PENGARUH PEMBERIAN MADU TERHADAP BAKTERI STAPHYLOCOCCUS AUREUS DAN ESCHERICHIA COLI
Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN
OLEH : Nurul Elliza NIM: 107103000166
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/ 2010 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Penelitian ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana kedokteran di Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 6 Oktober 2010
Nurul Elliza
i
ii
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayahNya. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan ummat Islam. Alhamdulillah saya dapat menyelesaikan penelitian ini yang berjudul “Pengaruh Pemberian Madu Terhadap Bakteri Staphylococcus Aureus dan Bakteri Escherichia Coli”. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan penelitian ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan kali ini saya ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya pada pihak yang membantu dan memberikan bimbingan dalam penyusunan penelitian ini. Ucapan terimakasih dan penghargaan, saya sampaikan kepada: 1. Kedua orang tua tercinta yaitu ayahanda H. Ahmad Effendi dan Ibunda Hj. Eni Gunaeni, yang selalu memberikan dukungan baik moril maupun material, serta do’a yang tiada henti untuk saya, terimakasih yang sedalam-dalamnya atas perhatian dan kasih sayang kalian selama ini yang telah diberikan. Semoga ananda dapat membahagiakan dan membalas jasa- jasa kebaikan kalian selama ini. 2. Prof. DR (hc). DR. M.K. Tadjudin, Sp.And dan Drs. H. Achmad Gholib, MA, selaku Dekan dan Pembantu Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Zeti Harriyanti, M.Biomed selaku dosen pembimbing yang telah banyak menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan skripsi ini.
iv
4. Yuli, M. Biomed selaku dosen pembimbing laboratorium yang telah banyak menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam melakukan penelitian ini. 5. Untuk semua dosen- dosen saya yang telah begitu banyak membimbing dan memberikan kesempatan saya untuk menimba ilmu selama saya menjalani masa pendidikan di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, rasa hormat saya atas segala yang telah mereka berikan. 6. Kakak dan adik- adikku tersayang, kakakku Muhammad Hardiansyah, Fachry Zakya dan adikku Khoirunnisa, Ibnu Muzakky yang selalu memberikan dukungan dan motivasinya di setiap langkah hidupku serta memberikan keceriaan dalam hidupku dengan canda tawa kalian yang membuat hidupku lebih berwarna. 7. Teman- temanku seangkatan, senasib seperjuangan di Pendidikan Dokter (FKIK UIN Jakarta). Sebuah kebahagiaan bisa menjadi bagian dari kalian dan melewati satu fase kehidupan bersama kalian. 8. Teman-teman satu kelompok yang terus memberikan motivasi dan bantuan dalam melakukan penelitian ini. 9. Semua pihak yang telah memberikan kontribusi penyelesaian penelitian ini dan tidak dapat disebutkan satu persatu. Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Dengan segala kelemahan, kekurangan dan kelebihan yang ada, semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya untuk diri saya sendiri dan semua pihak sebagai informasi tambahan atau sekedar contoh yang baik. Jakarta, 06 Oktober 2010
Nurul Elliza v
ABSTRAK Nurul Elliza. Pengaruh Pemberian Madu terhadap Bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Penelitian, 2010. Penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri merupakan penyakit yang banyak ditemukan dalam masyarakat. Menurut laporan WHO penyakit infeksi ini menjadi penyebab kematian terbesar pada anak-anak dan dewasa dengan jumlah kematian lebih dari 13 juta jiwa setiap tahun, dan satu dari dua kematian terjadi di negara berkembang seperti Indonesia. Bakteri yang sering menyebabkan infeksi adalah Staphylococcus aureus (merupakan bakteri Gram positif) dan Escherichia coli (merupakan bakteri Gram negatif). Penanganan penyakit akibat infeksi yg disebabkan oleh bakteri yaitu dengan menggunakan antibakteri tersebut. Madu merupakan pengobatan alami yang mempunyai efek antibakteri seperti hidrogen peroksida, pH yang rendah dan aktivitas air yang rendah yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas madu sebagai antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Uji aktivitas antibakteri dilakukan secara invitro menggunakan metode difusi dengan menggunakan cakram disk pada medium MHA dengan mengukur diameter zona bening yang merupakan zona hambat dari pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli dengan satuan milimeter. Konsentrasi yang digunakan 25%, 50%, 75% dan 100% dengan aquades steril sebagai kontrol negatif. Data analisis dengan uji Kruskal Wallis memiliki nilai 0,406 (>0,05) yang menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna diantara masing-masing konsentrasi madu baik terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Pengaruh konsentrasi 25%, 50%, 75% dan 100% terhadap Staphylococcus aureus menghasilkan zona hambat sebesar 8; 9; 10;11mm sedangkan pada Escherichia coli sebesar 7; 9; 10; 11 mm. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pengaruh konsentrasi madu terhadap Staphylococcus aureus memiliki zona hambat yang sama dengan Escherichia coli. Kata kunci : Madu, Antibakteri, Staphylococcus aureus, Escherichia coli
vi
ABSTRACT Nurul Elliza. Effect of honey against the bacteria Staphylococcus aureus and Escherichia coli. Reseach, 2010. Infectious disease is a disease caused by bacteria that are found in society. According to the WHO infectious disease cause of death in children and adults with the number of deaths more than 13 million people each year, and one of the two deaths occurred in developing countries like Indonesia. Bacteria that commonly cause infections are Staphylococcus aureus (Gram-positive bacteria) and Escherichia coli (Gram-negative bacteria). Handling of infectious disease that is caused by bacteria that is by using the antibacterial. Honey is a natural treatment that has antibacterial effects such as hydrogen peroxide, low pH and low water activity that can inhibit the growth of bacteria. The research aimed to determine the antibacterial activity of honey against Staphylococcus aureus and Escherichia coli. Tests performed in vitro antibacterial activity using diffusion method with cakram disk on MHA medium by measuring the diameter of the clear zone is a zone of inhibition of growth of Staphylococcus aureus and Escherichia coli by millimeters. Concentrations used 25%, 50%, 75% and 100% with sterile distilled water as a negative control. Data analysis by Kruskal-Wallis test has a value of 0.406 (> 0.05) indicating that there is no significant difference between each concentration of honey well against Staphylococcus aureus and Escherichia coli. Effect of concentration of 25%, 50%, 75% and 100% against Staphylococcus aureus produce inhibition zone of 8; 9; 10; 11mm whereas in Escherichia coli by 7; 9; 10; 11 mm. The conclusion of this study is the effect of honey against Staphylococcus aureus concentration have same inhibited (inhibition zone greater) with Escherichia coli. Key words: Honey, Antibacterial, Staphylococcus aureus, Escherichia coli.
