MAKNA PRIORITAS DALAM PROSES PENGALOKASIAN ANGGARAN DAERAH: FENOMENOLOGI DI KOTA TERNATE MEANING OF PRIORITY IN THE PROCESS OF REGIONAL BUDGET ALLOCATION: A PHENOMENOLOGICAL IN TERNATE CITY Sitti Mukarramah, R.A.Damayanti, Syamsuddin Bagian Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin
Alamat Korespondensi: Sitti Mukarramah Bagian Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin Makassar 90245 Hp. 082195393072 Email:
[email protected] 1
ABSTRAK Penelitian ini didasarkan pada fenomena prioritas dalam proses pengalokasian anggaran. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap makna prioritas yang dipahami oleh para pelaku dan pertimbangan yang mendasarinya dalam memilih dan menentukan prioritas dan keputusan alokasi anggaran daerah di Kota Ternate berdasarkan sudut pandang psikologi sosial. Penelitian ini dilaksanakan di Kota Ternate dengan mengambil informan yaitu aparatur eksekutif dan legislatif yang tergabung dalam lembaga Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) sebagai key person yang terlibat aktif dalam proses terciptanya sebuah keputusan anggaran. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Data dianalisis dengan pendekatan kualitatif secara interpretif dengan menggunakan metode fenomenologi Edmund Husserl. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prioritas dalam lingkungan pemerintah Kota Ternate dimaknai sebagai sebuah hasil kesepakatan eksekutif dan legislatif dalam mengakomodir kepentingan-kepentingan mereka. Hasil ini didasarkan pada kelemahan teknis yang mempengaruhi kualitas perencanaan pada pemerintahan tersebut. Selain itu, kuatnya ego sektoral dan intervensi politis DPRD diiringi keterbatasan kapasitas SDM pemerintahan tersebut menyebabkan prioritas yang seharusnya berisi kebijakan yang mendahulukan kepentingan rakyat atau pro rakyat berubah menjadi kesepakatan yang didominasi oleh kaum elit yang mewakili kepentingan para elit. Realitas ini menggambarkan sebuah dilematis kepemimpinan yang menggiring mereka untuk menetapkan prioritas di luar dari apa yang telah dirumuskan sebelumnya dalam RPJM dan Musrenbang Road Show.
Kata Kunci : Fenomenologi, Prioritas, Alokasi Anggaran, Kesepakatan
ABSTRACT The study was based on the phenomenon of priority in the budget allocation process. The aim of the research was to reveal the priority meaning understood by the actors and the underlying considerations in choosing and determining the priority and decision of regional budget allocation in Ternate City based on the view point of social psychology. The research was conducted in Ternate City. The informants were executive and legislative officials who were the members of the institute of Regional Government Budget Team (TAPD) as the key person who actively involved in the creation of a budget decision.The data obtained through observation, interview, and documentation. The data were analyzed with interpretative qualitative approach using phenomenological method of Edmund Husserl. The results of the research indicate that the priority by the government of Ternate City is interpreted as a result of an agreement of executive and legislative in accommodating their interests. The results are based on the technical weaknesses affecting the planning quality of the government. Besides, the strong sectoral ego and political intervention accompanied by limited capacity of government’s human resources of Ternate City causes the priority that should have contained policy giving priority to people’s interest turn into an agreement dominated by elites representing the elites interests. This reality illustrates a leadership dilemma that leads them to set priorities out of what have been formulated before in RPJM and Musrenbang Road Show. Keywords: Phenomenology, Priority, Budget Allocation, Aggreement
2
PENDAHULUAN Selama lebih dari satu dasawarsa, pembiayaan publik di Indonesia telah menerapkan sistem terdesentralisasi yang memberikan kewenangan dan menempatkan kabupaten/kota sebagai ujung tombak alokasi anggaran pemerintah. Kewenangan ini diharapkan dapat menggerakkan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Mardiasmo (2002), menjelaskan bahwa secara teoritis desentralisasi diharapkan akan menghasilkan dua manfaat nyata, yaitu: pertama, mendorong peningkatan partisipasi, prakarsa dan kreativitas masyarakat dalam pembangunan, serta mendorong pemerataan hasil-hasil pembangunan (keadilan) di seluruh daerah dengan memanfaatkan sumber daya dan potensi yang