i
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)
KATALOG DALAM TERBITAN Perpustakaan Nasional RI Jl. Salemba Raya No. 28 A Jakarta Pusat Hasil ISBN Th. 2014 - Prosiding Seminar Sains Atmosfer ISBN: 978-979-1458-73-3 Jakarta, 12 Januari 2014 Editor ISBN/KDT
Prosiding Makalah dalam prosiding ini telah dipresentasikan di Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013
Editor: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Prof. Dr. Eddy Hermawan Dr. Ninong Komala Dr. Didi Satiadi Dr. Laras Tursilowati Asif Awaludin, MT Risyanto, SSi Farid Lasmono, ST Emmanuel Adetya, SKom
Dipublikasikan oleh : Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Jl. Pemuda Persil No.1 Rawamangun, Jakarta Timur, Indonesia Tel : +62 21 489 2802 Fax: +62 21 489 4815 ISBN : 978-979-1458-73-3 i
KATA PENGANTAR
Sidang pembaca yang kami hormati, Segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang telah memberikan kemudahan, sehingga Seminar Sains Atmosfer 2013 dapat diselenggarakan dengan baik pada tanggal 28 Agustus 2013 di Auditorium LAPAN Bandung. Seminar ini dihadiri oleh para peneliti di bidang sains dan teknologi atmosfer, instansi pemerintah terkait, dan mahasiswa. Para pemakalah Seminar Sains Atmosfer 2013 sebelum mengirimkan makalah lengkap, terlebih dahulu mengirimkan ringkasan makalah yang ditelaah dan diseleksi oleh tim penelaah untuk menentukan makalah yang dapat dipresentasikan dalam seminar. Setelah acara seminar, makalah lengkap ditelaah oleh tim penelaah. Kemudian pemakalah melakukan perbaikan berdasarkan saran dan masukan dari penelaah. Hasil perbaikan selanjutnya ditelaah kembali oleh tim penelaah, dan makalah yang masih mendapatkan saran perbaikan diperbaiki kembali oleh pemakalah. Hasil perbaikan terakhir diperiksa kembali oleh tim penelaah, apabila sudah benar maka makalah kemudian dimasukkan dalam prosiding seminar. Ringkasan makalah yang diterima oleh panitia pada tanggal 6 Juli 2013 adalah sebanyak 55 ringkasan makalah. Dari jumlah tersebut, berdasarkan hasil seleksi tim reviewer, terdapat sebanyak 44 makalah dipresentasikan dalam Seminar Sains Atmosfer tanggal 28 Agustus 2013, yang terdiri dari 5 presentasi oral (presenter oral lainnya adalah invited speaker) dan 39 presentasi poster. Setelah makalah-makalah tersebut melalui proses penelaahan sebanyak dua kali, masing-masing tanggal 2 September dan 4 November 2013, diperoleh 33 makalah yang kemudian dimuat dalam prosiding Seminar Sains Atmosfer 2013 yang terbit pada bulan Januari 2014. Akhir kata, terima kasih kami sampaikan kepada para pemakalah yang telah mempresentasikan dan memperbaiki makalahnya sesuai saran penelaah, serta seluruh panitia yang telah membantu terselenggaranya proses penerimaan makalah, penelaahan dan penerbitan prosiding ini. Semoga prosiding ini bermanfaat bagi pembaca semua dan memberikan sumbangsih bagi peningkatan peran sains dan teknologi atmosfer bagi pembanguan berkelanjutan di Indonesia. Amin. Bandung, Januari 2014
Team Editor
ii
SAMBUTAN KETUA PANITIA
Assalamualaikum Wr. Wb. Salam sejahtera bagi kita semua Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, atas segala nikmat dan karunianya Seminar Sains Atmosfer 2013 adalah forum yang difasilitasi oleh LAPAN untuk mempertemukan para pakar dan peneliti dari berbagai instansi dan perguruan tinggi serta pengguna terkait untuk saling berdiskusi bersama-sama membangun kerjasama dan sinergi terkait sains dan teknologi atmosfer serta pemanfaatannya. Untuk itu diharapkan seminar ini akan dapat memacu kualitas penelitian dan pengembangan sains dan teknologi atmosfer sehingga dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam pembangunan nasional. Prosiding Seminar Sains Atmosfer merupakan kumpulan makalah yang telah dipresentasikan oleh para pemakalah dan melewati proses penelaahan oleh tim penelaah sebanyak dua kali. Sehingga prosiding diharapkan merupakan prosiding berkualitas yang mampu memberikan sumbangsih bagi peningkatan peran sains dan teknologi atmosfer bagi pembanguan berkelanjutan di Indonesia. Akhir kata, kami selaku Panitia Pelaksana Seminar Sains Atmosfer 2013 mohon maaf apabila masih terdapat kekurangan dalam seminar dan prosiding ini. Wassalamualaikum Wr. Wb. Bandung, Januari 2014
Asif Awaludin, MT Ketua Panitia SSA 2013
iii
SUSUNAN PANITIA SEMINAR SAINS ATMOSFER 2013
Pengarah/Penanggung Jawab
:
Drs. Afif Budiyono, MT (Kepala PSTA)
Ketua Panitia
:
Asif Awaludin, MT
Wakil Ketua
:
Trismidianto, MSi
Sekretaris
:
Ria Fitria Ritonga, SE
Anggota
:
Rizka Aulia, SE
:
Risyanto, SSi
:
Soni Aulia Rahayu, ST
:
Farid Lasmono, ST
:
Emmanuel Adetya, SKom
:
Dyah Aries Tanti, Amd
:
Prof. Eddy Hermawan
:
Dr. Ninong Komala
:
Dr. Didi Satiadi
:
Dr. Laras Tursilowati
Editor/Reviewer Prosiding
iv
Waktu
SUSUNAN ACARA SEMINAR SAINS ATMOSFER 2013 Acara
08:00 - 08:45
Registrasi
08:45 - 08:50
Sambutan Ketua Panitia SSA 2013
08:50 - 09:00
Pembukaan : Drs. Afif Budiyono, MT (Kepala Pusat Sains Dan Teknologi Atmosfer) Sesi I : Keynote Speaker
09:00 - 09:20 09:20 - 09:40 09:40 - 10:00
Prof. Dr. Manabu D. Yamanaka (Kobe University, JAMSTEC) “Atmosphere-ocean-island interactions over Indonesian maritime continent” Prof. Dr. Liong, Shie-Yui (National University of Singapore) “Does Ensemble of Dynamically Downscaled Climate Models Add Values?” Diskusi Sesi II : Invited Speaker
10:00 - 10:15 10:15 - 10:30 10:30 - 10:50
11:05 - 11:20
11:20 - 11:45
Moderator : Halimurrahman, MT
Prof. Dr. Ahmad Bey (IPB) “Pemodelan Atmosfer dalam perspektif konseptual dan praktis” Prof. Dr. Eddy Hermawan (LAPAN) “Anomali Monsun Sebagai Penyebab Utama Terjadinya Kondisi Curah Hujan Ekstrim” Diskusi Sesi III : Sains Atmosfer I
10:50 - 11:05
Moderator : Prof Eddy Hermawan
Moderator : Dr. Didi Satiadi
Dr. Armi Susandi (ITB) “Model Penentuan Masa Tanam Padi dan Palawija di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur” Dr. Laras Tursilowati (LAPAN) “Skenario Landuse pada model WRF untuk mengamati Planetary Boundary Layer (PBL) dan Urban Heat Island (UHI)” Diskusi Sesi IV : Sesi Poster dan Ishoma
11:45 - 13:00
Sesi Poster dan Ishoma Sesi V : Sains Atmosfer II
13:00 - 13:15
13:15 - 13:30
13:30 - 13:55
Halimurrahman, MT (LAPAN) “Simulasi Angin Dan Curah Hujan Area Bandung Dan Sekitarnya Dengan Asimilasi Data Radar Doppler” Ir. Asril Umar, MT Kepala Bagian Adaptasi Perubahan Iklim, Deputi Urusan Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim – Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat Diskusi Sesi VI : Sains Atmosfer III
13:55 - 14:10 14:10 - 14:25 14:25 - 14:40
14:40 - 15:05
15:20 - 15:35
15:35- 15:40
Moderator : Dr. Laras Tursilowati
Ardhi Ardary Arbain, MT (BPPT) “Intraseasonal Variation Automonitoring Program in the Indonesia Maritime Continent” Dr. Rahmat Hidayat (IPB) “El Nino Modoki Dan Variabilitas Curah Hujan Indonesia” Faiz Rohman Fajary, S.Si (IPB) “Characteristic Of Atmospheric Equatorial Kelvin Waves Under Influence Of El NiñoSouthern Oscillation” Diskusi Sesi VII : Sains Atmosfer IV
15:05 - 15:20
Moderator : Waluyo Eko C, MIL
Moderator : Dr. Ninong Komala
Tuti Budiwati, MT (LAPAN) “Pengaruh Kebakaran Hutan Terhadap Aerosol Dan Ozon Total Di Sumatera Berdasarkan Musiman” Dra. Rosida (LAPAN) "Analisis Hubungan Aerosol Dengan CO Dan Pengaruhnya Terhadap Ukuran Partikel Awan Es di Indonesia" Eko Suryanto (IPB)
v
15:40 - 16:05
“Evapotranspirasi Tanaman Dengan Pengamatan Satelit Berdasarkan Konsep Fluks Pemanasan Laten” Diskusi Sesi VIII : Penutupan
16:05 - 16:15
Kesimpulan dan Penutup : Kepala Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer – LAPAN
16:15
Pembagian sertifikat dan door prize
vi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................................. ii SAMBUTAN KETUA PANITIA ................................................................................................ iii DAFTAR PANITIA ..................................................................................................................... iv JADWAL ACARA ...................................................................................................................... v DAFTAR ISI ................................................................................................................................ vii Teknik Pengujian Situs FTP LAPAN Bandung Dengan Metode Black Box Untuk Menemukan Error ..................................................................................................................... Alhadi Saputra, Yoga Andrian
1
Identifikasi Jenis Awan Dari Citra Satelit MTSAT IRL Menggunakan Logika Fuzzy (Studi Kasus : Banjir 5-6 April 2013 Di Kabupaten Aceh Barat Dan Nagan Raya) ........... Anjasman
13
Analisa Bencana Banjir Di Kota Padang (Studi Kasus Intensitas Curah Hujan Kota Padang 1980 – 2009 dan Aspek Geomorfologi) ....................................................................... Aprizon Putra, Triyatno dan Semeidi Husrin
24
Pemanasan Global Dan Keterkaitannya Dengan Kondisi Ekstrem Hujan Beberapa Daerah Di Jawa Dan Sumatera ................................................................................................. Arief Suryantoro
34
Desain Muatan Roket Sonda Eksperimen Berbasis Roket RX-100 Untuk Pengukuran Profil Vertikal Parameter Atmosfer ......................................................................................... Asif Awaludin, Halimurrahman, Rachmat Sunarya, Soni Aulia R
46
Pengaruh Konsentrasi Ion NH4+ Dan Ca2+ Terhadap Netralisasi Hujan Asam Di Daerah Cipedes, Kebon Kalapa, Soreang Dan Cikadut ....................................................................... Asri Indrawati, Dyah Aries Tanti
55
Analisis Curah Hujan Terkait Dengan Kuantifikasi Fluktuasi Level Muka Air Situ Cileunca ....................................................................................................................................... Dadang Subarna
63
Pengaruh Pegunungan Malabar Terhadap Peningkatan Curah Hujan Di Daerah Tangkapan Air Cisangkuy Kabupaten Bandung .................................................................... Dadang Subarna
73
Simulasi Trayektori Dan Dispersi Asap Menggunakan Model HYSPLIT 4.9 (Studi Kasus Tanggal 30 Juni – 3 Juli 2013) ....................................................................................... Danang Eko Nuryanto
80
Analisis Data Komposisi Kimia Air Hujan Menggunakan Metode Analisis Diskriminan . Dessy Gusnita
87
Interkoneksi Monsun Dan El-Niño Terkait Dengan Curah Hujan Ekstrem ....................... Eddy Hermawan dan Edward Rendra
97
Estimasi Evapotranspirasi Acuan Dengan Pengamatan Satelit Berdasarkan Fluks Pemanasan Laten ....................................................................................................................... 114 Eko Suryanto Karakteristik Gelombang Kelvin Ekuatorial Atmosferik Dibawah Pengaruh El Niño-Osilasi Selatan .............................................................................................................. 123 Faiz Rohman Fajary, Sandro Wellyanto Lubis, Sonni Setiawan Analisis Dan Pemetaan Sambaran Petir Wilayah Bali Dan Sekitarnya Tahun 2012 .......... 136 I Putu Dedy Pratama
vii
Analisis Parameter Meteorologi Terhadap Konsentrasi PM10 Di Kota Surabaya ............... 143 Iis Sofiati dan Dessy Gusnita Deviasi Temperatur Virtual Dalam Proses Evaporasi Dan Kondensasi Di Atmosfer Kototabang Pada Campaign Period .......................................................................................... 153 Ina Juaeni Peluang Terjadinya Awan Rendah Dan Awan Menengah Saat terjadi La Nina ............... 163 Juniarti Visa dan Iis Sofiati Identifikasi Kejadian Monsun Ekstrim Di Pulau Jawa Dan Sekitarnya .............................. 172 Lely Qodrita Avia Rancang Bangun Sistem Manajemen Basis Data Satelit Dan Implementasinya ................. 186 Mahmud, Edi Maryadi, Muzirwan, Emanuel A, Ria Fitri Yulianti R, Lamartomo Simulasi Suhu Permukaan Laut Bulanan Berbasis Model CSIRO MK3L .......................... 196 Martono Analisis Pengaruh Liputan Awan Terhadap Indeks UV Di Sumatera Utara ...................... 203 Ninong Komala Pengamatan Awan Dan Variasi Cuaca Harian Menggunakan Transportable X-Band Radar ........................................................................................................................................... 217 Noersomadi, Sinta Berliana Sipayung, Krismianto, Soni Aulia Rahayu, Ginaldi Ari Nugroho, Rachmat Sunarya, Safrudin, Edy Maryadi dan Halimurrahman Koreksi Estimasi Data Curah Hujan Satelit TRMM Produk Level 3B31 Dan 3B43 Di Stasiun Meteorologi Sam Ratulangi Selama Periode 2003-2012 ........................................... 226 Novvria Sagita Analisis Diurnal Parameter Cuaca Mikro Di Perkebunan Kelapa Sawit PT. Emal Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi ................................................................................... 234 Radyan Putra Pradana, Kadarsah Identifikasi Tipe Awan Isccp Menggunakan Data Modis Terra/Aqua ................................. 246 Risyanto dan Sinta Berliana Sipayung Aplikasi Pengolah Informasi Diseminasi Sains Atmosfer Pada Situs Web LAPAN Bandung ...................................................................................................................................... 258 Siti Maryam Peran Radiasi Matahari Dalam Proses Pembersihan SO2 Dan NOX Di Troposfer ............. 264 Sumaryati Prediksi Pengasaman Provinsi Jambi Dan Sekitarnya Akibat Deposisi Sulfur Tahun 2015 .............................................................................................................................................. 272 Toni Samiaji Identifikasi Curah Hujan Ekstrem Menggunakan Metode Analisis Mesoscale Convective Complexe (MCC) Dari Data MTSAT IR1 ................................................................................ 283 Trismidianto Karakteristik Harian Dan Distribusi Musiman Dari Kompleks Konvektif Skala Meso Di Samudera Hindia Selama 10 Tahun (Periode 2000-2009) ...................................................... 296 Trismidianto Pengaruh Kebakaran Hutan Terhadap Aerosol Dan Ozon Total Di Sumatera Berdasarkan Musiman .............................................................................................................. 309 Tuti Budiwati dan Wiwiek Setyawati
viii
Distribusi Spasial dan Temporal Titik Panas sebagai Indikator Kebakaran Hutan dan Lahan di Wilayah Sumatera dan Kalimantan Hasil Pengamatan Aqua/Terra MODIS Tahun 2004-2012 ........................................................................................................................ 322 Wiwiek Setyawati Roles Of Relative Humidity On Songda Typhoon 2011 Intensity ......................................... 334 Yopi Ilhamsyah, Ahmad Bey, Edvin Aldrian
ix
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
TEKNIK PENGUJIAN SITUS FTP LAPAN BANDUNG DENGAN METODE BLACK BOX UNTUK MENEMUKAN ERROR Alhadi Saputra, Yoga Andrian Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
e-mail :
[email protected] Abstract Software testing is an investigation to get the quality of product or service information that is being tested (under test). Software testing also provides insights on software objectively and independently. The purpose of software testing is used in the operation of the site in order to avoid the failure to access the site. Tested software can be a fraction of a sub routine or application program can also overall information system. Testing techniques are not only limited to the process of executing a program or a part of the overall application but the goal is to find bugs of software or information system is being tested. Software testing is a review of the peak of the requirements specification, design and programming. Successful testing is that managed to find the hidden error. There are two techniques in software testing is black box testing and white box testing. In this article that will be discussed is a black box testing and has been used on the FTP site Lapan Bandung. Multistep process of testing performed on the application module user data administration and user management process for administrators on the FTP server Lapan Bandung result is no error or bug in the application module. Keyword : Software Testing, Site, Error, Black Box Testing. Abstrak Pengujian perangkat lunak merupakan suatu investigasi untuk mendapatkan kualitas dari produk atau layanan informasi yang sedang diuji (under test). Pengujian perangkat lunak juga memberikan pandangan mengenai perangkat lunak secara obyektif dan independen. Tujuan Pengujian perangkat lunak ini digunakan dalam operasional situs agar tidak terjadi kegagalan untuk mengakses situs tersebut. Perangkat lunak yang diuji dapat berupa sebagian kecil dari satu sub routine program aplikasi atau dapat juga keseluruhan dari sistem informasi. Teknik-teknik pengujian tidak hanya terbatas pada proses mengeksekusi suatu bagian program atau keseluruhan aplikasi akan tetapi mempunyai tujuan untuk menemukan bug dari perangkat lunak atau sistem informasi yang sedang diuji. Pengujian perangkat lunak merupakan review puncak terhadap spesifikasi kebutuhan, desain dan pembuatan program. Pengujian yang sukses adalah yang berhasil menemukan error yang tersembunyi. Terdapat dua teknik dalam pengujian perangkat lunak yaitu pengujian black box dan pengujian white box. Pada tulisan kali ini yang akan dibahas adalah pengujian black box dan telah digunakan pada situs FTP Lapan Bandung. Proses tahapan pengujian dilakukan pada modul aplikasi administrasi data user dan proses manajemen user untuk administrator pada FTP server Lapan Bandung yang hasilnya adalah tidak ada error atau bug dalam modul aplikasi tersebut.
~1~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Kata Kunci : Pengujian Perangkat Lunak, Situs, Error, Pengujian Black Box 1.
PENDAHULUAN Secara keseluruhan aplikasi perangkat lunak menjalankan hampir seluruh
pekerjaan yang dibebankan pada komputer. Pengguna komputer menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berinteraksi dengan aplikasi perangkat lunak bukan dengan perangkat lunak sistem. Definisi dari perangkat lunak sistem adalah suatu program yang dibuat untuk mengatur kinerja perangkat lunak dan perangkat keras agar dapat saling bekerjasama sehingga para pemakai komputer dapat mengoperasikan komputer dengan mudah. Sedangkan aplikasi perangkat lunak yaitu suatu program yang ditulis secara khusus untuk membuat atau menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan tertentu (Nugroho, 2006). Sistem informasi tidak jauh-jauh dari program aplikasi perangkat lunak yang terdiri dari beberapa sub routine program aplikasi yang dikumpulkan menjadi satu sehingga membentuk aplikasi sistem informasi secara keseluruhan. Sistem informasi memiliki komponen berupa elemen-elemen yang lebih kecil yang membentuk sistem informasi, misalnya bagian input, proses, output. Sebagai contoh bagian input adalah user memasukkan data registrasi, maka di sana terdapat user yang melakukan pekerjaan input, dengan menggunakan perangkat keras yaitu keyboard, dan menggunakan antarmuka sebuah aplikasi registrasi user yang sudah disediakan oleh sistem informasi tersebut. Sistem informasi tersebut dikatakan terpakai apabila hal pokok yang mendasari pembuatan sistem informasi tersebut telah sesuai dengan kebutuhan spesifikasi user baik perangkat lunak maupun perangkat keras yang diinginkan. Sistem informasi dibangun dengan tahapan-tahapan yang dikenal dengan System Development Life Cycle (SDLC). SDLC yang merupakan siklus hidup pengembangan sistem dalam rekayasa sistem informasi dan rekayasa perangkat lunak. SDLC
adalah
proses
pembuatan
dan
pengubahan
system
serta model dan metodologi yang digunakan untuk mengembangkan sistem-sistem tersebut. Konsep ini umumnya merujuk pada sistem komputer atau informasi. SDLC juga merupakan pola yang diambil untuk mengembangkan sistem perangkat lunak, yang terdiri dari tahap-tahap : rencana (planning), analisa (analysis), desain (design), implementasi (implementation), pengujian (testing) dan pengelolaan (maintenance) (Bahrami, 1999).
~2~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Pengujian adalah proses pelaksanaan suatu aplikasi dengan tujuan menemukan suatu kesalahan. Pengujian perangkat lunak dan implikasinya sangat penting dilakukan karena mengacu pada kualitas perangkat lunak. Pengujian melibatkan sederetan aktivitas produksi, dimana peluang terjadinya kesalahan oleh manusia sangat besar. Oleh sebab itu pengembangan perangkat lunak harus diiringi dengan aktivitas jaminan kualitas dan pengujian. Meningkatnya visibilitas (kemampuan) perangkat lunak sebagai suatu elemen sistem, serta biaya yang muncul akibat kegagalan perangkat lunak dapat memotivasi dilakukannya perencanaan yang baik setelah dilakukannya proses pengujian dengan tingkat ketelitian yang tinggi. Proses pengujian tersebut sangat mempengaruhi biaya yang akan dikeluarkan untuk memperbaiki kesalahan. Suatu kasus pengujian yang baik atau sukses adalah apabila pengujian tersebut mempunyai kemungkinan menemukan sebuah kesalahan yang tidak terungkap dan tidak diketahui sebelumnya. Tulisan ini dibuat untuk memaparkan penggunaan teknik pengujian black box untuk menguji error aplikasi yang diterapkan pada situs FTP Lapan Bandung. Tujuan akhirnya adalah menemukan suatu kesalahan baik dari desain, coding, serta demi mencapai kepuasan user agar situs yang dibangun sesuai dengan sasaran akhir yang ingin dicapai, salah satunya agar situs yang dibuat dapat diakses tanpa ada error atau bugs. Karena situs ini masih dalam tahap pengembangan, penulis membatasi pengujian hanya untuk halaman registrasi peneliti, pengguna umum, serta halaman administrator untuk proses aktivasi, non-aktifkan, dan hapus data user, sehingga pengujian belum dikatakan sukses atau baik secara keseluruhan.
2.
TINJAUAN PUSTAKA Pengujian perangkat lunak adalah proses mengoperasikan perangkat lunak
dalam suatu kondisi yang dikendalikan, untuk (1) verifikasi : apakah telah berlaku sebagaimana telah ditetapkan (menurut spesifikasi), (2) mendeteksi error, dan (3) validasi : apakah spesifikasi yang telah ditetapkan sudah memenuhi keinginan atau kebutuhan dari pengguna yang sebenarnya (Nugroho, 2010). Pengujian merupakan aktifitas pengumpulan informasi yang dibutuhkan untuk melakukan evaluasi efektifitas dari perangkat lunak dengan mengukur suatu atribut perangkat lunak, termasuk di dalamnya review, walk-through, inspeksi, penilaian dan analisa yang ada selama proses pengembangan.
~3~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Tahap pengujian merupakan suatu komponen dari keseluruhan metodologi. Pada prakteknya, pengujian sangat kurang dideskripsikan dan telah dengan cepat bergerak ke titik dimana kebanyakan prosedur pengujian organisasi cepat tertinggal dan tidak efektif. Pada awalnya pengujian merupakan salah satu sub fase dari fase pengembangan (development), setelah fase coding (Belzer, 1990). Sistem didisain, dibangun dan kemudian diuji dan didebug. Sejalan dengan kemapanan pengujian secara praktis, secara bertahap bahwa sudut pandang pengujian yang tepat adalah dengan menyediakan suatu siklus hidup pengujian secara lengkap, yang merupakan suatu bagian dan menjadi satu kesatuan didalam siklus hidup perangkat lunak secara keseluruhan (Gambar 2.1).
Gambar 2.1 Siklus Hidup Perangkat Lunak dan Pengujian
Disain pengujian untuk perangkat lunak dan rekayasa produk lainnya akan sangat menantang seperti layaknya disain produk itu sendiri. Berdasarkan pada obyektifitas pengujian, pengembang harus melakukan disain pengujian yang memiliki kemungkinan tertinggi dalam menemukan error yang kebanyakan terjadi, dengan waktu dan usaha yang minimum. Variasi-variasi metode disain pengujian kasus untuk perangkat lunak telah berkembang. Metode-metode ini menyediakan pengembang dengan pendekatan semantik terhadap pengujian. Metode-metode ini menyediakan mekanisme yang dapat membantu untuk memastikan kelengkapan dari pengujian dan menyediakan kemungkinan tertinggi untuk mendapatkan error pada perangkat lunak. Tiap produk hasil rekayasa dapat diuji dalam dua cara, yaitu (1) dengan berdasarkan pada fungsi yang dispesifikasikan. Pengujian dapat dilakukan dengan
~4~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
mendemonstrasikan tiap-tiap fungsi apakah telah beroperasi secara penuh sesuai dengan yang diharapkan, dan pada saat yang bersamaan dilakukan pencarian error pada tiap fungsi. Pendekatan metode ini disebut dengan pengujian black box. (2) Dengan mengetahui operasi internal dari produk perangkat lunak tersebut. Pengujian dapat dilakukan untuk memastikan apakah semua komponen berjalan sebagaimana mestinya, operasi internal berlaku berdasarkan pada spesifikasi dan semua komponen internal telah cukup untuk diperiksa. Pendekatan metode ini disebut dengan pengujian white box (Braude, 2000). Pengujian kasus merupakan suatu pengujian yang dilakukan berdasarkan pada suatu inisialisasi, masukan, kondisi ataupun hasil yang telah ditentukan sebelumnya. Kegunaan dari pengujian kasus ini adalah untuk melakukan pengujian kesesuaian suatu komponen terhadap spesifikasi (pengujian black box) serta untuk melakukan pengujian kesesuaian suatu komponen terhadap disain (pengujian white box). Hal yang perlu diingat bahwa pengujian tidak dapat membuktikan kebenaran semua kemungkinan eksekusi dari suatu program. Namun dapat didekati dengan melakukan perencanaan dan disain pengujian kasus yang baik sehingga dapat memberikan jaminan efektifitas dari perangkat lunak sampai pada tingkat tertentu sesuai dengan yang diharapkan. Pengujian black box dilakukan tanpa pengetahuan detil struktur internal dari sistem atau komponen yang diuji. Pengujian black box berfokus pada kebutuhan fungsional pada perangkat lunak, berdasarkan pada spesifikasi kebutuhan dari perangkat lunak. Dengan adanya pengujian black box, perekayasa perangkat lunak dapat menggunakan sekumpulan kondisi masukan yang dapat secara penuh memeriksa keseluruhan kebutuhan fungsional pada suatu program. Pengujian black box bukan teknik alternatif dari pengujian white box Pengujian black box merupakan pendekatan pelengkap dalam mencakup error dengan kelas yang berbeda dari metode pengujian white box (Britton et al., 2001). Pengujian black box dilakukan berdasarkan pada fungsi yang dispesifikasikan dari produk, pengujian dapat dilakukan dengan mendemonstrasikan tiap fungsi telah beroperasi secara penuh sesuai dengan yang diharapkan. Pada saat yang bersamaan, dilakukan pencarian error pada tiap fungsi. Kategori error yang akan diketahui melalui pengujian black box adalah fungsi yang hilang atau tidak benar, error interface, error struktur data atau akses eksternal database, error kinerja atau tingkah laku, dan error inisialisasi dan terminasi.
~5~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Pada akhirnya pengujian black box berfokus pada domain informasi. Pengujian didesain untuk menjawab pertanyaan sebagai berikut :
Bagaimana validasi fungsi yang akan diuji, bagaimana tingkah laku dan kinerja sistem diuji?
Kategori masukan apa saja yang bagus digunakan untuk pengujian kasus?
Apakah sebagian sistem sensitif terhadap suatu nilai masukan tertentu?
Bagaimana batasan suatu kategori masukan ditetapkan?
Sistem mempunyai toleransi jenjang dan volume data apa saja?
Apa saja akibat dari kombinasi data tertentu yang akan terjadi pada operasi sistem?
3.
DATA DAN METODE Situs FTP Lapan Bandung mempunyai alamat http://ftp.bdg.lapan.go.id. Situs
ini merupakan kumpulan dari data hasil observasi peralatan yang ada di loka atau balai pengamatan dirgantara. Data spasial yang dihasilkan mempunyai ragam format dan struktur data yang unik. Data yang sudah tersimpan saat ini dihasilkan dari berbagai macam peralatan, dimana proses perolehan dan penyimpanannyapun berbeda-beda karena menggunakan sistem operasi yang berbeda serta spesifikasi perangkat keras yang berbeda juga. Situs FTP ini sudah terbangun dengan sistem web base yang didalamnya terdapat fasilitas-fasilitas untuk memudahkan pengaksesan ke situs tersebut. Proses pengujian yang akan dibahas adalah pengujian menggunakan metode pengujian black box yang membagi domain input dari program menjadi beberapa kelas data dengan menemukan sejumlah kesalahan misalnya : kesalahan pemrosesan dari seluruh data yang merupakan syarat dari suatu modul yang dieksekusi.
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian yang pertama adalah melakukan pengujian black box pada program
yang mengelola tabel user untuk menyimpan data peneliti Lapan. Setiap peneliti yang ingin mendownload data mempunyai syarat yaitu melakukan proses registrasi, dengan cara mengisi data-data peneliti Lapan pada halaman registrasi, setelah mengisi data-data yang diminta seharusnya data tersebut masuk ke tabel tbluser secara otomatis. Algoritmanya adalah bahwa data peneliti Lapan akan disimpan ke dalam tabel user
~6~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
setelah user melakukan submit kirim. Apabila syarat tersebut tidak terpenuhi maka user tersebut tidak dapat melakukan download data karena data user mengalami kegagalan penyimpanan. Berikut ini akan disajikan proses pengujiannya dalam bentuk Tabel 4.1. Pengujian yang kedua dilakukan pada program yang mengelola tabel user lain untuk menyimpan data pengguna umum. Pada situs ini user dibedakan menjadi dua tipe yaitu peneliti internal Lapan Bandung dan peneliti eksternal (pengguna umum). Setiap pengguna umum yang ingin mendownload data pada situs ini diharuskan juga melakukan proses registrasi dengan melengkapi data-data yang dibutuhkan pada halaman registrasi lain, setelah mengisi data yang diminta seharusnya data tersebut masuk ke tabel tbluserlain secara otomatis, algoritmanya adalah bahwa data pengguna umum akan disimpan kedalam tabel tbluserlain setelah user melakukan submit kirim. Berikut ini akan disajikan proses pengujiannya dalam bentuk Tabel 4.2.
Tabel 4.1. Proses Pengujian Pertama No.
Skenario Pengujian
Pengujian
Hasil yang di Harapkan
Kasus 1.
Hasil
Kesimpulan
Pengujian
Mengosongkan semua
Nama Depan
Sistem akan menolak
Sesuai
isian data registrasi, lalu
:
akses registrasi dan
harapan
langsung mengklik tombol
Nama
menampilkan pesan
„Kirim‟.
Belakang: -
“Mohon semua data
Dst.
harus diisi dengan
-
Valid
benar” 2.
Hanya mengisi data
Username
username (email) dan mengosongkan semua
:
Sistem akan menolak
Sesuai
alhadi_putra
akses registrasi dan
harapan
@yahoo.com
menampilkan pesan
isian data registrasi yang
“Mohon data username
lain, lalu langsung
(email) harus diisi
mengklik tombol “kirim”
dengan benar”
Valid
Setelah dilakukan pengujian, hasilnya adalah data berhasil disimpan pada tabel tbluser yang dijelaskan pada Gambar 4.1.
~7~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
(a)
(b)
Gambar.4.1 Pengujian Black Box Pada Registrasi Peneliti Lapan, (a) Antarmuka Aplikasi dan (b) Antarmuka Database internal Tabel 4.2. Proses Pengujian Kedua No.
1.
Skenario Pengujian
Pengujian
Hasil
Kasus
Harapkan
Pengujian
Menginputkan tampilan
Validasi
Sistem akan
Sesuai
data validasi yang tidak
yang muncul
menolak akses
Harapan
sesuai, lalu langsung
:
registrasi dan
mengklik tombol
Validasi:
menampilkan
„Kirim‟.
abkcd
pesan “Mohon
abcdk
yang
di
Hasil
Kesimpulan
Valid
data validasi harus diisi dengan benar” 2.
Menginputkan semua
Nama
Sistem akan
Sesuai
data registrasi yang
depan:teguh
membuka akses
harapan
benar, lalu langsung
Nama
registrasi dan
mengklik tombol “Kirim”
belakang
data
:wiharko
registrasinya
Dst.
akan disimpan
Valid
ke dalam database.
Setelah dilakukan pengujian hasilnya adalah data berhasil disimpan pada tbluserlain yang terlihat pada Gambar 4.2.
~8~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
(a)
ISBN : 978-979-1458-73-3
(b)
Gambar 4.2 Pengujian Black Box Pada Registrasi Pengguna Umum (a) Antarmuka Aplikasi dan (b) Antarmuka Database Internal Pengujian yang ketiga melibatkan kasus uji yang diulang-ulang dengan jumlah tertentu dengan tujuan untuk mengevaluasi program apakah sesuai dengan spesifikasi kebutuhan yang telah ditetapkan. Pengujian yang ketiga adalah melakukan pengujian black box pada halaman administrator untuk aktifasi, non aktifasi dan penghapusan user FTP server Lapan khusus user peneliti Lapan. Setelah peneliti berhasil melakukan registrasi maka selanjutnya yang bertugas adalah administrator. Administrator mempunyai hak veto untuk mengkonfirmasi, mengaktifasi atau menghapus pengguna yang telah terdaftar. Algoritmanya adalah data peneliti Lapan akan disimpan pada tabel tbladm. Ketika administrator menekan link “Aktifkan” maka peneliti yang diaktifkan akan dapat melakukan login pada halaman login yang disediakan, begitu juga ketika administrator menekan link “Tidak Aktifkan”, maka peneliti tersebut tidak akan dapat melakukan login, sedangkan ketika administrator menekan link “hapus” maka peneliti tersebut akan dihapus dari database user. Berikut ini akan disajikan proses pengujiannya dalam bentuk Tabel 4.3.
~9~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Tabel 4.3. Proses Pengujian Ketiga No.
Skenario Pengujian
Pengujian
Hasil yang di Harapkan
Kasus 1.
Hasil
Kesimpulan
Pengujian
Pengujian fungsionalitas
Mengklik
Sistem akan mengaktifkan
Sesuai
untuk proses “aktifkan”
fasilitas
user yang melakukan
harapan
pada halaman
“aktifkan”
proses registrasi dengan
administrator
pada halaman
benar, kemudian sistem
administrator
akan mengirimkan aktivasi
Valid
link ke email user tersebut. 2.
Pengujian fungsionalitas
Mengklik
Sistem akan menolak akses
Sesuai
untuk proses “tidak
fasilitas “tidak
user apabila user
harapan
aktifkan” pada halaman
aktifkan” pada
melakukan proses login
administrator
halaman
Valid
administrator 3.
Pengujian fungsionalitas
Mengklik
Sistem akan menghapus
Sesuai
untuk proses “hapus”
fasilitas “tidak
seluruh item data user pada
harapan
pada halaman
aktifkan” pada
database, tidak muncul
administrator
halaman
pada halaman
administrator
administrator
Valid
Sebelum dilakukan pengujian terlihat pada Gambar 4.3 berikut ini :
Gambar 4.3. Sebelum dilakukan Aktivasi, Tidak Aktifkan dan Hapus User
Dari hasil pengujian diatas bahwa tidak adanya fungsi algoritma program yang hilang atau tidak benar, tidak adanya error antarmuka, tidak adanya error struktur data atau akses eksternal database, tidak adanya error kinerja atau tingkah laku, dan tidak adanya error inisialisasi dan terminasi. Hal ini dibuktikan dengan adanya keterangan status bernilai 0 dan 1, dimana status bernilai 1 mengindikasikan bahwa user tersebut ~ 10 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
aktif, sedangkan 0 mengindikasikan bahwa status user tersebut non aktif atau tidak aktif lagi, dan apabila user tersebut telah dihapus dari sistem maka user tersebut tidak akan ada dalam halaman manajemen user karena sudah terhapus, hasil tersebut terlihat dengan Gambar 4.4 sebagai berikut ini :
Gambar 4.4 Sesudah Proses Aktifkan, Non Aktifkan dan Hapus User
5.
KESIMPULAN Telah
dibuat
situs
FTP
Lapan
Bandung
yang
beralamat
http://ftp.bdg.lapan.go.id, yang telah dilakukan pengujian perangkat lunak dengan menggunakan metode pengujian black box. Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan, situs FTP ini sudah memenuhi kriteria unjuk kerja yang telah ditetapkan. Pengujian terhadap fungsionalitas pada modul (1) halaman registrasi peneliti, (2) pengguna umum, serta (3) halaman administrator untuk proses aktivasi, non-aktifkan, dan hapus data user, menunjukkan hasil yang siknifikan. Ketiga modul yang dibuat dapat bekerja sesuai dengan perencanaan dan perancangan, bahwa tidak adanya fungsi yang hilang atau tidak benar, tidak adanya error antarmuka, tidak adanya error struktur data atau akses eksternal database, tidak adanya error kinerja atau tingkah laku, dan
~ 11 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
tidak adanya error inisialisasi dan terminasi. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga modul aplikasi ini sudah layak untuk diimplementasikan dalam situs FTP server.
UCAPAN TERIMA KASIH Bapak Suwardi, S.Kom, Bapak Dr. Teguh Harjana, Yoga Andrian, S.Kom, dan Para Peneliti Sistem Informasi Lapan Bandung
DAFTAR RUJUKAN Bahrami, A., “Object Oriented System Development”, Singapore: McGraw-Hill, Inc., Pressman, Roger S.,The 5th edition of Software Engineering: A Practitioner's Approach,McGraw-Hill, 1999. Belzer, B.,Software Testing Techniques, 2nd Edition, New York : Van Nostrand Roinhold, 1990. Braude, E.J, ”Software Engineering: An Object Oriented Perspective”, United State of America: John Wiley & Sons,Inc, 2000. Britton, C., Doake, J.,“Object - Oriented System Development: A gentle Introduction” , Singapore: McGraw-Hill, Inc, 2001. Nugroho, A., Analisis dan Perancangan Sistem Informasi Menggunakan Metodologi Berorientasi Objek. Bandung: Penerbit INFORMATIKA, 2006. Nugroho, A., Rekayasa Perangkat Lunak Berorientasi Objek dengan Metode USDP. Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2010.
~ 12 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
IDENTIFIKASI JENIS AWAN DARI CITRA SATELIT MTSAT IR1 MENGGUNAKAN LOGIKA FUZZY (STUDI KASUS : BANJIR 5-6 APRIL 2013 DI KABUPATEN ACEH BARAT DAN NAGAN RAYA) Anjasman STASIUN METEOROLOGI TJUT NYAK DHIEN MEULABOH email :
[email protected]
Abstract Flooding that occurred on 5-6 April 2013 in West Aceh and Nagan Raya caused by heavy rain (105.2 mm and 41.2 mm). To identify the types of clouds from satellite imagery MTSAT IR1 used fuzzy logic. Temperature of the cloud tops of analysis results indicate that the state of the atmosphere at the time, before and after the incident are very unstable. These results were confirmed by comparison of cloud type identification using fuzzy logic and observations indicate that the type of clouds at the time of the incident is a cloud-convective cumulus and cumulonimbus that can lead to rain accompanied by thunderstorm. Keywords: fuzzy logic, flood, cloud type. Abstrak Banjir yang terjadi pada tanggal 5-6 April 2013 di Kabupaten Aceh Barat dan Nagan Raya disebabkan oleh hujan lebat (105,2 mm dan 41,2 mm). Untuk mengidentifikasi jenis awan dari citra satelit MTSAT IR1 digunakan logika fuzzy. Hasil analisa suhu puncak awan menunjukkan bahwa keadaan atmosfer pada saat, sebelum dan sesudah kejadian sangat labil. Hasil ini diperkuat dengan perbandingan identifikasi jenis awan menggunakan logika fuzzy dan hasil observasi yang menunjukkan bahwa jenis awan pada saat kejadian adalah awan konvektif cumulus dan cumulonimbus yang dapat menimbulkan hujan yang disertai thunderstorm. Kata Kunci : Logika fuzzy, banjir, jenis awan. 1.
PENDAHULUAN Secara geografis Kabupaten Aceh Barat dan Nagan Raya merupakan daerah
pesisir yang sebelah baratnya berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Karena kondisi geografis tersebut, daerah Aceh Barat dan Nagan Raya sering dilanda kejadian cuaca ekstrim seperti hujan lebat, banjir dan angin kencang. Curah hujan yang terjadi di daerah tropis pada umumnya terjadi dalam bentuk sistem konvektif skala meso yang terorganisir yang dikenal sebagai Mesoscale Convective System (MCSs). Sistem ini ditandai oleh adanya 2 komponen yang berbeda yakni komponen konvektif dan stratiform, dimana untuk komponen konvektif ditandai dengan kisaran skala luas
~ 13 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
tutupan yang kecil sekitar beberapa kilometer (Km) hingga 30 Km dan memiliki updraft dan downdraft yang kuat (gerakan vertikal udara yang kuat) serta dikaitkan dengan intensitas hujan yang tinggi (Endarwin, 2012). Awan terbentuk jika uap air mengalami kondensasi menjadi partikel-partikel kecil. Partikel-partikel di awan dapat berupa cair atau padat. Partikel-partikel cair di dalam atmosfer disebut “cloud-droplet”, dan partikel-partikel padat disebut kristal es (Barry&Chorley, 1998). Ketika sejumlah volume udara tak jenuh mengalami pendinginan, kelembapan relatif (RH)nya meningkat. Jika telah cukup dingin, RH menjadi 100%, temperaturnya menjadi sama dengan titik embun. Potensi terbentuknya awan dan presipitasi tergantung pada jumlah uap air di atmosfer. Ketika sebuah parcel udara naik, uap air di dalamnya akan mendingin dan mengembun ke dalam partikelpartikel debu yang kecil yang disebut “inti kondensasi” (cloud condensation nuclei) hingga terbentuk suatu awan. Kejadian banjir yang terjadi di Kabupaten Aceh Barat dan Nagan Raya pada tanggal 5-6 April 2013 banyak menimbulkan kerugian materi, harta dan benda bagi penduduk yang daerahnya tergenang banjir. Hujan lebat yang melanda dua Kabupaten tersebut selama dua hari menyebabkan meluapnya beberapa sungai dan menggenangi beberapa daerah pemukiman penduduk dengan curah hujan yang terukur pada tanggal 6 dan 7 April pukul 07.00 wib adalah sebesar 105.2 mm dan 41.2 mm. Banjir adalah suatu peristiwa terjadinya peluapan air yang berlebihan di suatu tempat. Kejadian banjir sendiri dapat terjadi karena kombinasi berbagai faktor yang kompleks tetapi di daerah-daerah sekitar khatulistiwa dimana kontribusi hujan monsoon dianggap cukup besar (Harsa&dkk, 2011). Untuk menganalisa kejadian cuaca ekstrim disuatu wilayah pada umumnya menggunakan analisa model, interpretasi citra awan satelit dan radar sehingga penyebab kejadian cuaca ekstrim dapat diketahui (Anjasman, 2011). Dalam menganalisa data citra awan satelit, banyak metode yang sering digunakan oleh para prakirawan, baik dengan cara menggelompokkan jenis awan berdasarkan visual tekstur, menggunakan nilai ambang temperatur kecerahan (brightness thersold temperature) TIR1 versus selisih temperatur kecerahan antara IR1 dan IR2 (∆TIR1-IR2) ataupun warna piksel dari citra tersebut. Pengelompokkan jenis awan berdasarkan selisih temperatur channel (IR1 dan IR2) dan selisih rata-rata temperatur channel IR1 dengan water vapour (WV) per luasan piksel telah dilakukan oleh Tokuna dan Tsuchiya. Menggunakan algoritma tersebut, jenis awan dapat dikelompokkan menjadi enam kelompok awan yaitu Cumulunimbus ~ 14 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
(Cb), Cirrus (Ci), awan tebal, Stratocumulus (Sc), Cumulus (Cu), Stratus (St)/fog dan clear (tanpa ada awan) (Tokuno&Tsuchiya, 1994). Pengelompokkan jenis awan berdasarkan selisih nilai temperatur kecerahan antara IR1 dan IR2 juga dilakukan oleh Suseno dan Yamada. Pengelompokkan ini menggunakan algoritma split window antara kanal IR1 dan IR2 dari MTSAT dan Multi Spectral Classification. Jenis awan dengan metode ini akan dibagi menjadi delapan kelompok yaitu Cb, Cb dewasa (MCB), Cirrus tebal (TkCi), Cirrus tipis (TiCi), awan menengah (MC), awan rendah (LC), daratan dan lautan (Suseno&Yamada, 2012). Aplikasi kecerdasan buatan dalam mengelompokkan jenis awan juga sering digunakan dalam menganalisa data citra, seperti penggelompokkan jenis awan dengan menggunakan metode jaringan syaraf tiruan oleh Sanju Kuril, dkk. Pengelompokkan jenis awan dari citra satelit yang diolah dibagi berdasarkan tiga kelompok yaitu awan rendah, menengah dan tinggi (Kuril&Saini, 2013). Pengelompokkan jenis awan dengan menggunakan pendekatan logika fuzzy telah dilakukan oleh Baum. B, dkk. Pengelompokkan tersebut menggunakan data dari citra satelit global AVHRR NOAA-11. Pengelompokkan tersebut dibagi ke dalam 8 (delapan) kelas yaitu clear sky, broken low-level cloud, uniform low-level cloud, broken midle-level cloud, uniform midle-level cloud, broken high-level cloud, uniform highlevel cloud dan uniform thick high-level cloud. Pemisahan jenis awan berdasarkan fraksi dan tinggi awan dan hanya satu lapisan (single layer) awan yang bisa didefinisikan (Baum&Titlow, 1997). Untuk mengidentikasi jenis awan dari citra satelit MTSAT IR1 pada saat kejadian banjir 5-6 April 2013 di Kabupaten Aceh Barat dan Nagan Raya akan digunakan metode logika fuzzy. Konsep logika fuzzy pertama kali diperkenalkan oleh Professor Lotfi
A. Zadeh dari Universitas California, pada bulan Juni 1965. Logika
fuzzy merupakan generalisasi dari logika klasik yang hanya memiliki dua nilai keanggotaan, yaitu 0 dan 1. Dalam logika fuzzy, nilai kebenaran suatu pernyataan berkisar dari sepenuhnya benar sampai dengan sepenuhnya salah. Dengan teori himpunan fuzzy, suatu objek dapat menjadi anggota dari banyak himpunan dengan derajat keanggotaan yang berbeda dalam masing-masing himpunan (Arhami, 2004). Pada umumnya untuk menghasilkan suatu kesimpulan output dari masing-masing himpunan input sering digunakan sistem inferensi Tsukamoto. Pada Metode Tsukamoto,
setiap
konsekuen
pada
aturan
yang
berbentuk
IF-Then
harus
direpresentasikan dengan suatu himpunan fuzzy dengan fungsi keanggotaan yang ~ 15 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
monoton. Sebagai hasilnya, output hasil inferensi dari tiap-tiap aturan diberikan secara tegas (crisp) berdasarkan α-predikat (fire strength). Hasil akhirnya diperoleh dengan menggunakan rata-rata terbobot (Kusumadewi, 2003).
2.
DATA DAN METODE Data yang akan digunakan untuk mengidentifikasi jenis awan adalah data citra
satelit MTSAT kanal IR1 per jam tanggal 27 Maret hingga 6 April 2013. Data tersebut diperoleh dari website kochi weather archive dengan resolusi piksel 1800x1800 yang mencakup daerah 70o-160o BT/20o LS-70o LU. Koordinat lokasi yang akan diidentifikasi jenis awannya adalah radius 10 Km dari Stasiun Meteorologi Tjut Nyak Dhien Meulaboh (04.0487 LU, 096.247867 BT). Koordinat lokasi ini dipilih karena Stasiun Meteorologi Tjut Njak Dhien berada diperbatasan antara kedua kabupaten tersebut dan lokasi banjir terparah berada di dalam radius tersebut. Hasil pengolahan citra tersebut kemudian akan dibandingkan dengan sinoptik jenis awan dan present weather 27 Maret hingga 6 April 2013 selama 18 jam operasional stasiun. Data citra satelit tersebut kemudian akan diolah dengan menggunakan software Cloud-IT versi 1.0 (Anjasman, 2012). Software tersebut berfungsi untuk menganalisa suhu, tinggi puncak awan dan menghasilkan suatu kesimpulan jenis awan dengan pendekatan logika fuzzy. Secara garis besar, data suhu dan tinggi puncak awan akan digunakan sebagi inputan untuk menghasilkan suatu kesimpulan jenis awan dengan menggunakan sistem inferensi Tsukamoto. Pengelompokkan jenis awan dengan metode fuzzy dapat dibedakan menjadi delapan (8) jenis awan yaitu clear (tidak ada awan), Stratus (St)/Fog, Stratocumulus (Sc), Nimbostratus, Altostratus/Altocumulus , Cumulus (Cu), Cirrus/Cirrustratus/Cirruscomulus dan Cumulunimbus (Cb). Rata-rata terbobot metode Tsukamoto yang diaplikasikan dalam menentukan jenis awan dapat ditulis sebagai berikut:
awan ( C H xH CT xT ) /( H T ) dengan : µH : derajat keanggotaan tinggi puncak awan µT : derajat keanggotaan suhu puncak awan CH : jenis awan berdasarkan tinggi puncak awan CT : jenis awan berdasarkan suhu puncak awan.
~ 16 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
Software tersebut telah diuji dan dibandingkan
ISBN : 978-979-1458-73-3
dengan data jenis awan
pengamatan sinoptik pada beberapa lokasi yaitu Stasiun Meteorologi Polonia Medan, Cengkareng Jakarta, Juanda Surabaya dan Ngurah Rai Bali tanggal 6-15 Maret 2010. Persentase nilai kebenaran jenis awan menggunakan metode fuzzy terhadap data awan sinoptik dari masing-masing stasiun adalah 53,2% hingga 84,7%. Nilai kebenaran 53,2% diperoleh dari Stasiun Metorologi Ngurah Rai Bali, dimana kondisi cuaca pada tanggal 6-15 Maret sebagian besar cerah hingga berawan. Nilai kebenaran 84,7% diperoleh dari Stasiun Meteorologi Cengkareng, dimana kondisi cuaca pada tanggal 615 Maret sebagian besar berawan dan hujan (Anjasman&Swarinoto, 2010).
Gambar 1 : Software Cloud-IT versi 1.0
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Suhu puncak awan 3-6 april
Gambar 2 : Grafik suhu puncak awan 27 Maret hingga 6 April 2013
~ 17 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Dari gambar 2 dapat dilihat bahwa pada tanggal 27 Maret hingga 2 April keadaan suhu puncak awan bervariasi tidak seperti keadaan tanggal 3-6 April (grafik yang dilingkaran biru). Pada pagi hingga siang hari suhu puncak awan hangat tetapi pada sore hingga malam hari suhunya dingin. Keadaan atmosfer yang labil ini memicu pertumbuhan awan-awan konvektif yang mencapai tahap pertumbuhan matangnya pada sore hingga malam hari. Hal ini diperkuat oleh hasil pengamatan sinoptik 27 Maret hingga 2 April yang menunjukkan bahwa rata-rata terjadinya hujan dan thunderstorm pada sore hingga malam hari dan jenis awan hasil pengamatan rata-rata adalah awan konvektif cumulus dan cumulunimbus. Hasil analisa suhu puncak tanggal 3 April 2013 (lihat grafik 1), pada umumnya keadaan atmosfer dari pagi hingga malam hari adalah labil. Hal ini ditandai dengan terbentuknya awan-awan konvektif cumulonimbus dan cumulus baik dari hasil pengamatan observer maupun hasil dari identifikasi jenis awan menggunakan logika fuzzy (lihat tabel 1). Awan-awan konvektif tersebut menyebabkan hujan dengan intensitas ringan yang terjadi pada pagi dan malam hari dengan curah hujan yang terukur selama 24 jam adalah 8 mm . Hasil analisa suhu puncak awan 4 April (lihat grafik 2), dapat dilihat bahwa keadaan atmosfer dari pagi hingga sore hari adalah labil. Hal ini juga dapat dilihat dari jenis awan yang tumbuh dari hasil pengamatan sinoptik secara umum adalah awan konvektif cumulus dan dari hasil pengolahan citra, jenis awan yang tumbuh adalah awan konvektif cumulonimbus (lihat tabel 2). Keadaan ini berlanjut dengan adanya lightning pada tengah malam hingga pagi hari, hal ini menandakan keadaan atmosfer tidak stabil Hasil analisa suhu puncak awan tanggal 5 April (lihat grafik 3), keadaan atmosfer yang labil pada tanggal 4 April berlanjut pada pagi hari tanggal 5 april. Pada pagi hari, keadaan cuaca yang dicatat oleh observer adalah precipitation in sight, terjadi hujan tetapi tidak jatuh di sekitar stasiun. Suhu puncak awan terus menurun dibandingkan dengan profil suhu puncak awan tanggal 3-4 April. Penurunan suhu puncak awan berlanjut hingga pagi hari berikutnya (6 April) dengan terbentuknya awanawan konvektif cumulus/cumulonimbus baik dari hasil observasi maupun hasil identifikasi (lihat tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa keadaan atmosfer sangat labil. Thunderstorm mulai terjadi pada pukul 08.00 UTC dan terus berlanjut dengan turunnya hujan dengan intensitas ringan-lebat disertai thunderstorm hingga pagi hari. Curah ~ 18 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
hujan yang tercatat pada tanggal 6 April pukul 00.00 UTC adalah sebesar 105,2 mm. Hujan lebat yang terjadi dari sore (08.00 UTC) hingga pagi hari 6 April menyebabkan meluapnya beberapa sungai di Kabupaten Aceh Barat dan Nagan Raya, sehingga menyebabkan terjadinya banjir. Hasil analisa suhu puncak awan tanggal 6 April (lihat grafik 4), keadaan atmosfer masih labil Hal ini ditandai dengan curah hujan yang terukur sebesar 41,2 mm pada pagi hari 7 April. Jenis awan yang dicatat oleh observer dan hasil identifikasi citra satelit menggunakan logika fuzzy (lihat tabel 4) secara umum masih menunjukkan adanya awan-awan konvektif cumulonimbus.
4. KESIMPULAN Hasil dari analisa profil suhu puncak awan 3,4,5 dan 6 April menunjukkan bahwa keadaan atmosfer pada saat kejadian banjir adalah sangat labil. Jenis awan yang diidentifikasi menggunakan logika fuzzy adalah awan konvektif cumulus dan cumulonimbus yang dapat menyebabkan terjadinya hujan disertai thunderstorm.
UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih disampaikan oleh Penulis kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyiapan naskah ini.
DAFTAR RUJUKAN Anjasman. (2012). Identifikasi Jenis Awan Pada Saat Kejadian Cuaca Ekstrim Squall Line Di Kabupaten Aceh Barat dan Nagan Raya Menggunakan Software CloudIT Versi 1.0. Prosiding Workshop Cuaca Ekstrim BMKG, Vol.1 No.19 November 2012. ISSN 2302-8289. Jakarta. Anjasman dan Swarinoto Y.S. (2010). Identifikasi Jenis Awan Menggunakan Metode Piksel-Fuzzy. Buletin MKG, Vol. 6 No.1 Maret 2010, Jakarta. ISSN 0215-1952. Arhami, M. (2004). Konsep Dasar Sistem Pakar. Yogyakarta: Andi Offset. Baum. B.A, Tovinkere. V & Titlow. J. (1997). Automated Cloud Classification of Global AVHRR Data Using A Fuzzy Logic Approach. Journal of Applied Meteorology. November Vol.36 hal: 1519-1539. Barry R.G & Chorley R.J. 1998. Atmosphere, Weather, and Climate. Seventh Ed. Penerbit Routlege, London, ISBN 0-415-16019-7, 409 hal.
~ 19 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Endarwin. (2012) Analisis Objektif Terhadap Kejadian Cuaca Ekstrim di Indonesia Memanfaatkan Data Satelit Cuaca,. Prosiding Workshop Cuaca Ekstrim BMKG, Vol.1 No.19 November 2012. ISSN 2302-8289. Jakarta. Harsa. H, Kurniawan. R, Linarka, U.A&Noviati.S. (2011). Pemanfaatan SATAID (Satellite Animation And Interactive Diagnosis) untuk Analisa Banjir dan Angin Putting Beliung Studi Kasus Jakarta dan Yogyakarta. Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol.12 No.2 September 2011. Kuril. S, Saini. I & Saini.B.S. (2013). Cloud Classification for Weather Information by Artificial Inteligence Neural Network, International Journal of Applied Physics and Mathematics, Vol.3 , No 1, January 2013. Kusumadewi, S. (2003). Artificial Inteligence.Yogyakarta: Graha Ilmu. Suseno, DPY & Yamada, TJ. (2012). Two Dimensional, Thresold-Based Cloud Type Classification Using MTSAT Data. Remote Sensing Letters, Vol.3,No 8, 20 December 2012. Tokuna, M & Tsuchiya, K. (1994). Classification of Cloud Types Based on Data of Multiple Satellite Sensors. Advances in Space Research, Vol.14, Issue 3, p. 199206, March 1994.
~ 20 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
LAMPIRAN TABEL DAN GRAFIK Jam/UTC Fuzzy Obs
00.00 Cb Sc,Ac, As,Ci Mist
Weather 09.00 Cu,Cs Cu,Sc, Ac,Ci C.decr
10.00 Cs,Ci Cu,Sc, Ac,Ci C.Incr
01.00 Cb Cb,Ac As,Ci Mist
11.00 Cb Cu,Ac As,Ci C.Unch
Jam/UTC Fuzzy
02.00 Cb Cb,Ac As,Ci RERA 12.00 Cb Sc,As Ci C.Unch
19.00 Cb
03.00 Cb Cb,Ac As,Ci C.unch
04.00 Cb,Ci Cb,Ac As,Ci RA
13.00 Cb,Ci Sc,Ac As,Cc C.Unch/RA 20.00 Cc,Cs
05.00 Cb,Ci Cb,Ac As,Ci RA
14.00 Ci Sc,Ac As,Cc RA
06.00 Cc,Cs Sc,As RERA
15.00 Cb Sc,Ac As,Cc RERA
21.00 Cb,Ci,Cc
16.00 Cb Sc,Ac As,Cc RA
07.00 Cc,Cs Cu,Sc Cc C.decr
08.00 Cu,Cs Cu,Sc, Ci C.unch
17.00 Ci,Cc Sc,Ac As,Cc RA
18.00 Cc Sc,Ac As,Cc RERA
22.00 Cb
23.00 Cb
Tabel 1 : Present weather, jenis awan observasi dan hasil identifikasi logika fuzzy 3 April 2013 Jam/UTC Fuzzy Obs Weather 09.00 Cb,Cu Cu,Ac C.unc
00.00 Cb Sc,Ac Haze 10.00 Cb,Ci Cu,Ci C.unc
Jam/UTC Fuzzy
01.00 Cb Cu,Ac C.unc 11.00 Cc,Cs Cu,Ci C.unc
19.00 Cu,Cs
02.00 Cb Cu,Ac C.unc 12.00 Cu,Cs Cu,Ci C.unc
03.00 Cb Cu,Ac C.Unc
04.00 Cb Sc,Ac C.unc
05.00 Cb Sc,Ac C.unc
06.00 Ci,Cc Sc,Ci C.unc
07.00 Cb Sc,Ac C.unc
08.00 Cb,Ci Sc,Ci C.unc
13.00 Cc,Cs Cu,Ci C.unc
14.00 Cc,Cs Sc,Ci C.dcr
15.00 Cu,Cc Sc,Ci C.inc
16.00 Cc Sc,Ci C.unc
17.00 Cc Sc,Ci C.dcr
18.00 Cu,Cs Cb,Ci lightning
20.00 Cc,Cs
21.00 Cb,Ci,Cc
22.00 Cb
23.00 Cu,Cs
Tabel 2 : Present weather, jenis awan observasi dan hasil identifikasi logika fuzzy 4 April 2013 Jam/UTC Fuzzy Obs Weather
09.00 Cb Cb,Ci Ts
00.00 Cu,Cs Cb,Cc Prc.ins ight 10.00 Cb Cb TS RA
Jam/UTC Fuzzy
01.00 Cu Cu, C.unc
11.00 Cb Cb TS RA
02.00 Cu Cu C.unc
03.00 Cs,Cc Cu,Cc C.unc
04.00 Cs Cu,cc C.unc
05.00 Cb,Ci Cu,cc C.unc
06.00 Cb Cu,Ci C.unc
07.00 Cb Cu,Ci C.unc
08.00 Cb,Ci Cb,Ci Ts
12.00 Cb Sc RA
13.00 Cb Sc RA
14.00 Cb Sc RA
15.00 Cb Cb TSRA
16.00 Cb CB TSRA
17.00 Cb CB TSRA
18.00 Cb CB TSRA
19.00 Cb
20.00 Cb
21.00 Cb
22.00 Cb
23.00 Cb
Tabel 3 : Present weather, jenis awan observasi dan hasil identifikasi logika fuzzy 5 april 2013 Jam/UTC Fuzzy Obs Weather 09.00 Cb Sc,As RA
00.00 Cb Cb Mist 10.00 Cb Sc,As RA
01.00 Cb Cb RA 11.00 Cb Sc,As RA
02.00 Cb,Ci Cb RERA
03.00 Cb Cb C.unch
04.00 Cb Cb Pr.ins
05.00 Cb Cb Pr.ins
06.00 Cb Sc RA
07.00 Cb Sc RA
08.00 Cb Sc RA
12.00 Cb Sc,As RA
13.00 Cb Sc,As RERA
14.00 Cb Sc,As C.unc
15.00 Cb Sc,As C.unc
16.00 Cb Sc,As C.unc
17.00 Cb Sc,As C.unc
18.00 Cb Sc,As C.unc
~ 21 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Jam/UTC Fuzzy
19.00 Ci
Bandung, 28 Agustus 2013
20.00 Ci,Cc
ISBN : 978-979-1458-73-3
21.00 Cb
22.00 Ci
Tabel 4 : Present weather, jenis awan observasi dan hasil identifikasi 6 April 2013
Grafik 1 : Suhu puncak awan 3 April 2013
Grafik 2 : Suhu puncak awan 4 April 2013
~ 22 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
Grafik 3 : Suhu puncak awan 5 April 2013
Grafik 4 : Suhu puncak awan 6 April 2013
~ 23 ~
ISBN : 978-979-1458-73-3
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
ANALISA BENCANA BANJIR DI KOTA PADANG (Studi Kasus Intensitas Curah Hujan Kota Padang 1980 – 2009 dan Aspek Geomorfologi) 1
Aprizon Putra1, Triyatno2 dan Semeidi Husrin1 Loka Penelitian Sumber Daya dan Kerentanan Pesisir, Balitbang KP, Kementerian Kelautan dan Perikanan Jl. Raya Padang- Painan Km 16 Padang, Sumatera Barat 2 Jurusan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang Jl. Prof. Dr. Hamka Air Tawar Padang - Sumatera Barat email:
[email protected]
Abstract Flood in Padang is a routine problem which takes place every year at the same locations and cannot be resolved yet by the local government. Current research has an objective to obtain data of flood-affected areas (i.e. location and geomorphological conditions) based on landform analysis. The mapping unit is landform unit which was obtained by the interpretation of satellite data, topography and geological map. The sampling was carried out using the Purposive Sampling Method. Based on rainfall statictics from 1980 - 2009, the average rainfall of 3583 mm/yr which implies that Padang has significantly high rainfall. Padang climate has been classified as type A or extremely wet with Q value equals 3,90% according to the analysis‟ result using Schmidt-Ferguson climate classification. The geomorphology of flood-affected areas in Padang is the combination of central fluvial landform and western marine landform. The central fluvial and western marine landforms are passed by 6 drainage basins which have about 23 rivers with total length of 155.40 km. Keywords: Flood, Padang, Rainfall, Geomorphology and River. Abstrak Masalah banjir di Padang merupakan hal yang biasa, dimana hampir setiap tahun terjadi banjir. Bahkan daerah banjir merupakan daerah yang sama dari tahun ke tahun dan belum teratasi oleh masyarakat dan lembaga terkait. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data mengenai wilayah terkena bencana banjir dan mendapatkan data kondisi geomorfologi berdasakan analisa satuan bentuklahan. Satuan pemetaan adalah satuan bentuklahan yang diperoleh dari interpretasi citra satelit, peta topografi dan peta geologi. Pengambilan sampel dilakukan dengan metoda Purposive Sampling. Berdasarkan data curah hujan tahun 1980-2009, Rerata curah hujan mencapai 3583 mm/th ini berarti Padang mempunyai curah hujan yang sangat besar. Hasil analisa dengan klasifikasi iklim menurut Schmidt–Ferguson, menunjukkan bahwa Padang memiliki tipe iklim A dengan kategori iklim sangat basah, dengan nilai Q = 3,90%. Geomorfologi daerah banjir di Padang merupakan perpaduan antara bentuklahan fluvial bagian tengah dan bentuklahan marin bagian barat. Bentuklahan fluvial dan marin dilalui oleh 6 sungai (DAS) dan 23 aliran dengan total panjang 155,40 km. Kata Kunci : Banjir, Padang, Curah hujan, Geomorfologi dan Sungai
~ 24 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
1.
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
PENDAHULUAN Umumnya masalah banjir disebabkan oleh; a) akibat dari aktifitas manusia,
berupa; 1) timbulnya pemukiman baru di daerah bantaran sungai, 2) perubahan tataguna lahan baik di daerah hulu maupun hilir, 3) kurangnya pemeliharaan bangunan pengendalian banjir, 4) pembuangan sampah di saluran drainase, 5) kerusakan hutan di daerah hulu, dan 6) pemadatan serta penutupan permukaan tanah oleh bangunan. sedangkan b) akibat dari kondisi alam, berupa; 1) curah hujan yang tinggi, 2) aliran anak sungai tertahan oleh aliran induk sungai atau back water, dan 3) pembendungan muara sungai akibat air pasang surut (Asdak, 1995). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui wilayah terkena banjir dan mengetahui kondisi geomorfologi berdasakan analisa satuan bentuklahan di Kota Padang, sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah untuk dapat mencari solusi dalam mengatasi masalah banjir yang selalu datang di wilayah yang sama, tidak saja secara periodik tetapi juga bisa datang apabila intensitas curah hujan melampaui daya. Sehingga dari hasil penelitian ini masyarakat akan mendapatkan pengetahuan dan langkah-langkah untuk tindakan preventif dan kuratif bila banjir akan datang. Selain itu penelitian juga merupakan acuan dalam pengembangan penelitian khususnya penelitian yang terkait dengan sumber daya dan kerentanan pesisir, di mana Kota Padang merupakan salah kota pesisir pantai yang memiliki kerentanan tinggi terhadap bencana di pesisir Barat pulau Sumatera (Husrin, 2012).
2. METODOLOGI Satuan pemetaan yang digunakan adalah satuan bentuklahan, yang diperoleh dari interprestasi citra satelit, peta topografi dan peta geologi. Interpretasi ketiga data tersebut menghasilkan peta satuan bentuklahan sementara (tentatif). Pengambilan sampel dilakukan dengan metoda Purposive Sampling (Putra, 2012).
2.1 Analisa Curah Hujan Dalam penelitian ini diperlukan data curah hujan kawasan yang diperoleh dari nilai curah hujan di beberapa stasiun penakar. Metode dalam menentukan variasi distribusi curah hujan yaitu:
~ 25 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
a) Metode Aljabar Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa semua penakar hujan mempunyai pengaruh yang setara. Cara ini cocok untuk kawasan dengan topografi datar. Hasil perhitung curah hujan dengan metode ini diperoleh dengan persamaan. R = 1 / n (R1 + R2 + . . . . . . +Rn ) Ket. R = Curah hujan N = Jumlah titik alat penakar hujan R1. R2...........................Rn = Curah hujan tiap titik pengamatan b) Metode Isoyhet Cara kerja metode ini adalah dengan menggambarkan peta topografi dengan perbedaan 10 mm - 20 mm berdasarkan data curah hujan pada titik pengamatan. Luas bagian daerah antara 2 garis ishoyet yang berdekatan diukur dengan planimeter. Variasi distribusi curah hujan dengan metode ishoyet di hitung dengan persamaan.
R = R1 . A1 + R2 . A2 +...............R8. A8 A1 + A2 + A3 Ket. R
= Curah hujan
R1. R2 = Curah Hujan tiap titik Pengamatan (stasiun) A1. A2 = Bagian daerah yang diwakili antara dua garis isohyet c)
Iklim Klasifikasi iklim yang digunakan adalah dengan penentuan nilai Q, yaitu
perbandingan antara bulan kering (BK) dan bulan basah (BB). BK dan BB pada klasifikasi Schmidt-Ferguson ditentukan tahun demi tahun selama periode pengamatan yang kemudian dijumlahkan dan dihitung rata-ratanya dengan kriteria klasifikasi sebagai berikut.
Bulan Basah (BB) = Bulan dengan curah hujan > 100 mm
Bulan Lembab (BL) = Bulan dengan curah hujan antara 60 – 100 mm
Bulan Kering (BK) = Bulan dengan curah hujan < 60 mm
Q : Banyak Bulan Kering x 100%................. Banyak Bulan Basah ~ 26 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
2.3 Analisa Data Untuk menentukan kerentanan bahaya banjir digunakan beberapa parameter seperti yang telah diuraikan di atas. Penilaian dari masing-masing parameter setiap satuan bentuklahan yang diteliti diberi skor. Nilai skor pada satuan bentuklahan dijumlahkan guna menentukan tingkat bahaya banjir. Tingkat kerentanan ditentukan dengan persamaan. I = (Htt – Htr) / K.............(Yeni, 2010) Ket : I
= Interval kelas
Htt = Jumlah nilai tertinggi Htr = Jumlah nilai terendah K = Jumlah kelas yang diinginkan
Frekuensi banjir adalah jumlah peristiwa banjir pada daerah yang sama dalam satuan waktu tertentu. Peristiwa banjir secara periodik tidak dapat diperhitungkan secara matematis, karena banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya banjir (tabel 1). Tabel 1: Klasifikasi Pengukuran Kondisi Banjir 1)
Frekuensi Banjir
No
Frekuensi Banjir
Kriteria
1
> 20 Tahun sekali
Kecil
1
2
10 – 12 Tahun sekali
Sedang
2
3
< 10 Tahun sekali
Tinggi
3
2)
Harkat
Lama Genangan Banjir
No
Lama banjir
Kriteria
Harkat
1
< 1 Hari
Kecil
1
2
1 – 14 Hari
Sedang
2
3
< 15 Hari
Tinggi
3
3)
Kedalaman Banjir
No
Kedalaman Banjir
Kriteria
Harkat
1
> 70 cm
Tinggi
1
2
20 – 70 cm
Sedang
2
3
10 – 20 cm
Agak rendah
3
Sumber: BNPB, 2008.
~ 27 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
3
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Curah Hujan Data curah hujan yang digunakan diambil dari 9 stasiun hujan, yaitu St. Tabing (+ 2 mdpl), St. Kasang (+ 2 mdpl) St. Komp. PU (+ 3 mdpl), St. Simp. Alai (+ 5 mdpl), St. Ladang Padi (+ 350 mdpl), St. Batu Busuk (+ 130 mdpl), St. Gunung Sarik (+ 100 mdpl) dan St. Teluk Bayur (+2 mdpl). Hasil dengan klasifikasi iklim menurut Schmidt– Ferguson, menunjukkan bahwa Kota Padang memiliki tipe iklim A dengan kategori iklim sangat basah dengan nilai Q = 3,90%, Untuk menentukan rata - rata distribusi curah hujan di Kota Padang digunakan metode isohyet. Nilai intensitas curah hujan dapat dilihat pada grafik (gambar 1) dan peta distribusi curah hujan (gambar 2).
Jan Feb Mar Apr Rata - rata Curah Hujan Bulanan Kota Padang (Tahun 1980 - 2009)
JanJun FebJul Mar Mei AguApr Sep Jan Feb Mar Apr Jan Feb Mar AprNov, Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des, Jan Feb Mar Apr Jan Feb Mar Apr Jul Agu Sep MeiMei JunJun Jul422 Agu Sep Okt Nov Des, Okt, Jan Feb Mar Apr MeiAgu JunSep Jul Agu Sep Jan Feb MarJun AprJul Jan Feb Mar AprMei Okt Nov Des, Des, Jan Feb Mar AprMei Jun JulJan Okt Feb MarNov Apr Des, 380Sep, Sep Okt Nov Des, Apr,Jan Feb Mar Apr Agu OktAgu Nov Des, Mar, MeiAgu JunSep Jul Sep Mei Jun Jul Mei Jun Jul Agu SepOkt NovMei 336342 Jun Jul Agu Sep Des, Jul, Mei Jun Jul Agu Sep 315 300 Okt Nov Okt Des,Nov Jan,Des, Feb, Okt Nov Des, Mei, Okt Nov Des, Agu, 281 Okt Nov Des, Jun, 251 250 244 239 222
Gambar 1: Grafik Curah Hujan Kota Padang (1980 – 2009)
3.2 Geomorfologi Geomorfologi Kota Padang merupakan perpaduan antara bentuklahan pebukitan vulkanik bagian Timur, bentuklahan fluvial bagian Tengah dan bentuklahan marin bagian Barat. Daerah bagian Timur merupakan perbukitan vulkanik yang lebih tinggi dari daerah bagian Tengah dan Barat, sehingga daerah bentuklahan fluvial dan marin dilalui oleh beberapa DAS, yaitu DAS Air Dingin, DAS Air Timbalun, DAS Bt. Arau, DAS Bt. Kandis, DAS Bt. Kuranji, dan DAS Sungai Pisang. Terdapat tidak kurang dari 23 aliran sungai yang mengalir dengan total panjang mencapai 155.40 km (10 sungai besar dan 13 sungai kecil). Umumnya sungai besar dan kecil di Kota Padang ketinggiannya tidak jauh berbeda dengan tinggi permukaan laut. Kondisi ini mengakibatkan cukup banyak bagian wilayah di Kota Padang yang rawan terhadap banjir. Hal ini didukung lagi bahwa Kota Padang merupakan daerah tropis mempunyai curah hujan yang cukup tinggi rata-rata 3583 mm/th dengan rata-rata hari hujan 16 hari perbulan. ~ 28 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Berdasarkan interpretasi citra satelit, peta topografi, dan peta geologi diperoleh 14 satuan bentuklahan (Verstappen, 1983). Ke-15 satuan bentuklahan tersebut dikelompokkan menjadi kelompok bentuklahan daratan dan perbukitan. Kelompok bentuklahan daratan yaitu marin dan fluvial sedangkan kelompok bentuklahan perbukitan yaitu bentuklahan vulkanik dan bentuklahan solusional (tabel 2).
Tabel 2: Geomorfologi Kota Padang No.
Jenis Morofologi
Luas (Ha)
1
Bura Pasir
943.48
2
Aluvial Pantai
1386.94
3
Depresi Antar Beting
738.65
4
Beting Gisik
509.39
5
Kipas Aluvial
1776.73
6
Tanggul Alam
2643.53
7
Rawa Belakang
4160.82
8
Dataran Banjir
684.3
9
Gosong Sungai
363.54
10
Kipas Fluvial - Vulkanik
6313.72
11
Teras Aliran Piroklastik
1877.07
12
Perbukitan Karst
1029.94
13
Pegunungan Volkan
45483.44
14
Perbukitan Vulkanik
743.13
15
Perubahan Manusia*
841.32
Kota Padang
694.96
Sumber: Analisa data, 2011 . *) Bentuk lahan alami tidak terlihat, karena telah ada campur tangan manusia.
Berdasarkan analisa data pada peta satuan bentuklahan, kejadian banjir di Padang, umumnya berada pada satuan bentuklahan dataran Aluvial pantai, Depresi antar beting, Rawa belakang, Dataran banjir dan Gosong sungai yang berada pada bagian Tengah dan bagian Hilir DAS. Berdasarkan tabel 3 terlihat ada 5 satuan bentuklahan yang ditandai, satuan bentuklahan yang ditandai tersebut merupakan satuan bentuklahan yang sangat rentan terkena banjir, satuan bentuklahan yang rentan terkena banjir tersebut yaitu; 1) satuan bentuklahan lagun dan lagun yang masih aktif secara spasial berada pada topografi datar dan daerah ini dikategorikan kelas tinggi - sedang terhadap banjir, 2) satuan
~ 29 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
bentuklahan depresi antar beting terdapat memanjang antara beting gisik di belakang pantai, mulai dari satuan bentuklahan bura pantai arah ke darat, satuan bentuklahan ini secara spasial berada pada topografi datar dan daerah ini dikategorikan kelas tinggi terhadap banjir, 3) satuan bentuklahan rawa belakang (backswamp) terdapat di belakang satuan bentuklahan tanggul alam (Natural levee), satuan bentuklahan ini secara spasial berada pada topografi datar dan daerah ini dikategorikan kelas tinggi sedang terhadap banjir, 4) satuan bentuklahan dataran banjir (floodplain) terdapat di kiri kanan aliran sungai, satuan bentuklahan ini secara spasial berada pada topografi datar dan daerah ini dikategorikan kelas sedang terhadap banjir dan 5) satuan bentuklahan gosong sungai yang terdiri dari satuan bentuklahan point bar dan channel bar. Point bar biasanya terdapat pada tikungan dalam meander, sedangkan channel bar merupakan sebuah pulau di tengah aliran sungai, satuan bentuklahan ini secara spasial berada pada topografi datar dan daerah ini dikategorikan kelas sedang terhadap banjir (Tabel 3). Dari tabel 3 dapat dilihat tingkat bahaya banjir terbesar terdapat pada Kecamatan Koto Tangah dengan luas daerah 8.90 km₂ dan yang terkecil terdapat pada Kecamatan Lubuk Begalung dengan luas daerah 0.05 km₂. Tingkat bahaya banjir sedang yang terbesar terdapat pada Kecamatan Kuranji dengan luas daerah 8.02 km₂ sedangkan tingkat bahaya banjir sedang terendah terdapat pada Kecamatan Padang utara dengan luas daerah 1.46 km₂. Tingkat bahaya banjir terendah terdapat pada Kecamatan Koto tangah dengan luas daerah 250.59 km₂. Tingginya tingkat bahaya banjir di Kota Padang umumnya disebabkan oleh curah hujan yang tinggi dan kejadian pasang-surut air laut. Pasang-surut di Kota Padang memiliki tipe pasang-surut ganda campuran, dalam artian dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan dua kali mengalami surut air laut. Kejadian banjir di Kota padang sering bertepatan dengan kejadian pasang naik, sehingga air yang akan mengalir ke laut terhambat karena bertemunya dua massa air yaitu massa air tawar dan massa air laut ini yang sering menyebabkan banjir. Informasi terbaru mengenai bencana banjir di Kota Padang yaitu peristiwa banjir bandang tanggal 24 Juli 2012 di Kecamatan Pauh akibat kegiatan illegal logging di kawasan penyangga perbukitan yang menyebabkan topografi bagian hulu mengalami degradasi. Selain itu bantaran sungai juga mengalami sedimentasi. Kerusakan hutan pada bagian hulu sungai mengalami erosi dan penumpukan material pada daerah bantaran sungai.
~ 30 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Tabel 3: Luas Bahaya Banjir secara Administrasi di Kota Padang No
1
2
3
4
5
₂
Luas (km )
Kecamatan Koto Tangah
Pauh
Kuranji
Nanggalo
Padang Utara
6
Lubuk Kilangan
7
Padang Timur
232.25
146.29
57.41
8.07
8.08
85.99
8.15
8
9
Padang Barat
7
Lubuk Begalung 30.91
10
Padang Selatan 10.03
100.78 11
Bungus Tl Kabung
Luas
Bahaya Banjir
₂
Luas Bahaya Banjir (km )
Tinggi
8.90
Rendah
250.59
Sedang
6.45
Rendah
116.90
Sedang
2.63
Tinggi
0.87
Rendah
49.05
Sedang
8.02
Tinggi
1.60
Rendah
4.20
Sedang
5.32
Tinggi
5.03
Rendah
0.68
Sedang
1.46
Rendah
83.43
Sedang
1.20
Tinggi
2.60
Rendah
3.28
Sedang
1.51
Tinggi
4.29
Rendah
0.79
Tinggi
0.05
Rendah
22.89
Sedang
4.17
Tinggi
1.80
Rendah
8.79
Sedang
1.59
Tinggi
1.14
Rendah
97.29
Sedang
1.33 694.96
Sumber: Analisa data, 2011.
~ 31 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
A
C
B
Gambar 3: Peta Hasil Analisa Data A) distribusi Curah Hujan, B) Geomorfologi dan C) Peta Bahya Banjir)
4.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan hasil penelitian adalah Padang memiliki 6 DAS dan terdapat tidak
kurang dari 23 aliran sungai yang mengalir di wilayah Kota Padang dengan total panjang mencapai 155.40 km. Curah hujan di Padang yang cukup tinggi rata-rata 3583 mm/th dengan rata-rata hari hujan 16 hari perbulan. Kondisi Geomorfologi yang rawan terkena banjir di Kota Padang berada pada satuan bentuklahan dataran Aluvial pantai, Depresi antar beting, Rawa belakang, Dataran banjir dan Gosong sungai. Kecamatan Koto tangah merupakan kecamatan terluas terkena banjir di Utara Kota Padang 8.90 km₂ dan yang terkecil terdapat pada Kecamatan Lubuk Begalung dengan luas daerah 0.05 km₂. ~ 32 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka saran yang dapat di kemukakan adalah masyarakat sebaiknya tidak mendirikan bangunan-bangunan permanen pada sempadansempadan sungai, yaitu pada radius tertentu dari tubuh sungai (biasanya 100-200 m). Kawasan ini umumnya merupakan daerah limpah banjir sehingga sebaiknya dihindari. Pemerintah daerah setempat sebaiknya selalu melakukan monitoring di kawasan yang berpotensi banjir untuk antisipasi kemungkinan terjadinya bencana banjir.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada anggota tim peneliti Kerentanan Pesisir Satker LPSDKP Bungus Padang, khusus kepada Bpk. Gunardi Kusumah selaku Kepala dan penyarah dalam kajian hidrologi. Ucapan terima kasih juga penulis haturkan untuk Bpk. Helfia Ideal dan Bpk. Sutarman Karim selaku pembimbing penulis dan tak lupa kepada sdr. Azhari Syarief selaku editor dalam pemetaan yang telah membantu serta civitas akademis Jurusan Geografi Universitas Negeri Padang yang telah banyak membantu penulis dalam menyiapkan data – data pada tulisan ini.
DAFTAR RUJUKAN Asdak, C., Hidrologi dan Daerah Aliran Sungai, UGM Press., Yogyakarta, 1995. BNPB., Peraturan BNPB KEP.02/BNPB/2008., Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana di Indonesia, 2008. Husrin, S., and Putra, A., Tsunami vulnerability of critical infrasrtuctures in the city of Padang', Research Report LPSDKP, Ministry Of Marine Affairs And Fisheries, Jakarta, 2013. Syarief, A., Rapid Built-up Cover Changes on Flood Innudation Areas in Padang City, Thesis IPB., Bogor, 2010. Putra, A., Studi Erosi Lahan Pada DAS Air Dingin Bagian Hulu di Kota Padang, Skripsi UNP., Padang, 2012. Yeni, A., Analisa Permasalahan Banjir di Nagari Pasar Muara Labuh Kec. Sungai Pagu Kab. Solok Selatan, Skripsi UNP., Padang, 2010. Verstappen, H., Applied Geomorphology: Geomorphological Surveys for Environment Development. Elsivier Sci. Publ. Comp; Amsterdam, 1983.
~ 33 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
PEMANASAN GLOBAL DAN KETERKAITANNYA DENGAN KONDISI EKSTREM HUJAN BEBERAPA DAERAH DI JAWA DAN SUMATERA Arief Suryantoro Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN ariefsurya61@gmail
Abstract. Variation and trends in extreme rainfall events alleged as one of the effects of global warming phenomenon started to get a lot of attention. Global warming and its association with the extreme conditions of rain in some areas of Java and Sumatra are discussed in this paper. The main data used in this study consisted of global air temperature data published by the Australian BoM and monthly rainfall data published by BMKG Jakarta. The main criteria used to determine the threshold value of rainfall extremes is a percentile criterion that includes the 90th percentile (P90), 95th percentile (P95), and 99th percentile (P99). The results obtained showed that the apparent global warming happening, especially since 1980, not simultaneously followed extreme rainfall events in Ciamis, Cilacap, Banyuwangi, Bandar Lampung and Solok. Before the era of global warming (before 1980) is precisely the number of extreme rainfall events far more from those of global warming era (after 1980) in the region of interest in this study. Keywords: Template, Full Paper, SNSAA 2012 Abstrak Variasi dan kecenderungan dalam kejadian ekstrem hujan yang diduga sebagai salah satu dampak dari fenomena pemanasan global mulai mendapat banyak perhatian. Pemanasan global dan keterkaitannya dengan kondisi ekstrem hujan beberapa daerah di Jawa dan Sumatera dibahas dalam makalah ini. Data utama yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data suhu udara global yang dipublikasikan oleh BoM Australia, dan data curah hujan bulanan yang dipublikasikan oleh BMKG Jakarta. Kriteria utama yang digunakan untuk menentukan nilai ambang ekstrem hujan adalah kriteria persentil yang meliputi persentil 90 (P90), persentil 95 (P95), dan persentil 99 (P99). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pemanasan global yang tampak jelas terjadi, terutama sejak tahun 1980, tidak secara serentak diikuti kejadian ekstrem hujan di Ciamis, Cilacap, Banyuwangi, Solok dan Bandar Lampung. Sebelum era pemanasan global (sebelum tahun 1980) justru jumlah kejadian ekstrem hujan jauh lebih banyak dibandingakan dengan era pemanasan global (sesudah tahun 1980) di daerah yang ditinjau dalam penelitian ini. Kata Kunci : pemanasan global, ekstrem hujan, Jawa dan Sumatera 1.
PENDAHULUAN Pemanasan global dapat dikatakan sebagai kejadian meningkatnya suhu rata-rata
udara (atmosfer), lautan dan daratan bumi. Saat ini, bermakna sebagai ekspresi yang berkaitan dengan gejala pemanasan dari dampak kegiatan manusia. Meningkatnya suhu udara (atmosfer) global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang ~ 34 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
lain seperti naiknya permukaan air laut, perubahan jumlah dan pola curah hujan sampai pada tingkat
yang ekstrem, (Thompson, 2007). Variasi dan kecenderungan dalam
kejadian iklim ekstrem yang diduga sebagai salah satu dampak dari fenomena pemanasan global pun mulai mendapat banyak perhatian. Peningkatan secara eksponensial kerugian ekonomi, ditambah dengan peningkatan kematian akibat peristiwa ini, telah menggiring opini dan perhatian pada kemungkinan bahwa frekuensi peristiwa iklim ekstrem ini memang meningkat signifikan. Kejadian ekstrem juga dapat didefinisikan oleh dampak peristiwa di masyarakat. Dampak tersebut mungkin melibatkan hilangnya kehidupan yang berlebihan, kerugian ekonomi atau moneter yang berlebihan, atau keduanya (Easterling et al., 2000). Selain kenaikan suhu rata-rata global pada permukaan bumi, istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan fenomena pemanasan global adalah adanya kenaikkan konsentrasi gas karbondioksida (CO2) di atmosfer. Hal ini diawali dari anggapan para ilmuwan di tahun 1896, bahwa membakar bahan bakar fosil akan mengubah komposisi atmosfer dan dapat meningkatkan suhu rata-rata global. Dan anggapan ini mendapatkan konfirmasi yang bernilai benar, ketika di tahun 1957 sekelompok peneliti mengambil sampel atmosfer dari puncak gunung Mauna Loa di Hawaii dalam rangka program penelitian global International Geophysical Year. Hasil pengukurannya menunjukkan bahwa memang terjadi peningkatan konsentrasi gas karbondioksida (CO2) di atmosfer, demikian pula halnya hasil analisis kelompok peneliti lainnya dalam rentang yang lebih lama, (Morita T. et al., 2001 dari Suryantoro, 2007). Identifikasi fenomena pemanasan global ini diperoleh dari pengumpulan pengukuran suhu rata-rata permukaan daratan, lautan maupun udara permukaan yang dilakukan oleh berbagai negara di dunia, terutama negara-negara anggota WMO (World Meteorological Organization). Dalam makalah ini digunakan data anomali suhu permukaan rata-rata global yang dipublikasikan oleh BoM (Bureau of Meteorology) Australia selama pengamatan 1850 – 2010 untuk menunjukkan adanya fenomena pemanasan global tersebut, sebagaimana disajikan dalam gambar (1) berikut. BoM, (2013).
~ 35 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Gambar 1 : Anomali suhu permukaan rata-rata global 1850 – 2010. BoM, (2013).
Secara lebih kuantitatif, identifikasi fenomena pemanasan global ini adalah : ”Suhu rata-rata permukaan bumi meningkat sekitar 1,4 ° F (0.8 ° C) selama 100 tahun terakhir, dengan sekitar dua per tiga dari pemanasan ini terjadi selama hanya tiga dekade terakhir sejak tahun 1980”. (America's Climate Choices, 2011). UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change), telah sepakat bahwa pengurangan emisi dan pemanasan global di masa depan harus dibatasi di bawah 2,0 ° C (3.6 ° F) relatif terhadap tingkat pra-industri, (UNFCCC, 2011). Meskipun dari laporan yang diterbitkan pada tahun 2011 oleh UNEP (United Nations Environment Programme) dan Badan Energi Internasional menunjukkan bahwa upaya pada awal abad ke-21 untuk menurunkan emisi mungkin tidak memadai untuk memenuhi ambang pemanasan global sebesar 2 ° C, sebagaimana target yang dicanangkan UNFCCC tersebut. Benua Maritim Indonesia (BMI) yang terdiri dari 17.500 pulau, yang diapit oleh 2 samudera luas yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia yaitu 81.000 km dan secara geografis terletak di daerah tropis, merupakan wilayah yang rawan bencana hidrometeorologis, khususnya bila dikaitkan dengan pemanasan global dan perubahan iklim ekstrem. Dengan demikian, penelitian tentang identifikasi kejadian ekstrem hujan di beberapa daerah di Jawa dan Sumatera dalam kaitannya dengan fenomena global merupakan hal yang penting untuk dilaksanakan. Apakah fenomena pemanasan global memainkan peranan yang signifikan terhadap kejadian hujan ekstrem di lingkup area yang jauh lebih kecil (misalnya Jawa dan Sumatera) merupakan hal utama yang ingin diketahui gambaran rincinya. Tujuan yang ingin diperoleh dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui keterkaitan
~ 36 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
fenomena pemanasan global dengan kejadian ekstrem hujan di beberapa daerah di Jawa dan Sumatera (Ciamis, Cilacap, Banyuwangi, Solok dan Lampung).
