MAKNA PAJAK DAN RETRIBUSI (PERSPEKTIF PEDAGANG KAKI LIMA KAWASAN SAE SALERA PAMEKASAN) Agus Sugiono1 , Eva Nuzulul Rahmah 2 Fakultas Ekonomi Universitas Islam Madura Email:
[email protected] Fakultas Ekonomi Universitas Islam Madura Email:
[email protected]
1
2
ABSTRACT This research aims to gain a deep understanding of how the actual street vendors (PKL) Sae Salera Pamekasan district interpret taxes and retributions as well as implications for the interpretation. The research method is a qualitative interpretive approaches transcendental phenomenology of Husserl. Key informants in this study were 6 (six) while the DISPENDALOKA Pamekasan researchers made a second informant. The results of the research revealed that the informant had been understood about their obligations to pay taxes and retributions. However have a special meaning for those who can not be separated from his background, character, traditions and culture of the people of Madura. Informants interpret taxes and retributions are not only a liability to be paid to the government but also as a means to peace , social responsibility , hone culture of shame and as a means to share with others . Issuance of Perpres Nomor125 Tahun 2012 and Permendagri Nomor 41 Tahun 2012 on structuring and empowerment of street vendors (PKL) is a new paradigm for the government in an effort their existence. Keywords : Taxes and retributions, Street Vendors (PKL), Structuring and controlling, Character and culture
PENDAHULUAN Beranjak dari sebuah kasus penertiban yang dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) terhadap Pedagang Kaki Lima (PKL), menunjukkan bahwa adanya Pedagang Kaki Lima (PKL) saat ini masih perlu mendapatkan penanganan yang lebih serius. Demikian bahasa yang dapat peneliti sampaikan sehubungan dengan minimnya perhatian pemerintah dalam meningkatkan taraf perekonomian masyarakat kelas bawah (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah/UMKM) khususnya mengenai kebijakan terhadap perelokasian pedagang kaki lima (PKL). “Saya juga
1
bayar pajak”, demikian sepenggal kalimat yang muncul dari seorang Pedagang Kaki Lima (PKL) yang kecewa pada tindakan yang dilakukan oleh pemerintah (SATPOL PP) terhadap Pedagang Kaki Lima (PKL). Banyak kita lihat tindakan Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) dalam upaya penertiban dan perelokasian Pedagang Kaki Lima (PKL) sangat memprihatinkan. Ungkapan sepenggal kalimat yang muncul dari Pedagang Kaki Lima (PKL) tersebut merupakan sebuah reaksi kekecewaan terhadap pemahaman mereka tentang pajak dan retribusi. Hal ini terjadi karena adanya konotasi negatif terhadap interpretasi pajak dan
Sumber: Direktorat Jenderal Pajak.2009.http/ www.pajak.go.id
| 123 |
retrbusi serta implikasinya menurut wajib pajak Pedagang Kaki Lima (PKL).
asal dari sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
Berdasarkan data statistik yang ada pada Kementrian Negara Koperasi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), Usaha ini mempunyai peran yang signifikan dan memberikan kontribusi yang cukup tinggi terhadap keberadaan dan meluasnya pengangguran di Indonesia. Kelompok usaha ini telah terbukti mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dan ekspor. Kontribusinya secara total dalam PDB sebesar 55,6%, mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 96,18% dengan nilai investasi 52,9% dan kinerja ekspor non migas mencapai 20,2%.1
Walaupun jumlahnya relatif kecil, dengan adanya penerimaan negara yang berasal dari sektor Pedagang Kaki Lima (PKL) tersebut maka akan berpotensi besar pula pada jumlah penerimaan dari sektor pajak dan retribusi daerah. Jumlah UMKM khususnya Pedagang Kaki Lima yang dari tahun ke tahun semakin menjamur, memberikan peluang kepada pemerintah untuk membidik sektor ini dalam upaya ekstensifikasi pajak dan retribusi. Namun, hal tersebut tidak mudah karena dimungkinkan adanya berbagai penafsiran dari wajib pajak Pedagang Kaki Lima (PKL) dalam hal pembayaran pajak dan retribusi. Dan fakta di lapangan menunjukkan tumbuhnya UMKM tidak seiring dengan jumlah kenaikan penerimaan pajak (DJP, 2009).
Menurut data yang diperoleh dari Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset (Dispendaloka) Pemerintah Kabupaten Pamekasan yang merujuk pada Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak serta Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Retribusi Jasa Umum maka Pedagang Kaki Lima (PKL) kawasan Sae Salera ini merupakan satu-satunya sumber pendapatan retribusi daerah (kawasan Pedagang Kaki Lima (PKL) lainnya belum dikenakan retribusi) yaitu sebesar Rp 30.000,00 (tiga puluh ribu) per bulan (berupa retribusi pasar/ sewa tanah dan retribusi kebersihan) karena disamping situasinya yang ramai, perelokasian khusus Pedagang Kaki Lima (PKL) ini bergerak di bidang sektor makanan khas Madura “Sate Lalat” sehingga merupakan sumber perekonomian yang dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat. Dilihat dari fungsinya maka awasan ini berpotensi sebagai sumber pendapatan bagi Pemerintah Kabupaten Pamekasan khususnya dan pada umumnya merupakan sumber penerimaan negara yang ber | 124 | Vol. 2 No. 2 Desember 2014
UMKM khususnya pedagang kaki lima (PKL) merupakan suatu usaha yang identik dengan kesederhanaan dan keterbatasan baik mengenai pengetahuannya tentang pajak, tingkat pendidikan, kebijakan pemerintah ataupun dalam membuat laporan keuangan. Hal ini dapat menyebabkan interpretasi yang salah tentang pajak dan retribusi serta implikasinya bagi pembangunan. Berdasarkan latar belakang tersebut maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang bagaimana sebenarnya wajib pajak Pedagang Kaki Lima (PKL) kawasan Sae Salera Pamekasan memaknai pajak dan retribusi serta implikasi atas pemaknaan tersebut.
TINJAUAN PUSTAKA Pedagang Kaki Lima atau yang sering disebut dengan PKL merupakan sebuah komoditas pedagang, yang kebanyakan berjualan dengan memanfaatkan area pinggir jalan raya.
