BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak adalah generasi muda yang digadang-gadang sebagai penerus perjuangan bangsa di masa depan. Berbagai harapan dan mimpi bangsa disematkan kepadanya. Oleh sebab itu, mendapatkan pelayanan untuk hidup, tumbuh kembang dan perlindungan yang layak dari lingkungan tempat tinggal, menjadi hak mereka dalam upaya mewujudkan harapan tersebut. Namun, merebaknya pemberitaan kasus kekerasan seksual pada anak saat ini, seolah membuat harapan-harapan itu sirna. Sederet kasus yang tertulis dan terdengar tidak hanya menorehkan luka bagi korban dan keluarga korban saja, melainkan juga masyarakat yang turut mendengarnya. Berbagai persoalan sosial, ekonomi bahkan psikologi dituding sebagai latar pelaku dalam tindakannya tersebut. Hanya dengan bermodalkan kesempatan tanpa mengenal siapa, dimana dan kapan, pelaku dapat bertindak untuk memenuhi hasratnya itu. Seringkali korban adalah keponakan, cucu bahkan anak yang notabene masih memiliki aliran darah dengan keluarga. Tidak jarang pula kasus ini terjadi di rumah, sekolah atau bahkan lingkungan bermain anak yang seharusnya memberikan kenyamanan dan mendukung tumbuh kembang anak. Artikel Muhammad Teja (2015) yang berjudul Perlindungan Terhadap Anak Angkat, info singkat kesejahteraan sosial mengatakan bahwa pelaku penelantaran dan kekerasan terhadap anak sebagian besar terjadi di wilayah
1
domestik oleh orang terdekat mereka sendiri, baik lingkungan keluarga atau lingkungan tempat dimana ia tinggal. Sama halnya dengan tulisan Deshinta D. Ariani MA, dalam analisis harian Kedaulatan Rakyat tanggal 15 Oktober 2015 dengan judul Anak dalam ‗Sick Society‘ yang menganalisis kejadian kasus Engeline dan Eneng. Ia mengatakan bahwa kasus kekerasan yang terjadi pada Engeline dan Eneng membuktikan bahwa kekerasan terjadi di lingkungan privat dan pelakunya adalah orang-orang terdekat. Dipaparkan pula oleh Dimas Ariyanto dalam jogja.solopos.com pada tanggal 5 Mei 2014, selaku sekretaris Yayasan Lembaga Perlindungan Anak (YLPA) DIY bahwa lokasi kekerasan seksual pada anak mayoritas di rumah dan di sekolah, artinya bahwa lagi-lagi pelakunya adalah orang terdekat dan dikenal oleh anak. Berbagai kasus kekerasan seksual anak mulai dari sodomi, pencabulan sampai dengan kasus pemerkosaan anak di bawah umur, baik di lingkungan bermain, rumah ataupun sekolah sampai saat ini tidak berhenti melintas di telinga. Persoalan ini semakin mendapat perhatian tatkala bentuk dan motifnya semakin beragam, bahkan sampai pada keterlibatan anak yang tidak hanya menjadi korban, melainkan juga menjadi pelaku dari kekerasan tersebut. Contohnya saja kasus hello kity yang melibatkan siswi di salah satu sekolah menengah atas di Yogyakarta sebagai pelaku juga sekaligus korban. Persoalan ini berhasil mencuri perhatian publik dan membuka mata masyarakat untuk lebih memperhatikan lingkungan anak. Kekerasan seksual anak bak fenomena gunung es yang kian lama jumlahnya kian bertambah. Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat bahwa
2
frekuensi kekerasan anak Indonesia semakin meningkat tiap tahunnya dan didominasi oleh kasus kekerasan seksual anak.
Grafik 1.1 Data Nasional Kekerasan Terhadap Anak
Sumber : Komnas Perlindungan Anak/L-, tahun 2015 Grafik yang termuat dalam www.mediaindonesia.com pada tanggal 12 Juni 2015 di atas, memperlihatkan bahwa tahun 2011 data menunjukkan terdapat 2.426 kasus kekerasan anak dengan 58 persennya adalah kasus kejahatan seksual. Kemudian meningkat di tahun 2012 sebanyak 2.637 kasus dengan 62 persen kasus kejahatan seksual, tahun 2013 sebanyak 3.339 kasus dengan 52 persen kasus kejahatan seksual. Di tahun 2014 angka kekerasan anak sempat mengalami penurunan menjadi 2.750 kasus dengan prosentase kasus kejahatan seksual 58 persen dan terakhir per Mei 2015 sudah tercatat sebanyak 339 kasus dengan 50 persennya kasus kejahatan seksual pada anak. Sungguh sangat ironi tentunya melihat fenomena kekerasan, utamanya kekerasan seksual pada anak di tengah geliat persiapan Indonesia menuju masa emasnya.
3
Yogyakarta sebagai kota pelajar yang kabupaten dan kotanya telah dinobatkan oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menjadi kota layak anak sejak tahun 2011, ternyata juga menyimpan banyak kasus kekerasan anak. Dalam jogja.tribunnews.com ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) DIY, Sari Murti mengungkapkan, dari awal tahun 2015 hingga Bulan September, tercatat ada sebanyak 70 kasus kekerasan pada anak yang didominasi adalah kasus kekerasan seksual. Di Kota Yogyakarta sendiri yang telah menyandang kota layak anak kategori madya ini, berdasarkan data yang dihimpun oleh Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan (KPMP) Kota Yogyakarta pada paruh pertama tahun 2015 sudah terdapat 90 kasus kekerasan pada anak. Jumlah tersebut menunjukkan peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya yakni 103 di tahun 2013 dan 142 di tahun 2014. Dari banyaknya kasus kekerasan yang terjadi, kasus kekerasan seksual pada anak dirasa layak mendapat perhatian khusus oleh seluruh elemen masyarakat, khususnya mereka yang konsen dalam perlindungan anak. Pasalnya, anak yang menagalami kekerasan seksual akan mengalami tiga bentuk kekerasan sekaligus yakni fisik, psikis dan seksualnya. Secara psikologis, dampak bagi anak yang pernah menjadi korban kekerasan seksual akan mengalami traumatis yang berkepanjangan sehingga mengganggu komunikasi dan sosialisasinya di usia tumbuh kembangnya. Penderitaan bagi korban kekerasan seksual pada anak tidak hanya berhenti sampai di situ, fenomena anak melahirkan anak, bagi anak-anak yang menjadi korban sampai mengandung atau hamil, beban hidup mereka menjadi bertambah. Disamping harus melindungi dirinya ia juga harus melindungi
4
anak yang ada dalam kandungannya. Sungguh suatu hal yang sangat memprihatinkan. Berbagai upaya pencegahan kekerasan seksual pada anak, telah dilakukan. Mulai dari tingkat nasional bahkan sampai diturunkan hingga regional. Diawali dari instruksi presiden no 5 tahun 2014 tentang gerakan nasional anti kejahatan seksual, program Kota atau Kabupaten Layak Anak, bahkan pembentukan Kampung Ramah Anak di setiap RW di wilayah Kota Yogyakarta. Namun, tampaknya upaya pencegahan ini tidak mudah untuk dilakukan. Mengingat seiring dilakukannya upaya pencegahan kekerasan seksual anak, justeru cenderung stabil bahkan meningkat. Hal ini menjadi perhatian menarik bagi peneliti untuk mengamati jalannya proses pencegahan yang dilakukan khususnya dalam keluarga oleh orang tua. Keluarga memiliki fungsi-fungsi tertentu, salah satunya adalah fungsi proteksi. Fungsi proteksi keluarga bertujuan untuk melindungi anggotanya dari segala bentuk gangguan yang dapat mengancam kesejahteraan hidupnya. Fungsi proteksi ini pada umumnya diberikan oleh orang tua kepada anak yang rentan mengalami gangguan. Hal ini dikarenakan referensi akan pengalaman hidupnya belum sebanyak yang dimiliki oleh rata-rata orang dewasa. Itulah sebabnya dalam tumbuh kembangnya anak berhak memperoleh pendampingan dari orang dewasa terutama dari lingkungan paling dekat yakni orang tua. Orang tua memiliki kewajiban untuk tahu bagaimana perkembangan anak, saat anak masih di dalam kandungan, lahir sampai mereka beranjak dewasa. Namun seiring dengan perubahan waktu, fungsi proteksi pada keluarga ini juga turut mengalami perkembangan. Orang tua tidak lagi menempatkan fungsi 5