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................ i LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................. ii LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................... iii KATA PENGANTAR ............................................................................................... iv ABSTRAK ................................................................................................................. vi ABSTRACT ............................................................................................................. vii DAFTAR ISI ........................................................................................................... viii BAB I. PENDAHULUAN........................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah................................................................................................ 3 1.3 Hipotesis Masalah ............................................................................................... 4 1.4 Tujuan Penelitian ................................................................................................ 4 1.4.1 Tujuan Umum ............................................................................................ 4 1.4.2 Tujuan Khusus ........................................................................................... 4 I.5
Manfaat Penelitian .............................................................................................. 4
viii
1.5.1 Untuk Masyarakat ...................................................................................... 4 1.5.2 Untuk Institusi ........................................................................................... 5 1.5.3 Untuk Umum ............................................................................................. 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 6 2.1. TINJAUAN PUSTAKA (LANDASAN TEORI) ................................................. 6 2. 1. 1 Madu .......................................................................................................... 6 2. 1. 2 Staphylococcus aureus .............................................................................. 9 2. 1. 3 Escherichia coli ........................................................................................ 14 2.1. 4 Faktor- faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme .......... 18 2.1.5 Metode Difusi Kirby Baurer ....................................................................... 20 2.2. KERANGKA KONSEP ..................................................................................... 20 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ................................................................. 21 3.1 Desain Penelitian ............................................................................................... 21 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................................... 21 3.3 Sampel Penelitian .............................................................................................. 21 3.4 Kriteria Penelitian .............................................................................................. 21 3.4.1 Kriteria Inklusi ......................................................................................... 21
ix
3.4.2 Kriteria Eksklusi ...................................................................................... 21 3.5 Bahan Penelitian ................................................................................................. 21 3.6 Alat Penelitian .................................................................................................... 22 3.7 Variabel dan Definisi Operasional ..................................................................... 22 3.8 Cara Kerja .......................................................................................................... 24 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 27 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 34 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 35 LAMPIRAN ............................................................................................................. 37 DAFTAR RIWAYAT HIDUP .................................................................................. 44
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Biakan bakteri Staphylococcus aureus di MSA....................................... 37 Gambar 2. Biakan bakteri Escherichia coli di Mc-Conkey........................................ 37 Gambar 3. MHA dan MSA ...................................................................................... 38 Gambar 4. Sediaan Madu Sumbawa .......................................................................... 38 Gambar 5. Larutan madu dengan konsentrasi 25%.................................................... 38 Gambar 6. Larutan madu dengan konsentrasi 50%.................................................... 39 Gambar 7. Larutan madu dengan konsentrasi 75% ................................................... 39 Gambar 8. Larutan madu dengan konsentrasi 100% ................................................. 39 Gambar 9. Larutan Aquades ...................................................................................... 39 Gambar 10. Perbandingan berbagai konsentrasi larutan madu (25%, 50%, 75%, 100%) dan aquades sebagai kontrol .......................................................................... 40 Gambar 11. Zona hambatan larutan madu dengan konsentrasi 25% dan 50% terhadap bakteri Staphylococcus aureus .................................................................................. 40 Gambar 12. Zona hambatan larutan madu dengan konsentrasi 75% dan 100% terhadap bakteri Staphylococcus aureus..........................................................................41
xi
Gambar 13. Zona hambatan larutan madu dengan konsentrasi 25% dan 50% terhadap bakteri Escherichia coli ............................................................................................. 41 Gambar 14. Zona hambatan larutan madu dengan konsentrasi 75% dan 100% terhadap bakteri Escherichia coli............................................................................... 41
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Hasil pengukuran diameter zona hambatan yang ditimbulkan oleh madu sumbawa terhadap Staphylococcus aureus ................................................................ 27 Tabel 2. Uji Kruskal Wallis zona hambatan madu hutan sumbawa terhadap Staphylococcus aureus ............................................................................................... 28 Tabel 3. Hasil pengukuran diameter zona hambatan yang ditimbulkan oleh madu sumbawa terhadap Escherichia coli. ......................................................................... 29 Tabel 4. Uji Kruskal Wallis zona hambatan madu hutan sumbawa terhadap Escherchia coli .......................................................................................................... 30 Pengaruh pemberian madu terhadap bakteri Staphylococcus aureus dengan melakukan Uji Kruskal Wallis ................................................................................... 42 Pengaruh pemberian madu terhadap bakteri Escherichia coli dengan melakukan Uji Kruskal Wallis ........................................................................................................... 43
xiii
BAB I PENDAHULUAN
I.1
LATAR BELAKANG MASALAH Penyakit infeksi merupakan penyakit yang banyak ditemukan dalam
masyarakat. Menurut laporan WHO penyakit infeksi ini menjadi penyebab kematian terbesar pada anak-anak dan dewasa dengan jumlah kematian lebih dari 13 juta jiwa setiap tahun, dan satu dari dua kematian terjadi di negara berkembang seperti indonesia. (WHO, 1999). Pada tubuh manusia secara alami terdapat bakteri flora normal yang bermanfaat untuk tubuh. Salah satu contoh bakteri flora normal yang ada pada tubuh manusia yaitu Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Bakteri flora normal ini dapat berubah menjadi patogen apabila jumlahnya yang berlebih dari kadar normalnya, tidak berada di tempat predileksi yang sesungguhnya dan menurunnya daya tahan tubuh seseorang. Hal inilah salah satu contoh seseorang menjadi terinfeksi. Berdasarkan hasil penelitian untuk menanggulangi bakteri flora normal yang berubah menjadi bakteri patogen dapat menggunakan madu yang memiliki antibakteri. (Jawetz, 2008) Madu ini telah lama dikenal, seperti digunakan untuk pengawetan mayat zaman mesir kuno. Rasulullah SAW selalu menggunakan madu untuk mengobati berbagai penyakit. seperti sabdaNya : “Manfaatkanlah dua jenis penyembuhan; madu dan Al-Qur’an” Firman Allah SWT dalam surat An Nahl ayat 68-69. Bahwa dalam madu terdapat obat yang menyembuhkan manusia. “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah; “ buatlah sarang-sarang di bukit-bukit dan ditempat-tempat yang dibuat manusia, kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu)”. Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, didalamnya
1
2
terdapat obat yang menyembuhkan manusia. Sesungguhnya pada yang demikian terdapat tanda-tanda bagi orang yang memikirkan” Madu adalah cairan kental dan cairan alami yang dihasilkan oleh lebah madu (genus apis), yang berasal dari nektar bunga. Madu memiliki sifat antimikiroba atau antibakteri. yang memiliki aktivitas senyawa antibakteri terutama pada bakteri Gram positif, yakni bakteri Staphylococcus aureus. Sifat madu sebagai antibakteri juga dapat mengeliminasi flora-flora normal dengan kadar yang berlebih pada kulit dan mukosa tubuh. Berdasarkan hasil peneliti (Komara 2002), Bakteri kelompok Staphylococcus merupakan bakteri Gram positif yang dapat menyebabkan berbagai penyakit. Lebih dari 30 jenis Staphylococcus yang dapat menginfeksi manusia dan dari jenis tersebut yang paling banyak menginfeksi adalah Staphylococcus aureus. Bakteri Staphylococcus aureus dapat mengakibatkan infeksi pada kerusakan kulit atau luka pada organ tubuh karena bakteri akan mengalahkan mekanisme pertahanan tubuh. Bakteri masuk ke peredaran darah bakteri dapat menyebar ke organ lain dan menyebabkan infeksi, seperti pneumonia, infeksi pada katup jantung yang memicu pada gagal jantung, radang tulang, bahkan dapat menyebabkan shock yang dapat menimbulkan kematian. Pada kasus keracunan makanan akibat terkontaminasi Staphylococcus aureus dapat menimbulkan penyakit diare, muntah-muntah dan dehidrasi yang gejalanya baru timbul kira-kira 1-6 jam setelah mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi. Kasus diare tersering selain keracunan makanan yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus yaitu infeksi saluran pencernaan penyebab terseringnya yaitu Escherichia coli. (Stroppler, 2008). Manfaat madu yang sedemikian besar telah mendorong para ilmuwan untuk meneliti khasiat madu secara ilmiah. Penelitian tentang pemanfaatan produk lebah madu dimulai sejak tahun 1922 oleh Prof. R. Chauvin dari Universitas Sorbone, Perancis (Apiari Pramuka, 2003 dalam Peri, 2004). Penelitian-penelitian selanjutnya mengenai manfaat madu banyak dilakukan dan berhasil menguraikan berbagai manfaat madu, salah satunya itu untuk menyembuhkan jenis penyakit
3
antioksidan, antiinflamasi. Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukan bahwa madu dapat digunakan sebagai antimikroba pada luka termasuk luka pasca operasi. Penelitian yang dilakukan terhadap pasien pasca operasi pada luka yang tidak berhasil disembuhkan oleh antibiotik intravena,dengan mengoleskan madu 5-10 ml dua kali sehari memperlihatkan terjadinya penyembuhan luka pada 5 hari pemakaian (Vardi dkk,1998). Langkah pengobatan untuk penyakit infeksi ini adalah dengan pemberian agen antimikroba yang dapat menghambat pertumbuhan dan atau membunuh mikroba yang menginfeksi. Agen antimikroba telah banyak ditemukan sekarang ini, tetapi beberapa diantaranya menjadi tidak efektif digunakan karena banyaknya mikroba yang resisten dan efek sampingnya sangat merugikan penderita (Soemiati dkk, 2007). Oleh karena itu pencarian antimikroba baru yang lebih efektif dan aman menjadi perlu untuk terus dilakukan, terutama yang berasal dari bahan alam contohnya yaitu madu. Maka dengan adanya bahan yang alami yaitu madu yang salah satu kandungannya dapat menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroba yang menginfeksi, maka perlu dilakukan penelitian untuk menjadi dasar ilmiah penggunaan madu sebagai obat antibakteri melalui pengujian pengaruh madu terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli untuk melihat dari aktivitas madu sebagai antibakteri terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. I.2
RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana aktivitas pemberian madu sebagai antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus? 2. Bagaimana aktivitas pemberian madu sebagai antibakteri terhadap bakteri Escherichia coli? 3. Pada konsentrasi berapa madu memiliki aktivitas daya hambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli?
4
4. Apakah terdapat perbedaan aktivitas pemberian madu sebagai antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus (bakteri Gram positif) dengan Escherichia coli (bakteri Gram negatif)?
I.3
HIPOTESIS MASALAH Madu memiliki efektivitas antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus
aureus dan Escherichia coli. Semakin tinggi konsentrasi madu semakin besar efektivitas madu sebagai antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri tersebut.
I.4.
TUJUAN PENELITIAN 1.4.1. Tujuan Umum Mengetahui efektivitas madu sebagai antibakteri 1.4.2. Tujuan Khusus
Mengetahui efektivitas pemberian madu terhadap antibakteri
Mengetahui perbedaan efektivitasnya pemberian madu pada bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli
Mengetahui mekanisme madu terhadap inhibisi mikroba
Mengetahui konsentrasi tepat pemberian madu sebagai antimikroba atau antibakteri
I.5
MANFAAT PENELITIAN Untuk masyarakat: menjadi sumber informasi bagi masyarakat tentang
pengaruh penggunaan madu untuk kehidupan sehari-hari.
