Lembar Pengesahan
METODA REHIDRASI USATF SEBAGAI METODE ALTERNATIF PEMULIHAN CAIRAN TUBUH
Oleh: dr. Hamidie Ronald, M.Pd, AIFO
Disampaikan Pada: Seminar Nasional 2 “Revitalisasi Penjas Melalui Pembenahan Citra Paradigmatis, Esensi Filosofis serta Struktur Kelembagaan” Bandung 21-22 Desember 2009
Ketua Pelaksana
Prof. Danu Hoedaya, Ph.D
METODA REHIDRASI USATF SEBAGAI METODE ALTERNATIF PEMULIHAN CAIRAN TUBUH
A. Kebutuhan Tubuh Akan Cairan Tubuh manusia terdiri dari sebagian besar air 60%-70% (Sri Murni 2006), oleh karena itu maka asupan cairan yang adekuat melalui air minum sangat penting agar performance atlet dapat optimal. Air mempunyai fungsi penting, yaitu: (1) Untuk menjaga volume darah serta regulasi fungsi kardiovaskular (2) Untuk regulasi suhu tubuh, karena pada saat latihan diproduksi panas yang harus dikeluarkan dari tubuh maka panas akan dikeluarkan dengan cara konduksi, radiasi dan evaporasi melalui keringat serta pernafasan dan (3) Merupakan media pengangkut O2, CO2 dan nutrien. Keseimbangan cairan di dalam tubuh memang sangat diperlukan oleh tubuh untuk menjaga agar konsentrasinya dalam sel tetap seimbang sehingga kerja dari saraf dalam hal ini menyampaikan impuls kepada otot menjadi lebih baik, hal ini sesuai dengan pendapat Dadang (2000) yang mengatakan:
Hampir semua reaksi biokimia yang terjadi di dalam tubuh tergantung dari keseimbangan air dan elektrolit. Konsentrasi cairan di dalam sel (cairan intra sel) dan di luar sel (cairan ekstra sel) harus dipertahankan tetap seimbang. Keseimbangan cairan intra sel dan cairan ekstra sel tujuannya untuk transmisi impuls saraf dan kontraksi otot yang penting saat melakukan olahraga.
Untuk terjadinya kontraksi otot selama berolahraga diperlukan produksi energi, yang sebagian besar daripadanya berubah menjadi panas. Panas yang terbentuk dialirkan secara cepat dari otot melalui darah ke permukaan tubuh. Panas tubuh kemudian dibebaskan ke atmosfer lewat keringat yang keluar dari tubuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Irawan (2007) yang menyatakan:
Hal lain
yang
sangat
penting
selama
melakukan olahraga adalah
mempertahankan atau memelihara suhu tubuh. Oleh karena, kontraksi otot menghasilkan energi. Energi yang terbentuk dari kontraksi otot sebagian besar berupa energi panas yaitu sebanyak 75% dan sisanya 25% berupa energi gerak.
Panas tubuh yang terjadi pada saat berolahraga akan sangat berbahaya apabila tidak ada upaya proses pendinginan tubuh. Banyak usaha tubuh untuk melakukan proses pendinginan tubuh, salah satunya adalah berkeringat Pembuangan panas tubuh merupakan masalah keselamatan bagi semua orang khususnya olahragawan. Bloomfield (2000) seperti yang dikutip Giriwijoyo (2005) menjelaskan bahwa: ”Kegagalan membuang panas pada orang dalam keadaan istirahat akan menyebabkan kematian dalam waktu kurang dari 6 jam, sedangkan dalam dalam olahraga dapat terjadi dalam waktu dari 30 menit.” Lebih jauh Giriwijoyo (2005) menjelaskan mekanisme pembuangan panas, tubuh mempunyai beberapa cara yaitu: 1. Pembuangan panas secara radiasi (pancaran). Panas dipindahkan dengan cara dipancarkan. Hal ini contohnya pada waktu seseorang berdiri di dekat api, maka orang itu akan merasa hangat bahkan semakin lama akan merasa panas, hal ini terjadi karena terjadinya pancaran panas dari api ke sekitarnya termasuk kepada tubuh orang tersebut. Pembuangan panas secara radiasi ini dapat bersifat positif dan negatif. Pada suhu lingkungan sekitar 21 0C pembuangan panas tubuh secara radiasi meliputi jumlah 60% dari seluruh pembuangan panas tubuh. Pada suhu lingkungan 24 – 33 0C pembuangan panas tubuh secara radiasi menjadi lebih sulit, sehingga peranannya menurun menjadi 2035% dari seluruh pembuangan panas tubuh. Bila suhu lingkungan meningkat menjadi lebih tinggi dari suhu tubuh, maka tubuh tidak dapat membuang panas dari lingkungan melalui radiasi seperti halnya bila seseorang berdiri di dekat api. 2. Pembuangan panas secara konduksi Dalam keadaan biasa, pembuangan panas tubuh secara konduksi berlangsung kecil saja, yaitu hanya kepada selapis tipis udara yang melekat ke tubuh. Hal ini disebabkan karena udara bukan penghantar panas yang baik. Akan tetapi konduksi akan membesar manakala terjadi aliran udara. Udara yang telah menyerap atau memberikan panas secara konduksi, kemudian diganti oleh udara lain yang lebih dingin atau lebih panas, tergantung kepada suhu lingkungan saat itu. Lapis tipis udara yang melekat pada tubuh akan berubah suhunya oleh karena terjadi pertukaran suhu dengan tubuh dan oleh karena itu berat jenisnya berubah. Perubahan berat jenis ini menyebabkan terjadinya aliran udara. Peristiwa aliran udara seperti itu disebut konveksi. Itulah salah satu fungsi dari kipas angin di tempat yang panas. Pembuangan panas tubuh secara konduksi dapat bersifat positif atau negatif tergantung suhu udara pada saat itu apakah lebih tinggi atau lebih rendah dari suhu tubuh. 3. Pembuangan panas secara evaporasi (penguapan)
Kulit dilengkapi dengan kelenjar keringat dengan jumlah sekitar 2,5 juta dan tersebar di seluruh permukaan tubuh, terutama di telapak tangan, telapak kaki dan leher. Bilamana diperlukan maka kelenjar keringat akan membentuk keringat yang akan dicurahkan ke permukaan kulit, kemudian diuapkan. Besar pembuangan panas secara evaporasi ditentukan oleh banyaknya keringat yang berhasil diuapkan, bukan oleh banyaknya keringat yang dihasilkan. Jumlah keringat yang diproduksi tergantung beberapa faktor dan meningkat seiring dengan peningkatan intensitas, aktivitas, temperatur dan kelembaban udara. Latihan yang lama menimbulkan hilangnya cairan dan elektrolit dari tubuh melalui keringat. Bahkan lebih jauh Blommfield (2000) seperti yang dikutip Giriwijoyo (2005) menegaskan: ”Faktor faktor yang menentukan banyaknya keringat yang diuapkan yaitu: (1) suhu tubuh dan atau suhu lingkungan, (2) jumlah keringat yang dihasilkan, (3) besar aliran udara (konveksi), (4) kelembaban udara.”
