THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
PERAN AYAH DALAM PENANAMAN NILAI-NILAI SPIRITUAL PADA ANAK Nur Syariful Amin1, Nisa Rachmah Nur Anganti2 Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta
[email protected] 2 Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta
[email protected] 1
Abstrak Secara umum pengasuhan anak menjadi peran utama ibu.Secara kultural peran ayah lebih sebagai tulang punggung dan pencari nafkah keluarga. Realita menunjukkan bahwa peran ayah sangat penting dan dibutuhkan untuk perkembangan seorang anak. Kedekatan dan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak akan mempengaruhi perkembangan kognitif, kompetensi sosial, kemampuan memecahkan masalah dan adaptasi dengan lingkungan. Ayah juga bertanggung jawab sebagai model dalam penanaman nilai-nilai spiritual kepada anak. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan peran, proses, dukungan dan kendala ayah dalam menanamkan nilai-nilai spiritual pada anak. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan purposif sampling.Dari 12 orang responden yang terlibat dalam penelitian kolaboratif, ditetapkan 4 orang dengan karakteristik: Laki-laki, usia minimal 36 Tahun, Pendidikan minimal S-1, Karyawan dan Dosen di Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang berbasis Spiritual Keagamaan di Jawa Tengah, , Sudah berkeluarga dan memiliki anak dengan usia variatif antara anak-anak hingga dewasa awal, Melakukan peran dalam menanamkan nilai-nilai spiritual anak.Pengumpulan datamenggunakan wawancaramendalam dan dokumentasi. Hasil penelitian menggambarkan bahwa : (1) Peran ayah ditunjukkan melalui kedekatan dan keterlibatannya secara fisik maupun emosional serta sebagai model dan panutan spiritual bagi anak,(2) Proses penanaman nilai-nilai spiritual telah ayah lakukan sejak dalam kandungan, (3) Dukungan didapat dari keluarga, masyarakat dan sekolah berupa pemberian nasehat, motivasi dan pemantauan,(4) Kendala yang ayah hadapi dalam penanaman nilai-nilai spiritual adalah masalah pergaulan, internet, mood anak, waktu dan kurangnya ilmu.Dapat disimpulkan bahwa pembentukan kebiasaan anak dalam mengimplementasikan nilai-nilai spiritual merupakan proses dari kedekatan, keterlibatan dan keteladanan ayah sesuai tahap perkembangan anak. Implikasi dari penelitian ini adalah perlunya strategi yang tepat dan efektif untuk penanaman nilai-nilai spiritual anak.. Kata Kunci:peran ayah, nilai-nilai spiritual, perkembangan anak
1. PENDAHULUAN Keluarga sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat akan memberikan pengaruh yang besar bagi perubahan sosial. (Lestari, 2014). Peran ayah bunda sebagai orang tua sejatinya adalah peran yang melekat dalam melakukan pengasuhan untuk keberlangsungan dan pengembangan anak (Hoffman, 2010). Namun umumnya dalam keluarga, ibu memainkan peran yang penting
THE 5TH URECOL
di dalam mendidik anak-anaknya, terutama pada masa balita seperti : menyekolahkan anak, mengajarkan anak berbicara, berhitung, dan mengajarkan budi pekerti yang baik.Hal ini sebagaimana riset yang dilakukan oleh Werdiningsih& Astarani (2012) yang menyatakan bahwa ibu berperan dalam pemenuhan kebutuhan dasar anak terhadap perkembangan motorik halus, motorik kasar dan personal sosial anak.
1034
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
Secara kultural, peran ayah dipersepsikan sebagai tulang punggung dan pencari nafkah keluarga. Sesungguhnya ayah memiliki peran yang besar bagi perkembangan seorang anakdisamping sebagai penopang ekonomi keluarga. Hasil riset menunjukkan bahwa kedekatan dan keterlibatan ayah sejak ibu hamil hingga melahirkan akan berpengaruh terhadap kesehatan ibu dan anak (Plantin dkk, 2011),secara psikologis digambarkan bahwa kualitas kedekatan ayah-anak berpengaruh pada perkembangan psikososial anak (self esteem) (Mikiyasu & Brian, 2011). Dalam pandangan spiritual Islam, Suwaid (2004) menjelaskan bahwa peran mendidik anakdigambarkan dengan jelas dalam alQur’an tentang besarnya peran ayah dalam pendidikan anak. Dikisahkanbagaimana peran Luqman sebagai seorang ayah dalam menanamkan nilai-nilai spiritual pada anaknya (QS. Luqman(31): 13-18). Kemudian kisah Nabi Yusuf yang menjadi penguasa negeri Mesir, tidak lepas dari peran Nabi Ya’kub sebagai seorang ayah yang memberikan perhatian dan menanamkan nilainilai spiritual kepada anak. Rosulullah SAW sebagai seorang Nabi, Rasul dan pemimpin umat Islam, meskipun ditinggal oleh ayahnya sejak dalam kandungan, namun peran sang ayah digantikan oleh kakek dan pamannya yang mengasuhnya sejak beliau kecil. Demikian pula dalam perspektif spiritual Kristen, ayat dari Perjanjian Baru memberi gambaran yang jelas mengenai perintah Tuhan kepada ayah terkait peranannya membesarkan anak-anaknya. Dalam pasal dan ayat Efesus 6:4 merupakan ringkasan dari nasehat kepada para orangtua, yang diwakili oleh ayah, yang dinyatakan secara negatif dan positif. “Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anakanakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.” Di sini ditemukan apa yang dikatakan oleh Alkitab mengenai tanggung jawab ayah dalam membesarkan anak-anak. Ayat ini juga melarang seorang ayah jangan sampai menimbulkan emosi-emosi tidak baik dari anak-anak melalui pernyataan kekuasaan secara berlebihan, tidak adil, memihak atau tanpa alasan (Nelson, 2011)
THE 5TH URECOL
UAD, Yogyakarta
Paparan diatas menunjukkan bahwa perspektif spiritual Islam dan Nasranisama-sama menggambarkandengan jelas betapa pentingnya peran ayah dalam menentukan perkembangan spiritual anak. Penanaman nilai-nilai spiritual merupakan benteng bagi anak dari pengaruh negatif lingkungan. Anganti (2014) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa ketahanan sebuah keluarga dari pengaruh negatif lingkungan dapat diperoleh dengan mengimplementasikan nilai-nilai spiritual yang diawali dari individu sebagai pribadi, kemudian diperluas dalam keluarga dan masyarakat. Berkenaan dengan hal tersebut, Sutarmin, dkk (2014)memperkuat bahwadengan keteladanan perilaku dari orang tua khususnya ayah secara spiritual, akan membuat kepribadian anak cenderung menjadi lebih baik. Kenyataannya banyak orang tua yang secara tidak sadar mulai meninggalkan perannya dan semakin jauh secara pribadi dari nilai-nilai spiritual. Ayah lebih fokus mengejar materi yang dianggap sebagai parameter kebahagiaan.Akibatnya anak merasa kehilangan sosok ayah secara spiritual dalam hidupnya.Sundari &Herdajani (2013)dalam penelitiannya menggambarkan bahwa anak yang tidak dekat dengan ayahnya, akan memiliki harga diri (selfesteem) yang rendah,memiliki perasaan marah (anger), malu (shame) karena berbeda dengan yang lain, anak juga akanmerasakan kesepian (loneliness), kecemburuan (envy), kedukaan (grief) dankehilangan (lost) yang amat sangat, rendahnya inisiatif,kontrol diri (selfcontrol),keberanian mengambil resiko (risk taking), dan psychology well-being,serta memiliki kecenderungan neurotik.