2.
DATA DAN METODE Data suhu rata-rata permukaan daratan, lautan maupun udara permukaan yang
dikenal sebagai data suhu global, yang merupakan hasil pengumpulan pengukuran suhu rata-rata permukaan daratan, lautan maupun udara permukaan oleh berbagai negara di dunia, terutama negara-negara anggota WMO (World Meteorological Organization), yang dipublikasikan oleh BoM (Bureau of Meteorology) Australia selama pengamatan 1850 – 2010 digunakan sebagai data utama untuk memperoleh gambaran fenomena pemanasan global. Sedang data curah hujan bulanan beberapa daerah di Jawa dan Sumatera (Ciamis, Cilacap, Banyuwangi, Solok dan Lampung) selama pengamatan 1901 – 2002 digunakan sebagai data yang dicari nilai / kondisi ekstremnya dan dicari keterkaitannya dengan fenomena pemanasan global tersebut. Sumber data curah hujan bulanan beberapa daerah di Jawa dan Sumatera ini adalah BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) Jakarta. Penentuan nilai ambang batas kondisi ekstrem hujan dalam penelitian ini menggunakan kriteria persentil, baik persentil 90 (P90), persentil 95 (P95) dan persentil 99 (P99) yang mengacu pada hal serupa, yang dilakukan oleh Haylock dan Nicholls, (2000) maupun Zhang, Chen dan Stefan (2011). Selanjutnya, dilakukan analisis frekuensi kejadian dan intensitas ataupun akumulasi hujan ekstrem selama rentang waktu pengamatan (Januari 1901 – Desmber 2002) dan penelusuran keterkaitannya dengan fenomena pemenasan global.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Hasil Pola bulanan curah hujan (mm) Ciamis (108,35 °BT; 7,33 °LS) rata-rata klimatologis 1971 – 2000 dan rata-rata sentenial 1901 – 2002; Cilacap (108,35 °BT; 7,33 °LS) rata-rata klimatologis 1971 – 2000 dan rata-rata sentenial 1901 – 2002; Banyuwangi (108,35 °BT; 7,33 °LS) rata-rata klimatologis 1971 – 2000 dan rata-rata sentenial 1901 – 2002; Solok (108,35 °BT; 7,33 °LS) rata-rata klimatologis 1971 – 2000 dan rata-rata sentenial 1901 – 2002; dan Lampung (108,35 °BT; 7,33 °LS) rata-rata klimatologis 1971 – 2000 dan rata-rata sentenial 1901 – 2002; masing-masing disajikan dalam gambar (1), (3), (5), (7) dan (9). Sedang nilai ambang batas kondisi ekstrem ~ 37 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
hujan menggunakan kriteria persentil, baik persentil 90 (P90), persentil 95 (P95) maupun persentil 99 (P99) untuk masing-masing daerah yang sama yang diperoleh dalam penelitian ini disajikan dalam (2), (4), (6), (8) (10) berikut.
Ciamis (108,35 BT; 7,33 LS) rata-rata-sentenial-1901-2002
Ciamis ambang ekstrem (P90), (P95) (P99)
rata-rata-klimatologis-1971-2000
Poly. (rata-rata-sentenial-1901-2002)
1200
450 408
400
369
362 336
350
350 346
286
800
256
243 241
250
301
Curah Hujan (mm)
Curah Hujan (mm)
1000
343 305 300
303 300
232
200 145 143
150
95 92
100
109 112
94
rata-rata-sentenial-1901-2002 rata-rata-klimatologis-1971-2000
600
Persentil 90-(P90) 408 400
83
Persentil 95-(P95) 369
336
362
350 346 305 300
303 286
200
145 143
0 jan
feb
mar
apr
mei
jun
jul
ags
sep
okt
nop
95 92
94 83
109 112
jul
ags
sep
des
waktu (bulan)
Persentil 99-(P99) 301
232
0 jan
feb
mar
apr
mei
jun
okt
nop
des
Gambar 2 : Ambang ekstrem curah hujan (mm) Ciamis (108,35 °BT; 7,33 °LS) 1901 – 2002.
Gambar 1 : Pola bulanan curah hujan (mm) Ciamis (108,35 °BT; 7,33 °LS) 1901 – 2002. Cilacap (109 BT; 7,73 LS)
Cilacap ambang ekstrem (P90), (P95) (P99)
500
1400 457
450 400
444
1200
383
376
350
369
320
1000
300
288 289
300
289
282
279
261
259 250
272
271
231
Curah Hujan (mm)
Curah Hujan (mm)
256
243 241
50
343
226
200
181
168
153
152
150 118 100
rata-rata-sentenial-1901-2005
800
rata-rata-klimatologis-1981-2010
Persentil 90-(P90) 600
Persentil 95-(P95) 457444
83
400 50 0
259
288289 231
282261
289279
272
271 226
181
200 Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nop
Persentil 99-(P99) 383369
376 300318
118
Des
168152
153 83
Waktu (bulan) rata-rata-sentenial-1901-2012
rata-rata-klimatologis-1981-2010
0
Poly. (rata-rata-sentenial-1901-2012)
jan
feb
mar
apr
mei
jun
jul
aug
sep
okt
nop
des
Gambar 4 : Ambang ekstrem curah hujan (mm) Cilacap (109,0 °BT; 7,73 °LS) 1901 – 2002.
Gambar 3 : Pola bulanan curah hujan (mm) Cilacap (109,0 °BT; 7,73 °LS) 1901 – 2002.
Banyuwangi (8,22 LS; 114,37 BT)
Banyuwangi ambang ekstrem (P90), (P95), (P99) 700
250 221
rata-rata-sentenial-1901-2003
225
rata-rata-klimatologis-1971-2000
Poly. (rata-rata-sentenial-1901-2003)
600 200 183
188 172
500
155
100
89
102
97
95
Curah Hujan (mm)
Curah Hujan (mm)
155 158 150
93
84 71
65
67 59
59 48
50
43
64
rata-rata-sentenial-1901-2002
400
rata-rata-klimatologis-1971-2000 Persentil 90-(P90) 300
Persentil 95-(P95) 221 225
54
47
Persentil 99-(P99)
183 188
200
155 158
155 89 95
100
84
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nop
93 102
97
0
71 65
51 48
49 43
jul
ags
Des
waktu (bulan)
172
47
59
64 54
0 jan
Gambar 5 : Pola bulanan curah hujan (mm) Banyuwangi (108,35 °BT; 7,33 °LS) 1901 – 2002.
~ 38 ~
feb
mar
apr
mei
jun
sep
okt
nop
des
Gambar 6 : Ambang ekstrem curah hujan (mm) Banyuwangi (108,35 °BT; 7,33 °LS) 1901 – 2002.
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Solok ambang ekstrem (P90), (P95), (P99)
Solok (0,82 LS; 100,67 BT) 600
300 rata-rata-sentenial-1901-2003
rata-rata-klimatologis-1971-2000
Poly. (rata-rata-sentenial-1901-2003)
248
250
223
222
218
209
224
218 219 188
175
169
150
400
170
163
157
147 115
103 108
148
123
99
92
100
152
Curah Hujan (mm)
Curah Hujan (mm)
200
500
221
rata-rata-sentenial-1901-2002 rata-rata-klimatologis-1971-2000
300
Persentil 90-(P90)
Persentil 95-(P95) 223 218
209
200
222
229
218 219 179
175 169
Persentil 99-(P99)
170
163
148
147
50
221
115
103 108
92
100
133
123
129
99
78
0 Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nop
Des
waktu (bulan)
0 jan
feb
mar
apr
mei
jun
jul
ags
sep
okt
nop
des
Gambar 8 : Ambang ekstrem curah hujan (mm) Solok (108,35 °BT; 7,33 °LS) 1901 – 2002.
Gambar 7 : Pola bulanan curah hujan (mm) Solok (108,35 °BT; 7,33 °LS) 1901 – 2002.
Solok ambang ekstrem (P90), (P95), (P99)
Bandar Lampung (5,45 LS; 105,25 BT) 700
350 rata-rata-sentenial-1901-2003
rata-rata-klimatologis-1971-2000
Poly. (rata-rata-sentenial-1901-2003)
302
600
289
300
274
263
255
254 251
240
200 169
162 150
156 134
145
138
132 106
100
97
82
400
rata-rata-sentenial-1901-2002 rata-rata-klimatologis-1971-2000 Persentil 90-(P90)
Persentil 95-(P95)
300
109 107
100
94
500
Curah Hujan (mm)
Curah Hujan (mm)
250
Persentil 99-(P99)
92
86
223 218 200
209
222
229
218 219
221
201 179
175 169
163
170 148
147
50
103 108 100
115
123 105 107
92 99
0 Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nop
Des
waktu (bulan)
0 jan
Gambar 9 : Pola bulanan curah hujan (mm) Bandar Lampung (108,35 °BT; 7,33 °LS) 1901 – 2002.
feb
mar
apr
mei
jun
jul
ags
sep
okt
nop
des
Gambar 10 : Ambang ekstrem curah hujan (mm) Bandar Lampung (108,35 °BT; 7,33 °LS) 1901 – 2002.
Pola bulanan curah hujan (mm) dengan akumulasi hujan rata-rata tertinggi dan terrendah, ambang ekstrem P90, P95 dan P99; rata-rata klimatologis 1971 – 2000; dan rata-rata sentenial 1901 – 2002 daerah Ciamis (108,35 °BT; 7,33 °LS) disajikan dalam gambar (11) dan (12). Hal yang serupa untuk daerah Cilacap (108,35 °BT; 7,33 °LS) disajikan dalam gambar (13) dan (14); untuk daerah Banyuwangi (108,35 °BT; 7,33 °LS) disajikan dalam gambar (15) dan (16); untuk daerah Solok (108,35 °BT; 7,33 °LS) disajikan dalam gambar (17) dan (18); dan untuk daerah Bandar Lampung (108,35 °BT; 7,33 °LS) disajikan dalam gambar (19) dan (20) berikut.
Pola bulanan dan ambang ekstrem curah hujan (mm) kriteria Persentil 90, 95 dan 99; Ciamis Agustus 1901-2002 (P90=228.0%; P95=337.1%; P99 = 432.9% thd rata-rata 1971-2000)
Pola bulanan dan ambang ekstrem curah hujan (mm) kriteria Persentil 90, 95 dan 99; Ciamis Januari 1901-2002 (P90=176.1%; P95=211.9%; P99 = 260.4% thd rata-rata 1971-2000) 1200
1400 1039 mm; (1916)
653 mm; (1919) 600
811 mm; (1931) 737mm; (1930)
902 mm; (1968) 764 mm; 1969) 659 mm; (1956)
793 mm; 1991)
1000 hujan-obsv (mm) rata-rata (1971-2000)=369.2 mm
ekstr-P90=650.0 mm ekstr-P95=782.2 mm
400
ekstr-P99=961.3 mm
Curah Hujan (mm)
Curah Hujan (mm)
800
1199 mm; (1957)
1200
1000
rata-rata (1971-2000)=83.0 mm 600
400
Linear (hujan-obsv (mm)) 200
200
0
0
Gambar 11 : Pola bulanan dan ambang ekstrem P90, P95 dan P99 curah hujan (mm) Ciamis Januari 1901 – 2002.
hujan-obsv (mm)
800 567 mm; (1904)
ekstr-P90=189.2 mm 413 mm; 322 mm; (1920) (1917)
210 mm; (1916)
383 MM; (1943) 214 mm; (1933)
446 mm; (1955) 331 mm; (1956)
459 mm; (1968)
ekstr-P95=279.8 mm 310 mm; (1974)
309 mm; (1998)
ekstr-P99=359.3 mm
Gambar 12 : Pola bulanan dan ambang ekstrem P90, P95 dan P99 curah hujan (mm) Ciamis Agustus 1901 – 2002.
~ 39 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
Pola bulanan dan ambang ekstrem curah hujan (mm) kriteria Persentil 90, 95 dan 99; Cilacap Agustus 1901-2012 (P90=580.0%; P95=820.8%; P99 = 1202.7% thd rata-rata 1981-2010)
Pola bulanan dan ambang ekstrem curah hujan (mm) kriteria Persentil 90, 95 dan 99; Cilacap Nopember 1901-2012 (P90=167.6%; P95=187.6%; P99 = 214.6% thd rata-rata 1981-2010) 1200
1200
757 mm; (1918)
1000
873 mm; 850 mm; (1952) (1954)
853 mm; 799 mm; (2007) (2005)
756 mm; 756 mm; 752 mm; (1974) (1980) (1983)
hujan-obsv (mm) rata-2-(1981-2010)=443.5 mm
600
ekstr-P90=743.4 mm ekstr-P95=831.8 mm
400
983 mm; (1955)
913 mm; (1974)
741 mm; (1943)
695 mm; (1908) 631 mm; (19016)
600
hujan-obsv (mm)
598 mm; (1954) 539 mm; (1956) 492 mm; (1958)
rata-2-(1981-2010)=83.2 mm ekstr-P90=476.8 mm ekstr-P95=674.7 mm
400
ekstr-P99=951.8 mm
200
200
0
0
ekstr-P99=988.6 mm
1901 1903 1905 1907 1909 1911 1913 1915 1917 1919 1921 1923 1925 1927 1929 1931 1933 1935 1937 1939 1941 1943 1945 1947 1949 1951 1953 1955 1957 1959 1961 1963 1965 1967 1969 1971 1973 1975 1977 1979 1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009 2011
Gambar 13 : Pola bulanan dan ambang ekstrem curah hujan (mm) Cilacap Nopember 1901 – 2002.
Gambar 14 : Pola bulanan dan ambang ekstrem curah hujan (mm) Cilacap Agustus 1901 – 2002.
Pola bulanan dan ambang ekstrem curah hujan (mm) kriteria Persentil 90, 95 dan 99; Banyuwangi Agustus 1901-2003 (Q6=260.1%; P90=299.1%; POT=340.9%; P92=343.7%; P93=365.8%; P95=421.4%; P96=450.9%; P99 = 671.9% thd rata-rata 1971-2000)
Pola bulanan dan ambang ekstrem curah hujan (mm) kriteria Persentil 90, 95 dan 99; Banyuwangi Januari 1901-2003 (P90=162.6%; P95=183.2%; P99 = 255.1% thd rata-rata 1971-2000) 350
700 617 mm; (1902)
600
300
306 mm; (1901)
526 mm; (1913) 413 mm; (1938) 411 mm; (1940)
383 mm; (1906)
400
377 mm; (2002)
hujan-obsv (mm) rata-rata (1971-2000)=225.4 mm ekstr-P90=366.4 mm
300
ekstr-P95=412.9 mm
ekstr-P99=575.0 mm
200
194 mm; (1986) 183 mm; (1988)
185 mm; (1917)
200
hujan-obsv (mm) rata-rata (1971-2000)=43.0 mm
147 mm; (1921)
150
145 mm; (1930)
135 mm; (1939)
130 mm; (2000)
50
0
0
ekstr-P90=128.6 mm
ekstr-P95=181.2 mm ekstr-P99=288.9 mm
100
100
Gambar 15 : Pola bulanan dan ambang ekstrem P90, P95 dan P99 curah hujan (mm) Banyuwangi Januari 1901 – 2002.
260 mm; (1951)
246 mm; (1909)
250
462 mm; (2003)
447 mm; (1994)
Curah Hujan (mm)
500 Curah Hujan (mm)
955 mm; (1938)
903 mm; (1920)
800
1901 1903 1905 1907 1909 1911 1913 1915 1917 1919 1921 1923 1925 1927 1929 1931 1933 1935 1937 1939 1941 1943 1945 1947 1949 1951 1953 1955 1957 1959 1961 1963 1965 1967 1969 1971 1973 1975 1977 1979 1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009 2011
Curah Hujan (mm)
886 mm; (1901) 800
Curah Hujan (mm)
954 mm; (1935)
1000
Gambar 16 : Pola bulanan dan ambang ekstrem P90, P95 dan P99 curah hujan (mm) Banyuwangi Agustus 1901 – 2002. Pola bulanan dan ambang ekstrem curah hujan (mm) kriteria Persentil 90, 95 dan 99; Solok Juli 1901-2003 (P90=242.0%; P95=234.7%; P99 = 381.1% thd rata-rata 1971-2000)
Pola bulanan dan ambang ekstrem curah hujan (mm) kriteria Persentil 90, 95 dan 99; Solok Desember 1901-2003 (P90=201.0%; P95=234.6%; P99 = 269.8% thd rata-rata 1971-2000) 450
700
534 mm; (1904)
575 mm; (1912)
473 mm; (1931)
500
389 mm; (1963)
400
545 mm; (1925)
562 mm; (1963)
503 mm; (1935)
536 mm; (1994) 448 mm; (1973)
479 mm; (2003)
458 mm; (1982)
327 mm; (1979)
350
400
300
hujan-obsv (mm) rata-rata (1971-2000)=220.5 mm ekstr-P90=443.1 mm
300
ekstr-P95=517.4 mm ekstr-P99=594.9 mm
200
Curah Hujan (mm)
600
Curah Hujan (mm)
ISBN : 978-979-1458-73-3
261 mm; (1907)
250
245 mm; (1910)
238 mm; (1953)
246 mm; (1960)
hujan-obsv (mm) rata-rata (1971-2000)=98.6 mm ekstr-P90=238.6 mm
200
ekstr-P95=231.4 mm 150
ekstr-P99=375.8 mm
100
100 50
0
0
Gambar 17 : Pola bulanan dan ambang ekstrem curah hujan (mm) Solok Desember 1901 – 2002.
Gambar 18 : Pola bulanan dan ambang ekstrem curah hujan (mm) Solok Juli 1901 – 2002.
Pola bulanan dan ambang ekstrem curah hujan (mm) kriteria Persentil 90, 95 dan 99; Bandar Lampung Januari 1901-2003 (P90=210.0%; P95=227.3%; P99 = 245.5% thd rata-rata 1971-2000) 1000
Pola bulanan dan ambang ekstrem curah hujan (mm) kriteria Persentil 90, 95 dan 99; Bandar Lampung Juli 1901-2003 (P90=273.2%; P95=314.7%; P99 = 408.4% thd rata-rata 1971-2000) 450
923 mm; (1956)
900 800
700
422 mm; (1975)
400 350
698 mm; (1914)
278 mm;
500 400
300
478 mm; (1934)
507 mm; (1960)
hujan-obsv (mm)
483 mm; 468 mm; (1987) (1988)
rata-rata (1971-2000)=202.0 mm ekstr-P90=424.2mm ekstr-P95=459.2 mm
Curah Hujan (mm)
Curah Hujan (mm)
300 600
250 200
256 mm;244 mm; (1960) (1951) (1955)
274 mm; (1995) hujan-obsv (mm)
rata-rata (1971-2000)=70.2 mm ekstr-P90=191.8 mm ekstr-P95=220.9 mm
150
ekstr-P99=495.9 mm
223 mm; (1922)
ekstr-P99=286.7 mm
100
200 100
50
0
0
Gambar 19 : Pola bulanan dan ambang ekstrem P90, P95 dan P99 curah hujan (mm) Bandar Lampung Januari 1901 – 2002.
Gambar 20 : Pola bulanan dan ambang ekstrem P90, P95 dan P99 curah hujan (mm) Bandar Lampung Juli 1901 – 2002.
~ 40 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
3.2. Pembahasan Dari gambar (1), (5), (7) dan (9) terlihat secara umum bahwa pola utama curah hujan bulanan di daerah yang ditinjau dalam penelitian ini, baik itu di daerah Ciamis (108,35 °BT; 7,33 °LS); Banyuwangi (108,35 °BT; 7,33 °LS); dan Solok (108,35 °BT; 7,33 °LS) maupun Bandar Lampung (108,35 °BT; 7,33 °LS), baik rata-rata sentenial selama seratus tahun lebih (1901 – 2002) maupun rata-rata klimatologis selama 30 tahun (1971 – 2000) memberikan pola utama yang serupa. Secara umum menunjukkan adanya pola curah hujan monsunal (pola curah hujan bulanan yang memiliki akumulasi puncak curah hujan satu kali dalam satu tahun, dan memiliki akumulasi lembah curah hujan satu kali dalam satu tahun. Secara kasar, dapat dianalogikan dengan pola serupa huruf “V”). Dengan mengacu pada kajian yang dilakukan dalam BoM (2013) maupun America's Climate Choices, (2011) di atas, yang menyatakan bahwa “sekitar dua per tiga dari pemanasan global ini terjadi selama hanya tiga dekade terakhir sejak tahun 1980”, maka dapat diungkapkan pemanasan global tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap pola utama curah hujan bulanan di daerah Ciamis, Banyuwangi dan Bandar Lampung. Sedang untuk dua daerah lainnya yang ditinjau dalam penelitian ini yaitu Cilacap (108,35 °BT; 7,33 °LS), sebagaimana disajikan dalam gambar (3) di atas, memiliki pola utama curah hujan yang sedikit berbeda. Di daerah Cilacap ini memiliki akumulasi puncak curah hujan dua kali dalam satu tahun (Mei dan Nopember), dan memiliki akumulasi lembah curah hujan satu kali dalam satu tahun (Agustus). Pola seperti ini dikenal sebagai pola curah hujan ekuatorial. Namun demikian, dalam kaitannya dengan fenomena pemanasan global maka dapat diungkapkan bahwa, sama seperti daerah lainnya yang ditinjau dalam penelitian ini (Ciamis, Banyuwangi dan Bandar Lampung), pemanasan global tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap pola utama curah hujan bulanan di daerah Cilacap ini. Dari gambar (2), (4), (6) dan (10) terlihat secara umum bahwa nilai ambang ekstrem hujan yang diperoleh secara umum juga mengikuti pola nilai-nilai maksimum akumulasi hujan sentenial maupun klimatologisnya. Nilai ambang ekstrem hujan berdasar kriteria persentil 90 (P90) sudah dapat mencerminkan kondisi ekstrem hujan di daerah yang ditinjau, karena sudah jauh berada di atas ambang batas keadaan di atas normal, jika mengacu pada kriteria ambang batas di atas normal yang ditetapkan oleh BMKG selama ini. Untuk kasus bulan Januari selama 1901 – 2002, di semua daerah yang ditinjau dalam penelitian ini memiliki nialai ambang ekstrem hujan P90 >137,0% ~ 41 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
terhadap nilai rata-rata klimatologi 1971-2000. Secara lengkap, di daerah Ciamis memiliki nilai ambang ekstrem hujan P90 > 176,1% terhadap nilai rata-rata klimatologi 1971-2000. Di daerah Cilacap memiliki nilai P90 > 137,2%; di Banyuwangi memiliki nilai P90 > 162,6%; di Solok memiliki nilai P90 > 164,4% dan di Bandar Lampung memiliki nilai P90 > 210,0%. Sebagaimana diketahui, bahwa jika hujan yang terjadi memiliki nilai perbandingan > 115,0% terhadap rata-rata 30 tahunnya, maka hujan pada saat tersebut digolongkan sebagai di atas normal (BMKG, 2013). Nilai ambang ekstrem hujan berdasar kriteria persentil 95 (P95) dan persentil 99 (P99) memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan nilai ambang ekstrem hujan P90 di semua daerah yang ditinjau dalam penelitian ini. Sedang dari gambar (11) sampai (20), yang secara umum menunjukkan pola bulanan curah hujan (mm) dengan akumulasi hujan rata-rata tertinggi dan terrendah, ambang ekstrem P90, P95 dan P99; rata-rata klimatologis 1971 – 2000; dan rata-rata sentenial 1901 – 2002 di semua daerah yang ditinjau dalam penelitia ini (Ciamis, Cilacap, Banyuwangi, Solok dan Bandar Lampung) diperoleh gambaran bahwa dalam sebelum era pemanasan global (sebelum tahun 1980) jumlah kejadian ekstrem hujan jauh lebih banyak dibandingakan dengan era pemanasan global (sesudah tahun 1980). Secara lebih rinci, untuk daerah Ciamis selama rentang pengamatan 1901 – 2002, total kejadian ekstrem hujan berdasar kriteria P90 (dan yang lebih tinggi yaitu P95 dan P99) ada 74 kejadian, dengan rincian 62 kejadian terjadi sebelum era pemanasan global (sebelum tahun 1980) dan 12 kejadian terjadi di era pemanasan global (sesudah tahun 1980). Hal serupa, untuk daerah Cilacap, selama rentang pengamatan 1901 – 2002, total kejadian ekstrem hujan berdasar kriteria P90 ada 124 kejadian, dengan rincian 99 kejadian terjadi sebelum era pemanasan global (sebelum tahun 1980) dan 25 kejadian terjadi di era pemanasan global (sesudah tahun 1980). Sedang untuk daerah Banyuwangi, selama rentang pengamatan 1901 – 2002, total kejadian ekstrem hujan berdasar kriteria P90 ada 116 kejadian, dengan rincian 80 kejadian terjadi sebelum era pemanasan global (sebelum tahun 1980) dan 36 kejadian terjadi di era pemanasan global (sesudah tahun 1980). Untuk daerah Solok selama rentang pengamatan 1901 – 2002, total kejadian ekstrem hujan berdasar kriteria P90 (dan yang lebih tinggi yaitu P95 dan P99) ada 115 kejadian, dengan rincian 92 kejadian terjadi sebelum era pemanasan global (sebelum tahun 1980) dan 23 kejadian terjadi di era pemanasan global (sesudah tahun 1980). Terakhir, untuk daerah Bandar Lampung, selama rentang pengamatan 1901 – 2002, total kejadian ekstrem hujan berdasar kriteria ≥ P90 ada 141 ~ 42 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
kejadian, dengan rincian 114 kejadian terjadi sebelum era pemanasan global (sebelum tahun 1980) dan 27 kejadian terjadi di era pemanasan global (sesudah tahun 1980). Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini sekaligus mengindikasikan bahwa pemanasan global tidak serta-merta (simulataneously) diikuti kejadian ekstrem hujan di daerah yang memiliki skala jauh di bawah ukuran global, seperti daerah ditinjau dalam penelitian ini (Ciamis, Cilacap, Banyuwangi, Solok dan Bandar Lampung). Bahkan untuk skala daerah yang sama pun (misalnya global), pola pemanasan global juga tidak selalu diikuti dengan kejadian hujan dengan pola ataupun kecenderungan yang sama. Hal ini tampak jelas jika membandingkan pola ataupun kecenderungan pemanasan global di BBU dan BBS dengan pola ataupun kecenderungan curah hujan global di BBU dan BBS, sebagaimana disajikan dalam gambar (21.a; 21.b; 22.a dan 22.b) berikut.
suhu permukaan rata-rata BBU 1850 – 2010. BoM, (2013).
Gambar 21.b : Anomali
Gambar 22.a : Anomali suhu permukaan rata-rata BBS 1850 – 2010. BoM, (2013).
Gambar 22.b : Anomali curah hujan rata-rata BBS 1850 – 2010. BoM, (2013).
Gambar 21.a : Anomali
~ 43 ~
curah hujan ratarata BBU 1850 – 2010. BoM, (2013).
Seminar Sains Atmosfer 2013
4.
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
KESIMPULAN Pemanasan global yang tampak jelas terjadi, terutama sejak tahun 1980, tidak serta-
merta (simulataneously) diikuti kejadian ekstrem hujan di daerah yang ditinjau dalam penelitian ini (Ciamis, Cilacap, Banyuwangi, Solok dan Bandar Lampung). Diperoleh gambaran yang cukup berbeda dengan anggapan (hipotesa) yang digunakan pada awal penelitian ini, yang mengacu pada kajian Thomson (2007), yang menyatakan bahwa meningkatnya suhu udara (atmosfer) global diperkirakan akan menyebabkan perubahanperubahan yang lain seperti naiknya permukaan air laut, perubahan jumlah dan pola curah hujan sampai pada tingkat yang ekstrem. Hasil penelitian ini justru menunjukkan bahwa sebelum era pemanasan global (sebelum tahun 1980) jumlah kejadian ekstrem hujan jauh lebih banyak dibandingakan dengan era pemanasan global (sesudah tahun 1980). Perbedaan yang mencolok terjadi di wilayah kajian Bandar Lampung (108,35 °BT; 7,33 °LS). Selama pengamatan 1901 – 2002, total kejadian ekstrem hujan berdasar kriteria ≥ P90 ada 141 kejadian, dengan 114 kejadian terjadi sebelum era pemanasan global dan 27 kejadian terjadi di era pemanasan global.
UCAPAN TERIMA KASIH. Diucapkan terimakasih kepada Drs. Afif Budiyono, M.T. dan Dr. Didi Satiadi atas masukan, saran dan diskusi yang konstruktif dalam penelitian ini. Penelitian ini merupakan bagian dari Kegiatan Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang ada di Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN Tahun anggaran 2013.
DAFTAR RUJUKAN America's Climate Choices, Washington, D.C., The National Academies Press. ISBN 978-0-309-14585-5.,
pp.15,
2011
dari
http://en.wikipedia.org/wiki/Global_warming. Diakses 18 September 2013. BMKG, Prakiraan Hujan Bulan Maret, Apri dan Mei 2013; dari : http://www.bmkg.go.id/ImagesData/prash0513.jpg, 2013. Diakses 4 April 2013. BoM,
About
the
Climate
Extremes
Analyses
dari
http://www.bom.gov.au/climate/change. Diakses 9 Januari 2013. Haylock, M and N.Nicholls, Trends in Extreme Rainfall Index for an Updated High Quality Data Set for Australia, 1910 – 1998, Int. J. Climatol., 20, pp. 1533–1541, 2000. ~ 44 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Easterling, D.R., J.L. Evans, P. Ya. Groisman, T.R. Karl, K.E. Kunkel, P. Ambenje. Observed Variability and Trends in Extreme Climate Events : A Brief Review, Bulletin of the American Meteorological Society, vol.81, 417-425, 2000. Morita, T. et al. (2001). Greenhouse Gas Emission Mitigation Scenarios and Implications. In: Climate Change 2001: Mitigation. Contribution of Working Group III to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [B. Metz et al. Eds.]. Cambridge University Press, Cambridge, U.K., and New York, N.Y., U.S.A.. Retrieved on 2010-01-10. Suryantoro, Arief, Pro dan Kontra Dunia Menyikapi Perubahan dan Pemanasan Global, Media Dirgantara, vol.2 no.4, Desember 2007, 6-10. Thompson, Andrea, 2007, NASA: Global Warming to Cause More Severe Tornadoes, Storms, Fox News, September 04, 2007, dari http://www.foxnews.com/story/0,2933,295272,00.html. Diakses 22 Januari 2009. Zhang, Q., X. Chen, and B. Stefan, 2011, Spatio-Temporal Variations of Precipitation Extremes in the Yangtze River Basin (1960-2002), China, Atmospheric and Climate Sciences, 2011, 1, pp. 1-8, doi:***** Published Online January 2011 dari : http://www.SciRP.org/journal/acs. Diskses 15 Maret 2012.
~ 45 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
DESAIN MUATAN ROKET SONDA EKSPERIMEN BERBASIS ROKET RX-100 UNTUK PENGUKURAN PROFIL VERTIKAL PARAMETER ATMOSFER Asif Awaludin, Halimurrahman, Rachmat Sunarya, Soni Aulia R Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer – LAPAN Email :
[email protected]
Abstract Sounding rocket is ones of instruments used for atmospheric vertical profile measurement. This paper describe about payload design for Sounding Rocket Experiment based on RX-100 rocket which consist of rocket aerodynamics payload and atmospheric parameter payload. The design was created by considering RX-100 rocket technical specification and vertical profile of atmospheric parameter being measured. Based on analysis result to the design, it is expected that initial acceleration of the rocket flight carrying 6 kg payload is about 5.35 g, and its last acceration is about 8,02 g. Signal power expected to be received by the receiver system, which has receiving sensitivity -118 dBm, from a 1 watt rocket payload transmitter at 8 km height is -73,29 dBm. Keywords : Sounding Rocket Experiment, payload, atmospheric parameter. Abstrak Salah satu instrumen untuk pengukuran profil vertikal atmosfer adalah roket sonda. Dalam tulisan ini dibuat desain muatan Roket Sonda Eksperimen berbasis roket RX-100 yang terdiri dari muatan aerodinamika roket dan muatan parameter atmosfer. Pembuatan desain dilakukan dengan mempertimbangkan spesifikasi teknis roket RX100 dan profil vertikal parameter atmosfer yang akan diukur. Berdasarkan analisis terhadap hasil desain, diharapkan percepatan awal terbang roket dengan total berat muatan 6 kg adalah sekitar 5,35 g dan percepatan akhirnya adalah sekitar 8,02 g. Daya sinyal yang diharapkan diterima oleh sistem penerima telemetri roket dengan sensitivitas penerimaan -118 dBm dan daya transmisi muatan 1 watt pada ketinggian maksimum 8 km adalah sebesar -73,29 dBm. Kata Kunci : Roket Sonda Eksperimen, muatan, parameter atmosfer. 1.
LATAR BELAKANG Pengukuran profil vertikal parameter atmosfer sangat penting dilakukan untuk
memahami iklim dan cuaca yang sedang terjadi atau bahkan untuk memprediksi kondisi cuaca dan iklim di waktu yang akan datang. Instrumen yang dapat digunakan untuk melakukan pengukuran tersebut antara lain satelit pengamat cuaca, roket sonda, radiosonda dan radar. Dalam tulisan ini dilakukan desain eksperimen roket sonda
~ 46 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
berbasis roket RX-100. Desain ini akan digunakan sebagai panduan pembuatan roket sonda yang akan dilakukan selanjutnya. Pembuatan desain dilakukan dengan mempertimbangkan spesifikasi teknis roket RX-100 dan kondisi parameter atmosfer yang akan diukur oleh Roket Sonda Eksperimen. Parameter atmosfer yang akan diukur meliputi tekanan udara, suhu udara, dan kelembaban udara. Hasil desain kemudian akan dianalisis prediksi kinerjanya meliputi prediksi kinerja roket setelah ada muatan, prediksi kinerja sistem transmisi data, dan prediksi kinerja sistem sensor.
2.
PERTIMBANGAN DESAIN Roket yang digunakan untuk Roket Sonda Eksperimen adalah roket RX-100
yang diproduksi oleh Pusat Teknologi Roket LAPAN. Roket ini mempunyai spesifikasi seperti ditunjukkan dalam Tabel 2-1 (Satrya dan Simorangkir, 2013). Bentuk roket hasil foto kamera ditunjukkan dalam Gambar 2-1. Berdasarkan spesifikasi roket tersebut kemudian dibuat kriteria bahan pertimbangan untuk pembuatan desain muatan roket yang meliputi pertimbangan dimensi dan berat muatan, sistem transmisi data, dan sistem sensor aerodinamika roket yang akan digunakan. Sensor akselerasi yang digunakan mempunyai kisaran hingga 10g dan sensor kecepatan sudut mempunyai kisaran hingga 300 o/s (Widada, 2005 dan Wahyudi et al, 2009). Selain itu, untuk bahan pembuatan desain sensor-sensor muatan atmosfer yang akan dipasang pada muatan roket, digunakan bahan pertimbangan berupa data profil vertikal tekanan udara, temperatur udara, dan kelembaban udara daerah Surabaya tanggal 13 Juli 2012 jam 07.00 WIB yang grafiknya ditunjukkan dalam Gambar 2-2. Data tersebut diperoleh dari data Radiosonda University of Wyoming. Kriteria-kriteria pertimbangan desain untuk muatan Roket Sonda Eksperimen secara keseluruhan tercantum dalam Tabel 2-2.
~ 47 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Gambar 2-1. Foto RX-100. Tabel 2-1. Spesifikasi Roket RX-100. Spesifikasi
Spesifikasi
Tipe
1110
Akselerasi max
10 g
Panjang
195 cm
Gaya Dorong
289 kgf
Berat
34,845 kg
Tekanan Rata-rata
43 kg/cm3
Kisaran vertikal
6,83 km
Massa motor roket
45,36 kg
Kisaran horizontal
8,77 km
Massa propelan
20 kg
Diameter dalam
107 mm
Kecepatan pembakaran
3,33 kg/s
Diameter luar
114,3 mm
Sumber : Satrya dan Simorangkir, 2013.
Gambar 2-2. Profil vertikal tekanan, temperature, dan kelambaban daerah Surabaya tanggal 13 Juli 2012.
~ 48 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Tabel 2-2. Pertimbangan desain Kriteria Nilai Kriteria 8 km Tekanan Udara Luar Range vertikal max 6 kg Temperatur Luar Massa muatan max 1 watt Kelembaban Luar Daya transmisi 10 g Metode separasi Akselerasi max o Kecepatan Sudut Max 300 /s Kecepatan turun
Nilai 350 s/d 1015 mbar -25 s/d 40 oC 0 – 100 % Teknik Pyro 3 m/s
Sumber : Hasil perancangan
3. HASIL DESAIN Berdasarkan kriteria pertimbangan desain tersebut, dibuat desain muatan Roket Sonda Eksperimen. Pada desain ini dibuat dua macam muatan roket yang terpisah, yaitu muatan aerodinamika roket dan muatan parameter atmosfer. Spesifikasi lengkap hasil desain kedua muatan tersebut ditunjukkan dalam Tabel 3-1. Susunan muatan dalam tubuh roket ditunjukkan dalam Gambar 3-1. Tabel 3-1. Spesifikasi muatan roket hasil desain. Spesifikasi
Muatan Aerodinamika Roket
Muatan Parameter Atmosfer
Massa Total
3000 gram
3000 gram
Diameter
94 mm
94 mm
Tinggi
300 mm (nosecone) 200 mm (isi muatan)
200 mm (isi muatan) 100 mm (parasut)
Sensor
•
• • • •
•
IMU (Inertial Measurement Unit), 3-axis Acelero, 3-axis Gyro GPS
Tekanan Temperatur Kelembaban Posisi (GPS)
Frekuensi
900 MHz
433 MHz
Daya Transmisi
1 watt
1 watt
Sumber : Hasil perancangan
~ 49 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Gambar 3-1. Desain susunan muatan untuk Roket Sonda Eksperimen.
Sesuai dengan susunan muatannya, mekanisme separasi Roket Sonda Eksperimen direncanakan sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 3-2. Roket Sonda Eksperimen diluncurkan ke atas dengan sudut elevasi peluncuran 80o. Bersamaan dengan mulai meluncurnya roket, timer untuk separasi roket dijalankan. Setelah timer mencapai 5 detik, berdasarkan hasil perhitungan massa propelan dibagi dengan kecepatan pembakaran propelan, diprediksi bahwa bahan bakar propelan motor roket telah habis. Sehingga tepat pada saat tersebut roket diseparasi menjadi dua, yaitu motor roket dipisahkan dari bagian muatan. Metode separasi yang sering digunakan adalah menggunakan teknik Pyro (Mariani, 2010). Motor roket terbuang ke bawah dan bagian muatan masih meluncur ke atas memanfaatkan gaya dorong yang tersisa. Sesaat setelah bagian muatan mencapai ketinggian maksimum, muatan parameter atmosfer akan dilontarkan keluar dari bagian muatan roket. Begitu muatan parameter atmosfer keluar, parasunya akan langsung mengembang, sehingga ia akan turun pelan dengan kecepatan 3 m/s. Selama meluncur, kedua muatan akan terus melakukan pengukuran. Hasil pengukuran akan disimpan dalam memori SD Card payload dan juga ditransmisikan ke sistem penerima di ruas bumi.
~ 50 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Gambar 3-2. Mekanisme separasi Roket Sonda Eksperimen.
4.
PEMBAHASAN Berdasarkan spesifikasinya, gaya dorong roket RX-100 adalah sebesar 289 kgf,
massa roket tanpa muatan sekitar 50 kg, massa muatan roket total 6 kg, dengan menggunakan hukum Newton pada persamaan 4-1, dimana a adalah percepatan, F adalah gaya, dan m adalah masa benda, didapatkan percepatan awal roket saat terbang adalah sebesar 5,35 g (1 g = 9.80665 m/s2).
(4-1)
Karena adanya penyusutan massa bahan bakar propelan hingga massa terakhir saat habis adalah sebesar 0 kg, sehingga massa roket berkurang 20 kg, maka percepatan akhirnya adalah sebesar 8,02 g. Dengan demikian range percepatan awal hingga akhir roket masih dapat terpantau dengan baik menggunakan sensor accelerometer 10 g. Hal ini sesuai dengan hasil desain. Dalam analisis hasil desain sistem transmisi data radio analog, terdapat tiga parameter penting, yaitu Effective Isotropic Radiated Power (EIRP), free space loss, dan sensitivitas radio penerima. EIRP merupakan daya yang dipancarkan oleh antena. Free space loss merupakan salah satu rugi transmisi yang terjadi karena gelombang elektromagnetik menjalar melalui ruang terbuka. Dalam analisis ini, rugi-rugi yang lain misalnya rugi karena redaman gas, hujan, dan multipath fading akan diabaikan dengan
~ 51 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
asumsi terjadi kondisi atmosfer ideal dan tidak ada penghalang atau pantulan yang signifikan antara pemancar dan penerima. Sensitivitas radio penerima merupakan level daya minimal sinyal radio yang dapat ditangkap dan diolah dengan baik oleh radio penerima. Pada hasil desain sistem radio pemancar muatan roket, daya keluaran system pemancar adalah 1 watt, panjang kabel diasumsikan 0 m karena antenna langsung terpasang pada printed circuit board (PCB) rangkaian radio, dan gain antenna adalah 1, maka besarnya EIRP berdasarkan persamaan 4-2 (dalam Simanjuntak , 1993) adalah sebesar 0 dB.
(4-2)
Dimana
adalah daya keluaran sistem pemancar,
sistem pemancar dengan antena pemancar, dan
adalah panjang kabel antara
adalah gain antena pemancar.
Dengan frekuensi pemancar dan penerima adalah 433 MHz dan jarak maksimum antara pemancar dengan penerima adalah 8 km, maka didapatkan nilai free space lost menggunakan persamaan 4-3 (dalam Simanjuntak , 1993) adalah sebesar 103,29 dB atau 73,29 dBm.
(4-3)
Dimana Ladalah free space lost dalam dB, adalah D adalah pemancar ke penerima dalam km, dan f adalah frekuensi kerja pemancar dan penerima dalam MHz. Dengan gain antena penerima adalah 1, panjang kabel diasumsikan 0 m karena antena langsung terpasang pada PCB rangkaian radio, maka berdasarkan persamaan 4-4 (dalam Simanjuntak , 1993) didapatkan daya yang diterima sekitar -73,29 dBm.
(4-4)
~ 52 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Dimana
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
adalah daya yang diterima oleh sistem penerima,
kabel antara sistem peenerima dengan antenna penerima,
adalah panjang
adalah gain antenna
penerima. Karena sensitivitas radio penerima adalah -118 dBm, maka sinyal yang masuk dengan daya sebesar -73,29 dBm akan dapat diterima dengan baik oleh sistem radio penerima. Namun karena terdapat noise yang muncul, maka sinyal masukan dapat diterima dengan baik oleh penerima dengan syarat signal to noise ratio (SNR) minimal 70 dBm (Kraus, 1988). Dengan kata lain, noise yang muncul tidak boleh melebihi -143,29 dBm. Sensor-sensor parameter atmosfer hasil desain mempunyai range pengukuran yang mencakup kisaran nilai profil vertikal tekanan, temperatur, dan kelembaban yang ditunjukkan dalam Gambar 2-2. Hasil pengukuran nanti diharapkan mempunyai nilai mendekati nilai profil-profil vertikal tersebut dengan asumsi tidak terjadi suatu kondisi cuaca yang ekstrim.
5.
KESIMPULAN
Telah dibuat desain Roket Sonda Eksperimen berbasis roket RX-100 yang meliputi desain muatan aerodinamika roket dan muatan parameter atmosfer. Berdasarkan analisis terhadap hasil desain, diharapkan percepatan awal terbang roket dengan total berat muatan 6 kg adalah sekitar 5,35 g dan percepatan akhirnya adalah sekitar 8,02 g. Daya sinyal yang diharapkan diterima oleh sistem penerima telemetri roket dengan sensitivitas penerimaan -118 dBm dan daya transmisi muatan 1 watt pada jarak maksimum 8 km adalah sebesar -73,29 dBm.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kami sampaikan kepada Dr. Laras Tursilowati atas dukungan terhadap penelitian ini. Terima kasih juga kami sampaikan kepada Herma Yudhi, MT, Lilis Mariani, MT, dan teman-teman Pustek Roket LAPAN atas diskusi dan masukannya.
DAFTAR RUJUKAN Satrya, E dan Simorangkir H. 2013. Kajian Tentang Rancangan Motor Roket Rx100 Menggunakan Pendekatan Gaya Dorong Optimal. Jurnal Matematika dan Statistik, Vol 13, No 1, Hal 63 – 69. Kraus, JD. 1988. Antennas. Mc Graw Hill. ISBN 0-70-035422-7.
~ 53 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Mariani L. 2010. Sistim Separasi Tingkat Roket. Laporan Akhir Riset Insentif Ristek – Dikti 2010. Simanjuntak, T. 1993. Dasar Dasar Telekomunikasi. Penerbit Alumni. ISBN 979-414481-9. Bandung. Widada, W. 2005. Aplikasi Digital Exponential Filtering Untuk Embedded Sensor Payload Rocket. Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi. Wahyudi, Susanto, A, Pramono, S, Widada, W. 2009. Design and Application of The Exponential Filter on Rotation Estimation Using The Angular RateSensor (Gyroscope). Proceedings of The 3rd Asian Physics Symposium 2009. Bandung
~ 54 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
PENGARUH KONSENTRASI ION NH4+ DAN Ca2+ TERHADAP NETRALISASI HUJAN ASAM DI DAERAH CIPEDES, KEBON KALAPA, SOREANG DAN CIKADUT Asri Indrawati, Dyah Aries Tanti Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)
[email protected];
[email protected] Abstract
Neutralization of acid rain is influenced by cation ion concentration contained in rain water, especially NH4 + and Ca2 + ions. From neutralization factor calculations, it was found that neutralization of rainwater acidity in Cipedes area affected by NH4+ ions by neutralization factor values from 0.3 to 1.4, whereas for the area Kb. Kalapa, Soreang and Cikadut, more influenced by Ca2+ ions with a range of values of the neutralization factor from 0.1 to 3.4. This indicated also by the new pH value which takes into account the concentration of NH4+ ions in rainwater pH calculation. Keywords : neutralization factor, rainwater, pH, NH4+, Ca2+ Abstrak Netralisasi hujan asam di pengaruhi oleh konsentrasi ion kation yang terkandung dalam air hujan, terutama ion NH4+ dan ion Ca2+. Dari perhitungan faktor netralisasi, didapatkan bahwa netralisasi keasaman air hujan di daerah Cipedes dipengaruhi oleh ion NH4+ dengan nilai faktor netralisasi sebesar 0,3 – 1,4. Untuk daerah Kebon Kalapa, Soreang dan Cikadut, lebih banyak dipengaruhi oleh ion Ca2+ dengan rentang nilai faktor netralisasi sebesar 0,1 – 3,4. Hal ini ditunjukkan pula oleh nilai pH baru (pH kalkulasi) yang memperhitungkan konsentrasi ion NH4+ dalam perhitungan pH air hujan. Kata Kunci : faktor netralisasi, air hujan, pH, NH4+, Ca2+ 1.
PENDAHULUAN Sumber basa di atmosfer mempunyai pengaruh dalam penetralan keasaman air
hujan. Sumber basa yang utama adalah NH3 dan CaCO3 (Wang, et al 2002). Amonia dalam bentuk gas (NH3) berhubungan erat dengan kehadiran amonium (NH4+) di atmosfer, yang pada gilirannya amonium ini bertindak sebagai senyawa penetral di atmosfer dan juga berkontribusi terhadap masalah pengasaman atmosfer (Wameck, 1999). Kalsium, Magnesium dan Natrium dalam air hujan berasal dari garam-garam lautan dan dari tanah (Carroll, 1962). Wang (Wang et al., 2002 dalam GAO et al 2010) mengungkapkan bahwa ion Ca2+ yang terkandung dalam aerosol tanah di kawasan Asia ~ 55 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Timur memiliki pengaruh netralisasi yang kuat pada pH curah hujan dan dapat menaikkan pH rata-rata tahunan (0,8 – 2,5) di Cina Utara dan Korea. Perhitungan faktor netralisasi digunakan untuk melihat pengaruh kation terhadap netralisasi keasaman air hujan. Dilakukan pula perhitungan nilai pH baru dengan memperhitungkan konsentrasi H+ dan konsentrasi ion NH4+ untuk mengetahui seberapa besar pengaruh netralisasinya terhadap nilai keasaman air hujan. Perhitungan faktor netralisasi dan pH
baru digunakan untuk melihat sumber basa mana yang paling
mempengaruhi nilai keasaman air hujan di suatu daerah (Possanzini et al, 1988 dan GAO et al 2010). Tujuan dari penelitian dilakukan untuk melihat pengaruh NH4+ dan Ca2+ pada penetralan keasaman air hujan untuk daerah Cipedes, Kb. Kalapa, Soreang dan Cikadut, yang
nantinya dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya mengenai penetralan
keasaman air hujan dan dapat juga digunakan untuk mendeteksi apakah terjadi perubahan kondisi lingkungan pada daerah tersebut.
2.
DATA DAN METODE Data yang digunakan yaitu data konsentrasi kation dan anion air hujan daerah
Cipedes, Kb. Kalapa, Soreang dan Cikadut – Bandung kurun waktu 2007 – 2011. Dengan menggunakan data rata-rata bulanan konsentrasi ion NH4+ dan Ca2+ untuk setiap daerah dari tahun 2007 -2011 dilakukan perhitungan faktor netralisasi (NFs) dengan menggunakan persamaan berikut (Possanzini et al 1988). [ ⌈
]
⌉ [
]
(1)
Dimana Xi adalah konsentrasi kation yang diinginkan, dalam penelitian ini adalah NH4+ dan Ca2+. Semua ion dinyatakan dalam µeq/l. Selanjutnya dilakukan perhitungan nilai pH baru (pH kalkulasi) dengan memperhitungkan nilai konsentrasi H+ dan NH4+ dengan menggunakan persamaan berikut (Wang et al 2002 dalam GAO et al, 2010). pH =-log ([H +] + [NH4 +])
3.
(2)
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Pengaruh Nilai Faktor Netralisasi NH4+ dan Ca2+. Secara teoritis penurunan pH dalam air hujan terutama disebabkan oleh larutnya polutan SO42- dan NOx, sedangkan peningkatan pH disebabkan oleh terlarutnya kalsium
~ 56 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
(Ca2+) dan amonia (NH3) dalam air hujan (Sari dkk, 2007). Peningkatan pH yang terjadi pada air hujan mengindikasikan telah terjadinya proses netralisasi keasaman air hujan oleh sumber basa utama yang ada di atmosfer, yaitu kalsium dan amonia (Wameck, 1999). Untuk melihat hubungan antara konsentrasi NH4+ dan Ca2+ yang terlarut di dalam air hujan terhadap proses penetralan keasaman air hujan tersebut dilakukan perhitungan faktor netralisasi (NFs) masing-masing untuk NH4+ dan Ca2+ di setiap daerah. Faktor netralisasi digunakan untuk mengevaluasi penetralisir keasaman air hujan oleh lapisan kerak dan amonia. Semakin tinggi nilai faktor netralisasi, menunjukkan bahwa ion tersebut memiliki kemampuan netralisasi yang kuat terhadap keasaman air hujan (Possanzini et al 1988). Hasil yang diperoleh pada perhitungan faktor netralisasi untuk masing-masing daerah
memperlihatkan bahwa selama kurun waktu 2007 - 2011daerah Cipedes
penetralan keasaman air hujan lebih dipengaruhi oleh NH4+ dengan rentang nilai antara 0,3 – 1,4. Sedangkan untuk daerah Kb. Kalapa, Soreang dan Cikadut terjadi perubahan pengaruh penetralan. Pada tahun 2007 – 2008 penetralan keasaman air hujan dipengaruhi oleh ion NH4+, namun pada tahun 2009 – 2011 penetralan keasaman air hujan lebih banyak dipengaruhi oleh Ca2+ yang dapat dilihat pada gambar 1 berikut.
(a)
Cipedes
3 2
Nilai NF NH4+
1
Nilai NF Ca2+
Tahun
~ 57 ~
Sep-11
May-11
Jan-11
Sep-10
May-10
Jan-10
Sep-09
May-09
Jan-09
Sep-08
May-08
Jan-08
Sep-07
May-07
0 Jan-07
Nilai Faktor Netralisasi
4
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Nilai Faktor Netralisasi
4
Kb. Kalapa
3
(b)
2 Nilai NF NH4+
1
Nilai NF Ca2+ Sep-11
May-11
Jan-11
Sep-10
May-10
Jan-10
Sep-09
May-09
Jan-09
Sep-08
May-08
Jan-08
Sep-07
May-07
Jan-07
0
Tahun
Nilai Faktor Netralisasi
4
(c)
Soreang 3 2
Nilai NF NH4+ Nilai NF Ca2+
1
Sep-11
May-11
Jan-11
Sep-10
May-10
Jan-10
Sep-09
May-09
Jan-09
Sep-08
May-08
Jan-08
Sep-07
May-07
Jan-07
0
Nilai Faktor Netralisasi
4
(d)
Cikadut
3 2
Nilai NF NH4+
1
Nilai NF Ca2+ Sep-11
May-11
Jan-11
Sep-10
May-10
Jan-10
Sep-09
May-09
Jan-09
Sep-08
May-08
Jan-08
Sep-07
May-07
Jan-07
0
Tahun
Gambar 1 : Nilai faktor netralisasi antara ion NH4+ dan ion Ca2+ daerah Cipedes (a), Kebon Kalapa (b), Soreang (c) dan Cikadut (d).
~ 58 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Hal tersebut sejalan dengan berubahnya kondisi lingkungan di daerah Kebon Kalapa, Soreang dan Cikadut. Di daerah Soreang terjadi perubahan penggunaan lahan dimana lahan persawahan berubah menjadi pemukiman penduduk. Kemudian bukitbukit yang ditumbuhi pepohonan sekarang telah habis terkikis karena digunakan sebagai penambangan pasir. Keadaan ini membuat NH4+ yang teremisikan dari penggunaan pupuk berkurang dengan semakin sedikitnya lahan pertanian, digantikan dengan teremisikannya Ca2+ ke udara yang berasal dari penambangan pasir. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Wang (Wang et al, 2002 dalam GAO 2010) di daerah Cina Utara dan Republik Korea, konsentrasi Ca2+ dan nilai pH dalam air hujan jauh lebih tinggi dibandingkan Cina Selatan dan Jepang. Kondisi ini disebabkan oleh tingginya Ca2+ yang terdapat dalam aerosol tanah, sehingga kemampuan netralisasi oleh NH4+ tidak menonjol di daerah tersebut.
3.2 Nilai pH air hujan dan pH kalkulasi. Pada amonium, tingginya nilai faktor netralisasi tidak langsung menunjukkan bahwa ion tersebut memiliki kemampuan netralisasi yang kuat dan memiliki pengaruh yang kuat terhadap keasaman air hujan. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh amonia terhadap netralisasi pH air hujan, maka dilakukan analisis perhitungan pH kalkulasi antara ion amonium dengan nilai pH hujan. Perhitungan pH kalkulasi tidak hanya memperhitungkan nilai H+ tapi juga memasukkan konsentrasi ion NH4+ ke dalam perhitungan nilai pH. Ion amonium di produksi oleh amonia dalam kombinasi dengan H+. Jika tidak ada amonia di atmosfer, maka konsentrasi H+ harus meningkat, sehingga perlu dimasukkannya konsentrasi NH4+ dalam perhitungan nilai pH (GAO, et al., 2010). Dari hasil perhitungan pH kalkulasi yang dapat dilihat pada gambar 2 dibawah ini didapatkan bahwa amonia tidak secara signifikan mempengaruhi penetralan keasaman air hujan di daerah Cipedes. Tingkat signifikasi yang diperoleh hanya 40% saja. Kondisi ini menandakan bahwa keberadaan kation lain seperti Natrium dan Magnesium selain Amonium yang terlarut dalam air hujan mempunyai pengaruh yang besar terhadap penetralan keasaman air hujan daerah Cipedes.
~ 59 ~
Jan-07 Apr-07 Jul-07 Oct-07 Jan-08 Apr-08 Jul-08 Oct-08 Jan-09 Apr-09 Jul-09 Oct-09 Jan-10 Apr-10 Jul-10 Oct-10 Jan-11 Apr-11 Jul-11 Oct-11
Nilai pH Jan-07 Apr-07 Jul-07 Oct-07 Jan-08 Apr-08 Jul-08 Oct-08 Jan-09 Apr-09 Jul-09 Oct-09 Jan-10 Apr-10 Jul-10 Oct-10 Jan-11 Apr-11 Jul-11 Oct-11
Nilai pH Jan-07 Apr-07 Jul-07 Oct-07 Jan-08 Apr-08 Jul-08 Oct-08 Jan-09 Apr-09 Jul-09 Oct-09 Jan-10 Apr-10 Jul-10 Oct-10 Jan-11 Apr-11 Jul-11 Oct-11
Nilai pH
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013
Tahun
~ 60 ~
ISBN : 978-979-1458-73-3
Cipedes
5
4
3
Kb. Kalapa
5
4
3
Soreang
5
4
3
(a)
8
7
6
pH hujan
pH kalkulasi
Tahun
(b)
8
7
6
pH hujan
pH kalkulasi
Tahun
(c)
8
7
6
pH hujan
pH kalkulasi
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Cikadut
(d)
8 Nilai pH
7 6 5
pH hujan
4
pH kalkulasi Jan-07 Apr-07 Jul-07 Oct-07 Jan-08 Apr-08 Jul-08 Oct-08 Jan-09 Apr-09 Jul-09 Oct-09 Jan-10 Apr-10 Jul-10 Oct-10 Jan-11 Apr-11 Jul-11 Oct-11
3
Tahun
Gambar 2 : Perbandingan pH air hujan dengan pH kalkulasi daerah Cipedes (a), Kebon Kalapa (b), Soreang (c) dan Cikadut (d).
4.
KESIMPULAN Ion amonium dan ion kalsium mempunyai pengaruh yang besar terhadap
penetralan keasaman air hujan yang ditunjukkan dengan nilai faktor netralisasi yang cukup besar, yaitu daerah Cipedes dengan rentang 0,3 – 1,4 untuk NH4+; 0,04 – 0,9 untuk Ca2+. Kb. Kalapa dengan rentang 0,005 – 3,4 untuk NH4+; 0,18 – 2,9 untuk Ca2+. Soreang dengan rentang 0,01 – 0,9 untuk NH4+; 0,09 – 0,9 untuk Ca2+. Cikadut dengan rentang 0,01 – 0,8 untuk NH4+; 0,1 – 2,0 untuk Ca2+. Dari perhitungan pH kalkulasi diperoleh bahwa penetralan di daerah Cipedes tidak hanya dipengaruhi oleh amonium, namun juga dipengaruhi oleh kation lain seperti Natrium dan Magnesium.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih untuk Laboratorium Kimia Lapan Bidang Komposisi Atmosfer untuk data yang digunakan dalam pembuatan makalah ini, serta Ir. Tuti Budiwati, M.Eng atas bimbingannya.
DAFTAR RUJUKAN Carroll Dorothy, 1962. Rainwater as a Chemical Agent of Geologic Process – A Review.Geological Survey Water-Supply Paper 1535-G.
~ 61 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
GAO chao, et al. 2010. Ammonium Variational Trends and the Ammonia Neutralization Effect on Acid Rain over East Asia.
ATMOSPHERIC AND OCEANIC
SCIENCE LETTERS, VOL. 3, NO. 2, 120−126. Possanzini, M., P. Buttini, and V. D. Palo, 1988: Characterization of a rural area in terms of dry and wet deposition, Sci. Total Environ.,74,111-120. Sari, R. Puripuspita, Siti Badriyah R., Hermawan R., 2007. Hujan Asam Pada Beberapa Penggunaan Lahan di Kabupaten dan Kota Bogor. Media Konservasi Vol XII, No 2, 77 - 79 Wang, Z., H. Akimoto, and I. Uno, 2002: Neutralization of soil aerosol and its impact on the distribution of acid rain over east Asia: Observations and model results, J. Geophys. Res, 107, D19, 4389, doi: 10.1029/2001JD001040 Warneck, P., 1999. Chemistry of the Natural Atmosphere. International Geophysical Series 71, Academic Press Inc., San Diego.
~ 62 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
ANALISIS CURAH HUJAN TERKAIT DENGAN KUANTIFIKASI FLUKTUASI LEVEL MUKA AIR SITU CILEUNCA Dadang Subarna Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Email:
[email protected]
Abstract Identification of the relation between rainfall and water surface level in lake of a watershed is importance for the efficiency of water resources management and a measure of prevention action for potential disaster mitigation. Has been analyzed rainfall and water surface level data over Cileunca lake in Cisangkuy watershed which is Sub-Watershed of Upper Citarum Basin which is located between 06o 59'24" - 07o 13'51" LAT and 107o 28'55" - 107o 39'84" LON. Rainfall and water surface level periodogram values are obtained by using spectrum analytical method. Cross correlation method are applied to know how far contribution of rainfall to fluktuations water surface level. Results of the this research shows that rainfall over Cileunca lake in Cisangkuy Watershed shows the bimodal regime matching with seasonal. Dominant period for both of time series data is 12 months showing the annual oscillation. There is a significant correlation between rainfall time series and water surface level at Cileunca lake with a lag time between rainfall periods and peak of water surface level. In this study found that the relation between rainfall and water surface level at Cileunca lake is hardly significant at period lag time 3 month of with rainfall has impact around 55,2%. The rest equal to 55,8% is other factor having contribution to water surface level of Cileunca lake such as antrophogenic and natural factors like overflow, evaporation, inflow and outflow processes. Keywords: Fluctuation, Rainfall, Water Surface Level, Periodogram, Cileunca lake Abstrak Identifikasi hubungan antara curah hujan dan level muka air di danau suatu daerah tangkapan air sangat penting dalam rangka efisiensi pengelolaan sumberdaya air dan ukuran dalam melakukan tindakan pencegahan untuk mitigasi potensi bencana. Telah dianalisis data curah hujan dan level muka air Situ Cileunca di daerah tangkapan air Cisangkuy yang merupakan Sub-DAS Citarum Hulu yang terletak antara 06o 59‟24” – 07o 13‟51” LS dan 107o 28‟55” – 107o 39‟84” BT. Dengan menggunakan metode analisis spektrum diperoleh nilai periodogram dari curah hujan dan level muka air masing-masing. Metode korelasi silang digunakan untuk mengetahui seberapa jauh kontribusi curah hujan terhadap fluktuasi level muka air. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa Curah hujan di atas Situ Cileunca dan di DTA Cisangkuy menunjukkan regim bimodal yang sesuai dengan musiman. Periode dominan untuk kedua data deret waktu tersebut adalah 12 bulan yang menunjukkan osilasi tahunan. Terdapat korelasi yang signifikan antara deret waktu curah hujan dan level muka air Situ Cileunca dengan suatu lag time antara periode curah hujan dan puncak level muka air. Dalam studi ini ditemukan bahwa hubungan antara curah hujan dan level muka air di Situ Cileunca sangat signifikan pada periode lag time 3 bulan dengan curah hujan ~ 63 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
mempunyai dampak sekitar 55,2%.Sisanya sebesar 55,8% merupakan faktor lain yang berkontribusi terhadap level muka air Situ Cileunca seperti faktor antropogenik dan faktor alam seperti limpasan, evaporasi, proses inflow dan outflow. Kata Kunci: Fluktuasi, Curah hujan, level muka air, periodogram, Situ Cileunca 1.
PENDAHULUAN Level muka air (LMA) di Situ Cileunca Kabupaten Bandung telah menjadi
perhatian dalam beberapa tahun terakhir ini dikarenakan beberapa kejadian bencana hidrometeorologi di daerah aliran sungai Cisangkuy dan adanya isu-isu akan jebolnya bendungan.
Naik dan turunnya level muka air dalam suatu Situ atau bendungan
merupakan suatu proses dinamik yang dipengaruhi oleh faktor-faktor iklim dan aktivitas manusia. Terdapat banyak sekali variabel yang mempengaruhi level air di suatu Danau atau Situ, akan tetapi kontributor yang paling besar adalah presipitasi dan limpasan yang menambah volume air ke danau dan evaporasi serta aliran keluar yang mengurangi air dari danau. Ketika pasokan neto air tinggi maka level situ atau danau akan naik dan sebaliknya ketika pasokan rendah dan keputusan pengelolaan pelepasan debit untuk pembangkitan listrik maka level air akan turun. Pertumbuhan populasi dan pembangunan di DTA (daerah tangkapan air) yang tidak terkontrol telah menimbulkan peningkatan dalam penggunaan lahan dan perubahan tutupan lahan. Perubahan tersebut akan merubah rasio curah hujan terhadap limpasan dan meningkatkan erosi serta sedimentasi terhadap Situ atau Danau yang mengurangi volumenya. Sementara itu untuk mempertahankan produksi listrik maka debit harus tetap dipertahankan sesuai kebutuhan guna pencapaian target pembangkitan. Oleh karena itu terdapat pertanyaan dalam penelitian ini bahwa seberapa besar faktor curah hujan mempengaruhi level muka air di Situ Cileunca disamping faktor-faktor lainnya. Oleh karean itu penting untuk meneliti apakah fluktuasi level muka air Situ Cileunca merupakan hasil variabilitas hidroklimat atau pelepasan air yang berlebih atau faktor-faktor lainnya yang terkait dan seberapa kontribusi curah hujan terhadap fluktuasi tersebut. Identifikasi hubungan antara curah hujan dan level muka air di danau suatu daerah tangkapan air sangat penting dalam efisiensi pengelolaan sumberdaya air dan ukuran dalam melakukan tindakan pencegahan untuk mitigasi potensi bencana alam (Elias and Ierotheos, 2006). Pendekatan pemodelan yang sangat umum digunakan adalah model terdistribusi, model konseptual dan model kotak hitam (black box).
~ 64 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Beberapa model hidrologi kotak hitam telah berhasil diterapkan di masa lalu untuk mensimulasikan proses-proses seperti pelepasan air tanah dalam batuan kars dan hubungan curah hujan-limpasan dalam area berstruktur geologi sangat heterogen ketika model distribusi sulit beroperasi dengan efisien (Jukic et al., 2003). Keuntungan yang signifikan dalam model fungsi transfer kotak hitam adalah model-model tersebut sangat sederhana. Model tersebut bergantung pada data masukan yang terbatas dan komprehensif pada sistem yang memudahkan dalam analisis deret waktu parameter yang ber-autokolerelasi dengan derajat yang tinggi. Oleh karena itu terdapat percobaan yang cukup signifikan untuk menggambarkan aliran air tanah pada kondisi geologi yang kompleks dengan menerapkan model-model terdistribusi, tetapi hasil menunjukkan bahwa masalah kelebihan parameterisasi dan kesulitan dalam tahap kelibrasi (Barret dan Charbeneau, 1997). Model konseptual telah dikembangkan untuk menggambarkan hubungan antara faktor iklim dan elevasi muka air pada badan air tawar, umumnya dengan menggunakan model kesetimbangan air (Asmar da Erenzinger, 2002). Situ Cileunca yang terletak pada ketinggian 1400 m di atas permukaan laut merupakan salah satu tandon penting dalam usaha pengelolaan sumberdaya air di Cekungan Bandung. Situ Cileunca dan aliran sungai Cisangkuy sangat berperan penting dalam memasok kebutuhan air baku untuk konsumsi penduduk kabupaten dan kota Bandung masing-masing sebesar 500 l/s dan 1800 l/s (UPTD, 2011). Kondisi pasokan tersebut tentunya sangat dipengaruhi oleh variabilitas curah hujan yang menjadi imbuhan utama dalam suatu daerah aliran sungai. Fase ekstrim variabilitas curah hujan pada musim basah akan menyebabkan kondisi hujan dan debit sungai yang berlebih di Cekungan Bandung dibandingkan kondisi logaritma normal atau sebaliknya kondisi kemarau yang jauh lebih kering dari kondisi logaritma normalnya (Subarna et al., 2012). Oleh karena itu, studi ini sangat penting dan ditujukan untuk menemukan apakah terdapat hubungan antara curah hujan dan level muka air Situ Cileunca di DTA Hulu Citarum, seberapa besar kontribusinya diantara faktor-faktor lain yang terkait seperti limpasan, resapan, evaporasi dan lain-lain di daerah tersebut.
2.
DATA DAN METODE Data yang diolah dan dianalisis merupakan data sekunder yang diperoleh dari
Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air Provinsi Jawa Barat dan PT. Indonesia Power Unit Pembangkitan Plengan pada periode pengukuran 2007-2011. Lokasi yang diteliti meliputi DTA (Daerah Tangkapan Air) Cisangkuy yang merupakan Sub-DAS Citarum ~ 65 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Hulu terletak antara 06o 59‟24” – 07o 13‟51” LS dan 107o 28‟55” – 107o 39‟84” BT. Topografi DTA Cisangkuy bervariasi dari ketinggian 2.054 m dari permukaan laut di puncak Gunung Malabar, hingga 658 m di pertemuannya dengan sungai induk, yaitu Sungai Citarum. Kondisi sebaran curah hujan tahunan pada DTA Cisangkuy bervariasi dari 3.500 mm/tahun hingga 2.000 mm/tahun. Di dalam DTA tersebut terdapat Situ Cileunca yang merupakan danau buatan untuk pemenuhan kebutuhan listrik perkebunan pada masa kolonial.
Situ Cileunca di bangun pada tahun 1924 dengan kapasitas
tampung sebesar 11,3 juta m3 (PLN PLENGAN, 2010). Di sebelah selatan Situ Cileunca terdapat Situ Cipanunjang yang mendapat air dari kali Cilaki, Cibolang, Cihurangan, Cikuningan dan Citambaga. Situ Cileunca mendapat air dari situ Cipanunjang, Sungai Cilaki Beet dan Sungai Cibuniayu, ditunjukkan pada Gambar 2-1. Beberapa data deret waktu dalam klimatologi, khususnya curah hujan, secara statistik memperlihatkan perilaku yang non-stasioner dan sinyal ini berubah baik amplitudo maupun frekuensinya, serta ada juga kemungkinan mengandung sinyal periodik tersisip yang dominan.
Gambar 1 : Lokasi penelitian yang merupakan bagian dari daerah Kabupaten Bandung bagian Selatan (sumber: Subarna, et al., 2012) Metode yang digunakan adalah analisis spektral yang digambarkan dalam suatu grafik periodogram untuk curah hujan (CH) dan level muka air (LMA). Suatu deret waktu dapat diungkapkan sebagai suatu kombinasi dari gelombang sinus atau kosinus dengan periode yang berbeda-beda. Berapa lama gelombang tersebut akan menjadi sebuah siklus secara penuh dan berapa amplitudo akan bernilai maksimum atau minimum selama siklus tersebut. Analisis gelombang tersebut dapat bermanfaat untuk ~ 66 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
menguji perilaku siklus periodil dalam deret waktu CH dan LMA. Periodogram digunakan untuk mengidentifikasi periode dominan dalam suatu deret waktu. Metode ini dapat menjadi piranti yang bermanfaat dalam mengidentifikasi perilaku siklus dalam suatu deret CH dan LMA. Untuk waktu diskrit (dimana waktu t adalah bilangan bulat) maka definisi ini bermanfaat untuk gelombang kosinus dan sinus dengan periode T yang merupakan jumlah periode waktu yang diperlukan untuk membuat suatu siklus tunggal fungsi kosinus dengan frekuensi f=1/T. Dalam analisis spektrum, deret waktu CH dan LMA dipandang sebagai suatu jumlah gelombang kosinus dengan amplitudo dan frekuensi yang bervariasi. Tujuan analisis ini adalah untuk mengidentifikasi frekuensi atau periode penting dalam deret CH atau LMA yang penting. Piranti untuk melakukan indentifikasi tersebut adalah periodogram. Grafik periodogram merupakan ukuran nilai periode atau frekuensi yang penting yang dibawa oleh pola osilasi dari data CH atau LMA. Data CH dan LMA yang digunakan dari tahun 2007-2011 yang mempunyai 60 titik data. Sehingga untuk mengidentifikasi frekuensi atau periode yang penting dan dominn maka persamaan untuk deret CH dan LMA ditulis dalam komponen-komponen frekuensi harmonisnya sebagai ∑
(
2.1
)
Dimana j=1,2...60/2 dan b1(j/60) dan b2(j/60) adalah parameter regresi. Jumlah kuadrat dari parameter regresi adalah nilai periodogram dari CH atau LMA masing-masing yaitu ( )
( )
2.2
Metode lain yang digunakan adalah metode cross correlation (korelasi silang). Metode korelasi silang merupakan meode standar untuk mengestimasi derajat korelasi dari dua data deret waktu.
Bila dua data deret waktu yaitu CH dan LMA Situ Cileunca
diungkapkan dalam x(i) dan y(i) masing-masing, dimana i=0,1,2,3...N-1, maka korelasi silang r (koefisien korelasi) pada lag time d didefinisikan sebagai 2.3
Dimana mx dan my merupakan deret yang bersesuaian. Jika persamaan di atas dihitung untuk semua time lag d=0,1,2,3,..N-1 maka hasilnya dalam deret korelasi silang kedua panjang sebagai deret asal adalah
~ 67 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
2.4
Terdapat dua permasalahan ketika indek pada deret waktu kurang dari 0 atau lebih besar dari atau sama dengan titik-titik bilangan (i-d<0 atau i-d>=N). Pendekatan yang umum adalah mengabaikan titik-titk tersebut atau dengan asumsi deret x dan y nol untuk i<0 dan i>=N. Dalam beberapa penerapan pengolahan sinyal maka deret diasumsikan sirkular dimana indek-indek yang diluar jangkauan di kemas ulang ke dalam jangkauan yaitu x(-1)=x(N-1), x(N+5)=x(5) dan seterusnya. Jangkauan lag time d dan panjang deret korelasi silang dapat menjadi kurang dari N untuk mgnuji korelasi pada lag time yang cukup pendek. Pembagi pada persamaan (2.2) dapat berfungsi sebagai normalisasi koefisien korelasi sehingga -1<=r(d)<=1 yang membatasi korelasi maksimum dan nilai 0 yang menunjukkan tidak berkorelasi. Korelasi negatif tinggi menunjukkan bahwa kedua data deret waktu berkorelasi tetapi salah satu kebalikannya dari yang lain.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil ploting data curah hujan selama data pengamatan 2007-2011 di daerah
tangkapan air dataran tinggi menunjukkan pola bimodal seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Bentuk ini merupakan akibat dari dua kali dilalui oleh Intertropical Convergence Zone (ITCZ) yang bergerak relatif mengikuti pergerakan Matahari UtaraSelatan atau sebaliknya. 600
2007 2008 2009 2010 2011
CH (mm)
500 400 300 200 100 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
indeks waktu (Bulan)
Gambar 1 : Bentuk bimodal curah hujan bulanan pada periode pengamatan 2007-2011 di daerah tangkapan air dataran tinggi. Langkah awal untuk untuk membuat periodogram adalah estimasi parameter regresi dengan mengunakan FFT (Fast Fourier Transform). Setelah parameter regresi ~ 68 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
didapat maka jumlah kuadrat keduanya [b1(j/60) dan b2(j/60)] yang menunjukkan intensitas daya [P(j/60) ] dibuat grafiknya terhadap ( j/60) dimana j=1,2...60/2. Untuk data CH dan LMA dengan menggunakan persamaan (2.1) dan (2.2) didapat grafik periodogram dan densitas spektrum yang ditunjukkan pada Gambar 2 (A) dan Gambar2 (B) masing-masing. Nilai intensitas daya yang relatif besar menunjukkan periode yang penting dan dominan dari osilasi harmonis dalam data. Intensitas daya ini sebanding dengan korelasi kuadrat antara data deret waktu CH atau LMA dengan gelombang kosinus dengan periode tertentu. Periode dominan digunakan untuk mencocokan gelombang kosinus atau sinus terhadap data atau mungkin secara sederhananya digunakan untuk menggambarkan periodisitas yang penting dalam data.
(A). Grafik periodogram dan densitas spektrum curah hujan.
(B). Grafik periodogram dan densitas spektrum level muka air.
Gambar 2 : Grafik periodogram dan densitas spektrum masing-masing untuk curah hujan (A) dan level muka air (B).
Dari Gambar 1(A) dan Gambar 1(B) tampak bahwa periode dominan untuk kedua data deret waktu adalah 12 bulan yang menunjukkan osilasi tahunan. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh osilasi tahunan (annual) merupakan pengaruh yang dominan pada CH dan LMA di daerah tangkapan air Cisangkuy. Hasil ini sesuai dengan ~ 69 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Subarna et al. 2012 dengan metode wavelet bahwa pengaruh monsun dan ENSO merupakan dua fenomena yang sangat mempengaruhi curah hujan dan debit aliran sungai di daerah tersebut. Untuk mengatahui hubungan antara CH dan LMA maka digunakan metode korelasi silang. Korelasi merupakan teknik analisis untuk melihat kecenderungan pola dalam satu variabel berdasarkan kecenderungan pola dalam variabel yang lain. Ketika variabel curah hujan hasil memiliki kecenderungan untuk naik atau turun maka terlihat kecenderungan dalam variabel level muka air Situ Cileunca apakah naik atau turun. Jika kecenderungan dalam curah hujan selalu diikuti oleh kecenderungan dalam level muka air Situ Cileunca
maka dapat dikatakan bahwa kedua variabel tersebut memiliki
hubungan atau korelasi. Korelasi bermanfaat untuk mengukur similaritas antara dua variabel (kadang lebih dari dua variabel) dengan skala-skala tertentu, misalnya Pearson (data harus berskala interval atau rasio), Spearman dan Kendal (menggunakan skala ordinal), Chi Square (menggunakan data nominal). Kuat-lemah hubungan atau similaritas diukur dengan nilai koefisien antara 1 sampai dengan -1.
Kekuatan
hubungan atau tingkat similaritas antara curah hujan dengan level muka air Situ Cileunca terungkap dalam nilai koefisien korelasi maksimum sebesar 0,55 pada nilai lag time 3 bulan (Lihat Gambar 3).
0.6 Koefisien Korelasi (r)
fungsi… 0.4 0.2
0 -20 -18 -16 -14 -12 -10 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 -0.2 -0.4 -0.6 Lag time (d)
Gambar 3 : Bentuk fungsi korelasi silang antara curah hujan dan level muka air di Situ Cileunca Kabupaten Bandung
Dari Gambar 3 dapat diketahui bahwa 6,2% (r=0,062) variasi dalam level muka air Situ Cileunca dapat diterangkan oleh kebalikan fluktuasi curah hujan di atas Situ tersebut pada lag time 0 bulan karena korelasi berharga negatif, seperti ditunjukkan pada Gambar 4. ~ 70 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
Gambar4: Fluktuasi curah hujan dan elevasi muka air di atas Situ Cileunca pada periode lag time 0 bulan.
ISBN : 978-979-1458-73-3
Gambar 5: Fluktuasi curah hujan dan elevasi muka air di atas Situ Cileunca pada periode lag time 1 bulan.
Dari Gambar 5 dapat diketahui bahwa 29,4% (r=0,294) variasi dalam level muka air Situ Cileunca dapat diterangkan oleh fluktuasi curah hujan di atas Situ tersebut pada lag time 1 bulan.
Gambar 6 : Fluktuasi curah hujan dan elevasi muka air di atas Situ Cileunca pada periode lag time 2 bulan.
Gambar 7 : Fluktuasi curah hujan dan elevasi muka air di atas Situ Cileunca pada periode lag time 3 bulan.
Dari Gambar 6 dapat ditunjukkan bahwa 49,4% (r=0,494) variasi dalam level muka air Situ Cileunca dapat diterangkan oleh fluktuasi curah hujan di atas Situ tersebut pada lag time 2 bulan. Dari Gambar7 dapat ditunjukkan bahwa 55,2% (r=0,552) variasi dalam level muka air Situ Cileunca dapat diterangkan oleh fluktuasi curah hujan di atas Situ tersebut pada lag time 3 bulan. Kontribusi curah hujan terhadap pengisian sampai tercapai puncak level muka air Situ Cileunca mempunyai lag time 3 bulan.
~ 71 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
4.
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
KESIMPULAN Curah hujan di atas Situ Cileuneca dan di DTA Cisangkuy menunjukkan regim
bimodal yang sesuai dengan musiman. Level muka air di Situ Cileunca sangat sensitif terhadap perubahan dalam curah hujan di atas danau dari pada di curah hujan di tempat DTA lainnya. Periode dominan untuk kedua data deret waktu adalah 12 bulan yang menunjukkan osilasi tahunan. Terdapat korelasi yang signifikan antara deret waktu curah hujan dan level muka air Situ Cileunca dengan suatu lag time antara periode curah hujan dan puncak level muka air. Dalam studi ini ditemukan bahwa hubungan antara curah hujan dan level muka air di Situ Cileunca sangat signifikan pada periode lag time 3 bulan dengan curah hujan mempunyai dampak sekitar 55,2%. Sisanya sebesar 55,8% merupakan faktor lain yang berkontribusi terhadap level muka air Situ Cileunca seperti faktor antropogenik dan faktor alam seperti limpasan, evaporasi, proses inflow dan outflow.
DAFTAR PUSTAKA Asmar, N. B. and Ergenzinger, P. Prediction of the Dead sea dynamic behaviour with the Dead Sea–Red Sea Canal, Advances in Water Resources 25(7), 783–791. 2002 Barrett, M. E. and Charbeneau, R. J. A parsimonious model for simulating flow in a karst aquifer , Journal of Hydrology 196, 47–65. 1997 Denic-Jukic, V. and Jukic, D.Composite transfer functions for karst aquifers‟, Journal of Hydrology 274, 80–94. 2003 Elias, D and Ierotheos, Z. Environmental Monitoring and Assessment. Vol. 119, Issue 1-3, pp 491-506. 2006. Subarna, D M. Y. J. Purwanto, K. Murtilaksono, Wiweka. Prakiraan Curah Hujan di Wilayah Situ Cileunca Kabupaten bandung Dengan metode Statistik Non-Linear (tahap review JSD) 2012. UPTD [Unit Pelaksanan teknis Daerah] sub DAS Cisangkuy, 2011. PEMDA Kabupaten Bandung. PLN PLENGAN [Perusahaan Listrik Negara PLENGAN], 2010.”Sejarah Cileunca”. PLN
~ 72 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
PENGARUH PEGUNUNGAN MALABAR TERHADAP PENINGKATAN CURAH HUJAN DI DAERAH TANGKAPAN AIR CISANGKUY KABUPATEN BANDUNG 1
Dadang Subarna Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Email:
[email protected]
Abtract The research on the relationship between rainfall and elevation in Cisangkuy Watershed Bandung Regency has been conducted to be used in estimation of rainfall at certain elevation for the agenda of water resources management and disaster mitigation. Spatial monthly rainfall from WorldClim for 50 years and Digital Elevation Model (DEM) from CGIAR-CSI have been studied and analyzed in Cisangkuy watershed to understand the relationship between rainfall and elevation. The study was based on the derivation of rainfall profile to elevation from 700 m mean sea level (msl) which is valley of Malabar Mountain till 2600 m msl which is top of Malabar Mountain by using GIS (CD line) profile. Regression analysis showed strong linear relationships between monthly rainfall and elevation which mean coefficient of correlation is 77%. The increase of monthly rainfall with elevation is averaged 8,95 mm every 100 m increase on elevation. The average of decreasing at quasi-rain shadow of equal - 1,87 mm every the decrease of 100 m. Keywords: Rainfall, Elevation, Linear Regression, Malabar Mountain, Watershed Abstrak Penelitian tentang hubungan antara curah hujan dan elevasi di daerah tangkapan air Cisangkuy kabupaten Bandung telah dilakukan untuk digunakan dalam pendugaan curah hujan pada elevasi tertentu dalam rangka pengelolaan sumberdaya air dan mitigasi bencana. Data curah hujan spasial bulanan dari WorldClim selama 50 tahun (1950-2000) dan Digital Elevation Model (DEM) dari CGIAR-CSI telah dikaji dan dianalisis untuk mengatahui hubungan antara curah hujan dengan elevasi. Pengkajian didasarkan pada penurunan profil curah hujan terhadap elevasi dengan menggunakan sistem informasi geografi (SIG) dari elevasi 700 m di atas permukaan laut (dpl) yaitu lembah terendah pegunungan Malabar sampai 2600 m dpl di kawasan puncaknya di daerah tangkapan air Cisangkuy wilayah Citarum Hulu (Garis CD). Analisis regresi menunjukkan hubungan yang kuat antara curah hujan bulanan dan elevasi dengan ratarata koefisien korelasi sebesar 77%. Peningkatan curah hujan dengan elevasi mempunyai nilai rata-rata 8,95 mm setiap 100 m kenaikan elevasi. Penurunan pada daerah semi bayang-bayang hujan (semi -rain shadow) rata-rata sebesar -1,87 mm setiap penurunan 100 m. Kata Kunci: Curah hujan, Elevasi, Regresi linear, Pegunungan Malabar, Daerah Tangkapan Air.
~ 73 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
1.
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
PENDAHULUAN Curah hujan menunjukkan perilaku spasial dan temporal yang kompleks. Perilaku
spasial yang kompleks sering terkait dengan topografi. Dengan menentukan skala interaksi curah hujan hasil pengamatan dengan topografi maka munculah analisis spasio-temporal curah hujan, sehingga dapat diperkirakan proses-proses alam yang terlibat dalam pembentukan curah hujan. Secara khusus, pengetahuan tentang skala dari kebergantungan curah hujan pada topografi dapat digunakan untuk optimasi metode interpolasi yang terkait pada kebergantungannya pada topografi untuk estimasi kuantitas distribusi spasial curah hujan (Sharples et al., 2005). Interaksi antara topografi dan atmosfer dapat menghasilkan pola-pola curah hujan. Skala spasial dari pola-pola ini dapat bervariasi dari ukuran pegunungan sampai pada lembah dan punggungan bukit. Daly et al. (1994) menggunakan Precipitation–Elevation Regressions on Independent Slopes Model (PRISM) untuk memodelkan curah hujan bulanan dan tahunan di atas berbagai sub-daerah di negara Amerika. PRISM pada prinsipnya menggunakan konsep elevasi orografi untuk interpolasi nilai curah hujan stasiun cuaca. Secara geografis Indonesia terletak di wilayah tropis yang mengalami dua musim secara bergantian yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Musim penghujan secara normal berlangsung pada bulan-bulan Desember, Januari dan Pebruari sedangkan musim kamarau berlangsung pada bulan-bulan Juni, Juli dan Agustus. Bulan-bulan lainnya merupakan bulan-bulan transisi dari musim penghujan ke musim kemarau atau sebaliknya. Pola hujan di wilayah Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam tiga bentuk pola menurut deret waktunya yaitu pola monsunal, ekuatorial dan lokal (Haylock and McBride, 2001; Aldrian and Susanto, 2003; Hendon, 2003). Selain pola-pola temporal maka pola spasial juga penting untuk dikaji berkenaan dengan disparitas topografi wilayah Indonesia yang bervariasi dari permukaan laut sampai puncak es di Jaya Wijaya Papua. Perbedaan-perbedaan spasial dalam curah hujan ini dapat mempengaruhi geomorfologi secara langsung dengan merubah laju proses-proses erosi atau secara tak langsung melalui pengaruhnya pada ekosistemekosistem pegunungan (Ander et al., 2006). Penelitian dampak pola curah hujan pada geomorfologi pegunungan merupakan kajian yang sedang berlangsung sampai saat ini. Dengan demikian, pengetahuan proses-proses atmosfer yang menghasilkan pola-pola curah hujan di daerah aliran sungai dataran tinggi merupakan hal yang sangat penting dalam hidrologi dan pengelolaan sumberdaya air. Gunung-gunung menutupi 25% permukaan bumi dan dihuni oleh 26% dari populasi global serta menghasilkan 32% ~ 74 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
limpasan (Meybeck et al., 2001). Pegunungan dan dataran tinggi menempati 21% permukaan daratan, 20% populasi dan 19% dari limpasan (Meyer et al., 2003). Tipe hujan orografik dianggap sebagai pemasok air tanah, danau, bendungan dan sungai karena berlangsung di daerah hulu (Asdak, 2007). Salah satu cara yang secara langsung topografi mempengaruhi cuaca adalah pada kukuatannya mengontrol distribusi curah hujan lokal.Tujuan penelitian ini adalah merumuskan persamaan regresi antara elevasi dan curah hujan di pegunungan Malabar serta gradien dan perubahannya karena pengaruh musim.
2.
DATA DAN METODE Data curah hujan spasial rata-rata bulanan dari WorldClim selama 50 tahun dapat
di unduh dari http://www.worldclim.org/, sedangkan data DEM diperoleh dari Consultative Group on International Agricultural Research-Consortium for Spatial Information (CGIAR-CSI) yang dapat diunduh dari http://www.cgiar-csi.org/. Data curah hujan dan DEM diolah dengan menggunakan SIG (Sistem Informasi Geografi). Aplikasi SIG dapat menjawab beberapa pertanyaan seperti; lokasi, kondisi, trend, pola, profil, hubungan dan pemodelan spasialnya. Data curah hujan dan DEM diolah dengan menggunakan SIG (Sistem Informasi Geografi). SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi geografis (Aronoff, 1989). SIG mempunyai kemampuan untuk menghubungkan berbagai data pada suatu titik tertentu di Bumi, menggabungkannya, menganalisis dan akhirnya memetakan hasilnya. Data yang akan diolah pada SIG merupakan data spasial yaitu sebuah data yang berorientasi geografis dan merupakan lokasi yang memiliki sistem koordinat tertentu, sebagai dasar referensinya. Aplikasi SIG dapat menjawab beberapa pertanyaan seperti; lokasi, kondisi, trend, pola, profil, hubungan dan pemodelan spasialnya. Diagram alir metodologi pengolahan data curah hujan dan DEM serta hubungan keduanya dapat dilihat pada Gambar 1.
~ 75 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
CURAH HUJAN
DEM
SIG
DISTRIBUSI SPASIAL CURAH HUJAN
ELEVASI
REGRESI LINEAR
Gambar 1: Diagram alir pengolahan data curah hujan spasial dan DEM dengan SIG untuk mendapatkan profilnya masing-masing. 3.
Gambar 2: Daerah aliran sungai Cisangkuy (A) yang merupakan sub-DAS dari DAS Citarum hulu yang terletak di Kabupaten Bandung (B)
HASIL DAN PEMBAHASAN Digital Elevation Model (DEM) adalah model data raster yang bisa diolah
dengan SIG seperti dapat dilihat pada Gambar 3.
