Mitos dan Filosofi Dalam Pembuatan Tembikar
2003
MITOS DAN FILOSOFI DALAM PEMBUATAN TEMBIKAR (Studi Kasus Tembikar Sungai Janiah Sumatera Barat) Mesra dipublikasikan pada Jurnal Wacana Seni Rupa Vol.3 No.6 2003
Abstrak Masyarakat pengerajin yang tinggal di desa-desa pedalaman, umumnya sangat memperhatikan hubungan antara dirinya dengan alam sekitar. Mereka menyadari bahwa alam memiliki suatu kekuatan Gaib sebagai penguasa, yang kadangkala memberi kebaikan kepada manusia, dan sebaliknya jugs memberi bala/ murka kepada manusia. Masyarakat pengerajin menyikapinya dengan melakukan pemujaan, sebagai bentuk pengabdian, dan membuat mantra-mantra atau azimat, sebagai perlindungan diri atau penangkal mara bahaya. Tembikar Tradisional Sungai Janiah, berangkat dari mitos dan filosofi hidup. Tradisi ini dapat bertahan sampai sekarang, karena kepercayaan lama animisme/ dinamisme masih melekat di hati masyarakat, meskipun kepercayaan baru, yaitu Agama Islam sudah menjadi anu tan seluruh masyarakat. Nilai-nilai tradisi lama tidak akan hilang begitu saja, ketika datang tradisi baru. Tetapi secara perlahan-lahan terjadi pembauran dan tradisi lama mulai ditinggalkan. Perubahan tradisi bersifat evolusi (perubahan secara lambat) dan bukan revolusi (perubahan secara cepat). Kata Kunci: Mitos, filosofi, local genius.
PENDAHULUAN Kerajinan tradisional pada umumnya didukung oleh kekuatan mitos, karena manusia memandang bahwa dunia ini penuh dengan kekuatan gaib yang lebih 1
tinggi, sehingga mereka melakukan pemujaan kepada kekuatan tersebut. Perbuatan mitos seringkali bertalian dengan perbuatan magis. Perbuatan magis sebagai bentuk pengabdian
Wacana Seni Rupa, Jurnal Seni Rupa dan Desain Vol.3, 6, 2003
Mitos dan Filosofi Dalam Pembuatan Tembikar kepada penguasa alam, dan mitos sebagai usaha melindungi diri dari kejahatan alam. Sebagai contoh mitos adalah manusia yang sedang mengucapkan mantra-mantra atau membuat alat-alat tertentu yang maksudnya untuk melindungi diri (Suwaji Bastomi, 1988: 9). Kegagalan membuat tembikar, rusak atau pecah ketika dibakar, diyakini sebagai perbuatan jahat oleh makhluk gaib. Oleh sebab itu pengerajin melindungi dirinya dengan membaca mantra-mantra, atau dengan membuat sebuah azimat. C.A. van Peursen (1988: 37) mengemukakan bahwa mitos ialah sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang. Mitos tidak hanya terbatas pada semacam reportase mengenai peristiwaperistiwa yang dulu terjadi, melainkan semacam buku pedoman bagaimana drama itu harus dimainkan. Dari segi filosofis, Nurhadi Rangkuti (1993: 10) menjelaskan bahwa secara filosofis tembikar melambangkan eratnya hubungan antara manusia dengan alam. Benda budaya itu menggabungkan unsurunsur dasar alam yaitu; tanah, air, angin, dan api. Proses kelahiran tembikar adalah dari tanah hat yang dicampur air, kemudian dibentuk, lalu dikeringkan 2
2003
