Masyarakat Hukum Adat dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Atasnya di Sulawesi Tengah 1 Oleh Ferry Rangi2 “... Ia memiliki berbagai nama, namun satu kenyataan. Ia memiliki banyak penampakan, namun dibuat dari satu unsur. Sebenarnya, ia adalah penyakit abadi yang diwariskan oleh setiap generasi pada generasi selanjutnya. Aku menemukan perbudakan buta, yang mengikat kehadiran orang-orang dengan masa lalu orang tua mereka, dan memerintah mereka untuk mempertahankan tradisi dan kebiasaan, dengan menempatkan jiwa masa lalu dalam tubuh mereka” Kahlil Gibran, (2009: 364-365) “Perbudakan” dalam Syair-Syair Cinta. Wacana mengenai siapa yang disebut sebagai masyarakat adat3 hingga saat ini masih dalam perdebatan para ahli (Moniaga, 2010: 301-322). Sandra Moniaga (Ibid: 303) menuliskan pemilihan istilah masyarakat adat sebagai terjemahan atas indigenous people, dilakukan dengan alasan karena istilah inilah yang lebih disukai masyarakat adat. Lebih lanjut, Moniaga mengutip apa yang dikonsepkan oleh Stavenhagen dan Kingsbury bahwa masyarakat adat adalah keturunan dari orang yang telah menghuni sebuah wilayah tertentu, sebelum wilayah itu diserang, ditaklukkan atau dijajah oleh satu kekuatan asing atau masyarakat lain. Munculnya gerakan masyarakat adat antara tahun 1993-2003 diawali kesadaran sejumlah aktivis adanya perjuangan secara sporadis dan “low profile” oleh sejumlah masyarakat adat sebagai tanggapan terhadap kehilangan harkat dan hak mereka, akibat kebijakan negara, undang-undang, dan pelaku lainnya. Maka pada 1993, sebagai tanggapan terhadap perjuangan lokal dan represi negara, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan beberapa mitra regionalnya mengadakan pertemuan di Tanah Toraja yang dihadiri oleh beberapa aktivis muda hak asasi manusia dan lingkungan hidup (Moniaga, 1
Tulisan ini sebelumnya telah dipresentasikan dalam Diskusi Publik “Hak Masyarakat Adat di Dalam Kawasan Hutan Paska Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 2 Pengajar di Program Studi Antropologi Universitas Tadulako. Saat ini aktif menjadi peneliti di Celebes Institute 3 Dalam paper ini saya menyebut masyarakat hukum adat dan masyarakat adat dengan pemaknaan yang sama. Terima kasih untuk diskusi bersama dengan Arianto Sangaji, Doni Moidadi dan Kadi Katu dalam proses penyusunan paper ini.
2010: 310). Beberapa aktivis dari Sulawesi Tengah saat itu juga turut hadir. Arianto Sangaji (2010: 365-366) mengkritisi lemahnya konseptualisasi masyarakat adat berdasarkan definisi WALHI dalam pertemuan di Toraja yang digunakan oleh Ornop di Sulawesi Tengah. Seperti yang dituliskannya; “Konsep ini berefek pada mobilisasi masyarakat yang memperjuangkan haknya atas tanah akibat hegemoni negara dan pengusaha-pengusaha yang telah mendapat restu dari pemerintah untuk mengelola hutan, ternyata tidak relevan dalam konteks masyarakat adat di Sulawesi Tengah. Lebih lanjut, menurut Sangaji, komunitas-komunitas masyarakat adat di Sulawesi Tengah bukanlah entitas yang terisolasi dan tidak pernah berubah, tetapi telah mengalami perubahan sedemikian rupa pada sejarah mereka yang panjang dalam migrasi, peralihan agama, dominasi politik oleh kekuatan politik di luar mereka. Mereka juga terintergrasi ke dalam ekonomi pasar. Komunitas semacam ini yang dianggap sebagai masyarakat adat harus dipahami sebagai entitas yang kompleks dan dinamis. Sangaji menganggap bahwa kehadiran gerakan masyarakat adat di Sulawesi Tengah, pertama-tama harus dilihat sebagai reaksi terhadap pembangunan yang restriktif, pembangunan yang hadir di masyarakat tidak bersahabat dengan kelompok yang disebut masyarakat adat.
Keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas perkara Nomor 35/PUU-X/2012 (selanjutnya disebut putusan MK 35), Laksmi Savitri (2014: 63-65) dalam artikelnya melihat implikasi pasca keluarnya hasil putusan MK 35, menjelaskan memungkinnya arena politik lain sebagai proses lanjutan dari putusan MK 35. Arena politik lain tersebut dijelaskan dalam tiga limit, yakni: pertama
limit teknikalisasi melalui regulasi, yakni lahir dari keharusan
masyarakat adat untuk mengukuhkan keberadaannya sebagai subyek hukum melalui peraturan daerah. Limit ini memungkinkan terciptanya arena politik lain dimana dalam mekanisme negara neoliberal menciptakan kemungkinan akan terjebak yang memelintir keharusan posisi sebagai subjek hukum ini menjadi kekuatan yang mengeksklusi kelompok rakyat lainnya, baik melalui mekanisme privatisasi hak atas properti maupun pengalihan tanggung jawab negara menjadi tanggung jawab individu, kelompok komunitas, atau bahkan koorporasi. Kedua, limit keterbelahan antara kepengaturan wali masyarakat dan golongan elit yang mengarah pada komunalisasi dan kepengaturan yang diinginkan oleh masyarakat ke arah privatisasi kepemilikan dan penguasaan tanah. Mengutip pandangan Tania Li, Savitri menuliskan, bahwa komunalisasi ini seperti tindakan membangun tembok yang melindungi
masyarakat pribumi dari serangan musuh, tetapi membiarkan kekuatan musuh bergerak di luar tembok tanpa koreksi. Ketiga, penetrasi budaya korporasi dalam sistem pendidikan Indonesia yang dimulai dari desa. Savitri menunjukkan privatisasi pendidikan di Indonesia justru telah menyediakan jalan bagi penetrasi budaya korporasi yang tidak mengenal batas desa kota, tidak mengenal siapa subjek yang akan dibentuknya, tetapi secara jelas ia hadir bersamaan dengan ekspansi geografis dari kapitalisme perkebunan di Indonesia. Savitri memandang dari limit tersebut menumbuh kesempatan akan hadirnya elitisme dan ketidakadilan gender. Memahami aktivisme masyarakat hukum adat di Sulawesi Tengah, adalah bentuk advokasi bersama antara rakyat dan aktivis oleh desakan agenda pembangunan yang mengancam atau telah merampas hak masyarakat hukum adat atas sumber produksinya (Laudjeng, 1994; Sangaji, 2001; Li, 2001; D’Andrea, 2013). Artinya, konflik yang sebelumnya hingga saat ini terjadi secara vertikal yakni antara masyarakat dan relasi kuasa di atasnya melalui kebijakan yang tidak berpihak. Sementara tak bisa dipungkiri, potensi konflik yang terjadi saat ini diantara masyarakat yang diklaim menjadi masyarakat adat dan bukan sebagai masyarakat adat telah muncul ke permukaan (Rangi, 2012). Agar tidak terjebak pada eksklusifisme sebagai masyarakat hukum adat yang berpotensi menciptakan konflik horizontal diantara masyarakat, yang dikaitkan dengan kondisi kekinian akan pelanggaran Hak Asasi Manusia, perlu dijelaskan secara terperinci bagaimana identitas sebagai masyarakat hukum adat diciptakan dan menciptakan serta bagaimana akses produksi mereka dirampas. Tulisan ini berangkat dari pertanyaan; pertama, bagaimana masyarakat adat–diciptakan dan menciptakan-? Kedua, mengapa masyarakat adat terampas hak asasinya? Karena keterbatasan waktu, saya menyadari penyajian data perampasan tanah masyarakat hukum adat tidak terperinci dengan baik.
Masyarakat Hukum Adat –Diciptakan dan Menciptakan- dari Proses Politik Perampasan Tanah Masyarakat hukum adat hadir sebagai identitas dan gerakan sosial tidak lepas dari bergesernya realitas sosial serta perkembangan paradigma ilmu sosial dan kedua ruang yang bergeser tersebut saling mempengaruhi (Edelman, 2003). Gerakan yang selama ini berbasis kelas di negara ketiga bergerak menuju gerakan yang berbasis identitas (indigenous people atau masyarakat adat) (Fauzi, 2005: 55-76; Castells, 1997). Sementara, kajian identitas di ranah aktivisme cenderung mengabaikan faktor internal komunitas dimana kelas-kelas sosial tersebut saling bertarung. Masyarakat hukum adat yang saya maksud dalam paper ini adalah manusia yang akses atas sumber produksinya bergantung pada sumber daya alam (yakni tanah, udara dan air) termasuk segala yang terkandung di dalamnya, dimana ia hidup dan menghidupi telah dirampas oleh kekuasaan yang dengan sengaja –diciptakan dan menciptakan- yang terhadapnya mereka bergantung melalui hak-hak adatnya. Yang dimaksud dengan hak-hak adat adalah hak atas tanah (sebagai sumber produksi) yang tidak tertulis, tetapi diakui dan dihormati oleh masyarakat setempat. Hak-hak ini dapat berupa individual atau kolektif, dan bisa berupa warisan hak leluhur atau hak yang baru (Li, 2010: 405). Sedangkan yang saya maksud proses –diciptakan dan atau menciptakan-, dimana masyarakat adat diartikulasikan melalui konteks sejarah, kebijakan, agenda pembangunan nasional dan transnasional serta wacana gerakan sosial (Li, 2001; D’Andera, 2013) Sementara, Hak Asasi Manusia (HAM) yang saya maksudkan dalam paper ini, adalah hak-hak dasar yang dimiliki setiap orang semata-mata karena dia adalah manusia. HAM didasarkan pada prinsip bahwa setiap manusia dilahirkan setara dalam harkat dan hak-haknya. Hak mendasar bagi manusia adalah termasuk haknya untuk bekerja agar dapat bertahan hidup. Dalam hal ini, jika sumber produksi masyarakat hukum adat dirampas, keberlangsungan kerja untuk mempertahankan