B. Faktor Lingkungan terhadap Pembuangan Panas Manusia sebagai mahluk homeotherm (berdarah panas), selalu membentuk panas, oleh karena itu perlu selalu membuang kelebihan panas tubuhnya agar suhu tubuh dapat dipertahankan konstan. Bila proses pembuangan panas ini tidak berhasil maka akan terjadi keadaan yang disebut hyperpyrexia atau hyperthermia (kelebihan panas). Wendy Bumgardner dalam Giriwijoyo (2005) mengatakan: ”Bila hyperpirexia ini terjadi dalam waktu 6 jam akan menyebabkan kematian yang disebabkan oleh karena enzym-enzym untuk proses olahdaya (metabolisme) menjadi tidak berfungsi.” Keadaan Hyperpirexia ini terutama banyak terjadi pada saat melakukan aktivitas olahraga. Pyke dan Sutton (1992) seperti yang dikutip Giriwijoyo (2005) juga mengatakan: ”Pada olahraga, pembentukan panas tubuh dapat meningkat menjadi 10-20 kali dari istirahat.” Melihat kejadian tersebut diatas maka yang juga harus diperhatikan pada saat pembuangan panas tubuh adalah suhu lingkungan dimana olahraga tersebut dilakukan. Ditinjau dari segi pembuangan panas tubuh, maka suhu lingkungan yang tidak menguntungkan yaitu suhu lingkungan yang tinggi. Suhu tubuh merupakan hasil keseimbangan antara produksi panas oleh tubuh dengan pembuangannya. Giriwijoyo (2005) menjelaskan: ”Produksi panas terjadi karena adanya proses kimia yang disebut olahdaya (metabolisme) yang menghasilkan daya (energi) untuk berbagai proses dalam tubuh antara lain: (1) kerja saraf, kelenjar, otot (kerja fisik) (2) membentuk zat-zat baru (3) mempertahankan suhu tubuh. Lebih jauh Giriwijoyo menjelaskan: ”Pembentuk panas yang terpenting dalam tubuh ialah otot.”
Dari pernyataan tersebut diatas maka dapat dipahami bahwa makin berat dan makin lama kerja otot / kerja fisik maka makin besar produksi panasnya. Oleh karena itu kalau akan menyelengarakan jenis olahraga yang berat dan memerlukan waktu (durasi ) lama (lari marathon, lari lintas alam, sepak bola) di udara terbuka, harus selalu memperhitungkan suhu dan kelembaban udara lingkungan. Dalam hubungan dengan olahraga, perpindahan ke lingkungan yang bersuhu dan kelembaban lebih rendah adalah menguntungkan, karena lebih memudahkan pembuangan panas. Sedangkan perpindahan ke lingkungan yang bersuhu dan berkelembaban lebih tinggi bersifat lebih merugikan tubuh. Pada saat berolahraga produksi panas meningkat, yang memerlukan pembuangan panas yang harus lebih mudah yaitu bila suhu dan kelembaban lingkungan yang lebih rendah. Suhu lingkungan yang lebih rendah mempermudah pembuangan panas melalui pancaran dan hantaran, sedangkan kelembaban yang lebih rendah mempermudah pembuangan panas melalui penguapan. Ada beberapa faktor predisposisi terjadinya kegawatan panas yaitu, (1) penyakit jantung pembuluh darah, (2) kecanduan alkohol, (3) kegemukan / obesitas, (4) baru saja sembuh dari penyakit demam, (5) kelemahan fisik yaitu kebugaran jasmani yang rendah. Faktor-faktor lain yang dapat membantu mempermudah kejadian tersebut ialah pemakaian obat-obatan misalnya diuretika, sedativa (obat penenang) dan obat anticholinergik misalnya obat sakit maag (lambung). Oleh karena itulah maka setiap atlet yang menggunakan atau memerlukan obat harus mengkonsultasikannya dengan dokter team agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti penggunaan obat yang termasuk doping dan kelainan yang timbul yang disebabkan reaksi obat. Gejala kegawatan panas lainnya diterangkan Dadang (2000 ) sebagai berikut :
Beberapa gejala dari kegawatan panas yang perlu diketahui yaitu : pusing dan sakit kepala, mual, penglihatan kabur, kacau pikir, yang selanjutnya diikuti dengan kejang-kejang dan akhirnya terjadinya kehilangan kesadaran (coma). Suhu kulit panas, kulit berwarna merah dan kering, nadi kuat dan sangat cepat, tekanan darah mula-mula naik sedkit tetapi diikuti penurunan yang lebih rendah daripada normal, suhu rectal mencapai 43 0C.
