MASALAH PILIHAN KATA DALAM PENERJEMAHAN: MENCIPTAKAN KATA BARU ATAU MENERIMA KATA PINJAMAN? Ida Sundari Husen Ketua Sekolah Tinggi Bahasa Asing LIA Jakarta
[email protected]
Abstak Pilihan kata merupakan unsur yang penting dalam penerjemahan. Salah memilih kata dalam penerjemahan akan mengakibatkan kesalahan pesan yang disampaikan kepada pembaca. Persoalan memilih kata sering dialami setiap penerjemah sekalipun sudah berpengalaman. Kesulitan-kesulitan itu di antaranya penentuan kata dengan bobot dan konotasi yang tepat, penyerapan bahasa asing, atau pemilihan istilah atau ungkapan yang tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut diperlukan kemampuan berbahasa Indonesia, salah satunya terampil memilih kata (diksi), sehingga terjemahannya dapat berterima. Kata Kunci: pilihan kata, penerjemahan, pesan
Abstract Word choice is an important element in translation. Poor diction in translation may transfer different message to readers. Good diction is still a problem to translators even to the experienced ones. These difficulties include the determination of words with the equivalent quality and connotation, the naturalization, and term and phrase selection that have no equivalence in Indonesian. To overcome these constraints, translators are required to master in diction to produce natural translation. Key Words: word choice, translation, message
Pendahuluan Sebelum membahas apa yang menjadi topik pembicaraan, saya ingin mengingatkan kembali apa yang dimaksud dengan penerjemahan. Beberapa pakar linguistik yang mengkhususkan diri pada penelitian penerjemahan mempunyai pendapat yang mirip, tetapi diformulasikan dengan cara yang berbeda-beda. Catford (1965), misalnya, mengatakan bahwa menerjemahkan adalah “ mengganti teks dalam bahasa sumber dengan teks sepadan dalam bahasa sasaran” , sedangkan menurut Newmark (1985): “ menerjemahkan Masalah Pilihan Kata dalam Penerjemahan: Mencari Kata Baru atau Menerima Kata Pinjaman (Ida Sundari Husen)
1
makna suatu teks ke dalam bahasa lain sesuai dengan yang dimaksudkan pengarang.” Unsur-unsur yang diteliti adalah penulis teks asal, teks asal (TA), penerjemah, teks terjemahan (TT), dan pembaca. Dalam perkembangan selanjutnya unsur yang diteliti bertambah dengan situasi komunikasi, citra mental penerjemah, latar belakang budaya penulis, dan pembaca potensial. Dengan kata sederhana dapat didefinisikan bahwa menerjemahkan adalah mema-hami suatu teks (berbahasa asing) untuk membuat orang lain paham (dalam bahasa sendiri). Penerjemah adalah perantara yang mengomunikasikan gagasan dan pesan penulis teks asli yang ditulis dalam bahasa sumber kepada pembaca melalui bahasa lain (bahasa sasaran). Pembaca teks hasil terjemahan harus memahami dan memperoleh kesan atau pengertian sama seperti pembaca teks asli. Karena bahasa adalah produk budaya, kegiatan penerjemahan pada hakikatnya adalah kegiatan antarbudaya. Dalam pengalihan pesan dari bahasa sumber ke bahasa sasaran, terjadi pula transfer budaya yang membuat pembaca teks terjemahan mengerti atau tidak mengerti amanat yang disampaikan. Setiap bahasa memiliki sistem dan struktur sendiri (sui generis). * Penerjemah tidak dapat memaksakan sistem dan struktur bahasa sumber pada bahasa
sasaran
yang
dipakai
dalam
kegiatan
penerjemahan.
Untuk
mengalihkan pesan, penerjemah tidak mungkin mengalihbahasakan kata demi kata, tetapi memindahkan secara wajar seluruh pesan/amanat ke dalam bahasa sasaran, seperti contoh berikut. How do you do?/How are you? (Sd.) Comment allez-vous?
