PEMERKUATAN PEMAHAMAN HAK ASASI MANUSIA UNTUK HAKIM SELURUH INDONESIA Hotel Grand Angkasa Medan, 2 - 5 Mei 2011
MAKALAH
PENGAWASAN HAKIM UNTUK PENGADILAN YANG BERSIH Oleh: Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si
KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA
PENGAWASAN HAKIM UNTUK PENGADILAN YANG BERSIH Oleh: Suparman Marzuki Pendahuluan Kondisi objektif pengadilan kita selama paling tidak empat dekade (40 tahun) terakhir ini adalah rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap proses dan keputusan pengadilan. Menguat kepercayaan umum bahwa proses dan putusan pengadilan tidak adil, sekalipun terdapat keputusan yang memenangkan atau mengalahkan salah satu pihak; membebaskan atau menghukum terdakwa yang dilakukan dalam proses pengadilan yang jujur, adil, independen, imparsial, dan bertanggungjawab oleh hakim-hakim yang memiliki kehormatan dan martabat diri. Keadaan ini telah kita sadari sebagai masalah terbesar dalam negara hukum kita, tetapi upaya yang dilakukan tidak sebesar kesadaran dan keprihatinan yang kita miliki. Langkah-langkah sosial, hukum, dan politik yang dilakukan negara sebagai penanggungjawab utama membangun peradilan yang dipercaya dilakukan secara sporadis dan reaktif; belum lagi menghadapi ulah para brandalan hukum yang menentang setiap upaya pembenahan menuju tertib penegakan hukum. Adalah lazim secara sosiologis bahwa dalam setiap ketidaktertiban terdapat pergerakan ekonomi bayang-bayang (uang-uang haram) dalam jumlah besar yang memberi keuntungan bagi seseorang atau sekelompok orang seperti suap, pemerasan, atau korupsi sebagai dampak dari tidak adanya tertib hukum dan penegakan hukum. Belakangan, ketidaktertiban hukum dan penegakan hukum tersebut menjadi instrumen kepentingan politik, keamanan, atau pemilik modal, atau ketiganya sekaligus dengan merekayasa seseorang atau kelompok orang terlibat dalam kasus-kasus. Persepsi Terhadap Pengawasan Pengawasan atau kontrol sejatinya adalah mekanisme normal, positif dan konstitusional dalam negara hukum dan negara demokratis agar kekuasaan politik atau kekuasaan hukum tidak menyimpang atau disalahgunakan baik secara sengaja, tidak sengaja atau karena kelalaian sehingga oleh kerena itu disediakanlah norma dan institusi pengujian, kontrol, atau verifikasi. Norma dan institusi pengujian, kontrol atau verifikasi itu tidak dibuat untuk memusuhi atau anti pada pembuat UU, hakim atau pengadilan, tetapi justru menjaga martabat dan kehormatan hakim dan pengadilan, yang tujuannya agar kekuasaan penegakan hukum selalu dijalankan dengan baik dan benar agar terwujud kepastian hukum dan keadilan yang secara yuridis, sosial dan moral mendapat penilaian dan penerimaan yang dipercaya. Tujuan lebih mendasar adalah “membuat rakyat bahagia hidup dalam rumah negara hukum Indonesia”. Masalahnya, dikalangan sebagian besar para hakim, mempersepsi pengawasan dengan pandangan negataif sehingga melihatnya sebagai gangguan atau ancaman terhadap independensi, integritas, dan kehormatan hakim; bukan
sebaliknya sebagai norma dan institusi penguatan independensi, integritas, dan kehormatan dalam rangka terbangunnya peradilan yang bersih. Independensi dan Akuntabilitas Kekuasaan kehakiman yang merdeka (independency of judiciary) merupakan syarat mutlak (conditio sine quanon) tegaknya hukum dan keadilan yang harus mendapat jaminan konstitusional yang kuat, sehingga hakim bebas dari pengaruh, bujukan, tekanan, ancaman atau gangguan secara langsung atau tidak langsung dalam melaksanakan tugas dan kewenangan peradilan. Sebagai “nyawa” yang menggerakkan syaraf-syaraf keadilan hakim, independensi adalah juga paradigma, sikap, etos dan etika sehingga keseluruhan totalitas fisik dan non fisik hakim sebagai wakil Tuhan penegak keadilan