5
Untuk institusi: hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi data dasar untuk penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh pemberian madu sebagai antibakteri. Untuk peneliti: untuk menambah pengetahuan dan wawasan, sebagai prasyarat untuk menempuh jenjang pendidikan klinik Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEP
2.1
TINJAUAN PUSTAKA (LANDASAN TEORI) 2.1.1 MADU Madu adalah larutan gula dengan saturasi tinggi yang dihasilkan oleh lebah. Lebah madu (genus apis) mengumpulkan cairan dari sari bunga yang disebut nektar dan di bawa ke sarang lebah. Di dalam sarang, lebah madu menambahkan enzim ke nectar dan menempatkannya dalam wadah hexagonal yang mematangkan menjadi madu (selama pematangan enzim terjadi perubahan molekul gula). (Komara, 2002) Madu tersusun atas beberapa molekul gula seperti glukosa dan fruktosa serta sejumlah mineral dan vitamin. Dibawah ini adalah kandungan umum madu murni terdiri dari air (17,0%), fruktosa (38,5%), glukosa (31,5%), maltosa (7,2%), karbohidrat (4,2%), sukrosa (1,5%), enzim, mineral, vitamin (0,5%), energi kalori/100 gram (294,0%). Selain itu, madu juga memiliki aktivitas senyawa antibakteri terutama pada bakteri Gram positif, yakni bakteri Staphylococcus aureus dan B. cereus. (Komara, 2002) Madu diteliti oleh beberapa ahli dalam hal mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri maupun jamur. Kemampuan madu sebagai antibaktreri diduga menurut molan (1992 dan 1995 ), White,dkk, (1964), Wootton dkk, (1997, dan Tan dkk, (1989) antara lain : Madu mempunyai osmolaritas yang tinggi, kandungan hydrogen peroksida. pH yang rendah, aktivitas air yang rendah. (Ika puspitasari, 2007) 1. Madu Sebagai Osmolaritas Yang Tinggi Madu memiliki efek osmotik yaitu memiliki osmolaritas yang cukup untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Madu merupakan cairan
6
7
yang mengandung glukosa dengan saturasi yang tinggi yang mempunyai interaksi yang kuat terhadap molekul air. Kekurangan kadar air dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Dari penelitian telah ditemukan bahwa luka yang terinfeksi dengan Staphylococcus aureus dan diberi madu luka menjadi steril. (Ika puspitasari, 2007) Kandungan antibakterial madu pertama kali dikenalkan oleh Van Ketel tahun 1982. Hal ini diasumsikan bahwa efek osmotik dihasilkan oleh kandungan gula yang tinggi di dalam madu. Madu, seperti larutan gula lainnya; syrup, memiliki osmolaritas yang cukup untuk menghambat bakteri. Madu juga telah menunjukkan pada luka yang terinfeksi Staphylococcus aureus dapat dengan cepat diubah menjadi steril atau dengan cara menghambat pertumbuhan bakteri. (Ika puspitasari, 2007) Bukti kandungan antibakteri pada madu meningkat bila diencerkan setelah diteliti dan dilaporkan pada tahun 1919. Penjelasan ini berasal dari penelitian bahwa madu mengandung enzim yang memproduksi hydrogen peroksida ketika diencerkan. (Ika puspitasari, 2007) 2. Kandungan Hidrogen Peroksida Hidrogen peroksida dikenal sebagai sumber utama kemampuan antibakteri dari madu seperti yang diteliti oleh White dkk. (1963). Hidrogen peroksida dihasilkan dari reaksi enzim glukosa oksidase (glukosidase) dalam madu, khususnya glukosa, dengan adanya enzim tersebut akan mengalami reaksi diubah menjadi asam glukonat dan hidrogen peroksida. (Ika puspitasari, 2007) GLUKOSA + H20 + O2 --------enzim glukosidase-------- asam glukonat + H2O2 (Hidrogen Peroksida) Enzim glukosidase dalam madu akan bekerja secara maksimal dengan adanya air. Dengan demikian, untuk meningkatkan kemampuan madu sebagai antibakteri, diperlukan kadar madu yang tidak terlalu pekat. Hidrogen peroksida yang dihasilkan dari reaksi glukosa dalam madu
8
dengan air akan sangat rendah sekitar 1mmol/liter madu. Sementara dalam pemakaian, hidrogen peroksida dalam medis berkisar 3% berat pervolume. Karena itu, tidak perlu dikhawatirkan akan rusaknya jaringan dalam tubuh akibat terlepasnya hidrogen peroksida dari madu tersebut. Panas yang tinggi diatas 50⁰c akan merusak enzim glukosidase dalam madu. Oleh karena itu, sebagai antibakteri, madu tidak boleh dipanaskan terlalu tinggi. (Ika puspitasari, 2007) Meskipun kadar hidrogen peroksida sangat rendah namum masih efektif sebagai antimikroba. Hal ini telah dilaporkan bahwa hidrogen peroksida lebih efektif bila diberikan secara terus menerus. Sebuah penelitian pada Escherichia coli untuk mengetahui aliran hidrogen peroksida yang ditambahkan secara konstan, menunjukkan bahwa pertumbuhan bakteri dapat dihambat oleh 0,02 – 0,05 mmol/l hidrogen peroksida, konsentrasi tersebut tidak merusak sel fibroblast pada kulit manusia. (Ika puspitasari, 2007) 3. pH yang Rendah Madu memiliki pH yang asam, yakni berkisar 3,2-4,5. Keasaman yang rendah merupakan penghambat yang efektif terhadap pertumbuhan bakteri, baik di kulit maupun di saluran lain dalam tubuh. (Ika puspitasari, 2007) 4. Aktivitas Air yang Rendah Aktivitas air pada madu sebesar 0,562-0,62. Secara umum bakteri tidak akan tumbuh pada media yang memiliki aktivitas air yang rendah. Tetapi bakteri Staphylococcus aureus masih bisa hidup pada media yang memiliki aktivitas air dibawah 0,86. Penelitian yang dilakukan oleh Molan tahun 1996 menemukan pada konsentrasi tertentu, ternyata madu mampu menekan pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus.
Selain adanya
aktivitas air yang rendah, kemungkinan besar adanya kandungan senyawa lain dalam madu ikut serta berperan dalam kemampuan madu sebagai
9
antibakteri, khususnya terkait dengan Staphylococcus aureus. (Ika puspitasari, 2007) 2.1.2 STAPHYLOCOCCUS AUREUS Staphylococcus aureus merupakan salah satu bakteri flora normal yang ada pada tubuh manusia. Tempat predileksi yaitu pada mulut. Staphylococcus aureus ini dapat berubah menjadi patogen apabila jumlahnya sudah melebihi kadar normalnya yaitu lebih dari 105 dan apabila
bakteri
tersebut
tidak
tinggal
di
tempat
predileksinya.
Staphylococcus aureus adalah sel sferis Gram-positif, biasanya tersusun dalam kelompok seperti anggur yang tidak teratur. Staphylococcus tumbuh dengan baik di beberapa medium dan aktif secara metabolik, melakukan fermentasi karbohidrat dan menghasilkan pigmen yang bervariasi dari putih hingga kuning tua. (Jawetz, 2008) Morfologi dan Klasifikasi (Binomial Staphylococcus aureus Rosenbach 1884 ) adalah : Domain: Bacteria Kingdom: Eubacteria Phylum: Firmicutes Kelas: Bacilli Order: Bacillales Family: Staphylococcaceae Genus: Staphylococcus Spesies: Staphylococcus aureus Ciri khas kuman ini berbentuk bola dengan diameter 0,1 µm. pengecatan Gram Staphylococcus aureus menunjukkan kokus Gram positif yang tersusun dalam bentuk kluster yang tidak teratur atau seperti anggur. Kokus tunggal, berpasangan, tetrad dan bentuk rantai juga tampak dalam biakan cair. Kokus muda memberikan pewarnaan Gram-positif yang kuat; akibat penuaan, banyak sel yang menjadi Gram-negatif. Staphylococcus tidak motil dan tidak membentuk spora. (Stroppler, 2008)
10
Genus Staphylococcus sedikitnya memiliki 30 spesies diantaranya Staphylococcus aureus bersifat koagulase-positif, yang membedakannya dari spesies lain. Staphylococcus aureus adalah patogen utama pada manusia yang paling banyak menginfeksi. Hampir semua orang pernah mengalami infeksi Staphylococcus aureus dalam hidupnya, dengan derajat keparahan beragam, dari keracunan makanan atau infeksi kulit ringan hingga infeksi berat yang mengancam jiwa. (Jawetz, 2008) Biakan Staphylococcus aureus tumbuh dengan baik pada berbagai media bakteriologi di bawah suasana aerobik dan mikroaerobik. Tumbuh dengan cepat pada temperatur 37°C, pembentukan pigmen yang terbaik adalah pada temperatur kamar (20-35°C). pH optimal untuk pertumbuhan yaitu 7,4. Media untuk pertumbuhan Staphylococcus aureus umumnya mengandung asam amino dan vitamin-vitamin seperti thereonin, asam nikotinat, dan biotin. Koloni pada media padat berbentuk bulat, lembut, dan mengkilat sedangkan pada pembenihan kaldu misalnya ditemukan tersendiri atau tersusun sebagai rantai pendek. Staphylococcus aureus biasanya membentuk koloni abu-abu hingga kuning tua kecoklatan. media yang sering digunakan untuk pertumbuhan Staphylococcus aureus yaitu MSA (Mannitol Salt Agar). (Usman Suwandi. 1999)
Mannitol Salt Agar Medium
Media dan morfologi mikroorganisme Mikroorganisme
Jenis Media
Staphylococcus aureus Mannitol Salt Agar (MSA)
Karakteristik Kuning dengan zona kuning
Mempunyai kandungan garam cukup tinggi.
