PENERJEMAHAN KATA-KATA BUDAYA BAHASA INDONESIA KE DALAM BAHASA INGGRIS 1
Nuryadi, S.S., M.Hum1) Fakultas Komunikasi, Sastra dan Bahasa, Universitas Islam “45” Bekasi Email :
[email protected]
Abstrak
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan telaah isi tentang penerjemahan kata-kata budaya bahasa Indonesia kedalam bahasa Inggris.Terdapat dua hal yang dikaji yaitu (1) kategori kata-kata budaya yang terkandung dalam bahasa sumber, dan (2) strategi penerjemahan yang digunakan dalam menerjemahkan kata-kata budaya.Berdasarkan analisis data, ditemukan sembilan belas kata-kata budaya yaitu (1) kategori kebudayaan material yang meliputi becak, batik, jalan setapak, boreh, pura, kamben grinsing, tuak, dan canting, (2) kebudayaan sosial yang meliputi tetua, Bali Aga, Usaba Sambah, sultan, ksatria, makare-kare, (3) kesenian yang meliputi Ramayana, dalang, dan wayang kulit, dan (4) ekologi yang meliputi pandana dan banteng. Strategi yang dipakai oleh penerjemah ada dua yaitu (1) menerjemahkan dengan menggunakan kata pinjaman sebanyak dua belas kata-kata budaya,dan (2) menerjemahkan dengan substitusi budaya atau padanan budaya sebanyak tujuh kata-kata budaya. Akurasi terjemahan katakata budaya tersebut secara umum adalah tinggi, ditunjukkan oleh keberhasilan penyampaian makna Bahasa Sumber (BSu) kedalam Bahasa Sasaran (BSa). Strategi menggunakan kata pinjaman lebih banyak karena nuansa kebudayaan BSu sangat kental. Kata kunci : Penerjemahan, Strategi Penerjemahan, Kategori Kebudayaan, Kata-ata Budaya, Kata Pinjaman, Substitusi Budaya Abstract Translating of cultural words often face problems if it is not found the same cultural concept in target language so that it is not found the appropriate equivalence. The purpose of this research is to know the cultural categories in source language and the translating strategies used. This is the descriptive qualitative research about content analysis. Based on the analysis of data, it is found nineteen cultural words that is (1) material culture such as bicycle rickshaw, batik, trek, temple, coconut wine, and canting; (2) social culture such as elder, combatant, sultans; (3) art such as Ramayana, dalang, wayang kulit; and (4) ecology such as pandanas, and buffalo. There are two strategies used by translator, namely (1) there are twelve words which are translated using borrowing words; and (2) there are seven words which are translated using cultural equivalent or cultural substitution. The accuracy of cultural-word translation is very good, it is shown by successfulness to convey source language into target language meaning. Translator used more borrowing-word strategies than cultural equivalent because the nuance of source language culture is stronger. Keywords: Translating, Translating Method, Cultural Categories, Cultural Words, Borrowing Words, Cultural Substitutuion
1. PENDAHULUAN
Penerjemahan kata-kata budaya seringkali menjadi masalah jika dalam bahasa sasaran tidak ditemukan konsep budaya yang sama sehingga tidak ditemukannya padanan yang tepat. Venuti (2000) menyatakan bahwa dalam penerjemahan konsep-konsep kebudayaan diperlukan keteranganketerangan tambahan dan daftar kata yang mengacu pada bagian teks yang menggunakan kata-kata budaya. Hal tersebut karena perbedaan budaya menyebabkan perbedaan konsep dan dalam tataran linguistik konsep berhubungan erat dengan pilihan kata. Faktor budaya menyebabkan penerjemahan merupakan kegiatan yang menyita waktu dan pikiran. Atau dengan kata lain, faktor budaya menjadi kendala dalam penerjemahan karena setiap masyarakat mempunyai pilar budaya yang berbeda. Meskipun ada kesamaan namun kalau dicermati selalu terdapat perbedaan yang bersifat spesifik dan tidak dimiliki oleh masyarakat lain. Walaupun masih terus diperdebatkan apakah bahasa merupakan bagian dari budaya atau budaya merupakan bagian dari bahasa, penerjemahan tidak dapat dilepaskan dari kedua hal tersebut karena bahasa dan budaya ibarat dua sisi yang berbeda dari satu mata uang yang sama, keduanya saling mengisi. Lotman (1978) menyatakan no language can exist unless it is steeped in the context of culture; and no culture can exist which does not have at its centre, the structure of natural language. Bahasa berakar dari budaya dan budaya memang tidak dapat dipisahkan dari bahasa. Orang Jawa mengenal selametan, sedangkan orang Barat mengenal Hallowen. Penerjemahan teks yang mengandung unsur-unsur budaya sering menimbulkan permasalahan keberterimaan sehingga dibutuhkan strategi supaya hasil