di muka bumi memiliki legalitas moral, sosial dan spiritual. Pentingnya independensi peradilan dijamin oleh negara terlihat dalam pernyataan Basic Principles On The Independence of The Judiciary, yang menegaskan bahwa independensi kekuasaan kehakiman (peradilan) harus ditetapkan dalam konstitusi atau undang-undang negara, dan menjadi tugas pemerintah serta lembaga-lembaga lainnya untuk menghormati dan menjaganya. Independensi kekuasaan kehakiman tidak otomatis terjadi begitu saja, atau bisa diadakan sendiri oleh kekuasaan lembaga peradilan, tetapi membutuhkan peran dari legislatif dan eksekutif, sekalipun peran kekuasaan lain itu laksana “pisau bermata dua”. Di satu sisi dapat membentuk dan memodifikasi independensi peradilan, tapi di sisi lain berpeluang melakukan campur tangan (intervensi) yang mengakibatkan ‘tersanderanya’ penerapan independensi peradilan. Dengan demikian, kekuasaan kehakiman tidak ‘bebas nilai’, atau merupakan entitas yang hampa dari berbagai pengaruh dan kepentingan. Lebih dari itu, kemerdekaan itu sendiri berada dalam alam misterius pikiran dan hati nurani hakim. Itu sebabnya, hakim menjadi kekuatan sentral dalam menjalankan kekuasaan kehakiman yang independen, dan karena itu pula menjadi penanggungjawab utama dalam mempertahankan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem, moral dan integritas lembaga peradilan. Agar independensi dapat diemban dengan baik dan benar, hakim harus memiliki kendali pikiran yang bisa memberikan arahan dalam berpikir dan bertindak dalam menjalankan aktifitas kehakimannya, yaitu falsafah moral (moral philosophy). Faktor falsafah moral inilah yang penting untuk menjaga agar kebebasan hakim sebagai penegak hukum benar-benar dapat diterapkan sesuai dengan idealisme dan hakekat kebebasan tersebut. Dalam pengertian lain, independensi peradilan harus juga diimbangi dengan pertanggungjawaban peradilan (judicial accountability). Kalau tidak, independensi akan menjadi tameng berlindung guna menyelimuti tindakan amoral dalam kekuasaan kehakiman. Persoalannya bagaimana jaminan independensi dan pertanggungjawaban dapat dijalankan secara seimbang. Ini pertanyaan sulit yang sukar diwujudkan sekali jadi; ia membutuhkan perjuangan panjang yang sudah pasti memunculkan
ketegangan (tension) di antara penerapan prinsip-prinsip tersebut. Tetapi yang jelas, keberadaan akuntabilitas adalah untuk memastikan bahwa kewenangan kekuasaan kehakiman dilaksanakan dengan baik dan sumber daya dipakai secara patut, atau untuk mencegah timbulnya “tirani yudisial”yang pada akhirnya akan menghancurkan prinsip independensi kekuasaan kehakiman itu sendiri. Komisi Yudisial KY merupakan bagian dari Kekuasaan Kehakiman yang ditujukan untuk memperkuat cheks and balances dari kekuasaan kehakiman yang merdeka, sekaligus menunjang pelaksanaan fungsi dan kewenangan badan kekuasaan kehakiman itu sendiri. Pembentukan KY bukanlah sekadar mengikuti kecendrungan (trend) yang terjadi di banyak negara, tetapi suatu keniscayaan dalam reformasi peradilan dan konstitusi. Bahkan embrio gagasannya sudah lama muncul sebagai bagian dari upaya menjaga dan meningkatkan integritas hakim dan sistem peradilan. Dengan kata lain, KY turut berperan serta dan memiliki tanggungjawab untuk mengupayakan tercapainya kondisi ideal dari fungsi dan kewenangan lembaga peradilan yang mandiri. KY merupakan bentuk dari konsep pertanggungjawaban yang diperlukan untuk menunjang independensi peradilan itu. KY adalah lembaga mandiri yang diberi kewenangan melakukan rekrutmen hakim agung dan kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim. Dengan mandat konstitusional terakhir itu, KY kemudian dikukuhkan sebagai pengawas eksternal untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim berdasarkan hukum