proteksi anak ini menjadi suatu hal yang utama. Posisi ini digantikan oleh fungsi ekonomi yang kemudian berimplikasi pada peran perlindungan terhadap anak. Tuntutan kehidupan yang tinggi menjadi alasan orang tua baik ayah maupun ibu untuk bekerja. Implikasinya tidak jarang anak berada di rumah sendiri atau bahkan orang tua menitipkan anak kepada saudara baik paman, tante, kakek neneknya atau asisten rumah tangga dengan bermodalkan kepercayaan. Pada kenyataannya hal ini justeru tidak dapat menjamin keselamatan anak. Kurangnya pengetahuan orang tua terhadap kekerasan seksual yang bisa saja menimpa anak kapanpun, dimanapun dan oleh siapapun, dianggap membuat orang tua tidak berfikir panjang dalam menitipkan anak. Sehingga tidak memikirkan bekal yang harus dibawa anak saat dititipkan untuk menghindari adanya kekerasan seksual. Terlebih lingkungan mereka dekat dengan lingkungan yang rentan terhadap kekerasan seksual anak. Tentu bukan menjadi hal yang mustahil jika akan terkena dampaknya pula. Hidup berdampingan dengan lingkungan yang dinyatakan rentan kekerasan seksual anak menjadi alarm bagi orang tua di wilayah tersanding untuk menaikkan status kewaspadaannya terhadap suatu kasus yang terjadi pada lingkungan yang rentan. Terutama melakukan pencegahan agar terhindar dari kasus tersebut. Prenggan adalah suatu wilayah yang letaknya berada di pinggir Kota Yogyakarta tepatnya di Kecamatan Kotagede. Wilayahnya diapit oleh dua kelurahan yakni Rejowinangun dan Purbayan. Menurut Bareskrim Polsek Kotagede, kedua kelurahan tersebut memiliki riwayat kasus kekerasan seksual anak dalam beberapa tahun terakhir, namun hal tersebut tidak mempengaruhi Prenggan masuk dalam wilayah yang rentan kekerasan seksual anak. Kelurahan 6
Prenggan merupakan salah satu wilayah yang bersih dari kasus kekerasan seksual anak selama tahun 2010-2015 seperti penuturan Bareskrim Polsek Kotagede. Prenggan merupakan wilayah dengan penduduk yang berpendidikan ratarata menengah ke atas, sehingga masyarakatnya dinilai lebih terbuka dengan persoalan yang muncul. Selain itu Prenggan juga dikenal dengan sebuah perkampungan yang agamis dimana agama digunakan sebagai latar dalam suatau penyelesaiam masalah sosial yang terjadi. Termasuk dengan persoalan kekerasan seksual anak yang muncul di wilayah. Berdasarkan background wilayah tersebut peneliti tertarik untuk melihat keterkaitan antara tingkat pendidikan orang tua dengan bersihnya angka kekerasan seksual anak di wilayah ini. Oleh sebab itu peneliti ingin mengetahui seberapa besar pengaruh dan perbedaan tingkat pendidikan orang tua dalam melakukan pencegahan kekerasan seksual anak, sehingga Prenggan dapat terjaga dari kasus kekerasan seksual anak. Hal ini sekaligus mendorong peneliti untuk melihat respon dan strategi orang tua di wilayah ini dalam menyikapi terjadinya kekerasan seksual anak.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut : 1.
Seberapa besar hubungan antara tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua terhadap tindakan pencegahan kekerasan seksual anak dalam keluarga di Kelurahan Prenggan Kecamatan Kotagede Yogyakarta?
2.
Bagaimana respon dan strategi orang tua terhadap kekerasan seksual anak di Kelurahan Prenggan Kecamatan Kotagede Yogyakarta? 7
1.3
Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini antara lain :
1.
Mengetahui besar hubungan antara tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua tentang kekerasan seksual anak terhadap tindakan pencegahan kekerasan seksual pada anak yang dilakukan.
2.
Mengetahui respon orang tua terhadap kekerasan seksual anak dan strategi dalam melakukan pencegahan kekerasan seksual anak serta pada level mana tindakan pencegahan kekerasan seksual pada anak telah dilakukan.
1.4
Manfaat Penelitian Adapun beberapa manfaat dari penelitian ini antara lain :
1.
Bagi pemerintah, penelitian ini dapat digunakan untuk melakukan pemetaan lebih lanjut mengenai peran keluarga dalam melakukan tindakan preventif kekerasan seksual pada anak
2.
Bagi instansi pemerhati anak, penelitian ini dapat menjadi rujukan sejauh apa masyarakat utamanya orang tua telah berkontribusi melakukan pencegahan kekerasan seksual pada anak.
3.
Bagi masyarakat, penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk pencegahan kekerasan seksual anak, khususnya pada orang tua yang tinggal di Kelurahan Prenggan Kecamatan Kotagede
4.
Bagi peneliti, penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya kajian mengenai relasi antara anak, orang tua dan masyarakat dalam melakukan tindakan pencegahan kekerasan seksual pada anak. 8
1.5
Tinjauan Pustaka 1.5.1
Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan sering dijadikan sebagai tolok ukur dalam
melakukan penilaian terhadap kehidupan seseorang. Menurut UndangUndang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003, pengertian pandidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya
pengendalian
untuk
diri,
memiliki
kepribadian,
kekuatan kecerdasan,
spiritual akhlak
keagamaan, mulia,
serta
ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Tujuan pendidikan sebagaimana diungkapkan oleh A. Tresna Sastrawijaya (Arifah:2015)
adalah
mencakup
kesiapan
jabatan,
ketrampilan
memecahkan masalah, penggunaan waktu senggang secara membangun, dan sebagainya karena tiap siswa mempunyai harapan yang berbeda-beda. Menurut Emile Durkheim (1858-1917) memandang bahwa pendidikan adalah sebagai “social thing”. Seperti yang tercatat dalam buku Sosiologi Pendidikan, Durkheim mengatakan bahwa masyarakat secara keseluruhan dan lingkungan sosial yang ada didalamnya merupakan sumber penentu cita-cita yang dilaksanakan lembaga pendidikan. Ia mengatakan bahwa suatu masyarakat bisa bertahan hidup jika dan hanya jika ada suatu tingkat homogenitas yang memedai bagi warganya. Kondisi tersebut dapat diperoleh melalui penanaman pemahaman sejak anak-anak melalui pendidikan keanekaragaman. 9
Banyak orang mengatakan semakin tinggi seseorang maka semakin tinggi pula khasanah ilmu yang ia miliki. Hal ini dikarenakan semakin banyak informasi yang ia peroleh dan semakin beragam pula sumbernya. Orang yang berpendidikan tinggi dianggap akan mampu menyerap banyak hal baru yang ada di wilayah. Secara logika mereka juga cenderung mudah adaptasi dengan perubahan-perubahan yang ada dan membaca resiko serta siap menghadapi segala permasalahan yang timbul dari adanya perubahan tersebut.
