LAPORAN PENDAHULUAN
“ TRAUMA THORAX ” DI RUANG 13 ( Akut ) RSU DR. SAIFUL ANWAR MALANG Di Susun Sebagai Salah Satu Syarat Tugas Profesi Departemen Surgical
Oleh : ANANG SATRIANTO NIM :
0610722007
JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2009 LAPORAN PENDAHULUAN A. Masalah Kesehatan Trauma Thorax B. Definisi Trauma thorax adalah semua ruda paksa pada thorax dan dinding thorax, baik trauma atau ruda paksa tajam atau tumpul. (Hudak, 1999). Trauma thorak adalah trauma yang terjadi pada toraks yang menimbulkan kelainan pada organ-organ didalam toraks. Hematotorax adalah tedapatnya darah dalam rongga pleura, sehingga paru terdesak dan terjadinya perdarahan. Pneumotorax adalah terdapatnya udara dalam rongga pleura, sehingga paruparu dapat terjadi kolaps. C. Etiologi 1. Trauma tembus •
Luka Tembak
•
Luka Tikam / tusuk
2. Trauma tumpul •
Kecelakaan kendaraan bermotor
•
Jatuh
•
Pukulan pada dada
D. Klasifikasi 1. Trauma Tembus •
Pneumothoraks terbuka
•
Hemothoraks
•
Trauma tracheobronkial
•
Contusi Paru
•
Ruptur diafragma
•
Trauma Mediastinal
2. Trauma Tumpul •
Tension pneumothoraks
•
Trauma tracheobronkhial
•
Flail Chest
•
Ruptur diafragma
•
Trauma mediastinal
•
Fraktur kosta
E. Insidensi Trauma adalah penyebab kematian utama pada anak dan orang dewasa kurang dari 44 tahun. Penyalahgunaan alkohol dan obat telah menjadi faktor implikasi pada trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001). F. Prognosis Penyakit 1. Open Pneumothorak Timbul karena trauma tajam, ada hubungan dengan rongga pleura sehingga paru menjadi kuncup. Seringkali terlihat sebagai luka pada dinding dada yang menghisap pada setiap inspirasi ( sucking chest wound ). Apabila luban ini lebih besar dari pada 2/3 diameter trachea, maka
pada
inspirasi
udara
lebih
mudah
melewati
lubang
dada
dibandingkan melewati mulut sehingga terjadi sesak nafas yang hebat 2. Tension Pneumothorak Adanya
udara
didalam
cavum
pleura
mengakibatkan
tension
pneumothorak. Apabila ada mekanisme ventil karena lubang pada paru maka udara akan semakin banyak pada sisi rongga pleura, sehingga mengakibatkan : •
Paru sebelahnya akan terekan dengan akibat sesak yang berat
•
Mediastinum akan terdorong dengan akibat timbul syok
Pada perkusi terdengar hipersonor pada daerah yang cedera, sedangkan pada auskultasi bunyi vesikuler menurun. 3. Hematothorak masif Pada keadaan ini terjadi perdarahan hebat dalam rongga dada. Ada perkusi terdengar redup, sedang vesikuler menurun pada auskultasi. 4. Flail Chest Tulang iga patah pada 2 tempat pada lebih dari 2 iga sehingga ada satu segmen dinding dada yang tidak ikut pada pernafasan. Pada ekspirasi segmen akan menonjol keluar, pada inspirasi justru masuk kedalam yang dikenal dengan pernafasan paradoksal G. Patofisiologi Dada merupakan organ besar yang membuka bagian dari tubuh yang sangat mudah terkena tumbukan luka. Karena dada merupakan tempat jantung, paru dan pembuluh darah besar. Trauma dada sering menyebabkan gangguan ancaman kehidupan. Luka pada rongga thorak dan isinya dapat membatasi kemampuan jantung untuk memompa darah atau kemampuan paru untuk pertukaran udara dan osigen darah. Bahaya utama berhubungan dengan luka dada biasanya berupa perdarahan dalam dan tusukan terhadap organ Luka dada dapat meluas dari benjolan yang relatif kecil dan goresan yang dapat mengancurkan atau terjadi trauma penetrasi. Luka dada dapat berupa penetrasi atau non penetrasi ( tumpuln ). Luka dada penetrasi mungkin disebabkan oleh luka dada yang terbuka, memberi keempatan bagi udara atmosfir masuk ke dalam permukaan pleura dan mengganggua mekanisme ventilasi normal. Luka dada penetrasi dapat menjadi kerusakan serius bagi paru, kantung dan struktur thorak lain. H. Tanda Dan Gejala Tanda-tanda dan gejala pada trauma thorak : 1. Ada jejas pada thorak 2. Nyeri pada tempat trauma, bertambah saat inspirasi 3. Pembengkakan lokal dan krepitasi pada saat palpasi 4. Pasien menahan dadanya dan bernafas pendek 5. Dispnea, hemoptisis, batuk dan emfisema subkutan 6. Penurunan tekanan darah
