DINAMIKA SENTIMEN PEMILIH DALAM SIMULASI VOTING BERBASIS AGEN Ardian Maulana Effendy
[email protected]
Assistant research Dept. Computational Sociology Bandung Fe Institute Abstrak Dalam makalah ini kita mengajukan model simulasi untuk proses voting dimana proses interaksi dan saling mempengaruhi antar agen mematuhi prinsip-prinsip teori keseimbangan sosial. Kita mengasumsikan bahwa tekanan yang muncul dari relasi interpersonal pemilih akibat ketidakseimbangan triad sentimen, di satu sisi, dan kecenderungan pemilih untuk memilih kandidat dengan popularitas yang tinggi, di sisi lain akan mendorong pemilih untuk mengevaluasi relasi sentimennya dan menentukan pilihan politiknya. Dari sejumlah simulasi yang dilakukan, dapat ditunjukan terjadinya pengelompokan pemilih dalam cluster-cluster berdasarkan preferensi sentimennya terhadap kandidat. Properti statistik dari perolehan suara kandidat berdasarkan ukuran cluster yang terbentuk menunjukan pola distribusi yang patuh terhadap distribusi hukum pangkat, untuk interval jumlah pertetanggaan tertentu yang dimiliki pemilih tanpa dipengaruhi oleh kondisi awal sistem. Model ini dapat menjadi sebuah alternatif terhadap berbagai pendekatan yang selama ini digunakan untuk memodelkan dinamika proses sosial.
Kata kunci : voting, keseimbangan, teori keseimbangan sosial, clustering, model berbasis
agen.
I. Pemilih dan pilihan politiknya
The person thinks, politically, as he is, socially1
Dalam sistem demokrasi modern, voting menjadi sebuah mekanisme yang sering digunakan untuk memutuskan banyak hal menyangkut kepentingan publik seperti pemilihan presiden atau legislatif yang secara reguler dilakukan melalui pemilihan umum. Melalui mekanisme ini, setiap individu berhak dan bebas untuk mengekspresikan keinginannya guna menentukan masa depan masyarakat atau kelompoknya. Menariknya, kajian empirik terhadap data hasil pemilihan atau voting di beberapa tempat, seperti yang dilakukan oleh Filho, et.al (1999) di Brazil dan Situngkir & Surya pada beberapa periode pemilu di Indonesia (2004), menunjukan adanya pola keteraturan yang unik dan universal pada data distribusi suara hasil voting dimana histogram dari fraksi pendukung kandidat dalam sebuah pemilihan mengikuti pola hukum pangkat. Hal ini menunjukan terjadinya proses self-organized criticallity yang merupakan karakter dari sistem kompleks yang adaptif (Heylighen, 1999). Penjelasan terhadap hal ini harus diletakkan dalam kerangka interaksi dan proses saling mempengaruhi antar pemilih dan kandidat di level mikro sistem.
1
Lazarsfeld,.et.al, (1968) yang dikutip dari Zuckerman (2004 )
1
Adanya proses interaksi dan saling mempengaruhi antar individu, pada dasarnya, menyebabkan individu tidak sepenuhnya bebas menentukan pilihan politiknya. Secara umum dikatakan bahwa preferensi politik dari pemilih sangat dipengaruhi oleh jaringan sosial dan politik dimana pemilih berada (Zuckerman, 1994). Kesamaan relasi yang dimiliki individu, dalam berbagai manisfestasinya, menjadi fondasi bagi setiap komunitas politik di berbagai level dan menjadi faktor penentu munculnya keputusan kolektif (Caldeira & Patterson, 1987). Dengan demikian, rasionalitas individu dalam memilih adalah rasionalitas sosial yang sangat dipengaruhi oleh faktor kesamaan/ketidaksamaan preferensi dalam relasi interpesonal dengan individu lain. Banyaknya kesamaan, selanjutnya, mendorong frekwensi interaksi antar individu makin tinggi (homophily), yang “memaksa” individu mengubah preferensi guna meningkatkan koherensi relasi interpersonalnya. Sentimen merupakan salah satu faktor penting dalam relasi interpersonal individu. Sentimen menunjukan seberapa jauh kesan seseorang terhadap orang lain atau seberapa besar loyalitas seorang individu terhadap kelompoknya. Dalam dinamika interaksi antar individu, hal ini seringkali menjadi pendorong munculnya perilaku kolektif. Di satu sisi, proses interaksi dan saling mempengaruhi mendorong individu untuk mengelompok berdasarkan kesamaan identitas sosialnya, dan disisi lain, perbedaan identitas kelompok dalam situasi konflik memberikan feedback yang semakin memperkuat identitas masing-masing. Dalam proses politik, hal ini seringkali dimanfaatkan untuk membangun loyalitas pemilih terhadap kandidat melalui penggunaan isu-isu yang menyentuh sentimen kelompok yang secara tidak lansung “memaksa” pemilih untuk meningkatkan koherensi relasi dan menentukan pilihan politiknya. Pendeknya, seorang pemilih cenderung akan memilih kandidat yag sama dengan pilihan kawannya. Semakin besar sentimen seorang individu terhadap kawannya, maka semakin besar preferensi politiknya dipengaruhi oleh kawannya. Pengaruh sentimen dalam membentuk relasi sosial dipostulasikan secara sederhana oleh Heider (1946) dan dikenal sebagai Heider Balance Theory. Teori ini dapat digambarkan melalui adagium kuno yakni : - teman dari temanku, atau musuh dari musuhku adalah temanku - teman dari musuhku, atau musuh dari temanku adalah musuhku Dalam makalah ini, kita mengajukan model simulasi dari proses voting dimana proses interaksi dan saling mempengaruhi antar agen mematuhi prinsip-prinsip teori keseimbangan sosial. Tujuannya adalah untuk mengeksplorasi berbagai pola keteraturan yang memberojol di level makro seperti pengelompokan pemilih dan perolehan suara kandidat berdasarkan sejumlah aturan sederhana yang melandasi proses interaksi individu di level mikro sistem. Makalah ini dibagi dalam 4 bagian utama yakni landasan dari penelitian ini, penjelasan singkat mengenai teori keseimbangan sosial sosial dan aplikasinya sebagai model simulasi dalam penelitian ini. Makalah ini diakhiri dengan diskusi dari hasil simulasi yang dilakukan. II. Model voting berbasis keseimbangan relasi : Dari Triad Sentimen ke Dinamika Preferensi Pemilih Teori keseimbangan adalah teori yang memformulasikan perilaku individu berdasarkan keseimbangan kognitif dalam relasi interpesonal. Teori ini merupakan salah satu cerita sukses dari teori sosial karena telah begitu banyak menginspirasi dan berkembang jauh di luar kajian psikologi sosial sendiri dimana teori ini berasal (Nooy, 1999). Prinsip dasarnya adalah konsep keseimbangan dan ketidakseimbangan sentimen pada relasi interpersonal seorang individu dengan individu/objek lain. Diasumsikan bahwa individu yang berada dalam triad relasi yang tidak seimbang akan mengalami situasi “ketidaknyamanan psikologis” yang mendorong individu untuk mengubah relasinya (Zajonc, 1960, Hummon & Doreian, 2003, Notsu, et.al, 2006). Dalam relasi 3 individu atau triad, (Gambar 1), kondisi
