Semnas “Mengurai Akar Kekerasan Massa di Indonesia”
PENEGAKAN HUKUM (LAW ENFORCEMENT) TERHADAP KASUS-KASUS KEKERASAN MASSA DI INDONESIA Oleh : Dr.Noor Azis Said Dosen Fakultas Hukum-Universitas Djendral Soedirman Purwokerto
1. Indonesia Sebagai Negara Hukum Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 menyebutkan : Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Dalam Musyawarah Nasional III Persahi; The Rule of Law, Desember 1966 dikatakan bahwa asas Negara Hukum Pancasila mengandung Tiga Prinsip yaitu : a. Pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial ekonomi, kultural dan pendidikan. b. Peradilan yang bebas dan tidak memihak, tidak terpengaruh oleh sesuatu kekuasaan/kekuatan lain apapun c. Jaminan kepastian hukum dalam semua persoalan. Yang dimaksudkan kepastian hukum adalah jaminan ketentuan hukumnya yang dapat difahami, dapat dilaksanakan dan aman dalam melaksanakannya (Soche, 1985). Pernyataan di atas mengandung arti, bahwa negara Republik Indonesia adalah Negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya (equality before the law). Salah seorang ahli yang cukup berjasa dalam mengemukakan konsepsinya mengenai negara hukum adalah F.J Stahl, seorang sarjana dari Jerman. Menurut beliau: “Negara harus menjadi negara hukum, itulah semboyan dan sebenarnya juga menjadi daya pendorong perkembangan pada zaman baru ini. Negara harus menentukan secermat-cermatnya jalan-jalan dan batas-batas kegiatannya sebagaimana lingkungan (suasana) kebebasan warga negara menurut hukum itu dan harus menjamin suasana kebebasan itu tanpa dapat ditembus. Negara harus mewujudkan atau memaksakan gagasan ahlak dari segi negara, juga secara langsung tidak lebih jauh daripada seharusnya menurut suasana hukum” (Hamidjojo, 1967). Lebih lanjut menurut F.J Stahl (dalam Hamidjojo, 1967), unsur-unsur negara hukum adalah: a. Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia (grondsrechten) b. Adanya pembagian kekuasaan (scheiding van machten) c. Pemerintahan haruslah berdasarkan peraturan-peraturan hukum (wet matigheid van het bestuur) d. Adanya peradilan administratif (administratief rechtspraak). Kalau di Eropa Kontinental berkembang konsep negara hukum (rechtsstaat), maka di Inggis berkembang konsep yang dinamakan Rule of Law. Rule of Law menjadi amat popular oleh uraian A.V.Dicey dalam bukunya yang berjudul “Law and the Constitution” (1952). Dalam buku ini beliau mengatakan bahwa unsur-unsur Rule of Law mencakup: a. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of law); tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power), dalam arti hukum seseorang hanya boleh di hukum kalau melanggar hukum.
7
Semnas “Mengurai Akar Kekerasan Massa di Indonesia”
b. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law), dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun pejabat. c. Terjaminnya hak-hak manusia oleh Undang-Undang (di negara lain oleh Undang-Undang Dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan (Budiardjo, 1977) Wolfgang Friedman, yang dikutip oleh Sunarjati Hartono, berpendapat, bahwa kata “Rule of Law” dapat dipakai dalam arti formal (in the formal sense) dan dalam arti material (ideological sense). Dalam arti formal, maka rule of law itu tidak lain artinya sebagai “organized public power” atau kekuasaan umum yang terorganisir. Dalam pengertian ini setiap organisasi hukum (termasuk organisasi yang dinamakan negara) mempunyai rule of law seperti RRC, Perancis, Jerman, Cekoslowakia dan sebagainya. Sudah barang tentu bukan dalam arti formal ini kita pakai rule of law itu, tetapi dalam arti material. Artinya, dalam arti yang material inilah, yang menyangkut ukuran-ukuran tentang hukum yang baik dan hukum yang buruk. Dalam arti ini, kita dapat berbicara tentang just atau unjust law (Hartono, 1976). Selanjutnya International Commission of Jurist, yang merupakan suatu organisasi ahli hukum internasional dalam konferensi di Bangkok tahun 1965 sangat memperluas konsep Rule of Law dan menekankan pada apa yang dinamakan the dynamic aspect of the Rule of Law in the modern age. Dikemukakan bahwa syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis di bawah Rule of Law ialah : a. b. c. d. e.
Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi selain dari menjamin hak-hak individu, harus menentukan juga cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin, Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial tribunals), Kebebasan untuk menyatakan pendapat, Kebebasan untuk berserikat berorganisasi dan beroposisi, Pendidikan kewarganegaraan (Budiarjo, 1977).
