LAPORAN PENELITIAN
PERJANJIAN KREDIT BANK DILIHAT DARI SYARAT SAH PASAL 1320 KUHPERDATA ( suatu kajian normative) Oleh
Dharu Triasih,S.H, M.H ( Ketua) Endah Pujiastuti,S.H. M.H (Anggota) Mursid Nugroho IK,SH, MHum.(Anggota)
DIBIAYAI USM /KONTRAK NO : 246/USM.H4 FH/Q/2009
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG 1
2012 HALAMAN PENGESAHAN 1 Judul Penelitian
: PERJANJIAN KREDIT BANK DILIHAT
DARI SYARAT SAH PASAL 1320 KUHPERDATA (suatu kajian normative) 2.
Bidang Penelitian
: Hukum
3. Ketua Peneliti (a) Nama
: Dharu Triasih, SH. MH
(b) Jenis Kelamin
: Perempuan
(c) NIS
: 06557003801008
(d) Pangkat/ Golongan
: Penata/IIIc
(e) J abatan
: Lektor
(f) Fakultas Jurusan
: Hukum/ Ilmu Hukum
4.Jumlah anggota Peneliti
: ( dua ) orang
5. Lokasi Penelitian
: Kota Semarang
6. Bila penelitian ini merupakan kerjasama kelembagaan : a. Nama Instansi
:
b. Alamat
:
7. Waktu penelitian
:
3 bulan
8. Biaya
: Rp. 2.500.00,- (dua juta lima ratus ribu rupiah) Semarang, Juli 2009
Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum,
KetuaPenelitian
Efi Yulistyowati, SH.M.Hum
Dharu Triasih,SH MH
NIS. 06557003801006
NIS. 06557003801008 Menyetujui Ketua LPPM
Indarto,SE M.Si NIS.06557000504065
2
LEMBAR PENGESAHAN REVIEWER
1.
(a) Judul Penelitian
: PERJANJIAN KREDIT BANK DILIHAT
DARI SYARAT SAH PASAL 1320 KUHPERDATA( suatu kajian normative) (b) Bidang Ilmu
: Ilmu Hukum
2. Ketua Peneliti (a) Nama
: Dharu Triasih, SH., MH
(b) Jenis Kelamin
: Perempuan
(c) Golongan/NIS
: 06557003801008
(d) Jabatan Fungsional
: Lektor
(e) Fakultas Jurusan
: Hukum/ Ilmu Hukum
3. Anggota
: (dua ) orang
4. Lokasi Penelitian
: Kota Semarang
5. Lama Penelitian
: 3 bulan
6. Biaya Penelitian
: Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah)
7. Sumber Biaya Penelitian
: Universitas Semarang
HasilPenelitian ini telah dipresentasikan di depan pereview pada tanggal : 27 Januari 2012. Semarang, Juli 2009 Menyetujui, Reviewer,
Ketua Penelitian
Mursid Nugroho IK,SH.M.Hum
Dharu Triasih,SH MH
NIS. 065570038010
NIS. 06557003801008
3
DAFTAR ISI Halaman
LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN…………………………………………
ii
RINGKASAN DAN SUMMARY
……………………………………………..
iii
………………………………………………………………………….
Iv
PRAKATA
DAFTAR TABEL ………………………………………………………………………..
v
DAFTAR LAMPIRAN
……………………………………………………………….
vi
I.
PENDAHULUAN………………………………………………………….
1
II.
TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………
5
III.
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN………………………………
16
IV.
METODE PENELITIAN
…………………………………………
18
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………………………..
21
VI.
KESIMPULAN DAN SARAN
……………………………………..
67
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
4
RINGKASAN Pasal 1320 KUH Perdata merupakan salah satu perwujudan dari asas kebebasan berkontrak .Dalam prakteknya asas kebebasan berkontrak khususnya pada syarat kesepakatan tak lebih dari sekedar terima atau tinggalkan (take it or leave it) karena bank telah membuat syarat-syarat yang tidak bisa ditawar-tawar lagi oleh calon debitur nasabah. Sehingga sangat mungkin debitur nasabah menerima syaratsyarat perjanjian kredit itu dengan terpaksa Di dalam praktek perbankan yang lazim di Indonesia, pada umumnya perjanjian kredit bank yang dipakai adalah perjanjian standar atau perjanjian baku yang klausul-klausulnya telah disusun sebelumnya oleh bank. Dengan demikian maka nasabah sebagai calon debitur hanya mempunyai pilihan antara menerima seluruh isi atau klausul-klausul perjanjian itu atau tidak bersedia menerima klausul-klausul itu baik sebagian atau seluruhnya , yang berakibat nasabah tidak akan menerima kredit tersebut. SUMMARY
Section 1320 KUH PERDATA is one of application of from freedom of contract . Freedom of contract principle especially in connection with standart contract at concensual condition of agreement, In practice do not more than simply receiving or leaving ( take it or leave it) because bank had made unconcensable conditions. So very possible of client debitor receives the credit agreement conditions perforcedly. In practice of inveterate banking in Indonesia, in general credit agreement of bank used is standard contract which its the clauses has been compiled before all by bank. Thereby hence client as debitor candidate only had choice between receiving all the content or agreement clauses or not to receives the clauses either partly or entirely, is causing client will not receive the credit.
5
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Alloh SWT atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penelitian ini. Penelitian ini dilakukan dalam rangka melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya butir 2 (dua) yang memang menjadi kewajiban setiap pengajar untuk meningkatkan ilmunya. Dengan segala keterbatasan yang ada, kami tetap berharap penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang perjanjian kredit bank.. Pada kesempatan ini tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada yang terhormat : 1.
Bapak Prof.DR.Pahlawansyah Harahap,SE MM
Rektor Universitas
Semarang, atas kebijaksanaannya dalam pembiayaan kegiatan penelitian ini. 2.
Ibu Efi Yulistyowati, SH MHum Dekan Fakultas Hukum Universitas
Semarang yang selalu memberikan dorongan dan arahan kebijakan sehingga penelitian ini dapat diselesaikan. 3.
Bapak Teguh Indarto,SE MSi selaku Ketua Lembaga Penelitian Universitas
Semarang yang telah memberikan arahan teknis. 4.
Rekan seperjuangan Penelitian dalam kerja keras dan kerjasamanya.
Kami menyadari, masih banyak yang perlu disempurnakan dalam pelaksanaan penelitian ini. Untuk itu kritik, saran dan sumbangan pemikiran sangat kami harapkan untuk penyempurnaan laporan penelitian ini.
Semarang, 30 Juli 2009
Tim Penelit
6
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Bank mempunyai peran yang sangat penting karena merupakan lembaga pembiayaan yang strategis dalam membiayai berbagai kegiatan usaha produktif, yang pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi . Dalam rangka meningkatkan
pembangunan
ekonomi
yang
merupakan
bagian
dalam
pembangunan nasional, sangat diperlukan dana dalam jumlah besar yang sebagian besar diperoleh melalui perbankan. Dalam Undang-undang No : 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, (yang telah dirubah dengan Undang-undang no.10 tahun 1998 tentang Perubahan undangundang no 7 tahun 1992 tentang Perbankan)
belum secara specifik diatur
hubungan antara bank dan nasabah, baik nasabah penyimpan dana maupun nasabah debitur, khususnya yang menyangkut hak dan kewajiban dalam kaitannya dengan kredit bank.1 Sekalipun sudah ada ketentuan yang mewajibkan bank untuk memberikan kredit berdasarkan akad perjanjian kredit, namun sampai saat ini belum ada tuntunan, yang dapat dijadikan acuan oleh bank-bank mengenai apa saja isi atau klausul-klausul yang seyogyanya dimuat atau tidak dimuat dalam suatu akad perjanjian kredit tersebut. Perjanjian kredit yang dibuat antara bank dan nasabah debitur, hingga saat ini telah dibuat dengan berlandaskan semata-mata hanya kepada asas kebebasan berkontrak. Sebagaimana lazimnya pada setiap pembuatan perjanjian yang semata-mata
yang berlandaskan pada asas kebebasan
berkontrak, akan tetapi dalam pelaksanaan perjanjian kredit yang yang didasarkan pada Asas kebebasan berkontrak ini kurang memberikan posisi tawar yang memadai bagi debitur nasabah.
1
R. Subekti, KUHPerdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, hlm 339
7
Mariam Darus Badrulzaman berpendapat bahwa secara teoritis perjanjian
kredit
bank
yang
merupakan
perjanjian
pendahuluan
(vooroveenkomst) dari perbuatan penyerahan sejumlah uang, merupakan hasil “kesepakatan”antara para pihak. Kesepakatan para pihak sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata merupakan salah satu perwujudan dari asas kebebasan berkontrak .Dalam prakteknya asas kebebasan berkontrak khususnya pada syarat kesepakatan tak lebih dari sekedar terima atau tinggalkan (take it or leave it) karena bank telah membuat syarat-syarat yang tidak bisa ditawar-tawar lagi oleh calon debitur nasabah. Sehingga sangat mungkin debitur nasabah menerima syarat-sayarat perjanjian kredit itu dengan terpaksa.2 Di dalam praktek perbankan yang lazim di Indonesia, pada umumnya perjanjian kredit bank yang dipakai adalah perjanjian standar atau perjanjian baku yang klausul-klausulnya telah telah disusun sebelumnya oleh bank. Dengan demikian maka nasabah
sebagai calon debitur hanya
mempunyai antara menerima seluruh isi atau klausul-klausul perjanjian itu atau tidak bersedia menerima klausul-klausul itu baik sebagian atau seluruhnya , yang berakibat nasabah tidak akan menerima kredit tersebut. Berhubung klausa baku ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha, maka pada umumnya isi klausula baku tersebut akan lebih banyak memuat hak-hak pelaku usaha dan kewajiban-kewajiban koonsumen daripada hak-hak konsumen dan kewajiban-kewajiban pelaku usaha. Bahkan, tidak jarang terjadi klausula baku berisi pengalihan kewajiban-kewajiban yang eharusnya menjdi tanggung jawab pelaku usaha kepada konsumen. Klausula baku semacam ini dalam perjanjian baku disebut klausula eksonerasi (exoneratie clausule/exemption
clause), yang pada umumnya sangat memberatkan atau
bahkan cenderung merugikan konsumen. Berhubung dalam penutupan suatu perjanjian baku yang berisi klausula baku, pada umumnya penerima tawaran tidak memiliki kesempatan untuk melakukan tawar-menawar tentang isi klausula baku yang dibuat secara 2
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian K redit Bank, Alumni, Bandung,.2001, hlm. 32
8
sepihak oleh pihak yang menawarkan, maka proses penutupan perjanjian baku acapkali mengandung suatau penyalahgunaan keadaan.(undue influence) Di samping itu, perlu dikemukakan bahwa penutupan suatau perjanjian baku pada umumnya tidak selalu didahului dengan pemahaman dan penguasaan isi perjanjian baku tersebut oleh pihak penerima tawaran, melainkan pihak penerima tawaran baru mengetahui, memahami, atau menguasai isi perjanjian baku setelah perjanjian baku ditutup. Bahkan tidak jarang bahwa konsumen baru mengetahui dan memehami isi perjanjian baku setelah timbul kerugian di pihaknya. Kondisi ini sesungguhnya bertentangan dengan suatu prinsip contemporaneous yang berarti bahwa pengetahuan , pemahaman, dan penguasaan mengenai isi suatu perjanjan, termasuk perjanjian baku, seharusnya dilakukan sebelum perjanjian ditutup, atau setidak-tidaknya existing or happening at the sametime. Prinsip ini di dalam bahasa Indonesia dapat dikemukakan sebagai prinsip keseketikaan, yaitu pengetahuan, pemahaman, dan penguasaan isi perjanjian, termasuk perjanjain baku, seharusnya dilakukan sebelum perjanjian ditutup atau sekurangkurangnya seketika perjanjian ditutup. Sikap bank sebagai sebagaimana digambarkan di atas itu didukung oleh kondisi pada saat in di mana orang yang membutuhkan kredit (calon nasabah debitur) masih jauh lebih banyak dari jumlah kredit yang dapat ditawarkan oleh perbankan, maka bank lebih memilih untuk hanya melayani calon-calon nasabah yang bersedia menerima menerima klausul - klausul yang sudah tersedia tanpa perubahan sebagaimana yang telah disusun oleh kantor pusat bank tersebut, dari pada harus melayani calon nasabah debitur yang menginginkan perjanjian kredit dengan klausul - klausul yang dirundingkan. Perkembangan keadaan menjadi seperti ini lebih-lebih lagi karena ditunjang oleh kenyataan bahwa nasabah-nasabah debitur yang kebanyakan terdiri dari pengusaha-pengusaha kecil atau golongan ekonomi lemah itu sering tidak merasa perlu untuk berpayah-payah merundingkan klausul-klausul perjanjian kredit dari kredit yang diterimanya.
9
Lahirnya Undang-undang No : 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen secara normatif memberikan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak, akan tetapi dalam kaitannya dengan perjanjian kredit antara nasabah debitur dengan bank, posisi debitur secara umum tetap pada posisi lemah. Dalam rangka perlindungan nasabah bank Indonesia sendiri sudah menyelanggarakan peraturan Bank Indonesia No 7 Tahun 2005 Tentang Penyelasaian Pengaduan Nasabah yang hanya mewajibkan bank memiliki unit dan atau fungsi yang dibentuk secara khusus untuk menangani dan menyelesaikan pehgaduan yang diajukan nasabah, namun, hingga saat ini kewajiban tersebut tidak dilaksanakan oleh bank. Kondisi pada saat ini di mana orang yang membutuhkan kredit (calon nasabah debitur) masih jauh lebih banyak dari jumlah kredit yang dapat ditawarkan oleh perbankan, maka bank lebih memilih untuk hanya melayani calon-calon nasabah yang bersedia menerima menerima klausul - klausul yang sudah tersedia tanpa perubahan sebagaimana yang telah disusun oleh kantor pusat bank tersebut, dari pada harus melayani calon nasabah debitur yang menginginkan perjanjian kredit dengan klausul - klausul yang dirundingkan. Perkembangan keadaan menjadi seperti ini lebih-lebih lagi karena ditunjang oleh kenyataan bahwa nasabah-nasabah debitur yang kebanyakan terdiri dari pengusahapengusaha kecil atau golongan ekonomi lemah itu sering tidak merasa perlu untuk berpayah-payah merundingkan klausul-klausul perjanjian kredit dari kredit yang diterimanya. Undang-undang N0 : 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang selanjutnya disebut UUPKK, dalam Pasal 1 ayat 1 ditetapkan bahwa yang dimaksud perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. 3 Dalam kaitannya dengan perjanjian baku/standar diatur dalam Pasal 18 UUPK yang pada intinya
3
diatur mengenai pembatasan penggunaan klausula
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2001, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm 109
10
baku/standar dalam perjanjian atau dokumen yang dibuat oleh pelaku usaha. Maksudnya untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Pelanggaran ketentuan tersebut menyebabkan perjanjian atau dokumen itu menjadi batal demi hokum atau setidak tidaknya dapat dibatalkan. Pelaku usaha juga dilarang mencantumkan klausula baku/standar yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau yang pengungkapannya sulit dimengerti oleh konsumen. Dalam Undang-undang No 10 tahun 1998 tentang perubahan Undangundang no 7 tahun 1992 tentang Perbankan dalam salah satu pasalnya mengatur perlindungan bagi nasabah, yang tercantum dalam Pasal 28, sebagai berikut : “Untuk kepentingan nasabah Bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank”. Perlindungan terhadap nasabah bank hanya sebatas apabila nasabah meminta nformasi dari bank padahal pengetahuan nasabah sangat terbatas selain itu nasabah berada pada posisi yang tidak menguntungkan atau terdesak akan kebutuhan kredit sehingga tidak memperdulikan isi kontrak yang disodorkan oleh pihak perbankan.