terjemahan berterima. Oleh sebab itu menerjemahkan satu bahasa ke bahasa lain menjadi menarik karena keterkaitan bahasa dengan budaya yang melatarinya. Berdasarkan pemikiran yang demikian, penelitian ini dilakukan. 2. KAJIAN LITERATUR
Definisi Penerjemahan Penerjemahan adalah upaya untuk mengungkapkan kembali pesan yang terkandung dalam teks bahasa sumber (BSu) ke dalam teks bahasa sasaran (BSa) dengan padanan yang terdekat dan wajar (Nida dan Taber, 1974). Sementara itu, Larson (1984) mendefinisikan penerjemahan sebagai pengalihan makna dari BSu ke dalam BSa. Pengalihan ini dilakukan dari bentuk bahasa pertama ke dalam bahasa kedua melalui struktur semantis.Lebih lanjut dikatakan oleh Larson, bahwa maknalah yang dialihkan dan harus dipertahankan sedangkan bentuk boleh diubah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menerjemahkan itu mencakup upaya untuk mempelajari leksikon, struktur gramatikal bahasa, situasi komunikasi, konteks budaya bahasa sumber dan menganalisisnya untuk menemukan maknanya kemudian berupaya mengungkapkan kembali ke dalam bahasa sasaran. Teori Padanan Dinamis Menurut Catford (1965) hal yang harus diprioritaskan dalam melakukan penerjemahan bukanlah kesejajaran formal kalimat demi kalimat (formal corespondence) melainkan kesepadanan pesan (equivalence) antara teks BSu dan BSa. Dengan demikian pesan penulis BSu dapat disampaikan kepada pembaca BSa dengan baik. Sementara itu, Nida (dalam Venuty 2004) membedakan kesepadanan menjadi dua, formal equivalence (kesepadanan formal) dan dynamic equivalence (kesepadanan dinamis). Kesepadanan formal yang terfokus pada
Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 1, Maret 2016 – Agustus 2016
45
keakuratan makna leksikal telah lama dipertentangkan oleh Nida (1982) dengan teori kesepadanan dinamis. Parameter kesepadanan dinamis bukan terletakpada kesepadanan formal antarteks melainkan terletak pada sudut pandang pembaca sehingga makna yang dihasilkan adalah makna tekstual dan kontekstual. Pengertian Budaya Menurut Newmark (1988), budaya adalah the way of life and its manifestation that the peculiar toa community that uses a particular language as its means of expression. Budaya adalah pandangan hidup atau cara hidup dan perwujudannya yang bersifat khas pada suatu masyarakat yang menggunakan bahasa tertentu sebagai alat untuk mengekspresikannya. Jadi bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat dipengaruhi oleh cara hidup, dan perwujudannya yang spesifik dalam masing-masing komunitas. Koentjaraningrat (1975) membagi wujud kebudayaan itu ke dalam tiga, yaitu (1) kebudayaan yang berupa ideide, (2) kebudayaan yang berupa perilaku atau kebiasaan, dan (3) wujud kebudayaan yang berupa benda-benda (artefak). Wujud kebudayaan ini terdapat dalam alam pikiran manusia.Wujud kebudayaan meliputi sistem kepercayaan, sistem pelapisan sosial, kesenian, upacara, dan benda-benda budaya. Sistem kepercayaan adalah keyakinan yang diyakini oleh suatu masyarakat bahwa sesuatu itu akan menjadi baik atau berdampak baik kalau sesuatu yang diyakini itu dilaksanakan dan sebaliknya, sesuatu itu akan berdampak tidak baik kalau dilanggar. Sistem pelapisan sosial adalah pengelompokan manusia yang ditandai dengan suatu cara hidup dalam kesadaran akan beberapa hak istimewa tertentu, misalnya masalah kasta dan yang berkaitan dengan hal tersebut. Kesenian merupakan sarana yang digunakan untuk mengekspresikan rasa