dan Kode Etik serta Pedoman Perilaku Hakim. Menghadapi realitas dan kondisi ideal yang ingin diwujudkan dalam pembentukan independensi peradilan, fungsi KY sebagai pengawasan eksternal hakim itu dimaknai secara progresif dan dinamis. Artinya, fungsi pengawasan itu dilihat sebagai pengawasan yang bersifat represif (posteriori) yang dilakukan setelah diketahui adanya tindakan penyimpangan atau pelanggaran hakim, dan preventif (a posteriori) yang dilakukan sebelum atau untuk mencegah penyimpangan hakim itu terjadi. Dalam pengertian tersebut, KY mestinya dapat melakukan berbagai tindakan yang berkaitan dengan pembentukan dan penerapan fungsi dan kewenangan peradilan yang independen menjadi lebih baik. Misalnya hal-hal yang menyangkut aspek administrasi organisasi dan keuangan peradilan, pembinaan atau pelatihan hakim, sistem kepegawaian, mutasi dan promosi, jaminan keamanan peradilan dan lain sebagainya. KY dapat melakukan atau mengelola sendiri tindakan-tindakan tersebut, bersama-sama badan peradilan (MA), atau sebatas mengusulkan ide dan gagasan yang diperlukan. Rekruitmen hakim agung, dapat juga dilihat sebagai bagian dari tindakan yang diperlukan untuk memperkuat independensi peradilan.
Kode Etik dan Pediman Perilaku (KE DAN PPH) Apa yang sudah dan sedang dilakukan oleh KY dalam upaya maksimal menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim adalah melakukan pengaawasan, dengan dasar KE dan PPH. Ideologi dari pengawasan ini adalah cita-cita luhur membangun dan mempertahankan pondasi negara hukum dan etalase peradaban bangsa yaitu, pengadilan, lebih khusus hakim. Dengan ideologi itu, maka KY dan MA bersama seluruh sekitar 7000 hakim di Indonesia memiliki misi suci yang sama, yaitu menjaga martabat bangsa, dan menghadapi musuh yang sama pula yaitu siapa saja yang mengancam kehormatan dan martabat penjaga dan penegak keadilan (hakim). Upaya KY meminta Kepolisian agar responsif menjaga persidangan dan menjamin rasa aman hakim, meminta Pemerintah meningkatkan kesejahteraan hakim, meminta semua pihak menghormati persidangan, meminta MA agar fair, objektif dan transaparan dalam hal promosi hakim, adalah bagian dari upaya KY menjaga kehormatan dan keluhuran martabat hakim. Dalam konteks sempit, pengawasan dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan hakim sebagaimana dimandatkan UUD 1945, UU No. 22 tahun 2004; UU No. 48 Tahun 2009; UU No. 49 Tahun 2009 dan UU 3 tahun 2009, dibangun dengan asumsi asumsi bahwa ancaman atas kehormatan dan martabat hakim bisa datang dari hakim itu sendiri, baik karena kegagalan menjaga independensi, imparsialitas, profesionalitas, tidak cermat, dll. Pedoman kerja KY dalam menjalankan kewenangan tersebut tentulah KE dan PPH yang telah ditandatangani bersama oleh Ketua MA dan Ketua KY tahun 2009 yang lalu. Dalam pembukaan KE dan PPH disebutkan bahwa Pengadilan yang mandiri, netral (tidak memihak), kompeten, transparan, akuntabel dan berwibawa, yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan merupakan conditio sine qua non atau persyaratan mutlak dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum. Pengadilan adalah pilar utama dalam penegakan hukum dan keadilan serta proses pembangunan peradaban bangsa. Hakim sebagai aktor utama atau figure sentral dalam proses peradilan senantiasa dituntut untuk mengasah kepekaan nurani, memelihara integr tas, kecerdasan moral dan meningkatkan profesionalisme dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi rakyat banyak. Untuk mewujudkan suatu pengadilan sebagaimana di atas, perlu terus diupayakan secara maksimal tugas pengawasan secara internal dan eksternal, oleh Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI. Wewenang dan tugas pengawasan tersebut diorientasikan untuk memastikan bahwa semua hakim sebagai pelaksana utama dari fungsi pengadilan itu berintegritas tinggi, jujur, dan profesional, sehingga memperoleh kepercayaan dari masyarakat dan pencari keadilan. Kewajiban hakim untuk memelihara kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku hakim sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundangundangan harus diimplementasikan secara konkrit dan konsisten baik dalam
