WANASTRA Vol. III No.1 MARET 2012
PENERJEMAHAN KATA-KATA BERKONSEP BUDAYA DALAM NOVEL ANCHEE MIN “EMPRESS ORCHID” (Suatu Analisis Terjemahan Sastra) Ratna Danyati
Akademi Bahasa Asing BSI Jakarta Jl. Salemba Tengah No. 45 Jakarta 10440
[email protected] ABSTRACT These objectives of this research are to find out cultural category translation, equivalent and accuracy, and the translation strategy in novel “Empress Orchid” written by Anchee Min. This research is focused on cultural aspects translation from English version into the Indonesian version. The problem is discussed in this research is “How are the cultural words and expressions in “Empress Orchid” novel translated into Indonesian?The methodology of this research is content analysis. The result of this research describes that the translator still keeps a culture of SL society in target language. The data of the research shows there are 62 cultural words with specific concept. Cultural words concept has been collected and researched is devided into five cultural category and the amount of cultural words is categorized: there are 14 cultural expressions in ecology, 18 cultural expressions in artifact culture, 6 cultural expressions in social culture, 12 cultural expressions in organization, 6 cultural expressions in habits and gesture. It is conclude the translation with cultural concept has high accuracy translation. It is elaborated in 6 cultural expressions used culture substitution translation strategy, 51 cultural expression used loan words strategy, 4 cultural expression used loan words with explanation, 1 cultural expression used illustration strategy. The conclusion of this study is the translator uses foreignization strategy. Keywords: Translation Strategy, Translation Culture Category, Equivalence and Accurate Translation I. PENDAHULUAN Penerjemahan menyangkut usaha penyampaian pesan dari satu bahasa ke dalam bahasa lain. Dalam penyampaian pesan tersebut si penerjemah tidak saja mempertimbangkan bentuk bahasa sumber maupun bahasa sasaran, pesan serta menjelaskan arti kata semata tetapi penerjemah juga harus menyampaikan apa yang dimaksud dengan rangkaian kata yang ada dari sisi tata bahasa maupun tujuan dan latar belakang (konteks) dari perkataan tersebut. Sebagai suatu proses, kasus-kasus penerjemahan memberikan berbagai kemungkinan perspektif dan aspek kajian. Misalnya dengan berdasarkan asumsi dasar bahwa semua kegiatan komunikasi adalah proses penerjemahan maka kajian tentang terjemahan menghadapi masalah yang menyangkut pengalihan makna dari satu budaya ke budaya yang lain. Aspek kajian alternatif yang lain adalah sejauh mana seorang penerjemah berhasil menciptakan kembali situasi dalam suatu bahasa (bahasa sumber) ke dalam bahasa lain (bahasa target). Di samping itu perspektif tertentu yang dibangun oleh penerjemah juga sangat menarik untuk dijadikan fokus kajian. Penelitian tentang bagaimana para penerjemah
membangun perspektif interpretasinya terhadap teks bahasa sumber dapat dilakukan melalui terjemahan ganda atau dengan kata lain dengan mengkaji hasil terjemahan penerjemah yang berbeda terhadap teks yang sama. Salah satu masalah serius yang dihadapi penerjemah dalam aktivitas penerjemahan ialah menerjemahkan kata atau ungkapan yang mengandung unsur sosial budaya yang sangat khas pada budaya bahasa sumber. Banyak penerjemah pemula terus gagal mengungkapkan kembali makna yang terkandung dalam bahasa sumber karena tidak memahami strategi yang dapat ditempuh untuk mengalihkan konsep tersebut dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Kesenjangan konsep antara bahasa sumber dan bahasa sasaran menjadi masalah besar dalam penerjemahan. Penerjemah harus menjelaskan suatu “konsep” yang hanya dimiliki oleh pemakai bahasa sumber. Konsep-konsep khas ini antara lain: konsep kesopanan, konsep lingkungan kehidupan. Konsep-konsep ini terbentuk secara khas dalam tiap budaya. Munculnya masalah kenirpadanan dalam bahasa sasaran disebabkan karena tidak ada padanan kata atau frasa yang tepat yang langsung dapat digunakan untuk mengungkapkan kembali
55
WANASTRA Vol. III No.1 MARET 2012
isi pesan yang terkandung dalam kata atau frasa bahasa sumber. Kata seperti rumah dalam bahasa Indonesia memiliki padanan langsung dalam bahasa Inggris, yaitu house, tetapi kata seperti keris tidak ditemukan dalam bahasa Inggris. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan cara pandang, adat istiadat, kepercayaan, perbedaan geografis, dan berbagai faktor lain. Untuk mendapatkan data yang memiliki aspek budaya, peneliti mengambil novel yang berjudul “Empress Orchid” karya Anchee Min. Anchee Min lahir di Shanghai pada tahun 1957. Pada tahun 1984 beliau pindah ke San Fransisco dan kemudian menjadi warga negara Amerika. Beberapa novel karyanya yang lain, banyak yang menjadi bestseller internasional. Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, penelitian ini difokuskan pada penerjemahan aspek budaya dari teks bahasa Cina ke dalam bahasa Indonesia yang terdapat di dalam novel “Empress Orchid”, karya Anchee Min dan novel terjemahan “Empress Orchid” yang diterjemahkan oleh Dian Guci. Sub-fokus penelitian ini adalah strategi penerjemahan yang digunakan oleh penerjemah, kesepadanan dan akurasi penerjemahan kata-kata berkonsep budaya, dan klasifikasi kata-kata berkonsep budaya yang diterjemahkan dalam novel “Empress Orchid” karya Anchee Min. II. TINJAUAN PUSTAKA 1.
Hakikat Penerjemahan
Menurut Hoed (2006:23) di Indonesia terdapat beberapa kaitan dengan istilah penerjemahan, terjemahan, penerjemah, dan juru bahasa. Kata dasar penerjemahan berasal dari bahasa Arab tarjammah yang maknanya adalah ihwal pengalihan dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Penerjemahan adalah kegiatan mengalihkan secara tertulis pesan dari teks suatu bahasa (misalnya bahasa Inggris) ke dalam teks bahasa lain (misalnya bahasa Indonesia). Menurut Larson (1989:2) penerjemahan merupakan pengalihan makna dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Pengalihan ini dilakukan dari bentuk bahasa pertama ke dalam bentuk bahasa kedua melalui struktur semantik. Menerjemahkan menurut Larson berarti: 1. Mempelajari leksikon, struktur gramatikal, situasi komunikasi, dan konteks budaya dari teks bahasa sumber. 2. Menganalisis teks bahasa sumber untuk menemukan maknanya. 3. Mengungkapkan kembali makna yang sama itu dengan menggunakan leksikon dan struktur gramatikal yang sesuai dalam bahasa sasaran dan konteks budayanya.