keindahan dari dalam jiwa manusia dan berfungsi menentukan norma untuk perilaku yang teratur serta meneruskan adat dan nilai-nilai kebudayaan. Upacara adalah aktivitas sosial atau tindakan berpola, digolongkan dalam wujud sistem sosial, terdiri atas aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan serta bergaul dengan sesamanya dari waktu ke waktu menurut pola-pola tertentu. Artefak merupakan benda arkeologi atau bendabenda bersejarah peningalan masa lalu, yaitu semua benda yang dibuat atau dimodifikasi oleh manusia yang dapat dipindahkan. Sementara itu Newmark (1988) membagi kebudayaan menjadi lima yaitu (1) ekologi, (2) kebudayaan material, (3) kebudayaan sosial, (4) organisasi, adat istiadat, upacara, dan konsep, dan (5) kebiasaan dan ekspresi fisik yang khas. Ekologi mencakup flora, fauna, dan bentang alam. Kebudayaan material meliputi makanan, pakaian, rumah atau bangunan, dan transportasi sedangkan kebudayaan sosial mencakup stratifikasi sosial dan aktifitas sosial di waktu senggang. Organisasi meliputi organisasi sosial, politik dan pemerintahan. 3. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah sebuah analisis teks yang terdiri dari BSu dan BSa sehingga menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan telaah analisis isi. Deskriptif kualitatif berarti penelitian ini bertujuan membuat deskripsi dan penjelasan setelah menganalisis data yang terdapat pada majalah Mandala berbahasa Indonesia (BSu) dan terjemahannya dalam bahasa Inggris (BSa). Data yang terkumpul baik yang berbahasa Indonesia maupun berbahasa Inggris diklasifikasikan ke dalam unsurunsur yang termasuk kategori kata-kata budaya. Data tersebut selanjutnya akan dikelompokan sesuai dengan strategi penerjemahan yang digunakan dan dianalisis mengenai bagaimana kata-kata budaya tersebut diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris. Hasil analisis disajikan dalam tabel dan diulas mengenai strategi yang dipilih penerjemah termasuk ideologi yang digunakan penerjemah.
No 1 2 3 4
Kata Budaya tetua ramayana
Kategori budaya sosial kesenian budaya sosial budaya sosial
8 9 10 11 12
bali aga usaba sambah canting tuak kamben gringsing pura pandana banteng jalan setapak boreh
13 14 15 16 17 18 19
sultan ksatria makare-kare dalang becak batik wayang kulit
budaya sosial budaya sosial budaya sosial kesenian budaya material budaya material kesenian
5 6 7
budaya material budaya material budaya material budaya material ekologi ekologi budaya material budaya material
Makna tokoh masyarakat adat sendratari kisah cinta Rama dan 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Shinta Berdasarkan analisis diperoleh penduduk asli Tenganan, Bali sembilan belas data kata-kata budaya upacara adat di Bali yang dikelompokkan berdasarkan kategori kebudayaan sebagaimana alat membatik disajikan dalam tabel di bawah ini. minuman dari nira kelapa pakaian adat Tenganan, Bali tempat ibadah umat Hindu daun (tanaman) pandana sapi hutan jalan kecil untuk pejalan kaki ramuan dedaunan yang ditumbuk untuk obat raja pada kerajaan islam peserta perang makare-kare nama perang dalam adat Bali orang yang memainkan wayang alat transportasi tradisional roda 3 pakaian bermotif bunga, tanaman, dll pertunjukan wayang yang terbuat dari kulit sapi yang diatur oleh dalang
Tabel 1. Kata-Kata Budaya yang Ditemukan dalam Majalah Mandala Kata-kata budaya yang ditemukan sebagaimana disajikan pada tabel di atas, memiliki variasi kategori yang beragam yang terdiri dari budaya sosial 8 data, budaya material 6 data, kesenian 3 data, dan ekologi 2 data. Dalam budaya Inggris, kata-kata tersebut tidak ditemukan atau kalaupun ditemukan konsepnya berbeda sehingga dalam proses penerjemahan, harus diusahakan untuk mencari padanan terdekat dan wajar. Padanan terdekat tersebut tergantung pada pilihan
penerjemah mengenai strategi yang digunakan. Kata-kata budaya yang ditemukan bernuansa kebudayaan Indonesia yang sangat kental. Strategi yang dipakai dalam Penerjemahan Kata-kata Budaya Teori yang dipakai dalam mendeskripsikan strategi penerjemahan adalah teori yang dinyatakan oleh Baker (1992). Kata-kata tersebut sebagian besar
Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 1, Maret 2016 – Agustus 2016
47
muncul dalam teks lebih dari sekali sehingga bias terjadi variasi strategi yang dipakai oleh penerjemah. Ditemukan bahwa penerjemah memilih untuk menggunakan beberapa strategi yang dinyatakan oleh Baker. a. Strategi Penerjemahan dengan Menggunakan Kata-Kata Pinjaman Strategi ini merupakan strategi yang paling sering digunakan oleh penerjemah, tercatat ditemukan 12 data. N o 1.