Dampak yang lebih jauh adalah tidak optimalnya perkembangan kebermaknaan spritual dalam diri anak sehingga anak mengalami kekosongan spiritual. Menurut Triantoro (2012)biasanya hal ini akan
1035
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
menyebabkan anak mudah terombang ambing oleh derasnya arus globalisasi dan pengaruh lingkungan sekitar. Maka dalam hal ini Alhamdu (2014)menegaskan bahwa penanaman nilai-nilai spiritual pada anak sejak dini dapat mengantisipasi pengaruh negatif yang akan terjadi dan menjadi benteng untuk membentuk generasi yang sehat dan berkualitas. Penanaman nilai-nilai spiritualitas oleh ayah akan membentuk pemahaman spiritualitas pada anak. Dengan pemahaman tersebut, akan terjadi proses pemaknaan dan penghayatan pentingnya nilai-nilai spiritual sehingga anak akan merasakan hidupnya lebih bermakna. Dengan keteladanan ayah, akan terbentuklah kebiasaan pada anak. Ayah sebagai kepala keluarga tentu bertanggung jawab terhadap perkembangan spiritualitas anak. Keberhasilan peran ayah dapat dilihat dari bagaimana perkembangan spiritualitas anak dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan paparan diatas, muncul pertanyaan penelitian bahwa dalam masyarakat kita, apakah ayah sudah berperan dalam menanamkan nilai-nilai spiritual pada anak?. Maka, Penelitian ini bertujuan untuk
megetahui bagaimana peran dan proses ayah dalam penanaman nilai-nilai spiritual, sertaapa saja dukungan dan kendala yang ayah hadapi dalam penanaman nilai-nilai spiritual pada anak. Dengan harapan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat pada peran ayah untuk terlibat secara aktif dalam memantau dan mendampingi anak sesuai tahap perkembangannya. Implikasi penelitian adalah perlunya strategi yang tepat dan efektif untuk penanaman nilainilai spiriualitas anak. 2. KAJIAN LITERATUR Ketertarikan tentang kajian keayahan baru muncul dan berkembang pada tahun 1970-an. Sejak saat itu penelitian dan kajian mengenai keayahan mulai bermunculan. Hal ini secara tidak langsung mempengaruhi
THE 5TH URECOL
UAD, Yogyakarta
anggapan tentang konsep keayahan secara sosial budaya (Dagun, 2002) Peran ayah atau Fathering lebih merujuk pada perannya dalam parenting. Hal ini dikarenakan fathering merupakan bagian dari parenting. Idealnya ayah dan ibu mengambil peranan yang saling melengkapi dalam kehidupan rumah tangga dan perkawinannya, termasuk di dalamnya berperan sebagai model yang lengkap bagi anak-anak dalam menjalani kehidupannya (Andayani & Koentjoro, 2004). Ayah memiliki pengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung kepada anak. Pengaruh secara langsung adalah bagaimana pola komunikasi, kedekatan dan keterlibatan ayah yang dilakukan secara langsung pada anak, seperti bermain, memberikan kasih sayang dan lain sebagainya. Sedangkan pengaruh tidak langsung terjadi melalui interaksinya dengan ibu atau dengan dunia sosial yang lebih luas. Lamb (2010)mengajukan model yang elaboratif tentang konsep peran ayah dalam pengasuhan meliputi : a) Paternal Engagement yaitu pengalaman ayah berinteraksi langsung dan melakukan aktivitas bersama misalnya bermain-main, meluangkan waktu bersama, dan seterusnya. b) Paternal Accessibility yaitu kehadiran dan kesediaan ayah untuk anak. Orangtua ada di dekat anak tetapi tidak berinteraksi secara langsung dengan anak. c) Paternal Responsibility yaitu sejauhmana ayah memahami dan memenuhi kebutuhan anak, termasuk memberikan nafkah dan merencanakan masa depan anak. Menurut Riley & Shalala (2000) peran ayah ada empat yaitu: (1) Modeling adult male behavior, (2) Making Choices, (3) Problem Solving abilities, (4) Providing Finansial and Emotional Suppor Natasya (2007) melakukan analisis tentang keterlibatan ayah kepada anak melalui empat indikator : (a) waktu yang dihabiskan bersama anak, (b) kehangatan, (c) monitor dan kontrol, (d) tanggung jawab. Berbicara tentang spiritual, maka kata dasarnya adalah spirit yang diambil dari kata latin spiritus yang berarti bernafas. Spiritualitas merupakan sesuatu yang universal, yaitu nilai, makna dan tujuan hidup yang dianut seseorang (Zohar & Marshall,
1036
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
2005). Lebih lanjut Aliah& Hasan (2001)mengartikan spiritual sebagai bagian dari aspek ilahiah yang dianugerahkan kepada manusia. Dalam hal ini pengertian spiritual tidak merujuk pada satu agama apapun. Spiritualitas adalah pengalaman atau keinginan mengenal Tuhan yang dilakukan secara pribadi.Menurut Muttaqin (2012),Spiritual dalam pengertian yanglebih luas merupakan hal yang berhubungan dengan kebenaran yang abadi dan tujuan hidup manusia.Maka, spiritualitas meliputi upaya pencarian, menemukan dan memelihara sesuatu yang bermakna dalam kehidupannya. Spirituaiitas sebagai konsep dua dimensi. Dimensi vertikal adalah hubungan dengan Tuhan atau Yang Maha Tinggi yang menuntun kehidupan seseorang, sedangkan dimensi horizontal adalah hubungan seseorang dengan diri sendiri, dengan orang lain dan dengan lingkungan. Terdapat hubungan yang terus menerus antara dua dimensi tersebut sebagaimana yang dijelaskanHawari (2002). Hosnan (2016) menjelaskan bahwa perkembangan spiritual pada anak sangatlah penting untuk diperhatikan, yaitu : (1) Bayi berusia antara 0-18 bulan. Bayi yang sedang dalam proses tumbuh kembang, yang mempunyai kebutuhan yang spesifik (fisik, psikologis, sosial, dan spiritual) yang berbeda dengan orang dewasa. Keluarga yang spiritualnya baik merupakan sumber dari terbentuknya perkembangan spiritual yang baik pada bayi,(2) Kanak-kanak.Dimensi spiritual mulai menunjukkan perkembangan pada masa kanak-kanak awal (18 bulan-3 tahun).Tahap perkembangan ini memperlihatkan bahwa anak-anak mulai berlatih untuk berpendapat dan menghormati acara-acara ritual dimana mereka merasa tinggal dengan aman. Observasi kehidupan spiritual anak dapat dimulai dari kebiasaan yang sederhana seperti cara berdoa sebelum tidur dan berdoa sebelum makan, atau cara anak memberi salam dalam kehidupan seharihari,(3) Pra Sekolah.Perkembangan spiritual pada anak masa pra sekolah (3-6 tahun) berhubungan erat dengan kondisi psikologis dominannya yaitu super ego.Kebutuhan
THE 5TH URECOL
UAD, Yogyakarta
