PENGANTAR REDAKSI Para pembaca yang budiman, setelah melalui proses seleksi yang cukup ketat, akhirnya jurnal Kajian edisi September 2010 menampilkan 7 (tujuh) tulisan yang menggambarkan berbagai perspektif penyelenggaraan pemerintahan, yaitu politik, ekonomi, kebijakan publik, dan hukum. Sebagian besar tulisan tersebut merupakan hasil penelitian dan satu tulisan berasal dari luar Sekretariat Jenderal DPR RI. Tulisan yang berasal dari luar Sekretariat Jenderal DPR RI mempunyai makna tersendiri, karena menyajikan suatu perspektif perbandingan praktek penyelenggaraan keparlemenan di Inggris. Diawali dengan tulisan Ratih D. Adiputri dengan judul: “Dealing With Political Crisis: How UK Parliament Addresses the Expenses Scandal”. Tulisan ini mengungkapkan bagaimana parlemen Inggris berupaya menunjukkan aspek-aspek parlemen yang baik ketika menghadapi kasus-kasus skandal keuangan di tahun 2009. Kajian dalam tulisan ini memperlihatkan, parlemen Inggris melalui penanganan krisis yang tepat dan cepat dapat mengembalikan kepercayaan publik. Hal itu diikuti dengan reformasi keparlemenan yang bersifat jangka panjang. Tulisan ini jelas menampilkan pelajaran yang dapat dipetik dan diambil hikmahnya oleh DPR-RI yang pada saat ini juga sedang mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat. Selanjuntya tulisan kedua adalah hasil penelitian Juli Panglima Saragih dengan judul “Kinerja Keuangan Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, dan Nusa Tenggara Barat”. Tulisan ini mengungkapkan pentingnya peran dan posisi strategis Bank Pembangunan Daerah dalam mendorong pertumbungan dan pembangunan ekonomi di daerah. Dalam keadaan persaingan yang ketat, BPD haruslah berupaya meningkatkan aset dan permodalannya, serta strategi untuk menjadikannya sebagai pelaku utama di pasar daerah, dan tidak sekedar menjadi pengikut saja. Tulisan ini lebih difokuskan pada kinerja keuangan masing-masing BPD di Provinsi Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, dan Nusa Tenggara Barat. Tulisan ketiga adalah hasil penelitian Humphrey Wangke dengan judul Prospek Kerjasama ASEAN Pasca Ratifikasi Piagam ASEAN. Sebagaimana diketahui, sejak 15 Desember 2008, ASEAN tidak lagi beroperasi atas dasar Deklarasi Bangkok, tetapi Piagam ASEAN. Dengan perubahan ini, ASEAN bukan lagi organisasi yang bersifat informal tetapi berubah menjadi formal, karena mempunyai aturan main yang lebih jelas (rule–based) serta lebih menekankan pada hubungan antar-warga (people-oriented). Tulisan ini mengungkapkan bagaimana melalui perubahan ini ASEAN menjadi sebuah organisasi yang efektif karena semua keputusan yang diambilnya akan mengikat. Tulisan ini juga mengungkapkan bahwa di
masa depan, keberhasilan kerjasama ASEAN tidak lagi ditentukan oleh para pemimpinnya saja tetapi juga oleh masyarakatnya. Tulisan keempat adalah hasil penelitian Hariyadi dengan judul “Upaya Konservasi dalam Kerangka Protocol Kyoto (Studi di Provinsi Kalimantan Barat dan provinsi NAD)”. Tulisan ini mengungkapkan serangkaian inisiatif kebijakan konservasi yang relatif progresif oleh Provinsi Kalbar dan NAD dan salah satu kabupaten di dua provinsi tersebut. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa secara normatif berbagai kebijakan masing-masing pemerintah daerah tersebut telah mencerminkan peran sebuah sub-nasional yang signifikan dalam mendukung pemenuhan komitmen nasional terhadap Protokol Kyoto berdasarkan prinsip tanggungjawab bersama tetapi dibedakan. Hal ini menggambarkan adanya dukungan dan komitmen politik dalam rangka upaya pengurangan emisi GRK secara global. Kajian yang menggunakan ratifikasi Protokol Kyoto sebagai dasar penilaian ini menemukan bahwa peran positif sub-nasional ini secara normatif dan politis akan lebih efektif jika pemerintah pusat dan daerah lebih memberikan kemauan politisnya atas setiap kebijakan yang berkaitan dengan upaya konservasi. Tulisan kelima hasil penelitian Dedeh Haryati dengan judul “Fungsi Pengawasan DPRD dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah”. Tulisan ini mengulas tentang fungsi pengawasan oleh DPRD sebagai sebuah instrumen dasar yang penting dalam menciptakan pemerintahan demokratis di daerah. Fungsi pengawasan ini menunjukkan bahwa prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik tidak hanya harus dipenuhi oleh kepala pemerintahan, tetapi juga oleh DPRD. DPRD harus mengawasi mekanisme pemerintahan di daerah dan program pembangunan daerah. Diungkapkan bahwa kewenangan DPRD dalam menjalankan fungsi pengawasan menghadapi tantangan yang berat dan sekaligus merupakan kesempatan untuk menunjukan kredibilitasnya di mata rakyat.. Tulisan keenam adalah hasil penelitian Sri Nurhayati Qodriyatun dengan judul “Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya Dalam Kerangka Desentralisasi”. Tulisan ini mengungkapkan bahwa realisasi konservasi sumber daya alam hayati dalam era desentralisasi tidak seperti yang diinginkan oleh UU No. 5 Tahun 1990. Konsep konservasi lebih dimaknai sebagai perlindungan sumber daya alam hayati dan ekosistem daripada pemanfaatan yang dilakukan dengan memperhatikan keberlanjutan daya dukung sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Oleh karena itu, masyarakat di sekitar area konservasi sering dilihat sebagai perusak lingkungkan. Tulisan ini juga mengungkapkan bahwa desentralisasi melahirkan konflik kewenangan antara pemerintah pusat dan kabupaten, sehingga kepentingan masyarakat di sekitar hutan terabaikan dan tingkat kesejahteraan mereka semakin menurun. Tulisan ketujuh adalah hasil penelitian Dian Cahyaningrum dengan judul “Harmonisasi Pengaturan Kewenangan Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah dalam Penyelenggaraan Urusan di Bidang Penanaman Modal”. Tulisan ini mengungkapkan bahwa jaminan kepastian hukum diperlukan untuk meningkatkan penanaman modal. Untuk itu peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan urusan di bidang penanaman modal harus jelas dan harmonis. Namun, tulisan ini mengungkapkan bahwa tidak ada harmonisasi yang baik antara UU No. 25 Tahun 2007 dengan UU No. 32 Tahun 2004 dalam mengatur kewenangan di wilayah perbatasan. Meskipun Pemprov memiliki kewenangan untuk mengeluarkan ijin penanaman modal yang menjadi ruang lingkupnya, beberapa provinsi seperti NTB dan Kaltim tidak memegang kewenangan perijian sejak berlakunya Keppres No. 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal dalam Rangka Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negara (PMDN) Melalui Pelayanan Satu Atap. Keppres tersebut telah menarik kembali kewenangan ke pemerintah pusat. Tulisan ini mengemukakan rekomendasi, agar kewenangan perijinan harus dikembalikan ke provinsi. Selain itu, perlu membentuk peraturan presiden mengenai tata cara dan pelaksaaan perijinan terpadu satu pintu. Redaksi berharap tulisan-tulisan ini dapat menjadi referensi bagi Anggota Dewan khususnya dalam memenuhi pelaksanaan tugas konstitusional di bidang pembentukan undang-undang, penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanaja Negara (APBN), dan fungsi pengawasan. Secara umum, Redaksi juga berharap tulisantulisan ini dapat menjadi referensi bagi banyak pihak yang memiliki komitmen terhadap menyelesaian berbagai permasalahan yang dihadapi bangsa kita. Dengan demikian, secara langsung maupun tidak langsung tulisan-tulisan ini dapat memberikan manfaat positif bagi penyelesaian masalah-masalah bangsa dan negara yang sedang kita hadapi saat ini. Terima kasih. Jakarta, Oktober 2010
Redaksi KAJIAN
DEALING WITH POLITICAL CRISIS: HOW UK PARLIAMENT ADRESSES THE EXPENSES SCANDAL Ratih D. Adiputri Abstrak Negara Inggris baru saja memiliki parlemen baru. Sebagai ‘ibu’ parlemen dunia, parlemen Inggris terus berupaya untuk menunjukkan aspek-aspek parlemen yang baik setelah menghadapi kasus skandal keuangan di tahun 2009. Tulisan ini akan menampilkan pelajaran apa yang bisa dipetik oleh DPR dalam menghadapi skandal serupa: tindakan cepat dan langkah-langkah jangka panjang apa yang semestinya dilakukan. Reformasi politik ini amat diperlukan untuk memulihkan kembali kepercayaan rakyat terhadap institusi parlemen. Kajian dalam tulisan ini memperlihatkan bagaimana dengan penanganan krisis yang tepat, parlemen Inggris dapat kembali mendapatkan kepercayaan publik terhadap institusi ini. Abstract UK just has formed a new parliament. As the ‘mother’ of world’s parliaments, the British Parliament should highlight the good aspects of parliament after having faced a money scandal in 2009. The paper demonstrates lesson learnt that could be studied by DPR in tackling a scandal –dealing with questions: what immediate steps and what kind of long term reform to conduct. The writer argued that political reform is needed to regain people’s trust in the parliament. Her study shows that handling the crisis in the right ways could lead to recovering public confidence towards the parliament. Keywords: British/UK Parliament, (Money) Scandal, Parliamentary Reform
I. Introduction This paper is edited based on my final report for the Hansard Scholars Program, conducted in 1 May to 31 July 2009, when I had an
PhD candidate of Political Sciences at the University of Jyväskylä, Finland. Email:
[email protected]
1
opportunity to study British politics at London School of Economics and Political Science (LSE) and to work at the House of Lord. During my short time in the British Parliament, just before my programme started, the international news informed about an expenses scandal in the British Parliament. The scandal of 2009 had made both public and media questioning the legitimacy of the institution. The situation encouraged me to write something on the scandal and reform, and could be a lessonlearnt for Indonesian parliament (DPR) in tackling the scandal issue. Most importantly, I think if the experience could be applied within the parliament, the public could have different perspective towards DPR and its members. Coming from Indonesia, with great expectations about seeing a good parliamentary exercise in the British Parliament, I was surprised to learn that expenses scandal could happen in this institution, which lead to people‟s disbelief in Westminster Parliament. Different from the British Parliament scandals and corruptions, commonly accused in DPR had led to political crisis. Therefore, apart from disbelief, I am curious to know how both government and parliament of British politics tackled this issue and regain the people‟s trust to the parliament. This could be a good lesson learnt for Parliament to restore the public confidence to the parliament again, showing how the scandal could happen and how to move on after the crisis. I believe that parliament can do more than legislating and enacting laws, especially when parliamentary members were elected and reflected the people‟s choice in politics. Indonesia is still on-going with its democracy and as a developing country, it needs a role model from a developed country, and British parliament could serve as a prime example for good-exercise parliament. Despite the differences between the systems in the United Kingdom and Indonesia, the Westminster had showed good examples on how the parliament could work together with the government, showing the effective relations between the executive and legislative institutions in democratic contexts, and most notably the parliament as an institution itself. The British Parliament shows us that the members should be known and have intensive communication to the constituents; the effective legislative institution; and the oversight mechanism to the government. The expenses scandal in the parliament in 2009 had turned into a full fledged political crisis: starting with the resignations of several executive ministries in Gordon Brown‟s cabinet and leading to the outcast of the Speaker of the House of Commons, Mr. Michael Martin. Outside the parliament, most people were very upset about the scandal. As taxpayers, they would expect that their contribution to the government would ease members in their parliamentary works, not turning the money for MP‟s personal amusement, such as plasma television, house
2
1
renovation and holiday trips . Thus, besides condemning the parliament, people were also eager to know how the government solved the issue. The media supported this by informing this scandal news every day, so most people well informed of what‟s going on and this somewhat „pushed‟ the government in doing what they should do in timely manners. The parliamentary reform on handling members‟ expenses is on the agenda throughout 2009, and people are waiting what movement that the government would take as any policy taken would certainly affect to the voting behavior in the election of 2010. The Government party, Labour, has suffered from the European Parliament result --conducted in 2 4 June 2009- as it lost and only got 16% of national vote from previous election. Although these numbers do not appear to be too big, this showed that public support is swinging votes to another political party. This article wants to discuss the steps taken by the British Parliament (and government) in handling the expenses scandal, in order to regain the citizens‟ confidence in both the parliament and government. Despite of political crisis, I would argue that there is good chance for the parliament to be „saved and empowered‟ as Moore states in his opinion in The Daily Telegraph newspaper. Parliament should remain an important institution and must regain people‟s confidence even though the public is 3 outranged with the MPs‟ behaviour. The scandal and political crisis actually came at a good time and has fostered the government for parliamentary (or even constitutional) reform. Thus, there is a positive side from the political crisis, and this could be a good lesson-learnt for other parliaments. In showing this, first, I will describe the story behind the expenses scandal from the newspapers, by describing a parliament and British parliament in general. Then, secondly, I will discuss the steps taken by the British parliament and Gordon Brown‟s Government in handling this issue. This will be demonstrated through the analysis of excerpts from government speaking time in the parliament, newspaper articles, political commentary and suggestions from organizations such as the Hansard Society. Finally, before the conclusion, I will discuss what lessons-learnt derived from these issue, especially for Indonesia‟s DPR. II. British Parliament in General The British political system has two chambers in Parliament: the House of Commons and the House of Lords, and each has their unique 1
“The Expenses Files Investigation”, The Daily Telegraph, 16 May 2009. http://www.guardian.co.uk/politics/2009/jun/07/european-elections-gordon-brown, Summer, Deborah. "European elections: Brown faces leadership battle amid Labour meltdown and BNP success": BNP's Nick Griffin elected to EU parliament; Labour share of national vote could slump to just 16%, accessed on July 15, 2009. 3 Moore, Charles. “The House of Commons is ours, not theirs. Don‟t ruin it, reclaim it.” The Daily Telegraph, 16 May 2009, p. 26. 2
3
characteristics. The House of Commons, known as the Lower Chamber, 4 has constituents, from 651 constituencies all across the UK. This means that each MP derives legitimacy from the people in their constituency. In fact, the House of Commons is the only institution in the UK political system that has legitimacy directly from voters. Another chamber, the House of Lords, consists of hereditary peers, Bishops and appointed figures. Even though the members are appointed, however, the House of Lords scheme shows members‟ expertise and knowledge. Lords members also tend to be in detail for legislation process and scrutiny. Apart for the criticism of the House of Lords should be abolished, until now, both chambers, Commons and Lords, build strong relationship in British politics. In fact, the House of Lords has the power to delay legislation: one month for money bill and for 5 other bills for a year. Britain is also said to be a “parliamentary democracy or parliamentary government” (Thomas, 2000: 4) meaning that all the members of the government are taken from the members of the parliament, notably from the Commons. This is another distinction of British politics, that when the government members are from the parliamentary members, it is responsible to Parliament. According to 6 Thomas, this brings two implications: Firstly, that the government as a whole can be held responsible by the Commons for its actions and if the government is defeated on a motion of No Confidence it must resign. Secondly, those ministers are individually responsible to Parliament for their own actions and those of their department. However, it should be noted that although in theory, the parliament „can vote a cabinet out of office‟, as decribed above, in reality, as the cabinet is „composed by the party leaders‟, the executive is 7 dominant compared to parliament. The government thus could be said to have greater legitimacy, but as British government is parliamentary government, so each minister have legitimacy from their own electorate by being elected as MPs, and all members, both in the cabinet and in the parliament are responsible to all citizens. The point is, all MPs have accountability for their own constituent as a MP, even have greater accountability to all citizens as government members. Similarly to most parliaments in the world, British Parliament is also responsible for functions such as legislation, representation, scrutiny
4
Norton, Philip. Does Parliament Matter?, New York: Harvester Wheatsheaf. 1993, p. 147. Lijphart, Arend, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries. New Haven and London: Yale University Press. 1999, p. 18. 6 Thomas, Graham P. Parliament in an Age of Reform, Sheffield: Sheffield Hallam University. 2000, p. 5. 7 Lijphart, op.cit., p. 12. 5
4
8
and oversight to government. According to Heywood , however, for the British parliament, legislative power actually rests upon the executive, and the parliament largely reacts to the executive‟s legislative proposals. While for the representation function, most members act mostly as representation of the party, obeying the party whip, and following the party line. This statement is likely to show that members are representatives of the party instead of the people or the constituents. Parliament always matters both for the government and the citizens while MPs have task to inform the constituents about the Government‟s activity, legislative roles in the parliament and as party support. In contrast to the statement above, survey and research 9 conducted shows that the most important role for MPs is to protect the interests of the constituents, among other things. The whole function of Parliament is seen in the figure below: Picture 1. The Function of the UK Parliament Relationship
Parliament-Government - Manifest legitimation - Recruiting, socializing and testing ministers - Administrative oversight - Legislative Scrutiny
Parliament
Parliament-Citizen - Acting as a safety valve - Achieving a redress of grievance (errand running) - Interest articulation - Mobilizing and educating citizens
Conflict Resolution Source: Norton, Philip. Parliament in British Politics, New York: Palgrave Macmillan. 2005 page 249.
The figure shows that it is important for MPs to have both relations between government and citizens. In fact, these relationships between the two groups shows the legitimacy of the MPs to sit in the position as MP, while relationships between the government is relatively formality as government is formed from the parliament members. We learned that the most important task of MPs is preserving the constituents‟ aspiration, and the constituents also feel the same way 8
Heywood quotation was taken in Thomas‟ book, op.cit., pages 2-3. Norton, Philip. Parliament in British Politics, New York: Palgrave Macmillan. 2005, p. 249 and Rosenblatt, Gemma. A Year in the Life: From Member of Public to Member of Parliament, Great Britain: Hansard Society. 2006, p. 38-9. 9
5
towards their MPs. They felt happy if they could contact the MPs and discuss matters with their representatives in the parliament. Those whom write to their MPs realized that even though the problems reported may not be resolved, while writing something to the MPs, and even better if the MPs send them „the complimentary notes‟ with the name of the MP as the letter head, people think that at least something has been done. This is actually show special bound between MPs and the constituents. People also expect that MPs should participate in chamber debates and conduct the oversight function to the government. Indeed, in the Westminster Parliament, there is a session to scrutinize the government in Prime Minister Questions Time every Wednesday at noon in the House of Common‟s debate chamber. During the Questions Time, the Prime Minister is quizzed about the policy he has taken. With limited time, not all questions raised can be answered in this arena, but there is another mechanism for oversight, that is allowing MPs to write questions in written format. These questions later will be answered by the ministers in each chamber. This could be a form of accountability of the MPs to both to the constituents (raising the issues of constituents‟ interest) and to the government (asking the policy taken for issues being asked). MPs‟ questions could be checked in the parliamentary website. Representing the people is actually the role of MPs as the Member of Parliament is chosen or elected to act on behalf of the people she/he represents, and then works for those elected her/him. In this context, an MP in Britain is a parliamentary representative from his/her 10 constituents. While the Member of Parliament has no job description and have no employers, it is quite hard to perform „independent 11 evaluation‟ of MPs, they are actually „free to decide their own priorities‟. However, the priorities for MPs‟ work should be the constituents, and covered in MPs performance as part of „principal accountabilities‟. 12 Thomas grouped MPs‟ accountabilities, including pointed out the working for the constituents. They are: 1. Furnishing the personnel for parliamentary democracy 2. Monitoring, stimulating and challenging the executive 3. Legislating 4. Understanding their constituency 5. Assisting constituents 6. Helping formulate party policy 7. Promoting their party‟s interests While the principles above should be the key guidance for MPs, and while the constituents should be the priority, when discussing about money and allowances, unfortunatelly, MPs simply forgot about this, and that is why the scandal erupted.
10
Thomas, op.cit., p. 96-7. Rosenblatt, op.cit., p. 41. 12 Thomas, op.cit. 11
6
III. Parliamentary in Crisis: the Expenses Scandal According to The Green Book: A guide to Members’ allowances, MPs receive allowances to ensure that all “MPs are able to work 13 effectively in Parliament and in their constituencies” and such allowances are covered for “employing staff, servicing MPs‟ offices, overnight stays away from home while on Parliamentary duties, communicating with constituents, House stationary and postage, and 14 travel” . Allowances exist to ensure that all parliamentary works runs smoothly, and the numbers of allowances actually tend to increase following the inflation rate, and the amount is similar to the middle rank manager‟s salary. In accordance to the allowances, the Committee on Standards in 15 Public Life identified seven principles of public office , this is notably for reminder that the MPs using public money. These principles are: selflessness, integrity, objectivity, accountability, openness, honesty, and leadership. These principles should be in mind of all MPs in claiming their expenses, but clearly that was not happened, when the scandal come up abruptly. It is The Daily Telegraph newspaper that revealed the story behind the scandal. In its issue on May 16, 2009 page 10, The Daily Telegraph informed that “the biggest parliamentary scandal in British History” was started on May 8, 2009 when the deputy political editor of the newspaper, Robert Winnett called the Prime Minister‟s director of communications, Michael Ellam, for sending secured email for Mr. Brown‟s personal attention concerning “expenses”. The Telegraph’s email to Mr. Brown revealed “uncensored copies of his expenses claims, at least his cleaner receipts for £ 6,577. Soon afterwards, Mr. Brown learned that at least 12 members of the Cabinet had received similar emails “setting out details” and MPs would be caught embarrassed. The news reported that MPs claimed whatever expenses they could. It is not all against the rules, but ethically, they should not claim personal things that they could cover using their own salary. The worst revelation of this scandal was the “flipping”, a new term introduced by the newspaper. „Flipping‟ means having “more than one house at taxpayers‟ expenses by switching their designated second home from London to their constituency”. MPs are indeed entitled for a house (or accommodation) when they are away from home. So when members were elected from certain area of constituency, mostly they were lived in London. MPs are entitled for accommodation in areas they are visiting, either in London or to the areas of constituencies. However, 13
According to Parliamentary Standards Bill, explanatory notes, the House of Commons on 2nd July 2009 [HL Bill 60]. 14 Ibid. 15 Source Standards: http://www.parliament.uk/about/how/members/standards.cfm, accessed on July 20, 2009 at 2.46 pm.
7
by flipping, most members flipped their original address in London into their „main‟ home at constituency areas, which were usually “only a poky flat or rented bedrooms”, and claimed their house allowances to London. Allowances to London were actually paid for renovation or to cover the expensive mortgage interest payment and households bills of their houses in London. It means that the MPs “main/first” houses at London were paid by the taxpayers‟ money. In fact, the biggest claim occurred at the scandal came from this “flipping address” and house refurbishment. The news was bombarded with how much money claimed by MPs and bills or receipts to be paid by the taxpayers. From the huge amount of money: £ 500,000 for the second home, or £ 16,000 mortgage that did not exist, to 5 pence of bag claim or even £5 of donation has been revealed with the specific name of MPs. Overall, the story shown in newspaper were that most MPs only want to live in luxury, differed from the constituents they are represented and show how greedy they are to claim everything. Under the terms of the Freedom of Information Act, documents for MP expenses would be released in July 2009, but details such as “addresses of MPs‟ second homes”, signature and names, are supposed to be sealed to limit from the public view. However due to the scandal, and thanks to the press, people had already knew 3 months before the official report in July 2009. The flipping and the expenses scandal were reported, mentioning to the names of MPs did such shameful behaviours. On 16 May 2009, there are expenses revealed of 51 MPs from Labour, 34 MPs from Conservative, 12 MPs from Liberal Democrats publicized by the Telegraph. When the MPs expenses scandal was revealed soon afterwards, the Cabinet members, one by one, resigned. Starting on 14 May 2009 when Mr. Andrew Mackay, the Conservative MP, resigned as senior parliamentary advisor to Mr. David Cameron when both he and his wife claimed for their homes; Mr. Elliot Morley, a former minister was suspended from the parliamentary Labour party after he claimed for £ 16,000 for a mortgage that no longer existed; then the Justice Minister Mr. Shahid Malik (15 May 2009) resigned his post after the revelation on his rental arrangement which was against the ministerial code of conduct, followed by Mr. David Chaytor, a Labour backbencher, „flipping‟ his second home for 5 different properties. Other ministers also quit, notably Mr. Jacqui Smith, the Home Secretary; Ms. Patricia Hewitt, former Health Secretary; Beverly Hughes, Children‟s minister; and Mr. Tom Watson, Cabinet office minister, all were „jumped‟ from the „sinking 16 boat‟ of Gordon Brown‟s Labour government . In 9 June 2009, most newspaper reported that there were already 13 ministers resigned from their ministerial posts. This shows that the scandal then also lead to the crisis in the Labour party. Most members revealed of not liking the leadership of 16
Source: the Guardian, 3 June 2009, page 1.
8
Prime Ministers, which is interesting issue, but it won‟t be discussed 17 further in this paper . Due to the scandal, the Speaker of the House, Mr. Michael Martin MP, was outcast from the parliament. The Speaker‟s resignation was set as the „scapegoat‟ that in order to save the face of the Westminster parliament, the figurehead of the House of Commons should be shown to be responsible for this. He is not the only one whom has wrongdoing, but as the symbol of the parliament, he has no choice other than resigned. The Speaker‟s resignation showed an example that at least something has been doing to tackle the scandal issue. The Speaker was actually, accused of „being partisan, could not manage the institution and resistant of the information and ways of transparency‟ and he was suspected of wasting taxpayers‟ money too. Unfortunately, due to the system, the Speaker could not be impeached. Thus, it is a good timing to get rid of unreformed Speaker while there is a scandal issue, even though his leave would only be a scapegoat and seen as symbolic change in the Commons. Mr. Martin was the first speaker to be forced out in 300 years. The last time something similar occurred was in 1697 with 18 the trial and execution of Speaker Sir John Trevor . Now in 2009, the Speaker of the House of Commons in Westminster Parliament was stepped down due to this political crisis. Seeing the issue of the Speaker‟s resignation, the scandal indeed has created the positive situation for sacking the person reluctant for reform and transparency, and due to this course, the House of Commons would have a chance to elect their own Speaker in secret ballots, showing the more legitimate Speaker rather than being appointed as the previous one. While there is a positive view on the Speaker‟s resignation, the steps of reform should not stop at this stage. Another interesting aspect from this scandal is that MPs are actually allowed to claim the expenses and this is not against the law. MPs claiming is within the rules and it is not is illegal. It is only not good in the view of citizens, using public money for their own interests, even living in the luxury more than the constituents that he/she represents. The expenses covered by office, notably only costs that supported the works as MPs, such travel and housing. When travelling, all MP would be taken allowances: car mileage or travel cost used and it is up to MPs how much costs they want to claim. Since 2002, the total figures of claims are publicized but not very open. People only know how much the total money each MPs has spent but it is unclear how much money to spend 17
There was no direct relations between the scandal and the dislike of Prime Minister‟s leadership. However, although based on the scandal, the controversy of resigning the post, was linked somehow to the dissatisfaction of Prime Minister‟s leadership. It seemed common to show this attitude, but most people knew that resigning was due to embarrasement of the behaviour. 18 The Guardian, 20 May 2009 page. 3 reported that Sir John Trevor was outcast as „he accepted a 1,000-guinea bribe from the City of London to put through an orphans bill.‟
9
of. For example in claiming expenses for staff, it is not clear whether MPs have 1 or 3 staffs altogether, so the numbers vary. However, since May 2009, all censored papers (copies and receipts for the last 4 years) could be accessed and this is what created the expenses domestic scandal in UK. The receipts and expenses claimed covers personal claims such as claiming for plasma television for £8000, for gardening, and for moat cleaning. Based on the explanation above, it seems that the scandal shadowing the Westminster Parliament is related to the system of expenses and the control of individual MPs. The system of claiming is already stated clearly in the Green Book, but the Fees Office still pay the furniture or the cost of cleaning part of the house (moat cleaning etc), which could be related to the cost of the second house, but it is clearly not being covered by the taxpayers‟ money. MPs have also a reasonable salary, and they are supposed to pay for the maintenance of their house themselves if they want to live comfortable in such homes. Therefore, while the system could not reject the unusual claims, there is also no control from the MPs to use only money that they need in parliamentary duties. Buying a plasma television, even though, it could be claimed as part of parliamentary duties. Most people know, though, that the TV is for entertaining and luxury of the individual MPs and this amusement is not supposed to be reimbursed by the taxpayers‟ money. For controlling the MPs‟a attitude, people may simply not elect the same person whom abused the system. At the same time, the administrative system, the Fees Office, should be independent and may pay only moneys used for the duties in parliamentary fields. It is serious but as long as the steps of reform are forced, the people confidence on parliament would be back again. There are some MPs who still have personal interests in making the most from the financial system for themselves, a part of that is public money. Learning from the case, it seems common for MPs to conduct wrong doing in terms of expenses. It might not be against any regulation, but morally it seems unwise for MPs to perform such things, especially as MPs should set an example for the people they represent. To update what happened afterwards, for example, a prominent MP from Labour Party, Shahid Malik was appointed again as Minister for Communities 19 and Local Government , after he resigned from his post as the Justice Minister due to breaching on the claimed expenses. Mr. Malik said that he was cleared from breaching ministerial code of conduct. The cases clearly have not settled down according to what people wanted, but public may use another „weapon‟, that is, not electing the same person or the same party in the next election. The most important is the reform at
19
http://www.shahidmalikmp.org/News/Shahid-Malik-appointed-to, accessed on 26 July 2009.
10
the Fees Office that this institution only could pay according to the rules and outside claims for personal amusement. IV. Steps Taken for Reform The MPs‟ expenses scandal has led to further decline in public trust in politics and government. However, it allowed the government to return to its agenda of reforming Parliament or even the constitution. Since the Labour party was elected in 1997, the statement of reform has been introduced but up until now, there has been no significant change with the way Westminster Parliament operates. Reforms introduced are associated with the parliament empowerment, changing “the balance of power from the executive towards the legislative; the efficiency of the legislative processes; the time allotted for debate; and the opportunity for 20 scrutiny the executive”. When Labour party sits in the government in 1997, the steps for reform has been in the agenda, but the reform was considered slow as there is no significant changes happen to parliament especially with the way parliament performing the oversight to the government, the scrutiny time. At that time, the Modern Committee in the House of Parliament was set up to address the issue of legislative reform such as timetable for approving the bill, the House of Lords reform, but all of the agenda remained unfinished. Therefore, with the expenses scandal rises, there is a possible way to proceed the process of reform in the parliament, and it is good timing in Gordon Brown government to proceed this, especially when the performance of Gordon Brown as Prime Minister, according to You Gov Polling (23-25 June 2009) showed the greater number of public dissatisfaction by 71%, compared to those satisfied in the number of 21 19% (with „don‟t know statement of 10%). This could be alarming if the Brown‟s government did not do anything against the scandal expenses issue. There have been two waves of reform in the Gordon Brown era, as shown by the Table below:
20
McHugh, Declan. “Parliament, Government and the Politics of Legislative Reform” in Brazier, Alex (ed) Parliament, Politics and Law Making, London: Hansard Society. 2004, p. 109. 21 Source from http://www.yougov.co.uk/extranets/ygarchives/content/pdf/DTtoplines_JUNE.pdf accessed on July 20, 09 at 11.20.
11
Picture 2 Gordon Brown and Agenda of Reform in the House of Commons
House of Commons
WAVE 1 Governance of Britain June 2007 •Moving Royal Prerogative powers to Parliament •Greater role in some senior appointment to Public Bodies. •Strengthen parliamentary scrutiny of the Intelligence and Security Committee
WAVE 2 Post-‘Crisis’ Agenda June 2009 •Shift from self-regulation to external independent statutory regulation (creation of the Parliamentary Standards Authority) •Publication of all expenses •Reform parliamentary expenses framework
Advanced Commons‟ scrutiny of government‟s legislative programme
•Statutory Code of Conduct for all MPs
• Modification to the rules for debates and questions in the chamber
•Creation of a Parliamentary Commission on Commons‟ reform
• Suggests the creation of nine regional select committees
Election of select committee members More non-government time in House Public initiation of Commons debates.
Source: Flinders, M and Kelso, A, 2009: 17.
It could be learnt from the Table that Brown‟s government has moved toward giving a greater role to the Parliament‟s committees and to improve how relations work between Parliament and government in the 22 first reform in 2007. Hazell noted, however, that „Parliamentary reform started with a bang but has ended with a whimper‟ as the reform agenda has been quiet, possibly due to disclosure of this agenda from the public scrutiny. Now, thanks to the expenses scandal and public acknowledgement the agenda of reform could proceed again. Today, the reform moved towards self-procedures for Parliament to be more accountable to public, even involving public more in parliament‟s activities
22
Hazell, Robert, “Reforming the Constitution” Political Quarterly, 72 (1), 2001, p. 39-50.
12
such as debates in Commons. It could be said that in Parliament tries to regain the public confidence over the parliament. The agenda of reform introduced after the crisis, shown in the figure, and each will be discussed below. V. Immediate Action As discussed above, the immediate action taken by the parliament for handling the issue of MPs expenses scandal is the outcast of the Speaker of the House, Mr. Michael Martin. Even though he is not the only MP who conducted the wrong doings, as the head figure, he sets the example to step down. He most likely was reluctant to do so, as he said his „resignation speech‟ only in 30 seconds, and he did not say any apology. The demand of both public and MPs from inside on immediate action for the parliamentary crisis, however, have resulted in the Speaker‟s outcast was enough to show public that the parliament is doing something as reaction to the political crisis in parliament. The immediate action for sure is needed but it should be followed by other steps to ensure that parliament in the process of reform and change from the previous ill-behaviour. How public would know if there is no steps taken following the outcast of the Speaker? A. Government Policy Reform As government members are from MPs, and the parliament only gives „dissent‟ to the legislation process, only react by government proposal/ bill, the parliamentary reform could not run without the initiation 23 from the Downing Street. Realizing this, during the Prime Minister Question Time, On June 10, 2009, in the document of „Check against Delivery‟, the Prime Minister, Mr. Gordon Brown mentioned about the plan to reform on the conduct of MPs. Mr. Brown emphasized the key points that “[MPs] are in politics not for what they can get but for what they can give” and “none of us [MPs] can do the job without trust and legitimacy sent by the constituents”. He started his remarks mentioning how important the people‟s legitimacy for the parliament, conveying that indeed the role of parliament is the constituents‟ supports. Mr. Brown sets up that the first step for reform agenda is to have transparency. Transparency would be conducted by publishing expenses (especially the second house claims) in the last 4 years and “must be scrutinized by the independent led panel”. Although, he did not mention what panel does he refers to as when the agenda of reform starts, at least his idea of transparency build up the people‟s confidence that the government would do something towards this scandal. 23
Ibid.
13
Meanwhile, during 1997-2005, a Modernization Committee has established. The work report from this committee is unknown apart that it 24 had “Modernization of the House of Commons: A Reform Programme”. While having this committee, actually it is not necessarily to establish a new committee, as long as the „old‟ committee runs effectively in addressing the scandal. However, the establishment of the new panel is probably necessary for building the new perspective for reform, especially in tackling the MPs expenses scandal. Furthermore, in the transparency program, the government emphasized that expenses claims should be restricted only for parliamentary duties and the accountability of the second jobs. The transparency is part of freedom of information practices, the greater transparency and accountability is needed for spending public money as people should know how it is spent. This is actually not a new policy as the Green Book has covered which items could be claimed, and which are not. It depends on the MPs themselves (the ethics and moralities of the MPs) whether what they claimed are considered under parliamentary duties or not, and this is so subjective. Therefore, the transparency should also cover the additional role of the Fees Office so that the personnel or the team panel in the Fees Office could judge items claimed by the MPs, as sets below. If the transparency is still handed at the MPs consents, it is likely that the abuses of expenses will happen again in the future. Apart from transparency, which highlighted the policy reform, the Prime Minister also informed that reform agenda covers: 1. The establishment of “Parliamentary Standards Authority with delegated power to regulate the system of allowances” in both the House of Commons and the House of Lords. This should end the way the members set up rules and operate them among themselves. The proposal sets as follows: take over the role of the fees office in authorizing members‟ claims; oversee the new allowance systemfollowing proposals from the Committee on Standard in public Life; maintain the register of members‟ interests; disallow claims, require repayment and apply firm and appropriate sanction in cases of financial irregularity. The steps will allow the process of scrutiny efficiency and value money in parliament‟s expenditure; 2. Agreement on “a statutory code of conduct for all MPs”. This code would clarify MPs role in relation to their constituents and parliament, detailing what the electorate can expect from their MPs and the consequences that will follow for those who fail to deliver. It will codify much more clearly the different potential offences that must be address and the options available for the sanction. This is should be 24
Brazier, Alex, Matthew Flinders and Declan McHugh, New Politics, New Parliament? London: Hansard Society. 2005, p. 90.
14
a short self-standing bill, and expected to be the first stage of legislation on constitutional renewal. The sanction available against financial misconduct or corruption and this should be update to meet the needs of the times. This regulation also affects the House of Lords for increasing the Lords‟ accountability, transparency and reduces costs. Thus, for the first time, there will be legislation for new disciplinary sanction for the misconduct of peers in the House of Lords; 3. Necessary reforms, including making Select Committee processes more democratic, scheduling more and better time management for non-government business in the house, and enabling the public to initiate directly some issues for debate. The government promised that all steps would require engaging citizens, as the top down policy could not run without the supports from most people. The reform mentioned above is likely to be good in papers. What people want to know is the „real action‟ for such agenda. The Committee is so often established, yet there is no significant change as, again, the MPs set the rules for themselves. 25 Quoted Brown‟s demands, the press exceeded that what people expected was such as: 1. Claims for mortgage interest or rent on second home will be capped at £ 1,250 per month and will be reduced in coming years; 2. Mortgage claims must be accurate, for interest only and on a continuing loan; 3. “Flipping‟ will be banned for the rest of the 2009-10 parliamentary year, meaning MPs cannot switch the designation of the main and second homes- other than in „exceptional circumstances‟; 4. MPs who are married or live together will get allowances on one second home only; 5. There will be a ban on MPs claiming for items such as furniture, household goods, gardening, cleaning and stamp duty on their second homes; 6. Only rent, hotel expenses, overnight subsistence, mortgage interest, council tax, utility bills and insurance will be permitted; 7. MPs will be instructed to be „completely open‟ with the tax man about whether a property is a second home and liable to capital gains tax; 8. A new ‟reasonableness‟ test will be brought in to better scrutinize and block dubious claims; 9. There will be an independent body to regulate MPs‟ expenses; 10. Claims will be turned down if there are any doubts about them; 11. Details of claims will be posted online every three months; 12. A separate investigation will look into the £ 18 million claimed by the members of the House of Lords.
25
Source: Metro, 20 May 2009, p. 4.
15
These steps somehow addresses on what people‟s expectation from their MPs. If the parliamentary duties are necessary, they could claim it in modest way, not for buying furniture and luxury stuffs, the MPs are expected to use their own salary, which is already more than enough. Thomas stated that: “There is much criticism of MPs in connection with their outside interests. MPs are commonly accused of having their noses in the through, seeking to enrich themselves at the public expense and going on jaunts paid for by dubious commercial interests. As we have seen, the rules have been strengthened to deal with the abuses highlighted by 26 the Nolan Committee”. The government therefore had little choice but to come forward with the reform agenda. The government creates “a Parliamentary Standards Authority, a statutory Code of Conduct for MPs, the publication of all expenses, and the establishment of a Parliamentary Commission on 27 Commons Reform”. The pressure on Brown‟s government becomes higher as there is no much time for the government unless to react now, as his official term is not long before the election time possible before May 2010. The MPs expenses scandal changed the way parliament behave and it is expected that before the sitting session in October 2009, the parliament may start the new day with the „fresh‟ start. B. Parliamentary Reform The government has set up the agenda reform would accordingly affect to all members of parliament. Within the parliament itself, the debate is on reforming the working hours in the parliament [Commons] (Moran: 2005: 214). Furthermore, as continuous plan of the reform, there is a debate whether MPs should work full time or may have second jobs. Having a full time MPs would certainly made them focus on what they are doing in legislation and oversight the government, but this arguably that even if MPs have stayed in the parliament house, it is unsure that the product of legislation would be better than now. They are would be weaker, but Lord 28 Ahmed said that he would like to see full-time MPs in the Westminster Parliament. Dealing with work in the house of Parliament and visiting constituents are already hard, so you won‟t have time to think about 26
Thomas, op.cit., p. 99. Flinders, Matthew and Alexandra Kelso, Institutional wedges: Understanding spillover dynamics and the role of crises in a legislative context, the paper presented to the Parliaments and Legislatures Specialist Group Annual Conference, Department of Political Science, University College London, 24 June 2009. 28 Interview with Lord Ahmed of Rotherham, the first Muslim peer in the House of Lord (June-July 2009). 27
16
second job. That is why the salary in the Parliament house is similar to middle class rank in the job market. Another argument is like the present situation where MPs may have their outside activities in order to help them better-informed and more effective. “If they were to become full-time MPs, exclusively dedicated to Westminster, they would lose touch with the wider world and less able to fulfill the multitude of tasks that they are required to 29 30 perform”. Moreover, Moore also pointed out that in order to have better legislation process once again, “MPs should have almost no allowances, and modest wages. In return, they should be free to earn money by other means, so long as we know what those means are. They will learn much more about the rest of life than if they sit in Westminster all day and all night. The privileges they should be granted are of power, not money”. Those whom favor of the view, is supported again in the The 31 Nolan Committee Report, stating that: 1. MPs could only take up outside employment that did not directly relate to their parliamentary role; 2. There should be a ban on MPs working for lobbying companies; 3. Although there should be a blanket ban on MPs working as political consultants, each case should be considered on its merit. Each MP should declare payments received for consultancy work; 4. MPs should be required to list their interests in the Register in a much clearer and more comprehensive fashion. The Register should be regularly updated and the information made more widely available; 5. Ex-Cabinet ministers should seek permission to take jobs within two years of leaving office. Based on those views, it is likely that MPs are allowed to take second jobs as long as it is accountable meaning that it is not breached the parliamentary role and could be accountable. I tend to agree on this view because MPs works is based on dedication to public. The works are supposed to be for public service works, and it could be without payment. The salary for the Mps should be modest, similar to most people they represented. If MPs want to seek money, they should not be an MP, but taking another job. Perhaps the most significant recommendation was that an independent Parliamentary Commissioner for Standards should be appointed, who would administer a code of conduct for MPs, handle complaints about their conduct and clarify the legal position concerning bribery. This is a breakthrough in Westminster Parliament, and the plan is in process including experts and academicians in the team recruitment. VI. Lesson Learnt for Parliament in Handling the Crisis 29
Thomas, op.cit. Moore, op.cit. 31 Thomas, op.cit., p. 88. 30
17
Parliament faced many criticisms that they have interested in things outside their main roles. They are accused of “having their noses 32 in the through, seeking to enrich themselves at the public expense, and this MPs expenses scandal confirm this view. While the criticism is quite strong, it actually cannot be said that MPs are „all the same‟ or „just in it 33 for themselves‟, there is an individual character driven the ambition. The expenses scandal reported by the newspaper also has two stories. While reposting the „greedy‟ MPs, there are also MPs which is clean and prefer not to claim their expenses even though it is for parliamentary duties. They are never claimed for second home allowances even though according to the rule they are admitted to do so. Furthermore, there are also factors beyond the control of individuals. The system in claiming expenses and allowances could be the cause why there are so many MPs did similar things: claiming furniture and amusement. If the system, and the Fees Office refused the expenses outside what is stated in the Green Book (a guide to Members‟ Allowances), the scandal would probably not happen. It is already clear that cleaning the moat, buying luxury furniture or television set are not covered as the expenses claim. The political scandal has happened, but there is always lesson derived from this. In its editorial note, The Daily Telegraph shows that while “level of greed, deception, self-deception and in some cases dishonesty (of the MPs) are covered”, it could be said confidently that “parliament could be saved” and it could start with “the clean house”. The optimism is quite natural as the revelation of this scandal as Moore pointed out that people as voters can choose and list MPs: „the good, the bad, and the in-between‟ and later could ask the political parties to list only clean MPs, and this could also be conducted in election day, in the ballot paper in order to get MPs that we want. The breaking point that the parliament does is that the bill of Parliamentary Standard Bill. This bill will “create new system for administration of salaries, allowances, and the registration of financial 34 interest of members of House of Commons” . The bill proposes to establish the Independent Parliamentary Standards Authority (IPSA) and a Commissioner for Parliamentary Investigations. This will replace the existing, non-statutory office of Parliamentary Commissioner for Standards set up in 1995, by the recommendation from the Committee on Standards in Public Life. The bill also discusses many issues, among others, on recommendations to the government on amending clauses on the code of conduct, to recognize the principle of self-regulation in the House of Lord, the membership of IPSA, publishing a draft bill and accountability. 32
Thomas, op.cit., p.99. Rosenblatt, op.cit., p.8. 34 The Parliamentary Standard Bill from The House of Lord, dated on 2 July 2009. 33
18
With this kind of accountability, MPs would be careful in their conduct as there a necessary review of the creation of new criminal if MPs breaching the expenses regulation. In the bill, the indicators of accountability are inserted in the appendix, in separated from the bill. In addressing this issue, the parliament represented by Gordon 35 Brown, showed the humility , and asked for mercy, stated that he needed to „play to [the] strengths and address [the] weaknesses‟. Humility is likely worked very well. Brown survived as Prime Minister, and the demand for him to step down was reduced after he admitted to have done wrong doings. The disclosure of humility, in contrast to show weakness, turned effectively for Brown, so people saw him a „human being‟ who does not free from mistakes. Thus, as long as he admitted his wrongdoings and not too stubborn to deny them, then it could work perfectly. Gordon Brown saved his position, at least as an MP. Another value that could be derived from this issue is that acceptance of the accusation. Gordon Brown in his speech admitted that he is wrong. He showed in humbleness that what MPs did was wrong and then, both government and people should work together to address this issue. Based also from his speech above on steps for reform, he emphasizes this on “proving that MPs have learnt and changed”. He asked citizens to move on from this, and do not revolve on this issue and steps of reform is on the way. 36 Norton has conveyed that “parliament matters in the relations to government formulation and citizen”. Therefore, parliament as institutional could not be dissolved just like even though the political crisis hit really hard. Parliament is distinctive and in order to save it, we could empower it, not with money, but with clear guidelines of how parliament should perform towards the government. Point to be emphasized here is that while there is MPs expenses scandal, with public scrutiny, it is likely that the reform agenda would run in the parliament. In fact, according to Hansard Society Report, the scandal which affected to the public satisfaction and perception towards MPs and parliament, has not reduced the trust towards politicians and 37 politics. What can DPR learn from this? The answer is many. As we know that in the middle of 2008, DPR was also alleged of money scandal or bribery scandal related to the election of Miranda Swaray Goeltom as
35
The Times newspaper dated on 9 June 2009 p.1. Norton (1993), op.cit., p. 202. 37 http://www.hansardsociety.org.uk/blogs/press_releases/archive/2010/03/03/mpsexpenses-scandal-has-mixed-results-march-32010.aspx?utm_source=September+2008+newsletter+list&utm_campaign=b735b37b65eNewsletter_March_2010_3_19_2010&utm_medium=email. MPs' expenses scandal has mixed results - March 3, 2010, the decline in relevance of Parliament - but Parliament „worthwhile'. 36
19
38
senior deputy of the central bank for the second term back in 2004 . This scandal was opened due to the confession of a former legislator from the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P), Agus Condro, who admitted to have received traveler‟s checks worth a total of 500 million rupiah right after Miranda was elected in the post. Agus Condro admitted that members of the Finance and Banking Commission (Komisi IX), mostly from PDIP faction, received the bribed money. Later, Hakam Naja, DPR member from National Mandate Party (PAN) also revealed such scandal supported to what Agus Condro had said. Hakam Naja‟s statement indicated that the bribery scandal was likely affected to most members in the Commission. This allegation was big as it implicated one of the biggest political parties in DPR and the DPR Commission (Komisi IX), thus indirectly it related to the whole DPR as parliamentary institution. According to Husodo (2008) from ICW-Indonesian Corruption Watch, money scandal in DPR is hard to disclose if the members did not admitted the case themselves, just like Agus Condro did. However, as often in Indonesia‟s case, most money scandal (or corruption allegation) 39 in DPR was „swept under the carpet‟ and remained to be unresolved. The bribery case was conducted in 2004, and revealed in 2008, but yet until now in 2010, the case is yet to be finished. Despite the differences of UK‟s parliamentary system and Indonesian‟s presidential system, there are some kinds of similarities between the two. Both Westminster and DPR are parliament institution, meaning that as a parliament, they perform legislating, budgeting and oversight function to the state. Furthermore, as discussed above, the parliamentary members at Westminster are composed by party leaders, or public figure at the national level. We all realised that recent members of DPR members are figures also from Jakarta, instead of prominent figures in the regions. This explained why during the election time, and within the new election system (elected based on party and popularity votes), most candidates ran to the constituency regions in order to be noticed by voters, as most of them are not native residents to the regions. Last but not least, the similarity comes from the legislation product is normally rest upon executive‟s agenda. This is normal in UK as it is parliamentary government and government prefers products of legislation supported its policy come in advance. However, in Indonesia‟s DPR, despite its presidential system, legislations also come from the executive. This mechanism is mentioned in the Constitution (article 20) that legislation process is conducted between the President (government) and DPR to reach common agreement. This kind of system involved both 38
Source Koran Tempo, 5 September 2008, and many newspapers sources: Kompas, Antara, Tempo online etc. 39 Ziegenhain, Patrick. The Indonesian Parliament and Democratization, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. 2008, p. 163.
20
party to discuss every matters, and to cover complete issue, the bill come mostly from the government‟s drafts. Thus, based on common similarity, DPR could apply this reform mechanism from British parliament if there is an expenses scandal or corruption issues. It is quite often to hear corruption news from DPR members, and people fed up with such corrupt attitude, yet there is no significant change to tackle this issue. Most politicians and government tend to ignore this matter, despite President Yudhoyono‟s persistence in tackling the corruption issues. Regarding to the bribery scandal stated above which affected to DPR members and Commission, PDIP opposed to the fact and discharged Agus Condro from the party‟s membership. Most names of PDIP members suspected to the case, such as Panda Nababan (Secretary Faction of PDIP) and Tjahjo Kumolo (Head of PDIP Faction) denied to be related to the case. Even worse, the PDIP leadership, Megawati stated that what Agus Condro- the whistle-blower of the case, 40 said was not from the official party statement . This attitude showed us that members within the political party, which still favour the leadership kinship and network, reluctant to reform and risk to be involved in money scandal. Moreover, the leadership did not showed humility, like Gordon Brown. While Gordon Brown confessed, Megawati denied the case. While most members in British parliament resigned from the post, most members in DPR denied that they were involved in the scandal. With these differences, it is quite obvious that DPR could not be cleaned from money scandal and it always risks in political buying as there is mechanism of electing persons sitting in important position, such as senior deputy of the central bank etc. While money scandal mostly happened in DPR and people are fed up with the corruption case, it is so ashamed that such cases did not change the attitude of DPR members. While the accused members denied to the corruption happening, it is unlikely to affect the position of DPR Speaker. As described above, in UK parliament, when the money scandal happened, the Speaker stepped down as sign of immediate action and reform in parliament. In Indonesia, with the example of the bribery case, the Speaker did not, or did not want to, leave from the post. DPR could do, for example, to outcast a corrupt person from the membership of parliament if s/he alleged to corruption case. DPR could also set up a committee to scrutinize the expenses scandal, without waiting for police of any institution to set a committee. A committee in parliament set up for the sake of parliamentary constitution that once committed to the reform and clean institution should be free from scandal and misbehaviour, especially expense scandal. The committee in the parliament, later, would be able to put transparency program both in the 40
Tempo Online, edisi 30/XXXVII/15-21 September www.tempo.co.id/hg/mbmtempo/free/utama.html, accessed on March 31, 2010.
2008,
21
parliament and the secretariat and revised the Code of Conduct for better parliament. If lesson is indeed learned in the parliament, we could see what happened in the British parliament, that while there is a confession to the wrong doings, and showed the willingness and commitment for the (better) reform, public would welcome such steps. Indonesia perhaps need more time to adjust this kind of policy and people should be patient to wait the reform action in parliament. VII. Conclusion The expenses scandal has humiliated the British parliament but this does not mean that parliament should be abolished. Instead it shows that scandal could be a step for parliament to reform for better. To sum up this paper, I would like to conclude that: first, the expenses scandal stands the bases for parliament to reform for better. The reform agenda for parliament has been „announced‟ in 1997 but no significance change since then, and this scandal could be the start as the scandal not only affected the MPs (and political parties) but the people also watch and monitor the development of resolving the issue. Resolving the issues of the expenses scandal would determine the future of British Parliament as the citizens only tend to vote the „clean‟ MPs. This was proved in the election this year (May 2010) that due to the money scandal in 2009 Labour party was lost in election against the coalition party (Conservative and Lib-Dem) so that the parliament starts with the clean and new members. The vote-swing to another political party was possible thanks to the scandal. Second, in addressing the money scandal, the government put action quickly in handling this issue by: requested the Speaker to step down as a symbol of parliament to reform; set-up a committee for reform including to amend the regulation for financial accountability and Pay Office regulation. Third, MP‟s alleged to the money scandal resigned from their post both as members of parliament and ministers, and the party leadership said sorry and admitted the humility to all citizens. And fourth, despite the good lesson-learn for addressing the money scandal, Indonesia‟s DPR could not follow such conduct. In the money scandal, the members of parliament at Westminster resigned but DPR members refused, even though the tendency to be involved was quite strong. While the party leadership admitted the wrong doings to all people, in Indonesia, the political party leadership did not admitted, even condemned the „whistle-blower‟ to ruin the party reputation. Therefore, while in Westminster, the Speaker stepped down from his position, the case of DPR Speaker would resign amidst to the money scandal is likely to be only a little chance.
22
Finally, I would argue that the different ways of handling the similar scandals by the two parliaments reflect different political cultures and systems despite the similarity as parliamentary institutions. Based on the conclusion, it would be pleasant to provide recommendation for DPR to follow conduct as what British parliament did in overcoming the case of money scandal. However, this is not adequate as the political culture is different. As a consequence, the resign and admittance from the DPR members involved in the money scandal, even the resigning of the Speaker as a result of the scandal will need more time to do, probably if Indonesia has mature democracy as in developed countries. Indonesia still needs time to follow the step in „reforming‟ the parliament‟s DPR. The point could be noted also from this article is that “parliament could be saved” and after tackling some issue, such as the enactment (it is still in the discussion now) of the Parliamentary Standard Bill later, could set as a breakthrough. The content of the Parliamentary Standard Bill has consisted clauses that most citizens wants from their MPs. Political crisis may turn into positive and British parliament could start with the „clean house‟ afterwards. If only Indonesia‟ DPR arrived this stage, parliament in Indonesia could start the „clean house‟ from scandal and corruption too.
23
Reference Ian Bache and Andrew Jordan, “Britain in Europe and Europe in Britain,” in Ian Basche and Jordan, Andrew (eds) The Europeanization of British Politics, New York: Palgrave Macmillan, 2006. Alex Brazier, Matthew Flinders and Declan McHugh, New Politics, New Parliament? London: Hansard Society, 2005. Simon Bulmer and Martin Burch, “Central Government” in Ian Basche and Andrew Jordan, (eds) The Europeanization of British Politics, New York: Palgrave Macmillan, 2006, page 37-51. Matthew Flinders and Alexandra Kelso, Institutional Wedges: Understanding Spillover Dynamics and the Role of Crises in a Legislative Context, the paper presented to the Parliaments and Legislatures Specialist Group Annual Conference, Department of Political Science, University College London, 24 June 2009. Robert Hazell, “Reforming the Constitution” Political Quarterly, 72 (1), 2001. Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries. New Haven and London: Yale University Press, 1999. Declan McHugh, “Parliament, Government and the Politics of Legislative Reform” in Brazier, Alex (ed) Parliament, Politics and Law Making, London: Hansard Society, 2004. Charles Moore, “The House of Commons is Ours, not Theirs. Don‟t Ruin It, Reclaim It”. The Daily Telegraph, 16 May 2009 page 26. Michael Moran, Politics and Governance in the UK, Great Britain: Palgrave Macmillan, 2005. Philip Norton, Does Parliament Matter? New York: Harvester Wheatsheaf,1993. Philip Norton, Parliament in British Politics, New York: Palgrave Macmillan, 2005. Gemma Rosenblatt, A Year in the Life: From Member of Public to Member of Parliament, Great Britain: Hansard Society, 2006. Michael Rush, Parliament Today, Manchester: Manchester University Press, 2005. Graham P Thomas, Parliament in an Age of Reform, Sheffield: Sheffield Hallam University, 2000. Philip Webster, “Humility wins the day for Brown as MPs back down”. The Times, 9 Juni 2009 page 1. Michael Zander, The Law-Making Process, Cambridge: Cambridge University Process, 2004. Patrick Ziegenhain, The Indonesian Parliament and Democratization, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2008. Internet Sources: 24
Deborah Summer, "European Elections: Brown Faces Leadership Battle Amid Labour Meltdown and BNP Success", The Guardian, http://www.guardian.co.uk/politics/2009/jun/07/europeanelections-gordon-brown, accessed on July 15 2009. Hamish Macdonell, 21 December 2002, McLeish in £30,000 pay-off scandal, (online), http://news.scotsman.com/fallofafirstminister/McLeish-in-30000payoff-scandal.2388089.jp, accessed on 8 June 2009. Hamish Macdonell, 22 March 2003, McLeish clear on Officegate, (online) http://news.scotsman.com/henrymcleishsofficegateaffair/McLeish -clear-on-Officegate.2412735.jp, accessed on 8 June 2009. Hansard Society on Reform Agenda http://www.hansardsociety.org.uk/blogs/hansard_in_the_media/a rchive/2009/05/29/hansard-society-commons-reformagenda.aspx accessed: 8 June 2009 at 8pm. Hansard Society on MPs‟ Expenses Scandal: http://www.hansardsociety.org.uk/blogs/press_releases/archive/2010/03/ 03/mps-expenses-scandal-has-mixed-results-march-32010.aspx?utm_source=September+2008+newsletter+list&utm_ campaign=b735b37b65eNewsletter_March_2010_3_19_2010&utm_medium=email accessed: 4 March 2010. Hansard Society on New Briefing on House of Commons Reform http://www.hansardsociety.org.uk/blogs/publications/archive/2009 /06/15/new-briefing-on-house-of-commons-reform.aspx, accessed on 15 July 2009 at 8.52 pm. Kompas newspaper, corruption info : http://www.kompas.com/read/xml/2008/07/01/06170344/bulyan. menambah.daftar.kasus.korupsi.anggota.dpr), accessed July 1, 2009. MP Profile: Shahid Malik: http://www.shahidmalikmp.org/News/ShahidMalik-appointed-to, accessed on 26 July 2009. UK Parliament http://www.parliament.uk/about/how/members/standards.cfm, accessed on July 20, 2009 at 2.46 pm. Bulletines: The House of Lords (2009) Parliamentary Standards Bill: Implication for Parliament and the courts, Report on 8 July 2009 [HL Paper 134]. The House of Lords (2009) Parliamentary Standards Bill, Explanatory nd notes, the House of Commons on 2 July 2009 [HL Bill 60]. The House of Lords (2009) Parliamentary Standards Bill, A Bill (Green nd Paper) the House of Commons on 2 July 2009 [HL Bill 60]. YouGov Polling 23-25 June 2009. 25
Newspaper: Adnan Topan Husodo, “Skandal DPR-bank Indonesia Jilid II”, Koran Tempo, 5 September 2008. Sir John Trevor Insert, The Guardian, 20 May 2009 page. 3. The Guardian, 3 June 2009 page 1. The Times, 9 June 2009 page 1. “The Expenses Files Investigation”, The Daily Telegraph, 16 May 2009.