kata-kata budaya pada Bahasa Sumber (BSu) untuk digunakan pada Bahasa Sasaran (BSa). Strategi ini menunjukkan penerjemah menggunakan aspek foreignization, menghadirkan budaya asing dalam BSa. Berikut ini adalah petikan teks sumber dan terjemahannya yang menggunakan strategi ini.
Bahasa Sumber (BSu)
Bahasa Sasaran (BSa)
Di sini berkilauan warna emas dan merah darah, dimana pertunjukkan Ramayana dimulai, lebih dari 200 penari menampilkan tarian Jawa di bawah langit terbuka pada malam hari. Adapun kegiatan yang paling terkenal dan menjadi pusat perhatian dalam bulan kelima adalah perang pandanamekare-kare. Pada hari kedua upacara Usaba Sambah yang digelar pada tanggal 13 sampai 15 Juni setiap tahun merupakan puncak dari seluruh kegiatan penduduk Tenganan. Di mainkan dibelakang layar, pertunjukkan wayang kulit ini sangat menarik.
Here in sparkling gold and blood-red hues, a feverish Ramayana performance is unfolding – more than 200 dancers performing Java‟s answer to Shakespeare under the open night sky.
5.
Pertunjukan wayang kulit diarahkan dan dimainkan oleh dalang, yang berperan sebagai pemain wayang sebanyak 20 wayang, direktur gamelan dan penyamar, menampilkan cerita mistik, menggerakkan wayang dengan tangan yang tangkas dan cepat.
Shows are directed and performed by the dalang, who acts as puppeteer for up to 20 puppets, gamelan director and character impersonator all in one, portraying mystical stories with deft hands and quick movements.
6.
Masyarakat Bali menyebut penduduk Tenganan sebagai Bali Aga, atau Bali Mula, yang berarti penduduk Bali asli dan kebudayaan mereka berasal dari zaman kerajaan Majapahit (12941478) yang dipercaya sebagian besar masyarakat Bali sebagi asal muasal kebudayaan serta kepercayaan mereka. Penerjemah hanya meminjam
Locals call the Tenganese Bali Aga, or Bali Mula, meaning original Balinese. As such their culture predates the Majapahit Empire (1292-1478) from which most mainstream Balinese claim cultural and spiritual.
2.
3.
4.
The most popular by far and a highlight of the fifth Tenganan month is the thrilling mekare-karepadanas fighting. In the second day of the Usaba Sambah event from June 13 to 15 each year, Tenganan‟s excitement reaches an electric and infectious climax. Played out on a backlit screen, the evening wayang kulit shows are enchanting.
7.
8.
9.
10 .
11 .
12 .
Batik tulis memiliki ratusan corak yang mesti digambar dengan tangan pada secarik kain dengan menggunakan lilin cair dan alat gambar dari tembaga yang disebut canting. Usai perkelahian, mereka yang terluka akan dirawat dengan obat tradisional yang disebut boreh dan luka-luka akan sembuh hanya dalam beberapa hari. Tengangan dikenal dengan kain tradisionalnya, Kamben Gringsing, yang memiliki arti kain menyala dan melawan penyakit. Lembaga-lembaga pemerintah dan beberapa perusahaan swasta bahkan mengharuskan para karyawan mengenakan batik seminggu sekali. Pertama, kunjungilah Kraton atau Istana Sultan, memasuki perpindahan era masa lampau yang menarik dan mendebarkan, para sultan dan prajurit perang. Setiap orang akan berlomba-lomba menyaksikan adu kekuatan terbuka ala Tenganan – adu kekuatan antara dua kelompok lelaki penduduk desa dengan kekuatan yang seimbang dan terdiri dari remaja maupun dewasa serta bersenjatakan hanya perisai rotan dan helaian daun pandana berduri.
