MASJID SEBAGAI PUSAT PERIBADATAN DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT** Oleh: Ahmad Muhibudin* Masjid sebagai pusat peribadatan sebenarnya sudah sekaligus merupakan pusat peradaban, begitu seharusnya, sehingga masjid mewarnai atmosfir dan ruh peradaban masyarakat, bukan sebaliknya. Peribadatan harus dipahami secara benar, komprehensip dan terintegrasi secara baik. Makna ibadah adalah alkhudhu’(tunduk kepada peraturan hukum Alloh) war ridho (rela dengan peraturan hukum Alloh) wat taslim (berserah diri kepada Alloh). Apabila semua perbuatan manusia di setiap aspek kehidupan termasuk dalam masalah ritual tunduk dan rela kepada peraturan hukum Alloh, dan kemudian berserah diri kepada Alloh, maka perbuatannya berfungsi ibadah kepada Alloh. Namun apabila semua perbuatan manusia diseluruh aspeknya mengikuti peraturan yang melanggar peraturan hokum Alloh, maka perbuatan itu menjadi berstatus maksiyat kepada Alloh, bahkan walaupun dalam bidang ritual. Oleh karena itu Dakwah Islam sekarang ini, yang tentunya bukan dakwah mengajak orang islam masuk islam, melainkan dakwah mengajak orang islam untuk menegakkan Islam diseluruh aspek kehidupan. Sehingga Islam dapat menempatkan umat Islam menjadi umat terbaik yang menegakkan kesaksian atas perbuatan manusia. Alloh berfirman, א א א א א :”Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”(QS. Albaqoroh, ayat: 143) Masjid tentu harus berperan dengan fungsi standart yang diajarkan dalil Islam, Alqur’an dan Sunnah Rasul saw. Karena itu masjid harus berperan bersama kaum muslimin seluruhnya untuk membangun kerjasama, bantu membantu dalam membangun ukhuwah Islamiyah, dengan metode kepedulian kepada Umat. Kepedulian itu menyangkut kepedulian terhadap Tsaqofah Islam, kebudayaan Islam dan peradaban Islam. Kepedulian berikutnya adalah kepedulian terhadap kemashlahatan umat, seperti masalah ekonomi, politik, kesehatan, pendidikan dan berbagai persoalan umat lainnya. Masalah ekonomi dan politik sekarang ini rupanya paling berpengaruh terhadap existensi dan perjuangan dakwah Islam. Berbagai kegiatan politik dan ekonomi di era reformasi ini, harus terus didorong agar mengarah kearah peradaban Islam dan mendukung dakwah Islam secara makro dan subtansial, komprehensif dan dapat diintegrasikan dengan baik. Kalau memperhatikan redaksi UUD ’45 “Bumi dan Air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara …” maka yang ditentukan disini baru penguasaannya, sedangkan pemilikannya belum dibicarakan. Akibatnya barang tambang pemilikannya menjadi vareabel yang oleh penguasa di geser-geser ke areal gray / abu-abu, antara pemilikan Negara dan pemilikan indifidu mengikuti idiologi pemegang saham. Padahal seharusnya pemilikan ditentukan berdasarkan oleh hokum-hukum, bukan oleh kekuasaan. Dan hukum pemilikan barang tambang sebelum Negara Indonesia didirikan sampai sekarang ini di dunia, hanya ada tiga macam: 1. Sosialis-Komunis telah menetapkan barang tambang sebagai milik Negara. 2. Kapitalisme telah menentukan hokum pemilikan barang tambang sebagai milik individu. 3. Islam telah menentukan hokum pemilikan barang tambang sebagai milik umum. Sebagai contoh kegiatan pertambangan emas misalnya, jika dikelola berdasarkan hokum pemilikan Islam tentunya harus menjadi pemilikan umum. Jika tambang tersebut depositnya kecil, maka rakyat harus dibolehkan memiliki sebagai pemilikan pribadi dan tidak boleh dilarang, pemerintah mengatur saja agar tidak terjadi perselisihan diantara anggota masyarakat. Tetapi jika tambang emas tersebut depositnya besar, maka pemilikannya harus dijadikan pemilikan umum. Artinya pemerintah tidak boleh bertindak sebagai pemilik, namun pemerintah bertindak sebagai pengelola dan hasilnya harus digunakan sebagai anggaran pembangunan sarana umum seperti jalan raya, pelabuhan, terminal, masjid, rumah sakit, sekolahan, perguruan tinggi dst. Semua hasil tambang baik emas, logam lainnya, minyak dst harus hanya digunakan untuk anggaran sarana umum. Masjid-masjid, dakwah dan umat harus berperan aktif dalam mengarahkan perubahan masyarakat, dibidang ekonomi dan politik khususnya, tidak boleh masjid hanya menjadi menara gading sekedar pusat kegiatan ritual semata, melainkan juga peduli kepada problematika umat, dan persoalan masyarakat disekitarnya. Namun demikian kepedulian itu harus tetap dalam rangka menjalankan peribadatan kepada Alloh melalui metode penegakan hokum-hukumnya. Sehingga Islam di amalkan tidak secara partial, melainkan tetap berpijak kepada dalil Alqur’an dan Sunnah rasul yang dipahami secara komprehensif dan terintegrasi secara baik. Rasul saw bersabda, ( " ) א א א. א ": א א : א Dari Hudzaifah bin Yaman, Rasul saw bersabda :”Barang siapa tidak bersungguh-sungguh dengan urusan kaum muslimin, maka dia tidak termasuk bagian dari kaum muslimin.” (HR. Thobrony) Demikian juga dibidang politik, umat Islam harus aktif mengarahkan perubahan masyarakat terutama dalam masalah kepemimpinan harus di arahkan bahwa kepemimpinan hanya untuk mereka yang menghormati Islam dan umat Islam dan peduli kepada dakwah Islam dan peradaban Islam rohmatan Lil Alamin. Dan para pemimpin kaum muslimin harus mendorong masyarakat agar tidak mendukung atau memilih siapapun yang meskipun memiliki pengetahuan tetapi mereka yang sekaligus pelaku kemungkaran. Sebab riwayat Ummy Salamah menceritakan Rasul saw bersabda, "Bakal ada pemimpin-pemimpin yang mereka memiliki pengetahuan dan mereka sekali gus pelaku kemunkaran, maka barang siapa membenci mereka maka dia akan dilepaskan dari segala tuntutan, dan barang siapa mengingkari mereka maka dia selamat, tetapi seseorang rela dan mengikuti”. (HR. Muslim) Imam Nawawi dalam syarah muslim mengomentari hadits ini, 1
“Orang yang tidak mau mengingkari dan tidak membenci kemunkarannya, maka tidak akan dibebaskan dari tuntutan peradilan di akhirat dan tidak akan selamat dari siksa”. Tetapi masjid, dakwah dan umat harus tetap tegak dengan politik sebagai urusan pelayanan kepada rakyat dengan metode hokum yang benar, bukan politik yang menghalalkan segala cara, bersifat non partisan untuk semua umat apapun benderanya dan menjadi rahmatan lil alamin. Kepedulian Kepada Tsaqofah dan Peradaban Islam Rasul saw pertama kali diutus dengan wahyu “Iqro’ bismi robbikal ladzi kholaq” dan fakta perbuatan Rasul saw melakukan tasqif di Makkah dengan tsaqofah Islam. Jadi jelaslah bahwa pertama problem yang dipecahkan oleh Rasul saw dengan dituntun wahyu dari Alloh swt adalah membangun pemikiran masyarakat dengan akidah Islam. Sehingga mudah dipahami jika para ulama’ berkesimpulan hokum bahwa problem primer dakwah adalah penanaman akidah Islam kepada masyarakat, bukan persoalan skunder seperti masalah ekonomi atau scunder lainnya, karena perbuatan Rasul saw adalah dalil. Namun demikian ada perbedaan sasaran dakwah pada masa Rasul saw dengan masa sekarang ini. Pada masa Rasul saw masyarakat adalah orang-orang kafir yang diajak masuk Islam dan setelah itu langsung diajak menegakkan Islam di Madinah. Sedangkan sekarang ini, masyarakat yang di seru dakwah adalah orang-orang yang sudah beragama Islam, tentunya bukan diajak masuk Islam, karena mereka sudah masuk Islam, tetapi diajak menegakkan Islam, sebab Islam yang pernah ditegakkan Rasul saw bersama sahabat telah runtuh tahun 1924 dan wajib bagi seluruh umat Islam di seluruh dunia untuk menegakkan kembali, yaitu mengajak menegakkan kekhilafahan Islam dengan metode membangun kembali tsaqofah Islam, akidah dan hokum Islam diseluruh aspek kehidupan. Mengajak kepada tsaqafah islam bukan hanya membatasi seorang muslim (mempelajari) tsaqafah tersebut. yang dimaksudkannya adalah tsaqafah islam harus dijadikan sebagai asas dalam tatsqif dan ta’lim. Jadi, boleh mempelajari tsaqafah dan ilmu pengetahuan lainnya. Seorang muslim berhak (mempelajari) hal yang diinginkannya, baik itu berupa tsaqafah-tsaqafah lain maupun mempelajari perkara yang menarik baginya berupa ilmu pengetahuan. Meskipun demikian syakhsiyah islam harus menjadi poros utama yang dikelilingi hasil dari setiap tsaqafah. Kaum muslim terdahulu selalu bertekad keras untuk memberikan (pertama kali) tsaqafah islam kepada anak-anak mereka. Kemudian, setelah mereka merasa memperoleh jaminan (tenang/aman) terhadap penguasaan tsaqafah tersebut, mereka membuka pintu-pintu (anak-anak) mereka untuk menghadapi berbagai tsaqafah lain selain islam. Metode pembelajaran seperti ini mengokohkan syakhshiyah islam tetap sebagai syakhshiyah islam, bukan yang lain, yang memiliki sifat-sifat khusus yang membedakannya dari syakhshiyah-syakhshiyah anak manusia lainnya. Tsaqafah selain islam tidak boleh diambil kecuali setelah merasa (memperoleh jaminan) aman terhadap penguasaan dan kokohnya tsaqafah islam dalam sanubari. Hal semacam ini tidak disyaratkan dalam pengambilan ilmu pengetahuan. Sebab, ilmu pengetahuan tidak ada hubungannya dengan syakhshiyah islam, lagipula ilmu pengetahuan bersifat universal. Sangat penting bagi kaum muslim untuk selalu membiasakan mengambil ilmu pengetahuan segenap tenaga mereka, karena ia merupakan sarana kehidupan. Meskipun demikian perlu diperhatikan dalam hal (pengajaran) ilmu pengetahuan agar hasilnya sesuai dengan pemahaman islam, yaitu sebagai penguat akidah, bukan malah menggoyahkan akidah. Apabila teori-teori ilmiah atau postulat-postulat ilmu bertolak belakang dengan nash Al Quran yang qath’I dilalah dan qath’I tsubut, maka tidak boleh diambil dan tidak boleh dijadikan sebagai salah satu materi pengajaran, karena bersifat dzanni sedangkan Al Quran bersifat qath’i. Contohnya, teori Darwin mengenai asal-usul manusia yang bertolak belakang dengan nash Al Quran mengenai penciptaan Adam. Teori ini ditolak karena bertentangan dengan nash Al Quran. Sekalipun islam tidak dijadikan sebagai asas dalam memperoleh ilmu pengetahuan akan tetapi harus diperhatikan bertolak belakang atau tidaknya ilmu pengetahuan tersebut dengan akidah islam. Walhasil, akidah islam wajib dijaga dengan sebenar-benarnya ketika menambah berbagai tsaqafah dan ilmu pengetahuan. Syakhshiyah islam dijadikan sebagai prioritas utama untuk mencapai (mempelajari) tsaqafah apapun dan agar diperhatikan bertolak belakang atau tidaknya ilmu pengetahuan dengan syakhshiyah islam dalam mempelajari ilmu pengetahuan. Hal ini harus dijaga untuk melestarikan syakhsiyah islam pada diri seorang muslim, dan agar tsaqafah islam berpengaruh terhdap tsaqafah-tsaqafah lainnya. Dengan penjagaan ini pula dapat terpelihara kelestarian tsaqafah islam yang unik dibandingkan dengan tsaqafahtsaqafah yang ada di dunia. Apabila penjagaan ini hilang dan kaum muslim menganggap sepele hal ini, maka mereka akan mendapatkan tsaqafah-tsaqafah lain yang tidak berdasarkan akidah islam. mereka tidak memperhatikan akidah islam ketika mengambil ilmu pengetahuan. Hal itu berakibat munculnya bahaya yang sesungguhnya terhadap syakhshiyah islam, bahkan dapat menimpa umat islam apabila hal ini berlangsung lama dari satu atau beberapa generasi. Oleh karena itu dalam design dakwah harus memperhatikan pemikiran tsaqofah, hadhoroh dan kepedulian kemashlahatan ummat yang terintegrasi dengan baik, yaitu dengan terus menerus memberikan kritik kepada para penguasa tentang berbagai solusi yang mereka ajukan di berbagai aspek kehidupan dengan solusi yang Islami. Ditawarkan dan dikampanyekan terus menerus tentang solusi Islami dalam pemikiran yang komprehensif dan membantah berbagai solusi yang diajukan idiologi Kapitalisme yang licik dan mengandung hidden agenda penjajahan. Oleh karena itu mengkampanyekan konsep yang islami dalam menangani berbagai persoalan diseluruh aspek kehidupan harus terus di kampanyekan, karena islam memang punya jawaban untuk itu semua. Namun demikian pengemban dakwah juga harus peduli kepada persoalan mendesak masyarakat bersama-sama 2