7. Peningkatan tekanan vena sentral yang ditunjukkan oleh distensi vena leher 8. Bunyi muffle pada jantung 9. Perfusi jaringan tidak adekuat 10.Pulsus paradoksus ( tekanan darah sistolik turun dan berfluktuasi dengan pernapasan ) dapat terjadi dini pada tamponade jantung I. Pemeriksaan Penunjang 1. Radiologi : X-foto thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral) 2. Gas darah arteri (GDA), mungkin normal atau menurun. 3. Torasentesis : menyatakan darah/cairan serosanguinosa. 4. Hemoglobin : mungkin menurun. 5. Pa Co2 kadang-kadang menurun. 6. Pa O2 normal / menurun. 7. Saturasi O2 menurun (biasanya). 8. Toraksentesis : menyatakan darah/cairan. 9. Bila pneumotoraks < 30% atau hematothorax ringan (300cc) terap simtomatik, observasi. 10.Bila pneumotoraks > 30% atau hematothorax sedang (300cc) drainase cavum pleura dengan WSD, dainjurkan untuk melakukan drainase dengan continues suction unit. 11.Pada keadaan pneumothoraks yang residif lebih dari dua kali harus dipertimbangkan thorakotomi 12.Pada hematotoraks yang massif (terdapat perdarahan melalui drain lebih dari 800 cc segera thorakotomi. J. Komplikasi 1. Iga : fraktur multiple dapat menyebabkan kelumpuhan rongga dada. 2. Pleura,
paru-paru,
bronkhi
:
hemo/hemopneumothoraks-emfisema
pembedahan. 3. Jantung : tamponade jantung ; ruptur jantung ; ruptur otot papilar ; ruptur klep jantung. 4. Pembuluh darah besar : hematothoraks. 5. Esofagus : mediastinitis.
6. Diafragma : herniasi visera dan perlukaan hati, limpa dan ginjal (Mowschenson, 1990). K. Penatalaksanaan 1. Bullow Drainage / WSD Pada trauma toraks, WSD dapat berarti : a.
Diagnostik : Menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil, sehingga dapat ditentukan perlu operasi torakotomi atau tidak, sebelum penderita jatuh dalam shock.
b.
Terapi : Mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul di rongga pleura. Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga "mechanis of breathing" dapat kembali seperti yang seharusnya.
c.
Preventive : Mengeluarkan udaran atau darah yang masuk ke rongga pleura sehingga "mechanis of breathing" tetap baik.
2.
Perawatan WSD dan pedoman latihanya : a. Mencegah infeksi di bagian masuknya slang. Mendeteksi di bagian dimana masuknya slang, dan pengganti verband 2 hari sekali, dan perlu diperhatikan agar kain kassa yang menutup bagian masuknya slang dan tube tidak boleh dikotori waktu menyeka tubuh pasien. b. Mengurangi rasa sakit dibagian masuknya slang. Untuk rasa sakit yang hebat akan diberi analgetik oleh dokter. c. Dalam perawatan yang harus diperhatikan : •
Penetapan slang. Slang
diatur
dimasukkan
se-nyaman tidak
mungkin,
terganggu
dengan
sehingga
slang
bergeraknya
yang pasien,
sehingga rasa sakit di bagian masuknya slang dapat dikurangi. •
Pergantian posisi badan. Usahakan agar pasien dapat merasa enak dengan memasang bantal kecil dibelakang, atau memberi tahanan pada slang, melakukan pernapasan perut, merubah posisi tubuh sambil
mengangkat badan, atau menaruh bantal di bawah lengan atas yang cedera. d. Mendorong berkembangnya paru-paru. •
Dengan WSD/Bullow drainage diharapkan paru mengembang.
•
Latihan napas dalam.
•
Latihan batuk yang efisien : batuk dengan posisi duduk, jangan batuk waktu slang diklem.
•
Kontrol dengan pemeriksaan fisik dan radiologi.
e. Perhatikan keadaan dan banyaknya cairan suction. Perdarahan dalam 24 jam setelah operasi umumnya 500 - 800 cc. Jika perdarahan dalam 1 jam melebihi 3 cc/kg/jam, harus dilakukan torakotomi.
