MAKNA PERAN AYAH PADA AYAH REMAJA Voni Yandri Malelak, Tina Afiatin Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada E-mail:
[email protected] dan
[email protected] Abstract The purpose of this study is to understand the dynamics psychology of men who become fathers in their teens, and patterns of dyadic family and triadic family play important role in the formation of father’s role meaning for teenage fathers. This study using qualitative method with phenomenology approach. Respondents were six adolescents father, which consist of three teenage fathers were forced to marry because of unwanted pregnancy, and three teenage fathers who were not forced to marry because they decided to get married in their teens and family pattern in dyadic and triadic family. Results showed that both of the category teenage fathers who forced to marry and not forced to marry had both suffered regret due to marry in their teens. They regrets related to limited education, employment, as well as dissatisfaction enjoy adolescence, which is a major problem faced by teenage fathers. Teenage father interpreted father’s role as a responsibilities implemented in breadwinner role as a primary role of father, because it is not only economical but also means psychologically associated with self-esteem of men.Teen fathers with dyadic family feel more independent, confident and express themselves freely, rather than in triadic family prone to conflict due to sharing resources with other family members. Keywords: teenage fathers, psychology of regret, dyadic and triadic family.
PENDAHULUAN Kehamilan tidak direncanakan (KTD) menjadi fenomena sosial remaja. Cukup banyak remaja yang menjadi ayah dan ibu pada usia remaja karena kehamilan yang tidak direncanakan. Kondisi ini merupakan fenomena gunung es dan menimpa sebagian besar remaja yang belum menikah. Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) tahun 2003 menyebutkan dari 37.000 responden remaja dan perempuan belum menikah, 22 persen mengalami kehamilan tidak diinginkan. Usia pernikahan pertama di Indonesia rata-rata antara 19-24 tahun (Anna, 2010). Remaja memiliki variasi perilaku yang ditujukan untuk tujuan tertentu. Perubahan sosial berpengaruh pada gaya hidup dan perilaku reproduksi yang mengacu pada seks pranikah. Perilaku
seks tidak aman berdampak pada KTD dan pernikahan dini (Laksmiwati, 1999). Akibat persoalan tersebut remaja harus menjalani kehidupan rumah rangga tanpa adanya persiapan secara fisik dan mental. Pernikahan karena alasan kehamilan tidak diinginkan menjadi pilihan orang tua bagi anak remaja untuk menutup aib, dan bukan keputusan remaja itu sendiri (Nia, 2012). Kasus kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) merupakan fenomena sosial yang akhir-akhir ini makin banyak terjadi di sekitar kita. Kehamilan yang terjadi sangat dini menempatkan remaja dan anak pada situasi sulit dan berisiko, seperti berkurangnya kesempatan pendidikan, kemiskinan dan ketidakstabilan pernikahan (Kane, 2006). Kondisi yang demikian menjadi faktor penghambat tugas perkembangan remaja sebagaimana mestinya. Kehamilan tidak
terencana membawa dampak bagi perempuan dan laki-laki remaja. Peran baru sebagai ibu atau ayah sebelum waktunya berakibat ketidaksiapan sehingga berpotensi menimbulkan konflik internal dan eksternal. Transisi menuju parenthood dan grandparenthood seringkali terjadi secara mendadak dan menyulitkan (complicated), sehingga membawa perubahan dalam pola keluarga (Dallas, 2004). Orang tua dari remaja sendiri harus menjadi orang tua bagi anak remaja mereka sendiri, sekaligus menjadi grandparents. Isu fatherhood khususnya ayah remaja (adolescent fatherhood) kurang mendapat perhatian. Ayah remaja (teen father) adalah kelompok berisiko tinggi. Remaja secara khusus merupakan tahap paling menantang dalam perkembangan manusia. Pengalaman menjadi ayah merupakan pengalaman paling stressful bagi remaja dibandingkan older father (Cardona, Wampler & Sharp, 2006; Klein, 2005). Selanjutnya Benson (2004) menunjukkan orang tua remaja lebih rentan mengalami depresi dan masalah kesehatan mental, memiliki sumber daya ekonomi yang sangat sedikit dan memiliki sedikit kesempatan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. O’Brien (dalam Bernardes, 2002) menyatakan bahwa seharusnya ada perubahan analisis parenting dari fokus pada ibu menuju keterlibatan ayah. Hal ini menjadi perubahan penting namun perlu adanya kesadaran bahwa realitas fatherhood sangat sedikit diketahui dibandingkan dengan motherhood. Salah satu alasan utama yang menjelaskan kecenderungan minat pada topik penelitian ini adalah informasi yang sangat sedikit diketahui tentang ayah remaja. Pemberitaan media tentang kehamilan remaja rata-rata fokus hampir selalu pada ibu, sehingga gambaran tentang ibu remaja cukup familiar dibandingkan informasi tentang ayah remaja. Disadari bahwa tidak semua remaja perempuan dihamili oleh laki-laki
berusia remaja tetapi hal ini mengindikasikan adanya potensi jumlah ayah remaja yang lebih besar di luar sana, namun figur atau profil mereka mereka tidak kelihatan. Di sisi lain, masyarakat masih memperlakukan laki-laki muda atau berusia remaja belum mampu melakukan tugas dan peran sebagai ayah. Umumnya ayah remaja masih berstatus sebagai pelajar, tanpa pekerjaan tetap, masih tergantung pada orang tua atau belum mandiri (Rice & Dolgin, 2008). Data pre-eliminary yang didapatkan penulis memberi gambaran adanya ketidaksiapan pada remaja lakilaki memasuki peran sosial sebagai ayah remaja. Menikah di usia remaja berdampak penyesalan. Beberapa alasan penyesalan yang diungkapkan ayah remaja karena menikah di usia dini antara lain; rentan konflik antara suami dan istri, penghasilan yang rendah sehingga tidak mencukupi kebutuhan keluarga, tidak ada waktu untuk berkumpul dan bergaul dengan teman sebaya karena perasaan terikat setelah menikah, Ayah remaja yang menjadi fokus penelitian ini adalah laki-laki kategori usia remaja (19-21 tahun); kelahiran anak pertamanya terjadi ketika mereka usia 19-21 tahun dan dalam ikatan perkawinan. Batasan usia didasarkan pada undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974, usia perkawinan untuk laki-laki adalah 19 tahun dan 16 tahun untuk perempuan. Penelitian ini ingin mengeksplorasi pengalaman subjektif dan makna peran ayah dari perspektif ayah remaja. Bagaimana para ayah remaja memaknai perannya sebagai seorang ayah? Menjadi ayah pada umumnya diharapkan terjadi pada individu yang telah mencapai tingkat perkembangan dewasa. Palkowitz, Copes, & Woolfolk (2001) menjelaskan bahwa parenthood merupakan kebutuhan dan kondisi untuk mencapai generativity dan katalis untuk mencapai perkembangan pada masa