dengan anggota masyarakat lainnya yang peduli dengan persoalan mendesak tersebut, atau bekerja sama dengan berbagai fihak yang telah menyusun program kepedulian dari kalangan individu maupun corporat / CSR dari berbagai kepedulian social yang dilakukan masyarakat. Namun demikian masjid sebagai salah satu komponen masyarakat yang sangat signifikan dilingkungannya, pasti dapat berperan jauh lebih efektif dibandingkan lembaga-lembaga social lainnya. Masjid harus menjadi benteng pertahanan serangan peradaban kufur Sosialis-Komunis, maupun kapitalisme. Serangan peradaban yang berkedok ilmu pengetahuan, seperti Darwinisme, Psychologi yang tidak islami, kesenian yang tidak islami dan sejenisnya. Sebenarnya metode ilmiyah adalah metode berfikir cabang yang benar, apabila di tempatkan pada wilayahnya, yaitu terhadap persoalan yang tunduk kepada proses laboratorium. Namun metode ini telah dimanfaatkan oleh para pemikir Kapitalisme untuk memasukkan ideide peradaban Kapitalisme kepada umat Islam dengan berkedok ilmu pengetahuan. Padahal hadhoroh / peradaban adalah dasarnya akidah dan hokum, bukan experiment laboratorium. Masjid memiliki komponen yang lengkap dari sebuah miniatur masyarakat. Ada warga masyarakat yang secara periodic berinteraksi dilingkungan masjid. Ada kepemimpinan takmir masjid atau semacamnya. Ada peraturan yang diyakini dan dijunjung tinggi oleh mereka berupa akidah dan hokum Islam. Ada pemikiran dan perasaan yang relative sama dilingkungan masjid dalam dakwah Islam, oleh karena itu Masjid hendaknya difungsikan kembali seperti fungsi masjid zaman Rasul saw sebagai pusat kepedulian yang Islami terhadap semua persoalan masyarakat, termasuk mengontrol arah peradaban masyarakat supaya tidak kearah maksiyat kepada Alloh swt yang telah memberikan rizki, rahmat dan karunianya. Kepedulian kepada kemashlahatan Umat Keadaan perekonomian di tingkat kampung sekalipun tidak akan terlepas dari system ekonomi negara yang di dominasi oleh system ekonomi global dunia yang sekarang dikuasai oleh idiologi tunggal kapitalisme terutama setelah tumbangnya negara Sosialis-Komunis Uni Sovyet. Oleh karena itu system ekonomi yang ada sekarang ini harus dicermati dan dilihat dari sudut pandang umat Islam yaitu sudut pandang tsaqofah, hadhoroh Islam, akidah dan hukum Islam. Sistem Ekonomi dibentuk pasti terkait langsung dengan bentuk masyarakat yang hendak diwujudkannya. Bentuk masyarakat Sosialis-Komunis membangun sistem ekonomi berdasarkan prinsip ‘sama rata, sama rasa’ dengan metode dialektika matrealisme. Jargon ini kelihatannya peduli kepada masyarakat, tetapi sayangnya yang dilakukan oleh para pemikir ideologi Sosialis-Komunis ternyata adalah membatasi pemilikan hanya oleh Negara, dengan itu Negara bertindak dengan harapan ekonomi dapat merata untuk seluruh rakyat. Tetapi yang terjadi malah di luar perkiraan mereka, pemerataan kemiskinan terjadi untuk semua Rakyat. Masyarakat bergolak terhadap tekanan ekonomi yang luar biasa, tidak tahan dengan keadaan dialektika matrealisme yang diciptakan ideologi ini. Secara singkat dapat dikatakan, Rakyat dan Negara menjadi berseberangan menjadi tesa dan anti tesa yang menghasilkan sintesa tumbangnya Uni Sovyet. Tumbangnya Uni Sovyet yang berakhir dengan matinya idiologi Sosialis-Komunis menjadikan Negara Kapitalis merasa menang, kemudian merasa sistem ekonomi mereka layak menggantikan pengaruh SosialisKomunis untuk diterapkan ke seluruh penjuru dunia. Pertanyaannya, apakah layak sistem ekonomi Kapitalis diterapkan untuk manusia? Sistem Ekonomi kapitalis itu dibentuk bertumpu dari bentuk masyarakat liberal individualistik. Memetakkan pemilikan hanya pada pemilikan Negara dan pemilikan pribadi/swasta. Kemudian membentuk pemerataan ekonomi melalui mekanisme pasar bebas. Anggaran dan belanja Negara ditetapkan berdasarkan prinsip kesepakatan pemerintah dan wakil rakyat. Apa akibat dari semua itu ? Sistem pemerataan ekonomi kapitalis ternyata menghasilkan jurang kesenjangan pemisah kaya miskin menjadi luar biasa. Kekayaan hanya beredar di orang-orang tertentu saja, dari kalangan konglumerat. Di Negara Pemimpin Kapitalis Amerika dan Eropa, para ulama kapitalis kemudian merasa khawatir hal yang buruk akan menimpa mereka seperti tumbangnya Uni Sovyet. Hal ini terutama munculnya persoalan yang mereka sebut sebagai problem kecemburuan sosial. Dorongan keadaan tersebut memaksa mereka melakukan otopsi total terhadap sistem ekonomi Kapitalisme. Hasilnya adalah dibuat revisi sistem ekonomi Wellfare State (Negara Kesejahteraan), dengan revisi ini Negara tetap bertumpu pada pasar bebas, tetapi ada tindakan Negara langsung memberikan jaminan sosial kepada rakyat miskin, melalui metode asuransi total yang preminya dibayarkan melalui APBN. Ekonomi yang dikehendaki oleh manusia yang sehat dan waras akalnya pastilah ekonomi yang benar dan berkeadilan, dalam bentuk hukum pemilikan, hukum-hukum pemerataan dan hukum-hukum anggaran belanja. Namun demikian, hukum-hukum yang menjadi solusi atas berbagai problem ekonomi tersebut (mu’alajah) harus didukung dengan metode pelaksanaan (kaifiyatud tabfidz), metode penegakan (kaifiyatut tathbiq) dan metode sosialisasi yang baik, efektif dan efisien (kaifiyah hamlud dakwah). Tanpa metode tersebut, pemikiran hanya menjadi mimpi, dan tidak akan pernah menjadi realitas kehidupan. Dan metode mimpi merupakan produk barat yang diekspor ke dunia Islam untuk menidurkan umat Islam agar tidak bangkit dalam perang peradaban (ghozwus tsaqofi) yang dikembangkan para ulama orentalis. Oleh karena itu, pemikiran tanpa metodologi untuk mewujudkannya, hanya akan menjadi mimpi penghibur yang melalaikan dan dapat menghambat laju kebangkitan umat Islam.
3
Jaminan Sosial dalam System Kapitalis, Sosialais-Komunis dan konsep Jaminan Sosial ala Dunia ke- 3 MDGs Sosialis-Komunis dengan jargon ”Sama rasa, sama rata” bermaksud mengatasi problem ekonomi distribusi untuk menciptakan pemerataan. Fakta jargon tersebut tidak diarahkan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok rakyat dengan perhatian khusus. Namun ternyata yang mereka lakukan adalah menyamakan kepemilikan, melarang kepemilikan setiap barang produsen dan membatasi kepemilikan hanya pada barang konsumen saja, serta memfokuskan perhatiannya kepada kaum buruh. Tidak adanya perhatian terhadap jaminan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer itu membawa pada merosotnya tingkat kehidupan semua rakyat secara luar biasa yang terjadi di semua negara yang menerapkan Sosialisme-Komunisme. Kemerosotan itu merata pada mayoritas rakyat sehingga rakyat tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya, kecuali sebagian saja. Terjadinya kemerosotan tingkat kehidupan itu diakui oleh Khurschev perdana menteri Rusia waktu itu, hingga dia berseloroh di hadapan Nixon wakil presiden Amerika Serikat terdahulu ketika dia berkunjung ke Rusia tahun 1959, bahwa Rusia akan mencapai tingkat kehidupan Amerika setelah dua puluh tahun. Dapat disaksikan bahwa rakyat Uni Sovyet bermigrasi ke Irak pada tahun 1958, 1959 dan 1960 dalam kondisi kelaparan dan mengharapkan makan enak. Ini semua menunjukkan bahwa usaha menyamakan kepemilikan, hanya menjadikan semua rakyat miskin serta tidak mungkin memenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya. Sosialis-Komunis telah gagal menciptakan pemerataan ekonomi dan gagal pula menghasilkan pertumbuhan. Agar mengerti perbedaan yang signifikan antara jaminan Islam terhadap pemenuhan kebutuhankebutuhan primer dengan usaha-usaha ideologi-ideologi lain untuk mencapai jaminan tersebut, seorang perlu kembali pada hukum-hukum masing-masing ideologi dalam masalah ini. Ideologi kapitalis berusaha mewujudkan jaminan sosial, keadilan sosial, dan menciptakan asuransi-asuransi sosial. Jaminan-jaminan ini, menurut sistem kapitalis merupakan bukti perhatian negara terhadap dua kelompok manusia di antara rakyatnya. Kedua kelompok itu adalah: Pertama: Mereka yang bekerja dipemerintahan, lembaga-lembaga umum, para pekerja tetap di pabrikpabrik dan proyek-proyek serta buruh tani yang menggunakan alat-alat pertanian. Sebagian mereka memasukkan para buruh tani dalam komunitas ini, tetapi tidak memasukkan para pekerja kontrakan, pekerja angkutan, kuli pelabuhan, dan pekerja musiman. Sebagian lagi tidak memasukkan para buruh tani, kecuali mereka yang bekerja dengan peralatan. Sedangkan pekerja (buruh) yang mendapatkan jaminan dan asuransi sosial adalah mereka yang bekerja pada yang lain dengan upah. Kedua : Fakir miskin; Dua kelompok ini saja yang mendapatkan jaminan dan asuransi sosial. Negara memperhatikan mereka untuk dibantu, sedangkan rakyat selain mereka tidak berhak terhadap perhatian negara. Cara negara memperhatikan para pekerja adalah negara memberi pekerja kompensasi, dan tunjangan di hari tua. Apabila di tengah-tengah menjalankan pekerjaannya seorang pekerja ditimpa musibah yang menyebabkan cacat ditangannya, kakinya atau pada bagian tubuh lainnya, sehingga dia tercegah dari menjalankan pekerjaannya dengan sempurna atau sebagian, maka dia mendapat pengobatan gratis hingga sembuh, dan dia tidak berhak atas kompensasi akibat musibah yang dialaminya. Apabila dia lemah tidak mampu menjalankan pekerjaannya dengan sempurna, maka dia diberi bantuan yang tidak mencapai jumlah upah hariannya, tetapi kurang dari itu, terkadang mencapai 70 % dari upah hariannya sehingga dia sembuh. Apabila ketidakmampuannya itu selamanya, maka dia diberi tunjangan bulanan yang tidak mencapai jumlah upah bulanan yang biasa diterima. Namun, terkadang mencapai 60% atau 70% dari upahnya. Dan dia tetap mendapatkan kompensasi itu hingga memasuki umur pensiun, yaitu umur 60 tahun, 55 tahun, atau 65 tahun sesuai undang-undang yang berlaku di negaranya. Demikian ini, apabila seorang pekerja mengalami musibah (kecelakaan). Apabila dia menderita sakit, maka mendapat pengobatan gratis, dan diberi upahnya selama waktu sakitnya. Begitu juga, seorang pekerja yang diberi hari libur dalam seminggu, pada hari-hari besar, dan pada hari-hari libur dalam satu tahun, serta dia tetap diberi upah pada hari-hari itu. Apabila seorang pekerja meninggal pada waktu masih kerja, maka dia diberi kompensasi tertentu yang diserahkan kepada keluarganya menurut rasio masa pengabdiannya pada satu departemen, lembaga, atau pabrik. Ini sehubungan dengan uang kompensasi. Sedang uang tunjangan hari tua merupakan hak setiap orang yang mencapai umur pensiun, namun dia tetap bekerja, yakni sudah mencapai umur 60 tahun, 55 tahun, atau 65 tahun, sesuai undang-undang pensiun yang berlaku di negara itu. Setiap pekerja, sedang dia telah memasuki umur pensiun namun dia masih bekerja maka dia diberi bonus sejumlah tertentu menurut rasio masa pengabdiannya, atau tunjangan bulanan yang disesuaikan dengan rasio masa pengabdiannya. Para pekerja jarang yang mendapatkan kehidupan yang lebih baik pada separuh kehidupan yang telah dihabiskan sehingga dia tetap mengambil pensiun ini sampai dia meninggal. Apabila dia dikeluarkan sebelum pensiun, maka dia diberi bonus sejumlah tertentu menurut rasio masa pengabdiannya. Di beberapa negara yang mem-PHK para pekerja menyebabkan krisis bagi pabrikpabrik dan negara, seperti di Amerika Serikat. Para pekerja pengangguran akibat PHK, mereka diberi bantuan tetapi tidak mencapai upah hariannya, sedikit banyaknya santunan itu tergantung sejauh mana bahaya para pekerja yang menganggur tersebut terhadap pabrik-pabrik dan negara. Inilah gambaran secara global tentang jaminan dan asuransi sosial bagi para pegawai dan pekerja. Sedang siapa yang memberi jaminan-jaminan ini kepada mereka, maka yang memberinya bukanlah negara, tetapi orang yang memperkerjakan mereka. Negara hanya memberikan kepada pegawai negara saja. Apabila mereka bekerja pada lembaga-lembaga umum, perseroan, pabrik, departemen khusus, atau lainnya, maka yang memberikan jaminan-jaminan adalah mereka yang bersangkutan dan bukanlah negara. Perhatian negara kepada mereka hanyalah berupa pembuatan dan pembekuan undang-undang yang menjamin mereka 4
