MASA DEPAN BANGSA DAN NEGARA * PASCA BENCANA KUTA Nurcholish Madjid
ekuatiran mendalam dan sikap bertanya-tanya tentang masa depan bangsa dan negara itu sesungguhnya telah menggejala sangat umum di
segala
lapisan
masyarakat
kita.
Kelumpuhan
pihak-pihak
yang
bertanggung jawab dalam menangani dan menyelesaikan peristiwa-peristiwa menyedihkan di masa-masa lalu, seperti, misalnya, Semanggi, Trisakti, Istiqlal, Natal dan seterusnya, telah mengirimkan isyarat yang salah kepada masyarakat luas bahwa pihak-pihak yang bertanggung jawab itu memang tidak bersungguh-sungguh, dan tidak mampu, menangani masalah-masalah bangsa dan negara. Demikian pula dengan cara penanganan masalahmasalah
penyelewengan
dan
penyalahgunaan
kedudukan,
jabatan,
wewenang dan kekuasaan, sama sekali tidak memberi kesan kesungguhan yang semestinya sesuai dengan harapan masyarakat untuk pemberantasan dan penghentian total KKN. Sikap-sikap tidak peduli di kalangan masyarakat luas terasa semakin menggejala, dan isyarat-isyarat seolah-olah pemerintah membiarkan semuanya berjalan tanpa pengawasan yang berarti, sangat kuat dirasakan oleh siapa saja yang suka memperhatikan keadaan sekelilingnya. Dalam suasana seperti itu, serta merta kita dihentakkan oleh Peristiwa Kuta. Ungkapan kata-kata apalagi yang bisa diucapkan berkenaan dengan pembunuhan jiwa tanpa alasan itu, selain kutukan dan laknat?! Suatu kejahatan yang merupakan pelanggaran dan tantangan terhadap ajaran agama tentang kesucian nyawa, harta dan martabat manusia. “Barangsiapa membunuh seseorang tanpa kejahatan pembunuhan atau perusakan di bumi, maka bagaikan ia membunuh seluruh umat manusia”. (Q., 5:32). Dalam ajaran itu kejahatan terhadap satu orang, satu jiwa, lebih-
Jurnal Universitas Paramadina Vol.2 No. 2, Januari 2003: 91-100
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 2, Januari 2003: 91-100
lebih lagi kejahatan pembunuhan, bukanlah semata-mata kejahatan kepada orang per orang sebagai pribadi saja. Kejahatan itu merupakan kejahatan kepada seluruh umat manusia, “crime against humanity”, pelanggaran terhadap kesucian hak manusia yang paling asasi dan paling universal. Sekarang marilah kita sisihkan waktu barang sejenak untuk merenungkan apa gerangan hakikat bencana Kuta itu dan bagaimana akan mempengaruhi dan menentukan masa depan bangsa dan negara kita. Peristiwa itu sendiri adalah jelas peristiwa terorisme. Tidak mungkin sama sekali mengingkari, apalagi membenarkan, terorisme yang telanjang bulat itu. Setiap terorisme adalah terkutuk, dan para pelakunya harus dikenakan hukuman yang seberat-beratnya dan seadil-adilnya. Karena merupakan kejahatan kepada kemanusiaan dalam cara dan bentuk yang sedemikian kejam, bencana Kuta adalah bencana yang buruk, amat buruk, dari segala segi kemungkinan. Dan yang buruk dari segala yang buruk itu dapat tumbuh dan berkembang menjadi derita pedih, amat pedih, atas kita semua, Bangsa Indonesia. Segi-segi kemungkinan tentang apa hakikat sebenarnya bencana Kuta itu telah berkembang berbentuk berbagai spekulasi dan teorisasi. Terdengar pendapat anggota masyarakat, betapapun kecilnya jumlah mereka, dan bagaimana pun elusifnya pendapat itu, namun sebagai kenyataan kemasyarakatan kita hendak catat di sini: yaitu pendapat bahwa bencana Kuta adalah konspirasi negara-negara asing tertentu untuk