MANUSIA DAN TAMAN EDEN Kejadian 2:8-25 Oleh: Romy
Pendahuluan
Dalam sebuah liputan di televisi yang saya tonton beberapa tahun lalu, dikisahkan tentang pencarian benda-benda yang paling misterius. Ternyata benda yang paling misterius di urutan pertama adalah Tabut Perjanjian Allah. Dimanakah benda itu berada? Banyak orang yang memiliki minat akan hal itu terus melakukan pencarian sampai sekarang. Mengenai taman Eden, banyak orang-orang yang juga memiliki minat yang serupa, konon katanya ada di daerah Irak, dll. Tetapi pertanyaan yang lebih serius lagi, apakah taman itu fakta atau hanya fiksi? Jika hanya fiksi maka celakalah mereka yang mencarinya, itu adalah sebuah pencarian wujud bendawi yang sia-sia. Bagaimana jikalau kita melihatnya sebagai sesuatu yang simbolis belaka? Tentunya perdebatan ribuan tahun ini akan terus bergulir. Manakah yang penting transendensi atau imanensi? Sesuatu yang “di sana” kata Plato atau sesuatu yang “di sini” kata Aristoteles? Sungguh, sebuah perdebatan dikotomi yang tidak berujung. Mereka yang buntu berkata “mungkin pertanyaannya yang salah?” ada lagi yang mengatakan “taman Eden itu, ya dunia ini” atau “oh bukan, taman Eden itu adalah Yerusalem baru, sorga yang di atas”. C.S Song berkata “kebenaran dari iman Kristen bertumpu pada Firman yang menjadi manusiawi…gerakan Allah menuju kemanusiaan, mengambil kehidupan dan sejarah manusia” Song sangat bertumpu pada inkarnasi tetapi melupakan bahwa Yesus juga naik ke sorga. Pendekatan interdependensi (saling bergantung) akan dipakai dalam tulisan ini. Sebuah penghayatan akan sorga ternyata memberikan sigifikansi akan kehidupan yang “di sini”. Demikian pula sebaliknya, penghayatan akan sejarah manusia akan mengembangkan pengharapan akan sorga yang kekal, menjadikannya sebuah tujuan yang mulia “di sana”.
Manusia di taman Eden, apakah yang mereka lakukan? Pertama, Harusnya mereka memilih pohon “kehidupan” ketimbang pohon “pengetahuan”. Sedikit wacana teks, jikalau kita memperhatikan di ay. 9, Tuhan Allah 1|Page
menumbuhkan berbagai pohon yang menarik dan yang baik, termasuk pohon kehidupan dan pengetahuan. Jadi itu bukan pohon setan! Karena Allah membuatnya baik dan menarik. Lalu kenapa muncul larangan dalam ay. 16-17? Bisa jadi memang belum saatnya untuk memilih pengetahuan, jikalau melihat pasal 3:22 mengenai pohon kehidupan, disitu Allah juga membatasi untuk manusia memakan buah pohon itu. Jadi ada kemungkinan yang dilarang sebenaranya berarti “jangan dulu” dan yang diperbolehkan berakhir dengan “tidak boleh”. Dalam kitab Wahyu 22:2 kembali disebutkan juga, bahwa di sorga “di sono” akan ada pohon-pohon kehidupan (bukan hanya satu), pohon-pohon itu terus berbuah dan daun-daunnya dipakai untuk menyembuhkan. Kej 3:22 “siapa memakan, dia hidup selama-lamanya”. Nah, saya merasa bahwa hidup selama-lamanya perlu dipikirkan dengan serius, mengingat ketika manusia makan buah pohon pengetahuan ternyata mereka tidak seketika mati secara fisik. Ah, membingungkan, ujung-ujungnya fisika dan metafisika lagi. Hikmat orang Indonesia saya berbisik “Kalau begitu, makan pohon kehidupan dulu, khan tidak akan mati lalu makan pohon pengetahuan!”. Secara alegoris saya merenungkan bahwa memang pencarian akan kehidupan lebih
utama
dari
pada
pencarian
akan
pengetahuan.
Semakin
seseorang
berpengetahuan maka harusnya dia kembali kepada sebuah hidup yang berpusat kepada kehidupan. Sebuah teologi inkarnasi kata C.S. Song. Lalu apakah faedahnya pengetahuan tentang sorga? Sekali lagi, itu menjadi konsep yang “tipis” yang menunjuk kepada sebuah tujuan dan pengharapan. Bukankah mereka yang memiliki harapan dan tujuan biasanya lebih “rajin”? Perjuangkanlah kehidupan maka engkau akan hidup!. Kedua, Ay. 15, Tuhan menempatkan manusia untuk mengusahakan dan memelihara taman itu. Kalau di sorga nanti kita kerjanya jadi “tukang kebun” maka seharusnya selama masih di dunia ini haruslah kita juga berlatih mengerjakan hal itu. Yohanes 5:17, Yesus berkata “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Aku pun bekerja juga”, oh tenyata pada hari sabat (dilarang bekerja) Yesus pun tetap bekerja untuk mengusahakan kehidupan ini. Bekerja untuk mengusahakan dan memelihara dunia ini. Sebuah etos kerja yang patut dicontoh. Betapa indahnya kehidupan yang terus-menerus dipelihara, kehidupan yang tidak dirusak, dicemarkan, dinodai tetapi diusahakan dengan penuh kasih. Bekerjalah, usahakanlah selama masih siang, biarlah segala yang disentuh oleh tangan kita bertumbuh dan terpelihara. 2|Page
Ketiga, Ay. 18 “menjadi seorang penolong…” Rasa hati sangat iri ketika memikirkan bahwa kata “penolong” terkadang hanya melekat pada Kaum perempuan, ingin rasanya kata itu melekat seterusnya dalam naturku sebagai lelaki juga. Menjadi penolong bagi sesama di dalam dunia ini. Mengusahakan dan memelihara taman dunia dengan komunitas dan kebersamaan dalam ikatan tolong-menolong. Melintasi gender, Agama, dan semua sekat-sekat yang ada. Sebuah kenyataan bahwa kesendirian menjadikan manusia itu murung adalah benar. Sesama manusia sedang mencari sesamanya dan jika dia tidak menemukannya maka murunglah hatinya. Perjuangan akan kehidupan harus dikerjakan bersama dengan memiliki hati seorang penolong. Tengoklah pelajaran penting dari kaum Anabaptis yang menegaskan bahwa kebenaran akan bertumbuh subur di dalam komunitas dan bukan individualitas. Penyembahan kepada Tuhan bukanlah menutup mata tetapi membuka mata bagi sesama yang membutuhkan pertolongan.
Penutup Persoalan penting bukanlah pada perdebatan akan dikotomi yang tak berujung tetapi kepada kehidupan dalam upaya memeliharanya, dan hidup penuh kasih, tolongmenolong terhadap sesama. Biarlah yang transenden dan imanen, yang sorgawi dan duniawi, yang fisik dan metafisik, Eden yang di dunia dan Eden yang disorga menjadi “satu daging”. Kiranya segala pengetahuanmu memimpin pada kehidupan, turun dalam daging-inkarnasi dan naik ke sorga bersama Tuhan Yesus kita. Amin
3|Page
Tanggapan Terhadap Presentasi "Manusia dan Taman Eden" Karangan Sdr. Romy Diskusi Teologis Fakultas Teologi UKDW, 3 September 2013
Ketika membaca kisah dalam Kej 2, ada 4 jenis persoalan yang mungkin kita ajukan, yaitu 1. Persoalan kenyataan. Kita bertanya apakah memang kisah ini benar-benar terjadi? Apakah ini bukan hanya sebuah mitos? Jika benar terjadi, di manakah tempatnya? Di dunia atau di surga? Kalau di surga, mengapa nama-nama sungai yang disebut dalam ay 11-14 sama dengan namanama sungai di Babel / Irak sekarang (Efrat, Tigris) dan Yerusalem (Gihon). Kalau di dunia, mengapa gambarannya begitu sempurna (too good to be true). Juga hubungan manusia dan binatang sama seperti dalam cerita-cerita dongeng dimana manusia bisa berbicara dengan binatang. Kemudian, Tuhan bisa membangun manusia (perempuan) dari rusuk manusia. Benarkah ini sebuah kenyataan? 2. Persoalan teks. Penggunaan istilah YHWH (dibaca Adonai) untuk tuhan yang diterjemahkan menjadi TUHAN oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), mengapa berbeda dari Elohim (LAI: Allah) yang digunakan dalam Kej 1? Mengapa pula Kej 2 (mulai ay 4b) seperti mengulang kembali kisah penciptaan yang sudah dipaparkan dalam ps 1? Dan mengapa urutan penciptaan manusia di sini berbeda dari ps 1? Apakah itu berarti kita mempunyai 2 kisah penciptaan yang berbeda? Kalau begitu, mengapa diletakkan dalam 1 bagian? Dalam kaitan teks ada pula soal pengertian yang terasa janggal seperti kabut yang bukannya turun, namun naik ke atas bumi (ay 6). Kemudian ay 8 menyebutkan letak taman Eden: di sebelah Timur. Maksudnya timur dari lokasi yang mana? Selain itu, juga soal binatang yang dibentuk Tuhan (ay 19), mengapa tidak ada binatang airnya? Dalam kerangka teks pula masih ada soal terjemahan seperti "nafas hidup" yang dihembuskan Tuhan untuk menghidupkan manusia. Apakah itu sama dengan angin yang keluar ketika kita menghembuskan napas? Lalu soal "salah satu tulang rusuk" yang diambil Tuhan untuk membuat manusia perempuan, apakah itu sama dengan tulang iga kita? 1|Page
3. Persoalan pengarang. Dalam persoalan teks tadi telah ditengarai kemungkinan bahwa Kej 2 merupakan kisah penciptaan tersendiri yang berbeda dari Kej 1. Bila demikian maka siapakah yang menulis atau mengarang kisah ini? Pendapat yang masih banyak diikuti (meskipun sudah digugat juga) adalah Y (singkatan dari Yahwis) sebagai pengarang Kej 2. Sedang pengarang Kej 1 adalah P (Priest atau Imam). Mereka hidup di zaman yang berbeda dan dengan pandangan (ideologi) yang berbeda. Ciri karangan Y sebagaimana dikenali oleh para ahli adalah corak antropomorfisnya (penggambaran yang berwujud manusia, termasuk penggambaran tentang tuhan). Seperti nampak dalam penggambaran Tuhan dalam kisah kita ini. Karangan Y tidak saja terkesan antropomorfis, tetapi juga subversif, sebagaimana dikatakan oleh Harold Bloom. Salah satu cara untuk merasakan sifat subversif karangan Y adalah dengan membandingkan Kej 1 dan 2. Allah di Kej 1 terkesan lebih berjarak dengan manusia dibandingkan dengan Tuhan di Kej 2. 4. Persoalan pembaca Pembaca yang dimaksudkan di sini adalah pertama-tama orang-orang Yahudi (penganut Yudaisme) dan orang-orang Kristen yang mengakui Kitab Kejadian sebagai bagian dari kitab sucinya. Pembaca perlu dibedakan dari teks, pengarang dan kejadian yang sebenarnya. Meskipun pembedaan ini tidak total. Contohnya, Kej 2 yang melukiskan sebuah keadaan di awal kehidupan yang begitu ideal, oleh para pembaca seringkali langsung dimengerti sebagai surga. Dari mana pemikiran tersebut berasal? Tentu dari teks Kej 2 sendiri, namun juga dari pikiran pembaca juga. Menurut Pak Gerrit, gagasan tentang surga yang dikenakan kepada Taman Eden berasal dari gabungan ide Eden sebagai taman Allah yang sangat indah di Yeh 28.11-19 dan perkataan Yesus kepada seseorang yang disalib bersamanya (Luk 23.43). (E.G. Singgih 2011, h. 83). Berarti bukan dari Kej 2 saja atau malah sama sekali bukan dari Kej 2 sebagaimana dikatakan Pak Gerrit. Contoh lain mengenai bagaimana pembaca memasukkan pikirannya ke dalam teks adalah berkenaan dengan ungkapan di ay 24: "sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging". Ungkapan ini sering dipakai sebagai dasar perkawinan. Padahal tidak ada indikasi ke arah itu. Setidaknya tidak secara eksplisit (E.G. Singgih, h. 96). Gagasan perkawinan baru muncul dalam percakapan Yesus dengan orang Farisi mengenai perceraian (Mat 19 dan Mark 10). Tetapi seperti konteksnya, yang 2|Page
dimaksudkan bukanlah memastikan perkawinan, melainkan menolak perceraian yang diajukan oleh orang-orang Farisi itu. Memang perceraian baru terjadi jika ada perkawinan, tetapi bukan berarti perkawinan merupakan sebuah keharusan. Jadi Mat 19 dan Mark 10 pun sebenarnya tidak cocok untuk dijadikan dasar perkawinan, apalagi Kej 2.24.