D
C
C
D
Gambar 3: Digital Elevation Model Gambar 4: Profil ketinggian yang (DEM) daerah aliran sungai Cisangkuy diinginkan seperti pada garis CD di Gambar 3. Kabupaten Bandung.
DEM memuat informasi tinggi permukaan tanah yang akan digunakan untuk menurunkan peta kelas ketinggian dan lereng. DEM yang digunakan dalam makalah ini merupakan hasil dari misi penginderaan jauh dengan sensor satelit aktif sekitar tahun 2000 dengan nama SRTM (Shuttle Radar Topography Mission). Misi internasional ini menghasilkan produk DEM dengan resolusi 90 m. Ketinggian dan kelerengan menggambarkan karakteristik fisis suatu daerah. Ketinggian tersebut diukur tepat di atas permukaan laut dengan satuan meter. Untuk ukuran suatu daerah aliran sungai maka ~ 76 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
data DEM di masking dengan data delineasi daerah aliran sungai dengan menggunakan SIG, sehingga diperoleh lokasi kajian, seperti pada Gambar 3. Dengan menggunakan analisis spasial pada SIG diperoleh profil ketinggian yang diinginkan seperti pada garis CD (lihat Gambar 4). Hubungan linear curah hujan dan elevasi dihitung tiap bulan untuk ratarata curah hujan bulanan selama 50 tahun periode 1950-2000 dari data Worldclim, sehingga didapat kemiringan, koefisien korelasi Pearson (r) untuk setiap bulan. Koefisien korelasi untuk hubungan curah hujan bulanan dan elevasi (r) didapat bervariasi antara 17% sampai 95% dengan rata-rata 77%. Kemiringan juga bervariasi dari jangkauan 2,7 sampai 15,3 setiap 100 m dengan rata-rata 8,95 mm, kecuali pada bulan April, Mei, Juni, Julu, Agustus, Oktober, Nopember terjadi penurunan terhadap ketinggian yang bervariasi rata-rata kemiringan -1,87
mm (Lihat Gambar 5 dan Gambar 6).
Gambar 5: Estimasi regresi linear beserta Gambar 6: Estimasi regresi linear beserta gradien (slope) curah hujan bulanan gradien (slope) curah hujan bulanan terhadap elevasi terhadap elevasi
Skala efek orografi yang teramati merupakan hal yang sangat penting dalam analisis pada makalah ini yang didasarkan pada penggunaan data elevasi DEM bergrid 90x90 m. Terdapat ketidaksesuain secara implisit dalam skala ketika menggunakan hubungan elevasi dan curah hujan antara titik stasiun pada sel-sel grid DEM. Elevasi di pusat sel grid DEM tidak menggambarkan elevasi pada titik tersebut tetapi menggambarkan rata-rata
atau elevasi diperhalus yang menggambarkan sel grid
keseluruhan. Dengan demikian elevasi sel DEM jarang tepat dengan elevasi stasiun seandainya stasiun berada tepat di pusat sel grid. Secara umum resolusi DEM yang semakin halus maka semakin tepat elevasi sel grid akan cocok pada titik stasiun tersebut. Sharples et al. (2005) meneliti tentang resolusi spasial minimum dimana pengaruh kebergantungan curah hujan pada topografi nampak jelas di kontinen Australia berada pada kisaran 5-10 km. Pada penampang profil garis CD (Gambar 4), dengan analisis spasial menggunakan SIG maka diperoleh data curah hujan yang
~ 77 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
mempunyai 13 grid sedangkan data DEM mempunyai 136 grid. Pendekatan hubungan nilai grid ke grid adalah 1 grid curah hujan bersesesuai dengan 10 grid DEM. Persamaan regresi setiap bulan, kemiringan dan koefisien korelasi dapat diringkas seperti pada Tabel 1.
Tabel 1 : Estimasi regresi linear beserta gradien (slope) curah hujan bulanan terhadap elevasi dan koefisien korelasi Pearson dengan 700 <x<2600
4.
KESIMPULAN Analisis regresi linear antara curah hujan rata-rata bulanan dari data WorldClim
dengan elevasi dari data DEM di daerah tangkapan air Cisangkuy wilayah Citarum Hulu kabupaten Bandung selama periode 1950-2000 telah dianalisis dan diteliti. Analisis regresi menunjukkan hubungan yang kuat antara curah hujan bulanan dan elevasi dengan rata-rata koefisien korelasi sebesar 77%. Peningkatan curah hujan dengan elevasi mempunyai nilai rata-rata 8,95 mm setiap 100 m kenaikan elevasi. Penurunan pada daerah semi bayang-bayang hujan rata-rata sebesar -1,87 mm setiap penurunan 100 m.
DAFTAR PUSTAKA Aldrian, E., and R.D. Susanto.(2003). Identification of Three Dominat rainfall Regions Within Indonesia and Their Relationship to Sea Surface temperature . Int. J. Climatology. 23: 1435–1452.
~ 78 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Anders, A.M., Roe, G.H, Hallet, B, D.R, Montgomery, D.R, N.J, Finnegen and J, Putkonen. (2006). Spatial patterns of precipitation and topography in the Himalaya Geological Society of America Special Paper 398, 39–53. Aronoff, S. (1989). Geographic Information System Management Perspective WDL Publication,Ottawa-Canada Daly, C., R.P. Nelson, and D.L. Phillips. (1994). A Statistical-Topographic Model for Mapping Climatological Precipitation over Mountainous Terrain. J. of Appl. Meteorology 33 : 140-158 Haylock, M and J.L. McBride. (2001). Spatial Coherence and Predictability of Indonesian West Season Rainfall. Journal of Climate 14:3882-3887. Hendon, H. (2003). Indonesian Rainfall Variability: Impact of ENSO and Local AirSea Interaction. Journal of Climate 16, 1775-1790. WorldClim (2012) http://www.worldclim.org/ Diakses 23 November 2012 Consultative Group on International Agricultural Research-Consortium for Spatial Information http://www.cgiar-csi.org/. Diakses 2 Desember 2012 Meybeck, M., P. Green, and C. Vörösmarty, (2001). A new typology for mountains and other relief classes: an application to global continental water resources and population distribution. Mountain Research and Development 21, 34-45. Meyers, M.P., J.S. Snook, D.A. Wesley, and G.S. Poulos, (2003). A Rocky Mountain storm. Part II: The forest blowdown over the West Slope of the northern Colorado mountains - Observations, analysis, and modeling. Wea. Forecasting, 18, 662-674. Sharples, J.J., M. F. Hutchinson, and D.R. Jellett. (2005). On the Horizontal Scale of Elevation Dependence of Australian Monthly Precipitation. J. of Appl. Meteorology 44, 1850-1865
~ 79 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
SIMULASI TRAYEKTORI DAN DISPERSI ASAP MENGGUNAKAN MODEL HYSPLIT 4.9 (Studi Kasus Tanggal 30 Juni – 3 Juli 2013) Danang Eko Nuryanto Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
[email protected]
Abstract The trajectory and dispersion simulation of fires smoke has been done with June 30, 2013 using Hysplit 4.9 with the input data from the output model of WRF EMS which run by the Research and Development Center of BMKG using 27 km resolution. These simulation using June 30, 2013 at 12 UTC data initiation. Hotspot data taken from the Ministry of Forestry of Indonesia on June 30, 2013. Simulated by using 3 source height: 10 m, 500 m and 1000 m above ground level. From the simulation results show that for the height of 10 m smoke move to mainland Malaysia at 6 UTC, and at 18 UTC on June 1, 2013 which is on the same property is crossed by the South China Sea. For dispersion seen also at 6 UTC on June 1, 2013 smoke began to enter mainland Malaysia. Dispersion seen leaving the mainland of Malaysia finished at 18 UTC on June 2, 2013. In this case the smoke passing through Malaysia in less than 30 hours. Keywords: hysplit, trajectory, dispersion Abstrak Telah dilakukan simulasi trayektori dan dispersi asap kebakaran lahan tanggal 30 Juni 2013 menggunakan Hysplit 4.9 dengan data input dari keluaran model WRF-EMS yang dijalankan oleh Puslitbang BMKG dengan resolusi 27 km. Pada simulasi ini menggunakan data inisiasi tanggal 30 Juni 2013 jam 12 UTC. Untuk data hotspot diambil dari Kementerian Kehutanan RI tanggal 30 Juni 2013. Disimulasikan dengan menggunakan 3 ketinggian sumber yaitu 10 m, 500 m dan 1000 m di atas permukaan tanah. Dari hasil simulasi memperlihatkan bahwa untuk ketinggian 10 m asap sampai daratan Malaysia pada pukul 6 UTC tanggal 1 Juni 2013, dan pada pukul 18 UTC tanggal yang sama asap sudah menyeberang hingga Laut China Selatan. Untuk dispersinya terlihat juga pada pukul 6 UTC tanggal 1 Juni 2013 asap mulai memasuki daratan Malaysia. Terlihat dispersi habis meninggalkan daratan Malaysia pada pukul 18 UTC tanggal 2 Juni 2013. Dalam hal ini asap tersebut melewati Malaysia dalam waktu kurang lebih 30 jam. Kata Kunci : hysplit, trayektori, dispersi 1.
PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki luas hutan tropis basah
terbesar di dunia. Baru-baru ini fenomena asap kebakaran lahan telah menjadi isu nasional dengan dampak hingga ke negara tetangga (Singapore dan Malaysia). Untuk itu diperlukan suatu perangkat untuk mensimulasikan pergerakan lintasan asap yang ~ 80 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
bersumber dari lokasi tertentu. Pemodelan kualitas udara adalah teknologi standar yang dipergunakan untuk membuat simulasi maupun prediksi yang telah dikembangkan di berbagai negara maju di dunia. Banyak model prakiraan untuk aplikasi kualitas udara yang telah dikembangkan secara gratis oleh para ahli dengan pendekatan perhitungan yang cukup bervariasi, baik untuk skala global maupun regional. Informasi mengenai kualitas udara yang reliable (dapat diandalkan) dan akurat sangat diperlukan untuk menunjang kebutuhan di berbagai sektor kehidupan. Model HYbrid Single-Particle Lagrangian Integrated Trajectory (HYSPLIT) dengan menggunakan data meteorologi untuk mensimulasikan pergerakan lintasan dan konsentrasi baik maju atau mundur dalam jangka waktu dan interval yang teratur (Draxler, et. al., 1998). Model ini adalah sistem yang lengkap untuk menghitung lintasan atmosfer, dispersi dan simulasi kompleks menggunakan partikel puff atau lagrangian (Draxler, et. al., 2007). Model HYSPLIT ini dapat dijalankan secara interaktif di internet melalui website National
Oceanic
and
Atmospheric
Administration
(NOAA)
di
http://www.arl.noaa.gov/HYSPLIT.php atau dengan single PC. Model ini sudah dalam bentuk Graphic User Interface (GUI) untuk kemudahan dalam pengaturan lintasan, konsentrasi atau simulasi deposisi. GUI utama meliputi kemampuan untuk mendownload data model input dari server File Transfer Protocol (FTP), mengkonversi data ke format ARL, membuat lintasan atau model konsentrasi, dan pasca-proses output grafis. Model ini juga memiliki kemampuan untuk menghasilkan output untuk aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG). Lebih jauh tentang contoh aplikasi model HYSPLIT dapat dipelajari pada Predetti (2004) dan Yerramilli, dkk. (2011) Dengan menggunakan model HYSPLIT penelitian ini akan mensimulasikan pergerakan asap kebakaran tanggal 30 Juni – 3 Juli 2013 dari sumber titik api di wilayah Sumatera (satu sumber) untuk melihat apakah lintasan asap dari Sumatera mencapai daratan Malaysia dan atau Singapura.
2. TINJAUAN PUSTAKA Pada model Hysplit ini menurut Draxler (1997) menggunakan persamaan trayektori dasar yaitu suatu partikel adveksi dihitung dari rata-rata vektor kecepatan tiga dimensi pada posisi awal P(t) dan posisi dugaan awal P‟(t+∆t). Vektor kecepatan tersebut diinterpolasi secara linear baik secara spasial maupun temporal.
~ 81 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Persamaan posisi dugaan awal adalah sebagai berikut :
P(t t ) P(t ) V ( P, t )t
.....................................................................................................(1)
Persamaan posisi final adalah sebagai berikut :
P(t t ) P(t ) 0.5V ( P, t ) V ( P, t t )t ................................................................(2)
Dispersi polutan dihitung dengan mengasumsikan baik lintasan atau partikel yang dilepaskan ke udara. Dalam model ini, jangkauan lintasan dapat lebih luas dari grid yang telah ditetapkan untuk input meteorologi dan kemudian dipecah menjadi beberapa lintasan baru, masing-masing dengan massa polutan. Dalam model partikel, jumlah partikel digerakkan oleh angin baik secara horisontal dan vertikal maupun turbulent.
3. DATA DAN METODE Pada penelitian ini menggunakan data keluaran model WRF-EMS dengan resolusi 27 km, yang dijalankan dengan menggunakan data inisial dari Global Forecast System (GFS) 6 jam-an resolusi 0.5o x 0.5o pada tanggal 30 Juni 2013 pukul 12.00 UTC selama 3 hari. Sedangkan proses untuk mendapatkan data keluaran model WRF-EMS tersebut ada 3 tahap. Pertama, proses download data GFS tanggal 30 Juni 2013 pukul 12.00 UTC. Kedua, proses running model WRF-EMS untuk mendapatkan model meteorologinya. Pada proses kedua ini menggunakan domain wilayah seluruh Indonesia dengan resolusi 27 km. Terakhir ketiga, proses konversi menjadi data berformat .BIN untuk bisa dibaca model HYSPLIT. Untuk simulasi trayektori dan dispersi dipergunakan model HYSPLIT versi 4.9 berbasis PC yang cukup mudah instalasinya. Dalam simulasi ini dilakukan setting lamanya emisi kebakaran adalah 6 jam dimulai dari pukul 12.00 UTC. Domain yang dipakai dalam simulasi ini akan menyesuaikan sampai batas mana trayektori atau dispersi asap tersebut mencapai titik terjauh. Untuk data titik api, penulis menggunakan data sebaran titik api yang secara resmi dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan RI, dimana dapat diunduh pada alamat www.indofire.org. Sedangkan untuk membandingkan hasil simulasi dengan kondisi lapangan dipergunakan data citra satelit Terra-Modis yang terekam pada tanggal 1 juli 2013 pukul 03.55 UTC dan tanggal 2 juli 2013 pukul 03.00 UTC.
~ 82 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Untuk menentukan lokasi sumber asap, penulis menggunakan salah satu titik panas dari peta sebaran titik panas yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan RI (Gambar 1). Penulis memilih lokasi yang lebih mendekati Malaysia dan Singapura untuk menunjukkan pergerakan lintasan dari sumber tersebut. Pada peta Gambar 1 lingkaran hijau menunjukkan lokasi titik api (100 BT dan 2.3 LU) yang dipilih sebagai sumber asap kebakaran. Hasil simulasi lintasan asap dengan sumber titik api pada 100 BT dan 2.3 LU menggunakan 3 ketinggian yang berbeda: 10 m (merah), 500 m (biru) dan 1 km (hijau) dapat diperhatikan pada Gambar 2. Dipilih 3 ketinggian sumber yang berbeda untuk melihat jika ada asap yang bergerak ke atas pada posisi sumber dengan ketinggian tertentu apakah mempunyai arah lintasan yang sama.
Gambar 1.
Lokasi titik api tanggal 30 Juni 2013. Sumber yang dipakai dilingkari hijau. Sumber gambar dari Kementerian Kehutanan RI.
Untuk ketinggian sumber 10 m arah lintasan cenderung agak ke Utara sedangkan dua posisi ketinggian lainnya (0.5 km dan 1 km) menunjukkan arah agak ke Selatan dahulu baru ke arah Timur Laut. Terlihat bahwa lintasan asap mulai memasuki Malaysia pada pukul 06 UTC tanggal 1 Juli 2013, dan pada pukul 12 UTC memasuki Laut China Selatan dilihat dari sumber dengan ketinggian 10 m. Sedangkan jika dilihat dari sumber dengan ketinggian 0.5 km dan 1 km, terlihat bahwa lintasan asap berada di
~ 83 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
atas daratan Malaysia pada pukul 18 UTC tanggal 1 Juli 2013 (ketinggian sumber 0.5 km) dan pada pukul 00 UTC tanggal 2 Juli 2013 (ketinggian sumber 1 km). Pengaruh secara signifikan terlihat pada sumber dengan ketinggian 10 m memberikan dampak yang jelas dilihat dari tinggi lintasannya dibanding pada sumber dengan ketinggian 0.5 km atau 1 km. Secara umum lintasan asap bergerak ke arah Timur/Tenggara lalu bergerak ke arah Timur Laut dimana melewati Malaysia.
Gambar 2. Hasil simulasi trayektori asap kebakaran lahan dengan titik api pada 100 BT dan 2.3 LU. Garis merah menunjukkan litasan dari sumber dengan ketinggian sumber 10 m, garis biru menunjukkan lintasan dengan ketinggian sumber 500 m dan garis hijau menunjukkan lintasan dengan ketinggian sumber 1 km. Kiri (tampilan asli keluaran Hysplit), kanan (tampilan google earth) Hasil simulasi dispersi asap (Gambar 3) terlihat juga pada pukul 06 UTC tanggal 1 Juni 2013 asap mulai memasuki daratan Malaysia dan dispersi habis meninggalkan daratan Malaysia pada pukul 18 UTC tanggal 2 Juni 2013. Dalam hal ini asap tersebut melewati Malaysia dalam waktu kurang lebih 30 jam.
~ 84 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Gambar 3. Hasil simulasi dispersi asap kebakaran hasil keluaran model, kiri (awal masuk-nya asap ke daratan Malaysia) dan kanan (asap memasuki daratan Malaysia).
Citra satelit Jam 03.00 UTC tgl 2 juli 2013
Citra satelit Jam 03.55 UTC tgl 1 juli 2013
Gambar 4. Hasil citra satelit Modis-Terra menunjukkan dispersi asap kebakaran (kotak merah), kiri (citra pukul 03.55 UTC tgl 1 Juli 2013) dan kanan (citra pukul 03.00 UTC tgl 2 Juli 2013). Untuk menguji kemampuan model HYSPLIT, digunakan hasil citra satelit Modis-Terra (Gambar 4) untuk dibandingkan dengan hasil model pada Gambar 3. Secara visual memang agak sulit untuk membedakan antara awan dengan asap. Sehingga untuk membedakan antara awan dan asap penulis memberikan definisi yaitu awan lebih pekat dan menggerombol sedangkan asap lebih tipis dan mudah diterbangkan oleh angin. Dengan definisi sederhana tersebut pada pukul 03.55 UTC tanggal 1 Juli 2013 hasil citra satelit memperlihatkan kumpulan asap di atas Pulau Sumatera, artinya belum memasuki daratan Malaysia. Sedangkan pada pukul 03.00 UTC tanggal 2 Juli 2013 hasil citra satelit memperlihatkan kumpulan asap berada di
~ 85 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
atas daratan Malaysia (Gambar 4). Hal ini sesuai dengan hasil model pada Gambar 3 di atas.
5
KESIMPULAN Telah dilakukan simulasi trayektori dan dispersi asap kebakaran lahan pada
tanggal 30 Juni – 3 Juli 2013 menggunakan Hysplit 4.9. Dari hasil simulasi memperlihatkan bahwa lintasan asap bergerak ke arah Timur/Tenggara lalu bergerak ke arah Timur Laut dimana melewati Malaysia. Model Hysplit 4.9 cukup baik merepresentasikan trayektori dan dispersi asap kebakaran lahan dari sumber titik api pada 100 BT dan 2.3 LU. Hal ini terlihat dari citra satelit persebaran asap yang sesuai dengan keluaran model Hysplit. Harus diakui bahwa asap yang asalnya dari wilayah Indonesia menyebar ke arah negara tetangga (Singapura dan Malaysia).
UCAPAN TERIMA KASIH. Penulis mengucapkan terimakasih kepada panitia seminar sains atmosfer 2013 sudah diberikan kesempatan untuk mengirimkan makalah ini.
DAFTAR RUJUKAN Draxler, R.R., 2007, HYSPLIT 4 User's Guide, NOAA Technical Memorandum [http://www.arl.noaa.gov/HYSPLIT.php] Draxler, R.R., and Hess, G. D. 1998. An Overview of the Hysplit_4 Modelling System for Trajectories, Dispersion, and Deposition. USA : NOAA Air Resources Laboratory, Silver Spring, Maryland. Draxler, R. R. 1997. Description of The HYSPLIT_4 Modeling System. NOAA Air Resources Laboratory, Silver Spring, Maryland. Pedretti S. (Thesis, 2004); Monthly pollen rain sampling at the Modena Botanic garden, 2002: first example of the application NOAA Hysplit 4 Model for November." Universita' di Modena e Reggio Emilia. Modena, Italy. Yerramilli, A., V.B.R. Dodla, V.S. Challa, L. Myles, W.R. Pendergrass, C.A. Vogel, H.P. Dasari, and others. 2011. An integrated WRF/HYSPLIT modeling approach for the assessment of PM2.5 source regions over the Mississippi Gulf Coast region, Air Qual Atmos Health, DOI 10.1007/s11869-010-0132-1. ~ 86 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
ANALISIS DATA KOMPOSISI KIMIA AIR HUJAN MENGGUNAKAN METODE ANALISIS DISKRIMINAN Dessy Gusnita Bidang Komposisi Atmosfer-LAPAN Jl. Dr. Djundjunan 133 Bandung email:
[email protected]
Abstracts Data analysis of rain water composition in Bandung basin was carried out in five locations that are Lembang, Soreang, Cipatik, Tanjungsari and Padalarang consist of 5 variables: rainfall, SO4, NO3, NH4 and Cl concentration. The data period was used from 2003 to 2005. Whereas the analysis method used discriminant method with steps: separated variables to the dependent variable that consisted of 3 groups: rain season, the transition and dry season, whereas independent variable consist of: pH, rainfall, ion SO4 concentration, ion NO3, ion NH4 and ion Cl, coefficient discriminant count as well as tested the significance of the discriminant function. From the discriminan function was formed then the variable that was influential in the Lembang area was Ammonium and SO4, in Padalarang area the variable that influenced was NH4 compound, in Soreang area NO3 and Cl compound, in Cipatik area the variable that influenced discriminan function was NH4 and SO4. Whereas in the Tanjungsari area, was not formed the function for this area, in the other words from 5 variable was not variable that was influential against. Keywords: rain water, discriminant method, independent variable, dependent variable Abstrak Analisa data komposisi kimia air hujan di cekungan Bandung dilakukan di lima lokasi pengukuran yaitu Lembang, Soreang, Cipatik, Tanjungsari dan Padalarang. Data Komposisi kimia air hujan yang di analisa terdiri dari 6 variabel yaitu: pH, curah hujan, ion SO4, NO3, NH4 dan Cl. Periode data air hujan yang digunakan dari tahun 2003 hingga tahun 2005. Sedangkan metode analisa menggunakan metode analisis diskriminan dengan langkah-langkah: memisah data menjadi variabel tak bebas yang terdiri atas 3 kelompok yaitu: musim hujan, peralihan dan musim kering, serta variabel bebas yang terdiri dari: curah hujan, ion SO4, ion NO3, ion NH4 dan ion Cl, menghitung koefisien diskriminan serta menguji signifikansi fungsi diskriminan. Dari fungsi diskriminan yang terbentuk maka variabel yang berpengaruh di daerah Lembang adalah senyawa amonium dan ion SO4, daerah Padalarang variabel yang mempengaruhi pengelompokan suatu data adalah variabel NH4, di daerah Soreang variabel yang berpengaruh adalah senyawa NO3 dan Cl, dan di Cipatik variabel yang mempengaruhi fungsi diskriminan adalah NH4 dan SO4. Sedangkan di daerah Tanjungsari, dari keenam variabel bebas yaitu: pH, curah hujan, SO4, NO3, NH4 dan Cl, berdasarkan proses pengelompokan menggunakan metode diskriminan tidak terbentuk fungsi untuk daerah tersebut, dengan kata lain dari ke-lima variabel tersebut tidak ada variabel yang berpengaruh terhadap pembentukan fungsi diskriminan. Kata kunci: air hujan, metode diskriminan, variabel bebas, variabel tak bebas.
~ 87 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
1.
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
PENDAHULUAN Polusi udara memberikan dampak yang signifikan bagi kota Bandung dan
wilayah-wilayah kabupaten disekitarnya. Dampak dari perkembangan kota Bandung ternyata memberikan pengaruh yang signifikan terhadap polutan pencemar baik yang berasal dari aktivitas masyarakat, industri, transportasi serta faktor alami wilayah Bandung itu sendiri (Budiwati, 1999). Kondisi cekungan Bandung ini diperparah pula dengan terjadinya peningkatan jumlah kendaraan pribadi, tumbuh dan berkembangnya pusat keramaian kota, serta manajemen lalulintas yang kurang baik. Sementara itu konsentrasi polutan yang semakin besar tidak mampu lagi diserap dengan baik oleh tanaman yang ada, karena berkurangnya ruang terbuka hijau dan berubahnya taman kota menjadi bangunan. Bandung sebagai kota pariwisata, jasa, industri serta perdagangan hal ini tentunya akan menghidupkan perekonomian di Kabupaten Bandung dan sekitarnya. Kota-kota di tepi cekungan Bandung seperti Lembang, Soreang, Padalarang, Tanjungsari dan Cililin menjadi lokasi yang dipilih dalam pengukuran ini. Adanya kejadian hujan asam adalah suatu fenomena yang menunjukkan terpolusinya atmosfer di suatu wilayah. Makalah ini bertujuan untuk menganalisis data komposisi kimia air hujan yang berasal dari 5 daerah di sekitar kota Bandung yaitu Lembang, Soreang, Cipatik, Tanjungsari dan Padalarang. Data yang akan dianalisis adalah curah hujan, ion-ion SO4, NO3, NH4 dan Cl.
Dari 5 parameter data tersebut selanjutnya dilakukan analisis
menggunakan metode analisis Diskriminan. Metode analisis diskriminan berguna untuk mengetahui variabel yang paling berperan di suatu wilayah, sehingga dapat dipelajari faktor dominan yang berpengaruh terhadap keasaman air hujan di suatu wilayah yang didasarkan atas pengelompokan musim kering, musim hujan dan musim peralihan (Giovana, 1993).
2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hujan Asam Hujan asam disebabkan oleh oksida asam yaitu SO2 dan NO2, yang dengan adanya uap air akan bereaksi membentuk hujan yang bersifat asam yaitu H2SO4 maupun HNO3. Hal ini terjadi apabila asam di dalam udara larut ke dalam butir-butir air di awan. Jika kemudian turun hujan dari awan itu, air hujannya akan bersifat asam (J. Finlayson, 1986).
~ 88 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Menurut (Anonim, 1993) masalah deposisi asam/hujan asam terjadi di lapisan atmosfer terendah, yaitu di troposfer. Asam yang terkandung didalam deposisi asam ialah asam sulfat (H2SO4) dan asam nitrat (HNO3). Keduanya merupakan asam yang sangat kuat. Asam sulfat berasal dari gas SO2 dan asam nitrat, terutama dari gas NOx yang melalui proses fisik dan kimia di udara membentuk keasaman. Proses yang terjadi sangatlah kompleks yang melibatkan proses transportasi dan transformasi. Kontribusi air hujan untuk mengikat zat-zat polutan tersebut membentuk keasaman dalam bentuk senyawa H2SO4 dan HNO3 (Narita, 2000) . Hal ini bisa terjadi di daerah perkotaan, karena adanya pencemaran udara dari lalu lintas yang berat dan daerah yang langsung terkena udara yang tercemar dari pabrik. Dapat pula terjadi di daerah perbukitan yang terkena angin yang membawa udara yang mengandung asam. Deposisi kering biasanya terjadi di tempat dekat sumber pencemaran. (Seinfeld J.H & Pandis, 1999).
2.2 Analisis Data menggunakan analisis Diskriminan Tujuan dari analisis diskriminan adalah mengelompokkan data ke dalam kelompok masing-masing, penelitian ini kelompok (variabel tak bebas) dibagi menjadi tiga yaitu: 1. Kelompok Musim Kering, 2. Kelompok Musim Peralihan 3. Kelompok Musim hujan Sedangkan data yang akan dikelompokkan terdiri dari enam (5) variabel bebas yaitu: curah hujan, konsentrasi SO4, NO3, NH4 dan Cl, yang akan diuji yaitu apakah ada perbedaan yang nyata dari variabel bebas terhadap ketiga kelompok tersebut. Selanjutnya semua Variabel bebas dan variabel tak bebas tersebut secara simultan dianalisis untuk menghasilkan persamaan regresi, yang disebut Fungsi Diskriminan. Secara umum analisis multivarians atau metode multivarians berhubungan dengan metode statistik yang secara bersama-sama (simultan) melakukan analisis terhadap lebih dari 2 variabel pada setiap objek. Analisis Diskriminan pada prinsipnya bertujuan melakukan ”pembedaan” data, dan mempelajari sifat tingkat pembedaan dalam bentuk bobot vartiabel yang terlibat dalam terjadinya pembedaan (Sudjana, 2003).
3.
DATA DAN METODE Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari curah hujan, ion SO4, ion
NO3, ion NH4 dan ion Cl, dengan periode data selama tahun 2003- 2005. Tahapan untuk ~ 89 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
memperoleh data komposisi kimia air hujan dilakukan dengan menganalisa sampel air hujan yang diambil dari 5 lokasi pengamatan, selanjutnya dilakukan analisa pH air hujan, serta analisa komposisi kimianya menggunakan Ion kromatografi dan spektrofotometer. Sedangkan metode yang digunakan untuk menganalisis data tersebut di atas menggunakan analisis statistik metode diskriminan. Langkah- langkah yang dilakukan untuk menganalisis data menggunakan analisis diskriminan adalah: -
memisah variabel-variabel menjadi variabel tak bebas yang terdiri atas 3 kelompok yaitu: musim hujan, peralihan dan musim kering serta variabel bebas yang terdiri dari: curah hujan, ion SO4, ion NO3, ion NH4 dan ion Cl,
4.
-
menghitung koefisien diskriminan
-
serta menguji signifikansi fungsi diskriminan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Daerah Lembang Dari data komposisi kimia air hujan yang terdiri dari pH, curah hujan, SO4, NO3, NH4 dan Cl yang di analisa pada musim hujan, peralihan dan musim kering maka di daerah Lembang dilakukan pengolahan data dengan menggunakan SPSS 17. Hasil yang diperoleh sebagai berikut: Hasil uji variabel Tests of Equality of Group Means
pH Rain fall [mm] NO3(mmol/l) SO4 (mmol/l) Cl- (mmol/l) NH42+ (mmol/l)
Wilks' Lambda ,985 ,982 ,983 ,937 ,999 ,968
F 1,841 2,215 2,164 8,373 ,114 4,056
df 1 2 2 2 2 2 2
df 2 248 248 248 248 248 248
Sig. ,161 ,111 ,117 ,000 ,892 ,018
Tabel diatas berfungsi untuk menguji apakah ada perbedaan yang signifikan antar grup untuk setiap variabel. Sebagai pedoman adalah lihat besaran angka yang terdapat dalam kolom sig. Jika sig. > 0.05 berarti tidak ada perbedaan antar group Jika sig. <= 0.05 berarti ada perbedaan antar grup Dalam prosesnya fungsi diskriminan akan memberikan nilai-nilai yang sedekat mungkin dalam kelompok dan sejauh mungkin antar kelompok. Ternyata dari enam variabel diatas yang signifikan (<=0.05) hanya variabel SO4 dan NH4 saja sedangkan ~ 90 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
yang lainnya tidak signifikans karena nilai sig>0,05. dari nilai ini dapat diambil penjelasan bahwa ada perbedaan antar grup yaitu musim hujan, musim kering dan peralihan dimana perbedaan ini dipengaruhi oleh besarnya SO4 dan NH4. Begitu juga bahwa tidak ada perbedaan antar grup musim kering, hujan dan peralihan oleh variabel pH, curah hujan, N03 dan Cl.
Variabel yang membentuk fungsi diskriminan Variables Entered/Removeda,b,c,d Min. D Squared
St ep 1 2
Entered SO4 (mmol/l) NH42+ (mmol/l)
Exact F
Between Groups Peralihan and Hujan Peralihan and Hujan
St at ist ic ,104 ,165
St at ist ic
df 1
df 2
Sig.
5,252
1
248,000
,023
4,145
2
247,000
,017
At each step, the v ariable that maximizes the Mahalanobis distance between the two closest groups is entered. a. Maximum number of steps is 12. b. Maximum signif icance of F to enter is .05. c. Minimum signif icance of F t o remov e is .10. d. F lev el, tolerance, or VI N insuf f icient f or f urther computation.
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa ada dua variabel yang akan membentuk fungsi diskriminan, yaitu SO4 dan NH4, sedangkan variabel lainnya tidak masuk kedalam fungsi diskriminan yang terbentuk. Jadi Fungsi diskriminan yang terbentuk adalah persamaan regresi ganda dengan sebuah variabel tak bebas yang mencerminkan keanggotaan kelompok (Sudjana, 2003) Proses pemasukkan variabel dari angka wilk’s Lambda Wilks' Lambda
St ep 1 2
Number of Variables 1 2
Exact F Lambda ,937 ,902
df 1
df 2 1 2
df 3 248 248
2 2
St at ist ic 8,373 6,512
df 1 2 4
df 2 248,000 494,000
Sig. ,000 ,000
Pada langkah 1, jumlah variabel yang dimasukkan kedalam fungsi ada satu yaitu SO4 dengan angka wilk‟s lambda sebesar 0.937. Hal ini berarti 93.7% varians (keberagaman faktor-faktor yang tidak bisa dijelaskan) belum bisa dijelaskan dengan hanya memasukkan satu variabel saja yaitu SO4. Ini berarti harus dimasukkan variabel lain selain SO4 yaitu NH4. Lalu langkah berikutnya adalah memasukkan variabel NH4 ternyata didapat angka wilk‟s lambda sebesar 0.902 atau 90.2% varians tidak bisa dijelaskan oleh fungsi yang terbentuk. Dapat dilihat ternyata terjadi penurunan angka
~ 91 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
wilks lambda seiring dengan telah dilakukannya langkah kedua. Penurunan angka wilk‟s lambda tentu baik bagi model diskriminan, karena varians yang tidak bisa dijelaskan juga semakin kecil dari 93,7% menjadi 90,2% (Singgih Santoso, 2002). Analisis Perbedaan antar Grup Musim Kering, Musim peralihan dan Musim Hujan Pair wise Gro up Co mpar isona,b s St ep 1
musim Kering Peralihan Hujan
2
Kering Peralihan Hujan
Kering F Sig. F Sig. F Sig. F Sig. F Sig. F Sig.
Peralihan 6,585 ,011
6,585 ,011 16,433 ,000
7,602 ,001 9,317 ,000
Hujan 16,433 ,000 5,252 ,023
5,252 ,023 7,602 ,001
9,317 ,000 4,145 ,017
4,145 ,017
a. 1, 248 degrees of f reedom f or step 1. b. 2, 247 degrees of f reedom f or step 2.
Tabel di atas berkaitan dengan penjelasan wilk‟s Lambda sebelumnya dimana ada dua tahapan proses yang menghasilkan dua variabel pada pembentukan fungsi diskriminan. Pada langkah kedua dari tabel diatas (yang merupakan step akhir) terlihat jarak (distance) antara grup musim kering dengan musim hujan mempunyai jarak lebih besar (9,3) dibandingkan jarak antara peralihan dengan hujan (4,1) maupun dengan kering dan peralihan (7.6). Menguji Perbedaan antar Grup Sebuah fungsi diskriminan berfungsi untuk menempatkan sebuah kasus masuk pada satu grup atau grup yang lain. Karena tulisan ini ada 3 grup yang berfungsi sebagai variabel tak bebas yaitu musim kering, peralihan dan musim hujan maka akan terbentuk 2 fungsi diskriminan dengan kriteria: Fungsi 1 Kering
Fungsi 2 Peralihan
Hujan
Fungsi Diskriminan 1 untuk memilah mana yang masuk ke grup kering atau ke grup peralihan. Fungsi Diskriminan 2 untuk memilah mana yang masuk ke grup peralihan atau ke grup hujan. Ei genvalues Function 1 2
Eigenv alue % of Variance ,077a 72,3 ,029a 27,7
Cumulat iv e % 72,3 100,0
Canonical Correlation ,267 ,169
a. First 2 canonical discriminant f unctions were used in t he analy sis.
~ 92 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Dari tabel eigen value di atas terlihat keeratan antara 2 fungsi diskriminan yang terbentuk. Angka 0.267 menunjukkan keeratan yang rendah dengan ukuran skala asosiasi antara 0 sampai dengan 1. Pada fungsi kedua walaupun angka canonical correlation untuk fungsi kedua ini lebih kecil yaitu 0.169, namun kedua fungsi tetap digunakan untuk interpretasi selanjutnya. Hal ini bisa dilihat pada keterangan tabel wilk‟s Lambda berikut: Wi lks' Lambda Test of Function(s) 1 through 2 2
Wilks' Lambda ,902 ,971
Chi-square 25,437 7,175
df
Sig. ,000 ,007
4 1
Tabel diatas menguji penggunaan fungsi diskriminan yang telah terbentuk dengan hipotesa sebagai berikut: Tes uji pertama (1 through 2) Ho: Tidak ada perbedaan rata-rata (Centroid) dari kedua fungsi diskrminan H1: Ada perbedaan rata-rata (centroid) yang jelas dari kedua fungsi diskriminan.
Terlihat angka signifikansi adalah sebesar 0.000 nilai ini ada di bawah 0.05 yang berarti tolak Ho, atau terdapat perbedaan rata-rata (centroid) yang jelas dari kedua fungsi diskriminan. Oleh karena ada perbedaan, maka grup untuk musim ini memang berbeda. Tes uji kedua (2) Ho: Tidak ada perbedaan rata-rata (centroid) dari fungsi diskriminan kedua H1: ada perbedaan rata-rata yang jelas dari fungsi diskriminan kedua
Membuat fungsi diskriminan 1 dan 2 Canonical Discri minant Function Coeffi cients Function 1 2 ,044 ,012 -,019 ,039 -,503 -1,022
SO4 (mmol/l) NH42+ (mmol/l) (Constant)
Unstandardized coef f icients
fungsi diskriminan 1 yaitu: , dimana nilai: Z
= skore diskriminan
W = koefisien/bobot diskriminan
~ 93 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
X = variabel prediktor Sedangkan fungsi diskriminan kedua adalah
Pada persamaan diskriminan diatas, parameter yang berperan adalah ion SO4 dan NH4. Senyawa SO4 di daerah ini diduga berasal dari sumber lokal yaitu Gunung Tangkuban Perahu yang secara alami mengeluarkan senyawa SO 2. Sedangkan Amonium diduga berasal dari daerah pertanian dan peternakan sapi yang mendominasi daerah Lembang (Narita, 2000).
4.2 Daerah Padalarang Dengan cara yang sama dengan pengolahan data di atas, maka analisa data komposisi kimia air hujan dilakukan pula untuk daerah Padalarang. Hasil analisis menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara musim hujan, musim kering dan peralihan dimana perbedaan ini dipengaruhi oleh besarnya NH4. Dengan fungsi diskriminan yaitu: Z 4.3 Daerah Soreang Hasil pengolahan data di daerah Soreang berdasarkan kategori data terdapat perbedaan antar grup musim hujan, musim kering dan musim peralihan dipengaruhi oleh besarnya konsentrasi NO3 dan Cl. Dari nilai korelasi yang terbentuk dapat dilihat baik NO3 maupun Cl memiliki korelasi paling besar pada fungsi diskriminan kedua. Dengan fungsi diskriminan 1:
Fungsi Diskriminan kedua adalah:
Soreang sebagai daerah di kabupaten Bandung arus transportasinya mulai ramai, maka perlu diwaspadai dari kemungkinan terkena hujan asam. Sesuai dengan fungsi diskriminan menunjukkan bahwa daerah Soreang ini parameter yang mempengaruhi terhadap keasaman air hujan adalah senyawa Nitrat.
4.4 Daerah Cipatik Hasil analisis data daerah Cipatik menunjukkan ada perbedaan yang jelas antara data yang tergolong kedalam musim kering, musim hujan atau musim peralihan.
~ 94 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Variabel yang membedakan sebuah kasus masuk kategori musim hujan, musim peralihan atau musim kering adalah ion SO4 dan NH4. Fungsi diskriminan yang terbentuk adalah:
Jika dilihat dari wilayah Cipatik/Cililin yang didominasi daerah persawahan, maka hal ini mendukung fungsi diskriminan diatas yang menyatakan bahwa variabel yang menentukan pada masing-masing musim adalah ion NH4. Sedangkan senyawa sulfat yang juga merupakan variabel penentu dalam pengelompokan musim di daerah Cipatik ini diduga berasal dari sumber lokal yaitu gunung yang berada dekat lokasi tersebut.
4.5 Daerah Tanjungsari Ternyata dari lima variabel yang dianalisa yaitu: curah hujan, SO4, NO3, Cl, dan NH4 tidak ada satupun yang signifikan (<=0.05). Dari nilai ini dapat diambil penjelasan bahwa tidak ada perbedaan antar grup yaitu musim hujan, musim kering dan peralihan jika dihubungkan dengan variabel-variabel diatas. Sehingga bisa disimpulkan bahwa untuk daerah Tanjungsari, dengan ditelitinya variabel curah hujan, NO3, SO4, Cl, dan NH4 tidak ada satupun yang bisa membedakan untuk sebuah kasus masuk kedalam musim hujan, musim kering dan musim peralihan. Tidak terbentuk fungsi diskriminan. 5.
KESIMPULAN Berdasarkan analisa data komposisi kimia air hujan di lima wilayah cekungan
Bandung maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: di Lembang fungsi diskriminan yang terbentuk adalah:
dan ; daerah Padalarang fungsi diskriminan yang terbentuk
adalah: Z
;
daerah Soreang fungsi diskriminan yang terbentuk dan
daerah Cipatik fungsi diskriminan yang terbentuk: dan
; di Tanjungsari tidak terbentuk
fungsi diskriminan.
~ 95 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
DAFTAR RUJUKAN Anonim, Acid rain in Canada http://esa.org./education acid rainrevisited.htm [Maret, 2007] didownload Maret 2007 Barbara J. Finlayson-Pitts, James N Pitts, Jr. Atmospheric Chemistry. Fundamental and Experimental Techniques, second edition, John Wiley & Sons, 1986. Budiwati, Siti Asiati dan Nanang Effendi AR, 1991, Komposisi Kimia Air Hujan di Bandung, Proceeding Program Penelitian Dirgantara LAPAN, 1991. Giovana Vinzi, Alberto, An Application of Multivariate analysis to Acid rain data in Northen Italy to discriminate naturale and man made compound, Enal Centro Italy, 1993 Narita Y., Satoh K., Hayashi Keiichi., Iwase T., Tanaka S., Dokiya Y., Hosoe M.,and Hayashi Kazuhiko, Long term of Chemical Constituents in Tokyo Metropolitan area in Japan, Acid Rain, Proceeding from the 6
th
International Conference on
Acidic Deposition, Vol. III, 1649-1654, 2000 Seinfeld, John H. Pandis, Spyros N, Atmospheric Chemistry and Physics, second edition, John Wiley & Sons, 998-1027, 2006 Singgih Santoso. Buku Latihan SPSS Statistik Multivariat, Elex media Komputindo. Jakarta, 2002. Sudjana, Teknik Analisis Regresi dan Korelasi, Tarsito Bandung, 2003.
~ 96 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
INTERKONEKSI MONSUN DAN EL-NiñO TERKAIT DENGAN CURAH HUJAN EKSTREM 1)
Eddy Hermawan1) dan Edward Rendra2) Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN, Jalan Dr. Djundjunan 133, Bandung 40173 2) Geofisika dan Meteorologi (GFM), IPB, Bogor Email:
[email protected] Abstract
This study is mainly concerned to investigate the interaction or interconnection or teleconnections between Monsoon and El-Niño coming simultaneously near real time period. This is as a continuously of an earlier study that examines the interconnections between the Dipole Mode with El-Niño. During normal conditions, the anomalous Monsoons almost did not significantly affect rainfall anomalies. However, when conditions are abnormal, anomalous Monsoon rainfall anomalies causing serious as it did in 1982/83 and 1997/98. Not only the joining of two forces Monsun (Monsoon Asia and Australia), but also the presence of other forces, namely the El-Niño events. On this basis, the research was conducted with the main objective would like to know the interconnection between events Monsoon and El-Niño on rainfall anomalies that occurred in some parts of Indonesia, such as Lampung, Sumbawa Besar, Indramayu, Banjar Baru, and Pandeglang, respectively for period of 1976 to 2000. Although the obtained correlation coefficient (R2) is relatively small (about 0.5) and CCF (Cross Correlation Function) is relatively large (above 0.6), but each region has turned out a different response or a response to the impact caused by the merging of events Monsoon and El-Niño above. In order to obtain optimal results, it is necessary to better analysis of the main focus during the Monsoon and the El-Niño was well above the normal threshold, especially in the period of 1996-1999. Keywords: Interconection between Monsoon, El-Niño and extreme rainfall Abstrak Studi ini menekankan pentingnya penelitian interaksi atau interkoneksi atau telekoneksi yang terjadi antara Monsun dengan El-Niño di saat keduanya bertemu dalam satu kurun yang hampir bersamaan (simultan). Ini merupakan kelanjutan dari studi sebelumnya yang mengkaji interkoneksi antara Dipole Mode dengan El-Niño. Pada saat kondisi normal, anomali Monsun hampir tidak berpengaruh nyata terhadap anomali curah hujan. Namun, pada saat kondisi yang tidak normal, anomali Monsun menimbulkan anomali curah hujan yang cukup serius seperti yang terjadi pada tahun 1982/83 dan 1997/98. Tidak hanya bergabungnya dua kekuatan Monsun (Monsun Asia dan Australia), namun juga adanya kekuatan lain, yakni kejadian El-Niño. Atas dasar itulah, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan utama ingin mengetahui interkoneksi yang terjadi antara kejadian Monsun dan El-Niño terhadap anomali curah hujan yang terjadi di beberapa kawasan Indonesia, masing-masing Lampung, Sumbawa Besar, Indramayu, Banjar Baru, dan Pandeglang periode 1976 hingga 2000. Walaupun diperoleh nilai koefisien korelasi (R2) yang relatif kecil (sekitar 0.5) dan CCF (Cross Correlation Function) yang relatif besar (di atas 0.6), namun masing-masing kawasan ternyata memiliki tanggap atau respon yang berbeda terhadap dampak yang ditimbulkan akibat bersatunya kejadian Monsun dan El-Niño di atas. Agar diperoleh hasil yang optimal, maka diperlukan analisis yang lebih tajam dengan fokus utama pada saat Monsun dan El-Niño berada jauh di atas ambang normal, yakni periode 19961999. Kata Kunci : Interkoneksi Monsun, El-Niño, dan curah hujan ekstrem
~ 97 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
1.
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
PENDAHULUAN Kajian tentang El-Niño di LAPAN telah dirintis bersama ITB sejak tahun 2002
melalui riset RUK (Riset Unggulan Kemitraan) yang menghasilkan satu model prediksi El-Niño berbasis Space-Time (Sutawanir, D, dkk, 2002). Karena fenomena El-Niño tidak berdiri sendiri, melainkan terkait erat dengan fenomena lain, khususnya Dipole Mode (DM), maka pada tahun 2003 dilakukanlah satu kajian tentang karakteristik DM (Hermawan, 2003). Kajian secara intensif tentang dua fenomena di atas, walaupun belum sepenuhnya dilakukan secara optimal, telah dilakukan bersama tim peneliti dari Universitas Padjadjaran (UNPAD) yang memfokuskan pada kajian model time-series data indeks suhu permukaan laut global dan indeks Osilasi Selatan (SOI) (Nurani, B, dkk, 2003). Di tahun yang sama dilakukan kajian dampak DM terhadap perilaku curah hujan di kawasan barat Indonesia (Hermawan, dkk, 2003). Walaupun belum menunjukkan hasil yang cukup signifikan pada waktu itu, namun ini merupakan cikal bakal berkembangnya kajian tentang DM melalui teknik analisis spektrum berbasis FFT (Fast Fourier Transform) terhadap kenormalan curah hujan yang terjadi di beberapa kawasan di Sumetera Barat dan Selatan (Hermawan, 2006). Pada saat yang sama dikembangkan pula model prediksi ENSO menggunakan data ESPI (ENSO Precipitation Index) (Hermawan, 2006). Hingga akhir tahun 2007, kajian tentang bersatunya dua fenomena atmosfer ElNiño dan DM belum mencapai titik temu, dan baru tahun 2008, ditemukanlah adanya osilasi baru yang kemudian dikenal sebagai osilasi 15 tahunan sebagai hasil interkoneksi antara fenomena El-Niño dan DM (Hermawan, 2008). Tahun 2009 merupakan awal dimulainya penggunaan data penginderaan jauh, khususnya data satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) untuk mengkaji fenomena El-Niño dan La-Niña di Indonesia (Hermawan, 2009). Jika disimak dengan seksama, kajian yang menyeluruh tentang kompleksitas dinamika atmosfer Indonesia belum terlihat dengan jelas, khususnya interaksi atau interkoneksi atau telekoneksi yang terjadi di saat El-Niño dan Dipole Mode bersatu, walaupun itu sudah dimulai oleh Harjono (2009). Gagasan untuk mengkaji interkoneksi berbagai fenomena atmosfer di Indonesia lebih mendalam tidak lain untuk menindaklanjuti rekomendasi sidang IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) ke-31 tanggal 26-29 Oktober 2009 di Bali, GEOSS (Global Earth System to System) ke-4 tanggal 10-12 Maret 2010 juga di Bali, dan terakhir di acara United ~ 98 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Nations/Indonesia
Bandung, 28 Agustus 2013
International
ISBN : 978-979-1458-73-3
Conference on Integrated Space Technology
Application To Climate Change pada tanggal 2-4 September 2013 di Jakarta, mengingat dampak serius yang ditimbulkannya. Hal ini dapat dimengerti mengingat posisi Indonesia yang sangat unik dan spesifik, diapit oleh dua Benua (Asia dan Australia) dan dua Samudera (Pasifik dan Hindia) yang merupakan satu-satunya kawasan yang didominasi oleh lautan dikenal sebagai Indonesian Maritime Continent (IMC) atau kita kenal sebagai Benua Maritim Indonesia (BMI) (Ramage, 1968). Hal inilah yang menjadi motivasi utama untuk terus dilakukan pengembangan model interaksi antara fenomena Monsun, Dipole Mode dan ENSO dalam mengkaji perilaku curah hujan di Indonesia (Hermawan, 2010). Melalui kegiatan RIK (Riset Intensif Kedirgantaraan) LAPAN 2010, Hermawan, dkk (2010) mengembangkan satu sistem pakar (expert system) berbasis indeks ENSO, DMI, Monsun dan MJO untuk penentuan awal musim. Selain itu, dikembangkan pula analisis parameter Monsun, ENSO, DM, dan MJO sebagai prekursor iklim di Indonesia (Hermawan, 2010), selain analisis interkoneksi fenomena atmosfer di atas kawasan Indonesia terkait dengan proyeksi iklim di masa mendatang (Hermawan, 2010). Lebih jauh, melalui skema kegiatan IPKPP (Intensif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa) tahun 2011 dari Kementrian Ristek dan Teknologi, dilakukanlah pengembangan model interkoneksi berbagai fenomena atmosfer global sebagai indikasi awal (precursor) datangnya kejadian iklim esktrem (khususnya curah hujan) di kawasan sentra produksi tanaman pangan (Hermawan, dkk, 2011), yang kemudian diikuti oleh analisis perilaku curah hujan di Pulau Jawa disaat fenomena El-Niño dan Dipole Mode terjadi secara simultan (Hermawan, 2011). Atas dasar itulah maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan utama mengetahui interkoneksi yang terjadi antara fenomena Monsun dengan El-Nino dan dampak yang ditimbulkannya terhadap curah hujan ekstrem di beberapa wilayah Indonesia.
2.
TINJAUAN PUSTAKA Interkoneksi umumnya terkait erat dengan hubungan timbal balik (sering disebut
sebagai kopel atau couple) yang terjadi antara fenomena atmosfer satu dengan fenomena atmosfer lainnya, walaupun kedua fenomena tersebut berada dalam jarak atau ruang yang relatif cukup jauh. Ciri khas utama terjadinya interkoneksi biasanya ditandai dengan terjadinya dua/lebih fenomena dalam kurun waktu yang hampir sama (near real time) atau simultan seperti kasus tahun 1997/98. Hal ini ditandai oleh kenaikan Suhu ~ 99 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Permukaan Laut (SPL) atau lebih dikenal dengan istilah SST (Sea Surface Temperature) di kawasan Niño 3.4 yang terletak di tengah (central) Lautan Pasifik di atas batas ambang normal mencapai 2o, yang kemudian diikuti dengan naiknya SST di Lautan Hindia yang kemudian dikenal dengan istilah Dipole Mode Positif, disingkat menjadi DM (+). Dampak dari perubahan tersebut hampir sembilan puluh persen kawasan Indonesia mengalami musim kering panjang, dan hanya beberapa kawasan saja yang tidak terpengaruh dampak bersatunya dua fenomena alam di atas, yakni kawasan Sumatera Utara bagian utara, seperti Aceh dan Medan yang relatif basah sepanjang tahun (Harijono, 2008). Kondisi ini tidak jauh berbeda, disaat keduanya bertemu kembali, namun dalam fase yang berbeda. Jika di tahun 1997 keduanya bertemu dalam satu fase positif yang berdampak musim kering panjang, maka di tahun 1998 keduanya bertemu dalam satu fase negatif, yang menyebabkan musim basah berkepanjangan, sehingga muncullah istilah Dipole Mode Negatif atau DM (-), yang diikuti dengan hadirnya La-Niña. Hal terpenting terkait dengan anomali iklim adalah adanya fakta empiris yang menunjukkan adanya interkoneksi yang kuat antara gejala alam El-Niño di sepanjang Samudera/Lautan Pasifik dengan variabilitas curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia. Keterkaitan yang erat antara El-Niño dengan Monsun dan curah hujan di daerah tropis telah dibahas secara rinci oleh Yasunari (1990). Selain El-Niño, terdapat gejala iklim lain yang juga dapat diidentifikasikan dengan pendefinisian indeks iklim, yang diduga mempunyai interkoneksi kuat dengan curah hujan di Indonesia, yakni Indian Ocean Dipole Mode (IODM) kemudian disingkat menjadi Dipole Mode (DM) yang tidak lain merupakan fenomena interaksi timbal balik atmosfer-laut (air and sea interaction) di Samudera Hindia (Saji, et.al., 1999). Akibat adanya interkoneksi, maka tidak menutup kemungkinan jika pada akhirnya DM terkait dengan proses pembentukan Pacific Decadal Oscillation (PDO) yang hingga kini masih belum banyak dikaji orang (Mantua, et.al., 1997). Pada saat terjadinya El-Niño kuat, variasi indeks iklim sering kali dianalisis dari segi keterkaitannya dengan kejadian iklim ekstrem, khususnya musim kering ataupun basah panjang, seperti kejadian El-Niño 1997 yang menyebabkan terjadinya musim kering panjang di Indonesia pada saat itu. Sebaliknya, pada saat kejadian El-Niño yang tidak kuat, justru faktor lokal setempat yang diduga berperan aktif (Dupe, dkk, 2002). Oleh karena itu, maka sifat keterkaitan indeks iklim global dengan variasi curah hujan ~ 100 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
lokal perlu dikaji secara seksama sebelum indeks iklim tersebut dapat digunakan sebagai indikator curah hujan.
3.
DATA DAN METODE ANALISI Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: (a). Data curah hujan rata-
rata bulanan, masing-masing untuk kawasan Lampung, Sumbawa Besar, Indramayu, Banjar Baru, dan Pandeglang periode 1976-2000, (b). Data SST Ninño 3.4 yang diperoleh dari (http://www.cpc.noaa.gov/data/indices/nino34.mth.ascii.txt), periode 1950 – 2009, dan (c). Data Monsun Index periode 1950 – 2009 yang terdiri dari data Australian Monsoon Index (AUSMI), Western North Pasific Monsoon Index (WNPMI), dan Indian Summer Monsoon Index (ISMI). Ketiga indeks data tersebut diperoleh dari http://iprc.soest.hawaii.edu/users/ykaji/monsoon/realtime-monidx.html. Sementara metode penelitian ini dibagi dalam beberapa tahap yang diawali dengan mengubah data curah hujan bulanan menjadi suatu data anomali dengan formula sebagai berikut:
Formula diatas digunakan dengan tujuan agar sifat monsunal pada data curah hujan bulanan tidak dihilangkan. Setelah data curah hujan berbentuk anomali, maka dapat dilakukan tahap penelitian selanjutnya. Diawali dengan analisis spektral untuk mengetahui osilasi dominan daripada data anomali curah hujan rata-rata bulanan di atas. Salah satu metode analisis spektral yang banyak digunakan orang adalah teknik FFT (Fast Fourier Transform) sebagaimana dijelaskan oleh (Mulyana, 2004). Sementara teknik lain yang juga masih tergolong analisis spektral adalah teknik wavelet (Tang, 2009). Kedua teknik tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan, seperti teknik FFT misalnya, ia dengan tepat akurat dapat mengetahui osilasi dominan dalam satu data time-series, namun dapat mengetahui dengan pasti bila osilasi dominan itu muncul. Sementara teknik WL, walaupun dengan nilai ketepatan energi spektral yang agak sulit untuk ditentukan, namun dapat diketahui bila osilasi dominan itu muncul. Oleh karena itu, umumnya digunakan keduanya dalam satu kali analisis. Terakhir adalah analisis statistik, khususnya analisis korelasi silang berbasis CCF (Cross Correlation Function).
~ 101 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
4.
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Analisis Data Anomali Curah Hujan Bulanan Berikut disajikan data time-series anomali curah hujan bulanan masing-masing untuk kawasan/wilayah Sumbawa Besar, Indramayu, Banjar Baru, Pandeglang, dan Lampung selama 24 tahun pengamatan periode 1976-2000 sebagaimana ditunjukan pada Gambar 4.1-1 berikut. 1200
SUMBAWA BESAR INDRAMAYU BANJARBARU PANDEGLANG LAMPUNG
1000
800
Anomali
600
400
200
0
-200
-400 Jan-76 Jan-77
Jan-78 Jan-79
Jan-80
Jan-81 Jan-82
Jan-83
Jan-84 Jan-85
Jan-86
Jan-87 Jan-88
Jan-89
Jan-90 Jan-91
Jan-92 Jan-93
Jan-94
Jan-95 Jan-96
Jan-97
Jan-98 Jan-99
Jan-00
Waktu
Gambar 4.1-1: Time-series data anomali curah hujan bulanan berbagai wilayah yang ditinjau periode 1976–2000. Dari gambar di atas, terlihat adanya pola Monsunal yang tegas/jelas yang ditandai dengan perubahan fase positif dan negatif yang teratur selama kurun waktu tertentu (sekitar 12 bulanan). Fase positif merupakan suatu fase dimana dalam tersebut mengalami hujan atau kondisi basah yang umumnya selama periode DJF (Desember, Januari, Februari) dengan nilai puncak maksimum pada bulan Januari, sedangkan untuk fase negatif (-) merupakan suatu fase dimana dalam periode tertentu pada suatu wilayah tidak turun hujan dan mengalami kondisi yang kering yang biasanya terjadi pada bulan JJA (Juni, Juli, Agustus) dengan nilai puncak minimum pada bulan Juli. Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat bahwa wilayah Lampung, Sumbawa Besar, Indramayu, Banjar Baru, dan Pandeglang memiliki tipe hujan Monsunal yang dicirikan oleh distribusi curah hujan bulanan berbentuk huruf V dengan jumlah curah hujan musiman terendah terjadi pada bulan kering (JJA) dan tertinggi pada bulan basah (DJF). Wilayah dengan pola curah hujan Monsunal memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan periode musim kering. Berdasarkan hasil deret waktu curah hujan yang telah diperoleh dapat dilihat bahwa wilayah-wilayah yang memiliki hujan tipe Monsunal antara puncak yang satu dengan yang lain baik puncak maksimum maupun puncak minimum memiliki periode atau osilasi 12 bulanan. Berbeda dengan wilayah kajian yang memiliki hujan tipe equatorial dalam satu tahun terdapat dua puncak maksimum dengan osilasi yang nyata ~ 102 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
terlihat antara 6 bulan. Untuk mengkaji adanya osilasi yang nyata terhadap data curah hujan di wilayah Lampung, Sumbawa Besar, Indramayu, Banjarbaru, dan Pandeglang selain menggunakan analisis deret waktu, dapat juga dilakukan analisis PSD (Power Spectral Density) seperti Gambar 4.1-2. 8
5
x 10
4.5
4
Energi Spektral
3.5
SUMBAWA BESAR INDRAMAYU BANJAR BARU PANDEGLANG
3
LAMPUNG
2.5
2
1.5
1
0.5
0 1
6
12
18
Periode (bulan)
Gambar 4.1-2: Power Spektral Density (PSD) curah hujan periode 1976 – 2000 Analisis PSD (Power Spectral Density) merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mengetahui periodesitas dari suatu data deret waktu. Dari Gambar di atas dapat dilihat bahwa wilayah-wilayah kajian yang bertipe curah hujan Monsunal (Lampung, Sumbawa Besar, Indramayu, Banjarbaru, dan Pandeglang) menunjukkan pola osilasi dominan 12 bulanan (dikenal dengan istilah AO, Annual Oscillation). Hal ini terlihat dari puncak energi spektral masing-masing wilayah kajian berada pada periode 12 bulanan, artinya kejadian kuat akan berulang dalam selang waktu 12 bulanan. Wilayah Indramayu dan Banjarbaru memiliki puncak yang lebih tinggi dibandingkan wilayah Lampung, Sumbawa Besar, dan Pandeglang. Hal ini berarti kekuatan Monsun di wilayah Indramayu dan Banjar Baru relatif lebih kuat dibandingkan wilayah lainnya.
4.2. Analisis Data Indeks Monsun Asia dan Australia serta Data SST Niño 3.4 Monsun merupakan siklus tahunan yang membedakan secara tegas keadaan atmosfer ketika musim basah dan musim kering. Menurut Webster (1987) Monsun juga merupakan suatu fenomena yang kuat dan luas, sehingga suatu sistem Monsun dapat mempengaruhi suatu wilayah yang luas. Fenomena ini juga sangat berpengaruh terhadap penentuan awal musim hujan dan musim kering. Bhalme (1991) menyatakan bahwa El-Niño merupakan anomali suhu permukaan laut yang terjadi di daerah khatulistiwa bagian tengah dan timur, yaitu menghangatnya permukaan laut hingga mencapai suhu satu derajat di atas standar deviasi rata – rata
~ 103 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
bulanan selama empat bulan berturut – turut. Secara umum hubungan antara Monsun dengan SST Niño 3.4 adalah berbanding terbalik, artinya apabila Monsun melemah, maka SST Niño 3.4 akan menguat, dan begitupun sebaliknya sebagaimana nampak pada Gambar 4.2-1 berikut. 15
ISMI
WNPMI
AUSMI
NINO3.4
10
Indeks
5
0
-5
-10
-15 Jan-76 Jan-77 Jan-78 Jan-79 Jan-80 Jan-81 Jan-82 Jan-83 Jan-84 Jan-85 Jan-86 Jan-87 Jan-88 Jan-89 Jan-90 Jan-91 Jan-92 Jan-93 Jan-94 Jan-95 Jan-96 Jan-97 Jan-98 Jan-99 Jan-00
Waktu
Gambar 4.2-1: Sama dengan Gambar 4.1-1, tetapi untuk Data Indeks Monsun Global dan SST Nino 3.4
Berdasarkan Gambar 4.2-1 di atas, terlihat bahwa tidak selamanya kedua fenomena tersebut berbanding terbalik. Monsun Asia yang masing-masing diwakili oleh ISMI dan WNPMI, berbanding terbalik dengan monsun Australian yang diwakili oleh AUSMI. Artinya, ketika data AUSMI menguat, maka Monsun Asia melemah, begitupun sebaliknya. Namun ketika ketiganya digabungkan dengan SST Nino 3.4, ada kalanya Monsun Asia maupun Monsun Australia, sama sama menguat dengan SST Nino 3.4, begitupun sebaliknya. Terkait dengan itu pulalah, maka dipandang perlu untuk dilakukan analisis spektral terhadap ketiga indeks Monsun global di atas, dan satu untuk indeks SST Niño 3.4. 4.3. Analisis Spektral Monsun dan Nino 3.4 Analisis spektral menggunakan teknik wavelet masing-masing untuk indeks Monsun ISMI, WNPMI, dan AUSMI dapat dilihat pada Gambar 4.3-1, 4.3-2, dan 4.3-3. Dari gambar tersebut terlihat jelas bahwa mereka memiliki osilasi dominan sekitar 12 bulanan, walaupun ada juga terlihat osilasi 6 bulanan (dikenal dengan istilah SAO, Semi Annual Oscillation). Sementara pada Gambar 4.3-4 menunjukkan osilasi dominan untuk data SST Nino 3.4.
~ 104 ~
Index
2
0 Seminar Sains Atmosfer 2013 -2 76
77
Bandung, 28 Agustus 2013
78
79
80
81
ISBN : 978-979-1458-73-3
82
83
Time Observation
Period (month) Index
The Wavelet Power Spectrum
The Global Wavelet Spectrum
b
4 4
4 2
8
a) The Time Series of WNPMI for Period Jan 1976 to Dec 2000
16
8 16
0
4
32 64
2
-2
32 64 128
128
-4 256
2560 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00
0
50
100
150
200
250
Time Observation
-2
Period (month) 2 Index Mean varians (m/s)
78 79 80 81 82 83 Gambar76 4.3-1:77 The global wavelet spctrumuntu data AUSMI periode 1976 – 2000 d) The Average Time Series Time Observation 8
The Wavelet Power Spectrum
6
The Global Wavelet Spectrum 4
44
4 2
28
16 0
76 322
77
78
79
80
81
8 16
a) The Time Series of ISMI for Period Jan 1976 to Dec 2000
82
0
83
32
Time Observation
641
64
-2
128 0 256 -176 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00
128 -4
256 0
200
400
600
Time Observation
-2 76
77
78
79
80
81
82
83
(month) varians (m/s) 2 Mean Index Period
Gambar 4.3-2: Sama dengan Gambar d) TheTime Average Time4.3-1, Series tetapi untuk Data Indeks Monsun WNPMI Observation 20
The Global Wavelet Spectrum
The Wavelet Power Spectrum
15
b
4 4
104 2
8 5 16 0 3276 64
8 16
0
77
78
79
80
81
82
83
a) The Time Series of NINO 3.4 for Period Jan 1976 to Dec 2000
Time Observation
4
-2
32 64 128
128 2
-4 256
256 0 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00
0
200
400
600
Time Observation
-2 -4 76 77
Period (month) Mean varians (m/s) 2
Gambar 4.3-3: Sama dengan Gambar 4.3-1, tetapi untuk Data Indeks Monsun ISMI d) TheTime Average Time Series Observation 78
79 80
81 82
83
84 85
86 87
88
89 90
91 92
93
94 95
96 97
98
99 00
20
b
The Wavelet Power Spectrum 15
4
4
4
10 8
2
16
5
0
32
8 16 32
640
76
77
128
256 76
c) The Global Wavelet Spectrum
78
79
80
81
82
-2
83
77
78
79
80
81
82
83
84
85
86
87
88
89
64 128
Time Observation 90
91
92
93
94
95
96
97
98
99
00
-4
256 0
5
10
15
20
Time Observation
Mean varians
d) The Average Time Series Gambar 4.3-4: Sama dengan Gambar 4.3-1, tetapi untuk Data Indeks SST Nino 3.4 0.8 0.6 0.4
Dari Gambar tersebut terlihat bahwa hampir semua indeks Monsun global 0.2
0 76 77
78
79 80
81 82
83
84 85
86 87
88
89 90
91 92
93
94 95
96 97
98
99 00
Observation Hal yang amat sangat berbeda dengan indeks berosilasi 12 bulanan (sekitar Time 1 tahunan).
SST Nino 3.4, dengan osilasi dominan sekitar 60 bulanan (sekitar 5 tahunan). Terlihat sedikit komplikatit untuk dijeaskan satu per satu, apalagi terkait dengan interkoneksi yang terjadi didalamnya. Oleh karena itu, dipandang perlu dilakukan analisis bila keempat indeks tadi menunjukkan pola yang sama. Dengan menggunakan teknik wavelet, tepatnya teknik variansi, maka ditemukanlah bahwa keempat indeks di atas ternyata memiliki pola yang sama saat 1997/98, sebagaimana nampak pada Gambar 4.3-
~ 105 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
5. Hasil ini ternyata konsisten dengan hasil sebelumnya yang menyatakan adanya anomali indeks Monsun global dan juga SST Nino 3.4 (Harijono, 2008)
Gambar 4.3-5: Mean varians indeks Monsun dan SST Nino 3.4 periode 1976 – 2000
Analisis varians pada Gambar 4.3-5 di atas menunjukkan nilai rata-rata sebaran data deret waktu. Mean varians (rata-rata varians) merupakan suatu kisaran nilai ratarata data menyimpang dari kondisi normalnya. Jika diperhatikan dengan seksama, maka nampak jelas keempat indeks di atas menunjukkan pola yang sama, khususnya periode 1996-1999, dimana terjadi kenaikan SST Nino 3.4 yang cukup signifikan pada tahun 1997 (dikenal dengan nama Strong El-niño), lalu diikuti dengan penurunan SST Nino 3.4 (dikenal dengan nama Strong La-Niña), tanpa ada waktu jeda sedikitpun. Oleh karena itu, pada pembahasan selanjutnya mengenai pemodelan untuk memprediksi curah hujan monsunal wilayah kajian maka dapat menggunakan variabel AUSMI, WNPMI dan SST Nino 3.4, yakni disepanjang tahun 1996-1999.
4.4. Analisis Interkoneksi antara Data Anomali Curah Hujan dan Data Iklim Global (Indeks Monsun dan SST Niño 3.4) Hal yang perlu dipahami disini adalah dari ketiga indeks global di atas, hanya indeks ISMI, WNPMI dan AUSMI yang akan dianalisis lebih lanjut. Hal ini disebabkan ISMI dan WNPMI memiliki pengaruh yang relatif besar terhadap wilayah Indonesia, terutama disaat musim penghujan. Sebaliknya, indeks AUSMI merupakan indeks Monsun Australia yang cukup berpengaruh kuat disaaat musim kemarau. Sementara indeks SST Niño 3.4 lebih nyata di saat musim kemarau dan penghujan. Kombinasi ketiga indeks itulah apalagi disaat ketiganya bertemu (beriteraksi) seperti kejadian di tahun 1997/98, merupakan hal yang menarik untuk dianalisis lebih lanjut. Berikut disajikan rangkaian data time-series ketiga indeks di atas sepanjang tahun 1996-1999. ~ 106 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Gambar 4.3-5: Anomali data indeks AUSMI, WNPMI, dan SST Niño 3.4 periode 1996-1999 Dengan demikian, maka besarnya anomali curah hujan (dilambangkan dengan ∆CH) merupakan fungsi dari besaran indeks ISMI, WNPMI, dan AUSMI yang bila disederhanakan menjadi : ∆CH = f (AUSMI, WNPMI, SST Niño 3.4) Hasil analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa didapat formula dengan rumusan : ∆CH = AUSMI – WNPMI – SST Niño 3.4 Hal ini nampak lebih jelas bila diperhatikan dengan seksama Gambar 4.3-6 berikut:
~ 107 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Gambar 4.3-6: Diagram batang fenomena interkoneksi berbagai indeks global dengan anomali curah hujan di beberapa kawasan Indonesia periode 1996 – 1999 Gambar 4.3-6 di atas menjelaskan kondisi pada tahun 1996 - 1999 baik dari segi interkoneksinya maupun dari anomali curah hujan. Dari gambar tersebut terlihat jelas secara keseluruhan curah hujan mengalami kondisi ekstrim akibat terjadi interkoneksi antara Monsun dan El-Niño. Pada gambar dapat dilihat bahwa pola curah hujan seluruh wilayah kajian mengikuti pola interaksi antara Monsun dan El-Niño 3.4. Akibat dari interkoneksi kedua fenomena tersebut menyebabkan terjadinya curah hujan ekstrem, yakni kemarau panjang dan basah panjang pada tahun 1997 dan 1998. Sehubungan dengan adanya response atau tanggap yang berbeda masing-masing kawasan yang ditinjau terhadap dampak interkoneksi yang ditimbulkan oleh ketiga indeks iklim global di atas, maka dipandang perlu untuk dilakukan analisis korelasi silang (Cross Correlation Analysis).
4.5. Korelasi Silang Berbasis CCF (Cross Correlation Function) Analysis Asumsi dasar yang digunakan ketika berbicara masalah interkoneksi adalah besarnya anomali curah hujan yang terjadi atau turun di suatu wilayah dipengaruhi oleh iklim global yang jika disederhanakan menjadi ∆CH = f (AUSMI, WNPMI, Nino3.4) (Hermawan, 2010). Dari asumsi tersebut didapatkan sebuah persamaan regresi multivariate (Tabel 1) dari masing-masing wilayah, dimana nilai X1 menunjukkan nilai AUSMI, nilai X2 nilai WNPMI, dan nilai X3 nilai SST Niño 3.4. Persamaan regresi multivariate menjelaskan peranan masing-masing fenomena iklim dalam mempengaruhi curah hujan wilayah kajian. Persamaan multivariate (Tabel 1) digunakan untuk membuat curah hujan model yang akan dipakai untuk membuat model prediksi. Keeratan antara curah hujan model dengan curah hujan pengamatan dijelaskan melalui nilai koefisien korelasi (r). Korelasi merupakan teknik analisis yang termasuk dalam salah satu teknik pengukuran hubungan mengenai ada atau tidaknya
~ 108 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
hubungan antara dua fenomena atau lebih (Hasan, 2003). Wilayah Banjarbaru memiliki nilai korelasi (r) yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah kajian lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah Banjarbaru menunjukkan respon yang lebih besar pada telekoneksi yang menurunkan curah hujan di daerah tersebut. Analisis Cross Correlation Fungtion (CCF) digunakan untuk mengetahui waktu tunda atau time lag antara fenomena interaksi (AUSMI dan El-Nino) terhadap curah hujan. Tanda positif dan negatif pada nilai CCF menunjukkan arah hubungan terhadap dua variabel. Jika nilai CCF memiliki tanda (+) berarti kedua variabel memiliki hubungan yang berbanding lurus dan sebaliknya, apabila nilai CCF memiliki nilai negatif (-) maka kedua variabel memiliki hubungan yang berbanding terbalik. Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa seluruh wilayah kajian (Lampung, Sumbawa Besar, Indramayu, Banjarbaru dan Pandeglang) memiliki nilai CCF yang positif (+), hal ini menunjukkan bahwa fenomena interaksi antara monsun dan El-Nino terhadap curah hujan memiliki hubungan yang berbanding lurus. Artinnya apabila fenomena interaksi menguat maka curah hujan di wilayah kajian akan meningkat, begitu juga sebaliknya semakin melemahnya fenomena interaksi maka curah hujan di wilayah kajian akan semakin menurun. Selain mengetahui nilai CCF, pada Tabel 4.5-1 dapat dilihat juga seberapa lama lag time atau waktu tunda di beberapa wilayah kajian. Lag time atau waktu tunda ini merupakan waktu yang dibutuhkan oleh fenomena interaksi Monsun dan El-Niño untuk dapat mempengaruhi curah hujan di wilayah kajian. Pada Tabel dapat dilihat bahwa seluruh wilayah kajian (Lampung, Sumbawa Besar, Indramayu, Banjarbaru, dan Pandeglang) memiliki lag time 0 bulan. Artinya antara kejadian interaksi Monsun dan El-Nino tidak memiliki waktu tunda untuk mempengaruhi curah hujan di wilayah tadi. Tabel 4.5-1: Kaitan Interaksi atau Interkoneksi antara dua Fenomena (AUSMI WNPMI - Nino3.4) dengan Curah Hujan Bulanan Periode 1976 - 2000. Lag time
Error
R2
Persamaan Multivariant
0
78.23
0.53
Y = 16.267X1 - 3.940X2 - 6.790X3 + 6.819
0.642
0
124.86
0.45
Y = 20.549X1- 5.976X2 -15.042X3+ 10.883
Banjarbaru
0.76
0
84.99
0.59
Y = 8.195X1-12.388X2 - 25.964X3 + 7.408
Pandeglang
0.695
0
74.67
0.54
Y = 15.923X1 - 3.445X2 - 5.264X3 + 6.509
KOTA
CCF
Sumbawa
0.692
Indramayu
(bulan)
Besar
~ 109 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Lampung
0.694
0
Bandung, 28 Agustus 2013
75.64
0.49
ISBN : 978-979-1458-73-3
Y = 9.954X1 - 6.721X2 - 2.913X3 + 6.593
Catatan : X1 = AUSMI, X2 = WNPMI, dan X3 = SST Nino3.4.
5.
KESIMPULAN Bersatunya dua fenomena alam dalam satu kurun waktu yang hampir bersamaan
(simultan), masing-masing Monsun dan El-Niño yang lebih dikenal dengan istilah interaksi atau interkoneksi atau telekoneksi ternyata memiliki dampak yang serius (severe) terhadap anomali curah hujan rata-rata bulanan yang terjadi di beberapa kawasan Indonesia. Berbasis kepada hasil analisis korelasi silang (Cross Correlation Analysis) periode 1976-2000, walaupun diperoleh nilai koefisien korelasi (R2) yang relatif kecil (sekitar 0.5), namun memiliki nilai CCF (Cross Correlation Function) yang relatif besar (raat-rata di atas 0.6). Kawasan Banjar Baru yang ada di Kalimantan Selatan ternyata memiliki nilai R2 dan CCF yang paling besar, masing-masing 0.59 dan 0.76. Sementara kawasan Indramayu, memiliki niali R2 dan CCF yang paling kecil, masing-masing 0.45 dan 0.64. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masingmasing kawasan memiliki respon atau tanggap yang berbeda pada saat terjadinya interaksi antara Monsun dan El-Niño. Hal ini diduga akibat periode analisis yang digunakan relatif panjang 1976-2000 yang mestinya hanya fokus ke periode 1996-1999. Satu hal lagi yang dapat disimpulkan adalah hampir tidak adanya jeda watu (time-lag), sehingga dapat dipastikan bahwa fenomena Monsun Australia (yang diwakili AUSMI) lah yang sebenarnya dominan dalam mempengaruhi kompleksitas dinamika atmosfer, khsusnya anomali curah hujan yang ada di Indonesia, khususnya kawasan barat.
UCAPAN TERIMA KASIH. Ucapan terima kasih disampikan dengan tulus dan ikhlas kepada Sdri. Naziah Madani yang telah membantu mengedit paper ini.
DAFTAR RUJUKAN Bhalme HN. 1991. El-Niño-Southern Oscillation (ENSO) – Onset, Growth, and Decay.WMO/TD. 496 : 84-87. Dupe, Z. L., T. W. Hadi, and A. Lubis. 2002. El-Niño/La-Niña Forcasting Using Adaptive
Neuro-Fuzzy
Interference
System
(ANFIS),
Seminar
Nasional
Pengembangan dan Aplikasi Teknik Prediksi Cuaca dan Iklim, LAPAN, Bandung, 30 Juli 2002, hal. 15-20. ~ 110 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Hasan, M. Iqbal. 2003. Pokok-Pokok Materi Statistik 2 (Statistik Iterensif) Edisi Kedua. Jakarta: Bumi Aksara. Harijono, S.W.B. 2008. Analisis Dinamika Atmosfer di Bagian Utara Ekuator Sumatera Pada Saat Peristiwa El-Niño dan Dipole Mode Positif Terjadi Bersamaan, Jurnal Sains Dirgantara (JSD), 5(2), 130 – 148. Hermawan, E. 2003. Characteristics of Indian Ocean Dipole as the Preliminary Study of Monsoon Variability in the Western Part of Indonesia Region, Jurnal Sains Dirgantara (JSD), 1(1), 23-31, ISSN: 1412-808X. Hermawan, E., M.A. Ratag, A. Suryantoro, dan F. Renggono. 2003. Kajian Awal Dampak Fenomena Indian Ocean Dipole Mode Terhadap Perilaku Curah Hujan di Kawasan Indonesia Barat Hasil Analisis Data Radar Atmosfer Khatulistiwa, Prosiding Workshop Pemanfaatan Informasi Iklim untuk Pertanian di Sumatera Barat, Fakultas Perikanan Universitas Bung Hattta, Padang, Suumatera Barat, 1214 Agustus 2003. Hermawan, E. 2006. Penggunaan FFT dalam Analisis Kenormalan Curah Hujan di Sumatera Barat dan Selatan, Khususnya Saat Kejadian Dipole Mode, Prosiding 31th Annual Scientific Meeting (PIT) HAGI-Geophysics for Sustainable Development, Semarang 13-15 November 2006. ISBN: 979-98933-2-1. Hermawan, E dan N.R. Budi. 2006. Prediksi ENSO di Masa Mendatang Berbasis Hasil Analisis data ESPI dengan Teknik Wavelet, Prosiding Seminar Perubahan Iklim Nasional dan Lingkungan di Indonesia, diselenggarakan oleh LAPAN, Bandung 9 November 2006, hal:32-37, ISBN: 978-979-8554-99-5. Hermawan, E. 2008. Pengaruh Siklus Lima Belas Tahunan Terhadap Estimasi Kekeringan di Indonesia Berbasis Hasil Analisis Data ESPI, GPCP, dan Siklus ke 24 Matahari, Procceding Agriculture Meteorology Symposium VII Increasing National Capacity of Adaptation for Climate Change Through Cross Sectoral and Regional Cooperation, Jakarta 15-16 January 2008, 273-279, ISBN:978-979-546-012-1. Hermawan, E. 2009. Role of TRMM Satellite Data on Investigation of El-Niño and LaNiña Signal in Indonesia, Jurnal Lingkungan Tropis (JLT), Edisi Khusus Agitus 2009, hal: 433-446. ISSN: 1978-2713 Hermawan, E., J. Visa, Trismidianto, Krismianto, I. Fathrio, dan I. Sunarsih. 2010. Pengembangan Expert System Berbasis Indeks ENSO, DMI, Monsun dan MJO untuk Penentuan Awal Musim, Prosidng Pertemuan Ilmiah XXIV 2010, HFI Jateng dan DIY, 10 April 2010 di UNDIP, Semarang, hal: 19-26, ISSN: 0853-0823. ~ 111 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Hermawan, E. 2010. Analisis Parameter Monsun, ENSO dan Dipole Mode dan MJO Sebagai Precursor Iklim, Prosidng Seminar Nasional Sains Atmosfer 2010, Pusfatsatklim, 16 Juni 2010, hal: 1-10, ISBN: 978-9779-1458-38-2. Hermawan, E. 2010, Analisis Interkoneksi Fenomena Atmosfer di atas Kawasan Indonesia Terkait dengan Proyeksi Iklim di Masa Mendatang, Prosiding Seminar Perubahan Iklim di Indonesia, Mitigasi dan Strategi Adaptasi dari Tinjauan Multi Displin, Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta, hal: 67-84, ISBN: 978-602-8683. Hermawan, E. 2011. Analisis Perilaku Curah Hujan di Pulau Jawa disaat Fenomena El-Niño dan Dipole Mode Terjadi Secara Bersamaan (Simultan), Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA, FMIPA UNY, Yogyakarta, 14 Mei 2011. Hermawan, E. 2010. Pengembangan Model Interaksi antara Fenomena Monsun, Dipole Mode dan ENSO dalam Mengkaji Perilaku Curah Hujan di Indonesia, Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA, FMIPA UNY, Yogyakarta, 15 Mei 2010, hal: F63-F86, ISBN: 978-979-99314-4-3. Hermawan, E., J. Visa, Noersomadi, W. Setyawati, dan D. Gusnita, 2011. Pengembangan Model Interkoneksi Berbagai Fenomena Global Sebagai Indikasi Awal (Precursor) Datangnya Kejadian Iklim Ekstrem (Khususnya Curah Hujan) di Kawasan Sentra Produksi Tanaman Pangan, Seminar Nasional Fisika 2011, P2F LIPI, 12-13 Juli 2011. Mantua, N. J., S. R. Hare, Y. Zhang, J. M. Wallace, and R. C. Francis. 1997. A Pacific decadal climate oscillation with impacts on salmon.
Bulletin of the American
Meteorological Society, 78, 1069-1079. Mulyana. 2004. Analisis Spektral untuk Menelaah Periodesitas Tersembunyi dari Data Deret Waktu. Bandung: Statistika FMIPA Universitas Padjadjaran. Nurani, B., E. Hermawan, M.A. Ratag, dan F. Renggono. 2003. Kajian Model Time Series Data Suhu Permukaan Laut Global dan Indeks Osilasi Selatan dalam Prediksi Datangnya ENSO di Indonesia, Prosiding Seminar Nasional Fisika dan Aplikasinya, Jurusan Fisika, FMIPA, ITS, Surabaya, ISBN: 979-97932-0-3. Ramage, C. S. 1968. Role of Tropical “Maritime Continent” in the Atmospheric Circulation. Monthly Weather Review, 96, 365-370. Saji, N.H., B.N. Goswami, P.N. Vinaychandran, and T. Yamagata. 1999. A Dipole Mode in the Tropical Indin Ocean. Nature, 401, 360-363.
~ 112 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Sutawanir, D., S.P. Udjianna, N.R. Budi, dan E. Hermawan. 2002. Forecasting El-Niño Based on Space-Time Models, Prosiding Temu Ilmiah Prediksi Cuaca dan Iklim Nasional, ISBN: 979-8554-65-5. Tang Y. 2009. Wavelet Theory Approach to Pattern Recognition 2nd Edition. Singapore: World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd. Webster PJ. 1987. The Variable and Interactive Monsoon. Dalam Fein JS and Stephen PL, (eds) Monsoon. John Wiley and son: New York; 269-330. Yasunari, T. 1990. Impact of Indian Monsoon on the Coupled Atmosphere/Ocean System in the Tropical Pacific. Meteorology and Atmospheric Physics, 44, 29-41.
~ 113 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI ACUAN DENGAN PENGAMATAN SATELIT BERDASARKAN FLUKS PEMANASAN LATEN Eko Suryanto Departemen Geofisika dan Meteorologi Institut Pertanian Bogor
[email protected]
Abstract Spatial evapotranspiration (ET) is needed advanced information in terms of land and crop evaporation. Several statistical techniques can be used to produce them, with input multiple points of observation stations that have been able to represent spatial regions. Station density is still a problem leading the use satellite data in representing the atmospheric parameters. Evapotranspiration models for considerable spatial region can be generated by using the equation . The results showed an average percentage error is only 4% and an average value comes close to the ET FAO-56 PM. Interval values and standard deviation which resulting ET models is smaller than the ET FAO-56 PM, however has been able to representing evapotranspiration of study area. ET Remote Sensing models are good enough to use to generate the ET reference with spatially extensive. Keywords: Remote sensing, evapotranspiration reference, latent heat flux Abstrak Evapotranspirasi (ET) spasial menjadi kebutuhan lanjutan dalam hal informasi penguapan lahan dan tanaman. Beberapa teknik stastistik dapat digunakan untuk menghasilkannya, dengan input beberapa titik stasiun pengamatan yang telah dapat mewakili spasial wilayah tersebut. Kerapatan stasiun yang masih menjadi kendala mendorong pemanfaatan data satelit dalam merepresentasikan parameter atmosfer tersebut. Model evapotranspirasi untuk wilayah spasial yang cukup besar dapat dihasilkan dengan menggunakan persamaan . Hasil menunjukkan rata-rata persentase galat hanya sebesar 4% dengan nilai rata-rata yang mampu mendekati ET FAO-56 PM. Selang nilai dan standar deviasi yang dihasilkan ET model lebih kecil dibandingkan ET FAO-56 PM, namun telah mampu merepresentasikan evapotranspirasi wilayah kajian. Model ET penginderaan jauh sudah cukup baik digunakan untuk menghasilkan ET acuan dengan spasial yang luas. Kata Kunci : Penginderaan jauh, evapotranspirasi acuan, fluks pemanasan laten 1.
PENDAHULUAN Komponen cuaca memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Hal ini yang mendorong adanya klasifikasi iklim dalam dunia
~ 114 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
pertanian, karena suatu tanaman tidak selalu dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di semua kondisi cuaca. Beberapa parameter cuaca input bagi tanaman ialah curah hujan dan radiasi yang memiliki pengaruh terhadap suhu udara. Tanaman akan memanfaatkan masukan tersebut sebagai bahan dalam menjaga dan mencukupi kebutuhan metabolisme tanaman. Selain itu komponen keluaran (kehilangan) seperti evapotranspirasi juga memiliki peran penting dalam menjaga kadar air tanah dan manajemen air tanaman. Besar evapotranspirasi harian di stasiun pengamatan meteorologi hanya mewakili radius beberapa meter dari stasiun. Keragaman nilai dimungkinkan akan kecil jika kondisi wilayah bersifat homogen. Topografi juga menjadi faktor yang dapat mempengaruhi cakupan wilayah yang direpresentasikan oleh stasiun. Pemasangan alat pengukur lebih banyak dan rapat dibutuhkan agar keragaman nilai evapotranspirasi dapat direpresentasikan dengan baik. Metode interpolasi menjadi penghubung titik-titik pengamatan agar nilai evapotranspirasi skala spasial yang lebih luas dapat dihasilkan. Beberapa metode yang sering digunakan ialah interpolasi dengan pembobotan jarak stasiun (Ni et al., 2006) dan regresi linier berganda (Gurtz et al., 1999). Wilayah dengan topografi yang beragam harus diikuti dengan peningkatan kerapatan stasiun pengamatan. Wilayah Indonesia masih memiliki kendala dalam hal ini. Pengamatan satelit menjadi salah satu pilihan dalam pendugaan evapotranspirasi dengan cakupan spasial yang luas. Satelit memanfaatkan pantulan dan pancaran energi dari permukaan bumi untuk mengidentifikasi komponen atmosfer permukaan. Oleh karena itu, konsep neraca energi menjadi kajian wajib dalam pemanfaatan data satelit. Kajian evapotranspirasi melalui konsep neraca energi dilakukan dalam penelitian ini untuk mendapatkan formulasi evapotranspirasi spasial dengan menggunakan data penginderaan jauh.
2.
TINJAUAN PUSTAKA Evapotranspirasi diartikan sebagai proses hilangnya air melalui proses
penguapan dari badan air atau lahan (evaporasi) dan tanaman (transpirasi). Besarnya nilai evapotranspirasi diperoleh dari hasil pengukuran lisimeter, dengan menggunakan metode timbang maupun drainase (Handoko, 1994). Asumsi yang harus dipenuhi oleh alat tersebut ialah tidak adanya aliran permukaan (run off) atau semua air hujan diserap oleh tanaman dan tanah. Penggunaan asumsi menjadikan proses evapotranspirasi bersistem tertutup tanpa ada input massa seperti air hujan dan limpasan.