kepentingan politik mereka, baik internasional maupun domestik. Sebagai dasar teori konspirasi itu, mereka antara lain membuat analogi jauh dengan yang dialami bangsa kita paruh kedua tahun 1960-an, yang akhir-akhir ini pengungkapan dokumen dan dokumentasi rahasia tingkat tingginya telah beredar dalam masyarakat. Tetapi justru analogi jauh itu menjadi masalah, karena bukti benar tidaknya teori konspirasi itu baru akan terungkap puluhan tahun yang akan datang, sementara saat ini tidak mungkin membuktikannya
*
Orasi singkat dalam seminar “Usaha Menyelamatkan Masa Depan Bangsa” di Aula Universitas Paramadina, Jakarta, 30 Oktober 2002
92
Nurcholish Madjid “Masa Depan Bangsa dan Negara Pasca Bencana Kuta”
secara tuntas. Dan seandainya hal ini benar, maka semakin memperkuat efek amat buruk bencana Kuta, karena membuktikan bahwa kita adalah bangsa yang lemah, yang tidak memiliki ketangguhan ketahanan nasional terhadap subversi asing. Berkenaan
dengan
masalah
ini,
kita
ingin
menyampaikan
penghargaan kita kepada kalangan masyarakat internasional di Indonesia, khususnya di Ibukota, dan lebih khusus lagi kepada para anggota perwakilan negara-negara sahabat. Banyak dari kalangan mereka yang secara aktif menunjukkan pengertian yang baik dan benar tentang masyarakat dan bangsa kita. Sebagian dari kalangan perwakilan negara sahabat itu telah secara mengesankan sekali
mencoba mendekati
persoalan dengan
bijaksana dan penuh pengertian. Persahabatan mereka tidak akan teringkari atau terlupakan. Pendapat selanjutnya mengatakan, semata-mata dilihat sebagai terorisme yang umum dikenal saat sekarang ini, bahwa bencana Kuta itu terkait dengan terorisme internasional dan merupakan rangkaian dari kegiatan badan-badan teroris dunia. Mengingkari sama sekali kebenaran pendapat itu barangkali sangat mustahil, paling tidak sangat sulit, mengingat keadaan negara kita yang sedemikian besar dan luas, yang kondisi geografisnya sebagai negara kepulauan terbesar di dunia membuat garisgaris perbatasannya sedemikian mudah diterobos. Dengan perkataan lain, negara kita adalah suatu kemungkinan tempat pelarian yang secara nisbi sangat mudah. Siapa para pelaku terorisme itu? Untuk sebagian cukup banyak orang agaknya dapat dipastikan bahwa mereka itu adalah orang-orang Islam! Pandangan ini pun cukup sulit dibantah, mengingat pendapat umum dunia yang sudah sedemikian kuat, baik pendapat itu benar atau salah. Tetapi kita ingin kemukakan peringatan keras kepada siapa pun yang hendak melakukan “gebyah uyah” terhadap Islam dan Umat Islam secara keseluruhan sebagai berada di balik kejahatan amat keji itu. Jika ada seorang atau beberapa orang Muslim yang terlibat dalam terorisme, atau
93
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 2, Januari 2003: 91-100
bahkan jika terbukti secara adil dan benar bahwa semua pelaku terorisme itu adalah orang-orang Muslim, namun tetap tidak berarti bahwa Islam dan Umat Islam berada di balik kejahatan itu. Kita mensinyalir adanya tuduhan gegabah dan sembrono tanpa dasar serupa itu, seperti ditunjukkan oleh beberapa contoh reaksi impulsif menunjukkan sikap sengit
atas kejadian sejenis itu dengan
kepada seseorang atau kelompok
yang