dewasa. Peran ayah melibatkan tanggung jawab dan generativity yang mengarahkan pada self-refleksi dan evaluasi berkaitan dengan perubahan perilaku dan gaya hidup karena adanya rasa tanggung jawab. Transformasi ditandai dengan adanya komitmen terhadap aktivitas dan emosi yang konsisten. Fatherhood mengekspresikan tanggung jawab dan perubahan selfpersepsi seiring penerimaan tanggung jawab sebagai ayah. Adanya perubahan dari kecenderungan orientasi pada diri sendiri menjadi orientasi pada keluarga. Peran ayah dilakukan dengan mengejar yang terbaik bagi anak, memacu kesadaran dan sensitivitas tinggi terhadap kebutuhan, perspektif orang lain serta emosi orang lain dengan mengatur kembali prioritas berkaitan dengan keputusan, manajemen waktu dan relasi. Ketika laki-laki memandang fatherhood sebagai sesuatu yang berharga, maka memiliki konsekuensi perkembangan terhadap pikiran, perasaan dan perilaku yang berdampak pada perubahan jangka panjang. Fathering mendorong ayah untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dan melihat kebutuhan akan pertumbuhan dan transformasi. Frascarolo, Zaouche-Gaudron, Rouyer, & Faves (2005) dalam penelitiannya mengenai family alliances, menjelaskan bahwa representasi membantu seseorang untuk melakukan orientasi dalam hidup dan berelasi dengan orang lain dalam dunia fisik. Cara seorang laki-laki mempersepsikan perannya sebagai ayah, maupun perspektifnya terhadap peran ayah maupun ibu berkaitan dengan cara berfungsi dalam keluarga. Representasi diri ayah dan perannya berkaitan erat dengan relasi ayah dan anak, serta mempengaruhi kualitas interaksi ayah dengan ibu. Pasangan ayah-anak adalah bagian dari total family system ayah-ibuanak. Representasi ayah dalam pengalaman sehari-hari maupun pengalaman emosional tidak terlepas dari
interaksi keberfungsian keluarga. Fatherhood adalah bagian integral dalam relasi kehidupan sehari-hari. Karena itu ayah dan interaksi keluarga menghubungkan dampak ayah terhadap dinamika keluarga. Ayah tidak hanya sebagai orangtua bagi anaknya, tetapi juga merupakan anggota family system. Penelitian Summers, Boller, Schiffman, & Raikes (2006) mengenai makna “good fatherhood” merujuk pada bagaimana seorang ayah bermanfaat bagi anak mereka dalam beberapa hal, yaitu: 1) sebagai sumber stabilitas (source of stability)—being there, menyediakan dukungan 2) sebagai mentor dan teacher—guiding, shaping values, teaching children. 3) sebagai caregiver—berinteraksi secara fisik dengan anak dan memberikan perhatian 4) sebagai nurturer—memberikan dukungan emosional dan cinta. Empat dimensi peran ayah, yaitu economic provision, protection, endowment, dan emotional closeness sebagai penghubung secara intrinsik, dan status sebagai ayah, suami, pekerja dan kepala keluarga merupakan identitas yang terhubung (Towsend, 2002). Konsep identity theory mengasumsikan bahwa self dibentuk dari berbagai identitas yang distruktur oleh hubungan peran (ayahanak) dan diorganisasikan dalam salience hierarchy sehingga terdapat identitas yang lebih sentral atau salience dalam diri seseorang. Komitmen terhadap sebuah identitas ditunjukkan melalui keputusan untuk terlibat dalam perilaku termasuk investasi sumber daya berkaitan dengan identitas. Proses perubahahan individu berlangsung dalam role learning dan role taking, pilihan dan keputusan individu mendasari komitmen sebuah identitas. Komitmen terhadap identitas dipengaruhi oleh faktor eksternal (pressure and encouragement) yang diinternalisasi sehingga membentuk tindakan yang konsisten. (Fox & Bruce, 2001).
Berdasarkan uraian di atas terjelaskan bahwa ayah remaja menghadapi tantangan tugas perkembangan dan memasuki peran baru sebagai ayah. Menurut penulis menarik untuk mengeksplor dinamika psikologis ayah remaja dalam mengatasi developmental disequilibrium dan mencapai keberfungsian psikologis. Ayah remaja yang tanpa pengalaman parenting mencoba berpartisipasi akan meningkatkan keterlibatannya dalam pengasuhan ketika mendapat dukungan dan apresiasi significant others (pasangan, grandparents) berkaitan dengan skillnya dalam pengasuhan. Namun ketika diinterupsi secara berulang berkaitan dengan kemampuannya, mereka cenderung menarik diri bukan karena tidak ingin melakukannya, tetapi karena mempersepsi dirinya tidak mampu dan tidak berguna. Sejalan dengan apa yang dikatakan Barg & Chartand (dalam Bornstein, Ng Mei, Gallagher, Kloss, & Regier, 2005) bahwa self schema mengarahkan persepsi dan pikiran serta menentukan tipe informasi yang dianggap penting untuk diproses secara intensif. Sosialisasi peran gender berkontribusi pada self-schema. Pada remaja laki-laki pengalaman sosialisasi peran gender tradisional memperburuk proses partisipasi dalam parenting dengan menggabungkan ke dalam self-schema societal expectation berkaitan dengan perilaku yang sesuai dengan gender, bahwa laki-laki bukan penanggung jawab utama perawatan anak dan bertanggung jawab Mengacu pada beberapa uraian di atas mengenai makna peran ayah, dapat disimpulkan bahwa makna peran ayah meliputi orientasi, perilaku dan kebermanfaatan seorang ayah bagi anak dan keluarga. Makna peran ayah merefleksikan relasi dan keterhubungan emosional ayah dengan anak, melalui kehadiran dan partisipasi dalam tugas pengasuhan dan perawatan, selain
dukungan materi. Keberfungsian ayah dalam perkembangan anak merefleksikan perannya dalam engagement, accessibility dan responsibility. Berbagi peran membutuhkan koordinasi dan kooperasi antar orang tua bahkan keterlibatan extended family atau coparenting network (grandparents, saudara kandung, paman-bibi). Kerabat ditempatkan sebagai pengganti orang tua dan diberi hak atau kewajiban untuk memberi disiplin dan moral. Dalam budaya Asia peran extended family cenderung stabil. Jaringan extended family merupakan kewajiban dan bukan pilihan, sehingga memainkan fungsi penting. Di india, ikatan yang merekatkan keluarga dan kerabat dikarakteristikkan melalui sense of duty, harapan keluarga, peran, kewajiban, dan tempat tinggal yang berdekatan. Keluarga dengan perempuan sebagai ibu rumah tangga lebih berpegang pada orientasi tradisional dengan pembagian peran keluarga berdasarkan gender. Status sosio ekonomi dan lingkungan hidup berkaitan dengan pembagian tanggung jawab pengasuhan. Ibu sebagai pengasuh utama dibantu pekerja rumah tangga dan anggota keluarga besar. Pada keluarga sosio ekonomi rendah dengan ibu bekerja di luar rumah, tanggung jawab pengasuhan dibagi dengan anggota keluarga dan saudara kandung. Sementara di Vietnam, peran pengasuh pengganti (misalnya; nenek) sebagai sistem dukungan yang memberi pengetahuan budaya pada anak, dan pendidik. Dengan demikian perkembangan sosio-emosional anak merupakan input dari orang tua dan anggota keluarga lainnya, meskipun tidak seunik peran ayah dan ibu. Anggota keluarga besar hadir menggantikan tugas pengasuhan karena keunikan peran yang hilang. Anggota keluarga berperan sebagai orang tua. Brody (dalam Kurrien & Dawn Vo, 2004) mengemukakan bahwa kehadiran anggota keluarga dalam pengasuhan penting bagi well-being anak.