dengan angin, dan dibakar dengan api. Ide kelahiran tembikar di dalam "pembakaran", merupakan sesuatu yang menakjubkan, karena benda lain seperti kayu, batu, dan logam akan berubah/rusak kalau dibakar. Tetapi tembikar malah menjadi keras, kuat, cemerlang, dan tahan lama setelah dibakar. Sungai Janiah adalah nama sebuah Desa, 15 km sebelah Timur kota Bukittinggi, atau 113 km sebelah Utara kota Padang Sumatara Barat, merupakan sentra kerajinan tembikar semenjak zaman kolonial. Desa yang sangat jauh di pedalaman dan sulit dijangkau dengan kendaraan, ditambah dengan tekanan kaum penjajah ketika itu yang menghambat ruang gerak manusianya (terisolasi), sehingga dalam kondisi yang demikian muncul kreativitas mencipta barang tembikar. Tembikar adalah barang kerajinan tanah hat yang dibakar dengan teknik pembakaran biscuit (bakaran rendah). Menurut KBBI (2001: 1166) tembikar adalah; 1) barang dari tanah liat yang dibakar dan berlapis gilup; porselen; 2) pecahan (pinggan, periuk, dsb); beling; tembereng. Dalam bahasa Jawa dikenal dengan Gerabah. Berdasarkan pendapat tersebut maka dalam tulisan ini yang dimaksud tembikar
Wacana Seni Rupa, Jurnal Seni Rupa dan Desain Vol.3, 6, 2003
Mitos dan Filosofi Dalam Pembuatan Tembikar itu adalah kerajinan tradisional periuk tanah liat dengan teknik bakaran rendah, oleh masyarakat sungai Janiah Sumatera Barat. Koentjaraningrat (1990: 348), menjelaskan bahwa tembikar termasuk teknologi tradisional kebudayaan fisik dalam bentuk wadah. Wadah yang paling banyak mendapat perhatian terutama dari para ahli prehistori, adalah yang dibuat dari tanah hat. Wadah dari tanah hat itu kita sebut dengan istilah "tembikar" atau dalam bahasa Inggris pottery. Teknik pembuatan tembikar pada dasarnya ada empat macam, yaitu teknik pembuatan dengan cetakan, yang kemudian dirusak (lining technique), teknik menyusun gumpalangumpalan lempung (tanah hat) yang ditumpuktumpuk (coiling technique), teknik membentuk satu gumpalan lempung yang besar (modelling technique), dan teknik membuat segumpal lempung yang diputarputar dengan roda (whell-technique). Tembikar merupakan alat wadah untuk tempat makan/minum, tempat memasak, dan tempat barang simpanan. Masyarakat Sungai Janiah mengenalnya dengan Parivak (periuk) yang dibuat berbagai bentuk dan ukuran, serta diberi nama 3
2003
sesuai dengan kegunaannya, diantaranya adalah Balango Parivak untuk memasak gulai, Parivak Nasi untuk memasak nasi, Parivak Katan untuk memasak peganan ketan, Parivak Galuak untuk merebus air, Parivak Minggu untuk menyimpan beras, dan sebagainya.
MITOS TEMBIKAR SUNGAI JANIAH Bermula dari sebuah legenda "Ikan Sakti", yaitu ikan yang merupakan penjelmaan dari sepasang makhluk (manusia dan jin). Ikan tersebut tidak boleh diambil untuk dimakan ataupun dijual, dan makanannya adalah sama dengan makanan manusia (nasi, jagung, krupuk, kacang, daging, dsb). Kisah kejadiannya adalah, seorang bayi perempuan (usia 8 bin) ditinggal oleh ibunya di rumah, ketika hendak pergi ke ladang bersama suami. Tetapi setelah kembali dari ladang ternyata bayinya tersebut sudah hilang. Setelah dicari bersama-sama penduduk hingga malam hari, ternyata tidak juga diketemukan, sehingga orang tuanya menjadi pasrah. Pada malam harinya ibu tersebut bermimpi kalau anaknya sudah menjadi ikan, pada sebuah telaga kecil yang ada di bawah bukit (tidal( jauh dari rumah mereka). Dalam mimpinya dikatakan, bahwa di sana
Wacana Seni Rupa, Jurnal Seni Rupa dan Desain Vol.3, 6, 2003