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, menyatakan bahwa, ciri-ciri khas bagi suatu negara hukum adalah adanya : a. Pengakuan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia; b. Peradilan yang bebas dari pengaruh sesuatu kekuasaan atau kekuatan lain dan tidak memihak; c. Legalitas dalam arti hukum adalah segala bentuknya (Kusnardi & Saragih,tt) Menurut Moh. Mahfud MD, istilah negara hukum merupakan terjemahan dua istilah yang berasal dari dua tradisi hukum berbeda, yaitu rechtsstaat dan the rule of law. Konsep tersebut selalu dikaitkan dengan perlindungan hukum karena keberadaannya tidak dapat dilepaskan dari gagasan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM). Untuk adanya jaminan tersebut, negara harus dijalankan berdasarkan aturan hukum yang memberikan legitimasi sekaligus membatasi penyelenggaraan negara. Hukumlah yang menentukan bagaimana 1 penyelenggaraan negara dilakukan. 1
Kedua sistem tersebut memiliki perbedaan titik berat pengoperasian. Civil law menitikberatkan pada administrasi sedangkan common law menitikberatkan pada aktivitas judisial. Konsep rechtsstaat mengutamakan prinsip wetmatigheid yang kemudian menjadi rectmatigheid sedangkan rule of law mengutamakan equality before the law yang memberi kebebasan kepada hakim untuk menciptakan hukum demi keadilan. Perbedaan-perbedaan tersebut menyebabkan kedua konsep
8
Semnas “Mengurai Akar Kekerasan Massa di Indonesia”
Arti penting dikemukakan konsep Rechtsstaat dan Rule of law adalah berkaitan dengan persoalan penegakan hukum, khususnya terhadap kasus-kasus kekerasan massa yang dalam dasawarsa terakhir ini menunjukkan angka yang meningkat secara signifikan. Disamping itu akan dapat diketahui sejauh manakah konsep Recthstaat (yang berorientasi pada kepastian hukum) dan konsep Rule of Law (yang berorientasi pada keadilan substansial) yang melandasi prinsip negara hukum Indonesia ditegakkan oleh aparat penegak hukum, khususnya jajaran Integrated Criminal Justice System, dan lebih khusus lagi lembaga Pengadilan Indonesia. 2. Sistem Hukum Nasional dan Penegakan Hukum Sistem hukum nasional masih mewarisi sistem hukum modern (Eropa Kontinental). Hukum modern tidak dapat dilepaskan dari keterkaitannya dengan aliran positivism atau legal positivism atau rechtsdogmatik dan atmosfir politik yang menguasai abad XIX, yaitu liberalisme, individualisme, dan rationalisme. Dalam pandangan hukum yang legalistik, hukum di identikkan dengan undang-undang. Sistem hukum dipandang sebagai “logische Geschlossenheit”, sebagai suatu struktur tertutup yang logis, tidak bertentangan satu sama lain. Hukum dipandang sebagai seperangkat aturan-aturan yang diharapkan agar ditaati oleh para anggota masyarakat (Sudarto, 1986). Penggarapan hukum hanya berkisar pada bergumul dengan undang-undang, jurisprudensi dan buku-buku pelajaran tentang hukum. Hukum menjadi tujuan sendiri (Selbstzweck). Pernyataan Sudarto di atas adalah berkaitan dengan asas legalitas, utamanya dalam hukum pidana. Asas legalitas yang mendasari sistem hukum modern menurut sejarahnya sebagaimana disebutkan di atas, nyata berpijak kepada asas liberalisme, individualisme, dan rationalisme dengan tujuan memberi jaminan perlindungan kepada seorang terhadap kesewenang-wenangan penguasa demi kepastian hukum. Asas legalitas yang menuntut kepastian formal-prosedural dengan keadilan sebagai unsur regulatif dan bukan kepastian materiil-substansial dengan keadilan sebagai unsur konstitutif tercermin dalam penegakan hukum pidana, khususnya tindak pidana korupsi dan tindak pidana yang mengandung unsur kekerasan massa. Mengenai ajaran positivisme-legalistik yang lazim disebut ajaran Analytical Legal Positivism yang dikemukakan oleh John Austin2 ini, patut dicatat pernyataan Satjipto Rahardjo, bahwa : itu memiliki ciri yang berbeda. Ciri rectsstaat meliputi; perlindungan terhadap HAM; pemisahan dan pembagian kekuasaan; pemerintah berdasarkan peraturan; dan adanya peradilan administrasi. Sedangkan ciri-ciri the rule of law adalah supremasi aturan hukum; kesamaan kedudukan di depan hukum; dan jaminan perlindungan HAM. Moh. Mahfud MD, 2011, Revitalisasi Pancasila Sebagai Cita Negara Hukum, Makalah disampaikan pada Rapat Senat Terbuka dalam rangka Dies Natalis ke65 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tanggal 17 Februari 2011, Yogyakarta, hlm 5 2 Austin bertolak dari kenyataan bahwa terdapat suatu kekuasaan