spiritual ini harus diperhatikan karena anak sudah mulai berfikiran konkrit. Mereka kadang sulit menerima penjelasan mengenai Tuhan yang abstrak, bahkan mereka masih kesulitan membedakan Tuhan dan orang tuanya,(4)Usia sekolah merupakan masa yang paling banyak mengalami peningkatan kualitas kognitif pada anak (6-12 tahun). Anak usia sekolah (6-12 tahun) berfikir secara konkrit, tetapi mereka sudah dapat menggunakan konsep abstrak untuk memahami gambaran dan makna spriritual dan agama mereka,(5)Remaja (12-18 tahun).Pada tahap ini individu sudah mengerti akan arti dan tujuan hidup. Remaja menguji nilai dan kepercayaan orang tua mereka dan dapat menolak atau menerimanya. Secara alami, mereka dapat bingung ketika menemukan perilaku dan role model yang tidak konsisten. Pada tahap ini kepercayaan pada kelompok paling tinggi perannya daripada keluarga. Bagi orang tua ini merupakan tahap paling sulit karena orang tua melepas otoritasnya dan membimbing anak untuk bertanggung jawab. Seringkali muncul konflik orang tua dan remaja, (6)Dewasa muda (18-25 tahun).Pada tahap ini individu menjalani proses perkembangannya dengan melanjutkan pencarian identitas spiritual, memikirkan untuk memilih nilai dan kepercayaan mereka yang dipelajari saaat kanak-kanak dan berusaha melaksanakan sistem kepercayaan mereka sendiri,(7)Dewasa pertengahan (25-38 tahun).Merupakan tahap perkembangan spiritual yang sudah benarbenar mengetahui konsep yang benar dan yang salah, mereka menggunakan keyakinan moral, agama dan etik sebagai dasar dari sistem nilai. Mereka sudah merencanakan kehidupan, mengevaluasi apa yang sudah dikerjakan terhadap kepercayaan dan nilai spiritual, (8)Dewasa akhir (38-65 tahun).Periode perkembangan spiritual pada tahap ini digunakan untuk instropeksi dan mengkaji kembali dimensi spiritual, kemampuan intraspeksi ini sama baik dengan dimensi yang lain dari diri individu tersebut. Biasanya kebanyakan pada tahap ini kebutuhan ritual spiritual meningkat, (9)Lanjut usia (65 tahun sampai kematian).Pada tahap perkembangan ini,
1037
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
walaupun membayangkan kematian mereka banyak menggeluti spiritual sebagai isu yang menarik, karena mereka melihat agama sebagai faktor yang mempengaruhi kebahagian dan rasa berguna bagi orang lain. Berdasarkan kajian literature diatas, maka fokus dari penelitian ini adalah bagaimana peran dan proses penanaman nilainilai spiritual berdasarkan tahap perkembangan anak serta dukungan dan kendala yang dihadapi ayah dalam penanaman nilai-nilai spiritual pada anak. 3. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif yaitu penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya. Pemilihan responden penelitian dilakukan dengan menggunakan purposive.Dari 12 orang responden yang terlibat dalam penelitian kolaboratif, ditetapkan 4 orang dengan karakteristik : (1) Laki-laki, usia minimal 36 Tahun, Pendidikan minimal S-1, (2) Karyawan dan Dosen di Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang berbasis Spiritual Keagamaan di Jawa Tengah, (3) Sudah berkeluarga dan memiliki anak dengan usia variatif antara anak-anak hingga dewasa awal, (4) Melakukan peran dalam menanamkan nilai-nilai spiritual anak. Pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam dan dokumentasi. Bahan dan alat yang dipakai adalah lembar pertanyaan, perekam, dan transkrip verbatim. Analisis data dilakukan melalui tahapan mentranskrip verbatim, mengkategorikan data, membuat koding, menginterpretasikan pola dan tema, memvalidasi data, dan membuat kesimpulan. Dalam pemeriksaan keabsahan data, peneliti menggunakan langkah-langkah sebagai berikut : (1) Perpanjangan Keikutsertaan. Keikutsertaan peneliti dalam hal ini sangat menentukan dalam pengumpulan data dan (2) Ketekunan pengamatan. Ketekunan pengamatan dalam hal ini adalah peneliti berusaha menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur obyektif yang dilakukan responden.
THE 5TH URECOL
UAD, Yogyakarta
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Peneliti melakukan studi kolaboratif dengan Anganti (2014;2015). Dalampenelitian tersebut, ada hal menarik yang ingin peneliti elaborasi lebih mendalam yaitu tentang peran ayah dalam penanaman nilai-nilai spiritual pada anak. Peneliti menetapkan 4 orang responden yang datanya dipaparkan pada tabel berikut ini : Tabel 1.Data Responden Jml Nama Pekerj Status Anak Anak aan 1. JF 59 S-3 Dosen Nikah 3 YGF NNF APF 2. JW 52 S-1 Kary Nikah 3 UW NK NT 3. EP 60 S-1 Dosen Nikah 2 SWA YWA 4. DN 42 S-1 Kary Nikah 2 RAA MJA Sumber : wawancara (2016)
No Ayah Usia Pend.
Usia 30 28 27 21 19 6 25 22 8 5
Hasil paparan tabel 1 menunjukkan bahwa responden terdiri atas 2 kategori yaitu dosen 2 orang (50%) dan karyawan 2 orang (50%). Usia responden berada pada fase dewasa madya (40-60), 1 orang (25%) berada pada usia 40-50 tahun, dan sebanyak 3 orang (75%) berada pada usia 50-60 tahun. Tingkat pendidikan responden terdiri atas sarjana sebanyak 3 orang (75%) dan doktor sebanyak 1 orang (25%). Status responden sudah menikah dan termasuk dalam keluarga kecil dengan jumlah anak 1-3 yaitu 2 anak 2 orang (50%), dan 3 anak 2 orang (50%). Anak-anak responden memiliki tahap perkembangan yang variatif dari anak-anak hingga dewasa awal. Terdapat 3 orang anak berada pada tahap perkembangan anak-anak (usia 2-12 tahun) (30%), dan 3 orang anak pada tahap perkembangan remaja (usia 15-22 tahun) (30%), kemudian 4 orang pada tahap perkembangan dewasa awal (usia 23-30 tahun) (40%). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa responden yang terlibat dalam penelitian ini adalah seorang ayah yang bekerja sebagai dosen dan karyawan pada
1038
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
Perguruan Tinggi Swasta berbasis spiritual keagamaan, masih berusia produktif, berpendidikan tinggi dan memiliki keluarga kecil dengan anak rentang usia variatif yaitu antara kanak-kanak hingga dewasa awal. Data hasil wawancara keempat responden tentang peran ayah dalam penanaman nilai-nilai spiritual tersebut diatas, secara keseluruhanakan ditampilkan komparasi data untuk memudahkan dalam melihat setiap aspek dari jawaban responden sebagaimana tabel 2 berikutini : Tabel 2. Komparasi data hasil interview responden Komponen a. Kedekatan b. Pola Komunikasi c. Keterlibatan Ayah
d. Profil Spiritualitas ayah
e. Kerjasama Dengan Pasangan
f. Tahapan Penanaman Nilai
g. Nilai –nilai yang ditanamkan
h. Metode i. Media j. Dukungan k. Kendala THE 5TH URECOL
