MAKANAN TRADISIONIL: Upaya Meningkatkan Modal Sosial (Social Capital)1 Iwan Nugroho2 dan Tri Susanto3 Abstrak Kemajuan dalam pembangunan ekonomi memberikan pengaruh kepada pergeseran pola konsumsi makanan ke arah produk impor. Hal seperti ini sungguh sangat riskan karena persoalan external imbalance senantiasa menghantui sejalan dengan sistem ekonomi dunia yang semakin liberal. Dalam posisi demikian, upaya mengembangkan makanan tradisionil merupakan hal penting dan sangat strategis. Ia tidak hanya mampu mengatasi persoalan external imbalance saja, tetapi juga memberi manfaat ekonomi secara langsung kepada pelaku ekonomi, kesempatan kerja dan lebih jauh meningkatkan efektifitas berfungsinya organisasi-organisasi sosial dalam masyarakat dalam upaya melindungi sistem produksi makanan tradisionil dan lingkungan (biosocial diversity), serta menjamin keberlanjutannya. Sementara itu, upaya mengembangkan makanan tradisionil dihadapkan pada kendala antara lain sanitasi yang buruk, proses pengolahan yang overcook, kurang memperhatikan gizi, lemahnya unsur teknologi, atau kendala budaya yang sering kali menghambat transfer pengetahuan tentang makanan tradisionil itu sendiri. Upaya meningkatkan modal sosial (social capital) melalui pengembangan makanan tradisionil tercermin dari (1) kenaikan jumlah investasi efektif dan menurunnya uncertainty, (2) kenaikan jumlah kontrak khususnya yang berjangka panjang (long-term contracting), (3) adanya keramahan yang tulus-ikhlas, jujur dan tanpa basa-basi (credible commitment). Saran kebijaksanaan dalam rangka mengembangkan makanan tradisionil dan sekaligus modal sosial (social capital) antara lain: (1) kebijaksanaan harga melalui mekanisme pasar yang hati-hati, dengan tujuan efisiensi, produktifitas tinggi, dan nilai tukar (term of trade) petani yang dapat memberi surplus untuk investasi; (2) perbaikan teknologi dan manajemen dengan tujuan meningkatkan keunggulan kompetitif produknya, dan senantiasa fashionable mengikuti kehendak setiap individu konsumen; (3) identifikasi makanan tradisional dengan tujuan membangun atlas atau peta tentang makanan dan bahan obat-obatan tradisionil Indonesia; (4) mekanisme kelembagaan yang efektif dengan tujuan. mengarahkan aliran investasi secara efektif (tidak bocor), menjamin proses transaksi maupun investasi sesuai kontrak, dan mencegah incredible commitment. 1
Naskah diterbitkan pada majalah Pusat Kajian Makanan Tradisionil (PKMT) Universitas Brawijaya. Tahun 1998 (1): 30-35 2 Dosen Fakultas Pertanian, Universitas Widya Gama Malang; sedang menempuh Program Doktor pada Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan, IPB Bogor 3
Guru Besar Ilmu Pangan Fakultas Pertanian dan Kepala Pusat Kajian Makanan Tradisional (PKMT) Lembaga Penelitian Universitas Brawijaya, Malang
2
Abstract The Indonesia economic development progress have provided a marked effect in food consumption pattern changes toward an importing rather than a domestic product. These conditions are actually very risky in line with an external imbalance problem that usually embody in a global economic system that is increasingly liberalized. In this case, to develop traditional food is very important and strategic. This effort not only for overcoming external imbalance problem, but also providing an economic gain to business actor directly, increasing employment, and furthermore expanding a social organization functions to preserve production system of traditional food and its environment (biosocial diversity), and support its sustainability. Meanwhile, the efforts to develop traditional food also deal with a critical constrains, including bad sanitation, overcooked processes, nutrition inaccuracy, technologically unfriendly, and others culture constraint that frequently perform an unsuccessful in knowledge transfer of traditional food itself. The efforts to create social capital through development of traditional food are indicated by (1) an increase in investment and a decrease in uncertainty, (2) an increase in contracting especially long-term contracting, (3) fully familiar relationship (credible commitment). The policy recommendation deal with these as follow: (1) pricing policy with a careful market mechanisms, aims to create an efficiency, high productivity, and an advantages term of trade that provide a significant surplus for investment; (2) high technology and modern management orientation, aims to create competitive advantages of product, and highly fashionable to follow consumer preference; (3) building traditional food data base, aims to produce Indonesia map for traditional food and medicine; (4) an effective institutional mechanism, aims to force a right investment flow, to enforce transaction process, and to prevent incredible commitment.
