LAPORAN MATA KULIAH REKAYASA GENETIKA STRATEGI KLONING GEN APOPTIN REKOMBINAN KE VEKTOR pCU19 DENGAN HOST Escherichia coli strain DH10β
Oleh Kelompok 5:
Anggoro Wiseso
(1206212514)
Aulia Rahmi
(1206246731)
Etri Dian Kamila
(1206212533)
Farisa Imansari
(1206212426)
Jason Jonathan
(1206238904)
Jurusan Teknologi Bioproses Departemen Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Indonesia Depok, 2014
Laporan Rekayasa Genetika: Teknik Kloning Sederhana
2014
BLOCK FLOW DIAGRAM HASIL PEMBAHASAN STRATEGI KLONING GEN APOPTIN
Escherichia coli strain DH10β
Chicken Anemia Virus Amplifikasi - Replikasi Virus
Isolasi DNA menggunakan Ekstraksi Fenol-Chloroform
Isolasi Plasmid pUC19
Modifikasi Apoptin untuk Tahapan Kloning
Pemilihan Situs Restriksi
Perancangan Reverse Primer dan Forward Primer
Penyisipan Insert Gen Apoptin ke dalam Vektor Plamid pUC19
Transformasi Gen Apoptin
Heat Shock Electropolation Screening Test untuk Penyeleksian sel inang dengan DNA rekombinan yang membawa gen apoptin
2
Laporan Rekayasa Genetika: Teknik Kloning Sederhana KATA PENGANTAR
2014
Pertama-tama, puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa sebab atas kehendak-Nyalah maka makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Tujuan utama dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Rekayasa Genetika. Meskipun begitu, kami, selaku tim penulis melalui penulisan makalah ini memperoleh manfaat lain yaitu mampu memahami topik yang dijabarkan dalam Pemicu 2 ini yaitu strategi dalam kloning gen apoptin dan mampu melatih keterampilan kami dalam membuat suatu karya tulis. Dalam penyelesaian makalah ini, penulis banyak mengalami kesulitan, disebabkan topik yang sebenarnya masih terasa asing bagi kami yakni Kloning. Namun, berkat bantuan dan kerja sama dari berbagai pihak, akhirnya makalah ini dapat terselesaikan, meskipun masih terdapat banyak kekurangannya. Oleh sebab itu, kami selaku tim penulis, ingin menyampaikan terima kasih kepada : 1. Dr. Eng. Muhamad Sahlan, S.Si.,M.Eng yang telah memberikan topik berupa pemicu dan bimbingan dari awal membuat konsep makalah hingga penulisannya. 2. Pihak-pihak lain yang memberikan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung. Kami menyadari bahwa makalah pertama kami ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh sebab itu, kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang positif agar makalah-makalah kami berikutnya dapat mengalami peningkatan kualitas dan manfaat. Depok, 13 Oktober 2014 Penulis
3
Laporan Rekayasa Genetika: Teknik Kloning Sederhana
2014
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kloning merupakan metode dari ilmu rekayasa genetika untuk memproduksi fragmen DNA yang digunakan untuk memperbanyak suatu gen atau protein menggunakan sel sebagai inang yang nantinya akan mereplikasikan diri agar dapat menghasilkan gen atau protein dalam jumlah banyak (tidak terbatas) dalam waktu relative lebih singkat dan efisiensi yang lebih. Kloning, dimanfaatkan untuk menemukan obat untuk berbagai penyakit mulai dari penyakit pada manusia, hewan maupun tumbuhan. Sekarang ini, kloning sudah menghasilkan vaksin dan hormon. Teknik kloning membuat kita dapat menggabungkan dua jenis sel (sel hewan dengan sel manusia) untuk menghasilkan antibodi tertentu untuk melawan penyakit. Antibodi kloning ini saat disuntikkan ke dalam darah dapat mencari dan menyerang sel penyakit manapun dalam tubuh kita, bahkan dengan ditempelkannya unsur pelacak antibodi ini dapat menyerang sel kanker yang tersembunyi sekalipun. Gen apoptin adalah gen yang didapatkan dari Chicken Anemia Virus (CAV). CAV dapat berfungsi sebagai pembunuh sel kanker pada tubuh manusia, tanpa harus membunuh sel sehat lainnya. Sebagai obat kanker, dibutuhkan gen apoptin dalam jumlah yang banyak. Namun, untuk membiakkan virus CAV, membutuhkan waktu yang lebih lama, dikarenakan penyebaran virus yang lebih jauh. Oleh karena itu, metode cloning digunakan agar gen apoptin dapat diperbanyak tanpa menunggu lebih lama. Selain itu proses kloning ini membuat gen apoptin yang kita gunakan dapat dimodifikasi dengan histidin dan arginine pada host cell E.coli. Pada pemicu kali ini, penulis akan merekayasa kloning apoptin ke dalam E. coli, dimana untuk mempermudah proses pemurnian ujung C-terminal apoptin ditambahkan histidin dan untuk mempermudah penetrasi akan ditambahkan 8 arginin pada N-terminal. Dalam makalah ini, akan dijelaskan lebih lanjut mengenai strategi – strategi yang akan dipakai dalam mengkloning apoptin pada E. Coli, dimulai dari tahap pengisolasian apoptin hingga replikasinya, serta kelebihan dan kekurangannya. 1.2 Rumusan Masalah a. Vektor apa yang digunakan pada proses kloning untuk apoptin? b. Situs restriksi apa yang diipilih pada proses kloning untuk apoptin? Metode apa yang digunakan untuk modifikasi gen apoptin ? c. Bagaimana proses modifikasi yang digunakan untuk menambahkan histidin dan arginin pada gen apoptin? d. Bagaimana cara penyisipan gen apoptin yang telah dimodifikasi ke dalam vektor ? e. Apa jenis E.coli yang digunakan pada proses kloning gen apoptin? f. Bagaimana cara men-transformasi vektor dengan gen apoptin ke dalam host cell ? g. Jenis screening apa yang digunakan pada kloning gen apoptin kali ini? a. Bagaimanakah tahapan kloning gen apoptin dengan menambahkan 10 histidin pada N-Terminal dan 8 Arginin pada C-Terminal, menggunakan plasmid pUC19 pada E.coli DH10Β?
4
Laporan Rekayasa Genetika: Teknik Kloning Sederhana
2014
1.3 Tujuan Makalah b. Mempelajari prinsip kloning dan prosesnya c. Mengetahui cara memilih vektor untuk proses kloning. d. Mengetahui jenis modifikasi yang dapat dilakukan pada gen yang akan diklon. e. Mengetahui jenis-jenis host cell yang dapat digunakan dalam proses kloning. f. Mengetahui jenis-jenis screening untuk membuktikan keberadaan vektor dengan gene of interest pada host cell. g. Mengetahui prosedur yang dilakukan untuk melaksanakan kloning h. Mengkaji tahapan kloning gen apoptin dengan menambahkan 10 histidin pada N-Terminal dan 8 Arginin pada C-Terminal, menggunakan plasmid pUC19 pada E.coli DH10Β.
