Lokakarya Pustakawan Perpustakaan Nasional yang diselenggarakan pada bulan November dan Desember 2016 di Teater Perpustakaan Nasional, Jakarta.
DARI REDAKSI Technology is nothing. What’s important is that you have a faith in people, that they’re basically good and smart, and if you give them tools, they’ll do wonderful things with them. -Steve Jobs-
S
ejarah membuktikkan bahwa manusia adalah makhluk yang selalu dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan seperti apapun. Manusia selalu mampu berinovasi dan menemukan hal-hal baru yang dapat bermanfaat bagi kehidupannya. Era ledakan informasi dimulai sejak ditemukannya mesin cetak oleh Guttenberg yang membuat penyebaran informasi menjadi lebih masif dan tentu saja meningkat secara kuantitas eksemplar. Saat ini, di era internet dan smartphone mulai beredar, informasi menjadi begitu mudahnya tersebar dan membawa manusia ke titik yg lebih tinggi dalam ledakan informasi. Di era ini, kita mengenal istilah seperti fake news dan hoax, pertanyaannya inovasi apa yang bisa dilakukan oleh perpustakaan dan pustakawan di era ini, khususnya dalam memenuhi kebutuhan informasi masyarakat?
DAFTAR ISI
Mencoba memaknai quote Steve Jobs, bahwa teknologi itu bukan sesuatu tanpa manusia yang baik dan cerdas, demikian pun teknologi dalam perpustakaan, tanpa pustakawan yang mumpuni teknologi tersebut menjadi tidak
04 |
Arief Wicaksono Layanan Referensi melalui SMS: Studi literatur (Perpustakaan Nasional RI)
12 |
Mengenai layanan virtual, artikel Arief Wicaksono yang berjudul “Layanan Referensi melalui SMS: Studi literatur” memberikan pemahaman mengenai layanan referensi virtual dengan baik. Tantangan perpustakaan dan pustakawan bukan hanya mengenai teknologi dan kebutuhan pemakai, mengenai impact atau dampak perpustakaan untuk masyarakat juga menjadi tantangan tersendiri. Artikel Agung Wibawa, Pemenang Pertama Pustakawan Berprestasi Terbaik Tingkat Nasional tahun 2016, menggambarkan apa yang pustakawan dan perpustakaan Gunung Kidul lakukan dalam upaya memberdayakan masyarakat. Selain dua artikel tersebut, kami sajikan pula artikel-artikel lain yang sama baik dan berkualitasnya. Selamat membaca!
28 |
Agung Wibawa Membangun Citra Profesi Pustakawan di Masyarakat (Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta)
Adriati Zen, Edithya Septiadi, Diyah Purnomowati Analisis Kebutuhan Koleksi e-Resources Perpustakaan Perguruan Tinggi (Perpustakaan Nasional RI)
37 |
Mohamad Rotmianto Studi Literatur tentang Option Number dalam Dewey Decimal Classification Edition 23 (Kabupaten Magetan, Jawa Timur)
49
21 |
maksimal digunakan. Layanan virtual oleh perpustakaan dapat menjadi jawaban dari pertanyaan pada paragraf sebelumnya. Layanan virtual perpustakaan adalah sarana penghubung perpustakaan untuk umum melalui jaringan elektronik (David Lankes). Ke depan layanan virtual akan menjadi tren di dunia perpustakaan.
Wahid Nashihuddin Peningkatan Status dan Eksistensi Profesi Pustakawan Indonesia melalui Publikasi Bidang Kepustakawanan (PDII-LIPI, Jakarta)
|
Ahmad Syawqi Mentradisikan Menulis Bagi Pustakawan (IAIN Antasari Banjarmasin, Kalimantan Selatan)
55 |
Yusrawati Perpustakaan sebagai Media Komunikasi Ilmiah di Perguruan Tinggi (UIN Ar-Raniry Banda Aceh, D.I. Aceh)
63 |
Rahmah Fajriah Peran Iklan Melalui Radio Terhadap Kunjung an dan Kegemaran Membaca di Perpustakaan Umum Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota (Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat)
69 |
Daniel Pandapotan Hutapea Implementasi Sistem ATM Buku di Perpustakaan “Suatu Terobosan Pelayanan Sirkulasi Buku untuk Generasi Digital Native” (Universitas Ma Chung, Malang, Jawa Timur)
MAJALAH MEDIA PUSTAKAWAN
Penasehat Kepala Perpustakaan Nasional RI, Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan, Penanggung jawab Kepala Pusat Pengembangan Pustakawan, Redaktur Sarwidiarti Mrihastuti, Penyunting Sadarta, Novi Herwati, Catur Wijiadi, Novatriyanti, Sri Sumiarsi, Ferico Hardiyanto, Rudianto, Khosyi Alfin Maulana, Redaktur Pelaksana Rohadi, Desain Grafis Akhmad Priangga, Sekretariat Ismawati, Dede Sumarti, Sutarti, Istilah Daerah, Etikah Wahyuni, Triningsih, Khamami, Mardiana Tri Hidayanti, Alamat Redaksi Pusat Pengembangan Pustakawan Perpustakaan Nasional RI, Jl. Salemba Raya No. 28A, Jakarta Pusat, Tlp. (021) 3906923, Fax. (021) 3906923, Email :
[email protected], ISSN : 1412-8519
Cover Depan: Perkembangan teknologi seyogyanya dapat dimanfaatkan oleh perpustakaan dan pustakawannya. Kini layanan referensi virtual melalui e-mail, chat maupun SMS sudah diterapkan di berbagai perpustakaan di luar negeri.
KONTEN NASKAH DI LUAR TANGGUNG JAWAB REDAKSI Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
3
Oleh: ARIEF WICAKSONO1, Email:
[email protected]
Layanan Referensi melalui SMS: Studi literatur Abstrak Layanan referensi virtual menjadi tren dalam dunia perpustakaan. Ada berbagai media yang dapat digunakan perpustakaan dalam menyelenggarakan layanan referensi virtual. SMS merupakan salah satu media yang dapat digunakan. Pemilihan media yang digunakan dalam layanan referensi virtual harus berdasarkan alasan yang kuat dan tidak hanya sekedar mengikuti tren yang ada supaya terlihat tidak ketinggalan zaman. SMS banyak digunakan perpustakaan untuk layanan referensi di luar negeri termasuk di negara maju seperti Amerika Serikat. Penggunaan SMS ini didasarkan profil masyarakat yang sering menggunakan SMS dan untuk meluaskan pasar layanan referensi. Tulisan ini bertujuan mengetahui dan memahami bagaimana pelaksanaan layanan referensi melalui SMS. Untuk itu dilakukan penelitian kualitatif berupa studi literatur dari tulisan yang ada terkait layanan referensi melalui SMS. Hasilnya SMS disejajarkan dengan media komunikasi virtual lainnya yang digunakan dalam layanan referensi. Berdasarkan literatur yang ada, perpustakaan yang sudah menyelenggarakan layanan referensi melalui SMS mendapati penggunaannya yang terus meningkat walau memang jumlah tidak sebesar media e-mail dan chat. Walau dirasakan sulit untuk melakukan wawancara referensi, namun dalam pelaksanaannya tetap ada pertanyaan referensi yang masuk melalui layanan referensi melalui SMS. Penggunaan teknologi dalam layanan referensi melalui SMS dinilai murah dan mudah dilakukan, mulai dari hanya cukup menggunakan telepon genggam hingga menggunakan software pada komputer. Seperti halnya layanan referensi lainnya, aspek komunikasi memegang peran sendiri untuk menciptakan suasana yang nyaman tanpa merasa direndahkan. Penggunaan SMS menuntut pustakawan untuk mampu menerjemahkan bahasa nonverbal dalam bahasa teks. Berdasarkan studi literatur ini, penulis menilai media SMS mempunyai potensi yang besar untuk meraih pasar yang lebih luas dalam layanan referensi. Kondisi kepemilikan non-smartphone yang lebih besar dibandingkan smartphone, perilaku SMS dari pengguna smartphone, jaringan internet belum merata di seluruh wilayah Indonesia, dan penggunaan internet yang masih kecil merupakan alasan yang sangat kuat untuk penggunaan media SMS dalam layanan referensi. Kata Kunci: Layanan perpustakaan referensi virtual, Layanan referensi SMS
Pendahuluan Layanan referensi virtual menjadi tren dalam dunia perpustakaan. Para peneliti, akademisi, praktisi, bahkan pengamat tertarik untuk membahas layanan referensi virtual. Ketertarikan akan tren layanan referensi virtual membuat ditemukannya banyak tulisan mengenai layanan referensi virtual. Salah satu tulisan yang ditemui berupa
1
studi literatur adalah Layanan Referensi Virtual: Sebuah Strategi Jasa Layanan Referensi di Perpustakaan (Restanti, 2015). Dalam tulisannya, Restanti (2015, 9) menyimpulkan bahwa layanan referensi virtual merupakan pengembangan layanan referensi yang menyesuaikan dengan perilaku pemustaka dan koleksi perpustakaan yang mengalami perubahan dengan adanya perkembangan teknologi
Mahasiswa Magister Departemen Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Universitas Indonesia. Pustakawan Ahli Pertama Perpustakaan Nasional RI.
4
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
informasi. Dengan adanya perkembangan teknologi infor masi, pemustaka berkeinginan kebutuhan informasi nya terpenuhi tanpa pergi secara fisik ke perpustakaan, tanpa harus bergerak dari tempat duduknya, atau tanpa harus meninggalkan aktivitasnya. Layanan referensi virtual diselenggarakan perpustakaan dalam rangka penyesuaian perilaku pemustaka tersebut. Tidak berhenti untuk hanya melakukan studi literatur, penelitian dilakukan dalam rangka memahami lebih dalam, mengevaluasi, mencari solusi dari pelaksanaan layanan referensi virtual yang telah berjalan. Banyak hal dan aspek yang dapat diteliti dalam layanan referensi virtual. Salah satu tulisan yang berupa hasil penelitian adalah Analisa Transaksi e-Mail dalam Layanan Referensi Virtual (Qomariah dan Kusuma, 2015). Qomariah dan Kusuma meneliti layanan referensi virtual melalui e-mail di Perpustakaan Universitas Kristen Petra Surabaya. Penelitian dilakukan dengan melakukan analisis isi pada e-mail untuk mengkaji transaksi referensi yang telah terjadi dari bulan Maret sampai dengan Juni 2015. Transaksi e-mail dianalisis dengan menggunakan kategori berupa jenis pertanyaan dan gaya komunikasi. Ditemukan dari hasil analisis bahwa pertanyaan referensi dalam layanan referensi melalui e-mail sebesar 16,67%. Jenis pertanyaan lainnya adalah pertanyaan mengenai layanan dan hal teknis. Temuan lainnya adalah penggunaan gaya bahasa formal dalam komunikasi layanan referensi melalui e-mail. Jika ditelusur tulisan dari luar negeri maka akan semakin banyak ditemukan tulisan mengenai layanan referensi virtual. Salah satu topik tulisan layanan referensi virtual yang ditemukan adalah penggunaan media SMS pada layanan referensi. Temuan tulisan layanan referensi melalui SMS menarik perhatian penulis untuk ditelusuri lebih lanjut. Ketertarikan penulis didasarkan pada sulitnya menemukan perpustakaan di Indonesia yang menggunakan SMS sebagai media layanan referensi virtual. Dari penelusuran penulis pada website perpustakaan di Indonesia, ditemukan bahwa hanya Perpustakaan Nasional RI (Perpusnas) yang menyelenggarakan layanan referensi melalui SMS. Sulit ditemukannya perpustakaan yang menyelenggarakan layanan referensi melalui SMS dapat menjadi salah satu alasan belum adanya tulisan yang membahas layanan referensi melalui SMS di Indonesia. Berdasarkan latar belakang di atas, maka kajian ini
dilakukan dalam rangka mengetahui dan memahami bagaimana pelaksanaan layanan referensi melalui SMS. Penelitian ini akan bermanfaat bagi perpustakaan di Indonesia untuk menimbang apakah akan menggunakan media SMS dalam layanan referensi. Tulisan ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan kajian literatur. Data dikumpulkan melalui penelusuran dari berbagai literatur yang telah ada. Kajian literatur memusatkan diri pada pengembangan hipotesis berdasarkan penelitian sebelumnya dan dapat menyarankan penelitian lebih lanjut (Sulistyo-Basuki, 2010, 110). SMS sebagai Layanan Referensi Virtual Layanan referensi virtual melingkupi seluruh layanan referensi yang terjadi pada dunia virtual (Bielskas dan Dreyer, 2012). Reference and User Services Association (2010) menyatakan layanan referensi virtual adalah layanan referensi yang dilakukan secara elektronis dimana pemustaka menggunakan komputer atau teknologi lain untuk berkomunikasi dengan staf layanan tanpa kehadiran secara fisik. Komunikasi melalui teknologi SMS adalah komunikasi yang terjadi pada dunia virtual dan dilakukan secara elektonis. Dengan demikian, layanan referensi melalui SMS merupakan salah satu layanan referensi virtual (Cassell dan Hiremath, 2012; Kern, 2009; Bopp dan Smith, 2011; Bielskas dan Dreyer, 2012). SMS disejajarkan dengan media dalam layanan referensi virtual lainnya seperti e-mail, instant messaging (IM), videoconferencing. Bahkan Bielkas dan Dreyer (2012) membahas SMS dan IM secara khusus dalam bukunya IM and SMS Reference Services for Libraries. SMS dan IM sering disandingkan dalam literatur karena persamaannya yang berbasiskan komunikasi teks. Perbedaannya adalah pada komunikasi melalui IM diperlukan adanya jaringan internet sementara SMS tidak. Dalam literatur layanan referensi melalui SMS dikenal dengan istilah “text messaging reference service”. Penggunaan layanan referensi melalui SMS terus mengalami peningkatan. Contohnya adalah Perpustakaan Albertsons di Boise State University. Layanan referensi melalui SMS Perpustakaan Albertsons terus mengalami peningkatan transaksi referensi sejak diselenggarakan pada Juni 2010 (Vecchione dan Ruppel, 2012). Jika disandingkan dengan media layanan referensi virtual lainnya, transaksi dalam layanan referensi melalui SMS memang tidak sebanyak media lainnya namun layanan referensi
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
5
melalui SMS tetap mempunyai pasar tersendiri. Layanan referensi melalui SMS Perpustakaan Sims Memorial di Southeastern Louisiana University pada tahun 2005-2006 hanya sebesar 6%, sementara chat 66% dan email 28% (Hill, Hill, dan Sherman, 2007). Namun dalam kurun waktu 2005-2010, Stahr (2011) menemukan penggunaan layanan referensi melalui SMS cenderung mengalami peningkatan, dibandingkan dengan layanan referensi melalui email dan chat yang cenderung stabil (lihat Gambar 1). Comparison of Usage Rates of Digital Reference Services Sims Memorial Library
Salah satu kunci penting meningkatnya atau menurunnya layanan referensi melalui SMS adalah faktor kesadaran pemustaka atas adanya layanan tersebut. Faktor ini sangat berkaitan erat dengan manajemen pemasaran layanan referensi melalu SMS yang dilakukan perpustakaan. Contohnya adalah penggunaan layanan referensi melalui SMS Perpustakaan Texas Tech University mengalami penurunan. Penurunan ini salah satunya disebabkan oleh kurangnya kesadaran pemustaka dengan adanya pemasaran yang tidak konsisten (Vardeman dan Barba, 2014).
Number of Interations per year
1400 1200 1000 800 600 400 200 0 2005-06
2006-07
2007-08
2008-09
2009-10
July 2005 - June 2010 chat
e-mail
SMS
Gambar 1. Perbandingan Layanan Referensi melalui SMS, Chat, dan E-mail (Stahr, 2011, 16)
Alasan Layanan Referensi melalui SMS Pemilihan media dalam layanan referensi virtual harus didasarkan pada alasan yang kuat dan tidak hanya berdasarkan supaya tidak terlihat ketinggalan zaman atau sekedar hanya mengikuti tren semata. Salah satu alasan yang dapat dijadikan latar belakang penyelenggaraan layanan referensi melalui SMS adalah berdasarkan profil dari pemustaka yang dilayaninya. Contohnya banyak perpustakaan di Amerika Serikat yang menggunakan media SMS dalam layanan referensi. Alasan penggunaan media SMS dalam layanan referensi karena 72% pemilik telepon genggam di Amerika Serikat menggunakan SMS sebagai salah satu fitur yang paling sering digunakan (Bielskas dan Dreyer, 2012, 2). Berdasarkan survei, 54%
Gambar 2. Informasi Layanan Referensi melalui SMS di New York Public Library
6
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
remaja Amerika Serikat menggunakan SMS setiap harinya. Dengan demikian penggunaan SMS dalam layanan referensi bertujuan untuk meluaskan pasar dengan menyesuaikan media komunikasi yang sering digunakan dalam komunikasi sehari-hari (lihat Gambar 2). Layanan referensi melalui SMS tidak hanya diselenggarakan perpustakaan di Amerika Serikat, namun juga di berbagai negara. Menurut Hill, Hill, dan Sherman (2007), layanan referensi melalui SMS juga diselenggarakan oleh perpustakaan di Australia, Jepang, Norwegia, dan Inggris. Giles dan Grey-Smith (2005) menyajikan laporan proyek percobaan penggunaan SMS dalam layanan referensi di perpustakaan Curtin University, Australia. Proyek percobaan ini dilakukan berdasarkan peningkatan kepemilikan telepon genggam di Australia. Proyek percobaan yang bernama “SMS a Query” menunjukkan bahwa SMS dapat menjadi media komunikasi yang baik dalam perpustakaan. Alasan lainnya adalah alasan yang umum, yaitu komunikasi melalui SMS dapat dilakukan oleh semua jenis telepon genggam, baik non-smartphone maupun smartphone (Bielskas dan Dreyer, 2012; Deloitte, 2014). Bahkan penggunaan smartphone seperti iPhone, Blackberry, dan Androids memudahkan komunikasi SMS (Bielskas dan Dreyer, 2012, 2). Teknologi Layanan Referensi melalui SMS Teknologi dalam penyelenggaraan layanan referensi melalui SMS termasuk sederhana dan murah (Stahr, 2009). Ada dua model teknologi yang dapat digunakan dalam penyelenggaraan layanan referensi melalui SMS. Pertama, teknologi yang perlu disediakan oleh perpustakaan untuk menyelenggarakan layanan referensi melalui SMS adalah cukup menyediakan seperangkat telepon genggam berikut nomornya. Teknologi ini digunakan pada proyek percobaan layanan referensi melalui SMS. Misalnya di perpustakaan Bryant University (Kohl dan Keating, 2009) dan perpustakaan New York University (Pearce, 2010). Pada proyek percobaan layanan referensi melalui SMS di perpustakaan New York University digunakan seperangkat telepon genggam Blackberry Pearl (Lihat Gambar 2). Sementara pada perpustakaan Bryant University digunakan telepon genggam murah dengan keyboard QWERTY. Penggunaan telepon genggam dalam pelaksanaan
layanan referensi melalui SMS mempunyai kelebihan dan juga berpotensi mempunyai kekurangan. Kelebihan penggunaan teknologi yang pertama ini adalah cukup dengan menyediakan perangkat telepon genggam, perpustakaan sudah dapat menyelenggarakan layanan referensi melalui SMS. Selain murah untuk memulai layanannya, penggunaan telepon genggam dalam pelaksanaan layanan referensi melalui SMS juga murah dalam pelaksanaan selanjutnya (Stahr, 2009; Kohl dan Keating, 2009). Namun model teknologi layanan referensi melalui SMS ini berpotensi mempunyai kekurangan yaitu pustakawan dituntut untuk mengetik jawaban pertanyaan melalui telepon genggam. Kedua, teknologi yang perlu disediakan untuk penye leng garaan layanan referensi melalui SMS adalah seperangkat komputer dengan software yang memungkinkan SMS yang masuk terbaca melalui komputer. Secara teknologi, selain dapat dibaca dan dikirim melalui telepon genggam SMS juga dapat diterima dan dikirim melalui perangkat komputer. Software dapat mengubah SMS menjadi instant messaging yang dibuka pada komputer atau mengubahnya menjadi e-mail dan sebaliknya dapat mengubah pesan yang diketik pada komputer baik instant messaging maupun e-mail menjadi SMS pada telepon genggam pemustaka. Seperti halnya penggunaan telepon genggam untuk layanan referensi melalui SMS, model penggunaan teknologi kedua untuk layanan referensi melalui SMS ini juga mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah pustakawan dapat mengetikkan jawaban melalui keyboad komputer. Hal ini menghapus kekurangan dari penggunaan telepon genggam pada layanan referensi melalui SMS. Kekurangannya adalah adanya kemungkinan perpustakaan tidak mempunyai kemampuan untuk membangun teknologi tersebut (Stahr, 2009). Software yang diperlukan ada yang gratis dan ada yang berbayar. Penggunaan software yang berbayar dapat menaikkan biaya penyelenggaraan layanan referensi melalui SMS. Ada berbagai software yang dapat digunakan dalam layanan referensi melalui SMS. Perpustakaan The Kresge Business Administration pada University of Michigan menggunakan SMS Messenger for Outlook (Profit, 2008). Dalam penelitian Vecchione dan Ruppel (2012) ditemukan tiga software yang paling banyak digunakan
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
7
perpustakaan dalam layanan referensi melalui SMS adalah Mosio, Google Voice, dan Library H3lp. Pertanyaan dalam Layanan Referensi melalui SMS Layanan referensi melalui SMS seperti layanan refe rensi virtual lainnya mendapatkan berbagai pertanya an termasuk pertanyaan referensi. Tingkat porsi jenis pertanyaan pada masing-masing perpustakaan berbedabeda. Pada Gambar 3 terlihat layanan referensi melalui SMS Perpustakaan Texas Tech University pertanya an referensi mencapai 37,2% (Vardeman dan Barba, 2014). Pertanyaan referensi yang dimaksudkan adalah pertanyaan yang membutuhkan penggunaan katalog perpustakaan atau sumber lain untuk menjawab pertanya an. Jika berdasarkan kategori pertanyaan referensi pada Vardeman dan Barba, maka pada layanan referensi melalui SMS Perpustakaan Curtin University pertanyaan referensi mencapai 19% (Giles dan Grey-Smith, 2005). Vecchione dan Ruppel (2012) melakukan survei kepada pustakawan mengenai layanan referensi melalui SMS dengan salah satu pertanyaannya adalah jenis pertanyaan yang masuk melalui layanan referensi melalui SMS. Pertanyaan referensi yang masuk menurut pustakawan adalah sebesar 40,4%. Pertanyaan lainnya yang masuk dalam layanan referensi melalui SMS adalah pertanyaan sirkulasi, jam buka layanan, dan teknis.
Electronic Resources 4% Test 4%
Complaints/ Suggestions 2%
Interlibrary Loan 1% Reference 37%
Outher 5%
Circulation 10%
Equipment 14% Directional 17%
Gambar 3. Pertanyaan dalam Layanan Referensi melalui SMS (Vardeman dan Barba, 2014, 173)
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
Dalam standar tersebut, pustakawan layanan referensi melalui SMS perlu memperhatikan kategori mudah didekati, menunjukkan perhatian, mendengarkan, penelusuran, dan follow-up. Cassidy, Colminares, dan Martinez (2014) menggunakan standar ini dengan pendekatan kuantitatif pada layanan referensi melalui SMS Perpustakaan The Newton Gresham di Sam Houston State University. Tujuannya adalah untuk menentukan seberapa baik kemampuan pustakawan referensi dalam penggunaan SMS dan seberapa baik pustakawan memberikan layanan dalam sikap yang diinginkan pemustaka. Hasilnya rata-rata pemenuhan kategori pada tingkat kedua dari tiga tingkat yang ditentukan, yaitu pada level “membangun”. Hanya kategori follow-up yang berada pada tingkat pertama, yaitu pada level “pemula”. Dengan demikian pustakawan perlu memberanikan diri untuk mengundang pemustaka untuk datang kembali jika kebutuhan informasinya belum terjawab. Untuk membangun komunikasi yang baik, Kingsbury (2015) memberikan strategi komunikasi untuk menggunakan akronim yang biasa digunakan pada komunikasi teks karena mengindikasikan kecakapan, menggunakan singkatan karena membantu menyesuaikan tingkat keformalan, dan menggunakan emosikon yang dapat menyediakan bahasa nonverbal pada komunikasi teks.
Hours 6%
8
Aspek Komunikasi Layanan Referensi melalui SMS Layanan referensi melalui SMS adalah layanan referensi yang dilaksanakan tanpa terjadi tatap muka secara fisik antaran pustakawan dan pemustaka. Walaupun tidak ada tatap muka, interaksi yang terjadi dalam layanan referensi melalui SMS tetap harus memperhatikan aspek komunikasi. Mengingat pentingnya perilaku pustakawan saat berinteraksi dengan pemustaka dalam layanan referensi virtual, Reference and User Services Association yang merupakan subdivisi American Library Association (ALA), memasukkan perilaku dalam layanan referensi virtual dalam Guideline for Behavioral Performance of Reference and Information Service Providers (2013).
Persepsi Pemustaka Vecchione dan Ruppel (2012) melakukan penelitian untuk mendapatkan persepsi pemustaka terkait layanan referensi melalui SMS dengan mengunakan survei. Tempat penelitiannya adalah Perpustakaan Albertsons di Boise State University. Persepsi yang ditanyakan adalah
apakah akan menggunakan kembali layanan referensi melalui SMS, tingkat kesukaan penggunaan SMS pada layanan referensi, tingkat kecepatan respon, dan tingkat kualitas pustakawan. Dari survei didapatkan 91% menyatakan akan menggunakan kembali layanan referensi melalui SMS. Lalu diketahui tingkat kesukaan menggunakan media SMS dalam layanan referensi adalah 25% menyatakan ‘love’, 30% menyatakan ‘liked a lot’, dan 36% menyatakan ‘like’. Mengenai tingkat respon, pemustaka menyatakan 28% sangat cepat, 32% menyatakan cepat, dan 30% menyatakan sedikit cepat. Pengalaman berinteraksi pemustaka dengan pustakawan melalui SMS dalam layanan referensi 27% menyatakan ‘love’, 30% menyatakan ‘like a lot’, dan 32% menyatakan ‘like’. Jika melihat rasio di atas, maka terlihat layanan referensi melalui SMS di Perpustakaan Albertsons berjalan dengan baik sehingga lebih banyak mendapat persepsi positif oleh permustaka. Penelitian Vecchione dan Ruppel sebenarnya juga melakukan survei mengenai persepsi dari layanan referensi melalui chat. Hasil survei antara chat dan SMS dalam layanan referensi virtual terlihat tidak berbeda jauh. Pemustaka terlihat lebih banyak memberikan persepsi positif terhadap penggunaan kedua media tersebut pada layanan referensi virtual. Pembahasan Penggunaan SMS dalam layanan referensi meninggalkan kesan ketinggalan zaman di era digital dan internet saat ini. Namun studi literatur di atas mengemukakan fakta yang berbeda dengan kesan yang ditimbulkan. Banyak perpustakaan menyelenggarakan layanan referensi melalui SMS hingga saat ini. Pemilihan media SMS sebagai salah satu media dalam layanan referensi harus berdasarkan alasan yang kuat yaitu menyesuaikan dengan kondisi pemustaka yang dilayaninya dan berusaha menjangkau pasar yang lebih luas. Perpustakaan di Amerika Serikat memilih media SMS pada layanan referensinya berdasarkan fakta bahwa penggunaan SMS yang tinggi oleh masyarakat Amerika Serikat. Selain itu, perpustakaan juga berusaha membuka seluas-luasnya untuk seluruh pengguna telepon genggam karena pengguna telepon genggam non-smartphone hanya dapat berkomunikasi melalui SMS dan suara.
Kondisi ini sebenarnya mirip dengan kondisi secara umum di Indonesia. Kepemilikan telepon genggam di Indonesia sebesar 77% atau sekitar 196,7 juta jiwa penduduk (Puslitbang Penyelenggaraan Pos dan Informatika, 2015). Dari jumlah kepemilikan telepon genggam tersebut dapat dibagi menjadi pengguna smartphone sebesar 41,7% dan pengguna non-smartphone sebanyak 71,2%. Pengguna non-smartphone hanya dapat melakukan komunikasi melalui suara (telepon) dan teks (SMS). Lalu berdasarkan data Inmobi (2014), sebanyak 68% pengguna smartphone mengirimkan beberapa (several times) dan 11% sedikit (few times) SMS setiap harinya. Dengan demikian, penggunaan SMS dalam layanan referensi berpotensi menjangkau pengguna seluruh pengguna telepon genggam, baik pengguna smartphone dan non-smartphone. Selain itu kondisi di Indonesia, jaringan internet masih belum merata di seluruh Indonesia. Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam Rencana Strategis Kementerian Komunikasi dan Informasi Tahun 2015-2019 menyatakan bahwa kesenjangan digital di wilayah Indonesia masih tinggi (Kementerian Komunikasi dan Informatika, 2015). Penggunaan internet oleh individu di Indonesia hanya sebesar 29,6% (Puslitbang Penyelenggaraan Pos dan Informatika, 2015). Beberapa data ini, yaitu kepemilikan non-smartphone yang lebih besar, perilaku SMS pengguna smartphone, jaringan internet belum merata, dan penggunaan internet yang masih kecil dapat menjadi alasan kuat bagi perpustakaan untuk menyelenggarakan layanan referensi melalui SMS. Media SMS dapat digunakan sebagai salah satu media yang dapat digunakan oleh perpustakaan. Artinya perpustakaan juga dapat menyelenggarakan layanan referensi virtual lainnya sepeti e-mail dan chat. Salah satu perpustakan yang menyelenggarakan layanan referensi melalui SMS adalah Perpusnas. Layanan referensi melalui SMS Perpusnas menunjukkan peningkatan sejak diselenggarakan pada awal tahun 2013. Seperti yang terungkap dalam studi literatur di atas bahwa jumlah pertanyaan yang masuk ke layanan referensi melalui SMS Perpusnas memang tidak sebanyak layanan referensi melalui e-mail. Namun penggunaan media SMS dalam layanan referensi melalui SMS oleh Perpusnas semakin membuka seluas-luasnya masyarakat untuk bertanya kepada Perpusnas dalam rangka pemenuhan kebutuhan informasinya (Lihat Gambar 4).
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
9
15000
dapat diperhatikan.
10000
Untuk memulai menyelenggarakan layanan referensi melalui SMS dinilai sangat mudah dan murah. Jika belum dapat mengadakan software pada komputer, maka dengan menyediakan telepon genggam dengan nomor dan penyediaan anggaran dana untuk membalas SMS, maka perpustakaan sudah dapat segera menyelenggarakan layanan referensi melalui SMS. Hal ini yang dilakukan oleh beberapa perpustakaan untuk melakukan proyek percontohan untuk memulai mencoba menggunakan media SMS dalam layanan referensi. Dalam menyelenggarakan layanan referensi melalui SMS perlu diperhatikan beberapa hal, yaitu ketepatan jawaban yang diberikan dalam layanan referensi melalui SMS, kecepatan respon dalam memberikan jawaban dan kualitas komunikasi dari pustakawan.
5000
0
2013
2014 Tahun
Jumlah sesi e-mail
2015 Jumlah sesi SMS
Gambar 4. Layanan referensi melalui SMS dan e-mail tahun 2013-2015 Penutup Perpustakaan di Indonesia terutama di daerah yang tidak kuat jaringan internetnya dapat menyelenggarakan dapat menyelenggarakan layanan referensi melalui SMS. Penggunaan SMS dalam layanan referensi di perpustakaan sangat sesuai dengan profil kepemilikan telepon genggam di Indonesia yang masih lebih banyak menggunakan non-smartphone. Selain itu, pengguna smartphone di Indonesia pun ternyata masih sering menggunakan SMS dalam sehari-harinya. Kondisi tidak meratanya jaringan internet dan masih kecilnya pengunaan internet di seluruh wilayah Indonesia juga menjadi kondisi yang
Perpustakaan Nasional yang sudah menyelenggarakan layanan referensi melalui SMS dapat menjadi proyek percontohan bagi pelaksanaan layanan referensi melalui SMS di Indonesia. Pengkajian terhadap jalannya layanan referensi melalui SMS di Perpustakaan Nasional perlu dilakukan untuk mendapatkan gambaran dan memahami penyelenggaraan layanan referensi melalui SMS.
Daftar Pustaka Bielskas, A. & Dreyer, K.M. (2012). IM and SMS reference services for libraries. Chicago: ALA TechSource. Bopp, R.E. & Smith, L.C. (ed.). (2011). Information and information service: an introduction (4th ed.). California: Libraries Unlimited. Cassell, K.A. dan Hiremath, U. (2012). Reference and information services: an introduction (3rd ed.). London: Facet Publishing. Deloitte. (2014). Short messaging services versus instant messaging: value versus volume. Diakses 18 Agustus 2016. http://www2.deloitte. com/content/dam/Deloitte/au/Documents/ technology-media-telecommunications/deloitteau-tmt-short-messaging-services-versus-instantmessaging-011014.pdf.
10
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
Giles, N. & Grey-Smith, S. (2005). Txting Librarians @ Curtin. Diakses 18 Agustus 2018. http://citeseerx.ist. psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.138.8340&re p=rep1&type=pdf Hill, J.B., Hill, C.M., dan Sherman, D. (2007). Text messaging in an academic library: integrating SMS into digital reference. The Reference Librarian. 47(1): 17-29. Inmobi. (2014). Mobile messaging apps study: Indonesia. Diakses 28 Juni 2016. Kementerian Komunikasi dan Informatika. (2015). Rencana Strategis Kementerian Komunikasi dan Informasi Tahun 2015-2019. 4 Juni 2016. http://web. kominfo.go.id/sites/default/files/users/12/PM%20 Kominfo%20No.22%20Th%202015%20Renstra%20 Kominfo%202015--2019_Final.pdf
Kern, C. (2009). Virtual reference best practice: tailoring services to your library. Chicago: American Library Association. Kingsbury, M. (2015). How to smile when they can’t see your face: rhetorical listening strategies for IM and SMS reference. International Journal of Digital Library Systems. 5(1): 31-44. Kohl, L. & Keating, M. (2009). A Phone of One’s Own: Texting at the Bryant University Reference Desk. Library Staff Journal Articles. Paper 1. Diakses 18 Agustus 2016. http://digitalcommons.bryant.edu/ libr_jou/1. Profit, S.K. (2008). Text messaging at reference: a preliminary survey. The Reference Librarian. 49(2): 129-134. Pearce, A. (2010). Text message reference at NYU Libraries. The Reference Librarian, 51(4): 256–263. Puslitbang Penyelenggaraan Pos dan Informatika. (2015). Buku saku hasil survei indikator TIK 2015 rumah tangga dan individu. Diakses 28 Juni 2016. https://balitbangsdm.kominfo.go.id/ downloads/9/20160218112348-Release%20 infografis%20TIK%202015%20Puslitbang%20PPT.pdf Qomariah, A.N. & Kusuma, R.C.D. (2015). Analisa Transaksi E-mail dalam Layanan Referensi Virtual. Record and Library Journal. 1(2): 105-119. Diakses 18 Agustus 2016. e-journal.unair.ac.id/index.php/RLJ/ article/download/1174/959.
Restanti, A.S. (2015). Layanan Referensi Virtual: Sebuah Strategi Jasa Layanan Referensi di Perpustakaan. Visi Pustaka. 17(1): 3-10. Reference and User Services Association. (2010). Guidelines for implementing and maintaining virtual reference services. Diakses 20 Agustus 2016. http:// www.ala.org/rusa/sites/ala.org.rusa/files/content/ resources/guidelines/virtual-reference-se.pdf Reference and User Services Association. (2013). Guideline for Behavioral Performance of Reference and Information Service Providers. Diakses 18 Agustus 2016. http://www.ala.org/rusa/resources/ guidelines/guidelinesbehavioral. Stahr, B. (2009). SMS library reference service options. Library Hi Tech News. 26(3/4): 13-15. Stahr, B. (2011). Text message reference service: five years later. The Reference Librarian. 52: 9-19. Sulistyo-Basuki. (2010). Metode Penelitian. Jakarta: Penaku. Vaderman, K.K. & Barba, I. (2014). Reference in 160 characters or less: the role of text messaging in virtual reference services. Internet Reference Services Quarterly. 19:163-179. Vecchione, A. & Ruppel, M. (2012). Reference is neither here nor there: a snapshot of SMS reference services. The Reference Librarian. 53: 355-372.
