LINGKUNG SUMBANG BALAI MELINTANG: STRUKTUR PSIKOANALISIS DRAMA DALAM OEDIPUS DAN MITOS WATUGUNUNG Resa Restupauji dan Pepen Priyawan Program Studi Sastra Kontemporer, Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung ABSTRACT The myth of incestuous relationship is a testament to the universality of the Oedipus complexity. In a time that cannot be predicted on the island of Java, appears also in the complexity of the Oedipus in the myth Watugunung. Watugunung and Oedipus story each has complications in the story of its incestuous relationship. Through the same narrative, humans may have a tendency to kill the father to marry the mother. Myths always bring figures who live with the intervention of the gods. Oedipus and Watugunung has forecast patterns and prophecy. The myth continues the pattern of the story left his mother and ran away from home. Patterns of subordination and power struggles occur equally well in Watugunung and Oedipus. So the king Oedipus and Watugunung married women, without knowing that she is their own mother. Keywords: Myth, Oedipus, Watugunung, Psychoanalysis PENDAHULUAN Menurut KBBI sumbang balai melintang adalah kawin dengan kaum keluarga yang terlarang oleh agama atau adat. Judul lingkung diatas artinya identik dengan universalitas karya-karya sastra bergenre mitos yang berisi cerita-cerita mengenai hubungan seksual antarsaudara dan dianggap terlarang dalam adat hukum dan agama. Batih mempertalikan para tokoh didalamnya. Kesemestaan cerita terbangun karena mitos-mitos hubungan sumbang ini terdapat dalam sejumlah wilayah di berbagai belahan dunia. Sejumlah kelompok masyarakat tertentu di dunia memiliki pola hubungan sumbang. Suku Polahi di Kabupaten Gorontalo, Sulawesi, menganggap wajar hubungan sumbang di kalangan mereka. Satu zaman di Mesir dahulu—setelah penyerbuan Alexander Agung—kawin dengan saudara kandung dimaksudkan agar memiliki keturunan
sedarah murni dan melanggengkan kekuasaan. Ptolemeus II dan Elsinoé melakukan perkawinan seperti ini. Mitologi Mesir bercerita tentang perkawinan Dewa Osiris dengan saudaranya, Dewi Isis. Pada mitos Yunani kuno pun Zeus menikahi Hera, kakak kandungnya sendiri. Folklor Indonesia mengenal hubungan sumbang antara Sangkuriang dan ibunya (Dayang Sumbi) dalam dongeng masyarakat Sunda. Dalam mitos lain Prabu Watugunung menikahi ibunya (Sinta) dan melahirkan 28 anak—kisahnya diabadikan dalam pawukon. Dan yang selalu menarik dikaji adalah cerita tragis Raja Oedipus dari Thebes bersama Jocasta, sang ibu sekaligus istrinya. Seterusnya Oedipus bahkan menjadi istilah untuk perkawinan berkerabat ini oleh psikoanalis bernama Sigmund Freud. Mitos Sangkuriang dan Dayang Sumbi di Jawa barat merupakan bukti adanya universalitas kompleksitas Oedipus ini.
Jurnal Al-Tsaqafa volume 10, No.1, Juli 2013
Dalam waktu yang tidak bisa diperkirakan— masih di pulau Jawa—entitas kompleksitas Oedipus muncul pula dalam mitos Watu Gunung. Sementara di belahan dunia lain— Yunani—cerita dari Sophocles berjudul Oedipus pun muncul—entah duluan atau belakangan. Lewat dua karya Oedipus dan Watugunung hubungan sumbang ini terjadi antara ibu dan anak. Cerita Oedipus dan Watugunung memiliki komplikasi masingmasing dalam cerita hubungan sumbangnya. Karya-karya sastra lisan dan yang juga kemudian tertuliskan mengenai hubungan sumbang ini—dalam satu sisi—menjadi bersifat mental. Karena keadaan manusiamanusia di dunia seakan memiliki kesamaan. Seksualitas pun bersangkutan dengan watak manusia dan tidak bersifat badan atau tenaga. Setidaknya lewat mitos hubungan sumbang kita bisa mengetahui bahwa manusia bisa memiliki kecenderungan yang sama atas perihal rohaniah. Persamaan ini jika ditarik lebih jauh menjadi kesamaan manusia untuk mencintai ibunya sendiri. Lewat narasi yang sama, manusia bisa memiliki kecenderungan untuk membunuh ayah—untuk menikahi ibu. Jauh sebelum Sigmund Freud memformulasikan teori Oedipus Complex-nya karya sastra membuktikan narasi dahsyat bahwa manusia secara psikologis sama. Sampai disinilah kita bisa memahami mengapa sarana penelitian seperti psikoanalisis harus ada untuk mengkaji karya sastra. Bukankah benar asumsi Freud pun sebelum merumuskan gejala Oedipus Complex ia harus membaca dahulu karya Oedipus itu sendiri? Dengan kata lain Freud pasti sangat berterimakasih terhadap Sophocles. Psikoanalisis lalu kemudian memberikan kita prinsip-prinsip dan metode-metode untuk membaca mitos-mitos (Moddelmog, 1993:86). Sementara struktur psikoanalisis sendiri menyaran pada pendekatan bahwa psikoanalisis itu struktural bentuknya.