5
Laporan Rekayasa Genetika: Teknik Kloning Sederhana
2014
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Deskripsi Apoptin Apoptin adalah protein yang mampu menginduksi kematian sel spesifik pada sel tumor dan terdiri dari 121 macam asam amino yang terdiri terutama dari prolin, serin, threonin dan asam amino dasar lainnya dan terdeteksi pada 14 kDa. Karena kemampuannya yang dapat menginduksi kematian sel secara spesifik pada sel tumor (apoptosis) tanpa menginduksi sel normal yang dapat membelah dengan cepat, telah dikembangkan banyak usaha untuk mengkulturkan apoptin agar mampu menjadi metode pengobatan alternatif dalam pengobatan tumor/ kanker. Gen apoptin dikodekan oleh Chicken Anemia Virus (CAV) yang termasuk Famili Gyrovirus. Chicken Anemia Virus adalah virus DNA yang menyebabkan anemia dan atropi organ pada ayam. Chicken Anemia Virus adalah virus yang memiliki materi genetik single-stranded DNA. Chicken Anemia Virus diambil dari jaringan hati ayam broiler yang terinfeksi Chicken Anemia Virus mampu mengkodekan 3 macam protein virus yaitu : VP1, VP2, dan VP3. Protein VP1 berperan dalam menyusun kapsid. Protein VP1 memiliki massa 51 kDa. Protein VP2 adalah protein yang memiliki spesifitas terhadap fosfatase dan memiliki masa 30 kDa. Sementara protein VP3 adalah protein apoptin, yang mampu menginduksis apoptosis pada sel limosit pada ayam dan beberapa jalur sel pada sel tumor, tetapi tidak menginduksi lisis pada sel normal. Protein apoptin memiliki massa 13 kDa.
Gambar 1. Kaspid Chicken Anemia Virus (CAV) Sumber: ictvdb.bio-mirror.cn, diakses pada 3 Oktober pukul 9.03 PM
Apoptin mengandung sinyal Bipartite-type Nuclear Localization Sequence (atau NLS1 dan NLS2) pada rentang asam amino 82-88 untuk NLS1 dan pada rentang asam amino 111-121 untuk NLS2 atau pada ujung cterminalnya, serta Nuclear Export Signal (NES) yang mempunyai rentang asam amino 97-105 yang menunjukkan adanya potensi perpindahan dari nukleus ke sitoplasma dan sebaliknya. NLS1, NLS2, dan NES merupakan sequence yang memungkinkan Apoptin untuk keluar dan masuk ke dalam
6
Laporan Rekayasa Genetika: Teknik Kloning Sederhana
2014
nukleus. Struktur sekuens (sequence) asam amino dari Apoptin dapat dilihat pada ilustrasi berikut.
Gambar 2. Struktur sekuens asam amino dari apoptin Sumber: Los M, S , Paniraghi 2009
Apoptin memiliki kemampuan untuk menginduksi terjadinya apoptosis pada sel kanker manusia namun tidak pada sel normal. Sel memicu apoptosis dengan cara intrinsik mitokondrial yang memerlukan caspase-3 dan caspase-9. Belum ada mekanisme yang jelas mengapa apoptin dapat spesifik membunuh lini sel dari sel kanker. Tetapi salah satu sebabnya adalah karena pada sel kanker apoptin berlokalisasi di nukleus sementara pada sel normal umumnya diekspresikan di sitoplasma. Bentuk apoptin sangat stabil, multimerik aktif biologis terdiri dari 30-40 monomer dan nukleoprotein kompleks tingkat tinggi dengan konformasi DNA ditemukan dominan dalam aktif transkripsional replikasi dan DNA rusak. 2.2 Strategi Pengisolasian Gen Apoptin Melalui Purifikasi DNA CAV Teknik isolasi gen yang digunakan adalah metode pemisahan ekstraksi fenol kloroform. Teknik ini dapat memberikan hasil DNA yang lebih murni, jika dibandingkan dengan metode lain. Hal ini dikarenakan kemampuan fenol untuk memisahkan fasa lebih baik dibandingkan pengikatan kovalen pada proses adsorpsi. Umumnya fenol-kloroform disiapkan dalam bentuk campuran fenol-kloroform-isoamil alkohol dengan perbandingan volume 25:24:1. Campuran fenol-kloroform adalah campuran yang homogen. Fenol-kloroform dan air tidak dapat bersatu sehingga akan terbentuk dua fase yakni fase air (fase aqueous) dan fase fenol-kloroform. Tahapan isolasi gen dari apoptin adalah melakukan pemisahan dari DNA CAV dari komponen virus lain. DNA CAV memiliki ukuran sekitar 2,3 kb. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengambil virus CAV yang ingin di kultur, dengan cara menginjeksi hati ayam broiler yang terinfeksi oleh virus CAV menggunakan injector. Berikut adalah ilustrasi dari sample yang mengandung Chicken Anemia Virus.
7
Laporan Rekayasa Genetika: Teknik Kloning Sederhana
2014
Gambar 3. Sample yang mengandung Chicken Anemia Virus Sumber: http://ictvdb.bio-mirror.cn/WIntkey/Images/vsd12_c.jpg, diakses pada tanggal 3 Oktober 2014, pukul 9.18 PM
Sampel dari jaringan hati kemudian dipanaskan untuk mengurai jaringan-jaringan yang kompleks pada suhu 650C selama 20 menit. Selanjutnya, dilakukan penambahan buffer phenol jenuh dengan volume yang sama seperti sampel dan dikocok selama 3 menit, sebelum akhirnya disentrifugasi pada 14000 RPM selama 5 menit. Penambahan fenol berfungsi untuk memisahkan fasa-fasa pada virus. Fasa organik akan terikat pada fenol dan kloroform. Fasa organik akan lebih berat dan mengikat protein-protein berat seperti kapsid yang menyusun virus. Kemudian komponen DNA akan terikat pada fasa cair yang lebih ringan. Fenol dipilih karena memiliki kelarutan yang buruk sehingga protein yang larut dalam fenol akan terpisah dari cairan. Fenol akan berada dibagian bawah tabung, hal ini disebabkan karena ketika dicampurkan dengan fenol, protein terekspos dengan pelarut yang kurang polar, sehingga pola pelipatannya protein berubah. Pada dasarnya dalam kondisi tersebut residu-residu asam amino dari protein akan bertukar tempat. Residu yang kurang polar yang tadinya tersembunyi di sisi dalam protein ketika berada dalam pelarut air, kini mendesak menuju ke sisi luar untuk berinteraksi dengan pelarut fenol. Tahap selanjutnya adalah memisahkan lapisan atas dari lisat dan dicampurkan dengan kloroform pada volume yang sama dengan sampel, dan kembali disentrifugasi pada 14000 RPM selama 5 menit. Bagian atas dari hasil sentrifugat dipisahkan. Langkah berikutnya adalah menambahkan NaAc 3M pada sampel sebanyak 1/10 dari volume sampel dan kemudian menambahkan juga 100% EtOH sebanyak 2 kali volum sampel. Setelah mengocok sampel selama beberapa detik, sampel didinginkan pada suhu -200C selama 30 menit. Setelah