MASA DEPAN BISNIS TNI
Henwira Halim (Peneliti LESPERSSI) Era reformasi telah bergulir selama satu dekade sejak jatuhnya rezim Suharto pada 21 Mei 1998, namun harapan tinggi yang menyertai perubahan politik sejauh ini masih belum terwujudkan. Korupsi yang masih merajalela dan minimnya mekanisme untuk menghadapinya telah membuat Indonesia terpuruk. Perumusan kebijakan publik dan strategis pun menjadi kacau-balau dengan adanya berbagai konflik kepentingan yang mendominasi politik dan perekonomian nasional. Perlawanan terhadap korupsi dan konflik kepentingan hanya bisa dilakukan dengan adanya penegakan hak-hak asasi manusia, supremasi sipil, independensi sistem peradilan dan profesionalitas aparat negara seperti TNI dan Polri. Dalam hal menyangkut TNI, sebuah institusi yang dianggap sebagai yang terkuat di Indonesia, selama ini peran yang dimilikinya luar biasa besar bukan hanya pada sektor pertahanan, melainkan juga pada sektor keamanan, politik, sosial dan ekonomi. Peran sosial politik TNI memang telah banyak berkurang semenjak 1998, tetapi kehadiran TNI dalam sektor perekonomian melalui ribuan unit bisnisnya masih merupakan sebuah “cermin kedigdayaan institusi militer di segala aspek kehidupan bernegara”1. UU 34/2004 tentang TNI telah mewajibkan pemerintah untuk meniadakan bisnis militer paling lambat 5 tahun setelah akhir 2004, namun pada kenyataannya kemajuan dalam peniadaan bisnis militer masih sangat terbatas. Itulah sebabnya permasalahan ini harus diselesaikan secara segera dan menyeluruh karena distorsi yang disebabkan bisnis TNI tidak dapat ditolerir terlalu lama dalam keadaan perekonomian nasional yang memburuk. Meskipun demikian haruslah diingat bahwa bisnis TNI hanyalah merupakan satu dari sekian banyak distorsi yang disebabkan oleh penyelenggaraan negara yang korup dan tidak bertanggungjawab, namun bisnis TNI memiliki implikasi yang terbesar karena posisi TNI dalam politik Indonesia dan kewenangannya untuk menggunakan kekerasan. Kehadiran militer yang memiliki kewenangan menggunakan kekerasan dan seringkali berada di luar hukum jelas telah membuat sistem perekonomian nasional menjadi kacaubalau. Selain menjadi rekanan favorit bagi para pengusaha sebagai sarana perlindungan maupun sebagai sarana bermain curang, militer juga menjadi akses untuk mendapatkan perizinan atau penggunaan fasilitas negara. Banyak sekali perusahaan swasta yang ingin 1
S. Yunanto & Ali A. Wibisono, “Quo Vadis Proses Pengambilalihan Bisnis TNI”; in Beni Sukadis & Eric Hendra (ed), Menuju TNI yang Profesional: Restrukturisasi Bisnis TNI , Jakarta: Lesperssi 2005.
1
mencari untung lebih memanfaatkan kerjasama dengan koperasi atau yayasan milik militer untuk menakut-nakuti atau memaksakan kepentingan mereka. Seringkali nama koperasi atau yayasan militer digunakan untuk memenangkan lelang atau mendapatkan perizinan, dan juga agar tidak ada pihak yang berani mengganggu.