menampilkan profil Islam, bahkan menyerangnya, menganiayanya, sampai kepada membunuhnya sebagaimana terjadi di sementara manca negara. Kita ingin tegaskan bahwa sikap-sikap menuduh secara apriori seperti itu adalah tindakan kezaliman, dan kaum Muslim diajari oleh Kitab Sucinya untuk melawan setiap bentuk kezaliman dan menegakkan keadilan, sekalipun terhadap diri sendiri, keluarga dekat dan kerabat. Dalam kesempatan amat berharga ini, kita ingin semua orang dengan tepat memahami kejiwaan Umat Islam seluruh dunia saat sekarang ini. Inilah umat yang dalam jalan pikirannya kuat sekali tertanam gambaran diri sebagai “sebaik-baik umat
yang ditampilkan kepada seluruh umat
manusia karena menganjurkan yang baik dan mencegah yang jahat, dan karena mereka itu beriman” (Q.,3:110). Marshall G.S. Hodgson dengan amat sungguh-sungguh memperhatikan gambaran diri Umat Islam berdasarkan Kitab Sucinya itu, dan menjadikannya sebagai titik tolak dan sumber inspirasi bagi magnum opus-nya, The Venture of Islam, sebuah bahasan hampir tuntas tentang Islam dan peradabannya, yang terbaik dalam bahasa di luar bahasa Arab dan Persi. Dalam bukunya itu Hodgson membuktikan bagaimana Islam berhasil menciptakan suatu dasar peradaban kemanusiaan global, dan menjadi puncak “Zaman Sumbu” (Axial Age) sejarah umat manusia, kemudian berkembang menjadi bagian terpenting peradaban zaman sekarang ini. Menurut Hodgson, dari semua pola budaya umat manusia sepanjang sejarah, pola budaya Islam adalah yang paling mendekati keberhasilan menjadi pola budaya dunia. Atau, setidaknya, seperti dikatakan Ross E. Dunn, pola budaya Islam adalah pola budaya hemispheric, karena merupakan pola budaya paling umum di belahan bumi
94
Nurcholish Madjid “Masa Depan Bangsa dan Negara Pasca Bencana Kuta”
(hemisphere) yang saat itu dikenal, yaitu belahan bumi timur yang meliputi Asia, Afrika dan Eropa (karena belahan bumi barat, yaitu benua Amerika, belum “diketemukan”). Dan sistem politik yang diciptakannya adalah sistem politik berdasarkan madanîya, civility, keadaban, yang bertumpu kepada faham dasar supremasi hukum. Sistem politik itulah yang oleh Robert N. Bellah disebut sebagai sangat modern, mungkin terlalu modern untuk zamannya sehingga tidak bertahan utuh cukup lama, namun tetap menjadi model masyarakat nasional yang adil, terbuka, egaliter dan partisipatoris. Menurut Bellah, masyarakat serupa itu belum pernah terbayangkan pada umat manusia sebelumnya, dan menurut Martin Lings tetap menyediakan keteladanan bagi umat manusia saat ini dan sepanjang masa. Karena itu suasana kejiwaan umat Islam adalah suasana perasaan yang
secara
zalim
terus
menerus
disalahpahami,
dipojokkan,
dan
direndahkan. Tidak ada kesalahfahaman yang lebih menyakitkan hati Umat Islam daripada pandangan keliru seolah-olah mereka adalah penganut agama yang mengajarkan penyembahan kepada seorang manusia bernama Muhammad. Selama lebih dari 14 abad mereka menamakan Umat Islam sebagai “Muhammadans” dan agamanya “Muhammadanisme”. Kesadaran akan kekeliruan yang fatal itu baru muncul sangat akhir saja, dan mulailah mereka belajar menyebut agama itu sebagai Islam, para pelakunya sebagai kaum Muslim, sedangkan Muhammad hanyalah seorang Nabi Utusan Tuhan, yang ia sendiri adalah manusia biasa. Umat Islam juga merasa dizalimi dengan tuduhan bahwa mereka menyebarkan agama mereka dengan paksa. Padahal Islam-lah yang dengan tegas, dalam Kitab Sucinya dan Sunnah Nabinya, mengajarkan tidak boleh ada paksaan dalam agama. Dan Islam-lah yang mula-mula dari semua agama yang mengajarkan tentang kewajiban mengakui dan melindungi agama-agama lain, suatu ajaran yang menurut Hanna Cassis merupakan perkembangan luar biasa dalam agama-agama manusia. Adalah sejarawan Gibbon yang dengan lantang menuduh para pengikut Nabi Muhammad itu menyebarkan agama dengan paksa: pedang di tangan kanan, dan Qur’an di