pendinginan selesai, sentrifugasi kemudian dilakukan kembali lagi pada 14000 RPM selama 5 menit hingga terbentuk pelet. Jika pelet tidak terbentuk dalam waktu 5 menit, maka perlu dilakukan sentrifugasi ulang selama 5 menit. Pemisahkan pelet dari supernatan kemudian dilakukan dengan pipet secara perlahan-lahan. Penambahan etanol ditujukan untuk mengendapkan DNA. Karena DNA memiliki sifat yang sangat polar akibat muatan yang dimiliki struktur fosfatnya. Untuk itu, etanol yang memiliki sifat tidak polar dapat menyebabkan adanya atraksi elektrik antara gugus fosfat dan ion positif yang ada dalam larutan sampel sehingga membentuk ikatan ion dan mengendapkan DNA. Ion yang nantinya berikatan dengan DNA untuk diendapkan adalah ion natrium yang berasal dari Natrium asetat. Setelah itu pelet dibiarkan kering sehingga tidak ada cairan lagi didalam sampel. Pelet kemudian disuspensikan didalam air. Sampel tersebut merupakan hasil isolasi gen yang mengandung DNA Chicken Anemia Virus
8
Laporan Rekayasa Genetika: Teknik Kloning Sederhana
2014
murni untuk kemudian dilakukan tahapan selanjutnya dalam melakukan teknik kloning apoptin. 2.3 Strategi Modifikasi Gen Apoptin Untuk Mengkloning Gen Apoptin 2.3.1 Pemilihan Vektor pUC19 untuk Kloning Gen Apoptin Vektor yang akan digunakan ialah pUC19 yang diambil dari bakteri E.Coli. Vektor pUC19 merupakan vektor yang memiki circular double stranded DNA dan mempunyai 2686 bp (base pairs). Plasmid vektor ini sangat mudah ditransfeksikan kedalam E coli dengan metode yang sederhana dan relatif murah (seperti heat shock) serta dapat dengan cepat bereplikasi dan amat mudah diseleksi dengan metode white/blue color selection (Yanisch-Perron, 1985; Chung, et al., 1989). Vektor pUC19 lazim digunakan dalam teknik kloning sederhana. Keunggulannya adalah mudah dibedakan dari non rekombinannya berdasarkan perbedaan warna koloni pada media pertumbuhan. Dalam teknik kloning, vektor ini bisa gunakan karena beberapa alasan, yakni: a. Memiliki origin of replication, sebagai syarat replikasi. Vektor pUC19 memiliki yang namanya oriV. b. Mempunyai dua gen marker yang dapat menandai masuk tidaknya plasmid ke dalam sel inangnya nanti. Gen marker ini dapat ditandai dengan amphicilin dan blu-white screening. c. Ukuran yang sesuai, memiliki ukuran yang relatif kecil dibandingkan dengan pori dinding sel inang sehingga dapat dengan mudah melintasinya. d. Memiliki multiple cloning site (MCS) dalam menjalankan fungsinya. Sekuen Multiple cloning site berada pada bagian 5„ dari lacZ gene yang mengkodekan untuk amino, bagian N terminal dari betagalactosidase (LacZ) dari E.coli. Daerah MCS berada dalam lacZ gene (kodon 6 – 7 lac Z digantikan oleh MCS), dimana bermacam jenis sisi restriksi untuk beberapa restriksi endonuklease itu ada. 2.3.2 Pemilihan Situs Restriksi pada Plasmid Untuk melakukan cloning DNA insert ke dalam vector cloning, dibutuhkan dua enzim restriksi yang berbeda untuk membentuk ujung yang kompatibel. Enzim yang digunakan menghasilkan ujung yang kohesif atau sticky ends untuk memastikan bahwa penggabungan insert berada pada arah yang benar. Enzim yang dipilih diusahakan agar tidak menghasilkan potongan yang komplemen satu sama lainnya (compatible end) sehingga arah penyisipan fragmen dapat terbalik. Pada kasus ini, dipilih dua situs restriksi yang akan digunakan, yakni BamHI dan HindIII. Kami ingin menyisipkan gen apoptin pada situs restriksi BamHI pada ujung 5‟ dan HindIII pada ujung 3‟. Kami memilih ujung BamHI (GGATCC) dan HindIII (AAGCTT) dikarenakan kedua enzim ini memiliki ujung sticky end (kohesif). 2.3.3 Perancangan Primer untuk PCR Gen apoptin yang ada pada DNA CAV kemudian di sekuens menggunakan metode sanger. Setelah mengetahui sekuens dari apoptin, kita bisa membuat primer yang sesuai untuk selanjutnya dilakukan metode PCR. Ada dua jenis primer yang akan didesain, yaitu forward primer (5‟-end) dan reverse primer (3‟-end). 2.3.3.1 Forward Primer Forward primer overlap dengan 5’-end dari gen of interest. Primer harus mengandung elemen situs restriksi (yang
9
Laporan Rekayasa Genetika: Teknik Kloning Sederhana
2014
menyediakan sticky end/ujung lengket yang sama pada enzim restriksi pada Multiple Clonning Site dari vektor yang dipilih), Ekstensi 5’ hingga situs restriksi (dapat mempengaruhi efisiensi pemutusan oleh enzim restriksi), Kodon start ATG (harus dimasukan ketika gen yang ingin disisipi, tidak diberi tag pada NTerminal atau fusion protein) dan Overlap dengan gen of interest (Banyaknya basa pada primer yang saling tumpang tindih dengan gen of interest hingga memberikan Tm = 60°C atau lebih). Berikut adalah prosedur proses desain dari forward primer pada gen apoptin. 1. Ekstensi 5' (8 Arg Tag) 2. Situs restriksi BamHI (GGATCC)
Gambar4. Situs Restriksi BamHI Sumber: Ilustrasi Penulis
3. Kodon Start (ATG) 4. Overlap primer dengan ujung 5' dari gen apoptin mulai dari ATG kodon start. Berikut adalah sequence hasil dari desain forward primer: 5’ – CCCGGG – ATG – AGG AGA AGG AGA AGG AGA AGG AGA– AAC GCT CTC CAA GAA GAA CT – 3’ 2.3.3.2 Reverse Primer Reverse primer (3’-end) overlap dengan rantai DNA komplemen sampai 3’-end dari gen of interest. Reverse primer harus mengandung, yakni situs restriksi (menyediakan sticky end/ujung lengket, yang sama pada enzim restriksi pada Multiple Clonning Site), Ekstensi 5’ hingga situs restriksi, Kodon stop TAA, TAG, dan TGA (harus ada ketika tidak ada tag pada C-Terminal), dan Overlap dengan rantai DNA komplemen hingga ujung 3’ dari gene of interest (banyaknya basa yang tumpang tindih antara primer dengan rantai DNA komplemen juga dihitung hingga Tm = 60°C atau lebih). Berikut adalah prosedur proses desain dari reverse primer pada gen apoptin. 1. Ekstensi 5' (12 His Tag) Ada dua cara dalam menyisipkan histidine, yakni sebelum kodon start dan setelah kodon start. Pada kasus ini, sebanyak 12 His tag disisipkan tepat sebelum kodon start, dikarenakan bagian forward primer akan disambungkan di C-Terminal gen apoptin. 2. Situs restriksi HindIII (AAGCTT)