Batik tulis, literary „handwritten‟ batik, involves hundreds of designs drawn painstakingly on the cloth by hand using hot wax apllied with a copper stylus called a canting. Afterwards, injured parties are treated with traditional medicine called boreh, which repairs the skin in a matter of days. Tenganan is best known for its traditional cloth, called Kamben Gringsing, which translate as both flaming cloths and against sickness. Many government organizations and some private companies also require employees to wear batik once a week. First, visit the Kraton or Sultan‟s Palace, for an otherworldly step into Asia‟s dramatic past of shifting kingdoms, sultans and sword-fights. Each strain to witness open combat, Tenganan style-combat between pairs of male villagers, boys and men alike, each armed with rattan shields and strips of thorny pandanas leaf.
Tabel 2.Kata-Kata Budaya yang Diterjemahkan dengan Kata Pinjaman
Penerjemah menerjemahkan katakata budaya dengan menggunakan kata pinjaman (borrowing words) karena konsep kebudayaan BSu yang tidak dikenal dalam BSa. Menerjemahkan dengan cara demikian dimungkinkan namun membuat teks terjemahan terasa asing bagi pembaca BSa tetapi lebih efektif dan ekonomis. Penggunaan kata pinjaman menunjukkan penerjemah menggunakan aspek foreignisasi dan melakukan komunikasi lintas budaya dengan memperkenalkan kata-kata budaya BSu.
Pada saat menerjemahkan kain tradisional kamben gringsing, upaca usaba sambah, wayang kulit, dan dalang penerjemah menggunakan kata pinjaman, artinya penerjemah menggunakan kata yang sama dengan BSu. Wayang kulit, sebagai contoh, bisa saja diterjemahkan menjadi leather puppet namun berbeda konsep antara budaya pada BSu dan BSa. Di Indonesia, khususnya di Jawa Tengah, wayang kulit adalah pagelaran wayang dengan cerita Mahabarata atau Ramayana. Wayang kuli dibuat dari kulit sapi yang ditatah dan diwarnai sesuai dengan karakter dan dimainkan oleh dalang.
Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 1, Maret 2016 – Agustus 2016
49
Sementara itu, puppet menurut Concise Oxford Dictionary adalah movable model of a person or animal, typically moved either by strings or by a hand inside it, used to entertain. Dengan demikian jelas bahwa konsep yang ada pada masing-masing budaya sebenarnya tidak sama, Demikian juga ketika menerjemahkan dalang menjadi puppeteer. Apa yang dilakukan oleh dalang dan puppeteer pada dasarnya tidak sama persis, ceritanya tidak sama, ritualnya tidak sama, pakaiannya tidak sama, dan tema cerita juga tidak sama. Lebih dari itu, tokoh-tokoh dalam cerita dalam wayang kulit dan puppet pasti tidak sama. Demikian juga ketika, harus menerjemahan perang pandana mekarekare menjadi mekare-kare pandanas fighting. Penerjemahan dengan cara demikian memang tidak mampu mentransfers makna secara utuh sebagaimana penerjemahan dengan panadan deskriptif. Dan ini memang menjadi tugas penerjemah untuk mencari padanan kata yang tepat (Larson, 1984:63) apakah mau menghadirkan nuansa budaya asing atau sebaliknya mencari padanan yang tepat. Bagi pembaca BSa, istilah-istilah tersebut terasa asing karena konsep tersebut tidak dikenal dalam budaya mereka, namun penerjemahan dengan kata pinjaman itu merupakan cara yang lebih efektif dan ekonomis.