Apa kabar?
Dear Sir/Madam Monsieur, Madame,
Dengan hormat,
*
2
Kumaha damang?
Lihat Hoed, B.H. (1995 dan 2000) LINGUA Vol.9 No.1, Maret 1— 15
Seperti telah dikemukakan di atas, kesulitan penerjemahan ditemukan pada tahap pengalihan pesan, pengalihan bentuk (struktur, ungkapan, dan pemilihan kata). Walaupun
“ bentuk” dapat dikorbankan demi pengalihan
pesan,
sastra
penerjemah
teks
misalnya,
perlu
berusaha
keras
mengalihbahasakan ungkapan atau kata yang dipilih penulis teks asli karena konotasi tertentu yang dikehendakinya. Oleh karena itu, dalam penerjemahan teks sastra, penerjemah sering mengalami ketegangan (tension) karena menghadapi masalah intraduisibilité [ketakterjemahan]. Namun, penerjemah wajib menghormati penulis dengan memilih kata, ungkapan, bahkan kalau mungkin gaya penulis asli. Tentu saja semua harus dilakukan dalam batas kewajaran bahasa Indonesia. Penerjemah tidak boleh melanggar hak cipta dan tetap sadar bahwa ia sedang menerjemahkan, bukan menulis karya sendiri sehingga menimbulkan pemeo “ La Belle infidèle”‘ Si Cantik yang tidak setia’ . Untuk teks yang lebih teknis sifatnya, operasional, atau fungsional, yang harus diutamakan adalah pesan. Adapun penerjemah karya ilmiah perlu memiliki pengetahuan tentang teks yang akan diterjemahkannya, atau paling sedikit ia harus berusaha untuk mencari teks-teks dalam bahasa Indonesia tentang topik yang sama dan sering berkonsultasi dengan pakar dalam bidang tersebut. † Penerjemah tidak dapat mengandalkan kamus karena penjelasan dalam kamus sering tidak sesuai dengan apa yang diungkapkan dalam karya ilmiah. Gilles‡ menyimpulkan bahwa penerjemahan karya sastra harus “ author oriented”, sedangkan penerjemahan teks teknis harus “ client oriented”. Untuk yang dimaksud dengan “ klien” , beberapa penulis teori mengacu pada pembaca potensial, sedangkan yang lain mengartikan editor, penerbit, atau sponsor.
†
Baca: Paulus Sanjaya (2002), Anna Karina (2002) dan Esther Mokodampit (2003) Diungkapkan pada Seminar Penerjemahan yang diselenggarakan oleh Pusat Penerjemahan FIB UI pada bulan April tahun 1995 ‡
Masalah Pilihan Kata dalam Penerjemahan: Mencari Kata Baru atau Menerima Kata Pinjaman (Ida Sundari Husen)
3
Berkaitan dengan klien ini, kegiatan penerjemahan juga bergantung pada ideologi (Lihat Venuti seperti yang dikutip Hoed, 2004: 39). Dalam artikel tersebut contoh yang diberikan adalah politik domestikasi teks asli untuk keperluan penerjemahannya di Amerika Serikat. Saya ingin mengingatkan hadirin tentang penerjemahan karya Shakespeare di Prancis pada abad ke-18 yang direkayasa sedemikian rupa sehingga berbau karya Racine atau Corneille yang sedang dikagumi masa itu. Metode penerjemahannya disebut traductionannexion [penerjemahan-aneksasi] atau traduction -immitation [penerjemahantiruan].§
Masalah Pilihan Kata dalam Penerjemahan Seperti telah dikemukakan di bagian terdahulu, penerjemah harus mengalihkan pesan atau amanat bukan mengalihbahasakan kata per kata. Namun, pada praktiknya, dalam pengalihan pesan sering terjemahan suatu kata atau istilah menjadi kendala yang agak sulit diatasi, demikian pula ungkapan. Terkadang kedua bahasa sedemikian berbeda sehingga penerjemah dihadapkan pada
ketidakmungkinan
(intraduisibilité/untranslatability)
menerjemahkan Di
sinilah
suatu
diperlukan
kata
kekebijakan,
kemampuan berbahasa Indonesia, keterampilan menemukan kata yang tepat, serta kreativitas seorang penerjemah agar teks terjemahannya dapat berterima. Di samping itu, penerjemah pun harus mengenali apakah suatu kelompok kata merupakan frasa, klausa, ungkapan, atau peribahasa. Misalnya, berdasarkan konteks, ia harus segera mengerti bahwa terjemahan “ Les petits ruisseaux font les grandes rivières”(Inggris: Great oaks from little acorns grow) bukanlah ‘ Selokan-selokan kecil lama-lama menjadi sungai besar’ , melainkan ‘ Sedikit-
§
Lihat “ Laporan Seminar Penerjemahan Karya Sastra” dalam Lintas Bahasa, no. 5 tahun 1996, halaman 6.