Gambar 5. Situs Restriksi HindIII Sumber: Ilustrasi Penulis
3. Komplemen kodon stop (TTA) 4. Overlap primer dengan rantai komplemen hingga ujung 3’ gen apoptin.
10
Laporan Rekayasa Genetika: Teknik Kloning Sederhana
2014
Berikut adalah sequence hasil dari desain reverse primer: 3’ - TTC CAC ATAT TCT GAC – GTG GTC GTG GTC GTG GTC GTG GTC GTG GTC GTG GTC – ATT – CTTAAG – 5’ Susunan harus dibalik karena susunan primer harus dari 5’ ke 3’ maka penulisan primer akhirnya menjadi : 5’ - GAATCC - TTA – CTG GTG CTG GTG CTG GTG CGT GTG CTG GTG CTG GTG – CAG TCT TATA CAC CTT – 3’ Dengan demikian, berakhirlah proses modifikasi atau desain primer yang ada dengan sudah melakukan penambahan 8 arginin pada N – Terminal dan 12 histidine pada C – Terminal. Selanjutnya, tinggal melakukan proses PCR biasa. Namun, kita harus mengecek pada Tm (Melting temperature) dari primer, dengan ketentuan Tm untuk kedua primer sama atau selisih 2-4 °C dan diatas 60°C. Selain Tm, kandungan GC dalam primer harus berjumlah antara 40 – 60%. 2.4 Strategi Penyisipan Insert Gen Apoptin ke dalam Vektor Plamid pUC19 2.4.1 Restriksi Gen Apoptin Modifikasi dan Restriksi pUC19 2.4.1.1 Site Restriksi Gen Apoptin Modifikasi dan Restriksi pUC19 Hasil dari proses modifikasi gen apoptin melalui PCR dengan penambahan arginin pada N-terminal dan histidin pada Cterminal juga meliputi penambahan site restriksi pada amplikon PCR yang terbentuk. Pemilihan enzim restriksi harus menyesuaikan dengan site restriksi yang ada pada baik insert kloning maupun vektor plasmid dan ketersediaan enzim restriksi itu sendiri di pasaran. Modifikasi PCR gen apoptin menghasilkan site restriksi BamHI dengan site restriksi GGATCC pada ujung 5’ dan HindIII dengan site restriksi AAGCTT pada ujung 3’. 5’ - Restriction Site (BamHI) – Start Kodon – 8 Arginin – Kode apoptin – 12 Histidin – Stop Kodon – Restriction Site (HindIII) – 3’ 5’ - GGATCC – ATG – AGGAGAAGGAGAAGGAGAAGGAGA – Kode Apoptin – GTGGTCGTGGTCGTGGTCGTGGTCGTGGTCGTGGTC – TAA – AAGCTT – 3’
Gambar 6. Peta Plasmid pUC19 beserta Site Restriksinya Sumber: http://ictvdb.bio-mirror.cn/WIntkey/Images/vsd12_c.jpg, diakses pada tanggal 3 Oktober 2014, pukul 9.18 PM
2.4.1.2 Langkah-Langkah Restriksi Tahapan restriksi adalah sebagai berikut. a. Pemilihan Enzim Restriksi
11
Laporan Rekayasa Genetika: Teknik Kloning Sederhana
2014
Dalam penelitian ini, enzim resktriksi yang digunakan adalah BamHI dan HindIII. b. Pemilihan Buffer Fungsi buffer adalah untuk mempertahankan pH pada nilai tertentu agar DNA tidak terdegradasi dengan penambahan bahan lainnya. Pemilihan buffer yang sesuai diperlukan karena masing-masing enzim restriksi memiliki optimasi kondisi reaksi yang berbeda sesuai dengan buffernya. Jika kita menggunakan enzim restriksi BamHI dan HindIII dari diagram aktivitas enzim Viswagen Biotech, kita menggunakan buffer M, karena pada buffer M, kedua enzim restriksi memiliki aktivitas enzim 100.
Gambar 7. Diagram Aktivitas Enzim pada Beberapa Buffer Sumber: http://www.viswagenbiotech.com/images/enzymeactivity.jpg, diakses pada tanggal 3 Oktober 2014, pukul 9.22 PM
c. Pencampuran Setelah memilih enzim restriksi dan buffer, keduanya dicampur dan ditambahkan dengan DNA yang hendak dipotong, BSA, serta dH2O hingga volume total pada microtube 1,5 ml. DNA yang dipotong biasanya kurang lebih sekitar ~500 ng. Jumlah volume total reaksi bervariasi, dari 10 – 50 uL, bergantung pada volume DNA potong. Volume DNA dihitung dari pembagian 500 ng dan konsentrasi DNA yang telah diukur sebelumnya (ng/uL). Sedangkan BSA (Bovine Serum Albumine) digunakan untuk mencegah adhesi enzim pada microtube dan permukaan tips pipet sehingga meminimalisir enzim yang tertinggal pada permukaan tersebut. Semua komponen kemudian dicampur perlahan dengan mikropipet. d. Inkubasi dan Heat Kill Setelah semua komponen dicampur, campuran diinkubasi dalam temperatur suhu tubuh manusia, yakni 37oC selama 1 jam. Untuk menginaktif enzim, heat kill pada 70oC
12
Laporan Rekayasa Genetika: Teknik Kloning Sederhana
2014
selama 15 menit dilakukan setelah inkubasi. Sebagai gambaran, hasil restriksi pada site restriksi BamHI adalah sebagai berikut. A TTCGA
AGCTT A
Gambar 8. Hasil restriksi pada site restriksi BamHI Sumber: Ilustrasi Penulis
2.4.2
Ligasi 2.4.2.1 Penambahan Alkaline Phosphatase ke dalam Larutan Vector Penambahan alkalin fosfatase pada larutan vektor (sebelum dicampur dengan insert) untuk menghilangkan gugus P pada 5’P sehingga menjadi 5’OH (defosforilasi) sehingga dapat meminimalisasi terjadinya kemungkinan vektor menyambung pada vektor itu sendiri atau vektor menyambung dengan vektor lain (terjadi ligasi antar vektor). Dengan berubahnya 5’P menjadi 5’OH maka yang diharapkan terjadi yaitu vektor hanya berikatan dengan insert, 3’OH pada vektor akan menyambung pada 5’P insert, akan tetapi 3’OH insert tidak dapat menyambung ke vektor karena 5’P vektor telah berubah menjadi 5’OH sehingga terjadi nick atau celah. Meskipun terjadi celah, insert dan vektor tetap berikatan dan dapat ditransformasikan dimana celah ini nanti akan diperbaiki di dalam sel apabila berhasil ditransformasikan.
Gambar 9. Mekanisme Efisiensi Ligasi Sumber: Anam, Khairul. 2009. Laporan Praktikum Genetika Molekular: DNA Rekombinasi. Sekolah Pascasarjana Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor
2.4.2.2 Penambahan Buffer ke dalam Campuran Fungsi buffer adalah mempertahankan pH pada nilai tertentu agar DNA tidak terdegradasi dengan penambahan bahan lainnya. Buffer yang digunakan mengandung ATP karena umumnya enzim restriksi buffer akan bekerja jika dilengkapi ATP. Buffer biasanya diberikan sebagai konsentrat 10X, setelah pengenceran, konsentrasi ATP menghasilkan sekitar 0,25-1 mM. Hal ini juga disesuaikan dengan penggunaan pelarut dan enzim yang akan ditambahkan sehingga tercipta kondisi yang sesuai untuk proses ligasi fragmen DNA (insert) dengan vektor.
