Nomor 1 Tahun 2007
ISSN 0126-0227
MAJALAH
HUKUM NASIONAL
BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL DEPARTEMEN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA Rl
MEDIA PEMBANGUNAN DAN PEMBINAAN HUKUM
m
MAJALA~~UKUM N~-Al BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL Nomor 1 Tahun 2007
Pelindung Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Dewan Redaksi Penanggungjawab
Syaiful Watni, S.H.
Redaktur
Suradji, S.H., M.H.
Penyunting/Editor
1. Sri Badini Amidjojo, S.H., M.H. 2. Dr. Jeane Neltje Saly. S.H., M.H. 3. Sulastri Helmi, S.H.
Redaktur Pelaksana
1. Tana Mantiri, S.H., M.H.
2. Mugiyati. S.H., M.H. 3. Omen, S.H. Sekretariat
1. 2. 3. 4. 5.
Lukino, S.H. Sutriya Sahadi Haryanto Supardjo
Penyelenggara Pusat Dokumentasi dan lnformasi Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Rl Jalan Mayjen Sutoyo - Cililitan Telepon (021) 8091908; 8002192 Faksimile (021) 80871742 Jakarta 13640
v
KATA PENGANTAR DEWAN REDAKSI Pembinaan hukum nasional merupakansalah satu tugas pemerintah yang diserahkan kepada Departemen Hukum dan ~ak Asasi Man usia Republik Indonesia, yang kemudian dijadikan tugas pokok dan fungsi Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi tersebut, BPHN telah menyelenggarakan berbagai kegiatan, salah satu diantaranya adalah pertemuan ilmiah. Dalam setiap pertemuan diundang para pakar dari berbagai disiplin ilmu, khususnya dari bidang kajian ilmu hukum. Para pakar menyampaikan gagasan dan pemikirannya secara langsung dalam forum serta menuangkannya dalam suatu makalah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Untuk meningkatkan dayaguna berbagai gagasan dan pemikiran dari para pakar tersebut, BPHN berupaya menerbitkannya dalam Majalah Hukum Nasional. Di sisi lain mengingat lembaran majalah sangat terbatas, maka tidak mungkin semua makalah yang disampaikan dalam setiap per:temuan dapat diterbitkan. Oleh karena itu, Dewan Redaksi Majalah Hukum Nasional memilih 18 (delapan belas) makalah untuk dijadikan materi muatan dalam Majalah Hukum Nasional Nomor 1 Tahun 2007. Penerbitan majalah ini dimaksudkan untuk menambah kuantitas khazanah informasi hukum, dan selanjutnya akan disebarluaskan ke semua Anggota Jaringan Dokumentasi dan lnformasi Hukum Nasional yang ada di pusat dan daerah. Dengan demikian isi majalah tersebut dapat dimanfaatkan oleh semua pihak, khususnya kalangan pemerhati bidang hukum. Akhirnya, kepada yang terhormat para penulis makalah dan semua pihak yang berperan aktif dalam penerbitan majalah ini, kami ucapkan terima kasih.
vn
DAFTAR lSI Halaman Kata Pengantar Dewan Redaksi ..............................,.................
vii
Daftar lsi .......................................................................................
ix
0 (!)
Ratifikasi Konveksi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi dan lmplikasinya Terhadap Sistem Hukum Pidana Indonesia Oleh: Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M ................... .
1
Amandemen UUD 1945 dan lmplikasinya Terhadap Arah Kebijakan Pembangunan Hukum Nasional Oleh: Prof. Dr. Ismail Sunny, S.H., M.C.L. ............................
15 '_
Harapan dan Tantangan lmplementasi Undang-Undang No.1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana Oleh: Prof. Dr. Komariah Emong Sapardjaja, S.H ................ ·
35
@
h \ Kedudukan dan Peran Hukum Islam Dalam Sistem Hukum CJ Nasional Saat ini dan Arah Kecenderungannya di Masa Datang Oleh : Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M. ........................................................................................
41
Arah Kebijakan Pembangunan Hukum di Bidang Perekonomian dan lnvestasi Oleh: Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, S.H., LL. M ................. .
63
~Arah Kebijakan Pembangunan Hukum di Bidang Penyelenggaraan Desentralisasi dan Otonomi Daerah (Hubungan Kewenangan Antara Pusat dan Daerah) Oleh: Prof. Dr. Bhenyamin Hoessein .................................... .
~Transparansi dan Pertanggun~jawaban Ti~dakan Pemerintah Oleh: Prof. Dr. H. Dahlan Tha1b, S.H., M.S1 .......................... .
~
105 l
115~
r&\ Kapabilitas Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Menjalankan V Mekanisme "Check and Balances" Dalam Hubungan Antara Eksekutif dan Legislatif Oleh: Prof. (Em) Dr. T. Sri Soemantri Mertosuwignya, S.H ...
127
l;; /
Arah Kebijakan Pembangunan Hukum di Bidang Kesejahteraan Rakyat, Sosial dan Budaya: Mewujudkan Negara Sejahtera Republik Indonesia di Bawah Ridho Tuhan Yang Maha Esa Oleh: Prof. Dr. H. M. Tahir Azhar, S.H. ...................................
@) Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD
1945 Hasil · Amandemen Dari PerspektifProgram Legislasi Nasional Oleh: Dr. H. Bomer Pasaribu, S.H., S.E., M.S.......................
11. Arbitrase dan Kepailitan Dalam Sistem Ekonomi Syariah Oleh: Dr. Syamsudin Manan Sinaga, S.H., M.H. ....................
139
'~· 155 171 /
f~erspektif dan
Upaya Yang Dilakukan Dalam Perjanjian Bantuan Timbal Balik Mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang, (Money Laundering) Oleh: Dr. Yunus Husein .. ........................ .............. .................. 183
V
@ Peranan Hukum Adat Dalam Aplikasi Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Oleh: Dr. H. Abdurrahman, S.H., M.H. ...................................
/ 189
c·4) Penyelesaian Sengketa Niaga di Pengadilan Negeri Sebagai ~-
Cikal Penyelesaian Sengketa Niaga Syariah di Pengadilan Agama Oleh: Ny. Andriani Nurdin, S.H., M.H. .....................................
207
Rancangan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Perspektif Legislatif Oleh: lr.Agus Hermanto, M.M. ................................................
215
@
~ Pengelolaan
Sumber Daya Alam Berbasis Pembangunan / Sosial dan Ekonomi: Tinjauan Dari Aspek Hukum Olen: M. Daud Silalahi ............................................................
223
E)Pengembalian Kejahatan Oleh: I Ktut Sud1harsa, S.H., M.S1. .........................................
233
~set
K~rupsi
' r~ lmplikasi Putusan Bebas Dalam Perspektif HakAsasi Manusia ' ( ] (Telaah Terhadap Permasalahan Korupsi dan Illegal Logging) Oleh: Ahmad Ubbe .. .. .. .. .. .... .. .. .. ... .. .. .... ...... .. .. .... ... ... ..... ..... ... .
X
249
RATIFIKASI KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENENTANG KORUPSI DAN · IMPLIKASINYA TERHADAP SISTEM HUKUM PIDANA INDONESIA* 0/eh: Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M. 1
PENDAHULUAN Konvensi PBB Menentang Korupsi (UN Convention Against Corruption) telah diadopsi oleh Sidang Majelis Umum PBB dalam resolusinya Nomor 58/4 tanggal31 Oktober 2003, dan terbuka untuk ditandatangani di Merida Mexico dari tanggal 9 Oesember sampai dengan tanggal 11 Oesember 2003. Kovensi ini telah ditandatangani oleh 116 negara dan telah diratifikasi oleh lebih dari 15 negara. Konvensi ini didahului oleh dua konvensi terkemuka yang dikeluarkan oleh Negaranegara yang tergabung dalam Uni Eropa (Organization of Council of Europe=OCOE) yaitu, Criminal Law Convention on Corruption, yang telah berlaku sejak tanggal 1 Juli 2002, dan Civil Law Covention on Corruption, yang telah berlaku efektif tanggal 1 November 2003 dan telah diratifikasi oleh 21 (dua puluh satu) negara Uni Eropa. Selain itu, negara-negara yang tergabung dalam Uni Afrika telah menghasilkan suatu, Africa Union Convention on Preventing and Combating Corruption, yang ditetapkan di Addis Ababa pad a tanggal 18 - 19 September 2002. Pada bulan Maret tahun 2006 pemerintah telah meratifikasi Konvensi PBB Men~ntang Korupsi tahun 2003 (KMK, 2003) dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Korupsi -UN Convention Against Corruption. Karakteristik dan substansi KMK 2003 mencerminkan gabungan dua sistem hukum, "Civil Law" dan "Common Law" yang diwakili oleh kurang lebih 120 (seratus dua puluh) perwakilan negara anggota PBB. 2 * Makalah disampaikan pads Seminar Tentang lmplikasi Konvensi Anti Korupsi 2003 Terhadap Sistem Hukum Nasional diselenggarakan oleh BPHN Departemen Hukum dan HAM Rl beke~asama dengan Fakultas Hukum Universitas Udayana dan KantorWilayah Departemen Hukum dan HAM Rl Provinsi Bali, Bali 14-15 Junl2006 1 GURU BESARHUKUM PIDANAINTERNASIONALUNPAD/KETUA FORUM 2004 2 Penulis juga adalah alternate Head of Delegation Rl dalam sidang Prep-Com pembahasan draft Konvensi PBB 2003 di Wins sejak tahun 2000 s.d. tahun 2002.
1
Perpaduan dua sistem hukum sebagai sistem hukum mayoritas dalam penyusunan KMK 2003 sudah tentu memiliki karakteristik khas dan ketentuan-ketentuan tertentu yang tidak lazim digunakan baik dalam sistem hukum "Common Law" maupun dalam sistem hukum "Civil Law" sebagaimana akan diuraikan di bawah ini. Pasca ratifikasi KMK 2003 oleh pemerintah Indonesia sudah tentu merupakan agenda penting dalam peninjauan kembali dan revisi terhadap Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001. Karakteristik yang khas dari KMK 2003 adalah, telah terjadi perubahan paradigma yang signifikan dalam strategi pemberantasan korupsi dalam kerangka kerjasama internasional. Perubahan paradigma tersebut telah diakui oleh peserta sidang preparatory-committee (Prep-Com) yaitu: 1.
bahwa, masalah korupsi dalam era globalisasi3 bukan lagi merupakan masalah nasional akan tetapi merupakan masalah internasional sehingga pemberantasannya tidak dapat dilaksanakan hanya oleh satu negara melainkan memerlukan kerjasama internasional;
2.
bahwa masalah korupsi memiliki multi aspek, aspek hukum, HAM, pembangunan berkelanjutan; kemiskinan; keamanan dll (lihat power point);
3.
bahwa strategi penindakan/penghukuman (represif) bukanlah satusatunya strategi yang ampuh dalam pemberantasan korupsi melainkan diperlukan juga strategi pencegahan (preventif), dan strategi pemulihan aset hasil korupsi (asset recovery) sebagai suatu terobosan besar (major breakthrough);
4.
bahwa keberhasilan pemberantasan korupsi bukan hanya monopoli penegakan hukum pidana yang dilandaskan pada penuntutan (conviction) semata-mata melainkan juga dapat dilaksanakan dengan hukum keperdataan (civil procedure);
5.
bahwa sistem beban pembuktian konvensional tidak selalu ampuh dalam pemberantasan korupsi sehingga sistem beban pembuktian terbalik merupakan suatu alternatif solusi yang diharapkan mampu
3 Korupsi termasuk salah satu kejahatan transnasional organized crime dan diaturdalam Konvensi Palermo, korupsi termasuk salah satu ancaman dari 6 (enam) golongan ancaman dunia saat ini Report of the Secretary-General's High-level Panel on Threats. Challenge and Change: A more secure world: Our shared Responsibility; United Nations, 2005; p 23.
2
memoenKan hasil yang optimal terutama dalam pengembalian aset hasil korupsi. Ratifikasi oleh pemerintah Indonesia terhadap KMK 2003, secara politis telah menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara di Asia yang memiliki komitmen pemberantasan korupsi melalui kerjasama internasional; kedua, dengan komitmen tersebut maka dorongan kuat terhadap negara lain termasuk yang dianggap non-kooperatif dalam pengembalian aset hasil korupsi dari Indonesia, untuk duduk bersama Indonesia membahas masalah tersebut; ketiga, langkah pemerintah Indonesia untuk mencegah dan mengembalikan aset hasil korupsi di negara lain, juga akan menjadi bagian dari agenda kerjasama internasional dalam pemberantasan korupsi secara global (PBS); keempat, dengan ratifikasi tersebut sekaligus menunjukkan bahwa Indonesia mampu melaksanakan langkah pemberantasan korupsi sendiri dan tetap menghormati KMK 2003 dalam perspektif kedaulatan hukum NKRI; dan kelima, langkah ratifikasi KMK 2003 merupakan langkah strategis untuk menciptakan iklim bisnis di Indonesia dengan memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap pelaku usaha beritikad baik dari persaingan usaha tidak sehat dan sarat dengan muatan KKN. Dampak lain dari ratifikasi terhadap eksistensi dan integritas kelembagaan yang terlibat dalam pemberantasan korupsi adalah, memberikan dorongan kuat kepada pemerintah untuk melakukan reformasi total terhadap birokrasi saat ini. Saat ini masih ada ketidaksamaan persepsi dan penafsiran dari lembaga penegak hukum dalam pemberantasan korupsi dan masih ada dua yurisdiksi yang berbeda satu sama lain dalam penanganan kasus korupsi yaitu pengadilan negeri di satu sisi dan pengadilan tipikor di sisi lain. Melalui perombakan tersebut diharapkan muncul satu bahasa hukum yang sama dan penafsiran hukum yang tidak berbeda antara lembaga penegak hukum sehingga terdapat kesatuan pandangan dan langkah yang jefas dalam menentukan arah pemberantasan korupsi di masa yang akan datang. Dampak positif lain dan ratifikasi adalah, mendorong Pemerintah Indonesia untuk menyusun format, sistematika dan substansi laporan kinerja pemberantasan korupsi di Indonesia untuk diajukan setiap akhir tahun kepada Conference of the Parties (COP), suatu lembaga pemantau di bawah bandera PBS, yang bertugas mengkompilasi dan mengklarifikasi laporan setiap Negara peratifikasi serta melakukan
3
inventarisasi hambatan-hambatan pelaksanaan konvensi di masingmasing negara tersebut. Berdasarkan laporan dan klarifikasi tersebut COP menyampaikan laporannya dan rekomendasi kepada Sekjen PBB. 4 Kesimpangsiuran perilaku penegak hukum satu sama lain dan kecurigaan yang terbentuk hanya karena arogansi sektoral harus segera dihilangkan dari pikiran-pikiran penegak hukum di dalam pemberantasan korupsi. Ratifikasi akan menempatkan posisi pemerintah Indonesia sejajar dengan negara lain dalam konteks pemberantasan korupsi yang bersifat transnasional at au bahkan sebaliknya sang at tergantung dari prakondisi sebagaimana diuraikan di atas. Dalam posisi sedemikian itulah kiranya pemerintah sejak saat sekarang harus sudah mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk mulai duduk bersama negara lain membahas pengembalian aset hasil korupsi di Indonesia yang mengendap di luar negeri. KMK 2003 telah menyediakan ketentuan-ketentuan khusus mengenai kerjasama internasional yang selama ini seialu menjadi hambatan yang signifikan dengan negara lain apalagi negara yang ditengarai nonkooperatif. Perjanjian regional dan bilateral yang sudah ditandatangani segera harus diratifikasi, termasuk Asean Mutual Legal Assistance Treaty (AMLA,T's,} tahun 2004 dengan 5 (lima) negara ASEAN di samping Indonesia. Dalam konteks kerjasama internasional pemberantasan korupsi pasca ratifikasi, maka penentuan Kantor Pusat Pengendalian Kerjasama internasional (Central Authorithy) memegang posisi strategis ~~rena lembaga ini menentukan kerberhasilan atau kegagalan implementasi kerjasama internasional tersebut. Penentuan lembaga mana yang akan ditunjuk menjadi CA pasca ratifikasi Konvensi PBB 2003 sangat penting untuk masa depan kerja sama internasional khusus dalam pemberantasan korupsi. Penetapan CA harus memperhitungkan kondisi dan iklim, bukan hanya internal kementerian yang ditunjuk, melainkan juga iklim koordinasi antar instansi di Indonesia yang saat ini masih berisiko tinggi dan sering bermasalah. Contoh yang sudah dialami adalah lolosnya koruptor ke luar negeri sehingga menyutitkan 4 Beberapa tugas COP yang panting untuk dipertimbangkan secara serius adalah: "reviewing periodically the implementation of this Connvention by the State Partied"(e); dan "Making recommendations to improve this Convention and its implementation"(f) [Pasal 63 UNCAC, 2003]. Kedua tugas COP tersebut potensial berdampak politis yang dapat "merugikan" kepentingan negara peserta yang tidak dapat memenuhi rekomendasi tersebut.
4
pengembalian aset hasil korupsi; salah satu penyebab utama karena tidak ada koordinasi yang maksimal dan kinerja yang profesional dan aparatur penegak hukum atau instansi yang bertanggung jawab untuk tugas tersebut. Klausul "undue-delay" atau "within reasonable time"5 dalam setiap kerjasama internasional turut menentukan keberhasilan atau kegagalan dalam pelaksanaannya. Kebiasaan kinerja birokrasi yang terbukti sering lamban dan kurang profesional menangani permintaan bantuan dari negara lain untuk kerjasama penegakan hukum terutama dari sisi manajemen administrasi harus segera dihentikan karena dalam kaitan ini berlaku prinsip resiprositas; suatu prinsip timbal balik yaitu jika ada keseriusan dan komitmen nyata dan menguntungkan bagi negara peminta maka sudah tentu kelak akan berbuah yang sama, kecuali sebaliknya. SUBSTANSI PENTING KONVENSI PBB 2003 DAN IMPLIKASINYA BAGI UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN KORUPSI Dl INDONESIA Konvensi PBS tahun 2003 (UNCAC, 2003) merupakan perjanjian internasional (treaty-based crimes) yang mengutamakan prinsip-prinsip kesamaan kedaulatan, prinsip integritas nasional dan prinsip nonintervensi (lihat Pasal 4). Ketentuan ini mencerminkan bahwa implementasi konvensi ini oleh setiap negara peserta tidak boleh melanggar prinsip-prinsip tersebut di atas. Contoh dalam upaya pemerintah Indonesia mengembalikan aset-aset hasil korupsi di Indonesia dan Singapura dan dari negara lain seharusnya ditempuh jalur diplomatik terlebih dulu sebelum jalur penegakan hukum langsung (direct enforcement) melalui pihak Kejaksaan Agung atau Kepolisian karena kompleksitas masalah hukum pengembalian aset tersebut. Ketentuan Pasal 4 tersebut di atas sangat relevan dengan ketentuan mengenai kerjasama internasional (Bab IV) dalam Konvensi PBS tersebut yang mengatur mengenai berbagai bentuk kerjasama internasional, dan ketentuan dalam Bab V tentang Asset Recovery serta ketentuan mengenai Freeze, Seizure and Confiscation (Art. 31, Bab Ill tentang Criminalization and Law Enforcement) terutama aset yang berada di luar negeri. Sehubungan dengan ini, dapat diambil 5 Dalam kasus ekstradisi, ketentuan Pasal44 butir 11 UNCAC: "A State Party ... be obliged to submit the case with undue delay to its competent authorities for the purpose of prosection". Dalam kasus an exceptional case, advance notice is not possible, the receiving State Party shall inform the transmitting State Party of the disclosure without delay·.
5
contoh Perjanjian AMLA (Asean Mutual Legal Assistar:ce Treaty)B tahun 2004 telah ditandatangani oleh 6 (enam) negara anggotaASEAN termasuk Indonesia, dapat dijadikan landasan hukum regional untuk segera mewujudkan kehendak pemerintah mengembalika~ aset-aset hasil korupsi yang terjadi sejak era Suharto dan era reformasi sampai saat ini terutama kasus BLBI. Perjanjian ini tampak lebih efektif sekalipun juga tidak mudah dan kompleksitas masalah hukum yang cukup signifikan untuk pengembalian aset hasil korupsi. Apalagi dalam perjanjian tersebut dilampirkan daftar sejumlah kejahatan termasuk korupsi dan pencucian uang yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian tersebut. Perjanjian AMLA 2004 tersebut, masih ada kelemahan yang signifikan dilihat dari sisi terminologi hukum perjanjian yaitu, pada bagian sope of the treaty, ditegaskan kalimat, "may include" dan seterusnya sehingga kalimat tersebut merupakan "batu kerikil" yang tajam dan dapat 'menggagalkan upaya pengembalian aset hasil korupsi atau pencucian uang yang merupakan target pemerintah Indonesia terhadap Negara-negara yang non-kooperatif dalam kaitan ini. Ketentuan mengenai perjanjian ekstradisi (lihat Pasal 44) seperti, prinsip "dual criminality".tidak lagi merupakan prinsip yang mengikat (kalimat, "State Party whose law so permits may grant the extradition ... of a person for any offences ... that are not punishable under its own domestic law"; Pasal 44 butir 2). Selain hal tersebut, terobosan hukum terhadap prinsip umum ekstradisi juga dilakukan terhadap negara yang masih mengadopsi prinsip nasionalitas seseorang yang dimintakan ekstradisi (lihat Pasal 44 butir 11 dan 12). Ketentuan tersebut memberikan kelonggaran terhadap negara yang menganut prinsip nasionalit~s untuk segera (undue delay) menyerahkan seseorang warganya yang dimintakan ekstradisi ke Negara peminta (requested state party) dengan syarat tertentu atau "conditional extradition". Namun demikian suatu perjanjian ekstradisi tidak menjamin efektivitas penyerahan tersangka 6 Pemerintah Indonesia telah "UU Payung" {Umbrella Act) tentang Mutual Legal Assistance Trpaty atau Bantuan Timbal Balikdalam masalah pidana Ieiah diundangkan di dalam UU Rl Nomor 1 tahun 2006 tentang Bantu an Timbal Balik Dalam Masalah Pidana. Di dalam ketentuan mengenai bantuan timbal balik dalam masalah pidana, UNCAC tidak lagi menganut prinsip "du.al criminality" secara mutlak di mana negara pihak dalam UNCAC jika dianggap perlu dapat melaksanakan bantuan timbal balik tersebut tanpa berpegang kepada prinsip tersebut Pasal 9 {a) UNCAC menegaskan:• A requested State Party, in respoding to a request for assistance .• .in the absence of dual criminality, shall take into account the purposes of this Convention, as set forth in article 1 .." (b) State Party may decline (non-mandatory obligation, pen.) to render assistance pursuant to this article on the ground of absence of dual criminality."
6
dari satu negara ke negara lain. Kasus ekstradisi Hendra Rahardja dari Australia ke Indonesia merupakan contoh konkret bahwa Berdasarkan pengamatan penulis, implementasi perjanjian ekstradisi dari Australia ke Indonesia belum pernah menguntungkan pihak Indonesia, bahkan sebaliknya. 7 Prinsip untuk tidak mengekstradisi dengan alasan tindak pidana pajak tidak lagi merupakan hal yang menghalangi ekstradisi (Pasal 44 butir 16). Bentuk kerjasama internasional yang baru dari Kovensi PBS 2003 adalah, "transfer of sentenced person" (TSP) [Pasal 45), dan "Transfer of criminal proceeding" (TCP) [Pasal 47]. 8 Pasal45 bersifat non-mandatory provision ("may consider"), dan Pasa147 bersifat mandatory provision ("shall consider'). Dalam kaitan dengan ketentuan Pasal 4 mengenai State Souvereignty ini kiranya perlu diperhatikan penggunaan prinsip-prinsip non-intervensi yang kaku yang justru menghambat kerjasama internasional terutama dalam menghadapi korupsi skala nasional dan menimbulkan kemiskinan dan kesengsaraan rakyat suatu negara. Dalam pemburuan aset hasil korupsi sedemikian maka menjadi kewajiban setiap negara peserta untuk memberikan bantuan penuh tanpa kecuali terhadap negara peminta (requesting state) baik dalam rangka pe~anjian bantuan hukum timbal balik maupun dalam rangka permintaan ekstradisi. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dipastikan bahwa, keberhasilan kerjasama internasional (bilateral atau multilateral), pada khususnya kerjasama dalam hal pengembalian aset hasil korupsi atau karena tindak pidana pencucian uang sangat tergantung bukan pada kesempurnaan rumusan dalam Undang-undang Pemberantasan Korupsi pasca ratifikasi Konvensi PBS 2003, melainkan sangat ditentukan oleh strategi dan teknik diplomasi para pejabat Kementerian Luar Negeri Indonesia atau hubungan baik antara pemerintah. Indonesia dengan pemerintah negara lain. Kondisi ini belum lagi memperhitungkan kondisi internal dan lintas kementerian atau instansi 7 Pemerintah Indonesia dan Australia sudah menandatangani pe~anjian ekstradisi dan disahkan dengan UU Nomor 8 tahn 1994 TLN 3565 8 Pasal 45:" State Parties may consider entering into bilateral or multilateral agreements or arrangements on the transfer to their territory of persons sentenced to imprisonment or other forms of deprivation of liberty for offences established in accordance with this convention, in order that they may complete their sentence there". Pasal47: "State Parties shall consider the possibility of transferring to one another proceedings for the prosecution of an offence ... in cases where such transfer is considered to be in the interest of the proper administration of justice, in particular cases where several jurisdictions are involved, with a view to concentrating the procsecution".
7
penegak hukum saat ini di lndonesia 9 , dan keterbatasan anggaran perjalanan dinas luar negeri bagi aparatur penegak hukum. Kriminalisasi tindak pidana baru dalam Ko"nvensi PBB 2003 telah · membedakan antara "bribery in the public sector" (Pasal 15) dan "bribery in the private sector' (Pasal21 ). Hal ini menunjukkan keterkaitan erat hubungan antara peran sektor publik dan sektor swasta dalam masalah korupsi yang semakin meningkat dan berdampak buruk terhadap penampilan dan kinerja pemerintah di sebagian besar negara berkembang. Laporan penjelasan mengenai Criminal Law Convention menyebutkan 2 (dua) pertimbangan dimasukkannya kriminalisasi tindak pidana korupsi di sektor swasta ke dalam konvensi ini, yaitu: pertama, bahwa korupsi di sektor swasta telah melemahkan nilai-nilai seperti, kepercayaan, loyalifas yang diperlukan untuk memelihara dan meningkatkan hubungan sosial dan ekonomis. Sekalipun dampak negatif kepada korban tidak tampak nyata akan tetapi korupsi di sektor swasta menimbulkan akibat kerugian kepada masyarakat sehingga perlindungan atas persaingan sehat perlu dilakukan. Kriminalisasi korupsi di sektor swasta justru bertujuan memulihkan kepercayaan dan loyalitas di dalam memelihara hubungan sosial dan ekonomi suatu negara. Kedua, terdapat teori yang dapat dijadikan justifikasi atas kriminalisasi tersebut, yaitu teori, "interdependence of others". Berdasarkan teori ini, seluruh sub-sistem sosial saling mempengaruhi secara timbal balik termasuk nilai-nilainya. Atas dasar itu maka mustahil kiranya pemberantasan korupsi dilakukan di satu sektor sementara itu juga mengabaikan kegiatan yang sa rna di sektor yang lain. Oleh karena itu hambatan-hambatan di sektor ekonomi dan regulasinya akan berdampak terhadap system social yang lain seperti, di sektor politik dan administrasi. Bertolak dari pernyataan teori di atas maka pemberantasan korupsi melalui peraturan perundang-undangan di bidang persaingan usaha hanya akan melemahkan seluruh institusi pemberantasan korupsi. 1o 9 Koordinasi lintas lnstansi penegak hukum dan Kementerian Hukum dan HAM san gat menentukan keberhasilan pe~anjian ekstradisi dan bantuan timbal balik dalam masalah pidana khususnya berkaitan. 10 Albin Eser/ Michael Kubicil, "Institutions against Corruption: A Comparative Study ofthe National Anti-Corruption Strategies reflected by GRECO's First Evaluation Round"; Nomos; 2005, page
47-48.
8
Sekalipun telah ada justifikasi sebagaimana diuraikan di atas tampaknya negara peserta dalam negosiasi proses penyusunan konyensi inl masih ragu-ragu untuk menyatakan secara tegas bahwa, korupsi di sektor swasta merupakan "mandatory obligation". Di dalam Pasal 21 dirumuskan kalimat "shall consider adopting". Sedangkan untuk kriminalisasi suap pejabat publik, di dalam pasal 15 dirumuskan dengan kalimat "shall adopt". Kriminalisasi penting lainnya adalah perbuatan memperkaya diri sendiri (illicit enrichment). 11 Kriminalisasi perbuatan memperkaya diri sendiri, yang merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri justru telah mempersempit lingkup tindak pidana korupsi yang sudah diatur di dalam Pasal 2 UU Nomor 31 tahun 1999. Berkaitan dengan kriminalisasi tersebut, unsur kerugian Negara dalam UU Nomor 31 tahun 1999, oleh Konvensi PBB 2003 tidak lagi sebagai unsur penting. Hal ini terlihat dari bunyi ketentuan Pasal 3 butir 2 Konvensi PBB 2003 mengenai "scope of application" yang menegaskan bahwa, "For the purpose of implementating this Convention, it shall not be necessary except otherwise stated herein. For the offence ... to result in damage or harm to State property". Ketentuan ini memerlukan kajian seksama dan mendalam dari para ahli hukum pidana ketika pemerintah diwajibkan mengadopsi ketentuan konvensi tersebut di atas ke dalam perundang-undangan pemberantasan korupsi dan harus mengubah UU Nomor 31 tahun 1999 juncto UU Nomor 20 tahun 2001. Pertama, apakah unsur kerugian negara (State-loss) masih dapat diper:tahankan pasca ratifikasi konvensi tersebut, sedangkan rumusan Pasal 3 bersifat mandatory (wajib)?; kedua, apakah ketentuan mengenai, "illicit enrichment" sebagai suatu tindak pidana yang berdiri sendiri dapat menggantikan rumusan Pasal 2 UU Nomor 31 tahun 1999 tersebut sehingga dapat digunakan sistem pembalikan beban pembuktian melalui jalur keperdataan (civil conviction) dan bukan hanya tergantung kepada "criminal conviction"? 12 Sis~em 11 Pasal20: " ... each State Party shall consider adopting ... to establish as a criminal offence, When committed intentionally, illicit enrichment, that is, a significant increase in the assets of a public offcial that he or she cannot reasonably explain in relation to his or her unlawful income·. 12 Mengenai pemballkan beban pembuktian ini, kasus "Hongkong Bill of Rights Ordinance 1991", merupakan contoh yang tepat. Dalam undang-undang ini, section 10 ditegaskan: "any person who, being or having been a public servant, (a) maintains a standar of living above that which is commensurate with his present or past official emoluments; or (b) is in control of pecuniary resources or property disproportionate to his present or past official emoluments, shall, unless he gives a satisfactory explanation to the court as to how he was able to maintain such a standard of living or how such pecuniary resources or property came under his control, be
9
pembalikan beban pembuktian terbalik melalui jalur keperdataan ini juga digunakan di beberapa negara. 13 Pembuktian dengan cara tersebut berpandangan, bahwa: "confiscation is not regarded as a penalty but as a "compensating measure" aimed at depriving the offender of what he or she has acquired illegally and therefore, has no right to possess. Its purpose is to replace the offender in the same situation (economically) as that in which he or she was before the offence was committed". Prosedur pembuktian seperti ini berbeda dengan penyitaan sebagai akibat putusan pengadilan dalam perkara pidana. Model baru dalam proses pembuktian ini selayaknya dipertimbangkan sebagai bag ian penting dalam perubahan undang-undang pemberantasan korupsi pasca ratifikasi Konvensi 2003. Kriminalisasi lain yang penting dan perlu dipertimbangkan secara serius adalah dimasukkannya tindak pidana pencucian uang ke dalam konvensi (Pasal23). Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa pencucian uang "conditio sine qua non"terhadap korupsi, sehingga dalam posisi sedemikan itu pemerintah setiap negara peserta berkewajiban menetapkan kedua perundangan tersebut dalam sistem hukum pidana nasionalnya. Bagi Indonesia posisi tersebut memerlukan peninjauan kern bali menengenai kedudukan dan hubungan Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 yang telah diubah oleh UU Nomor 20 tahun 2001, dan Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 yang telah diubah oleh UU Nomor 25 tahun 2003 satu sama lain. guilty of an offence". UU tersebut dianggap bertentangan dengan ICCPR di dalam konstitusi Hongkong. Pengadilan Tinggi Hongkong, berpendapat bahwa, sebelum terdakwa membuktikan asal usul kekayaannya yang jauh melebihi penghasilannya; jaksa penuntut umum harus membuktikan "beyond reasonable doubt", status pegawai negeri tersebut, standar hid up yang bersangkutan selama penuntutan dan penghasilan resmi yang diterimanya selama itu; dan juga harus dapat membuktikan bahwa, kehidupan yang bersangkutan tidak dapat dijangkau oleh penghasilannya itu.Apabila penuntut umum dapatmembuktikannya seluruhnya, maka kewajiban terdakwa unluk menjelaskan bagaimana yang bersangkutan dapat hidup mampu dengan kekayaanya yang ada, atau bagaimana kekayaannya berada di bawah kekuasaannya. Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa, dengan proses acara seperti ilu, maka tidak ada pertentangan dengan konstitusi karen a yang bersangkutan sudah diberikan haknya untuk menjelaskan dan jaksa penuntut umum sudah diwajibkan untuk membuktikan hal-hal tersebut; sistem pembuktian seperti ini, disebut, sistem "balance probabilities", bukan sistem pembalikan beban pembuktian murni, tetapi menu rut penulis" sis tern pembalikan be ban pembuktian terbatas". Sistem ini sudah digunakan sejak diundangkannya (JU Nom or 3 tahun 1971 sampai dengan UU Nomor 31 tahun 1999: hanya mekanisme hukum acara untuk implementasi pasal tersebut belum diaturdi dalam HukumAcara Pidana yang berlaku (KUHAP) atau di dalam undang-undang dimaksud. Kovensi 2003 memberikan alternatifsolusi hukum baru, yaitu dengan memasukkan prosedurkeperdataan dalam menerapkan pembalikan beban pembuktian dengan melalui proses penyitaan perdata (civil forfeiture); narnun demikian seluruh bukti-bukti yang diperoleh melalui proses ini tidak dapat dijadikari alat bukti dalam proses penuntutan pidana. 13 Nihal Jayawickrama, Jeremy Pope and Oliver Stolpe, "Legal Provisions to Facilitate the Gathering of Evidence in Corruption Cases: Easing the Burden of Proof"; page 24-25 (unpublished).
10
Praktik penegakan hukum terhadap kasus-kasus tindak pidana korupsi yang menarik perhatian masyarakat luas dan bersifat transnasiona!14, aparatur penegak hukum sering menghadapi kesulitan dalam melaksanakan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dalam kaitan dengan pencucian uang hasil korupsi. 15 Kesulitan tersebut berdampak terhadap efisiensi dan efektivitas kerjasama internasional dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi di negara lain. Masalah hukum yang muncul adalah, pertama, sejauh mana kemungkinan pengaturan kedua tindak pidana tersebut di dalam satu perundangundangan yang sama, dan apakah kewenangan penyidikan akan dilimpahkan kepada satu lembaga penegak hukum saja atau tetap kepada dua lembaga yang berbeda. Masalah kedua, kemungkinan menggunakan sistem beban pembuktian terbalik atau pembalikan beban terbalik (onus of proof/reversal burden of proof). Kriminalisasi lain di dalam konvensi yang dipandang penting adalah, "trading in influence"yang merupakan tindak pidana baru dalam lingkup pemberantasan korupsi. "trading in influence" didefinisikan suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja: menjanjikan, menawarkan atau memberikan secara langsung atau tidak langsung suatu keuntungan yang akan terjadi (or undue advantage) kepada seorang pejabat publik atau orang lainnya dengan tujuan agar pejabat publik tersebut atau orang lain tersebut, "abuse his or he real or supposed influence with a view to obtaining from an administration or public authorithy of the State Party an undue advantage for the original instigator of the act or for any other person". Ketentuan ini dibedakan antara perbuatan yang bersifat aktif dan perbuatan yang bersifat pasif. Bandingkan ketentuan tersebut di atas dengan definisi, "bribery of national public officials": ".. when committed intentionally: (a) to promise, offering or giving, to a public official, directly or indirectly, of an undue advantage, for the official himself or herself or another 14 Sifat transnasional dari tindak pidana adalah: (a) conduct affecting more than one state;(b) conduct including or affecting of citizens of more than one state: and (c) means and methods transcend nation; boundaries (dikutip dari Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana lnternasional; Refika Aditama, Bandung; 2003) 15 Setiap tindak pidana korupsi (dan tindak pidana lain yang berhubungan dengan keuangan) mutatis mutandis merupakan tindak pidana pencucian uang. HukumAcara Pidana (KUHAP) dan hukum acara khusus di dalam Undang-undang Nom or 31 tahun 1999 jo UU Nomor 20 tahun 2001 tidak mengatur secara khusus hukum acara yang dapat digunakan untuk melakukan penuntutan terhadap kedua tindak pidana tersebut dalam satu surat dakwaan, dan bagaimana ketentuan hukum pembuktiannya. Dari laporan lebih dari 5000 s/d tahun 2006. hanya 10 (sepuluh) perkara yang dilimpahkan ke pengadilan, dan 3 (tiga) diantaranya sudah memperoleh putusan pengadilan.
11
person or entity, in order that the official act or refrain from acting in the exercise of his or her official duties"(article 15). Masalah hukum dari dua ketentuan ini adalah bagaimana secara teknis hukum dalam pembuktian membedakan antara menyalahgunakan pengaruh dan tidak menjalankan tugas dan kewajibannya. Sekalipun ketentuan tersebut bersifat mandatory ("Shall consider'? akan tetapi harus dicermati dan dikaji secara teliti merumuskan unsur-unsur tindak pidananya.
Kriminalisasi lain yang relevan dengan situasi pemberantasan korupsi di Indonesia adalah, "obstruction ofjustice" (Art. 25), dihubungkan dengan ketentuan mengenai "protectio of witnesies, expert and victims" (Art. 32). Konvensi memerlukan ketentuan yang dapat mencegah terjadinya hambatan atau inefisiensi atau inefektivitas proses penyidikan dan peradilan terhadap tindak pidana korupsi. Masalah yang sering terjadi di negara berkembang pada umumnya, dan pada khususnya di Indonesia dalam praktik pemberantasan korupsi, adalah, justru aparatur penegak hukum yang melakukan "obstruction of justice", di sam ping dilakukan oleh organisasi kejahatan atau kelompok masyarakat tertentu. Ketentuan Pasal 25 khusus ditujukan untuk melindungi seseorang yang akan memberikan kesaksian atau melindungi aparatur penegak hukum termasuk hakim dan penasihat hukum dari gangguan atau ancaman atau serangan pihak lain, akan tetapi ketentuan konvensi tersebut belum dapat menjangkau fakta yang telah penulis uraikan di atas. Masalah hukum yang timbul apakah masih diperlukan UU tentang Perlindungan Saksi, Ahli atau Korban tersendiri atau diatur dalam ketentuan tersendiri dan lengkap di dalam UU Pemberantasan Korupsi yang baru. Di dalam bagian mengenai Kriminalisasi dan Penegakan hukum (Bab Ill) Konvensi memasukkan ketentuan mengenai "Cooperation with law enforcement authorities" (Pasal 37). Ketentuan ini relevan dengan wacana yang dilontarkan oleh pihak Kejaksaan Agung barubaru ini mengenai perlindungan terhadap tersangka koruptor yang telah kooperatif dalam proses penyidikan dan penuntutan dalam kasus korupsi. Ketentuan dalam Pasal 37 bersifat "mandatory obligation" (butir 1) yang ditujuan untuk mendorong agar mereka yang melakukan atau terlibat dalam tindak pidana korupsi untuk menyampaikan informasi penting kepada pihak berwenang yang dapat dijadikan bukti untuk melaksanakan penuntutan. Bahkan dalam butir 2 ditegaskan kewajiban
12
negara peserta untuk mempertimbangkan kemungkinan mengurangi hukuman dalam kasus tertentu atau memberikan pembebasan dan penuntutan (butir 3) terhadap tersangka korupsi yang memberikan bantuan yang substansial kepada penyidik/penuntut umum. Dalam pembaruan UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU Nomor 20 tahun 2001 ketentuan ini memerlukan kajian yang serius dan mendalam. Wewenang Jaksa Agung untuk menghentikan penuntutuan demi kepentingan umum sesuai dengan UU Kejaksaan Rl, dan substansi ketentuan Pasal109 ayat (2) dan Pasal 140 ayat (2) KUHAP 16 belum dapat menjangkau · substansi ketentuan Pasal 37 UNCAC, 2003. UNCAC, 2003 juga menegaskan bahwa, diperlukan peningkatan kerjasama intemasional ketika korupsi sudah bersifat transnasional terutama untuk tujuan pengembalian aset hasil korupsi (Bab V). Pasca ratifikasi Konvensi PBS tersebut, dalam hal implementasi kerja sama internasional, pemerintah telah menyiapkan Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana, dan UU nomor 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi. KESIMPULAN DAN SARAN 1.
Ratifikasi Konvensi PBS 2003 berdampak nasional dan internasional. Dampak nasional adalah diperlukannya memperkuat jalur koordinasi lintas sektoral bidang penegakan hukum di bawah supervise Central Authorithy yang ditunjuk pemerintah. Selain koordinasi, diperlukan pengkajian terhadap peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi yang berlaku saat ini, dan peraturan perundang-undangan mengenai kelembagaan yang berkaitan dengannya.
2.
Bentuk tindak pidana baru di dalam Konvensi PBS 2003 tersebut memerlukan kajian khusus disesuaikan dengan sistem hukum pidana Indonesia yang masih mempertahankan prinsip-prinsip kepastian hukum semata-mata dan pendekatan represif-recovery dengan menitikberatkan pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara akan tetapi telah tidak mempertimbangan kerugian pihak ketiga beritikad baik yang menderita kerugian karena tindak pidana korupsi (termasuk suap).
16 Pasal1 09 KUHAP: ayat (2); KUHAP "Dalam hal penyidik menghentikan penyidikin karen a tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada tersangka atau keluarganya". Pasal140 ayat (2) KUHAP:" Dalam hal penuntut menghentikan penyidikan karen a tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penuntutan dihentikan demi hukum, rnaka penuntutumum memberitahukan kepada pengadilan."
13
3.
Bagian.penting dari implementasi Konvensi PBB 2003 ke dalam sistem hukum pidana nasional adalah peninjauan kembali terhadap ketentuan hukum acara yang berlaku saat ini dalam penegakan hukum terhadap kasus tindak pidana korupsi, yaitu KUHAP 1981 dilengkapi oleh beberapa ketentuan di dalam UU Nomor 31 tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 30 tahun 2002.
4.
Peningkatan kerjasama internasional (bilateral/multilateral) dengan negara-negara lain harus dilaksanakan melalui beberapa bentuk perjanjian internasional yang dibolehkan menurut Konvensi PBB 2003. Peningkatan kerjasama tersebut menuntut reformasi birokrasi seluruh instansi terkait dalam pemberantasan korupsi.
5.
Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi yang telah disusun antar departemen dengan ratifikasi memerlukan kajian khusus terutama berkaitan dengan upaya meningkatkan kerjasama internasional dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi yang bersifat transnasional.
14
AMANDEMEN UUD 1945 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL * 0/eh : Prof. Dr: Ismail Suny, S.H., M.C.L. **
Latar Belakang Undang-undang Dasar Republik Indonesia telah mengalami penggantian-penggantian mendasar setelah mengalami tiga kali penggantian Undang-Undang Dasar, dari Undang-Undang Dasar 1945 yang berlaku pada 18 Agustus 1945 sampai 26 Desember 1949, Undang-Undang Dasar 1949 yang berlaku 27 Desember 1949 sampai 16 Agustus 1950. Undang-Undang Dasar 1950 mulai berlaku pad a 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959. Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959 menetapkan tidak berlakunya Undang-Undang Dasar 1950 dan berlakunya lagi Undang-Undang Dasar 1945. 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang telah didekritkan sejak 5 Juli 1959 itu setelah mengalami penggantian dengan Undang-Undang Dasar 1949 dan Undang-Undang Dasar 1950 berlaku lagi pada 5 Juli 1959. Sampai 10 Agustus 2002 Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami em pat kali amandemen, yaitu sejak amandemen pertama tahun 1999, amandemen kedua tahun 2000, amandemen ketiga tahun 2001 dan amandemen keempat tahun 2002 2 . Dapat dipersoalkan, apakah masih tepat menamakan perubahan-perubahan dari sejak amandemen pertama sampai amandemen keempat itu dengan penamaan Amandemen. bukan Penggantian Undang-Undang Dasar. Amandemen UUD 1945 mencakup sejumlah materi, sehingga hampir 3 kali lipat jumlah materi muatan naskah UUD •
Makalah disampaikan pada Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen diselenggarakan oleh BPHN Depatemen Hukum dan HAMR Rl, Jakarta 29-31 Mei
2006. ** Guru Besar Emiritus Hukum Tata Negara Yang Pertama Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara sa-Indonesia. 1 Lihat Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif. Suatu Penyelldikan Dalam Hukum Tata Negara. Jakarta: Aksara Baru, 1986. Cet. Ke 6. 2 Ismail Suny, KajianAtas Perubahan UUD 1945 dalam Jurnalllmu Pemerintahan, Edisi 17 Tahun
2002.
15
1945. Jika naskah asli UUD 1945 sebelumnya hanya memuat 71 butir ketentuan, maka setelah em pat kali perubahan, saat itu jumlah materi muatan UUD 1945 seluruhnya mencakup 199 butir ketentuan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa meskipun nama yang dipakai masih tetap UUD 1945, tetapi dari materi muatannya UUD 1945 pasca amandemen keempat tahun 2002, sa at ini boleh dikatakan merupakan konstitusi baru sama sekali dengan nama resmi "Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945." Pada kesempatan ini perkenankanlah saya menyampaikan ketentuan-ketentuan yang sangat penting yang telah kita lakukan dengan amandemen-amandemen itu. lni bukan berarti telah tercapai kesempurnaan dalam amandemen-amandemen itu. Oleh karena di waktu amandemen-amandemen itu dilakukan bunyi Pasal 37 naskah asli UUD 1945 adalah masih sangat rigids 3 , seperti berikut: 1.
Untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurangnya 2/ 3 daripada jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir.
2.
Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota yang hadir.
Bayangkanlah kesulitan mencari kesatuan pend apat di antara 700 anggota MPR dengan 12 fraksi-fraksinya itu. 4
1.
PEMBUKAAN
Sekurang-kurangnya 2 masalah yang dapat dikatakan "too hot to touch"sangat panas untuk disentuh dalam pembicaraan-pembicaraan amandemen UUD 1945, yaitu pembukaan (preambule) UUD 1945 dan bentuk Negara Kesatuan Indonesia ialah negara kesatuan. Mengenai pembukaan semua fraksi dapat menyetujui tetap sebagai bunyi pembukaan naskah asli UUD 1945. Dalam alinea pertama pembukaan, ditekankan peri-kemanusiaan yang merupakan inti hak asasi manusia dan diuraikan lebih lanjut dalam sepuluh ketentuan hak asasi manusia dalam Bab XA. Dalam alinea pertama ditekankan pula peri-keadilan yang menjadi inti dari negara hukum yang diundangkan dalam Bab I, pasal1 ayat (3) negara 3 KC. Whearae, Modem Constitution, London: Oxford University Press. 1951. 4 Lihat Ismail Suny. Kajian Atas Perubahan UUD 1945, op.cit.
16
Indonesia adalah negara hukum. Pasal 24 UUD 1945 menguraikan lebih lanjut dalam ayat (1 ): Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam alinea kedua, pembukaan mengundangkan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampai kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemedekaan negara Indonesia, yang mereka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Dalam alinea ketiga pembukaan dihubungkan dengan hal yang bersifat religius. Atas berkat Rahmat Allah yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan bangsa yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya. Alinea keempat pembukaan mengundangkan tujuan nasional dan tujuan internasional pemerintah negara Indonesia dengan kata-kata bersayap: Untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan keseiahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan. perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan serta dengan mewujudkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Alinea keempat itu selain memuat Tujuan Nasional dan Tujuan lnternasional pembentukan negara Indonesia dan mengundangkan bentuk negara dalam suatu susunan negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat (demokrasi), juga mengundangkan dasar negara Pancasila, yaitu : 1. Ketuhanan Yang Maha Esa, 2. Kemanusaiaan Yang Adil Dan Beradab. 3. Persatuan Indonesia, 4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/ Perwakilan serta 5. Dengan Mewujudkan Suatu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. ·
17
II.
BENTUK DAN KEDAULATAN
Bentuk: Negara Kesatuan Dari sekian ban yak penggolongan bentuk negara dalam teori-teori ketatanegaraan, Prof. Hans Kalsen berpendapat jika bagaimana tata hukum, legal order diciptakan yang dijadikan kriterium, maka lebih tepatlah untuk membedakan bentuk negara : Demokrasi atau Otokrasis. Dan ia memberi definisi masing-masing sebagai berikut: Suatu negera disebut suatu negara demokrasi bila prinsip-prinsip demokratis yang paling menentukan dalam organisasi-organisasinya dan suatu negara dinamakan suatu negara otokratis bila prinsip-prinsip otokratis yang paling menentukan. UUD negara Republik Indonesia tahun 1945 telah menyatakan bahwa bentuk negaranya adalah Kerakyatan atau Demokrasi. Amat sedikit pemimpin-pemimpin politik yang secara terus terang berani menyatakan bahwa mereka tidak menerima demokrasi. Hampir setiap negara, bagaimanapun sistem politiknya, mengklaim bahwa bentuknya adalah demokratis, tetapi kata benda "demokrasi" itu dikualifisir dengan ekspresi-ekspresi seperti "basic", "giuded", "paternal", "tradisional" atau 'people" sehingga kualitasnya "tyrannical" dan "authoritarian' 16 • Pas aI 1 ayat (1) mengundangkan negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik. Lawan dari negara kesatuan adalah negara federasi. Dalam buku saya Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, saya menjelaskan karakteristik suatu negara Federal dengan mengambil kriteria Prof. K.C. Wheare yang mengatakan: "asas federal adalah keseimbangan. kekuasaan-kekuasaan sedemikian rupa hingga baik pemerintah pusat, maupun pemerintah bagian-bagian, dalam suasana tertentu satu sama lain berderajat sam a serta bebas terhadap satu sam a lain." Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal1 ayat (1) menetapkan: "Negara Indonesia ialah negara kesatuan, yang berbentuk Republik" dan berdasarkan Pasal 18, Pasal 18 ayat (1) UUD Rl Tahun 1945, negara kesatuan itu dibagi atas daerahdaerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, 5 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, h. 284, Ismail Suny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Jakarta: Aksara Baru, 1984, cet. Ke-5. 6 Dell Gillete Hitchner and Carol Levine, Comparative Government and Polities, h. 25, Ismail Suny Mekanisme Demokrasi Pancasila, Jakarta: Aksara Baru, 1084, cet. Ke-5.
18
yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota ini mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Selanjutnya Pasal18 ayat (2) menyebutkan: Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (desentralisasi). Dalam ayat (3) disebutkan: Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Sedangkan dalam ayat (4) dinyatakan: Gubernur, Bupati dan Walikota masingmasing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemilihan secara demokratis itu telah diperinci dalam pasal 56 ayat 1: "Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil". Pembagian urusan pemerintahan daerah dalam UU No. 32 Tahun 2004 Pasal10 ayat (1), pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah (pusat). Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahanpemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluasluasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Urusan pemerintahan (pusat) yang menjadi urusan pemerintah sebagaimana yang dimaksud pad a ayat (1) meliputi: a.
Politik luar negeri.
b.
Pertahanan.
c. d.
Keamanan. Yustisi.
e.
Moneter dan fiskal nasional, dan
f.
Agama.
Selanjutnya ayat (4) menyatakan: dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemerintah menyelenggarakan sendiri dan dapat melimpahkan sebagian urusan
19
kepada perangkat pemerintah atau wakil pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada urusan pemerintahan daerah dan atau pemerintah.desa. Sedangkan dalam ayat (5) disebutkan: dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah di luar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pemerintah dapat: a.
Menyelenggarakan sendiri urusan pemerintahan.
b.
Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada gubernur selaku wakil pemerintah, atau
c.
Menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/ atau pemerintahan desa berdasarkan atas tugas pembantuan
Dengan pasal5 di atas, dim ana urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah di luar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemerintah pusat dapat menyerahkannya kepada gubernur selaku wakil pemerintah dan menugaskan sebagian urusan kepada pemerintah daerah dan/atau pemerintah desa berdasarkan atas tugas pembantuan. ltu berarti "kekuasaan yang selebihnya" (residuary power) diserahkan kepada pemerintah pusat, bukan pada pemerintah daerah. Dengan demikian ini berarti bahwa dalam pembagian kekuasaan menuju kearah unitarisme bukan kearah federalisme. Mutatis mutandis pasal 37 UU No. 32 tahun 2004 yang menetapkan pad a ayat (1) yang menetapkan gubernur yang karen a jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi yang bersangkutan. (2) Dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1), gubernur bertanggungjawab kepada presiden. Di sini lagi-lagi terbukti bahwa bukan kepada rakyatnya di daerahnya saja gubemur juga bertanggungjawab kepada presiden, sekurang-kurangnya dalam kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah 7 . Bentuk Republik "Bentuk negara baru", kata seorang ahli sejarah konstitusi bang sa lnggris6 , "yang dibangun oleh kaum revolusioner yang berhasil, dengan sendirinya semua berbentuk republik". Demikian pula pembentukpembentuk Undang-Undang Dasar 1945 yang revolusioner itu telah 7 Lihat Ismail Suny, RUU tentang PemerintahanAceh, Masukan Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum, Pan sus RUU tentang PemerintahanAceh, Ruang Komisi II DPR-RI, 28 Februari 2006. 8 JohnAHawgood, Modern Constitutions Since 1987, New York: D van Nostrand Company, 1939, h.12.
20
menetapkan dalam pasal 1 ayat (1) "Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik".
Kedaulatan Rakyat Undang-Undang Dasar 1945 dengan tegas menganut asas kedaulatan rakyat (volksouvereiniteit). Sendi negara itu tercantum dalam pasal1 ayat (2): Kedaulatan berada di tang an rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Dalam naskah asli UUD 1945 pasal ini berbunyi : Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. UUD negara Republik Indonesia tahun 1945 mengundangkan bahwa "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menu rut UndangUndang Dasar (pasal 1 ayat 2). Ajaran kedaulatan yang qianut dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 adalah kedaulatan yang pada umumnya ditafsirkan sebagai wewenang tertinggi yang menentukan segala wewenang yang ada dalam suatu negara 9 • Dalam UUD 1945 setelah amandemen terdapat beberapa pasal dalam hubungannya dengan kedaulatan rakyat ini. Pasai6A menetapkan presiden dan wakil presiden dipilih dalam pasangan secara langsung oleh rakyat. Pas a I 19 ayat ( 1) menetapkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum. Pasai22C ayat (1) menetapkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum, pasal 22 E ayat (2) menetapkan pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Negara Hukum Berbeda dengan naskah asli UUD 1945, yang tidak menempatkan negara hukum dalam pembukaan atau batang tubuh UUD 1945, tetapi dalam penjelasan UUD 1945. Demokrasi didasarkan atas jaminan rule of law, sebagai lawan rule by decree di bawah sistem otoriter. Bahwa UUD 1945 menetapkan Negara Indonesia adalah Negara Hukum dalam pasal 1 ayat (3), dapat pula dibuktikan dalam ketentuan-ketentuan dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 1945.
9 Bagi llmu Hukum Indonesia, istilah kedaulatan juga diberi arti Kekuasaan Negara Tertinggi, lihat Penjelasan UUD 1945 dalam naskah asli UUD 1945 mengenai Sistem Pemerintahan Negara, Ill.
21
A.
Sewaktu membicarakan alinea pertama pembukaan dengan menunjuk kepada ketentuan"peri-keadilan" yang berhubungan dengan negara hukum, yang diundangkan dalam pasal 1 ayat (3) Negara Indonesia adalah negara hukum. Seperti telah kita lihat, pasal 24 UUD 1945 menguraikan lebih lanjut dalam ayat (1): kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Begitupun Bab X A Hak Asasi Manusia, dalam pasal 28H ayat (2} menetapkan: Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Pasal 28 ayat ( 1) hak untuk hid up, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Pasal 28 I ayat (5) dinyatakan: Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi man usia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 28J ayat (2) menyatakan: Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
B.
Satang tubuh UUD 1945 menyatakan bahwa "Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut UndangUndang Dasar. Pasal 4 ayat (1), pasal 9 ayat (1): Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dangan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut : "Demi Allah saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.
22
KEKUASAAN PEMERINTAHAN NEGARA
Presiden dan Wakil Presiden a.
Kedudukan
Sebagaimana halnya sebelum amandemen UUD 1945, dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 4 menyatakan bahwa kekuasaan pemerintahan negara dipegang oleh Presiden Republik ·Indonesia. Dengan demikian Presiden Indonesia menjadi kepala eksekutif atau pimpinan yang sebenarnya dari eksekutif, seperti halnya Presiden Amerika Serikat.
b.
Kekuasaan Presiden
Menu rut salah seorang ahli pengetahuan politik, kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang mengenai pelaksaan undang-undang 10 • Dikatakan juga bahwa eksekutif menyelenggarakan kemauan negara. Dalam satu negara demokrasi, kemauan negara itu dinyatakan melalui badan pembentuk undang-undang. Tug as yang terutama dari eksekutif, tidak mempertimbangkan, tetapi melaksanakan undang-undang yang ditetapkan oleh badan legislatif. Tetapi dalam negara modern, urusan eksekutif adalah tidak semudah sebagai adanya pada masa-masa Aristoteles, oleh karena beraneka ragamnya tugas-tugas negara, diras;:1 pertu menyerahkan urusan pemerintahan dalam arti luas kepada tangan eksekutif dan tidak lagi dapat dikatakan, bahwa kekuasaan eksekutif hanya terdiri dari pelaksanaan undang-undang.
c.
Pemilihan Presiden
Dalam pasal 7 _naskah asli UUD 1945 hanya ditetapkan: Bab Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Kemudian pasal 8 naskah asli itu menetapkan : Jika Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia dig anti oleh Wakil Presiden sampai habis masa waktunya. Ketiadaan larangan maksimum masa jabatan ini menyebabkan Presiden Soekarno menjadi Presiden dari tahun 1945-1967 dan Presiden Soeharto menjadi Presiden dari tahun 1967-1998. Ada usahausaha untuk membatasi masa jabatan Presiden itu, antara lain dalam 10 Stephen Leacock, Elements of Plotocal Sciense, Boston, Houghton Mufflin Company 1921, h. 183.
23
buku saya "Mencari Keadilan" ditulis sebagai berikut: dengan sub judul Mempermasalahkan Pemilihan Presiden RP 1 . Surat kabar Kompas, Salemba 5 Juli 1977 mempermasalahkan Pemilihan Presiden Republik Indonesia, antara lain "Salemba" Menulis: Sebelum Pemilihan Umum 1977 berlangsung, Mintareja, S.H. sudah mencalonkan kembali Soeharto sebagai calon Presiden Rl mendatang. Calon Mintareja ini kemuqian dicanangkannya dan ditopang pula oleh Ali Murtopo serta Amir Murtono. Kemudian seusai Pemilu 1977; muncul petisi Dipo-Bambang, yang mencalonkan Ali Sadikin menjadi Presiden Rl. Salahkah itu? Tanya "Salemba" kepada Prof. Dr. Ismail Suny, S.H., M.C.L "Tidak" jawab Profesor Hukum Tata Negara FH-UI itu dengan tegas, dikatakannya "seorang warga negara boleh saja menyatakan pilihannya, dan itu memang dijamin oleh UUD 1945. Mengapa sampai Mintareja, S.H., Ali Murtopo, Amir Murtono, Dipo dan Bambang mencalonkan presidennya di luar forum MPR, Prof. Ismail Suny mensinyalir, kedaulatan MPR itu hanya berada di tangan masing-masing ketua fraksi saja. Sedangkan para anggota MPR tidak berani berpendapat apalagi untuk coba-coba mencalonkan Presiden menu rut seleranya sendiri. Padahal setiap anggota MPR berhak untuk mengajukan calon Presiden, jadi jangan sampai calon Presiden kita terbatas pada itu-itu saja ujar Kepala Pusat Studi Hukum Tata Negara FH-UI ini. Sehubungan dengan hal tersebut, Hariman Siregar, bekas ketua DM-UI dan bekas tahanan Malari (kini sudah dokter) sependapat dengan Prof. Suny. Sewaktu menjadi anggota MPR tahun 1967 lalu, Prof. Suny pernah mengusulkan agar MPR membuat suatu Ketetapan mengenai pemilihan presiden ketika itu 12 , "dengan tidak ditentukannya sampai berapa kali seseorang Presiden dapat dipilih kembali secara langsung atau tidak, telah memupuk kekuasaan yang tidak terbatas. Dan hal ini membuka kesempatan berulangnya jabatan-jabatan Presiden seumur hidup", katanya. Barulah setelah amandemen UUD 1945, pasal 6 A diundangkan: (1 ). Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat, dan UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan 11 Ismail Suny, Mencari Keadilan, Sebuah Otobiografi; Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982. 12 LihatPidato lsmil Suny, Pilihan Kita, Satu dari Dua: Otokrasi atau Demokrasi, dalam MPRS, Sidang lstimewa MPRS pada Tahun 1967, Penerbitan MPRS, Tahun 1972, No. 57, h. 170-173.
24
Umum Presiden dan Wakil Presiden telah diundangkan dan dilaksanakan pada pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004. Pasal 7 UUD 1945 menetapkan Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kern bali dalam jabatan yang sa rna hanya untuk satu kali rna sa jabatan.
Kementerian Negara Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 satu-satunya amandemen dalam pasal17 adalah ayat (4) yang menetapkan "pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang". Akibat adanya perubahan yang diadakan oleh Presiden Abdurrahman Wahid dengan meniadakan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial dalam kabinet Republik Indonesia, dirasa perlu adanya undang-undang mengenai Kementerian Negara. Pada waktu tulisan ini disiapkan sedang bertugas Panitia Khusus DPR mempersiapkan RUU tentang Kementerian Negara.
KEKUASAAN LEGISLATIF Dewan Perwakilan Rakyat a.
Susunan dan Keanggotaan
Pad a 10 Agustus 2002 Majelis Permusyawaratan Rakyat Rl telah menetapkan perubahan keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Khususnya mengenai pasal 2 yang berbunyi : Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. ltulah satu-satunya pasal dari perubahan keempat UUD 1945, bahkan dari semua perubahan pertama UUD 1945, kedua dan ketiga UUD 1945 yang mengalami perubahan dengan pemungutan suara. Hasil pemungutan suaranya itu adalah sebagai berikut: 13
Nama Fraksi Fraksi Fraksi
Fraksi PDIP P. Golkar Utusan Golongan
Tidak setuju 64
1 55
Setuju 80 126 1
Abstain 2
-
13 Ismail Suny, Kajian Atas Perubahan UUD 1945, Jumalllmu Pemerintahan, Edisi 7, tahun 2002.
25
Fraksi P3 Fraksi Utusan Daerah
-
Fraksi Kebangkitan Bangsa Fraksi Reformasi Fraksi TNI/Polri
-
Fraksi Fraksi Fraksi Fraksi
PBB KKI PDU PDKB
JUMLAH
2
-
58 52
-
44 44 37
-
-
-
12 9 8 4
-
122
475
3
-
-
1
-
Menurut pasal 19 (2) UUD 1945, Susunan Dewan Perwakilan Rakyat diatur dengan undang-undang. Undang-Undang No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat, pasal 16 mengundangkan : DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih berdasarkan hasil pemilihan umum. Pasal 17: (1) Anggota DPR berjumlah lima ratus lima puluh orang. (2) Keanggotaan DPR diresmikan dengan Keputusan Presiden. (3) Anggota DPR berdomisili di lbu Kota Negara Republik Indonesia Pasal 18: (1) Masa jabatan ~nggota DPR adalah lima tahun dan berakhir bersamaan pada saat anggota DPR yang baru mengucapkan sumpah/janji. b.
Kedudukan dan fungsi
Pasal24 menetapkan: DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara. Pasal 25 menetapkan fungsi DPR adalah : a.
Legislasi.
b.
Anggaran, dan
c.
Pengawasan.
26
Selain itu mempunyai hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pend apat (Pasal20 A ayat 2). Anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul atau pendapat serta hak imunitas (pasal 20 A ayat (3)), dan anggota DPR berhak mengajukan usul rancangan undang-undang (pasal 21).
Dewan Perwakilan Daerah Dalam masa pra amandemen, Utusan Daerah dalam MPR tidak dipilih langsung oleh rakyat, tetapi diangkat oleh presiden. Dan dalam masa awal reformasi berdasarkan UU No. 4/1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD, utusan daerah ditetapkan 135 orang yaitu 5 orang dari setiap daerah tingkat I juga dipilih langsung oleh rakyat, tetapi cara pemilihannya diatur dalam peraturan tata tertib DPRD I.
a
Susunan dan Keanggotaan
Menurut pasal 32 UU tentang Susunan dan Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat: DPD terdiri atas wakil-wakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum. Pasal 33: (1) Anggota DPD dari setiap provinsi ditetapkan sebanyak 4 orang. (2) Jumlah seluruh anggota DPD tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR. (3) Keanggotaan DPD diresmikan dengan Keputusan Presiden. (4) Anggota DPb berdomisili di daerah pemilihannya dan selama bersidang bertempat tinggal di lbukota negara Republik Indonesia. Pasal 34: (1) Masa jabatan anggota DPD adalah lima tahun dan berakhir bersamaan pada saat anggota DPD yang baru mengucapkan sumpah/janji.
b. Kedudukan dan Fungsi Pasal 40 menetapkan DPD merupakan perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga negara.
27
Pasal 41 menetapkan DPD mempunyai fungsi: a.
Pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pendapat.
b.
Pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tertentu.
C. Tugas dan Wewenang Pasal42: (1) DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang- . undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. (2) DPD mengusulkan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada DPR, dan DPR mengundang DPD untuk membahas sesuai tata tertib DPR. (3) Pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sebelum DPR membahas rancangan undang-undang dimaksud pad a ayat ( 1) dengan pemerintah. Pasal 43: ( 1) DPD ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diajukan baik oleh DPR maupun oleh pemerintah. (2) DPD diundang oleh DPR untuk melakukan pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pad a ayat (1) bersama dengan pemerintah pada awal pembicaraan tingkat I sesuai dengan peraturan tata tertib DPR. (3) Pembicaraan tingkat I sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan bersama antara DPR, DPD dan pemerintah dalam hal penyampaian pandangan dan pendapat DPD atas rancangan undang-undang, serta tanggapan atas pandangan dan pendapat dari masing-masing lembaga.
28
(4) Pandangan, pendapat dan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dijadikan sebagai masukan untuk pembahasan lebih lanjut antara DPR dan pemerintah. Pasal 44 (1) DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama. (2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk tertulis sebelum memasuki tahapan pembahasan antara DPR dan pemerintah. (3) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi bahan bagi DPR dalam melakukan pembahasan dengan pemerintah. Pasal 45: (1) DPD memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan. (2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis sebelum pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan. Pasal 46: (1) DPD dapat melakukan pengawasan pelaksanaan UndangUndang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan dan agama. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) merupakan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang. (3) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ·· ditindaklanjuti. Pasal 47: (1) DPD menerima hasil pemeriksaan keuangan negara dari Bad an Pemeriksa Keuangan untuk dijadikan bahan membuat pertimbangan bagi DPR tentang rancangan undang-undang yang berkaintan dengan APBN.
29
d.
Hak dan Kewajiban
Pasal 48: DPD mempunyai hak: 1.
Mengajukan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 ayat (1) kepada DPR.
2.
lkut membahas rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam pasal 43 ayat (1).
Pasal 49: Anggota DPD mempunyai hak: a. b.
Menyampaikan usul dan pendapat. Memilih dan dipilih.
c. d.
Membela diri. lmunitas.
e.
Protokoler dan keuangan dan administratif.
Pasal 50: Anggota DPD mempunyai kewajiban:
30
a.
Mengamalkan Pancasila.
b.
Melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan mentaati segala peraturan perundangundangan.
c.
Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
d.
Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia.
e.
Memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat.
f.
Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat daerah.
g.
Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi kelompok dan golongan.
h.
Memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih dan daerah pemilihannya.
i.
Mentaati kode etik dan peraturan tata tertib DPD, dan
j.
Menjaga etika dan norma adat daerah yang diwakilinya.
·Pasal 51: Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 41, pasal42, pasal43, pasal44, pasal45, pasal46, pasal47, pasal 48, pasal 49 dan pasal 50 diati.Jr lebih lanjut dalam peraturan tata tertib DPD. Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam masa demokrasi Pancasila, berdasarkan ketetapan VIII/ 1973 jo. UU No. 15/1969 jo. UU No. 4/1975 tentang Pemilu dan jo. UU No. 16/1969 jo. UU No.5/1975 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, terlihat kedaulatan belum di tangan rakyat dan belum dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, oleh karena MPR hanya terdiri dari lebih kurang 40% dari hasil kedaulatan rakyat dari pemilu dan lebih 60% hasil pengangkatan. Pengangkatan oleh Presiden adalah tindakan melanggar Undang-Undang Dasar (inkonstitusional). 14 Dalam masa reformasi (awal) berdasarkan undang-undang Republik lndoneisa No.4/1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD, walaupun nama undang-undang itu jelas menyebutkan "kedudukan" tetapi tidak satu pasalpun yang mengatur kedudukan MPR dalam UU itu. Menurut pasal 2 Undang-undang itu, anggota MPR adalah 700 orang dengan perincian: a.
Angota DPR sebanyak 500 orang.
b.
Utusan Daerah sebanyak 135 orang yaitu 5 (lima) orang dari setiap daerah tingkat I.
c.
Utusan golongan sebanyak 65 orang.
Utusan daerah dipilih oleh DPRD I. Tata cara pemilihan anggota MPR utusan daerah itu diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD I. DPR menetapkan jenis dan jumlah wakil dari masing-masing golongan. Utusan golongan itu diusulkan oleh golongan masing-masing kepada DPR untuk ditetapkan. Cara penetapan anggota MPR utusan golongan 14 Lihat Ismail Suny, Mencari Keadilan, Sebuah Otobiografi, Jakarta, op.cit, hal. 517.
31
itu diatur dalam peraturan tata tertib DPR. Dalam pra amandemen UUD 1945, MPR menetapkan UUD dan Garis-Garis Besar Daripada Haluan Negara (pasal 3) dan mengubah UUD (pasal 37) 15 •
a. Susunan dan Kedudukan Menurut pasal 2 UU tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum. Keanggotaan MPR diresmikan dengan Keputusan Presiden (pasal (3)). Masa jabatan anggota MPR adalah lima tahun dan berakhir bersamaan pada saat anggota MPR yang baru mengucapkan sumpah/janji (Pasal 4)
b. Kedudukan Menu rut pasal 10, MPR merupakan Lembaga Permusyawaratan Rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara.
c. Tugas dan Wewenang Berdasarkan pasal 11 MPR mempunyai tugas dan wewenang: a.
Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.
b.
Melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan hasil pemilihan umum dalam sidang paripurna MPR.
c.
Memutuskan usul DPR berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi untuk memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden dalam mas a jabatannya setelah presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan untuk menyampaikan penjelasan di dalam sidang paripurna MPR.
d.
Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya.
e.
Memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diajukan Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya selambat-lambatanya dalam waktu enam puluh hari.
15 Lihat Ismail Suny, Kedudukan MPR, DPR, dan DPD PascaAmandemen UUD 1945, makalah Disampaikan pad a Seminar Sistem Pemerintahan Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945. Diselenggarakan oleh Bad an Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM Rl, Bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya dan Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan HAM Provinsi Jawa Timur, Surabaya, 5-10 Juni 2004.
32
f.
Memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya, dari dua paket calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang paket cal on Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan sebelumnya sampai habis masa jabatannya selambatlambatnya dalam waktu tiga puluh. hari.
g.