Terutama Eagleton berkeyakinan bahwa Barthes lewat strukturalismenya diperlengkapi oleh phenomenologi, psikoanalisis, dan gaya kesastraaan Barthes itu sendiri (Eagleton, 1996: 117). Lewat kutipan dari Freud dibawah judul, Oedipus menjadi wacana yang berjalin dengan psikoanalisis. Secara prinsip tulisan inipun terstruktur dalam saat yang bersamaan antara karya dan kepantasan wacana Oedipus complex. PEMBAHASAN Historisitas Oedipus Diperkirakan drama Yunani berjudul Oedipus ditulis oleh Sophocles sekitar abad 400an sebelum Masehi. Dalam cerita Oedipus, seorang anak raja bernama Laius dan ratu Jocasta dilahirkan. Sebelum dia lahir, kedua orang tuanya menemui Orakel di sebuah yang disebut Delphi. Sang Orakel meramalkan bahwa raja Laius akan dibunuh oleh anaknya sendiri. Untuk mencegah agar ramalan ini tidak menjadi kenyataan, Laius memerintahkan untuk mengikat kaki Oedipus dan memakunya. Ia lalu dibuang dari Thebes. Hukuman sang ayah tidak laksana karena seorang penggembala menemukannya dan menyelematkannya. Bayi Oedipus kemudian dibawa ke Corinth dan dipelihara oleh raja Polybus. Bertahun kemudian, Oedipus dewasa mengetahui bahwa Polybus bukan ayah kandungnya. Untuk mencari kebenaran, dia pergi menemui Orakel dan diberi tahu bahwa dia memang ditakdirkan untuk membunuh ayahnya dan mengawini ibunya. Dalam usahanya untuk menghindari takdir, dia pergi dari Corinth ke Thebes. Dalam perjalanannya ke Thebes, dia tiba di persimpangan tiga jalan dimana dia bertemu dengan kereta kuda yang dikendarai oleh raja Laius. Laius memerintahkan Oedipus minggir dari jalan agar keretanya dapat lewat, tetapi Oedipus tidak mau menurutinya. Oedipus tidak mengenal Laius
Jurnal Al-Tsaqafa volume 10, No.1, Juli 2013
saat itu, akan tetapi keduanya terlibat dalam pertikaian dan berakhir dengan Oedipus membunuh Laius dalam perkelahian. Seperti ramalan sang Orakel, Oedipus membunuh ayahnya. Saat ia meneruskan perjalanannya ke Thebes, dia berjumpa dengan Sphinx. Sphinx menghentikan semua orang yang lewat jalan itu sambil memberinya sebuah teka teki. Jika para pengembara tersebut tidak dapat menjawab dengan benar, maka Sphinx akan memakan mereka, jika mereka berhasil, mereka dapat melanjutkan perjalanannya.Teka-tekinya adalah ― Apa yang berjalan dengan empat kaki di pagi, dua kaki di siang dan tiga kaki di sore hari ?‖. Oedipus menjawab : ―Manusia; saat kecil, manusia berjalan dengan empat kaki dan tangannya, saat dewasa berjalan dengan dua kakinya dan saat tua berjalan dengan tongkatnya‖. Setelah mendengar jawaban Oedipus yang benar, Sphinx bunuh diri. Dianggap berhasil membunuh Sphinx, Oedipus diangkat menjadi raja Thebes dan juga menikahi janda raja Laius, Jacosta. Mereka mempunyai empat anak: dua lakilaki bernama Polynices dan Eteocles dan dua perempuan bernama Antigone dan Ismene. Bertahun-tahun setelah perkawinan Oedipus dan Jacosta, sebuah wabah menyerang kota Thebes. Dalam arogansinya, Oedipus mengatakan akan mengakhiri bencana itu. Dia mengutusCreon, saudara Jocasta, untuk menemui Orakel di Delphi, guna mencari petunjuk. Saat Creon kembali, dia mengatakan bahwa pembunuh raja Laius harus ditemukan, pembunuh itu harus dibunuh atau diasingkan agar bencana tersebut lenyap dari Thebes. Untuk mencari pembunuh itu, Oedipus bertanya pada Tiresias, seorang peramal buta, tapi Tiresias mengingatkannya agar usahanya untuk mencari pembunuh Laius tidak diteruskan. Karena terjadi pertikaian antara keduanya, maka akhirnya Tiresias