Mitos dan Filosofi Dalam Pembuatan Tembikar terdapat dua ekor ikan (yang satu betina adalah anak ibu tersebut dan yang satu lagi pasangannya, yaitu penjelmaan dari jin). Sang ibu membuktikannya pada esok hari dengan membawa makanan nasi dan lauk pauk serta memanggilnya dengan mencicitcicit (sesuai petunjuk mimpi). Sang ibu harus menerima kenyataan pahit itu sebagai bentuk hukuman dari penguasa alam. Kejadian yang menimpa keluarga tersebut dipandang oleh masyarakat sebagai petunjuk, bahwa setiap ibu harus merawat anaknya dengan baik, apalagi kalau meninggalkannya dalam waktu yang cult-up lama. Kutukan alam akan datang menimpa setiap orang yang tidak menjalankan kewajibannya secara baik. Semenjak kejadian itu pemuka masyarakat memutuskan bahwa kaum ibu tidak dibolehkan lagi ikut ke ladang, dan sebagai penggantinya mereka bekerja di rumah membuat tembikar ataupun menenun, (Rivai, Pk. Maruhun). Bersamaan dengan aturan tersebut, maka kaum laki-laki tidak diizinkan ikut membuat tembikar, karena tugasnya adalah ke sawah dan ladang. Terjadi pemisahan kerja antara laki-laki dan perempuan sebagai bentuk pemerataan kesempatan kerja (agar lakilaki tidak menguasai semua lahan pekerjaan). 4
2003
Awalnya pembuatan tembikar hanyalah untuk keperluan sehari-hari sebagai wadah memasak makanan, dan wadah makanminum, yang dipenuhi secara sendirisendiri atau keluarga. Tetapi semenjak adanya aturan seperti di atas (setiap kaum ibu menjadi pengerajin tembikar), maka produksi menjadi melimpah melebihi kebutuhan. Kelebihan produksi ini akhirnya harus dijual kepada orang lain. Kemudian timbullah usaha perdagangan, yang ternyata berdampak baik bagi keluarga untuk menambah penghasilan. FILOSOFI TEMBIKAR SUNGAI JANIAH Kerajinan tembikar yang ditandai dengan hilangnya seorang anak dan menjadi ikan, yang mengharuskan kaum ibu hanya bekerja di rumah masing-masing sebagai pengerajin tembikar, menjadi filosofi "Ibu dan Anak" dalam pembuatan tembikar. Betapa kecintaan seorang ibu terhadap anaknya yang hilang, terimplikasikan dalam pekerjaan membuat tembikar. Pembentukan tembikar dilakukan dengan cara memeluknya, dengan menggunakan kedua tangan dan alat bantu sederhana (sebilah papan kecil untuk mengetok dan batu bulat untuk bandulnya). Teknik ini
Wacana Seni Rupa, Jurnal Seni Rupa dan Desain Vol.3, 6, 2003
Mitos dan Filosofi Dalam Pembuatan Tembikar kemudian dikenal dengan teknik tataplandas, (R.Soelcmono,1973: 56 ). Beberapa tahap pembentukan tembikar diasosiasikan sebagai seorang ibu sedang mengasuh anaknya. Tahaptahap itu diberi nama seperti bakanak, maambuai, maambuang, maurak, mangguliak, dan maubek (beranak, dibuaikan, dilambung-lambungkan, dibukakan/pakaiannya, digolekgolelckan/ bermain, dan diobati/jika sakit). Pekerjaan ini dilakukan dengan teliti dan penuh kesabanan menunggu hasil yang diharapkan. Hal ini diibaratkan pertumbuhan seorang anak yang memakan waktu lama, untuk menjadi besar dan membalas jasa orang tuanya. Kerajinan tembikar pada mulanya tidak dipandang sebagai mata pencahanian, meskipun dapat mendatangkan hasil. Kerajinan tembikar hanya sebagai sambilan bagi kaum ibu, yang tugas utamanya adalah mengurus rumah tangga. Kerajinan tembikar diibaratkan seorang ibu yang memiliki anak, dia bukan memproduksi anak untuk komersial, tetapi anak adalah penyambung keturunan. Begitu pula halnya dengan tembikar yang berfungsi sebagai peyambung hidup dan bukan mencari keuntungan yang besar. Namun dikemudian hari kerajinan tembikar itu juga, 5
2003
