Laporan Hasil Monitoring Siklus Pemilihan BKM/LKM Tahun 2012
I.
PENDAHULUAN
1.
Pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan tahun 2012 ini telah menjangkau seluruh provinsi di wilayah Indonesia, meliputi 268 kota/kabupaten dengan cakupan lokasi sasaran hampir 11 ribu kelurahan/desa. Dari 33 provinsi yang ada dibagi atas Wilayah-1 (14 provinsi) dan Wilayah-2 (19 provinsi). Lokasi sasaran di wilayah-2 mencakup 6.121 kelurahan/desa, diantaranya terdapat 2.063 kelurahan/desa yang melaksanakan kegiatan Siklus Tahun IV. Sesuai master schedule 2012, lokasi Tahun IV menjalankan kegiatan Pemilihan Umum (ulang) BKM/LKM pada kurun waktu 29 Juli s/d 1 September 2012. Namun hingga tanggal 5 September 2012 tercatat pada SIM PM bahwa kegiatan pemilu tersebut baru selesai di 33 kelurahan/desa Wilayah-2. Pada kerangka pengendalian pelaksanaan PNPM yang dirancang KMP, penting dilakukan monitoring dan supervisi terhadap proses dan capaian hasil pelaksanaan siklus masyarakat. Pada kondisi ini dipandang perlu dilakukan monitoring terhadap pelaksanaan kegiatan pemilu (ulang) BKM/LKM di lokasi wilayah-2.
2.
Tujuan monitoring ini adalah : diperoleh gambaran tentang kesiapan masyarakat dalam melaksanakan kegiatan siklus pemilu (ulang) BKM/LKM. Dari monitoring terhadap kegatan siklus kini diharapkan keluaran : i). Identifikasi pemahaman dan rencana masyarakat, ii). kondisi pendampingan/pengendalian Faskel / Korkot, dan iii). rekomendasi tindak lanjut.
3.
Monitoring dilaksanakan oleh KMP Wilayah-2 dalam Bulan September 2012 di 5 provinsi dengan lokasi sasaran 21 kelurahan yang tersebar sebagai berikut : • Provinsi Jawa Tengah (OC-5) : 4 kelurahan • Provinsi Jawa Timur (OSP-6) : 5 kelurahan • Provinsi NTT (OC-7) : 5 kelurahan • Provinsi Sulawesi Selatan (OSP-8) : 3 kelurahan • Provinsi Papua : 4 kelurahan
II.
HASIL PENGUMPULAN DATA
II.1. Tingkat Masyarakat 1.
Penyiapan Landasan/Dasar Penyelenggaraan Pemilu BKM Anggaran Dasar BKM sebagai landasan penyelengaraan pemilu BKM/LKM pernah disusun dan berlaku sejak (untuk) pemilu BKM yang lalu (sebelumnya). Pada pemilu saat ini, sebagian besar kelurahan tidak membuat agenda pembahasan AD yang ada. Sebagian LKM tidak memahami (menyadari) perlunya peninjauan dan pembahasan
Laporan Hasil Monitoring Siklus Pemilihan BKM/LKM
1
terhadap AD tersebut, dan sebagian LKM beranggapan bahwa AD yang sudah ada tidak perlu direvisi (ada perubahan) . Di sisi lain, terdapat BKM/LKM yang melakukan pembahasan terhadap AD memandang cukup oleh Pokja Anggaran Dasar; tidak perlu dibawa dalam rembug pemilihan LKM untuk mendapatkan pengesahan dan penandatanganan oleh pimpinan rembug dan utusan warga. Tata tertib pemilihan LKM tidak disiapkan dan diberlakukan dalam penyelenggaraan pemilu; baik tingkat basis maupun kelurahan. Akibatnya, tatacara pelaksanaan di tingkat basis berbeda diantara RT yang ada, bergantung pada pemahaman masing-masing RT (panitia). Diantara LKM dan panitiapun terjadi pemahaman dan rencana tata cara yang berbeda. 2.