mengungkap bahwa pembunuh sebenarnya raja Laius adalah Oedipus. Pada saat yang sama, seorang pesuruh datang dari Corinth, dan mengabarkan bahwa Raja Polybus, yang Oedipus anggap masih sebagai ayahnya, telah wafat. Utusan itu juga mengungkap bahwa Oedipus sebenarnya adalah anak angkat dari Polybus. Jocasta akhirnya menyadari identitas sebenarnya dari Oedipus, dia kemudian lari ke istana dan menggantung diri. Saat mendapati Jocasta telah tewas, Oedipus kemudian membutakan dirinya, dan pergi dari Thebes ditemani anaknya Antigone. Akhirnya dia meninggal di Colonus setelah mendapatkan perlindungan dari raja Theseus. Kedua anak lelaki Oedisius, Eteocles dan Polynices berbagi kerajaan. Mereka memerintah bergantian setiap tahun. Akan tetapi saat tiba giliran Eteocles memerintah kerajaan, Polynices menolak menyerahkan tahtanya. Terjadilah peperangan yang diakhiri dengan kedua saudara tersebut saling bunuh. Creon, saudara Jocasta menggantikan mereka menjadi raja, dia memutuskan bahwa Polynices adalah seorang pengkhianat dan tidak diperbolehkan untuk dikuburkan. Antigone yang tidak menerima keputusan ini, berusaha menguburkan Polynices, tetapi Creon akhirnya membunuhnya juga. Mitos Watugunung Ketika Batara Guru mendengar bahwa Raja Gilingwesi akan naik ke Suralaya, segera memanggil para dewa. Ditawarkan kepada mereka siapakah yang berani menghadapi Prabu Watugunung, namun tidak ada satu pun diantara para dewa yang berani. Sanghyang Narada menyarankan agar Batara Guru memanggil Batara Wisnu, putranya, dan dijanjikan, jika mampu mengalahkan Prabu Watugunung kesalahannya dimaafkan dan dosanya dihapuskan. Batara Guru menerima saran tersebut, maka diutuslah Sanghyang Narada
Jurnal Al-Tsaqafa volume 10, No.1, Juli 2013
turun ke bumi menemui Batara Wisnu yang sedang bertapa di bawah pohon beringin tujuh. Kesepakatan didapat, bahwa Batara Wisnu sanggup menghadapi Raja Gilingwesi, tetapi ia mohon diijinkan kembali ke negaranya untuk menemui istrinya yang waktu dirinya diusir atas perintah Batara Guru isterinya sedang mengandung. Waktu itu, sebelum Batara Wisnu meninggalkan istrinya, ia berpesan: ―Jika nanti anak tersebut lahir laki-laki, berilah nama Srigati.‖ Tentunya jika anak tersebut selamat sekarang telah menjadi jejaka, karena belasan tahun sudah Batara Wisnu bertapa. Betapa gembiranya Batara Wisnu mendapatkan anak dan istrinya dalam keadaan baik dan sehat. Setelah sejenak mereka saling melepas rindu, Batara Wisnu memberitahukan bahwa dirinya tidak bisa berlama-lama karena harus segera ke Suralaya, ada perintah mendesak dari Batara Guru untuk menghadapi Raja Gilingwesi. Bambang Srigati menyatakan diri ingin ikut ayahnya ke Suralaya, namun Batara Wisnu tidak memperbolehkan. Dengan berat hati Batara Wisnu pamit meninggalkan istri dan anaknya, menemui Sanghyang Narada di bawah tujuh pohon beringin. Raden Srigati yang ditinggal tersebut menyusul ayahnya. Sesampainya di beringin tujuh, ia duduk di belakang Sanghyang Narada. Setelah mengetahui putranya menyusul, Batara Wisnu berkeinginan mengajak Raden Srigati ke Suralaya. Tetapi Sanghyang Narada tidak memperbolehkan, dikhawatirkan dapat membangunkan murkanya Batara Guru. Akhirnya Srigati ditinggal di bawah beringin tuju. Namun secara diam-diam Raden Srigati mengikuti perjalanan Sanghyang Narada dan Batara Wisnu. Setelah sampai di Suralaya dan menghadap Batara Guru, tibatiba Raden Srigati telah duduk dibelakang ayahandanya. Ketika melihat ada pemuda tampan, Batara Guru bertanya kepada
Sanghyang Narada, siapakah anak muda tampan tersebut. Sanghyang Narada memberitahukan bahwa ia anak Batara Wisnu yang lahir dari rahim putri di Mendang. Mendengar jawaban Sanghyang Narada, Batara Guru sangat murka, ia berdiri dan meninggalkan tempat duduknya. Melihat gelagat yang tidak baik, Sanghyang Narada menyusul Batara Guru. Perintah baru dititahkan, Sanghyang Narada, diminta untuk membunuh Raden Srigati, sebagai tumbal negara, dan memerintahkan Batara Wisnu segera menghadang musuh. Namun sebelum perintah Batara Guru itu terlaksana, di luar terdengar suara gemuruh bersamaan datangnya musuh. Batara Guru gemetar ketakutan, minta pertimbangan kepada Sanghyang Narada, bagaimana sebaiknya. Sanghyang Narada menyarankan agar Batara Guru membatalkan niatnya untuk membunuh Raden Srigati. Karena hal tersebut akan membuat Batara Wisnu tidak mau perang menghadang musuh, dengan demikian musuh akan dengan leluasa dapat merusak Suralaya. Batara Guru menuruti saran Sanghyang