yang memberikan perintahperintah, dan bahwa ada orang yang pada umumnya mentaati perintah-perintah tersebut. Tidak penting mengapa orang mentaati perintah-perintah pemerintah. Ada orang yang mentaati sebab merasa berwajib memperhatikan kepentingan umum, ada yang mentaati sebab takut akan kekacauan, ada yang mentaati sebab merasa terpaksa. Sama saja, asal mentaati. Kalau tidak, dijatuhkan sanksi. Maka untuk dapat disebut hukum menurut Austin diperlukan adanya unsur-unsur yang berikut: seorang penguasa (souverighnity), suatu pemerintah (command), kewajiban untuk mentaati (duty), sanksi bagi mereka yang tidak taat (sanction). Dengan demikian Austin menggantikan ideal keadilan yang secara tradisional dipandang sebagai pokok utama segala hukum dengan perintah seorang yang berkuasa. Definisi Austin tentang hukum berbunyi sbb: hukum adalah tiap-tiap undang-undang positif yang ditentukan secara langsung atau tidak langsung oleh seorang pribadi atau kelompok orang yang berwibawa bagi seorang anggota atau anggota-anggota suatu masyarakat politik yang berdaulat, di
9
Semnas “Mengurai Akar Kekerasan Massa di Indonesia”
Menjalankan dan menegakkan hukum hanya dengan membaca prosedur adalah menjalankan hukum dengan kecerdasan rasional (IQ), yang hanya bisa memperhatikan proses-proses hukum secara linier dan masinal (Rahardjo, 2008). Sampai hari ini cara berpikir dalam hukum relatif masih dikuasai warisan berpikir abad XIX yang positivitas-dogmatis. Berpikir seperti ini dapat disejajarkan dengan berpikir berdasar kecerdasan rasional yang bersifat datar, logis, dan mendasarkan pada peraturan formal. Kredo yang digunakan adalah “peraturan dan logika” (rules and logic). Pikiran (mind-set) positif-tekstual kurang lebih hanya akan “mengeja” suatu peraturan. Cara berpikir hukum seperti itu disini disebut “linier”. Di sini kita bisa diingatkan kembali pada pendapat Paul Scholten, seorang pemikir hukum Belanda, yang mengatakan “hukum itu ada dalam UU, tetapi masih harus ditemukan”. Maka menjadi salah sekaligus dangkal bila orang hanya “mengeja” peraturan. Pola pikir “rules and logic” pada ajaran legalistik-positivistik menempatkan pengadilan sebagai corong undang-undang. Memang semangat liberal dan legalisme-positivistik yang sangat kuat di abad ke-19 itu memberikan landasan teori bagi munculnya pengadilan yang terisolasi dari dinamika masyarakat dimana pengadilan berada. Isolasi tersebut juga mengundang asosiasi ke arah kediktatoran pengadilan (judicial dictatorship). Oleh karena ia memutus semata-mata dengan mengingat apa yang menurut tafsirannya dikehendaki oleh hukum tanpa harus melibatkan kedalam atau mendengarkan dinamika masyarakat tersebut. Adalah benar adagium “lex dura sed tamen scripta” (hukum itu keras tetap begitulah sifat hukum tertulis). Kediktatoran pengadilan diperkuat oleh adagium “Res judicata pro veretate habitur” (putusan hakim harus dianggap benar sehingga mempunyai kekuatan mengikat sampai dibatalkan oleh pengadilan lain). Sebagai konsekuensi karakteristik sistem hukum modern (yang dianut sistem hukum nasional) adalah : a. Negara menjadi organisasi kekuasaan yang serba meliputi dan berdaulat b. Hukum identik dengan orde peraturan perundang-undangan c. Sistem hukum lebih mengedepankan prosedur daripada substansi, yakni memberikan perlindungan, keadilan, dan kesejahteraan (Rahardjo, 2008). Falsafah liberalism, individualism, dan rationalism yang melandasi hukum modern berpusat pada kemerdekaan individu dengan menata suatu kehidupan dimana kemerdekaan individu tersebut dijamin keberadaannya dan kelanjutan keberadaan tersebut. Nilai liberal dan kemerdekaan individu menjadi paradigma dalam sistem hukum modern. Secara rinci Satjipto Rahadjo (2001) membuat paradigma sistem hukum modern sebagai berikut :
mana yang membentuk hukum adalah yang tertinggi. “Every positive law ... is set directly or circuitously, by a souvereighn individual or body, to a member or members of the independent political society wherein its author is supreme”. Kesimpulan yang diambil oleh Friedmann memang tepat: dengan definisi ini Austin menggantikan ideal keadilan (dalam pengertian hukum yang tradisional) dengan pemerintah seorang yang berkuasa. (Theo Huijbers, 1990, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 41-42).
10
Semnas “Mengurai Akar Kekerasan Massa di Indonesia”
Analytical Legal Positivism. No
Legal Substance
Legal Structure
Legal Culture
1.