Pembentukan Panitia / Kelompok Kerja Sekitar separuh lebih kelurahan sasaran monitoring membentuk panitia pemilu BKM/LKM yang dilengkapi dengan 3 pokja, yaitu : Pokja Pemilihan, Pokja Pemantau, dan Pokja Anggaran Dasar. Namun demikian para person pokja tersebut tidak memahami tugastugasnya; terutama Pokja Pemantau dan Pokja AD. Hampir separuh kelurahan tidak membentuk pokja. Temuan yang ada dengan kondisi beragam sebagai berikut : Hanya membentuk Pokja Pemilihan saja, Panitia hanya terdiri 2 orang; warga masyarakat dan pegawai kelurahan, Tidak dibentuk panitia/pokja khusus karena pelaksanaan dilakukan oleh LKM, Tidak dibentuk Pokja karena akan dilibatkan RT & RW untuk membantu pelaksanaan pemungutan suara, memfasilitasi kegiatan.
3.
Kriteria Pimpinan LKM/BKM Dapat dikatakan warga di semua lokasi monitoring memahami bahwa pimpinan BKM/LKM yang dipilih mulai dari tingkat basis sebagai utusan warga harus memiliki kriteria berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan, yaitu antara lain : adil, jujur, dapat dipercaya, bertanggung-jawab, berpihak kepada warga tidak mampu, dan sebagainya. Pemahaman ini nampak kuat tercermin dari para relawan dan anggota BKM yang perenah menjalani pelatihan. Warga masyarakat lain juga memahami hal yang sama; pemahaman diperoleh dari berbagai pertemuan warga dan media sosialisasi.
4.
Prosedur / Tatacara Pemilihan Secara umum dapat dikatakan bahwa tatacara pemilihan; baik di tingkat basis maupun tingkat kelurahan, terkait dengan azas perwakilan, pencalonan, langsung, bebas, rahasia, dan demokratis dapat diterapkan kecuali azas penunjukan utusan di tingkat basis. Walaupun terdapat potensi adanya penyimpangan terhadap penerapan azas-azas tersebut di atas namun sifatnya hanya sporadis di beberapa RT (basis).
Laporan Hasil Monitoring Siklus Pemilihan BKM/LKM
2
Khusus terkait dengan penunjukan terhadap warga sebagai utusan tingkat basis; azas ini tidak diterapkan pada sekitar separuh kelurahan lokasi monitoring. Penyebabnya adalah : Panitia memahami bahwa mekanisme pemilihan di tingkat basis diserahkan (dibebaskan) pada masing-masing RT (basis), Panitia menyatakan boleh melalui mufakat/musyawarah untuk menunjuk utusan. Di beberapa RT (basis) terjadi musyawarah penunjukan utusan tingkat basis. 5.
Indikator Partisipasi dalam Pemilu Tingkat Basis Untuk kegiatan siklus ini ditetapkan indikator keberhasilan, yaitu minimal 30% penduduk dewasa mengikuti pemilihan LKM di tingkat RT (komunitas basis). Di seluruh kelurahan lokasi monitoring tidak mengetahui adanya indikator terkait partisipasi penduduk dewasa dalam kegiatan ini. LKM dan panitia memang berpendapat perlu adanya batas minimal jumlah warga yang berpartisipasi dalam pemilihan tingkat basis; antara lain : Minimal 25 orang per RT (basis); pertimbangan kelaziman yang dianggap pantas. Minimal 50% + 1 orang dari undangan yang disebar per RT; sesuai AD dan tata tertib pemilu sebelumnya. Namun tidak ada ketetapan banyaknya undangan yang disebar di masing-masing RT (basis). Warga yang diundang dalam pemilu tingkat basis adalah kepala keluarga sehingga setiap KK diwakili satu orang. Pada umumnya, panitia dan LKM tidak memiliki data jumlah penduduk dewasa setiap RT (basis) karena sejak awal tidak memperhitungkan jumlah minimal partisipasi penduduk dewasa.
6.
Penetapan Anggota BKM Adanya wacana untuk mengurangi jumlah anggota LKM yang akan dipilih di tingkat kelurahan. Hal ini muncul karena adanya kecenderungan adanya (+/-50%) anggota yang tidak aktif menjalankan tugas. Namun wacana ini tidak didorong untuk dibahas dan diatur dalam AD dan tatatertib pemilu. Secara umum, daftar anggota BKM/LKM terpilih langsung ditetapkan setelah proses pemilihan selesai. Terjadi pelaksanan pemilu tingkat kelurahan (hanya) untuk mengisi (mengganti) anggota LKM yang tidak aktif; sedangkan anggota LKM yang aktif pada periode sebelumnya secara langsung masuk dalam keanggotaan LKM selanjutnya tanpa melalui proses pemilihan.