Narada, dan memutuskan tidak jadi membunuh Raden Srigati dan segera memerintahkan Batara Wisnu untuk menghadapi musuh. Batara Wisnu bersama dengan anaknya keluar dari tempat para dewa untuk menghadapi raja Gilingwesi. Setelah berhadap-hadapan dengan prabu Watugunung, sang raja menawarkan perang dengan cara cangkriman (teka-teki). Jika Batara Wisnu dapat menebak cangkrimannya, Prabu Watugunung dengan sukarela menyediakan diri untuk dibunuh. Tetapi jika Batara Wisnu tidak dapat menebak cangkriman, para dewa di Suralaya segera menyerah, dan menyerahkan para bidadari untuk diambil isteri. Batara Wisnu menuruti apa yang di kehendaki Prabu Watugunung. Maka sang raja membeberkan cangkrimannya. Ada
Jurnal Al-Tsaqafa volume 10, No.1, Juli 2013
sebuah pohon kecil tetapi buahnya besar dan ada pohon besar tetapi buahnya kecil, pohon apakah itu? Cangkriman tersebut di tebak oleh Batara Wisnu. Bahwa pohon yang kecil besar buahnya adalah pohon semangka. Sedangkan pohon yang besar kecil buahnya adalah pohon beringin. Sang raja tidak mampu berkata-kata, seperti janjinya ia menyerahkan dirinya. Batara Wisnu melepaskan senjata Cakra, dan Prabu Watugunung tewas di medan perang. Balatentara yang berjumlah besar melarikan diri meninggalkan Suralaya. Sepeninggalnya prabu Watugunung, Dewi Sinta menangis berkepanjangan, hatinya sangat bersedih. Dampak dari kesedihan Dewi Sinta para dewa di Suralaya gelisah hatinya, mengalami situasi yang tidak menyenangkan. Dan hal tersebut bakal mendatangkan huru-hara besar. Batara Guru bertanya kepada Sanghyang Narada, apa yang menyebabkan gara-gara ini. Sanghyang Narada memberitahukan bahwa penyebabnya adalah menangisnya Dewi Sinta karena bersedih atas meninggalnya Prabu Watugunug. Batara Guru lalu memerintahkan kepada Sanghyang Narada untuk turun menemui Dewi Sinta agar mau menghentikan tangisnya, dan dijanjikan dalam tiga hari Prabu Watugunung akan dihidupkan lagi, dan menjadi raja kembali di Negara Giling-Wesi. Karena janji itu Dewi Sinta menghetikan tangisnya, dan saat itu juga suasana di Suralaya menjadi tenang kembali. Namun setelah sampai tiga hari, Prabu Watugunung tidak kelihatan datang, Dewi Sinta nangis kembali, dan mendatangkan kegelisahan dan kekacauan yang lebih besar di Suralaya. Batara Guru bertanya lagi kepada Sanghyang Narada apa penyebabnya gara-gara ini. Sanghyang Narada berkata bahwa gara-gara ini disebabkan oleh hal yang sama yaitu tangis Dewi Sinta, karena sudah tiga hari Prabu Watugunung belum kembali ke negara Gilingwesi. Kemudian
Batara Guru memerintahkan Sanghyang Narada, untuk menghidupkan Prabu Watugunung, serta mengembalikan di negara Gilingwesi. Setelah Prabu Watugunung dihidupkan oleh Sanghyang Narada, disuruh kembali di Gilingwesi, ia tidak mau, dikarenakan sudah kerasan di surga. Bahkan Prabu Watugunung memohon agar kedua isterinya dan ke 27 anak di angkat ke surga, menjadi satu dengannya. Guru mengabulkan permohonan tersebut, serta memerintahkan agar mengangkat isteri dan anak Prabu Watugunung ke surga. Proses pengangkatan dua isteri serta 27 anak Prabu Watugunung ke surga dilakukan satu persatu pada setiap minggu. Inilah permulaan adanya 30 wuku yang dijadikan dasar perhitungan Pawukon atau zodiak Jawa. Telaah Struktur Psikoanalisis Perkawinan Sumbang Oedipus Dan Watugunung Sementara mitologi Watugunung sukar diperkirakan kemunculannya. Ke dua mitos ini menceritakan dua tema besar yang sama tentang anak yang—tanpa disadari— menikahi ibunya. Ketanpa-sadaran pernikahan dengan ibu penting mengingat fenomena pernikahan sumbang ini menjadi wacana mental seperti disebut di atas. Pokok isi dari mitologi itu adalah karena ketidaktahuan Watugunung, Oedipus, bahkan Sangkuriang juga, memperistri ibunya sendiri, tetapi di sana-sini ada perbedaan yang menunjukkan kepribadian bangsa dan sesuai dengan tempatnya mitologi itu berkembang. and I came to blows with my father and killed him— knowing nothing of whom I fought, of what I did— how could you blame me for an act
