MANAGEMEN PENGENDALIAN PEST Upik Kesumawati Hadi Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan Dept Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet Fakultas Kedokteran Hewan IPB Bogor Jl. Agatis Kampus Darmaga Bogor 16880 email
[email protected]
Pest/Hama/ adalah makhluk yang dalam keperluan hidupnya berada di lingkungan permukiman dan merugikan atau membahayakan kehidupan manusia. Sebagian hama sesungguhnya tidak hanya menyerang manusia tetapi juga hewan ternak baik secara langsung dengan menghisap darahnya, maupun tidak langsung
sebagai penular berbagai jenis penyakit atau
sebagai
pengganggu dengan caranya “nimbrung” sehingga menimbulkan gangguan fisik maupun psikis pada manusia dan hewan ternak di sekitarnya. Permukiman adalah suatu kompleks tempat bermukim manusia, terdiri dari rumah berikut bangunan lainnya, halaman pekarangan, jalan, selokan dan kandang
hewan
peliharaan,
termasuk
tempat
penampungan
limbah.
Lingkungan itu seringkali pada kenyataannya banyak dimanfaatkan oleh hama pengganggu sebagai habitat, tempat istirahat serta tempat mencari makan. Berbagai jenis hama tersebut hidup atau berada di lingkungan permukiman, yang keberadaannya dapat merupakan gangguan atau bahkan bahaya bagi orang-orang di sekitarnya. Hama pengganggu yang berasal dari kelompok Arthropoda dikenal dengan istilah Ektoparasit, karena hidupnya di luar tubuh inangnya (hewan atau manusia). Ektoparasit ini ada yang bersifat obligat dan fakultatif. Yang bersifat obligat artinya seluruh stadiumnya, contohnya, kutu penghisap (Anoplura), Makalah “Pelatihan Pengendalian Vektor, Hama & Rayap untuk Teknisi dan Supervisor yang diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan Prvinsi DKI Jakarta dan DPD ASPPHAMI Provinsi DKI Jakarta, 29 Februari s/d 03 Maret 2012 di Ciloto, Jawa Barat.
menghabiskan seluruh waktunya pada bulu dan rambut. Kelompok yang bersifat fakultatif artinya ektoparasit itu menghabiskan waktunya sebagian besar di luar inangnya. Mereka datang mengganggu inang hanya pada saat makan atau
menghisap
darah
ketika
diperlukannya.
Contohnya, kutu
busuk
(Hemiptera: Cimicidae), datang pada saat membutuhkan darah, setelah itu bersembunyi di tempat-tempat gelap atau celah-celah yang terlindung, jauh dari inangnya. Demikian juga yang dilakukan oleh berbagai jenis serangga penghisap darah dari Ordo Diptera, khususnya famili Culicidae (nyamuk, agas, mrutu, lalat punuk). Jenis-jenis hama permukiman yang banyak dijumpai di Indonesia antara lain adalah berbagai jenis lalat, nyamuk, lipas, kutu, kutu busuk, pinjal dan caplak . Peranan hama permukiman dalam manusia sangat merugikan karena selain menimbulkan gangguan yang menggelisahkan dan juga dapat berakibat fatal terutama serangga-serangga vektor penular penyakit. Berikut ini disebutkan beberapa jenis hama yang umum dijumpai pada lingkungan permukiman antara lain berbagai jenis lalat, nyamuk, kutu, pinjal, caplak dan tungau. Bagaimana konsep pengendalian hama juga disajikan pada akhir tulisan ini.
Lalat Lalat yang berada di sekitar kandang ayam adalah lalat rumah Musca domestica dan lalat hijau Chrysomya
megacephala,
dan
di
kandang
sapi
umumnya lalat kandang Stomoxys calcitrans. Lalat ini berkembang biak pada habitat di tumpukan kotoran, sampah yang telah membusuk dan penuh dengan bakteri dan organisme Makalah “Pelatihan Pengendalian Vektor, Hama & Rayap untuk Teknisi dan Supervisor yang diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan Prvinsi DKI Jakarta dan DPD ASPPHAMI Provinsi DKI Jakarta, 29 Februari s/d 03 Maret 2012 di Ciloto, Jawa Barat.
