Surat Niat Indonesia – Norwegia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan: Kajian Kemajuan dari Greenpeace November 2012
Sungai Sembilang National Park, Sumatra ©Greenpeace
Pembukaan Danau Sentarum National Park, Kalimantan ©Greenpeace
Ringkasan Eksekutif
Laporan ini menganalisa kemajuan dari Surat Niat (Letter of Intent/LoI) Indonesia – Norwegia1 mengenai ‘Kerjasama menurunkan emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+), yang ditandatangani pada 16 Mei 2012. Setelah lebih dari dua tahun upaya pemerintah Indonesia dan berbagai institusi, Kajian Greenpeace ini berisikan analisis dari kinerja LoI hingga saat ini, diukur berdasarkan kinerja-kinerja kunci yang telah disepakati dalam konsep bersama Indonesia Norwegia2, ditandatangani pada 12 Maret 2010. LoI ini menetapkan kurun waktu tiga setengah tahun untuk memenuhi indikator-indikator kinerja kunci bagi dua fase awal dari kerjasama ini.
| Surat Niat Indonesia – Norwegia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca
Fase 1 ‘Persiapan’ telah selesai pada akhir 2010, dan fase 2 ‘Transformasi’ dimulai pada 2011 dan akan berakhir akhir 2012 ini.
2
Di bawah LoI, Pemerintah Norwegia berkomitmen untuk menyokong dan membantu berdasarkan prinsip ‘kontribusi untuk pelaksanaan’ fase 1 dan 2 sebesar US$ 200 juta. Pemerintah Norwegia telah sepakat untuk memberikan tambahan US$ 800 juta untuk fase 3 ‘Kontribusi untuk penurunan emisi yang telah terverifikasi’ mulai 2014, berdasarkan penurunan emisi yang berhasil dilakukan Indonesia pada 2013.
Rangkuman Keberhasilan Hingga Saat Ini Kemajuan terasa lamban dan masih menimbulkan pertanyaan apakah kurun waktu yang telah ditetapkan bisa dilaksanakan sebelum pembayaran berdasarkan kinerja penurunan emisi gas rumah kaca mulai dikucurkan pada 2014. Sementara beberapa kemajuan telah dicapai dalam bidang promosi anti korupsi, meningkatkan kesadaran, rencana dan kerangka kerja kepemilikan dan institusi nasional, implementasi dari ‘penghentian sementara (moratorium) dua tahun izin konsesi baru untuk konversi hutan alam dan lahan gambut, serta database lahan terdegradasi yang kredibel, belum tercapai.
Smoke engulfs forest being cleared for palm oil plantation, Riau, Sumatra ©Greenpeace
Orangutan, Sumatra -©Greenpeace
Ref: 1.
Nota kesepahaman antara pemerintah Kerajaan Norwegia dan Pemerintah Republik Indonesia mengenai “Kerjasama Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi dan Degradasi Hutan”, 26 Mei 2010, http://www.norway.or.id/ PageFiles/404362/Letter_of_Intent_Norway_Indonesia_26_May_2010.pdf
2.
Indonesia- Norwegia Partnership Joint Concept Note, 12 Maret 2010, http:// www.regjeringen.no/upload/MD/2011/vedlegg/klima/klima_skogprosjektet/ jcn_indonesia_norway_redd_partnership_2010.pdf
3.
Angelsen, A., Brockhaus, M., Sunderlin, W.D. and Verchot, L.V. (eds) 2012 Analysing REDD+: Challenges and choices. CIFOR, Bogor, Indonesia. http:// www.cifor.org/publications/pdf_files/Books/BAngelsen1201.pdf and Caldecott, Indrawan, Rinne and Halonen, 2011. Indonesia-Norway REDD+ Partnership: first evaluation of deliverables.