Menetapkan peraturan tata tertib dan kode etik MPR.
d.
Hak dan Kewajiban
Pasal12 menetapkan: Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 11, Anggota MPR mempunyai hak: a.
Mengajukan usul perubahan pasal-pasal Undang Undang Dasar;
b.
Menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan keputusan;
c.
Memilih dan dipilih;
d.
Membela diri;
e.
lmunitas;
f.
Protokoler, dan
g.
Keuangan dan administratif.
Tata cara penggunaan hak sebagaimana dimaksud pad a ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib MPR. Pasal 13 mengundangkan anggota MPR mempunyai kewajiban: a. b.
Mengamalkan Pancasila; Melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan;
c.
Menjaga keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia dan kerukunan nasional;
d.
Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan; dan Melaksanakan peranan sebagai wakil rakyat dan wakil daerah.
e.
33
HARAPAN DAN TANTANGAN IMPLEMENTASI UU NO. 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA* 0/eh : Prof. Dr. Komariah Emong Sapardjaja, S.H. ** Pendahuluan Ketika diundangkan Undang-undang No.7 tahun 2005 yang meratifikasi Konvensi PBB tentang Anti Korupsi, tumbuh harapanharapan baru bahwa korupsi di Indonesia akan segera dapat diberantas. Harapan yang terutama ialah kembalinya uang hasil korupsi yang ditanam atau dibawa kabur ke luar negara Rl, untuk dinikmati oleh para koruptor dan cs nya, sambil melihat secara perlahan-lahan negaranya sendiri menuju kebangkrutan. Dengan segala suka cita para koruptor tersebut melihat bertambahnya penduduk Indonesia yang miskin, busung lapar, dan secara keseluruhan negaranya sendiri berutang banyak hanya untuk melanjutkan pembangunan Indonesia yang berjalan tertatihtatih. Para koruptor itu kemudian memutihkan hasil korupsinya, mengirim ke Indonesia sebagai charity, dan jadilah mereka dermawan yang diagungkan. Akibatnya, sang at sulit bagi kita semua, bahkan bagi para penegak hukum sekalipun, untuk menilai apakah uang yang didermakan tersebut sebagai benar-benar keluar dari hati yang tulus ataukah merupakan bagian dari pemutihan uang haramnya. Undang-undang No. 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Masalah Pidana, memberikan harapan baru bahwa praktik-praktik korupsi dan pencucian uangnya, akan segera dapat diberantas, dan khususnya uang-uang yang dibawa kabur segera dapat dibawa kembali ke Indonesia. Tidak masalah itu saja, tetapi harus berikut orangnya yang akan dimintai pertanggungjawaban. Undang-undang ini bukan hanya untuk memberantas kejahatan berat seperti korupsi dan pencucian uang, tetapi sekaligus bagi kejahatan berat lainnya seperti yang dikategorikan dalam Konvensi Palermo Tahun 2000, yang beberapa protokolnya sudah kita ratifikasi. •
Makalah disampaikan pada Seminar Tentang Bantu an Timbal Balik Dalam Masalah Pidana diselenggarakan oleh BPHN Departemen Hukum dan HAM Rl beke~asama dengan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dan KantorWilayah Oepartemen Hukum dan HAM Rl Provinsi Jawa Barat, Bandung 29-30 Agustus 2006. ** FakultasHukumUNPAD. •
35
Undang-undang ini, di samping memberikan harapan baru pemberantasan kejahatan transnasional, tetapi sekaligus memberikan tantangan-tantangan baru terhadap kinerja aparat penegak hukum Indonesia, karen a sifat internasionalnya lebih kental, juga karen a aparat penegak hukum Indonesia mung kin akan menerima permintaan bantuan serupa dari pihak luar berkenaan dengan penyidikan, penuntutan, dan bantu an lainnya seperti tercantum dalam pasal 3 UU No.1 /2006 terse but. Selanjutnya apabila meneliti UU No. 1/2006 tersebut, maka tantangan baru yang akan dihadapi lebih banyak kepada masalah-masalah prosedural, satu sam a lain karena perbedaan sistem peradilan. Secara substansial mungkin hanyalah perbedaan penafsiran dari kejahatan berat yang diminta.
Tantangan 1.
Hambatan yang akan sering muncul, baik ketika meminta bantuan maupun menerima bantuan adalah kinerja birokrasi Polri dan Kejaksaan Agung dan KPK (khusus untuk Tindak Pidana Korupsi) adalah pelaksana lapangan yang mengetahui benar apa dan siapa yang perlu dimintakan bantuan. Tetapi berdasarkan pasal9, Menteri Hukum yang dapat mengajukan langsung permintaan bantuan langsung kepada negara asing. Hal ini berarti bahwa ada prosedur formal (administratif/birokratis) yang harus ditempuh oleh Kapolri dan Kejagung atau KPK. Tidak disebutkan apakah permintaan bantuan akan langsung diteruskan, ataukah Menteri dapat menyeleksi terlebih dahulu permintaan bantuan tersebut. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa di antara ketiga instansi tersebut perlu sebuah kesepakatan tertentu setidak-tidaknya komitmen yang sama tentang hal pentingnya permintaan bantuan.
2.
Sangat-sangat penting karena akan menjadi masalah besar dan tidak saling menuding nantinya adalah tentang pembiayaan:
36
a.
Dihubungkan dengan pasal55, tentang pembiayaan, khususnya ketika Indonesia meminta bantuan, kepada siapakah biaya tersebut dibebankan. Disebutkan dalam pasal tersebut akan menjadi beban negara (Indonesia), tetapi pos/mata anggaran yang mana (Menteri Hukum dan HAM?) Hal ini memerlukan Juknis lebih lanjut.
b.
-nya no.4
3.
Dikaitkan dengan pasal 56 tentang INTERPOL ada kemungkinan benturan prosedural dan kepentingan, yang juga memerlukan petunjuk-petunjuk teknis, berhubungan dengan pengalaman POLRI yang telah mempunyai pengalaman dalam INTERPOL. Prosedural INTERPOL lebih memudahkan karena hanya melibatkan satu lnstansi saja, sedangkan prosedur permintaan bantuan yang diatur oleh UU No.1/2006 ini melibatkan beberapa instansi.
4.
Juga pembiayaan yang berkenaan dengan pasal11 (mencari dan mengidentifikasi orang), pasal 12 dan seterusnya (mendapatkan alat bukti), Pasal 14 dst. (mengupayakan kehadiran orang di Indonesia) dan lain-lain bantuan. Demikian juga sebaliknya Jika terjadi Permintaan Bantuan (Bab Ill), karena di lapangan yang akan bekerja adalah Polri dan Kejaksaan Agung atau KPK.
5.
Demikian pula mengenai upaya menghadirkan orang. Siapakah yang menentukan orang yang dimaksud? Hal ini dengan pasal 16 yang tidak mengancamkan sanksi bagi seseorang yang diminta bantuan tetapi tidak bersedia memenuhi permintaan tersebut Selain itu diperlukan penilaian tentang orang yang akan diminta kehadirannya di Indonesia. Mungkin akan terjadi bahwa orang yang diminta datang tersebut ternyata tidak memenuhi kualifikasi yang diinginkan. Oleh karena itu diperlukan prosedur khusus untuk menentukan orang atau orang-orang yang akan diminta kehadirannya di Indonesia. Masalah ini berkaitan dengan penilaian tentang orang itu. Siapa yang berhak melakukan penilaian? Apakah Menteri akan selalu langsung menerima pengajuan dari Polri, Kejagung atau KPK?
6.
Masalah tersebut di atas akan berdampak pad a ketentuan seperti yang diatur dalam pasal 17 dan 18, karena orang tersebut mempunyai kekebalan hukum tertentu. Hal ini perlu diatur sedemikian rupa sehingga kedatangan orang yang diminta kehadirannya di Indonesia tidak sia-sia karena kemungkinan besar orang tersebut juga mempunyai kepentingan pribadi tertentu.
7.
Hal yang sama akan terjadi dengan penilaian permintaan bantuan seperti yang dimuat dalam pasal 19. Untuk hal ini pihak Indonesia harus terlebih dahulu mempelajari hukum prosed ural yang berlaku di negara yang diminta. Biasanya juga diperlukan peranan Departemen Luar Negeri.
8.
Pelaksanaan pasal26 dan pasal40, memerlukan peranan Ditjen lmigrasi. Kesalahan prosedural yang dapat membawa akibat
37
kaburnya orang yang sedang menjalani penahanan, membawa beban dan penilaian terhadap kinerja aparat Rl oleh negara yang diminta. 9.
Pelaksanaan Permintaan Bantuan kepada Pemerintah Republik Indonesia, mempunyai masalah yang sama dengan hal-hal disebut di atas. Polri dan Kejagung sebagai pelaksana di lapangan perlu diberikan perhatian yang lebih besar, khususnya mengenai rincian tugasnya. Akan terjadi benturan kepentingan pad a beban tug as di instansi tersebut, karena pelayanan terhadap permintaan bantuan juga memerlukan SDM tersendiri, di samping tekanan-tekanan yang akan diperoleh dari pihak negara peminta. Unsur-unsur tindak pidana yang diminta yang mungkin berbeda dengan unsur-unsur yang dirumuskan dalam perundang-undangan pidana Indonesia, dapat menimbulkan permasalahan tersendiri.
10. Be ban pekerjaan aparat di lapangan (Polri dari Kejagung) akan lebih besar apabila negara peminta mempunyai posisi tawar yang lebih kuat. Akan terjadi diskriminasi dalam pelaksanaan tugas. Mungkin hal-hal terurai di atas telah diuraikan pula oleh pemakalahpemakalah terdahulu yang mempunyai tinjauan khusus di bidang masingmasing. Walaupun demikian masih saja terdapat hal-hal yang perlu dipertimbangkan antara lain: 1.
Kesiapan aparat penegak hukum Indonesia memahami UndangUndang yang baru ini. Seperi disebutkan di atas sifat internasionalnya yang lebih kental memerlukan sosialisasi undang-undang ini terlebih dahulu;
2.
Justru karena sifat internasionalnya inilah menumbuhkan beban kepada Menteri Hukum dan HAM untuk juga menghimpun dan menyusun petunjuk teknis bagi pelaksanaaan di lapangan nanti, baik bagi permintaan yang diajukan oleh Indonesia, maupun ketika Indonesia menerima permohonan dari negara lain;
3.
Menteri Hukum dan HAM segera menghimpun peraturan perundangundangan di beberapa negara yang mempunyai kemungkinan besar akan menjadi negara yang diminta bantuan, agar tidak terjadi kesalahan prosedural ketika permintaan diajukan oleh Indonesia;
38
4.
Menteri Hukum dan HAM mempunyai tugas untuk meningkatkan pemahaman prinsip prinsip hukum internasional bagi kalangan penegak hukum;
5.
Konvensi Palermo 2000 beserta protokolnya yang bel urn di ratifikasi harus segera diratifikasi dan mensosialisasikannya kepada seluru~ penegak hukum;
6.
Menteri Hukum dan HAM harus mempersiapkan anggaran biaya untuk menindaklanjuti permasalahan yang akan timbul akibat permohonan bantuan oleh Indonesia;
7.
Bersama-sama dengan pihak Kepolisian dan Kejaksaan Agung perlu segera menyusun skala prioritas permintaan bantuan, khususnya tentang recovery asset, mengingat begitu banyaknya hasil korupsi yang dilakukan di Indonesia yang telah ditanam di luar negeri;
8.
Menteri Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung dan POLRI tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap perkara yang akan diajukan permintaan bantuan, baik karena ada tekanan politik maupun karena "tebang pilih";
9.
Menteri Hukum dan HAM harus siap menolak permintaan bantuan, sekalipun datangnya dari negara yang posisi tawarnya lebih besar, sekalipun ada tekanan-tekanan internasional. Bandung, 29 Agustus 2006
39
KEDUDUKAN DAN PERAN HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL .SAAT INI DAN ARAH KECENDERUNGANNYA Dl MASA DATANG* 0/eh: Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M. 1 Bismillahhir-Rahmanir-Rahim;
A.
Mukadimah
Sungguh bukan tidak pada tempatnya jika sebelum membahas topik di atas, pemakalah mengawali bentangan kertas kerjanya dengan terlebih dahulu menaikkan puji dan syukur ke hadirat Allah rabb a/'izzati, Dzat yang telah memberikan nikmat dan karunia yang tidak terhingga kepada kita, keluarga kita, bangsa dan negara kita tercinta "Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)." Sholawat dan salam, semoga selalu dilimpahkan kepada nabi dan rasul Nya, Muhammad saw. beserta segenap keluarga, sahabat dan ummatnya. Berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, kita hid up dan berpenghidupan di NKRI ini; dan hanya berkat Sunnah Allah dan tuntutan rasul Nya pula, maka hukum Islam tetap eksis di segenap penjuru dunia, termasuk untuk tidak mengatakan terutama di Negara Hukum Indonesia (NHI). Kita berpengharapan, semoga seminar yang digelar di tengahtengah tuntutan deras adanya kepastian hukum dan penegakkannya, ini benar-benar mampu memberikan arah yang jelas. Selanjutnya, lnsya Allah tetap relevan manakala di bagian awal tulisan ini, pemakalah menyampaikan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada panitia penyelenggara umumnya, dan kepada Kepala BPHN (Prof. Dr. H. Abdul Gani Abdullah, S.H.) khususnya, yang melalui suratnya Nom or G-UM.02.1 0-120, memohon kesediaan pemakalah untuk menyajikan makalah berjudul "Kedudukan dan Peran Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional Saat ini dan Arah *
Makalah disampaikan pada Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen diselenggarakan oleh BPHN Departemen Hukum dan HAM Rl, Jakarta 29-31 Mei
2006. 1 Pemakalah adalah Guru Besardan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
41
Kecenderungannya di Masa Datang", dalam "Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 HasiiAmandemen", yang diselenggarakan oleh BPHN Departemen Hukum dan HAM Rl. Seminar hukum seperti ini, jelas teramat penting, bukan saja karena negara kita adalah negara hukum, melainkan, lebih dari itu, juga terutama disebabkan hampir atau bahkan semua sektor kehidupan manusia dalam konteksnya yang manapun (kehidupan individu dan keluarga, kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan kehidupan beragama sekalipun), selalu memerlukan kehadiran atau campurtangan hukum. Dan, mengingat kehidupan manusia itu demikian dinamis untuk tidak mengatakan selalu berubah-ubah, juga disebabkan persoalan yang dihadapi selalu saja bergulir dari waktu ke waktu dari tempat ke temp at. Pada sisi yang lain, kehadiran hukum apalagi kepastian dan penegakannya, selalu diidam-idamkan masyarakat. Sebab, mustahil ada kehidupan yang normal tanpa ada kepastian hukum dan penegakannya. Di sinilah terletak arti penting dari pernyataan Umar bin al-khaththab r.a., yang menyatakan percuma saja berbicara tentang kebenaran dan keadilan yang tidak ada realisasinya. La-yanfa'u takallumun bihaqin /anafadza-lah2.
B. Batasan Tentang Kata-kata Kunci Kedudukan berasal dari kata "duduk". Kata duduk memiliki banyak arti. Di antaranya (1) meletakkan tubuh atau terletak tubuhnya bertumpu pada pantat (ada bermacam-macam cara dan namanya seperti bersila dan bersimpuh), (2) keadaan atau hal ihwal yang sebenarnya, (3) letak suatu benda. Sedangr<:an kedudukan berarti: (1) tempat kediaman, (2) tempat pegawai (pengurus perkumpulan dan sebagainya) tinggal untuk melakukan pekerjaan atau jabatannya, (3) letak atau tempat suatu benda, (4) tingkatan atau martabat, (5) keadaan yang sebenarnya, (6) status (keadaan atau tingkatan orang, badan atau negara, dan sebagainya3. Peran, antara lain berarti seperangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat. Peranan adalah bag ian dari tug as. utama yang harus dilaksanakan. Pemeranan 2 Ibn Qayyim ai-Jawziyyah, /'lam a/-Muwaqi'in 'an Roabb ai'Aiamin, Jil.1, (t.t), Beirut-Lubnan. Dar ai-Fikr, hal. 85. 3 Tim Penyusun Kamus, Kamus BesarBahasa Indonesia, 1989 (Jakarta: Balai Pustaka), him. 214.
42
artinya proses, cara, perbuatan memahami perilaku yang diharapkan dan dikaitkan dengan kedudukan seseorang 4 . Hukum, yang secara literal berarti menempatkan/meletakkan sesuatu pada tempatnya, adalah "Khittah Allah yang berhubungan dengan tindakan orang-orang dewasa (af at al-mukallafin), baik itu dalam bentuk iqtidha (tuntutan) maupun takhyir (pilihan) dan wadha' (ketetapan) 5 . Sistem adalah seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. Atau, susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas dan sebagainya 6 • Nasional, artinya kebangsaan, atau bersifat sendirF dalam kaitan ini Indonesia. Saat ini, maksudnya ialah yang kini tengah berlaku/berjalan. Arah, maksudnya adalah jurusan/tujuan. Sedangkan kecenderungan, yang berasal dari kata cenderung (agak miring/condong), artinya adalah kecondongan (hati), kesudian, atau keinginan (kesukaan) akan sesuatu8 (dalam konteks ini hukum). Adapun yang dimaksud dengan masa yang akan datang ialah masa-masa yang akan tiba, besok, minggu depan, bulan depan, tahun depan, dan begitulah seterusnya. Berdasarkan pemaparan sing kat tentang arti dari masing-masing kosakata yang menjadi kata-kata kunci pada judul makalah di atas, maka yang hendak dikemukakan dalam makalah ini ialah di mana letak dan ·bagaimana keadaan sistem hukum Islam dalam sistem hukum Indonesia saat ini, dan bagaimana kecenderungannya di masa yang akan datang. Pembahasan ini diharapkan mampu menjawab sejumlah pertanyaan, terutama tiga pertanyaan induk di bawah ini: Pertama, bagaimana sebenarnya keberadaan atau tepatnya posisi hukum Islam dalam konteks sistem hukum negara bangsa (nation state) Indonesia? Kedua, apa dan bagaimana peran yang "dimainkan" hukum Islam di negara ban_gsa (Indonesia) sekarang ini? 4. Ibid, him. 667. 5 As-Syaukani (Muhammad bin Ali bin Muhammad), lrsyadul-Fuhuk ila Tqhqiqi/-Haqqi min 'llmiiUshul, (t.t.), (Beirut-Lubnan: Dar ai-Fikr), h. 6; Wahbah az-Zuhay/i, Ushu/ul-Fiqh ai-ls/ami, 140 Hf1986 M (Beirut-Lubnan: Dar ai-Fikr), jil. 1 h. 37 -38; Muhammad ai-Khudhari Bek, Ushul Fiqh, 1401 Hf1969 M (Beirut-Lubnan: Dar ai-Fikr, h. 18; Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (t.t), (Beirut-Lubnan: Dar ai-Fikr, h.26; Amir Abdul Aziz, Ushufui-Fiqh ai-ls/ami, 1418 Hf1997 M (aiQahirah: Dar as-Salam), jil1, h. 39. 6 Kamus Besar Bahasa Indonesia, op., cit., him. 848. 1. Ibid, hlm.609. 8 Ibid, hlm.161.
43
Ketiga, ke arah mana sesungguhnya kecenderungan hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional di negara bangsa Indonesia di masa-masa mendatang? Guna menjawab ketiga pertanyaan di atas, baik sendiri-sendiri dan lebih-lebih secara keseluruhan, tentu memerlukan pendekatan yang tidak saja bersifat interdisipliner dan komparatif (comparative study), akan tetapi juga menuntut pendekatan yang bersifat holistik. Padahal, kita tahu bahwa untuk melakukan pendekatan studi semacam itu bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah, lebih-lebih ketika dihadapkan dengan kesediaan waktu yang sangat terbatas.
C. Sekilas Tentang NKRI, NHI dan SHNI Hampir atau bahkan semua masyarakat hukum Indonesia tahu bahwa selama empat tahun berturut-turut (1999-2002), bangsa Indonesia telah melakukan amandemen konstitusinya sebanyak em pat kali yakni tahun 1999, 2000,2001 dan 2002. Peribahasa kita menyatakan "Sekali banjir, sekali tepian berubah," Demikianlah sekali terjadi reformasi, sekali pula terjadi pembangunan hukum. Reformasi tersebut ditujukan untuk membangun kehidupan bangsa yang demokratis, berkeadilan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dengan menempatkan hukum sebagai pemegang peran yang utama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara 9 . Amandemen Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tentu memiliki implikasi yang sangat luas dan meliputi hampir atau bahkan semua bidang. Termasuk untuk tidak mengatakan terutama dalam bidang hukum dan ilmu hukum. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan juga mempengaruhi pemahaman terhadap teks maupun konteks istilah-istilah dalam ilmu hukum (recht staal) yang lazim digunakan dalam ilmu hukum. Terutama yang terkait erat dengan tulisan ini yakni: "Negara Kesatuan Republik Indonesia" yang lazirn disingkat dengan NKRI, Negara Hukum Indonesia (NHI) dan Sistem Hukum Nasionallndonesia (SHNI) meskipun singkatan dari dua istilah yang terakhir (NHI dan SHNI) belum biasa digunakan apalagi dipopulerkan. Adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang m·enegaskan bahwa "Negara Indonesia ialah Negara 9 Ismail Suny, "lmplikasi Amandemen UUD 1945 Terhadap Sistem Hukum Nasional", dalam Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM Rl, 2003, Seminar Pembangunan Hukum Nasional VII, Bali 14-18 Juli 2003, him. 3.
44
Kesatuan yang berbentuk Republik" dan "Negara Indonesia adalah negara hukum" 10 Sedangkan sebutan "Sistem Hukum Nasional" atau Sistem Hukum Nasionallndonesia, lebih banyak dikenal dalam literatur · ilmu hukum, dan tidak dijumpai di dalam naskah UUD 1945 sendiri, baik sebelum maupun setelah diamandemen. Sebagai negara hukum, Indonesia tentu harus mendasarkan segala sesuatunya terhadap hukum, termasuk atau bahkan terutama dalam hal-hal yang berhubungan dengan tata kehidupan warga negaranya apalagi dalam konteksnya yang sangat luas. Hanya saja, konteks Indonesia sebagai negara hukum, bolehjadi akan mengalami "kesulitan" tersendiri atau bahkan tidak mustahil menimbulkan "kekaburan" manakala kata "hukum" yang disebutkan di atas dihubungkan dengan "hukum tertulis" yang "menjadi tanda ciri dari hukum modern yang harus mengatur serta melayani kehidupan modern" 11 • Lebih-lebih ketika kata "hukum tertulis" digunakan untuk pengertian yang sempit yaitu peraturan perundang-undangan. Permasalahan akan semakin kompleks manakala sistem hukum diterapkan menuju ke arah kesatuan hukum suatu bangsa yang lazim dikenal dengan sebutan sistem hukum nasional (SHN) atau tepatnya Sistem Hukum Nasionallndonesia (SHNI). Apa yang dimaksud dengan "Sistem Hukum Nasional Indonesia" (SHNI), hingga saat ini sesungguhnya masih terus menjadi perbedaan dan bahkan perdebatan di kalangan ahli-ahli hukum Indonesia sendiri. Baik dalam hal definisi atau formulasinya, maupun dalam hal ruang lingkup keberlakuan dan atau pemberlakuannya. Terutama ketika dihubungkan dengan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di satu pihak dan kemajemukan sistem hukum yang berlaku di Negara Hukum Indonesia (NHI) di pihak lain. Kompleksitas terminologi hukum nasional akan semakin bertambah "rumit" ketika dihubungkan dengan konsep otonomi daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Demikian pula dengan terminologi peraturan perundang-undangan berikut hierarkinya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nom or 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 12 . 10 Lihat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Pasal1 ayat (1) dan ayat (3). 11 Satjipto Rahardjo, llmu Hukum, 1991 (Bandung : PT Citra Aditya Bakti), him. 72. 12 Perhatikan UU Rl No. 10 Tahun 2004, Pasal1 dan Pasal 7.
45
Guna menghindari kemungkinan tumpang tindih apalagi salah tafsir seperti yang pernah diin~tkan sebelum ini, maka ada baiknya jika dalam tulisan ini ditegaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Negara Hukum Indonesia (NHI) dan Sistem Hukum Nasionallndonesia (SHNI). Hal ini terasa penting, selain untuk menghindari kemungkinan salah tafsir, juga dimaksudkan untuk menggunakan istilah-istilah hukum tersebut secara proporsional dan setepat mungkin. Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang biasa disingkat dengan NKRI, seyogianya digunakan dalam konteks kewilayahan negara. "Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hakhaknya ditetapkan dengan undang-undang 13 . lstilah "Negara Hukum Indonesia" (NHI), digunakan dalam konteks hubungan negara (pemerintah) dan atau warga negara Indonesia yang harus didasarkan kepada hukum. Sedangkan Sistem Hu"kum Nasionallndonesia adalah sistem hukum yang berlaku atau diberlakukan di seluruh wilayah negara Indonesia. Khusus tentang Sis.tem Hukum Nasional Indonesia (SHNI), kita bisa mengacu kepada pengertian bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia. "Bahasa Negara ialah Bahasa lndonesia 14 . Di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri, yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-baik (misalnya bahasa Jawa, Sunda, Madura dsb). Bahasa-bahasa itu akan dihormati dan diperlihara juga oleh negara. Bahasa-bahasa itu pun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup. 15 Di Indonesia, terdapat sekitar 726 bahasa daerah 16 di sam ping bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara atau bahasa Nasional. Dalam pada itu kitapun tahu bahwa hukum, paling tidak sebagian daripadanya, tergolong atau digolongkan ke dalam bentuk kebudayaan. Jika bahasa-bahasa daerah sebagai kebudayaan bisa dihormati dan dibolehkan hidup, maka sejatinya hukum yang berlaku secara nasional atau bahkan "lokal" di daerah-daerah seperti akan dibahas nanti, juga seyogianya bisa dihormati dan dinyatakan sebagai bagian dari kebu13 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 25 A. 14 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, BAB XV Pasal36. 15 Lihat dan renungkan naskah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (s~belum amandemen), bagian penjelasan Pasal 36. 16 Dendy Sugono, Dinamika Bahasa dan Sastralndonesia/Melaya Peneral Jiwa Bangsa, Makalah, 2005 (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional), him. 2.
46
dayaan Indonesia. Termasuk tentunya hukum agama dalam konteks ini hukum Islam.
D. Hukum Islam: Pengertian, Sumber dan Ruang Lingkupnya. Di atas telah dikemukakan secara lug as, bahwa pengertian hukum dalam Islam ialah Khithab Allah yang berhubungan dengan tindakan orang-orang dewasa (al-mukallafin), baik itu dalam bentuk iqtidhal tuntutan (perintah atau larangan), maupun dalam bentuk takhyirlpilihan (untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu) dan atau wadha' (ketetapan yang dibenarkan). 17 Seperti tersurat dalam definisinya, hukum dalam konteks Islam adalah Khitab Allah (titah ilahi), sekurang-kurangnya dalam bentuk kaidah-kaidah atau norma-norma dasar (basic norms) yang bersifat umum dan global. Bahkan, lebih dari itu juga tidak sedikit yang bersifat rinci atau detail, terutama yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari dan berkenaan dengan ihwal kehidupan individu dan keluarga (al-ahwal as-syakhshiyyah; family law). Sedangkan untuk kehidupan yang bersifat umum dan global, pada umumnya hukum Islam hanya meletakkan norma-norma dasar yang perumusan dan penjabarannya diserahkan kepada kesepakatan sosial (lokal, nasional, regional dan internasional) yang harus dihormati dan dijunjung tinggi manakala norma itu telah disepakati oleh masyarakat hukum itu sendiri. 18 Titah Allah swt., itu tidak lain dan tidak bukan, adalah wahyu yang termaktub dalam al-qur'an ai-Karim, terutama yang berisikan normanorma hukum baik yang bersifat normatif terapan, dan lebih-lebih yang berbentuk norma-norma baku sebagai pemandu. Di dalam ai-Qur'an, dijumpai ratusan hingga seribuan ayat-ayat hukum (ayat al-ahkam), atau sekurang-kurangnya puluhan sampai ratusan ayat-ayat hukum. ltulah sebabnya mengapa ai-Qur'an, seperti disepakati ummatan mus/imatan 19 , diposisikan sebagai sumber utama dan pertama hukum Islam. 17 As-Syaukani (Muhammad bin Ali bin Muhammad), /rsyadul-Fuhuk Ha Tqhqiqii-Haqqi min 1/mi/-Ushu/, (t.t.), (Beirut-Lubnan: Dar ai-Fikr), h. 6; Wahbah az-Zuhayli, Ushu/ui-Fiqh ails/ami, 1406 H/1986 M (Beirut-Lubnan: Dar ai-Fikr), jil1, h. 37 -38; Muhammad ai-Khudhari Bek, Ushului-Fiqh, 1401 H/1969 M (Beirut-Lubnan: Dar ai-Fikr) h. 18; Muhammad Abu Zahrah, Ushului-Fiqh, (t.t) (Beirut-Lubnan: Dar ai-Fikr ai-Arabi), h.26; Amir Abdul Aziz, Ushu/ui-Fiqh ails/ami, 1418H/1997 M (ai-Qahirah: Dar as-Salam), jil1, h.39. 18 Baca dan renungkan baik-baik, surat ai-Maidah (5); 1. 19 Kata ummatan muslimatan, untuk pertama kali digunakan oleh nabi Ibrahim alaihissalam, sebagaimana dapat ditelusuri melalui ai-Qur'an surat ai-Baqarah (2); 128.
47
Mengingat ai-Qur'an itu dalam bidang hukum pad a umumnya hanya memuat kaidah-kaidah dasar yang bersifat umum dan global, maka untuk menjabarkannya ke arah yang lebih rinci dan bersifat operasional, Allah mendelegasikan wewenang kepada nabi Muhammad saw. 20 , baik melalui sabda (aqwal; expression) maupun dalam bentuk sikap persetujuannya (taqrir, aggreement)2 1• Penjabaran rasul inilah sesungguhnya yang kemudian lazim dikenal dengan sebutan had its atau sunnah (ai-Hadist/as-sunnah). Begitu urgen kedudukan hadits/sunnah ini dalam kapasitasnya sebagai sumber hukum Islam, dan itulah pula sebabnya mengapa hampir atau bahkan semua ummatan muslimatan telah seia sekata untuk menempatkan ai-Hadits sebagai sumber penting kedua hukum Islam setelah ai-Qur'an. Keberadaan kaum yang menamakan diri atau dijuluki inkar as-Sunnah, tampaknya hanya ada dalam teori dan mustahil (imposible or unbilieveable) dalam praktiknya. Sekurang-kurangnya berkenaan dengan hal-hal tertentu yang memang mustahil terlepas dari panduan as-Sunnah. AI-Qur'an dan ai-Hadits inilah sesungguhnya yang benar-benar menjadi sumber hukum Islam sejak di zaman nabi Muhammad saw. hingga sekarang, dan bahkan insya Allah sampai di masa-masa mendatang selama dunia fana ini tetap dihuni oleh orang-orang yang mengaku beriman. Sebab, dari ai-Quran dan ai-Hadits lah normanorma hukum Islam digali dan dikembangkan oleh fuqaha ljuris-juris Islam); serta kepada ai-Quran dan ai-Hadits pulalah ummatan muslimatan mengembalikan setiap persoalan yang pemecahannya memerlukan cam pur tangan atau keterlibatan hukum. Paling sedikit dalam konteks konfirmasi tentang bertentangan-tidaknya norma-norma hukum yang hidup atau hendak dianut di tengah-tengah masyarakat (bangsa dan negara) di satu pihak, dengan kaidah-kaidah hukum yang tersurat maupun tersirat di dalam ai-Quran dan atau ai-Hadits di lain pihak. Lebih dari itu, tidak hanya norma-norma hukum terapan yang digali dan diambil ahli-ahli hukum Islam dari ai-Quran dan atau aiHadits, akan tetapi juga terutama kaidah-kaidah hukum Islam yang lazim dikenal dengan sebutan ilmu ushul al-fiqh. Termasuk di dalamnya 20 Perhatikan ai-Qur'an, antara lain sural ai-Maidah (5); 67; an Nahl (16); 44 dan 46. 21 Kalangan Muhadditsin(ulama hadits), terbiasa membedakan hadits nabi ke dalam tiga komponen yakni: (i) sunnah qauliyah (ii) sunnah fi'liyah dan (iii) sunnah taqriyah.
48
yurisprudensi-yurisprudensi Islam yang diwariskan oleh para hakim/ mufti dan pakar-pakar hukum Islam terdahulu (masa silam) sebagaimana terjabarkan dalam berbagai kitab/buku hadits hukum dan terutama kitab-kitab fikih (hukum Islam) yang jumlahnya ratusan ribu atau bahkan jutaan kitab/buku hukum. Dengan menggunakan pendekatan ilmu ushul fiqh (ilmu hukum Islam) inilah - di samping perangkat ilmu-ilmu yang lain tentunya para ahli hukum Islam (al-ushuliyyin) menggali norma-norma hukum yang ada di dalam ai-Quran dan atau ai-Hadits, dan berbekal dalil aiQuran dan atau ai-Hadits ini pula mereka mengembangkan hukum Islam untuk masyarakat yang membutuhkan. Termasuk masyarakat hukum Indonesia yang notabene bagian terbesarnya adalah memeluk agama Islam. Satu hal yang mutlak penting dicatat dalam kaitan dengan posisi ai-Quran dan atau ai-Hadits sebagai sumber hukum (normatif maupun terapan), ialah kekayaan norma hukumnya itu sendiri terutama hukum dasar yang tidak pernah kering apalagi kehabisan daya vitalitasnya. 22 Semua persoalan yang timbul dan berhubungan dengan ihwal hukum, seberat dan secepat apapun kejadiannya, pasti dapat dicarikan sumber/ dasar hukumnya dalam ai-Quran dan atau ai-Hadits. Sekurangkurangnya dalam bentuk prinsip dasar yang bersifat umum dan baku (standar) sebagai acuan dan tuntutan, yang kemudian melahirkan sejumlah kaidah-kaidah dasar (al-qawa'id al-usuliyyah) maupun kaidahkaidah hukum terapan (al-qawa'id al-fiqhiyyah). Kecuali itu, lingkup hukum Islam sebagaimana dapat dilacak dari ai-Quran dan atau ai-Hadits, juga demikian luas dan bahkan seperti kita kenai dalam lapangan ilmu hukum konvensional, bahwa "pengetahuan tentang hukum itu sendiri mencakup suatu wilayah yang sang at luas dan bahkan boleh dibilang hampir tidak bertepi" 23 Hal yang sama (luas dan tidak bertepinya ilmu hukum), juga dijumpai dalam sistem hukum Islam, terutama ketika dihubungkan dengan banyaknya cabang dan atau ranting ilmu pengetahuan yang dihubungkan seseorang dalam menimba hukum yang ada di dalam ayat-ayat dan atau haditshadits hukum. Dalam pada itu, keluasan hukum Islam juga tidak semata-mata terletak pada bidang yang ada di dalamnya, akan tetapi juga terkait erat 22 Perhatikan dan renungkan surat ai-Kahfi (18); 109, dan surat Luqman (31); 27. 23 Satjito Rahardjo, op.cit., him. 1.
49
dengan soal penerapan atau pemberlakuannya (tathiqi nya) di tengahtengah masyarakat hukum. Dewasa ini, statistik kependudukan menginformasikan bahwa dari sekitar 6 miliar penduduk yang menghuni planet bumi Allah (adhullah, dalam isitilah ai-Quran), sekitar 1,5 miliar atau 1/4 menyatakan diri min a/-mus/imin (memeluk agama Islam). Termasuk penduduk Muslim Indonesia yang kini berjumlah sekitar 190an juta jiwa dari keseluruhan penduduk Indonesia yang telah melampaui angka 220-an juta orang. Permasalahannya sekarang, bagaimana kedudukan hukum Islam itu sendiri di negara hukum Indonesia yang selalu disebut-sebut memiliki sistem hukum nasional? Peran apa yang kini tengah dimainkan oleh hukum Islam di negara hukum Indonesia? Dan bagaimana pula kecenderungan hukum Islam di negara hukum Indonesia untuk di masa-masa yang akan datang? Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti ini, mutlak diperlukan pengenalan secara proporsional dan memadai tentang bagaimana sesungguhnya kedudukan dan peran agama di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
E.
Kedudu~an Agama dan Perannya di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
Jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) didirikan 61 tahun silam, tepatnya pada Jumat, 17 Agustus 1945 yang bertepatan dengan tanggal 10 Ramadhan 1367 Hijriah, di wilayah nusantara ini apapun sebutannya ketika itu telah dihuni oleh penduduk yang secara umum dan keseluruhan memiliki kepercayaan yang kemudian lebih populer dengan sebutan agama. Terlebih setelah kehadiran agama Hindu dan Budha, kemudian disusul oleh Islam. Agama-agama tersebut di atas, tidak semata-mata dipeluk oleh penduduk atas nama orang seorang, akan tetapi juga oleh komunitas yang lebih besar semisal kerajaan atau kesultanan. Beberapa kerajaan yang namanya hingga kini masih tetap diabadikan sebagian masyarakat semisal Pasundan, Pakuan, Gajah Mada, Sriwijaya dan lain-lain jelas mengisyaratkan faham keagamaan masyarakat di wilayah nusantara ini, dan sekaligus juga membuktikan keberadaannya sebagai sebuah pemerintahan yang sah dan berdaulat di zamannya. Demikian juga dengan kehadiran Islam di nusantara yang pada akhirnya menjelma sebagai sebuah kekuasaan dalam bentuk kerajaan/kesultanan. Ketika Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) didirikan, 61 tahun yang lalu, pasti sebelumnya telah dilakukan berbagai pendekatan
50
dan kesepakatan yang melibatkan paling tidak sebagian besar penduduk atau sekurang-kurangnya wakil-wakil yang mengatasnamakan penduduk guna membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di antara kompromi-kompromi dan atau kesepakatan-kesepakatan yang dibangun, pasti ada yang terkait dengan kehidupan keagamaan di satu pihak serta kehidupan kebangsaan dan kenegaraan di pihak yang lain. Terutama dengan para pemeluk agama Islam yang secara historis sosiologis maupun faktual empiris, kala itu bahkan hingga sekarang · masih tetap menjadi single majority (mayoritas tunggal). Diterimanya Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara oleh umat Islam dan pemeluk agama-agama yang lain, dapat dipastikan karena Pancasila tidak bertentangan dengan agama-agama yang ada di Indonesia khususnya Islam. Termasuk ke dalam kata agama tentunya adalah hukum. Sebab dalam keyakinan umat Islam, hukum hanya merupakan bagian (sub sistem) yang terpisahkan dari sistem ajaran agama Islam secara keseluruhan. Pencantuman anak kalimat "Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya" pada piagam Jakarta yang kemudian menjadi "Pembukaan UUD 1945", jelas mengisyaratkan hal itu. Pemasukan tujuh kata pada Piagam Jakarta, tampak bukan dalam konteks tuntutan umat Islam untuk mendirikan "Negara Islam" seperti yang sering disuarakan, melainkan lebih menghendaki adanya jaminan konstitusional bagi penerapan atau pemberlakukan hukum agamanya yang lazim dikenal dengan sebuatan syariat Islam. Sebab, umat Islam sejak dahulu sampai sekarang, sadar dengan sesadar-sadarnya bahwa negara yang hendak dibangun oleh bangsa Indonesia ialah negara bangsa (nation state) dengan segala kemajemukarmya. Termasuk kemajemukan dalam hal agama. Kemajemukan agama diyakini tidak akan menjadi penghalang bagi kelangsungan NKRI, dan karenanya maka agama tetap diposisikan sebagai salah satu hal panting yang harus dijamin dan dilindungi oleh negara. Jaminan dan perlindungan NKRI terhadap keberadaan agama, tidak sekedar tersirat akan tetapi juga tersurat. Kata "Agama" berikut turunannya dapat dibaca baik dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945, maupun dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Termasuk dalam kata "Agama" adalah tentu pengamalan dalam bidang hukumnya, sekurang-kurangnya dalam bidang hukum tertentu yang menurut keyakinan umat beragama itu sendiri, hukum merupakan bagian tidak terpisahkan dari ajaran agama
51
juga didasarkan atas peran agama itu sendiri terhadap kemerdekaan Indonesia yang secara konstitusional diakui peran dan eksistensinya. "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya" 24 • Senapas dengan kemajemukan bangsa Indonesia di atas, maka sesungguhnya mudahlah untuk dipahami bahwa sistem hukum Indonesia, sebagai akit;>at dari perkembangan sejarahnya, bersifat majemuk. Disebut demikian karena sampai sekarang dan lebih-lebih pada era Orde Reformasi di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berlaku beberapa sistem hukum yang mempunyai corak dan sistem sendiri. Yang dimaksud adalah sistem hukum ad at dan terutama sistem hukum Islam di samping sistem hukum konvensial khususnya hukum Barat25 , belum lagi ketika dihubungkan dengan kenyataan, hukum bahwa yang menjadi sumber hukum nasional Indonesia pada dasarnya adalah "Hukum Ad at", "Hukum Agama" khususnya "Hukum Islam" dan "Hukum lnternasional" khususnya hukum barat. Disadari atau tidak, apa yang dikenal dengan istilah sistem "hukum adat" (teoritis dan terutama empirik) dalam kerangka NKRI dewasa ini secara keseluruhan hampir-hampir dapat dikatakan semakin menipis kontribusinya bagi pembinaan hukum nasional. Alasannya karena di samping sumbernya yang memang terbatas, juga terutama wilayah penerapan atau keberlakuannya yang juga semakin memudar di masyarakat. Di beberapa daerah tertentu, hukum adat masih dinyatakan tetap hidup (eksis) penerapan atau pemberlakuannya, namun di banyak daerah hukum ad at dapat dikatakan -maaf- telah "mati" dalam pengertian tidak lagi diterapkan atau diberlakukan oleh masyarakat hukum setempat. Kalaupun berlaku/diberlakukan, wilayah hukum dan jumlah penduduk adatnya sudah semakin terbatas untuk tidak mengatakan semakin langka alias punah 26 .
G. Peran Hukum Islam Sekarang Sejak di masa-masa didirikannya Negara Hukum Indonesia, sistem hukum Islam baik dalam konteks hukum tertulis (codified law) dan 24 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pembuka; Alinea ketiga. 25 Bandingkan: Mohammad DaudAii, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, 1984, Jakarta : Yayasan Risalah, him. 7. 26 Sebagai ilustrasi, hukum ad at di Ban ten misalnya hanya ada (berlaku) di masyarakat Badui dan karenanya maka kuranglah tepat bila disebut dengan hukum ad at Banten, sebab yang lebih tepat adalah hukum adat masyarakat Badui yang ada di Banten.
52
lebih-lebih dalam lingkup hukum tidak tertulis (uncodified law), jelas memiliki peran yang sangat besar bagi pembentukan dan pembinaan hukum nasional. Terutama dalam bidang hukum keluarga (al-ahwal assyakhshiyyah; family law) yang menjadi salah satu benteng kokohnya sebuah negara. Peran hukum Islam tidak terbatas pada sekedar sumbangsihnya dalam memberikan hukum terapan pad a norma-norma hukum materiil dan hukum formil sebagimana termuat di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, akan tetapi sekaligus dalam melengkapi dan memperkaya pengamalan undang-undang itu sendiri. Sampai sekarang ini, bangsa Indonesia yang beragama Islam sekurang-kurangnya telah memiliki tiga buah peraturan perundangundangan yang mengatur hukum keluarga, yakni 1) Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 ten tang Perkawinan, 2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan 3) lnstruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Namun dalam kenyataannya, ketiga peraturan perundang-undangan ini dipastikan tidak akan dapat mewujudkan cita hukum "keluarga (rumah tangga) bahagia" sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang itu sendiri 27 • Pasalnya? Selain karena ketiga peraturan perundang-undangan di atas pada umumnya hanya mengatur persoalan hak dan kewajiban yang bersifat administratif dan legal formal, juga disebabkan jangkauan ketiga paraturan perundang-undangan tersebut sangat terbatas jika dibandingkan dengan tuntutan kehidupan rumah tangga dan kerumahtanggaan yang bersifat komplek dan memerlukan tuntunan konkret. Sebagai ilustrasi, ondang-undang memerintahkan "suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain", tetapi bagaimana konkretnya cinta mencintai, hormat menghormati dan kesetiaan itu diwujudkan, undang-undang sama sekali tidak memberikan panduan lebih lanjut. Di sinilah terletak arti penting dari kehadiran atau campur tangan hukum Islam terhadap sistem hukum nasional dalam kaitan ini hukum keluarga atau tepatnya hukum perkawinan, dalam mana hukum Islam memiliki norma hukum keluarga yang jauh lebih lengkap dibandingkan dengan undang-undang perkawinan. 27 Perhatikan UU Rl No. 1 Th. 1974, Pasal1.
53
Dalam hukum Islam, ihwal pergaulan suami istri, anak dan orang tua, bahkan urusan kerumahtanggaan pada umumnya telah diatur sedemikian rupa sehingga siap untuk memandu dan bahkan jika perlu menuntun kehidupan rumah tangga untuk selama 24 jam dalam sehari semalam, tujuh hari dalam sepekan, 29 atau 30 hari dalam sebulan, sekitar 354 hari dalam satu tahun, dan begitulah seterusnya. Atas dasar ini, maka sesungguhnya memang tepat manakala UndangUndang Nom or 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan "menyerahkan" urusan perkawinan umat beragam menurut hukum agamanya masingmasing. "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menu rut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu 28 ". Seperti diketahui Islam telah memiliki panduan yang rinci tentang hukum perkawianan pada khususnya dan hukum keluarga pada umumnya. Mulai dari konsepkonsep pinang-meminang (khitbah), mahar (mas kawin) dan lain sebagainya, sampai kepada persoalan pengasuhan anak (hadhanah), tata cara pergaulan antara anak dan orang tua, semuanya diatur dalam yurisprudensi Islam yang lazim dikenal dengan sebutan kitab-kitab fiqih. Sungguh tidak terbayangkan bagaimanajadinya kehidupan keluarga atau rumah tangga anak negeri ini, manakala peraturan perundangundangan yang mengatur ikhwal kehidupan keluarga tidak di back up oleh hukum Islam. Dengan kalimat lain, sampai sejauh ini telah terjadi jalinan interaksi yang harmonis antara hukum Islam dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Jalinan interaksi antara hukum Islam dengan sistem hukum nasional di Indonesia kini sesungguhnya tidak lagi terbatas hanya dalam bidang hukum keluarga atau dalam bidang hukum perdata khusus seperti yang dipahami selama ini. Akan tetapi, juga telah merambah dalam bidang hukum ekonomi dan keuangan Syariah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan. Bahkan Undang-Undang yang secara spesifik mengatur peri hal Perbankan Asyariah, kini tengah dalam proses yang Insya Allah dalam waktu dekat akan disahkan menjadi undang-undang. Satu hal yang menarik untuk dicermati berkenaan dengan peran hukum Islam dalam sistem hukum nasionallndonesia dewasa ini ialah kenyataan bahwa hukum materiil ekonomi dan keuangan Islam? Syariah 28 Perhatikan UU Rl. No.1 Tahun 1074. pasal2 ayat (1).
54
belum/tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan negara, akan tetapi dituangkan dalam bentuk fatwa, yang dalam kasus ini adalah fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSNMUI). Dalam waktu yang relatif sing kat, antara lima sampai tujuh tahun (1999-2006), DSN-MUI telah menghasilkan 54 (lima puluh empat) fatwa hukum Islam berkenaan dengan berbagai masalah yang berhubungan dengan ihwal ekonomi dan keuangan syariah Indonesia. Eksistensi hukum Islam dan penerapannya dalam konteks hukum nasionallndonesia dewasa ini semakin diperkuat dan dipercepat dengan kehadiran beberapa peraturan perundang-undangan setelah amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945Selain dimungkinkan dengan kehadiran sejumlah undang-undang tentang otonomi khusus semisal Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah lstimewa Aceh Sebagai Provinsi Naggroe Aceh Darussalam, juga dipercepat dengan kehadiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dengan kehadiran Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang antara lain mengatur tentang jenis dan hierarki peraturan perundang-Undangan dari tingkat pusat sampai tingkat desa 29 , kini bermunculan peraturanperaturan daerah (Perda-Perda) dan bahkan peraturan desa yang jelas-jelas bernuansakan Syariah dan atau bermuatan hukum Islam. Meskipun kalangan teoritisi dan praktisi hukum berbeda-beda pendapat dalam menyikapi "Perda-Perda Syariah" di atas, namun Perda-Perda tersebut secara de facto maupun de jure dapat dikatakan berjalan, atau dengan kalimat lain hidup di masyarakat. Keterlibatan hukum Islam dalam sistem hukum nasional di Indonesia sesungguhnya tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat lokal seperti yang baru dikemukakan, akan tetapi juga sering kali berkenaan dengan hal-hal yang sangat menentukan dalam mekanisme ketatanegaraan Indonesia. Di antara contohnya ialah keterlibatan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu). Pada tahun 2004 yang lalu, NKRI menggelar Pemilihan Umum bukan saja untuk memilih wakil-wakil rakyat seperti yang dilakukan selama ini, akan tetapi juga pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Rl secara 29 Baca UU Rl No. 10Th. 2004. terutama Pasal 7 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3).
55
langsung. Dalam kedua pemilihan umum tersebut, diperlukan fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang "hukum tinta" yang hendak digunakan di dalam Pemilu. Permasalahannya, jika Majelis Ulama Indonesia tidak mengabulkan permohonan Komisi pemilihan Umum (KPU) sebagai mustafti (pemohon fatwa) tentang penggunaan tinta dimaksud, tidak bisa dibayangkan bagaimana jalannya Pemilihan Umum yang sang at mahal itu? Dengan demikian, maka ihwal Pemilihan Umum pad a khususnya dan persoalanpersoalan politik ketatanegaraan yang lain pada umumnya, pada dasarnya tidak bisa dilepaskan begitu saja dari "cam pur tangan" hukum agama dalam kaitan ini hukum Islam. Dengan kalimat lain, pada tataran tertentu dan minimal pada kasus-kasus tertentu, keberadaan hukum Islam di Indonesia tidak boleh diabaikan apalagi dipertentangkan. Di sinilah terlihat arti penting dari peran hukum Islam dalam menyelesaikan berbagai persoalan hukum di Negara Hukum Indonesia. Sampai di sini, masih adakah keraguan kita tentang arti penting dari keberadaan hukum Islam dan peranannya dalam Sistem Hukum Nasionallndonesia? Termasuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di sam ping terutama kehidupun keluarga dan kehidupan bermasyarakat.
H. Kecenderungan Hukum Islam di Masa-masa Datang Memperhatikan fenomena sosial dan fenomena hukum sebagai sebuah gejala sosial, kecenderungan hukum Islam di masa-masa datang tampak semakin menguat dan semakin meluas. Kehadiran beberapa fatwa Dewan syariah Nasional Majelis Ulama lndoensia yang demikian produktif dan mendapatkan respon positif dari masyarakat hukum Islam di lndoensia memberikan gambaran positif tentang perkembangan hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional. Demikian pula dengan kehadiran peraturan daerah {perda) dan bahkan peraturan desa yang tampak lebih condong kepada hukum Islam. Prespektif hukum Islam di masa-masa yang akan datang dalam sistem Hukum Nasionallndonesia, tampak ditopang oleh faktor-faktor yang segera akan disebutkan di bawah ini. Dengan kalimat lain, alasan keberlakuan atau pemberlakuan Hukum Islam didasarkan pada alasanalasan berikut :
1.
Alasan sejarah
Seperti pernah disinggung pada bagian lain dalam tulisan ini, bahwa jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia didirikan
56
pada tanggal 17 Agustus 1945, hampir seluruh wilayah negeri ini telah didiami oleh orang-orang yang beragama. Atas dasar ini, maka memang sudah semestinya jika negara ini memberikan tempat yang layak bagi kehidupan agama dan umat beragama, termasuk di dalamnya dalam bidang hukum yang lazim dikenal dengan sebutan hukum agama bagi para pemeluk agama pada umumnya dan hukum Islam bagi pemelukpemeluk agama Islam.
2.
Alasan penduduk
Seluruh dunia manapun telah mengakui bahwa bagian terbesar penduduk Indonesia memeluk agama Islam. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, maka sudah sewajarnya bila hukum-hukum yang berlaku atau diberlakukan di Indonesia adalah hukum yang mengacu kepada hukum yang sesuai dengan rasa keadilan penduduk Indonesia itu sendiri. Paling sedikit tidak bertentangan dengan hukum agama yang dianut, dan bahkan seyogianya saling melengkapi antara hukum nasionallndonesia yang hendak dibangun, dengan sistem hukum Islam yang dinyatakan sebagai salah satu bahan baku sistem pembinaan hukum nasional.
3.
Alasan konstitusi
Pemberlakuan Hukum Islam di negara hukum Indonesia pada dasarnya juga merupakan tuntutan konstitusi sebagai konsekuensi logis dari penjaminan dan perlindungan negara terhadap pengamalan agama termasuk hukum yang sebagaimana yang tercantum dalam Pancasila (Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa) dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 29). Demikian pula dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang selalu diawali frase: "DENGAN RAHMATTUHAN YANG MAHAESA". Demikian pula dengan putusan-putusan pengadilan yang harus selalu diawali dengan irah-irah : "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA". Bahkan khusus untuk lingkungan Peradilan Agama dari tingkat pertama sampai tingkat kasasi, putusan pengadilannya dimulai dengan bacaan "Bismillahir-Rahmanir-Rahim" sebelum kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".
4.
Alasan Kebutuhan
Dewasa ini keberlakuan atau pemberlakuan hukum Islam di negara hukum Indonesia (NHI), tidak semata-mata di dasarkan atas tuntutan
57
sejarah dan alasan penduduk muslim yang mayoritas, a_kan tetapi juga didasarkan atas kebutuhan bangsa Indonesia sendiri terhadap Hukum Islam. Kehadiran hukum Islam di tengah-tengah umat Islam dewasa ini telah dirasakan sebagai gejala sosial yang benar-benar meluas dan merata. Bahkan juga di negara-negara yang dihuni oleh penduduk non muslim sekalipun. Hukum Islam tampak dipandang lebih sesuai dengan rasa kebenaran dan keadilan masyarakat, bukan hanya dalam kalangan Islam tetapi juga dirasakan oleh komunitas non muslim. Pertumbuhan dan perkembangan sistem ekonomi dan keuangan lslam/Syariah yang sejak beberapa tahun terakhir dianut pula oleh berbagai lembaga bisnis konvensional, merupakan salah satu instrumen bagi kemajuan hukum Islam di Indonesia. Demikian pula dengan penerapan hukum Islam di berbagai negara Islam atau negara-negara berpenduduk muslim yang secara langsung maupun tidak langsung pasti akan bekpengaruh bagi penerapan dan penegakan hukum di Indonesia.
5.
Lembaga Peradilan
Seperti diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, "Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lihgkungan peradilan tata usaha negara, dan olel:t sebuah Mahkamah Konstitusi3°. Sebagai pengadilan negara, Peradilan Agama menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, harus memutus perkara orang Islam dan berdasarkan hukum Islam terutama di bidang Perkawinan, Kewarisan Serta Wasiat, Hibah dan Wakaf. Setelah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 diamandemen dengan Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, maka wewenang atau kompetensi absolut Pengadilan Agama kini menjadi semakin luas dengan kewenangannya di bidang muamalah (ekonomi lslam/Syariah), di samping yang telah disebutkan di atas. Dengan kewenangan yang semakin luas, maka Peradilan Agama yang selama ini dikenal sebagai lembaga penegak syariah Islam, tentu akan semakin menunjukkan perannya dalam menggali dan mengem30 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; pasal 24 ayat (2).
58
-------------·· bangkan hukum Islam di negara hukum Indonesia. Termasuk dalam melakukan ijtihad-ijtihad hukum yang sangat dijunjung tinggi oleh hukum Islam, dan terutama disematkan di pundak para hakim sebagaimana ai-Hadits yang menyatakan: "Manakala seorang hakim bermaksud melakukan menetapkan hukum (memutuskan perkara), lalu ia melakukan ijtihad dan ternyata benar ijtihadnya, maka baginya akan (diberikan) dua pahala, dan apabila hasil ijtihad hukumnya salah, maka ia (tetap) akan mendapatkan satu pahala "(hadits muttafaq 'alaih) 31 ."
6.
Lembaga Penunjang/Penopang Hukum Islam
Prespektif hukum Islam di masa datang semakin diperkuat dengan kehadiran sejumlah lembaga atau institusi ke islaman, baik dalam bidang pendidikan dan organisasi-organisasi, maupun dalam bentuk lembaga pengkajian dan pengembangan hukum Islam dan bahkan dalam lingkungan lembaga-lembaga penegak hukum khususnya peradilan dan advokasi. Dalam bidang pendidikan tinggi, misalnya sampai tahun ajaran 2005-2006 tercatat sekitar 47 fakultas/program studi syariah dalam lingkungan Universitas Islam Negeri (UIN), lstitut Agama Islam (lAIN) dan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) dengan jumlah mahasiswa Syariah sebanyak 30.276 (19%) dari jumlah total 155.881 mahasiswa yang berada di bawah naungan Departemen Agama Republik Indonesia. Belum terhitung fakultas-fakultas atau program studi-program studi Syariah yang terdapat dalam lingkungan perguruan tinggi-perguruan tinggi swasta yang jumlahnya teramat banyak. lndikator lain terlihat dari lembaga-lembaga fatwa khususnya Komisi Fatwa Majelis Ulam9 Indonesia yang tersebar di hampir atau bahkan seluruh wilayah negara hukum Indonesia mulai dari tingkat pusat sampai tingkat provinsi, tingkat kabupaten/kota dan bahkan hingga ke kecamatankecamatan dan desa-desa. Selain pembuatan fatwa yang tampak demikian cepat dan dinamis, juga mengingat kondisi objektif masyarakat hukum Indonesia yang tetap menantikan kehadiran fatwa-fatwa ulama meskipun terhadap masalah-masalah yang sam a, yang sesungguhnya telah dibuatkan peraturan perundang-undangannya. Sekurang-kurangnya di bidang-bidang hukum tertentu, produktifitas fatwa jauh melebihi produktifitas lembaga-lembaga legislasi yang 31 lbnu Hajar ai-Asqalani, Bu/ugh al-Maram min Adillah al-Ahkam (t.t), Bandung: Ahmad bin Saad bin Nabhan, him. 288.
59
menangani pembentukan peraturan perundang-undangan di negara hukum Indonesia. Kondisi objektif seperti ini tidak mustahil akan memberikan makna positif tersendiri bagi perkembangan hukum Islam di negara hukum Indonesia. Demikian pula dengan arus problematika sosial yang demikian cepat dan pesat di tengah-tengah masyarakat yang cenderung dinamis karena tuntutan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan yang hampir menuntut gerak cepat atau instan.
H. Penutup Dari pembahasan panjang Iebar tentang kedudukan dan peran hukum Islam dalam sistem hukum nasional, dapatlah disimpulkan halhal sebagai berikut : 1.
Kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum nasionallndonesia memiliki tempat atau posisi yang tidak saja jelas, akan tetapi juga konstitusional dan bahkan legal formal. Sistem hukum Islam tidak saja menempati posisi sebagai bahan baku bagi sumber hukum positif yang berlaku atau hendak diberlakukan, sistem hukum Islam juga bisa dijadikan hukum positif secara langsung. Dengan kalimat lain, positifisasi hukum Islam ke dalam sistem hukum nasionallndonesia, bisa secara langsung maupun tidak langsung.
2.
Senafas dengan kedudukannya yang konstitusional, sistem hukum Islam kini memiliki peranan yang sang at penting dan nyata bagi penerapan hukum positif Indonesia. Termasuk dalam penyempurnaan dan bahkan mengisi kekosongan hukum yang belum diisi dengan sistem hukum nasional, seperti dalam bidang hukum keluarga dan di dalam hukum ekonomi dan keuangan syariah.
3.
Memperhatikan fenomena sosial dan kecenderungan masyarakat hukum Indonesia yang mendambakan sistem hukum yang terasa lebih adil dan lebih merata, maka sistem hukum nasional Indonesia di masa-masa yang akan datang tampak akan lebih cenderung kepada sistem hukum Islam dibandingkan dengan kecenderungannya ke arah hukum lain, misalnya sistem hukum adat dan bahkan sistem hukum konvensional yang berasal dari Barat sekalipun. Alasannya, selain kecenderungan yang telah dikemukakan di atas, terutama dihubungkan dengan sumber hukum Islam itu sendiri (ai-Quran dan ai-Hadits) yang sama sekali tidak pernah menipis apalagi kering dalam memberikan kontribusi terhadap norma-norma hukum dan keadilan yang didambakan
60
masyarakat hukum. Lebih-lebih masyarakat hukum Indonesia yang mayoritas memang memeluk Islam. Demikianlah makalah ini penyaji sampaikan, tentu dengan kemungkinan kekurangan dan keterbatasannya. Sungguhpun demikian, pemakalah tetap berharap semoga kehadiran makalah ini tetap memberikan manfaat di sam ping memberikan masukan berharga dalam kegiatan seminar tentang Arah Pembangunan Hukum Nasional Indonesia. Amin, ya mujib as-sa 'ilin, wal-hamdu lil/ahi rabbi/- 'alamin!
61
SUMBER RUJUKAN AI-Qur'an ai-Karim
As-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad, lrsyad a/- Fuhul ila Tahqiq ai-Haqq min 'lim ai-Ushu/, (t.t), Beirut-lubhan. Amir Abdul Aziz, Ushu/ ai-Fiqh ai-ls/am, 48 H/1 991 M, ai-Qarihah: Dar as-Salam. Bad an Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM Rl, Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Bali 14-18 Juli 2003. BP. Cipta Jaya, Undang-Undang Rl Nom or 25 dan 10 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, 2004, Jakarta: PT Cipta Jaya. Dendy Sugono, Dinamika Bahasa dan Sastra /ndonesia/Me/ayu Peneral Jiwa Bangas, Makalah Seminar Bahasa dan Sastra Majelis Bahasa Brunai Darussalam, Indonesia dan Malaysia (MABBIM) Majelis Sastra Asia Tenggara, Mataram, 7-8 Maret 2005. lbnu Qayyim ai-Jawziyyah, l'lam ai-Muwaqi'in an Rabb ai-'Aiamin, (t.t), Beirut-Lubnan: Dar ai-Fikr. Mohammad Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam, 1990, Jakarta: Rajawali. ----------------, Kedudukan Hukum Islam Oa/am Sistem Hukum Indonesia, 1991, Jakarta : Yaysan Risalah.
Muhammad Amin Summa, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan Pe/aksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, 2004, Jakarta : Raja Grafindo Persada. -----------------, Hukum ke/uarga Islam di dunia Islam, 2004, Jakarta: Raja Grafindi Persada.
Muhammad ai-Khudhari Bek, Ushul ai-Fiqh, 1401 H/1969 M, BeirutLubnan: Dar ai-Fikr. Satjipto Rahardjo, 1/mu Hukum, 1991, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989, Jakarta: Balai Pustaka. Wahbah az-Zuhaili, Ushu/ ai-Fiqh ai-ls/ami, 406 H/986 M, Beirut-Lubhan: Dar ai-Fikr.
62
\
ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN HUKUM 01 BIDANG .PEREKONOMIAN DAN INVESTAS I* 0/eh: Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M. **
I.
Pendahuluan
Dalam sebuah negara yang sedang mengalami masa transisi dari negara yang berbasis pada masyarakat agraris (tradisional) ke negara yang berbasis pada masyarakat industri (modern), peran hukum di bidang perekonomian dan investasi sang at penting. Indonesia bukan merupakan pengecualian. Berbagai upaya telah dilakukan di Indonesia agar perangkat hukum dapat mendukung Indonesia sebagai sebuah negara modern, bahkan Indonesia yang menjadikan investasi sebagai salah satu pilar perekonomian telah banyak melakukan berbagai reformasi hukum. Tulisan ini hendak menelaah lebih jauh apa yang menjadi arah kebijakan, pembangunan hukum di bidang perekonomian dan investasi. Tulisan ini tidak hanya membahas peraturan perundang-undangan semata tetapi jauh lebih penting bagaimana peraturan perundangundangan tersebut berjalan di masyarakat. Satu hal yang pasti, peraturan perundang-undangan tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan karena lemahnya penegakan hukum. Penegakan hukum yang lemah telah menjadi sumber ketidakpastian bagi dunia usaha yang pada gilirannya telah mempengaruhi secara signifikan pertumbuhan perekonomian dan pembukaan lapangan kerja baru. Penegakan hukum yang lemah telah juga mempengaruhi minat investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Tulisan ini akan dibagi menjadi dua bagian. Pertama adalah apa yang menjadi politik hukum sebagai arah kebijakan pembangunan hukum di bidang perekonomian dan investasi di Indonesia. Kedua akan dibahas tentang penyebab lemahnya penegakan hukum di Indonesia dan fundamen solusi apa yang dapat ditawarkan. •
Makalah disampaikan pada Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen diselenggarakan oleh BPHN Departemen Hukum dan HAM Rl, Jakarta 29-31 Mei
2006. •• Guru Besar dan Dekan pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Meraih gelar S.H. dari Universitas Indonesia (1987), LL.M. dari Keio University, Jepang (1992) dan Ph.D. dari University of Nottingham, lnggris (1997)
63
II.
Politik Hukum Pembangunan Hukum Di Bidang Perekonomian dan lnvestasi
Peraturan perundang-undangan (legislation) merupakan bagian dari hukum yang dibuat secara sengaja oleh institusi negara 1• Dalam konteks demikian peraturan perundang-undangan tidak mung kin muncul secara tiba-tiba. Peraturan perundang-undangan dibuat dengan tujuan dan alasan tertentu. Tujuan dan alasan dibentuknya peraturan perundang-undangan dapat beraneka rag am. Berbagai tujuan dan alasan dari dibentuknya suatu peraturan perundang-undangan disebut sebagai politik hukum (legal policy). Politik hukum dapat dibedakaan dalam dua dimensi. Dimensi pertama adalah politik hukum yang menjadi alasan dasar dari diadakannya suatu peraturan perundang-undangan. Dalam tulisan ini politik hukum dalam dimensi demikian disebut sebagai "Kebijakan Dasar" atau Yang dalam bahasa lnggris disebut sebagai basic policy. Di bidang hukum yang terkait dengan perekonomian, Kebijakan Dasar dari UU Hak Cipta adalah memberikan perlindungan bagi pencipta atas ciptaannya. Kebijakan Dasar UU Kepailitan bertujuan untuk membebaskan debitor yang sudah tidak mampu lagi membayar utangnya di samping memfasilitasi kreditor untuk mengambil kembali haknya dari debitor. Dimensi kedua dari politik hukum adalah tujuan atau alasan yang muncul di balik pemberlakuan suatu peraturan perundang-undangan. Dalam tulisan ini politik hukum dalam dimensi ini, disebut sebagai "Kebijakan Pemberlakuan," atau yang dalam bahasa lnggris disebut sebagai enactment policy Keberadaan Kebijakan Pemberlakuan sangat dominan di Negara Berkembang mengingat peraturan perundangundangan kerap dijadikan instrumen politik oleh pemerintah atau penguasanya, baik untuk hal yang bersifat positif maupun negatif.2 Dalam suatu negara, institusi yang memiliki kekuasaan untuk membentuk UU merupakan pihak akhir yang menentukan apa yang 1 Pendefinisian hukum seperti ini untuk membedakan bentuk lain dari hukum Yang tidak dibuat secara sengaja dan tidak tertulis, yaitu hukum adat, dan juga pembentukan hukum Yang dibuat oleh institusi non negara seperti perjanjian antar subjek hukum perdata. 2 Hal positif dari penggunaan UU oleh pemerintah adalah dalam rangka memajukan kehidupan politik warga negara, memperbaiki perekonomian dan lain sebagainya. Sementara yang bersifat negatif terjadi pad a Negara Berkembang yang menganut pemerintahan otoriter a tau diktatorial. UU dalam konsep ini dijadikan semacam legitimasi bagi kekuasaan yang memunculkan istilah Rule by Law dalam pengertian negatif dan bukan Rule of Law.
64
menjadi Kebijakan Pemberlakuan suatu UU. Hanya saja dalam menetapkan Kebijakan Pemberlakuan institusi yang membentuk UU kerap dipengaruhi oleh berbagai faktor. Berbagai faktor ini dapat digolongkan dalam dua kategori. Pertama adalah faktor yang berasal dari dalam negeri (selanjutnya disebut "Faktor Internal") dan kedua adalah faktor yang berasal dari luar negeri (selanjutnya disebut "Faktor Eksternal"). Faktor Internal bisa berasal dari keiriginan individu yang memegang kekuasaan membentuk UU, keinginan partai politik, keinginan lembaga swadaya masyarakat, bahkan keinginan masyarakat. Sementara Faktor Eksternal dapat berasal dari keinginan dari lembaga keuangan internasional, keinginan dari negara donor, bahkan kewajiban yang diatur dalam suatu perjanjian internasional.
1.
Faktor Internal
Di Indonesia Kebijakan Pemberlakuan UU yang dipengaruhi oleh Faktor Internal kerap dijadikan alasan filosofis atau sosiologis dari pembentukan UU. Umumnya Kebijakan Pemberlakuan ini dapat dilihat secara eksplisit dalam konsiderans menimbang ataupun penjelasan umum. Perumusan Kebijakan Pemberlakuan yang termaktub dalam konsiderans menimbang ataupun penjelasan umum dibuat dengan menggunakan kalimat yang sangat panjang dan berisi lebih dari satu pokok pikiran. Bahkan, perumusan kalimat bersifat hiperbolis dengan menggunakan kata-kata yang memiliki pengertian yang sangat luas dan abstrak.
a.
Mencapai Tujuan Pembangunan Nasiona/
Dalam UU Bidang Ekonomi yang diteliti hampir semua menyebutkandiberlakukan suatu UU adalah dalam rangka pembangunan nasional. 3 Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penyebutan ini dimulai 3 Dalam UU Perlindungan Konsumen, misalnya, disebutkan dalam penjelasim umum bahwa, "pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum yang memberikan pertindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945. "; Demikian pula dengan UU Telekomunikasi yang dalam konsiderans menimbangnya mengungkap pembangunan nasional, "bahwa tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945."; Hal serupa juga dapat dijumpai dalam UU Ketenagake~aan yang menyebutkan, "Pembangunan ketenagake~aan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia
65
sejak tahun 1980-an. 4 Pad a tahun 1950 hingga permulaan tahun 1980an penyebutan pemberlakuan UU Bidang Ekonomi karen a pembangunan nasional hanya dilakukan apabila ada keterkaitan yang erat dengan apa yang hendak diatur, semisal UU Penanaman Modal Asing. 5 Kebijakan Pemberlakuan berupa pembangunan nasionaL secara kritis dapat dipertanyakan. Apakah pencantuman pembangunan nasional dalam pembentukan UU Bidang Ekonomi merupakan suatu keharusan? Apakah penyebutan dilakukan karena Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang dalam proses membangun? Apabila demikian bukankah tanpa pembangunan nasional sekalipun, Indonesia akan tetap membutuhkan UU? Selanjutnya, bukankah berbagai UU dapat dibentuk dengan alasan pembangunan nasional? Berbagai pertanyaan ini pada akhirnya akan menjurus pada kesimpulan bahwa Kebijakan Pemberlakuan berupa pembangunan nasional dicantumkan tidak lain sebagai suatu formalitas belaka. lni hampir sama seperti pada suatu ketika setiap UU yan,g dikeluarkan mencantumkan kata 'revolusi'. 6 Sudah saatnya dalam pembentukan UU Bidang Ekonomi ke depan Kebijakan Pemberlakuan berupa pembangunan nasional tidak lagi dicantumkan. lni untuk menghindari penyebutan pembangunan nasional sebagai sesuatu yang sakral meskipun tanpa makna. Terlebih lagi mengingat kebijakan pemberlakuan berupa pembangunan nasional tidak perlu dicerminkan dalam bentuk perumusan pasal. Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat. martabat, dah harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan merata, baik materiil maupun spiritual." 4 UU Perindustrian yang dikeluarkan pada tahun 1984 misalnya dalam konsiderans menimbang menyebutkan, "a. bahwa tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makrnur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila, serta bahwa hakikat Pembangunan Nasional adalah Pembangunan Man usia Indonesia seutuhnya, maka landasan pelaksanaan Pembangunan Nasional adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; ... " LihatUndang-undang Republik Indonesia, No.5 Tahun 1984, Undang-undang tentang Perindustrian, 22 Lembaran Negara 1984. 5 Dalam konsiderans menimbang UU Penanaman Modal Asing disebutkan, "a.bahwa kekuatan ekonomi potensiil yang dengan kurnia Tuhan yang Maha Esa terdapat banyak di seluruh wilayah tanah air yang belum diolah untukdijadikan kekuatan ekonomi, yang antara lain disebabkan oleh karena ketiadaan modal, pengalaman dan teknologi; b.bahwa Pancasila adalah landasan idiil dalam membina: sistem ekonomi Indonesia dan yang senantiasa harus tercermin dalam setiap kebijaksanaan ekonomi; c.bahwa pembangunan ekonomi berarti pengolahan kekuatan ekonomi potensiil menjadi kekuatan ekonomi riil melalui penanaman modal, penggunaan teknologi, penambahan pengetahuan, peningkatan keterampilan, penambahan kemampuan berorganisasi dan manajemen; ... " Lihat Undang-undang Republik Indonesia, No. 1 Tahun 1967, Undangundang tentang Penanaman Modal Asing, Lembaran Negara 1967. 6 lni sangat dominan dalam LTU yang dihasilkan pada tahun 1960-an.
