LESTARI BRIEF LESTARI Brief No. 08 I 17 Juli 2017
USAID LESTARI
MENGEMBALIKAN KEJAYAAN KOMODITAS PALA Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri
PENGANTAR Dalam wikipedia Indonesia disebutkan bahwa Pala (Myristica Fragrans) adalah salah satu jenis tumbuhan (pohon) yang berasal dari Kepulauan Banda, Maluku. Selanjutnya tanaman pala terus menyebar dan berkembang di Sulawesi Utara sampai ke Aceh 1 . Sebagai bagian dari rempah-rempah yang bernilai tinggi, maka sejak era Romawi buah dan biji pala telah menjadi komoditas perdagangan yang penting bagi masyarakat banda khususnya. Menurut ensiklopedia karya Plinius "Si Tua", pala tersebar luas di daerah tropika lain seperti Mauritius dan Karibia (Grenada). Indonesia sendiri merupakan negara pengeks-
WWW.LESTARI-INDONESIA.ORG
por biji pala dan fuli terbesar di pasaran dunia. Sampai saat ini diperkirakan 85% kebutuhan pala di pasaran dunia berasal dari Indonesia dan sisanya dipenuhi dari negara lainnya seperti Grenada, India, Srilangka dan Papua Newgini2. Tumbuhan ini berumah dua (dioecious) sehingga dikenal dengan pohon jantan dan pohon betina. Pala baru dapat berbuah ketika berusia 7 - 9 tahun hingga maksimum setelah 25 tahun. Sekalipun memiliki pasar yang baik, buah pala, sepertinya belum dikelola secara intensif sebagai komoditas perkebunan yang penting di Indonesia terutama dari Propinsi Aceh. Salah satu sebabnya adalah pandangan masyarakat masa itu yang semata menjadikan
USAID LESTARI Mengembalikan Kejayaan Komoditas Pala | 1
komoditas pala tak lebih sebagai bumbu dapur saja (rempah). Banyak praktisi pertanian tidak cukup memberi perhatian melalui riset, penyuluhan/pendidikan dan kebijakan terhadap tanaman pala sebagai sumber pendapatan. Padahal, harga pala cukup menjanjikan bagi peningkatan kesejahteraan petani. Tahun 2017 misalnya, harga pala berkisar antara Rp 85.000,- di luar Jawa dan Rp 100.000,hingga Rp. 130.000,- per kilogram (kg) untuk di Jawa. Inipun dalam bentuk biji. Sementara dari penutup biji pala atau petani menyebutnya sebagai bunga pala harganya sekitar Rp 180.000 – Rp 200.000 per kg. Karenanya di beberapa daerah, pala menjadi salah satu tulang punggung perekonomian daerah. Sebagai contoh di Kabupaten Aceh Selatan, dengan produksi pala Aceh Selatan mencapai 5.906 ton setara biji pala kering, keberadaan perkebunan pala sangat penting dalam perekonomian daerah3.
PALA INDONESIA: MASALAH DAN TANTANGAN Sebagai komoditas yang sudah tua, pala merupakan satu diantara 15 komoditas perkebunan rakyat yang produktif hingga kini. Namun dengan nilai ekonomi yang belum signifikan, komoditas pala belum banyak dikelola oleh sektor perkebunan besar seperti kelapa sawit, teh, tembakau, kelapa sawit dan coklat. Sekalipun dalam statistik resmi pemerintah yaitu Direktorat Jendral Perkebunan Indonesia, pala sudah dimasukan dalam kategori komoditas penting untuk dipublikasikan dari segi luasan areal, jumlah produksi, sebaran wilayahnya dan jumlah petani pemilik dan tenaga kerjanya. Sehingga tidak berbeda dengan komoditas kelapa sawit yang mudah diketahui profil usahanya. Ini menunjukkan bahwa pemerintah pada dasarnya telah memandang pala sebagai komoditas perkebunan yang perlu untuk dikembalikan kejayaannya betapapun belum maksimal upayanya.