Jurnal Al-Tsaqafa volume 10, No.1, Juli 2013
done in ignorance? And, wretch that you are, you feel no shame in forcing me to speak— as speak I will—of this marriage to my mother, your own blood sister? (Sophocles, 2008: 13) Bahkan Lacan memastikan bahwa semua teori merupakan mitos. Mitos ini terjalin dengan memori dan hasrat (ParkinGounelas, 2001:101). Teori Oedipus Complex yang sebelumnya diusung oleh Sigmund Freud memastikan dua hal. Pertama mitos dari teori itu sendiri. Kedua, mitos dari Oedipus itu sendiri sebagai cerita dan mitos itu sendiri. Hal inilah yang memastikan bahwa psikonanalisis bisa masuk dan terlibat dalam analisis sastra. Konsekwensi ini wajar karena tulisan-tulisan Freud sendiri berasal dari keterbacaannya atas karya sastra seperti mitos Oedipus ini. Freud seringkali meyentuh karya sastra lisan. Beliau pun menganalisis karakter yang diduga mengalami neurosis dalam karya. Lebih lanjut para kaum Freudian banyak pula menggunakan karya sastra sebagai contoh bagi landasan pengembangan teori mereka. Untuk para psikolog dan teoretis memelihara cerita rakyat menjadi penting. Cerita rakyat bisa mendefinisikan nilai-nilai dan panduan hidup. Terutama sekali terhadap hal-hal yang menyinggung emosi. Jika Freud memastikan bahwa psikoanalisis dapat membantu pengkaji memahami perilaku manusia, lalu psikoanalisis niscaya mampu juga membantunya untuk memahami teks sastra, yang juga sama mengenai perilaku manusia (Tyson, 2006: 11-12). Psikoanalisis versi Jung dapat menerangkan hal yang sama. Kreasi pola psikologis ketak-sadaran (unconsciousness) dan pola mental bukan berkembang secara personal namun lewat masa lalu keberadaan manusia. Jung menyebut hal ini dengan
konsep ketak-sadaran kolektif (Jung). Paparan Jung bisa disimpulkan bahwa psikoanalisis membuktikan keseragaman pemikiran manusia atas mitos (terutama seksualitas). Seperti dikataan Moddelmog bahwa psikoanalisis memberikan prinsipprinsip dan metode-metode membaca mitos (Moddelmog, 1993:86). Ada kesamaan struktural antara mitos yang tampaknya berbeda dari budaya berbeda. Lévi-Strauss memberikan perhatian pada perihal mitos dan budaya ini. Tujuannya adalah untuk mengungkap mitos "berbeda" sebenarnya hanyalah berbeda dalam versinya, namun dari mitos yang sama. Hal ini juga untuk menunjukkan bahwa manusia dari budaya yang berbeda berbagi struktur kesadaran. Pembentukan struktural ini mempermirip mitos dari setiap budaya. Kesamaan struktural mengungkapkan bahwa manusia menyeberangi batas-batas budaya. Termasuk pula mempertanyakan hubungan kekerabatan (untuk menentukan hak-hak warisan dan hubungan sumbang). Sebuah ilustrasi dari Lévi–Strauss adalah analisis mitos Oedipus. Strauss mewujudkan konflik antara pengetahuan dengan hubungan seksual. Levi- Strauss berpendapat bahwa tidak ada versi " benar" atau " asli" dari setiap mitos . Setiap versi mitos sama berlaku karena masing-masing mencoba mewujudkan semua struktur agar menjadi masuk akal dari dunia yang dinyatakan kacau (Tyson, 2006: 215-216). Agaknya—seperti juga dilakukan dan dikatakan dalam pendahuluan Gilbert Murray, penterjemah Oedipus The King (Murray)—tulisan ini bermaksud menunjukan beberapa poin yang bisa berhubungan dengan teknik dramatis pada Oedipus sekaligus pada dongeng Watugunung. Dalam mitos jawa, Watugunung merupakan raja yang tanpa sadar menikahi ibunya sendiri. Mitos Watugunung
Jurnal Al-Tsaqafa volume 10, No.1, Juli 2013
