HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Kultur Bakteri Uji Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Escherichia coli ATCC 25922 Bakteri Uji Staphylococcus aureus ATCC 25923 Pemeriksaan kemurnian kultur bakteri uji sangat penting dilakukan untuk mendapatkan bakteri uji yang seragam dan tidak terkontaminasi. Hasil pengamatan mikroskopik terhadap preparat bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923 melalui pewarnaan Gram dapat dilihat pada Gambar 13. Karakteristik bakteri uji ini sesuai dengan Ray dan Bhunia (2007) yaitu menunjukkan bentuk sel bulat yang seragam dengan susunan tunggal, berpasangan maupun membentuk kumpulan yang tidak beraturan seperti buah anggur. Bakteri Staphylococcus aureus berukuran 0,5-1 µm, bersifat anaerobik fakultatif, tidak bergerak, tidak berkapsul dan tidak membentuk spora. S. aureus tergolong mesofil karena dapat hidup pada suhu 7-48 °C dan memproduksi enterotoksin secara optimum pada suhu 37-40 °C.
Gambar 13. Morfologi Bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923 Staphylococcus aureus tergolong bakteri Gram positif karena menghasilkan warna biru ketika dilakukan pewarnaan Gram. Fardiaz (1992) mengemukakan bahwa bakteri Gram positif memiliki dinding sel yang sebagian besar terdiri dari lapisan peptidoglikan (90%) dan lapisan lainnya adalah asam teikoat, sehingga ketika dilakukan uji pewarnaan Gram, lapisan peptidoglikan yang tebal ini dapat mempertahankan kompleks zat warna basa kristal violet dan larutan Iodium (Lugol) saat pencucian preparat sel dengan alkohol. Asam teikoat dalam dinding sel yang bermuatan negatif akan bereaksi dengan alkohol sehingga menyebabkan dehidrasi
pada dinding sel. Dehidrasi menyebabkan pori-pori mengecil (berkerut) dan terjadi penurunan permeabilitas dinding sel sehingga kompleks kristal violet tidak dapat keluar dari sel dan sel tetap berwarna biru. Keadaan ini menyebabkan pewarnaan selanjutnya dengan safranin tidak berpengaruh terhadap sel. Hasil uji katalase menunjukkan bahwa S. aureus bersifat katalase positif yang ditandai dengan dihasilkannya gelembung-gelembung gas O2 pada preparat bakteri yang ditetesi H2O2. Bakteri ini memproduksi enzim katalase yang dapat memecah H2O2 menjadi H2O dan O2. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ray dan Bhunia (2007) B
B
B
B
bahwa bakteri S. aureus memiliki karakteristik biokimia katalase positif. Komponen H2O2 ini merupakan salah satu hasil metabolisme respirasi aerobik bakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri karena bersifat toksik bagi bakteri itu sendiri sehingga komponen ini harus dipecah menjadi H2O dan O2. Bakteri Uji Escherichia coli ATCC 25922 Morfologi bakteri uji Escherichia coli ATCC 25922 dapat dilihat pada Gambar 14. Pengujian pewarnaan Gram yang dilakukan menunjukkan kesesuaian dengan Ray dan Bhunia (2007).
Gambar 14. Morfologi Bakteri Escherichia coli ATCC 25922 Kultur bakteri E. coli memiliki morfologi sel berbentuk batang dengan ukuran 1 x 3 µm dan tergolong bakteri Gram negatif yang ditunjukkan dengan dihasilkannya sel berwarna merah saat dilakukan pewarnaan Gram. Fardiaz (1992) mengemukakan bahwa bakteri Gram negatif merupakan bakteri yang memiliki lapisan peptidoglikan yang tipis (5-20%) pada dinding selnya sehingga ketika dilakukan uji pewarnaan Gram yaitu pada tahap pencucian dengan alkohol akan menyebabkan lemak terekstraksi dari dinding sel dan pori-pori sel akan membesar 26