Sumatran tiger, Indonesia ©Fotosearch
| Surat Niat Indonesia – Norwegia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca
Di Propinsi pilot pertama, Kalimantan Tengah, kepastian hukum dan tenurial, rencana tata guna lahan, hubungan antar instansi pemerintah dan konflik sosial terkait dengan kawasan hutan serta konsesi-konsesi di atasnya, tetap menjadi masalah dan belum terpecahkan3. Salah satu reformasi yang mendesak untuk dilaksanakan guna mendapat hasilhasil yang nyata adalah kerangka kerja pengukuran, pelaporan dan verifikasi (MRV – measuring, reporting and verification) yang sangat dibutuhkan untuk melaksanakan fase 3, yang akan membawa Indonesia melaksanakan perencanaan penggunaan lahan yang layak, perkiraan akurat dasar emisi dan pengurangan yang berhasil dicapai untuk kepentingan pembayaran kinerja.
3
Kartu Penilaian Greenpeace Mengenai Kemajuan LoI
Diukur berdasarkan indikator-indikator dari Konsep Kerjasama Indonesia – Norwegia 12.3.2010
Greenpeace menyusun kajian ini berdasarkan informasi terkini yang tersedia bagi publik dan berdasarkan dialog dengan berbagai pemangku kepentingan.
FASE I “PERSIAPAN”: Capaian Hasil 1. Instruksi Presiden mendirikan Gugus Tugas REDD+ dengan mandat untuk:
Indikator Kinerja Kunci i. Mendirikan Badan REDD+ Nasional;
Ya: Instruksi Presiden No.19 2010 (20 .9.10) Diperpanjang dengan Dektrit No. 25 2011 (8.9.2011)
ii. Memastikan penyusunan strategi REDD+ Nasional;
Selesai pertengahan 2012 – dalam bentuk instruksi Kepala UKP4, padahal seharusnya merupakan instruksi yang lebih tinggi (seperti Instruksi Presiden) untuk pengikatan hukum yang lebih kuat di level kementerian. Belum jelas bagaimana Strategi REDD+ Nasional ini akan diimplementasikan
iii. Membuat instrumen pendanaan;
Belum selesai
iv. Membuat sistem MRV independen;
Belum selesai (diskusi masih berjalan, beberapa definisi legal penting seperti lahan gambut, lahan terdegradasi, hutan primer/sekunder masih belum jelas.
v. Menyusun kriteria seleksi dan strategi untuk implementasi di proyek percontohan.
Selesai hanya di satu propinsi (Kalimantan Tengah) yang teridentifikasi sebagai percontohan. Rencana aksi nasional penurunan emisi gas rumah kaca mengidentifikasi Jambi sebagai proyek percontohan potensial berikutnya.
2. Mandat Badan REDD+, struktur level tinggi, desain organisasi, dan proses internal penting didefinisikan dan dideskripsikan berdasarkan hasil 1 di atas dan melalui konsultasi dengan pemangku kepentingan yang relevan.
Perencanaan selesai pada 2012 tetapi tanpa evaluasi hasil 1 dan mandat yang jelas
3. Rencana Badan REDD+ mengambil alih mandat Satuan Tugas REDD+ pada Juni 2011 dan berfungsi secara penuh pada akhir 2011.
| Surat Niat Indonesia – Norwegia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca
Hasil 2: Basis kerja untuk implementasi moratorium konsesi hutan dan lahan gambut selama dua tahun selesai untuk memastikan moratorium bias efektif dan mencapai hasil maksimal dalam bidang sosial, lingkungan dan ekonomi.
4
Hasil 3: Membentuk desain awal institusi untuk monitoring independen, pelaporan dan verifikasi (MRV) yang akan menyiapkan sistem untuk hotan antropogenik dan lahan gambut terkait dengan emisi gas rumah kaca dengan cara mengeluarkan tempat penyerapan, stok hutan karbon dan hutan alam, sebagaimana disebutkan secara spesifik di LoI. Institusi MRV ini akan mempunyai mandat-mandat: a. Monitoring dan membuat laporan mengenai tutupan hutan dan lahan yang memasukkan laporan tahunan dan laporan berkala yang akan berfungsi sebagai sistem peringatan dini. b. Menyediakan segala data yang valid dan relevan bagi publik sesuai dengan hukum Indonesia mengenai keterbukaan publik dan hak atas informasi. c. Kewenangan untuk mendapatkan atau mengakses segala informasi yang dipandang layak serta perlu sesuai mandat dari semua entitas resmi pemerintah Indonesia serta masyarakat sipil dan sektor swasta, melakukan konsolidasi semua data yang relevan seperti data aktivitas dan data faktor emisi untuk melakukan monitoring emisi karbon hutan. d. Membentuk dan kemudian mengembangkan kemampuan nasional untuk mengukur dan mengawasi aktivitas yang berpengaruh terhadap stok karbon hutan.