Law based on the concept of citizenship Absolute doctrines: - Strictness - Systematic - Rational-logic - Linear thinking - Positivism - Sollen theory
1. The state in modern sense 2. Professional administrative 3. Special officialdom : a. integrated criminal jusstice system b. civil justice system c. administrative justice system d. military justice system
“Liberty, Fraternity, Egality” - Liberalisme - Individualism - Rationalism
2.
3.
Legal order espouses “the model rules”
4
Fidelity to law is understand as strict obidience to rules Procedure is the heart of law
5.
Positivism
Melindungi kemerdekaan individu daripada kepentingan masyarakat/rakyat
The class character of law (Donald Black) Stratification, morphology, culture, organization, social control
Professionalism
Capitalism
The class character of law: The difference in degree of domination may be often is, very great. Basically, however, there remains a two class system ...that is, those who participate in the authority structure through domination, those who do not through subjection (Poloma, 1979). Downward law is greater than upward law Upward law variest inversely with vertical distance Hukum modern dalam penegakannya3 cenderung lebih menggambarkan hubungan kekuasaan (power relation) daripada hubungan hukum atas dasar prinsip kesamaan dan kesederajatan (equity before the law). “.....power realtions are still present as long as one of two variables, asymmetry, or negative sanction, still remains” (Schermerhorn, 1964). Hubungan hukum yang bersifat hubungan kekuasaan dalam penegakan hukum pidana, dinyatakan oleh IGM Nurdjana sebagai berikut: Problematika hukum dari putusan hakim yang tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, menjadi persoalan yang merupakan pilihan yang harus diterima, mengingat asas hukum “Res Judicata pro veretate habitur” (Putusan hakim harus dianggap benar). Meskipun menurut kajian teori hukum putusan hakim terhadap kasus korupsi yang tidak memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat, karena empiris menunjukkan bahwa beberapa vonis kasus korupsi disinyalir merupakan hasil dari konspirasi politik mafia peradilan yang sarat dengan intervensi kepentingan dan 3
Penegakan hukum dikonsepsikan sebagai suatu proses penyerasian nilai-nilai, normanorma dan perikelakuan nyata dalam masyarakat . (Soekamto, 1983, Beberapa Aspek Sosio Yuridis Masyarakat, Alumni, Bandung, Hlm.62). sementara Friedmann menyatakan bahwa, Penegakan hukum akan efektif apabila terdapat interaksi yang positif antara struktur, substansi, dan kultur hukum (“A legal system in actual operation is a complex organism in which structure, substance, and culture interact” – Friedman L, M, 1975, The Legal System : A Social Science Perspective, Russel Sage Foundation, New York, Hlm.16)
11
Semnas “Mengurai Akar Kekerasan Massa di Indonesia”
pihak-pihak berkepentingan, akan tetapi pada akhirnya putusan tersebut harus dianggap benar.(Nurdjana dalam Soekamto, 1983) Dampak yang terjadi dari hubungan kekuasaan dalam penegakan hukum adalah timbulnya sikap-sikap violentia (kekerasan); metus (ketakutan); passio (keserakahan); dan ignorantia (pembodohan) (Huijbert dalam Soekamto, 1983). Timbulnya pola hubungan kekuasaan dalam penegakan hukum khususnya dunia peradilan mengakibatkan penegakan hukum bercirikan kelas dan bersifat diskriminatif serta membawa pengadilan ke arah kediktatoran (judicial dictatorship) dan jatuh ke dalam mafia peradilan. Seperti dikatakan oleh Satjipto Rahardjo :“memang semangat liberal dan legalisme-positivistik yang sangat kuat di abad ke 19 itu memberikan landasan teori bagi munculnya pengaidlan yang terisolasi dari dinamika masyarakat dimana pengadilan itu berada. Isolasi tersebut juga mengundang kearah kediktatoran pengadilan (judicial dictatorship), oleh karena itu memutus semata-mata dengan mengingat apa yang menurut tafsirannya dikehendaki oleh hukum tanpa harus melibatkan ke dalam atau mendengarkan dinamika masyarakat tersebut. Itulah sebabnya secara sosiologis pengadilan menjadi terisolasi dari keseluruhan dinamika masyarakatnya dan menjadi benda asing dalam tubuh masyarakat itu” (Rahardjo, 2003). Secara eksplisit keterpurukan hukum akibat penegakan hukum yang diskriminatif juga disampaikan oleh Achmad Ali sebagaimana dikutip oleh Mukhtar Zamzami sebagai berikut :“Secara universal, jika kita ingin keluar dari situasi keterpurukan hukum, maka jawabannya adalah membebaskan diri dari belenggu positivism. Mengapa demikian ? karena dengan mengandalkan teori dan pemahaman hukum secara legalistik-positivistis yang hanya berbasis pada peraturan tertulis (rule bound) belaka, maka kita takkan pernah mampu untuk menangkap hakikat kebenaran, karena baik dari historis maupun filosofi yang melahirkannya, ia memang tidak mau melihat atau mengakui hal itu” (Manan, 2008). Gejala penurunan integritas Hakim dengan indikasi adanya mafia peradilan dapat dikemukakan beberapa pernyataan sebagai berikut : a. Muhammad Roem pada tahun 1960 sudah mengingatkan gejala penurunan integritas Pengadilan. b. “Corruption in the courts has begun. It is only a little so far, one or two judges. But it has begun and that is what is important. This beginning may well develop into something and more widespread”. c. Hasil penelitian The World Bank menunjukkan : “Many lawyers feel no shame at offering sums of money to judges and attorneys in specific cases. At the same time, there is no sense of shame for judges, attorney, police, and registrars to solicit money from lawyers”(Zamzami dalam Manan, 2008) d.