1.5.2
Kekerasan Seksual Anak Anak adalah seseorang yang berusia 18 tahun ke bawah termasuk
yang ada dalam kandungan1. Sementara kekerasan menurut Barker adalah suatu tindakan melukai yang berulang-ulang, baik secara fisik maupun emosional kepada anak yang seharusnya dilindungi dan tergantung, melalui desakan hasrat, hukuman badan, yang tidak terkendali, degradasi dan cemoohan permanen. Child abuse atau kekerasan anak menurut Richard J. Galles merupakan suatu perbuatan yang disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun emosional. Terdapat beberapa macam bentuk kekerasan pada anak, diantaranya kekerasan fisik, psikis, seksual dan kekerasan ekonomi. Dari keempat jenis kekerasan, kekerasan seksual pada anak dinilai lebih berbahaya dibandingkan dengan jenis kekerasan lainnya. Hal ini mengingat anak yang menjadi korban kekerasan seksual juga mengalami 1
Pengertian menurut UU Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002
10
kekerasan fisik ataupun psikis sekaligus. Oleh sebab itu kajian mengenai kekerasan seksual pada anak sering dijadikan sebagai topik khusus dalam pembahasan kekerasan pada anak. Suzanne Sgroi dalam Handbook of Clinical Intervention in Sexual Abuse (1985) mengartikan kekerasan seksual sebagai suatu tindakan seksual yang dikenakan pada seorang anak yang tidak memiliki emosi, kematangan, dan perkembangan kognitif. Sama halnya dengan Bagong Suyanto yang mendefinisikan kekerasan seksual anak yakni segala tindakan yang muncul dalam bentuk paksaan atau mengancam untuk melakukan hubungan seksual, melakukan penyiksaan atau bertindak sadis serta meninggalkan orang –termasuk mereka yang tergolong masih berusia anak-anak- setelah melakukan hubungan seksual. Kekerasan Seksual Anak (KSA) dalam Child Sexual Abuse Fact Sheet For Parents juga didefinisikan sebagai interaksi antara anak dengan orang dewasa dimana anak sebagai stimulus seksual oleh pelaku (Annisa:2015). Ada pula Putnam (2003) yang mendefinisakan KSA merupakan segala aktivitas seksual yang melibatkan anak. Disamping itu pasal 13 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomer 68 tahun 2014 menyatakan bahwa KSA merupakan pelibatan anak dalam kegiatan seksual, dimana ia sendiri tidak sepenuhnya memahami atau tidak mampu memberi persetujuan, yang ditandai dengan adanya aktivitas seksual antara anak dengan orang dewasa atau anak lain dengan tujuan untuk memberikan kepuasan bagi orang tersebut. Mengacu pada definisi yang diberikan oleh peraturan menteri kesehatan tersebut ditambah dengan 11
beberapa penegasan penelitian ini merumuskan bahwa secara operasional kekerasan seksual anak adalah perilaku orang dewasa yang memaksa anak usia 1-18 tahun untuk terlibat pada kegiatan seksual, baik dalam bentuk visual maupun fisik secara langsung. Terdapat beberapa bentuk kekerasan seksual pada anak yang ditulis dalam sebuah penelitian karya Annisa (2015) dikatakan dalam sebuah publikasi penelitian yang dilakukan Council of The Baltic Sea States untuk program Risktaking Behavior Empowerment Through Research anf Training milik UNI Eropa mengklasifikasikan KSA Sebagai berikut : 1) Kontak Seksual (i) Penetrasi Perilaku seksual yang melibatkan penetrasi baik melalui mulut, penis, vulva, maupun anus anak. Media yang digunakan dapat berupa tangan, jari, atau benda lain. Perilaku ini dapat dilakukan oleh orang yang lebih dewasa kepada anak, atau anak kepada anak (Leeb dkk, 2008) (ii) Sentuhan-non penetrasi Sentuhan dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung terhadap alat genital, anus, paha, dada dan bokong 2) Sexual Solicitation Pembicaraan atau pemberian informasi pribadi mengenai seks baik diinginkan maupaun tidak diinginkan oleh anak yang dilakukan oleh orang dewasa. Hal ini termasuk ke dalam KSA karena dampak negatif yang mungkin terjadi. Pembicaraan topik seksual dengan anak yang tidak 12
diinginkan berupa usaha-usaha yang dilakukan agar anak mau membagikan informasi pribadi atau melakukan kegiatan seksual. Sexual solicitation
seringkali
dianggap
tidak
mengganggu
oleh
yang
bersangkutan 3) Child Abuse Images Merupakan istilah yang digunakan untuk pornografi anak yang tersembunyi (Taylor & Quayle, 2006). Kekerasan jenis ini biasa dilakukan oleh individu yang menggunakan gambar-gambar pornografi anak dengan menatasnamakan advokasi dengan tujuan lain secara implisit (Jones & Skogrand, 2005) 4) Pornografi Anak Pornografi anak merupakan materi pornografi yang secara visual menggambarkan anak di bawah umur terlibat dalam perliaku seksua, atau gambar yang secara jelas mewakili anak melakukan hubungan seksual 5) KSA Online dan Offline KSA Online melibatkan media baik internet, telepon, handphone, televisi, dan sebagainya. Sedangkan offline bermakna dilakukan komunikasi tatao wajah 6) Online Sex Ketka seseorang atau kelompok individu melakukan stimulasi seksual dengan bertukar pesan, gambar, atau video yang melibatkan anak (Doring, 2009) 7) Pedofilia
13
Dalam PPDGJ, pedofilia diartikan sebagai preferensi seksual terhadap anak-anak, biasanya pra-pubertas atau awal masa pubertas baik laki-laki maupun perempuan (Maslim, 2001) 8) Self Generated Content Self-konten merupakan pengalaman seksual yang dimediasi oleh informasi dan teknologi terutama mengacu pada gambar atau video. Pelaku biasanya meyakinkan anak agar anak mau menerima gambar pelaku telanjang atau dalam beberapa kasus mastrubasi. Foto-foto tersebut sering digunakan untuk membujuk anak melakukan kontak seksual tanpa menyakiti, offline seks, atau dibayar untuk melakukan aktivitas seksual lainnya. 9) Sexting Mengacu pada penggunaan ponsel dan kamera untuk memproduksi dan mendistribusikan gambar diri dalam seksual dengan cara tidak disengaja atau berbahaya yang dilakukan kepada anak oleh orang dewasa. 10) Visual pornografi Anak Fantasi visual pornografi anak dalam bentuk kartun atau gambar (Ost,2010) dengan fokus terutama pada genital anak atau daerah anus. Fantasi tersebut dapat digambarkan dalam bentuk : a. Hubungan seksual atau oral seks dengan atau dihadapan anak b. Tindakan mastrubasi oleh, dari, melibatkan atau dihadapan anak c. Tindakan yang melibatkan penetrasi vagina atau anus anak d. Tindakan penetrasi di hadapan anak
14