II.2. Pendampingan 1.
Fasilitator Kelurahan Pada umumnya para Faskel memahami substansi dan prosedur pemilu LKM/BKM; namun demikian terdapat Faskel yang tidak memahami hal tersebut karena belum menerima pelatihan dasar walau sudah 3 bulan dimobilisasi.
Laporan Hasil Monitoring Siklus Pemilihan BKM/LKM
3
Fasilitator menunjukkan diri selalu menginisiasi pelaksanan kegiatan; seakan menjadi pelaku utama dalam pelaksanaan kegiatan siklus ini. Masyarakat beranggapan bahwa fungsi mereka adalah membantu para pendamping (Faskel). Tidak ada rencana melakukan bimbingan (coaching) untuk penyegaran/penguatan pemahaman masyarakat dalam hal siklus pemilu LKM/BKM. Terdapat penyelenggaraan coaching dengan materi beberapa siklus (FGD RK, PS, Pemilu LKM) dalam waktu yang singkat; kesannya dipaksakan. 2.
Koordinator Kota Pada umumnya Tim Korkot memiliki pemahaman yang memadai terkait pelaksanaan siklus masyarakat; baik substansial maupun prosedural. Agenda untuk refreshing dan upgrading pemahaman Tim Faskel terkait dengan pelaksanan tugas mereka dipandang minim. Tim Korkot beranggapan bahwa pelaksanaan kegatan siklus oleh masyarakat berjalan normal sesuai semestinya dengan dampingan Faskel, sehingga upaya (agenda) untuk melakukan pengendalian terhadap pelaksaan tugas Faskel dan proses kegatan di masyarakat dipandang minim.
III.
ANALISA
1.
Masyarakat berorientasi bahwa pelaksanaan pemilu LKM (hanya) untuk memperoleh sejumlah anggota LKM yang akan melaksanakan tugas2 program/proyek. Masih kurang dipahami bahwa kegiatan ini (juga) berorientasi pada pentingnya partisipasi masyarakat; bahkan secara individual- dalam proses penemuan pemimpin yang baik dan pelembagaan sistem pemilu di masyarakat. Pentingnya landasan/dasar, rumusan tata tertib, dan beberapa azas pemilihan agak terabaikan oleh masyarakat. Kondisi ini menjadikan proses pemilu tingkat basis (terutama) kurang terkendali; masing-masing RT melakukan kegiatan dengan asumsi dan persepsi yang berbeda-beda.
2.
Para relawan terlatih; baik yang sekarang menjadi anggota LKM maupun tidak - masih menunjukkan perannya sebagai 'narasumber' dari tataran masyarakat dalam program ini. Pemahaman mereka dalam hal substansial maupun prosedural dalam pelaksanaan siklus menjadi rujukan dan 'penjaga' internalisasi sistem dan nilai-nilai yang diinisiasi program ini.
3.
Ditinjau dari ketaatan terhadap prosedur pemilihan; dinilai masyarakat cukup siap dalam melaksanakan tahapan kegiatan pemilu BKM; baik tingkat basis dan kelurahan. Namun terkait dengan penyiapan Anggaran Dasar, tata tertib pemilihan, dan penerapan beberapa azas dipandang belum cukup untuk upaya pelembagaan sistem pemilu LKM. Hal ini yang bisa menyebabkan pengorganisasian kegiatan pemilu ini berlangsung tidak efektif. Kedepan, sulit diharapkan terwujudnya internalisasi sistem pemilu BKM ini di masyarakat.
Laporan Hasil Monitoring Siklus Pemilihan BKM/LKM
4
4.
Masih banyak ditemukan kelemahan pada sisi pemahaman terhadap substansi/konsep, serta tahapan pelaksanaan kegiatan siklus pembangunan BKM/LKM di tingkat pelaku siklus di masyarakat. Kondisi yang demikian disebabkan oleh lemahnya kualitas pelaksanaan pengembangan kapasitas yang dilakukan oleh Tim Korkot. Fasilitator semakin jauh dari bakuan kegiatan seperti pedoman teknis dan penerapan teknik fasilitasi, serta teknik pengorganisasian masyarakat yang baik dan benar.
5.