56
Sedangkan menurut Newmark (1981:7) (translation is a craft consisting in the attempt to replace a written message and/or statement in on language by the same message and/or statement in another language). Penerjemahan sebagai suatu seni yang muncul dari suatu usaha seseorang untuk menggantikan pesan tertulis atau pernyataan dalam satu bahasa kedalam pesan atau pernyataan yang sama dengan bahasa yang berbeda, seperti yang ia jelaskan dalam bukunya; Approaches to Translation. Ia juga menganggap penerjemahan sebagai salah satu hal yang unik yang bisa digunakan oleh seseorang dalam menyampaikan pesan kebahasaan kepada orang lain yang dituju dengan bahasa yang berbeda. Tidak hanya itu, ia juga menambahkan definisi penerjemahan dalam A Textbook of Translation (1988:xi), ia menganggap penerjemahan itu sendiri dapat berarti menerjemahkan suatu makna teks kedalam bahasa lain sesuai dengan keinginan pengarang teks tersebut, yaitu suatu pengalihan makna yang sudah pasti, yang ada dalam suatu teks dari bahasa sumber (BSu) kedalam bahasa sasaran (BSa). Newmark (1991:27) menganggap bahwa penerjemahan sebagai pengalihan makna, baik sebagian maupun dalam unit suatu bahasa. Keseluruhan maupun sebagian teks dari satu bahasa kedalam bahasa yang lain. Penelitian penerjemahan ini terutama akan berpegang pada teori penerjemahan berdasarkan makna yang diajukan Larson, dan akan didukung oleh teori Nida dan Taber. Nida (1974:13) berpendapat bahwa dalam penerjemahan, makna adalah hal utama yang akan dialihkan dan untuk itu sering penerjemah harus mengubah sudut pandangnya berdasarkan sudut pandang bahasa sasaran. Untuk mendapatkan makna yang paling sepadan tersebut diperlukan berbagai upaya penyesuaian gramatikal dan leksikal. Definisi-definisi mengenai penerjemahan di atas merujuk pada pentingnya pengungkapan makna atau pesan yang dimaksud dalam wacana asli. Pada penerjemahan, pesan penulis harus tetap dijaga dan dikomunikasikan kepada pembaca terjemahan, isi teks bahasa sasaran (Tsa) harus sama dengan teks bahasa sumber (Tsu) sehingga pesan yang dimaksud dalam bahasa sumber (Bsu) dapat dipahami dalam pembaca bahasa sasaran (Bsa) walaupun bentuknya mungkin berbeda. Jadi, sepadan dalam hal ini bukan berarti sama, melainkan mengandung pesan yang sama. Dari uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa penerjemahan bukanlah sesuatu yang sederhana, bukan sebatas mengalihbahasakan dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain dan bukan pula pekerjaan yang bisa dilakukan siapa
WANASTRA Vol. III No.1 MARET 2012
saja tanpa dipelajari. Tetapi dengan sering menerjemahkan akan membuat penerjemah menjadi lebih berpengalaman. 2. Proses Menghasilkan Terjemahan Larson (1989:4) menyatakan bahwa penerjemahan dilakukan bermula dari bentuk
bahasa kepada bentuk bahasa kedua dalam struktur semantik. Arti yang dipindahkan dan harus tetap sama. Hanya bentuklah yang berubah. Bentuk yang diterjemahkan disebut dengan bahasa sumber (Bsu) dan bentuk hasil terjemahan disebut dengan bahasa sasaran (Bsa). Proses penerjemahan dapat dilihat pada bagan dibawah ini:
Bahasa Sumber
Bahasa Sasaran
Teks yang akan diterjemahkan
Terjemahan
Penafsiran makna
pengungkapan kembali maknanya MAKNA
Model proses penerjemahan tersebut menggambarkan bahwa terjemahan meliputi pengkajian tentang leksikon, struktur gramatikal, situasi komunikasi, dan konteks budaya dari teks bahasa sumber, dianalisa untuk mendapatkan maksud dengan tepat, dan kemudian merekonstruksi persamaan arti dengan menggunakan struktur gramatikal dan leksikon yang sesuai dalam bahasa sasaran dan leksikon yang sesuai dalam bahasa sasaran dan konteks budayanya. Proses penerjemahan untuk menghasilkan penerjemahan yang baik menurut Nida (1974:33), tidak jauh berbeda dengan Larson. Ada tiga tahapan proses penerjemahan, yaitu: a. Analisis; yakni tahapan pemahaman teks sumber melalui telaah linguistik dan makna, pemahaman bahan atau materi yang diterjemahakan dan masalah kebudayaan. b. Pengalihan isi (transfer), makna atau pesan yang terkandung dalam teks sumber. c. Rekonstruksi; yakni menyusun kalimatkalimat terjemahan (berulang-ulang) sampai memperoleh hasil akhir dalam bahasa target. Berbeda juga dengan prosedur penerjemahan menurut Newmark (1991:81) antara lain: 1) Transference merupakan proses transfer kata dari TSu ke kata di TSa. 2) Naturalization merupakan pengucapan dan tata penulisannya sudah disesuaikan dengan aturan bahasa sasaran. 3) Cultural equivalent berarti memindahkan kata budaya dalam BSu ke BSa 4) Functional equivalent: penerjemahan kata berkonteks budaya dengan cara menggunakan kata-kata yang bebas muatan budaya (culture free word) dan kadangkadang dengan ungkapan spesifik baru
Descriptive equivalent merupakan pemadanan yang dilakukan dengan memberikan deskripsi dan kadang-kadang dipadukan dengan fungsi. 6) Componential analysis: Berusaha mendeskripsikan makna atau fungsi dari kata bahasa sumber. 7) Synonymy, penerjemah juga bisa menggunakan kata bahasa sasaran yang kurang lebih sama untuk kata-kata bahasa sumber yang bersifat umum kalau enggan untuk menggunakan analisis komponensial. 8) Through-translation merupakan pemadanan melalui substitusi linear elemen suatu bahasa dengan elemen bahasa yang lain (biasanya frasa benda), di sebut juga calque atau loan translation. 9) Shifts or transpositions: mengubah struktur kalimat TSu ke dalam TSa agar dapat memperoleh terjemahan yang betul. 10) Modulation, yakni pergeseran sudut pandang atau perspektif 11) Recognized translation, hal ini terjadi ketika penerjemah menggunakan istilah resmi atau umum dari suatu bidang. 12) Compensation: hal ini terjadi bila penerjemah kehilangan makna di salah satu bagian kalimat, akan terjadi kembali di kalimat berikutnya. 13) Paraphrase merupakan penegasan atau penjelasan makna suatu segmen dalam suatu teks. 14) Couplets: terjadi ketika penerjemah menggabungkan dua prosedur yang berbeda. 15) Notes, additions, glosses merupakan catatan tambahan informasi dalam sebuah terjemahan. Sebelum menerjemahkan, kita harus tahu untuk siapa, tujuannya apa dan jenis terjemahan apa yang diinginkan. Karena itulah Benny Hoed 5)
