Penerbit:
Yayasan HAK Jl. Gov. Serpa Rosa T-091, Farol, Dili Tel. + 670 390 313323 Fax. + 670 390 313324 e-mail:
[email protected] Dengan dukungan:
No.26/Tahun II/Minggu III/Juli 2002
HARGA USD 0.50
http://www.yayasanhak.minihub.org
MASALAH ANTAR REKAN SEPERJALANAN
P
erjuangan kemerdekaan Timor Lo rosae tidak terjadi dengan mudah. Ibarat perjalanan, ba nyak jalan berliku, jurang, tebing terjal, padang ilalang, sungai deras, kerikil tajam maupun onak dan duri yang harus dilalui oleh rombongan. Banyak yang menyadari adanya kesulitan, namun tidak banyak yang tahu bahwa di antara sesama rekan dalam rombongan perjalanan itu terjadi pula pertengkaran dan pertentangan. Setidaknya ini yang terungkap selama lebih dari dua tahun ini dengan munculnya berbagai kelompok non-partai politik, tetapi kekuatan politiknya bisa lebih besar daripada partai-partai politik oposisi. Sejak awal transisi, ada satu kelompok yang menyatakan mempertahankan negara República Democrática de Timor Leste (RDTL) beserta seluruh kelengkapannya termasuk teks proklamasi dan Konstitusi RDTL 1975. Tetapi kelompok yang menamakan diri Comissão
Penyelesaian Masalah Pejuang Lama (BACA HAL. 4)
Maria Dias Ximenes
(BACA HAL. 5)
Kebijakan Tanah Bank Dunia (BACA HAL. 7)
Para gerilyawan tentara pembebasan nasional Timor Lorosae (1990). Foto: Robert Domm
Popular para Defesa da República Democrática de Timor Leste (CPDRDTL) ini di tengah masyarakat lebih banyak dibicarakan sebagai “kelompok pengacau.” Banyak pihak menuduh kelompok ini melakukan pemaksaan dan kekerasan terhadap sesama warga. Bahkan Xanana Gusmão awal tahun lalu (sebelum menjadi Presiden) menuduh beberapa anggotanya sebagai agen-agen intelijen Indonesia yang berusaha melakukan pembunuhan terhadap dirinya. Pihak CPD-RDTL sendiri membantah semua tuduhan. Apa masalah sebenarnya, jarang terungkap di permukaan. Menurut sementara pihak, masalah sebenarnya adalah pertentangan di masa lalu antar pemimpin perjuangan. Ketika itu Xanana Gusmão mengubah struktur kepemimpinan CRRN yang baru tiga bulan dibentuk. Konon, kemudian terjadi pertentangan yang sempat memakan korban nyawa. Sedang pihak yang tidak setuju perubahan sepihak itu sampai sekarang ada yang tidak menerima dan membentuk CPD-RDTL. Kelompok lain yang juga disebut-sebut sebagai pembuat masalah adalah “mantan” anggota FALINTIL anak buah Comandante L-7 alias Leki Nahak Foho Rai Boot. Ada tuduhan bahwa mereka “berada di belakang” kekerasan-kekerasan yang terjadi sejak masa transisi, baik di Dili maupun di Baucau – kota yang menjadi markas mereka. “Kelompok” ini membantah melakukan kekerasan. “Kami justru membantu Civpol mengamankan kota Baucau,” kata Albino da Costa alias Sokoko, juru bicara Comandante L-7 kepada Rogério Soares dari Cidadaun. Serafin Rudolfo, seorang mantan anak buah L-7 yang bertugas sebagai staf Kompi 5 di acantonamento Aileu mengatakan bahwa sebelum pembentukan FDTL terjadi ketegangan antara L-7 dengan “komando” (markas besar) FALINTIL. Saat pembentukan Kompi 5, yang terdiri dari
pasukan dari keempat Região, L-7 yang sebelumnya menjadi wakil komandan Região 3 menganggap dirinya sebagai komandan kompi ini. Tetapi komando menunjuk Maunana. L-7 ditunjuk menjadi colaborador estado maior. Tetapi L-7 menolak. “Saya tidak berpendidikan, tidak bisa berbahasa Inggris. Kalau komando menunjuk saya jadi colaborador estado maior, itu penghinaan,” kata L-7, sebagaimana disampaikan oleh Serafin kepada Cidadaun. Puncak ketegangan adalah perlucutan senjata Kompi 5, pada saat L-7 sedang pulang ke desanya. Tapi persoalan tidak berhenti di sini. Sampai sekarang di Baucau berkumpul sekitar 240 orang “bekas” FALINTIL anak buah L-7 yang tetap menganggap diri sebagai tentara yang sah, FALINTIL. Bukan hanya mereka yang menjadi masalah sekarang. Di Dili dan beberapa distrik lain berdiri Associação Antigos Combatentes das FALINTIL (AAC) di bawah “Coman-
dante Labarik.” Organisasi ini menghimpun bekas gerilyawan FALINTIL maupun yang bukan. Mereka mengaku mempertahankan FALINTIL. Sedang di Maliana dan beberapa desa di perbatasannya muncul Kolimau 2000. Organisasi yang berdiri sekitar 1996 ini adalah semacam sekte yang banyak anggotanya aktif dalam perlawanan bawah tanah dan perjuangan bersenjata. Agaknya para bekas pejuang ini tidak direkrut dalam FDTL. “Perekrutan FDTL tidak fair. Pemerintah seharusnya memberi prioritas kepada para pejuang 1975 untuk menjadi militer. Sebab mereka telah berjuang mati-matian,” kata Gabriel Fernandes, koordinator Kolimau 2000 ketika diwawancarai oleh Jaime Soares dari Cidadaun. Persoalan-persoalan tersebut kemungkinan hanya sebagian kecil dari persoalan masa lalu yang terus menjadi persoalan masa kini karena tidak diselesaikan. z
Penanggung Jawab: José Luís de Oliveira Redaksi: Rui Viana, F.X. Sumaryono, Jaime Soares, Nug Katjasungkana, Nuno Hanjan, Rogério Soares, Titi Irawati, Virgilio da Silva Guterres Distribusi: Roberto da Silva & Martinho Viana Alamat: Yayasan HAK Jl. Gov. Serpa Rosa T-091, Farol, Dili. Tel. + 670 390 313323, Fax. + 670 390 313324, e-mail:
[email protected], http://www.yayasanhak.minihub.org
Persoalan Perjuangan yang Belum Selesai
M
unculnya kelompok-kelompok seperti CPD-RDTL, Assoçiaçâo dos Antigos Combatentes (AAC), Kolimau 2000 atau Kolimau Lia Loos, juga kelompok lain yang membawa nama FALINTIL meresahkan banyak kalangan. Hampir semua pihak mengatakan bahwa masalah ini harus diselesaikan. Namun, sampai sekarang belum terlihat tanda-tanda adanya upaya yang sungguh-sungguh untuk mengadakan pendekatanpendekatan. Yang kita saksikan hanya polemik yang sekali-sekali muncul di media. Belum ada penelusuran tentang munculnya kelompok-kelompok ini. Media memberitakan mereka jika terjadi kekerasan atau jika pengurus mereka mengeluarkan pernyataan yang bisa ditafsirkan sebagai ancaman kekerasan. Nyaris tidak ada media yang menampilkan secara lengkap tentang apa tujuan mereka, apa saja yang sehari-hari mereka lakukan, siapa saja yang menjadi pengurusnya, dari kalangan mana saja orang-orang yang masuk menjadi anggotanya, apa latar belakang pembentukan kelompok-kelompok mereka, dan seterusnya. Padahal informasi yang memadai tentang hal-hal seperti itu sangat penting untuk mengatasi masalah-masalah yang mucul. Sumber berita tentang mereka umumnya bersifat sepihak. Sepihak dari kelompok tersebut atau sepihak dari yang “berseberangan” dengan mereka. Hampir tidak ada sumber yang “netral” atau “independen”. Misalnya ketika muncul berita bahwa di Baucau, kelompok tertentu melakukan penembakan terhadap rumah seorang bekas aktivis kemerdekaan. Pengurus kelompok yang bersangkutan kemudian diberitakan membantah bahwa mereka punya senjata. Setelah beberapa hari berita tentang kekerasan, keterangan pihak yang diserang, dan bantahan dari yang diduga menyerang, tidak ada kelanjutan yang lebih jelas. Masalah itu pun menghilang dari pemberitaan. Kemudian muncul berita tentang kekerasan di tempat lain, dan pola tersebut berulang. Namun tidak berarti masalah dan pembicaraan tentangnya juga hilang. Masalah tetap ada, dan di mana-mana orang mencemaskan adanya kelompok-kelompok yang menyimpan senjata. Desas-desuspun lebih penting daripada informasi yang bisa dipertanggungjawabkan. Perhatian dari pihak yang berwenang pada masalah ini tampak sangat kurang. Kurang jelas apakah ini karena terlalu banyaknya persoalan sangat mendesak – seperti pengangguran, pelayanan kesehatan yang langka, dan sebagainya – ataukah karena mereka memang kurang peka terhadap masalahmasalah yang menjadi keprihatinan rakyat. Pada sisi lain, sangat besar harapan agar pemerintah dan parlemen menyelesaikan masalah ini. Misalnya saja, para bekas anggota FALINTIL yang mempertahankan FALINTIL di Baucau (Rumah Merah), berpendapat bahwa masalah mereka harus diselesaikan oleh pemerintah dan parlemen.