TABEL 1. SENTRA AREA DAN PRODUKSI PALA INDONESIA, TAHUN 2013 Luas Areal (hektar) Jumlah
Produksi (ton)
Petani (kk)
1.691
37.711
6.788
23.541
9.996
2.958
32.016
4.729
20.079
9.919
9.215
1.898
21.031
5.790
27.316
4. Sulawesi Utara
6.637
9.646
1.056
17.339
3.410
25.574
5. Papua Barat
2.305
4.567
670
7.548
1.373
5.316
6. Jawa Barat
2.554
2.358
295
5.207
836
27.813
7. Sumatera Barat
492
2.614
165
3.271
469
4.106
8. Sulawesi Selatan
1.066
1.231
133
2.430
495
4.568
9. Sulawesi Tengah
2.499
679
66
3.244
173
2.775
995
349
26
1.370
106
2.218
2.355
1.063
61
3.542
1.152
9.219
71.281
54.341
9.087
134.709
25.321
152.525
Propinsi
TBM
TM
TTR
Immature
Mature
Damaged
1. Maluku Utara
23.397
12.623
2. Maluku
19.062
3. Aceh
10. Nusa Tenggara T 11. Lainnya Jumlah
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia 2014
WWW.LESTARI-INDONESIA.ORG
USAID LESTARI Mengembalikan Kejayaan Komoditas Pala | 2
Hingga tahun 2011 luas perkebunan pala di Indonesia mencapai 118.345 hektar yang tersebar di 11 propinsi dengan produksi 15.793 ton. Dimana 80,34% dari total areal berada di empat propinsi yaitu Maluku Utara, Maluku, Aceh dan Sulawesi Utara. Produksi pala dunia rata-rata mencapai 18.000 ton per tahun. Dari data World Spice Conggres 2012, menunjukkan bahwa ada 4 negara sebagai suplai kebutuhan dunia yaitu Indonesia (78%), Srilanka (12%), India (9%) dan Grenada (1%). Ekspor Indonesia meningkat sekitar 12% dibandingkan tahun sebelumnya dan rata-rata produksi pala dari berbagai negara meningkat sebesar 4% per tahun sejak 2001. Produksi pala dari negara Grenada sebenarnya cukup besar, namun sejak topan hurricane tahun 2004-2005 mengalami penurunan yang tajam. Nilai perdagangan pala di dunia termasuk reekspor dari negara asal mencapai nilai sekitar
US $ 115 juta sampai tahun 2011. Dimana pala dari negara-negara penghasil diekspor ke Vietnam dan kemudian diolah untuk diekspor terutama ke negara-negara Eropa. Sehingga sekalipun Vietnam tidak memiliki perkebunan pala, namun dikenal sebagai negara (hub) untuk ekspor produk pala 4 . Terkait dengan nilai ekspor, sekalipun Indonesia memiliki angka ekspor pala terbesar di dunia, namun harganya jauh dibanding Grenada dan India. Hal ini dikarenakan pala Indonesia masih dipandang kurang berkualitas. Dari keempat wilayah di Indonesia yang merupakan sentra produksi pala, hanya di Propinsi Sulawesi Utara yang dikenal memiliki kualitas produksi terbaik. Sementara untuk pala dari wilayah Sumatera dan khususnya Aceh kualitasnya masih dianggap rendah. Karena itu, pala di Aceh lebih banyak diekstraksi menjadi minyak atsiri dan produk yang lain. Selain itu, produktivitas perkebunan pala di Indonesia juga dikenal masih rendah.
GRAFIK 1 : HARGA PALA DARI NEGARA PRODUKSI UTAMA DI DUNIA
WWW.LESTARI-INDONESIA.ORG
USAID LESTARI Mengembalikan Kejayaan Komoditas Pala | 3
Rata-rata produktivitas pala dunia mencapai 451 kg/hektar. Produktivitas pala di Indonesia jauh di bawah itu yakni sebesar 98,9 kg/ hektar. Sementara produktivitas pala di Grenada (sebagai negara penghasil pala terbesar kedua setelah Indonesia) mencapai 275,4 kg/hektar. Karena itu, pada tahun 2015 sekitar 15 ton pala dari Indonesia ditolak masuk ke pasar Eropa karena Notifkasi dari Rapid Alert System on Food and Feed (RASFF) Portal UE tahun 2014, yang menemukan komoditas pala Indonesia mengandung Aflatoksin, sejenis jamur, diatas ambang batas. Peraturan Uni Eropa 165 Tahun 2010 mensyaratkan bahwa setiap pala yang diimpor ke negara-negara UE, tidak boleh melebihi kandungan Aflatoksin B1 sebesar 5 ppm, dan Aflatoksin Total sebesar 10 ppb 5 . Hal ini disebabkan oleh perlakuan pada kegiatan pasca panen terutama kondisi air pada waktu penyimpanan. Bahkan pada tahun 2014 sekitar 2.970 hektar (22,15%) dari 13.400 hektar tanaman pala di Aceh Selatan mengalami kematian akibat serangan hama penggerek dan jamur akar putih.6 Disamping masalah pengelolaan produksi pasca panen, rendahnya mutu pala di Indonesia disebabkan juga oleh beberapa faktor teknis produksi yang belum mengalami perbaikan. Pertama, penanaman kembali (replanting). Tanaman pala yang diusahakan oleh petani pada umumnya lebih menggantungkan pada bibit yang bersumber dari alam berupa biji secara generatif yaitu anakan yang tumbuh secara alamiah, bukan bibit yang dibuat dari pola persemaian. Karenanya tingkat pertumbuhan tanaman pala dan kualitas buahnya berbeda diantara petani. Walaupun telah ditemukan bibit pala grafting (sambung) secara vegetatif. Kedua, teknis penanaman yang dilakukan oleh petani umumnya didasarkan pada pengalaman bercocok tanam masa lalu. Sekalipun masih relevan, namun hasilnya kurang maksi-
WWW.LESTARI-INDONESIA.ORG
mal karena proses penanaman belum disesuaikan dengan standar yang ada. Ketiga, masalah kemampuan dan ketrampilan budi daya tanaman pala yang belum standar diantara petani mulai dari pemupukan, penyiraman, perawatan hingga pemanenan.