66
\
b. Menggantikan Ketentuan yang Te/ah Usang Kebijakan Pemberlakuan yang berikutnya adalah dalam rangka mengganti ketentuan yang telah usang. 7 Penggantian ketentuan yang usang dilakukan baik terhadap ketentuan produk pemerintahan kolonial maupun ketentuan pasca Indonesia Merdeka. Undang-undang Perseroan Terbatas, UU Arbitrase, UU Kepailitan, UU Hak Tanggungan, dan UU Fidusia merupakan UU Bidang Ekonomi yang bertujuan menggantikan UU produk kolonial. Sementara. UU Pasar Modal, UU Bank Indonesia, UU Merek, UU Paten dan UU Hak Cipta merupakan UU yang bertujuan untuk menggantikan produk hukum pasca Indonesia merdeka. Ketentuan usang yang digantikan dapat berbentuk UU, dapat pula berbentuk pasal dalam suatu UU. UU Pasar Modal tahun 1996 misalnya menggantikan UU Bursa tahun 1952. 8 Sementara UU Perseroan Terbatas menggantikan pasal 36 hingga 56 Kitab Undang-undang Hukum Dagang. Usangnya ketentuan dapat disebabkan karena tidak sesuai dengan perkembangan yang ada, tetapi dapatjuga karena perubahan mendasar dari suatu sistem yang berlaku. Undang-undang Arbitrase, UU Lalu Lintas Devisa, UU Merek, UU Migas, UU Kepailitan, UU Perseroan Terbatas, UU Pasar Modal dalam konsiderans menimbang dan penjelasan umumnya menyebutkan secara tegas diberlakukannya UU 7 Sebagai contoh, Kebijakan Pemberlakuan untuk mengganti ketentuan yang telah usang dalam beberapa UU Bidang Ekonomi disebutkan secara tegas. UU Perseroan Terbatas dalam Penjelasan Umum mengatakan, "bahwa peraturan ten tang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Oagang {Wetboekvan Koophandel, Staatsblad 1847:23); sudah tidak sesuai lagi dengan p~rkembangan ekonomi dan dunia usaha yang semakin pesat baik secara nasional maupun internasional."; Hal serupa juga ditegaskan dalam konsiderans menimbang UU Ookumen Perusahaan, "bahwa salah satu faktor yang mengurangi efektivitas dan efisiensi perusahaan adalah ketentuan yang mewajibkan penyimpanan buku, catatan, dan neraca selama 30 {tiga puluh) tahun dan penyimpanan surat, surat kawat beserta tembusannya selama 10 {sepuluh) tahun sebagaimana diatur an tara lain dalam Pasal6 Kitab Undang-undang Hukum Oagang {Wetboek van Koophandel voor Indonesia, Staatsblad 1847: 231 ), sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat khususnya di bidang ekonomi dan perdagangan."; UU Kepailitan yang mengamandemen banyak ketentuan UU Kepailitan 1905 menyebutkan, "bahwa penyelesaian utang piutang di kalangan dunia usaha, besar artinya dalam upaya pemulihan kegiatan usaha pada khususnya dan perkembangan perekonomian nasional pada umumnya, sedang Undang-undang tentang Kepailitan {Faillissements-Verordening Staatsblad 1905 No 217 juncto Staatsblad 1906 No. 348) sebagian besar tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, maka perlu dilakukan perubahan atas Undang-undang tentang Kepailitan tersebut." 8 Undang-undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 1952, Undang-undang tentang Penetapan Undang-undang Oarurat tentang "Bursa" sebagai Undang-undang.
67
tersebut karena alasan tidak sesuai dengan perkembangan. 9 Sementara UU Bank Indonesia masuk dalam kategori UU yang mengganti ketentuan sebelumnya karen a perubahan mendasar dari sistem yang ada. 10 Kebijakan Pemberlakuan berupa mengganti ketentuan yang usang sangat ter-refleksi dalam perumusan pasal berbagai UU Bidang Ekonomi. 11 Bila dibuat dalam bentuk matriks maka dapat dilihat secara jelas perbedaan antara ketentuan yang lama dengan ketentuan yang baru.
c.
Merespon Kebutahan Masyarakat
Merespon kebutuhan masyarakat merupakan Kebijakan Pemberlakuan yang sering disebut dalam berbagai UU Bidang Ekonomi. Dalam konsiderans menimbang maupun penjelasan umum kebanyakan UU Bidang Ekonomi menyebutkan bahwa UU yang dibentuk bertujuan untuk merespon kebutuhan masyarakat atau dalam rangka mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur. 12 Sayangnya, Kebijakan Pemberlakuan ini terkesan sebagai formalitas belaka daripada. sungguh-sungguh merespon kebutuhan masyarakat. Kesan ini didasarkan pada beberapa indikasi. 9 Dalam konsiderans menimbang UU Pasar Modal disebutkan, "bahwa sejalan dengan hasil-hasil yang dicapai pembangunan nasional serta dalam rangka antisipasi atas globalisasi ekonomi, Undang-undang Nomor 15 Tahun 1952 tentang Penetapan Undang-undang Darurat tentang Bursa (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 79) sebagai Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 1952 Nomor 67) dipandang, sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan; ... " Demikian pula dalam UU Lalu Lintas Devisa Yang menyebutkan, "bahwa Undang-undang Nomor 32 Tahun 1964 tentang Peraturan Lalu Lintas Devisa sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan dan perkembangan keadaan, oleh karen a itu perlu diadakan pembaruan; ... "Hal Yang sam a juga dapat dijumpai dalam konsiderans menimbang UU Telekomunikasi yang menyebutkan, "bahwa sehubungan, dengan hal-hal tersebut di atas, maka, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi dipandang tidak sesuai lagi, sehingga perlu diganti." 10 Bank Indonesia sebelumnya tidak independen dari pemerintah. Setelah perubahan Bank Indonesia memiliki independensi dari pemerintah. 11 Dalam UU Perseroan Terbatas, misalnya, UU tidak membatasi berapa lama Perseroan Terbatas dapat didirikan (pasal6) ini berbeda dengan ketentuan dalam KUHD di mana ditentukan paling lama untuk 75 tahun; Contoh lain dalam UU Bank Indonesia disebutkan tentang status Bank Indonesia yang independen dan bebas dari campur tang an pemerintah (pasal4 (2)) yang jelas sangat berbeda dengan kedudukan Bank Sentral menu rut UU No. 13 Tahun 1968 yang memberi kedudukan Bank Sentral sebagai bagian dari pemerintah yang menjalankan tugas pokoknya berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh pemerintah (pasal 8 (1)). 12 UU Rahasia dagang dalam konsiderans menimbangnya menyebutkan, "bahwa untuk memajukan industri yang mampu bersaing dalam lingkup perdagangan nasional dan internasional perlu diciptakan iklim yang mendorong kreasidan inovasi masyarakatdengan memberikan perlindungan hukum terhadap Rahasia Dagang sebagai bagian dari sistem Hak Kekayaan lntelektual."; UU Mig as menyebutkan, "bahwa minyak dan gas bumi merupakan, sumberdaya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hid up orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga
68
Pertama, mayoritas masyarakat terkadang tidak merasa memiliki kebutuhan, yang demikian besar sehingga memerlukan suatu UU Bidang Ekonomi Bahkan, masyarakat mustahil dapat secara langsung rilenikmati berbagai keuntungan dari UU yang dibuat. Sebagai contoh dalam UU Rahasia Dagang meskipun di situ jelas-jetas disebut demi kepentingan masyarakat namun menjadi pertanyaan besar apakah masyarakat memang memerlukannya. Kedua, penggunaan istilah "masyarakat" sangat kabur. Mungkin saja pembuat UU hanya memfokuskan pad a, masyarakat yang jumlah tidaklah mayoritas. Ada kecenderungan pembuat UU bila memikirkan masyarakat, masyarakat yang mereka maksud terbatas pada masyarakat di Jakarta atau kota-kota besar. lndikasi lain adalah dalam Kebijakan Pemberlakuan pada UU yang memiliki sensitifitas politik yang tinggi kerap ada pertentangan di masyarakat, tentang apa yang dimaksud dengan kebutuhan masyarakat. Undang-undang Ketenagakerjaan merupakan salah satu contohnya. Kaum pekerja berada pada posisi yang berhadap-hadapan dengan asosiasi pengusaha. 13 Dalam kondisi seperti ini, pemerintah berada pada posisi di tengah-tengah yang harus mengakomodasi dua kepentingan yang berbeda ekstrim. Konsekuensinya adalah UU dapat dianggap sebagai kompromi antara dua kepentingan berbeda atau UU tersebut ditolak keberadaannya. Dalam UU Ketenagakerjaan yang baru disahkan konsekuensi terakhirlah yang terjadi. Dalam konteks ini yang menjadi pertanyaan adalah masyarakat mana yang dimaksud oleh UU Ketenagakerjaan? Tantangan ke depan dalam Kebijakan Pemberlakuan berupa merespon kebutuhan masyarakat adalah penggunaan yang selektif atas istilah 'masyarakat. Dengan demikian, pencantuman merespon kebutuhan masyarakat tidak sekedar memenuhi formalitas belaka.
d.
Memenuhi Keinginan Memiliki Hukum Modern
Kebijakan Pemberlakuan UU Bidang Ekonomi selanjutnya adalah dalam rangka memenuhi keinginan Indonesia untuk memiliki hukum pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat."; UU Pasar Modal juga menyebutkan bahwa, "Pasar Modal bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasion aI dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas ekonomi nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat." 13 Hal ini berbeda dengan masa pemerintahan sebelumnya dimana pemerintah cenderung lebih berpihak pada pengusaha daripada tenaga ke~a.
69
modern. 14 Kebijakan Pemberlakuan ini meskipun sekilas sam a dengan mengganti ketentuan yang usang namun keduanya harus dibedakan. Mengganti ketentuan yang usang adalah keadaan di mana sudah ada ketentuan tetapi ketentuan tersebut dianggap tidak memadai lagi. Sementara, memenuhi hasrat memiliki hukum modern adalah suatu kondisi di mana sebelumnya belum ada pengaturan dibidang tersebut. Harus diakui bahwa Hukum Modern tidak lain adalah hukum yang dikenal di AS ataupun di sejumlah negara Eropa. Hukum Modern bukanlah hukum yang sama sekali baru namun merupakan UU yang secara nyata dibutuhkan pada masyarakat industri. Dalam masyarakat industri, kegiatan berupa perbankan, pasar modal, transaksi surat utang negara dan lain sebagainya mensyaratkan infrastruktur hukum yang khusus. Sebagai konsekuensinya semakin sebuah negara berorientasi pada industri maka semakin negara tersebut membutuhkan infrastruktur hukum yang modern. Dalam konteks demikian, Indonesia yang sedang berproses menuju ke negara industri mau tidak mau membutuhkan berbagai hukum yang lebih dahulu dikenal diAS maupun Eropa. Harus diakui, sebagai akibat dan keinginan untuk memiliki hukum modern tidak terhindarkan proses transplantasi hukum dari AS dan Eropa ke alam Indonesia. Kebijakan Pemberlakuan dari keinginan memiliki hukum modern diwujudkan dalam bentuk diberlakukannya suatu UU ataupun dimasukkannya ketentuan baru dalam bentuk pasal dari UU yang telah ada. Contoh dari UU Bidang Ekonomi yang sebelumnya tidak dikenal dalam hukum Indonesia, antara lain, adalah UU Perlindungan Konsumen, UU Persaingan Usaha, UU Jasa Konstruksi, UU Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Surat Utang Negara. Sementara hukum modern dalam bentuk pasal, antara lain, adalah ketentuan tentang Perlindungan 14 Dalam konsiderans menimbang UU Bl disebutkan bahwa, "bahwa gun a mendukung terwujudnya perekonomian nasional sebagaimana tersebut di atas dan sejalan dengan tantangan perkembangan dan pembangunan ekonomi yang semakin kompleks, sistem keuangan yang semakin maju serta perekonomian internasional yang semakin kompetitif dan terintegrasi, kebijakan moneter harus dititikberatkan pad a upaya untuk memelihara stabilitas nilai rupiah; ... bahwa untuk menjamin keberhasilan tujuan memelihara stabilitas nilai rupiah diperlukan Bank Sentral yang memiliki kedudukan yang independen."; Selanjutnya dalam UU Surat Utang Negara disebutkan bahwa, "para pemodal membutuhkan adanya kepastian hukum dan jaminan adanya pengelolaan pasar keuangan yang profesional dan berstandar internasional."; lni terlihat pula dalam UU Dokumen Perusahaan yang mengatakan bahwa, "bahwa kemajuan teknologi telah memungkinkan catatan dan dokumen yang dibuat di atas kertas dialihkan ke dalam media elektronik atau dibuat secara langsung dalam media elektronik."
70
pemegang sa ham minoritas yang diatur dalam UU Perseroan Terbatas, 15 dokumen dalam wujud elektronik yang diatur dalam UU Dokumen Perusahaan·, 16 pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang diatur dalam UU Arbitrase. 17
e. Menciptakan A/am lnvestasi yang Kondusif Bagi investor asing, hukum dan UU menjadi salah satu tolok ukur untuk menentukan kondusif tidaknya iklim investasi di suatu negara. Dalam tiga dekade belakangan ini, pelaku usaha yang menanamkan modalnya di negara berkembang sangat mempertimbangkan kondisi hukum di negara tersebut. lnfrastruktur hukum bagi investor menjadi instrumen penting dalam menjamin investasi mereka. Hukum bagi mereka memberikan keamanan, certainty dan predictability atas investasi mereka. Semakin baik kondisi hukum dan UU yang melindungi investasi mereka semakin dianggap kondusif iklim investasi dari negara tersebut. Pemerintah Indonesia sangat memahami apa yang menjadi perhatian dari penanam modal asing, oleh karenanya tidak sedikit UU Bidang Ekonomi yang diberlakukan untuk memenuhi harapan ini. 18 Upaya ini juga dilakukan untuk mengimbangi kompetisi dari negara tetangga yang melakukan reformasi hukum untuk menarik investor asing. Dalam memenuhi harapan investor asing ada kesan pemerintah sang at mudah meluluskan keinginan mereka. Kesan ini bisa jadi benar mengingat investasi asing merupakan salah satu penyangga perekonomian nasional. Tanpa dipenuhinya berbagai permintaan investor 15 Salah satunya adalah ketentuan pasal 54 (2) UU Perseroan Terbatas yang menyebutkan bahwa, "Setiap pemegang sa ham berhak mengajukan gugatan terhadap perseroan ke Pengadilan Negeri, apabila dirugikan karena tindakan perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan wajar sebagai akibat keputusan RUPS, Direksi atau Komisaris." 16 Pasal1 angka (2) di mana disebutkan bahwa, "Dokumen perusahaan adalah data, catatan, dan atau keterangan yang dibuat dan atau diterima oleh perusahaan dalam rangka pelaksanaan kegiatannya, baik tertulis di atas kertas atau sarana lain maupun terekarn dalam bentuk corak apapun yang dapat dilihat, dibaca, atau didengar." 17 Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam Bab VI Bagian Kedua dari UU Arbitrase. 18 Sebagai contoh concern dan penanam modal dite~emahkan oleh Pemerintah dalam Kebijakan Pemberlakuan UU Arbitrase. Dalam penjelasan umum UU tersebut dikatakan bahwa, "Namun demikian penyelesaian sengketa melalui arbitrase masih lebih diminati daripada litigasi, terutama untuk kontrak bisnis bersifat internasional. "; Sementara dalam UU Hak Cipta tercermin dalam konsiderans menimbang yang menyebutkan bahwa, "perkembangan di bidang perdagangan, industri, dan investasi telah sedemikian pes at sehingga memerlukan peningkatan perlindungan bagi Pencipta dan Pemilik Hak Terkait dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat luas."
71
asing di bidang hukum, tentunya, berakibat pada keengganan untuk melakukan penanaman modal di Indonesia. Kebijakan Pemberlakuan dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif sangat terlihat dalam pasal-pasal, berbagai UU Bidang Ekonomi. 19 Pasal-pasal ini menjadi indikator bagi para investor asing untuk menentukan apakah iklim investasi di Indonesia kondusif atau tidak. Bahkan mereka mencermati pula bagaimana berbagai pasal ini dilaksanakan dalam tahap implementasi. lni berbeda dengan sepuluh dua puluh tahun yang lalu di mana, investor akan terpuaskan bila Indonesia memiliki UU Bidang Ekonomi tertentu tanpa memperhatikan substansi bahkan pelaksanaannya.
f.
Menjawab Tantangan Era G/obalisasi
Menjawab tantangan era globalisasi merupakan Kebijakan Pemberlakuan UU bidang Ekonomi yang berikutnya. Tantangan globalisasi kerap disebut dalam UU Bidang Ekonomi yang dihasilkan dalam, kurun waktu 1990-an. 20 Pada masa itu sedang menjadi topik pembicaraan. Namun alasan globalisasi tidak terlalu disebut dalam UU Bidang Ekonomi yang dihasilkan setelah tahun 2000. 19 Sebagai contoh pemerintah membuka kesempatan bagi bank a sing untuk bisa melakukan us aha perbankan di Indonesia melalui bank patungan (joint venture). Sebelumnya berdasarkan UU Perbankan No. 7 Tahun 1992 badan hukum asing tidak diperkenankan menjadi pendiri dari sebuah bank.lni berbeda dengan UU No. 10 Tahun 1998 yang mengamandemen UU No.7 dim ana pasal 22 (1) huruf (b) menyebutkan bahwa, "Warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan alau badan hukum asing secara kemilraan". 20 Sebagai conloh dalam UU Perseroan Terbalas disebulkan,bahwa, "Perkembangan baru lersebul makin mengailkan perekonomian Indonesia dengan perekonomian dunia, sehingga perekonomian Indonesia lidak dapal menulup diri lerhadap pengaruh dan luntutan globalisasi. ": Demikian pula dalam UU Perlindungan Konsumen disebulkan bahwa salah salu lujuan diberlakukannya UU ini menimbang "bahwa pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi harus dapal mendukung lumbuhnya dunia usaha.• Selanjutnya dalam penjelasan disebulkan bahwa, "di samping ilu, globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan leknologi lelekomunikasi dan informalika Ieiah memperluas ruang gerak arus lransaksi barang dan/alau jasa melinlasi, batas-batas wilayah sualu negara, sehingga barang dan/alau jasa yang dilawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. "; lni juga disebulkan dalam UU yang mengamandemenkan UU Perbankan 1992 dimana, "bahwa dalam memasuki era globalisasi dan dengan Ieiah diralifikasinya beberapa perjanjian inlernasional di bidang, perdagangan barang dan jasa, diperlukan penyesuaian lerhadap peraluran perundang-undangan di bidang perekonomian, khususnya sektor Perbankan.": Hal yang sam a dapal dilihaldalam UU Bl dimana disebulkan, di sisi lain, perkembangan ekonomi inlernasional mengalami perubahan yang cepal dan sangal mendasar menuju kepada sislem ekonomi global yang dilandai dengan semakin terinlegrasinya pasar keuangan dunia. Demikian pula dalam UU Persaingan Usaha yang menyebulkan bahwa, "Meskipun Ieiah ban yak kemajuan yang dicapai selama Pembangunan Jangka Panjang Pertama, yang dilunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi yang linggi, lelapi masih banyak pula tanlangan alau persoalan, khususnya dalam pembangunan ekonomi yang belum lerpecahkan, seiring dengan adanya kecenderungan
72
Kebijakan Pemberlakuan berupa menjawab tantangan era globalisasi dikonkretl
g. Pemenuhan Persyaratan Utang atau Hibah Luar Negeri Kebijakan Pemberlakuan berikutnya adalah dalam rangka memenuhi persyaratan utang atau hibah dari lembaga keuangan internasional, seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank (WB) dan Asian Development Bank (ADB), atau negara donor. Adanya Kebijakan Pemberlakuan inf karena adanya ketergantungan perekonoglobalisasi perekonomian serta dinamika dan perkembangan usaha swasta sejak awal tahun 1990-an." 21 Dalam penjelasan umum UU Persaingan Usaha disebutkan. "Meskipun telah banyak kemajuan yangdicapai selama Pembangunan Jangka Panjang Pertama, yang ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi masih banyak pula tantangan atau persoalan, khususnya dalam pembangunan ekonomi yang belum terpecahkan, seiring dengan adanya kecenderungan globalisasi, perekonomian serta dinamika dan perkembangan usaha swasta sejak awal tahun 1990-an." LihatPenjelasan Umum UU Persaingan Usaha. 22 Bidang perbankan, misalnya, telah memungkinkan bank a sing untuk mendirikan bank patungan yang sebelumnya sama sekali tidak diperkenankan.
73
mian Indonesia pada utang dan hibah luar negeri. Ketergantungan ekonomi membuat pemerintah rentan untuk mengikuti apa yang dikehendaki oleh pemberi utang atau hi bah. Penolakan untuk melakukan pembentukan UU berakibat pada ditundanya bahkan dibatalkannya utang atau hibah. Utang harus dibedakan dengan hibah, utang didasarkan pada permintaan dari negara yang ingin berutang. Permintaan tersebut bila dikabulkan akan dikaitkan dengan sejumlah persyaratan. Salah satu persyaratan yang diminta adalah reformasi hukum. Dalam krisis ekono~i selama lebih dari 5 tahun, yang dimulai sejak akhir 1997, banyak UU Bidang Ekonomi yang dikeluarkan. UU yang sang at jelas merupakan, persyaratan IMF adalah UU Kepailitian dan UU Persaingan Usaha. Dalam Letter of Intent jelas disebutkan bahwa UU Kepailitan dan UU Persaingan Usaha dijadikan syarat (conditionality) untuk mendapatkan dan pencairan utang. 23 Sementara hibah merupakan uang yang dikucurkan dari negara pemberi hibah. Uang ini pada saat dikucurkan akan dikaitkan dengan persyaratan tertentu. Am erika Serikat (AS) sebagai salah satu negara donor Indonesia melalui United States Agency for International Development (USA/D) akan memberi bantuan sepanjang terkait dengan penciptaan "a conducive legal and regulatory ftamework" dan "open access to economic opportunityt demikian juga.) Official Development Assistance (ODA) dari Jepang misalnya memberikan bantuan dalam rangka untuk memperkenalkan ekonomi pasar (introduced market economy). 25 Ekonomi pasar tentunya, membutuhkan infrastruktur hukum sebagaimana yang dikenal pada negara-negara maju atau pemberi
23 Amandemen terhadap UU Kepailitan merupakan salah satu syarat atas utang yang dikucurkan oleh IMF sebagaimana tertuang dalam Supplementary Memorandum of Economic and Financial Policies, Letter of Intent tertanggal 10 April 1998. Sementara UU Persaingan Usaha ada dalam Letter of Intent tertanggal 29 Juli 1998. 24 USAID,Activity Data Sheet, Indonesia, ttp://www.usaid.gov/pubs/cbj2002/ane/id/497-011.html (terakhir dikunjungi 2 September 2003). 25 Salah satu Principle of ODA Implementation yang tertuang dalam Revision of Japan's Official Development Assistance Charter, disebutkan bahwa, "Full attention should be paid to qif6risfior promoting democratization and introduction of a market-oriented economy and the situation regarding the protection of basic human rights and freedoms in the recipient country." Lihal Ministry of Foreign Affairs Japan, Revision of Japan's official Development Assistance Charter, 29 Agustus 2003 http://www.mofa.gojp/policy/oda/reform/revision0308. html terakhir dikunjungi 1 September 2003.
74
hibah. Di samping itu Indonesia pernah menerima hibah dari ADS dengan syarat membentuk UU Anti Pencucian Uang. 26 Persyaratan pemenuhan utang atau hibah tidak harus diartikan bahwa persyaratan tersebut murni muncul dari negara donor atau lembaga keuangan internasional. Dalam beberpa kesempatan persyaratan tersebut justru muncul dari luar pihak pemberi utang atau hibah. Kepentingan dari para pihak terakomodasi pada saat mereka diminta atau memberi masukkan kepada pihak pemberi utang atau hibah. Di sini keberadaan pemberi utang atau hibah dimanfaatkan untuk menjadi entry point oleh pihak-pihak tertentu untuk turut terlibat dalam masalah Indonesia. Pihak yang mempengaruhi pemberi utang atau donor tidak harus diartikan sebagai pihak dari luar negeri. Kerap pihak dari dalam negeripun memanfaatkan keberadaan pemberi utang atau donor untuk memaksa pemerintah melakukan suatu hal, Pihak dalam negeri sang at menyadari bahwa tanpa memanfaatkan keberadaan pemberi utang atau hibah apa yang menjadi keinginan mereka akan gagal dijadikan kebijakan oleh pemerintah. Para pemberi utang ataupun hibah, dalam beberapa hal, di samping mendorong agar suatu UU Bidang Ekonomi dikeluarkan, juga kerap terlibat dalam perancangan UU tersebut. UU Kepailitan merupakan salah satu contoh dim ana keterlibatan pemberi pinjaman dalam tahap perancangan terlihat sangat jelas. IMF menunjuk dan mendanai ahli kepailitan Belanda untuk merancang UU Kepailitan mendampingi tim dari Indonesia. Demikian pula UU Persaingan Usaha yang pada waktu masih dipersiapkan oleh Departemen Perdagangan memperoleh masukan dari para ahli dari AS dan pada saat dipersiapkan oleh DPR banyak mendapat masukan dari para ahli Jerman. Banyak lagi UU yang dalam tahap awalnya dirancang oleh para ahli dari luar negeri. Kebijakan Pemberlakuan untuk memenuhi persyaratan utang atau hibah luar negeri tidak disebutkan secara eksplisit baik dalam konsiderans menimbang maupun penjelasan umum UU. Tentunya 26 Pad a tahun 2001 ADB memberitakan bahwa "under a $650,000 regional technical assistance grant, ADB is facilitating the adoption and implementation; of measures against money laundering in Cook Islands, Fiji Islands., Indonesia, Marshall Islands, Nauru, Nepal, Philippines, Samoa, Thailand, and Vanuatu. The project will also promote regional collaboration against money laundering activities." Lihat http://www.adb.org/Documents/Periodicals/ADB-Review/2002/ vo134-1/dirty_money-asp
75
akan terkesan buruk di masyarakat bila kebijakan ini dicerminkan dalam konsiderans menimbang atau penjelasan umum. lndikasi dari dipenuhinya Kebijakan Pemberlakuan ini adalah dengan adanya UU yang dikehendaki, di sam ping juga tercermin dalam perumusan pasal.
h.
Pemenuhan Kewajiban Perjanjian lnternasional
Perjanjian internasional kerap digunakan oleh negara-negara maju untuk melakukan intervensi terhadap hukum nasional negara-negara berkembang. lni bisa terjadi mengingat perjanjian internasional yang ditandatangani oleh suatu negara akan membawa konsekuensi bagi negara tersebut untuk mentransformasikan ketentuan dalam perjanjian internasional ke dalam hukum nasional mereka. Perjanjian internasional dalam konteks seperti ini telah dijadikan alat untuk melakukan intervensi. Memang dapat diargumentasikan bahwa negara yang menandatangani perjanjian internasional bila telah menandatangani berarti negara tersebut harus tunduk pada ketentuan yang telah digariskan. Hanya saja tidak sedikit negara berkembang yang merasa harus menandatangani perjanjian tersebut karena mendapat tekanan atau diberi pemanis berupa hibah dan lain sebagainya oleh negara maju. Indonesia tidak merupakan pengecualian atas fenomena ini. Banyak perjanjian internasional yang ditandatangani yang membawa konsekuensi untuk ditransformasikan ke dalam hukum nasional. Hal ini merupakan Kebijakan Pemberlakuan berikutnya, yaitu dalam rangka memenuhi kewajiban perjanjian internasional. UU Bidang Ekonomi yang dominan karena keharusan ini adalah UU di bidang Hak Kekayaan lntelektual (sejanjutnya disebut "UU Bidang HKI") dan UU Ketenagakerjaan.27 Dua bidang ini mengingat Indonesia adalah peserta berbagai perjanjian internasional di bidang HKI, termsuk Trade-Related aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs), dan berbagai perjanjian internasional (conventions) yang dihasilkan oleh International Labour Organisations (ILO). 27 Pemenuhan kewajiban pe~anjian internasional dapat dilihatdalam konsiderans menimbang UU Hak Cipta yang menyebutkan, "bahwa Indonesia telah menjadi anggota berbagai konvensi/ perjanjian internasional di bidang hak kekayaan intelektual pad a umumnya dan Hak Cipta pad a khususnya yang memerlukan pengejawantahan lebih lanjutdalam sistem hukum nasionalnya."; Selanjutnya dalam UU Ketenagakerjaan disebut bahwa, "Komitmen bangsa Indonesia terhadap penghargaan pad a hak asasi man usia, di tempat ke~a an tara lain diwujudkan dengah meratifikasi kedelapan konvensi dasar tersebut. Sejalan dengan ratifikasi konvensi mengenai hak dasar tersebut, maka Undang-undang ketenagake~aan yang disusun ini harus pula mencerminkan ketaatan dan penghargaan pada [ketujuh prinsip] dasar tersebut."
76
Wujud konkret dari Kebijakan Pemberlakuan ini adalah dalam bentuk UU maupun amandemen pasal dari UU yang telah ada. Contoh dalam bentuk UU adalah UU Rahasia Dagang, UU Desain lndustri, UU Tata Letak Sirkuit Terpadu. Sementara dalam bentuk amandemen pasal adalah UU Paten, UU Merek dan UU Hak Cipta. Dengan dipenuhinya kewajiban dalam perjanjian internasional, di atas kertas dalam masalah HKIIndonesia memiliki substansi UU Bidang HKI yang setaraf dengan negara maju, dan di bidang ketenagakerjaan memiliki UU yang selaras dengan norma internasional. Namun ini tidak berarti kemajuan tersebut tercermin dalam kenyataan mengingat Indonesia masih menghadapi masalah besardi bidang penegakan hukum.
I.
Memberi Dukungan pada Kekuasaan
Sadar ataupun tidak UU sering digunakan oleh suatu pemerintahan untuk memberi dukungan tambahan bagi kekuasaan yang dipegangnya. Pemerintahan Soekarno mendapatkan dukungan tambahan dari rakyat dengan ambisinya untuk menghapus peraturan perundang-undangan produk kolonial. Sementara pemerintahan Soeharto berambisi untuk menghapus peraturan perundang-undangan produk kolonial dan produk pemerintahan Soekarno yang dilabel dengan "Orde Lama." Demikian pula pemerintahan Habibie juga berambisi untuk mengganti berbagai UU dengan program reformasi hukumnya. Pada masa pemerintahan Soeharto terdapat kesan di kalangan para Menteri ataupun Direktur Jenderal untuk menghasilkan atau mengubah UU yang ada selama masajabatannya. lni dilakukan karena UU dianggap sebagai salah satu indikator keberhasilan dalam memimpin suatu instansi. Dalam konteks demikian, UU dibuat bukan untuk merespon kebutuhan riil melainkan sekedar merespon ego para pejabatnya. Pada masa pemerintahan Habibie, kebijakan untuk memberlakukan Undang-undang Persaingan Usaha digunakan untuk mendapatkan dukungan pada pemerintahannya. Pemerintahan Habibie yang memerlukan legitimasi atas kekuasaannya melihat rakyat pada waktu itu muak terhadap monopoli yang dilakukan oleh para pengusaha yang dekat dengan elit kekuasaan. 28 Untuk mendapatkan dukungan dari 28 Dalam penjelasan umum UU Persaingan Usahadisebutkan bahwa, "Para pengusaha yang dekat dengan elit kekuasaan mendapatkan kemudahan-kemudahan yang berlebihan sehingga berdampak kepada kesenjangan sosial. Munculnya konglomerasi dan sekelompok kecil
77
masyarakat maka pemerintahan Habibie melihat UU Persaingan Usaha sebagai jawabannya. Bahkan nama Rancangan UU yang dipersiapkan diubah dari "Persaingan Tidak Jujur" menjadi "Larangan Praktik Monopoli." Dengan demikian masyarakat akan berpikiran bahwa dengan UU, tersebut praktik monopoli akan dihapuskan. Sayangnya tindakan demikian telah membawa masyarakat pada pemahaman yang salah. Undang-undang Persaingan Usaha dengan demikian tidak dibuat agar persaingan usaha di Indonesia semakin baik dan perekonomian semakin efisien, tetapi juga agar rakyat memberi dukungan lebih besar pada pemerintahan Habibie. Kebijakan Pemberlakuan untuk memberi dukungan pada kekuasaan berdampak buruk pada pembangunan hukum nasional. Hal ini karena setiap kali ada pergantian pemerintahan, baik di tingkat Presiden, Menteri maupun Direktur Jenderal, akan terjadi perubahan terhadap UU. Padahal perubahan yang dilakukan sekedar memindahkan pendulum dari satu sisi ke sisi yang lainnya.
2.
Faktor Eksternal
Faktor eksternal bisa mempengaruhi pembentuk UU karena adanya ketergantungan Indonesia secara ekonomi terhadap mereka. Semakin sebuah negara tergantung secara ekonomi pada negara lain, atau lembaga keuangan internasional maka semakin rentan negara tersebut untuk diintervensi. Faktor eksternal memperigaruhi pembentuk, UU melalui dua cara, Pertama dengan · memberi insentif lnsentif yang dimaksud berupa hibah atau keistimewaan tertentu (pemberian kuota dalam perdagangan internasional). Pemberian insentif ini kemudian dikaitkan. dengan syarat untuk memberlakukan UU Bidang Ekonomi tertentu. Bila tidak, insentif akan dibatalkan atau ditunda. Cara kedua adalah dengan menerapkan sanksi. Apabila pemerintah tidak memberlakukan UU Bidang Ekonomi yang diinginkan maka negara atau lembaga keuangan internasional terkait akan mengenakan sanksi. Sanksi dapat berupa penghentian fasilitas, ditundanya pemberian utang, bahkan memasukkan Indonesia ke dalam black list dan lain sebagainya. Cara terakhir ini sering dilakukan dalam kaitan dengan UU Bidang HKI.
pengusaha kuat yang tidak didukung oleh semangat kewirausahaan sejati merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan ketahanan ekonomi menjadi sangat rapuh dan tidak mampu bersaing." Lihat Penjelasan Umum UU Persaingan Usaha.
78
a.
Melindungi Investor
Negara donor dan lembaga keuangan internasional mempengaruhi pemerintah Indonesia untuk memberlakukan UU Bidang Ekonomi dengan tujuan untuk melindungi investasi yang dilakukan oleh para pelaku usaha mereka. Hal ini merupakan suatu hal yang wajar mengingat perlindungan bagi investor asal negara donor didasarkan pada kewajiban setiap negara untuk melindungi individu dan bad an hukum yang menjadi warga negaranya. Kewajiban ini muncul dalam konteks hukum internasional. Di samping itu, sebagai pembayar pajak para pelaku usaha berhak mendapat perlindungan dari negaranya. Perlindungan terhadap investor dilakukan pad a saat para investor tidak mempunyai posisi tawar (bargaining position) yang seimbang bila berhadapan dengan negara penerima investasi. Para investor biasanya akan menyampaikan keluhan mereka kepada negaranya dan negaralah yang kemudian berhadapan dengan negara penerima investasi. Mengingat negara asal, investor umumnya adalah negara maju yang memiliki andil juga dalam lembaga keuangan internasional maka mereka dapat mempengaruhi pemerintah Indonesia secara langsung ataupun melalui lembaga keuangan internasional. Lembaga keuangan internasional kerap digunakan oleh negara maju untuk "memaksa" negara yang bergantung pada lembaga keuangan internasional untuk melakukan perlindungan bagi investor mereka. Kebijakan Pemberlakuan ini biasanya tidak terungkap dalam konsiderans menimbang maupun penjelasan umum dalam UU. Kebijakan Pemberlakuan ini sangat tercermin dalam perumusan pasal UU. Sebagai contoh, pasal-pasal dalam UU Kepailitan lebih condong melindungi kreditor cfaripada debitor. Bahkan tidak adanya pasal yang mensyaratkan pihak yang hendak dipailitkan harus dalam keadaan tidak sehat (insolvent) mengindikasikan UU Kepailitan lebih berpihak pad a kreditor asing. 29 Perlindungan kreditor asing tidak terlepas dari kenyataan bahwa pada saat krisis ekonomi yang dialami oleh Indonesia, kepentingan, kreditor asinglah yang menjadi perhatian utama dari negara pemberi utang maupun lembaga keuangan internasional. Perlindungan ini 29 Undang-undang Kepailitan Indonesia terkesan aneh dengan tidak adanya persyaratan pihak yang hendak dipailitkan dalam keadaan tidak sehat mengingat Hukum Kepailitan justru mensyaratkan ketidakmampuan debitor untuk membayar utangnya.
79
diberikan mengingat di lndoensia tidak ada mekanisme yang efektif bagi proses kepailitan bila penyelesain utang di luar pengadilan mengalami jalan buntu.
b.
Membuka Akses Pasar Indonesia Lebih Luas
Bagi negara maju, negara berkembang adalah pasar yang sang at potensial bagi barang dan jasa yang dihasilkan oleh para pelaku usahanya. Tidak sedikit negara maju yang menggantungkan perekonomian nasionalnya pada investasi yang dilakukan oleh pelaku usahanya di luar negeri. Namun permasalahan yang sering dihadapi oleh pelaku usaha negara maju adalah pasar dari negara berkembang kerap sangat tertutup. Tertutupnya pasar negara berkembang bisa bermacam-macam, mulai dari alasan proteksi industri dalam negeri hingga pemberian keistimewaan bagi pelaku usaha lokal yang dekat dengan elit kekuasaan. Untuk itu sejumlah kiat dilakukan oleh negara maju untuk membuka akses pasar negara berkembang. Salah satu dari kiat tersebut adalah mempengaruhi pemerintahan negara berkembang untuk membuat UU Bidang Ekonomi yang berorientasi pad a pasar. 30 Orientasi demikian akan memberi peluang kepada pelaku usaha dari negara maju untuk memperoleh akses pasar negara berkembang. Indonesia bukanlah merupakan pengecualian di mata negara maju, negara maju menghendaki agar akses pasar Indonesia yang relatif tertutup, dibuka lebih luas. Tertutupnya pasar Indonesia bukan karena proteksi industri dalam negeri, melainkan lebih karena pemberian keistimewaan oleh pemerintah kepada pelaku usaha lokal yang dekat dengannya. Keistimewaan yang didapat oleh para pelaku usaha tertentu ini dikuatkan dengan peraturan perundang-undangan. Tidak heran bila negara donor ataupun lembaga keuangan internasional akan mempengaruhi pengambil keputusan di Indonesia untuk memberlakukan UU Bidang Ekonomi yang berorientasi pada ekonomi pasar. Kebijakan Pemberlakuan ini biasanya tidak dicerminkan secara kasat mata, seperti dalam konsiderans menimbang maupun penjelasan 30 Bagi AS, misalnya, ".. .foreign assistance has always had the two fold purpose of furthering America's foreign policy interests in expanding democracy and free markets while improving the lives of the citizens of the developing world." Lihat http://www.usaid.gov/about-usaid/ (terakhir dikunjungi 2 September 2003).
80
umum UU. Kebijakan Pemberlakuan ini cukup diterjemahkan dalam pembentukan suatu UU dan perumusan pasal. Sebagai contoh, di sam ping untuk mengefisienkan perekonomian Indonesia, sebenarnya UU Persaingan Usaha dimanfaatkan oleh para pelaku usaha asing untuk melakukan penetrasi pasar Indonesia. Dengan memperkenalkan UU Persaingan Usaha maka ini secara tidak langsung akan menghapuskan praktik monopoli yang diberikan oleh pemerintah pada segelintir pelaku usaha di Indonesia.
c.
Melakukan Harmonisasi Hukum Indonesia
Dari perspektif negara maju, harmonisasi hukum di negara bekembang merupakan suatu hal penting untuk dicapai. Harmonisasi yang menjurus pad a keseragaman di bidang infrastruktur hukum akan berdampak pada kenyamanan untuk berinvestasi dari pelaku usaha negara maju di negara berkembang. lni penting di era dunia yang tidak mengenal batas (borderless world) dan transaksi lintas batas yang memerlukan pengaturan hukum. Keinginan untuk mengharmonisasikan hukum juga dituntut oleh negara maju dan lembaga keuangan internasional terhadap hukum Indonesia, utamanya yang terkait dengan masalah ekonomi. Substansi UU yang diberlakukan di Indonesia dengan demikian akan menyerupai apa yang ada di berbagai negara maju. Ada dua cara agar Indonesia mau melakukan harmonisasi hukumnya. Pertama adalah Indonesia secara suka rela mengadopsi model law yang dikeluarkan oleh berbagai organisasi internasional. Sebagai contoh dalam penyusunan RUU Telematika yang segera akan dibahas oleh DPR digunakan Model Law dari United Nations Committee, on International Trade Law (UNCITRAL) yaitu Electronic Commerce dan Electronic Signatures. Cara kedua adalah dengan pemanfaatan bantuan finansial dan ahli dari negara maju. Indonesia akan mendapat bantuan cuma-cuma dalam perancangan suatu UU yang diinginkan untuk terjadi harmonisasi. Para ahli asing biasanya akan bekerjasama dengan ahli Indonesia dalam menyiapkan rancangan UU. Rancangan UU ini yang diharapkan disahkan oleh pembentuk UU. Dalam mempengaruhi pembentuk UU untuk menuju harmonisasi hukum Indonesia, kesan bahwa terjadi westernisasi hukum Indonesia
81
tidak dapat dihindari. Memang harmonisasi akan mengarah pada westernisasi. Namun demikian westernisasi hukum bukanlah hal baru mengingat westernisasi hukum sudah pernah dilakukan. lni terjadi pada saat Eropa melakukan kolonialisme dan imperialisme terhadap negara-negara di benua Asia, Afrika, Amerika dan Australia. Sebagai akibat saat ini hampir tidak ada negara di dunia yang memiliki hukum tanpa pengaruh dari Eropa.
d.
Memastikan Pembayaran Utang
Permintaan negara pemberi utang maupun lembaga keuangan internasional untuk memberlakukan UU Bidang Ekonomi juga dilakukan dalam rangka memastikan pembayaran utang Indonesia. Alasannya, infrastruktur hukum yang semakin ramah dengan investor (investor friendly) akan meningkatkan jumlah investasi asing dan mengefisienkan perekonomian Indonesia. Perekonomian Indonesia yang membaik dan stabil pada gilirannya akan berpengaruh pada pembayaran utang oleh Indonesia. Negara donor dan lembaga keuangan internasional bertindak mirip seperti bank dalam memberikan fasilitas kredit kepada debitor. Bank biasanya tidak begitu saja memberi fasilitas kredit melainkan akan meminta proposal yang berisi rencana penggunaan uang sampai dengan bagaimana utang akan dicicil. Bank juga mempunyai hak untuk mengintervensi atas apa yang dilakukan oleh debitor. Dalam konteks inilah negara donor dan lembaga keuangan internasional kerap melibatkan diri dalam urusan Indonesia, termasuk dalam pembentukan UU dan substansi yang diatur dalam UU tersebut.
e. Merespon Kebutuhan Masyarakat Dalam berbagai kesempatan negara donor ataupun lembaga keuangan internasional tidak akan secara terbuka mengungkap kepentingan sebenarnya dalam mempengaruhi pemerintah suatu negara untuk membentuk suatu UU. Mereka akan membungkus kepentingan tersebut dengan mengatakan bahwa apa yang dilakukan adalah demi kebaikan dan kebutuhan masyarakat dari negara terse but. 31 lni yang juga terjadi di Indonesia. 31 Dalam website resmi USAID disebutkan bahwa bantuan yang diberikan kepada negara berkembang oleh USAID salah satunya adalah, " ... improving the lives of the citizens of the developing world." Lihat http://www.usaid.gov/about usaid/ (terakhir dikunjungi 2 September 2003)
82
Dengan mengatakan perlunya membentuk suatu UU Bidang Ekonomi sebagai kebutuhan masyarakat negara donor maupun lembaga keuangan internasional berharap apa yang mereka kehendaki dapat diterima oleh pemerintah maupun rakyat Indonesia. Hanya saja belakangan ini justru sebaliknya yang terjadi. Bahkan keberadaan negara donor maupun lembaga keuangan internasional dijadikan platform kampanye oleh para politisi.
3.
Konflik Penentuan Politik Hukum dalam Pembuatan UU
Dalam menentukan politik hukum bagi pembangunan hukum di bidang ekonomi dan investasi adalah tidak tegasnya pembentuk UU dalam penentuan politik hukum yang berupa Kebijakan Pemberlakuan. lni terjadi bila antara Presiden dan DPR terjadi ketidaksesuaian, bahkan sering pula terjadi di tingkat departemen pada saat rancangan UU dipersiapkan. Ketidaktegasan bisa juga terjadi pada tingkat fraksi yang ada dalam DPR. Sulitnya menentukan politik hukum karena adanya perbedaan kepentingan. Contoh konkret adalah UU Ketenagakerjaan di mana terdapat pertentangan kepentingan yang berasal dari faktor internal dan faktor eksternal. Merespon kebutuhan masyarakat harus berbenturan dengan menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi. Dalam hal terjadi ketidaksesuaian dalam penentuan politik hukum maka pembentuk UU menyelesaikan melalui dua cara. Pertama adalah dengan cara penentuan pemenang. Apabila ketidaksesuaian terjadi antara Presiden dan DPR maka ini sangat bergantung dari tarik ulur antar dua lembaga ini. Siapa yang mendapat dukungan rakyat akan memenangkan tarik -Uiur ini. Artinya rakyat menjadi tolok ukur untuk menentukan siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Apabila ketidaksesuaian terjadi di lingkungan eksekutif maka penentuan Kebijakan Pemberlakuan akan diserahkan kepada Presiden. Sementara. ketidaksesuaian yang terjadi di tingkat fraksi, pemungutan suara yang akan menyelesaikan. Cara kedua untuk mencapai kesepakatan pada suatu ketidaksesuaian adalah dengan membuat perumusan pasal yang menampung semua keinginan. Cara inilah yang sering berlaku dalam pembuatan UU dan perumusan pasalnya di Indonesia. Penggunaan cara, kedua sebenarnya berdampak kurang baik dalam tahap implementasi. Pertama, pasal yang bersifat kompromostis
83
merupakan pasal yang mengambang pasal demikian sulit untuk dilaksanakan oleh aparat penegak hukum. Ujung-ujungnya pasal mengambang akan sangat ditentukan oleh penafsiran dari aparat penegak hukum di lapangan. Bila diserahkan kepada pelaksana UU ini akan berakibat pad a tidak adanya kepastian hukum. Pelaksana UU akan menafsirkan sesuai dengan kepentingannya. Bahkan bukan tidak mungkin ini dijadikan sarana untuk melakukan tindakan tidak terpuji, seperti pemerasan dan korupsi. Di samping itu perumusan pasal yang mengambang sangat tidak konsisten dengan sistem kodifikasi yang dianut oleh Indonesia. Sistem kodifikasi mensyaratkan perumusan pasal yang sangat elaboratif dan jelas sehingga tidak memerlukan interpretasi dari pelaksana UU. Kedua kompromi juga dilakukan dengan cara menyerahkan pad a peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Praktik ini seolah memberi cek kosong kepada Presiden untuk bebas menafsirkan keberlakuan suatu ketentuan dalam UU berdasarkan Peraturan Pemerintah atau Keputusan Presiden. Bahkan, penyerahan ke peraturan perundang-undangan yang lebih rendah bukannya menyelesaikan masalah tetapi menambah masalah mengingat Peraturan Pemerintah kadang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk dikeluarkan. Ketidaksesuaian juga dapat memunculkan tidak konsistennya an tara politik hukum yang ditetapkan dan terjemahannya dalam bentuk perumusan pasal. lni terjadi bila ada pertentangan antara Kebijakan Pemberlakuan yang dipengaruhi oleh faktor eksternal UU atau perumusan pasal memang dibuat tetapi UU tersebut tidak dimaksudkan untuk berlaku dalam kenyataan.
Ill.
Penegakan Hukum dalam Pembangunan Hukum Di Bidang Perekonomian dan lnvestasi
Dalam pembangunan hukum di bidang perekonomian dan investasi, penegakan hukum memiliki peran yang sangat penting. Sayangnya di Indonesia penegakan hukum tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Dalam kaitan ini perlu dibahas secara mendasar apa yang menjadi penyebab lemahnya penegakan hukum. Hanya saja masalah penegakan hukum tidak dapat dilihat dalam perspektif hukum semata. Perspektif harus dilakukan secara luas mengingat penegakan hukum bukan sekedar masalah hukum.
84
1.
Law and Development
Dalam studi hukum ada sebuah kajian yang disebut sebagai Law and Development yang merupakan kajian yang khas bagi permasalahan hukum di negara-negara yang baru merdeka. Kemunculan kajian Law and Development terkait fenomena transplantasi hukum di banyak negara yang baru merdeka dalam melakukan pembangunan (selanjutnya disebut "Negara Berkembang"). Di tahun 1960-an, banyak negara berkembang tidak menyia-nyiakan waktu untuk melakukan konsolidasi dan berupaya keras mengambil kebijakan untuk memakmurkan rakyatnya. Elit politik dan pengambil kebijakan di negara berkembang berupaya untuk mensejajarkan negaranya dengan negara-negara bekas penjajahnya. Mereka menghendaki agar negara mereka menjadi negara modern. Pada awalnya dalam melakukan proses pembangunan, keberadaan hukum, tidak terlalu diperhatikan. Banyak alasan yang dikemukakan. Mulai dari hukum sebagai penghambat pembangunan itu sendiri hingga peran hukum yang berbeda di negara berkembang dengan negara di Eropa atau negara yang memiliki tradisi Eropa (selanjutnya disebut "Negara Barat" atau "Negara Maju"). Namun kondisi ini lambat laun berubah. Pemerintahan dari ban yak negara barat demi kepentingan ekonomi dan pelaku usahanya di negara berkembang, mendorong (bahkan menekan) agar pemerintahan negara berkembang memperhatikan keberadaan dan fungsi hukum yang dikenal di negara mereka. Dari sini muncul upaya melakukan transplantasi atau pencangkokan peraturan perundang--undangan dan institusi hukum negara barat ke negara berkembang. Awalnya pemerintah Amerika Serikat sang at agresif dalam upaya ini. 32 Tidak heran bila ada yang mengatakan,
"... the term Law and Development was first applied to the efforts to modernize newly independent states in Africa, Latin America, and Asia. These efforts were centered around efforts to export American-style law and legal institutions to these states on theory
32 John Henry Merryman, 'Comparative Law and Social Change: On the Origins, Style, Dedine & Revival of the Law and Development Movement", American Journal of Comparative Law: 457473.
85
that such laws and legal institutions were central to economic development. 33 Kajian Law and Development tumbuh secara pesat di Amerika Serikat pada tahun 1970an. Para ahli hukum ini banyak yang terlibat dalam proyek-proyek asistensi hukum (legal assistance) pemerintah Amerika Serikat ke negara berkembang. Hanya saja banyak ahli Law and Development pada saat itu melupakan hubungan antara hukum dan masyarakat dengan mengasumsikan bahwa sistem hukum Amerika dapat diekspor secara telanjang ke negara berkembang, Di sinilah kegagalan mulai dirasakan dan para ahli mendapat kritikan. Kritikan didasarkan pada argumentasi bahwa model sistem hukum Amerika yang bertumpu pada rule of lawtidak dapat begitu saja diterapkan di negara berkembang. Belum lagi hukum Amerika bukanlah hukum yang ideal bagi banyak negara berkembang. 34 Bila ditilik ke belakang, asistensi hukum yang diberikan oleh pemerintah Amerika Serikat saat itu telah menyimpang dari tujuan awal untuk memodernkan sistem hukum negara berkembang demi pembangunan ekonomi. Apa yang dilakukan justru meminta pemerintahan negara berkembang untuk mengadopsi bulat-bulat sistem hukum Amerika. 35 Dalam perkembangannya kajian Law and Development telah kembali ke tujuan utamanya, sebagaimana yang diutarakan oleh Buscaglia dan Ratliff,
"During the past ten years law and economics have ficused on how laws and legal procedures affect economic growth and development in poor countries. 36 33 Joel M. Ngugi, "Policing Nee-Liberal Reforms: The Rule of Law as an Enabling and Restrictive Discourse,"26 U. Pa. J. lnt'l Econ. L. Fall (2005): 599 34 David M. Trubek, "Toward a Social Theory of Law: An Essay on the Study. of Law and Development": hal. 1-50. 35 Terkait dengan ini kritik yang dilontarkan pada pertengahan tahun 1970-an terhadap gerakan Law (111 (i Development adalah gerakan ini sangat kolonialis. Merryman mengatakan, -,The law' and development movement has dedined because it was, for the most part an attempt to impose U.S. ideas and attitudes on the third world, it its rawest and most unsophisticated form, law and development meant enacting American statutes, translated into the national language." Ibid., Merryman, hal. 143. 36 Edgardo Buscaglia dan William Ratliff, Law and Economics in Developing Countries. (Stanford: Hoover Institution Press, 2000), vii-viii.
86
Bahkan kajian Law and Development sudah tidak lagi dimonopoli oleh para ahli, dari Amerika. Serikat, tetapi diminati oleh para ahli banyak negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Di samping itu pihak yang berperan dalam asistensi hukum tidak hanya berasal dari pemerintah Am erika Serikat. Asistensi juga berasal dari Jepang, Uni Eropa dan Australia, di samping lembaga. keuangan internasional, seperti World Bank, Asian Development Bank dan International Monetary Fund. Di sejumlah universitas di berbagai belahan dunia, di samping terdapat para ahli Law and Development juga didirikan lembaga-lembaga yang mengkhususkan diri mengkaji berbagai masalah Law and Development. Berbagai studi sebagai hasil penelitian telah dipublikasikan. Hasil studi ini yang kemudian ditindaklanjuti menjadi program-progam untuk mereformasi hukum dari banyak negara berkembang. Salah satu yang, menarik adalah studi yang dilakukan oleh Asian Development Bank atas 6 negara Asia sehubungan dengan peran dari hukum dan institusi hukum pada pembangunan ekonomiY Dalam kesimpulannya disebutkan bahwa, 38
"Law and legal institutions in Asia changed in response to economic policies. When economic policies were introduced that gave nonstate actors, a greater Rule in making a/locative decisions, the law and its Rule in Asian economic development became increasingly similar to the West. Not only substantive laws, but also legal porcess and institutions responded to these changes... " Pernyataaan terakhir dari kesimpulan ini bisa dipertanyakan dalam konteks Indonesia. lni karena meskipun peraturan perundang-undangan (substantive laws) dan institusi hukum (legal institutions) telah merespons pada kebijakan ekonomi, namun mengapa penegakan hukum (legal process) tidak dapat merespons sebagaimana yang diharapkan? 37 Negara di Asia yang menjadi objek dari penelitian adalah RRC, India, Jepang, Korea Selatan, Malaysia dan Taiwan. 38 Katharina Pis tor dan Philip A. Wellons, The Rule ofLaw and Legal Institutions in Asian Economic Development 1460-1995. (Hong Kong: Oxford University Press (China) Ltd., 1998), 18, Negara di Asia yang menjadi objek dari penelitian adalah RRC, India, Jepang, Korea Selatan, Malaysia dan Taiwan.
87
Di sinilah perlunya penelitian yang mengkaji tentang penegakan hukum. Kajian Law and Development selain ini tidak menyentuh masalah penegakan hukum. 39 Kebanyakan isu yang mendapat bahasan adalah hal-hal yang terkait dengan peraturan perundang-undangan dan institusi hukum. Pengalaman Indonesia menunjukkan bila peraturan perundangundangan telah direformasi dan institusi hukum telah diberituk, hukum bisa tidak berfungsi bila penegakan hukum sangat lemah.
2.
Arti Penting Penegakan Hukum
Bagi masyarakat Indonesia, lemah kuatnya penegakan hukum oleh aparat akan menentukan persepsi ada tidaknya hukum. Bila penegakan hukum oleh aparat lemah, masyarakat akan mempersepsikan hukum sebagai tidak ada dalil seolah mereka berada dalam hutan rimba. Sebaliknya, bila penegakan hukum oleh aparat kuat dan dilakukan secara konsisten, barulah masyarakat mempersepsikan hukum ada dan akan tunduk. Dalam konteks demikian masyarakat Indonesia masih dalam tarat masyarakat yang 'takut' Pada (aparat penegak) hukum dan belum dapat dikategorikan sebagai masyarakat yang taat pad a hukum. Pad a masyarakat yang takut pada hukum, masyarakat tidak akan tunduk pada hukum bila penegakan hukum lemah, inkonsisten dan tidak dapat dipercaya. Oleh karenanya penegakan, hukum yang tegas dan berwibawa dalam kehidupan hukum masyarakat Indonesia sangat diperlukan. Ada dua ilustrasi sederhana yang dapat dikemukakan untuk membedakan masyarakat yang taat pada hukum dengan masyarakat yang takut pada hukum terkait dengan masalah lalu lintas. Pertama, sikap pengendara terhadap lampu lalu lintas (yang merupakan wujud paling konkret dari hukum) di jalan raya pada saat jam menunjukkan pukul satu pagi. Bila lampu lalu lintas menyala merah dan pengendara berhenti maka pengendara tersebut ~ikategorikan
39 Kerap kajian Law and Development mendapat kritik karena tidak memperhatikan faktor lain bagi beroperasinya hukum di suatu negara. Sebagai contoh Lindsey nien-kritik sebagai berikut, "Ironical! although its proponents paid scant attention to legal culture, a consequence of the fall from grace of 'Law and Development' has been tainting of legal culture' as legitimate field of enquiry, both for scholars and law reformers." Lihat: Tim Lindsey, "History Always Repeats? Corruption, Culture, and 'Asian Values'" dalam: Tim Lindsey dan Howard Dick, Corruption in Asia Rethinkinp. Governance Paradigm. {Sydney: Federation Press, 2002),6.
88
sebagai individu yang taat pada hukum. Namun bila pengendara tersebut tidak berhenti meskipun ia tahu tidak ada ancaman apapun maka pengendara tersebut dikategorikan sebagai individu yang takut pada hukum. Pengendara dikategorikan sebagai takut pada hukum karena ia tahu di pagi buta tidak akan ada polisi lalu lintas yang akan menegakkan aturan lalu lintas, paling tidak kekhawatiran akan denda damai saat melanggar. Bagi pengendara yang takut dengan hukum, lampu lalu lintas dipersepsikan bukan hukum yang harus ditaati melainkan sekedar benda mati. llustrasi kedua terkait dengan kewajiban menggunakan sabuk keselamatan. Dalam UU Lalu Lintas yang diundangkan pada tahun 1992 terdapat ketentuan tentang penggunaan sabuk keselamatan. 40 Namun dalam kenyataannya di Jakarta baru pada tahun 2004 Polisi lalu lintas menegakkan aturan ini sehingga masyarakat menggunakan sabuk keselamatan. Menjadi pertanyaan apakah sikap masyarakat menggunakan sabuk keselamatan karena taat pada UU Lalu Lintas ataukah karena takut pada polisi lalu lintas, bahkan takut akan mahalnya denda damai yang akan dikenakan? Jawaban dari pertanyaan ini tentunya yang terakhir. Dua ilustrasi di atas merupakan cermin dari sikap kebanyakan individu di Indonesia. Masyarakat yang takut pada hukum, bukan masyarakat yang patuh pada hukum. Patuh pada hukum bukanlah tataran yang terting~i. Tataran tertinggi adalah bila setiap individu dalam masyarakat bersikap di bawah alam sadarnya sesuai dengan tujuan hukum. Di sini hukum terinternalisasi dalam perilaku individu. Misalnya saja seorang warga negara lnggris yang datang ke Indonesia akan segera menggunakan sabuk keselamatan bila masuk mobil dan menempati tempat duduk di samping pengemudi. Ia 40 Pasal23 ayat 1 (e) jo. Pasal61 ayat 2 Undang Undang No. 14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas danAngkutan Jalan yang menentukan, "Barangsiapa tidak rnenggunakan sabuk keselamatan pada waktu mengemudikan kendaraan bermotor roda em pat atau lebih, atau tidak ( ... dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah)", dan ayat 3 "Barangsiapa tidak memakai sabuk keselamatan pad a waktu duduk di samping pengemudi kendaraan bermotor rod a empat atau lebih, atau tidak ... dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda setingi-tingginya Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah)." ·
89
menggunakan sabuk keselamatan bukan lantaran takut dengan polisi lalu lintas, bukan juga karena dia tahu bahwa ada ketentuan yang mewajibkan, Ia menggunakan sabuk keselamatan karena ia tahu tujuannya, di samping sudah terbiasa. Sayang pada saat ini masyarakat Indonesia masih jauh untuk dapat dikategorikan sebagai masyarakat di mana hukum telah terinternalisasi dalam sikap individu. Bila masyarakat demikian terwujud, penegakan hukum tidak perlu diltakutkan setiap saat dan di setiap sudut. Realitas saat ini adalah penegakan hukum berfungsi dan difungsikan sebagai instrumen untuk membuat masyarakat takut pada hukum yang pada gilirannya diharapkan masyarakat menjadi tunduk pada hukum. Hanya saja penegakan hukum sebagai instrumen telah dihinggapi berbagai problem yang Akut Problem inilah yang menyebabkan penegakan hukum menjadi lemah dan pada gilirannya hukum dipersepsikan sebagai telah mati.
3.
Penyebab Lemahnya Penegakan Hukum
Di Indonesia, secara tradisional institusi hukum yang melakukan penegakan hukum adalah Kepolisian, Kejaksaan, Badan Peradilan danAdvokat. Di luar institusi tersebut masih ada, di antaranya, Direktorat Jenderal Bea Cukai, Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal lmigrasi. Problem dalam penegakan hukum yang dihadapi oleh Indonesia perlu untuk dipotret dan dipetakan. Tujuannya agar para pengambil kebijakan dapat mengupayakan jalan keluar. Berikut adalah sejumlah problem penegakan hukum yang dihadapi oleh Indonesia yang sebenarnya telah banyak disampaikan oleh para ahli, pakar, birokrat di berbagai forum.
a.
Problem pada Pembuatan Peraturan Perundang-undangan
Sulitnya penegakan hukum di Indonesia berawal sejak peraturan perundang-undangan dibuat. Paling tidak ada dua alasan untuk mendukung pernyataan ini. Pertama, pembuat peraturan perundang-undangan tidak memberi perhatian yang cukup apakah aturan yang dibuat nantinya bisa dijalankan
90
atau tidak. Pembuat peraturan perundang-undangan sadar ataupun tidak telah mengambil asumsi aturan yang dibuat akan dengan sendirinya dapat berjalan. Di tingkat nasional, misalnya, UU dibuat tanpa memperhatikan adanya jurang untuk melaksanakan UU antara satu daerah dengan daerah lain. Kerap UU dibuat dengan merujuk pada kondisi penegakan hukum di Jakarta atau kota besar. Konsekuensinya UU demikian tidak dapat ditegakkan di kebanyakan daerah di Indonesia dan bahkan menjadi UU mati. Keadaan diperparah karena dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dengan tidak diperhatikan infrastruktur hukum yang berbeda di berbagai wilayah di Indonesia. Padahal infrastruktur hukum dalam penegakan hukum sangat penting. Tanpa infrastuktur hukum yang memadai tidak mungkin peraturan perundang-undangan ditegakkan seperti yang diharapkan oleh pembuat peraturan perudangundangan. Kedua, peraturan perundang-undangan kerap dibuat secara tidak realistis. lni terjadi terhadap pembuatan peraturan perundang-undangan yang merupakan pesanan dari elit politik, negara asing maupun lembaga keuangan internasional. Di sini peraturan perundang-undangan dianggap sebagai komoditas. Elit politik dapat menentukan agar suatu peraturan perundangundangan dibuat, bukan karena kebutuhan masyarakat, melainkan agar Indonesia memiliki peraturan perundang-undangan yang sebanding (comparable) dengan negara industri. Sementara negara asing ataupun lembaga keuangan internasional dapat meminta Indonesia membuat peraturan perundang-undangan tertentu sebagai syarat Indonesia mendapatkan pinjaman atau hibah luar negeri. Peraturan perundang-undangan yang menjadi komoditas, biasanya kurang memperhatikan isu penegakan hukum. Sepanjang trade off dari pembuatan peraturan perundang-undangan telah didapat maka penegakan hukum bukan hal penting. Bahkan peraturan perundangundangan seperti ini tidak realistis untuk ditegakkan karena dibuat dengan cara mengadopsi langsung peraturan perundang-undangan dari negara lain yang nota bene memiliki infrastruktur hukum yang jauh berbeda dengan Indonesia. Dua alasan di atas mengindikasikan peraturan perundang-undangan sejak awal dilahirkan tanpa ada, keinginan kuat untuk dapat ditegakkan dan karenanya hanya memiliki makna simbolik (symbolic meaning).
91
b. Masyarakat Pencari Kemenangan bukan Keadilan Masyarakat Indonesia terutama yang berada di kota-kota besar bila mereka berhadapan dengan proses hukum akan melakukan berbagai upaya agar tidak dikalahkan atau terhindar dari hukuman. Kenyataan ini mengindikasikan masyarakat di Indonesia sebagai masyarakat pencari kemenangan, bukan pencari keadilan. Sebagai pencari kemenangan, tidak heran bila semua upaya akan dilakukan, baik yang sah maupun yang tidak, semata-mata untuk mendapat kemenangan. Tipologi masyarakat pencari kemenangan merupakan problem bagi penegakan hukum, terutama bila aparat penegak hukum kurang berintegritas dan rentan disuap. Masyarakat pencari kemenarigan akan memanfaatkan kekuasaan dan uang agar memperoleh kemenangan atau terhindar dari hukuman. Tipologi masyarakat seperti ini tentunya berpengaruh secara signifikan terhadap lemahnya penegakan hukum. Hukum tidak bisa tegak selama masyarakat mencari kemenangan.
c.
Uang yang mewarnai Penegakan Hukum
Problem selanjutnya sebagai penyebab, lemahnya penegakan hukum adalah pengaruh uang. Di setiap lini penegakan hukum, aparat dan pendukung aparat penegak hukum, sangat rentan dan terbuka peluang bagi praktik korupsi atau suap. Uang dapat berpengaruh pada saat polisi melakukan penyidikan perkara. Dengan uang, pasal sebagai dasar sangkaan dapat diubahubah sesuai jumlah uang yang ditawarkan. Pada tingkat penuntutan, uang bisa berpengaruh terhadap diteruskan tidaknya penuntutan oleh penuntut umum. Apabila penuntutan diteruskan, uang dapat berpengaruh pada seberapa berat tuntutan yang akan dikenakan. Di institusi peradilan dari yang terendah hingga tertinggi, uang berpengaruh pada putusan yang akan diterbitkan oleh hakim. Uang dapat melepaskan atau membebaskan seorang terdakwa. Bila terdakwa dinyatakan bersalah dengan uang hukuman bisa diatur agar serendah dan serillgan mung kin. Bahkan di lembaga pemasyarakatan uang juga berpengaruh. Bagi mereka yang memiliki uang maka akan mendapat perlakuan yang lebih baik dan manusiawi. Gambaran di atas menunjukan sudut-sudut di mana uang bisa berpengaruh pada proses penegakan hukum. Bahkan penegakan hukum
92
yang terkena pengaruh uang dapat diperluas ke wilayah keimigrasian, kepabeanan, perpajakan dan lain sebagainya.
d.
Penegakan Hukum sebagai Komoditas Politik
Penegakan hukum di Indonesia telah menjadi komoditas politik meskipun belakangan ini semakin berkurang intensitasnya. Pad a masa pemerintahan Soeharto penegakan hukum sebagai komoditas politik sangat merajalela. Penegakan hukum bisa diatur karena kekuasaan menghendaki. Aparat penegak hukum didikte oleh kekuasaan, bahkan diintervensi dalam menegakkan hukum. Penegakan hukum akan dilakukan secara tegas karena penguasa memerlukan alasan sah untuk melawan kekuatan pro demokrasi atau pihak-pihak yang membela kepentingan rakyat. Tetapi penegakan hukum akan dibuat lemah oleh kekuasaan bila pemerintah atau elit-elit politik yang menjadi pesakitan. Penegakan hukum sebagai komoditas politik ini menjadi sumber tidak dipercayanya penegakan hukum di Indonesia.
e. Penegakan Hukum yang Diskriminatif elan Ewuh Pakewuh Problem lain dari lemahnya penegakan hukum adalah penegakan hukum dilakukan diskriminatiftersangka koruptordan tersangka pencuri sandal akan mendapat perlakuan dan sanksi yang berbeda. Tersangka yang mempunyai status sosial yang tinggi di tengah-tengah masyarakat akan diperlakukan secara istimewa. Penegakan hukum seolah hanya berpihak, pada si kaya tetapi tidak pada si miskin. Bahkan hukum berpihak pada mereka yang memiliki jabatan dan koneksi dari para pejabat hukum atau akses terhadap keadilan. lni semua karena mentalitas aparat penegak hukum yang lebih melihat kedudukan seseorang di masyarakat atau status sosialnya daripada apa yang diperbuat oleh orang yang menghadapi proses hukum. Belum lagi dalam mentalitas aparat penegak hukum ada perasaan ewuh pakewuh terhadap mereka yang memiliki pangkat dan jabatan. Status sosial seolah menjadi penting bagi mereka yang menghadapi proses hukum. Semakin tinggi status sosial semakin tinggi rasa sungkan dari aparat penegak hukum.
93
Sebaliknya semakin seseorang memiliki status sosial yang rendah semakin mudah aparat penegak hukum melakukan tindakan tidak terpuji, seperti pemukulan atau dibiarkannya penayangan muka dan pengakuan di depan kamera televisi. Bahkan, dalam proses tertangkapnya penjahat kelas teri polisi kerap membiarkan penjahat untuk dipukuli oleh masyarakat. Setelah babak belur, baru polisi mengambil tindakan melindungi. f.