57
WANASTRA Vol. III No.1 MARET 2012
(2006: 65) memaparkan prosedur penerjemahan yang harus dilakukan adalah Audience Design dan Needs Analysis. Penerjemah yang berpengalaman biasanya melakukan audience design, yakni mempelajari siapa pengguna terjemahan. Penerjemah juga harus mengetahui untuk tujuan (purpose) atau keperluan (need) apa terjemahan itu di buat. Biasanya audience design disertai needs analysis. Sehingga pada saat pelaksanaan, penerjemah harus berorientasi kepada klien (client oriented). Dalam praktik penerjemahan yang diperlukan adalah kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Masalah praktis yang dihadapi yaitu: 1) Kita tidak paham makna kata atau kalimat atau paragraf sehingga tidak memahami pesannya. 2) Kita mengalami kesulitan untuk menerjemahkannya meskipun sudah memahami TSU-nya. Oleh karena itu dalam praktik menerjemahkan kita harus mengikuti prosedur yang diharapkan akan menjamin ketelitian dari pekerjaan kita dan hasil yang optimal. Menurut Nida dan Taber (1974:33) penerjemahan harus melalui tiga tahap: 1) Analisis [memahami TSu] TSu harus di baca secara keseluruhan dan dipahami isi pesannya (maksudnya) meskipun hanya garis besar. Bagian-bagian yang di anggap penting atau bermasalah perlu di beri tanda. Langkah ini mencakup aspek struktur, emantik, gaya bahasa, dan pesan. 2) Transfer [mengalihbahasakan dalam pikiran] Pada tahap ini perlu dicari pemecahan masalah dengan melihat keluar dari teks seperti tahap pertama. Pada tahap ini melakukan yang disebut dengan “deverbalisasi”, yakni melepaskan diri dari ikatan kalimat-kalimat TSu untuk menangkap isi pesannya secara lebih terperinci (biasanya, paragraf demi paragraf atau pasal demi pasal, tergantung pada pertimbangan kita). Deverbalisasi dikemukan oleh Lederer dalam Hoed (2006: 86) sebagai posedur dalam proses penerjemahan lisan. Deverbalisasi merupakan kegiatan kognitif yang bermanfaat sebelum langkah transfer di mulai. Dari deverbalisasi kita harus kembali mengamati dengan cermat dan mencari satuan penerjemahan pada teks sumber, kemudian menggunakan hasil deverbalisasi untuk mengalihbahasakan
58
3)
satuan terjemahannya yang bersangkutan ke dalam sasaran. Restrukturisasi [menerjemahkan] Maksudnya, penerjemahan adalah mengubah struktur (dalam arti struktur gramatikal dan semantik) BSU menjadi BSa. Pada tahap ini kita dapat melihat apakah terjemahan kita sudah sesuai dengan audience design dan need analysis. Hasil ideal yang diinginkan adalah supaya reaksi pembaca terjemahan sepadan dengan reaksi pembaca bahasa sumbernya.
Prosedur lain yang mendukung tiga tahap tersebut dikemukakan oleh Newmark (1988:20), yaitu empat tataran penerjemahan: 1) Teks, penerjemah mencoba memahami teks yang harus diterjemahkan terutama pada tataran kata dan kalimat. 2) Referensial, pada tahap ini penerjemah keluar dari teks untuk mengetahui merujuk pada hal apa sebenarnya suatu kata, istilah, atau ungkapan dalam teks itu. 3) Kohesi, hasil terjemahan harus padu, satu kata atau kalimat dengan yang lainnya berkaitan. 4) Kewajaran, teks terjemahan harus jelas dan berterima bagi pembaca. 3. Metode Penerjemahan Dalam kegiatan penerjemahan, tidak jadi persoalan metode apa yang diterapkan oleh penerjemah. Yang paling utama adalah apakah metode yang dipilih penerjemah dapat memenuhi tujuan penerjemahan ataukah tidak. Penerjemahan selalu melibatkan minimal dua bahasa (baca bahasa sumber dan bahasa sasaran) dan dalam banyak hal kedua bahasa ini berbeda satu lain baik dari segi linguistik, semantik, sosiolinguistik dan budayanya. Berbagai teori dan pendapat yang berkaitan dengan metode penerjemahan dapat diperoleh dari berbagai sumber. Salah satunya adalah Larson (1989) yang menyebutkan bahwa metode penerjemahan dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu: 1) Penerjemahan harfiah (literal translation) 2) Penerjemahan idiomatic (idiomatic translation) Penerjemahan harfiah disebut juga dengan penerjemahan berbasis bentuk (form based translation), yaitu proses penerjemahan dengan cara mengikuti bentuk bahasa sumbernya. Misalnya: 你 好? :: Kamu baik? Sedangkan penerjemahan idiomatic disebut juga dengan penerjemahan berbasis makna (meaning based translation). Jenis penerjemahan
WANASTRA Vol. III No.1 MARET 2012
ini lebih menitikberatkan pada kewajaran kesepadannya dalam bahasa sasaran, sehingga produk terjemahannya diharapkan tidak mencerminkan bahasa sumbernya melainkan bentuk lain berupa tulisan asli dengan isi gagasan sama dengan bahasa sumbernya. Misalnya: 百 年 好 合 :: Rumah tangga yang langgeng Berbeda dengan Larson, Newmark (1988:45) memperkenalkan delapan metode
penerjemahan yang digambarkannya sebagai sebuah 'Diagram V' (karena disusun menyerupai huruf V) yang dibagi atas dua golongan, yakni yang berorientasi pada BSu dan yang berorientasi pada BSa. Setiap golongan terdiri atas empat metode terjemahan yang diurutkan dari yang terdekat hubungannya dengan BSu sampai yang terjauh hubungannya dengan BSu.
SL emphasis Word-for-word translation Literal translation Faithful translation Semantic translation Menurut Newmark, dari semua pendekatan di atas, terjemahan semantis dan komunikatiflah yang paling baik karena lebih akurat dan ekonomis. Yang penting dari penjelasan tersebut adalah bahwa cara menerjemahkan tidak hanya satu jenis saja, tergantung untuk siapa dan apa tujuan kita menerjemahkan.
