Semnas “Menguarai Akar Kekerasan Massa di Indonesia”.
LAW ENFORCEMENT DALAM AKSI KEKERASAN MASSA YANG BERBASIS SENTIMEN KEAGAMAAN Oleh : Susilo Wardani Dosen Fakultas Hukum -Universitas Muhammadiyah Purwokerto ABSTRAK Artikel ini mengkaji tentang pentingnya law enforcement dalam aksi kekerasan massa. Masyarakat menginginkan trasparansi dalam pengungkapan kasus ini dan tidak hanya kambing hitam yang justru mengaburkan penyebab peristiwa sesungguhnya. Tingkat kepercayaan warga masyarakat terhadap pranata formal, termasuk terhadap law enforcment sudah termasuk amat buruk dan sudah menjadi adagium universal ketika tingkat kepercayaan warga terhadap penegakan hukum itu memburuk otomatis tingkat main hakim sendiri semakin meningkat dan sebaliknya. Untuk itu diperlukan strategi yang tepat dalam upaya penanggulangan tindakan anarki tersebut. Pemerintah baik pusat maupun daerah perlu untuk menindak pelaku kekerasan yang mengatasnamakan agama dan aparat yang melakukan pembiaran kekerasan itu terjadi, kedua, memastikan bahwa tindakan kekerasan itu tidak terjadi lagi, ketiga,membubarkan kelompok-kelompok pelaku kekerasan, serta memberikan rehabilitasi dan perlindungan secara total kepada kelompok–kelompok yang telah dan rentan mengalami kekerasan atas nama agama di seluruh Indonesia. Ketentuan pidana yang termuat dalam Pasal 170 dan Pasal 406 KUHP memuat ketentuan mengenai tindakan apa saja yang dilakukan pribadi atau kelompok di luar aturan undang-undang/main hakim sendiri sehingga dapat dikenakan pasal tentang kekerasan yang dilakukan bersama-sama atau kolektif. Hal yang perlu dicermati dalam kekarasn kolektif ini adalah tidak mungkin menghukum seluruh peserta dalam tindakan anarki tersebut, tetapi perlu dipertimbangkan bagaimana upaya yang ditempuh untuk menemukan siapa yang menjadi otak penggerak dari suatu kekerasan yang dilakukan massa. Kata Kunci : law enforcement, kekerasan,massa PENDAHULUAN Pelbagai berita yang dimuat di media massa jika diamati terus-menerus selalu diramaikan dengan adanya masalah yang berkaitan dengan hukum, ekonomi, social, politik, dan kriminal. Penyerangan dan kekerasan yang terjadi pada 20 KK jemaat Ahmadiyah di Desa Ciumbul, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten telah menyebabkan kerugian yang cukup besar. Bahkan peristiwa ini telah menewaskan 4 orang, yang tiga di antaranya dianiaya jenazahnya secara tidak berkeperimanusiaan. Penyerangan yang dilakukan oleh sekitar 1.500 orang yang mengatasnamakan kelompok Islam ini dapat terjadi sebagaimana diberitakan oleh berbagai media massa karena tidak ada upaya yang cukup keras dari aparat keamanan untuk menghentikannya, bahkan terkesan mereka membiarkan peristiwa keji itu terjadi. Sama halnya dengan penyerangan kepada jemaah Ahmadiyah, kekerasan berbasis sentiment keagaman terjadi lagi dengan dibakarnya tiga gereja di Temanggung, Massa yang membakar gereja tersebut datang dengan menggunakan atribut GPK dan FPI. Sekali lagi aparat keamanan membiarkan peristiwa itu terjadi dengan cara sibuk mengamankan kantor mereka dan gedung pengadilan negeri. Aksi-aksi kekerasan semacam ini tampaknya cenderung meningkat dan jelas ini adalah pelanggaran HAM berat. Setelah era reformasi banyak terlihat 26
Semnas “Menguarai Akar Kekerasan Massa di Indonesia”.