Pola kerja fasilitator semakin kuat hanya sebagai pelaku program, dengan target menyelesaikan kegiatan-kegiatan utama, sehingga banyak ditemukan mereka abai pada kewajiban untuk melakukan pengembangan kapasitas masyarakat khususnya pelaku siklus agar mempunyai pemahaman dan ketrampilan untuk melaksanakan siklus dengan baik. Substansi siklus lemah difahami oleh pelaku masyarakat karena pengembangan kapasitas yang dilakukan fasilitator tidak optimal. Hal ini terlihat dari pemahaman pelaku masyarakat dengan maraknya terjadi praktik penunjukan dalam pemilihan utusan warga. Fasilitator masih mendominasi peran dalam kegiatan ini, sehingga banyak peran yang seharusnya menjadi porsi masyarakat diambil alih dengan dalih agar penyelesaian kegiatan lebih cepat. Dampaknya adalah masyarakat menjadi minim peningkatan kapasitasnya karena tidak difasilitasi dengan baik.
6.
Dorongan untuk memberdayakan masyarakat melalui pelaksanaan siklus menjadi hal yang dianggap tidak penting, karena dikalahkan oleh pola hanya mentarget penyelesaian kegiatan kepada para tokoh dan pelaku (RT, RW) saja. Pengorganisasisan masyarakat menjadi barang yang kurang terperhatikan sehingga pelaksanaan siklus menjadi rapuh dan rawan penyimpangan substansi dan prosedur.
7.
Fasilitator sudah semakin sedikit yang mempunyai relasi yang luas dimasyarakat dengan membangun penguatan relawan masyarakat intensif, dekat dengan actor-aktor social di kelurahan, sehingga pilar pelaksanaan kegiatan tidak hanya bertumpu pada segelintir pelaku masyarakat saja. Hal ini terlihat dari Panitia pemilihan LKM (Pokja pemilihan, Pokja pemantau, Pokja AD) yang terbentuk tidak lengkap, kurang memahami peran fungsinya serta belum efektif peran fungsinya. Pelaksanaan pemilihan basis juga mayoritas bertumpu pada RT/RW padahal mereka belum tentu efektif sebagai pengerak masyarakat, belum tentu faham dan terampil melaksanakan siklus. Dengan pola fasilitasi tim fasilitator yang demikian maka semakin menguat lahirnya pandangan masyarakat terhadap peranan fasilitator hanya sebagai pelaksana program di masyarakat. Urusan siklus masyarakat adalah tugas fasilitator, bukan peran yang harus dimainkan oleh masyarakat. Hal ini terlihat pada kelemahan dalam mengelola kegiatan siklus dengan tidak adanya hasil dari pokja pemantau, dengan tidak dibahas intensifnya AD-LKM/perubahan dan Tatib Pemilihan oleh Pokja, demikian pula pengesahan AD oleh peserta Rembug yang tidak sepenuhnya dipahami.
Laporan Hasil Monitoring Siklus Pemilihan BKM/LKM
5
9.
Sistem pengendalian pengembangan kapasitas belum terbangun dengan baik sehingga substansi program belum tersampaikan dengan baik ditingkat konsultan dan masyarakat. Ditandai dengan ketidaktahuan fasilitator terhadap acuan pelaksanaan siklus. Demikian pula minimnya materi pengembangan yang diberikan kepada masyarakat. Hasilnya adalah pelaku masyarakat pemahaman dan keterampilannya kurang dalam menjalankan siklus sehingga beberapa substansi rawan terlewatkan. Pemilihan tingkat basis masih potensial untuk tidak dilakukan dengan baik dan benar, pemilihan melibatkan penduduk dewasa secara optimal, dst.
10.
Dengan berbagai kondisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kesiapan masyarakat dalam melaksanakan siklus dinyatakan mempunyai tingkat kesiapan yang kurang sehingga diperlukan penguatan ulang dari proses siklus; terutama dalam aspek pelembagaan sistem pemilu dan penerapan azas. Demikian pula tentang kesiapan pendamping untuk memfasilitasi kegiatan kesiapanya juga belum baik sehingga diperlukan penyiapan dan penguatan pengembangan kapasitas ulang yang lebih baik dan terencana.
IV.