Tanggapan terhadap sdr. Romy Kalau boleh saya ringkas presentasi sdr. Romy jadinya seperti ini: 1. Seharusnya manusia mengambil buah pohon kehidupan, bukan buah pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat. 2. Manusia (dan Tuhan) berada di taman (atau kebun) Eden untuk bekerja. 3. Bukan hanya perempuan menjadi penolong lelaki, namun lelaki juga menjadi penolong perempuan. Tanggapan saya terhadap poin 1 adalah di satu pihak sdr. Romy terlalu cepat. Soal pengambilan buah baru muncul nanti di ps 3. Di ps 2 baru disebut tentang tentang kedua jenis pohon yang istimewa itu dan larangan untuk memakannya. Di pihak lain, saya bisa mengerti jika sdr. Romy ingin cepat-cepat membahas soal pengambilan buah itu karena begitu pohon dan larangannya disebut maka pikiran orang akan langsung tertuju pada apa yang terjadi setelahnya. Jika ada pohon yang buahnya sangat menarik, tetapi orang dilarang memakannya maka langsung saja muncul rasa penasaran, apakah larangan itu akan dipatuhi? Mungkin karena ingin cepat-cepat itu, sdr. Romy sampai lupa bahwa yang sebenarnya dilarang itu adalah makan buah pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat saja (ay 17). Untuk pohon kehidupan, tidak disebutkan larangannya. Baru nanti setelah manusia memakan buah pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat, Tuhan membuat langkah-langkah pencegahan agar manusia tak memakan buah pohon kehidupan (3.22-24). Kalau begitu, ide sdr. Romy bahwa seharusnya buah pohon kehidupan itu yang dimakan dahulu oleh manusia kurang mengena. Karena tidak ada larangan, ya, mestinya makan buah pohon kehidupan bisa nanti-nanti saja. Sdr. Romy bilang kehidupan itu lebih berharga daripada pengetahuan. Mungkin dia mewakili perasaan mahasiswa yang sedang frustrasi karena merasa terlalu banyak dijejali pengetahuan. Saya mengerti betul perasaan itu karena saya pernah menjadi mahasiswa. Dosen-dosen memang suka seenaknya sendiri kalau memberi tugas. Akibatnya tugas mahasiswa menumpuk dan akhirnya jenuh. Di saat seperti itulah penghiburan yang dapat dipakai adalah mengingatkan diri sendiri bahwa kehidupan itu 3|Page
jauh lebih berharga daripada pengetahuan. Bukannya saya mau membuyarkan khayalan yang menghiburkan itu, tapi saya hanya mau permisi tanya, bagaimana kita bisa yakin bahwa kehidupan itu lebih berharga daripada pengetahuan jika kita tidak mengetahuinya? Jadi bukankah pengetahuan itu perlu mendahului kehidupan? Maka, saya lebih setuju dengan pandangan ular di ps. 3 ketimbang pandangan sdr. Romy. Tentang pentingnya bekerja yang ditekankan oleh sdr. Romy, saya setuju banget. Tetapi tetap dengan pesan bahwa rekreasi juga penting. Kej 2 jelas menekankan aspek rekreatif itu. Tidak ada kreasi tanpa rekreasi. Orang boleh-boleh saja bekerja keras, tapi belum tentu kerjanya itu kreatif (minggunlalu, Pak Yahya sudah membahasnya dengan kreatif). Agar bisa bekerja secara kratif, orang butuh rekreasi. Pesan yang sama juga perlu diberikan ketika kita berpikir tentang prokreasi yang secara implisit dimaksudkan dalam kisah pembangunan perempuan. Tidak ada prokreasi tanpa rekreasi! Jadi janganlah kita menyingkirkan aspek rekreasi dari Kej 2 yang sangat jelas itu. Mentangmentang senang bekerja lalu rekreasi dicuekin. Mentang-mentang suka berprokreasi (beranak) rekreasi dianggap nomer dua. Poin ketiga dari sdr. Romy tidak akan saya tambahi supaya kita fokus pada poin 1 dan 2, terutama yang ke2. Jika boleh saya ajukan sebuah pertanyaan untuk pengembangan diskusi, begini: 1. Sejauh mana unsur rekreasi dan kreasi diungkapkan dalam Kej 2? 2. Mengapa ada kecurigaan terhadap rekreasi dalam ajaran agama? Sejauh mana kita dapat menerima kecurigaan tersebut?
RS
4|Page
Welfrid Fini Ruku, Membaca Tragedi Eden Dalam Konteks Raja Salomo, bahan pengantar PA tgl 10-09-2013 di UKDW
Membaca Tragedi Eden Dalam Konteks Salomo Kejadian 3:1-24 Pengantar Kejadian 3:1-24 merupakan lanjutan dari Kejadian 2:8-25 yang sudah dibahas pada minggu yang lalu. Pasal 3 berisi pesan singkat bahwa manusia dan perempuan yang hidup bahagia di taman Eden itu ternyata tidak mentaati perintah Allah (2:17; 3:6). Akibatnya, mereka diusir dari taman Eden dan mengalami hidup yang serba sulit (3:24). Pesan ini dijalin bersama mitos tentang pohon pengetahuan moral1 dan ular yang pandai bicara. Berikut saya akan menafsir teks ini menggunakan metode kritik naratif dan kritik historis. Diharapkan dengan pendekatan itu beberapa isu bisa terjawab. Tafsiran Ayat 1-5 Bagian ini menjelaskan tentang percakapan seekor ular (nakhash) yang paling cerdik (arum) dengan perempuan di taman Eden. Dengan kecerdikannya, si ular meyakinkan perempuan itu bahwa ancaman kematian dari Allah sebagai akibat dari menyentuh dan memakan buah terlarang itu samasekali tidak benar. Yang benar menurut si ular bahwa sesudah makan, mata mereka akan terbuka dan mereka akan memiliki pengetahuan yang setara dengan Allah. Pertanyaannya adalah darimanakah datangnya kecerdikan si ular? Dalam sejarah tafsir muncul beberapa kemungkinan jawaban: pertama, ular itu adalah ciptaan yang biasa (1:25) tetapi ia pernah memakan buah dari pohon yang dilarang oleh Allah itu sehingga ia menjadi cerdik dan juga mengetahui rahasia Tuhan di balik larangan itu.2 Kemungkinan kedua, bahwa ular itu ‘ditunggangi’ oleh oknum lain (Iblis/Satan) yang mempunyai kepentingan tertentu yaitu untuk menurunkan status manusia itu dari kedudukannya yang istimewa di taman Eden (Ayub 1-2; Wahyu 12:9; 20:2).3 Kedua jawaban itu menempatkan ular sebagai pihak yang bersalah dan pantas dihukum (ayat 14). Masalahnya adalah: apakah ‘kecerdikan (Ibr. 'arum’) ular’ itu adalah karunia Pencipta ataukah karunia Iblis? Jika ‘kecerdikan ular’ itu dianggap sebagai karunia Iblis, mengapa Yesus mengutus murid-murid-Nya dengan pesan: ‘hendaklah kamu cerdik seperti ular …’ (Mat. 10:16)? Bagi saya, kecerdikan (bisa dibaca hikmat) itu mesti dipahami sebagai karunia Pencipta (ayat 1a). Masalah baru muncul jika kecerdikan itu dipakai untuk maksud yang bertentangan dengan kehendak-Nya. Untuk menghindari aspek negatif dari kecerdikan, maka, oleh Yesus, dibutuhkan ketulusan (merpati). Ular di taman Eden cerdik tapi tidak tulus karena ia ingin mengacaukan pikiran perempuan itu supaya ragu melakukan perintah Tuhan. Meskipun dalam mitos-mitos ular bisa berbicara, tapi dalam konteks ini ular ‘dibuat’ berbicara oleh narator (sumber Y) dengan maksud untuk menggambarkan 1
Menurut Gary Greenberg, dua pohon di tengah taman Eden itu terkait dengan mitos penciptaan Mesir. Dalam mitos itu dewa pencipta (Atum) mempunyai dua anak, Shu (kehidupan) dan Tefnut (pengetahuan baik dan jahat). Atum menyuruh Shu supaya memakan saudaranya, Tefnut, karena hanya dengan begitu ia bisa diberi hidup kekal seperti Osiris. Lihat Gary Greenberg, 101 Myths of the Bible: How Ancient Scribes Invented Biblical History, Naperville/Ilionis: Sourcebooks, Inc., 2000, p. 49. Dengan latar belakang itu kita bisa memaklumi mengapa TUHAN melarang Adam dan Hawa untuk makan dari pohon pengetahuan tentang baik dan jahat dan mengapa TUHAN melidungi pohon kehidupan dengan cara mengusir mereka dari taman Eden; sebab monoteisme Israel tidak menghendaki kesetaraan manusia dengan Allah. 2
3
Gary Greenberg, 101 Myths of ……, p. 64.