3
Pendahuluan Meningkatnya kemajuan dalam pembangunan ekonomi dan implikasinya dalam peningkatan pendapatan memberikan semakin banyak alternatif pilihan-pilihan dan sekaligus pergeseran (atau substitusi) dalam berbagai aspek kehidupan. Hal demikian pun terjadi dalam pola konsumsi produk makanan yang dialami penduduk Indonesia selama ini. Fenomena ini terlihat jelas dalam kehidupan perkotaan dimana terjadi substitusi konsumsi yang nyata antara makanan pokok dan bukan makanan pokok, konsumsi produk (makanan) asal impor dan domestik, makanan (masakan) rumah dan jadi, atau makanan tradisionil dan non tradisionil. Fenomena yang hampir sama atau dalam tingkat substitusi yang lebih rendah juga terjadi dalam wilayah perdesaan yang sudah memiliki akses pasar yang baik. Yang disebut terakhir, yaitu mekanisme pasar, memang diakui menjadi media yang efektif mempercepat beragam substitusi di atas sejalan dengan semakin kuatnya dorongan kekuatan faktor-faktor ekonomi melebihi faktor-faktor sosial dan lingkungan. Pergeseran konsumsi seperti dikemukakan di atas memberi implikasi yang mendasar dalam dua hal. Pertama kekuatan eksternal. Terjadi tingkat ketergantungan yang makin tinggi dalam pola konsumsi terhadap kekuatan perdagangan internasional (yang sudah disepakati) yang semakin liberal. Ini berarti tidak ada lagi alasan menolak kehadiran produk-produk impor melengkapi pilihan-pilihan konsumsi yang dikehendaki oleh konsumen. Dan selanjutnya resiko-resiko di belakangnya menyangkut external imbalance yang muncul, menjadi persoalan berikutnya. Kedua kekuatan internal. Kecenderungan munculnya kekuatan-kekuatan domestik yang mengalami tekanan akibat liberalisasi perdagangan, misalnya pengangguran atau industri yang sedang dikembangkan (terkait exchange rate policy) (Mansfield and Busch, 1995). Alasan ini nampaknya dapat diterima oleh mekanisme perdagangan bebas sepanjang prosesnya transparan dan didukung oleh good governance. Yang lebih sering muncul adalah munculnya policy failuredalam bentuk distorsi atau rent seeing practicessebagai akibat antisipasi berlebihan mengatasi kekuatan external di atas. Ini kemudian seringkali mengakibatkan kerugian sosial domestik (net loss to society) lebih dari yang dibayangkan tidak hanya menyangkut faktor-faktor ekonomi saja, tetapi juga kepada aspek sosial-kelembagaan dan lingkungan. Lebih jauh, pergeseran pola konsumsi implisit mengakibatkan substitusi sumberdaya dan modal di antara faktor ekonomi, sosial, dan lingkungan. Yang sering mendapatkan perhatian adalah betapa keuntungan-keuntungan dalam faktor-faktor ekonomi senantiasa memberi dampak kepada kerugian-kerugian dalam faktor-faktor sosial dan lingkungan. Konkritnya adalah modal-modal ekonomi buatan (man-made capital) senantiasa meningkat namun tidak mampu diimbangi oleh modal sosial (social capital) dan sumberdaya alam dan lingkungan (natural capital); dan semuanya terlepas dari keberadaan modal manusia (human capital). Fenomena seperti ini, dalam banyak hal, ditemukan sangat memprihatinkan di negara-negara sedang berkembang. Kenaikan pendapatan per kapitanya cenderung tidak berespon dengan kenaikan konsumsi makanan produk domestiknya, sebaliknya sangat nyata terhadap makanan produk impor. Inilah yang berpotensi menghasilkan multiplier kerugian sosial dalam faktor-faktor sosial kelembagaan dan lingkungan. Hubungan antara kerugian sosial yang dikemukakan di atas dengan sistem produksi makanan (atau pertanian) sangatlah erat. Dengan jumlah sekitar 44 persen (BPS, 1997) dari seluruh angkatan kerja nasional, maka pekerja pertanian memiliki potensi yang besar sebagai cagar sosial dan lingkungan apabila mereka dapat mengembangkan dirinya yang 4
didukung insentif ekonomi yang memadai. Pengalaman mereka dengan beragam kultur teknis budidaya tanaman yang spesifik, yang tersebar di seluruh tanah air (biosocial diversity), seharusnya dikembangkan sejajar dengan program-program dalam kebijaksanaan pembangunan pertanian secara umum. Lebih spesifik lagi, mengenali kehidupan keseharian merekamisalnya menu-menu yang disajikan dalam keluargadan mengkaji berbagai aspek dibelakangnya secara akademis seharusnya sudah dilakukan. Selanjutnya maka akan dapat diperoleh banyak informasi yang bermanfaat dan akurat menambah dan melengkapi beragam pilihan konsumsi makanan disamping dari impor. Demikianlah, mengangkat nilainilai tradisionil melalui aspek makanan keseharian merupakan salah satu upaya mencegah kerugian sosial dan sebaliknya memupuk dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan masyarakat lokal menjadi kontekstual secara ekonomi, sekaligus mencerminkan potensi keberlanjutannya. Tulisan ini mencoba menelaah secara konseptual peranan makanan tradisionil di dalam upaya meningkatkan modal sosial (social capital).