Pendapat ini tidak berbeda dengan yang dikemukakan oleh Kolonel Lere Anan Timor, kepala staf FDTL. Benar bahwa pemerintah dan Parlemen Nasional adalah pihak yang berwenang (dan berkewajiban) untuk menangani masalah tersebut. Tetapi harus juga disadari bahwa pemerintah dan parlemen kita yang sekarang ini baru ada setelah penyerahan kedaulatan dari PBB 20 Mei lalu. Sementara paling tidak sebagain dari masalah yang menjadi penyebab ataupun pendorong munculnya kelompokkelompok yang kita bicarakan ini jauh lebih panjang umurnya dari pemerintah dan parlemen itu sendiri. Karena
masalah-masalah yang timbul sekarang ini adalah manifestasi dari persoalan-persoalan dalam perjuangan pembebasan nasional yang dulu tidak sempat diselesaikan dan hingga kini belum diselesaikan. Jika dengan para bekas anggota kelompo-kelompok bersenjata antikemerdekaan kita bisa mengulurkan tangan untuk rekonsiliasi (walaupun dengan keadilan), mengapa dengan sesama pejuang kemerdekaan kita tidak mengupayakan pertemuan dialog besar tanpa syarat untuk menyelesaikan masalah di antara kita, baik yang muncul di masa transisi maupun sebelumnya? • Cidadaun
Julino Ximenes/Cidadaun
Opini
Sejarah dan Penebusan Jasa Sejarah
S z Dionisio Babo Soares Mahasiswa, Research School of Pacific and Asian Studies, Australian National University, Canberra
Anggota CPD-RDTL di Dili. Foto: Nug Katjasungkana
2
etelah melalui suatu masa transisi di bawah naungan UNTAET, Timor Leste menjadi merdeka dan berdaulat penuh pada tanggal 20 Mei 2002, meninggalkan berbagai kisah sejarah yang sulit terlupakan. Namun, tidak berarti semua yang berkaitan dengan sejarah dapat dilupakan begitu saja. Banyak masalah yang ditinggalkan sejarah dan harus dibayar, diantaranya jasa bekas pejuang yang harus ditebus. Protes mantan laskar gerilya yang menamakan diri Falintil Combatente (Falintil Perjuangan) untuk meminta pengakuan adalah contoh yang paling kongkrit. Entah munculnya kelompok Falintil Combatente adalah hasil rekayasa individu tertentu yang sekarang duduk di kabinet, seperti disinyalir banyak pihak, atau tidak, protes mereka sarat tidak saja dengan persoalan primer seperti ekonomi, lapangan kerja dan kelangsungan hidup sanak keluarga yang ditinggal selagi bergerilya di hutan, tetapi yang lebih penting meliputi persoalan sekunder yaitu pengakuan akan jasa kepahlawanan. Walaupun persoalan pengaku-
CIDADAUN No.26/Tahun II/Minggu III/Juli 2002
an jasa bagi eks-combatente ini berat untuk diangkat mengingat sifat non-pamrih perjuangan, tetapi keterdesakan keperluan primer yang tidak kunjung terpenuhi memaksa mereka menunjukkan diri secara fisik di jalan-jalan utama sekalipun dengan atribut dan seragam seadanya. Perasaan diterlantarkan oleh pengambil kebijakan pun kemudian meluas. Permintaan akan pengakuan jasa sejarah ini kadang disebut sebagai lelucon dan jarang sekali permintaan perhatian ini dirasakan oleh mereka yang duduk di kursi empuk pemerintahan. Buktinya, sampai sekarang tidak ada satupun permintaan eks anggota Falintil Combatente yang dipenuhi. Sebaliknya, justru beberapa pimpinan mereka yang diumpan dengan bumbu jabatan dalam pemerintahan (baca Timor Pos dan Suara Timor Lorosae, 24/07/ 2002). Sementara banyak anggota yang tidak terakomodasi, permintaannya melampiaskan frustrasi mereka dengan memprotes di jalan-jalan seperti di Suai dan daerah lain, ditangkap, dan ditahan dengan dalil melakukan perbuatan kriminal. Apakah de-
ngan cara demikian permintaan mereka, atau dengan kata lain, membalas jasa sejarah mereka bisa ditebus? Persoalah penembusan jasa sejarah tidak bisa dilakukan dengan sekedar memberi jabatan kepada para bekas pemimpin perjuangan dan mengharapkan kepuasan bawahan-bawahan mereka. Ketidakpuasan akan terus berlanjut dan selama tidak diperhatikan, maka justru akan menjadi bumeran bagi pemerintah sendiri. Di pihak lain, harus diakui bahwa pengaruh bekas anggota di linkungan masyarakat dimana mereka pernah bergerilia dan menjalani hidup secara bersama-sama sangat besar. Tidak heran jika di hari-hari mendatang, permintaan pengakuan akan penebusan jasa sejarah semakin bertambah dengan “modus operandi” yang akan terus berubah. Anehnya, hingga saat ini tidak ada suatu proposal kongkrit pemerintah yang nyata-nyata menunjukkan niat baik untuk membantu menyelesaikan persoalan ini. Apakah kegelisahan mereka akan ditampung dan dilihat sebagai sesuatu yang harus ditebus atau dibalas? Sekecil apapun protes Falintil Combatente akan mengakibatkan Timor Leste terbelenggu antara dilema penghargaan sejarah masa lalu dan bagaimana jasa sejarah tersebut ditebus. z
tatoli
Stabilitas Perlu Partisipasi Timor Lorosae sedang membangun angkatan bersenjata pr ofesional dengan persenjataan moder n untuk mempertahankan tanah air. Apakah ini langkah yang tepat untuk mempertahankan stabilitas keamanan?
Demo di depan kantor UNTAET, Dili: suatu bentuk partisipasi. Foto: Rogério Soares/Cidadaun
M
asalah stabilitas keamanan nasional merupakan salah satu unsur penting yang harus diperhatikan dalam proses pembangunan. Sebab kondisi keamanan yang kondusif akan sangat mendukung berlangsungnya pembangunan. Setelah berakhirnya transisi, tanggungjawab keamanan internal secara bertahap diserahkan dari CivPol kepada Kepolisian Timor Lorosae (East Timor Police Service). Tanggungjawab keamanan eksternal, terutama pengamanan perbatasan masih berada di tangan PKF hingga 2004. Ini karena Timor Lorosae belum memiliki angkatan bersenjata yang tangguh untuk memikul tanggungjawab keamanan eksternal. Selain mengamankan wilayah perbatasan, tugas lain PKF adalah mempersiapkan FDTL agar dapat mengambilalih tugas pengamanan eksternal. Sebagai bangsa yang merdeka, pembentukan angkatan bersenjata yang tangguh merupakan suatu kebu-
Suara
tuhan mutlak. FALINTIL-FDTL merupakan satu-satunya institusi militer resmi di Timor Lorosae yangt saat ini memiliki 480 personil tetap dan 457 cadangan. Diperkirakan jumlah tersebut akan terus bertambah di masa mendatang. Untuk meningkatkan profesionalisme dan kehandalan daya tempur prajurit FALINTIL-FDTL, Pemerintah RDTL telah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit jumlahnya untuk melatih dan mempersenjatainya dengan peralatan tempur modern, seperti senapan jenis M-16A, M-2000 yang dilengkapi pelontar granat, dan pistol kaliber 45. Apakah upaya semacam ini dapat menjamin terwujudnya stabilitas keamanan di Timor Lorosae? “Stabil dan tidaknya keamanan di negara ini bukan hanya tanggungjawab FALINTILFDTL, tetapi tanggungjawab seluruh komponen. Kemampuan tempur FALINTIL-FDTL bukan satu-satunya jaminan bagi terwujudnya stabilitas nasion-
Tampilan tabloid Cidadaun untuk saat ini teramat baik dan bagus. Karena hadir dengan pemberitaan seputar masalah sosial, politik, dan pembangunan di Timor Lorosae. Saya hanya mau bertanya saja, apakah Cidadaun hanya mengkhususkan untuk memberitakan masalahmasalah sosial dan politik? Kalau boleh, saya minta Cidadaun menampilkan keadaan atau kehidupan rakyat di pedalaman yang saat ini tidak dijangkau media. Supaya pemerintah bisa mengetahui keadaan rakyat sebenarnya di daerahdaerah pedalaman. Mengenai harga, menurut saya sudah oke untuk surat kabar mingguan. Saya yakin dan pasti dijangkau oleh masyarakat luas yang haus akan informasi sosial politik di negeri ini. Luis da Costa Mahasiswa Fakultas Teknik, Universitas Nasional Timor Lorosae Cidadaun tidak mengkhususkan pada masalah-masalah sosial-politik. Anda bisa lihat pada rubrikasinya, yang juga mencakup ekonomi dan budaya. Meskipun sudah berusaha, kami masih kesulitan untuk meliput wilayah-wilayah yang terpencil. Karena kami masih kekurangan staf dan juta peralatan transportasi.