Lemahnya Kualitas dan lntegritas Sumber Daya Manusia
Di awal kemerdekaan institusi hukum, terutama Badan Peradilan dan Kejaksaan diisi oleh sumber daya manusia yang terbaik kala itu. Tidak sedikit dari hakim ataupun jaksa menjadi guru besar di berbagai fakultas hukum universitas ternama. Profesi hakim dan jaksa sangat dihormati. Penghasilan profesi hakim dan jaksa ketika itu sangat baik bila dibandingkan dengan advokat. Para hakim ataupun jaksa dalam masa aktifnya tidak akan menyeberang menjadi advokat kecuali bila mereka telah pensiun. Namun pada tahun 1970-an, setelah dibukanya investasi asing, dunia keadvokatan mengalami perubahan yang sangat mendasar. Berbagai kantor hukum bermunculan yang tidak hanya menangani perkara-perkara di hadapan pengadilan, tetapi membantu klien dalam merancang kontrak. Kantor hukum ini mirip dengan kantor hukum yang ada di Am erika Serikat. Bahkan cara pembayaran fee tidak. jauh berbeda. Pengenaan fee juga sama, dalam bentuk dolar dengan tarif yang sama dengan para advokat di Amerika Serikat. Kompensasi yang didapat sebagai advokat jauh melebihi hakim an jaksa. Pendapatan mereka yang baru lulus untuk menjadi advokat dapat 5 kali lipat dari seorang hakim ataupun jaksa yang telah berkarir 10 tahun. Dalam suatu penelitian, tesh graduate sarjana hukum yang memilih profesi sebagai advokat mendapatkan kompensasi sekitar Rp 8-14 juta, sedangkan yang menduduki jabatan senior lawyer mendapat kompensasi Rp 15-30 juta. 41
a
41 Laporan Penelitian "Penilaian Kebutuhan Pengadilan Niaga Jakarta", oleh PT Nagadi Ekasakti, 19 JUH 2004, hal. 51.
94
Akibatnya, para lulusan terbaik dari universitas ternama cenderung ingin menjadi advokat dan menjauhkan diri dari profesi hakim dan jaksa. lni· berarti ban yak sumber daya manusia yang baik dan memiliki integritas lebih memilih bekerja di sektor swasta. Sementara sumber daya manusia yang biasa-biasa dari segi kemampuan dan integritas akan memasuki sektor publik. Keengganan para lulusan terbaik dari universitas ternama juga dikarenakan proses rekrutmen terindikasi suap dan korupsi. Kalaupun ada mahasiswa dari perguruan tinggi terkemuka yang mau memilih karir sebagai hakim ataupun jaksa, pilihan terse but lebih karena alasan idealisme, profesi yang turun temurun dan kenyataan tidak diterima di kantor hukum ternama. Bila sektor publik gagal menarik para individu yang memiliki ilmu dan integritas, bahkan rekrutmen terindikasi suap dan korupsi maka penegakan hukum akan terus lemah dan akan terus terlanggengkan peranan uang dalam penegakan hukum. lni semua akan bermuara pada peluang terjadinya mafia peradilan. g.
Advokat Tahu Hukum versus Advokat Tahu Koneksi
Dunia advokat pun tidak terbebas dari masalah penegakan hukum. Dalam dunia advokat menurutAmir Syamsudin dapat dibedakan antara advokat yang idiil dan advokat yang nekat. 42 istilah lain bisa digunakan yaitu advoakat yang tahu hukum dan advokat yang tahu hakim, jaksa, polisi, pendeknya advokat yang memiliki koneksi. Mengingat tipologi masyarakat di Indonesia sebagai pencari kemenangan maka bila berhadapan dengan hukum mereka lebih suka dengan advokat yang tahu koneksi daripada advokat yang tahu hukum. lni karena mereka ingin menang dan tidak ingin memperoleh keadilan. Dalam kondisi seperti ini menang perkara bisa ditentukan siapa yang dikenal di jajaran pejabat penegak hukum. Advokat yang tahu koneksi kerap menjadi makelar perkara. Bahkan mereka berani, menjanjikan kemenangan bila klien bersedia memberi sejumlah uang yang menurutnya untuk para aparat penegak hukum. Advokat yang tahu koneksi tidak jarang membuat jaringan di lingkungan Kepolisian, Kejaksaan hingga Badan Peradilan. 42 AmirSyamsudin, "Antara Pengacara Nekatdan Sukses", Kompas. hal.10dapatdiaksesdi http:/ /www.kompas.com/kompas-cetak/0512/05/opini/2267269-htm
95
Kadang advokat yang merangkap sebagai makelar perkara demikian tidak memiliki etika sama sekali. Untuk kepentingannya sendiri ia berani menjual nama para pejabat hukum untuk mendapat uang dari klien. Padahal para pejabat hukum sama sekali tidak memintanya. Tidak heran bila pejabat penegak hukum bersih pun akhirnya terindikasi menerinia suap ataupun terlibat dalam korupsi. Dalam berita di media massa terungkap pencari keadilan yang melempar sepatu atau mengadu kepada pers karena merasa telah memberi sejumlah uang kepada hakim namun hakim tetap memutus hukuman yang berat. Dalam kasus seperti ini bisa jadi advokatlah yang bermain di tengah-tengah ketidaktahuan hakim dan pencari keadilan. Advokat dan para makelar kasus pun kerap melakukan pembinaan terhadap para aparat penegak hukum dalam jangka panjang. Hubungan baik dijalin, bahkan mereka bersedia untuk menyekolahkan dan menyiapkan kebutuhan yang tidak terkait langsung dengan perkara. lni dilakukan sehingga aparat penegak hukum memiliki ketergantungan. Ketergantungan inilah pada suatu saat akan dimanfaatkan.
h.
Keterbatasan Anggaran
Problem lain dari lemahnya penegakan hukum adalah keterbatasan anggaran. Penganggaran bagi infrastruktur hukum oleh negara tidak dialokasikan secara memadai. lnstitusi pengadilan yang seharusnya menunjukkan kewibawaan melalui bangunannya masih banyak yang memprihatinkan, bahkan dalam ukuran yang tidak sebanding dengan keangkerannya. Ruangruang sidang jauh dari kesan nyaman sehingga tidak memungkinkan orang mengikuti secara cermat proses persidangan. Lebih menyedihkan lagi para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara harus menggunakan peraturan perundang-undangan yang mereka beli sendiri. Padahal, peraturan perundang-undangan ini seharusnya merupakan kewajiban dan disediakan oleh negara. Perpustakaan di kebanyakan pengadilan sangat miskin literatur sehingga tidak mungkin dijadikan rujukan untuk membuat putusan hakim. Pengalokasian anggaran bagi polisi dan jaksa dalam menangani suatu kasus jauh dari memadai. Padahal kasus yang harus dipecahkan atau disiapkan untuk dituntut sangat kompleks. Dalam kondisi keterbatasan anggaran, kerap pihak yang melapor kejahatan justru harus mengeluarkan biaya. Tidak he ran bila ada anekdot
96
seorang yang kehilangan kambing bila melapor ke polisi dapat kehilangan rum ah. Keterbatasan anggaran kerap disiasati oleh aparat penegak hukum. Polisi lalu lintas, misalnya, untuk menyiasati keterbatasan anggaran menggunakan patung polisi ataupun gam bar mobil polisi pad a sebuah tripleks. lni karena negara belum dapat menganggarkan personil polisi atau mobil polisi yang bertugas selama dua puluh em pat jam. Patung dan gambar polisi berfungsi sebagai alat untuk menakut-nakuti pengendara yang bermental takut pada hukum. Pendeknya keterbatasan anggaran telah membuat penegakan hukum lemah, tidak efektif dan kurang bergigi.
i.
Penegakan Hukum yang Dipicu oleh Media Massa
Dalam beberapa tahun terakhir masalah penegakan hukum mendapat tempat tersendiri di berbagai media massa. Penegakan hukum yang diberitakan pun tidak yang umum-umum, melainkan penegakan hukum yang melibatkan orang yang menjabat di institusi hukum. Disadari ataupun tidak penegakan hukum di Indonesia belakangan ini telah memasuki situasi yang dipicu oleh pers (press driven law enforcement). Penegakan hukum yang disorot oleh pers tentu sangat positif karena penegakan hukum akan secara serius dilakukan. Mung kin saja tanpa ditempatkan sebagai berita utama berbagai penegakan hakum akan dilakukan biasa-biasa saja. Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah dampak sesaatnya. Timbul tenggelamnya penegakan hukum terhadap suatu kasus seolah bergantung pada media massa. Bila media massa mau menempatkan suatu kasus pada berita utama dan berhari-hari maka institusi hukum akan bekerja secara cepat dan responsifnamun bila kasus yang sama surut diberitakan di media massa maka surutlah penegakan hukum oleh berbagai institusi hukum. Dalam situasi demikian, kesinisan muncul karena solusi bagi mereka yang terkena kasus yang mendapat perhatian media massa adalah harapan adanya kasus hukum lain yang lebih mendapat perhatian. Di sini tidak dapat dihindari kesan bahwa penegakan hukum yang dilakukan oleh institusi hukum sebatas apa yang diselerakan oleh media massa. Adalah bukan suatu harapan bila penegakan hukum sekedar dikendalikan oleh pers (press controlled law enforcement).
97
Ekses dari penegakan hukum yang dipicu oleh pers dapat berakibat fatal. Aparat penegak hukum berada dalam kondisi panik dan pihakpihak yang tidak seharusnya menghadapi proses hukum bisa dijadikan pesakitan. Kondisi yang mengarah pada penegakan hukum yang dipicu oleh pers telah memunculkan kekhawatiran yang berlebihan dari pihakpihak tertentu. Di instansi pemerintah, pegawai tidak mau ditunjuk sebagai pimpinan proyek karena jabatan tersebut rentan dituduh melakukan korupsi dan menerima suap. Di Bank pemerintah, pegawai yang mengurusi kredit akan sangat ekstra hati-hati dalam menyetujui pinjaman agar tidak mudah dijadikan pesakitan tindak pidana korupsi bila kredit macet, polisi dan tentara tidak berani mengambil tindakan tegas karena khawatir dituduh melakukan pelanggaran HAM. Bahkan dokter tidak berani melakukan tindakan medis seperlunya karen a khawatir terjerat mal praktik.
4.
Fundamen Bagi Solusi Pembenahan
Setelah dipaparkan berbagai problem penegakan hukum di Indonesia, tibalah saatnya untuk menawarkan solusi. Secara faktual telah banyak solusi yang dilontarkan oleh berbagai pihak dan kalangan. Bahkan, berbagai solusi tersebut telah diakomodasi sebagai kebijakan oleh pemerintah. Hanya saja solusi yang diberikan terkadang tidak komprehensif dan hanya memadai untuk sesaat. Kelemahan lain adalah solusi yang diberikan tidak terlalu memperhatikan konsekuensi ikutan. Bahkan solusi diberikan sekedar untuk memenuhi suatu kebutuhan, semisal proyek asistensi hukum negara donor atau lembaga keuangan internasional, Ada pula solusi yang diadopsi sekedar agar pemerintah mendapat dukungan publik. Pada akhirnya berbagai solusi yang dilontarkan dan telah diadopsi bukanlah solusi. Bisa jadi dengan berjalannya waktu 1ustru berbagai solusi tersebut menjadi problem tersendiri. · Pada saat ini diperlukan solusi yang lebih komprehensif yang memperhatikan berbagai konsekuensi ikutan. Hanya saja pada kesempatan ini tidak akan disampaikan solusi yang berbentuk program-program konkret yang dapat segera dijalankan. Adapun yang hendak disampaikan adalah dasar atau fundamen bagi sejumlah solusi yang lebih konkret.
98
a.
Menerima dan
T~dak
Menyangkal
Fundamen terpenting dan utama adalah para pengambil kebijakan harus dalam posisi dapat menerima (accept) berbagai problem penegakan hukum. Pengambil kebijakan tidak seharusnya dalam posisi menyangkal (denial) berbagai problem yang ada. Penyangkalan sama saja menaifkan adanya problem dan dalam kondisi demikian apapun solusi menjadi tidak relevan. Pada masa lampau pengambil kebijakan kerap menyangkal bahwa Indonesia menghadapi berbagai problem penegakan hukum. Penyangkalan tersebut berakibat pada terakumulasinya berbagai permasalahan. Seandainya problem penegakan hukum terselesaikan pada saat awal kemunculannya mungkin problem penegakan hukum tidak terlampau parah -seperti sekarang. Saat ini akumulasi masalah telah membuat problema yang dihadapi menjadi kompleks. Masalah yang satu terkait dengan masalah yang lain. Akibatnya, apapun solusi yang ditawarkan seolah tidak menjadi jawaban manjur karena permasalahan telah menjadi lingkaran setan.
b.
Perlu Kesabaran karena Tidak Ada Quick Solution
Dalam pembenahan problem penegakan hukum diperlukan kesabaran yang tinggi karena harus disadari bahwa tidak ada quick solution atau solusi instan. Sekali lagi problem penegakan hukum yang saat ini terjadi di Indonesia merupakan problem yang kompleks. solusi atas permasalahan ini tidak mungkin dilakukan secara sederhana. Sayangnya pengambil kebijakan ataupun pakar hukum kerap menyederhanakan jalan keluar. Penyederhanaan solusi dilakukan dengan cara membuat peraturan perundang-undangan dengan substansi 'anti' dari masalah yang dihadapi. Dalam kenyataannya solusi demikian tidak memberikan hasil. Bahkan penyederhanaan, dan ketidaksabaran menjurus pada pengambilan kebijakan yang tidak dibenarkan menu rut hukum dan ilmu pengetahuan hukum. Solusi instan terkadang tidak menjadi jalan keluar, tetapi justru memunculkan problem baru bagi penegakan hukum.
c.
Pendekatan Multi Disiplin
Problem penegakan hukum yang dihadapi oleh Indonesia harus diakui dan diterima oleh komunitas hukum, sebagai problem yang tidak secara eksklusif dapat diselesaikan dengan pendekatan ilmu hukum.
99
Bahkan komunitas hukum, harus mengakui solusi berdasarkan pendekatan ilmu hukum tidak akan memadai. Problem penegakan hukum harus dicarikan solusi dalam konteks kajian Law and Development yang membuka kesempatan berbagai disiplin ilmu untuk berperan. Bahkan para ahli hukum yang terlibat dalam mencari solusi atas problem penegakan hukum harus memiliki pengetahuan lain selain hukum, khususnya ilmu sosial mengingat. "... while Law and Development research can indude textual, doctrinal, and historical analyses of law, it must also adopt a broader perspective in which law and legal process are seen in the context of the larger social, political and economic system in which, they operate. "43 Namun sayangnya para pakar, ahli dan mahasiswa program doktor hukum merasa bahwa studi yang terkait dengan Law and Development dapat mereka bahas tanpa memperhatikan kelemahan mereka dalam ilmu sosial. Padahal "... legal scholars engaged in Law and Development research should have some exposure to the theory and methods of the social sciences ... "44 Perkembangan di Indonesia akhir-akhir ini cukup menggembirakan karena, banyak pihak yang tidak berlatar belakang pendidikan hukum telah turut berwacana atas berbagai problem penegakan hukum. Perkembangan ini perlu ditindaklanjuti dengan mendorong para ahli non hukum untuk dapat berinteraksi dan berdiskusi secara intens dengan para ahli hukum Law and Development dalam memunculkan solusi konkret.
d. Mengedepankan Kesejahteraan Kesejahteraan aparat penegak hukum harus mendapat perhatian yang khusus dari pengambil kebijakan. Mengedepankan kesejahteraan aparat penegak hukum harus dilihat sebagai fund amen dari solusi dan tidak sekedar program. Mengedepankan kesejahteraan dimaksudkan untuk dua tujuan: Pertama, agar pengaruh uang dalam penegakan hukum dapat diperkecil. Kedua, untuk menarik minat lulusan fakultas hukum yang berkualitas
431bid., 22 44lbid.
100
dan berintegritas dari berbagai universitas ternama dalam penegakan hukum di sektor publik. Kesejahteraan di sini harus diterjemahkan dalam konteks kemampuan secara finansial bagi aparat penegak hukum untuk mendapatkan perumahan yang layak, transportasi, kesehatan dan pendidikan bagi anak. Sebagai gambaran, gaji pokok di lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk jabatan hakim berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 12 tahun 2003 sekitar Rp 4,2 juta- 6,8 juta, sementara pengeluaran per bulan yang wajar mencapai Rp 14 juta. 45 Dari sini terlihat bahwa penghasilan hakim saat ini tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak. Oleh karena itu, dalam suatu penelitian penghasilan hakim diusulkan berkisar antara Rp 10,8 juta - Rp 20,5 juta. 46
c.
Menjaga Konsistensi
Sebagaimana telah diuraikan dalam problem penegakan hukum, penegakan hukum di Indonesia sang at diwarnai oleh uang, perlakuan yang diskriminatif dan perasaan sungkan dari para aparat penegak hukum. Belum lagi penegakan hukum dijadikan komoditas politik. Sebagai akibat dari semua ini tidak terlalu aneh bila persepsi muncul di masyarakat yang mengatakan penegakan hukum dilakukan secara tebang pilih. Untuk menghindarkan kesan tebang pilih dalam melakukan penegakan hukum perlu meletakkan fund amen yang kuat agar aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya dapat menjaga konsistensi, paling tidak semua pihak, termasuk pemerintah, dapat menciptakan suasana kondusif agar penegakan hukum dilakukan secara konsisten. Menjadi pertanyaan apa yang dijadikan acuan untuk menjaga konsistensi ini? Sebagai acuan tentunya bukan kekuasaan, uang ataupun variabel-variabellain. Sebagai acuan adalah hukum, khususnya peraturan perundang-undangan. Memang harus diakui terkadang peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak dapat dijadikan acuan kuat karena adanya tumpang tindih antara satu peraturan perundang45 Jumlah yang disebutkan dapat membengkak bila melihat kenyataan di Indonesia keluarga besar aparat, pejabat atau pejabatpenegak hukum akan membebani mulai dari meminta dan meminjam uang hingga menitipkan kerabatnya untuk dipekerjakan. 46 Laporan penelitian. Ibid, 43) dan Lampiran V dan VI butir 4. Penilaian dilakukan berdasarkan Survei biaya hidup tahun 1996.
101
undangan dengan peraturan perundang-undangan lain, bahkan ketentuan yang diatur sangat kabur sehingga perlu dilakukan tafsir. Kelemahan ini tentu harus diatasi namun aparat penegak hukum perlu untuk didorong agar konsisten dengan hukum dalam menjalankan tugasnya. f.
Pembersihan Internal
Pada saat ini sedang dilakukan upaya untuk membersihkan institusi hukum dari personil nakal dan bermasalah. Banyak pihak mengandaikan, bila hendak bersih-bersih ruangali maka sapu harus bersih terlebih dahulu. Oleh karenanya upaya pembersihan internal dalam institusi hukum harus dilakukan dan perlu terus mendapat dukungan. Dalam konteks ini, para pengambil kebijakan harus memahami bahwa mentalitas aparat penegak hukum di Indonesia masih seperti layaknya masyarakat di Indonesia. Mereka takut pada hukum dan bukan taat pada hukum. oleh karena itu, perlu diciptakan penegakan hukum yang tegas bagi para pejabat hukum yang melakukan penyelewenangan jabatan. Mekanisme yang diciptakan haruslah mekanisme yang memang dapat bekerja (workable) sehingga betulbetul dapat menjerat personil yang bersalah dan dapat dipercaya (reliable) oleh masyarakat. Pembersihan internal perlu dilakukan secara intensif pada saat pengambil kebijakan telah memutuskan untuk mengedepankan kesejahteraan. lni untuk memilah mereka yang menyelewengkan jabatan karena untuk sekedar bisa survive hidup dengan mereka yang bermotivasikan 'tamak' mengkomersialkan jabatannya. Sebelum negara dapat memberikan kesejahteraan yang memadai akan sulit bila dilakukan pembersihan internal secara ekstensif dan tegas. g.
Pendekatan Manusiawi dan Mengantisipasi Perlawanan
Pembenahan atas penegakkan hukum, terutama pada institusi hukum, harus dipahami sebagai pembenahan yang terk~it dengan man usia. Manusia yang menjadi objek pembenahan pun tidak terbatas pada individu yang ada dalam institusi hukum, tetapi juga manusia yang berada di sekeliling individu tersebut, termasuk keluarga. Pembenahan terhadap manusia hukum harus dilakukan secara manusiawi. Pembenahan sedapat mungkin tidak menyinggung harga diri, bahkan merendahkan diri mereka yang terkena kebijakan.
102
Di samping itu, kompleksitas membenahi manusia juga harus dipahami. Bila dibandingkan dengan reformasi peraturan perundangundangan, reformasi sumber daya man usia sang at rum it. Pembenahan manusia menyangkut sikap tindak (mindset). Sikap tindak yang telah lama berakar akan sulit untuk diubah dalam sekejap. Bagi mereka yang tidak sabar solusi termudah adalah mengganti seluruh manusia yang ada di suatu institusi hukum. Namun ini tidak akan menyelesaikan masalah secara tuntas. Bila pembenahan manusia hukum tidak dilakukan secara manusiawi dapat dipastikan akan ada perlawanan. Perlawanan akan menjadikan proses pembenahan semakin rumit dan panjang. Oleh karenanya fundamen dari solusi yang dicari adalah pembenahan yang seminimal mungkin dapat menekan rasa dendam atau perlawanan. Namun demikian bila pembenahan terhadap manusia dan institusi hukum sudah memasuki proses hukum maka penegakan hukum harus dilakukan secara tegas.
h.
Partisipasi Publik
Dalam pembenahan penegakan hukum, penting untuk disadarkan dan diintensifkan partisipasi publik. Partisipasi publik tidak sekedar melibatkan lembaga swadaya masyarakat, tetapi para individu yang ada dalam masyarakat. Semua pihak mempunyai peran dalam pembenahan penegakan hukum di Indonesia. Setiap individu Indonesia akan memiliki peran dan kontribusi besar. Banyak yang bisa dilakukan. Mulai dari hal kecil, seperti setiap individu tunduk pada hukum bukan karena takut tetapi karen a taat. Orang tua yang mengarahkan kepada anak agar mematuhi aturan sejak usia belia. Bahkan, individu yang terkena proses hukum dapat menahan diri untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat melemahkan penegakan hukum. Hanya saja dalam menggerakkan partisipasi publik sedapat mung kin tidak dilakukan melalui gerakan-gerakan formal. Gerakan harus dilakukan secara bottom up dan bukan top down. Bahkan bila perlu partisipasi publik dilakukan secara virtual dan tidak dirasakan.
103
IV. Penutup Politik dan penegakan hukum merupakan dua hal penting dalam meletakkan arah kebijakan pembangunan hukum, di bidang perekonomian dan investasi. Politik hukum yang tidak jelas dan tegas telah berakibat fatal. Berbagai peraturan perundang-undangan seolah tidak memiliki roh. Sementara penegakan hukum yang lemah telah berakibat pad a ketidakpastian bagi dunia usaha dan investasi. Penanam modal enggan melakukan investasi karena tidak menentunya peraturan perundangundangan dan tidak adanya kepastian dalam penegakan hukum. Mereka tidak dapat melakukan prediksi apakah bisa menuai keuntungan atau tidak. Berbagai masalah yang dimunculkan dari politik dan penegakan hukum telah bermuara pad a tidak akan berkembangnya perekonomian maupun investasi di Indonesia. Sudah saatnya berbagai komponen bangsa, terutama para pengambil kebijakan dan mereka yang memiliki kekuasaan untuk dapat melakukan pembenahan.
104
ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN HUKUM Dl BIDANG PENYELENGGARAAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH ~HUBUNGAN KEWENANGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH)* 0/eh: Prof. Dr. Bhenyamin Hoessein Arah kebijakan pembangunan bukum di bidang penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah ditentukan oleh basil amandemen UUD 1945, UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Oaerah, dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan KeuanganAntara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Oleh karena makalah ini terpusat pada kajian hubungan kewenangan antara pemerintah dan daerah otonom, maka kajian dibatasi pada pasal 18, 18 A, 18 8 UUD 1945 dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UUD 1945 telah em pat kali mengalami amandemen. Amandemen tersebut meliputi pasal18 yang menjadi landasan bagi penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah. Pada saat dilakukan amandemen, judul bab yang menaungi pasal 18 tidak tersentuh. Oleh karena itu, Bab VI tetap berjudul Pemerintah Daerah. Namun dalam penerbitan UUO 1945 hasil amandemen, pihak Sekretariat Jenderal MPR telah mengubah judul Bab VI menjadi Pemerintahan Daerah. Akibatnya penerbitan dari instansi-instansi lain mengikuti judul yang salah itu. Sewaktu UUD 1945 masih berupa rancangan, judul bab dimaksud adalah Pemerintahan Daerah. Tetapi setelah rancangan UUD disahkan menjadi UUD 1945, judul Bab VI adalah Pemerintah Oaerah (Koesnodiprodjo: 1946; Yamin: t.t; Sekretariat Negara Rl: 1992). Dalam penjelasan Pasal 18, Soepomo menggunakan judul Bab VI dengan Pemerintahan Daerah. Perubahan judul dari Pemerintahan Daerah menjadi Pemerintah Daerah bukan karena kesalahan ketik. Judul bab yang menaungi pasalpasal 131 dan 132 UUDS 1950 juga mengalami perubahan. Selagi *
Makalah disampaikan pada Seminar Arah Pembangunan Hukum Menu rut UUD 1945 Hasil Amandemen diselenggarakan oleh BPHN Departemen Hukum dan HAM Rl, Jakarta 29-31 Mei
2006.
105
masih berupa rancangan UUD hasil panitia bersama RIS-RI yang diketuai Soepomo (RIS) dan Abdoel Hakim (RI), judul Bab IV adalah Pemerintah Daerah dan Daerah-Daerah Swapraja. Namun setelah rancangan terse but disahkan menjadi UUDS 1950, judul Bab IV menjadi Pemerintahan Daerah dan Daerah-Daerah Swapraja (Majalah Pemerintahan 1/1: 1950). Sekalipun kedua istilah tersebut di atas bertalian erat, namun istilah pemerintah daerah dan pemerintahan daerah mempunyai arti yang bertalian. Pada dasarnya istilah pemerintah daerah merujuk pada organ. sedangkan istilah pemerintahan daerah merujuk pada fungsi. lstilah local government dapat merujuk pada organ atau fungsi (UN: 1962). Oleh karena itu dalam menerjemahkan istilah (konsep) asing perlu dilihat context-nya, dan bahkan content-nya (apakah dalam arti luas atau sempit). Pemakaian kedua istilah terse but dalam pasal-pasal 18, 18 A dan 18 B terkesan rancu. Kerancuan dalam pemakaian kedua istilah tersebut pada UUD 1945 hasil amandemen diikuti pula oleh UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Agar lebih jelas, di bawah ini disajikan pasal 18, 18 A dan 18 B UUD 1945 hasil amandemen.
Bab VI PEMERINTAHAN DAERAH Pasal 18 (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.
(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. (3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum (4) Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.
106
(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi khusus seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang diatur oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. (6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas perbantuan (7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.
Pasal 18 A (1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota atau provinsi dan kabupaten dan kota diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. (2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber day a lainnya antara· pemerintah pus at dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Pasal 18 B (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hid up dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Pemakaian kedua konsep (istilah) tersebut oleh UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi semakin rancu. Judul undang-undang adalah Pemerintahan Daerah. Dalam pasal 1 butir 2, Pemerintahan Daerah didefinisikan sebagai penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tug as pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Sementara Pemerintah Daerah didefinisikan oleh pasal1 butir 3 adalah Gubernur, Bupati atau Walikota dan perangkat
107
daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Menurut pasal yang sama butir 4, DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Dengan demikian, pemerintah daerah merujuk pada organ dalam arti sempit (tanpa DPRD), tetapi Pemerintahan Daerah merujuk pada fungsi dalam arti luas (mencakup DPRD). Pasal 18 (1) UUD 1945 mengamanatkan agar hubungan antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota bersifat hirarkis. Hubungan hirarkis tersebut dilatarbelakangi oleh TAP MPR No. IV/MPR/2000 yang mengamanatkan perlunya dianut otonomi yang bertingkat dari provinsi sampai desa, dan penjelasan pasal 18 UUD 1945 sebelum amandemen yang antara lain dikemukakan bahwa "Daerah di Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan pula dibagi dalam daerah yang lebih kecil" (B. Hoessein: 2002). Hubungan hirarkis menuntut dianutnya model pemerintahan daerah yang disebut inclusive authority model (Dei IS. Wright: 1982). Sesuai dengan variasi besaran wilayah yurisdiksi bagi masing-masing, maka banyaknya urusan pemerintahan bagi pemerintah, provinsi dan kabupaten/kota juga bervariasi dan makin mengecil. Hal ini berbeda dengan kondisi di bawah Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Oleh karen a dalam undangundang tersebut hubungan antara provinsi dan kabupaten/kota setara, maka urusan pemerintahan kabupaten/kota dapat lebih banyak daripada urusan pemerintahan provinsi. Dari definisi Pemerintahan Daerah menurut pasal 1 butir 2 UU No. 32 Tahun 2004 dan ketentuan pasal 18 ayat 2 UUD 1945 hasil amandemen, terkesan bahwa tugas pembantuan sama penting dengan otonomi daerah (desentralisasi). Oleh karena itu, tugas pembantuan bukan hanya dilakukan oleh pemerintah kepada provinsi, kabupaten dan kota, tetapi juga kepada desa. Bahkan menurut pasal 1 butir 9, tug as pembantuan dilakukan juga oleh provinsi kepada kabupaten/kota dan desa dan oleh kabupaten/kota kepada desa. Pasal18 UUD 1945 sebelum amandemen, termasuk penjelasannya dan bahkan wacana di kalangan pembentuk UUD 1945 tidak pernah menyinggung tugas pembantuan. Tuntutan tugas pembantuan mulai dicanangkan secara konstitusional dalam pasal131 ayat 3 UUD 1950. karena proses desentralisasi waktu itu mengalami kemacetan. Dengan diselenggarakannya desentralisasi secara besar-besaran dalam UU No. 22 tahun 1999, maka dianutnya asas tugas pembantuan perlu dipikirkan ulang.
108
Walaupun demikian, dianutnya tugas pembantuan oleh provinsi kepada kabupaten/kota merupakan indikator bahwa kabupaten/kota dibawahi oleh provinsi. lndikator lain dari hubungan hirarkis antara provinsi dengan kabupaten adalah kewajiban pemberian laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah secara bertingkat oleh Bupati/ Walikota kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur dan oleh Gubernur kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri sebagaimana diatur dalam pasal27 (3). Pengangkatan dan pemberhentian Sekretaris Daerah kabupaten/kota oleh Gubernur merupakan indikator pula bagi hubungan hirarki antara provinsi dengan kabupaten/kota. Di samping itu, penyampaian Perda untuk pengawasan represif dan konsultasi mengenai raperda tertentu secara bertingkat melalui Gubernur dan Menteri Dalam Negeri. Namun hubungan hirarki terse but tampaknya terhambat oleh dua faktor. Pertama, kekosongan pengaturan bahwa perda kabupaten/kota tidak boleh bertentangan dengan perda provinsi. Kedua, kedudukan Gubernur dan Bupati!Walikota sama s'ebagai pejabat negara menu rut UU No. 43 Tahun 1999 dan pasal 28 G UU No. 32 Tahun 2004. Demikian pula kedudukan anggota DPRD menurut pas aI 54 (1 )a UU No. 32 Tahun 2004 sebagai pejabat negara. Sentralisasi, dekonsentrasi, desentralisasi dan tugas pembantuan melibatkan distribusi urusan pemerintahan oleh pemerintah dalam jajaran organ pemerintahan. Dalam pasal11 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa "penyelenggaraan urusan pemerintahan dimaksud, merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara pemerintah dan daerah otonom yang saling terkait, tergantung dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan". Pemakaian istilah urusan pemerintahan lebih baik daripada kewenangan dengan berbagai pertimbangan. Pengejawantahan desentralisasi adalah otonomi daerah dan daerah otonom. Secara yuridis, konsep daerah otonom dan otonomi daerah mengandung elemen wewenang mengatur dan mengurus. Wewenang mengatur dan mengurus merupakan substansi otonomi daerah. Aspek spasial dan masyarakat yang memiliki dan terliput dalam otonomi daerah telah jelas sejak pembentukan daerah otonom. Perlu kejelasan lebih lanjut mengenai materi wewenang yang tercakup dalam otonomi daerah. Oleh karena itu, di samping pembentukan daerah otonom tercakup dalam konsep desentralisasi adalah penyerahan wewenang atau dalam
109
amandemen pasal18 UUD 1945 sebagai urusan pemerintahan. Dengan penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom berarti terjadi distribusi urusan pemerintahan yang secara implisit distribusi wewenang an tara pemerintah dan dearah otonom. Konsep urusan pemerintahan menunjukkan dua indikator penting, yaitu fungsi atau aktivitas dan asal urusan pemerintahan tersebut. Urusan pemerintahan yang didistribusikan hanya berasal dari presiden dan tidak berasal dari organ-organ (lembaga-lembaga) negara lainnya. Oleh karena itu, dalam konteks ini muncul berbagai urusan pemerintahan seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan lain-lain. Walaupun konsep desentralisasi mengandung persebaran kewenangan, namun di kalangan pakar asing selalu dibahas tentang pembagian fungsi (functions) atau urusan (affairs). Bahkan kerapkali dilakukan pengelompokan fungsi seperti protective functions, enviromental functions, development functions dan social wa/fare functions. Dengan berlakunya UU No. 32 tahun 2004, hubungan kewenangan pusat dan dearah mengalami perubahan pula. Pengaturan mengenai distribusi urusan pemerintahan mengalami perubahan yang mendasar. Pertama, urusan pemerintahan tidak dapat didesentralisasikan. Kelompok urusan pemerintahan ini dipandang penting bagi keutuhan organisasi dan bang sa Indonesia. Urusan pemerintahan tersebut meliputi politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter, fiskal nasional, yustisi dan agama. Kelompok urusan pemerintahan ini diselenggarakan menurut asas sentralisasi, dekonsentrasi kepada wakil pemerintah (gubernur) dan instansi vertikal di provinsi, dan tugas pembantuan kepada daerah otonom dan desa. Kedua, urusan pemerintahan yang dapat didesentralisasikan yaitu urusan pemerintahan di luar kelompok urusan pemerintahan yang pertama. Urusan pemerintahan ini didesentralisasikan, didekonsentrasikan kepada gubernur selaku wakil pemerintah, ditugasbantukan kepada daerah otonom dan desa. Sebagian urusan pemerintahan tersebutjuga didesentralisasikan kepada daerah otonom. Pengelompokan urusan pemerintahan tersebut seharusnya secara jelas muncul dalam pasal1 0. Namun pasal1 0 tidak mengaturnya secara jelas. Di bawah ini disajikan isi pasal 10 tersebut secara lengkap: (1) Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah.
110
(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1 ), pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. (3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah sebagaimana dimaksud pad a ayat (1) meliputi: a. b. c. d. e. f.
Politik luar negeri. Pertahanan. Keamanan. Yustisi. Moneter dan ftskal nasional, dan Agama.
(4) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat pemerintah atau wakil pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan des a. (5) Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah di luar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemerintah dapat: a.
Menyelenggarakan sendiri urusan sebagian urusan pemerintahan.
b.
Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada gubernur selaku wakit pemerintah, atau
c.
Menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan tug as pembantuan.
Ayat (2) dapat menimbulkan interpretasi yang berbeda. Pertama, ayat tersebut dapat berarti penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dimiliki oleh daerah otonom didasarkan asas otonomi atau dengan tugas pembantuan. Kedua, urusan pemerintahan yang dimiliki daerah otonom dapat diselenggarakan berdasarkan otonomi atau ditugasbantukan kepada daerah otonomi lain atau desa. Ayat (5) seharusnya ditambah dengan butir d yang menyatakan mendesentralisasikan sebagian urusan pemerintahan kepada daerah otonom.
111
Distribusi urusan pemerintahan terse but di atas didasarkan pad a kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi. Selanjutnya urusan pemerintahan yang didesentralisasikan dapat bersifat wajib dan dapat pula bersifat pilihan. Dalam pustaka lnggris masing-masing urusan wajib dan urusan pilihan lazim disebut obligatory functions dan permissive functions. Sebenarnya secara mendasar undang-udang ini menganut metode ultra vires doctrine, karena distribusi urusan pemerintahan bagi pemerintah, provinsi dan kabupaten/kota akan dipetakan secara rinci menurut ketiga kriteria. Dalam praktik kelak akan timbul banyak konflik antara provinsi dan kabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan wajib.
112
DAFTAR PUSTAKA
Koesnodiprodjo, Himpunan Undang-Undang, Peraturan-Peraturan, Penetapan-Penetapan Pemerintah Rep{Jblik Indonesia 1945, Jakarta : Penerbit Baroe, 1946. M. Yamin, Naskah Undang-Undang Dasar 1945 Jilid I, Pradnya Paramitha. Deil S. Wright, Understanding lntergovermental Relations, California: Brooks/Cole Publishing Company, 1982. Sekretariat Negara Republik Indonesia, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 9 Mei 194519 Agustus 1945. Majalah Pemerintahan 1/1, Agustus 1950. UN, Decentralization for National and Local Development, New York, 1962.
113
TRANSAPARANSI DAN PERTANGGUNGJAWABAN TINDAKAN PEMERINTAH* 0/eh: Prof. Dr. H. Dah/an Thaib, S.H., M.Si. ** Dalam seminar tentang Arah Pembangunan Hukum Pasca Amandemen UUD 1945 dengan tema "Memantapkan Arah Kebijakan Pembangunan Hukum Menuju Terwujudnya Sistem Hukum Nasional Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945", antara lain membahas topik "Transparansi dan Pertanggungjawaban Tindakan Pemerintah". Topik tersebut mengandung dua materi dengan batasan transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang merupakan perwujudan pertariggungjawaban publik terhadap tindakan atau perbuatan pemerintah. Sedangkan materi lainnya adalah pertanggungjawaban tindakan pemerintah dikaitkan dengan pertanggungjawaban perbuatan pemerintah dari aspek hukum (yuridis). Kedua materi dalam topik tersebut sama-sama bertujuan untuk menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih. Sejak awal tahun 1990-an penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih dipopulerkan di lingkungan administrasi negara. Semula istilah tersebut dipopulerkan oleh Bank Dunia dan beberapa negara Eropa yang menyebutnya good governance dan clean government (SF. Marbun, Disertasi, 2001). Secara harfiah good governance artinya pemerintahan yang baik, namum dalam makalah ini istilah good governance diterjemahkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik, sedangkan clean government artinya pemerintah yang bersih. Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Berbicara tentang transparansi tidak dapat dilepaskan dari membicarakan tentang partisipasi. Transparansi dan partisipasi adalah dua istilah yang sering disandingkan. lni seolah-olah mengandung pengertian bahwa tuntutan transparansi ini berasal dari partisipasi * Makalah disampaikan pada Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen diselenggarakan oleh BPHN Departemen Hukum dan HAM Rl, Jakarta 29-31 Mei
2006 ** Guru Besar Fakultas Hukum UII/Asisten Pemerintahan Provinsi DIY.
115
publik (masyarakat). Atau bisa juga dapat dikatakan transparansi apabila telah melibatkan partisipasi masyarakat. Berkaitan dengan tuntutan transparansi dan partisipasi masyarakat yang mengedepankan pad a setiap proses pengambilan kebijakan publik bisa dipahami, karena sifat sentralistik penyelenggaraan pemerintahan pada orde baru cenderung bersifat tertutup dan lembaga perwakilan rakyat belum dapat sepenuhnya memperjuangkan aspirasi masyarakat. Hal ini didukung oleh teori penyelenggaraan kepemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip good governance. Dengan demikian transparansi dan partisipasi masyarakat merupakan prinsip umum penyelenggaraan pemerintahan yang berbasis good governance. Dalam praktik ketatanegaraan, sebenarnya pemerintah telah mengakomodir prinsip transparansi dan partispasi dengan mengeluarkan berbagai kebijakan dan peraturan perundang-udangan demi tegaknya sebuah pemerintahan yang bersih, antara lain: 1.
Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotism e.
2.
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pi dana Korupsi.
3.
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
4.
Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
5.
Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
6.
Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan K~kayaan Penyelenggara Negara.
7.
Peraturan Pemerintah No 66 Tahun 1999 tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pengangkatan Serta Pemberhentian Anggota Komisi Pemeriksa.
8.
Peraturan Pemerintah No 67 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Tugas dan wewenang Komisi Pemeriksa.
9.
Peraturan Pemerintah No 68 Tahun 1999 Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara.
Namun dalam implementasi penerapan prinsip transparansi masih perlu dioptimalkan sebagai salah satu wujud pertanggungjawaban publik dari pemerintah.
116
Selanjutnya meskipun penyelenggaraan pemerintah telah menerapkan prinsip-prinsip good governance namun tidak boleh keluar dari platform negara hukum yang telah disepakati. Platform negara hukum pada prinsipnya menentukan bahwa setiap tindakan/perbuatan pemerintah melalui aparatur pemerintah dilaksanakan berdasarkan wewenang yang diatur peraturan perundang-undangan. Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tatanan masyarakat telah berubah, kebutuhan masyarakat untuk mencapai kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan semakin/sangat kompleks sehingga tidak mungkin pemerintah memenuhi semua kebutuhan masyarakat dimaksud tanpa melibatkan masyarakat itu sendiri maupun sektor swasta, maka dikembangkan konsep good governance (kepemerintahan yang baik). Good governance (kepemerir:Jtahan yang baik) adalah merupakan proses menyelenggarakan kekuasaan negara dalam melaksanakan penyediaan public goods and service disebut governance (pemerintah atau kepemerintahan), sedangkan praktik terbaik disebut "good governance" (kepemerintahan yang baik). Agar good governance dapat menjadi kenyataan dan berjalan dengan baik, maka dibutuhkan komitmen dan keterlibatan semua pihak, yaitu pemerintah dan masyarakat.
Dijelaskan lebih lanjut bahwa good governance berorientasi pad a: 1.
Orientasi ideal, negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional.
2.
Pemerintah yang berfungsi secara ideal yaitu secara efektif dan efisien dalam melakukan upaya mencapai tujuan nasional.
3.
Pengawasan.
Oalam hal ini, penulis berpendapat bahwa ketiga orientasi dimaksud harus dalam kerangka sistem konstitusi agar tidak terjebak pada adagium tujuan menghalalkan cara yang kadang berakibat kontra produktif. UNDP mendifinisikan good governance sebagai hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara negara (state), sektor swasta (private sector) dan masyarakat (society). Berdasarkan hal ini, UNOP kemudian mengajukan karakteristik good governance sebagai berikut: 1.
Participation. Setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya.
117
2.
Rule of law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk HAM.
3.
Transparancy. Tranparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses-proses, lembaga-lembaga dan informasi secara lang sung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. lnformasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitor.
4.
Responsiveness. Lembaga-lembaga dan proses-proses harus mencoba untuk melayani setiap stake holders.
5.
Consensus orientation. Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pili han terbaik bagi kepentingan yang lebih luas, baik dalam kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur.
6.
Equity. Semua warga negara, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka.
7.
Effectiveness dan efficiency. Proses-proses dan lembagalembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik mung kin.
8.
Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat (society) bertanggungjawab kepada publik dan lembaga-lembaga stake holders. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi.
9.
Strategic vison. Para pemimpin dan publik harus mempunyai prespektif good governance dan pengembangan sumber daya manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini.
Kesembilan karakteristik terse but di atas sa ling memperkuat dan tidak dapat berdiri sendiri. Atas dasar uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa wujud good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan yang solid dan bertanggungjawab, efisiensi dan efektif, dengan menjaga kesinergian interaksi yang konstruktif di antara domain negara, swasta dan masyarakat (society). Di Indonesia semangat untuk menerapkan prinsip-
118
prinsip good governance mengedepan setelah peristiwa reformasi. Hal ini ditandai dengan adanya perubahan yang mendasar antara lain: 1.
Sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berbasis utama prinsip desentralisasi.
2.
Perubahan wewenang dan fungsi MPR.
3.
Reformasi dalam sistem birokrasi militer (TNI).
4.
Perubahan sistem pemilu.
5.
Lahirnya lembaga perwakilan daerah yaitu Dewan Perwakilan Daerah.
6.
Lahirnya lembaga-lembaga swasta yang mengawasi penyelenggaraan pemerintahan: ICW, ICM, dsb.
Pertanggungjawaban Tindakan Pemerintah Sebagaimana ditegaskan dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945. secara populer Indonesia disebut negara hukum. Dengan demikian hukum harus menjadi dasar dan panduan bagi setiap penyelenggaraan pemerintahan negara. Dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan negara yang dilakukan oleh aparat negara. Hal ini sesuai dengan pendapat Logeman, bahwa negara adalah himpunan jabatan-jabatan yang diadakan oleh negara untuk mewujudkan tujuan negara. Untuk menjalankan fungsi mewujudkan negara kesejahteraan, kepada pemerintah harus diberikan kewenangan yang lebih luas untuk melakukan tindakan hukum/perbuatan hukum baik yang berupa kebijakan yang bersifat umum maupun tindakan hukum yang nyata dalam rangka mewujudkan kesejahteraan yang merata dalam kehidupan masyarakat (masyarakat adil dan makmur dalam segala aspeknya). Dalam negara hukum Rl, kewenangan dimaksud harus diatur sebelumnya dalam peraturan-peraturan hukum yang berfungsi sebagai acuan dan alat untuk merekayasa kehidupan masyarakat (law is a tool social engineering) (Muchsan, 1977). Dalam teori ketatanegaraan, negara hukum klasik sering disebut negara penjaga malam (nachtwakersstaat). Fase perkembangan negara hukum selanjutnya adalah negara kesejahteraan (welfare state type) di mana negara melaksanakan fungsi reguler dan fungsi pembangunan kadang-kadang mendapatkan prioritas utama. Tujuan utama negara adalah perwujudan kesejahteraan rakyat yang merata. Perwujudan kesejahteraan rakyat tidak hanya diserahkan sepenuhnya kepada
119
masyarakat. Hal ini untuk menghindarkan persaingan bebas yang dilandasi oleh free fight liberalism yang berdampak pada ketidak berdayaaan golongan ekonomi lemah. Tujuan utama negara yang sedang berkembang termasuk negara Republik Indonesia adalah mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang merata. Dalam teori kenegaraan, negara yang demikian ini disebut negara yang bertipe kesejahteraan masyarakat (welfare state type). Karena titik beratnya adalah pemerataan kesejahteraan dalam kehidupan masyarakat, maka negara dituntut untuk berperan aktif dalam menciptakan kesejahteraan ini. Tujuan negara Kesatuan Republik Indonesia secara tegas tertuang dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. sebagai berikut: "Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan serta dengan mewujudkan suatu Keadlilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia". Amanat yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 tersebut kemudian dijabarkan dalam pasal-pasal UUD 1945, maka semakin nampak bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia termasuk negara yang bertipe welfare state (negara kesejahteraan). Untuk mewujudkan negara kesatuan, diperlukan cam pur tang an pemerintah dalam bentuk fungsi reguler maupun fungsi pembangunan. 1.
120
Fungsi Reguler meliputi: a.
Fungsi Politik meliputi pemeliharaan ketenangan dan ketertiban dan pertahanan dan keamanan.
b.
Fungsi diplomatik, yaitu fungsi untuk mengadakan hubungan dengan negara lain atas dasar saling menghormati kedaulatan masing-masing.
2.
c.
Fungsi yuridis, yaitu negara berkewajiban mengatur tata bernegara dan bermasyarakat. Segala perbuatan yang dilakukan oleh individu, kelompok, bahkan pemerintah harus dapat dikembalikan kepada aturan hukum.
d.
Fungsi administratif, fungsi ini menuntut agar negara berkewajiban melakukan penataan birokrasinya. Penataan birokrasi ini juga harus bersumber pada aturan hukum.
Fungsi Pembangunan: Pembangunan pada hakikatnya adalah perubahan yang terencana yang dilakukan terus menerus untuk menuju pad a suatu perbaikan yang telah ditetapkan sebelumnya. Tujuan pembangunan ini hakikatnya bertujuan untuk mensejahterakan warganya secara merata, baik kesejahteraan jasmani maupun kesejahteraan rohani.
Untuk menjalankan fungsi reguler dan fungsi pembangunan tersebut di atas, negara atau pemerintah memerlukan dasar atau kewenangan. Dasar atau kewenangan pemerintah ini diatur dan bersumber pada peraturan perundang-undangan (hukum). Hal ini sebagai salah satu konsekuensi yang timbul dalam suatu Negara Hukum. Dilihat dari rumusan substansinya, peraturan perundang-undangan dapat berbentuk: 1.
Bersifat mengikat, artinya rumusan dalam peraturan perundangundangan sifatnya mendikte saja apa yang harus dilakukan oleh penguasa yang bersangkutan. Jadi di sini penguasa hanya diberi kewajiban untuk melaksanakan apa saja yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan tanpa boleh menafsirkannya. Penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat mengikat ini merupakan pelaksanaan dari asas wetmatigheid van bestuur, di mana semua perbuatan pemerintahan harus bersumber dari wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundangundangan. Hal ini mungkin terjadi karena peraturan perundangundangan yang bersangkutan telah demikian limitatifnya, sehingga tidak memerlukan penafsiran lebih lanjut dalam pelaksanaannya.
2.
Bersifat bebas (diskresi), artinya peraturan perundang-undangan yang bersangkutan memberi ruang gerak kebebasan kepada pemerintah dalam penggunaan wewenangnya tersebut. Maksudnya, Pemerintah diberi kebebasan untuk menentukan sendiri bagaimana mengartikan (menangkap maksud dan tujuan) dari
121
kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahan yang dibebankan kepadanya. Dalam hal ini kita dihadapkan pada suatu pemerintahan yang bebas atau vrij bestuur. Dalam penyelenggaraan pemerintahan seperti inilah asas diskresi dilaksanakan. Dua konsekuensi dari pelaksanaan asas Negara Kesejahteraan (welfare state) yakni intervensi pemerintah yang cukup luas terhadap aspek kehidupan masyarakat serta digunakannya asas diskresi, menimbulkan suatu dilema. Apabila kedua konsekuensi terse but tidak dilaksanakan, fungsi administrasi akan terhambat, yang berarti akan menghambat terwujudnya kesejahteraan dalam kehidupan masyarakat. Akan tetapi sebaliknya, apabila kedua konsekuensi tersebut dilaksanakan, lebih-lebih jika tidak terkendali, akan mudah menimbulkan kerugian pihak tertentu. Perbuatan pemerintah yang tercela ini, dalam Hukum Tata Administrasi Negara, sering disebut perbuatan penguasa yang sewenang-wenang {willkeur). Permasalahannya, kapan perbuatan penguasa dikatakan tercela (sewenang-wenang). Perbuatan sewenang-wenang ini, frekuensinya lebih banyak terjadi dalam penyelenggaraan pemerintah yang bersifat bebas (vrij bestuur). Jenis-jenis perbuatan tercela (sewenang-wenang) tersebut adalah: 1.
Perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad). Ada dua pengertian, yaitu dalam arti sempit, perbuatan melawan hukum sama dengan perbuatan melawan undang-undang (onwetmatig). Sedangkan dalam arti luas, perbuatan pemerintah melawan hukum tidak hanya yang melanggar undang-undang akan tetapi juga melanggar kepatutan, ketelitian dan sikap hatihati.
2.
Perbuatan melawan undang-undang (onwetmatig). Adalah perbuatan pemerintah yang tidak sesuai dengan undangundang (wetmatig). Undang-undang di sini dalam arti luas meliputi undang-undang dalam arti materiil maupun formil.
3.
Perbuatan yang tidak tepat (onjuist) . Hal ini terjadi apabila dalam melakukan perbuatan, pemerintah menggunakan dasar atau pertimbangan yang salah ataupun keliru sehingga menghasilkan konklusi atau diktum yang keliru juga.
122
4.
Perbuatan yang tidak bermanfaat (ondoelmatig). Dikatakan perbuatan yang tidak bermanfaat apabila perbuatan tersebut ternyata hasilnya tidak bermanfaat bagi mas·yarakat.
5.
Perbuatan menyalahgunakan wewenang (detournement de pouvoir). Perbuatan menyalahgunakan wewenang terjadi apabila aparat pemerintah menggunakan wewenangnya untuk menyelenggarakan kepentingan umum yang lain daripada kepentingan umum yang dimaksud oleh peraturan yang menjadi dasar wewenang itu.
6.
Perbuatan pemerintah yang bertentangan dengan asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan lainnya.
Persoalannya adalah bagaimana pertanggungjawaban pemerintah apabila melakukan perbuatan melawan hukum dimaksud? Untuk menjawab hal tersebut perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1.
Sesuai dengan prinsip good governance bahwa setiap perbuatan pemerintah harus akuntabel (dapat dipertanggungjawabkan).
2.
Setiap penyelenggara negara sebelum melaksanakan tug as harus mengucapkan sumpah untuk tidak melakukan perbuatan terce Ia.
3.
Di lapangan hukum mana, pelanggaran hukum dilakukan.
4.
Dalam kapasitas apa pemerintah melakukan perbuatan/tindakan hukum.
Dalam hal pemerintah melakukan pertanggungjawaban pelanggaran hukum administrasi, maka pertanggungjawabannya sesuai dengan hukum administrasi negara. Dalam kaitan ini, apabila terjadi sengketa Tata Usaha Negara penyelesaiannya melalui prosedur administratif dan Peradilan Tata Usaha Negara. Jika melalui Pengadilan Tata Usaha Negara maka tunduk pada Undang-Undang Nom or 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam sengketa Tata Usaha Negara, Pemerintah c.q. Pejabat Tata Usaha hanya berkedudukan sebagai pihak yang mempertahankan dalam pemeriksaan di Pengadilan Tata Usaha Negara (tergugat). Tergugat dalam sengketa Tata Usaha Negara dalam kapasitas jabatan, dan bukan dalam kapasitas pribadi. Sehingga apabila terjadi pergantian pejabat TUN, maka pejabat baru yang bertanggungjawab untuk menyelesaikan sengketa dimaksud. Berbeda dengan pertanggungjawaban di Bidang Tata Usaha Negara adalah pertanggungjawaban pidana, bila pemerintah c.q. aparat
123
pemerintah melakukan tindak pidana maka pertanggungjawabannya bersifat melekat pada pribadi pejabat yang melakukan tindak pidana. Dengan demikian, bila pejabat y~ng bersangkutan mutasi atau pensiun tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab pidananya. Dalam pengertian ini pula pejabat yang baru tidak dapat dibebani tanggung jawab pidana pejabat yang digantikannya. Penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh aparat penyelenggara negara tunduk pada hukum pidana dan hukum acara pidana. · Selanjutnya dalam hal pemerintah melakukan hubungan hukum yang bersifat keperdataan, maka pertanggungjawabannya sesuai dengan yang disepakati dalam hukum dimaksud (perjanjian). Karena dalam hal hubungan keperdataan perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak (pacta sun servanda). Jadi perbuatan pemerintah yang tercela tersebut dapat dikenakan hukuman berupa sanksi administratif, bahkan dapat dikenakan hukuman keperdataan dan pemidanaan setelah melalui proses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehubungan dengan hal tersebut, agar aparat tidak melakukan kesalahan, diadakan sistem pengawasan (control system) terhadap perbuatan aparat pemerintah. Maka keluarlah lnstruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1983 dan peraturan perundang-undangan lainnya. Menurut Muchsan, S.H., unsur-unsur yang diperlukan dalam tindakan pengawasan adalah sebagai berikut: 1.
Adanya kewenangan yang jelas yang dimiliki oleh aparat pengawas.
2.
Adanya suatu rencana yang mantap sebagai alat penguji terhadap pelaksanaan suatu tugas yang akan diawasi.
3.
Tindakan pengawasan dapat dilakukan terhadap suatu proses kegiatan yang sedang berjalan maupun terhadap hasil yang dicapai dari kegiatan tersebut.
4.
Tindakan pengawasan berakhir dengan evaluasi akhir terhadap kegiatan yang dilaksanakan serta pencocokan hasil yang dicapai · dengan rencana sebagai tolok ukurnya, dan
5.
Untuk selanjutnya tindakan pengawasan akan diteruskan dengan tindak lanjut secara administrasi maupun yuridis.
Berkaitan dengan pengawasan perbuatan pemerintah pada saat ini, pemerintah telah menetapkan berbagai bentuk dan sistem
124
pengawasan terhadap perbuatan aparatur pemerintah dalam kedudukannya maupun dalam pelaksanaan tugas. Berbagai bentuk pengawasan antara lain: 1. 2. 3. 4.
Pengawasan Pengawasan Pengawasan Pengawasan
melekat. fungsional. yang bersifat politis. masyarakat.
Yang dilakukan oleh intansi-instansi yang berwenang mulai dari BPK, BPKP, lrjen, KPK, Ombudsman baik pusat maupun daerah dan sebagainya. Bahkan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang berupa peraturan perundang-undangan telah ditetapkan mekanisme pengawasan melalui judicial review. Terhadap peraturan perundangundangan di bawah undang-undang, dapat dilakukanjudicial review ke Mahkamah Konstitusi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Meskipun pemerintah telah melaksanakan pengawasan yang bersifat multidimensional, namun hingga saat ini dalam praktik penyelenggaraan kepemerintahan masih banyak ditemukan perbuatan aparat pemerintah yang tercel a baik yang bersifat administratif, perdata maupun pidana. Ditemukannya dan diprosesnya berbagai kasus tindak pidana korupsi merupakan bukti konkret masih banyaknya tindakan/ perbuatan tercela yang dilakukan oleh aparat pemerintah. Apa yang salah? Untuk menjawab masalah tersebut dapat didekati dari berbagai tinjauan, namun dalam hal ini kami berpendapat bahwa masih perlu membangun dan mengembangkan secara intensif moral (moral building), karakter (character building) di samping kapasitas intelektual dan peningkatan kesejahteraan pada aparat penyelenggaraan pemerintahan.
Penutup Transparansi informasi dan pertanggungjawaban tindakan pemerintah mampunyai tujuan yang sam a yaitu menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih. Transparansi merupakan pertanggungjawaban penyelenggaraan pemerintah terhadap publik (masyarakat), sedangkan pertanggungjawaban tindakan pemerintah merupakan pertanggungjawaban yuridis.
125
Dengan adanya transparansi dan pertanggungjawaban tind.akan pemerintah secara yuridis, diharapkan penyelenggaraan pemerintahan yang tercela tidak terjadi. Sebaliknya akan terwujud penyelenggaraan pemerintah yang baik dan bersih. Akan tetapi sampai dengan detik ini, penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih tersebut belum dapat dicapai secara optimal. Barangkali hukuman yang diancamkan bagi penyelenggaraan kepemerintahan di atas lebih banyak memberikan pembebanan bagi aparat penyelenggara pemerintahan. Sehingga apakah tidak sebaiknya selain hukuman itu, juga diberikan penghargaan (rewards/kontraprestasi) sesuai dengan prestasinya. Dengan demikian diharapkan penyelenggaraan pemerintah tidak hanya diwarnai oleh rasa ketakutan dari aparat penyelenggara pemerintahan akan tindakannya yang keliru, akan tetapi juga dipacu semangat dan perlombaan dalam hal kebaikan dan prestasi. Mungkin dengan begitu pemerintahan yang baik dan bersih dapat tercipta. Semoga.
126
KAPABILITAS DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM MENJALANKAN MEKANISME "CHECK AND BALANCES" DALAM HUBUNGAN ANTARA EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF* 0/eh: Prof. (Em) Dr. T. Sri Soemantri Mertosuwignya, S.H.
• Pendahuluan
Sejak dilakukan perubahan terhadap UUD 1945, telah terjadi pergeseran terhadap pengajuan rancangan undang-undang. Kalau semula, rancangan undang-undang selalu berasal dari. pemerintah, setelah perubahan terhadap UUD 1945 "titik berat" pengajuan rancangan undang-undang ada pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam pada itu pembentukan undang-undang dilihat dari lembaga yang menetapkan, dipengaruhi oleh sistem pemerintahan yang dianut. Seperti diketahui, dalam kepustakaan dikenal adanya sekurangkurangnya dua sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan presindensiil. Adapun ciri-cirinya sistem pemerintahan parlemeter adalah sebagai berikut : 1.
Sistem ini didasarkan atas adanya difusi kekuasaan.
2.
Adanya pertanggungjawaban bersama antara eksekutif dan legislatif. Eksekutif dapat membubarkan legislatif atau eksekutif harus meletakkan jabatannya dengan anggota-anggota kabinetnya apabila kebijakan-kebijakannya tidak lagi diterima oleh mayoritas anggota legislatif.
3.
Terdapat pula pertanggungjawaban bersama antara kepala eksekutif dangan anggota-anggota kabinetnya.
4.
Eksekutif (prime minister, premier atau chance/fer) ditetapkan oleh kepal~ negara (raja atau presiden) berdasarkan dukungan yang diberikan oleh mayoritas di legislatif.
•
Makalah disampaikan pada Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen diselenggarakan oleh BPHN Departemen Hukum dan HAM Rl, Jakarta 29-31 Mei
2006.
127
Dalam pad a itu ciri-ciri sistem pemerintahan presidensiil adalah sebagai berikut: 1.
Sistem ini didasarkan atas asas pemisahan kekuasaan.
2.
Eksekutif tidak mempunyai kekuasaan untuk membubarkan legislatif atau dia (eksekutif) tidak harus meletakkan jabatannya apabila kehilangan dukungan dari mayoritas anggota legislatif.
3.
Tidak ada pertanggungjawaban bersama antara presiden dan anggota-anggota kabinetnya, yang terakhir ini sepenuhnya bertanggungjawab kepada kepala eksekutif.
4.
Eksekutif dipilih oleh para pemilih.
(SL. Witman & JJ Wuest, 1963) Setelah diketahui ciri-ciri kedua sistem pemerintahan di atas, timbul pertanyaan bagaimana pembentukan undang-undang dalam kedua sistem pemerintahan tersebut. Yang jelas ialah bahwa kedua sistem pemerintahan tersebut pernah dianut di Indonesia, yaitu ketika berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) periode 1945-1949 sistem pemerintahan parlementer juga pernah dilaksanakan.
Pembentukan Undang-Undang Dalam Sistem Pemerintahan Parlementer Seperti telah dikemukakan, sistem pemerintahan parlementer pernah dianut di Indonesia. Hal ini terjadi antara lain pada waktu berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950). Kekuasaan membentuk undang-undang diatur dalam Bab Ill UUDS 1950, Bagian II dengan judul "Perundang-undangan". Seperti diaturdalam Bab Ill, Bagian II UUDS 1950, kecuali ditentukan dalam pasal 140, kekuasaan perundang-undangan dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 89). Usul mengajukan rancangan undang-undang dapat berasal dari pemerintah (Pasal 91) dan dapat pula berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 93). Bahwa kekuasaan perundang-undangan dilakukan oleh pemerintah dan bad an legislatif juga berlaku pad a negara-negara lain yang menganut sistem pemerintahan parlementer, seperti antara lain Kerajaan lnggris dan Kerajaan Belanda. Hal ini sesuai dengan ciri yang berlaku pada negara-negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer. Pada halaman sebelumnya telah dinyatakan bahwa sistem
128
pemerintahan parlementer antara lain mengandung ciri adanya atau berlakunya asas difusi kekuasaan (antara kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif).
Pembentukan Undang-Undang Dalam Sistem Pemerintahan Presidensiil Sistem pemerintahan presidensiil untuk pertama kali dianut dan dilaksanakan di Am erika Serikat. ltulah sebabnya sistem pemerintahan ini juga diberi nama sistem pemerintahan pol a Amarika Serikat (Maurice Ouverger). Dalam kepustakaan lnggris sistem pemerintahan ini juga disebut "Presidential Government" (SL. Witman & JJ Wuest) dan "the fixed excecutive" (CF. Strong). Disebut "the fixed executive", karena dalam mas a jabatan yang ditetapkan dalam konstitusinya, eksekutif (dalam hal ini Presiden) tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen atau legislatif. Seperti telah dikemukakan di muka tentang ciri-ciri sistem pemerintahan presidensiil, sistem ini didasarkan atas asas pemisahaan kekuasaan. Artinya sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Montesquieu, terdapat pemisahan kekuasaan antara kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Asas pemisahaan kekuasaan ini dapat kita lihat dalam konstitusi Amerika Serikat yang terdiri dari tujuh bab (article).
Article One Section One All legislative powers herein granted shall be vested in a Congress of the United States, which shall consist of a Senate and House Representatives.
Article Two Section One The Executive power shall be vested in a President of United Stated of America. He shall hold his office during the term of four years, and together with the Vice-President, chosen for the same term, be elected, as follows.
Article Three Section One The judicial power of the United States shall be vested in one Supreme Court, and in such inferior court as the Congress may 129
from time to time ordain and establish. The judges, both Supreme and Inferior courts, shall hold their office during good behavior, and shall, at stated times, receive for their services a compensation, which shall not be diminished during their continuance in office.
Sistem Pemerintahan Menurut UUD 1945 (Sebelum Diubah) Dan Pembentukan Undang-Undang Sebelum diu bah, UUD 1945 terdiri dari Pembukaan, Satang Tubuh (37 pasal, Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan) dan Penjelasan. Yang menjadi persoalan adalah sistem pemerintahan apa yang dianut oleh DUD 1945 sebelum diubah? Untuk menjawab pertanyaan ini perlu diketahui hal-hal yang berkaitan dengan presiden, baik yang diatur dalam batang tubuh, maupun yang terdapat dalam penjelasan UUD 1945. Dalam batang tubuh UUD 1945 dan penjelasan dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut (sebelum diubah): 1.
Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menu rut Undang-Undang Dasar (Pasal 4 (1 ));
2.
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali (Pasal 7);
3.
Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara (Pasal 17 (1 );
4.
Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden (Pasal 17 (2));
5.
Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) d~ngan suara terbanyak (Pasal 6 (2));
6.
Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (Pasal 1 (2)).;
7.
Majelis ialah yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan negara menu rut garisgaris besar yang telah ditetapkan oleh Majelis (Penjelasan Umum Tentang Sistem Pemerintahan Negara, angka 111.3).
8.
Presiden diangkat oleh Majelis, bertunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis. Ia ialah "mandataris" dari Majlis. Ia berwajib menjalankan putusan-putusan Majlis. Presiden tidak "neben", akan tetapi "untergeordnent"kepada Majelis (Penjelasan Umum tentang Sistem Pemerintahan Negara, angka 111.3).
130
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebelum diubah, UUD 1945 tidak sepenuhnya menganut sistem pemerintahan presidensiil. Bahwa Presiden bertunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, ternyata pernah terjadi dalam praktik. Hal itu terjadi: 1.
Ketika presiden Soekarno diberhentikan dari jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara melalui ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno;
2.
Ketika Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia mengeluarkan ketetapan MPR-RI Nomor : 11/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia KH. Abdurrahman Wahid. Dalam Pasal 2 ditentukan: "Memberhentikan KH. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden Republik Indonesia dan mencabut serta menyatakan tidak berlaku lagi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: V/1/MPR/1999 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia".
Dari ketentuan-ketentuan yang telah dikemukakan dan dari dua peristiwa yang telah disebutkan, penulis berpendapat bahwa sebelum diubah, UUD 1945 juga menganut ciri-ciri sistem pemerintahan parlementer. Setelah diketahui sistem pemerintahan yang dianut, timbul pertanyaan tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Sebelum diubah, dikenal adanya lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara. Yang dimaksud dengan lembaga tertinggi negara adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat, sedangkan lembaga tinggi negara adalah Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Pertimbangan Agung, Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat. Kekuasaan perundang-undangan (kekuasaan untuk membentuk undang-undang) ada pada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat, dengan Presiden mempunyai kedudukan yang cukup dominan. Hal ini disebabkan pad a ketentuan dalam Undang-Undang Dasar yang berbunyi : "Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat" (Pas a/ 5 ayat (1 ). Walaupun ada ketentuan demikian, tidak berarti bahwa undang-undang adalah produk Presiden saja. Hal ini disebabkan adanya anak kalimat yang berbunyi "dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat".
131
Menurut pendapat saya, ketentuan dalam pasal tersebut harus diartikan bahwa Presiden (pemerintah) mendominasi pengajuan rancangan · undang-undang, walaupun angota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan rancangan undang-undang. Hal ini ternyata terbukti dalam praktik, ketika Presiden dijabat oleh Jenderal Purn. Soeharto. Catatan : Pernah terjadi Letjen Harsudiono Hartas (Ketua Fraksi ABRI), Mayjen Saiful Sulun dan Mayjen Syamsudin menghadap Presiden Soeharto, dan mengajukan usul agar DPR dapat mengajukan undang-undang. Akan tetapi usul tersebut tidak disetujui oleh Presiden. Walaupun demikian, secara konstitusional, undang-undang adalah produk bersama an tara Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Adanya ketentuan seperti tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) tersebut menunjukkan bahwa hal itu menyimpang dari yang seharusnya, yaitu menurut sistem pemerintahan presidensiil.
Sistem Pemerintahan Menurut UUD 1945 (Setelah Diubah) Dan Pembentukan Undang-Undang Seperti telah dikemukakan, sebelum diubah UUD 1945 tidak menganut sistem pemerintahan presidensiil sepenuhnya. Ternyata, sistem pemerintahannya mengandung unsur parlementer. Hal ini didasarkan pada dipilihnya Presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan adanya pertanggujawaban Presiden kepada lembagalembaga negara yang dipilihnya. Apabila kita perhatikan pasal-pasal Undang-Undang Dasar setelah mengalami perubahan, ternyata ada ketentuan-ketentuan seperti berikut: 1.
Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 4 ayat (1 ));
2.
Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat (Pasal 6A ayat (1 ));
3.
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan (Pasal 7);
4.
Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara (Pasal17 ayat (1));
5.
Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden (Pasal 17 ayat (2)).
132
Selain hal-hal di atas, kedudukan Mejelis Permusyawaratan Rakyat juga berubah. Majelis ini tidak lagi sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat dan oleh karenanya tidak lagi merupakan penjelmaan rakyat Indonesia. Dengan demikian, Majelis Permusyawaratan Rakyat bukan lagi lembaga tertinggi, yang membawahi lembaga-lembaga tinggi lainnya, seperti Presiden dan Wakil Presiden. Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan bahkan Majelis ini tidak lagi mempunyai wewenang menetapkan GarisGaris Besar Haluan Negara. Adapun kekuasaan Majelis Permusyawaratan Rakyat ialah: 1.
Menetapkan dan mengubah Undang-Undang Dasar (Pasal 3 ayat (1 ));
2.
Melantik Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 3 ayat (2);
3.
Memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 3 ayat (3);.
Mengenai kekuasaan ketiga perlu penjelasan lebih lanjut: Berdasarkan ketentuan baru dalam UUD 1945, secara politik, Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Timbul persoalan, bagaimana kalau Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berat, seperti pengkhiatanan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercel a, maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden (Pasal 7 A). Apabila hal-hal yang dikemukakan dalam Pasal 7 A ada yang terbukti, dan Dewan Perwakilan Rakyat menemukan bukti-bukti awal, Dewan mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus hal itu. Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan Wakil Presiden dan/ataupun Wakil Presiden, adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 78 ayat (1) dan (2)). Dengan demikian Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut. Apabila Mahkamah Konstitusi dalam sidang-sid~ngnya kemudian berpendapat bahwa yang dikemukakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat tersebut
133
terbukti, putusan Mahkamah Konstitusi tersebut disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Rakyat kemudian menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Jnilah yang dimaksud dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3 ayat (3), yang berbunyi "memberhentikan Presiden danlatau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar". Dari uraian tersebut, kita dapat menarik kesimpulan bahwa setelah diubah, UUD 1945 menganut sistem pemerintahan presidensiil. Masalah berikutnya ialah bagaimana kedudukan dan kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat pasca perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Walaupun dalam bidang perundang-undangan, terdapat pasal 20 ayat (1) yang mengatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang, hal ini tidak berarti kekuasaan tersebut sepenuhnya ada pada Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini disebabkan adanya Pasal 20 ayat (2) yang mengatakan bahwa setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Dengan perkataan Jain, walaupun telah dianut sistem pemerintahan presidensiil, undangundang masih merupakan produk bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden, dengan catatan bahwa dalam pengajuan rancangan undang-undang kedudukan Dewan lebih dominan. lnilah mungkin makna ketentuan dalam pasal 20 ayat (1) UUD 1945.