Evaluasi Kemajuan dari Greenpeace
Ditunda – menjadi akhir 2012 dibanding 2011, dan rencana ini menimbulkan berbagai pertanyaan yang belum terjawab, terutama bagaimana badan ini akan memimpin perbaikan tatakelola sektor kehutanan. 1. Moratorium berlaku efektif mulai 1 Januari 2011, termasuk:
Tertunda: Instruksi Presiden 20 Mei 2011 .
a. Menetapkan garis dasar awal yang eksplisit untuk hutan dan tutupan lahan gambut serta hak kepemilikan, dan proses untuk memperbaiki garis dasar ini semasa periode moratorium.
Belum selesai. Hak kepemilikan tetap masih tetap menjadi masalah hingga Pemerintah Indonesia mengakui hak masyarakat adat.
b. Mengidentifikasi kebijakan implementasi untuk menjawab bagaimana tujuan-tujuan dalam hasil 2 bisa dicapai.
Belum selesai– tidak semua konsesi dicabut sementara dan izin yang sudah ada bisa diperpanjang
c. Penerapan dasar hukum untuk dua tahun moratorium guna mengikat komitmen hukum di propinsi-propinsi, termasuk arahan untuk mekanisme penerapannya.
Sebagian sudah selesai tetapi tertunda lima bulan (Mei 2011 dari jadwal awal Januari 2011). Tidak ada mekanisme penerapan.
2. Identifikasi kesenjangan data untuk verifikasi dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi dari moratorium, dan pemilihan serta penugasan konsultan untuk mengatasi kesenjangan data itu.
Belum selesai
1. Aktivitas MRV yang ada saat ini diidentifikasi dan penilaian awal terhadap kesenjangan data untuk tujuan MRV diselesaikan.
Belum selesai Dokumen seperti SVLK dan rencana konsesi tahunan harus dibuka kepada publik
2. Mandat, struktur organisasi, tugas anggota dan ketentuan referensi bagi anggota-anggota Institusi MRV diselesaikan menyusul konsultasi dengan pemangku kepentingan terkait.
Belum selesai
3. Rencana jelas untuk mendirikan institusi MRV independen pada 2011.
Belum selesai
Indikator pencapaian-pencapaian dan kinerja kunci pada fase 1 dari Kerjasama Indonesia – Norwegia yang dimulai pada 26 Mei 2010 dan akan berakhir pada 31 Desember 2010. Indikator kinerja kunci ini akan membangun patokan bagi evaluasi oleh kelompok penilai independen.
Indikator Kinerja Kunci
Evaluasi Kemajuan dari Greenpeace
Hasil 4: Menetapkan instrumen pendanaan sementara yang sesuai untuk mendanai aktivitas fase 1 yang beroperasi secara memuaskan bagi pemerintah Indonesia, dan dikelola sesuai standar internasional yang sudah ada – termasuk ketaatan hukum, tatakelola pemerintahan, serta perlindungan sosial dan lingkungan.
1. Instrumen pendanaan interim, beroperasi secara memuaskan bagi pemerintah Indonesia, dan dikelola sesuai standar internasional yang sudah ada – termasuk ketaatan hukum, tatakelola pemerintahan, serta perlindungan sosial dan lingkungan, berjalan dan disetujui oleh pemerintah Indonesia dan Norwegia.