berubah tujuannya sehingga lebih mengutamakan tujuan komersial. KEUNIKAN TEMBIKAR SUNGAI JANIAH Kerajinan etnis memang bervariasi bentuknya karena adanya perbedaan sumber daya alam dan lokal genius penciptanya. Edi Sedyawati (1986: 186) mengemukakan bahwa local genius dapat dibedakan dalam dua pengertian, (1) segala nilai, konsep dan teknologi yang telah dimiliki suatu bangsa sebelum mendapat "pengaruh asing", (2) daya yang dimiliki suatu bangsa untuk menyerap, menafsirkan, mengubah, dan mencipta sepanjang terjadinya pengaruh asing. Bertolak dari poin pertama di atas maka dalam konteks budaya etnis, lokal genius' dapat diartikan sebagai keterampilan khusus yang dimiliki masyarakat sebagai ciri budaya lokal. Ciri lokal yang dibawa oleh kerajinan tembikar Sungai Janiah adalah : 1. Dibentuk di atas pelukan 2. Bentuk tembikar bulat seperti duapertiga bola 3. Tembikar semetris dan tipisnya merata 4. Warna tembikar alami tanpa zat pewarna
Wacana Seni Rupa, Jurnal Seni Rupa dan Desain Vol.3, 6, 2003
Mitos dan Filosofi Dalam Pembuatan Tembikar Pembentukan tembikar di atas pelukan pengerajin dengan duduk berselunjur. Kaki pengerajin ditutupi karung goni, dan di atasnya tembikar dibentuk dengan kedua tangan. Alat bantu utamanya yaitu bingkai (lingkar) dari akar tumbuhan hutan, sebagai pola pembentuk permukaan periuk. Tanah dibuat berbentuk cakram dan dipasangkan pada lingkaran. Kemudian cakram didorongdorong dengan kepalan tinju sehingga membentuk cembung ke suatu sisi dan cekung di sisi lain. Selanjutnya dibentuk dengan memukulmukul pakai papan kecil dari luar dan alas batu bulat dari dalam. Teknik ini kemudian dikenal dengan teknik tatap-landas. Kemudian dijemur dengan posisi telungkup sampai kekeringan tertentu, kemudian dilanjutkan pada tahap pembentukan berikutnya. Tahap pertama ini di sebut bakanak (beranak). Bentuk tembikar bulat seperti duapertiga bola, dan permukaannya diberi bibir (ada yang sedikit saja bulat, melebar keluar, lebartegak, pakai leher dan bibir, dan pakai telinga). Karena alas tembikar bulat, maka penggunaannya harus pakai pengganjal supaya tidak oleng, ganjal ini disebut laka dan senggan. Laka adalah anyaman rotan atau akar dengan lebar 3 -5 cm 6
2003
dibentuk melingkar sesuai alas tembikar. Senggan adalah anyaman rotan berbentuk bakul berkaki, disesuaikan dengan ukuran alas tembikar, sehingga tembikar bisa diletakkan di atasnya. Meskipun tembikar dibuat dengan tangan dan alat-alat sederhana, dengan posisi ditidurkan di atas pelukan perajin, namun simetrisnya bagus sekali seperti produksi mesin. Kemudian ketebalan tembikar juga merata antara 3 - 5 mm, disesuaikan dengan besarnya tembikar. Permukaan tembikar licin dan tidak merembes air. Pewarnaan tembikar dilakukan secara alami, ketika dibangkit dan pembakaran (teknik tungku ladang). Tembikar panas dan pembakaran diletakkan di tanah, kemudian dipercikkan sekam sedikit demi sedikit, sehingga sekam yang menempel pada tembikar ikut terbakar dan menimbulkan warna bintikbintik hitam pada permukaan tembikar. Warna lain yaitu hitam sebelah, cars membuatnya adalah tembikar panas ditidurkan pada sekam, sehingga permukaan yang menempel pada sekam itu menjadi hitam, dan sebelahnya tetap merah (terakota). Ada pula yang diluarnya merah dan dalamnya hitam, dan
Wacana Seni Rupa, Jurnal Seni Rupa dan Desain Vol.3, 6, 2003
Mitos dan Filosofi Dalam Pembuatan Tembikar sebaliknya. Kemudian ada pula yang dihitamkan semuanya.