B. PERMASALAHAN Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Apakah dalam perjanjian kredit bank sudah memenuhi syarat –syarat sahnya perjanjian sesuai Pasal 1320 KUHPerdata ? 2. Apakah asas itikad baik dan kepatutan telah menjadi landasan bagi pihak bank pada waktu membuat perjanjian kredit? 3. Apakah asas konsensual yang berimbang dalam perjanjian bisa ditegakkan pada waktu pembuatan perjanjian perjanjian itu telah dibuat oleh salah satu pihak secara baku ?
11
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan pada Hukum Perjanjian 1.1. Pengertian Perjanjian Pada Umumnya Perjanjian berdasarkan definisi yang diberikan dalam Pasal 1313 KUHPerdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. R. Subekti menyatakan , bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanjia kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu dari peristiwa ini timbul hubungan perikatan 4 Abdul
Kadir
Mohammad
merumuskan
definisi
Pasal
1313
KUHPerdata sebagai berikut, bahwa yang disebut perjanjian adalah suatu persetujuan di mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan 5 Beberapa rumusan pengertian perjanjian seperti tersebut diatas, jika disimpulkan maka perjanjian terdiri dari :6 (1)
Ada pihak-pihak Sedikitnya dua orang pihak ini disebut subyek perjanjian, dapat manusi atau badan hukum dan mempunyai wewenang melakukan perbuatan hukum seperti yang ditetapkan Undang-undang
(2)
Ada persetujuan antara pihak-pihak Persetujuan
antara pihak-pihak tersebut sifatnya tetap bukan
merupakan suatu perundingan . Dalam perundingan umumnya dibicarakan, mengenai syarat-syarat
dan obyek perjanjian maka
timbullah persetujuan. 4
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta,2001,hlm 1 Abdul Kadir Mohammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bhakti, Bandung,1992, hlm 78 6 Ibid, hlm 82 5
12
(3)
Ada prestasi yang akan dilaksanakan Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak sesuai dengan syarat – syarat perjanjian , misalnya pembeli berkewajiban untuk membayar harga barang dan penjual berkewajiban menyerahkan barang.
(4)
Ada bentuk tertentu lisan atau tulisan Perlunya bentuk tertentu karena ada ketentuan undang-undang yang menyebutkan bahwa dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan bukti yang kuat.
(5)
Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian. Dari syarat –syarat tertentu dapat diketahui hak dan kewajiban para pihak. Syarat-syarat ini terdiri dari syarat pokok yang menimbulkan hak dan kewajiban pokok.
(6)
Ada tujuan yang hendak dicapai Tujuan yang hendak dicapai dalam perjanjian adalah isi dari perjanjian itu sendiri dalam menentukan isi perjanjian meskipun didasarkan atas kebebasan berkontrak akan tetapi tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum kesusilaan dan tidak dilarang oleh Undang-undang.
1.2. Asas–Asas Perjanjian Beberapa asas yang berkaitan dengan perjanjian , yaitu 1.2.1. Asas konsensualitas, dengan asas ini maka suatu perjanjian pada dasarnya sudah ada sejak tercapainya kata sepakat diantara para pihak dalam perjanjian tersebut. Asas konsensualisme yang terdapat dalam pasal 1320 KUHPerdata mengandung arti kemauan para pihak untuk saling mengikatkan diri dan kemauan ini membangkaitkan kepercayaan bahwa perjanjian itu dipenuhi. Asas tersebut diatas untuk perjanjian-perjanjian tertentu tidak dapat diterapkan seperti dalam perjanjian perjanjian kredit di mana terdapat
13
ketentuan
keharusan
adanya
suatu
perjanjian
tertulis
yang
mendasarinya.
1.2.2.Asas kekuatan mengikatnya perjanjian yaitu bahwa para pihak harus memenuhi apa yang telah dijanjikan sebagaimana disebutkan
dalam 1338 KUHPerdata yang menyebutkan
bahwa perjanjian yang dibuat secara sah sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. 1.2.3.Asas kebebasan berkontrak, yang dimaksud dengan kebebasan berkontrak adalah adanya kebebasan seluas-luasnya yang oleh undang-undang diberikan kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan ketertiban umum. 1.2.4.Asas Itikhad Baik dan Kepatutan Asas ini menegaskan bahwa para pihak dalam membuat perjanjian harus didasarkan pada itikhad baik dan kepatutan, yang mengandung pengertian pembuatan perjanjian antara para pihak harus didasarkan pada kejujuran untuk mencapai tujuan bersama.Pelaksanaan perjanjian juga harus mengacu pada apa yang patut dan seharusnya diikuti dalam pergasulan masyarakat
1.3. Syarat Sahnya Perjanjian Perjanjian dapat dikatakan sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila telah memenuhi syarat syarat sahnya perjanjian yang telah ditentukan oleh Undang-undang. Perlu diperhatikan bahwa perjanjian yang memenuhi syarat yang ada dalam Undang-undang diakui oleh hukum, sebaliknya perjanjian yang tidak memenuhi syarat tidak diakui oleh hukum walaupun diakui oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Karena itu selagi pihak-pihak mengakui dan mematuhi perjanjian yang mereka
14
buat
walaupun tidak memenuhi syarat perjanjian itu berlaku diantara
mereka. Apabila suatu ketika ada pihak yang tidak mengakuinya lagi, maka hakim akan membatalkan atau perjanjian itu batal. Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, untuk sahnya suatu perjanjian para pihak harus memenuhi sayarat-syarat tersebut di bawah ini:9 1. Kesepakatan atau persetujuan para pihak; 2. Kecakapan para pihak dalam membuat suatu perjanjian; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu causa atau sebab yang halal.
1.4. Wanprestasi 1.4.1.Pengertian wanprestasi dan akibatnya Jika debitur tidak memenuhi janjinya atau tidak memenuhi prestasi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya,
maka
dikatakan
bahwa
debitur
telah
melakukan
wanprestasi. Wanprestasi ( kesalahan atau kealpaan ) seorang debitur dapat berupa :7 a. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya; b. melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan; c. melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat; d. melakukan
sesuatu
yang
menurut
perjanjian
tidak
boleh
dilakukannya. Terhadap kelalaian atau kealpaan debitur, diancamkan beberapa sanksi atau hukuman sebagai berikut : 8 (1)
membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau ganti rugi (Pasal 1243-1252 KUHPerdata). Ganti rugi sering diperinci dalam tiga unsur, yaitu biaya, rugi dan bunga,.
9
R Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, hlm 339 7 Subekti, opcit. hlm.45 8 Subekti, opcit, hlm. 45
15
(2)
Pembatalan atau pemutusan perjanjian Pembatalan perjanjian bertujuan membawa kedua pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Kalau suatu pihak sudah menerima sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun barang, maka itu harus dikembalikan.
(3)
Pemutusan perjanjian dan membayar ganti kerugian
1.5. Perjanjian Baku dan Perjanjian Kredit Bank 1.5.1. Perjanjian Baku Beberapa ciri yang nampak pada Perjanjian baku/Standar adalah perjanjian itu bentuknya tertulis, ditutup oleh orang –orang yang bergerak dalam bidang usaha tertentu, perjanjian dan klausulaklausulanya dipersiapkan oleh salah satu pihak. Apabila bicara tentang perjanjian baku dan menempatkan secara dogmatis dalam asas-asas hukum perjanjian yang dikemukakan oleh Asser-Rutten tentu akan terjadi tubrukan dengan asas-asas dari hukum perjanjian. Kebebasan berkontrak terutama dengan persesuaian kehandaknya sebagai dasar dari perjanjian. Apabila kebebasan kehandak dari pihak-pihak yang bersangkutan dipegang teguh maka kadang-kadang akan dapat mengurangi kebebasan dari salah satu pihak. Andaikata orang tidak membaca syarat-syarat perjanjian atau membaca tetapi tidak mengerti maksudnya dan menandatangani perjanjian itu, maka persesuaian kehendak telah berlaku. Mengenai pengertian perjanjian baku ini, beberapa sarjana telah mengemukakan pendapatnya, diantaranya : 1. Mariam
Darus
Badrulzaman,
menyatakan
bahwa
dari
keseluruhan jenis perjanjian baku, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri meniadakan dan membatasi kewajiban salah satu pihak (kreditur) untuk membayar ganti rugi kepada debitur adalah sebagai berikut : isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur
16
yang posisinya relatif kuat dari debitur; debitur sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian itu; terdorong oleh kebutuhannya
debitur
terpaksa
menerima
perjanjian
itu;bentuknya tertulis;dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individual. 2. Purwahid Patrik, berpendapat jika ada yang perlu dikhawatrkan dengan kehadiran perjanjian standar, tidak lain karena dicantumkannya klausula eksonerasi (excemption clause) dalam perjanjian tersebut. Klausula eksonerasi adalah klausula yang mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada salah satu pihak. Menurut Purwahid Patrik, syarat eksonerasi (exoneratie) yang ada dalam perjanjian kredit adalah syarat yang berisi untuk membebaskan atau membatasi tanggung jawab seorang dalam melaksanakan perjanjian, sedangkan syarat eksonerasi ini adalah termasuk pula sebagai perjanjian baku. 9 Sutan Remi Sjahdeni, menyebut klasula di atas dengan klausula eksemsi yaitu klausula yang bertujuan untuk membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya dalam hal yang bersangkutan tidak atau tidak dengan
semestinya
melaksanakan
kewajibannya
yang
ditentukan dalam perjanjian tersebut.10 Atas dasar itu dapat kita rumuskan perjanjian standard sebagai; Perjanjian tertulis, yang bentuk dan isinya telah dipersiapkan terlebih dahulu, yang mengandung syarat-syarat baku, yang oleh salah satu pihak kemudian disodorkan kepada pihak lain untuk disetujui (lawan janjinya) Tujuan pembuatan Perjanjian dalam bentuk Baku 9
Purwahid Patrik, 1986, Asas Itikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian, UNDIP, Semarang, hlm.21 10 Sutan Remi Sjahdeni, opcit. hlm 12
17
Adanya antisipasi akan ditutupnya perjanjian yang sejenis berulang-ulang dengan pelbagai pihak, dengan obyek perjanjian dan bentuk tindakan hukum yang sama, maka demi efisiensi, pragmatisme dan kepastian hukum dibuatlah Perjanjian Standard, dalam mana sekaligus dicantumkan klausula-klausula yang biasanya dicantumkan dalam perjanjian sejenis, yang pada umumnya sudah menjadi
klausula baku, dan telah mendapat
penafsiran baku. Agar supaya pembuktiannya lebih mudah, maka semua perjanjian itu dibuat tertulis dan untuk lebih menghemat waktu sekaligus dicetak dalam suatu blangko formulir11
Perjanjian Standard sangat efisien, karena klausula –klausula yang dimasukkan dalam perjanjian seperti itu telah atau dikemudian hari bisa diharapkan mendapat penafsiran yang baku, sehingga sangat menghemat kata-kata dalam suatu perjanjian dan dengan sendirinya
yang turut mengikuti (buntutnya) adalah
adanya
kepastian hukum. Dengan menutup Perjanjian Standard seperti yang mereka tutup, mereka boleh diharapkan
paling tidak
sipengusaha yang menyiapkan perjanjian yang bersangkutan tahu sampai seberapa jauh hak dan kewajiban mereka. Jadi tujuan pembuatan perjanjian standard
dalam keadaan netral adalah
efisiensi, pragmatis dan kepastian hukum. Keberatan terhadap berlakunya Perjanjian Standart 1. bahwa dalam perjanjian standard ada sebagian dari kebebasan kontrak yang hilang, janji-janji atau klausula-klausulanya dalam perjanjian telah ditentukan secara sepihak, sehingga pihak yang lain tinggal menerima atau menolak saja. Itulah sebabnya perjanjian standard disebut perjanjian adhesie (adhesiecontracten
11
Ikadin , 1993, Surabaya, hlm 2
18
2. bahwa dalam kenyataan (de facto) isi perjanjian nya tidak diketahui oleh pihak yang disodori perjanjian standard , bahkan kalaupun mereka tahu isinya belum tentu mereka tahu maksud dan jangkauan dari pada klausula-klausula yang ada.12 3. Ada juga yang memerinci keberatan-keberatan antara lain : telah
dituangkan
dalam
suatu
formulir;
isinya
tidak
diperbincangkan lebih dahulu; pihak yang disodori perjanjian standard terpaksa menerima keadaan itu karena posisinya yang lemah dan karenanya disebut dwangcontracten di mana kebebasan
berkontrak
berdasarkan
pasal
1338
sudah
dilanggar13 4. Perjanjian (Standard) Kredit merupakan pencetusan
dari
kekuatan ekonomi bank sebagai pemberi kredit yang menekan penerima kredit
Ada pula yang menyebutkan bahwa
pelaksanaan syarat-syarat tersebut ada diantaranya menjadi tidak normal, tidak berlaku sebagaimana mestinya. 5 .Faktor-faktor lain yang biasanya turut diperhitungkan pada waktu mengemukakan keberatan adalah, bahwa pihak yang menetapkan
perjanjian
standard
kedudukannya
secara
ekonomis lebih kuat, dan perjanjian baku menguntungkan pengusaha Demikian besarnya keinginan pihak bank terhadap perlunya melindungi kepentingan bank, sehingga di dalam praktik banyak dijumpai perjanjian-perjanjian kredit, yang biasanya dibuat dalam bentuk perjanjian baku, merupakan perjanjian-perjanjian yang berat sebelah atau timpang. Di samping itu sering pula perjanjian-perjanjian kredit mengandung klausula-klausula yang secara tidak wajar sangat memberatkan nasabah debitur. 1.5.2. Perjanjian Kredit sebagai salah satu bentuk Perjanjian Baku.