mengandung wacana Oedipus complex. Watugunung tidak diceritakan membunuh bapaknya kecuali 27 raja lain yang ia tundukkan. Bagian ini tidak sama dalam adegan-adegan Oedipus the King. Oedipus justru membunuh bapaknya. Kemungkinan fasa oral atau laten tidak bisa diidentifikasi pada Watugunung mengingat ia tidak membunuh sang ayah (yang tilem). Pola ayah yang hilang atau menghilang menunjukkan peran ayah ditiadakan seperti halnya Tumang yang selalu silence (berdiam diri dan tidak terlibat konflik dalam cerita kemudian dibunuh). Serupa dengan Oedipus; ayahnya dibunuh olehnya sendiri sesuai dengan ramalan Once Apollo said that I Was doomed to lie with my own mother, and Defile my own hands with my father's blood (Sophocles, 1994:73). Hidup Oedipus pada saat terakhir ia menjadi raja ditentukan dengan ingatannya atas kutukan dewa Apollo. Pada saat inilah peran ayah bisa dipahami dihilangkan dan mitos Oedipus bisa bergulir dalam bentuk narasi dan atau kemudian drama. Sementara pada mitos Watugunung setelah lama bersuami istri, Dang Hyang Kulagiri (ayah Watugunung) menyampaikan bahwa beliau akan pergi ke Gunung Sumeru bertapa. Kesamaan peniadaan peran ayah dilakukan untuk melanggengkan terjalinnya psikoanalisis Oedipus complex. Seperti kata Freud, anak memiliki kecenderungan untuk membunuh ayah yang selalu menjadi penghalang untuk mendekati ibu (Jung). Mitos selalu melahirkan tokoh yang hidup dengan campur tangan dewa. Oedipus dan Watugunung memiliki pola ramalan dan pernujuman (prophecy). Pada drama Oedipus, ia diramal oleh Oracle bakal menikahi ibu dan membunuh ayah. Pada mitos Watugunung, Dewi Sintakasih harus melahirkan bayi laki-laki. Pecahlah batu tersebut karena tertimpa badan si bayi. Saat itu pula turunlah Ida Hyang Padmayoni atau Dewa Brahma. Dewa Brahma sangat
bahagia dan mendoakan supaya bayi itu panjang umur terkenal di dunia serta diberikan anugerah yang hebat tidak terbunuh oleh para dewa, danawa, raksasa, atau detya/daitia. Manusia yang tak terbunuh pada malam hari maupun pada siang hari, tidak mati di bawah maupun di atas, tidak terbunuh oleh senjata. Kecuali yang dapat membunuhnya adalah Dewa Wisnu. Dewa Brahma berujar ― Karena bayimu lahir di atas batu, aku anugrahi nama Watugunung‖. Mitos melanggengkan peran dewa. Sosok utama pengidap Oedipus dihadirkan lewat alur awal yang mengekspos kedigdayaan. Tokoh Oedipus dan Watugunung harus menang dari awal untuk menguasai kerajaan ayah dan ibunya. Di cerita lain Oedipus, nujum dari sang Oracle/peramal berperan menentukan nasib Oedipus. Ia merupakan manusia yang bisa menjawab cangkriman (riddle) dari Sphinx—serigala berwajah manusia perempuan. Ketika teka-teki dari Sphinx bisa dijawab Oedipus maka Oedipus bisa mendapatkan tahta dari Negara Thebes yang sebelumnya dipimpin oleh ayahnya Laius. Menyingkap keberuntungan tokoh merupakan pembongkaran penokohan di akhir cerita. For it was you who came and set us free//From the blood-tribute that the cruel Sphinx. Selanjutnya, seperti kata Murray (2008:13), para dewa kemudian hanya mempermainkan manusia (plaything of Gods). Mitos melanjutkan pola cerita meninggalkan ibu dan kabur dari rumah. Oedipus yang dibuang oleh ibunya yang takut akan kemarahan ayahnya. Ayahnya akan membunuh bayi laki-laki yang dilahirkan oleh istrinya karena ramalan sang Oracle bahwa anak laki-lakinya akan membunuhnya kelak. Di cerita lain Watugunung yang diberi kuasa kekuatan oleh Brahma selalu kelaparan. Ia memakan nasi yang bahkan belum masak dalam bejana. Melihat perilaku putranya, ibunya
Jurnal Al-Tsaqafa volume 10, No.1, Juli 2013
menjadi naik pitam dan mengambil sodo (siut) langsung memukul putranya tepat di kepalanya sampai berlumuran darah, sang Watugunung menangis terisak-isak menahan luka yang dideritanya. Selanjutnya Watugunung meninggalkan keraton karena sangat marahnya menuju gunung Emalaya. Pola penundukan dan perebutan kekuasaan sama-sama terjadi pula pada Watugunung dan Oedipus. Mereka merebut dan mendapatkan kekuasaan untuk selanjutnya menjadi raja. Sang Raja sangat marah mengetahui rakyatnya dihancurkan. Raja Girisrawa dengan hati yang membara turun ke medan perang dengan persenjataan yang lengkap untuk menghadapi Watugunung. Maka terjadilah perang tanding antara raja Giriswara dengan Watugunung, yang sama-sama hebat dan sakti. Perang tanding itu berlangsung tujuh hari. Pada akhirnya Raja Giriswara dapat dikalahkan oleh Watugunung, sehingga raja Giriswara tunduk dan menghormat kepada Watugunung. Permaisuri tetap menjadi cantik rupawan agar setiap laki-laki selalu terpikat kepadanya. ‖Hai para raja apakah ada raja yang hebat lagi yang belum aku tundukkan?