tersedia di masing-masing daerah; kedua, memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran para pengambil keputusan publik ke tingkat pemerintahan yang paling rendah yang memiliki informasi yang paling lengkap. Manifestasi nyata dari kewenangan yang diberikan pusat ke daerah tersebut terletak pada seberapa besar arah kebijakan alokasi anggaran pemerintah melibatkan peran masyarakat dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar–kemakmuran rakyat. Namun dalam realitasnya, permasalahan seputar alokasi anggaran masih banyak terjadi dan salah sasaran. Beberapa hasil penelitian menemukan bahwa masalah dasar anggaran terletak pada bagaimana mengalokasikan anggaran atau bagaimana keputusan alokasi sumber daya dibuat (Davis et al., 1966; Padget, 1980; Berry & Lowery, 1990; Fozzard, 2001; Norton & Elson, 2002; Tuasikal, 2008; Phillips & Bana, 2005; Syarifuddin, 2009; Salman, 2009; Achyani & Cahya, 2011; Mogues, 2012 & Sudarwanto, 2013). Selain itu, fakta banyaknya usulan masyarakat yang tidak terakomodir dalam APBD, rumusan program serta pengalokasiannya yang seringkali tidak berpihak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat menjadikan fungsi anggaran semakin jauh dari yang dicita-citakan (Halim & Iqbal, 2012; Hisyam, 2012; Solichah, 2013 dan Elfrina et al., 2014). Hal ini tampak jelas pada proporsi anggaran yang dialokasikan pada belanja publik. Belanja publik yang juga dikenal sebagai belanja langsung idealnya harus lebih besar dari belanja aparatur atau belanja tidak langsung. Hal ini disebabkan belanja langsung merupakan belanja yang dituangkan dalam bentuk program dan kegiatan, yang manfaat capaian kinerjanya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan publik dan keberpihakan pemerintah daerah kepada kepentingan publik (Bastian, 2006). Melalui penelitian-penelitian di atas pula terungkap bahwa ada motivasi dan faktorfaktor yang mempengaruhi mekanisme penentuan prioritas dan keputusan alokasi, serta interaksi pihak-pihak yang terlibat didalamnya. Selain itu, mereka juga menemukan bahwa 3
perilaku pelaku anggaran dipengaruhi oleh karakteristik budaya, posisi politik dan kekuasaan, serta keadaan psikologi dan idealisme yang dianut. Menurutnya, perilaku para pelaku anggaran menjadi elemen penting dalam pengambilan keputusan anggaran. Syarifuddin (2009), menganalogikannya dengan wajah dan hati para pelaku pengambilan keputusan dimana wajah adalah angka-angka yang terdapat dalam sebuah naskah anggaran, sementara hati adalah semangat (spirit), emosional (emotional) dan jiwa (soul) yang menggambarkan pemahaman, kesadaran dan keyakinan dari pelaku tersebut yang kemudian diimplementasikan dalam perilaku dan tindakan. Dengan demikian, studi ini tertarik mendalami makna prioritas yang dipahami pelaku anggaran yaitu eksekutif dan legislatif. Selanjutnya, studi ini akan menggali interpretasi dari mereka atas makna prioritas dan pertimbangan yang digunakan dalam proses pengalokasian anggaran. Menggali makna dari suatu teks tak terlepas dari perilaku dan pandangan dari manusia yang terlibat didalamnya. Dan mengangkat perspektif manusia secara individual, sebagai tiang suatu studi tentunya membutuhkan pendekatan yang berbeda dengan penelitian positivistik pada umumnya. Oleh karena itu, metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi interpretif dipilih sebagai analogi yang relevan dengan penelitian ini. Kota Ternate adalah kota yang berusaha menerapkan perencanaan berbasis partisipatif dalam bentuk musrenbang road show. Karenanya, adapun alasan yang mendasari pemilihannya sebagai objek penelitian yaitu untuk mengetahui bagaimana prioritas anggaran yang dihasilkan dari proses perencanaan yang optimal melibatkan peran aktif dari masyarakat untuk mengakomodir aspirasi publik. Melihat fenomena serta kondisi yang terjadi pada objek penelitian tersebut, maka dilakukan penelitian eksplorasi dalam bidang akuntansi dan kebijakan sektor publik dengan judul ”Makna Prioritas dalam Proses Pengalokasian Anggaran: Fenomenologi di Kota Ternate.” Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap makna prioritas yang dipahami oleh para pelaku dan pertimbangan yang mendasarinya dalam memilih dan menentukan prioritas dan keputusan alokasi anggaran daerah di Kota Ternate berdasarkan sudut pandang psikologi sosial. Secara lebih lanjut, penelitian ini akan mengamati interaksi sosial yang terjadi dalam sebuah kelompok untuk memahami nilai-nilai yang mereka terapkan pada proses pengalokasian anggaran.