4
LINGUA Vol.9 No.1, Maret 1— 15
sedikit lama-lama menjadi bukit’ . Terjemahan kalimat “ Tel père tel fils” (Inggris: Like father like son) bukanlah ‘ Begitu bapaknya begitulah anaknya” , melainkan ‘ Air di cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga’ , sedangkan “ Tomber de Charybde en Scyilla” ‘ Jatuh dari Charybde ke dalam Scylla’ adalah padanan dari ‘ Lepas dari mulut harimau masuk ke mulut buaya’ . Terkadang peribahasa bahasa Indonesia merupakan terjemahan harfiah dari peribahasa Prancis atau Inggris, misalnya: “ Les chiens aboient, la caravane passe” ‘ Anjing menggonggong, kafilah jalan terus’ ; “ When there is a will, there is a way” ‘ Di mana ada kemauan, di sana ada jalan’ . Masalahnya muncul jika penerjemah tidak tahu padanan peribahasa Indonesia atau memang dalam bahasa Indonesia tidak ada padanannya. Salah satu solusi adalah mener-jemahkan makna peribahasa itu berdasarkan kamus: “ De la discussion jaillit la lumière” ‘ Dari diskusi terpancar cahaya’ dipadankan menjadi ‘ Berkat adu pendapat muncullah solusi’ . Penerjemah juga harus mengenali (berdasarkan konteks) bahwa frasa yang ditemu-kannya adalah ungkapan, seperti di bawah ini. Il trouve sa maison sens dessus dessous (arah atas bawah): Ia menemukan rumah-nya berantakan. Après quelques jours de tête à tête (kepala pada kepala), ils sont obligés de se séparer: Setelah berduaan beberapa hari, mereka terpaksa harus berpisah. Setelah melihat contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa seorang penerjemah harus menguasai bahasa sumber dan bahasa sasaran. Ia tidak hanya dituntut untuk memahami bahasa sumber tertulis, tetapi juga sigap menemukan padanan dalam bahasa sasaran serta mampu menuangkannya dalam tulisan yang tepat. A pabila kata-kata yang terangkai dalam klausa atau kalimat memiliki padanan
dalam
bahasa
Indonesia,
penerjemah
Masalah Pilihan Kata dalam Penerjemahan: Mencari Kata Baru atau Menerima Kata Pinjaman (Ida Sundari Husen)
dengan
mudah 5
menerjemahkannya. Yang menjadi masalah dalam pemilihan padanan dalam hal ini adalah
pencarian padanan kata yang memiliki “ bobot” atau yang
disebut Machali “ kekuatan” (Machali, 2000: 81— 82) yang sama. Hal ini tidak hanya berlaku untuk karya sastra, tetapi juga dalam teks umum, seperti contoh berikut. The Non-aligned is determined to actively participate [....] Gerakan Nonblok merasa terpanggil untuk ikut serta [....] Gerakan Nonblok berketetapan untuk secara aktif berperan serta [.....] Ia berpendapat bahwa kata “ terpanggil” tidak memiliki kekuatan yang sama seperti “ is determined” , lebih baik digantikan oleh “ berketetapan” . Ketika perselisihan antara Indonesia dan Portugal masih berlangsung, koran-koran Indonesia biasa menulis “ Timor Timur berintegrasi dengan Indonesia pada tahun 1975” , tetapi berita yang sama akan muncul di surat kabar Eropa (kawan-kawan Portugis) sebagai berikut “ Timor Timur dianeksasi oleh Indonesia pada tahun 1975” . Dalam hal ini tampak jelas bahwa penerjemahan kata “ bergabung” sangat dipengaruhi oleh ideo-logi yang menyebabkan pilihan kata yang berbeda konotasinya. Kata-kata yang sulit