Hasil 5: Strategi Nasional REDD+ yang mengatasi masalah kunci perusakan hutan dan lahan gambut terkait emisi selesai dan disusun berdasarkan proses kredibel, transparan, inklusif dan melibatkan semua pemangku kepentingan hingga tingkat yang bisa memberikan arahan jelas bagi aktifitas fase 2. Strategi ini akan terbuka bagi penyesuaian berkala sehingga bisa diperbaiki dan mengakomodasi kebutuhan dan perubahan di lapangan. Strategi ini akan mencakup:
1. Sebuah versi dari Strategi Nasional REDD+ yang menangani dan menyodorkan solusi tingkat tinggi untuk penyebab utama, pelaku dan proses perusakan hutan, dan degradasi hutan serta lahan gambut, selesai. Strategi ini akan menjadi dokumen hidup untuk penyempurnaan lebih lanjut oleh Badan REDD+ dan akan diterjemahkan menjadi rencana aksi nasional.
Selesai – Juni 2012. Tetapi hanya dokumen Strategi Nasional REDD, tidak jelas penterjemahan ke rencana aksi nasional di level nasional sudah mempunyai rencana aksi nasional dalam penurunan emisi gas rumah kaca.
2. Menyusun Strategi Nasional REDD+ setelah proses konsultasi yang transparan, inklusif, kredibel dan terinstitusi dengan semua pemangku kepentingan kunci termasuk perwakilan dari masyarakat adat, komunitas lokal, universitas di Indonesia, sektor swasta, masyarakat sipil, dan institusi riset Indonesia dan internasional terpilih.
Selesai, meski berbagai organisasi masyarakat sipil masih mempertanyakan keterlibatan dalam proses.
b. Implementasi katalis perubahan yang diperlukan, termasuk reformasi perencanaan penggunaan lahan dan pembangunan sektor; meningkatkan ekonomi lokal; memperkuat proses keterlibatan, dan proses transparansi tatakelola pemerintahan.
3. Strategi ini mengusulkan metode untuk implementasi FPIC dan pembagian keuntungan yang pantas.
Belum selesai UN REDD telah melaksanakan proyek REDD FPIC di Sulawesi Tengah tetapi hasilnya belum secara resmi diadopsi oleh Pemerintah karena Kementrian Kehutanan masih keberatan dengan konsep FPIC.
c. Mereformasi sektor kunci terkait REDD+ termasuk kehutanan, perkebunan dan tambang.
4. Transfer kepemilikan dan tanggung jawab Strategi Nasional REDD+ dari Bappenas ke Satgas REDD+ selesai.
Belum selesai: Cukup ambisius bahwa Strategi Nasional REDD+ diberlakukan sebagai Instruksi Kepala UKP4.
1. Kriteria seleksi untuk propinsi percontohan telah melalui konsultasi dengan para pemangku kepentingan terkait dan disepakati oleh semua pihak.
Selesai, meski belum disetujui oleh semua pihak
2. Propinsi percontohan yang dipilih memiliki cakupan hutan yang luas dan berada dalam ancaman rencana deforestasi dan proyek degradasi hutan, dengan skala dampak yang akan cukup signifikan bagi level emisi jika diimplementasikan.
Selesai, tetapi tidak memenuhi LoI terkait pengurangan emisi dari pengurangan deforestasi, dan saat ini belum sepenuhnya diimplementasikan.
1. Kerangka acuan untuk kelompok konsultasi gabungan disetujui.
Selesai
2. Kelompok konsultasi gabungan mempunyai mandat yang disebut diatas.
Selesai
3. Menunjuk satu titik fokal untuk implementasi LoI bagi pemerintah Indonesia dan Pemerintah Norwegia.
Selesai dalam hal mendasar, tetapi pada prakteknya masih ada beberapa titip fokal yang bertanggung jawab untuk implementasi LoI.
1. Norwegia dan Indonesia menyepakati persyaratan tender, kriteria dan menyeleksi penyedia jasa yang sesuai.
JCN menyatakan hasil 8 dan 9 tidak memerlukan penilaian independen.
a. Menetapkan kebijakan iklim dan protokol implementasi termasuk kebijakan ratifikasi terkait implementasi REDD+, menyusun panduan REDD+ dan mendistribusikan hak dan kewajiban secara adil.