JF Dekat Setiap hari Menyapa, SMS, WA Terlibat sejak masih kecil Mengenali emosi dengan baik Aktif organisasi Sholat jama’ah di masjid, sholat dan puasa sunah dan membaca al-qur’an. Subyek sering mengisi pengajian. Kerja sama dengan pasangan Tidak ada pembagian peran Ada perbedaan dengan istri namun harmonis Sejak dalam kandungan stel radio dan kaset pengajian dan murottal, Anak-anak lahir dan sebelum sekolah masih stel radio dan kaset Anak-anak sekolah di sekolah Islam dari TK hingga PT Menghormati, menghargai dan peduli pada orang lain, Taat dalam beribadah Berpakaian sesuai syariat Shodaqoh, Bersikap baik kepada binatang. Ceramah, dialog dan diskusi. Hp, TV dan Radio Istri, eyang, saudara, masyarakat. Sekolah Tidak ada kendala
Sumber : Wawancara 2016
JW EP DN Dekat dan terbuka Dekat fisik dan emosi Dekat Setiap hari telpon, Setiap hari telpon Setiap pagi menelpon SMS, WA dan pulang Informasi jam pulang Terlibat, tapi yang Terlibat sejak lahir Terlibat mengasuh sering adalah istri dan gantian dengan istri anak umur 3 tahun anak ke-2 Mengenali karakter Mengenali emosi anakMengenali emosi anak. anak anak. Belajar di pondok Berdo’a tengah malam Berdo’a dan ke gereja Berorganisasi sejak dan pagi hari secara Membaca al-kitab kecil hingga sekarang. rutin. sebelum tidur. Mengisi ceramah, Aktif di majlis gereja Tidak aktif dalam sholat 5 waktu di dan mengisi kebaktian organisasi keagamaan masjid, puasa sunah, apapun. sholat sunah. Bersama istri memikul Sama-sama berperan Saling melengkapi dan tanggung jawab Tidak ada pembagian Tidak ada pembagian Tidak ada pembagian peran, semua berjalan khusus. peran dan fleksibel. secara alamiah Saling menghargai dan seiring sejalan Mendo’akan Sejak Mendo’akan sejak Mendo’akan sejak dalam kandungan. dalam kandungan. dalam kandungan, TK dan SD sekolah Setelah lahir, Puput pusar diajak ke agama. dido’akan pendeta. gereja, SMP dan SMA bebas Mulai TK sekolah Diputar lagu pujian, dan tetap dipantau minggu Umur 3 bulan baptis Dewasa awal, Menginjak SD, dan dikenalkan simbol memantau agama diajarkan do’a-do’a spiritual, teman dan ayat-ayat untuk SD dibacakan cerita dihafalkan. komik. Utamakan agama, Ketaatan Nilai-nilai spiritual yang subyek tanamkan Apa tujuan hidup, Berbagi : menghormati orang Berbakti pada orang Cerminan 9 buah roh tua, yaitu : kasih, sukacita, yang lebih tua, tidak menyakiti dan tidak damai, sejahtera, Jiwa sosial berbuat curang pada kesabaran, kemurahan, Silaturahmi. teman. kebaikan, kelemah lembutan, dan pengendalian diri Sedikit diskusi dan Diskusi yang Menasehati, cerita dan banyak praktek. melibatkan akal budi diskusi Semua bisa jadi media. Semua bisa jadi media Hp dan video-video Istri dan Teman Istri, Keluarga hanya Istri, Kakek nenek, seperjuangan sementara. Bude, sekolah Malas dan Bad mood Pergaulan dan internet. Waktu dan kurangnya dalam 1039 ibadah. ilmu agama. ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
Dari paparan data hasil wawancara keempat responden tersebut diatas, maka akan dibahas berdasarkan pertanyaan penelitian yang mencakup (1) Peran Ayah dalam Penanaman Nilai-nilai Spiritual, (2) Proses Penanaman Nilai-nilai spiritual, (3) Dukungan yang Ayah dapatkan dan (4) Kendala yang Ayah hadapi dan cara mengataasinya. 1. Peran Ayah Peran ayah dapat dijelaskan sebagai suatu peran yang dijalankan dalam kaitannya dalam tugas untuk mengarahkan anak menjadi mandiri di masa dewasanya. Ayah yang menjalankan perannya dengan baik merefleksikan kedekatan dan keterlibatan positif ayah dalam pengasuhan anak-anaknya baik secara fisik maupun emosional.Data menunjukkan bahwa keempat responden (JF, JW, EP, DN) sebagai ayah dekat dengan anak-anaknya. Hal ini sebagaimana penelitian yang dilakukan Fathonah & Abidin (2016) bahwa Ayah yang memiliki hubungan kedekatan yang baik dengan anaknya diprediksi mampu menjadikan anak memiliki kemampuan belajar yang baik, dan anak mampu melewati setiap tahapan perkembangannya sesuai dengan usianya dengan maksimal. Kedekatan orang tua dengan anak sangat dibutuhkan karena kedekatan merupakan salah satu prediktor kualitas hubungan orangtua-anak yang harmonis. Responden EP mengaku bahwa dirinya dekat dengan anakanak secara fisik maupun emosi, sehingga anak-anak cenderung terbuka sebagaimana yang disampaikan oleh JW. Sebaliknya jika anak merasakan ketidak beradaan ayah, maka akan timbul masalah pada anak seperti agresivitas (Silverstein & Auerbach,1999), dan kerusakan struktur psikologis (Sundari &Herdajani, 2013). Komunikasi orang tua dengan anak sangat efektif untuk menciptakan kedekatan antar keduanya. Hasil penelitian Permata (2013)menunjukkan bahwa komunikasi secara langsung maupun tidak langsung dapat
THE 5TH URECOL
UAD, Yogyakarta
menciptakan keeratan hubungan orang tua dan anak. Dari data menunjukkan pola komunikasi JF dan JW dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Komunikasi langsung dilakukan dengan mengingatkan sholat anakanak, meluangkan waktu senggang untuk pulang ngobrol meskipun hanya sebentar. Sedangkan pola komunikasi tidak langsung dilakukan melalui telpon, Whats App dan SMS Sedangkan responden EP dan DN komunikasi langsung dilakukan sepulang kerja, mengingat padatnya jam kerja dan jarak tempat kerja dengan rumah cukup jauh. Adapun komunikasi tidak langsung sama seperti responden JF dan JW yaitu dilakukan dengan menelpon WA dan SMS. Dari aspek keterlibatan ayah, Responden JF dan EP masuk dalam kategori paternal engagement , yaitu terlibat langsung mulai dari memandikan anak, menyiapkan pakaian, makan, bermain, mendampingi tugas rumah (PR), mengantar-jemput sekolah, mengenali karakter, memantau teman bermain, bahkan mengantar berobat jika anak sakit. Sedangkan responden JW dan DN termasuk kategori kedua yaitu Aksesibilitas. Responden JW menyatakan bahwa yang lebih sering terlibat dalam mengurus kebutuhan anak adalah istri. Responden terlibat jika dibutuhkan dan jika istri nampak kelelahan. Demikian juga dengan responden DN, keterlibatan dengan anak-anak di lakukan sejak anak berumur 3 tahun. Responden DN merasa takut memandikan dan menggendong anak saat masih bayi terutama anak laki-laki, sehingga semenjak lahir hingga usia 3 tahun yang melakukan tugas pemenuhan kebutuhan anak adalah istri. Hal ini sebagaimana pembagian dimensi keterlibatan ayah oleh Lamb (2010), yaitu : (1)Paternal engagement: pengasuhan yang melibatkan interaksi langsung antara ayah dan anaknya, misalnya lewat bermain, mengajari sesuatu, atau aktivitas santai lainnya, (2)Aksesibilitas atau ketersediaan berinteraksi dengan anak pada saat dibutuhkan saja. Hal ini lebih bersifat temporal,(3)Tanggung jawab dan peran dalam hal menyusun rencana pengasuhan bagi anak. Pada komponen ini