dicarikan padanannya biasanya menyangkut unsur budaya materi, religi, sosial, organisasi sosial, adat istiadat, kegiatan, prosedur, bahasa isyarat, ekologi (Newmark: 1988: 95, seperti yang dikutip oleh Nababan, 2004). Masalahnya, terkadang padanan kata itu ada dalam bahasa Indonesia, tetapi konotasinya berbeda. Kata tersebut dalam teks asal memiliki berbagai makna yang harus dipilih dengan jeli oleh penerjemah. Memang persoalan memilih makna kata itu merupakan masalah permanen dalam penerjemahan yang dapat membuat kesal penerjemah. Penerjemah telah paham apa yang dimaksud pengarang, tetapi mendapat kesulitan bagaimana menuangkannya dalam bahasa Indonesia dalam satu kata atau istilah. Contoh6
LINGUA Vol.9 No.1, Maret 1— 15
contoh berikut kita akan dihadapkan pada kasus pencarian padanan yang menyangkut kebiasaan sehari-hari (pranata sosial, makanan-minuman, dll.), istilah keagamaan, istilah kekerabatan, kata ganti orang, nama diri, sebutan, gelar, kata sapaan, nama peralatan, tumbuh-tumbuhan, bunga-bungaan, buahbuahan, dan hewan. 1.
Istilah/kata yang Memiliki Padanan dalam Bahasa Indonesia
a. Beberapa kata sebenarnya ada padanannya dalam bahasa Indonesia, tetapi dengan makna yang lebih luas, misalnya rice/riz yang dapat berarti padi/beras/nasi. Dalam hal ini, konteks sangat menentukan padanan kata yang dimaksud. b. Suatu kata dari bahasa sumber dapat memiliki makna ganda dan mempunyai dua padanan dalam bahasa Indonesia, misalnya table yang dapat berarti meja atau tabel. Penerjemah harus memilih mana yang paling cocok dengan konteksnya. c. Banyak juga kata-kata yang sebetulnya memiliki padanan dalam bahasa Indonesia, tetapi dengan konotasi khusus, misalnya: (1) caféine/kitchen
: dapur;
(2) la
: warung kopi;
(3) cuis undry
: binatu, tukang cuci;
(4) lingerie
: baju dalam;
(5) boutique
: toko kecil/warung
Ò butik = toko dengan
barang-barang yang eksklusif. Rasa rendah diri dan kebiasaan berbahasa orang Indonesia tampaknya ikut me-nentukan dalam pengadopsian atau peminjaman istilah-istilah asing tersebut. Istilah “ dapur” digunakan untuk dapur tradisional yang kotor, sedangkan kalau dapur itu bersih dan modern namanya kitchen. Dari istilah itu muncul kitchen-set di mana-mana. Sama halnya dengan Masalah Pilihan Kata dalam Penerjemahan: Mencari Kata Baru atau Menerima Kata Pinjaman (Ida Sundari Husen)
7
keempat istilah lain di atas. Ada yang dipinjam secara utuh dalam bentuk aslinya, ada pula yang secara perlahan-lahan diserap menjadi bahasa Indonesia, seperti café atau kafe. Dalam
petunjuk-petunjuk
penerjemahan
sering
dikatakan
bahwa
penerjemah harus menggunakan padanan istilah yang digunakan di Indonesia. Namun, terkadang penerje-mah dihadapkan pada pilihan yang sulit, misalnya terjemahan istilah “ ministère” dari bahasa Prancis yang padanannya adalah “ kementrian” . Di Indonesia kini digunakan istilah “ departemen” , sedangkan di Prancis pun mempunyai istilah “ département” yang mengacu kepada lembaga yang lain sama-sekali. Simpulannya, yang mungkin dapat dipilih adalah istilah “ kementrian” untuk menunjukkan bahwa di Prancis istilah itulah yang dipakai. 2.