Memilih strategi mana yang harus digunakan oleh penerjemah untuk menerjemahkan kata-kata budaya akan sangat tergantung pada ideologi yang dianut penerjemah. Penerjemah dapat memilih ideologi domestikasi atau foreignisasi. Ideologi foreignisai berpendapat bahwa penerjemahan yang berterima, benar dan baik adalah yang sesuai dengan harapan dan selera pembaca BSa yang menginginkan hadirnya budaya BSu atau hadirnya BSu di anggap penting dan memberikan manfaat bagi pembaca BSa (Hoed, 2006). Jadi penerjemah berusaha menghadirkan nuansa BSu dengan memperkenalkan kata-kata budaya BSu. b. Strategi Penerjemahan dengan Menggunakan Substitusi Budaya Strategi ini merupakan strategi lain yang digunakan oleh penerjemah, tercatat ditemukan tujuh data. Penerjemah menggunakan padanan budaya dalam menerjemahkan kata-kata budaya pada BSu kedalam BSa. Strategi ini menunjukkan penerjemah juga menggunakan aspek domestikasi. Berikut ini adalah petikan teks sumber dan terjemahannya yang menggunakan strategi ini.
No 1.
2.
3.
4.
5.
BSu Seorang Tetua desa, I Putu Suarjana, berkata bahwa menurut tradisi Tenganan, pertumpahan darah akan menjaga keharmonisan desa. Alunan gamelan yang harmonis dengan situasi perkelahian serta sorak-sorai semakin menambah semangat para ksatria yang sebelum turun ke arena adu kekuatan telah meminum tuak. Waktu senja di Jogja, aku dan pacarku di becak menelusuri jalanan macet, udara panas bercampur bau rokok, disel, dan bawang goreng. Jangan lupa memesan kerupuk udang serta jus limun untuk menambah nikmatnya suasana bersantap. Becak kita berjalan menuju taman, melewati pepohonan, menembus bayangan hitam tajam Candi Prambanan, Pura Hindu.
6.
Wayang ini dibuat secara teliti dari kulit banteng yang dicat.
7.
Atau, dengan kendaraan, Anda menuju tengah gunung api, dan kemudian melalui jalan setapak, melewati pohon untuk menikmati pemandangan asap gunung api yang unik.
BSa Vilage elder, I Putu Suarjana, says that according to Tenganan tradition, the blood-letting helps maintain a harmonius village. Steadily, the rhythmic melody of the ancient gamelan orchestra builds, together with shouts of encouragements, as one combatant after another drinks rice wine, or tuak, before pairing off for battle. It‟s twilight in Jogja and my girlfriend and I am on a bicyclerickshaw, dodging though rush-hour traffic. Enjoy it with crispy Indonesian shrimp crackers, and then cool down with lime sorbet. Our chariot grinds to a halt at the kind of urban park I played in as a child. Yet through the trees, the sharp, spiked silhouettes of the anciet Prambanan Hindu Temple rise dramatically against the night sky The puppets are meticulously cut and fashioned hand from buffalo leather, then painted in intricate detail. Or just drive to the middle of the volcano and trek through the trees for unique views of the smoking cauldron.
Tabel 3.Kata-Kata Budaya yang Diterjemahkan dengan Substitusi Budaya Disamping menggunakan kata pinjaman, penerjemah menerjemahkan kata-kata budaya dengan menggunakan subsitusi budaya atau penggantian kultutal (cultural substitution). Penggantian kultural menyebabkan teks BSa lebih luwes seperti teks asli tetapi sebenarnya ada perbedaan makna. Seperti kata tetua
diterjemahkan menjadi elder dan ksatria diterjemahkan menjadi combatan. Tetua mengacu pada tokoh adat yaitu orang yang dituakan atau dianggap sebagai pemimpin adat, sedangkan elder menurut Concise Oxford Dictionary, adalah leader or senior figure in tribe (pemimpin atau tokoh senior suku). Demikian juga
Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 1, Maret 2016 – Agustus 2016
51