Dilihat dari sejarahnya Pedagang Kaki Lima (PKL) sudah ada sejak masa penjajahan Kolonial Belanda.2 Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima BAB I Pasal 1, Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah pedagang yang menjalankan kegiatan usaha dengan mempergunakan sarana atau perlengkapan yang mudah dipindah dan/atau dibongkar pasang serta menggunakan fasilitas umum sebagai tempat usaha. Dewasa ini, di beberapa kota besar, Pedagang Kaki Lima (PKL) identik dengan masalah kemacetan lalulintas dan kesemrawutan, karena kelompok pedagang ini memanfaatkan trotoar dan fasilitas umum lainnya sebagai media berdagang. Namun bagi sekelompok masyarakat, Pedagang Kaki Lima (PKL) justru menjadi solusi untuk mendapatkan barang dengan harga miring/murah. Dengan kata lain di satu sisi keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) dianggap menimbulkan berbagai masalah perkotaan, namun di sisi lain memiliki manfaat ekonomi bagi sebagian masyarakat. Menurut Tamba dan Sijabat (2006), Pedagang Kaki Lima (PKL) atau dalam bahasa Inggris disebut dengan street hawker atau street vendor selalu dimasukkan dalam sektor informal. Dalam perkembangannya keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) di kawasan perkotaan Indonesia seringkali kita jumpai masalahmasalah yang terkait dengan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat. Kesan kumuh, liar, merusak keindahan, seakan-akan sudah menjadi label paten yang melekat pada usaha mikro ini. Pedagang Kaki Lima (PKL) dipandang sebagai bagian dari masalah (part of problem). Ada sebuah istilah yang sering kita dengar, yaitu underground economy. Istilah ini sering diartikan sebagai aktivitas atau transaksi ekonomi yang tidak tercatat dalam keuangan
negara. Namun kalau kita telusuri lebih jauh, underground economy ini tidak selamanya merupakan perbuatan yang melawan hukum. Sektor Informal seperti Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan aktivitas yang tercatat dalam istilah tersebut. Disatu sisi sektor informal ini memang merupakan penyumbang terbesar dalam istilah underground economy. Kita memang tidak pernah tahu, berapa jumlah potensi pajak dari sektor informal ini. Namun disisi lain, berdasarkan data pada Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Februari 2010 tercatat bahwa sekitar 67,83% dari seluruh penduduk usia kerja merupakan angkatan kerja yang mencapai 116 juta orang. Sekitar 31,41% tenaga kerja bekerja pada sektor formal dan sisanya sebesar 68,59% bekerja pada sektor informal. Hal ini menunjukkan bahwa sektor informal ini merupakan urat nadi dari perekonomian negara. Pedagang Kaki Lima (PKL) juga memiliki potensi untuk menciptakan dan memperluas tenaga kerja, terutama bagi tenaga kerja yang kurang memiliki kemampuan dan keahlian yang memadai untuk bekerja di sektor formal karena rendahnya tingkat pendidikan yang mereka miliki. Pedagang Kaki Lima (PKL) sebagai tulang punggung ekonomi masyarakat lemah seharusnya mendapat perhatian lebih dari pemerintah agar keberadaannya semakin tumbuh dan berkembang tanpa mengganggu ketertiban, kebersihan dan keindahan kota sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Penataan dan Pember-
Vol. 2 No. 2 Desember 2014 | 125 |
2
dayaan Pedagang Kaki Lima (PKL). Di satu sisi Pedagang Kaki Lima (PKL) seringkali dianggap sebagai bagian dari masalah (part of problem), hal ini terjadi karena keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) dianggap mendatangkan masalah keamanan dan ketertiban seperti merusak keindahan, terkesan kumuh, kemacetan lalu lintas, kesemrawutan dsb. Hal ini sejalan dengan apa yang ditulis oleh Andriansyah (2004:200) menyatakan bahwa rendahnya pendidikan para pengelola usaha kaki lima tentu memberikan cerminan bagaimana komitmen para pelaku usaha ini terhadap ruang publik yang mereka pakai. Rendahnya tingkat pendidikan diduga akan berpengaruh dalam upaya pembinaan dan pemberdayaan pengusaha kaki lima. Disisi lain keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) justru menimbulkan dampak positif (part of solution) dalam mengatasi masalah pengangguran di Indonesia. Jumlah pengangguran yang tidak sesuai dengan jumlah angkatan kerja dapat ditekan oleh keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang merupakan bibit enterpreneur sejati ini. Keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) ini justru merupakan sebuah “potensi besar” yang dapat dikembangkan dalam upaya menuju pada kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan dan penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) secara efektif dan efisien justru mendatangkan potensi baru sebagai “Wisata Kota” yang dapat menambah pemasukan bagi pemerintah daerah dari sektor pajak dan retribusi. Selain itu menurut Hidayat (1988), dengan pengolahan yang baik, keputusan-keputusan yang tepat dari sektor informal Pedagang Kaki Lima (PKL) ini dapat melahirkan seorang wiraswasta yang sukses dan tangguh.Sejalan dengan itu, Elmiyah (1993: 69) menyatakan bahwa perekonomian di sektor 3
Tempo, 5 September 2012
| 126 | Vol. 2 No. 2 Desember 2014
informal relatif dapat lebih mandiri dan stabil daripada perekonomian di sektor formal. Pertumbuhan di sektor informal meningkatkan pendapatan golongan ekonomi lemah, mengurangi setengah pengangguran, bahkan bekerja di sektor informal merupakan pilihan kedua yang harus dijalani bagi pekerja golongan ekonomi lemah di sektor formal. Kemajuan di sektor ini sekaligus dapat meningkatkan pendapatan nasional dan memperbaiki distribusi pendapatan. Namun demikian perlindungan ekonomi bagi para pekerja di sektor informal ini tidak mendapat perlindungan hukum sebagaimana mestinya. Pedagang Kaki Lima (PKL) seringkali dimusuhi oleh pemerintah daerah karena dianggap mengganggu ketertiban umum Disamping itu Sinaga (2004:136), menyatakan bahwa relokasi dengan pemberian tempat pengganti juga dapat mengeliminir pandangan stereotif terhadap Pedagang Kaki Lima (PKL). Hal ini karena baik sektor informal maupun formal ternyata sama-sama dapat menopang perekonomian nasional, terutama dalam menyerap tenaga kerja dan meningkatkan taraf kehidupan yang lebih baik. Meningkatnya jumlah tenaga kerja yang tidak sesuai dengan tersedianya lapangan kerja menyebabkan bertambah besarnya jumlah pengangguran di Indonesia. Hal ini menyebabkan banyaknya masyarakat yang bekerja pada sektor informal seperti Pedagang Kaki Lima (PKL). Pedagang Kaki Lima (PKL) ini muncul akibat ketidakmampuan masyarakat yang tidak mempunyai kemampuan dalam berproduksi atau bisa juga diakibatkan oleh kebijakan ekonomi liberal yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi makro dan mengabaikan ekonomi mikro. Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) mencatat hingga tahun 2012 terdapat 23,4 juta Pedagang Kaki Lima (PKL) di seluruh Indonesia3. Disisi lain
Pedagang Kaki Lima (PKL) dianggap sebagai aktivitas illegal yang dalam menjalankan usahanya sering kali mendapat tindakan kekerasan yang mengatasnamakan penertiban dan penataan. Pedagang Kaki Lima (PKL) dipandang sebagai aktivitas non profit karena tidak berkontribusi besar terhadap ekonomi lokal maupun nasional melalui pajak dan retribusi. Proses perencanaan tata ruang, seringkali belum mempertimbangkan keberadaan dan kebutuhan ruang bagi Pedagang Kaki Lima (PKL). Tata ruang kota hanya difokuskan untuk kepentingan kegiatan formal saja. Hal inilah yang menyebabkan Pedagang Kaki Lima (PKL) berjualan di tempat-tempat yang tidak terencana dan tidak difungsikan untuk mereka. Akibatnya mereka selalu menjadi objek penertiban dan pemerasan para petugas penertiban (SATPOL PP) serta merusak pemandangan kota. Bhowmik (2005), menjelaskan bahwa hampir semua negara-negara di Asia, Pedagang Kaki Lima (PKL) tidak mempunyai status legal dalam menjalankan usahanya dan mereka terus mendapatkan tindakan kekerasan oleh pemerintah kota dengan program penertiban dan penataan. Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah pusat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Republik Indonesia (PERPRES) Nomor 125 Tahun 2012 dan Permendagri Nomor 41 Tahun 2012. Dengan adanya PERPRES dan Permendagri ini maka Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kota/ Kabupaten wajib melakukan penataan dan pembinaan di wilayahnya masing-masing. Salah satu amanat yang tercantum dalam Permendagri Nomor 41 Tahun 2012 adalah Bupati/Walikota menetapkan lokasi atau kawasan sesuai peruntukannya sebagai lokasi tempat kegiatan Pedagang Kaki Lima (PKL). Penetapan lokasi atau tempat kegiatan tersebut dilakukan de
ngan memperhatikan kepentingan umum, sosial, budaya, estetika, ekonomi, keamanan, ketertiban, kesehatan, kebersihan lingkungan, dan sesuai dengan peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah propinsi dan kabupaten/kota. Untuk dapat melaksanakan semua hal tersebut diatas, dapat dilakukan dengan meningkatkan alokasi dana yang bersumber dari pajak dan retribusi serta penarikan pajak dan retribusi dari Pedagang Kaki Lima (PKL) yang akan menempati lokasi tersebut. Upaya lain yang dapat dilakukan dalam melakukan pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL), Bupati/Walikota dapat melakukan kerjasama atau kemitraan dengan dunia usaha melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) dalam bentuk penataan peremajaan tempat usaha Pedagang Kaki Lima (PKL), peningkatan kemampuan berwirausaha melalui bimbingan, pelatihan dan bantuan permodalan; promosi usaha dan event pada lokasi binaan dan berperan aktif dalam penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) di kawasan perkotaan agar menjadi lebih tertib, bersih, indah dan nyaman. Apabila hal tersebut diatas telah berjalan dengan baik maka Pemerintah Kota/ Kabupaten perlu untuk menentukan besarnya tarif pajak dan retribusi bagi Pedagang Kaki Lima (PKL). Pendapatan pajak dan retribusi dari Pedagang Kaki Lima (PKL) ini apabila dikelola dengan benar maka akan meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat khususnya Pedagang Kaki Lima (PKL).