patogen lainnya. Populasi lalat yang tinggi atau melimpah dapat mengganggu ketentraman hewan dan manusia karena menimbulakn ketidak nyamanan sekitar dan dapat menularkan berbagai jenis penyakit gangguan pencernaan akibat berbagai jenis bakteri yang ditularkannya. Semua
lalat
mengalami
metamorfosis
sempurna
dalam
perkembangannya. Telurnya diletakkan dalam medium yang dapat menjadi tempat perindukan larva. Larva seringkali makan dengan rakus. Umumnya larva lalat mengalami empat kali molting selama hidupnya. Periode makan ini bisa berlangsung beberapa hari atau minggu, tergantung suhu, kualitas makan, jenis lalat dan faktor lain. Setelah itu berubah menjadi pupa. Kebanyakan larva yang bersifat terestrial ini cenderung meninggalkan medium larva menuju tempat yang lebih kering untuk pupasi. Stadium pupa bisa beberapa hari, minggu atau bulan. Lalat dewasa muncul, kemudian terbang, mencari pasangan untuk kawin, dan yang betina setelah itu akan bertelur. Populasi lalat meningkat tergantung musim dan kondisi iklim, dan tersedianya tempat perindukan yang cocok. Suhu lingkungan, kelembaban udara dan curah hujan adalah komponen cuaca yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas makhluk hidup di alam. Larva lalat amat rentan terhadap kelembaban udara, suhu
udara yang
menyimpang dan curah hujan yang
berlebihan. Di daerah tropika, lalat rumah membutuhkan waktu 8-10 hari pada suhu 30 0C dalam satu siklus hidupnya, dari telur, larva, pupa dan dewasa. Lalat kandang Stomoxys calsitrans siklus hidup berkisar 3-5 minggu pada kondisi optimal. Lalat ini menghisap darah hewan dan cenderung tetap di luar rumah di tempat yang terpapar sinar matahari. Di Indonesia, lalat hijau yang umum di daerah peternakan dan permukiman adalah Chrysomyia megacephala., dan jenis lalat hijau di ternak yang digembalakan di padang rumput adalah Chrysomyia bezziana. Makalah “Pelatihan Pengendalian Vektor, Hama & Rayap untuk Teknisi dan Supervisor yang diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan Prvinsi DKI Jakarta dan DPD ASPPHAMI Provinsi DKI Jakarta, 29 Februari s/d 03 Maret 2012 di Ciloto, Jawa Barat.
Nyamuk
Nyamuk tersebar luas di seluruh dunia mulai dari daerah kutub sampai ke daerah tropika, dapat dijumpai pada ketinggian 5.000 meter di atas permukaan laut sampai
pada
kedalaman
1.500
meter
di
bawah
permukaan tanah di daerah pertambangan. Nyamuk termasuk ke dalam odo Diptera, famili Culicidae, dengan 3 subfamili yaitu Toxorhynchitinae (Toxorhynchites), Culicinae (Aedes), Culex, Mansonia, Armigeres, dan Anophelinae (Anopheles). Nyamuk di Indonesia terdiri atas 457 spesies, diantaranya 80 spesies Anopheles, 125 Aedes, 82 Culex, 8 Mansonia, sedangkan sisanya tidak termasuk begitu mengganggu (O’Connor dan Sopa, 1981). Beberapa contoh jenis nyamuk yang terdapat di Indonesia adalah nyamuk malaria seperti Anopheles aconitus, An. sundaicus, An. maculatus, An. vagus, An kochi, dan An. barbirostris; nyamuk demam berdarah seperti Aedes aegypti dan Ae.albopictus; nyamuk rumah seperti Culex quinquefasciatus, nyamuk rawa-rawa seperti Mansonia uniformes, nyamuk kebun, Armigeres subalbatus dan nyamuk gajah seperti Toxorhynchites amboinensis. Di dalam siklus hidupnya, nyamuk mengalami metamorfosis sempurna (holometabola) yaitu telur, larva (jentik), pupa dan dewasa. Larva dan pupa memerlukan air untuk kehidupannya, sedangkan telur pada beberapa spesies seperti Aedes aegypti dapat tahan hidup dalam waktu lama tanpa air, meskipun harus tetap dalam lingkungan yang lembab. Nyamuk merupakan serangga yang sangat sukses memanfaatkan air lingkungan, termasuk air alami dan air sumber buatan yang sifatnya permanen maupun temporer.