2
keseimbangan dipenuhi jika perkalian dari hubungan sentimen antar individu/objek tersebut bernilai positif (+ x + x + = + atau - x - x + = +). Sebaliknya, kondisi tidak seimbang akan terjadi jika hasil perkaliannya bernilai negatif (Khanafiah & Situngkir, 2004, Notsu,et.al, 2006). Oleh Davis (1967), aturan keseimbangan ini diperluas dengan memasukan triad sentimen yang terdiri atas relasi sentimen negatif sebagai triad yang seimbang. Dalam struktur sosial terdiri atas banyak individu yang direpresentasikan dalam network relasi, asumsi tekanan menuju keseimbangan sentimen menjadi driving force dinamika sentimen individu sehingga menghasilkan network relasi yang seimbang. Secara struktural, network relasi yang seimbang akan menghasilkan struktur relasi yang yang terpolarisasi dalam dua kelompok (Cartwrigth & Harary, 1956) atau lebih (Davis, 1967) yang saling bermusuhan satu sama lain.
Gambar 1 Model POX Heider (Heider, 1946). Dalam model ini, P dan X = individu, O=objek. Relasi individu/objek ditunjukan oleh garis hitam dengan nilai positif (suka) atau negatif (tidak suka)
Teori keseimbangan sosial menggambarkan mekanisme kognitif individu dalam berperilaku. Dalam makalah ini kita mengasumsikan bahwa prinsip keseimbangan sentimen melandasi interaksi antar agen dalam sistem voting, yang menyebabkan terjadinya dinamika preferensi politik pemilih terhadap kandidat. Asumsi ini dilandasi oleh kenyataan bahwa proses politik sangat kental dengan konflik dan kompetisi yag mendorong individu untuk menentukan sikap politikya. Mazur (1973) menunjukan bahwa tendensi menuju keseimbangan sentimen akan lebih besar dalam situasi konflik. Dengan demikian, keputusan pemilih untuk memilih atau tidak memilih kandidat tertentu adalah representasi dari upaya pemilih untuk meminimasi tekanan dari relasi interpersonalnya dan keluar dari situasi “ketidaknyaman psikologis” akibat ketidakseimbangan triad relasi interpersonalnya. Kita membangun model simulasi yang melibatkan N agen, terdiri atas K kandidat dan V pemilih ( K ,V ∈ N ). Interaksi antar agen direpresentasikan dalam weighted
network
( N , e, w)
dimana setiap node
(n∈ N )
mewakili
( ) menunjukan relasi agen i terhadap agen j ( w ) sentimen ( w ) sebagai berikut :
sistem, tepi ei , j
ij
agen dalam
dengan preferensi
ij
⎧⎪> 0 → " suka " wij ⎨= 0 → " netral " ; i, j ∈ N ; wij ∈ R ⎪⎩< 0 → "tidaksuka " Preferensi
sentimen
(w ) ij
(1) direpresentasikan
dalam
bilangan
riil
untuk
menunjukan variasi kekuatan sentimen, dan bukan hanya dalam kategorisasi “suka” dan “tidak suka” (Wang & Thorngate, 2003). Topologi relasi sosial agen
3
direpresentasikan dalam konsep pertetanggaan (pemilih disebut bertetangga ketika keduanya mempunyai relasi sentimen satu sama lain) dimana setiap pemilih mempunyai preferensi sentimen dengan v ( v ∈ V ) pemilih lainnya dan K kandidat dengan bobot tertentu. Untuk penyederhanaan, bobot relasi dari 2 pemilih yang terhubung diasumsikan sama (reciprocity, wij = w ji ). Dengan kata lain, network relasi agen dalam model ini merupakan non-directional weighted network. Dalam tiap tahapan dalam simulasi, agen i yang terpilih (agen dipilih secara random) mengavaluasi preferensinya terhadap kandidat j (dipilih secara random dari himpunan triad relasi Δ ijk tidak seimbang yang ada dalam sistem). Perubahan bobot relasi eij diikuti dengan perubahan sentimen pemilih i terhadap pemilih k/kandidat k dari triad relasi yang terkait dengan relasi eij . Proses ini dilakukan secara iteratif sampai seluruh pemilih telah menentukan pilihannya atau ketika sistem mencapai keseimbangan global ( β global = 1) berdasarkan persamaan berikut (Khanafiah & Situngkir, 2004) :
∑T = ∑T
balance
β global
j≤I
(2)
total
I
Tahapan proses yang terjadi simulasi adalah sebagai berikut : 1. Pemilihan relasi
eij yang akan diubah
Perubahan relasi antara pemilih i dan kandidat j dipilih secara random dari himpunan triad tidak seimbang yang ada dalam sistem. Hal ini disebabkan karena triad relasi individu yang tidak seimbang akan menyebabkan munculnya “ketidaknyamanan” dan “tekanan” yang mendorong individu untuk mengubah relasinya (Zajonc, 1960, Hummon & Doreian, 2003, Notsu,et.al, 2006). 2. Perubahan relasi Kearah mana dan sebesar apa perubahan sentimen pemilih i terhadap kandidat j? Dalam model ini, kita mengasumsikan bahwa preferensi pemilih terhadap kandidat dipengaruhi oleh 2 hal yakni : • Derajat kesamaan/ketidaksamaan relasi interpersonal pemilih dan kandidat
(e ) i, j
dalam triad relasi
Δ ijk . Pilihan politik dari pemilih i terhadap kandidat j
mengikuti prinsip-prisip teori keseimbangan sosial sebagai berikut : - saya memilih sesuai dengan pilihan teman saya (∀e j , k = + & ei , k = + → ei , j = + ) . -
saya
tidak
akan
(∀e j , k = + & ei ,k
memilih kandidat yang dipilih oleh musuh = − → ei , j = −) , kecuali jika ∀e j , k = − & ei ,k = − → ei , j = − / + .