REKOMENDASI
1. Tindakan fasilitasi perbaikan. Terhadap tahapan dan prosedur kegiatan siklus yang belum lengkap (dijalankan) dan menyimpang dari ketentuan diperlukan fasilitasi oleh Tim Faskel untuk segera melaksanakan dan memperbaiki; bila diperlu diulang. Dalam hal anggaran dasar dan tata tertib pemilu penting untuk segera dilakukan peninjauan dan penyiapan untuk memastikan agar pelaksanaan kegiatan tersebut memiliki landsasan dan acuan yang jelas. Terhadap pelaksanaan pemungutan suara yang tidak sesuai dengan azas pemilihan umum; antara lain : pencalonan, penunjukkan langsung, dan lainnya - agar segera dilakukan perbaikan atau mengulang kegiatan yang sudah dilaksanakan. Tindakan ini dimaksudkan untuk koreksi terhadap kesalahan, meningkatkan pemahaman, dan mendorong masyarakat untuk menjalankan semua prosedur dan azas dengan baik. 2. Penerapan strategi pengembangan kapasitas terkait siklus masyarakat. Diperlukan suatu mekanisme untuk mengendalikan pelaksanaan pengembangan kapasitas kepada fasilitator melalui coaching, KBIK untuk dijaga kualitasnya sehingga dapat mentransfer pengetahuan dan keterampilan tenang pelaksanaan kegiatan siklus BKM dengan utuh dan benar. Penggunaan petunjuk teknis siklus, simulasi, kelengkapan fasilitasi (kartu suara), dan lain-lain membutuhkan pengendalian yang kuat dari Tim Korkot. Pemahaman yang memadai untuk dipastikan dipunyai oleh fasilitator yang telah mengikuti kegiatan pengembangan kualitas tersebut. Pengendalian berikut adalah tentang memastikan kualitas pelaksanaan kegiatan pengembangan kapasitas untuk masyarakat khususnya pelaku-pelaku siklus agar mereka mempunyai kecukupan pemahaman dan ketrampilan untuk melaksanakan siklus di Laporan Hasil Monitoring Siklus Pemilihan BKM/LKM
6
masyarakat. Pengembangan kapasitas melalui jalur interpersonal pada pelaku-pelaku kunci juga memerlukan strategi khusus sehingga pelaksanaan siklus dapat menerapkan substansi dan tujuan kegiatan yang telah ditetapkan oleh program. Kemampuan fasilitator untuk mengorganisir masyarakat dengan baik, mempunyai hubungan yang kuat dengan para aktor-aktor sosial, serta menerapkan teknik fasilitasi dengan efektif dan agar dapat meraih hasil yang optimal. Pengorganisasian yang kuat antara lain ditandai dengan berjalannya pokja pemantau, pokja AD, Pokja pemilihan karena intensitas pendampingan yang dilakukan oleh tim fasilitator. 3. Pengembangan sistem pengendalian kualitas siklus masyarakat. Diperlukan segera mengembangkan sistem pengendalian siklus masyarakat (internal Korkot) sehingga ada kendali terhadap progress dan kualitas siklus masyarakat. Kualitas pelaksanaan kegiatan siklus memerlukan piranti yang dirancang secara kreatif dan dioperasikan oleh pelaku ditingkat korkot sehingga dijamin pelaksanaan siklus dan hasilhasilnya memenuhi tahapan dan tujuan siklus. Peran Fasilitator social, Senior Faskel dan Askot social perlu diperjelas dalam sistem pengendalian siklus ini karena merupakan bagian dari tugas dan tanggungjawabnya. Sebuah kelurahan bisa dikendalikan pemilihan tingkat kelurahannya sebelum pelaksananan tingkat basisnya memenuhi kualitas seperti yang digariskan.
---
Laporan Hasil Monitoring Siklus Pemilihan BKM/LKM
7
Data Hasil Monitoring Siklus Pemilu BKM/LKM September 2012 NO. 1.
VARIABEL Pembentukan Kelompok Kerja : Pokja Pemilihan, Pokja Pemantau, Pokja Anggaran Dasar.
DATA / TEMUAN Hanya membentuk Pokja Pemilihan saja, Panitia hanya terdiri 2 orang; warga masyarakat dan pegawai kelurahan, Tidak dibentuk Pokja karena pelaksanaan dilakukan oleh LKM, Tidak dibentuk Pokja karena akan dilibatkan RT & RW untuk membantu pelaksanaan pemungutan suara, memfasilitasi kegiatan. Dibentuk Panitia, terdiri dari 3 Pokja : Pemilihan, Pemantau, dan Anggaran Dasar. Person pokja belum mengetahui tugas masingmasing, khususnya Pokja Pemantau dan Pokja AD.
