalah kelompokkelompok masyarakat — baik masyarakat asli, masyarakat nomadik, dan masyarakat setempat — yang tinggal di dalam atau di sekitar hutan, serta kelompok masyarakat yang memanfaatkan hutan untuk kelanjutan kehidupannya.
B. Bagaimana Kajian Kita Lakukan Kajian dimulai dengan orientasi, yakni diskusi-diskusi informal dengan TNC sebagai pemrakarsa serta kajian awal terhadap dokumen-dokumen tentang REDD dan persoalan pengelolaan sumberdaya alam di kabupaten Berau. Berdasarkan informasi awal yang diperoleh kemudian tim mengembangkan rancangan kajiannya. Berdasarkan tujuan kajian dan pertanyaan-pertanyaan pengkajian sebagaimana disebutkan diatas, tim merencanakan untuk melakukan kajian dengan metodologi kajitindak partisipatif (participatory action research) yang bersifat ekploratif. Namun karena ada kendala ketidak-pastian dalam artian bahwa pemrakarsa kajian belum bisa memberikan komitmen yang pasti tentang tindak-lanjut nyata atas hasil kajian dan karena itu perlu menghindarkan resiko untuk mengembangkan harapan yang berlebih dari para peserta kajian, maka pendekatan kajitindak partisipatif tidak dapat diterapkan sepenuhnya dan penggunaanya dibatasi hanya pada beberapa teknik. 1. Unit Kajian dan Analisa
Tujuan umum pengkajian yang dilakukan adalah pengembangan Skema REDD pada skala kabupaten, sehingga data dan informasi yang akan disajikan dalam laporan ini harus memberikan gambaran yang memadai untuk dapat merumuskan kebijakan-kebijakan dan menyusun perencanaan di tingkat kabupaten. Karena itu pengumpulan informasi kajian dan analisa pun dilakukan pada skala kabupaten. 2. Pilihan kampung (sampling)
Di Kabupaten Berau ada 91 kampung (desa) dan 7 kelurahan8, dan diperlukan sampling yang tepat untuk dapat memberikan gambaran umum yang memadai sebagaimana dimaksudkan. Untuk itu pilihan kampung sebagai sample dilakukan berdasarkan informasi awal tentang potensi karbon hutan, sebaran geografis dan tipologi kampung. Karena wilayah hutan alam yang paling potensial berada di hulu sungai, maka tekanan diberikan kepada kajian di kampung-kampung di wilayah tersebut. Sample kampung kajian itu kemudian adalah sebagaimana digambarkan dalam matriks dan peta berikut:
8
Berau dalam Angka 2008, Badan Pusat Statistik Kabupaten Berau dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Berau.
6
Draft # 7 – 5 Januari 2010 Tabel 1: Sebaran kampung-kampung kajian
Kampung di wilayah konsesi hutan Long Duhung, Long Pai (Punan Mahkam), Tradisional Merabu, Lesan Dayak, Long Boy, Long Lamcin, Long Sului
Kampung di wilayah konsesi perkebunan
Kampung di wilayah konsesi pertambangan9
Kampung di wilayah pesisir
Kampung transmigran
—
Samburakat
Semanting, Matarintib
—
Transisional
Long Ayan,
Merasak, Merapun
Tepian Buah, Long Lanuk
Kasai
Melati Jaya
“Modern”
—
Sido Bangen
Bena Baru
Tanjung Batu
Labanan Makarti
Sumber: Peta Rencana Tata ruang Kab. Berau 2001-2011, Bappeda Kabupaten Berau 2008
Gambar 1: Peta kabupaten Berau
3. Teknik Pengumpulan Informasi di Lapangan
Informasi tentang kampung dan keberadaan masyarakat dikumpulkan dari warga masyarakat melalui wawancara semi-terstruktur dengan tokoh-tokoh kunci dan perwakilan masyarakat lainnya di kampung-kampung, serta dengan perwakilan perusahaan-perusahaan yang memiliki konsensi di wilayah dimana kampungkampung kajian itu berada. Dalam wawancara-wawancara tersebut tim juga
9
Kajian di kampung-kampung pertambangan tidak dilanjutkan karena diputuskan bahwa BFCP untuk sementara tidak akan bekerja di wilayah pertambangan sehingga yang dikaji hanya satu kampung yakni Bena Baru yang berada di kawasan perusahaan tambang batu-bara Berau Coal
7
Draft # 7 – 5 Januari 2010 melakukan probing pokok-pokok permasalahan lainnya yang kiranya perlu didalami. Apabila di kampung warga masyarakat yang hadir ada beberapa orang maka yang dilakukan adalah diskusi kelompok terfokus (FGD/Focus Group Discussion) tentang topik-topik yang menyangkut akses dan kontrol masyarakat atas sumberdaya alam. Instrumen pengumpulan informasi berupa pedoman wawancara dipersiapkan tetapi hanya menjadi panduan yang longgar dalam pelaksanaan diskusi dan wawancara. 4. Konsultasi dengan Narasumber
Tim juga memperoleh informasi melalui konsultasi dengan beberapa pejabat di lingkungan Pemerintah Berau, antara lain di Dinas Kehutanan, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, Assisten II Pemerintah Kabupaten Berau, Kabag Hukum, DPRD, serta Pokja REDD Kabupaten Berau. Tim juga berkonsultasi dengan TNC dan LSM lokal. 5. Kajian Dokumen dan Kepustakaan
Berbagai informasi penunjang lainnya diperoleh dari kajian kepustakaan yang diperoleh dari browsing di Internet serta dari berbagai sumber lainnya. Termasuk dalam hal ini adalah berbagai acuan hukum (UU, PP, Permen, Perda, SK-Menteri, Perkam, dokumen kesepakatan antara para pihak) dan kepustakaan lainnya. 6. Tim Pelaksana Kajian
Tim pelaksana kajian ini terdiri atas staf dan konsultan World Education dan The Nature Conservancy. Sedianya tim akan melibatkan staf pemerintah kabupaten Berau dan LSM setempat, namun karena kendala internal lembaga yang bersangkutan hal itu tidak terlaksana.
V.
Gambaran Pelaksanaan Kegiatan
Dari tanggal 9 Agustus sampai dengan tanggal 9 Oktober 2009, tim melakukan tiga putaran kunjungan lapangan ke kampung-kampung sample. Pertemuan-pertemuan di kampung-kampung di hulu sungai pada umumnya dilaksanakan pada siang dan malam hari dan lamanya sekitar dua sampai tiga jam. Kisaran jumlah peserta pada diskusi-diskusi itu adalah enam sampai 15 orang dan biasanya salalu ada satu atau dua tokoh dominan dalam pembicaraan. Diskusi-diskusi itu pada umumnya bersifat eksploratif dengan mengacu secara longgar pada panduan wawancara. Pada beberapa kesempatan ada perempuan yang hadir tetapi hanya dua atau tiga orang dan mereka kurang berpatisipasi dalam diskusi. Kurangnya kehadiran perempuan dalam pertemuan-pertemuan di kampung disadari dan disayangkan tetapi memang merupakan cerminan dari dinamika masyarakat selama ini dan dalam kajian-kajian yang akan datang partisipasi mereka tentu harus diusahakan agar lebih bermakna. Di kampung-kampung transmigrasi dan kampung-kampung pesisir pada umumnya wawancara dilakukan dengan Kepala Kampung dan perangkatnya. Selain itu tim juga melakukan wawancara bebas dengan beberapa individu yang ditemui secara oportunistik selama berada di kampung atau selama perjalanan. Konsultasi dengan beberapa perusahaaan dilakukan dengan salah seorang staf perusahaan yang bersangkutan di kantor perusahaan yang bersangkutan. Konsultasi dengan pejabat 8
Draft # 7 – 5 Januari 2010 Pemerintah Kabupaten Berau dilakukan beberapa kali pada awal proses dan selama masa pengkajian lapangan berlangsung. Demikian pula dengan wawancara dan diskusi dengan perwakilan perusahaan, LSM, dan TNC.
VI.
Apa yang Kami Pelajari
Dari pengamatan lapangan serta berbagai wawancara dan konsultasi dengan masyarakat di kampung-kampung dan narasumber dari perusahaan kayu dan perkebunan serta pemerintah kami mendaptkan sejumlah besar informasi yang membantu kami dalam usaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kajian yang menjadi titik berangkat kami. Beberapa temuan kami rumuskan sebagai berikut ini:
A. Pengamatan Umum Dengan beberapa perkecualian, pada saat ini hampir semua kampung dapat terjangkau dengan relatif mudah melalui jalan darat yang dirintis oleh perusahan HPH dan perkebunan atau pemerintah. Perkecualiannya adalah beberapa kampung yang hanya dapat dicapai melalui sungai menggunakan ketinting (Merabu, Long Lamcin, Long Sului) karena jalan masih dalam proses pembukaan oleh perusahaan, atau bahkan karena jalan darat memang belum dibangun oleh perusahaan atau pemerintah (Kampung Merbau). Bisa jadi bahwa rendahnya jumlah penduduk di tiap-tiap kampung (kampung-kampung di daerah hulu sering hanya ditempati oleh 20 s/d 30 kk, kecuali Long Sului yang ditempati 100 kk) dan sebarannya yang luas menjadikan investasi publik dalam pembangunan infrastruktur transportasi sesuatu yang terlalu mahal bagi Pemerintah Kabupaten Berau. Dengan luas 34.127 km² dan total populasi 164.501 jiwa, kepadatan penduduk di Berau hanyalah 4,82 orang/km2.10. Kepadatan penduduk yang rendah itu di wilayah yang sangat luas dan kaya sumberdaya alam dengan infrastruktur transportasi yang terbatas selama ini seolah melindungi sumberdaya alam yang bersangkutan, dan memang hutan di kabupaten Berau masih cukup luas dengan kondisi yang cukup baik. Namun dengan perkembangan infrastruktur yang terakhir, keadaan ini berpotensi untuk cepat berubah. Tentu kesan ini perlu dipastikan berdasarkan data keras dari pengkajian lain yang lebih mendalam, namun tanpa menanti kajian seperti itu antisipasi perubahan yang mungkin terjadi tentu harus dilakukan.
B. Karakteristik Kampung Berdasarkan pengamatan lapangan dan interaksi dengan masyarakat, berikut ini disampaikan gambaran umum keberadaan kampung-kampung di Kabupaten Berau. 1.
Kampung di Daerah Hulu dan Konsesi Kehutanan
Dimasa lalu masyarakat Punan Mahkam dan Punan Kelay11 hidup dalam kelompokkelompok kecil yang berpindah-pindah di wilayah hutan yang menjadi wilayah jelajahnya, dan sesuai dengan itu kampung-kampung mereka ikut berpindahpindah. Alasan pemindahan kampung cenderung mengikuti ketersediaan sumberdaya alam, dan juga sebab-sebab lain seperti terjadinya wabah penyakit
10 11
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Berau 2007. Beberapa warga masyarakat yang ditemui menyebutkan bahwa sebutan mereka untuk dirinya sendiri adalah Mabpnan dan bukan Punan. Punan adalah sebutan orang luar untuk mereka.
9
Draft # 7 – 5 Januari 2010 dan kematian yang dihubungkan dengan lokasi kampung. Belakangan juga terjadi pemindahan kampung karena prakarsa relokasi oleh pemerintah dan perusahaan untuk mendekati jalan-jalan yang telah dibuka serta untuk “memudahkan pembinaan”. Salah satu hal yang menarik adalah bahwa nama kampung seringkali tidak mengacu pada lokasinya pada saat ini tetapi cenderung mengikuti perpindahan warga kampung yang bersangkutan sehingga mengacu pada lokasi historis dimasa lalu ketika kampung yang bersangkutan baru terbentuk. Pada saat ini kampung-kampung Punan di hulu sungai sudah relatif menetap. Walaupun tidak lagi hidup dalam kelompok-kelompok kecil seperti dimasa lalu, kampung-kampung mereka masih relatif kecil yakni terdiri dari 20 – 30 keluarga, walaupun ada juga kampung yang warganya sampai 100-an keluarga. Pada umumnya kampung-kampung kecil itu sangat tersebar dan berada dekat sungai. Masyarakat pada umumnya mengikuti gaya hidup tradisional dengan ketergantungan yang tinggi kepada hutan; sumber penghidupan mereka adalah antara lain berburu dan mengumpulkan berbagai hasil hutan non-kayu. Hewan buruan yang utama adalah babi-hutan dengan alasan bahwa dagingnya paling enak dan hewan inilah yang paling mudah ditemui di hutan, dan hewan buruan inilah yang menjadi sumber protein yang utama disamping ikan dari sungai. Berburu pada umumnya adalah kegiatan individual, tetapi hasil buruan senantiasa dibagi dengan warga kampung lainnya. Pada awalnya berladang bukanlah kegiatan yang utama; berladang dengan cara tebas-bakar dimulai pada tahun 70’an dan konon diintroduksi oleh seorang guru Kenyah. Sebelum itu sumber karbohidrat yang utama adalah sagu, madu, dan umbi-umbian, namun pada saat ini sudah tergantikan oleh beras sehingga kegiatan berladang menjadi lebih penting. Belakangan konsumsi beras masyarakat juga dipacu oleh adanya pembagian beras dalam program Raskin. Juga sudah ada diversifikasi sumber penghasilan antara lain: berladang, mendulang emas, penyediaan jasa transportasi (taksi air) untuk pendatang, buruh perusahaan kayu, berkebun, buruh mengambil sarang burung wallet (Kampung Merabu), warung-warung kecil, dan membuat perahu. Pada saat ini nyaris semua kampung tradisional di hulu sungai berada dalam wilayah konsesi HPH. Sejak masuknya berbagai perusahaan di wilayah dimana masyarakat berada, perusahaaan menjadi sumber uang tunai yang cukup berarti. Warga masyarakat di semua kampung menerima fee dan kompensasi dari perusahaan kayu pemegang HPH di wilayahnya. Dana itu kemudian dibagi antara semua warga kampung. 2.
Kampung di Daerah Hilir dan Konsesi Perkebunan
Pada saat ini kebanyakan kampung di daerah hilir sungai berada di wilayah KBNK, dan sebagian dari wilayah itu adalah bekas areal HPH yang sudah tidak berhutan lagi. Sejak masuknya perkebunan-perkebunan sawit pada tahun 2004, ada kampung-kampung yang berada di wilayah perkebunan, bahkan ada yang sepenuhnya dikelilingi perkebunan sawit. Mengikuti keberadaannya di wilayah KBNK dimana hutan dan sumberdaya hutan sudah sangat berkurang, ketergantungan masyarakat terhadap hutan juga sudah 10
Draft # 7 – 5 Januari 2010 berkurang, dan sebagian warga masyarakat menjadi buruh di perusahaan perkebunan, pemburu rusa (Payau) dan penebang kayu (illegal logger). Pada saat ini kampung-kampung di areal konsesi perkebunan sudah lebih terbuka dan berada pada masa transisional. Warga masyarakat sudah lebih heterogen dan sudah terbiasa berinteraksi dengan perusahaan dan para pendatang. Dengan adanya perkebunan dan jalan-jalan yang membuka akses ke dunia luar sudah ada banyak terpaan informasi dari dunia luar itu, namun nampaknya informasi itu masih dipahami dengan tingkat analisa yang terbatas. Perusahan-perusahaan perkebunan sawit menerapkan sistem “inti-plasma” dimana setiap keluarga mendapatkan lahan seluas dua hektar yang dijanjikan akan disertifikatkan atas nama mereka. Lahan plasma itu ditanami sawit oleh perusahaan dengan modal dari bank yang diperoleh melalui koperasi yang didirikan untuk itu. 3.
Kampung Transmigrasi
Akses ke kampung-kampung transmigran relatif mudah karena aksesibilitas sudah menjadi pertimbangan pada saat pemilihan lokasi dan pada saat ini jalan-jalan pemerintah sudah masuk sampai ke kampung. Masyarakat di kampung-kampung transmigrasi sangat heterogen dan terdiri dari pendatang dari berbagai daerah di Indonesia, antara lain: Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, dan Jawa Barat. Masyarakat transmigran lebih terbuka dan pemerintah kampung lebih tertata dibandingkan dengan kampungkampung tradisional dan transisional. Sebagian besar dari mereka adalah transmigran “asli”, yakni peserta program transmigrasi, dan keturunan mereka. Sisanya adalah para pendatang atas prakarsa sendiri. Warga masyarakat di kampung-kampung transmigran pada umumnya bertani dan berkebun intensif. Dan memang, pada saat para transmigran datang setiap KK mendapat lahan seluas dua hektar dengan perincian; Lahan I seluas seperempat hektar berupa pekarangan di sekitar pemukiman dan Lahan II seluas 1¾ hektar untuk berladang dan berkebun. Beberapa pendatang memperoleh lahan dengan membelinya dari warga yang transmigran “asli” yang tidak memanfaatkannya atau yang meninggalkan kampung transmigrasi yang bersangkutan. Ada pula sebagian warga yang membuka hutan di luar kawasan transmigrasi. Lahan I yang dikelola sebagai pekarangan sebagian besar ditanami tanaman buahbuahan dan perkebunan seperti rambutan, cempedak, nangka, pisang, jeruk, petai, melinjo, semangka, kakao, dan tanaman sayur-mayur seperti cabe, bayam, sawi, kangkung, kacang panjang dan sebagainya. Buah-buahan lokal dan sayurmayur yang banyak dijual di kalangan masyarakat Tanjung Redep adalah hasil dari desa-desa transmigrasi seperti Labanan Makarti, Labanan Jaya, Labanan Makmur, Melati Jaya dan Tali Sayan. Ini menunjukan bahwa masyarakat transmigran telah menepis pendapat bahwa tanah Kalimantan tidak dapat digarap secara intensif. Kunci keberhasilan masyarakat transmigran dalam mengolah lahan secara intensif adalah pemberian pupuk organik yang cukup. Namun pendapat bahwa tanah Kalimantan tidak bisa digarap secara intensif juga tidak salah sepenuhnya. Di sekitar kampung-kampung transmigran mulai terjadi lahan-lahan tandus yang tidak dapat ditumbuhi tanaman lain selain alang-alang 11
Draft # 7 – 5 Januari 2010 dan rumput liar. Keadaan ini terjadi karena walaupun masyarakat transmigran yang tidak punya pengalaman bertani cara tebas-bakar seperti masyarakat Dayak, mereka tetap mencobanya. Masyarakat Dayak melakukan pertanian tebas-bakar dengan pola rotasi tiga sampai dengan lima tahun untuk menunggu tanah subur kembali. Dengan masa “bera” itu kesuburannya lahan kembali secara alami. Sementara itu para transmigran melakukan tebas-bakar setiap tahun pada lokasi yang sama, dan perlakuan seperti inilah yang membuat tanah semakin tandus dan kehilangan hara sehingga secara bertahap menjadi padang alang-alang seperti yang dapat kita lihat di sekitar Kampung Labanan. Alang-alang yang sekarang mendominasi vegetasi di lahan-lahan bekas pertanian yang salah ini menjadi salah satu sumber kebakaran lahan pada setiap musim kemarau. Pada saat ini, karena keterbatasan tenaga kerja dan kendala aksestabilitas, belum semua lahan dapat digarap dan sebagian lahan dibiarkan sampai tertutup kembali menjadi hutan-sekunder. Ketika lahan tersebut dibuka kembali, kayu yang sudah cukup besar dijual sebagai kayu bangunan kepada pengusaha lokal. 4.
Kampung Pesisir
Sebagian besar wilayah pesisr kabupaten Berau, terutama di kecamatan Derawan dan Tali Sayan, masih terutup hutan bakau dan nipah yang keadaannya masih relatif baik, dan karenanya beberapa kampung pesisir dijadikan kampung sample pengkajian ini. Penduduk beberapa kampung pesisir homogen suku Berau, tetapi kebanyakan kampung sudah sangat heterogen dengan dominasi beberapa kelompok etnis dari Sulawesi seperti Bone, Bugis, Banjar, dan lain-lain. Juga di beberapa tempat ada pemukinan kelompok Bajau yang menjadi bagian dari kampung yang lebih besar. Kebanyakan penduduk kampung pesisir adalah nelayan, dan sebagian bermatapencarian sebagai pedagang pengumpul hasil tangkapan, dan ada pula warga yang menyediakan berbagai jasa yang dibutuhkan para nelayan seperti penyalur BBM, bengkel reparasi mesin perahu, penyediaan peralatan, dan sebagainya. Hutan dan Masyarakat Punan Di beberapa kampung ada usaha tambak (udang dan ikan) yang diprakarsai oleh orang luar kampung dan mempekerjakan warga setempat. Tetapi usaha-usaha tambak ini tidak berlanjut karena pengelolaan yang kurang baik dan karena struktur tanah yang kurang memungkinkan.
C. Ketergantungan terhadap Hutan Tidak ada kampung yang sepenuhnya tergantung pada hutan, walaupun sumber penghidupan lain yakni berladang dilaksanakan di lahan yang berstatus sebagai hutan (KBKKawasan Budidaya Kehutanan). Namun semua warga kampung-kampung Dayak (Punan, Lebo, Gaai, Kenyah) merasa hutan
Selain sebagai “rumah”, bagi masyarakat Punan hutan juga menjadi sumber penghidupan, bahkan ada yang menyebutkannya sebagai supermarket tempat memperoleh semua keperluan hidup sehari-hari, antara lain: • Hewan buruan: babi hutan, payau (rusa), kancil, burung, dsb.. • Sagu: dulu makanan pokok, sekarang telah bergeser menjadi cadangan pangan • Racun sumpit, • Getah/perekat untuk pembuatan perahu, • Rotan • Madu
• Buah-buahan: • Obat-obatan: • Lahan untuk berladang • Kayu untuk bangunan, perahu, dan kayu bakar. • Ikan • Emas • Air bersih • Rekreasi
12
Draft # 7 – 5 Januari 2010 penting bagi mereka, terutama untuk berburu, dan hal inilah yang pertama disebutkan jika pada mereka ditanyakan bagaimana mereka memanfaatkan hutan. Menurut warga masyarakat, kontribusi berburu terhadap keseluruhan “pendapatan” rumah-tangga adalah sekitar 20%. Berburu adalah kegiatan individual, namun terkesan juga penting karena nilai kultural dan rekreasional sementara nilainya survival/ subsistennya sudah berkurang. Mengurangi Ketergantungan Pada Nilai sosialnya adalah kebiasaan untuk Hutan – Solusi atau Awal berbagi hasil buruan dengan sesama warga Permasalahan Baru kampung jika hasil buruan sudah mencukup Kajian ini juga berusaha untuk mencari informasi tentang ketergantungan masyarakat terhadap untuk keluarga. Di kampung-kampung hutan. Asumsinya adalah bahwa ketergantungan tradisional, hasil perburuan kebanyakan ini akan menjadi masalah dalam program untuk konsumsi sendiri dan untuk dibagikan kehutanan, termasuk dalam Skema REDD. kepada warga kampung yang lain, sementara Salah satu “teori”yang banyak dianut adalah bahdi kampung-kampung yang sudah berada wa masyarakat merusak hutan dan jika ketergandalam masa transisional beberapa individu tungannya pada hutan berkurang maka dayamulai berburu dan memperjual belikan rusak mereka juga berkurang. Berdasar teori itu diprakarsai berbagai upaya peningkatan ekonomi hasilnya di dalam kampung – dan ini untuk mengalihkan masyarakat dari hutan. ditengarai merupakan pergeseran dari nilai Tim Kajian menemukan hal yang sebaliknya, tradisional berburu untuk kepentingan berDalam percakapan dengan tim, warga masyasama. Binatang buruan paling umum adalah rakat yang nyaris sepenuhnya tergantung pada babi-hutan, tetapi hewan-hewan lain juga hutan lebih sering menyatakan niat dan keharusmenjadi sasaran jika ditemui. an untuk menjaga hutan demi keberlanjutan pemenuhan kebutuhan mereka dan anak cucu meHasil hutan yang lain adalah madu dan reka. Sementara warga masyarakat yang sudah rotan, dan di tempat yang memungkinkan memiliki alternatif ekonomi yang cukup selain dari juga emas, gaharu, dan sarang burung. hutan lebih sering menyatakan kesediaan mereka Ketergantungan terhadap Hutan: untuk “bekerjasama” dengan perusahaan dalam Hasil-hasil hutan ini pada umumnya diambil membuka HPH atau kebun sawit. Bukan hanya Orang Punan untuk dijual dan hanya sangat sedikit untuk Pertanyaan yang muncul dari kenyataan ini adaKajian ini mengungkap kembali ketergantungan keperluan sendiri. Biasanya untuk masinglah: Bagaimanakah sebaiknya sikap dan kebijakyang tinggi masyarakat Punan terhadap hutan. masing hasil itu ada pedagang pengumpul an tentu lembaga-lembaga dari luarbaru yangdan membawa Ini bukan suatu temuan sering yang membelinya. Pada saat ini gaharu agenda konservasi? ketergantungan terhadap hutan ini dianggap sudah mulai langka dan rotan tidak diambil sebagai masalah yang harus diselesaikan. Untuk karena pasarnya sedang lesu. itu diprakarsai berbagai program pengembangan alternatif ekonomi agar ketergantungan masyaDi wilayah konsesi HPH, khususnya di rakat terhadap hutan bisa berkurang. wilayah yang sudah ditebang, warga masyaTetapi bukankah kita melupakan sesuatu? Bagairakat mengeluh bahwa ketersediaan hasil mana dengan pihak-pihak lain yang juga terganhutan dan hewan buruan berkurang. “Dulu tung pada hutan? .Bukankah tingkat ketergantungan perusahaan kayu terhadap hutan jauh ketika musim madu kami bisa mendapat lebih tinggi daripada masyarakat Punan? madu beberapa drum, sekarang mendapatLebih dari itu, bukankah kita semua bergantung kan satu jerikan saja sudah susah”, salah pada hutan? Dan bukankah dasar prakarsa seorang warga desa menjelaskan. Bahkan pengembangan Skema REDD adalah kesadaran pada saat ini beberapa kampung sudah tidak bahwa masyarakat globalpun tergantung pada lagi mempunyai wilayah berburu karena hutan, walaupun tentu ada perbedaan dalam hutan untuk berburu sudah menjadi wilayah tingkat ketergantungan itu, tetapi pada akhirnya perbedaan itu hanyalah masalah derajat, skala, tambang atau kebun sawit. dan cakrawala waktu.. Di kampung-kampung dalam kawasan per13
Draft # 7 – 5 Januari 2010 kebunan dan tambang, kayu untuk rumah dan perahu juga makin sukar didapat; tetapi warga masyarakat sudah mengembangkan alternatif, yakni mencarinya di wilayah kampung tetangga, dan rupanya di beberapa tempat sudah ada kesepakatan antar kampung tentang hal ini. Setelah masyarakat mulai biasa berladang, maka hutan juga dilihat sebagai wilayah untuk membuka ladang guna pemenuhan kebutuhan pangan dan sebagai wilayah cadangan untuk ladang bagi anak-anak mereka dan generasi yang akan datang. Selain itu, pada saat ini hutan ternyata juga telah menjadi sumber perolehan uang tunai berupa ganti-rugi atau kompensasi serta fee dari perusahaan kayu dan perusahaan sawit yang ada di wilyah kampung. Kampung-kampung transmigran sudah tidak lagi tergantung pada hutan, tetapi hanya memanfaatkan secara terbatas beberapa Tahapan Membuka Ladang: hasil hutan seperti kayu bangunan dan kayu 1. Survai (Mentau/Pelaba) untuk menentukan bakar yang diperoleh dengan membeli. lokasi ladang yang akan dibuka. Biasanya Karena sebagian besar warganya adalah dilakukan laki-laki dewasa antara April dan Mei. nelayan, kampung-kampung nelayan di 2. Menebas/merintis (Lidieq/Lemliq): mempesisir tentu tidak tergantung langsung pada bersihkan belukar dan pohon-pohon kecil hutan. Walaupun ada pemanfaatan kayu guna memudahkan penebangan hutan bakau untuk kayu bakar dan untuk membuat kemudian. Dilakukan pada bulan Juni oleh rangka perahu, pada umumnya pemanfaatan ibu, bapak dan anak-anak yang sudah besar. sumberdaya hutan bakau sangat rendah. Di 3. Menebang (Wang/ Nepeng) semua pohon beberapa kampung ada pembukaan hutan besar. Bbiasa dilakukan oleh laki-laki dewasa pada bulan Juli. bakau untuk pembuatan tambak ikan dan udang, tetapi karena membutuhkan modal 4. Potong dahan (Sau/ Mesad): memotong dahan-dahan pohon-pohon yang sudah yang lumayan besar, pembukaan tambak tumbang agar mudah kering dan mudah didilakukan oleh orang dari luar kampung. bakar. Kegiatan ini biasa dilakukan ibu dan bapak bersama-sama pada bulan Juli juga.. D. Pertanian Tebas Bakar 5. Membakar (Tung/ Nugan) biasa dilakukan Secara tradisional sumber karbohidrat bersama sekitar bulan Agustus setelah masyarakat Punan yang utama adalah sagu. semua dahan-dahan sudah cukup kering.. Namun pada saat ini di banyak kampung 6. Menugal/menanam (Kul/ Nugan): membuat pilihan pertama adalah beras dan hanya lubang-lubang ditanah dengan tongkat yang beberapa orang tua dengan bernostalgia kemudian diisi dengan benih. Biasa dilakukan antara bulan September hingga Oktober menyatakan bahwa sebenarnya jika ada menjelang musim hujan. pilihan mereka lebih suka makan sagu. 7. Merumput (Nalau/Mabau) biasa dilakukan Sementara pilihan mereka yang lebih muda oleh ibu-ibu ketika padi berumur tiga bulan adalah beras. “Berasnisasi” inilah yang dan rerumputan di sekitar padi mulai tumbuh. memunculkan kebutuhan akan beras dan 8. Membuat Pondok biasanya dilakukan oleh pada gilirannya ini yang kemudian menbapak untuk menjaga ladang dari serangan dorong masyarakat untuk belajar berladang, hama seperti babi-hutan. dan berladang tebas-bakar dianggap sebagai 9. Panen (Tam/ Majau) dilakukan bergotong cara yang terbaik. Pada saat ini semua royong antara bulan Februari dan Maret. warga masyarakat di semua kampung, baik 10. Pesta Panen (Pelmus Ta on/Pelepeq Uman) yakni acara syukuran biasa dilakukan pada di kampung-kampung tradisional maupun di bulan Mei. kampung-kampung lainnya, memenuhi Sumber: Laporan Participatory Rural Appraisal kebutuhannya akan padi dengan cara Kampung Long Beliu, TNC, 2002
14
Draft # 7 – 5 Januari 2010 berladang tebas-bakar. Pembukaan hutan untuk berladang dilakukan secara berkelompok. Walaupun setiap keluarga kemudian mempunyai lokasinya sendiri, pada umumnya semua ladang itu berada dalam satu hamparan. Pada satu saat satu kampung bisa membuka hamparan ladang di beberapa lokasi yang berbeda. Pada umumnya lokasi hamparan ladang tersebut berada di dekat sungai, walaupun pada saat ini dengan sudah dibukanya jalan logging ada juga masyarakat kampung yang membuka ladang di sepanjang jalan baru tersebut. Jika dulu lokasi hamparan ladang itu berjarak lima sampai 10 kilometer dari kampung, pada saat ini dengan adanya mesin-ketinting jarak itu bisa sampai 15 kilometer atau lebih. Luasan yang dibuka berkisar 0,5 hingga 7 hektar/keluarga/tahun (setara dengan 1—14 kaleng benih; dua kaleng cukup untuk satu hektar). Masyarakat Punan di wilayah hulu yang hutannya masih luas dan kepemikikan bukan sesuatu yang terlalu penting biasanya membuka antara 0,5 — 1,5 hektar/keluarga/ tahun. Sementara di daerah hilir dimana luasan hutannya sudah lebih terbatas sehingga claim kepemilikan menjadi lebih penting dan warga masyarakat Kenyah dan Berau mempunyai modal untuk membayar pekerja, luas ladang yang dibuka bisa mencapai 4 —7 hektar/keluarga/tahun. Rotasi perladangan (masa bero) di wilayah hulu adalah antara lima sampai enam tahun, sementara di wilayah hilir masa rotasi itu sudah berkurang dan dilaporkan ada ladang yang sudah dibuka kembali setelah tiga tahun.