Pengakuan seorang Hakim Agung di media masa pada tahun 1990 : “Yes, I often get gifts from ligitants. If you call that corrupt, well indeed, then I must be corrupt. If I washn’t, how do you think I could have a car and a home ?”. Yang dirisaukan masyarakat bukanlah sesederhana persoalan memberi dan menerima. Inti persoalannya ialah adanya negosiasi isi putusan dalam pemberian dan penerimaan itu. Ini dicatat dalam penelitian The World Bank. “A postponed verdict is usually an invitation to begin negotiations with the judge. Even if a defendant has a strong case and good witness, there is no guarantee that justice will be done without paying”.
12
Semnas “Mengurai Akar Kekerasan Massa di Indonesia”
Dalam penelitian The World Bank yang lain dilaporkan tentang adanya sebagian hakim yang menganggap tugasnya sebagai profit-driven industry atau bentuk usaha yang dapat diarahkan untuk mendapatkan keuntungan. e.
Adi Sulistiyono : selain minus intelektual, perilaku hakim yang bermoral seperti ini merupakan wujud kontribusi hakim dalam proses krisis peradilan. Adi Sulistiyono yang mengadakan penelitian langsung di Pengadilan Negeri Semarang, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan Pengadilan Negeri Surabaya menemukan langsung proses negosiasi antara pencari keadilan dengan hakim dan menyimpulkan perbuatan-perbuatan seperti inilah yang membuat lembaga peradilan terperosok kedalam krisis.4 Kewibawaan lembaga peradilan meluncur kebawah, dan akhirnya menurut Todung Mulya Lubis, ketika Dato Param Cumaraswany, pelapor kasus PBB menyimpulkan bahwa korupsi peradilan di Indonesia adalah salah satu yang terburuk di dunia, yang mungkin hanya bisa disamai Meksiko, mayoritas rakyat negeri ini tidak terkejut sama sekali.5
4. Penegakan Hukum Terhadap Kasus-Kasus Kekerasan Massa Penegakan hukum cenderung lebih mempertahankan kemerdekaan individu dari pada melindungi kepentingan rakyat / masyarakat luas. Hal ini adalah konsekwensi logis dari paham liberalisme dan individualisme yang menjiwai sistem hukum nasional. Akibatnya adalah penegakan hukum tercabut dari akar nilai-nilai budaya bangsa Indonesia. Apabila Pancasila dianggap sebagai wujud kristalisasi dari budaya bangsa Indonesia, maka penegakan hukum tidak mencerminkan nilainilai yang terkandung di dalam Pancasila yakni nilai ketuhanan, kemanusiaan, nasionalisme demokratis, dan nilai keadilan sosial sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 dan Pasal 5 UU No. 48 Tahun 2009. Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 UU No. 48 Tahun 2009. (1) Peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. (2) Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. Pasal 5 UU No. 48 Tahun 2009 1) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. 2) Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. 3) Hakim dan hakim konstitusi wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Sebagai ilustrasi penegakan hukum yang berkarakteristik kelas, dapatr dikemukakan kasus-kasus kekerasan di bawah ini : 1. Peristiwa pembunuhan Munir 2. Peristiwa Semanggi 3. Pembunuhan Marsinah
4
Untuk lebih jelasnya baca Adi Sulistiyono, 2006, Krisis Lembaga Peradilan di Indonesia, UNS Press, Surakarta, hlm 139 dan Mahkamah Agung RI, 2008, Bagir Manan Ilmuwan dan Penegak Hukum (Kenangan Sebuah Pengabdian), Jakarta, hlm 217 - 218 5 Untuk lebih jelasnya baca Todung Mulya Lubis, 2007, Mengapa Saya Mencintai Negeri ini, Buku Kompas, Jakarta, hlm 143
13
Semnas “Mengurai Akar Kekerasan Massa di Indonesia”