26
KINERJA KEUANGAN BANK PEMBANGUNAN DAERAH SUMATERA BARAT, KALIMANTAN SELATAN, DAN NUSA TENGGARA BARAT Juli Panglima Saragih
1
Abstract Local government-owned banks (Bank Pembangunan Daerah) have an important role in boosting local economy development. In response with a tighter competition, BPDs are argued to be able to keep on increasing their assets, as well as capital, and better managing their financial performance in order to penetrate local market to become market leaders rather than market followers. This meant that they must be able to run their business thoroughly and share more contributions from the profits they obtained to the local government revenue. This research focuses on analyzing financial performance of BPDs in the provinces of Sumatera Barat, Kalimantan Selatan and Nusa Tenggara Barat. It includes a comparative analysis to reveal those which can fully run its business very well. Kata kunci: Kinerja Keuangan, Neraca, Laporan Keuangan, Bank Pembangunan Daerah I.
Pendahuluan
A. Latar Belakang Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah, banyak pemerintah daerah mendirikan Badan Usaha Milik daerah atau BUMD (local government-owned enterprise). Perusahaan yang didirikan daerah-daerah memiliki bentuk badan hukum yang berbeda-beda. Ada yang berbentuk perseroan terbatas (PT) dan ada pula yang berbentuk perusahaan daerah (PD). Sebelum otonomi daerah diberlakukan, BUMD yang sudah berdiri antara lain perusahaan daerah air minum (PDAM), perusahaan daerah pasar (PD Pasar), dan bank pembangunan daerah (BPD). Saat ini ada pemerintah daerah yang mendirikan bank perkreditan rakyat sebagai perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas, seperti Pemerintah Kota Bandung. Sekarang hampir setiap daerah provinsi mendirikan perusahaan daerah bank pembangunan 1
Penulis adalah Peneliti Madya Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data & Informasi (PPPDI), Sekretariat Jenderal DPR RI. E-mail: .
1
daerah, yang berbadan hukum perseroan terbatas atau berbentuk perusahaan daerah. Sejak tahun 1969 undang-undang tentang perusahaan daerah tersebut dicabut oleh pemerintah dan sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan penggantinya. Setelah dicabutnya undang-undang tersebut, setiap pembentukan/pendirian BUMD baru oleh pemerintah daerah ditetapkan melalui peraturan daerah (Perda). Sebagaimana diketahui setiap peraturan daerah harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sampai saat ini, baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota kini masih memiliki perusahaan daerah. Tujuan pemerintah daerah mendirikan perusahaan daerah, antara lain untuk menjalankan pelayanan publik—sebagai tanggungjawab pemerintah daerah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, seperti pendirian perusahaan daerah air minum (PDAM). Tujuan lainnya adalah untuk mencari keuntungan, baik untuk kepentingan perusahaan maupun untuk menambah pendapatan daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Adapun kinerja BUMD di daerah saat ini berbeda-beda. Ada yang masih mampu memperoleh untung, tetapi ada juga BUMD yang rugi. Hasil penelitian Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pengelolaan dan kinerja BUMD yang ada hingga tahun 2004, secara keseluruhan mencapai 669 BUMD, dengan total aset sebesar Rp 83,2 triliun. Tetapi persebaran asetnya tidak merata, hanya terkonsentrasi pada bidang usaha tertentu. Dari total nilai aset tersebut, sebanyak Rp 74 triliun merupakan aset BUMD yang bergerak di bidang perbankan dan jasa keuangan yang jumlahnya hanya 96 unit usaha Bank Pembangunan Daerah (BPD) maupun Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Itu artinya, 16 persen dari seluruh unit usaha BUMD yang ada menguasai 89 persen aset keseluruhannya. Di sisi lain, BUMD yang bergerak di penyediaan air minum, yaitu PDAM, yang jumlahnya mencapai 348 atau 52 persen, nilai asetnya hanya Rp 7,2 triliun atau sekitar 9 persen saja dari keseluruhan aset. Begitu juga dengan BUMD yang bergerak di bidang usaha lain-lain, seperti pasar, terminal, perindustrian, pertanian, perdagangan, pertambangan, dan 2 sebagainya, jumlahnya 223 BUMD atau 33 persen. BUMD yang bergerak di bidang usaha perbankan dan jasa keuangan sudah bisa mendatangkan keuntungan. Pada tahun 2004, misalnya, keuntungan dari BPD dan BPR milik pemda secara kumulatif sebesar Rp 5,5 triliun. Sedangkan, PDAM justru merugi dengan nilai kumulatif mencapai Rp 1,7 triliun. Di samping rugi, seluruh PDAM juga masih berutang ke pemerintah pusat dalam jumlah sangat besar, sekitar Rp 6 triliun. Artinya, jika pemerintah pusat tidak memberi keringanan dan semua utang PDAM harus dibayar, seluruh aset mereka akan habis. Sementara itu, sebanyak 2
Lihat Reformasi dan Revitalisasi BUMD, dalam ., diakses pada tanggal 5 Januari 2010
2
223 BUMD yang bergerak di bidang usaha di luar perbankan dan air minum hanya mampu membukukan laba Rp. 561 miliar. Dengan pengelolaan dan kinerja yang amburadul seperti itu, tentu saja tujuan dari dibentuknya BUMD justru semakin jauh. Alih-alih mendorong pertumbuhan ekonomi daerah dan mendongkrak penerimaan PAD, justru anggaran dan belanja daerah yang sering digerogoti. Secara nasional, dari tahun 2000 hingga 2002 kontribusi dari laba BUMD kurang dari 1 persen terhadap penerimaan APBD provinsi. Untuk tingkat kabupaten/kota bahkan lebih rendah lagi, cuma 0,3 persen. Sementara itu, terhadap PAD provinsi, kontribusi laba BUMD rata-rata 3 hanya mencapai 2 persen, dan di tingkat kabupaten/kota 2,6 persen. BPD Sumatera Barat, BPD Kalimantan Selatan dan BPD Nusa Tenggara Barat merupakan tiga perusahaan daerah yang diteliti dari aspek kinerja keuangannya. Baik buruknya kinerja keuangan suatu bank pembangunan daerah akan berpengaruh terhadap pendapatan daerah dalam APBD. Karena salah satu komponen pendapatan daerah berasal dari bagian laba BUMD. B. Permasalahan Penelitian Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah mengkaji kinerja keuangan BPD di ketiga provinsi di atas (BPD Sumatera Barat, BPD Kalimantan Selatan dan BPD Nusa Tenggara Barat), yang berimplikasi terhadap kinerja perusahaan secara keseluruhan. Penelitian ini tidak membahas hubungan atau pengaruh kinerja keuangan ketiga BPD di atas terhadap dengan Pendapatan Asli Daerah dari ketiga provinsi tersebut. C. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan pokok penelitian adalah apakah ketiga BPD tersebut mampu meningkatkan kinerja keuangannya dengan memanfaatkan aset, modal dan segala sumber daya yang dimiliki untuk meningkatkan pendapatan operasional dan laba perusahaan ?. D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan penelitian ini antara lain adalah: 1) untuk menganalisa kebijakan pemerintah daerah yang berkaitan dengan pengelolaan BPD di Sumatera Barat, BPD di Kalimantan Selatan dan BPD Nusa Tenggara Barat dengan mengkaji rencana dan strategi kebijakan perusahaan BPD yang akan ditempuh untuk meningkatkan kinerja BUMD. 2) untuk mencari masukan dari daerah dalam rangka adanya rencana pembahasan draft RUU tentang BUMD yang akan dilakukan oleh DPR RI. Sedangkan kegunaannya adalah sebagai masukan
3
Ibid.
3
dalam rencana reformasi perusahaan daerah, khususnya bank pembangunan daerah sebagai BUMD. II. Kerangka Pemikiran A. Profitability Ratio dan Liquidity Ratio Kerangka teori yang digunakan dalam tulisan ini adalah analisa laporan keuangan dengan menggunakan Profitability Ratio dan Liquidity Ratio. Dalam teori ini, neraca dan laporan keuangan sangat penting sebagai alat untuk mengukur kinerja keuangan suatu perusahaan atau kinerja organisasi secara keseluruhan. Analisis terhadap laporan keuangan suatu perusahaan pada dasarnya ingin mengetahui tingkat profitabilitas dan tingkat resiko atau tingkat kesehatan suatu perusahaan. Analisis laporan keuangan yang mencakup analisis rasio keuangan, analisis kelemahan dan kekuatan di bidang finansial akan sangat membantu dalam menilai prestasi manajemen masa lalu dan prospeknya di masa datang. Laporan keuangan yang disusun secara baik dan akurat dapat memberikan gambaran keadaan yang nyata mengenai hasil atau prestasi yang telah dicapai oleh suatu perusahaan selama kurun waktu tertentu, keadaan inilah yang digunakan untuk menilai kinerja keuangan. Apalagi informasi mengenai kinerja keuangan suatu perusahaan sangat bermanfaat untuk berbagai pihak, seperti investor, kreditur, pemerintah, pemegang saham bank, pihak manajemen sendiri dan pihak-pihak lain yang berkepentingan. Arti penting analisis laporan keuangan adalah sebagai berikut: 1. bagi pihak manajemen: untuk mengevaluasi kinerja perusahaan, kompensasi, pengembangan karier 2. bagi pemegang saham: untuk mengetahui kinerja perusahaan, pendapatan, keamanan investasi. 3. bagi kreditor: untuk mengetahui kemampuan perusahaan melunasi utang, baik jangka pendek maupun jangka panjang beserta bunganya. 4. bagi pemerintah: pajak, persetujuan untuk go public. 5. bagi karyawan: penghasilan yang memadai, kualitas hidup, keamanan kerja 1. Profitability Ratio (Rentability Ratio) Yang dimaksud dengan Profitability Ratio adalah analisis rasio yang menunjukkan kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba dalam periode tertentu. Untuk mengukur tingkat kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba digubakan informasi neraca dan laporan kuangan atau laporan laba/rugi yang diterbitkan setiap tahun
4
atau suatu periode tertentu. Rasio profitabilitas ini identik dengan 4 rasio rentabilitas (rentability ratio). The profitability ratios are the basic bank financial ratios. Profitability ratios are the financial statement ratios which focus on how well a business is performing 5 in terms of profit. Konsepsi di atas dapat dikatakan bahwa rasio profitabilitas merupakan rasio laporan keuangan yang memfokuskan pada bagaimana kinerja profit suatu perusahaan atau usaha bisnis. Rasio profitabilitas ini juga merupakan alat ukur kemampuan keuangan perusahaan atau usaha bisnis dalam mengevaluasi kemampuannya menghasilkan keuntungan setelah dikurangi berbagai pengeluaran atau biaya dalam suatu periode tertentu. Apabila suatu perusahaan atau usaha bisnis dapat memperoleh laba lebih besar atau sama dengan perolehan laba peride sebelummnya, maka usaha perusahaan tersebut telah berjalan dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari Gross Profit Margin atau Marjin Laba Kotor. Sedangkan Return on Equity (ROE) adalah variabel laba atau rugi setelah pajak dibagi dengan ekuitas (modal) dalam jangka waktu tertentu. Rasio profitabilitas lain adalah Return on Asset (ROA). Return on Assets is to tell how the assets of the firm are used most effectively to earn profit. The mathematical formula for return on assets is: -Return on Assets = (Net Income /Total Assets). Return on Assets ratio provides a standard for evaluating how efficiently financial management employs the average dollar invested in the firm's assets, whether the dollar came 6 from investors or creditors. Dari konsep/definisi di atas dapat dikatakan, ROA merupakan salah satu rasio atau indikator untuk mengukur perbandingan antara asset dengan laba yang diperoleh perusahaan dalam suatu periode tertentu (biasanya satu tahun buku). Semakin besar laba yang diperoleh semakin besar nilai ROA. Artinya jumlah aset yang dikelola mampu menghasilkan laba yang diperoleh. Untuk memperkuat konsepsi di atas, kita dapat menyimak kutipan sebagai berikut: Return on Assets (ROA) shows the after tax earnings of assets and is an indicator of how profitable a company is. Return on assets ratio is the key indicator of the profitability of a company. It matches net profits after taxes with the assets used to earn such profits. A high percentage rate will tell you the company is well run and
4
Budi Rahardjo, Laporan Keuangan Perusahaan, Penerbit Gajah Mada University Press, Yogyakarta, Cetakan ke-2 Januari, 2005., hal. 122-123 5
, diakes tanggal 11 Janiuari 2010 ., diakses tanggal 13 Januari 2010
6
5
has a healthy return on assets. This ratio is calculated using the following formula: Net Profit After Taxes ÷ 7 Total Assets. 2. Rasio Likuiditas (Liquidity Ratios) Yang dimaksud dengan rasio likuiditas adalah kemampuan suatu perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangannya yang harus segera dipenuhi, dalam jangka pendek atau satu tahun terhitung sejak tanggal Neraca perusahaan (balance of sheet) dibuat. 8 Kewajiban atau hutang jangka panjang yang ada dalam neraca dapat dipenuhi atau ditutup dari aktiva lancar yang juga berputar dalam jangka pendek. Rasio likuiditas dihitung dengan menggunakan 9 data neraca perusahaan. Ada beberapa formula rasio likuiditas yakni: rasio lancar (current ratio) dan rasio cepat (quick ratio). Rasio lancar adalah perbandingan antara aktiva lancar dengan kewajiban lancar. Rasio cepat adalah perbandingan antara aktiva lancar setelah dikurangi 10 persediaan dengan kewajiban lancar (current liablity). Pengertian ini sama dengan definisi rasio liquiditas yang dijelaskan dalam uraian di bawah ini. The Liquidity Ratios are the basic bank financial ratios. Liquidity ratios are the financial statement ratios which measure the ability of a business to meet its short term financial obligations on time. Formula Liquidity Ratio is 11 Current Asset / Current Liability. Neraca dan laporan rugi atau laba merupakan salah satu alat untuk memberikan informasi mengenai keadaan keuangan suatu perusahaan pada periode tertentu. Informasi dari laporan keuangan dan neraca tersebut, mempunyai arti yang penting bagi pihak yang berkepentingan. Bagi BPD sebagai suatu usaha yang bergerak di sektor perbankan, analisis laporan keuangan merupakan proses yang sangat penting yang tidak bisa dipisahkan dari analisis kredit. Hal ini disebabkan karena analisis laporan keuangan mempunyai tujuan agar resiko dalam pemberian kredit seperti adanya ketidakpastian di masa mendatang dapat diperkecil. Sehingga tujuan pemberian kredit dapat tercapai baik dari segi keamanan, yaitu kredit yang telah diberikan dapat dikembalikan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan, dan dari segi profitabilitas yaitu kredit yang diberikan dapat memberikan keuntungan bagi kreditur berupa bunga. Rasio profitabilitas adalah rasio yang menunjukkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba selama periode 7
, diakses tanggal 13 Januari 2010 Budi Rahardjo, op cit., hal., 120-121 9 Ibid 10 Ibid 11 , diakses pada tanggal 15 Januari 2010 8
6
tertentu. Rasio ini bisa dikatakan sampai seberapa efektif seluruh manajemen dalam menghasilkan laba untuk perusahaan. Baiknya Profit Margin (PM) dan Return on Equity (ROE) menunjukkan adanya kinerja perusahaan yang efektif dalam menghasilkan laba karena nilai rasionya lebih besar daripada rata-rata industri sejenis. Sedangkan kinerja perusahaan dalam mengelola aset adalah buruk jika ROA memperlihatkan nilai rasio yang lebih kecil dibandingkan rata-rata industri sejenis. Hal ini menunjukkan ketidakefisiensian dalam mengelola aset untuk menghasilkan laba secara proporsional meskipun nilai PM dan nilai ROE memperlihatkan hasil yang baik dibandingkan dengan rata-rata industri. Analisis laporan keuangan suatu perusahaan sangat diperlukan dalam pengambilan keputusan dan kebijakan manajemen perusahaan. Sebagai suatu organisasi, kegiatan usaha perusahaan harus dapat mencapai tujuan perusahaan sesuai dengan visi dan misi perusahaan, termasuk bagaimana manajemen mengelola modal untuk mendapatkan laba. Pengelolaan modal perusahaan guna memperoleh laba merupakan salah satu fungsi dari manajemen keuangan dalam perusahaan. Sedangkan pengertian manajemen keuangan (financial management) adalah aktivitas perusahaan yang berhubungan dengan bagaimana memperoleh dan menggunakan dana, serta mengelola aset serta modal (equity) sesuai dengan tujuan perusahaan mencari keuntungan (profit) dan tujuan perusahaan secara menyeluruh. Fungsi utama manajemen keuangan adalah: 1) Investment Decision: yakni keputusan terhadap aktiva apa yang akan dikelola oleh perusahaan; 2) Financing Decision, yakni keputusan yang berkaitan dengan penetapan sumber dana yang diperlukan dan penetapan perimbangan pembelanjaan yang terbaik (struktur modal yang optimal); 3) Assets Management Decision: yakni keputusan berkaitan 12 penggunaan dan pengelolaan aktiva. III. Metodologi A.
Metode Penelitian
Penelitian menggunakan metode deskriptis-analisis, yaitu menggambarkan dan menganalisa data primer dari hasil wawancara di lapangan, serta menganalisa data sekunder dan informasi yang relevan lainnya dalam kaitan dengan kinerja keuangan perusahaan daerah BPD provinsi Sumatera Barat, BPD Kalimantan Selatan dan BPD Nusa Tenggara Barat untuk mendapatkan laba.
12
Lihat James C. Van Horne, & John M. Machowicz, Prinsip-prinsip Manajemen Keuangan 1, Edisi 12, Penerbit (2005), Jakarta, Bab 1. ‖Peran Manajemen Keuangan‖, hal. 5
7
B.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam terhadap informan kunci (pejabat dan staf karyawan) pada BPD Sumatera Barat, BPD Nusa Tenggara Barat, dan BPD Kalimantan Selatan. Informan lainnya adalah: Bappeda dan Biro Perekonomian di Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Selatan. C. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian di atas dilakukan pada tanggal 27 April-3 Mei 2009 di Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat, tanggal 10-17 Juli 2009 di Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan tanggal 2-9 Oktober 2009 di Kota Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan. Alasan pemilihan ketiga provinsi tersebut yakni untuk menggambarkan studi kasus yang dilihat dengan dasar perbedaan karakteristik letak geografis dari ketiga BPD tersebut, yaitu wilayah barat Indonesia, wilayah tengah Indonesia dan wilayah timur Indonesia, serta perbedaan perkembangan ekonomi di ketiga daerah tersebut. IV. Pembahasan A. Kinerja Keuangan BPD Sumatera Barat (Bank Nagari) Sampai saat ini data dari Bank Indonesia mencatat bahwa jumlah bank pembangunan daerah (BPD) sebanyak 26 BPD, diantaranya adalah BPD Sumatera Barat, BPD Kalimantan Selatan dan BPD NTB. BPD merupakan bank milik pemerintah daerah yang sahamnya dimiliki bersama oleh pemerintah provinsi, kabupaten dan kota. Bank Pembangunan Daerah (BPD) Sumatera Barat yang selanjutnya disebut Bank Nagari didirikan pada tanggal 12 Maret 1962 13 dengan modal disetor sebesar Rp. 400 juta. ) Bentuk badan hukum perusahaan saat ini adalah perseroan terbatas (PT). Sebelumnya status hukum perusahaan adalah berbentuk perusahaan daerah (PD) berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 1973 tentang Bank 14 Pembangunan Daerah Sumatera Barat. 13
Hasil wawancara dengan pejabat Divisi Perencanaan dan Strategi Bank Nagari pada tanggal 29-30 April 2009 di Kantor BPD Sumbar. Modal disetor setiap tahun berubah. Pada tahun 2007 lalu modal disetor berjumlah Rp.335,552 milyar. Lihat Laboran Tahunan Bank 2007. PT. Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat (Bank Nagari) secara resmi sebagai perusahaan berbadan hukum perseroan terbatas (PT) berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Bentuk Badan Hukum Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat dari Perusahaan Daerah (PD) menjadi Perseroan Terbatas (PT), dan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi manusia No.W3-00074HT.01.01-TH.2007 tanggal 4 April 2007. 14 Ibid
8
Visi perusahaan adalah menjadi Bank Pembangunan Daerah yang terkemuka dan terpercaya di Indonesia. Misi perusahaan adalah: 1). memberikan kontribusi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. 2). memenuhi dan menjaga kepentingan stakeholder secara konsisten dan seimbang. Untuk meningkatkan kinerja perusahaan, melalui Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat No.15 tahun 1992 yang disahkan oleh Menteri Dalam Negeri No. 584.23-407 tanggal 23 Maret 1993, penyertaan modal dari pihak ketiga dapat dilakukan sekurang–kurangnya 51% modal disetor 15 (penyertaan modal dari Pemerintah Daerah tingkat I dan II). Dengan diterbitkannya Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat No.2 tahun 1996, dilakukan peningkatan modal dasar dari Rp.50 miliar menjadi Rp.150 miliar. Dalam usaha memperluas jaringan kerja dan meningkatkan pelayanan kepada nasabah melalui keikutsertaannya dalam kegiatan aktivitas perbankan internasional terutama dalam bidang ekspor dan impor, sesuai dengan Surat Keputusan Deputi Gubernur Bank Indonesia No.9/20/KEP.DpG/2007 tanggal 11 Oktober 2007, PT. Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat diberikan izin untuk 16 beroperasi sebagai Bank Devisa. Berdasarkan penjelasan dari Biro Perekonomian Sumatera Barat yang diwakili oleh Kepala Bagian Sarana Perekonomian, bahwa pada awal berdirinya, status Bank Nagari berbentuk Perseroan Terbatas BPD Sumatera Barat. Tetapi dengan dikeluarkannya UU Nomor 5 tahun 1962, status BPD Sumbar menjadi perusahaan daerah (PD). Sejak tahun 2007, status BPD 17 Sumbar kembali menjadi berbentuk perseroan terbatas (PT). Total aset bank pada akhir tahun 2008 berjumlah Rp. 6,81 triliun, meningkat Rp 407,14 miliar atau 6,36% dari posisi akhir tahun 2007. Artinya peranan total aset Bank dalam total aset perbankan di Sumatera Barat meningkat dari 30,64% pada tahun 2007 menjadi 31,43%, pada tahun 2008. Total aktiva produktif pada akhir tahun 2008 berjumlah Rp. 6,39 triliun, meningkat Rp. 783,94 miliar atau 13,97% dari posisi akhir tahun 2007. Perkembangan yang demikian antara lain didorong oleh peningkatan posisi kredit dan aktiva antar bank dalam jumlah yang cukup berarti disamping beralihnya sebagian dana yang selama ini tertahan dalam Giro Wajib Minimum (GWM) sebagai idle money ke dalam aktiva produktif sesuai kebijakan 18 likuiditas minimum yang ditetapkan Bank Indonesia. 15
Hasil wawancara dengan Bapak Ris Hendri dari Divisi Perencanaan dan Strategi serta Bapak Yus Rizal dari Divisi Bisnis Bank Nagari pada tanggal 28-29 April 2009 di kantor BPD Sumbar, Kota Padang. (Perda tentang BPD Sumatera Barat yang sudah dikeluarkan adalah Perda Tingkat I Provinsi Sumatera Barat Nomor 15 Tahun 1992, Perda Tingkat I Provinsi Sumatera Barat Nomor 2 Tahun 1996, dan Perda Provinsi Sumatera Barat Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Bentuk badan Hukum BPD Sumatera Barat dari Perusahaan Daerah (PD) menjadi Perseroan Terbatas). 16 Ibid. 17 Hasil wawancara dengan Kepala Bagian Sarana Perekonomian Biro Perekonomian Sumbar, Ibu Zaimar, SE,M.Sc., pada tanggal 31 April 2009 di kantor Gubernur Sumbar. 18 Ibid
9
TABEL 1 KOMPOSISI KEPEMILIKAN SAHAM BANK NAGARI, SUMBAR PER AKHIR TAHUN 2008
No.
(Rupiah)
Porsi (%)
Pem.Propinsi Sumatera 143.520.000.000 Barat 2 Pem. Kota Padang 17.539.000.000 3 Pem. Kota Bukittinggi 4.481.000.000 4 Pem. Kota Payakumbuh 13.790.000.000 5 Pem. Kota Solok 10.988.000.000 6 Pem. Kota Sawahlunto 12.138.000.000 7 Pem. Kota Padang Panjang 7.021.000.000 8 Pem. Kota Pariaman 7.798.000.000 9 Pem. Kab. 50 Kota 6.844.000.000 10 Pem. Kab. Agam 11.362.000.000 11 Pem. Kab. Tanah Datar 39.797.000.000 12 Pem. Kab. Pesisir Selatan 3.827.000.000 13 Pem. Kab. Padang 8.408.000.000 Pariaman 14 Pem. Kab. Solok 11.184.000.000 15 Pem.Kab. 15.566.000.000 Sawahlunto/Sijunjung 16 Pem. Kab. Pasaman 9.222.000. 000 17 Pem. Kab. Mentawai 36.145.000.000 18 Pem. Kab. Pasaman Barat 824.000.000 19 Pem. Kab. Solok Selatan 2.197.000.000 20 Pem. Kab. Dharmasraya 1.098.000.000 21 Koperasi Karyawan 4.119.000.000 PT. BPD Sumatera Barat Total 367.868.000.000 Sumber: Laporan Keuangan Bank Nagari Tahun 2008
39,01%
1
Pemerintah Prov./Kab./Kota
4,77% 1,22% 3,75% 2,99% 3,30% 1,91% 2,12% 1,86% 3,09% 10,82% 1,04% 2,29% 3,04% 4,23% 2,50% 9,83% 0,22% 0,60% 0,30% 1,12% 100%
Kewajiban bank terhadap pemerintah, Bank Indonesia, Departemen Keuangan, bank lain, nasabah dan lain-lain pada akhir tahun 2008 berjumlah Rp 6,09 triliun, meningkat Rp 326,23 miliar atau (5,66%) dari tahun sebelumnya. Total ekuitas bank sampai dengan akhir tahun 2008 berjumlah Rp 724,76 miliar, meningkat Rp 80,91 miliar atau 12,57% dari posisi tahun 2007. Selain peningkatan laba bersih yang meningkat, peningkatan ekuitas tersebut juga dikarenakan adanya penambahan setoran modal dari pemegang saham sesuai keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) 19 tahun buku 2007 dan 2008. Selama tahun 2008, bank memperoleh pendapatan bunga bersih sebesar Rp. 564,46 miliar, meningkat Rp. 104,91 miliar atau 22,83% dari perolehan pendapatan bunga bersih selama tahun 2007. Peningkatan yang cukup signifikan tersebut antara lain dicapai sebagai hasil kebijakan pendanaan yang ditempuh selama tahun 19
Ibid
10
2008 yaitu mengurangi porsi deposito berbiaya mahal dalam struktur dana bank, sehingga total biaya dana selama tahun 2008 menjadi lebih rendah sebesar Rp 34,79 miliar atau minus 9,97% dan tahun sebelumnya. Dengan perkembangan yang demikian, diperoleh Net Interest Margin (NIM) akhir tahun 2008 sebesar 9,11%, meningkat 20 1,39% dari tahun 2007. Selama tahun 2008, bank juga memperoleh pendapatan operasional lainnya sebesar Rp 26,91 miliar, meningkat Rp 5,63 miliar atau 26,44% dari jumlah pendapatan operasional lainnya selama tahun 2007. Pendapatan operasional lainnya tersebut sebagian besar bersumber dari empat pos pendapatan, yaitu provisi dan komisi selain kredit, penggantian ongkos administrasi, penggantian biaya telepon dan telegram, pendapatan administrasi Automatic Teller Machine (ATM). Peningkatan pendapatan operasional lainnya yang relatif tinggi selama tahun 2008 terutama didorong oleh peningkatan yang cukup tinggi pada pos pendapatan provisi dan komisi selain kredit (49,13%), penggantian ongkos administrasi (29,06%), pendapatan administrasi ATM (28,21%) dan penggantian biaya telepon dan 21 telegram (17,94%). Sedangkan beban operasional lainnya dipergunakan untuk beban umum dan administrasi, beban personalia dan beban lainnya. Selama tahun 2008 bank mengeluarkan beban operasional lainnya sebesar Rp. 347,68 miliar, meningkat Rp. 63,43 miliar atau 22,31% dari tahun sebelumnya. Peningkatan tersebut didorong oleh pertambahan beban umum dan adminsitrasi sebesar Rp. 6,62 miliar atau 8,35%, beban personalia Rp. 45,15 miliar atau 27,48% dan beban lainnya sebesar Rp.11,66 miliar atau 28,70%. Pada umumnya pengeluaran beban umum dan adminsitrasi selama tahun 2008 telah 22 dapat dikendalikan. Laba operasional sebesar Rp 221,48 miliar. Jumlah tersebut meningkat Rp. 35,04 miliar atau 18,79% dari laba operasional yang diperoleh selama tahun 2007. Dalam tahun 2008 bank memperoleh pendapatan non-operasional bersih sebesar Rp. 1,16 miliar, jauh lebih baik dari kondisi pada tahun 2007 yang menanggung beban nonoperasional bersih sebesar Rp. 0,59 miliar. Perkembangan yang demikian dicapai karena adanya peningkatan pendapatan nonoperasional selama tahun 2008 sebesar Rp. 1,26 miliar yang diimbangi dengan penurunan beban non-operasional sebesar Rp. 23 0,49 miliar. Pada tahun 2008 bank memperoleh peningkatan laba sebelum pajak sebesar Rp. 36,79 miliar atau 19,79% dari laba sebelum pajak tahun 2007, sehingga posisinya pada akhir tahun 2008 telah mencapai Rp. 222,64 miliar. Dengan perkembangan yang 20
Ibid Ibid Ibid 23 Ibid 21 22
11
demikian maka ROA yang dihasilkan bank meningkat dari 2,76% pada tahun 2007 menjadi 3,24% pada tahun 2008. Tahun 2008, bank memperoleh peningkatan laba bersih sebesar Rp. 25,81 miliar atau 20,11% dari tahun lalu, sehingga posisinya pada akhir tahun 2008 24 telah mencapai Rp 154,19 miliar. Dengan perkembangan yang demikian maka ROE yang dihasilkan bank meningkat dari 24,47% pada tahun 2007 menjadi 24,88% pada tahun 2008. Dengan adanya penambahan saham sebanyak 160.162 lembar, maka laba bersih per saham pada tahun 2008 mencapai Rp. 419.000/saham. Dengan demikian maka dividen yield pada tahun 2008 mencapai 24,87% atau mencapai sekitar 2,7 kali dari suku bunga Sertifikat Bank Indonesia 1 bulan rata-rata 25 sepanjang tahun 2008. Dalam rencana kerja dan anggaran tahun 2009 dapat dikatakan bahwa prospek usaha tahun 2009 dalam skala nominal mengalami peningkatan, namun laju peningkatannya melambat dari tahun sebelumnya. Demikian pula beberapa indikator kinerja keuangan juga mengalami sedikit penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Adapun indikatornya dapat diuraikan sebagai berikut total aset direncanakan tumbuh sekitar 13,69% atau Rp. 912,62 miliar sehingga posisinya pada tahun 2009 mencapai Rp. 7,72 triliun. Posisi kredit direncanakan tumbuh sekitar 17,46% atau Rp 868,46 miliar sehingga posisinya pada tahun 2009 mencapai Rp .5,84 triliun. Rasio Non Performing Loan pada tahun 2009 mencapai 3,74%, sedikit meningkat dibandingkan 3,66% pada tahun 2008. Posisi dana simpanan direncanakan bertumbuh sekitar 15,00% atau Rp 802,30 miliar sehingga posisinya pada tahun 2009 mencapai Rp. 6,15 triliun. Laba setelah pajak pada tahun 2009 mencapai Rp 163,77 miliar, atau meningkat 6,21% dibanding Rp 154,19 miliar pada tahun 2008. Sedangkan nilai CAR dalam rencana bisnis bank pada tahun 2009 mencapai 14,92% setelah memperkirakan risiko operasional. Namun dengan adanya perubahan ketentuan Bank Indonesia tentang penundaan ketentuan penerapan risiko operasional, maka CAR pada tahun 2009 jauh lebih tinggi dari angka perkiraan tersebut. Nilai LDR pada tahun 2009 mencapai 95,00%, dibanding 93,01% pada tahun 2008. Nilai ROA pada tahun 2009 mencapai 3,20% dibanding 3,24% pada tahun 2008. Nilai ROE pada tahun 2009 mencapai 22,26% dibanding 24,88% pada tahun 2008. Ratio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) pada tahun 2009 mencapai 79,18%, 26 meningkat dibanding sebesar 75,54% pada tahun 2008.
24 25 26
Ibid ibid Ibid
12
TABEL 2 IKHTISAR KEUANGAN BPD SUMBAR (2004-2008, DALAM RIBU RUPIAH) 2004 2005 2006
Keterangan Aset Aktiva Produktif Kredit Dana Masyarakat Kewajiban Modal Disetor Ekuitas Pendapatan Bunga Beban Bunga Laba Seb. Pajak Laba Ses. Pajak
2007
2008
3,098,387,117 2,836,209,234
3,478,846,679 3,180,152,857
5,455,413,988 4,943,402,327
6,403,553,067 5,610,191,270
6,810,696,863 6,394,128,452
1,948,249,738 2,056,897,948
2,390,149,653 2,493,309,599
2,983,906,913 4,306,785,164
4,012,896,062 5,301,170,675
4,975,381,484 5,349,113,945
2,750,459,095 143,594,469 347,928,022 409,213,473
3,031,171,111 143,594,469 447,675,568 457,431,090
4,902,531,815 143,594,469 552,882,173 675,871,605
5,759,705,724 335,552,000 643,847,342 808,307,044
6,085,935,425 367,868,000 724,761,438 876,367,526
157,359,110 134,998,591 92,965,552
163,403,070 140,686,750 97,150,634
290,159,602 155,062,019 107,107,663
348,761,576 185,852,662 128,380,284
313,706,848 222,642,240 154,191,912
Sumber: Laporan Keuangan Bank Nagari Tahun 2008 TABEL 3 PERKEMBANGAN KINERJA KEUANGAN BANK NAGARI,SUMBAR (2004 - 2008)
Keterangan ROA ROE CAR LDR NPL BOPO Sumber
2004
2005
2006
2007
2008
4.46% 4.20% 3.18% 2.76% 27.72% 24.23% 23.93% 24.88% 15.84% 17.28% 23.37% 20.39% 94.72% 95.86% 69.28% 75.70% 3.44% 4.38% 3.70% 4.00% 67.23% 72.08% 77.08% 77.53% 27 : Laporan Keuangan Bank Nagari Tahun 2008
3.24% 38.28% 18.73% 93.01% 3.66% 75.54%
B. Kinerja Keuangan BPD Kalimantan Selatan BPD Kalimantan Selatan didirikan pada tanggal 25 Maret 1964 berdasarkan Perda Tingkat I Kalimantan Selatan yakni Perda Nomor 4 Tahun 1954. Ijin operasional atau ijin usaha BPD Kalimantan Selatan diperoleh dari Menteri Urusan Bank Sentral/Gubernur Bank Indonesia dengan surat keputusan Nomor 26/UBS/65 tanggal 31 Maret 1965. Pembentukan BPD ini didasarkan atas diberlakukannya UU Nomor 13 Tahun 1962 tentang Ketentuan Pokok Bank Pembangunan Daerah. Pada awal berdiri, modal disetor berjumlah Rp.100 juta. Berdasarkan Perda Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 27
LDR singkatan dari Loan to Deposit Ratio. Artinya perbandingan antara dana pihak ketiga dengan pinjaman yang diberikan. NPL singkatan dari Non-Performing Loan. Artinya pinjaman yang memiliki tingkat kamacetan dalam pengembalian yang tinggi oleh debitur. BOPO singkatan dari beban operasioanal & pendapatan operasional
13
11 Tahun 2008, modal BPD Kalimantan Selatan bertambah menjadi Rp. 500 milyar. Jabatan Direktur Utama saat ini dipegang oleh H.Juni Rif’at dan dibantu oleh 3 (tiga) orang direktur lainnya. Sampai saat ini 28 BPD Kalsel masih berbentuk perusahaan daerah (PD). Dari modal tersebut, jumlah uang yang sudah disetor oleh BPD (2008) adalah Rp. 205, 82 milyar dengan rincian sebagai berikut: TABEL 4 KOMPOSISI KEPEMILIKAN SAHAM BPD KALIMANTAN SELATAN
No.
Pemerintah Prov/Kab/Kota
Rupiah
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Pemda Provinsi Pemkot Banjarmasin Pemkab Kotabaru Pemkab Hulu Sungai Tengah Pemkab Hulu Sungai Utara Pemkab Hulu Sungai Selatan Pemkab Tanah Laut Pemkab Tabalong Pemkab Tapin Pemkab Balangan Pemkot Banjarbaru Pemkab Barito Kuala Pemkab banjar berjumlah Pemkab Tanah bambu berjumlah
Rp.87,136 milyar Rp.27,800 milyar Rp.13,187 milyar Rp.12 milyar Rp.11,264 milyar Rp.10,509 milyar Rp.10,374 milyar Rp.9, 902 milyar Rp.5, 242 milyar Rp.4,898 milyar Rp.4,383 milyar Rp.3,809 milyar Rp.3,320 milyar Rp.2 milyar
Porsi (%) (42,34%) (13,51%) (6,41%) (5,83%) (5,47%) (5,11%) (5,04%) (4, 81%) (2, 55%) (2,38%) (2,13%) (1,85%) (1,61%) (0,97%)
Sumber: Laporan tahunan BPD Kalimantan Selatan, 2007 dan 2008
Visi perusahaan adalah menjadi ’Banknya Urang Banua’ yang dipercaya dan berperan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah. Sedangkan misi perusahaan adalah menjadikan BPD Kalimantan Selatan sebagai bank sehat yang berperan meningkatkan partisipasi dalam perekonomian dan pembangunan daerah serta pengembangan UMKM melalui penyaluran kredit/pembiayaan dan pemenuhan jasa keuangan/perbankan lainnya, serta memperoleh laba yang optimal. Tujuan pendirian BPD Kalimantan Selatan adalah untuk membantu dan mendorong pertumbuhan perekonomian dan pembangunan daerah serta sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat melalui kegiatan usaha perbankan berdasarkan prinsip konvensional dan 29 prinsip syariah. 28
Hasil wawancara dengan Staf Divisi Umum BPD Kalimantan Selatan tanggal 4 Oktober 2009 di kantor BPD Kalsel. Staf Divisi Umum tersebut menjelaskan bahwa dalam Laporan Tahunan BPD Kalimantan Selatan Tahun 2008, bahwa landasan hukum pendirian BPD Kalimantan Selatan adalah berdasarkan Peraturan Daerah (PERDA) Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 16 Tahun 2003. Dalam Perda tersebut diatur kembali modal dasar menjadi 150.000.000.000 rupiah. 29 Lihat lebih lanjut Laporan Tahunan BPD Kalimantan Selatan 2008, hal.7
14
Dalam hal status BPD Kalsel yang masih berbentuk perusahaan daerah (PD), pihak Bappeda dan Biro Perekonomian mengharapkan bahwa status perusahaan daerah BPD seyogiyanya tidak menghambat manajemen BPD untuk melakukan operasional bisnis perbankan untuk mencari laba. Yang penting bagaimana manajemen BPD Kalsel dapat memberikan kontribusi bagi perekonomian Kalsel dan PAD bagi pemerintah daerah provinsi dan 30 kabupaten/kota sebagai pemegang saham. Manajemen BPD Kalimantan Selatan telah menetapkan 31 beberapa sasaran yang hendak dicapai mulai tahun 2008, yakni: memelihara rasio tingkat kesehatan bank selalu berada pada peringkat pertama atau kedua, meningkatkan dana pihak ketiga dengan tingkat pertumbuhan yang telah ditargetkan, penyaluran kredit tumbuh lebih besar dari target tahun sebelumnya, mengembangkan kegiatan operasional, mengembangkan jaringan kantor dan peningkatan kerjasama dengan pihak lainnya, meningkatkan kualitas SDM melalui pendidikan dan pelatihan, mengadakan sarana dan prasarana dalam rangka menciptakan gedung kantor yang lebih representatif guna kelancaran aktivitas kerja dan pemberian pelayanan yang lebih baik dan nyaman kepada nasabah, mengembangkan manajemen resiko secara bertahap dengan memperhatikan kepada kebutuhan dan kemampuan kompleksitas usaha yang dijalankan dengan tetap berpedoman kepada ketentuan Bank Indonesia serta merujuk pada Basel Accord II, mengoptimalkan peran BPD sebagai alat kelengkapan otonmi daerah di bidang keuangan yang berperan dalam pembangunan daerah dan sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD). Produk-produk kredit BPD Kalimantan Selatan antara lain: kredit modal kerja, kredit investasi, kredit modal kerja konstruksi, kredit konsumtif, kredit kendaraan bermotor, kredit kepemilikan rumah (KPR), cash collateral credit, kredit BPD peduli, kredit ketahanan pangan dan energi, kredit mikro ekonomi produktif (KMEP), pinjaman haji, pinjaman pemda, kredit sindikasi dan kredit talangan gaji. Sedangkan produk jasa bank adalah: kiriman uang, inkaso, garansi bank, ATM bank, debit card, safe deposit box, dan beberapa payment 32 point. Total aset BPD Kalimantan Selatan sampai tahun 2008 berjumlah Rp 3,68 triliun. Pertumbuhan selama 4 tahun terakhir (2005-2008) rata-rata setiap tahun 26,37%. Dana pihak ketiga (2008) berjumlah Rp.3,246 triliun dimana giro merupakan komponen terbesar (60%). Jumlah kredit yang disalurkan oleh BPD sampai akhir 2008 berjumlah Rp.1,757 triliun. Rasio antara pinjaman dengan dana yang dihimpun (2008) 54,08% meningkat dari tahun 2006 dan 2007. Nilai 30
Hasil wawancara dengan pihak Bappeda Kalsel dan Biro Perekonomian Kalsel tanggal 5-6 Oktober 2009 di Kantor Gubernur Kalsel. 31 Lihat Laporan Tahunan 2007, op.cit., hal. 21 32 Ibid
15
NPL yang diperoleh bank adalah sebesar 1,29% (2008). Sedangkan angka NPL BPD tahun-tahun sebelumnya relatif besar, mislanya 33 tahun 2005 mencapai 2,88% dan 2006 NPLnya sebesar 2,88%. Perkembangan kinerja keuangan BPD Kalimantan Selatan dijelaskan dalam tabel di bawah. Salah satu cara melihat kinerja keuangan atau kinerja usaha suatu bank adalah laba yang diperoleh. Laba operasional BPD tahun 2007 berjumlah Rp 92,860 milyar dan laba operasional tahun 2008 berjumlah Rp.118,956 milyar. Laba bersih (laba setelah pajak penghasilan) pada tahun 2007 sebesar 63,097 milyar dan pada tahun 2008 berjumlah Rp 81,458 milyar atau meningkat sebesar 23%. BPD Kalimantan Selatan pada tahun 2007 memperoleh penghargaan predikat ―Sangat Bagus‖ dari Majalah Infobank untuk kinerja tahun buku 2007. Manajemen bank juga telah 3 (tiga) kali memperoleh penghargaan Platinum Award. Dengan demikian selama 12 (duabelas) tahun berturut-turut BPD Kalimantan Selatan mampu 34 mempertahankan prestasi tersebut. TABEL 5 IKHTISAR/KINERJA KEUANGAN BDP KALIMANTAN SELATAN (2004-2008, JUTA RUPIAH)
Keterangan
2004
Aset Modal Pendapatan Biaya Laba bersih (net profit) Rasio Keuangan (%): 1.CAR 2.NPL (gross) 3.ROA 4.ROE 5.NIM 6.LDR
1.283.749 139.134 137.308 99.000 25.899
22,49% 2,55% 3,78% 22,21% 13,80% 47,80%
2005
2006
2007
2008
1.924.696 153.378 185.590 143.565 27.868
3.102.950 232.128 322.208 233.820 58.386
3.364.813 284.270 362.740 270.116 63.097
3.682.437 369.867 431.391 313.259 81.457
20,45% 2,88% 2,78% 18,87% 10,10% 38,49%
23,98% 2,88% 3,25% 34,43% 8,28% 29,92%
21,29% 2,19% 2,57% 27,54% 6,34% 35,50%
16,49% 1,29% 1,70% 27,71% 54,08%
Sumber: Laporan Tahunan BPD Kalimantan Selatan Tahun 2007 dan 2008
C. Kinerja Keuangan BPD Nusa Tenggara Barat Atas kuasa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1962 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Bank Pembangunan Daerah, Pemerintah Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Barat dengan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1963 telah menetapkan berdirinya Bank Pembangunan Daerah Nusa Tenggara Barat (BPD NTB) dengan modal dasar ditetapkan sebesar Rp. 60 juta. Landasan 33 34
Ibid Ibid.
16
operasionalnya adalah ijin usaha Menteri Urusan Bank Sentral/Gubernur Bank Indonesia Nomor 45/63/MUBS/6 tanggal 20 Nopember 1963. Berdasarkan ketentuan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1963, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Barat telah meresmikan mulai beroperasinya BPD NTB pada tanggal 5 Juli 1964, yang selanjutnya diperingati sebagai Hari Ulang Tahun BPD NTB. Perubahan-perubahan selanjutnya terhadap Perda Nomor 6 Tahun 1963 tentang BPD NTB yang menyangkut besarnya modal dasar adalah sebagai berikut : Peraturan Daerah No.9 tahun 1979 dengan modal dasar ditetapkan sebesar Rp. 750 juta. Peraturan Daerah No. 8 Tahun 1981 dengan modal dasar ditetapkan sebesar Rp 2 milyar. Peraturan Daerah No. 8 Tahun 1984 dengan modal dasar ditetapkan sebesar Rp 6 milyar. Peraturan Daerah No. 9 Tahun 1990 dengan modal dasar ditetapkan sebesar Rp 10 milyar. Peraturan Daerah No. 1 Tahun 1993 dengan modal dasar ditetapkan sebesar Rp 25 milyar. Dengan diberlakukannya Undang-Undang No 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang mengatur antara lain mengenai pemilikan dan bentuk hukum pendirian bank, maka BPD NTB telah mengadakan perubahan bentuk hukum pendiriannya. Dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 1999 tanggal 15 Februari 1999, Modal dasar BPD NTB ditetapkan sebesar Rp.100 milyar. Proses perubahan bentuk hukum BPD NTB menjadi PT Bank Pembangunan Daerah Nusa Tenggara Barat dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1998 tanggal 4 Pebruari 1998 tentang Bentuk Hukum Bank Pembangunan Daerah, Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Barat No. 7 Tahun 1999 tanggal 15 Februari 1999 tentang Perubahan Bentuk Hukum BPD NTB dari Perusahan Daerah menjadi Perseroan Terbatas dan telah diundangkan dalam lembaran daerah Propinsi daerah tingkat I NTB Nomor.5 Seri-D No.2 tanggal 21 April 1999, Keputusan Menteri dalam Negeri No.584.62.241 tanggal 19 Maret 1999 tentang pengesahan peraturan daerah Propinsi Daerah Tingkat I NTB No.7 Tahun 1999 Akte Pendirian yang dibuat oleh Samsaimun,SH Notaris pengganti dari Abdullah, SH tanggal 30 April 1999 Nomor 22. Pengesahan oleh Menteri Kehakiman dengan Surat Keputusan Nomor C-8225-HT.01.01 Tahun 1999 tanggal 5 Mei 1999 dan diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 38 tanggal 11 Mei 1999. Sampai tahun 1998, status hukum BPD adalah perusahaan daerah (PD). Baru pada tahun 1999, status hukum Perusahaan Daerah BPD NTB berubah menjadi Perseroan Terbatas 35 (PT) BPD NTB berdasarkan Perda Nomor 7 Tahun 1999 tersebut. 35
Wawancara dengan jajaran staf Divisi Manajemen Resiko dan Kepatuhan Bank NTB pada tanggal 12 Juli 2009 di Kantor BPD NTB di . Lihat juga Peraturan Daerah Nomor 7
17
Jumlah keseluruhan direksi BPD NTB sebanyak 4 orang direktur, terdiri dari Direktur Utama, Direktur Umum, Direktur Kepatuhan dan Direktur Pemasaran. Jabatan Direktur Utama per tanggal 31 36 Desember 2008 dipegang oleh H. Rachiman. Modal dasar BPD NTB adalah modal disetor oleh pemda provinsi dan pemda kabupaten/kota. Tahun 2006 modal dasar BPD NTB adalah berjumlah Rp. 250 milyar. Dari modal dasar tersebut jumlah dana yang sudah disetor oleh seluruh pemerintah daerah NTB sampai akhir tahun 2008 adalah sebesar Rp. 179,292 milyar. Adapun struktur kepemilikan saham dari BPD NTB masing-masing pemerintah daerah adalah sebagai berikut: TABEL 6 KOMPOSISI KEPEMILIKAN SAHAM BPD NUSA TENGGARA BARAT
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Pemerintah Prov/Kab./Kota Pemda Provinsi NTB Pemkot Mataram Pemkot Bima Pemkab Lombok Barat Pemkab Lombok Tengah Pemkab Lombok Timar Pemkab Sumbawa Pemkab Bima Pemkab Dompu Pemkab Sumbawa Barat Total
Porsi (%) (44,71%) (3,08%) (0,64%) (5,32%) (4,85%) (10,73%) (8,05%) (3,80%) (15,73%) (3,09%). 100%
Sumber: Laporan Tahunan BPD NTB 2008. 37
Produk Bank NTB saat ini antara lain adalah Kredit Serba Guna (KSG), Kredit Usaha Mikro Ekonomi Produktif, Kredit Peningkatan Kesejahteraan PNS, Kredit Investasi dan Modal Kerja, Kredit Usaha Mikro dan Kecil, Kredit Pembinaan Usaha Keluarga Sejahtera Mandiri, KFW-SME, KPKM, KUMK-SUP-005 dan Kredit Proaktif. Sedangkan layanan jasa perbankan adalah Bank Garansi Penawaran, Uang Muka, Palaksanaan, dan Pemeliharaan, Jasa 38 Transfer dan Inkaso. BPD Kalimantan Selatan telah menetapkan strategi usaha yang dilakukan pada tahun 2009 antara lain, yaitu: meningkatkan tingkat kesehatan bank pada peringkat ’sehat’ dengan nilai komposit 2, menerapkan prinsip kehati-hatian (prudential banking) yang berdasarkan profil resiko bank, melaksanakan good corporate Tahun 1999 tentang Perubahan Status Hukum Perusahaan Daerah BPD NTB menjadi Perseroan Terbatas (PT). BPD NTB, pada tanggal 21 April 1999. 36 Wawancara dengan Divisi Manajemen Resiko dan Kepatuhan Bank Pembangunan Daerah Nusa Tenggara Barat pada tanggal 12 Juli 2009. Lihat juga Laporan Tahunan BPD Nusa Tenggara Barat, Tahun 2008, halaman 55. Dan 37 Ibid, hal. 19 38 Ibid, hal.16-17
18
governance (GCG) secara konsisten, meningkatkan kinerja manajemen dengan fokus pada proses dan pencapaian target serta sasaran rencana bisnis bank, memelihara kecukupan modal bank sesuai dengan ketentuan, meningkatkan efisiensi, efektivitas dan produktivitas bank, mengoptimalkan pengelolaan likuidtas sesuai profil sumber dana. Guna memastikan tersedianya likuiditas yang cukup maka BPD NTB perlui peningkatan earning akses dana, meningkatkan mobilitas dana masyarakat, menetapkan struktur kredit yang mengara pada ekspnasi kredit yang aman, memperbesar pangsa pasar, dan memberikan margin yang optimal, mendorong peningkatan fee based income, melanjutkan kebijakan kerjasama dengan lembaga keuangan dan antar-bank baik bidang funding maupun lending, meningkatkan dan mempertahankan kualitas aktiva produktif, khususnya kredit untuk mendorong peningkatan profitabilitas bank, meningkatkan kualitas SDM berbasis kompetensi, integritas, loyalitas dan dedikasi, mengembangkan teknologi informasi untuk meningkatkan efektifitas dan daya saing bank, mengembangkan infrastruktur sesuai kebutuhan dan skala prioritas organisasi. Kekuatan permodalan statu bank tercermin pada pencapaian rasio CAR yang memenuhi ketentuan Bank Indonesia. Pada akhir Desember 2008, posisi rasio CAR sebesar 14,18%. Nilai CAR minimum ketentuan Bank Indonesia adalah 8%. Performa kemampuan Bank NTB dalam perannya sebagai lembaga intermediasi tercermin dari tingkat rasio LDR. Sedangkan Posisi LDR tahun 2007 adalah 109,31% dan tahun 2008 sebesar 128,48%. Non Performing Loan pada tahun 2008 sebesar 0,4% turun dari tahun 2007 sebesar 1,31%. Ini artinya jumlah kredit yang kurang lancar BPD NTB cenderung semakin kecil dibandingkan dengan total kredit serta dibandingkan dnegan tahun sebelumnya BPD NTB tahun 2007 memperoleh laba operasional sebesar Rp.57,709 milyar. Laba sebelum pajak penghasilan (earning befote tax/EBT) adalah Rp. 64,404 milyar. Dan laba setelah pajak penghasilan adalah Rp.40,674 milyar. Tahun 2008 laba bersih perusahaan meningkat menjadi Rp. 61,460 milyar. Laba operacional (2008) Rp. 90,454 milyar, dan laba sebelum pajak (2008) adalah Rp. 92,366 milyar. Laba bersih tahun 39 2008 tersebut meningkat sebesar 34% dari tahun 2007.. Rasio aktiva produktif yang diklasifikasikan terhadap aktiva produktif posisi akhir Desember 2008 sebesar 3,63%. Sedangkan kinerja pengelolaan aktiva (rentability) diukur dengan rasio Return on Asset (ROA). ROA tahun 2007 mencapai 2,12% sedangkan tahun 2008 meningkat menjadi 4,53%. Sedangkan kualitas pengelolaan modal yang diukur dengan Return on Equity (ROE) pada tahun 2008 sebesar 26,98% meningkat dari tahun 2007 sebesar 16,36%.
39
Lihat Laporan Tahunan BPD NTB, 2008, hal.4
19
TABEL 7 RASIO-RASIO KEUANGAN BPD NUSA TENGGARA BARAT (POSISI 31 DESEMBER 2004-31 DESEMBER 2006)
Keterangan
2004
Net Non Performing Loan (Net NPL) ROA ROE NIM BOPO LDR
2005
2006
0.29%
0.53% 0.63% 3.76% 23.81% 12.34% 77.71% 101.43%
4.73% 25.89% 15.57% 74.77% 94.65%
2.27% 18.22% 11.98% 82.57% 87.68%
Sumber: Laporan Keuangan Bank NTB 2004, 2005, dan 2006. TABEL 8 NERACA DAN LAPORAN LABA/RUGI BPD NUSA TENGGARA BARAT (DALAM RUPIAH)
Keterangan
2007
2008
Kas (cash money) Total Aset (total of asset) Kewajiban (liabilities) Ekuitas (equity) Jumlah Kewajiban dan Ekuitas Pendapatan Bunga Bersih Laba Operasional (operating income) Laba bersih (net income after tax) Laba bersih per saham dasar
46.819.728.984 1.922.790.890.441
44.783.335.025 1.874.586.185.095
1.674.210.396.409 248.580.494.032 1.922.790.890.441
1.590.289.447.988 284.296.737.107 1.874.586.185.095
181.176.362.350
219.964.298.257
57.709.541.209
90.454.199.352
40.674.419.430
61460.193.075
3.613
2.599
Sumber: Laporan Tahunan BPD NTB Tahun 2008.
Adapun perbandingan kinerja keuangan bank pembangunan daerah di ketiga provinsi tersebut antara lain adalah perkembangan perolehan laba, ROA, ROE, CAR dan LDR (perbandingan antara jumlah pinjaman atau kredit yang diberikan dengan deposito). CAR singkatan dari Capital Adequacy Ratio. Artinya adalah rasio kewajiban penyediaan modal minimum. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/21/PBI/2001, bahwa bank-bank di Indonesia wajib mempertahankan rasio kewajiban penyediaan modal minimum sebesar 8%. Perhitungan rasio kewajiban penyediaan modal minimum dilakukan sesuai dengan Surat Edaran BI Nomor 7/10/DNPN tanggal 31 Maret 2005. CAR Perbankan Kurang dari 8% Harus Ditutup. Bank Indonesia (BI) harus menutup perbankan nasional jika rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) perbankan kurang dari ketentuan BI yaitu di level delapan persen. Hal tersebut hanya akan
20
menyebabkan perbankan kesulitan likuiditas dan menyebabkan 40 masalah. Secara singkat perbandingan kinerja keuangan ketiga bank pembangunan daerah di ketiga provinsi terserbut di atas dapat dilihat dalam tabel di bawah. TABEL 9 PERBANDINGAN KINERJA KEUANGAN BANK NAGARI, BPD KALIMANTAN SELATAN DAN BPD NUSA TENGGARA BARAT (PER 31 DESEMBER 2008)
BPD
LDR (%)
Bank Nagari
89,29
ROA (%) 3,15
ROE (%) 24,88
NPL/NPF (%) 1,59
CAR(%)
BPD Kal. Selatan
43,94
3,10
27,71
1,29
16,49
BPD NTB
109,58
14,18
26,98
2,69
14,18
41
17,16
Sumber: Diolah dari Berbagai Laporan Keuangan Bank Nagari, BPD Kalimantan Selatan dan BPD NTB, Tahun 2008. Majalah INFOBANK Nomor 359, Februari 2009. CAR diatas sudah memperhitungkan resiko pasar dan resiko kredit yang disalurkan. TABEL 10 PERBANDINGAN ASET, MODAL DISETOR, UTANG/KEWAJIBAN, DAN LABA USAHA (NET PROFIT) BPD SUMATERA BARAT, BPD KALIMANTAN SELATAN, BPD NTB (PER 31 DESEMBER 2008, MILYAR RUPIAH)
BPD
Asset
Bank Nagari
6.810,695
Modal Disetor 692,506
Utang/Kewajiban 6,085,935
Laba Bersih 151,191
BPD Kal. Selatan
3.682,436
205,823
3.312,569
81,458
BPD NTB
1.874,586
179,291
1.590,289
61,460
Sumber: Laporan Keuangan Bank Nagari, BPD Kalimantan Selatan dan BPD NTB, Tahun 2008
Dari tabel di atas dapat dianalisa bahwa, perbandingan laba yang diperoleh dengan jumlah aset (ROA), menunjukkan bahwa ROA BPD Nusa Tenggara Barat lebih baik dari Bank Nagari dan BPD Kalimantan Selatan walaupun jumlah asset BPD NTB lebih kecil dibandingkan dengan Bank Nagari dan BPD Kalimantan Selatan. 40
http://economy.okezone.com/read/2010/01/04/320/290796/320/car-perbankankurang-dari-8-harus-ditutup, diakses tanggal 25 September 2010.