Makalah “Pelatihan Pengendalian Vektor, Hama & Rayap untuk Teknisi dan Supervisor yang diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan Prvinsi DKI Jakarta dan DPD ASPPHAMI Provinsi DKI Jakarta, 29 Februari s/d 03 Maret 2012 di Ciloto, Jawa Barat.
Danau, aliran air, kolam, air payau, bendungan, saluran irigasi, air bebatuan, septik teng, selokan, kaleng bekas dan lain lain dapat berperan sebagai tempat bertelur dan tempat perkembangan larva nyamuk. Nyamuk dewasa bisa tinggal di sekitar tempat perindukannya, tapi bisa juga terbang beberapa kilometer, tergantung spesies dan faktor lain. Nyamuk yang berada di sekeliling rumah seperti Culex quinquefasciatus, Ae. aegypti dan Ae. albopictus, tumbuh dan berkembang dalam genangan air di sekitar kediaman kita. Telur yang diletakkan di dalam air akan menetas dalam waktu satu sampai tiga hari pada suhu 30OC, tetapi membutuhkan 7 hari pada 16
OC.
Larva mengalami 4 kali pergantian kulit (instar) dan segera berubah
menjadi pupa. Bentuk pupa yaitu fase tanpa makan dan sangat sensitif terhadap pergerakan air, sangat aktif jungkir balik di air. Pupa menjadi dewasa di atas permukaan air yang tenang. Stadium ini hanya berlangsung dalam waktu 2-3 hari, tetapi dapat diperpanjang sampai 10 hari pada suhu rendah; di bawah suhu 10 OC tidak ada perkembangan. Waktu menetas (ekslosi), kulit pupa tersobek oleh gelembung udara dan oleh kegiatan bentuk dewasa yang melepaskan diri. Siklus hidup bisa lengkap dalam waktu satu mingggu atau lebih tergantung suhu, makanan, spesies dan faktor lain. Nyamuk dewasa jantan umumnya hanya tahan hidup selama 6 sampai 7 hari, sangat singkat hidupnya dan makanannya adalah cairan tumbuhan atau nektar, sedangkan yang betina dapat mencapai 2 minggu lebih di alam dan bisa menghisap darah berbagai jenis hewan atau manusia. Nyamuk ini selain menjadi pengganggu karena gigitannya yang menimbulkan kegatalan dan menularkan penyakit malaria, demam berdarah, filariasis, Chikungunya dan lain-lain.
Makalah “Pelatihan Pengendalian Vektor, Hama & Rayap untuk Teknisi dan Supervisor yang diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan Prvinsi DKI Jakarta dan DPD ASPPHAMI Provinsi DKI Jakarta, 29 Februari s/d 03 Maret 2012 di Ciloto, Jawa Barat.
Lipas atau Kecoa Jenis-jenis lipas yang paling banyak terdapat di lingkungan peternakan dan permukiman di Indonesia adalah Periplaneta americana dan Blatella germanica. Lipas kehadirannya
tergolong serangga yang tidak disukai oleh
penghuni
daerah
peternakan,
permukiman dan perusahaan yang berkaitan dengan industri makanan. Selain itu sifatnya yang lincah, selalu berkeliaran mencari makan kesana kemari pada malam hari (nokturnal) baik di rumah maupun di tempat-tempat kotor di luar rumah. Cara mencari makan demikian juga menyebarkan penyakit manusia dengan meletakkan agen penyakit pada makanan, piring atau barang-barang lain yang dilaluinya. Lipas tumbuh dan berkembang dengan cara metamorfosis sederhana. Kehidupan lipas berawal dari telur, kemudian nimfa dan dewasa. Generasinya tumpang tindih, sehingga semua stadium dapat ditemukan pada setiap saat dalam satu tahun. Celah dan retakan merupakan tempat persembunyian dan perkembangbiakan yang disukainya. Betina meletakkan telurnya tidak satu persatu di alam akan tetapi sekumpulan telur
(16-50 butir) secara teratur di dalam satu kantung yang
disebut dengan ooteka. Ooteka ini bentuknya seperti dompet, warnanya coklat sampai hitam kecoklatan. Ooteka pada setiap jenis berbeda dan bisa digunakan sebagai alat bantu dalam menentukan spesies apa dalam suatu tempat. Ooteka ini diletakkan pada sudut barang/perabotan yang gelap dan lembab. Pada beberapa jenis, ootheca menempel di bagian abdomen atau dibawa kemana mana samapai saatnya menetas. Di daerah tropis telur menetas dalam periode 42-81 hari tergantung pada suhu, kelembaban lingkungan.