Hubungan Antara Eksekutif Dan Legislatif Seperti telah dikemukakan dalam pendahuluan, sistem pemerintahan presidensiil mempunyai ciri-ciri tertentu, di antaranya ialah, bahwa sistem tersebut didasarkan atas asas pemisahan kekuasaan. Artinya kekuasaan legisilatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudisial secara prinsip satu sama Jain terpisah. Kekuasaan legislatif menjalankan kekuasaan perundang-undangan, kekuasaan eksekutif menjalankan kekuasaan pemerintahan yang meliputi kekuasaan administrasi, kekuasaan diplomatik, kekuasaan militer, kekuasaan yudisial (pemberian grasi dan Jain-Jain) dan kekuasaan Jainnya (CF. Strong), sedangkan kekuasaan yudisial menjalankan kekuasaan mengadili. Karena Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensiil, timbul pertanyaan, apakah UUD 1945 Juga menganut pemisahan 134
kekuasaan? apakah kekuasaan legislatif sepenuhnya ada pada DPR dan Dewan Perwakilan Daerah, apakah Presiden Republik Indonesia hanya menjalankan kekuasaan eksekutif, dan apakah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan di bawahnya menjalankan kekuasaan peradilan? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas kita perlu mengkaji dan mempelajari UUD 1945 pasca perubahan, khususnya berkenaan dengan Presiden dan DPR. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, Dewan P~akilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-un~g (pasal 20 ayat (1 )). Yang menjadi pertanyaan ialah, apajsah undang-undang itu sepenuhnya produk DPR? Kalau kita bac~ayat (2)nya ternyata tidak. Sebab dalam ayat (2) dikatakan, setiap rancangan undang-udang dibahas oleh DPR dan Presiden untukmendapat persetujuan bersama. Dengan perkataan lainJ _peraturan yang bern am a undang-undang itu dibuat oleh DPR))ersama-sama Presiden. Hanya dalam pasal yang sama, ada~entuan dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui be ama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh ari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangar!t undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diu~dangkan (Pasal 20 ayat (5). Hal ini berbeda dengan yang berlaku d~ Amerika Serikat. Di negara ini, undang-undang yang telah ditetapkqn Kong res, diserahkan kepada Presiden untuk dilaksanakan. Akantetapi, apabila Presiden Amerika Serikat tidak menyetujui undangundang tersebut, dia dapat menggunakan hak veto. Dengan demikian presiden mempunyai hak untuk tidak melaksanakan undang-undang. Namun apabila kong res berpendapat undang-undang tersebut sangat penting untuk Amerika Serikat, veto dapat digugurkan oleh kongres melalui sidang gabungan antara senat (Senate) dan Dewan Perwakilan Rakyat (House of Representatives) dengan prosedur tertentu. lnilah yang dinamakan "Check and balances system" di Amerika Serikat. /
Persoalannya ialah, apakah sistem terse but terdapat di Indonesia antara DPR dan Presiden? Siapa yang dimaksud legislatif dalam UUD 1945? Apakah hanya DPR saja ataukah DPR dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) saja, ataukah DPR dengan DPD dan Presiden?. Walaupun anggota-anggota DPD mewakili provinsi, dan setiap provinsi diwakili oleh 4 (empat) orang anggota yang dipilih langsung oleh rakyat masing-masing provinsi, akan tetapi kekuasaan DPD sangat terbatas. Bahkan DPD hanya dapat mengajukan rancangan undang-undang tertentu kepada DPR. Dalam pad a itu DPR mempunyai fungsi legislasi,
135
fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Tentang fungsi legislasi DPR dapat kita baca dalam pasal 20 yang terdiri_ dari 5 (lima) ayat. Perlu dikemukakan bahwa jika rancangan undang-undang itu tidak mendapatkan persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu. Walaupun seperti telah dikemukakan, DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang, dia tidak melakukan sendiri, akan tetapi bersama-sama dengan Presiden. Oleh karena itu, dalam hal pembentukan undang-undang dan pelaksanaannya tidak muncul checks and balances. Yang ada ialah bahwa dalam hal DPR dan Presiden telah menyetujui rancangan undang-undang, kemudian presiden tidak mengesahkan hal itu, dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang itu disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Siapa yang wajib mengundangkan undang-undang tersebut? Bukan Presiden melainkan pembantunya yang berkedudukan sebagai menteri. Bagaimana fungsi anggaran yang dimiliki DPR? Seperti diketahui, anggaran pendapatan dan belanja negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang. lni berarti bahwa rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang diajukan oleh presiden, dibahas bersama dengan DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD. Timbul pertanyaan apa yang harus dilakukan apabila DPR tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh presiden? Apabila hal ini terjadi, pemerintah menjalankan anggaran pendapatan dan belanja tahun yang lalu. Dengan perkataan lain, solusj sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar. Kemudian dalam menjalankan fungsinya, DPR juga diberi sejumlah hak, seperti hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Hak tersebut secara konstitusional dijamin dalam Undang-Undang Dasar. Namun demikian, pelaksanaan hak-hak tersebut ditentukan oleh berbagai kepentingan politik fraksi-fraksi yang ada di DPR. Dapat saja terjadi, hak angket disepakati oleh sejumlah fraksi dalam DPR, akan tetapi ketika dilakukan pemungutan suara tidak mendapat dukungan dari mayoritas anggota yang ada dalam DPR. Pada hal, kemungkinan sekali hak angket tersebut akan dilakukan terhadap kebijakan pemerintah yang penting ·dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan derTgan
136
peraturan perundang-undangan. Hal ini juga berlaku terhadap hak interpelasi dan menyatakan pendapat. Kesimpulan
1.
Walaupun UUD 1945 menganut sistem pemerintahan presidensiil, akan tetapi ciri pertama yang dikemukakan oleh SL Wiman & JJ. Wuest dalam bukunya tentang adanya asas pemisahan kekuasaan, tidak terdapat di Indonesia. Dengan demikian antara eksekutif dan legislatif tidak terdapat checks and balances.
2.
Menurut UUD 1945? undang-undang merupakan produk bersama antara DPR dan presiden (legislatif dan eksekutif).
3.
Dalam pembentukan undang-undang kedudukan DPR lebih kuat dibandingkan dengan Presiden.
137
OAFTAR BACAAN 1.
CF. Strong, Modern Political Constitutions.
2.
MPR-RI, Himpunan Ketetapan MPRS dan MPR tahun 1960 s.d. 2002.
3.
Komisi Pemilihan Umum, Himpunan Undang-Undang Bidang Politik, 2004
4.
Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2002, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5.
SL. Witman & JJ. Wuest, Visual Outline of Camparative Government.
6.
Sri Soemantri, Pengantar PerbandinganAntar Hukum Tata Negara.
138
ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN HUKUM Dl BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT, SOSIAL DAN BUDAYA: MEWUJUDKAN NEGARA SEJAHTERA REPUBLIK INDONESIA Dl BAWAH RIDHO TUHAN YANG MAHA ESA* 0/eh: Prof. Dr. H.M. Tahir Azhar, S.H. . Sabda Rasul/ah SAW: Wa kada al-faqru an ya kuuna kufran Artinya: "Hampir-hampir kemis.!cinan itu menjadikan seseorang kafir.
I.
PENDAHULUAN
Dalam paper ini penulis ingin mengemukakan latar belakang yang dikaitkan dengan teori Nomokrasi lslam 1 • Prinsip kesejahteraan adalah satah satu dari sembilan prinsip dalam negara Nomokrasi Islam. Prinsip kesejahteraan dalam Nomokrasi Islam bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial dan keadilan ekonomi bagi seluruh anggota masyarakat atau rakyat. Tugas itu dibebankan kepada penyelenggara negara dan masyarakat. Pengertian keadilan sosial dalam Nomokrasi Islam bukan hanya sekedar pemenuhan kebutuhan materiil atau kebendaan saja, akan tetapi mencakup pula pemenuhan kebutuhan spiritual dari seluruh rakyat. Negara berkewajiban memperhatikan dua macam kebutuhan itu dan menyediakan jaminan sosial untuk mereka yang kurang atau tidak mampu. AI-Quran telah menetapkan sejumlah sumber-sumber dana untuk jaminan sosial bagi anggota masyarakat yang memerlukannya dengan berpedoman pada prinsip keadilan sosial dan keadilan ekonomi. Untuk mewujudkan prinsip kesejahteraan, yang dalam AI-Quran dirumuskan dengan kata-kata "baldatun thayibatun wa robbun ghafuur" yaitu suatu negara yang sejahtera di bawah ridho Allah, negara· Makalah disampaikan pada Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut U~D 1945 Hasil Amandemen diselenggarakan oleh BPHN Departemen Hukum dan HAM Rl, Jakarta 29-31 Mei 2006 1 TahirAzhary, Negara Hukum, him. 107-108.
•
139
berkewajiban mengatur dan mengalokasikan dana dalam jumlah yang cukup untuk keperluan jaminan sosial bagi mereka yang memerlukannya. Jaminan sosial itu mencakup tunjangan pengangguran, tunjangan orang tua (orang yang berusia pensiun), beasiswa untuk mereka yang sedang menuntut ilmu dan lain-lain. Negara berkewajiban pula menyediakan sarana-sarana peribadatan, pendidikan, panti asuhan, rumah sakit dan lain-lain. Dalam Nomokrasi Islam hanya ada satu motivasi pelaksanaan prinsip kesejahteraan yaitu doktrin Islam: "hab/un min Allah wa hab/un min a/-nas"·yaitu aspek ibadah dan aspek muamalah. Dengan kata lain, realisasi prinsip kesejahteraan itu semata-mata bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial dalam masyarakat sesuai dengan perintah Allah SWT. Berbeda dengan negara-negara barat, pelaksanaan kesejahteraan sosial memiliki motivasi ganda. Misalnya jaminan sosial bagi buruh perusahaan. Dari satu segi tunjangan itu didorong oleh kepentingan establishment perusahaan, karena ingin melindungi modalnya. Tunjangan itu dimaksudkan sebagai insentif buruh agar meningkatkan produktivitasnya. Dengan kata lain, tunjangan itu memberikan efek positif bagi perusahaan. Dilihat dari segi kepentingan buruh, orang akan menilai bahwa tunjangan itu mengandung motivasi perikemanusiaan. Namum motivasi yang pertama tampak lebih dominan karena dalam kenyataannya, sistem ekonomi kapitalis selalu. mengutamakan kepentingan modal mereka. Kalaupun jaminan sosial itu harus diberikan, perhitungan untung rugi perusahaan tidak mungkin diabaikan. Sedangkan dalam Nomokrasi Islam, keadilan sosial dan keadilan ekonomi dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penimbunan harta di tangan seseorang atau sekelompok orang, sementara anggota masyarakat lainnya mengalami kemiskinan. Salah satu misi Islam ialah memerangi kemiskinan, sekurangnya menghilangkan kesenjangan antar golongan orang-orang yang mampu dan golongan orang yang kurang mampu. Pendirian AI-Quran mengenai kedudukan harta ialah bahwa harta milik seseorang mempunyai fungsi sosial, karena itu bukan merupakan kepemilikan yang bersifat mutlak. AI-Quran menegaskan bahwa di dalam harta milik golongan hartawan itu ada hak orang-orang yang membutuhkannya karena keadaan ekonomi yang lemah atau tidak mampu, baik ia memintanya dengan tegas maupun tidak.
140
Kecuali AI-Quran telah menetapkan sejumlah sumber-sumber dana untuk jaminan sosial bagi anggota masyarakat yang memerlukannya dengan berpedoman pada prinsip keadilan sosial dan keadilan ekonomi, sehingga kesejahteraan yang dicita-citakan dapat terwujud. Sumber-sumber dana tersebut an tara lain adalah zakat, infak, shadaqah, hibah, wakaf. Sumber-sumber dana tersebut akan dibahas lebih lanjut di bawah ini
II.
BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT
A. Zakat Sebagai Sarana Peningkatan Kesejahteraan Rakyat Zakat adalah salah satu lembaga sosial dalam Islam yang mengandung dua makna, yaitu ibadat dan muamalah. Ia adalah salah satu rukun Islam yang merupakan kewajiban bagi setiap penganut Islam untuk menunaikannya apabila ia memiliki harta kekayaan. Karena demikian pentingnya lembaga zakat dalam Islam, AI-Quran menyebut perkataan itu sebanyak 82 kali banyaknya. Hubungan antara zakat dan sholat demikian eratnya. Keduanya adalah merupakan Rukun Islam. Perkataan zakat seringkali dirangkaikan dengan perkataan sholat di dalam AI-Quran. Hal ini menunjukkan bahwa baik zakat maupun sholat, kedua-duanya mengandung nilai-nilai ibadah. Kecuali itu, zakat merupakan pula salah satu sarana untuk menunjukkan keadilan sosial dan keadilan ekonomi di dalam Nomokrasi Islam. Maka lembaga zakat mengandung baik nilai ibadah maupun nilai sosial yang juga disebut sebagai salah satu bentuk amal kebajikan. Supaya zakat bisa berfungsi dengan baik sebagai saran a peningkatan kesejahteraan rakyat, maka perangkat peraturan perundangundangan yang sudah ada sekarang yaitu Undang-Undang No, 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat harus disertai dengan pembentukan peraturan perundang-undangan yang lain seperti undangundang tentang wajib zakat, dan peraturan daerah yang mendukung pelaksanaan dari undang-undang tersebut.
B.
Wakaf Sebagai Sumber Daya Ekonomi
Salah satu konsep sumber daya ekonomi, apabila dikaitkan dengan tanah, adalah wakaf. Mung kin dapat dipahami, bahwa tanah merupakan natural resources, kecuali manusia sebagai human resources (sumber daya manusia). Dalam pengalaman sejarah, ekonomi suatu bangsa dan negara akan dapat tumbuh dan berkembang apabila kedua faktor
141
tersebut dapat dikelola sebaik mung kin dengan menggunakan penemuan-penemuan baru dalam IPTEK. Bertitik tolak dari pemikiran di atas, maka tanah wakaf sebagai salah satu lembaga sosial Islam, pada hakikatnya mempunyai fungsi yang sama dan dapat digunakan sebagai salah satu sumber daya ekonomi. Artinya penggunaan tanah wakaf tidak terbatas hanya untuk kepentingan kegiatan-kegiatan tertentu saja berdasarkan orientasi konvensional seperti pendidikan, masjid, rumah sakit, panti asuhan dan lain-lain, tetapi tanah wakaf dalam pengertian makro dapat pula dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan ekonomi seperti pertanian termasuk mixed farm atau pertanian dan peternakan, industri pertambangan, real estate, office building, hotel, restauran dan lainlain. Kedudukan tanahnya tetap sebagai tanah wakaf, tetapi hasilnya mung kin dapat dimanfaatkan secara optimal, ketimbang misalnya tanah wakaf hanya digunakan sebagai sarana-sarana yang terbatas saja. Tentu saja umat Islam tidak perlu memanfaatkan semua tanah wakaf hanya untuk tujuan-tujuan produktif saja, tetapi hal ini dapat dianggap -sebagai salah satu alternatif untuk mengoptimalkan fungsi wakaf tersebut. Konon kabarnya di Mesir, Universitas AI-Azhar sebagai pemilik tanah wakaf, dari aset yang dimilikinya itu dapat berperan serta sebagai pemilik saham pada Egyp Airline. Dari hasil tanah pertanaian yang dimiliki oleh Universitas AI-Azhar sebagai tanah wakaf, AI Azhar mampu membeli saham-saham dari perusahaan penerbangan nasionalnya. Bahkan hasil-hasil tanah wakafnya dapat menutup seluruh biaya kegiatan pendidikan AI-Azhar. Mulai dari TK sampai perguruan tinggi, AI Azhar tidak memungut biaya bagi peserta didiknya, bahkan tersedia beasiswa yang cukup beserta tiket pesawat pulang pergi bagi mereka yang berasal dari luar negeri, apabila mereka memerlukannya. Mungkin pengalaman Universitas AI-Azhar ini dapat dijadikan sebagai salah satu pol a umat Islam untuk mengembangkan tanah-tanah wakaf yang dimilikinya. Untuk itu, kira perlu dibuat perangkat hukum yang c~mpre hensive yang menunjang pelaksanaan wakaf untuk tujuan ekonomis tersebut.
Bagaimana Memanfaatkan Tanah Wakaf Dari ilustrasi yang dikemukakan, mung kin perlu dilakukan langkahlangkah berikut ini: 1.
142
Pendataan atau inventarisasi tanah-tanah wakaf yang berisi informasi tentang:
a. b. c. d. e.
Luas tanah. Lokasi tanah. Peruntukan tanah. Nadzir (pengelola) tanah wakaf (kelompok orang atau badan hukum). Program kerja pengelola tanah wakaf dan lain-lain yang relevan.
2.
Penyusunan "planning" jangka pendek, menengah dan panjang. Perencanaan itu hendaknya dikaitkan dengan sejumlah program kerja dalam bidang-bidang pendidikan, sosial dalam arti yang luas, sehingga dapat diperoleh suatu gambaran berupa dana yang diperlukan untuk setiap program itu dan berapa dana yang mung kin akan dihasilkan melalui pemanfaatan atau pendayagunaan tanah-tanah wakaf secara produktif.
3.
Dengan memperhatikan potensi-potensi tanah wakaf, maka dapat ditentukan prioritas penggunaannya, apakah lebih bermanfaat untuk kepentingan pendidikan sosial atau untuk dikelola secara ekonomi sehingga tanah-tanah wakaf itu akan memberikan nilai tambah bagi lembaga wakaf itu sendiri. Mungkin dapat ditempuh suatu strategi campuran, di mana sebagian tanah wakaf itu digunakan untuk kepentingan pendidikan dan sosial secara permanen serta sebagian lagi digunakan untuk pengembangan tanah wakaf itu, dalam arti optimalisasi tujuan wakaf itu sendiri. Dengan kata lain, mengelola tanah-tanah wakaf secara produktif. Kombinasi an tara tanah wakaf yang digunakan secara langsung dan tanah wakaf yang dikelola untuk tujuan-tujuan produktif adalah sang at ideal. Di pulau Jawa, hampir sebagian besar pesantren-pesantren mengunakan cara ini. Melalui cara ini lembaga-lembaga pendidikan Islam dapat berswasembada dan dapat bertahan.
4.
Prinsip-prinsip manajemen kotemporer yang sesuai dengan ajaran Islam perlu diterapkan dalam pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf, artinya tanah wakaf harus dikelola secara profesional oleh manajer yang profesional. Dengan demikian perlu usahausaha yang serius dan bukan bersifat "nyambi". Karena itu kajia.n perbandingan tentang wakaf di negara-negara lain perlu dilakukan.
5.
Di negara-negara Barat tidak sedikit "foundation" atau "stichting" yang sudah mapan (established) seperti "Ford Foundation", "ReckefellerFoundation"dan lain-lain. Mungkin dari segi manajemen dan pengalaman mereka, kita dapat menarik manfaatnya. Untuk
143
itu perlu diadakan survey atau penelitian mengenai segi-segi yang relevan dengan wakaf tertiadap mereka. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan tanah wakaf tidak lagi bertujuan satu target, tetapi multi targetatau sekurangnya dua target yaitu (1) a mal sosial dan (2) amal ekonomi.
Peran Negara Dan Masyarakat Untuk mengoptimalkan fungsi wakaf, dengan bi-orientasi atau sosial dan ekonomi, maka negara dan masyarakat (swasta) perlu berperan serta. Partisipasi negara, terutama penyediaan fasilitas (kemudahan) dan pengaturan wakaf yang memberikan dorongan dan motivasi untuk mengoptimalkan tujuan-tujuan wakaf itu. Di Indonesia, misalnya sudah ada PP Nom or 38 Tahun 1963, PP No. 28 Tahun 1977 dan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf. Peran serta masyarakat (swasta), kecuali menyediakan tanah (lahan) wakaf itu sendiri, juga diharapkan bersedia menjadi sponsor dalam usaha-usaha yang dilakukan. Mungkin secara garis besar kegiatan-kegiatan optimalisasi tanah wakaf secara ekonomis dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok: 1.
usaha-usaha pertanian, peternakan dan pembudidayaan ikan, udang dan lain-lain yang dibenarkan oleh syariah.
2.
Usaha-usaha industri, pabrik genteng, ubin dan lain-lain. Ke dalam kelompok ini tidak tertutup kemungkinan industri ring an dan be rat. Usaha dalam bidang karoseri mobil dan mungkin pula "assembling" mobil dapat merupakan salah satu contoh.
3.
Usaha-usaha dalam bidang real estate, perkantoran, perhotelan, rumah makan dan lain-lain yang tidak bertentangan dengan syariah.
Pihak swasta mung kin dapat bekerjasama (bagi hasil) dengan pengelola wakaf (nadzir) menu rut syarat-syarat yang disepakati bersama. Mungkin pula pihak swasta mengelola sepenuhnya misalnya sebagai "non profitable investor" atau orang yang menanamkan modalnya tanpa mengharapkan suatu keuntungan. Dengan perkataan lain, seluruh keuntungan diberikan kepada pihak pengelola tanah wakaf itu. Kemungkinan lain, pihak swasta dapat menyediakan sejumlah dana dalam bentuk infak atau shadaqah yang akan digunakan sebagai modal kerja untuk pengembangan tanah wakaf secara ekonomis. Dari segi perbankan, pada saat ini untuk umat Islam di Indonesia dapat digunakan
144
jasa-jasa Bank Muamalat Indonesia yang telah beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip Bank Syariah Islam. Fasilitas-fasilitas yang disediakan oleh Bank Muamalat itu kiranya dapat pula dimanfaatkan untuk pengembangan atau penggunaan tanah wakaf secara lebih optimal.
C.
Sistem Ekonomi dan Perbankan Islam
Sistem ekonomi dan perbankan Islam sekarang ini telah dijadikan sebagai salah satu alternatif dalam pengaturan di bidang ekonomi dan keuangan dalam rangka pembangunan nasional. Pada hemat penulis, konsep ekonomi Islam di dasarkan pada suatu landasan doktrin Islam bahwa hak milik mutlak tidak berada di tangan manusia tetapi pada Allah SWT. Manusia hanya mempunyai hak milik yang relatif atas barang dan jasa, Dengan kata lain apa yang dimiliki manusia menjadi amanah (titipan) yang harus dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah SWT. Dalam Quran ditegaskan bahwa seluruh alam semesta dan semua benda yang terdapat di dalamnya adalah pemberian Allah kepada man usia yang harus dimanfaatkan untuk kepentingan man usia dan makhluk lainnya (QS 14: 33-34, 31 :20). Dalam konsep ekonomi Islam ada tiga hal yang harus diperhatikan yaitu moralitas (akhlaq), aspek sosial, dan pembatasan diri (temperenee). Dalam doktrin Islam, motif mencari laba atau keuntungan tidak boleh membawa manusia pada individualisms yang ekstrim dan egosentris, yang hanya mementingkan dirinya dan tidak memperdulikan masyarakyat. Islam membenarkan orang mencari laba, tetapi dalam batas yang wajar. Karena itu etika bisnis (dagang) merupakan salah satu faktor penting dalam Islam. Mohammad Arif, gurubesar ekonomi Universitas Malaya menegaskan : "In an Islamic system, ethiscs and economic are not only compatible but also inseperable". Salah satu konsep dasar dalam ekonomi Islam adalah kerjasama yang didasarkan pada konsep saling menguntungkan . Dalam hukum Islam (fiqh) salah satu bentuk kerjasama yang susuai dengan ajaran Islam ialah qirad yaitu kerjasama antar pemilik modal dan pengusaha yang memiliki keahlian, keterampilan dan tenaga. Ciri penting dalam ekonomi Islam adalah sifat "kekeluargaan" atau dalam isitilah Quran disebut "ukhuwah" (persaudaraan). Karena itu kompetisi (persaingan) sebagaimana dalam ekonomi pasar menurut konsep Barat tidak dikenal. Kesempatan berusaha harus terbuka bagi
145
siapa pun. Karena itu sistem monopoli dan penimbunan barang oleh sekelompok orang tidak dibenarkan. Sesungguhnya asas kekeluargaan yang diterapkan dalam UUD 1945 (pasal 33) sinkron dengan sistem ekonomi Islam. Apabila di dalam praktik masih dijumpai hal-hal yang belum sinkron dengan ketentuan dalam pasal 33 UUD 1945. maka menjadi kewajiban untuk menyelaraskannya. Tentang konsep dasar perbankan Islam ialah tanpa bunga. Kerjasama didasarkan pada prinsip ''profit loss sharing" (untung rugi dihadapi bersama sesuai dengan perjanjian). Di sini kedudukan Banker adalah sebagai mitra (partner) bagi nasabah (pengusaha). Dalam fiqh, sistem perbankan Islam dikenal dengan sebutan bank qirad. Ada berapa manfaat yang perlu dicatat apabila sistem bank Islam itu diterapkan: 1.
Keadilan ekonomi benar-benar dapat diwujudkan, dalam arti kepentingan bank maupun kepentingan nasa bah dapat dilindungi. Dalam sistem perbankan barat, hanya pihak bank saja yang dilindungi hukum, dalam arti harta agunan yang dijadikan sebagai hipotik atau jaminan apabila nasa bah dikategorikan sebagai debitor yang tidak mampu membayar utangnya (kredit macet), maka dengan sendirinya pihak bank boleh melelangnya. Ada kemungkinan harga lelang akan bernilai di atas jumlah kredit, atau di bawahnya. Dalam hal yang terakhir ini jelas kepentingan nasabah dirugikan.
2.
Nasa bah (pengusaha) dapat menggunakan fasilitas bank dengan mudah terutama untuk mengembangkan kegiatan usahanya dalam rangka berpartisipasi dalam pembangunan nasional. Nasabah tidak perlu menghadapi prosedur yang rum it, termasuk keharusan menyediakan barang agunan.
3.
Boleh dikatakan sebagaian besar rakyat Indonesia adalah pengusaha kecil (termasuk petani dan nelayan). Melalui "Bank Muamalat Islam" mereka dapat turut menikmati fasilitas yang disediakan oleh bank.
Kecuali pengembangan zakat, wakaf, dan perbankan yang didasarkan pada ekonomi syariah sebagai alternatif dari ekonomi yang sudah berjalan, untuk meningkatkan kesejahteraan, perlu juga dilakukan pembangunan ekonomi kerakyatan dengan mengembangkan jiwa entreprenursip dalam 5 bidang: 146
1. 2. 3. 4. 5.
Pertanian dan perkebunan. Peternakan. Perikanan dan kelautan. lndustri kecil. Orientasi ekspor.
Sehingga sarjana-sarjana yang dihasilkan adalah sa~ana-sarjana yang siap menciptakan lapangan kerja baru. Jadi angka pengangguran bisa ditekan semaksimal mungkin.
Ill. BIDANG SOSIAL Dalam hubungan dengan masyarakat dan negara, kegiatan peningkatan kesejahteraan lebih terletak pada bidang kebijakan yang dilakukan oleh pihak pemerintah, misalnya dengan melakukan rehabilitasi keadaan. Yang dimaksud dengan rehabilitasi keadaan adalah usahausaha yang memungkinkan pengembalian dunia usaha ke jalan yang lurus, jujur dan memenuhi tuntutan ekonomi. Dalam rangka ini, semua perusahaan yang menjadi besar karena KKN hendaknya dikembalikan kepada posisi yang sesungguhnya, dengan antara lain menyita semua hasil yang diperoleh perusahaan tersebut secara tidak wajar. Mereka yang terlibat utang tidak perlu dibantu oleh pemertntah, kalau utang tersebut berpangkal dari kesalahan mereka sendiri. Demikian pula berbagai setoran atau komisi. yang diperoleh dari KKN, semuanya harus dikembalikan kepada rakyat (negara). Perbaikan dan peningkatan itu perlu dilakukan bagi: 1.
Usaha kecil dan menengah.
2.
Koperasi.
3.
Usaha petani, bila perlu dengan memberi mereka subsidi.
4.
Membuka kesempatan luas kepada para petani untuk mengolah lahan baru dengan bantuan modal dan bimbingan kemampuan ke~a.
5.
Dengan meningkatkan produksi makanan (bukan hanya beras melainkan juga sagu dan jagung), dan dengan demikian mengusahakan pengurangan impor beras, atau bahkan malah seharusnya menghentikannya.
6.
Upah minimum perlu memadai untuk hidup layak menyangkut soal makan, pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan, berlibur
147
setahun sekali. Yang lemah dilindungi, yang besar tanggung jawabnya pun harus besar pula. Social security sejalan dengan tuntutan Islam. Cita-cita kemerdekaan kita tentang pasal 33 UUD 1945 memang memperhatikan kepentingan rakyat banyak.
IV. BIDANG BUDAYA Sifat marhamah (kasih sayang) antara lain terhadap keluarga, orang tua, anak yatim, orang miskin, yang tua dan yang mud a, musafir, anak jalanan, dan mereka yang lemah (karena tidak atau kurang berpenghasilan), AI-Quran mengemukakan hal ini: Sembah/ah Allah dan jangan persekutukan Dia dengan sesuatu apapun. Dan berbuat baik/ah kepada kedua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan jauh, ternan sejawat, ibnu sabil (orang yan_g dalam perja/anan) dan hamba sahaya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri(Qs.An-Nisaa (4) :36). Sifat ini agaknya bisa juga dikemukakan dengan ungkapan kita : "yang kecil disayangi, yang tua dihormati". Dalam rangka ini perlu diperhatikan agar batasbatas yang dilarang tidak dilanggar. Umpamanya soal pergaulan yang harus senantiasa mencerminkan sopan santun, termasuk batas zina. Demikian juga kebiasan-kebiasaan minum-minuman keras dan berjudi. Ada ketentuan dalam ajaran Islam yang perlu diperhatikan dalam hubungan ini (dan ini berlaku juga dalam bidang ekonomi dan politik), semua boleh kecuali yang dilarang. lni berarti bahwa budaya dan per~daban boleh berkembang sesuai dengan pikiran dan kecenderungan manusia, namun batas-batasnya harus diperhatikan. Dalam hal yang boleh pun perlu diingat kategori yang lima: a/ ahkam a/ khamsah, dalam hal ini berlaku pula kategori : sunah, mubah, makruh, wajib dan haram. Seperti yang·· sekarang ini sedang ramai dibicarakan publik yaitu RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi, terbitnya majalah Play Boy Indonesia, maraknya media cetak yang mengumbar aurat dan lainlain. Bila pro kontra ini tidak disikapi dengan bijaksana maka bukan tidak mungkin akan menimbulkan permasalahan yang lebih besar lagi. V.
PEMBANGUNAN NASIONAL
Ketiga bidang di atas yaitu kesejahteraan, sosial dan budaya harus diarahkan pada sebuah proses pembangunan. Secara umum arti kata pembangunan ialah "perubahan (change). Dalam terminologi Islam, pembangunan mengandung makna kemampuan mewujudkan 148
cita-cita Islam melalui pribadi, keluarga dan masyarakat, dan kehidupan umat termasuk juga mengurus negara. Dengan kata lain, dilihat dari sudut Islam, pembangunan adalah ungkapan dinamika budaya yang ditandai oleh keinginan umat Islam untuk tetap berada dalam keadaan lslami. Sesungguhnya Nabi Muhammad saw. adalah seorang tokoh yang di dalam sejarah diakui sebagai pembangun yang telah berhasil baik secara duniawi maupun secara spiritual (Michael Hart, 1982). Dengan mengikuti jejak Rasulullah SAW, sesungguhnya tujuan pembangunan dalam Islam adalah mencapai kebahagiaan hidup baik duniawiah maupun ukrawiyah. Karena itu pendekatan pembangunan dalam ajaran Islam adalah non sekuler. Bagaimana konsep pembangunan nasional Indonesia? Republik Indonesia sebagai suatu negara yang memilki dasar filsafat Pancasila dan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 29 ayat 1 UUD 1945: Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa). Apabila kita memperhatikan bunyi pasal29 ayat (1) UUD 1945) sebagai ahli hukum kita akan menemukan tafsiran bahwa dasar negara kita ialah Ketuhanan Yang Maha Esa (penulis menggunakan ejaan Ketuhanan dengan maksud untuk tetap memberikan makna keagungan kepada Allah SWT). Secara filosofis penulis memahami bahwa melalui UUD 1945. Bangsa Indonesia meletakkan posisi Tuhan di atas segala-galanya. Hal ini berbeda dengan sudut pandang barat yang meletakkan manusia pada posisi sentral (antroposentrik, sedangkan pendekatan bangsa Indonesia adalah teosentrik atau berpusat pada Tuhan). Namun harus dijelaskan, bahwa negara Rl bukan merupakan negara teokrasi (agama). Karena itu pembangunan nasional yang sedang kita alami akan berlanjut terus dan diselenggarakan berdasarkan dasar filsafat Pancasila dan secara konstitusional tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Dengan bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan sila pokok yang mendasari keempat sila lainnya sebagaimana dijelaskan oleh Bung Hatta, maka definisi pembangunan nasional tidak lain adalah suatu upaya bangsa Indonesia untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera (adil dan makmur) di bawah keridhoan Tuhan yang Maha Esa, baik kesejahteraan duniawi dan ukhrawi. Menurut hemat penulis, dimEmsi pembangunan nasional kita harus mencakup baik kesejahteraan lahiriah maupun kesejahteraan batiniah. Dengan kata lain, sasaran pembangunan bangsa Indonesia adalah manusia yang berkualitas tinggi, baik dalam dimensi spiritual (keagamaan) maupun dimensi ekonomi. Karena itu pembangunan agama dan 149
pembangunan ekonomi di negara Republik Indonesia harus berjalan "bergandengan tangan". Jadi konsep pembangunan nasional kita bukan hanya semata-mata memuat pembangunan dalam makna ekonomi saja, tetapi pembangunan nasional dalam makna yang luas. VI.
UPAYA-UPAYA YANG PERLU DILAKUKAN
Beberapa upaya yang perlu dilakukan antara lain: 1.
Pengaturan LSI itu dalam perangkat perundang-undangan. Zakat sebaiknya di atas dalam undang-undang tersendiri yang memuat tentang wajib zakat, macam-macam zakat, jenis harta, nisab, haul, kadar zakat, penerima zakat, macam-macam zakat dengan alokasi terbesar untuk fakir miskin, pengorganisasian dan pendayagunaan zakat. Zakat sebagai suatu lembaga sosial memiliki potensi yang sang at besar. Dalam suatu penelitian pada tahun 1990-an, penulis mengajukan suatu asuransi seandainya wajib zakat di Indonesia setiap tahun ada 30 juta orang dan seandainya masing-masing mengeluarkan Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah), maka akan terkumpul dana sebesar Rp 30.000.000.000.000,- (tiga puluh trilyun rupiah). Penulis yakin bahwa jumlah wajib zakat di Indonesia melebihi perkiraan tersebut, karena jumlah dana yang berasal dari zakat akan terkumpul lebih banyak dari jumlah tersebut. Alokasi dana zakat harus benar-benar diprioritaskan bagi mereka yang memerlukannya (fakir miskin dan mereka yang berpendapatan rendah). Karena itu, penggunaan dana zakat untuk pembangunan sarana fisik, misalnya mesjid, madrasah, rumah sakit dan lainlain tidak dijadikan sebagai prioritas yang sama bagi fakir miskin dan mereka yang berpenghasilan rendah. Untuk pembangunan sarana fisik sebaiknya digunakan dana yang berasal dari infak, shadaqah dan hibah, selain dana yang tersedia dalam anggaran pembangunan. lnfak, shadaqah dan hibah dapat diatur dalam suatu undangundang mengingat hukum ketiga lembaga sosial ini sama yaitu bukan fardu 'a in tetapi sunnah. Sedangkan zakat, kecuali ia adalah hukum islam keempat merupakan fardu'ain. Organisasi pengelola lembaga-lembaga sosial itu yang selama ini telah ditangani BAZIS dapat kiranya diteruskan, dengan syarat harus ada modifikasi dalam manajemen. Pengelolaan ZIS (Zakat, lnfak, Shadaqah) harus dilakukan secara profesional menurut ilmu manajemen.
150
2.
ICMI dan MUI hendaknya "melibatkan diri" dalam menyusun perencanaan, pelaksanaan dan pengembangan LSI tersebut sebagai salah satu faktor yang menunjang percepatan proses kemakmuran dan kesejahteraan negara Rl dalam rangka pembangunan nasional.
3.
Perlu diadakan sensus berkala untuk mengetahui data yang akurat tentang berapa jumlah penduduk Indonesia yang berkualifikasi (berhak) sebagai penerima zakat. Dengan demikian dapatlah ditentukan secara proporsional pendayagunaan dana zakat yang terkumpul. Salah satu sarana yang bisa digunakan adalah sensus ekonomi yang sekarang ini sedang dicanangkan oleh pemerintah. Penulis berkeyakinan Indonesia sebagai suatu negara yang berpenduduk terbanyak merupakan satu negara yang berpotensi besar dalam bidang zakat. Pada hem at penulis, salah satu kendala mengapa zakat belum memperlihatkan titik cerah dalam penanggulangan kemiskinan di Indonesia adalah soal pengaturan dan manajemen.
4.
Orientasi zakat hendaknya tidak semata-mata bersifat konsumtif, tetapi secara bertahap para penerima zakat yang mustahik pada akhirnya "ditargetkan" untuk dapat mandiri dan bahkan suatu ketika ia dapat berubah status menjadi wajib zakat.
5.
Pemanfaatan tanah wakaf dalam era pembangunan nasional sekarang dan pada masa yang akan datang, tidak hanya untuk keperluan sosial dan pendidikan saja, sebagaimana yang selama ini dilakukan, tetapi juga perlu dipikirkan kemungkinan-kemungkinan untuk memanfaatkan tanah wakaf itu secara produktif dan ekonomis. Karena itu orientasi gabungan secara ideal perlu ditempuh. Sebagai contoh, sukses yang dialami oleh AI-Azhar di Mesir dapat dijadikan pengalaman. Juga suskes yang diperoleh foundations atau stichting di negara-negara barat pun perlu dikaji.
6.
Penegakan supremasi bukum.
7.
Pendayagunaan sumber daya alam.
8.
Pemanfaatan zakat dan pajak.
9.
Mencerdasakan kehidupan bangsa dengan membuat kebijakan pendidikan murah untuk rakyat.
10. Mengatur satu kebijakan pendidikan yang tepat, seperti seluruh lulusan SLTA tidak harus ke perguruan tinggi, tetapi dibekali dengan
151
skill yang baik sehingga bisa menciptakan lapangan kerja sendiri dan melahirkan lulusan yang siap bekerja. Artinya sekolah kejuruan harus ·diperbanyak misalnya kejuruan di bidang peternakan, perikanan, komputer dan lain-lain.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 1.
Di Indonesia, ada 3 (tiga) sistem hukum yang berlaku dan diakui yaitu Hukum Islam, Hukum Ad at, dan Hukum Sa rat. Hukum Islam merupakan bagian yang integral dan tidak mungkin dipisahkan dari proses pembangunan hukum. Karena itu, peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia hendaknya didasarkan dan tidak menyimpang dari sistem hukum Islam (sebagai hukum agama).
2.
Pada hakikatnya tujuan utama pembangunan hukum ialah meningkatkan kualitas hid up bangsa Indonesia baik spiritual (keagamaan) maupun materiil.
3.
Prinsip-prinsip hukum Islam dalam segala bidang kehidupan sangat relevan dengan era pembangunan nasional, karena itu harus diperhatikan.
4.
Sesuai dengan dasar filsafat negara Rl Pancasila dan UUD 1945 (terutama pasal 29 ayat 1), maka nilai-nilai transendental yang lslami harus selalu menjadi salah satu landasan dalam setiap kebijakan pemerintah sehubungan dengan pembangunan nasional.
5.
Pengaturan di bidang ekonomi dan keuangan (termasuk perbankan) selalu didasarkan pada nilai-nilai etik dan moral, baik nilai-nilai lslami maupun pancasila.
6.
Agar ZIS dapat dioptimalkan, maka pemerintah perlu meningkatkan status BAZIS menjadi instansi resmi pemerintah.
7.
Pemerintah perlu melibatkan MUI dan ICMI dalam setiap hal yang berkaitan dengan proses pembangunan nasional yang menyangkut kepentingan umat Islam di Indonesia.
8.
Tanah wakaf sebagai salah satu bentuk LSI dapat dijadikan sebagai salah satu sumber daya ekonomi. Potensi tanah wakaf sangat besar untuk dimanfaatkan secara produktif dan ekonomis.
9.
Semua hasil yang diperoleh dari tanah wakaf itu dapat digunakan untuk berbagai kemaslahatan umat, terutama untuk mengurangi
152
kesenjangan antara golongan kaya dan dhuafa (fakir miskin). Pembagian (distribusi) hasil tanah wakaf dalam bentuk dana (keuntungan dalam bentuk uang), hendaknya dilakukan menurut tingkat kebutuhan kaum dhuafa (fakir miskin) itu. ldealnya, kepada setiap mereka dapat diberikan sebagai tunjangan sosial dalam jumlah yang memadai untuk setiap bulan. Sebagai perbandingan di Negeri Belanda, tunjangan sosial itu sebesar 1350 gulden perbulan. 10. Perlu dibuat suatu daftar inventarisasi dan klasifikasi orang-orang yang memerlukan bantu an dari hasil tanah wakaf itu, dengan · suatu standar tertentu. Mungkin fakir miskin yang diprioritaskan, namun tidak tertutup kemungkinan bagi para penganggur dan orang jompo. Panti-panti asuhan (anak yatim) tentu harus diprioritaskan. Demikian juga penyediaan dan beasiswa bagi mereka yang tidak mampu atau berpotensi.
11. Peran serta negara dan masyarakat sangat besar, karena itu perlu didukung oleh kemauan politik dan peraturan perundangundangan dari pemerintah.
153
ARAH PEMBANGUNAN HUKUM MENURUT UUD 1945 HASIL AMANDEMEN DARI PRESPEKTIF PROGRAM LEGISLASI NASIONAL* 0/eh: Dr. H. Bomer Pasaribu, S.H., S.E., M.S.** 1.
Pendahuluan
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara peranan konstitusi sangat panting, karena konstitusi sering disebut sebagai "The Supreme Law of the Land". Konstitusi merupakan "National Symbol and Myth 1". Konstitusi harus dihormati baik oleh rakyat maupun pemerintah. Pejabat pemerintah harus percaya bahwa atas dasar "constitutionalism" mereka pada kenyataannya dibatasi dan dikontrol kekuasaannya oleh konstitusi, dan warga negara secara individual harus percaya bahwa mereka senyatanya dilindungi oleh UUD. Pembukaan (preambule) konstitusi yang mengandung ideologi, batang tubuh konstitusi bersama-sama deklarasi kemerdekaan, dianggap merupakan landasan (cornerstones) dalam budaya politik. Namun demikian juga disadari bahwa konstitusi tetap merupakan produk hukum yang pad a suatu saat memerlukan penyesuaian dengan dinamika baik yang bersifat nasional maupun internasional, baik yang bersifat universal maupun partikularistik atas dasar 3 pendekatan di atas (credibility and effectiveness, democracy and pubic engagement, dan trust and accountability). Agenda utama p~oses reformasi yang monumental tersebut adalah amandemen UUD 1945. Kebutuhan amandemen UUD 1945 dirasakan karena tidak memberi ruang bagi kehidupan yang demokratis di lndonesia2. Hal ini terlihat dari besarnya peluang yang diberikan kepada penguasa untuk mengatur sebagian besar aspek kehidupan bernegara •
Makalah disampaikan pada Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen diselenggarakan oleh BPHN Departemen Hukum dan HAM Rl, Jakarta 29-31 Mei 2006 •• Wakil Ketua Badan Legislasi &Anggota Komisi IV DPR Rl, Dosen Pascasarjana IPB & Ketua Umum HPWD (Himpunan Ahli Perencanaan & Pembangunan Wilayah dan Pedesaan). 1 Muladi, 12 Oktober2004, UUD 1945 PascaAmandemen: "PerlukahAmandemen Lebih Lanjut", The Habibie Center. 2. Tim Kajian Hukum Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) setelah menganalisis UUD 1945 dengan demokrasi sebagai kerangka analisisnya.
155
dan bukan kepada rakyat melalui demokrasi perwakilan. Amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan sebanyak 4 tahap yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002. Dalam proses amandemen tersebut telah terjadi perkembangan-perkembangan yang signifikan pada pokok-pokok pikiran, struktur kelembagaan, dan relasi antar lembaga negara, bahkan sampai dengan peniadaan lembaga-lembaga yang sebelumnya ada, di samping munculnya lembaga-lembaga baru yang sebelumnya belum dikenal. Yang sangat mendasar antara lain adalah tekad untuk memperbaiki sistem check and balances berupa ketentuan-ketentuan konstitusional yang mengatur agar tiga cabang pemerintahan nasional yang saling membatasi kewenangan satu sama lain, sehingga mencegah adanya suatu konsentrasi kekuasaan politik pada salah satu cabang pemerintahan (legislatif, eksekutif dan yudikatif). Amandemen UUD 1945 sebagai "constitutional reform" merupakan langkah strategis untuk reaktualisasi nilai-nilai dasar demokrasi yang di era sebelumnya banyak disalahgunakan oleh penguasa, akibat singkatnya konstitusi yang membuka kesempatan multi tafsir. Hasilnya telah kita rasakan semua berupa "abuse of power", pelanggaran HAM, baik hakhak sipil maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budaya serta KKN. Pili han amandemen terhadap konstitusi adalah jalan tengah untuk memecah kebuntuan terhadap pemenuhan tantangan zaman dengan segala peru bah an dan dinamikanya dengan tetap memelihara Kesatuan Negara Republik Indonesia. Hal-hal yang sangat mendasar guna menjaga fund amen Negara Kesatuan Republik Indonesia tersebut terdiri dari 1) nilai-nilai dasar, 2) bangun dasar, 3) keutuhan wilayah negara. Nilainilai dasar termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, bangun dasar adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI : bentuk negara kesatuan, bentuk pemerintahan republik, dengan wilayah ex-Hindia Belanda), NKRI bukan negara kesatuan berbentuk pemerintahan monarkhi (kerajaan, kesultanan, kekaisaran). Dalam pemahaman NKRI melekat kuat pemahaman tentang negara yang berkedaulatan rakyat (demokrasi) dan negara kebangsaan (negara nasional, nation state), bukan negara agama atau negara suku. NKRI dibangun di atas dasar negara, di atas lima sila (Pancasila) yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Bukan NKRI yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 di Jakarta oleh Soekarno-Hatta, jika seandainya saja pada suatu waktu ada yang dinamakan NKRI akan tetapi dasar negaranya bukan sebagaimana yang utuh termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Perubahan konstitusi kita sebagaimana amandemen UUD 1945 keempat telah memberikan arah yang tegas tentang perlunya penguatan
156
kelembagaan-kelembagaan negara, terlalu kuatnya kekuasaan eksekutif di satu sisi sementara kekuasaan-kekuasaan lain secara bersamaan memiliki banyak ketergantungan, telah menimbulkan iklim kehidupan bernegara yang tidak kondusif dan berkeseimbangan dalam mewujudkan tujuan-tujuan negara. Secara kelembagaan, kekuasaan-kekuasaan pada lembaga-lembaga negara telah mengalami perubahan penguatan, berupa revitalisasi dan restrukturisasi kekuasaan legislatif dan yudikatif misalnya. Pada sisi kekuasaan legislatif, penguatan kelembagaan ditandai dengan penegasan dan reposisi lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR Rl) sebagai pemegang kekuasaan membentuk undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (1). Penguatan peran DPR dalam pembangunan hukum, khususnya di bidang materi hukum dipertegas dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Undang-Undang ini memberikan peran yang dominan kepada DPR, yaitu mengkoordinasikan penyusunan Program Legislasi Nasional. Sejarah telah menunjukkan fungsi DPR dalam periode-periode pemerintahan sebelumnya masih terfokus hanya pada fungsi pengawasan dan anggaran, sementara fungsi legislasi selama periode tersebut lebih didominasi oleh pemerintah (presiden). DPR hanya sebatas membahas usul undang-undang yang diajukan oleh presiden. Hampir tidak ada undang-undang yang merupakan usul inisiatif dari DPR. Dalam struktur ketatanegaraan, hal ini sangat tidak layak jika suatu institusi pelaksana undang-undang terlalu mendominasi pembuatan undang-undang yang merupakan acuan dan dasar pemerintahan melakukan tugas dan wewenang kenegaraannya tersebut. Secara konseptual, apa yang telah dilakukan oleh segenap bang sa Indonesia dalam rangka amandemen konstitusi pada dasarnya bertumpu pada 3 pendekatan: a. Meningkatkan (to enhance) kredibilitas dan efektifitas berbagai lembaga publik; b. Memperkuat (to strenghten) demokrasi dan public engagement melalui pengambilan keputusan, dan c. Menambah (to increase) kepercayaan dan akuntabilitas badanbadan publik3 . 3 Muladi, 12 Oktober2004, UUD 1945 PascaAmandemen: "PerlukahAmandemen Lebih Lanjut", The Habibie Center.
157
Semua hal di atas sama sekali tidak bersifat abstrak, namun memiliki dampak dalam kehidupan sehari-hari.
II.
Pembangunan dan Pembentukan Hukum Masa Orde Baru
Kondisi hukum nasional pada era Orde Baru telah menjadi alat kekuasaan, dan pelaksanaannya telah diselewengkan sedemikian rupa sehingga bertentangan dengan prinsip-:-prinsip keadilan, yaitu persamaan hak setiap warga negara di hadapan hukum. Berbagai masalah dan kesulitan yang tengah dihadapi bangsa Indonesia sa at ini tidak terlepas dari kondisi hukum nasional yang centang perentang. Hukum, sebagaimana diindetifikasi dalam Lampiran TAP MPR No V/MPR/ 2000. Perangkat hukum yang demikian itu hadir sebagai konsekuensi dari konfigurasi politik Orde Baru yang anti demokrasi. Akibatnya manajemen produksi hukum berjalan tanpa sebuah perencanaan yang seksama, bahkan tidakjarang hukum diproduksi hanya untuk merespon kepentingan segelintir orang yang memiliki akses ke lingkaran dalam penguasa. Selain itu proses produksi hukum pun berlangsung sangat elitis dan sama sekali menutup akses rakyat atau warga negara untuk mempengaruhi keputusan pembentukan hukum itu. Bahwa dalam proses pembentukannya melibatkan DPR dan organisasi profesi, memang tidak disangkal. Akan tetapi secara substantif, pelibatan DPR dan organisasi profesi atau organisasi masyarakat sekalipun sangat artifisial, sebab perdebatan yang terjadi semata-mata dalam wilayah semantik. Apalagi, telah menjadi rahasia umum, bahwa organisasi profesi dan organisasi kemasyarakatan, ketika itu telah terkooptasi oleh kekuasaan yang tengah bertahta. Sesudah tumbangnya rezim Orde Baru yang disusul dengan hadirnya sebuah pemerintahan baru melalui sebuah pemilihan umum yang relatif demokratis, maka tuntutan pembaruan manajemen produksi hukum pun merupakan conditio sine qua non. Secara struktural, kelembagaan ketatanegaraan kita, selama ini kita tidak pernah menempatkan lembaga legislatif yang seharusnya merupakan lembaga yang memiliki kewenangan untuk menetapkan aturan-aturan yang selanjutnya menjadi ketentuan secara kelembagaan bernegara. Pada kenyataannya kewenangan tersebut selama ini dengan berbagai alasan -')'Clng'dilaksanakan oleh eksekutif yang seharusnya merupakan pihak yang melaksanakan ketentuan-ketentuan tersebut, sehingga secara legis sudah dibayangkan bahwa jika terhadap subjek hukum yang
158
seharusnya melaksanakan, ternyata subjek hukum itu sendiri yang menetapkan ketentuan dan batasannya, demikianlah wajah ketatanegaraan kita selama orde baru. Bel ajar dari pengalaman sejarah terse but di atas, seiring reformasi dalam amandemen UUD 1945, telah menggariskan akan pembenahan kelembagaan tata negara sesuai fungsi dan tugas kelembagaannya. Presiden dengan kabinetnya (eksekutif) sebagai pihak yang mengemban amanat untuk melaksanakan pemerintahan, DPR sebagai lembaga representasi dan pengemban tugas legislasi dan pengawasan, serta Mahkamah Agung sebagai pengemban tug as Peradilan, serta bidang dan tug as lain perlu dikuatkan dalam rangka mengembangkan proses check and balances yang seimbang. Proses legislasi nasional, maka pembenahan manajemen produksi hukum merupakan sebuah langkah strategis untuk mewujudkan amanah reformasi yakni tegaknya sistem hukum yang didasarkan pada nilai filosofis yang berorientasi pada kebenaran dan keadilan, nilai sosial yang berorientasi pada tata nilai yang berlaku dan bermanfaat bagi masyarakat serta nilai yuridis yang bertumpu pada ketentuan perundang-undangan yang menjamin ketertiban dan kepastian hukum.
Ill.
Program Legislasi Nasional
Program Legislasi Nasional (dulu disebut dengan program legislatif nasional) pada hakikatnya adalah program perencanaan nasional di bidang perundang-undangan (Marzuki, 2001 ). Kata "program" atau "programme" dalam The Advanced Leamer's Dictionary of Current English, diartikan sebagai "List of item, events, etc" atau "... plan of what is to be done". Sementara itu, menurut Black's Law Dictionary, istilah "legislation" diartikan dalam banyak makna, yaitu : The act of giving or enacting laws; the power to make laws; the act of legislating; preparation and enactment of laws; the making of laws via legislation, in contrast to court-made laws. Formulation of rule for the future. Laws enacted by lawmaking body Prolegnas ini sebenarnya tidak sekedar program pembentukan hukum, sekalipun aspek ini memang menjadi perhatian utama. Menurut Hasan Wargakusumah (1999). Prolegnas tersebut juga mencakup program pembinaan hukum tidak tertulis (termasuk program pembinaan hukum adat), program pengembangan yurisprudensi (keputusan-keputusan hakim), dan program pembinaan perjanjian (termasuk ratifikasi konvensi-konvensi Badan-Badan PBB dan traktat dengan negara-negara tetangga).
159
Untuk dapat menempatkan Program Legislasi Nasional yang sesuai dengan cita hukum Indonesia, jelas tidak mudah. Untuk itu, tataran yang paling makro harus ditetapkan terlebih dahulu. Tampaknya, kecenderungan Mochtar Kusumaatmadja (1975) kearah pendekatan "Sociological Jurisprudence" dapat dielaborasi kembali sebagai suatu pilihan yang paling tepat untuk kondisi Indonesia saat ini. Secara mutatis mutandis, cara berpikir sociological jurisprudence dapat dialihkan menjadi konsep pembangunan hukum Indonesia, khususnya dalam rangka melaksanakan Program Legislasi Nasional. Untuk memahami konsep berpikir tersebut, beberapa tulisan Mochtar Kusumaatmadja dapat diuraikan kembali di bawah ini. Mochtar secara cemerlang mengubah pengertian hukum sebagai alat (tool) menjadi hukum sebagai sarana (instrument) untuk membangun masyarakat. Pokok-pokok pikiran yang melandasi konsep tersebut adalah sebagai berikut: 1.
bahwa ketertiban dan keteraturan dalam usaha pembangunan dan pembaruan memang diinginkan, bahkan mutlak perlu.
2.
bahwa hukum dalam arti kaidah yang diharapkan dapat mengarahkan kegiatan manusia kearah yang dikehendaki oleh pembangunan dan pembaruan itu. Untuk itu diperlukan saran a berupa peraturan hukum tertulis (baik perundang-undangan maupun yurisprudensi), dan hukum yang berbentuk tidak tertulis itu harus sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat.
Pandangan bahwa hukum sebagai sistem tertutup merupakan salah satu kelemahan dari Positivisme Hukum. Persoalannya adalah, jika sistem hukum bersifat terbuka, seberapa besar toleransi hukum terbuka bagi sistem-sistem lain untuk masuk ke dalam pergulatan internal sistem hukum? Secara prosedural, desain hukum menjadi kental bermuatan politik. Hal ini dapat dimengerti karen a sistem hukum memang tidak mungkin menutup diri dari sistem-sistem lain. Bahkan, pernyataan John Austin tentang sistem hukum tertutup, pad a dasarnya mengalami contradictio in terminis dengan pernyataannya semula tentang law as a command of lawgivers. Keterkaitan sistem hukum, dengan sistem lain ditunjukkan secara sangat baik oleh Talcott Parson dengan teori Sibernatika-nya (lihat Satjipto Rahardjo, 1985). Dalam teorinya, Parson menyebutkan tentang ada empat subsistem : budaya, sosial, politik, dan ekonomi yang senantiasa melingkari kehidupan kemasyarakatan. Dilihat dari arus energi, subsistem ekonomi menempati kedudukan paling kuat, diikuti
160
subsistem politik, baru kemudian subsistem sosial (di mana hukum ada di dalamnya), dan diakhiri oleh subsistem budaya. Disisi lain, dilihat dari arus informasi (tata nilai), subsistem budaya justru paling kaya, diikuti subsistem sosial, subsistem politik, dan berakhir pad a sub sistem ekonomi. Hukum dengan demikian bukan lagi produk yang steril. Kita dapat mengatakan, modernisasi hukum berjalan seiring dengan modernisasi masyarakat (sosial). Hal itu ditunjukkan dalam model-model sistem hukum seperti disampaikan oleh Jonathan H. Turner". Dalam tulisannya berjudul "The Modernization of Law" (1966), Galanter menyebutkan sebelas ciri sistem hukum modern yang selanjutnya menyimpulkan tiga penekanan dari model hukum modern itu, yaitu : 1) kesatuan, 2) keseragaman, dan 3) universalitas. Seperti diketengahkan, melalui Sibernatika ala Parson, terlihat bahwa dari sudut proses pembentukannya, hukum modern itu tidak dapat bebas dari politik. Bukankah seharusnya hukum modern itu otonom, bebas dari intervensi politik? Ternyata hukum yang modern bukan hukum yang otonom. Nonet dan Selznick (1978) membuat satu bagan yang membedakan antara hukum yang bertipe menindas (repressive law) dan hukum yang disebutnya lebih baik, yaitu hukum otonom (autonomous law). Di luar kedua model ini, sebenarnya mereka juga menyebutkan satu tipe lain, yaitu hukum responsif (responsive law). Mengenai tipe ketiga ini akan kita bicarakan kemudian. Tipe hukum menindas (represif) adalah hukum yang mengabdi kepada kekuasaan yang represif. Tipe hukum ini praktis tanpa legitimasi sama sekali. Orang mentaatinya karena dibayang-bayangi oleh ketakutan terhadap penguasa yang keras dan kasar. Sifat represif dari hukum itu sematamata bertujuan untuk memelihara stabilitas sosial. Tipe kedua, yaitu hukum otonom jelas lebih baik daripada tipe pertama karena ia mampu menjinakkan sifat repersif dari kekuasaan itu demi melindungi integritas hukum itu sendiri. Tipe hukum otonom sudah memiliki legitimasi sebagai hukum. Legitimasi ini didasarkan pada gagasan bahwa stabilitas sosial itu baru memiliki keabsahan secara hukum apabila penggunaan kekuasaan diawasi menu rut prinsipprinsip konstitusional, prosedur-prosedurformal, dan institusi peradilan yang bebas, Tipe kedua ini sudah baik, namun dikhawatirkan apabila hukum hanya dijalankan secara formalitas demikian, maka keadilan yang dicapai juga keadilan formal belaka. Untuk itu perlu ada tipe 4. Lihat Peters & Siswosoebroto, 1990.
161
hukum ketiga yang bertujuan melayani kebutuhan riil masyarakat, atau dengan perkataan lain ia lebih sebagai ''problem solver". Keadilan yang ingin dicapai adalah keadilan material (substansif). Nonet dan Selznick mengatakan, bahwa tipe hukum menindas tidak mungkin dapat lepas dari permasalahan legitimasi yang dihadapinya, kecuali ia bergerak mengubah dirinya menuju hukum otonom. Selanjutnya, tipe hukum otonom juga tidak akan mampu mengatasi problema "formalitas hukum" yang dihadapinya dan menuju kearah tipe responsif. Sejak awal telah digarisbawahi, bahwa kerangka orientasi berpikir yuridik berupa aliran Sociological Jurisprudence yang telah diterjemahkan dalam konteks ke-lndonesia-an, menggariskan bahwa hukum positif yang ingin dibangun adalah hukum positif sebagai produk lembagalembaga negara yang berwenang. Pendekatan demikian merupakan pendekatan prosedural. Sakalipun demikian, dari sudut substansial, produk hukum itu mendahulukan arus bottom up yang mendekati karakteristik berpikir Mazhab Sejarah. Dari dimensi ini, materi hukumya haruslah sesuai dengan nilai-nilai yang hid up dalam masyarakat, yang dipandu melalui "leitstern" Pancasila. Oleh karena rumusan materi yang sesuai dengan nilai-nilai living law tersebut san gat abstrak, maka dalam aspek proseduralnya diupayakan agar pembentukan hukum itu senatiasa bersifat responsif. Di sisi lain sociological jurisprudence juga menempatkan hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat. Corak ini sebenarnya menyimpang dari pendekatan bottom up terse but, sehingga dapat saja pendekatan ini lalu digunakan secara artifisial untuk menutupi kepentingan-kepentingan pemegang kekuasaan seperti karakter Positivisme Hukum. Oleh karena itu, penempatan skala prioritas, dengan menunjuk pada pembidangan hukum netral dan non netral menjadi penting untuk dikemukakan. Untuk menuntun pembentukan peraturan perundang-undangan, Van Der Villes mencatat sebelas asas yang harus diperhatikan (Manan, 1994). Uraian dari sebelas asas tersebut. adalah sebagai berikut: 1.
162
Asas tujuan atau sasaran yang jelas. Setiap undang-undang harus mencerminkan secara jelas tujuan atau sasaran yang hendak dicapai. Tujuan tersebut adalah kebijakankebijakan umum dan khusus yang ada dalam bidang yang diatur, baik sekarang maupun untuk masa mendatang. Termasuk di dalam pengertian ini adalah akibat (seperti beban masyarakat atau negara) yang akan ditimbulkan oleh undang-undang itu.
2.
Asas organ yang tepat. Undang-undang harus dibuat oleh organ yang tepat, dalam arti memang berwenang untuk itu. Di sini terkait masalah h.ubungan kesesuaian antara materi muatan undang-undang dan bentuk formal undang-undang.
3.
Asas keperluan. Undang-undang harus dibuat berdasarkan keperluan. Undangundang bukan satu-satunya instrumen dalam melaksanakan suatu kebijakan atau memecahkan masalah, sehingga masih terbuka kemungkinan digunakan instrumen lain yang lebih efisien dan efektif. Suatu undang-undang diperlukan, misalnya jika instrumen lain dipertimbangkan akan menimbulkan be ban lebih besar atau membatasi hak-hak warga yang bersifat mendasar.
4.
Asas dapat dilaksanakan. Undang-undang dibuat dengan memperhitungkan kemungkinan pelaksanaannya. Suatu undang-undang menjadi tidak mungkin dilaksanakan jika menimbulkan reaksi keras (penolakan) dari sebagian besar masyarakat atau menciptakan be ban terlalu be rat bagi pemerintah.
5.
Asas konsensus. Undang-undang adalah produk kesepakatan dari berbagai unsur masyarakat. Dari konteks ini, diartikan bahwa undang-undang itu harus responsif, yakni mengakomodasikan seluas mungkin masukan-masukan dari semua komponen masyarakat.
6. Asas keutuhan. Undang-undang.. harus mencerminkan satu kebulatan yang utuh yang bersisi segala aspek yang diperlukan pada saat pelaksanaannya. Pendekatan sistematik dalam pembentukan undang-undang menjadi titik berat dalam asas ini. Dengan demikian, tidak akan terjadi kontradiksi antara ketentuan-ketentuan dalam undangundang itu, atau kontradiksi dengan undang-undang lain yang lebih tinggi atau yang sejajar. 7.
Asas kejelasan terminologi dan sistematika. Kejelasan suatu undang-undang dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan membuat penjelasan, pemilihan kata yang tepat dan mempertahankan konsistensi peristilahan.
163
8.
Asas dapat dikenali. Setiap undang-undang pada dasamya harus dapat diketahui secara wajar oleh yang berkepentingan. Asas ini dilaksanakan dengan cara-cara seperti pengundangan atau publikasi lainnya.
9.
Asas persamaan di depan hukum. Undang-undang tidak boleh memuat ketentuan yang memungkinkan perbedaan perlakukan secara sewenang-wenang. Perbedaan perlakuan hanya dibenarkan kalau dilakukan demi kepentingan orang atau kelompok yang dibedakan (positive discrimination).
10. Asas kepastian hukum. Undang-undang harus menjamin kepastian hukum. Kepastian ini dapat diperoleh dengan beberapa cara misalnya: 1) peraturan harus dirumuskan dengan jelas dan tepat, 2) perubahannya harus mempertimbangkan dengan baik kepentingan orang yang terkena dan peraturan peralihan yang cukup dan memadai. 11. Asas memperhatikan keadaan individu dalam pelaksanaan hukum. Pad a saat pembuatannya harus diperhitungkan keadaan-keadaan khusus yang mungkin dihadapi dalam pelaksanaannya. Untuk mengantisipasi keadaan khusus tersebut, dalam undang-undang itu dapat ditentukan: 1) pemberian wewenang kepada aparat adminsitrasi negara untuk membuat keputusan dalam menghadapi keadaan-keadaan khusus tadi, 2) pemberian kemungkinan kepada aparat adminsitrasi negara menyimpangi ketentuan yang ada dalam menghadapi keadaan-keadaan khusus, dan 3) perlindungan hukum terhadap tindakan aparat adminsitrasi negara yang akan mempunyai akibat langsung terhadap kedudukan hukum dari pihak-pihak yang berkepentingan. Kesebelas asas tersebut dianut dalam Undang-Undang No. 10 tahun 2004 sebagai asas-asas yang harus dipedomani dalam pembentukan dan penyusunan materi perundang-undangan.
IV. Arah Pembangunan Hukum Dalam Prespektif legislasi. Pembangunan hukum dalam perspektif prolegnas adalah pembentukan hukum sebagai suatu proses yang dinamis terus menerus mengalami perubahan sesuai dengan dinamika masyarakat, lebihlebih lagi pada era globalisasi dewasa ini yang dipicu oleh kemajuan teknologi informasi. Oleh karena itu dalam pembentukan undang-undang 164
secara komprehensif memperhatikan 3 dimensi yaitu masa lalu yang terkait dengan sejarah perjuangan bangsa, masa kini yaitu kondisi objektif yang ada sekarang dengan lingkungan strategisnya dengan memandang. masa depan yang dicita-citakan. Proses pembuatan undang-undang sebagai wujud pembangunan hukum adalah rentetan kejadian yang bermula dari perencanaan, pengusulan, pembahasan dan pengesahan. Semua proses tersebut dilakukan oleh para aktor, yang dalam sistem demokrasi modern disebut eksekutif (presiden beserta jajaran kementeriannya) dan legislatif (DPR). Dalam sistem pembentukan hukum yang demokratis, proses pembentukan · hukum tersebut memiliki tipe bottom up, yakni menghendaki bahwa materiil hukum yang hendak merupakan pencerminan nilai dan kehendak rakyat. Arah pembangunan hukum dalam perspektif legislasi nasional adalah sebagaimana visi pembangunan hukum nasional sebagai dasar penyusunan Prolegnas, yaitu: Terwujudnya negara hukum yang adil dan demokratis melalui pembenahan sistem hukum dengan membentuk peraturan perundang-undangan yang aspiratif, berintikan keadilan dan kebenaran yang mengabdi pada kepentingan rakyat dan bangsa di dalam bingkai NKRI untuk melindungi segenap rakyat dan bangsa serta tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksankan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamian abadi dan keadilan sosial berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan Pasal15 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menentukan bahwa: "perencanaan penyusunan undang-undang dilakukan dalam suatu Prolegnas". Dengan demikian Prolegnas merupakan instrumen perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan yang memuat skala prioritas program legislasi jangka menengah dan tahunan yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah. Prolegnas juga merupakan. pedoman pengendali penyusunan peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk mewujudkan tujuan negara yang diimplementasikan dengan ketentuan pelaksanaan tug as umum pemerintahan dan pembangunan sesuai amanat konstitusi dan juga menjawab kebutuhan hukum masyarakat sesuai dengan tuntutan reformasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi masa kini dan yang akan datang.
165
Guna membingkai dan menjaga pembangunan hukum dalam perspektif program legislasi nasional sebagai upaya pencarian dan upaya penataan kehidupan berbangsa yang memiliki tingkat dinamisasi yang sangat tinggi, dan menghadapi dampak globalisasi bangsa integral dalam pembentukan undang-undang, perlu juga dipegang teguh 3 prinsip": 1.
Kesetiaan pada cita-cita sumpah pemuda, proklamasi kemerdekaan. Dalam tataran inilah Badan Legislasi DPR Rl (BALEG) memiliki peran demokratisasi proses legislasi dengan wujud dari perwakilan rakyat sesungguhnya harus mencerminkan nilai dan kehendak rakyat tersebut. Hal ini tidak berarti BALEG memposisikan diri sebagi kuasa rakyat, namun juga secara responsif harus memberikan keterbukaan untuk menyerap aspirasi masyarakat secara langsung. Sejak dari proses perencanaan, persiapan hingga pembahasan.
2.
Terselenggaranya negara hukum Indonesia yang demokratis adil, sejahtera dan damai, dan
3.
Dikembangkannya norma-norma hukum dan pranata hukum baru dalam rangka mendukung dan melandasi masyarakat secara berkelanjutan, tertib, lancar dan damai serta mengayomi seluruh tumpah darah dan segenap bangsa Indonesia.
Dengan berpegang teguh pad a prinsip tersebut, proses pembangunan hukum positif yang heterogen dan transformasi ius constituendum menjadi ius constitutum dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Udang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, perlu dilakukan secara sistematis bertahap dan terencana. Guna menghasilkan hukum yang mencerminkan kebutuhan dan nilai masyarakat tersebut, maka harus diakui bahwa konsep hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat merupakan konsep pembangunan hukum (termasuk Prolegnas), atau tegasnya aliran filsafat hukum yang paling tepat dan relevan untuk kondisi saat ini. Aliran ini memang tidak sepenuhnya mirip lagi dengan pemikiran awal Roscoe Pound, sehingga dapat saja dikatakan bahwa aliran yang kita anut tersebut sebagai sociological jurisprudence yang telah dimodifikasi, disesuaikan dengan kebutuhan bangsa Indonesia. Pertanyaan mendasar yang harus dijawab oleh aliran sociological jurisprudence
166
di Indonesia terletak pada: seberapa jauh pembentukan peraturan perundang-undangan baru (dalam bidang-bidang hukum yan_g dianggap netral itu) ·telah diantisipasi dampaknya bagi masyarakat secara keseluruhannya. Untuk itu ada tiga catatan yang dapat diberikan.
Pertama, harus disadari bahwa bagaimanapun hukum merupakan suatu sistem, yang keseluruhannya tidak lepas dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Untuk itu, pengembangan satu bidang hukum (yang dikatakan netralsekalipun) juga akan berpengaruh pula ke bidangbidang hukum lainnya. Sebagai contoh, peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal, memiliki keterkaitan dengan hukum pertanahan, yang di Indonesia belum disebut sebagai bidang yang netral. Dalam kenyataannya, di Indonesia hal ini merupakan suatu kelemahan pula, terutama untuk peraturan di bawah undang-undang. Banyak sekali peraturan yang tidak dibuat dalam pola pikir hukum sebagai sistem itu, sehingga implikasi ke bidang hukum lain tidak diantisipasi. Kedua, penetapan tujuan hukum yang terlalu jauh dari kenyataan sosial seringkali menyebabkan dampak negatif yang perlu diperhitungkan. Artinya unsur social engineering dalam konsep sociological jurisprudence terse but harus diperhatikan secara tepat agar instabilitas sosial tidak terjadi karena ada ketidaksiapan secara sosiologis. Reaksi keras terhadap rencana perubahan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah salah satu contoh yang baik dalam hal ini. Ketiga, konsep social engineering tidak boleh berhenti pada penciptaan peraturan tertulis belaka karena hukum tertulis seperti itu selalu mengalami ke.terbatasan. Konsep ini memerlukan peranan aparat penegak hukum yang profesional, untuk memberi jiwa pada kalimatkalimat yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Dari ketiga catatan tersebut, segera tampak bahwa penelitian yang mendalam terhadap unsur-unsur sistem hukum Indonesia sangat prinsipil dilakukan. Tanpa ada penelitian yang mendalam tidak akan diketahui pasti seperti apa living laws yang ada, dan bagaimana program legislasi tersebut harus dilakukan secara akurat. Penelitian menda.lam ini mencakup analisis terhadap aturan-aturan yang masih berlaku guna dilakukan penjajakan untuk diadakan pencabutan atau perubahan, atau bahkan untuk mengantisipasi pembentukan peraturanperaturan bidang hukum yang baru.
167
V.
Penutup
Di akhir makalah ini, sebagai penutup, berdasarkan uraian di atas dapat sedikit ditegaskan bahwa Arah Pembangunan Hukum dalam Perspektif Legislasi Nasional adalah: 1.
Bertujuan mewujudkan negara hukum yang adil dan demokratis.
2.
Metode pembangunan sistem hukum yang digunakan aspiratif, berintikan keadilan dan kebenaran.
3.