21
Demikian juga dengan rasio kecukupan modal atau CAR BPD NTB yang lebih rendah dibandingkan BPD Sumatera Barat dan BPD Kalimantan Selatan tahun buku 2008. Namun jumlah aset Bank Nagari lebih besar dibandingkan dengan BPD Kalimantan Selatan dan BPD NTB. CAR rata-rata seluruh BPD tahun per Desember 2008 42 berjulah 16,82%. Dari 26 jumlah BPD yang ada saat ini, BPD yang beraset diatas Rp.10 Triliun antara lain adalah: Bank DKI, Bank Jabar dan Banten, BPD Aceh, Bank Kaltim, Bank Jatim, Bank Jateng, & Bank Riau. Bank Jatim atau BPD Jatim merupakan BPD yang memilliki 43 asset terbesar tahun 2008 yakni berjumlah Rp.16,248 triliun. BPD NTB adalah termasuk salah satu BPD yang mempunyai aset relatif kecil diantara BPD lainnya. BPD lain yang beraset kecil adalah BPD Jambi Rp. 1,555 triliun dan BPD Bengkulu dengan jumlah 44 asset Rp.1,696 triliun pada tahun 2008. Apabila dikaji dari jumlah laba, maka laba Bank Nagari jauh lebih besar dibandingkan dengan BPD Kalimantan Selatan dan BPD NTB. Hal ini menunjukkan semakin baik kinerja keuangan perusahaan Bank Nagari yakni dengan peningkatan laba bersih yang diperoleh setiap tahun. Lihat tabel 6. di bawah. Ditinjau dari aspek rasio likuiditas (perbandingan jumlah aset dengan jumlah utang lancar/kewajiban lancar), maka rasio likuiditas ketiga bank tersebut di atas pada tahun 2008 adalah sebagai berikut: Bank Nagari (112%), BPD Kalimantan Selatan (111%), dan BPD NTB (118%). Dari rasio likuiditas di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ketiga bank memiliki tingkat kemampuan likuiditas yang relatif baik. Rata-rata berada di atas 100%. Semakin sedikit jumlah utang atau kewajiban, maka semakin baik kinerja keuangan suatu bank. Sedangkan dari rasio net interest margin (NIM) dapat dijelaskan bahwa NIM Bank Nagari (tahun 2008) berjumlah 9,21%; NIM BPD Kalimantan Selatan berjumlah 7,69%; dan nilai NIM BPD NTB berjumlah 11,54%. Bandingkan dengan Net Interest Margin rata-rata seluruh BPD di Indonesia per Desember 2008 adalah sebesar 8,52%. Perkembangan kinerja keuangan BPD Kalsel tidak terlepas dari status hukum dari perusahaan saat ini. Dari hasil wawancara dengan pihak BPD Kalsel diperoleh informasi bahwa status hukum BPD Kalsel adalag masih berbentuk perusahaan daerah. Berbeda dengan status hukum dari BPD Sumbar dan BPD NTB yang sudah berbentuk perseroan terbatas atau PT. Status hukum BPD Kalsel yang masih berbentuk perusahaan daerah sedikit banyak mempengaruhi dinamika dan perkembangan kinerja bank secara keseluruhan,termasuk soal pengembangan investasi dan modal usaha. Kebijakan mengembangkan BPD Kalsel bergantung kepada keputusan dari para pemegang saham yakni 42 43 44
Majalah InfoBank, Nomor 368, bulan November 2009 Majalah InfoBank, Nomor 360, bulan Maret 2009. Majalah InfoBank, Nomor 363, buni 2009
22
Gubernur, Bupati dan Walikota di Kalsel. Dalam nilai ROA (tingkat perolehan pendapatan dari pengelolaan aset), misalnya, masih lebih rendah dibandingkan dengan ROA dari BPD NTB. Perolehan marjin bunga dari BPD Kalsel (2008) juga masih relatif rendah dibandingkan dengan rata-rata BPD di Indonesia. Sedangkan perolehan marjin bunga BPD NTB lebih besar daripada BPD Kalsel, sebagaimana sudah dijelaskan di atas. Sedangkan nilai aset BPD Sumbar sudah jauh lebih besar dibandingkan dengan aset BPD NTB dan aset BPD Kalsel. Hal ini juga menunjukkan peroleh laba dari BPD Sumbar juga jauh lebih besar daripada BPD NTB dan BPD Kalsel. V. Penutup Secara umum kinerja keuangan dari ketiga bank pembangunan daerah tersebut adalah baik yang dapat dilihat dari perolehan laba pada tahun buku 2008 serta peningkatan nilai aset yang dimiliki oleh ketiga BPD. Dari ketiga BPD tersebut, laba Bank Nagari adalah tertinggi di antara ketiga BPD yang diteliti. BPD Sumbar juga memiliki jumlah aset yang paling besar. Perbandingan antara perolehan laba dengan jumlah aset (ROA) yang dimiliki menunjukkan bahwa BPD Nusa Tenggara Barat relatif lebih baik dibandingkan dengan BPD Sumbar dan BPD Kalimantan Selatan. Dari sisi CAR, misalnya, bahwa nilai CAR ketiga BPD relatif aman di bawah 20%. Walaupun ketiga BPD tersebut sampai Desember tahun 2008 belum mampu memenuhi ketentuan CAR dari Bank Indonesia yakni 8%. Rasio kecukupan modal ini sangat penting bagi setiap bank dalam melakukan kegiatan operasionalnya sebagai lembaga intermediasi yang berfungsi untuk menyimpan dana nasabah dan di sisi lain menyalurkan kredit untuk menunjang kegiatan usaha debitur atau perekonomian. Sebagai gambaran CAR rata-rata seluruh BPD adalah sebesar 16,82% pada tahun 2008. Nilai CAR ini juga masih dibawah 20%. Apabila dilihat dari aspek pertumbuhan aset bank, maka pertumbuhan aset ketiga BPD tersebut positif, namun disimpulkan bahwa BPD NTB termasuk BPD yang jumlah asetnya sangat kecil jauh dibandingkan dengan aset Bank Nagari tahun 2008. Semakin besar aset suatu bank (aktiva) semakin baik kinerja usahanya. Artinya kemampuan untuk mendatangkan laba perusahaan akan semakin meningkat setiap tahun. Kelebihan Bank Nagari dibandingkan dengan BPD Kalimantan Selatan dan BPD NTB adalah bahwa Bank Nagari sejak tahun 2007 telah secara resmi sebagai bank devisa. Bank pembangunan daerah lain yang sudah berstatus sebagai bank devisa adalah BPD Jateng, BPD Bali dan BPD Jabar Banten. Ini artinya Bank Nagari telah ikut serta dalam upaya mendorong kegiatan di sektor perdagangan luar negeri (ekspor-impor) di Indonesia. Kelebihan lain adalah bahwa Bank Nagari telah mempunyai cabang di luar Sumatera Barat, yakni di Provinsi Riau dan Provinsi DKI Jakarta. 23
Sebagai suatu badan usaha yang bergerak di sektor perbankan BPD hanyalah salah satu bentuk dari tipe atau jenis bank. Akibat semakin banyaknya jumlah bank di Indonesia dan di daerah/provinsi, maka persaingan antara bank pembangunan daerah dengan bank-bank lain cukup ketat. Apalagi ada bank besar yang memiliki aset diatas 10 triliun rupiah beroperasi di suatu daerah/provinsi di mana ada bank pembangunan daerah. Pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota sebagai pemilik bank pembangunan daerah sangat berkepntingan atas kelangsungan operasional bank dalam mendapatkan laba. Semakin besar bank pembangunan daerah memperoleh laba, maka semakin besar jumlah bagian laba yang disumbangkan kepada pendapatan asli daerah dalam APBD. Sebaliknya apabila bank pembangunan daerah di ketiga daerah tersebut rugi—dalam laporan keuangannya, maka tidak ada kontribusi bagi pendapatan asli daerah dalam APBD. Beberapa saran atau rekomendasi penulis yang perlu diperhatikan dalam kaitan dengan kinerja keuangan ketiga BPD di atas antara lain adalah: pertama, ketiga BPD di atas perlu secara terus-menerus (setiap tahun) menambah jumlah aset (aktiva) dan modal disetor atau modal sendiri. Semakin besar jumlah aset dan modal sendiri dari ketiga BPD maka cenderung semakin besar peluang untuk memperoleh laba (pendapatan). Kedua, sebagai badan usaha yang bergerak di sektor perbankan, maka ketiga BPD perlu memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan bank secara umum sebagai yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1998. Ketiga, sebaiknya BPD Kalsel melakukan perubahan bentuk hukum perusahaan dari perusahaan daerah menjadi perseroan terbatas. Di samping itu, BPD sebagai salah satu tipe bank, juga wajib memperhatikan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (PBI), seperti: Peraturan Bank Indonesia yang berkaitan dengan CAR; dan Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum, serta Giro Wajib Minimum Bank Umum. Keempat, ketiga BPD perlu memiliki segmen pasar sendiri sebagai karakteristik BPD di daerah. Penetapan segmen pasar sendiri (market niche), merupakan peluang untuk memperbesar peran bank dalam menggerakkan perekonomian di daerah masingmasing. Bank pembangunan daerah sebaiknya menghindari persaingan sebagai pengikut pasar (market follower) di lingkungan industrinya, karena sulit dalam penguasaan pasar secara keseluruhan.
24
DAFTAR PUSTAKA Buku: Budi Rahardjo, Laporan Keuangan Perusahaan, Penerbit Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, Cetakan ke-2 Januari, 2005. Harmono, Manajemen Keuangan, Penerbit Bumi Aksara , 2009,Jakarta James C. Van Horne, & John M. Machowicz, Prinsip-prinsip Manajemen Keuangan 1, Edisi 12, Penulis, Penerbit Salemba Empat (2005), Jakarta Oxford English Dictionary, Tenth Edition 2005, Oxford University Press Inc., New York, USA Majalah: Majalah InfoBank, Nomor 360, Maret 2009. Majalah InfoBank, Nomor 363, Juni 2009 Majalah InfoBank, Nomor 368, November 2009 Laporan Tahunan BPD Kalimantan Selatan, 2007& 2008 Laporan Tahunan Bank Nagari Sumatera Barat, 2008 Laporan Tahunan BPD Nusa Tenggara Barat, 2008 Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1998. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah. Perda Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Barat Nomor 15 Tahun 1992 tentang Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat. Perda Provinsi Sumatera Barat Nomor 2 Tahun 1996 tentang Penyebutan BPD Sumatera Barat Menjadi Bank Nagari. Perda Provinsi Sumatera Barat Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Bentuk Badan Hukum BPD Sumatera Barat dari Perusahaan Daerah (PD) menjadi Perseroan Terbatas (PT). Internet (Karya non-Individual): http://www.bizwiz.ca/profitability_ratio_calculation_formulas/profit_mar gin_ratio.html. http://www.bizwiz.ca/liquidity_ratio_calculation_formulas/liquidity_ratio s .html 25
http://www.bizwiz.ca/profitability_ratio_calculation_formulas/profitabilit y_ratios.html. http://finance.mapsofworld.com/corporatefinance/concepts/profitability-ratios.html. http://kbr.dnb.com/help/Ratios/Profitability_Ratios.htm http://www.asbanda.com/bpd.php?id=15 http://economy.okezone.com/read/2010/01/04/320/290796/320/carperbankan-kurang-dari-8-harus-ditutup
26
PROSPEK KERJASAMA ASEAN PASCA RATIFIKASI PIAGAM ASEAN Humphrey Wangke Abstract Since December 15, 2008, ASEAN will no longer be run based on Bangkok Declaration but ASEAN Charter. With this change, ASEAN is not again an informal organization but has become a formal one since it has now a clear rule and it is administered as legal entity, which focus its activities on people to people relationship. Because of this, too, ASEAN wants to show its existence as an effective organization due to the reason that all of its decisions could be binding and its success in the future would be determined not only by its leaders but also its societies. Abstrak Sejak 15 Desember 2008, ASEAN tidak lagi beroperasi atas dasar Deklarasi Bangkok tetapi Piagam ASEAN. Dengan perubahan ini ASEAN bukan lagi organisasi yang bersifat informal tetapi berubah menjadi formal karena mempunyai aturan main yang lebih jelas (rulebased), serta terbentuk sebagai entitas legal (legal entity) serta lebih menekankan pada hubungan antar-warga (people oriented). Melalui perubahan ini ASEAN ingin menjadi sebuah organisasi yang efektif karena semua keputusan yang diambil akan bersifat mengikat dan di masa depan keberhasilan kerjasama ASEAN tidak lagi ditentukan oleh para pemimpinnya saja tetapi juga oleh masyarakatnya. Kata kunci: Piagam ASEAN, People Oriented, Diplomacy
People to People
A. Latar Belakang ASEAN merupakan organisasi kerjasama di kawasan Asia Tenggara yang beranggotakan Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Philipina, Thailand, Singapura dand Vietnam. 1 Didirikan pada tanggal 8 Agustus 1967, Deklarasi Bangkok yang Penulis adalah peneliti bidang Masalah-masalah Hubungan Internasional Pusat Pengkajian Pengolahan data dan Informasi (P3DI), Sekretariat Jenderal DPRRI. 1 Pada saat didirikan, ASEAN hanya beranggota 5 negara saja yaitu, Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura dan Filipina. Brunei bergabung pada tanggal 8 Januari 1984, Vietnam
1
menandai berdirinya ASEAN, menyebutkan tiga alasan utama yang melatarbelakangi didirikannya organisasi regional ini, yaitu keinginan untuk meningkatkan pembangunan ekonomi, sosial, dan kebudayaan kawasan melalui program-program kerjasama, menjaga stabilitas politik dan ekonomi kawasan dari rivalitas negara besar, menyediakan forum 2 bagi penyelesaian perbedaan-perbedaan intra-regional. Cara-cara ini diharapkan tidak hanya dapat meningkatkan kemakmuran tetapi juga stabilitas politik dan keamanan. Tiap-tiap negara tidak hanya berkonsentrasi pada pembangunan dalam negeri, tetapi juga bebas dari kekuatiran akan mendapat gangguan keamanan dari negara-negara tetangganya. Namun sampai tahun 2008, eksistensi ASEAN belum dapat disejajarkan dengan organisasi regional lainnya, sebab pembentukan ASEAN hanya didasarkan atas konsensus. ASEAN tidak memiliki piagam konstitusi atau instrumen hukum lainnya yang menjelaskan tentang pembentukannya, struktur dasar dan fungsi dari organisasi ini. Berdirinya ASEAN dinyatakan hanya melalui Deklarasi Bangkok yang singkat yang berisi tentang tujuan, prinsip dasar, dan beberapa mekanisme. ASEAN didirikan sebagai forum konsultasi dan koordinasi di antara negaranegara sekawasan untuk meningkatkan saling pengertian dan 3 kerjasama. Negara-negara anggota ASEAN lebih memilih sebuah organisasi regional yang bersifat fleksibel dan informal daripada yang formal. Akibatnya, banyak kesepakatan ataupun bentuk-bentuk on negara/pemerintahan ASEAN menjadi tidak efektif pada tingkat implementasi sebab tidak ada sanksi yang akan dikenakan pada negara yang tidak melaksanakan kesepakatan yang telah dibuat. Mekanisme pengambilan keputusan yang selama ini yang didasarkan atas rumusan X-1 sudah tidak dapat lagi dipertahankan. Munculnya dinamika-dinamika baru di lingkungan eksternal telah mendorong organisasi ini untuk menyesuaikan diri agar kehadirannya tetap dibutuhkan. ASEAN tidak mungkin lagi bertahan sebagai organisasi yang sifatnya informal dan longgar dalam menghadapi tantangantantangan dari luar kawasan yang cepat berubah dan menuntut pengambilan keputusan yang cepat. Berbagai tantangan eksternal yang kini dihadapi negara-negara ASEAN seperti globalisasi dengan segala konsekuensinya, interdependensi antar-bangsa dan inter-koneksi antar28 Juli 1995, Myanmar dan Laos pada 23 Juli 1997, dan pada 30 April 1999 Kamboja menjadi anggota ASEAN yang ke-10. 2 Deklarasi Bangkok ini hanya menekankan pada kerjasama dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya. Sementara kerjasama politik dan keamanan sama sekali tidak disebutkan. Praktis selama tiga dekade terakhir ini ASEAN dikenal sebagai kawasan yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang sangat baik tetapi sangat tertinggal dalam pengembangan demokrasi karena masih berkuasanya regim militer dan otokrasi di sebagian besar negaranegara ASEAN. Baca, James Luhulima, Asia Tenggara dan Negara Luar yang Mempengaruhinya: Pendekatan Politik dan Keamanan, PT Gramedia, 1998, hal. 38 dan seterusnya. 3 Jesus P. Estanislao, “Internal Dynamics of One Southeast Asia: Economic and Social Aspects”, dalam Hadi Soesastro (ed.), One Southeast Asia In a New Regional and International Setting, CSIS, Jakarta, 1997, hal. 79.
2
masalah global, munculnya Cina dan India sebagai kekuatan-kekuatan baru yang menyebabkan persaingan semakin tajam khususnya di bidang ekonomi, serta munculnya ancaman keamanan yang bersifat transnasional mengharuskan ASEAN untuk berubah menjadi sebuah organisasi dengan aturan main yang lebih jelas (rule-based), serta terbentuk sebagai entitas legal (legal entity) agar ASEAN dapat berkiprah lebih leluasa di masa depan, baik di kawasan maupun di dunia 4 internasional. Semua faktor itu ditambah dengan perlunya ASEAN menyesuaikan diri agar lebih tanggap menghadapi ancaman-ancaman maupun kesempatan–kesempatan baru, semakin memberi keyakinan bahwa cara kerja ASEAN selama ini sudah tidak memadai lagi. Dalam konteks ASEAN kebutuhan untuk mencapai integrasi yang semakin mendalam serta urgensi menjembatani jurang pertumbuhan antara sesama negara anggota, mengharuskan ASEAN mengubah paradigma kerjasama mereka selama ini dari organisasi yang yang bersifat informal menjadi sebuah organisasi yang lebih formal dengan berlandaskan atas hukum, serta dari sebuah bentuk kerjasama yang hanya melibatkan para elit politik menjadi sebuah organisasi yang melibatkan masyarakat luas dalam berbagai kegiatannya. Proses transformasi ASEAN dimulai sejak KTT ASEAN ke-9 di Bali pada bulan Oktober 2003 yang melahirkan Bali Concord II. Kesepakatan ini menegaskan komitmen negara-negara ASEAN untuk membentuk sebuah Masyarakat ASEAN (ASEAN Community) dengan mengidentifikasi kerjasama politik dan keamanan, ekonomi, dan sosial budaya sebagai tiga pilar kerjasama di masa depan. Transformasi kerjasama ASEAN mencapai puncaknya dalam KTT ASEAN di Singapura tahun 2007 ketika para pemimpin ASEAN menandatangani cetakbiru Piagam ASEAN. Piagam ASEAN diratifikasi 15 Desember 2008 sehingga sejak tahun 2009 ASEAN tidak lagi beroperasi atas dasar Deklarasi Bangkok 5 tetapi Piagam ASEAN. Penandatanganan dokumen ini menandai dimulainya bentuk kerjasama ASEAN yang lebih formal dan berdasarkan atas aturan main yang lebih jelas sehingga tidak lagi bertahan sebagai 6 suatu asosiasi informal dan longgar. Melalui perubahan ini ASEAN berupaya menjadi sebuah organisasi yang efektif karena semua keputusan yang dikeluarkannya akan bersifat mengikat. Salah satu perubahan mendasar dalam Piagam ASEAN adalah organisasi tidak 4
“Masalah Kegunaan dan Masa depan ASEAN Charter”, CSIS, makalah yang disajikan dihadapan Komisi I DPRRI, Jakarta, 4 Februari 2008. 5 ASEAN dilahirkan melalui Deklarasi Bangkok tahun 1967, tetapi sejak 15 Desember 2008 operasional ASEAN tidak lagi didasarkan atas Deklarasi Bangkok tetapi Piagam ASEAN yang menjadikan ASEAN “become a formal institution whose members are legally bound, under it rules, to fulfill there obligations to one another and to the Association”. Untuk lengkapnya, baca, Termsak Chalermpalanupap, “Institutional Reform: One Charter, Three Communities, Many Challenges”, dalam Donald K. Emmerson (ed.), Hard Choises: Security, Democracy and Regionalism in Southeast Asia, ISEAS Publishing, Singapura, 2009, hal. 101. 6 “Understanding the ASEAN Charter and the ASEAN Economic Blueprint”, AFA and Asiadharra Issue Paper, Vol. 3, No. 1, Februari 2008, hal. 1-4.
3
hanya menekankan pada hubungan antar-pemerintah saja tetapi juga hubungan antar-warga. Hal ini dapat diketahui dari Pasal (1) Piagam ASEAN yang antara lain menyebutkan “To promote a people-oriented ASEAN in which all sectors of society are encouraged to participate in, and benefit from, the process of ASEAN integration and community building”. Perubahan paradigma telah memberikan indikasi bahwa di masa depan keberhasilan kerjasama ASEAN tidak lagi ditentukan oleh para pemimpinnya saja tetapi juga oleh masyarakatnya. Dalam pandangan Sekjen ASEAN Surin Pitsuwan, dengan disepakatinya Piagam ASEAN (ASEAN Charter) maka ke depan “ASEAN will be a 7 rules-based, people oriented and more integrated entity”. Provinsi Kepulauan Riau yang mempunyai perbatasan langsung dengan Singapura dan Malaysia, telah lama melakukan berbagai inisiatif dalam kerangka peningkatan hubungan dengan Singapura dan Johor. Misalnya untuk meningkatkan perdagangan, Pemprov Kepulauan Riau telah menjadikan pembangunan sarana transportasi sebagai prioritas. Di samping itu pemprov juga memberi kebebasan kepada Batam, Bintan dan Karimun untuk memajukan perdagangan wilayahnya dengan Singapura dan Malaysia dengan sistem one stop service. Dengan kebijakan semacam ini, masing-masing wilayah itu tidak perlu lagi melalui pemerintah provinsi ketika memutuskan untuk bekerjasama dengan Singapura atau Malaysia. Kemudian untuk bidang sosial dan budaya, hubungan bersifat personal juga dilakukan antara individu-individu di Kepri dengan masyarakat di Johor atau Selangor atau wilayah Malaysia di sekitar perbatasan. Misalnya melakukan tukar menukar pemuda dengan negara tetangga dalam bentuk kesenian. Untuk pendidikan, sejauh ini Pemprov Kepulauan Riau telah bekerjasama dengan Johor membangun Universitas Raja Ali Haji di Batam yang khusus membidangi masalah maritim. B. Permasalahan dan Pertanyaan Penelitian Dengan identitas baru sebagai organisasi yang menekankan pada hubungan antar-warga (people oriented), ASEAN harus merespon dan mengelola setiap keinginan masyarakatnya untuk terlibat secara aktif dalam upaya meningkatkan kerjasama agar eksistensi ASEAN sebagai satu-satunya organisasi regional di Asia Tenggara tetap terjaga. Keuntungan dari kerjasama antar-warga ini adalah kemungkinan adanya kontinuitas. Apabila terjadi pergantian pemerintahan di masing-masing negara, maka kerjasama semacam ini tidak akan terganggu. Di samping itu pendekatan antar-warga juga ini bisa menjembatani alih generasi di masing-masing negara. Dengan gambaran seperti itu, permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana prospek kerjasama ASEAN ke depan?
77
Pokpon Lawansiri, “ASEAN: People-oriented or disoriented?, Inquirer.net, 29 November 2009, diakses tanggal 29 Januari 2010.
4
Topik ini menarik untuk diteliti sebab terkait dengan proses transformasi identitas ASEAN dari sebuah organisasi yang biasa menekankan pada hubungan antar-pemerintah (government oriented) menjadi hubungan antar-warga (people oriented). Di dalam proses transformasi ini, ASEAN harus dapat mendorong masyarakatnya untuk aktif berdialog atau melakukan kegiatan-kegiatan yang mendukung percepatan pembentukan Masyarakat ASEAN tahun 2015 seperti yang dicita-citakan dalam Declaration of ASEAN Concord II (Bali Concord II). Dengan permasalahan seperti itu, tulisan ini akan dibagi dalam 3 bahasan yaitu: 1. Bagaimana bentuk kerjasama ASEAN selama ini? 2. Apa urgensi Piagam bagi ASEAN? 3. Bagaimana prospek kerjasama ASEAN ke depan setelah diratifikasinya piagam ASEAN? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan ASEAN dari organisasi yang bersifat state oriented menjadi people oriented seperti yang disebutkan dalam Piagam ASEAN. Karena melalui perubahan semacam ini berarti kelangsungan kerjasama tidak lagi ditentukan oleh hubungan antar-pemerintahnya tetapi pada hubungan antar-warganya. Provinsi Kepulauan Riau sengaja dipilih sebagai obyek penelitian karena masyarakat di kawasan ini telah lama memiliki hubungan yang bersifat ekonomi maupun kebudayaan dengan masyarakat dari Singapura ataupun Johor, Malaysia, sehingga menarik untuk diketahui bagaimana hubungan antar-warga di kawasan ini ke depan setelah adanya Piagam ASEAN. Hubungan antar-warga bisa dilakukan oleh siapa saja, baik individu maupun anggota organisasi tertentu. Keterlibatan individuindividu semacam ini bertujuan membantu pemerintah menyelesaikan masalah baik di bidang ekonomi, sosial budaya maupun politik. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan masukan bagi para akademisi, peneliti atau anggota Komisi I DPR RI yang membidangi masalah-masalah keamanan dan luar negeri, yang mempunyai kepentingan terhadap organisasi ASEAN. D. Kerangka Pemikiran Guna menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi, serta untuk mencapai keberhasilan dalam kerjasama regional di bidang politik, ekonomi maupun keamanan, ASEAN biasanya mengandalkan pada pola-pola diplomasi yang bersifat formal maupun informal. Pola-pola
5
8
diplomasi tersebut terdiri dari 3 jalur yaitu: Track One jika pembicaraan hanya melibatkan pemerintah saja; Track II jika pemerintah dan komunitas masyarakat bertemu secara informal untuk mencari penyelesaian masalah; dan Track Three jika pemerintah melibatkan NGO atau civil society dalam sebuah pembicaraan yang bersifat informal. Tulisan ini menggunakan track two diplomacy sebagai kerangka berpikir karena mencakup semua bentuk kegiatan tidak resmi yang dilakukan oleh individu yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah 9 ataupun memperkuat hubungan tanpa adanya pihak ketiga. Karena bersifat tidak resmi, kegiatan yang dilakukan bisa berbentuk komunikasi verbal biasa, bisa saling pengertian atau kerjasama. Diplomasi tidak resmi dilakukan dengan asumsi bahwa kegiatan yang mereka lakukan tidak mungkin bisa dilakukan melalui jalur resmi. Berbeda dengan Track One Diplomacy yang pelakunya berasal dari kalangan pemerintah, atau birokrat serta bersifat formal, maka di dalam track two diplomacy, pelaku atau aktor yang terlibat di dalamnya berasal dari berbagai kalangan dan melakukan diplomasi itu secara perorangan daripada melalui organisasi 10 formal dimana ia bernaung. Dalam konteks Asia Pasifik, Brian Job memberikan pendapatnya 11 bahwa track two diplomacy mempunyai dua pengertian, yaitu: pertama, mengacu pada “the entire of informal networking activities, unofficial channels of communication, and people to people diplomacy, across national and regional level, including official and nonhgovernmental diplomacy”. Kedua, mengacu pada “a particular form of dialog activity associated…..with the promotion of cooperation and multilateral security regionalism”. Hampir dua dekade diplomasi tidak resmi telah muncul sebagai sebuah fenomena yang menarik dalam hubungan antar-negara di kawasan Asia Tenggara. Munculnya diplomasi tidak resmi ini yang 12, dimotori oleh apa yang diistilahkan sebagai “epistemic community” telah turut memberi warna terhadap identitas ASEAN. Meskipun pemahaman tentang track two diplomacy sangat luas karena semua kegiatan yang bersifat non-pemerintah termasuk di dalamnya, akan tetapi secara spesifik track two diplomacy dapat diartikan sebagai “unofficial policy dialog focused on problem solving where the
8
Lihat, Donald K. Emmerson, Hard Choices: Security, Democracy and Regionalism in Southeast Asia, ISEAS, Singapura, 2009, hal. 14. 9 Dr. Louise Diamond, Multi-Track Diplomacy: A Systems Approach to Peace, third edition, Kumarian Press, West Hartford, Connecticut, 1996, 38-39. 10 Ibid. 11 Brian Job, “Track II Diplomacy: Ideational Contribution to the Evolving Asia Security Order”, dalam Muthiah Alagappa (ed), Asia Security Order, Stanford University Press, 2002, hal. 246-247. 12 Ada yang mengistilahkan kelompok seperti ini sebagai “epistemic community”, yaitu jaringan kerja kelompok profesional yang diakui kemampuan dan kompetensinya di bidang tertentu. Lihat Kim Beng Phar, “Asia‟s Informal Diplomacy: Track Two Discussion and Regionalism”, Media, Vol. 23, No. 1, Spring 2001 dalam http://www. harvardir.org/articles/998/, diakses 12 Oktober 2009.
6
13
participants have some form of access to official policymaking circles”. Pihak-pihak yang terlibat dalam track two diplomacy ini pada umumnya mempunyai akses terhadap para pembuat kebijakan atau pemerintah sehingga ide-ide yang berkembang dalam diskusi yang berlangsung secara informal itu dapat membantu pemerintah mengatasi masalah yang muncul. Meningkatnya aktifitas bisnis di kawasan Asia Tengggra yang diikuti dengan meningkatnya pertemuan di kalangan pengusaha telah turut membentuk proses regionalisasi kerjasama ekonomi 14 ASEAN. Meskipun keterlibatan non-state actor seperti kalangan pengusaha, akademisi, dan LSM diakui telah turut mempercepat proses pembentukan identitas dan komunitas kawasan, akan tetapi mereka belum pernah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Karena itu, ASEAN kini berada dalam tekanan masyarakatnya untuk membuat perubahan yang substansial di dalam modus operandinya. Sebab, jika hal itu tidak dilakukan besar kemungkinan ASEAN akan kehilangan signifikansinya di tengah berkembangnya gelombang demokratisasi di kawasan. ASEAN yang pro-rakyat dan menjadi milik masyarakat adalah pesan masa kini dan masa mendatang. Kehadiran ASEAN jangan hanya dirasakan oleh para pemimpinnya tetapi juga masyarakatnya, sehingga kehadiran ASEAN akan lebih mengakar di masyarakat. Dengan demikian, eksistensi dan kerjasama ASEAN bisa lebih diandalkan untuk menghadapi persaingan dengan organisasi regional lainnya. Untuk itu ASEAN harus menciptakan kualitas hidup yang lebih baik dan menciptakan peta kehidupan regional yang lebih baik, berkualitas dan bermartabat. Partisipasi seluruh warga, karenanya, merupakan sebuah kebutuhan dan keharusan. Pelibatan warga dalam pembangunan masyarakat ASEAN melalui pertemuan parlemen, pemuda, wakil-wakil masyarakat sipil dan pengusaha akan menjadi titik balik penting dalam menciptakan rasa persaudaraan di kalangan rakyat ASEAN, dan mengubah aspirasi mereka menjadi sesuatu yang konkrit. Di tengah-tengah semakin majunya kerjasama regional di berbagai kawasan, kerjasama internal ASEAN tetap harus berlanjut dengan intensitas kedekatan yang tetap terjaga. Karena itu sudah saatnya bagi ASEAN untuk lebih mengedepankan kerjasama antarwarga sebagai sebuah bentuk kerjasama yang bersifat bottom up karena dilakukan bukan melalui saluran pemerintah tetapi langsung oleh warga. Menghadapi berbagai ancaman dan tantangan lintas-batas yang semakin kompleks di tingkat regional, ASEAN dituntut untuk meningkatkan kerjasama berbasis people to people melampaui perbedaan persepsi, tradisi, latar belakang ataupun sistem nilai terkait dengan isu-isu dalam negeri masing-masing negara. 13
Dalia Dassa Kaye, “Rethinking Track Two Diplomacy: The Middle East and South Asia”, Clingendael Diplomacy Papers, No. 3, Netherland Institute of International Relations, Juni 2005. 14 Dikutip dari Alexander C. Chandra, “Indonesia‟s Non-States Actors in ASEAN: A New Regionalism Agenda for Southeast Asia?”, Contemporary Southeast Asia 26, no. 1, 2004, hal. 159.
7
E. Metodologi Penelitian 1. Metode Analisis Data Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang menjelaskan melalui analisis data primer dan sekunder tentang upaya dan prospek ASEAN sebagai sebuah organisasi regional, yang tidak hanya menekankan pada hubungan antar-pemerintah tetapi yang terpenting adalah hubungan antar-warga. Data primer merupakan hasil pengumpulan data yang diperoleh melalui wawancara mendalam terhadap beberapa informan yang dipilih secara sengaja (purposive). Sedangkan data sekunder adalah bahan-bahan tertulis yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan. Sifat penelitian ini deskriptif karena melukiskan atau menggambarkan secara jelas jawaban atas permasalahan. 2. Cara Pengumpulan Data Pengumpulan data pertama-tama dilakukan melalui studi kepustakaan untuk mendapatkan data sekunder terkait dengan permasalahan yang hendak diteliti dalam penelitian ini. Setelah memperoleh data yang diperlukan, penelitian dilanjutkan dengan penelitian lapangan untuk memperoleh data primer melalui wawancara secara mendalam (in-depth interview) dengan pihak-pihak yang terkait. Pihak-pihak yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah para pejabat dari pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau, pejabat pemerintahan Pemerintah Kota Batam serta Kadin Batam. 3. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan dari tanggal 1-10 November 2009, di Provinsi Kepulauan Riau. Dipilihnya provinsi ini karena mempunyai perbatasan langsung dengan Singapura dan Malaysia sehingga bisa dipastikan bahwa interaksi antar penduduk kedua wilayah berlangsung secara intensif baik secara ekonomi maupun sosial budaya. II. Hasil Penelitian dan Pembahasan A. Kerjasama ASEAN Di tengah Munculnya Tantangan Baru Pada saat didirikan tahun 1967, ASEAN tidak memiliki piagam atau konstitusi atau instrumen hukum lainnya yang menjelaskan tentang pembentukannya, struktur dasar dan fungsi dari organisasi ini. Negaranegara pendiri ASEAN pada saat itu lebih memilih sebuah organisasi regional yang sifatnya informal dan fleksibel sebagai forum konsultasi
8
dan koordinasi di antara negara-negara se kawasan untuk meningkatkan 15 saling pengertian dan kerjasama. Kerjasama ASEAN berjalan secara informal yang didasarkan atas konsensus atau yang dikenal dengan 16 sebutan ASEAN Way. Cara ini menempatkan pendekatan konsultasi dan dialog sebagai prioritas dan menghindari perdebatan umum. Semua kebijakan ASEAN harus disepakati secara bulat oleh semua negara anggota. Konsekuensinya, keputusan yang diambil oleh negara-negara anggota ASEAN lebih sebagai hasil kompromi daripada sebagai upaya untuk mencari jalan keluar dari suatu permasalahan. Operasional ASEAN didasarkan atas sejumlah prinsip yang tertera dalam Deklarasi Bangkok tahun 1967. Di antaranya yang terpenting adalah komitmen untuk menyelesaikan setiap persoalan secara damai dan kebijakan nonintervensi terhadap setiap urusan domestik masing-masing negara. Tidak mengherankan bila kemudian muncul suara-suara yang menyatakan bahwa struktur organisasi ASEAN sebenarnya sangat 17 longgar. Implikasi dari pilihan ASEAN sebagai sebuah organisasi regional yang bersifat fleksibel dan longgar inilah, yang sekarang mulai mendapat sorotan tajam karena terbukti menjadi sumber kelambanan kerjasama ASEAN. Konsekuensi dari dipilihnya bentuk organisasi seperti ini adalah di dalam mengambil keputusan selalu didasarkan atas konsensus, melalui tahapan konsultasi secara tuntas hingga tercapai persetujuan. Di dalam mencapai consensus, metode “10-X” sering digunakan sebagai model pengambilan keputusan, khususnya dalam bidang kerjasama ekonomi. Dengan metode itu berarti mayoritas negara yang mampu melaksanakan keputusan ini akan langsung melaksanakannya sementara negara yang tidak siap untuk melaksanakan keputusan itu diberi tenggang waktu untuk bergabung kemudian. Dengan cara seperti ini kerjasama ASEAN berjalan lamban. Sebagai sebuah organisasi yang longgar, ASEAN selalu memutuskan sebuah kebijakan secara kolektif, dan mempertahankan sikap hati-hatinya dalam kerjasama regional dengan didasarkan pada partisipasi secara sukarela dari setiap negara anggotanya. Oleh sebab itu, prinsip konsensus selalu dijadikan sebagai dasar dalam setiap pengambilan keputusan, melakukan negosiasi, maupun dalam aturan diplomasi secara umum. Karena kehati-hatian ini tidak jarang prinsip konsensus inipun berjalan lamban dan bersifat sepotong-sepotong (peacemeal approach). Dengan karakter seperti itu, ASEAN tetap berupaya menjadi organisasi yang bersifat “outward looking” dengan pendekatan yang sangat hati-hati pula dalam setiap upaya kerjasama 15
Jesus P. Estanislao, op.cit, hal. 79. Untuk mengetahui lebih jauh tentang ASEAN Way, baca Gillian Goh, “The ASEAN Way: Non Intervention and ASEAN Role in Conflict Management”, Stanford Journal of East Asian Affairs, Vol. 3, No. 1, Spring 2003, hal. 113-118. 17 Meskipun ASEAN aktif memainkan perannya di Asia Tenggara tetapi didalam konsepsi negara-negara Barat, ASEAN merupakan organisasi yang belum matang karena faktor informal tersebut. Meskipun telah membuat dan mempunyai struktur tetapi karakter dasar ASEAN adalah “loosely connected association”. Lihat Liao Shaolian, “ASEAN Model in International Economic Cooperation”, dalam Hadi Soesastro (ed.,) op.cit, hal. 151. 16
9
regional. Ada pendapat yang mengatakan bahwa selama hampir 40 tahun, ASEAN menjadi sebuah organisasi antar-pemerintah dengan penampilan ganda di dalam berbagai forum internasional, di satu sisi ASEAN merupakan organisasi internasional tetapi di dalam kenyataannya ia tidak menampakkan diri sebagai organisasi 18 internasional karena keputusan yang diambil tidak pernah bulat. Hal demikian bisa terjadi sebab ketika didirikan ASEAN lebih banyak dilihat sebagai bentuk kerjasama untuk meningkatkan kedaulatan masing-masing anggotanya (sovereignty enhancing). Tetapi gagasan 19 semacam ini sangat bersifat “state-centric” sebab ASEAN cenderung disalahgunakan oleh beberapa anggotanya untuk meningkatkan kemampuan pemerintah, atas nama kedaulatan nasional, 20 mempertahankan status quo yang mengekang kebebasan warganya. Myanmar, misalnya, berusaha menggunakan ASEAN sebagai tameng untuk menampik tekanan internasional terhadap kondisi dalam negeri negaranya. Bersama Vietnam dan Laos, Myanmar juga belum memberikan kebebasan kepada warganya berekspresi sehingga menjadi masalah ketika ASEAN berkeinginan memajukan HAM di kawasan Asia Tenggara. Selama ini ASEAN mampu mempertahankan stabilitas dari berbagai gejolak politik dan ekonomi global. Tetapi kini ada ancaman keamanan dalam bentuk kejahatan transnasional dan dalam bidang ekonomi dengan munculnya Cina dan India sebagai kekuatan ekonomi baru di Asia. Ancaman-ancaman ini relatif berbeda dengan yang dihadapi negara-negara di Asia Tenggara ketika ASEAN pertama kali dibentuk Agustus 1967 di Bangkok, Thailand. Nuansa politik, ekonomi, perdagangan, sosial dan budaya negara-negara anggota ASEAN juga mengalami perubahan. Nuansa ini juga berbeda dengan pandangan para pendiri ASEAN. Kawasan Asia Tenggara tetap menghadapi berbagai tantangan krusial yang bisa mengancam eksistensi, stabilitas dan perdamaian seperti tertuang dalam Treaty of Amity and Cooperation (TAC). Munculnya tantangan-tantangan baru menuntut ASEAN untuk melakukan perubahan-perubahan di dalam organisasinya. Dirasakan bahwa, walaupun selama kurang lebih empat dasawarsa ASEAN telah mencapai pertumbuhan serta keberhasilan tanpa adanya suatu dasar 21 hukum formal . Selain itu walaupun cara kerja ASEAN selama itu hampir seluruhnya mengacu kepada musyawarah mufakat, mengacu kepada persuasi politik daripada penegakan juridis, akan tetapi perubahanperubahan mendasar yang telah dan sedang terjadi baik di gelanggang 18
Elena Asciutti, “The ASEAN Charter: An analysis”, Perspectives on Federalism, Vol. 2, Issue 1, 2010, hal 43-45. 19 Marlene Ramirez, “ASIADHRA and ASEAN: A Case Study on the Process of Civil Society Engagement with a Regional Intergovernmental Organization”, FIM Forum 2008, Montreal, Kanada, hal. 2. 20 Lihat, Rene L. Pattiradjawane, “Membangun ASEAN Baru”, Kompas, 15 Juni 2009. 21 Pendirian ASEAN tahun 1967 di Bangkok hanya berdasarkan atas sebuah deklarasi sebanyak 2 lembar kertas.
10
internasional maupun regional, menghadapkan ASEAN pada problemaproblema baru. Sementara itu, ASEAN sendiri seperti tercantum dalam Bali Concord II, telah memutuskan untuk tumbuh menjadi Masyarakat ASEAN (ASEAN Community) dan tidak lagi bertahan sebagai suatu asosiasi informal dan longgar. B. Urgensi Piagam ASEAN Dengan kondisi yang ada saat ini ASEAN memerlukan penyesuaian diri agar lebih tanggap menghadapi ancaman-ancaman maupun kesempatan-kesempatan baru, timbul pemikiran bahwa kelembagaan ASEAN sudah tidak memadai lagi. Selama lebih dari 4 dekade sejak tahun 1967, ASEAN berkembang dengan kelembagaan yang sangat minimal, pusat sekretariat yang kecil dan konsensus bahwa kerjasama program dijalankan secara longgar karena tidak dilengkapi dengan mekanisme yang dapat memaksa negara anggotanya untuk patuh pada keputusan yang diambil. Dengan kondisi yang demikian, muncul kekuatiran bahwa kerjasama ASEAN selama ini tidak akan cukup efektif untuk menggapai program-program kerja yang tergolong ambisius dalam rangka menuju integrasi ekonomi, politik dan sosial seperti yang dikehendaki dalam pembentukan Masyarakat ASEAN. Direktur Centre for Peace and Development Studies, M. Rajaretnam, merupakan salah seorang tokoh penting yang menyatakan kekhawatirannya dengan kerjasama ASEAN saat ini. Ia antara lain mengatakan cepat atau lambat ASEAN harus mempunyai kesamaan nilai baik untuk politik maupun ekonomi agar dapat lebih fleksibel dalam 22 menghadapi berbagai pertemuan internasional. Ia mencontohkan Uni Eropa yang menuntut semua negara anggotanya untuk menjalankan prinsip-prinsip negara demokrasi dan pasar bebas. Menurutnya, persyaratan semacam ini penting bagi ASEAN karena negara-negara anggotanya terdiri dari negara otoriter dengan satu partai dan 23 pemerintahan militer. Gagasan tentang pembentukan Piagam ASEAN untuk menggantikan Deklarasi Bangkok pertama kali disuarakan oleh Malaysia. Keinginan untuk mengubah struktur organisasi ASEAN yang dituangkan dalam sebuah piagam diusulkan oleh Malaysia pada tahun 2004. Keputusan untuk menindaklanjuti usulan Malaysia itu terjadi pada saat berlangsung KTT ASEAN ke 11 tahun 2005 di Kuala Lumpur. Di dalam konsepnya yang berjudul ‘Review of ASEAN Institutional Framework: Proposals for Change’, Malaysia antara lain menjelaskan tentang pentingnya mendorong ASEAN berkembang menjadi Masyarakat ASEAN. Agar berhasil, perubahan itu harus dilakukan secara bertahap karena terkait dengan kerangka kelembagaan. Karena itu, salah satu 22
M. Rajaretnam, “Principles in Crisis: The Need for New Dorections”, dalam Kao Him Hourn, ed, ASEAN’s Non-Interference Policy: Principle Under Pressure”, ASEAN Academic Press, London, 2002, hal. 43. 23 Ibid.
11
yang disarankan adalah dengan mengubah atau memperbaiki kelembagaan ASEAN, metode bekerja dan peraturannya. Untuk merealisasikan gagasan tersebut, setelah berlangsungnya KTT, ASEAN segera membentuk Eminent Person Group (EPG) yang terdiri dari 10 orang mewakili 10 negara anggota ASEAN. Tugas EPG adalah memberi saran tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan negaranegara anggota sehubungan dengan rencana reorganisasi ASEAN. Perdana Menteri Malaysia Ahmad Badawi yang memimpin KTT mengatakan bahwa ASEAN perlu mengubah dirinya menjadi organisasi 24 yang lebih “people-centred community”. Selanjutnya, pada tahun 2006, ketika berlangsung KTT ASEAN di Cebu, Philipina, EPG mempresentasikan sebuah dokumen yang terkenal dengan nama „Blueprint for an ASEAN Charter‟. Gagasan terpenting EPG adalah ASEAN harus mempunyai sebuah Piagam yang berisi tentang peraturan-peraturan, pernyataan kedaulatan, hak dan kewajiban, serta mempunyai akses terhadap proses legislasi, eksekutif dan yudisial dalam upaya untuk mempercepat proses integrasi. Setelah melalui perdebatan yang panjang, Piagam itu disetujui dan diratifikasi oleh negara-negara anggota ASEAN dan mulai berlaku pada 15 Desember 2008. Akan tetapi di dalam pembahasannya, beberapa prinsip penting ASEAN seperti non intervensi dan saling menghormati kedaulatan masing-masing negara masih dipertahankan. Diplomasi ASEAN yang didasarkan atas dialog dan konsensus juga masih dipertahankan. Pada tanggal 15 Desember 2008, ASEAN meresmikan berlakunya Piagam ASEAN, menggantikan Deklarasi Bangkok. Sebuah era baru telah dimulai. Piagam ASEAN yang yang terdiri dari 13 bab dan 55 pasal serta 4 annex, sebagai bagian dari perubahan itu, telah mencantumkan nilai baru didalam piagam tersebut untuk menjawab tantangan yang datang dari dalam maupun dari luar. Melalui Piagam ini, 25 faktor kelembagaan yang selama ini menjadi penghambat kemajuan , diperbarui dengan ditetapkannya ASEAN sebagai organisasi kerjasama regional yang berdasarkan hukum (ruled based) dan sebagai sebagai entitas legal (legal personality) dengan struktur kelembagaan yang lebih 26 jelas dan efisien. Dengan struktur baru tersebut, maka ASEAN diharapkan akan lebih mampu menghadapi ancaman-ancaman internal 27 maupun eksternal , apalagi diperkuat dengan kesepakatan membentuk komunitas (annex 1) sehingga ASEAN akan lebih kohesif dalam 24
Mely Caballero-Anthony, “The ASEAN Charter: An Opportunity Missed or One That Cannot be Missed?”, Southeast Asian Affairs 2008, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, 2008, hal. 71–72. 25 Tommy Koh, “ASEAN Charter at One: A Thriving Tiger Pup”, The Straits Times, 9 Desember 2009. 26 Ali Alatas, “Piagam ASEAN Kebutuhan Mencapai Integrasi, Tabloid Diplomasi, edisi April 2008 dalam http://tabloiddiplomasi.com/, diakses 29 Januari 2010. 27 Untuk lengkapnya, lihat, Rodolfo Severino, “Framing the ASEAN Charter: An ISEAS Perspective”, dalam Rodolfo Severino (ed.), Framing The ASEAN Charter: An ISEAS Perspective, ISEAS Publications, Singapura, 2005, hal. 7.
12
menghadapi setiap persoalan. Penetapan tahun 2015 bagi terbentuknya Komunitas ASEAN dimaksudkan agar tersedia waktu yang cukup bagi masing-masing negara anggota untuk secepatnya menyelesaikan persoalan domestiknya. Khusus dalam konteks ASEAN sendiri, kebutuhan untuk mencapai integrasi yang semakin mendalam serta urgensi menjembatani jurang pertumbuhan antara sesama negara anggota ASEAN, menuntut organisasi ini melakukan perubahan melalui pembentukan Piagam. Nilai baru terpenting yang diperkenalkan ASEAN dan kemudian menimbulkan perdebatan adalah organisasi ini bukan lagi semata-mata bersifat “state centric” tetapi “people oriented” (pasal 1). Ini berarti, di masa mendatang hubungan di antara negara-negara anggota ASEAN tidak lagi disandarkan pada berbagai upaya yang dilakukan pemerintah saja tetapi juga hubungan antar-warga sebagai upaya untuk memperkuat “wajah” baru ASEAN. Masa depan ASEAN tidak lagi ditentukan oleh berbagai bentuk diplomasi yang dilakukan oleh pemerintahnya saja tetapi juga oleh berbagai bentuk dialog dan pertukaran antar-warga secara aktif yang dapat memperkuat bentuk baru hubungan antar negara anggota ASEAN. 28 Di dalam pandangan Ong Keng Yong , ada 3 alasan mengapa ASEAN membutuhkan sebuah piagam. Pertama, untuk membangun Komunitas ASEAN dan pada saat yang bersamaan mempersempit jurang perbedaan hasil-hasil pembangunan di antara negara-negara anggota ASEAN. Dengan mempunyai Piagam, ASEAN dapat mentransformasikan dirinya ke dalam sebuah organisasi yang mempunyai aturan main yang lebih jelas (rule-based), serta terbentuk sebuah entitas legal (legal entity). Kedua, agar berhasil dalam membangun komunitas ASEAN, setiap negara anggota harus bekerjasama melaksanakan kesepakatan-kesepakatan yang dicapai ASEAN kedalam kebijakan nasionalnya serta konsisten melaksanakan setiap keputusan yang diambil dalam KTT ASEAN dan persetujuan ASEAN lainya. Ketiga, pembangunan ASEAN membutuhkan kerjasama dalam pengadaan sumber daya. Piagam ASEAN dapat menjadi pertanda bahwa ASEAN memerlukan perhatian dan dukungan masyarakatnya. ASEAN harus dapat meyakinkan lebih dari 520 juta penduduknya tentang agenda dan tujuan serta bagaimana rakyat dapat mengambil keuntungan dari keberadaan ASEAN. Jika rakyat ASEAN tidak dapat berpartisipasi dalam setiap kegiatan ASEAN, maka dapat dipastikan bahwa ASEAN tidak akan mempunyai sumber-sumber substansial untuk memberikan hasil konkrit dalam memajukan integrasi. Lebih lanjut, menurut Ong Keng Yong “The Asean Charter will serve the organisation well in three interrelated ways, such as, formally accord Asean legal personality, establish greater institutional accountability and compliance 28
Ong Keng Yong, “What‟s the Difference Between ASEAN Past and Present”, makalah yang disajikan dalam 2nd ASEAN-Asia Forum yang diselenggarakan oleh Singapore Institue of International Affairs, Singapura, 17 April 2009, dalam http://www.siiaonline.org/?q=events/2nd-asean-and-asia-forum, diakses 26 Mei 2010.
13
system, and reinforce the perception of Asean as a serious regional 29 player in the future of the Asia-Pacific region". Dicantumkannya nilai baru seperti itu di dalam Piagam akan menjadikan ASEAN tetap menjadi sebuah organisasi regional yang berpengaruh dan eksistensinya tidak hilang ditelan jaman sebab diplomasi di kawasan Asia Tenggara tidak hanya melibatkan pemerintah tetapi juga warganya. Bagaimanapun, ASEAN tetap harus mempertahankan relevansinya dan dijadikan sebagai kekuatan penggerak dalam kerjasama regional. ASEAN perlu beradaptasi agar mampu merespon secara efektif setiap perubahan baik yang bersifat internal maupun eksternal. ASEAN tidak dapat hanya melibatkan pemerintah jika ingin sukses dan tumbuh menjadi perhimpunan regional yang maju dan langgeng. ASEAN juga harus melibatkan kalangan bisnis, swasta, media massa, LSM dan tentunya rakyat negara-negara anggota ASEAN. Dengan melibatkan semakin banyak kalangan masyarakat di dalam setiap kegiatannya, dengan sendirinya keberadaan ASEAN. akan dirasakan sebagai bagian dari kehidupan mereka. Anggota masyarakat di antara negara ASEAN akan lebih saling mengenal, mengerti, dan mendapatkan manfaat dan peluang dari kerjasama ASEAN. Suatu hal yang selama ini lebih mudah diwacanakan daripada diwujudkan. Tugas dan pekerjaaan untuk mentransformasikan bangsa-bangsa di Asia Tenggara yang berjumlah lebih dari 520 juta jiwa menjadi sebuah komunitas yang aman dan sejahtera bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. ASEAN masih harus membuktikan bahwa kerjasama yang akan dilakukannya di masa mendatang harus melibatkan kepentingan negara 30 dan rakyatnya. Menyelenggarakan beratus-ratus pertemuan setiap tahun tidak akan ada maknanya jika ASEAN tidak mampu 31 mengimplementasikannya. Tugas maha berat yang kini dipikul oleh para pemimpin generasi baru ASEAN adalah mengubah kultur yang selama ini telah tertanam erat di dalam kerjasama ASEAN yaitu menilai keberhasilan sebuah pertemuan dilihat dari kesepakatan yang telah tercapai. Padahal yang lebih penting lagi adalah implementasi kesepakatan itu dengan tempo yang secepatnya. Sebab melalui implementasi kesepakatan-kesepakatan, maka rakyat di ASEAN akan lebih mengenal dan mengetahui organisasi satu-satunya di Asia Tenggara ini. Sejauh ini banyak yang diinginkan pemerintah pusat tidak 29
Waleed PD Mahdini, “A people-oriented Asean?”, The Brunei Times, 22 Juni 2007, dalam http://www.bt.com.bnopinion20071122a_people_oriented_asean.mht, di akses 1 Juni 2010. 30 Herman Joseph S. Kraft, “A Charter for ASEAN: Challenges and Prospects for Community Building”, Indonesia Quarterly, Vol. 36, No. 3-4, 2008, hal. 279-283. 31 Pada tahun 2007, ASEAN tercatat menyelenggarakan tidak kurang dari 700 pertemuan, jumlah yang sangat sedikit bila dibandingkan dengan Uni Eropa yang menyelenggarakan sampai 3500 pertemuan. Tetapi kelemahan terbesar ASEAN adalah koordinasi antara pertemuan tingkat menteri per sektor, atau antara menteri dengan pejabat seniornya sehingga banyak keputusannya yang tidak sampai ke pihak-pihak yang berkepetingan. Lebih jauh, Baca, Termsak Chalermpalanupap, op.cit, hal. 117.