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan riset kualitatif (non mainstream) dengan paradigma interpretif. Penelitian ini juga berupaya memandang apa yang terjadi dalam dunia tersebut dan meletakkan temuan-temuan yang diperoleh di dalamnya dimana peneliti berpijak dari realita atau peristiwa yang berlangsung dilapangan Vol. 2 No. 2 Desember 2014 | 127 |
dengan latar belakang lingkungan yang alamiah (Bungin, 2007:44). Pendekatan ini memfokuskan pada sifat subyektif dari sosial world dan berusaha memahaminya dari kerangka berpikir obyek yang sedang dipelajarinya. Jadi fokusnya pada arti individu dan persepsi manusia pada realitas bukan pada realitas independen yang berada di luar mereka.
membuka usaha lalapan Safira, menjadi PKL kawasan Sae Salera Pamekasan sejak tahun 2004 (selama 9 Tahun). 4.
Informan Cipto, 30 Th, asal Pamekasan, menjadi PKL di kawasan Sae Salera Pamekasan baru 5 Tahun, menggantikan mertuanya P. Sami yang sudah puluhan tahun membuka usaha sate lalat.
Pendekatan fenomenologi transedental Husserl peneliti gunakan untuk mengungkap 5. Informan Syafiuddin, 34 Tahun, asal Pamekasan, sejak tahun 2002 menjadi makna konsep atau fenomena pengalaman PKL kawasan Sae Salera Pamekasan, yang didasari oleh kesadaran yang terjadi oleh menggantikan Bapaknya (P.Nasir) yang beberapa individu, yang dalam hal ini adalah membuka usaha sate lalat sejak tahun Pedagang Kaki Lima (PKL) kawasan Sae Salera Pamekasan. Sukoharsono (2006: 235) menje1970. laskan bahwa penelitian atau riset fenome6. Informan Dony, 29 Th, asal Tasikmalaya nologi mendiskripsikan tentang pengalaman Jawa Barat, selama 13 Tahun menjadi PKL hidup beberapa orang tentang sebuah konsep di kawasan Sae Salera dan sudah mematau fenomena. punyai 12 orang tenaga kerja dengan berPenelitian ini juga dilakukan dengan sijualan terang bulan, martabak, roti bakar tuasi dan keadaan yang sebenarnya tanpa medan gorengan. (Sumber: Catatan Wawannambah ataupun mengurangi fenomena yang cara) terjadi. Penelitian ini dilakukan dalam situasi yang alami dengan metode wawancara yang Informan kedua adalah Dinas Pendapattidak terstruktur (tidak tersusun) dan cendrung apa adanya sehingga tidak ada batasan dalam an Daerah Pemerintah Kabupaten Pamekasan memaknai atau memahami fenomena yang khususnya bagian-bagian terkait mengenai perpajakan. dikaji. Teknik pengumpulan data yang akan Informan utama dalam penelitian ini adalah Pedagang Kaki Lima (PKL) kawasan digunakan dalam penelitian ini, meliputi: Sae Salera Pamekasan. Informan utama dalam penelitian ini sebanyak 6 (enam) orang dengan data sebagai berikut: 1. Informan H. Dody, 48 Th asal Pamekasan, Ketua Forum Komunikasi PKL Kawasan Sae Salera Pamekasan, sudah 13 Tahun membuka usaha sate lalat menggantikan mertuanya P. Ento yang sudah puluhan tahun menjadi PKL di kawasan Sae Salera. 2. Informan P. Yuto, 54 Th, asal Pamekasan, sudah 25 Tahun menjadi PKL di kawasan Sae Salera Pamekasan dengan membuka usaha sate lalat. 3. Informan Agus, 34 Th, asal Lamongan, | 128 | Vol. 2 No. 2 Desember 2014
a.
Survei pendahuluan Peneliti akan menggali informasi-informasi up-to date baik melalui artikel, internet, media cetak dan elektronik, buku-buku, jurnal penelitian, aturan perundang-undangan tentang UMKM.
b.
Pengumpulan data lapangan Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara (in-deph Interview) baik dengan semi terstruktur maupun openended interview serta penggunaan alat perekam dan dokumentasi (foto atau video).
Adapun langkah-langkah teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada pendekatan fenomenologi (Creswell 2007), yaitu: Peneliti memulai kegiatan ini dengan menggali informasi-informasi data yang up-to date mengenai pajak dan retribusi serta penataan dan pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL) melalui referensi buku-buku, jurnal, artikel, internet serta media cetak lainnya. Selanjutnya peneliti akan mengevaluasi data yang dianggap penting dan relevan, kemudian membuat catatan-catatan penting. Langkah berikutnya peneliti akan menemukan dan mengelompokkan data yang sudah ada dengan memberikan gambaran-gambaran tentang fenomena pajak dan retribusi yang ada hubungannnya dengan Pedagang Kaki Lima (PKL) serta menghilangkan pernyataan yang tidak relevan dengan topik pertanyaan maupun pernyataan yang bersifat rep etitif. Selanjutnya gambaran-gambaran tersebut dikumpulkan dalam unit makna secara horizontaling. Setelah itu peneliti akan mengembangkan secara keseluruhan tentang fenomena pajak dan retribusi serta interpretasi dari Informan secara Textural description mengenai fenomena yang terjadi pada informan serta menjelaskan (struktural description) bagaimana Pedagang Kaki Lima (PKL) memaknai pajak dan retribusi. Peneliti kemudian memberikan penjelasan secara naratif mengenai pemahaman pajak dan retribusi. Langkah berikutnya peneliti membuat laporan mengenai makna pajak dan retribusi. Dari hasil laporan tersebut peneliti kemudian membuat tulisan gabungan mengenai kesimpulan-kesimpulan, sehingga gambaran teknik analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
DATA
MENEMUKAN DAN MENGELOMPOKKAN DATA
GAMBARAN FENOMENA PAJAK DAN RETRIBUSI
PENGEMBANGA N FENOMENA PAJAK DAN RETRIBUSI
EVALUASI PENJELASAN NARATIF
LAPORAN PENELITI
( DATA PUSTAKA + FENOMENA )
LAPORAN HASIL PENELITIAN Sumber: Creswell 2007 yang telah diolah oleh peneliti
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pajak dan retribusi yang dibayar oleh setiap warga negara seyogyanya memang untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya, termasuk Pedagang Kaki Lima (PKL). Namun kenyataannya, seringkali tujuan pajak dan retribusi ini tidak sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat. Pedagang Kaki Lima (PKL) kawasan Salera Pamekasan pada umumnya telah memahami tentang arti dan substansi pajak dan retribusi walaupun dengan bahasa yang berbeda seperti dalam kutipan berikut ini: “ Pajak kan memang kewajiban warga negara dan sebagai pemasukan untuk pemerintah
Vol. 2 No. 2 Desember 2014 | 129 |
sesuatu yang harus ditaati, artinya setiap warga negara mempunyai kewajiban untuk membayar pajak dan retribusi. “Kalau menurutku Data diatas memberikan gambaran bahwa pajak itu harus ditaati. ”. Istilah “harus ditaati” substansi dari pajak dan retribusi sudah sesuai dalam ensiklopedi bahasa4 dapat diartikan sedengan konsep pajak dan retribusi itu sendiri. bagai kewajiban, dengan arti lain bahwa pajak Apa yang dipahami oleh informan H.Dody dan retribusi meru pakan sebuah kewajiban bagi bahwa pajak dan retribusi merupakan “kewa- setiap warga negara kepada pemerintah. jiban warga negara” menunjukkan bahwa ia Berbeda halnya dengan informan Cipto, memahami tugas dan kewajiban warga negara dengan jujur ia menjawab bahwa dirinya sama dalam membayar pajak dan retribusi, seba- sekali tidak mengetahui tentang arti pajak dan gaimana pengertian pajak menurut Soemitro retribusi. Namun berdasarkan pengalamannya (2007) dan Adriani (2005). Substansi pajak dan ia memahami bahwa “ pajak itu semacam sewa, cuman secara resmi”, pungkasnya. Pengalamanretribusi juga dipahaminya sebagai sumber nya sebagai wajib pajak Pedagang Kaki Lima pendapatan (income) bagi pemerintah daerah (PKL) di kawasan Sae Salera Pamekasan memyang dapat memberikan kontribusi terhadap berikan