Bahkan jika usaha dilakukan
diatas lahan militer, hampir dipastikan tidak memerlukan persetujuan atau izin. Berbagai kasus pembalakan liar, pencurian ikan, penyelundupan dan pembebasan lahan secara paksa pun selalu melibatkan personel TNI. Di luar itu masih ada banyak lagi kegiatan bisnis jasa gelap yang melibatkan personel TNI di luar tugasnya seperti jasa pengamanan, pengawalan, penagihan dan bahkan pembunuh bayaran2. Mentalitas prajurit pun jadi hancur akibat praktek penyediaan jasa gelap yang telah berlangsung terlalu lama, sehingga banyak prajurit yang nekad ikut serta dalam berbagai tindak kriminal seperti perampokan bank, nasabah bank, mobil pengantar uang dan sampai perampasan barang3. Dampak kumulatif kehadiran militer dalam bisnis baik secara formal, informal dan ilegal4 jelas membuat perekonomian nasional rusak karena menimbulkan persaingan yang tidak sehat dan tidak kompetitif, dan menimbulkan gangguan keamanan yang sangat serius. Disahkannya UU 34/2004 tentang TNI memang sempat membawa angin segar dalam upaya menjadikan TNI sebagai militer profesional. Namun, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tampaknya tidak serius dalam menjalankan amanat dalam pasal 76 (1) yang mewajibkan bisnis militer dialihkan ke negara selambatnya tahun 2009. Keputusan Presiden (Keppres) No. 7/2008 tentang Tim Nasional Pengalihan Aktifitas Bisnis TNI (TNPAB) baru disahkan 16 April 2008 atau hampir 4 tahun sejak UU 34/2004 disahkan (dan 1 tahun sebelum tenggat waktu 2009). Selama ini pendataan bisnis militer telah dijalankan oleh Tim Verifikasi Bisnis TNI sejak 2005 dan dilanjutkan oleh Tim Supervisi Transformasi Bisnis TNI (TSTB), namun keduanya tidak memiliki kewenangan untuk memberikan rekomendasi kepada Presiden soal pengambilalihan bisnis militer. Namun ternyata Keppres 7/2008 tidak memberikan kewenangan tegas untuk mengambil alih bisnis militer, melainkan hanya wewenang untuk memberikan rekomendasi kepada Presiden. Departemen Pertahanan berdalih bahwa mandat pengambilalihan
tidak
perlu
disebut
secara
spesifik5
karena
sudah
cukup
jelas
2
Publik tentu masih ingat kasus pembunuhan seorang pengusaha pemilik PT Asaba yang diberondong oleh sekelompok marinir TNI AL. Tragisnya, pengawal sang pengusaha yang ikut tewas adalah seorang anggota pasukan elite Kopassus TNI AD. 3 Kasus yang terbaru di Jambi diduga melibatkan anggota TNI yang bersenjatakan pistol FN dan M-16 merampas konvoi truk yang mengangkut gula ilegal yang baru disita oleh kepolisian setempat (“Anggota TNI Diduga Terlibat Perampasan Gula”, Kompas, 17 Mei 2008). 4 Tiga bentuk bisnis militer dicetuskan oleh Indonesia Corruption Watch melalui publikasi: Danang Widoyoko et al, Bisnis Militer Mencari Legitimasi, Jakarta: ICW 2002. 5 Dikutip dari pernyataan Sekjen Dephan Sjafrie Sjamsoeddin (“Bisnis TNI: Sejak Semula Kewenangan Ambil Alih Tak Disebut”, Kompas, 26 April 2008).