Menambah halaman berita dan rubrik baru Tampilan Cidadaun secara keseluruhan baik, terutama isi beritanya lebih baik dibandingkan dengan media lain yang ada di Timor lorosae. Tetapi halamannya terlalu sedikit (tipis). Jadi kalau bisa menambah halaman beritanya dan menambah rubrik seperti: rubrik olahraga, entertaiment
rutnya peran militer juga harus dibatasi hanya pada pertahanan negara. “FALINTIL-FDTL tidak boleh mencampuri urusan pemerintah,” katanya. Pernyataan yang sama dilontarkan Luis dos Santos. Ketika ditemui Cidadaun, ia mengatakan bahwa dengan wilayah yang kecil, Timor Lorosae tak perlu memiliki angkatan bersenjata yang besar. Meskipun demikian, menurutnya kemampuan profesionalme Falintil-FDTL harus terus ditingkatkan. “Profesionalisme akan melemahkan pertahanan nasional”, kata dos Santos menyegaskan. Hal lainnya diungkapkan Gaspar da Silva (25). Pemuda yang sehariharinya berdagang itu mengatakan bahwa stabil dan tidaknya keamanan sangat tergantung pada kesadaran setiap warganegara. “Kesadaran untuk bersatu dan membangun merupakan modal utama bagi terwujudnya stabilitas bangsa, “ katanya. zRogério Soares
Dari Redaksi
Pembaca
Sebaiknya menampilkan kehidupan rakyat di pedalaman
al,” kata Simão Gomes kepada Uba Moniz dan Leo Reis dari Cidadaun. Lebih lanjut, menurutnya, Timor Lorosae merupakan sebuah negara kecil dengan jumlah penduduk sedikit, sehingga tidak perlu angkatan bersenjata yang besar. Angkatan bersenjata yang besar hanya akan memboroskan biaya. “Untuk mewujudkan stabilitas keamanan cukup diperlukan persatuan nasional dan partisipasi seluruh komponen dalam pembangunan,” katanya. Hal yang sama diungkapkan Aparicio Pinto (26). Kepada Cidadaun, ia mengatakan bahwa partisipasi rakyat harus diutamakan dalam menjaga stabilitas keamanan di negara ini. “Kita memang membutuhkan sebuah angkatan bersenjata untuk menjaga keutuhan wilayah Timor Lorosae, tetapi jumlahnya harus sedikit dan profesional. Semakin besar jumlahnya, maka biaya operasionalnya semakin besar,” ucap Pinto. Lebih lanjut menu-
dan lain sebagainya supaya Cidadaun lebi baik lagi. Jay Belo Staf National Democratic Institute (NDI)
Sayang usulan Anda belum bisa dipenuhi. Karena untuk menambah halaman diperlukan biaya yang tidak sedikit. Sebenarnya kami memang ingin menambah rubrik, tetapi belum bisa dilaksanakan karena masih kekurangan tenaga. Selain itu, rubrik olahraga dan hiburan sudah ada di dua suratkabar harian yang terbit di negeri ini. Perlu pula diketahui bahwa dalam membuat rubrik kami harus mempertimbangkannya sesuai dengan visi Cidadaun seperti yang disebutkan dalam semboyannya: “hamutuk harii nasaun demokratiko.”
Halamanya harus ditambah dan harga diturunkan Cidadaun sudah baik, tetapi halamannya sangat tipis sehingga sering pembaca enggan membelinya walaupun isi beritanya lebih baik. Jadi saya berharap supaya halaman beritanya ditambah. Sebab berdasarkan pengalaman di lapangan, pembaca biasanya lebih memilih yang tebal untuk dibeli daripada yang tipis. Walaupun koran itu isinya lebih baik. Harganya pun sebaiknya diturunkan, disesuaikan dengan harga korankoran yang lain agar dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat. Ananias Lopes Penjual koran di kota Dili Terimakasih atas informasi tentang selera pembaca mengenai jumlah halaman. Sayang kami belum bisa memenuhi usulan Anda. Sedang harga, mulai nomor ini kami turunkan menjadi 50 sen USD.
alam sebuah kegiatan pe D nerbitan, distribusi itu sama pentingnya dengan produksi.
Berita yang telah dikumpulkan dan telah diolah menjadi tulisan, selanjutnya di-lay out dan dicetak, tetapi setelah itu tidak ada yang membaca karena tidak didistribusikan, maka seluruh pekerjaan menjadi sia-sia. Terbitan tersebut menumpuk saja, dan tidak ada yang menikmati apa isinya. Keberadaan (eksistensi) terbitan tersebut tidak ada artinya. Keberadaan suatu penerbitan baru ada artinya jika ada khalayak yang membacanya. Sama dengan keberadaan beras itu baru ada artinya jika ada orang yang memasak dan memakannya. Nah dalam hal distribusi ini, lagi-lagi kami menghadapi kesulitan. Di negeri ini belum ada badan atau agen khusus yang berusaha di bidang distribusi barang cetakan, baik buku, majalah maupun suratkabar. Agen ini kegiatannya adalah menyalurkan barang cetakan dari penerbitnya kepada toko buku, kios, atau penjaja koran di jalanjalan yang menjualnya langsung kepada para pembaca. Karena tidak ada agen seperti ini, suatu penerbitan seperti Cidadaun, jika ingin menjual barang produksinya harus melakukan distribusi sendiri. Ini bukan perkara mudah, karena selain diperlukan peralatan yang tidak murah, juga diperlukan keahlian dan pengetahuan tertentu, serta waktu. Misalnya saja, agar Cidadaun bisa dijajakan di jalan-jalan oleh para penjual koran, kami harus mengantarkan terbitan kami kepada satu per satu penjaja koran. Agar Cidadaun bisa dijual di tempat-tempat di luar kota Dili,
kami harus pergi ke luar kota untuk mencari pihak-pihak yang mau menjualkan terbitan kami ini. Kesulitan lain adalah pengiriman terbitan kami ke luar kota. Di negeri ini belum ada perusahaan angkutan barang dalam negeri. Karena itu kami juga harus mencari cara mengirim Cidadaun ke tempattempat penjualan di luar kota. Kesulitan-kesulitan itu kami anggap sebagai tantangan yang memang harus dihadapi oleh siapa saja yang ingin agar terbitannya bisa mencapai pembaca. Memang tidak mudah, tetapi usaha harus terus dilakukan agar pembangunan (formação) warganegara yang baik bisa diwujudkan. z
Pffuiiii! Deputado Eusebio Guterres mengusulkan agar minyak dari Laut Timor dialirkan dan disuling di Timor Lorosae karena bisa memberikan pekerjaan bagi puluhan ribu orang. Pasti sangat sedikit orang Timor Lorosae yang bisa diterima di sana. Lagi pula kilang minyak pasti menimbulkan kerusakan lingkungan yang parah. Di Dili, harga ayam potong impor per ekor USD 1,5 sedang ayam lokal USD 8. Kalau pasar bebas berlaku untuk semua barang, perekonomian negeri kita pasti dikuasai asing.