Berladang Tebas Bakar: Sejauhmana Merusak Alam? Dengan tingkat produktivitas antara 600 – 700 kilogram gabah kering/hektar, satu keluarga perlu membuka ladang seluas 1 – 1½ hektar setiap tahunnya. Jika satu kampung rata-rata terdiri dari 25 keluarga, maka setiap kampung menebas dan membakar antara 25 sampai 35 hektar hutan/tahun. Jika separuh saja dari warga di semua kampung di Berau melakukan tebas bakar, maka luas hutan yang dibakar bisa mencapai 1.500 hektar/tahun. Tentu angka-angka itu barulah perkiraan kasar, tetapi dari perspektif lingkungan kita akan bertanya, sejauhmanakah hal ini merusak dan menjadi masalah yang perlu ditangani? Para pakar terbagi menjadi dua kubu yang masih bersiteru tentang ini. Kubu pertama menyebutkan bahwa waktu rotasi yang cukup lama dan tingkat regenerasi hutan yang masih cukup baik menjadikan sistem berladang berpindah sistem yang cukup berkelanjutan. Nyatanya di wilayah yang digunakan untuk berladang tidak terdapat lahan kritis. Tetapi kubu kedua menyebutkan bahwa dengan peningkatan penduduk waktu rotasi menjadi lebih pendek dan jangka waktu itu tidak memungkinkan regenerasi hutan yang cukup baik. Akibatnya terjadi degenerasi hutan yang sukar diperbaiki. Nampaknya perdebatan ini masih akan berlanjut sementara dalam kerangka pengembangan Skema REDD masalah itu perlu segera disikapi.
Ada kalanya kegiatan pada tahun tertentu berladang tebas-bakar tidak dilakukan atau ditunda ketika warga masyarakat menduga bahwa upayanya tidak akan berhasil, misalnya karena adanya gangguan hama yang tidak dapat diatasi. Selain untuk kecukupan pangan, kegiatan berladang tebas-bakar juga berkembang menjadi kegiatan sosial-budaya yang penting bagi masyarakat. Pada saat menugal dan menanam benih, misalnya, nyaris semua keluarga dalam satu kampung, termasuk anak-anak, bersama-sama tinggal di ladang mulai dari malam sebelum pekerjaan sesunguhnya dimulai. Selama orang dewasa bekerja, anak-anak berkumpul dan bermain bersama disekitar pondok yang telah dibangun khusus untuk acara ini. Selain bekerja menugal dan menanam, mereka juga memasak bersama bekal yang dibawa, termasuk jika ada hewan buruan yang diperoleh di hutan di sekitar ladang yang bersangkutan. Selama bekerja suasananya riuh-riang penuh canda, termasuk saling 15
Draft # 7 – 5 Januari 2010 menggosok dengan abu dan arang sisa pembakaran. Untuk yang terakhir ini sudah ada pengertian bahwa pada hari ini hal itu diperbolehkan dan sang korban yang dalam waktu singkat penuh dengan coreng-moreng abu dan arang tidak boleh menolak ataupun marah. Daur pertanian gilir-balik ini diakhiri dengan pesta panen yang juga merupakan acara sosial-budaya yang penting bagi masyarakat. Selain sebagai ajang pertemuan antara semua warga kampung, konon acara tugal dan pesta panen ini juga ajang perkenalan dan pergaulan antara pemuda dan pemudi di luar suasana sehari-hari di kampung.
E.
Kelembagaan dan Kepemimpinan Adat: Secara tradisional masyarakat Punan hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari lima sampai enam keluarga tanpa struktur sosial yang ketat. Pada saat ini kampung-kampung sudah lebih besar dan terdiri dari 20 – 30 keluarga. Hubungan di dalam kelompok, dalam kampung dan antar kampung sangat egaliter tanpa hirarki yang tegas. Dalam kampung dan kelompok genealogis, orang tua yang banyak keturunannya dihormati sebagai “orang tua” dan berperan sebagai semacam Kepala Adat. Istilah “Kepala Adat” sebebarnya adalah istilah yang diintroduksi di kalangan masyarakat Punan oleh pihak luar. Di kampung-kampung yang lebih tradisional “kepala adat” tersebut masih lebih berpengaruh dan sering berperan sebagai “penasehat” kepala kampung. Dalam berbagai persoalan adat dan budaya (penentuan lokasi membuka ladang, penentuan wilayah berburu, waktu pelaksanaan upacara adat, penyelesaian sengketa sosial antar warga, dan sebagainya) peran kepala adat lebih dominan daripada kepala kampung. Di kampung-kampung hulu Kelay juga ada jabatan adat yang disebut “Kepala Ladang” yang mengatur tata-cara pembukaan ladang; lokasi, luasnya, dan waktu penanaman padi berdasarkan pengamatan atas tingkat kesuburan tanah, luasan lahan berbanding jumlah petani, dan prakiraan hasil padi yang akan dihasilkan pada musim panen tahun berjalan. Ia juga memimpin gotong-royong dalam menanam padi pada ladang-ladang individual yang dikerjakan bersama secara bergilir – termasuk memimpin upacara adat yang berhubungan dengan daur pertanian. Pemerintah Kampung: Walaupun ada “kepala adat”, dalam menjalankan pemerintahan kampung yang utama adalah Kepala Kampung. Pemerintah Kampung dijalankan oleh perangkat kampung terdiri dari Kepala Kampung, Sekretaris Desa, Kepala Urusan Umum, Kepala Urusan Pembangunan dan Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat, dan cenderung lebih banyak menjalankan tugas-tugas sebagai kepanjangan tangan pemerintah kabupaten daripada mewakili masyarakat terhadap pemerintah kabupaten. Tugas-tugas itu adalah urusan-urusan kepemerintahan formal dan kegiatan pembangunan kampung seperti proyek-proyek pemerintah yang cenderung lebih banyak berupa pembangunan infrastruktur seperti sekolah, puskesmas, jalan kampung, balai pertemuan. Dana bantuan desa pun cenderung lebih banyak digunakan untuk pembangunan infrastruktur, dan sangat jarang ditemui proyekproyek pengembangan ekonomi masyarakat. Pemerintah kampung juga memberikan pelayanan lain seperti Pembuatan KartuTanda Penduduk (KTP), Asuransi kesehatan keluarga miskin (Askes Gakin), Bantuan Langsung Tunai (BLT). Upaya penyelesaian sengketa antara masyarakat dan perusahan yang cukup sering terjadi juga menjadi urusan Kepala Kampung.
16
Draft # 7 – 5 Januari 2010 Namun di kampung-kampung tradisonal dan transisional pemerintah kampung cenderung kurang berperan optimal sebagai institusi; seringkali yang sibuk menjalankan berbagai aktivitas adalah individu kepala kampung, sementara perangkat yang lain sering pasif, bahkan sering tidak mengetahui apa peran yang semestinya. Memang ada perkecualiannya juga, seperti di kampung Long Pai; namun di kampung ini banyak perangkat kampung adalah orang-orang pendatang yang berbaur dengan masyarakat asli dan kemudian dipercaya sebagai perangkat kampung. Kebanyakan kepala kampung saat ini merupakan hasil pemilihan langsung warga dan sebagian besar menjabat sebagai kepala kampung untuk pertama kalinya. Pada umumnya kepala kampung dan kepala adat adalah orang yang berbeda karena kecenderungan bahwa mereka yang maju mengikuti pemilihan kepada kampung (pilkades) adalah mereka yang lebih muda sementara tokoh adat yang sudah lebih berumur tidak berminat untuk mengajukan diri dan mengikuti pemilihan. Di kampung-kampung yang sudah lebih terbuka di daerah hilir masih ada Kepala Adat tetapi perannya sudah sangat berkurang, bahkan sering merupakan orang tua yang ditunjuk sebagai Kepala Adat setelah ada petunjuk dari pemerintah bahwa Kepala Adat harus ada. Selain Kepala Adat, dalam struktur adat yang diberikan oleh pemerintah juga disbutkan adanya Sekretaris Adat dan Bendahara Adat, namun kedua jabatan ini jarang terisi karena tidak ada anggaran khusus yang diberikan oleh pemerintah guna membayar honor selain kepala adat. Penunjukan ini kemudian menjadi sekedar formalitas akibat upaya Pemerintah Kabupaten dalam memberikan pengakuan terhadap mereka. Di kampung-kampung di hilir ini kegiatan pertanian dilakukan dengan membayar orang untuk menebas, membakar, dan menanam sebagai buruh dengan upah harian, sementara upah memanen dilakukan dengan bagi hasil. Artinya kegiatan pertanian sudah mulai bergeser dari kegiatan adat menjadi kegiatan ekonomi komersial sehingga tidak lagi ada Kepala Ladang. Koperasi: Di kampung-kampung hilir ada KUD dan Koperasi Perkebunan yang diprakarsai oleh perusahan perkebunan dan dimanfaatkan guna memperoleh kredit dari bank sebagai modal pembukaan dan penanaman lahan “plasma” milik warga masyarakat. Walaupun koperasi-koperasi perkebunan itu secara formal adalah koperasi masyarakat, dalam kenyataaannya seluruh kegiatan dikelola oleh perusahaan yang bersangkutan. Nyatanya, di suatu desa yang dikelilingi oleh empat konsesi perkebunan terdapat empat buah koperasi perkebunan yang berbeda, masing-masing untuk satu perusahaan. Semua kepala keluarga menjadi anggota semua koperasi tersebut. Gereja: Di kampung-kampung hulu Gereja sudah melembaga dan pada umumnya sangat dekat dengan masyarakat. Gereja ini mencakup pula berbagai kelompok afiliasi, antara lain Perkawan (persekutuan kaum wanita), Mudika (Muda-mudi Katolik), Perkarya (Pesekutuan Kaum Pria), dan lain-lain. Kegiatan kelompokkelompok ini pada umumnya terbatas pada persoalan keagamaan/pendidikan kerohanian serta pergaulan sosial. CU (Credit Union): Salah satu lembaga yang nampaknya cukup berkembang di daerah hulu adalah CU Daya Lestari yang telah menjangkau kampung-kampung Long Duhung, Long Boi, Long Lamcin, Long Pelay, dan Long Suluy. CU ini di introduksi pada tahun 17
Draft # 7 – 5 Januari 2010 2005 oleh seorang guru di Long Pelay (Bapak Dolof Ding) – CU di hulu Kelay dan merupakan cabang dari CU di Samarinda. Sesuai dengan namanya, kegiatannya yang utama adalah simpan-pinjam dan dengan ini CU ini telah membangun keanggotaan sebesar ±100 orang yang rata-rata sudah mempunyai simpanan sekitar Rp.7 jutaan. Yang paling banyak menabung adalah masyarakat Long Suluy karena simpanan uang yang diperoleh dari kegiatan mendulang emas. Pengambilan kredit oleh anggota lebih banyak digunakan untuk keperluan konsumtif di tingkat rumah-tangga dan belum untuk kegiatan produktif. Kelompok-kelompok bentukan program/proyek: Sebagaimana di hampir semua desa di Indonesia, di kampung-kampung juga dapat ditemuai Kelompok Tani, Kelompok PNPM, Kelompok Nelayan, dan sebagainya, yang dibentuk untuk pelaksanaan kegiatan berbagai proyek yang “diturunkan” pemerintah. Namun ketika ditanyakan apa kegiatannya setelah proyek yang bersangkutan selesai, maka ternyata banyak kelompok ini walaupun secara formal dianggap masih ada dan warga masyarakat masih menyebutkan siapa ketuanya, dalam kenyataanya kelompok-kelompok itu sudah tidak berfungsi.
F. Kelembagaan yang Lebih Luas Selain kelembagaan tradisional dan lembagalembaga pemerintah kampung, ada beberapa lembaga bentukan “baru”. Lembaga-lembaga ini pada umumnya tidak diprakarsai di tingkat kampung tetapi di tingkat kabupaten atau bahkan propinsi.
“CIH SANG MABPNAN OL KELAY”
Ditingkat DAS Kelay ada Persatuan Kampung Dayak Punan Hulu Kelay (Pelkung Kampung Mabpnan Ol Kelay atau sering juga disebut Forum Kampung Hulu Kelay)- yang pembentukannya di fasilitasi dan didukung oleh TNC. Forum ini dibentuk pada tahun 2003 untuk mengembangkan kerjasama disekitar masalah lingkungan, sumberdaya alam, kependidikan, pengembangan ekonomi dan lain-lain. Dalam proses perkembangannya kegiatan forum ini diarahkan kepada upaya pengembangan kesepakatan konservasi kampung, khususnya untuk perlindungan orang utan. Persatuan ini telah merumuskan dan menetapkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah-Tangganya, dan pada saat pembentukannya para anggota memilih pengurus dengan masa bakti dari tahun 2003 sampai dengan 2008. Pada saat ini masa jabatan pengurus telah berakhir namun pengurus baru belum terbentuk. Disamping itu di DAS Kelay juga telah dibentuk Persatuan Keluarga Besar Dayak Kelay dengan tujuan untuk mengatasi keterbelakangan ekonomi dan upaya mengembalikan kebudayaan Dayak yang telah melemah. Organisasi ini merupakan prakarsa internal masyarakat sendiri, namum program yang akan dilakukan untuk tujuan tersebut belum jelas. Pada saat ini kegiatan yang dilakukan barulah kegiatan sosial berupa perayaan Natal bersama. Yang menarik adalah fakta bahwa Forum Kampung Hulu Kelai dan Persatuan Keluarga Besar Dayak Kelay bertumpang-tindih; keanggotaannya sesungguhnya sama dan juga sebagian anggota pengurusnya adalah orang “yang itu-itu juga”.
18
Draft # 7 – 5 Januari 2010 Kelembagaan yang menarik pula adalah Badan Pengurus (BP) Segah yang merupakan organisasi multi-pihak kerjasama antara warga masyarakat lima kampung di kecamatan Segah, Perusahaan Kayu, TNC dan pemerintah kabupaten Berau. BP ini merupakan ajang kerjasama dalam pengelolaan sumberdaya alam, khususnya hutan, di wilayah konsesi perusahaan kayu. Mengikuti model yang sama, di kawasan Lesan juga telah dibentuk suatu badan pengelola kawasan, yakni BP Lesan. Lembaga inipun dimaksudkan untuk menggalang kerjasama multi-pihak dalam pengelolaan sumberdaya alam di kawasan Lesan. BP Lesan pada awalnya mendapat dukungan dari pemerintah kabupaten, termasuk sarana berupa suatu guest house di ibu kota kecamatan dan pos-pos pengawasan di dalam kawasan hutan. BP Lesan juga telah menyusun suatu rencana strategis yang pada intinya mencakup pelestarian lingkungan dan pengembangan ekonomi masyarakat. Hal lain yang berhasil dilakukan adalah mendorong dan memfasilitasi kawasan Lesan menjadi kawasan Lindung yang ditetapkan dengan SK Bupati no 251 tahun 2004. Ditingkat kabupaten ada beberapa lembaga yang diprakarsai pembentukannya oleh pemerintah: Komando Pemuda Adat Dayak, dan Laskar Adat Dayak. Sementara di tingkat propinsi ada Persatuan Dayak Kalimantan Timur (PDKT) dan Gerakan Pemuda Adat Kalimantan (Gepak). Namun lembaga-lembaga ini rupanya dibentuk dengan tujuan politis guna menegaskan eksistensi Dayak sebagai “ikon” suku “asli” Kalimantan Timur, dan tidak mempunyai agenda dalam bidang pengelolaan sumberdaya alam. Di tingkat propinsi ada Lembaga Adat Besar Punan Kalimantan Timur (LABPKT) yang diprakarsai oleh Yayasan Adat Punan (YAP) bekerjasama dengan CIFOR. LABPKT nampaknya bertumpang tindih dengan YAP, karena staf YAP secara de facto menjadi pengurus LABPKT. Tujuan LABPKT adalah memperjuangkan kepentingan masyarakat Punan dalam berbagai bidang pembangunan. Lembaga ini sudah beberapa kali mengadakan Musyawarah Besar Masyarakat Punan dan beberapa pengkajian tentang keberadaan dan permasalahan masyarakat Punan di Kalimantan Timur. Namun sampai saat ini hasil kajian-kajian itu belum ditindaklanjuti dengan program yang lebih kongkrit.
G. Sumberdaya Alam, Aturan-aturan Pengelolaan dan Penegakannya Aturan-aturan adat tentang sumberdaya alam yang berlaku di kampung-kampung tradisional dan transisional relatif sederhana; aturan utamanya adalah bahwa orang yang pertama kali membuka lahan atau menemukan suatu sumberdaya alam tertentu di hutan menjadi “pemilik” dan secara tetap berhak memanfaatkan sumberdaya alam tersebut tanpa gangguan dari warga lainnya. Aturan-aturan lainnya terarah pada menjaga keberlanjutan sumberdaya alam yang bersangkutan, seperti dilarang mengganggu dan menebang pohon buah-buahan hutan, pohon Bangeris tempat terkumpulnya madu, pohon sagu, dan lain-lain.
19
Draft # 7 – 5 Januari 2010 Para pendatang yang sudah menetap di kampung pun dapat mengklaim sumberdaya alam dan aturan-atutan yang ada berlaku juga untuk mereka. Setelah melapor kepada Kepala Kampung tentang keberadaannya di kampung tersebut, mereka dapat ikut memanfaatkan sumberdaya alam yang ada, dan bahkan dapat juga memperoleh lahan dengan cara membukanya dan claim tersebut itu kemudian diakui oleh masyarakat kampung. Dalam hal ini tidak ada batasan luas lahan yang dapat diklaiml; patokan umumnya hanyalah ”seluas yang dapat diolah oleh keluarga” Sebagai aturan adat, semua aturan ini tidak ada yang tertulis dan terdokumentasi namun tetap dipatuhi oleh warga kampung Langkah-langkah Pemetaan Kampung setempat. Belakangan sebagian warga masyarakat mengamati bahwa pada saat ini • Pembentukan tim tata batas kampung, sudah terjadi degradasi lingkungan dan • Penelusuran sejarah kampung, sumberdaya alam; hewan perburuan makin • Pemilihan narasumber (tetua kampung), sukar didapat dan ikan sudah lebih terbatas, • Identifikasi tempat-tempat bersejarah, madu sudah lebih jarang, gaharu sudah tidak • Identifikasi batas-batas alam, dapat diperoleh lagi, buah-buahan hutan • Musyawarah antar kampung, sudah langka, dan kayu yang digunakan • Survey lapangan untuk memberi titik batas untuk bahan membuat perahu pun dengan alat GPS, kualitasnya makin menurun. Berdasarkan • Pembuatan peta, pengamatan itu di beberapa kampung ada • Pembuatan berita acara yang disahkan oleh prakarsa untuk mendokumentasikan aturanKepala Bagian Pemerintahan Pemerintah Kabupaten Berau. aturan pengelolaan sumberdaya alam yang tidak tertulis itu dan menjadikannya Peraturan Kampung. Di beberapa kampung, atas prakarsa TNC dan WE dan bekerja sama dengan pemerintahan kampung dan Kepala Bagian Pemerintahan Pemerintah Kabupaten Berau, ada kegiatan pemetaan batas-batas kampung dan pengembangan rencana tata-ruang kampung. Kegiatan ini dilakukan terutama di kampung-kampung disekitar kawasan Lesan dengan tujuan untuk mengembangkan kerjasama dalam konservasi kawasan tersebut. Sebenarnya kegiatan ini juga dimaksudkan untuk memberikan otoritas pengelolaan sumberdaya alam di wilayahnya Untuk apa Peta Kampung? pada pemerintahan dan masyarakat kamBeberapa tahun terakhir ini TNC dan WE telah pung, sebagai bentuk otonomi kampung memfasilitasi proses pemetaan batas partisipatif Setelah tata-batas selesai, masing-masing di beberapa kampung. Di rumah Kepala Kamkampung membuat rencana tata-ruang kam- pung salah satu kampung peta tersebut nampak pung yang memperhatikan aspek kelestarian dipasang di dinding, dan ketika ditanyakan untuk apa peta itu maka jawabannya adalah bahwa serta daya-dukung lingkungan dan sumberpeta itu diperlukan untuk mendapatkan kompendaya alam yang tersedia di kampung. Tatasasi dari perusahaan. Tentu benar bahwa perruang itu kemudian tentu perlu dilaksanasoalan kompensasi akan menjadi lebih jelas kan, dan untuk itu diperlukan aturan-aturan dengan adanya peta itu, tetapi ini tentu bukan tujuannya yang utama. . yang memastikan bahwa penggunaan ruang Maksudnya tentu sebagai alat pengelolaan oleh warga kampung sesuai dengan rencana sumberdaya alam, tetapi rupanya hal ini tidak tata-ruang yang telah disusun. Hal inilah tersampaikan, atau warga masyarakat memang yang belum sepenuhnya dilakukan. mempunyai agendanya sendiri. Akhir dari serentetan pekerjaan ini adalah sosialisasi tata-ruang kampung itu dan memantau praktek pemanfaatnya di lapangan. 20
Draft # 7 – 5 Januari 2010
H. Hubungan Masyarakat dengan Perusahaan Ternyata di wilayah hulu dan hilir daerah aliran sungai Kelay dan Segah di Kabupaten Berau nyaris tidak ada kampung yang tidak terletak dalam wilayah konsesi perusahaan kayu (HPH) atau perkebunan kelapa sawit. Karena sifat kegiatannya, perusahaan-perusahaan itu mempunyai dampak yang besar terhadap keberadaan sumberdaya alam yang menjadi sumber penghidupan masyarakat dan terhadap masyarakat itu. Karenanya hubungan masyarakat dengan perusahaan menjadi sangat penting. 1.
Masyarakat dan Perusahaan Kayu.
Menurut warga masyarakat tidak ada perusahaan kayu pemegang HPH yang hadir di wilayah kampung dengan persetujuan masyarakat sebelumnya, dan pada mulanya masyarakat menerima saja ketika perusahaan itu datang karena memang tidak tahu harus berbuat apa. Baru ketika perusahaan mulai beroperasi dan terjadi beberapa kasus sengketa karena kerusahan sumberdaya alam yang penting bagi masyarakat, maka terjadilah ketegangan dalam hubungan antara perusahaan dan masyarakat. Dalam kebanyakan kasus, sengketa-sengketa yang muncul itu nampaknya semua terselesaikan dengan janji perusahan untuk tidak merusak sumberdaya alam masyarakat itu serta pembayaran kompensasi dan fee dan hubungan terkesan baik, paling tidak eskalasi konflik tidak terjadi lagi. Kompensasi dibayarkan apabila terjadi bahwa ada lahan “milik” masyarakat atau pohon-pohon yang berharga bagi masyarakat terpaksa dikorbankan dalam operasi logging. Besarnya kompensasi biasanya ditetapkan melalui tawar-menawar. Sementara itu masyarakat juga memahami bahwa berdasarkan SK Gubernur Kalimantan Timur mereka “berhak” atas fee sebesar Rp. 3.000,- per m3 hasil kayu yang dipanen perusahaaan, dan pembayaran dilakukan perusahaan secara teratur. Selain itu, sebagai bagian dari kesepakatan HPH, perusahaan juga diharapkan untuk “membina” masyarakat di dalam dan di sekitar wilayah konsesinya. Kampung yang harus dibina setiap perusahaan kemudian ditunjuk dengan SKBupati. Dalam kenyataan “pembinaan” ini diterjemahkan menjadi pemberian berbagai bantuan kepada kampung, mulai dari bantuan keuangan untuk penyelenggaraan kegiatan sosial seperti perayaan 17 Agustus dan hari Natal, sampai pada bantuan pembangunan sarana ibadah, jalan kampung, kantor kampung, balai pertemuan, klinik, sekolah, dan mess kampung di ibu-kota kabupaten. Juga ada perusahaan yang menyediakan tenaga guru, tenaga para-medis dan beasiswa. Masih ada pula juga pemberian-pemberian seperti genset, sarana air-bersih, dan sebagainya, dan bahkan ada perusahaaan yang pernah memberikan sebuah truck kepada kampung. Konon, diluar fee dan kompensasi, nilai rata-rata bantuan itu bisa mencapai Rp. 100 – 200 juta/tahun/kampung. Berdasarkan kesepakatan antara kedua pihak, di beberapa wilayah ada lokasi yang diperkecualikan dari penebangan (tidak dimasukan kedalam RKT perusahaan) untuk kepentingan masyarakat. Biasanya kriteria pengecualian itu adalah adanya bekasbekas kampung, kuburan nenek-moyang, dan bekas ladang yang masih ada tanaman keras yang ditanam dimasa yang lalu. Belakangan ini ada prakarsa TNC dengan beberapa perusahaan kayu dalam pengembangan pendekatan HCVF (High Conservation Value Forest), yakni identifikasi dan deliniasi beberapa wilayah yang 21
Draft # 7 – 5 Januari 2010 karena nilai keanekaragaman-hayatinya yang tinggi patut dipertahankan, dan diperkecualikan dari penebangan. Selain itu, ada pula interaksi terbatas antara karyawan perusahaaan dan masyarakat di tingkat kampung, antara lain: segelintir warga masyarakat menjadi buruh perusahaan atau anggota kelompok penebang untuk kontraktor perusahaan, dan kadangkala terjadi juga sedikit jual-beli hasil ladang atau hasil hutan antara masyarakat dan karyawan perusahaan. 2.
Masyarakat dan Perusahaan Perkebunan Sawit.