Makalah “Pelatihan Pengendalian Vektor, Hama & Rayap untuk Teknisi dan Supervisor yang diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan Prvinsi DKI Jakarta dan DPD ASPPHAMI Provinsi DKI Jakarta, 29 Februari s/d 03 Maret 2012 di Ciloto, Jawa Barat.
Telur menetas menjadi nimfa yang kecil, berwarna keputih-putihan dan belum bersayap. Nimfa berkembang agak lambat, tumbuh menjadi beberapa instar, setiap instar diakhiri dengan proses menyilih (ganti kulit) dan berukuran semakin membesar. Jumlah instar sangat spesifik untuk setiap jenis lipas, jumlahnya bervariasi 5-13 instar sebelum menjadi lipas dewasa. Stadium ini berlangsung 6 bulan sampai dengan 3 tahun tergantung pada jenis lipas, suhu dan kelembaban lingkungan. Lipas dewasa berumur beberapa bulan bahkan sampai dengan dua tahun. Dalam stadium ini seekor betina dapat menghasilkan 4-90 ooteka. P. americana umumnya merupakan penghuni dinding bak septik dan saluran air limbah peternakan dan akan berkelana mencari makan padamalam hari. Adapun B. germanica umumnya hidup di dalam gedung hunian manusia yaitu pada celah-celah dinding dan plafon, bergerombol, tidak senang berkelana. Kehidupan bergerombol pada lipas hanya berkait dengan habitat atau tempat huninya, yaitu berupa ruang atau rongga yang lembab, tertutup dan gelap.
Lipas dianggap sebagai pengganggu kesehatan karena kedekatannya dengan hewan, manusia dan umumnya berkembang biak dan mencari makan di daerah yang kotor, seperti tempat sampah, saluran pembuangan, dan septik teng. Makanan serangga ini dari makanan yang masih dimakan manusia sampai dengan
kotoran
manusia.
Disamping
itu
lipas
mempunyai
perilaku
mengeluarkan makanan yang baru dikunyah atau memuntahkan makanan dari lambungnya. Karena sifat inilah, mereka mudah menularkan penyakit pada manusia. Agen penyakit yang dapat ditularkan oleh lipas adalah berbagi jenis virus, bakteri, protozoa, cacing dan fungi (cendawan).
Makalah “Pelatihan Pengendalian Vektor, Hama & Rayap untuk Teknisi dan Supervisor yang diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan Prvinsi DKI Jakarta dan DPD ASPPHAMI Provinsi DKI Jakarta, 29 Februari s/d 03 Maret 2012 di Ciloto, Jawa Barat.