1040
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
ayah tidak terlibat dalam pengasuhan (interaksi) dengan anaknya. Hasil riset Plantin & Olukoya, (2011)juga menggambarkan bahwa kedekatan dan keterlibatan ayah sejak ibu hamil hingga melahirkan akan berpengaruh terhadap kesehatan ibu dan anak. Arifin (2011) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa prilaku keberagamaan orang tua berpengaruh pada motivasi belajar anak. Hal ini menunjukkan bahwa profil spiritual ayah berpengaruh terhadap upaya ayah dalam penanaman nilai-nilai spiritual kepada anak. Profil spiritual keempat responden dapat digambarkan sebagai berikut : JF, JW dan EP sejak kecil sudah aktif di organisasi keagamaan, mencerminkan dirinya dengan nilai-nilai spiritual dan mengimplementasikannya dalam kehidupan keluarga. Responden JF dan JW sebagai seorang Muslim secara pribadi aktif dan rutin melakukan ibadah sholat 5 waktu di masjid, sholat sunah, sholat dhuha, sholat malam, puasa sunah, membaca al-Qur’an dan mengisi pengajian dan dipercaya menjaadi pengurus masjid. Responden EP sebagai seorang Nasrani pun juga aktif berdo’a, menjalankan kebaktian rutin setiap minggu, mengikuti kegiatan anjangsana majlis gereja, mengisi kebaktian dan dipercaya sebagai sekretaris majlis. Berbeda dengan DN yang memiliki keyakinan Katholik, meskipun tidak aktif di organisasi agama dan merasa diri memiliki kekurangan dalam ilmu agama, namun secara pribadi berusaha menjadi pribadi yang taat dengan rutin berdo’a, membaca al-kitab dan menjalankan kebaktian rutin. Penanaman nilai-nilai spiritual pada anak tentu tidak lepas dari keterlibatan pasangan. Sikap kedua pasangan yang saling mendukung dan bertindak sebagai satu tim yang bekerja sama dan bukan saling bertentangan akan memberikan hasil yang baik dalam penanaman nilai-nilai spiritual. Hal ini diperkuat oleh penelitian Han&Jun (2013)tentangkerjasama pasangandalam pengasuhan. Dijelaskan bahwa umumnya keterlibatan ibu lebih tinggi dibandingkan
THE 5TH URECOL
UAD, Yogyakarta
ayah karena faktor waktu kerja. Ibu juga cenderung lebih ekspresif dalam mengontrol dan memonitoring anak. Namun meskipun demikian, kerjasama antara ayah dan ibu akan membuat proses penanaman nilai-nilai spiritual menjadi semakin aktif dan efektif. Semua pasangan responden terlibat dalam penanaman nilai-nilai spiritual pada anak. Adapun pembagian peran secara khusus tidak ada karena prinsipnya adalah kerjasama. Perbedaan perlakuan pasangan terhadap anak dialami oleh responden JF dan ED. Kedua responden merasa bahwa terdapat perbedaan karakter dengan pasangan yang cenderung lebih ketat, tegas dan disiplin serta mendoktrin dalam penanaman nilai-nilai spiritual kepada anak. Namun perbedaan tersebut justru membuat rumah tangga makin harmonis, tetap saling menghargai dan berjalan dengan baik tanpa konflik yang berarti. Berbeda dengan responden JW dan DN yang memiliki pasangan dengan karakter yang relatif sama. 2. Proses Penanaman Nilai-Nilai Spiritual Fathering is journey merupakan kata yang tepat menggambarkan bahwa penanaman nilai-nilai spiritual yang dilakukan oleh ayah merupakan sebuah proses. 2.a. Tahapan Penanaman Nilai-nilai Spiritual Berbicara proses dalam penanaman nilainilai spiritual berarti adalah urutan tahapan yang dilakukan orang tua dalam upaya menanamkan nilai-nilai spiritual kepada anak. Ada beberapa tahapan yang dilakuan ayah dalam penanaman nilai-nilai spiritual kepada anak. Fase Dalam Kandungan. Dalam bukunya Renedan Marc (2008) menuliskan bahwa beberapa kebiasaan baik yang dibentuk secara konsisten oleh ibu hamil pada dirinya dan bayinya selama kehamilan dapat mengurangi pelbagai kesulitan yang mungkin timbul ketika sang anak sudah lahir kedunia. Secara teratur mendengar irama musik tertentu (atau mendengarkan suara orang mengaji, misalnya) atau berceritera dan berdendang untuk si jabang bayi dalam kandungannya, atau melakukan relaksasi, akan memungkinkan ibu-ibu hamil bisa
1041
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
menjalin komunikasi dan membina hubungan positif dengan bayinya. Menurut responden EP bahwa secara biologis terjadi proses psikoneuro indokrin bayi dalam kandungan. Yaitu secara hormonal psikologis ibu berpengaruh pada perkembangan bayi. Jika ibu secara psikologis diberikan stimulus yang tenang dan nyaman, maka perkembangan fungsi saraf dan organ bayi akan baik, sehingga mudah dan cepat untuk merespon stimulus dari luar. Dalam hal ini, responden JW, EP dan DN sejak anakanak masih dalam kandungan sering mendo’akan dan meminta keselamatan. Berbeda dengan responden JF, tidak sekedar mendo’akan saja namun juga sering memperdengarkan kaset murotal dan pengajian sejak anak-anak dalam kandungan. Sebagaimana hasil riset Plantin&Olukoya (2011) menunjukkan bahwa kedekatan dan keterlibatan ayah sejak ibu hamil hingga melahirkan akan berpengaruh terhadap kesehatan ibu dan anak Fase Kelahiran. Sudah selayaknya orang tua bergembira dengan kelahiran anak, baik bayi laki-laki atau perempuan, baik anak pertama atau selanjutnya, dengan tanpa pembedaan dan pilih kasih sebagai wujud rasa syukur kita kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa. Kegembiraan ini diharapkan menjadi awal yang baik dan memiliki pengaruh bagi jiwa anak, agar dalam perkembangannya mudah untuk diarahkan dan ditanamkan nilainilai spiritual. Tugas orang tua adalah mendo’akan sebagai tanda syukur dan memberikan nama yang baik karena didalam nama mengandung do’a dan harapan. Penelitian Rahmawati (2013) menyimpulkan bahwa pemberian nama adalah sebuah
proses penting yang memulai babak baru kehidupan seorang bayi. Setiap nama mengandung arti, yang berisi pengharapan orang tua kepada anaknya. Pengetahuan dan pemahaman dari religiusitas akan membentuk dan mempengaruhi keputusan dalam proses memberikan nama kepada anak. Hal ini ditegaskan oleh responden EP yang menyatakan bahwa pemberian nama anak, orang tua punya harapan.