untuk mendapatkan jaminan-jaminan ini. Namun, yang memberikan adalah orang-orang yang mempekerjakan mereka, yakni para pemilik pekerjaan tempat mereka bekerja. Negara tidak memberikan jaminan-jaminan ini, kecuali kepada para pegawai dan para pekerja negara. Sedang dari mana harta itu diperoleh, maka negara memotong sejumlah 5% atau 10% atas upah para pekerjanya. Sebagian darinya dibayar untuk sesuatu yang dihadapinya. Harta ini diinvestasikan dengan cara ribawi, kemudian hasil dari investasinya dibayarkan sebagai kompensasi-kompensasi para pekerja, bantuan, dan tunjangan hidupnya. Sedangkan para pegawai dibayar dari kasnya sebagai dana pensiun. Sedang lembagalembaga yang lain, mereka memotong dari sebagian upah bekerja sejumlah 3%, 5%, 10%, atau sekitar jumlah itu, sebagian darinya dibayar untuk sesuatu yang dihadapinya, serta diinvestasikannya secara ribawi. Kontribusi dan donasi tersebut dikumpulkan selanjutnya diberikan kepada para pekerja. Terkadang negara turut serta dalam kontribusi ini. Dari harta yang terkumpul ini diberikan sebagai jaminan-jaminan sosial. Dengan demikian, harta yang diberikan sebagai jaminan-jaminan sosial hasil kontribusi mereka sendiri. Pemilik pekerjaan tidak memberikan, kecuali upah yang dibayarkannya kepada pekerja. Harta yang diberikan untuk jaminan-jaminan sosial hasil dari investasi secara ribawi. Dengan demikian sumber-sumber pendanaan jaminan-jaminan sosial adalah kontribusi para pekerja yang diambil dari upahnya, kontribusi pemilik pekerjaan, hasil investasi, kontribusi keluarga yang berbentuk donasi-donasi, dan terkadang kontribusi negara namun jumlahnya sedikit sekali. Demikianlah tentang jaminan-jaminan sosial untuk para pekerja. Sedangkan jaminan-jaminan sosial untuk fakir miskin tidak berupa pemberian harta yang cukup untuk pemenuhan hidupnya, tidak menyediakan makanan, pakaian, dan tempat tinggal bagi mereka, sebab hal tersebut mustahil dalam sistem kapitalis. Namun jaminan-jaminan terhadap fakir miskin berupa jaminan mendapatkan pelayanan-pelayanan kesehatan gratis, dan pendidikan gratis. Untuk itu negara membuka poliklinik-poliklinik, rumah sakit-rumah sakit agar fakir miskin dapat berobat secara gratis, dan menyediakan sekolah-sekolah agar anak-anak fakir miskin dapat belajar dengan gratis. Di samping itu, negara memperhatikan anak-anak fakir miskin, para ibu fakir miskin yang hamil, lemah dan cacat. Perhatian negara terhadap mereka itu berupa pemberian makanan dan pakaian melalui sedekah, akan tetapi bantuan mereka terima tidak sampai menutupi kebutuhan-kebutuhannya. Mereka hanya diberi paket-paket yang berisi makanan atau susu, dan diberi pakaian pada musim paceklik. Inilah ringkasan tentang jaminan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer dalam sistem kapitalis. Dan yang serupa dengan itu adalah sosialisme negara. Sebab sosialisme negara memberikan jaminan-jaminan yang sama, selain tambahan yaitu memberikan para pekerja bagian dalam modal, menentukan upah minimum pekerja, menentukan batas maksimum bunga dan sewa, membatasi kepemilikan sebagian besar warga negara, dan menasionalisasi beberapa kepentingan-kepentingan umum. Metode sosialis negara dalam menjamin pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer adalah metode kapitalis meski disembunyikannya dengan menambah beberapa hukum. Bagaimana dengan Ekonomi dunia ke- 3 ? Di Indonesia misalnya, telah ada kepedulian pemerintah kepada rakyat miskin, dengan berbagai bentuk seperti BLT pada tahun 2008 dianggarkan sebesar Rp. 14,1 triliun (Antara, 21/5/2008), ada juga jamkesmas untuk kesehatan rakyat miskin yang dianggarkan Rp. 4,6 triliun (Antara, 10/2/2009), BOS untuk kepedulian pemerintah pada pendidikan dianggarkan sebesar Rp. 16 triliun pada tahun 2009 (Kominfo Newsroom, 20/1/2009), ada juga KUR yang dianggarkan sebesar Rp. 20 triliun pada tahun 2009 (Surya, 19/2/2009) dsb. Namun demikian tuntutan kepada negara berbeda dengan tuntutan kepada masyarakat. Negara wajib menjamin kebutuhan pokok rakyat secara keseluruhan, baik yang bersifat kebutuhan pokok individu seperti makan-minum, pakaian dan perumahan. Demikian juga kebutuhan pokok sebagai anggota masyarakat, seperti kebutuhan pokok kesehatan, pendidikan dan keamanan. Dan itu semua kebutuhan pokok dua macam tersebut wajib dijamin oleh negara, sedangkan masyarakat dianjurkan berbuat baik sesuai dengan hukum yang berlaku atas mereka masing-masing. Kalau administrasi termasuk didalamnya masalah keuangan berbentuk desentralisasi dan di bawah tanggung jawab kepala daerah, maka jaminan kebutuhan pokok rakyat dapat di tuntut atas kepala daerah jika tidak dapat dilaksanakan. Misalnya Kasus kelaparan yang berakibat kematian dari rakyat, tidak bisa hanya diramaikan oleh media masa kemudian selesai dengan doa-doa dan keprihatinan saja, tetapi kepala daerah tersebut harus diajukan ke pengadilan atas kelalaiannya mengurus hak kebutuhan pokok rakyat yang berakibat pada kematian dan harus dijatuhi sanksi yang jelas melalui putusan peradilan yang benar. Semua kekayaan yang dihimpun dalam kas negara, tidak berupa satu macam pemilikan, adakalanya merupakan milik negara, seperti pajak; dan adapula merupakan milik umum rakyat, seperti tambang. Oleh karena itu setiap kekayaan yang dihimpun dalam kas negara harus dirinci jenis pemilikannya dan hukum penggunaanya. Ada harta yang memang khusus untuk sarana umum dan kebutuhan pokok umum rakyat, seperti harta milik umum: semua jenis tambang dsb. Ada harta yang keperuntukannya untuk anggaran penyelenggaraan pemerintahan, seperti gaji pegawai negara: harta pajak dst. Demikian juga harta yang khusus diperuntukkan orang-orang miskin, memiliki sumber anggaran tersendiri yang ditetapkan secara hukum. Memang merupakan kepedulian kepada rakyat lemah, terlepas bias di sana-sini, tetapi yang perlu dikritik dalam penyelengagaran BLT (Bantuan Langsung Tunai) adalah penyelenggaraannya masih tidak jelas pemikiran problem solfingnya (mu’alajah), metode pelaksanaannya (kaifiyah tanfidz), metode penegakannya (kaifiyah tathbiq) dan metode sosialisasinya (kaifiyah hamlud dakwah). Semua itu harus diatur dengan peraturan hokum, bukan peraturan tehnis seperti prosedur dan sejenisnya. Orang-orang miskin itu dalam pandangan hukum islam memang memiliki hak pemilikan dari suatu jenis kekayaan yang dihimpun oleh negara, seperti harta milik umum tambang dsb. Jadi jika diberikan bagian pemilikannya secara hukum kapada orang miskin, berarti mereka sedang menerima hak miliknya sendiri. 5
Orang menerima hak pemilikannya sendiri tidak boleh diganggu, diejek, diremehkan diplintir dsb. Justru yang harus dididik adalah para pejabat negara yang tidak tahu hak milik orang miskin yang harus diserahkan kepada mereka baik diminta maupun tidak diminta. Ada persoalan yang serius mengenai pemikiran para ulama' kapitalis, mereka bukan saja tidak mendukung penegakan hak milik orang miskin, bahkan juga sering menuduh orang miskin dengan tuduhan yang jahat, dengan terminologi kecemburuhan sosial. Padahal yang biasa mencuri kekayaan Negara / korupsi adalah orang-orang kaya. Lihat kasus BLBI, pasti dari para konglumerat dan itu tidak terjadi begitu saja, melainkan juga dengan proses meminta-minta kepada negara. Para ulama' kapitalis umumnya juga tidak ingat lagi, bahwa mereka ketika sekolah, kuliah diberi “bantuan langsung tunai oleh orang tua mereka sendiri”, yang mestinya mereka juga harus dengan konsisten mengatakan, pemberian orang tua mereka adalah tidak mendidik, dan menjadikan mereka bermental korup, dan suka meminta-minta. Mengapa mereka berpura-pura lupa terhadap itu semua ? tidak lain karena mereka beralasan menerima harta dari orang tua mereka adalah menerima hak milik mereka sendiri. Jadi alasan yang sebenarnya dan ditutupi adalah mereka para ulama' kapitalis itu adalah tidak mengakui hak milik orang miskin yang ada didalam kas negara. Karena itu mereka mencoba membodohi orang banyak, dengan menutup-nutupi alasan yang sebenarnya, yaitu tidak mengakui hak milik orang miskin yang ada dalam kas negara. Demikian juga terjadi kesalahan fatal pada Ulama' Sosialis-Komunis. Mereka berpendapat "Tidak makan kalau tidak bekerja." Pandangan ulama' Sosialis ini salah dari pemikirannya tentang rizki. Bahwa rizki diidentikan dengan kerja, pandangan seperti itu tidak sesuai dengan fakta. Anak-anak, orang tua atau orang yang karena satu dan lain hal tidak bekerja mereka semua tetap mendapatkan rizki tanpa kerja, bahkan termasuk mereka para ulama' sosialis tersebut. Mereka mencoba pura-pura lupa bahwa Karl Marx, Lenin, Stalin bisa tumbuh dewasa melewati masa kanak-kanak menghabiskan banyak biaya dari orang tua mereka tanpa bekerja sendiri. Bahkan pekerjaan kadang-kadang menghasilkan rizki dan kadang-kadang tidak. Orang yang bekerja pada perusahaan akan mendapatkan penghasilan dari ongkos kerjanya, tetapi jika perusahaannya bangkrut, maka bayaran tidak dapat dia terima. Demikian juga asuransi, kalau perusahaan asuransi bangkrut nasabah tidak akan mendapatkan pembayaran jaminannnya. Bahkan Negara juga tidak akan dapat menjamin rizki orang, hanya Alloh yang mampu menjamin rizki semua makhluqnya. Uni Sovyet dahulu yang menjadi biang pendapat Sosialis Komunis sendiri membuktikan dirinya tidak mampu menjamin rizki rakyatnya walaupun hanya khusus pegawai negeri, karena Negara Sosialis-Komunis tersebut bubar. Rizki hanya Alloh yang mampu menjamin, tidak akan mampu memberi jaminan rizki kecuali jaminan manipulatif dan menipu, bahkan perusahaan asuransi pun tidak akan mampu melakukannya ketika bangkrut, bahkan lebih dari itu Negara sekalipun tidak akan mampu menjamin rizki, ketika Negara tersebut bangkrut dan bubar. Rizki hanya dijamin Alloh secara Muthlaq. Di negara-negara dunia ke-3 yang menjadi wilayah pengaruh Kapitalisme diajukan dan di ajarkan solusi oleh negara-negara Kapitalis, berbeda dengan solusi di negara Kapitalis sendiri. Para penjajah rupanya sadar, jika ekonomi negara-negara dunia ke-3 dipecahkan seperti pemecahan di negara kapitalis Eropa dan Amerika dengan revisi kapitalisme yang berupa Walfare State (negara kesejahteraan) dengan mengeluarkan jaminan sosial ala kapitalis untuk mengatasi apa yang mereka sebut sebagai problem kecemburuan sosial, akan berakibat kekayaan negara dunia ke-3 tidak mampu dihisap secara optimal untuk negara kapitalis. Revisi Walfare State pada mulanya sebenarnya untuk memperpanjang umur kapitalisme, dengan mencoba mengatasi kesenjangan, walaupun kemudian hal itu dimanfaatkan oleh para konglumerat kapitalis untuk meningkatkan daya beli masyarakat agar dagangan para konglumerat kapitalis tersebut dapat sirkulasi pasar yang baik. Sesuai dengan karakter Kapitalisme sebagai benalu/penjajah, tanpa existensi daerah jajahan, para penjajah akan mati, maka dibuatlah program penyesatan pembangunan untuk daerah pengaruh kapitalis dalam bentuk MDGs. Konsep