TL emphasis Adaptation Free translation Idiomatic translation Communicative translation
6)
4. Teknik dan Strategi Penerjemahan Ada beberapa teknik atau strategi untuk menangani masalah ketidaksepadanan (nonequivalence) dalam proses penerjemahan. Berbagai strategi pemadanan telah diusulkan oleh berbagai pakar. Salah satunya adalah teknik penerjemahan Hoed (2006:72) yang antara lain: 1) Transposisi, mengubah struktur kalimat agar dapat memperoleh terjemahan yang betul. 2) Modulasi, penerjemah memberikan padanan yang secara semantik berbeda sudut pandang artinya atau cakupan maknanya, tetapi dalam konteks yang bersangkutan memberikan pesan/maksud yang sama. 3) Penerjemahan Deskriptif, karena tidak dapat menemukan terjemahan/padanan kata BSu (baik karena tidak tahu maupun karena tidak/belum ada dalam BSa), penerjemah terpaksa melakukan “uraian” yang berisi makna kata yang bersangkutan. 4) Penjelasan Tambahan (Contextual Conditioning), agar suatu kata dipahami (misalnya nama makanan atau minuman yang masih di anggap asing oleh khalayak pembaca BSa), biasanya penerjemah memberikan kata-kata khusus untuk menjelaskannya. 5) Catatan Kaki, penerjemah memberikan keterangan dalam bentuk catatan kaki untuk memperjelas makna kata terjemahan yang di maksud karena tanpa penjelasan
7)
8)
9)
tambahan itu kata terjemahan diperkirakan tidak akan dipahami secara baik oleh pembaca. Penerjemahan Fonologis, penerjemah tidak dapat menemukan padanan yang sesuai dalam bahasa Indonesia (BSa) sehingga ia memutuskan untuk membuat kata baru yang di ambil dari bunyi kata itu dalam BSu untuk disesuaikan dengan sistem bunyinya (fonologi) dan ejaan (grafologi) BSa. Penerjemahan Resmi/Baku, ada sejumlah istilah, nama, dan ungkapan yang sudah baku atau resmi dalam BSa sehingga penerjemah langsung menggunakannya sebagai padanan. Tidak Diberikan Padanan, penerjemah tidak dapat menemukan terjemahannya dalam BSa sehingga untuk sementara ia mengutip saja bahasa aslinya. Padanan Budaya, menerjemahkan dengan memberikan padanan berupa unsur kebudayaan yang ada dalam BSa.
Strategi penerjemahan adalah tuntunan teknis untuk menerjemahkan frase demi frase atau kalimat demi kalimat. Menurut Venuti strategi penerjemahan meliputi hal mendasar dengan memilih teks sumber untuk diterjemahkan dan mengembangkan suatu metode untuk menerjemahkan teks tersebut. Dia membedakan strategi penerjemahan menjadi domesticating dan foreignizing strategies. Menurut Baker (1992:26) strategi penerjemahan untuk kata/ungkapan yang tidak di kenal dalam bahasa sasaran meliputi: 1) Penerjemahan dengan menggunakan kata yang lebih umum. Strategi ini adalah strategi yang paling umum yang di pakai oleh penerjemah untuk mencari padanan dari berbagai macam kata yang tidak memiliki padanan langsung.
59
WANASTRA Vol. III No.1 MARET 2012
2)
3)
4)
5)
6)
7)
Penerjemahan dengan menggunakan kata yang lebih netral. Strategi ini digunakan untuk mengurangi kesan negatif yang ditimbulkan oleh kata dalam bahasa sumber, yang dikarenakan oleh makna yang dimiliki oleh kata dalam bahasa sumber tersebut. Penerjemahan dengan menggunakan pengganti kebudayaan. Strategi penerjemahan ini adalah dengan mengganti konsep kebudayaan pada bahasa sumber dengan konsep kebudayaan bahasa sasaran yang setidaknya memiliki makna yang menyerupai dalam bahasa sumber tersebut. Penerjemahan dengan menggunakan kata pinjaman atau kata pinjaman yang disertai dengan penjelasan. Strategi ini sering digunakan dalam menerjemahkan kata yang berhubungan dengan kebudayaan, konsep modern dan kata yang tidak jelas maknanya. Penerjemahan dengan parafrase Strategi ini digunakan ketika konsep yang diungkapkan dalam bahasa sumber memiliki makna kamus dalam bahasa sasaran tetapi memiliki bentuk yang berbeda, dan frekwensi kemunculan kata tersebut lebih sering dalam bahasa sumber. Penerjemahan dengan parafrase ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan menggunakan kata-kata yang berbeda atau menggunakan kalimat untuk mengungkapkan makna kata yang terdapat dalam bahasa sumber. Penerjemahan dengan menghilangkan Strategi ini memang sedikit drastis, namun ternyata tidak ada salahnya untuk menghilangkan menerjemahkan sebuah kata atau ungkapan dalam beberapa konteks. Hal ini dilakukan bila kata yang dihilangkan tersebut tidak berpengaruh besar terhadap makna teks. Penerjemahan dengan ilustrasi Strategi ini adalah pilihan yang tepat jika kata yang tidak memiliki kesepadanan dalam bahasa target mengacu pada entitas fisik yang dapat digambarkan, terutama jika ada pembatasan pada ruang dan jika teks harus tetap pendek, ringkas, dan tepat sasaran.
Strategi penerjemahan Baker, Hoed, dan Newmark memiliki kelebihan dan kekurangan. Strategi penerjemahan Hoed ada sebagian mengambil strategi yang diungkapkan oleh Baker. Penerjemah harus memiliki pemahaman strategi untuk menerjemahkan teks yang
60
memiliki konsep berbeda antara bahasa sumber dan bahasa sasaran. 5. Kesepadanan/Ekuivalensi Padanan (equivalence) menurut Venuti (2000:5) dipahami sebagai “accuracy”, “adequacy”, “correctness”, “correspondence”, “fidelity”, atau “identity”. Sedangkan menurut Machali (2009:106) Padanan adalah suatu bentuk dalam bahasa sasaran dilihat dari segi semantik sepadan dengan suatu bentuk bahasa sumber. Kemungkinan adanya suatu kesepadanan didasarkan atas keuniversalan bahasa dan budaya. Kemungkinan adanya suatu kesepadanan bukanlah identik dengan kesamaan karena perdebatan mengenai kedua konsep tersebut lebih banyak terkait dengan penerjemahan karya sastra khususnya puisi yang melihat kesepadanan sebagai tuntutan untuk menghasilkan kesamaan. Nida dan Taber (1974) menjelaskan mengenai padanan dinamis bahwa dynamic equivalence is therefore to be defined in terms of the degree to which the receptors of the message in the receptor language respond to it in substantially the same manner as the receptors in the source