CIDADAUN No.26/Tahun II/Minggu III/Juli 2002
3
nasional
Kelompok Mantan Pejuang Apa Mau Mereka? Berbagai kelompok non-partai meramaikan politik Timor Lorosae sebelum dan sesudah penyerahan kedaulatan. Berikut adalah pendapat mereka tentang apa yang mereka inginkan. CPAD-RDTL memperingati Proklamasi Kemerdekaan 28 November. Foto: Nug Katjasungkana/Cidadaun
S
ejak awal masa transisi CPD RDTL menyatakan menolak transisi oleh UNTAET dan menuntut agar kendali atas pemerintahan diserahkan kepada orang Timor Lorosae. Organisasi ini menyatakan diri dibentuk untuk mempertahankan negara Republik Demokratik Timor Leste (RDTL), Konstitusi 1975, naskah proklamasi, dan FALINTIL sebagai tentara nasional. Cristiano da Costa, salah seorang pimpinan CPD-RDTL dalam penjelasan kepada wartawan setelah organisasi ini mengadakan konferensi menjelang pemilu lalu, mengatakan bahwa mereka menuntut agar PBB mengakui kedaulatan Timor Lorosae dan menyerahkan seluruh proses transisi kepada orang Timor Lorosae. “Kita sudah punya negara dengan konstitusi, tentara, dan sebagainya. Ka-
lau Konstitusi 1975 perlu diubah, mari kita duduk bersama untuk mengubahnya. Kita negara demokrasi, kita harus mengadakan pemilu, para wakil rakyat yang terpilih melalui pemilu itu yang mengubah konstitusi. Bukan PBB yang mengadakan pemilu membentuk Majelis Konstituante, dan sebagainya,” katanya. Associação dos Antigos Combatentes das FALINTIL (AAC) yang juga disebut Força Base de Apoio (FBA) berdiri menjelang penyerahan kedaulatan 20 Mei 2002. Pada waktu itu mereka mengadakan latihan barisberbaris dan menuntut partisipasi dalam upacara penyerahan kedaulatan. Menurut pemimpin kelompok ini, “Comandante Labarik” (José dos Santos Lemos), Rogério Lobato adalah Presiden AAC sedang Wakil Presiden
dijabat Comandante L-7. Namun menurut sumber lain, Rogério Lobato dan L-7 tidak lagi bersama mereka. Sepertinya organisasi ini kecewa dengan FDTL. “Mengapa kami yang pertama [berjuang] tidak punya hak. Kita telah merdeka, mengapa harus pilih-pilih? Ketika perang tidak ada sistem pilih,” kata Labarik kepada Jaime Soares dari Cidadaun. Kelompok lain yang banyak dibicarakan orang adalah para anak buah bekas komandan FALINTIL L-7. Sakoko, “juru bicara FALINTIL di bawah Comandante L-7” kepada Rogério Soares dari Cidadaun mengatakan bahwa mereka menunggu penyelesaian masalah penyitaan senjata mereka di acantonamento Aileu. “Kami tetap pada posisi kami, karena penyitaan senjata di Aileu terhadap Co-
Lere: Mereka Ilegal
mandante L-7 bersama anak buahnya sampai saat ini belum diselesaikan,” kata Sakoko. “Pemerintah bersama Parlemen harus menyelesaikan masalah ini. Kalau tidak, maka kami FALINTIL tetap pada posisi kami,“ tegas Sakoko. Sementara Kolimau 2000 yang aktif di distrik Bobonaro mengaku berdiri untuk mempertahankan kebudayaan, agama, dan FALINTIL. “Perekrutan FDTL tidak fair. Prioritas seharusnya diberikan kepada pejuang 1975, dengan syarat mereka akan dipensiunkan dalam jangka tertentu. Bila itu terjadi kami puas,” kata Gabriel Fernandes, koordinator Kolimau. Menurutnya, Kolimau 2000 hanya berdoa. ”Tetapi bila lider politik tidak benar maka kami akan melibatkan diri,” katanya. z Nug Katjasungkana
[FOTO/Ilustrasi.]
O
rganisasi-organisasi yang muncul dengan membawa nama FALINTIL, menurut Wakil Panglima FDTL Kolonel Lere Anan Timor, hanya menimbulkan instabilitas. Menurutnya, organisasi-organisasi tersebut ilegal. “Itu adalah asosiasi militer yang tidak diizinkan oleh Konstitusi kita. Jadi itu adalah melawan hukum dasar kita,” katanya kepada Rogério Lobato dari Cidadaun. Ketika ditanya tentang cara penyelesaiannya, ia mengatakan bahwa dirinya tidak punya wewenang. “Sebagai Wakil Panglima FALINTIL-FDTL, saya tidak mempunyai wewenang. Ini adalah masalah negara. Pemerintah yang harus menyelesaikannya,” katanya. Sementara Menteri Dalam Negeri Rogério Lobato berpendapat bahwa persoalan tersebut tak terlepas dari proses pembentukan FDTL. Menurutnya, faktor utamanya adalah karena keputusan
4
“Antigos combatentes: (kiri), Menteri Rogério Lobato (kanan). Foto: Rogério Soares/Cidadaun
tentang pembentukan angkatan bersenjata berada di tangan PBB bukan di tangan pemimpin perjuangan Timor Lorosae. “Seleksi untuk menjadi prajurit FDTL dibuat oleh UNTAET, sedang para pemimpin militer kita hanya bisa menentukan diterima atau tidak,” katanya kepada Rui Viana dan Rogério Soares dari Cidadaun. Akibatnya banyak orang yang tidak terlibat dalam perjuangan – baik front bersenjata maupun front klandestina – yang diterima ke dalam FDTL, sementara yang terlibat justru disingkirkan. Faktor lain adalah perubahan nama FALINTIL menjadi FDTL. Menurutnya, usaha Majelis Konstituante mengatasi masalah ini dengan mengubah lagi nama angkatan bersenjata menjadi FALINTIL-FDTL, justru menimbulkan masalah baru. “Rakyat awam malah bingung karena mengira ada dua angkatan bersenjata, yaitu
CIDADAUN No.26/Tahun II/Minggu III/Juli 2002
FALINTIL dan FDTL,” katanya. Bagaimana mengatasinya? Baginya ada dua cara Para bekas pejuang bersenjata maupun klandestina yang punya kemampuan harus ditempatkan pada posisiposisi yang memungkinkan mereka menyumbang untuk pembangunan bangsa. “Mereka harus didampingi oleh tenaga ahli yang bisa mengarahkan dan mengkoordinir mereka,” jelasnya. Sedang bagi yang kemampuan atau tenaganya sudah tidak memenuhi syarat, pemerintah harus memberikan pengakuan kepada mereka sebagai pejuang kemerdekaan dan menyediakan program pertanian dan koperasi agar mereka bisa menjalani kehidupan yang baik. Untuk itu, Kementerian Dalam Negeri berencana bekerjasama dengan Sekretaris Negara Urusan Perburuhan dan Solidaritas. Dalam menjalankan program tersebut, pemerintah harus mela-
kukan identifikasi tentang “pejuang lama” (antigos combatentes), para janda dan yatim-piatu karena perang. “Semua itu harus diidentifikasi secara jelas supaya nanti tidak timbul masalah,” lanjutnya. Sedang penyelesaian nama angkatan bersenjata, menurutnya, harus dilakukan dengan mengadakan dialog rakyat. “Kita harus duduk bersama berdialog untuk mengumpulkan semua pendapat. Pendapat rakyat di basis harus didengarkan karena merekalah yang paling menderita karena mendukung FALINTIL,” paparnya. Setelah dilakukan diskusi di basis, semua pendapat rakyat dikumpulkan untuk diserahkan kepada Parlemen Nasional. “Kalau mayoritas rakyat menginginkan nama angkatan bersenjata FALINTIL saja, Parlemen Nasional harus mendiskusikannya untuk merevisi konstitusi,” katanya menegaskan. z Nug Katjasungkana
wawancara
lihat hal seperti itu. Rumah sakit dibiarkan kotor, sedang tenaga medis yang seharusnya melayani pasien dengan baik, tidak demikian. Mental seperti itu harus diubah. Di kalangan masyarakat bawah, belum ada kesadaran untuk hidup sehat. Kita harus berusaha untuk mengubah itu lebih dulu. Belakangan banyak dokter mulai membuka praktek di luar rumah sakit, bagaimana pengaruhnya terhadap pelayanan kesehatan masyarakat? Kebijakan pemerintah dalam hal ini boleh dikatakan belum jelas. Saya melihat banyak hal yang belum dibenahi. Misalnya pemerintah mengikat kontrak dengan dokter dari Indonesia yang memiliki kapasitas sama dengan dokter lokal, tetapi gajinya per bulan USD 2000. Sedangkan dokter lokal hanya digaji USD 250 per bulan. Masalah lain adalah sangat mahalnya harga barang. Dengan gaji yang minim, tentu saja sulit untuk mengimbangi harga barang yang membumbung tinggi. Untuk menghidupi keluarganya, wajar jika mereka harus membuka praktek untuk menambah penghasilan. Di negara lain praktek semacam ini memang ada. Tetapi tidak baik untuk Timor Lorosae yang baru merdeka. Memang kita tak bisa melarang seorang dokter
tuk kesadaran rakyat menjadi warganegara yang baik? Semua orang Timor Lorosae punya hak dan kewajiban yang dijamin Konstitusi. Tetapi sayangnya, saya melihat seolah-olah hak rakyat kecil diabaikan. Tanggungjawab kita adalah berjuang menegakan hakhak rakyat, agar mereka bisa hidup layak. Saya merasa prihatin melihat keadaan masyarakat di basis. Mereka sangat menderita dan serba kekurangan. Masalahnya adalah walaupun mereka memiliki potensi, tetapi belum dikelola secara maksimal. Karena mereka belum punya mental ukun rasik an . Kita harus berusaha menumbuhkan kesadaran ukun rasik an di kalangan rakyat. Untuk menjadi warganegara yang baik, mental ketergantungan harus dihilangkan. Kita harus membangun diri-sendiri. Bila kita memiliki tanah, kita harus berpikir dan mencari cara untuk mengelola atau mengembangkannya. Kita harus punya inisiatif untuk membangun. Pemerintah hanya bisa membantu atau memberkan dukungan. Inisiatif harus selalu berawal dari rakyat di basis. Belakangan semakin banyak bermunculan organisasi. Di antara mereka ada yang menginginkan restorasi RDTL 1975, dan ada pula yang menentang perubahan FALINTIL ke FDTL.