2.
Kriteria utusan warga berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan.
Secara umum masyarakat (LKM, relawan, RT, dan lain-lain) memahami bahwa warga yang dipilih sebagai utusan dalam pemilu LKM harus memiliki kriteria berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan (jujur, peduli, dapat dipercaya, bertanggungjawab, dsb.)
3.
Kampanye untuk mempengaruhi proses pemilu.
Secara umum masyarakat (LKM, relawan, RT, dan lain-lain) memahami bahwa dalam pemilihan utusan tidak boleh (tidak perlu) ada kampanye oleh seseorang atau kelompok tertentu.
4.
Perwakilan dalam pemilihan utusan
Masyarakat (LKM, relawan, RT/RW, dll.) umumnya memahami dan menetapkan bahwa bila seseorang tidak dapat hadir dalam pemilu (pemungutan suara), tidak boleh mewakilkan (memberikan haknya) kepada orang lain. Terdapat beberapa RT yang memperbolehkan adanya perwakilan dalam pemungutan suara oleh warga.
5.
Pencalonan dalam pemilihan utusan
Masyarakat (LKM, relawan, RT/RW, dll.) di sebaghian besar kelurahan memahami dan menetapkan bahwa dalam pemilihan utusan tidak boleh (tidak perlu) ada calon. Di beberapa RT, panitia menetapkan calon untuk dipilih oleh oleh warga dalam pemilihan utusan .
6
Penunjukan dalam pemilihan utusan warga tingkat basis.
Panitia memahami bahwa mekanisme pemilihan di tingkat basis diserahkan (dibebaskan) pada masing-masing RT (basis), Panitia menyatakan boleh melalui mufakat/musyawarah untuk menunjuk utusan, Di beberapa RT (basis) terjadi musyawarah penunjukan utusan tingkat basis. Panitia dan warga (relawan) memahami bahwa pemilihan utusan tingkat basis tidak boleh dengan penunjukkan tetapi harus melalui pemungutan suara.
7.
Pemilihan secara langsung, bebas, rahasia dan demokratis dengan menuliskan nama
Pemilihan hanya mengundang sebagian warga saja. Undangan hanya ditujukan pada kepala keluarga, yang lainnya haknya belum diberikan secara optimal, Pemilihan hanya dengan musyawarah sehingga pendapat pribadi
Laporan Hasil Monitoring Siklus Pemilihan BKM/LKM
8
NO.
VARIABEL
DATA / TEMUAN pemilih tidak dijamin rahasia, Kebebasan juga bermasalah ketika pengurus RT menetapkan utusan secara sepihak dan meminta persetujuan warga kemudian. Di sebagaian besar RT dilakukan pemilihan utusan secara langsung, bebas, rahasia, dan demokratis dengan tiap orang yang hadir menuliskan nama utusan.
8.
Penetapan utusan warga dilakukan setelah pemilihan
Utusan warga tingkat basis ditetapkan setelah perhitungan suara selesai; disaksikan oleh para pemilih. Pada beberapa RT/RW, bila suara yang terkumpul kurang dari kuota maka dilakukan pengumpulan suara tambahan melalui penjemputan suara pemilih ke rumah-rumah warga; perhitungan hasil akhir dan penetapan utusan tanpa disaksikan warga,
9.
10.
11.
12.
Pembahasan anggaran dasar BKM/LKM (perubahan) dan Tata Tertib Pemilihan oleh Pokja
Panitia belum merencanakan pembahasan AD; Tidak ada tata tertib tertulis untuk pemilihan LKM/BKM. Pembahasan Anggaran Dasar & Tata Tertib cukup oleh Pokja saja
Pengesahan Anggaran Dasar dan Tata Tertib Pemilihan dalam Rembug
Belum ada yang perlu diubah, maka tidak diperlukan pembahasan dan pengesahan oleh/dalam Rembug masyarakat.
Rumusan akhir Anggaran Dasar LKM yang disepakati dan ditetapkan dalam Rembug Pemilihan LKM ditandatangani pimpinan rembug dan utusan warga
Anggaran Dasar LKM tidak dibahas karena dirasakan belum perlu ada perubahan, sehingga tidak ada agenda pengesahan dan penandatanganan dalam rembug warga.
Peserta yang ikut memilih dan dipilih (di tingkat kelurahan) adalah utusan warga hasil pemilihan basis
Penetapan AD & Tatib cukup dilakukan oleh Pokja & BKM, jadi tidak ada pengesahan dalam rembug.