e. Fantasi mengenai anak melakukan hubungan seksual atau oral seks dengan binatang f. Fantasi mengenai hubungan seksual atau oral seks dengan binatang baik hidup atau mati atau imajiner) yang dilakukan orang lain di hadapan anak 11) Web Cam Sex Bentuk sex online dimana maka terlibat dalam perilaku seksual melalui kamera yang terhubung ke komputer dan bisa saling melihat satu sama lain. Setelah mengalami bentuk kekerasan seksual fisik biasanya muncul tanda-tanda yang muncul dari anak dan dapat diamati. Berdasarkan
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesa nomor 68 tahn 2013, korban KSA memiliki ciri-ciri fisik sebagai berikut : 1. Memar dan luka pada bagian tubuh seperti lengan atas, paha., bokong, pipi, genital 2. Patah tulang pada anak usia dibawah 3 tahun atau adanya dislokasi sendi 3. Luka bakar, seperti bekas sundutan rokok atau benda panas lainnya yang khas di paha, tangan, kaki atau bokong 4. Cedera atau bercak kebotokan pada kepala, seperti bekas pendarahan akibat tertariknya rambut 5. Adanya tanda-tanda perlawanan seperti pakaian robek, bercak darah pada pakaian dalam, gigitan atau cakaran. 15
Selain ciri fisik, ciri lainnya dapat diamati secara melalui perubahan mental korban KSA.Ciri-ciri secara mental juga dialami oleh korban KSA, diantaranya : 1. Ketakutan berlebihan yang diekspresikan melalui kata-kata, keluhan, maupun tingkah laku akan hal-hal berikut : a. Takut akan reaksi keluarga dan teman b. Takut orang lain tidak mempercayai c. Takut diperiksa dokter pria d. Takut melaporkan kejadian e. Takut terhadap pelaku f. Takut ditinggal sendiri 2. Reaksi Emosional a. Shock b. Rasa tidak percaya c. Marah, malu, menyalahkan diri sendiri, kacau bingung, histeris d. Insomnia, hilang nafsu makan dan mimpi buruk 3. Siaga berlebihan 4. Panik 5. Berduka terus menerus
Ciri-ciri atau tanda yang telah disebutkan merupakan tanda nyata yang paling dini dan dalam jangka pendek dapat ditemukan dan segera ditangani. Namun, dalam jangka panjang anak yang megalami kekerasan
16
seksual akan menerima banyak dampak negatif dalam hidupnya. Pertama secara fisik bisa terjadi kehamilan usia dini, munculnya penyakit menular seksual dan gangguan reproduksi lain pada anak. Kedua secara psikis terjadi permasalahan dengan tingkat percaya diri dalam bergaul dan cenderung ada rasa berbeda dari temannya. Ketiga secara sosial akan ada labelling dari masyarakat juga tidak diterimanya anak di lingkungan sekolah yang berakibat buruk pada masa depannya.
1.5.3
Pencegahan Kekerasan Seksual Anak Belum banyak studi ataupun kajian yang membahas bagaimana
upaya pencegahan kekerasan seksual dalam keluarga ini dilkukan. Namun sebuah artikel karya Deborah A. Daro (1994) yang berjudul Prevention of Child Sexual Abuse dipandang cukup relevan dalam penelitian ini. Karyanya dilatar belakangi oleh banyak orang yang menganggap masalah kekerasan dan penganiayaan anak yang mempertimbangkan waktu kejadian yang lama, menyimpulkan bahwa pencegahan kekerasan merupakan prioritas penting. Banyak dari program pemerintah federal kemudian memperhatikannya, misalnya dengan melakukan pendanaan pada pengobatan korban. Jika dibandingkan dengan kasus kekerasan fisik pemerintah terlihat sudah lebih siap mulai dari advokasi pengobatan dan pencegahan yang sering bekerja bersama-sama. Namun hal ini belum terlihat pada kekerasan seksual pada anak.
17
Dalam tulisannya Deborah melihat bahwa pencegahan kekerasan seksual anak dapat diartikan sebagai suatu proses dari mengubah potensi perilaku, potensi korban dan linkungan dimana keduanya eksis. Pencegahan tidak hanya berlaku bagi individu yang berpotensi sebagai korban maupun pelaku, namun juga bagi mereka yang pernah menjadi korban maupun pelaku. Pencegahan bisa terjadi pada satu dari tiga tingkatan: a. Pencegahan primer, menargetkan pelayanan kepada masyarakat umum dengan tujuan menghentikan kejadian apapun b. Pencegahan sekunder, menargetkan pelayanan kepada kelompok resiko tinggi agar lanjutan penyebaran dari masalah, dan c. Pencegahan tersier, menargetkan layanan pada pelaku atau korban dikenal dengan maksud mencegah insiden baru. Secara historis, pencegahan kekerasan fisik dan penolakannya, telah berkembang pada semua tiga tingkatan. Namun, pencegahan akan kekerasan seskual lebih menargetkan potensial korban daripada potensial pelaku dan penekanan pada pencegahan primer daripada pencegahan sekunder atau tersier. Tidak seperti usaha untuk mengubah kebiasan dewasa dalam kasus kekerasasn fisik atau penolakan, pencegahan kekerasan seksual sebagian besar difokuskan pada mengubah kebiasaan anak-anak, melalui kelompok berdasarkan instruksi anak-anak pada bagaiamana melindungi mereka sendiri dari atau respon untuk serangan atau kekerasan seksual. 18
Tingkatan upaya pencegahan yang ditulis oleh Debora (1994) juga tertulis di dalam ringkasan kajian perlindungan oleh UNICEF Indonesia. Dalam kajian tersebut dikatakan bahwa rangkaian pelayanan perlindungan anak di tingkat masyarakat dimulai dari layanan pencegahan primer dan sekunder sampai layanan penanganan tersier. Layanan pencegahan primer bertujuan untuk memperkuat kapasitas masyarakat secara menyeluruh dalam pengasuhan anak dan memastikan keselamatan mereka. Layanan ini meliputi
kegiatan-kegiatan
yang
mengubah
sikap
dan
perilaku,
memperkuat keterampilan orangtua, dan menyadarkan masyarakat tentang dampak yang tidak diinginkan dari kekerasan terhadap anak. Layanan pencegahan sekunder atau layanan intervensi dini difokuskan pada keluarga dan anak-anak yang beresiko, dilakukan dengan mengubah keadaan sebelum perilaku kekerasan menimbulkan dampak buruk secara nyata terhadap anak-anak, misalnya melalui konseling dan mediasi keluarga serta pemberdayaan ekonomi. Intervensi tersier menangani situasi dimana anak sudah dalam keadaan krisis sebagai akibat kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi, penelantaran, atau tindakantindakan buruk lainnya. Oleh karena itu, intervensi ini bertujuan untuk membebaskan anak-anak dari dampak buruk atau, jika dianggap layak, melakukan pengawasan terstruktur dan memberikanlayanan dukungan. Mekanisme pencegahan dianggap lebih dibandingkan tepat dibandingkan intervensi tersier atau reaktif. Selain itu, ditemukan pula dalam tulisan karya Widyaiswara Madya, dalam website resmi Kementerian Sosial
19