Mental Ukun Rasik An
Maria Diaz Ximenes
M
aria Diaz Ximenes atau yang lebih dikenal dengan Maria Diaz termasuk salah satu dari sekian banyak perempuan Timor Lorosae yang aktif dalam per juangan membebaskan negeri ini dari beleng gu kolonialisme. Buah hati dari Bartolomeus Diaz dan Terez ihna Goncalves Amorin ini mulai terlibat dalam gerakan bawah tanah (clandestina) pada tahun 1996, dengan memberikan pelayanan pengobatan kepada para pejuang Falintil yang tertembak maupun para aktivis clandestina yang disiksa oleh militer Indonesia. Hingga sekarang, ia memimpin klinik yang diberi nama Prontu Atu Serbi (PAS), yang setiap harinya melayani 50 orang rawat jalan dan 20 menginap. Berikut ini adalah petikan dari wawancara yang dilakukan oleh Nuno Hanjan, Rogério Soares, dan Zelia Gama dari Cidadaun. Apa visi yang diemban klinik anda? Visi kami adalah “Terwujudnya suatu tatanan masyarakat Timor Lorosae yang sehat, baik secara fisik, mental maupun rohaninya”. Untuk mewujudkan visi tersebut, kami berupaya memberikan pelayanan maksimal kepada siapa saja yang membutuhkannya, baik secara fisik, mental, maupun rohaniah. Pelayanan kesehatan ini sudah saya mulai sejak zaman perjuangan. Saat itu banyak pejuang FALINTIL yang tertembak tak bisa masuk ke kota untuk mendapatkan pengobatan. Saya harus menyelamatkan mereka agar perjuangan kita berhasil. Banyak sekali kendala yang dihadapi para pejuang FALINTIL, seperti kurangnya obat-obatan dan tidak tersedianya klinik atau rumah sakit. Saya harus mengantar mereka yang luka tertembak maupun yang menderita sakit untuk diobati di klinik saya. Irma Lourdes [Mana Lou dari ISMAIK, Red.] membantu saya menyediakan tempat penampungan bagi mereka yang sakit untuk diobati. Sejak 1998, kami memberikan pelayanan kesehatan kepada para pejuang FALINTIL, termasuk mereka yang ditangkap dan disiksa oleh TNI dan milisi. Dari mana anda mendapat bantuan untuk mendirikan klinik? Klinik saya dirikan sejak 1996 atas
inisiatif sendiri, dan praktis berhenti selama beberapa bulan setelah peristiwa “bumi hangus” 1999. Pengoperasiannya dimulai lagi setelah pulihnya situasi keamanan. Pada awal dioperasikannya kembali klinik ini, kami mendapat bantuan dari Timor Aid. Selanjutnya kami juga mendapat bantuan fasilitas dari USAID dan beberapa NGO. Bantuan lain kami dapatkan dari sumbangan-sumbangan pribadi. Saat ini klinik kami memiliki satu dokter umum, satu dokter gigi, dua bidan, dan dua perawat. Untuk sementara kami tidak terlalu mendapat kesulitan dengan fasilitas. Sistem pelayanan kesehatan yang ideal menurut anda? Program pelayanan yang digalakkan saat ini umumnya lebih mengutamakan pengobatan. Sedangkan penyuluhan kesehatan sangat kurang dilakukan. Padahal penyuluhan itu penting sebagai upaya pencegahan. Mencegah itu lebih baik daripada mengobati. Sistem sangat tergantung pada mental, kesadaran, dan pola pikir masyarakat. Saya pernah praktek di sejumlah rumah sakit di Spanyol, baik swasta maupun negeri. Rumah sakit umumnya ditata dengan baik dan sehat. Hubungan antara dokter maupun perawat dengan pasien sangat dekat. Sedangkan di sini (Timor Lorosae, Red.), saya tidak me-
untuk membuka praktek, sebab itu haknya. Pemerintah seharusnya arif dan bijaksana menyelesaikannya agar tidak menimbulkan kekecewaan di kalangan dokter kita, dan pelayanan kepada masyarakat tetap berjalan baik.
Apa pandangan Anda mengenai hal ini? Di satu sisi memang baik bagi perkembangan demokrasi. Tetapi perlu diselidiki lebih dulu apa yang melatarbelakangi berdirinya kelompok-kelompok ini. Saya kira jika visi dan misinya baik, pemerintah harus mendukungnya. Tetapi jika hanya meresahkan masyarakat, pemerintah berwewenang membubarkannya. Saya tahu banyak orang merasa disakiti hatinya. Mereka yang telah mengorbankan segalanya selama perjuangan, tetapi kini jasanya tak lagi dihargai. Sakit hati
Maria Diaz memulai pendidikan dasarnya di Becora, Dili pada 1973. Baru memasuki kelas 2 sekolah dasar, ia terpaksa berhenti akibat pergolakan politik dan invasi Indonesia. Sekolah dasarnya dilanjutkan di zaman penPara pasien berobat di Klinik Pas, BecoraDili.. Foto:Rogério Soares/Cidadaun dudukan Indonesia pada 1976. Ia menamatkan sekolah itu tak hanya di kalangan FALINTIL, menengah atasnya di SMAK St. tetapi juga di kalangan estafeta Yoseph, Dili pada 1989. Usai SMA, ia (penghubung). Mereka telah berkormelanjutkan studinya pada bidang ban dan kehilangan segalanya. Penfilsafat dan teologi di Malang, Indone- didikan ditelantarkan dan banyak sia. Selanjutnya ia mengikuti vocacão di antara mereka keluarganya telah (pang-gilan) menjadi suster dan ditu- mati terbunuh. Setelah berakhirnya gaskan di Spanyol. Tetapi selanjutnya resistencia, jasa mereka seperti diia berhenti menjadi suster karena lupakan begitu saja. Lebih gila lagi, merasa tidak sesuai dengan hati jasa mereka dilupakan oleh bekas nuraninya dan ada tugas lain yang perlu komandan yang dulunya mendapat diembannya. Di negeri Matador itu ia pengamanan dari mereka. Seharusjuga sempat sekolah perawat selama nya para komandan sadar dan tahu tiga tahun. Pada 1996 ia kembali ke diri. Mereka wajib menghargai oTimor Lorosae. rang-orang kecil yang dulu mengBagaimana caranya memben-
awal mereka. z
CIDADAUN No.26/Tahun II/Minggu III/Juli 2002
5
daerah Sengketa Tanah Uato-Lari Usia dan dimensi sengketa tanah ini termasuk “abut” di Timor Lorosae. Masyarakat Uato-Lari sadar bahwa masalah ini produk penjajah, dan karena itu bertekad menyelesaikannya. Tetapi niat ini menghadapi kendala keterbatasan dukungan pemerintah.
R
Salah satu aksi milisi Besi Merah Putih, September 1999. Foto: Charles Darapak/AP
Kantongisasi Hambat Keadilan Tuntutan bekas Panglima Pejuang Integrasi João Tavares agar bekas pasukannya ditempatkan bersama-sama di Maliana mendapatkan tentangan.