sehingga mencuci kompleks warna basa kristal violet dan iodium keluar dari dinding sel bakteri. Pewarnaan selanjutnya dengan safranin menyebabkan sel bakteri berwarna merah karena menyerap safranin. Ray dan Bhunia (2007) menjelaskan bahwa Escherichia coli hidup secara anaerobik fakultatif, bersifat soliter maupun berkoloni, motil, tidak berspora dan katalase positif. Bakteri ini mempunyai sifat katalase positif artinya dapat memproduksi enzim katalase yang dapat mengkatalis H2O2, ditandai dengan terbentuknya gelembung gas O2 setelah kultur bakteri ditetesi dengan H2O2. Hal ini sesuai dengan uji katalase yang dilakukan yaitu dihasilkannya gelembunggelembung gas O2 pada preparat bakteri yag ditetesi H2O2. Pengaruh Aplikasi Jumlah Reaktor UV yang Berbeda terhadap Karakteristik Fisik Susu Kambing Segar Dosis UV ditentukan dengan jumlah reaktor UV yang digunakan untuk menginaktivasi bakteri dalam susu segar. Nilai karakteristik fisik susu kambing segar yang diberi perlakuan UV dengan taraf perlakuan penggunaan 1, 2, dan 3 reaktor UV dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Pengaruh Aplikasi Jumlah Reaktor UV yang Berbeda terhadap Karakteristik Fisik Susu Kambing Segar Parameter
Kontrol 3
1 UV
2 UV
a
a
3 UV
1,031 ± 0,00
1,030 ± 0,00
1,030 ± 0,00
1,030a ± 0,00
pH
6,54a ± 0,05
6,55a ± 0,05
6,56a ± 0,03
6,58a ± 0,01
Viskositas (mPa s)
2,08a ± 0,02
2,34a ± 0,31
2,29a ± 0,29
2,03a ± 0,10
Konduktivitas (ohm-1 km-1)
4,61a ± 0,15
4,59a ± 0,14
4,59a ± 0,14
4,67a ± 0,07
Titik Beku (°C)
-0,49a ± 0,01
-0,48a ± 0,00
-0,48a ± 0,00
-0,48a ± 0,00
Panas Spesifik (kJ kg-1 K-1)
3,78a ± 0,01
3,79a ± 0,01
3,79a ± 0,01
3,79a ± 0,01
Berat Jenis (g/cm )
a
Keterangan: Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (p>0,05)
Parameter yang digunakan sebagai evaluasi karakteristik fisik dari aplikasi UV dalam menginaktivasi bakteri pada susu segar meliputi berat jenis, pH, viskositas, konduktivitas, titik beku dan panas spesifik. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa aplikasi jumlah reaktor UV yang berbeda tidak berpengaruh terhadap masing-masing parameter karakteristik fisik susu kambing segar (P>0,05). 27
Pengujian karakteristik fisik penting dilakukan karena parameter tersebut dapat mempengaruhi model peralatan dan proses pengolahan lebih lanjut dari susu, seperti konduktivitas dan viskositas, atau dapat digunakan untuk menentukan konsentrasi komponen yang spesifik dalam susu seperti pH, berat jenis, dan titik beku yang berguna dalam memperkirakan penambahan air dan menentukan bahan kering tanpa lemak (solid non fat), serta memperkirakan perubahan biokimia yang mungkin terjadi dalam susu selama pengolahan. Komponen karakteristik fisik susu hampir sama dengan air, tetapi berbeda karena adanya beberapa kandungan bahan padat pada susu seperti protein, lemak, laktosa dan garam yang kemudian akan mempengaruhi dispersi dan emulsifikasi komponen koloid (Fox dan McSweeney, 1998). Berat jenis atau biasa juga disebut sebagai kerapatan adalah jumlah massa per unit volume. Nilai berat jenis sedikit menurun pada susu yang diberikan radisi UV, akan tetapi penurunan ini tidak terlalu signifikan mempengaruhi kualitas susu, terlihat dari hasil sidik ragam yang menyatakan bahwa taraf perlakuan UV tidak berpengaruh terhadap berat jenis. Nilai berat jenis dari susu yang digunakan berada di antara 1,030-1,031 g/cm3, sesuai dengan Buckle et al. (2007) yang menyatakan bahwa berat jenis susu bervariasi antara 1,0260-1,0320 g/cm3, sedangkan Thai Agricultural Standard (2008) menyebutkan bahwa berat jenis relatif (spesific gravity) susu kambing adalah 1,0280 g/cm3 pada suhu 20 °C. Kerapatan relatif adalah nilai rasio berat jenis antara suatu substrat terhadap airnya pada suhu tertentu. Nilai pH sedikit meningkat pada susu yang diberikan radiasi UV, akan tetapi peningkatan ini tidak signifikan mempengaruhi kualitas susu, terlihat dari hasil sidik ragam yang menyatakan bahwa taraf perlakuan UV tidak berpengaruh terhadap nilai pH. Nilai pH