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
11
Oleh: ADRIATI ZEN1, EDITHYA SEPTIADI2, DIYAH PURNOMOWATI3, Email:
[email protected]
Analisis Usulan Kebutuhan Koleksi e-Resources Perpustakaan Perguruan Tinggi Negeri untuk Diadakan Perpustakaan Nasional Abstrak Perpustakaan Nasional sebagai benteng terakhir dari semua jenis perpustakaan yang ada di Indonesia, berusaha menyediakan koleksi yang dibutuhkan masyarakat serta menjalankan fungsinya sebagai pusat pendidikan seumur hidup (life-long education), pusat informasi, pelestarian kebudayaan, dan tempat rekreasi masyarakat dengan memberikan layanan kepada pemustaka sehingga kebutuhan informasi mereka dapat terpenuhi. Kebutuhan informasi setiap pemustaka, baik dilihat dari konteks psikologis, intelektual maupun sosial berbeda satu dengan yang lainnya. Analisis kebutuhan koleksi e-resources kali ini ditujukan pada Perpustakaan Perguruan Tinggi Negeri. Sebagai salah satu tahapan dalam mengembangkan dan membangun koleksi, khususnya untuk memperkuat koleksi e-resources yang dapat memenuhi kebutuhan informasi pemustaka serta dapat menjangkau lebih banyak pemustaka tanpa dibatasi ruang dan waktu. Untuk meningkatkan keakuratan penyediaan informasi bagi pemustaka, kemajuan teknologi diharapkan dapat mempermudah proses penyediaan, penelusuran dan penyajian informasi. Pemberian jasa perpustakaan dapat ditingkatkan kecepatan dan ketepatannya sehingga dapat memberikan kepuasan kepada pemustaka serta mampu meningkatkan keakuratan penyediaan informasi untuk kebutuhan pemustaka serta perencanaan dan pengembangan perpustakaan di masa depan. Kata Kunci: e-Resources, Kebutuhan pemustaka, Pengadaan e-resources Pendahuluan Di era teknologi yang semakin maju dan berkembang, peran perpustakaan baik sebagai sarana pencarian referensi dan situs web maupun sebagai media informasi, komunikasi dan promosi menjadi kebutuhan bagi masyarakat. Keberadaan perpustakaan sangat berarti dalam memberikan layanan informasi yang bermutu dan sebagai jembatan menuju penguasaan ilmu pengetahuan, 1 2 3
Pustakawan Ahli Madya Perpustakaan Nasional RI. Pustakawan Ahli Pertama Perpustakaan Nasional RI. Pustakawan Ahli Pertama Perpustakaan Nasional RI.
12
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
sekaligus menjadi tempat rekreasi yang menyenangkan, menyegarkan dan mengasyikan. Untuk meningkatkan keakuratan penyediaan informasi bagi pemustaka, kemajuan teknologi diharapkan dapat mempermudah proses penyediaan, penelusuran dan penyajian informasi. Pemberian jasa perpustakaan dapat ditingkatkan kecepatan dan ketepatannya sehingga dapat memberikan kepuasan kepada pemustaka serta mampu meningkatkan
keakuratan penyediaan informasi untuk kebutuhan pemustaka serta perencanaan dan pengembangan perpustakaan di masa depan. Sebagai pusat informasi serta sumber ilmu penge tahuan yang tidak ada habis-habisnya untuk digali, ditimbang dan dikembangkan, ketersediaan koleksi diperpustakaan merupakan hal penting untuk diperhati kan. Undang-Undang No. 43 tahun 2007 pasal 1 ayat (5) menyatakan bahwa Perpustakaan Nasional sebagai pelak sana pemerintahan dalam bidang perpustakaan mempunyai fungsi sebagai perpustakaan pembina, perpusta kaan rujukan, perpustakaan deposit, perpus takaan penelitian, perpustakaan pelestarian, dan sebagai pusat jejaring perpustakaan. Sebagai perpustakaan rujukan, penelitian dan pusat jejaring, Perpustakaan Nasional memiliki tanggung jawab untuk menjamin terse dianya koleksi yang lengkap sesuai kebutuhan pemustaka serta menyediakan sarana komunikasi dan menfasilitasi tersedianya sumber informasi bagi anggota jejaring. Koleksi yang ada di Perpustakaan Nasional saat ini beragam bentuknya. Baik dalam bentuk tercetak, terekam maupun elektronik yang sesuai dengan perkembangan zaman, kemajuan teknologi dan media penyimpan informasi. Koleksi dalam bentuk maya elektronis (e-resources) diadakan untuk memudahkan pemustaka dan anggota jejaring dalam mengakses layanan berbasis web dengan lebih mudah, efisien dan dapat menjangkau pemustaka secara luas tanpa batasan tempat dan waktu. Permasalahannya, koleksi yang berdayaguna tergantung pada kesesuaian informasi yang diinginkan pemustaka, karena itu koleksi yang tersedia harus disesuaikan dengan kebutuhan pemustaka, sehingga pendayagunaan koleksi dapat dimanfaatkan dengan maksimal.
• Need for information, merupakan suatu kebutuhan akan informasi yang bersifat umum • Needs for material and facilities, merupakan kebutuhan untuk mendapatkan buku-buku atau bahan pustaka lain, serta kebutuhan akan fasilitas perpustakaan yang menunjang kegiatan belajar • Needs for guidance and support, merupakan kebutuhan untuk mendapatkan bimbingan atau petunjuk yang memudahkan pemustaka mendapatkan apa yang diinginkan. Kebutuhan informasi pemustaka terus meningkat dan semakin kompleks, baik subjek atau topiknya, jenis, maupun format atau medianya. Kondisi ini perlu direspons dengan cepat oleh perpustakaan sebagai institusi yang menghimpun, mengolah, menyediakan, dan menyebarluaskan informasi. Perkembangan teknologi yang semakin pesat dewasa ini juga secara langsung akan mempengaruhi perpustakaan dalam pengembangan koleksinya. Selain dalam bentuk tercetak, perpustakaan harus mampu mengembangkan sumber daya informasi dalam bentuk elektronik atau digital.
Pendayagunaan koleksi perpustakaan sangat tergan tung pada pemustaka dan pustakawan. Keinginan dan per min taan pemustaka terhadap pendayagunaan koleksi perpustakaan sebaiknya dikomunikasikan antara kedua belah pihak. Menghadirkan koleksi perpustakaan yang sesuai dengan keinginan pemustaka harus terus diupayakan, walaupun makin sedikit pemustaka yang paham dan sadar akan keberadaan koleksi perpustakaan yang sesuai dengan kebutuhannya.
Pengembangan koleksi mencakup empat aspek utama, yaitu kebijakan pengembangan koleksi, seleksi, pengadaan, dan deseleksi. Pengembangan koleksi adalah suatu proses perencanaan pengadaan dan pembangunan koleksi sesuai dengan kebutuhan pemustaka dengan mempertimbangkan kualitas koleksi. Kegiatan ini dilaksanakan bersama-sama oleh pengambil kebijakan, pustakawan, dan pemustaka. Menurut Lehmann dan Spohrer dalam Perpustakaan Nasional RI (2009), pengembangan koleksi mencakup seleksi bahan pustaka, kebijakan koleksi, perawatan koleksi, preservasi, kajian kebutuhan pemustaka, kajian dan evaluasi pemanfaatan koleksi, serta kerja sama pemanfaatan sumber daya. Kebijakan pengembangan koleksi secara tertulis perlu memuat penjelasan singkat mengenai misi perpustakaan dan sasaran yang ingin dicapai, pemustaka yang dilayani, dan koleksi yang dimiliki. Perlu pula dicantumkan penanggung jawab pengelolaan perpustakaan dan orang yang diberi wewenang untuk melakukan seleksi, metode seleksi, pengaturan anggaran, komposisi masyarakat yang dilayani, serta prioritas koleksi yang akan diseleksi dan dikembangkan (Sulistyo-Basuki 1991).
Ada tiga kebutuhan pemustaka menurut Fisher (1988) yang sering ditemui, antara lain:
Berkaitan dengan pengembangan koleksi perpusta kaan, seleksi merupakan kegiatan mengiden tifikasi
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
13
infor masi untuk ditambahkan pada koleksi yang ada di perpustakaan. Proses seleksi bahan pustaka di setiap perpustakaan berbeda-beda, disesuaikan dengan tugas dan tujuan perpustakaan serta pemustaka potensial yang dilayani. Proses seleksi bahan pustaka mengacu pada kebutuhan pemustaka agar kebijakan pengembangan koleksi yang akan dibuat lebih lengkap dan dapat menyediakan bahan pustaka yang tepat, walaupun sebetulnya tidak ada ada satupun perpustakaan di dunia yang mampu menyediakan bahan perpustakaan secara lengkap dan tepat, karena banyaknya informasi yang tersebar pada saat ini dan keterbatasan yang dimiliki perpustakaan itu sendiri. Untuk menyediakan bahan perpustakaan yang lengkap dan tepat, Perpustakaan Nasional berusaha mengembangkan koleksinya sesuai dengan kebijakan yang sudah ditetapkan Kepala Perpustakaan Nasional, yang diarahkan kepada sumber-sumber informasi dalam bentuk elektronik/digital berupa e-book, e-journal dan e-video disamping dalam bentuk tercetak dan mikro. Mulai tahun 2008 hingga 2014, Perpustakaan Nasional telah membeli dan berlangganan 20 web database yang terdiri dari 18 penerbit luar negeri dan 2 penerbit dalam negeri. Koleksi ini memperoleh banyak perhatian pemustaka karena kemudahan akses informasi jarak jauh yang ditawarkan sehingga menjadi salah satu program quickwin Perpustakaan Nasional. Pada tahun 2013, untuk mempermudah pengaksesan terhadap koleksi e-resources, Perpustakaan Nasional juga melanggan Summons, sebuah layanan penelusuran berskala web (discovery web service) yang saat ini terintegrasi dengan koleksi e-resources sehingga semakin memudahkan pemustaka dalam melakukan penelusuran koleksi secara mendalam. Dalam rapat koordinasi yang dilaksanakan pada tahun 2014, sejumlah perpustakaan memberikan masukan dan saran agar Perpustakaan Nasional memperhatikan dan mengakomodasi kebutuhan pemustaka yang berada di perguruan tinggi mengingat masih banyak perpustakaan perguruan tinggi yang belum memiliki anggaran untuk mengadakan koleksi e-resources sendiri. Hal ini yang mendasari Perpustakaan Nasional untuk meminta masukan atau usulan pengadaan koleksi e-resources yang diinginkan pemustaka di lingkungan perguruan tinggi oleh Perpustakaan Nasional.
14
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
Dalam rangka mewujudkan pemenuhan kebutuhan pemustaka di atas, Perpustakaan Nasional pada kesempatan ini mencoba menghimpun masukan dari berbagai perguruan tinggi terkait dengan kebutuhan koleksi e-resources terutama subjek dan database yang mereka butuhkan namun belum dapat mereka adakan. Masukan ini digunakan untuk menjaring informasi mengenai perpustakaan perguruan tinggi yang sudah maupun yang belum pernah melanggan koleksi e-resources dan untuk perencanaan pengadaan koleksi e-resources Perpustakaan Nasional kedepannya. Kelebihan dari pengadaan e-resources yang dilakukan oleh Perpustakaan Nasional adalah dapat menjangkau ke seluruh masyarakat, termasuk masyarakat perguruan tinggi. Sementara, e-resources yang dilanggan oleh masing-masing perguruan tinggi saat ini tidak dapat dimanfaatkan secara bersama (resource sharing) walaupun subjek dan databasenya sama. Metodologi Pada tahun 2015, Perpustakaan Nasional meminta usulan kepada 109 perpustakaan perguruan tinggi negeri yang tersebar diseluruh Indonesia. Pengumpulan data kebutuhan pemustaka tidak dilakukan langsung terhadap pemustaka, melainkan dikumpulkan melalui kepala Perpustakaan Perguruan Tinggi yang mengetahui kebutuhan pemustaka dilingkungan perguruan tingginya dan mengetahui vendor/aggregator penyedia koleksi e-resources dengan spesifikasi/subjek atau bentuk format e-resources yang mereka miliki masing-masing. Untuk mengetahui masukan dan usulan mengenai kebutuhan pemustaka di lingkungan perguruan tinggi, maka disebar kuesioner atau daftar pertanyaan yang berhubungan dengan pengadaan koleksi e-resources, baik mengenai koleksi e-resources yang sudah mereka langgan, maupun usulan untuk dilanggankan oleh Perpustakaan Nasional, dengan menyurati seluruh Rektor dan Kepala Perpustakaan Perguruan Tinggi Negeri yang ada di Indonesia. Jumlah total, sebanyak 109 perguruan tinggi negeri yang telah disurati oleh Perpustakaan Nasional, yang dikelompokkan atas 2 jenis perguruan tinggi yaitu 54 Universitas Negeri yang terdiri dari Universitas dan Institut, dan 55 Universitas Islam Negeri yang terdiri dari Universitas, Institut dan Sekolah Tinggi.
Hasil dan Pembahasan a. Profil Responden Perguruan Tinggi yang disurati dan diminta informasi nya mengenai koleksi e-resources yang sudah mereka langgan dan usulan untuk dilanggan Perpustakaan Nasional sebanyak 109 perpustakaan, namun yang merespon hanya 33 perpustakaan, seperti yang terlihat dalam tabel dibawah ini: Jenis Perguruan Tinggi 1. Universitas Negeri (Universitas dan Institut) 2. Universitas Islam Negeri (Universitas, Institut & Sekolah Tinggi) Jumlah
PT PT yang yang disurati mengusulkan 55
22
54
11
109
33
*PT: Perguruan Tinggi
Berikut adalah nama-nama Perguruan Tinggi yang perpustakaannya disurati dan diminta usulan e-resources untuk dilanggan melalui pengadaan Perpustakaan Nasional: UNIVERSITAS NEGERI 1. Universitas Syiah Kuala 2. Universitas Malikussaleh 3. Universitas Negeri Medan 4. Universitas Sumatera Utara 5. Universitas Negeri Padang 6. Universitas Andalas 7. Universitas Riau 8. Universitas Jambi 9. Universitas Maritim Raja Ali Haji 10. Universitas Sriwijaya 11. Universitas Bangka Belitung 12. Universitas Bengkulu 13. Universitas Lampung 14. Universitas Negeri Jakarta 15. Universitas Indonesia16. Institut Pertanian Bogor 17. Universitas Pendidikan Indonesia 18. Institut Teknologi Bandung 19. Universitas Padjadjaran 20. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa 21. Universitas Jenderal Soedirman 22. Universitas Negeri Semarang 23. Universitas Diponegoro 24. Universitas Sebelas Maret 25. Universitas Negeri Yogyakarta
26. Universitas Gadjah Mada 27. Universitas Negeri Surabaya 28. Institut Teknologi Sepuluh Nopember 29. Universitas Airlangga 30. Universitas Trunojoyo 31. Universitas Negeri Malang 32. Universitas Brawijaya 33. Universitas Jember 34. Universitas Udayana 35. Universitas Pendidikan Ganesha 36. Universitas Mataram 37. Universitas Nusa Cendana 38. Universitas Tanjungpura 39. Universitas Palangkaraya 40. Universitas Lambung Mangkurat 41. Universitas Mulawarman 42. Universitas Borneo Tarakan 43. Universitas Negeri Makassar 44. Universitas Hasanuddin 45. Universitas Tadulako 46. Universitas Haluoleo 47. Universitas Negeri Gorontalo 48. Universitas Negeri Manado 49. Universitas Sam Ratulangi 50. Universitas Pattimura 51. Universitas Cenderawasih 52. Universitas Khairun 53. Universitas Negeri Papua 54. Universitas Musamus Merauke UNIVERSITAS ISLAM NEGERI 1. UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta 2. UIN Alauddin, Makassar 3. UIN Sunan Gunung Djati, Bandung 4. UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang 5. UIN Sultan Syarif Kasim, Riau 6. UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta 7. UIN Ar-Raniry, Banda Aceh 8. UIN Sunan Ampel, Surabaya 9. UIN Sumatera Utara, Medan 10. UIN Walisongo, Semarang 11. UIN Raden Fatah, Palembang 12. IAIN Ambon, Ambon 13. IAIN Antasari, Banjarmasin 14. IAIN Imam Bonjol, Padang 15. IAIN Raden Intan, Bandar Lampung 16. IAIN Syekh Nurjati, Cirebon 17. IAIN Surakarta, Surakarta
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
15
18. IAIN Tulungagung, Tulungagung 19. IAIN Sulthan Thaha Saifuddin, Jambi 20. IAIN Bengkulu, Bengkulu 21. IAIN Sultan Amai, Gorontalo 22. IAIN Ternate, Ternate (Maluku Utara) 23. IAIN Sulthan Maulana Hasanudin, Banten (Banten) 24. IAIN Dato Karamau, Palu (Sulawesi Tengah) 25. IAIN Padang Sidempuan, Tapanuli Selatan (Sumatera Utara) 26. IAIN Pontianak, Pontianak (Kalimantan Barat) 27. IAIN Mataram, Lombok (Nusa Tenggara Barat) 28. IAIN Salatiga, Salatiga (Jawa Tengah) 29. IAIN Purwokerto, Purwokerto (Jawa Tengah) 30. IAIN Manado, Manado (Sulawesi Utara) 31. IAIN Jember, Jember (Jawa Tengah) 32. IAIN Palopo, Palopo (Sulawesi Selatan) 33. IAIN Samarinda, Samarinda (Kalimantan Timur) 34. IAIN Palangkaraya, Palangkaraya (Kalimantan Tengah) 35. IAIN Kendari, Palu (Sulawesi Tenggara) 36. IAIN Langsa, Langsa (Aceh) 37. STAIN Gajah Putih Takengon, Takengon (Aceh) 38. STAIN Teungku Dirundeng, Melabuh (Aceh)) 39. STAIN Bengkalis, Riau (Riau) 40. STAIN Curup, Rejang Lebong (Bengkulu) 41. STAIN Syekh Abdurrahman Sidik, Sungailiat (Bangka Belitung) 42. STAIN Kudus, Kudus (Jawa Tengah) 43. STAIN Kediri, Kediri (Jawa Timur) 44. STAIN Pamekasan, Pamekasan (Jawa Timur) 45. STAIN Watampone, Bone (Sulawesi Selatan) 46. STAIN Parepare, Parepare (Sulawesi Selatan) 47. STAIN Al-Fatah, Jayapura, (Irian Jaya) 48. STAIN Sorong, Sorong (Papua Barat) 49. STAIN Batusangkar, Tanah Datar (Sumatera Barat) 50. STAIN Sjech M. Djamil Djambek, Bukittinggi (Sumatera Barat) 51. STAIN Jurai Siwo Metro, Lampung (Lampung) 52. STAIN Pekalongan, Pekalongan (Jawa Tengah) 53. STAIN Kerinci, Sungai Penuh, Kerinci (Jambi) 54. STAIN Ponorogo, Ponorogo (Jawa Timur) 55. STAIN Malikussaleh, Lhokseumawe (Aceh) Dari 109 Perpustakaan Perguruan Tinggi yang disurati hanya 33 perpustakaan yang mengusulkan e-resources untuk dilanggan melalui pengadaan Perpustakaan Nasional yaitu:
16
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33.
IAIN Surakarta Institut Pertanian Bogor Institut Teknologi Bandung Institut Teknologi Sepuluh November STAIN Bengkalis STAIN CURUP STAIN Kediri Jawa Timur UIN Alauddin UIN Sunan Ampel UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta UIN Syarif Hidayatullah Universitas Airlangga Universitas Diponegoro Universitas Gajah Mada Universitas Halu Oleo (UHO) Universitas Indonesia Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang Universitas Islam Negeri Suska Riau Universitas Jember Universitas Maritim Raja Ali Haji Universitas Negeri Jakarta Universitas Negeri Padang Universitas Negeri Semarang Universitas Negeri Yogyakarta Universitas Sam Ratulangi Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Universitas Soedirman Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Universitas Sumatera Utara Universitas Tanjungpura Universitas Udayana Universtas Pendidikan Indonesia
b. Subjek e-Resources yang diusulkan Subjek e-resources yang diusulkan Perpustakaan Per guruan Tinggi dikelompokkan berdasarkan 10 klas utama dalam DDC dapat dilihat pada tabel berikut ini: 10 klas utama DDC Ilmu komputer
Jumlah subjek yang diusulkan
Jumlah PT pengusul
3
3
Filsafat dan psikologi
3
3
Agama
23
4
Ilmu social
92
28
Bahasa
1
1
Sains dan matematika
71
23
Teknologi
95
30
Seni dan arsitektur
4
2
Sastra
1
1
Sejarah and Geografi
1
1
pengembangan koleksi Perpustakaan Nasional. Sejak awal pengadaan hingga tahun berjalan, subjek ilmu sosial dan humaniora merupakan subjek yang dominan. Hal ini dapat dilihat dari penambahan sejumlah koleksi e-journal bersubjek ilmu sosial pada dari Proquest, EBSCO atau LexisNexis dan juga penambahan koleksi e-book bersubjek sama pada IGI publishing dan Brill Online. Dengan tingginya usulan terhadap subjek tersebut, maka kedepannya masih perlu untuk melakukan penambahan pengadaan koleksinya.
ap
hy
re
gr Ge o
Li
te
ra
tu
re
e
Ar
t&
Ar
ch i
te
ct u
nc
nc e pl ie
d
Sc ie
nc e
Sc ie
n io ig
ci a
lS ci e
gy lo
yc ho
Ps
Re l So
Ap
Co
m
pu t
er
Sc ie
nc
e
120 100 80 60 40 20 0
Jumlah Usulan
Jumlah Pengusul
Sebagai catatan, untuk satu paket database e-journal, idealnya memang tidak bisa ditentukan subjek utamanya karena biasanya ruang lingkup e-journal tersebut mencakup beberapa subjek, bahkan saling silang. Beberapa perguruan tinggi pengusul tidak menyebutkan secara jelas jenis database yang mereka inginkan. Misal untuk Proquest, terdapat banyak paket database yang ditawarkan seperti Proquest Computing, Proquest Agriculture ataupun Ebrary. Namun jika hanya menyebutkan kata Proquest saja, kami kesulitan untuk menentukan subjek yang diinginkan sehingga kami hanya menggunakan subjek yang kira-kira merupakan unggulan/kekuatan dari database tersebut. Di posisi pertama dengan perolehan 95 usulan (32,31%) adalah subjek teknologi. Selama ini Perpustakaan Nasional sudah melanggan beberapa database yang mengedepankan subjek ilmu terapan misal Proquest Public Health dan Agriculture Journals, EBSCO Medline atau IGI Global dengan koleksi InfoSci e-Books dan e-Journals. Namun jumlah pengadaannya lebih sedikit jika dibandingkan dengan subjek ilmu sosial dan humaniora. Dengan tingginya jumlah usulan untuk jenis subjek tersebut, Perpustakaan Nasional melalui bidang akuisisi diharapkan dapat menambah koleksi yang sesuai melalui pengadaan koleksi e-resources kedepannya. Di posisi kedua dengan perolehan 93 usulan (31,63%) adalah subjek ilmu sosial dan humaniora. Subjek ini pada dasarnya memang telah sesuai dengan arahan kebijakan
Di posisi ketiga dengan perolehan 71 usulan (24,15%) adalah subjek ilmu sains dan matematika. Seperti halnya subjek ilmu terapan, koleksi e-resources yang memiliki cakupan ilmu sains memang dirasa masih kurang. Beberapa koleksi untuk subjek ini bisa diperoleh dalam database IGI Global dengan koleksi InfoSci e-Books dan e-Journals. Dengan tingginya usulan terhadap subjek tersebut, maka kedepannya tetap diperlukan penambahan jumlah koleksinya. Di posisi keempat dengan perolehan 23 usulan (7,82%) adalah subjek agama. Sejak 2012, Perpustakaan Nasional sebenarnya sudah memperbanyak konten mengenai subjek keagamaan, khususnya tentang agama Islam dengan melanggan Brill Online yang dimana salah satu paket yang dilanggan adalah Middle East dan Islamic studies. Beberapa koleksi yang berkaitan dengan subjek agama juga dapat ditemukan di EBSCO dalam database Middle Eastern and Central Asian Studies dan beberapa e-book dalam database IG Publishing. Di posisi ke lima dengan perolehan 4 usulan (1,36%) adalah seni dan arsitektur. Perpustakaan Nasional sudah melanggan beberapa database dengan subjek tersebut diantaranya Proquest Arts and Humanities full text dan satu paket database Art and Architecture in Video dari Alexander Street Press. Di posisi ke enam dan tujuh dengan perolehan masing-masing 3 usulan (1,02%) adalah subjek ilmu komputer dan psikologi. Untuk subjek ilmu komputer, Perpustakaan Nasional melanggan database Proquest Computing, ditambah dengan membeli e-book keluaran IGI Global dengan koleksi InfoSci e-Books dan e-Journals yang banyak mengedepankan koleksi ilmu komputer. Sebagai catatan, seiring dengan terus berkembangnya teknologi informasi, baik dari sisi hardware dan software
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
17
terutama terkait dengan ilmu pemrograman komputer, maka pengadaan untuk jenis subjek ini harus pula dipertimbangkan untuk selalu terus diadakan. Untuk subjek psikologi, Perpustakaan Nasional juga telah banyak memiliki koleksi terkait subjek ini, misalnya sejumlah e-book terbitan IGI Publishing serta satu database khusus dari Proquest yaitu Proquest Psychology Journals.
c. Database e-Resources yang belum dapat dipenuhi Usulan nama database (penerbit /aggregator) dari Perguruan Tinggi yang belum dapat dipenuhi Perpustakaan Nasional Tahun 2015 seperti terlihat pada data berikut ini. Sebagai catatan, dapat dilihat pada lampiran bahwa terdapat sejumlah nama database yang diusulkan, namun kami hanya mengambil 25 besar dari sejumlah nama tersebut yang paling banyak diusulkan (lihat lampiran 1). Salah satu usulan lain dari perguruan tinggi adalah Maktabah syamilah ternyata database berupa perangkat lunak tidak perlu dilanggan, karena disediakan secara gratis untuk diunduh (download). No.
Database (penerbit / aggregator)
Jumlah yang Jumlah PT diusulkan Pengusul
1
ASME
3
3
2
ACS
2
2
3
Annual review
2
2
4
Brill
2
1
5
Cambridge
7
7
6
Ebrary
2
2
7
Ebsco
14
11
8
Emerald
14
14
18
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
Gale
5
5
10
IEEE
10
9
11
IISTE
6
1
12
JSTORE
4
4
13
LexisNexis
2
2
14
National Geographic
1
1
15
Oxford
23
9
16
Pearson Education Asia
1
1
17
Proquest
23
9
18
SAGE
11
7
19
Science Direct
10
10
20
Scopus
7
6
21
SIAM
3
3
22
Springer
16
15
23
Taylor & Francis
8
4
24
Westlaw
3
3
25
Wiley
12
9
Jumlah database (penerbit/agregator) yang diusulkan 25 20 15 10 5 0
ASME ACS Brill Annual Review Cambridge Ebrary Ebsco Emerald Gale IEEE IISTE JSTORE Lexis Nexis National Geographic Oxford Pearson Education... Proquest SAGE Science Direct Scopus SIAM Springer Taylor & Francis Westlaw Wiley
Di tiga posisi terakhir dengan masing-masing satu usulan (0,34%) adalah subjek bahasa, literatur dan geografi. Dari ketiga subjek tersebut, subjek literatur memiliki lebih banyak konten yang dikoleksi oleh Perpustakaan Nasional. Salah satunya adalah satu paket database dari EBSCO yaitu EBSCO Literary Reference Center. Untuk subjek Sejarah dan Geografi, banyak koleksi baik e-journal maupun e-book yang berkaitan dengan sejarah yang tersebar di berbagai database, ditambah dengan koleksi dari Alexander Street Press berupa satu paket database The March of Time yang berisi koleksi video online terkait sejarah dunia. Sementara untuk subjek bahasa, hanya beberapa e-book berupa kamus dan ensiklopedia dari SAGE saja yang terdapat pada koleksi.
9
Jumlah yang diusulkan
Dari data yang masuk dengan berbagai nama database yang diusulkan, hasil analisis menunjukkan banyak perguruan tinggi yang mengusulkan database Proquest dan penerbit Oxford agar dilanggan oleh Perpustakaan Nasional dengan masing-masing jumlah 23 usulan dari 9 Perguruan tinggi yang berbeda. Selama ini database Proquest memang menjadi salah satu unggulan dalam koleksi e-resources Perpustakan Nasional. Sejak awal terbentuknya koleksi e-resources di tahun 2008 hingga saat ini, sudah 21 database yang dilanggan Perpustakaan Nasional dan terus ada penambahan paket database terbaru setiap tahunnya.
Hasil usulan ini tidak mengejutkan kami karena Proquest merupakan salah satu aggregator yang memiliki banyak pilihan paket database dari berbagai subjek dan salah satu yang paling banyak dilanggan oleh perguruan tinggi di Indonesia. Namun mengingat harga berlangganannya cukup mahal, tidak banyak perguruan tinggi memiliki dana yang cukup untuk bisa memiliki database ini dalam koleksi mereka.
5
ProQuest Agriculture Journals
ProQuest
Applied Science
Universitas Sumatera Utara
6
Ebrary
ProQuest
Social Science
Universitas Airlangga
7
Westlaw
Westlaw
Social Science /Law
Universitas Airlangga, Universitas Tanjungpura
Untuk usulan database Oxford Journals, hasilnya cukup mengejutkan karena usulan pengadaannya yang begitu tinggi, namun hingga saat ini Perpustakaan Nasional belum memiliki database tersebut dalam koleksi e-resourcesnya. Oxford Journals sendiri merupakan salah satu bagian dari terbitan Oxford University Press yang beralamat di situs www.oxfordjournals.org. Selama ini Perpustakaan sebenarnya sudah melanggan beberapa e-book terbitan oxford namun koleksinya tersebar kedalam beberapa paket database.
8
Lexis Nexis Journals
Lexis Nexis
Social Science
Universitas Diponegoro, IAIN Surakarta
d. Database e-Resources yang sudah dipenuhi Database (penerbit /aggregator) yang dilanggan Perpustakaan Nasional Tahun 2015 dapat dilihat di lampiran 2. Jika dihubungkan dengan yang diusulkan oleh Perpustakaan Perguruan Tinggi baru beberapa yang sudah dapat dipenuhi seperti terlihat di bawah ini: Database e-Resources yang sudah dipenuhi Perpustakaan Nasional Tahun 2015 Nama database
Penerbit / Aggregator
1
Ebsco Medline Complete
2
No.
Subjek
PT Pengusul
EBSCO
Applied Science
Universitas Soedirman, Universitas Sumatera Utara
iGroup e journal, e books & Data base
IGroup
Science
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
3
Proquest : Thesses and Dissertation Data Bases
ProQuest
Social Science
STAIN Kediri Jawa Timur, UIN Sunan Ampel, Universitas Airlangga
4
Proquest Psychology
ProQuest
Science
Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh, Universitas Diponegoro
Hasil analisis ini mencerminkan prioritas e-resources yang dibutuhkan oleh perguruan tinggi. Database yang diusulkan oleh perguruan tinggi selanjutnya dapat dimanfaatkan sebagai masukan dalam pengembangan koleksi e-resources Perpustakaan Nasional. Dengan demikian, kebijakan pengembangan koleksi didasarkan pada kesesuaian, kelengkapan atau meliputi bidang ilmu yang berkaitan dengan program penelitian, dan berorientasi pada kebutuhan pemustaka. Penutup Kesimpulan Dari 109 Perguruan Tinggi Negeri yang disurati Perpustakaan Nasional, hanya 33 Perguruan Tinggi Negeri yang merespon, terdiri dari 22 Universitas Negeri dan 11 Universitas Islam Negeri. Subjek e-resources yang paling banyak diusulkan yaitu bidang teknologi dengan 30 perguruan tinggi pengusul, dan database (penerbit/ aggregator) yang paling banyak diusulkan yaitu Proquest dan Oxford dengan jumlah pengusul 23 dari 9 Perguruan Tinggi yang berbeda. Saran Hasil analisis usulan kebutuhan koleksi e-resources ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi Perpustakaan Nasional dalam pengadaan bahan perpustakaan e-resources ke depannya terutama: untuk subjek bidang sains (science) dan teknologi. tidak hanya memfokuskan pada bidang sosial dan humaniora, tetapi mencakup semua subjek secara berimbang. mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta subjek dengan isu mutakhir yang berkembang di masyarakat.
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
19
Daftar Pustaka Chandel A.S. 2012. Challenges and opportunities of e-resources. Annuals of Library and Information Studies Evans, GE. 1987. Developing Library and Information Centre Collections. 2nd Ed. Littletown, Colorado : Libraries Unimited. 443 pp. Johnson, Sharon… [et.al], Key Issues for e-Resource Collection Development: A Guide for Libraries. Berlin : IFLA, 2012 Joko Santoso. Pemanfaatan e-Resources Perpustakaan Nasional Untuk Semua Warga Negara. from http:// www.fppti.or.id/files/materi6_lowrest.pdf Lee, Sul H., ed. Electronic Resources and Collection Development. Florence, KY, USA: Routledge, 2012. ProQuest ebrary.Web. 31 May 2015.
20
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. 2012. Kebijakan Pengembangan Koleksi Perpustakaan Nasional. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. 2014. Kebijakan Pengembangan Koleksi Perpustakaan Nasional RI Unit Pelaksana Teknis Perpustakaan Proklamator Bung Karno dan Perpustakaan Proklamator Bung Hatta. Sulistyo-Basuki. 1991. Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. Vivit Wardah Rufaidah, Maksum, dan Heryati Suryantini. 2011. Analisis Kebutuhan Jurnal Inti (Core Journal) Peneliti Badan Litbang Pertanian. Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol.20 Nomor 2 [hal.70].