ksatria dan combatan. Menurut Concise Oxford Dictionary, combatan adalah person or nation engaged in fighting during a war, sedangkan ksatria menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI 2005), mengacu pada prajurit yang gagah berani atau bangsawan dalam budaya Hindu. Penerjemahan jalan setapak menjadi trek dan pura menjadi temple juga demikian. Menurut KBBI (2005), jalan setapak adalah jalan kecil, sempit (dalam hutan dan sebagainya) yang haya dapat dilalui dengan berjalan kaki. Sedangkan trek menurut Concise Oxford Dictionary, long arduous journey, especially one made on foot Jadi sebenarnya konsep dari kedua budaya tersebut berbeda. Temple adalah building devoted to the worship of a god or gods (gedung atau banguan yang diabdikan untuk sembahyang kepada tuhan) sedangkan pura adalah tempat ibadah umat Hindu. Demikian juga dengan terjemahan becak menjadi bicycle rickshaw. Menurut Concise Oxford Dictionary, bicycle rickshaw adalah light two-wheeled hooded vehicle drawn by one or more people, chiefly used in Asian countries, sedangkan becak menurut KBBI (2005) adalah kendaraan umum seperti sepeda, beroda tiga, satu di depan dua di belakang dijalankan dengan tenaga manusia. Dari contoh-contoh analisis data dapat dijelaskan bahwa konsep budaya BSu dan BSa pada dasarnya berbeda, namun penerjemah berusaha mencari padanan kata yang sesuai dengan budaya BSa. Dilihat dari segi ideologi penerjemahan berdasarkan data di atas, penerjemah juga menganut ideologi domestikasi. Domestikasi adalah ideologi dalam penerjemahan yang mana penerjemah berusaha mencari padana budaya yang tepat terhadap kata-kata budaya BSu. Pada konteks ini yang dilakukan penerjemah biasanya adalah substitusi budaya atau disebut padanan budaya. Artinya kata-kata budaya BSu
diterjemahkan dengan kata-kata budaya BSa. Hal ini dilakukan karena yang lebih penting untuk dipertimbangkan adalah aspek keterbacaan teks terjemahan oleh pembaca BSa (Nida dan Taber, 1982) karena penerjemah berusaha mencari closest natural equivalent. Jadi penerjemah berusaha agar terjemahannya menjadi bagian dari budaya tulis BSa dan tidak terasa sebagai teks terjemahan. 5. KESIMPULAN
Kesulitan menerjemahkan katakata budaya akan selalu dihadapi oleh penerjemah dan tidak bisa dihindarkan karena bahasa dan budaya saling berkaitan erat. Berdasarkan analisis data sebagaimana dijelaskan di atas, terdapat kategori kata-kata budaya yang ditemukan dalam BSu yang terdiri dari budaya material 9 data, budaya sosial 6 data, kesenian 3 data, dan ekologi 2 data. Katakata budaya tersebut diterjemahkan kedalam BSa dengan strategi kata pinjaman sebanyak 12 data (foreignisasi) dan substitusi budaya 7 data (domestikasi). Strategi kata pinjaman digunakan karena kata-ksata budaya sangat kental bernuansa budaya Indonesia. Sementara itu, strategi substitusi budaya digunakan karena penerjemah mendapatkan padanan kata yang lebih dekat dengan budaya BSa. Dengan foreignisasi penerjemah berusaha menghadirkan budaya bahasa sumber dan melakukan komunikasi lintas budaya, sedangkan dengan domestikasi penerjemah lebih mengutamakan aspek keterbacaan dan keberterimaan pada BSa. 6. REFERENSI
Baker, Mona. (1992). In Other Words, A Course Book on Translation. London : Routledge. Catford, J.C. (1965). A Linguistic Theory of Translation.Oxford : Oxford University Press.
Hoed,
Benny Hoedoro. (2003). Penerjemahan dan Kebudayaan. Jakarta : Pustaka Jaya.
to Cross Language Equivalence oleh Kencanawati Taniran. Jakarta. Arcan.
Hatim, Basil and Ian Mason. (1997). The translator as Communicator. London : Routledge.
Newmark, Peter. (1988). A Text Book of Translation. New York : Prentice Hall International.
Koentjaraningrat. (1980). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta Djambatan.
Nida, E.A & Ch. R. Taber. (1974). Theory and Practice of Translation. The Hague :Brill.
Larson,
Venuti, Lawrence. (1995). The Translator’s Invisibility, A History of Translation. London : Routledge.
Mildred L. (1984). Penerjemahan Berdasar Makna : Pedoman untuk Pemadanan Bahasa. Terjemahan :Meaning Based Translation : A Guide
Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 1, Maret 2016 – Agustus 2016
53