95
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 2, Januari 2003: 91-100
tangan kiri! Tetapi tidak kurang dari seorang orientalis Bernard Louis yang membantah Gibbon, bahwa tuduhan itu tidak benar, berlawanan dengan ajaran Islam sendiri, dan tidak terjadi dalam sejarah. Dengan nada meledek, Bernard Louis mengatakan gambaran Gibbon itu tidak mungkin terjadi pada kaum Muslim: seorang Muslim tidak akan membawa Qur’an dengan tangan kiri, karena dianggap penghinaan! Kata Louis, kalau Umat Islam berperang dengan Qur’an di tangan kanan dan pedang di tangan kiri, itu berarti bahwa semua orang Islam kédé! Jadi tidak mungkin Islam disebarkan dengan kekerasan dan paksaan. Hanya orang yang keras kepala dan mau benar sendiri saja yang selalu mencoba mengingkari adanya ajaran dan sejarah Islam yang sebenarnya itu. Sebaliknya, seperti dikatakan Thomas W. Lippman, Islam menyebar luas karena keteladanan budi pekerti luhur para pemeluknya (Understanding Islam). Sejajar dengan ini, Frithjof Schuon menegaskan bahwa: Every religion has a form and a substance. Islam spread through the world like lightning by virtue of its substance, and its expansion was brought to halt by reason of its form. (Islam and Perennial Philosophy). Setiap keyakinan memiliki energi, atau menjadi sumber energi. Islam tidak merupakan perkecualian. Ajaran “islâm” adalah ajaran berserah diri kepada Tuhan sesuai dengan hakikat kesucian primordial manusia, yang dengan sikap itu manusia memperoleh kedamaian (salâm). Mungkin karena kuatnya ajaran itu, maka Islam menjadi sumber tenaga berbagai gerakan pembebasan (futûhât) yang dahsyat, paling dahsyat dalam sejarah peradaban dunia. Seperti dikatakan Huston Smith: Submission (in Arabic, Islam) was the very name of the religion that surfaces through the Koran, yet its entry into history occasioned the greatest political explosion the world has known… If mention of this fact automatically triggers our fears of fanaticism, this simply shows us another defence our agnostic reflex has erected against the possibility of there being something that, better than we are in every
96
Nurcholish Madjid “Masa Depan Bangsa dan Negara Pasca Bencana Kuta”
respect, could infuse us with goodness as well as power were we open to the transfusion. (Beyond the Post-Modern Mind). Dan menurut Hodgson, energi Islam tetap tersimpan dalam cadangan rasa tugasnya ikut serta membangun peradaban manusia. Hodgson mengatakan: Yet Islam as an explicity religious tradition continues vital almost everywhere. It is on this level that the heritage remains potent. Many aspects of the wider culture of which it was the nucleus cannot be disengaged
from
religion;
they
remain resources
potentially