Oleh: MOHAMAD ROTMIANTO1 Email:
[email protected]
Studi Literatur tentang Option Number dalam Dewey Decimal Classification Edition 23 Abstrak Dewey Decimal Classification (Klasifikasi Persepuluhan Dewey) merupakan sistem klasifikasi yang paling banyak digunakan dikarenakan kemutakhiran dan kelengkapannya. Di dalam sistem klasifikasi tersebut terdapat banyak “Option Number” (nomor opsional) namun jarang ditelaah oleh pustakawan, padahal memahami Option Number tersebut sangat penting, khususnya bagi pustakawan yang bertugas sebagai classifier. Dalam penulisan ini dilakukan kajian literatur pada Dewey Decimal Classification Edition 23 (versi asli dalam bahasa Inggris), yang akan memaparkan tentang beberapa Option Number, terutama nomor yang berkaitan dengan subjek dan disiplin Indonesia. Penulisan ini juga dimaksudkan untuk menghindarkan kesalahpahaman dalam penafsiran tentang Option Number dikalangan pustakawan terutama bagi yang belum memahami benar tentang nomor-nomor opsional tersebut. Kata kunci: Sistem klasifikasi persepuluhan Dewey, DDC edition 23, Option number, Nomor klasifikasi, Classifier
Pendahuluan Sebagaimana diketahui, salah satu tujuan dari kegiatan atau proses klasifikasi adalah untuk mempermudah identifikasi, penempatan, penyimpanan dan penemuan kembali suatu benda atau objek. Ada beberapa pengertian tentang klasifikasi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat istilah klasifikasi didefinisikan sebagai penyusunan bersistem di kelompok atau golongan menurut kaidah atau standar yang ditetapkan (Sugono, 2008: 706). Dalam domain ilmu perpustakaan, pengklasifikasian bahan pustaka bertujuan sebagai pedoman penyusunan/penataan bahan pustaka di rak dan sebagai sarana penyusunan entri bibliografis dalam katalog tercetak (Saleh, dkk., 2009: 3.33). Sementara itu Sulistyo-Basuki menyatakan bahwa klasifikasi adalah proses pengelompokan artinya mengumpulkan benda/ entitas yang sama serta memisahkan benda/entitas
1
yang tidak sama (1991: 395). Pendek kata, pada intinya klasifikasi koleksi terlepas dari sistem apa yang digunakan adalah untuk mempermudah proses penempatan dan temu kembali koleksi (retrieval) baik oleh pustakawan, pemustaka, atau siapapun yang berkepentingan dalam penelusuran informasi di perpustakaan. Sampai saat ini tercatat banyak sistem klasifikasi yang digunakan, seperti Library of Congress Classification (LCC) dan Dewey Decimal Classification (DDC), Colon Classification, Bliss Bibliographic Classification, Cutter Expansive Classification dan Universal Decimal Classification UDC) dan lain-lain. Di antara berbagai sistem klasifikasi tersebut, sistem klasifikasi yang paling banyak digunakan adalah DDC (Dewey Decimal Classification) atau biasa disebut DDC yang kemudian dalam bahasa Indonesia disebut Klasifikasi Persepuluhan
Pustakawan di Kabupaten Magetan, Jawa Timur
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
21
Dewey (KPD). Online Computer Library Center (OCLC) dalam Introduction to the Dewey Decimal Classification (2011) menerangkan bahwa Sistem klasifikasi DDC dikembangkan pertama kali oleh Melvil Dewey, dari Amerika Serikat, pada tahun 1873 atau lebih dari seabad lalu dan sekarang sudah digunakan oleh lebih dari 138 negara di seluruh dunia. Sampai saat tulisan ini disusun, Sistem Klasifikasi DDC terkini atau yang paling mutakhir adalah DDC Edisi 23 diterbitkan oleh OCLC sejak tahun 2011 sedangkan versi ringkasnya, yaitu Abridged Edition 15, yaitu ringkasan Sistem Klasifikasi DDC Edisi 23 untuk perpustakaan dengan koleksi maksimal 20.000 judul sudah terbit sejak Februari 2012 (http://www.oclc.org/en-CA/dewey/features.html diakses 18 Februari 2015). Dalam Sistem Klasifikasi DDC terdapat apa yang disebut sebagai unsur dan prinsip dasar DDC. Berikut ini adalah unsur-unsur yang terdapat dalam Sistem Klasifikasi DDC, yaitu sebagai berikut: 1. Sistematika, adalah pembagian ilmu pengetahuan yang dituangkan dalam suatu bagan (schedule) yang lengkap. 2. Notasi, adalah serangkaian simbol berupa angka, yaitu angka Arab, yang mewakili subjek tertentu dalam bagan. 3. Indeks Relatif, adalah sekumpulan tajuk dengan perincian aspek-aspeknya yang disusun secara alfabetis dan memberi petunjuk berupa nomor kelas (nomor klasifikasi) yang tercantum dalam indeks pada bagan. 4. Tabel Pembantu, adalah serangkaian notasi khusus yang dipakai untuk menyatakan aspek-aspek tertentu yang terdapat dalam beberapa subjek yang berbeda. Sedangkan prinsip-prinsip dasar dalam DDC adalah sebagai berikut: 1. Prinsip Dasar Desimal, yaitu pembagian ilmu pengetahuan menjadi 10 kelas utama (The Ten Main Classes), kemudian masing-masing kelas utama dibagi ke dalam 10 divisi (Divisions), dan selanjutnya masing-masing divisi dibagi menjadi 10 seksi (Sections). Dengan demikian DDC terdiri dari 10 kelas utama, 100 divisi dan 1000 seksi. 2. Prinsip Dasar Susunan dari Umum ke Khusus, yaitu dari 10 divisi dalam tiap kelas utama, divisi pertama (divisi 0) membahas karya umum untuk seluruh kelas, sedangkan divisi 1 – 9 membahas hal-hal yang lebih
22
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
khusus. 3. Prinsip Dasar Disiplin, yaitu penyusunan dan pembagian DDC didasarkan pada spesialisasi ilmu pengetahuan atau disiplin ilmu atau pada cabang ilmu pengetahuan tertentu dan bukan pada subjek. Sehingga satu subjek dapat dibahas pada beberapa disiplin ilmu sekaligus. 4. Prinsip Dasar Hierarki, yaitu sistem klasifikasi yang tersusun berurutan baik dalam notasi maupun dalam relasi antar disiplin dan relasi antar subjek (apa yang berlaku di kelas berlaku juga bagi semua divisi dan seksinya). Option Number Dalam Dewey Decimal Classification Edition 23 versi asli berbahasa Inggris disebutkan bahwa yang dimaksud Option adalah: “An alternative to standard notation provided in the schedules and tables to give emphasis to an aspect in a library’s collection not given preferred treatment in the standard notation. In some cases, an option may provide shorter notation for the aspect.” (OCLC, 2011: 79) Maksud pernyataan di atas adalah pada suatu nomor untuk tempat yang terdapat dalam bagan (schedule) dan tabel (table), diberikan pilihan untuk menentukan titik berat aspek dari koleksi perpustakaan yang tidak terdapat pada “pilihan yang diberikan” dalam notasi standar. Dalam beberapa kasus, dianjurkan untuk menyediakan notasi yang lebih pendek dari aspek tersebut. Option (pilihan) biasanya disediakan dalam klasifikasi untuk menekankan (to emphasize) antara lain tentang juridiksi (hak hukum atau batas kekuasaan), kelompok etnik atau bangsa, bahasa, topik atau karakteristik lainnya. Option dinyatakan dalam catatan serta dicetak dalam tanda kurung (parentheses) dan dimulai dengan frasa/kata “Option”. Option yang menggunakan entri penuh muncul pada akhir entri, sedangkan option untuk instruksi khusus dalam entri dimasukkan di bawah catatan yang tepat. Sebagai contoh, opsional berikut muncul pada akhir entri untuk 420 – 490: (Option B: To give local emphasis and a shorter number to a specific language, place it first by use of a letter or other symbol, e.g., Arabic language 4A0 [preceding 420], for which the base number is 4A. Option A is
described under 410). (OCLC, 2011: 70) Sesuai dengan penjelasan di atas, Option tersebut memperbolehkan seorang pustakawan khususnya classifier yang berada di lokasi tertentu untuk memodifikasi nomor-nomor yang berkaitan dengan negara, etnik dan bahasanya sendiri dengan nomor yang lebih singkat namun dengan pendeskripsian yang lebih luas, meskipun tidak terdapat dalam Schedule/Bagan DDC. Sebagaimana dicontohkan di atas, semisal untuk bahasa Arab oleh classifier di negara Arab sana dapat menggunakan nomor pilihan di antara kedua Option sebagaimana berikut: 1. Option A: bahasa Arab dideskripsikan pada nomor 410. Jadi nomor 410 yang dalam Schedule DDC Edition 23 sebetulnya sudah “ditempati” untuk linguistics dapat digunakan untuk bahasa Arab, maka untuk linguistics dimasukkan dalam nomor 400, subdivisi dalam nomor 401 – 409, subdivisi standar dari bahasa dan linguistik dalam nomor 400.1 – 400.9 (mengikuti petunjuk lanjutan pada Schedule DDC Edition 23 Volume 2 hal. 931). 2. Option B: bahasa Arab dapat dideskripsikan dengan menggunakan simbol 4A0 sebagaimana dicontohkan. Maka nomor 4A0 tersebut dapat dimodifikasi untuk “menggantikan” nomor bahasa Arab yang dalam Schedule DDC Edition 23 sebetulnya sudah disediakan dengan nomor 492.7. Pendeskripsian selanjutnya dapat mengikuti instruksi berdasarkan petunjuk pada nomor 420 – 429. Maka, untuk fonologi bahasa Arab dapat dikelaskan pada nomor 4A1, etimologi bahasa Arab 4A2, kamus standar bahasa Arab 4A3 dan seterusnya. Berdasarkan petunjuk Option di atas, akan didapatkan suatu nomor klasifikasi yang lebih ringkas (shorter number) untuk aspek tertentu di wilayah tertentu, oleh classifier di lokasi tersebut, namun dengan pendeskripsian yang lebih luas. Sebenarnya, di dalam buku “Pengantar Klasifikasi Persepuluhan Dewey” susunan Towa Hamakonda dan JNB. Tairas, buku tersebut sudah mengadopsi nomornomor opsional (seperti nomor 410 untuk bahasa Indonesia, nomor 810 untuk kesusastraan Indonesia, dan lain-lain). Hamakonda dan Tairas menyebutkan: Pada umumnya notasi untuk subjek yang berkaitan dengan wilayah di luar Amerika dan Eropa akan menjadi panjang sehingga kurang praktis, umpama
ensiklopedia umum dalam bahasa Indonesia 039.9922, jurnalisme atau surat kabar umum Indonesia 079.598, bahasa Indonesia 499.221, kesusastraan Indonesia 899.221, jauh lebih panjang bila dibandingkan dengan hal-hal yang sama untuk Jerman umpamanya ensiklopedia umum dalam bahasa Jerman 033, jurnalisme Jerman 073, bahasa Jerman 430, kesusastraan Jerman 830. Untuk mengatasi hal yang tidak praktis itu pengasuh DDC memperbolehkan para pemakai di negara-negara yang mengalami masalah tersebut itu untuk mengadakan modifikasi atau penyesuaian seperlunya. Umpamanya di bawah 031 ensiklopedia umum Amerika, DDC mengatakan (If it desired to give local emphasis and a shorter number to encyclopedias in a specific language other than American, it is optional to class them in this number; in that case class American encyclopedias 032). Jadi untuk ensiklopedia umum Indonesia boleh memakai 031 dan tidak harus 039.9922 yang terlalu panjang. Begitu pula dengan surat kabar umum Indonesia 071, tidak perlu 079.598. Pada golongan bahasa, di bawah notasi 410 dijelaskan (If it is desired to give local emphasis and a shorter number to a specific language e.g. Russian, it is optional to class it in this number and add to base number 41 as instructed under 420 – 490; in that case class linguistics in 400, its subdivisions in 401 – 409, standard subdivisions of language and linguistics in 400.1 – 400.9). Dengan keterangan ini berarti bahasa Indonesia dapat digolongkan pad 410 dan tidak perlu 499.221. Hal yang sama berlaku juga untuk kesusastraan Indonesia: boleh memakai notasi 810 dan tidak perlu 899.221. Demikianlah dalam edisi ini notasi-notasi yang berkaitan dengan subjek-subjek Indonesia telah diadakan modifikasi sesuai dengan anjuran pengasuh DDC yang tentu tidak bertentangan dengan prinsip umum.” (Hamakonda&Tairas, 1995: 12 - 13). Option Number untuk Subjek dan Disiplin Indonesia Berikut ini adalah beberapa contoh Option yang biasa muncul dan dapat digunakan untuk subjek dan disiplin Indonesia yang terdapat dalam Dewey Decimal Classification (DDC) Edition 23 versi asli berbahasa Inggris (sesuai urutan mulai nomor klasifikasi terkecil): 1. Nomor kelas 011.2: General bibliographies and catalogs of works published in specific languages/ Bibliografi dan katalog umum dalam bahasa tertentu.
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
23
Di dalamnya terdapat instruksi: “Add to base number 011.2 notation 2 – 9 from Table 6, e.g., general bibliographies of Russian-language works 011.29171.” (Schedule DDC Edition 23 Volume 2 hal. 43). Maka untuk bibliografi umum berbahasa Indonesia dapat menggunakan: a. Nomor 011.299221, yang berasal dari nomor dasar 011.2 + notasi T6 –99221 (tanpa Option), atau, b. Menggunakan Option sesuai petunjuk pada Table 6 Languages (hal. 727) yang berbunyi sebagai berikut: (Option A: To give local emphasis and a shorter number to a specific language, place it first by use of a letter or other symbol, e.g., Arabic language –A [preceding –1], Option B is describe at –1) maka bibliografi umum berbahasa Indonesia dapat menggunakan: - Nomor 011.2I menggunakan simbol “I” untuk menunjukkan bahasa Indonesia sesuai petunjuk pada Table 6 Languages hal. 727 (sesuai Option A), atau, - Nomor 011.21 (sesuai Option B). 2. Nomor kelas 031: General encyclopedic works in American English/Ensiklopedia umum dalam bahasa Inggris Amerika. Di dalamnya terdapat instruksi: (Option B: To give local emphasis and a shorter number to encyclopedias in a specific language other than English, class them in this number; in this case class American English-language encyclopedias in 032. Option A is describe under 031 - 039) (Schedule DDC Edition 23 Volume 2 hal. 75). Maka untuk ensiklopedia umum berbahasa Indonesia dapat menggunakan: a. Nomor 039.99221, yang berasal dari nomor dasar 039 + notasi T6 –99221 berdasarkan petunjuk dalam Schedule DDC Edition 23 Volume 2 hal. 77 (sesuai Option A), atau, b. Nomor 031, dengan catatan apabila ensiklopedia umum berbahasa Indonesia menggunakan nomor 031 maka ensiklopedia umum berbahasa Inggris Amerika ditempatkan pada nomor 032 bersama dengan ensiklopedia berbahasa Inggris (sesuai Option B). 3. Nomor kelas 051: General serial publications in American English (Terbitan berseri umum dalam bahasa Inggris Amerika). Di dalamnya terdapat instruksi: (Option C: To give local emphasis and a shorter number to serial publications in a specific language other than English, class them in this
24
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
number; in this case class American English-language serial publications in 052. Option A and B are describe under 051 - 059) (Schedule DDC Edition 23 Volume 2 hal. 79). Maka untuk terbitan berseri umum berbahasa Indonesia dapat menggunakan: a. Nomor 05I, menggunakan simbol “I” untuk menunjukkan Indonesia berdasarkan petunjuk dalam Schedule DDC Edition 23 Volume 2 hal. 79 (sesuai Option A), atau, b. Nomor 059.99221, yang berasal dari nomor dasar 059 + notasi T6 –99221 berdasarkan petunjuk dalam Schedule DDC Edition 23 Volume 2 hal. 80 (sesuai Option B), atau, c. Nomor 051, dengan catatan apabila terbitan berseri umum berbahasa Indonesia menggunakan nomor 051 maka terbitan berseri umum berbahasa Inggris Amerika ditempatkan pada nomor 052 bersama dengan terbitan berseri berbahasa Inggris (sesuai Option C). 4. Nomor kelas 081: General collections in American English/Kumpulan koleksi umum dalam bahasa Inggris Amerika. Di dalamnya terdapat instruksi: (Option C: To give local emphasis and a shorter number to collections in a specific language other than English, class them in this number; in this case class American English-language collections in 082. Option A and B are describe under 081 - 089) (Schedule DDC Edition 23 Volume 2 hal. 96). Maka untuk kumpulan koleksi umum berbahasa Indonesia dapat menggunakan: a. Nomor 08I, menggunakan simbol “I” untuk menunjukkan Indonesia berdasarkan petunjuk dalam Schedule DDC Edition 23 Volume 2 hal. 96 (sesuai Option A), atau, b. Nomor 089.99221, yang berasal dari nomor dasar 089 + notasi T6 –99221 berdasarkan petunjuk dalam Schedule DDC Edition 23 Volume 2 hal. 97 (sesuai Option B), atau, c. Nomor 081, dengan catatan apabila kumpulan koleksi umum berbahasa Indonesia menggunakan nomor 081 maka kumpulan koleksi umum berbahasa Inggris Amerika ditempatkan pada nomor 082 bersama dengan kumpulan koleksi umum berbahasa Inggris (sesuai Option C). 5. Nomor kelas 410: Linguistics/Linguistik. Di dalamnya terdapat instruksi: (Option A: To give local emphasis and a shorter number to a specific language, e.g, Russian, class it here and add to base number 41
as instructed under 420 – 490; in that case class linguistics in 400, its subdivisions in 401 – 409, standard subdivisions of language and of linguistics in 400.1 – 400.9. Option B is described under 420 – 490) (Schedule DDC Edition 23 Volume 2 hal. 931). Maka untuk bahasa Indonesia dapat menggunakan: a. Nomor 499.221, sesuai yang disediakan dalam Schedule DDC Edition 23 Volume 2 hal. 983 (tanpa Option), atau, a. Nomor 410, dengan catatan apabila bahasa Indonesia menggunakan nomor 410 maka linguistik dimasukkan dalam nomor 400, subdivisi dalam nomor 401 – 409, subdivisi standar dari bahasa dan linguistik dalam nomor 400.1 – 400.9 (sesuai Option A). Pendeskripsian selanjutnya dapat mengikuti instruksi berdasarkan petunjuk pada nomor 420 – 429 sehingga untuk fonologi bahasa Indonesia dapat dikelaskan pada nomor 421, etimologi bahasa Indonesia 422, kamus stan dar bahasa Indonesia 423 dan seterusnya, atau, b. Nomor 4I0, menggunakan simbol “I” untuk menunjukkan Indonesia berdasarkan petunjuk sebelumnya dalam Introduction DDC Edition 23 Volume 1 hal. lxx. Pendeskripsian selanjutnya dapat mengikuti instruksi berdasarkan petunjuk pada nomor 420 – 429. Maka, untuk fonologi bahasa Indonesia dapat dikelaskan pada nomor 4I1, etimologi bahasa Indonesia 4I2, kamus standar bahasa Indonesia 4I3 dan seterusnya. 6. Nomor kelas 810: American Literature in English/ Kesusastraan Amerika dalam bahasa Inggris. Di dalamnya terdapat instruksi: (Option: To give local emphasis and a shorter number to a specific literature other than American literature in English, e.g, Afrikaans literature, class it here; in that case class American literature in English in 820. Other option are described under 810 – 890) dan terdapat instruksi tambahan: (Option B: Give preferred treatment by placing before 810 through use of a letter or symbol, e.g., literature of Arabic language 8A0, for which the bas number is 8A) (Schedule DDC Edition 23 Volume 3 hal. 794). Maka untuk kesusastraan Indonesia dapat menggunakan: a. Nomor 899.221, sesuai yang disediakan dalam Schedule DDC Edition 23 Volume 3 hal. 858 (tanpa Option), atau, b. Nomor 810, dengan catatan apabila kesusastraan Indonesia menggunakan nomor 810 maka
kesusastraan Amerika dalam bahasa Inggris ditempatkan pada nomor 820 bersama dengan kesusastraan berbahasa Inggris (sesuai Option). Pendeskripsian selanjutnya dapat mengikuti instruksi berdasarkan petunjuk pada nomor 811 – 819, atau 821 – 829). Maka, untuk puisi berbahasa Indonesia dapat dikelaskan pada nomor 811, drama berbahasa Indonesia 812, fiksi berbahasa Indonesia 813 dan seterusnya, atau, c. Nomor 8I0, menggunakan simbol “I” untuk menunjukkan Indonesia berdasarkan petunjuk dalam Schedule DDC Edition 23 Volume 3 hal. 794 (sesuai Option B). Pendeskripsian selanjutnya dapat mengikuti instruksi berdasarkan petunjuk pada nomor 811 – 819, atau 821 – 829). Maka, untuk puisi berbahasa Indonesia dapat dikelaskan pada nomor 8I1, drama berbahasa Indonesia 8I2, fiksi berbahasa Indonesia 8I3 dan seterusnya. 7. Notasi tambahan untuk ras dan suku bangsa Indonesia dalam Table 5 Ethnic and National Groups dapat menggunakan: a. Simbol –A atau notasi –1, sesuai instruksi dalam DDC Edition 23 Volume 1 hal. 694: (Option: To give local emphasis and a shorter number to a specific group, place it first by use of a letter or other symbol, e.g., Arabs –A [preceding –1]. Another option is given at –1), atau, b. Notasi –9922 sesuai yang disediakan dalam Table 5 Ethnic and National Groups DDC Edition 23 Volume 1 hal. 724 (tanpa Option). Contoh penggunaan nomor option tersebut adalah sebagai berikut: 305.81 – .89 Ethnic and national groups/ Kelompok berdasarkan etnis dan negara Add to base number 305.8 notation 1 – 9 from Table 5, e.g., comprehensive works on Jews 305.8924/Tambahkan nomor dasar 305.8 notasi 1 - 9 dari Tabel 5, contoh karya komprehensif untuk ras Yahudi 305.8924 Maka untuk ras dan suku bangsa Indonesia dapat menggunakan: - Nomor 305.8I menggunakan simbol “I” untuk menunjukkan Indonesia atau menggunakan 305.81 berdasarkan petunjuk Option sesuai instruksi dalam DDC Edition 23 Volume 1 hal. 694, atau,
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
25
- Nomor 305.89922 sesuai yang disediakan dalam Table 5 Ethnic and National Groups DDC Edition 23 Volume 1 hal. 724 (tanpa Option). 8. Notasi tambahan untuk bahasa Indonesia dalam Table 6 Languages dapat menggunakan: a. Simbol –A atau notasi –1, sesuai instruksi dalam DDC Edition 23 Volume 1 hal. 727: (Option A: To give local emphasis and a shorter number to a slanguage it first by use of a letter or other symbol, e.g., Arabs –A [preceding –1]. Option B is described at –1), atau, b. Notasi –99221 sesuai yang disediakan dalam Table 6 Languages DDC Edition 23 Volume 1 hal. 758 (tanpa Option). Contoh penggunaan nomor option tersebut adalah sebagai berikut: 297.1225 Translations of Koran (Terjemahan Al-Qur’an) Add to base number 297.1225 notation 1 – 9 from Table 6, e.g., the Koran in English 297.122521/Tambahkan nomor dasar 297.1225 notasi 1 - 9 dari Tabel 6, contoh terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Inggris 297.122521 Maka untuk terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Indonesia dapat menggunakan: - Nomor 297.1225I menggunakan simbol “I” untuk menunjukkan bahasa Indonesia atau menggunakan 297.12251 berdasarkan petunjuk Option sesuai instruksi dalam DDC Edition 23 Volume 1 hal. 727, atau, - Nomor 297.122599221 sesuai yang disediakan dalam Table 6 DDC Edition 23 Volume 1 hal. 758 (tanpa Option). Simpulan dan Saran Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa: 1. Sistem Klasifikasi DDC memuat banyak sekali Option Number (nomor opsional) yang perlu dicermati. Nomor-nomor opsional adalah instruksi khusus yang dicetak dalam tanda kurung dan dimulai dengan frasa/kata “Option” untuk memberikan penekanan tentang juridiksi, kelompok etnik atau bangsa, bahasa, topik atau karakteristik tertentu. 2. Instruksi dalam Option Number memperbolehkan
26
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
seorang classifier yang berada di lokasi tertentu untuk memodifikasi nomor-nomor yang berkaitan dengan negara, etnik dan bahasanya sendiri dengan nomor yang lebih singkat namun dengan pendeskripsian yang lebih luas. Pendek kata, seorang classifier di negara Arab boleh menggunakan dan memodifikasi nomor opsional yang berkaitan dengan subjek dan disiplin yang berhubungan dengan negara Arab, seorang classifier di negara Timor Leste boleh menggunakan dan memodifikasi nomor opsional yang berkaitan dengan subjek dan disiplin yang berhubungan dengan Timor Leste, demikian juga dengan classifier di Indonesia boleh menggunakan dan memodifikasi nomor opsional yang berkaitan dengan subjek dan disiplin yang berhubungan dengan Indonesia, selama sesuai dengan instruksi yang terdapat dalam Sistem Klasifikasi DDC. 3. Instruksi-instruksi tentang Option Number hanya terdapat dalam Sistem Klasifikasi DDC versi lengkap dan tidak terdapat dalam versi ringkas (abridged edition). 4. Pada umumnya Option Number digunakan/dipilih salah satu, bukan untuk digunakan semuanya. Tidak dapat dipungkiri, classifier yang menggunakan DDC versi lengkap dan edisi terkini masih belum banyak, mengingat harganya yang relatif mahal bagi sebagian besar perpustakaan di Indonesia (1 set terdiri dari 4 volume seharga ± 6 juta Rupiah). Di lain pihak, pada kenyataannya sampai saat ini tidak sedikit pustakawan yang masih menggunakan pedoman klasifikasi buku “Pengantar Klasifikasi Persepuluhan Dewey” susunan Towa Hamakonda dan JNB. Tairas. Di dalam buku tersebut sebenarnya sudah mengadopsi nomor-nomor opsional (seperti nomor 410 untuk bahasa Indonesia, nomor 810 untuk kesusastraan Indonesia, dan lain-lain). Dalam beberapa kasus, nomor opsional susunan Hamakonda dan Tiaras tersebut sering dianggap out of date bahkan keliru, khususnya oleh mereka yang menggunakan edisi ringkas, yang tidak terdapat penjelasan tentang nomor opsional di dalamnya. Dengan pemaparan ini, Penulis berharap tidak perlu lagi terjadi pertentangan dan perdebatan mengenai hal itu, mengingat prinsip pemberian nomor klasifikasi adalah untuk memudahkan proses penempatan dan temu kembali koleksi baik oleh pustakawan, pemustaka, atau siapapun yang berkepentingan dalam penelusuran informasi di
perpustakaan. Disamping itu memang terdapat banyak kemungkinan penafsiran dalam menggunakan Sistem Klasifakasi DDC, dengan kata lain untuk subjek atau disiplin ilmu yang sama pun akan terdapat perbedaan penentuan nomor klasifikasi di antara masing-masing classifier. Hal itu bisa jadi disebabkan perbedaan cara berpikir, latar belakang keilmuan, pengalaman dan juga pedoman klasifikasi yang digunakan. Misalnya, classifier yang menggunakan DDC versi lengkap akan berbeda hasil
penentuan nomor klasifikasinya dibandingkan dengan yang menggunakan edisi ringkas, apalagi dibandingkan dengan yang menggunakan buku klasifikasi susunan Hamakonda dan Tairas. Segala perbedaan tersebut hendaknya tidak perlu dipertentangkan selama classifier mampu mempertanggungjawabkan keputusan dalam menentukan setiap nomor klasifikasi untuk bahan pustaka di perpustakaannya,
Daftar Pustaka Hamakonda, T.&Tairas, JNB. (1995). Pengantar Klasifikasi Persepuluhan Dewey. Jakarta: Gunung Mulia. OCLC (Online Computer Library Center) Inc. (2011). Introduction to the Dewey Decimal Classification. Dublin, Ohio: OCLC. OCLC (Online Computer Library Center). Dewey Services. Diunduh pada 18 Februari 2015 dari http:// www.oclc.org/en-CA/dewey/features.html
Perpustakaan Nasional RI. (2010). Terjemahan Klasifikasi Desimal Dewey Disesuaikan dengan DDC Ringkas Edisi Ke-14. Jakarta: Perpusnas RI. Saleh, Abdul Rahman, dkk. (2009). Manajemen Perpustakaan. Jakarta: Universitas Terbuka. Hal. 3.33. Sugono, Dendy (Eds.). (2001). Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Keempat). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal. 706. Sulistyo-Basuki. (1991). Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal. 395.
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
27
Oleh: OLEH: AGUNG WIBAWA1 Email:
[email protected]
Membangun Citra Profesi Pustakawan di Masyarakat Abstrak Perpustakaan dalam perkembangannya menjadi sebuah institusi yang tidak hanya melayankan pustaka tetapi lebih kepada melayankan informasi dan memfasilitasi kebutuhan masyarakat pemustakanya. Berbagai permasalahan hidup dapat terselesaikan di perpustakaan, menjadi harapan bagi pemustaka sehingga institusi perpustakaan benar-benar menjadi primadona yang diminati masyarakat. Seiring dengan itu profesi pustakawan pun turut sejalan dengan organisasi induknya dan lebih dihargai sebagai organisasi yang mencerdaskan kehidupan bangsa. Pemberdayaan dan peningkatan citra pustakawan harus dimulai dengan peningkatan self-esteem dan self-respect terhadap profesinya. Menemukan berbagai permasalahan dalam organisasi dan masyarakat, internal dan eksternal, kegiatan inovatif dilakukan dalam rangka profesionalitas pustakawan di dalam masyarakat, diantaranya dengan diversifikasi kegiatan pustakawan melalui Institusi dan IPI serta beberapa kegiatan tidak biasa tetapi berdampak positif. Kegiatan ini diharapkan menemukan solusi dalam mengeksistensikan profesi pustakawan dan perpustakaan. Kata Kunci: Citra profesi, Diversifikasi usaha, Positive deviance, Pustakawan, Self-esteem Pendahuluan Pengertian perpustakaan secara tradisional adalah mencakup suatu ruangan, bagian dari gedung/bangunan atau gedung tersendiri yang berisi koleksi, diatur dan disusun sedemikian rupa, sehingga mudah untuk dicari dan dipergunakan apabila sewaktu-waktu diperlukan oleh pembaca (Sutarno, 2006:11). Sedangkan menurut Lasa (2007:12) perpustakaan adalah kumpulan atau bangunan fisik sebagai tempat buku dikumpulkan dan disusun menurut sistem tertentu atau keperluan pemakai. UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan disebutkan secara tegas keprofesionalan dalam mengelola perpustakaan. Perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan
rekreasi pemustaka. Perubahan paradigma perpustakaan dari tradisional ke modern menjadi keniscayaan pada era informasi dan teknologi sekarang ini. Perpustakaan yang tanpa batas dan memiliki koleksi digital dibutuhkan dalam memenuhi kebutuhan informasi pemustaka. Crawford dan Gorman seperti dikutip oleh Awcock (1996), menyatakan bahwa perpustakaan masa kini bahkan masa depan memiliki lima prinsip sebagai berikut: 1. Libraries serve humanity (perpustakaan melayani manusia); 2. Respects all form by which knowledge is communicated (suatu kehormatan semua bentuk pengetahuan dikomunikasikan); 3. Use the technology intelligently to enhance service (gunakan teknologi dengan cerdas untuk
Pemenang Peringkat Pertama Pustakawan Berprestasi Terbaik Tingkat Nasional Tahun 2016. Pustakawan Ahli Muda pada Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten Gunungkidul, D.I.Yogyakarta. 1
28
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
meningkatkan pelayanan); 4. Protect free access to knowledge (lindungi akses gratis pengetahuan); dan 5. Honor the past and create future (menghormati masa lalu dan menciptakan masa depan). Pernyataan tersebut jika dikaitkan dengan pustakawan, maka peran pustakawan semakin kompleks dan penting. Pustakawan tidak sekedar sebagai penjaga perpustakaan yang bertugas meminjamkan dan mengembalikan buku tetapi lebih profesional dan personal dalam mengelola dan melayankan informasi disebut sebagai broker information. Semua itu menjadi tantangan pustakawan dan perpustakaan untuk dapat memenuhi kebutuhan pemustaka secara cepat, tepat, dan relevan. Oleh karena itu dibutuhkan peningkatan kompetensi individual dan profesional pustakawan, sehingga perpustakaan tidak ditinggalkan pemustakanya dan pustakawan tidak sekedar menjadi penjaga gedung. Di dalam masyarakat sendiri banyak yang memandang rendah keberadaan perpustakaan yang berdampak pada tidak populernya profesi pustakawan. Bahkan ada kecenderungan yang menganggap pustakawan adalah petugas perpustakaan/ guru, staf, maupun penjaga sekolah, siapapun itu yang menjaga layanan perpustakaan. Tentu saja stigma ini merugikan profesi pustakawan yang memiliki keahlian dan keterampilan di bidang ilmu perpustakaan, dokumentasi, dan informasi yang diperoleh melalui pendidikan formal maupun non formal dan memiliki sikap pengembangan diri, mau menerima dan melaksanakan hal-hal baru dengan jalan memberikan pelayanan profesional kepada masyarakat dalam rangka melaksanakan UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia (Lasa, 2009:296). Perubahan stigma di masyarakat tentang profesi pustakawan sangat diperlukan. Perubahan tersebut tidak dapat dilakukan secara mendadak tetapi harus intensif dan berkelanjutan. Perubahan tersebut dimulai dari perpustakaan dan pustakawan itu sendiri. Bagaimana meningkatkan citra pustakawan yang tidak bisa terlepas dari upaya meningkatkan dan memberdayakan perpustakaan baik dalam dunia pendidikan maupun masyarakat secara masif. Berbagai upaya dilakukan pustakawan untuk membangun image pustakawan sebagai profesi yang penting untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kenyataannya sampai saat ini penghargaan masyarakat terhadap profesi masyarakat masih juga
rendah. Untuk itu dibutuhkan usaha yang luar biasa bahkan menyimpang (deviance) untuk meningkatkan citra diri pustakawan, khususnya di masyarakat. Definisi Citra Cambridge Advanced Learner’s Dictionary third edition, image atau citra didefinisikan sebagai the picture in your mind or an idea of how someone or something is yaitu suatu gambaran yang ada di dalam benak seseorang atau ide tentang bagaimana seseorang itu atau sesuatu itu. Bill Canton seperti yang disitir dalam buku Dasar-dasar Public Relations mendefinisikan citra sebagai kesan, perasaan, gambaran dari publik terhadap perusahaan; kesan yang sengaja diciptakan oleh suatu objek, orang atau organisasi (Soemirat dan Alvinaro Ardianto, 2010: 111). Menurut Lasa dalam Kamus Kepustakawanan Indonesia, citra adalah sesuatu yang tampak oleh indra tetapi tidak memiliki eksistensi substansial (Lasa, 2009:59). Secara sederhana citra diri seorang pustakawan dapat diartikan sebagai gambaran kita terhadap diri kita atau pikiran kita tentang pandangan orang lain terhadap diri kita. Citra terbentuk berdasarkan pengetahuan dan informasi yang diterima oleh seseorang (Soemirat dan Alvinaro Ardianto, 2010:114). Informasi yang diterima berkaitan dengan pustakawan baik yang dikomunikasikan secara langsung maupun tidak, akan menimbulkan perilaku tertentu dan cenderung mempengaruhi cara seseorang dalam melihat citra pustakawan tersebut. Seperti yang dikatakan oleh John S. Nimpoeno, bahwa proses pembentukan citra terbentuk melalui pengalaman atau stimulus yang berasal dari luar diorganisasikan dan mempengaruhi respon. (Soemirat dan Alvinaro Ardianto, 2010: 115). Tabel Pembentukan Rangsang
Kognisi Stimulus Rangsang
Persepsi
Sikap
Respon Perilaku
Motivasi Sumber: Soemirat dan Alvinaro Ardianto, 2010: 115
Empat komponen: persepsi, kognisi, sikap, dan motivasi diartikan sebagai citra individu terhadap rangsang. Individu akan memberikan makna terhadap
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
29
rangsang berdasarkan pengalamannya mengenai pustakawan. Kemampuan mempersepsi itulah yang kemudian melanjutkan sebagai proses pembentukan citra atau pencitraan. Kata pencitraan lebih sering dikaitkan dengan Personal Branding yang dilakukan untuk mengangkat namanya agar banyak dikenal di masyarakat. Hal ini sering dilakukan oleh seseorang yang berusaha mengenalkan dirinya kepada khalayak, kemudian ditangkap secara positif oleh lingkungan atau komunitas. Beberapa definisi mengenai personal branding diantaranya menurut Montoya (2006), personal branding adalah sebuah seni dalam menarik dan memelihara lebih banyak klien dengan cara membentuk persepsi publik secara aktif. Pengertian lainnya personal branding adalah sesuatu tentang bagaimana mengambil kendali atas penilaian orang lain terhadap anda sebelum ada pertemuan langsung dengan anda. (Montoya & Vandehey, 2008). Selain itu personal branding dimaknai sebagai kemampuan menggunakan atribut secara bebas yang menunjukkan kemampuan anda dalam mengatur harapan yang ingin orang lain terima dalam pertemuannya dengan anda (Mobray, 2009). Dapat disimpulkan bahwa pencitraan diri atau personal branding adalah suatu proses dalam membentuk persepsi masyarakat atas diri manusia seperti yang diharapkan, yang membedakan dengan manusia lainnya. Terdapat 8 konsep utama acuan dalam membangun suatu personal branding seseorang (Peter Montoya, 2002), jika diterapkan pada pustakawan adalah sebagai berikut: 1. Spesialisasi (The Law of Specialization); Ciri khas dari sebuah Personal Brand adalah ketepatan pada sebuah spesialisasi, terkonsentrasi hanya pada sebuah kekuatan, keahlian atau pencapaian tertentu. Spesialisasi dapat dilakukan pada satu atau beberapa cara, yaitu: a. Ability - visi yang strategis dan prinsip-prinsip awal yang baik. b. Behavior - keterampilan dalam memimpin, keder mawanan, atau kemampuan untuk men dengar kan. c. Lifestyle - membaca sebagai gaya hidup. d. Mission - melihat orang lain melebihi persepsi mereka sendiri. e. Product - menciptakan suatu perpustakaan yang menarik. f. Profession-niche within niche- pelatih kepemim
30
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
pinan yang juga seorang psikoterapi. g. Service - pustakawan yang bekerja sebagai seorang pencerita. 2. Kepemimpinan (The Law of Leadership); Masyarakat membutuhkan sosok pemimpin yang dapat memutuskan suatu ketidakpastian dan mem beri kan suatu arahan yang jelas untuk meme nuhi kebutuhan mereka. Personal Brand yang dilengkapi dengan kekuasaan dan kredibilitas mampu memposisikan seseorang sebagai pemimpin yang terbentuk dari kesempurnaan seseorang. 3. Kepribadian (The Law of Personality); Sebuah Personal Brand yang hebat harus didasarkan pada sosok kepribadian yang apa adanya, dan hadir dengan segala ketidaksempurnaannya. Konsep ini menghapuskan beberapa tekanan yang ada pada konsep Kepemimpinan (The Law of Leadership), seseorang harus memiliki kepribadian yang baik, tidak harus menjadi sempurna. 4. Perbedaan (The Law of Distinctiveness); Personal Brand yang efektif perlu ditampilkan dengan cara berbeda dengan yang lainnya. Banyak pustakawan membangun image dengan konsep yang standar, apa adanya atau sama dengan kebanyakan image yang ada di sebuah profesi layanan, dengan tujuan untuk menghindari konflik. Namun hal ini justru merupakan suatu kesalahan, karena pustakawan tidak dikenal diantara sekian banyak profesi yang ada di masyarakat. 5. The Law of Visibility; Untuk menjadi sukses, Personal Brand harus dapat dilihat secara konsisten terus-menerus, sampai Personal Brand seseorang dikenal. Maka visibility lebih penting dari kemampuan (ability)-nya. Untuk menjadi visible, pustakawan perlu mempromosikan dirinya, memasarkan dirinya, menggunakan setiap kesempatan yang ditemui dan memiliki beberapa keberuntungan. 6. Kesatuan (The Law of Unity); Kehidupan pribadi seseorang dibalik Personal Brand harus sejalan dengan etika moral dan sikap yang telah ditentukan dari merek tersebut. Kehidupan pribadi selayaknya menjadi cermin dari sebuah citra yang
ditanamkan dalam Personal Brand. 7. Keteguhan (The Law of Persistence); Setiap Personal Brand membutuhkan waktu untuk tumbuh, selama proses tersebut berjalan, penting untuk selalu memperhatikan setiap tahapan dan trend. Dapat pula dimodifikasikan dengan iklan atau public relation. Pustakawan harus tetap teguh pada Personal Brand awal yang telah dibentuk, tanpa ragu dan berniat merubahnya. 8. Nama baik (The Law of Goodwill) Personal Brand memberikan hasil yang lebih baik dan bertahan lama, jika seseorang dibelakangnya dipersepsikan dengan cara positif. Seseorang tersebut harus diasosiasikan dengan sebuah nilai atau ide yang diakui secara umum positif dan bermanfaat. Profesi Pustakawan Istilah profesi berasal dari kata profess yang berarti ‘pengakuan’, kata profess atau profesi digunakan pada abad pertengahan, di Eropa Barat, Jerman, dan di Skandinavia dengan istilah Gilda, perkumpulan orang memiliki keterampilan khusus, seperti tukang sepatu, tukang kayu, dan tukang pandai besi. Keterampilan khusus berkembang menjadi spesialisasi, yaitu orang yang mengkhususkan diri dalam sebuah pekerjaan khusus (Sulistyo-Basuki, 1993). Abraham Flexner (dalam Wirawan, 1988) menyatakan bahwa profesi paling tidak memenuhi 6 persyaratan, yaitu: 1. Profesi merupakan pekerjaan intelektual, menggunakan intelegensia bebas yang diterapkan pada problem dengan tujuan untuk memahaminya dan menguasainya; 2. Profesi merupakan pekerjaan saintifik berdasarkan pengetahuan yang berasal dari sains; 3. Profesi merupakan pekerjaan praktikal, artinya bukan teori akademik tetapi dapat diterapkan dan dipraktikkan; 4. Profesi terorganisasi secara sistematis; 5. Ada standar cara melaksanakannya dan mempunyai tolok ukur hasilnya; dan 6. Profesi merupakan pekerjaan altruisme berorientasi kepada masyarakat yang dilayaninya bukan kepada diri profesionalisme, sedangkan profesionalisme menunjukkan ide, aliran, isme yang bertujuan
mengembangkan profesi, agar profesi dilaksanakan oleh profesional dengan mengacu pada norma, standar dan kode etik, serta memberikan layanan terbaik kepada klien. Lasa (2009) menyebutkan bahwa sebuah profesi adalah bukan sekedar pekerjaan/ vacation, akan tetapi suatu pekerjaan yang memerlukan keahlian/expertise, tanggung jawab/responsibility, dan kesejawatan/ corporateness. Profesi informasi (termasuk pustakawan) memerlukan variabel-variabel; pengembangan penge tahu an, penyediaan sarana/institusi, asosiasi, dan pengakuan oleh khalayak. Pengertian pustakawan dalam Undang-Undang No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan. Pengertian Pustakawan di dalam AD/ART dan Kode Etik Ikatan Pustakawan Indonesia Periode 20152018 pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggungjawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan. Lebih lanjut Lasa (2009) menyebutkan bahwa profesi pustakawan pada jaman Mesir Kuno telah diakui dan memiliki kedudukan tinggi dalam pemerintahan, mereka telah berpengetahuan tinggi dan ahli bahasa. Profesi pustakawan di Indonesia diakui secara formal sebagai tenaga fungsional berdasar SK MENPAN No. 18/MENPAN/1988 dan SK ini diperbaharui dengan SK MENPAN No. 33/1998. kemudian direvisi dan terbit SK MENPAN No. 132 Th. 2002, sebagai pelaksanaan keputusan tersebut dikeluarkan Peraturan Kepala Perpustakaan Nasional RI No. 2 Th. 2008. UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan menyebutkan tentang profesi pustakawan. Ditegaskan kembali di dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. 83 Tahun 2012 tentang Penetapan Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Sektor Jasa Kemasyarakatan, Hiburan, dan Perorangan Lainnya Bidang Perpustakaan Menjadi Standar Kompetensi Kerja Nasional Perpustakaan. Terakhir dengan dikeluarkannya peraturan yang membahas
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
31
tentang profesionalisme pustakawan yaitu Permenpan dan RB No. 9 Tahun 2014 tentang Jabatan Fungsional Pustakawan dan Angka Kreditnya. Pengembangan suatu profesi dipengaruhi oleh faktor sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat dibagi dalam indikator-indikator: 1. Tingkat kebutuhan masyarakat; 2. Standar keahlian; 3. Selektivitas keanggotaan; 4. Kemauan untuk berkembang; 5. Hubungan profesi dan ilmu pengetahuan; 6. Institusi; 7. Tingkat pendidikan; 8. Kode etik; 9. Pengamalan ilmu pengetahuan; dan 10. Organisasi profesi. Orasi Pustakawan Utama, Wartini (2010) mengemukakan bahwa pengertian pustakawan, adalah: 1) kompetensi bidang ilmu perpustakaan, dokumentasi dan informasi, 2) kompetensi diperoleh melalui pendidikan/pelatihan, 3) kompetensi digunakan untuk pelaksanaan tugas dan tanggung jawab dalam pengelolaan perpustakaan, dan 4) memberikan layanan kepada masyarakat. Keempat catatan tersebut sesuai dengan ciriciri profesi (Sulistyo-Basuki) yaitu: 1) adanya asosiasi atau organisasi profesi (Ikatan Pustakawan Indonesia, dan lain sebagainya), 2) adanya pola pendidikan profesi yang jelas (jurusan ilmu perpustakaan di perguruan tinggi), 3) adanya kode etik (diimplementasikan dalam ketentuan pelayanan pemustaka maupun yang ditentukan oleh IPI), 4) berorientasi pada jasa (melayani pemustaka), dan 5) adanya kemandirian (masih diragukan oleh beberapa kalangan karena fungsional pustakawan dibentuk oleh pemerintah untuk kebutuhan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi organisasi/unit kerja). Masyarakat Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu yang berada dalam kelompok tersebut (Wikipedia). Kata society sendiri berasal dari bahasa Latin, societas, yang berarti hubungan persahabatan dengan yang lain. Societas diturunkan dari kata socius yang berarti teman, sehingga arti kata society berhubungan erat dengan kata sosial. Secara implisit, kata
32
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
society mengandung makna bahwa setiap anggotanya mempunyai perhatian dan kepentingan yang sama dalam mencapai tujuan bersama. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan masyarakat adalah: 1. Sekumpulan orang yang hidup bersama pada suatu tempat atau wilayah dengan ikatan aturan tertentu. 2. Segolongan orang yang mempunyai kesamaan tertentu (KBI: 934). Jika berbicara mengenai masyarakat dalam hal ini masyarakat Indonesia, tidak terlepas dari pemahaman mengenai masyarakat yang multikultur. Secara etimologis multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/paham). Secara hakiki, kata multikulturalime terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya yang masing-masing unik (Choirul, 2006). Konsep multikulturalisme disini tidaklah dapat disamakan dengan konsep keberagaman suku bangsa atau kebudayaan yang menjadi ciri khas masyarakat majemuk (plural society). Karena, multikulturalisme menekankan keberagaman kebudayaan dalam kesede rajatan. Multikulturalisme tidak bisa dilepaskan dari permasalahannya yang mendukung ideologi, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya, komuniti dan golongan minoritas, prinsip etika dan moral, juga tingkat dan mutu produktivitas. Pengertian mengenai masyarakat multikultur penting untuk dimengerti oleh pustakawan dalam berinteraksi dengan masyarakat. Peluang pustakawan untuk beradaptasi dengan masyarakat sangat besar karena pada dasarnya perpustakaan memiliki sifat yang multikultur. Tanpa mengerti akan akar budaya dan kondisi yang terjadi dalam masyarakat, pustakawan akan kesulitan dalam mengeksistensikan keprofesionalannya. Dalam beradaptasi dengan masyarakat, pustakawan tidak sekedar hanya hidup di tengah-tengahnya tanpa memberikan kontribusi nyata tetapi memerlukan akulturasi kepustakawanan yang berkelanjutan. Konsep akulturasi ini telah lama diperkenalkan para antropolog dan sosiolog. Definisi awal akulturasi dikemukakan oleh Redfiels, dkk. dalam Purwanto (2000:104) adalah fenomena yang terjadi ketika kelompok individu yang mempunyai budaya berbeda melakukan kontak berkelanjutan yang pada akhirnya mengubah pola budaya asli dari budaya pendatang maupun budaya setempat.