4
METODE PENELITIAN Desain Penelitian Penelitian ini akan menjelaskan makna dan pertimbangan yang mendasari penentuan prioritas dalam proses pengalokasian anggaran di Kota Ternate dengan menggunakan manusia sebagai instrument utama dalam perolehan data. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode fenomenologi dalam menginterpretasikan hasil temuan. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan yang digunakan pada penelitian kualitatif ialah melalui observasi partisipasi, wawancara mendalam, dan penggunaan dokumen (Moleong, 2010). Observasi dilakukan untuk mengetahui fenomana prioritas yang terjadi melalui pengamatan terhadap informan dalam situasi aktual dimana mereka terlibat dalam perilaku yang berkaitan dengan fenomena yang sedang diteliti. Wawancara mendalam dilakukan melalui tanya jawab antara peneliti dengan informan tanpa menggunakan pedoman sehingga peneliti dan informan dapat lebih terlibat dalam kehidupan sosial yang relative lama. Selanjutnya, penggunaan dokumen dilakukan dengan cara pengumpulan data dalam bentuk dokumen sah seperti peraturan-peraturan, catatan,transkip, buku, surat kabar, majalah, dan sebagainya dengan tujuan untuk melengkapi data yang tidak diperoleh selama proses observasi dan wawancara. Teknik Analisis Data Proses analisis data pada penelitian kualitatif dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto dan sebagainya (Bungin, 2007). Analisis data terdiri dari: Pertama, reduksi data, yaitu mengurangi data yang tidak penting sehingga data yang terpilih dapat diproses ke langkah selanjutnya. Reduksi data dilakukan melalui abstraksi data, yaitu membuat inti rangkuman. Kedua, penentuan tema, data yang telah direduksi akan ditentukan temanya. Tema dibentuk oleh peneliti setelah mendalami data yang ada dilapangan. Ketiga, kode (coding), dalam hal ini peneliti akan mencari keterkaitan antar tema dan diberikan kode. Kode dilakukan berdasarkan kerangka teoritis yang dikembangkan. Hal ini memungkinkan peneliti untuk mengaitkan data dengan masalah penelitian. Keempat, interpretasi atas temuan sesuai dengan keterkaitan antar tema menggunakan teori yang relevan. Kelima, hasil interpretasi dituangkan dalam deskriptif analitik kontekstual. Keenam, pengecekan validitas temuan. Ketujuh, validasi data melalui triangulasi (membandingkan) yang meliputi triangulasi metode, teori, sumber data, informan, dan data itu sendiri. 5
HASIL Hasil temuan pada penelitian ini akan diinterpretasikan melalui metode fenomenologi yang dikemukakan oleh Husserl (1859–1938), dimana dalam mencari esensi makna atas suatu fenomena akan dilalui melalui empat tahap, yaitu intentionality (kesadaran), noema dan noesis, intuisi, dan intersubjektifitas. Intentionality Intentionality atau kesadaran yang merupakan orientasi pikiran terhadap objek tertentu. Dimana objek pada penelitian ini ialah makna prioritas yang dipahami oleh para pelaku anggaran yang akan dibahas dalam sudut pandang psikologi sosial yang lebih menekankan pada tiga konsep utama yaitu budaya, politik dan kekuasaan serta konsep perilaku. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari aspek budaya, praktik penganggaran yang dijalankan masih didominasi oleh penganggaran incremental yang dianggap lebih mudah dibandingkan penganggaran berbasis kinerja. Hal ini mengakibatkan prioritas dan alokasi anggaran yang ditetapkan tidak mempertimbangkan indikator-indikator yang ditetapkan. Selanjutnya, isi RPJMD yang belum tersosialisasi secara merata ditambah dengan keterbatasan kapasitas SDM perencana dalam menerjemahkannya menjadikan kebijakan prioritas yang dihasilkan tidak sepenuhnya menjawab permasalahan yang terjadi di Kota Ternate. Hasil penelitian melalui aspek politik dan kekuasaan menunjukkan bahwa prioritas dianggap sebagai bentuk kesepakatan yang didominasi oleh ego sektoral eksekutif dan political interest. Dalam hal ini prioritas dianggap sebagai suatu hasil kesepakatan dari proses negosiasi politik antara eksekutif dan legislatif dengan segala kepentingan dan motivasi yang melatarbelakanginya. Kebijakan yang lahir harus tunduk pada apa yang sudah disepakati dan dilegitimasi oleh DPRD tanpa menengok kembali substansi dari permasalahan yang ada. Selanjutnya berdasarkan aspek perilaku, hasil penelitian menunjukkan bahwa kelemahan teknis dan dominasi politik yang mewarnai proses penentuan prioritas disebabkan oleh ketidakpatuhan staf perencana maupun mekanisme yang dijalankan terhadap aturan yang telah ditetapkan. Hal ini merupakan faktor yang menyebabkan buruknya kualitas perencanaan di pemerintah Kota Ternate. Apa yang telah dikatakan dalam RPJM tidak sejalan dengan implementasinya dalam anggaran. Noema dan Noesis Husserl dalam kajian fenomenologinya akan menjabarkan suatu fenomena berdasarkan makna objektif (noema) dan makna subjektif (noesis). Berdasarkan temuan lapangan, hasil penelitiann menunjukkan bahwa secara noema, prioritas dimaknai sebagai 6
kebijakan yang mendahulukan kepentingan rakyat dengan memperhatikan parameter urgensi dari permasalahan yang terjadi di daerah, maka secara noesis prioritas yang telah melalui ruang teknis dan politis hanyalah merupakan bentuk kesepakatan para elit dalam mengakomodir kepentingan-kepentingan mereka. Intuisi Tahap intuisi Husserl (1859–1938) akan menghubungkan antara noema dan noesis yang membentuk makna kebijakan APBA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya benturan (gap) antara prinsip membangun dengan rasa yang diwujudkan dalam rumusan sebelas program prioritas dan musrenbang road show pada Pemerintah Kota Ternate dengan kendala-kendala teknis, keterbatasan SDM serta kuatnya intervensi politis pada akhirnya menjadikan prioritas yang dihasilkan lebih memihak pada kepentingan para elit yang terdiri atas eksekutif dan legislatif. Hal ini dianalogikan dengan kata dan perbuatan yang tak sehati atau perencanaan dan penganggaran yang tak sejalan. Intersubjektifitas Pemaknaan intersubjetivitas merupakan pemaknaan yang terbentuk secara kolektif karena adanya pengaruh lingkungan sosial yang berawal dari konsep sosial dan konsep tindakan. Berdasarkan konsep sosial, dominasi ego dan kepentingan politis dalam penentuan prioritas didukung dengan kelemahan teknis sebagai hasil ketidakpatuhan terhadap aturan menjadikan prioritas berubah. Melalui penjabaran di atas, maka penafsiran akan makna prioritas secara berbeda didefinisikan oleh realitas yang ditampakkan oleh fenomena yang terjadi pada pemerintah Kota Ternate. Apabila pada umumnya pemerintah menentukan prioritas karena melihat permasalahan yang terjadi di masyarakat maka pada Pemerintah Kota Ternate, makna dari prioritas dalam proses pengalokasian anggaran justru dinilai sebagai suatu bentuk kesepakatan di antara aktor-aktor yang terlibat dalam pembahasan dan penetapannya.
PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukkan bahwa prioritas yang telah dirumuskan dalam RPJM dan musrenbang road show berbeda ketika prioritas diimplementasikan dalam wujud anggaran. Keadaan ini dapat dilihat pada inkonsistensi kegiatan antara Renja dengan KUA PPAS. Perubahan dari sisi nilai maupun spesifik jenis kegiatan bahkan penghilangan kegiatan dan pemangkasan anggaran ini mungkin terjadi disebabkan oleh kelemahan sistem penganggaran incremental yang sampai saat ini dalam praktiknya masih mendominasi sistem penganggaran di Kota Ternate. 7
Selain itu, kemampuan SDM perencana yang belum mampu menerjemahkan RPJM kedalam Renstra, Renja dan RKA dan ego sektoral maupun ego personal dari eksekutif juga disebabkan oleh kurang optimalnya Tim Anggaran Pemerintah Daerah dalam menjalankan fungsinya. Selanjutnya proses negosiasi politik atas kepentingan-kepentingan yang mewarnai kesepakatan-kesepakatan yang dicapai antara legislatif dan eksekutif menjadi faktor yang semakin mencederai makna prioritas. Perbedaan makna terjadi pada saat penetapan prioritas memasuki wilayah teknis dan politis, hal mana interpretasi terhadap prioritas berubah menjadi kesepakatan antara pemerintah daerah dan DPRD dalam KUA PPAS. Sedangkan pada pengesahan prioritas, prioritas berubah menjadi apa yang telah diputuskan dalam sidang paripurna RAPBD. Saat itu adalah tahapan akhir yang sudah melewati ruang pembahasan yang panjang dan dinamika politik yang kompleks antara TAPD, Walikota, SKPD dan legislatif. Menanggapi kondisi di atas, pemerintah Kota Ternate menyadari adanya sebuah dilematis kepemimpinan yang pada akhirnya mengakibatkan makna prioritas semakin tergerus. Pemerintah Kota Ternate kemudian melakukan beberapa perbaikan atau alternatif solusi agar dapat menghasilkan prioritas yang tepat sasaran. Berdasarkan hasil pengamatan, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prioritas beserta upaya perbaikannya diantaranya: Pertama, kualitas perencanaan yang meliputi pemahaman akan substansi isi RPJM sebagai pedoman prioritas serta kepatuhan terhadap aturan/ regulasi, dalam hal ini meliputi penerapan anggaran berbasis kinerja dengan memperhitungkan indikator kinerja dan kriteria anggaran yang berkualitas. Untuk mendukung itu, diperlukan sosialisasi secara merata dan menyeluruh tentang substansi isi RPJM dan dibentuknya Tim Investigasi Kelayakan Teknis. Kedua, adalah kapasitas SDM aparatur perencana. Untuk mengatasinya, maka dibentuk Tim Asistensi Rencana Strategis. Ketiga, komunikasi internal SKPD yang optimal dalam lembaga TAPD dan kepatuhan untuk bekerja sesuai tugas dan fungsinya. Keempat, political Interest eksekutif dan legislatif dan kelima adalah konsistensi visi dan komitmen pemimpin pada penerapan nilai-nilai kebaikan dan keadilan.
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan pengamatan dan wawancara yang dilakukan mengenai prioritas dan pertimbangan yang mendasarinya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya perbedaan antara apa yang “dikatakan” atau dirumuskan dalam sebelas program prioritas RPJM dan musrenbang road show dengan apa diimplementasikan dalam “perbuatan” anggaran 8
dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang meliputi manusia, prosedur teknis serta pergulatan politis yang terjadi. Pada akhirnya, perbedaan itu menggambarkan sebuah dilematis kepemimpinan, yang mana pada satu sisi mereka memahami dan menyadari akan sebuah amanah dan tanggung jawab kepemimpinan yang diembannya, sehingga apa yang dirumuskan dalam sebuah rencana pembangunan adalah apa yang dapat menyejahterakan masyarakat banyak. Namun di sisi lain, kondisi lingkungan begitu kuat mempengaruhi rasionalitas para pelaku dalam menentukan pilihan prioritas. Keadaan ini diakui sendiri oleh Kepala Bappeda yang berusaha menyimpulkan kondisi penganggaran di Kota Ternate yaitu “pada tataran konsep dan dokumen, kami sudah sangat sempurna namun secara implementasi di dinas masih banyak permasalahan“. Bagi penelitian selanjutnya, disarankan