saya
Dengan demikian, derajat kesamaan/ketidaksamaan relasi interpersonal pemilih dan
( ) ditunjukan melalui persamaan berikut (Hu, et.al, 2005) :
kandidat ei , j N
γ ij =
∑w
ik
.wkj
; −1 ≤ γ ≤ 1; i ∈ V ; j ∈ K ; k ∈ N
k
N
N
∑(w ) . ∑(w ) 2
ik
k
(3)
2
jk
k
4
Jika
γ
>0, berarti similaritas antara pemilih i dan kandidat j lebih besar daripada
perbedaannya, dan sebaliknya jika
γ <0.
Semakin besar nilai
γ
(positif maupun
negatif) maka semakin besar relasi interpersonal pemilih i menekannya untuk “menyukai” atau tidak menyukai kandidat j. Besar perubahan bobot sentimen wij dihitung berdasarkan nilai rata-rata absolut perbedaan arah tekanan dari relasi interpersonal pemilih dan kandidat sebagai berikut : N
wik + wkj
∠ijk > 0, k =1
2
∑
rij =
N
wik + w jk
∠ijk < 0 k =1
2
∑
−
(4)
n
dengan n adalah jumlah triad yang terbentuk dari relasi eij . Hal ini didasarkan pada asumsi koherensi relasi bahwa bobot relasi wij proporsional terhadap wik dan w jk . Dengan demikian, besar perubahan sentimen eij sebagai akibat pengaruh relasi interpersonal keduanya adalah sebagai berikut :
Δ int erpersonal = γ ij .rij
(5)
• Popularitas dari kandidat. Dalam voting, pemilih sering berada dalam situasi dimana posisi kandidat dan kelompok pendukungnya belum jelas atau kekuatan antar kandidat seimbang. Akibatnya, pemilih menjadi subyek dari tekanan sosial yang berlawanan (cross-pressures) sehingga frustasi dalam menentukan pilihannya (Lazarsfeld,et al.,1944). Dalam situasi seperti ini, kita mengasumsikan bahwa pemilih akan cenderung untuk menyukai kandidat yang disukai oleh banyak orang berdasarkan informasi popularitas kandidat. Dalam model ini, perubahan sentimen tidak hanya dipengaruhi oleh relasi interpersonal pemilih ( γ ij ) tapi juga oleh popularitas
kandidat
(sj).
Pengaruh
popularitas
kandidat
j
terhadap
bergantung kepada faktor kemudahan pemilih i untuk dipengaruhi ( 1 −
γ ij
pemilih
) dan total
sentimen rata-rata agen terhadap kandidat j ( s j ) sebagai berikut : N −1
(
)
−
Δ popularitas = 1 − γ ij . s j
−
(6), dimana s j =
∑w
ij
i
N −1
; j = 1, 2,...K
Dengan demikian, secara keseluruhan, dinamika preferensi pemilih i terhadap kandidat j dapat ditunjukan dalam persamaan berikut :
wij t +1 = wij t ± Δwij
(7), dengan Δwij = Δ interpersonal + Δ popularitas
Perubahan yang terjadi juga menyebabkan perubahan sentimen pemilih i terhadap pemilih k/kandidat k dalam triad relasi Δ ijk sebagai berikut,
wik t +1 = wik t ± Δwij ; k ∈ N
(8)
dengan aturan perubahan sebagai berikut : 1. Jika triad Δ ijk dalam kondisi seimbang (setelah perubahan nilai relasi pemilih kandidat eij ), maka arah perubahan relasi eik sesuai dengan nilai awalnya (jika positif akan makin positif, dan sebaliknya).
5
2.
Jika triad Δ ijk dalam kondisi tidak seimbang (setelah perubahan nilai relasi pemilih kandidat eij ), maka arah perubahan relasi eik berlawanan dengan nilai awalnya (jika positif akan makin negatif, dan sebaliknya).
Simulasi dilakukan berdasarkan topologi relasi sosial pemilih yang digambarkan dalam kisi pertetanggaan dengan jumlah tetangga pemilih r dan probabilitas sentimen positif antar agen p. Untuk kisi pertetanggaan 1D, topologi relasi pemilih membentuk lingkaran sedangkan untuk 2D menyerupai torus. Konfigurasi pertetanggaan yang digunakan ditunjukan pada gambar berikut.