Istilah/Kata yang Tidak Ada Padanannya dalam Bahasa Indonesia Terkadang istilah budaya itu tidak ada padanannya dalam bahasa
Indonesia, misalnya sebagai berikut. a. La dot
diterjemahkan dengan parafrasa “ bekal perkawinan” , disertai
penjelasan pada catatan kaki/belakang: warisan keluarga yang diberikan kepada seorang gadis pada hari perkawinannya. b. Istilah-istilah budaya yang menyangkut adat/kebiasaan, bangunan, uang, makanan dan minuman: (1) vendetta
= vendetta (dicetak miring) + catatan kaki;
(2) château
= château (dicetak miring) + catatan kaki;
(3) franc, louis, sou, pound sterling dipinjam dengan dicetak miring dan catatan kaki; (4) croissant, rhum, genièvre, dipinjam dengan dicetak miring dan catatan kaki.
8
LINGUA Vol.9 No.1, Maret 1— 15
c.
Nama diri, julukan, gelar, dan sapaan Nama diri biasanya dialihkan sebagaimana adanya, untuk menunjukkan bahwa nama-nama itulah yang dipakai di negeri berbahasa sumber, misalnya: Aucassin, Nicolette, Thérèse, dll. (bukan Nikoleta dan Teresa). Khusus untuk nama Superchat dari suatu cerita anak-anak, dibuat kreasi baru
dengan
menciptakan
Superkucing
yang
dengan
mudah
mengingatkan anak-anak pada Superman. Julukan terkadang terkadang tidak diterjemahkan, misalnya: Le Tondu
: Si Gundul;
Le petit caporal : Si Kopral yang kontet (julukan untuk Napoleon). Namun, saya membiarkan “ La Marquise” dan “ Mademoiselle Fifi” karena ber-pendapat bahwa terjemahan istilah akan menghilangkan “ bobot” julukan itu. Di samping itu, untuk La Marquise saya mendapat kesulitan untuk memilih gelar kebangsawanan yang “ sepadan” : Bu Raden Ayu? Bu Rangkayo? Sementara itu, istilah Madame dan Monsieur diterjemahkan “ Ibu” dan “ Bapak” , tetapi terkadang tidak, bergantung pada situasi. Gelar Maître, Baron, Comte, Marquis, tidak diterjemahkan karena tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Semua kata asing dicetak miring dan, jika perlu, diberi penjelasan pada catatan kaki. d.
Masalah juga timbul dalam penerjemahan istilah keagamaan seperti frère/ brother, pasteur, abbé, karena pemakaian istilah di seluruh Indonesia tidak seragam, misalnya istilah “ romo” hanya dipakai di Jawa. Berhubung bukan Katolik, saya harus minta penjelasan dari teman-teman yang beragama Katolik. Demikian juga untuk mencari padanan istilah untuk upacara, benda-benda, serta bagian-bagian gereja. Untuk yang terakhir, kamus visual sangat membantu.
Masalah Pilihan Kata dalam Penerjemahan: Mencari Kata Baru atau Menerima Kata Pinjaman (Ida Sundari Husen)
9
e.