~ 115 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Stasiun meteorologi Indonesia tidak memasukkan evapotranspirasi dalam daftar pengamatan, namun dalam daftar perhitungan. Model evapotranspirasi berkembang dengan baik dan telah mengalami modifikasi, diantaranya model Thornthwaite (Thornthwaite, 1948), Hargreaves (Hargreaves et al., 1985), Makkink (de Bruin, 1987), dan FAO-56 Penman-Monteith (Allen et al., 1998). Model ET FAO-56 PM telah melalui pengujian pada beberapa kondisi iklim yang berbeda dan dibandingkan dengan data observasi (Allen et al., 1998). Pengujian menunjukkan bahwa model tersebut dapat mengestimasi evapotranspirasi acuan dengan baik di berbagai lokasi. Pernyataan yang sama juga muncul dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Itensifu et al. (2003) yang membandingkan pendugaan ET dengan data iklim 49 posisi di Amerika Serikat. Model evapotranspirasi remote sensing dikembangkan dalam penelitian ini dengan input fluks bahang laten penguapan. Persamaan yang digunakan ialah: (2.1) (2.2) Keterangan, ET
Remote Sensing
= Model pendugaan evapotranspirasi spasial menggunakan
data penginderaan jauh (mm hari-1), sedangkan ET
LEN
= Nilai evapotranspirasi spasial
sebelum menggunakan pembobotan. λLE = Kerapatan fluks bahang laten penguapan (Watt m-2), λ = Panas laten penguapan (J kg-1), N = Lama penyinaran (detik), C1 dan C2 merupakan konstanta spesifik yang dihasilkan dari analisis regresi polinomial sederhana (y = a . x + b). Konstanta ini merupakan faktor pembobotan yang akan diperoleh dari penelitian ini. 3.
DATA DAN METODE Data yang digunakan dalam penelitian ini ialah data meteorologi stasiun Muara
Bogor, Cimanggu Bogor, dan Pakuwon Sukabumi yang bersumber dari Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (Balitklimat). Selain itu, data penginderaan jauh berupa data satelit Landsat bersumber dari United States Geological Survey (USGS) tanggal 2 Juli 2005, 6 Agustus 2009, 24 Juni 2010, 12 Agustus 2011, dan 28 Juni 2012. Data stasiun yang digunakan telah mencakup dua ketinggian, yaitu 246 meter (Muara dan Cimanggu) dan 400 meter (Pakuwon). Pemilihan waktu yang beragam tersebut dimaksudkan agar pengamatan yang dilakukan mencakup variasi bulanan yang dapat dipengaruhi oleh aktivitas MJO (Madden Julian Oscillation) maupun interaksi lainnya.
~ 116 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Data meteorologi yang didapatkan berupa data suhu udara (minimum dan maksimum), kelembaban udara (minimum, maksimum, dan rata-rata), kecepatan angin, curah hujan, dan radiasi gelombang pendek masuk. Data-data tersebut diolah dengan menggunakan model evapotranspirasi acuan FAO-56 PM yang merupakan hasil pengembangan model evapotranspirasi oleh Allen et al. (1998). Persamaan tersebut ialah:
E
0.408 P
900 273
( n- ) 1
0.34 u
u es - e
(3.1)
Keterangan, Rn = Radiasi netto di atas tajuk tanaman (MJ m-2 hari-1), G = Kerapatan fluks bahang tanah (MJ m-2 hari-1), T = Suhu udara rata-rata pada ketinggian 2 meter (oC), u2 = Kecepatan angin pada ketinggian 2 meter (m s-1), ∆ = Kemiringan kurva tekanan uap air (kPa oC-1),
= Konstanta psikometrik (kPa oC-1), es = Tekanan uap air
jenuh (kPa), ea = Tekanan uap air aktual (kPa) dan (es – ea) = defisit tekanan uap air jenuh (kPa). Data citra satelit Landsat diolah dengan menggunakan konsep kesetimbangan energi yang masuk ke permukaan. Radiasi netto dihasilkan dari radiasi gelombang pendek masuk yang telah dikurangi dengan pemantulan permukaan dan pengemisiannya dalam bentuk radiasi gelombang panjang. Persamaan neraca energi yang digunakan yaitu: (3.2) Keterangan, Rn = Radiasi netto (Watt m-2), G = Kerapatan fluks bahang tanah (Watt m-2), H = Kerapatan fluks bahang terasa (Watt m-2), dan λLE = Kerapatan fluks bahang laten penguapan (Watt m-2). Komponen λLE yang akan lebih dikaji dan dijadikan sebagai input dalam model evapotranspirasi remote sensing, agar dihasilkan nilai ET untuk cakupan spasial yang lebih luas. 4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penyusunan Model Nilai ET FAO-56 PM memiliki selang nilai yang berkisar dari 2.67 mm hingga 5.62 mm (Tabel 1). Keragaman evapotranspirasi dipengaruhi oleh adanya perbedaan waktu dan ketinggian tempat pengamatan. ET bernilai 2.67 mm terjadi di Pakuwon pada 24 Juni 2010 dengan ketinggian 400 meter di atas permukaan laut. Nilai ET Pakuwon selalu lebih rendah dibandingkan dengan ET di stasiun lain. Ini merupakan respon dari adanya perbedaan ketinggian yang berpengaruh pada kondisi suhu yang semakin rendah ~ 117 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
(ElNesr et al., 2011). ET dengan nilai 5.62 mm terjadi di Cimanggu pada 6 Agustus 2009. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh suhu udara rata-rata dan kecepatan angin yang mencapai 27.75ᵒC dan 1.5 ms-1 di wilayah Cimanggu pada waktu pengamatan.
Tabel 1 : Perbandingan evapotranspirasi FAO-56 PM dengan model ET Remote Sensing
LEN
dan ET
(yang telah diberi faktor pembobot)
Waktu
Stasiun
ET FAO-56 PM (mm)
Model Error (%) ET LEN
ET RS
Muara 2 Juli 2005
Cimanggu
4.52
42.7
-1.6
Cimanggu
5.62
57.3
10.6
Pakuwon
4.71
33.1
29.3
Muara
4.45
36.5
8.6
Cimanggu
3.31
20.4
-35.7
Pakuwon
2.67
-18.0
-24.6
Muara
5.48
53.9
13.8
Muara
4.85
47.1
4.0
Cimanggu
4.71
50.4
-9.8
Pakuwon
2.72
-11.3
-32.1
31.2
-3.8
Pakuwon Muara 6 Agustus 2009
24 Juni 2010
12 Agustus 2011
Cimanggu Pakuwon
28 Juni 2012
Rata-rata
Data satelit menghasilkan nilai fluks bahang laten pada sawah dan ladang yang posisi dan luasnya disesuaikan dengan posisi stasiun meteorologi. Fluks bahang laten rata-rata masing-masing wilayah dijadikan sebagai input dalam persamaan model ET LEN.
Model ET
LEN
merepresentasikan model ET remote sensing tanpa pembobotan.
Model ini cenderung memberikan hasil dengan penyimpangan cukup besar, yaitu dengan rata-rata penyimpangan 31% dari data ET FAO-56 PM (Tabel 1). Penyimpangan terkecil terjadi di wilayah Pakuwon dibandingkan dengan dua wilayah lainnya, karena Pakuwon berada di dataran yang lebih tinggi (400 mdpl) dengan variasi
~ 118 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
suhu yang lebih kecil (Suharsono, 1982), sehingga keragaman nilai ET semakin kecil dengan penyimpangan yang lebih kecil pula.
Gambar 1 : Hubungan dan tren nilai evapotranspirasi LEN dengan FAO-56 PM Fluks bahang laten satelit memberikan respon negatif atau penurunan nilai terhadap evapotranspirasi, yaitu ketika fluks bahang laten meningkat maka nilai evapotranspirasi akan menurun. Respon ini mendorong pola garis menurun yang ditandai pula oleh nilai negatif pada slope persamaan regresi yang bernilai -2.25 (Gambar 1). Nilai intersep persamaan tersebut sebesar 10.42 yang mengisyaratkan bahwa ET maksimum yang dapat dihasilkan model yaitu 10.42 mm/hari, karena nilai fluks bahang laten tidak mungkin mencapai negatif. Nilai ini tidak jauh berbeda dengan ET maksimum yang dihasilkan oleh Sivaprakasam et al. (2011) yaitu sebesar 10.82 mm/hari di Tamilnadu, India. Penguapan yang relatif tinggi disebabkan oleh kondisi meteorologi wilayah Tamilnadu yang panas dan lembab. Koefisien slope dan intersepsi tersebut merupakan faktor pembobot C1 dan C2 dalam model ET Remote Sensing. 4.2 Pengujian Model Pengujian model dilakukan sebagai langkah dalam menilai kualitas pendugaan yang dihasilkan oleh model. Parameter pengujian yang digunakan ialah persentase galat, sebaran nilai, dan keragaman data yang dihasilkan. Persentase galat (error) membandingkan besarnya penyimpangan ET Remote Sensing terhadap ET FAO-56 PM. Tanda negatif hanya menunjukkan arah penyimpangan, ke atas atau bawah, sedangkan besarnya penyimpangan dilihat dari titik ~ 119 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
setimbangnya, pada angka nol. Tabel 1 menunjukkan adanya penurunan persentase galat sekitar 10 kali sebagai efek dari faktor pembobotan. Galat pada model tanpa pembobotan mencapai 31.2%, sedangkan pada model dengan pembobotan hanya sebesar 3.8%. Penurunan persentase galat dinilai sebagai peningkatan kualitas estimasi ET, karena kemungkinan adanya galat dalam proses perhitungan ET Remote Sensing akan semakin kecil. Hal ini mendorong penggunaan model ET Remote Sensing yaitu untuk
menghasilkan
nilai
evapotranspirasi spasial harian dengan data penginderaan jauh. Nilai persentase galat terbesar dan terkecil pada ET
LEN
ialah 57.3% dan 11.3%, sedangkan pada ET Remote
Sensing sebesar 35.7% dan 1.6%. Informasi tersebut menunjukkan bahwa penurunan persentase galat berbeda-beda untuk masing-masing pengamatan. Perbedaan ini disebabkan oleh analisis regresi polinomial dan dipengaruhi oleh perbedaan nilai pada pengamatan lainnya.
Gambar 2 : Perbandingan sebaran nilai evapotranspirasi FAO-56 PM dengan ET Remote Sensing sebelum dan setelah diberi faktor pembobot
~ 120 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Sebaran nilai ET FAO-56 PM dan ET hasil penginderaan jauh sebelum diberi pembobotan (ET
LEN)
menunjukkan pola yang sama, yaitu mengikuti sebaran normal.
Nilai ET FAO-56 PM menyebar normal dengan rata-rata 4.3 mm dan standar deviasi 1.05. Nilai ET
LEN
yang terdapat pada Gambar 3a (kiri) memiliki rata-rata dan standar
deviasi yang lebih kecil, yaitu 2.72 mm dan 0.30. Kedua nilai tersebut mengindikasikan bahwa nilai pendugaan ET
LEN
akan lebih kecil dari ET FAO-56 PM. Gambar 3b
(kanan) merupakan ET hasil pembobotan (ET Remote Sensing) dengan rata-rata 4.297 mm atau mendekati rata-rata sebaran nilai ET FAO-56 PM. Keragaman ET Remote Sensing belum dapat menyamai keragaman ET FAO-56 PM, dikarenakan keterbatasan data yang digunakan. Grafik tersebut sudah menunjukkan bahwa model ET Remote Sensing dapat diterapkan dengan baik untuk mendapatkan nilai evapotranspirasi spasial dengan menggunakan data satelit.
5.
KESIMPULAN Nilai evapotranspirasi spasial dapat dihasilkan dari pengamatan satelit dengan
memanfaatkan informasi fluks bahang laten permukaan dalam model .
Model ini telah mampu menghasilkan nilai evapotranspirasi
dengan persentase galat sebesar 4% dari hasil ET FAO-56 Penman-Monteith. Sebaran statistik ET
Remote Sensing
telah mendekati sebaran nilai ET FAO-56 PM, dengan tingkat
keragaman 67% dari keragaman nilai ET FAO-56 PM.
UCAPAN TERIMA KASIH Kami ucapkan terima kasih kepada staf Balitklimat, khusunya Ibu Karmila dan Ibu Tuti yang telah memberikan akses data meteorologi.
DAFTAR RUJUKAN Allen, R. G., Pereiro, L. S., Raes, D., and Smith, M., Crop Evapotranspiration: Guidelines for Computing Crop Requirements, FAO Irr. Drain. paper 56, 1–300, 1998. de Bruin, H., From penman to makkink. In: Hooghart, C. (Ed.). Evaporation and Weather: Proceedings and Information, TNO Comm. Hydro. Res.: The Hague, 28, 5–30, 1987.
~ 121 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
ElNesr, M., Alazba, A., and Amin, M., Estimation Of Shortwave Solar Radiation In The Arabian Peninsula; A New Approach, Solar Radiation, Under review, 2011. Gurtz, J., Baltensweiler, A., and Lang, H., Spatially Distributed Hydrotope-Based Modeling of Evapotranspiration and Runoff in Mountainous Basins, Hydro. Proc., 13 (17), 2751–2768, 1999. Handoko, Klimatologi Dasar, Bogor, IPB Pr., 1994. Hargreaves, G. H. and Allen, R. G., History And Evaluation Of Hargreaves Evapotranspiration Equation, J. Irr. Drain. Eng., 129 (1), 53–63, 2003. Hargreaves, L. G., Hargreaves, G. H., and Riley, J. P., Irrigation Water Requirements for Senegal River Basin, J. Irr. Drain. Eng., 129(1), 53–63, 1985. Itensifu, D., Elliott, R. L., Allen, R. G., and Walter, I. A., Comparison of Reference Evapotranspiration Calculations as Part of the ASCE Standardization Effort, J. Irr. Drain. Eng., 129 (6), 440–448, 2003. Ni, G., Li, X., Cong, Z., Sun, F., and Liu, Y., Temporal and Spatial Characteristics of Reference Evapotranspiration in China, Nongye Gongcheng Xuebao/Transaction of the Chinese Soc. Agri. Eng., 22 (5), 1–4, 2006. Sivaprakasam, S., Murugappan, A., and Mohan, S., Modified Hargreaves Equation for Estimation of ET0 in a Hot and Humid Location in Tamilnadu State India, Inter. J. Eng. Scien. Tech., 3(1), 592–600, 2011. Suharsono, H., Beberapa aspek iklim Bogor, Skripsi, Jurusan Agrometeorologi Departemen Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, 1982. Thornthwaite, C. W., An Approach Toward a Rational Classification of Climate, Geogr. Rev., 38(1), 55–94, 1948.
~ 122 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
KARAKTERISTIK GELOMBANG KELVIN EKUATORIAL ATMOSFERIK DIBAWAH PENGARUH EL NIÑO-OSILASI SELATAN *Faiz Rohman Fajary1,2, Sandro Wellyanto Lubis1,3, Sonni Setiawan1 1
Department of Geophysics and Meteorology, Bogor Agricultural University (IPB), Indonesia 2 Earth Sciences, Institut Teknologi Bandung (ITB), Indonesia 3 Physics of the Atmosphere, GEOMAR Helmholtz Centre for Ocean Research Kiel , Germany *
[email protected]
Abstract The purpose of this research is to qualitatively analyze characteristics of atmospheric equatorial Kelvin waves using space-time spectral analysis (STSA) of zonal wind perturbation at the 100-hPa level (tropopause) in Normal (1990), La Niña (1988–1989), and El Niño (1997–1998) conditions. Kelvin waves propagate eastward with an implied phase velocity of ~17.4 m/s and are predominantly excited in the tropopause by deep tropical convections. Energy of Kelvin waves during the Normal, the El Niño, and the La Niña events is strongly observed in tropopause of Indonesia, however the existing energy during the La Niña becomes stronger than in the Normal. As for the El Niño event, the existing energy of the waves in tropopause of central and eastern Pasific is significantly stronger than to those in the Normal and the La Niña. Keywords: ENSO, Kelvin Waves, STSA, Tropopause Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis secara kualitatif karakteristik gelombang Kelvin ekuatorial atmosferik dengan menggunakan STSA (space-time spectral analysis) pada angin zonal level 100-hPa (tropopause) pada kondisi Normal (1990), La Niña (1988–1989), dan El Niño (1997–1998). Gelombang Kelvin merambat dengan kecepatan fase ~17.4 m/s ke arah timur dan secara dominan dibangkitkan di tropopause oleh konvektif tropis kuat. Energi gelombang Kelvin pada kondisi Normal, El Niño, dan La Niña sama-sama menguat di tropopause kepulauan Indonesia, tetapi pada kondisi La Niña energi gelombang Kelvin di tropopause kepulauan Indonesia lebih kuat dibandingkan dengan kondisi Normal. Pada kondisi El Niño energi gelombang Kelvin di tropopause Samudra Pasifik bagian tengah dan timur lebih kuat dibandingkan dengan kondisi Normal dan La Niña. Kata Kunci : ENSO, Gelombang Kelvin, STSA, Tropopause 1.
PENDAHULUAN Gelombang Kelvin ekuatorial atmosferik merupakan gelombang skala planeter
yang terdapat di atmosfer ekuator. Gelombang ini merambat ke arah timur dan mempunyai kecepatan zonal dan perturbasi geopotensial [tidak terdapat perturbasi angin meridional] yang meluruh secara Gaussian terhadap lintang dan berpusat di ekuator
~ 123 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
(Matsuno 1966, Wallace & Kousky 1968, Holton 2004, Randel & Wu 2005, Setiawan 2010). Gelombang atmosfer di wilayah ekuator memiliki peran dalam interaksi antara troposfer dan stratosfer, khususnya transfer momentum zonal dan ozon (Yang et al 2011). Di samping itu, gelombang tersebut mempengaruhi QBO (quasi-biennial oscillation) (Wallace & Kousky 1968, Maruyama 1969, Yang et al 2011, Yang et al 2012) dan osilasi setengah tahunan di stratosfer atas (Lindzen & Holton 1968). Secara teoritis, gelombang Kelvin dapat dipahami dengan cara menurunkan persamaan-persamaan gerak atmosfer yang dilinierkan pada bidang-β ekuator (Matsuno 1966, Holton & Lindzen 1968, Wallace & Kousky 1968, Lubis & Setiawan 2011). Aproksimasi bidang-β digunakan untuk menyelesaikan permasalahan osilasi linear baik di ekuator maupun lintang menengah (Lindzen 1967). Observasi terhadap gelombang Kelvin dilakukan oleh Wallace dan Kousky (1968) dengan menggunakan data radiosonde di stratosfer ekuatorial, Maruyama (1969) dengan menggunakan analisis spektrum pada data angin atas dan suhu di stratosfer-bawah ekuatorial, dan Randel dan Wu (2005) dengan menggunakan data suhu di troposfer-atas dan stratosfer-bawah ekuatorial. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji karakteristik gelombang Kelvin pada kondisi El Niño, La Niña, dan Normal. Pada kondisi El Niño awan konvektif dominan terbentuk di atas wilayah Pasifik tropis bagian tengah dan timur (Murphree & Reynolds 1995), sedangkan saat terjadi La Niña awan konvektif terbentuk lebih dominan di atas wilayah Indonesia. Salah satu sumber pemicu gelombang Kelvin adalah pelepasan panas laten oleh awan konvektif terutama awan jenis cumulonimbus (Lane 2000, Holton 2004, Randel & Wu 2005). Hipotesis awal pada penelitian ini adalah pada kondisi El Niño energi gelombang Kelvin akan kuat teramati di atas wilayah Samudra Pasifik bagian tengah dan timur, sedangkan pada kondisi La Niña energi gelombang Kelvin kuat di atas wilayah Indonesia.
2.
DATA DAN METODE Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data angin zonal (U) dan OLR
(outgoing longwave radiation) dalam satu pita ekuator (15o LU–15o LS) dengan resolusi 2.5o x 2.5o. Data U adalah data harian dengan interval pengamatan enam jam yang diperoleh dari NCAR/NCEP Reanalysis I untuk kondisi Normal (Des 89–Feb 90 [DJFN] & Sep 90–Nop 90 [SON-N]), La Niña (Des 88–Feb 89 [DJF-L] & Sep 88–Nop 88 [SON-L]), dan El Niño (Des 97–Feb 98 [DJF-E] & Sep 97–Nop 97 [SON-E]) di level ~ 124 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
ketinggian 100-hPa (tropopause). El Niño 1997/1998 merupakan salah satu peristiwa El Niño paling kuat yang dimulai sekitar pada pertegahan tahun 1997 dan menghilang pada akhir musim gugur 1998 (Trenberth 1997, Barnston et al 1999). La Niña 1988/1989 dimulai pada bulan Mei 1988 dan berakhir pada bulan Juni 1989 (Trenberth 1997). Tabel 1 : Episode hangat (merah) dan dingin (biru) berdasarkan ambang batas ±0.5oC rata-rata tiga bulan berjalan anomali SST di wilayah Niño 3.4 pada tahun 1988/1989 (La Niña), 1990 (Normal), dan 1997/1998 (El Niño) (Sumber: NOAA 2012). Tahun
DJF
MAM
JJA
SON
1988
0.7
-0.2
-1.3
-1.6
1989
-1.7
-0.8
-0.3
-0.3
1990
0.1
0.2
0.3
0.3
1997
-0.4
0.4
1.7
2.4
1998
2.3
1
-0.5
-1.1
Berdasarkan Tabel 1, ONI (Oceanic Niño Index) minimum pada kondisi La Niña (1988/1989) terjadi pada periode SON dan DJF dan ONI maksimum pada kondisi El Niño (1997/1998) terjadi pada periode SON dan DJF. Oleh karena itu, untuk mengkaji karakteristik gelombang Kelvin pada tiga kondisi ini (Normal, La Niña, dan El Niño), periode dominan yang akan digunakan adalah SON dan DJF pada masing-masing kondisi, dengan kontrol adalah kondisi Normal (SON-N & DJF-N). Data rata-rata harian OLR diperoleh dari NOAA (National Oceanic & Atmospheric Administration). Data OLR dapat digunakan untuk mengestimasi lokasi dan intensitas pusat awan konvektif tropis dan panas laten. Nilai anomali OLR diperoleh dengan cara menghilangkan efek seasonal dan tren pada data, menggunakan teknik pemulusan FFT. Semakin rendah nilai anomali OLR, menunjukkan semakin tebal dan besar tutupan awan, sehingga energi pelepasan panas laten akan semakin tinggi terjadi. Metode utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah STSA (Space-Time Spectral Analysis). Metode ini digunakan untuk mempelajari gelombang yang merambat secara zonal dan mendekomposisikan medan data kedalam komponen ruang dan waktu (bilangan gelombang dan frekuensi) yang merambat ke arah barat dan timur (Hayashi 1982, Wheeler & Kiladis 1999 [selanjutnya disebut WK99]). Perbedaan penelitian ini dengan WK99 terletak pada penggunaan data, dimana data utama yang
~ 125 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
kami gunakan befokus pada komponen angin yang akhirnya akan dikombinasikan dengan variasi nilai OLR anomali. Untuk menghindari aliasing; tren dan siklus musiman pada data angin zonal dihilangkan. Proses kompleks FFT (Fast Fourier Transform) dilakukan pada medan data dalam bujur untuk mendapatkan koefisien-koefisien Fourier pada masing-masing waktu dan lintang. Kemudian, dilakukan proses kompleks FFT lanjut dalam waktu terhadap koefisien-koefisien Fourier tersebut untuk merekonstruksi spektrum dalam fungsi bilangan gelombang dan frekuensi pada masing-masing lintang. Spektrum daya (power spectrum) angin zonal dirata-ratakan selama waktu kajian dan dijumlahkan dalam lintang (150 LU–150 LS) (WK99). Panjang temporal window (nDayWin) yang digunakan dalam STSA adalah 80 hari, sedangkan panjang hari untuk melewati antar temporal windows (nDaySkip) adalah 30 hari. Dalam struktur horizontal, gelombang ekuatorial linier dapat dibagi menjadi tipe simetris dan asimetris terhadap ekuator dalam fungsi lintang ( ). Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:
, dimana
merupakan komponen asimetris, dan
merupakan
komponen simetris (WK99). Dimana, untuk gelombang dengan mode meridional (n) ganjil (genap), struktur horizontal dari medan perturbasi adalah simetris (asimetris) terhadap ekuator (WK99). Gelombang Kelvin memiliki n = –1 (ganjil) (Matsuno 1966) sehingga medan data dari gelombang Kelvin adalah simetris terhadap ekuator. Dalam penelitian ini, produk utama dari STSA adalah spektrum daya angin zonal dalam domain bilangan gelombang (k)-frekuensi (ω), dimana bilangan gelombang maksimum adalah 15 dan frekuensi (nyquist) adalah 0.5 siklus per hari. Selain itu, dalam penelitian ini, kami hanya menggunakan komponen simetris, mengingat struktur horizontal gelombang Kelvin memiliki karakteristik simetris relatif terhadap lintang. Proses filtrasi pada gelombang Kelvin dilakukan dengan kriteria sebagai berikut: bilangan gelombang (k) adalah 1–14, kedalaman ekuivalen (equivalent depth [H]) adalah 8–90 m, dan periode (T) adalah 2.5–20 hari.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Karakteristik Gelombang Kelvin pada Kondisi Normal, El Niño, dan La Niña Setelah melakukan invers terhadap spektrum kuasa bilangan gelombangfrekuensi dengan k=1–14, H=8–90 m, dan T=2.5–20 hari, nilai rekontruksi perturbasi angin zonal yang berasosiasi kuat dengan gelombang Kelvin dapat diperoleh. ~ 126 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Berdasarkan Gambar 1, ciri-ciri utama yang terlihat dari gelombang Kelvin yang telah diisolasi adalah bahwa perturbasi angin zonal bersifat simetris dan memiliki puncak di sekitar ekuator. Nilai modulasi angin zonal meluruh secara eksponensial dengan bertambahnya posisi lintang. Arah fasa perambatan adalah timuran, mengikuti fungsi kurva dispersif teoritik gelombang Kelvin, dan dengan laju perambatan berkisar pada ~17.4 m/s. Karateristik gelombang Kelvin yang diperoleh ini bersesuaian dengan konsep pemodelan linear gelombang Kelvin yang diturunkan dalam basis persamaan perairan dangkal barotropik (Matsuno 1966, Wallace &Kousky 1968, Holton 2004, Randel & Wu 2005, Setiawan 2010). Gambar 2a–7a menunjukkan distribusi spasial varians angin zonal untuk gelombang Kelvin pada masing-masing kondisi kajian. Secara umum nilai varians perturbasi angin zonal yang berasosiasi dengang gelombang Kelvin memiliki pucak di sekitar ekuator, dan meluruh dengan bertambahnya posisi lintang . Pola yang diperoleh ini secara umum bersesuaian dengan nilai osilasi perturbasi OLR gelombang Kelvin yang ditemukan sebelumnya oleh WK99 (Gambar 7e dan 7f dalam WK99). Pada periode SON-N (Gambar 2a), energi gelombang Kelvin menguat di tropopause benua Afrika, dan Samudra Pasifik bagian barat sampai dengan Samudra Atlantik. Nilai maksimum amplitudo gelombang pada kondisi normal SON-N berada di tropopause kepulauan Indonesia. Kuatnya energi gelombang Kelvin pada periode kajian ini bersesuaian dengan semakin rendahnya nilai varians anomali OLR yang teramati (Gambar 2b), khususnya di sekitar kepulauan Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa gelombang Kelvin pada periode ini umumnya dipicu oleh pelepasan panas laten dari aktivitas pertumbuhan awan-awan konvektif. Pada periode DJF-N (Gambar 3a), energi yang teramati relatif lebih kuat dan menyebar cukup seragam di sepanjang pita ekuator. Perluasan nilai varians ini bersesuaian dengan perluasan secara garis bujur distribusi keawanan yang diindikasikan oleh penyebaran nilai anomali OLR yang lebih rendah dibandingkan pada periode SON-N
~ 127 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Gambar 1 : Gelombang Kelvin ekuatorial dengan bilangan gelombang 1–14, periode 2.5–20 hari, dan kedalaman ekuivalen 8–90 m. Arah propagasi adalah timuran.
a)
b) Gambar 2 : Periode SON-N a) distribusi spasial varians gelombang Kelvin b) distribusi spasial anomali OLR.
~ 128 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
a)
b) Gambar 3 : Periode DJF-N a) distribusi spasial varians gelombang Kelvin b) distribusi spasial anomali OLR. .
a)
b) Gambar 4 : Periode SON-E a) distribusi spasial varians gelombang Kelvin b) distribusi spasial anomali OLR.
a)
~ 129 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
b) Gambar 5 : Periode DJF-E a) distribusi spasial varians gelombang Kelvin b) distribusi spasial anomali OLR. Pada periode El-Niño SON-E (Gambar 4a), energi gelombang Kelvin yang teramati umumnya lebih kuat dibandingkan pada kondisi Normal. Tingginya sabuk keawanan yang terbentuk di atas Samudra Pasifik menjadi sumber dinamo utama pemicu bangkitnya gelombang ini. Proses pelepasan panas laten yang ditandai dengan tingginya nilai SST pada tahun-tahun El-Niño menyediakan energi yang substansial untuk mengeksitasi perambatan vertikal dan horizontal gelombang ini hingga mencapai lintang tengah. Selain itu, rendahnya sabuk keawanan pada bagian timur Pasifik, yang diindikasikan dengan rendahnya nilai OLR anomali, dapat digunakan juga untuk menspekulasi energi pemicu gelombang Kelvin via panas laten yang dilepaskan oleh proses mikrofisik awan-awan konvektif. Selanjutnya, pada periode DJF-E, nilai varians menjadi dua kali lebih kuat dan lebih meluas ke timur Samudra Atlantik. Tingginya aktivitas pada DJF-E ini, merupakan impilikasi dari penguatan aktivitas gelombang Kelvin di kepulauan maritim dan Samudra Hindia, yang pada akhirnya merambat ke timur dan membawa energi hingga ke tropopause Samudra Pasifik bagian tengah dan barat (hasil kalkulasi energi kinetik tidak ditampilkan disini).
a)
~ 130 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
b) Gambar 6 : Periode SON-L a) distribusi spasial varians gelombang Kelvin b) distribusi spasial anomali OLR.
a)
b) Gambar 7 : Periode DJF-L a) distribusi spasial varians gelombang Kelvin b) distribusi spasial anomali OLR. Pada kondisi La Niña energi gelombang Kelvin di tropopause mengalami pergeseran ke arah barat, dimana varians aktivitas gelombang pada kepulauan Indonesia dan Samudra Hindia memiliki amplitudo yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya dalam satu pita ekuator (Gambar 6a & Gambar 7a). Sama halnya dengan periode El-Niño, penguatan aktivitas ini disebabkan oleh awan konvektif hasil transfer massa uap air dari proses kesetimbang kontinuitas masa udara pada kondisi LaNiña. Hasilnya, aktivitas gelombang Kelvin cenderung lebih dominan terbentuk di atas kepulauan Indonesia dibandingkan di wilayah timur Samudra Pasifik. Energi gelombang Kelvin pada kondisi Normal dan La Niña terlihat sama-sama menguat di tropopause kepulauan Indonesia. Tetapi pada kondisi La Niña energi gelombang Kelvin di atas Indonesia teramati jauh lebih kuat dibandingkan saat kondisi Normal.
3.2 Spektrum Bilangan Gelombang-Frekuensi pada Kondisi Normal, El Niño, dan La Niña Eksistensi gelombang Kelvin dengan menggunakan STSA ditunjukkan pada Gambar 8. Berdasarkan hasil STSA, terdapat aktivitas gelombang Kelvin pada semua waktu kajian pada kondisi Normal, El Niño, dan La Niña. Namun, aktifitas gelombang ~ 131 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Kelvin pada periode El-Niño DJF-E (Gambar 8d) cenderung lebih kuat dibandingkan dengan periode-periode lainnya. Hal ini memberikan konfirmasi terhadap tingginya nilai distibusi varians yang telah kami temukan sebelumnya. Distribusi spasial varians gelombang Kelvin (Gambar 2a–7a) juga menunjukkan bahwa aktifitas gelombang Kelvin pada periode DJF-E (Gambar 5a) memiliki aktivitas yang terkuat.
a)
b)
c)
d)
~ 132 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
e)
ISBN : 978-979-1458-73-3
f)
Gambar 8 : Komponen simetris spektrum daya (m2/s2) bilangan gelombang-frekuensi angin zonal di level 100-hPa untuk a) SON-N b) DJF-N c) SON-E d) DJF-E e) SON-L f) DJF-L. Secara teoritik, laju gelombang (c) dapat diperoleh dengan menggunakan nilai kedalaman ekuivalen (H) berdasarkan persamaan gelombang perairan dangkal barotropik dalam bidang beta,
√
, dimana g adalah percepatan gravitasi. WK99
mengisolasi gelombang Kelvin pada kisaran nilai H=8–90 m, dimana sinyal varians gelombang Kelvin dominan terletak di sekitar H=25 m (Gambar 6b dalam WK99), sedangkan dalam penelitian ini nilai maksimum spectra daya umumnya menempati posisi H=8–150 m, dengan sinyal varians gelombang Kelvin dominan terletak di sekitar H=50 m (Gambar 8b dan 8d). Nilai ini menunjukkan bahwa laju perambatan gelombang Kelvin yang termati pada penelitian ini memiliki laju fasa yang lebih cepat dibandingkan yang ditemukan oleh WK99. Hal ini disebabakan karena gelombang Kelvin yang termatai pada level 100-hPa merupakan fase transisi dari gelombang yang bersifat lembab “moist” menuju gelombang yang bersifat kering “dry”. Gelombang yang ter-couple secara kuat dengan proses konvektif cenderung memiliki bilangan gelombang vertikal dan kedalaman ekuivalen yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan gelombang kering, dan hal ini akhirnya akan berimplikasi pada perlambatan laju fasa gelombang.
~ 133 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
4
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
KESIMPULAN Gelombang Kelvin merambat dengan kecepatan fasa sekitar ~17.4 m/s ke arah
timur. Tingginya sabuk keawanan yang terbentuk di atas Samudra Hindia dan Pasifik menjadi sumber dinamo utama pemicu bangkitnya gelombang Kelvin. Pada kondisi ElNiño (La-Niña), aktivitas gelombang Kelvin bermigrasi ke arah timur (barat), mengikuti proses pertumbuhan awan konvektif dan pelepasan panas laten di atas samudra. Proses pelepasan panas laten yang ditandai dengan nilai SST yang tinggi pada tahun-tahun ElNiño menyediakan energi yang substansial untuk mengeksitasi perambatan vertikal dan horizontal gelombang Kelvin hingga mencapai lintang tengah. Analisis STSA menunjukkan bahwa eksistensi gelombang Kelvin pada periode El-Niño DJF-E memiliki nilai spektrum yang paling dominan dibandingkan dengan periode-periode lainnya. Tingginya laju fasa pada penelitian ini menunjukan bahwa gelombang Kelvin yang teramati merupakan gelombang transisi dari lembab „moist’ menuju kering „dry’.
DAFTAR RUJUKAN Barnston, A. G., Glantz, M. H., and He, Y., Predictive Skill of Statistical and Dynamical Climate Models in SST Forecasts during the 1997–98 El Niño Episode and the 1998 La Niña Onset, Bull. Amer. Meteor. Soc., 80(2), 217–243, 1999. Hayashi, Y., Space-Time Spectral Analysis and Its Applications to Atmospheric Waves, J. Meteorol. Soc. Jpn., 60(1), 156–171, 1982. Holton, J. R., An Introduction to Dynamics Meteorology, Ed ke–4, Burlington: Elsevier, 2004. --------------- and Lindzen, R. S., A Note on Kelvin Waves in the Atmosphere, Mon. Wea. Rev., 96(6), 385–386, 1968. Lane, T. P., Reeder, M. J., and Clark. T. L., Numerical Modeling of Gravity Wave Generation by Deep Tropical Convection, J. Atmos. Sci., 58, 1249–1274, 2000. Lindzen, R. S., Planetary Waves on Beta-Planes, Mon. Wea. Rev., 95(7), 441–451, 1967. -------------- and Holton, J. R., A Theory of the Quasi-Biennial Oscillation, J. Atmos. Sci., 25, 1095–1107, 1968. Lubis, S. W. and Setiawan. S., Theoretical Simulation of Free Atmospheric Planetary Waves on an Equatorial Beta-Plane, J. Theor. Comput. Stud., 1–17, 2011. Maruyama, T., Long-Term Behavior of Kelvin Waves and Mixed Rossby-Gravity Waves, J. Meteorol. Soc. Jpn., 47(4), 245–254, 1969. ~ 134 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Matsuno, T., Quasi-geostrophic Motions in the Equatorial Area, J. Meteorol. Soc. Jpn., 44(1), 25–42, 1966. Murphree, T. and Reynolds, C., El Niño and La Niña Effects on the Northeast Pacific: The 1991–1993 and 1988–1989 Events, CalCOFl., 36, 45–56, 1995. [NOAA] National Oceanic & Atmospheric Administration, Cold and warm episodes by season,
[terhubung
berkala],
http://www.cpc.ncep.noaa.gov/products/
analysis_monitoring/ensostuff/ensoyears.shtml, [17 Nov 2012], 2012. Randel, W. J. and Wu, F., Kelvin Wave Variability near the Equatorial Tropopause Observed in GPS Radio Occultation Measurements, J. Geophys. Res., 110, 1–13, 2005. Setiawan, S., Perumusan Struktur Horizontal dan Struktur Vertikal Gelombang Atmosfer Ekuatorial Planeter. Bogor: Institut Pertanian Bogor, 2010. Trenberth, K. E., The Definition of the El Niño, Bull. Amer. Meteor. Soc., 78(12), 2771–2777, 1997. Wallace, J. M. and Kousky, V. E., Observational Evidence of Kelvin Waves in the Tropical Stratosfer, J. Atmos. Sci., 25, 900–907, 1968. Wheeler, M. and Kiladis, G. N., Convectively Coupled Equatoril Waves: Analysis of Clouds and Temperature in the Wavenumber-Frequency Domain, J. Atmos. Sci., 56, 374–399, 1999. Yang, G. Y., Hoskins, B. J., and Slingo, J. M., Equatorial Waves in Opposite QBO Phases, J. Atmos. Sci., 68, 839–862, 2011. ---------------------------, and Gray, L., The Influence of the QBO on the Propagation of Equatorial Waves into the Stratosphere. J. Atmos. Sci., 69, 2959–2982, 2012.
~ 135 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
ANALISIS DAN PEMETAAN SAMBARAN PETIR WILAYAH BALI DAN SEKITARNYA TAHUN 2012 I Putu Dedy Pratama BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) Stasiun Geofisika Denpasar e-mail:
[email protected]
Abstract Lightning services in Denpasar Geophysics Station is quite important for the region Bali and surrounding areas since this area is prone to lightning hazard. This area has topography that allows the growth of convective clouds in the southern waters around Bali and also the mountains in the area Batukaru, Batur, and Besakih. Recorded this area has reached 91 days of thunder per day per year. In the year 2012 Denpasar Geophysics Station received six reports from public and one person killed by lightning strikes reported by Bali Post. The news and the reports used as a comparatorbetween position and time event of actual strike with therecord of the Lightning Detector. Based on the analysis of data processing and mapping of density strikes vary by region depending on the season, topography, evaporation, and the upward movement of air masses. Areas with a high strike occurred in waters south of Tabanan, the island of Nusa Penida, Padang Bay bay, and the mountains to the topography of 200-1000 m AMSL. Highest lightning activity occurs in the rainy season in December 2012. Distribution pattern of daily lightning strikes has two peaks with the semi-diurnal pattern in which an increase in lightning activity at 14:00 and 02:00 local time. Keywords: lightning, Lightning Detector, topography, density strikes Abstrak Pelayanan jasa petir di Stasiun Geofisika Denpasar cukup penting bagi wilayah Bali dan sekitarnya karena daerah ini merupakan daerah rawan bencana petir. Daerah ini mempunyai topografi yang memungkinkan tumbuhnya awan-awan konvektif di sekitar perairan selatan Bali dan juga pegunungan di wilayah Batukaru, Batur, dan Besakih. Tercatat daerah ini memiliki hari guruh mencapai 91 hari per tahun. Dalam tahun 2012 Stasiun Geofisika Denpasar mendapat laporan sambaran petir dari masyarakat sebanyak enam laporan dan tercatat dua korban tewas akibat sambaran petir menurut media Bali Post dan Fajar Bali. Dari laporan dan berita tersebut digunakan sebagai pembanding antara posisi dan waktu kejadian sambaran aktual dengan rekaman alat Lightning Detector. Berdasarkan analisa pengolahan data dan pemetaan kerapatan sambaran petir bervariasi setiap wilayah tergantung pada musim, topografi, penguapan, dan pergerakan naik massa udara. Daerah dengan sambaran tinggi terjadi di perairan selatan Tabanan, Pulau Nusa Penida, teluk Padang Bay, dan wilayah pegunungan dengan topografi 2001000m DPL. Aktivitas petir tertinggi terjadi pada musim penghujan yaitu pada bulan Desember 2012. Pola distribusi sambaran petir memiliki dua puncak dengan pola semidiurnal dimana terjadi peningkatan aktivitas petir pada pukul 02.00 dan 14.00 waktu lokal. Kata kunci : Petir, Lightning Detector, topografi, kerapatan sambaran
~ 136 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
1.
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
PENDAHULUAN Bali merupakan daerah potensi rawan petir. Daerah ini mempunyai topografi yang
memungkinkan tumbuhnya awan-awan konvektif dan di sekitar lereng pegunungan dengan bentuk geomorfologi yang landai dan curam selain itu perairan selatan Bali juga menyuplai uap air yang tinggi memungkinkan pertumbuhan awan konvektif dan arus konveksi (Dedy, 2013). Dengan daerah padat penduduk dan keunggulan pariwisata menjadikan Bali sebagai citra Indonesia di mata dunia dalam pelayanan jasa petir. Seringkali ada laporan dari masyarakat termasuk dunia pariwisata akan adanya sambaran petir. Untuk itu dipasang alat pemantau petir secara real time untuk mendeteksi dan merekam kejadian petir wilayah Bali dan sekitarnya. Selanjutnya dibuat pemetaan kerapatan petir untuk mengetahui daerah-daerah yang rawan terhadap aktivitas petir. Stasiun Geofisika Denpasar adalah Unit pelaksana Teknis Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) di wilayah Bali dan sekitarnya yang melakukan pengamatan petir (listrik udara) untuk wilayah Bali dan sekitarnya. Alat pendeteksi petir tersebut adalah Lightning Detector (LD).
2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Petir Petir merupakan pelepasan muatan elektrostatis berasal dari badai guntur. Pelepasan muatan ini disertai dengan pancaran cahaya dan radiasi elektromagnetik lainnya. Pada musim hujan petir perlu diwaspadai, petir biasanya muncul pada saat akan hujan atau ketika hujan sudah turun. Namun, bukan berarti setiap hujan dan mendung akan selalu disertai petir dan hanya terjadi jika ada awan Cumulonimbus (Cb). Awan Cumulonimbus adalah awan yang terjadi sangat cepat akibat pemanasan tinggi di permukaan Bumi. Pemanasan di permukaan Bumi ini mendorong uap air naik ke atas dengan cepat. Oleh karena itu, ciri-ciri awan Cumulonimbus adalah bentuknya yang menggumpal seperti kapas dan membubung tinggi di langit (Husni, 2002). 2.2. Lightning Detector Prinsip kerja dari Storm Tracker adalah mendeteksi sinyal radio yang dihasilkan oleh sambaran petir. Storm Tracker mendeteksi sinyal radio frekuensi rendah (low frequency) yang dihasilkan oleh lecutan kilat (10 kHz sampai 200 kHz) dan menggunakan Direction Finding antena untuk menentukan arah darimana kilat datang. Setiap antena memiliki radius jangkauan potensial dengan radius mencapai 300 mil. Analisa software ~ 137 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
menyaring
gangguan
Bandung, 28 Agustus 2013
dan
membuat
informasi
ISBN : 978-979-1458-73-3
sambaran
lebih
akurat
(http://www.boltek.com/stormtracker.html).
Gambar 1 : Antena luar dan bagian hardware Boltek Storm Tracker (Boltek, 2013)
3.
DATA DAN METODE
3.1. Data Data yang digunakan adalah data petir periode tahun 2012 Stasiun Geofisika Denpasar, peta rupa bumi dan kontur topografi wilayah Bali dan sekitarnya. Pemetaan dan analisa kerapatan meliputi wilayah Bali dan sekitarnya dengan batasan daerah 7,680 LS – 9,680 LS dan 114,210 BT – 116,210 BT. Lokasi sensor berada di Stasiun Geofisika Denpasar di koordinat 8,680 LS dan 115,210 LS. 3.2. Metode Pengolahan data menggunakan Lightning/2000 dengan merubah ekstensi .ldc ke format .kml, selanjutnya konversi data petir harian format .kml menjadi .xlsx dengan Microsoft Excel 2007, kemudian disimpan dengan format .csv (comma delimited). Clustering kejadian petir dengan pembagian tiap kluster 40 x 40 grid, dan perhitungan kejadian petir per grid dengan menggunakan software Lightning Data Processing. Proses pemetaan selanjutnya dilakukan menggunakan Surfer 10. Secara garis besar, penelitian dilakukan berdasarkan pemetaan petir yang dioverlay dengan kontur topografi wilayah Bali, pembandingan sampel citra satelit NOAA serta laporan masyarakat dan media, dan pembuatan grafik distribusi petir per jam.
~ 138 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
4.
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
HASIL DAN PEMBAHASAN Produk dan layanan data petir yang dilakukan oleh Stasiun Geofisika Denpasar
dibuat dalam bulletin tahunan dan bulanan stasiun, buletin Balai Besar BMKG Wilayah 3, serta tujuan penelitian maupun skripsi mahasiswa. Permintaan data petir juga digunakan untuk klaim asuransi masyarakat maupun lembaga. Laporan masyarakat dan data citra satelit NOAA dijadikan pembanding apakah alat bekerja dengan baik dalam penentuan posisi dan waktu kejadian ditambah dengan laporan sambaran petir dari media. Berikut adalah daftar laporan kejadian petir dari masyarakat dan berita media : Tabel 1 : Laporan kejadian petir tahun 2012 daerah Bali Sumber
Lokasi
Tanggal Kejadian Waktu (WITA)
PT. Tower Bersama Group
Unggasan-Badung
4 Februari 2012
Chedi Club
Tengkulak-Gianyar 1 Maret 2012
23.00-24.00 15.00-16.00
PT. BCA Tbk. KCU Denpasar Denpasar
17 Maret 2012
22.00-23.00
Eddy Sagita
Gianyar
8 Desember 2012
22.00-24.00
Alit Artama
Payangan-Gianyar
10 Desember 2012
01.00-02.00
Four Seasons Resort
Jimbaran-Badung
13 Desember 2012
-
Bali Post
Kintamani-Bangli
21 Desember 2012
-
Fajar Bali
Penatih-Denpasar
30 Desember 2012
Sekitar 15.00
a
b
c
d
Gambar 2 : (a) Berita sambaran petir daerah Kintamani (Bali Post 23 Desember 2012) dan (b) Analisa waktu kejadian dan lokasi petir dengan LD 2000 (c) Citra satelit NOAA-16 mencitrakan jenis awan Cb (titik merah) yang terjadi pada 28 Maret 2013 pukul 01:28 UTC (d) Plot kejadian petir satu jam sebelum dan sesudah pukul 01:28 UTC tanggal 28 Maret 2013. Aktivitas petir umumnya meningkat pada musim penghujan dan pancaroba. Untuk tahun 2012 di wilayah Bali dan sekitarnya aktivitas petir tinggi terjadi pada musim
~ 139 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
penghujan yaitu bulan Januari s.d. Maret dan November s.d. Desember terlihat dari perbandingan strong stroke pada Grafik 1.
Grafik 1 : Jumlah stong stroke dalam persen tahun 2012 dengan aktifitas tertinggi terjadi pada bulan Desember mencapai 41%
Gambar 2 : Perbandingan frekuensi sambaran terhadap waktu per jam Stasiun Geofisika Denpasar tahun 2012 Wilayah yang memiliki aktivitas petir tinggi untuk perairan berada di daerah selatan kabupaten Tabanan mencapai kerapatan hingga di atas 1500 kali sambaran. Ini menunjukkan daerah tersebut memiliki pemanasan dan penguapan yang cukup tinggi. Sedangkan pada wilayah daratan, aktivitas tertinggi terjadi pada wilayah pegunungan Batukaru, Batur, dan Agung, Pulau Nusa Penida dan teluk Padang Bay (Gambar 3). Hubungan antara kerapatan petir dan ketinggian mengindikasikan korelasi positif. Kerapatan petir cenderung konstan pada ketinggian 100-700 m DPL dan terjadi peningkatan pada ketinggian 700-1200 m DPL (Bavika, 2007). Untuk wilayah daratan Bali petir umumnya terjadi pada daerah ketinggian 200-1000 m DPL dengan topografi lereng pegunungan selatan dengan kemiringan curam. Namun, pada sisi utara lereng pegunungan
~ 140 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
kerapatan petirnya lebih rendah karena udara lembab tertahan pada sisi selatan sehingga sisi utara memperoleh udara kering (Gambar 3).
Gambar 3 : Peta kerapatan petir di-overlay dengan peta topografi wilayah Bali dan sekitarnya Berdasarkan Grafik 1 sambaran petir maksimum terjadi pada pukul 14.00 dan terendah pada pukul 09.00 waktu lokal. Terjadi 2 puncak maksimum aktivitas petir yaitu pukul 02.00 dan 14.00 waktu lokal. Grafik semi diurnal ini menyerupai dengan penelitian petir yang dilakukan oleh Xie, dkk (2013). Pada pukul 14.00 aktivitas petir meningkat karena pengaruh dari pengangkatan massa udara akibat dari pengaruh orografi dimana pada siang hari dengan puncaknya pukul 12.00 terjadi angin lembah yang bertiup dari lereng ke gunung atau bukit. Perlu waktu bagi uap air untuk membentuk awan Cumulonimbus (Cb). Pada wilayah perairan maksimum pukul 14.00 karena adanya pengaruh panasnya permukaan daerah perairan yang memicu peningkatan uap air dan pergerakan massa udara ke atas sehingga terbentuk awan konvektif. Pada pukul 02.00 aktivitas petir terjadi karena desakan massa udara dingin dari angin darat yang bertemu dengan massa udara hangat di lautan pada malam hari menimbulkan naiknya massa udara hangat yang mengandung uap air. Pengangkatan ini menimbulkan pembentukan awan cumulonimbus meningkat pada malam hari, dimana tahap matang dan proses terjadinya petir terjadi pada dini hari.
~ 141 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
5.
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
KESIMPULAN Data sambaran petir cukup akurat untuk memperhitungkan posisi dan waktu
kejadian sambaran petir pada suatu daerah. Pada pemetaan dengan overlay kontur topografi menunjukkan hubungan antara kerapatan petir dan ketinggian mengindikasikan korelasi positif hingga batas ketinggian tertentu. Untuk wilayah dataran rendah, aktivitas petir cenderung konstan. Pola distribusi sambaran petir memiliki dua puncak semi diurnal dengan pengaruh lokal akibat adanya pemanasan perairan dan orografi pada siang hari serta pertemuan dua massa udara yang berbeda di wilayah perairan pada malam hari.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan terima kasih kepada kepala dan seluruh staf Stasiun Geofisika Denpasar atas kerjasamanya dalam pengumpulan data petir harian maupun bulanan serta diskusi dalam penyusunan buletin tahunan.
DAFTAR RUJUKAN Bali Post. 2013. Merta Tewas Tersambar Petir, 23 Desember 2012. Bavika, Bhika. 2007. The Infulence of Terrain Elevation on Lighning Density in South Africa, Depatmen of Geography, Environtmental Management and Energy Studies University of Johanenesburg. Boltek. 2013. Boltek Storm Tacker, http://www.boltek.com/stormtrastor.html (diakses Januari 2013). Dedy Pratama, I Putu. 2013. Kawentenan Tatit ring Bali, Bali Post, 3 Maret 2013. Fajar Bali. 2012. Bajak Sawah, Warga Banyuwangi Tewas Tersambar Petir, 30 Desember 2012. Husni, M. 2002. Mengenal Bahaya Petir. Jurnal Meteorologi dan Geofisika. Vol 3. No. 4 Oktober – Desember 2002. Jakarta. Pusdiklat BMKG. 2013. Materi Diklat Geofisika Potensial dan Tanda Waktu, Depok. Xie, Yiran, Kai Xu, Tengfei Zhang, Xuetao Liu. 2013.Five-year Study of Cloud-to-ground Lightning Activity in Yunnan Province, China. Atmospheric Research 129-130, 4957
~ 142 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
ANALISIS PARAMETER METEOROLOGI TERHADAP KONSENTRASI PM10 DI KOTA SURABAYA Iis Sofiati dan Dessy Gusnita Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer-LAPAN Jl. Dr. Junjunan 133, Bandung 40173 Email:
[email protected]
Abstract The influences of meteorological parameters such as wind speed and direction very well to the concentration of pollutants, including PM10. Meanwhile PM10 was an important element in determining of air quality in an area. The purpose of this study was to analyze the influence of meteorological parameters on the PM10 concentration. The data used is three hourly-data meteorological parameters (wind speed and direction, temperature, pressure, and relative humidity) and the concentration of PM10 daily data from 2009 to 2011. Processing of data by the method of statistical averaging is done by using Fortran 77 software. From the results obtained that the maximum concentration of PM10 of approximately 38.36 μg/m3 occured during transition season (March-April-May) with the smallest wind speed average of 6 km/h, and the wind direction comes from the west and east alternately. At the same time, the average temperature reaches 29°C, the average pressure of 1009 hPa and an average relative humidity of 78%. While minimum concentrations of PM10 on averaged about 32.82 μg/m3 occured during the dry season (June-July-August) with the smallest wind speed average of 5 km/h, and the wind direction comes from the east. At the same time, other results showed an average temperature of 28°C, the average pressure of 1011 hPa and an average relative humidity of 73%. Meteorological parameters that most significantly affect to PM10 concentration was the wind direction and speed. Keywords: Wind direction and speed, temperature, pressure, relative humidity, PM10. Abstrak Pengaruh parameter meteorologi seperti arah dan kecepatan angin cukup besar terhadap konsentrasi polutan, diantaranya PM10. Sementara itu PM10 merupakan unsur penting dalam penentuan kualitas udara pada suatu daerah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pengaruh parameter meteorologi terhadap konsentrasi PM10. Data yang digunakan adalah data tiga-jam-an parameter meteorologi (arah dan kecepatan angin, suhu, tekanan, dan kelembaban relatif) dan data harian konsentrasi PM10 dari tahun 2009 sampai 2011. Pengolahan data dengan metoda perata-rataan secara statistik dan dikerjakan dengan menggunakan software Fortran 77. Dari hasil didapat bahwa konsentrasi PM10 rata-rata maksimum 38.36 µg/m3 terjadi pada saat musim transisi (Maret-April-Mei) dengan kecepatan angin terkecil rata-rata 6 km/jam, dan arah angin berasal dari arah Barat dan Timur secara bergantian. Pada saat yang sama, suhu rata-rata mencapai 29°C, tekanan ratarata 1009 hPa dan kelembaban relatif rata-rata sebesar 78%. Sedangkan konsentrasi PM10 rata-rata minimum 32.82 µg/m3 terjadi pada saat musim kering (Juni-Juli-Agustus) dengan kecepatan angin terkecil rata-rata terbesar 8.5 km/jam, arah angin berasal dari arah Timur. Pada saat yang sama, hasil lain menunjukkan suhu rata-rata 28°C, tekanan rata-rata 1011 hPa dan kelembaban relatif rata-rata sebesar 73%. Parameter meteorologi yang paling signifikan berpengaruh terhadap konsentrasi PM10 adalah arah dan kecepatan angin.
~ 143 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Kata kunci: Arah dan kecepatan angin, suhu, tekanan, kelembaban relatif, PM10. 1.
PENDAHULUAN Parameter meteorologi seperti curah hujan, arah dan kecepatan angin, suhu,
tekanan, dan kelembaban relatif merupakan faktor penting yang akan mempengaruhi proses tranformasi dan transportasi polutan di atmosfer. Suhu udara vertikal dapat menentukan stabilitas atmosfer dan lapisan inversi suhu yang berpengaruh pada kualitas udara di lingkungan industri (Barmpadimos, I., 2011). Perubahan suhu dan hunungannya dengan musim yang sedang terjadi juga berpengaruh terhadap konsentrasi polutan terutama PM10 (Sait E., et al., 2007; Proias T., et al., 2010). Inversi berbahaya, yaitu lapisan dengan konsentrasi pencemar di permukaan tanah sangat tinggi (Pey J., et al., 2013). Kelembaban dapat memberi gambaran mengenai kemampuan udara di sekitar sumber dalam kaitannya dengan kemampuan terjadinya proses pencucian oleh air hujan dan kemungkinan terbentuknya bermacam-macam kabut (Suharsono, 1985). Secara tidak langsung kelembaban akan mempengaruhi karakteristik buoyancy dan momentum yang terjadi pada proses plume rise atau naiknya kepulan asap dari cerobong industri (Ana, S, et al., 2013, Unal, Y, S., et al., 2011). Parameter meteorologi angin bertindak sebagai media yang dapat memperbesar dan memperkecil penyebaran pencemar terutama PM10 di atmosfer (Holst, J., et al., 2008). Kecepatan dan arah angin menentukan transportasi horizontal dan vertikal dari dispersi polutan. Tetapi pada kasus lain Proias T., et al, 2010 menyebutkan arah angin tidak berkorelasi secara signifikan terhadap nilai rata-rata harian konsentrasi PM10. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa kecepatan angin berkorelasi secara signifikan terhadap nilai rata-rata harian konsentrasi PM10, karena itu digunakan kecepatan angin rata-rata per jam untuk memprediksi nilai konsentrasi rata-rata harian PM10. Sementara itu parameter meteorologi berperan aktif tehadap konsentrasi polutan (Unal, Y, S. et al, 2011; Doreena, D., et al., 2012) dan PM10 merupakan salah satu unsur penting dalam penentuan kualitas udara pada suatu daerah. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan dianalisa pengaruh parameter meteorologi terhadap PM10.
2.
DATA DAN METODE Peneltian ini menggunakan data sekunder berupa data tiga-jam-an parameter
meteorologi (arah dan kecepatan angin, suhu, tekanan, dan kelembaban relatif) dan data
~ 144 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
harian konsentrasi PM10 dari tahun 2009 sampai 2011. Pengolahan data dengan metoda perata-rataan secara statistik dan dikerjakan dengan menggunakan software Fortran 77.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter meteorologi seperti arah dan kecepatan angin, suhu, tekanan, dan
kelembaban relatif memegang peranan dalam proses penyebaran bahan pencemar udara (Suharsono, 1985). Dalam penelitian ini akan dianalisa sejauh mana pengaruh parameter meteorologi terhadap salah satu pencemar udara yaitu PM10. Gambar 1 menunjukkan distribusi konsentrasi PM10 dan suhu pemukaan, dan dari hasil terlihat bahwa konsentrasi PM10 rata-rata maksimum yaitu 38.36 (µg/m3) terjadi pada pengamatan bulan Maret-April-Mei. Dalam waktu yang sama dapat dilihat distribusi suhu rata-rata mencapai 29.1oC.
Gambar 1. Distribusi konsentrasi PM10 (µg/m3) rata-rata harian (kiri) dan distribusi suhu (oC) rata-rata harian (kanan) bulan Maret-April-Mei tahun 2009-2011.
Gambar 2. Distribusi kecepatan angin (m/det) rata-rata harian (kiri) dan distribusi arah angin (o) rata-rata harian (kanan) bulan Maret-April-Mei tahun 2009-2011.
~ 145 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Gambar 3. Distribusi tekanan (hPa) rata-rata harian (kiri) dan distribusi kelembaban relatif (%) rata-rata harian (kanan) bulan Juni-Juli-Agustus tahun 2009-2011.
Gambar 4. Distribusi konsentrasi PM10 (µg/m3) rata-rata harian (kiri) dan distribusi suhu (oC) rata-rata harian (kanan) bulan Juni-Juli-Agustus tahun 2009-2011. Juni-09
400 350 300 250 200 150 100 50 0
Jun-10 Jun-11 Jul-09 Jul-10 Jul-11
0
10
20
Agus30 09
Gambar 5. Distribusi kecepatan angin (m/det) rata-rata harian (kiri) dan distribusi arah angin (o) rata-rata harian (kanan) bulan Juni-Juli-Agustus tahun 2009-2011.
~ 146 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Gambar 6. Distribusi tekanan (hPa) rata-rata harian (kiri) dan distribusi kelembaban relatif (%) rata-rata harian (kanan) bulan Juni-Juli-Agustus tahun 2009-2011. Konsentrasi PM10 rata-rata maksimum terjadi pada saat kecepatan angin mencapai rata-rata minimum sebesar 6 m/det, dan arah angin dominan berasal dari arah 250 o dan 350o, atau dari arah nol derajat dan 100o, secara bergantian yang terjadi pada bulan MaretApril-Mei seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2. Pada bulan Maret-April-Mei terjadi konsentrasi maksimum dari PM10, pada saat yang sama nilai tekanan rata-rata sebesar 1009 hPa dan kelembaban relatif mencapai 78.1% seperti yang terlihat pada Gambar 3. Nilai tekanan pada musim transisi (MaretApril-Mei) lebih besar dibandingkan pada musim hujan (Desember-Januari-Februari), tetapi lebih kecil dibandingkan pada musim kemarau (Juli-Juli-Agustus), hasil lengkap dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil sebaliknya untuk konsentrasi PM10 rata-rata minimum terjadi pada pengamatan bulan Juni-Juli-Agustus seperti yang terlihat pada Gambar 4. Dari hasil didapat bahwa konsentrasi PM10 rata-rata minimum yaitu 32.8 (µg/m3), sedangkan konsentrasi minimumnya sebesar 8.2 (µg/m3). Pada waktu yang sama dapat dilihat distribusi suhu rata-rata mencapai 28.9oC, lebih rendah dibandingkan dengan yang terjadi pada bulan Maret-April-Mei sebesar 29.1oC. Hasil lengkap untuk konsentrasi PM10 dan suhu rata-rata tiga bulanan berturut-turut dapat dilihat pada Tabel 1, dimana nilai rata-rata untuk bulan Desember-Januari-Februari adalah 34.8 (µg/m3) dan suhu 28.3oC, Maret-April-Mei sebesar 38.4 (µg/m3) dan suhu 29.1oC, Juni-Juli-Agustus 32.8 (µg/m3) dan suhu 28.9oC, sementara September-OktoberNovember sebesar 36.9 (µg/m3) dengan nilai suhu sebesar 29.4oC. Pada musim kemarau yaitu bulan Juni-Juli-Agustus disaat konsentrasi PM10 mencapai nilai minimum, parameter meteorologi untuk kecepatan angin justru mencapai
~ 147 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
maksimum sebesar 8.5 m/det, dengan arah angin dominan rata-rata dari arah Timur atau dari sekitar (50-150)o seperti yang terlihat pada Gambar 5. Hasil lengkap untuk kecepatan dan arah angin rata-rata tiga bulanan berturut-turut dapat dilihat pada Tabel 2, dimana nilai rata-rata untuk bulan Desember-Januari-Februari adalah 7.1 m/det dan kecepatan angin terbanyak berasal dari arah 250 o dan 350o, untuk Maret-April-Mei sebesar 6.0 m/det dengan kecepatan angin berasal dari 250o dan 350o atau berasal dari nol derajat dan 150o, Juni-Juli-Agustus 8.5 m/det dengan arah angin dominan dari arah 50o sampai 100o, dan September-Oktober-November sebesar 8.3 m/det dengan arah angin dominan dari arah nol derajat dan 150o. Nilai tekanan dan kelembaban relatif mencapai rata-rata maksimum sebesar 1011 hPa dan 73.4% berturut-turut seperti yang terlihat pada Gambar 6. Keadaan tersebut terjadi pada musim kemarau yaitu bulan Juni-Juli-Agustus pada saat konsentrasi PM10 mencapai nilai minimum. Hasil lengkap untuk konsentrasi PM10 terlihat pada Tabel 3. Dengan demikian dari keseluruhan diperoleh hasil yang signifikan bahwa konsentrasi PM10 rata-rata maksimum 38.36 µg/m3 terjadi pada saat musim transisi (MaretApril-Mei) dengan kecepatan angin minimum rata-rata 6 km/jam, dan arah angin berasal dari arah Barat Laut dan Timur secara bergantian. Pada saat yang sama, suhu rata-rata mencapai 29°C, tekanan rata-rata 1009 hPa dan kelembaban relatif rata-rata sebesar 78%. Sementara konsentrasi PM10 rata-rata minimum 32.82 µg/m3 terjadi pada saat musim kering (Juni-Juli-Agustus) dengan kecepatan angin rata-rata maksimum 8.5 km/jam, arah angin berasal dari arah Timur, dengan suhu rata-rata 28°C, tekanan rata-rata 1011 hPa, dan kelembaban relatif rata-rata sebesar 73%. Untuk melengkapi analisa dihitung korelasi antara paramater meteorologi (kecepatan dan arah angin, tekanan, kelembaban dan suhu) dengan konsentrasi PM10, dan hasil lengkap pada Tabel 4. Dalam penelitian ini parameter meteorologi yang paling berpengaruh terhadap konsentrasi PM10 adalah kecepatan angin, karena dari hasil didapat konsentrasi PM10 maksimum terjadi pada saat kecepatan angin minimum. Kesimpulan yang sama telah dinyatakan sebelumnya oleh Proias T., et al, 2010, dimana disebutkan bahwa arah angin tidak berkorelasi secara signifikan terhadap nilai ratarata harian konsentrasi PM10, dan disimpulkan hanya kecepatan angin yang berkorelasi secara baik seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 7. Itulah sebabnya dalam penelitian tersebut digunakan kecepatan angin rata-rata per jam untuk memprediksi nilai konsentrasi rata-rata harian PM10.
~ 148 ~
5 33 7. 5 36 0
31
22 5 24 7. 5 27 0 29 2. 5
5 15 7. 5 18 0 20 2. 5
11 2. 5
13
90
6 7. 5
45
ISBN : 978-979-1458-73-3
13
13
12
12
11
11
10
10
2
1
1
0
0
36
0
3
2
27 0 29 2. 5 31 5 33 7. 5
4
3
18 0 20 2. 5 22 5 24 7. 5
5
4
90
6
5
11 2. 5 13 5 15 7. 5
7
6
45
8
7
6 7. 5
9
8
0
9
2 2. 5
PERCENTAGE (%)
2 2. 5
Bandung, 28 Agustus 2013
0
Seminar Sains Atmosfer 2013
WIND DIRECTION (0)
Gambar 7. Presentasi dari hari untuk tahun 2001-2003 dalam hubungannya dengan arah angin pada saat munculnya konsentrasi PM10 maksimum (Sumber: Papanastasiou D. K., et al., 2003) Hasil lain dalam penelitian ini menunjukkan bahwa parameter suhu dan tekanan tidak begitu banyak berpengaruh terhadap konsentrasi PM10. Meskipun dalam penelitian lain perubahan suhu dapat menjelaskan bagian penting dari varians konsentrasi PM10. Diperoleh hasil bahwa suhu udara berhubungan dengan tekanan udara dan akan berpengaruh terhadap dinamika atmosfer yang selanjutnya mengakibatkan perubahan kestabilan atmosfer dalam sistem pergerakan udara, baik dalam kondisi tetap ataupun berubah. Semua ini berkontribusi terhadap konsentrasi PM10, sehingga suhu dapat dianggap sebagai salah satu prediktor konsentrasi PM10 (Holst, J., et al., 2008; Van der Wal, et al., 2000). Dalam penelitian tersebut ditemukan hasil bahwa perbedaan antara nilai suhu maksimum dan minimum berkorelasi secara signifikan terhadap konsentrasi PM10 rata-rata harian dan sehari sebelumnya.
KESIMPULAN Dari hasil keseluruhan dapat dilihat bahwa konsentrasi PM10 rata-rata maksimum terjadi pada saat musim transisi (Maret-April-Mei) dengan kecepatan angin mencapai minimum, dan arah angin berasal dari arah Barat Laut dan Timur secara bergantian. Sedangkan konsentrasi PM10 rata-rata minimum terjadi pada saat musim kering (Juni-JuliAgustus) dengan kecepatan angin rata-rata maksimum, dan arah angin berasal dari arah Timur, Parameter meteorologi yang paling signifikan berpengaruh terhadap konsentrasi PM10 adalah kecepatan angin.
~ 149 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
DAFTAR RUJUKAN Ana, S., Roberto M., Alejandro, V, F., Juan, C. G. H., María, T, Z. Meteorological factors for PM10 concentration levels in Northern Spain, Geophysical Research Abs. Vol. 15, EGU2013-13746, 2013. Barmpadimos, I., C. Hueglin, J. Keller, S. Henne, and A. S. H. Prevot. Influence of meteorology on PM10 trends and variability in Switzerland from 1991 to 2008, Atmos. Chem. Phys., 11, 1813–1835, 2011. Doreena, D., Mohd, Talib L., Hafizan, J., Ahmad Zaharin A., and Sharifuddin M. Z. An assessment of influence of meteorological factors on PM10 and NO at selected stations in Malaysia, Sustain. Environ. Res., 22 (5), 305-315, 2012. Holst, J., Mayer, H., Holst, T. Effect of meteorological exchange conditions on PM10 concentration, Meteorologische Zeitschrift, Vol. 17, No. 3, pp. 273-282, 2008. Papanastasiou D.K., Melas D., Zerefos C.F. Relationship of Meteorological Variables and Pollution with PM10 Concentrations in an Urban Area. 7th International Conference on Applications of Natural, Technological and Economical Sciences. Szombathely, Hungary. 2003. Proias T., Nastos, P. T., Larissi, I. K., Paliatsos, A. G. PM10 Concentrations Related to Meteorology in Volos, Organized By The Hellenic Physical Society with The Cooperation of The Physics Departments of Greek Universities: 7th International Conference of The Balkan Physical Union. AIP Conference Proceedings, Greece, Vol., 1203, pp. 1091-1096, 2010. Pey, J., Querol, X., Alastuey, A., Forastiere, F., Stafoggia, M. African dust outbreaks over the Mediterranean Basin during 2001-2011: PM10 concentrations, phenomenology and trends, and its relation with synoptic and mesoscale meteorology, Atmospheric Chemistry and Physics, Vol. 13, Issue 3, pp.1395-1410, 2013. Suharsono, H. Pengaruh Cuaca dan Iklim Terhadap Polusi Udara. Thesis, Fakultas Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. 1985. Sait E., Baysal, A., Akba O., Merdivan M., and Hamamci C. Relationship Between Wintertime Atmospheric Particulate Matter and Meteorological Conditions in Diyarbakir (Turkey), Asian Journal Of Chemistry, Vol. 19, No. 3, 1703-1708, 2007. Unal, Y, S., Toros, H., Deniz, A., Incecik, S. Influence of Meteorological Factors and Emission Sources on Spatial and Temporal Variations of PM10 Concentrationsi in
~ 150 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Istanbul Metropolitan Area, Atmospheric Environment, Vol. 45, Issue 31, P. 55045513, 2011. Van der Wal J.T., Janssen L.H. Analysis of spatial and temporal variations of PM10 concentrations in the Netherlands using Kalman filtering. Atmospheric Environment, 34, 3675 – 3687, 2000.
~ 151 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Lampiran Tabel 1. Konsentrasi PM10 (µg/m3) rata-rata tiga bulanan (kiri) dan suhu rata-rata tiga bulanan (kanan) tahun 2009-2011. DJF MAM
JJA
SON
Max
84.9
121.4
81.3
106.1
Min
12.5
4.7
8.2
38.4
32.8
Rata- 34.8
DJF MAM
JJA
SON
Max
30.7
31.2
30.7
31.5
4.1
Min
26.3
25.9
26.0
26.5
36.9
Rata- 28.3
29.1
28.9
29.4
rata
rata
Tabel 2. Kecepatan angin (m/det) rata-rata tiga bulanan (kiri) dan arah angin (0) rata-rata tiga bulanan (kanan) tahun 2009-2011. DJF MAM JJA
SON
Max
23.6
25.3
20.4
27.1
Min
1.6
2.0
1.7
1.6
Rata- 7.1
6.0
8.5
8.3
DJF
MAM
JJA SON
Arah
250-
250-
50-
0-
terbanyak
350
350 dan
100
150
0-150
rata
Tabel 3. Tekanan (hPa) rata-rata tiga bulanan (kiri) dan kelembaban relatif (%) rata-rata tiga bulanan (kanan) tahun 2009-2011. DJF
MAM
JJA
SON
DJF
MAM
JJA
SON
Max
1012 1014
1013
1016
Max
87.6
89.7
89.9
87.3
Min
1004 1006
1009
1005
Min
65.9
66.1
64.2
57.9
Rata- 1009 1009
1011
1010
Rata- 79.1
78.1
73.4
74.4
rata
rata
Tabel 4. Nilai koefisien korelasi antara kecepatan angin (KA), arah angin (AA), tekanan (P), kelembaban relatif (RH), dan suhu (T) dengan konsentrasi PM10 (Kons), rata-rata tiga bulanan tahun 2009-2011.
DJF MAM JJA SON
KA-Kons
AA-Kons
P-Kons
RH-Kons
T-Kons
0,5 0,7 -0,6 0,4
0,4 0,6 0,5 0,5
0,3 -0,4 -0,3 0,2
-0,2 -0,4 -0,2 0,3
0,5 0,2 0,4 -0,3
~ 152 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
DEVIASI TEMPERATUR VIRTUAL DALAM PROSES EVAPORASI DAN KONDENSASI DI ATMOSFER KOTOTABANG PADA CAMPAIGN PERIOD Ina Juaeni Bidang Pemodelan Atmosfer, Pusat Sain dan Teknologi Atmosfer LAPAN Jl. dr.Junjunan 133, Bandung, 40173 Telp. (022)6037445, 6012602; Fax. (022)6037443 e-mail :
[email protected]
Abstract Good and thorough knowledge of every stage of the water cycle in the atmosphere will be very meaningful for the development of atmospheric science itself and for the development of various methods of weather/climate prediction. In line with the above statement, this research have a major focus on two important stages in the water cycle on Earth such as the process of evaporation and condensation that occurs in Kototabang. Evaporation and condensation processes associated with the formation of clouds and rain related with changes in temperature. Meanwhile the real temperature (T) is proportional to the virtual temperature (Tv) then the convection activity can be monitored via the virtual temperature changes. Under period study (November 2002, April-May 2004 and November-December 2005) virtual temperature deviation (positive or negative) are not positive linearly correlated with the rainfall. The correlation coefficient between rainfall and virtual temperature deviation generate a value of -0.33. This is presumably because there are convection cells that had formed earlier. Rain produced the first cell occurs during the process of evaporation and condensation takes place on the second cell. Keywords: virtual temperature, evaporation, condensation, convection cell Abstrak Pengetahuan yang baik dan menyeluruh terhadap setiap tahapan dalam siklus air di atmosfer akan sangat berarti bagi pengembangan sains atmosfer itu sendiri maupun sebagai input pengembangan berbagai metode prediksi cuaca/iklim. Sejalan dengan pernyataan di atas, dilakukan penelitian ini dengan penekanan pada dua tahap penting dalam siklus air di bumi yaitu proses evaporasi dan kondensasi yang terjadi di Kototabang. Proses evaporasi dan kondensasi yang berkaitan dengan pembentukan awan dan hujan berkaitan dengan perubahan temperatur. Sementara itu temperatur ril (T ) sebanding dengan temperatur virtual (Tv) maka aktivitas konveksi dapat dipantau melalui perubahan temperatur virtual. Pada periode yang diteliti (November 2002, April-Mei 2004 dan November-Desember 2005) deviasi temperatur virtual (positif atau negatif) tidak berkorelasi linier positif dengan hujan. Koefisien korelasi antara curah hujan dengan deviasi temperatur virtual menghasilkan nilai sebesar -0,33. Hal ini diduga karena ada sel konveksi yang sudah terbentuk sebelumnya. Hujan yang dihasilkan sel pertama terjadi pada saat proses evaporasi dan kondensasi sel kedua berlangsung. Kata kunci: temperatur virtual, evaporasi, kondensasi, sel konveksi
~ 153 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
1.
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
PENDAHULUAN Ada empat proses yang terlibat dalam siklus air di atmosfer. Yang pertama adalah
evaporasi (termasuk didalamnya evapotranspirasi yaitu evaporasi dari tanaman), kondensasi, presipitasi dan koleksi. Evaporasi atau penguapan terjadi ketika air di permukaan sungai, danau atau lautan yang dipanasi matahari berubah wujud menjadi uap. Uap hasil evaporasi terangkat ke udara, lalu mengalami penurunan suhu, mengalami perubahan wujud lagi menjadi cair. Proses ini disebut kondensasi. Kumpulan tetes air hasil kondensasi membentuk awan. Presipitasi akan terjadi jika jumlah air yang terkondensasi sudah cukup jumlahnya sehingga udara tidak dapat menahannya lagi. Air yang jatuh kembali ke bumi akan berbentuk hujan, butiran es atau salju. Air hujan akan kembali ketempat berkumpulnya semula (kolisi) yaitu sungai, danau atau laut. Siklus air seperti diuraikan di atas sangat besar peranannya dalam mengontrol kondisi cuaca dan iklim di bumi. Gangguan yang terjadi terhadap salah satu tahapan siklus akan berpengaruh, baik besar atau kecil terhadap tahap lainnya. Dengan demikian pengetahuan yang baik dan menyeluruh terhadap setiap tahapan tersebut akan sangat berarti bagi pengembangan sains atmosfer itu sendiri maupun sebagai input pengembangan berbagai metode prediksi cuaca/iklim. Sejalan dengan pernyataan di atas, dilakukan penelitian dengan penekanan pada dua tahap penting dalam siklus air di bumi yaitu proses evaporasi dan kondensasi. RASS yang berada di Kototabang mempunyai kemampuan untuk mendukung penelitian ini, karena menghasilkan data profil temperatur virtual. Pada beberapa dekade terakhir, radio acoustic sounding systems (RASS) telah berkembang
menjadi piranti yang diperhitungkan dalam mengukur profil vrtikal
temperature. RASS memperoleh profil temperatur virtual dengan menggunakan radar Doppler yang mengukur penjalaran kecepatan gelombang suara sebagai fungsi dari temperatur. Sistem yang pertama kali digunakan oleh Marshall et al. (1972) dan Frankel et al. (1977) berdasarkan radar yang beroperasi hanya pada panjang gelombang beberapa meter. Dilanjutkan oleh May et al. (1990), Carter et al. (1995) dan Angevine et al. (1998) dengan radar angin UHF dalam pengamatan lapisan batas atmosfer. RASS kemudian dikembangkan dengan menambahkan sumber akustik yang tersebar sehingga memperluas area pengukuran temperatur. Pengaruh angin dan gradien temperatur pada struktur spasial pantulan radar juga telah diperhitungkan.
~ 154 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
2.
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
TINJAUAN PUSTAKA Dua
proses dalam siklus air di atmosfer yaitu evaporasi dan kondensasi
diidentifikasi melalui profil temperatur. Data profil temperatur banyak digunakan untuk memperoleh pemahaman lebih mendalam tentang fenomena meteorologis atau mengidentifikasi gangguan temperatur akibat gelombang gravitas
untuk
atau dapat juga
digunakan untuk mengamati lapisan inversi yang berkaitan dengan terperangkapnya beberapa unsur kimia. Teknik observasi untuk memeperoleh data profil temperatur terbagi menjadi dua jenis, yaitu teknik pengukuran langsung atau pengukuran insitu. Untuk teknik ini biasanya digunakan Radiosonde. Teknik kedua adalah teknik penginderaan jauh. Untuk teknik ini biasanya digunakan Radiometer atau Radio Acoustic Sounding System (RASS). RASS merupakan gabungan antara teknik radio dan akustik untuk memperoleh pengamatan profil temperatur yang kontinu.
Gambar 1: Prinsip dasar RASS
~ 155 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Gelombang suara dengan kecepatan tertentu dipancarkan oleh radar di permukaan. Gelombang suara tersebut dipantulkan kembali ke permukaan oleh acoustic wave front. Kecepatan gelombang suara (Ca) yang diterima kembali oleh radar sebanding dengan temperatur virtual (Tv). Pada pendekatan pertama digunakan persamaan: Tv
2 M Ca γR
Dengan R adalah konstanta gas, M adalah berat molekul udara kering dan γ = Cp/Cv adalah perbandingan panas spesifik pada tekanan tetap dan panas spesifik pada volume tetap (Görs-dorf and Lehmann, 2000). Untuk memperoleh temperature RASS biasanya digunakan Ca 20,047(Tv)1 2 ,
Ca Tv 20,047
2
untuk M =28,96 g/mol
dan γ = 1,4 (meskipun konstanta ini tidak konstan).
3.
DATA DAN METODE
3.1 Data dan spesifikasi peralatan Untuk keperluan penelitian ini digunakan data temperatur virtual (oK) dari RASS (Radio Acoustic Sounding System) setiap 9 menit 11 detik dan setiap beda ketinggian 150 m. Untuk melengkapi analisis digunakan juga data angin vertikal dari EAR (Equatorial Atmosphere Radar) dan data curah hujan dari
AWS. Data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data-data untuk Kototabang (100,32oBT; 0,20oLS, 865 m di atas permukaan laut) pada 2 sampai 28 November 2002, 10 April sampai 5 Mei 2004 dan 24 November
sampai 23 Desember 2005. Data AWS tersedia di http://www.rish.kyoto-
u.ac.jp/ear. Periode data tidak kontinu karena disesuaikan dengan ketersediaan data RASS yang memang hanya dioperasikan pada saat-saat tertentu. RASS yang dioperasikan dengan EAR dapat mengukur profil temperatur dengan resolusi yang sangat tinggi. Sistem RASS terdiri dari beberapa buah speaker dan radar profiling EAR. Speaker mentransmisikan gelombang akustik pada frekuensi 100 Hz. Karena temperatur virtual sebanding dengan kecepatan gelombang akustik, maka temperatur virtual dapat ditentukan dengan persamaan 1 (Angevine et al. , 1998 dan Angevine, 2000): 12
Ca 20,047(Tv)
,
Ca Tv 20,047
2
~ 156 ~
(1)
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
dengan: Ca adalah kecepatan udara dan Tv adalah temperatur virtual 3.2 Metodologi Dari studi pustaka di atas dinyatakan bahwa proses evaporasi dan kondensasi yang berkaitan dengan pembentukan awan dan hujan juga berkaitan dengan perubahan temperatur. Dengan demikian maka aktivitas konveksi di atas Kototabang dapat dipantau melalui perubahan temperatur (T) terhadap waktu. Karena RASS hanya memberikan data temperatur virtual (Tv) maka investigasi terhadap aktivitas konveksi dilakukan melalui Tv. Adapun relasi antara Tv dan T adalah:
Tv T (1 0.61w)
(Bailey, 2000)
(2)
Dengan Tv temperatur virtual T temperatur w mixing ratio Dari persamaan di atas nampak bahwa temperatur virtual berbanding lurus dengan temperatur udara ril. Artinya bahwa temperatur virtual bisa digunakan sebagai indikator terjadinya
perubahan
temperatur
udara
ril
akibat
aktivitas
mikrofisika
(evaporasi/kondensasi). Dari temperatur virtual ditentukan deviasi temperatur virtual. Deviasi positif berkaitan dengan proses kondensasi sedangkan deviasi negatif berkaitan proses evaporasi. Deviasi adalah simpangan data terhadap rata-ratanya yang dihitung dengan:
DeviasiTv T ( z, t ) T ( z )
(3)
Data temperatur virtual tersedia sampai ketinggian ~ 30 km, tetapi untuk keperluan penelitian ini, uraian dan gambar temperatur virtual dibatasi sampai ketinggian ~ 10 km karena aktivitas konveksi terbesar terjadi dalam rentang ketinggian tersebut.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Aktivitas konveksi diidentifikasi dari temperatur virtual melalui deviasi terhadap rata-ratanya. Untuk periode 2002, deviasi temperatur virtual ditampilkan pada Gambar 2 kiri dan Gambar 2 kanan. Gambar 2 kiri untuk profil deviasi temperatur virtual dari permukaan sampai ketinggian 10 km dan Gambar 2 kanan untuk profil deviasi temperatur virtual dari permukaan sampai ketinggian 5 km. Pada dua gambar tersebut tampak ada deviasi yang positif (kuning sampai merah) dan ada deviasi yang negatif (hijau sampai
~ 157 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
biru), namun deviasi positif lebih dominan. Deviasi positif artinya terjadi pelepasan panas dari kolom konveksi ke lingkungan atau berkaitan dengan aktifnya proses kondensasi. Ketika profil deviasi di fokuskan pada lapisan permukaan sampai 5 km (Gambar kanan), selain deviasi positif pada tanggal 10 sampai 19 November dan 23 sampai 28 November tampak juga adanya deviasi negatif atau proses evaporasi pada tanggal 2 s/d 7 November pada ketinggian 1,5 s/d 5 km , 9 s/d 10 November dan 19 s/d 23 November pada ketinggian 1,5 s/d 2,5 km.
Gambar 2: Deviasi temperatur virtual pada 2 sampai 28 November 2002 untuk ketinggian 1,5 km s/d 10 km (kiri) dan untuk ketinggian 1,5 km s/d 5 km (kanan) Identifikasi aktivitas konveksi dari deviasi temperatur virtual untuk tahun 2004 ditunjukkan pada Gambar 3 kiri dan Gambar 3 kanan. Pada periode April dan Mei 2004, deviasi negatif lebih dominan dibandingkan deviasi positif atau proses evaporasi lebih dominan dibandingkan proses kondensasi (Gambar 3 kiri). Tetapi pada Gambar 3 kanan, deviasi positif tampak pada tanggal 12 sampai 13 dan 24 sampai 29 April di ketinggian 1,5 sampai ~5 km.
Gambar 3: Deviasi temperatur virtual pada 10 April-5 Mei 2004 untuk ketinggian 1,5 km s/d 10 km (kiri) dan untuk ketinggian 1,5 km s/d 5 km (kanan)
~ 158 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
Kasus terakhir yaitu data 24 November
ISBN : 978-979-1458-73-3
sampai 23 Desember 2005, proses
evaporasi dan kondensasi terkonsentrasi pada periode tertentu (Gambar 4 kiri dan Gambar 4 kanan).
Gambar 4: Deviasi temperatur virtual pada 10 November sampai 9 Desember 2005 untuk ketinggian 1,5 km s/d 10 km (kiri) untuk ketinggian 1,5 km s/d 5 km (kanan)
Dari Gambar 4, deviasi temperatur virtual yang terjadi di lapisan 5 km lebih sampai ketinggian 10 km, juga nampak di ketinggian < 5 km. Terjadi deviasi positif pada tanggal
2 Desember sampai 5 Desember dan tanggal 14 sampai 23 Desember 2005.
Deviasi temperatur virtual pada periode ini baik yang positif maupun yang negatif lebih tinggi dibandingkan dua periode yang lain. 4.2 Pembahasan Pada kasus tahun 2002 dan 2004, pada saat terjadi deviasi (positif atau negatif) Tv, tidak bersesuaian dengan kejadian hujan. Sedangkan pada kasus tahun 2005, pada deviasi negatif curah hujannya lebih kecil dibandingkan pada deviasi positif. Ini menunjukkan deviasi temperatur virtual (positif atau negatif) tidak berkorelasi linier positif dengan hujan. Hal ini diduga karena terbentuk lebih dari satu sel konveksi. Koefisien korelasi antara curah hujan dengan deviasi temperatur virtual menghasilkan nilai sebesar -0,33. Hujan yang dihasilkan sel pertama terjadi pada saat proses evaporasi dan kondensasi sel kedua berlangsung (atau sesuai periode pengamatan di atas). Pada kasus November tahun 2002 dan April-Mei 2004, pada semua deviasi (positif atau negatif) Tv, tercatat ada hujan dengan pola yang tidak teratur (Gambar 5, kiri dan tengah). Sedangkan pada kasus tahun 2005 (Gambar 5, kanan), pada deviasi negatif curah hujannya lebih kecil dibandingkan pada deviasi positif.
~ 159 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Gambar 5: Intensitas curah hujan di Kototabang berdasarkan AWS pada November 2002, April-Mei 2004 dan November-Desember 2005
Analisis di atas dikonfirmasi dengan angin vertikal (Gambar 6) dari http://www.rish.kyoto-u.ac.jp/ear. Angin vertikal menunjukkan bahwa di Kototabang pada November 2002 didominasi oleh updraft yang lemah (0,0 - 0,6 m/detik) terutama dari 1,5 km sampai 9 km, pada ketinggian > 9 km nampak downdraft yang cukup intensif tetapi dengan kekuatan lemah. Angin vertikal menunjukkan bahwa di Kototabang pada AprilMei 2004 didominasi oleh updraft yang lemah (1 m/detik) dan downdraft yang lemah (1 m/detik). Kondisi yang sama juga diperlihatkan oleh data angin vertikal tahun 2005. Perbandingan pola spasial deviasi temperatur virtual dengan angin vertikal tidak menunjukkan konsistensi. Pada saat deviasi Tv mengindikasikan adanya evaporasi, angin vertikal tidak selalu menunjukkan adanya updraft. Demikian pula ketika deviasi Tv mengindikasikan terjadi kondensasi, angin vertikal kadang positif kadang negatif. Hal ini menunjukkan bahwa pengurangan Tv atau evaporasi terjadi bukan dalam arah vertikal. Ini semakin menguatkan dugaan bahwa ada sel konveksi yang tumbuh dan berkembang serta menghasilkan hujan pada saat evaporasi dan kondensasi sel konveksi kedua berlangsung. (a)
(b)
W: Angin vertikal
(c)
W: Angin vertikal
5000
W: Angin vertikal
5000
5000
0.8
0.6
0.4
0.2
3500 0
3000
-0.2
-0.4
2500
0.4
0.2
3500 0
3000
-0.2
-0.4
2500
-0.6
2000
2000
6
11 16 November 2002
21
26
0.3
0.2
4000
0.1
3500 0
3000
-0.1
-0.2
2500
-0.6
-0.3
2000
-0.8
1500 1
0.4
4500
0.6
4000 Ketinggian (m)
4000 Ketinggian (m)
0.8
4500
Ketinggian (m)
4500
-0.8
1500 10 April
14
19
24 April-Mei 2004
29
4 Mei
9
-0.4
1500
29 Nov.
4
9 Nov-Des 2005
14
19 Des.
Gambar 6: Angin vertikal pada ketinggian 1500 sampai 5000 m pada (a) November 2002, (b) April- Mei 2004 dan (c) November-Desember 2005
~ 160 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Penelitian ini menunjukkan bahwa penelitian yang menyangkut sistem konveksi bukan penelitian yang sederhana. Hasil penelitian ini merupakan gambaran umum proses pembentukan awan dan hujan di Kototabang. Kompleksitas analisis pembentukan awan dan hujan memerlukan intensifikasi penelitian proses serupa.