Sementara itu Joyomartono (1991:41) menyampaikan bahwa akulturasi sebagai akibat kontak kebudayaan dapat terjadi dalam salah satu kebudayaan pesertanya tetapi dapat juga terjadi di dalam kedua kebudayaan yang menjadi pesertanya. Akulturasi melibatkan perbedaan tingkat pembelajaran dan mempertahankan budaya yang bergantung pada faktor individu, kelompok maupun lingkungan. Proses akulturasi bersifat dinamis sebab merupakan proses yang terus berlanjut dan berubahubah dan bersifat multidimensi sebab berlangsung menuju sejumlah fungsi psikososial dan dapat berhasil dalam bentuk adaptasi. Minat baca maupun minat kepustakawanan belum menjadi budaya, masih menjadi minoritas dalam masyarakat. Data menunjukkan bahwa minat baca di Indonesia masih rendah. Merujuk dari data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2012 sebanyak 91,68% penduduk yang berusia 10 tahun keatas lebih menyukai menonton televisi, dan hanya sekitar 17,66 persen yang menyukai membaca dari berbagai sumber seperti surat kabar, buku atau majalah. Berdasar data United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada tahun 2012 indeks minat baca mayarakat Indonesia baru mencapai 0,001 yang artinya dari setiap 1.000 orang Indonesia hanya ada 1 orang saja yang memiliki minat baca serius. Dalam menumbuhkan budaya membaca di beberapa negara mewajibkan anak sekolah sebelum menamatkan pendidikannya diberi kewajiban untuk membaca buku dan menamatkan nya dalam jumlah tertentu. Jerman misalnya, mewajibkan siswanya untuk menamatkan membaca buku hingga 22-23 buah. Di lingkup ASEAN, negara Malaysia dan Singapura telah menerapkan dan mewajibkan siswanya yang ingin lulus sekolah untuk menamat kan sebanyak enam buku. Malaysia dalam kajian UNDP memiliki angka melek huruf orang dewasa 86,4 persen. Sedangkan di Indonesia hanya 65,5 persen. Berdasarkan hasil penelitian yang sama Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada pada posisi 121 dari 187 negara di dunia artinya secara umum kualitas dan kompetisi masyarakat Indonesia tertinggal dari negara lainnya. Di sisi lain fenomena ini bisa menjadi interest bagi pustakawan dalam mewujudkan masyarakat yang literate terhadap informasi lewat perpustakaan. Masyarakat menjadi living university bagi pengembangan budaya baca dan pustakawan mengambil peran penting dalam
membentuknya. Membangun Citra Profesi Pustakawan di Masyarakat Membangun berarti memberdayakan dan mening katkan citra profesi pustakawan. Untuk melakukan hal tersebut perlu dilihat dari berbagai sisi yaitu internal dan eksternal. Internal Secara internal membangun citra profesi pustakawan dimulai dari diri sendiri dengan mengembangkan selfesteem dan self-respect terhadap profesi pustakawan itu sendiri. Menurut Stuart dan Sundeen (1991), harga diri (self-esteem) adalah penilaian individu terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal dirinya. Harga diri menggambarkan sejauhmana individu tersebut menilai dirinya sebagai orang yang memiliki kemampuan, keberartian, berharga, dan kompeten. Sedangkan Gilmore mengemukakan bahwa: “….self-esteem is a personal judgement of worthiness that is a personal that is expressed in attitude the individual holds toward himself. Pendapat ini menerangkan bahwa harga diri merupakan penilaian individu terhadap kehormatan dirinya, yang diekspresikan melalui sikap terhadap dirinya. Sementara itu, Santrock (2011) memberikan pengertian harga diri (self-esteem) sebagai harga diri atau penghargaan seseorang terhadap diri sendiri termasuk self-respect, rasa percaya diri dan segala kemampuan yang ada pada dirinya sendiri atau keseluruhan cara yang digunakan untuk mengevaluasi diri. Dalam meningkatkan self-esteem atau penghargaan terhadap diri sendiri ada beberapa cara yang dilakukan diantaranya: a. Membantah inner critic atau suara batin kritis; yaitu menantang pesan-pesan negatif dari suara batin kritis. Ketika pustakawan dipandang tidak setara dengan profesi lain, tidak menjadikan pustakawan rendah diri tetapi berusaha untuk membantah dengan meyakini bahwa profesi pustakawan sangat diperlukan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. b. Praktek self-compassion; dengan melatih diri untuk kasih sayang artinya memberlakukan diri dengan empati yang sama ditunjukkan pada orang lain. Pustakawan berusaha untuk mengevaluasi diri sendiri dan menghargai diri sendiri dan profesinya seperti menghargai profesi yang lain. c. Mendapatkan bantuan dari orang lain. Pustakawan rela mendapatkan bantuan orang lain atau profesi lain
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
33
ketika tidak mampu melakukan sendiri. Kerjasama adalah kata kunci yang kuat dalam membentuk penghargaan terhadap diri sendiri. Peningkatan kompetensi menjadi mutlak dilakukan pustakawan untuk meningkatkan rasa percaya dirinya. baik kompetensi profesional maupun individual. Indonesia pada era MEA terjadi persaingan bebas antar SDM di sepuluh negara ASEAN. Pustakawan harus memiliki intrapreneurship, mempunyai soft skill dan hard skill tinggi untuk berkompetisi dengan mengikuti sertifikasi pustakawan dan membangun jejaring pustakawan, ada beberapa strategi diantaranya dengan meningkatkan kompetensi profesional, pribadi, dan inti/ umum, serta kerjasama antar pustakawan se-ASEAN.
IPI Kabupaten Gunungkidul mengumpulkan berbagai organisasi profesi, organisasi kemasyarakatan, dan forum lainnya untuk bekerja sama dalam setiap kegiatan yang dilakukan di organisasi tersebut. IPI Kabupaten Gunungkidul mengangkat ketua organisasi profesi sebagai anggota kehormatan IPI, agar dapat memberi dukungan dan penghargaan pada organisasi profesi khususnya pustakawan yang selama ini masih kurang dihargai. Strategi lain yang dilakukan IPI Kabupaten Gunungkidul dalam perekrutan anggota dengan membuka seluasluasnya setiap orang yang bekerja di perpustakaan, pemerhati perpustakaan, dan mahasiswa perpustakaan menjadi anggota IPI Kabupaten Gunung kidul. Masa kepengurusan anggota IPI Kabupaten Gunungkidul Maret 2016 berjumlah 157 orang.
Tahun 2016 Indonesia dan 189 negara lain di dunia berkomitmen dalam Program Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) sebagai kelanjutan dari MDGs yang sudah selesai tahun 2015. Pustakawan dapat terlibat dalam isu-isu strategis sehingga pustakawan dengan SDM mampu menjadi garda depan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Peran inklusifnya dengan menghargai dan menaruh rasa hormat terhadap profesinya, pustakawan mampu memberikan kontribusi yang dibutuhkan masyarakat dalam program pengentasan kemiskinan baik miskin secara fisik maupun miskin informasi. IPI Kabupaten Gunungkidul, DIY sebagai organisasi profesi pustakawan bertujuan: 1) mengembangkan profesionalisme, kompetensi, wawasan kepustakawanan, dan peningkatan karir; 2) mengembangkan ilmu perpustakaan dan informasi; 3) mengabdikan dan mengamalkan tenaga keahlian pustakawan untuk bangsa dan negara; 4) memajukan dan memberikan perlindungan profesi kepada anggota, tercantum pada AD/ART IPI Periode 2015-2018 maka IPI Kabupaten Gunungkidul melakukan terobosan untuk meningkatkan self-confidence anggota dan organisasinya sekaligus meningkatkan self-esteem dan self-respect menginisiasi kerjasama dengan organisasi profesi lain, dengan mengundang Ketua PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) Kabupaten Gunungkidul dan Forum Arsiparis Kabupaten Gunungkidul dalam kegiatan seminar perpustakaan, 13 Oktober 2015 dihadiri 200 orang pustakawan, pengelola perpustakaan instansi, desa, sekolah, perguruan tinggi, tempat ibadah, komunitas, mahasiswa perpustakaan dan pemerhati perpustakaan di Gunungkidul.
IPI Kabupaten Gunungkidul mendiversifikasi kegiatannya agar mampu bersaing dalam era persaingan bebas, membangun citra pustakawan di masyarakat. Menurut KBBI on line diversifikasi adalah penganekaragaman; penganekaan usaha untuk menghindari ketergantungan pada ketunggalan kegiatan, produk, jasa, atau investasi. Diversifikasi diperlukan ketika posisi persaingan sangat kuat, pertumbuhan pasar cepat; posisi persaingan lemah, pertumbuhan pasar cepat; posisi persaingan sangat kuat, pertumbuhan lambat; dan posisi persaingan lemah, pertumbuhan lemah. Penganeka ragaman kegiatan IPI Kabupaten Gunungkidul sampai dengan tahun 2017 adalah: a. Membuka klinik konsultasi kepustakawanan. bekerjasama dengan KPAD Kabupaten Gunungkidul. Petugas klinik adalah pustakawan dari berbagai instansi baik KPAD Kabupaten Gunungkidul maupun sekolah di Sekretariat IPI Kabupaten Gunungkidul dengan jadwal layanan yang sudah ditetapkan; b. Membentuk kelas berbagi, IPI Gunungkidul bekerjasama dengan berbagai organisasi profesi dan forum non formal lainnya sifatnya sosial, seperti kelas berbagi penulisan, fotografi, teknologi informasi dan komunikasi, agar pustakawan memiliki kemampuan sehingga mampu berdaya guna dan bersaing dalam era perdagangan bebas ASEAN atau MEA; c. Membuat sayap-sayap organisasi IPI; sayap organisasi mengadaptasi dari partai politik, sayap menjadi kekuatan dalam menjaga organisasi induknya. IPI Gunungkidul bulan April 2016 membuat sayap Komunitas TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) sebagai hasil dari kegiatan Workshop
34
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
SLiMS. Pengurusnya dipilih dari peserta workshop yang memiliki kemampuan dalam bidang TIK dan diharapkan nantinya lebih fokus di bidangnya. Pengurus IPI induk dapat melakukan diversifikasi kegiatan yang lainnya. Direncanakan tahun ini akan dibuka sayap komunitas penulisan, dan sayap komunitas fotografi; d. Membentuk grup di sosial media untuk mempromosikan profesi pustakawan lewat facebook dan whatsapp. Eksternal Selain internal kegiatan diversifikasi IPI Gunungkidul juga dilakukan secara eksternal, diantaranya: a. Turut aktif mengintervensi kebijakan yang sifatnya kemaslahatan masyarakat dan profesi. Dalam Laporan Temu Kerja Pustakawan Madya dan Pustakawan Utama Se-Indonesia Tahun 2005 Sungkono mencontohkan bagaimana Asosiasi Perpustakaan Irlandia berhasil mengintervensi proses pemilihan umum tahun 1997, dengan memberikan breafing kepada para kandidat agar mereka peduli kepada perpustakaan. Program ini dikatakan sebagai “bring the libraries to the attention of politicians and other opinion-formers”. Pustakawan Indonesia lewat organisasi IPI patut mencontoh gerakan tersebut dengan mengadvokasi dan melobi para pengambil kebijakan, stake holder, baik eksekutif maupun legislatif. Oleh karena itu diperlukan kemampuan khusus pustakawan dengan berbagai pelatihan manajemen perpustakaan dan advokasi. b. Aktif mencari dukungan kerjasama dengan berbagai pihak, untuk mengembangkan perpustakaan dan pustakawan, kerjasama antar organisasi profesi, perusahaan, dan lain sebagainya. KPAD Kabupaten Gunungkidul melakukan kerjasama dengan Coca Cola Foundation Indonesia (CCFI), Bill and Melinda Gates Foundation (BMGF) mendukung pengembangan perpustakaan kabupaten dan desa yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Banyak perubahan terjadi di Gunungkidul sejak kerjasama menggunakan pendekatan positive deviance atau penyimpangan positif. Positive deviance sebuah pendekatan untuk menciptakan perubahan sosial dan perilaku, berdasarkan pengamatan bahwa di setiap masyarakat terdapat individu/institusi memiliki perilaku yang tidak umum/biasa, mereka menemukan solusi lebih baik dibanding individu/ insitusi lain yang mengalami masalah yang sama.
(Coca Cola Foundation Indonesia, 2014). Hal ini diaplikasikan untuk masalah yang berhubungan dengan kesehatan seperti kekurangan gizi, kesehatan reproduksi, penyebaran HIV/AIDS, dan sebagainya. Strategi inilah yang diadopsi oleh IPI walaupun tidak mutlak untuk memajukan profesi pustakawan. Hal yang menyimpang tetapi berdampak positif bagi kemajuan profesi dan masyarakat di Gunungkidul, diantaranya petani di Desa Bendung, Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkidul sebelumnya buta teknologi informasi dan komunikasi sekarang dapat meningkatkan hasil produksinya berkat membaca buku dan searching informasi di internet. Kemampuan mengakses internet merupakan hasil pembelajaran TIK yang dibimbing oleh fasilitator PerpuSeru di Perpustakaan Desa “Ngupoyo Pinter”. Petani sebelumnya tidak pernah ke perpustakaan menjadi akrab dengan perpustakaan desa. Contoh lain ibu-ibu yang tidak mempunyai pekerjaan di desa Bedoyo, Ponjong setelah diadvokasi untuk membaca di perpustakaan, kemudian belajar komputer dasar dan internet dan dilakukan pembelajaran membuat batik di perpustakaan desa, hasilnya mereka dapat membatik, bahkan di desa Kepek, Kecamatan Wonosari, ibu-ibu rumah tangga berhasil menjual batiknya secara online sampai ke California, USA setelah mendapatkan pelatihan marketing online di KPAD Kabupaten Gunungkidul. c. Aktif mengadvokasi masyarakat melalui penyuluhan ke RT, RW, desa, dan berbagai kegiatan kemasyarakatan lainnya seperti karang taruna, kelompok tani, kelompok sadar wisata, dan sebagainya yang tidak berhubungan langsung dengan profesi pustakawan. Pustakawan dapat menyelipkan pesan dan misi perpustakaan dalam kegiatan tersebut. Pustakawan juga berupaya untuk menjadi pengurus baik di tingkat RT, maupun organisasi lainnya. d. Melakukan pekerjaan sosial kemasyarakatan dengan memberikan bantuan kepada yang membutuhkan. Penutup Menjadi seorang pustakawan profesional yang mampu melayani masyarakat tidak dapat dibentuk dengan sekejap, tetapi membutuhkan waktu dan pengalaman. Tidak ada salahnya dimulai dari sekarang pustakawan menjadi mediator dan fasilitator profesional mampu memberikan yang terbaik untuk masyarakat, mampu memberikan solusi dalam setiap masalah di masyarakat,
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
35
diharapkan profesi pustakawan akan menjadi profesi yang dihargai dan menjadi harapan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Pustakawan dituntut aktif, kreatif, dan inovatif dalam mengembangkan profesinya, pada dasarnya profesi itu didedikasikan untuk mengembangkan kepustakawanan dalam masyarakat. Membuat perubahan adalah keniscayaan dalam era keterbukaan dan persaingan bebas, berdampak pada dihargainya posisi pustakawan
sebagai sebuah profesi yang terhormat. Seperti ajaran kepemimpinan Ki Hajar Dewantara maka pustakawan menjadi sentral kegiatan dengan bertindak sebagai pustakawan yang ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Ketika menjadi pemimpin harus mampu memberikan contoh bagi orangdi sekitarnya, ketika ditengah kesibukannya pustakawan harus mampu membangkitkan atau menggugah semangat, dan ketika dibelakang mampu memberikan dorongan dan mengarahkan untuk hidup yang lebih baik.
Daftar Pustaka Awcock, Frances. 1996. Re-asserting the Public Libraries Roles in influencing Culture and Citizenship. Brisbane: Griffith University Cambridge Advanced Learner’s Dictionary third edition. Inggris: Cambridge University Press. 2008 Coca-Cola Foundation Indonesia-Perpuseru Project. 2014. Positive Deviance (Penyimpangan Positif ): Sebuah Pendekatan untuk Mengidentifikasi Strategi Sukses Pengembangan Perpustakaan. Jakarta: CocaCola Foundation Indonesia – Perpuseru Project Depdiknas. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa https://www.id.wikipedia.org/wiki/masyarakat Ikatan Pustakawan Indonesia. AD/ART Ikatan Pustakawan Indonesia Periode 2015-2018. Jakarta: IPI Joyomartono, Mulyono. 1991. Perubahan Kebudayaan dan Masyarakat dalam Pembangunan. Semarang: IKIP Semarang Press Konggres IV Ikatan Pustakawan Indonesia, Ujung Pandang 22 - 24 September 1986. Jakarta: PB IPI Laporan Temu Kerja Pustakawan Madya dan Pustakawan Utama se-Indonesia 29-31 Agustus 2005. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI Lasa. 2007. Manajemen Perpustakaan Sekolah. Yogyakarta: Pinus _____2009. Kamus Kepustakawanan Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher Mahfud, Choirul. 2006. Pendidikan Multi Kultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Mobray, Kaplan. 2009. The 10Ks of Personal Branding: Create a Better You (paperback). United States of America: iUniverse Montoya, Peter Inc. Personal Branding Information. © 2003-2006 Peter Montoya, Inc., All Rights Reserved
36
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
Montoya, Peter., & Vandehey. 2008. The Brand Called You: Make Your Business Stand Out in a Crowded marketplace (paperback). United States of America: McGraw-Hill Perpustakaan Nasional RI. 1999. Jabatan Fungsional Pustakawan dan Angka Kreditnya. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI Purwanto, Hari. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan Dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Putra, Andi Madya. Krisis Minat Baca Indonesia dalam Masalah. Tersedia di on-line pada http://www. kompasiana.com/andimadyaputra/krisis-minatbaca-indonesia-dalam-masalah_5535a3d66ea834251 2da42d2. Diakses pada 13 Mei 2016, pukul 17.00 Santoso, Wartini. 2010. Kelompok Tenaga Fungsional Pustakawan Perpustakaan Nasional RI “Antara Ada dan Tiada”. Orasi Pustakawan Utama. Jakarta: Perpusnas RI Santrock, J.W. 2011. Life Span Development (13thed.). New York: McGraw-Hill Soemirat, Sholeh dan Elvinaro Ardianto. 2010. Dasardasar Public Relations. Bandung: Remaja Rosda Karya Sulistyo-Basuki. 1993. Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Sutarno NS. 2006. Perpustakaan dan Masyarakat. Jakarta: Sagung Seto Undang-undang RI Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan Wirawan.1988. Profesi Kepustakawanan: Suatu Analisa. Makalah Hasil Kongres IV Ikatan Pustakawan Indonesia, Ujung Pandang 22-24 September 1986. Jakarta: PB IPI
Oleh: WAHID NASHIHUDDIN1 Email:
[email protected]
Peningkatan Status dan Eksistensi Profesi Pustakawan Indonesia melalui Publikasi Bidang Kepustakawanan Abstrak Menulis merupakan kegiatan intelektual pustakawan yang banyak memberikan manfaat bagi pustakawan. Pustakawan adalah tenaga profesional perpustakaan yang dituntut untuk senantiasa mengembangkan protensi diri dan profesinya secara berkelanjutan. Melalui publikasi/karya tulis, nama pustakawan akan selalu dikenal dan dikenang oleh masyarakat. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan: 1) konsep teori yang terkait dengan status dan eksistensi profesi pustakawan Indonesia melalui publikasi bidang kepustakawanan; 2) kondisi publikasi/karya tulis pustakawan Indonesia; (3) upaya memotivasi pustakawan untuk menulis dan menghasilkan karya tulis; dan (4) literasi informasi pustakawan dan masyarakat Indonesia. Tulisan ini bersifat diskriptif, yang bersumber dari studi literatur dan hasil pemikiran, pengalaman, pengamatan penulis sebagai pustakawan. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan inspirasi dan motivasi bagi pustakawan untuk rajin dan gemar menulis, serta memberikan pengetahuan kepada pustakawan bahwa karya tulis dapat meningkatkan status dan eksistensi profesi pustakawan Indonesia. Kata kunci: Pustakawan; Profesi; Eksistensi; Publikasi; Literasi informasi
Pendahuluan Tulisan ini membahas beberapa hal yang terkait dengan motivasi bagi pustakawan untuk menulis dan menghasilkan karya tulis. Sebagai pengelola dan penyedia informasi, pustakawan harus rajin menulis agar pengetahuannya dapat dibaca dan dipahami oleh masyarakat. Pustakawan yang tidak menulis itu ibarat “tikus yang mati di lumbung padi”. Pustakawan yang aktivitas pekerjaannya selalu berhadapan dengan koleksi/ buku, jika tidak mau menulis itu sangat memprihatinkan karena tidak dapat memanfaatkan sumber daya informasi yang ada dengan baik. Oleh karena itu, jika wawasan dan pengetahuan pustakawan ingin berkembang maka harus
1
menulis dan menghasilkan karya tulis. Melalui karya tulis, image pustakawan akan lebih baik di masyarakat. Anggapan masyarakat yang masih menganggap pustakawan sebagai pengelola dan penjaga buku itu dapat dibantah, karena melalui tulisan dan karya tulis, pustakawan telah menjadi seorang profesional yang juga memikirkan kebutuhan informasi masyarakat terhadap perpustakaan. Melalui karya tulis pula identitas dan jati diri pustakawan akan dikenal dan dikenang oleh masyarakat. Apabila hal tersebut terwujud maka status profesi pustakawan akan lebih baik dan eksistensi pustakawan di masyarakat akan lebih diakui.
Pemenang Kedua Pemilihan Pustakawan Berprestasi Terbaik Tingkat Nasional Tahun 2016. Pustakawan Ahli Pertama PDII-LIPI, DKI Jakarta.
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
37
Berikut ini beberapa alasan mendasar penulis, mengapa pustakawan di Indonesia harus menulis dan menghasilkan publikasi/karya tulis bidang kepustakawanan. • Melalui publikasi, orang lain dapat mengetahui identitas dan jati diri pustakawan yang sebenarnya; “siapa kita, dari mana kita, kerja di mana, dan bisa apa kita”. • Melalui publikasi, ilmu pustakawan akan bermanfaat bagi orang lain dan tentunya juga dapat menginspirasi orang lain untuk berbuat hal yang sama. Apabila orang lain sudah mau menulis tentang isu-isu kepustakawanan, tentunya tugas pustakawan akan semakin mudah karena yang memikirkan perkembangan dan kemajuan ilmu kepustakawanan di Indonesia tidak hanya pustakawan tetapi juga orang lain (mereka yang bukan dari bidang ilmu kepustakawanan). • Melalui publikasi, pengembangan karir dan profesi pustakawan akan cepat karena karya tulis pustakawan memiliki nilai poin yang cukup besar untuk pengajuan angka kredit pustakawan (khusus pustakawan PNS). Sedangkan untuk pustakawan non-PNS, publikasi dapat menjadi nilai lebih bagi pustakawan yakni mendapatkan apresiasi dari pimpinan lembaganya. • Melalui publikasi, pustakawan mendapatkan peluang yang besar untuk menjadi narasumber/pemakalah, instruktur pelatihan kepustakawanan, kandidat pustakawan beprestasi/teladan (tingkat daerah, nasional, regional, atau internasional), serta untuk melanjutkan pendidikan formal ke jenjang yang lebih tinggi. • Melalui publikasi, peran dan kontribusi pustakawan semakin menjadi nyata dalam kancah kemajuan ilmu kepustakawanan di Indonesia. Apabila keilmuan pustakawan telah eksis maka status sosial profesi pustakawan akan meningkat di masyarakat. Susilowati (2007:32) mengatakan bahwa karya tulis merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi bagi setiap jabatan fungsional pustakawan sekaligus sebagai media pengembangan profesi pustakawan. Kurangnya motivasi pustakawan dalam menulis menyebabkan belum optimalnya pengembangan profesi pustakawan. Sesungguhnya pustakawan memiliki peluang yang besar untuk menulis, khususnya di media cetak karena mereka memiliki kedekatan dan kemudahan dalam memperoleh
38
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
sumber informasi yang diperlukan. Namun, kenyataannya jumlah artikel yang dihasilkan oleh pustakawan masih sedikit jumlahnya. Hal tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti minimnya penguasaan keterampilan menulis serta rendahnya motivasi sebagai pemacu kemampuan diri menyebabkan pustakawan jarang menulis artikel yang dimuat surat kabar, majalah, jurnal maupun jenis publikasi yang lain. Beberapa alasan di atas tentunya perlu diperhatikan oleh pustakawan di Indonesia, khususnya bagi mereka yang masih malas dan belum memiliki waktu untuk menulis dan menghasilkan publikasi/karya tulis. Pertanyaan besar tulisan ini adalah bagaimana meningkatkan status profesi dan eksistensi pustakawan Indonesia melalui publikasi bidang kepustakawanan? dan mungkinkah karya tulis yang dihasilkan pustakawan dapat memotivasi literasi masyarakat Indonesia untuk rajin membaca dan menulis? Pertanyaan tersebut akan dijawab pada uraian materi dan pembahasan berikut ini. Status Profesi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI (2008), status bermakna keadaan atau kedudukan (orang, badan, dsb) dalam hubungan dengan masyarakat di sekelilingnya; berstatus artinya mempunyai status, berkedudukan. Profesi bermakna berarti bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan/keahlian (keterampilan, kejujuran, dsb.) tertentu; berprofesi berarti mempunyai profesi. Sedangkan profesional diartikan sebagai sesuatu yang bersangkutan dengan profesi, memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya. Abraham Flexner (1993) dalam Hermawan dan Zen (2006) mengatakan bahwa profesi merupakan: a) pekerjaan intelektual; b) pekerjaan ilmiah (scientific); c) pekerjaan praktikal (bukan teoritik); d) hal yang terorganisasi secara sistematis dan terstandar (ada tolok ukur); e) pekerjaan altruisme yang berorientasi kepada masyarakat. Sulistyo-Basuki (1992:244-245) mengatakan bahwa status profesi merupakan refleksi ketentuan yang mengatur tingkat tanggung jawab, kualifikasi, prospek karir, tugas dan imbalan setiap posisi, tingkat pelatihan, serta pengalaman yang diperlukan. Berdasarkan makna dan definisi di atas, dapat dikatakan bahwa: (1) status merujuk pada kedudukan seseorang, organisasi, atau badan usaha, yang dilihat dari cara pandang pihak/ orang lain terhadap keberadaanya (eksistensi) dalam
suatu lingk ungan sosial; (2) profesi merujuk pada suatu pekerjaan intelektual yang terorganisir secara jelas terkait dengan tugas pokok dan fungsinya dalam organisasi dan pekerjaannya. Eksistensi Profesi Menurut KBBI (2008), eksistensi bermakna hal berada atau keberadaan. Zaenal (2007) mendefinisikan eksistensi sebagai suatu proses yang dinamis, suatu, menjadi, atau mengada. Eksistensi tidak bersifat kaku dan terhenti, melainkan lentur dan mengalami perkembangan atau kemunduran, tergantung pada kemampuan dalam mengaktualisasikan potensi-potensinya. Eksistensi dapat berubah secara dinamis tergantung pada kemampuan dan aktualisasi diri dalam meningkatkan status personal atau organisasinya. Jika terkait dengan eksistensi pustakawan maka keberadaan pustakawan sebagai suatu profesi harus jelas, ada aktualisasi diri, dan dirasakan manfaatnya oleh orang lain atau masyarakat. Pustakawan Pemikir Menurut KBBI (2008), pemikir bermakna orang cerdik pandai yang hasil pemikirannya dapat dimanfaatkan orang lain; filsuf. Pemikir adalah orang menggunakan perasaan, akal, dan ingatannya untuk menggagas ide-ide baru dengan tujuan tertentu. Dagun (2000) mengatakan bahwa pikiran sebagai kesadaran, keinsyafan, diri, roh, atau jiwa yang mendasari kemampuan rasional manusia dan identitas pribadinya. Pikiran merupakan entitas yang memperlihatkan fungsi-fungsi seperti menyerap, mengamati, mengingat, membayangkan, merasa, memahami, membangkitkan emosi, dan menilai. Pikiran memungkinkan manusia merefleksikan dunia objektif ke dalam tataran konsep, putusan, dan teori lewat proses abstraksi, analisis, sintesis, pemecahan, dan hipotesis. Pikiran akan menghasilkan ilmu, dan sifat ilmu itu ilmiah. Menurut KBBI (2008), ilmiah bermakna bersifat ilmu; secara ilmu pengetahuan; memenuhi syarat atau kaidah ilmu pengetahuan. Dagun (2000) menyebut kata “ilmiah” sebagai teori ilmiah, yaitu teori yang berisi banyak istilah yang dapat diambil secara langsung. Sebuah teori adalah suatu bagian dari suatu sistem konsep–konsep yang saling berkaitan yang mengandung eksistensi gejalagejala yang dapat digambarkan oleh hukum-hukum. Salam (1997) menjelaskan bahwa berpikir ilmiah merupakan proses atau aktivitas manusia untuk
menemukan/mendapatkan ilmu. Ilmu kemudian memiliki makna yang berarti atau yang disebut sebagai pengetahuan (knowledge). Cara berpikir ilmiah seseorang dapat dilihat dari metode yang digunakan dalam menganalisa suatu permasalahan. Beberapa contoh berpikir ilmiah, yaitu: (1) merumuskan masalah; (2) merumuskan hipotesis; (3) mengumpulkan data; (4) mengolah data; (5) menganalisis masalah; (6) menguji hipotesis; dan (7) menyusun kesimpulan. Prinsip dalam berpikir ilmiah adalah menyampaikan sesuatu, berupa ide, gagasan, dan pikiran, dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Hal serupa dikatakan Sumarto (2006) bahwa teori ilmiah harus memenuhi dua syarat utama, yaitu: (1) harus konsisten dengan teori-teori sebelumnya agar tidak terjadi kontradiksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan; dan (2) harus cocok dengan fakta-fakta empiris, sebab teori sebaik apapun konsistesinya jika tidak didukung oleh pengujian empiris, teori tersebut tidak dapat diterima kebenarannya secara ilmiah. Menurut UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan (Perpusnas RI, 2007). Dalam konteks sebagai pustakawan pemikir (thinker librarian), selain tugas pengelolaan dan pelayanan perpustakaan, pustakawan adalah seorang profesional yang dituntut untuk mengembangkan karir profesinya dengan menjadi seorang pemikir (thinker) terhadap isu-isu yang berkembang di dunia kepustakawanan. Sebagai seorang pemikir, pustakawan dituntut untuk memikirkan hal-hal yang objektif dan berkualitas agar hasil pemikirannya dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Hal yang lebih penting lagi adalah pustakawan mampu menjadi seorang pemikir ilmiah (a scientific thinker), yaitu orang yang berpikir secara objektif, empiris, terukur, dan memiliki analisa yang kuat terhadap masalah dan solusi yang tepat berdasarkan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan bidang kepustakawanan. Publikasi/Karya Tulis Menurut KBBI (2008), publikasi bermakna pengumuman atau penerbitan. Pada tulisan ini, publikasi
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
39
yang dimaksud adalah hasil tulisan atau karya tulis yang diterbitkan atau dipublikasikan. Karya tulis merupakan tulisan atau karangan hasil pemikiran manusia yang dituangkan dalam bentuk tulisan dan diterbitkan/ dipublikasikan melalui media tertentu, baik cetak maupun elektronik. Karya tulis dapat dibuat berdasarkan pengalaman, pengamatan, pengetahuan, dan hasil penelitian. Sebagai pustakawan pemula yang sedang belajar menulis, mulailah tulisan yang bersifat ringan hingga kompleks. Terbitan karya tulis tersebut dapat bersifat populer, populer-ilmiah, dan ilmiah. • Terbitan popular adalah terbitan yang ditulis berdasarkan ide, gagasan, pikiran penulis/pengarang sendiri, biasanya berupa opini yang ditulis tanpa membutuhkan referensi ilmiah untuk bahan penulisan. Sumber penulisan karya populer berasal dari pengalaman, pengamatan, dan perasaan yang dialami penulis/pengarang, sehingga bersifat sangat subjektif. Contoh terbitan populer, seperti majalah, koran, tabloid, berita/warta, komik, cerpen, cergam, puisi, novel, dan sebagainya. • Terbitan populer-ilmiah atau semi-ilmiah adalah terbitan yang ditulis berdasarkan pengamatan dari suatu kejadian (peristiwa/fenomena) kemudian dibandingkan dengan pendapat orang lain yang dianggap relevan dengan permasalahan yang terjadi. Informasi tulisan semi-ilmiah biasanya dalam bentuk opini penulis/pengarang bersifat subjektif, dan belum sampai tingkat analisis data yang kompleks. Contoh terbitan populer-ilmiah, seperti laporan tahunan, buku panduan, manual/buku saku, majalah akademik, dan terbitan ilmiah lain yang mencantumkan iklan dan opini. • Terbitan ilmiah atau karya tulis ilmiah adalah tulisan hasil litbang dan/atau tinjauan, ulasan, kajian, dan pemikiran sistematis yang dituangkan oleh perseorangan atau kelompok yang memenuhi kaidah ilmiah. Kaidah ilmiah adalah aturan baku dan berlaku umum yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan (LIPI, 2012:2). Contoh terbitan ilmiah, seperti laporan penelitian (skripsi, tesis, disertasi), jurnal/majalah ilmiah, prosiding/makalah, buku pengayaan pendidikan, dan terbitan ilmiah lain hasil uji laboratorium/penelitian lapangan.