‖ Para raja pun menjawab ‖Daulat tuanku maha raja Girisila Emalaya, masih ada dua orang raja lagi yang belum tuanku tundukkan yaitu keduanya perempuan yang amat rupawan bertahta di negara Kundadwipa yang sangat diagungkan dan dihormatioleh rakyat. Jocasta/Iocasta pun demikian. Tokoh anak dalam ketaksadarannya harus bersikap normal dengan menginginkan perempuan cantik. Selanjutnya pola Oedipus Complex (baca: pernikahan sumbang). Ketika anak yang berkuasa kemudian menikahi ibunya yang sekaligus permaisuri. Setelah pertempuran berlangsung pihak Kundadwipa menyerah. Maka raja Oedipus dan Watugunung
menikahi perempuan, tanpa tahu bahwa mereka itu adalah ibunya sendiri. Pola yang sama diceritakan dalam Sangkuriang. Bagian ini adalah bagian ketika sang ibu mengidentifikasi suaminya adalah anaknya sendiri. Kembali pada saat Watugunung yang diselisik untuk dicari kutunya oleh kedua istrinya. Saat asyiknya mencari kutu, ketika melipat-lipat rambut yang kurang teratur itu kedua istrinya tercengang seketika, karena melihat bekas luka pada kepala yang sedang dielus-elusnya itu. Maka teringatlah beliau dengan perbuatannya yang terdahulu yaitu memukul kepala putranya dengan sodo (siut) sehingga menimbulkan luka di kepala putranya, demikian pertimbangan di dalam hati. Beliau tidak dapat berbuat apaapa hanya diam tercengang, bahwa suami mereka adalah putranya sendiri. Sementara di swargaloka terjadi hujan badai, cetar membahana. Keadaan gelap gulita. Asyiknya pekerjaan memburu kutu menyebabkan gempa, hujan dengan lebatnya disertai angin dan disambung oleh petir yang mencetar membahana. Melihat tanda-tanda itu para dewa sangat khawatir kejadian apakah yang terjadi. Sekalian dewa menghadap dewa Siwa. ‖Haturnya yang mulia batara Siwa apakah sebabnya terjadi gerakan-gerakan alam yang hebat seperti sekarang ini? Kemungkinan besar ada manusia yang berbuat tidak sesuai dengan perikemanusiaan, tidak sesuai dengan tata susila, membenarkan yang tidak benar berlaku seperti binatang‖. Dewa Siwa segera memanggil pendeta para dewa yaitu Bhagawan Narada (Resi Priarana) supaya menyelidiki perbuatan manusia di dunia yang menyebabkan gerak alam yang dasyat ini. Dang Hyang Narada segera turun untuk menyelidiki perbuatan manusia di dunia ini. Diketahuilah Watugunung sedang asyiknya berkutu dengan kedua istrinya. Dengan segera Dang Hyang Narada kembali
Jurnal Al-Tsaqafa volume 10, No.1, Juli 2013
ke Siwa Loka. Melaporkan kejadian itu kepada Dewa Siwa. Kata beliau ‖Yang mulia Dewa Siwa, ternyata memang ada manusia berbuat yang tidak memenuhi tata susila kemanusiaan yaitu Watugunung mengambil kedua ibunya sebagai istri (permasuri). Di lain cerita, Thebes mengalami; The city, as you see yourself, is now Storm-tossed, and can no longer raise its head Above the waves and angry surge of death. The fruitful blossoms of the land are barren, The herds upon our pastures, and our wives In childbirth, barren. Last, and worst of all, The withering god of fever* swoops on us To empty Cadmus' city and enrich Dark Hades with our groans and lamentations (Sophocles, 1994: 29-30). Keadaan yang sama pada ke dua mitos ini. Penanda amarah alam adalah kesamaan peringatan bagi para dewa dan manusia. Swargaloka membahana pun bumi Yunani demikian. Rakyat Thebes tempat Raja Oedipus berkuasa kelaparan dan terjangkit sampar. Pola penyelesaian (solution) dari tokoh ibu yang menyadari kesalahan perkawinan. Dayang Sumbi meminta dibuatkan danau dan perahu. Sintakasih meminta permaisuri Dewa Wisnu menjadi pembantu. Sementara Jocasta memilih pergi meninggalkan Oedipus. Permintaan Dayang Sumbi dan Sintakasih memiliki pola replacement yang sengaja dibuat untuk tidak mungkin dipenuhi oleh anaknya. ―Kakanda yang terhormat, kami mengingini seorang pembantu yang tidak boleh lain daripada permaisuri Sang Hyang Wisnu‖, demikianlah permaisuri berkata. Beliau
