MALPRAKTIK MEDIS Oleh
: Prof. Dr. Andi Sofyan, S.H., M.H.
Editor : Kadarudin, S.H., M.H. Desain Sampul : Ahmad Rizal Ali Samad Tata Letak : Gisky Ambarwati Ali Samad Diterbitkan pertama kali dalam Bahasa Indonesia oleh Pustaka Pena Press Anggota IKAPI Sul-Sel Perum. Bumi Tamalnrea Permai (BTP) Jl. Kejayaan Blok K, Nomor 85, Makassar 90245 Telp. (0411) 540958, E-mail:
[email protected] Cetakan Kesatu, September 2015 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Katalog Dalam Terbitan (KDT) ISBN: 978-602-71518-4-0 xii + 129 hlm Hak Cipta@2015, ada pada penulis Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang. All right reserved Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penulis dan penerbit
MALPRAKTIK MEDIS
PROF. DR. ANDI SOFYAN, S.H., M.H.
Editor : Kadarudin
Penerbit Pustaka Pena Press, Makassar, 2015
UNDANG-UNDANG RI NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA Pasal 8 Hak ekonomi merupakan hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan. Pasal 9 1. Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan: (a) penerbitan Ciptaan; (b) Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya; (c) penerjemahan Ciptaan; (d) pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan; (e) Pendistribusian Ciptaan atau salinannya; (f) pertunjukan Ciptaan; (g) Pengumuman Ciptaan; (h) Komunikasi Ciptaan; dan (i) penyewaan Ciptaan. 2. Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. 3. Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan. SANKSI PELANGGARAN 1.
2.
3.
4.
Pasal 113 Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.100. 000.000 (seratus juta rupiah). Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah SWT, atas perkenan-Nya telah memberikan kesempatan dan kesehatan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan buku ini yang berjudul “Malpraktik Medis” walaupun dalam wujud yang sangat sederhana. Buku ini penulis tulis atas dasar kurangnya pengetahuan masyarakat umum tentang malpraktik medis, atau bahkan para praktisi yang notabene menjalankan profesinya sehari-hari baik sebagai tenaga medis maupun penegak hukum, sehingga melalui tulisan atau buku ini penulis merasa perlu untuk memberikan pemahaman mengenai malpraktik kepada semua pihak yang merasa membutuhkan informasi atau pengetahun dibidang malpraktik medis. Buku ini terdiri dari 5 (lima) bagian utama yang ditandai dengan pemisahan antar bab, yakni pendahuluan pada bab pertama, rumusan malpraktik medis dan jenis-jenisnya pada bab kedua, permasalahan medikolegal pada bab ketiga, pertanggungjawaban malpraktik medis pada bab keempat, dan terakhir penutup pada bab kelima. Kata Pengantar ( v )
Penulis menyadari bahwa buku ini masih jauh dari kesempurnaan sebagaimana pepatah Indonesia “tak ada gading yang tak retak”, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan masukan yang sifatnya membangun guna perbaikan dan penyempurnaan penulisan buku-buku selanjutnya. Harapan penulis, semoga buku ini dapat berguna dalam pembangunan ilmu hukum khususnya di bidang hukum kesehatan. Akhir kata, Wassalam. Makassar 15 Agustus 2015 Penulis,
Prof. Dr. Andi Sofyan, S.H., M.H.
( vi ) Kata Pengantar
PENGANTAR EDITOR Kurang dari dua bulan setelah terbitnya buku ini untuk pertama kalinya, empat tahun yang lalu, tepatnya tanggal 11 Nopember 2011 Maria de Jesus (32 tahun, seorang ibu tiga anak) yang sedang mengandung anak ke-empatnya (berumur 20 minggu) harus meninggal di meja operasi di Queen's Hospital in Romford, Essex (sebuah kota kecil di London Timur, Inggris). Ironisnya, kematian Maria bukan dikarenakan proses alamiah yang biasanya menjadi faktor kematian ibu atau kematian anak yang dikandung, namun kematiannya tersebut disebabkan oleh tindakan malpraktik seorang dokter muda (dr. Yahya Al Abed) dalam melakukan tindakan medis. Sebagaimana diberitakan theguardian, bahwa pada awalnya tanggal 31 Oktober 2011 Maria datang ke rumah sakit tersebut pada akhir pekan karena mengalami usus buntu, namun seorang dokter muda tanpa didampingi oleh seniornya melakukan tindakan medis yang berujung kepada tindakan kelalaian medis, yang seharusnya ia mengoperasi penyakit usus buntu yang dialami Maria, dokter mudah tersebut malah mengangkat indung telur Pengantar Editor ( vii )
dari ibu yang sedang hamil tersebut. Tidak sampai dua minggu dari tanggal operasi (7 Nopember 2011), Maria datang kembali ke Rumah Sakit Queen's di Romford, Essex, karena merasakan sakit perut yang luar biasa (sama dengan sakit yang perta-ma ketika sebelum usus buntunya di operasi), dan pada saat itu-lah kesalahan tindakan medis dokter muda diketahui. Terungkap kemudian bahwa ternyata dr. Yahya Al Abed masih belum berpengalaman (pengalaman terbatas) dalam melakukan operasi, ia pun bekerja di Rumah Sakit Queen's di Romford, Essex belum cukup 1 (satu) bulan, dan salahnya dokter muda tersebut tidak menginformasikan kepada dokter yang lebih senior sebelum melakukan tindakan medis pertama. Akhirnya pada tanggal 11 Nopember 2011 dengan terpaksa oleh dokter lain seorang bayi yang berjenis kelamin lakilaki terpaksa dikeluarkan dari rahim Maria dalam keadaan meninggal, dan tidak berselang beberapa jam kemudian Maria-pun ikut menjemput ajal dalam keadaan proses operasi. dr. Yahya Al Abed dalam keterangannya pada saat hearing sidang panel di Manchester mengakui bahwa dirinya salah dengan mengangkat indung telur si ibu pada saat operasi usus buntu, ia juga mengakui bahwa tindakan operasi tersebut diluar batas kompetensinya, dan mengaku bersalah ketika melakukan ( viii ) Pengantar Editor
tindakan medis dan mulai terjadi beberapa kesalahan, ia tidak memanggil/menghubungi dr. Cooker (dokter ahli bedah senior di Rumah Sakit Queen's di Romford, Essex). Dari gambaran kasus di atas, tercermin bahwa tugas dan tanggung jawab seseorang yang menyandang gelar dokter dan menjalankan profesi medis sangatlah berat, karena pekerjaannya tersebut berhubungan langsung dengan nyawa setiap orang yang membutuhkan jasa pelayanannya. Oleh sebab itu, seorang dokter tidak boleh sembarangan melakukan tindakan medis, apalagi tindakan yang dilakukannya diluar batas kompetensinya. Sebagaimana kasus di atas, akibat yang timbul bukanlah akibat resiko medis melainkan akibat dari kelalaian medis. Buku ini hadir untuk memberikan pemahaman awal tentang malpraktik medis bagi para pembaca (dari berbagai latar belakang), khususnya bagi dokter dan praktisi hukum dalam menegakkan norma dan kaidah hukum agar dapat mengetahui sampai batas-batas mana akibat tindakan medis seorang dokter dikatakan sebagai resiko medis atau malpraktik medis. Hal ini penting diketahui agar kasus di atas dan/atau sekian banyak kasus-kasus lainnya dapat diminimalisir jika memang kelalaian adalah sebuah keniscayaan. Sehingga dokter dalam menjalankan tindakan medis dapat berhati-hati dan lebih profesional dengan dilandasi tangPengantar Editor ( ix )
gung jawab dan integritas yang tinggi atas profesi yang diembannya. Melalui ikhtiar awal yang dilakukan oleh Profesor Andi Sofyan (Guru Besar Hukum Pidana dan Hukum Kesehatan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin) sebagai penulis buku ini, yang memiliki asa untuk berkontribusi memberikan pemahaman awal tentang apa yang dimaksud dengan malpraktik medis hingga sampai batas-batas mana tindakan kedokteran dapat dikatakan tidak bertentangan dengan hukum, disiplin ilmu kedokteran, dan etika kedokteran. Selamat membaca . . . Makassar, 28 Agustus 2015 Editor,
Kadarudin, S.H., M.H.
( x ) Pengantar Editor
DAFTAR ISI Kata Pengantar Pengantar Editor Daftar Isi Bab 1 Pendahuluan
v vii xi
1
A. Latar Belakang Masalah B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Manfaat E. Teori-Teori yang Digunakan F. Metode Penelitian
1 8 8 9 29
9
Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis dan Jenis-Jenisnya A. Rumusan Malpraktik Medis 33 B. Jenis-Jenis Malpraktik Medis 47 C. Contoh Kasus 48
33
Bab 3 Permasalahan Medikolegal 57 A. Tindakan Medis 57 B. Kelalaian Medis 60 C. Resiko Medis 64 D. Perbedaan Mendasar antara Malpraktik Medis, Tindakan Medis, Kelalaian Medis, dan Daftar Isi ( xi )
Resiko Medis
67
Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik Medis A. Tanggung Jawab Pidana 77 B. Tanggung Jawab Perdata 86 C. Tanggung Jawab Disiplin Ilmu Kedokteran D. Tanggung Jawab Etik 109 Bab 5 Penutup A. Kesimpulan B. Saran Daftar Pustaka Tentang Penulis Tentang Editor
( xii ) Daftar Isi
115 115 117
119
73
93
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan merupakan salah satu hak dari sekian banyak hak yang dimiliki oleh manusia sebagai individu ciptaan Tuhan Yang Maha Esa (YME), hak-hak tersebut lazim kita kenal sebagai Hak Asasi Manusia (HAM). HAM tidak dapat dilanggar, dikurangi atau dibatasi (selama dalam batas-batas kewajaran), bahkan di cabut oleh siapapun juga. Adalah sebuah keniscayaan bahwa manusia dalam menjalankan kehidupannya, ada saatnya merasakan sakit, karena kesehatan manusia itu terbatas, keterbatasan kesehatan manusia tersebut dapat disebabkan oleh aktivitas yang melebihi batas kemampuannya, pekerjaan, lingkungan, atau bahkan dari makanan yang dikonsumsi. Pembangunan bidang kesehatan pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan Undang-Un-
Bab 1 Pendahuluan ( 1 )
dang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.1 Kesehatan adalah anugrah terindah yang diberikan Tuhan YME kepada semua makhluk ciptaannya di muka bumi, karena jika fisik (tubuh) dalam keadaan sehat, maka segala aktivitas yang diinginkan hampir pasti bisa dilakukan. “Kesehatan merupakan harga yang mahal” menurut persepsi kebanyakan orang jika ia dalam kondisi tidak sehat (sakit), sedangkan sebaliknya, “persepsi sehat itu murah” juga dinyatakan oleh kebanyakan orang yang kondisi fisiknya dalam keadaan sehat. Umumnya orang tidak sadar bahwa kesehatan itu penting untuk dijaga sehingga ia tidak menghiraukan segala faktor yang memungkinkan dirinya diserang oleh berbagai macam penyakit, ketika dirinya sakit, disitulah ia baru menyesal dan sadar bahwa kesehatan itu adalah hal yang paling penting di dalam hidupnya. Pada saat manusia dalam keadaan sakit, maka sudah selayaknya atau sewajarnya jika ia menginginkan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang terbaik bagi dirinya, begitupun dengan keluarga dari orang tersebut, sudah pasti menginginkan hasil yang terbaik bagi anggota keluarganya yang di rawat di rumah sakit. Dalam keadaan tersebut (proses pelayanan kesehatan), berbagai kemungkinan dapat saja terjadi, apakah ia akan segera sembuh, sembuh namun membutuhkan perawatan yang cukup lama, atau bahkan bisa saja kemungkinan
Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. 1
( 2 ) Bab 1 Pendahuluan
terburuk dapat terjadi, yakni penyakitnya semakin parah atau meninggal dunia. Sejalan dengan seorang pasien yang sedang mengalami perawatan medis, seorang dokter juga dalam menjalankan profesinya dibidang medis, pastinya juga menginginkan hasil yang terbaik dan maksimal dari setiap tindakan medis yang ia lakukan terhadap pasiennya. Namun keinginan manusia adakalanya juga tidak sejalan dengan kenyataan yang ada, bisa saja yang diinginkan oleh seorang pasien yang menjalani perawatan medis dan seorang dokter yang menjalankan profesinya sebagai tenaga medis berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada, kondisi demikian juga dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor, bisa karena takdir (walaupun alasan ini sebenarnya tidak ilmiah), bisa karena kurangnya kerjasama dari si pasien sendiri (tidak mengindahkan hal-hal yang diperintahkan dokter baik selama masa ia menjalani perawatan medis, maupun setelah ia menjalani perawatan medis atau biasa dikenal dengan istilah recovery), atau bahkan bisa saja karena kelalaian dokter sehingga ia dokter tersebut dapat dikategorikan sebagai telah melakukan malpraktik dibidang medis. Pada saat dokter melakukan tindakan malpraktik, maka pada saat itulah ia diperhadapkan oleh hukum. Hukum diadakan bukan demi hukum, namun ia harus berguna bagi masyarakat yang diaturnya. Maka hukum bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri secara mandiri terlepas dari Bab 1 Pendahuluan ( 3 )
masyarakatnya. Hukum adalah pencerminan masyarakat (Hamaker). Hukum adalah pandangan, pendapat dan pendirian yang dianut di dalam suatu masyarakat tertentu dan dalam jangka waktu tertentu pula. Dengan perubahan zaman, maka hukumnya pun akan turut berubah pula. Hukum diperlukan demi adanya tata-tertib di dalam masyarakat. Dengan adanya hukum, maka timbullah rasa kepastian di dalam kehidupan manusia (Predictability : Roscoe Pound). Manusia di dalam masyarakat tersebut akan tahu apa yang boleh dilakukan dan apa yang dilarang. la tidak akan ragu-ragu lagi dalam melakukan tindakannya.2 Begitupun dengan dokter atau profesi-profesi lain yang dijalankan oleh seseorang. Dokter dalam kaitan menjalankan profesinya terhadap pasien di rumah sakit, paling tidak ada beberapa peraturan yang harus ia pedomani, peraturan dimaksud adalah UndangUndang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit,5 J. Guwandi, Dokter, Pasien, dan Hukum, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia, 2007), hlm. 2 2
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431). 3
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063). 4
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072). 5
( 4 ) Bab 1 Pendahuluan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan,6 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis, dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Sejumlah peraturan tersebut7 menjadi pedoman bagi seorang dokter dalam menjalankan profesinya. Dokter sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang diberikan. Landasan utama bagi dokter untuk dapat melakukan tindakan medis terhadap orang lain adalah ilmu pengetahuan, teknologi, dan kompetensi yang dimiliki, yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan. Pengetahuan yang dimilikinya harus terus menerus dipertahankan dan ditingkatkan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri.8 Sehingga karena hal tersebut, maka seorang dokter dalam menjalankan profesinya tentu menjalankannya dengan upaya sungguhLembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 298, (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5607). 6
7 Masih banyak peraturan lain yang tidak disebutkan dalam buku ini, seperti Kode Etik dan peraturan di internal organisasi kedokteran lainnya. 8 Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, namun pada penjelasan umum tersebut dalam teks aslinya terdapat kata dokter dan dokter gigi
Bab 1 Pendahuluan ( 5 )
sungguh, maksimal, berintegritas tinggi, dan professional. Namun di dalam kenyataanya dibeberapa negara maju seperti United Kingdom, Australia dan Amerika Serikat, kasus malpraktik medik banyak terjadi bahkan setiap tahun jumlahnya meningkat. Misalnya, di negara Amerika Serikat pada tahun 1970-an jumlah kasus malpraktik medik meningkat tiga kali lipat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya dan keadaan ini terus meningkat hingga pada tahun 1990-an. Keadaan di atas tidak jauh berbeda dengan negara Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir ini kasus penuntutan terhadap dokter atas dugaan adanya malpraktik medik meningkat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Sejak 2006 hingga 2012, tercatat ada 183 kasus kelalaian medik, atau bahasa awamnya malpraktik yang terbukti dilakukan dokter di seluruh Indonesia. Malpraktik ini terbukti dilakukan dokter setelah melalui sidang yang dilakukan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Akibat dari malpraktik yang terjadi selama ini, sudah ada 29 dokter yang izin praktiknya dicabut sementara, ada yang tiga bulan dan ada yang enam bulan.9 Hingga Januari 2013 jumlah pengaduan dugaan malpraktik ke konsil kedokteran Indonesia atau KKI tercatat mencapai 183 kasus. Jumlah tersebut meningkat tajam dibanding Dokter Indonesia Online, lihat di http://dokterindonesiaonline.com, baca juga Majalah Forum Keadilan Nomor 17, Tahun VII, Edisi 30 Nopember 1998 yang memberitakan kasus malpraktik “Dua Dokter Beroperasi, Dua Saluran Terpotong” yang terjadi di RSUD Sorong Propinsi Irian Jaya (kini bernama Propinsi Jayapura). 9
( 6 ) Bab 1 Pendahuluan
tahun 2009 yang hanya 40 kasus dugaan malpraktik. Bahkan kasus-kasus ini pun tidak mendapatkan penanganan yang tepat dan hanya berakhir di tengah jalan, tanpa adanya sanksi atau hukuman kepada petugas kesehatan terkait. Dari 183 kasus malpraktik di seluruh Indonesia itu, sebanyak 60 kasus dilakukan dokter umum, 49 kasus dilakukan dokter bedah, 33 kasus dilakukan dokter kandungan, dan 16 kasus dilakukan dokter spesialis anak. Siasanya di bawah 10 macam-macam kasus yang dilaporkan. Selain itu, ada enam dokter yang diharuskan mengenyam pendidikan ulang. Artinya, pengetahuan dokter kurang sehingga menyebabkan terjadinya kasus malpraktik. “Mereka kurang dalam pendidikannya sehingga ilmu yang didapatkan itu kurang dipraktikan atau terjadi penyimpangan dari standar pelayanan atau penyimpangan dari ilmu yang diberikan. Maka, dia wajib sekolah lagi dalam bidang tertentu. Di samping kasus malpraktik, beberapa kasus lain yang juga ikut menjerat dokter ke ranah pidana hingga pencabutan izin praktik di antaranya soal komunikasi dengan pasien, ingkar janji, penelantaran pasien, serta masalah kompetensi dokter. Ada berbagai faktor yang melatarbelakangi munculnya gugatan-gugatan malpraktik tersebut dan semuanya berangkat dari kerugian psikis dan fisik korban. Mulai dari kesalahan diagnosis dan pada gilirannya mengimbas pada kesalahan terapi hingga pada kelalaian dokter pasca operasi pembedahan
Bab 1 Pendahuluan ( 7 )
pada pasien (alat bedah tertinggal didalam bagian tubuh), dan faktor-faktor lainnya.10 Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut di atas, maka penulis merasa perlu untuk mengeluargan gagasan dalam bentuk tulisan, guna memberikan pengetahuan kepada masyarakat dan praktisi kesehatan tentang pengaturan hukum Malpraktik Medis sebagaimana yang akan dipaparkan pada bab-bab selanjutnya di dalam buku ini. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut : 1. Bagaimanakah rumusan malpraktik medis yang tepat dan jenis-jenisnya? 2. Bagaimanakah permasalahan medikolegal dalam pelayanan medis? 3. Bagaimanakah pertanggungjawaban hukum dan etik bagi pelaku malpraktik medis? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai di dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui rumusan malpraktik medis yang tepat dan jenis-jenisnya. Dokter Indonesia Online, Ibid. baca juga Harian Fajar Edisi Rabu 24 April 2004 yang memberitakan “Dokter Operasi Pakai Senter” di RSUD I Lagaligo di Kabupaten Luwu Timur Propinsi Sulawesi Selatan dan “Gunting di Perut Selama 18 Bulan” yang terjadi di Sydney, Australia. 10
( 8 ) Bab 1 Pendahuluan
2. Untuk mengetahui permasalahan medikolegal dalam pelayanan medis. 3. Untuk mengetahui pertanggungjawaban hukum dan etik bagi pelaku malpraktik medis. D. Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian tersebut, maka manfaat yang diharapkan di dalam penelitian ini adalah : 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan dan dapat digunakan sebagai bahan kajian dalam pengembangan ilmu hukum dan ilmu kedokteran, khususnya dalam mengkaji malpraktik medis. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan menjadi salah satu acuan bagi para praktisi, khususnya bagi praktisi hukum dan praktisi medis agar lebih berhati-hati dan teliti dalam menjalankan profesinya 3. Hasil penelitian ini dapat dipublikasikan sehingga masyarakat umum mendapatkan informasi mengenai gambaran malpraktik medis secara benar (tidak menyesatkan) dan komprehensif. E. Teori-Teori yang Digunakan Guna memperkaya pengetahuan, dan lebih tajam dalam menganalisis, maka penulis menggunakan beberapa teori Bab 1 Pendahuluan ( 9 )
agar permasalahan mengenai malpraktik medis dalam buku ini dapat dianalsis secara proporsional. Dalam buku ini, penulis menggunakan 2 (dua) teori, yakni teori kesalahan dan teori pertanggungjawaban, sebagaimana dipaparkan dibawah ini. 1. Teori Kesalahan Kesalahan menurut teori (dalam hukum pidana) terdiri dari : - Kesengajaan; dan - Kelalaian. Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa kesengajaan dalam hukum pidana adalah merupakan bagian dari kesalahan. Kesengajaan pelaku mempunyai hubungan kejiwaan yang lebih erat terhadap suatu tindakan (yang terlarang) dibanding dengan kelalaian (kealpaan/culpa). Karenanya ancaman pidana pada suatu tindak pidana (delik)11 jauh lebih berat apabila adaAdami Chazawi menerangkan bahwa “Di Indonesia sendiri setidaknya dikenal ada tujuh istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari istilah Strafbaar feit (Belanda). Istilah-istilah yang pernah digunakan, baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah Strafbaar feit antara lain adalah tindak pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum dan yang terakhir adalah perbuatan pidana. Strafbaar feit, terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar dan feit. Dari tujuh istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat atau boleh. Sementara itu, untuk kata feit diterjemahkan dengan perbuatan sehingga secara harfiah perkataan “strafbaar feit” dapat diterjemahkan sebagai suatu perbuatan yang dapat dipidana”. Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana), Bagian 1, (Jakarta: Rajawali Pers, 2002), hlm. 67-68; adapun istilah yang dipakai Moeljatno dan Roeslan Saleh dalam menerjemahkan Strafbaar feit adalah istilah perbuatan pidana. Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka 11
( 10 ) Bab 1 Pendahuluan
nya kesengajaan daripada dibanding dengan kelalaian. Bahkan ada beberapa tindakan tertentu, jika dilakukan dengan kelalaian tidak merupakan tindakan pidana, yang pada hal jika dilakukan dengan sengaja, ia merupakan suatu kejahatan seperti misalnya pasal penggelapan (Pasal 372 KUHP)12 dan pasal pengrusakan barang-barang (Pasal 406 KUHP)13 dan lain sebagainya.14
Cipta, 2008), hlm. 86; dan Leden Marpaung menggunakan istilah “delik”. Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 7; Ter Haar memberi definisi untuk delik yaitu tiap-tiap penggangguan keseimbangan dari satu pihak atas kepentingan penghidupan seseorang atau sekelompok orang. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 18. Menurut Bambang Waluyo pengertian tindak pidana (delik) adalah “perbuatan yang dapat diancam dengan hukuman (Strafbare Feiten)”. Bambang Waluyo, 2008. Pidana dan Pemidanaan. (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 6; R. Abdoel Djamali menambahkan bahwa : “Peristiwa pidana yang juga disebut tindak pidana (delik) ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana”. R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), hlm. 175; terakhir Pompe yang menyatakan bahwa perkataan “strafbaar feit” itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai : “Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, di mana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”. P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 182. Lihat uraian lengkap pasal dimaksud dalam Moeljatno, KUHP, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Edisi Baru, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hlm. 132; juga dalam R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, (Bogor: Politea, 1996), hlm. 258 12
Lihat uraian lengkap pasal dimaksud dalam Moeljatno, Ibid., hlm. 146; juga dalam R. Soesilo, Ibid., hlm. 278 13
Zain Recht, Kesengajaan dan Kealpaan dalam Hukum Pidana (Kumpulan Tulisan-Tulisan Hukum), 23 Nopember 2012. 14
Bab 1 Pendahuluan ( 11 )
Bagaimanakah mendefinisikan kesengajaan? Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia tidak memberi definisi mengenai hal tersebut, sehingga kita dapat merujuk pada Memorie van Toelicting (risalah penjelasan undang-undang), yakni sengaja (dolus) berarti menghendaki dan mengetahui (willens en wetens). Pelaku (tindak pidana) harus menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukannya. Kata sengaja dalam undang-undang meliputi semua perkataan dibelakangnya, jadi meliputi juga akibat dari tindak pidana. Dalam hal ini dikenal dua teori yaitu : a. Teori membayangkan (voorstellings theori) dari Frank, yaitu suatu perbuatan hanya dapat dikehendaki, sedangkan suatu akibat hanya dapat dibayangkan saja; b. Teori kemauan (wills theory) dari von Hippel, bahwa sengaja itu ada kalau akibat itu memang dikehendaki dan dapat dibayangkan sebagai tujuan. Dalam doktrin ilmu hukum pidana, dikenal berbagai macam kesengajaan (dolus), antara lain :15 -
Aberratio ictus, yaitu dolus yang mana seseorang yang sengaja melakukan tindak pidana untuk tujuan terhadap objek tertentu, namun ternyata mengenai objek yang lain.