substansi bahwa “pajak dan retribusi pembangunan pemerintah daerah. Substansi mempunyai relevansi dengan jasa timbal balik pajak dan retribusi ini, dipahami juga oleh secara langsung” sebagaimana yang didefinisiinforman Agus sebagai kewajiban yang harus kan dalam retribusi (UU No.28 Tahun 2009 dibayar kepada negara serta sebagai sumber dan Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan pendapatan (income) bagi negara. Walaupun Nomor 13 Tahun 2012 tentang retribusi jasa umum). Informan P.Yuto tidak jauh berbeda secara gamblang ia tidak menyebutkan bahwa dengan informan Cipto dalam memahami pajak dan retribusi ini sebuah kewajiban wajib pajak dan retribusi, walaupun definisi yang dipajak dan merupakan sumber pendapatan (in- ungkapkannya berbeda, namun secara subscome) bagi pemerintah daerah, namun arti dan tantif mempunyai makna yang sama, seperti substansi yang dipahaminya sudah mengarah dalam petikan wawancara berikut ini: pada hal tersebut diatas. “Pajak itu gimana ya “...ya..itu Pak...menempati tempat ini..ya mas ya, ya memang buat pemasukan ini mas”. karena saya jualan, numpang tempat ke Kalimat ini menunjukkan bahwa secara men- pemerintah..... jadi saya kena pajak.......” dalam informan Agus memahami bahwa Pernyataan diatas menunjukkan bahwa pajak dan retribusi merupakan “sebuah kewa- yang dimaksud pajak dan retribusi menurutjiban yang harus diberikan oleh wajib pajak sebagai nya erat kaitannya dengan “hubungan timbal sumber pendapatan (income) bagi negara untuk balik secara langsung”. Pemahaman ini memmembiayai segala keperluan negara”, sebagai- punyai substansi yang sama dengan apa yang mana pengertian pajak menurut Soemitro dipahami oleh informan Cipto mengenai pajak (2007) dan Adriani (2005). Seiring dengan itu dan retribusi. Informan Syafiuddin memahami pemahaman yang sama tentang pajak dan pajak dan retribusi sebagai “hubungan timbal retribusi juga dinyatakan oleh informan Doni balik secara langsung” sebagaimana juga yang yang menganggapnya bahwa pajak adalah dipahami oleh informan Cipto dan informan daerah, .....kalau dari bawah tidak membayar pajak maka pemasukan untuk pemerintah daerah tidak ada, ............” (Informan H.Dody)
4
Salim dan Salim (1995) menjelaskan bahwa taat juga berarti patuh terhadap aturan (Tuhan ataupun pemerintah) atau dapat diarti kan sebagai kewajiban
| 130 | Vol. 2 No. 2 Desember 2014
P. Yuto. Menurutnya seseorang membayar pajak dan retribusi karena ada sebabnya. Baginya membayar pajak dan retribusi sangat erat kaitannya dengan adanya sewa tempat, seperti dalam kutipan berikut ini:
buka usahanya. Ketenangan hati karena tidak dikejar-kejar oleh SATPOL PP baginya merupakan modal utama untuk memantapkan usahanya. Pernyataan yang sama tentang adanya perasaan tenang setelah membayar pajak “.......ya karena saya nempati ini ...... kalau dan retribusi juga dirasakan oleh Informan tidak nempati ini saya tidak bayar pajak....... jadi P.Yuto, sebagaimana kutipan wawancara sepajak ini sewanya tempat bagai berikut: “ .... iya ini Pak, Tidak diusir-usir ini ”. Apa yang diungkapkan oleh Informan Syafiuddin ten- tang sewa tempat sebagai tidak diusir-usir oleh petugas (SATPOL PP). pengertian ataupun bentuk lain dari pajak dan Menurutnya, orang yang membayar pajak retribusi merupakan sebuah pemahaman dan retribusi akan merasakan ketenangan kayang didapat atas pengalaman hidupnya rena sudah melaksanakan kewajibannya sesebagai Pedagang Kaki Lima (PKL). bagai warga negara disamping adanya perasaPajak dan retribusi sebenarnya mempunyai tujuan yang mulia, yaitu menuju pada kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Namun demikian diperlukan adanya sifat memaksa dalam pelaksanaannya. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Soemitro (2007) dan Adriani (2005), bahwa pajak dapat dipaksakan. Sifat memaksa ini juga seiring dengan apa yang tercantum dalam UU No 28 Tahun 2007 dan Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 2 Tahun 2011 yang menyebutkan bahwa pajak bersifat memaksa. Sifat ini dimaknai mendalam oleh wajib pajak Pedagang Kaki Lima (PKL) kawasan Sae Salera Pamekasan. Informan Agus misalnya, mengungkapkan pajak dan retribusi harus senantiasa dibayar karena memang merupakan sebuah kewajiban namun dibalik itu ia merasakan manfaat besar membayar pajak dan retribusi yaitu dapat mendatangkan ketenangan dalam menjalankan usahanya. Kenyamanan dan ketenangan membayar pajak dan retribusi ia rasakan karena dapat terhindar dari tindakan penggusuran yang dilakukan oleh SATPOL PP. “Enaknya anu..mas,....gak kena’ kaya’ gusuran gitu. . . .ga’ dikejar-kejar sama Satpol PP”, ungkapnya. Baginya besarnya pajak dan retribusi yang dibayarnya tidak dapat dibandingkan dengan adanya perasaan tenang dalam mem-
an tenang dalam menjalankan usaha karena Menurutnya pula, dulu waktu ia belum dikenakan pajak dan retribusi ia merasakan ketakutan dalam membuka usahanya apalagi disaat ada petugas SATPOL PP menghampirinya, namun setelah ia resmi dikenakan pajak dan retribusi maka ia merasa telah melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara untuk membayar pajak dan retribusi sehingga ia berhak mendapatkan haknya sebagai wajib pajak dan retribusi. Beberapa manfaat pajak dan retribusi juga diungkap oleh Informan H.Dody. Menurutnya, keberadaan pajak dan retribusi banyak dirasakan manfaatnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Penyertaan dirinya sebagai wajib pajak Pedagang Kaki Lima (PKL) kawasan Sae Salera Pamekasan merupakan bentuk kepedulian, pengakuan dan perhatian pemerintah terhadap keberadaannya. Baginya apa yang ia bayar kepada pemerintah berupa pajak dan retribusi tidak sebanding dengan besarnya manfaat yang ia peroleh. Pendapatan yang ia peroleh dari usahanya sebagai Peda-
Vol. 2 No. 2 Desember 2014 | 131 |
gang Kaki Lima (PKL) sudah melebihi dari apa yang ia harapkan, dan ini dirasakan pula oleh teman-teman lainnya sebagai Pedagang Kaki Lima (PKL) di kawasan Sae Salera Pamekasan. Diakuinya pula dulu sebelum teman-temannya membuka usahanya di kawasan ini banyak yang bingung, jangankan untuk naik haji untuk biaya makan sehari-haripun dirasa tidak mampu seperti dalam kutipan wawancara berikut ini:
apa yang ia dapati sekarang ini berupa pekerjaan sebagai Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan buah dari kesediaannya membayar pajak dan retribusi. Baginya manfaat membayar pajak dan retribusi membawa dampak yang berarti bagi dirinya, karena ia dapat melaksanakan aktifitasnya sebagai Pedagang Kaki Lima (PKL) dengan tenang disamping bisa menghidupi keluarga, “Ya, saya kalau tidak bayar pajak,...ya tidak di sini,..ya jadi bayar pajak ada gunanya”. Manfaat pajak dan retribusi yang “...Alhamdulillah banyak manfaatnya, dirasakan olehnya sebetulnya mempunyai dengan membayar pajak kita dapat merasakan makna yang sama dengan apa yang dialami manfaatnya,. . .banyak pembangunan, kadang oleh informan lainnya (informan Cipto dan kita dikasih bantuan (tenda, terpal)...dengan P.Yuto). hanya membayar pajak tiga puluh ribu perMakna lain dari pajak dan retribusi mebulan, kita bisa dapat pekerjaan,....ya lumayanlah penghasilannya,....ada yang bisa meng- nurut informan P.Yuto selain memenuhi kewakuliahkan anak bahkan banyak yang sudah jiban sebagai warga negara, ia merasakannya sebagai bentuk tanggung