Namun di sisi lain, ketika anggota keluarga besar tidak memberi dukungan emosional secara nyata, berisiko terhadap ketidakstabilan dan konflik dalam diri anak. Konteks budaya Asia cenderung mengutamakan peran keluarga besar tugas pengasuhan anak melibatkan peran ayah, ibu dan anggota keluarga besar, terutama kakek dan nenek (grandparents). Pemberlakuan kebijakan one-child di China, anggota keluarga besar berorientasi pada child-centered. Anggota keluarga besar berupaya menyalurkan dan menyatukan sumberdaya guna memastikan anak mendapat perawatan terbaik. Kebijakan sosial ini berakibat kakek dan nenek menjadi sangat penting dalam threegenerational coresidence. Dampak perubahan ini pada level makro adalah dinamika baru dalam keluarga; dialektika, ketegangan dan konflik pada proses koalisi parenting antar generasi berkaitan dengan metode membesarkan anak (Goh & Kuczynski, 2010). Schindler & Coley (2007) dalam penelitian mengenai homeless father menemukan persoalan ini rentan terjadi pada ayah remaja. Ada saat ketika mereka berhadapan dengan situasi yang mendesak mereka mencari tempat tinggal pada keluarga. Pengalaman dan identitas ayah sebagai homeless parents memperluas rekonseptualisasi ayah sebagai individu, laki-laki dan sebagai orangtua. Situasi baru seringkali berdampak pada kesejahteraan psikologis maupun interaksi keluarga. Kehidupan di rumah yang penuh aturan membatasi ruang gerak, juga berdampak pada pola interaksi fisik ayah-anak, sehingga berpengaruh pada cara pengasuhan anak. Ayah remaja tidak bebas berekspresi bersama anak karena berbagi ruang, sarana dan toleransi dengan keluarga lain yang tinggal bersama mereka. Pola hidup seperti itu menimbulkan tekanan psikologis, seringkali merasa tidak dihargai, karena orang-orang sekitar
cenderung berpikir bahwa mereka adalah laki-laki malas dan tidak bertanggung jawab. Homeless father juga bergelut dengan persoalan identitas. Hampir semua ayah merasa tanggung jawab utama seorang ayah adalah menafkahi anak dan keluarga, Kekacauan emosi terjadi ketika berhadapan dengan situasi kehilangan pekerjaan (unemployment), berpenghasilan rendah , dan homeless. Para ayah berjuang dengan ketidakmampuan menafkahi (provide) sebagai peran gender dan keyakinan sebagai laki-laki. Para ayah berusaha mewujudkan peran pencari nafkah sebagai identitas diri mereka. Ketidakberdayaan memenuhi peran pencari nafkah menghasilkan perasaan tidak berharga. Salah satu cara untuk mengatasi ketidakmampuan ayah secara finansial adalah menyediakan waktu dan perhatian bagi anak. Secara khusus kondisi kultural dan institusional shelter mempengaruhi perkembangan identitas dan pilihan parenting. Berdasar uraian yang telah dikemukakan dapat diketahui bahwa dinamika peran ayah dipengaruhi oleh struktur keluarga nuclear family atau extended family. Pada penelitian ini ingin diketahui apakah perbedaan struktur keluarga ini juga berpengaruh pada ayah remaja dalam memaknai perannya sebagai ayah. Bagaimana keragaman dan dinamika peran ayah pada ayah yang tinggal bersama keluarga besar dan ayah hidup dalam nuclear family dalam menegosiasikan peran mereka? Mengingat umumnya penelitianpenelitian ayah remaja sebelumnya berlangsung dalam konteks budaya Barat dengan pola nuclear family, sedangkan penelitian ini dilakukan dalam budaya yang mengutamakan extended family. METODE Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi bersifat deskriptif-analitis untuk menggali dan memperlihatkan
pengalaman terdalam laki-laki berkaitan dengan makna peran ayah pada ayah remaja. Metode ini menekankan pada verstehen (pemahaman, pengertian) yaitu memberi pemaknaan interpretatif terhadap pemahaman seseorang dalam memahami apa sebenarnya makna subjek dalam menjalankan peran ayah. Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan pada laki-laki yang menjadi ayah di usia remaja (usia 19-21 tahun), berdomisili di kota Kupang. Karakteristik pemilihan subjek adalah ayah remaja, berada dalam ikatan pernikahan. Seleksi reponden dilakukan dengan kriteria: 1. Laki-laki yang menjadi informan penelitian adalah mereka yang telah mengalami fenomena yang menjadi fokus penelitian yaitu: a. Laki-laki yang sudah menikah. b. Usia antara 19 tahun dan usia maksimal 21 tahun ketika menjadi ayah untuk pertama kalinya. Hal ini dimaksudkan untuk melihat pemaknaan peran ayah pada ayah remaja yang masih berjuang dengan tugas perkembangan remaja, dinamika psikologis ayah remaja akan berbeda dengan mereka yang menjadi ayah di usia dewasa. c. Hidup bersama dengan istri dan anak, seatap dengan keluarga besar (pihak laki-laki maupun perempuan) dan atau hidup secara mandiri atau terpisah dari lingkungan keluarga besar. Dua kriteria ini dipakai untuk melihat variasi dan kompleksitas yang terjadi pada ayah remaja yang berada dalam dyadic family dan triadic family. 2. Tertarik untuk memahami latar belakang dan makna dari fenomena tersebut (makna peran ayah). 3. Bersedia berpartisipasi dalam proses wawancara dan bersedia menandatangani informed consent
atau pernyataan kesediaan menjadi informan penelitian. 4. Mengijinkan peneliti untuk merekam dan mempresentasikan data yang diperoleh dalam laporan penelitian. Informan tahu dalam penelitian ini adalah orang-orang di sekitar subjek penelitian (keluarga, rekan kerja, dan teman) yang bersedia menjadi narasumber. Data informan ini digunakan untuk melengkapi data yang ada dan juga sebagai cross-check dalam rangka validasi data. Penelitian dilakukan dengan partisipan enam orang informan yang memenuhi purposivitas yang telah dilakukan peneliti, yaitu enam orang informan ayah remaja, serta enam orang significant others yang diminta tambahan informasi yang dibutuhkan untuk memperluas hasil penelitian. Informan diambil dari dua kecamatan di kota Kupang (Kecamatan KL dan Kecamatan A). Penelitian dilakukan selama delapan minggu (4 Mei – 30 Juni 2013). Pengambilan data dilakukan dengan cara observasi terhadap lingkungan kota Kupang dan lingkungan informan. Observasi dimaksudkan untuk mencari subjek yang sesuai dengan kriteria. Kemudian peneliti melakukan wawancara mendalam terhadap informan. Untuk mendukung hasil penelitian ini peneliti juga melakukan wawancara terhadap informan yang terdiri dari istri informan, teman dan rekan kerja informan. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil wawancara dengan enam orang informan dalam penelitian ini, diperoleh beberapa tema yang mengarah pada jawaban penelitian ini, yaitu bagaimana dinamika psikologis ayah remaja berkaitan dengan pilihan untuk menikah baik secara terpaksa maupun tidak terpaksa (sukarela), dan bagaimana dinamika psikologis dan peran
faktor eksternal melalui dyadic dan triadic family dalam pembentukan makna peran ayah pada ayah remaja. Untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut dilakukan beberapa proses analisis sebagai berikut, pertama, apa saja alasan yang melatarbelakangi keputusan informan untuk menikah dan menjadi ayah. Kedua, bagaimana pandangan dan pengalaman ayah remaja sebelum dan sesudah menjadi ayah. Ketiga, bagaimana perasaan dan tanggapan ayah remaja menjalani peran sebagai ayah, dan keempat, bagaimana pengalaman ayah remaja dalam dyadic dan triadic family. Temuan penelitian merupakan laporan rangkuman dari data hasil observasi dan wawancara. Berikut ini adalah tabel deskripsi enam orang informan dalam penelitian ini. Tabel 1 Deskripsi Informan No.