Kutu (Lice) Kutu merupakan serangga ektoparasit obligat karena seluruh hidupnya berada pada dan tergantung pada tubuh inangnya. Oleh karena itu secara morfologi kutu ini sudah beradaptasi dengan cara hidupnya, misalnya dengan tidak memiliki sayap, sebagian besar tidak bermata, bentuk tubuh yang pipih dorsoventral, bagian mulut disesuaikan untuk menusuk-isap atau untuk mengunyah, dan memiliki enam tungkai atau kaki yang kokoh dengan kuku yang besar pada ujung tarsus yang bersama dengan tonjolan tibia berguna untuk merayap dan memegangi bulu atau rambut inangnya. Adapun jenis-jenis kutu yang menyerang manusia terdiri atas tiga subspesies yaitu Pediculus humanus capitis (kutu kepala), P. humanus corporis (kutu badan) dan Phthirus pubis (kutu kemaluan). Kutu kepala dan badan ternyata merupakan varietas dari satu spesies. Keduanya dapat melakukan perkawinan (interbreeding), keturunannya fertil dan perbedaan morfologinya juga sedikit. Kutu mengalami metamorfosis tidak sempurna, mulai dari telur, nimfa instar pertama sampai ketiga lalu dewasa. Seluruh tahap perkembangannya secara umum berada pada inangnya. Telurnya berukuran 1–2 mm, berbentuk oval, berwarna putih dan pada beberapa jenis permukaan telur bercorak-corak dan dilengkapi dengan operkulum. Telur kutu disebut nits (lingsa, Jawa), yang direkatkan pada bulu (rambut) inangnya dengan
semacam zat semen pada
bagian ujung dasar telur. Jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor induk kutu mencapai 10–300 butir selama hidupnya. Telur menetas menjadi nimfa (kutu muda)setelah 5–18 hari tergantung jenis kutu. Warna nimfa dan kutu dewasa
Makalah “Pelatihan Pengendalian Vektor, Hama & Rayap untuk Teknisi dan Supervisor yang diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan Prvinsi DKI Jakarta dan DPD ASPPHAMI Provinsi DKI Jakarta, 29 Februari s/d 03 Maret 2012 di Ciloto, Jawa Barat.
keputih-putihan, dan makin tua umurnya makin berwarna gelap. Kutu dewasa bisa hidup 10 hari hingga beberapa bulan.
Pinjal (Flea) Serangga ektoparasit ini bersifat semiobligat atau temporer, karena tidak seluruh siklus hidupnya berada pada tubuh inangnya. Hanya tahap dewasa yang menghisap darah, oleh karena itu sering dikatakan sebagai ektoparasit penghisap darah yang eksklusif. Tubuhnya berbentuk pipih bilateral dan mempunyai kaki-kaki yang panjang terutama kaki belakang. Pinjal tidak memiliki sayap, hal ini merupakan bentuk adaptasi untuk tinggal dan menghisap darah di antara bulu-bulu inangnya. Sampai saat ini diketahui terdapat sekitar 2500 jenis pinjal dari 239 genera. Dari jumlah ini 94% di antaranya menyerang mamalia sedangkan sisanya merupakan parasit pada burung. Ordo Siphonaptera terdiri atas beberapa famili, tetapi yang terpenting sebagai ektoparasit adalah famili Pulicidae. Dari famili ini, terdapat beberapa genus yang penting yaitu Tunga (pinjal chigoe), Ctenocephalides (pinjal kucing dan anjing), Echidnophaga (pinjal ayam), Pulex (pinjal manusia) dan Xenopsylla (pinjal tikus). Adapun jenis-jenis yang sering dijumpai sebagai ektoparasit utama dan menimbulkan masalah di Indonesia adalah Pulex irritans, Ctenocephalides felis, C. canis, dan Xenopsylla cheopis. Pinjal mengalami metamorfosis sempurna, yang didahului dengan telur, larva, pupa kemudian dewasa. Pinjal betina akan meninggalkan inangnya untuk meletakkan telurnya pada tempat-tempat yang dekat dengan inangnya, seperti sarang tikus, celah-celah lantai atau karpet, di antara debu dan kotoran organik, atau kadang-kadang di antara bulu-bulu inangnya. Telurnya menetas dalam Makalah “Pelatihan Pengendalian Vektor, Hama & Rayap untuk Teknisi dan Supervisor yang diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan Prvinsi DKI Jakarta dan DPD ASPPHAMI Provinsi DKI Jakarta, 29 Februari s/d 03 Maret 2012 di Ciloto, Jawa Barat.
waktu 2–24 hari tergantung jenis pinjal dan kondisi lingkungan. Larva pinjal sangat aktif, makan berbagai jenis bahan organik di sekitarnya termasuk feses inangnya. Larvanya terdiri atas 3-4 instar (mengalami 2–3 kali pergantian kulit instar) dengan waktu berkisar antara 10–21 hari. Larva instar terakhir
bisa
mencapai panjang 4–10 mm, setelah itu berubah menjadi pupa yang terbungkus kokon. Kondisi pupa yang berada dalam kokon seperti itu merupakan upaya perlindungan terhadap sekelilingnya. Tahap dewasa akan keluar 7–14 hari setelah terbentunya pupa. Lamanya siklus hidup pinjal dari telur hingga dewasa berkisar antara 2–3 minggu pada kondisi lingkungan yang baik. Pinjal dewasa akan menghindari cahaya, dan akan tinggal di antara rambut-rambut inang, pada pakaian atau tempat tidur manusia. Baik pinjal betina maupun yang jantan keduanya
menghisap darah beberapa kali pada siang atau malam hari.