13
Laporan Rekayasa Genetika: Teknik Kloning Sederhana
2014
2.4.2.3 Penambahan ddH2O ke dalam Campuran Umumnya pelarut yang digunakan adalah ddH2O (doubledistilled water) karena dapat melarutkan DNA atau RNA dengan baik. ddH2O atau disebut juga aqua bidestillata atau ultrapure water, adalah air yang sangat murni, lebih murni dari aquadest atau pun air reverse osmosis. Umumnya ddH2O dibuat dengan melewatkan aquadest ke dalam suatu cartridge berisi resin-resin filter dan deionisasi untuk menghilangkan ion-ion dari air, hingga diperoleh nilai hantaran listrik yang sangat kecil (sekitar 5.5 × 10−6 S•m−1 atau 18 MΩ cm), terakhir air tersebut dilewatkan melalui filter membran dengan pori-pori 0.22 µl. Biasanya ddH2O tidak perlu disterilkan lagi menggunakan autoclave. Penambahan ddH2O adalah untuk pemurnian dan proses vakum. Selain itu, penambahan ddH2O memiliki efek positif, yaitu tidak mengandung EDTA seperti pelarut TE Buffer (campuran antara larutan Tris-HCl dengan EDTA). EDTA merupakan chelating agent yang dapat membentuk senyawaan kompleks dengan ion logam seperti Mg2+ dan menghambat aplikasi enzimatis. Namun penambahan ddH2O memiliki efek negatif yakni timbul peluang untuk berubahnya pH. Ini dapat terjadi karena DNA dan RNA memiliki sifat asam lemah. yang dalam waktu lama dapat menyebabkan degradasi DNA/RNA, apalagi DNase juga bekerja pada pH yang sedikit asam. Oleh karena itu dilakukan penambahan buffer di awal. 2.4.2.4 Penambahan DNA Ligase ke dalam Campuran DNA ligase ditambahkan paling akhir karena kondisi larutan harus disesuaikan agar ligasi berjalan efektif. DNA ligase merupakan enzim yang mengkatalisis pembentukan ikatan fosfodiester antara ujung 5’-fosfat dan 3’-hidroksil pada DNA yang mengalami nick. Nick pada DNA dapat terjadi pada saat replikasi DNA, rekombinasi dan kerusakan. Jenis DNA ligase yang digunakan pada kloning adalah T4 DNA Ligase, enzim ligase dari bakteri E. coli yang telah terinfeksi virus T4. Enzim ini akan meligasi fragmen DNA yang menggantung, memiliki ujung kohesif (lengket) maupun ujung tumpul. Untuk meligasi fragmen DNA yang memiliki ujung tumpul, diperlukan konsentrasi enzim yang lebih besar. Kofaktor T4 DNA Ligase adalah ATP sehingga proses ligasi DNA T4 memerlukan larutan penyangga (buffer) yang mengandung ATP dengan konsentrasi 0.25-1 mM seperti yang telah ditambahkan sebelumnya. Mekanisme DNA ligase dimulai dari hidrolisis kofaktor, yaitu ATP. Peristiwa ini menghasilkan kompleks enzim-adenylate AMP yang berikatan kovalen dengan grup α-amino residu lysin pada sisi aktif dengan melepaskan pyrofosfat inorganik (PPi). Kemudian sebagian AMP akan berpindah dari sisi aktif lysin ke ujung bebas 5’-fosfat yang berada pada nick utas DNA. Pada akhirnya, ikatan fosfodiester akan terbentuk antara ujung 3’-OH yang berada di ujung nick dengan 5’-fosfat dan melepaskan AMP dan enzim adenylate.
14
Laporan Rekayasa Genetika: Teknik Kloning Sederhana
2014
Gambar 10. Mekanisme DNA Ligase Sumber: Anam, Khairul. 2009. Laporan Praktikum Genetika Molekular: DNA Rekombinasi. Sekolah Pascasarjana Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor
2.4.2.5 Inkubasi Suhu optimum aktivitas DNA ligase adalah pada suhu 37ºC, tetapi pada suhu tersebut ikatan hidrogen yang terbentuk di antara ujung lancip (lengket) menjadi tidak stabil dan kerusakan akibat panas akan terjadi pada tempat ikatan tersebut dan mengakibatkan denaturasi. Maka, alternatif yang baik dilakukan dalam proses ini adalah inkubasi pada suhu yang diturunkan dengan waktu inkubasi yang diperpanjang. Suhu inkubasi optimal untuk T4 DNA ligase 160C. Namun, hal ini bdilakukan jika diinginkan efisiensi yang tinggi dalam ligasi (contohnya dalam membuat pustaka genom), tetapi jika ligasi bertujuan untuk kloning umumnya ligasi dilakukan pada suhu 4 °C semalaman, atau pada suhu ruang selama 30 menit hingga beberapa jam. Pada akhirnya terjadi transformasi dan fragmen DNA yang diinginkan (insert) dapat disisipkan ke dalam molekul DNA (vektor). 2.5 Strategi Transformasi Gen Apoptin 2.5.1 Pemilihan Bakteri Escherichia Coli sebagai Sel Inang dalam Proses Kloning Gen Apoptin Escherichia coli merupakan bakteri berbentuk batang dengan panjang sekitar 2 micrometer dan diameter 0.5 micrometer. Bakteri ini umumnya hidup pada rentang 20- 400C, optimum pada 370. E. coli ditemukan oleh Theodore Eschetrch pada tahun 1885. Hampir semua rekayasa genetika di dunia bioteknologi selalu melibatkan E.coli, termasuk dalam proses kloning. Pemilihan E.coli sebagai host cell dikarenakan bakteri ini memiliki laju pertumbuhan yang cenderung lebih cepat, dapat dikultivasi pada medium kultur biasa, berbagai gen asing yang mengkode protein target dapat diterima dan diekspresikan dengan baik oleh E.coli. Namun, terdapat kelemahan penggunaan E.coli yakni, sinyal transkripsi dan translasi spesies lain tidak dikenali dengan baik oleh inang E.coli, sehingga ekspresi gen-gen heterolog di E.coli lemah. Selain itu, degradasi protein produk secara cepat dan seringkali protein rekombinan justru terakumulasi dan membentuk agregat kompak, yang bersifat inaktif tidak larut (sehingga menghambat proses purifikasi), yang disebut dengan badan inklusi (inclusion bodies). Efek lebih buruk protein dapat menjadi tidak aktif. Hal ini terjadi karena keterbatasan E.coli dalam membentuk struktur tiga dimensi protein secara benar dalam proses pelipatan pasca translasi.E.coli memiliki banyak strain yang digunakan
15
Laporan Rekayasa Genetika: Teknik Kloning Sederhana
2014
dalam tahapan rekayasa genetika. Setiap strain memiliki tingkat efisiensi transformasi yang berbeda-beda dan kemampuan untuk mengekspresikan gen pengkode seperti Apoptin. Berikut adalah tabel strain dari E.coli yang biasa digunakan untuk klona maupun untuk ekspresi dari salah satu produsen (New England Biolabs):
Tabel 1. Karakter dari Strain Klona dan Ekspresi E.coli Sumber: Competent Cell Clining and Protein Expression. New England Biolabs Inc. http://www.neb.com, diakses pada 6 Oktober pukul 10.15 PM
Dalam teknik klona gen Apoptin, jenis strain E.coli yang dipilih untuk klona adalah DH10β karena memiliki karakter efisiensi klona dari plasmid yang tinggi dan tidak memiliki aktivitas endonuklease, sedangkan untuk ekspresi dipilih BL21(DE3) karena karakter yang sesuai dengan tujuan pemurnian protein. Strain DH10β merupakan turunan dari strain K12. Strain ini memiliki efisiensi transformasi yang tinggi dan memiliki kemampuan replikasi yang tinggi. Replikasi dari plasmid dengan tingkat high-copy dapat terjadi dengan stabil. Seleksi dengan metode blue-white juga bisa dilakukan pada strain ini. Gen recA1 pada DH10β juga mencegah aktivitas endonuklease sehingga proses isolasi plasmid dapat dilakukan dengan baik. Sedangkan strain BL21(DE3) mempunyai efisiensi transformasi yang cukup tinggi dan memiliki gen 𝜆DE3 pengkode T7 RNA polimerase yang dapat mengekspresikan gen target pada vektor ekspresi dengan induksi IPTG (Isopropil thiogalaktosida). Induksi dari T7 RNA polimerase pada E.coli BL21 (DE3) akan mensintesis mRNA dalam jumlah yang tinggi. Dan pada sebagian besar penelitian, akumulasi
16
Laporan Rekayasa Genetika: Teknik Kloning Sederhana
2014
protein heterologus dalam jumlah tinggi juga dapat diperoleh. Strain tersebut juga memiliki mutasi Ion dan OmpT protease sehingga dapat meminimalisir degradasi protein rekombinan yang terekspresi.
