BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal dan usus pada manusia sangat erat kaitanya dengan bakteri Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang bersifat zoonosis salah satunya adalah serotipe O157:H7. Salah satu ternak yang menjadi reservoir utama dan juga berperan sebagai sumber penularan utama dari agen ini ke manusia adalah ternak sapi (Heuvelink et al., 1999). Menurut survei yang dilakukan di Washington menunjukan bahwa bakteri E. coli O157:H7 ini ditemukan sebesar 0,3% dari 3.570 ekor sapi perah, sebesar 0,3% dari 600 peternakan sapi potong dan 0,7% dari 1.412 sapi potong (Hanif et al., 2003). Selain itu keberadaan E. coli O157:H7 juga terlihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Suardana., et al (2013) yang menunjukkan adanya prevalensi E. coli O157:H7 sebesar 6,30% pada ternak sapi di Kabupaten Badung. Verocytotoxigenic Esherichia coli OI57:H7 (VTEC) sangat penting untuk diketahui keberadaanya dalam kesehatan manusia karena dapat menyebabkan diare berdarah, thrombotic thrombocytic purpura (TTP) dan juga hemolytic uremic syndrome (HUS). Gejala yang umumnya ditimbulkan akibat terinfeksi E. coli O157:H7 pada manusia ditandai dengan holitis hemoragic, bentuk diare yang berat, penyakit akibat gagal ginjal akut, trombositopenia dan anemia hemolitik mikroangiopatik. Verocytotoxigenic Esherichia coli OI57:H7 tersebut akan membentuk koloni di saluran pencernaan sehingga menyebabkan terjadinya atrofi mikrofili sel-sel epitel. Sedangkan Infeksi VTEC pada ternak sapi terdapat dua
1
2
bentuk, yaitu yang dapat menimbulkan diare pada anak sapi yang berusia dua minggu sampai dua bulan, dan pada sapi yang dewasa tidak menunjukkan gejala klinis (subklinis), tetapi sebagai karier (Suwito, 2009). Hasil penelitian menunjukan kejadian kematian akibat HUS bervariasi tingkat kejadiannya, yaitu antara 5% sampai 10% disebabkan oleh serotipe E. coli O157:H7 (McCarthy et al., 1998). Kasus kejadian HUS lebih sering terjadi pada anak-anak yang berusia kurang dari 14 tahun. Pada bulan Juni 1996 di kota Hiroshima, Jepang terdapat sebanyak 65 orang anak menderita HUS, dan pada bulan Agustus ditemukan sebanyak 9.578 kasus dengan 11 orang diantaranya meninggal dunia dan 90 anak lainnya mengalami HUS (Bettellheim, 1997). Sumber penularan dari bakteri E. coli O157:H7 terhadap manusia adalah melaui kotoran sapi/feses. Kotoran atau feses sapi dapat menjadi sumber penularan E. coli O157:H7 pada manusia apabila lahan pertanian menggunakan limbah feses sapi sebagai pupuk organik, sehingga kemungkinan besar akan menjadi sumber penularan kuman patogen ini kepada manusia melalui makanan berupa sayuran, dan buah-buahan yang ditanam pada lahan pertanian tersebut (Sartika et al., 2005). Menurut Wang et al. (1996), Bakeri E. coli O157:H7 memiliki kempampuan untuk hidup selama 42-49 hari dalam feses pada suhu 37ᴼC dan persentase kelembaban relatif sebesar 10%, dan E. coli O157:H7 dapat hidup 49-56 hari di dalam feses dengan suhu 22ᴼC dengan persentase kelembaban relatif sebesar 10%. Selain itu, feses juga memiliki kemampuan untuk memelihara bakteri yang dapat memproduksi verotoksin. Keadaan ini memperlihatkan bahwa bakteri E. coli O157:H7 memiliki kemampuan untuk hidup lama di dalam feses.