Kemungkinan kedua ini didukung oleh para penafsir Yahudi dan Kristen (misalnya Irenaeus, 130-202 M.). Thomas L. Constable, Notes on Genesis, 2012 edition, p. 46.
1
Welfrid Fini Ruku, Membaca Tragedi Eden Dalam Konteks Raja Salomo, bahan pengantar PA tgl 10-09-2013 di UKDW
tentang konspirasi busuk bangsa-bangsa asing (dengan member perempuan) dengan tujuan menghancurkan bangsa Israel baik segi politik maupun agama (band. Yer 51:34). Ayat 6-7 Kedekatan antara ular dan perempuan dalam ayat 1-5 menempatkan perempuan itu pada posisi yang sulit, entah mentaati atau melawan Firman Allah. Ayat 6-7 menjelaskan tentang sikap yang diambil perempuan itu setelah mendengar tawaran si ular. Ia memandang pohon itu, ia terpikat olehnya, ia membayangkan bonus yang akan ia terima sesudah memakan buah pohon itu: kehidupan kekal dan menjadi sama seperti Allah. Lalu ia mengambil dan makan bersama suaminya dan mereka telanjang. Biasanya para pembaca menganggap perempuan itu sebagai penyebab manusia jatuh ke dalam dosa. Kaum feminis lalu membela perempuan itu antara lain dengan mengatakan bahwa teks ini ditulis oleh penulis yang hidup dalam konteks budaya patriarki sehingga laki-laki lebih diutamakan ketimbang kaum perempuan. Saya sendiri tidak melihat masalah gender dalam teks ini. Isu yang sering dilupakan adalah mengapa manusia itu pasif atau mengapa narator menggambarkan manusia itu sebagai sosok yang tidak berani menegur ketika perempuan itu mengambil, makan, dan memberikan buah terlarang itu kepadanya? Teman-teman satu Kos dengan saya menjawab bahwa karena manusia itu juga suka makan buah terlarang (?). Bagi saya supaya kita bebas dari pemikiran dikotomistis (gender), kita harus mengembalikan teks ini pada konteks abad ke-9 (sumber Y) khususnya pada masa pemerintahan Salomo. Di awal pemerintahannya, Salomo meminta hikmat dari Tuhan. Dengan hikmat itu ia bisa membedakan antara yang baik dan yang jahat serta bisa memimpin umat dalam taman milik Tuhan (Israel).4 Ia berjaya dan berhasil membangun Bait Allah serta berhasil menciptakan hubungan bilateral dengan bangsa-bangsa sekitar. Yang menjadi persoalan adalah ketika ia mencintai banyak perempuan asing. Ia bersikap diam ketika istri-istri asing itu menyembah berhala. Pada gilirannya, ia juga ikut menyembah berhala (1 Rj. 11:1-10). Ide ini terjalin erat dalam teks Kejadian 3, di mana manusia itu diam dan ikut memakan buah terlarang.5 Dalam konteks seperti ini kita bisa memahami mengapa perempuan (maksudnya istri-istri Salomo) dianggap sebagai pembawa dosa/bencana bagi Israel. Ayat 8-13 Di bagian ini Tuhan melakukan intervensi. Ia datang mengunjungi manusia itu di dalam taman. Bunyi langkah Tuhan membuat manusia dan istrinya itu merasa takut dan bersembunyi. Mereka takut bertemu dengan Tuhan karena mereka telah melangkahi perintah-Nya. Menarik bahwa dalam bagian ini sikap ‘lari dari tanggung-jawab’ sangat menonjol. Ketika Tuhan bertanya kepada manusia itu: “Apakah engkau makan dari buah pohon, yang Kularang engkau makan itu?" Manusia itu tidak mengakui dosanya dan meminta pengampunan. Ia malah mempersalahkan perempuan itu dan juga Tuhan. Perhatian Tuhan kembali tertuju kepada perempuan itu. Ketika ditanya, perempuan itu mempersalahkan ular. Anehnya, Tuhan tidak meminta pertanggung-jawaban dari si ular. Mengapa? Mungkin karena ular tidak segambar dan 4
Saya memahami taman Eden/Firdaus sebagai simbolisasi dari tanah Kanaan. Nabi Yesaya menyebutnya sebagai taman TUHAN (Yes 51:3) sedangkan nabi Yehezkiel menyebutnya sebagai taman Allah (Yez. 28:13; 31:9). Itulah tanah perjanjian yang diberikan Tuhan kepada Israel. 5 Pada masa Salomo dan sesudahnya, pohon, ular, perempuan selalu dikaitkan dengan berhala (1 Rj 14:2224; 2Rj 17:10-12; 2Rj 18:4).
2
Welfrid Fini Ruku, Membaca Tragedi Eden Dalam Konteks Raja Salomo, bahan pengantar PA tgl 10-09-2013 di UKDW
serupa dengan-Nya sehingga Ia merasa tidak perlu berdialog kecuali menghukumnya. Ayat 14-19 Intervensi Tuhan berlanjut dengan pemberian hukuman. Perbuatan memperdaya perempuan diganjar dengan dua jenis hukuman yakni menjalar dengan perut dan tanah menjadi menu makanan tetap. Selain itu pertemanan ular dengan perempuan itu diakhiri melalui suatu permusuhan kekal antara ular dan perempuan itu (ayat 15). Para penafsir Yahudi dan Kristen memahami ayat 15 sebagai janji kedatangan Mesias (Yahudi) dan Yesus (Kristen). Pemahaman seperti ini tidak banyak didukung oleh data. Ayat 15 hanya berbicara tentang konflik yang tak henti antara ular dan perempuan serta antar keturunan mereka. Sumber Y terbiasa menampilkan kutuk Tuhan terhadap musuh-musuh-Nya dengan cara merusak/memutus komunikasi/bahasa di antara mereka (Kej 11:7, 8). Jika ular dan perempuan di taman Eden bisa dipahami sebagai simbol dari konspirasi busuk bangsa-bangsa sekitar Israel untuk meruntuhkan kerajaan Israel (lihat penjelasan sebelumnya) maka kutuk itu bermakna sebagai pergolakan yang tidak berakhir di antara bangsa-bangsa tetangga Israel yang ingin berkhianat terhadap Israel. Selanjutnya, karena membiarkan dirinya diperdaya oleh ular maka Hawa diganjar dengan beberapa hukuman: kesulitan selama mengandung dan kesakitan di saat melahirkan akan diperbanyak; persoalan krusial ada di kalimat berikut: “namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu" (ayat 16). Ayat ini memberi kesan seolah-olah laki-laki tidak memiliki berahi; sudah tidak punya berahi tetapi punya nafsu untuk mendominasi perempuan. Aneh! Memang kita bisa merasa aneh dan marah kalau kita memahaminya secara hurufiah. Tetapi jika kutuk Tuhan ditempatkan dalam konteks Salomo dan istri-istrinya, maka hukuman kepada perempuan itu lebih bermakna sebagai hukuman Tuhan kepada bangsa-bangsa kafir dari mana perempuan-perempuan itu berasal; bangsa-bangsa itu akan tetap berada di bawah kuasa (masyal) Israel (yang digambarkan) seperti perempuan yang akan terusmenerus berahi dan takluk pada suaminya (ayat 16). Manusia itu dinilai bersalah karena mendengarkan istrinya dan memakan buah terlarang itu. Ganjaran atas pelanggaran itu yakni: tanah terkutuk, duri dan rumput duri akan bertumbuh subur sehingga susah payah dalam bekerja menjadi lebih banyak, hingga akhirnya kematian akan menjemputnya. Yang aneh pada bagian ini adalah mengapa Tuhan tidak mengutuk manusia itu tetapi justru tanah tempat manusia itu bekerja? Seperti kutuk untuk ular dan hukuman bagi perempuan, bagian ini tidak bisa dipahami lepas dari konteks Salomo. Salomo ikut menyembah berhala tetapi Tuhan tidak mengutuk Salomo karena ia pernah diberkati oleh Tuhan (1 Rj 1:45). Tuhan mengutuk tanah tempat Salomo bekerja dengan cara membangkitkan musuh dari tengah-tengah bangsanya yang menentang dia hingga akhir hidupnya (1 Rj. 11:9-43). Ayat 20-21 Agak lucu bahwa baru sesudah dijatuhi hukuman oleh Tuhan, manusia itu memberi nama kepada istrinya. Para penafsir memahami ‘pemberian nama’ sebagai bukti dominasi lelaki terhadap perempuan, sama seperti ketika manusia itu memberi nama kepada binatang-binatang (Kej 2:20). Bagi saya pemberian nama tidak harus dipahami demikian. Justru manusia itu memilih nama khayah (hidup) sebagai simbol dari hope bahwa meskipun bangsa itu akan dihukum karena kesalahannya tetapi kelak akan muncul generasi-generasi baru demi kelanjutan bangsa itu. Tindakan Tuhan 3
Welfrid Fini Ruku, Membaca Tragedi Eden Dalam Konteks Raja Salomo, bahan pengantar PA tgl 10-09-2013 di UKDW