Istilah kekerabatan juga menjadi persoalan. Di Indonesia, orang yang lebih muda selalu menambahkan sebutan abang, kakak, mas, bapak, ibu, paman/om, dll. jika ia menyapa orang yang lebih tua, sedangkan di Barat, hal itu sering tidak diperlukan. Saya merasakan keganjilan ketika istilah “ Aa” (abang/mas dalam bahasa Sunda) tidak diterjemahkan
atau
dipinjam
dalam
terjemahan
“ Perjalanan
Pengantin “ dalam bahasa Prancis. Pesan memang sampai, tetapi ada unsur budaya yang tidak dialihkan. Sebaliknya, dalam penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia, saya bingung
memilih,
istilah
kekerabatan daerah mana yang harus dipilih? Sebetulnya saya segan memilih “ om” karena istilah Belanda, tetapi menggunakan istilah “ paman” untuk lingkungan tertentu kesannya sangat artifisial, tidak sesuai dengan kenyataan. f.
Kata ganti orang pertama dan kedua yang tampaknya sederhana dan banyak dipakai dalam kegiatan sehari dalam penerjemahan karya sastra menimbulkan masalah karena pemakaiannya di Indonesia belum seragam. Saya pribadi biasa memakai pasangan “ saya– anda” dan “ aku– kamu” . Namun, pilihan itu pernah dikoreksi oleh seorang editor yang menambahkan “ engkau” . Demikian juga pemakaian “ ia” dan “ dia” tampaknya belum seragam. Dalam menerjemahkan cerita anak-anak, saya menyadari sepenuhnya bahwa anak-anak masa kini menggunakan kata ganti “ gue dan lu/lo” dalam percakapan mereka. Saya berpendapat bahwa salah satu misi penerjemah adalah juga membina kebiasaan berbahasa yang baik. Saya mengharapkan bahwa dengan seringnya membaca, anak-anak akan berbahasa lebih baik. Televisi pun seharusnya memberikan dukungan dengan mewajibkan semua orang yang tampil di layar kaca menggunakan
10
LINGUA Vol.9 No.1, Maret 1— 15
bahasa Indonesia yang “ baik” sekalipun hal itu mungkin sekarang tampak “ artifisial” berhubung perusakan bahasa percakapan resmi semakin memprihatinkan. Dalam buku anak-anak Prancis pun digunakan bahasa yang “ res-mi” , yang baik dan benar. Dalam kenyataannya, walaupun sudah belajar bahasa Prancis selama puluhan tahun, mungkin saya tidak dapat memahami percakapan anak-anak di negeri itu, apalagi percakapan remaja karena mereka menggunakan bahasa “ gaul” . Saya pernah mengalami kesulitan dalam pemilihan kata ganti dalam suatu karya sastra. Tokoh suami-istri dalam karya itu, dari kalangan borjuis kelas atas di Paris, menggunakan kata ganti “ vous” (anda) untuk saling menyapa. Sebetulnya padanannya mungkin “ mas/abang/akang” , tetapi karena istilah itu tidak berlaku umum di seluruh Indonesia, saya memutuskan untuk menggunakan “ anda” . g.