2.5.2
2.5.3
Pembuatan sel kompeten Sebelum proses transformasi, E.coli DH10β harus dibuat kompetennya dahulu. Keadaan kompeten adalah keadaan saat bakteri (host cell) siap untuk dimasukkan dengan materi genetik asing. Pembuatan bakteri kompeten dilakukan dengan penambahan larutan CaCl2, sehingga meningkatkan kemampuannya untuk mengambil DNA. Larutan CaCl2 dalam keadaan dingin efektif untuk memperlemah dinding sel dan meningkatkan permeabilitasnya sehingga mudah mengikat DNA. Dinding sel yang dilindungi oleh lipoprotein dengan plasmid yang samasama bermuatan negatif akan sulit untuk menempel. Penambahan larutan CaCl2 membantu mengubah sifat permeabilitas sel. Bakteri yang tadinya terdapat pada bagian pelet kemudian diresuspensi kembali dengan larutan MgCl2. Mg2+ dapat menurunkan kerapatan membran. Hal ini dikarenakan adanya interaksi antara mineral tersebut dengan bagian hidrofilik membran. Melalui hasil ini dapat diketahui bahwa penambahan MgCl2 berperan dalam mengganggu kestabilan membran sel E.coli. Transformasi gen apoptin rekombinan ke dalam E.coli DH10β Tahap memasukkan campuran reaksi ligasi ke dalam sel inang ini dinamakan transformasi. Sel inang diharapkan akan mengalami perubahan sifat setelah dimasuki oleh molekul DNA rekombinan. Molekul CaCl2 menyebabkan sel-sel bakteri membengkak dan membentuk sferoplas yang kehilangan protein periplasmiknya sehingga dinding sel menjadi bocor. DNA yang ditambahkan ke dalam campuran, akan membentuk kompleks resisten DNase dengan ion-ion Ca2+ yang terikat pada permukaan sel. Kompleks ini, diambil oleh sel selama perlakuan kejut panas diberikan. Pemberian kejutan panas (heat shock) yang diikuti pendinginan akan menjadikan dinding sel kembali seperti semula.Secara garis besar, ada dua teknik yang dapat digunakan untuk memasukkan DNA rekombinan ke dalam sel inangnya, yakni chemical transformation, menggunakan metode heat shock/ electroporation (kejutan listrik). Dalam kasus ini, digunakan vektor plasmid dan E.coli DH10β sebagai host cell, teknik transformasi yang digunakan adalah chemical tranformation.
2.6 Strategi Screening Test untuk Penyeleksian Menemukan sel yang mengandung hasil insersi yang diinginkan diantara semua sel perpustakaan genomik merupakan kerja yang sulit. Proses tersebut melibatkan penelusuran semua sel rekombinan / fag yang diperoleh dari transformasi atau transduksi untuk menemukan klon yang diinginkan. Kemungkinan menemukan fragmen gen yang diinginkan dalam sebuh perpustakaan gen tertentu bisa diestimasi melalui rumus berikut ini. ln (1 − 𝑃) 𝑁= 1 𝑙𝑛 �1 − � 𝑛 , dimana N adalah jumlah rekombinan yang perlu discreening, n adalah rasio ukuran genom organisme relatif terhadap ukuran fragmen rata-rata dalam perpustakaan gen, P sama dengan probabilitas (apabila p = 0.95 berarti ada 95% kemungkinan untuk menemukan klon tersebut). Proses ini dinamakan
17
Laporan Rekayasa Genetika: Teknik Kloning Sederhana
2014
dengan proses screening. Proses screening dapat dilihat pada ilustrasi berikut.
Gambar 11. Ilustrasi Proses Screening Sumber: http://biochem.arizona.edu, diakses pada 11 Oktober 2014, pukul 00.07
Metode screening yang digunakan pada teknik kloning apoptin ini adalah dengan blue-white screening. Alasan penggunaan metode ini adalah karena vektor yang digunakan adalah plasmid pUC19 yang memiliki semua elemen terkait metode ini. Plasmid jenis ini juga dinamakan plasmid ekspresi karena plasmid ini mebawa promoter yang menghadap pada lokus cloning. Plasmid berukuran 2.686 pasang basa dan membawa gen resisten terhadap ampisilin: promoter dari operon lactosa dari E.coli: membawa gen lacZ, sebagiian gen lacZ yaitu ujung asam amino dari β-galaktosidase: bagian yang dinamakan lokus untuk koning (EcoRI, SacI. KpnI, SmaI, XmaI, BamHI dll). Dalam sel yang membawa vector ini dan ditumbhkan dengan isopropyltiogalaktosida (IPTG) akan menginduksi ekspresi gen Lac Z karena repressor LaCI tidak dapat menempel pada operator lac.