hidup telah dihilangkan atasnya. Pelanggaran HAM pada masyarakat hukum adat dalam konteks paper ini adalah perampasan atas hak sumber produksi mereka atas tanah. Politik perampasan tanah masyarakat hukum adat, hadir disertai penyingkiran. Penyingkiran sebelumnya telah dikonsepkan oleh Derek Hall dkk (2011) dalam karyanya Power of Exclusion: Land Dilemmas in Southeast Asia. Berangkat dari dua pandangan mengenai penyingkiran (exclusion). Pertama disingkirkan dari suatu wilayah kemudian, yang memiliki kekuatan menyingkirkan memberi tanda batas (patok) atas wilayah tersebut agar, yang disingkirkan tidak memiliki akses untuk masuk kembali. Kedua, petani dibuat seolaholah memiliki akses atas lahan (hutan) di dalam kawasan konservasi, disertai berbagai larangan dan aturan. Sehingga perlahan-lahan mereka dikondisikan memilih untuk menyingkirkan diri (Ibid: 4). Kedua proses penyingkiran atau double exclusion dapat dialami oleh petani (Ibid : 7-8). Menurut Derek Hall dkk (Ibid : 4-5) terdapat empat kekuatan (power) yang saling berinteraksi sehingga terjadi penyingkiran (exclusion) terhadap pemilik lahan (hutan). Kekuatan penyingkiran tidak serta merta hadir secara acak, tetapi dibentuk oleh relasi kuasa. Empat kekuatan penyingkiran tersebut adalah, peraturan (regulation), pasar (market), legitimasi (legitimation), dan paksaan (force). Dimana, peraturan (regulation) adalah aturanaturan dan undang-undang yang keabsahannya diakui oleh negara. Selain itu, terdapat juga aturan-aturan dan hukum yang berlaku pada masyarakat.Yang tidak tertulis, tidak formal, dan mengatur hubungan manusia dengan tanah (hutan)-nya. Paksaan (force) adalah kekuatan yang tidak hanya dimiliki oleh negara melalui alatnya, semacam militer. Tetapi, juga dimiliki oleh komunitas atau etnik yang tampak melalui kekerasan terhadap sesamanya, dan memiliki kekuatan untuk menyingkirkan. Pasar (market) adalah kekuatan yang menyingkirkan melalui kegiatan ekonomi yang terbangun atas relasi manusia dan tanah (hutan). Dimana pasar berkuasa menentukan harga, jenis komoditi yang ditanam oleh petani dan
usaha-usaha
pertanian. Selanjutnya adalah legitimasi (legitimation) yakni relasi pemaknaan yang terbangun antara manusia dan tanah (hutan), membentuk paham-paham dan nilai-nilai serta moral untuk menilai relasi tersebut benar atau salah, layak atau tidak dan baik atau buruk, dan memiliki
kekuatan
untuk
menyingkirkan.
Seperti,
alih-alih
pembangunan
disertai
pemberadaban yang pada kenyataannya setelah menjadi praktik justru menyingkirkan pemilik lahan (hutan). Dikerangkai dalam pemikiran Derek Hall dan kawan-kawan, penyingkiran dalam paper ini adalah proses terlepasnya masyarakat hukum adat dari sumber produksinya. Penyingkiran masyarakat hukum adat terjadi melalui dua proses. Pertama, dengan cara paksa disertai kekerasan. Kedua, dengan cara halus penuh tipu muslihat (Rangi 2013). Penyingkiran dengan cara halus penuh tipu muslihat seperti yang dilakukan oleh rezim pemerintah, perusahaan perkebunan dan pertambangan saat menjadi praktek. Masyarakat hukum adat di-iming imingi serta dijanjikan kehidupan yang lebih baik. Jika dihubungkan dengan masa kekinian, dalam wacana agenda perubahan iklim di Sulawesi Tengah, dimana masyarakat hukum adat disingkirkan dengan cara halus penuh tipu muslihat, yang dilakukan dengan cara-cara “modern” yang tampak manusiawi serta semakin kompleks baik aktor maupun wujudnya. Cara-caranya didesain seakan-akan adalah sebuah niat mulia sehingga, semua mahluk perlu berperan untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik yang selaras dengan alam. Program yang lahir mengunakan teknologi canggih dan ilmu pengetahuan modern serta bahasa ilmiah yang teramat sulit dipahami oleh masyarakat hukum adat (Ibid, 2013). Penyingkiran dengan cara-cara paksa disertai kekerasan saya tunjukkan melalui agenda politik etis kolonial, kebijakan negara dengan menggunakan militer untuk memaksakan kehendaknya, gejolak DI/TII dan PERMESTA, dan konflik yang menunggangi identitas dan agama. Kesemua hal ini memaksa masyarakat hukum adat terpisah dari sumber
produksi, menjadi pelarian di hutan untuk menemukan sumber produksi baru yang aman tanpa gangguan.