Staphylococcus
aureus cukup tahan terhadap garam tinggi, sehingga dapat tumbuh dengan warna kuning keemasan dan mediapun berubah menjadi kuning. Dengan demikian media ini sudah sangat selektif dan mampu menumbuhkan Staphylococcus aureus. (Usman Suwandi. 1999)
11
Struktur Antigen Staphylococcus mengandung polisakarida antigenik dan protein serta substansi penting lainnya dalam struktur dinding sel. Peptidoglikan, polimer
sakarida,
yang
mangandung
subunit-subunit
terangkai,
merupakan eksoskelet yang kaku pada dinding sel. Peptidoglikan dihancurkan oleh asam kuat atau pajanan terhadap lisozim. Peptidoglikan memicu produksi interleukin-1 (pirogen endogen) dan antibodi opsonik oleh monosit, dan dapat menjadi chemoattractant untuk leukosit polimorfonuklear, yang memiliki aktivitas mirip endotoksin, dan mengaktifkan komplemen. (Jawetz, 2008) Asam teikoat, yang merupakan polimer gliserol ribitol fosfat, berhubungan dengan petidoglikan dan dapat menjadi antigenic. Beberapa strain Staphylococcus aureus mampu menghasilkan Staphyloxanthin adalah sebuah karotenoid pigmen yang berperan sebagai faktor virulensi. Pigmen ini memiliki antioksidan yang membantu untuk menghindari pembunuhan mikroba dengan reaktif oksigen yang digunakan oleh sistem kekebalan tubuh inang. Diperkirakan bahwa Staphyloxanthin bertanggung jawab untuk 'karakteristik warna keemasan. Ketika membandingkan strain normal Staphylococcus aureus dengan regangan dimodifikasi untuk kekurangan warna kuning, ketegangan yang berpigmen lebih mungkin bertahan hidup terhadap oksidasi kimia seperti hidrogen peroksida. (Jawetz, 2008) Enzim dan Toksin Staphylococcus
dapat
menyebabkan
penyakit
baik
melalui
kemampuannya berkembang biak dan menyebar luas di jaringan serta dengan menghasilkan berbagai substansi ekstraselular. Beberapa substansi tersebut adalah enzim, dan yang lainnya disebut toksin, tetapi dapat berfungsi sebagai enzim. Banyak dari enzim tersebut dibawah kontrol genetik
plasmid,
beberapa
dengan
kontrol
kiromosomal
ekstrakromosomal, dan mekanisme genetik lainnya. (Jawetz, 2008)
dan
12
Katalase Staphylococcus menghasilkan katalase, yang mengubah hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen. (Jawetz, 2008)
Koagulase dan Faktor Penggumpal Staphylococcus aureus menghasilkan koagulase, suatu protein yang dapat menggumpalkan plasma yang mengandung oksalat dan sitrat. Koagulase berikatan dengan protrombin; bersama-sama keduanya menjadi aktif secara enzimatik dan menginisiasi polimerase fibrin. Koagulase dapat menyimpan fibrin pada permukaan Staphylococcus, mungkin mengubah ingestinya oleh sel fagositik atau destruksi Staphylococcus dalam sel-sel tersebut. Memproduksi koagulase dianggap sama dengan memiliki potensi patogen yang invasif. Faktor penggumpal adalah kandungan permukaan Staphylococcus aureus yang berfungsi melekatkan organisme ke fibrin atau fibrinogen. Bila berada dalam plasma, Staphylococcus aureus membentuk gumpalan. Faktor penggumpal berbeda dengan koagulase. (Jawetz, 2008)
Enzim Lain Enzim-enzim lain yang dihasilkan Staphylococcus antara lain adalah
hialuronidase,
atau
faktor
penyebar,
Staphylokinase
menyebabkan fibrinolisis tetapi bekerja jauh lebih lambat daripada Streptokinase; proteinase; lipase, dan β-laktamase. (Jawetz, 2008)
Eksotoksin α-toksin merupakan protein hematogen yang bekerja dengan spektrum luas pada membran sel eukariot. α-toksin merupakan hemolisin yang kuat. β-toksin dapat menguraikan sfingomielin sehingga toksik untuk berbagai sel, termasuk sel darah merah manusia. γ-toksin melisiskan sel darah merah manusia dan hewan. δ–toksin bersifat heterogen dan terurai menjadi beberapa subunit pada detergen nonionik. Toksin tersebut mengganggu membran biologik dan dapat berperan pada penyakit diare akibat Staphylococcus aureus. (Jawetz, 2008)
13
Leukosidin Toksin Staphylococcus aureus ini memiliki dua komponen. Leukosidin dapat membunuh sel darah putih manusia dan kelinci. Kedua komponen tersebut bekerja secara sinergis pada membran sel darah putih membentuk pori-pori dan meningkatkan permeabilitas kation. (Jawetz, 2008)
Toksin Eksfoliatif Toksin epidermolitik Staphylococcus aureus ini memiliki dua protein yang berbeda dengan berat molekul yang sama. Toksin epidermolitik A adalah produk kromosomal dan tahan panas. Toksin epidermolitik B diperantai plasmid dan tidak yahan panas. Toksin epidermolitik
menyebabkan
deskuamasi
Staphylococcal
scalded
syndrome.
skin
generalisata Toksin-toksin
pada tersebut
merupakan super antigen. (Jawetz, 2008)
Toksin Sindrom-syok-toksik Sebagian besar strain Staphylococcus aureus yang diisolasi dari pasien syok toksik menghasilkan toksin sindrom-syok-toksik-1 (TSST1), yang serupa dengan enterotoksin F. TSST-1 merupakan superantigen prototipikal, berikatan dengan MHC kelas II, menstimulasi sel T. Toksin ini menyebabkan demam, syok, dan toksik. (Jawetz, 2008)
Enterotoksin Terdapat berbagai enterotoksin (A-E, G-I, K-M), sekitar 50% Staphylococcus aureus dapat menghasilkan satu enterotoksin tahan terhadap panas dan resisten terhadap enzim usus. Enterotoksin dihasilkan bila Staphylococcus aureus tumbuh di makanan yang mengandung protein dan karbohidrat. Ingesti 25 µg enterotoksin B dapat menyebabkan diare. (Jawetz, 2008).
14
2.1.3 ESCHERICHIA COLI Escherichia
merupakan
order
dari
Enterobacteriaceaea.