dari susu yang digunakan berada di antara 6,52-6,58, sesuai dengan Thai Agricultural Standard (2008) menyebutkan bahwa pH susu kambing harus berada di antara 6,5–6,8. Fox dan McSweeney (1998) menyatakan bahwa viskositas dipengaruhi oleh komposisi dan konsentrasi partikel solid di dalam larutan, serta pH dan suhu. Viskositas meningkat pada susu yang diberikan perlakuan UV dengan 1 reaktor UV, tetapi kembali menurun dengan semakin meningkatnya reaktor UV yang digunakan, meskipun begitu perubahan ini tidak signifikan mempengaruhi kualitas susu, terlihat 28
dari hasil sidik ragam yang menyatakan bahwa taraf perlakuan UV tidak berpengaruh terhadap nilai viskositas. Nilai viskositas dari susu yang digunakan berada di antara 2,03 mPa s hingga 2,34 mPa s saat diaplikasikan 1 reaktor UV, Fox dan McSweeney (1998) menyebutkan bahwa viskositas susu segar rata-rata sekitar 2,127 mPa s. Pengukuran nilai konduktivitas spesifik dari susu digunakan sebagai metode yang cepat dalam mendeteksi mastitis subklinis dan pemalsuan. Konduktivitas cairan berubah dengan berubahnya konsentrasi substrat dalam cairan dan pengenceran yang terjadi. Konduktivitas juga dipengaruhi oleh konsentrasi dan pengenceran endapan koloidal kalsium pospat (Fox dan McSweeney, 1998). Nilai konduktivitas dari susu yang digunakan berada di antara 4,59 ohm-1 km-1 hingga 5,67 ohm-1 km-1, sesuai dengan Fox dan McSweeney (1998) yang menyatakan bahwa nilai konduktivitas susu berada di antara 0,0040-0,0055 ohm-1 cm-1 atau 4,0-5,5 ohm-1 km-1. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan UV tidak berpengaruh terhadap nilai konduktivitas. Panas spesifik suatu substansi adalah jumlah energi panas dalam kJ. Nilai panas spesifik susu berkaitan dengan jumlah total solid terutama kandungan lemak, walaupun terputus saat 70-80 °C. Pada temperatur saat lemak meleleh, energi dari panas spesifik akan diserap untuk menyediakan panas laten untuk peleburan lemak susu. Fox dan McSweeney (1998) menyatakan bahwa nilai panas spesifik susu segar rata-rata sekitar 3,931 kJ kg-1 K-1, nilai panas spesifik dari susu yang digunakan berada di antara 3,78-3,79 kJ kg-1 K-1, hal ini mungkin dikarenakan perbedaan jumlah kandungan lemak yang terdapat di dalam susu, akan tetapi hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan UV tidak berpengaruh terhadap nilai panas spesifik. Titik beku merupakan salah satu sifat koligatif larutan yang penting. Komponen koligatif adalah komponen fisik yang ditentukan oleh jumlah partikel yang ada dalam larutan. Hasil pengujian menunjukkan bahwa titik beku cenderung tidak berubah. Thai Agricultural Standard (2008) menyebutkan bahwa titik beku susu kambing tidak lebih dari -0,530 °C. Hal ini sesuai dengan 3 taraf perlakuan yang memiliki nilai titik beku -0,48 °C. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan UV tidak berpengaruh terhadap titik beku susu.
29
Pengaruh Aplikasi Jumlah Reaktor UV yang Berbeda terhadap Karakteristik Kimia Susu Kambing Segar Hasil dari pengaruh aplikasi jumlah reaktor UV yang berbeda terhadap karakteristik kimia susu kambing dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Pengaruh Aplikasi Jumlah Reaktor UV yang Berbeda terhadap Karakteristik Kimia Susu Kambing Segar Parameter
Kontrol
1 UV
2 UV
3 UV
15,63a ± 0,52
15,45a ± 0,47
15,38a ± 0,39
15,48a ± 0,39
Lemak (%)
5,90a ± 0,40
5,85a ± 0,46
5,82a ± 0,40
5,88a ± 0,39
Protein (%)
5,28a ± 0,11
5,21a ± 0,05
5,19a ± 0,03
5,22a ± 0,03
Laktosa (%)
3,54a ± 0,06
3,49a ± 0,03
3,48a ± 0,03
3,47a ± 0,03
BKTL (%)
9,73a ± 0,16
9,61a ± 0,03
9,57a ± 0,03
9,60a ± 0,04
Berat Kering (%)
Keterangan: Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (p>0,05)