14
diimplementasikan oleh bawahannya. Misalnya seperti yang dialami Kadin Batam ketika ingin mengetahui data tentang Common Effective Preferential Tarriff (CEPT). Kadin Batam sebenarnya telah meminta data tentang CEPT ke Departemen Perdagangan, namun setelah menunggu sekian lama data itu tidak dikirim juga, maka Kadin Batam meminta data itu ke Sekretariat ASEAN. Tetapi yang terjadi kemudian, Sekretariat ASEAN menegur Departemen Perdagangan RI agar data tersebut dikirim 32 ke Kadin Batam. Walaupun hubungan antar-pemerintah negara-negara ASEAN telah sangat maju terbukti dari seringnya pertemuan antar-pejabat tinggi negara akan tetapi kenyataannya hubungan di antara warga negara anggota ASEAN masih lemah. Kerjasama ASEAN selama ini lebih bersifat seremonial sehingga belum ada dampaknya sama sekali 33 terhadap masyarakat luas. Hubungan di antara warga negaranya masih perlu ditingkatkan lagi meskipun tentunya memerlukan waktu. Akan tetapi upaya ke arah itu harus dilakukan agar rasa memiliki terhadap ASEAN tidak hanya ada di benak para pemimpin atau elit politiknya tetapi juga sampai di tingkat akar rumput. Hubungan antar-warga negara di antara 34 negara-negara ASEAN sejauh ini terbukti belum cukup dewasa. Tanpa pemahaman dan respons yang simpatik dari rakyat negara anggota ASEAN maka hubungan baik dan saling pengertian di antara para pemimpin dan elit politiknya menjadi tidak ada artinya. Kesiapan negara-negara ASEAN untuk memajukan organisasinya juga bisa dilihat dari peningkatan peran Sekretaris Jenderal ASEAN. Selama ini, yang dimaksud dengan Sekretaris Jenderal 35 ASEAN adalah Sekretaris Jenderal dari Sekretariat ASEAN. Tetapi saat ini bersamaan dengan berlakunya Piagam ASEAN maka yang dimaksud dengan Sekretaris Jenderal adalah Sekretaris Jenderal ASEAN. Perubahan status Sekretaris Jenderal ini sangat penting sebab salah satu kelemahan ASEAN selama ini adalah tidak serius menjalankan 36 komitmennya. Banyak kesepakatan yang telah dicapai ASEAN menjadi “mentah” kembali karena banyak negara anggota yang tidak mau menjalankan komitmennya sehingga menghambat proses integrasi ASEAN. Pembentukan Masyarakat ASEAN juga menghadapi tantangan 32
Wawancara dengan Nada Faza Soraya, op. cit. Wawancara dengan Ir. Soeripno, Kepala Bappeda Kepri, di Tanjung Pinang, 2 November 2010. 34 Hal ini bisa dilihat dari aksi sweeping terhadap warga Malaysia yang dilakukan sekelompok orang di depan Kedutaan Malaysia di Jakarta. Aksi ini mendorong Malaysia memanggil Dubes RI untuk Malaysia Da‟I Bachtiar ke Kementerian Luar Negeri Malaysia. Lihat “RI Sesalkan Aksi Sweeping”, Kompas, 11 September 2009, hal. 9. 35 Salah satu sumber kelambanan kerjasama ASEAN selama ini terletak pada peran Sekjen yang sangat terbatas karena hanya menjadi Sekretaris Jenderal dari sebuah Sekretariat ASEAN. Jabatan ini praktis tidak mempunyai wewenang apapun kecuali menjadi fasilitator pertemuan-pertemuan ASEAN. Lihat, Hadi Soesastro, ASEAN: Regional Economic Cooperation and Its Institutionalization, Working Paper Series, No 71, CSIS, Jakarta, 2003, hal. 6. 36 Tommy Koh, “ASEAN Charter at One: A Thriving Tiger Pup”, The Straits Times, 09 Desember 2009. 33
15
karena beberapa negara anggota ASEAN berusaha menunda pelaksanaan kawasan perdagangan bebas ASEAN untuk melindungi industri dalam negerinya. Untuk mengatasi kelemahan seperti ini, Piagam ASEAN telah memberi tanggung jawab kepada Sekjen ASEAN untuk memonitor kepatuhan negara-negara ASEAN menjalankan komitmennya {Pasal 27 ayat (1)}. Dengan cara seperti ini akan mudah diketahui negara mana saja yang belum menjalankan kesepakatan ASEAN dan Sekjen mempunyai otoritas untuk mendorong negara tersebut menjalankan kesepakatan yang dicapai ASEAN. Jika terjadi sengketa diantara negara anggota terkait dengan realisasi komitmen, Piagam telah mengaturnya dalam bentuk mekanisme penyelesaian sengketa. Pengaturan semacam ini sangat penting untuk memberi jaminan kepada negara mitra dalam membuat persetujuan dengan ASEAN. ASEAN telah mencapai kemajuan yang cukup berarti melalui pembentukan Piagam ASEAN. Kendati demikian tetap ada kelemahan yang harus diakui karena akan menjadi tantangan terhadap kerjasama ASEAN ke depan. Piagam secara jelas menyebutkan bahwa ASEAN akan mejadi organisasi yang people oriented, tetapi sayangnya tidak disebutkan bagaimana melibatkan rakyat dalam kegiatan organisasi. Pemerintah nampaknya belum mempunyai formula yang jelas bagaimana rakyat harus dilibatkan dalam pembangunan ASEAN. Melalui Piagam, ASEAN masih diarahkan menjadi organisasi yang “dari rakyat 37 dan untuk rakyat” tetapi “oleh pemerintah”. Piagam belum menyediakan mekanisme yang jelas tentang bagaimana rakyat dapat terlibat dalam proses kegiatan resmi ASEAN. ASEAN juga dinilai masih akan menghadapi masalah dalam upaya meningkatkan hubungan antar-warga mengingat tingginya keberagaman kondisi sosial, ekonomi dan politik negara anggotanya. Keberagaman ini menyulitkan ASEAN ketika harus merumuskan aturan yang harus ditaati oleh negara yang sangat protektif terhadap 38 kedaulatannya. Kondisi yang demikian akan membatasi efektifitas ASEAN dan membuatnya tetap jauh dari warganya. Ketika ASEAN menyatakan dirinya sebagai organisasi yang “people oriented”, seharusnya ASEAN mampu merumuskan dan melaksanakan keputusannya secara bersama-sama dan dapat merespon apa yang menjadi kehendak warganya. Dengan kata lain, jika ASEAN ingin mengubah citranya sebagai organisasi yang relevan untuk warganya, maka ASEAN harus dapat memenuhinya apa yang menjadi kebutuhan warganya. Untuk mencapai hal itu ASEAN tampaknya masih harus bekerja keras. ASEAN masih harus bekerja lebih baik lagi dalam menginformasikan tentang dirinya kepada warganya dan apa yang sedang dikerjakannya. Banyak anggota masyarakat yang mengetahui 37
Jusuf Wanandi, The ASEAN Summit and Indonesia‟s National Interest, dalam The Jakarta Post, 19 Maret 2009. 38 John McLean, Will ASEAN‟s New Charter Bring Greater Cooperation?, dalam http://www.DevelopmentAsia.mht, diakses 24 April 2010.
16
ASEAN hanya melalui pendidikan dan media. Karena itu, ASEAN harus lebih aktif menginformasikan tentang berbagai kegiatan yang 39 dilakukannya baik melalui media tertulis ataupun elektronik. C. Prospek Kerjasama ASEAN Perkembangan baru di dalam organisasi ASEAN mendapat sambutan positif dari informan yang penulis temui di Batam. Bagi 40 mereka , dijadikannya hubungan antar-warga sebagai bagian dari pengembangan kerjasama ASEAN ke depan merupakan peluang untuk memelihara dan meningkatkan hubungan yang selama ini memang telah terjalin secara aktif dengan warga dari negara tetangga. Interaksi yang terjadi terutama di sektor ekonomi dan budaya. Dalam pandangan Ketua Kadin Batam, hubungan antar-warga merupakan perkembangan sangat penting dalam kerangka kerjasama ASEAN sebab selama ini belum terbangun kerjasama semacam ini. Yang ada selama ini masih bersifat top down yaitu kerjasama yang lebih didominasi oleh peran pemerintah sementara warga lebih bersikap menunggu, mengikuti apa yang diingini oleh pemerintah. Pendekatan semacam ini hanya membuat ASEAN lebih relevan bagi dunia internasional daripada untuk rakyatnya sendiri. Tetapi dengan adanya kesempatan bagi kerjasama antar-warga, maka hubungan di antara negara-negara ASEAN akan lebih solid sebab 41 akan terbangun rasa saling percaya di antara warga ASEAN. Rakyat ASEAN selama ini hanya menjadi obyek kerjasama 42 bukan sebagai subyek kerjasama. Suatu hal yang menjadi kelemahan ASEAN sehingga berakibat tidak banyak masyarakat yang mengetahui 43 tentang ASEAN. Negara-negara anggota ASEAN justru lebih menonjolkan identitas nasional daripada identitas regional. Hal ini bisa terjadi karena Asia Tenggara hanyalah nama sebuah kawasan, bukan 44 kesatuan ekonomi, sosial ataupun politik. Bila dibandingkan dengan Uni Eropa yang didominasi oleh agama Kristen dan ekonomi yang sudah maju, ASEAN merupakan kumpulan negara yang terdiri dari banyak etnis, agama dan dengan kemampuan ekonomi yang tidak sama antara 45 negara anggota yang satu dan lainnya. Pada saat didirikan tahun 1967, 39
Alexander C. Chandra, “Indonesia‟s Non-State Actors in ASEAN: A New Regionalism Agenda for Southeast Asia, Contemporary Southeast Asia, Vol. 26, No. 1, 2004, hal. 164165. 40 Informan utama dalam penelitian ini adalah Yusfa Hendry, Kepala Bagian Humas Pemko Batam, Nada Faza Soraya, Ketua Kadin Batam dan Ir. Soeripno, Kepala Bappeda Kepri. 41 Wawancara dengan Nada Faza Soraya, Ketua Kadin Batam, Batam, 5 November 2009. 42 Carolina Hernandez, sebagaimana di kutip dalam CSIS, “An ASEAN, of the People, by the People, for the People”, Report of the First ASEAN’s People Assembly, Batam, Indonesia, 24-26 November 2000, hal. 1. 43 Christopher B. Robert, “The ASEAN Community: Trusting Thy Neighbour”, RSIS Commentaries, No. 110, 22 Oktober 2007, hal. 1. 44 Leo Suryadinata, “Toward An ASEAN Charter: Promoting an Asean Identity”, dalam Rudolfi C. Severino (ed.), Framing the ASEAN Charter: An ISEAS Perspective, ISEAS, Singapura, 2005, hal. 42-43. 45 Untuk mengetahui lebih detil tentang keberagaman ASEAN, baca, Donald K. Emmerson, op. cit., hal. 20-22.
17
para pemimpin ASEAN menyadari bahwa rakyat ASEAN belum saling mengenal satu sama lain. Karena itu, di dalam Bangkok Declaration terdapat klausula yang menyebutkan salah satu maksud dan tujuan 46 dibentuknya ASEAN adalah “to promote Southeast Asian Studies”. Dengan kata lain, dengan memajukan studi tentang Asia Tenggara negara-negara anggota dapat saling memahami dan memajukan kerjasama yang lebih erat. Upaya membentuk Masyarakat ASEAN pada tahun 2015 bukan hanya untuk memajukan kerjasama ekonomi, politik dan budaya tetapi yang terpenting adalah memajukan kerjasama antar-warganya. Dalam KTT ASEAN di Bali tahun 2003, komitmen membangun sebuah Masyarakat ASEAN (ASEAN Community) didasarkan atas 3 pilar yaitu Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community), Masyarakat Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community), dan Masyarakat Sosial Budaya ASEAN (ASEAN Socio-Cultural Community). Negara-negara ASEAN menginginkan agar kerjasama di antara negaranegara anggotanya dapat lebih terintegrasi dan dipercepat melalui pembentukan masyarakat ekonomi, masyarakat keamanan, dan masyarakat sosial dan budaya. Melalui pembentukan ketiga pilar ini ASEAN tidak lagi ingin mengedepankan identitas nasionalnya lagi tetapi identitas kawasan, bukan lagi komunitas nasional tetapi komunitas 47 regional. Keinginan ASEAN untuk menciptakan identitas regional telah dituangkan dalam dokumen ASEAN Vision 2020 yang dideklarasikan di Kuala Lumpur tahun 1997. Dokumen itu antara lain menyebutkan: “We envision the entire Southeast Asia to be, by 2020, an ASEAN Community conscious of the ties of history, aware of its cultural heritage and bound 48 by common regional identity”. Ke depan, pembentukan komunitas ASEAN akan menjadi perekat di antara rakyat ASEAN dan yang terpenting adalah terciptanya rasa memiliki di antara rakyat ASEAN tentang ASEAN. Sebab proses menuju Masyarakat ASEAN akan ditandai oleh semakin meningkatnya interaksi dan pengetahuan tentang ASEAN yang dengan sendirinya akan berpengaruh secara positif terhadap tingkat kepercayaan antar-warga di kawasan, dan karenanya pula akan membantu mempercepat pembentukan identitas kawasan. Dengan kata lain, pembentukan identitas kawasan tidak hanya dilakukan oleh pemerintah saja tetapi harus didukung oleh hubungan antar-warga yang saling mengenal. Bersamaan dengan meningkatnya hubungan antar-warga, untuk jangka panjang, besar kemungkinan doktrin non-intervensi akan menjadi tidak relevan lagi ketika ASEAN telah benar-benar menjadi sebuah 49 Masyarakat ASEAN. Pada saat itu ASEAN sudah harus mempunyai modalitas, kapasitas dan pemahaman bersama tentang berbagai isu 46
Leo Suryanata, op. cit. Ibid. 48 Michael E. Jones, “Forging an ASEAN Identity: The Challenge to Construct a Share Destiny”, Contemporary Southeast Asia , Vol. 26, No. 1, 2004, hal. 141. 49 Bantarto Bandoro, “ASEAN Moves Toward Modern Oranization”, The Indonesia Quarterly, Vol 36, No. 5, 2007, hal. 204. 47
18
yang berkembang di masyarakat dengan didukung oleh organisasi yang lebih efektif, tidak hanya dalam menghadapi masalah strategis di masa depan tetapi juga dalam menghadapi masalah-masalah domestik. Berbagai konflik atau sengketa yang terjadi di kawasan seperti konflik kepentingan antara Indonesia dengan Malaysia tentang TKI, antara Kamboja dengan Thailand, antara Indonesia-Malaysia di Laut Ambalat merupakan contoh yang memperlihatkan bagaimana rakyat ASEAN belum terlalu menyatu dalam satu ikatan kawasan. Ketika media dan pengambil keputusan di negara-negara ASEAN bersikap negatif terhadap warga dan pemerintah ASEAN lainnya, maka warga di negara yang sedang bersengketa itu dengan mudah menjadi terpengaruh. Untuk membangun saling percaya antar-warga di kawasan, maka pemerintah dan media sedapat mungkin mengambil sikap yang lebih bersahabat agar transisi ASEAN menuju sebuah komunitas dapat berjalan dengan 50 kondusif. Masalah lemahnya saling percaya diantara warga ASEAN saat ini dibenarkan oleh Ketua Kadin Batam. Menurutnya, untuk memajukan hubungan antar-warga di ASEAN, yang pertama kali harus dlakukan adalah meningkatkan saling percaya. Menurutnya, ASEAN bisa menjadi besar jika para pemimpin ASEAN mempersiapkan segala 51 sesuatunya tanpa rasa curiga. Piagam ASEAN seharusnya diimplementasikan atas dasar Trust Based on Culture and Relationships. Karena itu dalam upaya membentuk community building ini, ASEAN bukan hanya harus mampu memberi ruang bagi terciptanya hubungan yang harmonis di antara warganya tetapi juga antara 52 pemerintah dengan warganya. Semakin terintegrasinya hubungan diantara pihak-pihak yang berkepentingan dengan organisasi ini akan menghilangkan rasa curiga tersebut dan semakin mempercepat proses pembentukan identitas kawasan. Apalagi jika rakyat di Asia Tenggara berinteraksi secara intensif menjadi sebuah proses pembentukan rasa kebersamaan dan rasa memilki, maka identitas kawasan ini akan 53 semakin cepat terbentuk. Menempatkan hubungan antar-warga pada prioritas kerjasama ASEAN merupakan pilihan yang paling rasional dewasa ini jika memperhatikan perkembangan dunia internasional dewasa ini yang semakin terkotak-kotak dalam berbagai organisasi kerjasama regional. Para informan yang berada di Pulau Batam sepakat bahwa langkah yang paling cepat untuk memajukan hubungan antar-warga dalam rangka membentuk Masyarakat ASEAN adalah dengan 54 meningkatkan hubungan antar-warga di perbatasan. Hal ini juga sejalan dengan keinginan pemerintah Indonesia untuk menggalakkan 50
Christopher B. Robert, op.cit. Wawancara di Batam, 5 November 2009. 52 Lihat, Rizal Sukma, “Building the ASEAN Community, How Useful Is the Asean Charter”, dalam The Indonesia Quarterly, Vol. 36, No. 3-4, 2008, hal. 268-269. 53 Ibid. 54 Hasil wawancara terpisah dengan dengan Yusfa Hendry, Kabag Humas Pemko Batam, tanggal 3 November 2009, Nada Faza Soraya, Ketua Kadin Batam, 5 November 2009, dan Ir. Soeripno, Kepala Bappeda Kepri, di Tanjung Pinang, 2 November 2010. 51
19
pembangunan industri di pulau-pulau terluar dan daerah perbatasan 55 guna mendukung penyebaran industri nasional. Di bidang ekonomi, pengusaha-pengusaha di Provinsi Kepulauan Riau telah melakukan inisiatif-inisiatif dalam kerangka peningkatan perdagangan antara provinsi itu dengan Singapura dan Johor. Upaya ini dilakukan dengan menjual produk-produk tertentu yang menjadi andalan Kepulauan Riau. Dalam kerangka memajukan hubungan antar-warga di sektor perdagangan intra ASEAN, para informan tersebut mengusulkan agar pemerintah lebih banyak memberi kesempatan kepada pengusaha kecil dan menengah. Dengan melibatkan pengusaha kecil dan menengah, akan lebih banyak lagi pengusaha yang terlibat dalam perdagangan. Di samping itu, produkproduk yang dihasilkan oleh pengusaha UKM sangat bernuansa tradisional sehingga pembeli dapat langsung mengenal negara asal produk tersebut seperti batik ditukar dengan kain tenun dari Filipina atau Thailand. Hubungan yang bersifat personal juga dilakukan antara individu di Kepulauan Riau dengan masyarakat di Johor atau Selangor atau wilayah Malaysia di sekitar perbatasan. Hubungan ini tidak terlepas dari hubungan tradisional yang selama ini memang sudah terbangun. Seperti adanya forum “dunia islam dunia malaya” yang melibatkan para pemuda dan tokoh masyarakat yang membahas masalah-masalah sosial dan budaya. Pertemuan ini bersifat kekeluargaan agar tali persaudaraan yang telah ada secara turun temurun tidak terputus begitu saja. Karena hubungan kekeluargaan ini pula, banyak orang Kepulauan Riau yang berobat di Malaysia atau Singapura dengan mendapat pelayanan yang 56 sangat baik. Namun apa yang telah dilakukan dan dirintis oleh masyarakat di Provinsi Kepulauan Riau merupakan kegiatan tradisional yang dilakukan karena faktor kesamaan kultural. Artinya baik pemerintah daerah maupun warga belum pernah melakukan kegiatan atau inisiatif diluar kegiatan tradisional. Ke depan, para informan mengharapkan agar semuanya itu bisa dilakukan secara formal atas dasar keinginan politik ASEAN untuk meningkatkan hubungan antar-warga di kawasan Asia Tenggara sehingga tidah hanya Singapura dan Malaysia saja yang tahu tentang Batam tetapi juga semua negara anggota ASEAN. Seperti dibidang perdagangan, pemerintah sudah waktunya melibatkan pengusaha dalam membicarakan MoU yang hendak ditandatangani didalam ASEAN agar pengusaha memperoleh informasi secara langsung. Pengalaman selama ini menunjukkan antara kebijakan dengan realisasi seringkali tidak sinkron sehingga pengusaha di Batam seringkali kesulitan untuk melakukan kegiatan bisnis. Untuk menjembatani keterbatasan pemerintah dalam melibatkan pengusaha dalam meningkatkan hubungan antar-warga, pada tahun 2007 Kadin Batam pernah berinisiatif mendatangi Kedubes negaranegara ASEAN agar pengusahanya mau ikut dalam Batam Expo. 55 56
“Industri di Pulau Terluar Digalakkan”, Media Indonesia, 19 Juli 2010, hal. 14. Penjelasan dari Ir. Sunipno, Kepala Bappeda Kepri, di Tanjung Balai, 2 November 2009.
20
Tujuannya adalah agar pembangunan dan perdagangan di Batam menjadi lebih maju. Dengan pendekatan semacam ini semua negara anggota ASEAN ikut dalam pameran tersebut. Kadin memfasilitasi semua kegiatan itu. Langkah terobosan ini berhasil meskipun untuk itu Kadin Batam harus ijin dahulu ke pusat. Banyak inisiatif yang ingin dilakukan Kadin Batam untuk memajukan perdagangan intra ASEAN 57 tetapi masih banyak informasi yang belum dikeluarkan oleh pemerintah. Melihat kondisi yang demikian, Pemerintah sudah waktunya segera menerapkan kebijakan bottom up agar cita-cita membangun masyarakat ASEAN benar-benar menjadi kenyataan. Ini sekaligus untuk menjawab keluhan dari berbagai LSM yang menyatakan Piagam ASEAN belum memberikan ruang bagi interaksi antara pemerintah dengan rakyatnya, 58 Piagam masih lebih mengutamakan hubungan antar-pemerintah. Apa yang telah dilakukan oleh Kadin Batam maupun masyarakat Kepulauan Riau secara keseluruhan menunjukkan bahwa hubungan antar warga bukanlah sesuatu yang baru, tinggal bagaimana pemerintah mengelola semuanya itu untuk kepentingan kerjasama ASEAN di masa depan D. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan Piagam yang dibentuk tahun 2008 telah memberikan identitas baru bagi ASEAN sebab bukan lagi menjadi organisasi yang hanya mengandalkan pada peran pemerintah (state centric) saja tetapi juga menjadikan hubungan antar-warga (people oriented) sebagai bagian dari pengembangan ASEAN ke depan. Perubahan semacam ini sangat dibutuhkan ASEAN mengingat permasalahan yang dihadapi dewasa ini bukan hanya domestik saja, tetapi juga internasional. Seiring dengan semakin kompleksnya persoalan yang dihadapi, kohesifitas ASEAN dituntut bukan hanya pada tataran hubungan antar-pemerintah saja tetapi juga dukungan melalui interaksi positif antar-warganya di berbagai kegiatan sektoral seperti ekonomi, politik dan keamanan, serta kebudayaan. Terbentuknya Piagam ASEAN bukan saja akan menjadikan ASEAN lebih efektif dalam mengatasi masalah yang dihadapi akan tetapi juga akan membantu mempercepat proses pembentukan identitas kawasan. Meskipun didalam prosesnya memerlukan penyesuaianpenyesuaian dan waktu yang tidak singkat, akan tetapi upaya itu tetap harus dilakukan agar keinginan untuk membentuk Masyarakat ASEAN tahun 2015 dapat tercapai. Apalagi Piagam ASEAN memuat secara jelas fungsi dan tanggung jawab setiap elemen dalam organisasi. Sekjen 57
Wawancara dengan Nada Faza Soraya, Ketua Kadin Batam, 5 November 2009. Salah satunya adalah dari Solidarity for Asian Peoples‟ Advocacies (SAPA), yang menyebutkan Piagam ASEAN masih belum mengutamakan community building. Untuk lengkapnya lihat, “Analysis of the ASEAN Charter”, SAPA, 18 Nov 07, dalam http://www.asiasapa.org, diakses 18 Desember 2007. 58
21
ASEAN kini telah memiliki kewenangan untuk mendesak setiap negara anggota mematuhi kesepakatan yang telah diambil. Menjadikan hubungan antar-warga sebagai prioritas kerjasama merupakan pilihan yang paling rasional dewasa ini jika dikaitkan dengan kerjasama ASEAN ke depan. Sikap saling mengenal, saling percaya dan menyatu dalam satu ikatan kawasan, akan memberi ruang bagi terciptanya hubungan yang harmonis bukan hanya antar-warga tetapi juga antara pemerintah dengan warganya. Semakin terintegrasinya hubungan antar-warga maupun warga dengan pemerintah akan menghilangkan rasa curiga. Pada tahap awal, langkah yang paling cepat untuk memajukan hubungan antar-warga adalah dengan meningkatkan hubungan antar-warga di perbatasan, sebab secara tradisional hubungan di antara mereka telah lama terbina. 2. Saran Salah satu kelemahan ASEAN selama ini adalah tidak adanya mekanisme yang dapat memaksa setiap negara anggota untuk mematuhi kesepakatan yang telah tercapai. Formula “X-1” kemudian digunakan untuk memberi kesempatan kepada negara yang belum mampu mengimplementasikan keputusan ASEAN untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian sampai akhirnya benar-benar siap untuk mengimplementasikan keputusan ASEAN. Pendekatan semacam ini membuat keputusan yang diambil ASEAN tidak pernah bulat. Untuk mengatasi kelemahan semacam ini Piagam ASEAN kemudian memberikan tugas kepada Sekjen ASEAN untuk memonitor kepatuhan negara-negara dalam mengimplementasikan keputusan ASEAN. Namun mengingat masih beragamnya tingkat kemajuan ekonomi dan politik negara-negara anggota ASEAN, ada baiknya jika tugas ini diserahkan kepada sebuah Badan Khusus yang anggotanya berasal dari negara-negara ASEAN. Hasil monitoring dari Badan Khusus ini yang kemudian diserahkan kepada Sekjen untuk dilaksanakan. Pola atau pendekatan semacam ini perlu dilakukan agar keputusan yang diambil bisa lebih obyektif sesuai dengan tingkat kemampuan negaranegara anggota. Di samping itu, ASEAN juga harus mengembangkan sistem informasi yang lebih dapat diandalkan agar segala informasi yang terkait dengan organisasi dan kegiatannya dapat lebih mudah diketahui oleh masyarakat. Kerjasama ASEAN tidak boleh lagi bersifat seremonial sehingga tidak berdampak samasekali terhadap masyarakatnya. Apa yang diinginkan oleh pemerintah pusat harus dapat diimplementasikan oleh bawahannya sampai ke tingkat provinsi. Sistem informasi ini menjadi penting agar antara kebijakan dengan realisasi menjadi sinkron sehingga pengusaha atau pelaku bisnis mempunyai kepastian untuk melakukan kegiatan bisnis. Konsisten dengan bentuk organisasi ASEAN yang bersifat “people oriented”, sudah waktunya pula bagi pemerintah untuk melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan dalam membicarakan MoU
22
yang hendak ditandatangani di dalam ASEAN. Terutama untuk bidang ekonomi, para pengusaha atau pelaku bisnis sudah saatnya untuk diajak bicara agar Indonesia yang merupakan negara paling padat penduduknya tidak menjadi pasar dalam perdagangan bebas ASEAN.
23
Daftar Pusataka Buku: Brian Job, “Track II Diplomacy: Ideational Contribution to the Evolving Asia Security Order”, dalam Muthiah Alagappa (ed), Asia Security Order, Stanford University Press, 2002. Carolina Hernandez, sebagaimana di kutip dalam CSIS, “An ASEAN, of the People, by the People, for the People”, Report of the First ASEAN’s People Assembly, Batam, Indonesia, 24-26 November 2000. Donald K. Emmerson, Hard Choises: Security, Democracy and Regionalism in Southeast Asia, ISEAS, Singapura, 2009. James Luhulima, Asia Tenggara dan Negara Luar yang Mempengaruhinya: Pendekatan Politik dan Keamanan, PT Gramedia, 1998. Jesus P. Estanislao, “Internal Dynamics of One Southeast Asia: Economic and Social Aspects”, dalam Hadi Soesastro (ed.), One Southeast Asia In a New Regional and International Setting, CSIS, Jakarta, 1997. Leo Suryadinata, “Toward An ASEAN Charter: Promoting an Asean Identity”, dalam Rudolfi C. Severino (ed.), Framing the ASEAN Charter: An ISEAS Perspective, ISEAS, Singapura, 2005. Liao Shaolian, “ASEAN Model in International Economic Cooperation”, hal. 151, dalam dalam Hadi Soesastro (ed.), One Southeast Asia In a New Regional and International Setting, CSIS, Jakarta, 1997. Louise Diamond, Multi-Track Diplomacy: A Systems Approach to Peace, Third Edition, Kumarian Press, West Hartford, Connecticut, 1996. Marlene Ramirez, “ASIADHRA and ASEAN: A Case Study on the Process of Civil Society Engagement with a Regional Intergovernmental Organization”, FIM Forum 2008, Montreal, Kanada. M. Rajaretnam, “Principles in Crisis: The Need for New Directions”, dalam Kao Him Hourn, ed, ASEAN’s Non-Interference Policy: Principle Under Pressure”, ASEAN Academic Press, London, 2002. Rodolfo Severino, “Framing the ASEAN Charter: An ISEAS Perspective”, dalam Rodolfo Severino (ed.), Framing The ASEAN Charter: An ISEAS Perspective, ISEAS Publications, Singapura, 2005. Jurnal: Alexander C. Chandra, “Indonesia‟s Non-State Actors in ASEAN: A New Regionalism Agenda for Southeast Asia, Contemporary Southeast Asia, Vol. 26, No. 1, 2004.
24
Bantarto Bandoro, “ASEAN Moves Toward Modern Oranization”, The Indonesia Quarterly, Vol 36, No. 5, 2007. Christopher B. Robert, “The ASEAN Community: Trusting Thy Neighbour”, RSIS Commentaries, No. 110, 22 Oktober2007. Dalia Dassa Kaye, “Rethinking Track Two Diplomacy: The Middle East and South Asia”, Clingendael Diplomacy Papers, No. 3, Netherland Institute of International Relations, Juni 2005. Elena Asciutti, “The ASEAN Charter: An Analysis”, Perspectives on Federalism, Vol. 2, Issue 1, 2010. Gillian Goh, “The ASEAN Way: Non Intervention and ASEAN Role in Conflict Management”, Stanford Journal of East Asian Affairs, Vol. 3, No. 1, Spring 2003. Hadi Soesastro, ASEAN: Regional Economic Cooperation and Its Institutionalization, Working Paper Series, No 71, CSIS, Jakarta, 2003. Herman Joseph S. Kraft, A Charter for ASEAN: Challenges and Prospects for Community Building”, Indonesia Quarterly, Vol. 36, No. 3-4, 2008. Mely Caballero-Anthony, “The ASEAN Charter: An Opportunity Missed or One That Cannot be Missed?”, Southeast Asian Affairs 2008, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, 2008. Michael E. Jones, “Forging an ASEAN Identity: The Challenge to Construct a Share Destiny”, Contemporary Southeast Asia , Vol. 26, No. 1, 2004. Rizal Sukma, “Building the ASEAN Community, How Useful Is the Asean Charter, dalam The Indonesia Quarterly, Vol. 36, No. 3-4, 2008. See Seng Tan, “Non-official Diplomacy in Southeast Asia: “Civil Society” or “Civil Service”, Contemporary Southeast Asia 27, no. 3, 2005. Termsak Chalermpalanupap, “Institutional Reform: One Charter, Three Communities, Many Challenges”, dalam Donald K. Emmerson (ed.), Hard Choises: Security, Democracy and Regionalism in Southeast Asia, ISEAS Publishing, Singapura, 2009. “Understanding the ASEAN Charter and the ASEAN Economic Blueprint”, AFA and Asiadharra Issue Paper, Vol. 3, No. 1, Februari 2008. Surat Kabar: “Industri di Pulau Terluar Digalakkan”, Media Indonesia, 19 Juli 2010, hal. 14. Jusuf Wanandi, The ASEAN Summit and Indonesia‟s National Interest, dalam The Jakarta Post, 19 Maret 2009. Keith B. Richburg, “The Changing Calculus of Asia”, dalam International Herald Tribune, 17 Desember 1997. Rene L. Pattiradjawane, “Membangun ASEAN Baru”, Kompas, 15 Juni 2010. “RI Sesalkan Aksi Sweeping”, Kompas, 11 September 2009.
25
Tommy Koh, “ASEAN Charter at One: A Thriving Tiger Pup”, The Straits Times, 09 Desember 2009. Internet (produk individual): Ali Alatas, “Piagam ASEAN Kebutuhan Mencapai Integrasi, Tabloid Diplomasi, edisi April 2008 dalam http://tabloiddiplomasi.com/, diakses 29 Januari 2010. John McLean, Will ASEAN‟s New Charter Bring Greater Cooperation?, dalam http//:www.Development Asia.mht, diakses 24 April 2010. Kim Beng Phar, Asia‟s Informal Diplomacy: Track Two Discussion and Regionalism”, Media, Vol. 23, No. 1, Spring 2001 dalam http://www. harvardir.org/articles/998/, diakses 12 Oktober 2009 Ong Keng Yong, “What‟s the Difference Between ASEAN Past and Present”, makalah yang disajikan dalam 2nd ASEAN-Asia Forum yang diselenggarakan oleh Singapore Institue of International Affair, Singapura, 17 April 2009, dalam http://www.siiaonline.org/?q=events/2nd-asean-and-asia-forum, diakses 26 Mei 2010. Pokpon Lawansiri, “ASEAN: People-oriented or disoriented?, Inquirer.net, 29 November 2009, diakses tanggal 29 Januari 2010. Internet (produk non individual): “Analysis of the ASEAN Charter”, SAPA, 18 Nov 07, http://www.asiasapa.org, diakses 18 Desember 2007.
dalam
Makalah: “Masalah Kegunaan dan Masa depan ASEAN Charter”, CSIS, makalah yang disajikan dihadapan Komisi I DPRRI, Jakarta, 4 Februari 2008. Informan Utama: Yusfa Hendry, Kepala Bagian Humas Pemko Batam. Nada Faza Soraya, Ketua Kadin Batam. Ir. Soeripno, Kepala Bappeda Kepri.
26
UPAYA KONSERVASI DALAM KERANGKA PROTOKOL KYOTO (Studi di Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi NAD) Hariyadi
*
Abstract A set of progressive conservation policy initiatives conducted by the Province of West Kalimantan and the Province of Nanggroe Aceh Darusalam, and their regencies has normatively played a significant subnational role in promoting the fulfilment of the national commitment toward the Kyoto Protocol, based on its common but differentiated responsibilities principle. This will, however, promote the government’s environmental politics and other international commitments to further encourage the global efforts to stabilise the greenhouse gases emission. This study, using the ratification of the Protocol as policy base, found that although the sub-national role is both normatively and politically positive, such a subnational role would be more effective if both the local and national governments give more political impetus to engage in the local conservation-related policies. Abstrak Serangkaian inisiatif kebijakan yang berdimensi konservasi yang relatif progresif yang diambil Provinsi Kalbar dan NAD dan salah satu kabupaten di dua provinsi tersebut secara normatif telah mencerminkan sebuah peran sub-nasional yang signifikan dalam mendukung pemenuhan komitmen nasional terhadap Protokol Kyoto berdasarkan prinsip kesetaraan dengan tanggung jawab yang berbeda sesuai kemampuan. Hal ini bagaimanapun akan mendukung politik lingkungan dan komitmen internasional pemerintah dalam upaya pengurangan emisi Gas Rumah Kaca secara global. Kajian yang menggunakan ratifikasi terhadap Protokol Kyoto sebagai dasar penilaian ini mendapati bahwa meskipun peran sub-nasional secara normatif dan politis positif, namun akan lebih efektif jika pemerintah pusat dan daerah menunjukkan kemauan
*
Penulis adalah peneliti madya Kebijakan Publik, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, Jakarta. Email:
[email protected]
politiknya atas setiap kebijakan pemerintah pusat yang berkaitan dengan upaya konservasi. Kata kunci: GRK, konservasi, peran sub-nasional, Protokol Kyoto, UNFCCC. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Persoalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan lingkungan hidup (LH) di Indonesia dianggap telah menjadi masalah yang serius. Akar persoalannya untuk sebagian dinilai bahkan sangat mendasar. Politik pengelolaan SDA dan LH terkesan masih sepotongpotong dan belum ada paradigma yang komprehensif seperti terlihat dari cara pandang pengelolaannya yang semata-mata dari unsur 1 komoditas. Akibatnya, setiap kerangka kelembagaan dan kebijakan yang diambil dalam pengelolaan sumber daya hutan, mineral, lahan dan bahan makanan lebih cenderung kurang memperhatikan kelestariannya. Nilai-nilai dan kemanfaatan SDA dan LH bagi masyarakat lokal juga masih diabaikan, serta serangkaian dampak degradasi lingkungan juga sering kurang diantisipasi oleh pihak-pihak 2 terkait. Landasan legal tentang pengelolaan SDA dan LH telah diatur dalam TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang untuk sebagian merupakan penjabaran dari amanat konstitusi, yakni Pasal 33 ayat (3), (4) dan (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Secara operasional, landasan legal ini juga telah diterjemahkan ke dalam serangkaian peraturan perundang-undang sektoral terkait. Saat ini bahkan kemauan politik tersebut terlibat semakin tinggi. Sejumlah RUU prioritas dalam bidang ini telah diagendakan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 20103 2014. Prolegnas, misalnya, telah mengagendakan sejumlah RUU yang terkait dengan masalah pengelolaan SDA dan LH. Sementara pada saat yang sama, sejalan dengan ratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) melalui UU No. 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan 1
Pengelolaan SDA belum memberikan jaminan terhadap terlaksananya kesatuan hak setiap pemangku kepentingan atas akses/hak (1) memanfaatkannya; (2) mengatur dan mengelolanya; (3) individu atau pihak yang tidak memanfaatkan SDA, dan (4) mengubah status dan fungsi SDA. Disunting dari Haryadi Kartodihardjo dalam forum FGD, Jakarta, P3DI-Setjen DPR-RI, 9 Februari 2009. 2 “WALHI-Indonesia Forum for Reforming Environment and Natural Resource Policy“, dalam http://www.eng.walhi.or.id/kampanye/psda/reform_psda_info, diakses 12 September 2008. 3 Inosentius Samsul, Kebijakan Legislasi Bidang Agraria dan Sumber Daya Alam dalam Prolegnas 2005-2009, Makalah Lokakarya, Set-Pokja PA-PSDA, Jakarta, 18 April 2005.
2
Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim dan ratifikasi terhadap Protokol Kyoto atas UNFCCC melalui UU No. 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim, Indonesia terikat dengan sejumlah kewajiban sebagai negara pihak dalam pengelolaan SDA dan LH. Sebagai negara pihak yang telah terikat secara legal dan politik dengan rezim-rezim itu, Indonesia harus mengambil kebijakan yang sejalan dengan atau mendukung bagi terpenuhinya komitmen sebagai 4 negara pihak. Hal yang sama terhadap kebijakan konservasi. Komitmen konservasi Indonesia yang berbasis pada pengelolaan sektor kehutanan tentunya berbasis pada sejauh mana peran subnasional dalam menopang komitmen itu. Dalam konteks peran Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), lahirnya UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh telah memberikan sejumlah kewenangan dan otonomi khusus dalam pelaksanaan politik lingkungan khususnya dalam bidang konservasi. Momentum legal tersebut terus dikelola daerah itu tidak hanya karena 63% wilayah Aceh adalah kawasan hutan tetapi juga kuatnya kebijakan pengelolaan lingkungan. Dalam perjalanannya momentum politik konservasi di wilayah Aceh dianggap terus menguat setelah perjanjian damai dan bencana tsunami sehingga konservasi semakin 5 menjadi ikon penting NAD. Sebagai contoh, sejumlah kebijakan yang dinilai progresif dalam rangka memperkuat upaya konservasi antara 6 lain Aceh Green Vision/AGV, pelaksanaan moratorium penebangan 7 kayu mulai tahun 2007 , penyusunan rencana strategis kehutanan Aceh (Tipireksa), sebuah kelompok kerja gubernur untuk mengkaji kembali tata ruang wilayah Aceh menuju AGV; pembentukan Badan 8 Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (Bapekel), kebijakan Aceh Forest Empowerment Program (AFEP), dan kebijakan lainnya. Kebijakan yang sama dilakukan oleh Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar). Sebagai provinsi yang memiliki kawasan hutan seluas 9,178 juta ha, provinsi ini diyakini berperan besar dalam menyerap gas-gas rumah kaca (GRK) dan perubahan iklim. Sejauh ini keberpihakan politik provinsi ini terus menguat dalam upaya konservasi dan perlindungan ekosistem secara umum antara lain upaya penyelamatan mangrove, pencegahan pembalakkan liar, penyelamatan terumbu karang dan sikap kooperatif provinsi itu 4
Prof. Dr. IBR. Supamanca dalam forum FGD, Jakarta, P3DI-Setjen DPR-RI, Maret 2009. 5 Wawancara dengan Dede Suhendra, WWF Aceh, 28 Juli 2009. Menurutnya, kondisinya sangat berbeda dengan ketika konflik masih berkecamuk di sana di mana masalah konservasi tidak banyak disinggung. Namun demikian, dalam masa konflik, fenomena pembalakan liar justru lebih terbatas karena masyarakat takut turun ke hutan. Oleh karena itu, lima bulan setelah tsunami, WWF Aceh mengedepankan konsepsi green reconstruction guideline menuju AGV dalam proses rekonstruksi Aceh. 6 Wawancara dengan Samiuddin, Dishut PA, 28 Juli 2009. 7 Wawancara dengan Husaini Syamaun, Kepa BAPEDAL Aceh, 27 Juli 2009. 8 Peraturan Gubernur Pemerintahan Aceh No. 52 Tahun 2006.
3
sebagai perintisan program reducing emision from deforestation and 9 forest degradation (REDD). Di tingkat kabupaten, kebijakan penetapan Kabupaten Kapuas Hulu sebagai ”Kabupaten Konservasi” 10 adalah menjadi salah satu terobosan politik ekologis Provinsi itu. Terobosan politik ekologis kedua Provinsi itu menjadi semakin penting ketika dikaitkan dengan upaya konservasi secara nasional terutama dalam memenuhi komitmen terhadap Protokol Kyoto yang akan berakhir pada periode komitmen pertama 2008-2012. Kaitan kepentingan nasional itu juga terkait dengan upaya pemerintah untuk mendorong bagi disetujuinya periode komitmen kedua dalam lingkup Protokol ini. Meskipun demikian, dalam menjalankan sederetan kebijakannya, kedua provinsi itu juga memiliki motivasi dan sejumlah persoalan lainnya yang berpotensi mengurangi peran sub-nasional dalam mendukung pemenuhan komitmen nasional itu. Dalam kaitan inilah, sejauh mana kebijakan sub-nasional yang berdimensi konservasi telah menopang komitmen nasional dalam kerangka Protokol Kyoto akan diangkat. B. Perumusan Masalah Protokol Kyoto adalah protokol tambahan terhadap UNFCCC, yang disetujui pada sesi ketiga Konferensi Negara Pihak (COP) Konvensi UNFCCC pada tahun 1997 di Kyoto, Jepang. Negaranegara yang meratifikasinya berkomitmen untuk mengambil sejumlah kebijakan pengelolaan LH dan SDA yang sejalan dengan upaya global dalam menjaga stabilitas tingkat emisi GRK meskipun target itu khususnya diberikan kepada negara-negara maju yang masuk dalam Annex I UNFCCC. Sebagai negara pihak, Indonesia berkewajiban untuk mengambil sejumlah kebijakan dalam menjaga stabilitas tingkat emisi GRK berdasarkan prinsip tanggung jawab bersama tetapi dibedakan dalam mengelola tingkat emisi GRK dari sumbernya dan perosot GRK khususnya sektor kehutanan. Bagi Indonesia, pemenuhan kewajiban ini akan berkorelasi dengan keberhasilan upaya konservasi secara nasional dan sekaligus meneguhkan rezim Protokol dalam memenuhi periode komitmen pertama 2008-2012 dan rencana penciptaan periode komitmen periode kedua. Dalam rangka memenuhi komitmen dan kewajiban ini, peran sub-nasional menjadi semakin penting. Politik pengelolaan LH dan SDA, dan sejumlah kebijakan progresif yang berdimensi konservasi telah dilakukan oleh NAD dan Kalbar. Namun demikian, sejumlah persoalan signifikan masih dihadapi kedua pemerintah daerah itu. Dalam konteks peran daerah dalam mendukung komitmen nasional 9
Wawancara dengan Wuyi Bodrotin, Kabid Pengendalian, Pencemaran, dan Konservasi SDA, BLHD Kalbar, 18 Mei 2009. 10 Ditetapkan berdasarkan SK Bupati No. 144 Tahun 2003. Lihat Abang Tambul Husin, Kabupaten Konservasi, Sumbangan Pemikiran Bupati Kapuas Hulu dalam Pembangunan Wilayah Berbasis Konservasi SDA (Jakarta: Gramedia Direct Selling, 2005), hal. 2.
4
terhadap pelaksanaan Protokol Kyoto, sejumlah pertanyaan penelitian disajikan sebagai berikut: (1) sesuai dengan semangat dan komitmen Pengesahan Protokol Kyoto atas UNFCCC, kebijakan apa yang telah dilakukan kedua wilayah sebagai upaya sub-nasional secara umum selama ini?; (2) persoalan apa saja yang dihadapi dalam pelaksanaan konservasi SDA di Indonesia, khususnya di NAD dan Provinsi Kalbar?, dan (3) sejauh mana kebijakan yang telah dilakukan kedua provinsi telah sejalan dengan komitmen Protokol tersebut? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memahami dinamika pengelolaan SDA dan LH di tingkat daerah sebagai salah satu upaya sub-nasional dalam kerangka konservasi serta persoalan apa saja yang dihadapi selama ini sebagai dasar pemenuhan komitmen pemerintah terhadap Protokol itu. Sementara itu, manfaatnya diharapkan dapat membantu memberikan kontribusi bagi Komisi DPR RI terkait. D. Kerangka Pemikiran Sebagai dasar kerangka pemikiran, dua konsepsi akan dipakai dalam kajian ini, yakni konsepsi konservasi dan kelembagaan Protokol Kyoto atas UNFCCC. Secara konseptual, Gifford Pinchot mmengartikan konservasi sebagai pemanfaatan sumber daya alam untuk kebaikan umum secara berkesinambungan dan disertai dengan 11 upaya pengembangan dan perlindungannya. Penegasan yang sama 12 disampaikan Wantrup. Oleh karena itu, secara umum konservasi diartikan sebagai upaya pemanfaatan sumber daya alam yang tidak berlebihan dalam rangka menghindari kerusakan dan menjaga kelestariannya demi menopang kehidupan. Dengan kata lain, konservasi mencakup serangkaian upaya dalam bidang perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan. Dengan demikian, upaya konservasi tidak semestinya hanya dilakukan pada hutan konservasi saja. Dalam hutan produksi sekalipun, dengan merujuk pada pemahaman konservasi tersebut, upaya konservasi perlu dilakukan. Secara teknis, upaya konservasi dapat dilakukan dalam bentuk: (1) perencanaan pengambilan SDA secara terbatas; (2) eksploitasi SDA secara efisien; (3) mengembangkan sumber daya alternatif sebagai substitusi sumber daya yang terbatas; penggunaan teknologi yang sesuai, dan mengurangi, membatasi dan mengatasi pencemaran lingkungan 13 untuk menghindari kepunahan.
11
Lihat Charles W. Howe (1979), hal. 53, dikutip dalam M. Suparmoko, Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Suatu Pendekatan Teoritis, ed.3 (Yogyakarta: BPFE, 1997), hal. 21. 12 S.V. Ciriacy-Wantrup, Resource Conservation (1976), dikutip dalam ibid, hal. 22. 13 Suparmoko, op.cit, hal. 22-23.
5
Dalam konteks Protokol Kyoto sebagai rujukan kelembagaan (legal framework), isu konservasi dapat disajikan sebagai berikut. Protokol Kyoto adalah adalah kesepakatan yang mengatur target penurunan emisi GRK negara industri berupa karbondioksida (C02), metana (CH4), nitrogen oksida (N20), hidrofluorokarbon (HFC), perfluorokarbon (PFC) dan sulfur heksaflourida (SF6) beserta sumber emisinya seperti pembangkit energi, proses industri, pertanian dan pengolahan limbah, secara individu atau bersama-sama, sebesar 5% 14 di bawah tingkat emisi 1990 dalam periode komitmen 2008-2012. Protokol ini merupakan penjabaran langkah-langkah yang lebih rinci untuk mencapai tujuan UNFCCC. Dengan demikian, target penurunan emisi hanya diberlakukan bagi negara-negara maju. Meskipun tidak diwajibkan, negara-negara berkembang didorong untuk menurunkan tingkat emisi secara sukarela dan berkewajiban melaksanakan program-program pembangunan berkelanjutan yang lebih bersih dan ramah lingkungan. Dalam rangka itu, negara-negara ini dapat juga mendorong negara-negara maju untuk memfasilitasi alih teknologi dan menyediakan dana bagi program-program pembangunan berkelanjutan mereka. Protokol ini juga menegaskan bahwa dalam rangka kebijakan pengurangan emisi, langkah-langkah kebijakan negara-negara Annex I UNFCCC harus difokuskan secara domestik, antara lain meningkatkan efisiensi penggunaan energi, perlindungan perosot GRK, teknologi yang ramah iklim dan sebagainya. Selain itu, untuk memudahkan negara maju memenuhi sasaran penurunan emisi, Protokol ini juga mengatur salah satu mekanisme fleksibel perdagangan karbon yang terkait dengan program konservasi SDA dan LH di negara-negara berkembang yakni Mekanisme 15 Pembangunan Bersih (MPB). Pasal 12 Protokol ini menguraikan prosedur penurunan emisi GRK dalam rangka kerja sama negara industri dengan negara berkembang. Mekanisme ini diharapkan membantu negara-negara Annex I mencapai target pengurangan emisi dan negara-negara Non-Annex I dapat melaksanakan program pembangunan berkelanjutan. Caranya adalah negara-negara Annex I melakukan investasi dalam program pengurangan emisi atau program yang berpotensi mengurangi emisi atau menyerap GRK di negara berkembang. Hasilnya akan dihitung sebagai pengurangan emisi di 16 negara-negara Annex I yang melakukan investasi tersebut. Sebagai negara pihak, Indonesia telah meratifikasi kedua rezim ini melalui Undang-Undang No. 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim dan Undang-Undang No. 17 Tahun 2004 tentang 14
Dirujuk berdasarkan ketentuan Pasal 3 butir 1 Protokol Kyoto. Disunting dalam , diakses ulang 27 Agustus 2010. 15 Mekanisme perdagangan karbon mencakup: (1) perdagangan emisi/ET; (2) joint implementation/JI, dan mekanisme pembangunan bersih (MPB). Dikutip dalam . Diakses 5 Februari 2009. 16 Ibid.
6
Pengesahan Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim. Sebagai bentuk pemenuhan komitmen terhadap ratifikasi tersebut, perlu dilihat sejauh mana sejumlah wilayah kebijakan publik yang terkait dengan konservasi telah dilakukan pemerintah yang secara khusus mencakup sejumlah kebijakan indikatif yang telah dilakukan baik dalam lingkup 17 nasional maupun sub-nasional sebagai berikut: (1) melaksanakan pembangunan berkelanjutan khususnya untuk menjaga kestabilan konsentrasi GRK di atmosfer sehingga tidak membahayakan iklim bumi; (2) mendorong peluang investasi baru dari negara industri ke Indonesia melalui MPB; (3) mendorong kerja sama dengan negara industri melalui MPB untuk memperbaiki dan memperkuat kapasitas, hukum, kelembagaan, dan alih teknologi penurunan emisi GRK; (4) meningkatkan kemampuan hutan dan lahan untuk menyerap GRK; (5) mendorong pengurangan emisi dari kerusakan hutan dalam 18 konteks REDD; (6) mendorong pencegahan kerusakan hutan sebagai dasar pengurangan emisi yang diakui rezim UNFCCC; (7) mendorong mekanisme pendanaan pasar dan non-pasar; (8) mendorong pengelolaan hutan berkelanjutan di hutan buatan maupun alami, dan rehabilitasi lahan melalui aforestasi dan reforestasi sebagai dasar pengurangan emisi yang diakui rezim UNFCCC; dan (9) mendorong alih teknologi yang ramah lingkungan di Indonesia sebagai sarana memudahkan kita dalam melaksanakan kewajiban Konvensi dan Protokol tersebut. D. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis. Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan wawancara. Wawancara dilakukan di Kota Pontianak dan Kabupaten Kapuas Hulu (Kalbar), dan Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Tenggara (NAD), masingmasing dengan sejumlah informan yang mewakili lembaga publik dan swasta seperti Bappeda, Dinas Kehutanan, dan lain-lain serta dokumen/data tertulis dari LSM terkait. Teknik pengumpulan data juga dilakukan dengan melakukan studi kepustakaan dan penggalian 17
Penjelasan Umum atas Undang-Undang No. 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim, dalam Warta Perundang-undangan, No. 2427/Kamis, 13-01-2005, hal. 1A-17. 18 http://UNFCCC.int/files/meetings/cop_13/application/pdf/cp_redd.pdf; diakses 15 April 2009.
7
data/dokumen tertulis di Jakarta. Sementara itu, pengumpulan data/dokumen tertulis di lapangan dilakukan di instansi publik seperti dinas-dinas daerah terkait. 2. Waktu, Tempat dan Alasan Pemilihan Tempat Penelitian Penelitian di kedua provinsi dilakukan mulai tanggal 17 Mei sampai 30 Juli 2009. Lokasi yang dijadikan fokus penelitian ini adalah Kota Pontianak dan Kabupaten Kapuas Hulu, dan Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Tenggara. Di Jakarta, kegiatan pengumpulan data dilakukan pada bulan Maret-Juli 2009 dan kegiatan penggalian data di luar Jakarta dilakukan mulai minggu ke-2 bulan Mei 2009. Penentuan kedua provinsi ini menjadi sampel yang diambil secara purposif karena sejumlah alasan sebagai berikut: (1) kedua provinsi ini merupakan daerah yang memiliki kekayaan alam yang besar tetapi pada saat yang sama, juga menjadi salah satu lokasi bencana ekologis dan kerusakan SDA dan LH; (2) Di wilayah kedua provinsi ini, telah dilakukan rintisan kebijakan yang sesuai dengan pengaturan rezim Protokol Kyoto atas UNFCCC, dan (3) sebagai daerah yang memiliki kekayaan alam yang sangat besar, kebijakan pengelolaan yang berdimensi konservasi di sana dapat menjadi upaya subnasional dalam kerangka pemenuhan komitmen nasional terhadap Protokol Kyoto. III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Upaya Konservasi di NAD Di Wilayah NAD, dua wilayah menjadi objek pengumpulan data yakni sejumlah instansi dan lembaga non-publik tingkat provinsi di wilayah Kota Banda Aceh dan di Kabupaten Aceh Tenggara. Kebijakan pengelolaan hutan yang diambilnya tergolong progresif. Dari sisi hukum, lahirnya UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh telah memberikan sejumlah kewenangan dan otonomi khusus pada pemerintah provinsi dalam pelaksanaan politik lingkungan khususnya dalam bidang konservasi. Alasan lain bahwa 63% wilayah Aceh adalah kawasan hutan. Momentum politik konservasi di wilayah Aceh terus menguat setelah perjanjian damai dan bencana tsunami sehingga konservasi semakin menjadi ikon 19 20 penting NAD. Sejumlah kebijakan yang ditempuh antara lain:
19
Wawancara dengan Dede Suhendra, WWF Aceh, 28 Juli 2009. Menurutnya, kondisinya sangat berbeda dengan era konflik di mana masalah konservasi tidak banyak disinggung. Namun demikian, dalam masa konflik, fenomena pembalakan liar justru lebih terbatas karena masyarakat takut turun ke hutan. Oleh karena itu, lima bulan setelah tsunami, WWF Aceh mengedepankan konsepsi green reconstruction guideline menuju Green Province/Green Aceh Vision dalam proses rekonstruksi Aceh. 20 Wawancara dengan Samiuddin, Dishut PDA, 28 Juli 2009.
8
(1) (2)
kebijakan AGV, dengan Bapedal sebagai ujung tombaknya; sebagai tindaklanjut kebijakan AGV, mulai 25 Juni 2007, Gubernur Aceh melaksanakan moratorium yang ditargetkan 21 pada hutan HPH yang ditinggal pemegangnya paska-konflik; (3) dalam memperkuat tata ruang dibentuklah tim penyusunan rencana strategis kehutanan Aceh (Tipireksa), sebuah kelompok kerja gubernur untuk mengkaji kembali tata ruang wilayah Aceh menuju AGV; (4) pembentukan Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser 22 (Bapekel), sebuah lembaga non-struktural yang melibatkan LSM, sebagai tindaklanjut UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; (5) dukungan NAD atas inisiasi masyarakat melalui WWF Aceh untuk mengedepankan konsepsi green reconstruction guideline dalam rangka mendorong AGV dalam proses rekonstruksi Aceh. Dukungan lainnya menyangkut pengembangan ekowisata, pengelolaan aliran sungai yang lestari di Aceh Jaya, program Payment of Environmental Services (PES) dan 23 penghijauan lahan-lahan DAS kritis. (6) kebijakan Aceh Forest Environment Program (AFEP), program yang didukung Bank Dunia yang dikelola melalui LSM (YLI dan FFI) untuk rehabilitasi Aceh pasca-tsunami dan pengelolaan hutan Aceh, dan (7) dukungan politis terhadap upaya LSM lokal dan internasional untuk menjajagi keterlibatan Aceh dalam perintisan program REDD. Sementara itu, di wilayah Kabupaten Aceh Tenggara, dengan luas wilayah 421.000 ha dan jumlah penduduk kira-kira 210.000 (2008), 89% dari wilayahnya masuk dalam taman nasional dan hutan lindung. Oleh karena itu, kebijakan konservasi secara umum lebih dititikberatkan pada upaya memperkuat kebijakan yang ditempuh 24 pemerintah provinsi dan pusat. Kebijakan yang berdimensi konservasi, antara lain: (1) memperkuat kebijakan moratorium; (2) mendukung kebijakan pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), dan (3) pengamanan kehutanan secara umum dengan melibatkan sejumlah pengamanan hutan yang direkrut secara khusus 25 di tingkat provinsi. 21
Wawancara dengan Husaini Syamaun, Kepala BAPEDAL PDA, 27 Juli 2009. Peraturan Gubernur Pemerintahan Daerah Aceh No. 52 Tahun 2006. 23 Dede Suhendra, WWF Perwakilan Aceh, 28 Juli 2009. 24 Wawancara dengan, Ramli Desky, Kabid Bina Kehutanan dan Azmaudin Kurnia, Kasi Reboisasi dan Pemeliharaan hutan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh Tenggara, 30 September 2009. 25 Sebagai contoh, peran Pemerintah Kabupaten dan Kota di NAD dalam rangka memperkuat kebijakan moratorium menyangkut tiga aspek (3R turunan moratorium), yaitu: (1) redisain hutan Aceh; (2) reforestasi, dengan kegiatan reboisasi, penghijauan, perbaikan lahan, dan (3) reduksi Deforestasi. Namun demikian, karena di wilayah Kabupaten Aceh Tenggara, karena tidak ada IPK dan HPH, kasus pembalakan liar di wilayah ini cukup kecil apalagi sejak diberlakukannya moratorium, pembalakan liar 22
9
Dalam bidang perintisan program REDD, sejumlah indikasi kemauan politik dan kebijakan NAD menyangkut hal-hal sebagai berikut. NAD telah melakukan kerja sama dengan Brazil dan Papua 26 Nugini. Dalam jangka menengah dan panjang, NAD juga menyatakan niatnya untuk menjadikan KEL dan kawasan ulumasin 27 untuk dijadikan proyek REDD. Dalam rangka memperkuat fungsi pengawasan terhadap kawasan hutan, di luar wilayah konservasi, NAD telah merekrut 2000 orang tenaga pengamanan selama dua tahun terakhir yang sebagian besar di BKO-kan di sejumlah 28 kabupaten dan kota. NAD juga terlibat dalam kerja sama proyek dengan Bank Dunia, yakni program AFEP yang mencakup bantuan pendanaan yang dikelola Yayasan Leuser Indonesia (YLI) dan Flora Fauna Indonesia (FFI). Proyek senilai 17 juta dolar AS dari Multi-Donor Fund, yakni sebuah lembaga bantuan pascagempa dan tsunami yang dimotori Bank Dunia dalam rangka rehabilitasi tsunami dan pengelolaan hutan Aceh. Perkembangan positif yang terjadi adalah bahwa dari 8 kawasan konservasi, hampir 85% konflik satwa di Aceh terjadi di luar 29 kawasan konservasi. Sementara itu, rintisan program REDD belum dilakukan di Kabupaten Aceh Tenggara. Untuk sebagian bahkan program ini masih mengalami resistensi. Bagi kabupaten ini, REDD masih harus disesuaikan dengan penentuan posisi Indonesia supaya lebih memiliki daya tawar dan masyarakat harus diberdayakan terlebih dahulu. Apalagi, mekanisme REDD itu sangat kondisional. Jika salah satu aspek rusak maka tidak akan didapat dana untuk pembiayaannya. Belum lagi jika perkebunan sawit bisa diajukan dalam skema REDD, kondisi yang dapat menjadi skenario perusakan hutan karena bakal terjadi pembukaan secara besar-besaran lahan dengan konsekuensi turun drastis kecuali masyarakat mengambil kayu dari lahannya sendiri. Wawancara dengan, Ramli Desky Kabid Bina Kehutanan, Azmaudin Kurnia Kasi Reboisasi dan Pemeliharaan hutan, Dishutbun Aceh Tenggara, 30 September 2009. 26 Sesuai dengan Pasal 9 ayat (1) dan (3) UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Pemerintah Aceh dapat melakukan kerja sama dengan lembaga atau badan di luar negeri kecuali yang menjadi kewenangan pemerintah sepanjang dalam naskah kerja sama mencantumkan frase “bagian dari NKRI”. Berdasarkan UU tersebut, Gubernur selaku wakil NAD dapat menjalankan perdagangan karbon sendiri ke luar negeri. 27 Kawasan Ulumasin mencakup semua kawasan di luar KEL yang mencakup 5 kabupaten di NAD yang didorong menjadi sebuah kawasan tertentu. 28 Wawancara dengan Husaini Syamaun, Kepala BAPEDAL Pemerintah Aceh, 27 Juli 2009. 29 Wawancara dengan Agus Yasin dan Muh. Umar Said, BKSDA Aceh, 28 Juli 2009. Proyek AFEP biayanya dari Multidonor Fund untui pembiayaan FFI dan YLI dan sebagian untuk proyek pemberdayaan masyarakat dalam skala kecil di beberapa desa. Hanya saja program ini dinilai kurang efektif, karena didasarkan pada kelompok/komunitas desa atau kecamatan bukan pada kasus-kasus individual seperti pelaku pembalakan liar sehingga dana lebih banyak terserap pada non-fisik. Secara kelembagaannya, ada steering committee yang beranggotakan para kepala dinas yang mengarahkan kerja pengelolaan kehutanan. Wawancana dengan dengan Samiuddin, Dishut PA, 28 Juli 2009. Lihat juga artikel sejenis dalam , diakses 28 April 2009.