Salah satu prasyarat ijin pembukaan kebun sawit di wilayah KBNK adalah persetujuan masyarakat, dan secara formal prasyarat ini tentu dipenuhi. Tetapi ada pula kasus bahwa pihak perusahaan mengabaikan masyarakat dan bahkan ada kampung-kampung yang tidak tergambarkan dalam peta wilayah yang menjadi acuan pihak perusahaan dan pemberi ijin di pemerintah kabupaten. Pada saat pembukaan kebun (land clearing), perusahaan memberi kompensasi kepada warga masyarakat yang lahan garapannya masuk ke dalam wilayah konsesi dan akan ditanami, dan juga mempekerjakan sebagian masyarakat. Selain itu, seperti juga perusahaan kayu, perusahaan perkebunan sawitpun dimintai berbagai bantuan insidental oleh masyarakat, dan pada umumnya perusahaan memenuhi permintaan-permintaan itu. Tetapi perkara utama dalam hubungan antara masyarakat dan perusahaan perkebunan adalah kerjasama antara keduanya mengikuti pola “plasma-inti” yang diwajibkan. Agar perkebunan juga memberi manfaat bagi masyarakat — terutama warga masyarakat kampung dalam wilayah konsesi yang bersangkutan — maka diterapkanlah model “plasma–inti”. Dalam model ini masing-masing kepala keluarga mendapatkan lahan plasma seluas dua hektar dan perusahaan diharapkan membina warga masyarakat penerima plasma guna memberdayakan mereka sebagai petani pemilik. Selain itu, masyarakat diharuskan membentuk koperasi agar dapat mempeoleh pinjaman dari bank sebagai modal penanaman. Setelah kelapa-sawit menghasilkan, hasilnya dijual kepada perusahaan dengan memperhitungkan utang-piutang masyarakat kepada perusahaan dan/atau bank. Setelah perkebunan beroperasi, artinya setelah penanaman selesai, sebagian kecil warga masyarakat dipekerjakan sebagai buruh di kebun.
I.
Sengketa Sumberdaya Alam dan Pengelolaannya Untuk pengelolaan sengketa internal masyarakat, musyawarah untuk mufakat merupakan modus utama. Orang yang dituakan di kampung (“Kepala Adat”) bertindak sebagai penengah dalam sengketa-sengketa internal kampung sekaligus penegak aturan adat apabila terjadi pelanggaran. Mereka menjadi pemrakarsa proses musyawarah membahas sengketa yang terjadi itu serta bertindak sebagai mediator dan arbitrator (pemberi keputusan) jika para pihak sukar bersepakat). Namun pada saat ini kebayakan kasus yang ditangani para tetua kampung ini terbatas pada kasuskasus pelanggaran moral. Penyelesaian kasus-kasus pelanggaran yang bersifat kriminal atau konflik-konflik yang berdampak lebih luas jarang terjadi, namun kalau terjadi penyelesaiannya cenderung diserahkan pada penegak hukum negara yang mengacu pada hukum nasional, dan yang berperan dalam hal ini adalah kepala 22
Draft # 7 – 5 Januari 2010 kampung yang berusaha untuk menanganinya atau melanjutkan kasusnya ke kecamatan atau ke polisi. Dimasa lalu terjadi pula sengketa antar suku yang disebabkan perebutan sumberdaya alam dan wilayah atau karena sikap ekspansionis beberapa suku besar yang berusaha menaklukkan suku-suku yang lebih kecil, dan sengketa seperti ini kemudian berakhir dengan perang suku. Tentu dimasa kini sengketa seperti itu dan perang suku tidak lagi terjadi. Sengketa antara masyarakat dengan perusahaan-perusahaan kayu dan kemudian dengan perusahaan-perusahaan perkebunan dan tambang bermula di jaman Orde Baru ketika memang banyak konsesi HPH ditetapkan. Namun selama ini sengketasengketa itu tertekan dan terredam karena pendekatan represif pemerintah ketika itu. Sengketa-sengketa laten itu kemudian “meledak” di era “Reformasi” melalui berbagai tindak kekerasan berupa pendudukan kamp logging dan penyanderaan staf dan karyawan perusahaan, penyanderaan dan sabotase alat berat, dan sebagainya. Sengketa itu biasanya bisa selesai melalui perundingan baik secara langsung ataupun dengan mediasi pihak pemerintah, tetapi kesepakatan-kesepakatan yang dicapai seringkali tidak menyelesaikan masalahnya dengan benar-benar tuntas sehingga dibawah permukaan masih cukup banyak sengketa yang bersifat laten. Akhir-akhir ini sengketa tata-batas antara kampung mulai lebih sering terjadi karena batas-batas definitif kampung yang tidak jelas. Selama ini batas yang diakui adalah batas-batas alam, tetapi batas itu sering tidak jelas, kurang pasti, dan tidak semua pihak mengetahui batas itu. Sengketa tentang batas ini semakin mengemuka ketika perkebunan sawit mulai beroperasi di wilayah di sekitar kampung. Karena perkebunan berkewajiban memberikan ganti rugi lahan dan kewajiban-kewajiban lain, termasuk pemberian lahan “plasma” kepada masayrakat, maka setiap kampung meng-claim bahwa lahan yang akan dikelola oleh perusahaan masuk ke wilayah kampungnya agar manfaat dari perusahaan masuk ke kampung mereka. Sengketa tata-batas antar kampung tersebut diperumit pula oleh sejarah perpindahan kampung. Warga masyarakat yang telah pindah ke lokasi baru merasa masih tetap berhak atas lahan-lahan di kampung lama yang telah dibukanya dimasa lalu, padahal pada saat ini lahan tersebut telah masuk ke wilayah administratif kampung lain. Pengelolaan sengketa antar kampung seperti ini biasanya dilakukan melalui perundingan antar kepala kampung dan tokoh-tokoh adat. Belakangan ini ada pula sengketa yang dimediasi oleh pihak luar (TNC) sebagai bagian dari prakarsa sertifikasi HPH. Model pengelolaan sengketa melalui proses perundingan yang dimediasi dan fasilitasi TNC dan pemerintah serta didukung oleh lobby politik nampaknya menghasilkan kesepakatan yang lebih baik dan dapat lebih bertahan. Salah satu contoh kasus resolusi sengketa yang relatif baik seperti itu terjadi di kabupaten Segah (lihat boks pada halaman 29)
J. Jaringan Informasi dan Komunikasi Warga masyarakat di kampung-kampung memperoleh informasi dari berbagai sumber, antara lain: •
Pertemuan-pertemuan sosial antar kampung. Pertemuan-pertemuan ini menjadi ajang pertukaran informasi yang bersifat informal antar warganya. Melalui 23
Draft # 7 – 5 Januari 2010 pertemuan-pertemuan seperti ini penyebaran informasi dan komunikasi dapat terjadi ketika informasi yang diperoleh oleh tokoh-tokoh masyarakat kemudian disebarkan kepada masyarakat di kampungnya masing-masing. •
Kunjungan warga masyarakat kampung ke ibu-kota kecamatan dan ibu-kota kabupaten. Walaupun transport dari kampung-kampung di daerah hulu sungai ke kota kecamatan atau kabupaten cukup berkendala, sesungguhnya selalu ada warga kampung yang berkunjung ke kota untuk berbagai keperluan. Hal ini didukung pula oleh kenyataan bahwa beberapa kampung mempunyai mess di Tanjung Redeb yang dapat digunakan sebagai tempat menginap selama berada di kota. Mess ini untuk sebagiannya juga diperoleh dari dana bantuan perusahaan.
•
Penyuluh dan Program: berbagai program pemerintah dan beberapa LSM pengembangan masyarakat mempunyai petugas penyuluh/petugas lapangan yang semestinya memang menjadi pembawa informasi bagi masyarakat. Ada penyuluhpenyuluh dari PNPM, Dinas Pertanian dan Perkebunan (program sekolah lapangan), dan Dinas Kesehatan, dan sebagainya; sayangnya para penyuluh itu sering tidak berada di kampung. Juga ada staf lapangan LSM (Bestari, WE dan TNC) serta petugas comdev perusahaan HPH, tetapi ini tentu hanya di beberapa kampung tertentu saja. Beberapa program juga memfasilitasi perjalanan belajar ke luar kampung, kehadiran di pertemuan-pertemuan dan pelatihan-pelatihan, dan ini juga menjadi sumber belajar dan informasi bagi warga kampung.
•
Guru. Peranan guru di masyarakat adalah sebagai pendidik formal anak-anak sekolah dasar, namun ada juga beberapa guru yang berperan lebih jauh. Selain sebagai pengajar, ada pula guru memerankan dirinya sebagai motivator untuk melakukan perubahan dan pengorganisasian masyarakat di mana mereka tinggal. Tidak semua guru dapat memerankan peran ganda seperti ini, tetapi dibeberapa kampung ada beberapa guru yang sangat terlibat dalam pergaulan di kampung dan berperan dengan cukup bermakna dalam memfasilitasi perubahan masyarakat.
•
Gembala. Para pimpinan umat gereja di tingkat lokal, yang disebut “gembala” sebenarnya juga cukup potensial sebagai simpul informasi karena hubungannya dengan warga masyarakat sangat baik. Tetapi dalam kenyataanya mereka lebih banyak mewartakan pesan-pesan keagamaan dan memfasilitasi pertemuanpertemuan sosial disekitar kegiatan keagamaan.
•
Jalur pemerintah. Karena jabatannya Kepala kampung seringkali mendatangi kantor-kantor dinas di kabupaten serta menghadiri pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan dinas-dinas pemerintah kabupaten. Kehadiran Kepala Kampung pada pertemuan-pertemuan tersebut sering termotivasi untuk mencari informasi tentang proyek pemerintah yang mungkin dapat “ditarik” ke kampungnya, namun selain itu tentu Kepala Kampung juga mendapatkan informasi tentang kebijakankebijakan pemerintahan kabupaten pada skala yang lebih luas.
•
Mass media dan teknologi informasi. Kepemilikan TV, antena parabola dan CD player sudah menyebar luas dari kampung-kampung di hulu (Long Sului, Long Ayap) sampai kampung-kampung di hilir (Long Duhung, Long Gie), walaupun sering tidak berfungsi karena pasokan listrik masih sering menjadi masalah. Perkecualiannya adalah beberapa kampung seperti Long Boi, Long Pelai, Long Lamcin dimana tidak ada tidak ada TV/antene parabola karena memang tidak ada 24
Draft # 7 – 5 Januari 2010 listrik dan penghasilan masyarakat yang rendah sehingga peralatan elektronik itu tidak terbeli. Walaupun kemudian masyarakat cukup banyak mendapatkan informasi tentang dunia luar dari pemberitaan di TV, namun terkesan bahwa tontotan favorit adalah sinetron dan sepak-bola, dan program TV yang relevan dengan keberadaan masyarakat kampung di pedalaman boleh dikatakan sangat jarang. Kepemilikan telepon genggam (HP-handphone) sudah meluas sampai daerahdaerah terpencil, sekalipun hanya berfungsi jika sinyal sampai di lokasi tersebut. Sudah ada cukup banyak kampung di mana ada sinyal, dan telepon genggam kemudian sudah menjadi kebutuhan warga. Tentu masih cukup banyak kampung yang belum terjangkau sinyal, dan warga kampung yang bersangkutan belum merasa perlu untuk memiliki telepon genggam. Telepon genggam biasanya dimanfaatkan untuk komunikasi dengan warga lain, petugas pemerintah, LSM, dan perusahaan untuk menyampaikan pesan pribadi dan pesan kedinasan untuk kepentingan program. Beberapa tokoh masyarakat mempunyai komputer laptop dan printer tetapi piranti itu lebih berfungsi sebagai mesin tulis dan belum lagi digunakan untuk komunikasi dan mencari informasi (browsing di Internet). Dulu pernah ada Radio Antar Kampung dan radio SSB dari di kecamatan ke kampung-kampung, tetapi sarana ini tidak lagi berfungsi karena rusak dan tidak diperbaiki.
VII.
Analisa: Kapasitas Masyarakat dalam Mengelola Hutan
Temuan-temuan diatas dibahas dalam tim serta dikonsultasikan dan dikajisilang dengan beberapa narasumber yang relevan. Temuan-temuan utama dibahas pula dalam lokakarya yang diadakan di Tanjung Redeb pada tanggal 22 Oktober 2009. Temuan-temuan tentang aspek yang menentukan kapasitas masyarakat dalam mengelola hutan dibahas sebagai berikut ini:
A. Kelembagaan dan Kepemimpinan Di semua kampung, peran kepemimpinan dan kelembagaan yang dominan adalah Kepala Kampung. Seperti yang telah disebutkan, di kampung-kampung tradisional pimpinan dan kelembagaan adat cukup berpengaruh di masyarakat dan menjadi penKepemerintahan vs. Kekerabatan damping dan penasehat bagi Kepala KamKampung-kampung trtadisional di hulu sungai pung. Pimpinan adat juga berperan dalam cenderung kecil; antara 30 – 40 keluarga bahkan pengambilan keputusan tentang berbagai hal ada yang kurang, dan hampir semua keluarga itu terjalin dalam satu kekerabatan. di ranah adat. Ketika kelompok kekerabatan ini kemudian menNamun pada umumnya di kampung-kampung jadi kampung mereka harus membangun sistem tradisional itu Pemerintah Kampung – kepala pemerintah kampung menurut UU 32/2004, dan kampung dan jajarannya serta Badan PerUU34/ 2005 yang terdiri dari Kepala Kampung dan perangkatnya serta Badan Permusyawaratwakilan Kampung – sering tidak terlalu beran Kampung. fungsi dengan baik. Selain alasan klasik bahwa mutu sumberdaya manusianya belum Dengan jumlah calon yang relatif terbatas dan memadai, juga arus informasi dan hubungan saling bersaudara, bagaimana kemudian kecenderungan terjadinya nepotisme dapat dengan Pemerintah Kecamatan dan dihindarkan? Nyatanya sering pengawasan atas kinerja pemerintah kampung kurang berfungsi dengan baik karena adanya kesungkanan untuk25 menegur pejabat pemerintah kampung yang masih keluarga juga.
Draft # 7 – 5 Januari 2010 lembaga-lembaga lain terkendala oleh waktu dan biaya transpor yang cukup tinggi. Nyatanya, aturan-aturan tentang Pemerintah Kampung belum banyak dipahami oleh aparat pemerintah kampung sekalipun. Masalah khas yang muncul di kampungkampung kecil adalah bahwa hubungan kekerabatan yang akrab sering menjadi kendala dalam menjalankan kepemerintahan kampung karena hubungan kekerabatan itu tidak dapat dipisahkan dari hubungan formal dan profesional yang diasumsikan tata kepemerintahan kampung.
Korupsi dan Kolusi di Kampung Diluar kesepakatan yang telah ada dan tanpa diketahui masyarakat, seorang kepala kampung menyetujui penebangan di wilayah dekat kampung.Ketika penebangan dilaksanakan, terjadilah keributan di kampung karena warga ternyata tidak mengetahui persetujuan kepala kampung mereka tersebut. Terungkaplah bahwa Kepala Kampung telah menerima sejumlah uang dari perusahaan dan hal ini tidak pernah dibicarakan dengan warga lainnya, bahkan perangkat kampung yang lainpun tidak tahu. Uang itupun telah digunakan Kepala Kampung untuk kepentingan pribadi, Setelah warga masyarakat mengetahui perbuatannya, sang kepala kampung rupanya malu dan ia kemudian jarang berada di kampung dan lebih sering tinggal di pondok di ladangnya. Ia juga tidak lagi mengerjakan tugas-tugasnya sebagai kepala kampung. BPK pernah memanggilnya, tetapi panggilan ini tidak ia ditanggapi dan BPK tidak berbuat apaapa lagi. Pada saat warga kampung menceritakan kasus ini status quo sudah berlangsung selama hampir dua tahun.
Di beberapa kampung transisional, kepemimpinan dan kelembagaan kampung lebih baik. Selain karena hubungan dengan dunia luar yang sudah lebih baik, faktor lain yang juga membantu berfungsinya pemerintah kampung dengan lebih baik adalah adanya beberapa orang pendatang yang menetap sebagai warga kampung, secara sosial berbaur dengan baik, dan kemudian dapat turut berperan dalam pemerintahan kampung. Walaupun sangat positif dan diterima baik oleh masyarakat, hal itu tentu ada resikonya juga jika mekanisme kontrol seperti BPK tetap kurang berfungsi, dan masyarakat “asli” tetap tidak berkembang kemampuannya untuk berperan dalam kepemerintahan kampung.
Salah satu peran Pemerintah Kampung adalah penyelenggaraan Musrenbang-kampung, yang sesungguhnya dimaksudkan sebagai suatu proses partisipatif yang melibatkan warga kampung. Namun yang sering terjadi adalah bahwa Musrenbang-kampung hanyalah pertemuan antara perangkat pemerintah kampung dan beberapa tokoh yang kemudian sekedar mengagaskan beberapa Demokrasi di Kampung “proyek” kampung untuk diusulkan di Masyarakat tradisional sangat guyub dan berbaMusrenbang-kecamatan. Bahkan kajian ini juga menemukan kasus dimana Musrenbang- gai keputusan senantiasa merupakan keputusan bersama yang disepakati melalui permusyawakampung sama sekali tidak diadakan dan ratan informal. hanya Kepala Kampung yang kemudian Namun ketika pemerintah kampung dibentuk dan menyampaikan usulannya sendiri di ada berbagai keputusan tentang urusan Musrenbang Kecamatan. kepemerintahan yang harus diambil melalui prosedur yang lebih formal, Kepala Kampung Singkat kata, secara umum dalam urusancenderung menjadi lebih dominan dan urusan kepemerintahan proses musyawarah musyawarah untuk mufakat sering diabaikan. internal antara para pemimpin dan warga Mengapa ini terjadi? Mengapa tradisi musyawakomunitas sering tidak ditempuh dan walau- rah untuk mufakat dalam paguyuban tidak berjalan dalam struktur yang lebih formal?Tata pun tidak disetujui, keputusan Kepala Kamkepemerintahan kampung rupanya belum pung seringnya tidak ditentang atau diperdipahami betul sehingga walaupun kepala tanyakan. Nampaknya budaya musyawarah kampung dipilih oleh masyarakat, pemerintah kampung masih dianggap lebih merupakan perwakilan otoritas yang lebih tinggi daripada 26 institusi masyarakat untuk mengelola kepentingan bersama masyarakat kampung.
Draft # 7 – 5 Januari 2010 untuk mufakat dalam tata-kepemerintahan kampung belum terbangun dengan baik dan keadaaan ini membuka peluang untuk tokoh atau individu yang dominan untuk memaksakan kehendaknya untuk tujuan tertentu. Proses-proses diskusi yang mengarah ke perdebatan untuk memperkuat gagasan sering dihindari dan akibatnya keputusan yang diambil cenderung bias elit. Ada kelembagaan adat di tingkat kecamatan, kabupaten, dan bahkan tingkat propinsi KalTim yang bisa menjadi rujukan Kepala Adat di tingkat kampung, tetapi karena proses pembentukannya, lembaga-lembaga adat itu kurang benar-benar berakar di masyarakat. Dan juga, hak atas sumberdaya alam ataupun pengembangan kemampuan pengelolannya oleh masyarakat (adat) nampaknya tidak menjadi agenda lembaga-lembaga tersebut (atau paling tidak, kalaupun ada peran itu tidak dipahami oleh warga masyarakat). KUD hanya ada di kampung-kampung transisional, dan di kampung-kampung di wilayah konsesi perkebunan ada koperasi-koperasi perkebunan. Namun jelas bahwa koperasi-koperasi yang ada itu dibentuk atas prakarsa pihak luar dan bukan atas dasar prakarsa warga kampung sendiri. Koperasi perkebunan, misalnya, dibentuk oleh perusahaan guna memenuhi syarat model “plasma-inti” dan mendapatkan pinjaman dari bank. Seluruh kegiatan koperasi diatur oleh perusahaan dan Ketua Koperasi menjadi “boneka” yang tinggal menanda-tangani dokumen-dokumen yang disodorkan oleh perusahaan. Bahkan para anggota koperasi tidak mengetahui berapa utang mereka dan bagaimana tepatnya perhitungan pembayaran kembali utang itu. Singkatnya, prinsip koperasi “Dari – Untuk dan Oleh anggota” sama sekali tidak berjalan. Di setiap kampung di daerah hulu selalu ada gereja dan berarti ada Gembala, yakni pimpinan lokal gereja yang bersangkutan. Masyarakat cukup taat terhadap ajaran gerejani dan Gembala merupakan tokoh yang sangat dihormati di kampung. Karenanya kelembagaan gerejani sebetulnya cukup strategis karena mendapat kepercayaan para warga. Tetapi gereja lebih terfokus pada urusan religi dan belum bersedia terlibat dalam urusan sosial kemasyarakatan yang lebih luas. Gembala memerankan dirinya sebagai guru spiritual yang mengenalkan masyarakat pada ajaran agama serta membimbing warga masyarakat untuk berperilaku arif dan tidak melanggar aturan Tuhan. Berkenaan dengan permasalahan sosial dan politik, gembala/ gereja tidak bersedia berperan lebih banyak karena menurut beberapa gembala yang diwawancari kebijakan gereja lebih ke urusan religi bukan urusan sosial-politik. Di semua kampung ada kelompok-kelompok bentukan program/proyek pemerintah, seperti kelompok tani, kelompok nelayan, kelompok PNPM, dan sebagainya. Ini adalah kelompok-kelompok yang dibentuk sebagai prasyarat dan bagian dari proyekproyek yang “diturunkan” pemerintah ke kampung. Nampaknya sudah menjadi bagian dari pola itu bahwa pengurusnya adalah warga kampung “yang itu-itu saja”; ada salah seorang yang menjabat sebagai ketua di kelompok A, sekretaris di kelompok B, bendahara di kelompok C, dan tentu saja sebagai anggota di semua kelompok yang ada. Hal ini dapat menunjukan beberapa hal: terbatasnya warga masyarakat yang dianggap layak sebagai calon pimpinan oleh instansi pemrakarsa proyek karena bias terhadap tokoh-tokoh tertentu, dominasi kelompok tertentu dalam masyarakat, kurangnya usaha dan/atau kemampuan pemrakarsa proyek untuk memfasilitasi 27
Draft # 7 – 5 Januari 2010 munculnya calon pimpinan alternatif dan mengembangkan mereka, atau bahkan bahwa proyek yang bersangkutan dianggap kurang penting oleh warga masyarakat. Dalam kenyataannya sulit untuk menemukan kelompok yang benar-benar dapat berperan dan berfungsi sesuai tujuan pembentukannya, dan ketika proyek yang bersangkutan selesai, maka kelompokpun mati suri atau bahkan bubar sama sekali. Nampaknya karena proses pembentukannya yang instan yang hanya demi kepentingan proyek, proses pembelajaran dan penyadaran tentang tujuan dan potensi kelompok yang lebuh luas tidak terjadi sehingga motivasi untuk tetap berkelompokpun tidak bertahan. Karena kelemahannya, kepemimpinan dan kelembagaan masyarakat yang ada (Pemerintah Kampung, lembaga adat, koperasi, dan kelompok-kelompok proyek) cukup sering dimanipulasi berbagai pihak untuk kepentingan-kepentingan diluar komunitas; antara lain untuk mendapatkan persetujuan masyarakat dalam proses perijinan konsesi eksploitasi sumberdaya alam. Kondisi sedemikian itu — yakni ketiadaan kepemimpinan dan kelembagaan kemasyarakatan yang berdaya untuk mengimbangi kelompok-kelompok elit kampung — membuka kesempatan bagi elit tersebut untuk “menangkap” peluang-peluang manfaat yang sebenarnya diperuntukan bagi keseluruhan komunitas kampung. Singkat kata, di kampung-kampung hulu yang “tradisional” sangat sulit ditemukan lembaga kemasyarakatan yang otentik dan benar-benar berbasis masyarakat (CBO). Di kampung-kampung “transisional” dan “modern” juga tidak ditemukan, tetapi embrio pengembangan lembaga-lembaga seperti itu ada, misalnya; usaha bersama pengumpulan modal, kelompok arisan, kelompok nelayan dan kelompok sosial keagamaan. Kelompok-kelompok ini mungkin dapat dikembangkan menjadi kelompok yang lebih kuat dengan pembinaan dan pendampingan yang cukup. Atau paling tidak, kegiatankegiatan berkelompok itu dapat memberikan masyarakat pengetahuan dan pengalaman tentang nilai dan cara berorganisasi. Harapannya tentu bahwa kelompok-kelompok itu kemudian dapat berperan dan berfungsi sebagai bagian dari masyarakat sipil dan berperan aktif dalam berbagai prakarsa di tingkat kampung, termasuk dalam skema REDD.
B. Kelembagaan yang Lebih Luas Kelembagaan yang lebih luas yang patut diperhatikan dalam kerangka Skema REDD adalah kelembagaan yang berkenaan dengan pengelolaan sumberdaya alam. Walaupun kelembagaan yang lebih politis bisa juga relevan apabila mempunyai agenda tentang kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, karena kenyataannya tidak demikian maka beberapa lembaga yang sudah disebutkan terlebih dahulu untuk sementara diabaikan. Sementara beberapa lembaga yang lebih luas yang patut menjadi perhatian adalah: Forum Kampung Hulu Kelay. Setelah pembentukannya forum ini sudah beberapa kali mengadakan pertemuan yang melibatkan kampung-kampung di DAS Kelay. Walaupun begitu pada saat ini forum ini tidak terlalu aktif karena beberapa penyebab, antara lain: karena suatu kasus pimpinan forum dianggap tercela oleh masyarakat (konon ada dana kontribusi dari kampung-kampung anggota Forum yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan dengan baik, dan ada dugaan masyarakat bahwa pengurus menerima suap dari penebang illegal), pengurus yang sudah habis masa-jabatannya 28
Draft # 7 – 5 Januari 2010 dan pengurus baru belum terpilih, kurangnya dukungan masyarakat karena program kerjanya yang tidak jelas bagi para anggotanya, masih dominannya agenda orang luar, dan terhentinya pendampingan dari lembaga pendampingnya. Nyatanya pembentukan forum ini adalah prakarsa pihak luar yang terlalu tergesa-gesa karena berkaitan dengan “proyek” sehingga ketika proyek habis, pendampingan dan dukunganpun tidak berlanjut sebelum berkembangnya kesadaran akan manfaat jaringan dan munculnya motivasi yang kuat dari dalam serta kemampuan pengelolaan organisasi jaringan. Badan Pengelola Lesan. Walaupun dianggap berhasil, terutama dalam mendorong dan memfasilitasi penetapan kawasan Lesan sebagai Kawasan Lindung, BP Lesan ternyata mengalami beberapa kelemahan dan persoalan, antara lain keanggotaannya yang didominasi oleh lembaga-lembaga pemerintah sementara masyarakat diwakili oleh para Kepala Kampung. Pengurus yang terbentuk itu kemudian kurang diberi peran dalam menjalankan organisasi BP. Selain itu, dalam proses penetapannya sebagai kawasan lindung, warga masyarakat di kampung-kampung disekitar kawasan Lesan merasa ditinggalkan dan diabaikan kepentingannya. Masyarakat beranggapan bahwa kawasan lindung bermakna sebagai kawasan hutan yang tidak boleh mereka masuki, dan ini berbeda dari anggapan semula sebagai kawasan perlindungan orang utan. Kesalahpahaman ini ternyata dibiarkan dan tidak diklarifikasi sehingga meluas dan menimbulkan citra negatif cara pengelolaan kawasan Lesan dan lembaga-lembaga pendukungnya. Selain itu ada kekecewaan karena warga masyarakat yang semula diberi insentif untuk melindungi Kawasan Lesan tidak lagi menerimanya ketika proyek selesai dan pendanaan dari TNC terhenti. Kegiatan lain, seperti revolving fund yang dikembangkan sebagai insentif juga macet karena tingkat pengembalian yang rendah serta tidak adanya pendampingan setelah proyek selesai.