PEMBAHASAN Legenda Ikan Sakti, merupakan sebuah mitos yang diyakini masyarakat secara turun-temurun sampai hari ini. Kerajinan tembikar mendapat kekuatan dan mitos tersebut, sehingga tembikar dianggap sebagai benda yang mulia. Semenjak dan persiapan bahan tanah liat, pembentukan, pembakaran dan penggunaan tembikar senantiasa didukung oleh kepercayaan (magi) dan mitos. Teknik pembentukan tembikar di Sungai Janiah Sumatera Barat memiliki perbedaan dan daerah lain, karena tembikarnya dipangku (dibentuk di atas pelukan si pengerajin) yang duduk berselunjur. Duduk berselunjur dianggap sebagai sikap yang paling sopan bagi pengerajin, dimana menurut etika masyarakat setempat, bahwa kedua lutut atau kaki perempuan harus selalu rapat. Proses pembuatan tembikar diyakini sebagai upaya mengenang tragedi hilangnya bayi (yang menjadi ikan). Proses pembentukan tembikar identik dengan mengasuh bayi (momongan), sehingga beberapa tahapan pembentukan tembikar 7
2003
diberi nama sama dengan aktifitas mengasuh bayi, sbb : 1) Bakanak (beranak/ melahirkan) adalah pembentukan awal dengan cara melengketkan tanah liat pada bingkai (lingkaran dari anyaman akarakaran) membentuk seperti cakram. Kemudian diangkat ke atas pelukan (perajin dengan posisi duduk berselunjur) dengan posisi cakram berdiri (sejajar dengan kaki) dan dipegang dengan tangan kiri. Selanjutnya dengan tangan kanan yang dikepalkan, menekannekan tanah liat secara perlahan-lahan sehingga menggelembung ke salah satu sisi (seperti bola dibelah dua). 2) Maambuai (membuaikan) adalah kelanjutan dari bakanak, yaitu dipukulpukul secara perlahan (karena tanahnya masih basah) dengan teknik tataplandas, sehingga ketebalannya merata, kemudian di jemur. 3) Maambuang (diangkat/dilambunglambungkan) adalah kelanjutan dari maambuai yaitu setelah agak kering pada bagian dasar (yang
Wacana Seni Rupa, Jurnal Seni Rupa dan Desain Vol.3, 6, 2003
Mitos dan Filosofi Dalam Pembuatan Tembikar tadinya dijemur) kembali dipukul-pukul dengan tenik tatap di atas pelukan perajin, guna mendapatkan bentuk alas tembikar sedikit agak datar (agar tidak mengguling, ketika diletakkan) dan sekaligus memadatkan partikel tanah hat. Pada saat ini disempurnakan bentuk dasar tembikar sebagaimana yang diinginkan. Bagian samping dan permukaan tembikar masih dibiarkan (bingkai masih terpasang). Kemudian kembali di jemur dengan posisi terbuka ke atas. 4) Maurak (membuka) adalah lanjutan dari maambuang yaitu tembikar yang tadinya dijemur, setelah agak kering bingkai dibuka, dan bagian samping tembikar kembali dipukul-pukul dengan teknik tatap untuk mencapai seberapa cembungnya yang diinginkan sekaligus memadatkan partikel tanah hat serta meratakan ketebalan tembikar dan meratakan permukaannya (bibir) dengan pisau. 5) Mangguliak (mengolekgolekkan). Tembikar yang sudah terbakar sempurna akan berwarna merah. Untuk mendapatkan warna 8
2003