2
interpretasinya. Pemerintah melalui TSTB juga menyatakan akan berhati-hati dalam mengambilalih bisnis TNI supaya tidak terbebani di masa depan. Sikap hati-hati itu dituangkan dengan tidak memberikan wewenang langsung kepada TNPAB untuk mengambilalih bisnis TNI6. Lambannya pemerintah menjalankan amanat UU 34/2004 tentu saja menimbulkan kekhawatiran terjadinya pengalihan aset-aset dan kepemilikan bisnis militer kepada pihak swasta sehingga semakin merugikan negara. Padahal nilai buku bisnis militer yang telah diaudit pun masih diragukan banyak pihak kebenarannya. Data inventarisasi unit usaha TNI yang dimiliki TSTB menyebutkan bahwa ada total sekitar 25 yayasan dengan 916 usaha dan 1071 koperasi dengan 604 usaha di lingkungan TNI7, dengan total nilai buku sebesar Rp 195,080 milyar untuk Mabes TNI, Rp 469,999 milyar untuk TNI AD, Rp 411,986 milyar untuk TNI AL dan Rp 35,309 milyar untuk TNI AU8. Lex Rieffel dan Jaleswari Pramodhawardani memperkirakan bahwa pendapatan bruto bisnis formal TNI mencapai US$ 44-145 juta, dan bila digabungkan dengan pendapatan bruto dari bisnis informal dan ilegal TNI akan mendapatkan angka total pendapatan kotor bisnis TNI sebesar US$ 63-185 juta9. Namun data yang sebenarnya mengenai berapa besar pemasukan yang diterima bisnis TNI hanya diketahui oleh pihak TNI sendiri. Demikian juga halnya dengan data lengkap atas aset-aset yang dikuasai atau dimiliki oleh bisnis TNI. Kerangka pengambilalihan bisnis TNI yang disusun oleh TSTB juga masih memberikan ruang bagi yayasan dan koperasi di lingkungan TNI untuk tidak diambil alih oleh negara. Keduanya dianggap masih diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit dan tidak diambil alih selama tidak menguasai aset negara. Padahal yang menjadi permasalahan
bukan
hanya
sekedar
melindungi
aset
negara,
melainkan
juga
penyalahgunaan kekuasaan yang seringkali dilakukan dengan bendera yayasan atau koperasi militer. Penafsiran pasal 39 UU 34/2004 yang melarang anggota militer berbisnis memang masih menjadi polemik karena masih ada celah untuk militer berbisnis melalui UU 25/1992 tentang Koperasi dan UU 16/2001 tentang Yayasan. Ini adalah sebuah pekerjaan rumah bagi pemerintah dan parlemen untuk mempertegas batasan-batasan yang diharapkan semua pihak agar TNI bisa sepenuhnya berubah menjadi militer profesional. Kesejahteraan prajurit masih menjadi alasan paling favorit untuk menjustifikasi keberadaan bisnis TNI. Namun banyak pihak meragukan alasan ini karena percaya bahwa
6
“Bisnis TNI Diambil secara Hati-hati: Bisnis Akan Dipilah-pilah Dulu”, Kompas, 29 April 2008. Seperti disampaikan oleh TSTB kepada DPR di Jakarta 19 Juli 2006, berdasarkan Surat Panglima TNI No. B/338508/15/06/Spers tanggal 28 September 2005. 8 Seperti disampaikan oleh TSTB kepada DPR di Jakarta 19 Juli 2006, berdasarkan Surat Panglima TNI No. B/338505/15/06/Spers tanggal 28 September 2005. 9 Lex Rieffel & Jaleswari Pramodhawardani, Menggusur Bisnis Militer: Tantangan Pembiayaan TNI Melalui APBN, Bandung: Mizan 2007. 7
3
bisnis militer lebih banyak menguntungkan para perwira tinggi TNI ketimbang para prajurit. Kualitas hidup prajurit TNI pada umumnya masih jauh dari sejahtera, padahal banyak perwira tinggi yang menikmati fasilitas yang luar biasa mewah. Tentu saja ada keengganan dari pihak militer untuk segera mengakhiri kegiatan bisnis mereka karena menyangkut motif ekonomi. Untuk para prajurit yang biasa bergantung pada komandan atau atasan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka di luar gaji tentu saja akan menjadi sebuah permasalahan yang serius juga. Anggaran resmi pertahanan yang hanya sebesar Rp 31,3 trilyun (2007) memang jauh dari cukup untuk bisa