29
Draft # 7 – 5 Januari 2010 Badan Pengelola Segah. Ketika dikatakan bahwa tidak ada organisasi yang lebih luas yang dapat berperan dalam pengelolaan sumberdaya alam, maka BP-Segah merupakan suatu perkecualian. BP-Segah merupakan suatu cerita keberhasilan pengembangan model pengelolaan sumberdaya alam secara kolaboratif (lihat boks berikut)
Badan Pengelola Segah, Suatu Perkecualian Ketika PT.Sumalindo mulai beroperasi di wilayah konsesinya di kecamatan Segah, perusaaan itu tidak mengantisipasi akan adanya permasalahan karena sudah mengantongi ijin HPH. Tetapi kenyataan berbicara lain. Ketika dalam operasinya beberapa ladang masyarakat rusak dan beberapa pohon yang berharga bagi mereka tumbang ketidak-puasan akan hadirnya perusahaan merebak menjadi aksi masyarakat yang tidak terduga sebelumnya. Warga masyarakat menduduki kamp logging, menahan alat-alat berat, dan bahkan sempat menyandera staf perusahaan. Karena aksi masyarakat itu, perusahaan terpaksa menghentikan operasi penebangannya, dan walaupun kemudian ada upaya perundingan, semua upaya itu mengalami jalan-buntu; konflik ini ternyata berkepanjangan dan selama kurang-lebih tiga tahun kegiatan perusahaan terhenti. Keadaan ini baru berubah ketika TNC berprakarsa menengahi sengketa ini. Proses mediasi antara perusahaan dan masyarakat ini dijalankan TNC sebagai prakarsa dalam memfasilitasi perusahaan untuk memenuhi standar sertifikasi FSC dan LEI. Melalui serangkaian pertemuan perundingan masyarakat lima kampung di kecamatan Segah dan perusahaan berhasil dicapai beberapa kesepakatan; antara lain: penetapan wilayah kelola masyarakat, partisipasi masyarakat dalam penetapan RKT, monitoring hasil tebangan oleh masyarakat sebagai dasar penetapan besarnya fee, pengecualian lokasi-lakasi yang penting bagi masyarakat dari RKT, dan sebagainya. Termasuk dalam kesepakatan ini adalah pembentukan suatu organisasi bersama yang kemudian dikenal sebagai Badan Pengurus (BP) Segah. Semua pemangku kepentingan – masyarakat kampung, perusahaan, pemerintah kabupaten, dan TNC – terwakili dalam kepengurusan organisasi ini, dan BP kemudian menjadi ajang komunikasi dan pengelolaan sengketa yang berlanjut. Pada saat ini kerjasama antara semua pihak tersebut sudah berjalan enam tahun, dan walaupun sengketa masih terjadi, tetapi senantiasa dapat diselesaikan melalui BP yang berfungsi sebagai ajang komunikasi dan perundingan. Keberhasilan model ini tentu patut menjadi inspirasi pelajaran bagi pihak-pihak lain yang mengalami persoalan yang sama. Untuk itu faktor-faktor yang menentukan keberhasilan ini perlu diidentifikasi. Dari penuturan warga masyarakat yang terlibat, tim pengkaji mencoba mengidentifikasi beberapa faktor itu sebagai berikut: • Sengketa yang tereskalasi. Kemarahan akan kerusakan ladang dan penebangan pohon-pohon yang berharga bagi masyarakat menjadi motivasi kuat bagi masyarakat untuk bergerak bersama. •
Ada lima kampung di satu wilayah konsesi yang bersatu karena kepentingan bersama.
30
Draft # 7 – 5 Januari 2010 •
Wawasan dan kepentingan perusahaan. Sumalindo adalah suatu perusahaan kayu tingkat nasional yang sudah cukup mapan dengan pemasaran internasional. Perusahaan ini menyadari bahwa kepentingan ekonomi (overhead cost dan opportunity cost juga) dan citra perusahaaan di dunia internasional akan dapat dipenuhi dengan pengelolaan yang memperhatikan kepentingan masyarakat. Ada pula kesadaran bahwa perusahaan tidak akan memperoleh kepentinganya kecuali jika bekerjasama dengan masyarakat, dan karena itu perusahaan kemudian bersedia untuk berunding dengan masyarakat.
•
Jeda waktu antara merebaknya sengketa dan perundingan. Masa tiga tahun antara merebaknya sengketa dan perundinngan ternyata merupakan kesempatan bagi masyarakat untuk pengorganisasian internal, baik di masing-masing kampung maupun antar kampung. Pengorganisasian ini menghasilkan kekompakan dan suatu tim perunding yang benar-benar representatif.
•
Dukungan politik. Ada beberapa pihak di luar kampung yang cukup berpengaruh dan memberikan dukungannya kepada masyarakat di tingkat kabupaten.
•
Kepemimpinan yang bijak. Pada saat sengketa merebak ada beberapa tokoh masyarakat yang dapat berperan sebagai pemimpin; selain menjadi penggerak masyarakat mereka juga dapat mengarahkan warganya yang marah untuk tidak melakukan kekerasan karena memahami resikonya.
Kekuatan yang relatif berimbang. Semua hal diatas memberikan kekuatan pada masyarakat yang cukup berimbang dengan kekuatan perusahaan sehingga merekapun bersedia berunding. Selain itu ada beberapa faktor pendukung lain yang cukup menentukan, antara lain: •
•
Mediator yang bisa diterima semua pihak. TNC ternyata dapat memposisikan dirinya sebagai penengah yang diterima oleh masyarakat dan perusahaaan.
•
Ketersediaan sumberdaya keuangan untuk membiayai proses (transaction cost). TNC juga dapat menggalang dana yang diperlukan untuk mendukung proses pengelolaan sengketa ini.
•
Pendampingan yang intensif. TNC sesungguhnya berperan ganda; selain sebagai penengah, TNC juga menjadi pendamping bagi perusahaan dan masyarakat dalam mempersiapkan diri dalam memasuki ajang perundingan.
•
Kemampuan berorganisasi. Warga masyarakat ternyata juga mempunyai kemampuan organisasional yang memadai untuk berperan aktif dalam Badan Pengurus yang dibentuk melalui perundingan tersebut.
•
Momen politik yang tepat. Selain itu, perundingan-perundingan terjadi pada masa pemilihan kepala daerah, dan para perhatian para calon kepala daerah menaikan persoalan sengketa di Segah kedalam agenda politik kabupaten.
Namun tidak ada gading yang tak retak dan walaupun dianggap cukup berhasil, BP-Segah pada saat ini masih juga menghadapi beberapa persoalan. •
Regenerasi pengurus. Warga masyarakat yang mempunyai kemampuan yang memadai untuk menjadi anggota pengurus BP-Segah masih terbatas sementara pengurus pada saat ini sudah habis masa jabatannya. Rupanya proses pembelajaran internal dan kaderisasi tidak berjalan dengan baik.
•
Kemampuan pengelolaan forum. Idealnya warga masyarakat yang menjadi anggota BP merupakan representatsi keseluruhan warga. Namun setelah intensitas sengketa mereda, pertemuan masyarakat dengan perwakilannya pun menjadi lebih jarang. Ini mengandung resiko bahwa para pengurus kurang bertanggung-jawab terhadap konstituennya dan mengurangi intensitas pembelajaran dan kaderisasi.
•
Fokus yang sempit. Pada saat ini orientasi BP-Segah ada pada pemeliharaan hubungan baik antara masyarakat kampung dan perusahaan sementara ada berbagai persoalan pengelolaan sumberdaya alam lain yang juga patut menjadi perhatian, seperti misalnya penambangan emas, pencurian gaharu, dan perburuan dengan senjata api dan racun.
•
Retaknya kekompakan antar kampung. Dalam perjalanannya, salah satu kampung peserta kesepakatan mengundurkan diri dari BP-Segah karena merasa terikat oleh kesepakatan yang kurang menguntungkan kampungnya. Nampaknya ini merupakan keputusan elit kampung yang belum tentu disetujui warganya.
•
Ketergantungan yang tinggi terhadap lembaga pendamping. Selama ini dana untuk berbagai kegiatan BPSegah dan bahkan gaji untuk para pengurusnya, diperoleh melalui lembaga pendampingnya. Kemampuan BP-Segah untuk mencari dan mengelola keuangannya sendiri belum berkembang.
31
Draft # 7 – 5 Januari 2010 •
Ketidak puasan tentang fee. Walaupun sudah disepakati, warga masyarakat masih beranggapan bahwa fee dan kompensasi yang diperoleh oleh masyarakat masih terlalu kecil dibandingkan dengan keuntungan perusahaan dan kerugian yang mereka alami karena berkurangnya sumberdaya alam. Ini juga berkenaan dengan masalah transparansi dan kemampuan warga masyarakat untuk memahami keuangan perusahaan; perusahaan memang sudah terbuka tentang jumlah kayu, tetapi tidak tentang harga dan profit, dan kalaupun terbuka, masyarakat belum tentu dapat memahaminya.
•
Keberlanjutan kesepakatan dan kekuatan hukum MOU. Naskah kesepahaman hanyalah dokumentasi dari kesepakatan yang terbangun antara para pihak dan bukan merupakan perjanjian sebagaimana diatur dalam hukum perdata, dan karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Kekuatan suatu MOU hanyalah sekuat komitmen para pesertanya.
Dengan segala kekuatan dan kelemahannya, BP-Segah merupakan suatu contoh baik yang patut menjadi rujukan dalam pengembangan prakarsa kerjasama multi-pihak yang serupa dikemudian hari.
Sebagaimana sudah disebutkan, lembaga-lembaga adat bentukan baru yang lain dalam kebanyakan kasus diprakarsai pihak luar dan mempunyai agenda yang tidak menyentuh persoalan pengelolaan sumberdaya alam dan juga tidak terlalu jelas bagi anggotanya, dan karenanya tidak dibahas lebih lanjut disini.
C. Sumberdaya Alam dan Aturan-aturan Pengelolaanya Di wilayah jelajah Punan, aturan-aturan adat tentang pemanfaatan sumberdaya alam di hutan masih jelas dan dihormati. Aturan itu mengatur hak pemanfaatan individual (siapa “pemilik” sumberdaya tertentu) dan tata-cara pemanfaatan yang menjamin keberlangsungan sumberdaya alam tertentu (tidak boleh menebang pohon buah). Dimasa lalu masyarakat Punan tidak mempunyai konsep kepemilikan individual atas sumberdaya alam; semua lahan adalah komunal dan milik pribadi yang bersifat mutlak nyaris tidak ada. Kepemilikan atas lahan mulai berkembang seiring perubahan dari peramu menjadi peladang — perubahan diawali dengan kedatangan Dayak Kenyah pada tahun 70-an yang terbiasa dengan pola pertanian yang lebih menetap dan memberikan contoh menanam padi sistem tebas-bakar. Sejak saat itulah masyarakat Punan mengenal bertanam padi dengan sistem tebas bakar dan lahan “milik” perorangan. Claim kepemilikan berdasarkan adat — yakni siapa yang membuka suatu lahan di hutan untuk pertama kalinya adalah “pemilik” lahan tersebut —umumnya masih dihormati masyarakat di kampung-kampung. Para pendatang yang menetap di kampung mengikuti pula aturan-aturan itu, namun masyarakat pendatang ini cenderung lebih ekpansif dan kemudian meng-claim lahan yang lebih luas daripada yang dapat digarapnya dengan efektif. Claim lahan yang berlebih seperti ini bisa jadi merupakan penyalahgunakan aturan adat. Dengan cara seperti itu terjadilah ketimpangan kepemilikan lahan antara pendatang dan penduduk “asli”, dan hal ini dapat terjadi karena pada awalnya masyarakat adat tidak terlalu peduli dengan kepemilikan lahan. Pada saat ini status kepemilikan lahan menurut adat seperti ini tidak terakomodasikan dalam aturan agraria dan aturan kehutanan. Walaupun kepemilikan lahan itu tidak diakui secara formal, perusahaan-perusahaan yang datang ke kampung bisa dikatakan memberikan pengakuan de-facto secara terbatas ketika bersedia memberikan kompensasi atas lahan yang diambil perusahaan. Dikatakan terbatas karena ini bukan jual-beli, dan juga tidak ada pilihan untuk tidak menyerahkan lahan kepada perusahaan.
32
Draft # 7 – 5 Januari 2010
Gambar 2: Claim lahan oleh warga masyarakat ketika aturan yang tidak jelas menimbukan akses terbuka
Gambar 2: Claim lahan oleh kelompok masyarakat
Akibat “Aturan” yang Tidak Jelas Jika kita berperjalanan di Berau, maka di banyak tempat di sepanjang jalan kita bisa melihat hutan yang ditebang dan di lahan yang telah dibuka itu terpancang papan nama yang menyebutkan “pemilik” lahan itu, baik nama orang, ataupun nama kelompok. Pembukaan dan claim lahan bukan saja terjadi di kanan-kiri jalan raya tetapi juga disepanjang jalan loggin, dan perkebunan... Maraknya claim lahan di kanan-kiri jalan yang sedang terjadi itu sebetulnya tidak ada dasar hukumnya. Konon salah seorang pejabat tinggi propinsi pernah menyebutkan bahwa lahan di kanan-kiri jalan akan diperuntukan bagi masyarakat. Masyarakat kemudian memahaminya sebagai aturan yang membolehkan hal itu. Selain itu, ketika sebagian warga melakukan claim lahan, maka warga lainpun terangsang untuk ikut melakukannya karena takut bahwa kalau mereka tidak ikut mereka akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan lahan. Bahkan di kampung nelayan sekalipun warga yang tidak biasa bertanipun ikut meng-claim lahan. Nampaknya selama ini claim-claim ini dibiarkan saja dan; tidak ada usaha penertiban atau penegakan hukum dari pemerintah. Pembiaran itu bisa-bisa ditafsirkan sebagai pembenaran oleh masyarakat. Jelas bahwa “aturan” yang tidak jelas itu telah memicu kompetisi memperebutkan lahan yang sulit dikendalikan.
Berdasarkan ketentuan konsesi yang diterima dari pemerintah pusat, perusahaan harus menerapkan model TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia) dengan tujuan untuk pelestarian sumberdaya alam dan memberikan peluang kepada masyarakat lokal untuk tetap dapat meramu dan berburu. Menurut warga masyarakat memang ada perusahaan yang taat pada aturan TPTI itu, tetapi ada pula yang mengabaikannya. Namun patuh tidaknya perusahaaan dalam menjalankan model TPTI ini dampaknya terhadap keberadaan hewan buruan tidak berbeda; dengan atau tanpa TPTI, masyarakat tetap mengalami kesulitan jika berburu di wilayah yang sudah ditebang. Selain aturan-aturan itu, di kampungkampung nyaris tidak ditemukan peraturan kampung (perkam) tentang pengelolaan sumberdaya alam – kecuali di Long Pai, Segah, dimana berbagai peraturan telah dikembangkan bersama antara pada pemangku kepentingan. Namun perkam tentang pengelolaan sumberdaya alam dibuat lebih sebagai reaksi terhadap para pencari gaharu yang bersaing dengan warga kampung dan sebetulnya diadopsi secara utuh dari pasal-
Hati-hati dengan Draft Peraturan Kampung Setelah memahami bahwa Pemerintah Kampung dapat membuat Peraturan Kampung (Perkam), pemerintah kampung dan BPK sebuah kampung membuat draft perkam tentang pengelolaan sumberdaya alam di wilayah kampungnya. Dalam draft perkam tersebut disebutkan beberapa sanksi atas kegiatan yang melanggar hak pemilik sumberdaya alam atau merusak sumberdaya alam dan lingkungan. 33
Draft # 7 – 5 Januari 2010 pasal Undang-undang Kehutanan (UU no. 41/ 1999) sehingga tidak dapat dikatakan bahwa Perkam tersebut merupakan kristalisasi aspirasi masyarakat kampung.
D. Penegakan Aturan Dalam masyarakat Punan yang masih tradisional, pelanggaran aturan-aturan tentang sumberdaya alam jarang terjadi. Hal ini bisa dipahami karena para pimpinan adat yang akan menegakan aturan itu masih dihormati dan berada di kampung sehingga mudah mengetahui jika terjadi pelanggaran. Selain itu, dalam kelompok kecil desakan sesama (peer pressure) sangat kuat dan menjadi faktor yang mencegah pelanggaran
Salinan draft perkam yang sudah dirumuskan tersebut kemudian diedarkan guna mendapatkan koreksi dan umpan-balik dari warga masyarakat. Beberapa warga masyarakat yang rupanya kurang memahami bahwa yang mereka baca itu barulah draft, mencoba untuk menerapkan sanksi-sanksi itu atas pelanggaran yang menurut mereka telah dilakukan perusahaan. Tentu saja tuntutan mereka kepada perusahaan berdasarkan “perkam” tersebut memicu sengketa. Perusahaan tentu saja menolak untuk dijatuhi sanksi berdasarkan “perkam” yang belum pernah diketahuinya tersebut dan merasa bahwa warga masyarakat mengada-ada. Bahkan LSM yang bekerja di kampung yang bersangkutan dituding sebagai provokator. Walaupun kemudian konflik ini bisa diklarifikasi, jelas bahwa warga kampung perlu belajar bagaimana isi dan prosedur pembuatan perkam yang sebaiknya.
Di kampung-kampung “transisional” aturanaturan adat tentang sumberdaya alam masih berlaku tetapi peran penegakannya telah bergeser menjadi tanggung-jawab Kepala Kampung sementara peran tetua kampung (tokoh adat) dalam penegakan aturan lebih banyak terjadi diranah etik dan moral seperti dalam kasus-kasus perselingkuhan, keributan antar “anak-muda” karena mabuk-mabukan, dan perselisihan antar keluarga.
Penegakan aturan tentu tidak terjadi manakala aturan sumbedaya alam memang tidak ada, dan menjadi lebih sulit ketika masyarakat menjadi lebih heterogen. Ketika jumlah pendatang masih sedikit, mereka terakulturasi dalam masyarakat setempat dan mengikuti nilai dan aturan yang ada. Namun ketika para pendatang sudah lebih Demam Gaharu banyak, dan banyak diantara mereka tidak Di picu oleh harganya yang sangat baik, pada tahun 90-an terjadilah demam gaharu di Berau. lagi mengetahui aturan tersebut dan tidak Kelompok-kelompok pendatang dengan dukungjuga terlalu menghormati tokoh adat an pemodal merambah hutan-hutan sampai ke penegak aturan tersebut sementara kepala pelosok yang terdalam untuk mencari gaharu. kampung sebagai pimpinan formal cendePada awalnya warga kampung setempat memrung mengacu pada aturan formal, maka biarkan saja kelompok-kelompok pencari gaharu keadaannya berubah dan pelanggaran makin ini, bahkan ada yang menjadi pemandu dan menyewakan perahu mereka kepada para sering terjadi. Kemudian, jika pelanggaran pendatang ini. dibiarkan, maka pada akhirnya aturan itu Namun karena gencarnya upaya pencarian sendiri yang terlemahkan. gaharu ini, dalam waktu yang singkat pohon Aturan-aturan adat nampaknya runtuh sama- gaharu sudah sukar ditemukan lagi. Warga setempat mengeluhkan cara para pendatang sekali ketika terjadi perambahan sumberyang menebang semua pohon gaharu sebelum daya alam oleh pihak-pihak luar yang sama memeriksa apakah pohon itu memang berisi. sekali tidak merasa terikat dengan aturan Nyata-nyata aturan adat setempat tentang kepeadat, atau bahkan sama sekali tidak perduli. milikan dan cara pengambilan sumberdaya alam Hal ini terjadi ketika di Berau terjadi kegiat- dilanggar secara tuntas oleh para pendatang dan an pencaharian gaharu secara besar-besaran tidak ada usaha yang efektif dari warga kampung-kampung setempat untuk menegakan aturan yang berlaku. 34
Draft # 7 – 5 Januari 2010 dan masyarakat setempat tidak berdaya dalam menegakan aturan-aturan mereka. Masalah lain adalah ketika aturan tentang sumberdaya alam tertentu memang tidak ada karena dulunya memang tidak diperlukan. Salah satu contoh adalah cara pengambilan gaharu. Menurut warga masyarakat lokal untuk mengambil gaharu sebenarnya kita tidak perlu menebang pohonnya, cukup mengambil bagian pohon yang ada gaharunya sehingga pohon gaharu tidak punah. Bagi mereka ini adalah suatu hal yang masuk akal sehingga memang tidak dirasakan perlunya aturan yang melarang penebangan pohon gaharu yang belum berisi. Namun, ketika yang mengambil gaharu adalah para pendatang, mereka melakukannya dengan cara menebang seluruh pohonnya – baik yang sudah berisi maupun yang belum untuk memeriksa apakah ada isinya. Dalam hal ini masyarakat setempat merasa kecolongan; mereka ingin menindak para pendatang, tetapi para pendatang ini tidak bisa diberikan sanksi karena memang tidak ada aturan yang jelas, dan para pendatang itu tidak merasa terikat dengan aturan-aturan lokal yang tidak mereka ketahui. Selain itu, penegakan aturan adat tentang pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat menjadi tidak bermakna ketika wilayah hutan dikuasai sepenuhnya oleh perusahaan. Ketika perusahan kayu atau perkebunan menegakan haknya sebagai pemegang konsesi, masyarakat merasa limbung dan tidak pasti tentang hak mereka dan kewenangan mereka dalam menegakan aturan. Di beberapa kampung, sejalan dengan pemahaman mereka tentang otonomi desa, pemerintah kampung telah merumuskan dan memberlakukan peraturan kampung tentang sumberdaya alam, namun itu baru dilaksanakan setelah aturan-aturan itu disepakati antara masyarakat dan perusahaan. Jelas bahwa jika masyarakat kampung tidak punya hak atas sumberdaya alam, kampung tidak dapat menegakan aturan-aturan. Selain hak, juga kejelasan tentang kewenangan dan kemampuan nyata untuk Gambar 3: Sosialisasi Peraturan Kampung menggunakan kewenangan tersebut menentukan apakah suatu kampung dapat berperan dalam penegakan aturan-aturan tentang pengelolaan sumberdaya alam
E. Hubungan Masyarakat dengan Perusahaan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan mewajibkan pemegang izin usaha industri primer hasil hutan kayu (HPH) untuk “membantu memberdayakan masyarakat yang ada di sekitar lokasi industri” (pasal 66, butir 1c). Hubungan antara perusahaan dan masyarakat dalam banyak hal ditentukan oleh hal ini. Ketika diharapkan bahwa warga masyarakat dapat berpartisipasi dalam Skema REDD sementara timbunan karbon (hutan) berada di wilayah konsesi, maka kerjasama
35
Draft # 7 – 5 Januari 2010 antara masyarakat dan perusahaan menjadi sesuatu yang mutlak diperlukan, dan hubungan baik antara keduanya menjadi salah satu prasyaratnya. Pada saat ini, hubungan antara perusahaan (kayu dan perkebunan) dengan warga masyarakat di dalam dan di sekitar wilayah konsesi di permukaan nampaknya baik. Perusahaan membayar fee dan Gambar 4: Gerejapun dibangun oleh perusahaan kompensasi serta memberi berbagai bantuan dalam rangka program comdev (community development), dan ada komunikasi yang relatif teratur melalui staff perusahaan yang bertugas untuk berhubungan dengan masyarakat kampung. Juga ada berbagai manfaat yang langsung dirasakan dan memang dihargai oleh masyarakat. Kemudahaan transportasi karena jalan yang dibangun perusahaan, pembangunan berbagai sarana dan prasarana di kampung, bantuan-bantuan insidental untuk berbagai kegiatan sosial, kesempatan kerja sebagai buruh perkebunan atau penebang kayu, semuanya merupakan hal-hal yang dihargai masyarakat dan menjadi insentif bagi mereka untuk memelihara hubungan baik dengan perusahaan. Namun ketika ditelisik lebih jauh nampak bahwa dibawah permukaan ada ketegangan dalam hubungan itu. Walapun perusahaan dan masyarakat saling menerima, penerimaan ini terjadi karena keterpaksaan oleh keadaan. Hubungan masyarakat dengan perusahaan pemegang konsesi HPH dan perkebunan sering berupa hubungan tawar-menawar yang secara tersirat diwarnai dengan ancaman kekerasan oleh masyarakat. Beberapa hal yang menjadi penyebab hubungan yang kurang baik tersebut adalah antara lain:
Gambar 5: Salah satu pangkal sengketa perusahaan dan masyarakat
•
Dominasi perusahaan. Pemberian konsesi dilakukan tanpa persetujuan masyarakat, dan sejak awal beroperasinya perusahaan pemegang konsesi tidak melibatkan warga masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dalam wilayah konsesinya dan memberlakukan aturan-aturan tanpa konsultasi dengan warga, sementara warga masyarakat merasa bahwa mereka mempunyai hak sejarah atas wilayahnya.
•
Rasa tidak puas. Perusahan memang mengeluarkan dana yang lumayan besar yang diberikan kepada warga kampung di wilayah konsesinya dalam bentuk kompensasi, fee, dan berbagai bantuan lain yang bersifat insidental. Pemberian dana dan bantuan pada masyarakat itu ternyata cukup meredam konflik dan ketegangan antara perusahaan dan masyarakat kampung. Namun walaupun menerima dana dan pemberian dari perusahaan, warga masyarakat menyebutkan bahwa apa yang mereka dapatkan dari perusahan sesungguhnya hanya “kulit-kulitnya saja”. Mereka memperkirakan bahwa jumlah itu sangat tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh perusahaan dan dengan kerugian yang mereka alami 36
Draft # 7 – 5 Januari 2010 karena hilangnya berbagai sumberdaya hutan yang tadinya tersedia untuk mereka. Pertanyaannya adalah apakah dalam jangka-panjang masyarakat hanya akan sekedar mengomel diantara mereka sendiri, ataukah ketidak-puasan itu merupakan api dalam sekam yang sewaktuwaktu dapat berkobar? •
Kurangnya transparansi. Ada berbagai hal yang tidak jelas dalam hubungan antara masyarakat dan perusahaan. Berdasarkan SK Gubernur Kaltim no 20 tahun 2000, misalnya, dipahami bahwa perusahaan harus membayar fee kayu kepada masyarakat sebesar Rp. 3.000,/m3 dan ini ditaati oleh perusahaan. Tetapi warga sering tidak mengetahui jumlah kayu yang sesungguhnya dipanen perusahaan, sehingga memang tidak dapat menilai apakah jumlah yang mereka terima memadai atau tidak, dan akibatnya mereka mulai mencurigai kejujuran perusahaan dalam perhitungan besarnya fee. Dalam hal ini kita dapat memahami bahwa pada akhirnya bukan saja jumlah fee yang penting, tetapi juga cara perhitungan yang dirasakan adil dan dipahami bersama.
Sikap Masyarakat Kampung Terhadap Perusahaan (1) Secara umum kita dapat melihat beberapa perbedaan sikap kampung di wilayah konsesi terhadap kehadiran perusahaan: • Kampung yang wilayahnya belum tersentuh perusahaan: masyarakat berharap ada perusahaan yang datang dan berharap mendapat berbagai kemudahan seperti pembukaan jalan darat, pembangunan berbagai infrastruktur, kesempatan kerja, fee dan kompensasi serta berbagai bantuan lain. Masyarakat lebih melihat hal-hal yang bersifat kemudahankemudahan dan jarang menganalisa kemungkinan dampak negatif dari kegiatan perusahaan di kampungnya. • Kampung di wilayah dimana perusahaan sedang beroperasi: masayarakat biasanya senang karena mendapat fee, kompensasi, berbagai bantuan insidental dan cukup banyak uang beredar di kampungnya. • Kampung yang telah mengalami kehadiran perusahaan: masyarakat menyesal karena hilangnya sumberdaya alam seperti: buah, madu, binatang buruan dan dampak negatif lain karena kegiatan penebangan.
Sikap Masyarakat Kampung terhadap Perusahaan (2) Ketika berbicang-bincang dengan seorang tokoh masyarakat dan tim bertanya tentang sikapnya terhadap perusahan, dengan cukup sengit sang tokoh menjawab “Kalau perusahaan seperti burung tentu sudah kami usir...” tetapi kemudian menyadari kata-katanya yang terbawa emosi itu dan bahwa mengusir perusahaan tidaklah mungkin ia melanjutkan “... sebetulnya orang-orang perusahaan itu seperti kita juga, cuma cari makan...” suatu sikap yang menyatakan empati dan persetujuan dengan kehadiran perusahaan asalkan “...mereka mengambil kayu secukupnya saja...”. Apa makna pernyataan seperti itu? Ada ketidak setujuan, juga empati, tetapi juga sikap naif dan ketidak pahaman tentang apa itu perusahaan.
•
Harapan yang berlebih dan tidak realistis. Ketika warga masyarakat mendengar bahwa suatu perusahaan akan beroperasi di wilayahnya, mereka berharap banyak dari perusahaan itu, antara lain bahwa perusahaan akan membuka jalan, memberi kesempatan kerja, memberi berbagai bantuan dalam pembangunan infrastruktur kampung dan dalam pelayanan kesehatan dan pendidikan, dan sebagainya. Walaupun untuk sebagian hal-hal itu kemudian terpenuhi, tentu tidak semua harapan itu dapat dipenuhi dan ini kemudian mengecewakan warga masyarakat.