10
akan lebih menguntungkan pemilik modal. Alasan lain, mengapa kabupaten ini belum terlibat jauh dalam program REDD adalah belum kuatnya advokasi dari LSM terkait dan masih terbatasnya upaya 30 pemberdayaan masyarakat. B. Upaya Konservasi di Kalbar Di wilayah Kalbar, dua wilayah menjadi objek pengumpulan data yakni sejumlah instansi dan lembaga non-publik Kalbar dan di Kabupaten Kapuas Hulu. Secara umum keberpihakan politik pemerintah daerah terlihat kuat dalam upaya konservasi. Dalam tingkatan kecil misalnya, provinsi ini telah mengeluarkan Perda No. 4 Tahun 2007 tentang Merkuri. Ke depan, provinsi sedang menyiapkan 31 Raperda tentang Pembukaan Lahan Tanpa Bakar. Kebijakan lain yang berdimensi kepentingan konservasi dalam rangka perlindungan ekosistem secara umum antara lain upaya penyelamatan mangrove, pencegahan pembalakan liar dan penyelamatan terumbu karang. Dalam upaya penyelamatan mangrove, Pemda telah melakukan penanaman 30.000 pohon di Kec. Batu Ampar (Kab. Kubu Raya) pada tahun 2008. Pada tahun yang sama, di Kec. Karimunting dan Kepulauan (Kab. Bengkayang) sejumlah 4.000 pohon dan sebanyak 4.000 pohon di Kab. Sambas. Pada tahun 2009, dalam upaya mengurangi potensi perusakan mangrove, Kalbar bekerja sama dengan universitas negeri setempat dalam program pemberdayaan masyarakat untuk mengembangkan potensi manfaat buah mangrove 32 menjadi bahan minuman. Kebijakan kerja sama dilakukan dalam proyek penanaman dan pemeliharaan Mangrove di Batu Ampar dengan UNEP di bawah kendali BPLH Regional (Provinsi Kaltim), dan serangkaian upaya penanaman tanaman keras. Dalam proses alih teknologi, kerja sama juga dilakukan dalam pelaksanaan Amdal dengan ITB dan Kementerian Lingkungan Hidup dalam bidang sertifikasi, pencegahan 33 kebakaran hutan dan lahan. Namun demikian, dalam bidang kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil, konservasi baru menyentuh 34 pada upaya restocking di perairan umum.
30
Wawancara dengan, Ramli Desky Kabid Bina Kehutanan Azmaudin Kurnia Kasie Reboisasi dan Pemeliharaan hutan, Dishutbun Aceh Tenggara, 30 September 2009. Di wilayah ini, dorongan alih fungsi lahan untuk perkebunan sangat kuat sehingga jika kelapa sawit bisa masuk dalam skema REDD hanya akan menguntungkan pengusaha perkebunan seperti kelapa sawit. 31 Wawancara dengan Wuyi Bodrotin, Kabid Pengendalian, Pencemaran, dan Konservasi SDA, BLHD Provinsi Kalimantan Barat, 18 Mei 2009. 32 Ibid. 33 Ibid. 34 Wawancara dengan Gatot Sudiono, staf Bidang Pengawasan Kelautan, Pesisir, Pulau-Pulau Kecil dan Konservasi, Dinas Kelautan Provinsi Kalbar, 19 Mei 2009.
11
Di tingkat kabupaten Kapuas Hulu, kebijakan yang berdimensi konservasi secara umum khususnya upaya rehabilitasi dan 35 perhutanan sosial mencakup beberapa kegiatan antara lain: 1. kegiatan gerakan rehabilitasi lahan (Gerhan) berupa penanaman gaharu, karet dan rehabilitasi lahan yang dibiayai dari DAK-DR (tahun 2004 - sekarang); 2. Identifikasi potensi kemanfaatan hasil hutan non-kayu seperti gaharu dan rotan, dan sertifikasi tanaman langka (2009) seperti kayu ulin/belian, tembesu, tengkawang dan sungkai. Sertifikasi ditujukan untuk mengurangi pengambilan kayu ulin/belian dari hutan secara langsung seperti selama ini; 3. program pemberdayaan masyarakat sejak 2004, misalnya dalam program penanaman pohon lokal dalam rangka mendorong masyarakat untuk tidak merusak hutan, sumber hayati asli seperti ikan dan perkebunan; 4. konservasi karet rakyat, dan 36 5. pembentukan Pokja Konservasi (2004) dan Pokja Ekowisata. Dalam rangka menyerap GRK, dengan luas hutan 9,178 juta ha Kalbar juga mengambil kebijakan pemantauan terhadap perubahan tutupan hutan. Di samping itu, kebijakan pencegahan kerusakan hutan mencakup: (1) pengendalian dan operasi pengamanan pembalakan liar; (2) pengendalian kebakaran hutan dan lahan, dan (3) pembinaan kepada pemegang IUPHHK Hutan Alam dalam pemanfaatan hasil hutan kayu. Dalam rangka pengelolaan hutan berkelanjutan pada hutan buatan maupun alami, dan rehabilitasi lahan melalui aforestasi dan reforestasi sebagai dasar pengurangan emisi yang diakui rezim UNFCCC, Kalbar telah mengarahkan beberapa pemegang konsesi hutan alami (IUPHHK-HA) pada: (1) sistem PHAPL (Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari), dan (2) rehabilitasi lahan melalui antara lain program Gerhan, dan (3) dorongan bagi investor untuk menggarap HTI. Kebijakan lain terkait dengan upaya pengelolaan hutan secara 37 lestari. Sejumlah proyek rintisan REDD telah dilakukan di Kabupaten 38 Kapuas Hulu. Perkembangan terakhir, kerja sama RI - Jerman yang 35
Wawancara dengan Indra Kumara, Kabid Pemantapan Kawasan Hutan dan Johari Jumatani, Kabid Rehabilitasi dan Perhutanan Sosial, Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kapuas Hulu, 20 Mei 2009. 36 Pokja Konservasi beranggotakan WWF, Riak Bumi (LSM lokal yang bergerak dalam bidang pemberdayaan masyarakat di Taman Nasional Danau Sentarum), Bappeda, Dishutbun, dan Kantor LH. Pokja ini juga menjadi salah satu jawaban atas lemahnya koordinasi horisontal/vertikal. Pokja ini dibantu oleh satuan Gugus Tugas yang bertugas menyiapkan arahan, kebijakan untuk dilaksanakan oleh dinas terkait dan memonitor hasil kerja yang disampaikan kepada Pokja dan Bupati. Wawancara dengan Indra Kumara, op.cit. 37 Jawaban tertulis Dinas Kehutanan Kalbar. 38 Pengurangan emisi melalui REDD adalah salah keputusan COP ke-13 di Bali 2007 dalam rangka pencegahan dan atau pengurangan penurunan kuantitas tutupan hutan dan stok karbon yang dilakukan melalui berbagai kegiatan untuk mendukung
12
39
menjadikan Kabupaten Kapuas Hulu sebagai lokasi proyek rintisan. Di samping itu, Dinas Kehutanan juga telah mengadakan kerja sama dengan DED (lembaga Jerman) untuk membangun GIS Center dalam rangka membantu daerah mengembangkan kapasitas SDM dalam perhitungan stok karbon di hutan dengan menggunakan teknologi remote sensing, GIS dan bantuan tenaga ahli untuk community forestry development. Hal lain, kerja sama antara lembaga swasta seperti FFI Indonesia untuk menjajagi kemungkinan pelaksanaan REDD pada lahan gambut dan situs habitat orang utan di Kawasan Hutan Sungai Putri di Kabupaten Ketapang, dan di TNDS di Kabupaten Kapuas Hulu. Kerja sama lainnya adalah lembaga Keep the Habitat (Australia) yang sedang menginisiasi kerja sama dengan Kabupaten Kubu Raya dalam REDD yang fokus pada penyelamatan hutan mangrove. Terkait dengan proses alih teknologi, khususnya dalam usaha pemanfaatan hasil hutan kayu antara lain kebijakan yang mewajibkan pemegang IUPHHK HT menggunakan teknologi RIL (reduced impact logging). Dalam sektor industri kehutanan khususnya produk kayu lapis, sejumlah industri di Kalbar telah memiliki mesin rotary yang bisa memanfaatkan kayu dengan residu sangat kecil. Kebijakan lain menyangkut kewajiban penggunaan mekanis dalam proses pembukaan lahan dalam pembangunan hutan tanaman industri dan upaya percepatan revitalisasi industri pengolahan kayu pada aspek diversifikasi pemenuhan bahan baku. Kebijakan terobosan politik ekologis lainnya adalah penetapan 40 Kabupaten Kapuas Hulu sebagai ”Kabupaten Konservasi”. Beberapa alasan mendasari kebijakan ini. Pertama, secara geografis wilayah kabupaten ini letaknya di hulu dan memiliki keanekaragaman hayati baik di tingkat spesies maupun ekosistem. Dari seluas 29.842 km2 juta ha wilayahnya, 56,21% di antaranya (1.677.601 ha)
pembangunan nasional yang berkelanjutan. Sifat program ini sukarela bagi negara maju dalam membantu negara berkembang menjaga hutan. Dalam pelaksanaan program ini, sebelum langkah awal pelaksanaan REDD, setiap negara diwajibkan untuk melakukan pembangunan kapasitas, memberikan bantuan teknis, memfasilitasi alih teknologi dalam rangka meningkatkan, antara lain, koleksi data, estimasi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, monitoring dan pelaporan, dan bantuan dalam rangka memperkuat kelembagaan negara-negara berkembang dalam melakukan estimasi dan mengurangi defroestasi dan degradasi hutan. Hal penting lain dalam ketentuan Resolusi REDD ini adalah bahwa pelaksanaannya di negara-negara berkembang harus memperhatikan kepentingan komunitas lokal dan adat. Di Indonesia, tata cara pelaksanaan REDD diatur dalam Permenhut N0. 30/Menhut-II/2009. Lihat Decision/CP.13, Reducing emissions from deforestation in developing countries: approaches to stimulate action, advance unedited version. 39 Lihat misalnya, Peraturan Menteri Kehutanan No. P-30 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD), khususnya pada Pasal 22 tentang Peralihan. 40 Ditetapkan berdasarkan SK Bupati No. 144 Tahun 2003. Lihat Abang Tambul Husin, Kabupaten Konservasi, Sumbangan Pemikiran Bupati Kapuas Hulu dalam Pembangunan Wilayah Berbasis Konservasi SDA (Jakarta: Gramedia Direct Selling, 2005), hal. 2.
13
merupakan kawasan lindung dan kira-kira seluas 55,55% (932.000 41 ha) merupakan taman nasional (TNDS dan TNBK). Di sini terlihat kaitan kepentingan lokal, nasional dan internasional sebagai penjaga ekosistem. 42 Kedua, posisinya sebagai sebagai perbatasan negara. Sebagai salah satu penjaga ekosistem di wilayah Borneo, Kapuas Hulu berperan dalam penting dalam penjagaan ekosistem. Hal ini ditegaskan misalnya, dalam forum lokakarya internasional bertema Hearth of Borneo di Brunei Darussalam, 5-6 April 2005. Sebagai pengatur tata air, Kapuas Hulu dilalui Sungai Kapuas, Mahakam dan Batang Ai (Serawak-Malaysia). Dengan posisi wilayahnya sebagai kawasan lindung dan konservasi, peran Kapuas Hulu sebagai resapan air dan pendaur ulang karbon menjadi oksigen, berperan 43 penting secara nasional dan internasional. Di samping itu, keberadaan TNBK yang berbatasan langsung dengan Serawak (Lanjak Entimau Wildlife Sanctuary merupakan kawasan konservasi lintas batas (transboundary reserve) pertama di Asia. Pada tahun 1997, ITTO Borneo Biodiversity Expedition misalnya, menemukan 440 spesies burung, 3.300 spesies ikan tawar, 330 jenis binatang melata dan amfibi dan 327 jenis tanaman obat dan makanan yang dipakai 44 secara lokal. Ketiga, alasan politis. Sebagai respon atas kecenderungan pemerintah pusat menyalahkan daerah dalam perusakan hutan terutama ketika pembalakan liar masih terus terjadi di sini meskipun 45 beberapa tahun terakhir terus menurun intensitasnya. Oleh karena itu, sebagai wilayah yang sebagian besar kawasan lindung dan konservasi, penetapan sebagai kabupaten konservasi memiliki nilai strategis bagi upaya nasional dalam memperkuat politik lingkungan pemerintah. Derajat nilai politisnya semakin besar setelah dikeluarkannya kebijakan Rencana Induk Kabupaten Konservasi. C. Sejumlah Persoalan Konservasi di NAD dan Kalbar Sejumlah persoalan dalam pelaksanaan upaya konservasi di NAD dapat disarikan sebagai berikut. Pertama, terkait dengan persoalan konflik regulasi antara pemerintah pusat dan daerah. Konflik regulasi ini bersumber dari hasil penafsiran terhadap UU No. 11 Tahun 2006. Sebagai contoh, dalam pengaturan tentang kewenangan NAD dalam pengelolaan sumber daya kehutanan, NAD menganggap bahwa semua kewenangan itu telah menjadi kewenangannya. 41
Ibid., hal. 3. Wawancara dengan Imam Suhari, Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Kapuas Hulu, 20 Mei 2009. 43 Husin, op.cit., hal. 3, 9 dan 35. 44 Ibid., hal. 38-39. 45 Wawancara dengan Rudi, WWF Perwakilan Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu, 19 Mei 2009 dan Alexander Rombonang, staf ahli Bupati, 22 Mei 2009. 42
14
Kedua, persoalan pengelolaan kehutanan dan tata ruang Aceh, misalnya, masih menghadapi resistensi dari wilayah kabupaten dan kota yang menginginkan adanya pembukaan kawasan-kawasan 46 hutan untuk tujuan non-ekologis. Dalam kasus di Kabupaten Aceh Tenggara misalnya, terjadi pada upaya kabupaten untuk mengupayakan alih fungsi lahan dalam menopang pendapatan dan perekonomian daerah serta sebagai katup pengaman secara sosial. Hal ini dilakukan sebagai akibat perkembangan demografis sementara pada saat yang sama hampir 90% wilayah kabupaten itu adalah kawasan hutan lindung dan konservasi. Ketiga, AGV belum sepenuhnya ditindaklanjuti dengan kerangka aturan yang memadai. Hal ini tidak hanya terkait dengan persoalan masih terjadinya tarik-menarik kepentingan antara NAD di satu sisi dengan pemerintah pusat di sisi lain tetapi juga tarik-menarik 47 antara provinsi dengan sejumlah kabupaten dan kota se-NAD. Keempat, persoalan pelaksanaan moratorium yang belum 48 optimal sebagai akibat masih lemahnya implementasi di lapangan. Kelima, anggaran. Persoalan anggaran menjadi salah satu persoalan berat yang dihadapi Pemda dalam upaya perlindungan hutan dan konservasi di samping persoalan SDM, batas-batas kawasan yang kurang jelas. Sementara itu, dalam konteks persoalan di Kabupaten Aceh Tenggara, sejumlah kendala dalam pelaksanaan konservasi di wilayah ini menyangkut: pertama batas kawasan yang belum jelas; kedua, keterbatasan anggaran, ketiga, belum optimalnya implementasi peraturan. Sebagai contoh, Qanun 14 Tahun 2002 menegaskan bahwa pembangunan dan pengelolaan hutan Aceh didasarkan pada DAS. Sampai sekarang aturan itu belum berjalan sehingga UPT DAS belum dibentuk. Keempat, RTRW NAD dirasakan belum mengakomodasi kepentingan kabupaten yang wilayahnya 49 sebagian besar adalah kawasan konservasi dan hutan lindung. Sementara itu, sejumlah kendala upaya konservasi di wilayah Provinsi Kalbar antara lain dapat disarikan di bawah ini. Pertama, lemahnya koordinasi bagi semua pemangku kepentingan khususnya 46
Wawancara dengan Husaini Syamaun, BAPEDAL Aceh, 27 Juli 2009. Resistensi ini bahkan sering disampaikan secara langsung kepada pemerintah pusat melalui Kementerian Kehutanan. 47 Wawancara dengan Dede Suhendra, WWF Aceh, 28 Juli 2009. 48 Ibid. Hal ini juga disinggung dalam wawancara dengan Walhi Aceh, 27 Juli 2009. 49 Wawancara dengan Ali Surahman dan Zaenal Bahrudin, Bidang PP Keistimewaan dan SDM, dan Bidang Sarana dan Prasarana, Bappeda Aceh Tenggara, 30 Juli 2009. Dorongan untuk mengambil sebagian hutan lindung untuk dialihfungsikan menjadi lahan pertanian dan perkebunan karena hanya 11% luas wilayahnya untuk lahan pertanian dan perkebunan sementara masyarakatnya hanya mengandalkan pada lahan. Lahan yang diminta adalah TNGL, dengan alasan sudah ada infrastruktur publik dan penduduknya. Pandangan lain melihat bahwa niat ini sebenarnya tidak selamanya utuh karena ada kepentingan elit untuk mengambil sebagian lahan di sana. Wawancara dengan salah satu informan di Aceh Tenggara, 30 September 2009. Hal yang sama dalam kasus perambahan hutan akibat ketidaktahuan masyarakat yang selama ini berkebun karena tidak adanya batas kawasan yang jelas.
15
bagi setiap lembaga publik yang memiliki wewenang untuk itu. Kedua, keterbatasan anggaran, SDM dan dukungan politik pusat dan daerah. Rencana pengembangan TNBK dan TNDS sebagai kawasan ekowisata misalnya, masih terbentur pada persoalan infrastruktur, budget 50 dan komitmen politik pusat dan daerah yang belum belum satu kata. Ketiga, kerangka hukum. Di satu sisi sejumlah peraturan perundangundangan terkait secara kuantitas telah mencukupi hanya saja sifatnya yang masih sektoral, kurangnya kapasitas pelaksana karena banyak dan beragamnya aturan, dan persoalan lemahnya penegakan hukum. Di sisi lain kerangka hukum untuk sebagian juga belum memadai dan komprehensif. Hal ini antara lain diakibatkan oleh kurangnya fungsi legislasi di tingkat provinsi dan kabupaten karena 51 kentalnya pertimbangan politis. Keempat, kecenderungan para elit politik terutama pemimpin daerah yang melihat persoalan konservasi selalu dipolitisasi di balik alasan demi penegakan kewenangan itu sendiri. Kondisi seperti dapat teradi karena, belum kuatnya kepemimpinan. Kelima, persoalan tata ruang. Tarik menarik antara pemerintah pusat dan daerah dalam menentukan tata ruang berdampak pada pengelolaan kawasan-kawasan konservasi yang tumpang tindih dan cenderung membingungkan para pelaksana di lapangan. Keenam, kurang melibatkannya masyarakat sebagai pemangku kepentingan 52 dalam upaya konservasi. D. Derajat Dukungan terhadap Komitmen Protokol Sebagai bagian integral UNFCCC, pengesahan terhadap Protokol Kyoto menjadi dasar kebijakan nasional dalam masalah konservasi SDA dan lingkungan hidup khususnya di sektor kehutanan. Karena persoalan kerusakan SDA dan lingkungan hidup terjadi di wilayah sub-nasional, kebijakan dan pelaksanaannya dalam skala sub-nasional menjadi hal penting dalam mengukur seberapa jauh upaya nasional telah dilakukan. Dengan dasar penilaian seperti ini, kiranya kasus di dua provinsi dan kabupaten tersebut di atas dapat menjadi salah satu basis penilaian secara nasional setidaktidaknya untuk jangka pendek dan menengah. Dilihat secara normatif, serangkaian kebijakan yang telah ditempuh kedua provinsi dan kabupaten tersebut menjadi andil sub50
Wawancara dengan Sunarno, Kabid Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Dishut Kalbar, 18 Mei 2009. Bandingkan dengan Husin op.cit., hal. 60. Sebagai contoh, untuk sebagian, program-program yang berdimensi konservasi masih mengalami resistensi dari masyarakat di sektar hutan atau kawasan tertentu akibat penetapan-penetapan kawasan konservasi yang tidak sejalan dengan keyakinan mereka seperti alasan mereka terlebih dahulu ada dan tingginya ketergantungan mereka pada lahan atau hutan yang selama ini mereka tempati. 51 Wawancara dengan Adrianus Shaban Setiawan, Walhi Kalbar, 18 Mei 2009, op.cit., hal. 60. Bandingkan dengan Haryadi Kartodihardjo dan Putro (2004) dikutip dalam Husin, op.cit., hal. 63. 52 Ibid.
16
nasional terhadap upaya nasional yang sifatnya sukarela dalam program-program kebijakan konservasi khususnya yang terkait dengan pelaksanaan Protokol Kyoto dan UNFCCC seperti diamanatkan dalam UU No. 6 Tahun 1994 tentang tentang Pengesahan Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim dan UU No. 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim. Sebagai sebuah kerangka kebijakan, beberapa aspek indikatif seperti disebutkan dalam kerangka berpikir di atas dapat menjadi parameter kebijakan seberapa jauh dua provinsi dan dua kabupaten dapat dijadikan sebagai salah satu upaya subnasional dalam bidang konservasi secara umum. Dengan kata lain, beberapa kebijakan yang telah dilakukan NAD dan Kalbar mendukung pelaksanaan politik konservasi nasional sebagaimana tercantum dalam kebijakankebijakan indikatif pelaksanaan UU No. 6 Tahun 1994 dan UU No. 17 Tahun 2004. Sebagai contoh, kebijakan AGV dan moratorium penebangan terhadap eks-HPH di NAD bisa memperkuat pelaksanaan proses pembangunan berkelanjutan secara umum dan mendorong pengelolaan hutan berkelanjutan, memperkuat kemampuan hutan dan lahan untuk menyerap GRK, mendorong pengurangan emisi dari kerusakan hutan, mencegah kerusakan hutan, dan mendukung kebijakan rehabilitasi lahan melalui aforestasi dan reforestasi sebagai dasar pengurangan emisi GRK yang diakui rezim UNFCCC. Hal yang sama berlaku bagi kebijakan pembentukan Tipireksa untuk mengkaji tata ruang wilayah Aceh menuju AGV dan pembentukan Bapekel. Kedua kebijakan ini dapat memperkuat peran sub-nasional dalam rangka proses pembangunan berkelanjutan khususnya untuk menjaga kestabilan konsentrasi GRK, pengurangan emisi dari kerusakan hutan, mendorong pencegahan kerusakan hutan dan mendorong pengelolaan hutan berkelanjutan di hutan buatan maupun alami, dan rehabilitasi lahan melalui aforestasi dan reforestasi sebagai dasar pengurangan emisi yang diakui rezim UNFCCC. Kebijakan lain yang mendukung pengurangan emisi dari kerusakan hutan dalam kerangka REDD dan mendorong pencegahan kerusakan hutan sebagai dasar pengurangan emisi yang diakui rezim UNFCCC adalah kebijakan AFEP dan dukungan politis NAD dalam menjajagi keterlibatan Aceh dalam perintisan program REDD. Untuk menilai sejauh mana peran sub-nasional dalam rangka memperkuat kebijakan nasional dalam bidang konservasi yang sejalan dengan komitmen Protokol Kyoto dapat dilihat pada konteks kebijakan yang diambil Kalbar. Secara umum keberpihakkan politik pemerintah daerah dalam upaya konservasi SDA dan LH seperti ditunjukkan dengan dikeluarkannya sejumlah legislasi dan agenda legislasi terkait dengan upaya konservasi, kebijakan penyelamatan mangrove, pencegahan pembalakan liar dan penyelamatan terumbu karang akan mendorong upaya pemenuhan komitmen protokol dalam 17
pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, peningkatan kemampuan hutan dan lahan untuk menyerap GRK, upaya pencegahan kerusakan hutan dan mendorong pengelolaan hutan berkelanjutan secara umum melalui aforestasi dan reforestasi sebagai dasar pengurangan emisi yang diakui rezim UNFCCC. Kalbar, dengan kawasan hutan seluas 9,178 juta ha, provinsi ini pun diyakini berperan besar dalam menyerap GRK dan perubahan iklim. Kebijakan dalam memantau dan memonitor terhadap perubahan tutupan hutan, pencegahan kerusakan hutan sebagai dasar pengurangan emisi antara lain: (1) pengendalian dan operasi pengamanan pembalakan liar; (2) pengendalian kebakaran hutan dan lahan, meliputi kegiatan penyuluhan penyadaran masyarakat, dan upaya pemadaman kebakaran hutan; (3) pembinaan kepada pemegang IUPHHK Hutan Alam dalam pemanfaatan hasil hutan kayu memiliki korelasi dengan upaya melaksanaan mandat ratifikasi terhadap Protokol Kyoto. Hubungan yang sama terjadi atas kebijakan yang berdimensi konservasi secara umum khususnya upaya rehabilitasi dan perhutanan sosial yang mencakup beberapa kegiatan seperti kegiatan gerakan rehabilitasi lahan dan program pemberdayaan masyarakat sejak 2004, misalnya dalam program penanaman pohon lokal dalam rangka mendorong masyarakat untuk tidak merusak hutan, sumber hayati asli seperti ikan dan perkebunan. Dalam rangka pengelolaan hutan berkelanjutan pada hutan buatan maupun alami, dan rehabilitasi lahan melalui aforestasi dan reforestasi sebagai dasar pengurangan emisi yang diakui rezim UNFCCC antara lain: (1) beberapa pemegang konsesi hutan alam (IUPHHK-HA) telah dan sedang diarahkan pada sistem PHAPL (Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari), dan (2) upaya rehabilitasi lahan melalui antara lain program Gerhan. Di samping itu, investor diarahkan untuk menggarap HTI. Di samping itu, Kebijakan penetapan Kabupaten Kapuas Hulu sebagai ”Kabupaten Konservasi” adalah sebuah terobosan politik ekologis yang memperkuat banyak aspek dalam memenuhi amanat ratifikasi Protokol Kyoto. Hal yang sama kerja sama antara RI-Jerman yang menjadikan Kabupaten Kapuas Hulu sebagai salah satu lokasi proyek rintisan dan kerja sama lainnya dalam konteks perintisan program REDD. Terkait dengan proses alih teknologi, khususnya dalam usaha pemanfaatan hasil hutan kayu antara lain kebijakan yang mewajibkan pemegang IUPHHK HT menggunakan teknologi RIL (reduced impact logging) juga terkait dengan upaya mendorong alih teknologi yang ramah lingkungan di Indonesia sebagai sarana yang memudahkan dalam melaksanakan kewajiban Konvensi dan Protokol tersebut. Hal yang sama kebijakan Kalbar yang mewajibkan industri kehutanan khususnya produk kayu lapis untuk memiliki mesin rotary yang bisa memanfaatkan kayu dengan residu sangat kecil. Kebijakan lain menyangkut kewajiban penggunaan mekanis dalam proses pembukaan lahan dalam kegiatan pembangunan hutan tanaman industri dan upaya percepatan revitalisasi industri pengolahan kayu 18
pada aspek diversifikasi pemenuhan bahan baku, dengan digiatkannya budidaya hutan rakyat diharapkan dapat mengurangi tekanan terhadap hutan alam produksi yang masih tersisa. Namun demikian, penilaian di atas sifatnya masih normatif. Dengan demikian, dalam jangka pendek dan menengah, secara riil, terobosan itu belum memberikan indikasi yang memperkuat kebijakan nasional dalam rangka pemenuhan komitmen protokol tersebut secara nasional. Ada sejumlah persoalan mengapa demikian. Pertama, ada kecenderungan pemerintah Kalbar dan NAD hanya memfokuskan upaya konservasi pada wilayah atau kawasan yang menjadi kewenangannya. Upaya konservasi cenderung diartikan pada upaya konservasi dalam kawasan yang secara legal dan administratif sebagai kawasan konservasi. Akibatnya, terjadi perbedaan derajat kepentingan dan dukungan politis pemerintah daerah dalam proses pengelolaan kawasan-kawasan konservasi misalnya, taman nasional dan cagar alam dibandingkan dengan misalnya terhadap hutan lindung. Secara analitis, hal ini dapat dipahami karena dalam prakteknya, penanggung jawab pengelolaan kawasan konservasi maupun non-konservasi dilakukan oleh struktur pemerintahan yang berbeda-beda. Akibatnya, dalam implementasinya, efektifitas pengelolaannya sudah tentu berbeda-beda akibat adanya perbedaan SDM, sumber pembiayaan, dukungan teknis dan lain-lain. Bahkan dalam pengelolaan hutan lindung sekalipun yang berada di bawah kewenangan pemerintah daerah, sering terlihat adanya tarik-menarik kepentingan antara pemerintah daerah provinsi dan kabupaten di satu 53 sisi dan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah di sisi lain. Kedua, tersirat makna bahwa terobosan beberapa kebijakan itu adanya motivasi politis dan ekonomis yang ditujukan dalam rangka memperkuat daya tawar daerah terhadap pusat yang pada akhirnya diarahkan pada realokasi dana dari pusat ke daerah. Alat tawar politik dari pemerintah pusat menyangkut potensi manfaat tambahan pendapatan daerah dalam bentuk DAK konservasi sementara dari 54 negara-negara maju terkait dengan proyek perdagangan karbon. Kesimpulan analisis ini setidak-tidaknya dapat ditarik dari adanya fakta yang disampaikan hampir semua informan bahwa belum efektifitas pelaksanaan kebijakan konservasi dan penyelamatan ekologis lainnya akibat keterbatasan dukungan anggaran dari pusat. 53
Secara tidak langsung penilaian ini didasarkan pada beberapa wawancara dengan sejumlah narasumber di lapangan. Sebagai contoh, Sunarno, Kabid Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Dishut Kalbar, 18 Mei 2009. Pengakuan lain diberikan oleh Kabupaten Kapuas Hulu. Bandingkan dengan Husin, op.cit. hal. 50. 54 Beberapa informan yang kita temui mengindikasikan hal itu. Masuknya konsepsi Kabupaten Konservasi dalam RPJM sementara RPJM sudah disahkan mengindikasikan hal itu. Hal lain terkait dengan terobosan elit politik Kabupate Kapuas Hulu untuk memasukkan konsepsi ini karena potensi hilangnya agenda itu setelah tidak jadi Bupati. Wawancara dengan Indra Kumara, Kabid Pemantapan Kawasan Hutan, Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kapuas Hulu, 20 Mei 2009.
19
Kasus di Kabupaten Kapuas Hulu misalnya, kebijakan yang berdimensi makro yang mencakup kemauan politik daerah dalam program konservasi adalah kebijakan penetapan kabupaten itu menjadi Kabupaten Konservasi berdasarkan SK Bupati No. 144 Tahun 2003 tentang tentang Penetapan Kabupaten Kapuas Hulu 55 Sebagai Kabupaten Konservasi. Kasus yang sama terjadi di wilayah Kabupaten Aceh Tenggara. Penetapan Kabupaten Konservasi baru 56 dalam proses awal. Seperti halnya program yang sama di Kabupaten Kapuas Hulu, motivasi politis dan ekonomisnya terlihat sangat kuat. Sebagai sebuah agenda kebijakan, wacana penetapan kabupaten konservasi telah lama dijalankan dalam rangka memperkuat daya tawar politik Kabupaten Aceh Tenggara untuk mendapatkan potensi dana alokasi khusus. Secara normatif, sejumlah alasan yang mendasari pendeklarasian ini memiliki kaitan dengan kepentingan penyelamatan dan perlindungan ekologis. Kebijakan penetapan kabupaten konservasi belum sepenuhnya mencerminkan tujuan dan alasan yang mendasari. Sebaliknya alasan yang mendasar pendeklarasian itu justru lebih pada upaya mendorong pemerintah pusat untuk memberikan ”perhatian” yang lebih kepada kabupaten ini dan kabupaten lain yang sejenis secara ekonomis/fiskal. Dengan kata lain, motivasi ekonomis lebih mendasari pencanangan kabupaten konservasi. Artinya, pendeklarasian kabupaten konservasi diharapkan dapat mendorong pemerintah pusat untuk memberikan kompensasi dalam bentuk ”dana alokasi khusus” konservasi dan kompensasi lainnya dari pemerintah provinsi. Hal ini terlihat pada kebijakan penetapan Rencana Induk Kabupaten Konservasi (RIKK) sesuatu yang kontradiktif dengan RPJMD. Alasan politisnya, RIKK supaya bisa masuk ke RPJMD sedemikian rupa skema ”DAK” konservasi atau kompensasi dan insentif pusat ke pemerintah daerah dapat 57 dimungkinkan. Alasan politis lainnya juga dalam rangka mendapatkan potensi pendanaan dari lembaga-lembaga donor asing 55
Lihat Abang Tambul Husin, Kabupaten Konservasi, Sumbangan Pemikiran Bupati Kapuas Hulu dalam Pembangunan Wilayah Berbasis Konservasi SDA (Jakarta: Gramedia Direct Selling, 2005), hal. 2. 56 Sebagai contoh, Tim Penasehat dan Pelaksana Harian Penetapan Aceh Tenggara sebagai Kabupaten Konservasi baru dikeluarkan melalui SK Bupati No. 5224/234/2009 tertanggal 8 Juni 2009. Salah satu informan lainnya yang menjadi anggota Tim ini menyebutkan bahwa Tim ini belum bekerja. 57 Ibid. Pandangan serupa juga disampaikan Ambrosius Sadau. Kabid Penelitian dan Statistik Bappeda Kabupaten Kapuas Hulu, anggota Pokja Kabupaten Konservasi, 20 Mei 2009. Hasil wawancara dengan Rombonang juga disinggung bahwa Potensi pengucuran “DAK” konservasi dinilai juga telah didukung Bappenas. Dalam rangka menggerakkan dukungan politik Kabupaten Kapuas Hulu sebagai Kabupaten Konservasi, Kabupaten Kapuas Hulu menjadi salah satu pihak yang ikut terlibat dalam MOU Lanjak yang berisi komitmen untuk melaksanakan ecoregion bersama-sama dengan Kabupaten Sintang, Sanggau, Pontianak dan Sekodal. Namun demikian, sejumlah kendala juga masih dihadapi misalnya, belum adanya kerangka hukum yang memadai seperti perda ecoregion, belum tuntasnya tata ruang yang terpisah dari tata ruang provinsi dan persoalan cantolan hukum yang lebih tinggi.
20
sebagai kompensasi atas peran kabupaten ini menjaga hutan. Seperti tersebut di atas, Kabupaten Kapuas Hulu menjadi tempat pelaksanaan pilot poject sebagai proyek perintisan REDD paskaProtokol Kyoto, 2012, sebuah kerja sama antara Indonesia dan Jerman. Di samping itu, sejumlah lembaga internasional juga telah menjajagi Provinsi Kalbar sebagai lokasi pelaksanaan proyek 58 perintisan tersebut. Ketiga, segenap terobosan kebijakan baru sebatas upaya perintisan yang jika dilihat dalam lingkup kepentingan nasional. Kendala-kendala itu mencakup aspek kebijakan, SDM, anggaran dan kemauan politik pemerintah daerah itu sendiri. Dari aspek kebijakan misalnya, kendala mendasar yang dihadapi adalah persoalan masih lemahnya implementasi, efektifitas dan kelangsungan suatu kebijakan. Hal ini biasanya terkait dengan persoalan derajat politik konservasi pemerintah daerah yang kadang-kadang kurang konsisten seiring dengan perubahan kepemimpinan, konsistensi dan dukungan 59 kebijakan dari pusat dan kompensasi terbatasnya anggaran. Keempat, kebijakan diarahkan secara langsung pada upaya menyelesaikan persoalan lokal. Sebagai contoh, kebijakan moratorium di NAD. Dengan 63% luas wilayahnya adalah kawasan hutan dan 80% luas hutan Sumatera berada di Aceh sementara saat yang sama, kira-kira 1 juta ha hutan Aceh telah rusak karena kegiatan ilegal dan pengelolaan hutan Aceh yang tidak terkendali. Di samping itu, persoalan penggangguran paska-berakhirnya program rehabilitasi 60 dan rekonstruksi pada tahun 2009 lalu juga kuat di sana. Sejumlah kebijakan terobosan dalam menangani persoalan di atas adalah 61 pelaksanaan moratorium penebangan kayu dan kebijakan AGV. Secara normatif, kebijakan moratorium merujuk pada Instruksi Gubernur Aceh No. 5 Tahun 2007 tentang Moratorium Logging sebagai sarana pengelolaan hutan secara lestari melalui tiga program ”3R” utama, yakni redisain, reforestasi dan reduksi laju deforestasi. Program redisain diupayakan untuk menata ulang hutan Aceh dan konsesi perijinan yang akan ditindaklanjuti dengan dalam bentuk revisi tata ruang dalam rangka mendukung pembangunan Aceh yang seimbang secara ekologis, sosial dan ekonomis. Sementara itu, program reforestasi difokuskan pada upaya rehabilitasi hutan dan lahan secara inklusif dengan sejauh mungkin melibatkan masyarakat. Dan terakhir, reduksi diupayakan dalam rangka mendorong keseimbangan antara laju penghutanan dan pemanfaatannya melalui 58
Wawancara dengan Sunarno dan staf, Bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Dishut Kalbar, 18 Mei 2009. 59 Kesimpulan ini ditafsirkan dari beberapa pandangan informan khususnya LSM baik di Pontianak maupun Banda Aceh. 60 Lihat misalnya Dewa Gumay, “Aceh Green; Langkah Baru Sang Gubernur”, dalam , diakses 22 Februari 2010. 61 Menurut berbagai narasumber bahwa KEU baru sebatas wacana kebijakan yang belum dilembagakan secara formal dan muncul untuk sebagian akibat kurangnya akses PA dalam pengelolaan KEL.
21
sistem pengamanan hutan dan penegakan hukum secara efektif dan 62 konsisten. Sebagai bagian dari program moratorium ini dan dalam rangka pengelolaan kehutanan Aceh secara komprehensif dan menghasilkan dokumen rencana strategis pengelolaan hutan Aceh 63 dalam program ”3R”, dibentuklah Tipireksa. Sementara itu, kebijakan AGV secara substansial tidak memiliki perbedaan dengan program moratorium dan bahkan berkaitan terutama dari aspek reforestasi hutan Aceh. Perbedaannya terletak pada pelibatan langsung tenaga kerja yang masih menganggur sementara dalam program moratorium melibatkan banyak kalangan. Secara teknis, program ini ditujukan pada upaya merehabilitasi satu juta ha hutan yang tergradasi menjadi kawasan hutan rakyat sebagai dasar pemenuhan industri seperti layaknya hutan tanaman industri (HTI). Ambisi Gubernur NAD bahkan program AGV akan didanai melalui mekanisme perdagangan karbon atau mekanisme 64 pembangunan bersih. Dilihat secara normatif, kebijakan berdimensi konservasi tersebut terlihat sangat menjanjikan tidak hanya bagi kepentingan pengelolaan hutan dan lingkungan di tingkat lokal tetapi menjadi salah upaya subnasional dalam memperkuat politik lingkungan pemerintah secara nasional. Sebagai contoh, dengan sejumlah indikator ambisius, misalnya melalui program AGV, seluas 1 juta ha kawasan hutan akan dapat direhabilitasi akan berkorelasi positif dengan target 65 penurunan emisi di Indonesia. Kasus lain, misalnya, menyangkut kebutuhan ruang menyangkut alih fungsi lahan atas dasar perkiraan kebutuhan demografis karena wilayahnya sangat terbatas dan kepentingan untuk 66 andil bagi daerah dalam proyek REDD. Dari sudut pandang informan lain, kebijakan perubahan tata ruang di wilayah kabupaten Aceh Tenggara termasuk di dalamnya perubahan alih fungsi lahan sebenarnya didorong oleh kebutuhan sebagai katup pengaman 62
Lihat Dewa Gumay, “Satu Tahun Moratorium Logging”, dikutip dalam , diakses 22 Februari 2010. 63 SK Gubernur NAD No. 522.1/534/2007 tertanggal 31 Oktober 2007 tentang Pembentukan Tim Penyusunan Rencana Strategi Pengelolaan Hutan Aceh. 64 Menurut perkiraan Gubernur, dana sekitar 20 juta dolar AS akan terkumpul melalui mekanisme CDM. Gumay, op.cit. 65 ”Reduksi Emisi Karbon Dioksida 26 Persen Tidak Terprogram”, disunting dalam , diakses 19 Januari 2010. 66 Salah satu alasan mengapa pembicaraan REDD berjalan begitu cepat adalah karena faktor uang dan bukan pada bagaimana mencegah deforestasi. Berbagai dokumen terkait dalam bentuk regulasi, kajian awal dan perjanjian proyek REDD, Bank Dunia misalnya, memperkirakan untuk mengurangi deforestasi sebesar 10-20% diperlukan biaya sekitar US$2-20 milyar pertahun. Laporan lain kepada UNFCCC menyatakan di 40 negara pemilik hutan diperlukan biaya sebesar US$28-185 milyar pertahun untuk mencegah kehilangan hutan alam seluas 148 juta ha. Disunting di , diakses 15 Februari 2010. Sesuai dengan Permenhut No. P.30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan, terlihat ada sejumlah 12 areal atau kawasan hutan yang dapat dijadikan proyek REDD. Dengan demikian, beberapa daerah berusaha mengikuti program REDD.
22
perkembangan demografis dalam memberikan peluang pendapatan bagi masyarakatnya yang lebih banyak mengandalkan pada hasil kebun dan upaya mencari potensi penambahan pendapatan daerah sampai alasan penguasaan elit tertentu terhadap sebagian wilayah 67 konservasi (TNGL) untuk tempat tinggal. Dalam surat usulan revisi RTRW Aceh tertanggal 28 Juli 2009, Kabupaten ini meminta alih fungsi lahan dari hutan lindung menjadi areal penggunaan lain (APL) seluas kira-kira 39.000 ha dari hutan lindung untuk sarana jalan, permukiman, sekolah, rumah sakit perkantoran dan lahan 68 perkebunan. Di sini terlihat potensi kuatnya tarik-menarik antara pusat dan daerah karena di atas kertas alih fungsi lahan dari hutan lindung menjadi APL melalui proses panjang dan menyangkut kebijakan yang sangat mendasar. Kelima, masih lemahnya pelaksanaan segenap kebijakan. Sejumlah kendala antara lain terkait dengan kemauan politik dan pengawasan implementasinya di lapangan dan tarik-menarik kepentingan antara Pemerintah Provinsi dengan kabupaten dan kota. Kasus di NAD misalnya, tarik-menarik itu terkait dengan kewenangan dan isu tata ruang. Kendala lain, kerangka legal yang sifatnya turunan dari UU No. 11 Tahun 2006 yang belum tersedia sehingga mempersempit ruang gerak pemerintah provinsi dalam melaksanakan kewenangannya dalam bidang konservasi. Beberapa rezim Kyoto dan non-Kyoto di bidang kehutanan memang telah menjadi isu yang telah diangkat menjadi agenda kebijakan publik khususnya di lingkungan Kalbar dan NAD. Untuk sebagian isu itu bahkan telah menjadi agenda formal kebijakan di Provinsi Kalbar seperti di Kabupaten Kapuas Hulu. Hanya saja kelayakan kebijakan di lapangan masih menjadi bahan perdebatan dan pemerintah sendiri dinilai belum memberikan kemauan politiknya secara efektif. Diakui bahwa secara diplomatis Pemerintah telah berkomitmen untuk menurunkan tingkat emisi sebesar 26% atau 41% tingkat emisi jika dibantu internasional dalam forum Konferensi Para Pihak ke-16 di Kopenhagen, akhir tahun 2009 yang lalu. Terobosan pusat sebenarnya sejalan dengan komitmen Protokol Kyoto. Namun demikian, sejumlah kebijakan yang ditempuh secara nasional belum semua diarahkan ke sana. Dalam konteks kepentingan daerah, komitmen itu pun belum ditindaklanjuti sehingga setiap daerah belum dapat berperan sebagai pelaku sub-nasional dalam kerangka pemenuhan komitmen itu. Terlepas dari itu semua, komitmen Indonesia untuk menciptakan stabilisasi GRK pada tingkat tertentu memiliki titik singgung dengan kepentingan nasional. Dengan kawasan hutan 67
Wawancara tertutup dengan salah seorang informan di Aceh Tenggara. Berdasarkan usulan Bupati Tenggara kepada Gubernur Aceh, misalnya, Kabupaten ini mengusulkan APL untuk budidaya pertanian seluas 47.061 ha dari Kawasan Hutan Produksi Terbatas kelompok Hutan Lawe Bengkung (30.861 ha) dan Kawasan Hutan Sembabala Barat (16.200 ha). Surat Bupati Aceh Tenggara, No. 522/366/2006 tertanggal 31 Mei 2006. 68 Draf surat usulan Bupati Aceh Tenggara, No. 500/..../2009 tertanggal 28 Juli 20090.
23
tropis basah terbesar kedua di dunia dengan luas 137,1 juta hektar (23,1% hutan lindung, 59,7% hutan produksi dan 17,2% hutan konservasi), Indonesia berperan strategi dalam pengelolaan iklim 69 global. Dari seluas itu, seluas 12.725.000 hektar atau 9,3% (4.148 ribu ha hutan lindung, 2.713 ribu ha hutan konservasi dan 5.864 ribu ha hutan produksi) berada di Kalbar dan NAD (luas hutan lindung dan 70 konservasi di dua provinsi tersebut masih di atas 50%). Meskipun luas kawasan hutan di dua provinsi itu hanya 9,3% dari total luas hutan Indonesia, terobosan dan kemauan politik dua provinsi tersebut dalam upaya konservasi secara normatif telah memberikan andil bagi upaya yang sama secara nasional. Dukungan politis pemerintah daerah dan pusat dalam melaksanakan semua kebijakan terobosan dalam bidang konservasi tersebut kiranya patut ditekankan. IV. PENUTUP A. Kesimpulan Indonesia sebagai negara pihak yang telah meratifikasi Protokol Kyoto telah meneguhkan komitmennya untuk mengurangi emisi GRK. Dalam memenuhi komitmen itu negara-negara pihak diwajibkan melalui upaya-upaya nasional terlebih dahulu melalui prinsip tanggung jawab bersama tetapi dibedakan. Mekanisme-mekanisme Kyoto seperti Implementasi Bersama, Perdagangan Emisi dan MPB hanyalah tambahan. Dengan demikian, penekanan pada upaya pengurangan emisi GRK lebih ditekankan pada upaya nasional setiap negara pihak. Upaya konservasi sektor kehutanan di dua provinsi dan kabupaten secara normatif telah menunjukkan adanya pendekatan progresif setidak-tidaknya secara politis. Namun demikian, untuk sebagian kebijakan tersebut didorong oleh kebutuhan nyata secara lokal dan motivasi ekonomis dan politis. Alasan politis yang terlihat pada upaya menguatkan daya tawar terhadap pemerintah pusat kini menjadi mode baru bagi daerah dalam melaksanakan kebijakan konservasi yang diupayakan dalam rangka mendapatkan manfaat ekonomis berupa sebuah skema alokasi dana lain yang bersifat khusus misalnya, DAK konservasi. Dalam kerangka itulah, inisiasi dan terobosan kebijakan yang dilakukan kedua provinsi dan dua kabupaten tersebut dapat dikategorikan sebatas rintisan upaya sub-nasional yang diharapkan dapat mendorong upaya yang sama di wilayah lain dalam rangka memperkuat upaya nasional dalam memenuhi komitmen Protokol Kyoto. Sebagai negara pihak, Indonesia setidak-tidaknya telah melaksanakan sebagian komitmen Protokol tersebut sesuai dengan prinsip yang telah ditetapkan. Peran sub-nasional ini lebih jauh akan 69
Statistik Indonesia 2008, (Jakarta: BPS, 2008), hal. 166. Ibid., hal. 216. Data diolah.
70
24
lebih efektif jika pemerintah pusat dan daerah lebih banyak memberikan dukungan politis terhadap setiap terobosan kebijakan konservasi daerah. B. Rekomendasi Dalam rangka penguatan kebijakan konservasi dan implementasinya di tingkat subnasional, sejumlah hal perlu dipertimbangkan dalam memperkuat peran daerah dalam pengelolaan konservasi secara nasional ke depan antara lain: Pertama, pemerintah pusat perlu terus mendorong pemerintah daerah secara politis dan legal. Dalam kerangka ini, DPR perlu terus mendorong pemerintah untuk melakukan terobosan politik dalam proses perubahan kerangka legal terkait yang lebih akomodatif, partisipatoris dan komprehensif. Kedua, upaya konservasi di tingkat subnasional menjadi dasar keberhasilan kebijakan konservasi di tingkat nasional. Untuk mendorong optimalisasi peran daerah, pemerintah pusat perlu mendesain skema insentif bagi daerah yang lebih adil dan proporsional terutama bagi daerah-daerah yang karena kondisi geografis dan inisiatif terobosan politiknya dalam upaya konservasi.
25
DAFTAR KEPUSTAKAAN Buku Abang Tambul Husin, Kabupaten Konservasi, Sumbangan Pemikiran Bupati Kapuas Hulu dalam Pembangunan Wilayah Berbasis Konservasi SDA, Jakarta: Gramedia Direct Selling, 2005. Daniel Murdiyarso, CDM: Mekanisme Pembangunan Bersih, Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2003. M. Suparmoko, Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Suatu Pendekatan Teoritis, ed.3, Yogyakarta: BPFE, 1997. Ira Sharkansky, Politics and Policymaking, In Search of Simplicity, USA: Lynne Rienner Publ., Inc., 2002. Steven L. Spiegel, Elizabeth G. Matthews, et.als. World Politics in a th New Era, 4 ed., New York: Oxford Univ. Press, 2009. Dokumen Resmi Undang-Undang No. 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan BangsaBangsa tentang Perubahan Iklim. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 72. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4403. Undang-Undang No. 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 No. 42. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3557. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 No. 49. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3419. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 167. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3888. Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 No. 62. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4633. Permenhut No. P.30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD). Peraturan Gubernur Pemerintahan Aceh No. 52 Tahun 2006. SK Bupati Aceh Tenggara No. 5224/234/2009 tertanggal 8 Juni 2009 tentang Tim Penasehat dan Pelaksana Harian Penetapan Aceh Tenggara sebagai Kabupaten Konservasi. Surat Bupati Aceh Tenggara, No. 522/366/2006 tertanggal 31 Mei 2006. Badan Pusat Statistik (BPS), Statistik Indonesia 2008, Jakarta: BPS, 2008. 26
Draf Surat Usulan Bupati Aceh Tenggara, No. 500/..../2009 tertanggal 28 Juli 20090. Warta Perundang-undangan, No. 2427/Kamis, 13-01-2005. Makalah Seminar Inosentius Samsul, Kebijakan Legislasi Bidang Agraria dan Sumber Daya Alam dalam Program Legislasi Nasional 2005-2009, Makalah Lokakarya, Sekretariat Pokja PA-PSDA, Jakarta, 18 April 2005. Hariadi Kartodihardjo, Kajian Aspek Sosial Ekonomi dan Institusi Mengatasi Illegal Logging di Indonesia, Makalah Seminar P3DI, Setjen DPR-RI, Jakarta, 3 April 2006. Internet (Karya Individual) Dewa Gumay, “Aceh Green; Langkah Baru Sang Gubernur”, dalam http://dewagumay.wordpress.com/2008/07/20/aceh-greenlangkah-baru-sang-gubernur; diakses 22 Februari 2010. ------------------, “Satu Tahun Moratorium Logging”, dalam http://dwagumay.wordpress.com/2008/06/08/satu-tahunmoratorium-logging, diakses 22 Februari 2010. Internet (Karya non-Individual) “Walhi-Indonesian Forum for Reforming Environment and Natural Resource Policy“, dalam http://www.eng.walhi.or.id/kampanye/ psda/reform_psda_info; diakses 12 September 2008. Nature, Oktober 2003, dikutip dalam http://id.wikipedia.org/wiki/ Protokol_ Kyoto; diakses 8 April 2009. “Mekanisme perdagangan karbon”, dalam http://UNFCCC.int/kyoto_protocol/mechanism/items/1673.php; diakses 5 Februari 2009. http://UNFCCCc.int/kyoto_protocol/mechanism/items/1673.php; diakses tanggal 5 Februari 2009. http://www.walhi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id =97%3Amembedah-rencana-implementasi-dan-perdebatanredd&catid=58%3Aredd&Itemid=86&lang=en, diakses 15 Februari 2010). http://UNFCCCc.int/files/meetings/cop_13/application/pdf/cp_redd.pdf; diakses 15 April 2009.
27
FUNGSI PENGAWASAN DPRD DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH Dedeh Haryati Abstrak Fungsi pengawasan oleh DPRD merupakan sebuah instrumen dasar yang penting untuk menciptakan pemerintahan demokratis di daerah. Prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik tidak hanya dipenuhi oleh kepala pemerintahan, tetapi juga oleh DPRD. DPRD harus mengawasi proses pemerintahan dan program pembangunan daerah. Kewenangan DPRD dalam menjalankan fungsi pengawasan menghadapi tantangan yang berat dan sekaligus merupakan kesempatan untuk menunjukkan kredibilitasnya di mata rakyat. Tulisan ini mengkaji bagaimana kapabilitas pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD dalam konteks menuju penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik Kata Kunci: DPRD, Fungsi Pengawasan, Pemerintahan Daerah Abstract Oversight function of DPRDs is a basic instrument to create a democratic government in the regions of Indonesia. Good governmence, argued by the writer, should not only be adopted by regional government, but also DPRDs. As regional parliaments, DPRDs have to properly play their role in overseeing the regional governments and their development programs as well. In fact, DPRDs role in implements their oversight function confronts severe challenges and simultaneously provide opportunity for them to demonstrate to the people their capabilities. This essay discusses DPRDs oversight function in relation with the realization of the concept of good governments in the region.
Penulis adalah Peneliti Pertama Bidang Ilmu Politik, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI. Alamat e-mail:
[email protected].
1
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan yang ingin dicapai dalam pembangunan politik di Indonesia adalah terbentuknya sistem politik yang demokratis. Oleh karena itu, kedaulatan atau kekuasaan yang tertinggi dalam negara haruslah berada di tangan rakyat. Artinya, rakyatlah yang berdaulat dan 1 sekaligus sebagai pemilik utama kekuasaan tertinggi tersebut. Dalam sistem pemerintahan demokrasi, lembaga perwakilan rakyat merupakan unsur yang paling penting di samping unsur-unsur lainnya seperti halnya, sistem pemilihan, persamaan di depan hukum, kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan berserikat dan sebagainya. Kehidupan demokrasi menghendaki setiap warga negara terlibat dalam proses pembuatan keputusan-keputusan politik, baik secara langsung maupun tidak langsung, melalui wakil mereka di lembaga perwakilan. Setiap para wakil rakyat tersebut diyakini oleh rakyat yang memilihnya memiliki kemampuan yang baik untuk menjalankan peran, tugas, dan kewenangan yang diamanatkan. Dalam mengemban amanah tersebut, diyakini rakyat bahwa para wakil tersebut memiliki kemampuan/kompetensi dan integritas tinggi, akan menjalankan tugasnya dengan profesional dan komitmen penuh, serta selalu menjunjung niat baik, kesetiaan, dan kejujuran. Terbitnya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada prinsipnya adalah pemberian otonomi kepada daerah, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui prinsip peningkatan kualitas pelayanan, pemberdayaan dan yang membuka peran serta masyarakat. Prinsip tersebut akan memenuhi harapan apabila ada persamaan persepsi antara masyarakat dan penyelenggara pemerintahan. Sebagai penyelenggara pemerintahan, Pemerintah Daerah dan DPRD dituntut memiliki persamaan visi dalam memproyeksikan arah dan prioritas kebijakan yang diarahkan pada harapan masyarakat luas. Salah satu fungsi yang dilaksanakan oleh DPRD adalah fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai kebijakan publik di daerah. 1
Dahlan Thaib, DPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Liberty Yogyakarta, 2000, hal. 85.