accessible to all Muslims, embedded in the languages of great religious texts which serious Muslims must read, and likely to become influential under the right circumstances. But it is religious life itself, with all this can mean for human life generally, that Islam is a great force for the immediate future. (The Venture of Islam). Karena pengertian yang keliru tentang hakikat sejarah pembebasan oleh Islam di masa lalu itu, maka agaknya timbul pula kekeliruan dalam memandang Islam sebagai agama yang keras, militan dan menakutkan. Tetapi perhatikan apa yang dikatakan Smith di atas itu: “Jika semata-mata menyebutkan kenyataan (bahwa Islam
melahirkan ledakan gerakan
pembebasan) itu otomatis memicu ketakutan kita kepada fanatisme. Hal ini semata-mata
menunjukkan
mempertahankan diri yang
kepada
kita
suatu
bentuk
lain
sikap
oleh refleksi agnostik kita telah dibangun
menghadapi kemungkinan adanya sesuatu, yang lebih baik daripada diri kita sendiri dalam banyak segi, dapat mengisi kita dengan kebaikan dan kekuatan, kalau saja kita terbuka terhadap transfusi itu”. Sikap-sikap pembelaan diri karena takut kepada suatu hal yang lebih baik seperti digambarkan Smith inilah yang oleh sebagian orang Islam, mungkin melalui ekspresi kebahasaan yang tidak selalu tepat, disebut sebagai fobia Islam! Karena sikap penuh fobia itu mewujud nyata dalam sikap curiga dan permusuhan, maka pada gilirannya memancing sikap perlawanan yang
97
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 2, Januari 2003: 91-100
keras, dan orang pun tergoda untuk menggebyah-uyahnya sebagai terorisme. Terorisme adalah terorisme, suatu kejahatan kemanusiaan, siapa pun yang melakukannya! Tetapi perjuangan mempertahankan hak dan kehormatan
adalah
perjuangan,
suatu
kepahlawanan
kemanusiaan,
siapapun yang melakukannya! Oleh karena itu sama sekali tidak ada jalan dan cara untuk membenarkan terorisme. Tetapi semua pihak juga hendaknya memahami suatu bentuk pengorbanan yang sah, demi menegakkan keadilan, mempertahankan hak dan kehormatan. Pencampuradukan antara keduanya itu akan menjadi sumber bencana yang amat dahsyat dan berkepanjangan. Dan sama seperti Dawud yang mengalahkan Jalut, Vietnam yang memaksa pulang Amerika, arék-arék Suroboyo yang membuat tentara sekutu akhirnya hengkang meninggalkan medan pertempuran, kemenangan atau keunggulan tidak berada di pihak yang kuat dan besar, tetapi berada di pihak yang benar sekalipun lemah, tertindas, dan terzalimi. Tidak adanya pengertian yang tepat tentang masalah itu semua akan menimbulkan keadaan yang semakin buruk, baik pada tingkat dunia maupun tingkat negara. Dan sepanjang mengenai Islam, tidak adanya pengertian yang tepat itu akan sangat memperburuk keadaan negara kita, mengingat bahwa sedemikian besarnya jumlah pemeluk Islam di sini, dan tingginya proporsi mereka terhadap keseluruhan penduduk. Bencana Kuta sungguh amat memperburuk keadaan negara kita, jika suatu teori konspirasi politik domestik terbukti benar. Teori konspirasi itu mengatakan, dan mulai terdengar meluas, bahwa bencana Kuta itu adalah rancangan pihak-pihak tertentu dari kalangan aspiran kekuasaan untuk menciptakan suasana kekacauan umum untuk sebagai alasan pembenaran tindakan mereka. Benarkan teori itu? Na ‘ûdzu bil’Llâh, God forbid, semoga Tuhan mencegah. Sebab, jika benar, maka bencana Bali adalah indikasi bahwa sesungguhnya krisis yang melanda bangsa dan negara kita adalah jauh, amat jauh, lebih buruk daripada yang kita sadari, daripada yang nampak sehari-hari!