Enterobacteriaceaea adalah suatu famili kuman yang terdiri dari sejumlah besar spesies bakteri yag erat hubungannya satu dengan yang lainnya. Hidup di usus besar manusia dan hewan, tanah, air dan dapat pula ditemukan dekomposisi material. Karena hidupnya yang pada keadaan normal di dalam usus besar manusia, kuman ini sering disebut kuman enterik atau basil enterik. (Karsinah, dkk. 1994) Sifat biokimiawi dari kuman enterik kompleks dan bervariasi. Pada suasana anaerob atau kadar O2 rendah terjadi reaksi fermentasi yang cukup terjadi siklus asam trikarboksilat dan transport elektron untuk bentukan enersi. (Karsinah, dkk. 1994) Macam- macam perbenihan yang dipakai untuk isolasi kuman enterik : (Karsinah, dkk. 1994) 1. Diferensial: Agar MacConkey, agar eosin Methylin lue, Agar Desoxycholate. Pada perbenihan ini hampir semua kuman enterik dapat tumbuh. 2. Selektif : Agar Salmonella-Shigella, agar Desoxycholate citrat. Perbenihan ini khusus untuk mengisolasi kuman usus patogen 3. Persemaian : Kaldu GN, kaldu selenit, kaldu tetrahionat. Kuman usus patogen lebih subur. Escherichia
coli
merupakan
Gram
negatif,
habitatnya
di
lingkungan akuatik, tanah, makanan, air seni, dan tinja, dan bersifat sebagai patogen. Dinding selnya mengandung peptidoglikan dan asam
15
teikhoat, selalu berpasangan membentuk rantai pendek. (Karsinah, dkk. 1994) Kuman berbentuk batang pendek (kokobasil), Gram negatif, ukuran 0,4-0,7 µm x 1,4 µm sebagian besar gerak positif dan beberapa strain mempunyai kapsul. (Jawetz, 2008) Morfologi dan Klasifikasi Escherichia coli (Karsinah, dkk. 1994) Domain
: Bacteria
Kingdom
: Bacteria
Phylum
: Proteobacteria
Kelas
: Gamma proteobacteria
Order
: Enterobacteriales
Family
: Enterobacteri aceae
Genus
: Escherichia
Spesies
: Escherichia coli
Daya tahan kuman Kuman enterik tidak membentuk spora, mudah dimatikan dengan desinfektan antibakteri. (Karsinah, dkk. 1994) Stuktur dinding sel Dinding sel kuman terdiri dari lapisan murein,lipoprotein, fosfolipid, protein dan lipopolisakarida. Lapisan murein-lipprotein membentuk 20% dari total dinding sel dan bertanggung jawab terhadap celullar rigidity, stuktur ini menyerupai jala/net, terdiri dari rantai N-asetil glukosamin berikatan kovalen dengan asam N-asetil muramat melalui ikatan B1-4 glikosida. Lapisan fosfolipid, protein dan lipopolisakarida membentuk 80%^ dari dinding sel. Komponen utama yang terpenting dari dinding sel adalah lipopolisakarida, tersiri dari rantai polisakarida yang
16
spesifik, menentukan sifat antigenik da aktivitas endotoksin. (Karsinah, dkk. 1994) Stuktur antigen Katerisasi antigen berperan penting dalam epidemiologi dan klasifikasi. Komponen utama sel bakteri adalah : antigen somatik (O), antigen flagel (H), dan antigen kapusl (K). (Karsinah, dkk. 1994)
Antigen kapsul Terdiri dari polisakarida, bila dipanaskan 60°C selama satu jam kapsul akan rusak. Antigen ini dapat menghalangi/ menghambat reaksi aglutinasi antigen O dengan antiserumnya yang homolog. (Karsinah, dkk. 1994) Antigen flagel Terdiri dari protein (Karsinah, dkk. 1994) Antigen somatik Terdiri dari lipopolisakarida yang dapat dibedakan dalam 3 regio. (Karsinah, dkk. 1994) -
Regio 1 : Merupakan polimer dari unit oligosakarida yang spesifik, tersusun dari 3-4 monosakarida yang berulang. Perbedaan- perbedaan ini dipakai untuk identifikasi, misalnya subgruping serologik terhdap kuman- kuman Salmonella, Shigella dan Escherichia.
-
Regio 2 : Regio ini melekat pada regio 1, terdiri dari inti polisakarida, yang dibedakan dalam inti dalam terdiri dari 2 keto-3 deoksitinat, heptosa,
17
fosfat, pirofosfat dan inti luar terdiri dari heksosa : glukosa, galaktosa dan N-asetil gluamin. -
Regio 3 :
-
Regio ini melekat pada regio 2, terdiri dari lipid A, yang merupakan bagian molekul yang toksik.
Faktor-faktor patogenitas Antigen permukaan Pada Escherichia coli paling tidak terdapat 2 tipe fimbrae yaitu : a. Tipe manosa sensitif (pili) b. Tipe manosa resisten Kedua tipe fimbrae ini penting sebagai colonization factor, yaitu untuk perlekatan sel kuman pada sel/jaringan. (Pelczar, 2006) Enterotoksin Ada 2 macam enterotoksin yang telah berhasil diisolasi dari Escherichia coli : a. Toksin LT (Termolabil) b. Toksin ST (Termostabil) Produksi kedua macam toksin diatur oleh plasmid yang mampu pindah dari satu sel kuman ke sel kuman lainnya. Terdapat 2 macam plasmid : (Pelczar, 2006) -
1 plasmid mengkode pembentukan toksin LT dan ST
-
1 plasmid lainnya mengatur pembentukan toksin ST saja. Seperti toksin kolera, toksin termolabil bekerja merangsang enzim adenil siklase yang terdapat di dalam sel epitel mukosa usus halus, menyebabkan peningkatan aktivitas enzim enzim tersebut terjadinya peningkatan permeabilitas sel epitel usus. Sehingga terjadi akumulasi cairan di dalam usus dan berkahir dengan diare. (Pelczar, 2006) Toksin ST bekerja dengan cara mengaktivasi enzim guanilat siklase menghasilkan siklik guanosin monofosfat, menyebabkan gangguan absorpsi klorida dan natrium, selain itu ST menurunkan motalitas usus halus. (Pelczar, 2006)
18
Hemolisin Peranan hemolisisn ada infeksi oleh Escherichia coli tidak jelas tetapi strain hemolitik Escherichia coli ternyata lebih patogen daripada strain yang nonhemolitik. (Pelczar, 2006)
2.1.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Organisme
Faktor Kimia 1. Nutrien Mikroba membutuhkan karbon yang didapat dari sejumlah reaksi biosintesis dan menghasilkan lebih dari kebutuhannya. Nitrogen merupakan komponan utama protein dan asam nukleat. Sulfur merupakan komponen dari banyak substansi organik sel. Fosfor sebagai komponan ATP, asam nukleat dan sejumlah koenzim komponen dinding sel, beberapa polisakarida kapsul dan beberapa protein. (Jawetz, 2008) 2. Aerasi Berbagai organisme obligat aerob, secara khusus membutuhkan oksigen sebagai penerima hidrogen, beberapa fakultatif, mampu bertahan hidup secara aerob atau anaerob. Hasil alami metabolisme aerob adalah senyawa-senyawa reaktif
hidrogen peroksida dan
superoksida. Dengan adanya unsur besi, dua senyawa tersebut dapat membentuk radikal hidroksil yang dapat merusak setiap molekul biologis. (Jawetz, 2008)
Faktor Fisik 1. pH Sebagian besar organism paling baik tumbuh pada pH 6,0-8,0, meskipun beberapa bentuk(asidofil) mempunyai pH optimal 3,0 dan yang lain (alkalifil) mempunyai pH optimal 10,5. (Jawetz, 2008)
2. Temperatur Spesies mikroba yang berbeda sangat beragam kisaran temperatur optimalnya untuk tumbuh, berbentuk psycrophylic (mikroba yang
19
menyukai suhu dingin) tumbuh pada temperatur rendah 15-20ºC, bentuk mesophylic (mikroba yang menyukai suhu sedang) tumbuh terbaik pada 30-37ºC dan kebanyakan thermophylic (mikroba yang menyukai suhu hangat) tumbuh pada suhu 50-60ºC. kebanyakan organisme adalah mesophylic, 30ºC adalah suhu optimal untuk berbagai bentuk yang hidup bebas, temperatur badan inang adalah optimal untuk tumbuh dengan cepat. (Jawetz, 2008) Selain berpengaruh pada laju pertumbuhan, temperatur yang ekstrim dapat membunuh mikroorganisme. Panas yang ekstrim digunakan untuk sterilisasi, dingin yang ekstrim juga dapat membunuh mikroba, meskipun tidak aman untuk sterilisasi. Bakteri juga menunjukkan fenomena yang disebut cold shock, pembunuhan sel-sel dengan pendinginan cepat. (Jawetz, 2008)
Kekuatan Iotonik dan Tekanan Osmotik Pada tingkatan yang lebih kecil, faktor-faktor seperti tekanan osmotik dan konsentrasi garam harus dapat dikontrol. Kebanyakan organisme, sifat media yang umum sudah cukup memuaskan, tetapi faktor-faktor ini harus diperhitungkan. Organisme yang membutuhkan konsentrasi garam tinggi disebut halofilik, yang membutuhkan tekanan osmotik tinggi disebut osmofilik. (Jawetz, 2008) Kebanyakan bakteri mampu mentoleransi kisaran tekanan dan kekuatan ionik eksternal yang besar karena kemampuan bakteri tersebut untuk mengatur osmolalitas dan konsentrasi ion internal. Osmolalitas diatur oleh transport aktif ion K+ ke dalam sel. Kekuatan ionik internal dijaga tetap konstan oleh ekskresi kompensasi poliamin organik putresin (suatu poliamin organik bermuatan positif). Karena putresin membawa beberapa muatan positif per molekul, kekuatan ionik dapat sangat menurun akibat pengaruh dari perubahan kekuatan osmotik yang kecil saja. (Jawetz, 2008)
20
2.1.5 Metode Difusi Kirby Baurer Kirby baurer pengujian antibiotik (KB pengujian atau tes sensitivitas antibiotik
disk difusi) adalah tes yang menggunakan
antibiotik untuk menguji apakah bakteri tertentu rentan terhadap antibiotik tertentu. KB test juga dapat secara rutin dilakukan untuk memantau prevalensi bakteri resisten antibiotik, amati tren untuk mengambil tindakan pencegaham sebagai contoh : pengembangan obat baru. Jika bakteri yang rentan terhadap antibiotik tertentu wilayah kliring mengelilingi wafer dimana bakteri tidak mampu tumbuh (disebut zona inhibisi). (Pelczar, 2006) Prosedur : Menyiapkan kultur murni (18-24 jam) sampel pada media, sesuaikan kekeruhan sampai setara dengan 0.5 standar Mc Farland kekeruhan. Celupkan kapas steril kedalam sampel yang sudah di standarisasi kekeruhannya berdasarkan 0.5 Mc Farland standar. Lalu disebarkan bakteri tersebut pada- Hinton agar- agar Mueller. Setelah inkubasi, amati di halaman bakteri (zona hambatan). Ukur diameter zona hambatan.