Jika
banyaknya
hisapan
bertambah/berkurang,
perhatikan juga secara bersamaan keadaan pernapasan. f. Suction harus berjalan efektif : Perhatikan setiap 15 - 20 menit selama 1 - 2 jam setelah operasi dan setiap 1 - 2 jam selama 24 jam setelah operasi. •
Perhatikan banyaknya cairan, keadaan cairan, keluhan pasien, warna muka, keadaan pernapasan, denyut nadi, tekanan darah.
•
Perlu sering dicek, apakah tekanan negative tetap sesuai petunjuk jika suction kurang baik, coba merubah posisi pasien dari terlentang, ke 1/2 terlentang atau 1/2 duduk ke posisi miring bagian operasi di bawah atau di cari penyababnya misal : slang tersumbat oleh gangguan darah, slang bengkok atau alat rusak, atau lubang slang tertutup oleh karena perlekatanan di dinding paru-paru.
g. Perawatan "slang" dan botol WSD/ Bullow drainage. o
Cairan dalam botol WSD diganti setiap hari , diukur berapa cairan yang keluar kalau ada dicatat.
o
Setiap hendak mengganti botol dicatat pertambahan cairan dan adanya gelembung udara yang keluar dari bullow drainage.
o
Penggantian botol harus "tertutup" untuk mencegah udara masuk yaitu meng"klem" slang pada dua tempat dengan kocher.
o
Setiap penggantian botol/slang harus memperhatikan sterilitas botol dan slang harus tetap steril.
o
Penggantian harus juga memperhatikan keselamatan kerja dirisendiri, dengan memakai sarung tangan.
o
Cegah bahaya yang menggangu tekanan negatip dalam rongga dada, misal : slang terlepas, botol terjatuh karena kesalahan dll.
h. Dinyatakan berhasil, bila : o
Paru sudah mengembang penuh pada pemeriksaan fisik dan radiologi.
o
Darah cairan tidak keluar dari WSD / Bullow drainage.
o
Tidak ada pus dari selang WSD.
3. Therapy •
Chest tube / drainase udara (pneumothorax).
•
WSD (hematotoraks).
•
Pungsi.
•
Torakotomi.
•
Pemberian oksigen.
•
Antibiotika.
•
Analgetika.
•
Expectorant.
L. Manajemen Keperawatan Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara menyeluruh (Boedihartono, 1994 : 10). Pengkajian pasien dengan trauma thoraks (. Doenges, 1999) meliputi : Aktivitas / istirahat Gejala : dipnea dengan aktivitas ataupun istirahat. Sirkulasi Tanda : Takikardia ; disritmia ; irama jantunng gallops, nadi apical berpindah, tanda Homman ; TD : hipotensi/hipertensi ; DVJ. Integritas ego Tanda : ketakutan atau gelisah.
Makanan dan cairan Tanda : adanya pemasangan IV vena sentral/infuse tekanan. Nyeri/ketidaknyamanan Gejala : nyeri uni laterl, timbul tiba-tiba selama batuk atau regangan, tajam dan nyeri, menusuk-nusuk yang diperberat oleh napas dalam, kemungkinan menyebar ke leher, bahu dan abdomen. Tanda : berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi, mengkerutkan wajah. Pernapasan Gejala : kesulitan bernapas ; batuk ; riwayat bedah dada/trauma, penyakit paru
kronis,
inflamasi,/infeksi
paaru,
penyakit
interstitial
menyebar,
keganasan ; pneumothoraks spontan sebelumnya, PPOM. Tanda : Takipnea ; peningkatan kerja napas ; bunyi napas turun atau tak ada ; fremitus menurun ; perkusi dada hipersonan ; gerakkkan dada tidak sama ; kulit pucat, sianosis, berkeringat, krepitasi subkutan ; mental ansietas, bingung, gelisah, pingsan ; penggunaan ventilasi mekanik tekanan positif. Keamanan Geajala : adanya trauma dada ; radiasi/kemoterapi untuk kkeganasan. Penyuluhan/pembelajaran Gejala : riwayat factor risiko keluarga, TBC, kanker ; adanya bedah intratorakal/biopsy paru. M. Diagnose Keperawatan 1. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekpansi paru yang tidak maksimal karena akumulasi udara/cairan. 2. Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan. 3. Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder. 4. Kerusakan
integritas
kulit
terpasang bullow drainage.