menjalankan tugas yudisialnya maupun di luar tugas yudisialnya, sebab hal itu berkaitan erat dengan upaya penegakan hukum dan keadilan. Kehormatan hakim itu terutama terlihat pada putusan yang dibuatnya, dan pertimbangan yang melandasi, atau keseluruhan proses pengambilan keputusan yang bukan saja berlandaskan peraturan perundang-undangan, tetapi juga rasa keadilan dan kearifan dalam masyarakat. Implementasi terhadap Kode etik dan Pedoman Perilaku hakim dapat menimbulkan kepercayaan, atau ketidakpercayaan masyarakat kepada putusan pengadilan. KE dan PPH inilah yang menjadi alat diagnosis KY dalam memeriksa Putusan hakim. KY tidak pernah menggunakan KUHAP atau KUH Perdata sebagai instrumen mendiagnosa dugaan pelanggaran oleh hakim. Sebagai gambaran cakupan KE dan PPH dapat dicermati dalam tabel berikut: REKAP BAGIAN PENTING KE & PPH No 1
KODE ETIK & PPH TIDAK BERPERILAKU ADIL
PERILAKU/TINDAKAN a. Tidak melaksanakan asas Praduga Tak bersalah b. Tidak melaksanakan asas larangan tidak memihak c. Mengistimewakan salah satu pihak d. Menunjukkan rasa suka atau tidak suka, keberpihakan, prasangka, atau pelecehan terhadap suatu ras, jenis kelamin, agama, asal kebangsaan, perbedaan kemampuan fisik atau mental, usia, atau status sosial ekonomi maupun atas dasar kedekatan hubungan dengan pencari keadilan atau pihak-pihak yang terlibat dalam proses peradilan baik melalui perkataan maupun tindakan. e. Bersikap, mengeluarkan perkataan atau melakukan tindakan lain yang dapat menimbulkan kesan memihak, berprasangka, mengancam, atau menyudutkan para pihak atau kuasanya, atau saksi-saksi, dan harus pula menerapkan standar perilaku yang sama bagi advokat, penuntut, pegawai pengadilan atau pihak lain yang tunduk pada arahan dan
KETERANGAN
f.
2
TIDAK BERPERILAKU JUJUR
pengawasan hakim yang bersangkutan. Berkomunikasi dg salah satu pihak yang berperkara di luar sidang secara tetutup.
a. meminta / menerima dan harus mencegah suami atau istri Hakim, orang tua, anak atau anggota keluarga Hakim lainnya, untuk meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, warisan, pemberian, penghargaan dan pinjaman atau fasilitas dari : Advokat; b. Penuntut; c. Orang yang sedang diadili; d. Pihak lain yang kemungkinkan kuat akan diadili; e. Pihak yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap suatu perkara yang sedang diadili atau kemungkinan kuat akan diadili oleh Hakim yang bersangkutan yang secara wajar (reasonable) patut dianggap bertujuan atau mengandung maksud untuk mempengaruhi Hakim dalam menjalankan tugas peradilannya. b. Menyuruh / mengizinkan pegawai pengadilan atau pihak lain yang di bawah pengaruh, petunjuk atau kewenangan hakim yang bersangkutan untuk meminta atau menerima hadiah, hibah, warisan, pemberian, pinjaman atau bantuan apapun sehubungan dengan segala hal yang dilakukan atau akan dilakukan atau tidak dilakukan oleh hakim yang bersangkutan berkaitan dengan tugas atau fungsinya dari : a. Advokat ; b. Penuntut ; c. Orang yang sedang diadili oleh hakim tersebut ; d. pihak lain yang kemungkinan
kuat akan diadili oleh hakim tersebut ; e. pihak yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap suatu perkara yang sedang diadili atau kemungkinan kuat akan diadili oleh hakim yang bersangkutan. yang secara wajar patut diduga bertujuan untuk mempengaruhi hakim dalam menjalankan tugas peradilannya.