15
Ibid.
( 12 ) Bab 1 Pendahuluan
-
Dolus premeditates, yaitu dolus dengan rencana terlebih dahulu.
-
Dolus determinatus, yaitu kesengajaan dengan tingkat kepastian objek, misalnya menghendaki matinya.
-
Dolus indeterminatus, yaitu kesengajaan dengan tingkat ketidakpastian objek, misalnya menembak segerombolan orang.
-
Dolus alternatives, yaitu kesengajaan dimana pelaku (tindak pidana) dapat memperkirakan satu dan lain akibat. Misalnya meracuni sumur.
-
Dolus directus, yaitu kesengajaan tidak hanya ditujukan kepada perbuatannya, tetapi juga kepada akibat perbuatannya.
-
Dolus indirectus yaitu bentuk kesengajaaan yang menyatakan bahwa semua akibat dari perbuatan yang disengaja, dituju atau tidak dituju, diduga atau tidak diduga, itu dianggap sebagai hal yang ditimbulkan dengan sengaja. Misalnya dalam pertengkaran, seseorang mendorong orang lain, kemudian terjatuh dan tergilas mobil (dolus ini berlaku pada KUHP/Code Penal Perancis, namun KUHP Indonesia tidak menganut dolus ini).
Bab 1 Pendahuluan ( 13 )
Sedangkan tingkatan sengaja adalah sebagai berikut : a.
Sengaja sebagai niat. Akibat delik adalah motif utama untuk suatu perbuatan yang seandainya tujuan itu tidak ada maka perbuatan tidak dilakukan. Misalnya : (a) berniat membunuh (b), lalu meminumkan racun kepadanya;
b.
Sengaja kesadaran akan kepastian; dan
c.
Sengaja insaf akan kemungkinan (dolus eventualis).
Sedangkan kelalaian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, memberikan pengertian kelalaian dari asal kata lalai yang berarti "tindakan yang kurang hati-hati, tidak mengindahkan (kewajiban, pekerjaan, dan sebagainya), lengah".16 Dalam an Indonesian-English Dictionary, kelalaian diartikan dari kata neglect, carelessness.17 Dalam Kamus Hukum Edisi Lengkap, terjemahan dari culpa (Lat.) atau schuld (Bid.), atau debt, guilt, fault (Ing.), yang artinya adalah "kekhilafan atau kelalaian yang menimbulkan akibat hukum, dianggap melakukan tindak pidana yang dapat ditindak atau dituntut".18 Istilah culpa sering Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. 16
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Indonesia Inggris, an Indonesian-English Dictionary (Jakarta: Gramedia, 2003). 17
Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum Edisi Lengkap, Bahasa Belanda, Indonesia, Inggris, (Semarang Aneka Ilmu, tanpa tahun). 18
( 14 ) Bab 1 Pendahuluan
diperlawankan dengan kata dolus, delict, opzet (Bld.). Dalam Black's Law Dictionary19 disebutkan bahwa: "Kelalaian adalah kegagalan untuk bersikap hati-hati yang umumnya orang lain yang wajar dan hati-hati akan melakukan di dalam keadaan tersebut; ia merupakan suatu tindakan yang umumnya orang lain yang wajar dan hati-hati tidak akan melakukan dalam keadaan yang sama, atau kegagalan untuk melakukan apa yang oleh orang lain pada umumya dengan hati-hati dan wajar justru akan melakukan dalam keadaan yang sama".20 Dalam undang-undang tidak diartikan sebagai kelalaian (culpa), namun dari penjelasan pembuat undang-undang (KUHP) atau Memorie van Toelichting (MvT) dapat diketahui bahwa schuld atau culpa merupakan kebalikan murni dari dolus (sengaja) maupun kebetulan (casus), yang dituntut adalah bahwa orang kurang berpikir cermat, kurang pengetahuan, atau bertindak kurang terarah dibanding dengan orang lain pada umumnya. Dari Memorie van Antwoord (memori jawaban) yang disampaikan oleh parlemen diketahui bahwa siapa yang sengaja berbuat salah adalah mereka yang menggunakan
Bryan A. Garner (Ed.), Black’s Law Dictionary, Ninth Edition, USA: West a Thomson Reuters business, 2009. 19
20 Teks aslinya : Negligence is the failure to use such care as reasonable prudent and careful person would use under similar circumstances; it is doing some of act which a person of ordinary prudence would not have done under similar circumstances or failure to do what a person of ordinary prudence would have done under similar circumstances. Ari Yunanto dan Helmi, Hukum Pidana Malpraktik Medik, Tinjauan dan Perspektif Medikolegal, (Yogyakarta: Andi Offset, 2010), hlm. 31-32
Bab 1 Pendahuluan ( 15 )
kemampuannya secara keliru. Sebaliknya, siapa yang berbuat salah karena kelalaiannya, tidak menggunakan kemampuan yang dimilikinya ketika kemampuan tersebut seharusnya ia gunakan.21 Sedangkan dalam kamus Bahasa Indonesia Modern, kelalaian berasal dari kata lalai yang diartikan sebagai lengah, kurang ingat, tidak mengindahkan kewajiban pekerjaan dan sebagainya, terlupa, dan tidak sadar.22 Kelalaian (culpa) dipandang telah ada bila seseorang kurang hati-hati, lalai dan kurang teliti, atau kurang mengambil tindakan pencegahan. Jurisprudensi menginterpretasikan culpa sebagai kurang mengambil tindakan pencegahan atau kurang hati-hati. Pada umumnya, kelalaian dibedakan atas :23 a. Kealpaan yang disadari (bewuste schuld) Disini si pelaku dapat menyadari tentang apa yang dilakukan beserta akibatnya, akan tetapi ia percaya dan berharap bahwa akibatnya tidak akan terjadi b. Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld). Dalam hal ini si pelaku melakukan sesuatu yang tidak menyadari kemungkinan akan timbulnya se-
Jan Remmelink. Hukum Pidana, (Buku terjemahan), (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 176-177 dalam Ari Yunanto dan Helmi, Op. Cit., hlm. 32 21
Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hlm. 192 22
23
Zain Recht, Loc.Cit.
( 16 ) Bab 1 Pendahuluan
suatu akibat, padahal seharusnya ia dapat menduga sebelumnya. Perbedaan tersebut bukan berarti bahwa kelalaian yang disadari itu sifatnya lebih berat dari pada kelalaian yang tidak disadari. Kerapkali justru karena tanpa berpikir akan kemungkinan timbulnya akibat malah terjadi akibat yang sangat berat. Van Hattum mengatakan, bahwa “kelalaian yang disadari itu adalah suatu sebutan yang mudah untuk bagian kesadaran kemungkinan (yang ada pada pelaku), yang tidak merupakan dolus eventualis”. Jadi perbedaan ini tidak banyak artinya. Kelalaian sendiri merupakan pengertian yang normatif bukan suatu pengertian yang menyatakan keadaan (bukan feitelijk begrip). Penentuan kelalaian seseorang harus dilakukan dari luar, harus disimpulkan dari situasi tertentu, bagaimana seharusnya si pelaku itu berbuat. 2. Teori Pertanggungjawaban Dasar-dasar pertanggungjawaban pidana sangat erat kaitannya dengan tujuan hukum pidana, sehingga ada baiknya jika dibahas terlebih dahulu mengenai tujuan hukum pidana. Tujuan hukum pidana dalam perkembangannya dikenal 3 (tiga) teori yang berkaitan dengan tujuan diberlakukannya hukum
Bab 1 Pendahuluan ( 17 )
pidana. Ketiga teori tersebut dikenal sebagai teori mutlak, teori relatif, dan teori gabungan. Berikut uraiannya :24 a. Teori mutlak berlandaskan pada filosofi bahwa kejahatan itu tidak boleh ada, dan tidak diizinkan baik menurut norma kesusilaan maupun norma hukum, maka kejahatan itu seharusnya dipidana. Hanya dengan “membalas” kejahatan itu dengan penambahan penderitaan, maka dapat dinyatakan bahwa perbuatan (yang jahat) itu tidak dapat dihargai. Teori mutlak ini berabad-abad lamanya dapat diterima karena sesuai dengan pengalaman manusia bahwa setiap serangan yang dilakukan oleh orang lain akan menimbulkan reaksi serangan pembalasan dari pihak yang diserang. b. Teori relatif yang berkembang kemudian menyebutkan bahwa tujuan pemidanaan bukanlah untuk pembalasan, melainkan untuk : - Prevensi umum, yaitu bahwa pemerintah berwenang menjatuhkan pidana untuk mencegah rakyat umumnya melakukan tindak pidana. Van Veen menegaskan tiga fungsi yaitu untuk menegaskan
24 Herkutanto, Tanggung Jawab Pidana dalam Hukum Kesehatan, Kumpulan Makalah Kursus Dasar Hukum Kesehatan, Kerjasama PERHUKI dengan R.S. Pusat Pertamina, (Jakarta, 26 Mei 1994), hlm. 10-11
( 18 ) Bab 1 Pendahuluan
wibawa
pemerintah,
menegakkan
norma
dan
membentuk norma. - Prevensi khusus, yaitu bahwa manusia (pelaku tindak pidana) dikemudian hari akan menahan diri supaya jangan berbuat seperti itu lagi karena perbuatannya akan menimbulkan penderitaan. Jadi pidana akan berfungsi mendidik dan memperbaiki. - Fungsi perlindungan, dengan dipidannya si pelaku kejahatan dengan dicabut kebebasannya, maka masyarakat akan terhindar dari kejahatan yang dilakukannya. c. Teori gabungan dikembangkan pertama-tama oleh Pellegrino Rossi (1787-1848). Teori ini menganut kedua paham di atas sekaligus (pemidanaan sebagai pembalasan dan sebagai pencegahan). Menurut pendapatnya tujuan pidana adalah perbaikan tata tertib masyarakat. Tujuan penting lainnya adalah prevensi umum dan penimbulan rasa takut kepada (calon) penjahat. Dasar pemidanaan dalam hukum pidana dikenal asas pokok yang penting yaitu “nulla poena” (nulla poena sine praevia lege poenali) yang artinya adalah “tidak ada perbuatan yang dapat dipidana tanpa penetapan sebelumnya oleh undang-undang”. Dengan demikian suatu perbuatan hanya dapat dipidaBab 1 Pendahuluan ( 19 )
na bila suatu undang-undang dengan tegas telah mengatur bahwa perbuatan itu merupakan tindak pidana. Hal ini telah diatur dengan tegas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Dari uraian tersebut, Nampak bahwa pertanggungjawaban pidana baru akan muncul bila norma-norma hukum pidana yang tertulis dalam undang-undang dilanggar.25 Bila seseorang akan dibebani pertanggungjawaban pidana maka harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :26 a.
Adanya sikap tindak/perbuatan oleh manusia yang dapat bertanggungjawab. Pelaku yang melakukan perbuatan itu harus bebas dapat menentukan kehendaknya (vrijwilligheid). Artinya jika pelaku tersebut sakit jiwa atau masih di bawah umur, maka syarat pemidanaan ini tidak terpenuhi. Yang terancam sanksi pidana adalah pelaku itu sendiri, bukan orang lain (orang tuanya, atau atasannya). Hal ini sesuai dengan asas mens rea dan actus reus, dimana sasaran hukum pidana adalah mental yang jahat (mens rea), yang diwujudkan dalam perbuatan yang jahat pula (actus reus).
b. Perbuatan tersebut diatur oleh undang-undang Hal sesuai dengan asas nulla poena sebagaimana diuraikan sebelumnya. Jadi harus dapat ditunjuk25
Ibid., hlm. 11
26
Ibid., hlm. 11-12
( 20 ) Bab 1 Pendahuluan
kan ketentuan/pasal mana yang dilanggar oleh pelaku. c. Perbuatan pelaku yang melanggar hukum.27 Perbuatan pelaku tersebut jelas-jelas terbukti memenuhi rumusan tindak pidana yang telah ditetapkan oleh undang-undang, yang artinya melanggar norma dalam hukum pidana. d. Terdapat unsur kesalahan pada pelaku. Kesalahan (schuld) ini dari segi hukum pidana dikenal sebagai kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa). Sedangkan dalam hukum perdata, tuntutan tanggungjawab hukum perdata dapat diajukan seseorang kepada siapa saja yang telah menyebabkan kerugian akibat tindakan-tindakan orang lain atau badan hukum. Atas dasar itu, maka tanggungjawab tenaga pelayanan kesehatan baru timbul bila seorang pasien mengajukan gugatan kepada tenaga pelayanan kesehatan untuk membayar ganti rugi atas dasar perbuatan Perbuatan melanggar hukum ialah bahwa perbuatan itu mengakibatkan kegoncangan dalam neraca keseimbangan dari masyarakat, dan kegoncangan ini tidak hanya terdapat, apabila peraturan-peraturan hukum dalam suatu masyarakat dilanggar (langsung), melainkan juga apabila peraturan-peraturan kesusilaan, keagamaan dan sopan santun dalam masyarakat dilanggar (langsung). Maka tergantunglah dari nilai besarnya kegoncangan itu, apakah peraturan hukum menuntut agar kegoncangan itu meskipun secara langsung hanya mengenai peraturan-peraturan kesusilaan, keagamaan, atau sopan santu, harus dicegah semaksimal mungkin seperti mencegah suatu perbuatan yang langsung melanggar hukum. Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, Dipandang dari Sudut Hukum Perdata, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hlm. 7 27
Bab 1 Pendahuluan ( 21 )
yang merugikan pasien. Ganti rugi bisa meliputi biaya yang telah atau akan dikeluarkan, juga kerugian yang diderita, kemunduran nilai dan sebagainya. Dasar tuntutan perdata diajukan berpijak pada beberapa teori :28 a. Pelanggaran kontrak; b. Perbuatan yang disengaja; dan c. Kelalaian. Berdasarkan
hukum
perdata
tenaga
pelayanan
kesehatan melakukan malpraktik karena :29 a. Melakukan wanprestasi (Pasal 1239 KUH Perdata);30 b. Melakukan perbuatan melanggar hukum (Pasal 1365 KUH Perdata);31 c. Melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan kerugian (Pasal 1366 KUH Perdata);32 dan d. Melalaikan pekerjaan sebagai penanggungjawab (Pasal 1367 KUH Perdata).33
Poppy Gunawarman, Tanggung Jawab Perdata, Kumpulan Makalah Kursus Dasar Hukum Kesehatan, Kerjasama PERHUKI dengan R.S. Pusat Pertamina, (Jakarta, 26 Mei 1994), hlm. 16-17 28
29
Ibid., hlm. 17
30 Lihat R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Burgelijk Wetboek, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006), hlm. 324 31
Ibid., hlm. 346
32
Ibid.
33
Ibid.
( 22 ) Bab 1 Pendahuluan
Wanprestasi34 (cacat prestasi) atas perjanjian terapeutik, misalnya :35 i.
Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;
ii.
Melakukan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan. Contoh : Dokter spesialis plastik menjanjikan hidung pasien akan mancung setelah di operasi, tetapi hasilnya malah sebaliknya.
iii.
Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
iv.
Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Beberapa kriteria untuk menilai dan membuktikan adanya pelanggaran perjanjian terapeautik yang dilakukan tenaga pelayanan kesehatan yaitu :36
Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian yang dibuat. Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2006), hlm. 226; Ada 4 (empat) akibat adanya wanprestasi yaitu (1) perjanjian tetap ada; (2) harus membayar ganti rugi; (3) beban resiko beralih untuk kerugian kepada yang melakukan wanprestasi; dan (4) jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, maka pihak yang dirugikan dapat membebaskan diri dari perjanjian tersebut. 34
35
Poppy Gunawarman, Loc.Cit., hlm. 17
36
Ibid.