Gangguan utama yang ditimbulkan oleh pinjal adalah gigitannya yang mengiritasi kulit dan cukup mengganggu. Selain itu dalam dunia kesehatan, pinjal tikus Xenopsylla cheopis berperan sebagai vektor penyakit pes (sampar), yang disebabkan oleh Yersinia pestis dan Ricketssia typhi. Pinjal anjing dan kucing, Ctenocephalides canis dan C. felis berperan sebagai inang antara cacing pita Dipylidium caninum dan Hymenolepis diminuta. Pinjal C. canis dan C. felis juga merupakan inang antara cacing filaria Dipetalonema reconditum. Adapun pinjal chigoe, Tunga penetrans betina dapat bersarang pada kulit manusia atau babi, terutama pada ujung-ujung jari kaki atau di bawah kukunya dan menyebabkan pembengkakan berupa nodul-nodul abses yang menyakitkan .
Makalah “Pelatihan Pengendalian Vektor, Hama & Rayap untuk Teknisi dan Supervisor yang diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan Prvinsi DKI Jakarta dan DPD ASPPHAMI Provinsi DKI Jakarta, 29 Februari s/d 03 Maret 2012 di Ciloto, Jawa Barat.
Kutu Busuk (Bed bug) Kepinding atau kutu busuk termasuk serangga ektoparasit dari ordo Hemiptera, Famili Cimicidae dan jenis
yang terdapat di Indonesia adalah
Cimex
hemipterus . Kepinding memiliki tubuh yang berbentuk oval dan pipih dorso-ventral dengan panjang sekitar 4-7 cm. Berwarna merah kecoklatan dan mengkilat, dan akan berubah menjadi coklat tua dan membengkak setelah menghisap darah. Pasangan sayap depan kepinding telah bermodifikasi menjadi tonjolan hemelitra, sedangkan sayap belakang menghilang, sehingga kepinding dikenal tidak memiliki sayap. Dalam perkembangannya, kepinding mengalami metamorfosis yang tidak sempurna yang diawali dengan tahap telur, nimfa dan kemudian dewasa. Perkembangan sejak dari tahap telur hingga dewasa membutuhkan waktu sekitar enam minggu hingga beberapa bulan tergantung temperatur dan ketersediaan bahan makanan. Kepinding jantan dan betina menghisap darah sejak dari tahap nimfa hingga dewasa, di malam hari saat ternak atau orang sedang tidur. Tanpa gangguan, kepinding dewasa dapat menghisap darah selama 10–15 menit, dan akan kembali menghisap darah setelah tiga hari. Pada siang hari, kepinding bersembunyi pada tempat-tempat yang gelap seperti celah-celah kandang atau alas kandang yang juga menjadi tempat bertelur dan menetap kutu busuk. Gangguan kepinding terhadap inang terutama akibat gigitannya untuk memperoleh darah. Pada ternak dan beberapa orang, terutama pada infestasi kepinding dalam waktu yang panjang, gigitan kepinding tidak menunjukkan gejala apapun. Sebaliknya pada orang yang belum pernah, gigitan kepinding Makalah “Pelatihan Pengendalian Vektor, Hama & Rayap untuk Teknisi dan Supervisor yang diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan Prvinsi DKI Jakarta dan DPD ASPPHAMI Provinsi DKI Jakarta, 29 Februari s/d 03 Maret 2012 di Ciloto, Jawa Barat.
menimbulkan reaksi gatal dan diikuti peradangan lokal, sehingga biasanya akan digaruk berulang-ulang. Pada keadaan ini aktifitas tidur dan lainnya menjadi terganggu. Gigitan kepinding biasanya ditandai dengan benjolan kecil keputihan dikulit yang apabila digaruk berulang-ulang akan berdarah, dan berakibat timbulnya infeksi sekunder. Managemen Pengendalian Hama Pada prinsipnya hama tidak dapat diberantas habis, kecuali di dalam suatu lokasi yang amat terbatas dan benar-benar terisolasi dari populasipopulasi lainnya.