jawab sosial kepada bisa naik haji ” Infornman H,Dody menjelaskan bahwa masyarakat. Ia menyadari bahwa tempat yang tingkat perekonomian Pedagang Kaki Lima dipakai untuk berusaha adalah milik peme(PKL) lambat laun semakin merangkak naik. rintah, yang berarti juga milik masyarakat, Hal ini disebabkan salah satu faktornya adalah “Jadi saya numpang ke masyarakat”, tuturnya. ketenangan dalam menjalankan usaha. Maka dari itu pajak dan retribusi yang dibayar Menurutnya ketenangan ini didapat setelah ia juga merupakan tanggung jawab sosial bagi secara resmi dikenakan pajak dan retribusi dirinya terhadap masyarakat. Terlebih lagi yang secara tidak langsung juga mengakui keberadaannya sedikit banyak mengganggu keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) ka- jalannya masyarakat (pengguna jalan). “Kan wasan Sae Salera Pamekasan. Apa yang dira- tempat usaha saya diatas trotoar”, pungkasnya. sakan oleh Informan H, Dody, juga dirasakan Dengan membayar pajak dan retribusi menupula oleh Informan Doni. Menurutnya, semen- rutnya merupakan bentuk tanggung jawab jak ia menjadi wajib pajak sebagai Pedagang sosial kepada masyarakat karena tempat ini Kaki Lima (PKL) di kawasan Sae Salera telah saya pergunakan untuk usaha. “pajak kan Pamekasan, usahanya lebih meningkat karena dikelola oleh pemerintah, tetap kembali ke masyaia merasakan ketenangan dalam menjalankan rakat”, ungkapnya. Jadi secara tidak langsung usahanya dan secara otomatis kesejahteraan- ia berpartisipasi dalam mewujudkan tanggung nya perlahan-lahan mengalami peningkatan jawab dan nilai-nilai sosial kemasyarakatan. pula. “Ya, lumayanlah, dulu teman saya empat Baginya ini merupakan sebuah cara untuk mesekarang dua belas”, pungkasnya. Ketenangan realisasikan tanggung jawabnya sebagai bahati bagi dirinya secara tidak langsung me- gian dari kehidupan berbangsa dan bernegara. ningkatkan taraf hidup dan kesejahteraannya. Manfaat pajak dan retribusi juga dirasakan pula oleh Informan Syafiuddin. Menurutnya | 132 | Vol. 2 No. 2 Desember 2014
Bagi informan Cipto membayar pajak dan retribusi merupakan bentuk lain dari kepeduliannya terhadap kehidupan sosial.
Menurutnya, apa yang ia bayar merupakan cara lain dalam mewujudkan nilai-nilai sosial kemasyarakatannya. Membayar pajak dan retribusi dianggapnya hampir sama dengan mengeluarkan sedekah karena mempunyai tujuan sama, yaitu sosial kemasyarakatan. “Saya anggap pajak/retribusi ini sama dengan sedekah, kan untuk ban yak orang”, tuturnya. Menurutnya tanpa keberadaan pajak dan retribusi mungkin ia agak sulit untuk menyisihkan sebagian penghasilannya untuk kesejahteraan orang lain (masyarakat). Apa yang dipahami oleh Informan Cipto tentang konsep sedekah dengan pajak dan retribusi diakibatkan karena keduanya mempunyai tujuan yang sama yaitu sosial kemasyarakatan. Makna pajak dan retribusi sebagai tanggung jawab sosial juga dialami oleh Informan Doni. Tanggung jawab sosial bagi dirinya diartikan sebuah kegiatan ataupun upaya untuk memberikan sesuatu yang berarti bagi orang lain. Menurutnya rasa tanggung jawab itu bisa juga diaplikasikan melalui pajak dan retribusi walaupun dalam kenyataannya sangat susah difahami. Disampaikannya bahwa tanggung jawab sosial yang paling dirasakan oleh sebagian besar masyarakat melalui pajak dan retribusi akan terlihat apabila fungsi pajak dan retribusi untuk kesejahteraan masyarakat dapat terwujud. Selama masyarakat belum sejahtera menurutnya dampak itu belum terwujud. Maka dari itu pajak dan retribusi harus selalu dibayar. Informan H.Dody mempunyai perspektif yang sama dengan Informan Doni. Beberapa manfaat diakui oleh Informan H. Dody telah dirasakan oleh masyarakat banyak, seperti: pembangunan jalan, jembatan, rumah sakit dan beberapa fasilitas umum. Dimensi lain makna pajak dan retribusi diakui oleh informan H. Dody sebagai rangkaian kegiatan untuk mengasah budaya malu. Setiap bulan ia dikenakan pajak dan retribusi. Iapun sadar bahwa semua itu merupakan kewajiban dirinya kepada pemerintah, namun
di balik itu ada perasaan malu jika tidak membayar. Malu kepada pemerintah, malu kepada masyarakat dan malu kepada diri sendiri. Hal ini disadari karena dirinya merasa banyak berhutang budi kepada pemerintah karena diberikan tempat untuk berusaha. “Bukan takut lagi....tapi malu kalau tidak bayar pajak”, pungkasnya. Ungkapan perasaan malu yang dirasakan oleh informan H.Dody sebenarnya muncul dari lubuk hati yang paling dalam sebagai masyarakat Madura yang taat beragama dan menjunjung tinggi budaya malu serta merupakan ungkapan terima kasih yang tak terhingga kepada Allah SWT dan pemerintah atas apa yang ia dapat sekarang ini. “Malu adalah sebagian daripada iman ”, tuturnya. Petikan hadits ini diakuinya sangat dipegang teguh oleh masyarakat Madura yang kental dengan nuansa religi (Islam) yang kemudian dijadikan sebuah budaya dalam melakukan sesuatu. Diakuinya, perasaan malu bila tidak membayar pajak dan retribusi sebagai refleksi dari nilainilai ajaran Islam yang dianutnya yang kemudian menjadi sebuah budaya dan tradisi dalam masyarakat Madura. Sifat masyarakat Madura yang sensitif dan tempramental sangat berpengaruh terhadap perilaku mereka dalam membayar pajak dan retribusi. Budaya malu yang sudah melekat dalam jiwa masyarakat Madura melalui tradisi dan budaya ini merupakan manivestasi yang tidak ternilai dan dapat dimanfaatkan untuk berbagai bentuk kegiatan, termasuk dalam mengelola pajak dan retribusi, ungkapnya. Bagi informan Cipto, membayar pajak dan retribusi merupakan tanggung jawab besar yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupannya. Disaat peneliti bertanya, apakah ia juga punya perasaan malu kalau tidak membayar
Vol. 2 No. 2 Desember 2014 | 133 |
pajak dan retribusi ? “...Kalau saya bukan malu karena tidak bayar pajak. . . . tapi malu kalau lari dari tanggung jawab ” Menurutnya, tanggung jawab sosial kemasyarakatan tidak dapat dipisahkan dari tanggung jawab dirinya terhadap Allah SWT (Hablumminallah dan Hablumminannas). Tanggung jawab yang tinggi menurutnya merupakan refleksi dari iman, sedangkan rasa malu merupakan sebagian dari iman. Jadi antara tanggung jawab, iman dan malu mesti ada hubungannya. Menurutnya pula rasa malu sangat erat hubungannya dengan orang Madura, “kalau tidak punya rasa malu bukan orang Madura”. Ia mengakui masyarakat Madura sangat kental dengan budaya malu karena sifatnya yang sangat sensitif dan mudah tersinggung. Perasaan malu jika tidak membayar pajak dan retribusi diakuinya sebagai ciri khas masyarakat Madura yang taat terhadap hukum pemerintah (pemimpin), apalagi profesinya sebagai Pedagang Kaki Lima (PKL) yang menyambung hidup dengan bantuan pemerintah, “sedikit Cuma tiga puluh ribu. . .kalau tidak bayar tidak punya rasa malu”, pungkasnya. Perasaan malu jika tidak membayar pajak dan retribusi diakui oleh Informan Cipto sebagai baktinya kepada pemerintah yang sudah memberikan tempat kepada mereka untuk berusaha. Perasaan malu karena tidak membayar pajak dan retribusi juga dirasakan oleh informan P.Yuto. Menurutnya ia sangat malu jika tidak membayar pajak dan retribusi karena pemerintah telah banyak berjasa terhadap dirinya dalam usahanya mencari nafkah. “La ini yang sangat memalukan Pak, sudah difasilitasi oleh pemerintah, masih tidak bayar pajak dan retribusi”, pungkasnya.