language. Mereka membedakan kesepadanan dalam terjemahan ke dalam 2 jenis; kesepadanan formal dan kesepadanan dinamis. Kesepadanan formal pada dasarnya dihasilkan dari proses penerjemahan yang berorientasi pada bahasa sumber dan diarahkan untuk mengungkap sejauh mungkin bentuk dan isi dari pesan asli. Oleh karena itu dalam proses penerjemahan segala usaha ditujukan untuk mereproduksi elemen formal termasuk unit gramatikal (ketaatasasan penggunaan kata) dan makna yang sesuati dengan konteks eks sumber. Berlawanan dengan kesepadanan formal, kesepadan dinamis berorintasi pada prinsip kesepadanan efek yang diperoleh melalui pemusatan perhatian dalam penerjemahan lebih utama kea rah tanggapan penerima mencapai tingkat kealamian pesan bahasa sumber. Padanan alami ini mengandung pengertian sesuai dengan; pertama, bahasa dan budaya target, kedua, konteks pesan tertentu, dan ketiga, khalayak pembaca bahasa target. Dalam kegiatan penerjemahan strategi, metode dan prosedur penerjemahan merupakan upaya yang dilakukan oleh penerjemah untuk mencapai kesepadanan. Metode berkaitan dengan keseluruhan teks sedangkan prosedur merupakan upaya pemadanan satuan bahasa yang lebih kecil. Pemilihan metode dilakukan berdasarkan pada tujuan tertentu, berorientasi pada bahasa sumber (BSu) atau bahasa sasaran (BSa). Prosedur sebagai upaya pemadanan, selalu dilakukan dalam kerangka metode
WANASTRA Vol. III No.1 MARET 2012
penerjemahan tertentu, baik metode yang bersifat umum atau yang bersifat khusus. 6. Hakikat Budaya dalam Penerjemahan Salah satu masalah dalam penerjemahan ialah menemukan padanan leksikal untuk objek atau kejadian yang tidak di kenal (asing) dalam budaya bahasa sasaran. Hal ini disebabkan karena tidak ada padanan kata atau frasa dalam bahasa sasaran yang dapat digunakan untuk mengungkapkan kembali isi pesan yang terkandung dalam kata atau frasa bahasa sumber. Konsep dalam bahasa sumber mungkin tidak mempunyai padanan leksikal dalam bahasa sasaran disebabkan karena perbedaan cara pandang, adat istiadat, geografi, kepercayaan, dan berbagai faktor lain. Dalam masyarakat yang berbeda orang tidak saja berbicara dengan bahasa dan dialek yang berbeda tetapi mereka juga menggunakan bahasa tersebut dengan cara yang amat berbeda. Perbedaan cara bertutur inilah, yang menurut Wierzbicka (1994:95) mencerminkan nilai-nilai budaya yang berbeda atau paling sedikit tataran nilai yang berbeda. Pernyataan ini sangat sesuai dengan definisi kebudayaan yang diberikan Newmark, yakni “the way of life and its manifestations that are peculiar to a community that uses a particular language as its means of expression”, yang mengisyaratkan bahwa masing-masing guyub bahasa (language group) memiliki fitur spesifik sendiri secara budaya. Salah satu konsep yang dilandaskan pada hasil-hasil penelitian adalah konsep Newmark yang mengungkapkan bahwa dalam sebuah teks seluruh aspek budaya terungkap melalui terminologi-terminologi bermuatan budaya yang disebut cultural words. Terminologi atau katakata bermuatan budaya tersebut dapat diterjemahkan dalam berbagai prosedur sesuai dengan perannya dalam teks dan tujuan penerjemahan. Kata-kata tersebut diklasifikasikan ke dalam lima kategori dan berbagai sub-kategori. Sedangkan cara penerjemahannya dapat dipilih dari antara lima belas prosedur penerjemahan yang paling sesuai berdasarkan perannya dalam teks dan tujuan penerjemahan, seperti naturaliasi, modulasi, parafrase, transposisi dan lain-lain. Menurut Newmark (1988:95) kata atau ungkapan yang mengandung unsur kebudayaan dapat dikategorikan menjadi 5 yaitu: 1. ekologi, 2. kebudayaan material (artefak), 3. kebudayaan sosial, 4. organisasi, dan 5. kebiasaan. Kata atau ungkapan yang mengandung wujud kebudayaan itu sulit diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran karena konsep yang terkandung di dalamnya sangat khas pada kebudayaan yang bersangkutan.
III. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini adalah suatu penelitian kualitatif deskriptif. Data dalam penelitian ini akan berupa kata-kata yang diambil dari teks novel dan terjemahannya. Data dikumpulkan, disusun, dan kemudian dianalisis yang kemudian ditarik kesimpulannya. Penelitian ini menggunakan metode analisis isi, Rossman dan Rallis (2003:181) menjelaskan bahwa “Qualitative method takes place in the natural setting. The qualitative researcher often goes to the site (home, office) of the participant to conduct the research.” Baik data maupun hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah data non verbal yang berupa kata atau frasa yang mengandung konsep yang tidak dikenal dalam bahasa sasaran (bahasa Indonesia). Penelitian ini merupakan penelitian penerjemahan dengan pendekatan penerjemahan yang memakai hasil terjemahan sebagai data. Penelitian ini memaparkan unsur leksikal berkonsep kebudayaan bahasa Cina dan bahasa Inggris serta terjemahannya dalam bahasa Indonesia dan dilakukan analisis terhadap data yang dikumpul dengan cara mendeskripsikan hasilnya. IV. HASIL PENELITIAN PEMBAHASAN
DAN
Dalam bab ini, peneliti menyampaikan data-data penelitian yang berupa kalimat terjemahan beserta pembahasannya. Dari sumber data, diidentifikasi ada 62 kata yang berkonsep budaya. Kata-kata ini akan digolongkan berdasarkan strategi penerjemahan yang digunakan, kesepadanan dan akurasi penerjemahan kata-kata berkonsep budaya, dan klasifikasi kata-kata berkonsep budaya yang diterjemahkan dalam novel “Empress Orchid” karya Anchee Min. 1. Klasifikasi Budaya Kata-kata yang Berkonsep Budaya Klasifikasi kata-kata atau ungkapan yang mengandung unsur kebudayaan yang tidak memiliki padanan langsung dalam bahasa sasaran, dalam hal ini novel berbahasa Inggris yang bermuatan budaya Cina ke bahasa Indonesia dikategorikan berdasarkan kategori kebudayaan Newmark yaitu: ekologi, kebudayaan material (artefak), kebudayaan sosial, organisasi, dan kebiasaan.
