ARTI PENTING PENYUSUNAN KAMPANYE ANTI DISKRIMINASI* Oleh: Suparman Marzuki** Pendahuluan Persamaan merupakan pilar bagi setiap masyarakat demokratis yang bercita-cita mencapai keadilan sosial dan hak asasi manusia. Dalam deklarasi, kovenan dan konvensi internasional yang susul menyusul
muncul sejak
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berdiri menegaskan bahwa semua umat manusia memiliki hak yang sama untuk diperlakukan sama dan tidak dapat dicabut, oleh sebab itu PBB sangat menekankan kepada negara-negara anggota PBB pada khususnya, dan tiap-tiap negara pada umumnya untuk memegang teguh prinsip persamaan antar manusia sebagai komitmen dasar setiap negara dan pemerintahan. Meskipun demikian, diskriminasi tetap menjadi batu penghalang bagi perwujudan hak asasi manusia sepenuhnya. Meskipun ada kemajuan di beberapa wilayah, ternyata pembedaan, pengecualian, pembatasan, dan pengistimewaan atas dasar ras, warna kulit, keturunan, asal usul kebangsaan, status sosial, dan seterusnya, masih terus menciptakan
dan mempertajam
pertentangan, dan menyebabkan penderitaan yang tak terperi dan hilangnya nyawa. Ketidakadilan dasar yang sama besarnya dengan bahaya yang muncul akibat diskriminasi ras mendorong PBB menjadikan penghapusan diskriminasi sebagai sasaran PBB. Semakin besarnya keprihatinan internasional terhadap pelbagai bentuk dan alasan diskriminasi, telah memantapkan banyak negara di dunia untuk menyatakan sikap bahwa apapun doktrin mengenai perbedaan atau keunggulan ras adalah keliru secara ilmiah, terkutuk secara moral, tidak adil dan dan berbahaya secara sosial, dan tidak memiliki pembenaran dalam teori dan praktek.
*
Disampaikan dalam Workshop II Penyusunan Strategi Kampanye Anti Diskriminasi, tg. 15-16 Januari 2003 di Hotel Jayakarta ** Direktur Pusham-UII
1
Diskriminasi, terlebih lagi, kebijakan-kebijakan pemerintah yang dilandasai keunggulan atau kebencian terhadap orang atau golongan tertentu atas dasar ras, suku dan lain-lain merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang fundamental, membahayakan hubungan antar manusia, antar penduduk, kerjasama antar bangsa, dan perdamaian serta keamanan internasional. Sekjen PBB Kofi Anan dalam pidato menyambut hari Hak Asasi Manusia di New York, Amerika Serikat (AS) 9 Desember 1999 silam secara tegas menyatakan bahwa fanatisme menjadi penyebab utama timbulnya kejahatan mengerikan dan perang panjang paling berdarah. Menurut Annan, tugas dunia memang masih panjang. Sementara seorang anak dibebaskan dari rasisme, yang lainnya menanggung akibat yang paling keji.
Tragedi kemanusian di
Rwanda, Bosnia dan Kosovo beberapa waktu silam mengingatkan bagaimana rasisme telah menghancurkan tatanan umat manusia yang menyisakan kengerian tak terperikan hingga saat ini. Secara teoritis ada banyak sebab terjadinya diskriminasi yang patut diantisipasi1. Pertama, sebab ekonomi, berkaitan dengan perebutan sumber daya alam. Kebutuhan ekonomi bersama dan persaingan sengit untuk mendapatkannya dapat menciptakan jurang kebencian antar kelompok manusia, termasuk di dalamnya tingkat upah, jaminan, dan pelayanan sosial penduduk. Kedua, sebab Politik, berkaitan dengan munculnya keangkuhan ras untuk mengisi, mempertahankan dan meningkatkan posisi politiknya. Ketiga, sebab sosio-kultural, berkaitan dengan perbedaan budaya. Keempat, sebab psikologis, berkaitan dengan perilaku mengagungkan superioritas jasmani rohani, superioritas kedudukan sosial ekonomi, politik, dan kultural. Kelima, sebab biologis, berkaitan dengan fisik atau jasmani (misalnya keadaan fisik, ukuran badan, atau anggota badan). Tentu dibutuhkan kerja keras dan komitmen yang tinggi dari tidak saja pada tingkatan negara, tapi juga pada tingkat individu. Apalagi arus semangat diskriminasi tidak dapat terbendung dengan “hanya” sebuah konvensi. Kentalnya aspek moral daripada legal pada Konvensi, tidak menempatkan konvensi dalam posisi yang lebih kuat dari hukum yang sudah pasti.