Mengurai Sekilas Politik Perampasan Tanah Pada Masyarakat Hukum Adat di Sulawesi Tengah
A.
Era Kolonial: Politik Etis
Orang Sulawesi yang saat ini menetap di dataran tinggi pegunungan (baik yang ada di dalam atau sekitar hutan) atau dataran rendah bukanlah tanpa sebab, melainkan proses sejarah panjang. Sejak zaman perbudakan, yang memperluas perburuan hingga menjangkau sebagian Sulawesi membuat mereka yang awalnya tinggal di dataran rendah dan lembah, kemudian berimigrasi secara besar-besaran menuju dataran tinggi pegunungan (Li, 2001; Reid, 20011: 128-130). Di era kolonial, semenjak Sulawesi Tengah ditaklukkan secara keseluruhan di tahun 1905, politik etis dilaksanakan (Seputar Rakyat: 2012: 10-12). Masyarakat hukum adat yang bermata pencaharian sebagai petani ladang pindah-pindah di pegunungan Poso dipindahkan secara paksa ke danau Poso dan kemudian diperkenalkan sistem pertanian baru, yakni sawah (Schrauwers, 2000; Li, 2012; Seputar Rakyat, 2012). Dalam analisisnya, Tania Li (2012) menuliskan ada ribuan petani yang kemudian meninggal karena tidak dapat beradaptasi dengan alam dan terkena malaria. Sementara Albert Schrauwers (2000), menuliskan akibat pemindahan ini, terdapat perubahan sistem kepemilikan atas tanah yang ketika mereka berladang pindah-pindah hak atas tanah belum jelas kepemilikannya setelah dipindahkan mereka diberikan lahan sawah dengan batas-batas yang telah jelas disertai klaim kepemilikan atasnya. Selain itu, Albert Schrauwers (Ibid)
juga menjelaskan bagaimana
mereka yang sebelumnya menanam tanaman subsisten diganti oleh Belanda dengan tanaman komoditi, yakni padi. Resettlemen sebagai produk kebijakan kolonial telah mengubah masyarakat pegunungan yang sebelumnya berbasis kerja dan klaim komunal atas tanah
berubah menjadi sistem kerja dengan sistem upah dan kepemilikan tanah pribadi. Akan tetapi sistem kerja kolektif masih tetap dipertahankan oleh masyarakat hukum adat. Hal yang terjadi pada orang Poso, juga terjadi pada orang Wana di hutan Ulu-Bongka yang saat ini menjadi bagian dari Kabupaten Tojo Una-una dipindahkan ke wilayah pesisir dengan maksud mengontrol mereka (Atkinson via Seputar Rakyat, 2012). Tahun 1912-1915 kolonial Belanda memaksa orang Pakava yang menetap didataran tinggi pegunungan Kamalisi turun ke dataran rendah lembah Palu, yang juga dipaksa dari berladang menjadi petani sawah. Akibat pemindahan secara paksa banyak orang Pakava yang meninggal karena epidemi disentri (Seputar Rakyat, 2012). Demikian juga yang terjadi di Tolitoli, seperti yang dilaporkan oleh controleur Kortleven, pada tahun 1920, ratusan penduduk yang tinggal di dataran tinggi juga telah direlokasi ke daerah pesisir. Dekat ke Tolitoli, sebuah laporan dari Asisten Residen Sulawesi bagian utara, Baron Van Houvell, pada tahun 1892, menyatakan bahwa sekitar 8000 penduduk hidup di dataran tinggi Moutong dan sekitar 10.000 di pedalaman sekitar Tomini yang dua dekade kemudian, pemimpin militer di wilayah itu, Boonstra van Heerdt melaporkan hampir seluruh penduduk itu telah dipindahkan dengan kekerasan ke daerah pesisir (David Henley via Seputar Rakyat, 2012). Di tepi danau Lindu, Belanda juga melakukan hal yang sama, yakni memindahkan penduduk yang berladang pindah-pindah di pegunungan ke tepian danau Lindu (Acciaioli via Seputar Rakyat, 2012).
B.