dengan sesuatu yang nilainya kecil karenanya perasaan malu tidak bisa dinilai dengan besaran uang atau sesuatu apapun. “Lebbi bhaghus pote tolang etembhang pote mata” (lebih baik mati daripada menanggung malu), merupakan sebuah ungkapan yang menggambarkan besarnya perasaan malu masyarakat Madura. Bagi Informan P. Yuto, kebiasaannya membayar pajak dan retribusi setiap bulan sebenarnya merupakan kegiatan untuk melatih diri mengenal budaya malu. Karakter masyarakat Madura yang senantiasa menjaga harga diri dan kehormatannya selalu melekat pada setiap langkahnya. “Kalau ditagih tidak bayar malu Pak, soalnya salah.. . sudah dikasih tempat tidak bayar”, ungkapnya. Diakuinya pula, perasaan malu jika tidak membayar pajak dan retribusi muncul karena adanya karakter dan sifat masyarakat Madura yang taat (tunduk) terhadap pemimpinnya. Ungkapan perasaan malu jika tidak membayar pajak dan retribusi yang disampaikan oleh Informan P.Yuto dapat menggambarkan betapa tingginya budaya malu melekat dalam jiwa Pedagang Kaki Lima kawasan Sae Salera Pamekasan. Informan Syafiuddin menganggap perasaan malu yang dialami oleh beberapa informan termasuk dirinya apabila tidak membayar pajak dan retribusi lebih diakibatkan oleh adanya culture atau budaya masyarakat Madura yang lebih mengedepankan perasaan (hati) daripada pikiran (akal). Menurutnya pula hal ini memang sudah merupakan sifat dan karakter dasar masyarakat Madura yang sensitif dan tempramental (mudah tersinggung). Malu bagi sebagian besar masyarakat Madura merupakan sifat dasar yang dimiliki sejak ia masih kecil karena diwarisi dan diajari oleh orang tuanya. Oleh karena itu sifat ini mesti muncul pada setiap aktivitas kehidupan masyarakat Madura, “Ya termasuk bayar pajak”, ungkapnya.
Baginya perasaan malu tidak membayar pajak dan retribusi merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari tradisi dan budaya masyarakat Madura yang menjunjung Adanya perasaan lain setelah membayar tinggi budaya malu. Warga Madura sangat hatipajak dan retribusi selain dari rasa tanggung hati dalam masalah malu ini, maka dari itu mereka tidak mau menodai masalah malu ini | 134 | Vol. 2 No. 2 Desember 2014
jawabnya kepada pemerintah dirasakan oleh Informan Agus. “Pajak, ya gak masalah mas bagi saya,.. .hitung-hitung untuk berbagi rasa”, tuturnya. Ungkapan untuk “berbagi rasa” baginya sebenarnya merupakan sebuah ungkapan yang penuh dengan makna. Menurutnya, pajak dan retribusi yang ia bayar seyogyanya untuk kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Perasaan senang dan bahagia ia rasakan jika pajak dan retribusi yang dibayarnya dirasakan juga manfaatnya untuk orang lain misalnya untuk petugas kebersihan. Secara tidak langsung sebetulnya ia telah memberikan pekerjaan (penghasilan) kepada petugas kebersihan sehingga ia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain pada petugas kebersihan, konsep berbagi dengan sesama ini juga dirasakan oleh “petugas tarop (tenda)” yang setiap hari setia membongkar pasangnya. “Kalau kayak saya mau ngasih langsung kan tidak mungkin, jadi lewat pajak ini”. Menurutnya pula, sebagai Pedagang Kaki Lima (PKL) di kawasan Sae Salera Pamekasan, selain membayar pajak dan retribusi (berupa sewa tanah dan uang kebersihan) ia juga diwajibkan membayar uang bongkar pasang tenda setiap hari kepada petugas yang telah ditunjuk, baginya hal ini dianggap sebagai alat untuk berbagi dengan sesama. “Kasihan Mas, mereka kan juga butuh pekerjaan, butuh uang untuk anak istri,..ya hitung-hitung untuk berbagi”, pungkasnya. Apa yang dirasakan oleh Informan Agus untuk berbagi dengan sesama atas apa yang ia peroleh dari profesinya sebagai Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan refleksi secara tidak langsung atas keberadaan pajak dan retribusi.
ribu rupiah setiap hari untuk “petugas tenda tarop)” dalam upaya menjaga kebersihan dan keindahan kota. Menurutnya apa yang ia berikan itu juga merupakan refleksi dari pajak dan retribusi karena aturan menggunakan tenda itu dari pemerintah berupa bantuan gratis untuk Pedagang Kaki Lima (PKL). “Setiap hari tiga ribu rupiah, kalikan enam puluh, kan seratus delapan puluh ribu setiap harinya”, ungkapnya. Ia juga menyampaikan bahwa apa yang diperolehnya berupa penghasilan sebagai Pedagang Kaki Lima (PKL) atas jasa pemerintah sehingga dirasa perlu kenikmatan ini dirasakan juga oleh orang lain. Berbagi kebahagiaan dengan orang lain menurut Informan P.Yuto sangat perlu, apalagi sebagai Pedagang Kaki Lima (PKL) yang setiap harinya menggunakan fasiltas trotoar (milik rakyat), maka sangat perlu menyisihkan sebagian pendapatannya untuk berbagi dengan lingkungan sekitar. “Mudah-mudahan ada manfaatnya”, ungkapnya.
Bagi Informan P.Yuto selain atas dasar “rasa persaudaraan” membantu sesama merupakan tugas dan kewajibannya sebagai manusia, apalagi masyarakat Madura yang identik dengan adat ketimuran. “Suka menolong ini memang sifatnya manusia, apalagi orang madura, asal jangan dicari-cari kesalahannya”, tandasnya. Menurutnya rasa puas setelah membayar pajak dan retribusi itu muncul karena ia menganggap telah dapat membantu sesama melalui pajak dan retribusi. Dikeluarkannya Perpres Nomor 125 Tahun 2012 oleh pemerintah pusat tentang koordinasi penataan dan pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang kemudian ditinjak lanjuti dengan Permendagri Nomor 41 Tahun 2012 tentang pedoman dan pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL) Konsep berbagi dengan sesama ini juga merupakan angin segar bagi Pedagang Kaki dirasakan oleh Pedagang Kaki Lima (PKL) Lima (PKL) untuk mengembangkan usahalainnya. Informan P.Yuto misalnya, ia dengan nya.5 Dalam Permendagri tersebut dijelasikhlas dan senang hati membayar uang tiga 5
Perpres tersebut dapat dijadikan landasan hukum dan tata kelola Pedagang Kaki Lima (PKL) di Indonesia.