3
TIDAK BERPERILAKU ARIF DAN BIJAKSANA
a. Mengadili perkara di mana anggota keluarga hakim yang bersangkutan bertindak mewakili suatu pihak yang berperkara atau sebagai pihak yang memiliki kepentingan dengan perkara tersebut. b. Mengizinkan tempat kediamannya digunakan oleh seorang anggota suatu profesi hukum untuk menerima klien atau menerima anggota-anggota lainnya dari profesi hukum tersebut. c. Mengeluarkan pernyataan kepada masyarakat yang dapat mempengaruhi, menghambat atau mengganggu berlangsungnya proses peradilan yang adil, independen, dan tidak memihak. d. Memberi keterangan atau pendapat mengenai substansi suatu perkara di luar proses persidangan pengadilan, baik terhadap perkara yang diperiksa atau diputusnya maupun perkara lain. e. Memberi keterangan, pendapat, komentar, kritik atau pembenaran secara terbuka atas suatu perkara atau putusan pengadilan baik yang belum maupun yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam kondisi apapun.
f.
Memberi keterangan, pendapat, komentar, kritik atau pembenaran secara terbuka atas suatu putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, kecuali dalam sebuah forum ilmiah yang hasilnya tidak dimaksudkan untuk dipublikasikan yang dapat mempengaruhi putusan Hakim dalam perkara lain.
4
TIDAK BERSIKAP MANDIRI
a. Tidak menjalankan fungsi peradilan secara mandiri dan bebas dari pengaruh, tekanan, ancaman atau bujukan, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung dari pihak manapun. b. Melakukan hubungan yang tidak patut dengan lembaga eksekutif maupun legislatif serta kelompok lain yang berpotensi mengancam kemandirian (independensi) Hakim dan Badan Peradilan.
5
TIDAK BERINTEGRITAS TINGGI
a. mengadili suatu perkara padahal memiliki konflik kepentingan, baik karena hubungan pribadi dan kekeluargaan, atau hubunganhubungan lain yang beralasan (reasonable) patut diduga mengandung konflik kepentingan. b. Berhubungan, baik langsung maupun tidak langsung dengan Advokat, Penuntut dan pihakpihak dalam suatu perkara tengah diperiksa oleh Hakim yang bersangkutan. c. Tidak membatasi hubungan yang akrab, baik langsung maupun tidak langsung dengan Advokat yang sering berperkara di wilayah hukum Pengadilan tempat Hakim tersebut menjabat. d. Melakukan tawar-menawar putusan, memperlambat pemeriksaan perkara, menunda
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
eksekusi atau menunjuk advokat tertentu dalam menangani suatu perkara di pengadilan, kecuali ditentukan lain oleh undangundang. mengadili suatu perkara padahal memiliki hubungan keluarga, Ketua Majelis, Hakim anggota lainnya, Penuntut, Advokat, dan Panitera yang menangani perkara tersebut. mengadili suatu perkara padahal Hakim itu memiliki hubungan pertemanan yang akrab dengan pihak yang berperkara, Penuntut, Advokat, yang menangani perkara tersebut. mengadili suatu perkara padahal pernah mengadili atau menjadi Penuntut, Advokat atau Panitera dalam perkara tersebut pada persidangan di Pengadilan tingkat yang lebih rendah. mengadili suatu perkara padahal pernah menangani hal-hal yang berhubungan dengan perkara atau dengan para pihak yang akan diadili, saat menjalankan pekerjaan atau profesi lain sebelum menjadi Hakim. Mengijinkan seseorang yang akan menimbulkan kesan bahwa orang tersebut seakan-akan berada dalam posisi khusus yang dapat mempengaruhi Hakim secara tidak wajar dalam melaksanakan tugastugas peradilan. Mengadili suatu perkara yang salah satu pihaknya adalah organisasi, kelompok masyarakat atau partai politik apabila Hakim tersebut masih atau pernah aktif dalam organisasi, kelompok masyarakat atau partai politik tersebut. Menggunakan wibawa jabatan sebagai Hakim untuk mengejar kepentingan pribadi, anggota keluarga atau siapapun juga dalam hubungan finansial.
l.