Inisial
Usia
Pendidikan SMK
Status Menikah Terpaksa
Pola keluarga Dyadic
1.
PR
21
2. 3. 4. 5. 6.
OH AM BYM YAM MF
21 21 21 21 21
SMA SMK SMP SMA SMK
Sukarela Terpaksa Sukarela Sukarela Terpaksa
Dyadic Triadic Triadic Triadic Dyadic
Temuan dalam penelitian ini mengkaji dinamika psikologis yang terbentuk dari adanya pengalaman menjadi ayah remaja dan makna yang terbentuk dari pengalaman menjadi ayah remaja dalam keterkaitannya peran faktor eksternal, pola keluarga dyadic dan triadic family. Ayah remaja dalam penelitian ini dibagi dalam dua kategori yaitu kategori terpaksa dan tidak terpaksa berdasarkan latar belakang pengambilan keputusan untuk menikah dan menjadi ayah. Kategori terpaksa dilatarbelakangi oleh kehamilan tidak terencana, sedangkan pada kategori tidak terpaksa atas dasar keputusan personal untuk menikah di usia remaja.
A.Latar belakang keputusan untuk menikah Pengalaman memasuki hidup berkeluarga yang dimaksud dalam dinamika psikologis berkaitan dengan alasan yang mendorong mengapa individu ingin menikah di usia remaja. Ada berbagai hal yang berperan dibalik keputusan seorang laki-laki remaja mengambil keputusan untuk menikah dan menjadi ayah remaja. 1. Terpaksa Hasil penelitian ini menunjukkan keputusan menjadi ayah menjadi keputusan yang kompleks karena dilandasi rasa terpaksa. Kehamilan tidak diinginkan menjadi salah satu alasan penting dibalik keputusan menikah di usia remaja, yang melibatkan pertimbangan merawat dan membesarkan anak untuk waktu yang panjang, serta kemampuan menyediakan lingkungan terbaik untuk pertumbuhan anak. Situasi ini menuntut pengambilan keputusan yang bersifat segera dan tanpa alternatif pilihan. Keputusan tersebut sebagai bentuk pertanggung jawaban moral dan harga diri sebagai seorang laki-laki atas kehamilan pacar. Perasaan terpaksa juga disebabkan informan merasakan adanya ketidaksiapan dan ketidakmampuannya menerima tugas dan peran baru dalam kehidupan berkeluarga. Ketidaksiapan teridentifikasi dengan adanya stress/beban dan rasa malu yang melukai perasaan dan harga diri sebagai laki-laki karena tidak memiliki pekerjaan yang dapat menyokong keluarga barunya. Keadaan ini jauh dari sosok ayah ideal yang dibentuk masyarakat, bahwa peran utama ayah adalah mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga. Konteks budaya masyarakat mensyaratkan ayah berperan sebagai pencari nafkah utama (touk bala seselak). Parang atau tombak (seselak) menjadi simbol yang menunjukkan kerja keras dan kejantanan. Harga diri laki-laki terletak pada usahanya untuk menjaga agar parang (seselak) tetap terasah tajam,
dengan demikian kesejahteraan keluarga terjamin. Keadaan jauh dari konsep ayah ideal menimbulkan rasa malu karena merasa tidak dapat berfungsi sebagai suami dan ayah yang baik. Mabukmabukan menjadi kompensasi mengatasi stresor dan rasa malu. namanya katong nikah muda jadi kadang sering duduk sendiri berpikir bahwa sebenarnya belum sanggup membangun keluarga…(AM/88-89) beta rasa di awal menikah belom punya kerja, sonde tau mau kerja apa. Beban ju kaka. Stress. (MF/513-514) Asli talalu stress…dan malu eeh ini mau bikin bagaimana. Betul kaka, beta sonde tau perempuan tapi kalo laki-laki baru sonde ada kerja kalo su nikah ni pasti stress na, ke ada pikul beban berat. Rasa-rasa seperti sonde mau lihat orang lai. Dulu tuh kaka kalo beta rasa stress su pasti beta minum mabok na, selalu begitu. Ke rasa ke kepala ni sonde mampu tampung ini beban lagi. Mabuk dan mabuk terus. (MF/517-521) Hasil temuan ini mendukung Jhonson (1995) bahwa persepsi peran sebelum dan pola paternal behavior yang kemudian merupakan possible selves ayah remaja, komponen kognitif pada domain self-knowledge. Possible selves merepresentasi ide mengenai kemungkinan yang akan mereka alami, apa yang ditakutkan, yang selanjutnya menjadi konsep penghubung antara kognisi dan motivasi. Disonansi persepsi peran ayah antara ideal selves dan possible selves inilah ayah remaja berharap dapat memenuhi peran normatif sebagai pencari nafkah. Tetapi di sisi lain ayah remaja merasa memiliki kapasitas yang jauh dari harapan, karena itu peran ayah dilihat sebagai rintangan atau keterpaksaan. Dalam konteks decision making (Landman, 1987) terdapat kecenderungan untuk mempertimbangkan
hal-hal negatif daripada positif (negativity effect). Pada keputusan yang merugikan terdapat kecenderungan untuk mengambil risiko (risk-seeking), sedangkan pada keputusan yang menguntungkan ada kecenderungan menolak risiko (riskaverse). 2. Tidak terpaksa Berbeda dengan ayah remaja yang menikah karena terpaksa, pada ayah remaja yang menikah secara tidak terpaksa, keinginan personal dan kebutuhan biologis adalah alasan yang melatarbelakangi keputusan menikah. Pernikahan juga dilihat sebagai upaya preventif terhadap hal-hal yang tidak diinginkan. Tidak ada desakan situasi eksternal yang menuntut pengambilan keputusan yang bersifat segera. Meskipun pernikahan terjadi melalui perjodohan maupun pertimbangan adat, namun dalam pengambilan keputusan sepenuhnya ada ditangan ayah remaja, tanpa ada benturan dengan tuntutan lain di luar diri mereka, internalisasi nilai eksternal sesuai dengan nilai personal atau tanpa rasa terpaksa. 3. Karakteristik Penyesalan Gambaran karakteristik penyesalan pada ayah remaja kategori tidak terpaksa, tidak ditemukan adanya penyesalan berkaitan dengan perasaan bersalah atau perasaan berdosa karena melakukan seks pranikah. Sanksi sosial berupa respon negatif dari tetangga dan kerabat dirasakan sebagai sesuatu yang jauh lebih menakutkan dibandingkan pertimbangan nilai-nilai agama. Karakteristik penyesalan terdapat di dua kategori, terpaksa dan tidak terpaksa dengan warna penyesalan yang berbeda. a) Penyesalan pada Kategori Terpaksa Pada kategori terpaksa, penyesalan ayah remaja berkaitan dengan terputusnya pendidikan dan hilangnya kesempatan mendapatkan pekerjaan seperti yang diharapkan. Pada konteks ini penyesalan berlangsung dalam mekanisme causal inferences (Roese, 2005). Keputusan menjadi ayah remaja