5. KESIMPULAN Aktivitas konveksi dapat diidentifikasi melalui perubahan temperatur virtual. Akantetapi pada periode yang diteliti (November 2002, April-Mei 2004 dan NovemberDesember 2005) deviasi temperatur virtual (positif atau negatif) tidak berkorelasi linier positif dengan hujan. Koefisien korelasi antara curah hujan dengan deviasi temperatur virtual
menghasilkan nilai sebesar -0,33. Hujan
terjadi pada saat evaporasi dan
kondensasi masih berlangsung. Ini menunjukkan bahwa terbentuk lebih dari satu sel konveksi yang menghasilkan hujan. Sel konveksi sebelumnya yang menghasilkan hujan pada saat sel konveksi kedua mengalami evaporasi dan kondensasi. Jika periode pengamatan diperpanjang bisa saja teridentifikasi sel-sel konveksi sebelumnya atau berikutnya.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Drs. Sri Kaloka dan Prof. T. Tsuda yang telah membuka kesempatan penggunaan data-data di Kototabang oleh tim penelitian ini pada tahun 2010. Selanjutnya, terima kasih kepada PSTA, staf EAR di RISH Kyoto serta pimpinan dan staf EAR di Kototabang atas dukungannya.
DAFTAR RUJUKAN Angevine, W.M., A.W. Grimsdell, L.M. Hartten and A.C. Delany. The Flatland boundary layer experiments. Bull. Amer. Meteor. Soc., 79, 419-31, 1998. Angevine, W. M., P. S. Bakwin, and K. J. Davis. Wind profiler and RASS measurements compared with measurements from a 450-m-tall tower. J. Atmos. Oceanic Technol., 15, 818–825, 1998.
~ 161 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Angevine, W.M. Radio acoustic sounding system (RASS) applications and limitations. Geoscience and Remote Sensing Symposium, Proceedings IGARSS, IEEE Conference Publications Volume: 3, 2000. Bailey, Desmond T.
Upper-air Monitoring, Meteorological Monitoring Guidance for
Regulatory Modeling Applications. John Irwin, Research Triangle Park, NC: United States Environmental Protection Agency. pp. 9–14. EPA-454/R-99-005, 2000. Carter, D. A., K. S. Gage, W. L. Ecklund, W. M. Angevine, P. E. Johnston, A. C. Riddle, J. Wilson, and C. R. Williams. Developments in UHF lower tropospheric wind profiling at NOAA‟s Aeronomy Laboratory. Radio Sci., 30, 977–1001, 1995. Emmanouil N. Anagnostou. A convective/stratiform precipitation classification algorithm for volume scanning weather radar observations, Meteorological Applications (Cambridge University Press) 11, 2004. Frankel, M. S., N. J. F. Chang, and M. J. Sanders. A highfrequency Radio Acoustic sounder for remote measurement of atmospheric winds and temperature. Bull. Amer. Meteor. Soc.,58, 928–934, 1977. Görs-dorf, U., and V. Lehmann, 2000: Enhanced accuracy of RASS measured temperatures due to an improved range correction. J. Atmos. Oceanic Technol., 17, 406–416. Marshall, J. M., A. M. Peterson, and A. A. Barnes. Combined radar-acoustic sounding system. Appl. Opt., 11, 108–112, 1972. May, P. T. The accuracy of RASS temperature measurements. J. Appl. Meteor., 28, 1329– 1335, 1989.
~ 162 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
PELUANG TERJADINYA AWAN RENDAH DAN AWAN MENENGAH SAAT TERJADI LA NINA Juniarti Visa dan Iis Sofiati Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer-LAPAN Bandung Jl. dr. Djundjunan 133, Telp:022-6037445 Fax:022-6037443, Bandung-40173 e-mail:
[email protected] ;
[email protected]
Abstrack In this paper carried out research on the possibility of low clouds and high clouds during a La Nina in Kototabang-region of West Sumatra. The data analysis is used as the data of the tool that generates the data cloud Ceilometer low and medium-scale cloud 2010-2012 daily. SOI and data to determine the incidence of La Nina. From the analysis of the data obtained by low clouds that occur in the wet season (DJF = Dec, Jan, Feb) during the years 2010 to 2012 obtained an average chance of occurrence of low cloud at 32.13%. Then to the average incidence of low cloud opportunities in transitional seasons (MAM = Mart, Apr, May) of 33.3%. And in the dry season the average chance of occurrence of low clouds and 33.33% in the transitional seasons (SON = Sept, Oct., Nov.) also amounted to 33.3%. Further to medium clouds in the wet season (DJF), transitional season (MAM), dry season (JJA) and the transitional seasons (SON) have an average chance of occurrence at middle cloud by 33.3% The results showed the current La Nina there are lots of low clouds and high clouds in Kototabang Keyword: La-Nina, Low clouds, middle clouds, season and SOI Abstrak Dalam tulisan ini dilakukan penelitian mengenai peluang terjadinya awan rendah dan awan menengah saat terjadi La Nina di daerah Kototabang-Sumatra Barat. Data yang digunakan sebagai bahan analisis adalah data dari alat Ceilometer yang menghasilkan data awan rendah dan awan menengah skala harian tahun 2010-2012. Dan data SOI untuk mengetahui kejadian La Nina. Awan rendah yang mempunyai ketinggian dasar awan kurang dari 2 km, dan awan menengah mempunyai ketinggian dasar awan antara 2 sampai 6 km. Sedangkan untuk menentukan peluang terjadinya awan rendah dan awan menengah dilakukan dengan melihat frekuensi dan peluang kemunculan terjadinya awan rendah dan awan menengah. Dari hasil analisis data diperoleh awan rendah yang terjadi pada musim basah (DJF=Des, Jan, Feb) selama tahun 2010 – 2012 diperoleh rata-rata peluang kejadian awan rendah sebesar 32.13 %. Kemudian untuk rata-rata peluang kejadian awan rendah pada musim peralihan (MAM= Mart, Apr, Mei) sebesar 33.3 %. Dan pada musim kering rata- rata peluang kejadian awan rendah 33.33 % dan pada musim peralihan (SON= Sept, Okt, Nov) juga sebesar 33.3 %. Selanjutnya untuk awan menengah pada musim basah(DJF), musim peralihan (MAM), musim kering(JJA) dan musim peralihan(SON) mempunyai rata-rata peluang kejadian awan menegah sama sebesar 33.3%. Hasil penelitian menunjukan pada saat La Nina banyak terdapat awan rendah dan awan menengah di Kototabang. Kata kunci: Awan rendah, awan menengah, La-Nina, musim dan SOI.
~ 163 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
1.
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
PENDAHULUAN Atmosfer terdiri dari banyak lapisan. Tiap lapisan mempunyai karakteristik yang
berbeda-beda. Demikian juga halnya atmosfer diatas wilayah Indonesia memiliki karakteristik yang bebeda dengan atmosfer di wilayah khatulistiwa lainnya. Hal ini dimungkinkan karena letak geografisnya yang unik, diapit antara dua samudera luas (Pasifik dan Hindia) yang dikenal sebagai benua maritim. Wilayahnya yang dua pertiga terdiri dari lautan dan tersebar diantara kurang lebih 17.000 pulau (sebagai suatu kawasan kepulauan) memungkinkan kawasan ini sebagai penyimpan panas baik berupa panas sensibel maupun laten terbesar bagi pembentukan awan-awan raksasa yang dikenal sebagai awan Cb. (Sofiati, 2012) Menurut BMKG, terjadinya penyimpangan iklim yang memicu terjadinya cuaca ekstrim di musim kemarau tidak lepas dari beberapa faktor pengendali curah hujan seperti memanasnya suhu muka laut di perairan Indonesia. Meningkatnya suhu muka laut di perairan Indonesia menyebabkan semakin intensifnya proses penguapan dan pembentukan awan yang menyebabkan terjadinya banyak hujan. Selain suhu permukaan laut, kondisi cuaca ekstrem di sebagian besar wilayah Indonesia akhir-akhir ini terjadi akibat adanya fenomena faktor global La Nina. La Nina menyebabkan penumpukan massa udara yang banyak mengandung uap air di atmosfer Indonesia, sehingga potensi terbentuknya awan hujan menjadi semakin tinggi. Akibatnya pada bulan-bulan di pertengahan tahun 2010 yang seharusnya berlangsung musim kemarau kini justru turun hujan deras di berbagai daerah. Menurut Tjasyono 1999, awan dibedakan berdasarkan ketinggian dasar awan. 1. awan rendah mempunyai ketinggian dasar awan kurang dari 2 km, biasanya dipakai kata „Strato‟ atau Stratus‟, misalnya Nimbustratus (Ns), Stratuscumulus (Sc) dan Stratus(St). 2. awan menengah mempunyai ketinggian dasar awan antara 2-6 km biasanya di awali dengan kata „Alto‟, misalnya Altocumulus (Ac) dan Altostratus (As). 3. awan tinggi mempunyai ketinggian dasar awan diatas 6 km, biasanya ditandai dengan awalan
„Cirrus‟, misalnya Cirrostratus (Cs), Cirrocumulus (Cs) dan Cirrus (Ci). Hasil prediksi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan sejumlah lembaga pemantau cuaca dunia seperti NOAA (USA), BOM (Australia), Jamstec (Jepang) menunjukkan adanya anomali suhu muka laut negatif. Pada bulan Agustus hingga September 2010 diprediksi terjadi fenomena La Nina moderat, sedangkan pada Oktober 2010 hingga Januari 2011 akan terjadi fenomena La Nina kuat.
~ 164 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Untuk menentukan kejadian La Nina diantaranya dengan melihat nilai SOI yang dihitung dari perbedaan tekanan udara permukaan bulanan antara Tahiti dan Darwin. Nilai SOI berkisar antara (-35) dan 35. (BOM, 2011) Nilai SOI positif hingga positif kuat menunjukkan kejadian dari La Nina, sedangkan nilai SOI negatif hingga negatif kuat menunjukkan kejadian El Nino (Kirono dalam Prabowo, 2002).
Data SOI dapat diunduh melalui web: http://www.ncdc.noaa.gov/ sehingga dapat diketahui saat terjadi fenomena La Nina. (Gambar 1). Disini terlihat La Nina terjadi mulai tahun 2010 - Mart 2012. Namun Fadli Syamsuddin dari BPPT mengatakan, bahwa fenomena La
Nina diprediksi berlangsung hingga Juni 2012. La Nina mempengaruhi hujan di wilayah Indonesia bagian barat. (Kompas.com, 14 Maret 2012). Sedangkan Dodo Gunawan dari BMKG berpendapat bahwa La Nina sudah berjalan selama 12 bulan dan sudah mencapai akhir dari periode umum suatu kejadian anomali cuaca. Indikasi berakhirnya La Nina, kata Dodo, terlihat dari indeks ENSO (El Nino-Southern Oscillation), yaitu penyimpangan suhu permukaan laut (SST) dan indeks osilasi selatan (SOI) yang menuju ke arah normal. Bulan Mei 2011 merupakan musim pancaroba atau titik awal perubahan dari kondisi La Nina ke kondisi normal. Akan tetapi Manajer Laboratorium Teknologi Sistem Kebumian dan Mitigasi Bencana (Geotech) pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Fadli Syamsudin menyampaikan hal yang berbeda. Berdasarkan riset simulasi untuk model prakiraan cuaca bekerja sama dengan Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology (Jamstec), kondisi La Nina akan terlahir kembali pada Juli 2011. ”Akan terjadi fenomena reborn, terlahirnya kembali La Nina dalam waktu yang cukup singkat. (Kompas.com, 17 Juni 2011) Penelitian (Sofiati,2012) menemukan bahwa kemunculan awan hujan di Kototabang (0.20°LS, 100.32°BT) ditandai dengan pertumbuhan awan hujan. Dan hujan terjadi ratarata pada awan rendah atau awan pada ketinggain dibawah 2 km. Tujuan dari penelitian ini yakni untuk mengetahui dan menganalisa seberapa besar pengaruh fenomena La Nina terhadap pertumbuhan awan rendah dan awan menengah di daerah Kototabang – Sumbar 2.
DATA DAN METODA Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data awan rendah dan awan menengah
skala harian periode 2010 – 2012, hasil pengamatan dari alat Ceilometer Alat ini berfungsi untuk
mendapatkan ketinggian awan. Diukur mulai dari permukaan sampai dengan dasar awan, beroperasi secara otomatis dan terus menerus. Di instal di SPD Kototabang (0,2° LS; 100,32° BT) Sumatera Barat. Awan yang dideteksi hingga jangkauan 13 km (43.000 ft). Alat
~ 165 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
ini handal untuk diopersikan di segala cuaca, kinerjanya sangat baik dalam visibilitas vertikal dan deteksi awan saat curah hujan.
Gambar 1: Data dari alat Ceilometer, untuk awan rendah pada ketinggian (0-2) km
Gambar 1, contoh awan rendah pada ketinggian (0-2) km, pada tanggal 13 Desember 2010. Dengan sumbu X menyatakan waktu (local time) dan sumbu Y menyatakan ketinggian. Pada gambar 1 ini terlihat banyak awan rendah yang cukup tebal terjadi sepanjang hari.
Gambar 2, Data Ceilometer untuk awan menengah pada ketinggian (2-6) km.
Gambar 2, contoh data yang memperlihatkan awan menengah yang terjadi pada ketinggian (2-6) km, dimana sumbu X menyatakan waktu (local time) dan sumbu Y menyatakan ketinggian (height) pada tanggal 11 Januari 2011. Tahapan dalam penulisan penelitian ini yang pertama difokuskan pada musim basah(DJF), musim peralihan(MAM), musim kering(JJA) dan musim peralihan(SON). Dengan menggunakan metoda statistik, mengenai frekuensi dan peluang. Untuk menentukan frekuensi dan peluang terlebih dahulu dicari :
~ 166 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
1. Dalam penelitian ini di fokus pada musim basah (DJF), musim peralihan (MAM) dan (SON) dan musim kemarau (JJA). 2. Hitung dalam 1 bulan berapa kali awan rendah dan awan menengah 3. Hitung jumlah hari pada musim basah, musim peralihan dan musim kering. 4. Peluang adalh jumlah frekuensi dibagi jumlah hari permusim.
3.
HASIL Dari gambar 3, yang memperlihatkan kejadian La Nina, pokus penelitian kejadian
La Nina pada tahun 2010-2012 dengan nilai SOI rata-rata diatas +20. Pada saat kejadian La Nina ini di lakukan analisis data dari alat Ceilometer berupa awan rendah dan awan menengah. Untuk menentukan peluang terjadinya awan rendah dan awan menengah saat terjadinya fenomena La Nina (lih. gambar 4).
Gambar 3. Kurva SOI, yang memperlihat kejadian La Nina. Sumber http://www.ncdc.noaa.gov/
Pada tahun 2010 terlihat peluang kejadian awan rendah berkisar antara 30 – 37 %. Diperoleh dengan cara menjumlahkan berapa kali muncul awan rendah dalam satu bulan pada musim basah (DJF) kemudian dibagi dengan jumlah hari pada saat musim basah selama tiga bulan (DJF), sehingga diperoleh peluang setiap bulan pada musim basah. Dapat dilhat pada gambar 4, selama tahun 2010 kejadian awan rendah berada antara (30 – 37) %. Hal yang sama dilakukan untuk tahun 2011 dan 2012 pada setiap musim. Sedangkan untuk tahun 2011 peluang kejadian awan rendah maksimum pada bulan Agustus 2011 sebesar 44.28% dan untuk November 2011 peluang kejadian awan rendah
~ 167 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
minimum sebesar 19 %. Tahun 2012 peluang kejadian awan rendah berkisar antara 22% sampai 37% yang terdapat pada bulan Februari dan bulan Desember.
50
Peluang(%)
2010 45
2011
40
2012
35 30 25 20 15 Des
Jan
Feb
Mar April Mei
Jun
Jul
Agt Sept Okt
Nov
Waktu(bulan)
Gambar 4. Peluang Awan Rendah di Kototabang Saat Terjadi La Nina Selanjutnya Gambar 5, menunjukkan peluang kejadian awan menengah saat terjadi La Nina pada tahun 2010 sampai 2012. Proses penentuan peluang kejadian awan menengah sama dengan proses awan rendah. Sehingga dipoleh peluang kejadian awan menengah tahun 2010 berkisar antara 27 % sampai 39 %, sedangkan tahun 2011 berkisar dari 16 % sampai 50% . Untuk tahun 2012 peluang kejadian awan menengah minimum 25 % dan maksimum 43 % yang terjadi pada bulan Agustus dan November.
55 2010 50
2011 2012
Peluang(%)
45 40 35 30 25 20 15 Des
Jan
Feb
Mar April Mei
Jun
Jul
Agt Sept Okt
Nov
Waktu(bulan)
Gambar 5. Peluang Awan Menengah di Kototabang Saat Terjadi La Nina
~ 168 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
4.
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
PEMBAHASAN Hasil analisis data diperoleh awan rendah (gambar 4) yang terjadi pada musim
basah (DJF=Des, Jan, Feb) yang terdiri dari 90 hari, dengan frekuensi kemunculan awan rendah sebanyak 85 kali, untuk musim basah (DJF). Kemudian untuk musim peralihan (MAM= Mart, Apr, Mei) selama 92 hari, frekuensi kemunculan awan rendah sebanyak 89 kali. Kemudian untuk musim kering (JJA=Jun, Jul, Agt) yang terdiri dari 92 hari dengan frekuensi kemunculan awan rendah sebanyak76 kali. Selanjutnya musim pealihan (SON= Sept, Okt, Nov) yang terdiri dari 91 hari dengan frekuensi kemunculan awan rendah sebanyak 67 kali, peluang kejadian awan rendah dapat dilihat pada tabel 1. Untuk analisa awan menengah (gambar 5) pada musim basah tahun 2010, sebanyak 90 hari yang terdiri dari bulan Desember 2009, Januari dan Februari 2010. Dan ternyata awan menengah yang muncul selama bulan basah (DJF) mempunyai frekuensi kemunculan awan menengah sebanyak 75 kali. Selanjutnya untuk musim peralihan (MAM=Mart, Apr, Mei) ada sebanyak 92 hari dengan kemunculan awan menengahnya sebanyak 65 kali. Dan untuk musim kering (Jun, Jul, Agt) selama 92 hari dengan frekuensi kemunculan awan menengah sebanyak 68 kali. Musim peralihan berikutnya (SON=Sept, Okt, Nov). Frekuensi awan menengah pada musim peralihan ini terjadi sebanyak 52 kali, sedangkan pada musim peralihan(SON) ini terdiri dari 91 hari. Uraian kejadian awan menengah dapat dilihat pada tabel 2 Pada bulan September peluang kejadian awan menengah sebanyak 32.69 %, begitu juga untuk bulan Oktober sama sebesar 32.69 %, sedangkan untuk bulan November peluang kejadian awan menengah terjadi sebanyak 34.61 %.
Tabel 1: Peluang Awan Rendah Pada Setiap Musim Musim Basah (DJF)
M. Peralihan (MAM)
M. Kering (JJA)
M. Peralihan (SON)
Jml hr
90
Jml hr
92
Jml hr
92
Jml hr
91
Frek
85 kali
Frek
89 kali
Frek
76 kali
Frek
67 kali
Peluang
Peluang
Peluang
Peluang
Des
32.9 %
Mart
34.8 %
Juni
36.8 %
Sept
34.32 %
Jan
34.1 %
April
32.58 %
Juli
30.26 %
Okt
32.83 %
Feb
32.9 %
Mei
32.58 %
Agt
32.89 %
Nov
32.83 %
~ 169 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Tabel 2: Peluang Awan Menengah Pada Setiap Musim Musim Basah (DJF)
M. Peralihan (MAM)
M. Kering (JJA)
M. Peralihan (SON)
Jml hr
90
Jml hr
92
Jml hr
92
Jml hr
91
Frek
75 kali
Frek
65 kali
Frek
68 kali
Frek
52 kali
Peluang
Peluang
Peluang
Peluang
Des
36 %
Mart
38.46 %
Juni
35.29 %
Sept
32.69 %
Jan
33.3 %
April
22.84 %
Juli
26.47 %
Okt
32.69 %
Feb
30.6 %
Mei
27.69 %
Agt
38.23 %
Nov
34.61 %
5. KESIMPULAN. Dari hasil penelitian selama periode 2010 – 2012 pada saat terjadi fenomena La Nina, menghasilkan banyak awan-awan rendah yang menghasilkan hujan juga awan-awan menengah. Disebabkan La Nina terjadi saat permukaan laut di pasifik tengah dan timur suhunya lebih rendah dari biasanya pada waktu-waktu tertentu. Dan tekanan udara kawasan pasifik barat menurun yang memungkinkan terbentuknya awan. Sehingga tekanan udara di pasifik tengah dan timur tinggi, yang menghambat terbentuknya awan. Sedangkan di bagian pasifik barat tekanan udaranya rendah yaitu di Indonesia yang memudahkan terbentuknya awan cumulus nimbus, awan ini menimbulkan turun hujan lebat yang juga disertai petir. Karena sifat dari udara yang bergerak dari tekanan udara tinggi ke tekanan udara rendah. Menyebabkan udara dari pasifik tengah dan timur bergerak ke pasifik barat. Hal ini juga yang menyebabkan awan konvektif di atas pasifik tengah dan timur bergeser ke pasifik barat. UCAPAN TERIMAKASIH. Penulis mengucapkan terimakasih banyak kepada teman-teman di Bidang Pemodelan Atmosfer yang telah memberikan masukan dan partisipasinya dalam penulisan makalah ini.
~ 170 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
DAFTAR PUSTAKA. BOM (Bureau of Meteorology). 2011. El Nino, L Nin d n Austr li ’s Clim te. (Diakses dari www.bom.gov.au pada tanggal 9 September 2011). Gunawan, D., 2007, Cuaca dan Iklim Indonesia, http:// www. dirgantara-lapan. or. id/moklim/ http://www.bmkg.go.id/bbmkg_wilayah_2/Lain_Lain/Artikel/ http://www.ncdc.noaa.gov/ Kirono, D.G.C., Hadi, M.P., Nurjani, E.. 2004. Laporan Komprehensif Hasil Penelitian Hibah Bersaing XI Tahun Anggaran 2003-2004 Pengembangan Sistem Prakiraan Penyimpangan Prabowo, M. dan Nicholls, N. (2002) Kapan Hujan Turun ? Dampak Osilasi Selatan di Indonesia. Brisbane : Publishing Services. Sofiati. I, 2012. Korelasi Parameter Fisis Awan dengan Curah Hujan di KototabangSumatera Barat. Laporan program penelitian PSTA 2012.(Tidak dipublikasikan).
~ 171 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
IDENTIFIKASI KEJADIAN MONSUN EKSTRIM DI PULAU JAWA DAN SEKITARNYA Lely Qodrita Avia Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer - LAPAN Jl. Dr. Djundjunan - Bandung email :
[email protected]
Abstract Rainfall is elements of climate in Indonesia has the highest variability compared to the other climatic elements. The main factors causing seasonal climate variations at Jawa island is monsoon phenomenon. Comparison between the amount of rainfall in the Asian monsoon for period of December,January,and February relatively is larger than the Australian monsoon for period of June, July, and August in Java island. The TRMM 3B43v6 satellite data over the period 1998-2010 as the main data is used in this study. While ONI (Oceanic Nino Index) and DMI (Dipole Mode Index) data is used as supporting data. This research was conducted to investigate the characteristics of the distribution of rainfall during the monsoon period, and to identify the extreme monsoon events at Java island. The results showed that the incidence of extreme looks the same between the Asian monsoon and the Australian monsoon in Java occurred in the period 1999, 2002, 2006 and 2008. The results also showed that the incidence of extreme monsoon seems related to the global phenomenon of ENSO events in the equatorial Pacific Ocean and the IOD phenomenon in the equatorial Indian Ocean. Keywords: rainfall, TRMM, monsoon, extreme
Abstrak Curah hujan sebagai unsur iklim di wilayah Indonesia memiliki variabilitas paling tinggi dibanding unsur-unsur iklim lainnya. Faktor utama penyebab variasi iklim musiman di pulau Jawa adalah fenomena monsun. Perbandingan antara jumlah curah hujan di pulau Jawa pada periode monsun Asia (Desember, Januari, dan Februari) relatif lebih besar daripada periode monsun Australia (Juni, Juli, dan Agustus). Data satelit TRMM 3B43v6 selama periode 1998-2010 sebagai data utamapada penelitian ini. Sedangkan data ONI (Oceanic Nino Index) dan DMI (Dipole Mode Index) digunakan sebagai data pendukung. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik spasial distribusi curah hujan monsun dan melakukan identifikasi kejadian monsun ekstrim di pulau Jawa selama periode tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tampak kejadian ekstrim yang bersamaan antara monsun Asia dan monsun Australia di pulau Jawa terjadi pada periode tahun 1999, 2002, 2006 dan 2008 . Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kejadian monsun ektrim ini tampak berkaitan dengan berlangsungnya fenomena global ENSO di Samudera Pasifik ekuator dan fenomena IOD di Samudera Hindia ekuator. Kata kunci : curah hujan, trmm, monsun, ekstrim
~ 172 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
1.
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
PENDAHULUAN Wilayah Indonesia yang dikenal sebagai negara benua maritim. Sekitar 70% bagian
wilayahnya berupa lautan. Daratan Indonesia yang terdiri dari beberapa pulau besar dan pulau-pulau kecil dengan topografi yang terdiri dari banyak pegunungan. Posisi wilayah Indonesia juga diapit oleh dua benua yaitu Benua Asia dan Benua Australia serta diapit dua lautan yang besar yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Selain dari itu wilayah Indonesia juga dilalui oleh dua sirkulasi atmosfer global yaitu sirkulasi zonal dan meridional yang dikenal dengan sirkulasi Walker dan sirkulasi Hadley. Karena keunikan posisi, kondisi geografis dan topografi Indonesia tersebut menjadikan kondisi iklim di wilayah Indonesia yang juga sangat beragam. Monsun sebagai fenomena cuaca yang besar di bumi, dimana wilayah Indonesia termasuk wilayah yang dipengaruhinya (Webster 1987). Monsun Asia menunjukkan variabilitas antar tahun yang kuat (Webster et al.,1998). Fenomena monsun merupakan interaksi langsung antara udara dan lautan. Fenomena monsun adalah salah satu dari fenomena atmosfer yang terjadi di daerah ekuator dengan osilasi sekitar 6-12 bulan (Krishnamurti-Bhalme,1976). Monsun merupakan angin yang bertiup sepanjang tahun dan berganti arah sebanyak dua kali dalam satu tahun. Chao et al (2001) mengemukakan bahwa monsun adalah perbedaan tegas awal musim basah (hujan) dan musim kering (kemarau) karena perubahan arah dan kecepatan angin akibat gradient tekanan. Monsun Asia dipengaruhi oleh WNPMI (Western North Pacific Monsoon Index) dan ISMI (Indian Summer Monsoon Index). Sedangkan monsun Australia dipengaruhi oleh AUSMI (Australia Monsoon Index). Daerah monsun ditandai dengan (a) perubahan arah angin utama sekurangkurangnya 120 derajat dari bulan Januari dan Juli; (b) rata-rata frekuensi angin utama dalam bulan Januari dan Juli lebih dari 40%; (c) sekurang-kurangnya sebulan, rata-rata resultan angin dalam sebulan lebih dari 3m/detik; (d) sekurang-kurangnya satu siklonantisiklon terjadi bergantian di daerah 5 derajat lintang dan bujur. Monsun merupakan suatu fenomena cuaca besar di bumi. Berdasarkan kriteria yang dikemukakan Ramage tersebut maka daerah yang disebut kawasan monsun adalah daerah yang terletak antara 35oLU dan 25oLS serta antara 30oBT dan 170oBT. Wilayah tersebut mencakup sebagian Asia (Asia bagian timur dan selatan), Indonesia, sebagian Australia (Australia bagian utara), Ramage (1971). Monsun dapat juga didefinisikan sebagai pembalikan angin permukaan tahunan, termasuk pembalikan perpindahan kelembaban tahunan dan distribusi presipitasi tahunan yang kontras antara musim panan dan musim dingin. Pusat musim ~ 173 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
panas menyebabkan musim hujan, sementara musim kering terjadi disaat musim dingin, Wang and Ding (2006). Ramage (1971) juga menyatakan bahwa ada dua sistem monsun di Asia, yaitu Monsun Musim Dingin Asia Timur (the East Asian Winter Monsoon) atau angin monsun barat Asia yang dikenal juga dengan sebutan monsun Asia dan Monsun Musim Panas Asia Selatan (the South Asian Summer Monsoon) atau angin monsun timur yang dikenal juga dengan sebutan monsun Australia. Angin monsun barat atau monsun Asia yang berlangsung sekitar bulan Oktober sampai April. Pada saat ini matahari berada di belahan bumi selatan yang menyebabkan Benua Australia mengalami musim panas sehingga bertekanan rendah. Sedangkan Benua Asia lebih dingin sehingga bertekanan tinggi. Menurut hokum Buys Ballot, angin akan bertiup dari tekanan tinggi ke tekanan rendah. Sehingga angin akan bertiup dari benua Asia menuju ke benua Australia, karena menuju ke Selatan ekuator maka angin akan dibelokkan ke arah kiri. Angin ini melewati lautan luas di bagian utara samudera Pasifik dan Laut Cina Selatan dengan membawa banyak massa uap air sehingga menyebabkan di Indonesia akan mengalami musim hujan. Sedangkan angin monsun timur atau monsun Australia adalah angin yang berlangsung sekitar bulan April sampai Oktober. Pada saat ini matahari berada di belahan bumi utara, sehingga menyebabkan benua Australia mengalami musim dingin dan bertekanan tinggi. Sedangkan benua Asia lebih panas dan bertekanan rendah. Angin akan bertiup dari benua Australia menuju benua Asia. Karena menuju ekuator maka angin akan dibelokkan ke arah kanan. Pada periode ini Indonesia akan mengalami musim kemarau akibat angin tersebut melalui gurun pasir di bagian utara Australia yang kering dan hanya melalui lautan sempit. Oleh karena itu, identifikasi periode monsun di Indonesia selain dengan menggunakan data angin, dapat digunakan data curah hujan karena jelas sangat signifikan perbedaan distribusi curah hujan yang terjadi pada kedua periode monsun tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan pertama untuk mengetahui karakteristik spasial distribusi curah hujan selama periode monsun Asia dan monsun Australia berbasis data satelit dan tujuan kedua melakukan identifikasi kejadian monsun ekstrim di pulau Jawa selama periode 1998-2010 berdasarkan prosentase anomali curah hujan yang terjadi pada masing-masing periode monsun tersebut. Penelitian ini dilakukan secara spasial dengan menggunakan data curah hujan yang diperoleh dari satelit TRMM 3B43v6 yang memiliki resolusi spasial dan temporal yang tinggi. Hal ini dilakukan untuk mengatasi permasalahan keterbatasan stasiun hujan, data curah hujan dari stasiun hujan yang kosong atau tidak lengkap. Data satelit TRMM ~ 174 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
3B43v6 ini digunakan dengan pertimbangan data tersebut menunjukkan pola curah hujan yang umumnya dapat mengikuti pola curah hujan observasi permukaan dengan baik. Hal ini ditunjukkan oleh nilai korelasi yang kuat yaitu 63.66%, 66.85% dan 72.94% untuk lokasi sekitar stasiun Lhokseumawe Aceh, stasiun Simpang Tiga Pekanbaru dan stasiun Bengkulu Bengkulu. Bahkan tampak nilai korelasi yang sangat kuat yaitu 83.05%, 80.44%, 85.08%, dan 84.88% untuk stasiun Polonia Medan, stasiun.Tabing Padang, stasiun Banyuasin Sumsel dan stasiun Raden Inten Lampung (Avia dan Bambang, 2012). Begitu juga untuk stasiun Supadio Pontianak, stasiun Kayuwatu Manado, stasiun Sicincin Padang dan stasiun Kemayoran Jakarta yang tampak memiliki korelasi sangat kuat yaitu sekitar 80% (Suryantoro et al, 2008). Suatu indikator umum yang dikemukakan BMKG tentang salah satu kriteria cuaca ekstrim terjadi jika curah hujan lebih dari 50 mm/hari atau masuk dalam kategori intensitas hujan lebat. Namun untuk prediksi potensi banjir atau tanah longsor bulanan digunakan indikator jika curah hujan lebih dari 400 mm/bulan. Indikator 400 mm/bulan tersebut termasuk dalam kriteria distribusi curah hujan bulanan sangat tinggi, yang tampak prosentasenya lebih tinggi sekitar 33% dari distribusi curah hujan dengan kriteria menengah (mendekati rata-ratanya). Dengan memperhatikan beberapa kriteria tersebut diatas sehingga penulis pada penelitian ini menentukan kriteria monsun ekstrim terjadi jika prosentase anomali curah hujan pada masing-masing periode monsun tersebut lebih tinggi 40% dari kondisi rata-ratanya mengingat data periode monsun tersebut merupakan akumulasi dari data bulanan. Secara umum, sistem monsun juga dapat dipengaruhi oleh sistem sirkulasi lain seperti interaksi dengan jets stream, IOD (Indian Ocean Dipole), osilasi selatan (Ashok et al. 2001, Li et al, 2003). Fenomena monsun terjadi secara periodik, akan tetapi awal musim hujan dan musim kemarau tidak selalu sama sepanjang tahun di Indonesia. Hal ini disebabkan musim di Indonesia juga dipengaruhi oleh fenomena global seperti El Nino/La Nina, Osilasi Selatan, dan IOD. El Nino/La Nina adalah fenomena anomali panas/dingin Samudera Pasifik Ekuatorial Tengah dan Timur, sedangkan IOD adalah beda temperatur permukaan laut Pantai Timur Afrika dan Pantai Barat Sumatera (Yamagata et al., 2002). Pada penelitian ini juga dianalisis penyebab kondisi ekstrim tersebut dengan memperhatikan pengaruh fenomena global tersebut terhadap peningkatan atau penurunan curah hujan yang terjadi.
~ 175 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
2.
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
DATA DAN METODOLOGI
2.1 Data Untuk mengetahui karakteristik curah hujan pada suatu daerah sangat diperlukan data yang cukup panjang dan kontinyu. Karena keterbatasan jumlah stasiun observasi curah hujan dan kesinambungan data curah hujan permukaan secara spasial maka pada peneliti ini sebagai data utama digunakan data satelit TRMM 3B43v6.
Data TRMM
3B43v6 ini memiliki resolusi temporal bulanan dan resolusi spasial 0,25 x 0,25 derajat lintang bujur. Adapun periode data TRMM 3B43v6 yang digunakan pada penelitian ini merupakan data curah hujan periode monsun Asia (Desember, Januari, dan Februari) dan monsun Australia (Juni, Juli, dan Agustus) sejak 1998 sampai 2010. Sedangkan data lainnya yang digunakan sebagai data pendukung pada penelitian ini untuk mengetahui penyebab kondisi ekstrim tersebut adalah data ONI (Oceanic Nino Index) dan DMI (Dipole Mode Index) yang mengindikasikan fenomena ENSO (El Nino and Southern Oscillation Index) dan fenomena IOD (Indian Ocean Dipole), juga data MJO (Maden-Julian Oscillation). 2.2 Metodologi Metodologi yang dilakukan pada penelitian ini dengan melakukan pengolah data menggunakan software McExcell dan GrADS (Grid Analysis and Display System) adalah untuk mengetahui karakteristik curah hujan pada periode monsun Asia dan monsun Australia di pulau Jawa dilakukan kroping data satelit TRMM untuk wilayah Jawa dengan batasan geografis 5,75oLS sampai 9,00oLS dan 105,00oBT sampai 114,75oBT. Selanjutnya data untuk data terpilih dilakukan perhitungan akumulasi data setiap tahunnya untuk masing-masing periode monsun. Selanjutnya dilakukan perata-rataan selama periode penelitian yaitu 1998-2010 yang dapat merepresentasikan karakteristik curah hujan pada periode monsun tersebut. Sedangkan untuk mengetahui kondisi ekstrim dilakukan pengolahan data prosentase anomalinya yang merupakan prosentase perbedaan curah hujan periode monsun untuk setiap tahunnya terhadap kondisi rata-rata curah hujan monsun, secara
matematis
((( ̅ ) tahun ke-i,
)
dapat
ditulis
), dimana Pi adalah prosentase anomali curah hujan monsun
adalah curah hujan pada periode monsun tahun ke-i, ̅ adalah curah hujan
rata-rata periode
monsun selama 1998-2010, dan i adalah tahun penelitian. Hal ini
dilakukan untuk masing-masing periode monsun, sehingga dapat dianalisis jika prosentase anomali curah hujan
pada periode tersebut lebih dari 40% dapat merepresentasikan
~ 176 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
kondisi monsun ekstrim. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap hasil yang diperoleh dan juga analisis terhadap data pendukung lainnya guna mengetahui penyebab terjadinya kondisi esktrim tersebut.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Karakteristik curah hujan periode monsun Asia dan monsun Australia di pulau Jawa Sebagaimana telah dijelaskan pada bab pendahuluan bahwa pada periode sekitar bulan
Oktober sampai April,bertiup angin monsun barat atau monsun Asia, dimana
periode tersebut matahari berada di belahan bumi selatan, sehingga menyebabkan di benua Australia musim panas dan bertekanan rendah. Sedangkan kondisi sebaliknya terjadi yaitu angin monsun timur atau monsun Australia yang bertiup sekitar bulan April sampai Oktober, dimana periode tersebut matahari berada di belahan bumi utara, sehingga menyebabkan benua Australia musim dingin dan bertekanan tinggi. Gambar 1 menunjukkan pola rata-rata arah angin bulanan selama periode monsun Asia dan monsun Australia berlangsung.
Gambar 1. Rata-rata arah angin bulanan pada periode monsun Asia(a) dan periode monsun Australia (b) (sumber : BMKG)
Berdasarkan hasil pengolahan data selama periode penelitian ini diperoleh karakteristik curah hujan periode monsun Asia di pulau Jawa sebagaimana yang terlihat pada Gambar 2. Pada penelitian ini dapat dikatakan karakteristik curah hujan periode monsun Asia karena merupakan hasil olahan data rata-rata selama periode monsun Asia yang cukup panjang yaitu sekitar 13 tahun pengamatan atau dapat dikatakan sebagai kondisi rata-ratanya. Sejalan dengan keterangan diatas tampak karakteristik curah hujan yang besar di pulau Jawa terjadi pada periode monsun Asia ini. Pada Gambar 2 tersebut
~ 177 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
tampak bahwa karakteristik curah hujan periode monsun Asia di pulau Jawa bervariasi antara 600 mm sampai 1300 mm, dimana curah hujan terbesar antara 1100 mm sampai 1300 mm terjadi pada dua lokasi yaitu satu di daerah Jawa Tengah dan satu lagi di daerah Jawa Timur yang tampak merupakan daerah dengan topografi dataran tinggi. Selain itu daerah tersebut juga tampak pada Gambar 1 merupakan daerah pertemuan angin yang bertiup dari utara dan dari selatan. Sedangkan daerah sekitar pantai barat dan tenggara pulau Jawa tampak memiliki karakteristik curah hujan monsun Asia yang relatif kecil yaitu antara 600 mm sampai 800 mm.
Gambar 2. Karakteristik curah hujan periode monsun Asia di pulau Jawa
Berdasarkan hasil pengolahan data selama periode penelitian ini diperoleh karakteristik curah hujan pada periode monsun Australia di pulau Jawa sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 3. Sama halnya dengan periode monsun Asia, pada periode monsun Australia ini dapat dikatakan karakteristik curah hujan periode monsun Australia karena merupakan hasil olahan data rata-rata selama periode monsun Australia yang cukup panjang yaitu sekitar 13 tahun pengamatan atau juga disebut sebagai kondisi rataratanya. Karakteristik curah hujan periode monsun Australia di pulau Jawa yang memiliki curah hujan yang kecil dimana hanya bervariasi antara 50 mm sampai 400 mm. Karakteristik daerah di bagian timur pulau Jawa tampak lebih kering dimana curah hujan hanya sekitar 50 mm sampai 150 mm yang dibandingkan daerah bagian tengah dan barat pulau Jawa tampak relatif lebih besar umumnya antara 150 mm sampai 300 mm. Hanya
~ 178 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
sebagian daerah di Jawa Barat yang memiliki curah hujan antara 300 mm sampai 400 mm seperti yang tampak pada Gambar 3.
Gambar 3. Karakteristik curah hujan periode monsun Australia di pulau Jawa
3.2 Identifikasi Kondisi Ekstrim Monsun Asia di pulau Jawa Berdasarkan data curah hujan dari satelit TRMM 3B43v6 telah diperoleh rata-rata curah hujan selama periode monsun Asia seperti yang telah dijelaskan pada point 3.1 sebagai karakteristik curah hujan periode monsun Asia. Untuk mengetahui kondisi monsun ektrim telah dilakukan pengolahan data anomali curah hujan pada periode monsun Asia setiap tahunnya di pulau Jawa dalam bentuk prosentase. Sehingga diperoleh hasil sebagaimana yang tampak pada Gambar 4 merupakan variasi
anomali curah hujan
periode monsun Asia setiap tahun selama periode penelitian ini. Pada Gambar 5 tersebut diketahui bahwa selama periode penelitian dapat diidentifikasi kejadian monsun Asia yang cukup ekstrim yaitu pada tahun 1999, 2002, 2004, 2005, 2006, 2007, 2008, 2009 dan 2010 yang ditunjukkan oleh adanya peningkatan intensitas curah hujan yang sangat besar di beberapa daerah di pulau Jawa. Prosentase anomali curah hujan selama periode monsun tampak umumnya antara 40% sampai 60% dibanding kondisi rata-ratanya. Dari Gambar 4 tersebut juga tampak bahwa lokasi daerah monsun ekstrim yang tidak konsisten atau tidak selalu sama hal ini sangat terkait dengan kondisi pergeseran pusat awan-awan konvektif yang sangat dinamis.
~ 179 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Gambar 4. Variasi anomali curah hujan periode monsun Asia tahun 1998-2010
Berdasarkan kondisi global fenomena ENSO dan fenomena IOD yang dapat dilihat dari indikasi nilai ONI (Oceanic Nino Index) dan DMI (Dipole Mode Index). Tampak bahwa adanya kaitan antara peningkatan curah hujan yang menjadikan kondisi periode monsun ekstrim tersebut terhadap berlangsungnya fenomena La Nina di Samudera Pasifik terutama tahun 1999, 2007, 2010 dengan intensitas kuat dan tahun 2005, 2008 dengan intensitas sedang. Sedangkan tahun 2002, 2006 dan 2009 tampak pada Gambar 5 indikasi dari ONI menunjukkan berlangsungnya fenomena El Nino di Samudera Pasifik namun data curah hujan di pulau Jawa tampak juga menunjukkan anomali positif yang cukup tinggi 40% sampai 60% dari kondisi normalnya terutama untuk Jawa bagian timur. Oleh karena itu tampak adanya faktor lain yang mempengaruhi peningkatan curah hujan di pulau Jawa pada periode tersebut. Pada periode ini tampak adanya fenomena MJO (Maden-Julian Oscillation) yang berada dalam status aktif dan kuat di kawasan Benua Maritim Indonesia dan samudera India pada tahun 2002 bulan Desember, sedangkan tahun 2006, bulan Desember sampai Februari, serta tahun 2009 bulan Desember dan Januari sebagaimana yang tampak pada Gambar 6.
~ 180 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Gambar 5. Ocean Nino Index (ONI) bulan Desember-Februari (a) dan Dipole Mode Index bulan Desember-Februari (b) selama periode penelitian
Gambar 6. Diagram fase Madden-Julian Oscillation untuk bulan Desember-Maret
3.3 Identifikasi Kondisi Ekstrim Monsun Australia di pulau Jawa Berdasarkan data curah hujan dari satelit TRMM 3B43v6 juga telah diperoleh ratarata curah hujan selama periode monsun Australia seperti yang telah dijelaskan pada point 3.1 sebagai karakteristik curah hujan periode monsun Australia. Untuk mengetahui kondisi monsun ektrim juga telah dilakukan pengolahan data anomali curah hujan pada periode monsun Australia setiap tahunnya di pulau Jawa dalam bentuk prosentase. Sehingga diperoleh hasil sebagaimana yang tampak pada Gambar 7 merupakan variasi
anomali
curah hujan periode monsun Asia setiap tahun selama periode penelitian ini. Tampak pada Gambar 7 tersebut untuk periode monsun Australia (JJA) selama periode penelitian ini telah teridentifikasi kejadian monsun ekstrim yaitu pada tahun 1998, 1999, 2001, 2002, 2003, 2006, 2008, 2010. Diantara waktu tersebut tampak kejadian curah hujan monsun yang sangat ekstrim pada tahun 1998 dan 2010 dimana tampak anomali positif curah hujan periode monsun Australia ini yang sangat tinggi yaitu lebih dari 80%
~ 181 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
dibanding kondisi rata-ratanya. Pada Gambar 8 dapat menjelaskan hal tersebut sangat berkaitan erat dengan berlangsungnya fenomena La Nina dengan intensitas sedang dan pada waktu yang bersamaan ditambah dengan berlangsungnya fenomena IOD negatif di Samudera Hindia sehingga tampak telah memberikan dampak yang nyata pada peningkatan curah hujan yang luar biasa di pulau Jawa. Sementara pada tahun 1999 tampak La Nina masih berlangsung dengan intensitas melebihi tahun 1998 namun di samudera Hindia tampak IOD dalam kondisi normal sehingga dampak peningkatan curah hujan di pulau Jawa tidak sebesar pada tahun 1998. Pada tahun 2001 tampak peningkatan curah hujan yang lebih dari 60% dari rata-ratanya terutama tampak di pulau Jawa bagian tengah dan timur. Hal ini tampak merupakan akibat dari berlangsungnya IOD negatif di Samudera Pasifik. Namun pada tahun 2002 dan 2003 tampak kondisi yang sebaliknya dimana tampak kondisi pulau jawa yang kering karena adanya penurunan curah hujan 60% sampai 100% dibanding rata-ratanya. Hal ini disebabkan tahun 2002 berlangsung fenomena El Nino namun tampak diredam oleh fenomena IOD negatif. Sedangkan pada tahun 2003 tampak IOD positif tampak berpengaruh kuat pada pengurangan jumlah curah hujan di pulau Jawa yang hampir merata. Sama halnya dengan kondisi pada monsun Asia, pada periode monsun Asutralia ini juga tampak adanya fenomena lain yang dominan mempengaruhi atmosfer. Pada tahun 2006 dan 2008 dari indeks ENSO maupun indeks IOD tidak menunjukkan kondisi anomali di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, namun terlihat dari data curah hujan untuk periode ini juga menunjukkan kondisi yang kering dimana anomali curah hujan negatif cukup tinggi yaitu 60% sampai 80% dari rataratanya. Tampak selama periode Juni sampai Juli 2006 tersebut kondisi MJO yang dalam kondisi tidak aktif untuk wilayah Indonesia, yang baru maenjadi aktif pada bulan September. Sehingga kondisi di wilayah Indonesia menjadi kering dan tampak bebas dari awan-awan konvektif seperti yang ditunjukkan Gambar 9.
~ 182 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Gambar 7. Variasi anomali curah hujan periode monsun Australia tahun 1998-2010
Gambar 8. Ocean Nino Index (ONI) bulan Juni-Agustus (a) dan Dipole Mode Index bulan Juni-Agustus (b) selama periode penelitian
~ 183 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Gambar 9. Diagram fase Madden-Julian Oscillation untuk bulan Juni-September 2006
4. KESIMPULAN Berdasarkan analisis diatas dapat disimpulkan beberapa hal yaitu telah teridentifikasi periode tahun dimana terjadi kondisi monsun ekstrim yang bersamaan antara monsun Asia dan monsun Australia yang memberikan dampak terhadap peningkatan ataupun penurunan curah hujan yang cukup besar di pulau Jawa yaitu mencapai 60% 100% lebih dari kondisi rata-ratanya atau sebaliknya 60%-100% kurang dari kondisi rataratanya yaitu pada tahun 1999, 2002, 2006 dan 2008. Dari beberapa kejadian ektrim tersebut tampak tidak konsisten terjadi pada lokasi yang selalu sama, namun tampak daerah yang rentan umumnya terjadi di bagian timur pulau Jawa. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kejadian monsun ekstrim ini tampak sangat berkaitan dengan berlangsungnya fenomena global ENSO di Samudera Pasifik ekuator dan fenomena IOD di Samudera Hindia ekuator yang mempengaruhi distribusi curah hujan di pulau Jawa. Selain fenomena tersebut juga tampak fenomena MJO juga cukup berperan dalam indikasi keberadaan awan-awan konvektif di pulau Jawa dan wilayah Indonesia pada umumnya DAFTAR RUJUKAN Ashok, K., Z. Guan, and T. Yamagata, 2001: Impact of the Indian Ocean dipole on the relationship berween the Indian Monsoon rainfall and ENSO,
eophys. es. Lett.,
28, 4499-4502 Avia, L. Q. dan Bambang S., 2012: Pembandingan Data Curah Hujan Bulanan Estimasi Satelit TRMM Terhadap Data Curah Hujan Observasi di Sumatera, Prosiding Penelitian Masalah Lingkungan di Indonesia, ISSN 2088-4818, 389 – 399 Chao, W.C. and B. Chen, 2001. The Origin of Monsoons. J. Atmos. Sci.,58, 3497-3507.
~ 184 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Li, T., B. Wang, C.P.Chang, and Y.Zhang, 2003: A theory for the Indian Ocean dipole-zonal mode. J.Atmos.Sci., 60, 2119-2135 Krishnamurti, T. N., H. N. Bhalme, 1976: Oscillations of a Monsoon System. Part I. Observational Aspects. J. Atmos. Sci., 33,1937–1954 Ramage, C. S., 1971.
onsoon
eteorology, Academic Press, New York.
Suryantoro, A., T. Harjana, Halimurrahman, 2008 : Variasi Spasio Temporal Curah Hujan Indonesia Berbasis Observasi Satelit TRMM, Prosiding Workshop Aplikasi Sains Atmosfer : Sains Atmosfer Dalam Mendukung Pembangunan Berkelanjutan, ISBN 978-979-1458-25-2. Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim LAPAN, Bandung, 1 Desember 2008, 175-186 Wang, B., and Q. Ding, 2006. Changes in global monsoon precipitation over the past 56 years. Geophys. Res. Lett., 33, L06711, doi:10.1029/2005GL025347. Webster, P.J., 1987 : The elementary monsoon. Monsoon, J. S. Frein and P.L,. Stephens, eds., John Wiley and Sons, 3-32. Webster, P.J., V.O. Magana, T.N. Palmer, J. Shukla, R.A. Tomas, M.Yanai, and T. Yasunari,1998: Monsoons: processes, predictability, and the prospects for prediction. J. Geopys. Res., 193,14,451-14,510 Yamagata, T., S. K. Behera, S. A. Rao., Z. Guan, K. Ashok, and H.N. Saji, 2002: The Indian Ocean dipole: a physical entity, CLIVAR Exchanges, 24, 15–18
~ 185 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
RANCANG BANGUN SISTEM MANAJEMEN BASIS DATA SATELIT DAN IMPLEMENTASINYA Mahmud, Edi Maryadi, Muzirwan, Emanuel A, Ria Fitri Yulianti R, Lamartomo Pusat Sain dan Teknologi Atmosfer, Jl. Dr. Junjunan No. 133 Bandung, 40173, LAPAN,
[email protected]
Abstract The abundance of data without proper management, will be difficult for users to implement all existing data, therefore, required the development of a system that can manage the receipt and data collection system that integrates monitoring, network systems and software that has the ability to automatically insert, modify, delete, manipulate, and display data and information with practical and efficient. The design of a data base management system implemented by identify and inventory data, while development activities database management system implemented in stages of analysis and identification of needs, gathering and documenting requirements, global design and detail, followed by the implementation or activity programming or coding of results design, and testing / integration testing of inter-module Based on the above process has awakened data transmission network between the Bandung – Balai/ Loka using Fiber Optics, and database management systems Indonesian atmosphere, that contain Indonesian atmosphere data and scientific papers atmospheric science that can be accessed online Keyword : management systems, fiber optics, atmosphere database Abstrak Melimpahnya data tanpa pengelolaan yang baik, akan menyulitkan pengguna dalam mengimplementasikan semua data yang ada, oleh karena itu diperlukan pengembangan sistem yang dapat mengelola penerimaan dan pengkoleksian data yang mengintegrasikan sistem monitoring, sistem jaringan dan perangkat lunak yang mempunyai kemampuan secara otomatis memasukkan, mengubah, menghapus, memanipulasi, dan menampilkan data dan informasi dengan praktis dan efisien. Perancangan sistem manajemen basis data dilaksanakan berdasarkan identifikasi dan inventarisasi data, sedangkan kegiatan pengembangan sistem manajemen basis data dilaksanakan berdasarkan tahapan kegiatan analisis dan identifikasi kebutuhan, pengumpulan dan pendokumentasian kebutuhan, rancangan detail dan global , dilanjutkan dengan implementasi atau aktifitas pemograman atau coding dari hasil desain; dan pengetesan/ pengujian integrasi antar modul. Berdasarkan proses diatas telah terbangun jaringan transmisi data antara Bandung dengan Balai/Loka menggunakan Fiber Optics, dan sistem manajemen basis data atmosfer Indonesia, yang memuat data atmosfer Indonesia dan makalah ilmiah sains atmosfer yang dapat diakses secara online Kata kunci : sistem manajemen, fiber optics, basis data atmosfer
~ 186 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
1.
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
PENDAHULUAN Koleksi data yang lengkap serta memuat semua data atmosfer, baik bersifat data
insitu ataupun data spasial dari sensor satelit, yang dapat diperoleh dengan cepat, tepat dan akurat adalah merupakan suatu keinginan yang ditunggu-tunggu oleh setiap para pemakai. Data yang dikelola dalam suatu sistem disebut sistem manajemen basis data, karena sistem tersebut merupakan suatu tempat penyimpanan data dan sekumpulan program untuk mengkases data tersebut (Silberschatz, dkk, 2009),
atau suatu program komputer yang
digunakan untuk memasukkan, mengubah, menghapus, memanipulasi, dan memperoleh data dan informasi dengan praktis dan efisien (Kadir, 2003; Connolly dkk, 2005 ). Sedangkan basis data adalah sekumpulan data yang terhubung (interrelated data) yang disimpan secara bersama-sama pada suatu media, mudah di update dan dapat digunakan oleh satu atau lebih program aplikasi tanpa ada ketergantungan pada program yang menggunakannya (Martin, 1975). Tujuan sistem basis data menurut Courtney dan Paradice (1988) meliputi penyediaan sarana akses yang fleksibel, pemeliharaan integritas data, proteksi data dari kerusakan dan penggunaan yang tidak legal, penyediaan sarana untuk penggunaan bersama (share) dan keterhubungan data, pengurangan / minimalisasi kerangkapan data, menghilangkan ketergantungan data pada program-program aplikasi, menstandarkan definisi-definisi rinci data (data item) dan meningkatkan produktivitas personal sistem informasi Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA) telah mempunyai sistem basis data Atmosfer Indonesia yang memuat data insitu stasiun, teledeteksi lidar dan radar, data satelit Aqua, Terra, TRMM, GMS-MTSAT; data spasial RBI, land use, NCEP, data pertanian, hidrologi; dan makalah publikasi ilmiah . Data-data tersebut masih tersebar di beberapa tempat yang berbeda, metadata dan kemampuan pencarian datanya masih belum lengkap dan masih bersifat intern bidang. Dengan tersebarnya keberadaan posisi Balai/Loka yang secara rutin melakukan monitoring, serta data hasil dari sistem pengamatan atmosfer memiliki ukuran rata-rata setiap bulannya sebesar 165.713 Mb, maka jumlah data berkembang terus, begitu juga dengan peralatannya.
Oleh karena itu
diperlukan pengembangan sistem yang dapat
mengelola penerimaan dan pengoleksian data yang mengintegrasikan sistem monitoring, sistem jaringan dan perangkat lunak
yang mempunyai kemampuan secara otomatis
memasukkan, mengubah, menghapus, memanipulasi, dan menampilkan data dan informasi dengan praktis dan efisien.
~ 187 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
2.
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
METODOLOGI. Perancangan sistem manajemen basis data dilaksanakan dalam dua kegiatan utama,
yaitu kegiatan inventarisasi dan koleksi data dan kegiatan pengembangan sistem manajemen basis data. Kegiatan utama kelompok inventarisasi dan koleksi data adalah melakukan identifikasi dan inventarisasi data, inventarisasi makalah terbit dan melakukan penindaian data dari bentuk hardcopy menjadi softcopy, backup data dan meng-inputkan file data pada sistem basisdata. Kegiatan pengembangan sistem manajemen basis data (Pressman, 1997) dilaksanakan dalam tahapan kegiatan sebagaimana digambarkan pada Gambar 2.1, Start
Analisis Desain Implementasi Pengetesan Penginstalan End Gambar 2.1. Flowchart pengembangan sistem manajemen basis data dan sistem informasi web.
Tahapan analisis adalah identifikasi dan pengumpulan kebutuhan elemen-elemen perangkat lunak (software requirement analysis) dan data, yang bersifat spasial maupun numerik. Dalam tahap ini harus dihasilkan dihasilkan spesifikasi sistem, domain data dan informasi yang berupa fungsi, prosedur, desain dari interface nya dan kebutuhan perangkat lunak. Tahapan desain, mengacu pada kebutuhan atau spesifikasi data dan perangkat lunak yang dihasilkan dalam tahap analisis akan ditransformasikan ke dalam bentuk arsitektur perangkat lunak yang memiliki karakteristik mudah dimengerti dan tidak sulit
~ 188 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
untuk diimplementasikan. Tahapan ini dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu preliminary design dan detailed design.
Preliminary design menghasilkan rancangan global,
sedangkan detailed design menghasilkan rancangan detil hingga semua modul, tipe data, fungsi, metode dan prosedur dapat terdefinisi. Tahapan implementasi merupakan suatu aktifitas pemrograman atau coding dari hasil perancangan ke dalam baris/bahasa kode yang dapat dibaca oleh komputer. Tahapan pengetesan, yaitu proses pengujian dilakukan pada hasil implementasi. Tahapan awal dalam pengujian adalah menguji modul, setelah itu menguji integrasi antar modul, dan yang terakhir adalah pengujian pada tingkat perangkat lunak setelah modulmodul yang terintegrasi tersebut dikompilasi. Pengujian pada tingkat perangkat lunak ditekankan pada logika internal, fungsi eksternal dan potensi error. Tahapan penginstalan, Pengistalan semua modul dan setiap perangkat lunak yang telah melewati tahapan pengujian dibuatkan standar operasional atau manual guide yang didalamnya berisi panduan pengeoperasian, error handling, pemeliharaan dan potensi pengembangan
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kegiatan utama menitik beratkan pada pengembangan sistem manajemen basis
data, sedangkan muatannya didapat dari hasil Inventarisasi dan koleksi data berupa data dari semua balai/Loka, data makalah terbit dan data hasil penindaian. Kegiatan
analisi
yang
melingkupi
kegiatan
identifikasi,
pengumpulan,
dokumentasi dan analisis kebutuhan yaitu berupa domain data dan informasi, fungsi, prosedur, desain dari interface nya dan kebutuhan perangkat lunak dalam bentuk spesifikasi kebutuhan perangkat lunak (Software requirement Specification, SRS) yaitu untuk perencanaan pembuatan aplikasi. Pada SRS terdapat dua aktor utama, pertama adalah administrator yang berperan melakukan pengintegrasian pengelolaan data atmosfer, monitoring karya ilmiah, keberadaan jaringan transmisi data dan pengelolaan pengguna. Kedua adalah pengguna yaitu yang akan menggunakan data yang telah dikoleksikan. Kasus-kasus proses aplikasi terdiri dari proses pencarian, penyimpanan, pengaksesan, penampilan,
update,
pengambilan dan transfer data atmosfer. Aplikasi untuk Administrator terdiri dari : •
Use case login, update akun, update info data (metadata) dan update makalah.
•
Use case user untuk digunakan untuk memverifikasi user yang masuk, berisi ~ 189 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
aplikasi login nama User dan password nya •
Use case transfer data atmosfer berisi aplikasi otentifikasi, verifikasi,
transfer
data, penerimaan dan penyimpanan pada file sistem, pembuatan log transfer, dan sistem penerima •
Use case Pencarian data atmosfer dan makalah (internal dan eksternal), aplikasi pencarian data yang dapat dilakukan berdasarkan sumber
berisi
data, nama
peralatan, nama variabel atau dengan key, sedangkan untuk pencarian makalah aplikasi pencariannya berdasarkan nama peneliti, atau topik makalah atau dengan key, setelah itu dilakukan pembuatan
aplikasi veifikasi, tampilan, pemilahan
spesifik unduh data dan verifikasi, dan unduh. Fitur/modul yang dibangun adalah Pencarian Data Atmosfer dan makalah, Update akun/username, Update info data, Update makalah dan Transfer data atmosfer. Hasil dari pada proses desain adalah berupa tabel pustaka dan hubungan antar entitas. Tabel pustaka terdiri dari : T_sumber_data
=
(sumber_data_id, nama_sumber, resolusi temporal, nama_lokasi, lokasi_lat_awal, lokasi_lon_awal, lokasi_lat_akhir, lokasi_lon_akhir, resolusi _spasial, format_file, keterangan, jenis_observasi, teknologi_observasi, instansi, metoda_mendapatkan_data, metoda_mengolah_data, dokumentasi_mengolah_data, tanggal_mulai_beroperasi).
T_data_atmosfer = (data_id, nama_data, deskripsi, katagori). T_data_hasil
= ( data_id, sumber_data, keterangan, satuan, nama_file, tanggal_data, path_file).
T_karya_tulis
=
T_membuat
= (karya_tulis_id, nip).
T_pegawai
=
(nip, nama, alamat, email, no_hp, jabatan, pangkat_golongan, titel_depan, titel_belakang).
T_referensi
=
( referensi_id, nama_referensi).
T_acuan
=
(referensi_id, karya_ilmiah_id).
(karya_tulis_id, judul, abstrak, kata_kunci, kategori, tanggal_terbit, penerbit).
~ 190 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Terdapat dua diagram utama pada sistem manajeman basis data satelit yang akan dibangun, yaitu diagram hubungan entitas untuk data atmosfer dan diagram hubungan entitas untuk karya ilmiah Skema database menunjukkan diagram hubungan relasi antar entitas untuk entitas t_sumber data dengan entitas t_data_hasil mempunyai hungan entitas satu ke banyak, sedangankan entitas t_data_hasil dengan t_data atmosfer mempunyai relasi banyak ke satu. Diagram kedua menunjukkan hubungan relasi antar entitas untuk entitas t_karya_tulis dengan entitas t_membuat mempunyai hubungan satu ke banyak; entitas
t_membuat
dengan t_pegawai mempunyai hubungan banyak ke satu; entitas t_karya tulis dengan t_mengacu mempunyai relasi satu ke banyak; dan entitasa t_mengacu dengan entitas t_referensi mempunyai relasi banyak ke satu (Gambar 3.1)
Gambar 3.1. Diagram hubungan entitas pada database satelit
Jaringan komunikasi data dari Pare-pare ke Bandung dan dari Rumpin ke Bandung menggunakan media fiber Optics
(FO), dengan topologi Metronet Icon+, untuk
komunikasi dengan internet menggunakan jaringan Internet Icon+ ( Gambar 3.2), komunikasi dengan balai-balai yang ada di LAPAN menggunakan jaringan VPN, dan jaringan lokal menggunakan intranet. Kemampuan jaringan yang ada adalah jaringan FO Metronet Icon+ (5 Mbps), Jaringan VPN Lintas Arta
(128 Kbps), Jaringan Internet Icon+(1 Mbps), dan Jaringan
Intranet Bandung(1 Mbps)
~ 191 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Gambar 3.2 Topologi jaringan transmisi dan komunikasi data antar dan inter Balai/ Loka
Spesifikasi teknis jaringan komunikasi data dan jaringan internet dengan ratio bandwidth 1:1 , yaitu kapasitas uplink dan downlink sama, dedicated dan Full Duplex System. Interface yang digunakan untuk jaringan komunikasi data dan jaringan internet adalah Fast ethernet ready to 100 Mbps. Service Level Agreement (SLA) untuk jaringan komunikasi data sebagai berikut : a.
SLA sebesar 99%
b.
Troughput Bandwith minimal 90%
c.
Latency < 125 ms
d.
Packet Loss < 1%
e.
Response Time terhadap setiap gangguan 30 menit
f.
Mean Time To Repair setiap gangguan 6 jam
g.
Dapat diakses dalam monitoring MRTG
Hasil kegiatan implementasi berupa skrip antarmuka sistem database atmosfer Indonesia dan Antarmuka Monitoring Karya Ilmiah, yang memuat proses transfer data atmosfer, pengintegrasian data, pencarian data atmosfer dan makalah, update info data, update makalah, skrip download Antarmuka
sistem
database
atmosfer
Indonesia
disimpan
pada
situs
http://202.162.218.234/dai. (Gambar 3.3). Sedangkan antarmuka monitoring karya ilmiah http://202.162.218.234/monitoring (Gambar 3.4)
~ 192 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Tampilan keluaran Database atmosfer Indonesia, terdiri dari 3 halaman utama, yaitu index , detail data dan data. –
Index berisi daftar data yang ada berserta informasi pendukungnya, memuat featur ; searching dan paging;
–
Detail data berisi penampilan data yang dipilih oleh user meliputi info data dan list file yang bisa di download, memuat feature searching, paging dan download.
– Data berisi penampilan dari data yang di download
Gambar 3.3 sistem database atmosfer Indonesia.
~ 193 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Gambar 3.4 sistem database karya ilmiah 4.
KESIMPULAN. Dengan telah terbangun jaringan transmisi data antara Bandung dengan Balai/Loka
secara online menggunakan FO dan Sistem Manajemen Basis Data Atmosfer Indonesia, maka data atmosfer Indonesia dan makalah ilmiah sains atmosfer dapat diakses secara online.
UCAPAN TERIMA KASIH Kami sampaikan ucapan terima kasih, kepada semua pihak yang telah membantu terwujudnya Sistem Manajemen Basis Data Atmosfer Indonesia, khusunya kepada Ka Balai Pengindraan Jauh Parepare dan Ka. Bidang Ruas Bumi - Pusteksat yang telah membantu memfasilitasi kamunikasi data Modis.
DAFTAR RUJUKAN. Kadir, A., Dasar Pemrograman Web Dinamis Menggunakan PHP, Andi, Yogyakarta., 2003 Connolly, Thomas dan Begg, Carolyn, Database Systems: A Practical Approach to Design, Implementation, and Management, Fourth Edition. Addison-Wesley Publishing Company, United States of America, 2005. Courtney, J. F. Jr., dan Paradice, D.B., Database Systems for Management, 1 st edition, USA: Times Mirror/ Mostby College Publishing., 1988.
~ 194 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Martin, J. , Database Organization, Parth I, New Jersey: Practice-Hall Inc., 1975. Pressman, R. S., Rekayasa Perangkat Lunak : Pendekatan Praktisi (Edisi Satu), Penerbit : Andi, Yogyakarta, 1997. Silberschatz, A., Korth, H, dan Sudarshan, S., Database System Concepts, McGraw - Hill, New York.2009
~ 195 ~
6th edition.
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
SIMULASI SUHU PERMUKAAN LAUT BULANAN BERBASIS MODEL CSIRO MK3L Martono Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer - LAPAN
[email protected]
Abstract Sea surface temperature has an important role in the interaction between the atmosphere and the ocean. The important role relates to energy exchange between the atmosphere and ocean. Sea surface temperature changes will affect the atmospheric conditions on it. This research was conducted to understand the distribution of sea surface temperature in the Indian Ocean and the Pacific Ocean based numerical model. The method used in this research was three-dimensional modeling using the CSIRO Mk3L Climate System Model V1.2. This model was consist of atmospheric general circulation model that has zonal and meridional resolution 5.625O x 3.18O with 18 vertical levels and ocean general circulation model has zonal and meridional resolution 2.8125O x1.59O with 21 vertical levels. Simulation done for 10 years from 1990-1999. Simulation results show that the sea surface temperature in the Indian Ocean north of the equator and west Pacific Ocean reaches maximum during the east season and minimum during the the first transition and west season. In general, the sea surface temperature of the western Pacific Ocean is warmer than the waters of the Indian Ocean. Keywords: simulation, sea surface temperature, csiro mk3l Abstrak Suhu permukaan laut mempunyai peranan penting dalam interaksi antara atmosfer dan laut. Peranan penting ini berkaitan dengan pertukaran energi antara atmosfer dan laut. Perubahan suhu permukaan laut akan mempengaruhi kondisi atmosfer di atasnya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui distribusi suhu permukaan laut Samudera Hindia dan Samudera Pasifik berbasis model numerik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemodelan tiga dimensi dengan menggunakan The CSIRO Mk3L Climate System Model V1.2. Model ini merupakan model kopel yang terdiri atas model sirkulasi umum atmosfer yang mempunyai resolusi zonal and meridional 5.625O x 3.18O dengan 18 level vertikal dan model sirkulasi umum laut mempunyai resolusi zonal and meridional 2.8125O x1.59O dengan 21 level vertikal. Simulasi model selama 10 tahun dengan periode waktu 1990-1999. Hasil simulasi menunjukkan bahwa suhu permukaan Samudera Hindia utara ekuator dan Samudera Pasifik barat mencapai maksimum saat musim timur dan minimum terjadi pada saat musim peralihan pertama dan musim barat. Secara umum suhu permukaan Samudera Pasifik bagian barat lebih hangat daripada perairan Samudera Hindia. Kata Kunci : simulasi, suhu permukaan laut, csiro mk3l 1.
PENDAHULUAN Laut mempunyai peranan penting dalam sistem iklim di bumi. Peranan ini
berkaitan dengan sifat-sifat fisis laut antara lain berupa fluida, mempunyai albedo yang rendah dan mempunyai kapasitas panas yang besar. Berupa fluida, maka arus laut akan
~ 196 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
menggerakan massa air dalam skala besar. Laut mempunyai albedo yang rendah, karena laut sebagai penyerap yang sempurna sehingga lebih dari setengah jumlah radiasi matahari yang sampai ke permukaan bumi diserap oleh laut. Laut mempunyai kapasitas panas yang besar, laut akan menerima dan melepaskan panas lebih lama sehingga laut merupakan tandon panas yang besar (Prawirowardoyo, 1996; Deser dkk, 2010). Suhu permukaan laut merupakan salah satu parameter oseanografi yang banyak mendapat perhatian tidak hanya dalam masalah kelautan saja, tetapi juga dalam masalah atmosfer (Nontji, 1987). Dinamika laut dan suhu permukaan laut mempunyai peranan penting terhadap iklim (Qu dkk, 2005). El Nino Southern Oscillation (ENSO), Indian Ocean Dipole (IOD) dan upwelling merupakan beberapa beberapa contoh fenomena oseanografi yang berhubungan dengan perubahan suhu permukaan laut. Perubahan suhu permukaan laut akan mempengaruhi suhu udara, dan suhu udara akan mempengaruhi sirkulasi angin, dan sirkulasi angin akan mempengaruhi arus dan gelombang laut, dan proses ini akan berulang terus (Ningsih, 2003). Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian mengenai pola sebaran suhu permukaan laut penting dilakukan dalam rangka mendukung program penelitian mengenai proses interaksi antara laut dan atmosfer. Dengan berkembangnya teknologi komputer maka pemanfaatan pemodelan laut dan pemodelan atmosfer (model kopel) merupakan salah satu alternatif yang baik untuk mengetahui pola dan proses interaksi antara laut dan atmosfer.
2.
DATA DAN METODE Daerah penelitian mencakup perairan Samudera Hindia, Benua Maritim Indonesia
dan Samudera Pasifik bagian barat yang meliputi 20O LU – 20O LS dan 40O BT – 180O BT. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemodelan tiga dimensi dengan menggunakan model kopel atmosfer dan laut. Model yang digunakan adalah The CSIRO Mk3L Climate System Model V1.2. Model ini terdiri dari model sirkulasi umum atmosfer yang mempunyai resolusi zonal and meridional 5.625O x 3.18O dengan 18 level vertikal dalam koordinat sigma dan model sirkulasi umum laut mempunyai resolusi zonal and meridional 2.8125O x1.59O dengan 21 level vertikal dalam koordinat sigma. Simulasi model dijalankan selama 10 tahun untuk periode waktu 1990-1999.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pola suhu permukaan laut rata-rata bulan Januari dan Februari diperlihatkan pada
Gambar 1 dan Gambar 2. Pada bulan Januari suhu permukaan di utara dan selatan ekuator ~ 197 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Samudera Hindia sekitar 25,50 OC dan 26,88 OC, di Benua Maritim Indonesia sekitar 27,26 O
C serta di utara dan selatan ekuator Samudera Pasifik sekitar 26,80 OC dan 28,09 OC.
Rata-rata suhu permukaan laut Samudera Pasifik bagian barat lebih tinggi daripada Samudera Hindia. Pada bulan Februari suhu permukaan di utara dan selatan ekuator Samudera Hindia sekitar 25,91 OC dan 27,29 OC, di Benua Maritim Indonesia sekitar 27,15 O
C serta di utara dan selatan ekuator Samudera Pasifik sekitar 26,40 OC dan 27,96 OC.
Rata-rata suhu permukaan laut Samudera Pasifik bagian barat lebih tinggi daripada Samudera Hindia.
Gambar 1. Pola suhu permukaan laut bulan Januari
Gambar 2. Pola suhu permukaan laut bulan Februari
Pola suhu permukaan laut rata-rata bulan Maret dan April diperlihatkan pada Gambar 3 dan Gambar 4. Pada bulan Maret suhu permukaan di utara dan selatan ekuator Samudera Hindia sekitar 26,97 OC dan 27,65 OC, di Benua Maritim Indonesia sekitar 27,52 O
C serta di utara dan selatan ekuator Samudera Pasifik sekitar 26,67 OC dan 27,91 OC.
Rata-rata suhu permukaan laut Samudera Pasifik bagian barat lebih rendah daripada Samudera Hindia. Pada bulan April suhu permukaan di utara dan selatan ekuator Samudera Hindia sekitar 28,09 OC 27,39 OC, di Benua Maritim Indonesia sekitar 27,82 OC serta di utara dan selatan ekuator Samudera Pasifik sekitar 27,18 OC dan 27,66 OC. Rata-rata suhu permukaan laut Samudera Pasifik bagian barat lebih rendah daripada Samudera Hindia. Pola suhu permukaan laut rata-rata bulan Mei dan Juni diperlihatkan pada Gambar 5 dan Gambar 6. Pada bulan Mei suhu permukaan laut di utara dan selatan ekuator sekitar 28,81 OC dan 26,42 OC, di Benua Maritim Indonesia sekitar 27,67 OC serta di utara dan selatan ekuator Samudera Pasifik 27,73 OC dan 27,08 OC. Rata-rata suhu permukaan laut Samudera Pasifik bagian barat lebih rendah daripada Samudera Hindia. Pada bulan Juni suhu permukaan laut di utara dan selatan ekuator Samudera Hindia sekitar 28,79 OC dan 24,50 OC, di Benua Maritim Indonesia yaitu sekitar 27,45 OC serta di di utara dan selatan ekuator Samudera Pasifik sekitar 28,11 OC dan 28,09 OC. Secara umum suhu permukaan laut Samudera Pasifik bagian barat lebih tinggi daripada Samudera Hindia.
~ 198 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Gambar 3. Pola suhu permukaan laut bulan Maret
Gambar 4. Pola suhu permukaan laut bulan April
Gambar 5. Pola suhu permukaan laut bulan Mei
Gambar 6. Pola suhu permukaan laut bulan Juni
Pola suhu permukaan laut rata-rata bulan Juli dan Agustus diperlihatkan pada Gambar 7 dan Gambar 8. Pada bulan Juli suhu permukaan laut di utara dan selatan ekuator Samudera Hindia sekitar 27,99 OC dan 24,29 OC, di Benua Maritim Indonesia sekitar 27,05 O
C serta di utara dan selatan ekuator Samudera Pasifik sekitar 28,31 OC dan 25,99 OC.
Secara umum suhu permukaan laut Samudera Pasifik bagian barat lebih tinggi daripada Samudera Hindia. Pada bulan Agustus suhu permukaan laut di utara dan selatan ekuator Samudera Hindia sekitar 27,60 OC dan 24,04 OC, di Benua Maritim Indonesia sekitar 26,87 O
C serta di utara dan selatan ekuator Samudera Pasifik sekitar 28,38 OC dan 25,94 OC.
Secara umum suhu permukaan laut Samudera Pasifik bagian barat lebih tinggi daripada Samudera Hindia. Pola suhu permukaan laut rata-rata bulan September dan Oktober diperlihatkan pada Gambar 9 dan Gambar 10. Pada bulan September suhu permukaan laut di utara dan selatan ekuator Samudera Hindia sekitar 27,48
O
C dan 24,43
O
C, di Benua Maritim
Indonesia sekitar 26,88 OC serta di utara dan selatan ekuator Samudera Pasifik sekitar 28,37 OC dan 26,25 OC. Secara umum suhu permukaan laut Samudera Pasifik bagian barat lebih tinggi daripada Samudera Hindia. Pada bulan Oktober suhu permukaan laut di utara dan selatan sekitar 27,32 OC dan 25,06 OC, di Benua Maritim sekitar 27,14 OC serta di utara dan selatan ekuator Samudera Pasifik sekitar 28,27 OC dan 26,70 OC. Secara umum suhu permukaan laut Samudera Pasifik bagian barat lebih tinggi daripada Samudera Hindia. ~ 199 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Gambar 7. Pola suhu permukaan laut bulan Juli
Gambar 8. Pola suhu permukaan laut bulan Agustus
Gambar 9. Pola suhu permukaan laut bulan September
Gambar 10. Pola suhu permukaan laut bulan Oktober
Pola suhu permukaan laut rata-rata bulan Nopember dan Oktober diperlihatkan pada Gambar 11 dan Gambar 12. Pada bulan Nopember suhu permukaan laut di utara dan selatan ekuator Samudera Hindia sekitar 28,79 OC 25,85 OC, di Benua Maritim Indonesia sekitar 27,59 OC serta di utara dan selatan ekuator Samudera Pasifik sekitar 28,09 OC dan 27,35 OC. Secara umum suhu permukaan laut Samudera Pasifik bagian barat lebih tinggi daripada Samudera Hindia. Pada bulan Desember suhu permukaan laut di utara dan selatan ekuator Samudera Hindia sekitar 26,01 OC dan 26,46 OC, di Benua Maritim Indonesia sekitar 27,53 OC serta di utara dan selatan ekuator Samudera Pasifik sekitar 27,49 OC dan 27,91 OC. Secara umum suhu permukaan laut Samudera Pasifik bagian barat lebih tinggi daripada Samudera Hindia. Dari analisis hasil simulasi model di atas diketahui bahwa sumber utama suhu permukaan laut adalah radiasi matahari yang diterima baik secara langsung maupun tidak langsung melalui refleksi dan skatering dari awan dan atmosfer. Karena laut bersifat fluida, maka suhu permukaan laut akan didistribusikan dari satu tempat ke tempat yang lain. Oleh karena itu, pola distribusi suhu permukaan laut dipengaruhi oleh pergerakan matahari dan letak geografis.
~ 200 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
Gambar 11. Pola suhu permukaan laut bulan Nopember
ISBN : 978-979-1458-73-3
Gambar 12. Pola suhu permukaan laut bulan Desember
Saat musim barat antara bulan Desember-Februari suhu permukaan laut di bagian utara ekuator Samudera Hindia paling rendah yaitu sekitar 25,81 OC dan paling tinggi terjadi pada saat musim timur antara bulan Juni-Agustus yaitu sekitar 28,13 OC. Sedangkan di bagian selatan ekuator paling rendah terjadi pada saat musim timur antara bulan JuniAgustus yaitu sekitar 24,28 OC dan paling tinggi pada saat musim peralihan pertama antara bulan Maret-Mei yaitu sekitar 27,15 OC. Pada saat musim barat posisi matahari berada di selatan ekuator sehingga radiasi matahari yang sampai di permukaan laut bagian utara ekuator minimal dan sebaliknya pada saat musim timur posisi matahari berada di utara ekuator sehingga radiasi matahari yang sampai di permukaan laut bagian utara ekuator mencapai maksimal. Pada saat musim barat antara bulan Desember-Februari suhu permukaan laut di bagian utara ekuator Samudera Pasifik barat paling rendah yaitu sekitar 26,90 OC dan paling tinggi terjadi pada saat musim timur antara bulan Juni-Agustus yaitu sekitar 28,27 O
C. Sedangkan di bagian selatan ekuator paling rendah terjadi pada saat musim timur
antara bulan Juni-Agustus yaitu sekitar 26,09 OC dan paling tinggi pada saat musim barat yaitu sekitar 27,99 OC. Pada saat musim barat posisi matahari berada di selatan ekuator sehingga radiasi matahari yang sampai di permukaan laut bagian utara ekuator minimal dan sebaliknya pada saat musim timur posisi matahari berada di utara ekuator sehingga radiasi matahari yang sampai di permukaan laut bagian utara ekuator mencapai maksimal.
4
KESIMPULAN Berdasarkan hasil simulasi dengan menggunakan model CSIRO MK3L maka dapat
disimpulkan bahwa simulasi menunjukkan hasil yang konsisten dengan pola umum distribusi suhu permukaan laut berdasarkan posisi matahari. Pada saat musim barat antara bulan Desember-Februari posisi matahari berada di selatan ekuator sehingga suhu permukaan laut di belahan bumi bagian selatan ekuator lebih hangat dan di belahan bumi bagian utara ekuator lebih dingin. Sebaliknya pada saat musim timur antara bulan Juni~ 201 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Agustus posisi matahari berada di utara ekuator sehingga suhu permukaan laut di belahan bumi bagian selatan ekuator lebih dingin dan di belahan bumi bagian utara ekuator lebih hangat. Suhu permukaan laut bagian utara ekuator Samudera Hindia dan Samudera Pasifik barat mencapai maksimum terjadi pada saat musim timur. Di perairan Indonesia suhu maksimum terjadi pada saat musim peralihan. Secara rata-rata suhu permukaan perairan Samudera Pasifik barat lebih hangat daripada Samudera Hindia.
UCAPAN TERIMA KASIH. Diucapkan terima kasih kepada Drs. Bambang Siswanto, M.Si yang telah mengijinkan saya untuk menggunakan data suhu permukaan laut bulanan hasil simulasi untuk keperluan seminar ini.
DAFTAR RUJUKAN Prawirowardoyo, S, 1996. Meteorologi. Institut Teknologi Bandung. Deser, C., Alexander, M, A., Xie, S, P., Philips, A, S. 2010. Sea Surface Temperature Variability: Patterns and Mechanisms. Annu. Rev. Marine. Sci. 2010.2:115-143 Nontji, A, 1987. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta. Qu, T., Du, Y., Strachan, J., Meyers, G., Slingo, J. 2005. Sea Surface Temperature and Its Variability In The Indonesian Region. Oceanography Vol. 18, No. 4, Dec. 2005. Ningsih, N.S, 2003. Peranan Iklim Pada Studi-Studi Kelautan. Prosiding Seminar dan lokakarya Kajian Aspek Klimatologi dan Lingkungan Serta Pemanfaatannya, LAPAN, Bandung.
~ 202 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
ANALISIS PENGARUH LIPUTAN AWAN TERHADAP INDEKS UV DI SUMATERA UTARA Ninong Komala Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN Jl.Dr.Djundjunan 133, Bandung, 40173 Telp. (022) 6037445, 6012602; Fax. (022)6037443 e-mail:
[email protected];
Abstract Research on the analysis of the effect of cloud cover on the index of Ultra Violet (UV index) is important to do because the cloud cover will affect the UV radiation reaching the earth's surface. For coverage of the research was done and the UV index as well as the relationship between cloud cover with UV index in North Sumatra-based AURA OMI data is from 2005 to 2012. Results of spatial variation analysis of UV indices of North Sumatra in 2005-2012 is between 9.9 up to 12. UV Index of North Sumatra has an annual pattern with a maximum in March and minimum in December. Spatial variation of cloud cover varies between 0.28 to 0.55 with a maximum annual pattern in November and minimum in June. The result of statistical analysis of cloud cover and UV index linkage spatially obtained a negative correlation results as an increase in cloud cover will decrease the UV index with correlation coefficients between 0.90 to 0.96. Temporally correlation between cloud cover with UV index also showed a negative correlation, the highest correlation is achieved in the JJA season with a correlation coefficient of 0.7. Keywords: AURA-OMI, cloud cover, UV index, North Sumatera
Abstrak Penelitian tentang analisis pengaruh liputan awan terhadap indeks Ultra Violet (indeks UV) penting untuk dilakukan karena liputan awan akan berpengaruh pada radiasi UV yang sampai ke permukaan bumi. Untuk itu dilakukan penelitian liputan awan dan indeks UV serta keterkaitan antara liputan awan dengan indeks UV di wilayah Sumatera Utara berbasis data OMI-AURA tahun 2005 sampai dengan 2012. Hasil analisis variasi spasial indeks UV dan liputan awan Sumatera Utara tahun 2005-2012 adalah indeks UV antara 9,9 sampai dengan 12. Indeks UV Sumatera Utara mempunyai pola tahunan dengan maksimum pada bulan Maret dan minimum pada Desember. Variasi spasial liputan awan bervariasi antara 0,28 – 0,55 dengan pola tahunan maksimum pada bulan November dan minimum pada bulan Juni. Dari hasil analisis statistik keterkaitan liputan awan terhadap indeks UV di Sumatera utara secara spasial diperoleh hasil korelasi negatif, yaitu peningkatan liputan awan akan menurunkan indeks UV dengan koefisien korelasi antara 0,90 sampai dengan 0,96. Korelasi liputan awan dengan indeks UV secara temporalpun menunjukkan korelasi negatif, korelasi tertinggi dicapai pada musim JJA dengan koefisien korelasi 0,7. Kata kunci : liputan awan, indeks UV , AURA-OMI, Sumatera Utara
~ 203 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
1.
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
PENDAHULUAN Penelitian radiasi UV matahari dan parameter atmosfer Sumatera Utara merupakan
bagian dari rangkaian penelitian yang merupakan salah satu langkah untuk menunjang dan merealisir penelitian pengembangan komposisi atmosfer di Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN (Komala, N. dkk, 2009, Komala, N. dkk, 2010). Awan memiliki pengaruh besar terhadap radiasi ultra violet yang sampai ke permukaan bumi. Untuk mengetahui pengaruh awan terhadap radiasi ultra violet yang sampai ke permukaan bumi, bisa digunakan data liputan awan.Liputan awan atau jumlah awan adalah luas langit yang tertutup awan berdasarkan pengamatan dari satelit. Liputan awan yang digunakan bisa dalam perdelapanan, persepuluh atau persen dan dalam penelitian ini digunakan persen. Indeks UV adalah ukuran kulit manusia yang relevan dengan intensitas radiasi UV di permukaan bumi. Indeks UV berupa unit tanpa satuan yang berhubungan linier terhadap laju dosis erythema. 1 indeks UV sama dengan 25 mW/m2. Karena radiasi ultra violet yang sampai ke permukaan bumi terkait dengan kondisi liputan awan. Hal lain penyebab terjadinya perubahan radiasi UV-B yang sampai ke permukaan bumi tergantung juga kepada beberapa faktor seperti posisi matahari yang berubah secara siklus harian dan musiman, kondisi awan lokal, ketinggian lokasi, jumlah tutupan es atau salju dan jumlah aerosol di atmosfer di atas lokasi tersebut. Perubahan kondisi awan dan aerosol yang terkait dengan kondisi polusi udara dan emisi GRK dari aktivitas manusia. Data dari satelit mengenai komposisi atmosfer memegang peranan penting untuk menunjang kelengkapan data yang dibutuhkan untuk melakukan penelitian ini. Lengkapnya data liputan awan dan indeks UV di Sumatera Utara akan sangat berguna bagi basis data atmosfer Indonesia. Pertanyaan penelitian tentang variasi liputan awan dan indeks UV matahari (UV indeks) di Sumatera Utara serta seberapa besar keterkaitan kondisi liputan awan dan indeks UV di Sumatera Utara dapat dijawab dan diselesaikan dengan melakukan penelitian ini sehingga dapat menginformasikan variasi liputan awan, indeks UV dan parameter atmosfer di Sumatera Utara. Hasil dari UNEP pada tahun 2010, membahas hasil pengamatan dan pemantauan dalam jangka panjang menunjukkan bahwa radiasi ultra violet yang mencapai permukaan bumi mengalami peningkatan sebagai respons terhadap variasi lapisan ozon. Jumlah radiasi UV B yang mencapai permukaan bumi di lokasi tertentu sangat tergantung kepada kondisi lapisan ozon di daerah tersebut. Molekul ozon di stratosfer dan di troposfer mengabsorbsi radiasi UV-B, sehingga secara signifikan mengurangi jumlah radiasi yang ~ 204 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
akan mencapai permukaan bumi. Bila kondisi pengurangan ozon ini terjadi di stratosfer atau di troposfer, maka jumlah total ozonnya berkurang dan jumlah radiasi ultra violet yang mencapai permukaan bumi akan meningkat secara proporsional. Hubungan antara total ozon dan radiasi UV-B telah dibuktikan di banyak lokasi dengan melakukan pengukuran ozon dan radiasi UV-B secara langsung. Richard L. McKenzie (2007), membahas tentang distribusi global radiasi UV dan perubahan musimannya dibandingkan dengan perubahan dalam jangka panjang karena terjadinya perubahan komposisi atmosfer. Diperoleh hasil korelasi yang signifikan antara time series ozon total dan indeks UV yaitu penurunan ozon total akan mengakibatkan peningkatan indeks UV di New Zealand. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi dan karakter liputan awan dan indeks UV di Sumatera Utara serta keterkaitan antara liputan awan dengan indeks UV yang terdeteksi di permukaan. Pertanyaan penelitian tentang variasi liputan awan dan indeks UV matahari (UV indeks) di Sumatera Utara serta seberapa besar keterkaitan kondisi liputan awan dan indeks UV di Sumatera Utara dapat dijawab dan diselesaikan dengan melakukan penelitian ini. Dari hasil penelitian ini dapat diinformasikan kondisi, karakter dan keterkaitan variabilitas liputan awan dengan indeks UV yang terdeteksi di Sumatera Utara, serta penyebarluasan data dan informasi agar dapat meminimalkan dampak buruk terpapar radiasi UV berlebih.
2.