•
Kekecewaan terhadap dampak operasi perusahaaan. Beberapa waktu setelah penebangan di suatu wilayah kampung tertentu selesai, fee tidak ada lagi karena penebangan di lakukan di RKT lain di luar wilayah kampung, dan warga masyarakat mulai merasakan berbagai akibat dan dampak negatif penebangan, seperti 37
Draft # 7 – 5 Januari 2010 berkurangnya madu, buah-buahan hutan, dan binatang buruan, mereka mulai mengeluh dan mempertanyakan kehadiran perusahaan. •
•
Kendala komunikasi. Sementara warga masyarakat mengeluh tentang berbagai masalah dalam hubungan mereka dengan perusahaan, mereka merasa bahwa staf perusahaan yang berhubungan dengan mereka tidak dapat menyelesaikan Kasus Klasik Proyek Top-down masalahnya dan bahwa mereka tidak Di nyaris semua desa di Kabupaten Berau kita mempunyai akses terhadap pihak dapat mengamati berbagai sarana yang mulai pengambil keputusan di perusahan. dibangun tetapi tidak selesai, rusak dan tidak diperbaiki, atau selesai tetapi tidak dimanfaatkan. “Pendampingan” semu. Walaupun perDi beberapa kampung kita dapat melihat tangkiusahaan diwajibkan membina masyatangki profil 5000 dan 10.000 liter yang kosong rakat dan secara formal memenuhi dengan pipa-pipa yang belum tersambung. Di kewajiban ini, sesungguhnya perusahaan kampung lain sistem penyediaan air gravitasi dengan tangki beton juga sudah rusak dan tak tidak mempunyai konsep pengembangan berfungsi. Di banyak kampung sudah dibangun masyarakat (community development jaringan listrik dengan genset tetapi listrik tidak atau comdev) yang jelas dan tidak juga lagi menyala. Ada antena parabola yang juga mempunyai kemampuan pembinaan tidak lagi berfungsi karena listrik tidak ada. Di yang baik. Dalam prakteknya Comdev banyak kampung sudah pula dibangun kantor sering hanya dimaknai sebagai pemberikepala kampung, tetapi semua urusan dengan kepala kampung diselesaikan dirumahnya. Di an berbagai bantuan, baik bantuan bekampung lain ada balai pertemuan tetapi rupa pelaksanaaan berbagai proyek pem pertemuan masyarakat lebih sering dilakukan di bangunan infrastruktur (kantor pemerin- rumah warga. Disana-sini dapat dijumpai tumtah kampung, balai pertemuan, jalan pukan semen yang sudah membatu kampung, sekolah, klinik, sistem air Sarana-sarana itu adalah pemberian perusahabersih, mess di Tanjung Redeb), penyean, LSM, ataupun proyek pemerintah. Masyadiaan barang-barang tertentu (genset, rakat menyayangkan tetapi juga tidak berprakarsa untuk memperbaiki atau memanfaatkan mesin kentinting, antena parabola) dan sarana yang ada tersebut. Mengapa kemubazirbantuan dalam bentuk uang tunai untuk an ini terjadi? Bagaimana kita dapat mengkegiatan sosial di masyarakat (perayaan hindarinya? 17 Agustus, Natal, dan sebagainya). Dalam hal perusahaan perkebunan keadaannya tidak jauh berbeda; sejak awal semua kegiatan ditentukan dan dilakukan oleh perusahaan dan tidak ada perencanaan dan pengelolaan bersama antara perusahaan dan masyarakat sehingga masyarakat tidak memahami makna konsep plasma – inti. Bahkan dalam satu kasus, perusahaan mendirikan koperasi perkebunan atas nama masyarakat sementara warga masyarakat anggota koperasi sama sekali tidak terlibat dalam proses pengembangan koperasi yang bersangkutan. Tentu banyak dari bantuan itu cukup membantu dan dihargai masyarakat, tetapi nampaknya banyak pula bantuan seperti mubazir karena kemudian tidak digunakan atau karena rusak. Singkatnya, “pembinaan” yang bersifat pemberdayaan dan pendidikan kearah kemandirian masyarakat tidak dilakukan karena perusahaan memang tidak mempunyai pemahaman dan kemampuan dalam hal ini.
•
Aturan tentang hak dan kewajiban yang tidak jelas dan tidak dipahami bersama. Apa yang sesungguhnya menjadi hak dan kewajiban timbal-balik antara perusahaan dan masyarakat kampung sangat tidak jelas. Memang ada beberapa kesepakatan yang muncul dari perundingan manakala terjadi konflik dan 38
Draft # 7 – 5 Januari 2010 kesepakatan itu menjadi rujukan dalam kasus yang muncul kemudian, tetapi sesungguhnya kesepakatan itu tidak pasti dan hanya tergantung tawar-menawar antara pihak yang bersengketa. Juga kebijakan pemerintah yang menjadikan “pembinaan masyarakat” sebagai salah satu kewajiban perushaan tidak jelas •
Ketidak jelasan hak masyarakat atas sumberdaya alam. Masyarakat tidak mempunyai hak yang jelas dan diakui atas sumberdaya alam yang berada dalam wilayah konsesi perusahaan, karenanya tuntutan masyarakatpun tentang apa yang menurut mereka menjadi haknya tidak diakui perusahaan. Tanpa dasar (hukum) yang jelas, tuntutan masyarakat menjadi tidak jelas pula dan bersifat ad-hoc sementara perusahaan terpaksa sekedar bereaksi terhadap tuntutan-tuntutan masyarakat tersebut. Walaupun kemudian ada tuntutan yang dipenuhi, seperti tidak menebang pohon madu, pohon buah-buahan hutan, dan pohon sagu, hal itu bukanlah berdasarkan pengakuan atas hak masyarakat tersebut, tetapi sekedar meredam sengketa dan mencegah ekspresi tuntutan dilakukan dengan cara-cara yang dapat mengganggu operasi perusahaan.
•
Stereotype. Salah satu hal yang tidak selalu kasat mata tetapi senantiasa mewarnai hubungan antara warga masyarakat kampung dengan perusahaan adalah stereotype tentang masyarakat, khususnya tentang Gambar 6: Masalah persepsi dan penamaan yang stereotipikal Dayak Punan. Masih ada staf perusahaan yang beranggapan bahwa masyarakat Dayak terkebelakang, senantiasa mencari kesempatan untuk memperoleh berbagai hal dari perusahaan, tidak rasional, malas, tidak mau maju, dan sebagainya.
Semua masalah itu, selain merupakan cerminan dari hubungan yang kurang baik antara perusahaan dan masyarakat, juga merupakan konflik-konflik laten yang sewaktu-waktu dapat merebak kepermukaan karena penyelesaiannya tidak menyentuh akar permasalahannya. Lebih dari itu, berbagai bantuan perusahaan yang diberikan tanpa dasar aturan yang jelas itu cenderung mendorong warga masyarakat menjadi peminta-minta dan menciptakan ketergantungan.
F. Pengelolaan Sengketa Pengelolaan sengketa intern masyarakat berjalan baik ketika sengketa itu berupa sengketa inter-personal di tingkat kampung yang terjadi karena pelanggaran aturan yang diketahui bersama. Namun ternyata banyak pula sengketa antar keluarga dan antar kelompok masyarakat yang tidak terselesaikan. Nampaknya beberapa sengketa seperti itu tidak dianggap terlalu serius sehingga tidak patut dipersoalkan, ataupun sengketa itu dibiarkan saja karena upaya penyelesaiannya dianggap beresiko karena dapat merusak hubungan sosial yang baik. Penyelesaian sengketa antar kampung, seperti sudah disebutkan diselesaikan melalui perundingan antara Kepala Kampung dan tetua kampung (tokoh adat) dari kampungkampung yang bersengketa. Namun yang teridentifikasi dalam kajian ini adalah kasus-
39
Draft # 7 – 5 Januari 2010 kasus yang lebih mutakhir, yakni sengketa tentang tata-batas kampung, dan beberapa sengketa itu dimediasi oleh LSM yang bekerja di kampung yang bersengketa itu. Sementara itu, yang barangkali lebih penting untuk pengembangan Skema REDD dimasa yang akan datang adalah pengelolaan sengketa antara perusahaanperusahaan dan masyarakat kampung di dalam dan di sekitar wilayah konsesinya. Kajian ini menemukan bahwa justru dalam hal inilah banyak permasalahan, dan bahwa sesungguhnya tidak ada mekanisme pengelolaan sengketa yang sistematis dalam hal ini. Manakala antara perusahaan dan masyarakat terjadi suatu sengketa memang terjadi suatu perundingan, tetapi sering terjadi bukanlah kerjasama dalam penyelesaian masalah, tetapi tuntutan ganti-rugi atas pelanggaran yang dilakukan perusahaan. Walaupun fakta-fakta pelanggaran itu kadang belum jelas dan masih diperdebatkan, perusahaan cenderung mengalah untuk mencegah proses yang berkepanjangan dan tidak produktif. Upaya penyelesaian konflik seperti itu lebih mengedepankan upaya meredam gejolak dan mencegah eskalasi konfliknya dengan memberi ganti rugi berupa uang/materi. Dalam beberapa kasus yang disampaikan kepada tim kajian ini, perusahaan menyerah dan memenuhi tuntutan masyarakat bukan karena mengakui fakta kesalahanntya dan kebenaran tuntutan masyarakat, tetapi karena perhitungan ekonomis atas ancaman tersirat masyarakat untuk melakukan tindakan-tindakan yang dapat menghentikan operasi perusahaan. Manakala total kerugian potensial perusahaan (biaya rutin/overhead cost dan opportunity cost) lebih besar daripada tuntutan masyarakat, maka untuk mencegah kerugian yang lebih besar itu perusahaan memenuhi saja tuntutan masyarakat itu. Artinya, yang penting bagi perusahaaan bukanlah upaya penyelesaian substansi
Ketinting untuk Sagu Dalam proses pembukaan jalan logging suatu perusahaan kayu menebang beberapa pohon sagu (ada yang menyebutkan pohon buah) tanpa lebih dahulu mengkonsultasikannya dengan warga kampung. Ketika hal ini terungkap, warga kampung menuntut bahwa perusahaan membayar denda. Sengketa ini meruncing ketika perusahaan merasa bahwa fakta sengketa itu tidak jelas dan dibuat-buat. Setelah proses perundingan yang berkepanjangan akhirnya perusahan “menyerah” dan sepakat membayar denda berupa 26 mesin ketinting, satu untuk masing-masing keluarga. Mesin ketinting diberikan, masalahnya dianggap selesai, dan masyarakat pun merasa puas. Belakangan ada juga warga yang menyesali bahwa mesin ketinting yang diperolehnya “hanya” merk Tri-arrow yang diangga tiruan murah dari mesin Honda. Dengan sedikit bersungut-sungut mereka memahami bahwa mereka kurang canggih dalam berunding sehingga perusahaan memberi mereka mesin yang kurang baik.
Pemerintah Kampung Digaji Perusahaan Salah satu bentuk “bantuan” yang secara rutin diberi suatu perusahaan kepada masyarakat adalah gaji. Kepala Kampung dan perangkatnya, guru dan tenaga para-medis, dan beberapa warga dengan tugas seperti operator genset atau penjaga sekolah semua diberi gaji bulanan, terlepas dari apakah mereka melakukan tugasnya ataupun tidak. Pertanyaannya adalah mengapa mereka perlu digaji? Bukankah penggajian itu menjadi kewajiban pemerintah? Barangkali sebagai tindakan sementara untuk guru dan tenaga para-medis yang belum diangkat menjadi pegawai negeri hal itu dapat kita mengerti, tetapi bagaimana dengan Kepala Kampung dan perangkatnya? Bukankah ini bisa jadi suatu conflict of interest manakala terjadi tabrakan kepentingan antara perusahaan dan masyarakat. Bagaimanakah kita dapat mengharapkan Kepala Kampung memperjuangkan kepentingan warganya dalam suatu ajang perundingan yang adil dan objektif antara perusahaan dan masyarakat manakala ia sendiri adalah penerima gaji dari perusahaaan. Jika kemudian ada prasangka bahwa penggajian itu adalah sesuatu kesengajaan perusahaan untuk mengkooptasi para pimpinan masyarakat, bagaimanakah prasangka itu dapat kita bantah?
40
Draft # 7 – 5 Januari 2010 pokok sengketa, tetapi menghentikan “gangguan” warga masyarakat. Masyarakat pun bersikap sama; bukan perkaranya yang penting tetapi ganti-rugi yang bisa didapat. Tentu sikap-sikap seperti ini dapat dimengerti (walaupun tidak dibenarkan) karena memang hak-hak masyarakat tidak jelas dan kewajiban perusahan tidak terlalu jelas pula. Dalam banyak kasus bantuan-bantuan yang diberikan perusahaan pada masyarakat bermula sebagai kompensasi terhadap “pelanggaran” yang dilakukan oleh perusahaan dan kemudian dilanjutkan guna meredam munculnya konflik dengan masyarakat yang dapat mengganggu – bahkan menghentikan – operasi perusahaan. Walaupun seringkali fakta-fakta sengketa itu masih dipertanyakan dan tidak ada acuan yang jelas dan disepakati tentang kompensasi, berdasarkan perhitungan ekonomis perusahaan model penyelesaian konflik dengan pemberian kompensasi dianggap cukup efektif untuk meredam konflik sementara waktu dan memungkinkan perusahaan beroperasi tanpa gangguan. Tetapi “kebijakan” pengelolaan sengketa seperti itu ternyata tidak menyentuh inti permasalahannya dan berbagai konflik senantiasa muncul kembali atau bahkan dalam beberapa kasus diduga bahwa sengaja dimunculkan oleh masyarakat guna memperoleh pembayaran kompensasi. Pembayaran kompensasi serta pemberian berbagai bantuan sebagaimana sekarang terjadi memang “menyelesaikan” untuk sementara masalah yang dihadapi perusahaan, tetapi dalam jangka-panjang tidak memberdayakan masyarakat, bahkan mengembangkan ketergantungan masyarakat terhadap perusahaan dan mencerminkan hubungan yang tidak sehat antara kedua pihak. Penyelesaian kasus-kasus dengan pemberian-pemberian yang sekedar mengobati gejalanya – sesungguhnya tidak menyelesaian masalahnya dan bahkan memperburuk keadaan. Mungkin masalahnya hilang sesaat tapi dikemudian justru akan timbul lagi dengan skala dan intensitas yang semakin besar. Singkat kata, pengelolaan sengketa antara masyarakat dan dengan pihak perusahaan merupakan resolusi yang tidak tuntas, menyisakan banyak sengketa laten yang belum terselesaikan, dan justru memperburuk keadaan. Sengketa dengan pemerintah. Dalam sengketa antar masyarakat dan antara masyarakat dengan perusahaan, tanpa disadari pihak pemerintah sering juga merupakan salah satu pesengketanya. Masalah hubungan antara perusahaan dan masyarakat, misalnya, sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah tentang hal itu, bahkan bisa dikatakan bahwa banyak sengketa antara keduanya berpangkal dari kebijakan itu. Salah satu contoh lain yang dijumpai dalam kajian ini adalah kasus terjadinya Gambar 7: Log yang terlantar karena konon ditebang di luar wilayah RKT dan menjadi sengketa perluasan kampung transmigrasi ke antara perusahaan dan masyarakat kampung. dalam wilayah konsesi perusahaan kayu. Bahkan dalam kasus itu ditengarai bahwa sudah ada warga kampung yang mempunyai sertifikat kepemilikan lahan di dalam konsesi yang bersangkutan. Bisa dipahami bahwa pihak perusahaan menganggap hal itu perambahan dan adanya sertifikat dipertanyakan keabsahannya. 41
Draft # 7 – 5 Januari 2010 Dalam hal seperti ini sengketa yang terjadi bukan saja melibatkan masyarakat dan perusahaan tetapi juga pemerintah kabupaten. Dalam usaha pengelolaan sengketa yang terjadi, pihak pemerintah memang dilibatkan sebagai salah satu pemangku kepentingan, tetapi belum dilibatkan sebagai salah satu pesengketa, dan ini menjadi salah satu faktor tidak terselesaikanya sengketa melalui proses yang ditempuh.
G. Jaringan Informasi Salah satu saluran informasi ke masyarakat adalah kunjungan berkala Kepala Kampung dan warga masyarakat ke ibu kota kecamatan dan kabupaten. Namun jumlah, jenis dan mutu informasi yang diperoleh dari jaringan informal seperti itu tentu sukar dilacak dan ditentukan. Juga adanya petugas penyuluh dari berbagai lembaga dan program merupakan salah satu saluran informasi bagi masyarakat, namun kehadiran para petugas ini di kampung ternyata tidak rutin, bahkan bisa dikatakan suatu peristiwa yang langka, dan informasi yang disampaikan pada umumnya terbatas pada program lembaga yang bersangkutan. Demikian pula informasi melalui jaringan kepemerintaan terbatas pada soal-soal kepemerintahan itu sendiri serta program/proyek pemerintah yang pada saat itu sedang dilaksanakan di tingkat kampung. Melihat miskinnya informasi itu memang ada beberapa prakarsa pengembangan jaringan informasi yang dilakukan oleh LSM. TNC dan WE menempatkan petugas lapangan di beberapa kampung, selain menjadi sumber informasi tentang program yang dilakukan, para petugas ini juga memfasilitasi hubungan kampung dengan pihakpihak diluar kampung, termasuk hubungan dengan pemerintah kabupaten. Namun, informasi yang disampaikan pada umumnya terbatas pada kepentingan program. Kedua LSM itu juga telah berprakarsa untuk membangun jaringan informasi antar kampung, tetapi sekali lagi jaringan ini nampaknya hanya effektif pada saat pertemuan sementara pertemuan itupun jarang. Namun tantangan terbesar adalah bahwa jaringan ini belum lagi menunjukkan prakarsa untuk mengembangkan agendanya sendiri, dan ini bisa jadi disebabkan rasa ketergantungan yang terlalu besar terhadap LSM pendukungnya selama ini. Para gembala gereja yang mempunyai posisi yang dihormati di masyarakat nampaknya potensial sebagai simpul informasi bagi masyarakat, tetapi pada umumnya kegiatan-kegiatan gereja dan kelompok-kelompok masyarakat yang dibinanya tidak berkenaan dengan pengelolaan sumberdaya alam. Jika para gembala ingin dilibatkan dalam upaya pengelolaan sumberdaya alam, mengingat tata-organisasi gereja, nampaknya kerjasama itu harus dikembangkan mulai dari lembaga-lembaga gereja di tingkat kabupaten. Apakah ini dimungkinkan belumlah dikaji dalam kajian ini. Teknologi informasi — terutama radio dan televisi — walaupun terbatas sudah tersedia di sebagian besar kampung, tetapi informasi apa yang diperoleh dari terpaan media ini serta relevansinya dengan kehidupan masyarakat patut dipertanyakan. Berita dan acara-acara edutainment barangkali memang membuka wawasan tentang dunia yang lebih luas, tetapi acara-acara ini bukan merupakan tontonan favorit. Bahkan sinetron yang dan iklan-iklan yang senantiasa diulang yang memperlihatkan gemerlapnya gaya hidup elit urban justru lebih menarik.
42
Draft # 7 – 5 Januari 2010 Karena di kampung-kampung sering ada warga yang memiliki player VCD atau DVD, teknologi inilah yang mungkin bisa dimanfaatkan dalam komunikasi program jika bahan-belajar yang tepatguna bisa dikembangkan. Singkat kata, secara umum belum nampak adanya prakarsa aktif warga masyarakat untuk dengan sadar dan sengaja mencari informasi tertentu untuk kepentingan tertentu, dan salah satu kendala yang dihadapi masyarakat dalam mengakses informasi adalah keterbatasan prasarana tranportasi dan komunikasi serta biayanya.
VIII. Rekomendasi Umum: Strategi Pelibatan Masyarakat Di awal laporan ini dipaparkan beberapa prasyarat yang harus dipenuhi oleh suatu masyarakat untuk dapat mengelola sumberdaya alam secara effektif, termasuk berpartisipasi dalam Skema REDD. Sementara itu temuan-temuan kajian ini menunjukan kenyataan bahwa sebagian besar prasyarat itu belum dipenuhi. Tantangannya kemudian adalah bagaimana kesenjangan antara prasyarat yang harus ada dan kenyataan yang ditemukan dapat diatasi. Dengan kata lain, bagaimanakah prasyarat-prasyarat itu dapat dikembangkan di masyarakat. Rekomendasi-rekomendasi berikut ini diarahkan kepada usaha-usaha yang kiranya dapat dipertimbangkan untuk mengembangkan prasyaratprasyarat tersebut.
A. Kejelasan dan Kepastian Hak Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Salah satu prasyarat keterlibatan masyarakat secara bermakna adalah adanya hak yang jelas dan jangka panjang atas sumberdaya alam yang bersangkutan, dalam Skema REDD ini berarti hutan. Untuk pelibatan masyarakat adanya hak ini penting karena kita tentu tidak dapat diharapkan bahwa warga masyarakat kampung bersedia mengerahkan daya-upayanya dalam strategi konservasi jangka-panjang sebagaimana dituntut Skema REDD jika tidak ada kepastian bahwa mereka akan memetik manfaat dari upayanya itu. Beberapa alternatif yang dapat dipertimbangkan dalam hal ini adalah: 1.
Hak Masyarakat di Wilayah Hutan (KBK)
Kebanyakan kampung yang dikaji berada di wilayah hutan yang berada di bawah jurisdiksi Pemerintah Pusat cq. Departemen Kehutanan, dan karenanya upaya pengembangan alas hak masyarakat atas sumberdaya alam harus merujuk kepada aturan-aturan yang berlaku dalam hal ini. Alternatifnya adalah: a.
Hutan Adat – Penegasan Hak Ulayat
Pengelolaan hutan adat sebagai wilayah komunal oleh masyarakat adat dan berdasarkan hukum adat dimugkinkan oleh Undang-undang Pokok Agraria (UUPA no. 5 tahun 1960, pasal 3) dan Undang-undang Kehutanan (UU no 41 tahun 2004). Syarat-syarat pengakuan sebagai wilayah ulayat diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan juga dalam Undang-undang kehutanan. Disebutkan antara lain bahwa penentuan masih adanya hak ulayat masyarakat hukum adat yang bersangkutan dilakukan oleh Pemerintah Daerah (kabupaten) melalui penelitian dengan mengikutsertakan para pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang
43
Draft # 7 – 5 Januari 2010 bersangkutan, Lembaga Swadaya Masyarakat dan instansi-instansi yang mengelola sumberdaya alam (Pasal 5). Pengkajian itu harus dapat membuktikan bahwa persyaratan-persyaratan sebagai wilayah hak ulayat itu memang dipenuhi, yakni apabila: (a) terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari; (b) terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan; (c) terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut. Jika kajian itu kemudian dapat membuktikan bahwa persyaratan itu terpenuhi dan merekomendasikan pengakuan tersebut, maka pemerintah kabupaten harus mendaftarkan claim wilayah adat masyarakat tersebut kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN). Jika kemudian BPN dapat menyetujuinya maka pemerintah kabupaten harus menuangkan pengakuan tersebut dalam bentuk Perda. Namun masalah yang kemudian dihadapi adalah bagaimana membuktikan bahwa masyarakat hukum adat Punan di hulu sungai Segah dan sungai Kelay dalam kenyataannya masih ada sebagaimana dipersyaratkan oleh undang-undang. Masyarakat Punan secara tradisional tidak meng-claim wilayah persekutuan adat dengan batas-batas yang jelas, namun dalam kenyataannya mempunyai wilayah jelajah tertentu. Dan memang, sebelum datangnya pihak-pihak luar mereka tidak mempunyai kebutuhan untuk menegaskan batas-batas yang pasti dan membela wilayahnya terhadap pihak-pihak luar tersebut. Selain itu, apakah struktur sosial yang longgar, kepemimpinan yang egaliter, dan aturan-aturan pengelolaan sumberdaya alam yang sederhana dapat diterima sebagai pranata sosial yang memadai untuk dapat diakui sebagai masyarakat hukum adat? b.
Hutan Desa
Alternatf lainnya yang dimungkinkan oleh undang-undang kehutanan (UU no 41 tahun 2004), aturan-aturan tentang otonomi desa (UU no 32/2005 dan PP No.72 /2005 tentang Desa), dan Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 49/Menhut-II/ 2008 tentang Hutan Desa, adalah hutan desa. Alternatif ini dapat dipilih manakala prasyarat pengakuan sebagai masyarakat adat tidak dapat diwujudkan. Namun masalah yang akan dihadapi akan sama dengan hutan adat sebagaimana disebutkan diatas, yakni kenyataan bahwa kampung-kampung berada di area konsesi, artinya seluruh wilayah telah dibebani hak. Juga, menurut peraturan menteri yang bersangkutan hutan desa harus berada di wilayah administrasi desa yang bersangkutan (pasal 4, butir b), sementara pada saat ini banyak kampung belum mempunyai batas adminstratif yang jelas. c.
Social Forestry berdasarkan Kesepakatan Multi Pihak
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.01/Menhut-II/2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Dalam dan atau Sekitar Hutan Dalam Rangka Social Forestry memberikan peluang kepada masyarakat sekitar hutan untuk terlibat dalam pengelolaan hutan berdasarkan kesepakan multi-pihak. Pada 44
Draft # 7 – 5 Januari 2010 lahan hutan yang potensial untuk dimasukkan dalam skema REDD model Social forestry ini mungkin dapat diterapkan. Dalam hal ini model kesepakatan yang dirundingkan antara warga masyarakat dan pemegang konsesi – (HPH ataupun perkebunan) dan dituangkan menjadi suatu dokumen kesepakatan seperti yang sudah dilakukan di Segah bisa menjadi rujukan. Salah satu masalah dalam hal ini adalah bahwa menurut peraturan menteri yang bersangkutan, wilayah hutan yang dikelola masyarakat harus berada di wilayah administratif desa (kampung), sementara kita tahu bahwa batas-batas kampung itu belum ada. Juga, yang dijadikan “unit” adalah desa, sementara bisa jadi suatu wilayah akan dikelola bersama antara beberapa kampung yang berdekatan. Pertanyaan lain dalam model ini adalah bagaimana memastikan kelanggengan ikatan kontraktual yang mendasarinya ketika masa konsesi perusahaan akan berakhir? Selain memperpanjang konsesinya, salah satu cara lain adalah dengan mengkaitkan kesepakatan itu dengan pengambilan keputusan formal pemerintah. Namun ada suatu masalah yang akan dihadapi dalam merujuk keaturan perundangundangan tentang alternatif-alternatif tersebut. Aturan perundang-undangan tersebut senantiasa menyebutkan syarat bahwa suatu wilayah hutan dapat dikelola masyarakat — baik sebagai hutan adat, hutan desa, ataupun dalam kerangka social forestry — apabila hutan tersebut belum dibebani hak, sementara pada saat ini dengan adanya konsesi hak itu sudah ada pada perusahaan. Aturan itu dapat dipahami sebagai bertujuan untuk mencegah terjadinya tumpangtindih hak antara pihak-pihak yang berbeda. Namun pertanyaan yang dapat dan perlu dipertanyakan adalah: bukankah aturan seperti itu semestinya berlaku pula terhadap perusahaan. Artinya hak pengelolaan hutan (HPH) atau wilayah hutan (konsesi perkebunan) semestinya juga hanya dapat diberikan atas wilayah yang belum dibebani hak; artinya jika hak berdasarkan hukum adat diakui dan dianggap berlaku sejak adanya masyarakat adat yang bersangkutan, semestinya ijin HPH dan konsesi perkebunan yang kemudian dikeluarkan di wilayah yang bersangkutan patut dipertanyakan. Kenyataannya nyaris semua wilayah disekitar kampung-kampung sudah dikuasakan pada pemegang konsesi walaupun masyarakat telah berada di wilayah yang bersangkutan sebelum konsesi diberikan. Pertanyaannya kemudian adalah mungkinkah kesalahan itu dikoreksi? Mungkinkah pemerintah mengakui kesalahannya dimasa lalu dalam mengabaikan keberadaan masyarakat adat dalam memberikan konsesi kepada perusahaaan? Lebih dari itu, hak pengusahaan hutan (HPH) sesungguhnya bermakna hak untuk mengeksploitasi kayu – artinya menebang pohon dan mengambil kayu – dan bukanlah penguasaan lahan atau wilayah. Artinya, perusahaan pemegang HPH dan masyarakat kampung bisa sama-sama mempunyai hak di suatu kawasan hutan tertentu tanpa terjadinya tumpang-tindih hak karena hak masing-masing pihak itu berbeda.
45
Draft # 7 – 5 Januari 2010 d.
Enclave.
Salah satu model menyikapi keberadaan masyarakat di wilayah hutan yang berkembang di ranah konservasi kehutanan adalah pengakuan suatu desa/ kampung sebagai suatu enclave di wilayah konservasi yang bersangkutan. Walaupun pengakuan sebagai enclave belum jelas benar dasar hukumnya, tetapi praktek yang berkembang di beberapa kawasan konservasi mungkin bisa menjadi rujukan. Selain itu masih ada perdebatan tentang enclave; sebagian pihak menafsirkan bahwa enclave berarti pengeluaran suatu wilayah dari wilayah konservasi yang bersangkutan sehingga aturan-aturan kehutanan tidak lagi berlaku disana dan lahan kemudian bisa dimiliki warga masyarakat, namun sebagian pihak yang lain memaknai enclave sebagai suatu zona khusus yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tetapi tetap menjadi bagian dari kawasan konservasi sehingga pemanfaatannya tetap harus sesuai dengan aturan-aturan kehutanan yang berlaku. Jika kita menyimak Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, kita menemukan bahwa perencanaan hutan produksi juga bisa mencakup rancangan batas enclave. Namun ternyata pula bahwa Kepmenhut No. 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan yang menyebutkan bahwa suatu kawasan hutan produksi dapat di konversi, namun tidak boleh menimbulkan enclave. e.