40
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
Literasi Informasi Menurut KBBI (2008), literer bermakna berhubungan dengan tradisi tulis. Pendit (2008) menyebut literasi informasi sebagai keberaksaan informasi atau kemelekan informasi. Dalam konteks ilmu perpustakaan dan informasi, keberaksaraan informasi dikaitkan dengan kemampuan mengakses dan memanfaatkan secara benar sejumlah besar informasi yang tersedia di internet. Pemerintah sering kali mengartikan kata literate sebagai “melek huruf ”. Namun, istilah tersebut lebih tepat untuk keperluan statistik, seperti literacy rate, yang berarti tingkat melek huruf. Untuk konteks bidang ilmu perpustakaan dan informasi istilah tersebut kurang tepat karena hanya menyangkut masalah teknis. Literasi bukan hanya kemampuan teknis membaca dan menulis, tetapi mencakup semua kegiatan yang berkaitan dengan teks dan wacana (diskursus). Menjadi orang yang literate berarti menjadi orang yang mampu berpartisipasi secara aktif dan mandiri dalam komunikasi tekstual, termasuk dalam komunikasi menggunakan media cetak, visual, analog, dan digital. Beberapa prinsip kegiatan information literacy di masyarakat, yaitu: 1) menetapkan hakikat dan rentang informasi; 2) mengakses informasi yang dibutuhkan secara efektif dan efisien; 3) mengevaluasi informasi dan sumbernya secara kritis; dan 4) menggunakan informasi untuk tujuan tertentu. Pernyataan serupa dikatakan Septiyantono (2014) bahwa semakin pustakawan terampil dalam mencari, menemukan, mengevaluasi, dan menggunakan informasi, semakin terbukalah kesempatan anda untuk selalu melakukan pembelajaran. Bagi pustakawan, istilah literasi sudah tidak asing lagi. Sejak mengenyam pendidikan hingga lulus pendidikan formal (kuliah), pustakawan sudah diajarkan bagaimana memanfaatkan sumbersumber informasi perpustakaan dengan baik dan efektif, serta pro-aktif menggalakkan program literasi informasi ke masyarakat. Naibaho (2007:2-3) mengatakan banyak kalangan termasuk para ahli komunikasi meyakini bahwa peradaban masa depan adalah masyarakat informasi (information society), yaitu peradaban yang mana informasi sudah menjadi komoditas utama dan interaksi antar manusia sudah berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Masyarakat informasi informasi ini dianggap sebagai masyarakat yang literet, artinya masyarakat yang sudah mampu membaca dan menulis. Namun, sekarang
ini makna literasi tidak hanya mampu membaca dan menulis, tetapi berkembang ke multi literacies, yaitu melek teknologi, melek informasi, berpikir kritis, peka terhadap lingkungan, bahkan juga peka terhadap politik. Pembahasan Bagian pembahasan ini menjelaskan tiga hal yaitu: (1) kondisi publikasi/karya tulis pustakawan Indonesia; (2) upaya memotivasi pustakawan untuk menulis dan menghasilkan publikasi/karya tulis; dan (3) literasi informasi pustakawan dan masyarakat Indonesia melalui publikasi karya tulis. Kondisi Publikasi/Karya Tulis Pustakawan Indonesia Berdasarkan data terakhir pustakawan yang tercantum di Website Pusat Pengembangan Puskakawan Perpustakaan Nasional RI Tahun 2016 diketahui sejumlah 3056 orang pustakawan di Indonesia. Dari jumlah tersebut diketahui jumlah terbanyak adalah jabatan pustakawan ahli dengan jabatan sebagai Pustakawan Muda/IIIc (724 orang atau 23,70%) dengan latar pendidikan SI (1646 orang atau 53,88%). Hal tersebut dapat dilihat dari Tabel 1 dan Tabel 2.
No.
Jabatan
1
Pustakawan Muda
2 3
Jumlah Persentase 724
23.69%
Pustakawan Penyelia
640
20.94%
Pustakawan Pertama
570
18.66%
4
Pustakawan Madya
539
17.64%
5
Pustakawan Pelaksana Lanjutan
315
10.31%
6
Pustakawan Pelaksana
249
8.15%
7
Pustakawan Utama
19
0.62%
No.
2
Tabel 1. Data Jabatan Pustakawan Indonesia Per-Tahun 2016
Tabel 2. Data Pendidikan Pustakawan Indonesia Per-Tahun 20162 Jumlah
Persentase
SLTA
390
12.76%
D III
357
11.68%
4
S2
334
10.93%
5
D II
276
9.03%
6
SM
41
1.34%
7
DI
10
0.33%
8
S3
1
0.03%
1
S1
2 3
Pendidikan
1647
53.89%
Data jumlah pustakawan Indonesia di atas adalah data pustakawan PNS, sedangkan data jumlah pustakawan non-PNS/swasta belum masuk. Hal tersebut menjadi tugas dan tanggung jawab Pusat Pengembangan Puskakawan Perpustakaan Nasional untuk melakukan pendataan ulang terhadap jumlah pustakawan swasta di Indonesia. Perpusnas dapat meminta data jumlah pustakawan yang bekerja di lembaga non-pemerintah/swata seIndonesia, kemudian datanya di-update ke Website Pusat Pengembangan Puskakawan. Hal tersebut dilakukan agar pustakawan swasta merasa lebih diperhatikan dan dihargai oleh pemerintah. Dengan demikian, pustakawan swasta mendapatkan perlakuan yang adil sebagaimana program-program perpustakaan dan literasi informasi ke masyarakat yang diberikan kepada pustakawan PNS. Dilihat dari jumlah publikasi/karya tulis pustakawan Indonesia diketahui sejumlah 1275 judul artikel bidang kepustakawanan. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah bidang ilmu perpustakaan dan dokumentasi yang tercantum di database Indonesian Scientific Journal Database/ISJD (http://isjd.pdii.lipi.go.id/). Kemudian, jika dilihat dari jumlah jurnal tentang kepustakawanan yang terbit di Indonesia hanya sejumlah 90 terbitan, jumlah tersebut belum ditambah dengan jurnal-jurnal baru bidang kepustakawanan yang masuk dan dilaporkan ke PDII-LIPI. Nashihuddin (2015) mengatakan bahwa dari 90 terbitan bidang ilmu perpustakaan: 1) terdapat 59 judul terbitan yang tidak diketahui tahun terbitannya secara jelas; 2) tahun pendaftaran terbitan di database ISSN online paling banyak adalah tahun 2007 (66 judul); 3) terdapat 24 kota terbit terbitan berkala bidang ilmu perpustakaan dan Jakarta manjadi kota terbanyak yang menerbitkan terbitan tersebut (23 judul); 4) sebagian besar terbitan (66 judul) tidak diketahui frekuensi terbitannya, sedangkan yang diketahui frekuensi terbitannya paling banyak terbit 6 bulanan (16 judul); 5) perguruan tinggi merupakan instansi terbanyak terbitan berkala bidang ilmu perpustakaan (42 judul); 6) dilihat dari instansi penerbit, Perpusnas RI merupakan instansi yang menerbitkan terbitan berkala bidang ilmu perpustakaan dalam jumlah terbanyak (5 judul); serta 7) sebagian besar
Sumber: http://pustakawan.perpusnas.go.id/pub/pustakawan (28 Juli 2016)
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
41
terbitan berkala bidang ilmu perpustakaan (54 judul) tidak tercantum pada database ISJD, dan yang tercantum di ISJD hanya 36 judul terbitan. Dari 90 jurnal bidang kepustakawanan tersebut diketahui hanya 17 terbitan yang terbit dalam bentuk elektronik (sistem Open Journal System/OJS), hal tersebut dapat dilihat di database Indonesian Publication Index/IPI (http://id.portalgaruda. org) bidang library and information science. Hal lain yang perlu diperhatikan pustakawan di Indonesia adalah bahwa per-1 April 2016, jurnal ilmiah diwajibkan terbit secara elektronik (e-journal) jika ingin terbitannya terakreditasi (berlaku untuk akreditasi jurnal dari LIPI dan DIKTI). Berdasarkan Surat Edaran Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Direktorat Pengelolaan Kekayaan Intelektual Nomor 193/E/SE/XII/2015, 10 Desember 2015 tentang Akreditasi Jurnal Ilmiah secara elektronik dinyatakan bahwa mulai 1 April 2016, LIPI dan DIKTI (sekarang Ristek-Dikti) hanya akan menerima dan memproses usulan akreditasi jurnal ilmiah nasional yang telah dikelola secara elektronik sehingga proses penilaian akan lebih mudah, cepat, akurat dan transparan. Mengacu pada data jumlah pustakawan Indonesia (di Tabel 2 dan Tabel 3) dapat dikatakan bahwa jumlah publikasi bidang kepustakawanan (90 jurnal) sebenarnya jumlah tersebut sudah mencukupi untuk menampung hasil karya tulis pustakawan. Akan tetapi, terbitan jurnal tersebut belum berkualitas karena sebagian besar bersifat populer-ilmiah. Hal tersebut adalah tanggung jawab pustakawan yang menjadi tim redaksi atau anggota dewan redaksi jurnal untuk meningkatkan kualitasnya sesuai dengan ketentuan akreditasi jurnal yang berlaku. Pustakawan dapat membaca dan mempelajari ketentuanketentuan akreditasi jurnal yang diatur dalam Peraturan Kepala LIPI No. 3 Tahun 2014 dan Peraturan Dirjen DIKTI No.1 Tahun 2014 tentang Pedoman Akreditasi Terbitan Berkala Ilmiah. Pada kedua peraturan tersebut disebutkan bahwa pengelola jurnal harus memperhatikan delapan aspek, yaitu: (1) penamaan terbitan berkala ilmiah; (2) kelembagaan penerbit; (3) penyunting dan manajemen pengelolaan terbitan; (4) substansi artikel; (5) gaya penulisan; (6) penampilan; (7) keberkalaan; dan (8) penyebarluasan. Kemudian, pustakawan juga mengingatkan ke penulis/kontributor naskah untuk memperhatikan aspek-aspek penulisan artikel jurnal. Dalam hal ini, penulis harus memperhatikan sembilan
42
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
aspek, yaitu: (1) keefektifan judul artikel; (2) pencantuman nama penulis dan lembaga penulis; (3) abstrak; (4) kata kunci; (5) pembagian bab; (6) pemanfaatan instrumen pendukung; (7) cara pengacuan dan pengutipan; (8) penyusunan daftar pustaka; dan (9) peristilahan dan kebahasaan (http://arjuna.ristekdikti.go.id). Apabila hal-hal di atas diperhatikan oleh pengelola dan penulis jurnal, maka karya tulis (artikel) pustakawan memiliki kualitas yang bagus dan akan berdampak pada pengembangan ilmu kepustakawanan di Indonesia. Karena tulisan yang berkualitas sangat berdampak pada jumlah sitasi karya tulis pustakawan dan impact factor publikasi yang bermanfaat bagi peningkatan mutu ilmu kepustakawanan di Indonesia. Apabila tulisan pustakawan berkualitas dan memberikan manfaat yang positif bagi masyarakat tentunya juga akan berpengaruh pada minat baca dan tulis masyarakat untuk memikirkan pengembangan dan peningkatan mutu ilmu kepustakawanan. Prinsipnya bahwa apapun jenis terbitannya, baik jurnal, buku, majalah, bunga rampai, dan sebagainya, pustakawan harus memperhatikan aspek bahasa penulisan, ketentuan publikasi, dan kaidah-kaidah keilmuan yang berlaku secara nasional maupun global. Upaya Memotivasi Pustakawan untuk Membuat Karya Tulis Setelah kita mengetahui kondisi karya tulis pustakawan Indonesia, langkah berikutnya adalah memberikan motivasi kepada pustakawan untuk menulis dan membuat karya tulis, baik tulisan populer, populerilmiah, maupun ilmiah. Penulis mengamati bahwa sebagian besar pustakawan masih belajar menulis. Untuk itu perlu ada kesadaran dan motivasi diri yang tinggi untuk belajar menulis dan menghasilkan karya tulis. Ada beberapa alasan, mengapa minat menulis pustakawan masih rendah, antara lain: 1) Anggapan pimpinan perpustakaan atau lembaga yang masih menganggap pustakawan sebagai tenaga teknis dan administratif perpustakaan bukan sebagai penulis. Tugas pustakawan hanya fokus dan rutin untuk kegiatan pengadaan bahan pustaka, pengolahan bahan pustaka, layanan koleksi, dan bimbingan pemakai perpustakaan. Menurut penulis anggapan tersebut sudah tidak berlaku karena jika pustakawan ingin berkembang profesinya maka harus
menulis dan menghasilkan karya tulis. Pustakawan yang bersangkutan harus mampu menjelaskan kepada pimpinan bahwa menulis dan hasil karya tulis itu adalah kegiatan utama pengembangan profesi pustakawan (baik pustakawan tingkat terampil maupun ahli) serta mampu meningkatkan profesionalisme pustakawan dari aspek intelektualkeilmuan kepustakawanan. 2) Pustakawan kurang mampu menganalisis permasalahan yang terjadi dalam tugas dan pekerjaannya sehingga tidak memiliki ide dan inspirasi untuk membuat karya tulis. Oleh karena itu, pustakawan harus mulai belajar dan berpikir kritis, bagaimana masalah dapat diatasi, jika pustakawan tidak mengkajinya? Karena permasalahan yang terjadi di perpustakaan atau tempat kerjanya, tidak dapat diselesaikan pustakawan dengan hanya berbicara, tetapi perlu kajian (data/bukti) yang ditulis sebaik mungkin. Diharapkan hasil kajian yang ditulis pustakawan dapat dimanfaatkan pimpinan untuk bahan evaluasi dan pengambilan keputusan/kebijakan dalam rangka perbaikan mutu layanan perpustakaan. 3) Tidak ada pustakawan senior (yang aktif menulis) mengajak pustakawan pemula untuk menulis. Tentunya hal tersebut akan membuat pustakawan menjadi “minder atau malu” untuk menulis. Sebagai penulis pemula, kemungkinan besar pustakawan akan mengalami permasalahan/kendala. Al-Ghifari (2003:65) menjelaskan bahwa problematika penulis pemula adalah mendapatkan ide atau inspirasi. Diakui bahwa modal awal untuk menulis adalah ide atau inspirasi. Ide yang baik ditunjang dengan pemahaman masalah dan penjabarannya yang baik akan menghasilkan artikel yang berkualitas. Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh pustakawan untuk belajar menulis dan menghasilkan karya tulis, yaitu: 1) Pustakawan harus rajin membaca (reading habbits) Pustakawan sebagai pengelola informasi dan pejuang literasi masyarakat harus rajin membaca. Bagaimana dapat mewujudkan program literasi masyarakat (minat baca), jika pustakawannya sendiri malas membaca? Dari membaca, pustakawan akan mendapatkan banyak ide dan pengetahuan yang dapat menginspirasi masyarakat untuk rajin membaca, menulis, dan “cinta” pustakawan dan perpustakaan. 2) Pustakawan harus menjadi seorang pimikir (thinker)
Setelah mendapatkan ide dan inspirasi dari membaca, langkah berikutnya adalah memikirkan dan mengembangnya. Berpikir merupakan cara yang efektif untuk mengembangkan sesuatu dan menemukan pengetahuan baru. Melalui berpikir, pustakawan harus memiliki pemikiran “how to finding” agar mampu mengatasi berbagai permasalahan yang ada dalam bidang kepustakawanan. Pustakawan dapat memikirkan hal-hal yang dianggap unik dan menarik, dari situlah akan muncul pemikiran yang subjektif dan objektif. Hasil dari pemikiran tersebut dapat disampaikan kepada orang lain. 3) Pustakawan harus berusaha menjadi pemikir ilmiah (scientific thinker) Khun (2010) mengatakan bahwa hakikat berpikir ilmiah adalah bagian dari melihat pengetahuan (knowledge seeking). Tujuan berpikir ilmiah adalah menemukan pengetahuan yang baru. Untuk menjadi seorang pemikir ilmiah, seseorang harus berpikir dan menghasilkan suatu pengetahuan. Apabila pustakawan telah mampu berpikir ilmiah, maka akan mendapatkan beberapa manfaat, antara lain: (a) keilmuannya akan dipakai banyak orang karena objektif dan dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat; (b) berpeluang menjadi konsultan perpustakaan karena memiliki konsep yang jelas untuk membangun perpustakaan dan kepustakawanan Indonesia. Diharapkan ketika menjadi seorang pemikir ilmiah, pustakawan dapat menjadi a scientist librarian. 4) Pustakawan harus rajin berbagi pengetahuan (knowledge sharing) Berbagi pengetahuan merupakan sarana yang efektif untuk mencari solusi terhadap masalah yang dihadapi oleh pustakawan, baik masalah yang terkait dengan individu (personal) maupun dengan lingkungan pekerjaannya. Knowledge sharing ini sudah menjadi budaya di perpustakaan, baik dengan pemustaka, rekan kerja, pustakawan lain, maupun dengan pimpinan lembaga. Hasil knowledge sharing yang berupa tacit knowledge (ide, gagasan, pemikiran) diharapkan dapat direkam agar permasalahan yang terjadi di lapangan dapat dianalisis dan dikaji lebih lanjut (explicit knowledge). 5) Pustakawan harus mencoba menulis Rifai (1995:9) mengatakan bahwa menulis itu dimulai dari hasrat untuk mengembangkan pengalaman dan pengetahuannya terhadap perkembangan ilmu dan
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
43
teknologi sesuai bidang kepakarannya. Pustakawan harus mulai menulis dari sekarang, mulailah dari tulisan yang bersifat ringan (populer), sedang (populer-ilmiah), dan berat (ilmiah). Hal yang perlu diingat pustakawan adalah “untuk menjadi peneliti, ia harus menulis; untuk menjadi profesor, ia harus menulis; untuk menjadi ilmuan, ia harus menulis; dan untuk menjadi pustakawan, ia juga harus menulis”. 6) Pustakawan harus menetapkan target karya tulis Target karya tulis yang dimaksud adalah target kinerja pustakawan untuk menghasilkan karya tulis dalam kurun waktu tertentu, bisanya target tahunan. Seperti halnya yang dilakukan penulis, setiap tahun menetapkan minimal dua artikel yang diterbitkan oleh jurnal nasional (padahal pimpinan lembaga menetapkan minimal 1 karya tulis jurnal untuk pustakawan tingkat ahli-Penata Muda/IIIa). Apabila ke enam upaya di atas belum optimal dilakukan pustakawan, maka perlu ada motivasi dan teladan dari orang lain, dalam hal ini dari pustakawan senior (yang aktif menulis). Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh pustakawan senior untuk memotivasi pustakawan pemula untuk rajin dan gemar menulis, antara lain: 1) Meyakinkan kepada pustakawan pemula bahwa karya tulis memberikan manfaat yang besar bagi karir pustakawan. Manfaat tersebut, antara lain bahwa pustakawan: (1) dapat mempromosikan identitas dan jati diri pustakawan ke masyarakat; (2) mendapatkan peluang yang besar untuk menjadi pembicara/ narasumber/pemakalah atau instruktur pelatihan kepustakawanan; dan (3) meningkatkan status profesi dan eksistensi pustakawan di masyarakat. 2) Menyiapkan ide atau topik tulisan untuk ditulis atau dikaji oleh pustakawan pemula, kemudian membantu merumuskan konsep masalah 5W+1H (what, where, when, why, who, how). 3) Mengajak pustakawan lain untuk membuat blog pribadi. Blog ini sangat membantu melatih pikiran pustakawan untuk lebih kritis. Selain sebagai promosi diri dan karya tulis pustakawan, blog pribadi menjadi media yang efektif untuk berbagi pengetahuan dengan pembaca dan masyarakat. 4) Memberikan contoh-contoh hasil publikasi/karya tulis pustakawan yang sudah diterbitkan ke suatu publikasi dan bagaimana cara menulis di suatu publikasi, baik jurnal, majalah, buku, maupun blog
44
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
resmi perpustakaan. 5) Mengajak kolaborasi untuk menulis bersama, misalnya membuat call for paper untuk jurnal atau prosiding seminar. Dalam hal ini, pustakawan senior harus menjelaskan tugas masing-masing secara jelas, misalnya: (1) penulis pertama memikirkan ide atau konsep tulisan mulai dari penyusunan judul, membuat abstrak dan kata kunci, analisis masalah, kesimpulan, hingga daftar pustaka); dan (2) penulis kedua atau seterusnya mencari, mengumpulkan, dan mengolah data. Dalam kolaborasi ini, penulis kedua dijelaskan juga tentang jumlah poin (angka kredit) untuk pustakawan, misalnya: penulis yang ditulis 2 orang (penulis pertama 60% dan penulis kedua 40%); penulis yang ditulis 3 orang (penulis pertama 40%; penulis kedua 30%; penulis ketiga 30%); dan seterusnya. 6) Setelah diajak berkolaborasi untuk menulis, meminta dan membimbing pustakawan pemula untuk menulis artikel mandiri. Dalam hal ini, pustakawan senior harus membantu mereview hasil tulisan yang dikaji, mulai dari mengecek penulisan sistematika bab, bahasa penulisan teks (kata, kalimat, paragraf, tanda baca), hingga penulisan kutipan sebelum di-submit ke redaksi/penerbit. 7) Memotivasi pustakawan lain untuk membuat artikel Call For Paper secara mandiri dan proposal hibah penelitian kepustakawanan secara kolaboratif. Pustakawan senior mengingatkan kepada pustakawan pemula untuk memperhatikan lingkup ilmu naskah, format penulisan naskah (template), dan tanggal deadline pengiriman naskah ke redaksi atau penyelenggara seminar/konferensi. 8) Menjelaskan bahwa karya tulis bidang kepustakawanan merupakan kegiatan utama pustakawan (baik pustakawan tingkat terampil maupun ahli) yang masuk aspek kegiatan pengembangan profesi serta memiliki nilai poin (angka kredit) yang cukup besar bila dibandingkan kegiatan pengelolaan perpustakaan, pelayanan perpustakaan, dan pengembangan sistem kepustakawanan. Karya tulis bidang kepustakawanan ini bernilai kisaran 2 – 12,5. Nilai poin 2 untuk tulisan ilmiah-populer yang diterbitkan di media masa dan 12,5 poin untuk publikasi buku hasil penelitian yang diterbitkan dan diedarkan secara nasional. Karya tulis pustakawan ini dapat berupa: (1) pembuatan karya tulis/karya ilmiah di bidang kepustakawanan; (2) penerjemahan/penyaduran buku dan bahan-bahan
lain bidang kepustakawanan; dan (3) penyusunan buku pedoman/ketentuan pelaksanaan/ketentuan teknis jabatan fungsional pustakawan. 9) Menjelaskan bahwa karya tulis mempercepat kenaikan jenjang jabatan, golongan, dan pangkat pustakawan (jika Pustakawan PNS). Jika pustakawan aktif menulis dan karyanya diterbitkan di jurnal atau buku dalam waktu 2 tahun kemungkinan besar dapat naik jabatan secara cepat. Khususnya bagi pustakawan PNS yang membutuhkan angka kredit lebih dari 50 poin (baik pustakawan tingkat terampil maupun ahli), misalnya berdasarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang Jabatan Fungsional Pustakawan Dan Angka Kreditnya disebutkan bahwa: • Pustakawan Tingkat Terampil dengan Jabatan Pustakawan Penyelia-Penata/IIIc ke Penata Tk.1/ IIId, dan Pustakawan Tingkat Ahli dengan jabatan Pustakawan Muda-Penata/IIIc ke Penata Tk.1/ IIId harus mengumpulkan angka kredit sebesar 100 poin. • Pustakawan Madya dengan jabatan Pustakawan Ahli Madya-Pembina/IVa ke Pembina Tk.1/ IVb ke Pembina Utama Muda/IVc hingga ke Pustakawan Ahli Utama-Pembina Utama Madya/ IV/d masing-masing harus mengumpulkan angka kredit sebesar 150 poin. • Pustakawan Ahli Utama-Pembina Utama Madya/IV/d ke Pembina Utama, gol. IV/e harus mengumpulkan 200 poin (Kemenpan-RB, 2014). Selain motivasi dari pustakawan senior, pimpinan perpustakaan atau lembaga juga harus memotivasi pustakawan untuk menulis dan menghasilkan karya tulis. Motivasi tersebut dapat dilakukan dengan cara mewajibkan pustakawan (khususnya pustakawan tingkat ahli) untuk menulis artikel dalam satu tahun, minimal satu artikel pustakawan yang dipublikasikan di jurnal. Jika berhasil terbit di jurnal nasional, pimpinan akan memberikan reward kepada pustakawan, baik berupa materi maupun dukungan kegiatan pengembangan kompetensi diri. Prinsipnya bahwa keberhasilan pustakawan membuat karya tulis adalah motivasi diri yang kuat untuk mau menulis dan dukungan penuh dari pihak eksternal.
Membangun Literasi Informasi Pustakawan dan Masyarakat Indonesia Pustakawan sebagai pejuang literasi bangsa tentunya dituntut untuk memberikan contoh yang baik, khususnya dalam budaya membaca dan menulis. Hal tersebut dilakukan agar tingkat literasi masyarakat Indonesia yang masih dianggap rendah dapat meningkat melalui peran aktif pustakawan di Indonesia. Berdasarkan hasil survei John W. Miller (President of Central Connecticut State University in New Britain, Conn), diketahui bahwa perilaku literasi (baca dan tulis) masyarakat Indonesia dari 60 negara masih rendah, tingkat literasi masyarakat Indonesia hanya di atas satu tingkat dari Bostwana yang menjadi peringkat ke-61 (Straus, 2016). Data literasi lain juga dapat dilihat media pada masa Republika Online (15 Desember 2014), disebutkan bahwa kondisi literasi masyarakat di Indonesia masih sangat rendah. Hal tersebut terlihat dari hasil survei penelitian yang dilakukan oleh: • Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2010 dan 2012, dijelaskan bahwa: (1) pada tahun 2010 tingkat membaca siswa, Indonesia urutan ke-57 dari 65 negara (dalam kasus ini, tidak ada satu siswa pun di Indonesia yang meraih nilai literasi di tingkat kelima, hanya 0,4% siswa yang memiliki kemampuan literasi tingkat empat, selebihnya di bawah tingkat tiga atau bahkan di bawah tingkat satu); (2) pada tahun 2012 tingkat literasi masyarakat Indonesia menempati urutan ke-64 dari 65 negara di dunia, Indonesia diatas 1 tingkat Bostwana dan ini merupakan hal terburuk terhadap kondisi literasi masyarakat Indonesia. • United Nations Development Programme (UNDP) UNESCO tahun 2012, menjelaskan bahwa tingkat melek huruf orang dewasa di Indonesia dan hasilnya hanya 65,5%; indeks minat baca di Indonesia hanya mencapai 0,001, yang berarti bahwa setiap 1000 penduduk hanya satu orang yang membaca. • Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2014 menjelaskan bahwa jumlah waktu yang digunakan anak Indonesia dalam menonton televisi adalah 300 menit per-hari. Jumlah tersebut dianggap sangat besar jika dibanding dengan waktu anak-anak menonton televisi di Australia (150 menit per-hari), di Amerika (100 menit per-hari); dan di Kanada (60 menit per-hari). • Melihat kondisi di atas, pemerintah (dalam hal ini Perpusnas RI) harus melakukan langkah-langkah
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
45
strategis untuk meningkatkan literasi masyarakat Indonesia. Hal tersebut harus dilaksanakan karena literasi informasi merupakan amanah konstitusi (mewujudkan amanah UUD 1954 dan UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan), yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mensukseskan penyelenggaraan pendidikan/pembelajaran sepanjang hayat. Dwiyanto (2007:7) mengatakan bahwa Perpusnas RI telah memasukkan program literasi informasi ke masyarakat dalam Rencana Induk Perpustakaan Nasional tahun 2006-2015. Program literasi tersebut dilaksanakan dalam bentuk kegiatan: (1) penyelenggaraan lomba-lomba penulisan, baik berupa hibah penelitian bidang kepustakawanan, lomba membaca dan menulis karya populer, penulisan artikel, dan resensi buku; (2) menyelenggarakan “kampanye” gerakan minat baca ke masyarakat; (3) pembukaan layanan terbuka bagi masyarakat yang dilengkapi dengan fasilitas teknologi informasi yang memadai; (4) mengoptimalkan layanan perpustakaan keliling dengan sistem penjadwalan yang jelas dan dilengkapi dengan teknologi informasi yang memadai; (5) pengembangan website PNRI http://www.pnri. go.id yang menyediakan konten informasi dan database open access dan gratis untuk kepentingan pendidikan dan penelitian; (6) penyelenggaraan kegiatan pelatihan, seminar, dan kajian-kajian mengenai literasi informasi; (7) melakukan pembinaan-pembinaan ke daerah dan masyarakat terkait dengan literasi informasi. Setelah program-program literasi masyarakat di atas diketahui pustakawan, langkah berikutnya adalah menyiapkan kompetensi dan strategi untuk menyukseskan program literasi masyarakat yang telah direncanakan oleh Perpusnas RI. Kompetensi literasi pustakawan disiapkan dalam rangka mencapai target dan tujuan literasi masyarakat, yaitu melek teknologi dan informasi. Kompetensi literasi pustakawan yang dimaksud adalah literasi global (global literacies). Zaini (2010) menjelaskan kompetensi global literacies dari perspektif kepimimpinan (leadership) di dunia pemasaran/bisnis. Menurutnya kompetensi literasi global ada empat, yaitu personal literacy, social literacy, bussiness literacy, dan cultural literacy. Penerapan kompetensi literasi global ke pustakawan sebagai berikut.
46
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
• Personal literacy, kompetensi yang berkaitan dengan introspeksi diri. Pustakawan harus mampu mengevaluasi dirinya sendiri sebelum memberikan pelayanan informasi kepada pengguna, mampu atau tidak? Dalam hal ini, pustakawan harus sadar diri, lebih terbuka, dan jujur terhadap kemampuannya memberikan pelayanan kepada pengguna. Jika belum mampu, pustakawan harus lebih banyak belajar tentang memberikan pelayanan yang baik bagi penggunanya. • Social literacy, kompetensi yang berkaitan dengan pemahaman terhadap realitas kehidupan sosial masyarakat yang dilayaninya. Dalam hal ini, pustakawan dituntut lebih aktif bersosialisasi dan berbagi pengetahuan (knowledge sharing) dengan pengguna, pustakawan perlu ikut dalam organisasi profesi kepustakawanan agar mengetahui isu-isu yang sedang berkembang di masyarakat. • Bussines literacy, kompetensi yang berkaitan dengan personal branding pustakawan dan lembaganya. Literasi ini dapat diterapkan dengan pendekatan bisnis/pemasaran. Pustakawan sebagai “produsen informasi” harus memiliki daya tawar dan nilai jual yang tinggi kepada masyarakat. Dalam hal ini, pustakawan harus memperhatikan kualitas informasi dan jasa yang diberikan kepada masyarakat agar mereka berminat untuk memanfaatkan jasa perpustakaan. • Culture literacy, kompetensi literasi yang terkait dengan kemampuan pustakawan untuk memahami karakteristik, perilaku, kebiasaan, dan budaya masyarakat yang dilayani. Pustakawan harus memberikan pelayanan secara prima kepada siapapun, tanpa adanya sikap diskriminasi kepada pengguna. Keempat kompetensi literasi global di atas menjadi bekal pustakawan untuk melaksanakan programprogram literasi ke masyarakat. Ada beberapa strategi yang perlu dilaksanakan oleh pustakawan agar programprogram literasi informasi berhasil dan bermanfaat bagi orang lain/masyarakat, antara lain: 1) Melakukan evaluasi diri sebagai motivator literasi Evaluasi diri dilakukan dalam rangka mengetahui kemampuan dan pengetahuan pustakawan terhadap isu-isu literasi yang berkembang di masyarakat. Program literasi yang disampaikan pustakawan harus tepat sasaran agar memberikan manfaat bagi masyarakat. Beberapa hal yang perlu dilakukan pada
2)
3)
4)
saat evaluasi diri, yaitu: (1) sejauh mana kemampuan dan pengetahuan literasi pustakawan; (2) jika punya publikasi/karya tulis untuk dipromosikan/ disosialisasikan, apakah informasinya memberikan manfaat kepada masyarakat; (3) apakah program literasi informasi ke masyarakat dipastikan berhasil, artinya mempengaruhi minat baca dan tulis masyarakat yang lebih baik; (4) apakah siap dikomplain masyarakat jika program literasinya tidak berhasil, jika siap apa solusinya; dan 5) bagaimana dukungan dari masyarakat dan pemerintah terhadap program literasi yang akan dilaksanakan. Mengidentifikasi kebutuhan informasi pengguna potensial Pengguna potensial yang dimaksud adalah pengguna atau masyarakat yang sangat membutuhkan jasa pustakawan dan perpustakaan. Untuk mengetahui pengguna potensial, pustakawan harus melakukan survei atau profiling lembaga yang bersangkutan. Hasil survei atau profiling tersebut adalah: (a) teridentifikasinya kebutuhan informasi pengguna secara spesifik; (b) kejelasan materi literasi informasi; (c) kejelasan waktu dan tujuan kegiatan literasi; (d) kejelasan hasil (output) kegiatan literasi. Menetapkan materi ajar literasi informasi sesuai kebutuhan pengguna Materi merupakan bahan baku informasi yang akan disampaikan kepada pengguna/masyarakat. Pustakawan harus menyiapkan materi literasi dalam format yang menarik dan aplikatif. Materi literasi ini sangat menentukan keberhasilan program literasi informasi yang disampaikan ke pengguna/masyarakat. Membangun kerjasama berbasis kemitraan secara berkelanjutan
menyiapkan program-program inovatif yang terkait dengan literasi perpustakaan dan masyarakat, serta mampu memberikan contoh-contoh nyata melalui karya tulis bidang kepustakawanan. Penutup Menulis merupakan rangkaian kegiatan intelektual yang membutuhkan wawasan, pemikiran, dan analisis terhadap suatu masalah. Kegiatan intelektual tersebut berupa membaca, mencari ide/topik, membuat kerangka penulisan, mengumpulkan data, mengolah data, menganalisis masalah, menyusun karya tulis, hingga publikasi karya tulis. Keberhasilan menulis sangat tergantung pada kesadaran dan motivasi diri pustakawan, orang lain hanya dapat mengingatkan. Melalui karya tulis, pustakawan akan mendapatkan banyak manfaat khususnya yang terkait dengan pengembangan profesi, pengakuan status dan eksistensi profesi di masyarakat. Sebagai rekomendasi tulisan ini, penulis ingin menyampaikan dua hal, yaitu: (1) perlu dilakukan kajian/ penelitian lanjutan dalam rangka mengetahui jumlah publikasi/karya tulis pustakawan di Indonesia. Hasil kajian tersebut kemudian dievaluasi oleh Perpusnas RI (dalam hal ini Pusat Pengembangan Pustakawan) dalam rangka peningkatan kompetensi pustakawan melalui karya tulis bidang kepustakawanan; (2) Perpusnas RI perlu menyelenggarakan program pelatihan manajemen penerbitan dan penulisan ilmiah bagi pustakawan (khususnya pengelolaan jurnal elektronik) secara merata dan menyeluruh. Program ini diharapkan dapat meningkatkan mutu tulisan pustakawan dan jurnal kepustakawanan di Indonesia.