menjadi penyebab penyesalan yang dialami ayah remaja. Pendidikan dinilai penting karena dipahami bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan memberi keluasan akses pada pekerjaan berpenghasilan tinggi. Pekerjaan sangat krusial bagi ayah, mempertegas identitas dan perannya sebagai penjamin kesejahteraan keluarga, sebagaimana ekspektasi budaya mengenai peran ayah sebagai penyedia ekonomi keluarga. Hal ini sejalan dengan Zeelenberg (1999) bahwa pengalaman penyesalan melibatkan perasaan tanggung jawab (responsibility) terhadap akibat yang tidak menyenangkan. Sense of responsibility menjadi sentral karena menyadari hasil yang tidak diinginkan merupakan akibat dari keputusan atau perilaku seseorang. Penyesalan disebabkan adanya proses membandingkan diri dengan kehidupan teman sebaya, serta pencapaianpencapaian yang dianggap jauh lebih baik dalam hal pendidikan, pekerjaan dan relasi (Jokisaari, 2003; Roese , 2005; Esbaugh & Gute, 2008). Perbandingan sosial terjadi dalam interaksi sosial karena adanya kebutuhan untuk menilai diri sendiri. Kebutuhan self-evaluasi terpenuhi dengan membandingkan diri dengan orang lain menuju keadaan yang lebih buruk atau lebih baik (Shaw & Costanzo, 1982). Penyesalan pada ayah remaja membentuk pola pengandaian dengan membandingkan hal yang sudah terjadi dengan apa yang mungkin terjadi bila informan berada dalam situasi yang sama dengan subjek pembanding. Secara positif penyesalan menjadi motivasi informan meminimalisir pengulangan yang sama di masa depan. Penyesalan teratasi dengan menerima realitas secara sadar melalui respon konkrit, yaitu penerimaan tercakup di dalamnya proses self-evaluasi positif. Penerimaan menjadi ruang terbentuknya keterbukaan untuk melihat dampak kejadian tidak menyenangkan dengan cara pandang
baru. Pada pengalaman penyesalan ayah remaja terjelaskan bahwa tanggung jawab pengasuhan anak diaktualisasikan sebagai respon konkrit mengatasi penyesalan. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar pengalaman ayah remaja tidak terulang pada anak. Temuan ini mendukung penelitian bahwa potensi nilai dalam penyesalan mempengaruhi decision making untuk mengantisipasi penyesalan di masa depan dan menekankan adanya perbaikan (Roese,2005; Esbaugh & Gute, 2008). b) Penyesalan pada Kategori Tidak Terpaksa Pada kategori tidak terpaksa (OH), penyesalan berlangsung dalam contrast effect (Roese, 2005), penyesalan terjadi ketika mendapat perlakuan buruk dari keluarga di masa transisi, maupun ketika merasa gagal dalam usaha untuk menata kehidupan keluarga menjadi jauh lebih baik. Mobilitas yang terbatas karena rasa tanggung jawab terhadap keluarga tidak memungkinkan untuk bertindak sebebas masa lajang. Temuan ini mendukung penelitian Esbaugh & Gute (2008), penyesalan dan self-blame menghantui domain kehidupan seperti pendidikan, karir dan hubungan romantik. Informan dalam kategori tidak terpaksa (OH) juga mengalami penyesalan ketika proyeksi pernikahan yang indah dan menyenangkan ternyata berbeda dengan situasi riil. Keadaan pasca menikah diwarnai dengan berbagai tuntutan peran yang juga menimbulkan perasaan tidak siap dan adanya penyesalan menikah di usia remaja. Hal ini terjelaskan dengan masih adanya keinginan untuk menikmati masa pacaran. Menilik kembali faktor yang melatar belakangi keputusan OH untuk menikah, dorongan emosional yang menggebu dan keinginan untuk bersama. Di sini pernikahan dilihat sebagai keputusan yang tepat di saat itu tanpa adanya pertimbangan matang, sebagaimana diungkapkan HY (signifikan others informan 2):
awalnya sonde terasa…senang sa karena nikah muda belom tau cari uang nih susah, makan minum nih rasa ke karmana ko…pikir gampang tapi jalani ni rasa ke susah sekali. (HY/40-42) Pernyataan ini merefleksikan bahwa decision making pasangan remaja yang menikah karena keinginan personal, kurang mempertimbangkan konsekuensi positif dan negatif di masa depan, dan lebih berorientasi pada keadaan saat ini. Penyesalan dalam konteks ini bukan karena keputusan yang dibuat tetapi digerakkan oleh pemikiran yang dianggap benar pada saat itu dan mendasarkan keputusan atas emosi (Zeelenberg, van Dijk, & Manstead, 1998; Beach & Connoly, 2005). Ditinjau dari aspek tugas perkembangan remaja, Steinberg & Scott (2003) menjelaskan bahwa remaja matang dalam proses kognitif namun penilaian dan pengambilan keputusan aktual berbeda dari orang dewasa sebagai akibat psychosocial immaturity. Faktor psikososial mempengaruhi value dan preferensi untuk mempertimbangkan untung dan rugi sebuah keputusan. Terdapat keterbatasan kapasitas kognitif remaja untuk berpikir hipotetis mengenai kejadian yang belum terjadi disebabkan pengalaman hidup yang terbatas dan cenderung berorientasi pada kehidupan remaja itu sendiri (Steinberg, O’Brien,Cauffman, Graham, Woolard, & Banich, 2009). Pengambilan keputusan tanpa pertimbangan matang menimbulkan penyesalan-penyesalan. c) Tidak menyesal Pada kategori terpaksa maupun tidak terpaksa, terdapat informan yang tidak mengalami penyesalan atas keputusannya menikah di usia remaja. Meskipun pernikahan PR diliputi rasa terpaksa, namun niat untuk menikah muda menjadikan informan tidak merasa menyesal menjadi ayah remaja. Hal yang sama juga di jelaskan oleh informan BYM dan YAM pada kategori tidak