REKOMENDASI Pala sebagai tanaman perkebunan dan produk hutan non kayu pada dasarnya merupakan kegiatan ekonomi sangat strategis dan bernilai ekonomi tinggi bagi rakyat dan pemerintah daerah. Keberhasilan mengelola pala sebagai komoditas ekonomi juga memberi dampak/pengaruh terhadap laju penurunan deforestasi di suatu kawasan. Upaya mengembangkan pala sebagai komoditas ekonomi, sebenarnya bukanlah tanpa dasar mengingat beberapa faktor berikut: 1. Kebutuhan pala di dunia yang semakin meningkat, sementara pada sisi lain belum diikuti dengan suplai dari negaranegara penghasil secara optimal akibat pertumbuhan produksi yang lambat. Termasuk karena pemanenan lebih awal dilakukan petani dan kondisi perubahan iklim di Indonesia. Menurut VOX Trading CO.LTD kebutuhan pala dunia sampai tahun 2020 akan meningkat hingga 5 % setiap tahunnya. 2. Grenada sebagai pesaing utama dari Indonesia dalam mensuplai kebutuhan pala dunia diperkirakan akan meningkat produksinya terutama dari tanaman baru pasca topan hurricane tahun 2004 dan 2005. Karenanya untuk mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai negara eksportir pala di tingkat dunia sekaligus menjadikan pala sebagai komoditas ekonomi bagi kesejahteraan petani, daerah dan negara, maka beberapa kebijakan yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut :
USAID LESTARI Mengembalikan Kejayaan Komoditas Pala | 4
Pemerintah perlu memperkuat kegiatan penelitian dan pengembangan pala terutama dalam perbaikan kualitas pala Indonesia yang meliputi pembibitan, penanaman, budidaya hingga pasca panen untuk menghilangkan penyakit aflatoxin.
Pemerintah perlu memperkuat proses produksi pala khususnya dan komoditas rempah-rempah melalui kegiatan pelatihan, penyuluhan dan pembinaan secara intensif. Termasuk menyusun standarisasi teknis pengolahan pala. Dengan demikian, ada jaminan mutu atas produk pala yang dihasilkan petani.
Pemerintah perlu memperkuat kegiatan hilirisasi industri pengolahan pala di tingkat lokal (petani/koperasi) seperti minyak atsiri sehingga mengurangi penjualan (ekspor) pala dalam bentuk bahan mentah. Dengan demikian semakin meningkatkan nilai tambah bagi petani dan masyarakat lainnya.
Pemerintah perlu melibatkan sektor swasta untuk membangun sistem tata niaga yang adil dalam rangka menjamin kepastian harga dan pasokan kebutuhan melalui skema Benefit Cost Sharing. Sehingga petani tidak terjebak pada tengkulak yang bersifat rente.
Publikasi ini dibuat dengan dukungan dari Rakyat Amerika Serikat melalui United States Agency for International Development (USAID). Isi dari publikasi ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Tetra Tech dan tidak mencerminkan pandangan USAID atau Pemerintah Amerika Serikat.
WWW.LESTARI-INDONESIA.ORG
USAID LESTARI Mengembalikan Kejayaan Komoditas Pala | 5