Litigasi; Menggugat Keabsahan Konsesi Hak Pengusahaan Hutan
Penetapan wilayah konsesi kehutanan — sebagaimana tergambar pada peta-peta yang pada saat ini menggambarkan wilayah konsesi HPH dan batas antara konsesi —sesungguhnya belum dapat dianggap sebagai penetapan yang sah karena lahan kehutanan dimana konsesi diberikan pun belum dipastikan sebagai lahan kehutanan. Proses tataguna hutan kesepakatan (TGHK) sebagaimana dipersyaratkan oleh aturan-aturan kehutanan belum pernah dilaksanakan, namun wilayah yang kemudian menjadi konsesi dengan serta-merta dianggap tanah negara berhutan dibawah jurisdiksi Departemen Kehutanan. Artinya, bisa jadi Departemen Kehutanan memberikan konsesi diatas lahan yang belum tentu menjadi jurisdiksinya. Dalam proses TGHK, semestinya baik wilayah hutan pada tanah negara maupun wilayah masyarakat semestinya dipetakan. Namun karena hal itu tidak dilaksanakan, keabsahan konsesi, bahkan keabsahan wilayah jurisdiksi Dephut sesungguhnya dapat dipertanyakan. Pilihan ini secara teoretis dapat dilakukan melalui pengadilan tata-usaha negara. Jika hal ini dapat dilakukan, maka keputusan pengadilan bisa memberikan kepastian hukum bagi semua pemangku kepentingan, tetapi pertanyaannya, siapakah yang bersedia melakukannya? f.
Memperjuangkan Pelaksanaan Proses Penetapan Tata Batas Kehutanan
Di propinsi Kalimantan Timur penetapan tata-batas kawasan kehutanan sebagaimana disyaratkan oleh proses TGHK 82 yang diperbaharui dengan PKHP tahun 200? sesungguhnya belum dilaksanakan. Dalam pelaksanaannya disyaratkan adanya tim tata-batas yang diketuai oleh Bupati dan mencakup perwakilan para pemangku kepentingan. Juga dalam prosesnya, konsultasi dengan masyarakat menjadi salah satu kewajiban. Artinya, dalam proses 46
Draft # 7 – 5 Januari 2010 penatabatasan ini sebenarnya tim tata-batas yang dibentuk dapat membuat catatan tentang keberadaan masyarakat dalam wilayah yang sedang dipetakan tata-batasnya, dan kemudian permasalahan itu dapat diselesaikan. Pilihan inipun pilihan yang secara teoretis benar. Namun proses tata-batas bukanlah proses yang mudah karena menyangkut kewenangan Pemerintah Pusat dan berbenturan dengan kenyataan bahwa konsesi telah diberikan. Tentu jika proses TGHK itu kemudian membenarkan wilayah kewenangan Departemen Kehutanan, dan tata-batas hutan dapat diselesaikan, maka proses pemberian konsesi (ulang) dapat dilaksanakan dengan mempertimbangkan keberadaan masyarakat di wilyah yang bersangkutan. g.
Pola Kemitraan
Alternatif yang telah disebutkan diatas (butir “a” sampai “f”) adalah pendekatan berdasarkan hak (rights based), dan pilihan itu menuntut dukungan politik serta proses hukum yang cukup pelik yang niscaya akan membutuhkan waktu yang cukup panjang. Walaupun strategi berdasarkan hak dalam jangka-panjang tetap harus dipertimbangkan, alternatif yang dapat dipertimbangkan dalam jangka-pendek adalah strategi kemitraan, yakni pengembangan kesepakatan pengelolaan sumberdaya alam antara warga masyarakat setempat, perusahaan pemegang konsesi, pemerintah, dan pemangku kepentingan lain yang relevan. Pendekatan perlindungan hutan bernilai konservasi tinggi (HCVF) yang dikembangkan TNC bersama beberapa perusahaan kayu dan masyarakat kampung merupakan salah satu model pola kemitraan dan nampaknya merupakan semacam perpaduan antara dua pendekatan diatas, yakni kesepakatan multipihak tentang suatu enclave. Dalam hal ini adalah masalahnya adalah keberlangsungan kesepakatan tersebut. Ada beberapa hal tentang naskah kesepahaman (MOU) antara perusahaan, masyarakat, dan pemerintah kabupaten sebagaimana yang sekarang ada yang perlu menjadi perhatian; antara lain: (1) Kewenangan para pihak untuk bersepakat tentang hak-hak atas sumberdaya alam yang bersangkutan. Para pihak tentu hanya dapat bersepakat tentang hal yang menjadi kewenangan atau hak mereka, dan kalau pemegang konsesi hanya berhak untuk menebang pohon, maka hanya tentang hal itulah perusahaan dapat bersepakat dengan masyarakat. (2) Kekuatan hukum naskah kesepahaman itu. MOU atau naskah kesepahaman bukanlah perjanjian menurut hukum perdata dan biasanya hanya memuat prinsip-prinsip umum yang disepakati bersama sebagai dasar kerjasama. Kekuatan MOU hanya sekuat komitmen para pihak pada kesepakatan itu. (3) Keberlanjutan kesepakatan. MOU hanya berlangsung selama para pihak yang bersepakat masih menginkannya. Jika keadaan berubah dan salah satu pihak ingin mengakhiri kesepakatan ini, sebenarnya bisa saja hal itu saja dilakukan tanpa pihak lain dapat mencegahnya, karena MOU memang tidak mempunyai kekuatan hukum yang memaksa. Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan MOU, substansi MOU tersebut dapat dikembangkan menjadi kontrak perjanjian perdata antara para pihak yang kemudian dibuat dihadapan notaris. Kontrak perdata ini lebih kuat daripada MOU dan jika dikemudian hari salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya 47
Draft # 7 – 5 Januari 2010 menurut kontrak tersebut, pihak lain dapat menggugatnya ke pengadilan negeri. Jika pihak yang bersangkutan memenangkan kasusnya, maka pengadilan negeri dapat memerintahkan pihak yang kalah untuk melakukan kewajibannya, dan bahkan jika perlu memerintahkan para penegak hukum untuk memaksa pihak itu untuk melakukan. 2.
Hak Masyarakat di Wilayah Non-kehutanan (KBNK)
Wilayah KBNK dianggap menjadi jurisdiksi Pemerintah Kabupaten Berau, dalam hal ini rujukan hukumnya yang utama adalah undang-undang agraria, undang-undang tentang pemerintahan desa, dan peraturan-peraturan daerah. Dalam hal ini, atas dasar Otonomi Desa pemerintah kabupaten, dalam hal ini Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa, memberikan pengakuan hak desa untuk mengatur urusan “rumah-tangga” dalam kampungnya sendiri, termasuk peruntukan lahan di kampungnya. Berbekal hal ini, pengembangan tata-ruang kampung bisa menjadi sebuah pilihan untuk memperjelas hak kelola masyarakat atas wilayah-wilayah tertentu di kawasan KBNK. Namun perlu diingat bahwa penentuan status hukum lahan di kawasan ini bagaimanapun tetap menjadi kewenangan Badan Pertanahan Nasional. 3.
Hak Masyarakat di Wilayah Pesisir
Di kampung-kampung di wilayah pesisir pengakuan hak masyarakat atas lahan belum terlalu jelas. Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil menjelaskan bahwa “sempadan pantai” adalah daratan sepanjang tepian laut yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Wilayah sempadan pantai itu kemudian perlu dikelola mengikuti kaidahkaidah konservasi. Sementara itu, nyaris semua pemukiman masyarakat di kampung-kampung pesisir, paling tidak untuk sebagian, berada di dalam wilayah ini. Memang undang-undang tersebut menyatakan bahwa wilayah sempadan pantai itu harus disesuaikan dengan keadaaan oleh pemerintah daerah dengan memperhatikan kondisi wilayah yang bersangkutan serta akses masyarakat, tetapi tidak dijelaskan apakah “akses” tersebut juga bermakna wilayah kelola. Apakah Pemerintah Kabupaten Berau sudah menetapkan Peraturan Daerah tentang hal ini sebagaimana dipersyaratkan undang-undang tersebut masih perlu dijajaki. Jika kita kemudian membayangkan bahwa sebagian wilayah pesisir bisa dikelola sebagai kawasan konservasi, termasuk wilayah sempadan pantai, maka kita juga harus mengacu pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Per.17/Men/ 2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Aturan itu mensyaratkan pengembangan rencana konservasi menurut tata-cara tertentu dengan melibatkan semua pemangku kepentingan.
B. Masyarakat Kampung sebagai Unit Pengelola Hutan Apapun pilihan bentuk lembaga pengelolaan sumberdaya alam masyarakat — pemerintah kampung, kelembagaan adat, ataupun kelembagaan formal lainnya — masyarakat kampung harus bisa menjadi dan diakui sebagai “unit pengelola” hutan dan sumberdaya alam di wilayah tertentu. Ini tentu akan menyangkut kondisi 48
Draft # 7 – 5 Januari 2010 kelembagaan kampung itu, yang mencakup antara lain: kemampuan perencanaan, manajerial dan organisasional dalam melaksanakan rencana-rencana pengelolaan hutan. Karena wilayah kelola masyarakat kampung harus jelas sementara batas-batas kampung belum ada, maka salah satu kegiatan yang dapat dipertimbangkan adalah pemetaan partisipatif batas-batas kampung itu. Kemudian, untuk pengelolaan sumberdaya alam di tingkat lapangan, apalagi jika menyangkut timbunan karbon (hutan), maka tata-guna lahan dalam kampung juga menjadi penting dan juga baik untuk dipetakan bersama masyarakat kampung.
C. Wilayah Kelola Masyarakat dalam Tata-ruang Kabupaten Karena kesepakatan REDD bersifat jangka-panjang dan REDD direncanakan pada skala kabupaten, secara umum wilayah-wilayah yang akan menjadi bagian dari Skema REDD, termasuk wilayah-wilayah kelola masyarakat, harus tergambarkan dan disepakati dalam tata-ruang kabupaten. Artinya dalam tata-ruang kabupaten peruntukan wilayah/ lahan yang akan dikelola oleh masyarakat harus dapat diidentifikasi dengan jelas. Kabupaten Berau sudah menyusun rencana tata-ruang, namum rencana itu belum dapat disahkan karena harus disetujui terlebih dahulu oleh Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur. Namun pada saat ini rencana tata-ruang wilayah (RTRW) Kalimantan Timur juga belum di sahkan oleh Pemerintah Pusat, dan hal ini terkait dengan suatu usulan penambahan luasan wilayah KBNK dan wilayah lindung. Pada RTRWP 2005 – 2025, terjadi usulan perluasan KBNK dari seluas 5.184.771,10 hektar menjadi 6.551.167,01 hektar. Dari area seluas 1.366.395,91 hektar yang diusulkan sebagai perluasan KBNK, 845.776,67 hektar diantaranya masih merupakan hutan primer dan sekunder. Karena pada saat laporan ini ditulis persetujuan itu belum diberikan, maka masalah tata ruang kabupaten Berau sampai dengan saat ini masih belum terselesaikan. Selain menyangkut masalah ruang kelola untuk masyarakat kampung, tata-ruang juga berimplikasi pada rencana pembangunan makro kabupaten. Penetapan wilayah KBK, KBNK, kawasan tambang, kawasan pertanian, permukiman, perikanan, prasarana umum, penetapannya harus mengacu pada tata-ruang kabupaten. Pengembangan Skema REDD tentunya memerlukan informasi tentang penggunaan lahan, dan bisa jadi akan menuntut perbaikan/revisi tata-ruang kabupaten Berau yang sudah ada.
D. Penguatan Kelembagaan dan Pengembangan Perwakilan Pilihan yang pada saat ini paling realistis untuk lembaga pengelolaan sumberdaya alam di tingkat kampung adalah pemerintah kampung; yakni kepala kampung dan perangkatnya serta Badan Permusyawaratan Kampung menjadi lembaga pilihan yang utama. Tantangannya adalah bagaimana agar pemerintah kampung benar-benar berorientasi pada kepentingan masyarakat, mempunyai wawasan tentang masa depan, dapat mengambil peran kepemimpinan dalam proses perencanaan dan pengelolaan sumberdaya alam di kampungnya, serta dapat menjadi wakil masyarakat dalam berhubungan dengan para pemangku kepentingan lainnya dan tidak sekedar menjadi kepanjangan tangan dan corong pemerintah kabupaten.
49
Draft # 7 – 5 Januari 2010 Untuk itu lembaga-lembaga pemerintah kampung — pemerintah kampung dan BPK — harus diperkuat agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Para pimpinan masyarakat dalam kedua lembaga tersebut harus benar-benar memahami peran, fungsi, dan kewenangannya dalam otonomi kampung menurut UU 32/2004. Selain itu mereka juga perlu pengetahuan dan ketrampilan untuk menjalankan peran, fungsi, dan kewenangannya itu, antara lain: bagaimana menyelenggarakan Musyawarah perencanaan pembangunan kampung (Musrenbang), bagaimana mengembangkan dan menetapkan peraturan kampung (Perkam), bagaimana menghadapi dengan kritis berbagai pihak dari luar kampung (pencari gaharu, perusahaan, LSM, dan lembaga pemerintah kabupaten) yang menawarkan berbagai hal, bagaimana menentukan perwakilan kampung untuk berpartisipasi dalam jaringan antar kampung, dan sebagainya. Juga tidak boleh dilupakan bagaimana kampung dapat mengembangan perwakilan untuk berpartisipasi dalam proses konsultasi pengembangan tata-kelola REDD dimasa yang akan datang. Ini tentu merupakan tantangan yang sangat besar bagi masyarakat kampung dan niscaya membutuhkan proses pembelajaran yang cukup intensif. Untuk itu diperlukan pendampingan yang intensif pula dalam berbagai bentuk, antara lain diskusi-diskusi informal; pelatihan-pelatihan terstruktur tentang berbagai aspek pemerintah kampung dan pengelolaan sumberdaya alam; kunjungan belajar ke lokasi-lokasi yang relevan; media/bahan-bahan belajar yang tepatguna; partisipasi dalam pertemuanpertemuan yang dilakukan pemerintah kecamatan dan kabupaten dan LSM; dan sebagainya.
E. Insentif REDD harus sampai ke Kampung Gagasan inti REDD adalah penyediaan insentif finansial untuk konservasi, maka walaupun REDD adalah program G-to-G dimana pemerintah pusat yang menerima pembayaran insentif tersebut, untuk merangsang dan mendukung keterlibatan masyarakat dalam skema REDD maka harus dapat dipastikan bahwa insentif itu sampai pula kepada masyarakat kampung. Agar benar-benar berfungsi sebagai insentif maka penting bahwa dana yang diterima masyarakat harus benar-benar dipahami sebagai insentif, bukan penggantian biaya, upah untuk menjaga hutan ataupun pemberian sumbangan finansial yang bersifat karitatif. Artinya bahwa pelaksanaan peran-peran dalam berbagai upaya konservasi dalam Skema REDD harus dipahami sebagai tanggungjawab yang bagaimanapun harus dilakukan dengan atau tanpa insentif tersebut. Juga harus benar-benar jelas bahwa insentif itu diberikan berdasarkan kinerja tahunan dengan indikator yang jelas dan disepakati bersama. Salah satu model distribusi insentif itu yang dapat dipertimbangkan adalah model distribusi dana Alokasi Dana Desa (ADD) sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah no. 72/2005 tentang Desa. Mengikuti model itu insentif REDD dapat dialokasikan dan didistribusikan sesuai dengan kriteria keterlibatan dan kinerja dalam pengelolaan hutan.
50
Draft # 7 – 5 Januari 2010 Karena kebanyakan kampung yang memBeri kami 200 juta/bulan punyai timbunan karbon yang memadai dan hutan kami jaga berada di wilayah konsesi, tentu ada alterDalam perbincangan dengan seorang Kepala natif pemberian insentif kepada masyarakat Kampung di hulu Kelay, ketika tim mengajukan pertanyaan berandai-andai tentang partisipasi melalui perusahaan pemegang konsesi yang masyarakat dalam melindungi hutan, sang tokoh bersangkutan. Tentu ada keuntungan dan dengan bersemangat berujar “Beri kami 200 kerugian jika insentif tersebut diberikan juta/bulan dan hutan kami lindungi”. melalui/oleh perusahaan pemegang konsesi. Rupanya “kebiasaan” pihak-pihak luar, terutamaKeuntungannya adalah bahwa dari perspeknya perusahaan dalam memberikan fee dan tif pemerintah hal itu cukup praktis, pemekompensasi telah membentuk persepsi yang cukup keliru tentang hak dan kewajiban masyarintah dapat mengalihkan sebagian tangrakat terhadap hutan dan juga mengungkapkan gungjawabnya kepada perusahaaan, dan tidak konsistennya masyarakat dalam menyikapi barangkali cara itu juga dapat menjadi hutan. Disatu pihak mereka menyatakan “ini insentif bagi masyarakat untuk bekerjasama hutan kami, yang harus kami jaga demi anakdengan perusahaan. Dalam hal ini percucu kami”, tetapi dilain pihak mereka mengharapkan pembayaran untuk itu. hitungan besarnya insentif bagi masyarakat Ketika dalam Skema REDD memang ada insentif dapat menjadi bagian dari dan mengikuti untuk menjaga hutan demi kepentingan masyaskema REDD yang diikuti perusahaan dan rakat yang lebih luas, bagaimanakah insentif ini dapat diserahkan kepada perusahaan yang bisa diberikan tanpa merancukan motivasi tentunya harus menegosiasikannya dengan masyarakat? kampung. Walaupun begitu peran pemerintah sebagai regulator tetap harus dijalankan dan peraturan-peraturan yang menjadi acuan perlu dirumuskan. Namun kerugian menyerahan pemberian insentif untuk masyarakat pada perusahaaan adalah bahwa hal itu akan makin mempertegas hubungan ketergantungan masyarakat kampung kepada perusahaan yang berada di wilayahnya serta menjadikan hubungan itu lebih timpang lagi daripada keadaaan sekarang. Ketimpangan itu akan menyulitkan negosiasi yang sehat dalam membangun kerjasama antara masyarakat dan perusahaan.
F. Konsultasi, Kajian dan Perencanaan di Kampung Untuk bekerjasama dalam program penyiapan (masyarakat) dan dalam Skema REDD nantinya, niscaya pemerintah kampung dan warga kampung memerlukan kejelasan tentang apa REDD itu sesungguhnya, sumberdaya alam (karbon) apa yang akan tercakup, siapa saja yang akan mengelolanya, bagaimana kerjasama pengelolaannya antara mereka akan diatur, peran apa yang dapat dan perlu dimainkan oleh kampung, dan sebagainya. Kejelasan tentang semua hal itu sangat dibutuhkan karena hal ini akan menentukan komitmen tentang peran dan tanggungjawab masing-masing pihak dalam jangka yang cukup pajang yang pada gilirannya akan menentukan keberlanjutan program. Selain itu, manakala sumberdaya alam itu berada di wilayah kampung dan akan dikelola oleh/bersama dengan kampung maka diperlukan upaya untuk memperoleh persetujuan masyarakat (free prior informed consent) melalui konsultasi, perundingan, dan perencanaan bersama dengan pemerintah dan masyarakat kampung tentang pengelolaan tersebut. Konsultasi, perundingan, dan perencanaan itu dapat dikembangkan secara bertahap melalui beberapa kegiatan, antara lain: kajian dan pemetaan partisipatif, 51
Draft # 7 – 5 Januari 2010 perencanaan tata-ruang kampung, penyepakatan aturan-aturan pengelolaan sumberdaya alam, serta pengorganisasian masyarakat untuk pelaksanaan semua hal itu. Semua kegiatan itu saling bertaut dan perlu direncanakan menjadi suatu program kerja (bussiness plan) yang sistematis dengan tahapan-tahapan yang runtut dan dengan cermat mempertimbangkan keberadaan masyarakat serta proses pembelajaran yang harus mereka tempuh. Selain urutan (sequence) yang tepat, yang juga menjadi pertimbangan yang penting adalah prioritas masyarakat setempat serta prioritas-prioritas eksternal yang berkenaan dengan peluang pendanaan dan pengembangan kerjasama yang lebih luas. Bagaimana keterkaitan antara semua kegiatan yang bertautan itu dapat dijelaskan sebagai berikut: kajian partisipatif diperlukan agar warga masyarakat menyadari keberadaan sumberdaya alam di wilayahnya yang akan menjadi objek kesepakatan serta permasalahanya; pemetaan partisipatif akan memberikan kejelasan tentang sebaran sumberdaya alam yang bersangkutan; pengembangan tata-aturan pengelolaan sumberdaya alam jika diterapkan akan memastikan manfaat dari sumberdaya alam tersebut serta keberlanjutannya; dan ini semua pada gilirannya ini akan memudahkan penyepakatan dan penentuan besarnya insentif berbasis kinerja. Peta dan rencana yang mereka kembangkan juga akan sangat bermanfaat sebagai acuan bagi masyarakat dalam bernegosiasi dan mengembangkan rencana dengan para pemangku kepentingan lainnya. Dalam perencanaan itu termasuk pilihan teknologi, dalam hal ini teknologi pengelolaan sumberdaya alam. Untuk itu perlu pengkajian untuk pemilihan dan pengembangan teknologi yang tepatguna; namun jika teknologi itu adalah sesuatu yang baru, yang berada diluar pengalaman warga masyarakat, tentu tidak bisa diharapkan bahwa kajian itu dilakukan oleh masyarakat sendiri tetapi harus dilakukan dalam kerjasama dengan lembaga teknis yang relevan. Salah satu gagasan dalam hal ini adalah kajian kritis terhadap sistem berladang tebas-bakar guna mencari alternatif pertanian yang secara bertahap bisa dikembangkan guna membawa warga kampung kearah bertani yang lebih menetap.
G. Pengembangan Sumber-sumber Penghidupan Masyarakat dan Peningkatan Pelayanan Dasar Dalam setiap program pengembangan masyarakat tentu kebutuhan-kebutuhan praktis dan jangka pendek masyarakat tidak dapat diabaikan. Kebutuhan-kebutuhan itu pada umumnya menyangkut sumber-sumber penghidupan masyarakat (livelihoods) dan pelayanan umum dasar dalam hal kesehatan dan pendidikan. Selain secara objektif memang merupakan kebutuhan, kebutuhan praktis jangkapendek pada umumnya lebih dirasakan daripada kebutuhan strategis jangka-panjang yang seringkali baru teridentifikasi melalui proses penyadaran. Karena hal itu, kegiatan program yang menanggapi kebutuhan praktis jangka-pendek pada umumnya merupakan pintu-masuk (entry point) yang baik untuk mengawali suatu program. Selama ini WE telah bekerja di beberapa kampung di Segah dan Kelay dalam pengembangan tanaman umur panjang seperti kakao dan karet dengan tanggapan yang baik dari masyarakat, dan hal itu sebaiknya dilanjutkan. Gagasan-gagasan lain seperti pengembangan wanatani (agroforestry) untuk pengelolaan kesuburan tanah dan meningkatkan penghasilan dari ladang-ladang, pengembangan karet atau tanaman keras lainnya di wilayah-wilayah penyanggah, ekowisata, dan alternatif lainnya, perlu di52
Draft # 7 – 5 Januari 2010 ekplorasi dan dibahas, baik bersama konsultan yang pakar dalam bidang yang bersangkutan, maupun dalam proses kajitindak dan perencanaan partisipatif bersama masyarakat. Juga gagasan-gagasan lain tentang bagaimana warga masyarakat dapat meningkatkan derajat kesehatan dan kependidikannya perlu dibahas dalam proses kajitindak partisipatif tersebut. Beberapa gagasan yang sudah ada adalah antara lain: berusaha melobby dan melakukan advokasi untuk peningkatan mutu pelayanan pemerintah dalam kesehatan dan pendidikan, bekerjasama dengan Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan untuk meningkatkan mutu guru dan para medis yang berada di kampung, pelatihan para petugas penyuluh pertanian dan pengembangan petani pembina, dan sebagainya.
H. Jaringan dan Kerjasama antar Kampung dengan Pendekatan Bentang Alam. Pengembangan jaringan dan kerjasama yang lebih luas ini menyangkut persoalan bagaimana mencegah kebocoran12 (leakage). Jika satu kampung menjaga hutannya tetapi kampung di daerah lain menebang hutannya, maka total timbunan karbon di wilayah yang bersangkutan tentu berkurang. Demikian juga dengan perusahaan; upaya satu perusahan dalam mempertahankan timbunan karbon bisa jadi menjadi siasia oleh penebangan perusahaan lainnya. Untuk itulah diperlukan kerjasama dalam wilayah yang cukup luas, paling tidak kerjasama antara semua pemangku kepentingan dalam wilayah yang sama sehingga tujuan pengurangan emisi dalam wilayah itu dapat tercapai. Untuk itulah diusulkan bahwa yang digunakan adalah pendekatan berdasarkan bentang-alam (landscape). Bentang alam sebagai wilayah kerjasama yang paling sesuai di daerah hilir adalah adalah daerah aliran sungai (DAS). Selain bahwa pola sebaran kampung-kampung di hulu mengikuti sungai karena selama ini sungai menjadi sarana transportasi utama, dalam pengelolaan sumberdaya alam pendekatan DAS dianggap pendekatan yang tepatguna karena dapat mempertimbangkan keterkaitan berbagai komponen ekosistem. Alasan lain adalah bahwa ke tiga DAS di kabupaten Berau — yakni DAS Kelay, DAS Segah dan DAS Merapun — secara umum kondisi hutannya masih relatif bagus, artinya sangat berpotensi untuk dicakupkan dalam Skema REDD. Salah satu dasar untuk mengembangkan kerjasama pada skala DAS itu adalah jaringan antara para pemangku kepentingan dalam DAS tersebut. Walaupun belum benarbenar berhasil dalam mengembangkan agenda kerjasama antara anggotanya, Forum antar Kampung Hulu Kelay (atau Persatuan Dayak Punan Hulu Kelay), dan BP-Segah dapat dikembangkan lebih lanjut untuk kerjasama dalam masing-masing DAS yang bersangkutan. Mengingat kondisinya pada saat ini, tentu jaringan-jaringan itu perlu difungsikan kembali dan diperkuat. Juga BP-Lesan dan Forum Penyelamat Lingkungan di wilayah pesisir perlu diekplorasi peluang pengembangannya untuk dapat bekerjasama dalam wilayahnya masing-masing.
12
Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan “kebocoran” adalah pelepasan karbon, antara lain karena penebangan yang dilakukan di tempat lain, sehingga pengurangan emisi yang dilakukan dalam Skema REDD menjadi kurang bermakna
53
Draft # 7 – 5 Januari 2010 Selain untuk kerjasama dalam pengelolaan DAS atau bentang-alam tertentu (untuk BP-Lesan dan Forum Penyelamat Lingkungan di wilayah pesisir), jaringan masyarakat juga penting dalam proses perundingan dengan pihak-pihak lainnya, termasuk guna mengembangkan wakil-wakil masyarakat luas yang benar-benar representatif. Yang penting adalah bahwa pengembangan jaringan sebaiknya tidak menjadi kegiatan awal, tetapi suatu kegiatan yang tumbuh dari kesadaran akan kebutuhannya dan kemampuan untuk berperan pada skala yang lebih luas daripada kampung. Mengacu pada pepatah yang mengatakan bahwa “kekuatan suatu rantai ditentukan oleh mata rantainya yang terlemah”, pengembangan jaringan harus dimulai dengan penguatan semua “mata-rantai” terlebih dahulu sebelum menjalinnya menjadi suatu rantai yang utuh dan kuat.
I.
Jaringan dan Kerjasama Multi Pihak Selain masyarakat kampung, tentu kerjasama dalam pengelolaan sumberdaya alam pada skala bentang-alam perlu juga melibatkan para pemangku kepentingan di luar kampung. Atas dasar jaringan-jaringan antar kampung yang sudah terbentuk, dapat mulai dikembangkan pula jaringan dan kerjasama multi-pihak yang melibatkan warga masyarakat kampung, perusahaan-perusahaan, pemerintah kabupaten, LSM yang relevan, dan sejauh memungkinkan juga lembaga pemerintah propinsi dan pusat. Jaringan multi-pihak diharapkan dapat menjadi ajang kerjasama, koordinasi, perundingan, dan perencanaan bersama. Model Badan Pengelola Kawasan Segah merupakan contoh yang sudah terlembagakan dari jaringan semacam ini pada tingkat DAS. Sudah niscaya bahwa setiap pemangku kepentingan mempunyai cara pandang yang berbeda terhadap sumberdaya alam di lingkungannya: perusahaan memandang sumberdaya alam sesuai dengan visi bisnisnya; pemerintahan memandangnya dari sudut politik, regulasi, pendapatan asli daerah (PAD), dan pelayanan, sementara masyarakat memandangnya dari sudut kebutuhan nyata untuk keberlangsungan kehidupannya. Walaupun dapat dikatakan bahwa perbedaan sudut-pandang itu sesuatu yang wajar dan perlu diterima dalam masyarakat plural yang demokratis, ketika berkenaan dengan sumberdaya alam di wilayah yang sama, perbedaan perspektif itu bisa jadi merupakan suatu sengketa diantara semua pemangku kepentingan. Agar sengketa itu tidak menjadi distruktif, maka sengketa itu perlu dikendalikan dan sejauh memungkinkan diselesaikan. Untuk itulah salah satu fungsi penting jaringan multi-pihak adalah sebagai ajang pengelolaan sengketa sumberdaya alam antara para pemangku kepentingannya. Selain itu, karena dalam kenyataannya semua pihak mempunyai kepentingan pada wilayah dan sumberdaya alam yang sama dan mereka tidak mungkin saling meniadakan, ada ketergantungan (inter-dependency) yang kuat antara semua pemangku kepentingan yang mengharuskan kerjasama antara semuanya. Kerjasama dalam jaringan ini kemudian harus diwujudkan melalui perencanaan dan pengorganisasian bersama.