18
Laporan Rekayasa Genetika: Teknik Kloning Sederhana
2014
Pada awalnya, yang harus dilakukan adalah memastikan apakah di dalam E.coli DH10β hasil transformasi benar-benar memiliki hasil rekombinan dari proses transformasi. Seperti yang kita ketahui, bakteri tidak dapat hidup pada media yang mengandung antibiotik. Untuk itu, pada DNA plasmid pUC19 yang ditranformasikan terdapat gen penyandi antibiotik resisten, yakni gen ampicilin resisten (ampR) agar bakteri host [E.coli DH10 β] menjadi tahan hidup di media yang mengandung antibiotik. Jadi bakteri yang tidak disisipi plasmid akan mati dengan sendirinya. Permasalahan berikutnya adalah bagaimana menentukan host cell yang plasmidnya memiliki gen apoptin atau tidak. Tahapan ligasi tidak 100% berhasil menyambungkan vektor dan insertnya. Bisa saja vektor tersebut berligasi sendiri (vector selfligation), atau insert yang berligasi sendiri (insert self-ligation). Pada kasus ini, gen apoptin (insert) disisipkan di pertengahan gen lacZ yang merupakan penyandi lacZ-á subunit dari enzim 𝞫-galaktosidase. Enzim ini dapat memecah substrat seperti X-gal (suatu galaktosa yang dimodifikasi) menjadi galaktosa dan pre-chromophore 5-bromo-4-chloro-3hydroxyindole, yang selanjutnya dioksidasi menjadi 5,5’-dibromo-4,4’dichloro-indigo yang berwarna biru.
Gambar 12. Mekanisme degradasi X-gal oleh 𝞫-galaktosidase Sumber: http://biochem.arizona.edu, diakses pada 11 Oktober 2014, pukul 00.14
Jika gen LacZ masih utuh, maka koloni bakteri E.coli DH10Β akan berwarna biru akibat pengaruh zat warna indigo yang dihasilkan. Tetapi jika insert berhasil disisipkan (diligasikan) dengan vektor, otomatis gen lacZ-nya akan terdisrupsi alias rusak dan ujung-ujungnya tidak mampu menghasilkan indigo yang berwarna biru, sehingga koloni akan berwarna putih. Jadi hanya koloni putih yang timbuh pada media yang mengandung antibiotik dan X-Gal saja yang kemungkinan mengandung gen apoptin yang ditransformasikan. Inilah mengapa proses ini dinamakan blue-white screening.
19
Laporan Rekayasa Genetika: Teknik Kloning Sederhana
2014
Gambar 13. Proses ligasi insert-plasmid Sumber: http://biochem.arizona.edu, diakses pada 11 Oktober 2014, pukul 00.14
Menurut Mangunwardoyo (2002) transforman yang dihasilkan ada yang berwarna biru dan putih atau putih berubah menjadi biru, adanya warna biru karena senyawa X-gal dalam medium. Hal ini terjadi karena adanya ααkomplementasi di mana vektor plasmid pUC 19 pada bagian poli-lingkernya masing-masing mengkode 146 asam amino dari ββ galaktosidase (ββ-gal), sedangkan inangnya mengkode bagian C-terminal dan merupakan komplemen dari ββ-gal. Jika gen penyandi amino terminal ββ-gal dari vektor plasmid dirusak dengan adanya fragmen DNA, maka protein ββ-gal tidak terbentuk, hal ini menyebabkan koloni berwarna putih pada medium yang mengandung X-gal, sedangkan koloni yang melakukan komplementasi berwarna biru. Davis et al. (1994) menyebutkan terjadinya perubahan koloni yang berwarna putih menjadi biru kembali, kemungkinan disebabkan adanya pergeseran kerangka baca (frameshift) dari protein, atau mungkin disebabkan adanya aktivitas eksonuklease yang memotong fragmen tersebut. 2.7 Strategi Harvesting dan Pemurnian Gen Apoptin Hasil Kloning Setelah proses seleksi E.coli BL21(DE3) yang mengandung plasmid rekombinan berhasil, maka dilakukanlah proses harvesting, dimana hasil dari blue-white screening disentrifugasi. Dari hasil sentrigugasi ini, kemudian diambil supernatannya untuk kemudian dimurnikan. Teknik pemurnian yang digunkan adalah IMAC (Immobilized Metal Affinity Chromatography). Teknik ini cocok dengan strategi kloning yang sebelumnya digunakan karena teknik ini menggunakan senyawaa pengkelat yang terikat secara kovalen pada zat padat pendukung kromatografi dan zat padat ini mengikat ion logam. Prinsip IMAC yaitu interaksi reversible anatara beberapa ranatai samping asam amino dan immobilized ion metal. Gen apoptin yang direkayasa sebelumnya mengandung histidin pada ujung N-terminalnya. Kehadiran His-Tag ini mengafilitasi proses pemurnian protein berdasarkan afinitas selektif protein dengan polihistinin tersebut terhadap adsorben yang dilengkapi pengkelat metal seperti Ni2+ atau Co2+. Interaksi anatra residu histidin dengan ion logam ini bersifat reversibel dan protein yang terikat dapat dielusi dengan imidazole atau dengan merendahkan nilai pH. Karena imidazole indentik dengan rantai samping histidin, maka pada saat konsentrasi imidazole ditingkatkan, imidazole akan menggantikan posisi pilihistidin pada
20
Laporan Rekayasa Genetika: Teknik Kloning Sederhana
2014
resin, dan polihistidin akan terleusi keluar. Sehingga diperolehlah protein gen apoptin murni.
Gambar 14. Mekanisme permurnian protein dengan IMAC Sumber. http://www.rsc.org/ej/AN/2008/b802355g/b802355g-s1.gif, diakses pada 14 Oktober 2014, pukul 9.51 AM
Sebagai pembanding, teknik lain yang dapat digunakan dalam proses pemurnian adalah ion-exchange chromatography dengan prinsip ikatan ionik antara asam amino dengan cation/anion exchange atau gel filtration chromatography dengan prinsip ‘trapping’ molekul protein di dalam sebuah gel sebagai fase stasioner dari kolom kromatografi.