terpaksa. Penyesalan atas keputusan menikah di usia remaja tidak dialami, karena didasarkan atas keinginan dan pilihan sadar mereka, serta merasa berjodoh dengan istri. Keputusan mereka konsisten dengan internalisasi nilai personal (Oswalt, et al., 2005). Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa aspek nilainilai personal, individual differences, mekanisme coping terhadap persoalan menjadi faktor pembeda sehingga memungkinkan informan pada kategori yang sama baik terpaksa maupun tidak terpaksa dapat mengalami penyesalan dan juga tidak mengalami penyesalan. Dilihat dari segi keputusan untuk menikah, ayah remaja kategori terpaksa situasi menuntut pengambilan keputusan yang bersifat segera dan tanpa alternatif pilihan. Keputusan tersebut sebagai bentuk pertanggung jawaban moral dan harga diri sebagai seorang laki-laki atas kehamilan pacar. Ketidaksiapan teridentifikasi dengan adanya stress/beban dan rasa malu yang melukai perasaan dan harga diri sebagai laki-laki karena tidak memiliki pekerjaan yang dapat menyokong keluarga barunya. Sedangkan ayah remaja kategori tidak terpaksa, keputusan pengambilan keputusan sepenuhnya ada ditangan ayah remaja, tanpa ada benturan dengan tuntutan lain di luar diri mereka, internalisasi nilai eksternal sesuai dengan nilai personal atau tanpa rasa terpaksa. Ayah remaja pada kategori terpaksa dan tidak terpaksa mengalami penyesalan. Pada kategori terpaksa, penyesalan ayah remaja berkaitan dengan terputusnya pendidikan dan hilangnya kesempatan mendapatkan pekerjaan seperti yang diharapkan. Pada konteks ini penyesalan berlangsung dalam mekanisme causal inferences (Roese, 2005). Pekerjaan sangat krusial bagi ayah, mempertegas identitas dan perannya sebagai penjamin kesejahteraan keluarga. Hal ini sejalan dengan Zeelenberg (1999) bahwa pengalaman penyesalan melibatkan perasaan
tanggung jawab (responsibility) terhadap akibat yang tidak menyenangkan. Sense of responsibility menjadi sentral karena menyadari hasil yang tidak diinginkan merupakan akibat dari keputusan atau perilaku seseorang. Pada kategori tidak terpaksa (OH), penyesalan berlangsung dalam contrast effect (Roese, 2005), mengalami penyesalan ketika proyeksi pernikahan yang indah dan menyenangkan ternyata berbeda dengan situasi riil. Hal ini terjelaskan dengan masih adanya keinginan untuk menikmati masa pacaran. Saat benturan karena kejenuhan ataupun merasa tidak siap dengan tugas perkembangan yang baru, terdapat situasi di mana remaja bernostalgia atau merindukan kesenangan masa remaja yang ingin diulang kembali yang belum sempat dinikmati. Penyesalan sebagai upaya merekonstruksi kehidupan yang umumnya berbeda dengan kenyataan (Gillovic, Medvec, & Kahneman, 1998). Ditinjau dari aspek perkembangan, Steinberg & Scott (2003) menjelaskan bahwa remaja matang dalam proses kognitif namun penilaian dan pengambilan keputusan aktual berbeda dari orang dewasa sebagai akibat psychosocial immaturity. Faktor psikososial mempengaruhi value dan preferensi untuk mempertimbangkan untung dan rugi sebuah keputusan. Terdapat keterbatasan kapasitas kognitif remaja untuk berpikir hipotetis mengenai kejadian yang belum terjadi disebabkan pengalaman hidup yang terbatas dan cenderung berorientasi pada kehidupan remaja itu sendiri (Steinberg, O’Brien,Cauffman, Graham, Woolard, & Banich, 2009). Pengambilan keputusan tanpa pertimbangan matang menimbulkan penyesalan-penyesalan. Berkaitan dengan pandangan sebelum dan sesudah menjadi ayah, secara garis besar tidak terdapat perbedaan yang cukup signifikan di antara kategori terpaksa dan tidak terpaksa. Sejalan dengan Newman &
Newman (1979) bahwa periode childbearing sebagai proses bagi ayah mendefinisikan perannya secara lebih realistis. Kesamaan kedua kelompok kategori ini terletak pada perubahan orientasi dan perilaku yang membedakan status mereka sebelum dan sesudah menjadi ayah. Salah satu bentuknya adalah kebebasan untuk berkumpul bersama teman sebaya mengalami penyesuaian atau pada saat tertentu. Kesamaan dalam pola perubahan orientasi dan perilaku ayah remaja disebabkan responden dalam kategori ini berhadapan dengan situasi transisi yang sama. Dinamika psikologis yang dijelaskan dalam penelitian ini berkaitan dengan karakteristik sosio-emosi yang dialami ayah remaja dalam fase transisi menjadi ayah remaja dan dinamika hidup berkeluarga di usia remaja. Perasaan yang muncul dan dialami ayah remaja kategori terpaksa dan tidak terpaksa: ketidakstabilan emosi, stress, kecemasan, tidak kompeten (dilematis, diremehkan, merasa tidak siap menjadi ayah), perhatian tidak maksimal, belum puas menikmati masa remaja, dan kesulitan ekonomi. Secara positif ayah remaja mengalami perubahan orientasi dari selforiented menjadi family oriented. Terkait makna peran ayah, ayah remaja di kedua kategori terpaksa dan tidak terpaksa menghubungkan tanggung jawab sebagai keutamaan peran ayah. Nilai tanggung jawab tersebut termanifestasi dalam peran ayah sebagai pencari nafkah. Konsep ini menguat dalam diri ayah remaja, dan didukung oleh nilai-nilai budaya setempat yang mengatur pembagian peran laki-laki dan perempuan. Budaya menegaskan peran laki-laki sebagai penyedia sumber ekonomi, sehingga kebutuhan rumah tangga, makanan, pakaian, tempat tinggal terjamin. Oleh karena itu seorang ayah diharapkan untuk menjaga parang atau tombak tetap terasah tajam. Parang menjadi simbol kejantanan dan kerja
keras. Karena itu ayah remaja dalam penelitian ini mempersepsikan pekerjaan sebagai salah satu cara untuk dapat menjalankan peran pencari nafkah. Ayah remaja dalam penelitian ini menegaskan bahwa peran tanggung jawab ayah termanifestasi dalam kemampuannya menjadi teladan bagi keluarganya. Ayah sebagai panutan bermakna tanggung jawab moral ayah kepada anak. Figur ayah berperan menanamkan nilai-nilai moral dan sosial dalam diri anak. Peran ayah sebagai pelindung dan pemelihara keluarga, dengan memberi rasa aman dan nyaman bagi keluarga. Makna peran ini muncul dari ayah remaja kategori terpaksa dengan pola dyadic family. Pengaruh teman sebaya dan tuntutan pergaulan khas remaja masih cukup kuat dan berpotensi negatif. Kehadiran dan keterlibatan dalam pengasuhan, juga sebagai upaya proteksi dari hal yang berpotensi negatif. Selanjutnya pola dyadic family, menuntut kemandirian dan partisipasi aktif ayah dalam pengasuhan, mengingat tidak ada figur pengganti lain yang membantu pengasuhan anak. Keterlibatan dan dukungan ini memberi rasa aman, juga sekaligus kebutuhan untuk menunjukkan pada teman sebaya bahwa mereka mampu menjadi ayah dan mengembangkan hubungan yang bermakna dengan anak. Peran ayah sebagai pengasuh, bersama ibu membangun sinergi dalam pengasuhan. Pada kedua kategori ini, terdapat pembagian peran secara tradisional antara ayah dan ibu, namun tuntutan kebutuhan dan situasi, efektifitas, sehingga ayah remaja membuka kesempatan untuk membangun pola sendiri dalam mengembangkan ketrampilan pengasuhan. Koordinasi dan kooperasi antara ayah dan ibu, bahkan keterlibatan anggota keluarga besar (pada pola triadic family) dalam pengasuhan merupakan kewajiban dalam