98
Nurcholish Madjid “Masa Depan Bangsa dan Negara Pasca Bencana Kuta”
Naluri kemanusiaan kita menghadapkan janganlah hal itu terjadi. Semogalah semua itu tidak benar. Tetapi naluri kemanusiaan kita, dan naluri kebangsaan kita, mendorong kita untuk bertanya-tanya tentang nasib masa depan bangsa ini, dan apa yang kiranya dapat diperbuat. Beberapa isyarat sebenarnya telah terlemparkan kepada masyarakat umum, dan sudah pula menjadi wacana kalangan tertentu bangsa kita. Yaitu bahwa kita harus mengakhiri tingkah laku masing-masing pribadi dari semua kita sebagai warga negara yang akhir-akhir ini menujukkan gejala “non committal”, sikap tidak terikat kepada kepentingan dan cita-cita bersama sebagai bangsa. Gejala sikap hidup tanpa cita-cita luhur, bahkan tanpa citacita sama sekali kecuali ambisi egoistis dan nafsu untung sendiri dengan menyalahgunakan kesempatan, kecakapan, kedudukan dan kekuasaan hanya untuk menumpuk kekayaan. Manusia adalah makluk yang memerlukan pembenaran bagi setiap tindakannya. Karena itu masing-masing kita secara naluri selalu mencari pembenaran bagi tindakan kita, biarpun sesungguhnya lewat naluri kesucian kita sendiri pula, kita mengetahui bahwa tindakan itu tidak benar dan tidak dapat dibenarkan. Tetapi, seperti dalam ungkapan Inggris, habit is second nature, kebiasaan terus menerus mencari dalih pembenaran bagi tindakan kejahatan akan menjadi semacam naluri tersendiri, dengan akibat kita kehilangan kesadaran akan nilai kejahatan itu. Qur’an menggambarkan kemungkinan serupa itu, dengan adanya orang yang kejahatannya dibiaskan kepadanya sehingga ia pandang sebagai kebaikan (Q., 35:8). Keadaan jiwa pribadi semacam itulah yang kiranya dapat disebut sebagai keadaan bangkrut ruhani, bangkrut budi pekerti. Apakah bangsa kita,
melalui
orang-orang terkemukanya,
telah sampai
ke stadium
kebangkrutan ruhani dan budi pekerti demikian itu? Semoga tidak, dan semoga Tuhan tetap melindungi bangsa kita. Tetapi jika benar, maka tantangan untuk menyelamatkan masa depan bangsa kita sungguh gawat dan mendesak. Tantangan itu harus dijawab, dan harus dipikul beban kewajibannya, oleh seluruh potensi nasional tanpa kecuali. Seperti kata
99
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 2, Januari 2003: 91-100
Bung Karno bahwa kita memerlukan “pengikatan bersama seluruh kekuatan revolusioner bangsa” (sammen bundelling van alle revotionaire krachten van de natie), kita pun saat ini sangat memerlukan “pengikatan bersama seluruh kekuatan reformasi bangsa” (sammen bundelling van alle reformatische krachten van de natie). Oleh karena semua keadaan gawat itu merupakan kelanjutan langsung dari rentetan berbagai krisis dan malapetaka nasional, besar ataupun kecil, sepanjang sejarah negara kita, maka untuk mewujudkan “pengikatan bersama” itu diperlukan adanya jiwa besar dari setiap kita untuk menutup rentetan panjang krisis bangsa itu dengan secara terbuka hati melakukan rekonsiliasi. Mungkin kita tidak perlu melupakan samasekali semua kesalahan masa lalu, agar tidak terulang kembali. Tetapi jelas sekali kita perlu, amat perlu, menutup rasa permusuhan yang diakibatkannya, dengan prinsip “biarlah lewat yang telah lewat”, “let bygone be bygone”, “Illâ mâ qad salafa”. Menarik pelajaran dari pengalaman Afrika Selatan, kita harus berani melantangkan, ”To forget, no ! To forgive, yes!!!” Dan cukuplah sudah semua penyimpangan itu sampai di sini, dan setelah itu sama sekali tidak boleh terjadi lagi. Kembali kepada penyimpangan lama akan merupakan kejahatan yang tak terampuni. Atas dasar platform atau pelataran “sammen bundelling”
dan
rekonsiliasi itu, kita bangun kembali bangsa. “Bangunlah jiwanya! Bangunlah badannya! Untuk Indonesia Raya! Maka hendaknya kita kerahkan kekuatan segenap bangsa untuk membangun kembali Indonesia yang berdiri tegak di atas kemampuan sendiri, terhormat, berdaulat, dan berkeadilan sosial untuk seluruh rakyat.
100