membuat pakaian dan mengenakan kepada manusia dan istrinya itu juga merupakan tanda dari kasih setia Tuhan yang tak terhingga kepada Israel (Bd. Hos 1:7). Ayat 22-24 Ayat 22 memuat alasan mengapa manusia dan istrinya perlu dikeluarkan dari taman Eden. Tuhan menjadi sadar bahwa larangan yang bertendensi melindungi kesakralan-Nya sudah diterobos oleh manusia karena memakan buah dari pohon pengetahuan baik dan jahat. Tinggal satu langkah lagi manusia itu akan sama dengan Allah dan ini perlu dicegah sebelum terlambat. Mengapa memakan buah yang membuat mereka sama dengan Allah itu dilarang? Itu karena kesetaraan dengan Allah bertentangan dengan paham monoteistik Israel. Atas alasan itu mereka dihalau dari taman Eden. Di mana letak taman Eden? Kalimat berikut penting untuk diperhatikan: ‘dan di sebelah timur taman Eden ditempatkan-Nyalah beberapa kerub..’6 Jika kalimat ini dihubungkan dengan penglihatan Yehezkiel di Babel pada (30 tahun menjalani) masa pembuangan, Eden adalah Yehuda/Yerusalem. ‘Di sebelah Timur Eden’ maksudnya di Babel, Yehezkiel melihat kerub-kerub itu dengan jelas (Yez. 1:5-14). Jika demikian maka Yehezkiel memahami Yerusalem pada masa kejayaan (harta dan hikmat) Salomo sebagai taman Eden sedangkan pembuangan ke Babel sebagai wujud atau penggenapan janji pengusiran Tuhan terhadap manusia dan istrinya itu. Penutup Seperti saya katakan di bagian pengantar bahwa saya menggabungkan pendekatan naratif dan historis dalam uraian ini. Saya sadar bahwa pilihan ini bisa menimbulkan banyak perbedaan (untuk tidak dikatakan pertentangan) dengan pendekatan lainnya seperti antara lain kritik feminis. Selain itu saya tidak menyentuh sama sekali pemikiran yang menempatkan teks Kejadian 3 sebagai ceritera etiologi (untuk menjelaskan mengapa ular merayap, mengapa perempuan merasa sakit waktu melahirkan, dll) seperti dikemukakan misalnya oleh Lawrence Boadt (Reading the Old Testament, 1984, 121). Karena itu saya ingin menitipkan pertanyaan ini untuk didiskusikan lebih jauh: di manakah letak kekuatan dan kelemahan dari pendekatan historis, naratif, feminis, dan etiologis terhadap teks ini? Berikut, seperti para penafsir kritik historis pada umumnya, saya mengalami kesulitan untuk menghubungan pesan teks Kejadian 3 dengan pembaca masa kini. Nampaknya relevansi itu baru akan terlihat bila kita menghubungan teks kej 3 dan konteks pemerintahan Salomo. Kita bisa bertanya, pelajaran apakah yang bisa kita petik dari hubungan LN Israel (dengan segala konsekwensinya) pada zaman Salomo, untuk mewaspadai hubungan LN Indonesia dengan Negara lain pada masa krisis ini? Kalau pertanyaan ini terasa dipaksakan, saya mohon maaf. ***
6
Kerub adalah makluk supernatural yang ditempatkan Tuhan sebagai penjaga pohon kehidupan di dalam taman itu. Kerub juga bertugas mengawal orang atau harta yang menjadi milik Tuhan. John H. Walton Cs, The IVP Bible Background Commentary: Old Testament, Illinois: InterVarsity Press, 2000, p. 33.
4
Tanggapan bahan PA Kej. 3:1-24 Sebelumnya, saya mengucapkan terima kasih kepada pak Welfrid yang sudah memberikan pengantar yang cukup jelas untuk teks kita hari ini. Saya hanya mengomentari atau menambahkan beberapa hal. Teks ini memang tidak berbicara tentang gender, tetapi teks ini sering dipakai oleh para penafsir yang membenci perempuan, termasuk Bapa-bapa gereja untuk menunjukkan bahwa perempuan sebagai penyebab (kambing hitam) manusia jatuh di dalam dosa. Ada dua mitos dimana perempuan dijadikan sebagai kambing hitam, yaitu mitos Pandora dari Yunani dan Hawa dari Ibrani.1 Mitos-mitos ini tidak hanya membuat perempuan dianggap bertanggungjawab akan yang jahat, tetapi juga menterjemahkan yang jahat dan perempuan ke dalam prinsip yang ontologis: perempuan terikat pada materi, irrasional, jasmani (daging = hawa nafsu), terbatas dan mereka mencabuli akal/ roh lelaki dan menyeretnya ke dalam dosa dan maut. Itulah sebabnya Bapa-bapa gereja mengajarkan agar laki-laki menjauhi perempuan yang dianggap sebagai gerbang iblis (Tertulianus) dan menyeret laki-laki untuk jatuh dalam dosa. Mitos-mitos ini telah melegitimasi penindasan dan penundukan perempuan sebagai 'hukuman' untuk 'dosa asli' nya yang menyebabkan kejatuhan 'laki-laki' dan kehilangan Firdaus. Mitos ini juga masih mempengaruhi sebagian besar masyarakat saat ini yang memandang kejatuhan laki-laki pada dosa seksual, termasuk perkosaan, adalah karena perempuan yang menggoda. Sehubungan dengan hal itu, maka kita perlu melihat teks ini secara benar. Kisah ini dimulai ketika ular berbicara dengan perempuan. Mengapa tidak dengan laki-laki? Teks sendiri tidak memberikan alasan, tetapi ada beberapa dugaan: Pertama, menurut cerita Asia barat daya kuno, pohon dan perempuan sering dihubungkan dengan pohon dan dewi, dan tindakan pemberian makan adalah urusan perempuan.2 Kedua, jikalau betul si ular lebih pintar/cerdik daripada binatang yang lain, mungkin perempuan juga lebih menarik daripada laki-laki, karena dalam cerita/mitos ini perempuan muncul sebagai lebih pintar daripada suaminya, lebih agresif dan lebih peka. Jadi ular dan perempuan sama-sama pintar dan licik. Jadi, bukan karena perempuan lebih mudah digoda dan rentan terhadap masalah dosa dan kedagingan. Hal ini bisa dilihat pada percakapan perempuan dengan ular, yang dapat disebut sebagai percakapan hermeneutik teologis. Perempuan itu memikirkan dan mempertimbangkan buah pohon itu sebagai sesuatu yang baik untuk dimakan dan sebagai sumber kebijaksanaan (haskil). Tindakannya tidak begitu saja dilakukan tetapi didasarkan pada berbagai pertimbangan. Ia juga bertindak dan memutuskan secara mandiri, tidak 1
Teks Kej. 3 tidak berbicara tentang perempuan sebagai kambing hitam, tetapi mau menunjukkan kenyataan bahwa kejahatan ada dalam dunia. 2
Dewi pohon kehidupan (dewi Isis, Istar). Helen Schuengel-Straumann, “Genesis 1-11. Die Urgeschichte”, dalam: Luise Schottroff & Marie-Theres Wacker, Kompendium Feministische Bibelauslegung, Guetersloh, Guetersloher Verlagshaus, 2007, h. 4-5.
1
minta izin pada suami/laki-laki, ia bertindak secara bebas. Hal ini bertentangan dengan sikap laki-laki yang diam, pasif, penerima. Dia tanpa ragu-ragu, tanpa enggan, tanpa berteologi, tanpa mempertimbangkan apapun memberikan perhatian hanya pada perutnya, dan mengikuti isterinya (dengan kata lain, seringkali terjadi bahwa perempuan bertindak lebih menggunakan otaknya, sedangkan laki-laki berorientasi pada perutnya).3 Padahal larangan itu diberikan kepada Adam sebelum perempuan itu diciptakan (Kej.2:16). Menarik bahwa gambaran perempuan yang lebih pandai, peka dan cerdik justru muncul dalam kebudayaan yang menonjolkan kaum laki-laki. Kendati demikian, saya tidak ingin menggunakan teks ini untuk saling menuding antara laki-laki dan perempuan, tentang siapa yang salah dan benar, karena dalam kisah penciptaan laki-laki dan perempuan dikatakan sama-sama “baik” dan memiliki derajat yang sama; tulang dari tulangku, daging dari dagingku. Jika satu lemah, maka keduaduanya sama-sama lemah. Mereka sama-sama punya tanggungjawab dan pertimbangan yang sama, perasaan malu dan bersalah, dan mengalami penebusan dan anugrah yang sama. Karena itu, kisah ini bukan hanya kisah tentang perempuan, atau hanya kisah lakilaki, tetapi kisah bersama laki-laki dan perempuan. Selanjutnya Kej 3:7 menunjukkan bahwa keduanya sadar bahwa mereka telanjang. Mereka menyembunyikan diri dan melarikan diri bersama-sama. Allah menanyakan tanggungjawab lebih dulu kepada Adam, tetapi dia melemparkan tanggungjawabnya dengan mengatakan: Perempuan yang Kautempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan. Ia menuduh Allah (bukan Hawa). Perempuan tidak ditunjukkan sebagai penggoda, karena kata 'nsh' (menipu, menggoda) dipakai untuk ular.4 Hawa mengatakan bahwa ularlah yang menggoda dia. Nampak Allah mendengarkan apa yang Hawa katakan, karena itu Allah mengutuk ular (3:14) dan menghukum Adam dan Hawa (bukan mengutuk) akibat ketidaksetiaan mereka. Hukuman ini menggambarkan (betapa ngerinya kehidupan manusia) bukan perintah (yang harus dituruti). Allah memberitahukan perempuan itu bahwa suaminya akan menguasainya (3:16) bukan memerintah untuk menguasainya. Pernyataan ini juga bukan suatu pengakuan bahwa derajat laki-laki lebih tinggi dari perempuan, tetapi justru adalah celaan terhadap pola relasi yang telah rusak akibat ketidaksetiaan mereka. Hubungan yang tidak setara ini justru merusak keharmonisan dan kederajatan ciptaan Tuhan, dan tidak sesuai dengan kehendak Allah. Perbedaan yang seharusnya menciptakan keharmonisan dan persamaan, kemudian berubah menjadi pembedaan, ketidakpatuhan dan bencana. Situasi ini tidak hanya merusak relasi antara laki-laki dan perempuan, tetapi juga merusak relasi antara manusia dengan hewan, ibu dengan anak, manusia dengan tanah, dan manusia dengan Allah. Karena 3
Phyllis Trible, “Membaca Kembali Kitab Kejadian 2-3. Kisah Penciptaan Adam dan Hawa”, dalam: Anne Hommes, Perubahan Peran Pria & Wanita Dalam Gereja & Masyarakat, BPK-Kanisius, Jakarta-Yogyakarta, 1992, h. 184-185. 4 Ibid, h. 186.