(a)
(c) (b) Gambar 2 Konfigurasi kisi pertetanggaan yang digunakan (ki-ka) : (a). 1D (r=2), (b). Von Neuman (r=4), (c). Moore (r=8)
III. Simulasi dan Diskusi 3.1
Pengelompokan pemilih dalam voting
Dalam penelitian ini, kita melakukan sejumlah simulasi berdasarkan model yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Salah satu hasil simulasi yang dilakukan pada sistem yang terdiri dari 3 kandidat dan 100 pemilih (r= 8) ditunjukan pada gambar 3 dimana setelah sejumlah iterasi terlihat adanya fenomena pengelompokan pemilih berdasarkan pilihan politiknya. Dari kondisi awal yang harmonis (pemilih memiliki relasi positif dengan semua kandidat dengan p = 0.9 indeks keseimbangan awal 0.776) sistem kemudian mengatur dirinya secara spontan (self-organize) menuju keseimbangan global (β=1) dengan membentuk cluster pemilih (satu atau lebih) dengan preferensi politik yang sama terhadap kandidat (preferensi pemilih ditunjukan oleh warna node, gambar 3a). Sesuai dengan teori keseimbangan struktural (Cartwrigth & Harary, 1956 dan Davis, 1967), cluster yag terbentuk terdiri atas node dengan relasi positif antar node pemilih yang tergabung dalam cluster yang sama dan relasi negatif untuk node dari cluster yang berbeda (ditunjukan oleh warna edge). Dinamika preferensi pemilih (ditunjukan dengan perubahan warna node pada gambar 3b) yang membrojolkan struktur relasi tertentu di level makro merupakan konsekuensi dari upaya pemilih untuk meningkatkan koherensi relasi sentimen dengan tetangganya sekaligus mengurangi ‘tekanan psikologis’ akibat ketidakseimbangan relasi interpersonalnya. Hal ini ditunjukan dengan meningkatnya indeks keseimbangan sistem selama proses simulasi (gambar 3c). Namun demikian, berbeda dengan Khanafiah & Situngkir (2004) dan Wang & Thorngate (2003), perubahan nilai indeks keseimbangan sistem tidak selalu bergerak naik selama simulasi. Bobot sentimen antar agen yang berbeda-beda menyebabkan dorongan untuk melakukan perubahan relasi tidak identik dengan jumlah triad maksimum yang akan seimbang akibat perubahan tersebut. Keterbatasan rasionalitas individu
6
(bounded rationality) menyebabkan pilihan tindakannya tidak ditujukan untuk meningkatkan keseimbangan sistem secara keseluruhan, tetapi untuk mengurangi tekanan lingkungan interpersonal individu tersebut secara lokal.
(a)
t=0,β=0.766
(i)
(b)
t=727,β=1
(ii)
(iii)
(c) Gambar 3 Dinamika relasi sentimen pemilih untuk 3 kandidat dan 100 pemilih (r=8, p=0.9): (a). network relasi di awal dan akhir simulasi, (b). Dinamika network sentimen agen selama simulas (relasi sentimen negatif dihilangkan), (c). Indeks keseimbangan sistem selama simulasi
Kompetisi antar kandidat untuk memenangkan pemilihan mendorong pemilih untuk mengubah preferensi awalnya sehingga network sentimen antar agen kehilangan bentuk awalnya yang harmonis dan selanjutnya membentuk clustercluster kandidat. Proses ini ditunjukan melalui dinamika solidaritas cluster kandidat
7
berdasarkan nilai intensitas ( I Δ ) dan koherensi ( QΔ ) triad relasi pemilih-kandidat dalam kelompok tersebut (gambar 4). Nilai intensitas dan koherensi relasi ditentukan berdasarkan persamaan berikut2 : 1/ 3
⎛ ⎞ ω ij ⎟ ∑m ⎜ ∏ ij∈Δ ⎠ IΔ = ⎝ M
(9)
dan QΔ =
1/ 3 ⎛⎛ ⎞ ⎞ ⎜ ω .3 / ∑ ω ij ⎟ ⎜ ⎟ ∑m ⎜ ∏ ij ⎟ ij∈Δ ⎝ ⎝ ij∈Δ ⎠ ⎠
M
(10)
Menurunnya intensitas dan koherensi cluster kandidat menunjukan hilangnya bentuk awal network sentimen agen yang harmonis dimana batas-batas antar cluster mulai terlihat. Cluster dengan jumlah pendukung besar akan semakin besar dengan solidaritas dan koherensi yang makin tinggi sehingga pengaruhnya pun semakin besar terhadap pemilih lainnya dalam cluster lebih kecil. Namun demikian, hal ini tidak serta merta mendorong sistem ke arah homogenisasi preferensi secara global dengan perolehan suara mayoritas mutlak pada satu kandidat. Ini karena dinamika sentimen selama proses simulasi, selain menyebabkan solidaritas antar agen dalam cluster yang sama makin kuat, juga menyebabkan sentimen negatif antar pemilih dari cluster yang berbeda meningkat. Intensitas kelompok yang berosilasi secara stabil selama beberapa saat menunjukkan bahwa proses saling mempengaruhi antar agen dari cluster yang berbeda terjadi sangat ketat dan kandidat minoritas mempunyai kemampuan untuk bertahan terhadap pengaruh mayoritas (gambar 4a). Dalam kondisi ini dimungkinkan munculnya pemilih yang bersikap abstain dan memilih untuk tidak memilih atau tidak menyukai semua kandidat (node warna biru pada gambar 3b). Adanya fenomena abstain dalam proses politik menunjukan bahwa konstelasi politik tidak hanya didasarkan pada jumlah kandidat yang berkompetisi. Jumlah kelompok abstain yang terbentuk dan banyaknya pemilih tergabung di luar cluster kandidat, pada beberapa kondisi, cukup signifikan dibandingkan pemilih yang menggunakan hak pilihnya. Fenomena abstain dapat ditunjukan melalui model simulasi berbasis sentimen ini karena kita mengakomodasi triad sentimen yang terdiri atas relasi negatif sebagai triad seimbang (Davis, 1976) dalam aturan interaksi agen.