2
Kebijakan publik itu dilaksanakan oleh lembaga eksekutif maupun lembaga-lembaga lain yang berkompeten. Pengawasan oleh DPRD penting, bukan hanya karena merupakan tugas dan kewenangan DPRD untuk menilai apakah berbagai kebijakan-kebijakan telah dijalankan sesuai rencana. Fungsi Pengawasan juga penting sebagai ukuran seberapa jauh anggota-anggota DPRD dapat menjalankan mandat yang diberikan para pemilihnya untuk menjamin pencapaian tujuan-tujuan pembangunan di daerah. Lebih jauh lagi, berjalannya fungsi pengawasan oleh DPRD dapat memberi kesempatan lebih besar bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPRD terhadap berbagai instrumen kebijakan publik pemerintah, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hasil dari kebijakan tersebut haruslah bermuara pada kepentingan rakyat. Dengan kata lain, DPRD itu adalah lembaga perwakilan politik daerah yang sifatnya tercermin dalam fungsinya untuk mengawasi jalannya pemerintahan daerah. Sebagai lembaga perwakilan politik maka prasyarat mutlak yang harus dimiliki oleh setiap anggota DPRD adalah kepercayaan rakyat, bukan prasyarat keahlian yang bersifat teknis. Sehingga menjadi relatif sekali, kalau DPRD disebut sebagai lembaga wakil rakyat, bukan lembaga legislatif. B. Perumusan Masalah Di era otnomi daerah, pelaksanaan fungsi pengawasan yang dimiliki oleh DPRD menjadi tolak ukur yang penting, karena tata pemerintahan di daerah diberi kewenangan untuk mengelola berbagai urusan dan kebijakan di tingkat daerah. Pada dasarnya, jika pelaksanaan kebijakan-kebijakan dasar pembangunan dan pemerintahan dilaksanakan sebagaimana mestinya, DPRD dapat melaksanakan fungsi pengawasan secara minimal. Tetapi, jika akuntabilitas berbagai lembaga tata pemerintahan masih dipenuhi dengan permasalahan, maka pelaksanaan fungsi ini harus maksimal. Dari paparan di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah: bagaimana mekanisme pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD terhadap proses penyelenggaraan pemerintahan daerah. C. Tujuan dan Manfaat Tujuan dari tulisan ini untuk mengetahui bagaimana prosedur dan mekanisme dalam pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD dan hubungan kemitraan antara DPRD dengan pihak pemerintah (eksekutif dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah). Sedangkan manfaat dari tulisan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap kajian
3
mengenai fungsi pengawasan DPRD dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah serta diharapkan dapat memberikan masukan terhadap DPRD agar dapat menjalankan tugas dan fungsinya sebagai wakil rakyat, khususnya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. D. Kerangka Pemikiran 1. DPRD sebagai bagian di Pemerintahan Daerah Sistem politik yang demokratis adalah dimana kedaulatan ada di tangan rakyat telah menjadi sistem yang diterima oleh banyak negara. 2 Kedaulatan adalah “kekuasaan tertinggi”. Dalam kehidupan bernegara rakyat menyerahkan kedaulatannya kepada negara. Namun tidak semua dari kedaulatan rakyat itu diberikan kepada negara. Kedaulatan rakyat yang diserahkan kepada negara itu tercermin pada tiga cabang kekuasaan yang dikenal dengan “Trias Politica”. Pada umumnya negara yang menerapkan sistem pemisahan sebelum kemudian berkembang (setelah “pemisahan kekuasaan”) 3 mengacu pada teori Trias Politica Montesquieu dengan melakukan beberapa variasi dan pengembangan dalam penerapannya. Trias Politica beranggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam kekuasaan: pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang; kedua kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang; dan ketiga kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang. Dalam pemerintahan demokratis, kekuasaan tidak berada dan dijalankan oleh satu badan, tetapi oleh beberapa lembaga. Tujuan dari pembagian penyelenggaraan kekuasaan adalah agar kekuasaan tidak terpusat hanya pada satu lembaga yang mengakibatkan terjadinya pemerintahan yang otoriter dan terhambatnya peran serta rakyat dalam menentukan keputusan-keputusan politik. Dengan adanya pembagian kekuasaan dalam penyelenggaraan negara sebagai salah satu ciri negara demokrasi adalah di dalamnya terdapat beberapa badan penyelenggara kekuasaan seperti, badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pada tingkat penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia pembagian kekuasaan diberikan kepada badan legislatif daerah (DPRD) dan badan eksekutif daerah (Pemerintah Daerah). Jika dipahami lebih jauh, dalam menjalankan kekuasaannya masing-masing badan tersebut juga mengenal dan melaksanakan mekanisme “check 2
Jimly Assiddiqie dalam Ronny Sautma Hotma Bako, Hak Budget Parlemen Indonesia, Yarsif Watampone-PSHTN Fak. Hukum UI, Jakarta, 2005, hal. 13. 3 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta, 1991, hal. 151.
4
and balances” yang dapat dianggap sebagai miniatur dari mekanisme check and balances yang terdapat pada penyelenggaraan pemerintahan yang lebih tinggi. Dengan demikian DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah yang para anggotanya dipilih melalui pemilihan umum secara langsung oleh rakyat memiliki mandat untuk merumuskan dan mengambil keputusan atau kebijakan di wilayahnya. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18 ayat (3) menyatakan bahwa “Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota4 anggotanya dipilih melalui pemilihan umum”. Pemerintahan yang demokratis dalam artian yang sangat umum 5 sebagaimana pernah dikemukakan Sartori dalam Riswandha Imawan mengemukakan awalnya suatu pemerintahan disebut demokratis bila keputusan apapun yang diambil dibuat langsung oleh rakyat. Ini sejalan dengan pemahaman bahwa arti paling dasar demokrasi adalah power of the people. Namun segera disadari bahwa hal ini mustahil dilaksanakan. Para pakar sependapat bahwa satu pemerintahan dapat disebut demokratis, bila jaringan pembuatan keputusan melibatkan banyak unit politik, dan prosesnya transparan hingga rakyat dapat mengontrol ataupun memasukkan inisiatif baru lewat saluran yang disediakan oleh 6 sistem politik, seperti pemilu dan referendum. Ada dua teori klasik tentang hakekat hubungan wakil dengan 7 terwakil yaitu teori tentang mandat dan teori kebebasan. Dalam teori mandat wakil dilihat sebagai penerima mandat untuk merealisasikan kekuasaan terwakil dalam proses kehidupan politik. Oleh karenanya wakil diharapkan selalu memberikan pandangan, bersikap dan bertindak sejalan dengan mandat dalam melaksanakan tugasnya. Pandangan wakil secara pribadi tidak diperkenankan dipergunakan dalam kualifikasinya sebagai wakil. Dalam teori kebebasan, wakil dianggap perlu merumuskan sikap dan pandangannya tentang masalah yang dihadapi tanpa terikat secara ketat kepada terwakil. Karenanya pertimbangan wakil secara pribadi yang memperhatikan seluruh aspek yang terkait kepada masalah yang dihadapi amat menentukan keputusan dan sikap wakil. Karena diakui kebebasan wakil dalam melaksankan tugasnya, maka wakil seperti itu 4
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR-RI, Jakarta, 2006. 5 Riswandha Imawan, “Fungsi Perwakilan, Pembentukan Legitimasi dan Pengambilan Keputusan”, hand out mata kuliah Sistem Politik dan Pemerintahan RI, MAP UGM, 2000, hal. 78. 6 Ibid. 7
Arbi Sanit, Perwakilan politik di Indonesia, Penerbit CV. Rajawali, Jakarta, 1985, hal. 37.
5
disebut wakil yang bertipe wali/trustee, sebaliknya wakil yang didasarkan kepada teori mandat disebut wakil yang bertipe utusan/delegate. Selain kedua tipe tersebut maka ada tipe kombinasi antar keduanya, yaitu 8 disebut tipe politico. Di sini wakil tersebut kadang-kadang bertindak sebagai wali (trustee) dan ada kalanya bertindak sebagai utusan 9 (delegate), tindakannya tergantung dari issue yang dibahas. 10 Sementara Riswandha Imawan mengatakan: “Perwakilan adalah konsep yang menunjukkan hubungan antara orangorang, yakni fihak yang mewakili dan diwakili, di mana orang yang mewakili memiliki sederet kewenangan sesuai dengan kesepakatan antara keduanya. Pelimpahan wewenang (politik) seperti ini, bukan saja untuk mengurangi beban sistem politik agar jumlah aktor yang terlibat dalam proses politik menimbulkan kompleksitas jaringan yang bisa membuat sistem itu tidak berfungsi. Pelimpahan ini berhubungan pula dengan kompleksitas dan kerumitan kehidupan sehari-hari masyarakat itu sendiri.” Adanya perwakilan politik yang keberadaan mereka di DPR dan DPRD melalui Pemilu, kepadanya melekat fungsi-fungsi tertentu yang 11 harus mereka jalankan. Miriam Budiardjo, mengemukakan, diantara fungsi badan legislatif yang paling penting ialah: 1) menentukan kebijaksanaan (policy) dan membuat undang-undang. Untuk itu DPR (DPRD) diberi hak inisiatif, hak untuk mengadakan amandemen terhadap rancangan undang-undang yang disusun oleh pemerintah dan hak budget; dan 2) mengontrol badan eksekutif dalam arti menjaga supaya semua tindakan badan eksekutif sesuai dengan kebijaksanaankebijaksanaan yang telah ditetapkan. Untuk menyelenggarakan tugas ini, badan perwakilan rakyat diberi hak-hak kontrol khusus. Fungsi wakil dan fungsi lembaga perwakilan juga dapat dilihat 12 dari tujuannya. Sebagaimana diungkapkan Riswandha, tujuan dari perwakilan politik adalah menerjemahkan will of the people menjadi will of the state. Karena itu, fungsi DPR bisa dibedakan pada dua kategori besar, yakni fungsi wakil dan fungsi lembaga perwakilan. Sebagai wakil mereka menjalankan fungsi representasi demografis, pembuatan keputusan, dan pembentukan legitimasi. Sedangkan sebagai sebuah institusi, para wakil dalam dewan atau lembaga perwakilan memiliki 6 (enam) fungsi dasar, yakni fungsi perwakilan rakyat, fungsi legislasi,
8
Ibid., hal. 38. Ibid. 10 Riswandha, op. cit, hal. 78. 11 Miriam, op.cit, hal. 182. 12 Riswandha, op.cit, hal. 78. 9
6
fungsi legislasi review, fungsi pengawasan, fungsi anggaran dan fungsi 13 pengaturan politik. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah pasal 1 ayat (2) disebutkan: “Pemerintah Daerah adalah penyelenggara urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi seluas-luasnya dalam sistim dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia”, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah disebut DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggaran 14 pemerintahan daerah. Jadi dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah bahwa pemerintah daerah dan DPRD bersama-sama tapi dalam tugas dan fungsi yang berbeda. Paduan dari tugas dan wewenang pemerintah daerah bersama-sama dengan DPRD adalah merupakan wujud daripada penyelenggaran pemerintahan daerah. Pemerintah daerah dengan DPRD harus dapat berfungsi sesuai dengan tugas pokok masing-masing sehingga terwujud pemerintahan daerah yang baik. Pemerintah daerah adalah penyelenggara urusan pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsif otonomi seluas-luasnya dalam sistim dan prinsif Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Fungsi Pengawasan DPRD a. Arti Pengawasan Pengawasan adalah aktivitas yang mengusahakan agar pekerjaan-pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan 15 dan atau hasil yang dikehendaki . Pengawasan mempunyai hubungan yang erat dengan fungsi manajemen lainnya, terutama dengan fungsi 16 perencanaan. Oleh karena itu Herbert G. Hicks dalam Ulbert Silalahi mengatakan bahwa pengawasan adalah berhubungan dengan: 1. Perbandingan kejadian-kejadian dengan rencana-rencana;
13
Dikutip dari Riswanda, “Hubungan Eksekutif dan Legislatif dalam proses RANPERDA”, http://patawari.wordpress.com/2009/05/13/hubungan-eksekutif-legislatif-dalam-prosesranperda/, diakses pada tanggal 25 Juli 2010. 14 Lihat Pasal 1, UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. 15 Ranupandojo Heidjrachman, Tanya Jawab Manajemen, AMP YKPN, Yogyakarta, 1990, hal. 109. 16 Ulbert Silalahi, Studi Tentang Ilmu Administrasi Konsep, Teori, dan Dimensi, Sinar Baru, Bandung, 1992, hal. 73.
7
2. Melakukan tindakan-tindakan korektif yang perlu terhadap kejadian-kejadian yang menyimpang dari rencana-rencana. Sedangkan Sondang P. Siagian dalam Ulbert Silalahi mengemukakan pengertian pengawasan yaitu “Proses pengamatan dari pada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah 17 ditetapkan.” Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan, bahwa pengawasan adalah proses untuk menjaga agar kegiatan terarah menuju pencapaian tujuan seperti yang direncanakan dan bila ditemukan penyimpangan-penyimpangan diambil tindakan koreksi. Pengawasan sebagai fungsi manajemen sepenuhnya adalah tanggung jawab setiap pimpinan pada tingkat manapun. Hakikat pengawasan adalah untuk mencegah sedini mungkin terjadinya penyimpangan, pemborosan, penyelewengan, hambatan, kesalahan dan kegagalan dalam pencapaian tujuan dan sasaran serta pelaksanaan tugas-tugas organisasi. Sebagai bagian dari aktivitas dan tanggung jawab pimpinan, sasaran pengawasan adalah mewujudkan dan meningkatkan efisiensi, efektifitas, rasionalitas, dan ketertiban dalam 18 pencapaian tujuan dan pelaksanaan tugas-tugas organisasi. Robert N 19 Anthoni dkk dalam Joko Widodo mengemukakan proses pengawasan dalam manajemen meliputi tiga tahap yaitu perencanaan (planning), pelaksanaan tindakan, (executing) dan evaluasi tindakan (evaluation). Tahap-tahap ini dapat terjadi sebelum, selama atau setelah suatu tindakan atau kejadian. Kata” pengawasan” sering disama-artikan dengan kata “kontrol, supervisi, monitoring atau auditing”. Pada dasarnya, pengawasan adalah sub fungsi penting dalam pengendalian terhadap pengelolaan tata pemerintahan. Sebagaimana halnya dalam menajemen umum, pengelolaan pemerintahan setidaknya mempunyai 4 (empat) fungsi dasar: perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan dan pengendalian. Menajemen organisasi pemerintahan membutuhkan sebuah fungsi pengawasan yang mampu memberi tanda bahaya jika terjadi penyimpangan atau ancaman terhadap pencapaian tujuan organisasi. Jadi, pengawasan dapat dipandang sebagai bagian dari fungsi pengendalian. Pengawasan merupakan semacam early warning system dalam proses pengendalian. b. Tujuan, Fungsi dan Tugas Pengawasan
17
Ibid., hal. 175. Joko Widodo, Good Governance Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi, Insan Cendekia, Surabaya, 2001, hal. 12-13. 19 Ibid. 18
8
Dari beberapa pengertian tentang pengawasan di atas, bahwa tujuan pengawasan adalah untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya tentang obyek yang diawasi, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak. Jika tidak sesuai dengan yang semstinya, yaitu standar yang berlaku bagi pekerjaan yang bersangkutan, disebut menyimpang atau terjadi penyimpangan. Hal ini sejalan dengan tujuan pengawasan yang dikemukakan oleh Fayol dalam Sujamto bahwa “Pengawasan bertujuan untuk menunjukkan (menemukan) kelemahankelemahan dan kesalahan-kesalahan dengan maksud untuk 20 memperbaikinya, serta mencegah terulangnya kembali.” Dengan demikian tujuan pengawasan secara umum adalah menciptakan suatu efisiensi dan efektivitas dalam setiap kegiatan dan berusaha agar apa yang direncanakan dapat menjadi kenyataan. Manullang mengatakan: “Tujuan utama dari pengawasan ialah mengusahakan agar apa yang direncanakan menjadi kenyataan. Untuk dapat benar-benar merealisasi tujuan utama tersebut, maka pengawasan pada taraf pertama bertujuan agar pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan instruksi yang telah dikeluarkan, dan untuk mengetahui kelemahan-kelemahan serta kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam pelaksanaan rencana berdasarkan penemuan-penemuan tersebut dapat diambil tindakan untuk memperbaikinya, baik pada waktu itu maupun waktu-waktu yang akan 21 datang”. Lebih lanjut dapat dikatakan pengawasan merupakan fungsi yang mutlak dari administrasi dan manajemen, karena apabila fungsi ini tidak dilaksanakan maka pada akhirnya cepat atau lambat akan mengakibatkan matinya suatu organisasi. Dalam konteks pengawasan yang dilakukan oleh DPRD, yang salah satu fungsinya adalah pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai kebijakan publik di daerah yang dilaksanakan oleh lembaga eksekutif, apakah kebijakan publik itu telah dijalankan sesuai dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), kata yang tepat untuk mewakili istilah “pengawasan” adalah oversight, yang berarti pengamatan dan pengarahan terhadap sebuah tindakan berdasarkan kerangka yang ditentukan. Salah satu fungsi yang dijalankan oleh DPRD adalah fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan berbagi kebijakan publik di daerah. Kebijakan publik itu dilaksanakan oleh lembaga eksekutif maupun lembaga-lembaga lain yang berkompenten. Pengawasan oleh DPRD 20
Henry Fayol dikutip dalam Sujamto, Norma dan Etika Pengawasan, Sinar Grafika, Jakarta, 1999, hal. 110. 21 Manullang, M., Dasar-Dasar Manajemen, Gajah Mada University Press, Yogyakarta ,2004, hal. 173.
9
penting, bukan hanya karena merupakan tugas dan kewenangan DPRD untuk menilai apakah berbagai kebijakan publik telah dijalankan sesuai rencana. Ia juga penting sebagai ukuran seberapa jauh anggota-anggota DPRD dapat menjalankan mandat yang diberikan para pemilihnya untuk menjamin pencapaian tujuan-tujuan pembangunan di daerah. Lebih jauh lagi, berjalannya fungsi pengawasan oleh DPRD dapat memberi kesempatan lebih besar bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam 22 proses penyelenggaraan pemerintahan. Pengawasan yang dilakukan oleh DPRD terhadap lembaga eksekutif dapat diartikan sebagai suatu proses atau rangkaian kegiatan pemantauan, pemeriksaan dan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan publik yang dilaksanakan untuk menjamin agar semua kebijakan, program ataupun kegiatan yang dilakukan oleh lembaga publik berjalan sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan sebelumnya yaitu aturan-aturan standar dan nilai yang telah dibuat dan ditetapkan oleh DPRD bersama dengan lembaga-lembaga publik. Sebagai mitra kerja pemerintah daerah dan berbagai lembaga publik lainnya, DPRD mempunyai tugas-tugas pengawasan yang bersifat khusus. Sebagai wakil rakyat di daerah, DPRD perlu peka dan tanggap terhadap proses menajemen tata pemerintahan di daerah. Di sini terlihat bahwa peran DPRD adalah pembangunan sebuah early warning system atau sistem penanda bahaya apabila terjadi kejanggalan atau 23 penyimpangan dalam proses pengelolaan tata pemerintahan. Dengan demikian, menjalankan fungsi pengawasan merupakan tugas dan kewenangan DPRD yang memiliki pijakan hukum kuat. Pengawasan DPRD meliputi hampir seluruh aktivitas utama dari lembaga tata pemerintahan di daerah. Cakupannya sangat luas, dari pelaksanaan peraturan daerah yang ditetapkan bersama oleh pemerintah daerah dengan DPRD sampai dengan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan dan dijalankan oleh berbagai lembaga tata pemerintahan di daerah. Jadi, fungsi itu tidak hanya dilakukan oleh pemerintah daerah saja, melainkan juga oleh berbagai lembaga yang melaksanakan kebijakan publik. II. Pembahasan a. Fungsi Pengawasan DPRD dalam Tata Pemerintahan Daerah Penyelenggaraan otonomi daerah, sebagaimana telah diamanatkan secara jelas di dalam Undang-Undang Dasar Negara 22
I Ketut Putra Erawan dan Victor Yasadhana, Akuntabilitas Publik dan Fungsi Pengawasan DPRD, Sekretariat Nasional ADEKSI Konrad Adenauer Stiftung – KAS, cetakan Pertama, 2004, hal. 6-7. 23 Ibid. hal. 9.
10
Republik Indonesia 1945, ditujukan untuk menata sistem pemerintahan daerah dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pelaksanaannya dilakukan dengan memberikan “keleluasaan kepada daerah” untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Dalam rangka melaksanakan amanat UUD 1945 tersebut, telah ditetapkan undangundang tentang Pemerintahan daerah, yang dalam perjalanannya telah mengalami beberapa kali perubahan. Dalam perkembangan selanjutnya, guna mengantisipasi berbagai tuntutan perubahan terhadap tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, sekaligus mengantisipasi berbagai tuntutan perubahan global, baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri, telah dikeluarkan UU nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah kemudian direvisi menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang dalam perkembangannya sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2006 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, posisi DPRD ditempatkan pada posisi yang sangat strategis dan menentukan dalam pelaksananaan otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Dengan fungsi, tugas, wewenang dan hak yang dimilikinya DPRD diharapkan mampu memainkan perannya secara optimal untuk mengontrol pelaksanaan peraturan daerah. Tujuannya adalah terwujudnya pemerintahan daerah yang efisien, bersih, berwibawa dan terbebas dari berbagai praktek yang berindikasi koropsi, kolosi dan 24 nepotisme ( KKN ). Menurut Mardiasmo ada tiga aspek utama yang mendukung keberhasilan otonomi daerah, yaitu pengawasan, pengendalian,dan pemeriksaan. Ketiga hal tersebut pada dasarnya berbeda baik konsepsi maupun aplikasinya. Pengawasan mengacu pada tingkatan atau kegiatan yang dilakukan di luar pihak eksekutif yaitu masyarakat dan DPRD, untuk mengawasi kinerja pemerintahan. Pengendalian (control) adalah mekanisme yang dilakukan oleh pihak eksekutif (Pemerintah Daerah) untuk menjamin dilaksanakanya sistem dan kebijakan manajemen sehingga tujuan organisasi dapat tercapai. Pemeriksaan (audit) merupakan kegiatan oleh pihak yang memiliki independensi dan memiliki kompetensi profesional untuk memeriksa apakah hasil kinerja pemerintah daerah telah sesuai dengan standar atau kreteria yang ada. 24
Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta, 2002, hal 219.
11
Fungsi DPRD sebagai legislasi dan anggaran adalah merupakan pelaksanaan dari fungsi dimana menunjukkan bahwa DPRD adalah wakil rakyat, karena DPRD dalam membuat peraturan daerah harus menampung aspirasi rakyat dan wakilnya. Sehingga peraturan daerah yang dihasilkan seharusnya memihak kepada masyarakat atau kepentingan umum bukan untuk kepentingan golongan saja. Pengawasan DPRD juga dapat dirancang melalui pembentukan peraturan daerah, sehingga dalam pengawasan dapat dijalankan dengan baik. Tugas dan wewenang DPRD melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah terdapat dalam Pasal 42 huruf c Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengatakan: tugas dan wewenang DPRD melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan lainya peraturan Kepala Daerah, APBD, Kebijakan Pemerintah Daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah dan kerjasama Internasional di daerah. Fungsi pengawasan peraturan daerah sangatlah penting yang memberikan kesempatan kepada DPRD untuk lebih aktif dan kreatif menyikapi berbagai kendala terhadap pelaksanaan perda. Melalui pengawasan dewan, eksekutif sebagai pelaksana kebijakan akan terhindar dari berbagai penyimpangan dan penyelewengan, dari hasil pengawasan dewan akan diambil tindakan penyempurnaan memperbaiki pelaksanaan kebijakan tersebut. Untuk menghindari berbagai kesalahan administratif dalam tata laksana birokrasi pemerintahan daerah tanpa mereka sadari dapat bermuara pada dugaan tindak pidana koropsi bagi pejabat publik yang menanggani urusan publik tersebut, dengan adanya pengawasan DPRD akan dapat memberikan perlindungan yang cukup efektif terhadap eksekutif dalam menjalankan tata laksana birokrasi pemerintahan secara optimal . DPRD melakukan pembaharuan tata pemerintahan mulai dari dalam dirinya sendiri. Sesuai dengan fungsi pengawasannya, DPRD melaksanakan pengawasan terhadap keseluruhan proses tata pemerintahan dan program-program pembangunan di daerah. Kewenangan DPRD dalam bidang pengawasan memang merupakan tantangan tersendiri dan memberikan peluang besar bagi DPRD untuk membuktikan kredibilitasnya di mata rakyat. Namun, kewenangan ini dapat dan mudah masuk pada jebakan politik yang dapat merugikan seluruh proses dalam tata pemerintahan, jika kepentingan-kepentingan politik mendikte pelaksanaannya. Pengawasan dapat menjadi alat politik dan bukan alat kedewanan dalam mengawasi keefektifan pelaksanaan kebijakan publik di daerah. Sebagai salah satu lembaga publik paling penting di daerah, segala aktivitas DPRD harus terlaksana secara sistematis dan terencana,
12
termasuk pelaksanaan suatu pengawasan yang sistimatis, langkahlangkah utamanya harus jelas dan logis. Tanpa langkah kerja yang sistimatis dan terencana, DPRD akan sulit melaksanakan fungsi pengawasan tersebut dengan lebih baik dan optimal. Langkah-langkah yang sistimatis juga akan meningkatkan kredibilitas dari lembaga perwakilan ini dalam mengawasi kinerja lembaga-lembaga publik serta berbagai kebijakan publik yang mereka laksanakan. Hal ini penting untuk ditekankan karena DPRD adalah wakil rakyat dan kepada lembagalembaga kerakyatan yang memberikan dukungan selama pemilihannya. Fungsi pengawasan yang dilaksanakan oleh DPRD memang mempunyai bobot politik kebijakan lebih besar dibandingkan dengan bobot 25 administratif, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh lembaga legislatif (DPRD) terhadap lembaga eksekutif ( Kepala Daerah,Wakil Kepala Daerah besarta perangkat daerah) yang lebih bersifat kebijakan strategis dan bukan pengawasan teknis maupun administratif, sebab DPRD adalah lembaga politik seperti penggunaan anggaran yang telah dialokasikan disalah gunakan untuk hal-hal yang merugikan rakyat dan negara. Betapapun demikian, DPRD tidak dapat secara serta merta menggunakan mekanisme pengawasan yang menjadi mandatnya untuk mencapai tujuan-tujuan politik parsial yang menjadi kepentingan pribadi 26 dan partai politiknya. Dalam teori mandat telah diungkapkan bahwa wakil di lihat sebagai penerima mandat untuk merealisasikan kekuasaan terwakil dalam proses kehidupan politik. Oleh karenanya wakil diharapkan selalu memberikan pandangan, bersikap dan bertindak sejalan dengan mandat dalam melaksanakan tugasnya. Pandangan wakil secara pribadi tidak diperkenankan digunakan dalam kapasitasnya sebagai wakil. Dengan demikian pelaksanaan pengawasan dengan orientasi seperti ini justru akan merugikan DPRD sendiri. Kerugian dapat terjadi baik karena hasil kerja yang tidak maksimal atau pun karena hasil itu tidak mendapatkan dukungan politik dari masyarakat luas. Untuk itu dalam kerangka menuju kepemerintahan yang baik (good governance), sebaiknya DPRD dalam melaksanakan fungsi pengawasan lebih dioptimalkan untuk mendorong Pemerintah Daerah (eksekutif) dapat melaksanakan kinerjanya dengan baik. DPRD menjalankan fungsi pengawasannya terhadap pemerintah daerah (eksekutif) agar dalam menjalankan roda pemerintahannya selalu sesuai dengan aspirasi masyarakat, serta terciptanya tata pemerintahan yg baik (good governance), bukan sebaliknya merusak dan mengondisikan eksekutif untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadap aturan–aturan yang berlaku, melakukan kolusi/penyelewengan25 26
Arbi Sanit,op. cit., hal. 37-38. Ibid., hal 37.
13
penyelewengan dalam pembuatan anggaran agar menguntungkan kelompoknya/partainya. b. Mekanisme dan Faktor–faktor Keberhasilan dalam Pelaksanaan Fungsi Pengawasan DPRD Pengawasan merupakan fungsi yang paling intensif dilakukan DPRD di berbagai daerah. Ini sesuai dengan penekanan yang sering lebih besar terhadap orientasi politik oleh anggota dan alat kelengkapan DPRD. Menurut Miriam Budiadjo, lembaga perwakilan di Indonesia memiliki fungsi legislatif atau pembuat peraturan perundang-undangan dan fungsi kontrol yaitu melakukan pengawasan dan kontrol (melalui 27 pertanyaan, interpelasi, angket dan mosi). Cara pandang ini tidak dapat diterapkan begitu saja pada perkembangan legislatif di Indonesia dewasa ini. Sebagian besar fungsi pengawasan DPRD mengacu pada UU. 32 Tahun 2004, berbagai PP dan Tata Tertib yang menyimpulkan bahwa, pengawasan oleh DPRD pada dasarnya memenuhi rincian fungsional 28 yang berlaku secara umum. Sedangkan dalam Pasal 49 huruf c PP 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tata Tertib DPRD menegaskan bahwa komisi mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan APBD sesuai dengan ruang lingkup tugas komisi. Secara umum dapat dikatakan bahwa pengawasan oleh DPRD adalah tugas yang dilaksanakan oleh komisi untuk mereview, mempelajari dan mengevaluasi secara kontinyu beberapa aspek sebagai berikut: Pertama, pengawasan DPRD pada hakekatnya adalah menilai efektivitas penerapan peraturan daerah yang dilaksanakan oleh kepala daerah. Pengawasan ini meninjau apakah pemerintah daerah sudah menyusun dan melaksanakan berbagai kebijakan sebagaimana diamanatkan di dalam peraturan daerah. Kedua, pengawasan yang dilakukan terhadap pelaksanaan program-program pemerintahan daerah sebagai bentuk implementasi dari peraturan kepala daerah. Ketiga, pengawasan juga dilakukan terhadap perencanaan dan penggunaan anggaran yang dipergunakan oleh pemda. Pengawasan DPRD juga dilakukan terhadap lembaga-lembaga dan pelaksanaan berbagai kegiatan lain di tingkat daerah, terutama jika mereka terkait dengan pelaksanaan peraturan 27
Lihat lebih lanjut dalam Miriam Budiardjo, op.cit, hal. 182-186. Socorro L. Reyes, ”Strengthening the Oversight Function of the Legislative”, Working Paper yang disajikan dalam Konfrensi Internasional pengembangan kapasitas legislatif di Brussels, April 2002, dalam Agung Djojosoekarto, Dinamika dan Kapasitas DPRD dalam Tata Pemerintahan Demokratis, Yayasan Konrad Adenauer, Jakarta, 2004, hal. 223. 28
14
perundang-undangan lain, termasuk pendayagunaan sumberdaya keuangan negara. Yang masuk dalam kategori ini adalah pengawasan terhadap pelaksanaan Keputusan Kepala Daerah dan pelaksanaan APBD. Keempat, pengawasan terhadap kondisi atau keadaan yang mengindikasikan perlunya legislasi tambahan atau legislasi baru. Kelima, pelaksanaan fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPRD dalam rangka pembentukan tata pemerintahan yang 29 bersih (clean government). Fungsi pengawasan oleh DPRD penting untuk membangun sistem akuntabilitas terhadap rakyat di daerah. Jadi, fungsi itu bukan hanya merupakan tugas dan kewenangan DPRD untuk menilai apakah pihak eksekutif telah menjalankan aktivitasnya sesuai rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Hasil dari pengawasan juga dapat menjadi ukuran seberapa jauh anggota-anggota DPRD dapat menjalankan mandat yang diberikan para pemilihnya untuk menjamin terwujudnya akuntabilitas pemerintahan dan pembangunan di daerah. Pengawasan yang efektif oleh DPRD akan memberi kesempatan lebih besar bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan tata pemerintahan. Adapun faktor-faktor yang mendukung agar fungsi pengawasan DPRD terlaksana secara optimal bagi terwujudnya tata pemerintahan daerah yang baik adalah: Pertama, faktor kelembagaan. Secara kelembagaan, pemisahan kewenangan antara lembaga legislatif dan pemerintah daerah perlu dibentuk berdasarkan prinsip kesetaraan dan kemandirian. Kedua, adalah faktor struktural dari tata pemerintahan secara keseluruhan. Ketiga adalah sistem komisi yang berfungsi dengan baik. Komisikomisi perlu diperkuat agar mampu melaksanakan fungsi pengawasan sebagaimana ditentukan dalam Tata Tertib dan 30 Kode Etik DPRD. Selain ketiga faktor di atas, ada faktor keempat yang merupakan faktor yang penting dan tidak dapat dilupakan, yaitu faktor sistem pendukung berupa Sekretariat DPRD. Dukungan Sekretariat DPRD merupakan instrumen kelembagaan yang sangat penting bagi DPRD agar dapat 31 melaksanakan semua fungsi dan tugasnya secara efisien dan efektif. DPRD sesungguhnya berharap dukungan Sekretariat DPRD bersama dengan stafnya akan mampu meningkatkan citra parlemen di mata publik. Utamanya, yang berkaitan dengan transparansi dan
29 30 31
Ibid ., hal. 237-238. Ibid. Lihat lebih lanjut dalam Ibid., hal. 245.
15
penyebarluasan kerja-kerja politik sehingga ada informasi yang proporsional yang objektif terhadap kinerja parlemen. Berbagai pertimbangan tersebut akan memungkinkan DPRD mematangkan kualitas kepemimpinan yang diperlukan dalam rangkaian pengawasan. Mandat dan lingkup kewenangan yang diberikan pada DPRD melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah daerah telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 18 ayat (1) huruf (f). Selain itu, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2001 tentang Tata Cara Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Pasal 15 menyiratkan kemungkinan pihak-pihak terkait diluar DPRD untuk dilibatkan dalam fungsi pengawasan. Pada ayat (1) huruf (d) dan (f) dari Keppres itu disebutkan peluang pihak-pihak terkait lainnya diluar DPRD untuk melibatkan dalam fungsi pengawasan melalui rapat dengar pendapat atau kunjungan kerja yang dilakukan DPRD. Sementara ayat (2) pasal yang sama, secara eksplisit dinyatakan kemungkinan perlibatan pihak-pihak terkait lainnya dalam fungsi pengawasan DPRD. Undang-undang No 27 Tahun 2009 tentang DPR, DPD dan DPRD (UU tentang MD3), khususnya pada Bab VII, Bagaian Kedua dan Bagian Ketiga Pasal 396 dan Pasal 398 ayat (1) tentang Sistem Pendukung DPRD, mengenai sekretariat dijelaskan lembaga sekretariat DPRD dibentuk untuk membantu kelancaran pelaksanaan tugas DPRD yang susunan organisasi dan tata kerjanya yang ditetapkan dengan peraturan daerah Provinsi/Kabupaten/kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Begitu pula dalam Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 123 ayat 3 disebutkan Sekretariat Dewan mempunyai tugas di antaranya: (a). penyelenggarakan administrasi kesekretariatan DPRD; (b) menyelenggarakan administrasi keuangan DPRD; (c). mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD; dan (d) menyediakan dan mengoordinasi tenaga ahli yang diperlukan oleh DPRD dalam melaksanakan fungsinya sesuai dengan kemampuan keuangan daerah. Dengan demikian, penguasaan sistemik tentang keparlemenan di daerah oleh sekretariat merupakan elemen penting dalam menjaga kesinambungan kelembagaan. Hal ini sangat diperlukan, tidak hanya untuk menjaga kesesuaian pelayanan, tetapi juga untuk mempertahankan seluruh tatanan dasar yang telah disepakati pada periode sebelumnya. Atau, jika tatanan tertentu akan diubah atau disesuaikan, maka sekretariat dapat memberikan acuan-acuan yang diperlukan dalam pembahasan-pembahasan politik dalam sidang-sidang Dewan. Sekretariat DPRD diharuskan dapat mendampingi dan memfasilitasi dialog-dialog politik antara DPRD dengan konsistuen atau
16
masyarakat luas. Sekretariat juga sering menjadi back-up dalam pengelolaan aspirasi dan protes politik yang terarah pada DPRD. Dengan demikian sekretariat perlu mengetahui apakah aspirasi atau protes tertentu memang tepat untuk disasarkan ke DPRD atau sebenarnya merupakan kewenangan dari organisasi pemerintah yang lain. Berbagai pengalaman menunjukkan bahwa DPRD harus menampung semua bentuk aspirasi dan protes, walaupun di luar kewenangan dan mandatnya sebagai sekretariat. Sedangkan dalam Pasal 293 dan 344 UU 27 Tahun 2009 tentang MD3 menegaskan bahwa DPRD provinsi/kabupaten/kota mempunyai tugas dan wewenang: melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi/kabupaten/kota. Hal ini merupakan suatu penegasan bahwa tugas dan wewenang DPRD adalah melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi/kabupaten/kota. Dari penjelasan pasal demi pasal serta ayat demi ayat tersebut di atas dapat dipahami bahwa fungsi dan kewenangan pengawasan itu melekat pada DPRD sebagai sebuah lembaga/institusi dan bukan pada anggota DPRD secara perorangan. Artinya bila DPRD ingin menjalankan fungsi dan kewenangan di bidang pengawasan, mestinya dilakukan melalui alat kelengkapan DPRD yang ada, baik yang bersifat tetap seperti komisi-komisi dan badan anggaran, maupun yang bersifat sementara seperti panitia khusus (pansus), itupun sepanjang tatacara pelaksanaan ketentuan (baik itu berupa penentuan agenda pengawasan, persiapan lembaga-lembaga terkait, langkah-langkah pelaksanaan kegiatan penyusunan laporan, rekomendasi, rumusan tindaklanjut dan lain-lainnya) diatur dalam Tata Tertib DPRD. Pengawasan yang tak mengacu pada peraturan perundang-undangan serta prosedur yang telah dibakukan oleh lembaga semisal Tata Tertib DPRD atau Keputusan DPRD lainnya, tidak akan memberi hasil (baik berupa rekomendasi, koreksi, penghentian/pembatalan, dan tindak lanjut secara hukum) yang efektif, dan tidak lebih hanya pendapat pribadi yang tidak dapat dipertanggung jawabkan secara kelembagaan. Oleh karena itu rule of law maupun rule of game dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan di bidang pengawasan serta standar akuntabilitas yang baku harus diutamakan untuk menghindarkan diri dari politisasi fungsi pengawasan. Tanpa memperhatikan aspekaspek tersebut, pengawasan DPRD mustahil mampu memperbaiki kinerja pemerintah daerah, melainkan hanya sekedar sensasi dan permaianan politik yang tidak menutup kemungkinan tergelincir ke dalam pembunuhan karakter terhadap mitra yang menjadi obyek pengawasannya.
17
Dengan demikian langkah yang paling mendasar untuk menguatkan fungsi pengawasan adalah: pertama, merumuskan batasan tentang lingkup kerja dan prioritas pengawasan. Kedua, merumuskan standar akuntabilitas yang baku dalam pengawasan yang dapat diterima oleh lembaga yang menjadi sasaran dan mitra pengawasannya. Dengan memiliki dan memahami standar akuntabilitas yang baku, DPRD akan dapat menghindarkan diri dari politisasi fungsi pengawasan dan terhindar dari dampak negatif yang mungkin ditimbulkannya. Ketiga, rumusan standar atau ukuran yang jelas untuk menentukan sebuah kebijakan publik dikatakan berhasil, gagal atau menyimpang dari SKPD yang telah ditetapkan; dan keempat, merumuskan rekomendasi serta tindaklanjut dari hasil pengawasan, baik itu pada tingkat kebijakan, proyek, atau 32 kasus-kasus tertentu. Semua itu harus dirumuskan dalam Tata Tertib DPRD, sehingga alat kelengkapan dewan yang akan melakukan fungsi pengawasan punya satu pemahaman meskipun berasal dari fraksi yang berbeda-beda tetapi mempunyai satu tujuan yaitu menyelenggarakan pemerintahan daerah sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku demi mensejahterakan rakyat di daerah. Dari paparan di atas menunjukkan bahwa pelaksanaan fungsi dan tugas pengawasan DPRD mempunyai kerangka dasar yang jelas. Mungkin hanya penekanannya saja yang berbeda-beda antar DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, tetapi semuanya telah diatur dalam Tata Tertib dan perundang-undangan yang berlaku. Permasalahan yang seringkali terjadi karena pelaksanaan fungsi pengawasan tidak sesuai dengan ketentuan Pemerintah Pusat atau yang dibuat sendiri oleh DPRD. c. Kemitraan DPRD dengan Pihak Pemerintah (Eksekutif) Pilkada langsung telah memberikan warna yang berbeda terhadap pola hubungan kerja (DPRD) dengan pemerintah daerah disebabkan adanya perubahan yang mendasar pada sistem pemilihan dan pertanggungjawaban seorang kepala daerah. Dengan diberlakukannya Undang-Undang nomer 12 Tahun 2008 revisi dari Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, kepala daerah tidak lagi dipilih dan juga tidak bertanggung jawab kepada DPRD, tetapi dipilih secara langsung oleh rakyat, serta pertanggungjawaban diberikan kepada pemerintah dan publik. Berbeda dengan Undang-Undang 22 Tahun 1999 yang memberikan kewenangan yang sangat besar kepada DPRD untuk menentukan nasib seorang kepala daerah dalam perjalanan kariernya. 32
Dikutip dari artikel tentang “Efektivitas Fungsi Pengawasan DPRD dalam Pembangunan Daerah”, http://www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=64664, diakses tanggal 29 Juli 2010.
18
Kewenangan besar yang dimiliki DPRD pada masa 1999-2004 tidak dapat dimanfaatkan dengan baik, bahkan menimbulkan banyak masalah yang berkepanjangan, hingga saat ini masih banyak kasus diungkap pihak penegak hukum berkaitan dengan dugaan penyalahgunaan wewenang (contoh kasus Anggota DPRD Sragen-Jawa Tengah dan Indragiri Hulu menggunakan/ menyelewengkan APBD untuk kepentingan pribadi). Semangat otonomi daerah yang dikembangkan Undang-Undang No 22 Tahun 1999 hanya berusia tiga tahun saja. Pengalaman yang kurang baik tersebut menjadi pendorong lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang penekanannya mengarah kepada pilkada langsung, yang titik berat pertanggungjawaban kepala daerah tampaknya ditarik kembali ke pusat. Selain itu Pasal 27 ayat 2 Undang-Undang 32 Tahun 2004 menegaskan bahwa pertanggungjawaban tersebut hanya sebatas menginformasikan saja. Sejauh mana respons masyarakat mempengaruhi kinerja dan karier kepala daerah, belum ada kejelasan. Kenyataan seperti ini, berimbas pada pola hubungan yang terjadi antara DPRD dengan kepala daerah. Pasal 19 ayat 2 undang-undang ini mengatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD, kemudian pada Pasal 40 ditegaskan bahwa DPRD berkedudukan sebagai unsur pemerintahan daerah, yang bersama-sama dengan kepala daerah membentuk dan membahas Perda dan APBD (Pasal 42 ayat 1 huruf a dan b) Melihat konteks seperti ini, 33 maka pola hubungan yang dikembangkan adalah “partnership”. Dalam pola hubungan seperti ini, DPRD tidak dapat menjatuhkan kepala daerah, dan sebaliknya kepala daerah tidak memiliki akses untuk membubarkan DPRD. Hubungan kemitraan pada realisasinya tidak hanya didasarkan pada peraturan-peraturan perundangan semata akan tetapi juga mengacu pada nilai dan budaya yang berkembang dalam masyarakat lokal, sehinga dapat dijalin hubungan yang harmonis, saling menghargai, menghormati dan transparan tanpa harus mengorbankan sikap kritis dan sensitif dari DPRD. Pengalaman yang lalu dapat diambil sebagai pelajaran, hubungan kemitraan yang kebablasan, khususnya dalam hal penyusunan APBD yang terkesan mengedepankan kepentingan pribadi atau kelompok harus dihindarkan. Ada harapan dengan Undang-Undang 32 Tahun 2004 dikembangkan sikap kemitraan dengan dikawal oleh penegakkan hukum terhadap praktek-praktek KKN di daerah. Model hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan. Kedudukan yang setara bermakna bahwa di antara lembaga pemerintahan daerah itu memiliki kedudukan yang sama dan sejajar, 33
Dikutip dari Riswanda, loc.cit.
19
artinya tidak saling membawahi. Hal ini tercermin dalam membuat kebijakan daerah berupa Peraturan Daerah. Hubungan kemitraan bermakna bahwa antara Pemerintah Daerah dan DPRD adalah samasama mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan fungsi masing-masing sehingga antar kedua lembaga itu membangun suatu hubungan kerja yang sifatnya saling mendukung bukan merupakan lawan ataupun pesaing satu sama lain dalam melaksanakan fungsi masing-masing. Pengawasan yang dilakukan DPRD adalah pengawasan politik bukan pengawasan teknis. Untuk itu DPRD dilengkapi dengan beberapa hak, antara lain hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan 34 pendapat. Dengan hak interpelasi maka DPRD dapat meminta keterangan dari kepala daerah tentang kebijakan yang meresahkan dan berdampak luas pada kehidupan masyarakat. Hak angket dilakukan untuk menyelidiki kebijakan tertentu dari kepala daerah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat dan diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan hak menyatakan pendapat fungsinya berbeda dengan mosi tidak percaya, karena tidak dapat menjatuhkan kepala daerah, tetapi hanya berupa pengusulan pemberhentian kepala daerah kepada presiden. Bisa jadi kepala daerah yang bermasalah di tingkat lokal, akan tetapi karena kemampuannya melobi pemerintah di Jakarta (di pusat), yang bersangkutan dapat terus bertahan. Dalam hal seperti ini maka nampak sistem sentralistis kembali berperan. Fungsi pengawasan DPRD perlu terus dikembangkan baik model maupun pelaksanaannya, karena dengan keberhasilan fungsi ini akan memberikan kredibilitas yang tinggi kepada DPRD. Dapat dipikirkan pula apakah pengawasan akan masuk pada soal-soal administratif, seperti mengawasi proyek-proyek pembangunan atau pengawasan terhadap Daftar Anggaran Satuan Kerja (DASK) yang merupakan kompetensi Bawasda, atau paling tidak DPRD memiliki akses kepada hasil pengawasan Bawasda, tetapi hal inipun harus dipertimbangkan dengan baik, mengingat Bawasda selama ini merupakan bagian dari Satuan Pengawasan Internal (SPI) yang user-nya adalah kepala daerah. Sekiranya upaya-upaya penguatan fungsi legislatif tersebut dapat dilaksanakan dengan konsisten dan terprogram, dapat diharapkan adanya peningkatan performance DPRD. Kedepan hal ini merupakan tuntutan mengingat Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 menempatkan DPRD dan kepala daerah sebagai dua unsur pemerintahan daerah yang memiliki hubungan kemitraan yang menuntut adanya kesejajaran dalam kualitas kerja. 34
UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD Pasal 298 ayat (1), huruf a, b, dan c.
20
Kepeloporan oleh lembaga-lembaga pemerintahan seperti DPRD sangatlah penting dalam perwujudan tata pemerintahan yang baik, terutama selama fase transformasi serta transisi politik dan pemerintahan. Hal ini dikehendaki karena lembaga-lembaga itu mempunyai posisi dan kewenangan untuk segera menetapkan nilai-nilai 35 dasar, yang seringkali dinamakan codes of conduct, yang amat diperlukan untuk merumuskan berbagai program pembaharuan dalam administrasi dan pelayanan publik. Dengan nilai-nilai tersebut, berbagai keberhasilan dalam perbaikan tata pemerintahan yang diupayakan DPRD kini mulai terlihat. Terwujudnya kepemerintahan daerah yang baik tidak lepas dari optimalisasi peran DPRD dalam menjalankan tugasnya. Akuntabilitas tugas yang merupakan amanat rakyat sangat ditentukan oleh tingkat kapibilitas yang dimiliki oleh setiap anggota DPRD. Bagaimana suatu kebijakan pemerintahan memiliki nilai yang aspiratif bagi masyarakat bila tidak ada keseimbangan kemampuan/kapabilitas dalam perencanaan dan implementasi program antara eksekutif dan legislatif. Di akui atau tidak, dinamika saat ini inisiatif dalam menghasilkan berbagai program kebijakan masih didominasi oleh eksekutif. Kini sudah saatnya ada kesetaraan dalam kesetimbangan inisiatif dalam penyusunan kebijakan antara DPRD dan pemerintah daerah. Inisiatif dari DPRD dan pemerintah daerah propinsi, kota dan kabupaten untuk melembagakan good governance perlu didukung. Lembaga-lembaga tata pemerintahan di daerah tampaknya sangat tanggap terhadap tuntutan pembaharuan itu. Upaya-upaya dan gejalagejala yang banyak terjadi menunjukkan bahwa para agen perubahan dari DPRD, pemerintah daerah, organisasi masyarakat sipil dan media massa di daerah terbukti lebih siap untuk melakukan reformasi tata pemerintahan. Proses politik di daerah secara nyata melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan partisipasi politik. Upaya untuk menerapkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik tetap tidak mudah, DPRD tidak dapat melepaskan keterkaitan struktural dan fungsionalnya dengan pemerintah daerah dan pelakupelaku lain. DPRD seringkali diharuskan untuk mempertimbangkan aktoraktor lain ketika ia hendak menerapkan satu prinsip tertentu dari tata pemerintahan yang baik. Di lingkup daerah, semua aktor tata pemerintahan bahkan semakin beragam. Berat dan kompleksnya upaya penerapan prinsip-prinsip tata pemerintahan tersebut seharusnya tidak menyurutkan semangat dari DPRD dan pemerintah daerah. Dengan demikian dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang demokratis, berbagai upaya yang dilakukan DPRD dalam 35
Ulbert Silalahi, op.cit, hal. 76.
21
melaksanakan fungsi pengawasan harus optimal dan harus mencerminkan prinsip pemerintahan dari, untuk dan oleh rakyat. Rakyat dalam hal ini lebih luas daripada konstituen atau pemilih. Rakyat diartikan sebagai lembaga yang mencakup semua kekuatan sosial, ekonomi dan politik yang ikut serta dalam pelaksanaan kebijakan pemerintahan dan pembangunan daerah. Oleh karenanya, tidak ada alasan untuk tidak melibatkan rakyat dalam pelaksanaan fungsi pengawasan oleh DPRD. Dengan kata lain, rakyatlah yang menentukan sejauh mana proses politik tertentu dan pelaksanaan kebijakan publik tertentu selaras dengan kepentingan dan keinginan rakyat. Perlibatan rakyat dalam pengawasan juga akan memungkinkan DPRD mencermati kompleksitas proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. III. Kesimpulan dan Rekomendasi a. Kesimpulan Secara normatif DPRD sebagai lembaga legislatif daerah dengan kedudukan dan kewenangannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 khususnya di bidang pengawasan terhadap pelaksanaan pemerintahan daerah perlu dilaksanakan secara optimal. Sehingga apa yang diinginkan oleh masyarakat dalam rangka terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan good governance di era otonomi daerah dapat diwujudkan. Sehingga dalam penyelenggaraan tata pemerintahan daerah tentunya harus dibarengi dengan proses pengawasan oleh DPRD dan juga pelaku pemerintahan. Fungsi pengawasan yang dilakukan DPRD merupakan penilaian terhadap pelaksanaan peraturan perundangundangan daerah yang dijalankan oleh Pemerintah Daerah. Untuk itu dalam kerangka menuju pemerintahan yang baik (good governance), sebaiknya DPRD dalam melaksanakan fungsi pengawasan lebih dioptimalkan untuk mendorong Pemerintah Daerah (eksekutif) dapat melaksanakan kinerjanya dengan baik. DPRD menjalankan fungsi pengawasannya terhadap pemerintah daerah (eksekutif) agar dalam menjalankan roda pemerintahannya selalu sesuai dengan aspirasi masyarakat, serta terciptanya tata pemerintahan yang baik (good governance), bukan sebaliknya merusak dan mengkondisikan eksekutif untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadap aturan–aturan yang berlaku, melakukan kolusi/penyelewengan-penyelewengan dalam pembuatan anggaran agar menguntungkan kelompoknya/partainya. Adapun langkah-langkah yang paling mendasar untuk menguatkan fungsi pengawasan adalah: pertama, merumuskan batasan tentang lingkup kerja dan prioritas pengawasan. Kedua, merumuskan standar akuntabilitas yang baku dalam pengawasan yang dapat diterima oleh lembaga yang menjadi sasaran dan mitra pengawasannya. Dengan
22
memiliki dan memahami standar akuntabilitas yang baku, DPRD akan dapat menghindarkan diri dari politisasi fungsi pengawasan dan terhindar dari dampak negatif yang mungkin ditimbulkannya. Ketiga, rumusan standar atau ukuran yang jelas untuk menentukan sebuah kebijakan publik dikatakan berhasil, gagal atau menyimpang dari RKPD yang telah ditetapkan; dan keempat, merumuskan rekomendasi serta tindak lanjut dari hasil pengawasan, baik itu pada tingkat kebijakan, proyek, atau kasus-kasus tertentu. Semua itu harus dirumuskan dalam Tata Tertib DPRD, sehingga alat kelengkapan dewan yang akan melakukan fungsi pengawasan punya satu pemahaman meskipun berasal dari fraksi yang berbeda-beda tetapi mempunyai satu tujuan yaitu menyelenggarakan pemerintahan daerah sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku demi menyejahterakan rakyat di daerah. Model hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan. Kedudukan yang setara bermakna bahwa di antara lembaga pemerintahan daerah itu memiliki kedudukan yang sama dan sejajar, artinya tidak saling membawahi. Hal ini tercermin dalam membuat kebijakan daerah berupa Peraturan Daerah. Hubungan kemitraan bermakna bahwa antara Pemerintah Daerah dan DPRD adalah samasama mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan fungsi masing-masing sehingga antar kedua lembaga itu membangun suatu hubungan kerja yang sifatnya saling mendukung bukan merupakan lawan ataupun pesaing satu sama lain dalam melaksanakan fungsi masing-masing. Peran serta sekretariat sebagai pendukung kinerja DPRD sangat diperlukan karena untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, secara efisien dan efektif. DPRD sesungguhnya berharap dukungan Sekretariat DPRD bersama dengan stafnya akan mampu meningkatkan citra parlemen di mata publik. b. Rekomendasi Berdasarkan hasil kesimpulan tersebut di atas, maka penulis memberikan beberapa rekomendasi yaitu : Pertama, agar fungsi pengawasan DPRD berjalan secara optimal maka DPRD harus melibatkan masyarakat karena proses politik di daerah secara nyata melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan partisipasi politik rakyat diartikan sebagai lembaga yang mencakup semua kekuatan sosial, ekonomi dan politik yang ikut serta dalam pelaksanaan kebijakan pemerintahan dan pembangunan daerah. Kedua, sebaiknya DPRD menjalin hubungan yang relevan dengan pelaku tata pemerintahan daerah sesuai dengan prosedur dan
23
hukum yang berlaku, bukan sebaliknya merusak dan mengondisikan eksekutif untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadap aturan–aturan yang berlaku, melakukan kolusi/penyelewenganpenyelewengan dalam pembuatan anggaran agar menguntungkan kelompoknya/partainya. Ketiga, alat kelengkapan DPRD juga perlu mendapatkan dukungan pelayanan teknis dari sekretariat DPRD, agar fungsi dan tugas pengawasan dapat dilaksanakan dengan baik.
24
DAFTAR PUSTAKA Buku-buku Arbi Sanit, Perwakilan Politik di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 1985. Bintan Saragih, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1988. B.N. Marbun, SH., DPRD dan Otonomi Daerah (Setelah Amandemen UUD 1945 dan UU OTDA 2004), Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005. Djojosoekarto, Agung, Dinamika dan Kapasitas DPRD dalam Tata Pemerintahan Demokratis,Yayasan Konrad Adenauer, Jakarta, 2004. Dahlan Thaib, DPR Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2000. Erawan, Putra, Ketut, I dan Yasadhana, Victor, Akuntabilitas Publik dan Fungsi Pengawasan DPRD, Sekretariat Nasional ADEKSI Konrad Adenauer Stiftung – KAS, cetakan Pertama, Jakarta, 2004. Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, ANDI, Yogyakarta, 2002. Manan, Bagir, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pustaka Pelajar Offset, Yogjakarta, 2000. Maleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Penerbit Remadja Rosda Karya, Bandung, 1997. Manullang, M., Dasar-Dasar Manajemen, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2004. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta, 1991. Moechtar Mas’oed dan Collin Mc Andrews (eds), Perbandingan Sistem Politik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1987. Napitupulu. Paimin, Menuju Pemerintahan Perwakilan, Penerbit PT. Alumni, Bandung, 2007. Riswandha Imawan, Fungsi Perwakilan, Pembentukan Legitimasi dan Pengambilan Keputusan, hand out mata kuliah Sistem Politik dan Pemerintahan RI, MAP UGM, Yogyakarta, 2000. Sujamto, Norma dan Etika Pengawasan, Sinar Grafika, Jakarta, 1999. Widodo, Joko, Good Governance, Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi, Insan Cendekia, Surabaya, 2001. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR-RI, Jakarta, 2006.
25
Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 74 Tahun 2001 tentang Tata Cara Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Internet (Karya non-Invidual) “Efektivitas Fungsi Pengawasan DPRD dalam Pembangunan Daerah”, http://www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=6 4664, diakses pada tanggal 29 Juli 2010. “Hubungan Eksekutif dan Legislatif dalam proses raperda”, http://patawari.wordpress.com/2009/05/13/hubungan-eksekutiflegislatif-dalam-proses-ranperda/, diakses pada tanggal 25 Juli 2010.
26
KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA 1 DALAM KERANGKA DESENTRALISASI Sri Nurhayati Qodriyatun
2
Abstract The realization of living natural resources conservation in the era of decentralization seems not in line with Act (UU) No. 5, 1990. The conservation concept is more perceived as the protection or preservation of the living national resources and the ecosystem rather than the ways to sustainably use it. That is why people who live around the conservation area are often regarded as environmental destroyers. This research found that decentralization has also produced conflicts between the central government and the local government. For this reason, the local people living around the forest have been neglected –a condition which sharply decrease their wellfare. Abstrak Pelaksanaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dalam era desentralisasi tidak seperti yang diharapkan oleh UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Konsep konservasi lebih dimaknai sebagai upaya melindungi sistem penyangga kehidupan dan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar beserta ekosistemnya. Upaya pemanfaatan secara lestari dalam konservasi seringkali terlupakan. Selain itu, konservasi dalam kerangka desentralisasi telah memunculkan ketidakharmonisan hubungan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Akibatnya kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan atau di dalam kawasan konservasi semakin menurun. Kata Kunci : Konservasi, Desentralisasi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1
Hasil penelitian di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat dan Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh pada tahun 2009. 2 Peneliti Bidang Kebijakan Sosial Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi, Sekretariat Jenderal DPR RI.