menjalankan peran secara tepat dan realistis. Peka terhadap kebutuhan anak, mencakup ketersediaan ayah baik secara fisik dan psikologis untuk merespon kebutuhan anak. Ayah remaja dalam penelitian ini, baik pada kategori terpaksa maupun tidak terpaksa, menyadari bahwa kasih sayang dan perhatian yang utuh dari orang tua, dibutuhkan anak dalam tumbuh kembangnya. Ketersediaan waktu dan ruang kebersamaan dimaksimalkan untuk memfasilitasi interaksi ayah-anak secara intensif. Aktivitas bersama ayah dan anak menstimulasi perkembangan fisik, motorik, afeksi dan perkembangan sosial anak. Penelitian ini membedakan antara dyadic family dan triadic family. Dyadic family yang dimaksud adalah keluarga yang hanya terdiri dari keluarga inti, yaitu ayah, ibu, dan anak. Sedangkan yang dimaksud triadic family adalah keluarga yang terdiri dari keluarga inti dan keluarga besar, sehingga dalam sebuah keluarga terdapat dua atau lebih generasi. Pada pola dyadic family, ayah remaja mengalami kebebasan berekspresi sebagai individu maupun kepala keluarga. Menemukan totalitas dalam mengorganisir keluarganya secara mandiri, sesuai dengan prinsip dan kebutuhan mereka tanpa merasa sungkan. Pola dyadic family menandai pergerakan kemandirian yang dinamis, dari ketidakmandirian menuju kemandirian yang berifat autonomy dengan mencari model idealisasi yang sesuai (Steinberg, 2002). Namun di sisi lain, konteks dyadic family juga berdampak secara berbeda pada ayah remaja. Kesulitan ekonomi dan keterbatasan sumber daya menimbulkan ketergantungan ekonomi ayah remaja pada orang tua. Di saat yang sama muncul rasa malu dalam diri ayah remaja karena merasa tidak efektif. Tentunya hal ini berdampak pada konflik relasi istri dengan ipar, serta sulit berintegrasi dengan keluarga besar, karena masih dianggap sebagai pihak luar. Situasi yang
demikian kurang menguntungkan posisi perempuan sebagai ibu remaja, pertama, kehadiran ibu remaja terjadi di saat keluarga belum siap menerima. Kedua, saudara ipar harus berbagi sumber daya dengan adanya tambahan anggota keluarga baru. Hasil penelitian ini mendukung penelitian Bunting dan Mc Auley (2004). Secara positif, pola triadic family diperlukan terkait proses transfer pengetahuan dan nilai-nilai kekeluargaan (dukungan, perhatian, perasan senasibsepenanggungan), maupun aspek pengasuhan dan perkembangan anak. Orang tua dari ayah remaja, dan saudara kandung turut berkontribusi dalam pengasuhan anak. Namun di sisi lain, ada juga ayah remaja yang menilai, akan jauh lebih nyaman apabila tinggal terpisah dari orang tua. Lebih berpengalaman, orang tua seringkali merasa lebih tahu dalam banyak hal, mencampuri hal-hal dalam keluarga tanpa memperhitungkan ayah remaja. Posisi identitas ayah remaja seringkali rancu, menjadi ayah untuk anaknya, sekaligus menjadi anak dari orang tua. Situasi demikian menyulitkan ayah remaja untuk menempatkan diri, merasa serba salah saat menyelesaikan ketegangan mertua-menantu. Temuan tambahan dalam penelitian ini berkaitan dengan fenomena relasi ekstramarital. Peneliti menemukan dua orang ayah remaja (dyadic family), satu responden di setiap kategori terpaksa (MF) dan tidak terpaksa (OH) yang terlibat dalam perselingkuhan. Beberapa hal yang mendorong terjadinya perselingkuhan ayah remaja: tersedianya kesempatan dan keinginan, tekanan sosial, kesenangan dan pengalaman romantik, kesulitan ekonomi dan seksual interest. Perselingkuhan ayah remaja dilatarbelakangi oleh motif ekonomi. Salah satu caranya adalah dengan berselingkuh untuk imbalan uang dan akomodasi pulsa. Berkaitan dengan keterlibatan ayah remaja dalam relasi ekstramarital, pengalaman masa kecil
ayah remaja turut berkontribusi dalam hal ini. MF menuturkan dalam wawancara bahwa di usia kanak-kanak sudah mengenal hal-hal yang berkaitan dengan seks. Bahkan berlanjut hingga masa sekolah dan masa remaja, mulai dari pemikiran mengenai hal-hal berbau seks sampai melakukan hubungan seksual. Sesuai dengan penelitian Treas & Geisen (2000), orang dengan riwayat seks pranikah, atau melakukan intercourse pertama pada usia jauh lebih muda memiliki seksual interest yang tinggi. Seksual interest berhubungan dengan kecenderungan untuk terlibat dalam relasi ekstramarital, karena adanya nilai permisif terhadap perselingkuhan. KESIMPULAN DAN SARAN Pengalaman masa transisi menjadi ayah remaja menghasilkan dinamika psikologis yang beragam. Ayah remaja pada kedua kategori terpaksa dan tidak terpaksa bergumul dengan penyesalan akibat keputusan menikah di usia remaja. Penyesalan akibat terbatasnya pendidikan dan hilangnya kesempatan mendapatkan pekerjaan layak, serta kesenjangan antara ekspektasi dan realitas hidup berkeluarga. Pekerjaan, pendidikan dan kesulitan ekonomi menjadi masalah utama yang dihadapi ayah remaja. Penyesalan berdampak pada aspek perkembangan; ketidaksiapan serta ketidakpuasan ayah remaja menikmati masa remaja, sehingga berdampak pada keterlibatan mereka dalam relasi ekstramarital. Ayah remaja kategori tidak terpaksa dengan pola dyadic family mengalami tekanan sosial dari teman sebaya, dan lingkungan keluarga akibat jeda waktu yang cukup panjang antara jarak menikah dan mempunyai anak. Situasi ini rawan terjadinya relasi ekstramarital pada ayah remaja. Situasi tekanan yang sama tidak dialami oleh ayah remaja dengan pola triadic family. Pengalaman tersebut memberi gambaran peran ayah dimaknai sebagai