(b) (a) Gambar 4 Dinamika solidaritas cluster kandidat selama simulasi untuk 3 kandidat dan 100 pemilih (8 tetangga) dengan p=0.9 : (a). Intensitas rata-rata (b). Koherensi rata-rata 2
Persamaan ini diadaptasi dari Onnela.et.al (2005). m adalah jumlah triad ijk dalam cluster kandidat (i dan j adalah pemilih dan k adalah kandidat) yang terbentuk dari relasi sentimen positif, M adalah jumlah triad dalam cluster kandidat yang tersusun atas relasi i,k dan j,k yang bernilai positif.
ω ij =
ωij Max (ωsistem )
8
3.2
Fenomena self-organizing criticality dalam voting
Ukuran cluster di akhir simulasi menentukan perolehan suara kandidat ( Di ) yang dihitung berdasarkan jumlah pemilih dalam cluster kandidat sebagai berikut :
Di =
∑ w ; i = 1, 2,...K ; j = 1, 2,...N ij
(11)
wij > 0
Kita melakukan simulasi pada K= 30 dan V= 625 untuk melihat lebih jauh properti statistik dari cluster pemilih yang terbentuk di akhir simulasi pada topologi relasi (konfigurasi dan jumlah pertetanggaan (r)) dan probabilitas sentimen awal (p) yang berbeda-beda. Dari hasil simulasi (appendiks) diketahui bahwa keseimbangan global (β=1) dengan disertai dengan pengelompokan pemilih yang homogen secara lokal dapat tercapai pada nilai r =2 (1D) dan r=4 (2D) untuk nilai p yang berbeda. Untuk nilai r yang semakin besar, sistem tidak mencapai keseimbangan global (β<1) akibat masih adanya triad relasi antar pemilih yang tidak seimbang pada cluster abstain. Hal ini karena nilai r yang besar dengan topologi relasi pertetanggaan yang teratur (regular graph) menyebabkan irisan relasi antar pemilih makin banyak sehingga sistem makin sulit mencapai keseimbangan. Ini juga disebabkan karena model simulasi voting ini memungkinkan pemilih abstain mengelompok dalam cluster yang berbeda-beda dan tetap seimbang relatif terhadap seluruh kandidat. Akibatnya, pengelompokan pemilih berdasarkan preferensi politiknya terhadap kandidat dapat terbentuk walaupun keseimbangan global tidak mencapai.
α-1=1.2646
(a)
(c)
(b)
(d)
Gambar 5 Distribusi suara kumulatif hasil simulasi (N=625, K=30) dalam skala logaritmik : (a). Pola hukum pangkat (α=2.2646, A2= 0.43035, R2=0.96248) untuk p=0.5 dan t=4 (D1), (b). p=0.5 untuk beberapa konfigurasi pertetanggaan (D1), (c). p=0.1, 0.5, 0.9,t=4 (Von Neumann), (c). =0.1, 0.5, 0.9 dengan t=4 (moore)
9
Dari simulasi yang dilakukan berdasarkan sejumlah parameter awal yang berbeda menunjukan adanya pola distribusi perolehan suara yang berbeda untuk nilai r yang berbeda. Pada 0
Efek memori
Dalam model simulasi ini, efek popularitas kandidat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi preferensi pemilih. Popularitas dapat dilihat sebagai representasi dari kredibilitas kandidat di mata pemilih dengan asumsi bahwa pemilih mempunyai kemampuan untuk mengekstrak informasi ini secara utuh melalui media
10
seperti poling dll. Namun demikian, sejauh ini kita hanya mempertimbangkan efek popularitas kandidat dalam satu frame waktu saja dan mengabaikan kemampuan agen untuk mengingat preferensi publik sebelumnya mengenai kandidat tersebut (Situngkir,2006, Kottonau, 2004). Untuk itu kita melakukan sejumlah penyesuaian terhadap model awal (persamaan 6) dengan memasukan beberapa faktor berikut : - panjang memori agen (m) : panjang t waktu yang mampu diingat agen. - aksesibilitas (a) : kemampuan agen untuk mengingat informasi yang terjadi pada waktu t sebelumnya. Kita mengasumsikan bahwa aksesibilitas agen ditentukan oleh beberapa hal yakni : • faktor kecepatan hilangnya memori agen (vm). Dalam model ini kita menggunakan nilai vm=0.0015 sebagai kecepatan minimal penurunan memori (Kottonau, 2004). • Keretanan agen terhadap pengaruh popularitas kandidat pada waktu t
(
sebelumnya 1− γ ij
). t
Dalam model ini kita menggunakan fungsi hukum pangkat untuk merepresentasikan proses menurunnya kemampuan agen dalam mengingat suatu informasi (Kahana & −1
(
)
Adler, 2002) sebagai berikut : at = vm . ( t − 1) + 1 ^
(1− γ ) ij
t
; t = 1, 2...m
(12).
Dengan demikian, pengaruh popularitas kandidat k terhadap preferensi voter i adalah sebagai berikut : m
Δ popularitas =
∑ xt t =1
m
(
dimana xt = at . 1 − γ ij
)
⎛ N −1 ⎞ ⎜ ∑ wij ⎟ ⎟ (13) .⎜ i t ⎜ N −1 ⎟ ⎜ ⎟ ⎝ ⎠t
Hasil simulasi yang dilakukan pada sistem voting yang terdiri atas 30 kandidat dan 625 pemilih menunjukan bahwa adanya kemampuan pemilih mengingat pengalaman dan preferensi publik di masa lalu menyebabkan pemilih semakin sulit mengubah preferensi ketika telah tergabung dalam cluster kandidat tertentu. Akibatnya, perbedaan perolehan suara antar kandidat menjadi lebih kecil. Ini terlihat dari slope distribusi perolehan suara kandidat yang makin curam untuk m=3 dan m=5 dibandingkan dengan m=1 (gambar 6). Walaupun perlu dilakukan simulasi lebih jauh dengan nilai m dan vm yang lebih besar, secara umum dapat dikatakan bahwa adanya faktor memori tidak mengubah pola distribusi yang terbentuk berdasarkan jumlah pertetanggaan yang dimiliki pemilih.