Republik Indonesia (Kemensos RI) yang menuliskan hal-hal praktis upaya pencegahan kekerasan seksual pada anak dalam keluarga. Adapun hal-hal tersebut adalah sebagai berikut : 1. Ajarkan anak mengenal bagian tubuh sentisifnya (mulut, leher, dada, daerah selangkangan, pantat) 2. Ajarkan anak untuk mengatakan ―tidak‖ atau ―jangan‖ atau ―lari‖ ketika ada orang lain yang ingin menyentuh bagian tubuh sensitif 3. Pastikan jalur yang dilalui anak (keluar rumah) aman 4. Pastikan anak selalu dalam pengawasan orangtua termasuk dalam kegiatan online /internet 5. Pastikan anak bersama orang yang dikenal dan dipercaya 6. Ajarkan anak untuk tidak menerima pemberian apapun dari orang yang tidak dikenal 7. Pastikan rumah aman dari bahan pornografi 8. Berikan kontak yang bisa dihubungi dalam situasi apapun
1.5.4
Pengasuhan Anak dalam Pencegahan Kekerasan Seksual Membahas mengenai upaya pencegahan kekerasan seksual anak
dalam keluarga tentu tidak lepas dari peranan orang tua sebagai aktor utama pelaksananya. Gadeyne, Ghesquiere dan Onghena (Mensah, dkk, 2013) melihat bahwa orang tua merupakan faktor penentu paling penting yang mempengaruhi anak. Cara orang tua mengasuh anak akan menentukan perkembangan kepribadian dan cara anak berinteraksi di lingkungan
20
sosialnya. Anak cenderung mengikuti apa yang akan diajarkan orang tua dan kemudian digunakan sebagai bekal mereka untuk kemudian berhubungan dengan orang lain di luar lingkungan keluarga. Selain itu, orang tua juga memainkan peranan penting dalam melakukan sosialisasi di lingkungan pertama anak yakni keluarga. Hughes, Kroehler & Zanden (Mensah, dkk, 2013) mengatakan bahwa melalui sosialisasi ini diharapkan mampu memberikan pengaruh penting dalam perkembangan emosional, kognitif dan sosial anak. Pada dasarnya pengasuhan atau perawatan anak bertujuan untuk mempertahankan
kehidupan
fisik
dan
meningkatkan
kesehatannya,
memfasilitasi anak untuk mengembangkan kemampuan sejalan dengan tahapan
perkembangannya
dan
mendorong
peningkatan
kemampuan
berperilaku sesuai dengan nilai agama dan budanya (Suprihatin, 2004). Pengasuhan anak dapat dikatakan sebagai suatu ketrampilan yang dimiliki oleh orang tua dan tidak dipelajari melalui pendidikan formal. Suprihatin (2014) mengatakan bahwa kemampuan orang tua dalam menjalankan fungsi pengasuhan melalui proses trial and eror dan mempelajari melalui orang tua lain atau orang tua terdahulu. Menurut Wong (Suprihatin, 2001) melihat terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan orang tua dalam melakukan pengasuhan. Adapun faktor—faktor tersebut, antara lain usia orang tua, keterlibatan orang tua, pendidikan orang tua, pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak, stress orang tua (berkaitan dengan beban yang sedang dihadapi keluarga, bisa persoalan ekonomi, dapat pula kondisi anak), dan hubungan suami dan istri. 21
Pengasuhan pada anak juga bergantung pada pendekatan ekologi. Salah satu yang menjadi sorotan dari pendekatan ini adalah pengaruh kuat dari interaksi sosial yang terjadi antara anggota masyarakat (Jack,2016). Hal ini menunjukkan bahwa metode pengasuhan orang tua dapat terjadi perubahan bergantung pada perkembangan ataupu persoalan yang dijumpai oleh masyarakat. Dalam hal ini misalnya maraknya kasus kekerasan seksual pada anak di lingkungan cenderung akan membuat orang tua yang tadinya permisif dapat menjadi lebih protektif dalam melakukan perlindungan terhadap anak. Perubahan metode pengasuhan ini dapat terjadi akibat respon dari maraknya kasus kekerasan seksual pada anak. Kehidupan masyarakat modern yang dekat dengan teknologi juga turut menuntut orang tua untuk lebih adaptif dalam melakukan pengasuhan terhadap anak. Perkembangan teknologi yang begitu pesat dan juga secara cepat masuk dalam kehidupan bahkan hingga kebutuhan anak membuat orang tua harus ekstra dalam menjalankan fungsi proteksinya. Pasalnya informasi yang dihadirkan teknologi tidak dapat secara langsung menyaring hal-hal yang tepat untuk kemudian dikonsumsi oleh anak. Sehingga seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, teknologi dapat memunculkan bentukbentuk secara visual kekerasan seksual anak. Salah satu hal yang dapat mencegah ketergantungan anak dengan perangat teknologi melalui peran pengasuhan digital oleh orang tua sebagai bentuk adaptif orang tua di era modern ini. Digital parenting atau pengasuhan digital adalah memberikan batasan yang jelas kepada anak tentang hal-hal yang boleh maupun yang tidak 22
boleh dilakukan pada saat menggunakan perangkat digital (Palupi, 2015). Terdapat beberapa prinsip dalam digital parenting, antara lain : 1. Yang terpenting bukan ―apa‖ jenisnya tetapi kapan memerlukannya a.
Dengan melihat waktu yang tepat untuk memberikannya yaitu dengan melihat usia dan kematangan anak
b. Membuat peraturan yang disetujui anak tentang penggunaan perangkat digital sebelum membelikan kepada anak 2. Kualitas lebih penting daripada kuantitas a. Orang tua dapat melakukan pengamatan dan dialog dengan anak b. Orang tua dapat menyuruh anak untuk membuat catatan dalam hal anak menggunakan internet yang tidak ada hubungannya dengan tugas sekolah c. Membuat jadwal untuk menentukan menggunakan internet dan gunakan timer untuk mengingatkan waktunya serta anak harus membuat komitmen diri jam berapa harus mematikan gadget 3. Menentukan sangsi jika anak melanggar janjinya a.
Membuat sangsi terhadap peraturan yang dibuat bersama antar orang tua dan anak.
b. Konsisten dalam menerapkan sangsi terhadap anak. 4. Menjelaskan alasan tentang diterapkannya peraturan a.
Menjelaskan pada anak tentang makna digital, social media dan dampak dari perangkat digital.
b.
Usia anak berbeda dalam pendekatannya terkait dengan media digital. 23
5. Berbagi pengalaman tentang perangkat digital dengan anak a. Mengawasi
anak
secara
rutin
dengan
suasana
yang
menyenangkan. b. Orang tua berteman dengan anak di social media. c.
Menjelaskan fitur yang boleh diakses dan yang tidak boleh diakses oleh anak. (Palupi, 2015)
Adanya konsep pengasuhan digital ini merupakan sebuah metode penhasuhan yang dapat menjadi salah satu wujud pencegahan kekerasan seksual anak melalui perantara teknologi. Konsep ini menegaskan bahwa hidup di era modern dan digital lebih baik untuk menghadapinya bukan unruk menghindarinya (Shin, 2014). Artinya penggunaan internet oleh anak bukanlah suatu hal yang harus dilarang bagi orang tua melainkan adanya pembatasan penggunaan oleh orang tua, sehingga teknologi dapat dimanfaatkan sebagai mana mestinya oleh anak dan menghindari anak terjadi kekerasan seksual anak.