Era di Awal Kemerdekaan: Gejolak PERMESTA dan DI/TII
Dalam konteks perang dingin, di saat yang sama Presiden Soekarno saat itu lebih mendekatkan kebijakan ideologi politiknya pada blok Uni Soviet. Campur tangan Amerika sebagai upaya membendung paham sosialisme, dengan mendanai gerakan separtisme di daerah, salah satunya PERMESTA di Sulawesi (Leirissa, 1991). PERMESTA yang awalnya didirikan di Ujung Pandang oleh para perwira terpelajar dari Sulawesi yang terpecah
setelah diadu domba oleh TNI, akhirnya memindahkan pusat perjuangannya ke Kinilow Sulawesi Utara (Harvey, 1984 Leirissa, 1991, Sumual, 2011 ). Sementara itu, akibat ketidakpuasan Abdul Qahhar Mudzakkar karena pasukan yang dipimpinnya tidak dimasukan dalam tubuh ABRI yang baru terbentuk dan ditolaknya usulannya agar dibentuk resimen khusus di Sulawesi Selatan sekaligus ia diangkat menjadi komandan (Gonggong, ...; Harvey,). Qahhar kemudian memutuskan untuk bergerilya bersama pasukannya hingga kemudian bergabung dengan gerakan DI/TII pimpinan Kartosuwiryo untuk membentuk Negara Islam Indonesia (Gonggong, 1990). Menanggapi pemberontakkan yang dilakukan oleh PERMESTA dan DI/TII, maka dibentuk operasi khusus penumpasan. Gejolak yang terjadi akibat ketidakpuasan para pejuang yang awalnya bahu membahu mengusir penjajah berujung pada kudeta. kelompok-kelompok yang melakukan kudeta ini merasa memiliki peran penting namun saat lahir negara Indonesia merasa terabaikan. Kudeta yang dilakukan membutuhkan sumber daya alam dan manusia untuk memuluskan perjuangan dimaksud. Upaya yang dilakukan adalah dengan menaklukkan wilayah-wilayah yang jauh dari pusat kekuasaan negara, seperti wilayah pegunungan. Wilayah yang telah ditaklukkan ini kemudian dijadikan sebagai lokasi strategis untuk perang gerilya. Akibatnya, memaksa sebagian masyarakat hukum adat menjadi manusia pengembara di hutan untuk menghindari pengejaran dan pembunuhan (Sadi dkk., 2007; Rangi, 2013)
Sulawesi Tengah yang saat itu masih bagian dari Sulawesi Utara menjadi arena perang yang dilakoni oleh DI/TII dan PERMESTA yang terdesak oleh operasi khusus. Di sisi lain, pasukan, terutama
DI/TII dan PERMESTA telah kehilangan konsolidasi dan bantuan
logistik dari kesatuannya. Maka, daerah-daerah seperti Pantai Barat, Pantai Timur, Poso, Morowali, Bungku, Bada, Napu, Besoa, Pipikoro, Tobaku, Kulawi (sebagian besar wilayah Sulawesi Tengah) yang dilalui oleh pasukan DI/TII dan PERMESTA termasuk ABRI menyisahkan kisah-kisah pembunuhan manusia dan ternak peliharaan termasuk
persediaan makanan dirampas kemudian memaksa mereka yang masih hidup memilih untuk mengungsi. Banyak penduduk yang kemudian mengungsi ke tempat lain di Sulawesi Tengah yang dianggap aman. Dalam konteks inilah juga, awal arus masuknya migran dari Sulawesi Selatan ke Sulawesi Tengah yang terdesak oleh DI/TII (Lihat Acciaioli, 2001; Rangi, 2013).
C.
Era Orde Baru Hingga Reformasi
Era Orde Lama hingga Reformasi yang dikaitkan dengan penyingkiran masyarakat hukum adat dari sumber produksinya, ditandai oleh; pertama, mengulangi kebijakan seperti yang dilakukan pada masa politik etis kolonial, yakni resettlement atau pemukiman kembali masyarakat hukum adat ke tempat baru. Beberapa komunitas masyarakat hukum adat, seperti yang terjadi pada orang Wana (Seputar Rakyat, 2003), orang Lindu (Seputar Rakyat, 2012), orang Katu tidak berhasil dipindahkan hal ini tidak lepas dari aktivisme masyarakat adat yang menemukan arena politik baru dalam perjuangan rakyat (Li, 2001; D’Andrea, 2013). Sementara, sebelum aktivisme masyarakat adat mendapat ruang politiknya, diantara tahun 1970-an hingga 1980-an dengan agenda yang sama, pemerintah berhasil memindahkan orang Dodolo dari Wilayah Katu (Rangi, 2013) ke wilayah Napu begitu juga dengan masyarakat hukum adat dari wilayah pegunungan Palu bagian barat, wilayah Kulawi dan PipikoroTobaku ke dataran rendah yang saat ini kita kenal wilayah Kecamatan Palolo dan Kecamatan Nokilalaki. Agenda resettlement di sisi lain memiliki agenda tersembunyi rezim pemerintah, yakni untuk kebutuhan konservasi oleh desakan politik global. Untuk memuluskan niat tersembunyinya, rezim kemudian meng-iming-imingi masyarakat hukum adat bahwa tempat yang mereka tuju nantinya jauh lebih baik dan pemerintah sudah menyediakan lahan pertanian yang subur dan berbagai infrastruktur yang pada kenyataanya tidak demikian. Masyarakat Hukum adat yang berhasil dipindahkan,