Oleh karena itu tidak digunakan istilah pemberantasan
melainkan pengendalian hama. Jadi selama lapangan atau areal yang kita hadapi masih berupa lingkungan yang mempunyai hubungan bebas secara fisik, biologis serta sosial-ekonomis dengan lingkungan di sekitarnya, maka prinsip pengendalian adalah hanya menekan populasi hama sampai ke tingkat yang tidak membahayakan, tidak merugikan atau tidak merupakan gangguan bagi manusia. Cara-cara pengendalian hama pada hewan ternak dapt dilakukan secara fisik/ mekanik (pengelolaan lingkungan), kimia (insektisida), agen biotik (musuh alami) dan paduan dari cara-cara tersebut (pengendalian terpadu). Caracara tersebut dapat dilakukan sepanjang hasilnya dapat efektif dan efisien tertuju kepada stadium hama yang paling rawan (terhadap tindakan itu), mudah dilaksanakan, tidak memerlukan biaya terlalu besar, aman bagi manusia maupun makhluk bukan sasaran, serta dapat diterima oleh kalangan masyarakat.
Selain itu perlu diingat bahwa bahwa tindakan ini tidak
mengganggu
kelestarian
dan
keseimbangan
alam
lingkungan
yang
bersangkutan, dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Makalah “Pelatihan Pengendalian Vektor, Hama & Rayap untuk Teknisi dan Supervisor yang diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan Prvinsi DKI Jakarta dan DPD ASPPHAMI Provinsi DKI Jakarta, 29 Februari s/d 03 Maret 2012 di Ciloto, Jawa Barat.
Pemilihan cara pengendalian harus disesuaikan dengan spesies hama yang akan ditindak serta dengan situasi dan kondisi setempat. Sebagai contoh untuk suatu kandang ternak di lokasi lokasi tertentu akan lebih mudah dan efektif apabila yang dijadikan sasaran adalah stadium pradewasanya, misalnya jentik nyamuk atau belatung lalat.
Untuk lokasi lainnya, mungkin hanya
dewasanya saja atau kedua-duanya dapat ditindak sekaligus ataupun bergantian. Tindakan sanitasi lingkungan serta pemasangan barier fisik seperti kawat kasa mungkin lebih tepat bagi permukiman tertentu. Urutan langkah pengendalian yang ideal adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui identitas hama sasaran. Apakah hama yang akan dikendalikan, lalat, tungau, atau kutu dari jenis apa? 2. Mengetahui sifat dan cara hidup (bioekologi) hama sasaran. Bagaimana daur hidup, habitat, waktu dan perilaku makan, waktu dan perilaku beristirahat, jarak terbang atau pemencarannya? Informasi ini penting untuk bahan penyusunan strategi pengendalian.
Sebagai contoh habitat lalat
pradewasa adalah tumpukan kotoran hewan, sampah, dan tempat-tempat pembusukan lainnya, maka sasaran pengendaliannya adalah
dengan
menghilangkan habitat yang disukai lalat. 3. Memilih alternatif cara pengendalian. Apakah cara-cara selain penggunaan pestisida bisa dilakukan? Ataukan harus digunakan pestisida? Andaikan ada cara lain diterapkan lalu, diselang-seling dengan penggunaan pestisida dapat dilakukan? Untuk menjawab hal ini perlu monitoring populasi hama secara terus menerus, sehingga dapat dipilih apakah perlu menggunakan pestisida ataukah cukup dengan pengelolaan lingkungan atau keduanya. 4. Memilih pestisida. Apabila keadaan mengharuskan penggunaan pestisida, maka yang harus diingat adalah kemungkinan terjadinya berbagai akibat samping seperti kemungkinan keracunan langsung pada manusia, ternak Makalah “Pelatihan Pengendalian Vektor, Hama & Rayap untuk Teknisi dan Supervisor yang diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan Prvinsi DKI Jakarta dan DPD ASPPHAMI Provinsi DKI Jakarta, 29 Februari s/d 03 Maret 2012 di Ciloto, Jawa Barat.