J. Struktur dan Mekanisme dari Kabupaten sampai ke Kampung Jika warga kampung akan dilibatkan secara bermakna dalam pengelolaan sumberdaya alam, khususnya dalam Skema REDD, harus ada mekanisme kerja yang jelas dari kabupaten sampai kampung. Mungkin penyebutan hal ini dirasakan berlebihan karena sesungguhnya mekanisme kepemerintahan sudah seharusnya demikian, tetapi ketika 54
Draft # 7 – 5 Januari 2010 dalam kenyataannya mekanisme pemerintah yang ada belum berfungsi optimal, maka hal ini nampaknya perlu diberi penekanan. Apalagi ketika hal ini menyangkut tatakelola (governance) Program REDD Skala Kabupaten yang merupakan program lintas sektor dan mencakup kepentingan semua pihak. Jika untuk Skema REDD karena sifatnya yang khusus akan dikembangkan struktur tata-kelola (governance) tersendiri, struktur itu harus sejalan dan terpadu dengan struktur pemerintah serta melibatkan semua pemangku kepentingan. Hal ini pelu mencakup pengembangan dan pemberdayaan perwakilan masyarakat untuk turut berperan dalam tata-kelola tersebut. Kiranya hal ini dapat dilakukan melalui mekanisme jaringan masyarakat sebagaimana telah disebutkan diatas. Jaringan multi-pihak bisa menyediakan struktur dan mekanisme tersebut, tantangannya adalah bagaimana jaringan itu kemudian bisa dikoordinasikan dengan struktur formal pemerintah kabupaten yang ada.
IX.
Rekomendasi Khusus:
Selain rekomendasi-rekomendasi umum diatas, upaya pengembangan tata-kelola sumberdaya alam secara kolaboratif di kabupaten Berau juga akan terbantu oleh beberapa hal sebagai berikut:
A. Kunjungan Orientasi Pimpinan Perusahaan dan Pejabat Pemerintah Keberadaan masyarakat Punan di daerah pedalaman — khususnya di daerah hulu sungai — sangat khas dan membutuhkan penanganan yang khas pula. Demikian pula kelompok-kelompok masyarakat di pesisir dan masyarakat di lingkungan perkebunan sawit mempunyai karateristiknya masing-masing. Perumusan kebijakan yang baik perlu dilakukan berdasarkan pemahaman yang cukup mendalam tentang keadaan khas suatu masyarakat dan sumberdaya alamnya dan untuk ini diperlukan informasi yang memadai. Informasi yang dibutuhkan itu bukan sekedar “data keras” tetapi perlu mencakup pula nilai-nilai yang lebih abstrak dan keadaan yang tidak kasat-mata (intangible), seperti nilai-nilai budaya dan moral serta kondisi kejiwaan masyarakat. Sebagai contoh, walaupun secara rasional kita dapat memahami bahwa masyarakat Punan sangat bergantung pada sumberdaya alam, baik untuk pemenuhan kebutuhan fisiknya maupun untuk kebutuhan sosial-budayanya, tetapi pemahaman yang mendasar tentang bagaimana mereka mengalami kehidupan mereka yang sesungguhnya, apa harapan dan kecemasan mereka, bagaimana perasaan mereka menghadapi perubahan yang tidak mereka pahami dan tidak dapat mereka kendalikan, hanya dapat diperoleh melalui interaksi pada tingkat personal. Singkatnya, kebijakan yang baik perlu dirumuskan dengan empati kepada masyarakat dan appresiasi positif yang mendalam terhadap keberadaan mereka. Dan untuk mengembangkan appresiasi tersebut, diusulkan bahwa para pimpinan lembaga pemerintah dan perusahaan yang bertanggungjawab atas kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, mengunjungi kampung-kampung dan berinteraksi dengan masyarakat pada tingkat personal. Melalui kunjungan ke kampung dan pergaulan informal diharapkan para pemimpin perusahaan dan pejabat pemerintahan dapat mengembangkan wawasan dan pemahamannya tentang keberadaan masyarakat sebagai pertimbangan untuk mengembangkan kebijakan yang benar-benar bijaksana dalam arti yang sesungguhnya. 55
Draft # 7 – 5 Januari 2010
B. Pendidikan dan Pendampingan Hukum bagi Masyarakat Dalam bingkai otonomi desa (kampung), pemerintah kampung mempunyai hak untuk mengatur rumah-tangganya sendiri, termasuk mengembangkan aturan-aturan tentang pengelolaan sumberdaya alam. Tetapi bagaimana sesungguhnya itu dapat dilakukan? Bagaimanakah masyarakat dapat membuat Peraturan Kampung (Perkam, Perdes)? Kiranya pengetahuan praktis tentang hal-hal itu cukup mendasar bagi masyarakat dan pemerintah kampung. Masyarakat kampung sebetulnya cukup taat hukum manakala mereka memahami dengan cukup baik aturan-aturan hukum negara dan keputusan-keputusan pemerintah, dan jarang sekali masyarakat sengaja melanggar aturan yang mereka fahami. Selain itu, cukup banyak pula aturan hukum yang sesungguhnya memberikan peluang bagi masyarakat untuk berbuat dengan lebih baik. Tetapi dalam kenyataannya ada cukup banyak produk hukum yang berkenaan dengan kampung dan pengelolaan sumberdaya alam yang relevan untuk diketahui tetapi dalam kenyataannya tidak difahami. Untuk itulah dianjurkan bahwa program pengembangan masyarakat — termasuk kegiatan untuk mempersiapkan masyarakat agar dapat berpartisipasi dalam pengelolaan sumberdaya alam dan Skema REDD — mencakup pula pendidikan dan pendampingan hukum bagi masyarakat. Hal ini dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan seperti sosialisasi berbagai regulasi yang relevan, pelatihan formal tentang bagaimana menyusun perkam, kegiatan orientasi tentang peran dan tanggungjawab lembaga-lembaga kampung, serta diskusi kritis di tingkat kampung dan di tingkat jaringan tentang pokok-pokok persoalan hukum dan kebijakan yang berdampak pada kehidupan masyarakat kampung. Termasuk dalam pendidikan dan pendampingan hukum ini adalah bagaimana warga masyarakat dapat menyadari berbagai dengan kritis berbagai persoalan hukum dan kebijakan yang menyangkut kehidupannya dan mampu melakukan advokasi yang konstruktif manakala diperlukan.
C. Advokasi Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam, khususnya dalam Skema REDD, dapat diwujudkan melalui proses partisipatif yang perlu didukung oleh regulasi pemerintah daerah dan pemerintah nasional. Aturan tentang perhitungan dan tata-cara pemberian insentif atau tentang hak-hak masyarakat dan pembagian tanggung-jawab antara masyarakat dan perusahaan, misalnya, adalah beberapa aturan yang diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya alam secara kolaboratif. Selain itu ada pula beberapa kebijakan yang bisa jadi justru menghambat partisipasi masyarakat dan para pemangku kepentingan lainnya. Dalam hal ini agenda kerjasama pemangku kepentingan dalam jaringan, baik jaringan antar kampung maupun jaringan multi-pihak dapat bekerjasama dalam advokasi guna mewujudkan kebijakan yang tepatguna. Kerjasama dalam advokasi itu dapat mencakup berbagai kegiatan seperti kajian-kajian, penyelenggaraan dengar pendapat umum (public hearing), lobby dan pertemuan dengan DPRD, penggalangan pendapat umum melalui media masa, dan sebagainya.
56
Draft # 7 – 5 Januari 2010
D. Lembaga Pendamping dan Pendampingan yang Berlanjut Pembelajaran yang dibutuhkan masyarakat agar mampu mengelola sumberdaya alamnya secara berkelanjutan dalam konteks lebih luas yang berkembang dan berpartisipasi dalam usaha yang lebih luas dengan para pemangku kepentingan lainnya niscaya membutuhkan pendampingan yang cukup serius dalam waktu yang cukup lama. Dan memang pemberdayaan masyarakat adalah proses yang tidak dapat dilakukan dengan penyuluhan formal dalam waktu yang singkat. Karena hal itu diperlukan lembaga-lembaga pendamping yang berkemampuan dalam pendampingan masyarakat dan dapat memberikan komitmen jangka-panjang untuk melanjutkan pendampingannya itu sampai dicapai tahap perkembangan yang memadai untuk perkembangan mandiri secara berlanjut. Idealnya ada ada lembaga lokal melakukan hal itu. Walaupun dengan pendampingan intensif selama dua tahun (sampai dengan tahun 2012, tahun mulai diimplementasikannya skema REDD kabupaten) banyak yang bisa dicapai; kiranya pendampingan berlanjut jangka-panjang yang melampaui masa program penyiapan masyarakat yang pada saat ini sedang direncanakan sudah harus mulai dipikirkan. Salah satu alternatifnya adalah penyiapan lembaga pemerintah dan/atau LSM yang akan dapat mendampingi masyarakat dalam jangka-panjang.
E. Metodologi Kajitindak Partisipatif Pendekataan Participatory Action Research (PAR) atau Kajitindak Partisipatif adalah metodologi yang dikenal dikalangan lembaga-lembaga yang bergerak dalam pemberdayaan masyarakat sebagai PRA (Participatory Rural Appraisal)13 dan dikalangan pemerintah sebagai P3MD (Perencanaan Pembangunan Partisipatif Masyarakat Desa). Proses perencaan kampung yang partisipatif ini sempat populer dan bahkan diwajibkan di era Orde Baru, hanya saja penerapannya ketika itu seringkali hanya pro-forma dan tidak taat azas pada prinsip-prinsip metodologisnya sehingga cenderung menjadi manipulatif dan menghasilkan partisipasi semu. Pada saat ini sistem perencanaan yang berlaku adalah MUSRENBANG (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) mulai dari komunitas terendah sampai MUSRENBANG nasional, yang dirancang untuk dilakukan secara partisipatif. Agar jangan terjebak dalam penerapan pro-forma seperti dimasa lalu — dan sebagaimana sebenarnya sudah terjadi — diusulkan bahwa kegiatan Musrenbang itu diperluas dan dilakukan dengan metoda kajitindak partisipatif, mulai dari kajian awal pengenalan dan penyadaran masalah kampung sampai dengan perencanaan yang sesungguhnya. Namun metoda kajitindak partisipatif mempunyai disiplinnya sendiri serta mencakup berbagai teknik kajian, analisa, dan perencanaan yang dapat digunakan. Untuk itu perlu dirancang proses pembelajaran yang sistimatis untuk para pendamping masyarakat dan kemudian juga untuk warga masyarakat itu agar dapat menggunakan metode partisipatif itu dengan tepatguna dan effektif
13
Sebutan PRA sesungguhnya sudah kurang tepat lagi karena yang dilakukan bukan hanya appraisal dan metodologi ini tidak spesifik untuk daerah rural tetapi bisa juga untuk daerah urban. PRA sesungguhnya bisa dianggap salah satu perwujudan PAR
57
Draft # 7 – 5 Januari 2010
F. Strategi Kependidikan dan Komunikasi Upaya pelibatan masyarakat dalam strategi konservasi dan pembangunan yang lebih luas perlu didukung oleh strategi komunikasi yang tepatguna. Dalam hal ini, kegiatankegiatan komunikasi bukanlah suatu kegiatan yang berdiri sendiri tetapi harus menjadi bagian terpadu dalam semua kegiatan program. Komunikasi juga jangan dilihat sebagai “sekedar” penyuluhan atau sosialisasi program sebagaimana sering dilakukan tetapi sebagai suatu proses pembelajaran yang menjadi bagian integral dalam keseluruhan program. 1.
Pendekatan
Sesuai dengan pendekatan partisipatif yang menjadi pendekatan utama program ini, komunikasi yang perlu dikembangkan adalah komunikasi antara semua pemangku kepentingan yang terlibat dalam program ini; artinya bukan sekedar komunikasi searah (top-down) dari pemrakarsa program kepada masyarakat sebagaimana sering terjadi, tetapi komunikasi multi-arah antara semua pihak yang terlibat dalam program. Hal ini berarti pula bahwa “pesan-pesan” yang dikomunikasikan bukanlah pesan-pesan prioritas yang eksplisit dan dikemas seperti dalam pendekatan kampanye komunikasi konvensional atau penyuluhan, tetapi “pesan-pesan” yang berasal dari para pemangku kepentingan itu sendiri. Komunikasi antara para pemangku kepentingan perlu difasilitasi oleh program, dan bahkan diharapkan bahwa program dapat memberdayakan para pihak untuk dapat saling berkomunikasi dengan efektif. 2.
Metoda
Walaupun dalam strategi komunikasi program diharapkan bahwa semua pemangku kepentingan bisa menjadi baik komunikator (pengirim pesan) maupun komunikan (penerima pesan), karena fokus program ini adalah warga masyarakat maka titik beratnya tentu pada warga masyarakat. Pada tahap awal komunikator utama dalam upaya pelibatan masyarakat adalah para petugas lapangan. Namun peran mereka bukan sekedar “mensosialisasikan” program dikalangan masyarakat, tetapi menjadi fasilitator proses komunikasi antara semua pemangku kepentingan sehingga masyarakat pun dapat mengkomunikasikan kepentingan-kepentingannya kepada para pemangku kepentingan lainnya. Melalui berbagai diskusi informal di kampung dan pelatihan-pelatihan, para pendamping atau fasilitator lapangan diharapkan dapat mendorong berkembangnya fasilitator kampung yang pada gilirannya mampu memfasilitasi komunikasi di dalam kampung mereka masing-masing. Fasilitator kampung dalam hal ini bukanlah suatu jabatan, tetapi lebih suatu fungsi yang dapat diperankan oleh siapapun di kampung. Dalam memfasilitasi diskusi-diskusi informal di kampung tersebut para petugas lapangan diharapkan juga menggunakan berbagai media pembelajaran seperti permainan (games), bermain peran (roleplay), media audio-visual, teknik kajian partisipatif, dan lain-lain guna memperkenalkan tema-tema penggerak diskusi yang menarik minat, mampu mengembangkan kesadaran kritis masyarakat, membangkitkan semangat, dan mendorong masyarakat untuk berbuat.
58
Draft # 7 – 5 Januari 2010 Dalam komunikasi lapangan itu dapat pula kiranya dikembangkan kerjasama dengan pihak-pihak lain yang berpotensi untuk menjadi simpul informasi, misalnya guru-guru dan tokoh-tokoh agama, tentu dengan persetujuan dan koordinasi dengan lembaganya. 3.
Tujuan-tujuan Komunikasi
Tujuan program komunikasi bukan sekedar penyampaian informasi, tetapi memfasilitasi proses pembelajaran, dan membantu para pemangku kepentingan untuk memaknai dan menyikapi informasi. Sasaran komunikasinya bukan hanya masyarakat tetapi semua pemangku kepentingan. Untuk itu program komunikasi diperlukan guna mencapai beberapa tujuan yang saling berhubungan. Tujuantujuan itu adalah: a. Penyadaran Para Pemangku Kepentingan tentang Permasalahan Lingkungan
Di kalangan masyarakat, khususnya masyarakat tradisional, perlu ditumbuhkan kesadaran bahwa ada perubahan-perubahan lingkungan dan kemasyarakatan lebih luas yang tidak dapat dihindarkan tetapi dapat dan perlu disikapi dan sejauh mungkin dikendalikan. Warga masyarakat di kampung-kampung pada umumnya menyadari terjadinya berbagai perubahan lingkungan dari hal-hal yang dapat mereka amati dan alami seperti berkurangnya hewan buruan, sukarnya memperoleh madu hutan, perubahan pola hujan yang makin sukar diperhitungkan, dan sebagainya, tetapi persoalannya kemudian adalah bagaimana menganalisa, memaknai, dan menyikapi informasi itu. Kemudian, konsep-konsep abstrak seperti konsep pemanasan bumi, perubahan iklim global, dan reduksi emisi gas rumah-kaca yang mendasari Skema REDD tentu perlu dipahami dan perlu di komunikasikan dengan cara yang dapat diikuti oleh semua pemangku kepentingan. Singkat kata, semua pemangku kepentingan harus menyadari tujuan-tujuan Skema REDD dan bahwa membiarkan keadaan yang sekarang ada (“business as usual”) akan mempunyai dampak yang akan merugikan semua. Idealnya mereka menyadari peran dan tanggung-jawabnya dalam pengelolaan lingkungan yang lebih luas untuk kepentingan bersama. Juga, walaupun gagasan REDD adalah pemberian insentif, perlu ada kesadaran bahwa ini bukanlah pembayaran jasalingkungan. b. Penyadaran Para Pemangku Kepentingan tentang Keberadaan Pihak Lainnya
Salah satu kendala dalam pengembangan kerjasama multi-pihak adalah kurangnya pemahaman timbal-balik antara para pemangku kepentingan; pihak manajemen perusahaaan, misalnya, kurang memahami pandangan masyarakat tentang lingkungan dan sumberdaya alam, dan sebaliknya warga masyarakat pun tidak memahami bagaimana beroperasinya suatu perusahaan. Dengan pemahaman timbal balik diharapkan pula ada apresiasi pihak yang satu terhadap pihak lainnya sebagai dasar pengelolaan sengketa dan pengembangan kerjasama.
59
Draft # 7 – 5 Januari 2010 c. Konsultasi untuk Persetujuan yang Diberi Secara Bebas dan Berdasar Pemahaman yang Memadai
Salah satu prasyarat CCBA untuk rencana REDD adalah persetujuan sebelumnya yang diberikan secara bebas dan berdasarkan pemahaman yang memadai (free and informed prior consent) dari semua pemangku kepentingan, termasuk dari warga masyarakat di kampung-kampung. Untuk itu perlu dikembangkan strategi dan mekanisme komunikasi, dan konsultasi guna memberikan informasi dan pemahaman yang memadai dan kemudian perundingan untuk mengembangkan kesepakatan yang disetujui bersama. Proses ini bukanlah suatu proses yang berdiri sendiri tetapi tercakup dalam proses konsultasi, pengkajian, perundingan, dan perencanaan bersama masyarakat sebagaimana disebutkan diatas. d. Perencanaan dan Komunikasi didalam Kampung
Peran pemerintah kampung (Kepala Kampung dan BPK) dalam mengambil peran kepemimpinan mensyaratkan adanya komunikasi yang baik antara semua warga di dalam kampung. Komunikasi di dalam kampung juga sangat penting dalam penyusunan rencana-rencana pembangunan kampung guna memastikan bahwa semua warga kampung terlibat. e. Komunikasi untuk Kerjasama Antar Kampung
Jaringan-jaringan antar kampung merupakan salah satu komponen dalam strategi pengembangan kerjasama yang lebih luas, namun agar tidak menjadi jaringan semu komunikasi antara para tokoh-tokohnya merupakan hal yang penting dan pada awalnya perlu difasilitasi. Juga agar jaringan-jaringan itu benar-benar berakar di kampung komunikasi dengan masyarakat luas juga perlu menjadi perhatian yang berlanjut. f. Perundingan, Pengelolaan Sengketa, dan Perencanaan
Dukungan komunikasi juga diperlukan dalam proses perundingan, pengelolaan sengketa, dan perencanaan dalam dalam program. Perundingan sebagai proses komunikasi yang teratur perlu dikelola dengan baik, dan dengan komunikasi yang baik antara para pemangku kepentingan, diharapkan sengketa dapat diidentifikasi pada saat dini sebelum tereskalasi menjadi konflik yang berkembang diluar kendali. g. Partisipasi Masyarakat dalam Prakarsa yang Lebih Luas
Guna mengembangkan dukungan dan partisipasi, warga masyarakat sebagai konstituensi harus dapat mengikuti apa yang dilakukan para wakil mereka, dan untuk itu informasi tentang kegiatan-kegiatan program yang sedang dilaksanakan dan keputusan-keputusan yang diambil perlu disampaikan secara teratur. Suatu lembaran berita (newsletter) sederhana atau mass-media yang ada dapat dipertimbangkan untuk hal ini. h. Advokasi Kebijakan
Manakala kebijakan dan aturan yang menjadi persoalan, maka kegiatan advokasi perlu dilaksanakan, dan pada dasarnya inipun merupakan prakarsa komunikasi yang teratur antara para pemangku kepentingan dengan para regulator dan 60
Draft # 7 – 5 Januari 2010 penentu kebijakan, baik di tingkat kabupaten, provinsi, maupun di tingkat nasional. 4.
Tahapan-tahapan Strategi Komunikasi
Sebagai strategi pendukung, strategi komunikasi secara umum harus menjadi bagian terpadu dalam program dan perlu disesuaikan dengan tahapan-tahapan program secara keseluruhan, yakni dimulai dengan tahap penyadaran, diikuti dengan pengkajian dan perencanaan, kemudian pengorganisasian dan pelaksanaan. Tahapan-tahapan ini pastilah bertumpang tindih dan tidak mesti terpisah secara ketat, bahkan bisa jadi merupakan proses yang bolak-balik (iterative) manakala keberadaan masyarakat membutuhkannya. a. Tahap Perencanaan
Tahap ini mencakup kajian awal yang mengidentifikasi dengan lebih pasti para pemangku kepentingan serta kebutuhan informasi dan komunikasi mereka; orientasi dan pelatihan para petugas lapangan sebagai fasilitator komunikasi program; pengembangan media informasi tentang program dan media pembelajaran bagi masyarakat tentang beberapa pokok persoalan (issue) dan konsep-konsep kunci yang menjadi dasar program. b. Tahap Penyadaran
Titik berat pada tahap ini ada pada prakarsa komunikasi interpersonal dalam proses pembelajaran di tingkat kampung berupa diskusi-diskusi refleksi kritis atas berbagai persoalan lingkungan dan penghidupan yang dihadapi warga masyarakat. Selain itu, penyadaran bagi masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya dapat pula didukung dengan kampanye media yang lebih umum dan lebih luas. c. Tahap Pengkajian dan Perencanaan
Pada tahap ini warga masyarakat dilibatkan dalam proses kajitindak partisipatif untuk pengkajian dan perencanaan kegiatan-kegiatan. Ini juga merupakan proses komunikasi interpersonal di tingkat kampung yang difasilitasi petugas lapangan. Berbagai informasi yang relevan tentang tata-ruang (spatial), lingkungan biofisik, nilai-nilai sosial-budaya dan pokok-pokok persoalan lain yang berkaitan akan dikumpulkan ditingkat kampung dan dianalisa bersama masyarakat kampung. Dimana relevan para pemandu lapangan juga akan memberikan informasi tentang berbagai kebijakan dan aturan bagi warga masyarakat untuk didiskusikan. Analisa masyarakat akan membawa mereka kepada identifikasi pokok-pokok persoalan, masalah-masalah, dan kendala, serta juga berbagai potensi dan peluang, Berdasarkan informasi yang dikumpulkan dan dianalisa, masyarakat akan mulai mengembangkan rencana tindak atas masalah dan persoalan yang telah diidentifikasi. Rencana itu bisa jadi merupakan rencana yang akan dilaksanakan sendiri oleh masyarakat dan/atau program yang akan diusulkan kepada pemerintah, kepada perusahaan, atau kepada LSM.
61
Draft # 7 – 5 Januari 2010 Idealnya tahap pengkajian dan perencanaan ini bisa disesuaikan dengan daur perencanaan pemerintah, dan bahkan tahap ini bisa mencakup proses Musrenbang tersebut. d. Tahap Pengorganisasian dan Pelaksanaan
Rencana-rencana yang telah disusun tentu perlu dilaksanakan dan dukungan informasi dan komunikasi untuk para pemangku kepentingan perlu difasilitasi secara berlanjut dalam pengorganisasian, pelaksanaan, pemantauan dan penilaian bersama program yang bersangkutan. Disamping itu proses pembelajaran-aksi masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya dalam pengorganisasian dan pelaksanaan ini tentu tidak berhenti tetapi harus berlanjut, dan inipun merupakan proses komunikasi yang perlu difasilitasi. 5.
Media Komunikasi dan Pembelajaran
Proses komunikasi dan pembelajaran yang akan dikembangkan — baik di tingkat masyarakat, ditingkat wilayah (bentang alam), maupun di tingkat kabupaten — akan sangat terbantu apabila didukung oleh berbagai media informasional, motivasional, dan instruksional yang dirancang dengan tepatguna. Media informasional tentang berbagai persoalan yang perlu diketahui tetapi berada diluar ranah pengetahuan dan pengalaman masyarakat kampung, misalnya tentang pemanasan bumi dan perubahan iklim, kebijakan dan peraturan pemerintah tentang pemerintahan kampung, dan Skema REDD, perlu dipersiapkan sebagai bahan ajar dan diskusi dengan warga kampung. Juga media-media instruksional tentang bagaimana sesuatu dapat dilaksanakan, yakni petunjuk-petunjuk tentang prosedur teknis, misalnya proses perencanaan pembangunan dan tata-ruang kampung, teknik penanaman karet dan kakao, dan sebagainya. Berbagai bentuk media dapat digunakan, antara lain media cetak, film pendek dalam cakram padat (VCD – video compact disk), poster, bahkan radio-komunitas dapat dipertimbangkan. 6.
Pembelajaran Masyarakat yang Lebih Luas
Walaupun titik berat yang dianjurkan ada pada pengembangan komunikasi pembelajaran masyarakat di tingkat kampung dan media komunikasi multi-pihak di tingkat wilayah dan kabupaten, untuk tujuan-tujuan tertentu dapat dikembangkan pula kampanye informasi yang lebih luas guna mendukung program yang sedang berlangsung. Kampanye ini dapat berupa kampanye umum (public campaign) dengan pendekatan pemasaran sosial (social marketing) baik untuk mensosialisasikan program ataupun untuk mempromosikan tema-tema tertentu. Kerjasama juga dapat dikembangkan dengan pihak-pihak lainnya; misalnya kerjasama dengan Dinas Pendidikan dalam pengembangan kurikulum dan bahan ajar muatan lokal dalam kurikulum sekolah dasar untuk pendidikan lingkungan sejak usia dini. Juga kerjasama dengan lembaga keagamaan dalam pengembangan bahan ajaran etika lingkungan dapat dipertimbangkan.
62
Draft # 7 – 5 Januari 2010
X.
Penutup
Kajian yang dilaksanakan di Berau dilaksanakan dalam waktu yang relatif singkat dan hanya terfokus pada beberapa aspek tertentu saja. Tentu dapat dipahami bahwa kajian hanya ini memberi gambaran sekilas tentang keadaan yang ada, dan walaupun untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap dan lebih utuh dapat dilakukan kajian yang lebih lama dan mendalam, idealnya pengetahuan para pemangku kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya alam di Berau dapat diperoleh dari interaksi konstruktif dalam kerjasama yang sesungguhnya di masa yang akan datang. Selain itu, selain memberi gambaran tentang keberadaan masyarakat, kajian ini juga mengungkap beberapa permasalahan yang ada antara warga masyarakat kampung dengan para pemangku kepentingan lainnya, terutama dengan perusahaan-perusahaan yang wilayah konsesinya mencakup kampung-kampung masyarakat. Bahkan dapat dikatakan bahwa beberapa diantara masalah itu adalah sengketa yang cukup serius antara para pihak. Sebagian dari sengketa itu ternyata telah menahun dan bahkan kadangkala sudah tidak dirasakan sebagai sengketa lagi, dan justru karena itulah proses penyadaran akan sangat diperlukan. Identifikasi sengketa-sengketa itu tentu bukan dimaksudkan untuk memperuncing keadaan dan memperburuk hubungan antara pihak-pihak yang bersengketa itu. Bahkan sebaliknya, sengketa-sengketa itu diangkat justru dengan harapan bahwa dapat diselesaikan, hubungan antar pihak justru membaik, dan kerjasama dalam pengelolaan sumberdaya alam dapat dikembangkan antara para pemangku kepentingan. Tentu tidak perlu dikatakan lagi bahwa hanya dengan kerjasama pemenuhan kepentingan para pihak secara optimal, adil, dan berimbang akan dapat dicapai. Berdasarkan temuan-temuan kajian, tim kemudian merumuskan berbagai alternatif kegiatan yang dapat menjadi pertimbangkan dalam upaya pengelolaan sumberdaya alam yang lebih baik dimasa yang akan datang, termasuk dalam pengembangan Skema REDD di kabupaten Berau. Namun untuk melaksanakannya, tentu semua rekomendasi ini perlu dirumuskan menjadi suatu program pengembangan masyarakat yang terpadu dan komprehensif. Walaupun hal ini akan dilaksanakan dalam bentuk suatu rencana kerja (bussiness plan) oleh WE dan TNC, tentu diharapkan bahwa para pemangku kepentingan yang lain dapat juga memanfaatkan laporan ini dalam upaya perencanaan pengelolaan sumberdaya alam yang lebih baik di Berau.