kerumunan-kerumunan orang berdemonstrasi di jalan-jalan untuk mengekspresikan kebebasannya untuk berpendapat. Pada pokoknya, UUD 1945 juga telah menentukan bahwa setiap orang berhak untuk bebas menyatakan pendapat, baik secara lisan maupun tulisan, dan demikian pula bebas dalam beragama sesuai dengan keyakinan dan hati nuraninya masing-masing. Setiap orang juga berhak untuk berkelompok, berkumpul, atau berorganisasi sesuai dengan kehendak bebasnya masing-masing. Namun, dalam pelaksanaan kebebasan itu, hak dan kebebasan orang lain tidak boleh diganggu karena tuntutan kehendak untuk melaksanakan hak dan kebebasan sendiri. Oleh karenanya dalam Pasal 28J ayat (1) ditegaskan, “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”.Bahkan, Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menegaskan pula bahwa “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang, dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Artinya, tidak karena kebebasan menjalankan agama, seseorang atau sekelompok orang dapat dibenarkan melakukan tindak kekerasan yang merugikan hak dan kebebasan orang lain. Kebebasan orang untuk menjalankan agama dan atas nama agama atau kelompok tetap harus dilakukan dengan menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain. POLRI sebagai aparat penegak hukum seolah nampak tak berdaya menangani aksi kekerasan massa yang mengatasnamakan agama karena terlihat tidak mampu bersikap tegas dan mudah tunduk pada tekanan massa atau publik. Hal tersebut berkaitan dengan pertimbangan kemanan daerah yang mengalami kekerasan berbasis sentimen agama dimana terdapat basis massa yang mampu dikerahkan untuk memperkeruh suasana. POLRI akan semakin terbelenggu apabila aksi kekerasan massa timbul karena adanya kelompok-kelompok politik yang memiliki skenario tertentu untuk menekan aparat penegak hukum c.q negara sehingga kewibawaan penegak hukum dipertaruhkan sebagai contoh dirusakannya mobil/truk polisi. Apabila kewibawaan penegak hukum dipertanyakan bagaimana kelangsungan negara untuk menjamin HAM warga negaranya ? Adanya aksi kekarasan massa yang bersis sentimen keagamaan di Banten dan Temanggung membuat sejumlah kalangan menilai, negara bukan hanya gagal melindungi warganya, sekaligus absen alias tidak terasa kehadirannya. Hukum menjadi seperti loyo, tak berdaya berhadapan dengan aksi massa yang menghasilkan anarkisme. Ketakberdayaan hukum dan negara terhadap pelaku kekerasan berbasis sentimen keagamaan (KBSK) perlu dicermati berkaitan dengan dampak yang (mungkin) muncul dan medorong-tularkan aksi-aksi kekerasan di tempat dan waktu yang berbeda. Dampak dan daya tular aksi kekerasan perlu menjadi pertimbangan aparat penegak hukum dalam mengatasi dan mencegah terulangnya aksi serupa di kemudian hari. Pencegahan dilakukan tidak semata untuk perdamaian atau kedamaian pemeluk keyakinan yang berbeda, tetapi juga menjaga wibawa aparat penegak hukum c.q negara. PEMBAHASAN A.
Tindakan Main Hakim Sendiri Donald Black (1976: 33) merumuskan bahwa ketika pengendalian sosial oleh pemerintah yang sering dinamakan hukum tidak jalan, maka bentuk lain dari pengendalian sosial secara otomatis akan muncul. Suka atau tidak suka, tindakantindakan yang dilakukan oleh individu dan kelompok yang dari optic yuridis dapat 27
Semnas “Menguarai Akar Kekerasan Massa di Indonesia”.