Susu adalah emulsi cair yang terdiri dari fase lemak yang terdispersi dan fase koloid cair. Faktor yang paling penting dalam menentukan karakteristik kimia susu adalah protein, lemak, dan laktosa. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa aplikasi jumlah reaktor UV yang berbeda tidak berpengaruh terhadap masing-masing parameter karakteristik kimia susu kambing segar (P>0,05). Lemak susu sangat penting karena merupakan sumber asam lemak essensial dan melarutkan vitamin A, D, E, K di dalam tubuh sehingga vitamin ini bisa diserap dengan baik oleh tubuh, disamping itu, karakteristik nutrisi dan organoleptik susu serta hasil produknya sangat dipengaruhi oleh lemak susu (Cannas dan Pulina, 2008). Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan UV tidak berpengaruh terhadap kandungan lemak susu. Thai Agricultural Standard (2008) menyebutkan bahwa lemak susu kambing lebih besar dari 4%, sedangkan Fox dan McSweeney (1998) menyebutkan 4,5%. Hal ini lebih dikarenakan bangsa kambing yang berbeda, namun hasil perlakuan masih sesuai yaitu diantara 5,82-5,90%. Protein akan mempengaruhi sifat fungsional produk olahan susu, meliputi tekstur, warna, aroma, dan stabilitas. Protein di dalam susu dibedakan menjadi dua kelompok utama yaitu protein whey dan kasein (Fox dan McSweeney, 1998). Berbagai perlakuan kimia dan fisik seperti aplikasi kadar asam yang tinggi dan pemanasan di atas 50 °C dalam bahan pangan yang mengandung protein dapat 30
mengganggu ikatan hidrogen dan faktor-faktor lain yang mempertahankan struktur protein yaitu struktur sekunder, tersier dan quartener yang disebut sebagai denaturasi. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan radiasi UV tidak berpengaruh terhadap kadar protein susu. Kadar protein dari susu yang digunakan berada di antara 5,19-5,28%, Thai Agricultural Standard (2008) menyebutkan bahwa kadar protein susu kambing lebih besar dari 3,7%. Laktosa merupakan karbohidrat utama di dalam susu dan merupakan disakarida yang terdiri dari glukosa dan galaktosa. Laktosa ini terdapat dalam fase larutan sehingga mudah diasimilasikan sebagai makanan dengan proses hidrolisa menjadi glukosa dan galaktosa oleh enzim laktase (Buckle et al., 2007). Kadar laktosa semakin menurun dengan semakin banyaknya jumlah reaktor UV yang digunakan, tetapi hasil sidik ragam menyatakan bahwa perlakuan sinar UV tidak berpengaruh terhadap kadar laktosa susu. Kadar laktosa dari susu yang digunakan berada di antara 3,47-3,54%, Thai Agricultural Standard (2008) menyebutkan bahwa kadar laktosa susu kambing 4,2%, hal ini lebih dikarenakan bangsa kambing yang berbeda. Pengaruh Aplikasi Jumlah Reaktor UV yang Berbeda terhadap Reduksi Lempeng Total Bakteri (TPC) pada Susu Kambing Segar Hasil dari pengaruh aplikasi UV dengan taraf perlakuan penggunaan 1, 2, dan 3 reaktor UV terhadap jumlah lempeng total bakteri dapat dilihat pada Gambar 15.
Popolasi (Log cfu/ml)
6,1 6
5,99 ± 0,70
5,98 ± 0,59
5,95 ± 0,41
5,9 5,8 5,7
5,63 ± 0,44
5,6 5,5 5,4 Kontrol
1 Reaktor
2 Reaktor
3 Reaktor
∑ Reaktor UV
Gambar 15. Kurva Aplikasi Jumlah Reaktor UV yang berbeda terhadap Reduksi Lempeng Total Bakteri (TPC) 31
Kurva pengaruh aplikasi jumlah reaktor UV terhadap jumlah lempeng total bakteri menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah bakteri sejalan dengan meningkatnya jumlah reaktor UV yang digunakan, atau dengan kata lain terjadi peningkatan reduksi jumlah bakteri dengan semakin bertambahnya reaktor UV. Kurva menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah bakteri yang cukup besar dengan menggunakan 3 reaktor UV dengan jumlah total bakteri 5,63 log cfu/ml dari jumlah bakteri pada susu kontrol (yang tidak mendapatkan perlakuan apapun) yaitu 5,99 log cfu/ml, dibandingkan dengan menggunakan 1 dan 2 reaktor UV yaitu secara berturut-turut 5,98 dan 5,95 log cfu/ml. Terjadi reduksi mikroba dengan penggunaan 1, 2 dan 3 reaktor UV secara berturut-turut adalah sebesar 0,01; 0,04 dan 0,36 log cfu/ml. Mekanisme reduksi sel mikroba oleh sinar UV melibatkan gangguan pada DNA mikroba sehingga merusak sel dan mencegah perkembangbiakan sel mikroba (Guerrero-Beltran dan Barbosa-Canovas, 2004). Dosis UV yang digunakan dalam penelitian ini adalah 2,27 kGy dan merupakan