Makanan Tradisionil Memahami pengertian tentang makanan tradisionil hendaknya menempatkan lebih dulu ke dalam pengertian tentang makanan itu sendiri yang mencakup dua hal: (1) makanan, yaitu sesuatu yang siap diolah atau siap disantap, dan (2) bahan makanan, yaitu bahan yang masih mentah, setengah jadi, dan siap dimasak. Makanan tradisionil merupakan makanan yang banyak memiliki ciri-ciri daerah di mana seseorang dilahirkan dan tumbuh (Winarno, 1994). Secara lebih spesifik, kepekatan tradisi itu dicirikan antara lain: makanan tradisionil dikonsumsi oleh golongan etnik dan dalam wilayah tertentu, diolah mengikuti ketentuan (resep) yang turun temurun, dari bahan-bahan yang diperoleh secara lokal, dan disajikan sesuai selera dan tradisi setempat. Potensi yang dikandung oleh makanan tradisionil sesungguhnya sangat besar. Beragamnya budaya adalah modal dasar yang tak ternilai. Karenanya mengangkatnya secara ekonomi dalam wujud sajian makanan tradisionil diharapkan dapat pula menarik keuntungan-keuntungan sosial (social capital) yang lebih besar dari yang diperkirakan— yaitu meningkatnya kontrak, transaksi, dan investasi dalam wujud munculnya organisasiorganisasi ekonomi yang baru. Namun upaya mengangkat makanan tradisionil sekaligus menyaingi dan mempersandingkannya4 dengan makanan produk impor senantiasa menghadapi kendala, misalnya sanitasi yang buruk, proses pengolahan yang overcook, kurang memperhatikan gizi, lemahnya unsur teknologi, atau kendala budaya lainnya. Salah satu kendala budaya itu misalnya adanya ketentuan ritual atau perlakuan spesifik yang harus ditaati dalam pembuatan makanan tradisionil. Kondisi seperti ini agaknya menghambat transfer pengetahuan tentang makanan tradisionil kepada generasi berikutnya. Contoh empirisnya telah sering teramati, misalnya usaha makanan tradisionil menjadi tidak laku dan tutup setelah seorang yang bertugas ‘meracik’ makanan tradisionil meninggal dunia. Dan diperkirakan banyak makanan-makanan tradisionil ‘punah’ oleh fenomena demikian. 4
Makanan tradisionil harus dapat bersaing dan bersanding dengan produk makanan impor. Pernyataan ini senantiasa dikemukakan Menpangan Ibrahim Hasan dalam setiap pengarahannya. Yang terakhir dikemukakan dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI di Serpong, 17 hingga 20 Februari 1998. 5
Demikianlah, berdirinya Pusat Kajian Makanan Tradisionil (PKMT5) sungguh tepat. PKMT selain menjadi tonggak program pengembangan pangan nasional dan pengembangan makanan tradisionil secara akademis, juga diharapkan dapat mengkaji kendala-kendala yang disebutkan tadi dalam rangka mengangkat dan memberi nilai ekonomi kepada seluruh masyarakat yang terlibat mengembangkan makanan tradisionil. Disadari bahwa makanan tradisionil terkait dengan banyak aspek, karena itu pendekatan kajiannya seharusnya multi disiplin, mencakup antara lain aspek budaya--meliputi kebiasaan makan, selera, kepercayaan, agama, seremonial, bukti peninggalan kuno; aspek ekologi--meliputi biologis, geografi; aspek teknologi--meliputi substansi makanan, gizi, pengolahan, pengawetan, pengemasan, estetika; dan aspek ekonomi--meliputi produksi, konsumsi, nilai tambah, harga (pricing policy), kesejahteraan. Makanan Tradisionil dan Non-tradisionil Sejauh ini gambaran share makanan tradisionil dalam penyediaan pangan secara nasional belum dihitung secara eksplisit. Sekalipun demikian dengan mengacu kepada jumlah pangan yang diproduksi oleh kalangan rumah tangga untuk tujuan konsumsi sendiri, yang diperkirakan mencapai 80 persen dari penyediaan pangan untuk konsumsi penduduk secara nasional (Menpangan, 1998), maka gambaran share makanan tradisionil sangat signifikan terutama di wilayah pedesaan. Posisi makanan tradisionil dan implikasinya dalam kehidupan riil disajikan dalam Gambar 1. Pada keadaan semula ketika makanan tradisionil belum dikembangkan, kombinasi produksi dan konsumsi makanan tradisionil dan non tradisionil berada pada titik K. Ini terletak pada kurva kemungkinan produksi (KKP) AB, tingkat kepuasan UK , dan term of trade (TOT) (PX/PY)K . Pada kondisi ini belum sepenuhnya potensi makanan tradisionil diwujudkan dalam program pengembangan pangan nasional. Berangkat dari keadaan tersebut, dengan mengasumsikan perubahan produksi constant return to scale, keseimbangan baru produksi dapat ditingkatkan pada titik L dengan KKP CD; sementara konsumsinya berada pada M dengan kepuasan UM; dan TOTnya (PX/PY)M . Keadaan yang baru mencerminkan keseimbangan yang dinamis sekaligus memberi penghargaan yang lebih baik kepada makanan tradisionil (dicerminkan dengan TOT yang lebih tinggi) dibanding keseimbangan semula. Adanya kenaikan produksi pada keadaan baru ini memungkinkan kelebihannya sebesar NL untuk diekspor. Sebaliknya karena program-program pengembangan pangan berhasil dengan lebih baik, maka permintaan makanan non-tradisionil yang sebagian diimpor (melengkapi pilihan-pilihan sebelumnya) juga naik. Ada beberapa keuntungan diperoleh dari keadaan terakhir ini. Pertama, kenaikan manfaat ekonomi (forward maupun backward linkages) sejalan dengan semakin banyaknya pilihan dan ragam produk pangan dari makanan tradisionil, impor dan kombinasinya. Kedua, berkurangnya persoalan external imbalance sebagai akibat meningkatnya ekspor dan devisa. Ketiga, kenaikan jumlah tenaga kerja sejalan dengan multiplier manfaat ekonomi dari keberhasilan program pengembangan pangan. Keempat, berfungsinya secara efektif organisasi-organisasi sosial dalam masyarakat tidak hanya dalam rangka menangkap manfaat ekonomi saja, tetapi juga upaya melindungi sistem produksi dan lingkungan (biosocial diversity) sehingga terjamin keberlanjutannya.