P
ermintaan João Tavares agar menjadikan Maliana sebagai wilayah kantongisasi ditolak oleh rakyat setempat. Alasannya, bila permintaan tersebut disetujui berarti Pemerintah RDTL telah mengingkari dan mengkhianati prinsip perjuangan rakyat. Pernyataan itu dilontarkan oleh salah seorang warga Maliana yang tak bersedia menyebutkan namanya ketika ditemui Jaime Soares dari Cidadaun di rumahnya (03/07). Hal yang sama diungkapkan kordinator Nove-Nove, organisasi keluarga koban pembantaian Maliana 1999, Regina Leite. Kepada Cidadaun di kediamannya (03/07), ia mengatakan bahwa sebagai rakyat yang merasakan langsung penderitaan selama ini, dirinya menolak setiap kebijakan yang memberikan perlindungan politik khusus kepada kelompok tertentu. Apalagi perlindungan itu diberikan kepada orang-orang seperti João Tavares yang diduga terlibat dalam kejahatan melawan kemanusiaan di masa lalu. Menurutnya hal itu bukan saja bertentangan dengan Konstitusi RDTL yang memang menolak diskriminasi. Tetapi jika permintaan itu dikabulkan, bisa berdampak pada terancamnya upaya para korban untuk menuntut pertanggungjawaban hukum dari para pelaku kejahatan di masa lalu. Lebih lanjut menurutnya, menerima kantongisasi berarti memberi konsesi kepada para pelaku kejahatan di tahun 1999. Para pelaku kejahatan itu sudah tentu akan memanfaatkan konsesi itu untuk mengkonsolidasikan kembali kekuatan politiknya dan dibukanya peluang bagi penggunaan kekuatan itu untuk mencegah apapun kebijakan yang mencoba mengungkit kembali kejahatan mereka di masa lalu. “Saya sangat men-
6
derita karena suami saya telah dibunuh pada September 1999. Saya juga memahami keinginan Tavares, sebab ia tak pernah kehilangan sanak keluarganya. Keselamatan mereka akan terancam bila kantongisasi dilakukan. Jika kantongisasi disetujui, bisa berdampak tak hanya pada terhambatnya tuntutan keadilan korban, tetapi juga mengancam kedamaian di negeri ini,” ungkapnya dengan tegas. Semenjak menculnya tuntutan kantongisasi, suasana di wilayah Maliana tampak tenang saja. Tidak ada kekhawatiran di kalangan masyarakat. Sebab, masyarakat menanggapi permintaan Tavares itu sebagai sesuatu yang mustahil dikabulkan pemerintah. Ernesto da Silva, seorang warga Atabae yang sehari-harinya bekerja di ladang, kepada Jaime Soares dari Cidadaun mengatakan bahwa permintaan Tavares merupakan sesuatu yang mustahil diwujudkan. Bila pemerintah menyetujuinya, akibatnya bisa buruk. “Kami tidak setuju jika kantongisasi dilakukan sebab dapat membahayakan stabilitas keamanan Timor Lorosae. Kalau mereka ingin kembali, mereka harus hidup menyatu dengan masyarakat yang lain. Bila tidak, keselamatan mereka akan terancam,” ucap da Silva. Memang harus diakui bahwa sukses tidaknya upaya untuk menyeret para pelaku kekerasan di masa lalu ke pengadilan akan lebih banyak ditentukan oleh faktor politis ketimbang hukum. Menyetujui kantongisasi sama artinya melemahkan kepentingan politik nasional, yang pada akhirnya akan menyulitkan upaya menyeret para pelaku kejahatan hak asasi manusia 1999 untuk mempertanggung jawabkan perbuatan mereka secara hukum. z Nuno Hanjan
CIDADAUN No.26/Tahun II/Minggu III/Juli 2002
apat evaluasi Panitia Media Sengketa Tanah Uatulari, 29 Juli 2002 yang lalu mungkin akan merupakan rapat terakhir bagi panitia yang sudah berumur dua tahun ini. Karena pada saat rapat hendak dimulai, tiba-tiba panitia kedatangan dua orang tamu dari Kantor Land and Property Dili yang membawa kabar yang kurang baik bagi kerja panitia. Kedua tamu tersebut membawa surat dari Direktur Land and Proprety Departemen Kehakiman, Pedro de Sousa Xavier, yang berisi permintaan untuk menarik semua aset yang digunakan Panitia Mediasi. Aset yang berupa sebuah bangunan yang digunakan sebagai sekretariat panitia, sebuah sepeda motor, sebuah mesin ketik, dan peralatan kantor lainnya itu adalah pemberian Unit Land and Proprety sewaktu masih berada di bawah UNTAET. “Pemberian aset ini merupakan dukungan UNTAET untuk membantu kami menyelesaikan sengketa. Sekarang aset-aset ini ditarik kembali oleh pemerintah RDTL. Ini berarti pemerintah tidak mendukung lagi kerja panitia untuk menyelesaikan sengketa,”demikian Armindo Soares, Sekretaris Umum Panitia Mediasi. Namun menurut pihak Land and Property, penarikan aset ini tidak berati pemerintah tidak lagi mendukung kerja panitia mediasi. “Ini soal administrasi proyek. Jangka waktu kontraknya telah selesai, dan sementara ini kami belum memiliki dana. Maka sesuai prosedur, untuk sementara aset ini diamankan dulu. Bila Presiden RDTL telah
litik yang terjadi di Timor Lorosae. Pada tahun 1959, setelah terjadi pemberontakan Viqueque, penguasa lahan persawahan di Uatu-Lari ikut berpindah tangan. Kemudian pada 1975 sewaktu terjadi invasi, penguasaan lahanpun berpindah ke orang lain. Lalu pada tahun 1979, setelah berakhirnya Operasi Kikis tentara Indonesia ke gunung Matebian, lahan ini berpindah tangan lagi ke orang lain. Terakhir pada bulan September 1999, sewaktu Indonesia kalah dalam referendum dan meninggalkan Timor Lorosae, penguasa sebelum tahun 1979 berusaha menguasai kembali lahan tersebut. Upaya penguasaan kembali oleh penguasa sebelum tahun 1979 itu sempat meledak menjadi konflik terbuka. Karena penguasa yang sekarang tidak mau menyerahkannya. “Hampir terjadi bunuh-membunuh. Kedua belah pihak sudah mengangkat parang saling mengejar,” ujar pastor Paroki UatoLari, Josef Tani, SVD. Perebutan lahan yang terjadi akhir tahun 1999 hingga pertengahan 2000 ini oleh pastor paroki berhasil dicegah tidak menjadi pertumpahan darah. Tetapi pastor paroki dan sejumlah tokoh masyarakat tidak mampu lagi menyelesaikan sengketa tersebut. Mereka kemudian datang ke Dili mencari bantuan. Pada bulan Juni 2000, Yayasan HAK bersama Unit Land and Property UNTAET mulai memfasilitasi proses penyelesaian sengketa tanah. “Keterlibatan kami di sini hanya untuk membantu kapasitas masyarakat Uato-Lari
[FOTO/Ilustrasi.]
Petani sedang mengolah lahan. Foto: Rogério Soares/Cidadaun
mengesahkan anggaran pemerintah, dan Bagian Land and Property memiliki cukup anggaran, mungkin saja kita bisa mendukung lagi dana untuk pekerjaan panitia,”kata Pedro Sousa kepada Cidadaun melalui telepon. Lebih lanjut, menurut Pedro Sousa, sementara ini Land and Property belum bisa berbuat banyak untuk menyelesaikan sengketa tanah di Timor Lorosae. Karena sampai saat ini, secara legal Land and Property belum memiliki kewenangan. “Parlemen belum mengesahkan rancangan regulasi kita. Bila regulasinya telah disahkan, kita memiliki kewenangan, dan kita bisa terjunlangsung dalam penyelesaian sengketa tanah di Uato-Lari. Selama ini peran kita masih di belakang saja,” kata Pedro Sousa lebih lanjut. Sengketa tanah Uato-Lari adalah sengketa yang telah berlangsung sejak 1959. Tanah yang sebagian besar berupa lahan persawahan ini penguasaannya silih berganti sesuai konflik po-
untuk menyelesaikan sengketa. Kami belum punya wewenang legal menyelesaikan sengketa di sini,” kata John Tinela, staf Land and Property yang terlibat dalam rapat pembentukan Panitia Mediasi pada 17 Juni 2000. Ternyata setelah dua tahun bekerja, panitia yang baru menyelesaikan enam dari 32 sengketa yang didaftar untuk dimediasi, terpaksa harus berhenti bekerja hingga waktu yang belum ditentukan. Sebabnya? pemerintah RDTL tidak punya dana untuk mendukung panitia! “Kami berharap pemerintah segera mencari cara untuk kembali mendukung penyelesaian sengketa ini. Bila sengketa tidak diselesaikan, yang rugi bukan saja masyarakat UatoLari, tetapi juga negara. Karena orang Uato-Lari tidak akan bertani dengan baik, maka negara kita harus impor beras dari luar negeri, dan uang kita akan keluar terus,” ujar Moises da Silva seorang mahasiswa asal Uatulari. z José Luís de Oliveira
INTERNASIONAL
Kebijakan land reform (pembaharuan pemilikan Bank Dunia dikritik karena menguntungkan tuan kaya-raya dan membebani petani miskin dengan yang
tanah) tanah hutang berat.