Bab 1 Pendahuluan ( 23 )
a. Pelayanan yang diberikan oleh tenaga pelayanan kesehatan tidak cukup layak dan tidak professional seperti apa yang diharapkan oleh pasien; b. Terjadi pelanggaran kewajiban; c. Pelanggaran tersebut merupakan penyebab cedera atau kerugian terhadap pasien. Gugatan atas dasar wanprestasi ini, harus dibuktikan bahwa tenaga pelayanan kesehatan betul-betul telah mengadakan perjanjian yang kemudian dia melakukan wanprestasi terhadap perjanjian tersebut. Gugatan perdata tersebut bisa berupa tuntutan-tuntutan :37 a. Pemenuhan perjanjian; b. Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi; c. Ganti rugi saja; d. Pembatalan perjanjian; atau e. Pembatalan disertai ganti rugi. Pembelaan tenaga pelayanan kesehatan atas tuntutan perdata. tenaga pelayanan kesehatan yang dituntut lalai dan dimintakan supaya kepadanya membayar ganti rugi atas kelalaiannya, ia dapat membela diri dengan mengajukan beberapa macam alasan untuk membebaskan diri dari ganti rugi (hukuman). Pembelaan tersebut ada 6 (enam) macam, yaitu :38 37
Ibid.
38
Ibid., hlm. 17-18
( 24 ) Bab 1 Pendahuluan
a. adanya keadaan yang memaksa (ovemacht force majeur);39 b. pasien sendiri telah lalai (exceptio non adimpleti contractus); c. pasien ditolong dalam keadaan gawat darurat; d. pasien telah melepaskan tuntutannya atas ganti rugi (pelepasan hak); e. peraturan mengenai jangka waktu boleh menuntut (statue of limitation); f. workmen’s compensation. Atas uraian tersebut di atas, tenaga pelayanan kesehatan tidak dapat lepas dari tanggungjawab hukum perdata dalam melaksanakan tugas profesinya. Untuk menghindari dari tuntutan itu tenaga pelayanan kesehatan harus memberikan pelayanan menurut standar profesinya dengan sungguh-sungguh dan itikad baik. Disamping itu, perlu juga tenaga pelayanan kesehatan untuk mengetahui dan menambah pengetahuan dalam bidang hukum kesehatan dan segala aspek-aspeknya. Sehingga dengan pengetahuan yang dimiliki tenaga pelayanan kesehatan dapat waspada dan responsif atas perubahan kesadaran masyarakat terhadap hukum.40
Penjelasan lebih lengkap mengenai ovemacht/force majeur dalam buku Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan dari Undang-Undang, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 18 39
40
Poppy Gunawarman, Op.Cit., hlm. 18
Bab 1 Pendahuluan ( 25 )
Setelah dijelaskan tanggung jawab dalam hukum pidana dan dalam hukum perdata yang keduanya merupakan tanggung jawab dibidang hukum, selanjutnya akan dibahas mengenai tanggung jawab dibidang profesi kedokteran, yakni tanggung jawab disiplin dan tanggung jawab etik. Tanggung jawab disiplin dan tanggung jawab etik merupakan dua tanggung jawab yang tidak berhubungan langsung dengan hukum, namun kedua tanggung jawab ini bisa dijadikan dasar pemberat jika memang dalam tindakannya tersebut beraspek hukum, baim itu hukum pidana maupun hukum perdata. Profesi kedokteran dan kedokteran gigi memiliki keluhuran karena tugas utamanya adalah memberikan pelayanan untuk memenuhi salah satu kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan akan kesehatan. Dalam menjalankan tugas profesionalnya sebagai dokter dan dokter gigi, selain terikat oleh norma etika dan norma hukum, profesi ini juga terikat oleh norma disiplin kedokteran, yang bila ditegakkan akan menjamin mutu pelayanan sehingga terjaga martabat dan keluhuran profesinya. Sesuai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,41 Pasal 55 ayat (1) yang mengatur bahwa “aturan-aturan dan/atau ketentuan penerapan keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh dokter dan dokter gigi”. Aturan-aturan tersebut ter-
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431). 41
( 26 ) Bab 1 Pendahuluan
sebar dalam UU praktik kedokteran, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Kesehatan, Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia, Ketentuan dan Pedoman Organisasi Profesi, Kode Etik Profesi dan juga kebiasaan umum (common practice) di bidang kedokteran dan kedokteran gigi. Pelanggaran disiplin dapat dikelompokan dalam 3 hal, yaitu:42 a. Melaksanakan praktik kedokteran dengan tidak kompeten; b. Tugas dan tanggung jawab profesional pada pasien tidak dilaksanakan dengan baik; dan c. Berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan profesi kedokteran. Sedangkan tanggung jawab dibidang etik adalah setiap sikap tindak seseorang yang menjalankan profesi sebagai dokter harus mencerminkan dan menjunjung tinggi kode etik kedokteran, terutama yang diatur secara umum dalam 4 pasal pertama, yakni : Pasal 1 Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.
Tince P. Soemoele, Disiplin Profesi Kedokteran, lihat di http://m.kom pasiana.com/ tinceinge/disiplin-profesi-kedokteran 42
Bab 1 Pendahuluan ( 27 )
Pasal 2 Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi. Pasal 3 Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi. Pasal 4 Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri. Serta pasal-pasal lainnya (dengan total 17 pasal) di dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia, sebagaimana terakhir kali diperbaharui pada tanggal 19 April 2002 di Jakarta, namun pasal-pasal lainnya hanya merupakan penjabaran dari 4 (empat) pasal utama di atas. Profesi dokter sejak perintisannya telah membuktikan sebagai
profesi
yang
luhur
dan
mulia.
Keluhuran
dan
kemuliaan ini ditunjukkan oleh 6 sifat dasar yang harus ditunjukkan oleh setiap dokter yaitu :43 1. Sifat ketuhanan; 2. Kemurnian niat; 43
nesia
Mukaddimah Pedoman Pelaksanaan Kodek Etik Kedokteran Indo-
( 28 ) Bab 1 Pendahuluan
3. Keluhuran budi; 4. Kerendahan hati; 5. Kesungguhan kerja; dan 6. Integritas ilmiah dan sosial. Dalam mengamalkan profesinya, setiap dokter akan berhubungan dengan manusia yang sedang mengharapkan pertolongan dalam suatu hubungan kesepakatan terapeutik. Agar dalam hubungan tersebut keenam sifat dasar di atas dapat tetap terjaga, maka disusun Kode Etik Kedokteran Indonesia yang merupakan kesepakatan dokter Indonesia bagi pedoman pelaksanaan profesi. Kode Etik Kedokteran Indonesia didasarkan pada asas-asas hidup bermasyarakat, yaitu Pancasila yang telah sama-sama diakui oleh Bangsa Indonesia sebagai falsafah hidup bangsa.44 Kode etik inilah yang merupakan tanggung jawab seorang dokter yang dijadikan dasar dalam menjalankan pekerjaan profesinya sehari-hari. F. Metode Penelitian Secara etimologis, metode diartikan sebagai jalan atau cara melakukan atau mengerjakan sesuatu, pengertian ini diambil dari istilah metode yang berasal dari Bahasa Yunani, “methodos” yang artinya “jalan menuju”. Bagi kepentingan ilmu pengetahuan, metode merupakan titik awal menuju proposisi-
44
Ibid.
Bab 1 Pendahuluan ( 29 )
proposisi akhir dalam bidang pengetahuan tertentu.45 Oleh karena itu, di untuk menjawab rumusan-rumusan masalah dalam buku ini, maka digunakan metode penelitian. 1. Jenis dan Pendekatan Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam buku ini adalah jenis penelitian hukum normatif,46 yakni penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundangan, dan doktrin (ajaran). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu pendekatan perundang-undangan (statue approach).47 Dalam konteks ini, ketentuan-ketentuan yang akan ditelaah dan dikaji adalah beberapa instrumen hukum hukum nasional yang berkaitan dengan hukum kesehata, praktik kedokteran, dan malpraktik medis. Selain menggunakan statue approach, digunakan juga pendekatan konseptual (conceptual approach).48 Adapun yang dimaksud pendekatan konseptual, adalah pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin45 Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2008), hlm. 13
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum, Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 34 46
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 96 47
48
Ibid. hlm. 137
( 30 ) Bab 1 Pendahuluan
doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum khususnya pada bidang hukum kesehatan, yang di dalamnya berkenaan dengan peranan, fungsi, tujuan, dan tanggung jawab seseorang yang menjalankan profesi kedokteran sebagai salah satu profesi dibidang medis. 2. Bahan Hukum Dalam penelitan hukum normatif, maka sumber data yang digunakan adalah bahan-bahan hukum, yang terdiri dari49 : a) Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat, meliputi peraturan perundang-undangan, peraturan lain dan keputusan menteri yang berkaitan dengan kajian malpraktik medis; b) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, meliputi buku-buku dan jurnal-jurnal penelitian hukum baik yang berbentuk fisik maupun hasil dari penelusuran (browsing) internet. c) Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, meliputi kamus
Salim HS. dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan Disertasi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 16 49
Bab 1 Pendahuluan ( 31 )
dan ensiklopedia yang berkaitan dengan kajian malpraktik medis. 3. Analisis Bahan Hukum Setelah bahan-bahan hukum berhasil dikumpulkan dengan menggunakan teknik yang telah ditetapkan di atas, kemudian dilakukan analisis dengan menggunakan analisis data kualitatif, kemudian disajikan secara deskriptif yaitu menjelaskan, menguraikan, dan menggambarkan sesuai dengan permasalahan yang berkaitan dengan kajian malpraktik medis. 4. Batasan Kajian Walaupun dalam buku ini terdapat beberapa kalimat yang tertulis “dokter dan dokter gigi” namun dalam buku ini secara khusus hanya dikaji mengenai malpraktik medis oleh seorang dokter. Penggunaan kata dokter dan dokter gigi dalam beberapa kalimat hanya didasarkan aturan perundang-undangan dan peraturan lain yang menyebutkan demikian atau literatur yang dikutip menjelaskan seperti itu. Oleh karenanya, agar tidak terjadi kerancuan dalam memahami buku ini, maka perlu dijelaskan batasan kajian dimaksud.
( 32 ) Bab 1 Pendahuluan
BAB II RUMUSAN MALPRAKTIK MEDIS & JENIS-JENISNYA Tindakan malpraktik medik adalah salah satu cabang kesalahan di dalam bidang professional. Tindakan malpraktik medik yang melibatkan para dokter dan tenaga kesehatan lainnya banyak terdapat jenis dan bentuknya, misalnya kesilapan melakukan diagnosa, salah melakukan tindakan perawatan yang sesuai dengan pasien atau gagal melaksanakan perawatan terhadap pasien dengan teliti dan cermat.50 Bagaimanakah rumusan malpraktik medis, jenis-jenis dan contoh kasusnya? Pemaparannya sebagai berikut. A. Rumusan Malpraktik Medis Ada ungkapan, kesehatan adalah tidak segala-galanya, tetapi tanpa kesehatan kesehatan menjadi tidak berarti. Prinsip untuk sehat memang idaman semua orang, karena kesehatan menjadi pondasi segalanya. Orang sering mengatakan, kalau badannya sehat bisa berusaha untuk menunjang kegiatan yang lain, dan sebaliknya kalau badannya tidak sehat segalanya bisa kurang atau tidak berfungsi. Untuk mengarah agar menjadi sehat atau selalu sehat merupakan tujuan yang sangat sulit 50
Dokter Indonesia Online, Loc.Cit.
Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . . ( 33 )
dicapai oleh setiap orang. bagi orang berkeinginan sehat harus selalu berusaha dengan berbagai cara untuk memulihkan dan meningkatkan kesehatannya. Usaha ke arah sehat ini tidak menjamin keberhasilan, dan yang paling menyedihkan kalau usahanya itu tidak berhasil atau justru menambah sakit. Kalau akibat sakitnya sesorang itu bukan karena unsur kesalahan medis bisa dikatakan tidak dipersoalkan, akan tetapi datangnya sakit itu karena unsur kesalahan atau kelalaian tindakan medis menjadi dilematis, karena tujuannya seseorang berobat mencari penyembuhan atau peningkatan kesehatan yang diperoleh justru kebalikannya. Hal semacam ini dimungkinkan kesalahan bertindak seorang tenaga medis, yang lebih dikenal sebagai sebutan malpraktik.51 Kenyataan bahwa malpraktik bisa kapan saja terjadi, maka diperlukan kehati-hatian bagi tenaga atau petugas medis dalam melayani masyarakat sebagai pasien yang menerima jasa, dan pelayanan jasa tersebut harus diberikan secara maksimal. Pasal 51 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,52 mengatur bahwa Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban :
Mudakir Iskandarsyah, Tuntutan Pidana dan Perdata Malpraktik, (Jakarta: Permata Aksara, 2011), hlm. 1 51
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431). 52
( 34 ) Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . .
a. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;
b. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik,
apabila
tidak
mampu
melakukan
suatu
pemeriksaan atau pengobatan;
c. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;
d. Melakukan
pertolongan
darurat
atas
dasar
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
e. Menambah
ilmu
pengetahuan
dan
mengikuti
perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi. Arti malpraktik secara medik menurut M. Jusuf Hamanfiah adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan berdasarkan ukuran yang lazim orang lain mengobati pasien untuk ukuran standar dilingkungan yang sama. Kelalaian diartikan pula dengan melakukan tindakan kedokteran dibawah standar pelayanan medik.53 53 M. Jusuf Hamanfiah, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, (Surabaya: Buku Kedokteran BGC, 1999), hlm. 87 dalam Mudakir Iskandarsyah, Op.Cit.
Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . . ( 35 )
Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga menyebutkan istilah malpraktik dengan malapraktik54 yang diartikan dengan: "praktik kedokteran yang salah, tidak tepat, menyalahi undang-undang atau kode etik." Kamus Inggris-Indonesia John M. Echols dan Hasan Shadily Cetakan ke-12 mengartikan malpractice atau malpraktik adalah: "(1) salah mengobati, cara mengobati pasien yang salah; (2) tindakan yang salah". Sedangkan arti malpractice, dalam Dorland's Medical Dictionary 27th Edition, adalah: "praktik yang tidak tepat atau yang menimbulkan masalah"; tindakan medik atau tindakan operatif yang salah" ("improper or injurious practice; inskillful and faulty medical or surgical treatment"). Istilah malpractice dalam Stedman's Medical Dictionary diartikan sebagai: "kesalahan penanganan pasien karena ketidaktahuan, ketidak-hati-hatian, kelalaian, atau adanya niat jahat" (mistreatment of patient through ignorance, carelessness, neglect, or criminal intent).55 Black's Law Dictionary 5M ed. menyebutkan: "Malpraktik adalah setiap sikap-tindak yang salah, kurang ketrampilan dalam ukuran yang tidak wajar. Istilah ini umumya digunakan terhadap sikap-tindak dari para dokter, pengacara, dan akuntan. Kegagalan untuk memberikan pelayanan profesional dan melakukannya pada ukuran tingkat ketrampilan dan kepandai-
54 Istilah ini juga digunakan oleh dalam buku Anonim, Malapraktik, Catatan Jujur Sang Dokter, (Jakarta: Bhuana Ilmu Polpuler, 2011). 55
Ari Yunanto dan Helmi, Op.Cit., hlm. 27
( 36 ) Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . .
an yang wajar oleh teman sejawat rata-rata dari profesinya di dalam masyarakat, sehingga mengakibatkan luka, kehilangan, atau kerugian pada penerima layanan yang memercayai mereka, termasuk di dalamnya adalah sikap-tindak profesi yang salah, kurang ketrampilan yang tidak wajar, menyalahi kewajiban profesi atau hukum, praktik yang sangat buruk, ilegal, atau sikap-tindak amoral." (Any professional misconduct, unreasonable lack of skill This term is usually applied to such conduct b} doctors, lawyers, and accounts. Failure of one rendering proffesional services to exercise that degree of skill and learnng commonly applied under the circumstances in the community by the average prudent reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those services of those entitled to rely upon them. It is any proffesional misconduct, unreasonable lack of skill or fidelity in professional or yudiciary duties, evil practice, or illegal or immoral conduct).56 Pengertian lain dinyatakan oleh Veronica bahwa istilah malpraktik berasal dari malpractice yang pada hakikatnya adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul sebagai akibat adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan dokter.57 Selanjutnya J. Guwandi menyebutkan bahwa malpraktik adalah istilah yang mempunyai konotasi buruk, bersifat stig56
Ibid., hlm. 27-28
57 Veronica Komalawati, Hukum dan Etika Dalam Praktek Dokter, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989), hlm. 87 dalam Ari Yunanto dan Helmi, Ibid., hlm. 28
Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . . ( 37 )
matis, menyalahkan. Praktik buruk dari seseorang yang memegang suatu profesi dalam arti umum seperti dokter, ahli hukum, akuntan, dokter gigi, dokter hewan, dan sebagainya. Apabila ditujukan kepada profesi medis, maka akan disebut malpraktik medik.58 Sedangkan malpraktik medik menurut Safitri Hariyani yang mengutip dari pendapat Vorstman dan Hector Treub dan juga atas rumusan Komisi Annsprakelijkheid dari KNMG (IDLnya Belanda), adalah "Seorang dokter melakukan kesalahan profesi jika ia tidak melakukan pemeriksaan, tidak mendiagnosis, tidak melakukan sesuatu, atau tidak membiarkan sesuatu yang oleh dokter yang baik pada umumnya dan dengan situasi kondisi yang sama, akan melakukan pemeriksaan dan diagnosis serta melaku-kan atau membiarkan sesuatu tersebut."59 Untuk menguji apakah yang dilakukan dokter dalam menjalankan profesinya itu merupakan suatu malpraktik atau bukan, Leenen menyebutkan lima kriteria, seperti yang dikutip oleh Fred Ameln, yaitu :60
J. Guwandi, Hukum Medik (Medical Law), (Jakarta, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004), hlm. 20dalam Ari Yunanto dan Helmi, Ibid. 58
Safitri Hariyani, Sengketa medik, Alternatif Penyelesaian Perselisihan Antara Dokter dengan Pasien. (Jakarta: Diadit Media, 2005), hlm. 63 dalam Ari Yunanto dan Helmi, Ibid. 59
60 Fred Ameln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran. (Jakarta: Grafikatama Jaya, 1991), hlm. 87 dalam Ari Yunanto dan Helmi, Ibid., hlm. 2829
( 38 ) Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . .
- Berbuat secara teliti/seksama (zorgvuldig hendelen) dikaitkan dengan kelalaian (culpa). Bila seorang dokter bertindak onvoorzichteg, tidak teliti, tidak berhatihati, maka ia memenuhi unsur kelalaian; bila ia sangat tidak berhati-hati, ia memenuhi unsur culpa lata; - Yang dilakukan dokter sesuai ukuran ilmu medik (volgens de medische standaard); - Kemampuan rata-rata (average) dibanding kategori keahlian medis yang sama (gemiddelde bewaamheid van gelijke medische categorie); - Dalam situasi dan kondisi yang sama (gelijke omstandigheden); - Sarana upaya (middelen) yang sebanding/proporsional (asas propor-sionalitas) dengan tujuan kongkret tindakan/perbuatan medis tersebut (tot het concreet handelingsdoel). Sungguh tidak mudah menentukan tindakan dokter itu suatu malpraktik medik atau bukan. Dalam hal ini sesuai dengan pendapat Leenen, menurut Guwandi, ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab :61
J. Guwandi, Dugaan Malpraktik Medik & Draft RPP: "Perjanjian Terapuetik antara Dokter dan Pasien", (Jakarta, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006), hlm. 14 dalam Ari Yunanto dan Helmi, Ibid., hlm. 29-30 61
Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . . ( 39 )
1)
Apakah dokter lain yang setingkat dengannya tidak akan melakukan demikian?
2)
Apakah tindakan dokter itu sedemikian rupa sehingga sebenarnya tidak akan dilakukan oleh teman sejawatnya yang lain?
3)
Apakah tidak ada unsur kesengajaan (opzet, intentional)?
4)
Apakah tindakan itu tidak dilarang oleh undangundang?
5)
Apakah tindakan itu dapat digolongkan pada suatu medical error!
6)
Apakah terdapat unsur kelalaian (negligence)?
7)
Apakah akibat yang timbul itu berkaitan langsung dengan kelalaian dari pihak dokter?
8)
Apakah akibat itu tidak bisa dihindarkan atau dibayangkan (foreseeabilily) sebelumnya?
9)
Apakah akibat itu bukan suatu risiko yang melekat (inherent risk) pada tindakan medik tersebut?