ke tempat yang baru menghadapi
kondisi dimana mereka berbatasan dengan taman nasional, mereka memulai dari awal sistem
produksi, yang sebelumnya berladang pindah-pindah menjadi pertanian lahan basah. Beberapa pengalaman masyarakat hukum adat, seperti yang terjadi pada orang Tompu, orang Kulawi-Tangkulowi dipindahkan secara paksa dengan mengancam hingga membakar perkampungan mereka. Akibat hal ini, terjadi perubahan dalam sistem produksi yang bersifat kolektif menjadi invidual, dan sistem hak atas tanah masih kabur menjadi privat. Yang jika dihubungkan dengan tipologi padi ladang dengan karakter sistem produksi masyarakat hukum adat, tidak membutuhkan ekspansi tanah yang luas dan kebutuhan masyarakat adat atas alam sebatas memenuhi kebutuhan subsistennya. Dengan mereka dipindahkan ke tempat baru, masyarakat adat diberikan tanah beserta batas yang jelas bersifat pribadi beserta tanaman komoditi lahan basah yang sistem produksinya lambat laun bergantung pada pestisida dan teknologi modern untuk memenuhi kebutuhan pasar. Kedua, Ekspansi Tambang dan Perkebunan. Masuknya tambang dan perkebunan di Sulawesi Tengah jika merujuk pada referensi etnografi, telah terjadi sejak jaman kolonial Jepang. Aragon (1996) mengisahkan apa yang tejadi pada masyarakat adat di wilayah Tobaku, bagaimana mereka dieksplorasi sumberdaya alam dan manusianya dalam mekanisme perbudakan. Di masa kekinian, seperti yang terjadi di wilayah Kabupaten Morowali, JATAM via Andika (2014) mencatat;
“[...] dalam waktu 7 tahun terakhir terus meningkat secara signifikan. Sebanyak 177 perusahaan asing dari IUP yang diterbitkan Bupati Morowali menguasai sekitar 600.089 hektar lahan. Diperkirakan 45 IUP yang diterbitkan pemerintah Morowali bertumpang tindih dengan IUP yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Tumpang tindih dengan PT. Vale di Blok Bohodopi dan Blok Kolonodale. Dari 45 IUP yang tumpang tindih tersebut 12 diantaranya di blok Kolonodale antara lain, PT Bangun Bumi Indah, PT Cipta Hutama Maranti, dan PT. Graha Sumber Mining Indonesia. Dan 33 IUP berad di blok Bahodopi”. Lebih lanjut, tulisan Andika (Ibid dan liputan Seputar Rakyat Edisi II 2010 menunjukkan bagaimana sistem produksi tambang di Morowali merampas tanah masyarakat adat yang sistem produksinya sebagai petani dengan merelokasi mereka dengan sebelumnya
di-iming-imingi oleh janji palsu dengan ganti rugi yang sepadan dan keyatanannya tidak demikian. Setelah berhasil ditipu, sumber produksinya dijadikan lokasi pertambangan. Untuk memuluskan kerjanya, pertambangan memberi “kenikmatan” pada koorporasi. Akibatnya, selain tanah mereka dirampas kondisi lingkungan Morowali rusak parah yang mengakibatkan penyakit kulit pada anak-anak, setelah mengkonsumsi ikan yang telah tercemar limbah tambang. Ketiga, konflik yang menunggangi agama dan suku. Konflik yang menunggangi etnis dan agama di Sulawesi Tengah di jaman orde baru juga menciptakan kondisi lepasnya masyarakat hukum adat atas sumber produksi. Masyarakat hukum adat menjadi pengungsi ke wilayah lain di Sulawesi Tengah yang hari ini, ada yang bisa kembali dan tidak sedikit yang tidak bisa kembali. Korban hilang nyawa akibat konflik poso, kemungkinan menghilangkan nyawa 1000 orang, ratusan orang cedera dan puluhan ribu orang berulang-ulang menjadi pengungsi, puluhan perempuan mengalami pelecehan seksual, dan ribuan orang mengalami gangguan jiwa (Seputar Rakyat, 2003). Konflik Poso di sisi lain menunjukkan bagaimana politik penguasaan tanah sejak pemerintahan Presiden Habibie menciptakan kesenjangan kepemilikan tanah melalui mekanisme jual beli antara masyarakat adat dengan migran Bugis yang kemudian menciptakan kesenjangan dan politik perampasan tanah, hingga menciptakan konflik. Selain konflik Poso, konflik yang menunggangi identitas agama dan suku juga terjadi di desa-desa lain di Sulawesi Tengah (Li, 2009; van Klinken, 2007; Aditjondro, 2004). Acciaioli (2001) mengambarkan apa yang terjadi di dataran Lindu antara orang Lindu dan migran Bugis oleh karena ketimpangan penguasaan atas sumber produksi. Konflik yang menunggangi identitas agama dan suku yang terjadi di Sulawesi Tengah. Keempat, Agenda Politik Perubahan Iklim dan Politik Konservasi. Wacana perubahan iklim di Sulawesi Tengah menjadi diskursus dominan sejak tahun 2010 saat REDD+ awal diperkenalkan (Christy, 2013; Rangi, 2013). Masyarakat adat dihadapkan dengan wajah baru politik perampasan tanah yang dinaungi oleh rezim neoliberal. Wajah aktivisme selaku “wali” masyarakat adat