5
Telah berdiri di IPB Bogor, UGM Yogyakarta, dan Unibraw Malang 6
(PX/PY)L
D non traditional food (Y)
M UM
(PX/PY)K N
B K
L UK
A C traditional food (X)
Gambar 1. Produksi dan konsumsi makanan tradisionil dan non tradisionil Demikianlah, adalah wajar sasaran penting yang harus dicapai dalam program pengembangan pangan, khususnya melalui pangan tradisionil, adalah meningkatkan keberagaman pangan. Sasaran keberagaman (biosocial diversity) ini tidak hanya berarti upaya menghargai budaya lokal dan fungsi-fungsi yang diembannya (indigenous institutions), tetapi juga mencerminkan buffering capasity dari adanya gejolak yang senantiasa mempengaruhi program pengembangan pangan dan pertanian—akibat perubahan musim, dan perubahan keadaan perekonomian domestik atau internasional (seperti krisis ekonomi saat sekarang). Dalam keadaan sekarang ini, di mana makanan pokok menggantungkan beras, sementara bahan pangan impor didominasi terigu, maka Indonesia senantiasa dalam bahaya ketahanan pangan (food insecurity).
Modal Sosial (social capital) Kajian terhadap modal sosial (social capital) dan kaitannya dengan modal lainnya merupakan konsekwensi logis dari berbagai pengalaman (khususnya kegagalan) pembangunan terutama di negara-negara sedang berkembang yang kenyataannya masih menampakkan fenomena rendahnya produktifitas, kemiskinan, degradasi lingkungan. Dalam kaitan inilah Bank Dunia melihat betapa pentingnya memformulasikan kembali tujuan-tujuan pembangunan yang dirangkum dalam triangle of sustainability (Serageldin, 1996), yang di dalamnya terdiri dari interaksi tujuan-tujuan (dimensi) ekonomi, sosial, dan ekologi yang saling melengkapi dan melindungi satu sama lain.
7
Konsepsi lainnya yang sedang dikembangkan Bank Dunia adalah apa yang dikenal sustainability as opportunity. Konsep ini berangkat dari definisi berikut: Sustainability is to leave future generations as many opportunities as we ourselves have had, if not more. Konsep ini memandang bahwa pembangunan akan sustainable jika di dalamnya memberikan generasi mendatang income disertai opportunity pertumbuhan capital (minimal sama dengan generasi sekarang) yang dapat diperlihatkan dengan relatif lebih tinggi capital per kapita dibanding generasi sekarang (Gambar 2). Modal-modal itu dapat dilukiskan sebagai human capital (investasi dalam pendidikan, kesehatan, atau gizi), social capital (fungsi dan keberadaan kelembagaan dan budaya dalam masyarakat), natural capital (fungsi dan keberadaan sumberdaya alam dan lingkungan) dan man-made capital (investasi yang umumnya terhitung dalam anggaran perekonomian). Dua modal yang pertama proporsi dan jumlah mutlaknya senantiasa naik sedangkan dua modal jumlah mutlaknya boleh konstan.
Natural Social Capital Capital
Natural Capital
time
Man-made Human Capital Capital
Man-made Capital
Social Capital
Human Capital
Gambar 2. Sustainability dan kenaikan stock capital per kapita (Serageldin, 1996) Modal sosial (social capital) merupakan jalinan ikatan-ikatan budaya, governance, dan social behaviour yang membuat sedemikian rupa sehingga fungsi dan tatanan sebuah masyarakat adalah lebih dari sekedar jumlah individunya. Modal sosial (social capital) dan wujudnya sebagai kelembagaan inilah sumber dari legitimasi berfungsinya tatanan masyarakat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, keberlanjutan pembangunan, maupun untuk kepentingan mediasi terhadap konflik dan kompetisi. Yang menarik untuk dikaji dari modal-modal di atas dan menentukan tingkat sustainability adalah tidak terhindarkannya substitusi dari salah satu diantaranya. Pertama, pembangunan menjadi weak sustainability karena di dalamnya mencerminkan tingkat substitusi yang tinggi antara modal-modal di atas tanpa memperhatikan komposisi akhir modal. Contoh ekstrimnya adalah seluruh pendapatan (man-made capital) digunakan untuk mengkonsumsi atau menghargai makanan impor dibanding makanan yang diproduksi di domestik. Keadaan ini secara langsung akan menghentikan aktifitas ekonomi domestik dan mematikan seluruh modal-modal yang tertanam di dalamnya (social dan natural capital). Kedua, sensible sustainability, memcerminkan tingkat subsitusi yang ‘berhati8
hati’ sehingga berkurangnya salah satu modal diimbangi oleh tambahan modal lainnya. Ini dapat diberi contoh misalnya meningkatnya konsumsi makanan produk impor (sebagai manmade capital) diimbangi oleh informasi-informasi atau hasil kajian (human capital) tentang keunggulan makanan tradisionil atau upaya perlindungan (social capital) terhadap industri makanan tradisionil. Dan terakhir strong sustainability adalah mencerminkan substitusi ‘terbatas’ (baca: komplemen) sehingga berkurangnya salah satu modal harus diimbangi lebih investasi untuk modal yang sama. Keadaan ini dapat digambarkan dimana kecenderungan konsumsi makanan impor dan tradisionil adalah kurang lebih sama. Sedemikian jauh implementasi dari hasil-hasil kajian modal sosial (social capital) masih menemui banyak kendala. Harus diakui bahwa ada kesulitan-kesulitan—mengkualifiasi, mengkuantifikasi dan mengidentifikasi