Dalam tiga kasus kekerasan di atas, sampai saat ini belum dapat diungkap siapa dalang (Uitlokker) dibalik masing-masing kasus tersebut. Kiranya merupakan hal yang mustahil untuk mengungkap secara tuntas. Berbagai bentuk demo yang menuntut pengungkapan secara tuntas terhadap kasus-kasus tersebut sepertinya sia-sia belaka. Hal ini berbeda secara signifikan penegakan hukum terhadap kasuskasus : 1. Perampokan Bank CIMB di Medan 2. Kejahatan terorisme yang melibatkan OTB (Organisasi Tanpa Bentuk) yang disebut NII (yang konon berinduk di Ponpes Al-Zaitun Indramayu) 3. Konflik Ahmadiyah dengan umat Islam, khususnya FPI (walaupun berdasarkan SKB No. 3 Tahun 2008, Jamaah Ahmadiyah dilarang menjalankan aktifitas agamanya dan melanggar Pasal 4 Penpres No. 1 Tahun 1965 jo Pasal 156 a KUHP) Penegak hukum, khususnya jajaran Integrated Criminal Justice System dan Densus 88 dalam tiga kasus di atas telah dengan semangat berupaya untuk membasmi dan menangkap para pelaku. Penegakan hukum (law enforcement) demikian ini tidak hanya terjadi dalam peristiwa kekerasan saja tetapi juga teruatama pada kasus-kasus yang dilakukan oleh orang-orang yang masuk dalam golongan “White Collar Crime”. Istilah White Collar Crime diperkenalkan oleh Sutherland tahun 1941 (The term “white-collar crime” was coined about 1941) dan didefinisikan sebagai “may be defined approximately as a crime committed by a person of respectability and high social status in the course of his occupation” (Taft, 1961). Lebih lanjut Sutherland mengatakan : “No-collar crime” is the crime of the underprivileged; white-collar crime is upper or middle-class crime”. Thus neither in terms of class status, business activity, attitudes, nor degree of seriousness can white-collar crime be wholly separated from other crime. Beberapa contoh dapat dikemukakan disini tentang kejahatan yang dilakukan oleh White Collar Crime yang pada umumnya berupa tindak pidana korupsi, yakni : 1. Kasus KPK yang melibatkan Bibit-Chandra yang oleh Jaksa Agung telah memenuhi P21 tetapi kemudian di SKP2 (Surat Keputusan Pemberhentian Penuntutan) oleh Jaksa Agung sendiri 2. Kasus Bank Century 3. Gayus Tambunan 4. Kasus BLBI 5. Anggoro dengan pihak Kejagung Kiranya ada benarnya apa yang dikemukakan oleh Permadi bahwa banditbandit kekayaan negara dengan mudah lari keluar negeri karena 6 :Banyaknya pejabat yang mau menerima suap dan banyaknya pejabat yang mempunyai kedekatan dengan para bandit Atas dasar dua alasan di atas, Akbar Faisal (anggota DPR) meminta agar empat orang pimpinan KPK layak untuk mundur. Dan juga ada benarnya pernyataan Permadi, bahwa DPR secara normatif adalah lembaga wakil rakyat dan pembawa aspirasi rakyat, tetapi pada tataran realitas, DPR adalah lembaga wakil partai, sehingga kepentingan partai lebih dominan dari pada sebagai wakil dan aspirator rakyat. Kiranya benar :
6
TV One Selasa tanggal 31 Mei 2011 Pukul 19.30 dalam acara Jakarta Lawyer’s Club
14
Semnas “Mengurai Akar Kekerasan Massa di Indonesia”
a. Adagium : “The myth of the law is given the lie daily” b. Statemen O.W. Holmes : ”The life of the law has not been logic but experience” (Rahardjo, 2000) c. Donald Black : “hukum bukan hanya “rules and logic”, tetapi ”social structure and behavior”. Perilaku hukum dipengaruhi oleh aspek-aspek ”stratification, morphology, culture, organization, dan social control” (Black, 1976). d. Statemen Ellickson : “the last point can be generalized : lawmakers who are unappreciative of the social conditions that foster informal cooperation are likely to create a world in which these is both more law and less order” (Ellickson, 1991). Penegakan hukum yang bercirikan kelas ini jelas-jelas melanggar delapan prinsip moral setiap sistem hukum, diantaranya adalah generality; intelligibility and clarity; avoidance of contradictions; congruence between official action and declared rule7 dan oleh karena itu tak pelak system hokum justru menimbulkan keresahan dan ketegangan dalam kehidupan masyarakat. 