mendanai seluruh kebutuhan dan pengeluaran pertahanan nasional. TNI pun beralasan kekurangan itulah yang mengharuskan mereka mencari uang sendiri demi memenuhi anggaran yang mereka susun, sebuah alasan klasik yang lahir pada zaman perang kemerdekaan dulu. Namun alasan seperti itu sudah tidak bisa diterima lagi karena situasi nasional dan internasional saat ini sudah sangat berbeda dengan situasi 60 tahun yang lalu. Jika anggaran resmi pertahanan tidak mencukupi maka TNI harus mengakalinya bukan dengan berbisnis ria, melainkan dengan membenahi struktur organisasi, menata ulang prioritas dan merampingkan anggaran10. TNI juga dituntut untuk bisa realistis dengan kenyataan keadaan keuangan dan perekonomian negara, dan bukannya memaksakan penggunaan sebuah sistem pertahanan yang malah makin membebankan negara. Selain itu juga dibutuhkan akuntabilitas dan pengawasan anggaran oleh parlemen agar militer terhindar dari korupsi dan konflik kepentingan. Sudah bukan rahasia umum kalau banyak sekali pihak yang mencari untung dari pembelanjaan militer. Akibat aksi cari untung itu, dana yang sudah dikeluarkan menjadi seperti sia-sia karena bahkan perlengkapan dan peralatan TNI sampai saat ini standarnya masih kalah dibandingkan dengan angkatan bersenjata Singapura dan Malaysia. Lex Rieffel dan Jaleswari Pramodhawardani mencatat bahwa sejauh ini TNI masih belum juga mampu mengatasi
“kelemahan
fundamentalnya”,
yaitu
sebagian
besar
persenjataan
dan
perlengkapan TNI “tidak bisa digunakan sesuai standar” bahkan “lebih dari 50% pesawat dan persediaan penting dalam inventori tidak bisa dioperasikan”11. Alat utama sistem persenjataan yang dimiliki TNI saat ini boleh dibilang kuno dan kebanyakan sudah melewati masa pakai efektifnya. Padahal persenjataan adalah salah satu komponen penting ketangguhan sebuah kekuatan militer, namun TNI tampaknya masih terlalu sibuk dengan komando teritorialnya sehingga melupakan betapa pentingnya modernisasi persenjataan. Lex Rieffel dan Jaleswari Pramodhawardani juga mencatat bahwa dari total 150.000 tentara 10
Jun Honna, “The Peace Dividend”, Inside Indonesia 92, Apr-Jun 2008. Lex Rieffel & Jaleswari Pramodhawardani, Menggusur Bisnis Militer: Tantangan Pembiayaan TNI Melalui APBN, Bandung: Mizan 2007.
11
4
pasukan teritorial “76.000 tentara ditugaskan kepada infanteri, kavaleri, artileri dan batalion teknik” sedangkan “sisanya adalah birokrat”12. Artinya sekarang sudah saatnya pemerintah, parlemen dan juga militer bersamasama memikirkan ulang postur TNI yang efektif dan efisien bagi pertahanan republik ini. Jelas sistem yang ada sekarang ini sudah terlalu membebani anggaran republik, dan juga sangat diragukan efektivitasnya karena peperangan modern sudah terlampau cepat dan canggih untuk bisa dihadapi oleh TNI. Apalagi saat ini parameter dan kondisi obyektif untuk memenangkan perang sudah berbeda dibandingkan 60 tahun lalu. Dukungan dan keterlibatan rakyat sipil dalam upaya perang sudah tidak bisa dianggap sebagai harga mati lagi karena situasi ekonomi, sosial dan politik yang sudah sangat jauh berbeda dengan zaman perang kemerdekaan. TNI harus menyadari bahwa jika mereka tidak mampu merubah diri menjadi militer profesional maka dukungan rakyat yang sangat diharapkan pada saat-saat perang tidak akan terwujudkan, karena pada saat ini adalah keterlibatan militer dalam aspek politik, sosial dan ekonomi yang menjadikan hidup mereka susah. Ketakutan TNI bahwa dengan hanya mengandalkan anggaran resmi dari
negara