Untuk nama tumbuh-tumbuhan, bunga, hewan, tidak ada jalan lain selain memin-jamnya dengan tulisan miring, dan kalau perlu dengan catatan kaki. Misalnya: bunga marguerite, anémon, tilleul, ikan truite, salmon. Pada kesempatan ini, perlu disampaikan bahwa ada beberapa kata dalam bahasa Indonesia yang masuk atau dipinjam dalam kamus Prancis, antara lain durian, bambou, dan orang outang. Seperti telah disampaikan di bagian terdahulu, penerjemahan teks teknik
dan ilmiah menuntut cara menerjemahkan yang berbeda. Penerjemah harus memakai teks sejenis dalam bahasa Indonesia untuk mengetahui istilah yang dipakai berhubung informasi yang diungkapkan dalam kamus sering tidak memadai. Hal yang lebih mungkin adalah ensiklopedi. Di samping itu, penerjemah juga harus sering berkonsultasi dengan pakar bidang ilmu untuk memahami teks yang sedang diterjemahkan. Idealnya penerjemah adalah pakar bidang tersebut. Para pakar ilmu sering tidak begitu menguasai bahasa asing Masalah Pilihan Kata dalam Penerjemahan: Mencari Kata Baru atau Menerima Kata Pinjaman (Ida Sundari Husen)
11
teks asal. Sebaiknya, mereka bekerja sama dengan penerjemah yang menguasai bahasa teks tersebut. Solusi lain adalah agar penerjemah mengkhususkan diri dalam satu bidang ilmu karena sebenarnya struktur dan istilah yang dipakai lebih terbatas sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama akan dapat menerjemahkan dengan lancar dan mudah. Mengenai petunjuk pemakaian suatu alat, sebaiknya penerjemah melihat sendiri alat tersebut dan mengerti cara berfungsinya agar hasil terjemahannya benar-benar ope-rasional. Saya pribadi belum banyak pengalaman dalam penerjemahan teks teknik. Menurut pengalaman yang masih terbatas itu, ada beberapa catatan. 1. Istilah teknik yang dipakai di Indonesia belum seragam, misalnya istilah dapur dan tanur. Dalam hal ini, penerjemah perlu meminta bahan dari beberapa industri atau perguruan tinggi untuk mencari istilah yang lebih populer. 2. Sering para ilmuwan atau kalangan industri lebih menyukai istilah Inggrisnya. Usaha penerjemah untuk mengindonesiakan istilah dari bahasa asing selain Inggris dipandang sebagai berbau “ sastra” dan tidak sesuai dengan kenyataan. 3. Terkadang ada istilah asing yang diadopsi dalam bahasa Indonesia melalui bahasa asing lain dan memiliki makna berbeda. Hal ini saya alami waktu menerjemahkan Indochina dari bahasa Prancis ke dalam bahasa Indonesia. Saya menemukan istilah yang mengacu pada hiasan dekorasi candi yang bentuknya tetap seperti kata Prancis, tetapi datang di Indonesia melalui Belanda maknanya berbeda. Agar contohnya lebih mutakhir, saya akan mengambil contoh-contoh dari laporan penelitian tiga orang lulusan Program Spesialisasi 1 Penerjemahan FIB UI tentang istilah kedirgantaraan (PT IPTN), perlistrikan, dan teknologi 12
LINGUA Vol.9 No.1, Maret 1— 15
komunikasi seluler.Tampaknya yang sudah membuat standardisasi hanyalah bidang perlistrikan berkat tim khusus yang dibentuk Direktorat Jenderal Listrik dan Pengembangan Energi. Terjemahan istilah teknik tidak mengalami kesulitan. Istilah yang bermasalah adalah yang “ dipinjam” dari khazanah istilah umum, misalnya alimentation (makanan), transfer, hand over (penga-lihan). Di samping itu, usaha yang juga menghambat untuk memopulerkan istilah baru adalah kebiasaan buruk orang Indonesia menggunakan istilah Inggris. Dengan kata lain, orang Indonesia keengganan memopulerkan istilah baru dalam bahasa Indonesia, misalnya sector mapping ‘ pemetaan sektor’ , mounting cabling ‘ pemasangan kabel’ , hand over ‘ pengalihan frekuensi’ . Pada beberapa tahun terakhir banyak diterbitkan kamus istilah berbagai bidang. Mudah-mudahan istilah-istilah yang ditawarkan sudah dapat diterima oleh semua kalangan, termasuk perguruan tinggi.
Penutup Memilih kata yang tepat pada hakikatnya merupakan pekerjaan rutin penerjemah dalam usahanya mengalihkan pesan dari teks berbahasa sumber ke dalam
teks
terje-mahan
yang
akan
ditulisnya.