3
Menurut hasil Lokakarya Nasional yang di publikasikan oleh Andriani (2006) penyebaran E. coli O157:H7 dapat terjadi secara zoonosis dari hewan (sapi) ke manusia, namun juga dapat terjadi dari manusia ke manusia. Normalnya bakteri E. coli O157:H7 berada dalam lumen saluran pencernaan ternak sapi yang sehat. Penyebaran penyakit dapat terjadi umumnya dikarenakan
proses
pemotongan hewan ternak yang kurang higienis di rumah pemotongan hewan (RPH) sehingga terjadinya kontaminasi bakteri pada daging. Sedangkan kontaminasi yang terjadi pada susu biasanya dikarenakan adanya infeksi pada ambing sapi perah oleh bakteri tersebut, atau kontaminasi bersumber dari alat-alat pemerahan yang digunakan. Daging dan susu yang terkontaminasi oleh E. coli O157:H7 dan tidak melalui proses pemasakan
yang sempurna dapat
mengakibatkan infeksi E. coli O157:H7 pada manusia yang mengkonsumsinya. Penyebaran E. coli O157:H7 yang terjadi umumnya dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut hasil penelitan yang dilakukan oleh Sumiarto, tahun 2002 faktor kebersihan sapi dan kebersihan kandang ternak merupakan faktor yang paling utama yang dapat menyebabkan penyebaran infeksi E. coli O157:H7. Disamping faktor kebersihan ternak dan kebersihan kandang, terdapat juga beberapa faktor lain yang diduga dapat menimbulkan penyebaran infeksi dari E. coli O157:H7, diantaranya adalah umur, bangsa ternak, asal ternak, konsistensi feses dan produksi susu. Selain itu menurut Kudva et al. (1996) menyatakan bahwa penyebaran infeksi E. coli O157:H7 pada sapi tinggi dapat juga dikarenakan beberapa faktor yaitu: stres, pakan, musim, kepadatan ternak, dan kondisi geografis. Infeksi E. coli O157:H7 dipengaruhi oleh musim dan kondisi
4
geografis terlihat dari prevalensi E. coli O157:H7 dari beberapa negara subtropis seperti Kanada pada sapi potong 0,5%, Jerman 10,8%, Amerika serikat pada peternakan 50,0% dan sapi perah 19,5%
pada bulan Juni sampai Agustus.
Sedangkan di negara tropis seperti Srilanka 53,0% pada sapi perah, dan Thailand 11,0-84,0% pada sapi di musim penghujan. Melihat kejadian yang ada, prevalensi akan mengalami peningkatan pada pertengahan musim hujan (Sumiarto, 2004). Suhu dan pH pada kondisi lingkungan peternakan juga ikut berpengaruh terhadap penyebaran infeksi E. coli O157:H7, dikarenakan bakteri ini memiliki ciri- ciri diantaranya adalah memiliki kemampuan tumbuh pada pH 4,5, memiliki sifat tahan asam, dan mampu berada dalam kadar garam sebesar 6,5%. E. coli O157:H7 ini mati bila berada pada suhu 72ᴼC selama 16,2 detik atau berada pada suhu 70ᴼC selama 2 menit (Berry dan Cutter, 2000). Doyle dan Schoeni (1984) mempublikasikan bahwa VTEC OI57 adalah bakteri yang mampu bertahan terhadap pembekuan pada suhu -80ᴼC dan pada suhu -20ᴼC selama 9 bulan. Menurut data statistik BPS Kabupaten Badung, tahun 2011 Kecamatan Abiansemal merupakan salah satu Kecamatan yang berada di utara Kabupaten Badung, Pronvinsi Bali. Kecamatan Abiansemal memiliki luas sekitar 69,01 km² dengan 17 desa. Kecamatan ini merupakan daerah dataran rendah yang memiliki ketinggian sekitar 75-350 meter diatas permukaan laut dengan suhu terendah sekitar 22ᴼC dan suhu maksimum sekitar 28ᴼC. Daerah Kecamatan Abiansemal memiliki curah hujan yang cukup tinggi yaitu 379,8 mm. Sebagian besar lahan yang berada di Kecamatan Abiansemal merupakan lahan pertanian, sebesar 44,10% merupakan lahan pertanian bukan sawah dan 42,78% adalah lahan sawah.
5
Memperhatikan hal-hal mengenai dampak yang di timbulkan serta faktorfaktor resiko infeksi E. coli O157:H7 dan adanya kondisi wilayah di Kecamatan Abiansemal seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, di prediksi keadaan tersebut berpengaruh pada prevalensi E. coli O157:H7. Atas dasar itu maka penelitian mengenai “Analisis Faktor Resiko Infeksi Escherichia coli OI57:H7 pada Ternak Sapi di Kecamatan Abiansemal” menarik untuk dilakukan.
1.2 Rumusan Masalah Memperhatikan permasalahan yang telah dijabarkan pada latar belakang maka dapat dirumuskan permasalahan, yaitu : Bagaimanakah kaitan antara faktor resiko serta signifikansi terhadap infeksi Escherichia coli O157:H7 pada ternak sapi di Kecamatan Abiansemal.
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Odds Ratio faktor resiko serta menganalisis signifikansinya yang dapat mempengaruhi infeksi E. coli O157:H7 yang diisolasi dari feses sapi lokal yang berada di Kecamatan Abiansemal.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat hasil penelitian ini adalah untuk memberikan informasi tentang faktor resiko serta signifikansi terkait infeksi E. coli O157:H7 pada sapi lokal yang berada di Kecamatan Abiansemal guna menekan prevalensi dari infeksi E. coli O157:H7 yang bersifat zoonosis.