10) Apakah dokter sudah mengambil tindakan antisipasinya, misalnya jika timbul reaksi negatif karena obat-obat tertentu? Pendapat lain dikemukakan oleh Adami Chazawi yang menyebutkan bahwa malpraktik medik terjadi kalau dokter atau orang yang ada di bawah perintahnya dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan perbuatan (aktif atau pasif) dalam ( 40 ) Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . .
praktik medik terhadap pasiennya dalam segala tingkatan yang melanggar standar profesi, standar prosedur, atau prinsip-prinsip kedokteran, atau dengan melanggar hukum tanpa wewenang; dengan menimbulkan akibat (causaal verband) kerugian bagi tubuh, kesehatan fisik, maupun mental dan atau nyawa pasien, dan oleh sebab itu membentuk pertanggungjawaban hukum bagi dokter.62 Sedangkan menurut Munir Fuady, agar suatu tindakan dokter dapat digolong-kan sebagai tindakan malpraktik haruslah memenuhi elemen-elemen yuridis sebagai berikut :63 1) Adanya tindakan, dalam arti "berbuat" atau "tidak berbuat" (peng-abaian); 2) Tindakan tersebut dilakukan oleh dokter atau oleh orang di bawah pengawasannya (seperti oleh perawat), bahkan juga oleh penyelia fasilitas kesehatan, seperti rumah sakit, klinik, apotek, dan lain-lain; 3) Tindakan tersebut berupa tindakan medik, baik berupa tindakan diagnostik, terapi, atau manajemen kesehatan; 4) Tindakan tersebut dilakukan terhadap pasiennya; 5) Tindakan tersebut dilakukan secara : Adami Chazawi, Malpraktik Kedokteran Tinjauan Norma dan Doktrin Hukum. (Malang: Bayu Media Publishing, 2007), hlm. v dalam Ari Yunanto dan Helmi, Ibid., hlm. 30 62
63 Munir Fuady. Sumpah Hippocrates (Aspek Hukum Malpraktik Dokter), (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 2 dalam Ari Yunanto dan Helmi, Ibid., hlm. 30-31
Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . . ( 41 )
a. melanggar hukum, dan atau; b. melanggar kepatutan, dan atau; c. melanggar kesusilaan, dan atau; d. melanggar prinsip-prinsip profesionalitas. 6) Dilakukan dengan kesengajaan atau ketidakhati-hatian (kelalaian, kecerobohan); 7) Tindakan tersebut mengakibatkan pasiennya mengalami : a. salah tindak, dan atau; b. rasa sakit, dan atau; c. luka, dan atau; d. cacat, dan atau; e. kematian, dan atau; f. kerusakan pada tubuh dan atau jiwa, dan atau; g. kerugian lainnya terhadap pasien; yang menyebabkan dokter harus bertanggung jawab secara administrasi, perdata, maupun pidana. Herkutanto mengutip dari World Medical Association Statement on Medical Malpractice, yang diadaptasi dari 44"' World Medical Assembly Marbela-Spain, September 1992, yang menyebutkan bahwa: "Malpraktik medis adalah kegagalan dokter untuk memenuhi standar prosedur dalam penanganan pasien, adanya ketidak-mampuan atau kelalaian sehingga menimbulkan penyebab langsung adanya kerugian pada pasien." (Medical malpractice involves the physician's failure to conform to ( 42 ) Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . .
the standard care for treatment of the patient's condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient).64 Menurut Ninik Marianti Malpraktik adalah suatu kesalahan yang terjadi dalam tindakan medis, kesalahan mana dilakukan tidak dengan sengaja, melainkan karena adanya unsur lalai, yang seharusnya tidak layak dilakukan oleh seorang dokter, akibat dari tindakan itu, pasien menjadi cacat atau mati. Tindakan dokter yang tidak menguntungkan ini merupakan akibat dari :65 a. Tidak mengetahui; b. Tidak melakukan pemeriksaan yang jeli sebelumnya; atau c. Melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan standar profesi seorang doker. Standar profesi diartikan sebagai “tindakan yang memenuhi pengetahuan yang biasanya dimiliki oleh seorang dokter (average) dalam bidang kedokteran tersebut, menurut situasi dimana tindakan itu dilakukan. Tanggung jawab pidana seo-
Herkutanto, Dimensi Hukum dalam Pelayanan Kesehatan. Lokakarya Nasional Hukum dan Etika Kedokteran. Makasar 26 - 27 Januari 2008. Proceeding. Ikatan Dokter Indonesia Cabang Makasar dalam Ari Yunanto dan Helmi, Ibid., hlm. 31 64
Ninik Marianti, Malapraktek Kedokteran, dari Segi Hukum Pidana dan Perdata, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), hlm. 35 65
Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . . ( 43 )
rang dokter yang berhubungan dengan malpraktik ini diatur di dalam Pasal 359, 360, dan 361 KUH Pidana.66 Makna malpraktik sebagaimana telah diuraikan, yang dapat disimpulkan seorang dokter dikatakan telah melakukan praktek yang buruk atau malpraktek manakala dalam melakukan pelayanan medik, dia tidak memenuhi persyaratan-persyaratan atau standar-standar yang telah ditentukan seperti, dalam kode etik kedokteran, standar profesi, standar pelayanan medik, maupun dalam standar operasional prosedur. Akibat perbuatan pelayanan medis dibawah standar dan melanggar kode etik tersebut, maka pasien mengalami kerugian. Seorang dokter baru diperbolehkan melakukan praktek kedokteran manakala dia telah lulus dari pendidikan kedokterannya, terdaftar atau teregistrasi pada Konsil Kedokteran Indonesia, mendapat surat izin praktek dari pejabat yang berwenang di kabupaten/kota yang bersangkutan berada. Demikian pula dalam melakukan praktek kedokteran atau pelayanan medis dokter harus berusaha keras untuk memenuhi standar-standar yang telah ditetapkan. Dengan tidak terpenuhinya standar-standar dimaksud dan berakibat pasien mengalami kerugian, maka dokter tersebut telah dapat dikualifikasikan melakukan malpraktek.67 66
Ibid., hlm. 35-36
67 Syahrul Machmud, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktek, (Bandung: Karya Putra Darwati, 2012), hlm. 263-264
( 44 ) Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . .
Oleh karena itu, dokter dikatakan melakukan malpraktek, jika :68 1) Dokter kurang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang sudah berlaku umum dikalangan profesi kedokteran; 2) Memberikan pelayanan kedokteran dibawah standar profesi (tidak lege artis); 3) Melakukan kegiatan yang berat atau memberikan pelayanan dengan tidak hati-hati; dan atau 4) Melakukan tindakan medik yang bertentang dengan hukum. Berdasarkan sekian banyak pengertian malpraktik oleh para pakar yang telah disebutkan di atas, menurut penulis sendiri, pengertian malpraktik medis : Malpraktik medis adalah pelayanan kesehatan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan etika profesi, standar profesi, standar pelayanan profesi, standar prosedur operasional, hak penerima pelayanan kesehatan, kewajiban tenaga kesehatan dan atau ketentuan peraturan perundang-undangan terkait.
68
Ibid., hlm. 265
Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . . ( 45 )
Jika diperhatikan antara pengertian pakar satu dengan pakar lainnya, juga dalam definisi kamus yang satu dengan kamus yang lainnya, tampak banyak persamaan dan hanya ada beberapa variasi dari sudut pandang serta kriteria dalam menentukan sebuah perbuatan malpraktik. Namun paling tidak hal-hal yang demikian itu telah memberikan kita gambaran mengenai perbuatan malpraktik, walaupun bukanlah rumusan yang baku dalam menjustifikasi sebuah perbuatan malpraktik, karena ilmu pengetahuan terus berkembang, maka niscaya perubahan-perubahan redaksi dan sudut pandang pasti terus berubah (berkembang), walaupun dalam segi pemaknaan hal tersebut adalah sama. Selanjutnya, faktor-faktor yang mempengaruhi hasil akhir dari pengobatan menurut R. Hariadi adalah sebagai berikut :69 (1)
Perjalanan dan komplikasi dari penyakitnya sendiri (clinical course of the disease);
(2)
Resiko medik (medical risk);
(3)
Resiko tindakan operatif (surgical risk);
(4)
Efek samping pengobatan dan tindakan medik (adverse effect or reactine);
(5)
Akibat keterbatasan fasilitas (limitation of resources);
69 Hendrojono Soewono, Batas Pertanggungjawaban Hukum Malpraktik Dokter dalam Transaksi Terapeutik, (Surabaya: Srikandi, 2007), hlm. 23 dalam dalam Mudakir Iskandarsyah, Ibid., hlm. 2
( 46 ) Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . .
(6)
Kecelakaan medik (medical accident);
(7)
Ketidaktepatan diagnosis (error of judgement);
(8)
Kelalaian medik (medical negligence);
(9)
Malpraktik medik (medic malpractice).
B. Jenis-Jenis Malpraktik Medis Malpraktik medis ini merupakan suatu istilah yang selalu berkonotasi buruk, bersifat stigmatis, menyalahkan. Menurut J. Guwandi malpraktek medis ini dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis :70 1) Dengan sengaja (dolus, vorsatz, willwns en wetens handelen, intentional) yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain malpraktik dalam arti sempit, misalnya dengan sengaja melakukan abortus tanpa indikasi medis, melakukan euthanasia,71 memberi surat keterangan medis yang isinya tidak benar, dan sebagainya; 2) Tidak dengan sengaja (negligence, culpa) atau karena kelalaian, misalnya menelantarkan pengobatan pasien karena lupa atau sembarangan sehingga penyakit
70
Syahrul Machmud, Op.Cit., hlm. 264
Mengenai Euthanasia lihat lebih lanjut dalam buku Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, Euthanasia, Hak Asasi Manusia, dan Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), dan buku Ahmad Wardi Muslich, Euthanasia Menurut Pandangan Positif dan Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014). 71
Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . . ( 47 )
pasien bertambah berat dan kemudian meninggal dunia (abandomen). Perbedaannya yang lebih jelas tampak kalau kita melihat pada motif yang dilakukannya, misalnya : 72 1) Pada malpraktek (dalam arti sempit) tindakannya dilakukan secara sadar, dan tujuan dari tindakannya memang sudah terarah kepada akibat yang hendak ditimbulkan atau tidak peduli terhadap akibatnya, walaupun ia mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa tindakannya itu adalah bertentangan dengan hukum yang berlaku, sedangkan 2) Pada kelalaian, tidak ada motif ataupun tujuan untuk menimbulkan akibat yang terjadi. Akibat yang timbul itu disebabkan karena adanya kelalaian yang sebenarnya terjadi diluar kehendaknya. C. Contoh Kasus Dalam sub bab ini, penulis mencoba uraikan contoh kasus nyata (real) dugaan malpraktik medis baik yang diberitakan oleh media maupun yang terdapat dalam tulisan-tulisan jurnal. Menurut Coughlin’s Dictionary Of Law, “malpraktek bisa diakibatkan karena sikap kurang keterampilan atau kehatihatian didalam pelaksanakan kewajiban profesional, tindakan 72
Syahrul Machmud, Op.Cit., hlm. 264-265
( 48 ) Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . .
salah yang sengaja atau praktek yang bersifat tidak etis”. Kasus malpraktik merupakan tindak pidana yang sangat sering terjadi di Indonesia. Malpraktik pada dasarnya adalah tindakan tenaga profesional yang bertentangan dengan SOP, kode etik, dan undang-undang yang berlaku, baik disengaja maupun akibat kelalaian yang mengakibatkan kerugian atau kematian pada orang lain. Biasanya malpraktik dilakukan oleh kebanyakan dokter di karenakan salah diagnosa terhadap pasien yang akhirnya dokter salah memberikan obat. Sudah banyak contoh kasus yang malpraktik yang terjadi di beberapa rumah sakit, kasus yang paling sering di bicarakan di media-media diantaranya adalah kasus Prita Mulyasari.73 Kasus Pertama : Dugaan malpraktik yang dialami oleh Prita Mulyasari Berikut ini akan dipaparkan kronologi singkat kasus yang menimpa Prita Mulyasari ketika berobat ke Rumah Sakit (RS) Omni International.74 7 Agustus 2008, Pukul 20:30 Prita Mulyasari datang ke RS Omni Internasional dengan keluhan panas tinggi dan pusing kepala. Hasil pemeriksaan labo73
Dokter Indonesia Online, Loc.Cit.
Kejadian di RS Omni International berdasarkan email/surat pembaca yang dibuat Prita, Lihat di http://hukum.kompasiana.com/2009/06/03/kronolo gi-kasus-prita-mulyasari-13940.html dalam Erni Dwita Silambi, Prita Mulyasari vs RUmah Sakit Omni Internasional Dalam Perspektif Hukum Nasional dan Internasional, Jurnal Hukum internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Vol. I No. 1 Edisi Juli 2013, hlm. 49-50 74
Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . . ( 49 )
ratorium: Thrombosit 27.000 (normal 200.000), suhu badan 39 derajat. Malam itu langsung dirawat inap, diinfus dan diberi suntikan dengan diagnosa positif demam berdarah. 8 Agustus 2008 Ada revisi hasil lab semalam, thrombosit bukan 27.000 tapi 181.000. Mulai mendapat banyak suntikan obat, tangan kiri tetap diinfus. Tangan kiri mulai membangkak, Prita minta dihentikan infus dan suntikan. Suhu badan naik lagi ke 39 derajat. 9 Agustus 2008 Kembali mendapatkan suntikan obat. Dokter menjelaskan dia terkena virus udara. Infus dipindahkan ke tangan kanan dan suntikan obat tetap dilakukan. Malamnya Prita terserang sesak nafas selama 15 menit dan diberi oksigen. Karena tangan kanan juga bengkak, dia memaksa agar infus diberhentikan dan menolak disuntik lagi. 10 Agustus 2008 Terjadi dialog antara keluarga Prita dengan dokter. Dokter menyalahkan bagian lab terkait revisi thrombosit. Prita mengalami pembengkakan pada leher kiri dan mata kiri. 11 Agustus 2008 Terjadi pembengkakan pada leher kanan, panas kembali 39 derajat. Prita memutuskan untuk keluar dari rumah sakit dan mendapatkan data-data medis yang menurutnya tidak sesuai fakta. Prita meminta hasil lab yang berisi thrombosit 27.000, tapi yang didapat hanya informasi thrombosit 181.000. Pasal( 50 ) Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . .
nya, dengan adanya hasil lab thrombosit 27.000 itulah dia akhirnya dirawat inap. Pihak OMNI berdalih hal tersebut tidak diperkenankan karena hasilnya memang tidak valid. Di rumah sakit yang baru, Prita dimasukkan ke dalam ruang isolasi karena dia terserang virus yang menular. Kasus Kedua : Dugaan malpraktik yang dialami oleh Muhammad Raihan75 Kasus dugaan malpraktik yang dilakukan Rumah Sakit Medika Permata Hijau (RSMPH) Jakarta terhadap bocah berusia 12 tahun bernama Muhammad Raihan belum juga usai. Bahkan, kabar terakhir menyebutkan kalau kondisi Raihan masih lumpuh total dan tak ada perubahan yang cukup membahagiakan. "Masih berjuang. Sebab, Raihan masih mengalami kelumpuhan total seperti sebelumnya", kata Yunus/ayah Raihan (Rabu, 18 Februari 2015). Yunus menceritakan kalau Raihan belum bisa melakukan apa pun hingga hari ini, hanya terbaring lemah di atas ranjang di bawah pengasuhan sang Bunda, Oti Puspa Dewi. "Bahkan Raihan hanya terbaring tanpa respons dan menunggu mukjizat," kata Yunus menambahkan. Raihan, lanjut Yunus, saat ini menjalani perawatan di rumah. Kontrol ke medis dan pengobatan alternatif masih terus dilakukan Yunus dan Oti demi kesembuhan bocah kelahiran Jambi, 30 Juni 2002. "NaKondisi Terakhir Bocah Raihan si Korban Malapraktik, lihat di http://Health-Liputan6.com 75
Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . . ( 51 )
mun terkadang tetap menjalani rawat inap dan ke UGD. Sebab, kadang kala ada masalah yang kondisi darurat yang terjadi pada Raihan". kata Yunus. Berikut kronologis yang terjadi pada Muhammad Raihan saat operasi usus buntu pada hari Sabtu, 22 September 2012, versi ayahnya, Muhammad Yunus, dalam surat elektronik yang diterima oleh liputan6.com : Pukul 04.00 WIB Raihan dibawa oleh Ibundanya, Oti Puspa Dewi, ke Rumah Sakit Medika Permata Hijau (MPH) Jakarta dengan maksud untuk mendapatkan pengobatan atas sakit yang diderita Raihan. Penanganan awal ditangani oleh bagian IGD Rumah Sakit Medika Permata Hijau (MPH) Jakarta. Setelah pihak IGD melakukan tindakan, selanjutnya Raihan dimasukkan di ruang rawat inap anak di lantai 5 Rumah Sakit Medika Permata Hijau (MPH) Jakarta. Sekitar Pukul 10.00 WIB Dokter spesialis Anak melakukan kunjungan pada Raihan dan melakukan diagnosa awal dan menduga Raihan mengalami sakit usus buntu. Sekitar Pukul 13.00 WIB Ibunda Raihan melakukan konsultasi ke dokter Bedah Umum dan mendapat penjelasan bahwa penyakit yang diderita oleh Raihan adalah usus buntu dan disampaikan secara mendesak agar segera dilakukan tindakan operasi. ( 52 ) Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . .
Pukul 13.30 WIB - Terjadi pembicaraan via telepon antara ayahanda Raihan, Muhammad Yunus (yang sedang berada di Kalimantan Selatan) dengan dokter bedah umum Rumah Sakit Medika Permata Hijau (MPH) Jakarta yang telah menyarankan untuk segera dilakukan operasi pada Raihan. Muhammad Yunus pun menanyakan mengapa anaknya harus segera dioperasi. Dijelaskan oleh dokter bedah umum bahwa Raihan mengalami usus buntu akut yang secepatnya untuk segera dioperasi, jika tidak dioperasi dikhawatirkan akan terjadi infeksi. - Dalam pembicaraan via telepon antara Yunus dengan dokter bedah umum tersebut, Yunus memohon kepada dokter tersebut untuk dilakukan semacam second opinion atas dugaan usus buntunya Raihan. Dan sekalian meminta dirawatinapkan terlebih dahulu guna dilakukan observasi lebih lanjut atas dugaan dokter tersebut. Namun, dokter bedah umum tersebut tetap menyatakan Raihan menderita usus buntu akut dan harus sesegera mungkin diambil langkah operasi sore hari itu juga. - Muhammad Yunus menanyakan apa efek yang akan terjadi jika dilakukan operasi dan jika tidak dilakukan operasi secepat itu seperti permintaan dokter beBab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . . ( 53 )
dah tersebut. Dokter tersebut menjawab, bahwa operasi yang akan dilakukan Raihan adalah operasi kecil dan biasa dilakukan oleh dokter tersebut. Lalu 2 atau 3 hari setelah operasi dokter meyakinkan bahwa Raihan sudah bisa pulang. Namun jika tidak segera dioperasi, dikhawatirkan akan terjadi infeksi atau pecah dan kemungkinan bisa menjadi operasi besar. - Bukan hanya Yunus yang meminta untuk tidak dilakukan operasi tersebut, istrinya Oti Puspa Dewi juga melakukan hal yang sama. Oti meminta untuk dilakukan pemeriksaan berupa dilakukannya USG untuk melihat kebenaran dugaan tersebut, namun tidak dilakukan oleh dokter tersebut dan menyatakan tidak perlu. Karena menurut pengalamannya, hal ini umum terjadi dan sudah 99 persen usus buntu akut. - Penolakan awal untuk tidak segera dilakukan operasi tersebut mengingat kondisi psikologis Raihan, terlebih saat itu ayahnya sedang tidak berada di sampingnya. Dan orangtua Raihan merasa bahwa hal ini tidak separah dugaan dokter tersebut sambil menunggu kepulangan ayahnya dari Kalimantan. Sekitar Pukul 16.00 s/d selesai Akhirnya setelah menerima keyakinan dokter tersebut dan harapan terbaik untuk Raihan, operasi pada Raihan dila( 54 ) Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . .
kukan dengan dokter yang terlibat dalam operasi itu adalah dokter bedah umum dan dokter anastesi. Sekitar Pukul 18.00 Tiba-tiba ibunda Raihan, Oti Puspa Desi, dipanggil ke dalam ruang operasi untuk melihat Raihan yang sudah dalam keadaan kritis dan terkulai tidak sadarkan diri tanpa adanya pertolongan yang maksimal. Pihak keluarga pun akhirnya menyangsikan kelengkapan peralatan di ruangan operasi tersebut. Sampai saat ini M. Yunus masih menunggu itikad baik dari pihak Rumah Sakit Medika Permata Hijau (MPH) Jakarta terkait dugaan malpraktik yang menimpa Muhammad Raihan.
Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . . ( 55 )
BAB III PERMASALAHAN MEDIKOLEGAL Permasalahan medikolegal menjadi salah satu pembahasan inti dari buku-buku malpraktik yang ada saat ini. Hal ini dikarenakan permasalahannya yang sangat kompleks, serta dibutuhkan kejelian dan ilmu yang mumpuni agar dapat membedakan perbuatan satu dengan perbuatan lainnya. Perbuatanperbuatan dimaksud adalah tindakan medis, kelalaian medis, dan resiko medis. Berikut pemaparannya : A. Tindakan Medis Tindakan medis merupakan salah satu permasalahan di dalam kajian medikolegal. Sederhananya, tindakan medis ini merupakan tindakan yang dilakukan oleh dokter (secara profesional) terhadap pasien yang membutuhkan jasanya, baik itu dalam hal memulihkan kesehatannya (recovery) maupun juga menghilangkan penyakit yang si pasien derita. Pendapat lain disebutkan bahwa tindakan medis adalah tindakan profesional oleh dokter terhadap pasien dengan tujuan memelihara, meningkatkan, memulihkan kesehatan, atau
Bab 3 Permasalahan Medikolegal ( 57 )
menghilangkan atau mengurangi penderitaan.76 Meski memang harus dilakukan, tetapi tindakan medis tersebut ada kalanya atau sering dirasa tidak menyenangkan. Tindakan medis adalah suatu tindakan yang seharusnya hanya boleh dilakukan oleh para tenaga medis, karena tindakan itu ditujukan terutama bagi para pasien yang mengalami gangguan kesehatan. Suatu tindakan medik adalah keputusan etik karena dilakukan oleh manusia terhadap manusia lain, yang umumnya memerlukan pertolongan dan keputusan tersebut berdasarkan pertimbangan atas beberapa alternatif yang ada. Keputusan etik harus memenuhi tiga syarat, yaitu bahwa keputusan tersebut harus benar sesuai ketentuan yang berlaku, juga harus baik tujuan dan akibatnya, dan keputusan tersebut harus tepat sesuai dengan konteks serta situasi dan kondisi saat itu, sehingga dapat di pertanggungjawabkan. Sedangkan menurut Budi Sampurno, dalam melakukan tindakan medik yang merupakan suatu keputusan etik, seorang dokter harus :77 1) Mempertimbangkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat, profesi, dan pasien. 2) Mempertimbangkan etika, prinsip-prinsip moral, dan keputusan-keputusan khusus pada kasus klinis yang dihadapi. Samsi Jacobalis, Pengantar tentang Perkembangan Ilmu Kedokteran, Etika Medis, dan Bioetika, (Jakarta: Sagung Seto, 2005), hlm. 128 dalam Ari Yunanto dan Helmi, Op.Cit., hlm. 39 76
77
Ari Yunanto dan Helmi, Ibid., hlm. 39-40
( 58 ) Bab 3 Permasalahan Medikolegal
Tindakan medik yang merupakan suatu keputusan etik yang dilakukan dokter sebagaimana disebutkan di atas juga menjadi pedoman bagi seorang dokter dalam menjalankan profesinya, sehingga jika kedua hal tersebut di atas dijalankan dengan sungguh-sungguh, dilandasi dengan integritas tinggi dan penuh rasa tanggung jawab, maka seorang dokter tersebut baru dikatakan sebagai seorang dokter yang profesional. Secara material, menurut Danny Wiradharma, suatu tindakan medik tidak bertentangan dengan hukum apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 1) Mempunyai indikasi medik, untuk mencapai suatu tujuan yang kongkret. 2) Dilakukan menurut aturan-aturan yang berlaku dalam ilmu kedokteran 3) Sudah mendapat persetujuan dan pasien. Syarat a dan b juga disebut sebagai bertindak secara lege artis. Secara yuridis sering dipermasalahkan apakah suatu tindakan medik dapat dimasukkan dalam pengertian penganiayaan. Akan tetapi dengan dipenuhinya ketiga syarat tersebut di atas maka kemudian menjadi jelas. Sebenarnya kualifikasi yuridis mengenai tindakan medik tidak hanya mempunyai arti bagi hukum pidana saja, melainkan juga bagi hukum perdata dan hukum administratif.78 Selain itu juga memiliki arti bagi disipDanny Wiradharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, (Jakarta: Bina Rupa Aksara, 1996), hlm. 45 dalam Ari Yunanto dan Helmi, Ibid., hlm. 40 78
Bab 3 Permasalahan Medikolegal ( 59 )
lin profesi dan etika profesi yang tidak kalah penting dengan kualifikasi yuridis. B.
Kelalaian Medis Kelalaian medis juga merupakan salah satu permasa-
lahan di dalam kajian medikolegal. Karena kelalaian ini merupakan tindakan yang tidak professional seorang dokter, dimana ketidak profesionalannya dapat diukur dari : 1) Tidak dipertimbangkannya nilai-nilai yang hidup di dalam
masyarakat,
profesi,
dan
pasien
dalam
menjalankan profesinya. 2) Tidak moral,
dipertimbangkannya dan
etika,
keputusan-keputusan
prinsip-prinsip khusus
pada
kasus klinis yang dihadapi dalam menjalankan profesinya. Treub, seorang pakar hukum pidana dari Belanda, menyebutkan bahwa yang penting adalah ketelitian dan kehatihatian yang wajar yang dapat diharapkan dari seorang dokter. Bukan ukuran dari seorang dokter yang terpandai atau yang paling hati-hati, tetapi ukuran dari seorang dokter rata-rata pada umumnya. Treub mengatakan bahwa: "Baru dapat dikatakan ada culpa apabila ia tidak tahu, tidak memeriksa, melakukan atau tidak melakukan yang dokter-dokter lain yang baik bahkan pada umumnya dan di dalam keadaan yang sama, akan mengetahui, memeriksa, melakukan, atau tidak melaku( 60 ) Bab 3 Permasalahan Medikolegal
kan".79 Untuk berhasilnya suatu tuntutan berdasarkan kelalaian, menurut J. Guwandi, harus dipenuhi empat unsur yang dikenal dengan nama 4-D, yaitu :80 a. Duty to Use Due Care Tidak ada kelalaian jika tidak ada kewajiban untuk mengobati. Hal ini berarti bahwa harus ada hubungan hukum antara pasien dan dokter/rumah sakit. Dengan adanya hubungan hukum maka implikasinya adalah bahwa sikap tindak dokter/perawat rumah sakit itu harus sesuai dengan standar pelayanan medik agar pasien jangan sampai cedera terutama
karenanya. harus
Adagium
ditaati.
menderita
primum non-nocere
Hubungan
pasien-dok-
ter/rumah sakit itu sudah harus ada pada saat peristiwa itu terjadi. Timbulnya hubungan ini bahkan juga dapat terjadi dari suatu pembicaraan per-telepon. Di dalam kasus "O'Neil v. Montefiori Hospital, 11 App, Div. 2d 132. 202 N.Y. 2d 436 (1st Dep. I960)", seorang dokter mengadakan pembicaraan telepon dengan seorang pasien tentang kondisinya. Tanpa me-
J. Guwandi, Kelalaian Medik (Medical Negligence), (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994), hlm. 20 dalam Ari Yunanto dan Helmi, Ibid., hlm. 32-33 79
J. Guwandi, Dugaan Malprakek Medik & Draft RPP: “Perjanjian Terapieutik antara Dokter dan Pasien”, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006), hlm. 99 dalam Ari Yunanto dan Helmi, Ibid., hlm. 35-37 80
Bab 3 Permasalahan Medikolegal ( 61 )
meriksa lebih dahulu secara fisik, dokter tersebut mengizinkan pasien itu pulang/keluar dari rumah sakit dengan hanya memesan agar besok pagi kembali lagi ke rumah sakit. Namun pasien itu pada malam harinya ternyata meninggal dunia. Pengadilan berpendapat bahwa seorang dokter yang telah menerima seseorang sebagai pasien untuk dirawat dan diobati, namun tanpa memeriksa lagi pasiennya, telah terbukti adanya kewajiban sebagaimana terdapat pada unsur pertama: Duty of due care. b. Deriliction (Breach of Duty) Apabila sudah ada kewajiban (duty) maka dokter/ perawat rumah sakit harus bertindak sesuai dengan standar profesi yang berlaku. Jika terdapat penyimpangan dari standar tersebut maka ia dapat dipersalahkan. Bukti adanya suatu penyimpangan dapat diberikan melalui saksi ahli, catatan-catatan pada rekam medik, kesaksian perawat, dan bukti-bukti lain. Apabila kesalahan atau kelalaian itu sedemikian jelasnya, sehingga tidak diperlukan kesaksian ahli lagi, maka hakim dapat menerapkan doktrin Res ipsa loquitur. Tolok ukur yang dipakai secara umum adalah sikap-tindak seorang dokter yang wajar dan setingkat di dalam situasi dan keadaan yang sama.
( 62 ) Bab 3 Permasalahan Medikolegal
c. Damage (Injury) Unsur ketiga untuk penuntutan malpraktik medik adalah "cedera atau kerugian" yang diakibatkan pada pasien. Walaupun seorang dokter atau rumah sakit dituduh telah berlaku lalai, tetapi jika tidak sampai menimbulkan luka/cedera/kerugian (damage, injury, harm) kepada pasien, maka ia tidak dapat dituntut ganti kerugian. Istilah luka (injury) tidak saja dalam bentuk fisik, namun kadangkala juga termasuk dalam arti gangguan mental yang hebat (mental anguish). Juga apabila terjadi pelanggaran terhadap privasi orang lain. d. Direct Causation (Proximate Cause) Untuk berhasilnya suatu gugatan ganti rugi berdasarkan malpraktik medik, maka hams ada hubungan kausal yang wajar antara sikap tindak tergugat (dokter) dan kerugian (damage) yang diderita oleh pasien sebagai akibatnya. Hanya atas dasar penyimpangan saja belum cukup untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian, kecuali jika penyimpangannya sedemikian tidak wajar sehingga sampai mencederai pasien. Sebagaimana penjelasan di atas, maka kelalaian medis ini bisa dilihat dari dua aspek, pertama ketika seorang dokter tersebut melakukan tindakan medis, namun tindakannya terBab 3 Permasalahan Medikolegal ( 63 )
sebut tidak sesuai dengan tindakan yang semestinya dilakukan oleh dokter pada umumnya atas dasar pengetahuan (aktif/ melakukan tindakan), kedua ketika seorang dokter tersebut tidak melakukan tindakan medis, namun tidak melakukan tindakan medis tersebut tidak sesuai dengan seharusnya dilakukan oleh dokter pada umumnya atas dasar pengetahuan (pasif/ tidak melakukan tindakan). C.
Resiko Medis Resiko medis juga merupakan salah satu permasalahan
di dalam kajian medikolegal. Resiko dalam setiap pekerjaan pasti ada, resiko tersebut ada yang tingkatannya besar, sedang, bahkan adapula tingkatan resiko pekerjaan yang rendah. Bukan hanya pekerjaan, profesipun demikian, sehingga resiko sekecil apapun mesti diperhitungkan oleh seseorang yang menjalankan profesinya dalam bidang apapun, karena ada resiko yang juga tidak dapat dihindari dalam pelaksanaannya, namun meminimalisir resiko adalah satu-satunya jalan terbaik guna terhindarnya masalah besar yang mungkin saja akan terjadi dikemudian hari. Setiap manfaat yang kita dapatkan selalu ada risiko yang harus dihadapi. Satu-satunya jalan menghindari resiko adalah dengan tidak berbuat sama sekali. Kalimat di atas merupakan salah satu ungkapan yang perlu kita renungkan, bahwa di dalam kehidupan, manusia tidak akan pernah lepas dari ketidaksengajaan atau kesalahan yang tidak dikehendaki di ( 64 ) Bab 3 Permasalahan Medikolegal
dalam menjalankan profesi atau pekerjaannya. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya resiko yang tidak diharapkan, seorang profesional harus selalu berpikir cermat dan bertindak hati-hati agar dapat mengantisipasi resiko yang mungkin terjadi. Menurut Herkutanto dengan mengutip World Medical Association Statement on Medical Malpractice, yang diadaptasi dari 44"' World Medical Assembly Marbela-Spain, September 1992, yang menyebutkan bahwa resiko medis atau yang lazim disebut sebagai untoward result adalah suatu kejadian luka/resiko yang terjadi sebagai akibat dari tindakan medik yang oleh suatu hal yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya dan bukan akibat dari ketidakmampuan atau ketidaktahuan, untuk hal ini secara hukum dokter tidak dapat dimintai pertanggungjawaban.81 Setiap tindakan medik selalu mengandung resiko, sekecil apapun tindakannya tetap saja dapat menimbulkan resiko yang besar, sehingga pasien menderita kerugian/celaka. Dalam hal terjadi resiko, baik yang dapat diprediksi maupun yang tidak dapat diprediksi, maka dokter tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban.
Dalam
ilmu
hukum
terdapat
adagium
volontie non fit injura atau asumpsion of risk. Maksud adagium tersebut adalah apabila seseorang menempatkan dirinya ke dalam suatu bahaya (resiko) yang sudah ia ketahui, maka ia tidak dapat menuntut pertanggungjawaban pada orang lain apabila 81
Herkutanto dalam Ari Yunanto dan Helmi, Ibid., hlm. 46
Bab 3 Permasalahan Medikolegal ( 65 )
resiko itu benar-benar terjadi. Tidak dapat menuntut pertanggungjawaban kepada seseorang karena resiko terjadi bukan karena kesalahan (schuld) baik sengaja maupun kelalaian. Apabila resiko muncul pada saat pelayanan medis, maka pasien tidak dapat menuntut pertanggungjawaban pidana pada seorang tenaga medik.82 Disini terlihat bahwa satu-satunya persoalan medicolegal yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum adalah persoalan resiko medis, hal ini memang sangat tepat oleh karena setiap tindakan medis pasti memiliki resiko, namun yang menjadi poin pentingnya adalah apakah resiko tersebut telah ia perkirakan sebelumnya atau tidak, selanjutnya apakah resiko tersebut dijelaskan kepada pasien dan keluarganya atau tidak. Hal terakhir ini menjadi penting karena pasien dan keluarganya pasti menginginkan tindakan medis yang terbaik bagi diri dan keluarganya, namun tidak semua pasien atau keluarga pasien memiliki latar belakang medis yang dapat mengetahui atau mendeteksi potensi resiko yang akan terjadi akibat tindakan medis yang dilakukan oleh seorang dokter, sehingga perlu dijelaskan sebelumnya agar pasien dan keluarganya sama-sama paham terhadap resiko yang bisa saja terjadi akibat tindakan seorang dokter tersebut, dengan catatan bahwa resiko tersebut bukan akibat dari ketidakmampuan atau
82
Ari Yunanto dan Helmi, Ibid.
( 66 ) Bab 3 Permasalahan Medikolegal
ketidaktahuan seorang dokter akibat tindakan medis yang dilakukannya. D. Perbedaan Mendasar antara Malpraktik Medis, Tindakan Medis, Kelalaian Medis, dan Resiko Medis Terminologi malpraktik medik (malpractice medic) dan kelalaian medik (negligence) merupakan dua hal yang berbeda. Kelalaian medik memang termasuk malpraktik medik, akan tetapi di dalam malpraktik medik tidak hanya terdapat unsur kelalaian, dapat juga karena adanya kesengajaan. Jika dilihat dari definisi di atas jelaslah bahwa malpractice mempunyai pengertian yang lebih luas daripada negligence karena selain mencakup arti kelalaian, istilah malpraktik pun mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja (intentional, dolus, opzettelijk) dan melanggar undang-undang. Di dalam arti kesengajaan tersirat ada motif (mens rea, guilty mind), sedangkan arti negligence lebih berintikan ketidak-sengajaan (culpa), kurang teliti, kurang hati-hati, acuh tak acuh, sembrono, tak peduli terhadap kepentingan orang lain, namun akibat yang timbul memang bukanlah menjadi tujuannya. Harus diakui bahwa kasus malpraktik murni yang berintikan kesengajaan (criminal malpractice) dan yang sampai terungkap ke pengadilan memang tidak banyak. Demikian pula di luar negeri yang tuntutannya pada umumnya bersifat perdata atau pengganti kerugian. Namun perbedaannya tetap ada. Oleh karena itu, mal-
Bab 3 Permasalahan Medikolegal ( 67 )
praktik dalam arti luas dapat dibedakan dari tindakan yang dilakukan :83 1. Dengan sengaja (dolus, vorsatz, willens en wetens handelen, intentional) yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan atau malpraktik dalam arti sempit, misalnya dengan sengaja melakukan abortus tanpa indikasi medik, melakukan eutanasia, memberi surat keterangan medik yang isinya tidak benar, dan sebagainya. 2. Tidak dengan sengaja (negligence, culpa) atau karena kelalaian, misalnya menelantarkan pengobatan pasien karena lupa atau sembarangan sehingga penyakit pasien bertambah berat dan kemudian meninggal. Perbedaan yang lebih jelas kalau kita melihat motif yang dilakukan, yaitu :84 1. Pada malpraktik (dalam arti ada kesengajaan): tindakannya dilakukan secara sadar, dan tujuan dari tindakannya memang sudah terarah kepada akibat yang hendak ditimbulkan atau tidak peduli terhadap akibatnya, walaupun ia mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa tindakannya itu bertentangan dengan hukum yang berlaku.
83
Ari Yunanto dan Helmi, Ibid., hlm. 37-38
84
J. Guwandi (1994), dalam Ari Yunanto dan Helmi, Ibid., hlm. 38
( 68 ) Bab 3 Permasalahan Medikolegal
2. Pada kelalaian: tidak ada motif ataupun tujuan untuk menimbulkan akibat yang terjadi. Akibat yang timbul disebabkan karena adanya kelalaian yang sebenarnya terjadi di luar kehendaknya. Mengacu pada rumusan-rumusan yang dikemukakan di atas dapat ditarik kesimpulan mengenai malpraktik medik, yaitu bahwa yang dimaksud malpraktik medik adalah kesalahan baik sengaja maupun tidak dengan disengaja (lalai) dalam menjalankan profesi medik yang tidak sesuai dengan Standar Profesi Medik (SPM) dan Standar Prosedur Operasional (SPO) dan berakibat buruk/fatal dan atau mengakibatkan kerugian lainnya pada pasien, yang mengharuskan dokter bertanggung jawab secara administratif dan atau secara perdata dan atau secara pidana. Dalam penjelasan Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran disebutkan bahwa standar profesi medik adalah batasan kemampuan minimal yang harus dikuasai seorang dokter untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri, yang disusun oleh Ikatan Dokter Indonesia. Sedangkan standar prosedur operasional adalah suatu perangkat instruktif tentang langkahlangkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu. Standar prosedur operasional disusun oleh
Bab 3 Permasalahan Medikolegal ( 69 )
institusi tempat dokter bekerja (rumah sakit, puskesmas, dan lain-lain). 85 Sedangkan kelalaian medis ini bisa dilihat dari dua aspek, pertama ketika seorang dokter tersebut melakukan tindakan medis, namun tindakannya tersebut tidak sesuai dengan tindakan yang semestinya dilakukan oleh dokter pada umumnya atas dasar pengetahuan (aktif/melakukan tindakan), kedua ketika seorang dokter tersebut tidak melakukan tindakan medis, namun tidak melakukan tindakan medis tersebut tidak sesuai dengan seharusnya dilakukan oleh dokter pada umumnya atas dasar pengetahuan (pasif/tidak melakukan tindakan). Baru dapat dikatakan ada culpa apabila ia tidak tahu, tidak memeriksa, melakukan atau tidak melakukan yang dokter-dokter lain yang baik bahkan pada umumnya dan di dalam keadaan yang sama, akan mengetahui, memeriksa, melakukan, atau tidak melakukan. Serta setiap tindakan medis pasti memiliki resiko, namun yang menjadi poin pentingnya adalah apakah resiko tersebut telah ia perkirakan sebelumnya atau tidak, selanjutnya apakah resiko tersebut dijelaskan kepada pasien dan keluarganya atau tidak. Hal sangat penting karena pasien dan keluarganya pasti menginginkan tindakan medis yang terbaik bagi diri dan keluarganya, namun tidak semua pasien atau keluarga pasien memiliki latarbelakang medis yang dapat mengetahui atau mendeteksi potensi resiko yang akan terjadi akibat 85
Ari Yunanto dan Helmi, Ibid.
( 70 ) Bab 3 Permasalahan Medikolegal
tindakan medis yang dilakukan oleh seorang dokter, sehingga perlu dijelaskan sebelumnya agar pasien dan keluarganya sama-sama paham terhadap resiko yang bisa saja terjadi akibat tindakan seorang dokter tersebut, dengan catatan bahwa resiko tersebut bukan akibat dari ketidakmampuan atau ketidaktahuan seorang dokter akibat tindakan medis yang dilakukannya. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan 5 (lima) poin penting sebagai berikut : 1. Tindakan medis dapat berujung kepada malpraktik medis dan/atau mengakibatkan resiko medis; 2. Kelalaian medis merupakan bagian dari malpraktik medis; 3. Malpraktik medis meliputi kesengajaan ataupun kelalaian medis (berdasarkan teori kesalahan sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya); 4. Malpraktik medis (secara umum) dan kelalaian medis (secara khusus) yang berasal dari tindakan medis dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum. 5. Resiko medis tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum.