Mengabdi pada kepentingan rakyat dan bangsa sebagaimana tujuan nasional yakni melindungi segenap rakyat dan bangsa serta tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
4.
Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
168
DAFTAR BACAAN 1.
A. Ridlwan Halium, 1987, Pokok-Pokok Peradilan Umum di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta.
2.
Bambang Waluyo, 1992, lmplementasi Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
3.
Galanter, "The Modernization of Law" (1966).
4.
Muladi, 1995. Kapita Selekta Sistem Paradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
5.
---------------, 12 Oktober 2004, UUD 1945 Pasca Amandemen: Perlukah Amandemen Lebih Lanjut? The Habibie Center.
6.
Rahardjo, Satjipto, 1980, Hukum, Masyarakat dan Pembangunan, Alumni, Jakarta.
7.
Soekanto, Soerjono, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Ul Press, Jakarta.
8.
Sumadi Suryabrata, 1991, Metodologi Penelitian, Rajawali Press, Jakarta
9.
Sunggono, Bambang, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Press, Jakarta.
10. Keputusan DPR Rl Nomor 10/DPR-RI/11112004-2005 Tentang Persetujuan Penetapan Program Legislasi Nasional Tahun 20052209.
169
ARBITRASE DAN KEPAILITAN DALAM SISTEM EKONOMI SYARIAH* 0/eh: Dr.Syamsudin Manan Sinaga, S.H., M.H. **
1.
PENDAHULUAN
Manusia sebagai ciptaan Allah SWT dan badan hukum sebagai ciptaan hukum merupakan subjek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban serta dapat melakukan hubungan hukum dan lalu lintas hukum. Manusia dan badan hukum (al-syirkah) yang dalam terminologi hukum disebut "orang", dalam aktivitasnya sehari-hari melakukan hubungan hukum yang mung kin sa ling bersinggungan dan menimbulkan akibat hukum. Agar hubungan hukum ini tertib, maka diperlukan kaidahkaidah hukum untuk mengaturnya. Dalam melakukan hubungan hukum, bisa saja terjadi konflik a tau sengketa keperdataan. Sengketa terse but dapat diselesaikan di luar pengadilan (out settlement court) dan dapat diselesaikan di dalam pengadilan (in settlement court). Penyelesaian sengketa keperdataan di dalam pengadilan seperti sengketa di bidang bisnis atau perniagaan dapat diselesaikan di pengadilan niaga apabila menyangkut sengketa utang pitltang, atau di pengadilan agama bagi orang yang beragama Islam apabila menyangkut sengketa di bidang ekonomi syariah. Yang dimaksud dengan Ekonomi syariah ada/ah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, meliputi: bank syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksa dana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah, bisnis syariah, dan lembaga keuangan mikro syariah (penjelasan Pasal 49 huruf i Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama).
Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional Reformulasi Sistem Ekonomi Syariah dan Legislasi Nasional yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM di Semarang, 6-8 Juni 2006. •• Penulis adalah Direktur Perdata, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Departemen Hukum dan HakAsasi Manusia Rl dan Dosen 52 Fakultas Hukum Universitas Indonesia. *
171
Penyelesaian sengketa bisnis di pengadilan merupakan upaya terakhir (the last resort), apabila upaya penyelesaian di luar pengadilan tidak berhasil. Penyelesaian sengketa niaga di luar pengadilan dapat ditempuh dengan beberapa alternatif seperti: konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian para ahli, dan arbitrase. Penyelesaian sengketa niaga menurut Sistem Ekonomi Syariah juga tidakjauh berbeda dengan penyelesaian sengketa menurut hukum nasional seperti yang diuraikan di atas. Penyelesaian sengketa menurut Sistem Ekonomi Syariah yang berlandaskan hukum Islam dapat dilakukan dengan cara perdamaian (sulhlislah), melalui arbitrase (tahkim), dan melalui pengadilan (ai-Qadla). Penulis menfokuskan pembahasan tentang penyelesaian sengketa dalam Sistem Ekonomi Syariah melalui arbitrase dan kepailitan. Secara yuridis, orang perseorangan maupun badan hukum (a/-syirkah) dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan karena tidak membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Namun sebelum masalah utang piutang tersebut dibawa ke pengadilan, para pihak, yakni kreditor dan debitor dapat juga menyelesaikan masalahnya melalui arbitrase.
II.
PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum, yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa (Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa). Pilihan -penyelesaian sengketa perdata melalui arbitrase berdasarkan perjanjian (akad) tertulis dari para pihak yang bersengketa. Tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase, melainkan hanya sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa atas dasar kesepakatan. Pas aI 5 Undang-Undang Nom or 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa mengatur tentang kompetensi absolut atau objek sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
172
Berikut ini penulis mengutip ketentuan tersebut Pasal 5 (1) Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. (2) Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka objek sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah hanya sengketa di bidang perdagangan, perniagaan, dan sengketa yang timbul dalam lingkup hukum perikatan seperti antara lain perjanjian pinjam meminjam uang atau perjanjian kredit. Semua pemeriksaan sengketa ~leh arbiter dilakukan secara tertutup. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga citra dan bonafiditas para pihak yang bersengketa yang perlu dijaga kerahasiaannya. Putusan arbiter harus sudah diucapkan dalam jangka waktu paling lama 180 hari sejak arbiter atau majelis arbiter terbentuk dan putusan tersebut bersifat final serta mengikat para pihak. Berbeda halnya dengan pemeriksaan sengketa niaga di pengadilan niaga seperti perkara kepailitan. Pemeriksaan perkara kepailitan di pengadilan niaga dilakukan secara terbuka, terdiri dari hakim majelis, putusan diucapkan dalam jangka waktu paling lama 60 hari sejak permohonan didaftarkan di pengadilan niaga, dan terhadap putusan dapat diajukan upaya hukum kasasi, tanpa banding. Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa telah merespon perkembangan teknologi informasi seiring dengan perkembangan bisnis yang pesat yang menggunakan sarana komunikasi sebagai alat bukti surat. Hal ini dapat kita lihat dalam Pasal 4 ayat (3) yang berbunyi: "Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimili, E-mail, atau dalam bentuk sarana komunikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak"
173
Ketentuan ini dapat dipakai sebagai dasar hukum untuk memperluas pengertian al"t bukti surat dalam sistem pembuktian kita sebagaimana diatur dalam Pasal 1866 KUHPerdata/Pasal 164 HIR dalam penyelesaian sengketa niaga, baik yang dilakukan di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa niaga melalui arbitrase dapat dilakukan melalui arbitrase nasional maupun arbitrase internasional. Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap serta mengikat para pihak. Putusan arbitrase nasional yang kepalanya bertuliskan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada panitera pengadilan negeri agar dapat dieksekusi apabila para pihak tidak melaksanakan secara sukarela, sedangkan putusan arbitrase internasional dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Penyelesaian sengketa niaga melalui arbitrase nasional dapat diajukan kepada Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang didirikan tanggal 03 Desember 1977 atas prakarsa Kamar Dagang dan lndustri Indonesia (KADIN) dan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia yang telah berg anti nama menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).
Ill.
PENYELESAJAN SENGKETA MELALUI BADAN ARBITRASE SYARIAH NASJONAL (BASYARNAS}
Penyelesaian sengketa menu rut hukum Islam tidak jauh berbeda dengan penyelesaian sengketa menu rut hukum nasional, yakni melalui perdamaian (su/hlislah}, melalui arbitrase (tahkim}, dan melalui pengadilan (al-qadla). Penyelesaian melalui pengadilan adalah merupakan upaya terakhirbilamana upaya di luar pengadilan seperti upaya perdamaian tidak berhasil. Perdamaian dalam syariah Islam sang at dianjurkan, sebab dengan adanya perdamaian maka terhindarlah kehancuran silaturahmi (hubungan kasih sayang) di antara para pihak yang bersengketa dan sekaligus dapat mengakhiri permusuhan di antara para pihak. Anjuran berdamai di antara para pihak yang bersengketa dapat dilihat dalam AI-Qur'an: Surat AJ-Hujuraat (49) ayat 9 yang artinya:
"Dan jika dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikan antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah go/ongan 174
yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah, jika golongan itu telah kembafi (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang ber/aku adil". Syariah Islam sangat menganjurkan perdamaian dalam menyelesaikan sengketa termasuk sengketa pinjam meminjam uang (utang piutang) dengan pola bagi hasil. Sebab penyelesaian sengketa utang piutang melalui pengadilan akan tetap berbekas di hati sanubari para pihak yang dapat menimbulkan kedengkian. Selain penyelesaian sengketa niaga melalui perdamaian, sengketa niaga dapat juga diselesaikan melalui arbitrase dengan mengajukan sengketanya kepada Badan Arbitrase Mualamat Indonesia (BAMUI) yang diu bah menjadi Bad an Arbitrase Syariah Nasion aI (BASYARNAS) berdasarkan keputusan rapat Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Nomor: Kep-09/MUI/XII/2003, tanggal 23 Desember 2003. BASYARNAS dapat digunakan sebagai pilihan forum (chaise of forum) dalam penyelesaian sengketa di bidang Ekonomi Syariah yang meliputi: bank syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksa dana syariah, obligasi syariah dan surat berharga menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah, bisnis syariah, dan lembaga keuangan mikro syariah, sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 49 huruf i Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undangundang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama. Penyelesaian melalui BASYARNAS dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak yang dicantumkan dalam klausula arbitrase. Pembentukan BASYARNAS adalah untuk merespon kegiatan bisnis berbasis syariah di tanah air yang berpenduduk mayoritas muslim yang enggan dengan sistem bunga bank pada bank konvensional, karena bunga bank termasuk riba yang diharamkan. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nom or 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, objek sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase termasuk BASYARNAS adalah sengketa di bidang perdagangan yang antara lain termasuk perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, dan hak kekayaan intelektual. Jadi, BASYARNAS, selain berwenang menyelesaikan sengketa di bidang Ekonomi Syariah seperti tersebut di atas, juga berwenang menyelesaikan sengketa di bidang perdagangan.
175
Penyelesaian sengketa niaga melalui cara perdamaian, dan arbitrase sebagaimana yang telah penulis uraikan, bersifat opsional yang dilakukan di luar pengadilan. Kendatipun para pihak yang bersengketa telah sepakat bahwa apabila timbul sengketa di antara mereka akan diselesaikan; melalui arbitrase, hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan atau tidak menutup kemungkinan apabila salah satu pihak mengajukan sengketa yang menyangkut utang piutang secara langsung ke pengadilan niaga tanpa melalui arbitrase sebagaimana yang diperjanjikan. Berdasarkan Pas aI 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana diu bah dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakimc:m sebagaimana terakhir telah diganti menjadi Undang-undang Nom or 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa:
"Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan: Peradilan Umum; b. Peradilan Agama; c. Peradilan Militer; d. Peradilan Tata Usaha Negara"
a.
Penyelesaian sengketa niaga melalui pengadilan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki, hanya dapat diajukan ke pengadilan negeri/ niaga dalam lingkungan peradilan umum dan ke pengadilan agama.
IV.
PENYELESAIAN PERKARA NIAGA MELALUI PENGADILAN NIAGA
Indonesia telah lama mempunyai Undang-undang tentang Kepailitan (Faillissements-verordening, Staatsblad 1905:217 junto Staatsblad 1906:348). Dalam Undang-undang tersebut, masalah kepailitan diajukan ke pengadilan negeri di tern pat tinggal debitor, karena pengadilan niaga belum didirikan. Kemudian, Undang-undang tersebut, karena sebagian besar materinya tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat, diu bah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nom or 1 Tahun 1998 tentang PerubahanAtas Undangundang tentang Kepailitan, yang kemudian ditetapkan menjadi Undangundang berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998. Namun perubahan tersebut bel urn juga memenuhi perkembangan dan kebutuhan
176
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 dan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 terse but, belum juga memenuhi perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia yang sebagian besar beragama Islam. Dalam Undang-undang terse but tidak diatur kepailitan berdasarkan Sistem Ekonomi Syariah yang berbasis kepada hukum Islam. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang memeluk agama Islam, perlu diadakan revisi terhadap Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 dengan materi muatan Kepailitan berbasis Ekonomi Syariah atau membuat Undang-Undang Kepailitan baru bagi yang beragama Islam dan mendirikan pengadilan niaga pada pengadilan agama. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 dan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 telah mengatur tata cara penyelesaian sengketa niaga melalui pengadilan niaga. Pengadilan niaga adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada pada pengadilan negeri yang berwenang menangani perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang serta perkara lain di bidang perniagaan. Pengadilan niaga yang dibentuk berdasarkan Pasal 281 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, dan Keputusan Presiden Nomor 97 Tahun 1999, terdiri dari Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Pengadilan Niaga Medan, Pengadilan Niaga Surabaya, Pengadilan Niaga Semarang, dan Pengadilan Niaga Makassar. Perkara kepailitan yang diperiksa dan diputus oleh pengadilan niaga menyangkut masalah utang. Syarat substansial untuk dinyatakan pailit berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah: 1.
Debitor mempunyai dua atau lebih kreditor.
2.
Debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang.
3.
Utang tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
"utang adalah kewajiban yang dinyatakan a tau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara /angsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karen a perjanjian a tau undang-undang yang wajib dipenuhi o/eh debitor dan apabila tidak dipenuhi memberi hak kepada-kreditor untuk mendapat pemenuhannya dan harta
177
memberi hak kepada-kreditor untuk mendapat pemenuhannya dan harta kekayaan debitor'' (Pasal 1 angka 6 UU No. 37 Tahun 2004). Dari definisi ini, dapat disimpulkan bahwa utang wajib dibayar dan apabila tidak dibayar oleh debitor, kreditor berhak mendapat pembayaran dari harta debitor. Hal ini bertitik tolak dari konsep dasar kepailitan sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata yang berbunyi:
"Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan pelunasan utang" Ketentuan ini, yang juga menjadi asas hukum jaminan, memberikan perlindungan hukum kepada kreditor, apabila debitor ingkar janji yakni tidak membayar utang-utangnya. Debitor yang tidak membayar utangutangnya dapat dinyatakan pailit dengan mengajukan permohonan ke pengadilan niaga.
(Pailit) "Kepailitan adalah sita umum alas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas" (Pasal 1 angka 1 UU No. 37 Tahun 2004). Dengan dinyatakan debitor (orang perseorangan maupun badan hukum) pailit, maka semua kekayaannya demi hukum berada dalam sitaan umum, tanpa perlu penetapan lebih lanjut dari pengadilan seperti dalam perkara gugatan pada umumnya. Kekayaan debitor pailit dijual oleh kurator dan hasil penjualan itu didistribusikan kepada kreditor. Dalam menjalankan tugasnya yakni mengurus dan membereskan harta pailit, kurator diawasi oleh hakim pengawas yang ditunjuk oleh pengadilan niaga. Pengadilan niaga diberikan kewenangan ekstra dalam memutus perkara pailit. Pengadilan niaga dapat menyampingkan klausula arbitrase dalam perjanjian dan tetap berwenang menyelesaikan perkara pailit Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 303 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 yang berbunyi:
"Pengadifan tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohenan pernyataan pailit dan para pihak yang terikat perjanjian yang memuat klausula arbitrase, sepanjang utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang ini." Undang-undang Nomor ;37 Tahun 2004 selain memuat hukum materiil, juga memuat hukum formil yakni hukum acara. Namun apabila
178
tidak diatur, maka hukum acara yang berlaku adalah hukum acara perdata. Dalam beracara di pengadilan niaga menyangkut perkara kepailitan berlaku asas lex specialis derogat lex generalis.
V.
PENYELESAIAN PERKARA EKONOMI SYARIAH MELALUI PENGADILAN AGAMA
Undang- undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, memperluas kewenangan pengadilan agama. Pengadilan agama sebagai salah satu badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi orang-orang yang beragama Islam, yang sebelumnya berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, hanya berwenang menyelesaikan perkara perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodakoh; sekarang, berdasarkan Pasal 49 huruf i Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, kewenangan pengadilan agama diperluas, termasuk bidang Ekonomi Syariah. Dengan penegasan dan Peneguhan kewenangan pengadilan agama dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum bagi pengadilan agama dalam menyelesaikan perkara Ekonomi Syariah. Berdasarkan penjelasan Pasal 49 Huruf i Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, yang dimaksud dengan Ekonomi Syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, meliputi: a. Bank Syariah, b. asuransi syariah, c. reasuransi syariah, d. reksa dana syariah, e. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, f sekuritas syariah, g. pembiayaan syariah, h. pegadaian syariah, i. dana pensiun lembaga keuangan syariah, j. bisnis syariah, dan k. lembaga keuangan mikro syariah. Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa keperdataan lain antara orang-orang yang beragama Islam dan non Islam mengenai objek sengketa sebagaimana dimaksud dalam Pasal49 Undang-undang Nom or 3 Tahun 2006, maka cara penyelesaiannya diatur dalam Pasal 50 yang berbunyi: (1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. (2) Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama
179
Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49. Berdasarkan Pasal 3A Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, di lingkungan PengadilanAgama dapat diadakan pengkhususan pengadilan yang diatur dengan undang-undang. Artinya, bahwa pada pengadilan agama dapat didirikan pengadilan khusus yakni pengadilan niaga berdasarkan undang-undang seperti halnya pengadilan niaga pada pengadilan negeri yang berada di lingkungan Peradilan Umum, yang hakim-hakim dan paniteranya memiliki keahlian khusus di bidang Ekonomi Syariah. Pengadilan niaga pada pengadilan agama dimaksud, yang didirikan secara bertahap di kota-kota besar yang banyak kegiatan ekonomi syariah seperti di Jakarta, Medan, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Makasar, berwenang memeriksa dan memutus perkara Ekonomi Syariah. Persidangan dan putusan terbuka untuk umum, proses penyelesaiannya hingga pengucapan putusan adalah 60 hari sejak perkara didaftarkan, dan upaya hukum terhadap putusan adalah kasasi ke Mahkamah Agung, tanpa banding. Walaupun pengadilan niaga pada pengadilan agarna belum didirikan, namun pengadilan agama tetap dapat dan berwenang memeriksa dan memutus perkara di bidang Ekonomi Syariah termasuk di antaranya perkara pinjam meminjam uang (utang piutang). Dalam perkara utang piutang, sebagimana diatur datam Pasal 2 ayat ( 1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (yang dapat juga dipakai sebagai acuan dalam perkara utang piutang di pengadilan agama) syarat permohonan pailit adalah: 1.
Debitor mempunyai dua atau lebih kreditor
2.
Debitor tidak membayar sedikitnya satu utang
3.
Utang tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih
Apabila syarat yang bersifat kumulatif ini terpenuhi, maka orangperseorangan maupun badan hukum (a/-syirkah) dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan agama. Pengadilan agama tidak boleh menolak suatu perkara yang diajukan kepadanya termasuk perkara kepailitan dengan dalih tidak ada hukumnya. Dia wajib menciptakan hukum (to creat the law). Berkaitan dengan masalah pinjam meminjam uang melalui bank berbasis syariah, telah ada fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis
180
kewajibannya pad a saat yang telah disepakati dan bank telah memastikan ketidakmampuannya, banklkreditor dapat: a.
memperpanjang jangka waktu pengembalian, atau
b.
menghapus (write off) sebagian atau seluruh kewajiban.
Selain ketentuan ini, pihak bank/kreditor juga dapat menjatuhkan sanksi berupa (dan tidak terbatas pada) penjualan barang jaminan (yang menurut penulis, termasuk dapat mempailitkan debitor ke pengadilan agama). Berdasarkan penjelasan Pasal 49 huruf i Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, jika dihubungkan dengan Pasal2 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004, maka pihak yang dapa\ mengajukan perkara kepailitan ke pengadilan agama di bidang Ekonomi Syariah adalah: 1.
Kreditor (baik orang perseorangan yang beragama Islam maupun badan hukum yang melakukan bisnis syariah).
2.
Debitor (baik orang perseorangan yang beragama Islam maupun badan hukum yang melakukan bisnis syariah).
3.
Jaksa untuk kepentingan umum.
4.
Bank Indonesia dalam hal debitor adalah bank syariah termasuk pembiayaan syariah dan lembaga keuangan mikro syariah.
5.
Badan Pengawas Pasar Modal dalam hal debitor adalah reksadana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, dan sekuritas syariah.
6.
Menteri Keuangan dalam hal debitor adalah asuransi syariah, reasuransi syariah, pegadaian syariah, dan dana pensiun lembaga keuangan. syariah.
Pengadilan agama, selain berwenang memeriksa dan memutus perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di bidang ekonomi syariah, berwenang pula memeriksa dan memutus perkara derivatif kepailitan seperti perkara: 1.
Actio Pauliana
2.
Perlawanan pihak ketiga terhadap penyitaan, atau
3.
Perkara yang berkaitan dengan harta pailit yang salah satu pihaknya adalah debitor, kreditor, kurator atau pengurus, termasuk gugatan kurator terhadap direksi yang menyebabkan perseroan dinyatakan pailit karena kelalaian atau kesalahannya.
181
kurator terhadap direksi yang menyebabkan perseroan dinyatakan pailit karena kelalaian atau kesalahannya. Perkara kepailitan di bidang Ekonomi Syariah diajukan kepada pengadilan agama di tempat tinggal debitor dan hukum acara perdata yang berlaku adalah hukum acara perdata bagi permohonan pailit termasuk mengenai pembatasan jangka waktu penyelesaiannya.
VI. PENUTUP Perkara kepailitan di bidang Ekonomi Syariah dapat (terselesaikan di luar pengadilan (out settlement court) dan di dalam pengadilan (in settlement court). Penyelesaian di luar pengadilan pail it dilakukan oleh Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sedangkan penyelesaian melalui pengadilan dapat dilakukan dengan cara mengajukan permohonan pail it kepada pengadilan agama di tempat tinggal debitor. Hukum acara perdata yang berlaku dalam memeriksa dan memutus perkara kepailitan adalah hukum acara perdata bagi permohonan pail it termasuk mengenai batasan jangka waktu penyelesaiannya dan apabila tidak cukup diatur dalam Undang-undang Kepailitan dan Undang-undang Peradilan Agama, berlaku hukum acara perdata yang diatur dalam HIRIRBG. Hakim (pengadilan agama) tidak boleh menolak, memeriksa dan memutus suatu perkara kepailitan di bidang Ekonomi Syariah yang diajukan kepadanya dengan dalih tidak ada hukumnya. Hakim wajib menciptakan hukum untuk menyelesaikan perkara yang ditanganinya. Ekonomi syariah yang berkembang sangat pesat belakangan ini harus direspon dengan mendirikan pengadilan niaga pada pengadilan agama khusus bagl orang-orang yang beragama Islam, agar mereka dapat menyelesaikan masalahnya berdasarkan hukum Islam. Perlu dibentuk Undang-undang Kepailitan bagi orang-orang yang beragama Islam dengan memberikan kewenangan kepada pengadilan niaga pada pengadilan agama. Terima kasih.
182
PERSPEKTIF DAN UPAYA YANG DILAKUKAN DALAM PERJANJIAN BANTUAN TIMBAL BALIK MENGENAI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERINGJ1 0/eh: Dr. Yunus Husein 2
Pendahuluan Bagi negara seperti Indonesia yang menghadapi persoalan hukum di mana banyak pelaku kejahatan raib dan proceeds of crime dan berbagai kejahatan disembunyikan ke luar negeri, kejelasan politik hukum dan keberadaan suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai bantuan timbal balik dalam masalah pidana (mutual legal assistance in criminal matters atau MLA) dirasakan mutlak diperlukan. Dalam penanganan perkara tindak pidana pencucian uang, keberadaan sistem MLA ini sangat penting terutama di dalam mengupayakan pengembalian proceeds of crime a tau yang dikenal dengan proses asset recovery. Apa sebenarnya peranan MLA bagi penegakan hukum perkara tindak pidana pencucian uang yang bersifat lintas batas negara ini? Bagaimana pengaturan MLA ini berdasarkan standar internasional dan apakah UU No. 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana yang baru disahkan beberapa waktu lalu sudah dapat mendukung penegakan hukum perkara tindak pidana pencucian uang?
Bentuk Kerja Sarna lnternasional Saat ini dikenal beberapa bentuk kerja sama internasional dalam memberantas tindak pidana yang tertuang di dalam berbagai pe~anjian, antara lain, Perjanjian Pertukaran lnformasi (Memorandum of Understanding on Exchange Information), MLA, Ekstradisi dan Perjanjian Pemindahan Terpidana (Transfer of Sentenced Person). 1 Makalah disampaikan pada Seminar Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana diselenggarakan oleh BPHN Departemen Hukum dan HAM Rl bekerjasama dengan Fakultas Hukum Univeristas Padjadjaran dan KantorWilayah Departemen Hukum dan HAM Rl Provinsi Jawa Barat, Bandung 29-30 Agustus 2006. 2. Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (Indonesia Financial Transaction Reports and Analysis Centre).
183
Yang membedakan satu sama lain adalah bahwa dalam perjanjian pertukaran informasi (MoU) yang menjadi objek kerja sama atau yang dipertukarkan adalah informasi dalam rangka penyelidikan atau penyidikan tindak pidana. Sedangkan dalam MLA, ruang lingkup kerja samanya meliputi tahap penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan di muka persidangan hingga pelaksanaan putusan pengadilan. Sementara, perjanjian ekstradisi lebih fokus kepada upaya menangkap seorang tersangka atau terdakwa yang berada pada yurisdiksi negara lain. Kemudian, perjanjian Transfer of Sentenced Person meliputi pemindahan orang yang sudah menjalani sebagian hukuman ke negara asalnya untuk menjalani sisa masa hukuman yang belum dijalaninya di negaranya. Sejatinya kerja sama internasional merupakan proses diplomatik di antara dua negara atau lebih yang memiliki landasan kepentingan yang sama. Kerja sama internasional harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip persamaan (equality) yang didase~rkan pada sikap saling menghargai dan kedaulatan (souvereignity) dan negaranegara yang terlibat di dalam kerja sama itu. Kerja sam a internasiortal yang tertuang di dalam perjanjian akan berlaku dan mengikat secara politik dan hukum (legally and politically binding effect) kepada negaranegara yang membuatnya. Dengan demikian sang at jelas bahwa MLA sebagai salah satu bentuk kerja sama internasional tidak mungkin dilakukan di atas dasar-dasar yang bertumpu pada ketidakadilan atau dibuat karena adanya tekanan/paksaan yang menguntungkan salah satu pihak.
Bantuan Timbal Balik atau MLA Produk hukurii internasional dan standar internasional di bidang pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang mengatur masalah MLA meliputi: FATF 40 Recommendation butir 36, 37 dan 40 (beserta interpretative note to recommendation 40); 1988 UN Convention Against Illicit Traffic Narcotics Drugs and Psychotropic Substances article 7: 2000 UN Convention on Transnational Crime article 7,18,27; 2003 UN Convention Against Corruption article 14,46,47 dan 48; The 2000 Convention on Mutual Assistance in Criminal Matters between the Member States of the EU article 3,4,5,6 dan 7; 184
Council of the EU Framework Decision on Money Laundering, the identification, tracing freezing, seizing, and confiscation of instrumentalities and the proceeds of crime article 4; dan The Protocol to the 2000 Convention on Mutual Assistance in Criminal Matters between the Member States of the EU article
1-9. Produk hukum internasional dan standar intemasional tersebut di atas pada umumnya memandang MLA sebagai masalah yang sangat penting di dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan meminta setiap negara menetapkan kebijakan yang efektif dan komprehensif untuk menerapkan MLA ini. Secara spesifik FATF Recommendation mengatur beberapa point penting mengenai MLA, di mana setiap negara: diminta untuk menjamin terlaksananya bantuan timbal balik masalah pidana untuk kepentingan penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan terkait dengan masalah tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme; secara khusus tidak diperkenankan menetapkan pembatasan, persyaratan dan pencantuman alasan yang tidak berdasar pada ketentuan mengenai MLA; menjamin agar permintaan MLA dapat diproses secara efektif; tidak diperkenankan menolak permintaan MLA (dari negara lain) karena alasan terkait masalah fiskal maupun ketentuan kerahasiaan bank; menjamin bahwa central authority memiliki kewenangan untuk memproses permintaan MLA dari negara lain, termasuk di dalam membantu memenuhi permintaan yang disampaikan oleh penegak hukum negara lain kepada counterpart-nya di dalam negeri. MLA ini sangat dianjurkan dalam berbagai pertemuan internasional dan Konvensi PBS, misalnya, dalam United Nations Convention Against Cooruption (UNCAC). Negara penandatangan dianjurkan untuk memiliki kerja sama internasional; antara lain, dalam bentuk MLA guna memberantas korupsi. Indonesia sudah mempunyai undang-undang yang merupakan payung dari MLA, yaitu UU No. 1 tahun 2006 yang berlaku sejak 3 Maret 2006.
185
UU ini mengatur ruang lingkup MLA, prosedur Mutual Assistance Request (MAR) dan pembagian hasil tindak pidana yang dis ita kepada negara yang membantu. Di samping itu, di dalam UU No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003 (UUTPPU), diatur juga masalah MLA pada Pasal 44 dan 44A. MLA pada intinya dapat dibuat secara bilateral atau multilateral. MLA bilateral ini dapat didasarkan pada perjanjian MLA atau atas dasar hubungan baik timbal balik (resiprositas) dua negara. Sejauh ini, Indonesia sudah memiliki beberapa perjanjian kerja sama MLA Bilateral dengan Australia, China & Korea. Sementara itu, MLA Multilateral terangkum pada ASEAN MLA Treaty yang sudah ditandatangani hampir semua negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia. Objek MLA, antara lain, pengambilan dan pemberian barang bukti. lni termasuk pernyertaan, dokumen, catatan, identifikasi lokasi keberadaan seseorang, pelaksanaan permintaan untuk pencarian barang bukti dan penyitaan, pencarian, pembekuan, dan penyitaan aset hasil kejahatan, mengusahakan persetujuan orang yang bersedia memberikan kesaksian atau membantu penyidikan di negara peminta bantuan MLA. Dalam pelaksanaan MLA, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai otoritas sentral (central authority) dapat meminta pejabat yang berwenang untuk melakukan tindakan kepolisian. Hal ini berupa penggeledahan, pemblokiran, penyitaan, pemeriksaan surat, dan pengambilan keterangan. Sebaliknya, Menteri Hukum dan HAM dapat menolak permintaan kerja sama MLA dari negara lain dalam hal tindakan yang diajukan itu dapat mengganggu kepentingan nasional atau berkaitan dengan kasus politik atau penuntutan yang berkaitan dengan suku, agama, ras, kebangsaan, atau sikap politik seseorang. Komunikasi dalam kerja sama MLA dapat dilakukan, baik melalui jalur diplomatik maupun melalui jalur central authority. Ada juga negara yang melakukan kerja sama MLA hanya melalui jalur diplomatik, seperti Malaysia.
Kurang Progresif Kalau dilihat dari jumlah perjanjian MLA yang dimiliki Indonesia, yaitu hanya tiga perjanjian, tampak kesan Indonesia kurang progresif.
186
Di samping itu, Indonesia sering kali lambat di dalam melakukan ratifikasi terhadap perjanjian MLA yang sudah ditandatangani. Dari ketiga perjanjian tersebut, ada satu perjanjian MLA yang walaupun sudah ditandatangani beberapa tahun yang lalu, tetapi sampai hari ini belum diratifikasi, yaitu perjanjian MLA dengan Korea . Perjanjian MLA dengan Republik Rakyat China yang ditandatangani tahun 2000 baru saja diratifikasi DPR pada tahun ini. Sedangkan perjanjian MLA Multilateral dengan hampir seluruh negara anggota ASEAN sudah ditandatangani November 2004, tetapi sampai hari ini belum diratifikasi. Sementara itu, Singapura dan Malaysia sudah mencatatkan dokumen ratifikasinya masing-masing sejak April dan Juni 2005. Bandingkan dengan Amerika Serikat yang memiliki perjanjian MLA dengan sekitar 50 negara, seperti dengan Filipina dan Thailand. Sementara itu, Republik Rakyat China memiliki 39 perjanjian MLA dengan negara lain. Baru-baru ini, Indonesia sudah sepakat dengan Hong Kong tentang substansi yang akan ditandatangani dalam perjanjian MLA, dan melakukan pembicaraan awal dengan Swiss.
Mutlak Perlu Sebagaimana diketahui, globalisasi berjalan begitu cepat dan perkembangan teknologi dan pelayanan nasa bah bank semakin meningkat dengan modus operandi lebih rumit dan canggih. Di samping itu, mengingat tindak pidana tertentu memiliki karakteristik lintas batas negara (transnational crime), seperti korupsi dan TPPU, kerja sama dengan negara lain mutlak diperlukan untuk memperoleh alat bukti dan aset yang merupakan hasil tindak pidana. Indonesia harus lebih progresif lagi mengupayakan peningkatan kerja sama MLA dengan negara lain. Kita jangan selalu terlambat seperti yang selama ini terjadi. Indonesia harus mengambil inisiatif untuk mengadakan kerja sama MLA dengan negara lain. Jangan sampai Indonesia memiliki UU MLA atau Perjanjian MLA justru karen a dipengaruhi atau ditekan negara lain atau lembaga internasional. Nampaknya ke depan Indonesia harus lebih progresif mengadakan pendekatan kepada negara-negara yang dinilai sebagai safe heaven country, tax heaven atau laundering country. Sebagai langkah awal sebaiknya dilakukan inventarisasi negara-negara mana saja yang masuk dalam kategori di atas. Penyusunan inventarisasi tersebut akan membantu Indonesia menentukan prioritas penyusunan kerja sama MLA
187
Sharing Forfeited Asset Salah satu aspek dari MLA adalah sharing forfeited asset. Aset yang disita sebagian dibagikan kepada negara yang membantu penyelesaian kasus tersebut, baik untuk biaya operasional atau lainnya. lni suatu masalah baru. Indonesia memiliki ketentuan untuk mengenai hal ini dalam Pasal 57 UU No. 1 tahun 2006, namun beberapa negara, seperti Thailand, tidak. DiAmerika Serikat, masalah ini sudah berjalan sejak lama (1989). Sebagai contoh, pada tahun itu ada dana sebesar USD 188 juta dan dibagikan kepada negara lain yang membantu Amerika dalam MLA. Besarnya bagian ini tergantung dari peranan negara tersebut. Kalau negara yang membantu mempunyai peranan yang esensial maka dapat memperoleh 50-80% dari aset yang dirampas. Misalnya, negara tersebut mengembalikan aset yang disita dan membela di pengadilan. ·Kalau bantuan bersifat substansial seperti melaksanakan permintaan Amerika, dan membekukan aset, maka negara tersebut dapat bag ian sebesar 40-50%. Sementara jika peranan negara asing tersebut hanya "facilitating assistance" -misalnya memberikan informasi, menyediakan dokumen bank-akan memperoleh bagian sampai 40%. Indonesia perlu mengundangkan dan membuat peraturan pelaksanaan soal ketentuan Pasal 57 mengenai masalah sharing forfeited asset ini. lni menjadi membuka peluang keberhasilan mengejar barang bukti dan hasil tindak pidana yang berada di luar negeri menjadi semakin besar. Nilai besaran jatah negara yang membantu ini dapat dirundingkan oleh Menteri Hukum dan HAM sudah tentu dengan mempertimbangkan peranan negara tersebut. PBB telah menyediakan model bilateral agreement mengenai sharing forfeited assets ini. Satu hal penting yang perlu diperhatikan dalam perumusan ketentuan mengenai sharing forfeited assets adalah proceeds of crime dan kejahatan asal apa yang dapat dilakukan sharingnya. Untuk proceeds of crime yang berasal dari korupsi yang notabene uang rakyat, misalnya, maka tidak dapat dilakukan sharing dengan negara lain.
188
PERANAN HUKUM ADAT DALAM APLIKASI KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA* 0/eh: Dr. H. Abdurrahman, S.H., M.H. **
Perubahan UUD 1945 yang sudah berlangsung selama empat kali (1999-2002) telah menimbulkan perubahan yang cukup besar terhadap Struktur dan Substansi hukum di Indonesia. Tulisan singkat ini hanya yang berhubungan dengan keberadaan hukum adat dalam kaitannya dengan Struktur dan Substansi hukum Indonesia. Ada beberapa ketentuan "baru" dari UUD 1945 yang akan disoroti di sini: 1.
*
Pasal1 ayat (3) hasil perubahan ketiga (2001) menyatakan "Negara Indonesia adalah negara hukum". Penegasan ini sebenarnya bukanlah sesuatu hal yang baru. Sebelum ada pasal ini, Penjelasan UUD 1945 menegaskan "Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechsstaat), bukan negara yang berdasarkan kekuasaan belaka (Machsstaat). Menurut Jimly Asshidiqie, karena ketentuan ini belum tercantum dalam pasal, sedangkan penjelasan UUD direncanakan akan dihapuskan dari naskah UUD, maka ketentuan mengenai negara hukum ini perlu ditegaskan dalam pasal (Asshidiqie, 2003: 4). Ketentuan ini menurut Franz Magnis Suseno adalah merupakan sokoguru pertama sistem pemerintahan negara menurut Undang-Undang Dasar 1945 (Suseno, 1998 : 55). Penegasan tersebut merujuk pada hukum dalam arti luas, bukan hanya terbatas dalam pengertian undangundang atau hukum tertulis saja, akan tetapi konsep negara hukum (Rechsstaat) yang akan dibangun adalah konsep modern bukan konsep tradisonal. Tentang hal ini Franz Magnis Suseno mengungkapkan bahwa dalam masyarakat tradisional, fungsi hukum itu dapatjuga dipenuhi oleh adat. Adat menata seluruh segi kehidupan masyarakat. Kekuatan adat terletak dalam kenyataan bahwa normanormanya diinternalisasikan l:)aik oleh masyarakat maupun penguasa. Yang oleh Supomo disebut sebagai "Persatuan Kawulo Makalah disampaikan pada Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen diselenggarakan oleh BPHN Oepartemen Hukum dan HAM Rl, Jakarta 29-31 Mei
2006 ** Hakim Agung Pada Mahkamah Agung, Dosen Fakultas Hukum/Pascasarjana Universitas
Lam bung MangkuraUFakultas
Syariah/Pascasa~ana
lAIN Antasari, Banjarmasin.
189
dan Gusti" atau faham "organik" masyarakat masih mengacu pada internalisasi itu. lnternalisasi menjamin bahwa penguasa maupun masyarakat dengan sendirinya -bahkan apabila mereka menyeleweng- bertindak dalam kerangka ad at. Adat sendiri tidak dipersoalkan dan karena itu tidak perlu dilindungi dengan suatu aturan hukum formil. Adalah ciri dari masyarakat modern bahwa kekuatan ad at tidak dapat lagi diandalkan. Sebenarnya di zaman pra modern pun adat hanya dapat diandalkan dalam komunitas-komunitas yang memiliki ad at yang sam a. Kerajaan-kerajaan multi etnik dari multi budaya besar segala zaman, memerlukan hukum dalam arti modern (Suseno, 1998 : 57). Kemudian ditegaskan lagi oleh S. Takdir Alisjahbana, bahwa di Indonesia pendirian kesejarahan hukum yang menghendaki supaya bagi bangsa Indonesia berlaku hukum adat yang turun temurun dan sebagian besar tiada tertulis, ini diuraikan dan diperjuangkan oleh Van Vollenhoven, yang boleh dikatakan menguasai pikiran yuris-yuris Belanda maupun Indonesia berhubung dengan hukum yang berlaku bagi bangsa Indonesia dalam setengah abad terakhir (Kieden et.al, 1988: 8). Selanjutnya dikatakan bahwa meskipun ditekankan bahwa hukum buat rakyat Indonesia ialah hukum adat yang timbul dan tumbuh dengan masyarakat Indonesia sendiri, tetapi dalam hubungan masyarakat yang dualistis, di mana suatu golongan menguasai golongan yang lain tidaklah mungkin, bahwa yang sesungguhnya membentuk dan memberi isi kepada hukum adat itu rakyat yang hidup dalam masyarakat kecil itu. Dalam hubungan jajahan tidak dapat dielakkan, bahwa akhir-akhirnya kata yang penghabisan tentang bentuk maupun isi dari hukum adat itu berserah kepada Van Vollenhoven dan yurisyuris yang sepaham dengan dia. Hal itu pada hakikatnya berarti bahwa hukum adat itu hanya mungkin dipakai dimana ia tiada bertentangan dengan kepentingan dan politik sistem penjajahan, sedangkan kepada pemerintah penjajahan diberinya suatu kebesaran jiwa, tidak merusak tetapi mala han melindungi kehidupan kebudayaan bangsa yang dijajah (Kieden, 1988 : 9-1 0). 2.
190
Pasal 18 8 ayat (2) yang dimasukkan dalam perubahan kedua (2000) menegaskan: "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik
Indonesia". Dalam memberikan tafsiran terhadap ketentuan tersebut, Jimly Asshiddiqie menyatakan perlu diperhatikan bahwa pengakuan ini diberikan oleh negara (i) Kepada eksistensi suatu masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional yang dimilikinya; (ii) Eksistensi yang diakui adalah eksistensi kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat. Artinya, pengakuan diberikan kepada satu persatu dari kesatuan-kesatuan tersebut, dan karenanya masyarakat hukum ad at itu haruslah bersifat tertentu; (iii) Masyarakat hukum adat itu memang hidup (masih hid up); (iv) Dalarn lingkungnya (lebensraum) yang tertentu pula; (v) Pengakuan dan penghormatan itu diberikan tanpa mengabaikan ukuran-ukuran kelayakan bagi kemanusiaan sesuai dengan tingkat perkembangan keberadaan bangsa. Misalnya tradisi-tradisi tertentu yang memang tidak layak lagi dipertahankan seperti koteka, tidak boleh dibiarkan tidak mengikuti arus kemajuan peradaban hanya karena alasan sentimentil untuk menghormati tradisi kebudayaan masyarakat hukum ad at yang bersangkutan; (vi) Pengakuan dan penghormatan itu tidak boleh mengurangi makna Indonesia sebagai negara yang berbentuk negara kesatuan Republik Indonesia (Asshiddiqie, 2003: 32-33)- Ketentuan ini memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap masyarakat hukum adat (adat rechtmeenschapen) yang merupakan sebuah konsep dasar atau tiang sendi dari hukum ad at. Seorang pakar hukum ad at Ter Haar ( 1892-1941) telah menguraikan dengan tepat tentang hal ini : "Ste/t men zich, bij welk lndonesich volk ook, op als waarnemer Van het maatschappelijk verkeer, dan doet zich in de zeer brede benedenloog aan het oog voorde een samenleving in verboden groepen, welkezich tegenover den onzichbaar, tegenover de biuten wereld, en tegenover bepaalde gedeelten van de stoffelijke we reid op een wipe gedragen, die tot uitdrukking te brengen is door die groepen rechtsgemeenschappen te noemen. Aantal Van Verhoudingen en handelingn in het rechtsverkeer neemt een aanta/ zich verboden gevoelende personen als een heid dee/; Sommige en handelen, alien zijngebaart of benadee/d; er is een innerlyke o~rdening volgens welke enkelingen of groepen voorrang, overwicht, gezaghebben, enz:ijn goederen, gound water, gewas, temples, ge/ijkmoeten in stand houden, rein houden ten bete van de onzichtbare machten waar van zij ge/ijkelijk mogen profiteren, waar van zij ouderen iuts/uiten; het bestaan van de gemeenschap wort ondervonden a/ seen natuurnoodwendigheid, een metajuridsch realiteit, by niemand
191
bestaat of onstaat de gedechte aan de moge/ijkeheid de groep ta ontbinden; selechts van men, indien den gemeenschappen aan gebrad gedonden zijn, geivoonlijk we/ individueel uittreden, den band verbreken" (Haar, 1950: 15). (Bilamana orang meneropong suku bang sa Indonesia manapun juga, maka nampaklah di matanya dilapisan bagian bawah yang amat luasnya, suatu masyarakat yang terdiri gerombolan yang bertalian satu sama lain terhadap alam yang tidak kelihatan mata, terhadap dunia luar dan terhadap alam kebendaan, maka mereka bertingkah laku sedemikian rupa sehingga untuk mendapatkan gambaran yang sejelas-jelasnya. Gerombolan tadi dapat disebut masyarakat hukum (rechtsgemeenschappen). Dalam pergaulan hukum, maka mereka yang merasa menjadi anggota dari ikatan berbuat apa, semuanya beruntung atau merugi; adalah suatu aturan batin yang menyebabkan beberapa orang atau golongan orang mempunyai hak mendahului, hak lebih atas kekuasaan, adalah barang, tanah, air, tanaman, kuil dan bangunan yang harus dipelihara bersamasama dan dijaga kebersihannya untuk kepentingan gaib, yang hanya mereka sendiri yang mengambil manfatnya dengan mengecualikan orang lain; terjadinya masyarakat itu dialaminya sebagai takdir alam, sebagai sesuatu kenyataan dari hukum gaib, tiada seorang yang mempunyai pikiran atau timbul angan-angannya akan kemungkinan membubarkan gerombolan atau melepaskan diri dari rangkaian, itupun hanya mungkin terhadap persekutuan yang adanya tergantung dari daerahnya).
Secara singkat Bushar Muhammad (1926-1999) menyimpulkan pendapat Ter Haar itu sebagai berikut: Masyarakat hukum (persekutuan ~ukum) adalah 1) kesatuan manusia yang teratur, 2) menetap di suatu daerah tertentu, 3) mempunyai penguasaanpenguasaan, dan 4) mempunyai kekayaan yang terwujud atau tidak terwujud, di mana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menu rut kodrat alam dan tidak seorangpun di antara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu, atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya (Muhammad, 1978 : 10). 3.
192
Pasal 28 I ayat (3) yang dimaksukkan dalam perubahan kedua (2000}, menyatakan: "ldentitas budaya dan hak masyarakat
tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban". Ketentuan ini memang mempunyai kemiripan dengan Pasal 18 8 ayat (2) yang telah dibahas dalam uraian terdahulu, tetapi secara maknawi mengandung beberapa perbedaan yang prinsipil, sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya. Pasal 18 8 ayat (2) adalah termasuk dalam 8ab VI tentang Pemerintahan Daerah, sedangkan Pasal 28 I ayat (3) termasuk dalam 8ab X A tentang HakAsasi Manusia, oleh karena itu ketentuan ini adalah berkenaan dengan Hak Asasi Man usia (Human Right). Selain itu, Pasal 18 ayat (2) adalah pengakuan tentang masyarakat hukum adat (adatrecht gemeenschappen), sedangkan pasal ini adalah berkenaan dengan penghormatan terhadap identitas budaya (cultural identity) dan hak masyarakat tradisional. lstilah masyarakat tradisional dapat dipadankan dengan apa yang sekarang popular dengan sebutan "Masyarakat Adat" atau "indigeneous peoples" yang haknya harus dihormati sebagai salah satu bentuk hak asasi manusia (human right). Ketentuan ini mempunyai kemiripan dengan apa yang pernah dirumuskan sebelumnya. Dalam Pasal 41 Piagam Hak Asasi Manusia yang tertuang dalam Ketetapan MPR No. XVIIIMPR/1998 dinyatakan: "identitas budaya masyarakat tradisonal, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi selaras dengan perkembangan zaman". Hal ini kemudian dirumuskan secara berbeda dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan : "ldentitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi selaras dengan perkembangan zaman". Sehingga oleh karena itu diperlukan sinkronisasi antara Pasal 41 Piagam Hak Asasi Man usia, Pas aI 6 ayat (1) Undang-Undang No. 39 tahun 1999 dengan Pasal 28 I ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. 4.
Pasal 33 ayat (1) yang merupakan hasil perubahan keempat (2002), yang menyebutkan bahwa negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan budayanya. Rumusan ayat ini, menurut Jimly Asshiddiqie merupakan ketentuan baru yang menggambarkan politik kebudayaan negara kita di masa depan, di sini ditegaskan bahwa negara secara proaktif haruslah memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia, dengan tetap menjamin kebebasan bermasya-
193
rakat untuk memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya sendiri (Asshiddiqie, 2003 : 75-76). 5.
Pasal36 A yang merupakan hasil perubahan ketiga (2002), yang menegaskan bahwa "Lambang Negara" ialah Garuda Pancasila dengan semboyan "Bhineka Tunggallka". Hal ini mempunyai arti penting tersendiri, seperti dikatakan Jimly Asshidiqie, bahwa selama ini hal tersebut belum pernah diatur, sehingga penyebutan Garuda Pancasila sebagai lam bang negara, hanya didasarkan atas konvensi tidak tertulis (Asshiddiqie, 2003: 80). Pengakuan tentang lam bang sekaligus penegasan tentang selaka yang terpampang pada lam bang "Bhineka Tunggallka". Menurut Wertheim, Bhineka Tunggal lka berarti "Persatuan Dalam Perbedaan" merupakan moto resmi Republik Indonesia. Ungkapan ini mengekspresikan suatu keinginan yang kuat, tidak hanya di kalangan pemimpin politik tetapi juga di kalangan berbagai lapisan penduduk, untuk mencapai kesatuan meskipun ada karakter yang heterogen pada negara yang baru terbentuk itu. Pada gilirannya, persamaan itu akan mensyaratkan adanya karakteristik budaya yang sama yang mendasari heterogenitas itu (Wertheim, 199 : 1). Dengan ditegaskannya Bhineka Tunggallka dalam konstitusi, maka segala konsekuensi dari penegasan itu juga harus diterima dalam berbagai aspek kehidupan termasuk kehidupan hukum. Pengakuan tentang perlunya ketunggalan hukum (unifikasi) sebagaimana yang dicanangkan dalam berbagai kebijakan pembangunan hukum perlu untuk ditinjau kembali. Keberagaman hukum (pluralisme hukum) sepanjang kenyataannya memang demikian, tidak boleh dinaifkan begitu saja, apalagi kalau hal ini diartikan sebagai identitas budaya (cultural identity) sebagaimana yang ditegaskan dalam pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Karena itu hukum Indonesia yang akan dibangun, bukannya hukum yang unifikasi dan bukan pula sistem hukum yang pluralistis tetapi "Sistem Hukum Bhineka Tunggallka".
Memperhatikan apa yang ditegaskan dalam lima pasal baru Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana yang ditegaskan di atas maka tampak kepada kita dalam struktur kenegaraan kita tetap akan membangun suatu sistem negara hukum modern sebagaimana banyak dilakukan oleh negara-negara di dunia yang mengakui dan menerapkan prinsip "Rechtsstaat" ataupun prinsip "The Rule of Law". Akan tetapi dalam struktur kenegaraan tersebut, negara tetap mengakui dan'
194
menghormati satuan masyarakat hukum ad at dengan segala hak-hak tradisionalnya, adanya identitas budaya, dan hak masyarakat tradisional, tetapi pengakuan itu tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dan proses perkembangan peradaban dari masyarakat Indonesia dan perkembangan kebudayaan nasional serta prinsip Bhineka Tunggallka. Dalam kondisi semacam ini, hukum adat perlu untuk dikaji ulang dengan memberikan beberapa pertimbangan terhadap konsep dasar yang telah diletakkan oleh pencetusnya yaitu Van Vollenhoven ( 18741993) dan dikaitkan dengan perkembangan berikutnya yang dialami oleh bangsa dan negara sejak pergerakan nasional,. proklamasi kemerdekaan, kegiatan pembangunan termasuk upaya kita membangun Sistem Hukum Nasional dan kegiatan reformasi yang mulai digulirkan hingga sampai pad a perbincangan tentang "Revitalisasi Hukum Ad at". Memang tidak semua konsep Van Vollenhoven harus ditolak. Konsep tentang hukum adat sebagai hukum yang hidup (levenderechtl/iving law) masih tetap mendominasi pemikiran hukum kita. Satu abad yang lampau, Van Vollenhoven telah menu lis "doorzach echter met de belong Stelling van hem, die kennis en verklaring van het op aacle Levende recht begert juist om zijn vee/ soortige gedaanten van geheel en on uitputbare or on van leering (Vollenhoven, 1906 : 4) (tetapi jika seorang yang ingin mendapatkan pengetahuan dan keterangan tentang hukum yang hidup di bumi pada zaman lampau dan sekarang, maka keseluruhan hukum Indonesia merupakan suatu sumber yang tidak kunjung kering untuk dipelajari). Setengah abad kemudian, seorang muridnya, Prof. Soepomo (1903-1958) menyatakan bahwa hukum adat adalah hukum yang hidup karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat, sesuai dengan fitrahnya sendiri, hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri (Soepomo, 1966 : 5). Perbincangan lebih lanjut muncul dalam "Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional" pada tanggal15-17 Januari 1975 di Yogyakarta, telah menampilkan topik "Pengertian Hukum Adat, Hukum Yang Hidup (Living Law) dan Hukum Nasional" dengan pemrasaran pakar sosiologi Hukum Indonesia Satjipto Rahardjo, dengan para pembahas Moh. Hidjazie Kartawidjaja, Soerjono Soekanto dan Tjakorda Raka Dherana, menyatakan bahwa hukum adat adalah juga hukum yang timbul secara serta merta dari dalam kandungan masyarakatnya sendiri. Seperti yang diungkapkan oleh Hazairin: hukum yang tumbuh
195
sendiri dari hubungan-hubungan hidup bersama dalam masyarakat; pada hukum ad at pad a dasarnya juga tidak diperlukan prosedur formal bagi lahirnya suatu ketentuan hukum adat. Yang dibutuhkan utama adalah waktu dan pertumbuhan (BPHN, 1976, 20-21 ). Dikatakan juga bagaimanapun sempurnanya suatu tata hukum (tertulis) itu selalu akan dapat kita jumpai segi yang lain dari kehidupan yang tumbuh secara serta merta dari hubungan-hubungan bersama dalam masyarakat hukum. Hukum adat dalam sifatnya yang demikian itu, akan senantiasa kita ketemukan, dan dapat dikatakan sebagai melengkapi hukum tertulis yang dibuat dengan sengaja (BPHN, 1976: 21). Pembahasan terakhir tentang hal ini, muncul dalam Seminar tentang "Revitalisasi dan Reinterpretasi Nilai-Nilai Hukum Tidak tertulis Dalam Pembentukan dan Penemuan Hukum" di Makassar 28-29 September 2005. Pembahasan mengenai topik ini disampaikan oleh Jufrina Rizal, dengan topik Hukum Adat Sebagai Hukum yang Hidup Dalam Masyarakat, dan dibahas secara serius oleh Ahmad Ali dari Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Konsep kedua dari Van Vollenhoven juga masih relevan adalah tentang konsep perkembangan hukum adat. Dalam kaitannya dengan perkembangan hukum adat, Van Vollenhoven mengungkapkan "Deze: dat het adatrecht drieerlei dee/en bevat, het afstervende, het hedendaagsch en het wodende. nieuw, of zooals de bevolking het zelfwe/ heft uitgedrukt, dat sommige adats zijn a/ seen tot wilderius geworden stoppelved, dat andere nog steeds warden gevold, dat weer andere a/s en tronbk zijn die overnieuw uitloopt" (Vollenhoven, 1926: 60). Berdasarkan ungkapan ini, apabila dilihat dari segi perkembangannya, hukum adat itu terdiri dari 3 bagian. Bagian pertama adalah bag ian yang sudah mulai ditinggalkan (het afstervende), bag ian kedua adalah yang masih berlaku sekarang (het hedendaagsch), sedangkan bagian ketiga adalah bagian yang sedang baru dalam proses pembentukan (het wordende nieuw). Karena itu Van Vollenhoven dengan tegas menyebutkan "adatrech is ontwikkelt zich gestanding" (Hukum adat selalu dalam proses pertumbuhan yang terus menerus). Dalam hubungan dengan perkembangan hukum ad at ini, menarik untuk dikutip apa yang dikemukakan oleh Prof. Kaimuddin Salle dalam pidato penerimaan jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, pada tanggal 6 April 2006 yang diberi judul sangat puitis: "Hukum Adat Bagaikan Em bun, Terbit Matahari Akan Hi lang Dan Muncul Kembali Waktu Malam". Yang antara lain menegaskan bahwa
196
suatu aturan hukum yang berlaku di masyarakat, haruslah merupakan masyarakat itu sendiri, yang tentu saja mengalami perkembangan sesuai dengan salah satu sifat hukum (adat), yaitu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Aturan hukum yang berlaku seratus tahun yang lalu pastilah telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Penerapan hukum adat yang merupakan penjelmaan jiwa bang sa kadang-kadang terjebak dengan bahan-bahan pemikiran yang bersifat lokal, padahal harapan besar yang diharapkan dari pengakuan keberadaan hukum adat adalah bagian-bagian yang asasnya adalah hukum adat, akan tetapi yang menjadi ramuan yang bisa diberlakukan secara nasional (Salle, 2006 : 7-8) Sebagai kesimpulan dari pidatonya tersebut, dikemukakan: 1.
Hukum adat adalah hukum yang berakar dalam kehidupan bang sa Indonesia yang merupakan bagian dari budaya bangsa, yang mempunyai unsur agama yang kuat.
2.
Hukum adat mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan masyarakat itu sendiri.
3.
Walaupun ada bag ian hukum adat yang telah menjadi bag ian dari hukum nasional, akan tetapi sebenarnya masih cukup banyak yang lainnya yang perlu disikapi lebih jauh karena mengandung hal yang dapat dijadikan acuan dasar dalam peraturan perundangundangan sekarang ini.
4.
Pada bagian yang sudah jelas pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan, akan tetapi hal itu rasanya belum cukup sebelum ditindaklanjuti oleh kita semua dalam kehidupan keseharian kit a.
5.
Dalam penyelesaian persoalan di antara warga, cukup tersedia media untuk itu.
6.
Keberhasilan penegakan hukum termasuk bersumber dari hukum adat hanya dapat terlaksana kalau ada kemauan baik dari kita, semua pihak yang melaksanakannya dan hal tersebut adalah merupakan tanggung jawab kita semua. Hanya dengan cara yang demikian, tidak hanya menjadi embun yang memberi kesegaran bagi makhluk hidup di waktu malam, akan tetapi akan selalu memberi kesegaran kapan dan di manapun juga kepada semua makhluk di persada tanah air ini (Salle, 2006:27).
197
Ungkapan yang dikemukakan oleh Prof. Kaimuddin Salle tersebut di atas memang menarik, tetapi juga dapat mengundang pandangan hukum ad at secara euporia pada satu sisi dan pandangan yang bersifat sinis pada sisi yang lain. Ketika hukum adat dilambangkan dengan "embun", dapat pula mengundang ungkapan bahwa perbincangan tentang hukum adat sekarang adalah seperti memperbincangkan "em bun di siang hari". Embun itu memang ada, tetapi dia sudah lenyap pada siang hari, kita baru bisa bertemu kembali dengan embun pagi ketika pagi telah tiba. Ungkapan metaforis di atas cukup tepat untuk menggambarkan hukum adat, bahwa hukum adat adalah hukum yang hidup dalam masyarakat dalam artian sebagai hukum yang menjelmakanjiwa rakyat, dan pada sisi yang lain hukum adat adalah sesuatu yang dinamis yang senantiasa tumbuh dan berkembang. Dasar keberlakukannya secara sosiologis (socialogisch gelding) adalah masyarakat adat di mana hukum adat itu tumbuh dan berkembang. Selama masyarakat adat masih ada, hukum adat tetap eksis tetapi ketika masyarakat adatnya sudah hancur, hukum adat sudah tidak punya tempat pijakan lagi. Hukum ad at juga mempunyai dasar keberlakukan secara filosofis (filosofisch gelding) dalam tata nilai yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Bahkan ia masih didukung oleh dasar keberlakuan lain yang tidak dikenal dalam kajian hukum barat yaitu spiritual sesuai dengan alam pikiran yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Dalam kondisi yang demikian, adanya kepatuhan warga masyarakat dengan penuh kesadaran tidak ada masalah. Namun satu pertanyaan timbul, apakah dalam sistem hukum adat tidak dikenal adanya keberlakuan secara yuridis ljuridisch gelding) seperti dalam sistem hukum negara. Bilamana pertumbuhan hukum adat dilepaskan sama sekali dari hukum negara, dasar keberlakuan yang demikian tidak diperlukan. Akan tetapi bilamana kita melihat hukum adat sebagai bagian dari sistem hukum nasional, maka dasar keberlakukan hukum adat secara yuridis dapat ditemukan dalam politik hukum nasional sebagaimana termaktub dalam konstitusi dan arahan yang diberikan peraturan perundang-undangan lainnya. Pandangan terakhir ini lebih cocok walaupun mengundang banyak konsekuensi seperti terlalu besarnya kekuasaan negara terhadap masyarakat sipil (civil society). Konsep hukum adat dari Van Vollenhoven yang patut dipersoalkan adalah penegasannya tentang "tidak adanya hukum adat Indonesia".
198
Dikatakan bahwa hukum adat adalah laksana bahasa, seperti halnya tidak ada bahasa Indonesia (karena yang ada pada saat itu hanya bahasa daerah) maka tidak ada juga "Hukum adat Indonesia". Hukum adat "Nederlandsch lndie" adalah kumpulan dari hukum adat Batak, hukum adat Minang, hukum adat Jawa Barat, hukum adat Ambon, hukum adat Papua dan lain sebagainya. Hal ini sudah mendapat perhatian dari para pemuda Indonesia (termasuk pada mahasiswa hukum seperti Muhammad Yamin, dll). Ketika melangsungkan Kong res Pemuda tanggal27 -28 Oktober 1928 di Jakarta yang melahirkan Sumpah Pemuda, di sam ping pernyataan bertanah air satu tanah air Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia dan berbahasa satu bahasa Indonesia, juga menyatakan pengakuan lima dasar persatuan yang akan memperkuat persatuan Indonesia. Di antaranya adalah hukum adat (BPHN, 1976 : 126). Penegasan yang dicetuskan dalam Sumpah Pemuda tersebut memperlihatkan kepada kita bahwa Hukum Ad at itu sebenarnya bukan hanya berada di lingkungan lokal saja, tetapi juga pada lingkungan nasional walaupun negara Indonesia masih belum ada (Abdurrahman, 2006 : 36). Karena setelah kita mempunyai negara nasional pada tanggal 17 Agustus 1945, kita juga akan berbicara tentang "Hukum Adat Indonesia" sebagai bag ian dari hukum nasional. Hal ini berkaitan erat dengan pernyataan Van Volenhoven mengenai "pengakuan" penguasa terhadap hukum adat. Dikatakan bahwa walaupun hukum adat itu sekalipun dipertahankan oleh penguasa, akan tetapi apabila ia sudah ditinggalkan oleh masyarakat, maka upaya tersebut akan siasia. Begitu juga sebaliknya sekalipun pihak penguasa menolak berlakunya hukum adat, akan tetapi jika hukum adat tersebut masih dipertahankan oleh masyarakat, maka us aha tersebut juga akan sia-sia. Ketika kita berbicara tentang kedaulatan negara nasional, kita juga harus memberi pengakuan adanya kemungkinan bagi negara untuk melakukan "intervensi" terhadap berlakunya hukum adat seperti pengakuan hak ulayat dan penyerasiannya dengan hukum nasional. Persoalan lain dari konsep Van Vollenhoven yang perlu ditinjau kembali adalah tentang "Lingkaran Hukum Adat" (adatrecht skringen), di mana· sangat terkenal adanya pembagian wilayah hukum-hukum adat Indonesia atas 19 (sembilan belas) wilayah hukum adat. Di samping landasan klasifikasi yang kurang jelas, paling tidak untuk masa sekarang, juga telah terjadi banyak perubahan dan te~adinya migrasi penduduk serta memang terjadi kesalahan dalam pembuatan klasifikasi.
199
Konsep hukum adat lainnya dari Van Vollenhoven yang menarik untuk dipersoalkan adalah yang berpangkal dari artikelnya "Geen Juristenrecht Voor Den Inlander" (1905), sebagaimana kemudian dipublikasikan dalam kumpulan tulisan "Het Adatrecht van Nederfandsch lndie Ill (1993: 22-59). Penegasan bahwa "bukan hukum yang berlaku untuk para ahli hukum yang harus diberlakukan untuk orang Indonesia" dapat diartikan sebagai pelecehan terhadap orang-orang Indonesia, sebagai orang yang terbelakang dan untuk mereka yang pantas hanyalah hukum adat, bukan hukum yang dibuat untuk orang Belanda sebagai kelas atas. Untuk masa kini, kita tidak mungkin untuk menghadapkan hukum adat dengan hukum nasional (dalam artian hukum perundangundangan). Demikian beberapa hal yang perlu mendapat perhatian ketika kita mempersoalkan tentang peranan hukum adat atau keberadaan hukum adat dalam aplikasi kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama sekali sebagai konsekuensi diadakannya perubahan UUD 1945 dalam era reformasi arah pembangunan hukum pasca amandemen UUD 1945 khususnya yang terkait dengan hukum adat sebagaimana dipaparkan di atas perlu dikaji kembali dan dirumuskan secara tepat. Sebagai penutup uraian kiranya perlu diperhatikan bahwa pada tanggal19 Januari 2005, telah ditetapkan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 07 Tahun 2005 ten tang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 (LN Tahun 2005 No. 11) yang mempunyai banyak kemiripan dengan Repelita pada masa Orde Baru. Dalam Peraturan Presiden ini disebutkan salah satu prioritas Pembangunan Nasion aI Ta_hun 2004-2009 yang termasuk dalam agenda mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis adalah sebagai berikut: "PEMBENAHAN SISTEM HUKUM NASIONAL DAN POLITIK HUKUM yang diarahkan terutama untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi melalui perbaikan susbtansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum dengan meningkatkan profesionalisme dan memperbaiki kualitas sistem pada semua lingkungan peradilan, menyederhanakan sistem peradilan dan memastikan bahwa hukum diterapkan dengan adil dengan menghormati dan memperkuat kearifan dan hukum adat yang bersifat lokal untuk memperkaya sistem hukum dan peraturan. Dalam Bab 9 tentang Pembenahan Sistem Hukum Nasional dan Politik Hukum, dikemukakan permasalahan yang meliputi substansi 200
hukum, struktur hukum dan budaya hukum, kemudian sasaran, arah kebijakan dan program-program pembangunan. Berkenaan dengan permasalahan substansi hukum dan struktur hukum tidak tampak adanya persoalan yang berkenaan dengan hukum adat dan kesadaran hukum masyarakat yang menjadi topik pembicaraan ini.
201
DAFTAR PUSTAKA
ABDURRAHMAN, Kedudukan Hukum Adat Dalam Rangka Pembangun~m Nasional, Penerbit Alumni Bandung, 1978. ABDURRAHMAN, HukumAdat Menurut Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, Penerbit Cendana Press, Jakarta, 1984. ABDURRAHMAN, Kedudukan Hukum Adat Dalam Perundang-undangan Agraria Indonesia, PenerbitAkademika Pressindo, Jakarta, 1984. ABDURRAHMAN, Perkembangan Pemikiran Tentang Pembinaan Hukum Nasional Di Indonesia, Penerbit Akademika Pressindo, Jakarta, 1988. ABDURRAHMAN, Beberapa Aspek Tentang Pembangunan Hukum Nasional, Penerbit PT Citra Aditya Bandung, 1995. ABDURRAHMAN, Peran Lembaga-LembagaAdat Dalam Pembangunan Daerah, Makalah Pada Seminar Hukum Nasional VII, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta 12-15 Oktober 1999. ABDURRAHMAN, Hak MasyarakatAdat Di Bidang Kehutanan, Makalah Pada Kongres Kehutanan Indonesia Ill, Jakarta 25-28 Oktober 2001. ABDURRAHMAN, Keberadaan Masyarakat Hukum Adat Dalam lnteraksi Budaya Yang Makin Terbuka, Makalah Pada Lokakarya Kesepahaman Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat Terhadap Kawasan Hutan, Badan Planologi Kehutanan Departemen Kehutanan, Jakarta, 2-6 Desember 2001. ABDURRAHMAN, Revitalisasi HukumAdat Masyarakat Dayak, Makalah Pada Acara ·Penyegaran Dosen Fakultas Hukum Universitas Palangkaraya, 9 Juli 2001. ABDURRAHMAN, Penyelesaian Sengketa Lingkungan Menu rut Hukum Adat Dayak, Disertasi Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta 2002. ABDURRAHMAN, Eksistensi Masyarakat Adat Dalam Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, Makalah Pada Diskusi Tentang Masyarakat Adat Dalam Proses Amandemen UUD 1945, HUMA Dan LPMA, Banjarmasin, 28 Agustus 2002. ABDURRAHMAN, Revitalisasi Hukum Adat Dalam Penyelesaian Konflik Antar Etnik (Sebuah Refleksi Dari Kasus Sampit Kalimantan
202
Tengah), Makalah Prakongres Kebudayaan V, Denpasar, Bali 2830 April 2003. ABDURRAHMAN, Rekonseptualisasi Hukum Ad at, Makalah Untuk Tim Pengkajian Hukum Adat, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Dan HAM, Jakarta, 2005. ABDURRAHMAN, Revitalisasi, Reposisi Dan Rekonseptualisasi Hukum Adat Indonesia, Makalah Pad a Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Dan HAM Jakarta, 2005. ABDURRAHMAN, Hukum Adat Indonesia Dalam Lingkungan Lokal, Nasional Dan Global, Dalam Ki Supriyoko (Ed) Pendidikan Multikultural Dan Revitalisasi Hukum Adat Dalam Perspektif Sejarah, Departemen Kebudayaan Dan Pariwisata, Jakarta, 2005. ABDURRAHMAN, Hukum Adat Dalam Perundang-undangan, Makalah Pada Seminar Revitalisasi Dan Reinterpretasi Nilai-Nilai Hukum Tidak Tertulis Dalam Pembentukan Dan Penemuan Hukum, Diselenggarakan Oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Dan HAM Bekerjasama Dengan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Dan Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar, 28-29 September 2005. ABDURRAHMAN, Aspek Perundang-undangan Dalam Pengelolaan Penyelesaian Sengkata Tanah Adat, Makalah Pada Lokakarya Kebijakan Pengelolaan Tanah Adat Di Indonesia, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Jakarta, 28 Desember 2005. ABDURRAHMAN, Revitalisasi Hukum Ad at Dan Peningkatan Kesadaran Hukum Masyarakat, Makalah Pada Temu llmiah Konsultasi Pemberdayaan Masyarakat Dalam Rangka Peningkatan Kesadaran Hukum, Badan Pembinaan Hukum Nasional Dapartemen Hukum Dan HAM , Jakarta, 9-11 Mei 2006. ABDURRAHMAN, Perkembangan Hukum Adat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Provinsi Kalimantan Timur, Makalah Pada Temu llmiah lnstitut Hukum Sumber Daya Alam, Balikpapan, 22 Mei 2006. All, ACHMAD, Reaktualisasi "The Living Law" Dalam Masyarakat Sulawesi Selatan, Makalah Pada Seminar Revitalisasi Dan Reinterpretasi Nilai-Nilai Hukum Tidak Tertulis Dalam Pembentukan
203
Dan Penemuan Hukum, Diselenggarakan Oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Dan HAM Bekerjasama Dengan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Dan Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar, 28-29 September 2005. ASSHIDDIQIE, JIMLY, Konsolidasi Naskah UUD 1945, Penerbit Yarsif Watampone, Jakarta 2003. BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL, Seminar Hukum Adat Dan Pembinaan Hukum Nasional, Penerbit Bina Cipta, Bandung, 1976. BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL, Simposium Sejarah Hukum, Penerbit Bina Cipta, Bandung, 1976. HAAR, B. TER, Beginselen en stelsel van het Adatrecht, JB Walters Djakarta Groningen, 1953. KLEDEN, IGNAS, et.al, Kebudayaan Sebagai Perjuangan Perkenalan Dengan Pemikiran S. Takdir Alisjahbana, Penerbit PT Dian Rakyat, Jakarta, 1988. KOESNOE, MOHAMMAD, Hukum Ad at Sebagai Model Hukum, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1992. KOENT JARANINGRAT, Masalah Kesukubangsaan Dan lntegrasi Nasional, Penerbit Universitas Indonesia (UI Press) Jakarta, 1993. MUHAMMAD, BUSHAR, Asas-Asas Hukum Adat (Suatu Pengantar, Pradnya Paramitha, Jakarta 1978. RIZAL, JUFRINA, Perkembangan Kajian HukumAdat, Dalam Ki Supriyoko (Ed) Pendidikan Multikultural Dan Revitalisasi Hukum Ad at Dalam Prespektif Sejarah, Departemen Kebudayaan Dan Pariwisata, Jakarta, 2005. RIZAL, JUFRINA, Perkembangan Hukum Adat Sebagai Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat, Makalah Pada Seminar Revitalisasi Dan Reinterpretasi Nilai-Nilai Hukum Tidak Tertulis Dalam Pembentukan Dan Penemuan Hukum, Diselenggarakan Oleh Badan pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Dan HAM Bekerjasama Dengan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Dan Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar, 28-29 September 2005. SALLE, KAIMUDDIN, Hukum Adat Bagaikan Embun, Terbit Matahari Akan Hilang Dan Muncul Kembali Di Waktu Malam, Pidato. 204
Penerimaan Jabatan Guru BesarTetap Dalam Bidang llmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, 6 April 2006. SOEPOMO, R, Kedudukan Hukum Adat Di Kemudian Hari, Pustaka Rakyat, Jogjakarta, 1953. SOEPOMO R, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Penerbit Universitas Jakarta, 1966. SUSENO, FRANS MAGNIS, Mencari Makna Kebangsaan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1998. SUDIYAT, IMAM, Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Penerbit · Liberty, Yogyakarta, 1985. VOLLENHOVEN, C. VAN. Het Adatrecht van Nederlansch lndie, EJ, Brill Leiden, 1906. VOLLENHOVEN, C. VAN, Miskeningen van het Adatrecht, EJ, Brill Leiden, 1926. VOLLENHOVEN, C. VAN. HetAdatrecht van Nederlansch lndie Ill, EJ, Brill Leiden, 1933. WERTHEIM, WF. Masyarakat Indonesia Dalam Transisi Studi Perubahan Sosial, Penerbit PT Tiara Wacana Yogyakarta, 1999.