12 13
Abdul Kadir Mohammad, opcit, hlm 3 Mariam Darus Badrulzaman,opcit hlm 35
19
Pada dasarnya suatu perjanjian terjadi berlandaskan asas kebebasan berkontrak diantara dua pihak yang mempunyai kedudukan yang seimbang dan kedua belah pihak berusaha untuk mencapai kesepakatan yang diperlukan bagi terjadinya perjanjian itu melalui suatu proses negosiasi diantara mereka. Namun dewasa ini ada kecenderungan banyak perjanjian yang terjadi dilakukan bukan melalui suatu proses negosiasi yang seimbang diantara para pihaknya namun pihak yang satu telah menyiapkan suatu syarat baku pada suatu formulir perjanjian dan pihak yang lain tinggal menyetujuinya dengan tidak memberikan kebebasan sama sekali kepada pihak lain tersebut untuk melakukan negosiasi atas syaratsyarat yang disodorkan. Perjanjian yang demikian dapat disebut perjanjian baku atau standar. Dalam kaitannya dengan perjanjian kredit yang telah berbentuk perjanjian baku Sutan Remy Sjahdeni, menyatakan yang dimaksud dengan perjanjian baku ialah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh pemakainya (dalam hal perjanjian kredit maka yang menjadi pemakainya adalah bank) dan pihak yang lain (dalam hal perjanjian kredit pihak yang lain itu adalah nasabah debitur) yang pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan atas klausula-klausula itu.14 Dalam menghadapi perjanjian kredit berbentuk baku yang dipakai oleh bank-bank, calon nasabah debitur hanya mempunyai pilihan antara menerima seluruh asai klausula-klausula perjanjian itu atau tidak bersedia menerima klausula-klausula itu baik sebagian atau seluruhnya, yang berakibat calon nasabah debitur tidak menerima kredit tersebut.
14
Sutan Remy Sjahdeni, Upaya Menanggulangi Kredit Macet, Makalah yang disajikan pada seminar sehari,Himpunan Bank Perkreditan Rakyat Jawa Tengah dan DIY, 1993
20
Adanya unsur pilihan ini oleh sementara pihak dikatakan, perjanjian standar tidaklah melanggar asas kebebasan berkontrak (Pasal 1320 jo 1338 KUH Perdata ) artinya bagaimanapun pihak konsumen masih diberi hak untuk menyetujui (take it) atau menolak perjanjian yang diajukan kepadanya (leave it), dan itulah sebabnya perjanjian standart dikenal pula dengan nama take it or leave it contract15 Dalam kaitannya dengan hal di atas Pittlo dalam Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa perjanjian setandart ini merupakan dwang kontrak karena kebebasab pihak-pihak yang dijamin oleh pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata sudah dilanggar. Pihak yang lemah (debitur) terpaksa menerima hal itu karena mereka tidak bisa berbuat lain.16 Prof. Subekti
dalam Mariam Darus Badrulzaman
mengatakan, bahwa pelanggaran terhadap asas konsunsualisme yang terdata dalam Pasal 1320 jo 1338 KUH Perdata akan mengakibatkan perjanjian itu tidak sah dan tidak mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak.17 Beberapa contoh dari klausula - klausula yang secara tidak wajar memberatkan nasabah debitur antara lain : 1. Kewenangan bank untuk sewaktu-waktu tanpa alasan apapun dan
tanpa
pemberitahuan
sebelumnya
secara
sepihak
menghentikan penarikan kredit. 2. Kewenangan bank untuk secara sepihak menentukan harga jual dari barang agunan dalam hal
dilakukan penjualan barang
agunan kerena kredit nasabah debitur macet. 3. Kewenangan bank untuk secara sepihak sewktu-waktu mengubah tingkat suku bunga kredit.
15
Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2000, hlm. 120.. Mariam Darus badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank,Alumni, Bandung ,2001,hlm. 33 17 Mariam Darus badrulzaman. ibid 16
21
4. Kewajiban nasabah debitur untuk tunduk kepada segala petunjuk dan peraturan bank yang telah ada dan yang masih akan ditetapkan kemudian oleh bank kemudian. 5. Kuasa nasabah debitur yang tidak dapat dicabut kembali kepada bank untuk dapat melakukan segala tindakan yang dipandang perlu oleh bank. 6. Pembuktian kelalaian nasabah debitur secara sepihak oleh pihak bank semata. 7. Pencantuman klausula-klausula
eksemsi (eksonerasi)
yang
memnbebaskan debitur atas terjadinya kerugian yang diderita olehnya sebagai tindakan bank.
Terjadinya perjanjian kredit yang tidak seimbang ini dan mengandung
klausula-
klausula
yang
secara
tidak
wajar
memberatkan nasabah debitur itu adalah karena bekerjanya asas kebebasan berkontrak yang hampir tak terbatas. Sebagaimana lazimnya dalam pembuatan perjanjian yang berlandaskan pada asas kebebasan berkontrak, maka dalam pembuatan perjanjian kredit masing-masing pihak berusaha untuk merebut (menciptakan ) dominasi terhadap pihak lainnya, sehingga semangat yang mendasari dalam pembuatan perjanjian kredit menjadi semangat antara dua lawan janji dan bukannya antara dua mitra janji. Ketidakseimbangan inilah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya pembuatan perjanjian baku yang timpang dan mengandung
klausula-klausula
yang
tidak
wajar
serta
memberatkan pihak lainnya, bahkan terkadang klausula tersebut dapat menjadi bertentangan dengan asas kebijakan publik atau asas kesadaran hukum yang menurut KUHPerdata adalah bertentangan dengan asas ketertiban umum, asas kepatutan dan asas moral.
1.5.3. Pengertian kredit
22
Dalam beberapa literatur terdapat pengertian tentang kredit,yaitu : 18 a. H.M.A. Savelberg dalam Mariam Darus Badrulzaman, mengatakan bahwa kredit mempunyai arti antara lain: 1.
Sebagai dasar dari setiap perikatan dan seorang berhak menuntut sesuatu dari orang lain.
2.
Sebagai jaminan dan seseorang menyerahkan sesuatu pada orang lain dengan tujuan untuk memperoleh kembali apa yang diserahkannya.
b. Mr. J. A. Levy dalam Mariam Darus Badrulzaman, merumuskan arti hukum dari kredit adalah menyerahkan secara sukarela sejumlah uang untuk dipergunakan secara bebas oleh penerima kredit. Penerima kredit berhak menggunakan pinjaman itu untuk keuntungan dengan kewajiban mengembalikan jumlah pinjaman itu di belakang hari. c. M. Jakile dalam Mariam Darus Badrulzaman, mengemukakan bahwa kredit adalah suatu ukuran kemampuan dari seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang bernilai ekonomis sebagai ganti dari janjinya untuk membayar kembali hutangnya pada tanggal tertentu. Pasal 1, angka 11, UU No. 10/1998 tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 7 Tahun 1992, mendefinisikan kredit sebagai berikut: “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjammeminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak meminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”. 1.5.3. Pengertian Perjanjian Kredit
18
Mariam Darus Badrulzaman,Op.cit,hlm 21-22
23
Pasal 1313 KUH Perdata memberikan definisi perjanjian adalah suatu persetujuan, yaitu suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Demikian pula pengertian perjanjian kredit dirumuskan sebagai suatu persetujuan antara dua pihak, yaitu pihak pertama dan bank atau Kreditur untuk menyerahkan sejumlah uang kepada pihak kedua atau Debitur. Dan debitur diwajibkan untuk mengganti atau membayar kembali sejumlah uang yang telah diterimanya. Setelah jangka waktu tertentu dengan sejumlah bunga, imbalan atau pembagian keuntungan. Perjanjian tidak menetapkan kapan debitur harus memenuhi itu, maka untuk pemenuhan prestasi debitur harus tertulis dengan tegas di dalam perjanjian tersebut agar ia memenuhi kewajibannya.19 Salah satu dasar yang cukup jelas bagi bank mengenai keharusan adanya perjanjian kredit adalah bunyi Pasal 1, butir 11, UU No. 10/1998 Tentang Perubahan Atas UU No. 7/1992 Tentang Perbankan, dimana disebutkan bahwa kredit diberikan berdasarkan persetujuan atau kesepekatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain.20 Menurut Hasanuddin Rahman pengertian kredit sebagai berikut : Kredit dilihat dari sudut bahasa berarti kepercayaan, dalam arti bahwa apabila seseorang atau suatu badan usaha mendapatkan fasilitas kredit dari bank, maka orang
atau badan usaha telah
mendapat kepercayaan dari bank kredit. Credit berasal dari bahasa Yunani Credere yang berarti kepercayaan
dengan demikian seorang yang memperoleh kredit
pada dasarnya memperoleh kepercayaan.21 19
Riduan Syahrani,Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata,Bandung : Alumni,hlm 228 Hasanuddin Rahman,Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia,Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,1998,hlm 138. 21 Hasanudin Rahman, 1988, Aspek-aspek hukum Pemberian Kredit Perbankan , Citra Aditya Bhakti, Bandung, hlm 95 20
24
Dengan demikian kredit Bank merupakan kredit yang diberikan bank pada nasabahnya berdasarkan kepercayaan dengan menyerahkan sejumlak uang tertentu kepada debiturnya, untuk dipergunakan sesuai dengan tujuannya, dalam jangka waktu tertentu, dan dengan imbalan berupa bunga.. Berpijak pada hal tersebut, maka dapat diketahui bahwa unsur dalam kredit adalah sebagai berikut : adanya kepercayaan dari pemberi kredit bahwa prestasi yang diberikannya pada waktu tertentu akan diterima kembali, adanya jangka waktu tertentu antara pemberian kredit dengan pengembalian kredit tertentu, adanya prestasi tertentu dalam hal ini adalah uang.adanya resiko yang mungkin akan timbul dalam jangka waktu tertentu adanya suatu jaminan untuk menutup kemungkinan terjadi wanprestasi . adanya orang/badan yang memiliki uang, barang atau jasa, dan bersedia
untuk meminjamkannya kepada pihak lain. Biasanya
disebut kreditur, adanya orang /badan sebagai pihak yang memerlukan/meminjam uang,barang atau jasa. Biasanya disebut debitur. Untuk menghindari kredit bermasalah di kemudian hari, selain dari nilai agunan atau jaminan yang diberikan oleh debitur, maka sebelum memberikan persetujuan pemberian kredit pihak bank akan melakukan tahapan-tahapan penilaian yang berkaitan dengan pemberian kredit itu. Sutan Remy Syahdeni, mengemukakan ada 4 tahapan umum yang dilakukan sebelum pemberian kredit, yaitu : 22 1.
tahap sebelum pemberian kredit diputuskan oleh bank, yaitu tahap bank mempertimbangkan permohonan kredit calon nasabah debitur, yaitu tahap analisis pemberian kredit,
22
Talia Riantini, 2002, Pelaksanaan Perjanjian Kredit Pada BPR Mranggen Mitra Persada, tesis, UNDIP, Semarang, hlm 13
25
2.
tahap setelah kredit diputuskan pemberiannya dan penuangnya dalam perjanjian kredit, yaitu tahap pembuatan perjanjian kredit,
3.
tahap setelah perjanjian kredit ditandatangani oleh kedua belah pihak dan selama kredit itu digunakan oleh nasabah debitur sampai selama jangka waktu belum berakhir, yaitu tahap pengawasan dan pengamanan kredit,
4.
tahap setelah kredit menjadi tidak lancar, yaitu tahap penyelesaian kredit
Dalam tahap analisa , umumnya bank berpedoman pada formula 4P yaitu penilaian berdasarkan : b.
personality, penilaian berdasarkan data identitas/pribadi dari pemohon kredit,
c.
purpose, penilaian berdasarkan tujuan atau penggunaan kredit tersebut sesuai line of business kredit bank yang bersangkutan,
d.
prospect, penilaian berdasarkan bebtuk usaha yang akan dilakukan oleh pemohon kredit, apakah di masa depan akan cerah, baik ditinjau dari keadaan perkembangan ekonomi maupun kekuatan keuangannya,
e.
payment, penilaian untuk mengetahui kemampuan dari pemohon kredit untuk mengembalikan pinjaman ditinjau dari waktu pengembalian serta jumlah yang akan dikembalikan.
Selain itu penilaian analisa kredit dapat pula berpedoman pada formula 5C , yaitu penilaian berdasarkan pada : a.
character, penilaian untuk mengetahui tingkat kejujuran, integritas dan kemauan dari pemohon kredit untuk memenuhi kewajiban dan menjalankan usahanya,
b.
capacity, penilaian pada kemampuan pemohon kredit untuk mengendalikan
menguasai
bidang
usahanya
serta
kesungguhannya dan dapat melihat perspektif masa depan,
26
sehingga usahanya dapat berjalan dengan baik dan memperoleh keuntungan, c.
capital, penilaian pada permodalan pemohon kredit, yaitu distribusi modal yang ditempatkan oleh pemohon bersumber dari mana saja dan apakah telah efektif penempatannya,
d.
collateral; dalam perjanjian kredit jaminan adalah hal yang sangat penting, khususnya apabila debitur wanprestasi ,bank dapat segera melakukan eksekusi terhadap jaminan untuk mencegah timbulnya kerugian yang lebih besar dipihak bank
e.
conditional of economy adalah penilaian kondisi ekonomi secara umum atas sektor usaha dari pemohon kredit, sebagai akibat pengaruh sosial, poitik, dan ekonomi.
Pasal 1 butir 11 UU No. 10 tahun 1988 tentang Perubahan UU no 7 tahun 1992 tentangPerbankan mencantumkan pengertian kredit : “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan memberikan bunga. Dari pengertian kredit tersebut diatas dapat ditemukan empat unsur kredit yaitu23: kepercayaan di sini berarti bahwa setiap pelepasan kredit dilandasi dengan adanya keyakinan oleh bank bahwa kredit tersebut akan dapat dibayar kembali oleh debiturnya sesuai dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan. Waktu di sini berarti bahwa antara pelepasan kredit ileh bank dengan pembayaran kembali oleh debitur tidak dilakukan pada waktu yang bersamaan melainkan dipisahkan oleh waktu yang bersamaan, Resiko di sini berarti bahwa setiap pelepasan kredit jenis apapun akan terkandung resiko di dalamnya, yaitu resiko yang tergantung dalam jangka waktu antara pelepasan kredit dengan pembayaran kembali. Hal ini berarti semakin panjang jangka waktu kredit semakin tinggi resiko kredit tersebut, 23
Talia Riantini, ibid, hlm 97
27
Prestasi di sini berarti bahwa seriap kesepakatan
terjadi antara bank dan
debiturnya mengenai suatu pemberian kredit, maka pada saat itu pula akan terjadi suatu prestasi dan kontra prestasi.