Ekonomi tipu daya Ulama’ Kapitalis inilah yang kemudian dipropagandakan dengan nama MDGs. Sebenarnya tidak ada yang salah tentang kepedulian Sosial suatu corporat (CSR) dengan lingkungan masyarakatnya, misalnya untuk para yatim piatu, fakir-miskin dst, kecuali CSR yang telah menyimpang dari tujuan yang seharusnya. Katakanlah tidak dibicarakan bias tujuan CSR di sini untuk tidak melebarkan topik bahasan, tetapi hal ini bagi negara yang mempropagandakan MDGs menjadi suatu bentuk tipu daya untuk ngakali rakyat (membodohi rakyat) ketika hal tersebut dijadikan seolah tanggung jawab negara terhadap kewajiban pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, seolah telah didelegasikan kepada para Corporat sebagai bentuk swastanisasi tanggung jawab negara. Dengan demikian, seolah negara telah melakukan kewajiban menjamin kebutuhan pokok rakyat. Dan dengan itu, seolah negara sudah bertanggung jawab kepada urusan rakyatnya, padahal belum dilakukan oleh negara, di sinilah letak akal-akalannya dalam mengelabuhi rakyat banyak. Peran negara berbeda dengan peran corporat. Negara wajib berperan dalam distribusi kekayaan, agar tidak terkonsentrasi dikalangan beberapa gelintir orang saja. Sedangkan corporat sudah pasti berorientasi bisnis pengembangan kekayaan dan pengamanan kekayaan dari ancaman yang mereka sebut dengan nama kecemburuan sosial. Oleh karena itu CSR dalam pandangan pengusaha pasti tidak dalam fungsi distribusi kekayaan yang sebenarnya, melainkan fungsi pengamanan dan pengembangan kekayaan corporat. Teori distribusi kekayaan ala Kapitalisme oleh tangan tak kentara (invisible hand) dalam bentuk tetesan rizki ”Trickle Down Effect” dengan sistem pasar bebas sebagai design pemerataan dalam sistem kapitalis, telah diakui oleh para ulama’ kapitalis sebagai teori distribusi yang gagal, maka dibuatlah revisi ’Walfare State” (negara kesejahteraan), yaitu melibatkan negara dalam peran distribusi kekayaan secara langsung dalam bentuk jaminan sosial, yang tentunya ini merupakan solusi yang bid’ah bagi Kapitalisme (hukum luaran, diluar ketentuan hukum akidah kapitalisme). Alasan peran negara dalam distribusi ekonomi dengan jaminan sosial akan menghambat kreatifitas dan menciptakan kemalasan rakyat adalah alasan 6
manipulatif yang sudah basi dalam mempertahankan sistem kapitalis pasar bebas dengan distribusi oleh tangan tak kentara (invisible hand) dalam bentuk tetesan rizki ”Trickle Down Effect”. Sebenarnya berbagai transaksi/lapangan pekerjaan yang ditimbulkan oleh akibat dibentuknya suatu usaha dari hulu sampai hilir yang menghasilkan konglumerasi, monopoli, oligopoli, kartel dan bias pasar lainnya tidak ada hubungannya dengan masalah distribusi ekonomi yang menjadi domain negara. Dimana negara harus bertanggung jawab terhadap beredarnya kekayaan agar tidak terkonsentrasi pada sedikit orang saja. Karena di masyarakat ada orang lemah dan orang yang kuat. Membiarkan mereka bersaing secara bebas dalam keadaan yang tidak memiliki kekuaatan yang seimbang adalah tindakan mengeliminir existensi masyarakat banyak. Di masyarakat ada orang yang lemah bersaing dalam free market/pasar bebas, karena keterbatasanketerbatasan akses terhadap modal dan aspek-aspek perdagangan lainnya. Bahkan anggota masyarakat ada yang bukan sekedar tidak mampu bersaing, malah ada yang udzur untuk dapat bekerja, bisa karena mereka masih anak-anak, atau manula atau cacat yang menjadikan mereka tidak mampu bekerja dsb, dan tentu saja ada juga anggota masyarakat yang malas. Sama konyolnya dengan teori Sosialis-Komunis: tidak makan kalau tidak bekerja. Rizki dalam pandangan Sosialis-Komunis diikatkan secara langsung dengan pekerjaan. Padahal Karl Mark pencetus ide Sosialis-Komunis dan pengikut-pengikutnya seperti Lenin dan Stalin serta para ulama Sosialis-Komunis dan antek-antek Sosialis-Komunis mereka semuanya ketika baru lahir dan sampai dewasa di bawah asuhan orang lain dan tidak mencari rizkinya sendiri dengan bekerja, karena lemah dan tidak mampu. Keadaan rakyat sangat beragam kemampuan dan kekuatannya. Oleh karena itu, negara harus berperan secara baik dalam distribusi ekonomi, agar kekayaan tidak terkonsentrasi di kalangan tertentu saja. Semua itu harus dipecahkan oleh negara dengan pemecahan yang benar, adil dan manusiawi dan menggunakan metode yang benar, adil dan manusiawi pula. Sebab tujuan tidak membolehkan semua cara, tujuan dan cara harus diikatkan dengan akidah dan hukum yang benar, ajaran Machavely harus ditolak dan dibuang jauh-jauh. Jaminan Kebutuhan Pokok Dalam Sistem Islam Jaminan Islam di bidang ekonomi adalah jaminan terpenuhinya pemuasan semua kebutuhan pokok/primer tiap-tiap individu dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tertier (al hajat al kamaliyah)-nya sesuai dengan kadar kemampuannya sebagai individu yang hidup dalam masyarakat tertentu yang memiliki life setyle/gaya hidup khas. Islam memandang tiap orang secara individu, bukan secara kolektif sebagai komunitas yang hidup dalam sebuah negara. Islam memandang individu sebagai manusia, maka pertama kali harus dipuaskan kebutuhan-kebutuhan primernya secara menyeluruh. Kedua, Islam memandangnya sebagai individu tertentu yang memungkinkan memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekundernya sesuai kadar kemampuannya. Kemudian pada saat yang sama, Islam memandangnya sebagai orang yang terkait dengan sesamanya dalam interaksi tertentu, yang dilaksanakan dengan mekanisme tertentu, sesuai dengan life setyle/gaya hidup tertentu pula. Bahwa tiap individu itu adalah individu yang memerlukan pemenuhan kebutuhan. Perspektif bahwa pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer secara menyeluruh, dan tiap individu adalah manusia yang membutuhkan jaminan pemeliharaan akan barang dan jasa yang menjadi tuntutan hidup tiap individu, apakah dia si A, atau si B, si C atau si D dst. Perspektif bahwa mubah hukumnya berusaha mencari rizki. Hukum mubah itu sama bagi tiap individu, baik itu si A, atau si B, si C atau si D dst, sehingga terbuka lebar jalan di depan tiap-tiap dari mereka untuk memperoleh kekayaan yang dikehendakinya. Dia akan serius bekerja menuju kemakmuran hidup. Perspektif bahwa nilai-nilai luhur harus mendominasi semua interaksi yang terjadi di antara individu-individu. Dengan demikian Jaminan Islam di bidang ekonomi tidak sekadar meningkatkan taraf hidup dalam sebuah negara semata. Tidak menjadikan pertumbuhan pendapatan nasional sebagai asasnya, dan tidak pula memperbanyak barang dan jasa yang menjamin terwujudnya kemakmuran hidup manusia, kemudian membiarkan mereka bebas mendapatkannya sesuai yang mereka mampu dengan memberikan kebebasan memiliki dan bekerja. Jaminan Islam tidak lain merupakan solusi masalah-masalah mendasar bagi tiap individu dengan kapasitasnya sebagai manusia. Menjadikan tiap individu mampu meningkatkan taraf hidupnya, dan merealisasikan kemakmuran dirinya sebagai seorang individu. Artinya sebagai si A yang berkeinginan mendapatkan perhiasan hidup dunia atau sebagai si B yang tidak senang dengan mewah-mewah. Masing-masing mereka diberi fasilitas untuk mencapai kemakmuran, dan membiarkannya mendapatkan kemakmuran ini dengan menjalankan kesempatan yang dikehendaki. Jaminan Islam menjadikan nilai-nilai luhur yang mendominasi setiap interaksi yang terjadi di antara individu. Inilah jaminan Islam, dan atas dasar inilah hukum-hukum ekonomi dibangun. Sumber-sumber ekonomi primer di negara manapun dan apapun jenis sistem yang diterapkannya ada empat. Sama saja, apakah negara itu negara maju, seperti AS dan Rusia, atau negara terbelakang, seperti Yaman dan Ethiopia. Sumber-sumber ekonomi yang empat itu adalah: pertanian, perindustrian, perdagangan, dan tenaga manusia (jasa). Sedangkan sumber-sumber ekonomi yang dinamakan dengan pendapatanpendapatan sekunder, seperti pariwisata, gaji, dan sarana transportasi, maka semua itu tidak termasuk sumbersumber ekonomi primer. Juga tidak terdapat di setiap negara, serta tidak perlu pada hukum-hukum dan solusisolusi yang independen dari sumber-sumber ekonomi yang empat. Oleh karena itu, tidak dianggap sebagai sumber ekonomi independen. Islam memandang kebolehan kepemilikan dan berusaha dalam sumber-sumber ekonomi yang empat agar memungkinkan tiap-tiap individu rakyat mampu merealisasikan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya (al-hajat al-kamaliayah) menurut kadar kemampuan. Jika kebutuhan sekunder dan tersier dapat dipenuhi, terlebih lagi kebutuhan-kebutuhan primer (basic needs/al-hajat al-asasiyah)nya. 7
Namun, apabila hanya dengan dibolehkannya kepemilikan dan berusaha saja tidak mungkin dapat merealisasikan jaminan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer rakyat secara menyeluruh. Selanjutnya tidak akan terealisasikan Jaminan menyeluruh di bidang ekonomi bagi rakyat orang per orang. Pembolehan kepemilikan dan berusaha akan merealisasikan tiap-tiap individu memenuhi kebutuhannya, tetapi tidak akan merealisasikan jaminan pemenuhan tiap-tiap individu, sehingga distribusi harta kekayaan negara terhadap semua individu rakyat satu persatu tidak terealisasi. Padahal seharusnya negara menjamin pemenuhan semua kebutuhan primer setiap individu rakyat satu persatu secara menyeluruh dan menjamin tiap-tiap individu memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya menurut kadar kemampuannya. Merealisasikan jaminan ekonomi, tidak cukup hanya membolehkan kepemilikan dan berusaha pada sumber-sumber ekonomi, mengingat kebolehan ini hanya memungkinkan yang kuat saja untuk memiliki dan berusaha, dan memungkinkan orang-orang yang memiliki modal saja yang akan dapat berusaha. Adapun orang-orang mampu namun belum mendapatkan pekerjaan, orang-orang lemah dan orang-oarang tua, maka tidak mungkin memenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya. Karena itu, dibuatlah hukum-hukum syari’at yang lain sebagai pelengkap hukum-hukum kebolehan kepemilikan dan berusaha, yang menjamin terpenuhinya semua kebutuhan-kebutuhan primer bagi masing-masing individu rakyat secara menyeluruh. Dengan hukumhukum ini, menjamin pendistribusian kekayaan atas semua individu rakyat satu persatu. Di mana pendistribusian ini menjamin pemenuhan semua kebutuhan-kebutuhan primer secara menyeluruh, di samping memungkinkan setiap individu rakyat memuaskan kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai kadar kemampuannya. Dengan demikian, Islam tidak menjadikan jamainan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer sebagai tambal sulam atas sebuah sistem, tidak menjadikannya sebagai solusi atas celah-celah tertentu, sebagaimana yang dilakukan oleh sistem Kapitalis dan Sosialisme-Komunis. Namun, Islam menjadikan hukum-hukum tersebut sebagai hukum-hukum yang merupakan bagian internal dari hukum-hukum sistem ini, sehingga hukum kebolehan kepemilikan dan berusaha, hukum mengenai nafkah, dan hukum mengurusi urusan-urusan warga negara, semuanya merupakan hukum-hukum syara’ yang sejajar (sama) dalam tasyri’ dan dalil dalil. Sistem ekonomi terdiri dari semua hukum itu, sedang semuanya dijelaskan dalam al-Kitab dan as-Sunnah. Hukum-hukum itu untuk semua rakyat, tidak untuk kelompok-kelompok tertentu, tidak pula untuk agama, etnik, ras, gender tertentu. Jaminan Islam di bidang Ekonomi berlaku untuk semua rakyat tanpa diskriminasi. Jadi terdapat perbedaan yang sangat jauh antara Islam dengan kapitalisme, serta antara Islam dengan Sosialisme-Komunisme. Selanjutnya, Islam tidak menjadikan persamaan dalam kepemilikan alat-alat produksi sebagai asas dalam menjamin kehidupan