4. Pandangan Agama Islam Dari pandangan Islam, kejahatan kekerasan dalam garis besarnya bersumber pada tiga keadaan, yakni : a. Kemiskinan dan ketamakan “Kaada al-faqru ‘asaa ayyakuuna kufron” (Al-Hadits) “Inna al insaana la yathghoo al ro’aahu al stagghaa” (Al-Ayat) b. Kebodohan dalam ilmu agama Islam Abdul Qodir Audah berkata : ”Al islaamu baina jahli abnaa’ihi wa ‘ajzi ‘ulamaa’ihi”. Kebodohan ilmu agama merupakan jembatan seseorang terjerumus ke dalam dunia tasawwuf yang menyesatkan dan kafir zindiq. “Man tashowwafa bila tafaqqoha tazandaqo” Termasuk ke dalam golongan zanaadiq adalah (Sabiq, 1990) : a. Takhayyul “Liman yakuunu syadiida al takhayyul waidzaa aroduu maa turiidu al aammah qooluu : mulkhidun wa dahriyun ai bidawaami al dahri” b. Penafsiran yang menyimpang “Yufassiru ba’dloma tsabata minaddiini bikhilaafi maa fassarohu al shohaabat wat taabiuuna wa ajma’at alaihi al ummah kamaa idza’ tarofa biannal qur’aana wamaa fiihi walakin fassarohumaa faasidan” c. Takwil menyimpang dari Quran, Hadits dan kesepakatan Ulama “Ta’wiilun yushoodimu maa tsabata minal kitaabi wa al sunnati wa al tifaaqi al ummah” d. Uquubah “Wa qod ittafaqo jumhuur al muta’akhiriin minal hanafiyyati wa al syafi’iyyati ‘ala qotli man yajrii haadzaa al majroo” 7
Ada delapan prinsip moral sistem hukum sebagaimana dikemukakan oleh Fuller : “…..eight requirements of “inner morality” of law from the very nature of legal system”. The eight principles are : (1) generality; (2) promulgation; (3) prospective legal operation, i.e., generally prohibition of retroactive laws; (4) intelligibility and clarity; (5) avoidance of contradictions; (6) avoidance of impossible demands; (7) constancy of the law through time, i.e., avoidance of frequent changes; (8) congruence between official action and declared rule. (Friedmann, W 1970, Legal Teory, Columbia University Press, New York, hlm. 16)
15
Semnas “Mengurai Akar Kekerasan Massa di Indonesia”
NII masuk dalam kategori “Riddah al zanaadiq”. Hal ini berkaitan dengan akidah dan perilaku mereka yang menyimpang dari aqidah Islamiyyah, diantaranya adalah : a. Menghapus dosa dengan memaksa membayar uang b. Menyuruh anggota untuk mencuri dan merampok c. Infaq wajib yang telah ditentukan untuk biaya pendirian NII d. Sholat Fardlu / maktubat lima waktu tidak wajib e. Qiyaamullail (Tahajjud) adalah wajib / fardlu f. Hubungan seks dengan wanita di luar anggota NII adalah halal g. Konsep hijrah dari NKRI ke NII ditandai oleh prinsip “Negara Anugerah” h. Qiyamat (Yaumul Ba’ts) tidak ada i. Jannah dan Naar ditafsirkan sebagai kebangkitan dan keterpurukan j. Membakar masjid dan tempat-tempat ibadah lain yang sebagian atau seluruhnya dibiayai oleh Pemerintah (Pusat dan Daerah) k. Mengakui imam mereka sebagai Imam Mahdi Timbulnya kebodohan umat Islam, salah satu sebab utamanya adalah kurang berperannya ormas-ormas Islam dalam membina umat Islam dan cenderung lebih disibukkan dengan urusan-urusan duniawi dan kekuasaan. Dalam hal ini, perlu diingat Sabda Nabi SAW : “Shinfaani min ummatii in sholahuu sholahat al ummat, Al umaroo’ wa al fuqohaa’”. (diriwayatkan Abu Na’im) (AlJawy,tt). c. 1)
2)
Ketidakadilan dan kedzoliman pemegang amanat Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 33 : “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara menyimpang atau dibuang dari negeri tempat kediamannya. Yang demikian itu bagi mereka adalah suatu penghinaan di dunia dan di akherat bagi mereka adalah adzab yang besar”. Sabda Nabi SAW : “Tidak akan hancur suatu bangsa walaupun mereka berbuat dzolim dan jahat apabila pemegang amanat (wulaat) tegas dalam menegakkan hukum dan keadilan, tetapi sebaliknya akan hancur suatu bangsa walaupun bangsa itu taat dan patuh pada hukum apabila pemegang amanat (wulaat) berbuat dzolim dan tidak menegakkan keadilan”. (diriwayatkan Abu Naim) (AlJawy,tt).