2
itu dibutuhkan adanya sebuah “pertobatan’ untuk melihat perempuan sebagai manusia yang utuh, dan mengembalikan relasi yang ada ke arah kederajatan laki-laki dan perempuan.
7 September 2013 ANN
3
Kain : “Aku Di Bahaya Kemanusiaanku, Namun Diselamatkan” Kejadian 4 : 1-16 Pendahuluan Pertama kali membaca narasi Kain dan Habel (1-16) pembaca akan disuguhkan dengan lima peran. Tiga diantaranya adalah peran “pasif” yakni Adam (si manusia) dan Hawa yang hanya muncul di ay. 1 yakni bersetubuh dan melahirkan, dan Habel (ay 1- ay 8), yang juga berasal dari akar kata h-v-l ‘asap’ atau yang juga berarti, ‘singkat’, ‘sementara’ dimana para pembaca pun sudah mengetahui bahwa hidup Habel tak akan lama. Sedangkan dua lainnya adalah Kain dan TUHAN (YHWH). Peran lainnya adalah peran dosa yang sebenarnya tidak bisa di anggap remeh, karena dosa itu eksis meskipun tidak nampak wajah. Hanya personifikasinyalah yang mampu menggambarkan kehadiran dosa lewat intipan di balik pintu dan siap menerkam. Penokohan Kain-Habel, TUHAN dan dosa sesungguhnya memegang peranan penting dalam plot kisah ini, oleh karena itu kehadiran mereka tidak dapat di pisahkan di dalam keseluruhan tragedi ini. Sekalipun Kain adalah kakak sulung, tidak seperti banyak kakak beradik yang harus akur dan mengalah seperti ajaran moral di jaman sekarang. Narator Kejadian 4 :1-16 memunculkan krisis yang meliputi hubungan dua bersaudara. Tentu saja ini mengingatkan kita pada kisah Ismael dan Isakh, Esau dan Yakub di mana kelahiran pertama (first born) tidak berjalan sesuai dengan kronologis kelahiran pada kitab Kejadian (Brueggeman,W,Genesis,1982,h.55), namun nyatanya pada bagian ini narator menyiapkan kisah yang dominan kuat bagi Kain. Nama Kain berasal dari akar kata q-n-h yang dapat berarti “mendapat, menciptakan”, menurut Brueggeman nama ini diberikan sebagai pujian kepada TUHAN1 sebagai anak pertama yang dirayakan (Brueggeman,W. Genesis,1982, h.56). Inilah kemudian yang menjadikan kehadiran penokohan Kain yang sudah memberi “warna” tersendiri dari sejak awal kelahirannya (Listijabudi, D,. Tragedi, 1997, h.31). Harus disadari bahwa membaca kisah ini, narator mengajak pembaca masuk dalam kehidupan penokohan, baik kecerdasan emosional maupun gambaran dekat. Karena itu saya memilih untuk melihat teks ini dengan pendekatan naratif. Hidup Tidak Adil Setelah peristiwa kelahiran, narasi ini bergerak cepat menceritrakan dua bersaudara sudah dapat bekerja dan memberikan persembahan kepada TUHAN. Kain sebagai penggarap tanah2 memberikan hasil tanah, tak ketinggalan Habel sebagai penjaga domba pun memberikan anak sulung domba dan ternak gemukannya. Keduanya dengan wajar memberikan yang mereka usahakan, tidak ada persaingan atau permusuhan di sini, tidak pula ada diskriminasi di sini, kecuali apabila kita merujuk pada lemak-lemak di mana perjanjian lama kental dengan persembahan daging dan lemak pada setiap persembahan mezbah bagi TUHAN.3 Namun jangan dulu kita memberi jawaban karena narator disini tidak
1
Ay 1 : ucapan Hawa atas kelahiran Kain qanity ish eth YHWH, yang juga berarti “Aku mendapat laki-laki dengan TUHAN”. Untuk memperkaya pemahaman, lih. E.G.S, “Dari Eden ke Babel” (Yogyakarta : Kanisius . 2011) h. 98 atau D.K.L “Tragedi Kekerasan” (Yogyakarta : TPK, 1997) h. 30-31 2 Adam juga seorang yang bekerja mengelolah tanah. Lih. Kej 2 :15 3 Lih. Kel. 29 : 13; Im. 3: 3; Im. 3: 16;Im 4 : 26; Im. 4 : 31; Im 4: 35; Im. 6 : 12
1
berkata apa-apa tentang persembahan baik dan buruk seperti yang kebanyakan guru sekolah minggu ajarkan di gereja. Masalah muncul bukan pada masing-masing pemberian, tetapi TUHAN yang membuat garagara! Entah mengapa TUHAN memilih untuk menerima dan menolak. TUHAN dengan mudahnya menolak pemberian Kain dan dengan sulitnya Kain harus menerima kenyataan itu. Tidak di jelaskan apa tanda yang mengiringi keputusan TUHAN atas persembahan kedua bersaudara ini, namun kejadian ini benar-benar membuat hati Kain terbakar dan jatuh wajahnya (malu). Bagi narator ini bisa saja mengungkap narasi premis diawal bahwa hidup tidak adil. Mungkin begitulah misteri, ia bernama misteri karena tidak ada seorang pun paham akan kejadian yang akan datang, dan tidak semua narasi hidup didunia memberikan happy ending.. akhir bahagia, kecuali manusia hidup di dunia FTV (film televisi). Hal ini dikarenakan ketidakadilan juga ambil bagian dalam warna kehidupan. Mungkinkah dengan ini TUHAN sengaja memberikan krisis dan menimbulkan perkara dalam kehidupan manusia? Dan untuk apa sekiranya ada gara-gara dari TUHAN? (silahkan didiskusikan) Krisis Persaudaraan Kain & Habel – TUHAN – Dosa Narasi kembali bergerak ketika terjadi percakapan 1 arah dari TUHAN yang menanggapi kemarahan hati Kain. Kain yang diam saja (karena marah dan malu) terus dijejalkan dengan pertanyaan-pertanyaan dari TUHAN (ay. 6 dan 7). Selain pertanyaan, TUHAN bukannya menghibur Kain, tetapi memberi peringatan dengan 2 klausa “jika.” Dimana kemudian sisi pastoral TUHAN? Namun sekali lagi, pembaca diharap duduk tenang dan mendengarkan kelanjutan kisah ini. Selanjutnya untuk pertama kali khattah yang berarti ‘dosa’ muncul dalam narasi. Jadi bukanlah pada Kej 3 sebagaimana judul TB-LAI melainkan pada Kej 4 : 7. Sebenarnya, apabila Kain melakukan tawaran TUHAN, dia bisa melihat tawaran ini sebagai invitasi atau bahkan motivasi yakni menjadi ‘berdaya’atas diri sendiri. Menurut Pak Gerrit ada empat kemungkinan arti dari frasa terakhir engkau akan dikuasainya/ namun engkau harus menguasainya/ dapatkah engkau menguasainya/ engkau bisa menguasainya. Kemungkinan ketiga dan keempat menjadi pilihan apabila kita percaya bahwa ada kehendak bebas TUHAN dan manusia yang saling bekerja sama (Singgih, E.G, Dari Eden, 2011,h.140). Keempat kemungkinan yang dihadapi Kain sekiranya juga menunjukkan bahwa ia tidak "jatuh," dia bukan korban dari setiap dosa asal. Dia bisa memilih dan bertindak untuk kebaikan. Seperti penegasan oleh narator, menunjukkan bahwa pasal 3 tidak harus mengontrol pasal 4. Kain dalam cerita ini adalah manusia bebas dan mampu hidup setia (Brueggeman, W., Genesis,1982,h.57), ia memiliki kapasitas untuk menjinakkan mahkluk yang sudah mengintip dibalik pintu. Narasi bergerak klimaks. Dari persoalan hati yang terbakar dan rasa malu antara Kain dan TUHAN, kini berubah menjadi dilematis bagi Kain. Motivasi untuk ‘berdaya’ berubah menjadi krisis karena hubungan horizontal yang tidak terobjek untuk terlampiaskan, namun masih ada hubungan vertikal yang dapat menjadi kambing hitam, yakni persaudaraan! Mengapa bukan orang tua mereka? entahlah, kemungkinan karena Habel berada di tempat yang sama dengan Kain saat sedang marah. Latar belakang yang sedari tadi tidak dijelaskan, kini di ketahui berada di ladang. Tempat di mana Kain dapat mengenal persis seluk beluk latarnya. 2
Tempat dimana ia dapat merasa nyaman dan akhirnya dosa menyelimuti-menguasainya sehingga terlampiaskanlah kemarahan Kain pada TUHAN lewat Habel! Jelas sekali Kain “bersalah” karena ada ikut campur perbuatan tangan. Kebersalahanya adalah pelanggaran HAM, mirisnya ini seperti kebanyakan berita di TV bahwa kakak tega membunuh adik kadungnya sendiri. Kain yang marah pada TUHAN dan bukan adiknya membuat pilihan untuk melakukan kekerasan. Kain yang melakukan pembunuhan bersaudara (fratricide) terjadi bukan karena bapak, ibunya atau adiknya yang kemudian menjadi korban (kambing hitam). Ia melakukan pembunuhan karena kehendaknya sendiri yang memilih untuk tidak termotivasi pada ajakan memberdayai dirinya berbuat baik dan mengangkat kembali wajah untuk berseri. Sikap TUHAN yang tidak terduga kepada manusia memang dapat menjadi pemicu kemarahan, namun tindakan tangan kekerasan seperti mencubit, memukul, menampar atau bahkan membunuh adalah pilihan kehendak si manusia sendiri yang mencari kambing hitam untuk menutupi lubang lampiasan dari emosi. Kutukan dan Tanda Selamat Tanah, lagi-lagi Kain berurusan dengan tanah. Setelah hasil tanah persembahannya tidak diterima, kini TUHAN menyalahkan Kain atas darah adiknya yang berteriak dari dalam tanah. Kain bersalah, tidak ada tempat baginya untuk menyankali perbuatannya. Ia dikutuk sebagai manusia dan terbuang dari tanah tempat kejadian perkara pembunuhan adiknya. Kain menjadi orang yang hidup sekaligus mati karena rasa bersalah bercampur hukuman yang meliputi dirinya. Meski begitu, si pembunuh takut pada kematian! Maka terjadilah tawar menawar antara TUHAN dengan manusia agar jangan ada yang membunuhnya. Berjanjilah TUHAN pada si pembunuh untuk membalaskan tujuh kali lipat pada siapapun yang hendak mencelakainya, maka di berikanlan tanda pada Kain (ay. 15). Menarik pada bagian akhir balada ini, ternyata tidak hanya tentang pembunuhan oleh Kain maupun hukuman dari TUHAN. Tetapi juga menekankan bagaimana krisis Kain dan sikap TUHAN dalam menanggapi rasa bersalah, telah bertemu dengan penghakiman dari pada TUHAN. Bahwa dosa dan rasa bersalah yang besarpun dapat terpulihkan dengan rahmat yang mengejutkan. Hanya dengan cara rekonsiliasi TUHAN agar pembunuhan tidak terus terjadi bahkah atas diri Kain, yakni bukan memberikan tanda kutukan padanya melainkan tanda selamat kemanapun Kain mengembara di timur Eden. Refleksi : Kain adalah gambaran kemanusiaan yang paling dekat dengan kita. Pergumulannya, krisis, ketakutan dan tawar menawarnya adalah proyeksi sebagaimana sering dilakukan mahasiswa (baca : saya) ketika menghadapi misteri kehidupan. Mungkin tidak hanya mahasiswa tapi juga para dosen ( mungkin loh.. heheee) dan banyak orang disekitar yang tidak kita sadari. Tapi dua hal yang saya pelajari dari kisah ini, (1) TUHAN tidak pernah meninggalkan setiap manusia tanpa dipulihkan setelah merasa bersalah. Karena itu (2) berhati-hatilah dengan kehendak bebasmu untuk melanggar perbuatan tangan terhadap sesamamu (saudaramu) dengan menjadikanya kambing hitam. Pertanyaan Diskusi : 3