1
Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam hayati. Meskipun wilayah darat Indonesia hanya 1,3 persen dari keseluruhan wilayah darat dunia, berdasarkan data Bappenas, 1993, di dalamnya terkandung 10 persen spesies tanaman dunia, 12 persen dari spesies mamalia, 16 persen dari spesies reptil, dan 17 persen dari spesies burung serta 25 persen ikan dunia yang dikenal manusia terdistribusi di perairan Indonesia. Dengan panjang wilayah pesisir yang mencapai 81 ribu kilometer atau sekitar 14 persen dari panjang pantai dunia, ekosistem kelautan Indonesia sangat kaya dan bervariasi. Hutan bakau Indonesia sangat luas dan memiliki jenis terumbu karang yang sangat spektakuler di Asia. Selain itu, hutan tropis Indonesia kaya akan spesies palm (447 spesies, dimana 225 diantaranya tidak terdapat di bagian dunia lainnya), spesies dipterocarp (sekitar 400 spesies yang memiliki nilai ekonomis sangat tinggi), dan spesies tumbuhan berbunga (sekitar 25 ribu spesies). Indonesia memiliki 7 (tujuh) kawasan biogeografi yang penting dan dengan beraneka ragam jenis habitat. Banyak pulau yang terpencil selama ribuan tahun, sehingga tingkat kekhasannya (endemism) sangat tinggi. Tiga pusat utama kekayaan spesies Indonesia ada di Papua (sangat kaya spesies dan endemik), Kalimantan (sangat kaya spesies, endemik menengah), dan Sulawesi (kekayaan spesies tingkat menengah, endemik tinggi). Begitu beragamnya sumber daya hayati yang ada menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang mempunyai jumlah keanekaragaman 3 hayati terbesar di dunia. Keanekaragaman hayati merupakan anugrah terbesar bagi umat manusia. Banyak manfaat yang bisa didapatkan, antara lain (1) memiliki nilai ekologis; (2) merupakan sumber kehidupan, penghidupan, dan kelangsungan hidup bagi umat manusia karena potensial sebagai sumber pangan, papan, sandang, obat-obatan serta kebutuhan hidup yang lain; (3) merupakan sumber ilmu pengetahuan dan teknologi; (4) merupakan tempat berkembangnya sosial budaya umat manusia; dan (5) 4 memberikan nuansa keindahan yang merefleksikan penciptanya. Namun satu setengah dekade kemudian, kondisi sumber daya alam hayati Indonesia telah mengalami banyak perubahan. Pada periode 1997-2000 laju deforestasi dan degradasi hutan sebesar 3,51 juta hektar per tahun, dan periode 2000-2003 sebesar 1,5 juta hektar/tahun. Luas lahan kritis dan sangat kritis di Indonesia mencapai 30,19 juta hektar yang tersebar di 472 Daerah Aliran Sungai. Kawasan konservasi dan 3
Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003-2020, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), 2003 4 Disarikan dari tulisan Keanekaragaman Hayati dan Konservasinya di Indonesia, http://endarwati.blogspot.com/2005/09/keanekaragaman-hayati-dan.html, dan Keanekaragaman Sumber Daya Alam Hayati dan Konservasinya, http://hameedfinder.blogspot.com/2007/06/keanekaragaman-sumber-daya-alam-hayati.html diakses 2 Juli 2009.
2
hutan lindung pun mengalami tekanan oleh masyarakat sehingga dikhawatirkan mengganggu fungsi dan perannya sebagai penyangga kehidupan, selain juga mengancam keberlangsungan hidup spesiesspesies langka di Indonesia. Luas kawasan konservasi yang dirambah 5 saat ini telah mencapai 460.407,89 ha. Kerusakan sumber daya alam hayati tidak hanya terjadi di daerah daratan, tetapi juga di wilayah pesisir dan lautan. Banyaknya industri yang di bangun di daratan dan yang melakukan pencemaran terhadap sungai-sungai yang ada, telah mengakibatkan wilayah pesisir dan lautan pun tercemar. Bahkan banyak penambangan dilakukan di aliran sungai dan turut menyumbang terjadinya pencemaran di wilayah pesisir dan lautan. Akibatnya kondisi wilayah pesisir dan lautan pun rusak. Lebih lanjut, banyak petani ataupun nelayan yang dirugikan dengan kondisi ini. Banyak tambak yang gagal panen, banyak nelayan yang semakin sulit mencari ikan di laut. Menurunnya kondisi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya tersebut terjadi karena adanya pemanfaatan sumber daya hayati untuk berbagai keperluan secara tidak seimbang. Untuk mencegah semakin menurunnya kondisi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya yang ada, pemerintah melakukan upaya konservasi. Adapun konservasi yang dilakukan didasarkan pada UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Konservasi sumber daya alam hayati berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990 adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Tujuannya untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Lebih lanjut dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, konservasi ini masih merupakan wewenang penuh pemerintah pusat atau belum ada desentralisasi di bidang konservasi. Ketentuan tersebut menjadi masalah sejak kebijakan otonomi daerah diterapkan pada tahun 2001. Penelitian Eddy Manggopo Angi menyebutkan bahwa pelaksanaan konservasi dalam era otonomi daerah telah menimbulkan konflik antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah karena adanya perbedaan kepentingan terhadap sumber daya 6 hutan yang ada. Sementara menurut Walhi kebijakan konservasi yang 5
Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, Buku II Memperkuat Sinergi Antarbidang Pembangunan, Bab X Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. 6 Eddy Manggopo Angi, Kebijakan Pemerintah Pusat di Bidang Konservasi dari Perspektif Daerah dan Masyarakat, Studi Kasus Kabupaten Kutai Barat, Kaltim, Center for Forestry Research (CIFOR), 2005, h. 2
3
sentralistik mengakibatkan terjadinya konflik antara rakyat (dalam hal ini masyarakat lokal yang telah menempati kawasan konservasi secara turun temurun) dengan pengelola kawasan konservasi (pemerintah pusat). Walhi mencatat hingga tahun 2003 telah terjadi beberapa pengusiran rakyat dari kawasan konservasi di Indonesia, di antaranya di Taman Nasional (TN) Lore Lindu, TN Kutai, TN Meru Betiri, TN Komodo, dan beberapa kawasan lainnya. Bahkan di TN Komodo, masyarakat nelayan hingga saat ini dilarang melakukan aktivitas penangkapan ikan di kawasan tangkap tradisional mereka yang diklaim sepihak sebagai zona 7 inti taman nasional. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang terlihat bahwa masih banyak permasalahan dalam pelaksanaan konservasi, terutama setelah kebijakan otonomi daerah diterapkan. Jika mengacu pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa ”bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, maka baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah berkewajiban menjaga kelestarian sumber daya alam yang ada untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Pertanyaan yang kemudian muncul dalam penelitian ini adalah: a. bagaimana sebenarnya pelaksanaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di daerah (Provinsi maupun kabupaten) berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990 ? b. apa kendala yang dihadapi daerah dalam pelaksanaan konservasi berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990? a. apakah pelaksanaan konservasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah (Provinsi dan kabupaten) dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya ? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk: a. mengidentifikasi pelaksanaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem di daerah (Provinsi dan kabupaten) dalam kerangka desentralisasi. b. mengidentifikasi kendala yang dihadapi daerah (Provinsi dan kabupaten) dalam pelaksanaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
7
Walhi, Kekerasan di Hutan : Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia, http://www.walhi.or.id/kampanye/konservasi/kekeras_hut_konserv_Ii_210103 diakses 8 April 2009.
4
c.
mengidentifikasi bagaimana meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah yang berbatasan langsung atau yang berada di dalam kawasan konservasi, dalam kerangka konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi Komisi IV sub komisi Kehutanan dalam menyusun kebijakan konservasi. Selain itu juga dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam penyusunan dan pembahasan RUU tentang Perubahan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. D. Kerangka Pemikiran Secara umum sumber daya alam seringkali didefinisikan sebagai segala sumber daya hayati dan non hayati yang dimanfaatkan oleh umat manusia sebagai sumber pangan, bahan baku dan energi. Sumber daya alam merupakan faktor produksi dari alam yang digunakan untuk 8 menyediakan barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi. Dalam pandangan Malthusian, sumber daya alam harus dimanfaatkan secara hati-hati karena jumlahnya terbatas dan tidak akan mampu mendukung 9 pertumbuhan penduduk yang cenderung tumbuh secara eksponensial. Ada hukum ”diminishing return”, dimana tambahan faktor produksi pada batas jumlah tertentu tidak akan menambah total produksi, bahkan kalau tambahan faktor produksi terus dilakukan justru akan menyebabkan 10 penurunan total produksi. Oleh karenanya, ketika sumber daya alam terus dikuras/dieksploitasi untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi, maka yang terjadi adalah menurunnya sumber daya alam baik secara kuantitas maupun kualitas. Konservasi adalah cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak menurunnya kualitas dan kuantitas sumber daya alam akibat 11 eksploitasi. Menurut Gifford Pinchot sebagaimana dikutip Suparmoko, konservasi merupakan bagaimana kita menggunakan sumber daya alam untuk kebaikan secara optimal, dalam jumlah yang terbanyak dan untuk jangka waktu yang paling lama. Pengertian ini mengandung makna bahwa konservasi ini merupakan tindakan untuk mencegah pengurasan sumber daya alam dengan cara pengambilan yang tidak berlebihan sehingga dalam jangka panjang sumber daya alam tetap tersedia. Sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam, termasuk sumber daya alam hayati, Indonesia juga menyadari bahwa konservasi perlu dilakukan. Dasar pelaksaaan konservasi sumber daya alam hayati 8
Akhmad Fauzi, Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan : Teori dan Aplikasi, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004, h. 4 9 Ibid., h.5 10 Sutikno dan Maryunani, Ekonomi Sumber Daya Alam, Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, Malang, April 2006, h.10 11 Suparmoko, Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan (Suatu Pendekatan Teoritis), Edisi ke-3, BPFE – Yogyakarta, 1997, h. 21
5
adalah UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Konservasi dilakukan melalui kegiatan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari. Adapun sasaran yang ingin dicapai adalah (1) menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia (perlindungan sistem penyangga kehidupan); (2) menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe ekosistemnya sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia yang menggunakan sumber daya alam hayati bagi kesejahteraan (pengawetan sumber plasma nutfah); dan (3) mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumber daya alam hayati sehingga terjamin kelestariaanya (pemanfaatan secara lestari). Tujuan akhirnya adalah terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya 12 peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Jika mengacu pada UU No. 5 Tahun 1990, konservasi dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat. Pemerintah yang dimaksud disini adalah pemerintah pusat. Pemerintah pusat dapat menyerahkkan sebagian urusannya di bidang konservasi ini kepada pemerintah daerah dan menugaskan kepada pemerintah daerah Provinsi untuk melaksanakannya sebagai tugas pembantuan. Namun dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah (2001), sistem pemerintahan berubah dari sentralistik menjadi desentralistik. Kebijakan otonomi ini memberi kerangka baru hubungan antara pemerintah daerah (kabupaten dan Provinsi) dengan pemerintah pusat. Kebijakan ini melimpahkan semua kewenangan kepada pemerintah daerah kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter, peradilan, rencana pembangunan dan agama. Perubahan sistem pemerintahan ini berpengaruh terhadap pelaksanaan konservasi di lapangan. Pada hakekatnya desentralisasi adalah salah satu mekanisme 13 untuk mendekatkan pemerintah dengan rakyatnya dan merupakan alat untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan 14 proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis.
12
UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Marut, D.K. Desentralisasi dan Pengelolaan Sumber daya Alam Daerah dalam buku Dicky. H (ed). Otonomi dan Lingkungan Hidup, Konphalindo, Jakarta, 2000, h. 1-14 14 Sidik, M, Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Sebagai Pelaksanaan Desentralisasi (Antara Teori dan Aplikasinya di Indonesia). Makalah Seminar Setahun Implementasi Kebijaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia, Yogyakarta, 13 Maret 2002 13
6
Di Indonesia, pengguna sumber daya alam hayati dapat 15 dikelompokkan dalam dua kelompok besar, yaitu : a. Pengguna skala kecil. Kelompok ini menggunakan sumber daya alam secara tradisional atau semi tradisional di daerah tempat tinggal mereka untuk langsung dimakan atau ditukarkan. Pengunaannya didasarkan pada pengaturan hak dan kewajiban menurut adat setempat dan karena itu biasanya tidak banyak membawa dampak negatif terhadap keanekaragaman hayati. b. Pengguna skala besar, biasanya untuk pasar dunia. Penggunaan oleh kelompok ini mengubah habitat suatu kawasan, seperti mengubah hutan menjadi lahan pertanian, perkebunan, permukiman, ataupun daerah industri, yang kesemuanya didorong oleh produsen dan konsumen dari luar kawasan tersebut. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 ayat (3) dinyatakan bahwa ”bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Ketentuan tersebut mengandung arti bahwa Negara berkewajiban menjaga kelestarian sumber daya alam yang ada guna meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Kemudian lebih lanjut dalam ayat (4) nya dinyatakan bahwa ”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. 16 Menurut Revrison Baswir ketentuan tersebut mengandung makna bahwa (1) seluruh anggota masyarakat memiliki hak untuk ikut dalam proses produksi; (2) seluruh anggota masyarakat memiliki hak untuk menikmati hasil-hasil produksi; dan (3) anggota masyarakat harus menjadi subjek dalam perekonomian Indonesia. Dengan demikian baik kelompok pengguna sumber daya alam skala kecil maupun skala besar, mempunyai hak yang sama untuk memanfaatkan sumber daya alam yang ada, namun dengan tetap memperhatikan aspek pelestariannya. II. Metode Penelitian A. Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat, dan Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Nangroe 15
Charles Victor Barber, Meluruskan Arah Pelestarian Keanekaragaman Hayati dan Pembangunan di Indonesia/Charles Victor Barber, Suraya Afiff, Agus Purnomo, Penerjemah : marina Malik, edisi ke-1, Jakarta : Yayasan Obor, 1997, h. 22 16 Sebagaimana dikutip A. Effendi Choiri, Privatisasi Versus Neosiosialisme Indonesia, Cetakan Pertama, Jakarta: LP3ES, 2003, h. 170
7
Aceh Darussalam. Pertimbangannya adalah Kapuas Hulu dan Aceh Tenggara merupakan kabupaten yang lebih dari 50 persen wilayahnya merupakan kawasan konservasi. Kabupaten Kapuas Hulu merupakan kabupaten konservasi. Kedua daerah tersebut banyak menghadapi kendala dalam melakukan konservasi sumber daya alamnya, termasuk permasalahan sosial di masyarakatnya berkaitan dengan kegiatan konservasi. Penelitian di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat dilakukan pada bulan Mei 2009, dan di Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh pada bulan Juli 2009. B. Bahan/Cara Pengumpulan Data Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah : 1. Data primer yang meliputi data tentang kebijakan daerah (Provinsi dan kabupaten) dalam pelaksanaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990, kendala yang dihadapi daerah (Provinsi dan kabupaten) dalam pelaksanaan konservasi, dan kebijakan pemerintah daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal berkaitan dengan upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. 2. Data sekunder meliputi peraturan perudang-undangan ataupun dokumen yang berkaitan dengan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, termasuk hasil-hasil penelitian ataupun artikel-artikel di media massa Data-data tersebut dikumpulkan dengan menggunakan metode: a. Studi kepustakaan yaitu dengan mengumpulkan segala informasi, data, dan keterangan yang berasal dari data dokumenter, baik berupa buku, risalah, transkrip, dokumen, maupun bahan-bahan tertulis lainnya yang sudah tersedia yang berkaitan dengan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. b. Observasi langsung, yaitu dengan melakukan kunjungan lapangan ke daerah penelitian. c. Wawancara mendalam dengan pihak-pihak yang berkepentingan dan didasarkan pada panduan pertanyaan penelitian. Adapun pihak-pihak yang diwawancarai adalah : - Balai Besar Taman Nasional Betung Kerihun; - Staf Ahli Bupati Kapuas Hulu Bidang Pengembangan Wilayah Perbatasan dan Kabupaten Konservasi; - Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas Hulu; - WWF Indonesia West Kalimantan Program Putussibau Office; - Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat; - Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Provinsi Aceh; - WWF-Indonesia Aceh Program BALEE PANDA; - Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Aceh; - Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Aceh; - Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Aceh Tenggara;
8
-
WALHI Aceh.
C. Metode Analisis Data Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan teknik analisis yang digunakan juga menggunakan teknik analisis penelitian kualitatif. Seperti dikemukakan Christine Daymon dan Immy Holloway, ada poin kunci yang harus diperhatikan dalam analisis data kualitatif yaitu reduksi data dan intepretasi. Reduksi data adalah memilah-milah data yang tidak beraturan menjadi potongan-potongan yang lebih teratur dengan menyusun kategori, dan merangkumnya menjadi pola dan susunan yang sederhana. Sedangkan interpretasi adalah mendapatkan makna dan pemahaman terhadap kata-kata dan tindakan para partisian riset dengan memunculkan konsep dan teori (atau teori berdasar generalis) yang 17 menjelaskan temuan di lapangan. Analisis penelitian ini akan dilakukan melalui kedua proses tersebut sehingga ditemukan jawaban dari permasalahan yang ingin dicari dari penelitian. III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1990 di Daerah dan Kendalanya Konservasi berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990 dilakukan melalui kegiatan (a) perlindungan sistem penyangga kehidupan, (b) pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar beserta ekosistemnya yang dilakukan di dalam kawasan (in-situ) maupun di luar kawasan (eksitu) konservasi, dan (c) pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Pemanfaatan secara lestari ini dilakukan melalui kegiatan (a) pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam, dan (b) pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa dalam bentuk pengkajian, penelitian dan pengembangan, penangkaran, perdagangan, perburuan, peragaan, pertukaran, dan budidaya. Dalam UU tersebut lebih lanjut dinyatakan bahwa Pemerintah beserta masyarakat bertanggung jawab terhadap pelaksanaan konservasi tersebut (Pasal 4). Pemerintah yang dimaksud dalam UU ini adalah pemerintah pusat. Namun dalam pelaksanaannya, pemerintah pusat dapat menyerahkan sebagian urusan dalam bidang konservasi ini kepada pemerintah daerah (Pasal 38). Ketika kebijakan otonomi daerah ditetapkan, muncul berbagai permasalahan dalam pelaksanaan konservasi. Seperti dikemukakan Doris Capistrano, pelaksanaan
17
Christine Daymone dan Immy Holloway, Metode –Metode Riset Kualitatif, penerjemah Cahya Wirtama, penyunting Santi Indra Astuti, Bentang, Yogyakarta, 2008, h.369
9
desentralisasi kehutanan di Indonesia pada 18 menimbulkan konflik dan kompleksitas institusi.
tahap
awal
justru
1. Pelaksanaan Konservasi di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat Kapuas Hulu merupakan salah satu kabupaten dari 12 daerah otonom di Provinsi Kalimantan Barat. Posisinya berada di ujung timur yang merupakan daerah hulu di Kalimantan Barat. Luas wilayahnya 2 29.842 km , dan kurang lebih 56,21 % wilayahnya (1.677.601 ha) adalah kawasan lindung termasuk di dalamnya kawasan konservasi. Luasnya kawasan lindung yang ada mengakibatkan tugas dan tanggung jawab 19 yang diemban pemerintah daerah dirasakan cukup berat. Seperti halnya daerah lain di Kalimantan Barat, Kabupaten Kapuas Hulu juga menghadapi berbagai permasalahan lingkungan hidup seperti penebangan hutan secara liar (illegal logging), pertambangan tanpa ijin (illegal mining), penangkapan ikan dengan racun (menuba), dan kegiatan ladang berpindah-pindah. Berbagai permasalahan tersebut semakin menambah berat beban daerah dalam melaksanakan konservasi. Mengacu UU No. 5 Tahun 1990, pelaksanaan perlindungan sistem penyangga kehidupan (PSPK) dapat dilakukan antara lain melalui kegiatan (a) penetapan wilayah PSPK, (b) penetapan pola dasar pembinaan program PSPK, (c) pengaturan cara pemanfaatan wilayah PSPK, (d) penertiban penggunaan dan pengelolaan tanah dalam wilayah PSPK, dan (e) penertiban maksimal pengusahaan di perairan dalam wilayah PSPK. Dalam melaksanakan ketentuan tersebut, maka pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu menetapkan beberapa wilayahnya sebagai kawasan lindung dengan menerbitkan Surat Keputusan Bupati. Beberapa kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan lindung oleh Bupati Kapuas Hulu adalah Danau Nanga Empangau, Danau Merdasan, Danau Pengulan, Danau Pega, Danau Sedong, Danu Jongkong Kiri Hilir, Danau Pekayu Siawan, Danau Pulau Bensar/Bagol, Danau Pilin, Danau Sentaju, Danau Terduata, Danau Aur, Danau Perantu, Danau Penemur Bersatu, Danau Basau Darat Nelayan, Danau Tanjung Petak, Danau 18
Doris Capistrano, Desentralisasi dan Tata Kelola Hutan di Asia dan Pasifik, Pelajaran, dan Tantangan, dalam buku Colfer, C.J.P., Dahal, G.R. dan Capistrano, D (penyunting), Pelajaran dari Desentralisasi Kehutanan, Mencari Tata Kelola yang Baik dan Berkeadilan di Asia-Pasifik, CIFOR, Bogor, Indonesia, 2009, h. 237. 19 UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan yang lebih luas kepada Kepala Daerah, termasuk dalam mengelola sumber daya alamnya. Pemberian kewenangan yang luas ini memberikan konsekuensi tanggung jawab yang tinggi kepada daerah untuk menyelamatkan hutan dan lingkungan hidup yang ada di wilayahnya. Karena pemanfaatan hasil hutan dengan mengkonversi hutan untuk kepentingan lain seperti tambang, perkebunan, permukiman berdampak terhadap hilangnya sejumlah habitat flora dan fauna yang ada, selain juga berkurangnya kemampuan untuk mengkonversi gasgas buangan menjadi O2 dan menimbulkan bencana banjir, kurangnya persediaan air, terjadinya lahan kritis, dan lain sebagainya.
10
Sabu, Danau Pangelang, dan Danau Basau Darat. Di kawasan lindung ini masyarakat tidak boleh melakukan pemanfaatan sumber daya alam yang ada secara berlebihan. Pengelolaan kawasan lindung ini dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait seperti Dinas Kehutanan, Dinas Pekerjaan Umum, dan Kantor Lingkungan Hidup. Upaya lain yang dilakukan untuk pelaksanaan perlindungan sistem penyangga kehidupan ini, Kabupaten Kapuas Hulu melakukan: a. Membentuk Kelompok Kerja Konservasi (Surat Keputusan Bupati No. 105 Tahun 2004 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Kabupaten Kapuas Hulu sebagai Kabupaten Konservasi tanggal 7 Juli 2004), Tim Penanggulangan Penambang Emas Tanpa Izin (Surat Keputusan Bupati No. 144 Tahun 2004), Tim Penanggulangan Kegiatan Illegal Logging (Surat Keputusan 20 Bupati No. 146 Tahun 2004), dan Kelompok Kerja Heart of Borneo Kabupaten Kapuas Hulu (Surat Keputusan Bupati No. 21 249 Tahun 2006). b. Membentuk Tim Patroli Bersama yang melibatkan berbagai pihak (Kepolisian, Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas Hulu, Balai Taman Nasional Betung Kerihun, masyarakat sekitar kawasan lindung maupun kawasan konservasi). Tim ini dibentuk untuk menekan kegiatan-kegiatan illegal logging di daerah kawasan 22 lindung maupun di kawasan konservasi. Ada dua tim patroli bersama, yaitu Tim Patroli Bersama di 2 Sub-Das (Mendalam dan Sibau) yang merupakan pintu masuk ke kawasan Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) dan Tim Patroli Bersama di Sub DAS Embaloh di TNBK dan kawasan Taman Nasional 23 Danau Sentarum (TNDS).
20
Hasil wawancara dengan Indra Kumara (Kepala Bidang Pemantapan Kawasan Hutan Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas Hulu) tanggal 20 Mei 2009. 21 Saat ini pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu sedang mencari dukungan dari pemerintah pusat dan negara tetangga (Malaysia dan Brunei) melalui Heart of Borneo untuk berkomitmen bersama menjaga kelestarian hutan di sepanjang perbatasan IndonesiaMalaysia-Brunei yang kondisinya masih relatif bagus. Hasil wawancara dengan Indra Kumara (Kabid Pemantapan Kawasan Hutan Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas Hulu) tanggal 20 Mei 2009. 22 Berdasarkan hasil penelitian Onrizal dan kawan-kawan di Taman Nasional Danau Sentarum, terdapat kegiatan illegal logging yang dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di dalam kawasan konservasi tersebut. Mereka (suku Melayu dan suku Dayak Iban) telah tinggal di kawasan konservasi tersebut jauh sebelum kawasan tersebut ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Karena kondisi sumber daya alam di kawasan tersebut semakin menurun, sehingga mereka tidak dapat lagi menangkap ikan ataupun berladang yang semula mereka lakukan untuk hidup. Kondisi ini mendorong mereka melakukan illegal logging. Kegiatan ini dimodali oleh investor dari negara tetangga (Malaysia) yang oleh mereka disebut sebagai ”cukong”. Baca Onrizal, et.all., Social and Environmental Issues of Danau Sentarum National Park, West Kalimantan, BIODIVERSITAS Volume 6 No 3 Juli 2005, p. 220-223 23 Hasil wawancara dengan John Hasker (Kepala Bidang Teknis Konservasi Taman Nasional Balai Besar Taman Nasional Betung Kerihun) di Putusibau tanggal 22 Mei 2009
11
c.
Melakukan penyuluhan dan memberikan ketrampilan kepada masyarakat pelaku illegal logging dan illegal mining agar mereka tidak lagi mengandalkan kehidupannya dari dua kegiatan 24 tersebut. d. Melakukan rehabilitasi hutan yang rusak dan mereklamasi 25 bekas-bekas tambang yang ada. Rehabilitasi hutan dilakukan oleh bagian perkebunan Dinas Kehutanan melalui program agroforesty, dan reklamasi bekas tambang dilakukan bekerjasama dengan Universitas Tanjungpura (UNTAN). Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dilakukan dengan melibatkan masyarakat sekitar hutan. Kegiatan ini telah membantu masyarakat untuk meningkatkan penghasilan, karena mereka dilibatkan mulai dari pembibitan hingga penanaman kembali lahan-lahan kritis yang ada. Bahkan daerah Kapuas Hulu pernah ditetapkan sebagai pemenang harapan III tingkat nasional pelaksanaan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) tahun 2004 untuk kinerja pemerintah kabupaten/kota (Kepmenko Kesra No. 32/KEP/MENKO/KESRA/XII/2006 tentang Penetapan Pemenang Pelaksanaan GNRHL/GERHAN tahun 2003 dan 2004 Tingkat Nasional). e. Memberikan penghargaan kepada masyarakat yang dinilai 26 mampu mengembangkan pelestarian daerah lindung. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990, upaya pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan (1) pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan (2) pengawetan jenis tumbuhan dan satwa. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dapat dilaksanakan di dalam (in-situ) dan di luar (ek-situ) kawasan suaka alam, seperti di kawasan pelestarian alam. Kawasan suaka alam dapat berupa cagar alam atau suaka margasatwa, sedangkan kawasan pelestarian alam berupa taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam. Pengelolaan kawasan suaka alam ataupun kawasan pelestarian alam dilaksanakan oleh Pemerintah 24
Indra Kumara, op.cit. Hasil wawancara dengan Johadi (Kabid Rehabilitasi Perhutanan Sosial Dinas Kebutanan Kabupaten Kapuas Hulu) tanggal 20 mei 2009 26 Beberapa contoh penghargaan yang diberikan oleh Bupati Kapuas Hulu adalah penghargaan kepada Kelompok Tani nelayan dusun Emangau, Desa Teluk Aur, Kecamatan Bunut Hilir (Piagam Penghargaan Bupati Kapuas Hulu No. 002.6/1022/LHESDM/2006), penghargaan kepada H. Abdullah HS, warga dusun Mungguk Batu, kecamatan Selimbau, atas upaya pengembangbiakan ikan arwana (Silok) di Kabupaten Kapuas Hulu (Piagam Penghargaan Bupati Kapuas Hulu No. 1 Tahun 2006), penghargaan kepada M. Syafri S, warga dusun Nanga Sambus, Desa Tanjung Jati, Kecamatan Putussibau atas upaya yang telah dilakukannya dalam penghijauan lahan perkampungan dan menghutankan lahan pekarangan rumah (Piagam Penghargaan Bupati Kapuas Hulu No. 02 Tahun 2006). 25
12
(Kementerian Kehutanan) melalui unit pelaksana teknisnya yang berada di daerah, seperti Balai Konservasi Sumber Daya ALam (BKSDA), Balai Taman Nasional. Di Kabupaten Kapuas Hulu terdapat dua taman nasional yaitu Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) dan Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS). TNBK dikelola oleh Balai Konservasi Taman Nasional Betung Kerihun di Putussibau (ibu kota Kabupaten Kapuas Hulu), yang merupakan satu-satunya balai besar di Kalimantan Barat. Sedangkan TNDS dikelola oleh Balai Taman Nasional Danau Sentarum, yang kantornya berada di Kabupaten Sintang dan baru didirikan pada tahun 2007. Padahal TNDS sudah ditetapkan sejak tahun 1999 dan TNDS berada di wilayah Kabupaten Kapuas Hulu. Sebelum terbentuknya Balai Taman Nasional Danau Sentarum, kawasan TNDS dikelola oleh BKSDA resor Semitau (Kalimantan Barat). Karena keterbatasan sumber daya manusia dan finansial, BKSDA Kalimantan Barat belum sanggup melakukan pengelolaan secara optimal. Terjadi proses degradasi secara cepat akibat semakin tingginya kegiatan manusia, baik di dalam maupun di sekitar kawasan TNDS. Bentuk-bentuk kegiatan secara langsung dan tidak langsung yang mengganggu keutuhan ekosistem TNDS adalah penangkapan dan perbesaran ikan, penebangan kayu di dalam dan di sekitar TNDS, dan 27 kebakaran hutan. Padahal dalam Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, dalam rangka pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dilarang untuk dilakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan keutuhan kawasan tersebut. Keberadaan Balai Taman Nasional Danau Sentarum ternyata belum juga mampu menyelamatkan keutuhan ekosistem TNDS. Kasus illegal logging di TNDS masih terus berlangsung hingga saat ini. Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya pembukaan lahan besar-besaran untuk 15 perusahaan perkebunan kelapa sawit dan penangkapan ikan secara berlebihan di danau tersebut. Aktivitas ini telah mengakibatkan menurunnya kualitas dan kuantitas air danau sentarum, yang telah 28 ditetapkan menjadi konservasi lahan basah internasional. Demikian juga dengan TNBK yang keberadaannya juga terancam dengan berbagai aktivitas manusia seperti illegal logging, illegal mining, maupun perburuan satwa liar. Meski secara kuantitas sejak tahun 2004 telah mengalami penurunan, namun bukan berarti 27
Laporan Hasil Lokakarya ”Melestarikan Taman Nasional Danau Sentarum untuk Mencapai Kesejahteraan Ekonomi, Pemberdayaan Masyarakat Lokal, dan Keutuhan Ekologi, yang diselenggarakan bersama oleh Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu, BKSDA Kalimantan Barat, Wetlands Internasional-Indonesia Programme, dan Yayasan Konservasi Borneo (YKB) tanggal 15 Oktober 2003 di Bogor. 28 Taman Nasional Danau Sentarum, Kalimantan Barat, 3 Maret 2008 di http://ikanmania.wordpress.com/2008/03/03/taman-nasional-danau-sentarum-kalimantanbarat/ di akses 8 April 2009.
13
TNBK terbebas dari ancaman kerusakan lingkungan. Karena Balai Besar Taman Nasional Betung Kerihun menghadapi kendala dengan terbatasnya SDM (saat ini hanya ada 6 polisi hutan) dan finansial. Peran pemerintah daerah provinsi Kalimantan Barat dalam pelaksanaan konservasi di Kabupaten Kapuas Hulu tidak ada. Karena kawasan lindung yang berbentuk TNBK dan TNDS dikelola langsung oleh UPT Taman Nasional dari Kementerian Kehutanan yang berada di daerah. Dalam melaksanakan program-programnya, UPT tersebut selama ini tidak pernah melibatkan pemerintah provinsi Kalimantan Barat yang secara administrasi merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat, tetapi langsung bekerjasama dengan pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu dan Kabupaten Kapuas Hulu tidak melaporkan kegiatannya 29 tersebut kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. Kondisi ini menimbulkan ketidakharmonisan hubungan antar tingkatan pemerintahan (antara pemerintah pusat dengan provinsi, antara pemerintah provinsi dengan kabupaten). Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagai wialyah administrasi Provinsi merupakan pelaksana kewenangan pemerintah pusat yang didekonsentrasikan kepada Gubernur. Lebih lanjut, berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.5/Menhut-II/2009 tentang Pelimpahan Sebagian Urusan Pemerintahan (Dekonsentrasi) Bidang Kehutanan Kepada 33 Gubernur Pemerintah Provinsi Selaku Wakil Pemerintah tahun 2009, salah satu urusan pemerintahan yang dilimpahkan ke Provinsi Kalimantan Barat adalah melakukan fasilitasi pengelolaan kawasan konservasi. Pemerintah daerah Provinsi berharap agar UPT-UPT pemerintah pusat dalam melaksanakan kegiatan konservasinya melibatkan pemerintah provinsi baik secara langsung ataupun tidak langsung. Hal ini dimaksudkan agar pemerintah provinsi dapat menyusun program yang searah dengan program yang dilakukan oleh UPT-UPT pemerintah pusat tersebut. Karena bagaimanapun wilayah kerja UPT secara administrasi merupakan bagian dari wilayah pemerintah provinsi. Selama ini UPT yang ada di Kapuas Hulu lebih sering bekerja sama langsung dan tidak langsung dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kabupaten Kapuas Hulu dari pada dengan SKPD Provinsi Kalimantan Barat. Terkait dengan kegiatan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam dan ekosistemnya, ada beberapa hal yang telah dilakukan oleh pemerintah kabupaten Kapuas Hulu. Mengacu pada UU No. 5 Tahun 1990, pemanfaatan secara lestari sumber daya alam dan ekosistemnya dapat dilakukan melalui kegiatan pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dan pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar. Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan. Untuk 29
Hasil wawancara dengan Sunarno (Kepala Bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat) tanggal 18 Mei 2009 di Pontianak.
14
itu, Kabupaten Kapuas Hulu berusaha mengembangkan ekowisata (pembangunan pariwisata berbasiskan keindahan alam). Untuk meningkatkan pembangunan ekowisata, terutama ekowisata yang berbasiskan masyarakat (community based ecotourism) pemerintah melakukan kerjasama dengan berbagai pihak. Salah satunya dengan WWF Indonesia. Selain itu juga melakukan penguatan kelembagaan di bidang ekowisata melalui (1) pembentukan panitia ekowisata di 3 desa (Sibau Hulu, Bongan Jaya, dan Tanjung Lokang); (2) pembentukan Kelompok Kerja Pariwisata (Pokja Pariwisata) Kabupaten Kapuas Hulu; (3) dan penguatan kelompok masyarakat yang bergerak di bidang 30 ekowisata (Komunitas Pariwisata Kapuas Hulu/KOMPAKH). Namun pengembangan ekowisata ini terkendala oleh infrastruktur yang belum memadai. 2. Pelaksanaan Konservasi di Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh Pelaksanaan konservasi di Aceh berbeda dengan di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh memberikan otonomi seluas-luasnya kepada pemerintah Aceh yang memungkinkan pemerintah Aceh (sebagai Provinsi) dan kabupaten/kota mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik. Bahkan pemerintah Aceh dapat juga melaksanakan sendiri kewenangan yang bersifat nasional seperti politik luar negeri, pertahanan, kemanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, maupun urusan tertentu dalam bidang agama. Pemerintah Aceh juga memiliki kewenangan dalam mengelola sumber daya alamnya, termasuk dalam melakukan konservasi. Bahkan dalam pasal 149 UU tersebut dinyatakan bahwa kewenangan tersebut merupakan hal yang wajib dilakukan oleh pemerintah Aceh. Namun dalam pelaksanaanya masalah konservasi ini seperti menjadi permasalahan tarik ulur kewenangan pusat dan daerah. Aceh adalah daerah yang memiliki kawasan hutan yang masih cukup luas di Pulau Sumatra. Ada sekitar 3,3 juta hektar (60 % dari luas wilayah Aceh) hutan di Aceh, yang di antaranya merupakan kawasan hutan tetap dengan komposisi hutan suaka alam dan hutan pelestarian alam seluas 899.451 ha, hutan lindung seluas 1.848.720,85 ha. Selain itu terdapat kawasan hutan lainnya dengan status areal penggunaan lain 31 (APL) seluas 2.219.588,64 ha. Di Aceh terdapat Kawasan Ekosistem Leuser, Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), dan sejumlah kawasan 30
Hasil wawancara dengan John Hasker (Kepala Bidang Teknis Konservasi Taman Nasional Balai Besar Taman Nasional Betung Kerihun) pada saat wawancara di Putusibau tanggal 22 Mei 2009 dan Rudi Zapariza (Forrest Officer) WWF-Indonesia West Kalimantan Program Putussibau Office tanggal 19 Mei 2009. 31 Data dari BPPHP (Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi) Wilayah I Banda Aceh tahun 2007.
15
lindung di daerah Ulu Masen yang mempunyai memiliki nilai konservasi tinggi. Kegiatan perlindungan sistem penyangga kehidupan dalam rangka konservasi di Aceh dilakukan melalui kebijakan moratorium logging (Instruksi Gubernur NAD No. 05/INSTR/2007). Kebijakan yang disusun pemerintah Aceh setelah mendeklarasikan Aceh Green Vision ini ada tiga program utama yang dilakukan, yaitu: a. melakukan penataan kembali hutan Aceh (redesign) melalui kegiatan (1) revisi rencana tata ruang Aceh, (2) peninjauan kembali status luas dan izin konsesi hutan, (3) rasionalisasi industri kayu sesuai dengan ketersediaan bahan baku, (4) pengembangan hasil hutan non kayu, (5) optimalisasi luas dan manfaat hutan konservasi, (6) penataan kembali lembaga dan tata hubungan kerja pengelolaan hutan Aceh. Untuk itu Pemerintah Aceh membentuk Tim Penyusunan Rencana Strategis Pengelolaan Hutan Aceh (SK Gubernur NAD No. 522.1/534/2007). b. menghutankan kembali kawasan hutan yang rusak (reforestasi) yaitu melalui rehabilitasi hutan dan lahan yang pelaksanaannya dengan melibatkan masyarakat (pengembangan hutan tanaman seperti HTI, HTR, Hutan Rakyat). Pendanaan program ini diupayakan dari berbagai sumber dana untuk Rehabilitasi Hutan dan Lahan seperti dari APBK (Anggaran Pendapatan Belanja Kabupaten), APBA (Anggaran Pendapatan Belanja Aceh), donor, dan Carbon Market. c. pengurangan laju kerusakan hutan (reduksi deforestasi) melalui pengembangan sistem pengamanan hutan yang efektif dan penegakan hukum secara konsisten. Untuk program ini pemerintah Aceh menambah jumlah jagawana, merekrut polisi hutan kontrak, dan menertibkan peralatan eksploitasi hutan. Namun ketiga program tersebut tidak berjalan dengan baik sehingga kebijakan moratorium logging tidak efektif bagi pelaksanaan konservasi sumber daya alam di Aceh. Hal ini terjadi karena beberapa hal. Pertama, tidak adanya aturan teknis dari kebijakan moratorium 32 logging telah menimbulkan banyak persepsi yang berbeda. Meskipun dalam Instruksi Gubernur tersebut telah disebutkan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh para Bupati/Walikota ataupun kepada masingmasing SKPA (Satuan Kerja Perangkat Aceh) untuk menindaklanjutinya. Namun pada kenyataannya setiap bupati ataupun SKPA memiliki 33 persepsi yang berbeda mengenai kebijakan moratorium logging. Akibat 32
Hasil wawancara dengan Dede Suhendra (Deputy Team Leader WWF – Indonesia Aceh Program BALEE PANDA) tanggal 28 Juli 2009 di Banda Aceh 33 Seperti dikemukakan Saminudin B. Tau (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh) pada wawancara tanggal 28 Juli 2009 bahwa moratorium logging merupakan upaya jeda tebang untuk hutan alam. Ini berarti hanya berlaku untuk penebangan pohon di hutan alam. Namun pada kenyataannya moratorium berlaku juga untuk hutan produksi. Seharusnya aturan ini tidak berlaku pada hutan produksi yang selama ini memasok kayu-kayu untuk kegiatan pembangunan, dan dalam hutan produksi ini pun ada aturan untuk melakukan penanaman
16
adanya ketidaksamaan persepsi ini telah menimbulkan beberapa kasus penangkapan terhadap warga masyarakat yang melakukan penebangan terhadap pohon dari kebun mereka sendiri. Bahkan ada yang ditangkap meskipun telah mendapatkan izin penebangan dari pemerintah daerah 34 setempat. Kedua, kebijakan moratorium logging tidak menetapkan rentang 35 waktu berlakunya kebijakan. Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan bagi para pemegang konsesi ataupun para investor yang ingin masuk ke Aceh. Beberapa bupati di Aceh pun tidak menyetujui dengan kebijakan moratorium logging yang tidak jelas sampai kapan diberlakukan. Hal ini menjadi permasalahan bagi daerah ketika mereka harus meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) nya untuk pembangunan di wilayahnya namun tidak bisa melakukan apa-apa atas wilayah hutannya. Jika hal ini tidak segera diselesaikan oleh Pemerintah Aceh, akan muncul konflik antara pemerintah provinsi dengan kabupaten, dan akibatnya kebijakan moratorium logging tidak dapat berjalan dengan efektif dan konservasi tidak berjalan. Untuk pelaksanaan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar beserta ekosistemnya yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah pusat melalui unit-unit pelaksana teknisnya juga tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Di Aceh terdapat 9 kawasan konservasi yaitu Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), suaka margasatwa Rawa Singkil, Taman Wisata Kepulauan Banyak, Taman Buru Lingga Isaq, Cagar Alam Pinus Jantho, Cagar Alam Serbajadi, Taman Wisata Pulau Weh dan Taman Laut Pulau Weh, Taman Hutan Raya Pocut Meurah Intan, hutan konservasi khusus untuk Pusat Latihan Gajah Aceh. Dari kesembilan kawasan konservasi tersebut, satu kawasan diserahkan pengelolaannya kepada Pemerintah Aceh yaitu Taman Hutan Raya Pocut Meurah Intan. TNGL pengelolaannya dilakukan oleh Balai Taman Nasional Gunung Leuser, dan sisanya pengelolaan dilakukan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh. Namun pelaksanaan konservasi di kawasan tersebut tidak dapat dilakukan
kembali hutan mereka. Selama hutan produksi dihijaukan kembali, seharusnya aturan moratorium logging tidak perlu diberlakukan pada hutan produksi. Tetapi karena moratorium logging diberlakukan untuk semua jenis hutan, padahal masyarakat masih tetap membutuhkan pasokan kayu untuk melakukan pembangunan, akibatnya masyarakat tetap melakukan illegal logging untuk memenuhi pasokan kayunya. Sementara menurut Badan Pengendalian Dampak LIngkungan Hidup (Bapedal) Aceh, seperti dikemukakan oleh Husaini Syamaun (Kepala Bapedal Aceh), moratorium logging tidak hanya berlaku di HPH, tetapi juga di lahan perkebunan. Dasar hukumnya selain Instruksi Gubernur tentang moratorium logging juga UU No. 11 Tahun 2006 Pasal 150 ayat (2). 34 Berdasarkan Instruksi Gubernur Aceh tentang Moratorium Logging, untuk penebangan yang berasal dari kebun masyarakat harus melalui mekanisme Izin Pemanfaatan Kayu Tanah Milik. Hal ini berarti ketika penebangan pohon tersebut setelah mendapat izin dari pemerintah daerah setempat, maka penebangan yang dilakukan legal/sah. 35 Dede Suhendra, Op.Cit.
17
secara maksimal karena keterbatasan dana dan sumber daya manusia. Seperti untuk kawasan Cagar Alam Pinus Jantho yang memiliki luas 16.640 ha hanya ada 3 polisi hutan yang menangani keamanan kawasan. Kemudian untuk Suaka Margasatwa Rawa Singkil dan Taman Wisata Kepulauan Banyak pengelolaannya berada di bawah satu seksi di BKSDA, yang personilnya hanya 3 orang. Selain karena keterbatasan dana dan sumber daya manusia, konservasi di Aceh juga terkendala oleh adanya konflik kewenangan dalam pengelolaan konservasi antara pemerintah Aceh dengan pemerintah pusat. Konflik kewenangan terjadi karena adanya konflik regulasi. Secara nasional dasar pelaksanaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya adalah UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Sebelum adanya otonomi khusus di Aceh, pelaksanaan konservasi dilaksanakan berdasarkan UU tersebut. Namun setelah adanya otonomi khusus, muncul konflik dalam pelaksanaan konservasi di Aceh, terutama di 36 Kawasan Ekosistem Leuser. Pada tahun 2009 ada pertemuan untuk mencari jalan tengah mengenai konflik regulasi ini, yaitu dengan melakukan harmonisasi kebijakan kehutanan pusat dan daerah untuk menyamakan persepsi tentang kewenangan-kewenangan kehutanan antara pusat dan daerah. Tapi isu-isu tentang kewenangan ini tidak bisa diselesaikan oleh tim harmonisasi. Tim harmonisasi beranggotakan pemerintah pusat dan daerah, dasarnya dalah Keputusan Menteri Kehutanan yang sudah habis masa kerjanya sejak 2008. Menurut pandangan pemerintah Aceh, sepertinya ada resistensi dari pemerintah pusat untuk menyerahkan kewenangan pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser kepada daerah sebagaimana dinyatakan dalam UU No. 11 Tahun 2006. Menurut pemerintah pusat, dalam penyerahan kewenangan pengelolaan
36
Kawasan Ekosistem Leuser adalah suatu kawasan yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1998 tentang Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser. Kawasan tersebut ditetapkan karena adanya dana dari yayasan internasional yang akan membantu pelaksanaan konservasi di kawasan Leuser. Kurang lebih 2/3 hutan Aceh masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser dan pemerintah pusat menugaskan Yayasan Leuser Internasional (YLI) untuk membantu pemerintah pusat melakukan konservasi di kawasan tersebut. Luasnya 1.190.000 ha dan di dalamnya terdapat Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Taman Nasional Gunung Leuser, Suaka Margasatwa Rawa Singkil, dan Cagar Alam Serbajadi) dan berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990 merupakan kewenangan pemerintah pusat. Tapal batas di Kawasan Ekosistem Leuser pun hingga saat ini tidak jelas. Tapal batas yang dibuat hanya merupakan batas untuk program dalam pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser, karena salah satu syarat pemberian dana untuk kawasan tersebut adalah adanya tapal batas kawasan. Tapal batas program tersebut kemudian ditetapkan oleh Menteri Kehutanan sebagai tapal batas Kawasan Ekosistem Leuser. Kesalahan ini terus berlanjut hingga keluarnya UU No. 11 Tahun 2006 yang menetapkan bahwa pengelolaan kawasan tersebut menjadi wewenang dari pemerintah Aceh.
18
Kawasan Ekosistem Leuser termasuk dalam kegiatan konservasi, harus 37 melalui suatu mekanisme. Terkait dengan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam dan ekosistemnya tidak terjadi di Aceh. Pembangunan ke arah ekowisata tidak dilakukan. Padahal Aceh memiliki potensi alam yang sangat memungkinkan untuk dikembangkan wisata alam, seperti Taman Buru Lingga Isaq, Taman Wisata Pulau Weh dan Taman Laut Pulau Weh, yang dari awal memang sudah dirancang sebagai tempat wisata alam. B. Kesejahteraan Masyarakat Sekitar Kawasan Konservasi Jika mengacu pada UU No. 5 Tahun 1990, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya salah satu tujuannya adalah untuk lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Seperti diketahui bahwa pengguna sumber daya alam Indonesia terdiri atas 38 pengguna skala kecil dan pengguna skala besar. Kegiatan konservasi seharusnya juga memperhitungkan pengguna sumber daya alam tersebut, terutama pengguna skala kecil yang sebagian besar hidup di dalam atau sekitar hutan dan kehidupannya sangat tergantung pada sumber daya alam. Berdasarkan penelitian di Aceh dan Kapuas Hulu, Kalimantan Barat terlihat bahwa konservasi lebih banyak diartikan secara sempit. Konservasi lebih dimaknai sebagai upaya melindungi dan mengawetkan sumber daya hayati dan ekosistemnya. Aspek pemanfaatan secara lestari terhadap kawasan konservasi seringkali terlupakan. Akibatnya masyarakat yang berada di sekitar atau di dalam kawasan konservasi tersingkirkan. Banyak kawasan konservasi yang di dalamnya terdapat masyarakat seperti di Taman Buru Lingga Isaq, Aceh. Terdapat dua kampung dalam kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi sejak tahun 1978. Kampung tersebut sudah ada jauh sebelum kawasan tersebut ditetapkan. Namun pemerintah tidak melakukan enclaving terhadap dua kampung tersebut. Akibatnya masyarakat tidak bisa melakukan budidaya di kawasan di mana mereka tinggal tersebut. Padahal BKSDA Aceh selaku pengelola Taman Buru tidak melakukan pengelolaan karena keterbatasan SDM dan dana. Kondisi seperti ini telah mendorong masyarakat mendesak pemerintah daerah untuk mengajukan pelepasan sebagian kawasan konservasi sebagai wilayah budidaya mereka. Kondisi seperti ini juga terjadi pada masyarakat di Kecamatan Leuser, Kabupaten Aceh Tenggara dan di Gayo Luwes. Keduanya berada di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Jika mengacu UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, melalui konsep ekoregion, UU tersebut 37 38
Saminudin B. Tau, op. cit. Charles Victor Barber, op.cit.
19
memberikan kepastian bahwa keberadaan masyarakat di kawasan konservasi atau di sekitar kawasan konservasi harus diperhatikan ketika akan dilakukan pengelolaan lingkungan hidup – termasuk ketika kegiatan penetapan suatu kawasan menjadi kawasan konservasi. Karena menurut 39 John (dkk) secara teori, pengelola kawasan konservasi dapat “berjalan sendiri” dan melindungi “kawasan tertutupnya” dari segala ancaman dan kerusakan yang tidak alami. Namun tanpa adanya dukungan dari masyarakat di sekitar kawasan tersebut, tidak ada kawasan konservasi yang akan terjamin dalam jangka panjang. Ada beberapa hal yang harus dipahami ketika suatu kawasan konservasi yang ditetapkan tumpang tindih dengan permukiman suatu 40 kelompok masyarakat (etnik tertentu) seperti yang terjadi di TNDS, TNBK, TNGL. Yang pertama adalah menghindari dilakukannya pemukiman kembali penduduk asli. Karena budaya asli akan tetap utuh hanya jika berada di wilayahnya sendiri. Kedua, kawasan konservasi harus cukup luas untuk menampung masyarakat setempat serta kemungkinan berkembangnya masyarakat tersebut dan untuk melindungi alamnya. Karena penetapan kawasan konservasi yang kurang luas hanya akan menyebabkan terjadinya proses devolusi dan degradasi ekologi bila penduduk asli tidak memiliki akses terhadap sumber daya yang mereka perlukan. Ketiga, perencanaan kawasan harus mengantisipasi pertambahan penduduk dan perubahan budaya masyarakatnya. Terakhir adalah mempekerjakan penduduk setempat sebagai penjaga kawasan. Ancaman terhadap keutuhan kawasan konservasi sebagian besar dari luar. Selama ini di sebagian besar taman nasional di Indonesia penjagaan kawasan dilakukan oleh pihak luar, yaitu oleh polisi hutan yang jumlahnya sangat terbatas sementara kawasan yang diawasinya sangat luas. Contoh di kawasan Cagar Alam Pinus Jantho (Kabupaten Aceh Besar) yang memiliki luas 16.640 ha hanya ada 3 polisi hutan. Kemudian di Suaka Margasatwa Rawa Singkil (Kabupaten Aceh Selatan) luasnya 102.500 ha dan Taman Wisata Kepulauan Banyak luasnya 41 227.500 ha hanya diawasi oleh 3 orang. Kesalahan lain yang terjadi dalam pelaksanaan konservasi adalah mempertentangkan konservasi dengan pembangunan. Hal ini terjadi karena konservasi hanya dimaknai sebagi upaya perlindungan dan pengawetan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Kesalahan kedua adalah konservasi lebih dimaknai sebagai kegiatan untuk menjaga
39
John dan Kathy Mackinon, Grahan Child dan Jim Thorsell, Pengelolaan Kawasan Yang Dilindungi di Daerah Tropika, alih bahasa Harry Harsono Amir, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1990, h. 133. 40 Ibid., h. 115 41 Hasil wawancara dengan Agus Yasin (Staf Bagian Konservasi) dan Muhammad Umar Said (Staf Bagian Evaluasi dan Pelaporan) BKSDA Aceh tanggal 28 Juli 2009 di Banda Aceh.
20
42
alam. Yoshiro Matsui menyatakan “that Environmental and Development can not subsists upon a deteriorating environmental resources base; the environment can not be protected when growth leaves out of account the costs of environmental destruction”. Pembangunan tidak boleh mempertentangkan antara perlindungan kelestarian lingkungan hidup dengan pembangunan. Karena dua hal tersebut saling berkaitan. Kesalahan ini yang terjadi di Aceh. Kegiatan konservasinya lebih dimaknai sebagai upaya perlindungan tanpa menyentuh upaya pemanfaatan sumber daya alam secara lestari. Terlihat dari kebijakan moratorium logging yang tidak dibarengi dengan kebijakan lebih lanjut mengenai bagaimana pemanfaatan secara lestari sumber daya alam. Seperti Ekowisata di Aceh belum menjadi hal yang utama untuk dikembangkan. IV. PENUTUP A. Kesimpulan Pelaksanaan konservasi di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat dan Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh, tidak berjalan seperti yang diharapkan UU No. 5 Tahun 1990. Konsep konservasi lebih dimaknai sebagai kegiatan perlindungan dan pengawetan terhadap sumber daya alam hayati yang ada. Akibatnya masyarakat yang ada jauh sebelum kawasan tersebut ditetapkan sebagai kawasan konservasi, seringkali dianggap pengganggu bagi kelestarian kawasan konservasi. Kearifan lokal dalam memanfaatkan hutan di sekitar mereka dan sudah berlangsung turun temurun seringkali terabaikan dari perhatian pemerintah. Hal lainnya adalah adanya kesalahan dalam memaknai desentralisasi dalam kebijakan otonomi daerah. Desentralisasi yang merupakan salah satu mekanisme untuk mendekatkan pemerintah dengan rakyatnya namun kebijakan ini ternyata membawa dampak negatif dalam pelaksanaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Pertama, munculnya konflik kewenangan antara pusat dan daerah dalam konservasi seperti yang terjadi di Aceh. Kedua, koordinasi antara pemerintah Provinsi dengan pemerintah kabupaten yang ada di wilayahnya lemah. Fungsi koordinasi menjadi sulit untuk dilakukan karena kebijakan otonomi daerah lebih dimaknai sebagai pemberian kewenangan dan kontrol politik yang lebih besar kepada pemerintah kabupaten daripada pemerintah Provinsi. Ketiga, pemerintah daerah menjadi kurang memperhatikan kepentingan masyarakat 42
Yoshiro Matsui, “The Road to Sustainable Development : Evolution of The Concept of Development in The UN” dalam Konrad Ginther, et.al (ed), Sustainable Development and Good Governance, Penerbit Martinus Nijhoff Publishers, London, 1994, h. 66
21
terutama masyarakat di sekitar hutan yang seringkali tersingkir ketika hutan di sekitar mereka ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Akibatnya kesejahteraan masyarakat sekitar hutan menjadi semakin menurun. B. Saran Melihat kenyataan ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya ke depan. Pertama, meluruskan kembali makna konservasi. Untuk itu perlu dilakukan sosialisasi kembali tentang apa yang dimaksudkan dengan konservasi agar konservasi tidak lagi dimaknai hanya melindungi dan mengawetkan sumber daya alam yang ada tetapi juga memanfaatkannya dengan lestari. Pemanfaatan secara lestari ini dapat membantu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan yang kehidupannya sangat tergantung pada hutan yang ada di wilayahnya. Kedua, memperjelas kewenangan dalam pelaksanaan konservasi. Pada hakekatnya pelaksanaan konservasi tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat saja tetapi juga merupakan tanggung jawab pemerintah daerah dan masyarakat. Kerjasama dan koordinasi antara pemerintah pusat, pemerintah Provinsi, ataupun pemerintah kabupaten sangat diperlukan. Pelibatan masyarakat dalam konservasi juga diperlukan. Kearifan lokal pun perlu diperhatikan. Dengan perbaikan dalam beberapa hal tersebut ke depan diharapkan konservasi dapat berjalan seperti yang diharapkan dalam UU No. 5 Tahun 1990, yaitu dapat menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem pengangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia, menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe ekosistemnya sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang memungkinkan bagi pemenuhan kebutuhan manusia yang menggunakan sumber daya alam hayati, serta mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumber daya alam hayati sehingga terjamin kelestariaannya.
22
Daftar Pustaka Buku Akhmad Fauzi, Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan : Teori dan Aplikasi, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004 A. Effendi Choiri, Privatisasi Versus Neososialisme Indonesia, Cetakan Pertama, Jakarta: LP3ES, 2003 Charles Victor Barber, Meluruskan Arah Pelestarian Keanekaragaman Hayati dan Pembangunan di Indonesia/Charles Victor Barber, Suraya Afiff, Agus Purnomo, Penerjemah : marina Malik, edisi ke-1, Jakarta : Yayasan Obor, 1997 Christine Daymone dan Immy Holloway, Metode –Metode Riset Kualitatif, penerjemah Cahya Wirtama, penyunting Santi Indra Astuti, Bentang, Yogyakarta, 2008 Colfer, C.J.P., Dahal, G.R. dan Capistrano, D. (penyunting), Pelajaran dari Desentralisasi Kehutanan : Mencari Tata Kelola yang Baik dan Berkeadilan di Asia-Pasifik, CIFOR, Bogor, Indonesia, 2009 Dicky. H (ed), Otonomi dan Lingkungan Hidup, Konphalindo, Jakarta, 2000 Eddy Manggopo Angi, Kebijakan Pemerintah Pusat di Bidang Konservasi dari Perspektif Daerah dan Masyarakat, Studi Kasus Kabupaten Kutai Barat, Kaltim, Center for Forestry Research (CIFOR), 2005. John dan Kathy Mackinon, Graham Child dan Jim Thorsell, Pengelolaan Kawasan Yang Dilindungi di Daerah Tropika, alih bahasa Harry Harsono Amir, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1990 Konrad Ginther, et.al (ed), Sustainable Development and Good Governance, Penerbit Martinus Nijhoff Publishers, London, 1994 Onrizal, et.all, Social and Environmental Issues of Danau Sentarum National Park, West Kalimantan¸ BIODIVERSITAS Volume 6 N0. 3 Juli 2005 Sutikno dan Maryunani, Ekonomi Sumber Daya Alam, Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, Malang, April 2006 Suparmoko, Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan (Suatu Pendekatan Teoritis), Edisi ke-3, BPFE – Yogyakarta, 1997 Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 20032020, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), 2003 Laporan Hasil Lokakarya ”Melestarikan Taman Nasional Danau Sentarum untuk Mencapai Kesejahteraan Ekonomi, Pemberdayaan Masyarakat Lokal, dan Keutuhan Ekologi” diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu, BKSDA Kalimantan Barat, Wetlands Internasional Indonesia Programme, dan Yayasan Konservasi Borneo tanggal 15 Oktober 2003 di Bogor
23
Makalah/artikel Sidik. M, Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Sebagai Pelaksanaan Desentralisasi (Antara Teori dan Aplikasinya di Indonesia), makalah seminar Setahun Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah di Indonesia, Yogyakarta, 13 Maret 2002.