manusia, sebagaimana yang dilakukan oleh sosialisme sejati. Sebab hal itu tidak menjamin kehidupan, justru berdampak pada menurunnya mutu kehidupan. Namun, Islam membolehkan kepemilikan dan berusaha, serta menjamin kehidupan yang sempurna bagi siapa pun yang belum mencapai posisi hidup sempurna yang mubah itu. Selanjutnya Islam menjadikan jaminan hidup yang sempurna untuk setiap perkara yang pasti dibutuhkan demi kesempurnaan hidup bagi setiap individu, dan dalam semua keadaan. Jaminan ini termasuk perkara yang tidak mungkin dicapai oleh sistem selain sistem Islam. Untuk itu, Islam menjamin pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer tiap-tiap individu (sandang, pangan dan papan) dan menjamin pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer (basic needs) rakyat secara keseluruhan. Adapun tentang apa yang dimaksud dengan kebutuhan-kebutuhan primer, maka menurut pandangan hukum Islam terbagi dua : Pertama, kebutuhan-kebutuhan primer bagi tiap-tiap individu rakyat.. Kedua, kebutuhan-kebutuhan primer bagi rakyat secara keseluruhan. Adapun kebutuhan-kebutuhan primer bagi tiap-tiap individu, adalah sandang, pangan dan rumah. Ketiganya merupakan kebutuhan-kebutuhan primer (basic needs) bagi setiap individu, di mana manusia tidak akan dapat merasa cukup (puas) dengan satu diantara ketiganya saja. Oleh karena itu, pemenuhan ketiga kebutuhan primer itu merupakan hak bagi setiap individu untuk memperolehnya. Kebutuhan-kebutuhan primer ini merupakan masalah yang mendasar, sedang yang menjadi jalan keluar pemecahan masalah ini adalah dengan menyediakan pemenuhannnya. Sehingga, apabila telah tersedia –alat pemuas kebutuhan primer-- bagi masing-masing individu, maka tidak ada lagi masalah yang mendasar. Islam telah membatasi kebutuhan-kebutuhan primer dengan tiga hal ini saja dalam nash-nash yang jelas serta terang. Islam menjadikan semua pemenuhan kebutuhan-kebuuhan primer ini bagi semua individu rakyat satu persatu secara pasti, dalam nash-nash yang jelas. Begitu juga, Islam menjamin pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer secara menyeluruh di dalam nash-nash yang jelas. Sedangkan dalil kebutuhan-kebutuhan primer ini, nash-nash menjelaskan bahwa kebutuhan primer hanya menyangkut sandang, pangan, dan papan. Allah swt berfirman : א “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu.” (QS. Al-Baqarah: 233) א א “Berilah mereka belanja (makanan) dan pakaian (dari hasil harta itu)”. (QS. an-Nisa’: 5) א אא “Dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. al-Hajj : 28) א “Dan kewajiban bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) : memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184) 8
“Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu dapat bertempat tinggal.” (QS. ath-Thalaq: 6) “Dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai.” (QS. at-Taubah: 24) Rasulullah saw. Bersabda : ”Dan kewajiban para suami terhadap para istri adalah memberi mereka belanja (makanan) dan pakaian,”(HR Ibnu Majah dan Muslim dari jabir bin Abdillah) א ”Dan hak para istri adalah agar kalian (para suami) berbuat baik kepada para istri dengan memberi mereka pakaian dan makanan.” (HR. Ibnu Majah dari Amru bin Akhwash dari Bapaknya) א א ”Siapa saja yang ketika memasuki pagi merasakan aman pada kelompoknya, sehat badannya, dan tersedianya bahan makanan di hari itu, maka seolah-olah dia telah memiliki dunia semuanya.” (HR. Bukhari di dalam Adab, Tirmidzi, Ibnu Majah dari Abdullah bin Mihshan al-Anshari dari Bapaknya) א א . . ”AnakAadam tidak memiliki, kecuali sepotong roti yang akan menghilangkan rasa laparnya, segelas air yang akan mengusir rasa dahaganya, dan sehelai kain yang akan menutupi auratnya. Sedang selebihnya dari itu, maka ia merupakan tambahan kebaikan.” Nash-nash ini menunjukkan dengan pengertian yang jelas dan terang, bahwa yang termasuk kebutuhan-kebutuhan primer adalah sandang, pangan, dan papan. Sedangkan selebihnya dari itu, termasuk kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersier. Sedangkan dalil bahwa Islam menjamin pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer ini bagi semua individu rakyat satu persatu secara pasti, maka Islam mewajibkan bekerja bagi kaum lelaki yang mampu. Apabila dia kekurangan sesuatu di antara kebutuhan-kebutuhan primer, yakni jika dia membutuhkan nafkah. Allah swt berfirman: א ”Maka berjalanlah di segala penjuru.” (QS. Al Mulk : 15) dari Abu Hurairah, dia berkata : Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda : א . ”Salah seorang di antara kalian pergi pagi-pagi mengumpulkan kayu bakar, lalu memikulnya dan berbuat baik dengannya (menjualnya), sehingga dia tidak lagi memerlukan pemberian manusia, maka itu baik baginya dari pada dia mengemis pada seseorang yang mungkin memberinya atau menolaknya.” (HR. Muslim, Ahmad dan Tirmidzi dari Abu Hurairah. Tirmidzi berkata Hadist ini Hasan Shahih Gharib) Dari Zubair bin Awwam dari Nabi saw bersabda : א א א ”Salah seorang dari kalian mengambil talinya dan pergi, lalu dia datang dengan memikul seikat kayu bakar untuk dijualnya. Di mana dengannya Allah menjaga kehormatannya dari meminta-minta, itu baik baginya dari pada dia mengemis pada manusia yang mungkin mereka memberinya atau menolaknya.’(HR. Bukhari dari Zubair bin Awwam) Kata ( ) ”baik” di sini tidak bermakna ”af’alu at-tafdhil” (lebih). Sebab tidak ada kebaikan dalam mengemis selama dia masih mampu bekerja. Namun, kata ( ) di sini hanya sebagai pujian. Sehingga setiap orang yang mampu bekerja, sedang dia membutuhkan nafkah, maka dia wajib bekerja untuk memenuhi kebutuhan nafkah (biaya) hidup dirinya. Kewajiban bekerja atas orang laki-laki yang mampu dan membutuhkan nafkah ini untuk menjamin pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primernya. Di samping kewajiban ini, Islam mewajibkan pemberian nafkah atas wanita secara mutlak, apabila wanita itu miskin, baik dia mampu bekerja atau tidak. Islam tidak mewajibkan wanita untuk bekerja, tetapi Islam mewajibkan pemberian nafkah kepada wanita. Begitu juga, Islam mewajibkan pemberian nafkah kepada orang-orang yang tidak mampu, apabila dia fakir, baik karena tidak memiliki kekuatan untuk bekerja atau orang yang memiliki kekuatan untuk bekerja, tetapi dia belum mendapatkan pekerjaan. Masing-masing dari keduanya tergolong orang yang tidak mampu, sehingga dia wajib diberi nafkah. Sedang siapa yang berkewajiban memberi nafkah-nafkah itu, yakni siapa yang berkewajiban terhadap pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer ini: sandang dan papan. Syara’ telah menentukan dengan ketentuan yang jelas berdasarkan dalil-dalil, di antara dalil-dalil itu ada yang telah jelas pengertiannya dan diantaranya masih memerlukan istinbath (penggalian dengan ijtihad untuk mendapatkan kejelasan status hukumnya). Nash ini menentukan bahwa nafkah wajib diberikan kepada orang yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhankebutuhan yang ketiga ini. Syara’ mewajibkan suami memberi nafkah kepada istri, dan syara’ menentukan bahwa nafkah itu berupa sandang, pangan, dan papan. Allah swt. berfirman :
9
”Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.” (QS. Ath-Thalaq : 6) ”Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.” (QS. Ath-Thalaq : 8) א ”Sesungguhnya kami telah mengetahui apa yang kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka.” (QS. Al-Ahzab : 50) Rasulullah saw. Bersabda : ”Dan kewajiban kalian (para suami) terhadap para istri adalah memberi mereka belanja makanan dan pakaian.” א ”Dan hak para istri adalah agar kalian (para suami) berbuat baik kepada para istri dengan memberi mereka pakaian dan makanan.’ Nash-nash ini menunjukkan dengan gamblang bahwa suami berkewajiban memberi nafkah istri serta nafkah yang wajib itu adalah sandang, pangan dan papan. ”Tempatkanlah mereka (para istri).” (QS. Ath-Thalaq : 6) ”Memberi mereka pakaian dan makanan”. (HR. Ibnu Majah dari Amru bin Akhwash dari bapaknya) Syara’ mewajibkan para orang tua (ayah) agar memberikan nafkah terhadap anak-anaknya. Allah swt berfirman : א ”Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu.” (QS. Al Baqarah : 233) Dari Aisyah : : “ Hindun binti Utbah berkata kepada Rasulullah : ’Sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang kikir, dia tidak memberiku sesuatu yang mencukupiku dan anakku, kecuali aku mengambil darinya, sedang dia tidak mengetahui. “Rasulullah bersabda : ‘Ambillah apa yang mencukupimu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf’.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dan Ibnu Majah dari Aisyah) Dari Abu Hurairah, dia berkata: Bersabda Nabi saw. : . א א . א . א . א א א א א. א “Sebaik-baik sedekah adalah apa yang ditinggalkan oleh orang kaya. Tangan yang di atas itu lebih baik dari tangan yang di bawah. Mulailah (memberi sedekah) dari orang yang menjadi tanggunganmu.”seseorang wanita berkata : ”Jika engkau memberi makan aku, dan jika engkau menceraikan aku”. Seorang hamba berkata : ”Berilah aku makan, dan suruhlah aku bekerja”. Dan seorang anak berkata : ”Berilah aku makan hingga (tiada) seorang pun yang sedih (karena) aku”. (HR. Bukhari) Nash-nash menunjukkan dengan jelas tentang wajibnya ayah memberi nafkah anak-anaknya, sedang nafkah menurut syara’ adalah sandang, pangan, dan papan, sebagaimana hal itu dipahami dari nash-nash tentang kewajiban memberikan nafkah kepada istri. Syara’ juga mewajibkan anak memberikan nafkah terhadap ayah dan ibunya. Allah swt berfirman: (artinya) א ”Dan berbuat baiklah kepada ibu bapak”. (QS. Al-Baqarah : 83) Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Nabi saw. bersabda : א “Sebaik-baik apa yang dimakan seseorang adalah dari harta usahanya, sedang anaknya termasuk hasil usahanya.” (HR. Nasa’i, Tirmidzi, Abu Daud dan Ahmad dari Aisyah) Nabi saw bersabda kepada seorang yang bertanya kepadanya, tentang kepada siapa dia harus berbuat baik? Maka Nabi saw bersabda : א “Kepada ibumu, lalu ibumu, lalu ibumu, lalu ayahmu, serta (kerabat) yang terdekat lalu yang paling dekat.” (HR. Abu Daud, Ahmad, Tirmidzi dan Hakim dari Muawiyah bin Haidah) Memberi nafkah termasuk dalam firman Allah ( ) sebab termasuk berbuat baik (ihsaana) adalah memberi nafkah ayah dan ibu ketika keduanya membutuhkan. Dan termasuk dalam sabda Rasul ( ) (kepada siapa aku harus berbuat baik), sebab termasuk perbuatan baik (al-birru) adalah memberi nafkah ayah dan ibu ketika keduanya membutuhkan. Sedang sabda Rasul ( ) “Sebaik-baik apa yang dimakan”. Dalam hadits ini Rasul hanya menuturkan tentang makan, sedang maksud sebenarnya adalah semua nafkah, termasuk dalam hal ini adalah menjamin kesejahteraannya, dengan menyebutkan satu perkara diantara perkara-perkara yang telah dikenal umum, maka maksud sebenarnya dari penyebutan itu adalah semuanya, yakni sebaik-baiknya apa yang dinafkahkan seseorang adalah dari hasil usahanya, sedang anaknya termasuk hasil usahanya. Dengan demikian, ia merupakan dalil atas kewajiban memberi nafkah kepada kedua orang tua. Dari nash-nash ini diistimbathkan bahwa memberi nafkah kedua orang tua menjadi kewajiban anak-anaknya. Sedang nafkah menurut syara’ adalah sandang, pangan, dan papan. 10