menjawab, ―Sangat sayang aku tidak mengetahui tempat Sang Hyang Wisnu, apakah dinda berdua mengetahuinya?‖ ―Oh tempat Sang Hyang Wisnu ada di bawah tanah‖. Pola penyelesaian masalah dan ending mengakhiri perkawinan sumbang. Tokoh digdaya anak; Watugunung diakhiri dengan dibunuh oleh dewa Wisnu. Oedipus membutakan matanya sendiri. Akhirnya kalahlah Watugunung, tembus dadanya. Berkatalah Watugunung: ‖Ih Hyang Wisnu sekarang matilah aku.‖ Dengan marahnya lalu mengatakan, ―Aku tidak akan henti-hentinya bermusuhan dengan diriku, sampai kepada penjelmaanku yang ketujuh aku tidak akan melupakan hal ini.‖ Hyang Wisnu berkata: ‖benar katamu itu, tetapi dimanakah engkau akan menjelma? Katakanlah! Watugunung menjawab ―aku akan menjelma di Lengka dengan nama Dasasia‖ dan sebaliknya menanyakan kepada Hyang Wisnu di mana akan menjelma nanti? Hyang Aribuana menjawab (bersabda): ‖Ih Watugunung, kalau demikian katamu aku akan menjelma di Yodyapura; pada maharaja Dasaratha dan setiap kali aku lahir, selalu dapat membunuh dirimu!‖ akhirnya meninggallah Watugunung. Dikemudian hari tidak boleh orang yang sudah bersuami dan memperistri ibunya sendiri‖. Batara Wisnu pun mengutuk Watugunung, sabdanya: ‖Tiap-tiap enam bulan engkau runtuh (jatuh). Jawaban Watugunung: ‖Baiklah hamba menuruti sabda tuanku, hamba mohon apabila hamba jatuh di darat hendaknya turun hujan dan bila hamba jatuh di laut supaya hari panas terik, agar hamba tidak kedinginan. Permohonan Watugunung semua dikabulkan. Rakyat dan para dewa yang menjadi korban dalam pertempuran dari Watugunung dihidupkan kembali. Kiranya
Jurnal Al-Tsaqafa volume 10, No.1, Juli 2013
cerita yang serupa dengan ini juga ada di daerah lain atau negara lain. SIMPULAN Universalitas ada karena mitos ada di berbagai belahan dunia. Mitos membuktikan adanya hunungan sumbang. Lewat Oedipus dan Watugunung hubungan sumbang terjadi antara ibu dan anak menjadi bersifat mental karena keadaan manusia-manusia di dunia seakan memiliki kesamaan. Lewat mitos hubungan sumbang kita bisa mengetahui manusia memiliki kecenderungan yang sama atas perihal kejiwaan mereka. Lewat narasi atau mitos yang sama pula manusia bisa memiliki kecenderungan untuk membunuh ayah—untuk menikahi ibu. Sigmund Freud sampai bisa memformulasikan teori Oedipus Complex-nya karena karya sastra secara psikologis sama. Kesamaan struktural mitos dan budaya bertujuan untuk mengungkap versinya yang berbeda. Cerita dalam budaya yang berbeda menjadi berbagi struktur kesadaran. Pembentukan struktural ini mempermirip mitos dari setiap budaya. Kesamaan struktural mengungkapkan bahwa manusia menyeberangi batas-batas budaya. Struktur psikoanalissis mewujudkan konflik antara pengetahuan dengan hubungan seksual termasuk hubungan sumbang. Setiap versi mitos sama berlaku karena masingmasing mencoba mewujudkan semua struktur agar menjadi masuk akal dari dunia yang dinyatakan kacau. DAFTAR PUSTAKA Eagleton, Terry. 1996. Literary Theory: An Introduction. 2nd ed. Malden, Oxford, and Victoria: Blackwell. Jung, Carl. 2002. Analytical Psychology. Tersedia dalam situs online www.boblyman.net. Moddelmog, Debra. 1993. Readers and Mythic Signs: The Oedipus Myth in Twentieth-Century Fiction. Carbondale
and Edwardsville: Southern Illinois University Press. Murray, Gilbert. Oedipus King of Thebes. 2008. Tersedia dalam situs online www.gutenberg.net. Parkin-Gounelas, Ruth. 2001. Literature and Psychoanalysis. New York: Palgrave. Sophocles. 1994. Antigone, Oedipus the King & Electra. Trans. H. D. F. KITTO. Dalam Edith Hall (Ed). 1994. Antigone, Oedipus the King & Electra. Oxford: Oxford University Press. Sophocles. 2008. Oedipus King of Thebes. Dalam Gilbert Murray. (Ed) 2008. Oedipus King of Thebes. Tersedia dalam situs online www.gutenberg.net. Sudarma, IW. Mitologi Watugunung. (2010). Tersedia dalam situs online www.hindu-dharma.org. Tyson, Louis. 2006. Critical Theory Today. New York & London: Routledge.