akan menjadikan mereka lemah bukanlah sebuah alasan yang kuat. Seharusnya TNI belajar dari pengalaman Republik Rakyat Cina yang sukses memodernisasi angkatan perangnya sehingga mampu menjadi salah satu kekuatan militer profesional terbesar dan terkuat di dunia. Pelajaran yang bisa dipetik dari Tentara Pembebasan Rakyat RRC adalah keluarnya militer Cina dari bisnis pada tahun 1998 malah menjadikan mereka semakin pintar, efisien dan mematikan13. Dampak lainnya adalah perekonomian RRC makin pesat melaju sehingga makin banyak dana yang tersedia untuk anggaran pertahanan. Pelajaran lain juga bisa dipetik dari Rusia yang kekuatan militernya sempat terpuruk setelah runtuhnya Uni Soviet. Setelah Rusia mampu meningkatkan perekono di bawah Vladimir Putin barulah militer Rusia mampu bangkit lagi untuk kembali mengimbangi kekuatan militer Amerika Serikat. Jelas sekali ada banyak pihak yang menentang upaya untuk merubah TNI menjadi militer yang profesional sepenuhnya dengan pengawasan supremasi sipil yang baik. Tantangan utama tentu saja datang dari motivasi ekonomi karena bisnis militer adalah bisnis yang mendatangkan banyak uang bukan saja untuk tentara, melainkan juga untuk banyak pihak yang terlibat di dalamnya. Sedangkan keengganan politisi sipil untuk mendorong transformasi TNI selain disebabkan oleh masih besarnya pengaruh militer dalam politik
12
Lex Rieffel & Jaleswari Pramodhawardani, Menggusur Bisnis Militer: Tantangan Pembiayaan TNI Melalui APBN, Bandung: Mizan 2007. 13 Rizal Darma Putra, “Modernisasi dan Pengaturan Bisnis Militer di Republik Rakyat China”; in Beni Sukadis & Eric Hendra (ed), Menuju TNI yang Profesional: Restrukturisasi Bisnis TNI, Jakarta: Lesperssi 2005.
5
nasional, juga disebabkan oleh hubungan para konglomerat nasional dengan militer dan politisi sipil. Jadi dibutuhkan suatu kesadaran dari internal TNI sendiri bahwa kondisi seperti ini tidak bisa dipertahankan terus menerus jika ingin republik ini tetap mampu bertahan. TNI harus menyadari sendiri betapa beratnya beban politik, sosial dan ekonomi yang harus dihadapi negara jika mereka tidak segera merubah diri menjadi tentara profesional sepenuhnya. Namun kita semua pun harus ingat bahwa apa yang terjadi dengan bisnis TNI juga terjadi di semua tingkatan birokrasi sipil. Pembahasan serius mengenai postur pertahanan baru yang efektif dan efisien harus segera dimulai, dan harus juga disertai oleh pembahasan serius mengenai struktur birokrasi. Untuk bisa mengoptimalkan anggaran negara, bukan hanya TNI yang dituntut untuk efisien tetapi juga seluruh jajaran birokrasi negara. Selain itu berbagai perangkat hukum seperti undang-undang dan peraturanperaturan lainnya haruslah diperbaiki dan dipertegas supaya bisa menjadi landasan yang baik untuk melakukan perbaikan tanpa menyisakan celah. Di sinilah perang yang sesungguhnya terjadi, yaitu perang untuk membasmi korupsi dan melawan konflik kepentingan. Di sinilah juga TNI harus berani maju dengan proses transformasinya karena profesionalitas TNI adalah salah satu kunci penting merubah dinamika politik, sosial dan ekonomi nasional menjadi lebih baik. REFERENSI 1.
Danang Widoyoko, Irfan Muktiono, Adnan Topan Husodo, Barly Harliem Noe, Agung Wijaya; Bisnis Militer Mencari Legitimasi ; Jakarta: ICW 2002.
2.
Beni Sukadis & Eric Hendra (ed); Menuju TNI yang Profesional: Restrukturisasi
Bisnis TNI ; Jakarta: Lesperssi 2005. 3.
Muradi, dkk.; Metamorfosis Bisnis Militer: Sebaran Bisnis TNI Pasca UU TNI
Diterbitkan ; Jakarta: RIDEP 2007. 4.
Lex Rieffel & Jaleswari Pramodhawardani; Menggusur Bisnis Militer: Tantangan
Pembiayaan TNI Melalui APBN ; Bandung: Mizan 2007. 5.
Jaleswari Pramodhawardani & Andi Widjajanto (ed); Bisnis Serdadu: Ekonomi
Bayangan ; Jakarta: The Indonesian Institute 2007. 6.
Jörn Brömmelhörster & Wolf-Christian Paes (ed); The Military As An Economic
Actor ; New York: Palgrave Macmillan 2003.
6