Ketidakadilan dan kedholiman para pemegang amanat (wulaat al amri) merupakan sumber utama meningkatnya kekerasan massa diberbagai daerah di Indonesia yang acapkali menimbulkan kegoncangan-kegoncangan di sana sini. “Idzaa dzoharat al fahisyata kaanat al rojfat”. Ini berarti, bahwa penegakan hukum justru merupakan faktor kriminogen bagi timbulnya berbagai bentuk kekerasan massa di Indonesia disamping menimbulkan kemiskinan dan kebodohan, yang pada saatnya nanti akan mengancam negara ke arah kehancuran seperti Sabda Nabi SAW : “Sungguh hancur bangsa (umat) sebelum kamu semua (umat Muhammad) dikarenakan apabila orang mulia / kaya diantara mereka mencuri, mereka tidak mempidana, tetapi apabila orang lemah (miskin / fakir) diantara mereka mencuri, mereka akan memotong tangan orang lemah tersebut. Demi Dzat yang diriku berada di bawah kekuasaanNya, apabila Fatimah binti Muhammad mencuri, sungguh aku potong tangannya. (diriwayatkan Imam Ahmad, Imam Muslim, dan Imam An-Nasa’iy)(Sabiq,1990). 5. Kesimpulan a. Konsep Negara Hukum dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 Amandemen yang dilandasi oleh konsep Rechtsstaat (Eropa Kontinental / Civil Law yang
16
Semnas “Mengurai Akar Kekerasan Massa di Indonesia”
berorientasi pada kepastian hukum) dan konsep Rule of Law (Common Law yang berorientasi pada keadilan substansial) belum direalisasikan secara maksimal melalui penegakan hukum. b. Penegakan hukum di Indonesia khususnya terhadap kasus-kasus kekerasan massa mengandung ciri-ciri kelas (the class character of law enforcement) seiring dengan ciri-ciri kelas sistem hukum nasional itu sendiri yang berbasis pada falsafah hukum modern, yakni liberalisme dan individualisme. b. Ketidakadilan dan kedholiman oknum-oknum pemegang amanat negara, khususnya aparat penegak hukum dalam jajaran Integrated Criminal Justice System merupakan sumber utama meningkatnya berbagai bentuk kekerasan massa di Indonesia seiring dengan meningkatnya perlakuan diskriminatif dalam menangani kasus-kasus kekerasan massa. 6. Solusi Qoulu ahli al hikmah : “dunia akan menjadi kebun yang indah apabila dihiasi dengan lima perkara, yaitu : ilmu para ulama; pemerintahan yang adil; beribadahnya penduduk; jujurnya para pedagang / pengusaha / pebisnis; dan disiplinnya para pegawai negeri”. Akhirnya makalah ini ditutup dengan sebuah syair : “Likullin ilaa sya’wi al ulaa harokaatu, walakin ‘aziizun li al rijaali tsabaatu”
DAFTAR REFERENSI Adi Sulistiyono, 2006, Krisis Lembaga Peradilan di Indonesia, UNS Press, Surakarta. Donald Black, 1976, The Behavior of Law, Academic Press, San Francisco, USA. Donald, R.Taft, 1961, Criminology, Third Edition, The Macmillan Company, New York. Friedmann, W 1970, Legal Teory, Columbia University Press, New York. Friedman L, M, 1975, The Legal System : A Social Science Perspective, Russel Sage Foundation, New York Mahkamah Agung RI, 2008, Bagir Manan Ilmuwan dan Penegak Hukum (Kenangan Sebuah Pengabdian), Jakarta. Miriam Budiarjo, 1977, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta. Muhammad Nawawi Ibnu Umar Al-Jawy, tanpa tahun, Nashoikhul Ibaad, Syirkah Ma’arif, Bandung. Moh. Kusnardi dan Bintan R.Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Gramedia, Jakarta. Moh. Mahfud MD, 2011, Revitalisasi Pancasila Sebagai Cita Negara Hukum, Makalah disampaikan pada Rapat Senat Terbuka dalam rangka Dies Natalis ke-65 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tanggal 17 Februari 2011, Yogyakarta. O. Noto Hamidjojo, 1967, Makna Negara Hukum, Badan Penerbit Kristen, Jakarta.
17
Semnas “Mengurai Akar Kekerasan Massa di Indonesia”
Poloma, 1979, Contemporary of Sosiological Theory, Macmillian Publishing Co., Inc, New York Richard A. Schermerhorn, 1964, A Society And Power, Randomhouse, New York. Robert C. Ellickson, 1991, Order Without Law : How Neighbors Settle Disputes, Harvard University Press, Massachusetts. Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, BPHN, Jakarta. Satjipto Rahardjo, Mengajarkan keteraturan menemukan Ketidak-Teraturan (Teaching order finding disorder), Pidato Emiritus Guru Besar Tetap Pada Fakultas Hukum Undip tanggal 15 Desember 2000, Semarang. Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi Sisi Lain Dari Hukum di Indonesia, Kompas Media Nusantara, Jakarta. Satjipto Rahardjo, 2008, Membedah Hukum Progresif”, Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Sayyid Sabiq, 1990, Fiqhu As-Sunnah, Jilid II, Darul Al-Fath Lil I’Laam Al-Arobiy, Kairo, Mesir. Sudarto, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung. Sunarjati Hartono, 1976, Apakah The Rule of Law Itu, Alumni, Bandung. Soche, H. H, 1985, Supremasi Hukum dan prinsip demokrasi di Indonesia, Hanindita, Yogyakarta. Soerjono Soekamto, 1983, Beberapa Aspek Sosio Yuridis Masyarakat, Alumni, Bandung. Theo Huijbers, 1990, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta. Todung Mulya Lubis, 2007, Mengapa Saya Mencintai Negeri ini, Buku Kompas, Jakarta.
18