1.5.4. Unsur-unsur Kredit Di dalam pemberian kredit oleh bank terdapat unsur kredit yang tercantum dalam perjanjian kredit tersebut, yaitu: 24 1. Adanya para pihak, yaitu Kreditur dan Debitur. 2. Adanya kepercayaan Kredit kepada Debitur. 3. Adanya janji atau kesanggupan membayar (mengganti) dari Debitur kepada Kreditur. 4. Adanya tenggang waktu, pada saat penyerahan yang oleh kreditur pada saat pembayaran kembali oleh Debitur. 5. Adanya resiko sebagai adanya tenggang waktu, karena terbayang adanya ketidakpastian untuk masa yang akan datang.
1.5.5. Hak dan Kewajiban Kreditur-Debitur Dalam Pasal 1759 KUH Perdata dinyatakan bahwa orang yang meminjamkan
tidak
dapat
meminta
kembali
apa
yang
telah
dipinjamkannya, sebelum lewat waktu yang telah ditentukan dalam persetujuan. Pasal 1760 KUH Perdata mengatakan bahwa jika tidak telah ditetapkan sesuatu waktu, hakim berkuasa, apabila orang yang meminjamkan menuntut pengembalian pinjaman, menuntut keadaan, memberikan sekedar kelonggaran kepada si peminjam. Menurut Asser dalam Mariam Darus Badrulzaman, bahwa ketentuan-ketentuan tersebut di atas sebenarnya hanya mengatur kewajiban pemberi pinjaman. Hak dan kewajiban yang timbul dari suatu perjanjian pinjam-meminjam uang (kredit), tidak harus dalam ketentuan Pasal 1754 KUH Perdata sampai Pasal 1769 KUH Perdata saja, melainkan menyangkut pula ketentuan hukum lainnya, seperti kebiasaan dan 24
Ibid,hlm 140.
28
kepatutan, karena salah satu asas perjanjian adalah asas kebebasan berkontrak.25 Menurut Pasal 1763 KUH Perdata, kewajiban peminjam (Debitur) adalah mengembalikan pinjaman (uang) kepada kreditur tepat pada waktu yang telah ditentukan. Hak dari kreditur adalah menerima pembayaran dari pihak Debitur, baik berupa pinjaman pokok maupun bunganya dari pinjaman yang telah diberikan kepada Debitur antara lain adalah menerima sejumlah uang dari Kreditur sebagai pinjaman (kredit) dan berhak menggunakan uang tersebut untuk mendapat keuntungan. 26
1.5.6 Bentuk Perjanjian Kredit di Bank Secara yuridis formal ada 2 (dua) jenis perjanjian kredit atau pengikatan kredit yang digunakan bank dalam melepas kreditnya, yaitu : 27 a. Akta / Perjanjian Kredit di Bawah Tangan Yang dimaksud dengan akta perjanjian kredit di bawah tangan adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat di antara mereka (kreditur dan debitur) tanpa notaris. b. Akta / Perjanjian Kredit Notariil (Otentik) Yang dimaksud dengan akta perjanjian kredit notariil (otentik) adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat oleh atau dihadapan notaris. Pada saat ini perjanjian di dalam perbankan cenderung terjadi bukan karena melalui proses perundingan yang seimbang diantara para pihak. Perjanjian ini dibuat dengan cara menyiapkan syarat-syarat baku dalam atau pada suatu formulir perjanjian yang sudah dicetak, kemudian disodorkan kepada pihak lainnya untuk melakukan
25
Mariam Darus Badrulzaman,Op.Cit,hlm 75. Mariam Darus Badrulzaman,ibid. 27 Hasanuddin Rahman, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan Indonesia , Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995, hlm. 152. 26
29
perundingan atas syarat-syarat yang disodorkan itu. Perjanjian yang demikianlah yang dinamakan perjanjian baku atau perjanjian standar.28 Perjanjian baku ialah perjanjian yang hampir seluruh klausulklausulnya sudah dibakukan oleh pemakainya (dalam transaksi perbankan adalah yang bersangkutan) dan pihak lain (dalam hal transaksi perbankan adalah nasabah dari bank tersebut) pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.Dengan kata lain,yang dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut,tetapi klausul-klausulnya.29
Menurut
CH Gatot Wardoyo ada beberapa klausul –klausul yang
perlu dicantumkan dalam perjanjian kredit bank , yaitu : 30. a. syarat– syarat penarikan kredit pertama kali (predisbursement clause). Klausula ini menyangkut : 1. pembayaran provisi, premi assuransi kredit dan assuransi barang jaminan serta biayapengikatan jaminan secara tunai, 2. penyerahan jaminan dan dokumennya serta pelaksanaan pengikatan barang jaminan tersebut, 3. pelaksanaan penutupan assuransi barang jaminan dan assuransi kredit dengan tujuan untuk memperkecil resiko yang terjadi di luar kesalahan debitur maupun kreditur 4. klausula
mengenai
maksimum
kredit
(amount
clause).
Klausula ini mempunyai arti penting dalam beberapa hal, yaitu : a. merupakan obyek dari perjanjian kredit sehingga perubahan kesepakatan
mengenai
materi
ini
menimbulkan
konsekuensi diperlukannya pembuatan perjanjian kredit baru.
28
Hasanuddin Rahman ,ibid,.hlm 31. Sutan Remy Sjahdeni,Op.Cit,hlm 51. 30 Rahmadi Usman, opcit . hlm 270 29
30
b. merupakan batas kewajiban pihak kreditur yang berupa penyediaan dana selama tenggang waktu perjanjian kredit, yang berarti pula batas hak debitur untuk melakukan penarikan pinjaman c. merupakan penetapan berapa besarnya nilai agunan yang harus diserahkan, dasar perhitungan penetapan besarnya provisi atau commitment fee d. merupakan batas dikenakannya denda kelebihan tarik ( over draft ) e. klausula mengenai jangka waktu kredit. Klausula ini penting dalam beberapa hal, yaitu :
merupakan batas batas waktu bagi bank kapan seharusnya menyediakan dana sebesar maksimum kredit berakhir dan sesudah dilewatinya jangka waktu ini sehingga menimbulkan hak tagih/pengembalian kredit dari nasabah
merupakan batas waktu kapan bank boleh melakukan teguran – teguran kepada debitur bila tidak memenuhi kewajiban tepat pada waktunya merupakan suatu masa yang tepat bagi bank untuk melakukan tinjauan atau analisis kembali apakah fasilitas kredit tersebut perlu diperpanjang atau perlu ditagih kembali.
f. klausula mengenai bunga pinjaman (interest clsuse). Klusula ini diatur secara
tegas dalam perjanjian kredit
bank dengan maksud untuk : g. memberikan kepastian hak bank untuk memungut bunga pinjaman dengan jumlah yang sudah disepakati bersama, karena bunga merupakan penghasilan bank baik secara langsung maupun tidak langsung akan diperhitungkan dengan biaya dana penyediaan fasilitas kredit tersebut.
31
h. Pengesahan pemungutan bunga diatas 6 % per tahun asalkan diperjanjikan secara tertulis i. klausula mengenai barang agunan kredit .
Klausula ini
bertujuan agar pihak debitur tidak melakukan penarikan atau penggantian barang jaminan secara sepihak, tetapi harus ada kesepakatan dengan pihak lain. j. klausula assuransi ( insurance clause ) Klausula ini bertujuan untuk pengalihan risiko yang mungkin terjadi, baik atas barang agunan maupun atas kreditnya sendiri. Adapun materinya perlu memuat mengenai maskapai asuransi yang ditunjuk, keharusan polis asuransi untu disimpan di bank dan sebagainya. k. klausula mengenai tindakan yang dilarang oleh bank ( negative clause ).
Klausula ini terdiri atas berbagai
macam hal yang mempunyai akibat yuridis dan ekonomi bagi pengamanan kepentingan bank sebagai tujuan utamanya l. Tigger clause atau opeisbaar clause, Klausula ini mengatur hak bank untuk mengakhiri perjanjian kredit secara sepihak walaupun jangka waktu perjanjian kredit tersebut belum berakhir m. klausula mengenai denda ( penalty clause ). Klausula ini dimaksudkan untuk
mempertegas hak hak bank untuk
melakukan pungutan baik mengenai besarnya maupun kondisinya n. .Expense clause, klausula ini mengatur mengenai beban biaya dan ongkos yang timbul sebagai akibat pemberian kredit, yang biasanya dibebankan kepada nasabah dan meliputi antara lain biaya pengikatan jaminan, pembuatan akta – akta perjanjian kredit, pengakuan utang,dan penagihan kredit.
32
o. Debet Autho Rization Clause, pendebetan rekening pinjaman debitur haruslah dengan ijin debitur p. Representation and warranties / material adverse change clause. Klausula ini dimaksudkan bahwa poihak debitur menjanjikan dan menjamin semua data dan informasi yang diberikan kepada bank adalah benar dan tidak diputar balikkan . q. klausula ketaatan pada ketentuan bank. Klausula ini dimaksudkan untuk menjaga kemungkinan bila terdapat hal – hal yang tidak diperjanjikan secara khusus tetapi terdapat dipandang perlu, maka sudah dianggap telah diperjanjikan secara umum. r. Miscellaneous / Boiler Plate Provision. Pasal – pasal tambahan s. Dispute Settlement ( Alternative Dispute Resolution ) t. Pasal –pasal Penutup Pasal penutup merupakan eksemplar perjanjian kredit yang maksudnya mengadakan pengaturan mengenai jumlah alat bukti dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kredit serta tanggal penandatanganan perjanjian kredit.
2.
Perlindungan Konsumen sebagai upaya perlindungan terhadap Debitur Nasabah Dalam sistem hukum perbankan Indonesia, pihak nasabah dibiarkan sendiri tanpa suatu perlindungan hukum yang pasti (predictable) dan pantas (reasonable). Karena itu salah satu masalah yang sering dikeluhkan terusmenerus adalah tidak adanya atau kurangnya perlindungan hukum terhadap nasabah jika berhubungan dengan bank. Hal ini dapat kita lihat dalam hal pembuatan perjanjian kredit antara nasabah (debitur) dengan pihak bank sebagai Kreditur. Perjanjian tersebut
33
biasanya sudah dalam bentuk formulir yang telah dibuat secara baku (standard) oleh pihak bank.31 Dalam perjanjian baku, yang dibakukan dalam formulir tersebut adalah klausul-klusulnya sehingga nasabah (debitur) pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. 32 Dengan melihat kenyatan bahwa bargaining position antara debitur dan kreditur, tidak seimbang dalam hal pembuatan perjanjian kredit, maka dengan munculnya UU No. 8/1999 Tentang Perlindungan Konsumen, setidaknya memberikan posisi yang seimbang antara Debitur dan Kreditur. Masalah perlindungan hukum bagi nasabah dalam pelaksanaan perjanjian Kredit dikaitkan dengan Undang-undang Perlindungan Konsumen, karena keberadaan nasabah dalam perjanjian kredit tersebut juga dapat disebut sebagai konsumen dari pihak bank. Selain itu, walaupun pengaturan tentang perbankan sudah diatur dalam UU No. 10/1998 Tentang Perubahan Atas UU No. 7/1992 Tentang Perbankan, tetap dirasakan masih belum cukup. Kekurangan tersebut terutama mengenai perlindungan hukum bagi nasabah dalam pembuatan perjanjian kredit yang menggunakan klausul-klausul yang sudah baku. Dengan melihat kenyatan tersebut, maka Undang-undang Tentang Perlindungan Konsumen merasakan perlunya pengaturan mengenai ketentuan perjanjian baku dan/ atau pencantuman klausul baku dalam setiap dokumen perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha.33 Pasal 1 angka 10, UU No. 8/1999 Tentang Perlindungan Konsumen, memberikan definisi klausula baku sebagai berikut: “Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”. Ketentuan mengenai klausula baku diatur dalam Bab V tentang Ketentuan Pencantuman Klausula Baku yang hanya terdiri dari satu pasal, yaitu Pasal 18. 31
Mariam Darus Badrulzaman,Op.Cit.hlm 31. Sutan Remy Sjahdeni,Loc.Cit 33 Gunawan Widjaja,Ahmad Yani,Hukum Tentang Perlindungan Konsumen,Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama,2000,hlm 54. 32
34
Pasal 18 tersebut secara prinsip mengatur dua macam larangan yang diberlakukan bagi para pelaku usaha yang membuat perjanjian yang dibuat olehnya. Pasal 18 ayat (1) mengatur larangan pencantuman klausul baku, dan Pasal 18 ayat (2) mengatur “bentuk” atau format, serta penulisan perjanjian baku yang dilarang Ketentuan Pasal 18 ayat (1) dikatakan bahwa para pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen. c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen. d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen. f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa. g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya. h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembenahan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
35
Selanjutnya, dalam Pasal 18 ayat (2) dijelaskan bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausul baku yang letak dan bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Sebagai konsekuensi atas pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 18, ayat (1) dan ayat (2) tersebut, Pasal 18 ayat (3) Undang-undang Tentang Perlindungan Konsumen menyatakan batal demi hukum setiap klausula baku yang telah tetapkan pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat(2) dinyatakan batal demi hukum. Atas kebatalan demi hukum dari klausula sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 ayat (3), pasal 18 ayat (4), Undang-undang Tentang Perlindungan Konsumen selanjutnya mewajibkan para pelaku usaha untuk menyesuaikan klausula
baku
yang
bertentangan
dengan
Undang-undang
Tentang
Perlindungan Konsumen ini. Sanksi yang diberikan apabila ada pelanggaran terhadap pasal 18 ayat (2) tentang perjanjian dalam kaitannya dengan klausula baku yang letak dan bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau pengungkapannya sulit dimengerti yaitu sanksi pidana. Hal ini diatur dalam pasal 62 ayat (1) UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan yang menjelaskan : “ Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, b, c, e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana dengan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000 (dua miliar rupiah) “ Pasal 63 menjelaskan lebih lanjut bahwa, terhadap sanksi pidana tersebut dapat dijatuhkan hukuman tambahan berupa : Perampasan barang tertentu. Pengumuman keputusan hakim. Pembayaran ganti rugi. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen.