Hasil 6: Seleksi propinsi percontohan pertama guna: a. Meraih penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut. b. Memberi contoh bagi propinsi lain di Indonesia, termasuk peragaan kebijakan-kebijakan serta insitusi yang diperlukan sesuai panduan dan prinsip upaya REDD+ nasional Indonesia seperti digambarkan dalam dokumen dan dalam LoI. c. Mencoba berbagai proyek REDD+ untuk implementasi nasional di masa mendatang. d. Mencoba dan memperbaiki institusi yang telah dibentuk (seperti Badan REDD+, MRV, Instrumen Finansial).
Selesai sebagian: Beberapa kemajuan telah dibuat di bidang perlindungan lingkungan dan sosial, dimana Kementerian Kehutanan dan Satgas REDD mempunyai versi masing-masing. Kemajuan di bidang instrumen pendanaan tertunda karena Indonesia dan Norwegia belum memutuskan institusi mana yang harus mengelola dana.
Selain itu, kebijakan pemerintah lain mengenai akselerasi pembangunan ekonomi (misalnya MIFEE di Papua) bisa berpotensi untuk meningkatkan emisi dan deforestasi di kawasan berhutan, tidak konsisten dengan komitmen menurunkan emisi gas rumah kaca dan LoI.
e. Menunjukkan komitmen kerjasama Indonesia Norwegia untuk mengatasi tantangan perubahan iklim global. Hasil 7: Menunjuk titik fokal di Pemerintah Indonesia dan Norway, serta mendirikan grup konsultasi gabungan, dengan mandat: a. Melakukan upaya-upaya diplomasi dalam kerjasama Indonesia – Norwegia termasuk mempromosikan kerjasama dan merangsang partner pembangunan lain untuk berpartisipasi dan berkontribusi. b. Berfungsi sebagai forum komunikasi formal untuk kerjasama Indonesia – Norwegia. c. Menyamakan ekspektasi dan menyusun perjanjian antara Indonesia dan Norwegia dalam mengimplementasi semua tugas terkait LoI. Hasil 8: Mengidentifikasi sebuah kelompok pengkaji independen, melapor kepada kelompok konsultasi gabungan, untuk melakukan penilaian tahunan capaian-capaian yang telah termaktub dalam indikator-indikator kinerja kunci yang telah disepakati. Hasil 9: Mendesain kampanye komunikasi guna membuat aktivitas REDD+ transparan, inklusif, dan kredibel.
2. Penunjukkan kelompok penilai independen diproses menyusul proses tender yang transparan.
1. Penyusunan 1-2 tahun kampanye komunikasi dan edukasi baik nasional maupun internasional selesai.
JCN menyatakan bahwa hasil 8 dan 9 tidak memerlukan penilaian independen.
| Surat Niat Indonesia – Norwegia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca
FASE I “PERSIAPAN”: Capaian
5
lahan dari Kementerian Kehutanan dan Badan Pertanahan Nasional8 dibuat berdasarkan metodologi yang berbeda. Langkah konkret harus diambil untuk membuat ‘satu peta’ atau data tata guna lahan yang bisa diakses secara bebas oleh publik, transparan, akurat, terbaharui dan terpadu diantara seluruh sektor, badan pemerintahan dan kementerian. Sebagai tambahan, laju perusakan hutan di Indonesia sayangnya masih sulit untuk didapat dan berdasarkan set data yang tersedia, sulit untuk mengidentifikasi tren. Data deforestasi yang dikeluarkan Kementerian Kehutanan bisa jadi kontradiktif9 atau tak bisa diverifikasi10.
Perlindungan Sosial dan Lingkungan LoI telah menuai kritik dari banyak pihak karena mempunyai tujuan-tujuan perlindungan sosial dan lingkungan yang lemah11. Masalah hak tanah dari masyarakat adat masih menjadi ganjalan besar bagi Indonesia. Meski demikian, secara signifikan, Kementerian Kehutanan baru-baru ini menyelesaikan penelitian yang memperlihatkan bahwa ada lebih dari 25.000 desa yang secara resmi sudah diakui berada di kawasan hutan Indonesia, dengan penduduk diperkirakan lebih dari lima puluh juta orang12. Kelompok pembela hak masyarakat adat di Indonesia melihat ini sebagai kemajuan untuk mencapai pengakuan terhadap hakhak masyarakat adat yang lebih luas13. Meski demikian, provisi pembagian keuntungan bagi masyarakat dari REDD+ masih terjebak di tengah perdebatan lembaga-lembaga pemerintah14.