1
Lihat buku panduan untuk jurnalis, “Diskriminasi Rasial”, terbit th. 2000, hal. 15 dst
2
Diskriminasi telah hadir telanjang di depan mata , tidak terkecuali di negaranegara yang mengklaim kampiun HAM dan Demokrasi. Konteks Indonesia Menjelang dan Pasca kejatuhan Orde baru Mei 1998 yang lalu, peristiwa yang terjadi silih berganti di pelbagai tempat di wilayah Indonesia telah menelan korban jiwa ratusan atau bahkan ribuan orang mati, cacat, termasuk milyaran rupiah harta benda hancur. Kekerasan itu tak terhindarkan melahirkan masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik susulan yang tidak kalah hebatnya dibanding kekerasan fisik itu sendiri. Sebagian dari penyulut kekerasan tdak lain diskriminasi; sebuah isu yang memang sangat sensitif dan paling ditakutkan oleh setiap bangsa dimanapun di dunia ini. Kenyataan adanya heterogenitas agama, warna kulit, kultur, asal usul dan keturunan di Indonesia menjadi kontraproduktif, dan bukan sesuatu yang dapat dipertunjukkan kepada dunia lain sebagai kekuatan. Selama 30 tahun lebih pemerintahan Soeharto, Orde baru tidak dapat tidak menyumbang sangat besar terhadap terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut, oleh karena kebijakan politik yang ketat dan menekan terhadap rakyat telah menutup rapat realitas perbedaan, dan perbedaan-perbedaan itu tidak dikelola sedemikian rupa menjadi kekuatan Indonesia. Rakyat tidak memiliki sedikit-pun ruang untuk menyampaikan kritik, usul bahkan untuk mengeluh terhadap pelbagai ketidakadilan, ketimpangan, pengecualian-pengecualian yang terjadi. Realitas demikian itu telah memperoleh perhatian khusus pemerintahan paska Soeharto yang telah mengambil langkah politik dan hukum cukup cepat. Tetapi itu belum cukup karena problem diskriminasi di Indonesia begitu beragam, bukan hanya diskriminasi rasial, tetapi juga diskriminasi atas dasar agama, suku, status sosial ekonomi, status sosial politik, status sosial kultural, dan sebagainya. Keseluruhan jenis atau bentuk diskriminasi itu sudah barang tentu bisa menimbulkan dampak sosial serius, yang bisa lebih serius dibanding diskriminasi rasial karena secara empiris prosentase terbesar penduduk negeri ini adalah mereka yang “kalah”, yang telah sedemikian rupa merasakan
3
dikecualikan dalam pelbagai aspek sosial; tidak saja di bidang ekonomi, hukum, dan politik tetapi juga di bidang pelayanan sosial. Konteks Yogyakarta Realitas Yogyakarta memperlihatkan dinamika yang agak berbeda dengan realitas Indonesia, termasuk bila dibandingkan dengan propinsipropinsi yang sedang atau pernah dilanda konflik. Berdasarkan riset media yang pernah kami lakukan, potensi konflik karena diskriminasi di Yogyakarta potensial menguat dan potensial pula meletus menjadi konflik kekerasan. Indikasi ke arah itu ditunjukkan oleh adanya gejala berikut:
(a) tingkat
hetergenitas Yogyakarta cukup tinggi. Di propinsi ini terdapat hampir semua suku, agama, bahasa dari pelbagai daerah di Indonesia; (b) masih kuat sisa-sisa feodalisme yang menempatkan individu atau golongan keturunan tertentu sebagai yang paling berhak duduk di posisi tertentu di pemerintahan (Gubernur, wakil gebernur, bupati atau eselon tertentu lainnya); (c) terdapat diskriminasi dalam memperoleh pelayanan utama di sektor pelayanan publik; (d) pandangan, pernyataan dan sikap streotype seperti “dasar orang sumatera, dasar Batak, dasar China” adalah contoh-contoh streotype yang mengandung “stigma”. Momentum dan Arti Penting Kampanye Kampanye HAM, khususnya kampanye anti diskriminasi berada pada momentum yang tepat. Pertama, sedang menguatnya “gairah nasional tentang isu-isu Demokrasi, HAM dan Supremasi hukum. Kedua, momen kebijakan (desentralisasi) yang mulai berjalan sekarang ini sangat strategis dan tepat untuk dilakukannya kampanye secara sistematis dan besar-besaran agar pemerintah dan masyarakat secepatnya menyadari pentingnya melakukan kebijakan dan tindakan yang sepenuhnya mengindahkan prinsip-prinsip anti diskriminasi. Ketiga, ide atau gagasan membangun pemerintahan yang bersih (good governance) bisa didorong masuk dalam kerangka luas sebagai bagian dari upaya menghapus segala macam bentuk diskriminasi, dan tidak sematamata dipandang membebaskan negeri ini dari KKN. Membebaskan Indonesia (Yogyakarta) dari problem dasar kemanusian, dalam bentuk menghilangkan
4
segala bentuk pengecualian, pengabaian, pembatasan, pelecahan hak-hak manusia atas dasar ras, agama, suku, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik sebagaimana ditegaskan dalam UU HAM (UU 39/99) adalah pemerintahan yang baik dan bersih (Good and clean Governance ) yang sesungguhnya. Agenda menyusun strategi kampanye Patut kami ingatkan kembali bahwa ada dua aktivitas utama dari program ini yang sudah dilakukan, yaitu riset sosiologis dan legal audit, yang hasil-hasilnya dalam bentuk ringkas telah ada di tangan peserta yang juga akan didiskusikan.
Dari hasil dua kegiatan itu diharapkan diperoleh gambaran
strategi apa yang dapat disusun dalam upaya menekan seminimal mungkin diskriminasi. Sebagai bahan diskusi penyusunan strategi kampanye anti diskriminasi, maka patut dipertimbangkan agenda-agenda berikut: Pertama, menumbuhkan
sikap
menerima
perbedaan
di
antara
agenda
manusia
dan
keanekaragaman latar belakang manusia. Kedua, agenda melibatkan lembagalembaga pendidikan dengan memasukkan HAM sebagai salah satu materi pengajaran dengan tujuan utama membangun kesadaran dini setiap anak manusia tentang makna manusia, makna persamaan, makna saling menjaga dan melindungi sesama manusia. Ketiga, agenda regulasi di level nasional atau setidaknya lokal yang melarang diskriminasi, sebagai konsekuensi ratifikasi Konvensi-Konvensi anti diskriminasi. Keempat, agenda membuka saluransaluran tidak resmi melalui aktivitas-aktivitas kebudayaan (musik, melukis, dsb) dalam rangka mendorong dialog semanis mungkin diantara kebudayaankebudayaan. Kelima, agenda memunculkan media komunikasi bagi sosialisasi HAM, khususnya dalam menentang diskriminasi.
5