Hal ini perlu dilakukan pustakawan dalam rangka meningkatkan jaringan kerjasama dengan perpustakaan dan stakeholders. Sistem kerjasama dilaksanakan dengan sistem kemitraan (saling menguntungkan) dan berkelanjutan. Apabila hal ini dapat terwujud, maka program-program literasi yang dirancang pustakawan dianggap telah berhasil. Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dikatakan bahwa literasi informasi masyarakat dapat dibangun melalui budaya membaca dan menulis masyarakat yang dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan. Pustakawan sebagai pejuang literasi bangsa harus
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
47
Daftar Pustaka Al-Ghifari, Abu. (2003). Kiat Menjadi Penulis Sukses: Panduan untuk Generasi Muda Islam. Bandung: Mujahid Press. Dagun, Save M. (2000). Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN). Dwiyanto, Arif Rifai. (2007). Peran Perpustakaan Nasional RI dalam Pengembangan Literasi Informasi Sebagai Amanat Konstitusi. Visi Pustaka, Vol. 9 No. 3 - Desember 2007. Hermawan, Rachman dan Zen, Zulfikar. (2006). Etika Kepustakawanan: Suatu Pendekatan terhadap Kode Etik Pustakawan Indonesia. Jakarta: Sagung Seto. Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI. (2008). Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. diakses, 28 Juli 2016 dari http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/ kbbi/index.php. Kemenpan-RB. (2014). Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang Jabatan Fungsional Pustakawan Dan Angka Kreditnya. Jakarta. Khun, Deanna. (2010). What is Scientific Thinking and How Does it Develop?. New York: Columbia University. LIPI. (2012). Pedoman Karya Tulis Ilmiah: Peraturan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor 04/E/2012. Jakarta. Naibaho, Kalarensi. (2007). Menciptakan Generasi Literat Melalui Perpustakaan. Makalah Lomba Penulisan Artikel Tentang Perpustakaan Nasional RI Tahun 2007. Jakarta. Nashihuddin, Wahid. (2015). Analisis Terbitan Berkala Bidang Ilmu Perpustakaan yang Terbit Di Indonesia. Majalah WIPA: Wahana Informasi Perpustakaan UAJY, Vol.19, Ed.1, Juli. Yogyakarta: Perpustakaan Atma Jaya.
48
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
Pendit, Putu Laxman. (2008). Perpustakaan Digital dari A sampai Z. Jakarta: Cita Karyakarsa Mandiri. Pendit, Putu Laxman. (2012). Penggunaan Teori dalam Penelitian Ilmu Perpustakaan dan Informasi = The Use of Theory In Library And Information Science Research. Conference paper in International Lecture: Managing Research for Knowledge Center Manager, Dan S. Lev Library/ PSHK, Jakarta, 11 September, Unpublished. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (2007). Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. Jakarta. Rifai, Mien A. (1995). Pegangan Gaya Penulisan, Penyuntingan, dan Penerbitan Karya Ilmiah Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Salam, Buhanuddin. (1997). Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Rineka Cipta. Septiyantono, Tri. (2014). Literasi Informasi. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka. Sumarto. (2006). Kosep Dasar Berpikir: Pengantar ke Arah Berpikir Ilmiah. Makalah Seminar Akademik HUT Ke-40 Fakultas Ekonomi UPN ”Veteran” JawaTimur. Susilowati, Erni. (2007). Motivasi Pustakawan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dalam Penulisan Artikel yang Dipublikasikan Media Cetak. Berkala Ilmu Perpustakaan dan Informasi - Volume III. Nomor 6. Zaenal, Abidin. (2007). Analisis Eksistensial. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada. Zaini, Subarto. (2010). Global Literacies. Dalam Leadership in Action: Pembelajaran dari Para Maestro. Jakarta: PT.Elex Media Komputindo.
Oleh: AHMAD SYAWQI1 Email:
[email protected]
Mentradisikan Menulis bagi Pustakawan Abstrak Bagi seorang penulis, kegiatan membaca dan menulis adalah dua hal yang saling melengkapi dan tidak bisa dipisahkan. Seorang yang bisa membaca belum tentu seorang penulis, tetapi seorang penulis adalah seorang pembaca sejati yang tak pernah bosan dengan berbagai bahan bacaan. Keduanya merupakan suatu ciri intelektual. Dalam menulis dibutuhkan minat yang pada akhirnya dapat berkembang menjadi kebiasaan. Minat maupun kebiasaan membaca diperoleh seseorang karena dipelajari, tidak tumbuh dengan sendirinya. Kemampuan menulis pun tidak tumbuh begitu saja, melainkan sangat dipengaruhi oleh kebiasaan membaca dan kemudian diungkapkan kembali dengan cara menuliskan pemikiran yang sudah dikembangkan dan dipengaruhi oleh pemikiran si penulis itu sendiri. Dengan siklus itu, profesi pustakawan akan senantiasa berkembang karena selalu memperbaharui otaknya dengan pemikiran-pemikiran mutakhir, melalui proses membaca, mengkaji dan menyajikannya kembali dalam bentuk tulisan baru. Kata kunci : penulis, membaca, menulis, intelektual, pustakawan
Pendahuluan Bagi sebagian orang tradisi tulis menulis belum menjadi sebuah kebiasaan. Karena kita lebih terbiasa dengan tradisi lisan. Menulis adalah sebuah kegiatan yang sangat mengasyikan. Menuangkan pikiran dalam bentuk tulisan, menceritakan berbagai pengalaman pribadi dalam bentuk buku harian atau membuat karangan fiksi menjadi aktivitas yang begitu digemari, akan tetapi aktivitas positif ini harus dilatih bagi setiap orang. Bagi seorang pustakawan yang bekerja di perpustakaan yang dikelilingi oleh berbagai jenis koleksi sebagai bahan informasi, tentunya secara logika wawasan dan pengetahuan mereka luas karena sepanjang hidupnya selalu bersinggungan dengan buku-buku. Kondisi ini memungkinkan pustakawan mudah menulis dengan referensi buku-buku yang tersedia di perpustakaan tempatnya bekerja. Tetapi pada kenyataannya justru
minat menulis pustakawan sangat rendah sekali. Pustakawan adalah profesi yang seharusnya termasuk kedalam kelompok yang kita sebut sebagai penulis. Mengapa? Hal ini karena sumber daya atau sumber untuk menulis ada di sekitar lingkungan pustakawan tersebut. Betapa tidak, berbagai sumber informasi berupa literatur primer maupun sekunder ada di perpustakaan. Berbagai jenis buku bacaan, jurnal, majalah, dan sebagainya merupakan bahan yang bisa dijadikan sebagai sumber inspirasi menulis. Apalagi dengan banyaknya permasalahan yang ada di masyarakat, khususnya seputar informasi, dokumentasi dan perpustakaan yang merupakan bidang ilmu seorang pustakawan. Tentunya sumber-sumber yang ada tersebut bisa menjawab permasalahan yang ada disertai dengan pendapat seorang pustakawan tersebut. Dengan berbagai bahan atau sumber informasi tersebut seorang pustakawan bisa saja
Pemenang Ketiga Pemilihan Pustakawan Berprestasi Terbaik Tingkat Nasional Tahun 2016. Pustakawan Ahli Madya, Kandidat Doktor Pendidikan Islam, dan Dosen Luar Biasa pada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Antasari Banjarmasin, Kalimantan Selatan. 1
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
49
menulis berbagai macam tulisan. Seperti menulis artikel di media massa seperti koran dan majalah. Menulis karya tulis ilmiah, dan menulis di majalah institusi perpustakaan tempat dimana pustakawan tersebut bekerja. Bahkan dengan memanfaatkan teknologi informasi, seorang pustakawan bisa menulis di blog maupun media sosial yang tengah berkembang saat ini, sebut saja facebook, twitter, dan sebagainya.
penguasaan keterampilan menulis merupakan suatu hal yang perlu menjadi perhatian kita semua. Pustakawan dalam menjalankan profesinya terlibat dan bergelut dengan informasi. Informasi salah satunya dituangkan dalam bentuk rangkaian kata, angka, kalimat, yang kemudian dikatakan sebagai sebuah informasi. Hal ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi pustakawan untuk memiliki kemampuan menulis.
Namun, kondisi yang terjadi di lapangan sangat tidak sesuai dengan realita yang diharapkan. Masih banyak pustakawan yang tidak memanfaatkan potensi informasi dan pengetahuan yang ada di lingkungan tempatnya bekerja. Menurut Suciati (1999), menunjukkan data sebuah penelitian bahwa jumlah pustakawan yang menulis di Indonesia adalah sekitar 2,65% saja, atau kurang dari 3%. Data ini adalah hasil dari perbandingan jumlah anggota IPI (Ikatan Pustakawan Indonesia) dan jumlah pustakawan yang menulis. Padahal jumlah pustakawan yang ada di Indonesia mencapai ribuan orang. Sehingga kita bisa menyimpulkan bahwa minat dan kebiasaan menulis pada pustakawan di Indonesia masih sangat minim.
Begitu pentingnya kemampuan menulis bagi pustakawan, maka penulis tertarik untuk menuangkan dalam tulisan ini, mengapa pustakawan harus memulai untuk menulis dan bagaimana aktivitas menulis harus dimulai oleh pustakawan, serta berbagai kendala yang dihadapi. Diharapkan tulisan yang sangat sederhana ini dapat menjadi kontribusi yang besar bagi perpustakaan dan semakin meyakinkan pustakawan akan pentingnya kemampuan menulis bagi pustakawan, sehingga memunculkan dorongan dari dalam diri untuk mengasah kemampuannya dalam menulis.
Profesi pustakawan, dosen, peneliti atau pejabat fungsional lainnya wajib untuk memiliki keterampilan/ kemampuan menulis. Dalam aktivitas sehari-hari terkait dengan profesinya, mereka membutuhkan kemampuan ini, agar tugas dan tanggung jawabnya dapat diselesaikan dengan baik. Bahkan jika kita seorang staf biasa pun sebenarnya keterampilan menulis tetaplah diperlukan. Dalam pekerjaan terkadang kita diminta menuliskan laporan kegiatan dan sebagainya. Barangkali awalnya merasa harus terpaksa menulis, atau bahkan dituntut untuk belajar menuangkan ide atau menyampaikan laporan kegiatan. Pada akhirnya kemampuan menulis akan terus terasah dan berhasil melakukan aktivitas menulis, yang merupakan proses kreatif. Profesi pustakawan tidak hanya diminta untuk membuat laporan kegiatan, namun sesuai jabatan fungsionalnya, dituntut untuk mengembangkan profesi, terutama menuangkan ide untuk pengembangan perpustakaan. Oleh karena itu, menurut penulis, kemampuan pustakawan dalam menulis adalah suatu keharusan, mau tidak mau, suka tidak suka, aktivitas menulis harus dimulai. Hal ini ditekankan oleh Yusup (2013) bahwa
50
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
Pembahasan Makna Menulis Jika kita runut beberapa literatur akan menemukan banyak sekali definisi menulis. Yang perlu digarisbawahi adalah “menulis” merupakan satu aktivitas, artinya itu merupakan bentuk aktif. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa menulis adalah menuangkan pikiran atau perasaan dalam bentuk tulisan (KBBI, 2005). Aktivitas aktif ini jika terus dilakukan akan semakin mengasah kemampuan kita dalam menuangkan ide dan meningkatkan kualitas kita dalam berbahasa terutama bahasa tulisan. Keinginan untuk menuangkan ide bersumber dari diri sendiri. Hal ini sesuai dengan kajian yang dilakukan oleh Wulandari (2013) bahwa pustakawan menulis didorong dari dalam untuk menyampaikan ide yang mereka miliki, selain juga dorongan dari atasan. Hal lain dalam kaitannya dengan motivasi, kajian Sumantri (2004) menemukan bahwa motivasi pustakawan menulis adalah kebutuhan untuk memperoleh angka kredit serta tuntutan menjadi pemakalah. Tentu ini menjadi menarik, karena ketika seseorang diminta menjadi pemakalah dalam suatu kegiatan ilmiah, maka harus membuat satu buah makalah dengan sejumlah halaman yang telah ditentukan. Alasan untuk memperoleh angka kredit menjadi motivasi pustakawan menulis juga disampaikan oleh Purwani (2008), hal ini terkait dengan butir-butir kegiatan
pustakawan dalam pengembangan profesi. Memulai Aktivitas Menulis Dari mana memulai aktivitas menulis? Terkadang kita bingung, mau menulis dari mana? Apa yang akan kita tuliskan pada layar monitor kita? Jika hal ini terjadi, menurut penulis, kita terlebih dahulu harus menentukan ketertarikan terhadap satu topik yang akan ditulis. Hal ini penting, supaya kita dalam menulis dapat fokus pada satu hal. Karena kita seorang pustakawan, agar tulisan kita nanti bermanfaat bagi tugas kita atau profesi kita, maka kita bisa memulai dengan memilih salah satu topik yang terkait dengan bidang kepustakawanan dan informasi. Jika masih memiliki kesulitan juga untuk menentukan topik yang akan ditulis, itu merupakan salah satu tanda bahwa memang kita masih perlu banyak membaca. Banyak dari kita mendapatkan jurnal atau majalah tentang bidang perpustakaan yang baru, tidak kita baca. Barangkali karena kita merasa kenal dengan penulis (rekan kita sendiri) sehingga kita merasa tidak perlu membaca, atau karena kesibukan sehingga belum ada waktu untuk membaca. Padahal dari membaca artikel atau tulisan rekan seprofesi kita, akan menambah pengetahuan kita, menambah motivasi kita untuk menulis dan yang pasti dengan membaca kita akan menemukan topik lain yang belum dibahas atau kurang dibahas detail pada satu artikel tertentu. Dengan banyak membaca, kita akan memperoleh inspirasi untuk memulai atau memperkaya tulisan yang akan atau sedang kita buat. Inilah yang penulis maksudkan bahwa aktivitas menulis dan membaca sangatlah erat. Kemampuan menulis sangat dipengaruhi oleh semangat kita untuk menambah pengetahuan dari membaca buku, majalah, jurnal serta informasi dari berbagai sumber. Menentukan topik, bisa dipilih dari hal yang menarik bagi kita, topik yang menjadi ketertarikan banyak orang saat ini, atau topik yang memang perlu dibahas saat itu. Hal yang harus dilakukan selanjutnya setelah menentukan topik adalah mencari sumber-sumber referensi yang terkait dengan topik. Tentu saja hal ini bukan hal sulit bagi kita, mengingat kita sudah terbiasa membantu pengguna perpustakaan untuk menemukan informasi yang dibutuhkan. Kini saatnya kita menemukan informasi untuk diri kita sendiri. Sumber referensi bisa dari buku teks, artikel majalah, artikel dalam jurnal ilmiah, makalah seminar, baik melalui
sumber-sumber di internet maupun yang tersedia di perpustakaan. Dengan demikian bukan hal yang sulit bagi kita untuk memperoleh sumber informasi atau referensi untuk mendukung tulisan yang akan kita hasilkan. Setelah berbagai sumber referensi kita temukan, mulailah kita membacanya sehingga menambah wawasan kita terkait dengan topik yang akan kita tulis. Melalui berbagai sumber informasi tersebut kita akan dapat melakukan berbagai temuan baru dan hal baru yang dapat kita tuangkan dalam tulisan kita. Dengan banyak membaca, maka kita akan menemukan banyak ide untuk tulisan kita, memperkaya, menguatkan pendapat kita ataupun untuk memberikan penekanan mengapa ide kita berbeda dengan ide orang lain. Dengan membaca sumber referensi terkait dengan tulisan yang akan kita buat, kita akan tahu posisi tulisan kita dengan tulisan terdahulu yang telah ada. Tentu saja kita ingin membuat tulisan kita berbeda dengan orang lain, kita ingin menuangkan ide-ide baru walaupun tema yang dituliskan sama. Apa yang kita tulis diharapkan memberikan tambahan pengetahuan baru, serta memberi manfaat bagi pembaca. Segera memulai untuk menulis setelah kita memperoleh ide. Mulailah dari apa yang ada di dalam pikiran kita, untuk kita mulai menulis. Jangan terpaku pada cara penulisan yang harus beruntun, dari awal sampai akhir. Langkah pertama buatlah kerangka tulisan yang akan kita buat. Misalnya, kita akan membuat satu artikel dengan format tertentu. Tuliskan dahulu kerangka tulisan, misalnya: pendahuluan, latar belakang, permasalahan, pembahasan, penutup/kesimpulan. Dari kerangka yang kita buat tersebut, kita dapat memulai mengisi poin yang memang sudah ada di pikiran kita. Sekali lagi, kita terpaku pada cara penulisan beruntun. Misalnya, ketika kita sudah tahu permasalahan, maka kita langsung saja menuliskan pada bagian permasalahan. Semakin lama seluruh kerangka akan terisi dan pasti akan ada semangat untuk segera menyelesaikan tulisan kita. Yang perlu juga diperhatikan adalah ketika kita menggunakan ide atau pendapat orang lain dalam tulisan, kita harus memberikan penghargaan pada penulis dengan mencantumkan sumber. Berlatih untuk disiplin pada waktu yang telah kita targetkan. Hal ini penting supaya tulisan yang kita akan buat, benar-benar dapat kita selesaikan. Terkadang kita telah memulai menulis namun tidak pernah dapat kita selesaikan. Jika ini terjadi, umumnya karena kita tidak disiplin atas apa yang sudah
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
51
kita janjikan pada diri kita. Bahkan kita perlu membuat target, kapan sebuah tulisan harus selesai. Oleh karena itu, target waktu penyelesaian sebuah tulisan sangatlah penting. Untuk memotivasi diri sendiri, kita dapat mentargetkan misalnya dalam dua bulan membuat satu artikel dengan panjang 10 halaman dengan spasi 1,5. Kemudian berlatih untuk mendisiplinkan diri memenuhi yang kita targetkan. Latihan semacam ini harus kita mulai, untuk memotivasi diri kita agar segera menulis. Setelah tulisan selesai, akan sangat bermanfaat jika kita meminta rekan kita untuk membacanya. Hal ini bermanfaat untuk memberikan masukan dan mengoreksi tulisan kita. Tulisan yang kita hasilkan dapat kita kirimkan ke redaksi majalah/jurnal di bidang informasi dan perpustakaan. Jika tulisan kita belum dapat dimuat, kita dapat memperbaiki dan kemudian kita kirimkan ke redaksi majalah atau jurnal yang lain. Jangan berhenti untuk mencoba, sampai akhirnya dapat dimuat. Jika sudah dimuat di satu majalah atau jurnal tertentu, akan meningkatkan kepercayaan diri, bahwa kita mampu. Hal ini akan menyebabkan kita ketagihan dan mendorong semangat kita untuk kembali menulis. Kendala Rendahnya Minat Menulis Pustakawan Ungkapan “aku tidak bisa” terkadang disampaikan bahkan ketika mereka belum mencoba, belum mulai belajar menulis. Perlu ditumbuhkan dorongan dari dalam diri agar seorang pustakawan mau mencoba melakukan aktivitas menulis. Cara menumbuhkan dorongan dari dalam tentunya tiap-tiap individu berbeda. Ada yang dengan cara bergaul sesama pustakawan yang kebetulan telah memiliki pengalaman lebih banyak dalam menulis, atau melalui bacaan/buku-buku terkait dengan aktivitas menulis, kemudian terdorong minatnya untuk menulis. Sekali lagi, aktivitas menulis merupakan hal wajib yang harus dikuasai oleh seorang pustakawan. Dari apa yang penulis rasakan, ada empat kendala umum yang dihadapi oleh pustakawan sehingga minat untuk menulis mereka rendah. Pertama, para pustakawan waktunya habis tersita untuk mengerjakan pekerjaan rutinnya, sehingga tak ada waktu lagi untuk mengembangkan kemampuan dirinya. Hal ini sejalan dengan fakta bahwa 92,5% tenaga pustakawan Indonesia adalah pekerja atau kelompok “prajurit”; kedua, penguasaan akan teknologi informasi dan bahasa asing sangat lemah, padahal kedua hal tersebut
52
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
merupakan salah satu jendela untuk mengembangkan wawasan. Terlebih sekarang memasuki era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), dimana para pustakawan asing akan masuk ke negara kita; ketiga, minat baca para pustakawan itu sendiri sangat rendah, padahal minat baca mempengaruhi kemampuan pustakawan untuk menulis. Kemampuan menulis berhubungan dengan minat baca. Seseorang yang gemar membaca akan memiliki pengetahuan umum yang luas. Untuk menjadi seorang penulis yang baik seseorang harus memelihara tingkat pengetahuan dan pengalamannya. Caranya sederhana saja, cukup dengan rajin membaca dan mempraktikan apa yang dibacanya sebagai kajian kemasyarakatan; keempat, kemauan pustakawan untuk mengembangkan dirinya sendiri sangat kurang dan cukup puas dengan apa yang telah dilakukannya selama ini. Sehingga pustakawan yang selalu berada di tengah-tengah informasi dan tidak memiliki informasi, maka hal itu dapat diibaratkan dengan semut yang mati di tengah-tengah tumpukan gula. Pranoto (1997) menyebutkan bahwa ada dua hal yang perlu diperhatikan yang menyebabkan para pustakawan enggan menulis, yaitu: Pertama, tidak ada rangsangan yang “menggairahkan”. Bila diamati dengan seksama, pada umumnya hasil karya tulisan seorang pustakawan yang diterbitkan di media internal intansi tempatnya bekerja seperti majalah perpustakaan lebih banyak menjanjikan “angka kredit” belaka dari pada “kesejahteraan”. Artinya, honorarium yang diberikan kepada penulisnya terlampau kecil, atau lebih tepat bila dikatakan “sekedar pengganti pengetikan” meskipun tulisan tersebut sangat berbobot. Jadi tidak ada penghargaan terhadap “kandungan intelektualnya” atau “kandungan informasinya”. Lain halnya jika tulisan pustakawan tersebut dimuat di surat kabar. Hal ini memang wajar, karena surat kabar adalah terbitan yang memang untuk diperdagangkan, mempunyai oplah yang tinggi dan yang menjadi sasarannya adalah masyarakat umum. Tentu para pustakawan penulis tidak terlampau berharap honorarium penulisan yang diterimanya sebesar yang diberikan oleh surat kabar, tetapi paling tidak berada pada tingkat sangat pantas. Kedua, masih sedikit pustakawan yang sudah mempunyai modal di bidang tulis menulis. Modal tersebut memang cukup berat, terutama bila dirasakan oleh para pemula, antara lain adalah: gemar membaca, mau bekerja
keras, mampu berpikir logis, mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap berbagai hal, mampu menggunakan bahasa tulis, mempunyai pengetahuan mengenai jenis tulisan, serta berani untuk mempertanggung jawabkan tulisannya secara moral. Harus diakui secara jujur, bahwa dalam hal membaca saja misalnya, banyak pustakawan yang masih dihinggapi sifat “bibliophobia” alias “takut terhadap bacaan”. Mereka memang membaca, namun yang dibaca kebanyakan hanyalah bacaan ringan dan cenderung kepada bacaan yang bersifat hiburan atau pelipurlara, bukan pada bacaan ilmiah. Santoso (2007) juga mengatakan bahwa kurang produktifnya pustakawan dalam melahirkan karya tulisan dalam hal ini karya tulis ilmiah, disebabkan oleh : (a) kurangnya motivasi dan keberanian dalam mengapresiasikan ide-idenya, (b) takut salah atau gagal/ ditolak, dan (c) terbelenggu dengan pekerjaan rutin. Faktor Pendorong untuk Menulis Rosa (2007), dalam bukunya “Menulis Bisa Bikin Kaya” seorang penulis buku produktif menyatakan bahwa salah satu faktor kuat mengapa seseorang mau untuk menulis adalah karena seseorang itu mau untuk membaca. Membaca adalah salah satu trik jitu agar seseorang bisa menulis. Jadilah predator buku, jangan hanya jadi kutu buku saja. Kutu adalah kecil, tapi predator adalah besar. Seorang penulis ibaratnya akan menuangkan air ke gelas orang lain. Jika gelasnya sendiri tak berisi air, mana mungkin dia bisa mengisi gelas orang lain. Lebih lanjut Rosa (2007) menjelaskan bahwa minat menulis bisa dipancing dengan kegemaran menulis di buku harian. Meskipun tulisan di buku harian tak lebih dari tulisan bebas seperti curahan hati, namun kebiasaan ini mampu untuk meningkatkan minat menulis. Jadi, membaca memang merupakan modal untuk menulis. Jika seorang pustakawan ingin produktif menulis, maka dia juga harus rajin membaca. Apalagi pustakawan selalu bergelut dengan buku. Namun demikian, kegiatan tidaklah berbanding lurus dengan dinama dia bekerja. Salah satu yang mempengaruhi kegiatan membaca adalah minat. Minat baca adalah hasrat seseorang terhadap bacaan, yang mendorong munculnya keinginan dan kemampuan untuk membaca, diikuti oleh kegiatan nyata membaca bacaan yang diminatinya.
Solusi Meningkatkan Budaya Menulis Pustakawan Dorongan dari dalam diri untuk menulis perlu ditumbuhkan. Ketika dorongan dari dalam diri sudah ada, kadang muncul hambatan. Berdasarkan kajian yang dilakukan Hermanto (2004) ditemukan bahwa hambatan pustakawan dalam menulis adalah tidak adanya minat dan kurangnya kemampuan menulis. Seperti sudah penulis uraikan di atas bahwa minat untuk menulis dapat ditumbuhkan dan kemampuan menulis dapat diasah. Hambatan dalam menulis sesuai kajian Sumantri (2004) adalah kurangnya kemampuan dalam penguasaan teknik penulisan. Hambatan dalam penguasaan teknik penulisan dapat diminimalkan dengan mengikuti kegiatan yang terkait dengan penulisan atau membaca buku-buku tentang penulisan, baik penulisan ilmiah maupun ilmiah populer. Beberapa tahun terakhir ini ada beberapa kegiatan yang dilakukan oleh beberapa organisasi yang terkait seperti Pusat Pendidikan dan Pelatihan Perpustakaan Nasional yang menyelenggarakan kegiatan pelatihan penulisan, yang sangat bermanfaat bagi pustakawan. Ada beberapa tawaran yang penulis sampaikan guna meningkatkan budaya menulis bagi pustakawan. Pertama, meningkatkan honorarium penulisan dari yang “ala kadarnya” menjadi yang “sangat pantas”. Hal ini berlaku untuk media internal instansi seperti majalah perpustakaan tempat pustakawan tersebut bekerja. Kedua, memberikan modal untuk menulis sebagaimana disampaikan di atas yang cukup bagi pustakawan. Bilamana perlu diselenggarakan pula kursus singkat mengenai penulisan sekedar memberi bekal kepada para pemula. Ketiga, akan lebih bagus bila dalam waktu yang teratur setahun sekali misalnya, diselenggarakan lomba penulisan. Tulisan yang dilombakan adalah tulisan yang dimuat di surat kabar atau dalam bentuk terbitan lain dalam kurun waktu tertentu. Keempat, ada semacam dorongan psikologis dari redaksi kepada penulis agar terus berkarya. Para redaksi perlu menyadari bahwa bagaimanapun buruknya sebuah tulisan bila ditilik dari segi teknis, gagasan yang terkandung di dalamnya tetap bermanfaat bagi masyarakat. Siapapun penulis sebagai penuang gagasan, pasti berharap agar gagasannya bisa sampai kepada masyarakat pembaca secepatnya. Oleh karena itu, tulisan yang tidak layak muat seyogyanya dikembalikan kepada penulisnya dengan dibubuhi catatan-catatan seperlunya bila penulis menyertakan prangko pengembalian yang cukup, agar tulisan itu bisa
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
53
diolah lagi menjadi suatu tulisan yang baik. Penutup Uraian di atas menjawab permasalahan mengapa pustakawan harus memulai menulis dan bagaimana untuk memulai aktivitas menulis tersebut. Profesi pustakawan dengan butir-butir kegiatan kepustakawanan telah sangat jelas menuntun pustakawan untuk menyukai aktivitas menulis. Butir kegiatan penulisan untuk semua jenjang jabatan fungsional pustakawan memberikan kesempatan kepada semua jenjang jabatan untuk menuangkan ide atau gagasannya. Ini menegaskan bahwa
menulis merupakan suatu keharusan bagi pustakawan. Menulis sangat erat dengan kegiatan membaca, karena menulis perlu berbagai referensi untuk mengembangkan ide atau gagasan. Memulai aktivitas menulis dengan banyak membaca sumber referensi sesuai topik yang akan ditulis adalah langkah cerdas. Dengan banyak membaca akan memperkaya ide tulisan, memahami topik yang akan kita tulis dan semakin memantapkan tulisan yang akan kita buat di antara tulisan-tulisan yang telah ada sebelumnya. Segera saja kita mulai menulis dari sekarang, mari kita tumbuhkan kemauan dari dalam diri untuk selalu menulis.
Daftar Pustaka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2005. Kamus Besar bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Cet. 3. Hermanto, Faktor Penghambat Pustakawan dalam Menulis Artikel di Surat kabar. Jurnal Perpustakaan Pertanian, (13) 2, 2004. Pranoto, Edy, 1997. “Menggelitik Keengganan Pustakawan Untuk Menulis”. Jurnal BACA, Vol. 22, No. 3-4, Sept. Purwani, Istiana, 2008. Minat Pustakawan dalam Menulis. WIPA: Wahana Informasi Perpustaka an UAJY vol. 12 (Nov. 2008) Rosa, Helvy Tiana, 2007. Menulis Bisa Bikin Kaya, Solo: Ziyad Visi Media, Cet. 3. Santoso, Hari, 2007. Peningkatan keterampilan menulis karya ilmiah bagi pustakawan. Makalah tidak dipublikasikan dan didokumentasikan di UPT Perpustakaan Universitas Negeri Malang. Suciati, Tien Martini SR, 1999. Minat dan Kebiasaan Menulis Pustakawan sebagaimana tercermin pada majalah ilmiah perpustakaan terbitan Indonesia. Skripsi. Tidak Dipublikasikan. Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
54
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
Sumantri, Usep Pahing, 2004.Motivasi Pustakawan dalam Menulis Karya Ilmiah, yang dipublikasikan (Survei di Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian). Jurnal Perpustakaan Pertanian, 13 (2). Wulandari, Tri dan Agus Setyo Utomo, 2013. Motivasi Pustakawan dalam Menulis Karya Ilmiah, pada Terbitan Berkala di Badan Arsip dan Perpustakaan JawaTengah. Jurnal Ilmu Perpustakaan, 2 (4), .http: http://ejournal s1.undip .ac.id/index.php/jip, diakses Jum’at, 24 Juni 2016. Yusuf, Pawit M. Yusuf, 2013. Dasar-dasar Penulisan Paper: Teknik Cepat Menulis Karya Ilmiah. Makalah. Disampaikan pada Kegiatan Kursus Pelatihan Instruktur Literasi Informasi Paket A. Kerjasama UPH-UNPAD, 8 -11 April 2013.
Oleh: YUSRAWATI1 Email:
[email protected]
Perpustakaan sebagai Media Komunikasi Ilmiah di Perguruan Tinggi Abstrak Perpustakaan perguruan tinggi sebagai salah satu lembaga publik yang menyediakan informasi, memberi peluang untuk membuka hubungan komunikasi ilmiah. Komunikasi ilmiah adalah komunikasi yang berlangsung antar ilmuwan, yaitu pemberitahuan, pengalihan, penyebaran, maupun penyampaian informasi dalam bidang tertentu kepada ilmuwan lain dalam bentuk buku dan treastise. Komunikasi ilmiah dapat dibangun melalui komunikasi antara pustakawan dengan pemustaka, dosen dengan mahasiswa, dan sesama pakar atau ilmuwan. Perpustakaan sebagai media komunikasi ilmiah di perguruan tinggi berlangsung melalui pencari informasi sebagai literatur, sitasi dan keterlibatan perpustakaan sebagai media pelestarian ilmu pengetahuan serta pustakawan sebagai intermedia antara sumber informasi dengan pemustaka. Proses komunikasi ilmiah ini terjadi pada pelayanan referensi, pelayanan sirkulasi, publikasi repositori institusi, diskusi ilmiah, jurnal ilmiah, laporan ilmiah dan lainnya yang dapat mendukung terjadi prosesnya transmisi atau pengembangan ilmu pengetahuan atau yang melahirkan ilmu pengetahuan baru. Dalam konteks ini, perpustakaan perguruan tinggi berfungsi sebagai media komunikasi ilmiah yaitu sebagai pusat learning common, pusat pembelajaran, pusat penelitian, pusat penyalinan buku, pusat publikasi (penerbitan) dan pusat penerjemahan. Eksistensi perpustakaan betul-betul mengajak pemustaka untuk memanfaatkan dan menggali informasi yang tersedia di perpustakaan. Kata Kunci: Komunikasi ilmiah, Media komunikasi Pendahuluan Perpustakaan adalah pusat pembelajaran yang berfungsi sebagai agen perubahan sosial yang mening katkan kualitas kehidupan dengan memenuhi kebutuhan informasi masyarakat (Perpusnas, 2009:6). Perpustakaan merupakan pusat dan sumber belajar serta sarana pene litian yang mempunyai tugas pokok dalam penyediaan, pengelolaan, dan pelayanan informasi bagi pemustaka. Dalam proses pelayanan perpustakaan tidak terlepas dari kegiatan komunikasi. Komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan berupa lambang, bermakna sebagai panduan pikiran dan perasaan berupa ide, informasi yang dilakukan
seseorang kepada orang lain secara langsung atau melalui media dengan tujuan mengubah sikap, pandangan, maupun perilaku (Lasa, 2014:129). Komunikasi adalah sebuah proses komplek. A communications model derived from the telecommunications industry provides a useful representation of communications (Budiman, 2014:8). Komunikasi merupakan urat nadi kehidupan suatu perpustakaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Tiga fungsi dasar manusia butuh berkomunikasi; 1) hasrat manusia untuk mengontrol lingkungannya; 2) upaya manusia untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya; 3) upaya untuk melakukan transformasi warisan sosialisasi (Cangara, 2005:2).