digolongkan sebagai tindakan main hakim sendiri (eigenrichting), pada hakikatnya merupakan wujud pengendalian sosial yang dilakukan oleh rakyat. Tindakan kekerasan ataupun main hakim sendiri sebenarnya sudah menjadi fenomena sosial di beberapa tempat di Indonesia terutama sejak era reformasi tahun 1998 lalu dalam bentuk tawuran, pertikaian suku, agama,ras dan antar golongan (SARA) dan jenis lainnya. Seyognyanya disadari bahwa berbagfai tindakan anarkis yang terjadi belakangan ini merupakan perwujudan dari apa yang diistilahkan oleh Smelser sebagai a hostile outburst (ledakan kemarahan) atau a hostile frustation (ladakan tumpukan kekecewaan).Menurut Mertokusumo (2003: 21), pengadilan rakyat atau tindakan main hakim sendiri terhadap pelaku yang disangka melakukan perbuatan hukum sebenarnya walaupun tidak selalu dilarang tetapi pada umumnya dilarang. Menurut ketentuan hukum pidana (KUHP), seseorang dapat dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum dan dapat dijatuhi pidana (sanksi), jika sudah memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana dan pertanggungan jawab dalam hukum pidana (mempunyai kesalahan) (Andi Hamzah, 1986: 75). Sedangkan menurut hukum pidana adat tidak menekankan pada aturan hukumnya sudah ada atau belum dan pelaku delik dapat bertanggung jawab atau tidak, tetapi yang dipentingkan adalah akibatnya. Jika suatu perbuatan melawan hukum mengganggu keseimbangan kehidupan masyarakat, maka pelaku delik dapat dikenakan tindakan reaksi (sanksi). Pada dasarnya setiap pelanggatan atau suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh siapapun seharusnya dikenakan sanksi. Namun demikian dalam pelaksanaaan kehidupan di masyarakat, penegakan hukum tidak mesti dijalankan oleh pihak yang berwenang. Oleh karena fakta di lapangan menunjukkan law in action seringkali berupa tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) yang tidak hanya dilakukan secara perorangan tetapi juga sekelompok orang atau massa. Jika tindakan main hakim sendiri terhadap tersangka pelaku perbuatan melawan hukum sudah dilarang dan dilarang oleh aturan perundangan hukum pidana tertulis maka tindakan tersebut dinamakan perbuatan pidana, tindak pidana atau delik. Berkaitan dengan masalah tindakan main hakim sendiri, sebenanrnya hukum telah menyediakan upaya-upaya untuk mendapatkam perlindungan hukum bagi masyarakat melalui pengadilan Oleh karena itu tindakan di luar upaya-upaya tersebut dianggap sebagai tindakan menghakimi sendiri sehingga perbuatan itu dilarang. B.
Faktor-faktor yang Melahirkan Aksi Kekerasan Massa
Maraknya kasus-kasus kekerasan massa yang semakin marak akhir-akhir ini karena faktor sosial, ekonomi, budaya maupun agama mengindikasikan adanya euforia terhadap datangnya reformasi yang disambut warga dengan kebebasan yang tidak terkendali. Akibatnya aturan, norma atau etika yang berlaku cenderung dilanggar. Oleh karena itu diperlukan strategi untuk menghindari tindakan sewenang-wenang atau main hakim sendiri dengan lebih ditingkatkan jaminan kepentingan hukum dan hak asasi manusia. Pada hakikatnya tindakan menghakimi sendiri ini merupakan pelaksanaan sanksi/kelompok. Hanya saja sanksi yang dilakukan oleh perorangan maupun kelompok sulit diukur berat ringannya, karena massa terkadang dapat bertindak kalap atau tidak terkendali (Mertokusumo, 2003: 23).
28
Semnas “Menguarai Akar Kekerasan Massa di Indonesia”.