61
WANASTRA Vol. III No.1 MARET 2012
Tabel 1. Klasifikasi Budaya Kata-kata yang Berkonsep Budaya Kategori Budaya
Istilah Budaya Chiao-Pai Pippala Weeping Willow Wisteria Daikon Magpie
Ekologi
Loquat Osmanthus Laurel Maple Lilac Dandelion Ivy Redwood P’ieh Ruyi Tael Chieh-an Hootong Kang Shang Mooyu
Kebudayaan Material
Yoo-hoo-loo Qin Lin Chuang Tang kuei Tungtiao Yushang
Kebudayaan Sosial
62
Shee Tien Shou Wind box Taotai Manfoo
Penjelasan Tanaman air Pohon pippala juga disebut dengan pohon Bodhi Sejenis pohon yang banyak tumbuh di tepi sungai, daunnya menjuntai seperti cemeti, kelihatan seperti sedang sedih atau menangis dan karenanya disebut “weeping willow” (salix purpurea, Sp). Tanaman merambat yang bunganya berwarna ungu dan putih. Lobak Jepang Sejenis burung Loquat adalah buah seperti buah plum, di Indonesia ada yang menyebutnya buah biwah. Tanaman osmanthus sering digunakan sebagai wewangian. Wewangian Pohon Maple berasal dari genus acer Bunga lilac biasanya berwarna ungu Bunga dandelion bentuknya seperti bunga kapas, dari genus taraxacum officinale wigger. Di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan randa tapak atau jombang. Ivy merupakan tumbuhan berbunga dari genus hedera yang di Indonesia biasa disebut dengan bunga ivi. Pohon redwood termasuk dari subfamily Sequoioideae. Rakit bamboo Tongkat Kebesaran Uang Meja khusus untuk meletakkan buku catatan kaisar beserta segel batu kerajaan Bentuk gang-gang perumahan di Beijing Kang adalah pemanas yang terbuat dari batubata. Hadiah atau tip. Instrument musik Cina yang biasa digunakan untuk sembahyang agama Budha Botol berbentuk labu dan berkulit keras yang biasanya menjadi kandang jangkrik. Alat musik kecapi dengan tujuh senar Ranjang arwah Sup untuk kesehatan tubuh Segel kekaisaran yang berarti kerjasama Segel kekaisaran yang berarti cerminan kehendak kekaisaran Huruf kebahagiaan Huruf dalam kenangan Huruf panjang umur Kotak angin Gubernur Dayang kehormatan kekaisaran
WANASTRA Vol. III No.1 MARET 2012
Fujin Mei-mei Professional Mourner Tsungli Yamen Ch’an atau Zen I Ching Yuan Chee-lin Organisasi, Adat, Aktivitas Prosedur, dan Konsep
Shaman Fengshui Infinity symbol Yin dan Yang Griffin unbound feet Pa kua Zhen Kowtow Zah
Gerak Tubuh dan Kebiasaan
Fangsheng Shih san Chua-tsui-p’an Oh me to fu
Istri Adik perempuan Peratap bayaran Biro urusan luar negeri Agama System ramalan Cina Istilah dalam agama Taosime Hewan mistik Cina yang merupakan campuran antara singa dan kijang Dewa-dewa resmi suku Manchu Pengaturan dalam filosofi Cina mengenai keseimbangan. Simbol merupakan simbol ketakterbatasan. Salah satu elemen dari keseimbangan (yinyang) Hewan mitologi berkepala dan bersayap elang, berbadan singa Adat pengikatan kaki di Cina Diagram delapan yang biasa digunakan dalam system ramalan di Cina. Bahasa yang hanya digunakan oleh Kaisar Cara menghormat dengan bersujud menyentuhkan dahi berkali-kali ke tanah. Ucapan orang Manchu Ungkapan rasa syukur dengan melepas hewan ke alam bebas Upacara Tiga mandi Upacara ‘Menangkap masa depan dalam sebuah panci’. Terpujilah sang Budha
Dari data penelitian yang didapat, ada tiga data penelitian yang tidak dapat diklasifikasi sebagai kata-kata berkonsep budaya yang didasari dari teori Newmark. Data-data tersebut antara lain: sheemai (hamil), Ch’I hsiang (nama pemerintahan), dan third tone (nada ketiga di bahasa Cina). Kata atau ungkapan yang mengandung wujud kebudayaan itu sulit diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran karena konsep yang terkandung di dalamnya sangat khas pada kebudayaan yang bersangkutan. Kata-kata berkonsep budaya yang ditemukan diatas, memiliki variasi kategori yang beragam. Dalam budaya Indonesia, kata-kata tersebut tidak ditemukan padanannya. Sehingga dalam proses penerjemahan, harus diusahakan untuk mencari padanan terdekat. Penggunaan kata-kata tersebut berhubungan dengan narasi yang disampaikan dalam novel yang berlatar belakang budaya tradisional Cina yang sangat kental. Penggunaan kata-kata berkonsep budaya tersebut bisa meningkatkan rasa ingin tahu pembaca tentang budaya Cina. Temuan penelitian yang dikemukakan di atas didukung oleh teori penerjemahan seperti
yang dikemukakan oleh Baker bahwa masalah umum yang dijumpai oleh penerjemah dalam menerjemahkan karya sastra adalah adanya konsep yang sama sekali tidak dikenal dalam kebudayaan bahasa sasaran. Konsep yang sama sekali tidak dikenal dalam bahasa sasaran merupakan konsep yang menggambarkan kebudayaan khas masyarakat tertentu. Hal tersebut diperkuat pula oleh Newmark bahwa salah satu hal yang menyebabkan terjadinya ketidaksepadanan adalah karena teks bahasa sumber mengungkapkan unsur-unsur budaya yang khas pada daerah tertentu, seperti kategori budaya ekologi yaitu pohon wisteria, maple, dan pohon willow. Kata-kata berkonsep budaya dalam teks bahasa sumber yang tidak dikenal dalam bahasa sasaran yang banyak muncul berasal dari kategori kebudayaa material. Kategori kebudayaan ekologi juga banyak muncul dalam penerjemahan novel “Empress Orchid”. Hal ini dapat terlihat bahwa barang-barang atau atefak yang dihasilkan oleh manusia di setiap Negara memiliki fungsi dan kebutuhan yang berbeda, sehingga memiliki nama-nama yang berbeda. Hal-hal itulah yang menyebabkan saat terjadi
63
WANASTRA Vol. III No.1 MARET 2012
proses penerjemahan, akan kesulitan mencari padanan di bahasa sasaran. Perbedaan daerah, iklim, dan cuaca menyebabkan perbedaan flora dan fauna yang hidup di setiap daerahnya. Hal inilah yang menyebabkan adanya perbedaan dan kesulitan saat terjadi proses penerjemahan yang menyangkut masalah flora dan fauna.
mendekati di bahasa sasaran. Setelah pendataan mengenai akurasi dan kesepadanan penerjemahan dari novel terjemahan “Empres Orchid” bisa dikatakan keakurasian dan kesepadanannya mencapai 90% walaupun ada beberapa kata yang penerjemahannya tidak konsisten. Seperti kata redwood, penerjemah tidak konsisten karena ada tiga penggunaan penerjemahan, yaitu: kayu sepang, kayu merah, dan redwood. Dalam menerjemahkan kata eunuch penerjemah juga tidak konsisten, karena terdapat dua penerjemahan yang berbeda yaitu kasim dan sida-sida.
2. Kesepadanan dan Akurasi Penerjemahan Dalam menerjemahkan, kesepadanan dan akurasi sangatlah penting. Saat menerjemahkan penerjemah harus mencari kesepadanan yang
Tabel 2. Kesepadanan dan Akurasi Penerjemahan
1
Istilah Budaya Taotai
2
Chiao-pai
3
No.
No.