THE 5TH URECOL
UAD, Yogyakarta
Fase Pra Sekolah. Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah masa balita. Karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya. Pada masa ini perkembangan kemampuan berbahasa, kreativitas, kesadaran sosial, kesadaran emosional dan intelegensia berjalan sangat cepat. Dalam hal ini, perkembangan psikososial sangat dipengaruhi lingkungan dan interaksi antara anak dengan orang tuanya (Makmun, 2007). Pada fase ini keterlibatan responden EP dan DN dalam proses memandikan, memberi makan, pakaian, dll sambil mengiringinya dengan lagu-lagu rohani. Responden DN juga menegaskan bahwa umur 3 bulan anak sudah mulai dikenalkan tempat ibadah dan simbolsimbol spiritual melalui gambar dan patung. Fase Sekolah. Usia sekolah merupakan tahapan operasianal konkret menurut Piaget.Ibda (2015) menjelaskan bahwa anak sudah cukup matang untuk menggunakan pemikiran logika atau operasi, tetapi hanya untuk objek fisik yang ada saat ini. Aspek perkembangan pada masa ini meliputi perkembangan intelektual, perkembangan bahasa, perkembangan sosial, perkembangan emosi, perkembangan moral, perkembangan penghayatan keagamaan, perkembagan motorik, perkembangan fisik, perkembangan bicara dan kegiatan bermain. Penanaman nilai-nilai spiritual yang dilakukan pada fase ini adalah 3 orang responden menyekolahkan anak-anak pada sekolah yang berbasis spiritual keagamaan, sedangkan 1 orang responden tidak yaitu EP. Fase Remaja hingga Dewasa Awal. Fase ini adalah periode kehidupan manusia yang sangat strategis, penting dan berdampak luas bagi perkembangan berikutnya. Pada fase ini penanaman nilai-nilai spiritual sangat penting untuk membentengi diri dari pengaruh negatif lingkungan. Sebagaimana yang dilakukan responden JF, JW dan EP yang memiliki anak pada usia remaja yaitu memantau lingkungan dan pergaulan anak-anak. Responden JF memantau dengan terlibat langsung pada hobi dan minat anak-anak, sehingga potensi diri dapat berkembang dengan baik di fase
1042
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
tersebut. Demikian juga dengan responden EP yang sedikit ekstra memantau pergaulan anak pertamanya yang hampir terjerumus kedalam narkoba dan akhirnya bisa mengembangkan kreativitas sesuai dengan potensi yang dimiliki. Berbeda dengan responden JW yang cukup ketat juga memantau pergaulan anakanak. Responden JW selalu mencari tahu dan menanyakan latar belakang sosial spiritual teman dan orang tuanya, sehingga menyetujui pilihan calon pendamping hidup anaknya setelah mengetahui dengan pasti profil spiritual diri dan orang tua calon tersebut. 2.b. Dimensi Nilai-nilai Spiritual Spiritualitas merupakan konsep dua dimensi yaitu dimensi vertikal adalah hubungan dengan Tuhan atau Yang Maha Tinggi yang menuntun kehidupan seseorang dan dimensi horizontal adalah hubungan seseorang dengan diri sendiri, dengan orang lain dan dengan lingkungan. (Hawari, 2002). Nilai-nilai spiritual yang diyakini dan dianggap penting orang tua akan ditanamkan kepada anak-anak melalui proses sosialisasi dan penyampaian pesan yang sering disampaikan orang tua baik secara lisan maupun dalam bentuk contoh prilaku. Berikut ini pesan nilai-nilai spiritual yang disampaikan orang tua pada anak-anak : Pertama, Taat pada Tuhan. Menjadi pribadi yang sungguh-sungguh taat kepada Tuhan merupakan harapan responden EP kepada anak-anaknya. Bukan sekedar ketaatan ritual dan simbolik, namun ketaatan yang dilandasi ilmu dan diimplementasikan dalam prilaku. Adapun responden JF memaknainya dengan ketaatan dalam beribadah, yaitu menanamkan agar anak-anak tidak meninggalkan ibadah yang bersifat wajib dan lebih bagus ditambah dengan yang sunah jika mampu. Sedangkan responden JW mengistilahkan dengan utamakan agama. Setiap waktu sholat responden JW selalu memantau dan mengingatkan anak-anak untuk mengerjakannya meskipun dalam kondisi capek dan ngantuk karena dalam hidup yang utama adalah agama, sehingga perintah agama jangan sampai ditinggalkan. Kedua,Menghormati Orang tua dan Menghargai Orang Lain. Hormat pada orang
THE 5TH URECOL
UAD, Yogyakarta
tua atau orang yang lebih tua adalah etika moral yang hendaknya dimiliki oleh seorang anak. Menghormati orang tua adalah bentuk terima kasih anak kepada orang yang selama ini telah mengandung, melahirkan, mengasuh dan mendidik hingga saat ini. Demikian juga dengan menghormati orang yanag lebih tua berarti bentuk menghargai orang yang lebih dewasa, lebih pengalaman dan lebih bijaksana dalam kehidupan ini. Menurut responden JF dengan menghargai orang lain maka akan menghindari sikap melecehkan secara fisik maupun psikis. Dengan sikap ini anak-anak responden memiliki teman yang banyak dari berbagai kalangan. Responden JW menekankan kepada berbakti pada orang tua sebagai bentuk hormat seorang anak kepada orang tuanya. Responden EP mengistilahkannya dengan bersikap kasih kepada orang lain tanpa membeda-bedakan kepada siapapun. Sedangkan responden DN memaknai menghormati orang tua atau orang yang lebih tua dengan bagaimana anak-anak bersikap terhadap mereka. Responden DN menekankan untuk bertutur kata yang sopan dan baik, kalau ketemu ataupun pergi pamitan, salaman dan cium tangan. Dan juga menghargai orang lain dengan tidak berbuat curang dan tidak menyakiti orang lain. Ketiga,Berbagi atau Sedekah. Dengan berbagi dan memberikan sedekah berarti membantu dan meringankan beban orang lain. Responden JF menyatakan bahwa anak-anak sejak kecil sudah diajarkan tentang bersedekah dengan harta maupun menyenangkan orang lain dan menyingkirkan halangan di jalan. Responden JW mempraktekkan sedekah secara langsung sejak kecil kepada anak-anaknya dengan memberikan bantuan kepada anak yatim, orang yang sakit, teman yang menikah ataupun saudara yang membutuhkan. Responden EP menekankan bahwa bentuk mensyukuri nikmat yang telah Tuhan berikan dengan berbagi kebahagiaan dengan orang lain seperti membeli nasi kotak untuk dibagi-bagikan kepada pengemis dan tukang becak.