Islam mewajibkan keluarga dekatnya memberi nafkah kepada keluarga dekat yang menjadi tanggungannya. Allah swt. berfirman: א א “Dan ahli waris pun berkeajiban demikian”. (QS. Al Baqarah : 233) setelah Allah swt berfirman : א ”Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakain kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf”. (QS. Al Baqarah : 233) Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda kepada seorang yang bertanya kepadanya : “Aku memiliki dinar (apa yang harus aku perbuat dengannya?” Beliau bersabda : “Nafkahkan untuk dirimu sendiri”. Orang itu berkata: “Aku masih punya yang lain”. Beliau bersabda : ”Nafkahkanlah untuk keluargamu”. Dia berkata lagi: ”Aku masih punya yang lain”. Beliau bersabda : ”Nafkahkan untuk pembantumu.” Rasulullah saw. Bersabda : א ”Mulailah (pemberian nafkah itu) dari orang yang menjadi tanggunganmu : ibumu, ayahmu, saudara perempuanmu, saudara laki-lakimu, kemudian famili terdekatmu”. (HR. Nasa’i dari Thariq al-Muharibi) Hadits ini bermaksud dari mana seseorang memulai pemberian nafkah, sebab pembicaraan ini menyangkut masalah nafkah. Dari Bahaz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya. Kakeknya berkata : Aku bertanya : א ؟ : ؟ : ؟ א : : ؟ : ؟ ”Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbuat baik?’ Beliau bersabda : ”Ibumu” Aku pun bertanya lagi : ”Lalu kepada siapa ?” Beliau bersabda : ”Ibumu”. Aku pun bertanya lagi : ”Wahai Rasulullah, selanjutnya kepada siapa?” Beliau bersabda : ”Ibumu”. Aku bertanya lagi : ”Kemudian kepada siapa?”. Beliau bersabda : ”Ayahmu, lalu kepada famili yang terdekat, kemudian famili yang terdekat”. (HR. Ahmad dan Tirmidzi) Dari al-Miqdam bin Ma’dikarib, dia berkata: Aku mendengar Nabi saw. bersabda : א א ”Sesungguhnya Allah memerintahkanmu agar berbuat baik kepada ibumu, kemudian kepada bapakmu lalu kerabat terdekat”.(HR. Ahmad dan Ibnu Majah) Dari Kulaib bin Manfa’ah dari kakeknya. א א א ؟ א : א ”Bahwa kakeknya menemui Nabi saw. lalu di berkata : Wahai Rasulullah kepada siapakah aku harus berbuat baik? Beliau bersabda : Ibumu, ayahmu, saudara perempuanmu, saudara laki-lakimu, pembantu yang mengikuti (secara berurutan) hak dan kewajiban itu, dan famili yang masih bersambung.” Artinya hubungan kekeluargaan sebagaimana yang disebutkan di atas. Diistimbathkan (digali) dari nash-nash ini bahwa memberi nafkah famili wajib atas familinya yang memiliki hubungan kekeluargaan sebab dalil kewajiban memberikan nafkah kepada famili dalam ayat tersebut jelas sekali, ketika hubunngan kata ( ” ) א אahli waris” pada kata ( ” )אayah” dalam kewajiban memberikan nafkah. Di mana Allah swt berfirman : ”Dan kewajiban ayah”. Kemudian disambungkan dengan firman-Nya : ”Dan ahli warispun berkewajiban demikian.” Dalam beberapa hadits Rasulullah saw. Bersabda : א ”Nafkahkan ia (dinar) kepada ahlimu”. Termasuk dalam kategori ahli adalah famili yang haram dinikahi (mahram). Dengan dalil firman Allah swt. : א ”Sesungguhnya anakku termasuk keluargaku.” (QS. Hud : 45) א א ”Seseorang Pembantu dari keluargaku.” (QS. Thaha : 29) א ”Selamatkanlah aku beserta keluargaku.” (QS. Asy-Ayura’ : 169) א ”Maka kirimlah seorang hakim (pendamai) dari keluarga laki-laki.” (QS. An-Nisa’ : 35)
11
”Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh).” (QS. An-Nisa’ : 92) Dengan demikian, makna hadits ”Nafkahkan ia (dinar) pada keluargamu”, yakni pada kerabatkerabatmu. Sedangkan hadits ( ) kemudian familimu terdekat lalu yang terdekat. Kata ( ) sama dengan (
) sehingga hadits itu semakna dengan sabda rasul dalam dua hadits yang lain (
) א, (
)אmaksud dari semua itu adalah para keluarga atau kerabat dekat. Rasulullah saw. bersabda ( ) ”...kepada siapakah aku (harus) berbuat baik.” Dan memberi nafkah termasuk dalam berbuat baik. Beliau bersabda : (
) ”Allah menyuruh kamu.” Memberi nafkah termasuk dalam ungkapan (
) ini. Beliau
bersabda : ( ) ”dengan orang yang kamu berkewajiban memberi nafkah.” Memberi nafkah termasuk kewajiban memberi nafkah (i’aalah) yang ada dalam hadits ini. Bahkan, memberi nafkah itu adalah i’aalah. Sedang sabda beliau ( ) ”famili yang masih bersambung,” dan sabda beliau ( א ) ”kemudian keluarga terdekat lalu keluarga terdekat.” Maka pengertiannya adalah bahwa yang dianggap keluarga di sini adalah keluarga yang memiliki hubungan kekeluargaan yang menjadikan haram menikah. Dengan demikian, nash-nash ini menjadi dalil syara’ atas kewajiban keluarga dekat memberi nafkah keluarga terdekatnya yang memiliki hubungan kekeluargaan yang haram menikah. Dan nafkah yang harus diberikan menurut syara’ adalah sandang, pangan dan papan. Nafkah ini diperoleh oleh negara secara paksa dari siapapun yang terkena memberikan nafkah. Nafkah ini diperhitungkan terlebih dahulu atas utang-utang yang lain. Kalau seseorang diputuskan berkewajiban membayar utang kepada orang lain, dan pada saat yang bersamaan berkewajiban memberi nafkah harus didahulukan dari mendapatkan harta untuk membayar utang. Sehingga yang pertama harus dia lakukan adalah mendapatkan harta untuk memberi nafkah. Jika pada orang itu masih ada sisa harta, maka sisa harta itu untuk membayar utang. Dan jika tidak, maka harta yang ada itu harus dijadikan nafkah, sedang membayar hutang ditunda dulu. Hal itu, karena Allah swt memerintahkan agar memberi tangguh kepada orang yang berutang yang dalam kesukaran. Allah swt. berfirman : ”Dan jika (orang yang utang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia lapang.” (QS. Al-Baqarah: 280) Allah memerintahkan memberi nafkah, namun dia tidak menyuruh memberi tangguh terkait dengan kewajiban memberi nafkah, selama dia masih berkewajiban memberi nafkah. Sehingga keputusan memberi nafkah terus berlaku, dan tidak menerima alasan kesukaran (bangkrut), sedang keputusan utang menerima alasan bangkrut. Seseorang mempunyai kewajiban memberi nafkah kepada istrinya, sedang istri mempunyai tanggungan utang pada suaminya, lalu suaminya hendak menjadikan pembayaran utangnya sebagai pembayaran utang. Jika istrinya kaya, maka dia boleh melakukan itu, dengan catatan apabila istrinya setuju dan rela dengan perhitungan utang itu. Sebab orang yang memiliki hak, berhak memperolehnya dari hartaharta manapun, sedangkan harta yang diambil tersebut termasuk harta suaminya. Jika istrinya tidak kaya, maka dia tidak boleh melakukannya, sebab membayar utang itu bagi yang berkelebihan dari bahan makanannya, sedang dia tidak berlebihan. Allah memerintahkan agar memberi tangguh kepada orang yang tidak mampu membayar. Sebagaimana firman-Nya : ”Maka berilah tangguh sampai dia lapang.” (QS. Al-Baqarah: 280). Sehingga dalam keadaan tidak mampu wajib memberi tangguh kewajiban pelunasan utang. Sedangkan seseorang yang diwajibkan memberi nafkah kepada selain istri seperti anaknya, ayahnya, saudara laki-lakinya, atau siapapun yang termasuk ahli warisnya, jika orang yang berkewajiban memberi nafkah itu mempunyai utang kepada orang yang wajib menerima nafkah, dan dia hendak menjadikan pembayaran utangnya sekaligus sebagai pemberian nafkahnya, maka dia tidak boleh melakukannya dan terlarang. Sebab tidak wajib nafkah kepada selain istri, kecuali dalam keadaan miskin. Sedang dalam keadaan miskin dia tidak diwajibkan melunasi utang tersebut. Mengingat penunjukkan ayat yang sangat jelas. ”Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia lapang.” (QS. Al Baqarah: 280) Sehingga dia dipaksa memberikan nafkah, dan dipaksa memberi tangguh kepada orang yang berhak menerima nafkah itu atas tanggungan utangnya kepada yang berkewajiban memberi nafkah. Ini menjelaskan bahwa syara’ dalam kondisi apa pun tetap menjamin pemenuhan nafkah, yakni terjaminnya pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer. Dengan menjamin pemberian nafkah kepada seorang istri, kedua orang tua, anak-anak, dan setiap yang memiliki hubungan kekeluargaan yang haram menikah, maka semua pemenuhan kebutuhan primer bagi semua individu rakyat benar-benar terjamin, kecuali orang yang tidak memiliki famili yang haram untuk dinikahi, serta dia yang tidak mampu mencari nafkah. Terhadap kedua keadaan ini, syara’ telah meletakkan dan mensyari’atkan bagi keduanya hukum-hukum tertentu yang terbatas. Yakni, jika tidak ada seorang pun yang berkewajiban memberi nafkah kepadanya, atau ada tetapi dia tidak dapat memberinya, maka syara’ mewajibkan nafkah dalam dua keadaan ini kepada baitul mal, yakni kepada negara. Dari Abu Hurairah, dia berkata : ”bersabdalah Rasulullah saw.” : . 12
”Siapa saja yang mati meninggalkan kalla (orang yang sebatang kara), maka dia menjadi tanggunganku dan siapa saja yang meninggalkan harta, maka ia menjadi hak ahli warisnya”. (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Daud) Al-Kallu adalah orang lemah (miskin) yang tidak punya anak dan ayah. Dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw. bersabda : .א ”Siapa pun orang mu’min yang mati, sedang dia meninggalkan harta, maka wariskanlah hartanya itu kepada keluarganya yang ada. Dan siapa saja yang mati sedang dia menyisakan utang atau dhiyaa’an, maka serahkanlah kepadaku, selanjutnya aku yang akan menanggungnya.” (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Daud) Dalam kamus al-Muhith dikatakan ( א ” ) אAdh-Dhayaa’u disebut juga al-’iyaalu (keluarga).” Al-Khithabi berkata dalam mensyarahi hadits ini ”Kata adh-dhiyaa’u adalah sifat bagi orang yang ditinggalkan mayit dengan menggunakan lafadz masdar, yakni meninggalkan keluarga sedang keluarga yang ditinggalkan itu tidak memiliki sesuatu apa pun”. Dengan demikian, ini merupakan dalil bahwa memberi nafkah kepada mereka merupakan kewajiban negara. Memberi nafkah pada pos ini tidak sama seperti pos-pos lain yang wajib dibelanjai oleh negara. Bahkan, membelanjakan harta untuk nafkah didahulukan atas tiap-tiap pembelanjaan yang lain. Sebab membelanjakan harta untuk nafkah menjadi tanggung jawab baitul mal, baik dalam kondisi ada harta atau tidak, yakni baik di baitul mal ada harta atau tidak. Jika di baitul mal ada harta, maka harta itu dibelanjakan untuk nafkah. Sedang jika baitul mal tidak ada harta, maka negara mewajibkan pajak kepada kaum muslimin. Negara memperoleh harta dari kaum muslimin dengan paksa, sebagaimana pajak-pajak yang lain, dan harta yang diperoleh negara itu dibelanjakan untuk nafkah, sebab memberi nafkah termasuk dianta kewajiban baitul mal (negara), dan kewajiban kaum muslimin. Tentang wajibnya baitul mal mamberi nafkah, maka jelas sekali dalam dua hadits di atas. Sedangkan tentang wajibnya kaum muslimin memberi nafkah adalah sabda Rasulullah saw. א א ”Penduduk kampung manapun, ketika pagi ada di antara mereka satu orang yang kelaparan, maka benarbenar telah lepas dari mereka perlindungan Allah Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi”. (HR. Ahmad dari Ibnu Majah). Hadits ini berupa ikhbar (pemberitahuan) yang berisi thalab (tuntutan) dengan disertai dzam (celaan). Maka tuntutan di sini adalah tuntutan yang tegas yang menunjukkan hukum fardhu (wajib) atas kaum muslimin. Oleh karena itu, apabila negara tidak mendapatkan harta di baitul mal untuk dibelanjakan kepada mereka yang wajib diberi nafkah, negara mewajibkan berbagai pajak hingga mendapatkan harta, dan membelanjakannya untuk nafkah yang wajib tersebut. Apabila khawatir timbul bahaya sejak menunggu diwajibkannya pajak hingga memperoleh harta, maka negara wajib mengambil utang untuk diinfakkan kepada mereka yang dikhawatirkan tertimpa bahaya. Sebab menghilangkan bahaya itu wajib. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, dia berkata: Bersabda Rasulullah saw. : א ”Tidak boleh membuat mudharat (bahaya) pada diri sendiri, dan tidak boleh pula membuat mudharat pada orang lain”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas) א א ”Siapa saja yang membuat mudharat (celaka) orang lain, maka Allah akan menbuat celaka orang itu. Dan siapa saja yang membuat orang lain susah, maka Allah akan membuat orang itu susah.” (HR. Ibnu Majah, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ahmad dari Abi Shirmah) Sedang yang akan menghilangkan bahaya dari orang yang wajib diberi nafkah itu adalah dengan disegerakannya pemberian nafkah kepada mereka. Oleh karena itu, negara wajib mencari utang agar dapat dengan segera memberi nafkah kepada mereka. Ini menunjukkan di ruang lingkup manapun syara’ tetap menjaga dengan sungguh-sungguh terjaminnya nafkah melalui negara. Syara’ menjadikan negara sebagai yang berkewajiban memberikan nafkah, dan syara’ sangat hati-hati dalam menjaga semua itu. Tidak dapat dikatakan bahwa syara’ tidak mewajibkan memberi nafkah atas negara, kecuali dalam keadaan di mana semua keluarganya tidak mampu lagi memberi nafkah, sehingga yang harus memberi nafkah terlebih dahulu adalah para keluarganya. Ini akan menyebabkan kemiskinan para keluarganya dengan membagi harta yang mereka miliki diantara mereka dan keluarga mereka, dan berdampak pada menurunnya tingkat kehidupan, tidak dapat dikatakan demikian, sebab nafkah tidak diwajibkan oleh syara’ kepada keluarga, kecuali apabila terdapat harta lebih dari kebutuhan-kebutuhan primer (al-hajat al-asasiyah), sekunder serta tersiernya (al-hajat al-kamaliyah). Orang yang tidak memiliki kelebihan tidak wajib baginya memberi nafkah. Sebab memberi nafkah tidak wajib kecuali atas orang yang mampu memberinya. Orang yang mampu menurut syara’ adalah orang yang memiliki harta lebih dari kebutuhan-kebutuhan primer, sekunder serta tersiernya, menurut standar masyarakat sekitarnya, seperti sandang, pangan, papan, istri, pembantu, dan apa saja yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dari Sa’id bin al-Musayyab bahwa dia mendengar Abu Hurairah ra dari Nabi saw. bersabda : א ”Sebaik-baik sedekah adalah harta yang berasal dari selebihnya keperluan”. Dari Hakim bin Hizam ra dari Nabi saw.bersabda : 13
א
. א א א א א ”Tangan di atas (memberi) itu lebih baik dari tangan di bawah (meminta), mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu, dan sebaik-baik sedekah adalah dari selebihnya keperluan.” (HR. Nasa’i, Muslim dan Ahmad dari Abu Hurairah) Sedekah dan nafkah itu sama, sesungguhnya sedekah itu diberikan tidak lain adalah untuk nafkah. Sedangkan al-ghina di sini adalah harta di mana manusia (dengan keadaan yang dimilikinya) sudah tidak butuh lagi apa-apa buat mencukupi level pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer, sekunder dan tersier yang ma’ruf di masyarakat. Allah swt. berfirman : ”Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.” (QS. Ath-Thalaq: 7) א א א ”Apabila salah seorang dari kalian fakir, maka mulailah (pemberian nafkah) dari dirinya sendiri, jika masih lebih, maka berikanlah kepada keluarganya, dan jika masih lebih juga, maka berikanlah kepada para kerabat dekatnya.” (HR. Abu Daud dan Nasa’i dari Jabir) Dengan demikian, nafkah itu tidak lain adalah kelebihan sehingga nafkah itu wajib atas orang yang memiliki kelebihan dari kebutuhan-kebutuhannya. Dan siapa saja yang memiliki kelebihan dari kebutuhankebutuhannya, yakni siapa saja yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya sekunder dan tersiernya, sedang pada dirinya masih ada kelebihan harta serta pembelanjaan tadi tidak berpengaruh buruk pada tingkat kehidupannya. Apabila tidak terdapat kelebihan dari kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersier, maka wajib atas negara bukan atas keluarganya. Oleh karena itu, tidak berdampak pada kekafiran, dan tidak pula menyebabkan turunnya tingkat kehidupan ketika diwajibkan memberi nafkah atas keluarganya, sebab yang wajib diberikan sebagai nafkah adalah kelebihan dari kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya. Dari ini semua jelaslah bahwa Islam menjamin pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer semua rakyat satu persatu dengan mewajibkan nafkah dan menjadikan nafkah itu mencakup sandang, pangan, dan papan. Semua itu merupakan kebutuhan-kebutuhan primer bagi semua manusia. Adapun dalil tentang jaminan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer secara menyeluruh, maka sangat jelas pada dalil-dalil tentang kewajiban memberi nafkah. Allah swt. berfirman : א ”Dan kewajiban ayah memberi nafkah dan pakain kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah : 233) Pengertian bil ma’ruf (dengan cara yang ma’ruf) di sini adalah dengan cara memberi nafkah sesuai dengan standar masyarakat, seperti sandang, pangan dan rumah yang dimiliki oleh manusia. Rasulullah saw. menyuruhnya mengambil harta yang mencukupinya menurut sekedar cukup saja. Rasulullah saw. bersabda : ”Kewajiban kalian (para suami) ats para istri adalah memberi nafkah dan pakaian dengan cara yang ma’ruf.” Beliau membatasi nafkah dan pakaian menurut standar masyarakat. Ini semua jelas dalam sabda beliau bahwa yang dimaksud adalah pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer secara menyeluruh, sebab beliau mewajibkan memberi makan, pakain, dan tempat tinggal. Beliau tidak merasa cukup hanya dengan mewajibkan pemberian nafkah secara mutlak, tetapi beliau menjelaskan bahwa pemberian itu harus sesuai standar kesejahteraan (kecukupan). Rasulullah saw. bersabda : ”Harta yang mencukupimu” ( ). Rasulullah tidak merasa cukup hanya dengan itu, tetapi beliau membatasi kecukupan sesuai dengan standar umum dalam masyarakat, bukan sekedar kecukupan saja. Artinya, Rasulullah tidak bersabda : ”Apa yang mencukupimu” dan beliau diam, tetapi beliau mensifati kecukupan itu sesuai kecukupan (kesejahteraan) umum masyarakat, beliau bersabda : ”Harta yang mencukupimu, dan anakmu dengan cara yang ma’ruf.” Yakni ambillah nafkah yang mencukupimu dan anakmu sesuai dengan standar umum masyarakat. Allah swt. berfirman dalam al Qur’an ( ) dengan cara yang ma’ruf. Rasulullah saw. bersabda dalam hadits ( ), dan beliau bersabda : ”Harta yang mencukupimu, dan anakmu dengan cara yang ma’ruf”. Dalil ini menunjukkan jelas bahwa memberi nafkah itu wajib mencukupi, yakni wajib memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer. Dan pemberian nafkah ini hendaknya sesuai dengan tingkat kehidupan seseorang yang wajib diberi nafkah. Dan dalil ini juga menjelaskan tentang memberi nafkah orang yang mengurusi harta anak yatim yang diambil dari harta anak yatim. Syara’ menetapkan bagi orang yang mengurusi harta anak yatim agar dia mengambil harta yang akan memenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya secara menyeluruh. Allah swt. berfirman : א א א אא ”Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan, dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Siapa saja (di antara pemelihara itu) mampu, 14
maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan siapa saja miskin, maka bolehlah dia makan harta itu menurut yang patut”. (QS. An-Nisa’ : 6) Allah menetapkan bagi orang yang memelihara harta anak yatim itu hak memakan, yakni hak untuk mendapatkan nafkah atas dirinya sendiri. Dan hendaklah nafkah yang diperolehnya itu sesuai dengan standar umum masyarakat, yakni sesuai standar kecukupan (kesejahteraan) manusia umumnya yang membutuhkan kesejahteraan seperti dirinya. Semua ini merupakan dalil bahwa nash-nash syara’ benar-benar menjamin pemenuhan kebutuhankebutuhan primer ini : sandang, pangan, dan rumah sesuai dengan standar orang memberikan nafkah agar dapat memenuhi semua kebutuhan primernya secara menyeluruh. Untuk itu, syara’ menetapkan termasuk bagian dari pangan yaitu apa-apa yang diperlukan untuk pangan, seperti beberapa peralatan ayang biasa digunakan manusia, semisal perabotan-perabotan dapur dan bahan-bahan yang diperlukan untuk keperluan memasak, seperti kayu bakar, minyak tanah atau gas, dan apaapa yang diperlukan untuk meletakkan perabotan, seperti lemari tempat piring, yang di zaman sekarang dinamakan lemari makan, bufet, dan yang sepertinya. Termasuk bagian dari tempat tinggal (papan) adalah apa-apa yang diperlukan tempat tinggal, seperti tempat tidur dan perabotan rumah tangga menurut yang umum diketahui oleh manusia, seperti lemari, tilam, kursi, meja, karpet, sofa, kelambu, dan lain-lainnya, menurut standar hidup sedang masyarakat. Termasuk bagian dari pakaian (sandang) adalah apa-apa yang diperlukan seperti peralatan berhias, parfum, bedak, celak, minyak rambut, dan apa-apa yang diperlukan untuk meletakkan peralatan dan ketika menggunakannya seperti lemari, cermin, dan lain-lainnya, menurut apa yang umum diketahui oleh manusia, dan menurut standar hidup sedang masyarakat. Dan syara’ menetapkan apa yang diperlukan untuk sandang, pangan, dan papan, seperti satu orang pembantu atau lebih, menurut standar umum masyarakat yang seperti dirinya, dan nafkah para pembantu ditetapkan juga menurut standar umum orang yang wajib memberi nafkah kepadanya, sebab pemberian kepada mereka termasuk nafkah. Dikeluarkan oleh Imam bukhari dari Ali bin Abi Thalib ra. א ”Bahwasanya Fatimah ra datang kepada Nabi saw dia meminta kepada nabi seorang pembantu.” Nafkah yang mencukupi menurut standar umum masyarakat adalah yang memenuhi tiga perkara; makanan, pakaian, dan tempat tinggal, masing-masing menurut standar umum suatu masyarakat, di mana orang yang wajib diberi nafkah itu tinggal yang mencapai tingkat kecukupan menurut standar umum. Sebab kata bil ma’ruf disubut berulang-ulang dalam al-Qura’an dan al-Hadits. Kata bil ma’ruf terdapat dalam hadits sebagai tambahan kata al-kifayah, ”Harta yang mencukupimu dan anakmu sesuai standar umum masyarakat (ma’ruf)”. Ini merupakan dalil bahwa pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer benar-benar dijamin oleh syara’ secara menyeluruh. Inilah jaminan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer bagi masing-masing individu secara perorangan. Sedangkan jaminan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer bagi rakyat secara keseluruhan, maka syara’ telah menetapkan bahwa negara yang secara langsung menjamin pengaturan pemenuhan kebutuhankebutuhan primer ini. Dengan demikian, pemenuhan kebutuhan primer ini berbeda dengan kebutuhankebutuhan tiap-tiap individu, sebab pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tiap-tiap individu telah dijamin oleh syara’ dengan mewajibkan pemberian nafkah yang dibebankan kepada para keluarga, diambil dari mereka jika mereka tidak memberinya dengan cara yang lebih tegas dibanding apa yang dilakukan untuk mendapatkan pembayaran utang-utang yang lain, sebab memberi nafkah itu lebih utama dari utang yang wajib dibayarnya. Sedangkan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer bagi rakyat secara keseluruhan, maka syara’ telah menetapkan pemenuhannya kepada negara secara langsung. Rasulullah saw. bersabda : א א ”Seorang imam (pemimpin) adalah bagaikan pengembala, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas gembalaannya (rakyatnya).” (HR Bukhari dari Ibnu Umar) Di antara tanggung jawabnya adalah mengatur pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer bagi rakyat secara keseluruhan. Adapun yang termasuk kebutuhan-kebutuhan primer bagi rakyat secara keseluruhan adalah keamanan, pengobatan, dan pendidikan. Rasulullah saw. bersabda : א א . ”Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya”. Syara’ menetapkan keamanan, kesehatan, dan nafkah sebagai kebutuhan-kebutuhan primer. Menjadikan keamanan, dan kesehatan sebagai kebutuhan primer sebagaimana bahan makanan, sehingga keduanya (keamanan dan kesehatan) termasuk kebutuhan-kebutuhan primer bagi rakyat. Adapun keberadaan pendidikan termasuk di antara kebutuhan-kebutuhan primer adalah berdasarkan hadits Imam Bukhari dari Abu Musa dari Rasulullah saw. bersabda : א א א א א א א א א א א א .