agar dapat mengeksplorasi lebih lanjut mengenai makna prioritas dengan menggunakan metode interaksi simbolik untuk memaknai simbol-simbol perilaku yang ditampilkan dan nilai-nilai yang tercermin dari perilaku tersebut. DAFTAR PUSTAKA Achyani F. & Cahya B.T. (2011). Analisis Aspek Rasional dalam Penganggaran Publik Terhadap Efektivitas Pengimplementasian Anggaran Berbasis Kinerja pada Pemerintah Kota Surakarta. Maksimum Volume.1 No.1 Bastian I. (2006). Sistem Perencanaan dan Penganggaran Pemerintah Daerah di Indonesia . Jakarta: Salemba Empat Berry W. & Lowery D. (1990). An Alternative Approach to Understanding Budgetary Tradeoffs. American Journal of Political Science 34 (3): 671–705. Bungin B. (2007). Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya Edisi pertama. Jakarta : Kencana Davis O.A., Dempster M.A.H., & Wildavsky A. (1966). A Theory of the Budgetary Process. The American Political Science Review, Vol. 60, No. 3 (Sep 1966), pp. 529-547: http://www.jstor.org/stable/1952969 Elfrina L., Ratnawati V., & Wiguna M. (2014). Pengaruh Kapasitas Sumber Daya Manusia, Perencanaan Penganggaran, Politik Penganggaran dan Informasi Pendukung Terhadap Transparansi Publik sebagai Variabel Moderating Terhadap Sinkronisasi Dokumen APBD dengan Dokumen KUA-PPAS (Studi Empiris pada SKPD Kabupaten Lingga). JOM FEKON Vol 1 Nomor 2, Oktober 2014 Fozzard A. (2001). The Basic Budgeting Problem: Approaches to Resource Allocation in the Public Sector and their Implications for Pro-Poor Budgeting. London : Working Paper 147 Centre for Aid and Public Expenditure July 2001, overseas Development Institute Halim A.& Iqbal M. (2012). Pengelolaan keuangan daerah – seri bunga rampai manajemen keuangan daerah . Yogyakarta : UPP STIM YKPN Hisyam A. (2012). Pengalokasian Anggaran Pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah(APBD) Kabupaten Tegal Tahun Anggaran 2009-2011 (Suatu Analisis Dengan Pendekatan Alokatif Efisiensi). (Tesis). Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Mardiasmo. (2002). Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Andi. 9
Mogues T. (2012). What determines public expenditure allocations? A review of theories and implications for agricultural public investment. ESA Working paper No. 12-06 October 2012 Agricultural Development Economics Division Food and Agriculture Organization of the United Nations. Diakses 15 Mei 2015. Available From: www.fao.org/economic/esa Moleong J. L. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Norton A & Elson D. (2002). What’s behind the budget? Politics, rights and accountability in the budget process. Overseas Development Institute, London June 2002 Padgett J.F. (1980). Bounded Rationality in Budgetary Research . The American Political Science Review, Vol. 74, No. 2 (Jun., 1980), pp. 354-372 http://www.jstor.org/stable/1960632 Phillipps L.D & Bana e Costa C.A. (2005). Transparent Prioritisation, Budgeting and Resource Allocation with Multi-criteria Decision Analysis and Decision Conferencing. Working Paper London School of Economics and Political Science. Salman. (2009). Analisis Penyerapan Aspirasi Masyarakat Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2008. (Tesis). Medan: Program Magister Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Solichah S.I. (2013). Analisis Konsistensi Perencanaan dan Penganggaran di Kabupaten Tulungagung (Studi pada Bidang Pendidikan dan Kesehatan Tahun 2010-2012). (Tesis). Malang: Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Sudarwanto A. (2013). Analisis APBD Tahun 2012. STIE Semarang, Vol 5, No. 1, Edisi Februari 2013 Syarifuddin. (2009). Keputusan Akuntansi Anggaran : Aksentuasi Drama Politik dan Kekuasaan. (Disertasi). Malang: Program Pasca Sarjana Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Tuasikal A. (2008). Pengaruh DAU, DAK, PAD dan PDRB terhadap Belanja Modal Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di indonesia. Telaah Riset dan Akuntansi Vol.1,No.2, www.jurnal.unsyiah.ac.id/TRA/issue/view/107)
10