mengambil perannya tidak lagi memperjuangkan hak asasi masyarakat adat atas agenda politik perampasan tanah dengan turut serta mempersiapkan agenda “cuci tangan” negara industri (Rangi 2012). REDD+ sebagai salah satu skema solusi perubahan iklim adalah bentuk proyek “cuci-tangan” negara industri. Dimana, melalui REDD+ yang dinaungi oleh Protocol Kyoto memberi ruang bagi negara yang mendesain ekonomi dan perilaku manusianya bergantung pada industri tetap membiarkan industrialisasi tidak ditekan atau dihentikan, tetapi membuat proyek penurunan emisi karbon di negara lain melalui mekanisme pasar. Sasaran proyek ini adalah hutan dimana masyarakat adat hidup dan menghidupi (Rangi, 2012). Di Sulawesi Tengah, dikaitkan dengan wacana perubahan iklim, politik konservasi dan bentuk nyata politik perampasan tanah telah menjadi kenyataan saat ini. Seiring wacana dan mekanisme REDD+ disiapkan di Sulawesi Tengah, rezim negara mempersiapkan regulasi yang menjadi kebijakan sendiri melalui BPKH (Balai Pemantapan Kawasan Hutan). Maksudnya, jika mekanisme Implementasi REDD+ atau semacamnya terkait dengan pendanaan perubahan iklim yang bergantung pada jasa perlindungan hutan, kerangka investasi hutan telah dipersiapkan. BPKH sebagai perpanjangan tangan Kementrian Kehutanan di Sulawesi Tengah bertugas melakukan teritorialisi hutan di Sulawesi Tengah yang diinstitusionalisasikan melalui KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan). Terbatasnya konseptual masyarakat adat seperti yang digunakan oleh AMAN selama ini, membuka arena politik lain bagi negara untuk melakukan teritorialisasi di wilayah yang tidak terproteksi sebagai wilayah masyarakat adat. Konsep masyarakat adat AMAN dan menjadi dominan hari ini membatasi ruang advokasi atas perampasan tanah pada masyarakat adat yang hak asasi atas sumber produksinya terancam dirampas. Sebagai contoh kasus, saya menjelaskan apa yang terjadi pada masyarakat adat di Lemban Tongoa. Sejarah mencatat bahwa mereka yang hari ini berada di Lemban Tongoa sebelumnya adalah masyarakat adat yang berasal dari
Kulawi, Ngata Baru dan Kota Palu bagian Barat. Oleh program resettlement di jaman orde baru, mereka dipindahkan ke Lemban Tongoa. Karena asumsi bahwa wilayah mereka saat ini bukanlah wilayah adat sehingga, teritorialisasi KPH diberlakukan. Sampai hari ini, telah terbentuk 7 KPH dan akan diteruskan menjadi 21 KPH di seluruh wilayah hutan di Sulawesi Tengah (Rangi, 2014). Hal ini menjadi perenungan saya, jika masyarakat adat yang dibayangkan secara ideal hari ini masih berada di wilayah adatnya. Bagaimana dengan kondisi-kondisi masyarakat adat yang tanpa pilihan dan secara paksa dipisahkan dari tanah leluhurnya serta tidak mungkin lagi kembali ke tempat semula dan diperhadapkan pada ancama bahkan telah merampas akses sumber produksi mereka terhadap hutan? Di sisi lain jika kita merujuk pada narasi penyingkiran masyarakat adat yang saya sebut sejak jaman kolonial hingga hari ini yang memaksa mereka melakukan migrasi yang menciptkan mereka tidak lagi seperti yang kita bayangkan masih tinggal di wilayah adatnya dengan sistem kerja kolektif dan sistem kepemilikan tanah bersifat komunal, tetapi telah bergerak menjadi individual dan semakin kuat terinteraksi dengan pasar ditempatkan dalam kerangka apa untuk melindungi hak asasi mereka. Referensi Acciaioli, Gregory L., 2003. “Grouns of Conflict, Idioms of Harmony: Custom, Religion, and Nationalism in Violence Avoidance at The Lindu Plain, Central Sulawesi” Southeast Asia Program Publications : Cornell University Aditjondro, G. J., 2004. “Kerusuhan Poso dan Morowali, Akar Permasalahn dan Jalan Keluarnya”. Makalah untuk diskusi bertema: “Penerapan Keadaan Darurat di Aceh, Papua dan Poso Dalam Pemilu 2004?” yang diselenggarakan oleh ProPatria pada hari Rabu, 7 Januari 2004 di Ruang Betawi-3, Hotel Santika, Jakarta Andika., 2014. “Booming Pertambangan Nikel, Perampasan Tanah dan Kondisi Kelas Pekerja di Morowali, Sulawesi Tengah” di dalam Noer Fauzi dan Dian Yanuardy Master MP3EI: Plan Percepatan Dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia hal. 85-134. Yogyakarta: Tanah Air Beta Castells, Manuel. 1997. The Power of Identity. Oxford UK: Blackwell Publishers.