Kebijakan Tanah Yang Merugikan Petani
K
ekonomi
ebijakan “land reform dige rakkan pasar” Bank Dunia bukannya membuat petani tak bertanah menjadi makmur, tetapi malah lebih menderita lagi karena terjerat kredit yang disediakan Bank Dunia. Demikian kesimpulan sekitar lima puluh orang anggota organisasi-organisasi petani, peneliti, lingkungan, keagamaan dan hak asasi manusia yang menghadiri konferensi “Tanah untuk mereka yang menggarapnya, bukan untuk mereka yang bisa membelinya saja” di Washington, ibukota Amerika Serikat beberapa minggu yang lalu. Para pejabat Bank Dunia juga menghadirinya. Kebijakan tanah Bank Dunia itu memfokuskan pada swastanisasi dan pemilikan tanah pribadi, yang tujuannya menciptakan pasar tanah. Dengan kebijakan ini, petani tak bertanah menjadi memiliki tanah pribadi dari pembagian tanah komunal. Bank Dunia juga menyediakan dana kredit yang dipinjamkan kepada orang miskin
agar mereka bisa membeli tanah dari “penjual yang mau menjual tanahnya.” Para peserta dari Afrika Selatan, Zimbabwe, Thailand, Brazil, Guatemala, dan Colombia menyampaikan penelitian-penelitian kasus yang rinci dari negara masingmasing. Ketika tanah komunal dibagikan menjadi petak-petak tanah pribadi, hasilnya adalah bencana, seperti dalam kasus Thailand. Masyarakat yang memiliki sistem pemilikan tanah yang stabil selama turun-temurun kehilangan tanah hanya dalam waktu beberapa tahun setelah diberlakukannya tanah pribadi. Apalagi pemilikan tanah pribadi mendorong para pemiliknya menjadikannya jaminan untuk kredit bank. Dalam kasus ketika kaum miskin diberi kredit untuk membeli tanah dari “penjual yang mau menjual tanahnya,” seperti di Brazil, Guatemala, dan Afrika Selatan, hasilnya tidak lebih baik. Tanah yang dijual oleh tuan tanah kaya ada-
Petani Brazil menduduki tanah perkebunan besar yang tak digarap. Foto: Carlos Carvalho/MST
lah bagian tanah yang paling rendah mutunya. “Land reform” jenis ini sangat mahal sehingga tidak bisa membuat pengurangan berarti orang yang tidak punya tanah, dan menciptakan beban hutang yang begitu besar untuk para “penerima manfaat” program ini. 100 persen keluarga yang diwawancarai dalam studi kasus mengatakan bahwa mereka tidak bisa membayar angsuran pengembalian kredit. Selain itu, syarat untuk mendapatkan kredit tanah adalah harus punya modal penyertaan. Karena keluarga petani yang paling membutuhkan tanah tidak memiliki modal, maka kredit ini tidak bisa dapatkan. Pertemuan ini sempat memanas ketika Ekonom Senior Bank Dunia yang bertanggungjawab atas kebijakan tanah Klaus Deininger,
mengatakan bahwa pertemuan ini bukan “konsultasi masyarakat sipil” tetapi “ekspresi oposisi” dan menyebut kebijakan Bank Dunia sebagai suatu sukses. Tomas Herrera, seorang petani dari Colombia langsung berdiri dan menyampaikan pengalaman pribadinya sebagai “penerima manfaat” kredit Bank Dunia yang terjerat kredit tanah dan sekarang nilainya telah menjadi dua kali lipat. Konferensi yang diselenggarakan oleh Institute for Food Research and Development ini menyimpulkan bahwa kebijakan tanah Bank Dunia hanya menguntungkan tuan tanah kaya. Para peserta menyerukan land reform dengan menyita kelebihan tanah berkualitas tinggi milik tuan tanah yang kaya. z Nug Katjasungkana (sumber: Foodfir st Website)
Harga Kopi Yang Tidak Juga Membaik
S
Har ga kopi turun lagi. Sebabnya, di pasar internasional harga kopi memang turun. Mengapa begitu?
etelah Timor Lorosae resmi merdeka, para petani kopi masih susah. Masalahnya, harga kopi bukannya naik tetapi malah turun. Bayangkan, pada akhir Juni ini harga kopi buah merah tiap kilogramnya hanya 16 sen USD. Sebelumnya harganya 18 sen. Ini kalau petani mengangkut dan menjual langsung kopinya ke pabrik. Kalau kopi itu dijual di kebun atau di pinggir jalan harganya cuma 15 sen per kg. Harga yang rendah itu menimbulkan keberatan di manamana. Di Ermera satu pabrik kopi bahkan sampai ditutup. Di beberapa tempat bahkan ada petani yang mengungkapkan kekesalan dengan tidak mau menjual kopinya ke pabrik. “Tetapi kebanyakan petani tetap menjual kopinya, karena tidak ada pembeli yang lain dan kebanyakan petani juga tidak punya sumber penghasilan lain,” kata Dani dari Kdadalak Sulimutuk Institute (KSI), sebuah organisasi non-pemerintah yang sedang mengadakan penelitian tentang masalah yang dihadapi petani kopi. Selain NCBA (sebuah badan usaha berpusat di Amerika Serikat), di Ermera sebenarnya juga ada perusahaan lain yang melakukan pembelian kopi dari petani. Tetapi perusahaan asal
Portugal bernama Delta Café ini hanya mau membeli kopi kulit putih, tidak menerima kopi buah merah. Agar kopi buah merah menjadi kopi biji putih diperlukan proses yang cukup rumit dan membutuhkan ketelitian. Kopi buah merah harus dikupas, kemudian direndam dalam kolam selama kurang-lebih satu hari untuk menghilangkan lapisan lendir yang menyelimuti biji kopi. Setelah itu biji kopi dijemur. Kopi yang telah diproses itulah yang disebut kopi kulit putih, karena warnanya menjadi putih. Delta Café membeli kopi kulit putih dari petani dnegan harga per kg 50 sen. Menurut pengamatan Cidadaun, banyak petani yang kurang teliti dalam mengupas. Mungkin karena belum terbiasa. Kadang mereka juga kurang bersih dalam mencuci biji kopi sehingga banyak yang tidak memenuhi syarat Delta Cafe. Karena prosesnya rumit dan tidak semua kopi kulit putih yang dihasilkan memenuhi standar, banyak petani yang menjual kopi biji merah saja. Maklum banyak kebutuhan yang mendesak yang harus segera dipenuhi. Nah, pembeli kopi buah merah ini adalah NCBA. Menurut pihak NCBA, harga kopi yang dibayarkannya kepada petani itu sesuai dengan har-
[FOTO/Ilustrasi. 12,64 x 6,645 cm]
Menjemur kopi, komoditi andalan Timor Lorosae. Foto: Rogério Soares/Cidadaun
ga internasional. “Penurunan harga itu bukan karena kami sengaja mempermainkan harga … Harga itu disesuaikan dengan harga di pasaran internasional yang sudah menurun,” katanya kepada Timor Post (27/6/2002). Menurut satu sumber independen, harga NCBA ini tidak rendah jika dilihat dari standar internasional. Kopi biji hitam yang diekspor dari Timor Lorosae di pasar internasional harganya USD 1,70. Menurut sumber ini, dengan berpatok pada harga kopi biji hitam itu, harga kopi buah merah sebebarnya hanya 12 sen USD. (Untuk mendapatkan kopi biji hitam itu kopi kulit putih masih harus diproses lagi). Menurutnya, NCBA bisa membeli dengan harga lebih tinggi dari harga pasar internasional karena adanya bantuan dari USAID (badan bantuan internasional pemerintah AS). Sementara rendahnya harga kopi internasional itu sendiri sebenarnya terjadi karena krisis harga kopi yang telah berlangsung selama tiga tahun. Krisis terjadi karena berlebihnya pro-
duksi kopi di pasar dunia akibat keberhasilan Vietnam dan Indonesia – atas anjuran Bank Dunia – meningkatkan produksi dan ekspor kopi. Sesuai dengan hukum ekonomi kapitalis, terlalu banyaknya kopi di pasar dunia menyebabkan harga turun. Jika terjadi penurunan harga maka petani yang paling menderita, karena hidup-matinya langsung ditentukan oleh penghasilan panennya. Sementara perusahaan-perusahaan besar yang menguasai perdagangan kopi tidak terlalu banyak menderita karena mereka adalah bagian dari bisnis raksasa yang bermacam-macam. Inilah kelemahan ekonomi orientasi ekspor. Bank Dunia menganjurkan strategi semacam ini sebagai bagian dari kebijakan “pasar bebas.” Menurutnya, suatu negara akan mengalami kemajuan ekonomi dengan mengekspor komoditi andalan. Tetapi tidak disebutkan bahwa pasar dunia itu serba tidak menentu karena dikuasai oleh perusahaan-perusahaan raksasa. z Nug Katjasungkana
CIDADAUN No.26/Tahun II/Minggu III/Juli 2002
7
Barlaque: Mengikat atau Menjual? Pada awalnya, pertengahan dekade 1970-an, gerakan pembebasan nasional Timor Lorosae telah menentang eksistensi sistem barlaque, karena adanya unsur “perdagangan perempuan” dalam sistem pernikahan tradisional itu. Bagaimana sekarang?