Bab 3 Permasalahan Medikolegal ( 71 )
BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN MALPRAKTIK MEDIS Sebagaimana telah diungkapkan dan dijelaskan pada bab-bab sebelumnya bahwa setiap pekerjaan dan profesi memiliki konsekuensi atau pertanggungjawaban masing-masing. Karena pekerjaan dan profesi tersebut membutuhkan tindakan profesional (baik dibidang jasa maupun barang/produk yang dihadilkan), sehingga espektasi seorang pemakai jasa atau produk tersebut sangatlah ideal, ini berbanding terbalik dengan seseorang yang menjalankan pekerjaan atau profesinya (dibidang apapun), karena ia harus memikirkan segala hal termasuk resiko yang akan timbul akibat pekerjaan yang ia lakukan, atau akibat jasa dan pelayanan yang ia berikan, hal ini berlaku kepada semua profesi yang digeluti, tidak terkecuali profesi kedokteran. Profesi kedokteran dan profesi medis lainnya adalah salah satu profesi yang memiliki resiko atau tanggung jawab yang sangat tinggi, ini dikarenakan profesinya berkaitan langsung dengan kesehatan, keselamatan, bahkan nyawa seseorang (pasien).
Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . ( 73 )
Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik merupakan salah satu hak (hak asasi manusia) yang diatur dalam di dalam Pasal 12 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (1966), kovenan internasional tersebutpun telah di ratifikasi (di sahkan) oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 2005 dengan di undangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights. Kovenan Internasional tentang HakHak Ekonomi, Sosial, dan Budaya ini merupakan turunan dari Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) atau Universal Declaration of Human Rights yang di deklarasikan pada tanggal 10 Desember 1948, karena sifatnya yang tidak mengikat (dalam hukum internasional di sebut soft law) karena dalam bentuk deklarasi (yang tidak memberikan sarana untuk di ratifikasi) sehingga dibuatlah aturan turunan yang mengikat (dalam hukum internasional di sebut hard law) karena dalam bentuk kovenan (memberikan sarana untuk di ratifikasi) agar negara dapat tunduk dan melaksanakan atau mengimplementasikan seluruh hak asasi yang termasuk ke dalam hak asasi manusia.86 Profesi kedokteran dan tenaga medis lainnya merupakan satu profesi yang sangat mulia dan terhormat dalam pan86 Nilawati Adam, Korelasi Hukum antara Tujuan Pengaturan dan Asas Praktek dalam Undang-Undang Keperawatan, Jurnal “Justitia” Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo, Vol. II No. 2 Edisi Maret 2015, hlm. 207
( 74 ) Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . Medis . . .
dangan masyarakat. Seorang dokter sebelum melakukan praktek kedokterannya atau pelayanan medis telah melalui pendidikan dan pelatihan yang cukup panjang. Karena dari profesi inilah banyak sekali digantungkan harapan hidup dan/atau kesembuhan dari pasien serta keluarganya yang sedang menderita sakit. Dokter atau tenaga kesehatan lainnya tersebut sebagai manusia biasa yang penuh dengan kekurangan (merupakan kodrat manusia) dalam melaksanakan tugas kedokterannya yang pernuh dengan resiko ini tidak dapat menghindarkan diri dari kekuasaan kodrat dan iradat Allah, karena kemungkinan pasien cacat dokter telah melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi atau standart Operating Procedure (SOP) dan/ atau standar pelayanan medik yang baik. Keadaan semacam ini seharusnya disebut dengan resiko medik, dan resiko ini terkadang dimaknai oleh pihak-pihak diluar profesi kedokteran sebagai medical malpractice.87 Sebagaimana diketahui, bahwa profesi kedokteran bukanlah bidang ilmu pasti yang semuanya terukur. Profesi kedokteran menurut Hipocrates merupakan gabungan atau perpaduan antara penggetahuan dan seni (science and art). Seperti dalam melakukan diagnosis merupakan seni tersendiri bai dokter, karena setelah mendengar keluhan pasien, dokter akan me-
Syahrul Machmud, Op.Cit, hlm. 1 lebih jauh baca artikel Jurnal Andi Sofyan, A Juridical Aspect of Medical Malpractice, Jurnal Medika Nusantara (Nusantara Medical Journal), Vol. 21 No. 1 Edisi Januari-Maret 2000, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, hlm. 64-68 87
Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . ( 75 )
lakukan imajinasi dan melakukan pengamatan yang seksama terhadap pasiennya. Pengetahuan atau teori-teori kedokteran serta pengalamannyayang telah diterimanya selama ini menjadi dasar melakukan diagnosa terhadap penyakit pasien, diharapkan diagnosisnya mendekati kebenaran. Berkaitan dengan profesi kedokteran ini, belakangan marak diberitakan dalam mass media nasional, baik melalui media elektroknik maupun media cetak, bahwa banyak ditemui praktek-praktek malpraktek yang dilakukan kalangan dokter Indonesia. bahkan menurut laporan Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan Pusat tercatat kurang lebih terdapat 150 kasus malpraktik di Indonesia walau sebagian besar tidak sampai ke meja hijau (pengadilan). Demikian pula laporan masyarakat kepada Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2004 terdapat 306 kasus pengaduan dugaan malpraktik.88 Manusia sebagai subjek hukum yang dalam artian pemangku hak dan kewajiban, tidak hanya memiliki hak atau menuntut hak-haknya saja, oleh karena itu agar terjadi keseimbangan maka manusia juga berkewajiban menjalankan ramburambu kehidupan sebagaimana yang telah diatur di dalam setiap norma, baik itu norma agama,89 norma sosial,90 norma Harian Sinar Harapan Edisi 29 April 2005 dalam Syahrul Machmud, Ibid, hlm. 1-2 88
89
Diatur dalam kitab suci masing-masing agama
90
Tata pergaulan di masyarakat
( 76 ) Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . Medis . . .
kesusilaan,91 dan norma hukum.92 Setiap tindakan manusia mempunyai konsekuensi, begitupun manusia dalam menjalankan jabatan atau sebuah profesi, maka tindakannya tersebut memiliki konsekuensi, baik itu konsekuensi profesi maupun konsekuensi hukum. Dalam buku ini, akan dibahas jenis-jenis konsekuensi yang akan dihadapi oleh seorang dokter sebagai salah satu tenaga medis dalam menjalankan profesinya. Berikut uraian jenis-jenis konsekuensi dimaksud. A. Tanggungjawab Pidana Hukum bisa timbul dalam bentuk : perjanjian internasional (treaties, conventions), perundang-undangan suatu negara tertentu, hukum kebiasaan atau yurisprudensi. Bahkan jika ada kekosongan hukum (rechts-vacuum) maka hakim pun berkewajiban untuk mengisi kekosongan hukum dengan upaya menemukannya (rechtsvinding : Paul Scholten). Kepustakaan yang sudah diterima jika terdapat kekosongan hukum, dapat pula dipakai sebagai pedoman hakim dalam memutuskan suatu perkara. Misalnya dalam perkara malpraktik medis yang masih terhitung baru di Indonesia, sehingga pengaturannya pun bisa dibilang masih belum lengkap dan tidak rinci. Timbul pertanyaan, Bagaimana jika ada perkara malpraktik medik
berlaku
91
Nilai kepatutan dan kepantasan
92
Diatur dalam peraturan perundang-undangan (hukum positif) yang
Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . ( 77 )
yang diajukan ke Pengadilan? Bolehkah seorang hakim memutuskan bahwa hukum belum membuat pengaturannya yang jelas? Untuk ini jawabannya terletak pada "Ketentuan Umum tentang
Perundang-undangan
untuk
Indonesia"
(Algemene
Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia). Di dalam Pasal 22 dikatakan bahwa "Seorang hakim yang menolak memberi keputusan hukum berdasarkan alasan tidak diatur, hukumnya tidak jelas atau perundang-undangannya tidak lengkap, dapat dltuntut berdasarkan penolakan memberi keputusan hukum". (De regter, die weigert regt te spreken, onder voorwendsel van stilzwijgen, duisterheid of onvolledigheid der wet, kan uit hoofde van regtsweigering vervolgd worden). Dengan demikian maka seorang hakim harus berusaha sampai bisa memberikan keputusannya dengan mencari bahan materinya sampai dapat. Bahkan ilmu pengetahuan dan kepustakaan pun dapat dipakai sebagai sumber hukum.93 Khusus dalam sub bab tanggung jawab pidana ini, penulis hanya membatasinya pada pelanggaran terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,94 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Ta-
93
J. Guwandi (2007), Op.Cit., hlm. 2
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431). 94
( 78 ) Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . Medis . . .
hun 2009 tentang Kesehatan.95 KUHP mengatur mengenai tanggung jawab pidana yang berkaitan atau ada kaitannya dengan malpraktik medis di dalam 12 (dua belas pasal), pasalpasal dimaksud adalah : 1.
Pasal 267 KUHP yang mengatur tentang Pemalsuan Surat Keterangan Dokter;
2.
Pasal 299 KUHP yang mengatur tentang Pemberian Harapan untuk Menggugurkan Kehamilan;
3.
Pasal 322 KUHP yang mengatur tentang Rahasia Kedokteran;
4.
Pasal 344 KUHP yang mengatur tentang Eutanasia;
5.
Pasal 346 KUHP yang mengatur tentang Aborsi;
6.
Pasal 347 KUHP yang mengatur tentang Aborsi;
7.
Pasal 348 KUHP yang mengatur tentang Aborsi;
8.
Pasal 349 KUHP yang mengatur tentang Aborsi;
9.
Pasal 351 KUHP yang mengatur tentang Penganiayaan yang Merusak Kesehatan;96
10.
Pasal 359 KUHP yang mengatur tentang Kelalaian yang Menyebabkan Kematian;
95 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063).
Lebih lanjut bahasan mengenai delik penganiayaan sehingga membedakannya dengan malpraktik medis baca artikel jurnal Andi Sofyan, Persetujuan Tindakan Medik dalam Hubungan Delik Penganiayaan, Jurnal Medika Nusantara (Nusantara Medical Journal), Vol. 21 No. 2 Edisi April-Juni 2000, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, hlm. 110-115 96
Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . ( 79 )
11.
Pasal 360 KUHP yang mengatur tentang Kelalaian yang Menyebabkan Luka; dan
12.
Pasal 361 KUHP yang mengatur tentang Pemberatan Pidana dan Pidana Tambahan.
Selanjutnya dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, aturan mengenai tanggung jawab pidana yang relevan dengan malpraktik medis terdapat dalam pasal-pasal sebagai berikut : Pasal 75 (1) Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja
melakukan
praktik
kedokteran
tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1)97 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (2) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sementara sebagaimana
97 Pasal 29 ayat (1) mengatur bahwa “Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi”.
( 80 ) Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . Medis . . .
dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1)98 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (3) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1)99 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp.100. 000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 76 Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36100 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau Pasal 31 ayat (1) mengatur bahwa “Surat tanda registrasi sementara dapat diberikan kepada dokter dan dokter gigi warga negara asing yang melakukan kegiatan dalam rangka pendidikan, pelatihan, penelitian, pelayanan kesehatan di bidang kedokteran atau kedokteran gigi yang bersifat sementara di Indonesia”. 98
Pasal 32 ayat (1) mengatur bahwa “Surat tanda registrasi bersyarat diberikan kepada peserta program pendidikan dokter spesialis atau dokter gigi spesialis warga negara asing yang mengikuti pendidikan dan pelatihan di Indonesia”. 99
Pasal 36 mengatur bahwa “Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat izin praktik”. 100
Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . ( 81 )
denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 77 Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi dan/atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1)101 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Pasal 78 Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter Pasal 73 ayat (1) mengatur bahwa “Setiap orang dilarang menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik”. 101
( 82 ) Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . Medis . . .
atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2)102 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Pasal 79 Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang : a. dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41 ayat (1);103
b. dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagai-mana dimaksud dalam
Pasal 46 ayat (1);104 atau
Pasal 73 ayat (2) mengatur bahwa “Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik”. 102
Pasal 41 ayat (1) mengatur bahwa “Dokter atau dokter gigi yang telah mempunyai surat izin praktik dan menyelenggarakan praktik kedokteran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 wajib memasang papan nama praktik kedokteran”. 103
Pasal 46 ayat (1) mengatur bahwa “Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat rekam medis”. 104
Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . ( 83 )
c. dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.105
Selanjutnya dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, aturan mengenai tanggung jawab pidana yang relevan dengan malpraktik medis terdapat dalam Pasal 191, Pasal 193, dan Pasal 194. Pasal 191 Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik
pelayanan
kesehatan
tradisional
yang
menggunakan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) sehingga mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat atau kematian dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda
Pasal 51 mengatur bahwa Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban : a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien; b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan; c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia; d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi. 105
( 84 ) Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . Medis . . .
paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 193 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan bedah plastik dan rekonstruksi untuk tujuan mengubah identitas seseorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000. 000,00 (satu miliar rupiah) Pasal 194 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dalam praktek yang terjadi selama ini, malpraktek medis dalam arti yang sengaja dilakukan (intentional, dolus, opzetiljk) dan melanggar undang-undangn dan berintikan kesengajaan (criminal malpractice) dalam arti kesengajaan tersirat adanya motif (mens rea, fuilty mind) tidaklah banyak yang terungkap di pengadilan pidana, yang sering terjadi adalah kelalaian atau negligence lebih berintikan ketidaksengajaan (culpa), kuBab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . ( 85 )
rang hati-hati, kurang teliti, acuh, semberono, sembarangan, dan tidak peduli terhadap kepentingan orang lain. Namun akibat yang timbul memang bukanlah menjadi tujuannya.106 B. Tanggungjawab Perdata Prosedur penyelesaian kasus sengketa medis secara perdata pada Peradilan Umum, sebagai berikut :107 Pasien dapat mengajukan gugatan kerugian secara perdata ke pengadilan, selain mengadukan Dokter atau Dokter Gigi yang diduga lalai malapraktik ke MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) sesuai Pasal 66 ayat 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Tanggung jawab hukum adalah tanggung jawab yang diakui dan ditegakkan oleh pengadilan diantara para pihak yang berperkara. Tanggung jawab di bidang hukum perdata dari seorang tenaga kesehatan muncul dalam bentuk tanggung gugat, bahwa Dokter dan Dokter Gigi dapat digugat di muka pengadilan karena perbuatannya. Gugatan dalam hukum perdata dapat dilakukan wanprestasi atau berdasarkan perbuatan melawan hukum. Gugatan dapat muncul karena kerugian yang diderita oleh pihak-pihak yang berkepentingan.108 106
Syahrul Machmud, Op.Cit., hlm. 265
107
Rinanto Suryadhimirtha, Op.Cit., hlm. 26-30
Siti Ismijati Jenie, Tanggung jawab Perdata di Dalam Pelayanan Medis Suatu Tinjauan dari Segi Hukum Perdata Materiil, Mimbar Hukum, Vol. 18, 108
( 86 ) Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . Medis . . .
Penggugat yang menggugat dalam lingkup Peradilan Umum, menggunakan hukum acara perdata. Pengertian hukum acara perdata menurut Sudikno Mertokusumo109 adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum Perdata materiil dengan perantaraan Hakim. Dengan perkataan lain, hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil. Lebih konkret lagi dapatlah dikatakan, hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan putusannya. Tuntutan hak dalam hal ini tidak lain adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hukum yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah "eigenrichting" atau tindakan menghakimi sendiri. Tindakan menghakimi sendiri merupakan tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendaknya sendiri yang bersifat sewenang-wenang, tanpa persetujuan dari pihak lain yang berkepentingan sehingga akan menimbulkan kerugian. Menurut Rinanto Suryadhimirtha, Penggugat harus dapat membuktikan dalil-dalil tuduhannya terhadap Tergugat, hal
Nomor 3, 2006 sebagaimana dikutip Antari Innaka, Tanggung Jawab Keperdataan Bidan Dalam Pelayanan Kesehatan, Makalah yang disampaikan dalam Seminar Sehari Hukum Kesehatan Penyelesaian Dugaan Mai Praktik Pada Pelayanan Kebidanan di Yogyakarta tanggal 31 Juli 2010 dalam Rinanto Suryadhimirtha, Ibid., hlm. 27 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, (Yogyakarta: Liberty, 1981), hlm.2 dalam Rinanto Suryadhimirtha, Ibid., hlm. 27 109
Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . ( 87 )
ini diatur dalam Pasal 163 HIR, Pasal 283 RBG atau Pasal 1865 KUH Perdata yang menyatakan: "Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna menegakkan haknya sendiri maupun membantah sesuatu hak orang lain, menunjuk suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut". Dalam kaitan dengan tanggung jawab perdata, gugatan Penggugat ada 2 (dua) macam gugatan, yaitu gugatan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Menurut Antari Innaka110 gugatan berdasarkan wanprestasi dalam hukum perikatan, yang dimaksud dengan wanprestasi adalah tidak dipenuhinya suatu prestasi oleh salah satu pihak (debitur) karena adanya unsur kesalahan. Kesalahan itu sendiri dapat berupa : a.
Kesengajaan, yaitu perbuatan yang menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban itu memang dikehendaki/diketahui oleh si debitur;
b. Kelalaian, yaitu orang yang melakukan perbuatan itu hanya mengetahui adanya kemungkinan bahwa akibat yang merugikan itu akan timbul Akibat dari adanya gugatan berdasarkan wanprestasi itu adalah timbulnya kewajiban untuk memberikan ganti rugi sebagaimana diatur di dalam Buku III KUH Perdata. Di dalam transaksi teraupetik, gugatan berdasarkan wanprestasi dapat 110
hlm. 28
Antari Innaka, Loc.Cit., hlm. 4 dalam Rinanto Suryadhimirtha, Ibid.,
( 88 ) Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . Medis . . .
diajukan apabila seorang tenaga kesehatan yang berpraktik secara mandiri atau suatu lembaga (Rumah Sakit) telah berjanji untuk memberikan pelayanan kesehatan atau transaksi terapeutik, tetapi kemudian ternyata bahwa ia tidak melaksanakan janji tersebut, padahal ia tidak dalam keadaan memaksa.111 Dengan terjadinya wanprestasi tentu saja akan menimbulkan gugatan kerugian bagi si pasien. Oleh karena itu, si pasien berhak menuntut dan mendapatkan ganti rugi. Hak pasien untuk mendapatkan ganti rugi atas suatu wanprestasi, di samping didasarkan pada ketentuan hukum perikatan juga didasarkan pada ketentuan hukum kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menentukan sebagai berikut :112 a.
Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya;
b. Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat. 111
Ibid.
112
Ibid.
Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . ( 89 )
Ketentuan ayat (1) tersebut sebenamya menunjuk pada ketentuan mengenai pemberian ganti rugi yang diatur dalam KUH Perdata. Sebenamya rumusan Pasal 58 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tersebut, di samping sebagai dasar hukum gugatan wanprestasi juga dapat digunakan sebagai dasar hukum gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum.113 Gugatan berdasarkan wanprestasi hanya dapat ditujukan terhadap orang/lembaga yang merupakanpihakdi dalam perjanjianpenyembuhan. Jadi, apakah gugatan wanprestasi itu akan ditujukan kepada tenaga kesehatan atau Rumah Sakit tergantung pada perjanjiannya. Besarnya ganti kerugian ini harus disesuaikan dengan besarnya kerugian yang diderita pasien. Kerugian itu sendiri dapat dibedakan menjadi kerugian material dan kerugian immaterial. Kerugian material ditentukan dalam Pasal 1243 KUH Perdata berupa :114 a.
Biaya
(kosten) yaitu
segala pengeluaran
atau
perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan; b.
Rugi (scaden) yaitu berkurangnya harta kekayaan kreditur akibat wanprestasi; dan
c.
Bunga (interessen) yaitu keuntungan yang diharapkan tidak diperoleh karena adanya wanprestasi.
113
Ibid.
114
Ibid., hlm. 4-5 dalam Rinanto Suryadhimirtha, Ibid., hlm. 29
( 90 ) Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . Medis . . .
Pengaturan tentang ganti rugi yang terdapat dalam Pasal 1246 KUH Perdata menyebutkan bahwa biaya, rugi, bunga yang dapat dituntut penggantiannya meliputi :115 a.
Kerugian yang senyatanya diderita yaitu kerugian yang merupakan akibat langsung dan serta merta dari wanprestasi tersebut;
b. Keuntungan
yang diharapkan yang hilang kare-
na adanya wanprestasi tersebut. Sementara itu, untuk kerugian immaterial hingga saat ini belum ada pedomannya. Oleh karena itu, dalam menentukan besarnya kerugian immaterial sangat subjektif. Adapun, gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum oleh pasien dapat dilakukan dengan mendasarkan ketentuan pada UU Kesehatan maupun ketentuan yang diatur dalam KUH Perdata. Bedanya dengan gugatan berdasar wanprestasi adalah didasarkan pada transaksi teraupetik (hubungan kontraktual). Dasar hukum gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum adalah :116 a.