Istilah Budaya
Akurasi dan Kesepadanan Tercapai
30
Loquat
Tercapai
31
Fengshui
P'ieh
Tercapai
32
Pa kua
Tercapai
4
Ch'an
Tercapai
33
Sheemai
Tercapai
5
Zen
Tercapai
34
Fangsheng
Tercapai
6
Unbound Feet
Tercapai
35
Lin Chuang
Tercapai
7
Taels
Tercapai
36
Infinity Symbol
Tercapai
8
I Ching
Tercapai
37
Tien
Tercapai
9
Hootongs
Tercapai
38
Mei-mei
Tercapai
10
Yuan
Tercapai
39
Shih-san
Tercapai
11
Pippala
Kurang Tercapai
40
Chua-tsui-pan
Tercapai
12
Kang
Tercapai
41
Yin
Tercapai
13
Kowtow
Tercapai
42
Yang
Tercapai
14
Zah
Tercapai
43
Tang kuei
Tercapai
15
Tercapai
44
Laurel
Tercapai
Tercapai
45
Maple
Tercapai
17
Ruyi Weeping Willow Shee
Tercapai
46
Zhen
Tercapai
18
Manfoos
Tercapai
47
Ch'I Hsiang
Tercapai
19
Chieh_an
Tercapai
48
Tungtiao
Tercapai
20
Wisteria
Tercapai
49
Yushang
Tercapai
21
Shang
Kurang Tercapai
50
Griffin
Tercapai
22
Mooyu
Tercapai
51
Oh-me-to-fu
Tercapai
23
Shaman
Tercapai
52
Tercapai
24
Yoo-hoo-loo
Tercapai
53
25
Daikon
Tercapai
54
Lilacs Professional Mourner Dandelions
26
Qin
Tercapai
55
Redwood
27
Magpie
Tercapai
56
Shou
16
64
Akurasi dan Kesepadanan Tercapai
Kurang Tercapai
Tercapai Tercapai Kurang Tercapai Tercapai
WANASTRA Vol. III No.1 MARET 2012
28
Fujin Tsungli Yamen
29
Tercapai
57
Third tone
Tercapai
Tercapai
58
Wind Box
Tercapai
3. Strategi Penerjemahan Strategi penerjemahan yang digunakan untuk menjelaskan dan pemilahan hasil penelitian ini menggunakan teknik penerjemahan Mona Baker. Teknik Mona Baker lebih cocok untuk menjelaskan strategi yang digunakan oleh penerjemah dalam menerjemahkan novel “Empress Orchid” karena sudah mencakup teori yang diungkapkan oleh Hoed. Dan juga teori Baker lebih untuk menjelaskan strategi penerjemahan yang teksnya memiliki konsep yang berbeda antara bahasa sumber dengan bahasa sasaran. Menurut Baker (1998:26) strategi penerjemahan untuk kata/ungkapan yang tidak dikenal dalam bahasa penerima meliputi: 1) Penerjemahan dengan menggunakan pengganti kebudayaan. Strategi ini digunakan oleh penerjemah karena padanan dalam bahasa sasaran sudah ada. Tetapi strategi ini tidak banyak dilakukan oleh penerjemah dalam menerjemahkan novel ini. Karena penerjemah ingin tetap menampilkan katakata berkonsep budaya tersebut dalam penerjemahannya. 2) Penerjemahan dengan menggunakan kata pinjaman Strategi ini merupakan strategi yang paling sering digunakan oleh penerjemah. Penerjemah hanya meminjam istilah-istilah budaya pada teks sumber untuk dituliskan pada novel. Strategi ini sangat membantu penerjemah untuk mewujudkan aspek foreignization dari novel, disamping karena kata-kata tersebut tidak ada dalam bahasa Indonesia. Dapat diamati bahwa pemilihan strategi ini dilandasi oleh beberapa pertimbangan yaitu: pertama, karena dalam bahasa sasaran tidak ditemukan padanan yang tepat. Walaupun ada padanan yang mendekati, dikuatirkan padanan tersebut
3)
4)
tidak bisa mewakili makna yang diinginkan dalam bahasa sumber. Kedua, peminjaman istilah-istilah tersebut dalam bahasa sasaran akan mempertahankan keaslian novel. Tidak terjadi degradasi makna dalam proses penerjemahannya. Hanya saja, pembaca yang tidak memiliki prior knowledge tentang kebudayaan Cina akan memerlukan keseriusan yang lebih untuk bisa memahami makna kata-kata berkonsep budaya tersebut. Ketiga, peminjaman tersebut bisa meningkatkan rasa ingin tahu pembaca tentang kelanjutan cerita, karena naskah novel ditulis dengan baik sehingga penggunaan kata berkonsep budaya tersebut tidak membuat pembaca berhenti membaca karena tidak memahami kata tersebut. Keempat, penerjemah sangat setia dengan bahasa sumber. Sehingga istilah atau katakata yang berkonsep budaya tetap ditampilkan oleh penerjemah. Penerjemahan dengan menggunakan kata pinjaman yang disertai dengan penjelasan. Penerjemah menggunakan strategi penggunaan kata-kata pinjaman dengan penjelasan dikarenakan beberapa pertimbangan yaitu: pertama, ketika kata berkonsep budaya yang diterjemahkan terdapat padanan yang sekiranya mendekati dalam bahasa sasaran walaupun tidak sepenuhnya akurat. Kedua, penerjemah berusaha untuk tetap mempertahankan keaslian narasi. Ketiga, penerjemah memilih untuk memakai catatan kaki agar tidak mengganggu pembaca, tetapi pembaca dapat memahami kata tersebut. Penerjemahan dengan ilustrasi Strategi penerjemahan dengan ilustrasi digunakan karena salah satu upaya penerjemah untuk menjelaskan bentuk symbol ketakterbatasan agar pembaca lebih jelas. Dengan adanya ilustrasi, pembaca dapat mempunyai gambaran yang jelas.
Tabel 3. Strategi Penerjemahan Penerjemahan dengan menggunakan pengganti kebudayaan Istilah Budaya No Istilah Budaya
No 1 2 3
Oh-me-to-fu Unbound feet Professional mourner
4 5 6
Third tone Wind Box Weeping Willow
Penerjemahan dengan menggunakan kata pinjaman
65
WANASTRA Vol. III No.1 MARET 2012
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Istilah Budaya Taotai Ch'iao-Pai P'ieh Ch’an atau zen Taels I Ching Hootong Yuan Pippala Kang Chee-lin Zah Ruyi Shee Manfoo Chieh-an
No 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Istilah Budaya Wisteria Shang Mooyu Shaman Yoo-hoo-loos Qin Fujin Tsungli Yamen Loquat Fengshui Pa kua Sheemai Fangsheng Lin Chuang Tien Mei-mei
No 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49
Istilah Budaya Shih san Osmanthus Chua-tsui-p'an Yin dan Yang Tang-kuei Laurel Maple Zhen Ch’I hsiang Tungtiao Yushang Griffins Lilac Dandelion Ivy Redwood Shou
Penerjemahan dengan menggunakan kata pinjaman yang disertai dengan penjelasan No Istilah Budaya No Istilah Budaya 1 2 No 1
I Ching Kowtow
3 4
Daikon Magpie
Penerjemahan dengan ilustrasi Istilah Budaya Symbol which stood for infinity.