1.5.5
Kerangka Pemikiran Tingkat pendidikan adalah modal bagi sesorang untuk memperoleh
banyak informasi tentang kekerasan seksual pada anak. Semakin banyak informasi yang didapat maka akan semakin kaya pula pengetahuan terkait kekerasan seksual pada anak. Adanya pengetahuan orang tua akan kekerasan seksual yang terjadi membuat mereka tidak ingin anaknya menjadi korban
24
dari kekerasan seksual anak oleh sebab itu mereka melakukan beberapa hal yang dapat mencegah terjadi kekerasan seksual pada anaknya Penelitian ini melengkapi beberapa penelitian-penelitian sebelumnya terkait pencegahan kekerasan seksual pada anak. Level pencegahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah pada tataran keluarga khususnya orang tua dimana peneliti mempertimbangkan aspek tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua dalam melakukan pencegahan KSA ini. Beberapa penelitian sebelumnya yang ditemukan sebagian besar tentang pencegahan kekerasan seksual pada anak yang dilakukan oleh suatu instansi dan analisis umum tentang pencegahan. Salah satu hasil penelitian yang pernah mengangkat topik pencegahan kekerasan seksual anak adalah Prinea Romantika, dalam tugas akhirnya dengan judul Upaya Pencegahan Kekerasan Seksual Terhadap Anak Oleh Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) di Kabupaten Wonogiri. Penelitian dilatar belakangi oleh adanya kekerasan seksual terhadap anak yang terus berlanjut dengan intensitas yang terus meningkat dan motif yang beragam. Meningkatnya kasus kekerasan seksual ini kemudian direspon oleh Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No 2 Tahun 2010 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap anak, yang didalamnya juga mengatur upaya pencegahan kekerasan terhadap anak. Penelitian Prinea berfokus pada faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual terhadap anak di Kabupaten Wonogiri, dan bagaimana upaya (P2TP2A) dalam mencegah kekerasan seksual terhadap anak. Pendekatan 25
yang digunakan pada karya Prinea ini adalah yuridis empiris dengan mengacu pada peraturan menteri di atas dan dilakukan dengan motede field research dan penelitian kepustakaan. Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa faktor utama penyebab terjadinya kekerasan seksual terhadap anak di Kabupaten Wonogiri adalah kurangnya pendidikan agama yang kuat pada anak, kurangnya perhatian orang tua karena ditinggal merantau, kurangnya kepedulian masyarakat bertetangga, kurangnya pendidikan seks pada anak sesuai dengan usianya, kemiskinan dan pengangguran, pergaulan bebas dan gaya hidup, hilangnya karakter dan budaya bangsa serta globalisasi. Dalam penelitian tersebut ditunjukkan bahwa upaya pencegahan kekerasan seksual terhadap anak yang dilaksanakan oleh P2TP2A wonogiri yaitu dengan terlaksananya advokasi dalam penguatan sosialisasi-sosialisasi ke berbagai elemen masyarakat, pencegahan melalui Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) pun sudah terlaksana dengan menggunakan media berupa pamflet, stiker, pin, poster, pemasangan baliho, juga siaran radio sesuai dengan anjuran Peraturan Menteri No 2 Tahun 2010. Selain itu sebuah penelitian psikologi tentang efikasi mengajarkan pencegahan kekerasan seksual anak juga terlihat mencoba memasukkan pengetahuan sebagai background untuk melihat pengaruhnya terhadap motivasi tindakan. Seperti dalam penelitian yang dilakukan oleh Annisa Fitria dalam studinya bahwa pengetahuan akan pencegahan kekerasan seksual pada anak ternyata berpengaruh terhadap efikasi mengajar guru tentang pencegahan kekerasan seksual anak. Hal ini yang kemudian mendasari peneliti untuk mengetahui pula hubungan pengetahuan dengan tindakan 26
pencegahan yang dilakukan orang tua. Penelitian Debora A. Daro juga menjadi landasan dari penelitian ini dimana ia mengatakan bahwa pencegahan kekerasan fisik dan penolakannya telah berkembang pada semua elemen masyarakat. Namun untuk kasus pencegahan kekerasan seksual hanya menargetkan potensial korban sebagai penekanan pada pencegahan primer, sehingga masih kurangnya sentuhan pada potensial pelaku yang bisa saja dari keluarga, guru dan orang-orang terdekat dengan anak. Oleh sabab itu menjadi tantangan tersendiri untuk melihat bagaimana orang tua melakukan pencegahan karena mereka juga berhubungan dekat dengan potensial korban namun bisa juga dekat dengan potensial pelaku.
1.6 Kerangka Teori 1.6.1
DBO Theory Peter Hedstrom Setiap individu dalam melakukan tindakan memiliki dorongan yang
membuatnya melakukakan tindakan tersebut. Dorangan-dorangan ini bisa dari dalam
dirinya
maupun
dari
lingkungan.
Peter
Hedstrom
mencoba
mengkerangkai hal-hal apa saja yang kiranya membuat seorang aktor melakukan aksinya. Menurutnya konsep aksi secara garis besar mencoba menjalaskan hal-hal yang melatarbelakangi tindakan seorang aktor sosial. Berdasarkan definisinya, tindakan sosial lebih dipahami sebagai suatu perbuatan, perilaku ataupun aksi yang dilakukan oleh manusia yang berperan sebagai aktor sosial yang berorientasi pada tujuan tertentu. DBO sendiri mencoba menjelaskan mengenai faktor-faktor pendorong tindakan sosial seorang aktor yang dilakukan secara sengaja atau telah direncanakan 27
sebelumnya. Artinya tindakan tersebut telah dipikirkan, dipersiapkan dan memilki tujuan yang jelas. DBO merupakan akronim dari Desire, Belief and Opportunites. Ketiga hal tersebut menjadi hal-hal yang membuat sesorang melakukan tindakan seperti yang terlihat pada bagan di bawah ini :
Bagan 1.1 Core components of DBO Theory
Sumber : Peter Hedstrom. Dissecting the Social On the Principles of Analytical Sociology, p.39
Gambar di atas menunjukkan bahwa aksi dari setiap individu (actor i) dipengaruhi oleh tiga hal yaitu Desire, Belief dan Opportunites. Desire adalah keinginan atau kehendak para aktor, beliefs adalah preposisi mengenai keyakinan yang dipegang secara benar oleh para aktor, dan Opportunities adalah preposisi menu bagi alternatif tindakan yang tersedia yang akan dipilih oleh para aktor. Namun penjelasan DBO teori tentang tindakan tidak berhenti sampai disitu. Hedstrom melihat bahwa ketiga komponen yang mempengaruhi tindakan seorang aktor tersebut tidak sepenuhnya murni mendorong individu melakukan aksi. Ada dorongan lain yang kemudian menjadi polutan 28
munculnya desire, belief dan opportunities tersebut. Menurut Hedstrom ketiga hal tersebut dapat muncul karena adanya pengaruh tindakan dari aktor lain melalui ineteraksi sosial. Adapun penjelasan selanjutnya dapat dibantu menggunakan bagan dibawah ini : Bagan 1.2 Dyadic Interaction antara aktor i dan aktor j berdasasrkan DBO teori
Sumber : Peter Hedstrom. Dissecting the Social On the Principles of Analytical Sociology, p.44