Anggaran Dasar yang sudah dibahas selanjutnya ditandatangani dalam rembug warga oleh pimpinan rembug dan utusan warga. Peserta yang punya hak memilih dan dipilih dalam pemilihan tingkat kelurahan adalah utusan warga hasil pemilihan tingkat basis. Pada RT/basis yang tidak melakukan pemilihan (melalui pemungutan suara) maka menjadi bermasalah pada penentuan utusan di tingkat kelurahan.
13.
Kriteria pemilihan LKM yang disepakati adalah berdasarkan kepada nilainilai universal kemanusiaan
Masyarakat seluruh kelurahan memahami bahwa utusan yang dipilih untuk menjadi anggota LKM dalam pemilu tingkat kelurahan harus memiliki kriteria berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan (jujur, peduli, dapat dipercaya, bertanggungjawab, dsb.)
14.
Kampanye yang dilakukan seseorang/kelompok dalam pemilihan LKM
Secara umum masyarakat memahami bahwa dalam pemilihan anggota BKM/LKM tidak boleh (tidak perlu) ada kampanye oleh seseorang atau kelompok tertentu.
15.
Sistem perwakilan dalam pemilihan LKM
Masyarakat umumnya memahami dan menetapkan bahwa bila ada utusan warga tidak dapat hadir dalam pemilu tingkat kelurahan, tidak boleh mewakilkan (memberikan haknya) kepada orang lain. Ada kelurahan yang memperbolehkan adanya perwakilan/ pergantian
Laporan Hasil Monitoring Siklus Pemilihan BKM/LKM
9
NO.
VARIABEL
DATA / TEMUAN bila ada utusan warga yang tidak bisa hadir dalam pemilu tingkat kelurahan.
16.
Pencalonan (dicalonkan dulu sebelum dipilih) dalam pemilihan LKM
Secara umum masyarakat memahami bahwa dalam pemilihan anggota BKM/LKM tidak perlu ada calon (pencalonan); karena semua utusan warga adalah calon yang memiliki hak yang sama..
17.
Penunjukan dalam pemilihan LKM.
Secara umum masyarakat memahami bahwa dalam pemilihan anggota BKM/LKM tidak boleh ada penunjukkan terhadap seseorang untuk menjadi anggota BKM. Terdapat kelurahan yang melakukan penetapan terhadap anggota BKM yang aktif sebagai anggota BKM periode berikutnya.
18.
Pemilihan anggota LKM (akan) dilakukan secara langsung dan tertutup
Masyarakat seluruh kelurahan memahami dan menetapkan bahwa dalam pemilihan anggota BKM/LKM harus dilakukan secara langsung dang tertutup (dengan cara menuliskan nama utusan warga yang hadir).
19.
Indikator pemilih tingkat basis minimal 30% dari penduduk dewasa kelurahan
Panitia / BKM tidak mengetahui indikator pemilih dewasa di tingkat basis minimal 30%, Jumlah yang dianggap minimal adalah 25 orang per basis. Jumlah yang dianggap minimal adalah 50%+1 orang yang diundang pada pemilihan utusan tingkat basis.
---
Laporan Hasil Monitoring Siklus Pemilihan BKM/LKM
10
Daftar Nama Lokasi Sasaran Monitoring Siklus Pemilu BKM/LKM September 2012 OC/OSP OC-5
Provinsi Jawa Tengah
Kota / Kabupaten Kab. Brebes Kab. Semarang
OSP-6
Jawa Timur
Kab. Nganjuk
Magetan OC-7
Nusa Tenggara Timur
Kab. Sumba Timur
Kota Kupang OSP-8
Sulawesi Selatan
Kab. Wajo
OC-9
Papua
Kota Jayapura
Kelurahan 1. Tengki 2. Pada Sugih 1. Kawengen 2. Beji 1. Pandan Toyo 2. Werungoto 3. Kudu 1. Grabahan 2. Sumberejo 1. Matawai 2. Kambajawa 3. Hambala 1. Air Nona 2. Sikumana 1. Atake 2. Salomenraleng 3. Mattirotappareng 1. Numbay 2. Ardipura 3. Yoka 4. Koya Koso
---eof
Laporan Hasil Monitoring Siklus Pemilihan BKM/LKM
11