2.2 KERANGKA KONSEP
Pertumbuhan Escherichia coli
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1
DESAIN PENELITIAN Penelitian ini merupakan menggunakan design studi eksperimen.
3.2
TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Laboratorium mikrobiologi FKUIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada bulan September hingga Oktober tahun 2010.
3.3
SAMPEL PENELITIAN Sampel penelitian ini menggunakan bakteri Staphylococcus aureus dan bakteri Escherichia coli yang diambil dari kultur murni.
3.4
KRITERIA PENELITIAN 3.4.1 Kriteria Inklusi 1. Media agar yang terdapat bakteri Staphylococcus aureus 2. Media agar yang terdapat bakteri Escherichia coli 3.4.2
Kriteria Eksklusi
1. Media agar yang tidak hanya terdapat bakteri Staphylococcus aureus 2. Media agar yang tidak hanya terdapat bakteri Escherichia coli 3.5. BAHAN PENELITIAN Bahan- bahan yang dibutuhkan untuk melakukan penelitian ini adalah madu hutan sumbawa, suspensi bakteri Staphylococcus aureus, suspense bakteri
21
22
Escherichia coli, manitol salt agar (MSA), Mc Conkey agar, Mueller Hinton Agar (MHA), NaCl steril, Aquades . 3.6. ALAT PENELITIAN Alat- alat yang dibutuhkan untuk melakukan penelitian ini adalah sarung tangan, tabung reaksi, cawan petri, ose steril, Autoclave, Inkubator , bekker glass, cakram disk (blank disk) diameter 10 mm, parafilm, bunsen, swab steril, korek api, sendok, jangka sorong, penggaris 3.7. Variabel dan Definisi Operasional 3.7.1 Variabel penelitian a. Variabel Bebas Pemberian madu dengan konsentrasi 25%, 50%, 75%, 100%, Aquades steril b.
Variabel Tergantung
Pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus di MSA. Dan diukur dengan diameter zona hambatan yang terbentuk dalam millimeter di MHA.
Pertumbuhan bakteri Escherichia coli di endo agar. Dan diukur dengan berbagai diameter zona hambatan yang terbentuk dalam millimeter di MHA
1.
Variabel Perancu Terkendali
Suhu inkubasi 37°C
Waktu inkubasi 24 jam
Kepekatan bakteri
23
Waktu perendaman cakram ke dalam madu
3.7.2 Definisi Operasional Variabel Tabel 2. Definisi operasional No.
Variabel
Definisi Operasional
Alat
Hasil Ukur
Ukur
Skala Ukur
Terikat 1
Zona hambatan Daerah
sekeliling
kertas Jangka
dimana
tidak sorong
Staphylococcus
cakram
aureus
ditemukannya pertumbuhan
Diameter
Rasio
zona hambatan
Staphylococcus aureus Zona hambatan Daerah
sekeliling
kertas Jangka
Escherichia coli cakram
dimana
tidak sorong
ditemukannya pertumbuhan
Diameter
Rasio
zona hambatan
Escherichia coli Bebas 2
Larutan madu
Madu
yang
dilarutkan dengan
dengan
konsentrasi
sudah ditentukan
sudah Gelas air ukur yang
Jumlah larutan sesuai konsentrasi pada setiap tabung
Rasio
24
3.8. CARA KERJA 3.8.1. Cara penelitian
Pembuatan larutan madu dengan konsentrasi 25%, 50%, 75%, 100% dan aquades sebagai kontrol
Masukan cakram steril kedalam setiap konsentrasi larutan madu dan Aquades
Escherichia coli
Staphylococcus Aureus
Di biakan di Mc Conkey Agar
Di biakan di MSA
Ambil NaCl steril dimasukan ke dalam gelas ukur lalu ambil masingmasing koloni bakteri disimpan di masing masing gelas ukur yg sdh tersedia NaCl steril lalu dibandingkan kepekatannya dgn Mc farlan
Letakan ke dalam MHA
Inkubasi 24 jam dengan suhu 37°c
Lakukan pengamatan
Lihat zona hambatan
Pembuatan suspensi biakan bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli Pengambilan masing-masing bakteri tersebut dengan menggunakan ose, lalu masing-masing bakteri tersebut diambil sebanyak satu sengkelit kemudian disebarkan dalam media agar masing-masing, Staphylococcus aureus pada MSA (Manitol Salt Agar) dan Escherichia coli pada Mc Conkey agar. Lalu bakteri tersebut dibiakan dan di inkubasi selama 24 jam pada suhu 37°C.
25
Pembuatan konsentrasi larutan madu a. Larutan madu dengan konsentrasi 25%, 50%, 75% dan 100% Madu 25 ml dilarutkan dengan aquades sebanyak 75 ml, madu 50 ml dilarutkan dengan aquades 50 ml, madu 75 ml dilarutkan dengan aquades 25 ml dan madu 100% tidak perlu dilarutkan dengan aquades. Lalu semua larutan madu dengan berbagai konsentrasi tersebut dibuat di dalam bekker glass steril setelah itu bekker glass steril tersebut ditutup dengan alumunium foil agar tetap steril dan tidak terkontaminasi oleh mikroorganisme lainnya. b. Aquades steril Ambil sedikit aquades steril lalu dipindahkan di bekker glass steril. Setelah itu bekker glass steril tersebut ditutup dengan alumuniumfoil agar tetap steril dan tidak terkontaminasi oleh mikroorganisme lainnya.. Uji pengaruh madu terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli a. Larutan madu dengan konsentrasi 25% Ambil cakram kosong steril dan masukan kedalam larutan madu 25%, 50%, 75% dan 100% yang masing- masing sudah dilarutkan, tunggu sekitar 20 menit agar lebih menyerap ke dalam cakram tersebut. Lalu masing- masing MHA dioleskan bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli yang dimasukan kedalam larutan NaCl steril menurut standarisasi 0.5 Mc Farland dengan menggunakan swab steril. Tunggu 15 menit lalu ambil cakram yang sudah dimasukan kedalam larutan madu tersebut kemudian pindahkan kedalam MHA yang sudah dioleskan masing- masing bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli dengan menggunakan pinset steril (dibakar terlebih dahulu di atas api bunsen). Lalu masukan kedalam inkubator selama 24 jam pada suhu 37ºc.
26
b. Larutan Aquades Steril Ambil cakram kosong steril dan masukan kedalam larutan aquades steril tunggu sekitar 20 menit agar lebih menyerap ke dalam cakram tersebut. Lalu MHA dioleskan oleh bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli yang sudah dilarutkan dengan menggunakan NaCl steril menurut standarisasi 0.5 Mc Farland dengan menggunakan swab steril. Tunggu sampai 15 menit lalu ambil cakram yang sudah dimasukan kedalam larutan madu tersebut kemudian pindahkan kedalam MHA yang sudah dioleskan masing-masing bakteri Escherichia coli
Staphylococcus aureus dan
dengan menggunakan pinset steril (dibakar terlebih
dahulu di atas api bunsen). Perlakuan selalu dipanaskan terlebih dahulu diatas api. Lalu dimasukan kedalam inkubator selama 24 jam pada suhu 37ºc.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Analisis Hasil Penelitian Penelitian ini merupakan uji aktivitas antibakteri, dalam hal ini madu
sumbawa terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Penelitian ini dilakukan metode difusi menggunakan media MHA. Setelah Staphylococcus aureus diinokulasikan pada agar MHA, setiap satu agar diberikan tiga cakram, kontrol negative, dan 2 cakram yang sudah dimasukkan ke dalam larutan bawang putih dengan kadar yang telah ditentukan. Setelah diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Aktivitas antibakteri tersebut nampak dengan terbentuknya zona hambatan yang diukur dengan menggunukan jangka sorong atau penggaris pada kertas cakram yang dapat dilihat pada tabel 1. 1.