Dalam bagan di atas, Hedstrom mencoba menjelaskan bagaimana aksi atau tindakan aktor lain dapat mempengaruhi aktor lain. Relasi ini dikenal oleh Hedstrom dengan sebutan dyadic interaction. Tindakan yang dilakukan oleh aktor j tidak serta merta secara langsung dapat mempengaruhi tindakan dari aktor j. Hal tersebut membutuhkan mediator-mediator yang berasal dari dalam individu itu sendiri. Sehingga desire, belief dan opportunities ini berperan sebagai mediator dari pengaruh tindakan dari aktor j ke aktor i. Tindakan aktor i akan terpengaruh oleh tindakan dari aktor j ketika desire dan beliefs aktor i telah dipengaruhi oleh tindakan aktor i, dimana kemudian opportunities yang dimiliki oleh aktor j juga turut terpengaruh. 29
1.6.2
Tindakan Pencegahan Kekerasan Seksual Anak dalam Teori DBO Tindakan pencegahan kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukan
oleh orang tua adalah sebuah tindakan yang dimakusdkan agar anak terhindar dari kekerasan seksual. Dalam melakukan tindakan pencegahan kekerasan seksual anak tersebut, orang tua juga didasari oleh dorongan-dorongan tertentu sama halnya dengan yang diutaran Peter Hedstrom. Orang tua dalam melakukan tindakannya memiliki keinginan agar anaknya tidak menjadi korban ataupun pelaku dari kekerasan seksual. Selain itu orang tua juga meyakini bahwa tindakan kekerasan seksual adalah sesuatu hal yang tidak benar dan menyalahi norma yang berlaku di masyarakat. Kemudian peluang orang tua untuk melakukan tindakan pencegahan juga turut mendorong dilakukannya tindakan pencegahan kekerasan seksual pada anak. Namun, keinginan, keyakinan dan peluang ini tidak murni tumbuh di kalangan orang tua ketika tidak ada kejadian-kejadian kekerasan seksual yang muncul di beberapa pemberitaan. Selain itu dorongan itu semakin kuat tatkala ada aktor yang berperan dalam menambahkan wacana bahwa upaya pencegahan kekerasan seksual tersebut dapat dilakukan di dalam keluarga. Aktor tersebut menjadi polutan dengan memberi pengatahuan baru kepada orang tua yang kemudian membuat orang tua ingin dan yakin untuk melakukan tindakan pencegahan kekerasan seksual pada anak tersebut. Adapun kerangka berfikir tersebut dapat diterangkan menggunakan gambar berikut :
30
Bagan 1.3 Kerangka Pemikiran Informasi tentang kasus kekerasan seksual pada anak
Penerimaan Informasi oleh orang tua (Pengetahuan)
Muncul Keyakinan pada orang tua bahwa KSA tidak boleh terjadi
Muncul keinginan agar anak terhindar dari KSA
Adanya Peluang untuk melakukan pencegahan kekerasan seksual pada anak melalui keluarga Muncul kesadaran orang tua
Melakukan Tindakan Pencegahan Kekerasan Seksual pada Anak
Sumber : Peneliti, 2016 Keterangan : : Bekerja bersama dan beriringan
: Bagian Proses
: Mempengaruhi/ Memicu terjadinya
: Output/ Hasil Akhir
31
1.6.3
Mekanisme Sosial untuk Tindakan Penceagahan KSA Selain konsep DBO, Hedstrom sebelumnya juga telah mengembangkan
konsep mekanisme sosial. Mekanisme sosial menurut Hedstorm (1998) adalah wujud konstelasi entitas yang melakukan aksi atau tindakan dan saling terkait satu sama lain. Dimana tindakan-tindakan tersebut secara teratur berlangsung dan bermuara kepada suatu hasil atau tujuan bersama. Konstelasi yang dimaksud di sini adalah model integrasi yang mampu menjaga secara bersama keberadaan entitas dan aktivtas. Adapun entitas dan aktivitas berasal dari aktor, aksi atau tindakan dan juga interaksi serta output yang mereka bawa hingga kemudian menjadi suatu fenomena sosial. Dalam mekanisme sosial, seorang aktor melakukan tindakan-tindakan individu. Tindakan tersebut terinteraksikan dengan aktor lain dan kemudian menjadi sebuah kelompok yang melakukan aktivitas-aktivitas yang sama dengan membawa suatu output. Begitu seterusnya hingga muncul beberapa kumpulan aktor dalam entitas tertentu dengan output masing-masing. Namun dalam suatu mekanisme sosial, output-output tersebut merujuk pada satu tujuan yang sama meskipun dilakukan dengan cara masing-masing. Merujuk pada konsep mekanisme sosial tersebut maka, dapat dilihat bahwa tindakan pencegahan kekerasan seksual pada anak juga merupakan suatu fenomena yang dapat terjadi melalui adanya mekanisme sosial. Dimana di dalamnya terdapat berbagai aktor yang juga melakukan strategi-strategi dengan cara berbeda dalam menyikapi kasus kekerasan seksual anak tersebut. Namun sebenarnya strategi yang dilakukan tersebut saling berkaitan satu sama lain dalam suatu mekanisme pencegahan kekerasan seksual anak. 32
1.7 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode campuran (mix methode) dengan strategi eksplanatoris sekuensial (Creswell:2010), dimana penelitian yang dilakukan lebih condong pada proses penelitian kuantitatif. Pada tahap pertama dilakukan pengumpulan dan analisis data kuantitatif yang kemudian diikuti oleh pengumpulan dan analisis data kualitatif pada tahap kedua dari hasil awal kuantitatif. Metode Kuantitatif digunakan untuk menjelaskan hubungan antara tingkat pendidikan dengan tindakan pencegahan kekerasan seksual pada anak dalam keluarga. Kemudian dilakukan pengumpulan dan analisis data kualitatif. Data kualitatif digunakan sebagai pelengkap sekaligus memberi warna pada datadata kuantitatif yang tidak terbaca atau tidak sginifikan.
1.7.1
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Prenggan Kecamatan Kotagede Yogyakarta. Prenggan memiliki 13 RW dengan jumlah penduduk menurut data hasil konsolidasi database kependudukan oleh Ditjen Kependudukan Pencatatan Sipil Kemendagri yang diolah bagian kependudukan biro tata pemerintahan setda DIY, penduduk Kelurahan Prenggan pada semester I tahun 2015 adalah 10.907. Pemilihan lokasi ini didasarkan pada adanya kemudahan akses bagi peneliti untuk melakukan penelitiannya mengingat lokasi penelitian merupakan daerah tempat tinggal peneliti. Selain itu Prenggan menjadi salah satu daerah yang sedang dijadikan pilot project sebagai kampung kejujuran oleh KPK dan kampung ramah anak oleh KPMP Kota Yogyakarta. Hal ini menunjukkan adanya keterbukaan 33
masyarakat dalam menerima intervensi pemerintah pada proses pembangunan dan juga diasumsikan banyak menerima informasi salah satunya tentang kejadian kekerasan seksual anak. Penelitian dilaksanakan mulai pada Bulan Januari 2016 sampai dengan Maret 2016
1.7.2 Populasi, Sampel dan Unit Analisis Populasi dari penelitian ini adalah mereka yang menjadi orang tua dan memiliki anak usia 0-18 tahun serta tinggal di Kelurahan Prenggan Kecamatan Kotagede Yogyakarta. Berdasarkan data Kelurahan Prenggan tahun 2012, terdapat 1079 kepala keluarga yang memiliki anak usia 0-18 tahun. Sedangkan berdasarkan data dari Dinas Kependudukan dan Penctatan Sipil Kota Yogyakarta terdapat 1943 kepala keluarga yang didalamnya ada anggota anak usia 1-18 tahun. Sampel yang diambil adalah orang tua yang tinggal di daerah terebut dengan unit analisanya individu. Artinya baik ayah maupun ibu memiliki hak untuk menjadi responden dalam penelitian ini selama masih memiliki anak 0-18 tahun tanpa memperhatikan usia yang dimiliki oleh orang tua tersebut.