Bila terjadi hal demikan pada atlet maka hal yang paling penting adalah pemberian pertolongan pertama yang baik sehingga hal-hal yang lebih buruk dapat dicegah seperti yang ditulis oleh Giriwijoyo (2005) : Cara pertolongan pertama pada kegawatan panas yaitu mengusahakan menurunkan suhu tubuh secepatnya dengan membawa ke tempat yang teduh atau dingin kemudian buka seluruh pakaian dan seka dengan air dingin (air es), dan kipasilah. Secepatnya masukkan penderita ke air dingin. Apabila suhu rectal telah mencapai 29 0C, hentikan usaha untuk menurunkan suhu tubuh, tetapi suhu tubuh harus tetap dipantau. Apabila suhu tubuh naik lagi, ulangi lagi usaha tersebut. Selanjutnya secepatnya penderita harus dibawa ke rumah sakit.
C. Dampak Pengeluaran Keringat Pengeluaran keringat yang berlebihan pada kelembaban yang tinggi selama berolahraga, pada dasarnya untuk tujuan mempertahankan suhu tubuh yang berarti mempertahankan hidup. Akan tetapi pengeluaran keringat yang berlimpah dapat menganggu keseimbangan elektrolit (garam-garam) dan cairan tubuh (dehidrasi). Keluarnya cairan tubuh yang berlebihan disebut dehidrasi dan merupakan salah satu penyebab fatique (kelelahan). Tanpa latihan, seseorang akan menghasilkan keringat 500-700 ml/hari, sedangkan bila seseorang melakukan latihan lama, keringat yang dihasilkan dapat meningkat sampai 8-12 l/hari (Irawan 2007) Hilangnya cairan tubuh sebesar 1-2% dari berat badan, akan menimbulkan rasa haus, tidak nyaman, hilangnya nafsu makan dan gangguan endurance performance. Apabila hilangnya air meningkat menjadi 3-4% dari berat badan maka terjadi penurunan gangguan performance, produksi urin menurun, mulut kering, kulit memerah, mual dan lethargy. Kehilangan cairan 5- 6% dari berat badan akan meningkatkan frekuensi nadi, frekuensi pernafasan, mempengaruhi konsentrasi dan terjadi penurunan kapasitas kerja sebesar 30%. Telinga berdenging, lemah dan kondisi mental yang bingung berhubungan dengan hilangnya cairan sebesar 8% dari berat badan (Sri Murni 2006) Kehilangan cairan melalui keringat juga diikuti kehilangan elektrolit. Komposisi elektrolit di keringat, plasma dan intraselular dapat dilihat pada tabel 2.2.
Tabel 2.2. Konsentrasi (dalam nmol/L) eletrolit utama dalam keringat, plasma dan cairan intraselular. Elektrolit
Keringat
Plasma
Intraseluler
Natrium
20-80
130-155
10
Kalium
4-8
3.2-5.5
150
Kalsium
0-1
2.1-2.9
0
Magnesium
<2.0
0.7-1.5
15
Klorida
20-60
96-110
8
Bikarbonat
0-35
23-28
10
Phosphate
0.1-0.2
0.7-1.6
65
Sulphate
0.1-2.0
0.3-0.9
10
Sumber: Maughan, (1991) Keringat lebih bersifat hipotonik bila dibandingkan dengan cairan plasma. Keringat lebih sering menyebabkan kehilangan air dari pada elektrolit. Ketika cairan plasma menurun, hormon aldosteron akan bekerja untuk menghemat natrium. Pada suhu lingkungan yang lebih tinggi mekanisme pembuangan panas melalui pancaran (radiasi) dan hantaran (konduksi) menjadi terhambat, sehingga titik berat mekanisme pembuangan panas harus beralih secara penguapan (evaporasi). Maka terjadilah perubahan mekanisme aktivitas pengeluaran keringat dan evaporasi sebagai berikut: 1. Terjadi peningkatan aktivitas kelenjar keringat yaitu kelenjar keringat harus mampu mengeluarkan jumlah keringat yang lebih banyak dengan kandungan garam yang lebih sedikit. Artinya dengan terjadinya aklimatisasi maka tubuh dapat menghasilkan keringat yang lebih banyak serta encer (hipotonis). 2. Kemampuan vasodilatasi perifer (memperlebar pembuluh darah tepi) yang lebih baik, khususnya pembuluh darah kulit. Dengan demikian maka pemindahan panas dari bagian dalam (inti) tubuh ke permukaan tubuh (kulit) dan proses pembuangannya melalui penguapan menjadi lebih baik. Akan tetapi aklimatisasi merupakan proses yang berangsur, oleh karena itu perlu waktu. Mills (1983) seperti yang dikutip Giriwijoyo (2005) mengatakan ” Untuk
hasil aklimatisasi yang baik diperlukan waktu antara 8-10 hari.” lebih jauh Fox, Bowers dan Foss (1988) seperti yang dikutip Fransisca (2006) mengatakan: ”Dengan melakukan olahraga dengan program pembebanan yang progresif, maka aklimatisasi dapat diselesaikan dalam waktu 5-8 hari.” Taylor dan Strydom yang dikutip oleh Sri Murni (2006) berkesimpulan: ”Diperlukan waktu antara 4-5 hari untuk dapat beraklimatisasi terhadap suhu lingkungan yang tinggi, akan tetapi kemampuan mengeluarkan keringat yang maksimal baru terjadi setelah 10 hari.” Dengan demikian maka lebih lanjut bisa dikatakan bahwa tingkat kebugaran jasmani yang lebih baik yang diperoleh melalui latihan di tempat asal akan mempermudah tetapi tidak dapat menggantikan proses aklimatisasi itu sendiri. Dengan