Mengijinkan pihak lain yang akan menimbulkan kesan bahwa seseorang seakan-akan berada dalam posisi khusus yang dapat memperoleh keuntungan finansial. m. Mengadili suatu perkara apabila Hakim tersebut telah memiliki prasangka yang berkaitan dengan salah satu pihak atau mengetahui fakta atau bukti yang berkaitan dengan suatu perkara yang akan disidangkan. n. Menerima janji, hadiah, hibah, pemberian, pinjaman, atau manfaat lainnya, khususnya yang bersifat rutin atau terus-menerus dari Pemerintah Daerah, walaupun pemberian tersebut tidak mempengaruhi pelaksanaan tugastugas yudisial.
6
TIDAK BERTANGGUNGJAWAB
a. Menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi, keluarga atau pihak lain b. Mengungkapkan atau menggunakan informasi yang bersifat rahasia, yang didapat dalam kedudukan sebagai Hakim, untuk tujuan yang tidak ada hubungan dengan tugas-tugas peradilan.
7
TIDAK MENJUNJUNG TINGGI HARGA DIRI
a. Tidak menjaga kewibawaan serta martabat lembaga Peradilan dan profesi baik di dalam maupun di luar pengadilan. b. Terlibat dalam transaksi keuangan dan transaksi usaha yang berpotensi memanfaatkan posisi sebagai Hakim. c. Bekerja dan menjalankan fungsi sebagai layaknya seorang Advokat, kecuali jika : a. Hakim tersebut menjadi pihak di persidangan b. Memberikan nasihat hukum cuma-cuma untuk
anggota keluarga atau teman sesama hakim yang tengah menghadapi masalah hukum. d. Bertindak sebagai arbiter atau mediator dalam kapasitas pribadi, kecuali bertindak dalam jabatan yang secara tegas diperintahkan atau diperbolehkan dalam undang-undang atau peraturan lain. e. Menjabat sebagai eksekutor, administrator atau kuasa pribadi lainnya, kecuali untuk urusan pribadi anggota keluarga Hakim tersebut, dan hanya diperbolehkan jika kegiatan tersebut secara wajar (reasonable) tidak akan mempengaruhi pelaksanaan tugasnya sebagai Hakim. f. Melakukan rangkap jabatan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
8
TIDAK BERDISIPLIN TINGGI
a. Tidak melaksanakan tugas pokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya hukum acara, agar dapat menerapkan hukum secara benar dan dapat memenuhi rasa keadilan bagi setiap pencari keadilan. b. Tidak menghormati hak-hak para pihak dalam proses peradilan dan berusaha mewujudkan pemeriksaan perkara secara sederhana, cepat dan biaya ringan. c. Tidak membantu para pihak dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. d. Ketua Pengadilan atau Hakim yang ditunjuk, tidak mendistribusikan perkara kepada
Majelis Hakim secara adil dan merata, serta menghindari pendistribusian perkara kepada Hakim yang memiliki konflik kepentingan 9
TIDAK BERPERILAKU RENDAH HATI
10
TIDAK BERSIKAP PROFESIONAL
ISINYA HIMBAUAN MORAL
a. Tidak mengutamakan tugas yudisialnya di atas kegiatan yang lain secara professional. b. Kekeliruan dalam membuat keputusan, atau mengabaikan fakta yang dapat menjerat terdakwa atau para pihak atau dengan sengaja membuat pertimbangan yamg menguntungkan terdakwa atau para pihak dalam mengadili suatu perkara yang ditanganinya.