Seorang
penerjemah
berpengalaman sekalipun pasti selalu mengalami kesulitan mencari kata yang tepat, dengan bobot dan konotasi yang tepat, yang akan mendorongnya untuk menciptakan kata baru, mengindonesiakan kata asing atau “ meminjam” kata tersebut. Teks baru akan memberinya kesulitan lain. Bedanya dengan penerjemah baru adalah bahwa pengalaman telah memberinya cara untuk meng-atasi kesulitan itu lebih cepat. Berhubungan dengan hal di atas, pekerjaan menerjemahkan adalah pekerjaan yang memerlukan keuletan, kesabaran, dan terutama kecintaan pada pekerjaan yang dapat me-maksanya untuk duduk berjam-jam di depan Masalah Pilihan Kata dalam Penerjemahan: Mencari Kata Baru atau Menerima Kata Pinjaman (Ida Sundari Husen)
13
komputer atau berjalan ke sana ke mari untuk berkonsultasi atau mencari bahan pendukung pekerjaannya.
Daftar Pustaka Anna Karina. 2002. Analisis Peristilahan Peluncur Roket dalam Lintas Bahasa no. 20,21/X/12/2002. Jakarta: Penerbitan Pusat Penerjemahan FIB UI. Catford, J.C. 1965. A Linguistic Theory of Translation. London: Oxford University Press. Durieux, C. 2000. “ Kreativitas dalam Penerjemahan Teknik” dalam Enseigner la Traduction, no. 1, April. Jakarta: PPKB, LPUI & Kedutaan Besar Prancis, hlm. 77— 87. Hoed, B.H. et al. 1993.” Pedoman Umum Penerjemahan” dalam Lintas Bahasa edisi khusus, no. 1 Juli 1993. Jakarta: Pusat Penerjemahan FIB UI. Hoed, B.H.1995. “ Prosedur Penerjemahan dan Akibatnya” dalam dalam Lintas Bahasa no. 2, 3 Maret 1995. Jakarta: Pusat Penerjemahan FIB UI. ---
2002. “ Penerjemahan Unsur Budaya” dalam Lintas Bahasa no. 20, 21, 10 Desem-ber 2002. Jakarta: Pusat Penerjemahan FIB UI.
---
2004. “ Liberté en Traduction, Skopos et Idéologie” dalam La Francophonie dans les Pays non Francophones. Acte du Colloque International 2004. Association des Professeurs de Français d’ Indonésie.
Husen, Ida Sundari. 1996. Laporan Seminar Penerjemahan Karya Sastra dalam Lintas Bahasa no. 5, 4 April 1996. Jakarta: Pusat Penerjemahan FIB UI. Hidayat, Rahayu Surtiati. 1996. Penerjemahan sebagai tindak Komunikatif (Pidato Ilmiah pada HUT FIB tanggal 5 Desember 1996) ---
2002. “ Deverbalisasi sebagai Proses Terjemahan” dalam Lintas Bahasa no. 20, 21, 10 Desember 2002. Jakarta: Pusat Penerjemahan FIB UI.
Machali, Rochayah. 2000. Pedoman Bagi Penerjemah. Jakarta: PT Grasindo.
14
LINGUA Vol.9 No.1, Maret 1— 15
Mokadampit, Esther. 2003. Analisis Peristilahan Telekomunikasi Seluler dalam Lintas Bahasa no. 23/XI/8/2003. Jakarta: Penerbitan Pusat Penerjemahan FIB UI. Nababan, M.R. 2004. “ Penerjemahan dan Budaya” in Proceeding Seminar Nasional Linguistik. Peran Bahasa sebagai Perekat Keberagaman Etnik. Yogyakarta: Cine Club. Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta. Newmark, P. 1988. A Text Book of Translation. New York: Prentice Hall. Paulus Sandjaja. 2002. Analisis Peristilahan Tenaga Listrik dalam Lintas Bahasa no. 20,21/X/12/2002. Jakarta: Penerbitan Pusat Penerjemahan FIB UI.
Masalah Pilihan Kata dalam Penerjemahan: Mencari Kata Baru atau Menerima Kata Pinjaman (Ida Sundari Husen)
15