Menurut Smelser (1962:15) terdapat enam faktor yang menentukan terjadinya kekerasan kolektif : 1. Adanya pendorong struktural (structural condusinennes). 2. Ketegangan struktural (structural strain), 3. Tumbuh dan menyebarnya suatu kepercayaan yang digeneralisasi (Growth and Spread Of Generalized Belief). 4. Faktor-faktor pencetus (Precipitating factors) 5. Mobilitas para pemeran serta pada tindakan (Mobilization of participants for action), 6. Bekerjanya pengendalian sosial (The Operation Of Social Control). Faktor-faktor penentu perilaku kolektif dalam teori Smelser tersebut diorganisasikan dengan konsep nilai tambah artinya faktor-faktor terdahulu perlu ada sebelum faktor berikutnya dapat terwujud/ Dengan demikian faktor-faktor penyebab tingkah laku tersebut membentuk kombinasi menurut suatu pola yang pasti. C. Law Enforcement Terhadap Aksi Kekerasa Berbasis Sentimen Keagamaan. Salah satu sumber utama konflik kekerasan di berbagai daerah adalah kondisi penegakan hukum di Indonesia yang sangat lemah. Ditambah lagi dengan berbagai bentuk diskriminasi dan marginalisasi dalam pengaturan sosial ekonomi, politik, dan pemanfaatan sumber daya alam, bahkan kehidupan budaya. Berbagai perasaan ketidakasilan dan ketidakpuasan umum pun berkecamuk dan meledak menjadi tragedi kemanusiaan yang sangat memilukan dan mengerikan (Zainuddin Ali, 2008: 73). Salah satu konflik agama yang terus berlarut dan tidak pernah terseselesaikan adalah Ahmadiyah, ini terlihat dari bentrokan antara warga muslim dan Ahmadiyah tidak pernah selesai. Berbagai kalangan menilai seolah ada pembiaran yang berlarut-larut dari pemerintah. Pemerintah terlihat kesulitan mengatasi masalah Ahmadiyah, meskipun sudah dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri dan menetapkan Ahmadiyah sebagai ajaran terlarang, namun pengawasan dan pembinaan yang diamanatkan oleh keputusan tersebut urung dilaksanakan. Ahmadiyah tetap menjadi sasaran kemarahan yang memicu bentrokan dengan sebagian warga muslim.Belum selesai masalah Ahmadiyah, selang dua hari usai peristiwa Cikeusik, masyarakat dikejutkan lagi dengan terjadinya kerusuhan yang melanda Kota Temanggung, Selasa (8/2). Vonis 5 tahun dari hakim terhadap terdakwa kasus penistaan agama Antonius Richmon Bawengan membuat massa marah, karena menilai tuntutan lima tahun terdakwa penistaan agama terlalu ringan. Mereka yang menginginkan Antonius dituntut mati itu emosi, lalu merusak Gereja Bethel Indonesia, Gereja Pantekosta, dan Gereja Katolik Santo Petrus Paulus. Selain itu, beberapa mobil dan dua truk dalmas Polri juga dirusak. Antonius (58), warga Duren Sawit, Jakarta Timur tertangkap tangan menyebarkan selebaran yang berisi penistaan agama di Jalan Kyai Kemal, Kranggan, Temanggung, 23 Oktober 2010. Negara melalui pihak keamanan seharusnya belajar dari kasus-kasus kekerasan agama yang terjadi beberapa tahun sebelumnya. Masyarakat menanti ketegasan dan transparansi hukum, yang tidak mampu mengungkap dalang terjadinya kekerasan. Penangkapan dan vonis yang dijatuhkan hanya sebatas terhadap pelaku kejahatan di lapangan yang cenderung menjadi kambing hitam, tidak menyentuh hingga ke tingkat tokoh dibelakang terjadinya kekerasan. Terjadinya peristiwa kekerasan yang mengatasnamakan agama bisa jadi 29
Semnas “Menguarai Akar Kekerasan Massa di Indonesia”.
merupakan gambaran terjadinya krisis kewibawaan pemerintah yang semakin merosot di hadapan rakyat. Pemerintah dinilai cenderung abai dalam mengantisipasi konflik sosial dan membiarkan akar pemicu konflik tidak tersentuh secara benar, termasuk abai dalam mengupayakan penegakan hukum. Untuk menentukan apakah suatu aliran agama bertentangan dengan jalur akidah yang ada perlu dipertimbangkan bagaimana pandangan hukum positif terhadap aliran sesat sehingga perlu ditetapkan suatu formulasi keyakinan keagamaan dan aliran yang bagaimana yang dapat dikatakan sesat. Perumusan ini penting untuk menjadi suatu tolak ukur untuk menetapkan suatu aliran sesat atau tidak, sehingga berdasarkan perumusan tersebut penegakan hukumm dapat diberlakukan terhadap pelaku-pelaku penyyimpangan. Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin mengemukakan “bahwa umat Islam harus dapat membedakan antara kebebasan beragama dengan penodaan agama.”Umat Islam juga harus lebih waspada terhadap munculny aliran baru yang menyimpang dari akibah. Menurutnya, Islam mempunyai system yang sangat mapan, sehingga kerap menggoda banyak pihak untuk mengembangkan paham-paham baru, “Perbedaan adalah sunatullah, termasuk dalam beragama. Perbedaan sejauh masih dalam koridor akidah harus ditoleransi. Namun bila sudah keluar dari koridor dari jalur akidah,maka disebut penodaan agama dan tidak bisa ditoleransi ? (Muchsin, 2008: 11-12). Satu hal yang menjadi persoalan dilematis dalam penegakan hukum aliran yang dianggap sesat yaitu selalu dibenturkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Ketika ajaran Islam dilecehkan dan dibuat sesat , bermunculan kelompok yang melakukan penguatan dengan menjadikan HAM serta kebebasan berekspresi sebagai perisai. Padahal mengaitkan HAM dengan gerakan aliran sesat tidak tepat secara logis dan hukum (Muchsin, 2008: 12). Ada beberapa pasal dalam KUHP kita yang sering digunakan dalam memproses tindakan yang dilakukan oleh massa misalnya : Pasal 170 : (1) Barangsiapa yang di muka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan. (2) Tersalah dihukum : 1e. dengan penjara selama-lamanya tujuh tahun, jika ia dengan sengaja merusakan barang atau jika kekerasa yang dilakukan itu menyebabkan sesuatu luka (KUHP; Pasal 406-412) 2e. dengan penjara selama-lamanya Sembilan tahun, jika kekerasan itu menyebabkan luka beratnpada tubuh (KUHP; 90). 3e. dengan penjara selama-lamanya dua belas tahun, jika kekerasan itu menyebabkan matinya orang. (3) Pasal 89 tidak berlaku (KUHP; 336). 1. Yang dilarang dalam pasal ini ialah “melakukan kekerasan”. Penjelasan tentang “kekerasan” terdapat dalam Pasal 89. Kekerasan yang dilakukan ini biasanya terdiri dari merusak “barang atau penganiayaan”, akan tetapi dapat kurang daripada itu. 2. Kekerasan itu harus dilakukan bersama-sama”artinya dilakukan oleh orang sedikitnya dua orang atau lebih”. Orang yang hanya mengikuti dan tidak benarbenar turut melakukan kekerasan, tidak dapat turut dikenakan pasal ini. 3. Kekerasan itu harus ditujukan kepada orang atau barang “hewan atau binatang masuk pula dalam pengertian barang
30
Semnas “Menguarai Akar Kekerasan Massa di Indonesia”.
4. Kekerasan itu harus dilakukan “di muka umum” Karen akejahatan ini memang dimasukan ke dalam golongan kejahatan ketertiban umum, “di muka umum” artinya di tempat public dapat melihatnya. (R.Susilo, 1996: 146-147). Demikian juga akibat yang ditimbulkan dengan adanya kekerasan tersebut dijerat dengan : Pasal 406 : (1) Barangsiapa dengan sengaja dan dengan melawan hak membinasakan, merusakkan, membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi atau menghilangkan sesutau barang yang sama sekali atau sebagiannya kepunyaan orang lain, dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,- (KUHP; 231-235,407-2,411, 489). (2) Hukuman serupa itu dikenakan juga kepada orang yang dengan sengaja dan dengan melawan hak membunuh, merusakkan, membuat sehingga tidak dapat digunakan lagi atau menghilangkan binatang yang sama sekali atau sbagaian kepunyaan orang lain (KUHP; 170,179,231 s/d 302, 407,411 s/d 472). (3) Supaya dapat dihukum menurut pasal ini harus dibuktikan : a. Bahwa terdakwa telah membinasakan, merusakkan, membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi atau menghilangkan sesuatu barang; b. Bahwa pembinassan dan sebagainya, itu harus dilakukan dengan sengaja dan dengan melawan hak; c. Bahwa barang itu harus sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain; (4) Jika pengrusakan barang itu dilakukan oleh dua orang atau lebih, diancam hukuman yang lebih berat (Pasal 412). (5) Pada waktu mengusut perkara perusakkan ini polisi senantiasa herus menyelidiki berapa kali uang kerugian yang diderita oleh pemilik barang yang telah dirusak itu. Bila tidak lebih dari Rp 