Vol. 2 No. 2 Desember 2014 | 135 |
kankan bahwa tujuan penataan dan pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah untuk memberikan kesempatan berusaha bagi Pedagang Kaki Lima (PKL) melalui penetapan lokasi sesuai dengan peruntukannya; menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan usaha Pedagang Kaki Lima (PKL) menjadi usaha ekonomi mikro yang tangguh dan mandiri; dan untuk mewujudkan kota yang bersih, indah, tertib dan aman dengan sarana dan prasarana perkotaan yang memadai dan berwawasan lingkungan. Dalam Perpres tersebut menjelaskan bahwa Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan bagian entitas ekonomi nasional dan pelaku usaha ekonomi kerakyatan yang harus ditata dan diberdayakan. Namun kenyataannya keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) masih dipandang sebelah mata dan dianggap sebagai sampah atau sumber masalah bagi pembangunan sehingga stigma negatif masih melekat pada Pedagang Kaki lima (PKL). Akibat stigma negatif terhadap Pedagang Kaki Lima (PKL) ini maka tidak jarang terjadi benturan antara kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah (SATPOL PP) atas dalih penataan dan penertiban dengan apa yang diinginkan oleh Pedagang Kaki Lima (PKL). Informan H. Dody yang juga sebagai ketua Forum Komunikasi Pedagang Kaki Lima (PKL) kawasan Sae Salera Pamekasan menjelaskan bahwa terjadinya benturan antara Pedagang Kaki Lima (PKL) dengan SATPOL PP atas dasar penertiban dan penataan ini terjadi karena tidak adanya sharing antara keduanya. Harusnya antara pemerintah daerah dan Pedagang Kaki Lima (PKL) duduk bersama (berdialog) mencari jalan keluarnya, hal ini disebabkan karena Pedagang Kaki Lima (PKL) lebih mengetahui tentang situasi dan kondisi di lapangan. Perelokasian Pedagang Kaki Lima (PKL) pada tempat yang tidak strategis dapat menyebabkan pendapatan Pedagang Kaki Lima (PKL) malah berkurang, akibatnya Pedagang Kaki Lima (PKL) tidak meng| 136 | Vol. 2 No. 2 Desember 2014
hendaki adanya perelokasian yang mengakibatkan tindakan penggusuran yang dilakukan oleh pemerintah (SATPOL PP), seperti dalam kutipan wawancara berikut ini: “saya rasa. . . .sebelum PKL-PKL yang ada itu suruh begitu. .. .kita harus sharing dulu,.. tanya dulu kita pindah ke suatu tempat tahu-tahu penghasilan malah berkurang .....” Menurutnya penggusuran bukanlah jalan yang terbaik dalam menyelesaikan masalah, malah justru akan menambah banyaknya kemiskinan. Penggusuran terhadap Pedagang Kaki Lima (PKL) justru akan menambah masalah baru bagi pemerintah karena bertambahnya angka pengangguran. Disisi lain, dampak paling besar adanya penggusuran terhadap Pedagang Kaki Lima (PKL) berupa musnahnya jiwa-jiwa pengusaha pada Pedagang Kaki Lima (PKL) yang merupakan bibit-bibit enterpreneur sejati ini. Masalah penggusuran terhadap Pedagang Kaki Lima (PKL) diakui pula oleh informan H. Dody tidak semata-mata kesalahan salah satu pihak baik pihak pemerintah ataupun Pedagang Kaki Lima (PKL), namun juga perlu adanya kesadaran diri dari Pedagang Kaki Lima (PKL) dan pemerintah (SATPOL PP) agar tidak terjadi benturan. “Aturan-aturan yang ada dipatuhi, kewajibannya dipenuhi baru meminta hak”, tuturnya. Ia juga mengharap kepada Pedagang Kaki Lima (PKL) kawasan Sae Salera Pamekasan agar tidak hanya memanfaatkan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah berupa tempat atau lokasi untuk membuka usaha namun juga harus memperhatikan hak-hak orang lain seperti pejalan kaki serta kewajibannya membayar pajak dan retribusi harus dipenuhi, seperti dalam kutipan wawancara berikut ini: “ .....Ya kita harus sadar lah....pemerintah sudah ngasih tempat,.. .ngasih lokasi... .kita manfaatkan tapi harus mengerti ........gimana caranya supaya gak ada benturan dengan
pemerintah....ya kita harus mengerti ...... tidak mengganggu jalan....... ” Masalah pengelolaan pajak dan retribusi sebenarnya menjadi perhatian utama dalam pengelolaan Pedagang Kaki Lima (PKL). Namun ia tidak menuntut terlalu banyak dari pendapatan pajak dan retribusi untuk dialokasikan ke Pedagang Kaki Lima (PKL). Ia sadar betapa banyaknya beban yang harus dikeluarkan pemerintah dari pendapatan pajak dan retribusi ini untuk keperluan negara. Namun ia tetap berharap agar prosentase anggaran yang bersumber dari pajak dan retribusi ini perlu ditingkatkan untuk kesejahteraan dan kemakmuran Pedagang Kaki Lima (PKL). Disampaikannya pula saat ini memang banyak sekali penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh oknum-oknum pajak sehingga menyebabkan kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan pajak dan retribusi sangat kurang. Dari uraian tersebut diatas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan pajak/retribusi dan Pedagang Kaki Lima (PKL) diantaranya: (1) Bagaimanapun juga Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah warga negara yang harus dilindungi hak-haknya (hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak). Angka pertumbuhan penduduk yang tinggi dan kurangnya ketersediaan lapangan kerja menyebabkan masyarakat mengambil alternatif untuk menjadi Pedagang Kaki Lima (PKL)6. (2) Penggusuran Pedagang Kaki Lima (PKL) atas dalih penertiban dan penataan sebenarnya bukan fenomena baru di negeri ini7, untuk itu pemerintah hendaknya segera men
6
7
8
cari solusi terhadap masalah ini. Penggusuran Pedagang Kaki Lima (PKL) oleh SATPOL PP dapat menyebabkan kerugian materil maupun non materil dan dapat mematikan semangat berwirausaha para Pedagang Kaki Lima (PKL). Perelokasian dan penyediaan tempat alternatif bagi Pedagang Kaki Lima (PKL) untuk menjalankan usahanya merupakan solusi yang dapat diberikan oleh pemerintah untuk mengatasi hal ini. Namun demikian penentuan lokasi atau tempat bagi Pedagang Kaki Lima (PKL) harus dilakukan dengan pendekatan dialog yang bersifat pembinaan dengan melibatkan semua pihak (pemerintah, perwakilan Pedagang Kaki lima (PKL), tokoh masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat, tokoh agama dan komponen masyarakat lainnya) bukan dilakukan dengan tindakan represif yang dapat memicu perlawanan dari Pedagang Kaki Lima (PKL). Adanya proses komunikasi antara pemerintah dengan Pedagang Kaki Lima (PKL) dalam penentuan lokasi harus senantiasa diupayakan.(3) Perlu adanya komitmen yang kuat dari pamerintah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat khususnya Pedagang Kaki Lima (PKL) melalui peningkatan alokasi anggaran untuk Pedagang Kaki Lima (PKL), peningkatan pembinaan keterampilan dan promosi usaha. (4) Pentingnya jaminan sosial, kesehatan dan kemudahan akses terhadap institusi keuangan bagi para Pedagang Kaki Lima (PKL). Upaya lain yang dapat dilakukan adalah melakukan kerja sama dengan stakeholder (perusahaan dengan program Corporate Social Responbility (CSR)8 nya atau perusahaan per-
Berdasarkan data pada Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI), hingga tahun 2012 terdapat 23,4 juta Pedagang Kaki Lima (PKL) di seluruh Indonesia (Tempo, 5 September 2012) sedangkan di Kabupaten Pamekasan Tahun 2009 jumlah Pedagang Kaki Lima (PKL) yang terdata sebanyak 315 Orang dan Tahun 2010 naik menjadi 425 orang yang tersebar di berbagai lokasi di Pamekasan (Antara News, 19 Oktober 2010). Bhowmik(205)menjelasknbahwahampirsemuanegardiAsia,PedagangKakiLma(PKL)tidakmempunyaistuslegaldalmmenjalnkanusahanya dan mereka terus mendapatkan tindakan kekerasan dari pemerintah kota dengan program yang mengatasnamakan penertib an dan penataan. Corporate Social Responbility (CSR) adalah sebuah bentuk pertanggung jawaban sosial perusahaan terhadap lingkungannya. Apabila bentuk kegiatan sosial lingkungan ini dialokasikan untuk pengembangan usaha Pedagang Kaki Lima (PKL) berupa ba ntuan modal, sarana dan prasarana maka akan meningkatkan kesejahteraaan dan kemakmuran Pedagang Kaki Lima (PKL).