mengacu kepada pendapat tersebut di atas maka merupakan tindakan yang tepat sekali apabila atlet-atlet yang berasal dari daerah dingin dipindahkan terlebih dahulu ke daerah yang panas, atau yang sama iklimnya dengan daerah tempat bertanding nanti. Perbedaan suhu sebesar 4 0C saja sudah mempunyai dampak fisiologis yang cukup besar terhadap performa fisik. Toleransi terhadap perubahan suhu inti tubuh yang masih dapat dipertahankan agar prestasi kerja mental dan fisik tetap optimal ialah sebesar 4 0C. Namun walaupun perbedaan suhu lingkungan tempat asal dengan suhu lingkungan tempat bertanding hanya 4 0C, proses aklimatisasi tetap sangat perlu dilaksanakan oleh atlet-atlet yang berasal dari daerah yang lebh dingin tersebut, apabila dikehendaki penampilan mental dan fisik yang optimal seperti di tempat asal. Walaupun aklimatisasi terhadap panas sangat penting, akan tetapi hal itu tidak menjamin bahwa atlet telah terbebas dari kemungkinan mendapat gangguan yang bersifat patologis dari keadaan suhu dan kelembaban lingkungan yang tinggi. Faktor-faktor yang dapat mempermudah terjadinya kelainan patologis tersebut adalah: (1) kelelahan yang berlebihan yang dapat terjadi antara lain pada atlet cabang olahraga yang berat dan lama, contoh : pelari jarak jauh, pemain sepakbola, pemain bola basket, (2) keracunan alkohol, (3) penggunaan obat anticholinergik, misalnya penyakit yang mempunyai penyakit maag dan menggunakan obat jenis anticholinergik, (4) kekurangan cairan tubuh, misalnya karena pengeluaran keringat yang berlebihan, (5) kekurangan makan garam, karena itu atlet perlu menambah garam dalam makanannya, (6) kekurangan sumber energi, masalahnya karena belum makan atau tidak sempat makan sebelum bertanding. Beberapa kejadian yang dapat disebabkan oleh karena pengeluaran keringat yang terlalu banyak adalah sebagai berikut: 1. Gangguan keseimbangan elektrolit: kehabisan garam (salt / sodium depletion)
Hal ini terjadi terutama pada orang-orang yang belum beraklimatisasi dengan baik terhadap panas. Hal demikian dapat terjadi apabila pengeluaran keringat yang sangat banyak hanya diganti dengan cairan minuman tanpa disertai garam yang dapat menyebabkan terjadinya hipotoni cairan tubuh. Gejalanya adalah: (1) kejang-kejang (seperti pada heat cramps), (2) mual, muntah, diare, (3) lemah dan pucat, (4) tekanan darah menurun, disertai denyut jantung yang sangat cepat, (5) suhu tubuh biasanya normal, (6) pada pemeriksaan laboratoriun dijumpai kadar garam dalam cairan tubuh menurun, (7) hal-hal yang perlu diperhatikan bahwa penderita tidak haus. Jadi apabila orang ini kemudian diberi minuman yang tidak mengandung garam, maka keadaannya akan menjadi lebih parah. Penderita demikian sebaiknya dibawa ke rumah sakit, karena memerlukan pemeriksaan kadar elektrolit serum dan fungsi ginjal, oleh karena ada kemungkinan hiponatremia (kekurangan garam) atau Azotemia (kekurangan nitrogen/protein ) yang berat. Cara pertolongan pertamanya yaitu pindahkan penderita ke tempat yang dingin dan beri minum air dingin dan air buah yang telah diberi garam dengan jumlah yang kurang lebih sama dengan dengan jumlah air dan garam yang hilang (kurang lebih sesuai dengan berkurangnnya berat badan) dan apabila penderita tidak dapat minum, perlu segera dibawa ke rumah sakit oleh karena memerlukan pertolongan lebih lanjut di rumah sakit. 2.Gangguan keseimbangan cairan tubuh / dehidrasi (kekeringan ) Hal ini bisa terjadi oleh karena penderita kehilangan banyak cairan disertai dengan kekurangan pemasukannya. Gejalanya adalah: (1) sangat haus dan lemah (2) gangguan pada susunan saraf pusat berupa gangguan koordinasi gerak, gelisah dan kacau pikiran (delirium dan psychose), pingsan (coma), dan suhu tubuh sangat meningkat (hypertemia). Untuk mencegah dehidrasi dan memelihara penampilan yang optimal selama melakukan olahraga, penggantian jumlah air yang hilang melalui keringat, minimal harus mencapai 40-50 %. Untuk itu bagi pelari jarak jauh khususnya maraton, minum harus diprogram yaitu setiap 15-20 menit perlu diberi minum yang mengandung garam misalnya oralit (satu bungkus untuk 2 gelas). Suhu air minum harus lebih dingin daripada suhu tubuh (yaitu 5-10 0C). Akan lebih baik apabila setiap pos tersedia alat semprot air guna membasahi tubuhnya, Membasahi tubuh dengan semprotan air hakekatnya adalah membuat keringat bagi yang bersangkutan sehingga dengan demikian dapat mengurangi pengeluaran keringatnya sendiri yang berarti menghemat air tubuh, dan dengan demikian memperkecil kemungkinan terjadinya gangguan homeostasis. 3. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh.