Penelitian ini memfokuskan pada tataran leksikal sehingga hanya keempat strategi diatas yang dipilih oleh penerjemah. Dari sekian banyak data yang di dapat dan setelah dipilah oleh peneliti, penerjemah lebih banyak menggunakan penerjemahan pinjaman. Bila dilihat dari teori Venuti, penerjemah novel “Empress Orchid” ini lebih berusaha melakukan upaya mempertahankan kebudayaan masyarakat bahasa sumber agar pembaca teks bahasa sasaran terjemahan tetap merasakan kebudayaan dari bahasa sumber (foreignization) dibandingkan domestikasi. Bila dilihat dari teori penerjemahan Hoed, dari sembilan teknik yang diungkapkan hanya lima yang digunakan oleh penerjemah. Teknik yang digunakan penerjemah antara lain transposisi, catatan kaki, penerjemahan resmi/baku, tidak diberi padananan, dan padanan budaya. Perubahan struktur kalimat atau transposisi terjadi di seluruh terjemahan novel “Empress Orchid”. Penerjemah juga memberikan catatan kaki di beberapa kata-kata yang berkonsep budaya dalam novel itu. Dilihat dari data-data yang diteliti penerjemah tidak banyak menggunakan penerjemahan resmi/baku dan
66
padanan budaya. penerjemah lebih banyak menggunakan penerjemahan dengan tidak memberi padanan. Newmark memperkenalkan delapan metode penerjemahan, karena yang diterjemahkan adalah sebuah novel sehingga strategi yang digunakan oleh penerjemah hanya penerjemahan setia, semantik, bebas, idiomatik, dan komunikatif. Terjemahan kata per kata, penerjemahan harfiah, dan adaptasi tidak ditemukan di teks hasil terjemahannya. Penerjemah sangat setia terhadap teks bahasa sumber. Dan terlihat sekali bahwa penerjemah menginginkan kata-kata yang berkonsep budaya tetap muncul di teks bahasa sasaran. V. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Kata-kata berkonsep budaya memerlukan perhatian khusus dalam penerjemahannya. Dalam novel “Empress Orchid” terdapat 62 katakata berkonsep budaya spesifik. Kata-kata yang berkonsep budaya yang telah dikumpulkan dan diteliti dibagi menjadi
WANASTRA Vol. III No.1 MARET 2012
lima kategori budaya dan jumlah kata-kata yang berkonsep budaya yang telah dikategorikan: dalam kategori ekologi terdapat 14 istilah budaya, kategori kebudayaan material (artefak) terdapat 18 istilah budaya, kategori kebudayaan sosial terdapat 6 istilah budaya, kategori organisasi terdapat 12 istilah budaya, dan kategori kebiasaan terdapat 6 istilah budaya. Akurasi terjemahan kata-kata berkonsep budaya tersebut secara umum tinggi, mencapai 90% karena dari 62 data penelitian hanya 4 data saja yang tidak tercapai. Hal ini menunjukkan bahwa penerjemah berhasil menyampaikan makna bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Hanya saja ada beberapa data ditemukan, penerjemah tidak konsisten. Strategi menerjemahkan dengan pengganti kebudayaan terdapat 6 istilah budaya. Strategi menerjemahkan dengan menggunakan kata pinjaman terdapat 51 istilah budaya. Strategi menerjemahkan dengan menggunakan kata pinjaman dengan penjelasan terdapat 4 istilah budaya. Strategi menerjemahkan dengan ilustrasi terdapat 1 istilah budaya.
Cresswell, John W. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches (2nd Ed.) Thousand Oaks, New Delhi: SAGE Publication, Inc., 2003.
2. Saran
Hatim, Basil dan Munday, Jeremy. Translation. An Advanced Resource Book. New York: Routledge, 2004.
Meskipun rata-rata kualitas terjemahan yang dihasilkan dalam penerjemahan novel “Empress Orchid” termasuk dalam kategori baik, munculnya data-data dengan penerjemahan yang kurang tercapai harus tetap menjadi evaluasi bagi penerjemah pada khususnya dan pengamat ahli di bidang penerjemahan pada umumnya. Dalam menerjemahkan, seharusnya penerjemah konsisten dengan istilah, kata, atau ungkapan yang digunakan agar tidak membingungkan pembaca. DAFTAR ACUAN Baker, Mona. Routledge Encyclopedia of Translation Studies. London: Routledge, 1998. Baker, Mona. In Other Words. New York: Routledge, 1992. Bassnett, McGuire, S. Translation Studies. London and New York: Methuen, revised edition 1991,Routledge. 1980. Catford, J.C,. A Linguistic Theory of Translation. London: Oxford University Press, 1965. Choliludin, The Technique of Making Idiomatic Translation, Jakarta: Visipro, 2007.
Goodenough, W.H. “Cultural Anthropology and Linguistics.” In Dell Hymes (ed.). Language in Culture and Society: A Reader in Linguistics and Anthropology. New York: Harper & Crow, 1964. Guci, Dian, Empress Orchid. Jakarta: Qanita, 2011. Halliday, Michael A. K. An Introductin To Functional Grammar. London: Edward Arnold, 1985. Hatim, Basil. Teaching and Researching Translation. London: Pearson Education Limited, 2001. Hatim, Basil dan Mason, Ian. The Translator as Communicator. New York: Routledge, 1997.
Hervey, S., & Higgins, I. Thinking Spanish Translation: A Course in Translation Method: French to English. London: Routledge, 1992. Hoed, Benny Hoedoro. Penerjemahan dan Kebudayaan, Jakarta: Pustaka Jaya, 2006. Jakobson, Roman, 'On Linguistic Aspects of Translation', in R. A. Brower (ed.) On Translation, Cambridge, MA: Harvard University Press, 1959. James, Kate. “Cultural Implications for Translation”, http://translationjournal. net/journal//22delight.htm, 2002. Kridalaksana, Harimurti. Kamus Linguistik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993. Larson, Mildred L, Penerjemahan Berdasar Makna: Pedoman untuk Pemadanan Antarbahasa, Jakarta: Arcan, 1989. Machali, Rochayah. Pedoman Bagi Penerjemah: Panduan Lengkap bagi Anda yang Ingin Menjadi Penerjemah Profesional. Bandung: Kaifa, 2009.
67
WANASTRA Vol. III No.1 MARET 2012
Marshall, Catherine dan Rossman, Gretchen B. Designing Qualitative Research. California: Sage Publications, 2011. Min, Anchee, Empress Orchid, New York: Marine Book, 2004. Newmark, Peter. Approaches to Translation. Oxford: Pergamon Press, 1981. Newmark, Peter. A Textbook of Translation. London: Prentice Hall, 1988. Newmark, Peter. About Translation. Multilangual Matters. Clevedon, 1991. Nida, Eugene dan Charles Taber. The Theory and Practice of Translation. Leiden: E.J. Brill, 1974. Nida, Eugene. “Principles of Correspondence”. Leiden: E.J. Brill, 1964. Stemler, Steve. An overview of content analysis. Practical Assessment, Research & Evaluation, Retrieved January 3, 2011 from
68
http://PAREonline.net/getvn.asp?v=7&n=17, 2001. Suryawinata, Zuchridin & Sugeng Hariyanto. Translation: Bahasan Teori dan Penuntun Praktis Menerjemahkan. Yogyakarta: Kanisius, 2003. Thriveni, C. Cultural Elements in Translation: The Indian Perspective dalam Translation Journal and the Authors 2002 Volume 6, No. 1 January; http://translationjournal.net/journal/ 19culture.htm, 2002 Venuti, Lawrence. The Translator’s Invisibility: A History of Translation. London: Routledge, 1995. Wierzbicka, Anna. “Cultural Scripts: A New Approach to the Stiudy of Cross-Cultural Communication” dalam The Thrid Australian Linguistic Institute. Australian National University, July 1 - 12, 1996. Cross-Cultural Communication, 1994.