(a)
(b)
Gambar 6 Distribusi suara kumulatif hasil simulasi (N=625, K=3) untuk m=1, 3, 5 pada : (a). pertetanggaan Von Neumann, (b). pertetanggaan Moore
11
4. Diskusi Seperti dijelaskan sebelumnya, kompetisi antar kandidat menempatkan pemilih dalam situasi kognitif yang tidak menyenangkan sehingga mendorong pemilih untuk keluar dari situasi tersebut dengan cara mengubah relasi sentimennya sekaligus “memaksa” pemilih untuk untuk menentukan pilihan politiknya. Dinamika relasi sentimen di level mikro yang menyebabkan perubahan konfigurasi network sentimen pemilih dilevel makro ditunjukan oleh grafik indeks keseimbangan sistem untuk berbagai eksperimen yang dilakukan pada kondisi awal sistem yang berbedabeda (lihat : Appendiks B). Secara umum dapat terlihat pola umum trajektori perubahan network sistem (gambar 7) dari disorder state, dimana mayoritas pemilih belum mempunyai pilihan politik yang jelas dengan indeks keseimbangan sistem yang rendah, menuju order state dimana sistem terfragmentasi berdasarkan pilihan politiknya (indek keseimbangan sistem tinggi). Dinamika network sentimen yang terepresentasi melalui proses saling mempengaruhi antar pemilih mendorong sistem kearah kondisi kritis dimana konflik kognitif yang dialami oleh pemilih berada pada level paling tinggi (highest complexity state). Kondisi ini terletak diantara disorder state dan order state yang ditunjukan oleh kurva keseimbangan yang mendatar atau menurun tiba-tiba bergantung kondisi awal sistem. Kita dapat membayangkan bahwa pada situasi ini, setiap pemilih dihadapkan pada situasi yang membingungkan dan sangat rentan untuk mengubah pilihan politiknya akibat pengaruh tetangganya. Dinamika sentimen pada level ini menentukan konfigurasi network sentimen ketika keseimbangan sistem tercapai.
Gambar 7 Daerah dengan kompleksitas relasi paling tinggi terdapat diantara network relasi yang teratur dan tidak teratur
Dari keseluruhan hasil simulasi terlihat bahwa jumlah pemilih yang abstain sangat banyak ketika jumlah kandidat yang berkompetisi banyak (lihat: Appendiks A) dibandingkan dengan voting untuk 3 kandidat (gambar 3). Hal ini disebabkan karena cross pressure yang dialami oleh pemilih pada kondisi tersebut sangat besar. Ini didukung oleh kondisi awal sistem yang diasumsikan harmonis (diinterpretasikan sebagai tidak adanya pemilih dengan sikap politik yang militan terhadap seorang kandidat) dan tidak dipertimbangkannya faktor eksternal seperti isu, aliran politik dll. Kondisi ini sering terjadi pada proses voting dimana keputusan politik pemilih bergantung pada aliran politik yang dianutnya, sementara kandidat yang akan dipilih tidak mereprensetasikan aliran politik yang ada. Akibatnya pemilih cenderung untuk bersikap negatif kepada seluruh kandidat ketika mengalami konflik kognitif pada saat menentukan pilihan politiknya. Mutz (2002) dalam studi empiriknya pemilu presiden dan legislatif Amerika tahun 1992 dan 1996 menunjukan bahwa pemilih yang mengalami cross-pressure yang tinggi cenderung untuk tidak berpartisipasi dalam proses politik. Dengan demikian, berdasarkan penjelasan diatas dan memperhatikan
12
karakteristik dan rasionalitas politik masyarakat indonesia (Situngkir, 2004) maka kita dapat menduga lebih jauh bahwa fenomena tingginya angka abstain pemilih dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dibandingkan pemilihan anggota legislatif dalam pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia (LSI, 2007) berkaitan erat dengan jumlah dan karakteristik kandidat yang tidak merepresentasikan aliran politik yang ada. Hal ini karena dalam Pilkada kandidat dicalonkan oleh beragam partai dengan latar belakang ideologi yang beragam. 5. Kesimpulan dan Kerja Lanjutan Sistem politik dalam banyak hal menunjukan karakteristik sebagai sistem kompleks (Kollman & Page, 2006). Hal ini mendorong penggunaan metode komputasi untuk mensimulasikan proses kognitif dan perilaku agen yang heterogen dan saling bergantung satu sama lain dengan tujuan mengeksplorasi fenomena yang membrojol di level makro sistem (Cederman, 1997). Dalam makalah ini kita mengajukan model simulasi untuk proses voting dimana proses interaksi dan saling mempengaruhi antar agen mematuhi prinsip-prinsip teori keseimbangan sosial. Kita mengasumsikan bahwa tekanan yang muncul dari relasi interpersonal pemilih akibat ketidakseimbangan triad sentimennya, di satu sisi, dan kecenderungan pemilih untuk memilih kandidat dengan popularitas yang tinggi, di sisi lain akan mendorong pemilih untuk mengevaluasi preferensi sentimennya dan menentukan pilihan politiknya. Dari simulasi yang dilakukan, kita menunjukan bahwa dinamika preferesi pemilih di level mikro berdasarkan sejumlah mekanisme interaksi sederhana, mendorong pemilih secara spontan mengelompokan diri dalam cluster-cluster kandidat yang homogen secara lokal atau dalam cluster-cluster pemilih yang abstain. Secara empirik ditunjukan