1.7.3 Teknik Sampling Penelitian ini menggunakan teknik stratified random sampling dalam pengambilan sampling. Peneliti menggunakan teknik stratisfied random sampling dikarenakan peneliti ingin melihat level tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangan tingkat pendidikan responden. Langkah yang dilakukan oleh peneliti adalah mencari data sekunder terkait tingkat 34
pendidikan mayoritas penduduk melalui kelurahan dan juga data dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Yogyakarta untuk orang tua yang bertempat tinggal di kelurahan Prenggan. Kemudian dilanjutkan dengan penentuan 4 RW dengan pertimbangan jumlah orang tua terbanyak. Setelah mendapatkan beberapa wilayah tersebut baru kemudian peneliti memilih responden secara random dari RW tersebut dengan mempertimbangkan jumlah perwakilan tiap tingkat pendidikan. Mengingat keterbatasan waktu, biaya dan akses peneliti, maka diambil beberapa sampel dalam penelitian ini. Sedangkan untuk meentukan jumlah sampel yang dipilih peneliti menggunakan Elementary Social Statistic dengan rumus
= 96 sampel
Keterangan : n
: Jumlah sampel
Q 2
: Jumlah populasi
Z
: Kepastian benar yang diinginkan
P
: Proporsi Populasi
T
: Prosentase toleransi ketidak telitian yang masih dapat ditolerir
Selama proses pengumpulan data, peneliti memperoleh 110 responden. Namun, setelah dilakukan cleaning hanya terdapat 100 kuisioner yang dapat dijadikan sebagai data yang kemudian diolah dan dianalisis.
35
1.7.4 Definisi Operasional Tabel 1.1 Penjelasan Variabel, Definisi Operasional, Indikator dan Skala yang digunakan dalam penelitian Variabel Definisi Indikator Penelitian Operasional Variabel Bebas (Variabel dasar) Tingkat Pendidikan Memilih jenis Pendidikan terakhir yang pendidikan ditempuh oleh pada kuisioner orang tua sesuai dengan menurut data BPS yakni indikator BPS : dengan jenjang 1. Tidak terendah ialah tamat SD tidak tamat SD 2. Tamat SD dan tertinggi 3. SMP yakni 4. SMA perguruan 5. PT tinggi
Variabel Intervening Pengetahuan Pemahaman tentang orang tua kekerasan tentang seksual anak kekerasan seksual anak dan kasus kekerasan seksual yang terjadi di linglungan sosial.
Variabel Terikat Tindakan Proses orang pencegahan tua melakukan
Hasil UKur
Skala
Hasil ukur dari tingkat pendidikan ini dikategorikan kedalam 2 kategori pendidikan : 1. Pendidikan Dasar (Tidak tamat SD, tamat SD, SMP) 2. Pendidikan Menengah ke Atas (SMA dan PT)
Ordinal
Untuk mengukur pemahaman tersebut dapat melalui hal-hal berikut : 1. Bentukbentuk KSA 2. Dampak KSA 3. Bagian tubuh anak yang rawan KSA 4. Tandatanda anak terkena KSA
Hasil data dikategorikan menjadi beberapa tingkat pengetahuan : 1. Sangat Rendah 2. Rendah 3. Sedang 4. Tinggi 5. Sangat Tinggi
Interval
Untuk mengukur
Hasil yang didapat terbagi
Ordinal
36
kekeraasan seksual anak
atau tidak melakukan tindakab guna mengendalikan terjadinya kekerasan seksual oada anak
pencegahan dalam dua dilihat dari : kategori yakni : 1. Kemam1. Orang tua puan orang sudah tua melakukan menjelaskpencegahan an tentang 2. Orang tua kasus belum kekera-san melakukan seksual pencegahan pada anak 2. Interaksi orang tua dan anak 3. Keterlibatan dalam kegiatan sosialisasi Sumber : Data Primer, 2016 Bagan 1.4 Hubungan Antar Variabel
X1
y
X2
Keterangan : Berhubungan X1
: Tingkat Pendidikan Orang tua
X2
: Pengetahuan Orang Tua tentang Kekerasan Seksual pada Anak
Y
: Tindakan Pencegahan Kekerasan Seksual pada Anak
37
1.7.5 Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini mengguanakan beberapa metode pengumpulan data. 1.
Pengumpulan data sekunder dilakukan peneliti dengan cara mengumpulkan data sensus penduduk di Kelurahan Prenggan untuk melihat jumlah keluarga yang memiliki anak usia 0-18 tahun sebagai calon responden
2.
Studi pustaka peneliti lakukan untuk mencari referensi-referensi yang relevan dan dapat digunakan dalam penelitian ini. Studi pustaka dilakukan dengan cara mencari jurnal atau panduan UNICEF, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan Kementrian Sosial, juga mencari riset-riset yang ada sebelumnya.
3.
Observasi. Observasi dilakukan untuk mengamati kondisi wilayah RW untuk menentukan lokasi penelitian. Peneliti melakukan observasi dalam mengamati kondisi lingkungan sosial di wilayah Prenggan, khususnya terkait kegiatan-kegiatan sosial warga masyarakat.
4.
Wawancara. Wawancara dilakukan dengan menggunakan kuisioner dan interview guide. Wawancara dengan menggunakan kuisioner dilakukan kepada orang tua yang menjadi responden untuk mendapatkan data statistik.
38
1.7.6 Teknik Pengolahan dan Analisis Data Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik statistik deskriptif dan statistik inferensial. Peneliti menggunakan statistik deskriptif untuk menggambarkan upaya pencegahan kekerasan seksual pada anak oleh orang tua dalam beberapa aspek seperti usia atau jenis kelamin orang tua di Kelurahan Prenggan Kotagede Yogyakarta. Serta memberikan gambaran seberapa besar hubungan antara varriabel-variabel tersebut terhadap tindakan pencegahan kekerasan seksual pada anak. Alat yang digunakan dalam menganalisis data dengan menggunakan IBM SPSS Statistic 22 menggunakan uji chi square. Untuk memperkaya pengkajian data peneliti melakukan analisis terhadap hasil wawancara dengan menggunakan analisis data kualitatif Miles dan Huberman. Adapun teknik analisis tersebut yakni melakukan pereduksian data, penyajian data kemudian menarik kesimpulan. Data kualitatif digunakan sebagai pelengkap dari data kuantitatif yang telah dianalisis sebelumnya sehingga memperkaya kajian yang ada.
39