Aktivitas Madu Sebagai Antibakteri Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus Tabel 1. Hasil pengukuran diameter zona hambatan yang ditimbulkan oleh madu sumbawa terhadap Staphylococcus aureus Zona hambatan madu sumbawa (dalam milimeter)
Percobaan
Kontrol
Madu 25%
Madu 50%
Madu 75%
Madu 100%
1
0 mm
8 mm
9 mm
10 mm
11 mm
2
0 mm
8 mm
9 mm
10 mm
11 mm
Total
0 mm
16 mm
18 mm
20 mm
22 mm
Mean
0
8 mm
9 mm
10 mm
11 mm
27
28
Berdasarkan tabel 1 zona hambat yang terbentuk menunjukan adanya aktivitas antibakteri madu sumbawa terhadap Staphylococcus aureus. Pengamatan ini menunjukan hasil bahwa pada kelompok larutan madu dengan konsentrasi 25%, 50%, 75% dan 100% menunjukan hasil dengan terbentuk zona hambat yang berarti bahwa larutan madu dengan konsentrasi 25%, 50%, 75% dan 100% dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus. Dari hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa larutan madu memiliki antibakteri seperti kandungan hidrogen peroksida, pH yang rendah dan aktivitas air yang rendah (Ika puspitasari, 2007). Dari percobaan aktivitas madu sebagai antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus dilakukan uji statistik untuk melihat signifikasi dari hasilnya tersebut. Uji statistik ini menggunakan uji Kruskal Wallis. Hipotesis dalam melakukan uji Kruskal Wallis pada madu hutan sumbawa terhadap bakteri Staphylococcus aureus adalah sebagai berikut : Ho : tidak terdapat perbedaan hasil perlakuan pemberian madu hutan sumbawa terhadap bakteri Staphylococcus aureus. H1 : terdapat perbedaan hasil perlakuan pemberian madu hutan sumbawa terhadap bakteri Staphylococcus aureus. Keputusannya sebagai berikut : H1 : diterima jika nilai signifikannya < 0.05. H1 : ditolak jika nilai signifikannya > 0.05. Tabel 2. Uji Kruskal Wallis zona hambatan madu hutan sumbawa terhadap Staphylococcus aureus. Madu Hutan Sumbawa Terhadap Staphylococcus aureus. Assymp.Sig Percobaan 1
0.406
Percobaan 2
0.406
29
Hasil uji statistik dengan menggunakan uji Kruskal Wallis, pada tabel 2 terlihat bahwa dari hasil perlakuan madu hutan sumbawa terhadap Staphylococcus aureus yang diujikan memiliki nilai signifikansi yang lebih besar dari 0.05 yaitu 0.406. berdasarkan hasil tersebut, disesuaikan dengan hipotesis bahwa tidak terdapat perbedaan hasil perlakuan pemberian madu hutan sumbawa terhadap bakteri Staphylococcus aureus. Hal ini dikarenakan kurangnya sampel untuk melakukan penelitian ini, perbedaan zona hambat yang terjadi antara setiap konsentrasi jarak hanya berbeda sedikit. 2.
Aktivitas Madu Sebagai Antibakteri Terhadap Bakteri Escherichia coli Tabel 3. Hasil pengukuran diameter zona hambatan yang ditimbulkan oleh madu sumbawa terhadap Escherichia coli. Zona hambatan madu sumbawa (dalam milimeter)
Percobaan
Kontrol
Madu 25%
Madu 50%
Madu 75%
Madu 100%
1
0 mm
7 mm
9 mm
10 mm
11 mm
2
0 mm
7 mm
9 mm
10 mm
11 mm
Total
0 mm
14 mm
18 mm
20 mm
22 mm
Mean
0 mm
7 mm
9 mm
10 mm
11 mm
Berdasarkan tebel 3 bahwa zona hambat yang terbentuk menunjukan adanya aktivitas antibakteri madu sumbawa terhadap Escherichia coli. Pada tabel 3 hasil pengamatan ini menunjukan pada kelompok larutan madu dengan konsentrasi 25%, 50%, 75% dan 100% menunjukan hasil dengan terbentuk zona hambat yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli dengan diameter secara berurutan 7, 9, 10, 11 mm. Dari hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa memiliki aktivitas antibakteri yang terkandung dalam madu
30
seperti kandungan hidrogen peroksida, pH yang rendah dan aktivitas air yang rendah (Ika puspitasari, 2007). Dari percobaan aktivitas madu sebagai antibakteri terhadap bakteri Escherichia coli dilakukan pengujian data menggunakan uji statistik untuk melihat signifikasi dari hasilnya tersebut. Uji statistik ini menggunakan uji Escherichia coli. Hipotesis dalam melakukan uji Kruskal Wallis pada madu hutan sumbawa terhadap bakteri Escherichia coli adalah sebagai berikut : Ho : tidak terdapat perbedaan hasil perlakuan pemberian madu hutan sumbawa terhadap bakteri Escherichia coli. H1 : terdapat perbedaan hasil perlakuan pemberian madu hutan sumbawa terhadap bakteri Escherichia coli. Keputusannya sebagai berikut : H1 : diterima jika nilai signifikannya <0.05. H1 : ditolak jika nilai signifikannya >0.05. Tabel 4. Uji Kruskal wallis zona hambatan madu hutan sumbawa terhadap Escherichia coli. Madu Hutan Sumbawa Terhadap Escherichia coli. Assymp.Sig Percobaan 1
0.406
Percobaan 2
0.406
Pada uji statistik dengan menggunakan uji Kruskal Wallis, pada tabel 4 terlihat bahwa dari hasil perlakuan madu hutan sumbawa terhadap Escherichia coli yang diujikan memiliki nilai signifikansi yang lebih besar dari 0.05 yaitu
31
0.406. berdasarkan hasil tersebut bahwa tidak terdapat perbedaan hasil perlakuan pemberian madu hutan sumbawa terhadap bakteri Escherichia coli. hal ini dikarenakan beberapa hal yaitu kurangnya sampel untuk melakukan penelitian ini, perbedaan zona hambat yang terjadi antara setiap konsentrasi madu yang membentuk zona hambat hanya sedikit zona hambatnya yang berbeda hanya sedikit. 4.2.
Pembahasan Pada penelitian yang telah dilakukan Warsito, dkk (2001) yaitu madu sebagai
antibakteri terhadap Staphylococcus aureus menunjukan bahwa madu dengan konsentrasi 1% dan 2,5% belum menunjukan hambatan pada media pertumbuhan sedangkan madu dengan konsentrasi 5%, 10%, 25%, 50% menunjukan diameter zona hambatan berturut-turut 22,8; 26,9; 28,8; 28,7 mm. Pada penelitian lain yang telah dilakukan Ta’siah, dkk (2002) pada madu dengan konsentrasi 5%, 10%, 15%, 20%, 25% dan 30% bahwa madu mempunyai daya hambat pada bakteri Staphylococcus aureus yang dapat dilihat dari zona hambat berturut-turut 0; 1; 1; 1; 2; 3 mm. sementara itu penelitian yang telah dilakukan Cooper, dkk (1999) menunjukan hasil bahwa madu hutan dan madu campuran memiliki daya hambat pada bakteri Staphylococcus aureus. Pada penelitian yang telah dilakukan Lilis, dkk (2004) pemberian madu terhadap berbagai jenis bakteri patogen, salah satunya adalah bakteri Escherichia coli juga menunjukan hasil madu memiliki kemampuan daya hambat minimal pada bakteri Escherichia coli yaitu pada konsentrasi madu 20%. Pada penelitian lain yang telah dilakukan Ruakyo, dkk (2000) dengan pemberian madu terhadap bakteri Escherichia coli pada konsentrasi 25% dan 50% menunjukan hasil berupa daya hambat sebesar 5 mm dan 8 mm dan disimpulkan madu mempunyai manfaat sebagai antibakteri. Pada penelitian yang telah saya lakukan melihat efektivitas madu terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli dengan konsentrasi yang lebih pekat lagi yaitu dengan konsentrasi madu 25%, 50%, 75%, 100%. Pada uji dengan
konsentrasi
tersebut
didapatkan
daya
hambat
madu
terhadap
32
Staphylococcus aureus sebagai berikut 8 mm, 9 mm, 10 mm, 11 mm dan pada Escherichia coli mendapatkan hasil zona hambat berturut- turut 7 mm, 9 mm, 10 mm, 11 mm. Dari hasil tersebut didapatkan pertambahan konsentrasi madu sejalan dengan zona hambat bakteri. Zona hambat yang terbentuk ini merupakan salah satu bukti bahwa madu memiliki sifat antibakteri yaitu kandungan hidrogen peroksida, pH yang rendah dan aktivitas air yang rendah (Ika puspitasari, 2007). Madu memiliki aktivitas sebagai antibakteri atau antimikroba karena madu mempunyai osmolaritas yang tinggi yang mampu menarik air, madu memiliki pH yang rendah yaitu madu memiliki pH asam yakni berkisar 3,2-4,5. Keasaman pH yang rendah ini merupakan penghambat yang efektif terhadap pertumbuhan bakteri. Madu memiliki aktivitas air yang rendah sebesar 0,562-0,62. Secara umum bakteri tidak akan tumbuh pada media yang memiliki aktivitas air yang rendah. Selain itu juga madu memiliki fungsi sebagai antibakteri karena dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme melalui senyawa hidrogen peroksida yang dihasilkan sehingga bakteri sulit untuk berkembang. (Ika puspitasari, 2007). Pada penelitian daya hambat madu terhadap Escherichia coli didaptkan daya hambat yang lebih kecil dibandingkan dengan Staphylococcus aureus pada konsentrasi 25%. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan Lilis, dkk (2004) mendapatkan konsentrasi madu yang lebih kecil 20% juga mempunyai daya hambat yang kecil. Hal ini dipengaruhi stuktur dinding sel yang dimiliki oleh masing-masing bakteri berbeda. Bakteri Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif yang memiliki struktur dinding sel yang relatif sederhana dibandingkan dengan bakteri Gram negatif (Bibiana, 1992). Escherichia coli adalah bakteri Gram negatif yang memiliki
struktur dinding sel yang lebih
kompleks dan berlapis tiga, yaitu lapisan luar yang berupa lipoprotein, lapisan tengah yang berupa peptidoglikan yang tebal dan lapisan dalam lipopolisakarida (Pelczar, 1988). Struktur dinding sel bakteri Gram positif yang lebih sederhana tersebut memudahkan senyawa antibakteri untuk
masuk ke dalam sel dan
menemukan sasaran untuk bekerja. Sedangkan dinding sel yang kompleks menimbulkan hambatan bagi senyawa bioaktif seperti madu untuk menembus membran sel bakteri, sehingga Escherichia coli kurang peka terhadap senyawa
33
bioaktif tersebut, hal ini dapat dilihat dari perbedaan lebar zona hambat antara bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Tetapi pada hasil penelitian ini dengan konsentrasi lain (50%, 75% dan 100%) tidak terdapat perbedaan zona hambat yang terbentuk antara bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Hal ini kemungkinan karena tekhnik yang digunakan kurang tepat, kandungan madu yang memiliki sifat sebagai antibakteri yang terdapat di madu tersebut belum optimal. Pada penelitian yang telah saya lakukan didapatkan hasil zona hambat 7-11 mm, menurut klasifikasi Greenwood tahun 1995 membagi berdasarkan luas zona hambat yang terbentuk terhadap respon daya hambat bakteri, maka hasil penelitian ini termasuk ke dalam golongan daya hambat yang lemah. Pada penelitian ini setelah dilakukan uji statistik, didapatkan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan pemberian madu terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Hal ini mungkin disebabkan oleh beragam faktor salah satunya karena konsentrasi madu yang digunakan hanya 4 konsentrasi dan dilakukan secara duplo. Untuk penelitian lebih lanjut sebaiknya dilakukan dengan 5 konsentrasi dengan konsentrasi yang lebih rendah dan dengan 3 kali pengulangan.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil pembahasan terhadap hasil penelitian yang diperoleh, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1.