Pasal 58 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, sebagaimana telah dikemukakan di atas;
115
Ibid.
116
Ibid., hlm. 5 dalam Rinanto Suryadhimirtha, Ibid., hlm. 30
Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . ( 91 )
b. Pasal 1365 KUH Perdata yang menentukan bahwa: Tiap-tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian pada orang lain mewajibkan orang yang karena kesalahannya menimbulkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut"; c.
Pasal 1366 KUH Perdata yang menentukan bahwa: "Setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaiannya atau kurang hati-hatinya";
d. Pasal 1367 KUH Perdata, yang menentukan bahwa: "Seorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian karena perbuatannya orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang ada di bawah pengurusannya Perbuatan melawan hukum, selain perbuatan seseorang bertentangan dengan Undang-undang, juga jika seseorang berbuat atau tidak berbuat yang:117 a. Melanggar hak orang lain; b. Bertentangan dengan kewajiban hukum orang yang berbuat; c. Berlawanan dengan kesusilaan; dan
117
Setiawan dalam Rinanto Suryadhimirtha, Ibid., hlm. 30
( 92 ) Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . Medis . . .
d. Tidak sesuai dengan kepatutan dan kecermatan tentang diri atau orang lain dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Apabila seorang pasien yang merasa dirugikan hendak mengajukan gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum terhadap tenaga kesehatan atau sarana pelayanan kesehatan, maka ia harus dapat membuktikan bahwa telah terjadi suatu perbuatan melawan hukum dengan kriteria seperti tersebut di atas. Di samping itu, pasien juga hams dapat membuktikan bahwa antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang dideritanya ada hubungan kausal.118 C. Tanggungjawab Disiplin Ilmu Kedokteran Sesuai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,119 MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) adalah Majelis yang berwewenang menentukan ada atau tidaknya kesalahan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan ilmu kedokteran gigi dan menetapkan sanksi.
Tince P. Soemoele menyebutkan setidaknya ada 28
(dua puluh delapan) bentuk-bentuk pelanggaran disiplin kedok-
118
Ibid.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431). 119
Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . ( 93 )
teran yang diatur dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 17/KKI/Per/VIII/2006, yaitu:120 1. Melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten; 2. Tidak merujuk pasien kepada dokter atau dokter gigi lain yang memiliki kompetensi lain yang sesuai; (rujukan bisa tidak dilakukan bila: kondisi pasien tidak memungkinkan untuk dirujuk, keberadaan tenaga medis lain atau sarana kesehatan yang lebih tepat sulit dijangkau atau didatangkan, atas kehendak pasien). 3. Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang tidak memiliki kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut; (delegasi kepada tenaga kesehatan harus sesuai kompetensi dan ketrampilan mereka, tanggung jawab tetap pada dokter) 4. Menyediakan dokter atau dokter gigi pengganti sementara yang tidak memiliki kompetensi dan kewenangan yang sesuai, atau tidak melakukan pemberitahuan perihal penggantian tersebut; 5. Menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi tingkat kesehatan fisik ataupun mental sedemikian rupa
120
Tince P. Soemoele, Loc.Cit.
( 94 ) Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . Medis . . .
sehingga tidak kompeten dan dapat membahayakan pasien; 6. Dalam penatalaksanaan pasien, melakukan yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan yang seharusnya dilakukan, sesuai dengan tanggung jawab profesionalnya, tanpa alasan pembenar atau pemaaf yang sah, sehingga dapat membahayakan pasien; 7. Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasien; 8. Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis dan memadai (adequate information) kepada pasien atau keluarganya
dalam
melakukan
praktik
kedokte-
ran;121 9. Melakukan tindakan medik tanpa memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarga dekat atau wali atau pengampunya;122 10. Dengan sengaja, tidak membuat atau menyimpan rekam medik, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan atau etika profesi; 11. Melakukan perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan kehamilan yang tidak sesuai dengan ke-
121
Hal ini juga dapat berimplikasi pada pertanggungjawaban perdata
122
Hal ini juga dapat berimplikasi pada pertanggungjawaban perdata
Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . ( 95 )
tentuan, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan etika profesi; 12. Melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien atas permintaan sendiri dan atau keluarganya; (dalam kondisi sakit terminal, dimana upaya kedokteran kepada pasien merupakan kesia-siaan/futile menurut state of the art ilmu kedokteran, maka dengan persetujuan pasien dan atau keluarga dekatnya, dokter dapat menghentikan pengobatan, akan tetapi dengan memberikan perawatan yang layak). 13. Menjalankan praktik kedokteran dengan menerapkan pengetahuan atau ketrampilan atau teknologi yang belum diterima atau di luar tatacara praktik kedokteran yang layak; 14. Melakukan penelitian dalam praktik kedokteran dengan menggunakan manusia sebagai subjek penelitian, tanpa memperoleh persetujuan etik dari lembaga yang diakui pemerintah; 15. Tidak melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, padahal tidak membahayakan dirinya, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; 16. Menolak atau menghentikan tindakan pengobatan terhadap pasien tanpa alasan yang layak dan sah ( 96 ) Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . Medis . . .
sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan atau etika profesi; (alasan dokter atau dokter gigi untuk menolak atau mengakhiri pelayanan kepada pasien: pasien melakukan intimidasi kepada dokter, pasien melakukan kekerasan kepada dokter, pasien berperilaku merusak hubungan saling percaya tanpa alasan) 17. Membuka rahasia kedokteran, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan atau etika profesi; (alasan pembenaran: permintaan MKDKI, Majelis hakim dalam sidang pengadilan, sesuai peraturan perundang-undangan). 18. Membuat keterangan medik yang tidak didasarkan kepada hasil pemeriksaan yang diketahuinya secara benar dan patut; 19. Turut serta dalam perbuatan yang termasuk tindakan penyiksaan (torture) atau eksekusi hukuman mati; 20. Meresepkan atau memberikan obat golongan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA) yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan etika profesi;
Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . ( 97 )
21. Melakukan pelecehan seksual, tindakan intimidasi atau tindakan kekerasan terhadap pasien di tempat praktek;123 22. Menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi yang bukan haknya;124 23. Menerima imbalan sebagai hasil dari merujuk atau meminta pemeriksaan atau memberikan resep obat /alat kesehatan.; 24. Mengiklankan kemampuan/pelayanan atau kelebihan kemampuan/pelayanan yang dimiliki, baik lisan ataupun tulisan, yang tidak benar atau menyesatkan; 25. Ketergantungan pada narkotika, psikotropika, alkohol serta zat adiktif lainnya; 26. Berpraktik dengan menggunakan Surat Tanda Registrasi (STR) atau Surat Ijin Praktik (SIP) dan/atau sertifikat yang tidak sah; 27. Ketidakjujuran dalam menentukan jasa medik; atau 28. Tidak memberikan informasi, dokumen dan alat bukti lainnya yang diperlukan MKDKI untuk pemeriksaan atas pengaduan dugaan pelanggaran disiplin.
123
Hal ini juga dapat berimplikasi pada pertanggungjawaban pidana
124
Hal ini juga dapat berimplikasi pada pertanggungjawaban pidana
( 98 ) Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . Medis . . .
Pasal 64 UU RI No. 29 Tahun 2004, mengatur bahwa : Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia bertugas : a. menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi yang diajukan; dan b. menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter atau dokter gigi. Pasal 66 UU RI No. 29 Tahun 2004, diatur bahwa : (1) Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan
dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
(2) Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat :
a. identitas pengadu; b. nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan dilakukan; dan c. alasan pengaduan. (3) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.
Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . ( 99 )
Dalam penyelesaian sengketa medik melalui MKDKI tidak ada prosedur untuk diselesaikan dengan cara mediasi, rekonsiliasi maupun negosiasi antara dokter dan dokter gigi dengan pasien dan atau kuasasnya, dan MKDKI tidak berwenang untuk memutuskan ganti rugi kepada pasien.125 Selanjutnya Pasal 69 UU RI No. 29 Tahun 2004, mengatur bahwa : (1) Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia mengikat
dokter, dokter gigi, dan Konsil Kedokteran Indonesia.
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berupa
dinyatakan
tidak
bersalah
atau
pemberian sanksi disiplin. (3) Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa: a. pemberian peringatan tertulis; b. rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik;126
dan/atau c. kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan
kedokteran atau kedokteran gigi.127
Rinanto Suryadhimirta, Hukum Malapraktik Kedokteran, Disertai Kasus dan Penyelesaiannya, (Yogyakarta: Total Media, 2011), hlm. 20-21 125
126 Rekomendasi pencabutan STR atau SIP sementara selama-lamanya 1 tahun, atau rekomendasi pencabutan STR atau SIP tetap atau selamalamanya. Tince P. Soemoele, Loc.Cit.
( 100 ) Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . Medis . . .
Berdasarkan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 16/KKI/Per/VIII/2006 diatur bahwa setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua MKDKI atau Ketua MKDKI-P (ditingkat propinsi). Apabila tidak mampu mengadukan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat mengadukan secara lisan kepada MKDKI atau MKDKI-P. Dalam hal pengaduan dilakukan secara lisan, Sekretariat MKDKI atau MKDKI-P memfasilitasi atau membantu pembuatan permohonan pengaduan tertulis sebagaimana dimaksud ditandatangani oleh pengadu atau kuasanya. Untuk melengkapi keabsahan pengaduan MKDKI dan MKDKI-P dapat melakukan verifikasi atas aduan yang dimasukkan.
Untuk melakukan verifikasi sebagaimana dimaksud Ketua MKDKI dapat mengangkat orang untuk melakukan pekerjaan tersebut.128 Selanjutnya pengaduan sebagaimana dimaksud sekurang-kurangnya harus memuat : (i) identitas pengadu dan pasien;
(ii) nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi; (iii) waktu tindakan dilakukan;
(iv) alasan pengaduan; (v) alat bukti bila ada; dan
(vi) pernyataan tentang kebenaran pengaduan.
Kelengkapan atas kekurangan dokumen pengaduDapat berupa: pendidikan formal, pelatihan dalam pengetahuan dan atau ketrampilan, magang, sekurang-kurangnya 3 bulan dan paling lama 1 tahun. Tince P. Soemoele, Ibid. 127
128
Pasal 2
Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . ( 101 )
an sebagaimana dimaksud, oleh MKDKI atau MKDKI-P dapat diminta kepada yang mengadukan.
Pengaduan dapat diproses walaupun tidak memenuhi kelengkapan dokumen pengaduan sebagaimana dimaksud (pernyataan tentang kebenaran pengaduan) apabila pada pemeriksaan awal ditemukan kebenaran atas pengaduan tersebut.
Dalam hal pengaduan oleh Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi/Kabupaten/Kota, Organisasi Profesi Kedokteran dan Kedokteran Gigi dan Konsil Kedokteran Indonesia pengaduan tersebut tidak perlu menyatakan bahwa isi permohonan pengaduan adalah benar adanya. Untuk kepentingan pemeriksaan atas pengaduan dugaan pelanggaran disiplin kedokteran oleh MKDKI atau MKDKI-P, pihak-pihak yang terkait harus memberikan informasi, surat/dokumen dan alat bukti lainnya yang diperlukan MKDKI atau MKDKI-P.129 MKDKI atau MKDKI-P melakukan pemeriksaan awal atas aduan yang diterima. Untuk melakukan pemeriksaan awal sebagaimana dimaksud, Ketua MKDKI menetapkan Majelis Pemeriksa Awal. Majelis Pemeriksa Awal pada MKDKI terdiri dari 3 (tiga) orang yang diangkat dari Anggota MKDKI. Untuk melengkapi berkas dalam pemeriksaan awal dapat dilakukan investigasi oleh Majelis Pemeriksa Awal. Dalam melaksanakan investigasi sebagaimana dimaksud, Majelis Pemeriksa Awal dapat menunjuk orang untuk pekerjaan tersebut.
Majelis Pemeriksa Awal pada MKDKI-P terdiri dari 3 (tiga) orang yang di129
Pasal 3
( 102 ) Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . Medis . . .
angkat dari MKDKI-P dan atau MKDKI.
Melakukan pemeriksaan awal sebagaimana dimaksud, antara lain keabsahan aduan, keabsahan alat bukti, menetapkan pelanggaran etik atau disiplin atau menolak pengaduan karena tidak memenuhi syarat pengaduan atau tidak termasuk dalam wewenang MKDKI dan melengkapi seluruh alat bukti. Bilamana dari hasil pemeriksaan awal ditemukan bahwa pengaduan yang diajukan adalah pelanggaran etik maka MKDKI atau MKDKI-P melanjutkan pengaduan tersebut kepada organisasi profesi. Bilamana pemeriksaan awal ditemukan bahwa pengaduan tersebut adalah dugaan pelanggaran disiplin maka ditetapkan Majelis Pemeriksa Disiplin oleh Ketua MKDKI. Setiap keputusan Majelis Pemeriksa Awal dalam kurun waktu 14 (empat belas) hari kerja harus disampaikan kepada Ketua MKDKI atau ketua MKDKI-P.130 Selambatnya-lambatnya dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja sesudah hasil pemeriksa awal diterima dan lengkap dicatat dan benar, MKDKI segera membentuk Majelis Pemeriksa Disiplin untuk MKDKI dan 28 (dua puluh delapan) hari untuk MKDKI-P. Majelis Pemeriksa Disiplin ditetapkan dalam Keputusan Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Untuk hal tertentu dan alasan yang sah dan dibenarkan maka Ketua MKDKI dapat menangguhkan pembentukan Majelis Pemeriksa Disiplin.131 Majelis Pemeriksa Disiplin 130
Pasal 6
131
Pasal 7
Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . ( 103 )
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 (tujuh) ayat (1) berjumlah 3 (tiga) orang atau 5 (lima) orang. Majelis Pemeriksa Disiplin ditetapkan oleh Ketua MKDKI. Ketua Majelis Pemeriksa Disiplin ditetapkan oleh Ketua MKDKI.
Majelis Pemeriksa Disiplin dipilih dari anggota MKDKI dan/atau MKDKI-P yang salah satunya harus ahli hukum yang bukan tenaga medis. Majelis Pemeriksa Disiplin MKDKI-P dapat diangkat dari anggota MKDKI dan/ atau anggota MKDKI-P.132 Hari pemeriksaan ditetapkan oleh Majelis Pemeriksa Disiplin selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sejak tanggal penetapan Majelis Pemeriksa Disiplin oleh MKDKI. Bilamana tempat tinggal dokter atau dokter gigi yang diadukan jauh, maka Majelis Pemeriksa Disiplin dapat menetapkan hari pemeriksaan selambat-lambatnya 28 (dua puluh delapan) hari sejak tanggal penetapan Majelis Pemeriksa Disiplin oleh Ketua MKDKI. Pemanggilan terhadap dokter atau dokter gigi yang diadukan dianggap sah, apabila telah menerima surat panggilan yang dibuktikan dengan surat tanda terima panggilan atau bukti penerimaan surat tercatat. Bilamana Majelis Pemeriksa Disiplin tidak dapat bersidang sebagaimana yang diatur maka Ketua MKDKI dapat menangguhkan atas permintaan salah seorang anggota Majelis Pemeriksa Disiplin.133 Majelis Pemeriksa Disiplin bersifat independen yaitu dalam menjalankan 132
Pasal 8
133
Pasal 9
( 104 ) Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . Medis . . .
tugasnya tidak terpengaruh oleh siapapun atau lembaga lainnya.134 Majelis Pemeriksa Disiplin hanya memeriksa dokter atau dokter gigi terregistrasi. Majelis Pemeriksa Disiplin tidak melakukan mediasi, rekonsiliasi dan negosiasi antara dokter atau dokter gigi dengan pasien atau kuasanya. Bilamana dipandang perlu, Majelis Pemeriksa Disiplin dapat meminta pasien untuk hadir dalam sidang.135 Penanganan atas tuntutan ganti rugi pasien tidak menjadi kewenangan MKDKI atau MKDKIP.136 Pemeriksaan dokter atau dokter gigi yang diadukan dilakukan dalam bentuk Sidang Majelis Pemeriksa Disiplin. Sidang Majelis Pemeriksa Disiplin dipimpin oleh Ketua Majelis Pemeriksa Disiplin dan didampingi oleh anggota Majelis Pemeriksa Disiplin dan seorang panitera yang ditetapkan oleh Ketua MKDKI.137 Sidang Majelis Pemeriksa Disiplin dihadiri oleh dokter atau dokter gigi yang diadukan, dan dapat didampingi oleh pendamping. Dalam hal dokter atau dokter gigi yang diadukan tidak hadir dalam persidangan pertama dua kali berturut-turut dan/atau tidak menanggapi panggilan tanpa alasan yang sah dan tidak dapat dipertanggung jawabkan, Ketua Sidang Majelis Pemeriksa Disiplin dapat meminta kepada Kepala Dinas Kese134
Pasal 10
135
Pasal 11
136
Pasal 12
137
Pasal 13
Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . ( 105 )
hatan setempat atau Ketua Organisasi Profesi untuk mendatangkan dokter atau dokter gigi yang dimaksud. Dalam hal dokter atau dokter gigi yang diadukan tidak dapat hadir dalam persidangan karena alasan yang sah maka persidangan dapat ditunda oleh Ketua MKDKI. Alasan yang sah yang disebabkan oleh gangguan kesehatan fisik dan/atau mental lebih dari 30 (tiga puluh) hari harus melalui pemeriksaan kesehatan yang ditunjuk oleh MKDKI.138 Sidang Majelis Pemeriksa Disiplin dilakukan secara tertutup.139 Alat bukti yang dapat diajukan pada persidangan Majelis Pemeriksaan Disiplin dokter atau dokter gigi yang diadukan dapat berupa :140 a. surat-surat/ dokumen-dokumen tertulis; b. keterangan saksi-saksi; c. pengakuan teradu; d. keterangan ahli; e. barang bukti.
Keputusan sidang Majelis Pemeriksa Disiplin adalah merupakan keputusan MKDKI atau keputusan MKDKI-P yang mengikat Konsil Kedokteran Indonesia, dokter atau dokter gigi yang diadukan, pengadu, Departemen Kesehatan, Dinas Kese-
138
Pasal 14
139
Pasal 15
140
Pasal 19
( 106 ) Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . Medis . . .
hatan Kabupaten/Kota serta institusi terkait. Keputusan dapat berupa : a.
Tidak terbukti bersalah melakukan pelanggaran disiplin kedokteran; atau
b. Terbukti bersalah melakukan pelanggaran disiplin kedokteran dan pemberian sanksi disiplin. Pengaduan yang telah diputuskan pada MKDKI atau MKDKI-P tidak dapat diadukan kembali.141 Sanksi disiplin dapat berupa :142 a. pemberian peringatan tertulis;
b. rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik; dan/atau c. kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi. Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik dapat berupa rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik sementara selamalamanya 1 (satu) tahun, atau rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik tetap atau selamanya. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi, dapat berupa : a. pendidikan formal; 141
Pasal 27
142
Pasal 28
Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . ( 107 )
b. pelatihan dalam pengetahuan dan atau keterampilan, magang di institusi pendidikan atau sarana pelayanan kesehatan jejaringnya atau sarana pelayanan kesehatan yang ditunjuk, sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun. Sebagai bukti telah melaksanakan kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan ditetapkan oleh kolegium terkait.143 Keputusan Majelis Pemeriksa Disiplin ditetapkan dalam sidang Majelis Pemeriksa Disiplin. Pengambilan Keputusan Majelis Pemeriksa Disiplin dilakukan dengan cara musyawarah.