36
Kewajiban penarikan barang dari peredaran. Pencabutan izin usaha. Selanjutnya, hal-hal yang berkenaan dengan perlindungan nasabah bank, diluar ketentuan tentang klausula baku, pengaturan lebih jelas terdapat dalam UU No. 10/1998 Tentang Perubahan atas UU No. 7/1992 Tentang Perbakan. Hal ini berhubungan dengan tanggung jawab bank terhadap nasabah. Dimana diatur dalam Pasal 8, Pasal 11, Pasal 29 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 37 B, dan Pasal 40, UU No. 10/1998. Hal ini diterangkan lebih lanjut dalam pembahasan mengenai tugas dan tanggung jawab bank. Tanggung jawab bank terhadap nasabah diatur dalam Pasal 8, Pasal 11, Pasal 29 ayat (3) dan ayat (4), pasal 37 B, dan Pasal 40. Dimana pasal 29 ayat (3) dan ayat (4) UU No. 10/1998 berbunyi sebagai berikut: (3) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang
tidak
merugikan
bank
dan
kepentingan
nasabah
yang
mempercayakan dananya kepada bank.” (4) Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank.”
Selanjutnya Pasal 37 B, UU No. 10/1998 berisi tentang: (1) Setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan. (2) Untuk menjamin simpanan masyarakat pada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan. (3) Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berbentuk Badan Hukum Indonesia. (4) Ketentuan mengenai penjaminan dana masyarakat dan Lembaga Penjaminan Simpanan, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
37
Penjaminan Simpanan, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Sedangkan Pasal 40 UU No. 10/1998 berisi tentang: (1) Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi pihak terafiliasi. Selanjutnya Pasal 8 UU No. 10/1998 berisi tentang: (1) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi hutangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. (2) Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 11 UU No. 7/1992 jo UU No. 10/1998, berisi tentang: (1) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penenmpatan investasi Surat Berharga, atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam atau sekelompok peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan. (2) Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh melebihi 30% (tiga puluh perseratus) dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syarih, pemberian jaminan,
38
penempatan Investasi Surat Berharga, atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada: a. b.
Pemegang saham yang memiliki 10% atau lebih dari modal disetor bank; Anggota dewan komisaris;
c.
Anggota direksi;
d.
Keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c;
e.
Pejabat bank lainnya;
f.
Perusahan-perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e.
(4) Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak boleh melebihi 10% dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, bank dilarang melampaui batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana diatur dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4). (5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) wajib dilaporkan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Peraturan Bank Indonesia nomor 7/7/PBI/2005 yang mengatur tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah merupakan
salah satu bentuk peningkatan
perlindungan nasabah dalam rangka menjamin hak-hak nasabah dalam berhubungan dengan bank. Bahwa pengaduan nasabah yang tidak segera ditindaklanjuti berpotensi meningkatkan risiko reputasi bagi bank dan dalam jangka panjang dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan. Pasal 2 PBI no. 7/7/ PBI/2005 berisi tentang :
39
(1) Bank wajib menyelesaikan setiap Pengaduan yang diajukan Nasabah
dan
atau Perwakilan Nasabah. (2) Untuk menyelesaikan Pengaduan, Bank wajib menetapkan kebijakan dan memiliki prosedur tertulis yang meliputi: a. penerimaan Pengaduan; b. penanganan dan penyelesaian Pengaduan; dan c. pemantauan penanganan dan penyelesaian Pengaduan.
Pasal 4 PBI no. 7/7/ PBI/2005 berisi tentang : (1) Bank wajib memiliki unit dan atau fungsi yang dibentuk secara khusus di setiap kantor bank untuk menangani dan menyelesaikan pengaduan yang diajukan oleh nasabah dan atau perwakilan nasabah. (2) Kewenangan unit dan atau fungsi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diatur dalam kebijakan dan prosedur penyelesaian pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
Pasal 6 PBI no. 7/7/ PBI/2005 berisi tentang : (1) Bank wajib menerima setiap Pengaduan yang diajukan oleh Nasabah dan atau Perwakilan Nasabah yang terkait dengan Transaksi Keuangan yang dilakukan oleh Nasabah. (2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis dan atau lisan. (3) Dalam hal Pengaduan dilakukan secara tertulis, maka Pengaduan tersebut wajib dilengkapi fotokopi identitas dan dokumen pendukung lainnya (4) Pengaduan yang dilakukan secara lisan wajib diselesaikan dalam waktu 2 (dua) hari kerja. (5) Dalam hal Pengaduan yang diajukan secara lisan tidak dapat diselesaikan oleh Bank dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bank wajib meminta Nasabah dan atau Perwakilan Nasabah untuk
40
mengajukan Pengaduan secara tertulis dengan dilengkapi dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Dalam Undang undang Nomor : 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), ditentukan istilah klausula baku yaitu dalam Pasal 1 angka 10 mendefinisikan : Klausula baku sebagai setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan /atau perjanjian yang mengikat dan wajib dinuhi oleh konsumen. Dalam Pasal 18 ayat (1) Huruf (a) UUPK menyatakan pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/ jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau
perjanjian
apabila
menyatakan
pengalihan
tanggungjawab,
selanjutnya dalam Pasal 18 Ayat (2) dipertegas bahwa klausula baku harus diletakkan pada tempat yang mudah terlihat dan dapat jelas dibaca dan mudah dimengerti, dan jika tidak dipenuhi maka klausula baku menjadi batal demi hukum. Melihat dari ketentuan Pasal 18 tersebut, maka pengertian klausula baku dengan klausula eksonerasi adalah tidak sama, di sini klausula baku adalah klausula yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha, tetapi isinya tidak boleh mengarah kepada klausula eksonerasi yang memberikan beban yang tidak imbang diantara para pihak dan cenderung merugikan fihak yang lemah Untuk menunjang perlindungan konsumen tersebut pada tanggal 20 Januari 2005 gubernur BI mengeluarkan Peraturan bank Indonesia No. 7 tahun 2005 Tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah. Yang dalam pasal 2 nya menyebutkan bahwa Bank wajib menyelesaikan setiap pengaduan yang diajukan nasabah atau perwakilan nasabah, dan pasal 4 nya menyebutkan bahwa: 1.
Bank wajib memiliki unit dan atau fungsi yang dibentuk secara khusus di setiap kantor bank untuk menangani dan menyelesaikan pengaduan yang diajukan oleh nasabah dan atau perwakilan nasabah.
41
2.
Di samping itu juga menurut Pasal 5 nya menyebutkan bahwa : Bank wajib mempublikasikan keberadaan unit dan atau fungsi khusus penanganan dan penyelesaian pengaduan kepada masyarakat secara tertulis dan atau elektronis.Dalam prakteknya hingga saat ini bank-bank belum membentuk unit fungsi khusus tersebut
III. TUJUAN PENELITIAN Mengacu pada permasalahan penelitian yang telah dirumuskan dalam bab sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui perjanjian kredit
bank sesuai atau tidak dengan syarat sah
perjanjian, 2. Untuk mengetahui penerapan asas konsensual yang berimbang dalam perjanjian bisa telah ditegakkan pada waktu pembuatan perjanjian perjanjian itu telah dibuat oleh salah satu pihak secara baku, 3. Untuk mengetahui kepentingan nasabah debitur dapat terlindungi secara proporsional dalam perjanjian kredit yang telah dibuat secara baku oleh salah satu pihak,
MANFAAT PENELITIAN Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat baik secara akademis maupun praktis sebagai berikut : 1.
Manfaat akademis: a.Menambah khasanah perbendaharaan kepustakaan mengenai perjanjian kredit , b.Sebagai bahan dasar untuk penelitian lebih lanjut mengenai kredit. Manfaat Praktis:
42
perjanjian
Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai alternatif bahan masukan (input) dalam penyusunan kebijakan mengenai perjanjian kredit dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen
IV. METODE PENELITIAN.
Metode Penelitian 1.
Metode Pendekatan Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan secara yuridis normative. Pendekatan normative untuk mengkaji dokumen-dokumen perjanjian yang berbentuk baku dengan menggunakan tolok ukur ketentuan sarat sah perjanjian, asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, maupun asas itikad baik dan kepatutan, dan Undang-undang Perlindungan Konsumen yang dapat disimpulkan dari pasal-pasal dalam perjanjian kredit tersebut.
2.
Spesifikasi Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analitis artinya hasil penelitian ini berusaha memberikan gambaran secara menyeluruh, mendalam tentang suatu keadaan atau gejala yang diteliti. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder Data sekunder. Adalah data ini merupakan hasil olahan/tulisan/penelitian pihak lain. Dalam penelitan ini data sekunder berupa dokumen –dokumen perjanjian , peraturan-peraturan hukum yang terkait , tulisan ilmiah /hasil-hasil penelitian, dll . Data sekunder dibidang hukum dibedakan menjadi tiga Bahan-bahan hukum primer : Adalah Produk-produk hukum yang mengikat warganegara
43
1. Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan 2. Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan 3. Undang-undang Nomor
8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen 4. Kitab Undang undang Hukum Perdata
Bahan-bahan hukum sekunder Adalah bahan –bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu memahami atau menganalisis bahan hukum primer, adapun bentuknya : (1) Buku-buku ilmiah
yang membahas hukum perjanjian dan perlindungan
konsumen, (2) Hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan hukum perjanjian dan perlindungan konsumen, dan (3) Berbagai makalah , hasil seminar, majalah, surat kabar dan jurnal ilmiah yang berkaitan dengan hukum perjanjian dan perlindungan konsumen. Bahan Hukum Tersier Adalah bahan hukum yang memberikan informasi mengenai bahan hukum primer maupun sekunder, Kamus hukum, ensiklopedi .
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan datayang digunakan untuk memperoleh data sekunder adalah dengan cara studi kepustakaan, kajian dokumen, dan
hasil hasil
penelitian yang terkait. Analisis Data Metode yang digunakan adalah metode analisa deskriptif dengan
teknik
deduksi, hal ini dilakukan terhadap data yang sifatnya data sekunder yang diperloleh melalui kajian kepustakaan. Teknik induksi digunakan untuk
44
menganalisis data primer maupun data sekunder yang berbentuk dokumen perjanjian. Data yang telah diperoleh kemudian dikumpulkan yang selanjutnya diolah dan dianalisis dengan menggunakan teknik editing yaitu memeriksa data yang telah diperoleh untuk menjamin apakah
dapat
dipertanggung jawabkan. Hasil editting kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan teori dan konsep yang hasilnya dideskripsikan secara kualitatif kemudian diambil suatu kesimpulan V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN A.1. GAMBARAN UMUM BANK JATENG A.1. .1. Sejarah Singkat Bank Jateng Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah adalah Bank milik Pemerintah Provinsi Jawa Tengah bersama-sama dengan Pemerintah Kota/Kabupaten Se-Jawa Tengah. Bank Jateng pada awalnya beroperasi pada tahun 1963 menempati Gedung Bapindo Jl. Pahlawan No.3 Semarang. Tujuan pendirian bank adalah untuk mengelola keuangan daerah yaitu sebagai pemegang kas daerah dan membantu meningkatkan ekonomi daerah dengan memberikan kredit kepada pengusaha kecil. Persiapan pendirian bank dilakukan oleh Drs. Harsono Sandjoyo yang kemudian menjadi Direktur Utama Pertama Bank Jateng, dibantu Drs. Mud Sukasan. 34 Rekruitmen karyawan pertama berjumlah 13 orang untuk on the job training di Kantor Bank Indonesia Semarang. Modal disetor pada awal pendirian bank sebesar Rp 20 juta yang terdiri dari Daerah Swatantra Tk. I sebesar Rp 9,2 juta, 34 Daerah Swatantra Tk. II sebesar Rp 6,8 juta, dan Hadi Soejanto sebesar Rp 4 juta.35
34
Bank Jateng,Profil Bank Jateng Tahun 2006, hlm 2.dalam Catur Irianto N, Skripsi, FH Undip, 2007. : Perlindungan Hukum bagi Nasabah dalam pelaksanaan Perjanjian Kredit pada Bank BPD cabang Pati
35
Ibid.
45
Seiring dengan berjalannya waktu, Bank Jateng terus berkembang hingga memiliki kantor cabang di seluruh kabupaten/kota di Jawa Tengah. Dan setelah berpindah-pindah lokasi, sejak tahun 1993 Kantor Pusat Bank Jateng menempati Gedung Grinatha Jl. Pemuda 142 Semarang. Serangkaian peraturan dan perundang-undangan yang berkaitan dengan pendirian dan status Bank antara lain terdiri dari :36 (4) Peraturan Daerah Tingkat I Jawa Tengah No. 6 Tahun 1963 sebagai landasan hukum pendirian bank. (5) Surat Persetujuan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah No. DU 57/1/35 tanggal 13 Maret 1963 dan ijin usaha dari Menteri Urusan Bank Sentral No. 4/Kep/MUBS/63 tanggal 14 Maret 1963 sebagai landasan operasional. (6) Undang-undang No. 14 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan sebagai dasar penyempurnaan Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah No. 3 tahun 1969 yang menetapkan bahwa bank adalah milik Pemerintah Daerah (BUMD). (7) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 25/34/DIR tanggal 1 Juli 1992 adalah penetapan status Bank sebagai Bank Devisa. (8) Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah No. 1 tahun 1993 tentang perubahan bentuk hukum Bank menjadi Perusahaan Daerah dengan mengacu pada Undang-undang No. 7 tahun 1992 sebagai pengganti Undang-undang No.14 tahun 1967. (9) Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah No. 6 tahun 1998 dan akte pendirian Perseroan Terbatas No. 1 tanggal 1 Mei 1999 serta pengesahan berdasarkan 36
Ibid, hlm 3.
46
Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. C2.8223.HT.01.01 tahun 1999 tanggal 5 Mei 1999, bentuk hukum Bank BPD Jateng berubah dari Perusahaan Daerah (Perusda) menjadi Perseroan Terbatas (PT). (10) Dengan telah ditandatanganinya perjanjian Rekapilitasi tanggal 7 Mei 1999 maka PT. Bank BPD Jateng telah sah mengikuti Program Rekapitalisasi Perbankan. (11) Pada tanggal 7 Mei 2005 Bank BPD Jateng telah menyelesaikan program rekapitalisasi tahap II, disertai pembelian kembali kepemilikan saham yang dimiliki pemerintah pusat oleh Pemerintah Tingkat I dan Tingkat II se Jawa Tengah. Seiring dengan terus berkembangnya perusahaan dan untuk lebih menampilkan citra positif perusahaan terutama setelah lepas dari program rekapitalisasi, maka manajemen Bank Jateng berkeinginan untuk mengubah logo dan call name perusahaan yang merepresentasikan wajah baru Bank Jateng. Berdasarkan Akta Perubahan Anggaran Dasar No. 68 tanggal 7 Mei 2005 Notaris Prof. DR. Liliana Tedjosaputro dan Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. C. 17331.HT.01.04.TH.2005 tanggal 22 Juni 2005 maka nama sebutan (call name) Bank BPD Jateng berubah menjadi Bank Jateng.Pada waktu sekarang ini Bank Jateng telah mempunyai kantor cabang yang tersebar di seluruh Jawa Tengah.