| Surat Niat Indonesia – Norwegia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca
Floating market, Kalimantan ©Greenpeace
6
Hal-hal yang Menghambat Kemajuan dan Perlu Diperbaiki Tata Kelola Pemerintahan yang Lemah Banyak tata kelola pemerintah yang lemah berakar dari tugas Kementerian Kehutanan mengontrol lebih dari 70 persen lahan di Indonesia, dimana hanya 10 persennya yang sudah dikukuhkan, menyebabkan timbulnya interpretasi beragam terhadap hukum dan menimbulkan banyaknya konflik yang terjadi dengan masyarakat setempat dan masyarakat adat4. Banyak konsesi hutan juga tidak memenuhi perijinan yang seharusnya dari Kementerian Kehutanan dan terjadinya inkonsistensi serta ketidakpastian, yang hanya menyuburkan korupsi, dan memunculkan pemilik konsesi hanya mencari rente dan penyimpanan aset tanah5.
Peta dan Data yang Usang
Setelah tiga revisi resmi peta moratorium, dimana masing-
masing versinya mengurangi kawasan hutan dan lahan gambut yang dilindungi oleh moratorium, moratorium izin baru masih tidak melindungi hutan sekunder6 dan juga masih memberikan izin untuk konversi hutan bagi bahan pangan dan energy, termasuk kelapa sawit, salah satu penyebab utama deforestasi di Indonesia. Peta tutupan lahan terbaru Kementerian Kehutanan belum diumumkan kepada publik7. Lebih jauh lagi, peta tutupan
Definisi Lahan Terdegradasi Kriteria lahan terdegradasi harus memperhitungkan stok karbon dan nilai konservasi tinggi (HCV – High Conservation Value)15 untuk memastikan lahan-lahan ini mempunyai kandungan karbon rendah dan nilai keanekaragaman hayati yang rendah. Jika Instruksi Presiden mengenai moratorium menjadi indikasi, Indonesia mungkin berniat untuk mendefinisikan lahan terdegradasi sebagai hutan sekunder. Kalau ini terjadi, akan menjadi pengkhianatan besar terhadap perjanjian dalam LoI dan akan merusak kepercayaan terhadap REDD+ secara umum. Izin bagi konsesi yang berada di lahan hutan Bernilai Kandungan Karbon Tinggi (HCS- High Carbon Stock) terbukti masih diberikan dengan cara melanggar aturan yang ada bisa dibatalkan dan ditambahkan dalam area yang dilindungi oleh moratorium, dan pihak yang terbukti taat hukum bisa mendapat prioritas mendapatkan penukaran lahan ke kawasan lahan terdegradasi yang sah secara legal, tanpa masalah sosial, lingkungan dan ekonomi. Pertukaran lahan yang efektif bagi pemegang konsesi di kawasan HCS yang telah mematuhi aturan hukum yang ada dan aktivitas ekspansi lahan pertanian dan pulp ke kawasan yang rendah karbon serta bebas dari konflik sosial, membutuhkan data yang kredibel, software pengambil keputusan yang layak, serta proses yang transparan dan terbuka yang dipimpin oleh pemangku kepentingan.