Menurut kejadiannya, gangguan keseimbangan cairan elektrolit tubuh terdiri dari 3 tahap yaitu : a. Dehidrasi hipertonik Dehidrasi ini terjadi oleh karena pengeluaran keringat yang berlebihan yang terjadi pada orang yang melakukan olahraga berat dan berlangsung lama, misalnya pada lari marathon. Menurut Karpovitch dan Sinning (1971) yang dikutip oleh Giriwijoyo (2005): ” Keringat bersifat hipotonis, kandungan garamnya antara 0.2-0.5%.” Makin terlatih seorang atlet, makin hipotonis keringatnya. Oleh karena itu cairan yang tertinggal di dalam tubuh di samping jumlahnya berkurang juga menjadi hipertonis. Pada dehidrasi hipertonis orang merasa sangat haus. b. Dehidrasi isotonik Dehidrasi ini terjadi bila seseorang yang karena rasa hausnya lalu banyak minum air saja tanpa penambahan garam, maka cairan tubuh yang semula hipertonis akan mejadi isotonis dan oleh karena itu orang tersebut tidak lagi merasa haus. Akan tetapi jumlah air di dalam tubuh belum pulih seperti semula, yang dapat dilihat dari belum pulihnya berat badan. Demikianlah maka terjadi kondisi yang disebut dehidrasi isotonik. c. Dehidrasi hipotonik Bila seseorang karena menyadari bahwa berat badannya belum pulih lalu melanjutkan minum air saja tanpa garam sampai berat badannya kembali seperti semula, maka cairan tubuh menjadi encer dan terjadilah keadaan yang disebut dehidrasi hipotonik. Hipotoni cairan tubuh dapat menimbulkan gejala keracunan air yang disebabkan oleh karena tertariknya air ke dalam sel sehingga menyebabkan oedema sel. Keracunan air ini dapat memberikan gejala misalnya sakit kepala, mual, muntah dan sebagainya. Bila dehidrasi ini disertai dengan kegagalan peredaran darah (shock) atau gejala ayan atau kejang –kejang (major seizures) maka keadaannya dapat dengan cepat berubah menjadi kegawatan panas (heat stroke).
D. Penggantian Cairan Tubuh (Rehidrasi) Air tidak mengandung energi, tetapi sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Kebutuhan tubuh manusia akan air dalam sehari sesuai dengan banyaknya air yang keluar atau yang hilang dari tubuh. Pada keadaan normal dan ideal yaitu diet rendah cairan, aktivitas fisik minimal serta tidak ada keringat yang keluar, orang dewasa membutuhkan air sebanyak 1500 –2000 ml sehari. Sumber air untuk kebutuhan tubuh biasanya didapat dari hasil oksidasi zat gizi, makanan, minuman dan beverage.
Saat berolahraga kebutuhan air tentu akan lebih banyak dibanding dalam keadaan istirahat. Oleh karena saat berolahraga suhu tubuh meningkat dan tubuh menjadi panas. Tubuh yang panas berusaha untuk menjadi dingin dengan cara berkeringat. Banyaknya keringat yang keluar tergantung dari ukuran tubuh, jenis olahraga, intensitas olahraga, lamanya olahraga, cuaca dan kelembaban lingkungan, serta jenis pakaian atlet. Keringat yang keluar saat olahraga sebagian besar terdiri atas air, namun keringat juga mengandung elektrolit. Perubahan status cairan tubuh saat berolahraga disebabkan oleh peningkatan produksi keringat dan asupan cairan ke dalam tubuh yang sedikit. Defisit air sebanyak satu persen dari berat badan yang keluar dalam bentuk keringat saat berolahraga terbukti mengurangi toleransi tubuh terhadap olahraga. Sedangkan, defisit air tiga persen sampai dengan 10% dari berat badan selama mengikuti olahraga menyebabkan penurunan prestasi olahraga, meningkatkan risiko cedera, serta berbahaya untuk atlet. Dengan semakin meningkatnya energi dan panas yang dihasilkan melalui proses metabolisme dan kontraksi otot saat tubuh sedang berolahraga, cairan yang berada di dalam tubuh kemudian akan menjalankan fungsinya sebagai pengatur panas atau sebagai thermoregulator. Fungsi ini dijalankan dengan tujuan agar temperatur internal tubuh (core temperatur) dapat tetap terjaga pada rentang temperatur normal yaitu 36,5-37,5 0C. Air yang merupakan pengantar panas yang baik, akan mengeluarkan kelebihan panas tubuh melalui keluarnya keringat yang juga akan membawa elektrolit makro tubuh terutama natrium, kalium dan klorida. Air keringat yang kemudian akan menguap pada permukaan kulit juga akan berfungsi untuk mendinginkan tubuh karena proses penguapan yang bersifat endotermik (Irawan 2007). Pemberian cairan pada atlet bertujuan untuk mencegah dehidrasi dan untuk mempertahankan keseimbangan cairan tubuh. Selain itu, pemberian cairan yang adekuat ditujukan untuk mencegah cedera akibat panas tubuh yang berlebihan, misalnya heat exhaustion, heat stroke. Nasihat yang paling baik saat berolahraga untuk mencegah kekurangan cairan adalah minum air sebelum, selama dan setelah berolahraga. Minum air jangan menunggu sampai rasa haus timbul. Oleh karena, rasa haus tidak cukup baik sebagai indikator keinginan untuk minum. Keinginan minum air lebih banyak dan lebih sering karena kebiasaan, bukan karena adaptasi fisiologis. Rasa haus baru timbul apabila tubuh telah mengalami kekurangan air (dehidrasi). Penggantian air yang adekuat selama berolahraga sangat penting untuk memelihara penampilan yang optimal dan memelihara kesehatan. Minumlah air 30 – 60 menit sebelum bertanding sebanyak 150 –250 ml. Air dingin kira-kira 10 o C lebih baik dari pada air hangat.