1043
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
Dalam berpakaian, responden JF mewajibkan putrinya untuk berbusana muslimah khususnya diluar rumah. Untuk anak laki-laki diminta untuk berpakaian yang sopan baik di dalam maupun diluar rumah. Responden JW mengajarkan sejak kecil untuk selalu menyambung silaturahmi baik kepada saudara maupun teman. Silarutahmi kepada saudara selalu responden JW lakukan terutama saat hari raya idul fitri. Sambil menyambung silaturahmi responden JW juga menanamkan sedekah dan berbagi kepada saudara. Responden EP menekankan implementasi nilai-nilai spiritual yang merupakan cerminan dari 9 buah roh ajaran Kristus yaitu : Kasih, Sukacita, Damai, Sejahtera, Kesabaran, Kemurahan, Kebaikan, Kelemahlembutan dan Pengendalian diri. Ke9 buah roh tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan yang harus terinternalisasi dalam diri untuk menjadi pribadi yang Kudus. 2.c. Metode Penanaman Nilai-nilai Spiritual Terdapat beberapa metode yang digunakan oleh responden dalam penanaman nilai-nilai spiritual kepada anak, diantaranya adalah : Pertama,Memberikan Nasehat. Nasehat merupakan komunikasi verbal dalam menyampaikan nilai-nilai spiritual yang bersifat satu arah (Lestari, 2012). Umumnya fase perkembangan anak-anak proses penerimaan pesan masih cenderung satu arah. Orang tua sebagai memberi pesan dan anak sebagai penerima pesan, seandainya terjadi dialog masih bersifat ringan dan sederhana. Metode ceramah dan nasehat ini dilakukan oleh responden JF dan DN saat anak-anak masih kecil, meskipun kadang anak-anak kelihatan tidak suka dan bosan mendengarnya, namun dianggap cukup efektif untuk responden JF. Kedua,Bercerita. Bercerita dapat dijadikan metode untuk menyampaikan nilainilai yang berlaku dalam masyarakat (Otib S.H, 2005). Dalam cerita atau dongeng dapat ditanamkan berbagai macam nilai moral, nilai agama, nilai sosial, nilai budaya, dan sebagainya. Responden DN menyatakan bahwa anak-anaknya sangat senang jika
THE 5TH URECOL
UAD, Yogyakarta
sebelum tidur dibacakan cerita-cerita yang bertema spiritual baik dari al-kitab maupun dari komik dan buku. Ketiga,Dialog atau Diskusi. Diskusi adalah suatu pertukaran fikiran, gagasan, pendapat antara dua orang atau lebih secara lisan dengan tujuan mencari kesepakatan atau kesepahaman gagasan atau pendapat. Responden JF menggunakan metode diskusi dan dialog setelah anak-anaknya menginjak usia remaja dan dewasa awal. Dalam dialog sering responden JF sertai dengan humor dan joke sesuai dengan hobi dan minat masing-masing anak yang kemudian dikaitkan dengan nilai-nilai spiritual. Berbeda dengan JW yang menggunakan metode sedikit diskusi dan banyak praktek. Sedangkan responden EP menggunakan metode diskusi yang melibatkan akal budi. Responden EP mengajak anak-anaknya dengan akal budinya menggali makna filosofis dari sebuah nilai-nilai spiritual yang ditanamkan, harapannya adalah nilai-nilai spiritual tersebut melekat dialam bawah sadar anak-anak. Adapun responden DN menanamkan nilai-nilai spiritual dengan memadukan metode cerita dan dialog. Saat menceritakan kisah-kisah yang mengandung pesan spiritual, responden DN memberikan kesempatan anakanak untuk bertanya dan menaggapi cerita tersebut. 2.d. Media Yang digunakan Media adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan untuk merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemampuan atau ketrampilan seseorang sehingga dapat mendorong terjadinya prilaku yang diharapkan. Media adalah alat bantu yang digunakan oleh ayah untuk memudahkan proses transformasi nilai-nilai spiritual pada anak. Responden JF menggunakan radio dan televisi sebagai media penanaman nilai-nilai spiritual. Setelahanak-anak remaja dan dewasa media handphone digunakan sebagai alat komunikasi dan mengirimkan nasehat spiritual melalui SMS, Whats App, Facebook. Demikian juga yang dilakukan responden DN menggunakan handphone sebagai media
1044
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
dalam menanamkan nilai-nilai spiritual dengan memutar video-video cerita. Berbeda dengan responden JW dan EP yang tidak pernah menyediakan media khusus, apapun yang dilihat, dipegang dan disentuh bisa jadi media. Handphone pun digunakan sebagai media untuk memantau dan mengirimkan pesan-pesan spiritual kepada anak-anak. 3. Dukungan Yang Diperoleh Ayah Dukungan internal adalah dukungan yang didapat responden dari keluarga seperti : dari pasangan (istri), dari orang tua (kakek nenek), dari saudara (paman, bude). Keempat responden (JF, JW, EP DN) mengaku bahwa dukungan pasangan (istri) sangat besar dalam penanaman nilai-nilai spiritual. Selain itu responden JF juga merasa mendapat dukungan dari saudara dan orang tua (kakek nenek). Menurut EP dukungan dari keluarga besar seperti saudara, kakek nenek sifatnya hanya sementara. Sedangkan Responden DN merasa juga mendapat dukungan dari orang tua (kakek nenek) dan bude. Dukungan eksternal diperoleh dari lingkungan seperti : teman, masyarakat dan sekolah. Menurut responden JF, JW dan DN bahwa lingkungan sekolah memberikan andil dan kontribusi bagi penanaman nilai-nilai spiritual. Berbeda dengan responden EP yang merasa bahwa kontribusi sekolah kurang dalam penanaman nilai-nilai spiritual. Dukungan dari masyarakat sekitar sangat dirasakan oleh responden JF. Sedangkan responden JW juga merasa mendapat dukungan dari teman-teman. 4. Kendala Yang Dihadapi Responden JF merasa tidak mengalami kendala dalam penanaman nilai-nilai spiritual kepada anak. Sedangkan responden JW merasa bahwa kendala yang dihadapinya adalah saat anak malas dalam menjalankan ibadah. Responden DN merasa bahwa kendala yang dihadapi adalah waktu dan kurangnya ilmu agama. Berbeda dengan responden EP bahwa kendala yang dihadapinya adalah pergaulan dan internet. Kondisi tersebut didukung oleh penelitian Nuryani (2015)yang menyatakan bahwa salah satu faktor
THE 5TH URECOL
UAD, Yogyakarta
penghambat dalam penanaman nilai adalah lingkungan yang kurang baik, keterbatasan waktu orangtua untuk bertemu anak, dan pergaulan. 5. KESIMPULAN Dari paparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa bentuk peran ayahditunjukkan melalui kedekatan dan keterlibatan ayah dalam pemenuhan kebutuhan anak-anak sejak kecil secara fisik maupun emosional. Profil spiritual ayah membentuk kebiasaan anak untuk mengimplementasikan nilai-nilai spiritual dalam kehidupan sehari-hari. Dan keterlibatan pasangan merupakan faktor pendukung dalam keberhasilan menanamkan nilai-nilai spiritual pada anak. Penanaman nilai-nilai spiritual merupakan proses yang dilakukan secara terus-menerus sehingga menjadi sebuah kebiasaan. Proses ini dapat dilakukan sejak dalam kandungan hingga anak-anak tumbuh remaja dan dewasa. Nilai-nilai spiritual yang ditanamkan merupakan implementasi dari hubungan yang bersifat vertikal dan hoorizontal. Variasi metode dan media juga menentukan keberhasilan ayah dalam penanaman nilai-nilai spiritual. Dukungan yang diperoleh ayah datangnya dari internal keluarga dan dari eksternal masyarakat dan sekolah. Bentuk dukungan yang diberikan adalah pemberian nasehat, motivasi dan pengontrolan terhadap perkembangan nilai-nilai spiritual anak. Adapun kendala yang dihadapi ayah dalam penanaman nilai-nilai spiritual adalah menghadapi mood dan malasnya anak dalam beribadah, mengatur waktu untuk sering bertemu anak, kurangnya ilmu agama dan pengaruh pergaulan serta internet. Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka kepada para ayah diharapkan untuk menjalankan perannyasecara efektif dan efisien dengan penuh kesadaran dan kesabaran karena penanaman nilai-nilai spiritual merupakan sebuah proses yang berkelanjutan. Kepada pemerhati parenting agar bersama-sama melakukan sosialisasi tentang pentingnya peran ayah khususnya dalam penanaman nilai-nilai spiritual sebagai
1045
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
pondasi dan benteng bagi anak agar terhindar dari penagruh negatif lingkungan. Kepada peneliti selanjutnya agar mengembangkan ide-ide penelitian tentang peran ayah dalam aspek lainnya, mengingat keberadaan dan sosok ayah memiliki pengaruh besar bagi perkembangan anak. 6. REFERENSI
Aliah & Hasan. 2001. Psikologi Perkembangan Islam. Raja Grafindo Persada. Jakarta Alhamdu. 2014. Penanaman nilai-nilai Religius, Kekerasan Seksual pada Anak-anak dan Pembentukan Generasi Yang Sehat. Prosiding Seminat Nasional dan Call for Paper Universitas Merdeka Malang, Sabtu, 21 Juni 2014 Anganthi, NRN. 2014. Spiritualitas sebagai nilai ketahanan keluarga : Studi kasus pada karyawan pendidikan tinggi berbasis agama di Surakarta. Prosiding. Seminar Nasional dan Call for Paper di Universitas Merdeka Malang, 21Juni. Anganthi, NRN. 2015. Well-Being dalam Perspektif Spiritualitas Islam. Prosiding. Seminar Nasional Psikologi dan Kemanusiaan di Universitas Muhammadiyah Malang, 13-14 Pebruari.