(Tanjung Redeb – Jakarta – Bandung, 28 Desember 2009)
63
Draft # 7 – 5 Januari 2010
LAMPIRAN-LAMPIRAN
64
Draft # 7 – 5 Januari 2010
Lampiran #1:
Kerangka Acuan Pengkajian
Development of a Detailed Strategy for Engaging Communities14 in a District-Scale REDD Program in Berau (C-REDD): Terms of Reference for a Consulting Assignment by World Education Summary The purpose of the proposed three-month consulting assignment is to provide critical data and information to support the development of the community engagement component of TNC’s district-scale REDD program. The consultancy will involve a numbers of critical tasks that fall under three categories: (1) document review and synthesis of key research and data; (2) a consultative process with representatives from the major stakeholders; and, (3) collaboration and dialogue with the various REDD program teams. Key deliverables will include detailed proposals for the implementation stage of the community engagement component of the larger REDD program, and a joint project management “toolkit” to facilitate effective coordination between TNC and World Education in their work with communities and related stakeholders. Details concerning specific tasks, deliverables, timeframe, and costs are contained below.
Introduction World Education (WE) has worked for six years with the Punan Dayak and other communities in the Kelay area of Berau District. Its four projects15 have focused on Community-Based Natural Resources Management (CBNRM) and community development practices in orangutan habitat conservation areas. These projects have been designed to complement and reinforce the efforts of The Nature Conservancy (TNC) and work in partnership with them and various government and non-government stakeholders in the area. As part of these efforts, WE has emphasized reducing pressure on forest resources by local communities through the improvement of agricultural efficiency and agro-forestry livelihoods, and the enhancement of local capacity for ecological decision-making. WE has worked with farmer organizations to achieve these objectives through enabling them to develop sustainable integrated farming systems that emphasize the link between agricultural practices and a range of more localized and discrete conservation themes: reduction of the fallow cycle and its role in forest conservation, soil conservation and erosion control, watershed protection, and riparian habitat conservation. These initial successes in agricultural development, coupled with WEsponsored leadership development, group formation, and advocacy training activities have generated more intense interest and commitment for communities to work together and participate in discussions of village land use. More recent efforts have focused on a) community land use planning and strategic planning with an emphasis on sustainable land use patterns and community mapping, b) clarifying a long-term vision for CBNRM, c) conflict management forums
14
“Communities” are defined as all groups of people –including Indigenous Peoples, mobile peoples and other local communities-who live within or adjacent to the project area as well as groups that regularly visit the area and derive income, livelihood or cultural values from the area. (Climate, Community and Biodiversity Standards (Second Edition-December 2008, see http://www.climate-standards.org/). For a district-scale project in Berau, this would include members of four groups: a) populations within or adjacent to forests or degraded land, b) populations on or adjacent to plantations, and c) urban dwellers and d) island or marine populations that derive income, cultural and livelihoods benefits from the proposed project areas. 15 Farmer Learning and Environmental Stewardship in Indonesia: Using Farmer Field Schools to Develop Sustainable Agricultural Systems (2002-2005); Saving East Kalimantan’s Last Orangutan Habitat through a Collaborative Management Approach (March 2005 - February 2007); Conservation of Orangutan Habitats through CBNRM in Berau Regency (2007); Managing a Multifunctional Landscape for Orangutan Conservation in Berau and East Kutai Districts, East Kalimantan (February 2008-May 2009).
65
Draft # 7 – 5 Januari 2010 at various scales, and d) documenting traditional knowledge concerning forest resources and medicinal plants. World Education has extensive experience working with the Punan and similar groups in Berau to enhance their capacities in CBNRM, community development, livelihoods and advocacy. Such experience is invaluable and will be critical for the success of a district-scale forest carbon program since, as stated in a recent TNC document, “REDD programs will only be effective if they have the full support and free, prior and informed consent of local communities and indigenous people.”
Tasks and Methods TNC proposes to support government efforts to establish a district-wide, forest carbon demonstration program in Berau district that enhances forest conservation and sustainable management, and increases the contribution of forests to sustainable development for Indonesia and targeted communities in Berau. The program will ensure that strategies, activities, and processes are vehicles for learning for all stakeholders thus contributing to the development of a national forest carbon framework. It is also expected that the program will adhere to the Climate, Community and Biodiversity (CCB) Alliance Standards (December 2008) which guide program designs to simultaneously “deliver robust and credible greenhouse gas reductions while also delivering net positive benefits to local communities and biodiversity”. The following three-month strategic development and planning process will ensure that the CCBA standards are of paramount importance and will guide future thinking about the larger proposal and joint management tool kit. Objectives: ∗ To conduct a consultative process with proposed REDD program stakeholders. ∗ To conduct a secondary research process that identifies targeted information and data. ∗ To initiate a collaborative and dialogue process with REDD program teams
Task One: Compile and synthesize information The Consultants will synthesize information on legal, regulatory and customary rights related to land and resources for communities and Indigenous Peoples in Indonesia and Berau, in particular. In addition, Consultant will synthesize information about customary practices and legal provisions related to community involvement in land use decisions and land management of different land use categories, including forest land under protection, production forest, and nonforest land. This activity will primarily involve a document review and discussions with staff from TNC, World Education and others such as CIFOR, Ford Foundation, Bappeda, the BPN of Berau district, forest department representatives and staff from OCSP who have done relevant work in this area. This activity relates to the following CCBA Standards: G1 #6:Indicators for Community Information; G2 #2 (Baseline to support additional benefits claim); G5. #s 1, 3, 4 (Legal Status and Property Rights)
Task Two: Review of current activities The work of relevant government and non-government programs in Berau will be reviewed in order to summarize the status of communities in forest governance and monitoring as actually practiced in Berau. This activity will involve both a document review and discussions with key staff from World Education, TNC and others working with community forest governance and monitoring. Finally, it will entail focus group discussions with communities identified by government and non-government groups working in this area. The community discussions will include both a discussion of the current situation and their perspectives on strategies for their future involvement with forest governance and monitoring. This information will be critical for developing a joint project management toolkit and planning community engagement in the larger REDD program.
66
Draft # 7 – 5 Januari 2010 This activity relates to the following CCBA Standards: G1. #5 Indicators for Community Information
Task Three: Document best practices in community involvement and incentives The Consultants will synthesize recommended best practices for community involvement in natural resource management in Indonesia, and possible applications to date in Berau. Attention will be paid to exploring the institutional structures and mechanisms that communities have used to provide inputs into the decision making and ongoing management related to various types of land uses (production forests, protection forests, and non-forest land) This would include a document review of reports from CBNRM workshops, planning and activity documents as well as information on incentive structures and mechanisms for catalyzing and sustaining community participation in CBNRM, economic enhancement and, if available, REDD programs globally, regionally and within Indonesia16. Valuable examples may exist in some development finance, small enterprise and public/private partnership programs. Because of the sensitivity of the issue, (avoiding raised expectations), this matter will probably not be discussed directly with communities unless questions can be framed in a very generic way. This task will also include a small workshop with groups that have worked with CBNRM in Berau and in similar areas in Indonesia in order to elicit views on best practices. Follow-on meetings will then be held with representatives from the local government, forest department, private sector companies and other relevant stakeholders to discuss best practice findings and implications. Once again, the results from both the best practices in community involvement and in incentives will contribute to the development of both the larger proposal and the joint program management toolkit. This activity relates to the following CCBA Standards:G1. #5: Indicators for Community Information; G2 #2 (Baseline to support additional benefits claim); G3. # 11 Project Design and Goals
Task Four: Community orientation One of the initial activities of the strategy development and planning project will be to conduct introductory discussions with representatives from target communities and other key stakeholders. The Consultants will work with TNC staff to clarify an initial community communications strategy that would foster introductory discussions with community members. Such introductory discussions could include an overview of the proposed REDD program and its commitment to engaging communities, the current planning and consultation process, proposed collaborations between the REDD program, target communities and other stakeholders, and other topics that are critical for community discussions and orientation. It will be critical that the Consultants and TNC jointly develop and agree upon the initial community communication approach before proceeding with the remaining taks.
Task Five: Community mapping A preliminary mapping exercise will be conducted of communities throughout the district that could benefit from and impact upon the district-wide REDD program. As stated previously, for a district-scale project in Berau, this would include members of four groups in the various subdistricts in Berau including: a) populations within or adjacent to forests or degraded land, b) populations within or adjacent to plantations, c) urban dwellers and d) island or marine populations that derive income, cultural and livelihoods benefits from the proposed project areas.
16
Incentives can include: reduced fees; increased access to financing; increased access to natural resources (land, NTFPs, water, etc.); intangibles such as increased status due to participating in dialogue with government and private sector officials; increased access to markets; increased knowledge and skills that contributes to increased income, assets (improved production, storage and marketing; improved social mobilizing or capital that contributes to more effective farmer, CBNRM or forest user groups.
67
Draft # 7 – 5 Januari 2010 Since time is limited, the Consultants will rely on a document review of secondary sources and focus group and individual discussions with representatives from key stakeholder groups. The document review will examine relevant data from government and global sources and reports from organizations working in the area. It will also examine materials concerning value chain activities, enterprise development and marketing; group formation and leadership; village and strategic planning; and training. The focus groups discussions will assist the Consultants to obtain the perspectives of community members and enable them to participate in the initial planning discussions of the REDD program. Approximately three to five focus group discussions will be conducted with each focus group containing representatives from various sub-districts or the four population groups. In addition to identifying the potential size of the target population in each geographic area, the mapping may include the following: socio-economic conditions including food security and poverty levels; main economic activities and community priorities for economic development; economic and non-economic uses of forests (specific areas and uses including areas of cultural and religious significance); community perspectives on bio-diversity and forests; cultural diversity within communities and other community characteristics; and forest governance, sustainable management and monitoring capacities of different communities. institutional structures and mechanisms that communities use to provide inputs into the decisionmaking and ongoing management for various types of land uses (production forests, protection forests, and non-forest land) G1. #5: Indicators for Community Information; G1. #8.5 and #8.6 Indicators for Biodiversity Information; G2 #2 (Baseline to support additional benefits claim); G5. #3 (Legal Status and Property Rights); GL1. #s 2 and 3 (Climate Change Adaptation Benefits); GL 2. #s 1 and 2.
Task Six: Discussion of land conflicts The Consultants will a) characterize types of conflicts (e,g, village, inter-village, village and logging companies, villages and district/forest departments) b) describe how those types generally arise and link with legal analysis c) detail a methodology for identifying conflicts, and d) propose processes and institutional mechanisms for resolving the different types of conflict. Because of the sensitivity of this issue, discussions will initially be limited to TNC and World Education staff and then with the Bappeda, the BPN of Berau district, and forest department representatives. The results of this task will directly contribute to the larger proposal and its work plan and the joint program management toolkit. This activity relates to the following CCBA Standards: G1. #6 Indicators for Community Information; G3. #10 Project Design and Goals; G5. # 5 (Legal Status and Property Rights).
Task Seven: Workshop to consolidate findings The Consultants will conduct a two-day workshop with TNC REDD Development Phase teams (policy and government relations, emission reduction, research, finance and deal structure, and communications) towards the end of the consulting period. Key topics for the workshop topics may include: a) findings from the 3-month strategy development and planning consultancy and their relationship to CCBA Standards; b) essential elements of a Joint Program Management Toolkit; c) integrating community level actions with other REDD program interventions; d) developing a communications strategy, and gaining prior informed consent from communities for REDD program activities that affect them; e) proposed next steps including an outline of a proposal for community engagement in the proposed REDD program.
68
Draft # 7 – 5 Januari 2010 Other topics may include: possible areas of collaboration between communities, program partners and across program teams; economic development opportunities; involvement of communities in the development, monitoring and assessment of the proposed district-scale REDD program17; community impact monitoring system including impact on sustainable social and economic benefits; program communications with communities focused on engaging and sharing key information. This activity relates to the following CCBA Standards: G4. #s 1, 2, 4 Management Capacity and Best Practices; CL3. #2 (Climate Impact Monitoring); CM1. #s 1 and 2 (Net Positive Community Impacts); CM3. #1-3 (Community Impact Monitoring; GL1. #s 2, 3 and 4 (Climate Change Adaptation Benefits); GL2. #s 1-5
Task Eight: Proposal and toolkit development Based on the results of the Consultancy and the World Education and TNC workshop, World Education will develop a detailed proposal that includes key actions, targets and outcomes, work plan, budgets, and staffing for a 5-year community engagement component of the larger REDD program. As an addendum to the proposal, it will also development a draft of the joint program management toolkit.
Deliverables ∗ Proposal for community component of district-scale REDD program; ∗ Draft of World Education/TNC Joint Program Management Toolkit ∗ Report on Consultancy findings concerning: legal, regulatory and customary rights; community involvement in forest governance and monitoring as practiced in Berau; best practices in community involvement and incentives; community mapping; and land conflict discussions. ∗ Workshop proceedings Time Frame and Schedule of Activities Timeframe (3 months) Tasks 1. Compile and synthesize information on legal, regulatory and customary rights related to land and resources for communities and Indigenous Peoples in Indonesia and Berau. 2. Review status of communities in forest governance and monitoring as actually practiced in Berau. 3. Synthesize best practices for community involvement in natural resource management and incentives. 4. Conduct community orientation. 5. Conduct preliminary community mapping 6. Discuss and review land conflicts 7. Conduct a workshop with TNC REDD Development Phase teams 8. Develop a detailed proposal for a 5-year community engagement project and draft joint program management toolkit.
17
Schedule of Tasks Month 1
Month 2
x
x
x
x
Month 3
x x
x x x
x x x x
These could include but not be limited to their inclusion in the various types of site-level decisions, on-going stakeholder discussions and negotiations, and project and impact monitoring activities.
69
Draft # 7 – 5 Januari 2010
Lampiran #2:
DAFTAR PUSTAKA Anonim: Penduduk Kabupaten Berau 2007, Badan Pusat Statistik Kabupaten Berau, 2008 Berau in Angka 2008, Badan Pusat Statistik Kabupaten Berau Buku REDD Mini +, ASSA, Sumatra Orangutan Sociaty, The Nature Concervancy. Convention 169 – The Indigenous and Tribal Peoples Convention, 1989, International Labor Organization, Geneva, 1989. Nota Kesepakatan antara Masyarakat Kampung Long Duhung dan PT. Mardhika Insan Mulia serta The Nature Conservancy mengenai Model Pengelolaan Hutan secara Bersama di Areal PT. Mardhika Insan Mulia, Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau , Propinsi Kalimantan Timur. Nota Kesepakatan antara Masyarakat Kampung Long Lamcin dan PT. Amindo Wana Persada serta The Nature Conservancy mengenai Model Pengelolaan Hutan secara Bersama di Areal PT. Amindo Wana Persada, Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau, Propinsi Kalimantan Timur. Prosiding Pertemuan Forum Kampung, Long Keluh 11 Agustus 2003, The Nature Conservancy, 2003. United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples, 2007. ILO Convention No. 169: Indigenous and Tribal Peoples Convention, ILO, 1989. Sustaining Economic Growth, Rural Livelihoods, and Environmental Benefits: Strategic Options for Forest Assistance in Indonesia, The World Bank Office, Jakarta, 2006. Afiff, Suraya, An Indonesian Overview: Indigenous Peoples’ Writing on Forest Management: A Counter Discourse?, in Forests For the Future, Indigenous Forest Management in a Changing World, Down To Earth, 2007. Barnsley, Ingrid, Pocket Guide, Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation in Developing Countries (REDD): A Guide for Indigenous Peoples, United Nations University,Institue of Advanced Studies (UNU-IAS), Yokohama, 2008. Boedhihartono, Agni Klintuni, Punan Hunter-gatherers and the Heart of Borneo Initiative, in Reflections on the Heart of Borneo, (editors Gerard A. Persoon and Manon Osseweijer), Tropenbos International, Wageningen, 2008. Bond, Ivan, Maryanne Grieg-Gran, Sheila Wertz-Kanounnikoff, Peter Hazlewood, Sven Wunder and Arild Angelsen., Incentives to Sustain Forest Ecosystem Services: A Review and Lessons for REDD, International Institute for Environment and Development (UK), London, 2009. Butarbutar, Tunggul, M.Sc., Taufik Hidayat, S. Hut.; Moch. Syoim, S. Hut. Wiwin Effendy, S. Hut. Analisis Kelembagaan Lokal Untuk Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat di Wilayah Segah, Kabupaten Berau; BEBSiC - The Institute for Natural Resources and Community Empowerment, Funded by The Nature Conservancy. CCBA, Climate, Community & Biodiversity Project Design Standards, Second Edition, CCBA, Arlington, VA. December, 2008. Césard, Nicolas, A Sociohistorical Transition: Trade in Forest Products and Bride-Price among the Punan Tubu of Eastern Kalimantan in Anthropos 102.200. Chomitz, Kenneth M., Charles Griffiths; Deforestation, Shifting Cultivation, and Tree Crops in Indonesia: Nationwide Patterns of Smallholder Agriculture at the Forest Frontier, Draft 1.0 24, May 1996 Colchester, Marcus, Martua Sirait dan Boedhi Wijardjo, The Application of FSC Principles 2 and 3 in Indonesia Obstacles and Possibilities. Walhi and AMAN, 2003 Colchester, Marcus, Y.L. Franky, Emil Kleden, Erasmus Cahyadi, Kasmita Widodo, Patrick Anderson, Prinsip Free, Prior and Informed Consent, Sebuah Panduan bagi Para Aktivis, Forest Peoples Programme, Moreton-in-Marsh, 2009
Cooke, Fadzilah Majid (Editor), Asia-Pacific Environment Monograph 1, State, Communities and Forests In Contemporary Borneo, ANU E Press, The Australian National University, Canberra, 2006 70
Draft # 7 – 5 Januari 2010
Cronkleton Peter, Christian Gönner, Kristen Evans, Michaela Haug, Wil de Jong, and Marco Antonio Albornoz; Supporting Forest Communities in Times of Tenure Uncertainty: Participatory Mapping Experiences from Bolivia and Indonesia; Proceedings International Conference on Poverty Reduction and Forests, Bangkok, 2007 Dooley, Kate, Tom Griffiths, Helen Leake, Saskia Ozinga; Cutting Corners: World Bank’s Forest and Carbon Fund Fails Forests and Peoples, FERN / Forest Peoples Programme, November 2008. Fay, Chip, Martua Sirait, Ahmad Kusworo, Getting the Boundaries Right, Indonesia’s Urgent Need to Redefine its Forest Estate, Southeast Asia Policy Research Working Paper, No. 25, ICRAF SE-Asia, Southeast Asian Regional Research Programme. Fischer, Anke, Lorenz Petersen, Walter Huppert, Natural Resources and Governance: Incentives for Sustainable Resource Use, Manual. Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, Environment and Infrastructure Division, Berlin 2004. Fisher, Robert, Ravi Prabu, Cynthia McDougall, Adaptive Collaborative Management of Community Forests in Asia, Experiences from nepal, Indonesia, and the Philippines, Centre for International Forestry Research, Bogor, 2007. Funder, Mikkel, Reducing Emissions from Deforestation and Degradation (REDD): An Overview of Risks and Opportunities for the Poor, DIIS Report 2009:21, Danish Institute for International Studies, 2009. Greenpeace, Greenpeace Policy on Saving Forests to Protect the Climate, Greenpeace International, Amsterdam, 2009. Griffiths, Tom, Seeing ‘RED’?: Avoided Deforestation’ and The Rights of Indigenous Peoples and Local Communities, Forest Peoples Programme, June 2007 Imang, Ndan, Laporan Akhir Potensi, Pemanfaatan Dan Pemasaran Hasil Hutan Non-Kayu (HHNK) di Kecamatan Kelay, Berau, The Nature Conservancy Samarinda 2004. Kesaulya, Anton, Kesejahteraan Masyarakat dan Interaksi Terhadap Sumber Daya Alam Hutan dan Sungai di Daerah Aliran Sungai (DAS) Kelay, The Nature Conservancy, 2004. Kifli, Gontom C., Strategi Komunikasi Pembangunan Pertanian pada Komunitas Dayak di Kalimantan Barat, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat Levang, Patrice, Soaduon Sitorus dan Edmond Dounias, City Life in the Midst of the Forest: a Punan HunterGatherer’s Vision of Conservation and Development, Ecology and Society 12(1): 18. Macchi, Mirjam, Gonzalo Oviedo, Sarah Gotheil, Katharine Cross, Agni Boedhihartono, Caterina Wolfangel, dan Matthew Howell, Indigenous and Traditional Peoples and Climate Change Issues Paper, IUCN, 2008 Mackinnon, Kathy, Gusti Hatta, Hakiman Halim, Arthur Mangalik. Ekologi Kalimantan, Prinhallindo Maring, Hermas Rintik, Punan: Masyarakat di Pinggir Negara, WWF-Indonesia, Putussibau Office Marr, Carolyn, Liz Chidley, Adriana Sri Adhiati, Yuyun Indradi, Betty Tiominar, Andrew Hickman, Keadilan Iklim dan Penghidupan yang Berkelanjutan, Down To Earth, Jakarta, 2009. Meijaard, E., S.A. Stanley, E. H. B. Pollard., A. Gouyon, dan G. Paoli. Panduan bagi Praktisi; Mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia, Studi kasus di Kalimantan Timur, The Nature Conservancy, Samarinda, 2006 Miles Matthew B., A. Michael Huberman Qualitative Data Analysis, SAGE Publications, Obidzinski, Krystof, and Christopher Barr, The Effects Decentralisation on Forests and Forest Industries in Berau District, East Kalimantan, Center for International Forestry Research (CIFOR), 2003. Olken, Benjamin A., Direct Democracy and Local Public Goods, Evidence from a Field Experiment in Indonesia, MIT and NBER, 2009. Oosterman, Andre, A Marketing Strategy for Eco-tourism Development in Berau, Berau Forest Management Project (BFMP), Jakarta October 1999. Oosterman. André, Carbon Trading for Sustainable Forest Management; The Case of the Berau Model Forest, Berau Forest Management Project (BFMP), Jakarta October 2000. Orellana, Marcos A ., REDD Legal Issues: Indigenous Peoples and Local Communities, (DRAFT Report March 30 2009), Center for International Environmental Law, 2009. 71
Draft # 7 – 5 Januari 2010
Ostrom, Elinor, Governing the Commons: The Evolution of Institutions for Collective Action, Cambridge University Press, Cambridge, 2002. Pramono, Albertus Hadi, Ita Natalia, Yohanes Janting, Ten Years After: Counter-Mapping and the Dayak Lands in West Kalimantan, Indonesia, Pritchard, Dave Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation in Developing Countries (REDD) - The Link with Wetlands A background paper for FIELD, Foundation for International Environmental Law and Development, 2009 Rautner, Mario, Martin Hardiono (maps), Raymond J. Alfred (Sabah maps), Borneo Treasure Island at Risk: Status of Forest, Wildlife and related Threats on the Island of Borneo, WWF, Germany, Frankfurt am Main. 2005. Pemerintah Kabupaten Berau. Peraturan Daerah Kabupaten Berau Nomor 11 Tahun 2001 tentang Tata Cara Penetapan Peraturan Kampung di Kabupaten Berau. Peraturan Daerah Kabupaten Berau Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perijinan Usaha Perkebunan di Kabupaten Berau Peraturan Daerah Kabupaten Berau Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pembentukan Badan Permusyawaratan Kampung (BPK) Berau. Keputusan Bupati Nomor 251 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Badan Kelola Kawasan Lindung Habitat Orangutan di Sungai Lesan Kecamatan Kelay Kabupaten Berau. Lembaran Daerah Nomor 54 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Berau Peraturan Daerah Kabupaten Berau Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kerjasama Kampung. Peraturan Daerah Kabupaten Berau Nomor 5 Tahun 2006 tentang Penetapan Anggaran dan Belanja Daerah Kabupaten Berau Peratuthran Daerah Kabupaten Peraturan Nomor 3 Tahun 2008 tentang Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kampung. Peraturan Daerah Kabupaten Berau Nomor 7 Tahun 2008 tentang Sumber Pendapatan Kampung. Peraturan Daerah Kabupaten Berau Nomor 9 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan Kabupaten Berau. Peraturan Daerah Kabupaten Berau Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Berau. Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur SK Gubernur Propinsi Kalimantan Timur Nomor 20 Tahun 2000, Standar Pemberian Biaya Kompensasi Kepada Masyarakat Adat atas Kayu yang Dipungut pada Areal Hak Ulayat di Propinsi Kalimantan Timur, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, 2000 Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur Peraturan Gubernur Kalimantan Nomor 01 Tahun 2009 tentang Pedoman pelaksanaan Penilaian Progam Peringkat Kinerja Perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH/IUPHHK) Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI/IUPHHHK – HT) dan Perkebunan Terhadap Lingkungan Hidup. Pemerintah Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat . Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pemerintah Republik Indonesia, 1999 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, Pemerintah Republik Indonesia, 2005 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 49 Tahun 2008 tentang Hutan Desa
72
Draft # 7 – 5 Januari 2010
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P. 50/Menhut II/2009 Tentang Penegasan Status Dan Fungsi Kawasan Hutan. Keputusan Menteri Negara Perencanaan Pembangunanan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 44 Tahun 2009 tentang Pembentukan Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF). Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 30 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi Dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) Keputusan Menteri Kehutanan Kehutanan Nomor 38 Tahun 2009 tentang Standar an Pedoman Penilaian Kenerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak. Peskett, Leo, David Huberman, Evan Bowen-Jones, Guy Edwards and Jessica Brown, Making REDD work for the Poor; A Poverty Environment Partnership (PEP) Report, September 2008. Santoso, Iman, Kepastian Tenure Masyarakat dalam Pelaksanaaan REDD, dalam Warta Tenure No.6 – September 2008, Working Group on Forest Land Tenure Sayer, Jeffrey, Jeffrey Mcneely, Stewart Maginnis, Intu Boedhihartono, Gill Shepherd, Bob Fisher; Local Rights and Tenure for Forests: Opportunity or Threat for Conservation?; The Rights and Resources Initiative, Washington DC, 2008. Sitorus, Soauduon, Patrice Levang, Edmond Dounias, Dollop Mamung, Darif Abot, Potret Punan Kalimantan Timur: Sensus Punan 2002 – 2003, CIFOR dan Yayasan Adat Punan, 2004. Stewart, Christopher, Perpetua George, Tim Rayden & Ruth Nussbaum, Dkk.,Pedoman Pelaksanaan Penilaian Nilai Konservasi Tinggi, Sebuah Petunjuk Praktis Bagi Para Praktisi Dan Penilai Lapangan, Edisi 1, Proforest, Oxford, Mei 2008. Swallow, B, M. van Noordwijk, S. Dewi, D. Murdiyarso, D. White, J. Gockowski, G. Hyman, S. Budidarsono, V. Robiglio, V. Meadu, A. Ekadinata, F. Agus, K. Hairiah, P.N. Mbile, D.J. Sonwa, S. Weise..Opportunities for Avoided Deforestation with Sustainable Benefits. An Interim Report by the ASB Partnership for the Tropical Forest Margins. ASB Partnership for the Tropical Forest Margins, Nairobi, Kenya. 2007. The Nature Conservancy Community Forestry Feasibility Study, 2005. Draft Hasil Analisa Participatory Rural Appraisal Kampung Long Beliu, 2002. Final Report: A New Approach For Protecting Endangered Orangutans and Their Habitat Through Community and Local Government Participation, 2005. Tyler, Stephen R; Communities Livelihoods and Natural Resources, ITDG, 2006. van Noordwijk, Meine,; Elok Mulyoutami, Niken Sakuntaladewi, and Fahmuddin Agus, Swiddens in Transition: Shifted Perceptions on Shifting Cultivators In Indonesia, World Agroforestry Centre, ICRAF Southeast Asia Regional Office, Bogor, 2008. World Education, Laporan Survei Data Dasar Kampung: Sido Bangen, Long Beliu, Long Duhung, Long Keluh, Long Pelay, Long Lamcin, Long Suluy/Long Kian, Lesan Dayak Maret 2004, Berau, 2004. Perencanaan Strategis Kampung-Kampung, Laporan Workshop Wilayah Kelay dan Segah Austus 2005, Berau, 2005. Laporan Hasil Identifikasi Lokasi Masyarakat Long Suluy, Berau, 2007. Laporan Workshop Perencanaan Strategis di 3 kampung di Kecamatan Kelay (Long Pelay, Long Lamcin dan Long Suluy) Mei 2007, Berau, 2007. Laporan Proses Lokakarya Draft Peraturan Kampung Long Pelay dan Long Lamcin, Maret 2009, Dinas Kehutanan Kabupaten Berau, Forum Masyarakat Kampung Hulu Kelay, OCSP, World Education, 2009 Zenas, Daring, Laporan Pertemuan Forum Antar Kampung, Long Duhung 9 - 10 Oktober 2003, Forum Antar Kampung Hulu Kelay, 2003.
73