Pengaruh konsentrasi madu 25%, 50%, 75% dan 100% terhadap bakteri Staphylococcus aureus menghasilkan zona hambat sebesar 8; 9; 10; 11 mm.
2.
Pengaruh konsentrasi madu 25%, 50%, 75% dan 100% terhadap bakteri Escherichia coli menghasilkan zona hambat sebesar 7; 9; 10; 11 mm.
3.
Pengaruh pemberian konsentrasi madu terhadap Staphylococcus aureus (Gram positif) memiliki zona hambat yang sama dengan Escherichia coli (Gram negatif)
4.
Hasil uji statistik dengan Kruskal wallis tidak terdapat perbedaan yang
nyata
pemberian
madu
hutan
sumbawa
terhadap
Staphylococcus aureus dan pada Escherichia coli. 5.2.
SARAN 1.
Perlu dilakukan penambahan sampel dan pengulangan
2.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan berbagai jenis macam madu ataupun dengan jenis bakteri lainnya.
34
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, Jakarta: Departemen Kesehatan RI Banq dkk, 2003, The effect of dilution on the rate of hydrogen peroxide production in honey and its implications for wound healing, J Altern Complement Med. 9(2):267-73, http://www.ncbi.nlm.nih.g ov, diakses tanggal 12 Juli 2009. Cooper , R.A et al. 2007. Journal of the royal society of medicine. Antibacterial activity of honey against strains of stapylococcus aureus from infected wounda French VM, Cooper RA, Molan PC. 2005. Journal of The Antibacterial of Honey Against Coagulase-
Negative
Staphylococci.
Oxfordjournal.
http://jac.oxfordjournals.org/cgi/content/full/56/1/228 diakses tanggal 01 november 2010 Hendri W, Sani Ep, Yani L. 2008. Uji Aktivitas Antibakteri Madu terhadap Bakteri Staphylococcus aureus. http://hendriapt.wordpress.com/2008/11/14/uji-aktivitas-antibakterimadu-terhadap-bakteri-staphylococcus-aureus/. Diakses tanggal 01 november 2010 Jawetz et al. 2008. Mikrobiologi kedokteran. Edisi 23. Jakarta : Salemba medika Lucyana, Suci.2010. Uji Aktivitas Antimikroba Larutan Madu Kapuk dan Madu Hutan Terhadap Staphylococcus aureus Secara In Vitro dengan Metode Difusi (Skripsi). Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Naional Veteran. 2010 Lucyana, Suci.2009. Uji Aktivitas Antimikroba Larutan Madu dan Gula Pasir Terhadap Staphylococcus aureus Secara In Vitro dengan Metode Difusi (Skripsi). Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Naional Veteran. 2009 Pelczar MJ. 2006. Dasar- asar Mikrobiologi Jilid 2. Jakarta : UI Puspitasari, Ika. 2007. Rahasia sehat madu. Yogyakarta : B-First (PT.Bentang Pustaka) Rosita, 2007, Berkat Madu, Penerbit Qanita, Bandung. Staff Pengajar UI. 1994. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta 35
36
Soekidjo N. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta Stroppler,
M.C.,
2008,
Staph
Infection
(Staphylococcus
aureus),
http://www.medicinenet.com/staph_infection/article.html, diakses tanggal 12 Juli 2009. Suwandi, U., 1999, Peran Media Untuk Identifikasi Mikroba Patogen, Cermin Dunia Kedokteran No. 124, Grup PT Kalbe Farma, Jakarta Salam Syamsir, Baequni, Utami dewi. 2006. Modul Metodologi Penelitian. Jakarta : UIN Jakarta Press Tonks, A. J., et al. 2003. Honey Stimulates inflammatory cytokine production from monocytes. Cytokine, 7; 21 Tortora , Funke and case. 2001. Microbiology sventh edition. USA : Addision wesley longman Vardi dkk, 1998, Local Application of Honey for Treatment of Neonatal Postoperative Wound Infection, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9628301, diakses tanggal 17 Mei 2009 WHO.
1999.
Infectious
Diseases
are
The
Biggest
Killer
of
The
Young.
http://www.who.int/infectious-disease-report/index-rpt99.htm diakses tanggal 12 Juli 2009
37
LAMPIRAN
Gambar 1. Biakan bakteri Staphylococcus aureus di MSA
Gambar 2. Biakan bakteri Escherichia coli di Mc-Conkey agar
37
38
Gambar 3. MHA dan MSA
Madu 25 ml diencerkan dengan aquades 75ml Gambar 5. Larutan madu dengan konsentrasi 25%
Gambar 4. Sediaan Madu Sumbawa
39
Madu 75 ml diencerkan dengan aquades 25 ml Gambar 7. Larutan madu dengan konsentrasi 75% Madu 50 ml diencerkan dengan aquades 50 ml Gambar 6. Larutan madu dengan konsentrasi 50%
Gambar 8. Larutan madu dengan konsentrasi 100%
Gambar 9. Larutan Aquades
40
Gambar 10. Perbandingan berbagai konsentrasi larutan madu (25%, 50%, 75%, 100%) dan aquades sebagai kontrol
Gambar 11. Zona hambatan larutan madu dengan konsentrasi 25% dan 50% terhadap bakteri Staphylococcus aureus
41
Gambar 12. Zona hambatan larutan madu dengan konsentrasi 75% dan 100% terhadap bakteri Staphylococcus aureus
Gambar 13. Zona hambatan larutan madu dengan konsentrasi 25% dan 50% terhadap bakteri Escherichia coli
Gambar 14. Zona hambatan larutan madu dengan konsentrasi 75% dan 100% terhadap bakteri Escherichia coli
42
43
44
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Nurul Elliza
Tempat, Tanggal Lahir
: Cirebon, 30 Oktober 1990
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Kewarganegaraan
: Indonesia
Alamat
: Jl. Dr. Cipto Mangunkusumo no.111 Rt/Rw 001/011 Pekiringan Kesambi Cirebon 45131
Email
:
[email protected]
Riwayat Pendidikan
:
1. TK Islam Al-Azhar Cirebon
( 1994 – 1996 )
2. SD Islam Al-azhar Cirebon
( 1996 – 2002 )
3. SMP Insan Kamil Bogor
( 2002 – 2005 )
4. SMA Insan Kamil Bogor
( 2005 – 2007 )