ciri-ciri, faktor dan proses dalam organisasi sosial— sehingga seringkali diabaikan dan ditolak dalam perencanaan dan perumusan kebijaksanaan. Studi tentang perkotaan (Celecia, 1996) nampak memperoleh banyak perhatian karena di dalamnya terjadi substitusi yang sangat ‘longgar’ (weak sustainability) dan mengakibatkan menurunnya modal sosial (social capital) dan sumberdaya alam (natural capital). Pengalaman studi itu nampaknya memberi hasil yang berguna, yaitu betapa pentingnya membangun jalinan bersama (social capital) yang kuat antar individu-individu dari beragam disiplin, organisasi kemasyarakatan (misalnya LSM), private sector, dan pemerintah pada tingkat lokal, regional hingga nasional, sehingga membentuk sinergi dalam mendukung keberlanjutan pembangunan. Ukuran tentang modal sosial (social capital) paling tidak harus mencerminkan adanya equity, social cohesiveness, dan partisipasi. Menyangkut upaya pengembangan makanan tradisionil, maka hal tersebut akan berkorelasi kuat dengan keberadaan beberapa hal berikut: 1. Jumlah organisasi (density). Semakin besar jumlah organisasi atau unit-unit pelaku ekonomi (petani, tengkulak, pedagang, pabrik pengolah, atau private sector lainnya) yang terlibat dalam pengembangan makanan tradisionil, memberi peluang besar terciptanya mekanisme spesialisasi, kerjasama, dan koordinasi untuk memanfaatkan aktifitas ekonomi. Keadaan ini juga akan meningkatkan frekwensi dan akses individu terhadap beragam sumberdaya maupun penyelesaian konflik dibelakangnya. 2. Hirarki organisasi (horizontal atau vertical). Organisasi yang berhirarki horizontal memberi peluang interdependency yang lebih saling menguntungkan dan kondusif bagi kerjasama. Hirarki ini juga memungkinkan keakraban (proximity) individu dengan individu lainnya, dengan organisasinya dan tentu saja implisit ada efisiensi (akibat iklim bersaing yang kondusif) dalam alokasi sumber-sumberdaya dan keberlanjutannya. 3. Pemerintah (desentralisasi atau sentralisasi). Tingkat pengambilan keputusan desentralisasi memberi peluang mobilisasi organisasi untuk menjalankan aktifitas ekonomi. Dalam hubungan ini governance merupakan titik awal dari pengelolaan sumberdaya, menentukan peranan private sector, dan mengoperasikan pelayanan dan infrastruktur. 4. Relative size. Makin tinggi tingkat ketergantungan aktifitas ekonomi terhadap sumbersumberdaya pendukungnya, berarti menuntut kerjasama dan koordinasi antara organisasi, pemerintah, dan hirarkinya dalam upaya menekan externalities yang ditimbulkan. Karenanya unit-unit aktifitas ekonomi yang berukuran lebih kecil (baca: usaha kecil dan menegah) dianggap menguntungkan karena hirarki organisasi masyarakatnya lebih sederhana dan cohesive dalam menjalankan fungsi-fungsinya.
9
5. Cooperative relationship. Kerjasama non formal mungkin lebih tepat (dibanding formal) bila diketahui ada beaya transaksi yang tinggi dalam alokasi sumberdaya. Dalam pengertian lebih luas, kerjasama formal maupun non formal merupakan persyaratan penting dalam mengupayakan efisiensi alokasi sumberdaya khususnya menghadapi kompleksitas dunia bisnis yang semakin liberal. Upaya menghubungkan social capital terhadap output nasional (national account) telah dicoba Bank Dunia (Serageldin, 1996) melalui genuine saving (setara dengan stock human capital), yaitu selisih (residue) total investasi dengan jumlah man-made dan natural capital, maka perhitungan social capital sebagai berikut: SC = TC - (MMC + NC) - HC dimana SC adalah social capital, TC total investasi (capital), MMC man-made capital, NC natural capital, dan HC adalah human capital. Apabila dihubungkan dengan uraian sebelumnya, maka SC merupakan fungsi yang ditunjukkan melalui persamaan berikut: SC = f(D, H, G, R, F) dimana D adalah density, H hirarki, G pemerintah, R relative size, dan F adalah cooperative relationship. Demikianlah hubungan di atas menjelaskan bahwa upaya pengembangan makanan tradisionil selain dapat menyumbangkan kenaikan social capital juga meningkatkan pendapatan nasional (total capital). Menandai kenaikan produksi dan konsumsi makanan tradisionil serta modal sosial (social capital) di dalamnya, paling tidak dicerminkan oleh tiga hal (Smith, Carrol, and Ashford, 1995; Williamson, 1995). Pertama investasi, yang besarnya dipengaruhi oleh antara lain mode of organization dan uncertainty. Yang pertama, mode of organization, berhubungan dengan kecenderungan atau alternatif dalam membuat atau membeli (misal dalam produk antara), menggunakan modal sendiri atau hutang (dalam dalam pasar kredit), tingkat upah (dalam pasar tenaga kerja), dan dukungan (de)regulasi (dalam privatisasi). Yang kedua, uncertainty, berhubungan dengan resiko-resiko yang menyertai kontrak (investment hazard). Termasuk dalam kategori ini meliputi administration cost (kompensasi dalam transaction cost), demoralization cost (korupsi dan rent seeker), dan beragam policy jangka pendek dan jangka panjang (seperti pajak, mekanisme pelaporan, pricing, kuota, atau pembatasan lainnya) yang menyebabkan distorsi dan depresiasi aset investor. Kedua adalah