21
Laporan Rekayasa Genetika: Teknik Kloning Sederhana
2014
BAB III PEMBAHASAN KELEBIHAN DAN KEKURANGAN STRATEGI
3.1 Pemilihan Vektor pUC19 Kelebihan dari penggunaan vektor pUC19 adalah sering digunakan dalam teknik kloning sederhana sehingga data-data yang dibutuhkan dapat diperoleh dengan tepat. Plasmid ini sangat mudah ditransfeksikan kedalam E. coli dengan metode yang sederhana dan relatif murah seperti heat shock serta dapat dengan cepat bereplikasi dan amat mudah diseleksi dengan metode white/ blue screening. 3.2 Pemilihan Host atau Sel Inang E.coli Dasar kami memilih bakteri Escherichia coli DH10Β sebagai sel inang adalah E.coli memiliki karakteristik ideal sebagai sel inang bagi gen yang akan dikloning. Karakteristik tersebut antara lain mudah dimanipulasi, mampu tumbuh dengan cepat dan stabil pada medium kultur biasa, non-patogen, serta dapat ditransformasi DNA asing (Brock dkk. 1994:295). Strain ini memiliki gen Λde3 pengkode T7 RNA polimerase yang dapat mengekspresikan gen target pada vektor ekspresi dengan induksi IPTG. Strain tersebut juga memiliki mutasi ion dan OmpT protease sehingga dapat meminimalisir degradasi protein rekombinan yang terekspresi. Kekurangan dari sel inang jenis ini, pada umumnya sinyal transkripsi dan translasi spesies lain tidak dikenali dengan baik oleh inang E.coli, sehingga ekspresi gen-gen heterolog di E.coli lemah. Selain itu, degradasi protein produk secara cepat dan seringkali protein rekombinan justru terakumulasi dan membentuk agregat kompak, yang bersifat inaktif tidak larut (sehingga menghambat proses purifikasi), yang disebut dengan badan inklusi (inclusion bodies). Efek lebih buruk protein dapat menjadi tidak aktif. Hal ini terjadi karena keterbatasan E.coli dalam membentuk struktur tiga dimensi protein secara benar dalam proses pelipatan pasca translasi. 3.3 Pemilihan Teknik Isolasi Gen Apoptin Pada kasus ini, kami menggunakan metode phenol-kloroform untuk mempurifikasikan gen apoptin pada DNA CAV. Hal ini dikarenakan metode ini memiliki kelebihan yakni DNA yang dihasilkan dari proses purifikasi metode ini, hasilnya sangat murni. Namun, kekurangannya adalah waktu yang dibutuhkan untuk proses ini lebih lama. 3.4 Metode Sekuensing DNA Dalam melakukan sekuensing atau pemetaan DNA, digunakan metode sanger atau Sekuensing dengan dideoksi. Metode Sanger pada dasarnya memanfaatkan dua sifat salah satu subunit enzim DNA polimerase yang disebut fragmen klenow. Kedua sifat tersebut adalah kemampuannya untuk menyintesis DNA dengan adanya dNTP dan ketidakmampuannya untuk membedakan dNTP dengan ddNTP. Jika molekul dNTP hanya kehilangan gugus hidroksil (OH) pada atom C nomor 2 gula pentosa, molekul ddNTP atau dideoksi nukleotida juga mengalami kehilangan gugus OH pada atom C nomor 3 sehingga tidak dapat membentuk ikatan fosfodiester. Artinya, jika ddNTP disambungkan oleh fragmen klenow dengan suatu molekul DNA, maka polimerisasi lebih lanjut tidak akan terjadi atau terhenti. Basa yang terdapat pada ujung molekul DNA ini dengan sendirinya adalah basa yang dibawa oleh molekul ddNTP.
22
Laporan Rekayasa Genetika: Teknik Kloning Sederhana
2014
Selain metode Sanger, dikenal juga metode Maxim Gilbert. Pada metode ini fragmen-fragmen DNA yang akan disekuens harus dilabeli pada salah satu ujungnya, biasanya menggunakan fosfat radioaktif atau suatu nukleotida pada ujung 3’. Metode Maxam-Gilbert dapat diterapkan baik untuk DNA untai ganda maupun DNA untai tunggal dan melibatkan pemotongan basa spesifik yang dilakukan dalam dua tahap. 3.5 Pemilihan Teknik Modifikasi Gen Apoptin Kami memilih menggunakan PCR untuk memodifikasi gen apoptin agar compatible dengan vektor dikarenakan PCR memiliki beberapa kelebihan daripada cara manual (potong tempel) yaitu dapat mengcopy berjuta-juta DNA dari sedikit fragmen DNA dalam waktu yang relatif singkat, sensitivitas dan spesifitas tinggi, dapat mendeteksi dan membedakan varian mikroorganisme, dan sebagainya. Dibandingkan dengan cara manual, satu unit enzim restriksi akan memotong 1 ug DNA secara sempurna dalam 50 ul reaksi selama 1 jam. Waktu tersebut tidak efisien. 3.5 Pembahasan Tahap Transformasi dan Screening Test Transformasi gen apoptin ke dalam sel inang menggunakan teknik chemical transformation. Metode ini digunakan karena lebih efisien. Terkait dengan teknik screening, khususnya blue-white screening dengan antibiotik, dipilih karena lebih sederhana dan lebih mudah dioperasikan (dilakukan) dan sesuai dengan vektor. Selain itu, dengan adanya pengkombinasian dengan antibiotik membuat akurasi pemilihan koloni sel rekombinan lebih tinggi.
23
Laporan Rekayasa Genetika: Teknik Kloning Sederhana BAB IV PENUTUP
2014
5.1 Kesimpulan 1. Vektor yang digunakan pada metode kloning dalam makalah kami yaitu vektor pUC19 sebagai vektor kloning 2. Host cell yang digunakan adalan Escheticia coli DH10Β untuk klona dan BL21(DE3) untuk pemurnian Apoptin. 3. Metode modifikasi yang digunakan adalah metode PCR. 4. Enzim restriksi yang digunakan adalah: BamHI dan HimDIII. 5. Metode transformasi yang digunakan adalah metode Chemical Transformation . 6. Metode screening yang digunakan adalah metode blue-white screening. 7. Tahapan modifikasi protein adalah sebagai berikut: a. Memilih situs restriksi pada vektor pUC19. b. Menambahkan arginin pada ujung N-terminal dan histidine pada ujung C-terminal gen apoptin murni. c. Memotong vektor pada situs yang direncanakan. d. Meligasi protein pada vektor. 8. Hasil modifikasi yang didapat untuk apoptin dalah sebagai berikut: 5’ - Restriction Site (BamHI) – Start Kodon – 8 Arginin – Kode apoptin – 12 Histidin – Stop Kodon – Restriction Site (HindIII) – 3’
24
Laporan Rekayasa Genetika: Teknik Kloning Sederhana DAFTAR PUSTAKA
2014
AddGene. 2012. Restriction Digest of Plasmid DNA, [online], available at
[Accessed 12 October 2014, 8.38 PM] Corkill, G., Rapley, R., 2008. The Manipulation of Nucleic Acids: Basic Tools and Techiques in Molecular Biomethods Handbook Second Edition. Ed: Walker, J.M., Rapley, R. Humana Press, NJ,USA. Howe, Christopher. 2007. Gene Clonning and Manipulation 2nd edition. US : Cambridge Universities press. Khalid, R.I., 2012. Pemurnian Rekombinan Protein Apoptin dari Dua Sel Inang Bacillus subtilis 168 dan Escheria coli BL21 StarTM. Depok: Departemen Teknik Kimia, Universitas Indonesia. Novita, H., dkk, 2007. Isolasi dan Karakterisasi Ekspresi Gen untuk Protein Sucrose Transporter pada Tanaman Tebu (Saccharum officinarum. Universitas Jember, Jurnal ILMU DASAR Vol. 8 No. 2, [e-journal] 118127, available at <jurnal.unej.ac.id/index.php/JID/article/176/144> [Accessed 3 October 2014, 9.46 PM] Oswald, Nick. 2007. Choosing a Competent E.coli Strain, [online], available at
[Accessed 10 October 2014, 10.55 PM] S.B. Primrose, R.M. Twyman, and R.W. Old. 2001.Principles of Gene Manipulation 6th edition. UK : Blackwell publishing. Suryawanshi, A,. et al, 2012. Apoptin Protein - A New Therapy of Cancer. International Journal Of Research In Pharmacy And Chemistry, [e-journal] 541-551, available at <www.ijprec.com> [Accessed 3 October 2014, 9.49 PM] Triastuti, J., 2007. Isolasi Pengklonan Gen: Prinsip Dasar. Universitas Airlangga, [Online], available at
[Accessed 3 October 2014, 9.42 PM]
25