berhubungan
dengan
trauma
mekanik
5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan untuk ambulasi dengan alat eksternal. 6. Risiko
terhadap
infeksi
berhubungan
dengan
tempat
masuknya
organisme sekunder terhadap trauma. N. Intervensi Keperawatan Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan
untuk
menanggulangi
masalah
sesuai
dengan
diagnosa
keperawatan (Boedihartono, 1994:20) Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Effendi, 1995:40). Intervensi dan implementasi keperawatan yang muncul pada pasien dengan trauma thorax (Wilkinson, 2006) meliputi : 1) Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekspansi paru yang tidak maksimal karena trauma. Tujuan : Pola pernapasan efektive. Kriteria hasil : o Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektive. o Mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru. o Adaptive mengatasi faktor-faktor penyebab. Intervensi : Berikan posisi yang nyaman, biasanya dnegan peninggian kepala tempat tidur. Balik ke sisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin. R/ Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekpsnsi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit. Obsservasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau perubahan tanda-tanda vital. R/ Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebgai akibat stress fifiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syock sehubungan dengan hipoksia. Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan. R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau kolaps paru-paru. R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik. Pertahankan perilaku tenang, bantu pasien u ntuk kontrol diri dnegan menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam. R/
Membantu
klien
mengalami
efek
fisiologi
hipoksia,
yang
dapat
dimanifestasikan sebagai ketakutan/ansietas. Perhatikan alat bullow drainase berfungsi baik, cek setiap 1 – 2 jam : 1) Periksa pengontrol penghisap untuk jumlah hisapan yang benar. R/ Mempertahankan tekanan negatif intrapleural sesuai yang diberikan, yang meningkatkan ekspansi paru optimum/drainase cairan. 2) Periksa batas cairan pada botol penghisap, pertahankan pada batas yang ditentukan. R/ Air penampung/botol bertindak sebagai pelindung yang mencegah udara atmosfir masuk ke area pleural. 3) Observasi gelembung udara botol penempung. R/ gelembung udara selama ekspirasi menunjukkan lubang angin dari penumotoraks/kerja yang diharapka. Gelembung biasanya menurun seiring dnegan ekspansi paru dimana area pleural menurun. Tak adanya gelembung dapat menunjukkan ekpsnsi paru lengkap/normal atau slang buntu. 4) Posisikan sistem drainage slang untuk fungsi optimal, yakinkan slang tidak terlipat, atau menggantung di bawah saluran masuknya ke tempat drainage. Alirkan akumulasi dranase bela perlu. R/ Posisi tak tepat, terlipat atau pengumpulan bekuan/cairan pada selang mengubah tekanan negative yang diinginkan. 5) Catat karakter/jumlah drainage selang dada. R/ Berguna untuk mengevaluasi perbaikan kondisi/terjasinya perdarahan yang memerlukan upaya intervensi. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain : 1) Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi. Pemberian antibiotika. Pemberian analgetika.
Fisioterapi dada. Konsul photo toraks. R/ Mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya. 2) Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan. Tujuan : Jalan napas lancar/normal Kriteria hasil : • Menunjukkan batuk yang efektif. • Tidak ada lagi penumpukan sekret di sal. pernapasan. • Klien nyaman. Intervensi : Jelaskan klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa terdapat penumpukan sekret di sal. pernapasan. R/
Pengetahuan
yang
diharapkan
akan
membantu
mengembangkan
kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik. Ajarkan klien tentang metode yang tepat pengontrolan batuk. R/ Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif, menyebabkan frustasi. 1) Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin. R/ Memungkinkan ekspansi paru lebih luas. 2) Lakukan pernapasan diafragma. R/ Pernapasan diafragma menurunkan frek. napas dan meningkatkan ventilasi alveolar. 3) Tahan napas selama 3 - 5 detik kemudian secara perlahan-lahan, keluarkan sebanyak mungkin melalui mulut. 4) Lakukan napas ke dua , tahan dan batukkan dari dada dengan melakukan 2 batuk pendek dan kuat. R/ Meningkatkan volume udara dalam paru mempermudah pengeluaran sekresi sekret. Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk. R/ Pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan upaya batuk klien.
Ajarkan
klien
tindakan
untuk
menurunkan
viskositas
sek resi
:
mempertahankan hidrasi yang adekuat; meningkatkan masukan cairan 1000 sampai 1500 cc/hari bila tidak kontraindikasi. R/ Sekresi kental sulit untuk diencerkan dan dapat menyebabkan sumbatan mukus, yang mengarah pada atelektasis. Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk. R/ Hiegene mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan mencegah bau mulut. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain : Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi. Pemberian expectoran. Pemberian antibiotika. Fisioterapi dada. Konsul photo toraks. R/ Expextorant untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan menevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya. 3) Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder. Tujuan : Nyeri berkurang/hilang. Kriteria hasil : • Nyeri berkurang/ dapat diadaptasi. • Dapat mengindentifikasi aktivitas yang meningkatkan/ menurunkan nyeri. • Pasien tidak gelisah. Intervensi : Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan non invasif. R/ Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya telah menunjukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri. 1) Ajarkan Relaksasi : Tehnik-tehnik untuk menurunkan ketegangan otot rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan juga tingkatkan relaksasi masase. R/ Akan melancarkan peredaran darah, sehingga kebutuhan O2 oleh jaringan akan terpenuhi, sehingga akan mengurangi nyerinya. 2) Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.