1. Apakah kemudian kekerasan itu hanya perbuatan tangan? Bagaimana dengan kekerasan verbal apakah itu juga termasuk perbuatan ‘tangan’? 2. Apa hanya rasa bersalah yang mampu memulihkan/ merekonsiliasi hubungan manusia dengan TUHAN? 3. Meskipun akhir dari tragedi kekerasan ini terkesan berakhir manis, bahwa TUHAN tetap menjaga dimanapun Kain berada, namun eksistensi dari ke-aku-an Kain terletak pada keberadaannya sebagai penggarap tanah. Secara konsisten narator mendekatkan pembaca pada penokohan Kain yang dekat dengan tanah. Adam yang terbuat dari debu tanah tanah (`äpär min-h亴ádämâ ) , pekerjaannya mengolah tanah (la|`áböd ´et-hä|´ádämâ), begitu juga Kain yang bekerja sebagai penggarap tanah (`öbëd ´ádämâ o). Kini, darah telah berteriak dari tanah (min-hä|´ádämâ ) oleh karena perbuatan Kain, dan hukumannya adalah terkutuk dari tanah yang membuka mulutnya (min-hä|´ádämâ). Ironis! Kisah ini tetaplah bukanlah dongeng bahagia yang dibacakan sebelum tidur. Saudara saling membunuh, Tuhan yang mencari gara-gara dan sekarang manusia yang juga kehilangan eksistensinya. Jika begitu adanya, maka apakah artinya bagi kita cerita ini? (silahkan membuat refleksi dari kisah ini) Selamat Ber-PA (D.M.H.lempuyangan.23)
4
TANGGAPAN TERHADAP BAHAN PA 17-09-013
Menetapkan “Kaca mata interpretasi”. Upaya menafsirkan teks Kitab Suci tidak pernah dapat dilepaskan dari perlunya menetapkan praduga interpretatif, sebagai kacamata untuk memandang dan memaknai teks. Sdr. D.M.H. membuktikan kebenaran ini dengan mengangkat pendekatan naratif sebagai kaca matanya. Walaupun demikian, sdr. D.M.H. belum memanfaatkan kaca mata naratif ini secara optimal. Pengulangan-pengulangan kata yang terjadi, kejanggalan-kejanggalan alur naratif yang ada, dan kharakterisasi tokoh-tokohnya misalnya, belum sungguh-sungguh diperhatikan, sehingga masih tersisa adanya persoalan-persoalan teks yang belum benarbenar terjawab; seperti misalnya: apakah benar Allahlah yang mencari gara-gara, apakah benar tidak ada persaingan ataupun permusuhan, apakah benar tidak ada persoalan mengenai pemberian persembahan korban dan sebagainya. Manakala secara khusus kejanggalan-kejanggalan alur naratif yang ada diperhatikan (lihat misalnya ayat 2 tentang kelahiran Habel, kapan dilahirkan, apakah ia kembar?; ayat 1415: kehadiran bangsa lain ) maka terkesan bahwa perikope kita hari ini tidak mencerminkan satu kesatuan naratif yang utuh, tetapi lebih merupakan narasi yang dibangun dari beberapa sumber yang berbeda.1 Konsekuensinya, tokoh-tokoh personal, khususnya Kain dan Habel, hampir bisa dipastikan bukanlah tokoh-tokoh historis yang pernah hidup di bumi ini, tetapi lebih merupakan tokoh-tokoh simbolik, yang dipakai oleh sang composer (penyusun) narasi ini untuk mengkomunikasikan “ideologinya” (meminjam istilah yang sering dipakai oleh pak Robert). Apabila fasal 2-4 kita tempatkan sebagai satu kesatuan unit, maka nampak bahwa ideologi yang hendak dikomunikasikan oleh sang composer adalah ideologi tentang “tiga relasi kebergantungan” antara manusia (Adam) dengan Allah, dengan alam dan dengan sesama. Relasi yang semula harmonis (kisah Eden), telah dirusakkan oleh manusia (kolektif, bukan hanya perempuan; perhatikan fasal 3: 9, di mana yang dituntut pertanggungan jawab pertama adalah manusia Adam sebagai principle organizer) mengakibatkan terciptanya relasi yang timpang satu dengan yang lain. Walaupun demikian di tengah-tengah relasi yang timpang ini berkumandanglah janji restorasi melalui orang (-orang) yang kepadanya Allah berkenan. Ideologi relasi kebergantungan inilah yang kiranya bisa ditetapkan menjadi kacamata interpretasi atas perikope kita hari ini. Terjadi Benturan ideologi Korban? Dilihat dari kaca mata relasi kebergantungan, nampak bahwa fasal 4 merupakan awal konkritisasi relasi yang timpang itu. Pada perikope kita, fokus ketimpangan itu terletak pada perseteruan antara dua tokoh personal yakni Kain sebagai petani, dan Habel sebagai gembala. Untuk tidak mengorbankan fokus ini, maka dapat dimengerti kalau kisah kelahiran Kain dan Habel dinarasikan secara pintas saja, tanpa memberikan penjelasan apakah kelahiran Habel terjadi begitu saja setelah Kain lahir, dan dengan demikian mereka adalah anak kembar, ataukah lahir dalam jarak waktu yang panjang, sehingga Habel benar-benar merupakah adik 1
Lihat John Rogerson And Philip R. Davies, The Old Testament World (London: T & T Clark, 2005) p. 120ff.
1
Kain? Untuk memperoleh jawaban mengapa terjadi perseteruan di antara keduanya, maka kedua tokoh ini perlu ditempatkan di dalam relasi ketergantungan mereka baik kepada alam sekitar di mana mereka hidup maupun dengan Allah sang Pencipta. Alasan inilah yang telah menghantar Carol Meyers menempatkan relasi personal kedua tokoh ini dalam terang sosial ekonomi dengan memperhatikan khususnya pola makanan pokok mereka sehari-hari. Ia menulis satu artikel berjudul: “Food and the First Family: A Socioeconomic Perspective” dalam buku berjudul The Book of Genesis: Composition, Reception and Interpretation dengan editor Craig A. Evans, Joel N. Lohr dan David L. Peterson. Dari kaca mata sosial ekonomi agraris, perseteruan antara petani (dalam hal ini Kain) dengan gembala (dalam hal ini Habel) bukanlah perkara yang baru. Contoh untuk perseteruan seperti itu dapat dilihat di dalam Sumerian text Dumuzi and Enkimdu (Rogerson And Philip R. Davies, The Old Testament World, p.120). Dengan memperhatikan pemakaian berulangulang atas kata “makan” (lk;a') di dalam Kejadian 2-4, Meyers menyadari pentingnya melihat “makanan” sebagai a “word-motif,” rhetorically drawing attention to an important theme”. Karenanya, ia menggunakan “pola makan” juga sebagai lensa untuk memahami Kejadian fasal 2-4. Dengan lensa ini, relasi yang timpang antara Kain dan Habil terjadi karena keduanya mewakili dua lapisan masyarakat yang berbeda. Kain mewakili masyarakat tani yang menghasilkan hasil pertanian, semata-mata untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari rumah tangga, dan bukan untuk memperoleh keuntungan (Meyers, p. 139). Sebaliknya Habel sebagai gembala menghasilkan daging yang memiliki nilai ekonomi tinggi, dan tidak terbatas hanya dalam konteks rumah tangga. Daging juga bukan merupakan makanan sehari-hari bagi kebanyakan orang ketika itu, tetapi hanya dikonsumsi pada peristiwa-peristiwa penting, dan utamanya oleh masyarakat kelas atas. Dengan demikian daging merupakan makanan yang bergengsi, yang tidak selalu dikonsumsi oleh orang kebanyakan. Dalam konotasi seperti inilah maka dalam relasi dengan Allah, khususnya, daging memainkan peranan penting untuk dipersembahkan sebagai korban yang dianggap baik dan benar. Menurut Meyers, bukanlah suatu kebetulan apabila istilah korban di dalam kitab Ibrani selalu menggunakan kata zābah (xb;j') yang berarti menyembelih (binatang untuk diambil dagingnya). Kalau dikatakan bahwa Allah “mengindahkan” korban Habel (ay. 4) dan tidak mengindahkan korban Kain (ay. 5), justru karena Habel mempersembahkan korban yang menyertakan darah (blood offering) yang diambil dari binatang pilihan, sementara Kain hanya mempersembahkan korban hasil tanaman. Dalam relasi masyarakat Israel secara luas sejak periode yang paling awal, korban binatanglah yang dipandang sebagai korban yang layak di hadapan Allah. Walaupun pada akhirnya di dalam sejarah umat Israel, korban hasil tanaman juga diterima, namun dalam praktek pelaksanaannya selalu diikut-sertakan pula korban binatang. Kalau pembacaan teks ini bisa dipertanggung-jawabkan, maka bukan Allahlah yang mencari “gara-gara”, tetapi manusia. Kain yang seharusnya memberikan persembahan korban yang diperkenan Allah, yakni dengan mempersembahkan korban binatang yang berkualitas (lihat ay. 4) dengan cara “membeli” binatang dari Hebel, tidak dilakukannya. Walaupun mungkin dengan pertimbangan yang berbeda, para penulis kitab Perjanjian Baru nampaknya juga mengambil jalur pemikiran yang sama bahwa korban Kain tidak diindahkan oleh Allah karena ia tidak mempersembahkan dengan sungguh-sungguh (lihat beberapa contoh pemahaman seperti ini di dalam Ibrani 11: 4; 12: 24; Mat. 23: 35; Luk. 11: 51; 1 Yoh. 3: 12; Yudas 11).