Oleh karena air dingin lebih cepat diserap oleh usus, sehingga waktu pengosongan lambung lebih cepat. Pemberian air dalam jumlah yang sama dianjurkan pada atlet saat beristirahat di antara pertandingan. Selama bertanding, atlet dianjurkan minum secara teratur setiap 10 – 15 menit sebanyak 150 – 250 ml air dingin. Segera setelah bertanding, pemberian minuman ditujukan untuk mengganti cairan yang hilang dan mendinginkan tubuh. Atlet setelah pertandingan harus segera minum air dingin sebanyak 150 – 250 ml. Selanjutnya atlet dapat minum air yang mengandung karbohidrat, elektrolit dan mineral serta vitamin. Kasus kehilangan elektrolit yang serius atau ketidakseimbangan elektrolit pada atlet jarang terjadi dibanding dehidrasi akibat defisit air. Kekecualian misalnya terjadi pada atlet yang melakukan olahraga sangat berat di bawah cuaca panas dan kelembaban tinggi. Keringat yang keluar jumlahnya sangat banyak, selain air juga mengandung elektrolit. Kebutuhan Elektrolit Cairan tubuh selain mengandung air juga mengandung bahan lain yang diperlukan oleh tubuh seperti elektrolit. Elektrolit dalam cairan tubuh terdiri dari kation dan anion. Kation utama dalam cairan tubuh adalah sodium (Na+) dan potasium (K+), sedangkan anion utama adalah klorida (Cl-). Sodium merupakan kation yang terbanyak di dalam cairan ekstra sel dan bertanggung jawab untuk mempertahankan osmolalitas cairan ekstra sel. Asupan sodium berkisar antara 3 – 8 gram (130-250 meq) per hari. Makanan sumber utama sodium adalah garam dapur. Selain itu sodium banyak didapat pada keju dan makanan olahan lainnya. Potasium merupakan kation terpenting di dalam cairan intra sel. Asupan potasium berkisar antara 2 – 6 gram (50-150 meq) per hari. Makanan sumber utama potasium adalah daging, buah-buahan. Secara umum potasium banyak terdapat pada pisang, orange juice. Keringat merupakan cairan hipotonik dibanding dengan plasma. Konsentrasi elektrolit dalam keringat juga lebih rendah dibanding dengan cairan tubuh lainnya. Sodium dan klorida merupakan elektrolit yang paling banyak ditemukan dalam keringat, namun jumlahnya hanya sepertiga dari yang ditemukan di plasma. Sedangkan potasium dan magnesium dalam keringat jumlahnya sangat kecil. Sodium hilang terutama melalui keringat yang berlebihan. Oleh karena itu atlet yang mengalami pengeluaran keringat yang sangat banyak harus diperhatikan penggantian sodium. Hiponatremi yang terjadi pada atlet dapat mengakibatkan penurunan efisiensi kerja otot sehingga berpengaruh terhadap prestasi olahraga. Potasium yang hilang melalui keringat jumlahnya sangat sedikit. Potasium yang disimpan di dalam sel tubuh jumlahnya sangat banyak dan tidak terpangaruh oleh hilangnya potasium melalui keringat. Beberapa ahli percaya bahwa kehilangan potasium dalam keringat akan mempengaruhi prestasi olahraga. Konsentrasi sodium dan potasium pada keringat dipengaruhi oleh jumlah
keringat yang keluar. Berdasarkan hasil penelitian para ahli, jumlah keringat sebanyak 200 ml per jam menyebabkan kehilangan cairan yang mengandung 12 mmol sodium dan 4 sampai dengan 5 mmol potasium. Sedangkan keringat sebanyak 1000 ml per jam mengakibatkan kehilangan cairan yang mengandung 40 mmol sodium dan 4 sampai dengan 5 mmol potasium. Penelitian menunjukkan bahwa suplemen sodium dan potasium tidak diperlukan selama olahraga yang berlangsung simgkat (1 jam atau kurang). Garam yang tersedia pada makanan sehari-hari sudah cukup mempertahankan keseimbangan sodium dan potasium selama bertanding pada olahraga tingkat sedang. Cairan dan Elektrolit pada Olahraga Endurance Olahraga endurance yang berlangsung lama di tempat yang panas dapat menyebabkan gangguan keseimbangan air dan elektrolit. Keseimbangan air dan elektrolit sangat penting pada atlet cabang olahraga endurance. Oleh karena akan mengganggu produksi energi dan pengaturan suhu tubuh. Cairan sangat penting untuk mengalirkan zat gizi dan oksigen ke dalam otot skelet untuk tujuan berkontraksi. Hasil penelitian di Australia menunjukkan, lari marathon mengeluarkan keringat sebanyak 1 liter per jam. Sedangkan lari marathon dalam cuaca panas dan kelembaban