hitam, maka ketika dia masih panas lalu digolek-golekkan ke atas sekam padi), dan sebagian dari sekam tersebut dimasukkan ke dalam tembikar tadi. Sekam akan terbakar oleh panasnya tembikar, dan tembikarnya akan berwarna hitam. Sedangkan untuk mendapatkan tembikar yang memiliki warna alami ( m er ah a k i b at p emb a ka ran ) t i d a k digolekkan ke dalam sekam (habis dibakar lalu biarkan saja sampai dingin). Untuk mendapatkan variasi warna biasanya pengerajin tidak menggolekkan sepenuhnya ke atas sekam, tetapi sebelah saja, atau bagian luarnya saja, atau hanya menyemburkan sedikit sekam pada permukaan tembikar yang panas itu. Hasil yang dicapai adalah bervariasi warna seperti; merah ash (polos), hitam sebelah-merah sebelah, bintik-bintik hitam di atas merah, dan hitam polos. 6) Maubek (mengobati), sehabis dibakar dan didinginkan, biasanya tembikar yang berwarna hitam diobati kembali dengan menggosok-gosok pakai daun kacang atau
Wacana Seni Rupa, Jurnal Seni Rupa dan Desain Vol.3, 6, 2003
Mitos dan Filosofi Dalam Pembuatan Tembikar daun labu. Hasilnya adalah hitam mengkilat, sekaligus mengisi poripori tanah hat dan melapisi permukaan (seperti email).
KESI MPU LAN Tembikar tradisional pada umumnya ditopang oleh kekuatan magi atau mitos. Masyarakat pengerajin Tembikar Sungai Janiah sangat mempercayai kekuatan alam, sehingga mereka mengabdikan hidupnya kepada kekuatan tersebut. Kepercayaan animisme dan dinamisme masih mewarnai sistem religius masyarakat, meskipun sudah mendapat pengaruh agama Hindu/Budha dan Islam. Sekarang semua masyarakat Sungai Janiah beragama Islam, namun bentuk keyakinan lama masih ada
9
2003
melekat dihati mereka, sehingga tembikar tradisionalnya masih bertahan seperti dulu. Teknik pembuatan tembikar yang demikian terusmenerus dipertahankan (pelestarian tradisi), karena kuatnya filosofi "Ibu dan Anak" sebagai penopang konsep kekriyaannya. Sikap duduk pengerajin tembikar Sungai Janiah ketika membentuk tembikar (berselunjur), merupakan bentuk penerapan nilai-nilai adat masyarakat tradisional, yang dijunjung tinggi oleh pengerajin, yaitu "kaki perempuan harus rapat kedua lututnya". Norma adat yang demikian seharusnya berlaku dalam seluruh aktivitas perempuan, namun dewasa ini hal itu sudah berubah terutama bagi generasi mudanya.
Wacana Seni Rupa, Jurnal Seni Rupa dan Desain Vol.3, 6, 2003
Mitos dan Filosofi Dalam Pembuatan Tembikar
2003
DAFTAR PUSTAKA Bastomi, Suwaji. 1988. Apresiasi Kesenian Tradisional. IKIP Semarang Press. Peursen, C.A. van.1988. Yogyakarta.
Strategi
Kebudayaan.
Penerbit
Kanisius.
Rangkuti, Nurhadi.1993. Alam Tembikar Indonesia. Dalam Ganesha-Ghaneshi, Seni Tembikar Kreasi F.Widayanto. Koentjaraningrat. 1990. Pengantar llmu Antropologi. PT. Rineka Cipta. Jakarta. Soekmono, R. 1973. Pengantar Sejarah Kebuayaan Indonesia 1. Penerbit Kanisius.Yogyakarta, Pk. Maruhun, Riva'i. Asal Usul Ikan Sakti Sungai Janiah. Padang.
10
Wacana Seni Rupa, Jurnal Seni Rupa dan Desain Vol.3, 6, 2003