bahwa dinamika sosial dari voting merupakan proses self-organize crticality yang terepresentasi dalam properti statistik hasil pemilihan yang terdistribusi berdasarkan pola hukum pangkat (Filho et.al, 1999 dan Situngkir & Surya, 2004). Dalam makalah ini kita dapat menunjukan bahwa fraksi kandidat dengan suara v yang merupakan representasi dinamika sentimen pemilih di level mikro terdistribusi mengikuti pola hukum pangkat dengan nilai α berkisar 2.23.4 bergantung jumlah relasi sosial yang dimiliki oleh pemilih. Simulasi yang dilakukan pada sejumlah parameter awal sistem yang berbeda-beda seperti probabilitas sentimen awal positif antar agen, topologi relasi pemilih dan memori pemilih menunjukan bahwa perubahan parameter awal simulasi tidak mengubah pola distribusi yang terbentuk berdasarkan jumlah pertetanggaan pemilih. Secara umum, model yang diajukan dalam makalah ini cukup mampu untuk menjelaskan proses voting sebagai sebuah sistem kompleks dengan berbagai fenomenanya berdasarkan prinsip-prinsip keseimbangan triad relasi sentimen sebagai mekanisme interaksi agen di level mikro sistem. Pengembangan dari model ini agar dapat merepresentasikan lebih jauh dinamika interaksi dari proses sosial yang terjadi dalam voting adalah dengan mengakomodasi beberapa faktor seperti atribut sosial agen (suku, ideologi dll), media dan strategi kampanye kandidat (Kottonau, 2004) dalam membentuk dan menentukan pilihan politik individu. Selain itu perlu juga dipertimbangkan proses co-evolusi dari dinamika interaksi dan dinamika topologi relasi agen (Gross, 2007) yang memungkinkan pemilih tidak hanya mengubah preferensi sentimennya, tapi juga dapat membentuk relasi baru dengan pemilih lainnya. Namun demikian, sejauh ini, model yang diajukan dalam makalah ini dapat menjadi sebuah alternatif dari berbagai model yang selama ini digunakan untuk mendekati dinamika proses sosial yang memunculkan keteraturan dalam bentuk konsensus, kesepakatan, keseragaman (cth. formasi opini dalam sistem sosial, kenakalan remaja dll) seperti voter model, model sznajd, model majority rule, social impact theory, bounded convidence models (Castellano, 2007).
13
5. Pengakuan Penulis berterima kasih kepada Deni Khanafiah atas arahan dan diskusinya, seluruh peneliti Bandung Fe Institute atas motivasi yang diberikan, serta Surya Research Int. atas bantuan dana selama penelitian ini dilakukan. Seluruh kesalahan adalah tanggung jawab penulis.
6. Pustaka Andina-Díaz, A., Meléndez-Jiménez.,(2006),” Voting in small networks with crosspressure”, Northwestern University, Center for Mathematical Studies in Economics and Management Science,
http://www.kellogg.northwestern.edu/research/math/papers/1438.pdf Bo,.et.al.,(2006).,”A Model of Weighted Class”., arXiv:cond-mat/0408125 v1
Network : the Student Relationships in a
Caldeira, Gregory., Patterson, Samuel.,(1987).,”Political Friendship in Legislature“.,The Journal of Politics, Vol. 49, No. 4. (Nov., 1987), pp. 953-975.
the
Cartwright, D. and Harary, F. (1956). Structural balance: A generalization of heiders theory. Psychological Review, 63:277–292. Castellano, C.,et.al.,(2007).,”Statistical physics of social dynamics”., http://aps.arxiv.org/abs/0710.3256v1 Cederman, Lars-Erik. (1997).,”Emergent Actors in World Politics: How States and Nations Develop and Dissolve”., Princeton: Princeton University Press. Cederman, Lars-Erik, (2001)., “Agent-Based Modeling in Political Science”, The Political Methodologist, vol. 10, no. 1 Curry,T .,Emerson,R.,(1970),”Balance Theory: A Attraction?”, Sociometry, Vol. 33, No. 2., pp. 216-238.
Theory
of
Interpersonal
Davis,J.,(1963).,” Structural Balance, Mechanical Solidarity, and Interpersonal Relation”., The American Journal of Sociology, Vol. 68, No. 4 (Jan., 1963), pp. 444462 Davis,J.,(1967),”Clustering and Structural Balance in Graphs”,Human Relations. 1967; 20: 181-187 Doreian,P.,(1996).,”A Brief History of Balance Mathematical Sociology Vol 21 (1-2),pp.113-131
Through
Time”.,Journal
of
Doreian,P.,(2004).,”Evolution of Human Signed Network s”., Metodoloˇski zvezki, Vol. 1, No. 2, 2004, 277-293 Filho,.et.al.,(1999).,” Scaling behavior in a proportional voting process”., Phys. Rev. E 60, 1067 - 1068 Filho,.et.al.,(2002).,”Brazilian elections: http://arxiv.org/abs/cond-mat/0211212v2
voting
for
a
scaling
democracy”.,
Gawroński, P.,et.al.,(2005).,” The Heider Balance and Social Distance”., Acta Physica Polonica B Vol. 36 No 8 (2005) Gross, Thilo.,(2007).,” Adaptive http://arxiv.org/abs/0709.1858v1
Coevolutionary
Networks–A
Review”.,
14
Heider, F., (1946). “Attitudes and Cognitive Organization”. Journal of Psychology 21:107-112 Heylighen,F.,(1999).,”The Science University of Brussels, Belgium., Organiz.pdf
of Self-Orgaization and Adaptivity”.,Free http://pespmc1.vub.ac.be/Papers/EOLSS-Self-