dan makhluk bukan-sasaran lainnya, pencemaran dan timbulnya resistensi pada populasi hama serangga sasaran setelah beberapa generasi. Golongan pestisida bermacam-macam dan masing-masing mempunyai target kerja terhadap serangga yang berbeda. Penggunaan yang terus menerus tidak terkendali dapat menimbulkan resistensi dan mengganngu ekosistem alam. Contoh insektisida yang saat ini banyak digunakan adalah golongan piretroid sintetik seperti sipermetrin, bifentrin, permetrin dll. 5. Menentukan cara aplikasinya.
Bagaimana cara aplikasi juga merupakan
satu persoalan yang krusial. Di mana dilakukannya, kapan waktunya, dengan cara apa, formulasi mana yang paling tepat, serta siapa yang akan melakukannya. Cara-cara aplikasi yang dapat dilakukan untuk hama pengganggu di permukiman dan peternakan adalah space spraying (penyemrotan ruang), residual spraying (penyemprotan permukaan), baiting (pengumpanan) atau fumigasi. Sebagai contoh pada aplikasi space spray , waktu merupakan hal yang sangat penting. Karena bersifat nonresidual, maka penyemprotan harus dilakukan pada saat serangga sasaran dalam keadaan aktif. Jadi,
kalau
melihat
pertimbangan-pertimbangan
di
atas
maka
pengendalian hama itu sebenarnya memerlukan latar belakang pengetahuan yang luas, tidak sekedar menyemprot tanpa tanggung jawab. Apabila urutan langkah ini dijalankan maka pengendalian hama akan terlaksana secara konsepsional sesuai dengan program integrated pest management. Masalah hama di lingkungan permukiman sesungguhnya merupakan hasil rekayasa manusia pemukimnya sendiri, dengan menyediakan tempattempat untuk perkembang-biakan, mencari makan dan untuk berisitirahat dan berlindung.
Beberapa jenis serangga tertentu seperti lalat dan kecoa telah
mengadaptasikan diri dengan kehidupan hean ternak dan manusia di Makalah “Pelatihan Pengendalian Vektor, Hama & Rayap untuk Teknisi dan Supervisor yang diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan Prvinsi DKI Jakarta dan DPD ASPPHAMI Provinsi DKI Jakarta, 29 Februari s/d 03 Maret 2012 di Ciloto, Jawa Barat.
lingkungan permukimannya. Oleh karena itu, cara pengendalian hama permukiman yang paling tepat adalah menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungannya, agar tidak dapat digunakan sebagai tempat berkembang biak, tempat mencari makan atau tempat berlindung dan bersembunyi.
Ketika
populasi hama sudah mencapai tingkat mengganggu, merugikan atau bahkan membahayakan terhadap orang yang tinggal di sekitarnya, maka perlu ditindak dengan menggunakan pestisida tapi dengan penuh kehati-hatian.
Daftar Pustaka
Hadi, U.K. 1999b. Telaah nyamuk dalam hubungannya sebagai vektor potensial Dirofilariasis pada anjing di Bogor. Maj. Parasitol. Ind. 12(1-2): 24-38. Harwood, R. F. & M.T. James. 1979. Entomology in human and animal health. 7th Ed. Macmillan Publ. Co. In. New York. USA: vi + 548 hlm. Kettle, D. S. 1984. Medical and veterinary entomology. Cromm Helm Ltd., London, Sydney: 658 hlm. Singgih H. Sigit.2005. Masalah Hama Permukiman dan falsafah dasar pengendaliannya. Materi Kursus Reguler Pengenalan dan Pengendalian Hama Permukiman Peringkat Instar 1, Bogor 8-10 Maret 2005
Makalah “Pelatihan Pengendalian Vektor, Hama & Rayap untuk Teknisi dan Supervisor yang diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan Prvinsi DKI Jakarta dan DPD ASPPHAMI Provinsi DKI Jakarta, 29 Februari s/d 03 Maret 2012 di Ciloto, Jawa Barat.