tinggi dapat kehilangan keringat sebanyak 2,8 liter per jam. Pelari ultramarathon sejauh 50 mil yang ditempuh selama lebih dari 8 jam, selain kehilangan air yang banyak juga kehilangan elektrolit. Penggantian cairan pada atlet endurance apabila hanya minum air tawar dapat menyebabkan hiponatremi. Oleh karena dalam tubuh jumlah air dan sodium menjadi tidak seimbang. Untuk itu, pemberian cairan harus mengandung karbohidrat dan elektrolit. Hal ini dimaksudkan selain untuk mencegah terjadinya hiponatremi, juga untuk mencegah hipoglikemik. Cairan yang mengandung karbohidrat 5-10% tidak mengganggu atlet. Sedangkan pemberian karbohidrat melebihi 10 % dapat menimbulkan peningkatan gula darah yang akan merangsang produksi hormon insulin. Peningkatan hormon insulin dapat menyebabkan terjadinya hipoglikemia. Sedangkan minuman atlet (sports drinks) yang mengandung suplemen sodium dan potasium yang berlebihan akan mengganggu kontraksi otot yaitu akan terjadi “cramp” otot. Selain itu intake sodium yang berlebihan mempunyai risiko tinggi terjadinya hipertensi pada atlet. Sport drinks umumnya mengandung karbohidrat 5-7%. Konsentrasi karbohidrat dalam cairan ini secara ilmiah tidak mengganggu proses pengosongan lambung. Sedangkan, sodium biasanya 10-20 mmol/L dan dapat membantu keseimbangan elektrolit dalam tubuh.
Diatas telah disebutkan bahwa kecepatan seseorang mencapai rehidrasi tergantung dari komposisi cairan, volume dan temperatur cairan pengganti. Panduan cairan pengganti dapat dimanipulasi dengan merubah beberapa hal yaitu: (1). Konsentrasi Karbohidrat. Konsentrasi karbohidrat dari cairan merupakan faktor utama yang menentukan pengosongan lambung. Apabila konsentrasi karbohidrat tinggi maka pengosongan lambung melambat. Kecepatan pengosongan lambung pada minuman dengan konsentrasi glukosa kurang dari 10% sama seperti air putih dan sebaliknya apabila konsentrasi lebih dari 10% akan menghambat pengosongan lambung dan cairan menjadi hipertonik sehingga terjadi sekresi cairan di usus kecil yang kemudian akan memperberat dehidrasi. Konsentrasi karbohidrat yang ideal adalah 4-8%. (2) Jenis karbohidrat. Kebanyakan kandungan karbohidrat pada minuman olah raga berupa glukosa, fruktosa atau glukosa polimer. Fruktosa hilang dari lambung relatif dengan cepat, tetapi tidak mengalami absorbsi di usus halus secepat glukosa. Penyerapan fruktosa di usus halus akan melambat terutama bila diberikan tanpa glukosa atau sukrosa. Fruktosa dalam konsentrasi yang tinggi dapat menimbulkan gangguan pada gastrointestinal dan menimbulkan diare osmotik. Terdapat kecenderungan bahwa jenis polimer glukosa, kecepatan pengosongan lambung lebih cepat dari glukosa bebas. (3) Osmolaritas. Osmolaritas cairan perlu diperhatikan karena dapat mempengaruhi laju pengosongan lambung dan absorbsi di intestinal. Dua hal tersebut merupakan faktor yang menentukan saat rehidrasi. Meskipun minuman olahraga dibuat mendekati komposisi cairan dalam tubuh atau yang lebih dikenal sebagai larutan isotonik tetapi pada kondisi yang memerlukan rehidrasi cepat, cairan hipotonik lebih efektif karena penyerapannya di intestinal lebih cepat. (4) Komposisi dan konsentrasi elektrolit .Selain karbohidrat, beberapa minuman olahraga mengandung mineral seperti natrium, kalium, klorida dan magnesium. Perlunya penggantian elektrolit setelah latihan berkaitan dengan hilangnya elektrolit dalam keringat. Konsumsi air putih dalam volume yang besar setelah latihan akan menurunkan osmolaritas plasma dan konsentrasi natrium dalam plasma dengan cepat. Natrium bermanfaat untuk meningkatkan penyerapan air dan glukosa serta membantu mempertahankan volume cairan tubuh. Penambahan natrium dalam minuman akan menjaga kadar vasopresin dan aldosteron dalam darah sehingga produksi urin yang berlebihan dapat dicegah. Minuman olahraga biasanya mengandung natrium sebanyak 10-25 mmol/L. Konsentrasi yang terlalu tinggi meskipun dapat menstimulasi absorpsi glukosa dan air, tetapi membuat cairan mempunyai rasa yang tidak enak. Walaupun volume cairan yang dikonsumsi besar tetapi bila kandungan natrium rendah, maka rehidrasi tidak akan tercapai.