Pemenang Harapan Pertama Pustakawan Berprestasi Terbaik Tingkat Nasional Tahun 2016. Pustakawan Ahli Muda UIN Ar-Raniry Banda Aceh, D.I. Aceh. 1
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
55
Pada perpustakaan perguruan tinggi, komunikasi berlangsung antara pustakawan dengan pemustaka, dosen dengan mahasiswa, dan sesama para pakar atau ilmuwan lainnya. Komunikasi semacam ini disebut komunikasi ilmiah. Komunikasi ilmiah adalah komunikasi yang berlangsung antar ilmuwan (Lasa, 2014:129). Yakni pembe ritahuan, pengalihan, penyebaran, maupun penyampaian informasi dalam bidang tertentu kepada ilmuwan lain. Perguruan tinggi memiliki banyak ilmuwan yang menulis dan mengarang buku sesuai dengan keahlian dan keilmuwan mereka dalam bentuk buku dan treastise. Buku dan treastise tersebut menjadi koleksi perpustakaan, dalam konteks ini perpustakaan berperan sebagai media komunikasi ilmiah terutama di perguruan tinggi. Sistem komunikasi ilmiah formal memiliki banyak keuntungan antara lain: 1) komunikasi itu bersifat formal; 2) penyebaran informasi lebih cepat; 3) kandungan informasi lebih terjaga keawetannya. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk membahas paper ini dengan judul “Perpustakaan sebagai Media Komunikasi Ilmiah di Perguruan Tinggi”. Konsep Perpustakaan Perpustakaan berasal dari kata pustaka berarti buku, kitab. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah library. Perpustakaan adalah sebuah ruangan, bagian sebuah gedung, ataupun gedung itu sendiri yang digunakan untuk menyimpan buku dan terbitan lain yang biasanya disimpan menurut tata susunan tertentu untuk digunakan pembaca, bukan untuk dijual (Sulistyo-Basuki, 1993:3). Sutarno (2004:10) menegaskan sebuah perpustakaan harus memenuhi persyaratan tertentu yaitu: a) Adanya kumpulan buku-buku dan bahan pustaka lainnya, baik tercetak maupun terekam. b) Ditata menurut suatu sistem tertentu, diolah/diproses meliputi: registrasi, dan identifikasi, katalogisasi, kla sifikasi, dan dilengkapi dengan perlengkapan koleksi, seperti slip buku, kartu-kartu katalog, kantong buku dan lainnya. c) Ditempatkan di gedung atau ruangan tersendiri, sebaiknya tidak disatukan dengan kantor atau kegiatan yang lain. d) Dikelola atau dijalankan oleh petugas-petugas, dengan persyaratan tertentu yang melayani pemakai dengan sebaik-baiknya. e) Ada masyarakat pemakai perpustakaan tersebut baik
56
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
untuk membaca, meminjam, meneliti, menggali, menimba dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang diperoleh di perpustakaan. f ) Perpustakaan merupakan institusi yang bermitra terhadap proses penyelenggaraan pendidikan secara langsung dan tidak langsung baik formal maupun nonformal. Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa perpustakaan dapat diartikan sebuah ruangan atau gedung, di dalamnya terdapat kumpulan buku yang mengandung informasi mengenai ilmu pengetahuan. Buku-buku tersebut diproses menurut aturan tertentu selanjutnya ditata dan disusun di rak buku. Selain itu perpustakaan seyogyanya dikelola oleh petugas yang mempunyai kemampuan, keterampilan serta menguasai/ paham ilmu pengetahuan di bidang perpustakaan, selanjutnya bertugas untuk melayani kebutuhan informasi para pengguna perpustakaan. Konsep Perpustakaan Perguruan Tinggi Perpustakaan sebagai sistem pengelolaan rekaman gagasan, pemikiran, pengalaman, dan pengetahuan umat manusia, mempunyai peran dan fungsi utama dalam melestarikan hasil budaya umat manusia, khusus yang berbentuk dokumen karya cetak rekam lainnya, kepada generasi selanjutnya (Sutarno, 2005:59). Perpustakaan perguruan tinggi sebagai perpustakaan akademik memainkan peran yang sangat penting dalam pelaksanaan tri dharma suatu perguruan tinggi. Perpusta kaan perguruan tinggi sangat diperlukan untuk penelitian, pengajaran dan pembelajaran, serta pengabdian kepada masyarakat. Ditinjau dari lokasinya, perpustakaan pergu ruan tinggi biasanya berlokasi di tengah kampus dan dianggap sebagai “jantung perguruan tinggi”. Dalam Undang-Undang Perpustakaan Nomor 43 Tahun 2007, pasal 24 disebutkan perpustakaan perguruan tinggi sebagai berikut: a. Setiap perguruan tinggi menyelenggarakan perpusta kaan yang memenuhi standar nasional perpustakaan dengan memperhatikan Standar Nasional Pendidikan. b. Perpustakaan dimaksud pada ayat (1) memiliki koleksi, baik jumlah judul maupun jumlah eksemplarnya, yang mencukupi untuk mendukung pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. c. Perpustakaan perguruan tinggi mengembangkan layanan perpustakaan berbasis teknologi informasi
dan komunikasi. d. Setiap perguruan tinggi mengalokasikan dana untuk pengembangan perpustakaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan guna memenuhi standar nasional pendidikan dan perpustakaan.” Berdasarkan Undang-Undang tersebut, kedudukan perpustakaan perguruan tinggi dalam sistem pendidikan dapat difungsikan sebagai berikut (Depdikbud, 1994:12): a. Perangkat pendidikan di perguruan tinggi merupakan bagian integral dari perguruan tinggi; berfungsi sebagai pusat belajar mengajar, pusat informasi, pusat penelitian sederhana dan rekreasi sehat; serta sejajar dengan sarana pendidikan di perguruan tinggi seperti laboratorium, keterampilan, olah raga dan kesehatan serta lainnya. b. Unit pelaksana teknis pendidikan 1) Perpustakaan perguruan tinggi dipimpin oleh seorang Kepala Perpustakaan yang dalam melak sanakan tugasnya berada di bawah dan bertang gung jawab kepada pimpinan perguruan tinggi. 2) Perpustakaan perguruan tinggi melaksanakan tugas kegiatannya mencakup dua jenis layanan. Layanan teknis (technical services) mencakup pengadaan, pengolahan (pembuatan katalog, klasifi kasi, finishing) dan penyusunan kartu katalog (bagi yang sudah terotomasi menggunakan OPAC), serta buku di rak. Layanan pengguna (public services) mencakup sirkulasi (peminjaman), layanan koleksi dan pengembangan program. Kegiatankegiatan tersebut harus didukung dengan teknologi informasi yang semakin berkembang saat ini. c. Mata rantai dalam sistem nasional layanan perpustakaan. Agar keberadaan perpustakaan perguruan tinggi menjadi tetap dinamis sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Konsep Komunikasi Ilmiah Komunikasi atau communication berasal dari bahasa Latin ”communis”. Communis dalam bahasa Inggris ”commun” yang artinya sama (Rohim, 2009:8). Kata “komunikasi”, bersifat abstrak, seperti kebanyakan istilah, memiliki banyak arti (Littlejohn, 1999:6). Sedangkan menurut Webster New Collogiate Dictionary komunikasi berasal dari bahasa Inggris communication, dan berasal dari bahasa Latin communicates atau communication atau communicate yang berarti berbagi atau menjadi milik
bersama. Jadi komunikasi adalah suatu proses pertukaran informasi di antara individu melalui sistem, lambanglambang, tanda-tanda atau tingkah laku (Riswandi, 2009:1). Komunikasi adalah proses berbagi makna melalui perilaku verbal dan non verbal (Mulyana, 2008:3). Komunikasi merupakan proses yang menggambarkan bagaimana seseorang memberikan stimulasi pada makna pesan verbal dan non verbal ke dalam pikiran orang lain (Liliweri, 2011:1). Komunikasi adalah inti semua hubungan sosial, apabila orang telah mengadakan hubungan tetap, maka sistem komunikasi yang mereka lakukan akan menentukan apakah sistem tersebut dapat mempererat atau mempersatukan mereka, mengurangi ketegangan atau melenyapkan persengketaan apabila muncul (Widjaja, 1993:4). Komunikasi menjadi suatu fenomena bagi terbentuknya suatu masyarakat atau komunitas yang terintegrasi oleh informasi, di mana masing-masing individu dalam masyarakat itu saling berbagi informasi (information sharing) untuk mencapai tujuan. Proses komunikasi pada hakikatnya adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang kepada orang lain (Effendy, 2011:11). Secara umum, komunikasi merupakan bagian penting yang mendukung keberadaan suatu organisasi termasuk perpustakaan. Tanpa komunikasi di perpustakaan, maka tidak mungkin terjadi transmisi ilmu pengetahuan dalam masyarakat terutama pemustaka. Dengan demikian, suatu kegiatan tidak mungkin dapat dilakukan tanpa adanya komunikasi. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi sangatlah penting terutama di lingkungan perpustakaan. Sedangkan ilmiah adalah bersifat ilmu atau secara ilmu pengetahuan (Poerwadarminta, 2011:437). Semua kegiatan dan aktifitas keilmiahan dapat dikatakan sebagai komunikasi ilmiah. Adapun komponen yang berkaitan dengan keilmiahan terdiri atas: a) Komunitas ilmiah. Komunitas ilmiah terdiri atas ilmuwan-ilmuwan, yang diantara mereka saling berhubungan dan berinteraksi satu sama lain. Umumnya mereka terdiri atas sub-sub komunitas yang setiap hari berkecimpung dalam ilmu pengetahuan. b) Makalah ilmiah Makalah ilmiah pada umumnya digunakan sebagai karya tulis hasil studi ilmiah yang berisi masalah
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
57
c)
d)
e) f ) g)
h)
dan pembahasan. Dari segi prinsip dan prosedur ilmiahnya, makalah ilmiahnya menyerupai laporan penelitian sederhana (Dalman, 2013:153). Makalah ilmiah biasanya ditulis sebagai suatu saran pemecahan masalah secara ilmiah. Penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah berlangsung ditempat umum atau penelitian ilmiah di lembaga-lembaga umum yang dikomersilkan. Karya ilmiah Pada prinsipnya semua karya ilmiah yaitu hasil dari suatu kegiatan ilmiah. Dalam konteks ini sebuah karya ilmiah mempunyai ciri-ciri yaitu objektif, netral, sistematis, logis, menyajikan fakta, tidak pleonastis dan bahasa yang digunakan adalah bahasa formal. Diskusi ilmiah. Suatu diskusi yang membicarakan mengenai ilmu pengetahuan. Bahasa ilmiah Bahasa ilmiah adalah bahasa formal berupa bahasa yang baik dan benar sesuai dengan kaidah ejaan EYD. Laporan Ilmiah Laporan ilmiah adalah bentuk karangan yang berisi rekaman kegiatan tentang suatu yang sedang dikerjakan, digarap, diteliti atau diamati dan mengandung saransaran untuk dilaksanakan (Dalman, 2013:44). Laporan ini disampaikan dengan cara seobjektif mungkin, serta disusun berdasarkan sistematika penulisan karya ilmiah yang tunduk terhadap aturan dalam penulisan hasil penelitian ilmiah. Jurnal ilmiah Jurnal ilmiah adalah buku yang terdiri atas karya ilmiah yang isinya berupa hasil penelitian dan resensi buku. Jurnal ilmiah ini harus ditulis secara teratur dan sebaiknya mendapatkan ISSN dari PDII-LIPI (Dalman, 2013:18).
Mengacu pada konteks di atas, maka ilmiah adalah sesuatu yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang tersusun secara teratur, terukur, sistematis logis dan tidak pleonastis. Bahasa yang digunakan dalam kegiatan dan aktifitas ilmiah ini juga merupakan bahasa yang formal secara baik dan benar. Jadi, komunikasi ilmiah adalah subjek yang beraneka ragam yang sedang mengalami transformasi mendalam. Dilakukan keadilan untuk itu dalam beberapa halaman tidak mungkin, sehingga dalam catatan ini saya hanya meringkas beberapa poin kunci. Kertas-kertas memberikan lebih rinci data dan argumen,
58
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
serta referensi literatur yang tersedia (Odlyzko,t.t). Teknologi informasi telah memperkaya bentuk komunikasi ilmiah dengan berbagai cara. Namun elemen penting seperti artikel jurnal ilmiah yang sangat stabil dan publikasi cetak terus berlanjut, meskipun adanya perkembangan pada media digital (Borgman, 2000). Menurut Jack Meadows dalam penelitiannya mengenai komunikasi ilmiah menekankan keunggulan komunikasi dalam pengetahuan yaitu komunikasi terletak di jantung penelitian (Borgman, 2000:413). Dalam menjalankan fungsi tersebut, perpustakaan perguruan tinggi membangun komunikasi ilmiah dengan semua orang yang terlibat dalam perpustakaan. Komunikasi ini dibangun dalam empat tingkatan (Wijaya, 2000:97) yaitu: a. Komunikasi antara atasan dan bawahan Komunikasi antara atasan dan bawahan perpustakaan dibangun agar para staf dapat melakukan aktivitasnya sesuai dengan arahan yang diberikan atasannya. Maksudnya, pimpinan perpustakaan memberikan pengarahan tentang pelaksanaan tugas. Disamping itu, pimpinan perpustakaan memberikan informasi untuk pemahaman hubungan kerja, prosedur kerja. b. Komunikasi antara bawahan dan atasan Apabila terjadi permasalahan dalam aktivitas kerja di perpustakaan, maka komunikasi antara bawahan dan pimpinan perpustakaan akan terjadi. Dalam konteks ini, bawahan atau staf perpustakaan akan mengkomunikasikan persoalan tersebut kepada pimpinannya. Selanjutnya, pimpinan perpustakaan akan memberikan feedback atau umpan balik kepada para bawahannya. Artinya, pimpinan perpustakaan memberikan informasi dalam upaya memecahkan permasalahan tersebut dengan komunikasi yang dibangunnya. Kondisi yang demikian menunjukkan bahwa di satu sisi, staf perpustakaan membangun komunikasi dengan pimpinan. Di sisi lain, pimpinan merespon komunikasi yang diberikan bawahannya. Komunikasi yang lancar akan berpengaruh terhadap kelancaran pelaksanaan tugas dan meminimalisasi hambatan yang terjadi (Suwarno, 2007:48). Dengan demikian, permasalahan perpustakaan dapat segera dipecahkan dan dicarikan solusinya. c. Komunikasi antara sesama karyawan Komunikasi antara sesama karyawan atau staf perpustakaan dilakukan ketika para staf atau karyawan ingin membangun kebersamaan dan sharing informasi.
Mereka melakukan komunikasi yang bersifat antar pribadi. Komunikasi antar pribadi yang dibangun dalam aktivitas perpustakaan akan meningkatkan hubungan sesamanya, menghindari dan mengatasi konflikkonflik pribadi, mengurangi ketidakpastian sesuatu, serta berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan orang lain (Cangara, 2005:2). Aktivitas perpustakaan terjadi dalam berbagai aspek. Salah satunya adalah jasa teknis. Jasa teknis merupakan layanan yang hanya berhubungan antar sesama karyawan. Mereka melakukan jasa teknis untuk menyelesaikan kerja perpustakaan secara internal. Dalam konteks ini, para karyawan membangun komunikasi dengan sesamanya. Komunikasi yang terjalin akan terbina kesamaan persepsi dalam gerakan dan kebersamaan dalam kerja. d. Komunikasi antara pustakawan dan pemustaka Komunikasi antara pustakawan dan pemustaka merupakan hal yang tidak dapat dihindari dan cukup intens terjadi dalam layanan perpustakaan. Pelayanan publik yang disediakan perpustakaan merupakan sarana membangun komunikasi ilmiah dengan semua pihak baik internal maupun eksternal perpustakaan. Pemustaka merupakan pihak eksternal perpustakaan. Pelayanan sirkulasi dan layanan referensi merupakan bagian layanan publik yang berhubungan langsung dengan pemustaka, dalam konteks ini terjadi konsultasi antara pustakawan dan pemustaka. Komunikasi ini terjalin dalam rangka penelusuran informasi pemustaka guna mendapatkan informasi yang relevan sesuai dengan kebutuhan pemustaka. Pembahasan Perpustakaan merupakan salah satu lembaga publik yang menyediakan informasi bagi pemustaka. Sebagai lembaga publik yang menyediakan informasi, perpustakaan memberi peluang untuk membuka hubungan komunikasi ilmiah dengan berbagai pihak. Pihak tersebut dapat berasal dari dalam maupun luar perpustakaan yakni para pemustaka. Dengan demikian, lingkungan perpustakaan selalu membangun komunikasi baik antara pustakawan dengan pemustaka, maupun antar para karyawan perpustakaan sendiri. Perpustakaan perguruan tinggi mempunyai peran penting dalam civitas akademika. Selain menunjang tri dharma perguruan tinggi, juga membantu civitas akademika dalam proses pembelajaran. Perpustakaan perguruan tinggi juga merupakan institusi yang bersifat
ilmiah, informatif, dan edukatif. Oleh karena itu, setiap titik layanan yang dihadirkan perpustakaan tidak terlepas dari unsur pembelajaran, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan yang bertujuan memberikan pencerahan dan pengembangan wawasan bagi pemustaka. Pemustaka mencari informasi sebagai bahan tinjauan literatur bagi tulisannya. Sitasi atau kutipan yang berasal dari satu artikel akan dituangkan di artikel yang akan ditulisnya. Jika artikel pemustaka dibaca oleh pemustaka lain atau orang yang sedang menulis dengan subjek yang sama, maka satu tahap lagi proses pengembangan ilmu pengetahuan sedang berlangsung. Rangkaian tersebut merupakan alur komunikasi ilmiah yang mendeskripsikan proses pengembangan ilmu pengetahuan yang melibatkan perpustakaan sebagai media pelestarian ilmu pengetahuan dan pustakawan sebagai intermedia antara sumber informasi dengan pemustaka. Mengingat perpustakaan perguruan tinggi memiliki fungsi informasi, edukasi dan penelitian guna mendukung dan menunjang proses komunikasi ilmiah, maka eksistensi perpustakaan betul-betul mengajak pemustaka untuk memanfaatkan dan menggali informasi yang tersedia di perpustakaan melalui berbagai jenis koleksi. Dengan demikian, komunikasi ilmiah terus berlangsung secara kontinyu dan tak terbatas, sehingga ilmu pengetahuan akan semakin cepat berkembang. Salah satu komunikasi ilmiah yang berlangsung dalam perpustakaan yaitu pada pelayanan referensi yang merupakan pelayanan rujukan atau konsultasi antara pustakawan dengan pemustaka dalam rangka penelusuran informasi. Di dalam pelayanan referensi tercipta sebuah kegiatan yang bernama wawancara referensi. Pemustaka dapat meminta bantuan staf di meja referensi untuk mencari referensi. Menyelenggarakan wawancara referensi merupakan pekerjaan penting pustakawan referensi, karena memungkinkan pustakawan untuk mencocokkan pertanyaan pemustaka dengan sumber informasi yang relevan dan bermanfaat. Oleh karena itu, diperlukan komunikasi ilmiah antar pustakawan dengan pemustaka untuk menentukan kebutuhan spesifik pemustaka. Tujuan wawancara referensi bagi pustakawan adalah untuk memahami kebutuhan informasi pemustaka dan informasi yang ada manfaat untuk menyelesaikan masalah mereka atau untuk mempelajari sesuatu. Dalam konteks layanan ini, tentu terjadi interaksi
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
59
dua arah yang saling berkaitan atau dapat dikatakan bahwa komunikasi dua arah berlangsung diantara mereka, bertujuan untuk membangun kebersamaan dalam menjalankan aktivitas perpustakaan. Sebagaimana dideskripsikan oleh Pawit di atas bahwa tidak ada aspek kegiatan dan proses kerja di perpustakaan yang tidak melibatkan komunikasi ilmiah, terutama dalam layanan referensi yaitu sebuah layanan dalam upaya membantu pemustaka perpustakaan menemukan informasi. Ungkapan di atas menunjukkan bahwa dalam layanan referensi ini, salah satu bentuk komunikasi yang terjadi adalah komunikasi antarpersonal atau antarpribadi. Perpustakaan sebagai pusat pembelajaran, penelitian dan pendidikan tidak terlepas dari proses komunikasi. Komunikasi yang terjadi di perpustakaan merupakan komunikasi ilmiah, karena berlangsung diantara para ilmuwan. Komunikasi memainkan peran penting dalam kalangan ilmiah; komunikasi dilakukan untuk penemuan atau ide, kemudian di evaluasi dan dikritisi oleh masyarakat yang berkepentingan dikalangan perguruan tinggi. Selanjutnya, komunikasi ilmiah di perpustakaan perguruan tinggi dapat juga berupa publikasi dan diskusi ilmiah. Publikasi yaitu mempublikasikan karya-karya ilmiah dalam sistem repositori. Melalui repositori ini, proses komunikasi ilmiah semakin banyak dilakukan oleh perpustakaan. Sedangkan dalam diskusi ilmiah, instrumen utamanya yaitu ide-ide dari peneliti dan penemuan-penemuan baru mereka. Dari diskusi-diskusi ilmiah tersebut lahirlah newsgroup. Perkembangan internet dapat memberikan biaya yang efektif terhadap newsgroup. Newsgroup pada dasarnya merupakan buletin papan elektronik yang tersedia untuk pengguna internet untuk posting pertanyaan dan balasan tanpa biaya. Komunikasi ilmiah melalui diskusi ilmiah lebih praktis dilakukan di perpustakaan perguruan tinggi, dimana para ilmuwan, peneliti, pustakawan dan pemustaka semua hadir sehingga perpustakaan bisa memberi nilai tambah pada lembaga induknya. Perpustakaan perguruan tinggi sebagai pusat informasi dan pusat pembelajaran, tentu menyediakan berbagai macam pelayanan yang menuntut terjadinya komunikasi terhadap stakeholders (komunikasi ilmiah). Komunikasi ilmiah mencakup berbagai aspek seperti layanan sirkulasi, layanan referensi, periodikal, jurnal cetak, jurnal online, layanan karya ilmiah. Layanan-layanan tersebut dilengkapi dengan koleksi-koleksi yang bervariasi dan
60
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
berkualitas meliputi fiksi, non fiksi, kamus, ensiklopedia, jurnal, majalah, koleksi karya ilmiah yang dihasilkan oleh sivitas akademika dan laporan ilmiah seperti primer avenue yang berisi ide-ide ilmiah dan penemuanpenemuan ilmiah di kalangan ilmuwan. Dengan koleksi beragam tersebut, perpustakaan mampu menjadi media untuk mentransfer ilmu pengetahuan yang terkandung dalam setiap lembaran buku, jurnal, majalah kepada pemustaka melalui komunikasi ilmiah. Proses komunikasi ilmiah berlangsung ketika pemustaka (mahasiswa, dosen, masyarakat umum, ilmuwan) mengakses koleksi perpustakaan kemudian menjadikannya sebagai bahan rujukan dalam mengerjakan tugas kuliah, menulis karya ilmiah ataupun artikel. Dalam konteks ini, perpustakaan perguruan tinggi dapat dikatakan sebagai media komunikasi ilmiah, karena perpustakaanlah yang mendistribusikan atau menyebarkan informasi ilmiah yang dimilikinya kepada pemustaka yang membutuhkan sesuai dengan kebutuhan mereka masingmasing. Komunikasi ilmiah yang dijalankan perpustakaan melalui beberapa tingkatan, sesuai dengan kebutuhan pemustaka. Perlu diketahui bahwa proses menyediakan, melayani, dan menelusur informasi yang dibutuhkan pemustaka melalui website, jurnal elektronik, ensiklopedia, buku di perpustakaan merupakan tingkatan komunikasi ilmiah antara pustakawan dan pemustaka. Sebagai pusat learning common, perpustakaan menyediakan pustakawan yang selalu siap membantu pemustaka (Istiana, 2014:54). Dalam konteks ini, pustakawan bertugas membantu pemustaka jika membutuhkan bantuan dalam pembelajaran di ruang learning common. Selanjutnya, pemustaka dapat bertemu, berbicara, berdiskusi serta menggunakan fasilitas yang disediakan sehingga pemustaka dapat belajar bersama dan saling mentrasferkan ilmu pengetahuan sesama pemustaka. Learning common menjadi sebuah jawaban atau respon perpustakaan terhadap kebutuhan fasilitas guna berlangsungnya komunikasi ilmiah. Pemustaka melakukan komunikasi ilmiah dalam learning common ini dengan mendiskusikan tugas-tugas dari dosen mereka dan menyusun atau mengkreasi menjadi paparan baru yang kemudian dapat disajikan kembali sebagai hasil dari komunikasi ilmiahnya. Disisi lain, pemustaka dapat dengan leluasa mengakses internet baik dengan fasilitas Wi-fi maupun dengan
unit komputer yang disediakan perpustakaan. Dalam melakukan komunikasi ilmiah, perpustakaan tidak lagi dilihat sebagai tempat yang hanya tersedia buku-buku dan koleksi lain. Tetapi juga sebagai media komunikasi ilmiah lainnya dengan melakukan berbagai diskusi dan share ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, perpustakaan benar-benar sebuah institusi yang hidup, karena di dalamnya selalu ada aktivitas transfer pengetahuan dan berbagai ide dari pemustaka yang memanfaatkan perpustakaan sebagai media komunikasi ilmiah sebagaimana juga yang terjadi pada masa awal Islam. Hal ini dapat dilihat dari berbagai peristiwa, misalnya utusan khalifah dan raja untuk membahas suatu bidang ilmu tertentu di perpustakaan-perpustakaan terkenal yang memiliki koleksi yang cukup besar seperti Baitul Hikmah dan Darul Hikmah (Masruri et.al, 2006:70). Disamping itu, para peneliti atau cerdik pandai mencoba mengembangkan suatu ilmu yang berkaitan dengan keahliannya melalui satu perpustakaan ke perpustakaan lainnya sehingga menghasilkan penemuan-penemuan baru. Tentu saja komunikasi ilmiah semacam ini tidak pernah berhenti hingga sekarang selama perpustakaan masih menjalankan fungsinya sebagai sumber informasi. Bahkan, perpustakaan pada masa awal kebangkitan Islam menjadi jembatan kebudayaan dan ilmu pengetahuan dari Yunani kuno yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab untuk dipelajari oleh masyarakat. Dalam konteks ini perpustakaan menjadi sponsor atas semua kegiatan atau komunikasi ilmiah tersebut. Aktivitas keilmiahan seperti ini mendapat respon positif sehingga para penerjemah memperoleh status yang baik dalam masyarakat. Selanjutnya, hal yang dibanggakan oleh kaum muslimin sejak abad pertengahan telah dirasakan pentingnya bagian percetakan dan penerbitan dalam suatu perpustakaan. Oleh karena itu, alat-alat percetakan sebagaimana yang kita lihat di abad modern ini belum ada di masa itu, maka untuk mengatasi hal ini mereka adakan seleksi penyalinan oleh penyalin-penyalin yang terkenal kerapihan kerja dan tulisannya. Dalam kontek ini, proses penyalinan buku juga merupakan proses komunikasi ilmiah di perpustakaan. Perpustakaan yang berkualitas adalah perpustakaan yang mampu menjawab setiap persoalan informasi yang dibutuhkan oleh setiap pemustaka. oleh karena itu, proses komunikasi ilmiah akan menjadi faktor yang dominan dalam membantu pemustaka melakukan penelusuran informasi yang lebih tepat. Komunikasi ilmiah akan sangat
berpengaruh dalam pengembangan ilmu pengetahuan pemustaka. Cara pustakawan melakukan komunikasi ilmiah dengan pemustaka akan sangat berpengaruh pada kepuasan pemustaka. Sebagai contoh pemustaka tetap senang walau tidak memperoleh informasi yang dibutuhkan tapi tetap dilayani dengan ramah dan cerdas. Hal ini akan meninggalkan kesan positif sebagai cikal bakal image positif. Sebaliknya wajah bersungutsungut, kata-kata yang diucapkan dengan nada kesal yang ditampilkan dalam pelayanan akan menghancurkan proses komunikasi ilmiah di perpustakaan. Pustakawan yang akan melakukan komunikasi ilmiah, berarti dia mampu secara aktif menyatakan gagasan, harapan atau perasaan baik yang positif maupun negatif secara langsung dan apa adanya, tanpa menyerang atau merugikan orang lain (Fatmawati, 2010:192). Berkomunikasi ilmiah pustakawan merupakan cara yang efektif untuk menyampaikan kebutuhan dan ideide seseorang dengan tetap menghormati orang lain dan terbuka untuk menerima kritikan, saran dari pemustaka. Komunikasi ilmiah mempunyai pengaruh yang penting dalam dunia perpustakaan. Pustakawan pada perguruan tinggi setiap harinya tidak terlepas dari kegiatan komunikasi ilmiah. Berkomunikasi ilmiah tidak hanya dilakukan melalui kata-kata (verbal) tetapi juga melalui non verbal yaitu dengan bantuan tindakan, gerak isyarat, pandangan mata, ekpresi wajah sikap tubuh, dan gambar yang merupakan lambang makna. Namun terkadang lambang atau gerak isyarat (gestures) yang digunakan pustakawan untuk melengkapi dan memperjelas komunikasi ilmiah verbal tersebut malah bisa disalah artikan. Misalnya, gerakan mengacung jari telunjuk dalam menunjuk buku terkadang dinilai pemustaka kurang sopan, padahal maksud pustakawan adalah untuk memperjelas pesan yang ingin disampaikan. Penutup Komunikasi terjadi dimana-mana baik dalam kehidupan sosial maupun dalam lingkungan perpustakaan. Komunikasi yang terjalin antara para ilmuwan merupakan komunikasi ilmiah. Komunikasi ilmiah yang berlangsung di perpustakaan perguruan tinggi meliputi empat jenis yaitu komunikasi atasan dan bawahan, komunikasi bawahan dan atasan, komunikasi sesama pustakawan, komunikasi pustakawan dan pemustaka. Semua tingkatan komunikasi yang dilakukan
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
61
tersebut terjalin secara dua arah. Komunikasi yang dibangun pustakawan dengan para pemustaka bertujuan untuk membantu mereka menemukan informasi yang diinginkan. Bentuk komunikasi yang terjadi adalah komunikasi antar personal atau komunikasi ilmiah. Proses komunikasi ilmiah di perpustakaan perguruan tinggi dapat terjadi pada pelayanan referensi, pelayanan sirkulasi, publikasi repositori institusi, diskusi ilmiah, jurnal ilmiah, laporan ilmiah dan lainnya yang dapat mendukung terjadi proses transmisi atau pengembangan ilmu pengetahuan atau yang melahirkan ilmu pengetahuan
baru. Dalam komunikasi ilmiah berhubungan dengan sikap dan perilaku pustakawan, komunikasi ilmiah juga berhubungan dengan koleksi ilmiah seperti jurnal cetak, jurnal elektronik, karya ilmiah dan lainnya yang tersedia di perpustakaan. Oleh karena itu, pustakawan harus punya kompetensi interpersonal untuk menunjang komunikasi ilmiah dalam melayani pemustaka. Dalam konteks ini perpustakaan perguruan tinggi berfungsi sebagai media komunikasi ilmiah yang meliputi pusat learning common, pusat pembelajaran, pusat penelitian, pusat penyalinan buku, pusat publikasi (penerbitan) dan pusat penerjemahan.
Daftar Pustaka Bonk, W.J. (1979). Building Library Collection, London: The Scarecrow Press. Borgman, C.L. (2000). Digital Libraries And The Continum of Scholarly Communication. Journal of Documentation, Vol. 56,. Diakses tanggal 27 Desember 2015 pukul 15.30 Budiman, S. (2014). E-Government Session Two, Riau: Government Science Department. Cangara, H. (2005). Pengantar Ilmu Komunikasi.Jakarta: Grafindo Persada. Dalman. (2013). Menulis Karya Ilmiah, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Depdikbud. (1994). Perpustakaan Perguruan Tinggi: buku pedoman, Jakarta: Depdikbud. Effendy, O.U. (2011). Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek, Bandung: Rosdakarya. Evans, G.E. (1992). Introduction to Library Public Services, Colorado: Libraries Unlimited, Fatmawati, E. (2010). The Art of Library: Ikatan Esai Bergizi tentang Seni Mengelola Perpustakaan, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Cangara, H. (2005). Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: Grafindo Persada. Ismawati, E. (2012). Bahasa Indonesia Untuk Penulisan Ilmiah, Yogyakarta: Ombak. Istiana, P. (2014). Layanan Perpustakaan. Yogyakarta: Ombak. Katz, W.A. (1992). Introduction to Reference Work Volume I: Basic Information Sources, Singapore: Mc.GrawHill Inc. Lasa HS. (2014). Kamus Kepustakawanan Indonesia (Edisi Revisi), Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah.
62
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
Liliweri, A. (2011). Komunikasi: Serba Ada Serba Makna, Jakarta: Kencana. Littlejohn, S.W. (1999). Theories of Human Communication, New Mexico: Wadsworth Publishing Company. Masruri, A., Zulaikha, S.R., & Dewi, H.D.R. (2006). Sejarah Perpustakaan Islam, Yogyakarta: Pokja Akademik. Mulyana, D. (2001). Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Bandung: Remaja Rosdakarya. Odlyzko, A. The Future of Scientific Communication, http://www.research.att.com/ Onong, U.E. (2011). Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung:Rosdakarya. Perpusnas [Perpustakaan Nasional RI]. (2009). UU Nomor 43 Tahun 2007. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI. Poerwadarminta, W.J.S. (2011). Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. Riswandi, (2009). Ilmu Komunikasi, Yogyakarta: Graha Ilmu. Rohim, S. (2009). Teori Komunikasi: perspektif, ragam dan aplikasi, Jakarta: Rineka Cipta. Siswandi, I. (2011). Tip Sukses Wawancara Rujukan: Jurnal Pustakawan Indonesia Volume 11 No.1, Jakarta: Perpustakaan UI. Sulistyo-Basuki,. (1993). Pengantar Ilmu Perpustakaan, Jakarta: Gramedia. Sutarno NS. (2004). Manajemen Perpustakaan: Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Samitra Media Utama. Suwarno, W. (2007). Dasar-Dasar Ilmu Perpustakaan: Sebuah Pendekatan Praktis, Yogyakarta: Ar- Ruzz. Widjaja, A.W. (2000). Ilmu Komunikasi: Pengantar Studi, Ed. Revisi, Jakarta: Rineka Cipta.
Oleh: RAHMAH FAJRIA1 Email:
[email protected]
Peran Iklan melalui Radio terhadap Kunjungan dan Kegemaran Membaca di Perpustakaan Umum Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota Abstrak Iklan yang efektif harus didukung oleh pesan yang disampaikan, agar maksud dan tujuannya sebagai penyampaian informasi kepada khalayak dapat tercapai. Perpustakaan Umum Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota melakukan promosi untuk meningkatkan kunjungan pemustaka ke perpustakaan serta meningkatkan kegemaran membaca di Kabupaten Lima Puluh Kota. Metode penulisan yang dilakukan berdasarkan observasi lapangan dan pengumpulan data sesuai dengan tugas yang penulis laksanakan. Hasilnya dapat disimpulkan, media yang dipilih dalam mempromosikan perpustakaan sangat berpengaruh terhadap hasil yang dicapai, promosi yang dilaksanakan harus sesuai dengan sasaran, dan yang terpenting harus memiliki dukungan dana. Sehingga tujuan dapat tercapai, gemar membaca semakin meningkat, begitu juga dengan kunjungan ke perpustakaan semakin meningkat. Kata kunci: Promosi perpustakaan, Radio Pendahuluan Latar Belakang Melalui sebuah iklan, pihak produsen dapat menginformasikan produknya, baik berupa barang ataupun jasa kepada masyarakat luas. Rhenald Kasali (1993) menjelaskan bahwa iklan adalah segala bentuk pesan tentang suatu produk yang disampaikan melalui media dan ditujukan kepada sebagian atau seluruh masyarakat untuk membentuk sikap individu. Sikap tersebut terbentuk melalui tahapan proses mental yang berlangsung dalam dirinya. Sikap yang dihasilkan dari sebuah iklan bisa bersifat positif dan bisa juga negatif, yang kemudian diikuti oleh serangkaian tindakan. Program periklanan yang efektif dan efesien tentunya
harus didukung oleh penyusunan pesan-pesan yang akan disampaikan. Aspek-aspek yang terdapat dalam sebuah iklan harus bisa menarik perhatian untuk mencapai sasaran sekelompok atau seluruh masyarakat. Dengan demikian unsur yang paling utama dalam sebuah iklan adalah kreatifitas dan bentuk yang disesuaikan dengan tujuan akhirnya. Media merupakan salah satu alat yang dipakai untuk penyampaian suatu pesan kepada khalayak luas dan sudah sangat populer ditengah masyarakat, selain juga dapat dijangkau oleh masyarakat secara luas. Hampir setiap orang pada zaman sekarang ini memiliki akses ke media. Oleh karena itu, banyak orang yang menggunakan media untuk mengiklankan atau mempromosikan sebuah
Pemenang Harapan Kedua Pemilihan Pustakawan Berprestasi Terbaik Tingkat Nasional Tahun 2016. Pustakawan Ahli Pertama Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat 1
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
63
produk, baik barang maupun jasa. Media dapat terbagi menjadi dua, yakni media cetak dan media elektronik. Media cetak adalah suatu media statis yang lebih banyak menggunakan pesan-pesan visual, karena informasi yang diberikan hanya dapat ditangkap melalui indera penglihatan. Media elektronik merupakan sarana komunikasi yang informasi di dalamnya dapat ditangkap melalui indera penglihatan dan indera pendengaran, yang termasuk ke dalam media elektronik adalah televisi, radio, dan gadget. Promosi Perpustakaan pada dasarnya merupakan forum pertukaran informasi antara Perpustakaan dengan Pemustaka, dengan tujuan utama untuk memberikan informasi tentang jasa yang disediakan oleh sebuah Perpustakaan sekaligus untuk membujuk masyarakat agar mau memanfaatkan bahan pustaka dan sebagai tempat untuk rekreasi. Hasil dari sebuah promosi tumbuhnya kesadaran sampai pada suatu tindakan pemanfaatan perpustakaan. Banyak jenis promosi yang dapat diterapkan dalam sebuah perpustakaan. Untuk memilih bentuk promosi yang tepat pada perpustakaan maka diperlukan strategi, karena dengan penggunaan strategi yang tepat akan mengurangi kerugian yang disebabkan oleh promosi yang tidak efektif. Tujuan dari promosi yang ditetapkan secara jelas, di dalamnya mencakup hal memberitahukan, membujuk, dan mengingatkan, serta menyiapkan informasi yang lebih banyak. Iklan melalui radio merupakan pilihan yang tepat untuk menjangkau konsumen di daerah tertentu, termasuk di daerah pedalaman. Dengan memilih tipe program dan segmen radio yang sesuai, pengiklan bisa lebih fokus untuk memperkenalkan apa yang menjadi topik produk atau jasa sesuai dengan tingkatan usia pendengar. Kelebihan lain dari radio adalah singkatnya waktu untuk mempersiapkan materi iklan. Materi pun bisa dikemas atau dibawakan dengan gaya bahasa sedemikian rupa, termasuk menggunakan bahasa daerah setempat sehingga pesan yang disampaikan dapat diterima oleh pendengar dengan baik. Perpustakaan Kabupaten Lima Puluh Kota merupakan Perpustakaan Umum yang berada di bawah naungan Kantor Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Kabupaten
64
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
Lima Puluh Kota. Berdiri pada bulan Januari 2009 dan memiki lokasi gedung Perpustakaan di Kecamatan Harau yang merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Lima Puluh Kota, selalu melakukan perbaikan-perbaikan untuk meningkatkan mutu pelayanan serta memiliki koleksi yang berjumlah 8.493 judul dan 14.475 eksemplar, dengan jumlah anggota sampai tahun 2016 sebanyak 1.139 orang. Prestasi yang telah dicapai adalah penghargaan Harapan II Lomba Perpustakaan Kabupaten/Kota Tingkat Provinsi Sumatera Barat. Statistik pengunjung perpustakaan dari tahun 2010 sampai dengan 2011 menunjukkan angka yang cukup rendah dengan jumlah kunjungan selama tiga tahun sebanyak 2.372 orang, mengingat sasaran pemustaka khususnya yang berada direntang usia sekolah 5-18 tahun cukup banyak, yaitu berjumlah 15.469 jiwa. Kondisi kunjungan pemustaka yang tidak sebanding dengan jumlah penduduk terutama penduduk usia pelajar tersebut menjadi perhatian khusus bagi Perpustakaan Umum Kabupaten Lima Puluh Kota. Untuk meningkatkan gemar baca dan kunjungan masyarakat umumnya dan pelajar ke Perpustakaan Umum Kabupaten Lima Puluh Kota, maka disusun beberapa strategi promosi agar perpustakaan dapat berfungsi sebagai pusat informasi dan inovasi. Awalnya promosi melalui media cetak dipilih, yaitu berupa berita yang dirilis di koran lokal. Berita ini dibuat setelah perpustakaan selesai melaksanakan kegiatan, baik itu kegiatan lomba, bimbingan teknis, serta kegiatan yang berkaitan dengan program perpustakaan serta bekerjasama dengan Bagian Humas dan Protokoler Sekretariat Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota. Brosur dan banner juga dijadikan sebagai bentuk promosi, dengan mencetak brosur sebanyak 1.000 buah untuk satu tahun dan disebarkan saat melakukan kunjungan perpustakaan keliling, membagikan kepada pemustaka yang datang ke perpustakaan, saat mengikuti acara pameran Pekan Budaya. Banner dicetak untuk memberikan informasi mengenai standar pelayanan, selain itu untuk mengikuti perkembangan teknologi, Perpustakaan Umum Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota juga membuat website sebagai bentuk promosi. Website ini mulai dipergunakan sejak awal tahun 2014 dan dapat diakses melalui www.kpad-limapuluhkota.com. Website ini berisi informasi mengenai profil Kantor Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Kabupaten Lima Puluh Kota serta kegiatan yang telah dilaksanakan perpustakaan.