A.2. Bidang Usaha Bank Jateng Bank Jateng sebagai lembaga jasa keuangan telah menyelenggarakan usahausaha sebagai berikut:37
37
Ibid, hlm 7.
47
1. Menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan yang berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, dan tabungan. 2. Menerbitkan surat pengakuan hutang. 3. Membeli, menjual atau menjamin atas resiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabah. 4. Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah. 5. Menempatkan dana pada, meminjam dan dari atau meminjamkan dana kepada bank lain. 6. Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga atau melakukan perhitungan dengan atau antara pihak ketiga. 7. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga. 8. Melakukan kegiatan penitipan atau kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak. 9. Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek. 10. Membeli melalui pelelangan agunan baik semua maupun sebagian dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya. 11. Melakukan kegiatan dalam valuta asing 12. Sebagai pengelola dana pensiun. 13. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. A.3. Perjanjian Kredit dan syarat-syarat Pengajuan Kredit A.3.1. Formulir Perjanjian Kredit PT. BANK PEMBANGUNAN DAERAH JAWA TENGAH CABANG :
PERJANJIAN KREDIT Nomor : Pada hari ini, …………………….tanggal ………………….tahun……………………… Yang bertanda tangan di bawah ini : 1. PT. Bank Pembangunan Daerah Cabang ...................................dalam hal ini diwakili oleh : ................... Jabatan :............................. Dalam hal ini bertindak dalam jabatannya tersebut di atas berdasarkan
48
2. Nama
............................................................................................................... ... Untuk dan atas nama PT. Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah berkedudukan di ...................untuk selanjutnya disebut sebagai BANK : Alamat : Pekerjaan : Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama .................................... Sebagai peminjam yang selanjutnya disebut PEMINJAM Bahwa antara pihak telah terdapat kesepakatan untuk mengikatkan diri dalam perjanjian yang dibuat dalam perjanjian kredit ini, dengan syarat – syarat dan ketentuan – ketentuan berikut : BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Terhadap perjanjian kredit ini berlaku peraturan umum pemberian kredit PT. Bank Pembangunan Daerah Jawa tengah yang isinya telah disetujui sepenuhnya oleh peminjam dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian ini. BAB II PLAFOND Dan PENGGUNAAN KREDIT Pasal 2 BANK dengan ini memberi kredit kepada PEMINJAM dalam bentuk .................... Maksimum sebesar Rp. ................................. (..........................................................) Untuk keperluan .........................................................................................
Pasal 3 Kredit yang diberikan BANK sebagaimana tersebut dalam pasal 2 diatas oleh PEMINJAM akan dipergunakan untuk keperluan ………………………………..sesuai dengan rencana yang telah disetujui oleh BANK.
49
BAB III SUKU BUNGA Dan PROPISI Pasal 5 1. Terhadap kredit yang diberikan oleh BANK kepada PEMINJAM dikenakan bunga sebesar .................% (........................................perseratus) setahun, yang selanjutnya harus dibayar setiap ...........................oleh PEMINJAM kepada BANK pada setiap tanggal ........................ 2. Besarnya suku bunga tersebut sewaktu – waktu dapat berubah sesuai dengan keadaan tingkat suku bunga pasar yang berlaku PEMINJAM setuju bahwa besarnya suku bunga baru ditentukan oleh BANK, dan atas perubahan suku bunga tersebut akan disampaikan kepada PEMINJAM dalam bentuk surat pemberitahuan. 3. Terhadap kredit yang diberikan BANK kepada PEMINJAM dikenakan propisi sebesar .........................%
(..................perseratus) untuk jangka waktu
..................(.........) tahun.
50
BAB IV BARANG JAMINAN DAN PENGIKATAN JAMINAN Pasal 6 1. Untuk menjamin pelunasan pembayaran kredit sesuai dengan ketentuan perjanjian ini, maka PEMINJAM telah menyerahkan barang – barang berupa : 2. Atas barang – barang tersebut ayat (1) diatas selanjutnya oleh BANK dilakukan pengikatan dangan hak tanggungan fidusia dan Gadai atau hak – hak lainnya sesuai ketentuan yang berlaku. 3. Biaya pengikatan barang jaminan akan ditanggung oleh PEMINJAM pada saat dilaksanakan pengikatan barang jaminan oleh Pejabat yang berwenang. 4. PEMINJAM tidak diperbolehkan menjual jaminan dan asetnya baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari guna pelunasan kredit (pasal 1131 KUH Perdata). 5. PEMINJAM tidak diperbolehkan mengajukan hutang kepada pihak lain, tanpa seijin BANK.
BAB V JANGKA WAKTU PEMBAYARAN DAN KUASA MENJUAL Pasal 7 1. Pembayaran kembali atasfasilitas kredit yang diberikan oleh BANK tersebut pasal 2 di atas akan dilakukan PEMINJAM dalam jangka waktu ..........................................(...........................................)bulan terhitung mulai tanggal........................sampai dengan tanggal.................................................. 2. Kredit tersebut di atas harus sudah dibayar kembali secara keseluruhannya, baik pokok, bunga maupun ongkos – ongkos lainnya yang timbul karena perjanjian kredit ini selambat –lambatnya tanggal...............................dengan ketentuan bahwa pembayaran dilakukan dengan cara..........................pada setiap tanggal ......................sampai kredit tersebut lunas. 3. Semua pembayaran oleh PEMINJAM kepada BANK dalam pelaksanaan perjanjian kredit ini dilakukan di kantor BANK dengan mendapatkan kuitansi pembayaran sebagai bukti yang sah. Pasal 8
51
Bahwa PEMINJAM akan melindungi kekayaan perusahaan dan pribadi dan atau aset yang dijadikan jaminan / guna BANK tersebut untuk tidak dijuan kepada pihak lain dengan maksud untuk menjamin pembayaran kembali apabila PEMINJAM mengalami kesulitan untuk membayar kembali hutang – hutangnya. Pasal 9 KUASA MENJUAL 3. Apabila PEMINJAM tidak membayar kredit kepada BANK sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan, maka BANK berhak menjual jaminan / agunan yang berupa tanah / bangunan atau benda lainnya secara di bawah tangan atau dihadapan umum (secara lelang) dengan harga yang ditetapkan oleh BANK. 2. Hasil penjualan tanah / bangunan atau benda lainnya tersebut dipergunakan untuk melunasi kredit PEMINJAM kepada BANK. 3. BANK dapat membeli sebagian atau seluruh jaminan / agunan, baik melalui pelelangan maupun diluar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik jaminan / agunan atau berdasarkan kuasa menjiual di luar lelang dari pemilik jaminan / agunan dalam hal PEMINJAM tidak memenuhi kewajibannya kepada BANK 4. Apabila hasil penjualan tanah /. Bangunan atau benda lainnya trsebut ayat (1) pasal ini melebihi kredit PEMINJAM kepada BANK maka kelebihan tersebut akan dikembalikan kepada PEMINJAM. 5. Apabila hasil penjualan tanah / bangunan atau benda lainnya tersebut tidak cukup untuk membayar lunas kredit PEMINJAM kepada BANK, maka PEMINJAM tetap bertanggung jawab dan wajib membayar sisa hutang pokok dan atau bunga dan biaya lainnya.
BAB VI DENDA Pasal 10 Apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan, PEMINJAM menunggak dalam kewajiban angsuran pokok dan bunga dan atau tidak melunasi kredit, maka PEMINJAM diwajibkan membayar biaya tambahan (denda) atas sejumlah pinjaman pokok dan bunga tunggakannya sebesar .........................% (.....................................perseratus) untuk setiap bulannya. BAB VII HAK MENGAKHIRI PERJANJIAN Pasal 11
52
BANK berhak untuk mengakhiri perjanjian kredit ini secara sepihak dan menagih jumlah kredit yang telah diambil berikut pokok, bunga, denda serta biaya – biaya lain dengan seketika dan tunai apabila menurut pertimbangan BANK, PEMINJAM tidak memenuhi kewajiban pembayaran pinjamannya, baik pokok, bunga denda sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian ini. BAB VIII LAIN – LAIN Pasal 12 Hal lain yang belum diatur apabila terdapat perubahan atas pasal – pasal perjanjian ini, pelaksanaannya akan diatur berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak yang dituangkan dalam perjanjian tambahan (adendum). Pasal 14 Dengan persetujuan kedua belah pihak syarat – syarat yang telah ditetapkan dalam perjanjian kredit ini dapat diubah kecuali Hak Mengakhiri Perjanjian sebagaimana tersebut dalam pasal 12 Perjanjian Kredit ini Demikian Perjanjian Kredit ini dibuat di ………………….dan ditanda tangani oleh Kedua belah pihak pada tanggal tersebut di atas dalam rangkap 2 (dua ) di atas materai secukupnya dan masing – masing mempunyai kekuatan pembuktian yang sama.
PEMINJAM
PT.BANK PEMBANGUNAN DAERAH JAWA TENGAH Cabang ………………………………….
…..................................................
Saksi – saksi ………………………………… ………………………………….
A.3.2. Persyaratan Pengajuan Kredit Pengisi Formulir Permohonan Kredit Secara Lengkap Wajib Melampirkan Copy KTP+Pas foto pemohon dan Suami / Istri terbaru (1 lembar) Copy SK Calon Pegawai, SK Pegawai Tetap, SK Kenaikan Golongan Copy Karpeg, Taspen, Jamsostek, Dana Pensiun
53
Copy Kartu Keluarga, Surat Nikah/Cerai Daftar Rincian Gaji Pemohon dan Suami/Istri Surat Rekomendasi/Persetujuan Pimpinan Surat Keterangan dari Dinas/Instansi Surat Pernyataan tidak/sedang menikmati fasilitas kredit Tembusan Surat Perintah Potong Gaji Surat Kuasa Potong Gaji KETENTUAN PENCARIAN KREDIT Menyerahkan: Asli SK, Karpeg, Taspen, Jamsostek, Kartu Dana Pensiun, DPLK Materai tempel Rp 6000,- 3 Lembar
Suami/Istri pemohon WAJIB ikut tanda tangan Perjanjian Kredit Mempunyai Rekening Tabungan Bima/Simpeda di Cab.Utama
FORMULIR PERMOHONAN KREDIT DATA PRIBADI PEMOHON Nama Lengkap Tempat/Tanggal Lahir Usia: tahun bulan, orang Nomor KTP/Paspor:
Jumlah anak:
Alamat Tinggal Kecamatan Status Tempat Tinggal
Pribadi
Keluarga
Sewa
Dinas
Ditempati Sejak: Th. No Telepon:
No. HP:
54
No. NPWP:
Pendidikan terakhir
tanpa Gelar
D1
D2 D3
S1
S2
S3
Jurusan ........................ Untuk keprluan mendadak hubungi (keluarga dekat tidak serumah) Nama:
Hubungan:
Alamat:
Telepon:
HP:
PERMOHONAN KREDIT Jml. Permohonan Kredit: Rp
Jangka Waktu: ...................... Bulan (........... tahun)
Sifat pengajuan :
Baru
Objek Pembiayaan :
Peningkatan
Rumah
Take Over dari Bank
Perabot Rumah
Kendaraan
Lainnya .............. Penggunaan (jelaskan):
Lokasi Objek Kredit:
DATA PEKERJAAN Instansi/Perusahaan:
Lama bekerja:
Tahun :
Bulan Bidang Usaha:
Pangkat/Golongan:
Alamat:
NIP/No. Pegawai:
Kota:
Kode Pos:
Telp Kantor:
Pesawat:
Jabatan: Pelaksana/Staf/Kasi/Kabag/ Nama Atasan Langsung:
DATA ISTRI/SUAMI Nama Istri/Suami Nomor KTP/Paspor
Tempat /Tanggal lahir: :
Jenis Pekerjaan Profesi
Berlaku sampai dengan : PNS
BUMN/BUMD
Swasta
Lainnya
Nama Perusahaan:
Bidang Usaha:
Nulai bekerja sejak:
Jabatan:
Alamat Kantor:
No Telepon:
DATA PENGHASILAN Penghasilan bersih/ bl Pemohon : Rp
Biaya hidup/ bl Pemohon: Rp
Penghasilan bersih/ bl Istri/Suami : Rp
Angsuran Pinjaman lain/ bl: Rp
55
Penghasilan tambahan (jika ada) : Rp
Sisa Penghasilan/ bl : Rp
DATA PINJAMAN / KREDIT LAIN Bank
Jenis Pinjaman
Jumlah pinjaman
Sisa Pinjaman
Jatuh Tempo
Keterangan
DATA SIMPANAN DI BANK JATENG Jenis simpanan Tabungan
Nasabah sejak: Th. Debitur sejak Th.
Deposito
Giro No Rekening:
Saldo Per Tgl:
Rp
DATA JAMINAN TAMBAHAN SHM No. SHGB No. Lainnya: ............................. Nama Pemilik
BPKB No. Lokasi Jaminan:
Hubungan dg Pemohon Telepon:
HP
Nilai Jaminan : Rp
TANDA TANGAN TANDA TANGAN Pemohon
Istri/Suami
Foto Pemohon
56
Foto Istri/Suami
Disposisi
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan dibawah ini: Nama
:
Alamat
:
Pekerjaan
:
Jabatan
:
Dengan ini menyatakan yang sebenarnya bahwa: Saat ini sedang / tidak sedang menikmati fasilitas kredit di PT. Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah yang terdiri dari:
Jenis Kredit
Planfond
Saldo Debet
Bank Jateng Kompensir Cabang/Capem Ya/Tidak
Demikian pernyataan ini dibuat untuk dipergunakan seperlunya Semarang, ..................................... Yang menyatakan
Materai Rp 6000,-
( .................................................. )
57
SURAT PERINTAH
Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
:
N. I. P. / N. I. K.
:
Pangkat/Gol./Ruang
:
Jabatan / Bagian
:
Alamat
:
Dengan ini memberi perintah kepada bendahara / juru bayar gaji Dinas / Instansi / ................................................................................................................................... Untuk memotong gaji kami tiap-tiap bulan yang kami terima sebesar: Rp ................................... (................................................................... ) Untuk membayar angsuran pinjama kredit PLO setiap bulan kepada Bank Jateng cabang Utama, sampai ada pemberitahuan dari Bank Jateng Cabang Utama Semarang, bahwa pinjaman kredit PLO tersebut lunas. Demikian untuk menjadikan maklum dan untuk dilaksanakan. Semarang, .................................... Mengetahui dan bersedia melaksanakan Bendaharawan/Juru Bayar ....................................... (.....................................) (........................................................) Tembusan disampaikan kepada: 6. Bank Jateng Cabang Utama Semarang
58
Yang memberi Perintah
SURAT KUASA Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Jabatan/Instansi/Perusahaan : Alamat tempat tinggal : Untuk selanjutnya disebut Pemberi Kuasa: Dengan ini memberi Kuasa sepenuhnya kepada: Nama : Jabatan : Bendahara Gaji .............................................................................................. Berdasarkan SK . No ...................................................................................... Alamat : ....................................................................................................................... Untuk selanjutnya disebut Penerima Kuasa
KHUSUS Untuk dan atas nama Pemberi Kuasa untuk memotong gaji milik Pemberi Kuasa guna pebayaran angsuran kredit di Bank Pembangunan Jateng Cabang Utara berdaarkan perjanjian kredit No. ..................../PK/................BPD/PL/................../2008 tangal ..................................2008 sebesar Rp................................. (..................................................................................................) setiap bulan, dan dimulai pada bulan ................................... 2008 sampai dengan kredit tersebut lunas. Demikian Surat Kuasa ini dibuat untuk dapat dipergunakan sebagai mana mestinya. Semarang, ....................................... Yang menerima Kuasa Pemberi Kuasa Materai Rp 6000,Mengetahui PT BANK PEMBANGUNAN DAERAH Dinas/Instansi/Kabag JAWA TENGAH Cabang Utama
Kepala
(.....................................................)