205
PENYELESAIAN SENGKETA NIAGA Dl PENGADILAN NEGERI SEBAGAI CIKAL PENYELESAIAN SENGKETA NIAGA SYARIAH Dl PENGADILAN AGAMA 1 Ny. Andriani Nurdin, S.H., M.H. 2
Pendahuluan Transaksi bisnis atau niaga umumnya didasarkan pada hubungan simbiosis mutualistis, kepercayaan (trust) di antara para pihak, namun hal itu tetap tidak akan dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya perselisihan di antara para pihak. Perselisihan terse but dapat menimbulkan sengketa yang tentunya memerlukan penyelesaian hukumnya. Penyelesaian tersebut dapat dilakukan melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Sarana untuk menyelesaikan persengketaan pada hakikatnya dapat dibagi dalam dua bentuk, yaitu: a.
Dalam bentuk litigasi, yaitu penyelesaian sengketa melalui badan peradilan yang dibentuk oleh pemerintah untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan dalam masyarakat. Di Indonesia dikenal adanya empat lingkungan peradilan menurut Undang-undang No. 4 Tahun 2004.
b.
Dalam bentuk Alternatif Dispute Resolution (ADR) dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Bentuk lembaga ini adalah bersifat partikulir, ia tidak dibentuk oleh pemerintah tetapi oleh k~butuhar:t masyarakat. Di dalam Undang-undang No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa disebutkan 2 cara menyelesaikan sengketa di luar Pengadilan: (1) Arbitrase yaitu cara penyelesaian sengketa perdata di luar Pengadilan Umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa;
1 Disajikan pada Seminar Nasional tentang Reformulasi Sistem Ekonomi Syariah dan Legislasi Nasional, 8 Juni 2006 di Hotel Grand Candi Semarang. 2 Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
207
(2) Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau bed a pend apat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yaitu penyelesaian di luar Pengadilan dengan cara: Konsultasi, Negosiasi, Mediasi, Konsolidasi dan Penilaian Ahli. Di dalam uraian selanjutnya, tulisan ini akan memfokuskan pada penyelesaian sengketa niaga di Pengadilan Negeri.
Penyelesaian Sengketa Niaga di Pengadilan Negeri Penyelesaian sengketa bisnis atau niaga melalui pengadilan di mata pelaku bisnis seringkali menimbulkan permasalah: (1) lamanya proses beracara di persidangan perkara perdata; (2) panjang dan lamanya tahap penyelesaian sengketa dari tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, hingga Kasasi dan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung; (3) lama dan panjangnya proses penyelesaian melalui pengadilan membawa akibat pad a tingginya biaya penyelesaian sengketa tersebut (legal cost}, (4) persidangan dilakukan secara terbuka, padahal di sisi lain kerahasiaan merupakan sesuatu yang diutamakan dalam kegiatan bisnis; (5) hakim yang memeriksa perkara sering kali dilakukan oleh hakim yang kurang menguasai substansi permasalahan yang berkaitan dengan perkara yang bersangkutan; (6) adanya citra dunia peradilan di Indonesia yang tidak begitu baik. Melihat adanya kelemahan tersebut, masyarakat bisnis mulai berpaling ke bentuk penyelesaian sengketa yang lain, seperti disebutkan di atas, yaitu arbitrase dan bentuk penyelesaian alternatif lainnya, seperti negosiasi, mediasi, dan konsiliasi (UU No. 30 Tahun 1999).
Yurisdiksi Penyelesaian Sengketa Niaga Di era globalisasi ini di mana batas antar negara dapat dikatakan semakin kabur, terutama dengan semakin majunya teknologi informasi dan komunikasi, diikuti pula dengan perkembangan pola perniagaan atau bisnis dunia. Globalisasi ekonomi seringkali diidentikkan dengan pasar be bas. 3 Sejak diberlakukan Perpu No. 1 Tahun 1998 dan kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang Kepailitan No. 4 Tahun 1998 dan telah 3 Muhamad Syafii Antonio, Membangun Ekonomi Islam di Indonesia Sebagai Post Capitalist Economy, Varia Peradilan Tahun ke XXI No. 245 April 2006, hal. 22-23
208
diperbarui dengan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, sengketa niaga mengenai Kepailitan,. dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) serta sengketa mengenai Hak Kekayaan lntelektual (HKI), termasuk di dalamnya Merek, Hak Cipta, Disain lndustri, Tata Letak Sirkuit Terpadu, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Niaga. Untuk jangka panjang direncanakan juga termasuk sengketa mengenai asuransi dan perbankan. Tidak seperti sengketa niaga yang diajukan di Pengadilan Negeri, penyelesaian sengketa di Pengadilan Niaga lebih sing kat karena dibatasi oleh jangka waktu tertentu. Perkara Kepailitan dan PKPU jangka waktu penyelesaiannya paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya permohonan. Upaya hukum terhadap putusan atas permohonan pailit adalah kasasi yang sudah harus menjatuhkan putusannya paling lama 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi; dan selanjutnya dapat mengajukan Peninjauan Kembali dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh} hari setelah tanggal permohonan diterima Panitera Mahkamah Agung. Untuk sengketa HKI putusan sudah harus diucapkan paling lama 90 (sembilan puluh) hari setelah gugatan didaftarkan, dan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari atas persetujuan Ketua Mahkamah Agung. Sedangkan upaya hukum yang ditentukan oleh undang-undang adalah Kasasi. Putusan atas permohonan kasasi sudah harus diucapkan paling lama 90 (sembilan puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi. Sengketa niaga lainnya yang termasuk ruang lingkup Perdata yang diajukan ke Pengadilan Negeri biasanya didasarkan atas perbuatan melawan hukum eks Pasal 1365 KUHPerdata dan ingkar janji eks Pasal 1239 KUHPerdata. Berdasarkan Surat Edaran MahkamahAgung, penyelesaian perkara perdata di Pengadilan Negeri paling lama 6 (enam) bulan.
Beberapa Titik Singgung Antara Arbitrase dengan Lembaga Peradilan Di dalam Pasal 11 UU No 30 Tahun 1999 disebutkan bahwa Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui
209
arbitrase, kecuali dalam hal tertentu yang ditetapkan dalam undangundang ini. · Turut campurnya Pengadilan dalam urusan arbitrase antara lain: Dalam hal pengangkatan Arbiter. Hak lngkar yang diajukan oleh salah satu pihak terhadap Arbiter diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Pendaftaran dan pelaksanaan Putusan Arbitrase.
Beberapa Permasalahan Hukum yang Perlu Mendapat Perhatian •
Rumusan Klausula Dikaitkan dengan Yurisdiksi Arbitrase dan Pengadilan yang digariskan Pasal 3 Menimbulkan Kecenderungan yang Keliru. 4
Terdapat kecenderungan penerapan yurisdiksi arbitrase secara generalisasi dan absolut, tanpa memperhatikan rumusan klausula yang disepakati dalam perjanjian. Kecenderungan tersebut dapat keliru berdasarkan alasan sebagai berikut: a.
Menerapkan akibat hukum yang digariskan Pasal 3 secara absolut, tidak selamanya benar. Hal ini disebabkan kekeliruan memahami ketentuan Pasal 3 yang berbunyi "Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase". Berdasarkan rumusan ini, timbul pendapat, asal dalam perjanjian terdapat klausula arbitrase, maka merupakan kewenangan absolut arbitrase untuk menyelesaikan segala sengketa yang timbul dari perjanjian, tanpa memperdulikan jangkauan atau ruang lingkup sengketa yang disebut dalam rumusan klausula arbitrase. Pendapat yang ~ercorak generalisasi atau absolut ini tidak selamanya benar, berdasarkan alasan pada huruf b di bawah ini.
b.
Teori dan praktik mengenal beberapa bentuk Klausula Arbitrase
i.
Berbentuk Umum Rumusan klausula pada dasarnya berbunyi: "Segala atau setiap sengketa yang timbul dari perjanjian, para pihak sepakat diselesaikan oleh arbitrase". Terdapat kata kunci "segala" atau "setiap".
4 M. Yahya Harahap, Beberapa Catatan Yang Perlu Mendapat Perhatian Atas UU No.30 Tahun 1999, Jurnal Hukum Bisnis Volume 21, Oktober-November 2002, him. 16-19.
210
Apabila perumusan klausula semacam itu, maka sengketa apa saja secara mutlak menjadi yurisdiksi arbitrase. Berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 11 Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili. ii.
Bentuk Terbatas atau Parsial Biasanya klausula yang bersifat rinci disebut secara satu persatu jenis sengketa yang disepakati untuk diselesaikan melalui arbitrase. Misalnya klausula menyebut "sengketa mengenai perbedaan penafsiran pelaksanaan perjanjian" atau hanya terbatas mengenai "sengketa pengakhiran perjanjian". Dalam hal rumusan semacam ini, ketentuan Pasal 3 dan Pasal 11, tidak otomatis diterapkan secara generalisasi dan absolut. Akan tetapi harus diteliti dengan seksama, apakah sengketa yang terjadi termasuk jenis sengketa yang disebut dalam klausula, dengan acuan penerapan yurisdiksi:
•
>
Apabila sengketa yang terjadi termasuk ruang lingkup yang disebut atau dirinci dalam klausula, maka yang berwenang menyelesaikan adalah arbitrase, atas alasan sengketa yang terjadi termasuk yurisdiksi arbitrase berdasarkan kesepakatan yang ditegaskan dalam perjanjian.
>
Sebaliknya, apabila sengketa yang terjadi berada di luar ruang lingkup klausula arbitrase, yang berwenang menyelesaikannya adalah Pengadilan Negeri.
Kebebasan Berkontrak Hakim selalu harus teliti apakah suatu kaidah hukum yang telah ada dan berlaku masih dapat diterapkan atau tidak. Hal ini lebih dijabarkan dalam Pasal 27 UU No. 14 Tahun 1970 yang sekarang telah diperbarui dalam Pasal 28 ayat (1) UU No 4 Tahun 20045 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang merupakan dasar bagi para Hakim Indonesia untuk bersikap kreatif. Kebebasan berkontrak berarti bahwa: "para pihak berwenang untuk mengadakan suatu hubungan hukum yang dengan syarat-syarat yang sesuai dengan kehendak para pihak dan telah disepakati dengan segala akibatnya".
5 Pasal28 {1) UU No.4 Tahun 2004 "Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat".
211
Apakah hal ini berarti bebas untuk mengadakan kontrak dengan siapa pun juga dan dengan syarat-syarat dan bentuk apapun juga. Kalau diperhatikan bahwa pemyataan kehendak yang bebas hanya mungkin dalam keadaan tertentu sehingga para pihak dapat dikatakan (relatif) seimbang atau hampir seimbang (lihat Pasal 1320 KUHPerdata), maka segera timbul keraguan tentang apakah keadaan seimbang yang ideal antara para pihak masih mungkin pada masa sekarang. Wewenang para pihak ini dari tahun ke tahun telah dibatasi antara lain oleh ketentuan-ketentuan penguasa, adanya kontrak-kontrak baku dan oleh Hakim yang berdasarkan metoda tafsiran menguji isi suatu perjanjian pada norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, sehingga pas aI 1338 KUHPerdata .yang menyatakan bahwa perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak tidak lagi bersifat mutlak. Oengan demikian nampak ada suatu perkembangan, semula kebebasan berkontrak berlaku secara murni/mutlak, kemudian dengan pengaruh dari pengertian itikad tidak baik timbul pend apat bahwa Kebebasan Berkontrak harus disertai dengan keadilan dalam kontrak yang bersama-sama merupakan satu pengertian yaitu Kecermatan Berkontrak, dan akhirnya ketika dunia semakin dipengaruhi oleh ide bahwa individu terutama merupakan makhluk sosial timbullah pengertian baru yaitu Kecermatan Masyarakat. Penyalahgunaan kesempatan keadaan merupakan juga sesuatu yang bertentangan dengan Kecermatan Masyarakat, begitu pula adanya dengan Unfair Contract Term. Misalnya perjanjian-perjanjian yang bersifat Riba.
•
Akta Grosse Jalan pikiran yang diuraikan di atas pada asasnya juga dapat diterapkan, karenaAkta Grosse pada hakikatnya merupakan suatu perjanjian yang kemudian diberikan kekuatan eksekutorial. Banyak putusan yang masih mempertimbangkan bahwa Akta Grosse harus mutlak dilaksanakan/bersifat mutlak berdasarkan asas Kebebasan Berkontrak dan Pasal1338 KUHPerdata karena tidak tahu adanya perkembangan baru mengenai asas-asas suatu perjanjian/perikatan, juga tidak menyadari bahwa pada saat sekarang ini masyarakat Indonesia masih dalam fase pembangunan sebelum tinggallandas sehingga masih banyak terdapat golongan ekonomi lemah yang
212
mempunyai kedudukan yang tidak seimbang apabila berhadapan dengan golongan ekonomi kuat dalam suatu hubungan hukum. Sebenarnya keadaannya adalah lebih parah lagi karena alas hak eksekutorial-menurut hukum- tidak lagi memberikan kesempatan pada debitor untuk meninjau kembali syarat-syarat/isi dalam perjanjian. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa eksekusinya adalah bertentangan dengan kepatutan dan keadilan oleh karena itu adalah juga bertentangan dengan Kecermatan Masyarakat. Sekali lagi diingatkan di sini bahwa Akte Grosse dengan alasan hak eksekutorial tidak berkekuatan hukum tetap yang berarti hakim berwenang untuk menenti:Jkan bahwa dalam kasus tertentu Akta Grosse hanya dapat dieksekusi setelah memperoleh putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. 6
Semarang, 7 Juni 2006
6 Z. Asikin Kusumah Atmaja, S.H., Pengarahan Bidang Tehnis Perdata, .1998.
213
RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL DALAM PERSPEKTIF LEGISLATIF 1 0/eh: lr. Agus Hermanto, M.M. 2 Pengantar RUU Tentang Penanaman Modal ini mulai diajukan oleh Pemerintah, yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri Perdagangan Rl melalui surat No. R 30/Pres/3/2006 tertanggal 21 Maret 2006. Pemerintah telah menyampaikan Amanat Presiden (Am pres) Kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Rl berupa Rancangan Undang-Undang (RUU) Penanaman Modal. Selanjutnya Pimpinan DPR Rl telah menugaskan Komisi VI DPR Rl sebagai alat kelengkapan DPR Rl yang membidangi lndustri, Perdagangan, lnvestasi, Koperasi dan UKM serta Kementerian Negara BUMN sebagai Pansus RUU tentang Penanaman Modal. RUU Penanaman Modal ini diajukan oleh Pemerintah dengan pertimbangan bahwa lingkungan investasi dunia telah mengalami perubahan-perubahan besar. Oleh karenanya Indonesia perlu segera menyesuaikan kebijakannya dengan lingkungan tatanan dunia yang telah mengalami perubahan. Tentu saja dalam merancang kebijakan investasi ini kita tidak dapat melepaskan diri dari perkembangan internasional, di mana sejak diundangkannya UU No.1 Tahun 1967 dan UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal baik PMDN maupun PMA, sudah banyak mengalami perubahan. Tujuan Utama dari RUU Penanaman Modal adalah untuk memberi kepastian hukum dan kejelasan mengenai kebijakan Penanaman Modal, dengan tetap mengedepankan kepentingan nasional. Utamanya dalam meningkatkan jumlah dan kualitas investasi sehingga investasi dapat menyumbang pada pertumbuhan, peningkatan lapangan kerja, peningkatan ekspor dan penghasilan devisa, peningkatan kemampuan teknologi, peningkatan kemampuan daya saing nasional, dan pada akhimya diharapkan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum. 1 Disampaikan padaAcara Dialog Hukum dan Non Hukum yang dilaksanakan oleh BPHN Oepartemen Hukum dan HAM Rl di Grand Candi Hotel, Semarang tgl. 7-19 Juli 2006. 2 Pemakalah adalah Wakil Ketua Komisi VI DPR Rl.
215
Secara garis besar RUU Penanaman Modal terdiri dari 12 Bab dan 23 pasal. Bab I
Ketentuan Umum
Bab 0 Bab Ill
Asas dan Tujuan Kebijakan Dasar Penanaman Modal
Bab W Bab V
Bentuk-Bentuk Badan Usaha PerlakuanTerhadap Penanaman Modal
Bab VI
Ketenagakerjaan
Bab VII
Bidang Usaha
Bab VIII Fasilitas Penanaman Modal Bab IX Bab X
Pengesahan dan Perizinan Perusahaan Koordinasi dan Pelaksanaan Kebijakan Penanaman Modal
Bab XI Ketentuan Peralihan Bab XII Ketentuan Penutup. Sistematika Pembahasan
Berkaitan dengan RUU tentang Penanaman Modal yang telah diajukan Pemerintah maka Komisi VI DPR Rl yang secara langsung membidangi masalah lnvestasi dan diberi amanat sebagai Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang tentang Penanaman Modal akan melakukan serangkaian kegiatan sebagai berikut: 1.
Rapat Kerja Pansus dengan Pemerintah yang diwakili Menteri Perdagangan.
2.
Tanggapan Fraksi-Fraksi atas RUU Penanaman Modal yang diajukan Pemerintah.
3.
Penyusunan Daftar lnventarisasi Masalah (DIM) oleh masingmasing Fraksi.
4.
Rapat Kerja Pansus yang akan meminta masukan dari seluruh kalangan baik akademisi, pengusaha, pejabat pemerintah, dll.
5.
Pans us RUU Penanaman Modal telah mengadakan audensi dengan Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI}, Kamar Dagang dan lndustri (KADIN) Pusat, Menteri Perindustrian dan Badan Koordinasi Kerja Sarna Kabupaten Seluruh Indonesia (BKKSI).
216
6.
Dalam waktu dekat Pansus RUU Penanaman Modal akan melakukan Rapat Kerja Pans us dengan Menteri Koordinator Perekonomian dan masih banyak stakeholder lain yang akan diminta masukan sebelum DPR melakukan pembahasan secara menyeluruh terhadap muatan materi muatari RUU untuk mendapatkan kesepakatan.
7.
Beberapa Substansi yang belum mendapat kesepakatan akan dibahas dalam Rapat Panja.
8.
Rapat Kerja Pansus juga bertugas mengambil keputusan terhadap draft RUU yang dibahas.
9.
Pansus juga akan membentuk Tim Kecil dan Tim Perumus/ Sinkronisasi dalam membahas isi muatan RUU tentang Penanaman Modal ini.
10. Pembahasan materi DIM, apabila fraksi-fraksi mengusulkan "tetap" langsung mendapatkan persetujuan Pansus. 11. Setiap membahas materi yang ada usulan perubahan maka jika: a.
Substansi dan rumusan disetujui, langsung disahkan oleh Pansus
b.
Substansi disetujui, namun rumusan belum disetujui, langsung diserahkan ke Tim Kecil (Timcil) atau Tim Perumus (Timmus)
c.
Substansi dan rumusan belum disetujui maka dapat dilakukan pembahasan melalui forum Lobby.
12. Hasil pembahasan Timmus akan dilaporkan ke Pansus untuk selanjutnya dilaporkan dalam bamus/Paripurna guna mendapatkan persetujuan dari anggota. lsu-lsu Kritis dalam Pembahasan RUU Penanaman Modal Dalam Perspektif legislatif secara umum Draft RUU Penanaman Modal yang diajukan Pemerintah ini bersifat umum (Lex Generalis) sehingga dalam implementasinya akan memerlukan catatan-catatan khusus yang harus dipenuhi seperti misalnya Peraturan pemerintah (PP}, peraturan pelaksanaan dan perangkat aturan lain di bawahnya yang harus diatur secara detail agartidak bertentangan dengan Undang-Undang lainnya seperti UU Otonomi Daerah, UU Ketenagakerjaan UU Perpajakan, UU Kepabeanan dan Cukai, UU Keuangan dan lain-lain. lsu-isu kritis yang diperkirakan akan menjadi topik bahasan baik di internal anggota legislatif maupun antara legislatif dan eksekutif antara lain:
217
Bab I Ketentuan Umum 1. Pasal 2 yang mengatur Ketentuan dalam Undang-undang ini berlaku bagi penanaman modal di semua sektor di wilayah Negara Republik Indonesia. Perlu diperjelas dengan kemungkinan bertentangan dengan sektor-sektor yang akan mendapatkan perhatian/perlindungan khusus seperti Sektor Keuangan dan Perbankan; Sektor Pertambangan; Sektor Kehutanan dan Pertanian atau yang berbasis sumber daya alam; dan sektor UKM yang penanganannya telah diatur dalam undangUndang tersendiri.
Bab Ill Kebijakan Dasar Penanaman Modal 1. Perlunya pembagian yang jelas dan tegas antara kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Pembahasan pada Bab ini tentu saja harus melihat urgensi dari UU otonomi daerah yang dalam pelaksanaannya masih sering terjadi tum pang tindih antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Oleh karena itu dalam Pasal 4 ayat 3 disarankan untuk diberikan penegasan perihal pengaturan pemerintah yang mengacu pada RUU ini, menjadi "Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan penanaman modal yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan penyelenggaraan penanaman modal yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan penyelenggaraan penanaman modal yang menjadi urusan Pemerintah, yang diatur lebih lanjut dalam Peraturah Pemerintah.
Bab V Perlakuan Terhadap Penanaman Modal 1. Prinsip perlakuan sama (Equal treatment): dalam hal memberikan perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang berasal dari negara manapun sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 6 ayat 1 perlu mendapatkan penjelasan lebih lanjut karena hal ini dikhawatirkan akan menjadi tantangan dari para nasionalis yang menganggap bahwa perlakuan yang sama bisa diberikan dengan persyaratan ada kesetaraan antara pengusaha asing dan pengusaha nasional (domestik). 2. Dalam hal kebebasan pengalihan aset sebagaimana dituangkan dalam Pasal 8 ayat 1 perlu diberi rambu-rambu bahwa "Penanam modal dapat mengalihkan aset yang dimilikinya kepada pihak lain sesuai peraturan perudang-undangan". Pengalihan aset pada prinsipnya memang dapat dilakukan oleh penanam modal sesuai dengan keinginannya, tetapi tidak sepenuhnya "bebas" karena masih harus mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
218
3. Dalam hal kebebasan pengalihan aset (transfer), perlu adanya pengecualian utamanya terhadap aset-aset yang menguasai hajat hid up rakyat banyak sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena itu pada pasal 8 ayat 2 disarankan "Untuk aset-aset berupa sumber daya a lam lainnya (tidak terbatas pad a kawasan hutan sebagaimana yang tertuang dalam naskah asli) yang pemanfaatannya diatur dengan undang-undang tersendiri, maka ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 8 ayat 1 diberlakukan tanpa harus saling bertentangan satu sama lain. Pad a umumnya aset-aset yang strategis untuk negara dan menguasai hajat publik harus benar-benar dicermati agar pengalihannya tidak bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Hal ini mengingat potensi sumber daya alam (SDA) yang ada bukan hanya kawasan hutan dan kawasan konversi tetapi juga menyangkut kekayaan laut (bahari), pertambangan, udara (ban frekuensi Radio/ TV), energi (air, udara, angin) dan lain-lain sehingga agar kasus penjualan lndosat (Telekomunikasi) dan Kasus Cemex (Tambang/semen) tidak terulang lagi di kemudian hari. 4. Dalam hal prinsip transfer modal dan repatriasi yang dilakukan secara bebas sebagaimana dituangkan dalam Pasal 8 ayat 3 perlu lebih dicermati agar penanam modal (investor) tidak hanya menjadikan penanaman modal di Indonesia hanya bersifat sementara (parkir modal) yang hanya mengambil keuntungan sesaat yang akan berdampak pada adanya pelarian modal (capital flight) sebagaimana yang pernah terjadi di masa lalu. Bab VI Ketenagakerjaan 1. Hal-hal yang mengatur ketenagakerjaan sebenarnya telah diatur dalam UU ketenagakerjaan, namun dengan adanya tarik menarik berbagai kepentingan dalam revisi UU ketenagakerjaan yang sempat menimbulkan gejolak dan aksi demo maka pengaturan hal ikhwal ketenagakerjaan dalam RUU Penanaman Modal ini perlu disinkronkan dengan peraturan perundangan lainnya seperti UU Ketenagkerjaan. Oleh karena itu dalam Pasal10 RUU Penanaman Modal ini perlu diatur secara jelas mengenai penempatan dan penggunaan tenaga kerja, khususnya Tenaga Kerja Asing, khususnya yang berkaitan dengan penggunaan tenaga kerja asing dalam jabatan direksi dan manajemen perusahaan agar tidak terjadi gejolak ketenagakerjaan yang akan berdampak pada iklim investasi di Indonesia.
219
Bab VII Bidang Usaha 1. Hal-hal yang mengatur tentang Bidang-bidang usaha mana yang terbuka untuk asing, bidang usaha yang tertutup atau bidang usaha yang terbuka untuk asing dengan persyaratan tertentu perlu diatur secarajelas dan tegas dalam peraturan pelakasana (PP). Hal ini agar kasus-kasus liberalisasi sektor perdagangan (Retail Modern) yang menggusur pasar tradisional sebagaimana yang belakangan ini cukup marak tidak terjadi lagi. Pengaturan tentang bidang-bidang usaha yang dinyatakan tertutup atau terbuka dengan persyaratan sebagaimana dimaksud pada Pasal 11 ayat 1 memuat prinsip Indonesia sebagai pasar tung gal (dengan pengecualian tertentu), prinsip non-diskriminasi secara nasional untuk daftar tertutup, prinsip penyederhanaan, prinsip kepatuhan terhadap perjanjian internasional, prinsip kepastian hukum dan prinsip transparansi sebagimana yang dituangkan dalam aturan WTO.
Bab VIII Fasilitas Penanaman Modal Dalam hal pemberian fasilitas penanaman modal (Pasal12) perlu diatur secara jelas agar RUU penanaman modal mampu memberikan stimulan kepada investor agar mau menanamkan modalnya di Indonesia, dengan melihat dan mengamati pemberian insentif yang dilakukan negara lain. Sistem insentif dan disinsentif perlu diatur secara jelas, tidak hanya insentif tetapi juga disinsentif seperti sanksi juga perlu diperlakukan. Dalam hal pemberian fasilitas fiskal tentu saja harus mengacu pada UU lain seperti RUU Perpajakan dan RUU Kepabeanan dan Cukai agar tidak terjadi saling tabrak/bertentangan satu sam a lain.
Bab X
Koordina~i
dan Pelaksanaan Kebijakan Penanaman Modal
Dalam hal pelaksanaan koordinasi kebijakan penanaman modal maka perlu diatur secara jelas dan tegas mengenai institusi/lembaga mana yang diberi peran sentral, mengingat pentingnya RUU Penanaman Modal ini maka dalam perspektif DPR, Presiden perlu menggunakan otoritasnya antara lain dengan menunjuk pejabat setingkat Menteri untuk mengendalikan masuknya investasi ke Indonesia mengingat perannya yang sangat menentukan dalam pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Adanya rumusan Koordinasi kebijakan penanaman modal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal15 ayat 1 yang akan dilakukan oleh Menteri yang mengkoordinasikan bidang perekonomian sebagaimana
220
yang tertuang dalam Pasal15 ayat 2 perlu dipertanyakan efektivitasnya. Hal ini mengingat kedudukan Menke yang bersifatkoordinasi, sehingga tidak fokus dalam menangani masalah investasi/permodalan. Selain itu kedudukan dan fungsi Menke sebagaimana yang tertuang dalam RUU Kementerian Negara masih belum jelas, bahkan ada beberapa fraksi yang meragukan efektifitas dari fungsi Menke. Penutup
Demikianlah beberapa hal penting yang dapat kami sampaikan berkaitan dengan pelaksanaan tugas-tugas Komisi VI DPR Rl sebagai Pansus RUU Tentang Penanaman Modal yang diharapkan dapat diselesaikan pad a akhir tahun 2006 ini. Atas nama Wakil Ketua Komisi VI DPR Rl sekali lagi kami meminta masukan dan sumbangan pemikiran yang konstruktif demi lahirnya sebuah UU Penanaman Modal yang sudah lama dinanti oleh berbagai pihak, khususnya kalangan dunia usaha.
221
ALUR PEMBAHASAN RUU PENANAMAN MODAL DG PEMERINTAH
KOMISI VI CPR Rapal Ketja Pansoa dengan Pamerinl:ah (Menten Perdagangan)
Fraksi·fralcsi memberikan langgapan a1a1 RUU Penenaman Modal
Frakai membual DIM (Dallar lnventarilasi masalah)
...............
'--------1
.-----------, KOMISI VI OPR Rapal Karia Panaua
Jil
dengan Pemerinlah kemball
Jilca eubstanai dieatujui tapi rumusan belum
., L
(membahaa DIM)
t otbentuk Tim Perumue (Tfmmua)
! Tim Mul Melakukan pembahasan dengan pemerinlah
Benl.uk PaniUa Ketja Membenluk Tim Kecil, Tim Parumus dan Tim Singkronleaai
1
Oibantuk Tim Kecil (romcil)
! Tim Cil Melakukan pembahaaan dengan F'emerinlah
Oihasilkan Keeapakalan anlam Pemetintah dWtgan OPR
AGENDA KERJA KOMISI VI DPR Rl DALAM RANGKA PEMBAHASAN RUU PENANAMAN MODAL
RDPU dengan Pakar. PT, Pelaku Usaha, Kadin, Ls~· dan elemen lain dalam rangka menyerap aspirasi
Fraksi-fraksi menyusun Daftar lnveslaris Masalah (DIM)
RAKER dengan Menleri Perdagangan dalam pembahasan DIM persandingan Fraksi-Fraksi
222
,._J
RDP dengan Polri, Guberrur, Bupati, DPRD Provinsi, OPRD Kabupaterv1
RAKER dengan Menleri Perdagangan, Perinduslrian, menleri Negara BUMN dan menleri2 lerkail uniUk meminla masukan llg RUU Penanaman Modal
Diselujui dalam Rapal Paripuma DPR Rl
Kunjungan lapangan ke Propinsi dalam rangka menyerap aspirasi dan meminta masukan
Saudi banding ke beberapa negara untuk mengetahui UU llg lnveslasi di negara lain (Jika Memungkinkan)
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM BERBASIS PEMBANGUNAN SOSIAL DAN EKONOMI: Tinjauan dari Aspek Hukum* 0/eh: M. Daud Silalahi**
I.
Pendahuluan
Kebijakan pembangunan nasional yang dirumuskan pada tahun 1968, didasarkan pada pemanfaatan potensi sumber daya alam Indonesia, khususnya pertambangan umum, minyak dan gas bumi, kehutanan dan pertanian. Untuk memberikan landasan hukum yang pasti pada para pemilik modal, maka dikeluarkanlah UU No. 1 Tahun 1967 tentang PMA sebagai landasan kebijakan investasi asing dan UU No. 6 Tahun 1968 tentang PMDN bagi pemilik modal nasional. Kedua undang-undang tersebut menjadi landasan investasi sumber daya alam, yang diatur, antara lain, dengan UU No. 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan, UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan, dan berbagai peraturan di bidang pertanian. Pada tahap ini, perubahan kebijakan ekonomi saat itu, merupakan perubahan mendasar terhadap kebijakan pembangunan ekonomi sebelumnya, terutama kebijakan terbadap investasi di bidang sumber daya alam, seperti perusahaan perminyakan dan pertambangan. Hukum pengelolaan sumber daya alam berbasis sumber daya alam, umumnya bersifat eksploitatif. Karena pad a saat itu pengetahuan masyarakat, termasuk aparat pemerintah terhadap aspek-aspek negatif teknologi sumber daya alam yang bersifat skala besar, seperti masalah lingkungan, masalah sosial di sekitar kegiatan pertambangan dan kehutanan, dan sumber daya alam lainnya, seperti air permukaan, air bawah tanah, kesuburan tanah perkiraan masalah ekonomi masyarakat pasca tambang masih sangat rendah. Akibatnya, masalah sosial dan ekonomi yang disertai masalah lingkungan yang bersifat luas dan mendasar menimbulkan isu-isu sensitif dan meresahkan. Pengaruh kesadaran lingkungan global pada konsep hukum pembangunan Indonesia, setelah Konperensi PBB tentang Lingkungan * Dialog Hukum dan Non Hukum diselenggarakan oleh BPHN Departemen Hukum dan HAM Rl bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Semarang 17-19 Juli 2006 •• Universitas Padjadjaran.
223
Hid up Man usia pad a tahun 1972 telah memoawa perubahan mendasar terhadap konsep pembangunan sebelumnya. Gagasan pembangunan yang berw'awasan lingkungan dan berkelanjutan dengan segera berkembang dan menjadi salah satu dasar kebijakan pembangunan nasional pad a tahun 1973. Meskipun gagasan ini tidak dengan mudah dipahami banyak orang, terutama pengusaha dan pengambil keputusan di bidang sumber daya alam, namun tekanan masyarakat dan para pakar dari berbagai bidang telah ikut membantu meningkatkan perhatian, kesadaran dan tindakan yang lebih nyata pada masalah lingkungan. Dengan terbentuknya Kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hid up pada tahun 1978, maka lembaga ini menetapkan arah kebijakan lingkungan dikaitkan dengan pembangunan nasional. Terbentuknya lembaga yang secara khusus menangani masalah lingkungan, disertai pembentukan jaringan kelompok ahli dan Pusat Studi Lingkungan di lingkungan Perguruan Tinggi sebagai mitra pemerintah dalam perumusan kebijakan lingkungan, dan kelompok masyarakat yang dikenal sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat pad a saat itu maka gerakan kesadaran lingkungan dalam pembangunan nasional juga berkembang. Perkembangan baru hukum pengelolaan sumber daya a lam yang berbasis sosial dan ekonomi terjadi terutama setelah era reformasi yang disertai dengan perkembangan dengar pend a pat secara demokrasi di berbagai segi kehidupan masyarakat, yang menuntut rasa keadilan terhadap alokasi pemanfaatan sumber daya alam.
2.
Pengelolaan Sumber Daya Alam Dalam Sistem Hukum Pembangunar1 Nasional
Kebijakan investasi dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya a lam merupakan perkembangan hukum penting dalam kebijakan ekonomi Indonesia sejak awal pembangunan nasional pad a akhir tahun 1960-an. Krisis minyak bumi di Timur Tengah pada awal tahun 1970an, telah ikut mempengaruhi arti pentingnya sumbangan sektor ini pada pembangunan nasional. Dua puluh tahun sejak tahun 1970-an, ekonomi sumber daya a lam, khususnya minyak dan gas bumi, pertambangan, dan kehutanan menjadi yang mendorong laju pembangurian pad a saat itu. Akan tetapi dari segi sosial budaya masyarakat sekitarnya merupakan kelemahan dari pembangunan selanjutnya yang telah menimbulkan masalah sosial dan lingkungan sebagai persoalan baru yang terus meningkat. 224
Pengaruh kebijakan ekonomi liberal (PAKTO) terhadap aspekaspek hukum pengelolaan sumber daya alam pada awal tahun 1990an, telah ikut memperlebar jurang ketimpangan ekonomi masyarakat yaug tidak saja tidak mempunyai akses yang memadai pada sumber permodalan, tetapi juga terlalaikan dalam proses pengembangan kapasitasnya untuk menangkap peluang ekonomi dalam proses pembangunan. Keadaan ini terus berkembang sebagai masalah keadilan yang dijamin dalam UUD 1945 sebagai pemilik sumber daya alam (pasal 33 ayat 3 UUD 1945). Di bidang perkebunan dalam sektor pertanian yang dalam UUD 1945 memberikan posisi khusus pada para petani juga tidak memiliki peluang memperoleh kesempatan yang berarti dalam perkembangan baru. Perusahaan besar, yang tergabung dalam kelompok pengusaha konglomerat, justru memperoleh posisi hukum yang makin kuat untuk menguasai kegiatan hulu sampai dengan hilir. Posisi ini diperkuat pula dengan sistem hukum perbankan yang memberikan berbagai keunggulan posisi hukum, ekonomi, termasuk akses memperoleh pinjaman jangka pendek dengan jumlah pinjaman yang sangat besar. Kebijakan sumber daya alam yang berorientasi pad a modal besar telah menimbulkan masalah sosial dan ekonomi masyarakat . Kebijakan sumber daya alam dengan posisi hukum yang bersifat liberal, sebagaimana diuraikan di atas, dengan segera membawa persoalan baru yang sangat rentan pada kelompok ekonomi sebagian besar masyarakat. Tidak saja kelompok ini dibiarkan tanpa kesempatan memperoleh pembinaan yang memadai peningkatan kapasitas sebagai mitra kerja perusahaan besar, termasuk perusahaan asing, yang menyebabkan mereka tambah miskin. Masalah ekonomi masyarakat ini dipersulit pula dengan masalah lingkungan yang kemudian menjadi masalah sosial karena masyarakat merupakan kelompok yang secara langsung merasakan dampak lingkungan dan sistem pengelolaan sumber daya alam ini. Masalah lingkungan dalam perspektif sosial sebagai ongkos pembangunan merupakan tantangan baru yang terus meningkat sejak akhir tahun 1990-an. Kasus-kasus lingkungan dalam skala besar menjadi sengketa lingkungan yang terus meningkat, terutama yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar di bidang sumber daya alam (kehutanan, pertambangan, minyak dan gas bumi, pertanian, khususnya perkebunan, dan sebagainya). Masalah lingkungan yang disertai dengan masalah sosial yang makin rumit menjadi salah satu masalah
225
pembangunan yang mempengaruhi hukum dan kebijakan pengelolaan sumber daya alam pada .tahun 2000-an. Pembangunan yang berbasis sumber daya alam dipersoalkan: benarkah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat? Secara konstitusional penyempurnaan terhadap gagasan dasar penguasaan sumber daya alam sebagaimana diatur dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 juga dilakukan dalam amandemen UUD 1945. Dengan perkembangan baru ini hak menguasai negara terhadap pengelolaan sumber daya alam tidak saja dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat juga terkait dengan persoalan keadilan antar kelompok masyarakat, antar generasi (intergeneration equity) di dalam kerangka pembangunan berkelanjutan.
3.
Hukum Pengelolaan Sumber Daya Alam Dalam Sistem Hukum Lingkungan: Tinjauan Dari Konsep Hukum Pembangunan Berkelanjutan
Gerakan kesadaran lingkungan dari pengaruhnya pada pembangunan Indonesia telah berlangsung sejak awal tahun 1970-an. Dalam TAP MPR tentang GBHN Tahun 1973 secara tegas dimuat landasan umum kebijakan lingkungan sebagai bagian dari proses pembangunan nasional. Program pengembangan · lingkungan bertalian dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan dirumuskan dalam REPELITA 1974 dan rancangan perundang-undangan baik secara akademis (academic draft) maupun pembahasan interdep serta pertemuan setengah kamar dengan DPR juga dilakukan sebagai bag ian dari proses perumusan rancangan undang-undang lingkungan. RUULH ini masih merupakan hal baru dalam sistem hukum Indonesia. Pembentukan hukum dan kebijakan lingkungan dalam sistem hukum pembangunan nasional secara tegas diatur dalam UULH tahun 1982 ini, yang diperbaiki dan disempurnakan dengan UULH 1997 dengan masuknya gagasan pembangunan berwawasan lingkungan yang berkelanjutan. Perkembangan baru dalam UULH ini juga merupakan perkembangan hukum baru yang dipengaruhi oleh Deklarasi Rio 1992 yang mengadopsi konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) sebagai pemikiran mendasar dari Komisi Brundtland pad a tahun 1987. Masalah sengketa lingkungan yang berpengaruh pad a pengelolaan sumber daya alam juga meningkat dengan makin tergusurnya ·masya-
226
rakat di sekitar kegiatan sumber daya alam, yang secara tradisional telah melakukan kegiatan dalam skala kecil. Kegiatan inijuga menghadapi masalah lingkungan terkait dengan tingkat kemiskinan yang tidak mendapat peluang yang memadai dalam program pembangunan nasional, a.l. karena mereka tidak dipersiapkan menghadapi perkembangan baru dalam program pembangunan. Pengaruh prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan pad a perkembangan hukum lingkungan dan sumber daya alam di Indonesia merupakan salah satu perkembangan baru dan kebijakan pembangunan nasional sejak era reformasi. Dikeluarkannya TAP MPR No.IX/2001 tentang Pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya a lam, yang antara lain memuat prinsip-prinsip baru pengelolaan sumber daya alam dan perintah melakukan perubahan sistem hukum pengelolaan sumber daya alam yang berlaku saat ini merupakan salah satu landasan kebijakan pembangunan berkelanjutan di bidang sumber daya alam. Pembaharuan hukum dan kebijakan lingkungan dan sumber daya alam di Indonesia, sebagaimana diuraikan di atas merupakan bagian dari masalah sosial dan ekonomi masyarakat, terkait dengan tuntutan keadilan dalam pemanfaatan sumber daya alam sesuai dengan amandemen pasal 33 UUD 1945.
4.
Hukum Pengelolaan Sumber Daya Alam Dalam Perpektif Perkembangan Dan Pembaharuan Masyarakat
Perkembangan pemikiran hukum sumber daya alam dalam era reformasi sebagai paradigma baru merupakan salak satu perkembangan sistem hukum pengelolaan sumber daya alam berbasis sosial dan ekonomi sumber daya alam Indonesia. Pada tahap ini masalah lingkungan terkait secara mendasar dengan pembaharuan sosial dan ekonomi sebagian besar masyarakat. Perubahan hukum pengelolaan sumber daya alam merupakan persoalan mendasar untuk meningkatkan kapasitas masyarakat untuk memperoleh peluang dalam meningkatkan kualitas sosial dan ekonomi masyarakat di masa yang akan datang. Pembentukan prinsip-prinsip hukum pengelolaan sumber daya alam melalui TAP MPR No.IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan PSDA segera dijadikan dasar perubahan hukum dan kebijakan pengelolaan sumber daya alam sebagaimana diharapkan dalam amandemen pasal 33 (3)(4) UUD 1945. Sistem hukum pengelolaan sumber daya alam, sebagaimana dimuat dalam TAP MPR No.IX/2001
227
diharapkan menjadi sarana perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian peruntukan sumber daya alam untuk mencapai sebesar-besar · kemakmuran rakyat. Gerakan pembaruan hukum sumber daya alam terhadap hukum sektoral (UU di bidang Kehutanan, sumber daya air, Perikanan, Pertambangan, dsb) yang berlangsung saat ini harus dilakukan secara sungguhsungguh oleh berbagai pihak dan pemangku kepentingan untuk mendorong terbentuknya hukum dan kebijakan sistem hukum pengelolaan sumber daya alam Indonesia. Upaya untuk meningkatkan kapasitas masyarakat, khususnya di sekitar sumber daya alam, merupakan program aksi yang paling mendasar untuk memberikan peluang yang aseptabel bagi perubahan sosial dan ekonomi sebagian besar masyarakat untuk berperan serta dalam pembangunan nasional. Perkembangan baru hukum pengelolaan sumber daya a lam yang berbasis sosial meliputi, antara lain, masalah hak asasi manusia, hak masyarakat adat, hak jender, dan sebagainya. Masalah terse but telah menjadi dasar tuntutan masyarakat memperoleh keadilan dalam usaha di bidang sumber daya alam, dalam bentuk pendidikan, pelatihan, peluang usaha, lapangan kerja dan peluang untuk meningkatkan kualitas hidup sosial dan ekonomi. Karena lambatnya tanggapan penanggung jawab usaha, aparat pemerintah yang berwenang, disertai dengan tekanan ekonomi yang rna kin berat telah menjadi salah satu penyebab meningkatnya kerusuhan sosial, intervensi politik, dan memburuknya hubungan masyarakat dengan kalangan pengusaha di bidang sumber daya alam. Untuk mengatasi masalah sosial dan ekonomi masyarakat, terutama di sekitarkegiatan usaha sumber daya a lam, pengembangan kapasitas berperan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam sebagai peluang untuk meningkatkan kemampuan berperan serta, memperbaiki kondisi sosial dan ekonomi sangat diperlukan.
5.
Hukum Pengelolaan Sumber Daya Alam Dalam Perspektif Pembangunan Ekonomi yang Ramah Lingkungan
Pembaharuan pendekatan hukum lingkungan berdasarkan konsep kawasan pengelolaan (bioregion) sebagai perekat hukum antar sumber daya alam yang diatur secara terpisah selama ini, dikembangkan ke arah sistem hukum yang bersifat ekologis merupakan salah satu pendekatan hukum baru. Pendekatan hukum dalam sistem pengelolaan
228
sumber daya a lam ini, dianggap-salah satu upaya memperbaiki posisi hukum masyarakat secara adil, demokratis, dan berkelanjutan sejalan dengan kebijakan pembangunan berkelanjutan yang telah ditetapkan pemerintah sejak tahun 2004. Meskipun rancangan undang-undang sistem hukum pengelolaan sumber daya alam saat ini masih dalam tarat pembahasan antar lembaga-lembaga pemerintah bersama para ahli terkait, namun gagasan ini diharapkan dapat memperbaiki posisi hukum masyarakat rentan dalam arti ekonomi dan sosial serta memberikan peluang yang lebih baik bagi keterlibatan masyarakat di sekitar kegiatan sumber daya alam. Pengembangan hukum pembangunan yang berwawasan ling kungan dengan pendekatan ekonomi lingkungan harus menginternalisasikan ongkos lingkungan sebagai bagian dari budaya pelaku ekonomi yang ramah lingkungan. Pendekatan hukum ini tidak saja mendorong kegiatan usaha sumber daya alam untuk meningkatkan kinerja usaha yang lebih efisien secara ekonomi, tetapi juga meningkatkan ketaatan pada kebijakan dan hukum yang berlaku. Hal ini dapat pula mengurangi potensi terjadinya masalah lingkungan, yang dengan segera pula menjadi ongkos sosial dalam bentuk tekanan masyarakat yang menjadi korban dampak lingkungan dalam berbagai kegiatan sumber daya alam. Pengembangan kemitraan dalam pembangunan ekonomi yang ramah lingkungan merupakan pengembangan lebih lanjut dari prinsipprinsip pembangunan berkelanjutan yang dirumuskan dalam Deklarasi Johannesburg tahun 2002. Pembangunan berkelanjutan berdasarkan Deklarasi Johannesburg telah dijadikan perbaikan dan penyempurnaan pembangunan berkelanjutan Indonesia pada tahun 2004. Pengembangan sistem pengelolaan lingkungan yang diperbaharui secara bertahap sesuai dengan kemampuan ekonomi, kapasitas masyarakat dan sistem nilai yang mendukung sistem pengelolaan lingkungan menuntut perubahan sikap para pengusaha terhadap pelaksanaan tanggung jawab publik yang lebih baik. Kurangnya terintegrasi pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan lingkungan merupakan persoalan mendasar pengelolaan sumber daya alam Indonesia saat ini. Pengembangan dana lingkungan bagi kegiatan yang berbasis sumber daya alam sebagai sistem jaminan perlindungan lingkungan dan ekonomi masyarakat sekitarnya dapat pula menjadi salah satu
229
sarana pengembangan kapasitas lingkungan dan peningkatan kemitraan melakukan kegiatan yang b~rbasis masyarakat dan ekonomi.
6.
Aspek-Aspek Hukum Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Sosial Dan Ekonomi: Tantangan Dan Harapan
Pengembangan kebijakan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam melalui peningkatan kapasitas masyarakat merupakan program pembinaan masyarakat yang perlu dilakukan. Dengan amandemen UUD 1945, khususnya pasal33 telah memperkuat dasar hukum pengembangan kapasitas masyarakat berbasis sosial dan ekonomi dengan jaminan keadilan dan berperan serta secara demokratis. Hal ini merupakan tantangan yang harus dijawab dalam perumusan kebijakan pengelolaan sumber daya a lam berbasis sosial dan ekonomi bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Peningkatan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dalam perspektif ekonomi rakyat (resource-based community) merupakan pengembangan dan konsep pembangunan di negaranegara berkembang yang antara lain, dikemukakan oleh Amarty Sen, pakar ekonomi yang memperoleh hadiah nobel dalam penyempurnakan konsep pembangunan pada tahun 1998. Pengembangan community development sebagai model transfer of know howdi bidang teknologi sumber daya a lam sebagai bag ian dan program kemitraan an tar pelaku dalam pengelolaan sumberdaya alam membantu meningkatkan kapasitas berperannya masyarakat dalam program pembangunan Indonesia. Rendahnya pendidikan/pengetahuan masyarakat sekitar kegiatan usaha di bidang sumber daya alam menyebabkan kurangnya kemampuan berperan serta masyarakat dalam konsep kemitraan sebagaimana saya uraikan di atas. Pengembangan ekonomi masyarakat yang berorientasi pada keunikan geografis, memperhatikan karakter sumber daya alam dan teknologi sumber daya alam yang ramah lingkungan merupakan segi lain yang perlu, digali sebagai program keunggulan berperan serta masyarakat di sekitar sumber daya alam. Sebagai negara tropis, yang kaya dengan keunikan sumber daya alam dan kearifan lingkungan dengan sistem nilai yang masih berperan baik dalam masyarakat dapat menjadi peluang untuk meningkatkan kapasitas berperan serta dan mengembangkan pola kemitraan dalam pengelolaan sumber daya alam Indonesia.
230
Pengembangan kelembagaan pengelolaan sumber daya a lam yang melibatkan perwakilan pelaku bisnis, masyarakat, pemerintah dan kelompok ahli serta lembaga penelitian yang relevan merupakan gagasan baru yang perlu diperhatikan. Upaya yang dapat mengintegrasikan pemangku kepentingan tersebut merupakan bentuk kelembagaan yang dijadikan pokok bahasan para pakar, antar lembaga, dan kelompok ahli dalam perkembangan baru pola pengelolaan sumber daya a lam Indonesia yang berbasis sosial dan ekonomi.
7.
Penutup
Pengembangan hukum PSDA sebagai bagian dari pengembangan sistem hukum pembangunan Indonesia merupakan sarana hukum yang diharapkan dapat memberikan jasa keadilan, apabila disertai dengan dengar pendapat yang bersifat demokratis, dan memahami pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan. Pengembangan prinsip-prinsip pengelolaan SDA yang berdasarkan kawasan pengelolaan sebagai asas-asas hukum umum PSDA telah dirumuskan secara tegas dalam TAP MPR No.IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Prinsipprinsip dan kebijakan dasar pengembangan hukum pengelolaan sumber daya alam dalam TAP MPR ini mulai berpengaruh pad a penyempurnaan sistem hukum pengelolaan sumber daya alam. Pengembangan lebih lanjut hukum PSDA diarahkan pada pengembangan kapasitas masyarakat sekitarnya sebagai faktor-faktor untuk memperkuat ekonomi masyarakatnya (CD). Program pengembangan kapsitas masyarakat dalam tahap ini merupakan penyempurnaan hukum pembangunan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Hukum PSDA wajib memperhatikan keseimbangan di antara pemanfaatan yang efisien, ramah lingkungan dan kondisi sosial & ekonomi sekitarnya. Pendekatan hukum ini akan memperkuat prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan Indonesia. Makin besarnya keterlibatan ilmu dan teknologi pada PSDA mewajibkan pengembangan hukum PSDA melibatkan para ahli atau kelompok ahli di bidang PSDA. Oleh karena itu, pengembangan kapasitas berperan masyarakat melalui pendidikan dan pelatihan, keterlibatan kelompok ahli yang relevan dan peningkatan kesadaran melaksanakan tanggung jawab publik pimpinan perusahaan merupakan langkah-
231
langkah konkret yang perlu dirumuskan dengan jelas dalam pelaksanaan prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya afam yang berbasis sosial dan ekoriomi.
232
PENGEMBALIAN ASET KEJAHATAN KORUPSP 0/eh: I Ktut Sudiharsa, S.H., M.Si. 2
A.
Pendahuluan "The return of assets is a fundamental principle of anti-money laundering regime, and States Parties shall afford one another the widest measure of cooperation and assistance in this regard". 3
Dalam Pasal 14 UNCAC pada pokoknya terkait dengan strategi memerangi praktik pencucian uang yang mengandung 3 elemen pokok, yaitu: 1.
Adanya institusi yang mengatur kebijakan domestik dan mengawasi pemerintah dalam hal perbankan dan institusi-institusi lain di bidang keuangan;
2.
Pertukaran intelijen baik di tingkat nasional maupun internasional melalui suatu badan pusat (FIUIPPATK); dan
3.
Pengembangan kerja sama antar perbatasan wilayah dalam memberantas praktik pencucian uang.
Dalam Pasal23 dan 24 UNCAC mengandung saran atau anjuran bentuk-bentuk penanganan untuk melarang tindakan tertentu yang berhubungan dengan kriminalisasi pencucian uang. Bahkan dengan menegaskan sifat independennya tindak pidana pencucian uang, sehingga hasil kejahatan (proceed of crime) tidak perlu dibuktikan berasal dari tindak pidana. Pengertian pencucian uang dapat kita lihat di dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 25 Tahun 2003, yaitu perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyum1 Makalah disampaikan pada Seminar Tentang lmplikasi Konvensi Anti Korupsi 2003 Terhadap Sistem Hukl.lm Nasional, diselenggarakan oleh BPHN Departemen Hukum dan HAM Rl beke~asama dengan Fakultas Hukum Universitas Udayana dan KantorWilayah Departemen Hukum dan HAM Rl Provinsi Bali, Bali 14-15 Juni 2006. 2 DirekturHukumdan Regulasi PPATK. 3 UNCACArt.51,55&57.
233
bangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolaholah menjadi harta kekayaan yang sah. Dari pengertian tersebut menunjukkan bahwa tindak pidana pencucian uang terkait dengan kejahatan asal sekalipun tindak pidana pencucian uang merupakan kejahatan yang beridiri sendiri. Di banyak negara memasukkan Serious Crime sebagai Predicate Offences dan di dalamnya termasuk tindak pidana korupsi, di mana Indonesia dalam UU No. 15 Tahun 2002 tentang TPPU sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003 memasukkan korupsi sebagai salah satu dari 24 jenis predicate offences dan menempatkannya pada urutan 1 (satu). Dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak pidana pencucian uang sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang No. 25 Tahun 2003 membentuk lembaga independen yang bertanggung jawab di dalam penanganan tindak pidana pencucian uang, yaitu PPATK (Pusat Pelaporan dan Anal isis Transaksi Keuangan) yang dalam dunia internasional dikenal dengan FlU (Financiallntelegence Unit). Definisi menu rut Egmont Group, FlU (Financiallntelegence Unit), adalah : a central national agency responsible for receiving (and as permitted, requesting) analysing and disseminating to the competent authonties, disclosures of financial information: concerning suspected proceeds of crime, or required by national legislation or regulation in order to counter money laundering. Sifat kriminalitas dari Money Laundering, adalah karena dikaitkan dengan latar belakang dari perolehan sejumlah uang yang sifatnya tidak jelas dan kotor atau haram yang kemudian disamarkan dan atau disembunyikan dengan cara-cara tertentu, yaitu melalui proses Placement, layering dan integaration. Proses placement, merupakan suatu kegiatan menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya diperoleh dari suatu perbuatan pidana ke dalam sistem keuangan, seperti penempatan deposito atau tabungan pada bank yang menyebabkan dananya masuk ke dalam sistem perbankan, termasuk juga kegiatan lainnya yang dapat ditafsirkan sama, seperti pembelian valas atau saham ataupun barang tetap seperti tanah untuk investasi.
234
Proses Layering, merupakan kegiatan pelapisan dengan cara memecah dana atau mengaburkan hasil kejahatannya dalam rangka menghilangkan jejak asal uang atau harta kekayaan terse but, sehingga nampak seperti uang atau harta kekayaan yang halal. Kegiatan ini umumnya dilakukan antara lain dengan cara transfer ke beberapa rekening dalam negeri maupun asing, termasuk juga over booking, bahkan suatu pembelian valas yang berjenis-jenis dikombinasikan dengan pembelian beberapa saham. Proses Integration, merupakan kegiatan menggabungkan uang kotor dan uang hasil usaha legal ke dalam suatu usaha tertentu, sehingga kekayaannya menjadi sulit diketahui apakah haram atau halal. Biasanya dilakukan dengan memasukkan uang haramnya tersebut ke dalam investasi legalnya dengan cara seolah-olah usahanya tersebut untung besar. sehingga uang haram tersebut seolah-olah menjadi keuntungan perusahaan. Dapat juga dengan cara membeli perusahaan atau pengembangan perusahaan dengan pinjaman perbankan, tetapi faktanya kegiatannya tersebut dibiayai dengan sebagian uang haramnya, sehingga uang haram dan uang hal aI terse but telah terintegrasi dalam perusahaan yang legal tersebut dan tentunya tidak bisa lagi dipisahkan dan dibedakan mana yang kotor dan mana yang bersih. Kejahatan Money Laundering pad a awalnya selalu terkait dengan masalah perdagangan narkoba, namun sebenarnya telah dikenal sejak tahun 1930, yaitu terkait dengan perusahaan laundry atau perusahaan pencucian pakaian yang dibeli oleh mafia di Amerika Serikat dengan menggunakan dana dari usaha gelap atau illegal mereka seperti usaha perjudian, prostitusi, minuman keras, narkoba dan lainnya. lstilah money laundering ini lebih terkenallagi diAmerika Serikat, akibat terungkapnya kasus pemutihan uang mafia tersebut yang terkenal dengan kasus Pizza Connection. Perkara Pizza Connection ini menyangkut dana haram bernilai sekitar USD 600.000.000,- (enam ratus juta dollar Amerika) yang ditransfer ke sejumlah bank di Swiss dan ltalia. Adapun kedok yang digunakan untuk mengelabui atau menyamarkan uang haramnya tersebut, adalah dengan restoran-restoran Pizza yang banyak tersebar di Amerika Serikat, yaitu pada tahun 1984 dengan upaya yang sangat rumit dan sulit untuk dideteksi. Adapun faktor-faktor penyebab berkembangnya kejahatan money foundering di Indonesia maupun di dunia berkait erat dengan; masalah adanya rahasia bank yang ketat, sehingga dana haram milik penjahat akan sulit terlacak, masalah penyimpanan dana secara ·anonymous
235
saving passbook accounts, yaitu menyimpan dana dengan nama samaran. ataupun tanpa nama sehingga tidak bisa dilacak, masalah teknologi perbankan secara elektronik yang terkenal dengan electronic money bahkan dengan E Comerce yang merupakan kejahatan maya (CyberCrime) yang tentunya lebih sulit lagi untuk dilacak, masalah kerahasiaan hubungan client dan lawyer yang dilindungi oleh hukum serta yang paling penting lagi adalah masalah kesungguhan pemerintah untuk memerangi kejahatan money foundering secara konsekuen.
Kejahatan money laundering secara makro baik langsung maupun tidak lang sung dapat mengganggu berbagai sistem ekonomi dan politik negara, karena cara kegiatannya yang kompleks menyangkut juga penggelapan pajak yang terkait dengan penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi, sehingga di samping berkait dengan uang negara, juga merusak moral pemerintah dan bangsa secara keseluruhan. Oleh karena itulah masalah Korupsi dan beberapa kejahatan lainnya dimasukkan sebagai predikat crime di dalam Undang-undang TPPU~ yang dituangkan dalam pasal 2 Undang-undang No. 15 Tahun 2002 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003.
B.
Korupsi dan Pencucian Uang
UN Convention Against Corruption merupakan kulminasi dari konsesus, negara-negara di dunia khususnya negara berkembang dalam rangka memerangi korupsi dengan menerbitkan standar internasional tentang strategi pencegahan dan pemberantasan korupsi. Adapun tujuan dari konvensi internasional ditegaskan dalam Pasal 1 UNCAC, yaitu salah satunya adalah mempromosikan bantuan dan dukungan kerja sama internasional dan bantuan teknis dalam pencegahan dan perang melawan korupsi termasuk di dalamnya pengembalian aset (Asset Recovery). Berbicara tentang tindak pidana korupsi pada dasarnya akan membawa kita pada pemikiran kejahatan domestik dan ditangani oleh penegak hukum domestik atau lembaga pemberantasan korupsi dalam suatu negara. Namun demikian dalam kenyataannya akan makin banyak bermunculan unsur-unsur internasional. Hal tersebut nampak dari sifat globalnya informasi dan transformasi serta kemudahan-kemudahan akses perbankan, sehingga hubungan kerja sama internasional menjadi sangat penting di dalam menjalin kerja sama dalam memerangi korupsi.
236
Tindak Pidana Korupsi merupakan Predicat Crime atau Tindak Pidana Asal dalam Tindak Pidana Pencucian Uang, yang diatur dengan tegas dalam pasal 2 ayat (1) huruf a Undang-undang No 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diu bah dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003. Tetapi mengingat sifatnya yang merupakan Tindak Pidana yang berdiri sendiri (lndependen crime), maka kejahatan pencucian uang tidak tergantung dengan kejahatan asal tersebut seperti Korupsi, artinya apabila kejahatan asal sui it untuk dibuktikan, bahkan belum ditemukan, penanganan kejahatan pencucian uang akan diajukan tersendiri. Philosofi Undang-undang Pencucian Uang adalah pengejaran terhadap aset bukan mengejar pelaku tindak pidana, sehingga pengungkapan perkara pencucian uang selalu diawali dengan adanya transaksi keuangan dan umumnya terkait dengan sistem perbankan. sebagaimana ketentuan Undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 yang dalam Pasal 1 angka 7 menyebutkan:
1.
Transaksi keuangan yang menyimpang dari profit, karakteristik atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan;
2.
Transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini; atau
3.
Transaksi keuangan yang dilakukan atau bata/ dilakukan dengan menggunakan haria kekayaan yang diduga berasa/ dari hasil tindak pidana.
Dalam pelaksanaan pelaporan di atas, Rekomendasi 4 FATF meminta kepada semua negara untuk memastikan ketentuan rahasia bank tidak menghalangi pelaksanaan kewajiban pelaporan. Rekomendasi tersebut menyebutkan: Negara-negara perlu memastikan bahwa rahasia bank yang mengatur lembaga keuangan tidak menghalangi penerapan rekomendasi tersebut. Ketentuan ini telah diadopsi Undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 mengatur dengan tegas kewenangan membuka rahasia bank sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut: "Oa/am meminta keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1 ), terhadap penyidik,
237
penuntut umum, atau hakim tidak berlaku ketentuan Undang-undang yang mengatur tentang rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan /ainnya". Di sam ping itu, FATF merekomendasikan agar setiap negara juga memberi perlindungan hukum bagi pelaksanaan pelaporan oleh lembaga keuangan termasuk para direktur, karyawan dan pegawai lembaga keuangan tersebut (Rekomendasi 14 FATF). Sehingga Undang-undang No 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 :rahun 2003 mengatur di dalam Pasal 15 yang berbunyi sebagai berikut:
"Penyedia Jasa Keuangan, pejabat serta pegawainya tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasa/ 13". Untuk lebih memberikan keyakinan dalam pelaksanaan pelaporan di atas, Pasal 40 Undang-undang No 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 25 Tahun 2003 telah mengatur tentang perlindungan khusus terhadap saksi dan pelapor terkait dengan ancaman baik terhadap orang maupun keluarganya. Hal tersebut telah dilengkapi dengan peraturan pelaksanaannya yang diatur dalam Peraturan pemerintah No. 57 Tahun 2003 dan diikuti dengan dikeluarkannya Peraturan Kapolri No. 17 Tahun 2005 yang mengatur tentang tata cara melaksanakan perlindungan saksi dan pelapor secara tegas dan terinci.
C.
Penelusuran Aset (ASSET TRACING)
Suatu tindak pidana korupsi akan sangat terkait dengan harta kekayaan sebagai hasil dari pada tindak pidana korupsi, sehingga penelusuran aset hasil korupsi tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan tindak pidana pencucian uang, lebih-lebih dikaitkan dengan elemen internasional dalam tindak pidana korupsi tersebut. Penggunaan lembaga FIUIPPATK menjadi sangat penting dalam rangka penelusuran aset melalui lembaga keuangan seperti penyedia jasa keuangan baik perbankan maupun non bank. Tugas pokok FlU secara garis besar menurut identifikasi yang dilakukan oleh EGMONT Group4 adalah sebagai berikut: 4 EGMONT Group adalah suatu forum yang keanggotaannya terdiri dari Financial Intelligence Unit (FlU) di seluruh dunia yang bertujuan antara lain mendorong kerjasama antara FlU, meningkatkan
238
---------
a.
menerima laporan suspicious transaction reports dan currency transaction reports dari pihak pelapor;
b.
melakukan analisis atas laporan yang diterima dari pihak pelapor. Dalam kaitan tugas ini FlU mengeluarkan pedoman untuk mengidentifikasi transaksi yang wajib dilaporkan; dan
c.
meneruskan hasil analisis laporan kepada pihak yang berwenang.
Sementara itu, untuk mendukung kelancaran tugas dan fungsinya FlU setidaknya memiliki kewenangan 5 : a. memperoleh dokumen dan informasi tambahan untuk mendukung analisis yang dilakukan; b.
memiliki akses yang memadai terhadap setiap orang atau lembaga yang menyediakan informasi keuangan, penyelenggara administrasi yang terkait dengan transaksi keuangan dan aparat penegak hukum;
c.
memiliki kewenangan untuk menetapkan sanksi terhadap pihak pelapor yang tidak mematuhi kewajiban pelaporan;
d.
memiliki kewenangan untuk menyampaikan informasi keuangan dan informasi intelijen kepada lembaga yang berwenang di dalam negeri untuk kepentingan penyelidikan dugaan tindak pidana pencucian uang;
e.
melakukan pertukaran informasi mengenai informasi keuangan dan informasi intelijen dengan lembaga sejenis di luar negeri; serta
f.
menjamin bahwa pertukaran informasi sejalan dengan hukum nasional dan prinsip-prinsip internasional mengenai data privacy dan data protection.
Sebagai lembaga yang mengelota informasi yang berkaitan dengan financial intelligence, pengelolaan data statistik dan penggunaan sistem informasi yang efisien mutlak perlu dilakukan. Dalam kaitan ini, FlU wajib memiliki sistem informasi yang mengelola data statistik yang mencakup 6 : a. suspicious transaction reports (STR) yang telah diterima, dianalisis dan diserahkan kepada pihak yang berwenang; keahlian dan keterampilan personil FlU. EGMONT Group saat ini terdiri atas 84 FlU. Indonesia dalam waktu dekat akan mengajukan diri sebagai anggota EGMONT Group. lnformasi lebih lengkap lihat www.egmont.org atau Asian Development Bank, Manual on Countering Money Laundering and the Financing of Terrorism, Maret 2003, hal. 485-498. 5 www.egmont.org 6 Rick McDonell, Establishment of the FlU, Workshopdiselenggarakan oleh JICAJakarta, tanggal 16 Desember 2002.
239
b.
kasus tindak pidana pencucian uang yang dihasilkan dari penyelidikan, penuntutan dan putusan pengadilan;
c.
permintaan yang diterima dari lembaga terkait di dalam dan luar negeri dan jumlah permintaan yang diberikan;
d.
keterangan yang dibuat oleh FlU atau pihak berwenang lainnya kepada pihak berwenang di dalam maupun luar negeri; dan
e.
transaksi dalam jumlah besar.
Secara konseptual yang dimaksud dengan proses intelijen adalah suatu rangkaian kegiatan atau prosedur yang masing-masing kegiatannya saling terkait satu sama lainnya dan pada akhirnya dapat memberikan suatu kesimpulan yang relatif tepaf. Proses intelijen tersebut di atas dapat diterapkan dalam membantu penanganan kasus-kasus tindak pidana pencucian uang: 1.
Data Collection
Dalam tahap ini kegiatan yang dilakukan lebih difokuskan kepada pengumpulan berbagai informasi dari segala sumber baik dari aparat penegak hukum, PJK maupun individual. Sebagai contoh antara lain: a. b. c. d. e. f. g. 2.
Laporan yang diwajibkan oleh UU TPPU kepada PJK dan Kantor Ditjend Bea dan Cukai lnforman yang sangat dirahasiakan Penyelidikan dan penyidikan pihak Kepolisian Pengintaian lnformasi dari kantor imigrasi Wawancara/interogasi Tanya jawab
Data evaluation
Dalam melakukan analisis, sumber informasi yang benar-benar terpercaya (reliability) dan informasi yang valid adalah dua hal penting yang harus tersedia. Untuk itu, diperlukan adanya evaluasi atas semua informasi yang dimiliki dalam rangka menyaring data/ informasi yang tidak relevan dan tidak berkualitas. Dengan demikian proses anal isis akan dapat dilakukan dengan lebih baik dan pad a gilirannya dapat dihasilkan suatu kesimpulan yang relatif tepat. 7 Sumber ADS AMUCFT Training Seminar, Brisbane 3 June 2002.
240
3.
Collation Semua informasi yang didapat dari kegiatan collection perlu disimpan secara aman dan rapi. lnformasi yang perlu disimpan hanyalah informasi yang memang benar-benar relevan dan diperlukan sedangkan informasi yang tidak relevan dan tidak benar harus dihilangkan. Guna memudahkan pencarian terhadap informasi yang telah disimpan, maka perlu dilakukan adanya sistem peng-indexan dan cross referenced. Penyimpanan informasi (collation) dapat dilakukan secara manual atau dengan sistem komputerisasi. Bila dikaitkan dengan pelaksanaan tugas PPATK, maka direncanakan PPATK akan menyimpan seluruh informasi laporan transaksi keuangan mencurigakan, laporan transaksi tunai, laporan pembawaan uang tunai dari kantor Sea dan Cukai serta informasi lainnya secara komputerisasi dalam suatu database. Dengan demikian diharapkan proses pencarian informasi dapat dilakukan secara mudah dan cepat melalui system query yang ada.
4.
Analysis Kegiatan analisis merupakan jantung dari proses intelijen dan dapat dikatakan sebagai bagian terpenting dalam proses intelijen. Dalam tahap ini dilakukan proses penggabungan dan pengkajian atas semua informasi yang dimiliki sehingga nantinya dapat membentuk suatu pola atau arti tersendiri. Berdasarkan pola tersebut dapat dibuat suatu hipotesa atau beberapa hipotesa yang tentunya masih perlu dilakukan pengujian atas hipotesa tersebut. Dalam proses ini apabila informasi yang mendukung analisis dinilai masih kurang maka diperlukan adanya tambahan informasi sebagaimana yang dilakuakan dalam tahap collection di atas. Hasil akhir dari kegiatan anal isis dapat berupa suatu kesimpulan, ramalan atau perkiraan. Sebagai FlU, PPATK melakukan analisis atas suatu laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan dengan cara mencari informasi lain yang terkait dengan laporan terse but dalam database yang dimiliki PPATK. Apabila tidak ditemukan informasi lain dalam database maka analis PPATK dapat mencari informasi lain dari berbagai sumber seperti yang dilakukan dalam tahap collection di atas. Dalam melakukan kegiatan analisis ini, dapat digunakan suatu analytical tools & techniques seperti link charting, event charting, flow charting, activity charting, data correlation d/1.