Christy, Des. 2013. “MENOLAK “PERBAIKAN”: Kajian Persiapan Implementasi REDD+ pada Masyarakat Desa Hano di Sulawesi Tengah” Tesis Pasca Sarjana, Program Studi Antropologi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta: UGM. D’Andrea, Claudia, Francesca. 2013. Kopi, Adat, dan Modal: Teritorialisasi dan Identitas Adat di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah. Indonesia: Tanah Air Beta bekerja sama dengan Yayasan Tanah Merdeka dan Sajogyo Institute. Gonggong, Anhar. 1990. Abdul Qahhar Mudzakkar dan Gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan, 1950-1965. Jakarta: Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia. Hall, Derek. Hirsch, Philip. Li, Tania M., 2011. Power of Exclusion: Land Dilemmas in Southeast Asia. Singapore: NUS Press. Harvey, Barbara S., 1984. Permesta: Pemberontakan Setengah Hati. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti. 1989. Pemberontakan Kahar Muzakkar: Dari Tradisi ke DI/TII. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti. Laudjeng, Hedar., 1994. “’Kearifan Masyarakat Adat Lindu’, dalam Arianto Sangaji (ed) Bendungan, Rakyat, dan Lingkungan: Catatan Kritis Rencana Pembangunan PLTA Lore Lindu, Jakarta: WALHI/Yayasan Tanah Merdeka. Leirizza, R.Z. 1997. PRRI/Permesta Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis. Jakarta : Grafiti. Li, Tania M., 2012. The Will To Improve: Perencanaan,Kekuasaan dan Pembangunan, terjemahan Herry Santoso dan Pujo Semedi. Jogjakarata: Margin Kiri. ., 2010. “Adat di Sulawesi Tengah: Penerapan Kontemporer”, di dalam Jamie Davidson, dkk (Eds.), Adat Dalam Politik Indonesia hlm. 367-405. Jakarta : YOI dan KITLV. ., 2009. “Reflection on Indonesian Violence: Two Tales and Three Silences” disadur oleh Colin Leys dan Leo Panitch hlm. 163-180 ., 2001. “masyarakat adat, Difference, and The Limits of Recognition in Indonesia’s ForestZone”. Cambridge: University Press Printed in The United Kingdom. Moniaga, Sandra. 2010. “Dari bumiputera ke masyarakat adat: Sebuah perjalanan panjang dan membingungkan”, di dalam Jamie Davidson, dkk (Eds.), Adat Dalam Politik Indonesia hlm. 301-323. Jakarta : YOI dan KITLV. Reid, Anthony. 2011. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid I : Tanah di Bawah Angin. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Sadi, Haliadi. Mahid, Syakir. Ibrahim, Anas M., 2007. Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah (GPST) di Poso 1957-1963: Perjuangan Anti PERMESTA dan Pembentukan Provinsi Sulawesi Tengah.Yogyakarta: Ombak Sangaji, Arianto. 2000. PLTA Lore Lindu (Orang Lindu Menolak Pindah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
. 2010. “Kritik Terhadap Gerakan masyarakat adat di Indonesia”, di dalam Jamie Davidson, dkk (Eds.), Adat Dalam Politik Indonesia hlm. 347-366. Jakarta: YOI dan KITLV. . 2001“Penghancuran Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam di Sulawesi Tengah”. Palu: Yayasan Tanah Merdeka. Savitri, Laksmi, 2014. “Rentang Batas Dari Rekognisi Hutan Adat dalam Kepengaturan Neoliberal” di dalam Jurnal Wacana Edisi Nomor 33 hal. 61-98 Schrauwers, A., 2000. “‘Let’s Party’: State Intervention, Discursive Traditionalism and the Labour Process of Highland Rice Cultivators in Central Sulawesi, Indonesia” di dalam The journal of Peasant Studies vol 25, No. 3. 112-130. London: Frank Cass Published Sumual, Ventje H.N., 2011. Memoar. Jakarta: Bina Insani Van Klinken, Gerry. 2007. Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia. Jakarta: Yoi Sumber Lain Seputar Rakyat, edisi 11 Tahun 2010 Seputar Rakyat, edisi 02 Desember 2003 - Januari 2004 Seputar Rakyat, edisi 02 Tahun 2002 Seputar Rakyat, edisi 05 Tahun 2012