DATA DAN METODE Data dari satelit AURA-OMI yang digunakan dalam penelitian adalah data liputan
awan dan indeks UV untuk wilayah Sumatera Utara jadi tidak dibahas metoda cara memperoleh data liputan awan dan indeks UV tersebut. Data yang digunakan adalah data harian liputan awan dan data UV Indeks di Sumatera Utara tahun 2005 sampai dengan 2012 (OMI home page: http://toms.gsfc.nasa.gov/omi). Data harian liputan awan dan indeks UV dengan ukuran grid sel 1 derajat lintang x 1 derajat bujur kemudian dirata-rata dijadikan data bulanan dan musiman DJF, MAM, JJA dan SON. Data liputan awan dan indeks UV tidak mempunyai satuan. Data yang diperoleh dari AURA-OMI adalah data dalam skala global. Data liputan awan dan
indeks UV dengan 1° x 1° grid sel ini
cakupannya dari -180.0° sampai +180.0° bujur dan dari lintang -90.0° sampai + 90.0°. Dilakukan ekstrak data liputan awan dan indeks UV untuk wilayah Sumatera Utara dengan cakupan 1 ° LS sampai 4 °LU dan 98° BT sampai 100° BT, dengan periode data yang dianalisis adalah data dari tahun 2005 sampai dengan 2012. ~ 205 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Metoda untuk menganalisis data adalah dengan melakukan analisis variasi spasial tahunan dan rata-rata spasial selama periode penelitian. Juga dilakukan analisis variasi temporal untuk menganalisis karakter variasi tahunan dan musiman liputan awan dan indeks UV. Dilakukan pula analisis statistik untuk menganalisis keterkaitan antara liputan awan terhadap variasi indeks UV di Sumatera Utara secara spasial dan temporal.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis variasi spasial liputan awan Sumatera Utara Rata-rata spasial liputan awan Sumatera Utara 2005 sampai 2012 ada pada range 0,29 sampai dengan 0,52. Nilai ini diartikan bahwa di Sumatera utara liputan awannya adalah antara 29 % sampai dengan 52 %. Kondisi liputan awan yang cukup tinggi di Sumatera Utara sesuai dengan yang diungkap NASA (2012) bahwa daerah yang paling berawan adalah daerah tropis dan daerah beriklim sedang, daerah subtropis dan daerah kutub memiliki awan 10%-20% lebih sedikit. Dengan membandingkan pengamatan satelit variasi awan dengan data meteorologi, dimungkinkan bagi kita untuk membangun korelasi sifat awan dan kondisi atmosfer.
Gambar 1: Variasi spasial rata-rata liputan awan dari tahun 2005 sampai dengan 2012 di Sumatera Utara dalam skala standar 0 sampai dengan1 (a) dan skala yang sesuai dengan kondisi di Sumatera Utara (b).
Hasil analisis memperlihatkan pola spasial liputan awan di daerah dekat Danau Toba mempunyai liputan awan tertinggi yaitu sekitar 0,52 atau liputan awan di lokasi tersebut adalah 52% dibandingkan dengan liputan awan di bagian lain di Sumatera Utara yang menunjukkan liputan awan lebih kecil. Perbedaan liputan awan sekitar 0.24 atau 24 %.
~ 206 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Tabel 1. variasi spasial liputan awan tahun 2005 sampai 2012 Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Rata-rata 0.38 0.40 0.38 0.40 0.39 0.38 0.40 0.38
Liputan awan st deviasi maksimum 0.07 0.52 0.08 0.52 0.08 0.52 0.08 0.54 0.07 0.51 0.07 0.49 0.07 0.55 0.07 0.52
minimum 0.28 0.29 0.30 0.31 0.30 0.28 0.32 0.29
Pada tabel 1 ditampilkan variasi spasial tahunan liputan awan Sumatera Utara dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2012 berupa nilai rata-rata, standar deviasi, maksimum dan nilai minimum.
Gambar 2: Grafik variasi spasial liputan awan Sumatera Utara dari 2005 sampai 2012 (a) dan variasi spasial rata-rata 2005 sampai 2012 (b). .
Pada gambar 2 (a) dapat dilihat hasil analisis spasial tahunan liputan awan di Sumatera Utara dari tahun 2005 sampai dengan 2012. Liputan awan di Sumatera Utara pada tahun 2010 terdeteksi paling rendah sedangkan pada tahun 2011 liputan awannya paling tinggi. Analisis pola spasial rata-rata 2005 sampai dengan 2012 liputan awan di Sumatera Utara menunjukkan liputan awan rata-rata 0,39 dengan standar deviasi 0,07, liputan awan maksimum 0,52 dan liputan awan minimum 0,29.
Analisis variasi temporal liputan awan Sumatera Utara Hasil analisis variasi temporal liputan awan di Sumatera Utara dapat dilihat pada gambar 3 (a). Hasil analisis menunjukkan bahwa liputan awan Sumatera Utara 2005-2012 mempunyai range antara 0,24 sampai dengan 0,56 atau liputan awan di Sumatera Utara antara 24 % sampai dengan 56 %.
~ 207 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Gambar 3 : Variasi temporal liputan awan Sumatera utara (a) dan pola tahunan rata-rata 2005 sampai dengan 2012 (kanan).
Pada gambar 3 (a) pola tahun 2005 dan 2007 menunjukkan puncak liputan awan yang lebih besar dari pola rata-rata tahunan 2005 sampai dengan 2012. Pada pola tahunan 2009 dan 2012 nilai minimum liputan awan lebih kecil dari pola rata-rata. Pola tahunan rata-rata liputan awan tahun 2005 sampai 2012 menunjukkan maksimum pada bulan November dan minimum pada bulan Juni seperti diperlihatkan pada gambar 3 (b). Pola variasi musiman liputan awan untuk bulan-bulan Desember, Januari, Februari (DJF), Maret, April, Mei (MAM), Juni, Juli, Agustus (JJA) dan September, Oktober, November (SON) pada tahun 2005-2012, dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 4 : Pola musiman liputan awan Sumatera Utara tahun 2005 sampai dengan 2012 (a) dan pola musiman rata-rata 2005 sampai dengan 2012 (b). Pola musiman liputan awan Sumatera Utara pada musim DJF range liputan awan antara 0,39 sampai dengan 0,43. Liputan awan terrendah terjadi pada DJF tahun 2007 yaitu 39,3 % dan tertinggi pada tahun 2006 yaitu 43 %. Musim MAM range liputan awan
~ 208 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
antara 0,33 sampai dengan 0,395. Liputan awan tertendah terjadi pada MAM tahun 2009 yaitu 33 % dan tertinggi pada tahun 2008 yaitu 39,5 %. Untuk musim JJA range liputan awan antara 0,328 dan 0,359. Liputan awan tertendah terjadi pada JJA tahun 2012 yaitu 32,8 % dan tertinggi pada tahun 2007 yaitu 35,9%. Liputan awan pada musim SON range antara 0,402 sampai dengan 0,48, dengan liputan awan terrendah terjadi pada tahun 2010 yaitu 40,2 % dan tertinggi terjadi pada SON tahun 2006 yaitu 48%. Pola variasi musiman liputan awan di Sumatera Utara secara umum menunjukkan pada musim SON liputan awan terdeteksi paling tinggi khususnya pada tahun 2006 dengan liputan awan 48% dan liputan awan terrendah pada JJA tahun 2012 dengan liputan awan 32,8%. Analisis variasi spasial dan temporal indeks UV Sumatera Utara Analisis variasi spasial indeks UV Sumatera Utara Variasi spasial Indeks UV Sumatera Utara 2005 sampai 2012 ada pada range 9,9 sampai dengan 12,2. Kondisi indeks UV yang cukup tinggi di Sumatera Utara adalah sebagai konsekwensi dari tempat atau lokasi yang terletak di daerah tropis seperti Indonesia yang mendapat limpahan radiasi matahari sepanjang tahun.
Gambar 5: Variasi spasial rata-rata indeks UV dari tahun 2005 sampai dengan 2012 di Sumatera Utara dalam skala standar 6 sampai dengan 14 (a) dan skala yang sesuai dengan kondisi di Sumatera Utara (b).
Hasil analisis memperlihatkan pola spasial indeks UV di daerah dekat Danau Toba mempunyai indeks UV terrendah yaitu sekitar 9,9 dibandingkan dengan indeks UV di bagian lain di Sumatera Utara yang menunjukkan indeks UV lebih besar. Perbedaan indeks UV sekitar 2,3.
~ 209 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Tabel 1. variasi spasial indeks UV tahun 2005 sampai 2012 Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Rata-rata 11.3 10.6 11.4 10.6 11.3 11.2 10.9 11.3
Indeks UV st deviasi maksimum 0.4 12.0 0.5 11.3 0.5 12.2 0.5 11.3 0.5 12.0 0.4 11.9 0.4 11.5 0.4 11.8
minimum 10.6 10.0 10.6 9.9 10.4 10.4 10.1 10.5
Pada tabel 1 ditampilkan variasi spasial tahunan indeks UV Sumatera Utara dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2012 berupa nilai rata-rata, standar deviasi, maksimum dan nilai minimum.
Gambar 6: Variasi spasial tahunan indeks UV dari tahun 2005 sampai dengan 2012 nilai ratarata, maksimum dan minimumnyadi Sumatera Utara (a) dan variasi spasial rata-rata indeks UV tahun 2005 sampai dengan 2012 (b).
Pada gambar 6 dapat dilihat hasil analisis spasial tahunan indeks UV di Sumatera Utara dari tahun 2005 sampai dengan 2012. Indeks UV di Sumatera Utara pada tahun 2006 paling rendah sedangkan 2007 paling tinggi. Analisis pola spasial rata-rata indeks UV di Sumatera Utara menunjukkan rata-rata 11,1 dengan standar deviasi 0,5, maksimum 12,2 dan minimum 9,9. Variasi Temporal Indeks UV Sumatera Utara Data variasi temporal indeks UV Sumatera Utara tahun 2005 sampai 2012 di buat pola tahunannya kemudian dibandingkan dengan pola tahunan rata-rata 2005-2012. Variasi temporal indeks UV Sumatera Utara 2005 sampai dengan 2012 juga memperlihatkan
~ 210 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
terjadinya pola tahunan seperti pada gambar 7 (a). Hasil perbandingan pola tahunan indeks UV Sumatera Utara setiap tahun terhadap rata-rata pola tahunan indeks UV tahun 2005 sampai dengan 2012, diperoleh bahwa pola tahunan indeks UV tahun 2007, tahun 2010 dan 2012 lebih tinggi dari tahun lainnya sedangkan pola tahunan tahun 2006 dan 2008 lebih rendah dari pola tahunan rata-rata 2005-2012. Pola tahunan indeks UV tahun 2010 dan 2012 menunjukkan puncak yang paling tinggi sedangkan pola tahunan tahun 2011 menunjukkan puncak dan minimum paling rendah. Pada periode 2005 sampai dengan 2012, indeks UV di Sumatera Utara bervariasi antara 8,96–13,46. Tahun 2005 indeks UV bervariasi antara 9,75–12,92 , tahun 2006 antara 9,16-11,96, tahun 2007 antara 9,97 -13,25 , tahun 2008 antara 8,96–11,46 , tahun 2009 antara 10,29–12,57, tahun 2010 antara 9,23–13,46, tahun 2011 antara 9,59-11,96 dan tahun 2012 indeks UV di Sumatera Utara bervariasi antara 9,94–12,48. Indeks UV terendah terjadi pada bulan Juni 2008 yaitu 8,96 dan tertinggi terjadi pada bulan Maret 2010 dengan indeks UV 13,46. Pada periode 2005 sampai dengan 2012, seperti terlihat pada gambar 7 (b), pola rata-rata tahunan indeks UV Sumatera Utara mencapai maksimum pada bulan Maret dan minimum pada bulan Desember.
Gambar 7: Pola variasi temporal indeks UV Sumatera Utara tahun 2005 sampai dengan Desember 2012 (a) dan pola tahunan rata-rata 2002 sampai dengan 2012 beserta standard deviasinya (b).
Pola variasi musiman indeks UV Sumatera Utara Pola variasi musiman untuk bulan-bulan Desember,Januari, Februari (DJF), Maret, April, Mei (MAM), Juni, Juli, Agustus (JJA) dan September, Oktober, November (SON) Pada gambar 6 dapat dilihat pola musiman dan perbandingan pola musimannya dengan pola musiman rata-rata 2005-2012. Pola musiman indeks UV Sumatera Utara dalam deret
~ 211 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
waktu dari 2005 sampai dengan Desember 2012 mempunyai pola musiman demikian juga pada nilai deviasinya. Pola variasi musiman indeks UV Sumatera Utara secara umum menunjukkan musim SON mempunyai nilai indeks UV tertinggi dalam setiap tahunnya. Variasi musiman indeks UV Sumatera Utara mencapai maksimum pada musim MAM dan minimum pada musim DJF.
Gambar 8. Pola variasi musiman (DJF, MAM, JJA dan SON) untuk indeks UV di Sumatera Utara pada tahun 2005-2012 (a) dan rata-rata pola musiman indeks UV tahun 2005 sampai dengan 2012 (b).
Dari analisis variasi musiman indeks UV
Sumatera Utara pada gambar 8, pola
variasi musiman indeks UV menunjukkan pada tahun 2005, 2007 dan 2010 variasi musimannya lebih tinggi dari tahun yang lainnya, sedangkan tahun 2006 dan 2008 lebih rendah khususnya untuk musim JJA. Variasi musiman indeks UV Sumatera Utara untuk DJF antara 9,4-10,4. Indeks UV terendah terjadi pada DJF tahun 2011 yaitu 9,4 dan tertinggi pada tahun 2012 yaitu 10,4. Musim MAM indeks UV antara 10,5-12,0. Indeks UV tertendah terjadi pada MAM tahun 2008 yaitu 10,5 dan tertinggi pada tahun 2012 yaitu 12,0. Pada musim JJA range indeks UV antara 9,3-10,8. Indeks UV tertendah terjadi pada JJA tahun 2008 yaitu 9,3 dan tertinggi pada tahun 2005 yaitu 10,8. Sedangkan indeks UV pada musim SON mempunyai range 9,5-11,3, dengan indeks UV terendah terjadi pada tahun 2010 yaitu 9,5 dan tertinggi terjadi pada SON tahun 2012 yaitu 11,3. Keterkaitan liputan awan dengan indeks UV di Sumatera Utara Korelasi Spasial liputan awan dengan indeks UV Keterkaitan liputan awan terhadap indeks UV di Sumatera utara secara spasial dari tahun 2005 sampai dengan 2012 diperoleh dengan melakukakan analisis statistik. Hasil
~ 212 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
yang diperoleh menunjukkan korelasi negatif, yaitu peningkatan liputan awan akan menurunkan indeks UV dengan koefisien korelasi antara 0,90 sampai dengan 0,96.
Gambar 9. Keterkaitan liputan awan dengan indeks UV di Sumatera Utara pada tahun 2006 yang menunjukkan korelasi negatif.
Tabel 2. Persamaan regresi linier keterkaitan liputan awan dengan indeks UV Tahun
Persamaan regresi
Koef determinasi
Koef korelasi
2005
y = - 5,2923 x +13,343
0,8513
0,922659
2006
y = - 5,5377 x +12,821
0,9194
0,958853
2007
y = - 5,8073 x +13,652
0,8539
0, 924067
2008
y = - 5,8863 x +12,952
0,9115
0,954725
2009
y = - 5,8198 x +13,580
0,8302
0,911153
2010
y = - 5,3752 x +13,264
0,8076
0,898666
2011
y = - 5,2940x +13,037
0,8525
0,923309
2012
y = - 5,3510 x +13,320
0,8552
0,92477
Korelasi variasi musiman liputan awan dengan indeks UV Korelasi liputan awan dengan indeks UV secara temporal dilakukan dengan mengkorelasikan secara musiman (DJF, MAM, JJA dan SON), hasil yang diperoleh juga menunjukkan korelasi negatif. Korelasi tertinggi dicapai pada musim JJA dengan koefisien korelasi 0,7.
~ 213 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Gambar 10. Scatter plot variasi musiman liputan awan dengan indeks UV Sumatera Utara untuk musim JJA. Keterkaitan variasi musiman liputan awan dengan indeks UV di Sumatera Utara berdasarkan scatter plot pada gambar 10, menghasilkan persamaan regresi linier. Persamaan yang dihasilkan dari plot liputan awan dan indeks UV dapat dilihat pada Tabel 3. Persamaan yang diperoleh untuk musim DJF adalah y = -0,0145 x + 0,5519, y adalah liputan awan dan x adalah indeks UV. Koefisien determinasi yang diperoleh adalah 0,1159 dan koefisien korelasi antara liputan awan dengan indeks UV adalah 0,34. Dari persamaan yang diperoleh diartikan bahwa 11,59 % variabel liputan awan dapat dijelaskan oleh variabel indeks UV pada persamaan tersebut, sedangkan sisanya tidak bisa dijelaskan oleh indeks UV karena tergantung pada variabel yang lainnya. Untuk musim yang lainnya yaitu MAM, JJA dan SON variabel ozon total yang dapat dijelaskan oleh variabel indeks UV adalah 41,95 %, 49,69 %, dan 0.16 %. Koefisien korelasi yang diperoleh untuk musim DJF, MAM, JJA dan SON adalah 0,34, 0,65, 0,70 dan 0,04. Dari hasil analisis statistik keterkaitan variasi musiman liputan awan dengan indeks UV di Sumatera Utara diperoleh hasil korelasi negatif, yaitu peningkatan liputan awan akan menurunkan indeks UV, atau sebaliknya semakin tipis liputan awan, semakin tinggi indeks UV. Koefisien korelasi yang diperoleh antara 0,04 sampai dengan 0,70. Korelasi tertinggi terjadi pada musim JJA dengan koefisien korelasi 0,70. Tabel 3. Korelasi musiman liputan awan dan indeks UV Sumatera Utara Musim DJF MAM JJA SON
Persamaan regresi y = -0,0145 x + 0,5519 y = -0,023 x + 0,6194 y = -0,0173 x + 0,5156 y = 0,0016 x + 0.4336
Koef determinasi 0,1159 0,4195 0,4969 0,0016
~ 214 ~
Koef korelasi 0,34 0,65 0,70 0,04
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
UNEP (2010), menyatakan bahwa faktor musim atau posisi matahari di atas suatu wilayah berpengaruh terhadap indeks UV. Faktor liputan awan, partikulat, aerosol dan pencemar udara juga dapat menyerap dan menyebarkan sebagian radiasi UV dan dengan demikian dapat mengurangi jumlah radiasi UV yang dapat mencapai permukaan bumi. Hal ini dipengaruhi juga oleh faktor lokasi dan musim. Pola variasi tahunan indeks UV Sumatera Utara yang diperoleh mempunyai pola yang berbeda dengan yang diperoleh McKenzie (2007) dan Komala (2012). Dari hasil analisis nilai indeks UV Sumatera Utara pengamatan 2005 sampai dengan 2012 adalah antara 8,96 sampai dengan 13,46. Nilai indeks UV di Sumatera Utara ini sudah tergolong ekstrem (sesuai dengan standar indeks UV yang dikeluarkan oleh EPA. Menurut US EPA dan WHO (2002), semakin tinggi Indeks UV, semakin besar laju dosis kulit dan mata dirusak oleh radiasi UV. Akibatnya, semakin tinggi Indeks UV, semakin sedikit waktu yang dibutuhkan untuk kulit atau mata terjadi kerusakan.
4.
KESIMPULAN Telah dilakukan analisis variasi spasial dan temporal liputan awan dan indeks UV
di Sumatera Utara serta keterkaitannya. Hasil analisis menujukkan range indeks UV di Sumatera Utara sudah tergolong ekstrem dan diperoleh korelasi negatif secara spasial maupun temporal yang membuktikan
bahwa meningkatnya liputan awan akan
menurunkan indeks UV atau semakin kecil liputan awan akan semakin tinggi indeks UV yang terdeteksi berdasarkan hasil analisis terhadap data selama tahun 2005 sampai 2012. Hasil analisis variasi spasial indeks UV dan liputan awan Sumatera Utara tahun 2005-2012 adalah indeks UV antara 9,9 sampai dengan 12. Indeks UV Sumatera Utara mempunyai pola tahunan dengan maksimum pada bulan Maret dan minimum pada Desember. Variasi spasial liputan awan bervariasi antara 0,28 – 0,55 dengan pola tahunan maksimum pada bulan November dan minimum pada bulan Juni. Dari hasil analisis statistik keterkaitan liputan awan terhadap indeks UV di Sumatera utara secara spasial diperoleh hasil korelasi negatif, yaitu peningkatan liputan awan akan menurunkan indeks UV dengan koefisien korelasi antara 0,90 sampai dengan 0,96. Korelasi liputan awan dengan indeks UV secara temporal juga menunjukkan korelasi negatif, korelasi tertinggi dicapai pada musim JJA dengan koefisien korelasi 0,7.
~ 215 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
DAFTAR RUJUKAN OMI home page: http://toms.gsfc.nasa.gov/omi. Komala, N., A. Budiyono, N. Ambarsari, Thohirin, H. Suherman dan E. Adetya, Karakteristik ozon total dan parameter atmosfer Indonesia dari Satelit AURA, Program Penelitian Pusfatsatklim, 2009. Komala, N., A. Budiyono, N. Ambarsari, D. Y. Risdianto, H. Suherman dan E. Adetya, Kondisi ozon total dan parameter atmosfer Indonesia keterkaitannya dengan iklim, Program Penelitian Pusfatsatklim, 2010. Komala, N, Variabilitas Ozon dan UV Indeks di Pulau Jawa, dalam Buku Fisika, Dinamika dan Kimia Atmosfer Berbasis Data Satelit dan Insitu, hal: 124-137, Penerbit CV Andira Bandung, ISBN:978-979-1458-58-0. 2012. NASA, 2012, Cloud climatology at http://isccp.giss.nasa.gov Richard L. McKenzie, UV Radiation Climatology and Trends, National Institute of Water & Atmospheric Research (NIWA), Lauder, Central Otago, New Zealand , Presented at PMOD/WRC Meeting, Davos, 18-20 September 2007. UNEP, Laporan Tahunan, 2010. US EPA (Environmental Protection Agency), at http://http.epa.gov/sunwise/ World Health Organization (WHO), Global Solar UV Index, A Practical Guide, 2002.
~ 216 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
PENGAMATAN AWAN DAN VARIASI CUACA HARIAN MENGGUNAKAN TRANSPORTABLE X-BAND RADAR Noersomadi, Sinta Berliana Sipayung, Krismianto, Soni Aulia Rahayu, Ginaldi Ari Nugroho, Rachmat Sunarya, Safrudin, Edy Maryadi dan Halimurrahman Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, LAPAN
Jl. Dr. Junjunan 133 Bandung, 40173
[email protected] /
[email protected] Abstract Weather observation campaign using Transportable X-band radar has been done during March 13 to 19, 2013 around Bandung, West Java. The observation for detecting cloud expansion has been done through two fundamental methods of radar scanning, there were Plan Position Indicator (PPI) and Range Height Indicator (RHI). The results showed cloud expansion over Bandung area especially during March 14 to 18, 2013. The result from PPI scan at 3 km, so called Constant Altitude Plan Polar Position (CAPPI) observation depicted that convective activity reach its maximum at 09 UTC. RHI observation scan showed cloud expansion that growth reach over 10 km. The diurnal variation that described from observation data indicated that cloud expansions over Bandung area were generally influenced by the orographic topography around the location. Keywords : X-band radar, PPI, RHI, diurnal variation Abstrak Telah dilakukan pengamatan cuaca di wilayah Bandung, Jawa Barat dan sekitarnya selama periode 13 – 19 Maret 2013 menggunakan Transportale X-band Radar. Observasi untuk mendeteksi pertumbuhan awan dilakukan melalui dua metode dasar pengamatan radar, yaitu Plan Position Indicator (PPI) dan Range Heigt Indicator (RHI). Hasil observasi mampu menunjukkan pertumbuhan awan konvektif di sekitar cekungan Bandung terutama pada periode 14-18 Maret 2013. Berdasarkan hasil pengamatan menggunakan metode PPI, pada ketinggian 3 km atau Constant Altitude Plan Position Indicator (CAPPI) tampak bahwa puncak aktivitas konvektif sekitar pukul 09 UTC. Adapun berdasarkan metode RHI, pertumbuhan awan konvektif yang terekam hingga mencapai ketinggian di atas 10 km. Variasi cuaca harian yang ditunjukkan oleh data pengamatan radar selama periode observasi mengindikasikan bahwa pertumbuhan awan dipengaruhi oleh faktor topografi pegunungan di sekitar wilayah Bandung. Kata kunci : X-band radar, PPI, RHI, variasi harian 1.
PENDAHULUAN Wilayah Bandung sebagai ibu kota provinsi Jawa Barat yang berada di 760 m di
atas permukaan laut, memiliki karakteristik cuaca yang unik. Terutama berkaitan dengan kondisi topografi pegunungan yang ada disekitarnya. Seperti diketahui bahwa salah satu jenis pertumbuhan awan konvektif adalah pertumbuhan akibat orografis yang memaksa
~ 217 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
udara naik ke atas sehingga terjadi kondensasi sebagai inisial adanya pertumbuhan awan (Markowski et.al., 2010). Diawali dengan motivasi untuk pemanfaatan teknologi X-band radar (9.4 GHz) yang dapat dipindahkan (transportable), telah dilakukan observasi awan yang berpotensi hujan di wilayah Bandung, Jawa Barat. Gambar 1 menunjukkan titik lokasi pengamatan radar. Tercatat bahwa koordinat lokasi pengamatan adalah 107,69o BT dan 6,89o LS. Gambar 2 memperlihatkan foto instrumen X-band radar yang dibawa oleh bus dan ditempatkan di suatu area sehingga tidak ada penghalang disekitarnya untuk melakukan pengamatan awan.
Gambar 3
Lokasi titik pengamatan radar di daerah Gedebage, Bandung, Jawa Barat. Koordinat titik pengamatan adalah 107,69o BT dan 6,89o LS.
Eksperimen ini bertujuan untuk mengamati pertumbuhan awan dan variasi cuaca harian di wilayah Bandung dan sekitarnya. Periode pengamatan adalah darri tanggal 13 Maret 2013 pukul 18 UTC atau dinihari pukul 01.00 WIB tanggal 14 Maret 2013 sampai dengan 19 Maret 2013 pukul 07 UTC atau pukul 14.00 WIB.
~ 218 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Gambar 4. Instrumen Transportable X-band radar yang ditempatkan di wilayah Gedebage, Bandung untuk pengamatan awan dan variasi cuaca harian. 2.
DATA DAN METODE Data yang digunakan dalam makalah ini adalah hasil eksperimen pengamatan
Transportable X-band Radar selama periode observasi sebagaimana disebutkan pada bab sebelumnya. Parameter dasar hasil pengamatan radar meliputi besaran reflektivitas (reflectivity) dalam satuan desibell (dB atau dBz), lebar spektrum (spectral width) yang merepresentasikan banyaknya objek yang terekam oleh radar dalam satu elemen volume, dan kecepatan (radial velocity) atau kecepatan gerak objek terhadap radar. Observasi awan menggunakan Transportable Xband Radar didasarkan pada skedul yang dirancang. Skedul yang dimaksud meliputi Plan Position Indicator (PPI) dan Range Height Indicator (RHI). Pengamatan PPI mencakup satu lingkaran penuh (360o) atau disebut juga sebagai surveillance (Fang et.al., 2004) yang diatur mulai dari elevasi 0o hingga 50o untuk kenaikan setiap 1o. Adapun pengamatan RHI mencakup hingga elevasi 80o untuk azimuth tiap 30o.
~ 219 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Gambar 5. Skedul pengoperasian X-band radar selama periode pengamatan (13 – 19 Maret 2013) untuk observasi cuaca di wilayah Bandung dan sekitarnya.
Gambar 3 di atas memperlihatkan skedul pengoperasian radar selama periode pengamatan. Warna cyan menunjukkan skedul PPI, dan warna magenta menunjukkan skedul RHI. Warna putih dalam interval waktu 00 – 24 UTC menunjukkan tidak ada pengamatan karena instrumen radar dihentikan sementara untuk menghindari panas yang berlebih pada sistem generator. Pada awal pengamatan hanya dilakukan dengan skedul RHI. Kemudian pada hari kedua telah dicoba untuk pengamatan kontinu dengan skedul PPI. Setelah mengevaluasi hasil kedua metode pengamatan tersebut, skedul observasi dilanjutkan dengan selang-seling antara PPI dan RHI. Dalam makalah ini hanya dibatasi pada analisis data reflektivitas dari kedua skedul pengamatan. Oleh karena radar hanya mendeteksi tetes awan yang berpotensi hujan (sebagaimana bergantung pada besar frekuensi yang dipancarkan), maka dari hasil perekaman tidak terlihat data signifikan apabila kondisi cuaca cerah pada saat observasi. Data yang tidak signifikan tercatat pada waktu dini hari hingga pagi hari selama periode observasi.
~ 220 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
3.
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
HASIL DAN PEMBAHASAN Observasi radar berbasis pemindaian volume (volume scan) yang meliputi skedul
PPI dan RHI mampu mengamati suatu volume atmosfer di sekeliling radar. Hasil skedul PPI untuk ketinggian tertentu disebut Constant Altitude Plan Polar Indicator (CAPPI). Artinya, dari semua hasil pemindaian dalam satu skedul data yang dicuplik hanya pada ketinggian yang sama. Gambar 4 mendeskripsikan data reflektivitas di ketinggian 3 km pada tanggal 14 Maret 2013 pukul 09 UTC. Tercatat bahwa radar mampu mengamati atmosfer hingga mencapai 82 km jarak horizontal dari titik lokasi radar. Warna abu-abu dalam gambar menunjukkan bahwa kondisi atmosfer di atas wilayah tersebut cerah atau tidak terdapat pertumbuhan awan yang berpotensi hujan.
Gambar 6 Data reflektivitas di ketinggian 3 km (CAPPI) pada tanggal 14 Maret 2013 pukul 09 UTC.
Semakin tinggi nilai reflektivitas yang ditampilkan pada pemantauan radar cuaca, memberi arti bahwa pada wilayah tersebut terdapat awan konvektif yang berpotensi hujan (Steiner et.al., 1995). Gambar 4 diatas menunjukkan adanya aktifitas konvektif untuk nilai reflektivitas lebih dari 35 dBz di sekitar wilayah utara radius 25 – 50 km dan wilayah selatan radius 25 km atau berada di atas pegunungan di sekeliling wilayah Bandung (peta ~ 221 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
topografi pada Gambar 1). Berdasarkan kriteria yang dikategorikan oleh (Anagnostou, 2004) dalam mengklasifikasikan presipitasi jenis konvektif dan stratus (stratiform), maka dapat dilihat pula bahwa awan konvektif terlihat lebih tebal yang ditunjukkan oleh nilai reflektivitas > 45 dBz di wilayah barat. Hasil pengamatan pada tanggal 15 Maret 2013 sekitar pukul 09 UTC atau pada sore hari (16.00 WIB) memperlihatkan kondisi cuaca yang dipenuhi oleh aktifitas konvektif di sekitar Bandung (Gambar 5). Hal ini mengindikasikan adanya variasi cuaca harian berdasarkan hasil observasi selama kurun waktu 5 – 6 hari. Tampak jelas bahwa aktifitas konvektif dipengaruhi oleh faktor topografi di sekitar wilayah Bandung.
Gambar 7 UTC.
Data reflektivitas di ketinggian 3 km pada tanggal 15 Maret 2013 pukul 09
Selain pertumbuhan awan konvektif, hasil dari observasi dengan skedul RHI juga menampilkan awan stratus atau awan tinggi yang dicirikan oleh nilai reflektivitas < 30 dBz (Matyas, 2008). Gambar 6 dan Gambar 7 memperlihatkan contoh hasil rekaman RHI berturut-turut pada tanggal 15 dan 16 Maret 2013 sekitar pukul 08 – 10 UTC atau 15.00 – 17.00 WIB. Gambar 6 menunjukkan di arah barat daya (azimut 330o) dari titik pengamatan terdapat awan stratus dalam radius 20 km dengan ketinggian awan 10 km, dan awan kumulonimbus yang menjulang tinggi hingga 15 km dalam radius 30 – 80 km. ~ 222 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Gambar 8 Data reflektivitas pada tanggal 15 Maret 2013 pukul 09.55 UTC arah barat daya (azimut 330o). Hasil observasi pada tanggal 16 Maret 2013 (Gambar 7) memperlihatkan terdapat pertumbuhan awan konvektif di radius 30 km dan 50 km arah utara dari titik pengamatan. Apabila diperhatikan kembali peta topografi di sekitar wilayah Bandung dimana terdapat gunung Tangkuban Perahu, maka semakin jelas bahwa faktor orografik mempengaruhi pertumbuhan awan konvektif. Selain hal tersebut yang diatas, tercatat pula bahwa secara rata-rata puncak pertumbuhan awan terjadi sekitar pukul 09 UTC (16.00 WIB).
~ 223 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Gambar 9 (azimut 0o).
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Data reflektivitas pada tanggal 16 Maret 2013 pukul 08.47 UTC arah utara
Hasil eksperimen ini dapat dijadikan sebagai dasar dalam menganalisisi lebih lanjut terkait fenomena fisis yang terdapat dalam awan seperti turbulensi dalam awan cumulonimbus. Selain hal tersebut dapat pula dilakukan pembandingan data reflektivitas terhadap data pengamatan curah hujan permukaan guna mencari persamaan empirik seperti yang dilakukan oleh (Bhattacharya et.al., 2011; Hagen dan Yuter, 2003). Data eksperimen ini juga dapat dimanfaatkan untuk validasi simulasi model numerik pertumbuhan awan.
4.
KESIMPULAN Observasi Transportable X-band Radar menunjukkan bahwa radar cuaca tersebut
mampu mengamati awan yang berpotensi hujan di sekitar titik pengamatan melalui dua metode dasar obsevasi, yakni PPI dan RHI. Secara rata-rata tercatat bahwa radar mampu mengamati atmosfer hingga 82 km jarak horizontal. Puncak aktivitas konvektif terjadi sekitar pukul 09 UTC (16 LT) atau pada waktu sore hari. Observasi RHI tidak hanya menampilkan pertumbuhan awan konvektif yang ditandai oleh nilai reflektivitas > 35 dBz, namun mengindikasikan pula adanya awan stratus di ketinggian 10 km (nilai reflektivitas < 30 dBz). Variasi harian pertumbuhan awan konvektif di sekitar titik pengamatan ~ 224 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
dipengaruhi oleh faktor topografi pegunungan. Analisis awal hasil eksperimen ini dapat menjadi dasar untuk analisis lanjutan terkait fenomena fisis pertumbuhan awan.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer yang mendukung pelaksanaan eksperimen pengamatan menggunakan Transportable X-band Radar. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang terlibat dalam pelaksanaan observasi.
DAFTAR RUJUKAN Anagnostou, E.N., A convective/stratiform precipitation classification algorithm for volume scanning weather radar observations, Meteor.Appl.11,291-300, 2004. Battacharya, A.B., D.K. Tripathi, A. Nag, dan M. Debnath, Measurement of Rain Drop Size Distribution from Radar Reflectivity and Associated Rain Attenuation of Radio Waves, International Journal of Engineering Sciences and Technology (IJEST), 3, 4171-4179, 2011. Fang, M., Doviak, R.J., dan Melnikov, V., Spectrum Width Measured by WSR-88D: Error Sources and Statistics of Various Weather Phenomena, J. Atmos. Sci. 21, 888-904, 2004. Hagen, M., dan S.E., Yuter, Relations between Radar Reflectivity, Liquid Water Content, and Rainfall Rate during MAP SOP, Q.J.R. Meteorol. Soc., 129, 477-493, 2003. Markowski, P., dan Y. Richardson, Mesoscale Meteorology in Midlatitudes, WileyBlackwell Pub., ISBN: 978-0-470-74213-6, 2010. Matyas, C.J., A Spatial Analysis of Radar Reflectivity Regions within Hurricane Charley (2004), Journal of Appl. Meteor. And Clim., 48, 130-142, 2008. Steiner, M., Houze Jr., R.A., and Yuter, S.E., Climatological Characterization of ThreeDimensional Storm Structure from Operational Radar and Rain Gauge Data, J. Appl. Meteor., 34, 1978-2007, 1995.
~ 225 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
KOREKSI ESTIMASI DATA CURAH HUJAN SATELIT TRMM PRODUK LEVEL 3B31 DAN 3B43 DI STASIUN METEOROLOGI SAM RATULANGI SELAMA PERIODE 2003-2012 Novvria Sagita Stasiun Meteorologi Sam Ratulangi
[email protected]
Abstract TRMM satellite has one function which is to estimate rainfall. The function of estimating rainfall is use to obtain rainfall data in an area with no rainfall measurements, but in some previous research shows that there are significant deviations between observation rainfall data and TRMM estimation. This research compares rainfall data in Sam Ratulangi Manado Meteorological Stations with data of TRMM satellite level product 3B31 and 3B43 to obtain corrected estimations of TRMM to approaches the data values of surface rainfall observation. The index multiplied with TRMM estimation level product of 3B31 is 2.91 to obtain TRMM rainfall estimation corrected level product o3B31. The index multiplied with TRMM estimation level product 3B43 is 1.59 to obtain TRMM rainfall estimation corrected level product 3B43. Estimation of TRMM rainfall corrected product level 3B31 and 3B43 are able to reduce the deviation with surface rainfall observation data. Keywords: TRMM satellite, Rainfall estimation, 3B31, 3B43. Abstrak Satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) memiliki salah satu fungsi yaitu untuk estimasi curah hujan. Fungsi estimasi curah hujan inilah yang bisa digunakan untuk mendapatkan data curah hujan di suatu wilayah yang tidak ada pengukuran curah hujan, tapi beberapa penelitian sebelumnya menunjukan bahwa terdapat selisih yang besar antara data observasi curah hujan di permukaan dengan estimasi TRMM. Penelitian ini membandingan data curah hujan di stasiun meteorologi Sam Ratulangi dengan data estimasi curah hujan satelit TRMM produk level 3B31 dan 3B43 agar diperoleh estimasi TRMM yang terkoreksi mendekati nilai observasi curah hujan di permukaan. Indeks yang dikalikan dengan estimasi TRMM produk level 3B31 adalah 2.91 agar memperoleh estimasi curah hujan TRMM produk level 3B31 terkoreksi dan Indeks yang dikalikan dengan estimasi TRMM produk level 3B43 adalah 1.59 agar memperoleh estimasi curah hujan TRMM produk level 3B43 terkoreksi. Estimasi curah hujan TRMM produk level 3B31 dan 3B43 yang telah terkoreksi mampu memperkecil selisih dengan data observasi curah hujan di permukaan. Kata Kunci : Satelit TRMM, Estimasi curah hujan, 3B31, 3B43
~ 226 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
1.
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
PENDAHULUAN Manado merupakan kota yang terletak di 1o 25' 88" - 1 o 39' 50" LU dan 124 o 47'
00" - 124
o
56' 00" BT. Kota Manado masuk dalam dalam tipe pola hujan Mosunal[1].
Pengamatan curah hujan biasanya menggunakan penakar hujan observasi yang manual atau yang otomatis seperti penakar hujan Hellman atau penakar hujan yang terdapat di AWS (Automatic Weather System). Pada era ini dikenal satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) adalah satelit milik NASA (National Aeoronautics And Space Administration). Satelit TRMM berguna untuk mendeteksi curah hujan di wilayah yang tidak ada pos pengamatan sinoptik .
Penelitian tentang estimasi curah hujan TRMM produk level 3B43 sebelumnya di
Indonesia menunjukkan bahwa hubungan antara TMPA dengan data lapangan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) adalah tinggi khususnya terhadap pola hujan bulanan [2]. Vernimmen et al. (2012) melakukan kajian tentang estimasi curah hujan satelit TRMM produk level 3B42 di Indonesia dengan mengambil contoh wilayah di Jakarta, Bogor, Bandung, Lampung, Jawa Timur dan Banjar Baru dan menghasilkan estimasi curah hujan TRMM produk level 3B42 yang terkoreksi yang bisa mengurangi relatif bias terhadap data observasi curah hujan dipermukaan[3]. Penelitian ini dibatasi hanya mengetahui nilai koreksi estimasi akumulasi curah hujan bulanan satelit TRMM produk level 3B31 dan produk level 3B43 dengan pengamatan pengangkar curah hujan dari tahun 2003 – 2012. Penelitian ini disusun dengan tujuan untuk mengetahui nilai koreksi estimasi curah hujan TRMM produk level 3B31 dab 3B43 agar mendekati data observasi curah hujan di permukaan. Hujan merupakan salah satu bentuk presipitasi, yaitu suatu unsur hidrometeor yang jatuh ke permukaan bumi yang memiliki diameter 0,5 mm atau lebih. Tidak semua unsur hidrometeor tesebut sampai ke permukaan bumi [4]. Alat untuk observasi curah hujan disebut pengangkar hujan. Tipe pengangkar hujan ada 2 tipe yaitu observasi
(manual)
dan otomatis. Penakar hujan observasi
mengukur curah hujan yang jatuh ke permukaan bumi yang memiliki satuan mm. 1 mm curah hujan berarti tinggi curah hujan pada luasan 1 m2. Satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) adalah program kerjasama antara NASA (National Aeoronautics And Space Administration) dan NASDA (National Space Development Agency). Tujuan program ini untuk mengukur curah hujan dan energi (seperti contoh panas laten dari kondensasi uap air) di wilayah tropis dan subtropics[5].
~ 227 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Data 3B31 merupakan gabungan dari data 2B31 yang merupakan produk sensor PR didasarkan teknik yang dikembangkan Haddad et al. [1997a, 1997b] dan data 2A12 yang merupakan hasil produk TMI. Resolusi dari data 3B31 adalah 0.5o X 0.5o[6]. Data 3B43 adalah data gabungan data harian 3B42 dengan data GPCC (Global Precipitation Climatology Centre). Hasil data 3B43 merupakah akumulasi curah hujan bulanan dengan resolusi 0.25 o x 0.25 o[7].
3.
DATA DAN METODE Data yang digunakan untuk penelitian ini adalah data total curah hujan bulanan di
stasiun meteorologi Sam Ratulangi dan Produk data estimasi curah hujan bulanan 3B31 dan 3B43 periode 2003 sampai 2012. Data estimasi curah hujan satelit TRMM dalam produk 3B31 dan 3B43 dalam bentuk grib yang diolah dengan software Matlab 10 dengan script yang kami lampirkan. Data yang estimasi curah hujan satelit TRMM diambil adalah data grid yang terdekat dengan lokasi tempat observasi curah hujan di stasiun meteorologi Sam Ratulangi Manado. Langkah – langkah yang dilakukan pada penelitian ini meliputi : 1.
Download produk data satelit TRMM 3B31 dan 3B43 dalam format Netcdf dari tahun 2003 sampai 2012[8].
2.
Mengumpulkan data observasi total curah hujan bulanan di stasiun meteorologi Sam Ratulangi Manado dari tahun 2003 sampai 2012.
3.
Menghitung total curah hujan tahunan data observasi penakar hujan, estimasi curah hjan satelit TRMM produk level 3B31 dan 3B43.
4.
Menghitung nilai korelasi antara estimasi curah hujan produk level 3B31 dan produk level 3B43 dengan data penakar hujan: √
Keterangan : = nilai korelasi estimasi curah hujan produk level 3B31 dan produk level 3B43. = variabel estimasi curah hujan produk level 3B31 atau produk level 3B43. = variabel data penakar hujan. 5.
Menghitung : a.
Relatif bias (%) =
b.
Root Mean Square Error (RMSE)
~ 228 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
=√
Keterangan : = data curah hujan penakar hujan. =estimasi curah hujan produk level 3B31 atau 3B43. 6.
Mencari indeks koreksi (K) TRMM level 3B31 dan 3B43 TRMMterkoreksi=K.TRMM (
7.
)
Membuat grafik perbandingan rata-rata curah hujan bulanan data observasi penakar hujan, TRMM dan TRMM terkoreksi.
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN Data curah hujan bulanan observasi permukaan, TRMM produk level 3B31 dan 3B43
1000 800 600 400 200 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 101 106 111 116
0
Observasi
3B31
3B43
Gambar 4.1. Grafik data curah hujan bulanan observasi permukaan, TRMM produk level 3B31 dan 3B43
Gambar 4.1,menunjukan data TRMM produk level 3B31 memiliki selisih yang lebih tinggi dari data estimasi TRMM produk level 3B43, hal ini disebabkan karena resolusi data 3B43 lebih tinggi yaitu 0.25o X 0.25o (25 km), sedangkan 3B31 memiliki resolusi data 0.5o X 0.5o (50 km).
~ 229 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Tabel 4.1. Tabel korelasi observasi penakar curah hujan dengan TRMM produk level 3B31 dan 3B43. Korelasi Observasi 3B31
0.637723698
3B43
0.886664486
Tabel 4.1 menunjukan nilai korelasi produk level 3B31 dan 3B43 terhadap data penakar hujan yang lebih dari 0.5 menunjukan bahwa data 3B43 dan 3B31 memiliki keterkaitan yang tinggi terhadap data curah hujan observasi penakar curah hujan.
Tabel 4.2. Relatif bias dan RMSE data curah hujan tahunan penakar hujan dan estimasi TRMM produk level 3B31. Tahun
Penakar hujan
3B31
3B31
R.Bias
RMSE
terkoreksi
R.BIAS
RMSE
terkoreksi terkoreksi
2003
3387.8
3333.12 1143.465 66.25% 225.9778
1.61%
153.5467
2004
2857.05
2497.05
856.64
70.02% 201.6694
12.60%
120.4335
2005
3665
3050.65
1046.56
71.44% 236.5226
16.76%
180.6056
2006
2954.6
2454.56
842.065
71.50% 250.4814
16.92%
119.6172
2007
3581
3355.92 1151.285 67.85% 236.8123
6.29%
189.8328
2008
3789.14
4320.98
60.88% 234.9997
-14.04%
160.3821
2009
3063.1
4293.74 1473.015 51.91% 155.1781
-40.18%
183.6197
2010
3555.5
4541.84
1558.13
56.18% 215.1001
-27.74%
271.6125
2011
3665
3920.76
1345.06
63.30% 223.0873
-6.98%
164.7007
2012
3775.2
3563.72 1222.575 67.62% 248.2164
5.60%
144.0087
1482.36
Pada tabel 4.2 menggambarkan bahwa produk level 3B31 memiliki selisih nilai curah hujan yang tinggi karena ditunjukan nilai relatif bias yang tinggi yaitu rata-rata kisaranan lebih dari 60% dan nilai root mean square error (RMSE) untuk data estimasi curah hujan produk level 3B31 memiliki nilai kisaran lebih dari 200. Indeks koreksi untuk produk level 3B31 adalah 2.91. Relatif bias data 3B31 yang telah terkoreksi terhadap data penakar hujan lebih rendah dari relatif bias data 3B31 yang belum terkoreksi. Nilai RMSE rata-rata mengalami penurunan setelah data 3B31 terkoreksi Hal itu dapat dilihat pada
~ 230 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
gambar 4.2. Produk level 3B31 yang telah terkoreksi memiliki nilai hampir mendekati data penakar hujan.
500 400 300 200 100 0
AV OBS AV TRMM JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGST SEPT OKT NOV DES
AV TRMMC
Gambar 4.2. Curah hujan rata-rata bulanan penakar hujan obs (AV obs), TRMM 3B31 (AV TRMM), dan TRMM 3B31 terkoreksi (AV TRMMC) periode tahun 2003 - 2012 Tabel 4.3. Relatif bias dan RMSE data curah hujan tahunan penakar hujan dan estimasi TRMM produk level 3B43. Tahun
Penakar
3B43
hujan
3B43
R.Bias
terkoreksi
R.BIAS
RMSE
terkoreksi
RMSE terkoreksi
2003
3387,8
2154,995
3.430,38
36,39%
-1% 131,0573
49,17
2004
2857,05
1333,575
2.628,94
53,32%
8% 123,0782
47,96
2005
3665
2154,995
3.430,38
41,20%
6% 127,8105
137,31
2006
2954,6
1763,345
2.806,94
40,32%
5% 135,9872
136,02
2007
3581
2186,425
3.480,41
38,94%
3% 143,4018
76,50
2008
3789,14
2456,815
3.910,82
35,16%
-3% 396,8086
57,42
2009
3063,1
1896,625
3.019,10
38,08%
2010
3555,5
2731,075
4.347,40
2011
3665
2950,985
2012
3775,2
2347,235
1%
126,771
60,76
23,19%
-22% 105,2777
121,76
4.697,45
19,48%
-28% 89,04075
138,22
3.736,39
37,82%
1% 141,1584
51,52
Pada tabel 4.3 menunjukan selisih yang besar antara estimasi curah hujan TRMM produk level 3B43 dengan penakar hujan. Nilai RMSE produk level 3B43 terhadap penakar hujan kisran 105 hingga 397. Indeks koreksi untuk produk level 3B43 yaitu 1,59. Tabel 4.3 menunjukan relatif bias estimasi produk level 3B43 terkoreksi terhadap data penakar hujan lebih rendah dari relatif bias produk level 3B43 yang belum terkoreksi. Produk level 3B43 yang telah terkoreksi memiliki nilai hampir mendekati data penakar
~ 231 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
hujan, sehingga indeks koreksi bisa digunakan untuk meminimalisir perbedaan antara data curah hujan penakar hujan dengan estimasi curah hujan satelit TRMM produk level 3B43.
500 400 300
AV obs
200
AV TRMM
100
AV TRMMc
0 JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGST SEPT OKT NOV DES
Gambar 4.3 Curah hujan rata-rata bulanan penakar hujan obs (AV obs), TRMM 3B43 (AV TRMM), dan TRMM 3B43 terkoreksi (AV TRMMC) periode tahun 2003 – 2012.
5.
KESIMPULAN Uraian perbandingan data curah hujan penakar hujan dengan estimasi satelit
TRMM produk level 3B31 dan produk level 3B43 dapat ditarik keimpulan bahwa Estimasi curah hujan satelit TRMM memiliki korelasi yang tinggi dengan data penakar hujan yaitu untuk produk level 3B31 memiliki nilai korelasi 0.64 dan pada produk level 3B43 memiliki nilai korelasi 0.89. Indeks koreksi estimasi produk level 3B31 sebesar 2.91 dan produk level 3B43 sebesar 1.59 untuk data hujan di stasiun meteorologi Sam Ratulangi. Nilai RMSE yang besar antara data estimasi curah hujan satelit TRMM dengan data observasi permukaan disebabkan posisi grid yang diamati satelit TRMM tidak tepat dengan grid observasi permukaan, sehingga terjadi perbedaan besar antara data curah hujan observasi permukaan dengan estimasi curah hujan satelit TRMM. Indek koreksi menghasilkan estimasi curah hujan satelit TRMM produk level 3B31 yang telah dikoreksi dan dan produk level 3B43 yang telah terkoreksi. Produk level 3B31 dan 3B43 yang telah dikoreksi mempunyai nilai RMSE rata-rata 50% lebih rendah dari nilai RMSE produk level 3B31 dan 3B43 yang belum dikoreksi dan produk level 3B31 dan 3B43 memiliki nilai relaif bias rata-rata 90% lebih rendah dari data estimasi yang belum dikoreksi. Saran untuk penelitian ini kedepannya adalah perlu adanya penelitian untuk wilayah lain dan dalam periode waktu yang lebih lama dan produk level yang lain yang berisi data akumulasi curah hujan.
~ 232 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
UCAPAN TERIMA KASIH. Ucapan terimkasih kepada bapak Samsul Arifin ST dan Ratih Prasetya S.Si yang memberi saran masukan untuk penelitian ini hingga selesainya penilitian ini.
DAFTAR RUJUKAN [1]
Aldrian and Susanto. 2003. Identification of Three Dominant Rainfall Regions Within Indonesia and Their Relationship to Sea Surface Temperature. Wiley Interscience. 23: 1435 – 1452.
[2]
Suryantoro et al. (2008). Annual and Interannual Variability of Precipitation Based on 3B43 TRMM Data Analysis. International Symposium on Equatorial Monsoon System, 16-17 September 2008, pg. 105-113. Jakarta: Puslitbang BMKG
[3]
Vernimmen, R. R. E.; Hooijer, A.; Mamenun; Aldrian, E. (2011). Evaluation and bias correction of satellite rainfall data for drought monitoring in Indonesia. Volume 8, Issue 3, pp.5969-599.Hydrology and Earth System Sciences Discussions.
[4]
Prawirowardoyo, Susilo. 1996. Meteorologi. Penerbit ITB. Bandung.
[5]
About TRMM.(2013).(http://www.eorc.jaxa.jp/TRMM/about/history/history_e.htm), diakses pada tanggal 25 Mei 2013.
[6]
Produl level 3B31. (2013). (http://rain.atmos.colostate.edu/CRDC/datasets/TRMM_3B31.html), diakses pada tanggal 25 Mei 2013.
[7]
Produl level 3B43. (2013). (http://rain.atmos.colostate.edu/CRDC/datasets/TRMM_3B43.html), diakses pada tanggal 25 Mei 2013.
[8] download produk level 3B31 dan 3B43.(2013).(http://gdata1.sci.gsfc.nasa.gov/daacbin/G3/gui.cgi?instance_id=TRMM_Monthly), diakses pada tanggal 25 Mei 2013.
~ 233 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
ANALISIS DIURNAL PARAMETER CUACA MIKRO DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PT. EMAL KABUPATEN SAROLANGUN PROVINSI JAMBI Radyan Putra Pradana, Kadarsah Puslitbang BMKG Jakarta. Jl. Angkasa I No. 2 Kemayoran 10720 Email :
[email protected] Abstract
Diurnal analysis of micro weather were conducted by considering the influence of the oil palm canopy cover of the meteorological parameters. The research was done by comparing the results of measurements of Portable Weather Station (PWS) I and II. Measurements PWS I placed under the palm canopy with PWS II were placed in an open area. Conditions showed that the palm canopy affect micro weather which has level differences fluctuation, and the difference level getting more widening after 16.00 pm. Temperature difference of about 0.5 - 30 C, with a significant reduction occurs in PWS I due to the influence of the oil palm canopy. Diurnal moisture also shows a difference of 1 - 5 %, diurnal pressure difference of 0.5 - 1 mb. In addition, wind speed PWS I fluctuate but not as much fluctuation in PWS II. Wind direction that occurs in PWS I was more focused on one way and not spread out like that happened in PWS II. The wind direction due to the spread of PWS II position in an open area. Keywords : diurnal analysis, micro weather, Portable Weather Station Abstrak
Analisis diurnal cuaca mikro dilakukan dengan memperhatikan pengaruh tutupan tajuk kelapa sawit terhadap parameter meteorologi. Penelitian ini dilakukan dengan cara membandingkan hasil pengukuran Portable Weather Station (PWS) I dan PWS II. Pengukuran (PWS) I yang ditempatkan dibawah tajuk kelapa sawit dengan PWS II yang ditempatkan di area terbuka. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa tajuk kelapa sawit mempengaruhi cuaca mikro dengan tingkat perbedaan yang berfluktuasi dan perbedaan tersebut makin membesar setelah pukul 16.00 WIB. Perbedaan temperatur sekitar 0.5 - 30 C, dengan penurunan yang signifikan terjadi pada PWS I akibat pengaruh tajuk kelapa sawit. Kelembapan diurnal juga menunjukkan perbedaan sebesar 1-5 %, perbedaan tekanan diurnal sebesar 0.5 - 1 mb. Selain itu, kecepatan angin PWS I berfluktuasi tetapi tidak sebesar fluktuasi di PWS II. Arah angin yang terjadi di PWS I lebih terfokus pada salah satu arah dan tidak tersebar seperti yang yang terjadi pada PWS II. Tersebarnya arah angin tersebut akibat posisi PWS II yang di area terbuka. Kata Kunci : analisis diurnal, cuaca mikro, Portable Weather Station
1.
Pendahuluan
1.1. Kondisi Geografis
Kabupaten Sarolangun adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jambi, Indonesia (Gambar 1.1). Luas wilayahnya 6.174 km² dengan populasi 246.245 (sensus penduduk
~ 234 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
2010. Ibu kotanya ialah Sarolangun. Kabupaten ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 54 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo, Kabupaten
Muaro
Jambi
dan
Kabupaten
Tanjung
Jabung
Timur
(http://id.wikipedia.org/wiki/Sarolangun, diakses tanggal 01 oktober 2012). Sebelumnya, kabupaten ini bersama-sama dengan Kabupaten Merangin membentuk Kabupaten Sarolangun-Bangko. Secara geografis, Kabupaten Sarolangun terletak antara 01°53‟39‟‟ sampai 02°46‟02‟‟ Lintang Selatan dan antara 102°03´39‟‟ sampai 103°13´17‟‟ Bujur Timur dan merupakan dataran rendah dengan ketinggian antara 10 sampai dengan 1000 meter dari permukaan laut. Luas wilayah administratif Kabupaten Sarolangun meliputi 6.174 Km2, terdiri dari Dataran Rendah 5.248 Km2 (85%) dan dataran tinggi 926 Km2 (15%). Secara administratif pada awal berdirinya Kabupaten Sarolangun terdiri atas 6 kecamatan, 4 kelurahan dan 125 desa. sampai dengan tahun 2010 Kabupaten Sarolangun terdiri dari 10 kecamatan, 9 kelurahan dan 134 desa dengan jumlah penduduk pada tahun 2008 sebanyak 214.036 jiwa dengan kepadatan penduduk 32 jiwa/Km2, rata-rata pertumbuhan penduduk pertahun mencapai 2,48 persen.
Gambar 1.1. Peta lokasi Kabupaten Sarolangun (warna merah) dengan koordinat: 01°53‟39‟‟02°46‟02‟‟ LS 102°03´39‟‟-103°13´17‟‟ BT.
Peningkatan luas lahan kelapa sawit selalu meningkat dari tahun ke tahun sehingga perlu diketahui pengaruh peningkatan tutupan kelapa sawit tersebut terhadap parameter meteorologi. Fokus penelitian ini adalah mengenali pengaruh tutupan tajuk kelapa sawit terhadap parameter meteorologi sehingga dapat diketahui kondisi cuaca mikro dibawah tajuk kelapa sawit. Kondisi cuaca mikro di bawah tajuk kelapa sawit belum banyak dilakukan oleh peneliti di Indonesia (Purba, 2007 dan Ridwan, 2009). Penelitian ini dilakukan di perkebunan kelapa sawit PT. EMAL Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi dengan menggunakan Portable Weather Station (PWS) I dan PWS II. Pengukuran PWS I
~ 235 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
ditempatkan di bawah tajuk kelapa sawit, sedangkan PWS II ditempatkan di area terbuka. Hasilnya kemudian dibandingkan sehingga diketahui perbedaan hasil pengukuran tersebut. 1.2. Deskripsi PWS
Pengamatan kondisi atmosfer menggunakan PWS Vaisala tipe WXT520 di Provinsi Jambi dilakukan di perkebunan PT Era Mitra Agro Lestari (EMAL). Pengamatan ini dilakukan untuk mengetahui kondisi mikro khususnya di daerah perkebunan kelapa sawit. PWS Vaisala tipe WXT520 merupakan alat pengukur parameter cuaca yang terdiri dari enam sensor (Gambar 1.2).
Gambar 1.2. Sensor-sensor PWS Vaisala WXT520. Sensor yang terdiri dari 1). Kecepatan
Angin dan Arah Angin 2). Presipitasi 3). Tekanan Atmosfer terdapat di dalam modul 4). Suhu dan Kelembapan terdapat di dalam modul Kelebihan alat pengukur cuaca ini adalah sangat mudah dioperasikan, ringan/mudah dibawa dan memiliki enam buah sensor dalam satu paket. Pada bagian sensor kecepatan dan arah angin terdapat teknologi sonic dimana sensor angin memiliki sebuah array dari tiga transducer ultrasonik yang sama pada bidang horizontal. Kecepatan angin dan arah angin ditentukan dengan mengukur waktu yang dibutuhkan ultrasound untuk perjalanan dari masing-masing transduser dengan dua lainnya. Sensor angin mengukur waktu transit (di kedua arah) sepanjang tiga jalur yang ditetapkan oleh array transducer. Waktu transit ini tergantung pada kecepatan angin sepanjang jalur ultrasonik. Untuk kecepatan angin nol, baik waktu transit menuju dan kembali adalah sama.
~ 236 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Gambar 1.3. Sensor arah angin dan kecepatan angin dalam vektor
Gambar 1.4.
Waktu perjalanan gerak sonic dari transducer pengirim ke transducer penerima yang arahnya telah ditentukan.
Gambar 1.5. Konfigurasi dari segitiga sama sisi dari tiga transduser
Rumus yang digunakan untuk kecepatan angin adalah : Vw = 0.5 x L x 1 (tf – 1 tr) dimana,
~ 237 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Vw = Kecepatan Angin L
= Jarak diantara dua transduser
tf
= Waktu transit arah menuju
tr
= Waktu transit arah membalik
Gambar 1.6. Desain lokasi pengamatan PWS
. Gambar 1.7. Unit bagian bawah PWS WXT520
Untuk menentukan arah utara terdapat tulisan “NORTH” pada unit bagian bawah PWS WXT520. Software aplikasi untuk menampilkan dan menyimpan data parameter cuaca pada PWS Vaisala WXT520 menggunakan weather display versi 10.37P. Pada software aplikasi ini terdapat beberapa parameter-parameter cuaca yang dapat ditampilkan secara real time diantaranya : kecepatan angin, arah angin, suhu, kelembapan, presipitasi dan tekanan. Data-data parameter cuaca tersebut dapat disimpan dalam rentang waktu setiap satu menit secara kontinyu dalam format excel.
~ 238 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Gambar 1.8. Offset arah angin
2.
Metodologi Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data hasil pengukuran PWS I
yang ditempatkan dibawah tajuk kelapa sawit dengan PWS II yang ditempatkan di area terbuka. Hasil yang diperoleh dianalisis untuk mengetahui pengaruh tajuk kelapa sawit terhadap cuaca mikro di lingkungan tersebut. Penempatan PWS I dan II serta lingkungan daerah penelitian ditunjukkan Gambar 2.1 dan Gambar 2.2 menunjukkan kondisi di perkebunan kelapa sawit. Waktu pengukuran, dilakukan selama tanggal 11-17 Juli 2012.
Gambar 2.1.
Aplikasi weather display untuk menampilkan parameter meteorologi secara real time dengan menggunakan PWS
~ 239 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Gambar 2.2. Lokasi penempatan PWS I dan PWS II di PT. EMAL
Gambar 2.3. Sensor PWS yang diletakkan dibawah tajuk kelapa sawit
3.
Hasil dan Pembahasan Hasil pengamatan pada PWS I dan II dibandingkan dalam satu grafik seperti
Gambar 3.1 yang menunjukkan grafik perbedaan temperatur diurnal PWS I dan II. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa tajuk kelapa sawit mempengaruhi cuaca mikro dengan tingkat perbedaan yang berfluktuasi dan perbedaan tersebut makin membesar setelah pukul 16.00 WIB. Perbedaan temperatur sekitar 0.5 - 3 0 C, dengan penurunan yang signifikan terjadi pada PWS I akibat pengaruh tajuk kelapa sawit. Selain itu, grafik kelembapan (Gambar 3.2) juga menunjukkan hal yang sama bahwa tajuk kelapa sawit mempengaruhi kondisi kelembapan dengan perbedaan 1-5 %. Kelembapan yang tinggi diakibatkan kondisi yang lembap akibat tutupan tajuk kelapa sawit. Grafik tekanan (Gambar 3.3) juga
~ 240 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
menunjukkan hal yang sama bahwa terdapat perbedaan tekanan diurnal antara PWS I dan PWS II (0.5-1 mb). Tekanan yang tinggi pada PWS I akibat temperatur yang rendah dan kelembapan tinggi
yang terjadi di bawah tajuk kelapa sawit. Kondisi tersebut dapat
dipahami bahwa tajuk kelapa sawit akan mempengaruhi kondisi cuaca mikro sehingga akan berbeda dengan cuaca sekitarnya.
Gambar 3.1. Plot rata-rata diurnal temperatur PWS I dan II
Gambar 3.2. Plot rata-rata diurnal kelembapan PWS I dan II
Gambar 3.3. Plot rata-rata diurnal tekanan PWS I dan II
~ 241 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Parameter cuaca mikro lain yang terlihat jelas terpengaruh adalah kecepatan angin (Gambar 3.4). Kecepatan angin di bawah tajuk kelapa sawit (PWS I) berfluktuasi tetapi tidak sebesar fluktuasi PWS II. Kedua PWS menunjukkan fluktuasi yang tinggi saat menjelang siang hari. Hal tersebut akibat turbulensi yang terjadi di permukaan bumi oleh sinar matahari melalui proses pemanasan. Tajuk kelapa sawit berfungsi untuk mengurangi turbulensi serta menghambat kecepatan angin yang terjadi di lokasi tersebut. Analisis arah angin PWS I (Gambar 3.5) dan PWS II (Gambar 3.6) berupa windrose yang memperlihatkan arah angin dominan yang terjadi di sekitar lokasi pengukuran.
Arah
angin yang terjadi di PWS I lebih terfokus pada salah satu arah dan tidak tersebar seperti yang yang terjadi pada PWS II. Tersebarnya arah angin tersebut akibat posisi PWS II di area terbuka.
Gambar 3.4. Plot rata-rata diurnal kecepatan angin PWS I dan II
Gambar 3.5. Windrose di lokasi pengamatan PWS I
~ 242 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Gambar 3.6. Windrose di lokasi pengamatan PWS II
Penelitian tentang cuaca mikro harus terus ditingkatkan dengan mempertimbangkan morfologi permukaan dan penempatan alat pengamatan meteorologi. Selain itu, analisis struktur vertikal atmosfer dengan memasukkan efek cuaca mikro masing-masing tipe dan kekasaran permukaan yang terjadi dekat dengan sumber kekasaran berupa perkebunan kelapa sawit. Hal ini berlaku untuk profil vertikal, fluks turbulensi
energi spektrum
keseimbangan energi dan spektrum turbulensi. Analisis lebih dalam dapat dilakukan dengan menggunakan konsep Urban Climate Zone (UCZ) (Gambar 3.7) seperti yang dilakukan oleh Oke (2006). Jika konsep UCZ diterapkan untuk analisis cuaca mikro maka daerah pengamatan tadi merupakan daerah dengan tipe UCZ 7 dengan karakteristik daerah semi-rural dengan pemukiman yang tersebar dalam area perkebunan. Kekasaran tipe UCZ ini berkategori 4, aspek rasio lebih besar dari 0.05 dengan kurang dari 10 % bangunan. Kondisi di atas akan ikut membantu analisis cuaca mikro di sekitar perkebunan kelapa sawit. Nilai-nilai di atas harus terus diteliti lebih jauh mengingat aspek rasio yang tergantung dari tanaman yang berada di area tersebut. Sehingga aspek-aspek lainnya dapat dipertimbangkan dengan lebih lengkap. Sebaliknya, jika pengamatan dilakukan di antara gedung, di dalam kanopi perkotaan, hanya akan mewakili sebuah area yang lebih kecil dari skala mikro. Hal tersebut akan sesuai, misalnya, untuk pengukuran urban heat island (UHI). Lapisan kekasaran perkotaan bisa memberikan pemahaman yang lebih baik dalam proses yang terjadi pada lapisan yang komplek tersebut (Oke, 2002, 2006). Penempatan sensor meteorologi/klimatologi, seperti yang ditunjukkan Gambar 2.3, dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor meteorologi, klimatologi serta aspek lainnya seperti topografi. Panduan lengkap tentang penempatan alat pengamatan meteorologi tersebut dapat dilihat di Oke (2002).
~ 243 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Kondisi cuaca mikro di bawah tajuk kelapa sawit serta struktur vertikal atmosfer di atasnya dipengaruhi oleh Planetary Boundary Layer (PBL). Ketinggian PBL atau disebut Atmospheric Boundary Layer (ABL) (Todd and Glickman, 2000) merupakan bagian terendah dari atmosfer dan karakteristiknya secara langsung dipengaruhi oleh kontak dengan permukaan bumi (Todd and Glickman, 2000). Sehingga tingkat kekasaran dan aktivitas yang berlangsung di area perkebunan kelapa sawit sangat mempengaruhi tinggi PBL. Ketinggian yang rendah terjadi saat pagi dan malam hari sedangkan menjelang siang hari ketinggian PBL mengalami kenaikan.
Gambar 3.7. Tipe Urban Climate Zones (UCZ) (Oke, 2006)
4.
Kesimpulan Kesimpulan berdasarkan pengamatan dan analisis yang telah dilakukan adalah
Sinar matahari yang terhalang tajuk kelapa sawit mengakibatkan proses pemanasan permukaan bumi menjadi lambat dan tidak sekuat di area terbuka sehingga mempengaruhi keenam parameter cuaca yang diamati, yaitu temperatur, tekanan, presipitasi, kelembapan, kecepatan dan arah angin. Perbedaan temperatur didaerah pengamatan antara 0.5 - 30 C, tekanan antara 0.5 - 1 mb, kelembapan 1 - 5 %, sedangkan arah angin sangat berfluktuasi. Analisis cuaca mikro sangat memerlukan konsep Urban Climate Zone (UCZ) dan Planetary Boundary Layer (PBL untuk analisis udara vertikal akibat tingkat kekasaran tipe vegetasi berupa kelapa sawit.
~ 244 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Ucapan Terima Kasih Penelitian ini tidak dapat dilakukan tanpa bantuan DIPA Penelitian Klimatologi dan Kualitas Udara 2012 PUSLITBANG BMKG, terima kasih yang sebesar-besarnya diucapkan kepada rekan – rekan personil lapangan : Eko Heriyanto, Ratna Satyaningsih, Danang Eko Nuryanto, Endarwin, Jose Rizal atas kerjasama tim.
Daftar Pustaka Glickman, Todd:2000; ed. Glossary of Meteorology. American Meteorological Society: Boston, Massachusetts http://id.wikipedia.org/wiki/Sarolangun, diakses tanggal 01 oktober 2012 Kanda, M., R. Moriwaki, M. Roth & T.R. Oke. 2002: Area-averaged sensible heat flux and a new method to determine zero-plane displacement length over an urban surface using scintillometry. Boundary-Layer Meteorology, 105, 177-193. Lagouarde, J.-P., M. Irvine, J.-M. Bonnefond, C.S.B. Grimmond, T.R. Oke, J. Salmond & B. Offerle, 2006: Monitoring the sensible heat flux over urban areas using large aperture scintillometry: case study of Marseille city during the ESCOMPTE experiment. Boundary-Layer Meteorology, 118, 449-476. Oke, T.R. 2006: Initial Guidance to Obtain Representative Meteorological Observations at Urban Sites. World Meteorological Organization, Instruments and Observing Methods, IOM Report No. 81, WMO/TD-No. 1250 Purba, F. F. 2007. Intersepsi Hujan Pada Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus di Unit Usaha Rejosari PTPN VII Lampung). Skripsi. Program Studi Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Ridwan, B. M. 2009. Penerapan Model Gash Untuk Pendugaan Intersepsi Hujan Pada Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus di Unit Usaha Rejosari PTPN VII Lampung). Skripsi. Program Studi Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
~ 245 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
IDENTIFIKASI TIPE AWAN ISCCP MENGGUNAKAN DATA MODIS TERRA/AQUA Risyanto dan Sinta Berliana Sipayung Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional email:
[email protected]
Abstract International Satellite Cloud Climatology Project (ISCCP) has established criteria for satellite-based cloud classification using two parameters, namely cloud top pressure (CTP) and cloud optical thickness (COT). The criteria was built based on climatological data relationship between optical parameter of satellite measurements and cloud type data observations The purposes of this study are to identify the ISCCP cloud-type criteria using MODIS Terra and Aqua satellites data, and to verify the results with cloud-type image of MTSAT products. Research study area is western part of Indonesia, especially Java, Sumatra and Kalimantan, with a data period of 13 to 19 March 2013. Cloud parameters (CTP and COT) are products of Level-2 MOD06/MYD06 algorithm. The results of study showed that Terra and Aqua MODIS data can be used to obtain cloud classification data in accordance to ISCCP criteria. Based on verification, by comparing MODIS ISCCP and MTSAT cloud-type image, the MODIS cloud-type have similar pattern to MTSAT image at around 79,8% of similarity. There are still some differences between the two images, which are caused by the different of cloud-type naming between MODIS and MTSAT products. Overall, based on this study, identification of cloud-type using ISCCP criteria can be applied in Indonesia with consideration on its advantages and disadvantages. Keywords: ISCCP, Satellite, Cloud-type, MODIS, Terra and Aqua Abstrak International Satellite Cloud Climatology Project (ISCCP) telah menetapkan kriteria tipe awan berbasis satelit yang didasarkan pada dua parameter awan, yaitu cloud top pressure (CTP, tekanan puncak awan) dan cloud optical thickness (COT, ketebalan optik awan). Kriteria ini dibangun berdasarkan data klimatologi hubungan antara parameter optik hasil pengukuran satelit dengan tipe awan hasil pengamatan di permukaan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi tipe awan kriteria ISCCP menggunakan data MODIS satelit Terra dan Aqua, serta memverifikasi hasilnya dengan data tipe awan dari produk satelit MTSAT. Daerah kajian penelitian adalah wilayah Indonesia bagian barat, terutama Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan dengan periode data penelitian tanggal 13-19 Maret 2013. Data parameter awan (CTP dan COT) merupakan produk algoritma MOD06/MYD06 level dua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa data MODIS Terra dan Aqua dapat dimanfaatkan untuk memperoleh data tipe awan sesuai dengan kriteria ISCCP. Verifikasi secara visual kemudian dilakukan dengan cara membandingkan data tipe awan MODIS ISCCP dengan tipe awan MTSAT. Berdasarkan verifikasi, tipe awan yang dihasilkan MODIS memiliki pola yang hampir sama dengan tipe awan MTSAT dengan persentase kemiripan sebesar 79,8%. Masih terdapat beberapa perbedaan antara keduanya, meskipun tidak terlalu besar, yang lebih disebabkan oleh penamaan tipe awan yang berbeda antara produk MODIS dan MTSAT. Secara keseluruhan, berdasarkan penelitian ini, identifikasi
~ 246 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
tipe awan menggunakan kriteria ISCCP dapat diterapkan di Indonesia dengan mempertimbangkan kelebihan dan kekurangannya. Kata Kunci : ISCCP, Satelit, Tipe Awan, MODIS, Terra dan Aqua 1.
PENDAHULUAN Teknologi pengamatan atmosfer melalui satelit penginderaan jauh saat ini telah
berkembang sedemikian pesat. Pemantauan atmosfer kini dapat dilakukan dengan skala yang sangat luas dalam waktu yang bersamaan, bersifat kontinyu dan seragam serta mampu menjangkau tempat-tempat terpencil yang sulit untuk diakses jika melalui pengukuran di permukaan. Meskipun demikian, data satelit juga memiliki beberapa kekurangan, terutama dalam hal tingkat akurasi produk serta diperlukannya penguasaan teknik pengolahan data yang baik untuk memperoleh parameter yang diinginkan. Beberapa perangkat lunak (software) pengolah data satelit telah dilengkapi dengan algoritma penurunan parameter atmosfer secara otomatis, sehingga pengolahan data lanjutannya menjadi lebih mudah. Salah satu informasi tentang awan yang sering diperlukan bagi penelitian atmosfer adalah tipe (jenis) awan. Deteksi awan dan klasifikasinya berdasarkan data satelit secara otomatis dan akurat akan bermanfaat untuk beragam aplikasi iklim, hidrologi dan atmosfer (Liu et al., 2009). Pengamatan tipe awan melalui data satelit memiliki perbedaan prinsip dibandingkan pengamatan dari permukaan. Satelit mengamati perilaku/kondisi puncak awan jauh dari atas permukaan bumi, sedangkan di permukaan, pengamat mendapatkan gambaran dasar awan yang dilakukan secara visual menggunakan mata. Resolusi sensor satelit juga relatif lebih rendah dibandingkan mata manusia sehingga klasifikasi tipe awan yang diamati dari permukaan bumi tidak sepenuhnya dapat dilakukan melalui data satelit. Dengan demikian, tipe awan yang dapat diidentifikasi oleh satelit berbeda secara mendasar dengan tipe awan yang diidentifikasi oleh pengamat di permukaan (JMA, 2002). Berbeda dengan pengamatan dari permukaan yang mengklasifikasi tipe awan berdasarkan bentuk dan ketinggian, klasifikasi tipe awan menggunakan satelit dapat dilakukan dengan memanfaatkan parameter-parameter awan yang diturunkan berdasarkan nilai spektral radians pada kanal-kanal tertentu yang diterima sensor satelit.
Seperti
misalnya International Satellite Cloud Climatology Project (ISCCP) yang telah menetapkan kriteria tipe awan berdasarkan dua parameter awan, yaitu Cloud Top Pressure (CTP, tekanan puncak awan) dan Cloud Optical Thickness (COT, ketebalan optik awan). Kriteria ini dibangun berdasarkan data klimatologi hubungan antara parameter optik hasil
~ 247 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
pengukuran satelit dengan tipe awan hasil pengamatan di permukaan, sehingga tipe awan yang dihasilkan diharapkan sama dengan pengamatan dari permukaan. Identifikasi tipe awan pada penelitian ini dilakukan menggunakan data Moderateresolution Imaging Spektroradiometer (MODIS) dari satelit Terra dan Aqua. Keuntungan dari penggunaan data MODIS ini adalah telah tersedianya algoritma serta program pengolah data sampai dengan level dua termasuk penurunan data parameter awan (menggunakan algoritma MOD06/MYD06) seperti cloud surface temperature, cloud top pressure, cloud phase, serta cloud optical thickness. Dengan tersedianya data-data tersebut, identifikasi tipe awan menggunakan kriteria ISCCP dengan data MODIS akan lebih mudah diterapkan. Meskipun demikian, evaluasi dari penerapan metode tipe awan ISCCP tersebut belum pernah dilakukan untuk wilayah Indonesia. Sehingga, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tipe awan ISCCP di Indonesia dan memverifikasi hasilnya dengan data tipe awan dari produk satelit Multi-functional Transport Satellite (MTSAT). Wilayah yang dijadikan kajian penelitian adalah Indonesia bagian barat, yaitu Pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Wilayah tersebut dipilih untuk kemudahan pengolahan data MODIS dimana ketiganya sering kali berada dalam satu scene data, yang diterima dalam satu waktu yang sama.
2.
TINJAUAN PUSTAKA Satelit Terra/Aqua diluncurkan pada tahun 2000 (Terra) dan 2002 (Aqua),
merupakan satelit meteorologi dengan orbit polar dengan resolusi spasial 250 m – 1 km. MODIS merupakan salah satu instrumen penting yang terpasang pada satelit Terra dan Aqua, yang berfungsi untuk meningkatkan pemahaman tentang dinamika global dan proses yang terjadi di darat, laut dan atmosfer.
Dengan resolusi spasial yang cukup baik
ketersediaan data MODIS cukup membawa kemajuan positif bagi penelitian dan pengembangan bidang atmosfer dan lingkungan. Hal ini dikarenakan MODIS memiliki 36 kanal spektral yang bekerja pada kisaran gelombang visibel dan infra merah (1-19 dan 26) dan termal pada kanal-kanal selebihnya. Instrumen MODIS menghasilkan sensitivitas radiometrik (12 bit) untuk 36 kanal spektral dengan panjang gelombang 0,4 µm sampai 14,4 µm. Dua kanal dengan resolusi 250 m di nadir, lima kanal 500 m, dan sisanya 29 kanal beresolusi 1 km. Dengan pola sapuan ±55 derajat pada ketinggian orbit 705 km, lebar sapuan 2330 km dan menghasilkan cakupan global setiap 1 – 2 hari (NASA, 2013a).
~ 248 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
ISCCP didirikan pada tahun 1982 sebagai bagian dari World Climate Research Program (WCRP) yang diinisiasi oleh NASA. Proyek ini mengelola data-data atmosfer dari satelit dan melakukan analisa mengenai distribusi global awan, propertinya, serta variasi harian, musiman dan tahunan. Hasil kajian ISCCP bertujuan untuk memberikan pemahaman mengenai klimatologi awan termasuk dampaknya terhadap pertukaran energi radiatif dan perannya dalam siklus air global (NASA, 2013b). Salah satu produk yang dihasilkan ISCCP adalah data tipe awan klimatologi yang dibangun berdasarkan parameter CTP dan COT.
Gambar 2.1. Klasifikasi tipe awan ISCCP (Rossow dan Schiffer, 1999)
CTP merupakan tekanan dimana puncak awan berada, yaitu titik tertinggi dari bagian awan yang dapat dilihat secara kasat mata. CTP juga dapat dijadikan sebagai indikator tinggi puncak awan. Parameter ini ditentukan dari nilai suhu puncak awan, dimana satelit dapat mengukurnya secara langsung, menggunakan profil atmosfer suhu terhadap tekanan. Parameter COT merepresentasikan ketebalan optik awan pada panjang gelombang visibel (sekitar 0.6 mikron). Nilai COT satelit didapat berdasarkan reflektifitas matahari kanal visibel dari objek yang telah teridentifikasi sebagai awan. Penurunan nilai COT bergantung pada asumsi ukuran dan bentuk partikel awan (NASA, 2013b).
3.
DATA DAN METODE Daerah kajian penelitian adalah wilayah Indonesia bagian barat, terutama Pulau
Jawa, Sumatera dan Kalimantan dengan periode data penelitian tanggal 13-19 Maret 2013.
~ 249 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Data MODIS diperoleh dari situs penyedia data satelit Terra/Aqua yang dimiliki oleh NASA (http://ladsweb.nascom.nasa.gov/data/). Data MODIS yang dipilih adalah data produk atmosfer level dua MOD06/MYD06 (cloud product). Sebagai data pembanding, digunakan citra tipe awan wilayah Indonesia produk satelit MTSAT yang tersedia di situs Badan
Meteorologi
Klimatologi
dan
Geofisika
(BMKG)
(http://satelit.bmkg.go.id/satelit/OCAI). Pengolahan data dimulai dengan melakukan ekstraksi dan eksport data MOD06/MYD06 (parameter CTP, COT serta posisi lintang dan bujur) dalam bentuk hdf menjadi file ascii, menggunakan program HDFView. Resolusi antara kedua parameter awan tersebut tidak sama (CTP = 1 x 1 km; COT = 5 x 5 km), sehingga perlu dilakukan penyamaan resolusi menjadi 5 km menggunakan program ENVI 4.5. Proses pengklasifikasian CTP dan COT menjadi citra tipe awan dan visualisasinya dilakukan dengan bantuan program ArcView 3.3. Kriteria ISCCP digunakan untuk membedakan tipe awan menjadi Cumulus, Stratocumulus, Stratus (awan rendah), Altocumulus, Altostratus, Nimbostratus (awan menengah), Cirrus, Cirrostratus, dan deep convection (awan tinggi). Hasil identifikasi tipe awan dari citra MODIS ini kemudian diverifikasi secara visual dengan citra tipe awan keluaran satelit MTSAT.
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN Contoh hasil pengolahan data parameter COT dan CTP MODIS Terra dan Aqua
yang menghasilkan tipe awan dengan kriteria ISCCP disajikan pada Gambar 4.1 dan Gambar 4.2. Pada gambar tersebut juga disertakan citra tipe awan MTSAT sebagai pembandingnya. Berdasarkan perbandingan kedua gambar, terlihat bahwa klasifikasi tipe awan yang dihasilkan MODIS memiliki persamaan pola dengan citra tipe awan MTSAT. Masih terdapat beberapa perbedaan antara keduanya, meskipun tidak terlalu besar, yang lebih disebabkan oleh penamaan tipe awan yang berbeda antara produk MODIS ISCCP dan MTSAT.
~ 250 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Gambar 4.1. Klasifikasi tipe awan kriteria ISCCP dengan data MODIS Aqua (kiri), dan citra tipe awan produk satelit MTSAT (kanan), data tanggal 15 maret 2013 pukul 06.30 UTC
ISCCP dengan data MODIS Aqua (kiri), dan citra tipe awan produk satelit MTSAT (kanan)
Gambar 4.2. Klasifikasi tipe awan ISCCP dengan data MODIS Terra (kiri), dan citra tipe awan produk satelit MTSAT (kanan), data tanggal 15 maret 2013 pukul 03.30 UTC
Perbedaannya adalah pada penamaan tipe awan level menengah, yaitu Altocumulus (Ac), Altostratus (As) dan Nimbostratus (Ns) pada MODIS, sedangkan dalam citra MTSAT ketiganya masuk ke dalam tipe Middle Clouds (CM). Perbedaan lainnya adalah penamaan pada level tinggi, yaitu Cirrus (Ci) dan Cirrostratus (Cs) pada MODIS, sedangkan pada MTSAT disebut sebagai tipe High Clouds (CH). Tipe awan konvektif tebal (deep convection) pada MODIS dalam penelitian ini diasumsikan identik dengan tipe awan Cumulonimbus (Cb) pada citra MTSAT. Berdasarkan hasil pengolahan, tipe awan jenis deep convection pada data MODIS lebih sering muncul dengan ukuran yang lebih
~ 251 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
luas dibandingkan tipe awan Cb pada citra MTSAT. Sebaliknya, untuk tipe awan Stratus, hampir tidak pernah muncul pada hasil pengolahan data MODIS selama periode pengamatan. Sehingga kriteria ISCCP khusus untuk tipe awan jenis konvektif tebal dan Stratus masih perlu dievaluasi. Berdasarkan hasil perhitungan, dalam skala propinsi di Sumatera, Jawa dan Kalimantan, persentase kemiripan nama tipe awan yang dihasilkan MODIS dengan MTSAT adalah sebesar 79,8%. Hasil ini mengindikasikan bahwa kriteria ISCCP dengan data MODIS secara baik mampu menghasilkan klasifikasi awan untuk wilayah Indonesia terutama di wilayah bagian barat. Meskipun demikian, evaluasi metode secara menyeluruh serta validasi dengan data observasi permukaan yang lebih akurat masih diperlukan untuk mendapatkan hasil yang optimal. Pada dasarnya, nilai batasan parameter COT dan CTP untuk klasifikasi tipe awan dapat berubah sesuai kondisi atmosfer di masing-masing wilayah. Hahn et al. (2001) telah mengevaluasi metode tipe awan yang dikembangkan ISCCP berdasarkan Rossow dan Schiffer (1991), yaitu dengan membandingkan COT dan CTP yang diperoleh dari data satelit dengan tipe awan hasil observasi permukaan. Hasilnya menunjukkan bahwa ratarata CTP hasil observasi permukaan tidak selalu sama dengan nilai yang tertera pada klasifikasi ISCCP terutama untuk tipe awan tinggi, yaitu Cirrus, Altocumulus dan Cumulonimbus. Hasil dalam penelitian ini merupakan studi awal yang menyajikan penggunaan salah satu metode klasifikasi awan yang secara praktis dan mudah dapat diterapkan untuk wilayah Indonesia. Informasi tipe awan bagi masyarakat umum, terutama awan konvektif tebal seperti Cumulonimbus, sangat diperlukan mengingat kaitannya yang cukup erat dengan kejadian bencana seperti hujan ekstrim yang berpotensi banjir dan longsor, serta kecelakaan pesawat terbang. Sayangnya, pemantauan dengan menggunakan data MODIS memiliki keterbatasan dalam hal resolusi temporal. Untuk keperluan skala jam-jaman dan harian, informasi atmosfer dari data satelit penginderaan jauh akan lebih tepat bila menggunakan data satelit geostasioner seperti MTSAT.
5.
KESIMPULAN Klasifikasi tipe awan dari data satelit menggunakan kriteria ISCCP merupakan
salah satu alternatif metode yang cukup praktis dan mudah untuk digunakan. Secara umum berdasarkan hasil penelitian, identifikasi tipe awan menggunakan kriteria ISCCP dengan
~ 252 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
data MODIS Terra dan Aqua dapat diterapkan di Indonesia dengan mempertimbangkan kelebihan dan kekurangannya. Klasifikasi awan MODIS dengan kriteria ISCCP cenderung menghasilkan tipe awan deep convection dengan luasan yang relatif lebih luas dibandingkan citra MTSAT, sebaliknya tidak terlalu baik dalam menghasilkan tipe awan Stratus. Oleh karena itu, evaluasi metode secara menyeluruh serta validasi dengan data observasi permukaan yang lebih akurat masih diperlukan untuk mendapatkan hasil yang optimal.
DAFTAR RUJUKAN Hahn C. J., Rossow W. B., Warren S. G., ISCCP Cloud Properties Associated with Standard Cloud Types Identified in Individual Surface Observations, AMS Journal of Climate Vol.14, 2001. Japan Meteorological Agency (JMA), 2002, Analysis and Use of Meteorological Satellite Images, First Edition, Meteorological Satellite Center, JMA 2002. Liu Y., Xia J., Shi C.X., Hong Y., An Improved Cloud Classification Algorithm for China‟s FY-2C Multi-channel Images Using Artificial Neural Network, Sensor, 9, 5558–5579, 2009. NASA,
Moderate-resolution
Imaging
Spektroradiometer
(MODIS),
http://modis.gsfc.nasa.gov/about/, 2013a. [diakses pada tanggal 3 September 2013] NASA,
International
Satellite
Cloud
Climatology
Project
(ISCCP),
http://isccp.giss.nasa.gov/ISCCP.html, 2013b. [diakses pada tanggal 3 September 2013]. Rossow W. B., Schiffer R. A., ISCCP Cloud Data Products, Bull. Amer. Meteor. Soc., 72, 2–20, 1991. Rossow W. B., Schiffer R. A., Advances in Understanding Clouds from ISCCP, Bull. Amer. Meteor. Soc., 80, 2261–2257, 1999.
~ 253 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
LAMPIRAN 1. Hasil pengolahan klasifikasi awan data MODIS menggunakan kriteria ISCCP dibandingkan dengan citra tipe awan MTSAT MODIS Aqua
MTSAT
~ 254 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
~ 255 ~
ISBN : 978-979-1458-73-3
Seminar Sains Atmosfer 2013
MODIS Terra
Bandung, 28 Agustus 2013
MTSAT
~ 256 ~
ISBN : 978-979-1458-73-3
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
~ 257 ~
ISBN : 978-979-1458-73-3
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
APLIKASI PENGOLAH INFORMASI DISEMINASI SAINS ATMOSFER PADA SITUS WEB LAPAN BANDUNG Siti Maryam Pusat Sains Antariksa, Lapan
[email protected],
[email protected]
Abstract Lapan Bandung website www.bdg.lapan.go.id contains information dissemination of atmospheric sciences. Sources of information come from the activities and utilization of atmospheric science research wich consist of two types of text and images with sizes above 4MB. Web servers limit the size of any image information to be loaded does not exceed 50 KB. This paper describes the dissemination of information processing stages atmospheric sciences through the application of image processing software and text so that the information could be loaded on the main page of the website LAPAN Bandung. Keywords : Dissemination of Atmospheric Sciences, Application
Abstrak Situs web Lapan Bandung www.bdg.lapan.go.id memuat informasi diseminasi sains atmosfer. Sumber informasi berasal dari kegiatan dan pemanfaatan hasil penelitian sains atmosfer, terdiri dari dua jenis, yaitu teks dan gambar dengan ukuran diatas 4MB. Web server membatasi ukuran setiap informasi gambar yang akan dimuat, tidak melebihi 50 KB. Tulisan ini menjelaskan tahapan pengolahan informasi diseminasi Sains Atmosfer melalui aplikasi perangkat lunak pengolah gambar dan teks sehingga informasinya diseminasi berhasil dimuat pada halaman utama situs web LAPAN Bandung. Kata Kunci : Diseminasi Sains Atmosfer, Aplikasi 1.