Barlaque menghargai perempuan? Foto: Nug Katjasungkana/Cidadaun
P
kebenaran &rekonsiliasi
ada rubrik yang sama edisi yang lalu kita melihat bagai mana barlaque sebagai se buah institusi pernikahan tradisional mulai digugat. Penggugatan itu bukan terhadap eksistensinya tetapi terhadap lunturnya nilai-nilai filosofis yang melekat pada tradisi barlaque. Tidak dapat dipungkiri bahwa dampak dari kesalahan interpretasi dan implementasi sistem barlaque mulai mendapat perlawanan dari masyarakat, terutama generasi muda dan kaum feminis. Sebagian kaum muda lebih menganggap barlaque sebagai hambatan kultural dalam melakukan pernikahan ketimbang sebuah sistem untuk mempererat ikatan sosial. Sementara sebagian kaum feminis menganggapnya sebagai sebuah penindasan terhadap kaum perempuan, bahkan dapat memberi legitimasi bagi terjadinya kekerasan domestik (bikan-kanuru). Di awal pergerakan, pertengahan 1970-an, FRETILIN pun telah menentang eksistensi sistem barlaque, karena adanya unsur “perdagangan perempuan” dalam sistem pernikahan tra-
disional tersebut. Untuk menemukan unsur “perdagangan” dalam barlaque dapat kita telusuri secara etimologis dalam adat masyarakat Makassae di Baucau. Pembayaran barlaque dalam istilah masyarakat Makassae disebut buramutu. Bura artinya bayar, mutu artinya semua atau jumlah. Membayar barlaque disebut bura guini atau dera dani. Dalam bukunya Gentio de Timor, Armando Pinto Correia, bekas Administrador do Conselho (jabatan di masa kolonial Portugis, setingkat Administrator Distrik sekarang), menguraikan bahwa buramutu terdiri dari kuotakuota yang diharuskan oleh pihak keluarga perempuan bagi keluarga lakilaki. Kuota-kuota itu antara lain si amo, sebuah surik perang Makassar, oro amo, sebuah diman Makassar untuk memburu rusa, gui bia, sarung surik (si amo), gui nuto, tongkat untuk meletakkan diman. Selain itu, masih ada kuota lain yang disebut lubo gue dan sari gue. Yang pertama tanda larangan dan pengumuman bagi transaksi kepemilikan perempuan, yang kedua adalah obat untuk melindungi keluarga perem-
puan dari segala penyakit dan kutukan karena kekurangan seorang anggota keluarga. Di masa lalu, kuota-kuota itu tak dapat ditukar dengan barang lain. Namun dengan perkembangan zaman dan perubahan kondisi sosial-ekonomi, kini dapat disetarakan dengan barangbarang lain seperti kerbau atau kuda. Dari uraian ini, dengan jelas terlihat bahwa unsur perdagangan memang melekat pada sistem barlaque, meskipun terdapat beberapa manfaat sosial yang dapat mengeratkan ikatan persaudaraan antar-keluarga yang terlibat. Salah satu manfaat sosial pada masa itu adalah perempuan barlaqueado (yang menikah melalui sistem barlaque), sangat dihormati dalam kalangan kerabat, terutama di kalangan kerabat keluarga suaminya. Selain dihormati, ia juga memiliki wewenang penuh dalam menentukan segala hal yang menyangkut urusan kekeluargaan di kampung suaminya. Jika ia tidak dihormati dan diperlakukan sewenang-wenang oleh suaminya, ia dapat meminta perceraian dan bisa kembali ke keluarganya. Perceraian
yang disebabkan karena kesewenangwenangan sistematis sang suami, apalagi ditinggalkan tanpa alasan, pihak suami kehilangan hak atas biaya barlaque, baik sebagian atau seluruhnya. Terlepas dari manfaat sosial yang dihadirkan oleh barlaque serta nilainilai filosofis yang melekat padanya dari dulu, perkembangannya oleh zaman masih belum menyelamatkan kaum perempuan sebagai korban, baik secara sosial maupun secara fisik. Pola pikir paternalistik yang masih sangat kuat pengaruhnya dalam masyarakat kita, ikut melegitimasi ketidakadilan yang diderita kaum perempuan. Jika bukan penghapusan total dari sistem barlaque dari masyarakat kita, mungkin rasionalisasi adalah alternatif untuk bisa menyelamatkan manfaat sosial dan nilai-nilai filosofis yang dimiliki sistim buramutu. Mudahmudahan rasionalisasi itu dapat menghambat gerakan anti-barlaque, apalagi anti-budaya Timor-Lorosae. Perlu diingat bahwa yang terakhir ini sedang berjalan sangat transparan: Melihat tapi tak percaya! z Virgílio da Silva Guterres
KPKR Mengambil Kesaksian di Atauro Di Atauro, Komisi mengadakan pengambilan kesaksian tentang kekerasan di masa lalu. Sementara di Dili diadakan latihan untuk para Komisaris Regional dan staf.
Kesaksian di Atauro omisi Penerimaan, Kebenar an dan Rekonsiliasi telah berhasil mengambil 33 kesaksian tentang kekerasan yang dialami masyarakat Atauro. Menurut kesaksian yang diperoleh, pelanggaran yang dialami pada umumnya meliputi pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, dan pemindahan paksa. Menurut Alvaro da Silva, seorang staf statement takers (petugas pengambil pernyataan) Komisi, masyarakat Atauro sangat antusias untuk memberikan kesaksianya kepada Komisi. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa masyarakat Atauro, terutama para korban, merasa bangga dengan kehadiran Komisi untuk melihat kembali kekerasan yang dialami selama periode 19741999. Karena dengan demikian martabat para korban bisa diangkat kembali. Staf Komisi melakukan pengambilan kesaksian di Atauro secara bertahap. Tahap pertama
K
8
dilakukan dari tangggal 28 Mei sampai dengan 7 Juni 2002 dan tahap kedua dari tanggal 22 sampai dengan 30 Juni 2002.
Penduduk Atauro yang memberi kesaksian dan staf KPKR. Foto: KPKR
Ketua UNMISET Kunjungi Komisi ada tanggal 5 Juli 2002 Wakil Khusus Sekretaris Jenderal PBB/Ketua UNMISET Mr. Kamalesh Sharma melakukan sebuah kunjungan ke Kantor Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi di Ex-Kantor UNAMET, Balide, Dili. Dalam kunjungannya, ia melakukan pertemuan khusus dengan semua Komisaris Nasional Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Lorosae. Ia mengatakan bahwa Komisi merupakan sebuah institusi penting sekali di Timor Lorosae yang mendapat dukungan kuat dari Perserikatan BangsaBangsa. Ketua Komisi Aniceto Guterres Lopes mengatakan bahwa kunjungan Ketua UNMISET a-
dalah sangat positif untuk Ko- onal Dili pada l 8 – 13 Juli 2002. misi dalam melaksanakan tugasPada tanggal 9 dan 10 Juli nya sesuai Regulasi 10/2001. 2002 Komisaris Nasional bersama Komisaris Regional dan staf Latihan dan Sosialisasi Komisi Regional akan mulai meKomisi Regional lakukan sosialisasi ke wilayah aat ini Komisi sedang mela kerja Komisi Regional Dili ( kukan berbagai pelatihan un- Distrik Dili dan Liquica), Komituk semua Komisaris Regional si Regional Baucau (Distrik Madan staf Komisi Regional. Tuju- natuto, Distrik Baucau, Distrik annya adalah mempersiapkan Viqueque dan Distrik Lospalos), mereka menjalankan pekerjaan dan Komisi Regional Oecusse. Komisi. Karena Komisi berharap agar Sementara Komisaris Regional semua orang bisa mengikuti auntuk Komisi Regional Aileu cara ini, sosialisasi ini dibuat (wilayah kerjanya meliputi terbuka untuk umum. Sosialisasi Distrik Aileu dan Same), Komi- ini akan dilakukan selama tiga si Regional Suai (meliputi Distrik minggu dan akan berakhir pada Kovalima dan Distrik Ainaro) tanggal 26 Juli 2002. z serta Komisi Regional Maliana (meliputi Distrik Bobonaro dan Rubrik ini dikelola oleh Komisi PenerimaDistrik Ermera) akan mengikuti an, Kebenaran, dan Rekonsiliasi (KPKR) latihan di Kantor Komisi Nasi- Timor Lorosae.
P
CIDADAUN No.26/Tahun I/Minggu III/Juli 2002
S