kontrak, yang ditentukan oleh jenis transaksi perdagangan dalam pasar (spot market trading), hirarki dan kontrak dalam jangka panjang (long-term contracting). Dua yang pertama relatif tidak memerlukan dukungan aturan formal karena bila terjadi kekecewaan (baca pelanggaran) relatif mudah di atasi secara individu. Sebaliknya dalam kontrak jangka panjang, kekuatan hukum mutlak diperlukan untuk menstabilisasi kontrak, melindungi hubungan antara individu dan organisasinya menjadi lebih permanen, dan memelihara keberlanjutan benefit yang ada di dalamnya. Dominasi jenis kontrak terakhir ini pula yang membawa tingkat perekonomian ke arah yang mapan (high performing economy), dan sebaliknya perekonomian yang lesu didominasi oleh dua jenis kontrak yang pertama. Ketiga adalah credible commitment. Ini adalah wujud sesungguhnya dari mechanism of governance yang efisien dalam pandangan private sector dalam bertransaksi atau berinvestasi. Andaikan kontrak (C) didefinisikan sebagai fungsi yang terdiri harga (price) atau p, resiko kontrak (contractual hazard) atau k, dan pengamanan (safeguard) atau s: 10
C = f (p, k, s) maka credible commitment tidak hanya merupakan pernyataan yang telah mempertimbangkan ke tiga hal tersebut, tetapi juga memberi nuansa keramahan dalam keseharian proses kontrak. Jadi upaya ini tidak lagi memberi kesempatan munculnya sifatsifat opportunistic atau berubahnya motivasi (frailties of motive). Contoh kontradiksi credible commitment adalah ketidak sesuaian antara kesepakatan (de jure) dan pelaksanaan (de facto) yang seringkali tiga hal di atas (p, k, s) menjadi tidak terpenuhi. Pada akhirnya, credible commitment akan mendatangkan kontrak dan investasi tidak hanya dalam jumlah, lebih penting lagi adalah ragam investasi yang merupakan cerminan adanya kecenderungan spesialisasi dan aktifitas berproduktivitas tinggi (high-technology industry) dalam jangka yang lebih panjang.
Kebijaksanaan Berdasarkan konsepsi, uraian, dan preskripsi yang dikemukakan di atas berikut diberikan beberapa saran kebijaksanaan dalam rangka program pengembangan pangan nasional dan khususnya makanan tradisionil. Kebijaksanaan harga (pricing policy) Kebijaksanaan dan program pengembangan pangan nasional harus menyatu dengan kebijaksanaan pembangunan pertanian. Adapun tujuannya adalah memberikan harga yang paling tepat terhadap komoditi-komoditi pertanian. Ini harus senantiasa diupayakan terus menerus sejalan dengan dinamika perekonomian yang sedang terjadi sehingga diharapkan kondisi berusaha tani akan mencapai tujuannya, yaitu efisien, produktifitas tinggi, dan nilai tukar (term of trade) petani yang menguntungkan (tercermin adanya surplus untuk investasi). Namun demikian kebijaksanaan harga pun harus dilihat secara kritikal. Kaitannya adalah bagaimana mengontrol berjalannya mekanisme pasar berdasarkan karakteristik property rightnya. Sudah seharusnya masyarakat beserta pemerintah menetapkan batasbatas exclusivity ini sehingga pada gilirannya mencegah terjadinya market failure maupun antisipasi pemerintah yang berlebihan (government failure). Kesungguhan pemerintah mengembangkan makanan tradisionil ini akan diuji dalam menghargai common dan public resources spesifik yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara. Lebih jauh kebijaksanaan harga juga mencerminkan komitmen dan wujud konsistensi terhadap kebijaksanaan keunggulan komparatif. Sungguh naif mengandalkan melimpahnya sumberdaya domestik tanpa bisa menghargainya. Ini sama saja dengan mengutamakan kepentingan sesaat (myopic) yang mengakibatkan makanan tradisionil hanya berkembang selama beberapa tahun saja. Yang diinginkan tentu saja makanan tradisionil berkembang selamanya didukung oleh melimpahnya sumberdaya dan insentif ekonomi di dalamnya. Perbaikan teknologi Tujuan perbaikan teknologi makanan tradisionil atau kombinasinya dengan makanan impor adalah dalam rangka meningkatkan keunggulan kompetitif produknya—mutu, gizi, dan keamanannya Ini harus menjadi perhatian penting karena makanan tradisionil harus bersaing dan bersanding secara global dengan produk lainnya. Diperlukan langkah berani dimana makanan tradisionil tidak harus bergaya dan pekat tradisi. Makanan tradisionil 11
dituntut fashionable mengikuti kehendak setiap karakter individu konsumen, menyangkut cita rasa, food ways6, estetika, maupun teknis penyajiannya. Perbaikan teknologi menyangkut pula managemen usaha. Makanan tradisionil tidak boleh lagi dikelola secara khas dalam arti sempit, katakan secara kekeluargaan dengan racikan turun temurun. Akan tetapi makanan tradisionil pun harus dikelola berdasar prinsipprinsip managemen modern (pengakuan paten dan pengembangan usaha), termasuk pula membuka peluang untuk investasi dalam teknologi tinggi yang berjangka panjang. Produk ayam goreng Suharti bolehlah kita banggakan sebagai makanan tradisionil Indonesia. Namun kita pun harus mengusahakan agar gethuk atau klepon Surabaya (lihat Tabel 1) menjadi makanan tradisionil yang menginternasional. Sasaran pengembangan teknologi makanan tradisionil harus membentuk produk makanan khas (cuisine) Indonesia. Tabel 1. Makanan Tradisionil yang Ditemukan di Surabaya (Tri Susanto, 1997) Makanan • Bebek Goreng • Gado-Gado • Gule Kacang Hijau • Kare Kambing