PENDAHULUAN
Jaringan internet lebih mempercepat penyebaran informasi dibandingkan media tradisional (Kun Li dkk, 2012). Perkembangan pesat penyebaran informasi di era internet telah mengubah cara orang untuk memperoleh pengetahuan dan jasa layanan berbagai berita dan laporan paling cepat dan otentik. Sebagai salah satu lembaga pemerintah, Lapan ikut berperan dalam melakukan penelitan dan pengembangan dalam bidang sains atmosfer dan iklim serta pemanfaatannya. Inilah yang menjadi visi dari Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer. Seiring dengan kemajuan dan perkembangan teknologi informasi serta dalam memenuhi misi meningkatkan penyediaan, pemasyarakatan dan pelayanan data dan informasi dalam bidang sains atmosfer dan iklim, situs web Lapan Bandung
~ 258 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
www.bdg.lapan.go.id ikut berupaya agar setiap informasi hasil penelitian di bidang sains atmosfer dapat disampaikan ke masyarakat. Salah satu tantangan utama saat ini yang dihadapi oleh sistem informasi di perpustakaan atau di web adalah mengelola secara efisien sejumlah besar dokumen yang dimiliki (Morales-del-Castillo dkk, 2009). Lapan memanfaatkan teknologi sistem operasi windows, open source Linux Debian, HTML, basis data PHP MySQL serta perangkat lunak aplikasi Browser, Paint, ACDSee Photo Manager untuk mengolah setiap informasi diseminasi sains atmosfer. Teknologi ini akan mengolah setiap informasi diseminasi sains atmosfer agar dapat disampaikan pada halaman utama situs web Lapan Bandung.
2.
METODE Metode aplikasi pengolah informasi diseminasi sains atmosfer terdiri dari dua
tahap, yaitu tahap modifikasi dan pemroses back office. Tahap modifikasi (gambar 2.1) meliputi kegiatan penataan format informasi yang akan dibagi menjadi informasi teks dan gambar. Tahap ini melibatkan aplikasi sistem operasi Windows,Linux dan Paint. Informasi gambar yang bercampur dengan informasi teks diproses dengan aplikasi Capture dan diolah dengan aplikasi Paint. Informasi gambar diseminasi sains atmosfer yang masih utuh akan dimodifikasi menggunakan aplikasi ACDSee Photo Manager melalui menu modify dan resize dengan ukuran tidak lebih dari 50 KB (http://www.acdsee.com).
Gambar 2.1 : Skema Aplikasi Modifikasi Tahap kedua metode aplikasi pengolah informasi diseminasi sains atmosfer adalah tahap pemroses back office (Gambar 2.2). Tahap ini meliputi semua kegiatan yang dilakukan pada situs web Lapan Bandung dan hanya dikerjakan oleh administrator yang berwenang. Tahap Pemroses back office melibatkan sistem operasi Linux Debian, aplikasi
~ 259 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Browser, HTML, PHP MySQL dan FCK Editor dengan urutan kegiatan otorisasi dan otentifikasi, pemilihan modul basis data informasi, pengunggahan informasi teks, penggabungan informasi teks dan gambar hasil modifikasi serta pengiriman informasi diseminasi sains atmosfer ke halaman utama situs web Lapan Bandung.
Gambar 2.2 : Skema Aplikasi Pemroses Back Office News adalah modul basis data yang digunakan untuk menata informasi diseminasi sains atmosfer pada situs web Lapan Bandung. Aplikasi FCK Editor akan mengolah dan menyimpan informasi teks dan gambar pada modul news. Aplikasi FCK Editor akan menggabungkan
dan
menata
informasi
teks
dan
gambar
hasil
modifikasi
(http://www.sourceforge.net). Sebagai tahap ahir adalah pengiriman hasil penataan gabungan informasi teks dan gambar diseminasi sains atmosfer ke halaman utama situs web Lapan Bandung.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 3.1. Hasil penataan Informasi diseminasi sains atmosfer menggunakan sistem operasi Windows7 dibagi menjadi informasi teks dan gambar. Setiap informasi diseminasi menyertakan file gambar yang berukuran rata-rata diatas 4MB.
Gambar 3.1 : Penataan Sumber Informasi Diseminasi Sains Atmosfer
~ 260 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Proses modifikasi informasi diseminasi Sains Atmosfer. Informasi teks tidak mengalami perubahan. Informasi gambar dimodifikasi menggunakan ACDSee 10 Photo Manager dari ukuran 4 MB diperkecil hingga 45.4 KB dan diberi nama file baru (DSC_0082res). Gambar 3.2 : Penataan informasi diseminasi sains atmosfer. Terdapat satu buah file teks dan 2 buah file gambar hasil modifikasi yaitu DSC_0082res dan DSC_0031res. Situs web Lapan Bandung membatasi informasi gambar diseminasi hanya berjumlah dua file. Pemeriksaan spesifikasi file gambar yang akan dimuat pada situs web Lapan Bandung dilakukan dengan menggunakan menu properties.
Gambar 3.2 : Hasil Modifikasi Informasi Diseminasi Sains Atmosfer Hasil Modifikasi Setelah melewati tahap otorisasi dan otentifikasi, informasi diseminasi sains atmosfer siap disimpan pada basis data modul news (Gambar 3.2). Untuk mulai menggunggah informasi diseminasi sains atmosfer, dipilih menu tambah news. Menu ini akan menampilkan form aplikasi untuk memulai kegiatan pengisian informasi diseminasi baik berupa teks atau gambar hasil modifikasi. Terdapat dua pilihan penempatan informasi teks yaitu ringkasan dan uraian informasi. Pada modul news tersedia ikon-ikon untuk mengatur ragam informasi teks. Untuk mengatur informasi gambar digunakan ikon insert/edit image dengan ketentuan ukuran 250 x168 DPI (Dot Per Inch). Informasi gambar dapat diatur sesuai kebutuhan baik dengan posisi rata kiri, tengah ataupun rata kanan.
~ 261 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Gambar 3.3 : Modul News Untuk Penataan Informasi diseminasi Sains Atmosfer (http://www.dirgantara-lapan.or.id) Tampilan basis data informasi gambar hasil modifikasi. Ini merupakan kumpulan file gambar informasi diseminasi yang sudah dimodifikasi dengan kapasitas tidak melebihi 50 KB (Gambar 3.4). Pemeriksaan basis data informasi gambar hasil modifikasi dilakukan untuk meyakinkan bahwa informasi yang akan disampaikan telah berada pada server web Lapan Bandung.
Gambar 3.4 Basis Data Informasi Gambar Hasil Modifikasi Gambar 3.5 : Integrasi informasi gambar dan teks diseminasi sains atmosfer yang telah diproses dan dikirim kehalaman utama situs web Lapan Bandung. Inilah sebagai hasil akhir dari rangkaian proses pengolahan informasi diseminasi sains atmosfer
~ 262 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Gambar 3.5 : Hasil Submitting Informasi Diseminasi Sains Atmosfer Pada Situs Web Lapan Bandung (http://www.bdg.lapan.go.id).
4.
KESIMPULAN Telah dibangun aplikasi pengolah informasi diseminasi sains atmosfer yang
disesuaikan dengan standar aturan kapasitas web server Lapan Bandung. Berdasarkan hasil pengolahan melalui sistem operasi windows dan open source Linux Debian, aplikasi ACDSee Photo manager, Paint dan FCK Editor, kapasitas informasi gambar diatur, diintegrasikan dan ditampilkan pada halaman utama situs web Lapan Bandung.
DAFTAR RUJUKAN Kun Li, dkk, A CA Model of Culture Information Dissemination in the Network Era and the Simulation of
Its Dynamic Character, Journal of Theoretical and Applied
Information Technology, 31st December 2012. Vol. 46 No.2, ISSN: 1992-8645, EISSN: 1817-3195. Morales-del-Castillo dkk, E. Information Technology and Libraries,March 2009, Vol 28 Issue 1, p21-30,10p, 6 Diagrams, ISSN 07309295. Internet, http://www.sourceforge.net/, diakses 5 Juni 2013 Internet, http://www.acdsee.com/, diakses 27 Juni 2013 Internet, http://www.bdg.lapan.go.id/, diakses 15 Juli 2013 Internet, http://www.dirgantara-lapan.or.id/, diakses 20 Juli 2013
~ 263 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
PERAN RADIASI MATAHARI DALAM PROSES PEMBERSIHAN SO2 DAN NOx DI TROPOSFER Sumaryati Bidang Komposisi Atmosfer – LAPAN
[email protected]
Abstract SO2 and Nox (NO and NO2) compounds are important air pollutants in urban area where transportation and industry activities are high intensity. The compounds can be removed from the troposphere through the deposition and chemical reactions. This paper is studied the role of solar radiation in the chemical reaction that cleans SO2 and NOx in the troposphere, when the day was no rain. The data in this paper are the daily average concentration of SO2, NO, NO2, and daily solar radiation energy in Bandung, from 2008 to 2010. Results showed that there is a negative correlation between the energy of solar radiation by SO2, NO, and NO2, respectively, -0.09, 0.34, and 0.20. They mean that increasing of 1 MJ/m2hari solar radiation cause of decreasing the concentration of SO2, NO, and NO2 of 0.09 ppm, 0.34 ppm, and 0.20 ppm. The correlation coefficient of the relationship between the energy of solar radiation and SO2, NO, and NO2 in this study is very weak, ie less than 0.2 because it this study the wind direction and local emissions is neglected. Keywords: SO2, NOx, solar radiation, removal Abstrak Senyawa SO2 dan NOx (NO dan NO2) merupakan polutan udara yang penting di daerah perkotaan, dengan mana kegiatan transportasi dan industri tinggi. Senyawa tersebut dapat dibersihkan dari troposfer melalui proses deposisi dan reaksi kimia. Dalam makalah ini dikaji peran radiasi matahari dalam reaksi kimia yang membersihkan SO2 dan NOx di troposfer, pada waktu tidak ada hujan. Data yang digunakan adalah rata-rata harian konsentrasi SO2, NO, NO2, serta energi radiasi matahari harian dari tahun 2008 – 2010 di Bandung. Hasil menunjukkan korelasi negatif antara energi radiasi matahari dengan SO2, NO, dan NO2 sebesar masing-masing -0,09, 0,34, dan 0,20. Itu berarti bahwa setiap kenaikan 1 MJ/m2hari menurunkan konsentrasi SO2, NO, dan NO2 sebesar 0,09 ppm, 0,34 ppm, dan 0,20 ppm. Koefisien korelasi dari hubungan antara energy radiasi matahari dengan SO2, NO, dan NO2 dalam kajian ini sangat kecil, yaitu kurang dari 0,2 karena tidak diperhitungkan perubahan arah angin dan emisi lokal. Kata kunci: SO2, NOx, radiasi matahari, pembersihan
1.
PENDAHULUAN Gas SO2 dan NOx (NO dan NO2) merupakan masalah polutan udara di kota-kota
besar karena dampaknya langsung di lingkungan udara dan dampak tidak langsung sebagai hujan asamnya. Baik SO2 maupun NOx di daerah perkotaan banyak dihasilkan dari aktifitas kendaraan bermotor, yang mana jumlah kendaraan bermotor meningkat cukup pesat di Indonesia dengan laju pertambahan kendaraan bermotor dari tahun 2000 sampai
~ 264 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
2011 sekitar 6,3 juta kendaraan per tahun (BPS, 2013). Kontribusi lain selain dari tranpsortasi adalah dari industri dan domestik. Gas SO2 dan NOx hilang dari troposfer melalui proses deposisi dan reaksi kimiawi, yang merubah senyawa SO2 dan NOx menjadi senyawa lain. Dalam reaksi kimia tersebut energi radiasi matahari terlibat dalam proses reaksinya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa reaksi kimia di troposfer melibatkan hidroksil OH, yang mana hidroksil OH ini terbentuknya membutuhkan ketersediaan ozon, dan uap air di troposfer serta radiasi matahari. Hidroksil OH sering dikatakan sebagai detergen bagi polutan di troposfer karena berperan penting dalam mengoksidasi senyawa kimia di troposfer (Crutzen, 1999). Daerah tropik sebagai daerah dengan konsentrasi OH tinggi karena intensitas radiasi dan kelembaban yang tinggi sering dikatakan sebagai mesin cucinya bagi polutan di troposfer. Dalam makalah ini akan dikaji peran radiasi matahari di Bandung sebagai daerah tropik dalam proses pembersihan senyawa polutan SO2 dan NOx (NO dan NO2), dengan melihat korelasi antara energi radiasi martahari harian dengan konsentrasi rata-rata harian SO2 dan NOx.
2.
TINJAUAN PUSTAKA Jumlah senyawa X dalam suatu lokasi bisa didekati dengan model box
sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1. Jumlah senyawa X (Q X) nilainya dapat dituliskan seperti pada persamaan (1). Nilai QX dibagi dengan volume box merupakan konsentrasi senyawa X (CX) yang terukur oleh instrumentasi kualitas udara seperti system AQMS (air quality monitoring system). QX Qin Qout QE QD Qcp Qcl
Dengan Qin
: besarnya senyawa X yang memasuki lokasi
Qout : besarnya senyawa yang meninggalkan lokasi QE
: besarnya emisi senyawa X pada lokasi yang ditinjau
QD
: besarnya deposis senyawa X pada lokasi yang ditinjau
Qcp : besarnya senyawa X yang dihasilkan oleh reaksi kimia Qcl
: besarnya senyawa X yang lenyap karena reaksi kimia
~ 265 ~
(1)
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Dengan volume box yang ditinjau konstan, maka persamaan (1) yang menyatakan jumlah senyawa X dapat diubah menjadi besarnya konsentrasi X (CX) berikut: C X Cin Cout C E C D Ccp Ccl
(2)
Dengan huruf C melambangkan konsentrasi. Jika diasumsikan bahwa arus massa yang masuk sama dengan yang keluar atau dengan kata lain arah angin dari manapun membawa konsentrasi X yang sama, emisi dan deposisi besarnya konstan sama maka konsentrasi senyawa X hanya dipengaruhi oleh reaksi kimia, baik pembentukan maupun peruraiannya.
Gambar 1:
Box model untuk menggambarkan besarnya senyawa X
(http://acmg.seas.harvard.edu/people/faculty/djj/book/bookchap3.html)
Proses reaksi yang ditinjau dalam penelitian ini adalah proses reaksi kimia fotokimia, yaitu reaksi kimia yang menggunakan radiasi matahari sebagai energi reaksinya dan reaksi yang melibatkan senyawa lain yang mana senyawa tersebut keberadaannya di troposfer melalui reaksi fotokimia. Oleh karena itu besarnya energi radiasi matahari akan mempengaruhi besarnya konsentrasi senyawa SO2 dan NOx. Hidroksil OH merupakan radikal adalah unsur penting dalam oksidasi beberapa polutan di troposfer. Hidroksil OH terbetuk melalui reaksi berikut (Monks, 2005). O3 + hυ O2 + O ( < 320 nm)
(R1)
O + H2O 2 OH
(R2)
Hidroksil OH berperan dalam mengoksidasi gas SO2 di troposfer melalui beberapa rangkaian reaksi berikut,
~ 266 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
OH + SO2 + M HOSO2 + M
(R3)
HOSO2 + O2 HO2 + SO3
(R4)
SO3 + H2O H2SO4
(R5)
-----------------------------------------------------
OH + SO2 + O2 + H2O HO2 + H2SO4
Net:
Antara NO dan NO2 di toposfer terjadi reaksi yang timbal balik berikut Crutzen 1999, Logan 1983) NO2 + h RO2 + NO
NO + O
( < 420 nm)
RO + NO2
(R6) (R7)
Dimana R adalah: H, CH3, dan radikal organoperoksi lainnya. Reaksi lain yang merubah NO menjadi NO2 terjadi melalui reaksi berikut (R8) dan pembersihan NO2 dari atmosfer terjadi ketika terkonversi menjadi asam nitrat melalui reaksi (R9) berikut, NO + O3 NO2 + O2
(R8)
NO2 + OH HNO3 + M
(R9)
Reaksi (R8) dalam memusnahkan NO melibatkan O3, yang mana O3 sendiri terbentuk karena senyawa-senyawa CO, NOx, VOC di troposfer dan adanya sinar matahari (Science daily, 2013). Peruraian NO2 jelas memerlukan sinar matahari secara langsung dengan panjang gelombang kurang dari 420 nm dan pada pembentukan OH. Sedangkan peran radiasi matahari dalam pembersihan NO dari atmosfer ketika NO teroksidasi membentuk NO2. Jadi peran matahari dalam peruraian senyawa-senyawa polutan di atmosfer, khususnya SO2 dan NOx dapat secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung, radiasi matahari berperan sebagai energi reaksi peruraian NO2, dan peran tidak langsung berperan sebagai energi reaksi yang membentuk senyawa lain (OH dan RO2) yang akan mengurai polutan tersebut SO2 dan NOx.
3.
DATA DAN METODOLOGI Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi konsentrasi SO2, dan NOx (NO
dan NO2) per 30 menit diamati dengan AQMS (air quality monitoring system) dan intensitas radiasi global erta curah hujan yang diamati dengan AWS (automatic weather ~ 267 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
station). Kedua system peralatan dipasang di kantor LAPAN Bandung, pada koordinat (6°54` LS; 107°35`BT). Data dianalisa dari tahun 2008 – 2010. Data polutan SO2 dan NOx dalam pengamatan per 30 menit dikompilasi dalam rata-rata harian. Rata-rata harian SO2 dan NOx tersebut dipilih pada hari ketika tidak ada hujan, untuk mengeliminer deposisi oleh hujan. Energi radiasi matahari (Eh) dihitung dari pengamatan intensitas radiasi matahari global dengan persamaan berikut, Eh t2 I i t i t
(3)
1
Dengan t1 adalah waktu matahari terbit dan t2 adalah waktu matahari terbenam, Ii adalah intensitas radiasi global dalam selang waktu i (W/m2), dan ti
adalah
selang waktu
pengamatan ke-i (detik). Analisis dilakukan terhadap keterkaitan antara energi radiasi matahari global harian dengan rata-rata konsentrasi harian SO2, NO, NO2, dan NO/NO2, dengan mengasumsikan bahwa tidak ada perubahan konsentrasi akibat dari efek tranpotasi dan emisi SO2 dan NOx pada lokasi yang ditinjau.
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN Spektrum radiasi matahari mayoritas tersusun pada cahaya tampak (visible) yaitu
pada panjang gelombang sekitar 380 - 780 nm, seperti ditunjukkan pada Gambar 3.1. Dari spektrum tersebut panjang gelombang yang digunakan pada reaski kimia dalam kaitannya dengan peruraian SO2 dan NOx, sebagaimana diuraikan di atas adalah radiasi dengan panjang gelombang kurang dari 420 nm, yang mana panjang gelombang tersebut masuk dalam kategori spektrum visible pada warna ungu (violet) dan ultra violet. Energi radiasi yang terukur dalam penelitian ini adalah radiasi global yang berarti mencakup seluruh spektrum radiasi matahari. Tetapi pada kondisi umum di Bandung, yaitu kondisi langit yang berawan antara radiasi global dengan radiasi ultraviolet terkorelasi linear (Sumaryati, 2012). Oleh karena itu besarnya energi radiasi global yang terukur dapat mewakili radiasi ultraviolet yang berpengaruh terhadap reaksi kimiawi di troposfer
~ 268 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
Gambar 1:
ISBN : 978-979-1458-73-3
Spektrum radiasi matahari
(Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Sunlight)
Analisis ini hanya membahas pengaruh radiasi matahari yang mempengaruhi konsentrasi polutan SO2, NO dan NO2, sedangkan pengaruh transportasi (Qin dan Qout) serta emisi dan deposis (QE dan QD) diasumsikan tidak ada . Antara radiasi matahari dan polutan udara, termasuk SO2 dan NOx ada hubungan yang saling mendukung. Polutan udara juga menghamburkan dan menyerap intensitas radiasi matahari untuk reaksi kimia, sehingga mengurangi intensitas radiasi matahari yang sampai ke permukaan bumi (Jauragui dan Luyando, 1999). Intensitas radiasi matahari yang terhalang awan atau karena sudut zenithnya kecil menyebabkan intensitas radiasi matahari yang sampai ke troposfer berkurang, sehingga menyebabkan reaksi kimia polutan di troposfer berjalan lambat. Data dipilih pada hari ketika tidak ada hujan, sehingga tidak ada pengaruh pembersihan polutan melalui proses rain out, yang mempercepat proses deposisi. Gambar 2 di bawah merupakan diagram pencar antara energi radias global matahari setiap luasan 1 m2 (MJ/hari) dan rata-rata harian konsentrasi SO2, NO, NO2, serta NO/NO2 pada hari ketika tidak ada hujan. Gambar 2.a menunjukkan persamaan yang menghubungkan antara energi radiasi matahari dan konsentrasi SO2 yang memiliki gradien negatif. Hal itu berati semakin tinggi energi radiasi matahari semakin cepat semakin kecil konsentrasi SO2, karena semakin tinggi energi radiasi matahari semakin banyak hidroksil OH yang terbentuk di toposfer untuk menguraikan SO2. Oleh karena itu semakin tinggi energi radiasi matahari semakin cepat SO2 terurai menjadi senyawa lain, sesuai dengan penelitian Lee et al.(2010) yang menyatakan bahwa pada musim panas lifetime SO2 lebih pendek dari pada musim dingin. Dengan asumsi bahwa arah angin tidak mempengaruhi konsentrasi dan dan emisi dianggap tidak konstan, ada penurunan konsentrasi SO2 sebesar 0,09 ppm setiap kenaikkan energi radiasi matahari sebesar 1 MJ/m2hari
~ 269 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Gambar 2:
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
a)
b)
c)
d)
Diagram pencar antara energi radiasi matahari terhadap: a). SO2, b). NO, c). NO2, dan d). NO/NO2
Demikian juga untuk senyawa NO dan NO2 (Gambar 2.b dan 2.c), terkorelasi negatif terhadap energi radiasi matahari dengan koefisien korelasi yang sangat kecil. Hal itu diduga karena variabilitias arah angin dan emisi tidak diperhitungkan. Antara NO dan NO2 (Gambar 2.d) ada reaksi timbal balik (R6) dan (R7). Korelasi negatif antara energi radiasi matahari dengan perbandingan NO terhadap NO2 (NO/NO2) itu menunjukkan bahwa reaksi NO menjadi NO2 (R6) lebih cepat dari pada NO2 menjadi NO (R7). Dalam Gambar 2.d terpisah terilihat kecepatan pemusnahan setiap kenaikan energi radiasi matahari sebesar 1 MJ/m2hari untuk NO dan NO2 masing-masing adalah 0,344 ppm dan 0,198 ppm. Koefisien korelasi (r) dari hubungan di atas sangat kecil, yaitu kurang dari 0,1 kecuali korelasi antara energi radiasi matahari terhadap NO2 yang hampir 0,2. Lemahnya korelasi tersebut karena pengaruh transport (Cin dan Cout) dianggap tidak ada ataupun arah
~ 270 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
angin dari manapun membawa konsenrasi yang samg serta emisi lokal SO2 yang dianggap kontinyu dalam titik yang ditinjau.
5.
KESIMPULAN Ada pengaruh yang teramati dari korelasi negatif antara energi radiasi matahari
terhadap pelenyapan SO2 dan NOx di troposfer Bandung, meskipun koefisien korelasinya sangat kecil, yaitu kurang dari 0,2. Koefisein yang kecil diduga karena pengaruh arah angin dan emisi lokal yang tidak tidak diperhitungkan dalam kajian. Korelasi negatif berarti semakin tinggi energi radiasi matahari akan mempercepat pelenyapan SO2 dan NOx di troposfer, yang masing-masing besarnya penurunan konsentrasi untuk SO2, NO, dan NO2 adalah sebagai berikut: 0,09 ppm, 0,34 ppm, dan 0,20 ppm untuk setiap kenaikan energi radiasi matahari sebesar 1 MJ/m2hari.
DAFTAR RUJUKAN Crutzen, P.J. M.G. Lawrence, dan U. Poschl. On the Background Photochemistry of Tropospheric Ozone. Tellus series, Vol 51, no 1 (1999). Lee C., et al. SO2 Emission and Life times: Estimates from inverse modeling using in Situ and Global, Space-based (SCIAMACHY and OMI) Observation 2010, Jauregui, E., dan E. Luyando, 1999. Global Radiation Attenuation by Air pollution and Its Effect on Thermal Climate in Mexico City. International Journal Climatology, 19: 638 – 694 Logan, J.A., Nitrogen oxides in the troposphere: Global and Regional Budgets. Journal of Geophysical Research Vol. 88 10785-10805, 1983 Monks, P.S. 2005. Gas-phase radical chemistry in the troposphere, journal of Chem. Soc. Rev., 2005, 34, 376–395, DOI: 10.1039/b307982c Sumaryati, S. Hamdi, dan Suparno. Keterkaitan radiasi global, radiasi ultraviolet dan indeks ultraviolet. Prosiding Seminar Nasional LAPAN 2012. Simple models: http://acmg.seas.harvard.edu/people/faculty/djj/book/bookchap3.html Science daily, http://www.sciencedaily.com/articles/t/tropospheric_ozone.htm 2013 BPS, http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&id_subyek=17¬ab=12, 2013
~ 271 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
PREDIKSI PENGASAMAN PROVINSI JAMBI DAN SEKITARNYA AKIBAT DEPOSISI SULFUR TAHUN 2015 Toni Samiaji Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer – LAPAN, Gedung LAPAN, Jl. Dr. Junjunan 133 Bandung – Indonesia Email :
[email protected] &
[email protected]
Abstract Sulfur when fused with elements of oxygen is one of the main components in acid deposition. In addition to sulfur is produced naturally also resulted from anthropogenic activities of the energy consumption. While the energy consumption is proportional to the gross regional domestic product (GRDP). Research the question here is when the rate of growth of GDP of a province is the highest in the region whether in the future will result in the relevant province experiencing the most severe acidification in the region? To answer this question, then as a case study in this study is taken Jambi Province and surrounding areas since Jambi Province is the province with the highest GRDP growth rate in Sumatra from 2009 until 2011, i.e. from 6.39 to 8.54 %. The methods used in this study is by using the model Rains Asia with B2 scenario. As a result of this study showed that the Jambi province with the highest GRDP growth rate from 2009 until 2011 in Sumatra in 2015 is not a province that will emit, deposit extreme SOx gas and has the highest SO2 gas concentration, also will not suffer the most severe acidification in Sumatra but Riau. Keywords : Deposition, sulfur, acidification, Jambi, 2015 Abstrak Sulfur ketika bersenyawa dengan unsur oksigen merupakan salah satu komponen utama dalam deposisi asam. Sulfur selain dihasilkan secara alami juga dihasilkan dari kegiatan antropogenik yakni dari pemakaian energi. Sedangkan pemakaian energi berbanding lurus dengan pendapatan domestik regional bruto (PDRB). Yang menjadi pertanyaan penelitian di sini adalah bila laju pertumbuhan PDRB suatu daerah adalah paling tinggi di suatu wilayah apakah pada waktu yang akan datang akan mengakibatkan daerah yang bersangkutan mengalami pengasaman yang paling parah di wilayah tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka pada penelitian ini sebagai studi kasus diambil Provinsi Jambi dan sekitarnya karena Provinsi Jambi adalah provinsi dengan laju pertumbuhan PDRB paling tinggi di Sumatera dari tahun 2009 hingga tahun 2011 yakni dari 6,39 hingga 8,54 %. Metoda yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan menggunakan model Rains Asia dengan skenario B2. Sebagai hasil dari penelitian ini diperoleh bahwa Provinsi Jambi sebagai provinsi dengan laju pertumbuhan PDRB paling tinggi di Sumatera dari tahun 2009 hingga tahun 2011 pada tahun 2015 adalah bukanlah provinsi yang mengemisikan, mendeposisikan gas SOx tertinggi dan mempunyai konsentrasi gas SO2 yang paling tinggi juga tidak mengalami pengasaman yang paling parah di Sumatera melainkan Riau. Kata kunci : Deposisi, sulfur, pengasaman, Jambi, 2015
~ 272 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
1.
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
PENDAHULUAN Sulfur berada di alam dalam bentuk S2 atau bersenyawa dengan unsur lain. Sulfur
selain dihasilkan secara alami juga dihasilkan dari kegiatan antropogenik. Secara alami dihasilkan dari letusan gunung api, kebakaran hutan, dari laut sedangkan dari kegiatan antropogenik dihasilkan dari pemakaian energi. Sulfur ketika bersenyawa dengan unsur oksigen merupakan salah satu komponen utama dalam deposisi asam. Karena senyawa sulfur bersifat korosif, maka perlu dilakukan prediksi baik itu emisinya, konsentrasinya maupun deposisinya.
Tabel 1 : Laju pertumbuhan PDRB dalam persen
1
Provinsi
2009
2010
2011
Aceh
5.51
2.79
5.02
2
Sumatera Utara
5.07
6.35
6.58
3
Sumatera Barat
4.28
5.93
6.22
4
Riau
2.97
4.18
5.01
5
Jambi
6.39
7.35
8.54
4.11
5.63
6.50
6
Sumatera Selatan
7
Bengkulu
5.62
6.06
6.40
8
Lampung
5.26
5.85
6.39
9
Kep. Bangka Belitung
3.74
5.93
6.40
10
Kepulauan Riau
3.52
7.19
6.67
Sumber data : BPS, 2013.
Emisi sulfur sebagai hasil dari kegiatan antropogenik berbanding lurus dengan tingkat ekonomi suatu negara yang dinyatakan dengan Produk Domestik Bruto(PDB), dengan kata lain PDB yang meningkat akan menyebabkan emisi gas SO2 meningkat [Toni S. Dkk, 2006]. Demikian juga untuk ekonomi suatu daerah yang dinyatakan dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah berbanding lurus dengan emisi gas SO2 dari daerah tersebut. Lalu apabila laju pertumbuhan PDRB suatu daerah/provinsi yang paling tinggi di suatu wilayah akan menyebabkan emisi gas SO2 yang paling tinggi pula di wilayah tersebut? Karena gas SO2 merupakan salah satu penyebab deposisi asam , apakah provinsi dengan laju pertumbuhan PDRB yang paling tinggi di suatu wilayah akan menyebabkan provinsi tersebut mengalami pengasaman yang paling parah dan paling luas dibanding provinsi lain di wilayah tersebut ? Sebagai contoh pada Tabel 1 diperlihatkan
~ 273 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Laju pertumbuhan PDRB tahun 2009 hingga 2011 di Sumatera dari Badan Pusat Statistik. Dari tabel 1 ini kita bisa melihat bahwa Provinsi Jambi adalah provinsi dengan laju pertumbuhan PDRB paling tinggi di Sumatera. Lalu untuk tahun yang akan datang misalnya tahun 2015, apakah Provinsi Jambi pada tahun 2015 mengalami pengasaman yang paling parah dan paling luas dibanding provinsi lain di Sumatera? Untuk menjawab pertanyaan ini maka penelitian ini dilakukan. 2. DATA DAN METODE Data yang digunakan adalah proyeksi intensitas energi, pemakaian energi tiap sektor, pertumbuhan GDP dan konsumsi energi biomasa sejak tahun 1990 hingga 2030 dari IEA (International Energy Agency). Untuk pemetaan pengasaman dan lain-lain digunakan model Rains Asia 7.5 yang mempunyai resolusi spasial / grid 1 x 1 derajat dengan langkah kerja seperti diperlihatkan pada Gambar 1. Pada gambar ini proyeksi energi (energy projections) yang dipakai ada 3 macam yakni khusus untuk Cina, khusus untuk India sedangkan yang lainnya termasuk Indonesia adalah dengan skenario B2 (dinamika seperti biasa) dari IPCC. Yang dimaksud dengan dinamika seperti biasa adalah pemakaian energi di Indonesia seperti sekarang ini mengikuti laju pembangunan seperti biasanya. Sedangkan skenario B2 ini berisikan penekanan pada solusi lokal daripada solusi global untuk ekonomi,sosial dan ketahanan lingkungan,
peningkatan populasi global yang lebih rendah dari A2,
tingkat
pengembangan ekonomi yang intermediate, perubahan teknologi lebih lambat dan lebih bermacam-macam dibanding Skenario B1 dan A1, skenario berorientasi pada proteksi lingkungan dan kekayaan sosial, yang berfokus pada tingkat lokal dan regional, dunia lebih terbagi-bagi, tetapi ramah secara ekologi [IPCC, 2013].
Pada pilihan untuk
mengontrol emisi (emission control options) pada rains asia versi 7.5 ini digunakan teknologi pengurangan emisi sulfur misalnya dalam bentuk FGD (Flue Gas Desulfurization) dan pemakaian bahan bakar dengan kadar sulfur yang rendah. Setelah itu dihitung emisi sulfur dan biaya yang diperlukan untuk pengurangan emisi sulfur tersebut. Kemudian emisi SOx dipetakan per grid, sedangkan konsentrasi SO2 dan deposisi SOx dipetakan melalui atmospheric dispersion, yaitu suatu model dispersi yang perhitungannya berdasarkan matrik transfer polutan yang dikembangkan bersamaan dengan model ATMOS di Universitas Iowa [Arndt et al, 1995, 1998]. Selanjutnya dengan model ini di dalam modul environmental impact dipikirkan bilamana suatu daerah kelebihan sulfur sekian miligram per meter persegi per tahun maka berapa persen ekosistim yang akan
~ 274 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
rusak di daerah tersebut,
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
sehingga kita bisa mengtargetkan kerusakan lingkungan
(environmental targets) yang diakibatkan pemilihan teknologi pengurangan emisi sulfur pada opsi kontrol emisi (emission control option) dengan cara optimisasi (optimization) emisi yang dihasilkan dan biaya yang diperlukan.
Gambar 1 : Bagan langkah kerja dalam Rains Asia Untuk menganalisis hasil simulasi dibuat gambar administrasi wilayah sumatera dengan cara mengkrop dari peta rupa bumi Indonesia yang diperoleh dari Bakosurtanal dengan skala 1 : 250.000 menggunakan software arc view, hasilnya ditampilkan pada Gambar 2. Di sini karena masih menggunakan peta dasar yang lama maka Kepulauan Riau masih bersatu dengan Provinsi Riau.
Gambar 2 : Gambar administrasi wilayah Sumatera 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
~ 275 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Gambar 3 : Prediksi emisi SOx dalam kiloton/grid per tahun dan konsentrasi gas SO2 dalam mikrogram/m3 tahun 2015 di Sumatera Dari simulasi dengan menggunakan model Rains Asia versi
7.52 diperoleh
Gambar 3 yang menampilkan prediksi emisi gas SOx dan konsentrasi gas SO2 tahun 2015 di Sumatera. Dari gambar ini terlihat bahwa emisi gas SOx Provinsi Jambi (1407 – 7003 ton/grid-th) lebih kecil dibanding Provinsi Sumatera selatan (3688 – 13351 ton/grid-th), kepulauan Riau (2531 - 435254 ton/grid-th) dan Lampung ( 9000 – 23089 ton/grid-th). Padahal pertumbuhan ekonomi Provinsi Jambi tahun 2009 hingga 2011 adalah paling tinggi (lihat tabel 1) [BPS, 2013], tetapi tahun 2015 tidak mengemisikan gas SOx terbesar di Sumatera. Masih pada Gambar 3 konsentrasi SO2 Jambi (0,4 – 1,4 mikrogram/m3) lebih kecil daripada Riau (0,7 – 6,5 mikrogram/m3),
Sumatera Selatan (0,5 – 1,9
mikrogram/m3) dan Lampung (0,6 – 15,5 mikrogram/m3). Demikian juga kalau dilihat dari deposisi SOx-nya seperti yang diperlihatkan pada Gambar 4,
Gambar 4 : Prediksi deposisi SOx dalam miligram per meter persegi per tahun dan persentase pengasaman oleh deposisi sulfur dengan asumsi deposisi nitrogen dianggap tetap tahun 2015 di Sumatera
~ 276 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
bahwa deposisi SOx provinsi Jambi ( 187,6 – 600,2 mg/m2-th) lebih kecil dari Riau (286,8 -1918 mg/m2-th) dan Lampung (732,6 – 2158,5 mg/m2-th).
Lalu bagaimana dengan
tahun yang sudah lewat yakni tahun 2010? Menurut Gambar 6 tahun 2010 menunjukkan pola yang sama yakni deposisi SOx di Jambi (163,5 – 551,1 miligram/m2-th) adalah lebih kecil dibanding di Riau (285,8 – 1789,4 miligram/m2-th), di Sumatera Selatan (201,4 – 609,2 miligram/m2-th) dan di Lampung (385,4 – 2442,7 miligram/m2-th). Kemudian gambar sebelah kanannya yang menunjukkan emisi SOx tahun 2010, emisi SOx Jambi (1215 – 6049 ton/grid-th) adalah lebih kecil daripada yang di Riau (1892 – 14559 ton/gridth) dan Sumatera Selatan (3186 – 11248 ton/grid-th). Jadi provinsi dengan pertumbuhan ekonomi yang paling tinggi di suatu wilayah belum tentu akan menjadikan provinsi tersebut mengemisikan, mendeposisikan gas SOx atau mempunyai konsentrasi gas SO2 tertinggi di wilayah tersebut. pendahuluan terjawab di sini.
Maka pertanyaan penelitian yang pertama yang ada di Ini mengapa bisa terjadi demikian,
bukankah dari
penelitian sebelumnya dikatakan bahwa PDB yang meningkat akan menyebabkan emisi gas SO2 meningkat ?
Bila dikaji lebih jauh hasil penelitian ini sebenarnya tidak
bertentangan dengan hasil penelitian sebelumnya, karena daerah dengan pertumbuhan ekonomi yang paling tinggi di suatu wilayah belum tentu menggambarkan tingkat ekonomi daerah tersebut adalah paling tinggi di wilayah tersebut, lihat Gambar 5. Dari gambar ini terlihat bahwa Provinsi Jambi dari tahun 2007 hingga 2011 bukanlah provinsi dengan PDRB yang paling tinggi di Sumatera akan tetapi Provinsi Riau yang paling tinggi. Kemudian untuk menjawab pertanyaan berikutnya yaitu tentang pengasaman adalah dengan melihat Gambar 4 sebelah kanan. Dari gambar ini diperoleh bahwa Provinsi Jambi tahun 2015 mengalami pengasaman dari 0 hingga 56,8 % (pengasaman itu meliputi pengasaman tanah, tumbuh-tumbuhan dan kolam) adalah lebih kecil dibanding dengan provinsi Sumatera Utara dari 0 hingga 71 %, Riau dan kepulauan Riau dari 0 hingga 98 %, Sumatera Selatan dan Lampung dari 0 hingga 63 %. Demikian pula untuk tahun 2010 seperti diperlihatkan Gambar 7, persentase pengasaman yang dialami provinsi Jambi (0 – 56,4 %) adalah lebih kecil daripada Provinsi Riau (0 – 97,8 %), Kepulauan Riau (0 – 97,8 %), Sumatera Selatan (0 – 62,4 %), Lampung (0 – 65,7 %) dan Sumatera Utara (0 – 71,3 %). Dengan demikian menurut model, provinsi dengan pertumbuhan ekonomi yang paling tinggi di suatu wilayah belum tentu mengalami dan akan mengalami pengasaman yang paling parah di wilayah tersebut. Jadi di sini pertanyaan penelitian yang kedua pada pendahuluan terjawab di sini. Dan yang mengalami pengasaman paling parah tahun 2015 adalah Provinsi Riau. ~ 277 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
600
Aceh Yr= 4E+07x - 9E+10 R² = 0.9825
500
PDRB [Triliun rupiah]
ISBN : 978-979-1458-73-3
400
Sumatera Utara Sumatera Barat
Ysu = 3E+07x - 6E+10 R² = 0.9848
300
Riau Jambi
200
Sumatera Selatan
100 0 2003
Yj = 6E+06x - 1E+10 R² = 0.9764 2005
2007
2009
2011
2013
Bengkulu
2015
Gambar 5 : Produk domestik regional bruto berdasarkan harga pasar yang berlaku di Sumatera. Sumber data : BPS, 2013.
Gambar 6 : Deposisi dan emisi SOx tahun 2010 di Sumatera
Gambar 7 : Persentase pengasaman di Sumatera tahun 2010
~ 278 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Gambar 8 : Deposisi kelebihan sulfur tahun 2015 sehingga ekosistim menjadi rusak, P5 adalah kelebihan sulfur yang menyebabkan 5 % ekosistem akan rusak dan P25 adalah kelebihan sulfur yang menyebabkan 25 % ekosistem akan rusak Kalau melihat Gambar 5 diperlihatkan pada gambar ini garis kecenderungan dan persamaan regresi linear PDRB Provinsi Riau, Sumatera Utara dan Jambi. Dari beberapa garis kecenderungan ini terlihat bahwa pada tahun 2015 garis kecenderungan yang paling tinggi adalah milik Riau sehingga dengan persamaan .........(1) maka diperoleh PDRB paling tinggi di Sumatera adalah PDRB Provinsi Riau, sehingga pengasaman paling parah tahun 2015 adalah yang terjadi di Provinsi Riau. Pada Gambar 8 diperlihatkan deposisi kelebihan sulfur tahun 2015 sehingga ekosistim menjadi rusak, P5 adalah kelebihan sulfur yang menyebabkan 5 % ekosistem akan rusak dan P25 adalah kelebihan sulfur yang menyebabkan 25 % ekosistem akan rusak. Jadi ketika 5 % ekosistem provinsi Jambi mengalami kerusakan tahun 2015 maka provinsi Jambi mengalami kelebihan deposisi sulfur sebesar 200 mg/m2-th. Beda dengan Provinsi Lampung yakni ketika 5 % ekosistem Provinsi Lampung mengalami kerusakan tahun 2015 maka Provinsi Lampung mengalami kelebihan deposisi sulfur sebesar 240 hingga 1759 mg/m2-th dengan luas ekosistim yang rusak jauh lebih luas daripada provinsi Jambi. Jadi beban pencemaran sulfur dalam bentuk deposisi terhadap sensifitas ekosistim tiap provinsi adalah berbeda-beda. Sehingga agar Provinsi Jambi terbebas dari kerusakan 5 % pada daerah yang bukan berwarna abu-abu harus mengurangi deposisi sulfur sebesar 200 mg/m2-th tentunya dengan cara penerapan teknologi pengurangan emisi sulfur yang tepat guna.
Pertanyaannya provinsi mana yang harus menggunakan teknologi
~ 279 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
pengurangan emisi sulfur yang tepat guna itu ? Apakah hanya provinsi Jambi saja ? Dengan model Rains Asia ini kita bisa menelusuri asal sulfur yang terdeposisikan di provinsi Jambi ini. Yaitu deposisi SOx tahun 2015 yang sebesar 375,1 eq/Ha-yr setara dengan 600.2 mg/m2-th di Jambi pada lintang selatan 1 derajat dan 103 bujur timur berasal dari negara Singapura 248,3 eq/ha-yr, dari jalur laut 36,8 eq/ha-yr, dari negara Malaysia 14,1 eq/ha-yr, dari Sumatera 70,2 eq/ha-yr, dari Jawa 1,9 eq/ha-yr, dari pembangkit tenaga listrik di Sumatera Selatan 1,1 eq/ha-yr dan dari yang lainnya. Jadi di sini banyak daerah yang terkait untuk menurunkan deposisi sulfur di Provinsi Jambi. Di sini kontribusi terbesar adalah dari Negara Singapura yang mana negara ini tahun 2010 PDB per kapitanya ($56,532) paling tinggi di dunia [The wall street Journal, 2013].
Selanjutnya saat
ekosistem yang rusak bertambah dari 5 % (Gambar 7 sebelah kiri) menjadi 25 % (gambar 7 sebelah kanan), kelebihan deposisi sulfur di Provinsi Jambi adalah tetap yakni 0 – 200,2 mg/m2-th,
tetapi
kelebihan deposisi sulfur di Provinsi Sumatera Selatan menjadi
bertambah dari 0 – 240,1 mg/m2-th menjadi 0 – 332,6 mg/m2-th sedangkan kelebihan deposisi sulfur di provinsi Lampung menjadi berkurang dari 0 – 1758,5 mg/m2-th menjadi 0 – 1598,5 mg/m2-th. Jadi tiap provinsi berbeda-beda ini dikarenakan beban kritis (critical load) tiap provinsi ada yang sama ada yang berbeda tergantung dari jenis tanah, jenis vegetasi dan air permukaan selain itu daya dukung lingkungan seperti presipitasi, penguapan,
aliran air dan unsur kimia yang ada di provinsi tersebut ikut menjadi
penyangga keasaman di provinsi tersebut [Hettelingh et al., 1995]. Yang dimaksud beban kritis (critical load) adalah deposisi sulfur yang diperkenankan agar tidak ekosistim.
merusak
Misalnya beban kritis 5 % adalah deposisi sulfur yang
Gambar 9 : Beban kritis deposisi sulfur yang diperkenankan di Sumatera agar tidak merusak 5 dan 25 % ekosistim
~ 280 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
diperkenankan agar tidak merusak 5 % ekosistim. Sebagian besar deposisi Sulfur yang diperkenankan agar tidak merusak 5 % ekosistem di Sumatera adalah 400 mg/m2-th. Namun ketika yang diinginkan tidak merusak 25 % ekosistim maka terjadi perubahan deposisi sulfur yang diperkenankan.
Misalnya Provinsi Jambi ketika berubah beban
kritisnya dari 5 % menjadi 25 % maka deposisi sulfur yang diperkenankan berubah dari 400 mg/m2-th menjadi 400 – 2078 mg/m2-th seperti yang diperlihatkan Gambar 9 dari gambar sebelah kiri ke sebelah kanan. Demikian juga provinsi yang lain mengalami perubahan misalnya Lampung dari 400 – 560 mg/m2-th menjadi 400 – 2992 mg/m2-th dan lain-lain yang umumnya terjadi kenaikan deposisi sulfur yang diperkenankan. Ini wajar karena terjadi kerusakan ekosistim yang semakin meningkat. Dari uraian di atas meskipun pembangunan ekonomi di suatu daerah berdampak terhadap kerusakan ekosistim, tetapi kesehatan manusia harus diutamakan, oleh karena itu perlu diupayakan pengurangan emisi sulfur, dan karena pengurangan emisi sulfur itu memerlukan biaya yang cukup besar,
maka menurut Jitendra dan kawan kawan
menggunakan energi yang efisien adalah lebih menghemat biaya [Jitendra J. Shah et al, 2001]. 4.
KESIMPULAN Dari hasil running model diperoleh bahwa provinsi dengan pertumbuhan ekonomi
yang paling tinggi di suatu wilayah belum tentu akan menjadikan provinsi
tersebut
mengemisikan, mendeposisikan gas SOx yang paling tinggi dan mempunyai konsentrasi gas SO2 tertinggi demikian juga belum tentu akan mengalami pengasaman yang paling parah di wilayah tersebut. Hasil ini berdasarkan Provinsi Jambi dengan laju pertumbuhan PDRB dari tahun 2009 hingga tahun 2011 adalah paling tinggi di Sumatera tetapi yang mengalami pengasaman paling parah di Sumatera tahun 2015 adalah Provinsi Riau dan Kepulauan Riau.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Tuti Budiwati MEng. yang telah membawa model ini dari Thailand tahun 2003 yang lalu, juga kepada Panitia SSA2013 yang telah mengadakan seminar ini dan mencetak poster ini tanpa dipungut biaya.
~ 281 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
DAFTAR RUJUKAN Arndt R..L., and Carmichael G.R., (1995), Long-Range transprot and deposition of sulfur in Asia. Water, Air and Soil Pollution 85, 2283 - 2288. Arndt R. L., Carmichael G.R., Roorda J.M., (1998), Seasonal Source- Receptor Relationships in Asia. Atmospheric Environment 31 1553 - 1572. BPS,
2013.
Ekonomi
dan
Perdagangan,
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=2&tabel=1&daftar=1&id_subyek=52&n otab=3 , diakses tanggal 19 Agustus 2013. Hettelingh J.-P., Chadwick M.J., Sverdrup H., Zhao D. (eds.) (1995) Assessment of Environmental Effects of Acidic Deposition. Chapter 6 of the Report on the World Bank Sponsored Project "RAINS-ASIA: An Assessment Model for Air Pollution in Asia". (http://www.iiasa.ac.at/~rains/asia1/). IPCC,
2013.
IPCC
Special
Report
on
Emissions
Scenarios,
http://www.grida.no/publications/other/ipcc_sr/?src=/climate/ipcc/emission/096.htm diakses 19 Agustus 2013. Jitendra J. Shah, Tanvi Nagpal, Todd Johnson, Jia Li dan C. Peng. Rains-Asia Model Application to China : Policy Implication for Sulfur Control, Journal of Water, Air and Soil Pollution, Vol. 130, Issue 1-4, pp. 235-240, Kluwer Academic Publishers, Printed in the Netherlands, August 2001. The
RAINS
7.52
Model
of
Air Pollution,
2013.
dalam
file:///C:/RAINS-
ASIA/docAsia/manual/intro.HTM The wall street Journal,
2013.
http://realtime.wsj.com/indonesia/2012/08/16/negara-
terkaya-di-dunia/, akses tanggal 23 Agustus 2013. Toni S. Dkk, 2006. Pengaruh jumlah penduduk, pemakaian energi dan pertumbuhan ekonomi terhadap emisi gas SO2, Prosiding Seminar Nasional Basic Science III 2006, Universitas Brawijaya, Malang, 25 Februari 2006, ISBN 979-25-6030-0.
~ 282 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
IDENTIFIKASI CURAH HUJAN EKSTREM MENGGUNAKAN METODE ANALISIS MESOSCALE CONVECTIVE COMPLEXE (MCC) DARI DATA MTSAT IR1 Trismidianto Bidang Pemodelan Atmosfer, Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional email:
[email protected]
Abstract Identification of Mesoscale Convective Complexes (MCC) was done using infra-red image data (IR1) of the Multi-functional Transport Satellite (MTSAT) to create algorithms for use in the detection of MCC from IR1 image data which built by combining multiple criteria of the extent of cloud cover, eccentricity and lifetimes. The linkage for MCC with extreme rainfall is done spatial analysis to analyze the evolution of the development of MCC at each phase is the initial phase, maximum phase and the dissipation phase of MCC. In this study, we also use surface wind from CCMP data to analyze the movement of MCC with seen the surface vectors wind anomaly at each phase of the MCC. And we use also TRMM rainfall data to analyze the influence of MCC on extremes rainfall. MCC can produce extreme rainfall through the mechanism of cold pool with a new convection cell formation system that induces the growth of convection around it so as to make the growth of significant convective clouds around it so that it can lead to extreme rainfall. Keyword: MCC, extremes rainfall, wind vector anomaly. Abstrak Identifikasi Mesoscale Convective Complexes (MCC) dilakukan menggunakan data citra infra-red (IR1) dari Multi-functional Transport SATellite (MTSAT) dengan membuat algoritma untuk digunakan dalam mendeteksi MCC dari data citra IR1 yang dibangun dengan menggabungkan beberapa kriteria dari luasan tutupan awan, tingkat kelonjongan dan lama masa hidupnya. Keterkaitan MCC dengan curah hujan ekstrem dilakukan dengan analisis spasial dengan menganalisis evolusi perkembangan MCC pada setiap fasenya yaitu fase awal, fase maksimum dan fase punah dari MCC. Pada penelitian ini juga digunakan data angin permukaan CCMP untuk menganalisis pergerakan MCC dengan melihat anomali vektor angin permukaan pada setiap fase MCC. Dan digunakan data curah hujan TRMM untuk menganalisis pengaruhnya terhadap curah hujan ekstrem. MCC bisa menghasilkan curah hujan ekstrem melalui mekanisme cold pool dengan sistem pembentukan sel konveksi baru yang menginduksi pertumbuhan konveksi disekitarnya sehingga membuat pertumbuhan awan konveksi yang cukup signifikan disekitarnya sehingga bisa menyebabkan curah hujan ekstrem. Kata kunci: MCC, Curah Hujan Ekstrem, Anomali vektor angin.
~ 283 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
1.
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
PENDAHULUAN Curah hujan merupakan unsur iklim yang sangat penting bagi kehidupan di bumi,
karena hujan berdampak secara langsung terhadap kehidupan manusia. Kejadian hujan di daerah tropis, seperti Indonesia berpengaruh pada cuaca dan iklim global. Selain itu perubahan iklim global, dampaknya untuk wilayah Indonesia akan berbeda di setiap daerah. Hal ini disebebabkan oleh beberapa faktor, yaitu dinamika atmosfer di atas Benua Maritim Indonesia memiliki tingkat nonlinieritas yang sangat tinggi sebagai akibat dari sangat beragamnya topografi dan vegetasi. Namun cuaca dan iklim daerah tropis lebih didominasi oleh organisasi konveksi (Sherwood and Wahrlich, 1999) yaitu mesoscale convective systems (MCS), gelombang timuran skala sinoptik, sistem supercluster, dan Madden-Julian Oscillation (MJO). Proses-proses skala meso tersebut antara lain adalah konveksi, sirkulasi lokal akibat topografi, siklus diurnal (harian), aliran jet, interaksi permukaan-atmosfer, gangguan yang terperangkap di daerah pantai dan ketidakstabilan skala meso. Kompleks Konvektif Skala Meso (KKSM) atau Mesoscale Convective Complexes (MCC) merupakan populasi MCS yang hidup terbesar dan terpanjang. MCC merupakan salah satu hasil perkembangan dari deep convective, dan bahkan MCC bisa menjadi pemicu kejadian siklon tropis. Seperti ilusterasi pada gambar 1.1.
Gambar 1.1 Skema ilusterasi perkembangan awan konvektif Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa fenomena ini dapat menghasilkan cuaca buruk dan hujan yang terus menerus (Maddox, 1980; Fritsch dkk., 1986; McAnelly dan Cotton, 1989). Hujan seperti ini diketahui telah menyebabkan bencana banjir di berbagai tempat seperti: Asia Timur (Ninomiya dkk,1981; Chen dan Li, 1995), Amerika Selatan Subtropis (Durkee dan Mote, 2009) dan Amerika Serikat (Maddox,1981). Menurut Yuan dan Houze (2010), Benua Maritim Indonesia (BMI) merupakan area munculnya
~ 284 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
MCC, dan sering muncul di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, kondisi lautan di BMI merupakan tempat yang sangat cocok untuk tumbuhnya MCC dengan ukuran yang besar. Dari beberapa hasil penelitian sebelumnya tersebut, dapat disimpulkan bahwa MCC bisa menjadi pemicu curah hujan ekstrem dan dapat dipakai sebagai acuan dalam menentukan curah hujan ekstrem, namun dari beberapa penelitian sebelumnya tersebut, belum ada penelitian secara rinci tentang analisis curah hujan ekstrem di Indonesia mengggunakan analisis MCC. Curah hujan ekstrem sering terjadi di Indonesia, dan sudah banyak juga metode yang dilakukan untuk menentukan curah hujan ekstrem, baik menggunakan statistik ataupun menggunakan meodel dinamik, namun belum banyak bahkan belum ada yang menentukan curah hujan ekstrem di Indonesia, dengan melihat kejadian MCC, Oleh karena itu, penelitian ini akan mengkaji bagaimana mengidentifikasi kejadian curah hujan ekstrem menggunakan analisis kejadian MCC.
2.
TINJAUAN PUSTAKA Curah hujan ekstrem adalah kondisi curah hujan yang cukup tinggi/rendah dari
rata-rata kondisi normalnya. Secara garis besar, curah hujan ekstrim dapat dibedakan menjadi curah hujan ekstrim basah yang mengakibatkan banjir, dan curah hujan ekstrim kering yang berdampak kekeringan. Menurut Supriatna dalam BMKG (2011) curah hujan dengan intensitas > 100 mm/hari menjadi parameter terjadinya hujan ekstrim. Hujan ekstrim pada peneliti ini juga didefinikan dari analogi kejadian hujan yang menyebabkan banjir pada tanggal 6-7 Januari dan 10-11 Februari tahun 1996 di daerah aliran sungai Ciliwung (Rachmawati et al. 2004). Dampak dari curah hujan ekstrim seringkali menimbulkan permasalahan yang serius bagi kehidupan manusia. Informasi terjadinya perubahan curah hujan dalam perioda klimatologis penting bagi sektor yang membutuhkan data curah hujan harian untuk menjalankan kegiatannya (misalnya: pertaninan, perkebunan, pariwisata dll), sehingga jika terjadi perubahan curah hujan harian dapat segera menyesuaikan kegiatannya. Menurut Maddox (1998), ada tiga karakteristik yang digunakan untuk menentukan apakah badai kompleks adalah MCC. Karakteristik tersebut adalah suhu awan bagian atas pada pencitraan satelit inframerah. Suhu awan atas -32oC atau kurang perlu untuk menutupi area seluas 100.000 km2 atau lebih besar bersama dengan suhu terdingin atas awan yang kurang dari atau sama dengan -52oC seluas minimal 50.000 km2. Karakteristik kedua adalah bahwa bentuk puncak awan dingin kompleks perlu melingkar atau hampir ~ 285 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
bundar. Hal ini untuk membedakan MCC dari squall lines dan kompleks badai lainnya. Panjang (panjang terpendek) dari MCC harus setidaknya 70% dari lebar (panjang tegak lurus terpanjang dengan panjang lebih pendek). Dengan demikian, MCC akan memiliki bentuk tipe elips atau melingkar dengan eksentrisitasnya (sumbu minor/sumbu utama) lebih besar dari atau sama dengan 0,7 pada batas maksimum. Ketiga, MCC harus berlangsung setidaknya 6 jam. Karakteristik dari lingkungan meteorologi dari pembentukan MCC adalah adveksi udara hangat kuat ke dalam pembentukan lingkungan oleh aliran jet tingkat rendah selatan (angin maksimum), adveksi kelembaban yang kuat meningkatkan kelembaban relatif dari pembentukan lingkungan, konvergensi udara di dekat permukaan, dan divergensi udara tinggi. MCC terbentuk melalui proses layer lifting, yang memiliki kecocokan dengan proses pembentukan sistem konvektif menurut Ahrens (2001). Proses layer lifting adalah proses konveksi yang merupakan gabungan dari konveksi mekanis dan termal dan / atau proses konveksi karena fron yang akan menghasilkan suatu fenomena yang biasa disebut deep convection (konveksi tebal) sedangkan menurut Ahrens (2001) menyebutnya sebagai severe thunderstorm. Deep convection / severe thunderstorm pada keadaan tertentu memiliki area antara ratusan hingga ribuan kilometer sehingga termasuk fenomenafenomena cuaca skala meso (Houze, 2004). Proses ini berawal ketika awan konvektif (awan Cb) mencapai saat fase matang/maksimum dimana downdraft sangat dominan membawa endapan turun hingga mencapai permukaan dan mendinginkan massa udara yang ada. Keadaan ini berlangsung terus hingga massa udara yang dingin semakin melebar di sekitar sistem awan, sehingga ada dua massa udara yang berbeda saling bertemu. Massa udara dingin pada bagian bawah sistem dan terus melebar dan massa udara hangat disekitar sistem awan, pada kondisi ini massa udara dingin semakin menyebar berfungsi seperti pengganjal memaksa massa udara hangat dan lembab naik masuk ke dalam sistem (Ahrens, 2001). Pemaksaan naik ini kemungkinan menyebabkan suatu aliran angin kuat sporadis pada lapisan bawah troposfer yang biasa disebut low level jet. Jika keadaan ini terus berulang sebagai hubungan sebab akibat, downdraft mendinginkan massa udara menyebabkan naiknya massa udara hangat disekitarnya - sehingga awan tumbuh – semakin besar pula downdraft dan endapan yang turun, maka sistem konveksi ini akan semakin berkembang terus menjadi sebuah MCC. Naiknya massa udara hangat disekitar batas dari sistem skala meso akibat downdraft yang membawa massa udara dingin ini bisa memicu semakin meluasnya area konvektif skala meso dari keadaan awalnya, dan merupakan salah ~ 286 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
satu hipotesa penyebab pergerakan MCC (Houze, 2004), massa udara dingin pada wilayah downdraft yang tersebar secara horizontal di bawah awan hujan tersebut biasa disebut cold pool (Engerer dkk. 2008) dan cold pool juga merupakan bagian penting dalam pembentukan sel-sel konvektif baru (Wilson dan Schreber, 1986), (lihat Gambar 2.1). Di satu pihak, cold pool akan memutuskan pasokan udara lembab dari lapisan bawah ke dalam sistem awan konvektif dan menyebabkan matinya awan hujan tetapi di pihak lain, cold pool memberikan kontribusi penting dalam pembentukan awan-awan konvektif baru.
Gambar 2.1 Ilustrasi perkembangan cold pool yang menghasilkan konveksi baru. (The COMET Program, 2011). 3.
DATA DAN METODE Studi ini dimulai dengan terlebih dahulu mengidentifikasi dan mendokumentasikan
MCC di Samudera Hindia menggunakan data citra infra merah (IR) MTSAT. Untuk mengidentifikasi dan mendokumentasikan MCC tersebut dilakukan dengan analisa pertama yaitu mengidentifikasi seluruh awan yang menembus di atas lapisan 450 mb (bagian tengah troposfer), sekitar (altitude) 6 – 9 km ketinggian dari permukaan bumi, Kemudian menggunakan karakteristik MCC yang ditentukan oleh Maddox (1980) dengan threshold suhu -33ºC sekitar 241 K sebagai selimut awan yang mewakili area stratus dan inti awan digunakan -53ºC sekitar 221 K sebagai area konvektif, batas suhu ini digunakan untuk menentukan sistem MCC. Secara detail, berikut algoritma / prosedur yang harus dilakukan : 1. Data citra satelit IR1 yang mempunyai nilai suhu puncak awan dalam Kelvin dipilih yang mempunyai nilai lebih kecil dari 241 º K sebagai selimut awan (SA) dan 221 º K sebagai inti awan dingin (IA). Tiap grid yang memenuhi nilai suhu puncak awan tersebut diganti dengan “1” dan yang tidak memenuhi diganti dengan angka “0”, proses ini merubah data satelit dalam suhu menjadi data biner. 2. Data biner kemudian dicari luasan area yang memenuhi syarat suhu (prosedur 1, pixel yang mempunyai nilai “1” ) dengan menghitung jumlah piksel yang saling terhubung dengan 4 koneksi grid disekitarnya. ~ 287 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
3. Seleksi selanjutnya hanya dipilih area yang memiliki luasan SA ≥ 100.000 km² sekitar 3305 piksel , IA ≥ 50.000 Km² sekitar 1652 piksel. 4. Mencari titik pusat dari area yang terpilih, titik pusat merupakan pusat massa dari area yang saling terkoneksi. Untuk mencari titik pusat dapat dilakukan dengan rumus (Carvhalo dan Jones, 2001). N
Xo
N
Xi 1
N
;
dan Yo
Y
i
1
(3.1)
N
Dimana Xi=posisi piksel ke-i pada sumbu X;Yi= posisi piksel ke-i pada sumbu Y; X0 dan Y0 = centroid; N = luasan area / total piksel. 5. Dalam kriteria MCC menurut Maddox (1980) harus mempunyai Eksentrisitas ≥ 0,7, dalam kajian ini dilakukan pengujian untuk menghitung Eksentrisitas atau tingkat kelonjongan dengan Metode Emperical Ortogonal Function (EOF). Dari hasil penelitian Ismanto (2011), metode EOF lebih bagus dibanding metode lain yaitu Machado dan Ellips Fitting, eksentrisitas merupakan salah satu alat untuk menentukan bentuk kelonjongan dari suatu gambar (sistem awan). Eksentrisitas ini memiliki nilai antara 0 hingga 1, untuk metode EOF nilai “0” menunjukkan bahwa benda tersebut lebih berbentuk lonjong demikian sebaliknya nilai ”1” benda tersebut adalah bulat / lingkaran. Setelah diidentifikasi, terlebih dahulu dilakukan studi kasus untuk menganalisis MCC saat fase awal, fase maksimum, dan fase punah serta untuk mengidentifikasi adanya cold pool pada saat kejadian MCC tersebut berdasarkan analisis pertumbuhan konveksi baru dari sistem MCC dan analisis spasial indek konvektif dan anomali vektor angin, lalu menganalisis pergerakan MCC, serta kemudian menganalisis keterkaitan MCC terhadap curah hujan ekstrem tersebut, dan terkahir melakukan analisis komposit MCC dan curah hujan. Data angin permukaan dipergunakan untuk melihat pengaruh MCC terhadap angin permukaan dan menganalisis aktivitas konvektif. Data angin permukaan yang digunakan yaitu Cross-Calibrated Multi-Platform (CCMP) yang merupakan penggabungan antara data angin permukaan yang diturunkan sumber konvensional (pengamatan kapal) dan in situ (buoys) dan beberapa satelit ke dalam analisis global yang mendekati konsisten dengan resolusi 25 km setiap 6 jam-an.
~ 288 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Untuk mengetahui derajat aktivitas konveksi di tiap titik grid pengamatan, digunakan suatu parameter indek konvektif (Ic) berdasarkan data tbb dengan perumusan sebagai berikut : Ic =255 – TBB ;
untuk TBB < 255 K
Ic = 0 ;
untuk TBB ≥ 255 K
4.
(3.2)
HASIL DAN PEMBAHASAN Pada studi kasus yaitu tanggal 27–28 Oktober 2007, telah diidentifikasi adanya
MCC yang terjadi di Samudera Hindia. Identifikasi ini menggunakan data black body temperature (tbb) dari data MTSAT IR1 dengan berdasarkan karakteristik MCC dari Maddox (1980). Evolusi pertumbuhan MCC dari fase awal sampai fase punah pada kasus ini diperlihatkan pada gambar 4.1. MCC pertama muncul sebagai kumpulan awan-awan skala kecil saat pukul 15.00 UTC tanggal 27 Oktober 2007 pada garis bujur 93-98 oBT dan garis lintang 4-8 oS (lihat Gambar 4.1.a), kemudian karena keadaan termodinamis dan fisis yang sangat mendukung sehingga menghasilkan sistem awan skala meso dan berkembang menjadi MCC fase awal (inisiasi) sekitar pukul 18.00 UTC tanggal 27 Oktober 2007 pada bujur 94-98 oBT dan garis lintang 4-6 oS (lihat Gambar 4.1.b). Secara luasan MCC ini mencapai keadaan maksimum saat pukul 00.00 UTC tanggal 28 Oktober 2007 pada garis bujur 94-102 oBT dan 2-6 oS (lihat gambar 4.1.d), dan pada fase maksimum ini, terlihat inti awan menjadi lebih besar. MCC mencapai fase punah setelah pukul 06.00 UTC tanggal 28 Oktober 2007 (lihat Gambar 4.1.f), pada fase ini, terlihat inti awannya pecah dan kembali membentuk awan-awan skala kecil dan selimut awannya membesar. Kasus ini menarik dilakukan karena evolusi pertumbuhan MCC dari fase awal sampai fase punah pada kasus ini terlihat jelas dan konsisten dengan hasil penelitian Cotton, dkk (1989) dan Maddox (1980) yang menyatakan bahwa pada fase awal terlihat adanya awan-awan skala kecil dan pada fase maksimum, awan-awan skala kecil tersebut menjadi inti awan skala besar dan maksimum, lalu pada fase punah, inti awannya pecah dan kembali membentuk awan-awan skala kecil dan selimut awannya membesar. MCC pada kasus ini juga menarik karena memiliki masa hidup yang cukup panjang yaitu 15 jam. Hal yang juga menarik dari kasus ini adalah terlihat adanya pergerakan awan-awan konvektif saat dimulainya fase punah MCC pada pukul 06:00 UTC dari area teerjadinya MCC di Samudera Hindia menuju pulau Sumatera, hal ini mengidentifikasikan adanya pengaruh dari MCC terhadap aktivitas konvektif disekitarnya, untuk memperkuat asumsi ~ 289 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
itu, dilakukan juga analisis terhadap angin permukaan saat kejadian MCC tersebut, seperti terlihat pada gambar 4.2.
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)
(h)
Gambar 4.1. TBB dari data MTSAT IR1 yang menunjukkan evolusi perkembangan MCC di Samudera Hindia, dari fase awal sampai fase punah. Lingkaran merah menunjukkan area terjadinya MCC. Gambar 4.2 menunjukkan anomali angin permukaan dan indek konvekti pada saat fase awal, fase maksimum dan fase punah dari MCC. Pada saat fase awal (lihat gambar 4.2.a) terlihat bahwa adanya konvergensi angin permukaan yang diperkirakan membawa massa udara dari segala arah menuju suatu area disekitar 98oE-102oE dan 2oS-4oS, konvergensi angin ini terus berlanjut sehingga membentuk awan konvektif dengan skala besar, dan awan konvektif pada kondisi ini disebut fase maksimum pada sistem MCC dengan area sekitar 94oE-102oE dan 1oS -6oS, pukul 00.00 UTC (Lihat gambar 4.2.b), MCC mulai punah pada pukul 06.00 UTC, saat kondisi ini, sudah terlihat adanya divergensi angin/penyebaran angin di area MCC, angin ini diestimasi sebagai angin yang terjadi dari mekanisme cold pool, hal ini juga diperkuat dengan adanya sel konvektif baru di sekitar area MCC yang sudah mulai mengalami kepunahan (Lihat gambar 4.2.c) , Pada pukul 12.00 UTC, MCC sudah benar mengalami fase punah, dan sudah terlihat adanya pergerakan awan konevktif dari area MCC menuju pulau Sumatera. Sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya pengaruh MCC terhadap awan konvektif disekitarnya.
~ 290 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
(b)
(a)
(d) (c) Gambar 4.2. Indek konvektif dan anomaly vector angin permukaan pada a) fase awal dari MCC pada 18.00 UTC 27 Oktober 2007. b) Fase maksimum MCC pada 00.00 UTC 28 Oktober 2007, c dan d) fase punah MCC pada 06.00 UTC sampai 12.00 UTC. Gambar 4.3 menunjukkan estimasi curah hujan menggunakan data TRMM, estimasi curah hujan pada saat fase awal dari MCC pada tanggal 27 oktober 2007, pukul 18.00 UTC diperlihatkan pada gambar 4.3.a, dimana curah hujan yang terjadi membentuk pola yang sama seperti gambar 4.1.a pada area garis bujur 93-98 oBT dan garis lintang 4-8 o
S, hal ini menunjukkan bahwa sudah terjadinya curah hujan di area terbentuknya MCC.
Curah hujan tinggi di area MCC pada garis bujur 94-102 oBT dan 2-6 oS terlihat ketika terjadinya fase maksimum MCC, seperti terlihat pada gambar 4.3.b. Curah hujan tinggi terlihat di atas Sumatera ketika terjadinya fase punah MCC pada tanggal 28 Oktober 2007, pukul 12.00 UTC, hal ini memperkuat analisis sebelumnya pada gambar 4.2.d bahwa adanya pergerakan awan konvektif dari area MCC pada saat fase punah menuju pulau Sumatera, sehingga adanya pengaruh MCC terhadap awan konvektif disekitarnya yang mengakibatkan curah hujan tinggi di sekitarnya yaitu pulau Sumatera.
~ 291 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Gambar 4.3 Estimasi curah hujan dari data TRMM (3 jaman) ketika terjadinya MCC pada saat; a) Fase awal MCC, b) Fase maksimum MCC, c) Fase punah MCC.
Gambar 4.4 Curah hujan dan suhu permukaan di Bengkulu saat terjadinya MCC.
Gambar 4.4 memperkuat analisis gambar 4.3, dimana terlihat bahwa adanya curah hujan tinggi di daerah Bengkulu pada saat fase punah MCC tanggal 28 Oktober 2007, pukul 06.00 UTC sampai pukul 12.00 UTC, dan curah hujan meningkat tajam pada pukul 09.00 UTC. Suhu permukaan di Bengkulu juga mengalami penurunan drastis terutama pukul 09.00 – 11.00 UTC, kejadian penurunan suhu permukaan yang drastis tersebut disebabkan adanyak mekanisme cold pool yang terjadi pada saat adanya MCC. Untuk menguji konsistensi pengaruh MCC di Samudera Hindia terhadap aktivitas konvektif disekitarnya, maka dilakukan proses komposit untuk masing-masing kejadian MCC yang muncul pada area yang sering terjadinya MCC. Area yang dikaji dimisalkan area A, seperti terlihat pada lingkaran biru dalam gambar 4.5.a yang terjadi pada area sekitar 94-
99oBT dan 0-4oLU, analisis komposit kejadian MCC dilakukan pada fase maksimum pukul 00.00 UTC, pengambilan waktu ini dikarenakan frekuensi kejadian fase maksimum dari KKSM tersebut lebih banyak terjadi pada pukul 00.00 UTC. Gambar 4.5.b menunjukkan bahwa adanya MCC pada area A.
~ 292 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
(b)
(a)
Gambar 4.5 a) Sebaran kejadian KKSM/MCC di Samudera Hindia selama 10 tahun (2000-2009), lingkaran biru menunjukkan area A (area MCC). b) Komposit KKSM/MCC fase maksimum pada area A selama 10 tahun (2000-2009) Dari Analisis komposit kejadian MCC pada area A di Samudera Hindia (Gambar 4.6) menunjukkan konsisten dengan hasil studi kasus, dimana adanya pengaruh besar dari MCC pada aktivitas konvektif di sekitarnya sehingga menyebabkan curah hujan tinggi di atas wilayah Sumatera. Dan juga teridentifikasinya cold pool pada saat kejadian MCC dengan adanya konveksi baru di sekitar MCC dan pola anomali angin yang tidak merepresentasikan angin darat/laut. Dimana cold pool adalah area pendinginan secara evavorasi dari downdraft udara yang menyebar horizontal dibawah awan MCC, dan cold pool ini bisa menjadi fokus penting bagi perkembangan sel konvektif baru, karena beberapa lingkungan udara yang mendekati cold pool diangkat ke atas, Wilson dan Schreiber (1986).
~ 293 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Gambar 4.6 Analisis komposit untuk indek konvektif dan anomali vektor angin ketika terjadi MCC di area A. Gambar 4.7 memperlihatkan pengaruh MCC pada area A terhadap curah hujan di atas Kototabang, Sumatera Barat. Curah hujan terjadi sejak pukul 06.00 UTC dan berlangsung terus menerus sampai pukul 21.00 UTC. Hasil ini konsisten dengan hasil penelitian (Maddox, 1980; Fritsch dkk., 1986; McAnelly dan Cotton, 1989) bahwa fenomena KKSM ini dapat menghasilkan cuaca buruk dan hujan yang terus menerus. Dimana hujan seperti ini diketahui telah menyebabkan bencana banjir di berbagai tempat seperti: Asia Timur (Ninomiya dkk,1981; Chen dan Li, 1995), Amerika Selatan Subtropis
Curah Hujan (mm)
(Durkee dan Mote, 2009) dan Amerika Serikat (Maddox,1981).
Komposit Curah Hujan di Atas Kototabang Pada Saat Kejadian KKSM di Area A (Data AWS)
waktu (UTC)
Gambar 4.7 Analisis komposit curah hujan di Kototabang Sumatera Barat saat terjadinya MCC di area A
~ 294 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
5.
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
KESIMPULAN MCC bisa menghasilkan curah hujan ekstrem melalui mekanisme cold pool dengan
sistem pembentukan sel konveksi baru yang menginduksi pertumbuhan konveksi disekitarnya sehingga membuat pertumbuhan awan konveksi yang cukup signifikan disekitarnya sehingga bisa menyebabkan curah hujan ekstrem.
UCAPAN TERIMA KASIH: Penulis mengucapkan terimakasih pada Dr. Tri Wahyu Hadi sebagai dosen sains kebumian ITB dan Ass Prof. Dr. Yasumasa Kodama (Hirosaki University – Japan) yang telah bersedia berdiskusi dengan penulis tentang penelitian ini.
DAFTAR RUJUKAN Ashley, W. S. (2003) : A Distribution of Mesoscale Convective Complexe Rainfall in the United State. Monthly weather Review, 131, 3003 – 301. Durkee, J. D., Mote, T. L. dan Shepherd, M. J. (2009): The Contribution of Mesoscale Convective Complexes to Rainfall across, Subtropical South America. Journal of Climate.,vol 22. Fritsch, J. M., Kane, R. J. dan Chelius, C. R. (1986) : The Contribution of Mesoscale Convective Weather System to the Warm Season Precipitation in the United States. Journal of Climate., 25, 1333 - 1345. Houze, R. A. Jr. (2004) : Mesoscale Convective System, Review of Geophisics, American Geophisical Union, 43 pp. Laing, A. G. dan Fritsch, J. M. (1993a) : Mesoscale Convective Complexes Over the Indian Monsoon Region. Monthly Weather Review, 121, 2254 – 2263. Ismanto, H. (2011): Karakteristik Kompleks Konvektif Skala Meso di Benua Maritim, Tesis Magister, FITB, ITB. Maddox, R. A. (1980) : Mesoscale Convective Complexes, Bulletin American Meteorology Society. 61, 1374 - 1387. Miller, D. dan Fritsch, J. M. (1991): Mesoscale Convective Complexe in Western Pasific Region. Monthly Weather Review., 119, 2978 – 2992. Takahashi, C., Uyeda, H., Maki, M., Iwanami, K., Misumi, R. (2008) : Relationship among Structure, Development Processes, and Heating Profiles for Two Mesoscale Convective Systems in Inactive Phase of a Large-Scale Disturbance over Northern Australia during the Southern Summer in 1998-1999. Journal of the Meteorological Society of Japan, 86, 81 – 117.
~ 295 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
KARAKTERISTIK HARIAN DAN DISTRIBUSI MUSIMAN DARI KOMPLEKS KONVEKTIF SKALA MESO DI SAMUDERA HINDIA SELAMA 10 TAHUN (PERIODE 2000-2009) Trismidianto Bidang Pemodelan Atmosfer, Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional email:
[email protected]
Abstract Effects of Mesoscale Convective Complexes (MCC) in Indian Ocean on convections over Sumatera Island have been investigated using Multi-functional Transport SATellite (MTSAT) infrared (IR1) imageries, Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) rainfall data, and Cross-Calibrated Multi-Platform (CCMP) surface wind data of 10-year period (2000-2009). Occurrences of MCC were identified using an algorithm that combines criteria of cloud coverage, eccentricity, and cloud lifetime. Then, we do analyze of the spatial and temporal characteristics of daily and seasonal distribution of MCC in the Indian Ocean for 10 years. And also study the relationship MCC against convective index and surface wind anomalies. From this study, we found about a number of 553 MCC events have been identified over western Indian Ocean or there are about 55 MCC events per year in average. However, it is of interest to note MCC events tend to occur with significantly higher frequency during the monsoon transition season of March- April-May (MAM) period. Available data suggest that the life cycle of MCCs over western Indian Ocean is about 12 to 15 hours. The daily characteristics of MCC in the Indian Ocean shows that the initial phase of MCC common in 17:00 UTC, and the maximum phase of MCC dominant occurred at 00:00 UTC, while the dissipation phase of MCC dominant occurs at 12:00 UTC. And we also found a strong linkage between MCC with the convective index, especially in DJF and JJA seasons, and MCC affecting the convective clouds in the surrounding area for every season. Distribution of convective index during dissipation phase of MCC every season of DJF, MAM, JJA and SON shows the number of distribution of convective cloud over the Sumatra island, which had not previously seen in the maximum phase of MCC, it indicates that there are movement of the convective cloud when the dissipation phase of MCC. Keyword: MCC, Convective Index, Indian Ocean Abstrak Pengaruh konvektif komplek skala meso (KKSM) atau Mesoscale Convective Complexes (MCC) di Samudera Hindia terhadap konveksi di atas pulau sumatera sudah diinvestigai menggunakan data citra satelit Multi-functional Transport SATellite (MTSAT), data curah hujan dari Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) dan data angin permukaan Cross-Calibrated Multi-Platform (CCMP) selama 10 tahun (2000-2009). Kejadian MCC diidentifikasi menggunakan sebuah algoritma yang mengkombinasikan criteria tutupan awan, eksentrisitas dan lama hidup awan. Dan kami melakukan analisis spasial dan temporal terhadap karakteristik harian dan distribusi musiman dari KKSM di Samudera
~ 296 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Hindia selama 10 tahun. Dan juga kajian keterkaitan KKSM terhadap indek konvektif dan anomali angin permukaan. Dari penelitian ini diperoleh sekitar 553 kejadian KKSM dan rata-rata 55 kejadian MCC per tahunnya. Oleh karena itu, meanrik ditulis KKSM cenderung terjadi dengan frekuensi tinggi yang signifikan pada musim transisi yaitu Maret, April dan Mei (MAM). Diperolehnya data yang menunjukkan bahwa KKSM mempunyai siklus hidup yang cukup panjang sekitar 12-15 jam. Karakteristik harian KKSM di Samudera Hindia menunjukkan bahwa fase awal KKSM sering terjadi pada pukul 17:00 UTC, dan fase maksimum KKSM dominan terjadi pada pukul 00:00 UTC, sedangkan fase punah dominan terjadi pada pukul 12:00 UTC. Dan dihasilkan juga bahwa adanya keterkaitan yang cukup kuat antara kejadian KKSM dengan indek konvektif terutama pada musim DJF dan JJA, serta KKSM mempengaruhi awan konvektif disekitarnya untuk setiap musim. Distribusi indek konvektif pada saat fase punah KKSM setiap musim DJF, MAM, JJA dan SON memperlihatkan banyaknya distribusi awan konvektif di atas pulau sumatera, yang sebelumnya tidak terlihat pada fase maksimum KKSM, hal ini menunjukkan bahwa adanya pergerakan awan konvektif saat terjadinya fase punah dari KKSM. Kata Kunci: KKSM, Indek konvektif, Samudera Hindia
1.
PENDAHULUAN Fenomena Kompleks Konvektif Skala Meso (KKSM) atau yang biasa juga disebut
Mesoscale Convective Complexes (MCC) ini telah dikaji banyak peneliti dalam kurun waktu lebih dari tiga dekade, namun penelitian-penelitian tersebut banyak dilakukan di Asia Timur, Amerika Selatan Subtropis, Amerika Serikat. Belum ada yang meneliti secara rinci di Benua Maritim Indonesia (BMI). Salah satu penelitian KKSM yang dimulai di Benua Maritim adalah oleh Laing dan Fritsch (1997), Namun hasil kajian Laing dan Fritsch menunjukkan bahwa Samudera Hindia bukan merupakan tempat munculnya KKSM (Lihat Gambar 1.1.a, Kemudian tahun 2010, Yuan dan Houze juga melakukan penelitian KKSM di BMI. (Lihat Gambar 1.1.b). Menurut Yuan dan Houze (2010), BMI merupakan area munculnya KKSM, dan sering muncul di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, kondisi lautan di BMI merupakan tempat yang sangat cocok untuk tumbuhnya KKSM dengan ukuran yang besar. namun penelitian Yuan dan Houze ini, hanya memperlihatkan bahwa KKSM juga terjadi di Samudera Hindia, namun belum secara rinci membahas karakteristik KKSM di Samudera Hindia.
~ 297 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
(b)
(a)
Gambar 1.1 a) Distribusi spasial KKSM menurut Laing dan Fritsch (1997), dan b) Distribusi spasial KKSM menurut Yuan dan Houze (2010). Ismanto H dan Hadi TW (2011) dalam penelitian tesisnya menunjukkan hasil yang konsisten dengan hasil yang telah dilakukan Yuan dan Houze 2010, dimana KKSM sering muncul di BMI terutama muncul di wilayah lautan luas (Samudera Hindia Barat Sumatera dan Samudera Pasifik Utara Papua), dan di daratan luas Di benua maritim (Pulau Papua, Pulau Kalimantan, beberapa di Sumatera). Namun, penelitian ini juga belum secara rinci membahas distribusi KKSM di Samudera Hindia. Kenapa KKSM ini penting dikaji karena hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa fenomena ini dapat menghasilkan cuaca buruk dan hujan yang terus menerus (Maddox, 1980; Fritsch dkk., 1986; McAnelly dan Cotton, 1989). Hujan seperti ini diketahui telah menyebabkan bencana banjir di berbagai tempat seperti: Asia Timur (Ninomiya dkk,1981; Chen dan Li, 1995), Amerika Selatan Subtropis (Durkee dan Mote, 2009) dan Amerika Serikat (Maddox,1981). Menurut Yuan dan Houze (2010) dan Yuan dan Houze (2011) serta diperkuat oleh Ismanto (2011), Benua Maritim merupakan area munculnya sistem konveksi skala meso besar yang terpisah-pisah (individu) ataupun yang saling terkoneksi (termasuk didalamnya adalah KKSM). Oleh karena itu, penelitian ini akan mengkaji bagaimana karakteristik harian dan distribusi musiman dari KKSM di Samudera Hindia. 2.
TINJAUAN PUSTAKA KKSM merupakan populasi Mesoscale Convective System (MCS) yang hidup
terbesar dan terpanjang, sedangkan MCS secara luas dapat didefinisikan sebagai sistem awan terkait dengan ansambel dari badai dengan curah hujan daerah berdekatan. biasanya, skala horisontal mereka dapat memperpanjang 100 km atau lebih dalam satu arah, dan siklus hidup mereka dapat berlangsung dari beberapa jam selama 2-3 hari (Houze, 1993). KKSM terbentuk melalui proses layer lifting, yang memiliki kecocokan dengan proses pembentukan sistem konvektif menurut Ahrens (2001). Proses layer lifting adalah proses konveksi yang merupakan gabungan dari konveksi mekanis dan termal dan / atau proses
~ 298 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
konveksi karena fron yang akan menghasilkan suatu fenomena yang biasa disebut deep convection (konveksi tebal) sedangkan menurut Ahrens (2001) menyebutnya sebagai severe thunderstorm. Deep convection / severe thunderstorm pada keadaan tertentu memiliki area antara ratusan hingga ribuan kilometer sehingga termasuk fenomenafenomena cuaca skala meso (Houze, 2004).
Gambar 2.1 (a) Skema ideal melintang pembalikan suatu lapisan konvektif. Garis bentuk awan adalah batas awan, garis kontur utuh setiap 4 K menunjukkan temper ture potenti l equiv lent θe , garis utuh tebal menunjukkan zona fron, arsiran terang menunjukkan area θe rendah, arsiran gelap menggambarkan lapisan lembab labil (Bryan dan Fritsch, 2000 dalam Houze, 2004). (b) Mekanisme fron skala kecil di daerah tropis (Ahrens, 2001). Menurut Laing (2003), ada beberapa keadaan lingkungan skala luas yang secara khas muncul sebagai bagian proses layer lifting antara lain (Gambar 2.1.a dan b): adanya angin kecepatan tinggi di bagian bawah troposfer yang sporadis (low level jet) yang memiliki temperatur potensial ekivalen yang tinggi (θe) menyusup / masuk ke daerah pembentukan yang memaksa suatu kumpulan massa udara (lapisan) terangkat naik secara dangkal diantara lapisan dasar permukaan yang relatif udaranya lebih dingin. Nampak jelas bahwa adveksi hangat disertai pembelokan troposfer bawah yang sangat kuat menutupi lapisan dasar permukaan yang lebih dingin. Kondisi maksimum lokal dari kelembaban relatif (relative humidity) merupakan tanda dari area favorit pembentukan dari sistem konvektif ini. Menurut Maddox (1998), ada tiga karakteristik yang digunakan untuk menentukan apakah badai kompleks adalah KKSM. Karakteristik tersebut adalah suhu awan bagian atas pada pencitraan satelit inframerah. Suhu awan atas atau selimut awan adalah -32oC atau kurang perlu untuk menutupi area seluas 100.000 km2 atau lebih besar bersama dengan suhu terdingin atas awan atau inti awan yang kurang dari atau sama dengan -52oC
~ 299 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
seluas minimal 50.000 km2. Karakteristik kedua adalah bahwa bentuk puncak awan dingin / inti awan kompleks perlu melingkar atau hampir bundar. Hal ini untuk membedakan KKSM dari squall lines dan kompleks badai lainnya. Panjang (panjang terpendek) dari KKSM harus setidaknya 70% dari lebar (panjang tegak lurus terpanjang dengan panjang lebih pendek). Dengan demikian, KKSM akan memiliki bentuk tipe elips atau melingkar dengan eksentrisitasnya (sumbu minor/sumbu utama) lebih besar dari atau sama dengan 0,7 pada batas maksimum. Ketiga, KKSM harus berlangsung setidaknya 6 jam. Karakteristik dari lingkungan meteorologi dari pembentukan KKSM adalah adveksi udara hangat kuat ke dalam pembentukan lingkungan oleh aliran jet tingkat rendah selatan (angin maksimum), adveksi kelembaban yang kuat meningkatkan kelembaban relatif dari pembentukan lingkungan, konvergensi udara di dekat permukaan, dan divergensi udara tinggi.
3.
DATA DAN METODE Identifikasi KKSM dilakukan menggunakan data citra infra-red (IR1) dari Multi-
functional Transport SATellite (MTSAT) dengan membuat algoritma untuk digunakan dalam mendeteksi KKSM dari data citra IR1 yang dibangun dengan menggabungkan beberapa kriteria dari luasan tutupan awan, tingkat kelonjongan dan lama masa hidupnya, seperti terlihat pada tabel 3.1. Tabel 3.1 Kriteria Penentuan KKSM (Maddox, 1980) Kriteria Ukuran
Inisiasi/Awal Masa Hidup Batas Maksimum Bentuk Terminasi/Akhir
Karakteristik Fisik SA - Mempunyai suhu SA ≤ -32oC yang menutupi area seluas ≥ 100.000 km2 IA - Mempunyai suhu IA ≤ -52oC yang menutupi area seluas ≥ 50.000 km2 KKSM berawal dengan terpenuhinya ukuran SA dan IA Masa hidupnya ≥ 6 Jam Batas fase maksimum KKSM dinyatakan ketika IA mencapai luas maksimum Mempunyai eksentrisitas/kelonjongan (sumbu minor/sumbu mayor) ≥ 0.7 pada waktu mencapai batas maksimum KKSM berakhir dengan mengecilnya ukuran SA dan IA
Setelah KKSM teridentifikasi lalu dilakukan analisis spasial dan temporal terhadap karakteristik harian dan distribusi musiman dari KKSM di Samudera Hindia selama 10 tahun. Dilakukan juga kajian keterkaitan KKSM terhadap indek konvektif dan anomali angin permukaan.
~ 300 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Data angin permukaan dipergunakan untuk melihat pengaruh KKSM terhadap angin permukaan dan menganalisis aktivitas konvektif. Data angin permukaan yang digunakan
yaitu
Cross-Calibrated
Multi-Platform
(CCMP)
yang
merupakan
penggabungan antara data angin permukaan yang diturunkan sumber konvensional (pengamatan kapal) dan in situ (buoys) dan beberapa satelit ke dalam analisis global yang mendekati konsisten dengan resolusi 25 km setiap 6 jam-an, sehingga data angin permukaan menjadi lengkap secara global di seluruh wilayah bumi. Data angin permukaan ini
tersedia
dari
tahun
1987–2008
dan
dapat
diunduh
melalui
http://dss.ucar.edu/datasets/ds744.9. Namun pada penelitian ini hanya digunakan periode data dari tahun 2000 sampai 2009. Untuk mengetahui derajat aktivitas konveksi di tiap titik grid pengamatan, digunakan suatu parameter indek konvektif (Ic) berdasarkan data tbb dengan perumusan sebagai berikut : Ic =255 – TBB ;
untuk TBB < 255 K
Ic = 0 ;
untuk TBB ≥ 255 K
(3.1)
Dimana 255 K ini secara umum dapat disamakan temperatur atmosfer pada level ketinggian sekitar 400 hPa, sehingga nilai Ic ini menunjukkan suatu indek awan-awan konveksi yang puncak awannya mencapai level ketinggian di atas 400 hPa. Dalam penelitian ini, untuk menghitung Ic digunakan persamaan (III.1) tersebut, dengan pertimbangan bahwa penggunaan nilai batas 255 K sudah dapat mencirikan aktivitas konveksi yang kuat, dan sudah dapat mereduksi pengaruh variasi temperatur permukaan.