(.............................................)
59
PEMBAHASAN KREDIT PERSONAL LOAN (PLO) Kepada Yth. Perihal
: Pemimpin Cabang Utama/Pemimpin Bidang : Permohonan Persetujuan Kredit
7. DATA UMUM PEMOHON Nama Pemohon : Tempat, Tanggal Lahir Kewarganegaraan Alamat Pekerjaan/Instansi NIP/Nomor Pegawai Nama Gadis Ibu Kandung Usaha diluar Instansi Klasifikasi usaha Pejerjaan Istri/Suami NPWP (plafond> 100 jt) Hubungan dengan Bank Nasabah Baru} Kredit yang sedang dinikmati Bank/BPK
Jenis Krdeit
: : : : : : : : : PNS/Karyawan/Wiraswasta/Profesi: : : { 1= Nasabah Lama 2= :
{ 1= Ada
Plafond
Saldo Debet
2= Tidak Ada}
Penggunaan
Kualitas
Total ASPEK KEUANGAN Data Aset dan Hutang yang dimiliki saat ini ASET Kas/Bank
Jumlah (Rp. )
HUTANG Kewajiban Jk. Pendek Kewajiban Jk. Panjang
Tanah/Bangunan Kendaraan Aktiva Lain Jumlah Aset
Jumlah Kewajiban
60
Jumlah (Rp. )
DATA PENDAPATAN DAN PENGELUARAN PER BULAN:
8. Penghasilan bersih yang diterima pemohon
:Rp
...................................... 9. Penghasilan Istri/Suani Pemohon :Rp....................................... 10. Pendapatan lain (yang dapat diverifikasi) :Rp....................................... Total pendapatan per bulan :Rp....................................... Pengeluara per bulan Angsuran kewaiban per bulan Total pengeluaran per bulan ...................................... Sisa pendapatan per Bulan ......................................
61
Rp ................................... Rp ................................... Rp Rp
Pembahasan hasil Penelitian a. Apakah dalam perjanjian kredit bank sudah memenuhi syarat –syarat sahnya perjanjian sesuai Pasal 1320 KUHPerdata ? Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Selain perjanjian, perikatan juga lahir dari undang-undang. Jadi ada perikatan yang lahir dari perjanjian dan ada perikatan yang lahir karena undang-undang.38 Dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata disebutkan syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu : a. Sepakat mereka yang telah mengikatkan diri b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian c. Mengenai suatu hal tertentu d. Suatu sebab yang halal Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata; Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata menentukan bahwa syarat syahnya perjanjian (yang pertama) adalah adanya “Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya” atau adanya kesepakatan (konsensus) antara para pihak. Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Jadi, yang sesuai adalah pernyataannya karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui oleh orang lain.39 Ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk membuat perjanjian (kontrak) dibatasi oleh sepakat pihak lainnya. Dengan kata lain, asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh kesepakatan para pihak. 40 Oleh karena itu, kebebasan berkontrak suatu pihak menjadi tidak mutlak. Hasil penelitian terhadap data sekunder, yang berupa Formulir permohonan kredit; persyaratan mengajukan kredit pegawai; ketentuan pencairan 38.
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 2001, hlm. 3) Salim H.S, Hukum Kontrak: teori dan teknik penyusunan kontrak, Sinar Grafika, Jakarta,2003, hlm. 33 40 Hasanuddin Rahman, Loc cit, hlm.16 39
62
kredit; rekomendasi/persetujuan atasan, surat keterangan; surat pernyataan; surat perintah pemotongan gaji; surat kuasa pemotongan gaji; dan dari formulir perjanjian kredit, maka ditinjau dari aspek kesepakatan (Pasal 1320 angka 1 KUH Perdata ) unsur kesepakatan dalam perjanjian kredit ini terjadi tetapi “semu”. Para calon nasabah hanya bisa menerima seluruh persyaratan perjanjian yang telah ditetapkan secara sepihak atau menolak (take it or leave it) . Bukti adanya kesepakatan itu dengan ditandatanganinya perjanjian kredit itu oleh calon nasabah peminjam. Sehubungan dengan penetapan isi secara sepihak, Sluyter dalam Hasanuddin Rahman mengatakan bahwa secara materiil, perjanjian ini melahirkan “legio particuliere wetgevers” (pembentuk undang-undang swasta). Dalam pada itu, Stein dalam Hasanuddin Rahman mengemukakan pula bahwa dasar berlakunya perjanjian ini adalah berdasarkan fiksi hukum (de fictie van will vertrouwen).41 Secara formil debitur menyetujuinya, namun secara materiil debitur "terpaksa" menerimanya. Adanya persesuaian kehendak adalah fiktif.
Pasal 1320 angka 2 KUH Perdata; Pasal 1320 angka 2 KUH Perdata menyatakan bahwa syarat sah suatu perjanjian adalah kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Berdasarkan Pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa kebebasan seseorang untuk membuat suatu perjanjian dibatasi oleh kecakapannya untuk membuat suatu perikatan. Bagi seseorang yang menurut ketentuan undang-undang tidak cakap untuk membuat perjanjian, sama sekali tidak mempunyai kebebasan untuk membuat perjanjian. 42 Didalam suatu kontrak pihak-pihak atau subjek-subjeknya dapat berupa orang atau badan hukum. Subjek tersebut harus mampu atau berwenang melakukan perbuatan hukum seperti yang ditetapkan oleh UU. Subjek yang berbentuk badan hukum dalam bertindak harus mewakili badan hukum yang bersangkutan. Sedangkan subjek yang berupa manusia atau orang pribadi harus
41 42
Hasanudduin Rahman, Loc cit, hlm 196 Hasanuddin Rahman, Loc cit, hlm.16
63
memnuhi syarat-syarat umum untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum sehingga sah menurut hukum. Adapun syarat-syaratnya adalah sebagai berikut : a. Harus sudah dewasa b. Tidak dibawah pengampuan, tidak sakit ingatan dan sebagainya c. Tidak dilarang oleh peraturan atau UU yang berlaku Menurut hukum nasional Indonesia saat ini, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor: 3/1963 yang ditujukan kepada ketua pengadilan di seluruh Indonesia, kedudukan wanita yang telah bersuami sudah dinyatakan cakap melakukan perbuatan hukum dan menghadap di depan pengadilan tanpa perlu ijin dari suaminya. Perbuatan hukum yang dilakukan oleh wanita yang telah bersuami tersebut sah menurut hukum dan tidak dapat dimintakan pembatalan kepada hakim.43 Apabila terjadi salah satu pihak tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian, maka perjanjian akan cacat, oleh karena itu dapat dibatalkan oleh hakim atas permintaan yang tidak cakap. Jadi pembatalannya hanya dapat dimintakan oleh pihak yang tidak cakap dan bukan sebaliknya oleh pihak lawannya dalam perjanjian. Hal ini bertujuan untuk melindungi pihak yang tidak cakap tersebut, karena dikhawatirkan mereka akan terperangkap oleh karena adanya kekhilafan atau adanya penipuan yang dilakukan oleh pihak lainnya. Dengan demikian pelaksanaan kontrak semacam ini tergantung kemauan dari pihak yang tidak cakap bertindak dalam hukum tersebut. Yang dapat memintakan pembatalan tersebut adalah orang tua atau wali atau pengampuannya dari pihak yang tidak cakap tersebut. Berdasarkan persyaratan yang telah ditetapkan dalam perjanjian kredit, maka dapat diketahui bahwa pengisi Formulir Permohonan Kredit Secara Lengkap Wajib Melampirkan : Copy KTP+Pas foto pemohon dan Suami / Istri terbaru (1 lembar); Copy SK Calon Pegawai, SK Pegawai Tetap, SK Kenaikan Golongan; Copy Karpeg, Taspen, Jamsostek, Dana Pensiun; Copy Kartu Keluarga, Surat Nikah/Cerai; Daftar Rincian Gaji Pemohon dan Suami/Istri; Surat 43
Abdulkadir Muhammad, Loc cit, hlm 92
64
Rekomendasi/Persetujuan Pimpinan Surat Keterangan dari Dinas/Instansi; Surat Pernyataan tidak/sedang menikmati fasilitas kredit; Tembusan Surat Perintah Potong Gaji; Surat Kuasa Potong Gaji. Berdasarkan syarat-syarat di atas, maka tidak ditentukan secara tegas mengenai batasan umur kedewasaan apakah 21 tahun (mengacu pada batasan dewasa menurut KUH Perdata) atau 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk wanita (lihat UU no .1 tahun 1974 , tentang Perkawinan) tetapi hanya menlampirkan kopi KTP sehingga dapat diketahui umur calon nasabah debitur. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 1320 angka 2 yang berarti pelanggaran terhadap syarat subyektip menyebabkan perjanjian dapat dibatalkan. Pembatalannya hanya dapat dimintakan oleh pihak yang tidak cakap dan bukan sebaliknya oleh pihak lawannya dalam perjanjian kepada hakim pengadilan . Hal ini bertujuan untuk melindungi pihak yang tidak cakap tersebut, karena dikhawatirkan mereka akan terperangkap oleh karena adanya kekhilafan atau adanya penipuan yang dilakukan oleh pihak lainnya. Dengan demikian pelaksanaan kontrak semacam ini tergantung kemauan dari pihak yang tidak cakap bertindak dalam hukum tersebut. Yang dapat memintakan pembatalan tersebut adalah orang tua atau wali atau pengampuannya dari pihak yang tidak cakap tersebut.
Pasal 1320 angka 3 KUH Perdata Suatu hal tertentu Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, merupakan prestasi yang perlu dipenuhi dalam suatu perjanjian, merupakan obyek perjanjian. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Apa yang diperjanjikan harus cukup jelas, ditentukan jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat dihitung dan ditetapkan.44 Syarat bahwa prestasi itu harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya ialah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, jika timbul perselesihan dalam pelaksanaan perjanjian, jika prestasi 44
ibid, hlm 93
65
itu kabur, sehinga perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap tidak ada obyek perjanjian. Akibat tidak dipenuhi syarat ini, pejanjian itu batal demi hukum (void, nietig ).45 Obyek perjanjian dalam peneliti ini adalah berupa prestasi memberi sesuatu, yaitu memberikan pinjaman sejumlah uang kepada calon nasabah debitur. Prestasi yang demikian ini telah sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 angka 3 KUH Perdata, sehingga tidak terjadi pelanggaran terhadap syarat obyektip perjanjian yang dapat berakibat perjanjian batal demi hokum.
1. Pasal 1320 angka 4 KUH Perdata Menurut Pasal 1320 ayat (4) KUH Perdata, untuk syahnya suatu perjanjian diperlukan suatu sebab yang halal. Kata “sebab” adalah terjemahan dari bahasa Latin “causa” atau bahasa Belanda oorzaak. “Sebab” adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian, yang mendorong orang membuat perjanjian. Tetapi yang dimaksud dengan ‘causa’ yang halal dalam Pasal 1320 KUH Perdata itu bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri”, yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak. Pasal 1320 ayat (4) KUH Perdata menentukan bahwa para pihak tidak bebas untuk membuat perjanjian yang menyangkut sebab (causa) yang dilarang oleh undang-undang atau bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan ketertiban umum. Perjanjian yang dibuat dengan sebab yang dilarang oleh undang-undang atau bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan ketertiban umum adalah tidak sah menurut hukum. 46 Syarat suatu sebab yang halal ini mempunyai dua fungsi, yaitu: perjanjian harus mempunyai sebab—tanpa syarat ini perjanjian batal—, sebabnya harus halal, kalau tidak halal maka perjanjian batal. Dalam Pasal 1335, 1337 KUH Perdata terdapat sebab yang halal, sebab yang palsu, sebab yang tidak halal. 45 46
Ibid, hlm 94 Hasanuddin Rahman, Loc cit, hlm 16
66
Undang-Undang tidak memberikan pegangan yang pasti tentang apa itu pengertian sebab dalam perjanjian. Sebab dalam arti hukum tidak boleh dicampuradukkan dengan sebab dalam arti hukum alam.47 Undang-Undang tidak mempedulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan perjanjian. Adapun yang diperhatikan undang-undang adalah “isi perjanjian” yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai, apakah dilarang oleh undang-undang atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau tidak. Misalnya dalam perjanjian jual beli, isi perjanjian ialah pihak yang satu menghendaki hak milik atas barang dan pihak lain menghendaki sejumlah uang tujuannya adalah hak milik barang berpindah dan sejumlah uang diserahkan. Secara yuridis, “causa’ atau “sebab” itu dikatakan halal apabila tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan (Pasal 1337 KUH Perdata). Akibat hukum dari perjanjian yang mempunyai causa atau sebab yang tidak halal adalah bahwa perjanjian tersebut batal demi hukum (void, nietig). Oleh karena itu, tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan perjanjian dimuka hakim, karena sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian. Demikian juga apabila perjanjian yang dibuat tanpa causa atau sebab, ia dianggap tidak pernah ada (Pasal 1335 KUH Perdata). 48 Dalam penelitian ini sebab atau causa untuk terjadinya perjanjian adalah sebab yang ) yang tidak dilarang oleh undang-undang atau tidak bertentangan dengan kesusilaan atau tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Perjanjian yang dibuat dengan sebab yang dilarang oleh undang-undang atau bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan ketertiban umum adalah tidak sah menurut hukum.49 Berdasarkan pembahasan di atas maka jawaban atas pertanyaan permasalahan pertama adalah perjanjian ini telah memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata khususnya untuk Pasal 1320 angka, 3 dan 4 KUH Perdata yaitu syarat obyektif, sedangkan untuk Pasal 1320 KUH Perdata angka 1 mengenai 47
Purwahid Patrik, op cit, hlm 64 Adulkadir Muhammad, Loc cit, hlm 96 49 Hasanuddin Rahman, Loc cit, hlm 16 48
67
kesepakatan dapat dikatakan secara formal telah terjadi kesepakatan sedangkan secara material tidak terjadi kesepakatan karena calon nasabah tidak bisa ikut menentukan syarat perjanjian kredit tersebut.