Kesimpulan dan Rekomendasi Saat peta tutupan lahan dan tata guna lahan yang kredibel dan berkekuatan hukum sudah tersedia serta secara jelas mengidentifikasi lahan terdegradasi, zona pembangunan ekonomi, kawasan konservasi, hak tanah masyarakat adat, hutan, konsesi pertanian dan pertambangan dalam cara yang konsisten, REDD+ di Indonesia akan bisa menggapai kemajuan dengan pesat. Untuk memberi ruang yang cukup atas tugas besar ini dipersiapkan dan diselesaikan, moratorium harus diperpanjang dari batas waktu dua tahun dan diperkuat dengan dimasukkannya semua kawasan lahan gambut dan hutan sekunder, serta revisi segera dari konsesi yang telah ada. Kerjasama REDD+ Indonesia – Norwegia adalah mekanisme tata pemerintahan dan pembayaran yang inovatif yang membutuhkan waktu panjang, yang jelas saat ini dianggap sepele. REDD+ di Indonesia adalah ide mulia yang masih mencari bentuk dan harus didukung dan diterima sepenuhnya oleh pemerintah Indonesia, institusi-institusi pemerintah dan lobi bisnis yang punya pengaruh besar. Aktor-aktor baru dan metrik kinerja, bisa dimengerti, telah menyebabkan penundaan-penundaan dan frustasi. Tetapi hal ini jangan dilihat sebagai kegagalan kerja sama ini. Melainkan, harus dilihat sebagai meningkatnya kepemilikan nasional terhadap REDD+ di negara demokrasi yang masih muda ini yang masih dibayangi oleh sejarah tatakelola pemerintahan, koordinasi antar lembaga pemerintah, pengawasan regulasi, harmonisasi hukum terkait sumber daya alam, yang kurang baik. Kalibrasi ulang dari harapan-harapan yang ada sangat diperlukan, juga dukungan dan upaya lebih kuat lagi untuk memastikan REDD+ menghasilkan perubahan-perubahan, sebagaimana telah tercantum dalam LoI Indonesia – Norwegia, terus bisa berlangsung tanpa hambatan berarti sehingga dampak positif yang dicita-citakan bisa terwujud.
Rekomendasi-Rekomendasi Kunci Greenpeace
Untuk Moratorium •
Memperpanjang masa moratorium untuk memastikan capaian-capaian kunci pada Fase 2 selesai dengan sukses.
•
Moratorium harus diperkuat dengan memasukkan semua kawasan hutan dan semua lahan yang dikategorikan sebagai kawasan bernilai karbon tinggi.
•
Memastikan bahwa pengembangan perkebunan kelapa sawit dan HTI baru berada di lahan non-HCS dan non-HCV.
•
Pemerintah Indonesia harus segera memulai pengkajian ulang konsesi yang telah ada, dan mencabut izin bagi konsesi yang terbukti melanggar aturan. Konsesi yang telah mendapat status legal tetapi berada di kawasan hutan HCV dan HCS harus mendapat penggantian pemindahan lahan. Sejalan dengan itu, sistem monitoring nasional untuk deforestasi harus disusun untuk memberi transparansi yang lebih besar pada proses, monitoring yang efektif dan mendukung komunitas lokal, termasuk perlindungan terhadap hak mereka dalam mengakses dan mengatur kawasan kehidupan mereka.
•
Moratorium harus dicabut secara gradual, atas dasar kasus demi kasus, termasuk melihat pencapaian-pencapaian nyata seperti terlindunginya hutan dan manajemen tatakelola hutan yang bertanggung jawab, dibanding diberlakukan atas dasar batas waktu.
Lebih dari Moratorium •
Mengklarifikasi mekanisme melalui pemilihan pengaman (safeguards) mana yang diterapkan dan memastikan pengaman itu diaplikasikan di propinsi percontohan.
•
Memastikan Badan REDD+ yang baru diberikan status dan kewenangan yang paling tidak sama dengan kementerian lain, tidak berada di bawah Kementerian Kehutanan, serta berimbang dan fokus pada REDD+ serta komponenkomponennya.
•
Melakukan kajian legalitas yang terverifikasi dan kredibel dari pihak ketiga terhadap perkebunan, industri kehutanan dan konsesi tambang yang mempunyai tutupan hutan signifikan atau berlokasi di lahan gambut, dan mencabut izin jika terbukti ilegal. Jika dasar hukum dari konsesi-konsesi ini kuat, penggantian lahan dan insentif pajak harus diberikan untuk mengeluarkan kawasan berhutan dari konsesi mereka. Konsesi serupa harus diberikan untuk mendukung industri itu melakukan intensifikasi produk minyak kelapa sawit mentah di perkebunan yang sudah ada, dibanding mendukung mereka melakukan ekspansi.
Ref: 4.