א
א
א
א
א
א
א
א
א א א ”Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang dengannya aku diutus Allah, seperti air hujan yang menyirami bumi, diantara bumi (tanah) itu ada tanah yang subur yang menerima air, lalu tumbuh darinya 15
rumput dan tanaman yang banyak, dan di antaranya ada tanah yang tandus yang menahan air, di mana dengan air itu Allah memberi manfaat kepada manusia, mereka minum, mengairi dan menanam. Dan diantaranya mengenai kelompok tanah yang lain, yaitu tanah yang terbalik yang tidak menahan air dan tidak tumbuh rumput, maka yang demikian itu seperti orang yang mengerti agama Allah, dia mendapatkan manfaat dengan apa yang Allah mengutus aku untuk membawanya, dan setelah dia mengerti dia mengajarkannya. Dan seperti orang yang dengan (apa yang aku bawa) itu tidak menjadikannya mengangkat kepala, serta tidak menerima petunjuk Allah yang aku diutus untuk menyampaikannya.” Dalam hadits ini Rasulullah saw menyamakan penolakan dan penerimaan manusia terhadap ilmu dan petunjuk dengan penerimaan tanah terhadap hujan, dan ada tidaknya pemanfaatan air hujan oleh tanah. Air hujan termasuk di antara kebutuhan-kebnutuhan primer manusia, maka begitu juga halnya dengan petunjuk dan ilmu. Dengan demikian menunjukkan bahwa ilmu termasuk diantara kebutuhan-kebutuhan primer. Di samping hal ini dikuatkan dengan sabda Rasulullah saw. : א א א א ”Di antara tanda-tanda (datangnya hari) kiamat adalah menghilangnya ilmu dan menyebarnya kebodohan.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad dari Anas) א א א א ”Di antara tanda-tanda (datangnya hari) kiamat adalah berkurangnya ilmu dan bertambah nyatanya kebodohan.” (HR. Bukhari dari Anas) Sabda Rasul ini mengisyaratkan bahwa hilangnya ilmu termasuk di antara tanda berakhirnya kehidupan dunia ini. Hal itu menunjukkan bahwa ilmu termasuk di antara hal-hal yang eksistensinya merupakan suatu keharusan. Jika ilmu itu menyangkut ilmu-ilmu tentang Islam, maka keberadaannya merupakan suatu hal keharusan untuk mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan agama. Ilmu-ilmu yang lain, yang juga menjadi keharusan bagi manusia disamakan dengan ilmu-ilmu yang menyangkut agama Islam, di mana masing-masing dari semua merupakan kebutuhan pokok. Dari uraian tersebut menjadi jelas bahwa keamanan, pengobatan, dan pendidikan telah ditetapkan oleh syara’ sebagai kebutuhan-kebutuhan primer. Kebutuhan-kebutuhan primer ini merupakan kewajiban yang harus dijalankan oleh negara. Menyangkut keamanan eksternal, yaitu pembelaan negara (dari ancaman musuh), sudah diketahui dan masyhur dari perbuatan Rasulullah saw. dalam peperangan-peperangannya dan dari ayat-ayat tentang jihad. Dan menyangkut keamanan internal, itu pun hal yang umum diketahui dari perbuatan Rasulullah saw. tentang hukum-hukum mengenai sanksi-sanksi terhadap orang yang memperkosa hak-hak manusia, dan dari sabda Rasulullah saw : א א ”Ingat! Bahwasanya darah dan harta benda kalian itu haram bagi kalian”. Menyangkut pendidikan telah terdapat ijma’ shahabat terhadap pemberian nafkah para guru sejumlah tertentu yang diambil dari baitul mal (kas negara) sebagai upah bagi mereka. Diriwayatkan dari jalan Ibnu Abi Syaibah dari Shadaqah ad-Dimasyqi dari al-Wadhiyah bin Atha’ yang berkata : ”Di Madinah terdapat tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Umar memberi nafkah tiap-tiap dari mereka lima belas (dinar) setiap bulan (satu dinar adalah mata uang yang setara dengan 4,25 gram emas. Jadi gaji guru anak-anak yang dibayar oleh negara di masa khalifah Umar bin Khatab r.a adalah 15 x 4,25 gram emas = 63,75 gram emas murni. Jika diasumsikan harga emas per gram adalah Rp. 300.000,- maka gaji guru anak-anak pada waktu itu adalah 63,75 x Rp. 300.000,- = Rp. 19.125.000,-)”. Di samping itu, sebelumnya Rasulullah saw. telah menentukan tebusan tawanan perang Badar berupa keharusan mengajar sepuluh anak-anak kaum muslimin. Ini membuktikan bahwa masalah pendidikan menjadi tanggung jawab negara. Menyangkut pengobatan, Rasulullah saw memerintahkan supaya berobat. Beliau bersabda : א א א א א א ”Wahai hamba Allah! Berobatlah, sebab Allah tidak menurunkan kesembuhan atau obat baginya”. (HR. Nasa’i dari Ubadah bin Shamit) Berobat termasuk di antara perkara-perkara mubah. Pada saat yang sama berobat merupakan salah satu urusan kemaslahatan rakyat. Melindungi badan dari segala penyakit termasuk urusan kemaslahatan rakyat yang paling besar, padahal mengurusi urusan kemaslahatan rakyat menjadi tanggung jawab negara. Sebagaimana hadits : א א ”Seorang imam (pemimpin) adalah bagaikan pengembala, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas gembalaannya (rakyatnya).” (HR Bukhari dari Ibnu Umar) Dengan demikian, pengadaan sarana pengobatan menjadi tanggung jwab negara. Bagaimanapun juga tidak adanya pengadaan sarana pengobatan bagi semua manusia, akan berdampak pada terjadinya bahaya (kerusakan), sedang menghilangkan bahaya menjadi tangung jawab negara. Rasulullah saw. bersabda : א ”Tidak boleh membuat bahaya bagi dirinya, dan tidak boleh membuat bahaya bagi orang lain.” Dari aspek ini juga, pengobatan menjadi tanggung jawab negara. Pengadaan sarana pengobatan sebagai kewajiban negara dilihat dari aspek eksistensi pengobatan sebagai salah satu urusan yang wajib dilindungi negara, dan dari aspek bahwa tidak adanya pengadaan sarana pengobatan akan berbahaya bagi manusia. Maka berdasarkan dua aspek ini pengadaan sarana pengobatan menjadi tanggung jawab negara. Di samping itu, Rasulullah pernah dihadiahi seorang dokter, lalu beliau menjadikan dokter itu untuk kaum muslimin. Dengan demikian, apa yang diperbuat Rasul ketika beliau 16
dihadiahi seorang dokter, beliau tidak menggunakannya dan tidak mengambilnya sendiri, tetapi beliau menjadikannya untuk kaum muslimin secara umum. Ini sebagai dalil bahwa pengobatan merupakan hak semua kaum muslimin, bukan hak beliau saja. Ketiga perkara ini : keamanan, pendidikan, dan pengobatan merupakan kebutuhan primer (basic needs) bagi semua manusia. Di mana pengadaannya untuk semua manusia menjadi tanggung jawab negara. Tanggung jawab negara terhadap ketiga perkara ini sama, baik terhadap fakir miskin maupun orang kaya. Sebab ketiganya merupakan kebutuhan primer bagi manusia. Di samping itu harta yang dibayarkan untuk para guru itu tidak dikhususkan untuk pendidikan anak-anak kaum fakir miskin, tetapi bersifat umum meliputi fakir miskin dan orang kaya. Begitu juga keamanan, ia merupakan hak semua manusia, baik fakir miskin, kaya, kuat, atau lemah. Demikian juga pengobatan. Meskipun pengadaaannya bagi semua manusia menjadi tanggung jawab negara, namun seseorang tidak dilarang mengadakan untuk dirinya sendiri. Sehingga boleh bagi seseorang mengangkat seorang pengawal yang khusus untuk menjaga dirinya (body guard) atau rumahnya (satpam), boleh mendatangkan guru khusus untuk anak-anaknya, dan boleh berobat kepada dokter khusus dengan mambayar upah. Begitu juga, boleh baginya seorang guru dan dokter mengambil upah. Adapun bolehnya seorang pengawal mengambil upah, jelas hukumnya. Adapun bolehnya seorang guru mengambil upah, itu berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Nabi saw. bahwasanya beliau bersabda : א א ”Sesungguhnya sesuatu yang lebih berhak kamu mengambilnya sebagai upah adalah (dari mengajar) kitabullah.” (HR. Bukhari dari Ibnu Abbas)Ini menunjukkan bolehnya seseorang mengadakan pendidikan untuk dirinya sendiri. Sedangkan bolehnya seorang dokter mengambil upah, maka berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Anas berkata : א ”Nabi saw memanggil seorang pembekam, lalu beliau dibekamnya, selanjutnya beliau menyuruh agar pembekam itu diberi satu sha’ atau dua sha’.” (HR. Ahmad dan Bukhari dari Anas). Pembekam pada waktu itu termasuk bagian dari pengobatan yang dijalankan oleh dokter. Ini menunjukkan bolehnya seorang mengadakan sarana pengobatan untuk dirinya sendiri. Ini merupakan jaminan terhadap pemenuhan semua kebutuhan-kebutuhan primer semua individu rakyat satu persatu secara menyeluruh, dan mengadakan sarana pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer yang diperlukan semua manusia. Dengan hukum-hukum ini, politik ekonomi Islam terealisasikan secara menyeluruh. Menciptakan lapangan pekerjaan bagi yang mampu bekerja, memberi ruang yang memadai bagi pengusaha untuk mengembangkan kekayaannya, menjamin nafkah kaum fakir miskin dan orang-orang yang lemah secara fisik, serta pengangguran. Dengan hukum-hukum tersebut akan teralisasikan jaminan pemenuhan semua kebutuhan-kebutuhan primer masing-masing individu rakyat secara menyeluruh. Allohumma qod da’awtuhum jiharo, fasyhad. ______________________________ NB: * Penulis adalah Ketua Umum Forum Komunikasi Masjid Seluruh Indonesia (FKM) yang berkedudukan di Jakarta. ** Makalah ini disampaikan dalam Seminar yang diselenggarakan oleh: Badan Exsekutif Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Darussalam (BEM STAIDA) dengan tema ”Masjid Sebagai Pusat Peribadatan dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat”, pada tanggal 15 Februari 2010 di Gedung Aula Sekolah Tinggi Agama Islam Darussalam (STAIDA), Blok Agung, Banyuwangi.
17