Vol. 2 No. 2 Desember 2014 | 137 |
bankan dengan program kredit usaha kecilnya. Agar upaya ini berjalan dengan baik maka diperlukan pula adanya peningkatan pendapatan pemerintah melalui pajak dan retribusi.
KESIM PU LAN Penelitian ini mendiskripsikan bahwa pada umumnya Pedagang Kaki Lima (PKL) kawasan Sae Salera Pamekasan memahami tentang substansi pajak dan retribusi. Mereka memahami bahwa pajak dan retribusi adalah sebuah kewajiban sebagai warga negara terhadap pemerintah sebagai sumber pendapatan (income) untuk membiayai keperluan negara. Disisi lain substansi pajak dan retribusi juga dipahami oleh mereka sebagai sesuatu yang mempunyai relevansi dengan “hubungan timbal balik secara langsung”. Pemahaman ini disebabkan karena apa yang mereka bayar berupa pajak dan retribusi berdampak secara langsung terhadap usaha mereka sehingga secara konkrit mereka memahami substansi pajak dan retribusi sebagai “uang sewa tempat”. Pedagang Kaki Lima (PKL) kawasan Sae Salera Pamekasan sudah merasakan manfaat secara langsung membayar pajak dan retribusi berupa pemanfaatan tempat (lokasi) yang dapat digunakan untuk membuka usahanya. Manfaat lain yang dirasakan oleh mereka adalah adanya ketenangan hati para Pedagang Kaki Lima (PKL) kawasan Sae Salera Pamekasan untuk mengais rejeki membuka usahanya karena menurutnya pemberian status wajib pajak dan retribusi kepadanya merupakan bukti persetujuan pemerintah terhadap usaha yang mereka geluti walaupun kadang kala rasa waswas dan khawatir selalu menghantui dikala ada upaya penertiban dan penataan Pedagang Kaki Lima (PKL). Mereka sadar bahwa secara legalitas hukum, mereka tidak mempunyai hak terhadap penguasaan tempat (lokasi) yang digunakan untuk usaha mereka | 138 | Vol. 2 No. 2 Desember 2014
dengan arti lain pemerintah sewaktu-waktu dapat memindahkannya atau bahkan melarangnya berjualan sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL). Tindakan kekerasan terhadap Pedagang Kaki Lima (PKL) sebenarnya memang tidak perlu terjadi apabila semua pihak/ stakeholder (Pedagang Kaki Lima (PKL), pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi PKL, Lembaga Swadaya Masyarakat) duduk bersama mencari solusi terhadap masalah yang terjadi. Penelitian ini menemukan bahwa selain sebuah kewajiban sebagai warganegara, Pedagang Kaki Lima (PKL) kawasan Sae Salera Pamekasan memahami pajak dan retribusi sebagai alat menuju ketenangan. Bagi beberapa Pedagang Kaki Lima (PKL), ketenangan hati ia dapatkan setelah memenuhi kewajibannya sebagai wajib pajak dan retribusi disamping ketenangan hati dalam menjalankan usaha karena tidak dikejar-kejar oleh petugas (SATPOL PP). Makna lain dari pajak dan retribusi dipahaminya sebagai wujud tanggung jawab sosial. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karenanya pajak dan retribusi yang dibayar oleh Pedagang Kaki Lima (PKL) dianggapnya sebagai wujud tanggung jawab sosial terhadap masyarakat dan lingkungannya, menurutnya pajak dan retribusi yang mereka bayar nantinya akan kembali ke masyarakat juga. Dimensi lain dari pajak dan retribusi bagi Pedagang Kaki Lima (PKL) kawasan Sae Salera Pamekasan adalah mengasah budaya malu. Adanya istilah “lebbi bhagus pote tolang etembhang pote mata” (lebih baik mati daripada harus menanggung malu) menjadi salah satu penyebab budaya malu mengakar kuat dalam tradisi masyarakat Madura. Budaya malu ini kemudian mempengaruhi segala aktivitas kehi-
dupan masyarakat Madura termasuk membayar pajak dan retribusi. Membayar pajak dan retribusi bagi beberapa informan diakuinya sebagai kewajiban yang tidak dapat dipisahkan dengan tradisi dan budaya malu masyarakat Madura yang sangat menjaga kehormatan, martabat dan harga dirinya. Makna lain dari pajak dan retribusi bagi Pedagang Kaki Lima (PKL) kawasan Sae Salera Pamekasan adalah sebagai sarana untuk berbagi dengan sesama. Karakter mayarakat Madura yang penuh dengan solidaritas, suka berbagi dengan sesama serta peduli terhadap lingkungannya secara tidak langsung mempengaruhi pemahaman masyarakat Madura dalam memaknai pajak dan retribusi. Dikeluarkannya PERPRES Nomor 125 Tahun 2012 oleh Pemerintah pusat tentang koordinasi penataan dan pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang kemudian ditindaklanjuti dengan PERMENDAGRI Nomor 41 Tahun 2012 tentang pedoman dan pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan paradigma baru bagi pemerintah dalam upaya menumbuhkembangkan Pedagang Kaki Lima (PKL). Keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang semula dipandang sebelah mata karena dianggap sebagai biang keladi kesemrawutan kota dan sumber masalah bagi pembangunan, kini kehadirannya justru dianggap sebagai bagian dari entitas ekonomi nasional dan pelaku usaha ekonomi kerakyatan yang harus ditata dan diberdayakan. Adanya perpres dan permendagri tersebut dapat dijadikan landasan hukum dan tata kelola Pedagang Kaki Lima (PKL) Indonesia. Bagi Pedagang Kaki (PKL) kawasan Sae Salera Pamekasan “penggusuran” bukanlah jalan yang terbaik dalam menyelesaikan masalah, malah justru akan menambah masalah baru seperti bertambahnya kemiskinan dan pengangguran serta musnahnya jiwa-jiwa entrepreneur.
DAFTAR PUSTAKA Adriani, P.J.A. 2005. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Jakarta: PT.Gramedia Andriansyah. 2004. Kebijakan Publik Dalam Penanganan Sektor Informal. (Kasus Pedagang Kaki Lima di Provinsi DKI Jakarta). (2004:200). Bhowmik, Sharit. 2005. Street Vendor In Asia: A Review. (www.google.co.id) 22 Februari 2013 Bungin, Burhan. 2007. Analisis Data Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Pen guasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada Creswell, J. W. 2007. Qualitatif Inquiry and Research Design. Sage Publication, Inc. Elmiyah, M. 1993. Aspek Hukum Sektor Informal di DKI Jakarta. (Studi Kasus Pedagang Kaki Lima di Jakarta Timur). (1993:69) Kuswarno, Engkus. 2009. Metodologi Penelitian Komunikasi, Fenomenologi (Konsep, Pedoman dan Contoh Penelitian) . Bandung: Widya Padjajaran UNPAD. Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL). Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah. Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Retribusi Jasa Umum. Peraturan Presiden Nomor 125 tahun tentang koordinasi penataan dan pemberdayaan Pedagang Kaki Lima. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2012 tentang pedoman dan pemberdayaan Pedagang Kaki Lima. Sinaga, S. 2004. Dampak Sosial Kebijakan Pemda DKI Jakarta Tentang Relokasi Pedagang Kaki Lima di Lokasi Binaan. (Studi Kasus di Lokasi Binaan Paal Merah Jakarta Pusat). (2004:136). Soemitro, Rochmat. 1991,Pajak Ditinjau Dari Segi Hukum. Bandung: Eresco.
Vol. 2 No. 2 Desember 2014 | 139 |
Sukoharsono, E.G. 2006. Alternatif Riset Kualitatif Sains Akuntansi: Biografi, Phenomenologi, Grounded Theory, Critical Ethnografi dan Case Study, Di: Analisa Makro & Mikro. BPFE UB, Hal 230-245. Tamba, Halomoan dan Saudin Sijabat. 2006. Pedagang Kaki Lima: Enterpreneur yang terabaikan. Infokop Nomor 29 Tahun XXII.
| 140 | Vol. 2 No. 2 Desember 2014
Undang-Undang No.28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Undang-Undang No.28 Tahun 2009 Tentang Retribusi Jasa Umum.
| 213 | Vol. 2 No. 2 Desember 2014