tanggung jawab. Wujud tanggung jawab terimplementasi dalam aspek peran ayah sebagai penanggung jawab ekonomi keluarga. Peran pencari nafkah lebih dari sekadar makna ekonomis tetapi juga bermakna psikologis, berkaitan dengan harga diri dan identitas. Makna peran ayah sebagai pemberi teladan, pelindung dan pemelihara, pengambil keputusan, bersinergi dalam pengasuhan, kepekaan terhadap kebutuhan fisik dan efeksi anak. Peran ayah ini merefleksikan bahwa peran ayah tidak hanya bermakna pencari nafkah keluarga tetapi juga sebagai pasangan dan pengasuh. Aspek pola keluarga dyadic dan triadic membawa dampak positif dan negatif. Pada pola dyadic family ayah remaja merasa lebih bebas berekspresi, mandiri dan percaya diri, dibandingkan pada pola triadic family. Karena itu pola dyadic family dipandang ayah remaja sebagai pilihan ideal. Namun di sisi lain, sistem tiga generasi secara positif berperan dalam proses transmisi nilainilai kekerabatan dan menjadi kontrol perilaku yang memproteksi ayah remaja dari relasi ekstramarital. Melalui hasil penelitian ini, diharapkan menjadi perhatian bagi ayah remaja, orang tua untuk mendampingi, memberi penguatan dan pengembangan kapasitas bagi ayah remaja. Penelitian ini terbatas pada ayah remaja, dalam penelitian selanjutnya dapat mengkaji orang tua dari ayah remaja dan ibu remaja sebagai bagian dari family system untuk mendapat gambaran yang komprehensif. DAFTAR PUSTAKA Anna, L.K. (2010, Januari 19). Hamil di usia remaja lebih berisiko (Kompas). Diakses pada 25 Januari 2011 dari http://www.kompas.com/read/xml /2010/01/19/16495023/
Beach, L.R., & Connoly, T. (2005). The psychology of decision making. Thousand Oaks: Sage Publications. Benson, M. (2004). After the adolescent pregnancy: Parents, teens and families. Child and Adolescent Social Work Journal, 21, 435-455. Bernardes, J. (2002). Family studies: An introduction. London: Routledge. Bornstein, R.F., Ng Mei, H., Gallagher, H.A., Kloss, D.M., & Regier, N.G. (2005). Contrasting effect of self-schema priming on lexical decisions and interpersonal stroop task performance: Evidence for a cognitive/interactionist model of interpersonal dependency. Journal of Personality, 73(3), 731-761. Bunting, L., & McAuley, C. (2004). Research review: Teenage pregnancy and parenthood: The role of fathers. Child and Family Social Work, 9, 295-303. Cardona, J.R.P., Wampler, R.S., & Sharp, E.A. (2006). Wanting to be a good father: Experiences of adolescent fathers of mexican descent in a teen fathers program. Journal of Marital and Family Therapy, 32(2), 215-231. Dallas, C. (2004). Family matters: How mothers of adolescent parents experience adolescent pregnancy and parenting. Public Health Nursing, 2(4), 347-353. Dallas, C., Wilson, T., & Salgado, V. (2000). Gender differences in teen parents’ perceptions of parental responsibilities. Public Health Nursing, 17(6), 423-433.
Esbaugh, E.M., & Gute, G. (2008). Hookups and sexual regret among college women. The Journal of Social Psychology, 148(1), 77-89.
Newman, B.M., & Newman, P.R. (1979). Development through life: A psychosocial approach. Illinois: The Dorsey Press.
Fox,
Nia. (2012, Juli 12). Remaja bukan obyek (Pos Kupang). Diakses pada 28 Februari 2013 dari http://kupang.tribunnews.com/201 2/07/12/mody-taopan-remajabukan-obyek
G.L., & Bruce, C. (2001). Conditional fatherhood: Identity theory and parental investment theory as alternative sources of explanation of fathering. Journal of Marriage and family, 63, 394403.
Frascarolo, F., Zaouche-Gaudron., Rouyer, V., & Faves, N. (2005). Variation on fathers’ discourse on fatherhood and in family alliances during infancy. European Journal of Psychology of Education, 20(2), 185-199. Gilovich, T., Medvec, V.H., & Kahneman, D. (1998). Varieties of regret: A debate and partial resolution. Psychological Review, 105(3), 602-605. Goh, E.C.L., & Kuczynski, L. (2010). Only children and their coalition of parents: Considering grandparents and parents as joint caregivers in urban Xianmen, China. Asian Journal of Social Psychology, 13, 221-231. Kane, A. (2006). Keep them married. Policy and Practice of Public Human Service, 64(3), 36. Kurrien, R., & Dawn Vo, E. (2004). Who is in charge? : Coparenting in south and southeast asian families. Journal of Adult Development, 11(3), 207-218. Laksmiwati, I.A.A. (1999). Transformasi sosial dan perilaku reproduksi remaja. Yogyakarta: Kerjasama Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada dengan Ford Foundation.
Palkowitz, R., Copes, M.A., & Woolfolk, T.N. (2001). It’s like…you discover a new sense of being: Involved fathering as an evoker of adult development. Men and Masculinities, 4(1), 49-69. Rice, F.P., & Dolgin, K.G. (2008). The adolescent: Developmental, relationships, and culture. New York: Pearson Education. Roese, N. J., & Summerville, A. (2005). What we regret most . . . and why. Personality and Social Psychology Bulletin, 31, 1273– 1285. Roese,
N. (2005). Twisted pair: Countrerfactual thinking and the hindsight bias. In Koehler, D.J. & Harvey, N (Ed.). Blackwell handbook of judgment & decision making (258-273). United Kingdom: Blackwell Publishing.
Shaw, M.E., & Costanzo, P.R. (1982). Theories of social psychology (2nd ed.). London: McGraw-Hill. Steinberg, L. (2002). Adolescence. New York: McGraw Hill. Steinberg, L., & Scott, E. (2003). Less guilty by reason adolescence: Developmental immaturity, diminished responsibility and the
juvenile death pinalty. American Psychologist. Steinberg, L., O’Brien, L., Cauffman, E., Graham, S., Woolard, J., & Banich, M. (2009). Age differences in future orientation and delay discounting. Child Development, 80(1), 28-44. Summers, J.A., Boller, K., Schiffman, R.F., & Raikes, H.H. (2006). The meaning of ―good fatherhood:‖ Low-income fathers’ social construction of their roles. Parenting: Science and Practice, 6(2), 145-165. Treas, J., & Giesen, D. (2000). Sexual infidelity among married and cohabiting Americans. Journal of Marriage and the Family, 62, 48– 60. Towsend, N.W. (2002). The package deal: Marriage, work, and fatherhood in men’s lives (Book Review). Journal of Marriage and Family, 498-499. Zeelenberg, M., van Dijk, W.W., Manstead, A.S.R., & van der Pligt. (1998) The experience of regret and disappointment. Cognition and Emotion, 12(2), 221-230. Zeelenberg, M. (1999). The use of crying over spilled milk: A note on the rationality and functionality of regret. Philosophical Psychology, 12(3), 326-337.