Jajanan
• Bikang • Blendhung • Bongko Menthuk • Emping Mlinjo Berbumbu Udang • Kerak Sate • Bubur Campur • Kikil Kambing • Bubur Sagu • Kikil Sapi • Cenil • Lontong Balap • Bubur Mulian • Lontong Mie • Emping Sumping • Mie Jowo • Getuk • Rawon • Grinting Kerang • Rujak Cingur • Grinting Udang • Sate Sunsum & Ginjal • Ketan Bubuk • Semanggi • Klepon • Sop Buntut • Soto Ayam • Soto Madura • Tahu Tek-Tek
• Krupuk Kulit Ikan • Krupuk Teriping • Krupuk Terung • Krupuk Kentang Berbumbu Udang • Kue Lumpur • Larjuk • Lupis • Putu Campur • Rukuk-Rukuk • Srawut • Srikaya • Telor Triping
Minuman • Angsle • Es Dawet • Es Ketan Hitam • Kacang Ijo Kacang Kuwa • Takwa • Wedang Ronde
Identifikasi makanan tradisional PKMT pun perlu menerima masukan dari berbagai pelosok tanah air tentang keberadaan makanan tradisionil baik secara langsung maupun melalui perantara sosiolog, antropolog, maupun pakar sejarah yang dapat menelusuri pustaka kuno tentang ramuan makanan tradisionil. Kajian ini tentu saja sungguh menarik karena memberi perspektif budaya yang 6
Kebiasaan menilai suatu makanan yang didasarkan atas cita rasa masing-masing individu.. Dapat diberi contoh, agar disukai orang asing maka klepon Surabaya dapat disandingkan bersama dengan Cocacola demi mengikuti foodways orang asing tersebut. 12
sangat luas tentang kekayaan budaya dan nilai-nilai yang dikandungnya. Kajian ini diperkirakan akan membuka banyak misteri pengetahuan yang maha luas tidak hanya tentang makanan saja, tetapi juga obat-obatan, jamu, kosmetik, maupun seni pengobatan dan olah perawatan kesehatan tubuh. Bila berhasil, maka hal ini merupakan upaya awal untuk membuat atlas atau peta tentang makanan dan bahan obat-obatan tradisionil Indonesia. Sungguh suatu hasil karya yang menakjubkan bagi dunia ilmu pengetahuan. Sasaran mengenali karakteristik makanan tradisionil harusnya mampu ‘menjual’ nilainilainya dalam aspek wisata budaya (Suparmo, 1998). Menyajikan makanan tradisionil dan kelengkapannya—filosofi, cerita, tarian, lukisan, patung, dan acara ritual lainnya—selain memberi nuansa intellectual raw material juga akan dapat menarik wisatawan khususnya asing untuk berlama-lama dan membelanjakan dolarnya lebih banyak di Indonesia. Lebih jauh, beragamnya makanan tradisionil di setiap wilayah kunjungan wisata juga merupakan komponen utama dari suatu paket wisata boga. Kelembagaan Mekanisme berjalannya kelembagaan nampaknya menjadi paling kritikal yang mendasari pengembangan makanan tradisionil dan modal sosial (social capital). Adapun tujuannya adalah mengarahkan aliran investasi secara efektif (tidak bocor), menjamin proses transaksi maupun investasi sesuai kontrak, dan mencegah incredible commitment. Dua hal menjadi perhatian (Williamson, 1995). Pada tingkat lebih tinggi, yaitu institutional environment, aturan-aturan dasar dalam aspek sosial, politik, dan aspek legal lainnya yang mendasari sistem produksi, konsumsi dan distribusi, harus benar-benar ditegakkan oleh semua pihak dalam kedudukan yang sama, efisien, dan simetri di muka hukum (de jure). Ini meliputi sistem perwakilan, property right, dan aturan kontrak. Pada tingkat bawah, yaitu institutional arrangement, maka aturan-aturan atau mekanisme di antara unit-unit ekonomi yang mengendalikan operasional, koordinasi, dan kompetisi, ditekankan kepada partisipasi dan utility untuk mencapai suatu transaksi secara de facto. Berjalannya mekanisme kelembagaan yang efektif menuntut adanya kesatuan sistem hukum antara yang lebih tinggi dengan yang di bawahnya. Ketidakharmonisan ini akan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, yang pada gilirannya dapat menimbulkan malapetaka (chaos) akibat terjadinya benturan sistem. Untuk mencegah hal tersebut, sungguh diperlukan kesungguhan, kejujuran, dan kearifan untuk menghargai indigenous institution, property right, dan aturan kontrak dalam rangka mengembangkan makanan tradisionil sekaligus meningkatkan modal sosial (social capital) di dalamnya. Keadaan kelembagaan pangan di Indonesia diakui memang masih lemah dan belum terkoordinasi dengan baik (Winarno, 1998). Titik kritikal selama ini adalah belum jelasnya lembaga yang bertanggungjawab antara lain dalam hal penyusun kebijaksanaan, pelaksana operasional, pendidikan, penelitian, maupun pengawasannya. Ini pula yang mungkin mengakibatkan semangat UU No 7 tahun 1996 dalam menciptakan ketahanan, keamanan, dan mutu pangan senantiasa terhambat. Dapat diberi contoh dengan munculnya kasus kelaparan di Irja, keracunan dalam PMTAS di Sumsel, dan masih adanya produk-produk kedaluarsa. Keadaan seperti ini secara langsung atau tidak pada akhirnya pun berpengaruh menghambat pengembangan makanan tradisionil. Unit organisasi atau pelaku ekonomi makanan tradisionil, karena tidak memperoleh pembinaan yang semestinya, kehilangan kesempatan untuk berinvestasi dan memperoleh kontrak untuk mengembangkan usahanya.