2
Pertanyaan yang kemudian muncul ialah: bukankah di sini terjadi benturan ideologi tentang korban? Mungkinkah benturan ini terjadi seiring dengan masa formasi keagamaan umat Israel? Menilik bahwa setelah menyebut keturunan Kain di dalam fasal 4: 17-24, Kain tidak pernah disebutkan lagi, dan sebaliknya fokus narasi berpindah ke keturunan Set selaku pengganti Habel, maka tersirat bahwa ideologi korban yang ditampilkan oleh Habellah yang rupanya diperjuangkan dan diterima oleh masyarakat Israel. Melalui keturunan Habellah Allah akan melaksanakan tindakan restorasi-Nya terhadap relasi yang timpang tersebut. Pandangan ini juga dikuatkan oleh kenyataan bahwa “darah”lah yang memainkan peranan penting berkenaan dengan restorasi Allah atas relasi kehidupan, hingga akhirnya diakhiri di dalam darah Kristus, yang (menurut Lukas 3:23-38) juga dilahirkan dari garis keturunan Hebel (bandingkan Kejadian 5). Catatan Penutup Sebenarnya masih banyak hal yang menarik untuk bisa digumuli secara lebih mendalam, namun waktu tidak memungkinkan untuk itu. Biarlah pertanyaan-pertanyaan yang mungkin muncul berdasarkan paparan ini bisa menjadi rangsangan kita masing-masing secara pribadi untuk mempergumulkan kembali kisah narasi tentang Kain dan Hebel ini.
Kalasan, 17 September 2013 YTD
3
Pemeliharaan Allah bagi Kain dan Keturunannya Kejadian 4:17-24, oleh Linus Baito. Harian Jogja 15 Juli 2013 lalu menuturkan bahwa sekelompok anak di bawah umur yang melakukan pembunuhan terhadap seorang siswi di bahwa umur bercita-cita ingin mendirikan geng pembunuh sadis (GPS). Divisi Advokat Perlindungan Anak mengaku prihatin ketika mendampingi para pelaku pembunuhan yang masih tergolong anak-anak karena tidak memiliki rasa penyesalan. Mereka mengaku terinspirasi film Jepang Crows Zero dan Crow Zero II yang menampilkan geng pelajar sadis bernama Genji Perfect Seiha (GPS). Harian Jogja tidak memuat tuntutan hukuman apa yang dijalankan terhadap para pembunuh di bawah umur tersebut. Padahal data yang dirilis Lembaga Perlindungan Anak menunjukkan bahwa dua tahun terakhir terjadi peningkatan 30% kasus kenakalan remaja mulai dari perkelahian hingga pembunuhan terencana. Kain juga adalah seorang pembunuh. Namun penyebabnya bukan karena pengaruh film sadis. Ia iri dan marah karena persembahannya tidak diterima oleh Allah, sedangkan persembahan Habil, adiknya diterima (4:4-5). Ajaibnya, Allah tidak segera melakukan pembalasan terhadap Kain. Dalam pelariannya ke tanah Nod karena takut (4:16), nampaknya Kain malah mengalami pemeliharaan Allah dalam berbagai aspek. Pernikahan. Ayat 17 menyatakan “Kain bersetubuh dengan isterinya dan mengandunglah perempuan itu”. Memang kata pernikahan tidak muncul dalam ayat ini, melainkan kata yada yang diterjemahkan LAI dengan bersetubuh. Namun kata ‘istri’ memberi kesan bahwa Kain menikah. Pertanyaan yang ramai dimunculkan pula berkenaan asal muasal istri Kain. Kaum konservatif mengasumsikan Kain menikah dengan adik perempuannya dari keturunan Adam (Utley, 54). Tetapi Alkitab tidak terlalu jelas dengan hal itu. Mungkin kelompok bisa melakukan diskusi ini lebih dalam. Saya tidak ingin terjebak pada perdebatan yang rumit, karena saya akan melihat konsekuensi dari pernikahan Kain sebagai pemeliharaan Allah dalam aspek selanjutnya. Pembangunan kota dan perkembangan gerenerasi. Pernikahan Kain menghasilkan keturunan. Keturunan pertama adalah Henokh yang berarti pemula atau inisiator. Kemudian Kain mendirikan kota dengan nama Henokh. Bob Utley memahami bahwa tindakan Kain dalam mendirikan kota adalah untuk melindungi diri dari perasaan takut mengancaman dirinya (bdg.ay 14). Apapun alasannya, generasi Kain terus berlanjut dan dengan nama-nama istimewa (ay.18). Irad berarti ornamen kota, Mehuyael berarti Allah pemberi kehidupan, Metusael berarti pemuda yang kuat. Nama-nama tersebut merupakan keturunan Kain yang kedua, ketiga dan keempat. Meskipun Shakespeare menyatakan “Apalah arti sebuah nama?”, namun dalam keturunan Kain nama-nama mungkin mengekspresikan pemeliharaan Allah atas dirinya dan keturunannya.
1
Peradaban baru. Keturunan Kain yang kelima ialah Lamekh, anak dari Metusael. Pada ketutunan kelima ini nampaknya muncul sesuatu yang berbeda dibanding keturunan sebelumnya. Munculnya poligami ketika Lamek mengambil dua wanita menjadi istrinya, yaitu Ada dan Zila (ay.19). Dari keturunannya munculah pengusaha ternak oleh Yabal (ay.20), penemu musik serta alat-alat musik senar dan tiup oleh Yubal (ay.21), dan ahli logam oleh Tubal-Kain (ay.22). Generasi keenam dari Kain rupanya memunculkan peradaban baru di eranya yaitu industri peternakan, industri logam dan industri musik. Ajaibnya peradaban tersebut lahir dari pernikahan poligami. Menarik untuk kelompok diskusikan pula berkaitan dengan fenomena poligami di tanah air kita dengan peradaban yang dihasilkannya. Pembelaan diri. Dengan membela diri, Lamekh justru melakukan pembunuhan dan tanpa penyesalah seperti pembunuh di bawah umur dalam pengantar di atas. Mencermati tindakan pembalasan Lamekh hingga melakukan pembunuhan (ay.23), menarik pula untuk dikaitkan dengan fenomena kekerasan dari kelompok fundamentalisme agama. Peter Herriot (Religious Fundamentalism, 2009:2) menyebutkan ada empat alasan pembelaan diri bagi kalangan fundamentalisme agama. 1. Pemikiran dualis, menganggap bahwa dunia ini merupakan pertentangan antara Allah dan Iblis, baik dan jahat, benar dan salah. Jadi untuk bertahan hidup maka kelompok yang satu harus melawan kelompok lainnya. 2. Kitab suci, diyakini sebagai wahyu Allah yang berotoritas dan menjadi “supremasi” kelompok dalam melakukan misi radikalnya. 3. Penafsiran kitab suci secara selektif, memilih bagian favorit dari kitab suci atau ide yang spesifik menjadi alasan untuk membenarkan pembelaan diri kelompok. 4. Pandangan milenialis, mengharapkan Allah menegakkan hukumNya secara total atas dunia ini hingga akhir zaman. Bila Allah menyatakan hukumNya maka kemanangan baik secara fisik maupun rohani harus dinyatakan, bila perlu diperjuangkan. Kendatipun setiap tindakan pembelaan diri memiliki alasan tersendiri namun layakah seseorang mengaitkannya dengan agama, apalagi dengan tindakan yang radikal dan brutal? Kesimpulan dan pertanyaan: Allah menyatakan kasihNya yang sangat besar dalam memelihara Kain, si pembunuh yang melarikan diri itu. Keluarga, keturunan, keberhasilan, dan kesalahan yang terulang nyata dalam garis keturunan Kain. Itulah bukti pemeliharaan Allah terhadap Kain. Namun patut untuk didiskusikan mengapa Allah membiarkan Kain berkembang sedemikian rupa dalam pelariannya sebagai pembunuh? Pembalasan seperti apakah yang Allah akan lakukan sebanyak 7 kali lipat untuk Kain dan 70 kali lipat untuk Lamekh? Apakah hal ini bisa menjadi salah satu dasar etika Kristen untuk tidak melakukan tuntutan vonis mati kepada para kriminal yang telah melakukan pembunuhan? Merujuk pada sekelumit data di Harian Jogja di atas langkah-langkah apakah yang dapat kita pikirkan bersama dalam menyikapi fenomena pembunuhan yang ternyata telah dilakukan bahkan oleh anak di bawah umur? 2
Tanggapan terhadap Bahan PA “ Pemeliharaan Allah bagi Kain dan Keturunannya” Kejadian 4: 17 – 24
Kutuk tak lagi berlaku? Bapak Pdt. Linus Baito membuka bahan PA-nya dengan realitas kasus pembunuhan, dimana manusia satu menghilangkan nyawa manusia lain dengan berbagai motif penyebabnya. Kain, dikenal sebagai pembunuh pertama dalam sejarah manusia. Minggu lalu kita juga sudah membahas bagaimana kronologi pembunuhan, mengapa Kain membunuh Habel dan apa hukuman (kutukan) yang diterima Kain dari Allah. Menurut Pak Gerrit, Kain adalah manusia pertama dalam narasi yang terkena kutuk (arur) Allah secara langsung. Loh, Adam dan Hawa kan sudah menerima kutuk Allah?! Ah tidak, yang dikutuk Allah dalam narasi kejatuhan manusia adalah ular dan tanah, bukannya manusia.1 Jika mengikuti logika sinetron-sinetron religi di TV, seharusnya kita akan segera bisa melihat kesengsaraan dan penderitaan Kain akibat azab yang diterimanya. Tapi narasi lanjutan dari kisah pembunuhan pertama itu tidak berisi tentang kemalangan, namun justru berisi –saya setuju dengan apa yang disampaikan Pak Linus- pemeliharaan. Ya, si pengambil hidup dipelihara dalam kehidupan dan dianugerahi keluarga. Jika Kej 4: 17 – 24 dibaca sekilas, memang nampak bahwa kutuk Allah tak berlaku, tak manjur lagi. Selain Kain hidup dalam keterusiran, konsekuensi dari kutukan Allah nyaris tidak terlihat. Dalam materinya, Pak Linus bahkan mengungkapkan paling tidak ada empat aspek pemeliharaan Allah yang diterima oleh Kain: pernikahan, pembangunan kota dan perkembangan generasi, peradaban baru dan pembelaan diri Lamekh. Saya ingin pula melihat pemeliharaan Allah ini dari sudut pandang yang sedikit berbeda.