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi kejadian KKSM di wilayah Samudera Hindia sudah dilakukan
menggunakan data MTSAT IR1 dan mengacu pada karakteristik KKSM yang ditentukan oleh Maddox (1980), dan secara rinci karakteristik tersebut dibuat algoritma dalam pemrograman menggunakan Software Matlab serta divalidasi secara manual sehingga sudah diperoleh hasil bahwa terdapat sekitar 553 KKSM yang terjadi di daerah Samudera Hindia selama 10 tahun periode Januari – Desember (2000-2009). MCS yang terjadi merupakan MCS besar yang terpisah-pisah (individu) ataupun yang saling terkoneksi termasuk KKSM, hal ini sesuai dengan Yuan dan Houze (2010) serta Ismanto (2011) bahwa BMI merupakan area munculnya MCS besar yang terpisah-pisah (individu) ataupun yang saling terkoneksi (termasuk didalamnya adalah KKSM) terutama di daerah Samudera Hindia. (Lihat Gambar 4.1). ~ 301 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Gambar 4.1 Distribusi kejadian KKSM di Samudera Hindia selama 10 tahun (2000-2009) Pada umumnya sistem KKSM dikenal sebagai sistem nocturnal yang mana fase awal /tumbuh sekitar sore hingga malam hari sekitar pukul 22.00 (waktu lokal), dan saat fase maksimumnya terjadi antara pukul 23.00-05.00 (waktu lokal), lalu dilanjutkan fase akhir (menghilangnya KKSM) sekitar pukul 08.00-10.00 (waktu lokal) dengan lama hidup secara rata-rata sekitar 11-12 jam. Hal ini berbeda dengan KKSM yang diperoleh pada hasil penelitian ini dimana secara umum KKSM di Samudera Hindia dominan muncul lebih awal pada fase awal terjadi menjelang pagi hingga pagi hari pukul 16.00 – 20.00 UTC, fase maksimumnya terjadi sekitar pukul 22.00 – 00.00 UTC dan yang paling mencolok bahwa KKSM di Samudera Hindia sedikit mengalami keterlambatan dalam mencapai fase punah yang mencapai hingga pukul 10.00-12.00 UTC (Lihat Gambar 4.2.a). Sehingga secara umum siklus hidup KKSM di Samudera Hindia lebih lama yang berkisar 12-15 jam (Lihat Gambar 4.2.b), hal ini bisa disebabkan karena keadaan lautan dan atmosfer Samudera Hindia sangat mendukung untuk terbentuknya konveksi yang tebal dan di lautan luas siklus diurnal dalam kondisi lemah sehingga membuat sistem KKSM ini mencapai keadaan maksimum, hasil ini konsisten dengan hasil dari Mori dkk (2004) mengungkapkan bahwa puncak hujan konvektif terjadi antara pukul 15.00-20.00 di darat sedangkan pada pagi hari di sekitar laut, komposisi hujan merupakan perpaduan antara tipe stratiform dan konvektif.
~ 302 ~
Bandung, 28 Agustus 2013
Karakteristik Harian Komplek Konvektiv Skala Meso di Samudera… Fase Awal
Jumlah Kejadian KKSM
Jumlah Kejadian
Seminar Sains Atmosfer 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Lama Fase KKSM (20002009)
Jam (UTC)
Lama Fase KKSM (Jam)
(a)
(b)
Gambar 4.2. a) Karakteristik harian KKSM di Samudera Hindia selama 10 tahun (20002009). b) Lama fase KKSM selama 10 tahun (2000-2009)
Berdasarkan gambar 4.3.a) terlihat bahwa
KKSM yang muncul di Samudera
Hindia banyak terjadi pada tahun 2004 dan 2005, dan dari seluruh kejadian KKSM yang terjadi di Samudera Hindia selama 10 tahun, persentase kejadian KKSM banyak terjadi
Jumlah Kejadian KKSM
Jumlah Kejadian KKSM di Wilayah Samudera Hindia dan 2 Sekitarnya (2000-2009) 0 0 0
Bulan
2 0 0 1
Persentase Kejadian
pada musim transisi yaitu bulan Maret, April, Mei (MAM) (Lihat Gambar 4.3.b).
Persentase Kejadian KKSM pada saat bulan DJF, MAM, JJA, SON(2000-2009)
Bulan
(a) (b) Gambar 4.3 a) Jumlah kejadian KKSM di Samudera Hindia selama 10 tahun (20002009), b) Persentase kejadian KKSM pada saat bulan DJF, MAM, JJA, dan SON. Gambar 4.4 memperlihatkan keterkaitan distribusi kejadian KKSM di Samudera Hindia dan indek konvektif serta anomali vektor angin permukaan untuk setiap musim di Indonesia selama 10 Tahun (2000-2009), dari area lingkaran merah pada gambar 4.4 kiri dan kanan terlihat adanya indek konvektif yang cukup kuat pada area tersebut, dimana pada saat itu terjadi banyak KKSM di area tersebut, Namun musim DJF dan JJA yang memperlihatkan hubungan kuat antara kejadian KKSM dengan indek konvektif, sedangkan pada musim MAM dan SON tidak memperlihatkan keterkaitan yang cukup kuat sehingga walaupun menurut gambar 4.3.b bahwa MCC lebih banyak terjadi pada musim MAM, namun MCC yang terjadi pada bulan tersebut tidak terlalu mempengaruhi curah hujan disekitarnya karena tidak memperlihatkan keterkaitan yang cukup kuat dengan indek
~ 303 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
konvektif, sedangkan angin permukaan memperlihatkan keterkaitan yang cukup kuat pada musim JJA dan SON, dimana adanya konvergensi angin permukaan pada area lingkaran merah tersebut yang menandakan adanya pembentukan KKSM.
~ 304 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Gambar 4.4 kiri: Distribusi KKSM pada saat fase maksimum saat musim DJF, MAM, JJA dan SON selama 10 tahun di Samudera Hindia. Kanan: Distribusi indek konvektif dan anomaly vector angin pada saat fase maksimum KKSM saat musim DJF, MAM, JJA dan SON selama 10 tahun di Samudera Hindia. Gambar 4.5 memperlihatkan distribusi indek konvektif pada saat fase punah KKSM, dimana terlihat bahwa pada saat fase punah KKSM, terjadi banyaknya distribusi awan konvektif di atas pulau sumatera, yang sebelumnya tidak terlihat pada fase maksimum KKSM seperti terlihat pada gambar 4.4 (kanan). Hal ini menunjukkan bahwa adanya pergerakan awan konvektif saat terjadinya fase punah dari KKSM.
~ 305 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Gambar 4.5 Distribusi indek konvektif pada saat fase punah KKSM saat musim DJF, MAM, JJA dan SON di Samudera Hindia selama 10 tahun (2000-2009). 5.
KESIMPULAN Terdapat sekitar 553 kejadian KKSM selama 10 tahun di Samudera Hindia dengan
siklus hidup yang cukup panjang sekitar 12-15 jam dan KKSM di Samudera Hindia sering terjadi pada musim transisi yaitu Maret, April dan Mei (MAM), serta adanya keterkaitan yang cukup kuat antara kejadian KKSM dengan indek konvektif terutama pada musim DJF dan JJA, serta KKSM mempengaruhi awan konvektif disekitarnya untuk setiap musim. Distribusi indek konvektif pada saat fase punah KKSM setiap musim DJF, MAM, JJA dan SON memperlihatkan banyaknya distribusi awan konvektif di atas pulau sumatera, yang sebelumnya tidak terlihat pada fase maksimum KKSM, hal ini menunjukkan bahwa adanya pergerakan awan konvektif saat terjadinya fase punah dari KKSM.
~ 306 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terimakasih pada Dr. Tri Wahyu Hadi sebagai dosen sains kebumian ITB dan Ass Prof. Dr. Yasumasa Kodama (Hirosaki University – Japan) yang telah bersedia berdiskusi dengan penulis tentang penelitian ini.
DAFTAR RUJUKAN Ahrens, C. D. (2001): Cloud Development and Precipitation. Essentials of Meteorology – An Invitation to the Atmosphere, 504 pp. Anderson, C. J. dan Arrit, R. W. (1998) : Mesoscale Convective Complexes and Persistent Elongated Convective Systems over theUnited state during 1992 and 1993. Monthly weather Review., 126, 578 – 599. Ashley, W. S. (2003) : A Distribution of Mesoscale Convective Complexe Rainfall in the United State. Monthly weather Review, 131, 3003 – 301. Durkee, J. D., Mote, T. L. dan Shepherd, M. J. (2009): The Contribution of Mesoscale Convective Complexes to Rainfall across, Subtropical South America. Journal of Climate.,vol 22. Fritsch, J. M., Kane, R. J. dan Chelius, C. R. (1986) : The Contribution of Mesoscale Convective Weather System to the Warm Season Precipitation in the United States. Journal of Climate., 25, 1333 - 1345. Houze, R. A. Jr. (2004) : Mesoscale Convective System, Review of Geophisics, American Geophisical Union, 43 pp. Houze, R. A. Jr. (2011): Orographic Effect on Precipitating Clouds, Review of Geophisics, American Geophisical Union, 47 pp. Ismanto, H. (2011): Karakteristik Kompleks Konvektif Skala Meso di Benua Maritim, Tesis Magister, FITB, ITB. Laing, A. G. dan Fritsch, J. M. (1997) : The Global Population of Mesoscale Convective Complexes. Q. Journal of Meteorological Society. , 123, 389-405. McAnelly, R. L. dan Cotton, W. R. (1989) : The Precipitation life cycle of Mesoscale Convective Complexes over the Central United States. Monthly Weather Review.,117, 784 - 808. Maddox, R. A. (1980) : Mesoscale Convective Complexes, Bulletin American Meteorology Society. 61, 1374 - 1387. Miller, D. dan Fritsch, J. M. (1991): Mesoscale Convective Complexe in Western Pasific Region. Monthly Weather Review., 119, 2978 – 2992. ~ 307 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Takahashi, C., Uyeda, H., Maki, M., Iwanami, K., Misumi, R. (2008) : Relationship among Structure, Development Processes, and Heating Profiles for Two Mesoscale Convective Systems in Inactive Phase of a Large-Scale Disturbance over Northern Australia during the Southern Summer in 1998-1999. Journal of the Meteorological Society of Japan, 86, 81 – 117. Yuan, J dan Houze, R. A. Jr. (2010): Global Variability of Mesoscale Convective System Anvil Structure from A-Train Satellite Data. Journal of Climate, 23, 5864-5888.
~ 308 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
PENGARUH KEBAKARAN HUTAN TERHADAP AEROSOL DAN OZON TOTAL DI SUMATERA BERDASARKAN MUSIMAN Tuti Budiwati dan Wiwiek Setyawati Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer Dan Iklim-LAPAN Jl. Dr. Djundjunan 133, Bandung, e-mail;
[email protected]
Abstract Total ozone (O3) concentration distributions and hotspot were high during dry season JuneJuly-August (JJA). In the other hand aerosol concentration distributions indicated by Aerosol Optical Depth (AOD483.5nm) was high during transition dry to wet season September-October-November (SON). Maximum total ozone and aerosol (AOD483.5nm) during August and September. High concentration value was correlated well with hotspot indicating forest fires in Sumatera, that was high number of hotspot followed by high concentration during JJA and SON. Total O3 and aerosol data were obtained from AuraOMI sensor (Observation Monitoring Instrument) from NASA from January 2005 to December 2010 for Sumatera region (6.210 S - 6.270 S; 94.580 E - 109.080 E), 0.2500.250 resolution. Hotspot data were obtained from MODIS Aqua/Terra. The data were then plotted by using ARC View/GIS version 3.3. Forest fires occured in 2005-2010 in Sumatera were sources of aerosol and CO and gave impact on total ozone. Results showed that aerosol and cloud formations during DJF had influenced ozone concentration in Indonesia. In the other hand forest fires during SON were correlated well with AOD483.5nm and ozone by 0.522 and significance p< 0.05; hotspot with AOD483.5nm by 0.831 and significance p<0.01 and hotspot with ozone by 0.529. Keywords: Aerosol Optical Depth (AOD), hotspot, total ozone, Sumatera Abstraks Distribusi konsentrasi ozon (O3) total dan titik api adalah tinggi pada saat musim kemarau Juni Juli Agustus (JJA). Sedangkan aerosol yang diindikasikan dengan Aerosol Optical Depth (AOD483,5 nm ) adalah tinggi saat musim peralihan kemarau ke hujan September Oktober Nopember (SON). Konsentrasi maksimum O3 total dan aerosol (AOD 483,5nm) pada bulan Agustus dan September. Nilai konsentrasi yang tinggi terkorelasi dengan baik dengan jumlah titik api yang menandakan adanya kebakaran hutan di wilayah Sumatera, yaitu konsentrasi tinggi jumlah titik api juga banyak pada musim JJA dan SON. Data O3 total, dan aerosol diambil dari sensor Aura-OMI (Observation Monitoring Instrument) dari NASA dari Januari 2005 sampai Desember 2010 untuk wilayah Sumatera (6,210 LS-6,270 LS; 94,580 BT-109,080 BT), dengan resolusi 0,25ox0,25o. Data titik api berasal dari MODIS AQUA/TERRA. Kemudian data-data tersebut digambarkan dengan menggunakan ARV VIEW/GIS versi 3.3. Kebakaran hutan yang terjadi dari tahun 2005 sampai tahun 2010 di Sumatera merupakan sumber dari aerosol dan CO yang berdampak pada O3 total. Hasilnya menunjukkan bahwa terbentuknya aerosol dan awan pada pada DJF telah mempengaruhi konsentrasi ozon di Indonesia. Sebaliknya kebakaran hutan pada musim SON berkorelasi dengan baik yaitu AOD dengan O3 sebesar 0,522 dengan signifikasi p<0,05; titik api dengan AOD sebesar 0,831 dengan signifikansi p<0,01dan titik api dengan O3 sebesar 0,529.
~ 309 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Kata kunci: Aerosol Optical Depth (AOD), titik api, ozon total, Sumatera 1.
PENDAHULUAN Pembakaran biomasa merupakan sumber dari gas-gas telusur yang reaktif seperti
NOx, NMHC, CO dan kurang reaktif seperti CO2, CH4 di daerah tropis selama musim kemarau hasil penelitian Crutzen et al., (1979). Crutzen dan Andreae (1990) menghitung emisi dari oksida karbon (CO2, CO), sulfur dioksida (SO2), nitrogen (NOx, N2O), metan (CH4), metil clorida (CH3Cl), hidrogen (H2) dan aerosol dari pembakaran biomasa di tropik. Kebakaran hutan dan lahan di Sumatera terjadi hampir setiap tahun seiring dengan datangnya musim kemarau. Dampak dari kebakaran hutan adalah turunnya jarak pandang dan meningkatnya gas-gas hasil pembakaran biomass seperti CO2, CO, SO2, NH3, NOx, CH4, CH3Cl, hidrokarbon lainnya dan aerosol ke udara. Gas-gas dan aerosol ini berperanan dalam kimia atmosfer dan iklim global. Gas-gas seperti CO2, CH4, N2O sebagai gas rumah kaca mempunyai peranan meningkatkan temperatur. Selain itu terbentuknya CO akan memicu terbentuknya O3 di atmosfer yang berperanan sebagai oksidator SO2 dan NO2 untuk membentuk asam sulfat dan nitrat yang berdampak terjadinya hujan asam. Karbonmonoksida dan metan bereaksi dengan radikal OH dan bersama-sama dengan non-methane hidrocarbons (NMHC) dan nitrogen oksida (NOx) yang reaktif akan memproduksi O3 (Crutzen and Andreae,1990; Langmann et al., 2009; Anderson and Herschbach, 1985; Meszaros, 1981; Seinfeld and Pandis, 1998). Konsentrasi CO dan O3 memperlihatkan korelasi linear yang baik sekali. Sehingga mengesankan bahwa O3 yang diamati selama musim kering diproduksi secara fotokimia dengan oksidasi hidrokarbon dan NOx yang diemisikan dari pembakaran biomasa. Produksi O3 di daerah net boundary layer dari semua kebakaran daerah savana tropis Amerika diperhitungkan antara 0,28 dan 0,36 Tmol per tahun, yaitu 3 kali lebih besar dari produksi O3 dari sumber polusi di Amerika Serikat bagian timur selama musim panas (Sanhueza et al., 1999). Dampak kebakaran hutan (pembakaran biomasa) di Kalimantan Indonesia telah menimbulkan penurunan kualitas udara di wilayah tropik Asia Tenggara. Dari total titik api 10173 yang dipantau oleh
satelit MODIS Aqua selama Agustus 2004
telah
menyebabkan peningkatan konsentrasi PM10 di enam stasiun kualitas udara di Sarawak, di Malaysia Timur, yang berada disebelah Barat Laut Kalimantan (Mahmud, 2012). Selain itu didapatkan AOD (aerosol) yang tinggi lebih dari 0,9 selama minggu terkhir Agustus
~ 310 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
2004 saat terjadi kebakaran hutan di Kalimantan bagian barat, tengah dan utara (Mahmud, 2012). Masalah kebakaran hutan tidak disengaja atau pembukaan lahan perkebunan dengan cara membakar atau pembakaran biomasa telah menimbulkan penurunan kualitas udara di wilayah Sumatera dan sekitarnya. Maka pada penelitian ini dikaji pengaruh kebakaran hutan terhadap aerosol dan O3 berdasarkan musim secara statistik, untuk mengetahui optimasi distribusinya. Kajian tren titik api sebagai indikasi terjadinya kebakaran, aerosol dan O3 untuk menjelaskan lebih detil adanya pengaruh musiman.
2.
DATA DAN METODOLOGI Data ozon (O3) total, dan AOD untuk aerosol pada panjang gelombang 483,5 nm
(AOD483,5nm) diambil dari satelit Aura-NASA sensor OMI (The Ozone Monitoring Instrument)
dan
diunduh
dari
website
Giovanni-NASA
(http://disc.sci.gsfc.nasa.gov/giovanni/overview/index.html), selama 6 tahun dari Januari 2005 sampai Desember 2010 untuk wilayah Sumatera (6,210 LS -6,270 LS; 94,580 BT109,080 BT), dengan resolusi 0,25ox0,25o. Kemudian data-data tersebut diolah menjadi rata-rata bulanan dan musiman DJF, MAM, JJA dan SON yang dipetakan dengan menggunakan Arc View/GIS versi 3.3. Satuan untuk O3 total adalah Dobson Unit yaitu ketebalan lapisan 0,01 mm diatas permukaan bumi pada tekanan standar 1013,25 hPa dan temperatur standar 0,0oCelsius. Atau 1 Dobson Unit (DU) adalah 2,68671020 molekul per meter2 atau 4,461510-04 mol per meter2. Dibuat variasi rata-rata bulanan dan musiman dari ozon (O3) total, dan AOD untuk Sumatera. Data titik api hasil olahan data AQUA/TERRA MODIS diunduh dari website Fire Information
for
Resource
management
System
(FIRMS,
2012)
http://earthdata.nasa.gov/data/near-real-time-data/firms. Data yang digunakan adalah data titik api dari bulan Januari 2005-Desember 2010 untuk wilayah Sumatera (6,210 LU, 94,580 BT; -6,270 LS, 109,080 BT), yang merupakan titik koordinat lintang bujur dimana diduga telah terjadi kebakaran lahan atau hutan. Selanjutnya data dengan nilai kepercayaan lebih besar atau sama dengan 90 dipilih untuk digunakan pada analisis total bulanan dan total musiman titik api mengggunakan metode statistic deskriptif, musiman yaitu DJF, MAM, JJA dan SON berdasarkan ruang. Data musiman titik api ditumpangkan (overlay) pada peta aerosol (AOD483,5nm), dan O3 total dengan perangkat lunak Arc View/GIS ver. 3.3 dengan grid= 0,01ox0,01o. Data titik api diolah bulanan dan musiman secara time series di lokasi Sumatera (satu titik) untuk mengetahui variasi bulanan dan musiman. ~ 311 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Data luas hutan dan lahan terbakar Sumatera tahun 2006 sampai 2010 dari Departemen Kehutanan RI dibuat grafik untuk diketahui wilayah yang mengalami pembakaran biomasa. Selain itu dibuat korelasi titik api terhadap aerosol dan O3 total untuk mengetahui pengaruh dari kebakaran hutan terhadap pembentukan aerosol dan O3 dengan nilai koefisien kepercayaan yang dalam perhitungan ini digunakan (alpha) 0,05 atau tingkat kepercayaan 95% (Seni, 2005).
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.000 4.500 4.000 3.500 3.000 2.500 2.000 1.500 1.000 500 -
Hutan Terbakar
ACEH SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT RI AU JA M B I BENGKULU SUMATERA SELATAN BANGKA BELITUNG LAMPUNG
Luas (Ha)
Luas (Ha)
3.2 Hutan dan lahan terbakar di Sumatera 5.000 4.500 4.000 3.500 3.000 2.500 2.000 1.500 1.000 500 -
1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10
1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 2006
2007
2008
2009
Lahan Terbakar ACEH SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT RI AU JA M B I BENGKULU SUMATERA SELATAN BANGKA BELITUNG LAMPUNG
2006
2010
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Luas (ha/tahun)
Luas (ha/tahun)
Hutan Terbakar
2008
2009
2010
Waktu
Waktu 9.000 8.000 7.000 6.000 5.000 4.000 3.000 2.000 1.000 -
2007
9.000 8.000 7.000 6.000 5.000 4.000 3.000 2.000 1.000 -
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Lahan Terbakar
Gambar 1: Luas hutan dan lahan serta kebun yang terbakar berdasarkan bulan dari 2006 sampai 2010 (atas) dan pengelompokan wilayah (bawah) di Sumatera (sumber data Departemen Kehutanan RI)
Berdasarkan data luas hutan dan lahan terbakar yang diperoleh dari Departemen Kehutanan RI, ternyata kabakaran hutan terjadi pada bulan-bulan kering di Sumatera Utara, Riau, Jambi dan Sumatera Selatan. Luas hutan yang terbakar terbanyak pada bulan
~ 312 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Agustus 2006 di Riau dan Jambi yaitu 1.105,50 ha dan 1.222,50 ha (Gambar 1 atas). Kebakaran pada tahun tersebut hampir meliputi seluruh Sumatera dikarenakan pula adanya lahan dan perkebunan yang terbakar. Ternyata dari data Departemen Kehutanan, jumlah lahan yang terbakar lebih luas pada bulan Agustus 2006 di wilayah Riau dan Jambi yaitu 2.339,00 ha dan 4.862,00 ha. Secara total tahun 2006 lahan dan kebun yang terbakar di Sumatera terbanyak Riau diikuti Jambi, Sumatera Selatan dan Sumatera Barat yaitu 6204 ha; 4866 ha; 3767,25 ha dan 1922,10 ha, berurutan. Adapun kebakaran hutan di wilayah tersebut lebih kecil dibandingkan lahan yang terbakar seperti yang terjadi di Riau, Jambi dan Sumatera Selatan seluas 1106,70 ha; 1726,80 ha dan 1726 ha (Gambar 1 bawah). Tahun 2008 terjadi kebakaran hutan yang luas di Lampung 2950 ha, sedang lahan dan kebun yang terbakar luas adalah Riau, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara yaitu 4587,75 ha; 655,50 ha dan 313 ha, berurutan. Tahun 2009 di Sumatera didapati wilayah kebakaran hutan dan lahan di Riau sejak Januari sampai Februari, dan selanjutnya terjadi pula pada bulan Mei sampai Oktober. Wilayah yang mengalami kebakaran lahan dan kebun tahun 2009 adalah Sumatera Utara, Riau dan Sumatera Barat yang cukup luas yaitu total 1489,75 ha; 7637,90 ha dan 393,90 ha. Sedangkan dari hutan yang terbakar tahun 2009 maka Riau dan Sumatera Utara yang terluas yaitu total 275,30 ha dan 847,50 ha, berurutan. Di Riau pada Januari 2009 lahan terbakar mencapai 1.671,00 ha, demikian pula pada Februari 2009 seluas 1.073,00 ha dan bertambah luas pada bulan Juni yaitu 3.280,00 ha. Daerah Sumatera Utara pada bulan Mei 2009 terjadi kebakaran lahan seluas 1.234,00 ha. Maka perlu perhatian penyebabnya, mengingat terjadi lahan-lahan terbakar pada bulan basah. 3.2 Jumlah titik api Dari Gambar 2 memperlihatkan bahwa rata-rata bulanan dan musiman jumlah titik api (sumber data dari MODIS AQUA/TERRA) di Sumatera terbanyak terdapat pada bulan Agustus sampai Oktober dan musim kemarau JJA diikuti musim peralihan kemarau ke hujan SON. Maksimum jumlah titik api mencapai 471 pada bulan Agustus dan rata-rata musiman JJA mencapai maksimum pula yaitu 8731, selanjutnya DJF dan terkecil musim MAM. Dan didapati rata-rata bulanan pada Februari tinggi pula yaitu 409. Sedangkan pada musim SON kondisi titik api masih belum padam, karena pengaruh El Nino maka kemarau bisa lebih panjang seperti tahun 2006.
~ 313 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
2a
ISBN : 978-979-1458-73-3
2b
Gambar 2: Variasi bulanan (2a) dan musiman (2b) jumlah (Sum) titik api di Sumatera dari 2005 sampai 2010 (sumber data titik api berasal dari MODIS AQUA/TERRA (FIRMS, 2012)
Gambar 3: Tren (kecenderungan) jumlah titik api di Sumatera dari 2005 sampai 2010 (sumber data titik api berasal dari MODIS AQUA/TERRA (FIRMS, 2012) Gambar 3 memperlihatkan kecenderungan jumlah titik api yang menurun selama periode 2005 sampai 2010. Maksimum total titik api di Sumatera terjadi pada Februari 2005 sejumlah 2636 dan Oktober 2006 sejumlah 2641, dimana terjadi peningkatan titik api dari Juli sampai Oktober. Secara umum puncak peningkatan titik api terjadi pada musim kemarau dan peralihan kemarau ke hujan. Dan ternyata terlihat adanya korelasi yang signifikan dengan luas lahan dan kebun yang terbakar saat musim kemarau (Gambar 1). Jumlah titik api adalah indikasi kejadian kebakaran hutan dan lahan tersebut. Maka musim kemarau adalah sangat rawan dalam menimbulkan kebakaran selain faktor lingkungan yang lebih kering dibandingkan musim basah. Berdasarkan data jumlah titik api dari 2005 sampai 2010 di Sumatera dari Kementerian Kehutanan maka wilayah dengan jumlah titik api terbanyak adalah Riau, Sumatera Selatan, Jambi dan Sumatera Utara. Jumlah tertinggi didapati di Riau tahun 2005 sejumlah 22.630, dan pada tahun 2006 masih
~ 314 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
tinggi yaitu 11.526 dan telah menimbulkan luas hutan dan lahan terbakar cukup luas di wilayah ini. Tahun 2006 jumlah titik api yang tertinggi terdapat di Sumatera Selatan sebesar 21.734 titik api, diikuti Riau 11.526 titik api. Jumlah titik api tinggi pula pada tahun 2009 terdapat di Riau sejumlah 7.756 dan tahun tersebut didapati tinggi di Sumatera Selatan sebesar 3.891. Jadi daerah yang mempunyai titik api terbanyak di Sumatera berturut-turut adalah Riau, Sumatera Selatan, Jambi dan Sumatera Utara. Kondisi jumlah titik api yang tinggi pada tahun 2006 berkorelasi dengan luas lahan dan hutan yang terbakar secara signifikan. Hal tersebut telah menimbulkan hutan dan lahan terbakar di Riau, Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Utara dan Aceh. 3.3 Aerosol dan Ozon (O3) Tren aerosol dan ozon 2,000
1,800
y = -3E-05x + 1,967
AOD483.5nm
1,600
1,400 1,200
1,000 0,800 0,600 0,400 0,200 Sep-10
Mei-10
Jan-10
Sep-09
Jan-09
Mei-09
Sep-08
Jan-08
Mei-08
Sep-07
Jan-07
Mei-07
Sep-06
Jan-06
Mei-06
Sep-05
Jan-05
Mei-05
0,000
Gambar 4: Tren (kecenderungan) AOD483,5nm di Sumatera dari 2005 sampai 2010 (sumber Aura OMI, Giovanni NASA, 2012) 280
y = 0,000x + 234,9
O3 total (DU)
270 260 250 240 230
Sep-10
Mei-10
Jan-10
Sep-09
Mei-09
Jan-09
Sep-08
Jan-08
Mei-08
Sep-07
Mei-07
Jan-07
Sep-06
Jan-06
Mei-06
Sep-05
Jan-05
Mei-05
220
Gambar 5: Tren (kecenderungan) O3 total di Sumatera dari 2005 sampai 2010 (sumber data Aura OMI /Giovanni NASA, 2012)
~ 315 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Dari Gambar 4 terlihat puncak ADO483,5nm (arosol) tinggi pada musim kemarau JJA dan SON. Demikian pula puncak maksimum O3 total terjadi pada musim kemarau JJA (Gambar 5). Hal ini terkorelasi dengan jumlah titik api yang tinggi pada bulan Agustus seperti diperlihatkan pada Gambar 2. Jumlah titik api yang rendah pada bulan April dan Mei terkorelasi dengan tingkat aerosol (AOD483,5nm ) yang rendah pula (Gambar 4). Jumlah titik api yang titik pada bulan Oktober 2006 telah menimbulkan AOD483,5nm dan O3 total yang tinggi pula yaitu mencapai 1,400 dan 258 DU. Dari Gambar 2 memperlihatkan jumlah titik api tinggi pada Agustus 2008 mencapai 661 dan Agustus 2009 mencapai 931. Dampak yang ditimbulkan adalah ADO483,5nm tinggi mencapai 1,150 dan 1,286 pada September 2008 dan September 2009 (Gambar 4). Nilai AOD di Sumatera tersebut telah melebihi nilai AOD (aerosol) di Kalimantan dan (Mahmud, 2012) saat terjadi kebakaran hutan di Kalimantan bagian barat, tengah dan utara dan Sumatera selama minggu ketiga dan keempat (akhir) Agustus 2004 yang tinggi antara 0,58 sampai 0,9 di Kalimantan Barat dan Tengah, tetapi AOD rendah di Sumatera. Dampak kebakaran hutan dan lahan adalah konsentrasi O3 total tinggi pada Agustus 2008 dan 2009 berturut-turut sebesar 267 DU dan 251 DU. 300
6,00
Ozon total di Sumatera 2005-2010
5,00
250
4,00
200
Ozon total (DU)
AOD483.5nm
AOD483.5 nm di Sumatera 2005-2010
3,00 2,00
150
100
1,00
50 0
0,00
DJF
MAM
JJA
SON
DJF
MAM
JJA
SON
Maks
4,45
4,78
3,45
4,43
Maks
247
255
262
259
Min
0,23
0,34
0,11
0,02
Min
235
247
248
249
Rata-rata
1,03
1,04
1,02
1,17
Rata-rata
241
251
255
253
Stdev
0,52
0,61
0,55
0,52
Stdev
2
1
3
1
Gambar 6: Maksimum (Maks), minimum (Min), rata-rata dan Standar deviasi (Stdev) musiman AOD483,5nm (kiri) dan Ozon (O3) total (kanan) di Sumatera dari 2005 sampai 2010 (sumber Aura OMI, Giovanni NASA, 2012) Dari 2005 sampai 2010 didapati kecenderungan ADO483,5nm menurun signifikan dengan penurunan jumlah titik api. Sedangkan O3 total berfluktuasi yaitu tinggi pada kemarau dan rendah pada musim hujan menunjukkan kecenderungan tidak naik maupun
~ 316 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
menurun selama 2005-2010. O3 total berasal dari O3 stratosfer dan O3 troposfer yang merupakan hasil dari reaksi fotokimia karbonmonoksida dan metan bereaksi dengan radikal OH dan bersama-sama dengan non-methane hidrocarbons (NMHC) dan nitrogen oksida (NOx) yang reaktif, yang banyak diemisikan dari pembakaran biomasa. Nilai musiman AOD483,5nm didapati tinggi pada musim SON yaitu mencapai 1,17 dan nilai musiman O3 total tinggi sebesar 255 DU pada musim JJA (Gambar 6). Perbedaan ini terkait dengan sumber atau pembentukan yang mempengaruhi keduanya. Terjadinya kebakaran lahan dan hutan yang tinggi di musim kemarau Juni Juli Agustus (JJA) sampai bulan Oktober akan memberikan kontribusi emisi aerosol yang maksimum tentunya. Jumlah titik api berkorelasi dengan baik pada pada musim kemarau JJA dengan koefissien korelasi cukup baik 0,660 dengan nilai signifikan p < 0,01 demikian pula pada musim SON dengan koefissien korelasi yang semakin kuat yaitu 0,831 dengan nilai signifikansi p < 0,01 (Tabel 1). Jumlah titik api berkorelasi dengan bagus untuk O3 total didapati pada musim peralihan kemarau ke hujan SON dengan nilai korelasi 0,529 dan signifikansi p < 0,05. Hubungan yang bagus antara AOD483,5nm dan O3 total terjadi pada musim SON pula dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,522 dan signifikansi p < 0,05.
Tabel 1: Matrik korelasi AOD, O3 dan titik api pada musim SON (sumber data titik api berasal dari MODIS AQUA/TERRA (FIRMS, 2012). DJF
AOD
O3
AOD
1
O3
0,385
1
Titik api
0,207
0,367
1
MAM
AOD
O3
Titik api
AOD
1
O3
-0,415
1
Titik api
0,445
0,002
JJA AOD O3 Titik api SON AOD O3 Titik api
Titik api
AOD 1 0,211 0,660(**) AOD 1 0,522(*) 0,831(**)
O3
Titik api
1 0,148 O3
1 Titik api
1 0,529(*)
1
1
*Korelasi dengan signifikansi pada level 0,05 **Korelasi dengan signifikansi pada level 0,01
Nilai konsentrasi yang tinggi terkorelasi dengan baik dengan jumlah titik api (hotspot) dalam musim seperti diperlihatkan pada Tabel 1 yang menandakan adanya kebakaran hutan di wilayah Sumatera. Dan konsentrasi O3 dan aerosol tinggi ditandai oleh jumlah titik api juga banyak pada musim JJA dan SON yaitu 8731 dan 7906 dibandingkan musim hujan (DJF) dan peralihan hujan ke kemarau (MAM) sebesar 6209 dan 3825.
~ 317 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Kebakaran hutan yang terjadi dari tahun 2005 sampai tahun 2010 di Sumatera merupakan sumber dari aerosol dan CO yang berdampak pada O3 total. Proses pembentukan O3 dari CO pada musim kemarau tidak dihambat oleh H2O akibatnya konsentrasi ozon terlihat tinggi. Pada musim DJF dan MAM terdapat penurunan ozon total dengan rata-rata 241 DU dan 251 DU dibandingkan musim JJA dan SON yaitu 255 DU dan 253 DU.
Gambar 7: Distribusi aerosol (AOD483,5nm) dan tititk api (merah) di Sumatera (2005-2010) {sumber Aura OMI, Giovanni NASA, 2012; sumber data titik api berasal dari MODIS AQUA/TERRA (FIRMS, 2012)} Sedangkan mekanisme pembentukan O3 dipengaruhi oleh sinar matahari di daerah tropis dan prekursornya seperti CO, metan (CH4) dan NOx (Crutzen and Andreae,1990; Langmann et al., 2009; Anderson and Herschbach, 1985; Meszaros, 1981; Seinfeld and Pandis, 1998). Pulau Sumatera terletak di daerah tropis dan dilewati garis ekuator, dan kelembapan udara adalah rendah pada bulan-bulan JJA, maka pembentukan O3 lebih maksimal dibandingkan saat musim basah atau hujan. Mekanisme ini tentunya bisa dilihat dari proses pembentukan dan pengrusakan ozon (Anderson and Herschbach, 1985; Meszaros, 1981; Seinfeld and Pandis, 1998), mengingat pengrusakan O 3 terjadi karena H2O yang banyak pada musim penghujan.
~ 318 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Pada musim kemarau JJA didapati jumlah titik api adalah terbanyak di Riau, Jambi sampai Sumatera Selatan (Gambar 2), dan dampaknya nilai AOD483,5nm dan O3 total tinggi pada musim JJA dan SON (Gambar 7 dan 8). Nilai emisi AOD483,5nm terkonsentrasi di Riau, Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Selatan sampai Lampung yang tinggi di wilayah Sumatera dibandingkan Sumatera Utara dan Nangroe Aceh Darusalam. Berbeda dengan hasil dari Budiyono dan Samiaji (2010) yang telah melakukan proyeksi emisi polutan NOX, CO, SOX, SPM dan VHC untuk tahun 2005, 2010 dan 2015. Proyeksi emisi polutan dihitung berdasarkan perhitungan emisi dari hasil data proyeksi konsumsi energi di Indonesia, data proyeksi pertambahan penduduk Indonesia dan koefisien emisi polutan. Hasil proyeksi didapati beberapa wilayah seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan, berturut turut menunjukkan nilai emisi dari tingkat tinggi ke rendah. Wilayah yang disebut tadi mempunyai nilai emisi yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya, hal ini disebabkan bahwa wilayah tersebut mempunyai nilai kepadatan penduduk yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya. Jumlah penduduk yang lebih banyak akan mempergunakan energi yang lebih banyak pula, sehingga polutan-polutan yang diemisikan akan lebih besar pula. Proyeksi emisi aerosol atau partikulat (SPM) adalah tinggi di Sumatera Utara. Hal tersebut terkait dengan jumlah penduduk di Sumatera Utara (Shankar, 2003) adalah terpadat dibandingkan provinsi lainnya di Sumatera. Maka pengaruh kebakaran hutan dan lahan cukup luas di Sumatera dibandingkan aktivitas manusia dilihat dari distribusinya. Dari Gambar 8 terlihat bahwa konsentrasi musiman O3 total di Sumatera sangat berbeda sekali dalam hal nilainya dan distribusi penyebarannya dibandingkan dengan AOD483,5nm. Hal ini disebabkan karena prekursor ozon seperti CO yang meningkat tajam pada saat kebakaran hutan di wilayah Sumatera dan Kalimantan, contohnya tahun 2006 (Setyawati dan Budiwati, 2008). Pada musim JJA, konsentrasi O3 total di bagian utara Sumatera tinggi dibandingkan bagian selatan. Pengaruh angin yang bertiup dari tenggara berperanan dalam penyebaran polutan prekursor O3 sehingga menaikkan konsentrasi O3 di bagian utara pulau Sumatera. Berbeda saat musim hujan atau basah DJF, konsentrasi O3 total tinggi di bagian selatan Sumatera. Musim hujan angin berasal dari barat atau utara dan tentunya menyebabkan polutan menyebar ke arah selatan Sumatera (Mc. Gregor and Nieuwolt, 1998)..
~ 319 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Gambar 8: Distribusi O3 total dan titik api (merah) di Sumatera (2005-2010) {sumber Aura OMI, Giovanni NASA, 2012; sumber data titik api berasal dari MODIS AQUA/TERRA (FIRMS, 2012)} 4.
KESIMPULAN Hasilnya menunjukkan bahwa terbentuknya aerosol dan awan pada DJF telah
mempengaruhi konsentrasi ozon yang rendah di Sumatera. Dan musim DJF, konsentrasi O3 total tinggi di bagian selatan Sumatera dibandingkan utara berbeda saat musim JJA. Sebaliknya kebakaran hutan dan lahan pada musim SON berkorelasi dengan baik yaitu AOD dengan O3 sebesar 0,522 dengan signifikasi p<0,05; titik api dengan AOD sebesar 0,831 signifikansi p<0,01 dan titik api dengan O3 sebesar 0,529 dan signifikasi p<0,05. Tingginya konsentrasi O3 total disebabkan prekursor yang terbentuk saat pembakaran biomasa. Perlu kewaspadaan terbentuknya deposisi asam pada musim JJA dan SON karena peningkatan aerosol dan O3.
DAFTAR RUJUKAN Budiyono, A., dan Samiaji, T., Proyeksi emisi polutan, deposisi SOX dan konsentrasi SO2 dari pemakaian energi, Prosiding Seminar Nasional Proyeksi Iklim dan Kualitas
~ 320 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Udara 2010-2014, ISBN: 978-979-1458-33-7, kerjasama LAPAN dan PERHIMPI, 2009. Crutzen, P.J., Andreae, M.O., Biomass burning in the tropics: impact on atmospheric chemistry and biogeochemical cycles. Science 250, 1669-1678, 1990. Crutzen, P.J., Heidt, L.E., Krasnec, J.P., Pollock, W.H., Seiler, W., Biomass burning as a source of atmospheric gases CO, H2, N2O, NO, CH3Cl and COS. Nature 282, 253256, 1979. Langmann, B., Duncan, B., Textor, C., Trentmann, J., Van derWerf, G.R., Vegetation fire emissions and their impact on air pollution and climate, Atmospheric Environment 43, 107e116, 2009. Mahmud, M., Assessment of atmospheric impacts of biomass open burning in Kalimantan Borneo during 2004, Atmospheric Environment, Contents lists available at SciVerse ScienceDirect, journal homepage: www.elsevier.com/locate/atmosenv, 1-8, 2012. Mc. Gregor, G.R. and Nieuwolt, S., Tropical Climatology: An Introduction To The Climates Of The Low Latitudes, second edition, John Wiley & Sons, pp. 125-133, 1998. Seni,
M.
S.,
Tugas
makalah:
Analisis
Multiregresi,
STT
Telkom
Bandung,
http://www.stttelkom.ac.id, 2005. Anderson J.G. and Herschbach D.R., Atmospheric Ozone 1985 Volume I, World Meteorology Organization Global Ozone Research and Monitoring Project-Report No. 16, NASA, 117-119, 1985. Meszaros E., Atmospheric Chemistry, Fundamental Aspects, Studies in Environmental Science 11, Elsevier Scientific Publishing Company, 61, 1981. Seinfeld J.H. and Pandis S.N., Atmospheric Chemistry and Physics from Air Pollution to Climate Change, John Wiley and Sons. INC., New York, 85-95, 1998. Setyawati, W., dan Budiwati, T., Peningkatan konsentrasi karbon monoksida pada saat kebakaran hutan tahun 2006 di Indonesia, Prosiding Seminar Nasional Kimia XVIII, FMIPA UGM, Yogyakarta, ISSN: 1410-8313, 10 Juli 2008. Sanhueza, E., Paul J. Crutzen, P. J., and FernaHndez, E., Production of boundary layer ozone from tropical American Savannah biomass burning emissions, Atmospheric Environment 33, 4969-4975, 1999. Shankar, K. R., Smoke haze from biomass burning in South East Asia and estimation of associated particulate emissions, Proc Indian Natn Sci Acad, 69, A, No. 6, 759-774, November 2003. ~ 321 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
DISTRIBUSI SPASIAL DAN TEMPORAL TITIK PANAS SEBAGAI INDIKATOR KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI WILAYAH SUMATERA DAN KALIMANTAN HASIL PENGAMATAN AQUA/TERRA MODIS TAHUN 2004-2012 Wiwiek Setyawati Bidang Komposisi Atmosfer –LAPAN Jl. dr. Djundjunan 133, Bandung 40173 Telp/fax: (022) 6037 445/6037 443 Email:
[email protected]
Abstract Forest and land fires occurred frequently every year in Indonesia especially during dry season in Sumatera and Kalimantan regions. Smoke produced resulted in negative impact to human health and also distributed to neighboring countries such as Malaysia and Singapore. Therefore information regarding forest and land fires is important for adaptation and mitigation. Fire Information for Resource Management System (FIRMS) provides information regarding hotpot location that can be used as indicator of forest and land fires by using MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) sensor installed in Aqua and Terra satellites belong to NASA. During period 2004-2012 majority of hotspots in Sumatera region were found in Riau, South Sumatera and Jambi provinces i.e. 50%, 25% and 10%, respectively. Majority of hotspots in Kalimantan region were found in Central and West Kalimantan provinces i.e. 53% and 31%, respectively. These provinces were known to have relatively very large peatland and also palm plantation areas. Fires in peatland areas were relative very difficult to extinguish, therefore high precaution must be taken. Significant increase of hotspot was found during dry months (June-August) and transition months from dry to wet (September to October). Keywords: Forest and land fires, hotspot, FIRMS, Sumatera, Kalimantan Abstrak Indonesia mengalami kebakaran hutan dan lahan hampir setiap tahunnya terutama pada musim-musim kering di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Asap yang ditimbulkannya selain memberikan pengaruh negatif terhadap kesehatan juga menyebar hingga ke negaranegara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Oleh sebab itu diperlukan informasi mengenai kebakaran hutan dan lahan guna melakukan adaptasi dan mitigasi. Fire Information for Resource Management System (FIRMS) menyediakan informasi mengenai lokasi titik panas yang dapat digunakan sebagai indikator kebakaran hutan dan lahan menggunakan sensor MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer)yang terpasang pada satelit Aqua dan Terra milik NASA. Selama kurun waktu 2004-2012 mayoritas titik panas di Sumatera ditemukan di Provinsi Riau, Sumatera Selatan dan Jambi yaitu masing-masing 50%, 25% dan 10%, sedangkan di Kalimantan ditemukan di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat masing-masing sebesar 53% dan 31%. Provinsi-provinsi tersebut diketahui memiliki lahan gambut dan perkebunan kelapa sawit yang relatif sangat luas. Hal ini perlu diwaspadai karena kebakaran pada lahan gambut relatif sangat susah untuk dipadamkan. Peningkatan titik
~ 322 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
panas yang signifikan ditemukan pada bulan-bulan kering (Juni-Agustus) dan musim peralihan kering ke basah (September-November). Kata kunci: Kebakaran hutan dan lahan, titik panas, FIRMS, Sumatera, Kalimantan
1.
PENDAHULUAN Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terutama disebabkan oleh kegiatan
pembukaan lahan oleh masyarakat atau perusahaan perkebunan (WWF, 2007). Definisi hutan dan lahan adalah lahan dengan tutupan tajuk pohon lebih dari 10%, termasuk juga lahan dimana tutupan tajuk pohonnya telah berkurang hingga kurang dari 10% namun belum beralih fungsi (NASA, 1996). Wilayah Sumatera dan Kalimantan merupakan wilayah yang paling sering mengalami kebakaran hutan dan lahan yang memberikan dampak negatif terhadap kesehatan (Betha dkk., 2012), penurunan jarak pandang dan kontribusi yang besar terhadap pemanasan global (Page dkk., 2002). Selain itu asap yang ditimbulkannya telah mengakibatkan dampak sosial-politik terhadap negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura (WWF, 2007). Informasi mengenai distribusi titik panas terutama di wilayah Sumatera dan Kalimantan sangat diperlukan untuk melakukan mitigasi dan adaptasi terkait kebakaran hutan dan lahan. Fire Information For Resource management System (FIRMS, 2013) menyajikan informasi mengenai lokasi titik panas/api menggunakan instrumen Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) yang terpasang pada satelit Aqua dan Terra milik NASA. Informasi yang diberikan berupa koordinat lintang dan bujur (pusat titik lokasi), brightness (brightness temperature diukur dalam Kelvin), scan dan track (resolusi spasial dari scanned pixel, tanggal akuisisi, waktu (waktu satelit lewat), satelit (Terra atau Aqua), dan confidence (quality flag dari tiap individual titik panas yang masih bersifat eksperimen lapangan. Validasi data titik panas MODIS untuk wilayah Thailand menunjukkan nilai akurasi sebesar 91,84% - 97,53% (Tanpipat dkk., 2009). Hal ini menunjukkan bahwa data titik panas dari MODIS dapat digunakan sebagai indikator kebakaran hutan dan lahan dengan tingkat akurasi yang tinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui distribusi spasial dan temporal titik panas di Indonesia terutama di wilayah Sumatera dan Kalimantan dimana kebakaran hutan dan lahan sudah rutin terjadi.
2.
METODOLOGI Tahapan metodologi yang dilakukan dalam penelitian adalah sebagai berikut: ~ 323 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Mengunduh data titik panas untuk wilayah Indonesia (60 LU, 92,50 BT, -110 LS, 1410 BT) selama rentang waktu tahun 2004-2012 dari situs EOSDIS-NASA (FIRMS, 2013). Data yang memiliki nilai confidence 90 dipilih untuk digunakan dalam analisis selanjutnya.
Melakukan penentuan lokasi titik panas berdasarkan koordinat lintang-bujur menggunakan software Arc/GIS ver. 10. Data titik panas yang berada di wilayah Sumatera dan Kalimantan dipilih untuk digunakan dalam analisis selanjutnya.
Analisis statistik deskriptif menggunakan software Excel dan SPSS ver. 18 untuk mendapatkan distribusi titik panas musiman, spasial dan temporal.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Tren bulanan dan musiman titik panas di wilayah Sumatera dan Kalimantan Tahun 2004-2012 Tren bulanan titik panas untuk wilayah Sumatera dan Kalimantan selama periode tahun 2004-2012 mencapai maksimum pada bulan Oktober 2006 dan bulan September 2009 dengan jumlah titik panas masing-masing 7.114 dan 5.007 seperti ditunjukkan pada gambar 1. Pembukaan hutan dan lahan (land clearing) untuk perkebunan ataupun pertanian dengan cara dibakar merupakan salah satu cara termurah yang banyak dilakukan oleh masyarakat maupun pihak pengusaha perkebunan pada saat itu, dimana saat ini hal tersebut sudah dilarang dengan keluarnya UU kehutanan no 41 tahun 1999 yang menerapkan hukum pidana bagi siapa saja yang melakukan pembakaran hutan atau lahan dengan sengaja. Kejadian El Nino selama bulan Agustus 2006 - Februari 2007 dan bulan Juni 2009 - Mei 2010 (NOAA, 2013) seperti ditunjukkan pada tabel 1 berdampak pada kekeringan di wilayah basah seperti Indonesia (Wiratno, 1998) sehingga menyebabkan kebakaran hutan dan lahan semakin parah. Berdasarkan total musiman titik panas yaitu nilai kumulatif tiap musim dari tahun 2004-2012 untuk wilayah Sumatera dan Kalimantan diketahui bahwa peningkatan total titik panas yang signifikan terjadi pada musim kering (Juni-Agustus) dan musim peralihan dari kering ke basah (September-November) masing-masing sebesar 24.059 dan 31.245 seperti ditunjukkan pada gambar 2. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan musim dimana petani atau pemilik kebun mulai menyiapkan lahannya untuk mulai ditanami terhadap banyaknya titik panas yang muncul di kedua wilayah tersebut.
~ 324 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
8000
Total titik panas
7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 Jan-04 May-04 Sep-04 Jan-05 May-05 Sep-05 Jan-06 May-06 Sep-06 Jan-07 May-07 Sep-07 Jan-08 May-08 Sep-08 Jan-09 May-09 Sep-09 Jan-10 May-10 Sep-10 Jan-11 May-11 Sep-11 Jan-12 May-12 Sep-12
0
Bulan Gambar 1.
Tren total bulanan titik panas di wilayah Sumatera dan Kalimantan selama bulan Januari 2004-Desember 2012
Total titik panas
35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0 Total titik panas
Gambar 2.
DJF
MAM
JJA
SON
7052
5020
24059
31245
Total musiman titik panas di wilayah Sumatera dan Kalimantan selama 9 tahun (tahun 2004-2012).
Berdasarkan total tahunan titik panas dari tahun 2004-2012 untuk wilayah Sumatera dan Kalimantan diketahui bahwa jumlah titik panas yang signifikan terjadi pada tahun 2004, 2005, 2006 dan 2009 yaitu masing-masing sebesar 9.658, 10.303, 19.038 dan 10754 titik panas seperti ditunjukkan pada gambar 3.
~ 325 ~
Total titik panas
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
20000 18000 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Tahun
Gambar 3.
Total tahunan titik panas di wilayah Sumatera dan kalimantan selama 9 tahun (2004-2012).
3.2. Distribusi titik panas di wilayah Sumatera dan Kalimantan tahun 2004-2012 Berdasarkan hasil olahan data total titik panas selama kurun waktu 9 tahun diketahui bahwa distribusi titik panas terbesar di wilayah Sumatera ditemukan di provinsi Riau (50%), Sumatera Selatan (25%) dan Jambi (10%) dari total titik panas sebesar 37.643 seperti ditunjukkan pada gambar 4a. Ketiga provinsi ini memiliki lahan gambut terluas yaitu masing-masing sekitar 60%, 20% dan 10% dari total 6.436.649 ha luas lahan gambut yang ada di wilayah Sumatera (Kementerian Pertanian, 2011). Lahan gambut menjadi sangat rentan terbakar akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh adanya pembukaan hutan dan lahan terutama di wilayah lahan gambut untuk pengusahaan perkebunan dan pertanian (Paige, 2002). Untuk wilayah Kalimantan diketahui bahwa distribusi titik panas terbesar ditemukan di provinsi Kalimantan Tengah (53%) dan Kalimantan Barat (31%) dari total titik panas sebesar 29.733 seperti ditunjukkan pada gambar 4b. Kedua provinsi ini juga memiliki lahan gambut terluas yaitu masing-masing sekitar 56% dan 35% dari total luas lahan gambut sebesar 4.778.000 ha yang ada di Kalimantan (Kementerian Pertanian, 2011).
~ 326 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
a
Bandung, 28 Agustus 2013
BENGKULU
JAMBI
KEP BANGKA BELITUNG
LAMPUNG
NAD
RIAU
SUMATERA BARAT
SUMATERA SELATAN
ISBN : 978-979-1458-73-3
SUMATERA UTARA
5% 0%
10%
2%
3% 2%
25%
50%
3%
b
KALIMANTAN BARAT KALIMANTAN SELATAN KALIMANTAN TENGAH KALIMANTAN TIMUR
9%
31%
53% 7%
Gambar 4.
Distribusi frekuensi total titik panas di a) Sumatera dan b) Kalimantan selama periode 9 tahun (2004-2012)
Berdasarkan data Kementerian Pertanian (2011) perkebunan kelapa sawit terbesar di Sumatera ditemukan di wilayah Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Jambi masing-masing sekitar
35%, 18%, 14% dan 10%
dari total 5.176.883 ha seperti
ditunjukkan pada gambar 5a. Sedangkan di Kalimantan perkebunan kelapa sawit terbesar ditemukan di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat masing-masing sekitar 44% dan 22% dari total 2.413.757 ha seperti ditunjukkan pada gambar 5b.
~ 327 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
3% 6%
4% 3%
RIAU
0%
SUMUT SUMSEL
7%
35%
13%
JAMBI
10%
NAD
18%
44%
20%
SUMBAR
14%
ISBN : 978-979-1458-73-3
KALTENG KALBAR
23%
BENGKULU
KALTIM KALSEL
LAMPUNG BABEL KEPRI
a
b
Gambar 5.
Distribusi luas perkebunan kelapa sawit di wilayah a) Sumatera dan b) Kalimantan (Kementerian Pertanian, 2011)
Tabel 1.
Kejadian El Nino dan La Nina berdasarkan nilai ONI (Oceanic Nino Index) dimana El Nino jika nilai ONI +0,5 0C dan La Nina jika ONI 0,5 0C selama periode tahun 2002-2012 (NOAA, 2013) Nilai ONI La Nina Nilai ONI
El Nino
tertinggi
terendah
AMJ 2002 – JFM 2003
1,3
ND 2005 – FMA 2006
-0,9
JJA 2004 – DJF 2004/05
0,7
JAS 2007 – MJJ 2008
-1,5
ASO 2006 – DJF 2006/07
1,0
OND 2008 – FMA 2009
-0,8
JJA 2009 – MAM 2010
1,6
JJA 2010 – MAM 2011
-1,5
ASO 2011 – FMA 2012
-1,0
3.2.1. Distribusi titik panas di Riau, Sumatera Selatan dan Jambi Berdasarkan data olahan total titik panas selama kurun waktu 9 tahun (2004-2012) diketahui bahwa distribusi titik panas di wilayah Provinsi Riau terbesar ditemukan di wilayah Kabupaten Bengkalis (29%), Rokan Hilir (20%) dan Pelalawan (14%) dari total titik panas sebesar 18.889 seperti ditunjukkan pada gambar 6. Provinsi Riau memiliki sekitar 1.781.900 ha perkebunan kelapa sawit atau yang terluas di wilayah Sumatera dan di Indonesia. Berdasarkan data kepemilikan perkebunan kelapa sawit yang ada di Provinsi Riau diketahui bahwa di Kabupaten Bengkalis sebagian besar pengusahaannya dikelola oleh rakyat 70% dan swasta 30%, Kabupaten Rokan Hilir 61% oleh rakyat, 4% oleh negara dan 36% oleh swasta, sedangkan Kabupaten Pelalawan 67% oleh swasta dan 33% oleh rakyat (Kementerian Pertanian, 2011).
~ 328 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Di Provinsi Sumatera Selatan mayoritas titik api ditemukan di wilayah Kabupaten Ogan Komering Ilir (54%) dan Musi Banyuasin (17%) dari total titik api sebesar 9.417 seperti ditunjukkan pada gambar 7. Berdasarkan data Kementerian pertanian (2011) diketahui bahwa Provinsi Sumatera Selatan memiliki perkebunan kelapa sawit seluas 717.551 ha atau terbesar ketiga di Sumatera dan keempat di Indonesia. Adapun pengelolaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Ogan Komering Ilir sekitar 53% dikuasai oleh rakyat dan 47% oleh swasta, sedangkan di Kabupaten Musi Banyuasin sekitar 48% oleh swasta, 31% oleh rakyat dan 21% oleh negara. Untuk Provinsi Jambi distribusi titik panas mayoritas ditemukan di wilayah Kabupaten Muaro Jambi (46%) dan Tebo (16%) dari total titik api sebesar 3.928 seperti ditunjukkan pada gambar 8. Dari total 465.265 ha luas areal perkebunan kelapa sawit yang ada di Provinsi Jambi atau terluas kedua di Sumatera dan keenam di Indonesia, sekitar 28% berada di Kabupaten Muaro Jambi dan 9% di Kabupaten Tebo. Pengusahaan perkebunan kelapa sawit di kabupaten Muaro Jambi sekitar 91% dikuasai oleh rakyat, 24% oleh swasta dan 6% oleh negara. Sedangkan di Kabupaten Tebo sekitar 64% perkebunan kelapa sawit dikelola oleh masyarakat, 20% oleh swasta dan 17% oleh negara (Kementerian Pertanian, 2011)
Bengkalis
6%
6%
29%
20% 14%
Indragiri Hilir Indragiri Hulu
8% 4%
1% 1% 0% 0%
Gambar 6.
4% 0% 0% 0%
7%
Kampar Karimun Kepulauan Riau
Distribusi titik panas di provinsi Riau selama kurun waktu 9 tahun (tahun 2004-2012).
~ 329 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
5% 4% 0%
0% 0%
ISBN : 978-979-1458-73-3
Banyuasin
2%
Kota Lubuk Linggau
9%
Kota Palembang Kota Prabumulih
17% 54%
Lahat Muara Enim
9%
Musi Banyuasin Musi Rawas Ogan Komering Ilir Ogan Komering Ulu
Gambar 7.
Distribusi titik panas di provinsi Sumatera Selatan selama kurun waktu 9 tahun (tahun 2004-2012).
5% 16%
6%
0% 5%
8%
Batanghari Bungo Kerinci
4%
Merangin
10%
Muaro Jambi
46%
Sarolangun Tanjung Jabung Barat Tanjung Jabung Timur Tebo
Gambar 8.
Distribusi titik panas di Provinsi Jambi selama kurun waktu 9 tahun (tahun 2004-2012)
3.2.2. Distribusi titik panas di Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat Di Provinsi Kalimantan Tengah, mayoritas titik api ditemukan di wilayah Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas masing-masing sekitar 21% dan 16% dari total titik api sebesar 15.948 seperti ditunjukkan pada gambar 9. Berdasarkan data Kementerian Pertanian (2011) Provinsi Kalimantan Tengah memiliki perkebunan kelapa sawit terbesar di wilayah Kalimantan dan kedua di Indonesia yaitu sekitar 1.037.525 ha. Dari total luas wilayah perkebunan kelapa sawit tersebut, sekitar 1% berada di wilayah Kabupaten Pulang Pisau dan 3% berada di Kabupaten Kapuas. Pengelolaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Kapuas keseluruhannya dikuasai oleh swasta.
~ 330 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
4%
4% 1% 4%
3%
10% 16%
21%
10% 14%
1%
8%
2%
Gambar 9.
2%
ISBN : 978-979-1458-73-3
Barito Selatan Barito Timur Barito Utara Gunung Mas Kapuas Katingan Kota Palangka Raya Kota Waringin Barat Kota Waringin Timur Lamandau Murung Raya Pulang Pisau Seruyan Sukamara
Distribusi titik panas di Provinsi Kalimantan Tengah selama kurun waktu 9 tahun (tahun 2004-2012)
Distribusi titik panas di wilayah Kalimantan Barat sebagian besar ditemukan di wilayah Kabupaten Ketapang dan Sintang masing-masing sebesar 34% dan 15% dari total 9.166 seperti ditunjukkan pada gambar 10. Berdasarkan data Kementerian Pertanian (2011) diketahui bahwa wilayah Provinsi Kalimantan Barat memiliki luas lahan perkebunan kelapa sawit sekitar 540.835 ha atau terluas kedua di wilayah Kalimantan dan kelima di Indonesia. Dari total luas wilayah perkebunan kelapa sawit tersebut sekitar 26% berada di wilayah Kabupaten Ketapang dan 10% di Kabupaten Sintang. Pengelolaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Ketapang sekitar 64% di pihak swasta dan 36% berada di tangan rakyat. Sedangkan untuk wilayah Kabupaten Sintang sekitar
63% oleh pihak
swasta dan 37% oleh rakyat.
15%
8%
11%
8%
Bengkayang Kapuas Hulu Ketapang Kota Pontianak
11%
Kota Singkawang
34%
8%
Landak Pontianak Sambas Sanggau
5% 0%
Sintang
0%
Gambar 10. Distribusi titik panas di Provinsi Kalimantan Barat selama kurun waktu 9 tahun (tahun 2004-2012)
~ 331 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
4.
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Kesimpulan Tren bulanan titik panas untuk wilayah Sumatera dan Kalimantan selama periode
tahun 2004-2012 mencapai maksimum pada bulan Oktober 2006 dan bulan September 2009 dengan jumlah titik panas masing-masing 7.114 dan 5.007. Berdasarkan total musiman titik panas dari tahun 2004-2012 untuk wilayah Sumatera dan Kalimantan diketahui bahwa peningkatan total titik panas yang signifikan terjadi pada musim kering (Juni-Agustus) dan musim peralihan dari kering ke basah (September-November) masingmasing sebesar 24.059 dan 31.245. Distribusi titik panas terbesar di wilayah Sumatera ditemukan di provinsi Riau (50%), Sumatera Selatan (25%) dan Jambi (10%) dari total titik panas sebesar 37.643, sedangkan Untuk wilayah Kalimantan diketahui bahwa distribusi titik panas terbesar ditemukan di Provinsi Kalimantan Tengah (53%) dan Kalimantan Barat (31%) dari total titik panas sebesar 29.733. Semua Provinsi tersebut diketahui memiliki lahan gambut dan juga perkebunan kelapa sawit yang relatif sangat luas. Hal ini perlu diwaspadai karena wilayah lahan gambut yang dijadikan perkebunan kelapa sawit menjadi rentan terhadap kebakaran.
Daftar Pustaka Berha, R., Pradani, M., lestari, P., Man Joshi, U., Reid, J. S., Balasubramanian, R. (2012). Chemical Speciation of Trace Metals Emitted from Indonesian Peat fires for health Risk Assessment. Atmos. Res, doi:10.1016/j.atmosres.2012.05.024 NASA.
(1996).
Sustainable
Development
Indicator
Group.
http://www.hq.nasa.gov/iwgsdi/Forest_Land.html Page, S.E., Siegert, F., Rieley, J. O., Boehm, H. D. V.,Jaya, A., Limin, S. (2002). The amount of carbon released from peat and forest fires in Indonesia during 1997, Nature, 420 (6911), 61-65. WWF, (2012). Laman: http://www.wwf.or.id FIRMS, (2013). Laman: https://earthdata.nasa.gov/data/near-real-time-data/firms NOAA, (2013), ENSO Cycle: Recent Evolution, current status and prediction, http://www.cpc.ncep.noaa.gov/products/analysis_monitoring/lanina/enso_evolution -status-fcsts-web.pdf Tanpipat, V., Honda, K., Nuchaiya, P. (2009). MODIS hotspot validation over Thailand. Remote Sensing, 1, 1043-1054; doi: 10.3390/rs1041043
~ 332 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Wiratno, J. (1998). Sudah benarkah pemahaman anda tentang La Nina dan El Nino?. Penerbit ITB, Bandung Kementerian Pertanian. (2011). Peta Potensi dan sebaran areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia: Sistem Integrasi Sapi-kelapa sawit (SISKA) Kementerian Pertanian. (2011): Peta Lahan Gambut Indonesia Skala 1:250.000, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Edisi Desember 2011
~ 333 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
ROLES OF RELATIVE HUMIDITY ON SONGDA TYPHOON 2011 INTENSITY Yopi Ilhamsyah1*, Ahmad Bey2, Edvin Aldrian3 Department of Marine Sciences Syiah Kuala University, 2Department of Geophysics and Meteorology Bogor Agricultural University, 3Center for Climate Change and Air Quality BMKG Jakarta *
[email protected] 1
Abstract The objectives of the research were to investigate the influences of relative humidity as well as its changes on Songda Typhoon intensity. Advanced Research of Weather Research and Forecasting (AR-WRF) with three scenarios were implemented in the research, i.e., by performing AR-WRF standard-release along with its initial data and by 10 % to 20 % decrease of relative humidity initial data at 850-700 hPa. From AR-WRF standard-release, it was shown that in the early development relative humidity in the middle level were about 80 % and even drier at 600 hPa. As ocean temperature continued to warm, it provided large supplies of moist air into the middle level which led to increase relative humidity above 90 % and further affect to intensify the storm. As it turned into Extratropical Storm, relative humidity concentration in the middle level had dispersed as the structure was no longer axisymmetric due to the presence of Jet Stream in the upper troposphere. Relative humidity at 850-700 hPa had reduced to less than 80 %. Thus, insufficient moist environment eventually led to weaken the storm. In various stages of the storm, it was found that 20 % decreasing scenario played a significant role in reducing storm intensity. In the vertical levels, 20 % decreasing scenario showed lower wind speeds than 10 % decreasing scenario where significant wind intensity reduction mainly occurred at 850-700 hPa, which further affected to weaken storm intensity in the lower levels. Meanwhile, the reduction of moisture supply at 850-700 hPa resulting from 20 % decreasing scenario played a major role in the weakening of wind intensity. Thus, it further affected to reduce the mechanical energy of the cycle process as much as 300 J kg-1. Keywords: relative humidity, Songda Typhoon, AR-WRF, wind intensity Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki pengaruh kelembapan nisbi serta perubahannya terhadap intensitas Topan Songda. Advanced Research of Weather Research and Forecasting (AR-WRF) dengan tiga skenario, yaitu dengan menjalankan keluaran standar AR-WRF disertai data awalnya dan pengurangan 10 % hingga 20 % data awal kelembapan nisbi pada tingkat 850-700 hPa diaplikasikan pada penelitian ini. Berdasarkan keluaran standar WRF terlihat bahwa pada tahap awal pembentukan, kelembapan nisbi pada tingkat menengah adalah sebesar 80 % dan bahkan lebih kering pada 600 hPa. Peningkatan suhu permukaan laut memasok udara lembab pada tingkat menengah sehingga meningkatkan kelembapan nisbi di atas 90 % dan selanjutnya berpengaruh terhadap penguatan intensitas badai. Pada saat berubah menjadi badai Ekstratropis, konsentrasi kelembapan nisbi di tingkat menengah telah menyebar karena struktur tidak lagi simetrik akibat kehadiran Arus Jet di troposfer atas. Kelembapan nisbi pada 850-700 hPa telah berkurang menjadi 80%. Dengan demikian, ketidakcukupan lingkungan yang lembab akhirnya menyebabkan badai melemah. Pada berbagai tahapan badai ditemukan bahwa penurunan skenario 20 % berperan penting dalam mengurangi intensitas badai. Pada
~ 334 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
tingkat vertikal, skenario penurunan 20% menunjukkan kecepatan angin yang lebih rendah daripada penurunan skenario 10% dimana penurunan intensitas angin secara signifikan terutama terjadi pada 850-700 hPa yang selanjutnya berpengaruh terhadap melemahnya intensitas badai pada tingkat yang lebih rendah. Sementara itu, pengurangan suplai kelembapan pada tingkat 850-700 hPa yang dihasilkan dari skenario penurunan kelembapan nisbi sebesar 20 % berperan penting dalam melemahkan intensitas angin sehingga berpengaruh terhadap pengurangan energi mekanik dari proses siklus sebesar 300 J kg-1. Kata Kunci : kelembapan nisbi, Topan Songda, AR-WRF, intensitas angin 1.
INTRODUCTION Western North Pacific (WNP) Ocean is well-known for the most dynamical basin
to Tropical Cyclone (TC) occurrences (Lin et al., 2008). The frequent occasion of TC lies from 10˚N to 26˚N and 121˚E to 170˚E (Holliday and Thompson, 1979). TC over WNP is locally called as Typhoon. Sources of TC development come from warm ocean temperature where latent heat is released during condensation processes. The moisture sources are then subsequently concentrated in the boundary layer. Sufficient moisture in the middle troposphere layer (850-700 hPa) is considered to have a major influence in supplying heat to drive TC intensity. Schade and Emanuel (1999) found that relative humidity at 850-700 hPa layer is responsible to produce the most intense storm. Thus, the increase of humidity in the middle troposphere is one of thermal characteristics that can be taken into account. The humid environment leads the themal energy to increase and start circulating from warm to cold environment in a closed process, known as Carnot cycle. Emanuel (1986) constructed a simple energy balance model to explain the corresponding role of TC heat engine as a Carnot cycle. Moist entropy from the lower level is the primary energy in the cycle. It allows air to flow inward the boundary layer. At that moment, the air rises and releases heat at lower temperature in the upper troposphere which further converts it from thermal to mechanical energy. The uses of simulation model had been conducted to investigate moisture changes and their implications on TC intensity, e.g., Frank and Ritchie (1999), and Wong and Chan (2004). However, their study was based on full idealized physics simulation. In the present study, the influences and moisture changes on TC intensity was examined by using threedimensional numerical model by varying its initial condition. Songda Typhoon (ST) was the fourth named TC of the 2011 NH tropical season. ST was the most devastating storm that striked WNP Ocean for the period of 2011. It lasted from May 18th to 30th, 2011 for two continuous weeks and strengthened to boost peak activity of powerful Super Typhoon stages between May 24th and 27th. Long curving ~ 335 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
track and the exhibition of all sequences of TC life cycle, ST was then considered as an ideal case of TC. Its development and intensification, however, still remained questions. The fact that ST is not a subject of exploration yet soon motivates the present research. The purposes of the research with a case of ST presented herein will investigate the influences of thermal characteristic on ST intensity and its changes effect on ST intensity as well as mechanical energy of the Carnot cycle. The primary point of emphasis is relative humidity as mentioned earlier. The research is expected to provide a better understanding on roles of relative humidity and its changes effect on TC intensity which is useful to assist operational weather forecaster to produce good short-range forecasts in terms of TC intensities. 2.
MATERIAL AND METHOD
2.1. Model Performance The research was carried out by performing Advanced Research of Weather Research and Forecasting model (AR-WRF) version 3.3. AR-WRF is a non-hydrostatic three-dimensional numerical model with terrain-following in the vertical-sigma coordinate. Two domains were employed in the model. The first domain situated from 02˚N to 40˚N and 118˚E to 149˚E consisted of 103 x 138 horizontal grids and covered spatial resolutions (
) of 33.1 km. The second domain situated from 09˚N to 27˚N and 119˚E to 132˚E
consisted of 133 x 190 horizontal grids at 11 km in spatial resolution (Figure 2-1). The two domains were utilized to analyze the result. Timestep of the model ( ) was 120 seconds. In addition, 28 pressure levels ranging from 1000 to 10 hPa were employed in the model. i.e., Yonsei University Scheme (YSU) in the Planetary Boundary Layer (PBL), KainFritsch scheme (KF) in the Cumulus, and WRF Single-Moment 3-class scheme in the microphysics. 2.2. The initial condition and Experimental Design The data applied in the initial boundary conditions of the model were (a) 2-minutes resolution of USGS terrain height data, (b) 2-minutes resolution of global 24-category USGS land use/cover data, and (c) 1.0˚ latitude x 1.0˚ longitude grids NCEP Final Analysis (NCEP FNL) data with grib2 format. The description of the NCEP FNL dataset are as follows: (a) 6-hourly in temporal resolution, i.e., 0000, 0600, 1200, and 1800 UTC, (b) pressure levels are available from 1000 to 10 hPa, and (c) consist of meteorological variables such as: surface pressure, Sea
~ 336 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Figure 2-1 : Geographical location and domains of WRFSRL over WNP Ocean. D01 and D02 are the first and second domain, respectively Level Pressure (SLP), geopotential height, temperature, evaporation, relative and specific humidity, zonal and meridional velocity, vertical velocity, etc. The information as well
as
the
data
is
available
online
through
http://rda.ucar.edu/datasets/ds083.2/#description. The initial data applied in the initial condition of AR-WRF model hereafter refer to WRF standard-release model initial data (or WRFSRL). The research was implemented by performing WRFSRL and by adjusting thermal characteristics of ST in terms of relative humidity. The adjustment of the thermal characteristics of ST was carried out by decreasing 10 % to 20 % of WRFSRL NCEP FNL relative humidity initial data at 850-700 hPa. Once the initial data had been adjusted, the model was ready to be tested, the steps were as follows:
Running WRFSRL along with its initial data. The wind intensity and track of ST resulting from WRFSRL was then evaluated by comparing them with those of Joint Typhoon Warning Center (JTWC), Japan Meteorological Agency (JMA), and Reanalysis data and also by checking the Root Mean Square Error (RMSE) and Coefficient of Determination (R2) between the intensity of WRFSRL and JTWC. WRFSRL was then used to analyze the influence of relative humidity on ST intensity prior to implementing the adjustment scenario. The result was also compared with satellite images. JTWC and JMA best track and intensity data can be found in http://weather.unisys.com/hurricane/w_pacific/2011H/index.php
~ 337 ~
and
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
http://www.jma.go.jp/jma/jma-eng/jma-center/rsmc-hp-pub-eg/besttrack.html Reanalysis
data
was
taken
from
NCEP/NCAR
NOAA
http://www.esrl.noaa.gov/psd/data/gridded/data.ncep.reanalysis.html
with
while through spatial
coverages of 2.5° latitude x 2.5° longitude which is further interpolated into 33 km in accordance with the first domain of the model.
Implementing 10 % and 20 % decreasing scenarios of relative humidity at levels 850700 hPa into WRFSRL initial data (hereafter refer to RHM10 and RHM20), rerunning the model, and discussed the intensity changes and changes of mechanical energy of Carnot cycle at mature stage.
Paired T-test was used to determine significant intensity differences of maximum wind speeds for each stages. The selected simulation days were from May 18th to 30th, 2011 during ST lifetime. Hence, the entire life cycles of ST from early disturbance until reaching the mature, and decaying stage could be well-observed. In addition, model needed to perform a warm-start simulation in the first day of simulation in order to adjust the initial boundary condition as well as physical parameters in the model. Thus, analysis focussed on the second day on May 19th, 2011.
3.
RESULT AND DISCUSSION
3.1. ST intensity Figure 3-1 showed time-series of ST maximum wind speeds of WRFSRL and its comparison to maximum wind speeds originated from JTWC, JMA, and Reanalysis data. It was shown that WRFSRL was not well-coincided with those of JTWC, JMA and even Reanalysis data. Reanalysis data showed much lower intensity compared to JTWC, JMA, and WRFSRL which presented poor-indication of the Typhoon event. The maximum wind speeds of Reanalysis data of about 30 ms-1 occurred on May 29th which indicated a timelag in reaching peak intensity of Typhoon. Much lower intensity from Reanalysis data might be due large spatial coverage of the data which was 2.5°. Even though, it has been interpolated into 30 km which was similar to spatial resolution given in the first domain, however, it did not give significant increase of wind speeds which resulted in a poordescription to the Typhoon development and intensification. The WRFSRL showed that stronger maximum wind speeds was found as soon as ST reached Typhoon 1 on May 23rd at 0000 UTC. The stronger maximum wind speeds was still observed until ST had changed into the decaying stage in the final simulation. It was also shown that the strongest wind ~ 338 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
speeds occurred on May 27th at 0000 UTC rather than on May 26th at 1800 UTC as given by JTWC. Thus, WRFSRL had 6-hour time-lag in simulating the peak intensity of ST. The maximum wind speeds between WRFSRL and JTWC during mature stage were 74 ms-1 and 72 ms-1, respectively. In addition, the lower maximum wind speeds was found at some points during Tropical Depression and Tropical Storm from May 20th at 0000 UTC to May 22nd at 1200 UTC. At this stage, the wind only reached 22 ms-1 in speeds compared to 28 ms-1 on magnitude of JTWC. In the development stages from May 23rd to 25th, wind speed of WRFSRL showed a rapid increase compared to JTWC and JMA. The reason behind this still remains question. As discussed before that YSU and KF scheme was essential in obtaining better intensity. However, in this research, the selections of appropriate PBL and
Max.Wind Speeds (ms1)
Cumulus scheme to obtain better TC intensity still need to be further investigated.
80
WRFSRL
JTWC
JMA
Reanalysis Data
60 40 20 0
Date and Time (UTC) Figure 3-2 : Comparison of time-series of maximum wind speeds (ms-1) of ST from May 20th to 30th for WRFSRL (blue line), JTWC (red line), JMA (green line), and Reanalysis data (violet line) On the contrary, JMA showed much lower maximum wind speeds than JTWC mostly during the mature stage on May 26th. The reasonable explanation might be due to the model resolution used by JMA. Based on Angove and Falvey (2011), JTWC applied many leading operational models with highest resolution to forecast short-term (72-hour) ongoing events of TC intensity and track. Numerous model outputs that had been evaluated and compared with satellite images and radar were then fitted by means of a certain statistical technique developed by JTWC to improve and to achieve best track and intensity. Davis et al. (2008) found that different resolution used by the models could influence the position and intensity of TC. Thus, the model resolution was behind the reason for the emergence of intensity differences in terms of maximum wind speeds among ~ 339 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
WRFSRL, JTWC, and JMA. Tory and Frank (2010) reported that the chosen of physical parameterization in the model configuration could also influence differences on intensity simulation. On the other hand, based on the calculation of RMSE and R2 between WRFSRL and JTWC, it was found that RMSE and R2 values were 12.45 ms-1 and 0.53, respectively. It further implied that the model was moderate-performed since small deviation found in the model. Besides, the model was able to capture the maximum wind speeds during mature stage. For that reason, WRFSRL was then utilized to explain the influences of relative humidity on ST intensity.
Figure 3-2 : Time-series of (a) maximum wind speed (ms-1) of WRFSRL and (b) scenario deviation from WRFSRL (ms-1) for RHM10 (red line) and RHM20 (green line) from May 20th to 30th 3.2. The influences of relative humidity on ST intensity Moisture supply represented by relative humidity in the middle troposphere at 850700 hPa was one of the requirements which played significant role in strengthening ST intensity. Appendix 1c showed that at Super Typhoon stage, relative humidity of more than 90 % was concentrated in the middle level of the eye wall while at Tropical Storm stage where the intensity still developed, it showed no concentration of high relative humidity in the inner structure but relative humidity of more than 80 % was found at 850-700 hPa (Appendix 1a). This result was consistent with Montgomery et al. (2006) and Hidalgo (2008) who found that in the early development, relative humidity in the middle level were
~ 340 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
about 80 % and even drier at 600 hPa. As ocean temperature continued to warm, it provided large supplies of moist air into the middle level which led to increase relative humidity above 90 %. The increase of cyclonic rotation driven by the acceleration of upper level vorticity then helped to concentrate relative humidity in the inner structure which led to intensify the storm (Appendix 1a and c). This agreed with Nolan (2007) who found that the simulation of intense TC with warm core vortex was not well-performed until relative humidity in the middle level increased to more than 90 %. Previous study by Bister (2001) also the supported this result. As it turned into Extratropical Storm, relative humidity concentration in the middle level had dispersed as the structure was no longer axisymmetric due to the presence of Jet Stream in the upper troposphere. Relative humidity at 850-700 hPa had reduced to less than 80 %. Thus, insufficient moist environment eventually led to weaken ST (Appendix 1e). In the present study, it was also shown that in the early development, the warm core arose from lower level and gradually increased until 600 hPa at Super Typhoon stage. At this stage, the temperature anomaly at the warm core was 6˚C between 300 and 600 hPa (Appendix 1b and d). It was lower than Halverson et al. (2006) who in their observational study found that maximum temperature anomaly at the core near 500 hPa was 11˚C with minimum SLP and wind speeds of 969 hPa and 54 m s-1, respectively. However, these findings were lower than energetic TC shown in Hawkins and Imbembo (1976). In field study conducted by them to investigate TC Inez (a category 5 Hurricane) in 1966, the maximum temperature anomaly at the same level was 16˚C with SLP of 927 hPa. These differences might refer to the differences of size distribution on TC. Meanwhile, at Extratropical Storm, due to the convergence with cold front in the middle latitude, temperature advection altered the warm core formation and made the warm core to concentrate in the upper level (Appendix 1e). 3.3. The influences of relative humidity changes on ST intensity Figure 3-2 showed maximum wind speeds differences of ST for RHM10 and RHM20. It was shown that RHM20 had weaker wind speeds than the others. Statistically significant differences between WRFSRL and RHM20 were found in the development of Typhoon 1 to Typhoon 4 with speed reductions of 6 ms-1 on averages. However, it showed no statistically significant differences at Super Typhoon stage. Besides, it showed weaker wind intensity than WRFSRL mainly in the peak intensity on May 27th at 0000 UTC with speed reduction of 5 ms-1. Weaker wind intensity was still observed in the decaying stage
~ 341 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
until Typhoon underwent into Extratropical Storm with averages speed reduction of about 2 ms-1 even though statistically it was not significant. RHM10 scenario also revealed weaker wind speeds without significant differences (P > 0.05) compared to WRFSRL. Although it was shown that during Super Typhoon stage, it had the weakest wind speeds than WRFSRL and RHM20; statistically there were no significant differences found in this stage. The average speed reduction of RHM10 compared to WRFSRL and RHM20 were about 2.4 ms-1 and 0.3 ms-1, respectively. In various stages of the storm, it was found that RHM20 played a significant role in reducing storm intensity. The reduction of wind speeds resulting from both decreasing scenarios agreed with Nolan et al. (2007). By setting drier relative humidity in the middle troposphere, they found that the experiment had little impact on TC genesis which implied relative humidity tended to reduce TC intensity during experiment. Moreover, in a simulation carried out by Nong and Emanuel (2003) by adding moisture in the middle level, they found there were no significant increase of TC intensity. Thus, moisture sources in particular relative humidity, one of the requirements to the development of TC, was questionable. The increasing scenarios of relative humidity could not be carried out in the present research since the air was saturated in the middle level. Tory and Frank (2010) commented that the use of relative humidity in diagnosing TC formation still could not be well-explained yet. 3.4. Relative humidity scenarios in the vertical level In the vertical level, it was also shown that weaker wind speeds were found in RHM20 (Appendix 2b and c). which further affected to weaken ST intensity in the lower levels. The decline of wind speeds were caused by the reduction of moisture supply at 850700 hPa in large quantities resulting from RHM20 which was important to drive the intensification of ST. It was also noted that the increasing scenario adjustment of relative humidity was impossible to carry out since it had already reached saturated condition with 100 % relative humidity in the levels. 3.5. Entropy and mechanical energy Entropy as well as the description of Carnot cycle of ST and scenario deviation from RHM10 and RHM20 were shown in appendix 3. Appendix 3 describes the lower entropy was found in RHM20 which indicated that the reduction of relative humidity at 850-700 had an effect on reducing the thermal energy of ST. Thus, it caused to decrease
~ 342 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
ST intensity. Mechanical energy found in RHM10 and RHM20 were 1,603 and 1,331 J kg1
, respectively. These results were reliable since relative humidity play important role in
driving ST intensity. In addition, heat engine in the Carnot cycle could be represented by its efficiency. The efficiency is the fraction of cold air temperature in the upper level to warm temperature in the bottom where energy was extracted and converted into mechanical energy. In all scenarios, the efficiency was 21 % since there were no vertical level differences of air temperature in all scenarios. The temperatures of 22˚C and -40˚C at 900 hPa and 200 hPa were found at all scenarios, respectively. Michaud (1995) found that the average temperature of 22˚C in the surface and -18 ˚C in the upper level gave the Carnot efficiency of 15 %. Thus, vertical structures of temperature were important to determine the Carnot efficiency. The efficiency is helpful to find the limit of transporting heat upward that can be used to do work in a reversible system. The Carnot efficiency in ST that could be used to do work as obtained in the present research was lower than Emanuel (1988) who found that 33 % of heat carried upward was converted to work. The possibly reason might be due to the use of surface temperature at 900 hPa instead of 1000 hPa.. As already mentioned, the temperature of 22 ˚C was colder to be used as warm source in the surface compared to 28 ˚C. Thus, it resulted in smaller efficiency in ST than in ideal TC provided in Emanuel (1988). Carnot cycle efficiency in all relative humidity scenarios were 21 %. 4.
CONCLUSION The significant reduction of ST intensity resulting from moisture environment
scenario gave an indication that moisture played an important role in strengthening and weakening TC intensity and structures. Thus, future research can focus on moisture and its implication on TC structure and intensity by setting much drier moisture in a Super Typhoon or adding moisture in a Tropical Storm category, and also the influence of moisture with different schemes of physical parameterization on TC intensity. REFERENCES Angove, M.D. and Falvey, R.J., Annual Tropical Cyclone Report, USA: Joint Typhoon Warning Center, 2011. Bister, M., Effect of Peripheral Convection on Tropical Cyclone Formation, J. Atmos. Sci., 33, 1008-1020, 2001.
~ 343 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Davis, C., Wang, W., Chen, S.S., Chen, Y-S., Corbosiero, K., DeMaria, M., Dudhia, J., Holland, G., Klemp, J., Michalakes, J., Reeves, H., Rotunno, R., Snyder, C., and Xiao, Q., Prediction of Landfalling Hurricanes with the Advanced Hurricane WRF Model, Mon. Wea. Rev., 136, 1990-2005, 2008. Emanuel, K.A., An Air-Sea Interaction Theory for Tropical Cyclones. Part I: Steady-State Maintenance, J. Atmos. Sci., 43, 585-604, 1986. Emanuel, K.A., Toward a General Theory of Hurricanes, Am. Sci.,76: 370-379, 1988. Frank, W.M. and Ritchie, E.A., Effects of Vertical Wind Shear on the Intensity and Structure of Numerically Simulated Hurricanes, Mon. Wea. Rev., 129(9), 2249-2269, 2001. Halverson, J.B., Simpson, J., Heymsfield, G., Pierce, H., Hock, T., and Ritchie, L., Warm Core Structure of Hurricane Erin Diagnosed from High Altitude Dropsondes during CAMEX-4, J. Atmos. Sci., 63, 309-324, 2006. Hawkins, H.F. and Imbembo, S.M., The Structure of a Small, Intense Hurricane-Inez 1966. Mon. Wea. Rev.,104, 418–442, 1976. Hidalgo, J.M., Vertical Hot Towers, Their Aggregate Effects and Their Resolution Dependence in the Formation of Hurricane Diana (1984), [Ph.D Thesis]. Colorado (USA): Colorado State University, 2008. Holliday, C.R. and Thompson, A.H., Climatological Characteristics of Rapidly Intensifying Typhoons, Mon. Wea. Rev., 107, 1022-1034, 1979. Lin, I.I., Wu, C.C, Pun, I.F., and Ko, D.S., Upper Ocean Thermal Structure and the Western North Pacific Category-5 Typhoons: Part I. Ocean Features and Category-5 Typhoons‟ Intensification, Mon. Wea. Rev., 136, 3288–3306, 2008. Michaud, L.M., Heat to Work Conversion during Upward Heat Convection Part I: Carnot Engine Method. Atmos. Res., 39, 157-178, 1995. Montgomery, M.T., Nicholls, M.E., Cram, T.A., and Saunders, A., A Vertical Hot Tower Route to Tropical Cyclogenesis, J. Atmos. Sci., 63, 355-386, 2006. Nolan, D.S., What is the Trigger for Tropical Cyclogenesis?, Aus. Met. Mag., 56, 241-266, 2007. Nolan, D.S., Rappin, E.D., and Emanuel, K.A., Tropical Cyclogenesis Sensitivity to Environmental Parameters in Radiative–Convective Equilibrium, Quart. J. Roy. Meteor. Soc., 133, 2085–2107, doi: 10.1002/qj.170, 2007. Nong, S. and Emanuel, K., A Numerical Study of the Genesis of Concentric Eyewalls in Hurricanes. 2002, Quart. J. Roy. Meteor. Soc., 129, 3323–3338, 2003. ~ 344 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Schade, L.R. and Emanuel, K.A., The Ocean‟s Effect on the Intensity of Tropical Cyclones: Results from a Simple Coupled Atmosphere-Ocean Model, J. Atmos. Sci., 54, 642-651, 1999. Tory, K.J. and Frank, W.M., Tropical Cyclone Formation. In Global Perspectives on Tropical Cyclones from Science to Mitigation, J.C.L. Chan, J.D. Kepert, editors. World Scientific Publishing, Singapore, pp. 55-91, 2010. Wong, M.L.M. and Chan, J.C.L., Tropical Cyclone Intensity in Vertical Wind Shear, J. Atmos. Sci., 61(15), 1859-1876, 2004.
~ 345 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Appendix 1 : West-East vertical structures of ST for temperature (˚C) in shaded and relative humidity (%) in contour line (figures in the left side) and temperature anomaly (˚C) in shaded (figures in the right side), (a and b) at Tropical Storm on May 22nd (c and d) at Super Typhoon on May 27th, (e and f) at Extratropical Storm on May 30th at 0000 UTC
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
~ 346 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
Appendix 2 : West-East vertical structures of maximum wind speeds (shaded and barb) in ms-1 of ST and scenario deviation at Super Typhoon stage on May 27th at 0000 UTC, (a) WRFSRL, (b) RHM10, and (c) RHM20
(a)
(b)
(c)
~ 347 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013
Appendix 3 :
Bandung, 28 Agustus 2013
ISBN : 978-979-1458-73-3
West-East vertical structures of entropy (J kg-1 K-1) as well as the description of Carnot cycle of ST and scenario deviation at Super Typhoon stage on May 27th at 0000 UTC, (a) WRFSRL, (b) RHM10, and (c) RHM20
(a)
(b)
(c)
~ 348 ~