13
Penutup Kepekatan tradisi yang ditampilkan oleh makanan tradisionil mencerminkan kekayaan modal-modal sosial (social capital) dan sumberdaya alam (natural capital) yang mendukungnya. Karenanya upaya mengangkat dan mengembangkan makanan tradisionil bersifat strategis, selain memberikan manfaat ekonomi secara langsung juga memberikan peluang kesempatan kerja, mengurangi persoalan external imbalance, dan lebih jauh mengefektifkan berfungsinya organisasi-organisasi sosial masyarakat dalam upaya melindungi sistem produksi dan lingkungan (biosocial diversity) sekaligus menjamin keberlanjutannya. Upaya mengembangkan makanan tradisionil menghadapi kendala antara lain sanitasi yang buruk, proses pengolahan yang overcook, kurang memperhatikan gizi, lemahnya unsur teknologi, atau kendala budaya yang sering kali menghambat transfer pengetahuan tentang makanan tradisionil itu sendiri. Upaya meningkatkan modal sosial (social capital) melalui pengembangan makanan tradisionil dapat ditandai antara lain oleh meningkatnya jumlah investasi efektif disertai pengurangan uncertainty, meningkatnya jumlah kontrak khususnya yang berjangka panjang (long-term contracting), keramahan yang tulus-ikhlas, jujur dan tanpa basa-basi (credible commitment). Saran kebijaksanaan dalam rangka mengembangkan makanan tradisionil dan sekaligus modal sosial (social capital) antara lain: (1) kebijaksanaan harga melalui mekanisme pasar yang hati-hati, dengan tujuan efisiensi, produktifitas tinggi, dan nilai tukar (term of trade) petani yang dapat memberi surplus untuk investasi; (2) perbaikan teknologi dan manajemen dengan tujuan meningkatkan keunggulan kompetitif produknya, dan senantiasa fashionable mengikuti kehendak setiap individu konsumen; (3) identifikasi makanan tradisional dengan tujuan membangun atlas atau peta tentang makanan dan bahan obat-obatan tradisionil Indonesia; (4) mekanisme kelembagaan yang efektif dengan tujuan. mengarahkan aliran investasi secara efektif (tidak bocor), menjamin proses transaksi maupun investasi sesuai kontrak, dan mencegah incredible commitment.
Daftar Pustaka BPS. 1997. Survey Angkatan Kerja Nasional 1996. BPS Pusat Jakarta. Celecia, J. 1996. Towards an urban ecology. Nature & Resources. 32(2):3-6. Mansfield, E. D. and M. L. Busch. 1995. The political economy of nontariff barriers: a cross-national analysis. International Organization. 49(4):723-749 Menpangan. 1998. Pidato Pengarahan Pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI. Puspiptek Serpong—Jakarta, 17 hingga 20 Februari 1998. Serageldin, I. 1996. Sustainability and the Wealth of Nations, First steps in an ongoing journey. Environmentally Sustainable Development (ESD) Studies and Monographs Series No. 5. 21 p. Smith, K. G., S. J. Carrol, and S. J. Ashford. 1995. Intra- and Interorganizational cooperation: toward a research agenda. Academy of Management Journal. 38(1):7-23. 14
Suparmo. 1998. Kajian Aspek Budaya Dalam Pengembangan Industri Makanan Tradisionil. Pusat Kajian Makanan Tradisionil (PKMT) UGM Yogyakarta. Makalah Pleno dalam Seminar Nasional Makanan Tradisionil. Kerjasama PAU Pangan dan Gizi dan PKMT IPB Bogor. Bogor, 21 Februari 1998. Tri Susanto. 1997. Inventarisasi dan Sosialisasi Makanan Tradisionil di Jawa Timur. Laporan Penelitian Proyek Pengembangan Kesehatan dan Gizi Masyarakat DIRJEN DIKTI Bekerja sama dengan Pusat Kajian Makanan Tradisionil (PKMT), Lembaga Penelitian Universitas Brawijaya. Williamson, O. E. 1995. The institutions and governance of economic development and reform. Proceeding of the World Bank Annual Conference on Development Economics 1994. IBRD-World Bank, Washington, DC. 171-197 Winarno, F. G. 1994. Traditional food: The safety, nutrition and efficacy. Indonesian Food Journal. V(9):30-39 Winarno, F. G. 1998. Pengkajian Sistem Kelembagaan Pangan di Indonesia. Makalah Pleno Sub Tema VI dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI. Puspiptek Serpong—Jakarta, 17 hingga 20 Februari 1998.
15