Atlet yang berolahraga pada intensitas rendah selama 90-110 menit, akan menginduksi dehidrasi dengan hilangnya cairan 2,3% berat badan dan volume plasma tidak kembali pada nilai semula setelah 60 menit dengan mengkonsumsi air putih biasa. Sedangkan bila diberikan larutan natrium dengan konsentrasi 0,45%, volume plasma akan membaik setelah 20 menit, sehingga penambahan elektrolit diperlukan pada rehidrasi setelah berolahraga. (5) Rasa. Penambahan rasa pada cairan pengganti perlu karena dapat lebih meningkatkan asupan cairan dibandingkan air tanpa rasa. Air yang dingin lebih terasa menyegarkan dan dapat membantu menurunkan suhu tubuh. Air yang hangat dapat digunakan pada kondisi lingkungan yang dingin.
E. Pola Minum / Konsumsi Cairan yang Biasa Dilakukan 1.Konsumsi cairan sebelum olahraga Air dapat dikonsumsi kapanpun sebelum latihan. Konsumsi minuman mengandung karbohidrat yang diminum 15 menit sebelum latihan dapat dijadikan sumber energi dalam waktu pendek. Rekomendasi yang dianjurkan adalah 500 ml air satu sampai dua jam sebelum latihan dan 600 ml air atau minuman yang mengandung karbohidrat 10-15 menit sebelum aktivitas. Untuk jenis olahraga dalam waktu singkat sebaiknya konsumsi cairan tidak kurang dari 30 menit sebelum latihan. 2. Konsumsi cairan selama olahraga Selama latihan seorang atlet sebaiknya minum air 120-150 ml setiap 10- 15 menit. Selama latihan, rasa haus tidak dapat dijadikan sebagai patokan kebutuhan cairan. Pada saat latihan sensasi haus akan menurun, jadi rasa haus sudah tidak dirasakan tetapi tubuh belum sepenuhnya mengalami rehidrasi. Metode yang kebanyakan dipakai untuk menilai rehidrasi selama dan setelah latihan adalah berat badan. Setiap kehilangan 0,5 kg maka harus digantikan dengan 500 ml cairan. Pemantauan produksi urin meliputi warna dan volume adalah cara lain untuk menilai status hidrasi. Atlit seharusnya memproduksi kira-kira 900 ml urin yang jernih setiap harinya. Pada kondisi dehidrasi, urin menjadi lebih pekat dan lebih gelap. 3. Konsumsi cairan setelah olahraga Penggantian cairan dan elektrolit yang hilang setelah latihan merupakan hal yang penting terutama apabila waktu pertandingan berurutan karena dapat mempengaruhi performance. Konsumsi air putih biasa pada setelah olahraga akan menurunkan konsentrasi natrium plasma dan osmolaritas plasma. Perubahan ini dapat menurunkan stimulus rasa haus dan produksi urin, sehingga akan memperlambat proses rehidrasi.
4.Konsumsi Cairan dengan Metode Konvensional Pengeluaran keringat yang berlebihan pada kelembaban dan suhu lingkungan yang tinggi selama berolahraga, pada dasarnya untuk tujuan mempertahankan hidup. Akan tetapi pengeluaran keringat yang berlimpah dapat menganggu keseimbangan cairan tubuh (dehidrasi). Hal ini dapat menganggu penampilan olahraga, karena akan mengakibatkan terjadinya gangguan homoestasis, yang lebih lanjut dapat mengakibatkan terjadinya kelemahan, kelelahan, kejang-kejang bahkan halusinasi. Untuk mencegah dehidrasi dan memelihara penampilan yang optimal selama melakukan olahraga, maka diperlukan rehidrasi yang optimal. Selama ini atlet / pelaku olahraga khususnya olahraga senam aerobik masih mempergunakan metode konvensional untuk mengganti kehilangan cairan yang terjadi akibat olahraga yaitu hanya berdasarkan rasa haus yang dirasakan. Setelah rasa hau itu hilang maka atlet / pelaku olahraga akan segera menghentikan minum air. 5.Konsumsi Cairan dengan Metode USATF Douglas J. Casa, menemukan suatu metoda untuk pencapaian hidrasi yang optimal, yang selanjutnya oleh USATF ( Unites State of America Track and Field) direkomendasikan untuk dipakai oleh atlet Amerika untuk rehidrasi yang optimal, dengan prosedur sebagai berikut : 1. Pastikan bahwa partisipan sudah selesai minum sebelum tes dilakukan dan buang air kecil sebelumnya sehingga dipastikan kantung kencing kosong. 2. Lakukan pemanasan dan buang air kecil bila diperlukan. 3. Timbang berat badan 4. Lari dengan jarak, waktu dan intensitas yang sama dengan target pertandingan 5. Minum sejumlah minuman apabila partisipan haus dan menit ke berapa partisipan minum dan dihitung jumlahnya secara akurat. Perlu diperhatikan bahwa partisipan tetap berada di lapangan. 6. Jangan buang air kecil selama lari. 7. Setelah lari timbang berat badan kembali dengan alat yang sama pada point 3 8. Setelah itu partisipan bebas untuk minum dan buang air kecil. 9. Hitung kebutuhan cairan dengan formula di bawah ini : a. Masukan berat badan ( Kg) pada point 3
= ……………………..
b. Masukan berat badan (Kg) pada point 7
= …………………….
c. Hasil b dikurangi dengan hasil a
= …………………….
d. Kalikan jumlah c dengan 1 jumlah dalam liter
untuk mendapatkan =……………………..
e. Masukan jumlah cairan yang di minum selama lari
(dalam liter) f. Jumlahkan e dan d
= ……………………. =…………………….
Hasil akhir ini menunjukkan sejumlah besar cairan yang harus dikonsumsi oleh partisipan selama berlatih/bertanding bulutangkis untuk mendapatkan hidrasi yang optimal