5.
Dissemination of intelligence
241
5.
Dissemination of intelligence Yang dimaksud dengan dissemination of intelligence adalah penyampaian hasil analisis (kesimpulan/ramalan/perkiraan) yang didapat dari keempat proses di atas kepada pihak-pihak yang membutuhkan seperti aparat penegak hukum, regulator atau pihak lainnya. Penyampaian informasi intelijen kepada pihak lain harus memperhatikan ketentuan "3 C's" yaitu clear, concise and clock. Selain itu, petugas yang membuat hasil analisis harus dapat memberikan penjelasan baik secara lisan maupun tulisan atas isi dari analisis yang dibuatnya. Dalam praktiknya, berdasarkan UU TPPU, PPATK diwajibkan untuk menyampaikan hasil analisis transaksi keuangan yang berindikasikan tindak pidana pencucian uang kepada pihak Kepolisian dan Kejaksaan. Sekali lagi kami sampaikan bahwa hasil analisis PPATK merupakan informasi intelijen keuangan yang bukan merupakan dokumen alat bukti dan bersifat sangat rahasia sehingga tidak dapat ditampilkan dalam sidang pengadilan. Atas dasar informasi dari PPATK tersebut, adalah merupakan tugas dari pihak Kepolisian untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan guna lebih memperkuat dugaan tindak pidana asal serta tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh para pelaku kejahatan. Selain itu, informasi intelijen dari PPATK diharapkan juga dapat membantu aparat penegak hukum dalam memperoleh dokumen alat bukti yang diperlukan sehingga nantinya dapat lebih mempermudah proses pembuktian terjadinya suatu tindak pidana.
5.
Re-evaluation Re-evaluation adalah proses review yang dilakukan secara berkesinambungan atas seluruh proses intelijen yang dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi setiap kelemahan/ kekurangan yang ada dalam setiap tahapan proses intelijen. Dengan demikian kelemahan yang ada tersebut dapat segera ditanggulangi.
Sebagaimana diuraikan di atas, PPATK melaksanakan penelusuran asset proceed of crime dari kejahatan asal yang salah satunya adalah korupsi, yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang didasari oleh ketentuan Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 25 Tahun 2003 di dalam Pasal 25 ayat (3) berbunyi: 242
"PPATK dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, dapat melakukan kerja sama dengan pihak yang terkait, baik nasional maupun internasional". Kerja sama sebagaimana ditentukan dalam Pasal 25 tersebut telah dilakukan oleh PPATK pada tingkat nasional dengan aparat penegak hukum seperti dengan Kapolri, Kepala Bapepam, Jaksa Agung Rl, Dirjen Lembaga Jasa Keuangan, Dirjen Pajak, Dirjen Sea Cukai dan Menteri Keuangan. Sedangkan pada tingkat intemasional PPATK telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan 12 negara yaitu Thailand, Korea Selatan, Malaysia, Australia, Rumania, ltalia, Filipina, Belgia, Peru, Polandia, Spanyol dan terakhir dengan negara Republik Rakyat Cina. Dalam ketentuan yang diatur oleh MoU tersebut dengan tegas menentukan ketentuan Pertukaran informasi baik secara sepontan maupun atas permintaan mengenai informasi yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang. Hal tersebut berhubungan dengan ketentuan yang diatur oleh negara-negara yang tergabung sebagai anggota Egmont Group. Indonesia dalam hal ini PPATK telah menandatangani dan menjadi anggota Egmont Group harus tunduk pada ketentuan terkait dengan pertukaran informasi yang menyebutkan the Authorities will exchange spontaneously or upon request any available information. Sehingga jejaring Egmont Group dapat digunakan untuk penelusuran dan pelacakan asset terhadap orang yang dilaporkan oleh PPATK kepada penyidikjuga terhadap tersangka atau terdakwa hingga ke mancanegara yaitu lebih dari 101 negara anggota Egmont Group dengan menggunakan teknologi informasi yang disediakan untuk percepatan memperoleh data aset dari pelaku korupsi tersebut. Dengan ketentuan yang diatur oleh Egmont Group tentang pertukaran informasi tersebut di atas, maka Indonesia sebagai salah satu negara anggota dapat memperoleh informasi ke mancanegara dengan praktis dan cepat, sehingga akan sangat membantu dalam proses pentrasiran/penelusuran aset. Adapun tahap selanjutnya berupa pembekuan atau penyitaan dilakukan berdasarkan mekanisme atau permintaan MLA (MLA Request). Sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana berlaku, permintaan bantuan berupa pembekuan atau penyitaan aset tersebut dapat diajukan berdasarkan Pasal 44 dan Pasal 44A UU TPPU.
243
Namun demikian, sesuai prinsipnya, pelaksanaan pembekuan atau penyitaan aset hasil tindak pidana oleh negara diminta harus berdasakan ketentuan atau hukum nasional dari negara di mana aset itu berada. Hal ini berarti, pembekuan atau penyitaan aset sangat tergatung pada mekanisme atau prosedur yang berlaku di negara diminta (requested state). Namun demikian peranan dari negara peminta (requesting state) sangat penting terutama untuk memberikan "supporting document" kepada pihak penegak hukum negara diminta guna menunjukkan bahwa aset atau harta kekayaan yang berada di negara tersebut merupakan hasil dari tindak pidana di negara peminta. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan, bahwa dalam hal aset atau harta kekayaan hasil tindak pidana tersebut berada di luar negeri, setelah PPATK menginformasikan adanya aset dimaksud, maka melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, penegak hukum dapat mengajukan permintaan Bantuan Timbal Balik atau Mutual Legal Assistence (MLA) in Criminal Matters baik berdasarkan perjanjian yang sudah ada maupun berdasarkan prinsip resiprositas apabila di antara kedua belah pihak belum memiliki perjanjian MLA. Dalam hal aset atau harta kekayaan tersebut berada di dalam negeri, PPATK juga dapat membantu pentrasiran/penelusuran aset hasil tindak pidana sesuai kewenangan yang diberikan oleh UUTPPU (Pasal 27 ayat (1 ) huruf a). Dengan kewenangan tersebut, PPATK dapat meminta PJK untuk memberikan keterangan mengenai aset atau harta kekayaan seseorang yang patut diduga melakukan tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana asalnya (predicate offence). Laporan dari pihak PJK tersebut kemudian akan diolah dan dianalisis oleh PPATK. Hasil analisis PPATK ini akan disampaikan kepada pihak penyidik untuk ditindaklanjuti. Melalui pengembangan yang dilakukan oleh penyidik, dapat dilakukan tindakantindakan hukum termasuk upaya pembekuan atau penyitaan aset. Berdasarkan UUTPPU, kewenangan PPATK hanya terbatas pengolahan informasi. PPATK tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan penghentian mutasi atau pengalihan harta kekayaan. Hal ini berbeda dengan Anti Money Laudering Office (AMLO) Thailand yang memiliki kewenangan untuk penghentian mutasi atau pengalihan harta kekayaan bahkan melakukan pengelolaan aset (asset management) atas harta kekayaan yang dikuasainya sebagaimana diatur dalam
244
49 sampai dengan Pasal 59 Anti Money Laundering Act Thailand. Dalam revisi UUTPPU (RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang), masalah penanganan aset hasil tindak pidana akan diakomodasi. Dengan demikian, kelak apabila PPATK memperoleh informasi dan meyakini adanya harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana, maka PPATK berwenang meminta penghentian mutasi atau pengalihan harta kekayaan.
D.
Pengembalian Aset (Asset Recovery)
Ada dua hal yang fundamental berhubungan dengan pengembalian aset (asset recovery) yaitu: 1.
Menentukan harta kekayaan apa yang harus dipertanggungjawabkan untuk dilakukan penyitaan, dan
2.
Menentukan dasar penyitaan suatu harta kekayaan.
Pasal 3 UNCAC tentang pembekuan, pengawasan, penyitaan dan pengembalian atas aset yang terjadi akibat pelanggaran atas konvensi, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah: 1.
Pembuktian harta kekayaan merupakan hasil dari pelanggaran konvensi (Pasal 31 ayat (1) huruf a).
2.
Pembuktian penggunaannya dalam rangka pelanggaran konvensi (Pasal 31 ayat ( 1) huruf b).
3.
Pembuktian adanya perubahan bentuk terhadap harta kekayaan (Pasal 31 ayat (4)).
4.
Pembuktian percampuran harta kekayaan yang sah dan yang melanggar konvensi (Pasal 31 ayat (5).
5.
Pembuktian bahwa harta kekayaan merupakan penerimaan atau keuntungan yang diperoleh dari: a. Pelanggaran terhadap konvensi. b. Perubahan bentuk harta kekayaan dari pelanggaran konvensi. c. lntegrasi harta kekayaan sah dan pelanggaran konvensi.
Dalam menentukan dasar hukum penyitaan, maka UNCAC menentukan agar negara-negara peserta harus membuat ketentuan untuk pelaksanaan penyitaan terhadap harta kekayaan dari pelanggaran konvensi. Indonesia sebagai negara yang telah menandatangani UNCAC
245
konvensi. Indonesia sebagai negara yang telah menandatangani UNCAC maka berkewajiban untuk melaksanakan prinsip-prinsip dasar konvensi yaitu: 1.
Adanya tanggung jawab pemerintah untuk mengembangkan kebijakan anti korupsi yang efektif.
2.
Perlunya melibatkan masyarakat.
3.
Pentingnya kerja sama internasional.
Untuk melacak harta kekayaan dari proses kejahatan, maka diperlukan suatu analisis terhadap sumber kekayaan yang sah untuk menjamin perintah yang menjadi dasar suatu penyitaan. Terhadap pembuktian mengenai harta kekayaan hasil kejahatan tersebut diberlakukan sistem pembalikan beban pembuktian, sehingga memudahkan penegak hukum. Prinsip mengejar aset dengan mudah pada kenyataannya dalam praktik belum dapat dilaksanakan secara maksimal, mengingat ketentuan tentang prosedur pengambilan aset belum diatur secara tegas dalam Undang-undang Pencucian Uang Indonesia, sehingga diharapkan dalam amandemen kedua nanti, wacana tersebut akan dibuka dengan menyesuaikan best practice FlU di beberapa negara, seperti Thailand, Fhilipina dan Malaysia. Sedangkan praktik di Amerika Serikat, sekalipun kewenangan tersebut tidak dilaksanakan oleh FIU/FinCEN, Penyidik negara yang bersangkutan secara proaktif dapat melaksanakannya. Dengan terakomodasikannya ketentuan di bidang asset recovery dalam amandemen tersebut, diharapkan nantinya suatu dana yang diduga terkait dengan kejahatan akan dapat dibekukan oleh PPATK. Pembekuan aset tersebut dilaksanakan dalam konteks pidana, tetapi dalam proses selanjutnya menggunakan prosedur perdata, artinya pihak yang merasa memiliki dana tersebut dapat mengajukan dirinya selaku pemilik yang sah secara perdata, namun mereka harus membuktikan dengan alat bukti yang kuat atas kepemilikannya itu. Cara pembuktian semacam ini dikenal dengan sistem pembalikan beban pembuktian. Beberapa rekomendasi dan konvensi internasional berkaitan dengan asset recovery ini adalah: Rekomendasi 38 FATF: Merupakan rekomendasi agar fungsi mengidentifikasi, membekukan, merampas dan menyita harta kekayaan yang berasal dari hasil kejahatan
246
dan prosedur penyitaan dan perampasan, termasuk pembagian aset disita. UNCAC Art.51, 55 & 57: Pengembalian aset adalah suatu prinsip pokok anti-money laundering. dan negara peserta harus mampu dalam memberikan bantuan hukum dan berkoordinasi satu sama lain. UNCAC Art. 56: Masing-masing negara saling berkoordinasi dan bekerja sama dalam memberikan informasi baik diminta atau tidak diminta untuk memulai atau menyelesaikan penyelidikan, penuntutan atau cara bekerja yang terkait dalam proses peradilan. UNCAC Art. 57: Menetapkan negara peserta boleh memberi pertimbangan khusus untuk membuat persetujuan atau pengaturan secara kasus demi kasus dalam rangka pembagian pen)ualan aset yang disita. · Sebagai pengawal dalam rangka kerja sama dalam penyitaan dan pembagian aset di atas, Pasal 57 Undang-Undang No. 1 tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik dengan jelas menetapkan pengaturan tentang penyitaan aset dan penyelesaiannya atas dasar kerja sama dari kedua belah pihak. UNCAC Art. 58: Menetapkan bahwa dalam membantu proses penyelesaian hukum terhadap upaya pengembalian aset, perlu mempertimbangkan pendirian suatu lembaga intelijen keuangan (Financial Intelligence Unit-FlU). Sejalan dengan pasal ini, Indonesia telah membentuk FlU dengan nama PPATK pada tahun 2002. PPATK masuk menjadi bagian dari EGMONT GRUP sejak bulan Juni 2004 dan tengah melaksanakan hubungan internasional atas dasar MoU maupun prinsip resiprositas. Kasus yang terkenal atas nama Hendra Rahardja memberi kami suatu contoh kemudahan ketentuan yang diatur dalam MLA. Di dalam kasus kesulitan sarana untuk melaksanakan penegakan hukum dengan Australia, Australia mengenai ekstradisi untuk meminta Hendra Rahardja yang meninggal dunia di Sydney pada tanggal 26 Januari 2003, dan Indonesia Australia menyetujui menggunakan proses di bawah Pe~anjian
247
Indonesia Australia menyetujui menggunakan proses di bawah Perjanjian tentang Barituan Hukum Timbal Balik berdasarkan ketentuan hukum Timbal balik diantara kedua negara dan untuk menciptakan suatu hubungan kerja untuk mengidentifikasi dan memulihkan menyangkut uang yang dicuci oleh Hendra Rahardja dan kawan-kawannya di Australia. Berhubungan dengan aset yang dipulihkan dan dikembalikan ke Indonesia yaitu sejumlah kurang lebih AUD $600,000.
E.
Penutup
Pengembalian aset yang berasal dari hasil tindak pidana khususnya korupsi bukan hanya menjadi tanggung jawab penegak hukum semata. Upaya pengembalian aset ini harus dilakukan kerjasama oleh semua pihak yang berkompeten baik dalam lingkup domestik maupun bilateral bahkan multilateral. PPATK sebagai FlU dapat membantu dalam pengembalian aset terutama dalam proses penelusuran aset hasil kejahatan termasuk hasil kejahatan korupsi. Selanjutnya, atas penelusuran hasil kejahatan ini dapat dilakukan penyitaan dan perampasan bahkan pembagian aset baik dalam lingkup dalam negeri maupun internasional. Indonesia telah memiliki landasan hukum yang memungkinkan kerja sam a secara internasional bukan hanya dalam rangka pertukaran informasi tetapi juga bantuan hukum timbal balik yang dapat meliputi penyitaan dan pembagian aset dalam upaya pengembalian aset. Bali, 14 Juni 2006
248
IMPLIKASI PUTUSAN BEBAS DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA (TELAAH TERHADAP PERMASALAHAN KORUPSI DAN ILLEGAL LOGGING) 0/eh: Ahmad Ubbe 1
A.
LATAR BELAKANG
Putusan Bebas dalam kasus korupsi dan illegal logging (penebangan liar) dan implikasinya terhadap (penghormatan nilai-nilai) Hak Asasi Man usia (selajutnya diringkas menjadi HAM) dalam kajian ini, didasarkan pada pemikiran antisipatif melalui sistem hukum pidana nasional. Alasan yang mendasari pendekatan sistemik tersebut, adalah pandangan yang menggolongkan korupsi dan illegal logging dalam bentuk kejahatan yang meliputi sistem, terorganisir, dan terstruktur dengan baik. 2 Hal ini menurut Prof. lndriyanto SenoAdji menjadi.sebab mengapa penanggulangan korupsi, serta suap (tentunya juga illegal logging) mengakar sangat kuat dalam perilaku politik, sosial, ekonomi dan budaya bangsa. Oleh sebab itu pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan cara dan pendekatan yang sistemik pula. 3 Peneliti Hukum di Bad an Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Departemen Hukum Dan HAM (1982-2002), KepalaPusatPerencanaan Pembangunan Hukum, Departemen Hukum Dan HAM (2002-2004), Kepala PusatPenelitian dan Pengembangan Hukum Departemen Hukum Dan HAM (2004-2005), sejak 2 Februari 2005 sampai sekarang sebagai StafAhli Menteri Hukum dan HAM Bidang Pengembangan Budaya Hukum. Ketua UmumAsosiasi Peneliti Hukum Indonesia (APHI) 2000-2003. PenasehatAPHI2004-Sekarang. 2 Lihat Gary Goodpaster, "Renungan Tentang Korupsi di Indonesia", Dalam Hamid Basyaib DKK (Editor), Mencuri Uang Rakyat: 16 Kajian Korupsi di Indonesia, Buku 4: Mencari Paradigma Baru Cetakan I, (Jakarta: Yayasan Aksara, 2002). Hal. 5. Di sini dikatakan korupsi bukan sis tern lepas, tetapi bergantung pada sistem ekonomi dan sosial yang hidup berdampingan. 3 lndyanto Seno Adji, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, (Jakarata: Prof. Oemar Seno Adji, S.H., & Rekan, 2006). Hal. 1. Di sini dikatakan systemic approach dalam meminimalisasi korupsi adalah salah satu upaya melakukan antisipasi terhadap meluasnya perbuatan koruptif dengan memaksimalkan peranan pengadilan pidana. Dalam arti slstem, peradilan pidana merupakan salah satu usaha masyarakat untukdapat mengendalikan te~adinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi. Upaya memaksimalkan SPP dalam meminimalisasi perbuatan koruptif dilakukan dalam tiga tahap, yakni: (1) Pra-ajudikasi adalah mencegah masyarakat menjadi korban; (2) Era-ajudikasi adalah menyelesaikan kejahatan yang te~adi dengan memberi keputusan (Pengadilan) yang sesuai dengan rasa keadilan; (3) Pasca-ajudikasi adalah pelaku tidak melakukan kejahatan atau tidak mengulang kejahatan tersebut. Upaya-upaya tersebut merupakan kine~a komponen SPP bermula dari Polisi, jaksa, hakim, hingga pada pegawai Lembaga Pemasyarakatan.
249
Sebagai seriosness crime, pencanangan pemberantasan korupsi dan illegal Jogging harus ditindaklanjuti dengan upaya dan sarana pemberantasan yang bersifat extra ordinary antara lain dengan mengoptimalkan Sistem Peradilan Pidana (selanjutnya disingkat SPP) untuk meminimalkan korupsi dan illegal logging, (kalau tidak dapat diberantas sama sekali), sesuai dengan hukum yang benar dan adil. Dalam hal ini peradilan korupsi dan illegal logging, sebagai bag ian SPP harus memiliki sense of crisis, tegas, berani dan tidak pandang bulu, dalam penegakan hukum bagi pelaku-pelaku korupsi dan illegal Jogging. Di samping itu penegak-penegak hukum, khususnya hakim harus cakap dan bekerja profesional, hilangnya sense of crisis, ingkonsitensi putusan dan kebijakan, sebagaimana tercermin dalam putusan bebas mengenai berbagai kasus korupsi dan illegal logging adalah fakta tentang wajah buruk SPP dalam penegakan hukum di Indonesia. Frase Putusan Be bas dalam jag ad hukum adalah hal yang biasa, apalagi didasarkan pada aturan dan proses hukum yang benar dan adil. Namun apabila dilakukan tidak dalam kerangka yang demikian, putusan be bas tersebut dapat menjadi perbuatan melawan hukum dan keadilan. Bahkan dalam konteks Perlindungan Penghormatan NilaiNilai HAM putusan bebas terutama dalam kasus korupsi dan U/ega/ logging dapat melukai nilai-nilai asasi man usia, yang diakui dan dilindungi oleh instrumen HAM yang ada.
B.
POKOK-POKOKPERMASALAHAN
Berdasarkan pada uraian-uraian latar belakang di atas, kajian terhadap implikasLputusan bebas dalam perspektif hak asasi manusia (telaah terhadap permasalahan korupsi dan illegal logging), dihadapkan pada permasalahan-permasalahan pokok sebagai berikut: (a) Mengapa putusan bebas terhadap kasus korupsi dan illegal Jogging dapat berimplikasi (mempunyai hubungan keterlibatan) kepada perlidungan dan penguatan nilai-nilai HAM di Indonesia; (b) Bagaimana dan dalam hal apa putusan bebas itu berimplikasi (mempunyai hubungan keterlibatan) dengan upaya-upaya perlindungan dan penguatan nilai-nilai HAM sebagaimana telah dicantumkan dalam instrumen-instrumen HAM yang ada. Permasalahan-permasalahan tersebut di atas dipilih untuk ditelaah, dengan alasan bahwa ketidakpercayaan masyarakat pada hukum dan
250
/ega/logging telah menjadi politik kriminal nasional. Dalam hal ini telah menjadi salah satu agenda pemerintah untuk menuntaskan penyelesaian korupsi dan illegal logging melalui sistem peradilan. Bahwa hanya dengan cara yang demikian tuntutan masyarakat agar Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dapat terwujud dengan memuaskan dan bermartabat. Dikatakan oleh Prof. Mardjono Reksodiputro bahwa penyelesaian melalui pengadilan menjadi tanda, bahwa pemerintah memang berusaha membangun pemerintahan yang bersih. Putusan pengadilan pun akan menjadi fakta dianutnya supremasi hukum dan kenyataan bahwa Rl, adalah sungguh-sungguh negara hukum seperti dinyatakan dalam konstitusinya. 4 Dalam kerangka politik kriminal yang demikian putusan be bas dapat menjadi produk yudikatif kontroversial dan dianggap tidak peduli terhadap tuntutan penderitaan rakyat. Dikatakan kontroversial, karena di satu pihak hukum dan pengadilan dituntut untuk memberikan penyelesaian hukum yang berkeadilan dan kepastian, serta bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Namun dalam kejadian berbagai kasus, ditemukan kenyataan lain, bahwa pengadilan membebaskan terdakwa pelaku tindak pidana korupsi dan illegal logging dari tuntutan hukum dan penjatuhan sanksi. Hingga demikian terjadi perbedaan dan ketidakcocokan antara keharusan dan kenyataan. Kontroversi yang demikian menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan. 5 Oleh sebab itu telah menjadi prasyarat penting dan utama bahwa untuk keberhasilan pemberantasan korupsi dan illegal logging di Indonesia, maka gerakan pemberantasan itu harus dimulai dengan dan di dalam sistem hukum dan sistem peradilan pidana lebih dulu. Di balik prasyarat ini terkandung maksud bahwa hakim peduli dan mempertimbangkan bahwa putusan mereka adalah menjadi salah satu titik simpul yang penting terhadap pemberantasan korupsi dan illegal logging di Indonesia. 4 Mardjono Reksodiputro, "Korupsi Dalam Sistem Hukum", dalam Hamid Basyaib DKK (Editor). Mencuri Uang Rakyat: 16 Kajian Korupsi di Indonesia, Buku 2: Pesta Tentara, Hakim, Bankir, Pegawai Negeri, Cetakan I, (Jakarta: Yayasan Aksara, 2002). him. 26. 5 Lihat T. Mulya Lubis (Penyunting), Laporan Keadaan HakAsasi Manusia di Tahun 1981, (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), Hal. 52-53. Dikatakan bahwa proses peradilan yang digelar dengan menonjolkan keadilan formal, dirasakan oleh rakyat sebagai bagian ketidakadilan. Proses peradilan yang demikian menjadi salah satu faktorpenyebab rontoknya kepercayaan masyarakat terhadap hukum pengadilan.
251
yang penting terhadap pemberantasan korupsi dan illegal logging di Indonesia. Termasuk dalam arti penting yang disebut di atas, adalah putusan hakim menjadi sebab aset negara dan masyarakat yang dicuri oleh koruptor dan penebang liar dapat dikembalikan kepada negara dan digunakan untuk kesejahteraan sosial. Putusan hakim dan kebijakan hukum yang demikian, adalah bag ian hukum yang responsif terhadap nilai-nilai HAM tentang hak-hak dasar manusia di bidang ekonomi, sosial dan budaya. Dalam perspektif HAM diakui bahwa perbuatan koruptif dan illegal logging adalah salah satu hambatan terbesar dalam memenuhi kewajiban negara untuk melindungi dan mempromosikan HAM yang diupayakan pencapaiannya oleh institusi pemerintah dan lembagalembaga swadaya masyarakat. Dalam konteks perlindungan dan penghormatan nilai-nilai HAM, dipastikan korupsi dapat melanggar tidak hanya hak dasar tentang kesetaraan di hadapan hukum, tetapi juga mengabaikan nilai-nilai dasar manusia yang dijamin oleh instrumen-instrumen HAM yang ada. C.
PEMBAHASAN MASALAH
1.
Beberapa Pokok Pikiran dan Pengertian
Dalam mengkaji permasalahan implikasi putusan bebas terhadap korupsi dan illegal logging dalam perspektif HAM diperlukan kejelasan tentang berbagai hal, terutama mengenai paradigma yang terkait dengan permasalahan-permasalahan yang disebut pad a uraian terdahulu yakni: implikasi (pengaruh keterlibatan) putusan bebas terhadap korupsi, illegal logging, dalam nilai-nilai HAM. Kejelasan terhadap berbagai paradigm a tersebut dipandang perlu dengan alasan untuk membangun pemahaman yang sama dan sebagai batasan ruang ringkup yang menjadi perhatian dalam penulisan ini. Untuk itu perlu dijelaskan berbagai pemikiran, pengertian yang berkaitan dengan permasalahan yang diajukan kepada kami untuk dibahas sebagai berikut.
(1) Putusan dan Putusan Bebas Sebelum membicarakan putusan bebas terlebih dahulu akan dibicarakan apa yang disebut putusan (vonis) itu. KUHAP memberikan definis tentang putusan (vonis) dengan mengatakan bahwa: "Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan
252
atau bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum dalam segala hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini" (Pasal 1 ayat (11) KUHAP). Dikatakan oleh Prof. Andi Hamzah bahwa putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim, jika ia telah mendapat keyakinan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan dan ia menganggap bahwa perbuatan dan te~dakwa dapat dipidana. 7 Pendapat Prof. Andi Hamzah disebut di atas, sejalan dengan Pasal193 ayat (1) KUHAP yang berbunyi bahwa: "jika pengadilan berpendapat terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana". Selanjutnya Putusan Bebas (vrijspraak) dijatuhkan oleh hakim, jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP). 8 Lebih lanjut perlu dijelaskan bahwa "putusan bebas dari segala tuntutan hukum" dijatuhkan oleh hakim jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus bebas dari tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP).
(2) Korupsi Menu rut Fockema Andreae kata korupsi berasal dari Bahasa Latin corruptio atau corruptus. Disebutkan corruptio itu bermula dari kata asal corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua. Dari kata 6 Lihat ayat {3) Pasal153 KUHAP yang menentukan bahwa untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakannya terbuka untuk umum, kekecualian dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak. Dalam ayat (4) Pasal 153 tersebut dikatakan bahwa tidak dipenuhinya ketentuan tersebut mengakibatkan batalnya putusan demi hukum. 7 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi, Cetakan kedua, (Jakarta: SinarGrafika, 2002. him. 281. 8 Ibid. Dikatakan oleh Prof. Andi Hamzah behwa kala "kesalahan" harus berbunyi "perbuatan" karena jika kesalahan tidak terbukti, maka putusan mestinya "lepas dan segala tuntutan hukum". Sebaliknya dalam hal perbuatan yang didakwakan terbukti, tela pi terdakwa tidak bersalah, tidak melawan hukum, atau ada alasan pemaaf, maka hakim memberikan putusan bebas. Untuk penyempumakan Pasal191 ayat (1) KUHAP tersebut, maka Prof.Andi Hamzah mengusulkan agar Pasal tersebut berbunyi bahwa "perbuatan" yang didakwakan tidak terbukti dilakukan terdakwa, maka ia diputus bebas.
253
kata asal corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua. Dari kata Latin itu turun ke banyak bahasa Eropa seperti lnggris, yaitu corruption, corrupt, Belanda yaitu corruptie. Dipastikan bahwa dari bahasa Belanda itulah turun ke bahasa Indonesia menjadi "korupsi". Arti harfiah dari kata korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, peyimpanan dari kesucian. 9 lstilah korupsi dalam perbendaharaan kata Indonesia memiliki arti sebagai perbuatan-perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penyuapan penerimaan uang sogok dan sebagainya. 10 Dari pengertian korupsi secara harfiah itu, ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya korupsi itu mempunyai arti yang sangat luas tergantung waktu tempat dan bang sa, di mana korupsi dibincangkan. Cara pandang dan pemikiran juga dapat melahirkan pengertian dan kategori tersendiri mengenai korupsi. Pendekatan sosiologi terhadap korupsi, misalnya memasukkan nepotisme (dalam kualifikasi memasang keluarga atau ternan pada posisi pemerintahan tanpa memenuhi persyaratan untuk itu) sebagai perbuatan koruptif. 11 Namun di sisi lain hal seperti itu sukar dicari normanya dalam hukum pidana. Lain halnya dengan pemikiran lain yang mengatakan korupsi lebih banyak disebabkan oleh perilaku politik daripada ekonomi dan hukum. Pernyataan demikian misalnya dapat dilukiskan dengan menyimak Smith, Gunnar Myrdal, dan Huntingtong, sebagaimana telah dikutip Prof. Andi Hamzah sebagai berikut1 2 : (a) Secara keseluruhan korupsi di Indonesia muncullebih sering sebagai masalah politik daripada masalah ekonomi. Korupsi dalam politik menyentuh keabsahan (legitimasi) di mata generasi muda, kaum elite terdidik dan pegawai pada urnumnya. Korupsi mengurangi dukungan pada pemerintah dari kelompok elite tingkat provinsi dan kabupaten. (b) Masalah korupsi merupakan suatu hal yang penting bagi pemerintahan. Karena kebiasaan melakukao penyuapan dan 9 Fockema Andreae, Kamus Hukum, (Bandung Binacipta, 1983). Hunruf C. 10 Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1976). 11 Syed Hussein Alatas, Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelahan Dengan Data Kontemporer, Cetakan Kedua, (Jakarta LP3ES, 1982). him. 7-9. 12 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi: Mela/ui Hukum Pidana Nasional Dan /nternasional, Edisi Revisi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006). him. 8-10.
254
ketidakjujuran membuka jalan membongkar korupsi dan tindakan-tindakan penghukuman terhadap pelanggar. Pemberantasan korupsi biasanya dijadikan pembenar utama terhadap kup militer. (c) Tidak berarti bahwa adanya pola korupsi di tingkat atas, mengganggu stabilitas poitik, asal saja mobilitas ke atas melalui partai politik atau birokrasi tetap terbuka. Namun jika pemainpemain politik dari generasi mud a melihat dirinya akan dikesampingkan, tidak diberi kesempatan untuk menikmati hasil-hasil yang telah dicapai oleh generasi tua; atau jika kolonel-kolonel dalam angkatan perang melihat tidak ada harapan untuk naik pang kat dan kesempatan yang ada hanya bagi jenderal-jenderal, maka sistem tersebut akan mudah digoncangkan oleh kekerasan. Dalam masyarakat seperti ini korupsi polit_ik dan stabilitas politik, kedua-duanya tergantung pada mobilitas ke atas. Jika dikaji dari sudut ekonomi, korupsi adalah biaya yang harus dibayar sesuai dengan harga pasar untuk mendapatkan keuntungan. Pendapat demikian dilukiskan oleh Prof. Mubyarto dengan mengatakan bahwa: sogokan, uang siluman, atau pungli lain merupakan "harga pasar" yang harus dibayar oleh konsumen yang ingin sekali "membeli" barang tertentu. Barang tertentu yang ·akan dibeli itu berupa keputusan, izin atau kata lain "tanda tangan". Secara teoritis harga pasar tanda tang an akan naik turun, sesuai dengan naik turunnya permintaan dan penawaran, serta setiap kali akan terjadi "harga keseimbangan". Karena dalam model ekonomi pasar juga ada pengertian "harga diskriminasi", maka dalam pasaran tanda tangan pejabat juga ada kemungkinan perbedaan harga bagi golongan "ekonomi kuat" dan golongan "ekonomi lemah". 13 Dari berbagai pemikiran dan nukilan seperti diulas di atas, dijelaskan lebih lanjut bahwa korupsi bukanlah sistem lepas, tetapi bergantung pada sistem ekonomi, sosial, budaya dan politik secara berdarnpingan. Oleh karena itu korupsi adalah hasil kebudayaan, karena telah mengakar pada perilaku ekonomi, sosial, budaya dan politik 13 Mubyarto, llmu Ekonomi, 1/mu Sosia/, dan Keadilan, (Jakarta: YayasanAgro Ekonomika, 1980).
hlm.60.
255
Selanjutnya jika korupsi ditelaah dalam sudut pandang norma (pidana), karena bagaimanapun juga penyuapan merupakan delik pidana (Pasal 209, 210,418, 419, dan 420 KUHP) yang ditarik menjadi delik korupsi menurut Pasal 5, 6,7,8, dan 12 dari butir a sampai dengan g UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengubah UU No. 31 Tahun 1999). Di sini diatur bahwa pasal-pasal KUHP tersebut langsung diangkat dengan rumusannya (terjemahan WvS) dengan sanksi sendiri. Menu rut perspektif hukum tersebut definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut korupsi dirumuskan ke dalam 30 bentuk/jenis perbuatan tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara rinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana karena korupsi. Ketiga puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi itu pad a dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut: (a) Kerugian keuangan negara; (b) Suap-menyuap; (c) Penggelapan dalam jabatan; (d) Pemerasan; (e) Perbuatan curang; (f) Benturan Kepentingan dalam pengadaan; dan (g) Gratifikasi. Selain bentuk/jenis tindak pidana korupsi yang sudah dijelaskan di atas, masih ada tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang dicantumkan pada UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jenis tindak pidana yang demikian dapat dirinci sebagai benkut: (a) Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi; (b) Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar; (c) Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka; (d) Sanksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu: (e) Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan
256
keterangan atau memberi keterangan palsu; dan
(f) Saksi yang membuka identitas pelapor. 14 (3) Illegal logging Illegal logging tidak secara eksplisit didefinisikan dengan tegas dalam peraturan perundang-undangah. Illegal logging berasal dari bahasa lnggris yang terdiri dari illegal dan logging. Illegal artinya tidak sah, dilarang, bertentangan dengan hukum. Log artinya batang kayu, kayu gelondongan, sedangkan logging berarti menebang kayu dan membawa ke tempat gergajian. 15 Frasa l/legal logging dalam perbendaharaan bahasa Indonesia diartikan sebagai penebangan pohon secara tidak sah. 16 Dalam praktik pemberantasan dan penegakan hukum, rumusan illegal logging mengalami perluasan sebagaimana digambarkan dalam pernyataan Sukardi yang mengatakan bahwa penebangan liar (illegal logging) adalah rangkaian kegiatan mencakup penebangan, pengangkutan, pengolahan hingga jual beli (impor) kayu yang tidak sah, bertentangan dengan hukum dan dapat menimbulkan kerusakan hutan. 17 Dari uraian selintas seperti dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa illegal logging adalah rangkaian kegiatan di bidang kehutanan dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan hasil hutan berupa kayu secara tidak sah. Esensi yang penting dalam praktik illegal logging adalah rusaknya ekosistem dan kelestarian fungsi hutan dan kemudian hari berimplikasi pada nilai-nilai HAM karena illegal logging menimbulkan kerugian di bidang ekonomi, ekologi, sosial dan budaya. Dengan efek domino illegal logging menimbulkan masalah kemis-
14 Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami Untuk Membasmi: Buku Saku Untuk Memahami Korupsi, (Jakarta: KPK. 2006). him. 3-5. 15 Sukardi, Illegal Logging: Dalam Perspektif Politik Hukum Pidana (Kasus Papua), (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya. 2005). him. 71. 16 Hesti Hastuty (dkk.), Laporan Penelitian Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Penebangan Hutan Secara Illegal (Illegal Logging). BPHN. 2006. him. 4 dan 4. Di sini dikatakan ruang lingkup illegal logging meliputi tidak hanya tindak pidana di bidang kehutanan melainkan telah meluas melingkupi tindak pi dana korupsi, dan pencucian uang. Melalui praktik illegal logging perbuatan koruptif telah meraup keuangan negara sebanyak-banyaknya. Selanjutnya uang hasil illegal logging dan korupsi dicuci agar tidak diketahui asal-usulnya oleh apararatur penegak hukum. 17 Sukardi, Op. Cit., 2005, him. 73.
257
Dengan efek domino if/ega/logging menimbulkan masalah kemiskinan, kesehatan dan kehidupan sosial budaya lainnya. Putusan bebas berimplikasi pada rusaknya hutan dan fungsi-fungsinya yakni: ekonomi, tata air (hidrologi), tata kesuburan tanah (orologi, pengaturan iklim (iklimato/ogi), dan keindahan alam (estetika). Fungsi hutan yang demikian dapat dinikmati secara global, sehingga apabila terjadi kerusakan fungsi hutan, dapat dipastikan akibatnya pun dirasakan secara global.
(4) Hak Asasi Manusia HAM berarti hak yang melekat pada martabat manusia sebagai insan ciptaan Allah Yang Maha Esa. HAM adalah hak dasar yang penting sebagai anugerah lllahi. HAM adalah hak-hak yang dimiliki manusia menu rut kodratnya, yang tidak dipisahkan dari hakikatnya sebagai manusia, karen a itu HAM bersifat luhur dan suci. 18 Indonesia sebagai negara hukum tidak saja dalam artian formal, tetapi juga dalam materiil yang menjamin perlindungan, penghormatan dan pemenuhan HAM untuk memajukan kesejahteraan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta menegakkan keadilan dan kebenaran berdasarkan Pancasila. Ciri penentu suatu negara hukum adalah perlindungan dan jaminan terhadap hakhak asasi manusia, sistem peradilan bebas dan legalitas hukum dalam segala bentuknya. Dalam suatu negara hukum seperti Rl, HAM dalam garis besarnya, dapat diklasifikasikan menjadi: hak asasi pribadi, hak asasi ekonomi, hak asasi politik, hak asasi untuk mendapat perlakuan yang sama di depan hukum pemerintahan, hak asasi sosial dan kebudayaan dan hak asasi untuk memperoleh perlakuan, tata-cara peradilan dan perlindungan hukum. 19 HAM dalam putusan bebas tentang korupsi dan illegal logging "dapat" mempunyai pengaruh keterlibatan (implikasi) terhadap penghormatan dan pemenuhan HAM di bidang pribadi, ekonomi dan hukum, terutama untuk mendapat perlakuan yang sama di depan hukum, kebudayaan serta untuk memperoleh perlakuan dan tata-cara peradilan dan perlindungan hukum. 18 Ramdlon Naning, Cita dan Citra Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia, (Jakarta: Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Program Penunjang Bantuan Hukum Indonesia, 1983). him.
6. 19/bid.
258
(5) lnstrumen HAM Indonesia Perlindungan, penghormatan dan pemenuhan HAM telah menjadi program pembangunan nasional untuk dan dalam memajukan demokrasi dan penegakan hukum. Kehendak untuk mencapai tujuan tersebut, pertama ditemukan landasan idealnya dalam Pembukaan dan UUD 1945 dan Deklarasi Universal tentang HAM. Landasan ideal formal disebut di atas, juga menemukan akar-akar tunjangnya dalam kehidupan spiritual dan cultural masyarakat Indonesia seperti tercermin dalam ajaran moral dan kesusilaan, yang petikan-petikannya banyak terurai dalam nilai-nilai tentang apa-apa yang baik dan buruk, apa-apa yang dilarang dan disuruhkan dalam adat-istiadat suku-suku bang sa di dalam masyarakat hukum adat yang tersebar di seluruh wilayah lndonsia. Tidak tanggung-tanggung upaya idealitas penegakan HAM dituangkan dalam berbagai aturan perundang-undangan Rl, yang meliputi beberapa bidang seperti dirinci pada uraian berikut. (a) Pengaturan tentang HAM: •
UUD Rl 1945 dan Perubahannya;
•
Tap MPR Rl No. XVII/MPR/1998 tentang HAM; dan
•
UU Rl No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
(b) Kebebasan berserikat dan berpendapat: •
UU Rl No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum;
•
Keputusan Presiden Rl No. 83 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi.
(c) Penghapusan Penyiksaan dan Kerja Paksa: •
UU Rl No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia; dan
•
UU Rl No. 19 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa.
259
(d) Penghapusan Diskriminasi, Termasuk Terhadap Manusia: •
UU Rl No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita;
•
lnstruksi Presiden Rl No. 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Pribumi dan Non-Pribumi Dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan, Program ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintah;
•
UU Rl No 21 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 111 Mengenai Diskriminasi Dalam Pekerjaan dan Jabatan; dan
•
UU Rl No 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965.
(e) Perlindungan Terhadap Anak: Keputusan Presiden Rl No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Tentang Hak-hak Anak-anak; •
UU Rl No 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 138 Mengenai Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja;
•
UU Rl No. 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak; Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2001 tentang Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak; dan
•
Keputusan Presiden No. 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.
(f) Perlindungan Terhadap Karban dan Saksi dalam Pelanggaran HAM Berat: •
260
PP Rl No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Karban dan Saksi Dalam Pelanggaran HAM yang Berat; dan
•
PP Rl No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran HAM yang Berat.
(g) Perlindungan dari Senjata-senjata Pemusnah Massal •
Keputusan Presiden No. 58 Tahun 1991 tentang Pengesahan Convention on the Prohibition of the Development, Production and Stockpiling of Bacteriological (Biological) and Toxin Weapons and on Their Destruction.
(h) Perlindungan Terhadap Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya UU Rl No. 11 Tahun 2006 tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Di samping itu pengaturan tentang penghormatan, pemenuhan dan penegakan HAM seperti dirinci di atas, ditetapkan juga perangkat penegakan HAM dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan Rl. yang meliputi berbagai perangkat dan institusi seperti dicatat dalam uraian berikut. (1) Komnas HAM dan Anggotanya: •
Keputusan Presiden Rl No. 50 Tahun 2001 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia;
•
Keputusan Presiden Rl No. 48 Tahun 1993 tentang Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia; dan
•
Keputusan Presiden Rl No. 165/M Tahun 2002 tentang Keanggotaan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
(2) Pengadilan Hak Asasi Manusia •
PP Rl No. 1 Tahun 1999 tentang Penggantian UU Rl No. I Tahun 1999 tetang Pengadilan HAM;
•
UU Rl No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Indonesia;
•
Keputusan Presiden Rl No. 31 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Surabaya, Pengadilan Negeri Medan, dan Pengadilan Negeri Makassar;
•
Keputusan Presiden Rl No. 53 Tahun 2001 tentang Pembentukan Peradilan HAM Ad Hoc Pad a Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan
261
Keputusan Presiden Rl No. 96 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Keputusan No. 53 Tahun 2001 tentang Pembentukan Peradilan HAM Ad Hoc Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. (3) Pembentukan Komisi Penyidik: Keputusan Presiden Rl No. 88 Tahun 1999 tentang Komisi lndependen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh; Keputusan Presiden Rl No. 27 Tahun 2000 tentang Perpanjangan Tug as Komisi lndependen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh; dan Keputusan Presiden Rl No. 10 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Penyidik Nasional Kasus Thies Hiyo Eluay. Dalam mendukung aplikasi peraturan perundang-undangan yang ada dan bekerjanya perangkat-perangkat HAM yang telah dibentuk, maka disiapkan Rencana Aksi Nasional HAM dengan dasar hukum pembentukannya sebagai berikut: (1) Keputusan Presiden Rl No. 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional HAM Indonesia; (2) Keputusan Presiden Rl No. 40 Tahun 2004 ten tang Rencana Aksi Nasional HAM Indonesia 2004-2009; (3) Keputusan Presiden Rl No. 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak; dan (4) Keputusan Presiden Rl No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (trafiking) Perempuan dan Anak. 2
Korupsi, Illegal Logging Dan HAM
Secara umum korupsi dan if/ega/logging, dalam tingkatan tertinggi, merampas kesejahteraan publik, memiskinkan masyarakat dan mengarah ke pelanggaran be rat hak sosial, budaya dan· ekonomi manusia. Dari perspektif hak asasi manusia Indonesia, korupsi dan illegal logging adalah salah satu hambatan terbesar dalam memenuhi kewajiban negara untuk melindungi, mempromosikan dan memenuhi
HAM. lmplikasi tersebut dapat dipahami karen a sistem politik yang korup mengabaikan HAM untuk partisipasi dan interaksi sosial dan politik.
262
Demikian juga sistem peradilan yang korup melanggar hak dasar mengenai kesetaraan di hadapan hukum, mengabaikan hak prosed ural yang dijamin oleh instrumen HAM yang ada dan berlaku sekarang. Di bidang administrasi publik, korupsi membahayakan hak untuk hidup, ketika dana kesehatan dan pelayanan publik diselewengkan untuk kepentingan di bidang lain. Oleh sebab itu, korupsi pada dasarnya merampas kesejahteraan publik, memiskinkan masyarakat dan berdampak pad a terabaikannya penghormatan dan· pemenuhan hak sosial, ekonomi dan kebudayaan manusia, yang seharusnya dijamin oleh pemerintah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 20 Korupsi dan illegal logging adalah wujud pelaggaran HAM berat, karena menghalangi upaya-upaya penegakan HAM menjadi kenyataan. Korupsi dan illegal logging membuat orang tidak dapat menikmati hakhaknya atas pekerjaan, kesehatan, pendidikan, perumahan. Di antara paradigma Korupsi, illegal logging dan pemenuhan HAM mempunyai hubungan keterlibatan (berimplikasi) secara sebab-akibat: Dalam keadaan demikian dibutuhkan upaya sinergis dan sistemik dalam memberantas korupsi, illegal logging dan upaya upaya penegakan HAM, sebagai bagian penyelamatan kekayaan negara, perwujudan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan sosial. Upaya-upaya yang demikian dapat dicapai dengan mengoptimalkan Sistem Peradilan Pidana dalam pemberantasan perbuatan koruptif dan illegal logging. Korupsi presidensial di masa orde baru diidentifikasi sebagai "oligarsi korupsi". Dengan model korupsi yang demikian, dilukiskan dalam pernyataan Syed Hussein Alatas, seperti dikutip oleh G.J. Aditjondro, yang mengatakan korupsi kepresidenan merangsang pengembangan korupsi yang besar dan lebih lanjut mendorong meningkatnya korupsi yang lebih besar lagi. Ketika pemerasan telah meluas di kalangan pegawai negeri dan digunakan oleh polisi yang bertugas, petugas di loket, perawat di rumah sakit. Hal ini semua biasanya adalah dampak dari korupsi sebelumnya di level yang lebih tinggi. Bagi kondisi negara yang melahirkan korupsi luas di kalangan pegawai negerinya, dibutuhkan keberadaan situasi korupsi sebelumnya yang menyebabkan munculnya kondisi ini. 21
20 http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=9503 21 George Junus Aditjondro, "Korupsi Kepresidenan di Masa Orde Baru", dalam Hamid Basyaib dkk. {Editor), Mencuri Uang Rakyat: 16 Kajian Korupsi di Indonesia, Buku 1: Dari Puncak sampai Dasar, Cetakan I, (Jakarta: Aksara Foundation, 2002). him. 45.
263
Dari nukilan disebut di atas dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa dengan model korupsi oligarsi presidensiil, maka korupsi terjadi dalam tiga lapis kekuasaan. 22 Lapisan pertama, korupsi lang sung berkaitan antara warga dan aparat negara, aparatur hukum seperti hakim, yaitu suap dan pemerasan. Disebut suap jika prakarsa untuk memberikan barang, jasa dan uang berasal dari warga. Pemerasan, jika prakarsa untuk mendapat barang, jasa dan uang berasal dari aparatur negara, kehakiman/pengadilan dan legislatif. Lapisan kedua, adalah korupsi di lingkaran dalam (inner circle) di pusat pemerintahan, yudikatif dan legislatif. Korupsi di lingkungan dalam dapat berupa: nepotisme, kroniisme. Nepotisme adalah korupsi antara pelayan publik dan mereka yang menerima kemudahan dalam bisnisnya, karena adanya hubungan persahabatan dan kekerabatan. Kroniisme sama dengan nepotisme, tetapi terjadi di antara kedua belah pihak yang tidak dalam hubungan kekerabatan dan persahabatan, tetapi dalam hubungan bisnis, seperti pengerjaan proyek pembangunan dan pengadaan barang. Lapisan ketiga adalah korupsi yang berbentuk jejaring yang melibatkan birokrat pemerintahan, politikus dan legislatif, aparatur Sistem Peradilan Pidana, aparatur keamanan negara, perusahaan negara, perusahaan swasta, serta lembaga pendidikan dan penelitian yang memberikan "kesan" ilmiah dan objektif serta menjadi alat legitimasi kebijakan yang diambil oleh jejaring tersebut. Model korupsi yang bersifatjejaring melahirkan korupsi yang sangat berbahaya bagi penegakan dan pemenuhan HAM. Korupsi dengan metoda jejaring adalah merupakan proses pemiskinan struktural. Korupsi yang disebut kejatlatan kerah putih (white caller crime) berimplikasi besar terhadap gagalnya, atau tidak tercapainya pemenuhan HAM, yang seharusnya tidak saja diem ban oleh kekuasaan eksekutif, tetapi juga sinergis dengan komponen sistem kekuasaan lainnya seperti legislatif dan yudikatif.
3.
Putusan Bebas Terhadap Korupsi dan Illegal Logging
Berikut ini akan ditelaah pemberantasan korupsi dan illegal logging dalam kerangka Sistem Peradilan Pidana (SPP) Indonesia, terutama terhadap kasus putusan bebas terhadap kasus-kasus korupsi dan illegal logging sebagai fakta yang berimplikasi terhadap perlindungan, 22 http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=9503
264
penghormatan, pemenuhan HAM di Indonesia. Dari apa yang terimplikasi dan putusan be bas tersebut, dapat dikatakan bahwa dengan putusannya tersebut hakim gagal menjerakan terdakwanya dan putusan itu tidak mencegah terjadinya korupsi dan illegal logging. Sifat kontroversi putusan bebas dimaknai sebagai akibat lemahnya SPP, dalam memberantas korupsi dan illegal logging. Dalam suasana kontroversial putusan bebas tidak menghasilkan sesuatu dan dimaknai oleh anggapan bahwa seorang koruptor dan penebang liar, per definisi dan per kasus, memiliki banyak uang untuk menyelewengkan proses hukum. Putusan bebas dapat menghancurkan sisa kepercayaan pada asas negara hukum, proses peradilan yang tidak pandang bulu dan putusan sebagai pemenuhan kewajiban hakim menggali dan mengikuti nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat. Masyarakat sudah lama bersaksi bahwa putusan bebas, boleh jadi adalah simbol ketidakberdayaan SPP dalam menegakkan hukum untuk membuat jera pelaku-pelaku korupsi dan illegal logging. Masyarakat maklum bagaimana seorang koruptor, dan penebang, pengangkut, dan pedagang kayu illegal, disidik, dituduh, disidang, ditahan dan didakwa, lalu di kemudian hari diperas dan baru setelah itu diputus bebas atau dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Pengadilan masih jauh dari harapan untuk memberantas korupsi dan illegal logging, secara faktual ditunjukkan oleh keberadaan putusan bebas yang cukup banyak jumlahnya. Berikut ini, uraian ditujukan kepada kasus putusan bebas, dalam korupsi dan illegal logging menurut kejadiannya sebagaimana dilansir dalam pendapat umum, berita kG>ran dan internet. Paling tidak, walaupun tidak komprehensif, kasus-kasus putusan bebas dari yudikatif tentang korupsi dan illegal logging masih berada jauh dari harapan. Uraian berikut memberi perhatian terhadap kasus korupsi dan illegal logging sebagaimana bermunculan dalan pendapat umum, seperti dalam pemberitaan media massa cetak, elektronik dan internet. Putusan bebas terhadap korupsi, putusan bebas terhadap illegal logging, ditampilkan dalam perspektif HAM menurut pokok-pokok pikiran dan pengertian seperti telah diuraikan pada halaman-halaman sebelumnya.
(1) Korupsi dan Putusan Be bas Secara lebih luas, minimnya dukungan terhadap komitmen pemberantasan korupsi yang sudah dicanangkan oleh Presiden Rl tidak
265
saja berasal dari jajaran eksekutif. Pihak yudikatif atau institusi pengadilan atau kehakiman ternyata juga memberikan kontribusi besa·r terhadap belum maksimalnya agenda antikorupsi yang sudah menjadi rencana strategis jangka pendek pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari kasus korupsi yang diperiksa dan diputus sepanjang semester I tahun 2006 menurut data yang tercatum dalam dokumen ICW selama priode setengah tahun (1 Januari-18 Juli 2006). 23 Berdasarkan catatan ICW selama periode semester pertama tahun 2006 (1 Januari-18 Juli 2006) sedikitnya terdapat 76 kasus korupsi dengan 206 orang terdakwanya yang diperiksa dan diputus oleh pengadilan di seluruh Indonesia, mulai dari tingkat pertama, banding dan kasasi. 24 Dari 76 Kasus sebanyak 14 kasus dengan 32 orang terdakwa divonis bebas oleh pengadilan dan 62 kasus yang akhirnya divonis bersalah. Dari kasus korupsi yang pada akhirnya divonis bersalah, sebanyak 24 diputus di bawah 2 tahun penjara. Sebanyak 26 diputus antara 2 hingga 5 tahun penjara, sedangkan putusan di atas 5 tahun penjara berjumlah 12 kasus. 25 Berbeda dengan data tahun 2005, dari segi aktor jumlah kasus yang terdakwanya berasal dari lingkungan eksekutif, jauh lebih besar daripada terdakwa yang berasal dari lingkungan legislatif. Dalam kurun waktu yang sama, yakni semester pertama tahun 2006, jumlah kasus yang melibatkan terdakwa-terdakwa dari ling kung an eksekutif, yakni kepala daerah, mantan kepala daerah, dinas, sekretaris daerah, adalah sebanyak 30 kasus. Tindak pidanei, korupsi yang melibatkan anggota dewan atau mantan anggota dewan (legislator) sebanyak 15 kasus yang telah divonis pengadilan. Jumlah ini masih jauh lebih sedikit daripada kasus korupsi yang melibatkan pihak swasta yaitu 21 kasus. Dari jumlah putusan bebas yang dihasilkan oleh institusi pengadilan selama semester pertama tahun 2006, ditemukan fakta bahwa institusi pengadilan masih jauh dari sempurna dalam tugas pemberantasan korupsi. Hal ini dapat dijelaskan dengan dua alasan, 23 http://www.antikorupsi.org/docs/putusanicw.pdf. 24 Jumlah kasus korupsi yang von is bias jadi lebih besar daripada yang disebut di atas, karena data ICW tersebut hanya berasal dari media nasional dan daerah, serta laporan mitra kerja ICW. 25 Bandingkan dengan perkara korupsi yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tipikor dan kesemuanya divonis bersalah dan dijatuhi hukuman penjara.
266
yakni: meski jumlah kasus yang divonis bebas relatif lebih kecil daripada yang dijatuhi hukuman, tetapi dari putusan bebasnya tersebut, hakim tidak memberikan apa-apa. Bahkan putusan bebas minus penjeraan dan tidak berpengaruh pada upaya pencegahan tindak pi dana korupsi. Selebihnya, meskipun vonis bersalah yang dijatuhakan oleh hakim jauh lebih banyak daripada yang dibebaskan. Namun dari putusannya tersebut, terpidana tidak serta merta dapat segera dieksekusi, karena terdakwa masih menempuh upaya hukum (banding, kasasi dan peninjauan kembali). Lagi pula dalam banyak kasus, sering kali terjadi putusan bersalah yang dijatuhkan hakim terse but, tidak disertai perintah penahanan terpidana, sehingga terpidana tidak segera mempertanggungjawabkan perbuatannya. Lebih rumit lagi jika terpidana banding, kasasi, dan peninjauan kembali, ternyata mendapatkan putusan bebas atau putusan lepas dari tuntutan hukum dari hakim. Jika putusan bebas ditinjau dari teori yang menyebutkan bahwa, kejahatan akan selalu terjadi jika risiko yang ditimbulkan dari perbuatan jahat itu lebih kecil daripada keuntungan yang diperolehnya.26 Maka secara otomatis dapat dikatakan bahwa dengan putusan bebas, maka koruptor sama sekali tidak menanggung risiko, dan mendapat keuntungan, dan dengan itu para koruptor dapat melakukan penghapusan asal-usul kekayaan negara yang dirampoknya menjadi uang yang halal. · Atau dengan kata lain korupsi akan tetap berlangsung, jika akibat dari tindakan itu tidak menyebabkan kerugian apapun bagi pelakunya. Dan pada saat yang sama, keuntungan yang diperoleh dari perbuatan korupsinya, dapat dinikmatinya secara bebas, bahkan dari generasi ke generasi sampai tujuh turunan. Tak aneh jika korupsi akan tumbuh subur tatkala sistem hukum pidana (SPP) hanya memutus bebas bagi para pelaku korupsi. Terlebih-lebih lagi dalam kenyataanya para koruptor mendapatkan putusan pembebasannya karena aparat penegak hukum dalam SPP mudah disuap. Koruptor akan mudah lari, bahkan sebagian besar hidup dengan tenang di tengah masyarakat, karena peradilan telah menjadi pasar transaksi jual beli putusan bebas. 26 http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=8676
267
Pemahaman tersebut di atas mendapat pengakuan dari Robert Klitgaard yang mengatakan bahwa korupsi itu merupakan kejahatan kalkulasi, sebuah tindakan pelanggaran terhadap hukum yang didasari perhitungan yang rasional dengan pendekatan untungrugi. Jika keuntungan melakukan korupsi lebih besar daripada kerugian yang mungkin didapat, korupsi akan tetap merajalela. 27 Pendek kata, putusan bebas minus efek jera dan tidak mencegah korupsi. Putusan bebas bertentangan dengan logika hukum acara karena pelimpahan perkara ke pengadilan disertai oleh alat-alat bukti secukupnya. Jika surat tuntutan JPU tidak cukup dan alat bukti tidak meyakinkan, hakim pun dapat menyarankan kepada JPU untuk melengkapi dan memperbaikinya. Hakim selaku pihak pemegang otoritas beracara di pengadilan dapat mencegah putusan bebas sedini mungkin dengan meminta JPU memperbaiki surat dakwaannya, apabila menurutnya surat dakwaan itu lemah atau tidak cukup. Dari logika ini dapat dipertanyakan bagaimana proses yang benar dalam beracara di pengadilan tidak menjadi perhatian, sedangkan diketahui bahwa proses yang tidak mumpuni melahirkan produk putusan bebas. Oleh karena itu masalah pengawasan hakim dan JPU menjadi bagian upaya luar biasa, yang mesti mendapat perhatian, dalam pemberantasan kejahatan di Indonesia, termasuk di dalamnya korupsi dan illegal logging. O.C. Kaligis dalam bukunya "Pengawasan Terhadap Jaksa Selaku Penyidik Tindak Pidana Khusus, Dalam Pemberantasan Korupsi" mengatakan bahwa teknik penyusunan tuntutan dan dakwaan menjadi arena permainan untuk menghukum atau membebaskan terdakwa. Diambil contoh kasus "bulog-gate"pengadilan terhadap Akbar Tanjung, Winfried Simatupang, dan H. Dadang Sukendar sengaja digabung oleh JPU untuk maksud tertentu dan penggabungan itu luput dari pengawasan siapapun. Hal ini telah diatur oleh JPU agar mereka tidak bisa menjadi saksi a char untuk satu sam a lain yang memungkinkan lahirnya putusan be bas tersebut. 28 27 http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=8676 28 O.C. Kaligis, Pengawasan Terhadap Jaksa Selaku Penyidik Tindak Pidana Khusus Da/am Pemberantasan Korupsi, (Bandung: PT Alumni, 2006. him. VII.
268
(2) Illegal Logging dan Putusan Bebas (a) Kasus Papua Upaya kasasi terhadap putusan bebas terhadap 14 perkara pembalakan liar di seluruh Papua menjadi kontra produktif. Di satu sisi kasasi kejaksaan merupakan upaya hukum yang dapat ditempuh untuk mengajukan dakwaan agar pelaku illegal logging dapat dihukum dan bertanggungjawab terhadap kejahatan yang dilakukannya. Di pihak lain Kejaksaan Agung seharusnya memeriksa seluruh dakwaan dalam 14 perkara itu. Sebab besar kemungkinan dakwaan Jaksa Penuntut Urnum (JPU) lemah, sehingga hakim tidak bisa menyimpulkan adanya tindak pidana. 29 Putusan bebas 14 kasus pembalakan liar Papua menunjukkan belum adanya sanksi yang tegas terhadap para pelaku pembalakan liar. Salama Operasi Hutan Lestari II di Papua, terdapat 27 kasus dibawa ke pengadilan. Sebanyak 13 kasus di antaranya diselesaikan dengan penjatuhan pidana antara tujuh bulan hingga dua tahun, sementara 14 kasus lainnya divonis bebas, dengan 18 terdakwa pembalakan illegal. Dalam kasus putus bebas tersebut, tiga kemungkinan yang terjadi bahwa: (1) benar-benar para terdakwa tidak bersalah; (2) terdakwa bersalah, tetapi JPU tidak dapat membuktikan dakwaanya dan karenanya hakim tidak mendapatkan keyakinan bahwa delik pembalakan liar telah terjadi; dan (3) di luar masalah proses, bahwa hakim telah bermain dengan para pihak yang terlibat atau dia tidak cakap.
(b) Kasus DL Sitorus Pengadilan Tinggi DKI Jakarta telah memutus be bas Dalia nus Lungguk Sitorus, terdakwa pembalakan liar lahan seluas 80.000 hektare di Padang Lawas, Tapanuli Selatan. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta telah memutuskan bahwa surat dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum atas terdakwa DL Sitorus tidak dapat diterima, dan memerintahkan agar terdakwa segera dikeluarkan dari tahanan Kejaksaan.
29 http://www.infopapua.com/modules.
269
Dengan putusan bebas tersebut hakim telah melepaskan DL Sitorus dari segala risiko. Dalam Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, dikatakan bahwa permintaan banding terdakwa diterima. Mengadili sendiri dan memutuskan bahwa: pertama, surat dakwaan JPU tidak dapat diterima. Dua, memerintahkan agar terdakwa dikeluarkan dari tahanan. Tiga, barang bukti segera dikembalikan kepada pihak terdakwa. 30 Sebelumnya DL Sitorus diadili dan dihukum delapan tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Tanggal 28 Juli 2006. 31 (c) Kasus Cirebon Pengadilan Negeri Cirebon membebaskan dua terdakwa illegal logging, Pontjodiono aliasAki (47), warga Kota Tegal Jawa Tengah dan Lim Kok Meng (53), warga Pegambiran Kecamatan Lemahwungkuk Kota Cirebon. Sebelumnya, jaksa menuntut Pontjodiono dengan hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp 100 juta. Sedangkan Lim Kok Meng dituntut 2,5 tahun atau 30 bulan penjara. Menurutjaksa, keduanya dinilai terbukti melakukan tindak pidana penyuapan kepada oknum PNS, di Balai Pelayanan dan Pengawasan Peredaran Hasil Hutan (BP3HH), demi kelancaran bisnis pembalakan liar. Dalam amar putusannya, Majelis Hakim PN Cirebon menyatakan, terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, melakukan perbuatan seperti yang didakwakan Jaksa tentang praktik ille_gal/ogging dan pencucian uang (money laundry). Berdasarkan fakta di persidangan, majelis hakim berpendapat, unsur-unsur yang didakwakan jaksa tidak terpenuhi. Baik Lim Kok Meng maupun Pontjodiono, tidak dapat dikualifikasikan sebagai pemilik kayu illegal, melakukan praktik suap dan pencucian uang.
(d) Kasus Sidikalang Pihak Kejaksaan Negeri Sidikalang mempertanyakan dan menyesalkan tindakan pihak Pengadilan Negeri (PN) Sidikalang 30 http:l/abdulmanan.blogspot.com/2006/11/karena-berpenganruh-dan-berduit.html 31 http://abdulmanan .blogspot. com/2006/11/karena-berpengaruh-dan-berduit. html
270
yang telah memvonis bebas terdakwa pelaku pembalakan hutan (illegal logging) Yulisman Kudadiri dan Sabar Kudadiri, yang sebelumnya telah ditahan di sel tahanan Pol res Dairi dan Kejari menyusul penangkapannya pada Mei 2006. Dalam kasus ini Kejaksaan Negeri menyatakan bahwa pihak penasihat hukum terdakwa sejak pertama perkara tersebut digelar, sama sekali tak ada menyatakan keberatan atas dakwaan pembalakan hutan, bahkan hingga proses di tingkat eksepsi (pembelaan) pun, pihak penasihat hukum tak melakukan eksepsi. Bagi JPU memahami putusan bebas hakim telah mengangkangi komitmen bersama pemerintah untuk memberantas illegal logging. Dari pihak JPU, putusan bebas hakim dihadapkan pada berbagai kejanggalan, antara lain: pihak hakim dalam proses melakukan sidang lapangan di lokasi hutan Desa Lae Am bat Kecamatan Silima Pungga-pungga, padahal pihaknya telah memperoleh data dari tim saksi ahli (melibatkan pejabat Dinas Kehutanan dan Kepolisian serta para instansi terkait) bahwa lokasi pembalakan (illegal logging) itu adalah areal berstatus hutan lindung atau hutan negara. Sehingga, bila pihak Kejaksaan telah memperoleh bukti dan memegang data yang telah diperkuat pihak saksi ahli, maka sidang lapangan dinilai tak perlu lagi. Kejanggalan lain adalah proses sidang dipaksakan dengan menghadirkan oknum hakim yang sudah memegang surat pindah tugas (mutasi) sebagai ketua majelis hakim dalam sidang tersebut. Selain itu, dalam proses tersebut, majelis hakim mengabaikan pasal-pasal tentang kesalahan terdakwa. Padahal, pihak penasihat hukumnya tak pernah mengajukan keberatan dan eksepsi (pembelaan) kecuali hanya mempermasalahkan status tanah hutan yang diklaim pihak terdakwa sebagai tanah t,Jiayat keluarga yang telah dikuasai sejak 1991 silam. Dari sudut pandang hakim dikatakan bahwa putusan bebas demi hukum yang dijatuhkan hakim didasarkan pada alasan Pasal 143 ayat (3) KUHAP yang menentukan bahwa surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan harus batal demi hukum. Kendatipun demikian JPU mengajukan bantahan
271
dengan mengutip Pasal156 ayat (1) KUHAP yang mengatakan bahwa dalam hal terdakwa dan penasihat hukum mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya, atau dakwaan tidak dapat diterima, atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut, untuk seterusnya mengambil keputusan. Di pihak JPU alasan putusan bebas hakim, karena tuntutan tidak jelas kurang cermat dan tidak beralasan. Hal ini diatur dalam Pasal197 (d) mengatakan pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan serta alat pembuktian yang diperoleh dan pemeriksaan di persidangan yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa. 32 D.
KESJMPULAN
1.
Kesimpulan (a) Sebagai seriosness crime, pemberantasan korupsi dan illegal logging harus ditindaklanjuti dengan upaya dan sarana pemberantasan yang bersifat extra ordinary antara lain dengan mengoptimalkan Sistem Peradilan Pidana (selanjutnya disingkat SPP) untuk meminimalkan korupsi dan illegal logging, sesuai dengan hukum yang benar dan adil. (b) Putusan bebas terhadap Korupsi dan illega/loging berimplikasi (mempunyai hubungan keterlibatan) dalam upaya perlindungan, penegakaR, dan pemenuhan HAM seperti dituangkan dalam instrumen HAM. (c) Menghukum koruptor dan penebang kayu tidak sah berg una bagi upaya politik perbaikan citra pengadilan, dan meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap komponen sistem peradilan pidana Indonesia dalam mengemban supremasi hukum, seperti dikehendaki konstitusi, Republik Indonesia sebagai Negara Hukum. (d) Korupsi dan illegal logging melanggar HAM Indonesia, menghambat upaya peningkatan pencapaian keadilan sosial,
32 http://www.depkominfo.go.id/?action=view&pid==news&id=1987
272
/ dengan merugikan negara secara melawan hukum, moral dan mengabaikan amanat penderitaan rakyat.
2.
Saran-saran
(a) Diperlukan tersedianya mekanisme keterbukaan dan transparansi proses paradilan yang memungkinkan partisipasi publik dalam mengikuti secara seksama bagaimana sebuah putusan pengadilan dibuat. Mekanisme seperti ini tidak cukup dengan pernyataan bahwa setiap sidang korupsi dari illegal logging dibuka untuk umum. (b) Diperlukan mekanisme pengawasan terhadap jaksa, selaku penyidik tindak pidana dalam pemberantasan korupsi. Termasuk dalam fungsi pengawasan ini, tugas hakim mengembalikan dan menegur JPU untuk memperbaiki dakwaannya, sedini mungkin sebelum persidangan terdakwa dimulai. (c) Mahkamah Agung Rl melakukan monitor dan evaluasi kinerja jajarannya, yang tercatat bersemangat memberikan putusan bebas. Hasil evaluasi dinyatakan terbuka untuk umun dan kemungkinan menghukum aparaturnya yang terbukti bersalah dalam bembuatan putusan bebas. Jakarta, 20 Februari 2007
273
DAFTAR PUSTAKA
Aditjondro, George Junus, "Korupsi Kepresidenan di Masa Orde Baru", dalam Hamid Basyaib dkk. (Editor), Mencuri Uang Rakyat: 16 Kajian Korupsi di Indonesia, Baku 1: Dari Puncak Sampai Dasar, Cetakan I, Jakarta: Aksara Foundation, 2002). Alatas, Syed Hussein, Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelahan Dengan Data Kontemporer, Cetakan Kedua, Jakarta LP3ES, 1982 Andreae, Fockema, Kamus Hukum, Bandung: Bina Cipta, 1983. Goodpaster, Gary, "Renungan Tentang Korupsi di Indonesia", Dalam Hamid Basyaib dkk. (Editor}, Mencuri Uang Rakyat: 16 Kajian Korupsi di Indonesia, Buku 4: Mencari Paradigma Baru, Cetakan I, Jakarta: Yayasan Aksara, 2002. Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi, Cetakan kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2002. Hamzah, Andi, Pemberantasan Korupsi: Melalui Hukum Pidana Nasional Dan lnternasional, Edisi Revisi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006. Hastuti, Hesty (dkk}, Laporan Penelitian Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Penebangan Hutan Secara Illegal (Illegal Loging), BPHN, 2006. http:/labdulmanan.blogspot.com/2006/11/karena-berpengaruh-danberduit.html -
http://www.antikorusi.org/docs/putusanicw.pdf. http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle &artid=8676 http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle &artid=8676 http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle &artid=9503 http://www.infopapua.com/modules.php?op=modload&name=News &file=article&sid=4187 &mode=thread&order=O&thold=O http://www.depkominfo.go. id/?action=view&pid=news&id= 1987
274
Kaligis, O.C., Pengawasan Terhadap Jaksa Selaku Penyidik Tindak Pidana Khusus Dalam Pemberantasan Korupsi, Bandung: PT Alumni, 2006. Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami Untuk Membasmi: Buku Saku Untuk Memahami Korupsi, Jakarta: KPK, 2006 Mubyarto, 1/mu Ekonomi, 1/mu Sosial, dan Keadilan, Jakarta: Yayasan Agro Ekonomika, 1980. Mulya Lubis, Todung, (Penyunting), Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Tahun 1981, Jakarta: Sinar Harapan, 1983. Naning, Ramdlon, Cita dan Citra Hak-Hah Asasi Manusia di Indonesia, Jakarta: Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Pro. gram Penunjang Bantuan Hukum Indonesia, 1983. Reksodiputro, Mardjono, "Korupsi Dalam Sistem Hukum", dalam Hamid Basyaib dkk. (Editor), Mencuri Uang Rakyat: 16 Kajian Korupsi di Indonesia, Buku 2: Pesta Tentara, Hakim, Bankir, Pegawai Negeri, Cetakan I, Jakarta: Yayasan Aksara, 2002). Seno Adji, lndyanto, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, Jakarta: Prof. Oemar Seno Adji, S.H., & Rekan, 2006. Sukardi, Illegal Logging: Dalam Perspektif politik Hukum Pidana (Kasus Papua), Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2005.
275