Fathonah, Abidin. 2016. Studi Kedekatan Ayah Dengan Anak DanDampaknya Bagi Kemampuan BelajarAnak Usia Dini. Antologi Upi volume edisi no juni Han. Yeoh Si, Jun. Woo Pei. 2013.Parental Involvement in Child’s Development: Father vs. Mother Open Journal of Medical Psychology, October Vol 2, 1-6
Hawari, D. 2002.Dimensi Religi dalam Praktek Psikiatri dan Psikologi . FK UI. Jakarta.
Hoffman, B. 2010. Cooperative Learning, Character Education, Conflict resolution among eighth grades, Their Teacher Intervention with Bullying and Their experiences with Cyber, Physical, and Relation Bullying. Department of Educational Administration, Leadership and Technology Dowling College, Ann Arbor: ProQuest, LLC Hosnan, M. 2016. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bogor. Ghalia Indonesia Ibda. 2015.Perkembangan Kognitif: Teori Jean Piaget.Jurnal Intelektualita Volume 3, Nomor 1, Januari-Juni 2015
Lamb, M. E. 2010. The Role of The Father in Child Development. Second edition. New York : John Wiley & Sons.
Lestari, S. 2012. Psikologi Keluarga : Penanaman nilai dan penanganan konflik dalam keluarga. Kencana Prenadamedia Group
Andayani, B., & Koentjoro. 2004. Peran Ayah Menuju Coparenting. Sepanjang: CV. Citra Media. Arifin. 2011.Pengaruh perilaku keberagamaan orang tua terhadap Motivasi belajar pendidikan agama islam (pai) siswa Kelas VI SDN Purworejo Kecamatan Ringinarum Kabupaten kendal tahun pelajaran 2010/2011 skripsi. Fakultas
Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri WalisongoSemarang Dagun Drs, Save M. 2002Psikologi Keluarga Peranan Ayah dalam Keluarga Rineka Cipta, Jakarta
THE 5TH URECOL
UAD, Yogyakarta
Makmun Syamsuddin Abin. 2007. Psikologi Kependidikan. Bandung : Pt Remaja Rosda Karya Mikiyasu & Brian. 2011 Fathering Quality, Father-Child Relationship, And Child Developmental Outcomes. Electronic Journal of the American Association of Behavioral and Social Sciences volume 15, spring
Muttaqin. 2012. Islam and The Changing Meaning of Spiritual and Spiritual in
1046
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
Contemporary Indonesia. Jurnal AlJami’ah Vol 50:1.
parents/calltocommit/ title.htm/ diakses tanggal 15 April 2010
Natasha, dkk. 2007. Modeling of Paternal Influences on Children Over the Life Course. Journal Applied Development Science, Vol 11, No 4, 185-189, h 186.
Silverstein. Louise B. and Carl F. Auerbach. 1999. Deconstructing the Essential Father Yeshiva UniversityAmerican Psychologist. JuneVol. 54, No. 6, 397407
Nelson. AE. 2011.Spiritual Intelligence : Meraih Kecerdasan Spiritual dengan Metode Yesus. Andi. Yogyakarta Nuryani. 2015. Studi Deskriptif Penanaman Nilai Moral Pada Anak Usia Dini Di Lingkungan Lokalisasi Sunan Kuning Kelurahan Kalibanteng Kulon Kota Semarang..Jurnal Belia 4 (2) UNNES Otib
Satibi Hidayat. 2005. Metode pengembangan moral dan nilai-nilai agama. Jakarta: Universitas Terbuka.
Permata. S.2013Pola komunikasi jarak jauh antara orang tua dengan anak (studi pada mahasiswa fisip angkatan 2009 yang berasal dari luar daerah)Journal “acta diurna” vol.ii no.i. Th. 2013 Plantin, L., Olukoya, A.A., & Ny, P. 2011. Positive Health Outcomes of Fathers’ Involvment in Pregnancy and Childbirth Paternal Support: A Scope Study Literature Review. Fathering, 9(1), 87102. Rahmawati. 2013. Pemaknaan Orang Tua Terhadap Pemberian Nama Anak (Studi Deskriptif Pada Masayrakat Jawa Muslim Di Desa Gambiran Kecamatan Mojoagung Kabupaten Jombang) Jurnal Media Komunitas Volume : 2 - No. 2 Terbit : 7
Suwaid, MIAH. 2004.Cara Nabi Mendidik Anak, penerjemah, Jakarta: Al-I’tishom
Sutarmin, S. Darmiyati, Z. Siti PS. 2014. Penanaman Nilai-Nilai Dasar Humanis Religius Anak Usia Dini Keluarga Perkotaan Di Tk Islam Terpadu Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi Volume 2, Nomor 2, Sundari, A.R., Herdajani, F. 2013. Dampak Fatherless terhadap Perkembangan Psikologis Anak. Prosiding Seminar Nasional Parenting [hal.256-271] Triantoro. 2012.Spiritual Intellegence Metode Pengembangan Kecerdasan Spiritual Anak, Yogyakarta: Graha Ilmu. Werdiningsih & Astarani. 2012 Peran Ibu Dalam Pemenuhan Kebutuhan Dasar Anak Terhadap Perkembangan Anak Usia Prasekolah Jurnal STIKES Volume 5, No. 1, Juli
Zohar D & Marshall I. 2005.Spiritual Capital : Memberdayakan SQ di Dunia Bisnis. Mizan. Bandung.
Rene, VCF dan Marc, L. 2008Cara Baru Mendidik Anak Sejak dalam Kandungan, KAIFA, Bandung,
Rilley, R.W. & Shalala, D.E. 2000. A Call Commitment: Fathers' Involvement in Children's Learning. US Dep. Of Education & US Dep. of Healtba and Human Services. http://www.ed.qov/pubs/
THE 5TH URECOL
1047
ISBN 978-979-3812-42-7