Indrarto, G. B., Murharjanti, P., Khatarina, J., Pulungan, I., Ivalerina, F., Rahman, J., Prana, M. N., Resosudarmo, I. A. P. and Muharrom, E., 2012. The Context of REDD+ in Indonesia: Drivers, agents and institutions. Working Paper 92. CIFOR, Bogor, Indonesia. http://www.cifor.org/publications/ pdf_files/WPapers/WP92Resosudarmo.pdf 5. Ibid. 6. Hutan sekunder disini didefinisikan sebagai hutan dengan bukti ketergangguan yang jelas, cf. FAO Departemen Kehutanan, 2010. Penilaian sumberdaya hutan global 2010. Laporan Negara. Indonesia. http://www.fao.org/docrep/013/al531E/al531E.pdf 7. http://www.dephut.go.id/ 8. REDD+ Task Force, 5 September 2012. One Map Indonesia. http://www.satgasreddplus.org/ download/120905%20ONEMAP%20Midway%20Workshop%202012.pdf 9. Bandingkan, statistic hutan tahunan yang dikeluarkan Kementerian Kehutanan (http://www.dephut. go.id/) dengan data Kementerian Kehutanan untuk FAO (http://www.fao.org/forestry/sofo/en/) 10. Data Kementerian Kehutanan secara visual (on http://nfms.dephut.go.id/monitoring/) tanpa menyediakan data mentah. 11. Angelsen, A., Brockhaus, M., Sunderlin, W.D. and Verchot, L.V. (eds) 2012 Analysing REDD+: Challenges and choices. CIFOR, Bogor, Indonesia. http://www.cifor.org/publications/pdf_files/Books/ BAngelsen1201.pdf 12. FPP, PUSAKA, HUMA, 2011. National Update on REDD+ in Indonesia. http://www.forestpeoples.org/ sites/fpp/files/publication/2011/10/national-update-briefing-1.pdf 13. Ibid. 14. Angelsen, A., Brockhaus, M., Sunderlin, W.D. and Verchot, L.V. (eds) 2012 Analysing REDD+: Challenges and choices. CIFOR, Bogor, Indonesia. http://www.cifor.org/publications/pdf_files/Books/ BAngelsen1201.pdf 15. Hutan Bernilai Kandungan Karbon Tinggi adalah di atas level antara hutan sekunder yang beregenerasi secara alami dan kawasan hutan terdegradasi. Pendekatan HCS mengkombinasikan keanekaragaman hayati dan konservasi karbon. Hutan potensial HCS diidentifikasi, dan kemudian proses konservasi hutan HCS yang memperhitungkan ukuran potongan, bentuk, konektivitas hutan diselesaikan, untuk memastikan kawasan-kawasan hutan dikonservasi. Golden Agri Resources and SMART, Juni 2012. Laporan Studi Hutan Bernilai Kandungan Karbon Tinggi mendefinisikan dan Mengidentifikasi kawasan-kawasan hutan bernilai kandungan karbon tinggi yang mungkin bisa dikonservasi, http://www.goldenagri.com.sg/pdfs/misc/High_Carbon_Stock_Forest_Study_Report.pdf menyediakan penjelasan detail mengenai metodologi yang digunakan Golden Agri Resources (GAR) untuk menerapkan kebijakan tanpa perusakan hutan dalam operasi industry minyak kelapa sawit mereka.
| Surat Niat Indonesia – Norwegia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca
Beberapa rekomendasi di bawah ini dalam pandangan Greenpeace penting dilakukan sebagai perbaikan LoI saat ini, moratorium dan skema propinsi percontohan, yang kami yakini akan memperkuat kapasitas REDD+ Indonesia untuk menghasilkan pengurangan emisi yang berarti.
7
www.greenpeace.org Printed on recycled paper using soy-based ink Published by Greenpeace Southeast Asia, November 2012
Pristine forests in Papua ©Greenpeace
Greenpeace Southeast Asia - INDONESIA Jl. KH. Abdullah Syafi'ie (Lapangan Roos) No. 47, Tebet Timur - Jakarta 12820 Telp. (021) 83781701 | Fax. (021) 83781702 Email:
[email protected] Greenpeace Nordic, pb 6803 St. Olavsplass 1, 0130 Oslo Phone: + 47 22 20 51 01 | Fax: + 47 22 20 51 14 Email:
[email protected]