2. Apakah asas itikad baik dan kepatutan telah menjadi landasan bagi pihak bank pada waktu membuat perjanjian kredit? Itikad baik menurut pasal tersebut adalah bahwa pelaksanaan perjanjian itu harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.50 Mengenai apa yang dimaksud dengan kepatutan dan kesusilaan, undang-undang tidak memberikan rumusannya. Oleh karena itu, tidak ada ketepatan batasan mengenai pengertian istilah tersebut. Namun, jika dilihat arti katanya, kepatutan artinya kepantasan; kelayakan; kesesuaian; kecocokan. Sedangkan kesusilaan artinya kesopanan; keadaban. Berdasarkan arti kedua kata tersebut, kiranya dapat digambarkan kepatutan dan kesusilaan itu sebagai nilai yang patut; pantas; layak; sesuai; cocok; sopan dan beradab, sebagaimana sama-sama dikehendaki oleh masing-masing pihak yang membuat perjanjian.51 Dengan dimasukkannya itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian berarti juga bahwa kita harus menafsirkan perjanjian itu berdasarkan keadilan dan kepatutan. Dalam KUH Perdata kepatutan (asas kepatutan) dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut kepatutan, kebiasaan atau undangundang.52 Pada umumnya, itikad baik (Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata) dan kepatutan (Pasal 1339) KUH Perdata disebutkan secara senafas dan Hoge Raad (H.R.) dalam putusan tanggal 11 Januari 1924 telah sependapat bahwa apabila hakim setelah menguji dengan kepantasan dari suatu perjanjian tidak dapat 50
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, , PT Citra Aditya Bakti, Bandung,1990, hlm 99 Ibid, hlm 99 52 Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang lahir dari Perjanjian dan dari Undang-Undang), Mandar Maju, Bandung, 1994,hlm 67 51
68
dilaksanakan maka berarti perjanjian itu bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.53 Dengan demikian, dalam pelaksanaan perjanjian terjadi hubungan yang erat antara keadilan, kepatutan dan kesusilaan dengan itikad baik. Berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, jika terjadi selisih pendapat tentang pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik (kepatutan dan kesusilaan), maka hakim diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengawasi dan menilai pelaksanaan perjanjian, apakah ada pelanggaran terhadap norma-norma kepatutan dan kesusilaan itu. Hal ini berarti bahwa hakim berwenang untuk menyimpang dari isi perjanjian menurut kata-katanya, apabila pelaksanaan perjanjian menurut kata-katanya akan bertentangan dengan itikad baik (apabila pelaksanaan menurut norma-norma kepatutan dan kesusilaan itulah yang dipandang adil). Hal ini bisa dimengerti karena tujuan hukum adalah: menjamin kepastian (ketertiban) dan menciptakan keadilan.54 Keadilan dalam hukum itu menghendaki adanya kepastian, yaitu apa yang diperjanjikan harus dipenuhi karena janji itu mengikat sebagaimana undangundang (Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata). Sedangkan yang harus dipenuhi tersebut sesuai dengan kepatutan dan kesusilaan (Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, asas keadilan). Hakim berwenang mencegah suatu pelaksanaan perjanjian yang tidak adil, yaitu tidak sesuai dengan kepatutan dan kesusilaan. 55 Pembahasan di atas mengenai itikad baik lebih tertuju pada saat pelaksanaan perjanjian sedangkan pada waktu dibuatnya perjanjian asas itikad baik terkesan tidak begitu dipermasalhakan keberdaaanya. Menurut hemat peneliti itikad baik itu sudah harus ada ketika para pihak membuat suatu perjanjian yang didasarkan pada kesepakatan. Masalahnya pada perjanjian yang telah ditetapkan secara baku, di mana perjanjian itu telah dipersiapkan oleh salah satu pihak yang mempunyai kedudukan atau posisi tawar yang lebih 53
Vollmar dalam Purwahid Patrik, Loc cit, hlm 67 Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta,2001, hlm 40; 55 Abdulkadir Muhammad, Ibid, hlm 100 54
69
tinggi, itikad baik itu betul-betul sangat tergantung pada pihak pembuat perjanjian. Berdasarkan pada bunyi/tulisan perjanjian kredit yang dibuat oleh pihak Bank Jateng dahulu BPD yang juga merupakan perjanjian baku maka itikad baik itu nampak pada pasal-pasal yang ada di dalam perjanjian tersebut atau pada ketentuan peryaratan mengajukan kredit. Ternyata ada beberapa pasal yang sebenarnya memberatkan pihak nasabah debitur yang jika peluang untuk negosiasi dimungkinkan bagi nasabah debitur maka debitur tentunya berkeinginan untuk merubah bunyi pasal tersebut, sehingga dirasakan lebih adil, lebih berimbang dari sisi nasabah debitur. Dalam aspek ini maka dapat dikatakan asas itikad baik pada waktu pembuatan perjanjian tidak sepenuhnya diterapkan oleh pihak Bank Jateng dahulu BPD karena masih adanya pasalpasal yang dirasakan oleh pihak nasabah debitur memberatkan
3.
Apakah asas konsensual yang berimbang dalam perjanjian bisa ditegakkan pada waktu pembuatan perjanjian
perjanjian itu telah
dibuat oleh salah satu pihak secara baku ? Dalam hukum perjanjian berlaku suatu asas yang dinamakan asas konsensualisme. Konsensualisme berasal dari bahasa latin “consensus” yang berarti sepakat. Asas konsensualisme bukanlah berarti bahwa untuk suatu perjanjian disyaratkan adanya kesepakatan karena adanya kesepakatan dalam perjanjian adalah sudah semestinya. Apalagi, suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, berarti para pihak sudah setuju atau bersepakat mengenai sesuatu hal.56 Dalam KUH Perdata, Asas Konsensualisme dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Asas ini mengandung pengertian bahwa pada dasarnya suatu perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. 57 Dengan perkataan lain, suatu perjanjian sudah terjadi dan karenanya sudah sah / mengikat para
56 57
Subekti,loc.cit , hlm 17 Subekti, Ibid hlm , 25
70
pihak yang membuatnya sejak detik adanya kata sepakat tentang unsur pokok dari perjanjian yang dibuatnya. Oleh karena itu, tidak harus diperlukan suatu formalitas tertentu, misalnya perjanjian jual-beli sudah terjadi sejak adanya kata sepakat tentang barang dan harga sebagai unsur pokok dari perjanjian jual beli.58 Kata sepakat (konsensual) antara para pihak lazim disebut dengan kesepakatan. Kesepakatan merupakan persesuaian kehendak dari para pihak dan
ternyata
dari
pernyataan
kehendaknya
(mengenai
pokok-pokok
perjanjian). Pokok perjanjian itu berupa obyek perjanjian dan syarat-syarat perjanjian. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa perjanjian kredit ini adalah perjanjian yang bersifat baku, di mana baik pembuatan maupun penentuan syarat-syaratnya dilakukan secara sepihak dalam hal ini oleh pihak Bank Jateng dahulu BPD. Banyak pertimbangan yang muncul ketika suatu perjanjian dibuat secara baku, salah satu alasan yang lazim dan dapat diterima oleh akal sehat adalah alasan efisiensi waktu dan biaya juga tenaga. Pernyaan yang muncul apakah perjanjian baku dengan segala sifat yang melekat padanya itu sah atau tidak menurut hokum yang berlaku di Indonedsia. Sutan Remy Sjahdeini berpendapat bahwa59keabsahan berlakunya perjanjian baku tidak lagi dipersoalkan oleh karena perjanjian baku eksistensinya sudah merupakan kenyataan yaitu dengan telah dipakainya perjanjian baku secara meluas dalam dunia bisnis sejak lebih dari 80 tahun lamanya. Kenyataan itu terbentuk karena perjanjian baku memang lahir dari kebutuhan masyarakat sendiri. Dunia bisnis tidak dapat berlangsung tanpa perjanjian baku. Perjanjian baku dibutuhkan oleh dan karena itu diterima oleh masyarakat.
58
Bernadette M. Waluyo dalam Ida Susanti, et al, Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas: Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003,hlm 57 59 Sutan Remy Sjahdeini,opcit., hlm 70
71
Keabsahan
berlakunya
perjanjian
baku
memang
tidak
perlu
dipersoalkan, etapi masih perlu dibahas apakah perjanjian itu tidak bersifat sangat berat sebelah dan tidak mengandung klausul yang secara tidak wajar sangat memberatkan bagi pihak lainnya, sehingga perjanjian itu merupakan perjanjian yang menindas dan tidak adil. Maksud dari sangat berat sebelah ialah bahwa perjanjian itu hanya atau terutama mencantumkan hak-hak salah satu pihak saja (yaitu pihak yang mempersiapkan perjanjian baku tersebut) tanpa mencantumkan apa yang menjadi kewajiban –kewajiban pihak lainnya sedangkan apa yang menjadi hak-hak pihak lainnya itu tidak disebutkan. Sutan Remy,60 lebih lanjut menyatakan keabsahan berlakunya perjanjian baku itu memang tidak perlu dipersoalkan , karena secara praktek telah diterima, tetapi perlu diatur aturan-aturan dasarnya sebagai aturan-aturan mainnya agar klausul-klausul atau ketentuan-ketentuan dalam perjanjian baku, baik sebagian maupun seluruhnya mengikat pihak lainnya. Beberapa pakar yang menolak maupun menolak perjanjian baku memberikan alasannya masing-masing61 Yang menolak memberikan alas an sbb : 1. Kedudukan pihak yang membuat perjanjian baku tidak ubahnya pembuat undang-undang swasta (legio particuliere wetgever) 2. Merupakan perjanjian paksa (dwang contract) 3. Meniadakan keadilan Yang menerima memberikan alas an 1. Adanya anggapan kemauan dan kepercayaan (fictie van wil en vertrouwen) para pihak dalam membuat perjanjian 2. Tanda tangan para pihak diartikan memerima perjanjian dengan segala konsekuensinya 3. Mempunyai kekuatan mengikat berdasarkan kebiasaan yang berlaku dalam lingkungan nasyarakat dan lalu lintas perdagangan. 60 61
Sutan Remy Sjahdeini, ibid.,hlm 71 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Gramedia, Jakarta, hlm. 265
72
Dari Pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa asas konsensual yang muncul atau terjadi dalam perjanjian yang dibuat secara baku oleh salah satu pihak yang mempunyai posisi kuat baik secara hokum maupun secara ekonomi itu sifatnya formal, karena bukti kesepakatan itu hanya ditunjukkan adanya tanda tangan sebagai perwujudan dari sikap memerima isi perjanjian dengan segala konsekuensinya
73
BAB VI PENUTUP Kesimpulan : 1.Perjanjian ini telah memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata khususnya untuk Pasal 1320 angka, 3 dan 4 KUH Perdata yaitu syarat obyektif, sedangkan untuk Pasal 1320 KUH Perdata angka 1 mengenai kesepakatan dapat dikatakan secara formal telah terjadi kesepakatan sedangkan secara material tidak terjadi kesepakatan karena calon nasabah tidak bisa ikut menentukan syarat perjanjian kredit tersebut. 2.Asas itikad baik pada waktu pembuatan perjanjian tidak sepenuhnya diterapkan oleh pihak Bank Jateng karena masih adanya pasal-pasal yang dirasakan oleh pihak nasabah debitur memberatkan 3.Asas konsensual yang muncul atau terjadi dalam perjanjian yang dibuat secara baku oleh salah satu pihak yang mempunyai posisi kuat baik secara hokum maupun secara ekonomi itu sifatnya formal, karena bukti kesepakatan itu hanya ditunjukkan adanya tanda tangan sebagai perwujudan dari sikap memerima isi perjanjian dengan segala konsekuensinya
74
DAFTAR PUSTAKA Abdul Kadir Muhammad, 2001, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung ------------, 2000, Hukum Perdata Indonesia, PT Citra Aditya Bhakti, Bandung. Bernadette M. Waluyo dalam Ida Susanti, et al, 2003, Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas: Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, 2001, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati,2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung Mariam Darus Badrulzaman, 2003, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung ------------------, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung Munir Fuady, 1994, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek Buku Kedua, Citra Aditya Bakti,Bandung ………, 1999,Hukum Perbankan Modern, Citra Aditya Bakti, Bandung ………., 2000, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, buku ketiga, PT Citra Aditya Bhakti, Bandung Purwahid Patrik, 2003, Asas Itikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian, Badan Penerbit Undip, Semarang ………, 2003, Hukum Perdata II (Perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan Undang-undang) FH Undip, Semarang ……… 2003 , Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung Rachmadi Usman, 2001, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Riduan Syahrani,Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata,Bandung : Alumni Ronny Hanintyo Soemitro, 1994, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,Jakarta… -----------, 2003, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta Satjipto Rahardjo, 2004, lmu Hukum, Alumni, Bandung Salim H.S, Hukum Kontrak: teori dan teknik penyusunan kontrak, Sinar Grafika, Jakarta,2003 …………,2004, Hukum dan Masyarakat , Alumni, Bandung Sembiring Santoso, 2000, Hukum Perbankan, Mandar Maju , Bandung
75
Siswanto Sutojo, 1995, Analisia Kredit Bank Umum, PT
Pustaka Binaman
Pressindo, Jakarta Sidharta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, PT Grasindo, Jakarta. Soerjono Soekanto, Sri Mamuji, 2004, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta Sri Redjeki Hartono,2000,Kapita Selekta Hukum Ekonomi, Mandar Maju, Bandung, Sudaryatmo, 1999, Hukum dan Advokasi Konsumen, Citra Aditya Bakti, Bandung. Subekti, 2006, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta ………, 2001, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta Sudaryanto, 1996, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke – 20, Alumni, Bandung. B. MAKALAH/ARTIKEL MAJALAH Sutan Remy Sjahdeni, Upaya Menanggulangi Kredit Macet, Makalah yang disajikan pada seminar sehari,Himpunan Bank Perkreditan Rakyat Jawa Tengah dan DIY, 1993 Talia Riantini, 2002, Pelaksanaan Perjanjian Kredit Pada BPR Mranggen Mitra Persada, tesis, UNDIP, Semarang
76