R/ Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang menyenangkan. Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman ; misal waktu tidur, belakangnya dipasang bantal kecil. R/ Istirahat akan merelaksasi semua jaringan sehingga akan meningkatkan kenyamanan.
Tingkatkan
pengetahuan
tentang
:
sebab-sebab
nyeri,
dan
menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung. R/ Pengetahuan yang akan dirasakan membantu mengurangi nyerinya. Dan dapat membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik. Kolaborasi denmgan dokter, pemberian analgetik. R/ Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan berkurang. Observasi tingkat nyeri, dan respon motorik klien, 30 menit setelah pemberian obat analgetik untuk mengkaji efektivitasnya. Serta setiap 1 - 2 jam setelah tindakan perawatan selama 1 - 2 hari. R/ Pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang obyektif untuk mencegah kemungkinan komplikasi dan melakukan intervensi yang tepat. 4) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik terpasang bullow drainage. Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai. Kriteria Hasil : • tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus. • luka bersih tidak lembab dan tidak kotor. • Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi. Intervensi : Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka. R/ mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam melakukan tindakan yang tepat. Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka. R/ mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah intervensi. Pantau peningkatan suhu tubuh.
R/ suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai adanya proses peradangan. Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering dan steril, gunakan plester kertas. R/
tehnik
aseptik
membantu
mempercepat
penyembuhan
luka
dan
mencegah terjadinya infeksi. Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan la njutan, misalnya debridement. R/ agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar luas pada area kulit normal lainnya. Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan. R/ balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung kondisi parah/ tidak nya luka, agar tidak terjadi infeksi. Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi. R/ antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen pada daerah yang berisiko terjadi infeksi. 5) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan untuk ambulasi dengan alat eksternal. Tujuan : pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal. Kriteria hasil : • penampilan yang seimbang.. • melakukan pergerakkan dan perpindahan. • mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan karakteristik : 0 = mandiri penuh 1 = memerlukan alat Bantu. 2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan, pengawasan, dan pengajaran. 3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat Bantu. 4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas. Intervensi : Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan. R/ mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.
Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas. R/ mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena ketidakmampuan ataukah ketidakmauan. Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu. R/ menilai batasan kemampuan aktivitas optimal. Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif d an pasif. R/ mempertahankan /meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot. Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi. R/
sebagai
suaatu
sumber
untuk
mengembangkan
perencanaan
dan
mempertahankan/meningkatkan mobilitas pasien. 6) Risiko terhadap infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder terhadap trauma. Tujuan : infeksi tidak terjadi / terkontrol. Kriteria hasil : • tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus. • luka bersih tidak lembab dan tidak kotor. • Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi. Intervensi : Pantau tanda-tanda vital. R/ mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu tubuh meningkat. Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik. R/ mengendalikan penyebaran mikroorganisme patogen. Lakukan perawatan terhadap prosedur inpasif seperti infus, kateter, drainase luka, dll. R/ untuk mengurangi risiko infeksi nosokomial. Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb dan leukosit. R/ penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari normal bisa terjadi akibat terjadinya proses infeksi. Kolaborasi untuk pemberian antibiotik. R/ antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme patogen. O. Daftar Pustaka
1. Boedihartono, 1994, Proses Keperawatan di Rumah Sakit. EGC : Jakarta. 2. Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan. EGC : Jakarta. 3. Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. EGC : Jakarta. 4. Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. EGC : Jakarta. 5. FKUI. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu bedah. Binarupa Aksara : Jakarta 6. Hudak, C.M. 1999. Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC. 7. Mowschenson, Peter M. 1990. Segi Praktis Ilmu Bedah Untuk pemula. Edisi 2. Binarupa Aksara : Jakarta. 8. Nasrul Effendi. 1995. Pengantar Proses Keperawatan. EGC. Jakarta. 9. Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner and Suddarth Ed.8 Vol.3. EGC : Jakarta. 10.Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan, edisi 7. EGC : Jakarta. 11.www.iwansain.wordpress.com