250,- dikenakan Pasal 407. Demikian pula jika binatang yang dibunuh itu bukan hewan (Pasal 101) atau alat untuk membunuh dan sebagainya binatang itu bukan zat yang dapat merusakkan nyawa atau kesehatan. Untuk mengetahui perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dipidana “delik” maka harus diteliti apakah tindakan tersebut telah memenuhi unsure-unsur dari tindak pidana yaitu : 1. Subyek, 2. Kesalahan, 3. Bersifat melawan hukum , 4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang/perundangan dan terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana. 5. Waktu, tempat, dan keadaan (unsur obyektif lainnya). Dengan demikian dapat dirumuskan pengertian dari tindak pidana sebagai : suatu tindakan pada tempat,waktu dan keadaan tertentu yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, bersifat melawan hukum serta dengan kesalahan dilakukan oleh seorang yang mampu bertanggung jawab * E.Y. dan S.R Sianturi, 2002: 211). Perlu disadari bahwa berbagai praktik peradilan massa yang terjadi belakangan ini merupakan perwujudan dari tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pranata formal termasuk proses penegakan hukum yang jauh dari dambaan keadilan masyarakat. Berbagai risiko sosial akan sangat mudah tersulut akibat meluasnya kegamangan dan ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah. Salah satu akar terjadinya konflik sosial di masyarakat terjadi adalah kelemahan Pemerintah dalam mengangkat taraf kehidupan rakyat untuk bisa lebih sejahtera. Pemerintah cenderung menyibukkan diri pada efektivitas pencitraan dan
31
Semnas “Menguarai Akar Kekerasan Massa di Indonesia”.
terombang-ambing dalam hiruk-pikuk politik nasional, sehingga kesengsaraan hidup rakyat dapat memuncak sebagai bentuk aksi kerusuhan di mana saja. Dalam jangka panjang, untuk mencegah terulangnya kasus ini, pemerintah dan DPR harus segera duduk bersama membahas draf rancangan undang-undang kerukunan umat beragama. Tidak bisa hanya mengandalkan pijakan SKB, landasan hukum yang kuat harus dibangun melalui RUU kerukunan umat beragama. Mengungkap aktor dibalik terjadinya kerusuhan secara transparan dan membawanya ke pengadilan, dalam jangka pendek bisa bisa memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. SIMPULAN Tingkat kepercayaan warga masyarakat terhadap pranata formal, termasuk terhadap law enforcment sudah termasuk amat buruk dan sudah menjadi adagium universal ketika tingkat kepercayaan warga terhadap penegakan hukum itu memburuk otomatis tingkat main hakim sendiri semakin meningkat dan sebaliknya. Untuk itu diperlukan strategi yang tepat dalam upaya penanggulangan tindakan anarki tersebut. Pemerintah baik pusat maupun daerah perlu untuk menindak pelaku kekerasan yang mengatasnamakan agama dan aparat yang melakukan pembiaran kekerasan itu terjadi, kedua, memastikan bahwa tindakan kekerasan itu tidak terjadi lagi, ketiga,membubarkan kelompok-kelompok pelaku kekerasan, serta memberikan rehabilitasi dan perlindungan secara total kepada kelompok–kelompok yang telah dan rentan mengalami kekerasan atas nama agama. Ketentuan pidana yang termuat dalam Pasal 170 dan Pasal 406 KUHP memuat ketentuan mengenai tindakan apa saja yang dilakukan pribadi atau kelompok di luar aturan undangundang/main hakim sendiri sehingga dapat dikenakan pasal tentang kekerasan yang dilakukan bersama-sama atau kolektif. DAFTAR RUJUKAN Ali, Zainuddin, 2008, Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, Black, Donald, 1976, The Behavior of Law, New York Academic Press E. Y dan Sianturi, 2002, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta; Sinar Grafika. Hamzah Andi, 1994, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Ribeka Cipta. Mertokusumo, Sudikno, 2003, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty Muchsin, Penodaan Agama dan Implikasinya Dari Aspek Hukum Pidana, Varia Peradilan No 268 Maret 2008. Soesilo, R, 1996, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Bogor; Politeia. Utrecht E, 1956, Hukum Pidana, Jakarta: Penerrbitan Universitas.
32