Peraturan perundangan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Keputusan Bupati Kapuas Hulu No. 144 Tahun 2003 tentang Penetapan Kabupaten Kapuas Hulu Sebagai Kabupaten Konservasi. Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, Buku II Memperkuat Sinergi Antarbidang Pembangunan, Bab X Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Internet (Karya non-Individual) Taman Nasional Danau Sentarum, Kalimantan Barat, 3 Maret 2008 di http://ikanmania.wordpress.com/2008/03/03/taman-nasionaldanau-sentarum-kalimantan-barat/ Keanekaragaman Hayati dan Konservasinya di Indonesia, di http://endarwati.blogspot.com/2005/09/keanekaragaman-hayati-dan.html Keanekaragaman Sumber Daya Alam Hayati dan Konservasinya, http://hameedfinder.blogspot.com/2007/06/keanekaragaman-sumberdaya-alam-hayati.html
Internet (Karya Individual) Walhi, Kekerasan di Hutan : Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia, http://www.walhi.or.id/kampanye/konservasi/kekeras_hut_konser v_Ii_210103
24
HARMONISASI PENGATURAN KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN URUSAN DI BIDANG PENANAMAN MODAL Dian Cahyaningrum
1
Abstract Legal certainty is needed to increase investments. Therefore, the substances of the law which devide the roles of the central government and the regional government must be clearly and consistently made. This research found that Act Nr. 25, 2007, has not clearly devided authorities between the central government and regional goverment in border areas. Beside, there is no consistency between Act Nr. 25, 2007, and Act Nr. 32, 2004 in describing that authorities. One of crucial matters is in licencing. NTB and Kaltim Provinces have no licencing authority because it has been taken over by the central government. The writer argues the licencing authority should be given back to the regioal gevernment for a better licency process. In addition to this, Perpres on one roof or an integrated service must be immediately created. Abstrak Jaminan kepastian hukum diperlukan untuk meningkatkan penanaman modal. Untuk itu peraturan perundangundangan yang mengatur kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan urusan di bidang penanaman modal harus jelas dan harmonis. Namun, dari hasil penelitian hukum, tidak ada harmonisasi yang baik antara UU No. 25 Tahun 2997 dan UU No. 32 Tahun 2004 dalam mengatur kewenangan tersebut. UU No. 25 Tahun 2007 juga belum jelas mengatur kewenangan di wilayah perbatasan. Meskipun Pemprov memiliki kewenangan untuk mengeluarkan ijin penanaman modal yang menjadi ruang lingkupnya, beberapa provinsi seperti NTB dan Kaltim tidak memegang kewenangan perijinan sejak Keppres No. 29 Tahun 2007 dibentuk, karena ditarik ke pusat. Untuk itu, agar proses perijinan dapat dilakasanakan dengan baik maka kewenangan perijinan harus dikembalikan ke provinsi. Selain itu, 1
Peneliti Muda Bidang Hukum Ekonomi pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI), Sekretariat Jenderal DPR RI, alamat e-mail:
[email protected].
1
Perpres mengenai tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu juga harus segera dibentuk. Kata kunci: penanaman modal, kewenangan, ijin, pemerintah pusat, pemerintah daerah. I.
Pendahuluan
A. Latar Belakang Salah satu tujuan nasional sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) adalah memajukan kesejahteraan umum. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945 mengamanatkan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Agar dapat dimanfaatkan, sumber daya alam (natural resources) dan potensi ekonomi (economic potential) tersebut harus dikelola dengan baik. Untuk itu dibutuhkan aset, tidak hanya berupa dana ”segar” (fresh money) melainkan juga tekhnologi (technology), keterampilan (skill), dan sumber daya manusia (human resources). Keterbatasan aset yang dimiliki mendorong banyak negara termasuk Indonesia berupaya untuk meningkatkan penanaman modal dengan menarik penanam modal masuk ke negaranya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Usha Dar 2 dan Pratap K Dar sebagai berikut: ”Most developing countries today believe that it is not possible for them to achieve their development aspiration entirely on their own and therefore, need the cooperation of other relatively more developed countries. This cooperation may take the form direct investment or sharing of technical know how, skilled personal and management expertise”. 3 Di era globalisasi ekonomi seperti sekarang ini, upaya untuk menarik penanam modal tidaklah mudah karena Indonesia harus menghadapi persaingan ketat baik dalam tataran regional maupun
2
Sentosa Sembiring, Hukum Investasi, Cetakan Kedua, Edisi Revisi, Bandung: CV. Nuansa Aulia, Februari 2010, hal. 3-4 3 Globalisasi ekonomi dapat didefinisikan sebagai mendunianya kegiatan ekonomi dan keterikatan ekonomi. Kegiatan perekonomian tidak lagi mengenal batas kenegaraan, bukan lagi sekedar internasional tapi bahkan transnasional. Transnasionalisasi kegiatan perekonomian tersebut tidak hanya terbatas pada aspek perdagangan dan keuangan, melainkan meluas ke aspek produksi dan pemasaran, bahkan sumber daya manusia. Konsekuensi dari semua ini, perekonomian antar negara semakin berkaitan erat dengan peristiwa ekonomi di sebuah negara yang akan dengan cepat dan mudah merambah ke negara-negara lain (Dumairy, Perekonomian Indonesia, Jakarta: PT Erlangga. 1996, hal. 10).
2
internasional. Dalam persaingan tersebut, hal yang perlu diingat adalah bahwa sebelum melakukan penanaman modal, penanam modal biasanya akan mempertanyakan apakah yang diperoleh dari penanaman modal yang dilakukannya di kemudian hari. Terkait dengan pertanyaan tersebut, dalam bukunya ”International Finance & Global Investment”, Johannes Jutter menguraikan bahwa setiap penanam modal memerlukan ”perkiraan yang mendekati kepastian” untuk mendapatkan keuntungan 4 memadai. Ini berarti keuntungan menjadi tujuan utama seseorang menanamkan modalnya, oleh karenanya penanam modal akan berupaya menekan biaya sekecil mungkin untuk mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin. Sehubungan dengan perkiraan tersebut, meskipun Indonesia memiliki daya tarik berupa kekayaan alam yang berlimpah, sebagai negara berkembang Indonesia masih harus memperhatikan beberapa hal 5 untuk dapat menarik penanam modal dari negara maju, yaitu: 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat berubah dan dapat menjamin adanya kepastian hukum karena ketiadaan kepastian hukum akan menyulitkan perencanaan jangka panjang usaha mereka. 2. Prosedur perijinan yang tidak berbelit-belit yang dapat mengakibatkan high cost economy. 3. Jaminan terhadap investasi mereka dan proteksi hukum mengenai hak atas kekayaan milik investor. 4. Sarana dan prasarana yang dapat menunjang terlaksananya investasi mereka dengan baik, antara lain meliputi komunikasi, transportasi atau pengangkutan, perbankan, dan perasuransian. Beberapa hal tersebut menunjukkan bahwa peraturan yang memberikan jaminan kepastian hukum dan perijinan yang tidak berbelitbelit merupakan beberapa hal utama yang perlu mendapat perhatian untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif. Oleh karena itu, untuk mengatur masalah penanaman modal secara baik, diundangkan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang mulai berlaku pada tanggal 26 April 2007. UU ini dimaksudkan untuk menggantikan UU penanaman modal yang lama yaitu UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan UU No. 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, dan UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Dalam Penjelasan Umum UU No. 25 Tahun 2007 dijelaskan bahwa kedua UU penanaman modal tersebut perlu diganti karena didasarkan pada pertimbangan tidak 4
“Harlan Sumarsono, MIR, Perlu Tim Mempercepat Pengembangan Bisnis dan Investasi”, Suara Pembaruan, 28 November 2006. 5 Camelia Malik, ”Jaminan Kepastian Hukum dalam Kegiatan Penanaman Modal di Indonesia”, Hukum Bisnis, Volume 26-No. 4 Tahun 2007, hal. 16
3
sesuai lagi dengan tantangan dan kebutuhan untuk mempercepat perkembangan perekonomian nasional melalui konstruksi pembangunan hukum nasional di bidang penanaman modal yang berdaya saing dan berpihak kepada kepentingan nasional. Tidak seperti UU No. 1 Tahun 1967 dan UU No. 6 Tahun 1968 yang masih membedakan penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri, UU No. 25 Tahun 2007 tidak lagi membedakannya. UU No. 25 Tahun 2007 memberikan perlakuan yang sama (non diskriminasi) baik kepada penanam modal asing maupun penanam modal dalam negeri. Perlakuan yang sama (nondiskriminasi) tersebut dimaksudkan untuk menyesuaikan dan melaksanakan ketentuan dan/atau prinsip-prinsip yang ada dalam World Trade Organisation (WTO) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organisation, pada tanggal 24 November 1994. Adapun prinsip 6 nondiskriminasi dalam WTO tersebut adalah : 1) Prinsip most favoured nations (MFN). Prinsip ini menuntut perlakuan yang sama dari negara host country terhadap penanam modal dari negara asing yang satu dengan penanam modal dari negara asing lainnya, yaitu tidak membedakan asal negara penanam modal tersebut. 2) Prinsip national treatment. Prinsip ini mengharuskan negara penerima modal untuk tidak membedakan perlakuan antara penanam modal asing dan penanam modal dalam negeri di negara penerima modal tersebut. Dalam UU No. 25 Tahun 2007, prinsip-prinsip WTO tersebut diadopsi dan ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d UU No. 25 Tahun 2007. Untuk lebih jelasnya, Pasal 3 ayat (1) UU No. 25 Tahun 2007 menyebutkan: ”Penanaman modal diselenggarakan berdasarkan asas: a) kepastian hukum; b) keterbukaan; c) akuntabilitas; d) perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara; e) kebersamaan; f) efisiensi berkeadilan; g) berkelanjutan; h) berwawasan lingkungan; i) kemandirian; dan j) keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Selain mengadopsi prinsip-prinsip WTO, UU No. 25 Tahun 2007 yang terdiri dari 18 Bab dan 40 pasal juga mengatur berbagai masalah, diantaranya kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penanaman modal. Namun, kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang penanaman modal tersebut juga perlu memperhatikan UU tentang Pemerintahan Daerah yaitu UU No. 32 Tahun 2004 dan peraturan pelaksanaannya. Pengaturan kewenangan ini penting untuk memberikan kepastian siapa pihak yang berwenang untuk mengeluarkan ijin atas suatu kegiatan penanaman modal. 6
Keterangan pemerintah, Putusan Mahkamah Konstitusi RI, Nomor 21-22/PUU-V/2007 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4
Mengingat pentingnya jaminan kepastian hukum, maka peraturan perundang-undangan yang mengatur kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan urusan di bidang penanaman modal harus harmonis, tidak tumpang tindih baik secara vertikal (dengan aturan di atas/hirarkhis) maupun horisontal (dengan aturan yang setingkat). Sehubungan dengan hal ini maka sangat menarik untuk mengkaji dan menganalisis harmonisasi pengaturan kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan urusan di bidang penanaman modal dan kaitannya terhadap kewenangan pemberian ijin atas suatu kegiatan penanaman modal. B. Perumusan Masalah Salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan penanaman modal adalah memberikan jaminan kepastian hukum kepada para penanam modal. Untuk itu, pengaturan penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang penanaman modal dalam UU No. 25 Tahun 2007 dan UU No. 32 Tahun 2004 harus jelas dan harmonis. Ironisnya, meskipun kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan urusan di bidang penanaman modal telah diatur, kewenangan tersebut kurang dapat berjalan secara efektif dan efisien karena ada tarik menarik kepentingan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, di mana masing-masing merasa berkepentingan atas penanaman modal di daerah. Selain itu, hubungan dan koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah juga kurang berjalan dengan baik. Akibatnya, penanam modal banyak menghadapi kendala dalam membuka usaha di daerah, khususnya yang berkaitan dengan 7 proses pengurusan ijin usaha. Masalah lainnya, proses birokrasi di Indonesia masih dikenal sangat berbelit-belit dan memiliki biaya besar 8 sehingga banyak penanam modal yang akhirnya mengundurkan diri. Berbagai masalah tersebut menjadikan Indonesia menempati peringkat bawah dalam hal kemudahan berbisnis. Ini ditunjukkan oleh data yang dirilis oleh International Finance Corporation (IFC) pada tahun 2009, mengenai peringkat kemudahan berbisnis, di mana dari 183 negara di dunia yang terdiri dari negara maju dan negara berkembang, Indonesia menempati peringkat ke-122. Lebih lanjut, sebagaimana terungkap dalam hasil survei IFC pada tahun 2010, jika dibandingkan dengan negara-negara Association of South East Asia Nations (ASEAN) lainnya seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Vietnam,
7
Tulus Tambunan, ”Kendala Perijinan dalam Kegiatan Penanaman Modal di Indonesia dan Upaya Perbaikan yang Perlu Dilakukan Pemerintah”, Hukum Bisnis, op.cit., hal. 38. 8 Menjaring Investor dalam Satu Atap, http://www.wartaekonomi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=4318:menja ring-investor-dalam-satu-atap&catid=53:aumum, diakses tanggal 19 Maret 2010.
5
dalam hal kemudahan bisnis, Indonesia masih jauh di bawah negara9 negara tersebut. Untuk itu, melalui tulisan ini akan dikaji permasalahan: bagaimanakah harmonisasi pengaturan kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan urusan di bidang penanaman modal, dan bagaimana hubungannya terhadap kewenangan pemberian perijinan di bidang penanaman modal? Sehubungan dengan permasalahan tersebut, beberapa pertanyaan yang dapat diajukan adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pengaturan kewenangan antar tingkatan pemerintah (pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota) dalam penyelenggaraan urusan di bidang penanaman modal berdasarkan UU No. 25 Tahun 2007 dan UU No. 32 Tahun 2004, serta aturan pelaksananya (PP No. 38 Tahun 2007)? 2. Apakah peraturan perundang-undangan tersebut sudah cukup jelas mengatur kewenangan antar tingkatan pemerintah dalam menyelenggarakan urusan di bidang penanaman modal? 3. Apakah pihak yang memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan urusan di bidang penanaman modal juga memiliki kewenangan untuk mengeluarkan perijinan? 4. Bagaimana sistem yang diatur dalam UU No. 25 Tahun 2007 untuk mengeluarkan/memperoleh perijinan? C. Tujuan dan Kegunaan Kajian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji harmonisasi pengaturan kewenangan pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan dan pemberian ijin di bidang penanaman modal. Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai bahan masukan bagi DPR RI dalam melaksanakan fungsi legislasi dan fungsi pengawasan terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur kewenangan pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam menyelenggarakan urusan dan pemberian perijinan di bidang penanaman modal. D. Kerangka Pemikiran 1. Konsepsi Dasar Penanaman Modal Istilah investasi dan penanaman modal merupakan dua istilah yang cukup dikenal dalam kegiatan bisnis dan kegiatan perundangundangan. Istilah investasi lebih populer dalam dunia usaha, sedangkan istilah penanaman modal lebih banyak digunakan dalam bahasa 9
Ibid.
6
perundang-undangan. Di kalangan masyarakat luas, kata investasi memiliki pengertian yang lebih luas karena dapat mencakup baik investasi langsung (direct investment) maupun investasi tidak langsung (portofolio investment), sedangkan dalam penanaman modal lebih 10 mempunyai konotasi kepada investasi langsung. Berpijak pada pengertian tersebut maka kajian ini memakai istilah ”penanaman modal”, sebagaimana istilah ini juga digunakan dalam UU No. 25 Tahun 2007. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 25 Tahun 2007, yang dimaksud dengan penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia. Adapun yang dimaksud dengan modal adalah aset dalam bentuk uang atau bentuk lain yang bukan uang yang dimiliki oleh penanam modal yang mempunyai nilai ekonomis (Pasal 1 angka 7 UU No. 25 Tahun 2007). Berpijak pada pengertian tersebut, maka penanaman modal dalam UU No. 25 Tahun 2007 memiliki konotasi kepada bentuk investasi langsung. Dilihat dari sumber pembiayaan, penanaman modal dapat dibagi menjadi dua, yaitu: 1) penanaman modal dalam negeri adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri (Pasal 1 angka 2 UU No. 25 Tahun 2007); dan 2) penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri (Pasal 1 angka 3 UU No. 25 Tahun 2007). Adapun yang dimaksud dengan penanam modal dalam negeri adalah perseorangan warga negara Indonesia, badan usaha Indonesia, negara Republik Indonesia, atau daerah yang melakukan penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia (Pasal 1 angka 5 UU No. 25 Tahun 2007). Sedangkan yang dimaksud dengan penanam modal asing adalah perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing yang melakukan penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia (Pasal 1 angka 6 UU No. 25 Tahun 2007). Sebagaimana dikemukakan oleh Syafyuddin, penanaman modal asing secara langsung lebih disukai di negara tujuan karena memiliki beberapa kelebihan, yaitu sebagai sumber pendanaan bagi pemerintah, memiliki masa/jangka waktu yang relatif lama, modal yang ditanamkan besar, dan dapat menyerap tenaga kerja. Sedangkan bagi penanam modal, manfaat yang dapat diperoleh adalah penanam modal dapat
10
Abdul Manan, Aspek Hukum dalam Penyelenggaraan Investasi di Pasar Modal Syariah Indonesia, Cetakan ke-1, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009, hal. 183-184.
7
mengontrol atau setidaknya mempunyai pengaruh dalam manajemen 11 dan produksi perusahaan di luar negeri. Pakar lainnya, yaitu John W.Head juga mengemukakan ada 7 12 keuntungan yang dapat diperoleh dari penanaman modal asing yaitu: 1. menciptakan lapangan kerja bagi penduduk negara tuan rumah sehingga mereka dapat meningkatkan penghasilan dan standar hidup mereka; 2. menciptakan kesempatan penanaman modal bagi penduduk negara tuan rumah sehingga mereka dapat berbagi dari pendapatan perusahaan-perusahaan baru; 3. meningkatkan ekspor dari negara tuan rumah, mendatangkan penghasilan tambahan dari luar yang dapat dipergunakan untuk berbagai keperluan bagi kepentingan penduduknya; 4. menghasilkan pengalihan pelatihan teknis dan pengetahuan yang dapat digunakan oleh penduduk untuk mengembangkan perusahaan dan industri lain; 5. memperluas potensi keswasembadaan negara tuan rumah dengan memproduksi barang setempat untuk menggantikan barang impor; 6. menghasilkan pendapatan pajak tambahan yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan, demi kepentingan penduduk negara tuan rumah; 7. membuat sumber daya negara tuan rumah baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia, agar lebih baik pemanfaatannya daripada semula. 2. Teori Hirarki Peraturan Perundang-undangan Harmonisasi pengaturan kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan urusan di bidang penanaman modal dapat dijelaskan dengan teori tangga (stufen theory) dari Hans Kelsen. Relevansi dari penggunaan teori ini adalah teori ini menghendaki adanya keteraturan susunan norma hukum berdasarkan hirarki peraturan yang ada sehingga akan tercipta harmonisasi hukum yang akan memberikan jaminan kepastian hukum. Teori tangga (Stufen Theory) dari Hans Kelsen ini diilhami oleh pendapat dari muridnya yang bernama Adolf Merkl yang menyatakan bahwa suatu norma hukum selalu mempunyai dua wajah (Das Doppelte Rechstsanlitz), yaitu ke atas bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya dan ke bawah menjadi dasar dan menjadi sumber bagi norma hukum di bawahnya. Oleh karena itu, norma hukum mempunyai masa 11
Syafyuddin, ”Pengaruh Faktor-Faktor Penentu terhadap Investasi asing Langsung di Indonesia”, sebagaimana dikutip oleh Chitra Indah Yuliana, ”Anatomi Penanaman Modal Asing di Indonesia”, dalam Keterkaitan Antara Investasi dan Perdagangan, disunting oleh Latif Adam, Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2008, hal. 87. 12 John W. Head, ”Pengantar Umum Hukum Ekonomi”, dalam Hukum Investasi di Indonesia, Salim HS dan Budi Sutrisno, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2008, hal. 86-87.
8
berlaku yang relatif (rechtskracht). Artinya masa berlakunya norma hukum tergantung pada norma hukum yang ada di atasnya. Apabila norma hukum yang ada di atasnya dicabut atau dihapus maka norma13 norma hukum yang ada di bawahnya ikut tercabut atau terhapus pula. Berdasarkan pendapat dari Adolf Merkl, Hans Kelsen dalam bukunya yang berjudul ”General Theory of Law and State” menjelaskan mengenai teori tangga (stufen theory), yaitu norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hirarkhi tata susunan. Dalam tata susunan tersebut, suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif yang disebut dengan norma dasar (grundnorm). Norma dasar yang merupakan norma tertinggi dalam sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi. Norma dasar tersebut ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di bawahnya sehingga suatu 14 norma dasar itu dikatakan pre-supposed. Teori tangga dari Hans Kelsen ini kemudian dikembangkan oleh muridnya yang bernama Hans Nawiasky yang berpendapat bahwa selain norma hukum itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok. Hans Nawiasky mengelompokkan norma-norma hukum dalam suatu negara menjadi 15 empat kelompok besar yang terdiri dari: ”Kelompok I : Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara) Kelompok II : Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar/Pokok Negara) Kelompok III : Formell Gesets (Undang-undang ”formal”) Kelompok IV : Verordnung dan Autonome Satzung (Aturan Pelaksana dan Aturan Otonom)”. Berpijak pada teori tangga dari Hans Kelsen, maka dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan diatur mengenai jenis dan hierarkhi Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah; 13
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni-Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Empirik-Deskriptif, terjemahan Somardi, Rimdi Press, 1995 14 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya, Yogyakarta: Kanisius, 1998, hal. 25. 15 Ibid., hal. 27.
9
Peraturan Presiden; Peraturan daerah. Peraturan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf e UU No. 10 Tahun 2004 tersebut meliputi: a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur; b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota; c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya. Selain peraturan perundang-undangan tersebut, jenis peraturan perundang-undangan lain juga diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004). Sedangkan kekuatan hukum peraturan perundangundangan adalah sesuai dengan hierarkinya (Pasal 7 ayat (5) UU No. 10 Tahun 2004). d. e.
II. Metode Penelitian A. Waktu dan Tempat Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan menganalisis peraturan perundang-undangan yang mengatur kewenangan pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam menyelenggaraan urusan dan pemberian perijinan di bidang penanaman modal, dan pendapat serta pengalaman aparat dalam melaksanakan kewenangan tersebut. Penelitian hukum ini dilakukan di lokasi penelitian. Daerah yang menjadi lokasi penelitian adalah Mataram (Nusa Tenggara Barat/NTB) dilakukan tanggal 11-17 Mei 2009, Samarinda (Kalimantan Timur) dilakukan tanggal 15-21 Juni 2009, dan Batam (Kepri) dilakukan tanggal 2-8 Agustus 2009. Adapun alasan pemilihan daerah tersebut sebagai lokasi penelitian karena disinyalir memiliki prospek penanaman modal yang cukup bagus, selain juga kewenangan pemerintah (pusat dan daerah) dalam penyelenggaraan penanaman modal yang cukup menarik untuk diteliti. Kalimantan Timur merupakan wilayah perbatasan dengan Malaysia, yang memiliki prospek penanaman modal yang cukup bagus di bidang pertanian dan perkebunan. Batam telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagai salah satu kawasan industri terpadu terbesar di tanah air dan terdapat Badan Otorita Batam (Batam Industrial Development Authority/BIDA) yang juga mengelola penanaman modal di Batam. Sedangkan alasan pemilihan NTB didasarkan pada pertimbangan untuk perbandingan dengan dua lokasi penelitian lainnya, selain NTB juga memiliki prospek investasi yang bagus.
10
Beberapa instansi yang dikunjungi dalam penelitian ini adalah Pemerintah Daerah, Badan Penanaman Modal Daerah (BPMD), Otorita Batam di Kota Batam, dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO). B. Teknik Pengumpulan Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari hasil wawancara dengan para pihak (pejabat dan pegawai pemda; pejabat dan pegawai BPMD; pejabat Otorita Batam; dan pengusaha). Sedangkan data sekunder mencakup dokumen resmi, buku-buku, artikel, dan sebagainya. Data sekunder didapat dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Data sekunder yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peraturan perundang-undangan terkait antara lain UU No. 25 Tahun 2007, UU No. 32 Tahun 2004, PP No. 38 Tahun 2007, Keppres No. 29 Tahun 2004, buku-buku, dan berbagai data yang diakses dari internet. Penelitian hukum ini menggunakan alat pengumpulan data dalam bentuk studi dokumen atau bahan pustaka sebelum dan setelah penelitian dilakukan. Sedangkan di lokasi penelitian dilakukan wawancara atau interview dengan para pihak terkait berdasar pada pedoman wawancara yang telah disiapkan sebelumnya. C. Metode Analisis Data Metode yang digunakan untuk menganalisis data yang diperoleh dari hasil penelitian hukum ini adalah metode analisis kualitatif. Metode ini dilakukan dengan menginterpretasikan, menguraikan, menjabarkan, dan menyusun data yang terkumpul baik data primer maupun data sekunder secara sistematis logis sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan. III. Hasil Penelitian dan Pembahasan A. Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam Penyelenggaraan Urusan di Bidang Penanaman Modal Berdasarkan UU No. 25 Tahun 2007 dan UU No. 32 Tahun 2004 Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UUD Tahun 1945, “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik”. Namun, untuk memudahkan pelayanan publik demi mewujudkan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam beberapa daerah. Hal ini disebutkan dalam Pasal 18 ayat (1) UUD Tahun 1945, yaitu “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-
11
undang”. Lebih lanjut Pasal 18 ayat (2) UUD Tahun 1945 menyebutkan “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”. Selanjutnya dalam Pasal 18 ayat (5) UUD Tahun 1945 disebutkan “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluasluasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintahan”. Berdasarkan ketentuan tersebut, dalam rangka otonomi daerah, maka perlu ada pengaturan pembagian yang jelas dan tegas atas penyelenggaraan urusan pemerintahan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Salah satu urusan pemerintahan yang perlu diatur pembagiannya adalah urusan pemerintahan di bidang penanaman modal. Dalam UU No. 25 Tahun 2007, pembagian urusan di bidang penanaman modal ini telah diatur dalam Bab XIII tentang Penyelenggaraan Urusan Penanaman Modal, Pasal 30 yang berbunyi sebagai berikut: (1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menjamin kepastian dan keamanan berusaha bagi pelaksanaan penanaman modal. (2) Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan penanaman modal yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan penyelenggaraan penanaman modal yang menjadi urusan Pemerintah. (3) Penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang merupakan urusan wajib pemerintah daerah didasarkan kepada kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi pelaksanaan kegiatan penanaman modal. (4) Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas provinsi menjadi urusan Pemerintah. (5) Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas kabupaten/kota menjadi urusan pemerintah provinsi. (6) Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya berada dalam satu kabupaten/kota menjadi urusan pemerintah kabupaten/kota. (7) Dalam urusan pemerintahan di bidang penanaman modal, yang menjadi kewenangan Pemerintah adalah: a. penanaman modal terkait dengan sumber daya alam yang tidak terbarukan dengan tingkat risiko kerusakan lingkungan yang tinggi; b. penanaman modal pada bidang industri yang merupakan prioritas tinggi pada skala nasional; c. penanaman modal yang terkait pada fungsi pemersatu dan penghubung antarwilayah atau ruang lingkupnya lintas provinsi; d. penanaman modal yang terkait pada pelaksanaan strategi pertahanan dan keamanan nasional; e. penanaman modal asing dan penanam modal yang menggunakan modal asing, yang berasal dari pemerintah negara
12
lain, yang didasarkan perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah dan pemerintah negara lain; dan f. bidang penanaman modal lain yang menjadi urusan Pemerintah menurut undang-undang. (8) Dalam urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang menjadi kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Pemerintah menyelenggarakannya sendiri, melimpahkannya kepada gubernur selaku wakil Pemerintah, atau menugasi pemerintah kabupaten/kota. (9) Ketentuan mengenai pembagian urusan pemerintahan di bidang penanaman modal diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Mengacu pada pengaturan mengenai pembagian urusan pemerintahan di bidang penanaman modal dalam Pasal 30 UU No. 25 Tahun 2007, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan diantaranya UU No. 25 Tahun 2007 tidak mengatur secara khusus dan jelas kewenangan penanaman modal yang ada di daerah perbatasan. Akibatnya, multitafsir atas siapa pihak yang berwenang dan bertanggung jawab untuk mengurus penanaman modal di daerah perbatasan dimungkinkan terjadi. Hal tersebut dikemukakan oleh Sofian Noor bahwa ada perbedaan pendapat antara pemerintah daerah perbatasan dan pemerintah pusat mengenai kewenangan dan tanggung jawab penyelenggaraan urusan di bidang penanaman modal yang ada di daerah perbatasan Kalimantan Timur. Di satu sisi, pemerintah daerah perbatasan beranggapan penyelenggaraan penanaman modal di wilayah perbatasan tersebut merupakan kewenangan dan tanggung jawab pemerintah pusat karena berkenaan dengan masalah kedaulatan negara, apalagi Pasal 30 ayat (7) UU No. 25 Tahun 2007 mengatur penanaman modal yang berkaitan dengan pelaksanaan strategi pertahanan dan keamanan nasional menjadi kewenangan pemerintah pusat. Di sisi lain, pemerintah pusat beranggapan penyelenggaraan urusan di bidang penanaman modal di wilayah perbatasan Kalimantan Timur merupakan kewenangan dan tanggung jawab pemerintah daerah sehubungan 16 dengan adanya otonomi daerah. Ketidakjelasan aturan ini dapat mengakibatkan penanaman modal di wilayah perbatasan menjadi tidak terurus. Ini patut disayangkan, apalagi dalam diskusi Rapat Koordinasi “Pengamanan Wilayah Perbatasan” yang diselenggarakan oleh Biro Pusat Nasional (National Central Bureau/NCB) Interpol pada tanggal 12 Februari 2009 di Jakarta, terungkap ada dua masalah yang harus dihadapi dalam penanganan wilayah perbatasan, yaitu kesejahteraan masyarakat setempat 17 (prosperity) dan keamanan (security). Pengurusan penanaman modal 16
Wawancara dilakukan dengan Sofian Noor (Kepala Bidang Pengembangan, Badan Perijinan dan Penanaman Modal Daerah, Kalimantan Timur), di kantor Badan Perijinan dan Penanaman Modal Daerah (BPPMD), Kalimantan Timur pada tanggal 17 Juni 2009. 17 Kompas, “Pengamanan Kawasan Perbatasan Terbelenggu”, tanggal 13 Februari 2009. Rapat Koordinasi Pengamanan Wilayah Perbatasan yang diselenggarakan oleh Biro Pusat
13
secara baik diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat di wilayah perbatasan karena penanaman modal memiliki banyak manfaat. Untuk itu, pengaturan kewenangan pengurusan penanaman modal di daerah perbatasan sebaiknya diperjelas, misalnya dengan mengaturnya dalam bab tersendiri dalam UU No. 25 Tahun 2007 atau mengaturnya dengan Peraturan Pemerintah (PP). Hal lain yang perlu diperhatikan, meskipun Pasal 30 ayat (5) UU No. 25 Tahun 2007 memberi kewenangan kepada pemerintah provinsi untuk mengurus penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas kabupaten/kota, namun sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Sani, Kepala Bagian Hukum Pemda Provinsi Kalimantan Timur, antar pemerintah daerah kabupaten/kota di Kalimantan Timur cenderung untuk melakukan kerja sama guna mengelola penanaman 18 modal yang ruang lingkupnya lintas kabupaten/kota yang bersangkutan. Dari sisi yuridis, kerjasama antar pemda kabupetan/kota tersebut tidak dapat disalahkan karena dimungkinkan dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pengaturan ini dapat dilihat dalam Pasal 17 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 yang berbunyi sebagai berikut: “Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antar pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi: a. pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang menjadi kewenangan daerah; b. kerjasama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antar pemerintahan daerah; dan c. pengelolaan perijinan bersama dalam pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya”. Akibat dari pengaturan dan kerjasama tersebut adalah kewenangan pemda provinsi untuk mengurus penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas kabupaten/kota dapat tereduksi. Pemda provinsi juga akan kehilangan sumber pendapatan yang diperoleh dari penyelenggaraan urusan di bidang penanaman modal. Aturan lain dari UU No. 32 Tahun 2004 yang dirasa tidak sejalan dengan UU No. 25 Tahun 2007 adalah pengaturan pembagian kewenangan di bidang penanaman modal antara pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota. Tidak seperti UU No. 25 Tahun 2007 yang menyebutkan secara jelas kewenangan pemerintah pusat, UU No. 32 Tahun 2004 tidak menyebutkan secara eksplisit kewenangan pemerintah pusat dalam penyelenggaraan urusan di bidang penanaman modal. Pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 hanya menyebutkan bahwa urusan pemerintahan
Nasional (National Central Bureau/NCB) Interpol diselenggarakan tanggal 11-13 Februari 2009. 18 Wawancara dilakukan dengan Abdul Sani (Kepala Bagian Hukum Pemda Provinsi Kalimantan Timur), di kantor Pemda Provinsi Kalimantan Timur pada tanggal 16 Juni 2009.
14
yang menjadi urusan pemerintah pusat meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama. Sedangkan kewenangan pemerintah daerah provinsi sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (1) huruf n UU No. 32 Tahun 2004 adalah pelayanan administrasi penanaman modal baik yang berskala provinsi maupun yang lintas kabupaten/kota. Begitupula kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf n UU No. 32 Tahun 2004 adalah pelayanan administrasi penanaman modal yang berskala kabupaten/kota. Pengaturan kewenangan pemerintah daerah dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang hanya sebatas pelayanan administrasi tersebut tidak sejalan dengan Pasal 30 ayat (5) dan ayat (6) UU No. 25 Tahun 2007 yang mengatur pemintah daerah memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan urusan di bidang penanaman modal, di mana untuk pemerintah daerah provinsi ruang lingkupnya lintas kabupaten/kota, sedangkan untuk pemerintah daerah kabupaten/kota ruang lingkupnya berada dalam satu kabupaten/kota. Menurut Lalu Wira Pria S, kewenangan penyelenggaraan urusan penanaman modal dalam UU No. 25 Tahun 2007 mengandung pengertian yang lebih luas jika dibandingkan dengan pelayanan administrasi penanaman modal yang ada dalam UU No. 32 Tahun 2004. Penyelenggaraan urusan mencakup berbagai hal, termasuk pelayanan administrasi dan masalah perijinan penanaman modal. Ketidakjelasan pengaturan tersebut mengakibatkan pemerintah daerah kesulitan dalam menyusun kebijakan di bidang penanaman modal. Untuk itu, Lalu menyarankan agar pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah di bidang penanaman modal diatur lebih lanjut secara jelas dalam peraturan pemerintah yang menjadi aturan pelaksanaan dari 19 UU karena untuk mengubah UU membutuhkan waktu yang cukup lama. Dari pendapat Lalu, kesulitan pemerintah daerah dalam menyusun kebijakan di bidang penanaman modal yang disebabkan ketidakjelasan aturan dapat dimaklumi. Ini disebabkan berdasarkan teori tangga dan Pasal 7 ayat (5) UU No. 10 Tahun 2004 yang mengatur kekuatan hukum peraturan perundang-undangan, UU No. 25 Tahun 2007 dan UU No. 32 Tahun 2004 memiliki kekuatan hukum yang sama karena sama tingkatannya, oleh karenanya kedua UU tersebut harus dijadikan pedoman dalam menyelenggarakan urusan di bidang penanaman modal. Oleh karena itu, untuk memberikan jaminan kepastian hukum, pengaturan kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah di bidang penanaman modal yang ada dalam UU No. 32 Tahun 2004 perlu direvisi dan diharmoniskan dengan UU No. 25 Tahun 2007 yang menjadi sumber hukum peraturan perundang-undangan yang mengatur penanaman modal di Indonesia. 19
Wawancara dilakukan dengan Lalu Wira Pria S (Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat), di Fakultas Hukum Universitas Mataram, NTB pada tanggal 15 Mei 2009.
15
Untuk memberikan kejelasan, pemerintah telah menjabarkan lebih lanjut pengaturan kewenangan pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan di bidang penanaman modal dalam PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. PP ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan yaitu pada tanggal 9 Juli 2007. Berdasarkan Pasal 1 angka 5 PP No. 38 Tahun 2007, yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah fungsi-fungsi pemerintahan yang menjadi hak dan kewajiban setiap tingkatan dan/atau susunan pemerintahan untuk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi tersebut yang menjadi kewenangannya dalam rangka melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat. Dalam PP No. 38 Tahun 2007, penanaman modal merupakan salah satu bidang dari 31 bidang urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan {Pasal 2 ayat (4)}. Bidang penanaman modal selanjutnya dibagi dalam sub bidang, dan sub bidang tersebut dibagi lagi menjadi sub-sub bidang. Adapun sub bidang penanaman modal tersebut adalah sub bidang kebijakan penanaman modal dan sub bidang pelaksanaan kebijakan penanaman modal. Sub bidang kebijakan penanaman modal terdiri dari sub-sub bidang: kebijakan penanaman modal. Sedangkan sub bidang pelaksanaan kebijakan penanaman modal terdiri dari sub-sub bidang: kerjasama penanaman modal; promosi penanaman modal; pelayanan penanaman modal; pengendalian pelaksanaan penanaman modal; pengelolaan data dan sistem informasi penanaman modal; dan penyebarluasan, pendidikan dan pelatihan penanaman modal. Untuk lebih jelasnya, pembagian urusan pada sub-sub bidang penanaman modal antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan dapat dlihat dalam lampiran PP No. 38 Tahun 2007 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari PP No. 38 Tahun 2007. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) PP No. 38 Tahun 2007, pembagian urusan tersebut didasarkan pada kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. B. Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam Pemberian Ijin Kegiatan Penanaman Modal Pasal 25 ayat (4) UU No. 25 Tahun 2007 mengatur “perusahaan penanaman modal yang akan melakukan kegiatan usaha wajib memperoleh ijin sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan dari instansi yang memiliki kewenangan kecuali ditentukan lain dalam undang-undang”. Berpijak pada ketentuan tersebut, sebelum melakukan kegiatan penanaman modal, penanam modal harus mendapat ijin terlebih dahulu dari instansi yang berwenang. Ijin itu sendiri
16
memiliki arti yang sangat penting, sebagaimana dikemukakan oleh Y. Sri 20 Pudyatmoko sebagai berikut: “ijin seringkali mempunyai arti begitu penting bagi pemegangnya (pelaku kegiatan) dalam melakukan hubungan hukum baik dengan pemerintah maupun dengan pihak lain. Urgensi ijin yang dimaksud antara lain: sebagai landasan hukum untuk melakukan suatu kegiatan tertentu, sebagai instrumen untuk melindungi kepentingan, dan sebagai alat bukti jika ada klaim”. Terkait dengan perijinan, berpijak pada ruang lingkup kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan urusan di bidang penanaman modal sebagaimana 21 telah dijelaskan, PP No. 38 Tahun 2007 mengatur pemerintah pusat memiliki kewenangan pemberian ijin usaha kegiatan penanaman modal dan non perijinan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, yaitu: a) Penanaman modal terkait dengan sumber daya alam yang tidak terbarukan dengan tingkat resiko kerusakan lingkungan yang tinggi; b) Penanaman modal pada bidang industri yang merupakan prioritas tinggi pada skala nasional; c) Penanaman modal yang terkait pada fungsi pemersatu dan penghubung antar wilayah atau ruang lingkupnya lintas provinsi; d) Penanaman modal yang terkait pada pelaksanaan strategi pertahanan dan keamanan nasional; e) Penanaman modal asing dan penanam modal yang menggunakan modal asing, yang berasal dari pemerintah negara lain, yang didasarkan perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah dan pemerintah negara lain; dan f) Bidang penanaman modal lain yang menjadi urusan Pemerintah menurut UU. Sedangkan pemerintah daerah provinsi memiliki kewenangan pemberian ijin usaha kegiatan penanaman modal dan non perijinan yang menjadi kewenangan provinsi, yaitu penanaman modal yang bersifat lintas kabupaten/kota. Begitu pula pemerintah daerah kabupaten/kota juga memiliki kewenangan pemberian ijin usaha kegiatan penanaman modal dan non perijinan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota, yaitu penanaman modal yang ruang lingkupnya berada dalam satu kabupaten/kota. Dari pengaturan tersebut tampak bahwa pemegang kewenangan atas penyelenggaraan urusan suatu kegiatan penanaman modal secara otomatis juga memegang kewenangan untuk mengeluarkan perijinannya. Namun, sebagaimana dikemukakan oleh beberapa narasumber (Maimunah, Joko, dan Sofian Noor), wewenang perijinan yang telah didelegasikan kepada pemerintah daerah provinsi sejak adanya otonomi daerah yang ditandai dengan dibentuknya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah ditarik kembali ke pusat melalui 20
Sentosa Sembiring, Hukum Investasi, Cetakan Kedua Edisi Revisi, Bandung: CV. Nuansa Aulia, hal. 120. 21 Lihat sub bab III.A. yang mengkaji mengenai Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam Penyelenggaraan Urusan di Bidang Penanaman Modal.
17
Keputusan Presiden (Keppres) No. 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal dalam Rangka Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap. Dalam Keppres No. 29 Tahun 2004 diatur bahwa pelayanan persetujuan, perijinan dan fasilitas penanaman modal dalam rangka PMA dan PMDN dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), berdasarkan pelimpahan kewenangan dari Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen yang membina bidang-bidang usaha penanaman modal yang bersangkutan melalui sistem pelayanan satu atap (Pasal 3). Gubernur/Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya dapat melimpahkan kewenangan pelayanan persetujuan, perijinan dan fasilitas penanaman modal kepada BKPM melalui sistem pelayanan satu atap (Pasal 4). Sejak keluarnya Keppres No. 29 Tahun 2004, Provinsi NTB dan Kaltim sudah tidak memegang kewenangan perijinan (ijin prinsip) penanaman modal lagi. Provinsi hanya berfungsi melakukan promosi dan pembinaan terhadap 22 penanaman modal yang ada di daerahnya. Menurut Joko, alasan penarikan wewenang perijinan tersebut adalah adanya anggapan prosedur perijinan di daerah berbelit-belit dan membutuhkan biaya tinggi, padahal menurut Joko biaya akan lebih tinggi jika ijin diurus di pusat karena penanam modal harus datang dari daerah 23 ke pusat untuk mengurus ijin. Berbeda dengan Joko, Maimunah menerangkan bahwa penarikan wewenang perijinan tersebut disebabkan 24 adanya anggapan daerah kurang berkoordinasi dengan pusat. Ironisnya, sebagaimana dikemukakan oleh Joko, pemerintah pusat tidak pernah melibatkan daerah dalam proses mengeluarkan ijin prinsip penanaman modal setelah kewenangan tersebut ada di pusat. Daerah hanya menerima tembusan ijin prinsip yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, tanpa melalui prosedur yang diharapkan yaitu dilibatkan dan diinformasikan mengenai setiap keputusan yang akan diambil oleh pemerintah pusat. Perlakuan ini tidak sama dengan Bali, dimana pemerintah pusat sebelum mengeluarkan ijin, menginformasikan terlebih dahulu ke Pemerintah Daerah Provinsi Bali. Selanjutnya akan dilakukan peninjauan lapangan dan jika semua tidak ada masalah, 25 barulah ijin prinsip dikeluarkan. Ini berarti ada diskriminasi perlakuan antara Pemerintah Daerah Provinsi NTB dan Pemerintah Daerah 22
Beberapa narasumber tersebut adalah Maimunah (Kepala Bidang Pengendalian dan Pengawasan Penanaman Modal, Badan Penanaman Modal Daerah (BPMD), NTB), wawancara dilakukan pada tanggal 13 Mei 2009; Joko (kepala bidang perijinan, BPMD, NTB), wawancara dilakukan pada tanggal 13 Mei 2009; dan Sofian Noor (Kepala Bidang Pengembangan, Badan Perijinan dan Penanaman Modal Daerah Kalimantan Timur), wawancara dilakukan pada tanggal 17 Juni 2009. 23 Wawancara dilakukan dengan Joko (Kepala Bidang Perijinan, BPMD, NTB), di kantor BPMD, NTB pada tanggal 13 Mei 2009. 24 Wawancara dilakukan dengan Maimunah (Kepala Bidang Pengendalian dan Pengawasan Penanaman Modal, BPMD, NTB), di kantor BPMD, NTB pada tanggal 13 Mei 2009 25 Wawancara dilakukan dengan Joko, op.cit.
18
Provinsi Bali, di mana perbedaan perlakuan tersebut tentu saja bertentangan dengan asas perlakuan yang sama sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 25 Tahun 2007. Penarikan wewenang perijinan pemerintah daerah provinsi ke pusat membawa implikasi timbulnya ketidakpastian hukum dan kebingungan bagi penanam modal. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Duta Besar Jerman untuk Indonesia, DR. Morbert Baas dalam pertemuannya dengan Ketua DPD RI, Iman Gusman di ruang kerja Ketua DPD RI di Jakarta pada tanggal 22 Juni 2010. Menurut Mobert Baas, dalam perijinan penanaman modal di Indonesia, masih terjadi dualisme perijinan antara yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Akibatnya, penanam modal Jerman masih merasa bingung jika hendak menanamkan modalnya di daerah di Indonesia, karena jika bertanya kepada pemerintah pusat disebutkan bahwa ijinnya di pusat, sebaliknya jika bertanya kepada pemerintah daerah maka dikatakan bahwa ijinnya ada di daerah. Menanggapi masalah tersebut, Iman Gusman mengemukakan bahwa hal itu menunjukkan pelaksanaan desentralisasi masih setengah hati. Kewenangan perijinan sebenarnya sudah berada di pemerintah daerah, namun nyatanya masih berada 26 pada BKPM. Ditariknya wewenang perijinan pemerintah daerah provinsi ke pusat sedikit banyak juga mempengaruhi efektifitas fungsi pengawasan pemerintah daerah provinsi terhadap kegiatan penanaman modal di daerahnya. Dalam rangka melaksanakan pengawasan, pemerintah daerah provinsi hanya dapat membina dan menegur penanam modal yang melakukan pelanggaran. Pemerintah daerah provinsi tidak dapat mencabut ijin penanam modal yang melakukan pelanggaran secara langsung, melainkan hanya melaporkannya ke pusat bahwa perusahaan/penanam modal yang bersangkutan melakukan pelanggaran dan mengusulkan/meminta pemerintah pusat untuk meninjau kembali 27 perijinan perusahaan/penanam modal yang bersangkutan. Untuk itu, beberapa narasumber (Joko dan Soofian Noor) menghendaki wewenang perijinan sebaiknya dikembalikan ke pemerintah daerah provinsi. Selain untuk efektifitas dan efisiensi pengawasan kegiatan penanaman modal, pengembalian wewenang perijinan ke pemerintah daerah provinsi dapat menekan biaya pengurusan ijin karena dekat dengan lokasi usaha sehingga penanam 28 modal tidak perlu pergi ke pusat. Dari sisi yuridis, pengembalian kewenangan perijinan ke pemerintah daerah provinsi memang beralasan. 26
“Dubes Jerman Minta Perijinan Investasi di Indonesia Dipermudah”, http://www.depkominfo.go.id/berita/bipnewsroom/dubes-jerman-minta-perijinan-investasi-diindonesia-dipermudah/, diakses tanggal 27 September 2010. 27 Ibid. 28 Wawancara dilakukan dengan Joko (Kepala Bidang Perijinan, BPMD, NTB), di kantor BPMD, NTB pada tanggal 13 Mei 2009 dan Sofian Noor (Kepala Bidang Pengembangan, Badan Perijinan dan Penanaman Modal Daerah Kalimantan Timur), wawancara dilakukan pada tanggal 17 Juni 2009.
19
Berdasarkan teori tangga dari Hans Kelsen, penarikan wewenang perijinan dari pemerintah daerah provinsi ke pemerintah pusat sebenarnya tidak dapat dibenarkan karena Keppres No. 29 Tahun 2004 kedudukannya lebih rendah dari UU No. 25 Tahun 2007, oleh karenanya tidak boleh bertentangan dengan UU tersebut. Dengan demikian, pemerintah daerah provinsi memiliki kewenangan untuk mengeluarkan perijinan penanaman modal yang menjadi ruang lingkupnya, yaitu penanaman modal lintas kabupaten/kota. Berdasarkan Pasal 25 ayat (5) UU No. 25 Tahun 2007, proses perijinan tersebut dilakukan melalui sistem pelayanan terpadu satu pintu. Adapun yang dimaksud dengan pelayanan terpadu satu pintu adalah kegiatan penyelenggaraan suatu perijinan dan nonperijinan yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perijinan dan nonperijinan yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat (Pasal 1 angka 10 UU No. 25 Tahun 2007). Terkait dengan pelayanan terpadu satu pintu, selaras dengan kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan di bidang penanaman modal, dalam Lampiran PP No. 38 Tahun 2007 diatur bahwa pemerintah pusat memiliki kewenangan mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal. Pemerintah pusat juga memiliki kewenangan melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu berdasarkan pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang menjadi kewenangan 29 Pemerintah Sedangkan di tingkat daerah, pemerintah daerah provinsi memiliki kewenangan mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayananan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal yang bersifat lintas kabupaten/kota berdasarkan pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal yang ditetapkan oleh Pemerintah. Pemerintah daerah provinsi juga memiliki wewenang melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu berdasarkan pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang menjadi kewenangan 30 provinsi. Adapun pemerintah daerah kabupaten/kota memiliki wewenang untuk mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal 29
Lampiran PP No. 38 Tahun 2007, bidang penanaman modal, sub bidang: pelaksanaan kebijakan penanaman modal, sub-sub bidang: pelayanan penanaman modal. 30
Ibid
20
yang menjadi kewenangan kabupaten/kota berdasarkan pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal yang ditetapkan oleh Pemerintah. Pemerintah daerah kabupaten/kota juga memiliki wewenang untuk melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu berdasarkan pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan 31 perizinan dan nonperizinan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota. Berdasarkan Pasal 26 ayat (2) UU No. 25 Tahun 2007, pelayanan terpadu satu pintu dilakukan oleh lembaga atau instansi yang berwenang di bidang penanaman modal yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perijinan dan non perijinan di tingkat pusat atau lembaga atau instansi yang berwenang mengeluarkan perijinan dan non perijinan di provinsi atau kabupaten/kota. Merujuk pada Pasal 28 ayat (1) UU No. 25 Tahun 2007, lembaga atau instansi yang ditunjuk untuk mengkoordinasikan dan melaksanakan tugas pelayanan terpadu satu pintu adalah Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Terkait dengan BKPM, menurut Joko, yang menjadi masalah adalah nomenklaturnya yaitu di suatu kabupaten/kota, ada Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) yang berdiri sendiri, ada yang di bawah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), dan juga ada yang di bawah pemda bagian ekonomi. Akibatnya, cukup sulit 32 untuk melakukan pembinaan terhadap BKPMD. Berdasarkan Pasal 26 ayat (3) UU No. 25 Tahun 2007, tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu perlu diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden (Perpres). Namun, sampai dengan penelitian ini dilakukan, Perpres dimaksud belum terbentuk. Akibatnya, sebagaimana dijelaskan oleh Joko dan Sofian Noor, BPMD di Provinsi NTB dan Kaltim belum melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu, 33 dengan alasan menunggu Perpres tersebut terbentuk terlebih dahulu. Berbeda dengan NTB dan Kaltim, sebagaimana dikemukakan oleh Hercules, Badan Penanaman Modal (BPM) Batam telah melaksanakan pelayanan terpadu sejak tahun 2001 dan selalu melakukan perbaikan terhadap pelayanan tersebut. BPM Pemkot Batam juga tidak memiliki 34 kendala dalam melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu. Selain belum terbentuknya Perpres, belum dilaksanakannya pelayanan terpadu satu pintu di Provinsi NTB dan Kaltim dapat dipahami karena kedua provinsi tersebut tidak memegang kewenangan untuk mengeluarkan perijinan sejak ditariknya kewenangan tersebut ke pusat melalui Keppres No. 29 Tahun 2004. Ini berbeda dengan Batam, sebagaimana dikemukakan oleh Tri Novianta Putra, kewenangan 31
Ibid Wawancara dilakukan dengan Joko, op.cit. Wawancara dilakukan dengan Joko dan Sofian Noor, op.cit. 34 Wawancara dilakukan dengan Hercules (Pegawai Badan Penanaman Modal Pemkot Batam) di Pemda Provinsi Batam pada tanggal 17 Juni 2009. 32 33
21
35
perijinan penanaman modal di Batam dipegang oleh Otorita Batam. Untuk itu, agar penanaman modal dapat dilaksanakan dengan baik, selain Perpres tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu perlu segera dibentuk, UU N 25 Tahun 2007 juga perlu dilaksanakan secara konsisten diantaranya dengan mengembalikan kewenangan pemerintah daerah provinsi dalam memberikan perijinan penanaman modal sesuai dengan ruang lingkupnya. IV. Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan Peraturan perundang-undangan yang saat ini mengatur penanaman modal adalah UU No. 25 Tahun 2007, yang diantaranya mengatur masalah kewenangan pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan di bidang penanaman modal. UU No. 25 Tahun 2007 belum mengatur secara jelas kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan urusan di bidang penanaman modal di wilayah perbatasan sehingga muncul multitafsir terkait dengan siapa pihak yang berwenang untuk mengurus penanaman modal di wilayah tersebut. Ini menjadi salah satu penyebab penanaman modal di wilayah perbatasan menjadi tidak terurus. Selain itu juga belum ada harmonisasi yang baik antara UU No. 25 Tahun 2007 dengan UU No. 32 Tahun 2004 dalam mengatur kewenangan penyelenggaraan urusan di bidang penanaman modal. UU No. 32 Tahun 2004 memungkinkan antar pemerintah daerah kabupaten/kota untuk bekerjasama mengurus penanaman modal dalam ruang lingkup lintas kabupaten/kota yang bersangkutan, padahal berdasarkan UU No. 25 Tahun 2007 kewenangan untuk mengurus penanaman modal dalam ruang lingkup tersebut ada di pemerintah daerah provinsi. UU No. 32 Tahun 2004 mengatur pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota hanya memiliki kewenangan melakukan pelayanan administrasi penanaman modal, sedangkan kewenangan yang diatur dalam UU No. 25 Tahun 2007 lebih luas yaitu penyelenggaraan urusan di bidang penanaman modal, di mana untuk provinsi ruang lingkupnya lintas kabupaten/kota dan untuk kabupaten/kota ruang lingkupnya di kabupaten/kota yang bersangkutan. Konsekuensi dari kewenangan penyelenggaraan urusan di bidang penanaman modal adalah pihak yang berwenang menyelenggarakan urusan juga berwenang mengeluarkan perijinan melalui sistem pelayanan terpadu satu pintu. Namun Keppres No. 29 Tahun 2004 telah menarik kewenangan perijinan pemerintah daerah provinsi ke pusat. Penarikan ini tidak dapat dibenarkan karena 35
Wawancara dilakukan dengan Tri Novianta Putra (Marketing Manager, Badan Otorita Batam, Batam) di Badan Otorita batam pada tanggal 18 Juni 2009.
22
bertentangan dengan UU No. 25 Tahun 2007. Penarikan tersebut juga membawa dampak buruk, yaitu pengawasan penanaman modal yang dilakukan oleh pemerintah daerah provinsi menjadi kurang efektif dan biaya pengurusan perijinan menjadi mahal. B. Rekomendasi Untuk memberikan jaminan kepastian hukum, masalah penanaman modal harus diatur secara jelas dalam peraturan perundangundangan. Untuk itu, pengaturan kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan urusan di bidang penanaman modal di wilayah perbatasan harus diperjelas, misalnya dengan mengaturnya dalam bab tersendiri dalam UU No. 25 Tahun 2007 atau mengaturnya dalam PP. Pengaturan kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan urusan di bidang penanaman modal dalam UU No. 32 Tahun 2004 juga perlu diharmoniskan dengan UU No. 25 Tahun 2007 yang menjadi sumber hukum peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah penanaman modal. Selain itu wewenang provinsi di bidang penanaman modal yang telah ditarik ke pusat melalui Keppres No. 29 Tahun 2004 juga perlu dikembalikan sesuai dengan UU No. 25 Tahun 2007. Perpres yang mengatur mengenai pelayanan terpadu satu pintu juga perlu segera dibentuk agar dapat dijadikan pedoman yang baik dalam melakukan pelayanan terhadap perijinan penanaman modal.
23
DAFTAR PUSTAKA Buku: Abdul Manan, Aspek Hukum dalam Penyelenggaraan Investasi di Pasar Modal Syariah Indonesia, Cetakan ke-1, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009. Dumairy, Perekonomian Indonesia, Jakarta: PT Erlangga, 1996. Hans Kelsen, Teori Hukum Murni-Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Empirik-Deskriptif, terjemahan Somardi, Rimdi Press, 1995 Keterkaitan Antara Investasi & Perdagangan, Latif Adam (Penyunting), Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2008. Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya, Yogyakarta: Kanisius, 1998. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Nomor 21-22/PUUV/2007 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salim HS dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008. Sentosa Sembiring, Hukum Investasi, Cetakan Kedua, Edisi Revisi, Bandung: CV. Nuansa Aulia, Februari 2010. Surat Kabar dan Majalah Harlan Sumarsono, MIR, Perlu Tim Mempercepat Pengembangan Bisnis dan Investasi, Suara Pembaruan, 28 November 2006. “UU PM No. 25/2007: Globalisasi Investasi”, Hukum Bisnis, Volume 26No.4-Tahun 2007. “Pengamanan Kawasan Perbatasan Terbelenggu”, Kompas, tanggal 13 Februari 2009. Internet “Dubes Jerman Minta Perijinan Investasi di Indonesia Dipermudah”, http://www.depkominfo.go.id/berita/bipnewsroom/dubes-jermanminta-perijinan-investasi-di-indonesia-dipermudah/, diakses tanggal 27 September 2010. ”Menjaring Investor dalam Satu Atap”, http://www.wartaekonomi.com/index.php?option=com_content&vi ew=article&id=4318:menjaring-investor-dalam-satuatap&catid=53:aumum, diakses tanggal 19 Maret 2010. “Sekilas WTO”, http://www.binadesa.or.id/index2.php?option=com_content&do_p df=1&id=158, diakses tanggal 4 September 2010
24
Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Keppres No. 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal dalam Rangka Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap. Narasumber: 1. Abdul Sani (Kepala Bagian Hukum, Pemda Provinsi Kalimantan Timur). 2. Joko (kepala bidang perijinan, Badan Penanaman Modal Daerah, Nusa Tenggara Barat). 3. Lalu Wira Pria S (Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat). 4. Maimunah (Kepala Bidang Pengendalian dan Pengawasan Penanaman Modal, Badan Penanaman Modal Daerah, Nusa Tenggara Barat) 5. Sofian Noor (Kepala Bidang Pengembangan, Badan Perijinan dan Penanaman Modal Daerah, Kalimantan Timur). 6. Tri Novianta Putra (Marketing Manager, Badan Otorita Batam, Batam) 7. Hercules (Pegawai Badan Penanaman Modal Pemkot Batam)
25