Hummon, Norman P., Doreian, Patrick.,(2003).,” Some dynamics of social balance processes: bringing Heider back into balance theory”., Social Network s 25 (2003) 17–49.,Elsevier Khanafiah, Deni., Situngkir, Hokky., (2004).,”Social Balance Theory, Revisiting Heider’s Balance Theory for Many Agents”,. Kollman, Ken., Page, Scott., (2006).,”Computational Models and Methods of Politics”, In : Tesfatsion, L., Judd, Kenneth., Handbook of Computational Economics, Volume 2., 2006, Elsevier B.V. Lazarsfeld, Paul F., Bernard Berelson and Hazel Gaudet (1944). The People.s Choice. New York:Duell, Sloan and Pearce Lingkaran Survey Indonesia (LSI), (2007), “Golput Dalam Pilkada”, Kajian Bulanan Edisi 05, September 2007, http://www.lsi.co.id/artikel.php?id=728 Mazur,A.,(1973), “Increased Tendency Toward Balance During Stressful Conflict”, Sociometry, Vol. 36, No. 2, 279-283 Mutz, Diana C.,(2002), “The Consequences of Cross-Cutting Networks for Political Participation”, American Journal of Political Science, 46(4): 838-855. Newcomb,T.M.,(1961).,”The Acquaintance Process”.,New York:Holt,Rinehart and Winston Notsu, et.al, (2006), “Agent Simulation Based on Perceptual Balance”, International Journal of Computer Science and Network Security, VOL.6 No.12. Onella,.et.al, (2005).,” Intensity and coherence of motifs in weighted network s”, PHYSICAL REVIEW E 71, 065103sRd s2005d Onella,.et.al, (2007).,”Analysis of a large-scale weighted human communication”., arXiv:physics/0702158v1
network
complex
of one-to-one
Wang, Zhigang., Thorngate, Warrant. (2003). “Sentiment and Social Mitosis: Implications of Heider’s Balance Theory”. Journal of Artificial Societies and Social Simulation 6(3), URL: http//www.jasss.soc.surrey.ac.uk/6/3/2.html Situngkir,H., (2004).,”Power Law Signature in Indonesia Legislative Election 19992004”.,WPK2004.Bandung Fe Institute Situngkir,H.,Surya,Y.,(2004).,”Democracy : Order out of Chaos, Understanding Power Law in Indonesian Election.,WPQ2004. Bandung Fe Institute Zajonc, Robert B,. (1960). “The Concept of Balance, Congruity and Dissonance”, Public Opinion Quarterly 24(2): 280-296. Zuckerman, (2004).,”Returning to The Social Logic of Politics”., Paper presented at the annual meeting of the American Political Science Association, Hilton Chicago and the Palmer House Hilton, Chicago, IL, Sep 02, 2004 Zuckerman,A., Valentino,N., Zuckerman,E.,(1994),” A Structural Theory of Vote Choice: Social and Political Network s and Electoral Flows in Britain and the United States”,The Journal of Politics, Vol. 56, No. 4., pp. 1008-1033.
15
Appendiks A Tabel 1 : Hasil simulasi untuk konfigurasi dan jumlah pertetanggaan yang berbeda exp 1 2 3 4 5
r 4 6 8 neumann moore
D 1 1 1 2 2
p 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5
M 1 1 1 1 1
β <1 <1 <1 1 <1
tts 8 6 11 0 4
abstain 133 61 47 104 58
Status α 2.265 PW 3.185 PW 2.722 bukan PW 2.571 PW 3.38 PW
Tabel 2: Hasil simulasi untuk probabilitas sentimen positif awal agen yang berbeda pada pertetanggaan neumann dan moore exp 1 2 3 4 5 6
r neumann neumann neumann moore moore moore
D 2 2 2 2 2 2
p 0.1 0.5 0.9 0.1 0.5 0.9
M β 1 1 1 1 1 1 1 <1 1 <1 1 <1
tts 0 0 0 5 4 18
abstain 117 104 64 85 58 91
Status α 2.226 PW 2.571 PW 2.728 PW 3.735 bukan PW 3.38 PW 4.369 bukan PW
Tabel 3 : Hasil simulasi untuk panjang memori agen yang berbeda pada pertetanggaan neumann dan moore exp 1 2 3 4 5 6
r neumann neumann neumann moore moore moore
D 2 2 2 2 2 2
p 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5
M β 1 1 3 1 5 1 1 <1 3 <1 5 <1
tts 0 0 0 4 7 11
abstain 104 83 75 58 63 87
Status α 2.571 PW 3.064 PW 2.618 PW 3.38 PW 5.522 bukan PW 4.454 bukan PW
Ket.: r =jumlah tetangga pemilih D =konfigurasi pertetanggaan P = probabilitas sentimen positif awal antar agen β = indeks keseimbangan sistem pada akhir simulasi tts=jumlah triad tidak seimbang pada akhir simulasi α = eksponen power law α−1 = pangkat cumulative distribution function Fraksi ekor = fraksi data yang memenuhi hukum pangkat Status = kriteria power law ditentukan berdasarkan koefisien Anderson Darling dan nilai R square.
16
Appendiks B
K=VN, t=8,
K=VN, t=8, p=0.5
K=VN, t=8, p=0.9
a)
K=M, t=8, p=0.1
K=M, t=8, p=0.5
K=M, t=16, p=0.1
K=M, t=16, p=0.5
K=M, t=8, p=0.9
b)
K=M, t=16, p=0.9
c)
Gambar 8 Grafik indeks keseimbangan system untuk jumlah 100 pemilih dan 3 kandidat. Keterangan : K=konfigurasi, VN= Von Neumann, M= Moore, t= jumlah tetangga, p= probabilitas sentiment awal
17
a)
K=VN, t=4, p=0.1
K=VN, t=4, p=0.5
K=VN, t=4, p=0.9
b) K=M, t=4, p=0.1
K=M, t=4, p=0.5
K=M, t=4, p=0.9
Gambar 9 Grafik indeks keseimbangan system untuk jumlah 625 pemilih,30 kandidat dengan konfigurasi pertetanggaan 2D. Keterangan : K=konfigurasi, VN= Von Neumann, M= Moore, t= jumlah tetangga, p= probabilitas sentiment awal
a) t=2, p=0.5
t=4, p=0.5
b) t=6, p=0.5
t=8, p=0.5
Gambar 10 Grafik indeks keseimbangan system untuk jumlah 625 pemilih,30 kandidat dengan konfigurasi pertetanggaan 1D. Keterangan : t= jumlah tetangga, p= probabilitas sentiment awal
18