Tujuh turunan yang dilahirkan dalam desire Setelah Kain pergi dari hadapan Tuhan (ay.16), scene langsung melompat ke persetubuhan Kain dan isterinya yang melahirkan generasi selanjutnya. Total, ada tujuh generasi yang disebutkan disini (pak Linus menghitung enam karena dimulai dari Kain). Jika Pak Linus masih menyinggung sedikit perkiraanperkiraan tentang siapa isteri Kain, saya sama sekali tidak ambil pusing! Menurut saya, penulis memang sedang tidak ingin bicara tentang siapa isteri Kain –atau juga isteri-isteri keturunannya- karena menurutnya itu bukan hal penting (tentu dengan kesadaran penuh bahwa teks ini lahir dalam budaya dominasi lelaki). Nama-nama dalam silsilah inilah yang menjadi titik beratnya. Henokh adalah nama keturunan ketiga dari Adam, nama ini beberapa kali digunakan oleh orang yang berbeda : keturunan Adam dari garis Set (5: 19), cucu Abraham (25: 4) dan cucu Yakub dari Ruben (46:9). Nama Henokh hampir selalu diberikan pada anak sulung laki-laki dari sebuah kaum. Menurut Driver, secara etimologis nama ini berasal dari akar kata hanukka yang mengandung arti dedication.2 Dengan lahirnya Henokh, lahir pula sebuah kota yang dinamai sama dengannya. Kota Henokh ini menjadi menarik karena kelahirannya diikuti dengan kelahiran generasi selanjutnya, yaitu : Irad (power, strength), Mehuyael dan Metusael -menurut Umberto A Cassuto dua nama ini tak hanya terdengar serupa, tapi juga memiliki arti yang hampir sama yaitu: the man of God3- Lamekh dan anak-anak dari hasil perkawinan poligami yang 1
Pdt. Prof. Emanuel Gerrit Singgih, Ph.D, Dari Eden ke Babel : Sebuah Tafsir Kejadian 1-11,p.146 Lih. S.R Driver, The Book of Genesis, London: Methuen and Co 3 UA. Cassuto, A Commentary on the Book of Genesis, Jerusalem: The Magnes Press, 1964. 2
memiliki spesialisasinya masing-masing: Yabal (peternak nomaden), Yubal (pemusik), Tubal-Kain (pengrajin tembaga dan besi) Menurut Brueggeman, ketiga nama itu sebenarnya berakar dari kata yabal yang dapat berarti produktif. Disebutkan pula adanya nama anak perempuan Lamekh yaitu Naama yang dapat diartikan pleasant, lovely. Empat nama ini menggambarkan adanya a celebration of life.4 Luar biasa, keturunan si pembunuh merayakan kehidupan. Dari tujuh turunan ini kita bisa melihat bahwa kelahiran kota adalah kelahiran peradaban, seni budaya dan struktur sosial. Menariknya lagi, Kejadian menghubungkan kelahiran peradaban manusia (ay. 17-22) dengan dengan dosa dan desire Kain (ay.7). Kain memang pernah jatuh karena desire-nya yang tak terkontrol, tapi dosa dan desire itu malah melahirkan peradaban. Brueggeman menyimpulkan hubungan antara desire dan peradaban, “…on the one hand, there will be no culture without desire. On the other hand, there will be no culture unless desire is channeled and controlled.”5 Nampaknya keturunan Kain sudah mulai belajar untuk menguasai dan mengontrol desire-nya sehingga dapat melahirkan peradaban manusia. Jadi menurut saya, nama-nama dalam tujuh turunan ini bukan hanya menggambarkan pemeliharaaan Allah terhadap Kain si pembunuh tapi juga menunjukkan usaha keturunannya untuk bangkit dan bertobat dari kesalahannya.
Lamekh : Poligami dan Puisi Pembalasan Dendam Berbeda dari generasi sebelumnya yang tidak disebutkan secara spesifik nama isterinya, penulis menunjukkan dengan jelas bahwa Lamekh adalah pelaku poligami pertama dalam narasi manusia. Nama dua isterinya juga disebutkan dengan jelas: Ada dan Zila. Penyebutan nama perempuan kali ini bukan menunjukkan bahwa penulis sudah sadar akan kesetaraan gender, namun karena ia ingin membahas keluarga Lamekh lebih detil daripada generasi sebelumnya. Jika Pak Linus mengaitkan ini dengan praktek poligami masa kini, jawabannya tentu jelas: ketidakadilan! Poligami tentu tidak adil bagi perempuan dan bagi anak-anak yang dilahirkan dalam keluarga poligami. Jika ada komunitas perempuan masa kini yang mengaku bahwa dengan berpoligami hidupnya lebih bahagia dan sejahtera karena dipoligami adalah tiket masuk surga, menurut saya itu omong kosong! Jika ada laki-laki yang mengaku bisa adil dalam perkawinan poligami, itu lebih “kosong” lagi. Tentu pendapat saya ini dalam konteks kekinian. Tapi –seperti yang juga disampaikan pak Gerrit- poligami Lamekh ini dipraktekkan dalam dunia Kitab Kejadian yang tak monogamis. Narasi tentang praktek poligami ini tentu tidak mengafirmasi praktek poligami di masa kini. Menurut saya, dengan poligami penulis ingin menekankan superioritas Lamekh dalam daftar silsilah ini. Setelah penjelasan tentang poligami Lamekh dan anak-anaknya, narasi kembali melompat. Lamekh digambarkan sedang berpuisi didepan dua isterinya (ay. 23-24). Lamekh menyombongkan diri didepan isterinya, dia menceritakan pembunuhan yang baru saja dilakukannya. Pembunuhan terulang lagi! Itu terjadi karena sebuah insiden kecil, ada seorang laki-laki muda yang membuat Lamekh terluka, bengkak (memar). Penyebab insiden itu tak dijelaskan, tapi yang pasti pemuda itu membayar dengan nyawanya. Tentu peristiwa ini adalah sebuah pembalasan yang tak adil: memar – mati. Sekali lagi, superioritas ego dari Lamekh yang ditunjukkan. Dalam hal ini saya tak setuju dengan Pak Linus yang menyatakan pembunuhan dilakukan Lamekh atas dasar pembelaan diri.
4
Walter Brueggeman, Genesis: A Bible Commentary for Teaching and Preaching, Atlanta : John Knox Press, 1982, p. 65 5 Sda.
Lamekh melanjutkan puisinya, ia membandingkan diri dengan embah wareng6-nya. Jika yang membunuh Kain akan dibalas tujuh kali lipat, maka yang membunuh Lamekh akan dibalas tujuh puluh tujuh kali lipat (pak Linus mungkin salah menulis). Lagi-lagi Lamekh menekankan superioritasnya, bahkan ia menempatkan dirinya lebih tinggi dari Kain. Disini, desire tak lagi dapat dikontrol Lamekh. Ia membalas dendamnya dengan tanpa control dan tak terbatas. Bilangan 77 kali yang dihubungkan dengan pembalasan dendam tentu tidak bisa tidak mengingatkan kita pada ajaran pengampunan Yesus dalam Mat 18: 21-22 dan paralelnya. Berbeda dengan konsep pembalasan dendam yang jadi lingkaran setan tak berujung pangkal, Yesus mengajarkan untuk memberi pengampunan tak terbatas. Manajemen dendam, ternyata diperlukan dalam mengontrol desire dan membangun peradaban manusia. Eh permisi, ngomong-ngomong Allah dimana ya saat pembunuhan kembali terjadi? Mengapa tidak ada kutukan yang diberikan pada Lamekh? Apa Lamekh juga “sempat” tawar menawar seperti yang dilakukan Kain? Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin bisa ditindaklanjuti dalam kelompok.
Pemeliharaan Allah Dari kisah yang telah dibahas tadi, kita bisa melihat bahwa Allah Sang Pemelihara terus terlibat dalam sejarah manusia. Allah sengaja menciptakan manusia dengan kehendak bebas, termasuk pilihannya untuk jatuh dalam dosa. Manusia telah mencoba bertobat dengan mengendalikan desire, dan bahkan ketika ia jatuh lagi karena merasa dirinya superior, Allah selalu punya rencana yang memelihara. Syukur pada Dia Sang Pemelihara! (Rhe)
6
Sebutan untuk leluhur ke-lima dalam tradisi Jawa