Dengan berbagai promosi yang dilakukan sebelumnya, ternyata belum memberikan dampak yang signifikan terhadap jumlah kunjungan dan kegemaran membaca bagi masyarakat umumnya dan pelajar khususnya di lingkungan Perpustakaan Umum Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota, dan diputuskan untuk melakukan inovasi dengan berpromosi melalui siaran radio. Apapun bentuk dan media yang digunakan untuk kegiatan promosi sangatlah berperan untuk menarik perhatian pemustaka agar datang berkunjung ke perpustakaan. Hal ini merupakan hal yang penting untuk memberikan layanan prima dari perpustakaan kepada pemustaka agar merasakan nyaman, puas, dan senang. Rumusan Masalah Karya tulis ini memaparkan bagaimana usaha promosi yang dilakukan di Perpustakaan Umum Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota melalui radio untuk mening katkan jumlah kunjungan dan kegemaran membaca masyarakat dan pelajar di Kabupaten Lima Puluh Kota. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan adalah untuk memberitahukan promosi yang telah dilakukan melalui siaran radio beserta dampaknya terhadap kunjungan dan kegemaran membaca di Perpustakaan Umum Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota. Metode Penulisan Karya tulis disusun berdasarkan observasi lapangan dan pengumpulan data sesuai dengan tugas yang penulis laksanakan sehari-hari di Kantor Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Kabupaten Lima Puluh Kota. Pembahasan Pengertian Perpustakan Umum Menurut Standar Perpustakaan Umum Kabupaten/ Kota, perpustakaan diperuntukkan bagi masyarakat luas di daerah Kabupaten/Kota sebagai sarana pembelajaran sepanjang hayat, tanpa membedakan umur, jenis kelamin, suku, ras, agama, dan status sosial ekonomi. Seluruh kegiatan pada perpustakaan umum disiapkan untuk meningkatkan pemahaman, pengetahuan, dan keterampilan Pemustaka untuk memanfaatkan seluruh sumber-sumber informasi, fasilitas, dan layanan yang telah disiapkan perpustakaan di masing-masing Kabupaten/Kota
Iklan Radio Radio merupakan media yang memiliki jangkauan selektif terhadap segmen pasar tertentu. Sebagai media radio memiliki segmen tersendiri karena meskipun teknologi sudah canggih, tetapi radio masih memiliki tempat tersendiri pada masyarakat. Menurut pakar Komunikasi Indonesia, Dr. Alwi Dahlan (Rhenald Kasali, 1992:123-124) masa depan radio Indonesia memberi harapan cukup cerah karena beberapa faktor: 1) kemampuan masyarakat, 2) perkembangan daerah, 3) budaya dengar, 4) pertumbuhan penduduk, 5) perubahan psikologi masyarakat, dan 6) laju pertumbuhan. Dalam hal kemampuan masyarakat, meskipun keadaan perekonomian dan indeks penggunaan media dalam masyarakat Indonesia sekarang jauh lebih baik, televisi dan surat kabar masih belum menjangkau secara merata seluruh lapisan masyarakat. Sejalan dengan perkembangan daerah, kebudayaan radio telah mengakar pada masyarakat luas sehingga dapat mendorong perubahan peradaban masyarakat. Meski bukan merupakan media utama, radio tidak akan ditinggalkan oleh para pendengarnya. Keadaan ini didukung oleh budaya dengar masyarakat Indonesia. Budaya komunikasi masyarakat Indonesia dewasa ini, seperti dalam masyarakat tradisional umumnya, masih ditandai dengan menonjolnya budaya dengar. Selain itu, pertumbuhan penduduk merupakan potensi besar bagi semua media. Jumlah penduduk yang ini akan semakin menyebar dan mengisi daerah-daerah baru yang selama ini masih kosong dan terpencar. Ini berarti akan terbuka kesempatan bagi stasiun siaran yang baru dan perluasan pasar atau daerah sasaran bagi radio siaran yang telah ada di daerah terpencil. Mobilitas dan perubahan peradaban yang cepat dapat menimbulkan keterasingan, perasaan tercabut dari akarnya, dan terdampar di lingkungan sosial budaya yang asing. Bagi orang seperti ini, radio merupakan pengganti komunikasi dan dukungan interpersonal yang hilang. Radio menjadi teman dalam mengisi suatu kehidupan keterasingan seseorang.
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
65
Industri media radio kini makin cenderung mengarah kepada spesialisasi. Berdasarkan kelompok pendengarnya, radio dapat diklasifikasikan atas, talks programs dan news. Ethnic, pada klasifikasi radio memiliki spesialisasi berupa siaran kedaerahan yang menyiarkan tentang kesenian daerah dan penyiarnya menggunakan logat kedaerahan. Contemporary, pada klasifikasi ini siarannya sama dengan siaran-siaran tangga lagu, seperti American 40, rock and roll, jazz, musik rakyat, dan lain-lain. Siaran ini efektif bagi anak-anak muda dan yang terakhir klasifikasi radio berupa good music, radio ini menyiarkan musik-musik serius, semi klasik, opera, dan lainnya, yang dinikmati oleh orang-orang profesional. Menurut Sulistyo Basuki (1993:286) juga menyebutkan beberapa media yang dapat digunakan perpustakaan dalam melakukan promosi antara lain melalui nama dan logo, poster dan leaflet, pameran, ceramah, dan iklan melalui media cetak dan media elektronik. Pengaruh Iklan Radio terhadap Kunjungan dan Kegemaran Membaca di Perpustakaan Umum Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota Perpustakaan merupakan suatu lembaga yang bergerak di bidang informasi dan ilmu pengetahuan akan tetap ada dan makin berkembang karena pada dasarnya semua orang membutuhkan informasi dan ilmu pengetahuan sesuai dengan kebutuhannya. Pada saat ini tidak seorangpun yang tidak membutuhkan sebuah informasi dan perpustakaan merupakan salah satu sumber informasi. Namun pada kenyataannya ada sebagian masyarakat yang tidak mengerti akan fungsi perpustakaan sebagai sumber informasi. Hal ini lah yang terjadi pada Perpustakaan Umum Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota, semenjak berdiri pada tahun 2009 dan resmi dibuka untuk layanan masyarakat umum, sampai dengan tahun 2013 jumlah kunjungan pemustaka tidaklah sesuai dengan apa yang diharapkan. Kurangnya kunjungan pemustaka ke perpustakaan tidak bisa disimpulkan karena rendahnya kegemaran membaca masyarakat yang berada di lingkungan perpustakaan. Setelah dilakukan pendekatan, terutama masyarakat kelompok usia pelajar, dengan memberikan beberapa pertanyaan mengenai perpustakaan pada saat melakukan kunjungan perpustakaan keliling ke sekolah-sekolah dan Nagari didapatlah jawaban, bahwa yang membuat mereka tidak datang berkunjung ke perpustakaan bukanlah karena kurangnya kegemaran dalam membaca dan tidak butuh
66
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
akan sebuah informasi, tetapi penyebab utamanya karena ketidaktahuan mereka akan keberadaan Perpustakaan Umum Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota. Berdasarkan dari hasil survey secara singkat tersebut, perpustakaan mulai menjadikan permasalahan ini sebagai bagian penting yang harus diselesaikan, fungsi dari sebuah perpustakaan haruslah dikembalikan sebagai pusat informasi dan pusat belajar. Maka pada awal tahun 2014 tercetuslah ide untuk merancang sebuah iklan dengan model dan media yang berbeda. Perpustakaan Umum Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota memulai iklan melalui radio sebagai strategi untuk meningkatkan jumlah kunjungan pemustaka ke perpustakaan, meskipun telah dilakukan promosi-promosi dengan cara yang lain seperti brosur, lomba, dan kunjungan ke sekolah-sekolah serta Nagari. Iklan radio ini dipilih karena akses radio terhadap masyarakat luas lebih jauh jangkauannya dan sarana untuk mengakses informasi melalui radio pun lebih mudah didapat oleh masyarakat, jadi radio dianggap memiliki efektifitas yang tinggi untuk menyampaikan sebuah informasi berupa iklan. Tujuan perpustakaan umum daerah Kabupaten Lima Puluh Kota melalukan promosi melalui radio antara lain untuk memberitahukan di mana lokasi keberadaan Perpustakaan Umum Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota, memperkenalkan layanan yang ada pada perpustakaan, serta memberikan informasi terkait dengan syarat keanggotaan yang meliputi syarat-syarat menjadi anggota perpustakaan, siapa saja yang bisa menjadi anggota perpustakaan dan bahan perpustakaan apa saja yang dimiliki oleh Perpustakaan Umum Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota. Hasil yang diharapkan dari iklan melalui radio ini adalah tumbuhnya kesadaran sampai dengan tindakan dari masyarakat untuk memanfaatkan fasilitas yang telah disediakan oleh Perpustakaan Umum Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota. Iklan radio yang dibuat oleh Perpustakaan Umum Kabupaten Lima Puluh Kota disiarkan melalui radio Harau FM. Radio ini dipilih dengan pertimbangan antara lain radio Harau FM merupakan radio tertua di wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota, memiliki jangkauan siaran yang cukup luas dengan radius siaran mencapai 75 KM, serta memiliki berbagai acara yang diperuntukkan untuk berbagai lapisan masyarakat, mulai dari tingkat pelajar hingga masyarakat umum.
Iklan yang disiarkan dirancang dengan dialog yang menggunakan bahasa daerah agar pesan yang disampaikan melalui iklan ini bisa cepat ditangkap oleh pendengarnya, setelah itu ada sebuah dialog sebagai penyampaian informasi dengan menggunakan bahasa Indonesia agar informasi umum mengenai perpustakaan dapat tersampaikan. Iklan radio ini disiarkan dua kali dalam sehari, yaitu pada jam 17.00 WIB dan jam 20.00 WIB. Jadwal siar ini dipilih berdasarkan pertimbangan dari pihak radio karena pada jam-jam tersebut banyak pelajar ataupun masyarakat luas yang mengakses informasi melalui Radio Harau FM. Selain iklan radio secara rutin, perpustakaan juga pernah mengadakan dialog interaktif yang dilakukan dalam rangka mempromosikan keberadaan Perpustakaan Umum Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota. Dalam dialog tersebut dihadirkan pejabat perpustakaan menjawab pertanyaan yang datang dari pendengar Harau FM, komunikasi dilakukan dengan menggunakan pesawat telepon. Dialog interaktif ini sekaligus untuk membagi informasi kepada pemustaka mengenai fasilitas dan layanan yang disediakan oleh Perpustakaan Umum Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota. Setelah Perpustakaan Umum Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota memulai promosi melalui radio Harau FM, ternyata hasil yang dicapai menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Kunjungan pemustaka ke Perpustakaan Umum Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota mulai meningkat, setiap harinya selalu didatangi pemustaka dengan jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan sebelum adanya iklan di radio Harau FM. Pemustaka tidak hanya datang dari masyarakat yang berdomisili di Kabupaten Lima Puluh Kota saja, tetapi banyak juga yang berasal dari kota tetangga, yaitu Kota Payakumbuh. Pemustaka yang datang didominasi oleh pemustaka tingkat pelajar, sesuai dengan harapan perpustakaan pada saat memutuskan untuk memulai iklan melalui radio Harau FM. Tercatat jumlah kunjungan pemustaka dari tahun 2014 hingga Mei 2016 sebanyak 7.088 orang, dengan jumlah Pemustaka tingkat pelajar mencapai 3.845 orang. Sedangkan untuk jumlah peminjaman yang tercatat dari tahun 2014 sampai dengan bulan Mei 2016 sebanyak 7.751 pinjaman. Selain kunjungan rutin pemustaka yang bersifat pribadi, Perpustakaan Umum Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota juga mulai kedatangan rombongan mulai dari tingkat Pendidikann Anak Usia Dini (PAUD) sampai dengan tingkat Sekolah Dasar, mereka datang
dengan bimbingan guru sekolah yang bertujuan untuk memperkenalkan peran dan fungsi perpustakaan kepada siswa didik. Dari sinilah Perpustakaan Umum Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota mulai berkesimpulan bahwa iklan melalui radio masih bisa dianggap efektif dan tepat sasaran karena sampai saat ini radio masih merupakan salah satu sumber informasi yang berperan bagi masyarakat luas karena untuk mengakses radio lebih mudah dibandingkan media elektronik yang lainnya. Hasil yang dicapai ini tidak lepas dari usaha yang terus dilakukan oleh Perpustakaan, agar semakin menarik perhatian pelajar dan dijadikan tempat rekreasi. Semua koleksi perpustakaan yang telah diolah dan disediakan untuk kebutuhan pemustaka dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Perpustakaan Umum Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota telah memiliki banyak bahan koleksi dari berbagai macam disiplin ilmu yang sesuai dengan kebutuhan pemustaka, sehingga para pelajar menjadi senang untuk mengunjungi perpustakaan karena mereka bisa mendapatkan berbagai macam bacaan alternatif selain buku pelajaran. Setiap tahunnya perpustakaan umum daerah Kabupaten Lima Puluh Kota melakukan penambahan bahan pustaka, dengan selalu mempertimbangkan usulan dari pemustaka, usulan berupa angket yang disebar kepada pemustaka yang datang berkunjung ke perpustakaan umum daerah Kabupaten Lima Puluh Kota. Dalam bidang layanan perpustakaan terus berbenah, pada saat ini Perpustakaan Umum Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota telah beralih secara keseluruhan dari yang manual ke otomatis. Sebagian dari koleksi yang dimiliki oleh Perpustakaan umum telah masuk ke dalam Katalog Induk Nasional, Perpustakaan Nasional, dan pada tahun 2013 Perpustakaan Umum Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota mendapat peringkat Harapan II Perpustakaan Terbaik Tingkat Provinsi Sumatera Barat. Penutup Kesimpulan Perpustakaan merupakan salah satu pusat informasi, perpustakaan ikut berperan serta dalam mewujudkan manusia yang mempunyai wawasan luas. Namun pada kenyataan sebagian masyarakat kurang menyadari arti penting dari sebuah perpustakaan. Untuk itu sebuah
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
67
perpustakaan harus melakukan perubahan termasuk dalam mempromosikan keberadaan perpustakaan tersebut. Perpustakaan Umum Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota sebenarnya sudah pernah melakukan promosi dengan berbagai metode promosi baik melalui media cetak, banner, website dan pameran, tetapi hasil yang dicapai belumlah maksimal. Iklan melalui media elektronik yakni radio memberikan hasil yang signifikan terhadap peningkatan kunjungan dan kegemaran membaca di lingkungan Perpustakaan Umum Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota, khususnya dari kalangan pelajar. Untuk ke depannya masih perlu ditingkatkan promosi perpustakaan tersebut agar perpustakaan bisa terus berjalan sesuai dengan fungsinya.
Saran 1. Keberhasilan sebuah promosi tidak diukur dari banyaknya melakukan promosi, tetapi lebih kepada promosi yang tepat sasaran sesuai dengan apa yang menjadi tujuan promosi tersebut. 2. Untuk melakukan sebuah promosi yang bagus memang harus dialokasikan secara khusus agar strategi yang telah direncanakan dapat berjalan secara maksimal. 3. Promosi harus dilaksanakan secara berkelanjutan dan harus memiliki inovasi agar masyarakat tidak merasa bosan dengan yang kita hadirkan.
Daftar Pustaka Badan Pusat Statistik. (2015). Kabupaten Lima Puluh Kota dalam Angka. Kasali, Rhenald. (1993). Manajemen Periklanan, Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: PT Pustaka Utama Graffiti. Standar Nasional Perpustakaan Kabupaten/Kota. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
68
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
Sulistyo-Basuki. (1993). Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Yusuf, Pawit M. (2007). Pedoman Penyelenggaraan Perpustakaan Sekolah. Jakarta: Kencana.
Oleh: DANIEL PANDAPOTAN HUTAPEA1 Email:
[email protected]
Implementasi Sistem ATM Buku di Perpustakaan “Suatu Terobosan Pelayanan Sirkulasi Buku untuk Generasi Digital Native” Abstrak Perpustakaan Universitas Ma Chung sebagai sebuah perpustakaan perguruan tinggi memiliki karakteristik pemustaka dengan komposisi yang didominasi mahasiswa sebagai generasi digital native. Mereka terbiasa memperoleh informasi dengan cepat, melakukan beberapa hal secara bersamaan (multitasking), menyukai games, serta lebih menyukai network/ kerjasama dalam mengerjakan tugas-tugasnya. Atas dasar ini perpustakaan mengembangkan dan mengimplementasikan sistem ATM Buku yang mampu melayankan proses sirkulasi mandiri sesuai dengan kebutuhan pemustaka. Permasalahan di awal adalah bagaimana caranya agar layanan bisa maju seperti perpustakaan perguruan tinggi lainnya dengan biaya seefisien mungkin. Kolaborasi tim pengembang ATM Buku yakni pustakawan, dosen dan mahasiswa menjadi kunci sukses dalam terbentuknya sistem ini. Hasil dari penerapan ATM Buku, meningkatnya jumlah kunjungan pengguna perpustakaan dan meningkatnya aktivitas intelektual seperti pelatihan dosen dan mahasiswa, penyelenggaraan seminar, pengabdian masyarakat, bahkan hingga tercapainya perolehan pemasukan bagi perpustakaan melalui ide-ide kreatif lainnya. Organisasi dapat maju karena konsentrasi pengembangannya sudah beralih ke taraf strategis manajerial dan pekerjaan teknis bisa otomatis menjalankan sistem pelayanan yang cepat, tepat dan ekonomis. Kata kunci: Perpustakaan perguruan tinggi, Digital native, Sirkulasi mandiri, ATM buku.
Pendahuluan Perpustakaan sebagai salah satu lembaga/institusi merupakan salah satu wahana information resources dan knowledge resources yang keberadaannya diharapkan mampu membantu pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Bahwa semua kegiatan yang dilakukan selalu mengandung unsur/nilai pembelajaran, pengembangan iptek dan budaya maupun penunjang penelitian. Sebagai based of learning keberadaannya
senantiasa diharapkan untuk dapat memenuhi harapan pemustaka dalam memperoleh informasi atau data yang dibutuhkan. Ketersediaan informasi semakin dituntut sejalan dengan keinginan masyarakat yang membutuhkannya. Kebutuhan masyarakat akan informasi yang cepat, akurat, tepat, mudah, murah dan spesifik inilah yang harus disikapi oleh para pustakawan maupun pengelola perpustakaan. Sikap yang harus ditunjukkan adalah dengan menyediakan kebutuhan
Pemenang Harapan Ketiga Pemilihan Pustakawan Berprestasi Terbaik Tingkat Nasional Tahun 2016. Pustakawan Universitas Ma Chung, Malang, Jawa Timur. 1
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
69
masyarakat sesuai dengan keinginannya. Adapun menarik minat pengunjung ke perpustakaan merupakan bagian dari layanan perpustakaan yang harus diberikan kepada pemustaka. Perpustakaan Universitas Ma Chung sebagai sebuah perpustakaan perguruan tinggi sangat jelas sekali memiliki anggota perpustakaan dengan komposisi didominasi mahasiswa sebagai generasi digital natives. Digital natives adalah generasi yang lahir dan tumbuh dalam dunia digital, dikelilingi oleh dan menggunakan berbagai peralatan teknologi tanpa canggung. Televisi, komputer, telepon genggam, video games, maupun internet telah menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari. Pemanfaatan teknologi/media digital dapat ditemui hampir di semua tempat, serta dipengaruhi juga dengan tingginya tingkat interaksi dengan hal-hal digital, generasi saat ini berpikir dan mengolah informasi dengan cara yang sangat jauh berbeda dengan generasi sebelumnya. Generasi digital ini dikenal dengan generasi Net-Gen dimana dalam memperoleh informasi selalu cepat. Mereka terbiasa melakukan beberapa hal secara bersamaan (multitasking), menyukai games, serta lebih menyukai network/kerjasama dalam mengerjakan tugastugasnya.
Atas dasar ini strategi dalam implementasi sistem ATM Buku sangat tepat karena komunitas mahasiswa sebagai pemustaka dapat dengan cepat, mudah dan secara mandiri melaksanakan aktivitas sirkulasi buku perpustakaan di dalam maupun dari luar perpustakaan dengan memanfaatkan media jaringan internet. Keunggulan ATM Buku Perpustakaan Universitas Ma Chung dibangun dengan sistem automasi perpustakaan yang modern dan didukung dengan piranti pengaman 3M dari Amerika Serikat dan sistem sirkulasi yang dilayani staf perpustakaan minimal 2 orang di ruang layanan sirkulasi buku. Aktivitas sirkulasi pada awalnya membutuhkan 2 orang staf perpustakaan yang membantu peminjaman, perpanjangan dan pengembalian buku. Untuk mengecek status buku juga bisa dilihat di OPAC di dalam ruang perpustakaan. Dengan sistem ATM buku ini memiliki 2 kelebihan yakni: 1. Pemustaka bisa secara mandiri mencari buku di OPAC dan di rak buku lalu melakukan transaksi sirkulasi sendiri sebelum akhirnya pulang atau keluar dari perpustakaan.
Gambar 1. Transaksi sirkulasi pemustaka di ATM Buku
70
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
2. Pemustaka bisa cukup login dari rumah untuk booking buku atau memperpanjang buku, bila belum ada waktu bisa menunda keesokan harinya ke perpustakaan untuk menyerahkan buku fisiknya untuk dikembalikan atau mengambil di rak buku untuk divalidasi peminjamannya. Dengan adanya sistem ini tidak ada alasan bagi mahasiswa untuk tidak menemukan referensi buku teks di perpustakaan karena perpustakaan kini hadir di manapun generasi digital natives Universitas Ma Chung berada, melalui jaringan internet dan tentu saja bisa juga dengan berkunjung secara fisik. Implementasi Sebelum memulai proyek pengembangan perpustakaan digital, unit kerja di perpustakaan secara bersama-sama menyadari fenomena di kampuskampus besar di Jawa Timur yang mulai sepi dikunjungi penggunanya. Fenomena ini sangat disayangkan mengingat banyaknya biaya investasi yang sudah dikeluarkan untuk gedung, infrastruktur dan SDM pasti tidak akan sesuai dengan harapan dari manajemen di
perguruan tinggi tersebut. Banyak kerabat di perpustakaan perguruan tinggi lain yang kami pelajari sistem pelayanan perpustakaannya dengan sistem sirkulasi serupa namun sangat mahal biaya pengadaan/pembuatannya, mulai yang menelan biaya investasi ratusan juta hingga miliaran rupiah. Selain langkah tersebut kami juga melakukan studi banding ke beberapa perpustakaan yang kami anggap cukup maju perkembangannya di Jawa Timur (Gambar 2). Tantangan kami bagaimana caranya agar bisa maju seperti perpustakaan perguruan tinggi lainnya namun dengan biaya seefisien mungkin. Langkah strategis ini akhirnya dilanjutkan dengan membentuk tim kerja pengembangan website digital library yang menjadi cikal bakal suatu ATM buku perpustakaan. Tim ini dibentuk pada tahun 2010 dengan melibatkan pustakawan, dosen serta mahasiswa di Universitas Ma Chung. Setelah mendapatkan dukungan dari rektor maka proyek ini dikerjakan dan selesai dengan masa pengerjaan selama 1 tahun dengan biaya kurang dari sepuluh juta rupiah. Proyek pengembangan dilanjutkan setiap tahun, 2011,
Gambar 2. Tampilan layar dari ATM Buku
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
71
2012 dan seterusnya hingga tahun 2016. Upaya selanjutnya yang perlu dilakukan adalah melakukan inovasi berkelanjutan baik secara hardware maupun software dan mengupayakannya menjadi program strategis di perpustakaan-perpustakaan Kota Malang dan mencari dukungan sponsor agar ke depannya produk inovatif ini dapat juga dimiliki dan diterapkan di kampus, sekolah dan lokasi lainnya di kota Malang. Dengan adanya produk inovatif ini kiranya dapat menjembatani dua sistem sirkulasi/peminjaman yakni offline dengan buku fisik dan membaca online yakni membaca e-book yang mana sejalan dengan yang dilakukan Perpustakaan Nasional dalam menumbuhkan minat baca masyarakat dan juga membentuk sistem database katalog perpustakaan yang terintegrasi di seluruh Indonesia. Kesimpulan Suatu sistem informasi perpustakan akan maju bila dilandasi dengan semangat kekeluargaan yang baik dan passion yang tinggi untuk memajukan pelayanan di Perpustakaan Universitas Ma Chung. Dukungan dari Daftar Pustaka Pendit, Putu Laxman. (2009). Perpustakaan Digital: Kesinambungan & Dinamika. Jakarta: Cipta Karsa Mandiri. Chowdury, G.G. (2003). Introduction to Digital Libraries. London: Facet Publishing. Universitas Ma Chung. (2007). Grand Strategy Universitas Ma Chung. Malang: Ma Chung Press.
72
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
rektor juga menjadi kunci utama bagi terselenggaranya proyek ini, mulai pendiriannya hingga pengembangan berkesinambungan setiap tahunnya. Dengan adanya sistem informasi maka suatu organisasi dapat maju karena konsentrasi pengembangannya sudah beralih ke taraf strategis manajerial dan bisa otomatis menjalankan sistem pelayanan yang cepat, tepat dan ekonomis. Hasil dari penerapan sistem informasi dan pengembangan strategisnya bagi organisasi perpustakaan adalah meningkatnya jumlah kunjungan pengguna di perpustakaan dan meningkatnya aktivitas intelektual seperti pelatihan dosen dan mahasiswa, penyelenggaraan seminar, pengabdian masyarakat, bahkan hingga tercapainya perolehan pemasukan bagi perpustakaan melalui ide-ide kreatif lainnya. Melalui pengembangan integral inilah perpustakaan akan dirasakan manfaatnya dan menjadi sebuah unit kerja yang bermartabat dan membawa kemasalahatan bagi pemustakanya dan bahkan bagi nama baik insitusi, Universitas Ma Chung.
PETUNJUK UNTUK PENULIS Judul Artikel1 (Setiap kata diawali huruf kapital, 14 pt, bold, centered)
Penulis Pertama2, Penulis Kedua3 dan Penulis Ketiga3 (penulis tanpa gelar 12 pt) (kosong satu spasi tunggal, 12 pt)
E-mail:
[email protected] (11 pt, italic) (kosong dua spasi tunggal, 12 pt)
Abstrak (12 pt, bold) (kosong satu spasi tunggal, 12 pt)
Abstrak harus dibuat dalam bahasa Indonesia. Jenis huruf yang digunakan Times New Roman, ukuran 10 pt, spasi tunggal dan rata kiri-kanan. Abstrak sebaiknya meringkas isi yang mencakup latar belakang, tujuan penelitian, metode penelitian, serta hasil analisis yang disampaikan tidak lebih dari 250 kata. (kosong satu spasi tunggal, 12 pt)
Kata Kunci: maksimum 5 kata kunci (10 pt, italic) (kosong tiga spasi tunggal, 12 pt)
Pendahuluan (12 pt, bold) Naskah ditulis dengan Times New Roman ukuran 12 pt, spasi tunggal dan rata kiri. Naskah ditulis pada kertas ukuran A4 (210 mm x 297 mm) dengan margin atas 3,5 cm, bawah 2,5 cm, kiri dan kanan masing-masing 2 cm. Panjang naskah hendaknya tidak melebihi 15 halaman termasuk gambar dan tabel. Apabila halaman naskah jauh melebihi jumlah tersebut maka dianjurkan untuk dibuat dalam dua naskah terpisah. Naskah ditulis ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Judul naskah hendaknya singkat dan informatif serta tidak melebihi 20 kata. Kata kunci ditulis di bawah abstrak untuk mendeskripsikan isi naskah. (kosong satu spasi tunggal, 12 pt)
Penulisan heading dan subheading diawali huruf besar tanpa diberi penomoran. Kata pertama pada setiap awal paragraf menjorok 0.5 inch /1,27 cm. Sistematika penulisan sekurang-kurangnya mencakup Pendahuluan, Masalah, Metode Penelitian, Analisis dan Interpretasi Data, Kesimpulan dan/atau Diskusi, serta Daftar Pustaka. Sebaiknya penggunaan subheadings dihindari, apabila diperlukan maka gunakan outline numbered yang terdiri dari angka Arab.
Daftar Pustaka (12 pt, bold) (kosong satu spasi tunggal, 12 pt)
Penulisan daftar pustaka mengadopsi format APA (American Psychological Association). Daftar pustaka sebaiknya menggunakan sumber primer (jurnal atau buku). Daftar pustaka diurutkan secara alfabetis berdasarkan nama keluarga/nama belakang pengarang. Secara umum, urutan penulisan daftar pustaka adalah nama pengarang, tanda titik, tahun terbit yang ditulis dalam kurung, tanda titik, judul tulisan, tempat terbit, tanda titik dua/colon, nama penerbit. Paling banyak nama 3 (tiga) orang pengarang yang dituliskan, apabila lebih dari 4 orang digunakan kata dkk. Nama keluarga Tionghoa dan Korea tidak perlu dibalik karena nama keluarga telah terletak di awal. Tahun terbit langsung diterakan setelah nama pengarang agar memudahkan penulusuran kemutakhiran bahan acuan. Apabila pengarang yang diacu menulis dua atau lebih tulisan dalam setahun maka pada saat penulisan tahun terbit diberi tanda pemerlain agar tidak membingungkan pembaca tentang tulisan yang diacu, misalnya: Miner, J.B. (2004a), Miner, J.B. (2004b).
Makalah pernah dipresentasikan/disampaikan pada acara… (bila ada) Pustakawan Muda Perpustakaan X 3 Pustakawan Pertama pada Perpustakaan X 1 2
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
73
Contoh penulisan daftar pustaka adalah sebagai berikut: Rujukan dari buku:
Lofland, L. (1999). A World of Strangers: Order and action in urban public space. New York: Basic Books.
Rujukan bab dalam buku:
Markus, H.R., & Heiman, R.H. (1996). Culture and basic psychological principles. Dalam E.T. Higginss & A.W. Kruglanski (EDS.), Social psychology: Handbook of basic principles. New York: The Guilford Press.
Rujukan dari dokumen online:
Van Wagner, K. (2006). Guide to APA format. About Psychology. Diakses November 16, 2006 dari http://psychology.about.com/
Rujukan artikel dalam jurnal:
McCright, A.M. & Dunlap, R.E. (2003). Defeating Kyoto: The concervative movement’s impact on U.S. climate change policy. Social Problems, 50, 348-373.
Rujukan dari jurnal online:
Jenet, B.L. (2006). A meta-analysis on online social behavior. Journal of internet Psychological, 4. Diambil 16 November 2014 from http://www.journalofinternetpsychology.com/archives/ volume4/3924.html
Artikel dari database:
Henriques, J.B. & Davidson, R.J. (1991). Left frontal hypoactivation in depression. Journal of Abnormal Psychology, 100, 535-545. Diambil 16 November 2014 dari PsychINFO database
Online Forums, Discussion Lists or Newgroups:
Leptkin, J. L. (2006, November 16). Study tips for psychology students [Msg.11]. Pesan disampaikan dalam http://groups.psychelp.com/forums/messages/48382.html.
Rujukan dari makalah:
Santamaria, J.O. (September 1991). How the 21st century will impact on human resource development (HRD) professional and practitioners in organizations. Makalah dipresentasikan pada International Confrence on Education, Bandung, Indonesia.
Rujukan dari tugas akhir, skripsi, tesis dan disertasi:
Santoso, G.A. (1993). Faktor-faktor sosial-psikologis yang berpengaruh terhadap tindakan orang tua untuk melanjutkan pendidikan anak ke sekolah lanjutan tingkat pertama (Studi lapangan di pedesaan Jawa Barat dengan analaisis model persamaan struktural). Disertasi Doktor , Program Pascasarjanana Universitas Indonesia, Jakarta.
Rujukan dari laporan penelitian:
Villegas, M., & Tinsley, J. (2003). Does education play a role in body image dissastification? Laporan Penelitian, Buena Vista University. Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia. (2006). Survei nasional penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba pada kelompok rumah tangga di Indonesia, 2005. Depok: psat Penelitian UI dan Badan Narkotika Nasional.
Rujukan dari ensiklopedia atau kamus:
Sadie, S. (Ed.). (1980). The new Grove dictionary of music and musicians (6th ed., Vols. 1-20). London: Macmillan.
Lampiran Lampiran/Appendices hanya digunaka jika benar-benar sangat diperlukan untuk mendukung naskah, misalnya kuesioner, kutipan undang-undang, transliterasi naskah, transkripsi rekaman yang dianalisis, peta, gambar, tabel/bagian hasul perhitungan analisis, atau rumus-rumus perhitungan. Lampiran diletakkan setelah Daftar Pustaka. Apabila memerlukan lebih dari satu lampiran, hendaknya diberi nomor urut dengan angka Arab. Catatan: 1. Untuk menghindari duplikasi tulisan dan pelanggaran etika keilmiahan, penulis tidak diperkenankan untuk mengirimkan dan mempublikasikan naskah yang sama pada penerbitan jurnal/majalah lain. 2. Cantumkan kutipan yang relevan dan digunakan dalam artikel dengan jelasdan harus terindeks dalam daftar pustaka. 3. Hindari copy paste artikel lain, blog pribadi, wikipedia atau tulisan lain yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kredibilitasnya. 4. Redaksi berhak menolak dan/atau mengembalikan naskah artikel yang tidak memenuhi petunjuk penulisan. 5. Setiap naskah yang dikirimkan harap melampirkan surat pernyataan bebas plagiarisme dan belum pernah dipublikasikan di jurnal/majalah/blog manapun. Serta biodata dengan jelas termasuk nomer telepon yang dapat dihubungi. 6. Redaksi Media Pustakawan membuka kesempatan seluas-luasnya kepada pustakawan, praktisi, masyarakat umum dan pakar di bidang kepustakawanan untuk menuangkan ide, gagasan, hasil kajian, dan hasil penelitiannya. Silahkan kirim soft file ke email:
[email protected] 7. Media Pustakawan terbit setiap triwulan (Maret, Juni, September, Desember). Artikel yang dimuat akan diberikan honor sepantasnya.
74
Vol. 24 No. 1 Tahun 2017
Rangkaian kegiatan Pemilihan Pustakawan Berprestasi Terbaik Tingkat Nasional Tahun 2016: (atas) Pemenang Pustakawan bersama Bapak Kaperpusnas dan Ibu Deputi II, (tengah) para peserta bersama Dewan Juri, dan (bawah) para peserta menghadiri acara Gemilang Perpustakaan Nasional.
Pemenang Pustakawan Berprestasi Terbaik Tingkat Nasional dan para teladan lainnya berfoto bersama dengan Presiden RI Joko Widodo dan jajaran Kabinet Kerja dalam acara ramah tamah di Istana Negara, Jakarta.