Dalam hal tidak tercapai kesepakatan dalam musyawarah, Ketua Majelis Pemeriksa Disiplin dapat mengambil keputusan dengan suara terbanyak.144 Keputusan Majelis Pemeriksa Disiplin harus diucapkan/dibacakan dalam sidang Majelis Pemeriksa Disiplin dan terbuka untuk umum. Keputusan Majelis Pemeriksa Disiplin pada MKDKI dan MKDKI-P adalah bersifat final.145 MKDKI selaku penegak disiplin profesi dokter berperan aktif menerima pengaduan-pengaduan yang bersumber dari pihak internal maupun eksternal akibat ketidakdisiplinan dokter dalam menjalankan profesinya. Dilihat dari jenis-jenis pelanggaran disiplin sebagaimana yang telah disebutkan di atas, maka terdapat beberapa jenis pelanggaran disiplin yang mengarah 143
Pasal 28
144
Pasal 29
145
Pasal 30
( 108 ) Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . Medis . . .
kepada masalah hukum, baik itu terkait dengan bidang hukum perdata maupun bidang hukum pidana. Oleh sebab itu, kedepan perlu dipikirkan kembali apakah jenis-jenis pelanggaran (pelanggaran disiplin yang mengarah kepada pelanggaran hukum) tersebut masih relevan dengan pelanggaran disiplin atau tidak, sebagaimana terakomodasi di dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 16/KKI/Per/VIII/2006. D. Tangungjawab Etik Berdasarkan pedoman organisasi dan tata laksana kerja MKEK IDI (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia) mengatur, jika belum terbentuk MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) dan MKDKI-P (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia Propinsi), maka sengketa medik tersebut dapat diperiksa di MKEK IDI pada masing-masing propinsi di Indonesia. Sebagaimana termuat dalam kata pengantar pedoman organisasi dan tata laksana kerja MKEK IDI yang menerangkan MKEK saat itu bahkan hingga kini di banyak propinsi, merupakan satu-satunya lembaga penegak etika kedokteran sejak berdirinya IDI. MKEK dalam peran kesejarahannya mengemban juga sebagai lembaga penegak disiplin kedokteran yang sebelumnya kini dipegang
Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . ( 109 )
oleh MKDKI. Termasuk dalam masa transisi ketika MKDK Propinsi belum terbentuk.146 Pengaduan dalam pedoman organisasi dan tata laksana kerja MKEK IDI menyatakan, pengaduan dapat berasal dari, langsung oleh pengadu (pasien, teman sejawat, tenaga kesehatan lainnya, institusi kesehatan, dan organisasi profesi), rujukan/banding dari MKEK Cabang untuk MKEK Wilayah atau rujukan/banding dari MKEK Wilayah untuk MKEK pusat, temuan IDI setingkat, temuan dan atau permintaan divisi pembinaan etika profesi MKEK setingkat, hasil verifikasi MKDKI atau lembaga disiplin profesi atau lembaga pembinaan etika yang menemukan adanya dugaan pelanggaran etika sesuai ketentuan yang berlaku serta hal-hal lain yang akan ditentukan kemudian oleh MKEK Pusat sesuai dengan asas keadilan dan pencapaian tujuan pembinaan etika profesi.147 Dalam hal ini pengaduan disampaikan melalui IDI Cabang/Wilayah atau langsung ke MKEK Cabang/Wilayah tempat kejadian perkara kasus aduan tersebut. Selanjutnya, diatur bahwa pengaduan diajukan secara tertulis dan sekurang-kurangnya harus memuat identitas pengadu, nama dan alamat tempat praktik Dokter dan waktu tindakan dilakukan, alasan sah pengaduan serta bukti-bukti atau keterangan saksi atau petunjuk yang menunIkatan Dokter Indonesia, Pedoman Organisasi Dan Tata Laksana Kerja Majelis Kehormatan Efife Kedokteran, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Jakarta, 2008, hlm. 3 dalam Rinanto Suryadhimirtha, Op.Cit., hlm. 24 146
147
Pasal 22 ayat (1)
( 110 ) Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . Medis . . .
jang dugaan pelanggaran etika tersebut.148 Terhadap penelaahan kasus ini urutannya mempelajari keabsahan surat pengaduan, bila perlu mengundang pasien atau keluarga pengadu untuk klarifikasi awal pengaduan yang disampaikan, bila perlu mengundang Dokter teradu untuk klarifikasi awal yang diperlukan serta bila diperlukan melakukan kunjungan ke tempat kejadian/perkara.149 Ketua majelis pemeriksa divisi kemahkamahan MKEK berhak mengundang ketua komite medik Rumah Sakit, panitia etik Rumah Sakit atau Dokter lain sebagai saksi.150 Adapun barang bukti yang diperiksa oleh MKEK tetapi tidak disita, antara lain surat-surat, Rekam Medik, obat atau bagian obat, alat kesehatan, benda-benda, dokumen, kesaksian-kesaksian ahli atau petunjuk yang terkait langsung dalam pengabdian profesi atau hubungan Dokter pasien yang masing-masing menjadi teradu-pengadu atau para pihak, bilamana MKEK IDI dapat meminta diperlihatkan, diperdengarkan, dikopi, difoto, digandakan atau disimpannya barang bukti asli.151 Dalam sidang pembuktian di MKEK, MKEK dapat meminta kehadiran saksi dan saksi ahli. Saksi adalah tenaga medis, tenaga kesehatan, pimpin an sarana kesehatan, komite 148
Pasal 22 ayat (5)
149
Pasal 23
150
Pasal 24
151
Pasal 25
Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . ( 111 )
medik, perorangan atau praktisi kesehatan lainnya yang mendengar atau melihat atau yang ada kaitannya langsung dengan kejadian/perkara atau Dokter yang diadukan. Sedangkan saksi ahli adalah Dokter yang memiliki keahlian dan keilmuan yang tidak terkait langsung dengan kejadian/perkara dan tidak memiliki hubungan keluarga atau kedinasan dengan Dokter teradu atau dengan pasien pengadu.152 MKEK IDI berwenang melakukan audit medis sesuai Pasal 22 ayat (1) tentang pengaduan dalam pedoman organisasi dan tata laksana kerja MKEK IDI. Adapun fungsi audit medis dalam pelayanan kesehatan, wadah audit medis dibentuk untuk menghadapi masalah-masalah yang ditimbulkan oleh ketentuan etik dan hukum yang cukup rumit dan pelik dengan permasalahan yang sangat kompleks. Dengan menyadari hal tersebut, pengawasan terhadap kemungkinan pelanggaran etik perlu ditingkatkan. Menurut Bahder Johan Nasution dalam memfungsikan mekanisme audit medis, diperlukan adanya suatu standar operasional sebagai tolok ukur untuk mengendalikan kualitas pelayanan medis. Standar operasional ini bertujuan untuk mengatur sampai sejauh mana batas-batas kewenangan dan tanggung jawab etik dan hukum Dokter terhadap pasien, maupun tanggung jawab rumah sakit terhadap medical staff dan sebaliknya. Standar operasional ini juga akan mengatur hubungan antara tenaga medis dengan sesama teman seja152
Pasal 27
( 112 ) Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . Medis . . .
wat Dokter dalam satu tim, tenaga medis dengan para medis, serta merupakan tolok ukur sebagai Dokter untuk menilai dapat tidaknya dimintakan pertanggungjawaban hukumnya jika terjadi kerugian bagi pasien. Tegasnya menurut sepengetahuan penulis fungsi audit medis tidak lain adalah untuk mencegah berbagai kemungkinan terjadinya maltreatment dan malpractice serta berusaha mencari penyelesaian.153 Audit medis secara profesional yang dilakukan MKEK IDI memiliki semua persyaratan untuk menentukan, apakah seorang Dokter telah bertindak sesuai atau tidak dengan prosedur medis atau standar profesi kedokteran. Anggota MKEK IDI biasanya terdiri dari para Dokter senior yang berpengalaman dalam bidangnya masing-masing sesuai dengan spesialisasinya, serta mempunyai dedikasi yang tinggi serta diakui loyalitasnya dalam pelayanan kesehatan oleh sesama rekan sejawat Dokter.154 Disinilah letak kemandirian IDI sebagai organisasi atau wadah bagi organisasi kedokteran di seluruh Indonesia. kemandirian ini diperlukan karena IDI selaku penegak etika kedokteran harus berperan aktif guna membina dan memperbaiki kinerja kedokteran yang tidak berlandaskan atau bertentangan dengan nilai-nilai etika kedokteran.
153
Rinanto Suryadhimirtha, Op.Cit., hlm. 25-26
154
Ibid., hlm. 26
Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . ( 113 )
BAB V PENUTUP Sebagai penutup dalam tulisan buku malpraktik medis ini, maka penulis akan memaparkan poin-poin kesimpulan dan beberapa rekomendasi. Kesimpulan ini merupakan ikhtisar dari Bab 2 hingga Bab 4, yang ketiga bab ini merupakan inti pembahasan dalam buku ini. Rekomendasi penulis hadirkan dalam buku ini sebagai pelengkap dan sebagai bahan masukan untuk menjadi dasar isu yang harus dipikirkan dan dipertimbangkan di masa yang akan datang demi perbaikan dan perkembangan hukum kesehatan dimasa mendatang. Poin-poin kesimpulan dan rekomendasi dimaksud adalah sebagai berikut : A. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan pada bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat menyimpulkan hal-hal sebagai berikut : 1. Rumusan malpraktik medis adalah pelayanan kesehatan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan etika profesi, standar profesi, standar pelayanan profesi, standar prosedur operasional, hak penerima pelayanan kesehatan, kewajiban tenaga kesehatan dan atau ketentuan peraturan perundang-undangan terBab 5 Penutup ( 115 )
kait. Jenis malpraktik medis dikelompokkan menjadi dua, yakni : (i) tindakan malpraktik medis atas dasar sengaja (dolus, vorsatz, willwns en wetens handelen, intentional) yang dilarang oleh peraturan perundangundangan; dan (ii) tindakan malpraktik medis atas dasar tidak dengan sengaja (negligence, culpa) atau karena kelalaian. 2. Tindakan medis dapat berujung kepada malpraktik medis dan/atau mengakibatkan resiko medis; Kelalaian medis merupakan bagian dari malpraktik medis; Malpraktik medis meliputi kesengajaan ataupun kelalaian medis (berdasarkan teori kesalahan sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya); Malpraktik medis (secara umum) dan kelalaian medis (secara khusus) yang berasal dari tindakan medis dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum; dan Resiko medis tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum. 3. Tanggung jawab yang akan dihadapi oleh seorang dokter sebagai salah satu tenaga medis dalam menjalankan profesinya adalah tanggung jawab pidana (yang mengacu pada KUH Pidana, Undang-Undang Praktik Kedokteran, dan Undang-Undang Kesehatan), tanggung jawab perdata (yang mengacu pada KUH Perdata), tanggung jawab disiplin ilmu kedok( 116 ) Bab 5 Penutup
teran (yang mengacu pada Undang-Undang Praktek Kedokteran, Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 16/KKI/Per/VIII/2006, dan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 17/KKI/Per/VIII/2006), dan tanggung jawab etik (yang mengacu pada Kode Etik Kedokteran, dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran). B. Rekomendasi Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis dapat merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut : 1. Kepada seluruh tenaga medis (khususnya dokter yang menjalankan praktik kedokteran), sudah seyogiyanya dalam memberikan pelayanan kesehatan berpedoman pada aturan hukum, peraturan disiplin, dan kode etik yang berlaku; 2. Kepada MKDKI dan MKEK, harus seaktif mungkin memberikan pembinaan, khususnya sosialisasi bagi para dokter dalam menjalankan profesinya agar dapat bekerja secara profesional; 3. Kepada masyarakat (sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan), harus lebih informatif sebelum mendapatkan penanganan medis, agar mendapatkan pelayanan dan tindakan yang benar serta maksimal, dan berani untuk melapor jika terjadi kejanggalan yang berakibat pasien, atau keluarga Bab 5 Penutup ( 117 )
yang di rawat mengalami kerugian akibat pelayanan atau tindakan medis yang diberikan.
( 118 ) Bab 5 Penutup
DAFTAR PUSTAKA BUKU : Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana), Bagian 1, Jakarta: Rajawali Pers, 2002. _____________, Malpraktik Kedokteran Tinjauan Norma dan Doktrin Hukum. Malang: Bayu Media Publishing, 2007. Ahmad Wardi Muslich, Euthanasia Menurut Pandangan Positif dan Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2014. Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2008 Anonim, Malapraktik, Catatan Jujur Sang Dokter, Jakarta: Bhuana Ilmu Polpuler, 2011. Ari Yunanto dan Helmi, Hukum Pidana Malpraktik Medik, Tinjauan dan Perspektif Medikolegal, Yogyakarta: Andi Offset, 2010. Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2008. DaftarPustaka ( 119 )
Bambang Waluyo, 2008. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Danny Wiradharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Jakarta: Bina Rupa Aksara, 1996. Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, Euthanasia, Hak Asasi Manusia, dan Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984. Fred Ameln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Jakarta: Grafikatama Jaya, 1991. Hendrojono Soewono, Batas Pertanggungjawaban Hukum Malpraktik Dokter dalam Transaksi Terapeutik, Surabaya: Srikandi, 2007. Ikatan Dokter Indonesia, Pedoman Organisasi Dan Tata Laksana Kerja Majelis Kehormatan Efife Kedokteran, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Jakarta, 2008. J. Guwandi, Kelalaian Medik (Medical Negligence), Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994. _________, Hukum Medik (Medical Law), Jakarta, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004.
( 120 ) Daftar Pustaka
_________, Dugaan Malprakek Medik & Draft RPP: “Perjanjian Terapieutik antara Dokter dan Pasien”, Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006. _________, Dugaan Malpraktik Medik & Draft RPP: "Perjanjian Terapuetik antara Dokter dan Pasien", Jakarta, Balai Penerbit
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Indonesia,
2006. _________, Dokter, Pasien, dan Hukum, Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia, 2007. Jan Remmelink. Hukum Pidana, (Buku terjemahan), Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2003. Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2005. M. Jusuf Hamanfiah, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Surabaya: Buku Kedokteran BGC, 1999. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2002. ________, KUHP, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Edisi Baru, Jakarta: Bumi Aksara, 2005.
DaftarPustaka ( 121 )
Mudakir Iskandarsyah, Tuntutan Pidana dan Perdata Malpraktik, Jakarta: Permata Aksara, 2011. Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum, Normatif dan Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013. Munir Fuady. Sumpah Hippocrates (Aspek Hukum Malpraktik Dokter), Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2005. Ninik Marianti, Malapraktek Kedokteran, dari Segi Hukum Pidana dan Perdata, Jakarta: Bina Aksara, 1988. P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010. Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan dari Undang-Undang, Bandung: Mandar Maju, 1994. R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2005. R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Bogor: Politea, 1996. ( 122 ) Daftar Pustaka
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Burgelijk Wetboek, Jakarta: Pradnya Paramita, 2006. Rinanto Suryadhimirta, Hukum Malapraktik Kedokteran, Disertai Kasus dan Penyelesaiannya, Yogyakarta: Total Media, 2011. Safitri Hariyani, Sengketa medik, Alternatif Penyelesaian Perselisihan Antara Dokter dengan Pasien. Jakarta: Diadit Media, 2005. Salim HS. dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan Disertasi, Jakarta: Rajawali Pers, 2013. Samsi Jacobalis, Pengantar tentang Perkembangan Ilmu Kedokteran, Etika Medis, dan Bioetika, Jakarta: Sagung Seto, 2005. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, Yogyakarta, Liberty, 1981. Syahrul Machmud, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktek, Bandung: Karya Putra Darwati, 2012. Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2006. DaftarPustaka ( 123 )
Veronica Komalawati, Hukum dan Etika Dalam Praktek Dokter, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989. Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, Dipandang dari Sudut Hukum Perdata, Bandung: Mandar Maju, 2000. JURNAL : Andi Sofyan, A Juridical Aspect of Medical Malpractice, Jurnal Medika Nusantara (Nusantara Medical Journal), Vol. 21 No. 1 Edisi Januari-Maret 2000, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. ___________, Persetujuan Tindakan Medik dalam Hubungan Delik Penganiayaan, Jurnal Medika Nusantara (Nusantara Medical Journal), Vol. 21 No. 2 Edisi April-Juni 2000, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Erni Dwita Silambi, Prita Mulyasari vs RUmah Sakit Omni Internasional Dalam Perspektif Hukum Nasional dan Internasional, Jurnal Hukum internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Vol. I No. 1 Edisi Juli 2013. Nilawati Adam, Korelasi Hukum antara Tujuan Pengaturan dan Asas Praktek dalam Undang-Undang Keperawatan, Jur-
( 124 ) Daftar Pustaka
nal “Justitia” Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo, Vol. II No. 2 Edisi Maret 2015. Siti Ismijati Jenie, Tanggung jawab Perdata di Dalam Pelayanan Medis Suatu Tinjauan dari Segi Hukum Perdata Materiil, Mimbar Hukum, Vol. 18, Nomor 3, 2006. KAMUS : Bryan A. Garner (Ed.), Black’s Law Dictionary, Ninth Edition, USA: West a Thomson Reuters business, 2009. Dorland's Medical Dictionary 27th Edition. John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Indonesia Inggris, an Indonesian-English Dictionary Jakarta: Gramedia, 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, Jakarta: Pustaka Amani, 2002. Stedman's Medical Dictionary. Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum Edisi Lengkap, Bahasa Belanda, Indonesia, Inggris, Semarang Aneka Ilmu, tanpa tahun.
DaftarPustaka ( 125 )
MAKALAH/ARTIKEL : Antari Innaka, Tanggung Jawab Keperdataan Bidan dalam Pelayanan Kesehatan, Makalah yang disampaikan dalam Seminar Sehari Hukum Kesehatan Penyelesaian Dugaan Malpraktik Pada Pelayanan Kebidanan di Yogyakarta tanggal 31 Juli 2010. Herkutanto, Tanggung Jawab Pidana dalam Hukum Kesehatan, Kumpulan Makalah Kursus Dasar Hukum Kesehatan, Kerjasama PERHUKI dengan R.S. Pusat Pertamina, Jakarta, 26 Mei 1994. _________, Dimensi Hukum dalam Pelayanan Kesehatan. Lokakarya Nasional Hukum dan Etika Kedokteran. Makasar 26 - 27 Januari 2008. Proceeding. Ikatan Dokter Indonesia Cabang Makasar. Poppy Gunawarman, Tanggung Jawab Perdata, Kumpulan Makalah Kursus Dasar Hukum Kesehatan, Kerjasama PERHUKI dengan R.S. Pusat Pertamina, Jakarta, 26 Mei 1994. Zain Recht, Kesengajaan dan Kealpaan dalam Hukum Pidana (Kumpulan Tulisan-Tulisan Hukum), 23 Nopember 2012.
( 126 ) Daftar Pustaka
WEBSITE : Dokter Indonesia Online, lihat di http://dokterindonesiaonline. com. Kejadian di RS Omni International berdasarkan email/surat pembaca yang dibuat Prita, Lihat di http://hukum.kom pasiana.com/2009/06/03/kronologi-kasus-prita-mulya sari-13940.html Kondisi Terakhir Bocah Raihan si Korban Malapraktik, lihat di http://Health-Liputan6.com Tince P. Soemoele, Disiplin Profesi Kedokteran, lihat di http:// m.kompasiana.com/tinceinge/disiplin-profesi-kedokte ran MAJALAH & KORAN : Harian Fajar Edisi Rabu 24 April 2004 yang memberitakan “Dokter Operasi Pakai Senter” di RSUD I Lagaligo di Kabupaten Luwu Timur Propinsi Sulawesi Selatan dan “Gunting di Perut Selama 18 Bulan” yang terjadi di Sydney, Australia. Majalah Forum Keadilan Nomor 17, Tahun VII, Edisi 30 Nopember 1998 yang memberitakan kasus malpraktik “Dua Dokter Beroperasi, Dua Saluran Terpotong” yang
DaftarPustaka ( 127 )
terjadi di RSUD Sorong Propinsi Irian Jaya (kini bernama Propinsi Jayapura). UNDANG-UNDANG & PERATURAN : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, Lembaran Negara Republik ( 128 ) Daftar Pustaka
Indonesia Tahun 2014 Nomor 298, (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5607). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 269/ MENKES/PER/ III/2008 tentang Rekam Medis. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/ MENKES/PER/ III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 16/KKI/Per/ VIII/2006 Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 17/KKI/Per/ VIII/2006 Kode Etik Kedokteran Indonesia Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia
DaftarPustaka ( 129 )
PENULIS
Prof. Dr. Andi Sofyan, S.H., M.H. Lahir di Bonelohe (Kabupaten Selayar, Propinsi Sulawesi Selatan), tanggal 05 Januari tahun 1962. Pekerjaan saat ini sebagai Pengajar (Dosen), Guru Besar Hukum Pidana dan Hukum Kesehatan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar. Mengajar pada Program Sarjana (S1) di Fakultas Hukum UNHAS, Program Magister (S2), dan Program Doktor (S3) Pascasarjana UNHAS. Mata kuliah yang diampu adalah Hukum Pidana, Hukum Acara Pidana, Kriminologi, Hukum Pidana Ekonomi, Hukum Kesehatan, Delik-Delik di Dalam Kodifikasi, dan Delik-Delik di Luar Kodifikasi. Beralamat di Kompleks Perumahan Dosen Unhas, Blok D No. 2 Tamalanrea, Kota Makassar. Dapat dihubungi melalui :
[email protected]
EDITOR
Kadarudin, S.H., M.H. Lahir di Ujung Pandang (Propinsi Sulawesi Selatan), tanggal 14 Mei tahun 1989. Menyelesaikan Pendidikan Sarjana Hukum (2009), Internship Program pada Bulan April – Nopember di Post Graduate Universität Wien, Vienna, Austria. (2010), Magister Hukum (2012), dan telah menyelesaikan pendidikan sebagai Mediator bersertifikat Mahkamah Agung RI (2015). Saat ini sedang dalam tahap penyelesaian studi Program Doktor (S3) Ilmu Hukum pada Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Beralamat di Perumahan Bumi Tamalanrea Permai (BTP), Blok M, No. 409E Tamalanrea, Kota Makassar. Dapat dihubungi melalui :
[email protected]