6
1.5 Kerangka Konsep Escherichia coli adalah salah satu bakteri yang patogen karena bakteri ini memiliki kemampuan untuk menyebabkan penyakit pada saluran cerna manusia seperti diare. Salah satu E. coli yang memiliki sifat zoonosis adalah E. coli O157:H7. E. coli O157:H7 merupakan bakteri yang mampu tumbuh pada pH 4,5, memiliki sifat tahan asam dan memiliki kemampuan untuk tumbuh pada kadar garam 6,5% dan faktor lingkungan lain yang menjadi kebutuhan dasar untuk metabolisme dari E. coli O157:H7 adalah Water Activity (aw) dengan nilai optimum sekitar 0,95-0,99. Bakteri ini dapat inaktif atau mati pada suhu 72ᴼC selama 16,2 detik atau dapat mati pada suhu 70ᴼC selama 2 menit (Berry and Cutter, 2000). Menurut Suwito (2009) E. coli O157:H7 tahan terhadap pembekuan dalam suhu -80ᴼC atau pada suhu -20ᴼC selama 9 bulan. Bakteri ini mampu untuk mengkontaminasi manusia apabila jumlahnya sebanyak 10 cfu/ml atau kurang dari 10 cfu/g dalam makanan. Menurut beberapa penelitian yang
telah dilakukan, infeksi E. coli
O157:H7 dapat terjadi dikarenakan banyak faktor. Seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Hanif et al. (2003) menyatakan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap penyebaran infeksi E. coli O157:H7 adalah berasal dari bahan tempat pembuangan limbah yang berarti adanya E. coli O157:H7 dalam feses ternak sapi bersumber dari bahan tempat limbah. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Sartika et al. (2005) menyatakan bahwa sumber air pada peternakan juga mempengaruhi infeksi E. coli O157:H7. Dimana pada sumber air yang berasal dari sumur di daerah Batutulis menunjukkan hasil positif pencemaran E. coli
7
O157:H7 sebesar 60%. Sedangkan menurut penelitian yang dipublikasikan oleh Sumiarto (2004) menyatakan bahwa variabel yang memiliki pengaruh besar terhadap infeksi VTEC adalah kebersihan sapi. Kondisi ternak umumnya kotor dikarenakan adanya feses yang menempel pada sebagian atau seluruh tubuh ternak dikarenakan lantai kandang yang kotor (84,9%). Selain itu Kudva et al. (1996) menyatakan bahwa infeksi VTEC pada ternak tinggi dapat juga disebabkan oleh beberapa faktor lain yaitu pakan, kondisi geografis, stres, musim, dan kepadatan ternak. Berdasarkan sumber dari statistik BPS Kabupaten Badung, tahun 2011 Kecamatan Abiansemal merupakan salah satu Kecamatan yang berada di utara Kabupaten Badung, Pronvinsi Bali. Kecamatan ini merupakan daerah dataran rendah yang memiliki ketinggian sekitar 75-350 meter diatas permukaan laut dengan suhu terendah sekitar 22ᴼC dan suhu maksimum sekitar 28ᴼC. Daerah Kecamatan Abiansemal memiliki curah hujan yang cukup tinggi yaitu 379,8 mm. Sebagian besar lahan yang berada di Kecamatan Abiansemal merupakan lahan pertanian, sebesar 44,10% merupakan lahan pertanian bukan sawah dan 42,78% adalah lahan sawah. Wilayah Kecamatan Abiansemal sebagian besar pertanian dikarenakan daerahnya yang relatif landai dan iklimnya sangat cocok untuk pertanian. Kecamatan Abiansemal memiliki luas sekitar 69,01 km². Data yang bersumber dari Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan, tahun 2011 menunjukan jumlah sapi di Kecamatan Abiansemal sebanyak 13.461 ekor. Menurut hasil wawancara dan survey pada beberapa peternakan di Kecamatan Abiansemal sistem pemeliharaan sapi di Kecamatan tersebut dengan
8
cara semi intensif, dimana sapi dipelihara secara diumbar pada siang hari dan dikandangkan pada malam hari, hal tersebut membuat kondisi sapi cenderung kotor. Umumnya sapi di Kecamatan Abiansemal sering terkena diare dan cacingan, untuk menangani hal tersebut sapi diberikan obat cacing dan obatobatan antibiotika. Didasarkan atas kondisi wilayah Kecamatan Abiansemal sebagai wilayah yang ideal untuk pertumbuhan agen (E. coli O157:H7) serta memperhatikan menejemen pemeliharaan sapi yang masih kurang, maka sebab-sebab tersebut akan sangat berpengaruh terhadap pola penyebaran E. coli O157:H7.
1.6 Hipotesis Berdasarkan penjelasan yang telah dijabarkan pada kerangka konsep maka dapat dibuat hipotesis, yaitu : 1. Ditemukan beberapa faktor resiko yang berkontribusi terhadap penyebaran E. coli O157:H7 pada ternak sapi di Kecamatan Abiansemal. 2. Ditemukan adanya signifikansi dari faktor-fakor resiko terhadap penyebaran E. coli O157:H7 pada ternak sapi di Kecamatan Abiansemal.