UV
komersial
tipe
C
dengan
spektrum
panjang
gelombang
elektromagnetik 253,7 nm. Mikroorganisme rentan terhadap cahaya UV pada kisaran gelombang 200-280 nm. Cahaya UV mempunyai kemampuan penetrasi yang sangat rendah sehingga hanya dapat menginaktivasi mikroorganisme pada permukaan bahan (Ray dan Bhunia, 2007). Sensitivitas relatif mikroorganisme terhadap dosis radiasi tergantung pada ukuran dan kandungan air sel mikroba. Mekanisme inaktivasi mikroba dengan radiasi adalah ketika mikroorganisme dipaparkan cahaya UV, energi dari UV akan diserap oleh nukleotida yang terletak di DNA. Nukleotida-nukleotida akan saling bereaksi membentuk dimer (yaitu dimer timin) dan menyebabkan kerusakan untaian DNA, sehingga mengakibatkan kelumpuhan dan kematian mikroorganisme (Moseley, 1989). Sinar ultraviolet ini bersifat letal terhadap mikroorganisme karena diserap oleh asam nukleat sel. Jika sinar terserap sel, maka akan terjadi kaitan silang pada lingkaran benang DNA antara molekul timin yang bersebelahan. Sinar ultraviolet menyebabkan ikatan molekul timin terlepas dari dimernya dan mengakibatkan kerusakan DNA. Dimer timin akan menghalangi replikasi DNA normal pada sel hidup dengan cara menutup jalan enzim replikasi. Kondisi ini merangsang sistem 32
perbaikan yang cenderung salah mempunyai kemampuan untuk mereplikasi sel melalui DNA yang rusak, sehingga terjadi mutasi sel. Penyerapan radiasi sinar ultraviolet menyebabkan terjadinya
modifikasi kimiawi nukleoprotein dan
menimbulkan hubungan silang antara pasangan-pasangan molekul timin. Hubungan ini menimbulkan salah baca dari kode genetika yang mengakibatkan mutasi, kemudian akan merusak atau memperlemah fungsi vital organisme dan mematikannya (Waluyo, 2008). Pengaruh Aplikasi Kombinasi 3 Reaktor UV dan Frekuensi HPEF yang Berbeda terhadap Karakteristik Fisik Susu Kambing Segar Hasil dari pengaruh aplikasi kombinasi 3 reaktor UV dan Frekuensi HPEF yang berbeda terhadap karakteristik fisik susu kambing dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Pengaruh Aplikasi Kombinasi 3 Reaktor UV dan Frekuensi HPEF yang Berbeda terhadap Karakteristik Fisik Susu Kambing Segar Parameter Berat Jenis (g/cm3)
Kontrol
3 UV + HPEF 10 Hz
3 UV + HPEF 15 Hz
3 UV + HPEF 20 Hz
1,030a ± 0,00
1,030a ± 0,00
1,030a ± 0,00
1,030a ± 0,00
Ph
6,46a ± 0,02
6,51a ± 0,07
6,50a ± 0,07
6,48a ± 0,03
Viskositas (mPa s)
1,75a ± 0,08
1,76a ± 0,19
1,75a ± 0,20
1,80a ± 0,31
Konduktivitas (ohm-1 km-1)
4,42a ± 0,12
4,33a ± 0,13
4,37a ± 0,17
4,39a ± 0,14
Titik Beku (°C)
-0,50a ± 0,03
-0,49a ± 0,04
-0,49a ± 0,03
-0,49a ± 0,03
Panas Spesifik (kj kg-1K-1)
3,76a ± 0,02
3,77a ± 0,02
3,77a ± 0,02
3,77a ± 0,02
Keterangan: Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (p>0,05)
Uji terhadap parameter karakteristik fisik yang sama dengan pasteurisasi yang hanya menggunakan sinar UV menunjukkan bahwa hasil sidik ragam karakteristik fisik dari aplikasi sistem pasteurisasi menggunakan kombinasi sinar UV dan HPEF tidak berpengaruh terhadap karakteristik fisik susu (P>0,05). Sesuai dengan penjelasan sebelumnya bahwa sifat fisik susu akan mempengaruhi proses dan hasil pengolahan lebih lanjut dari susu, sehingga metode HPEF ini diharapkan tidak memberikan pengaruh terhadap cita rasa khas dari susu segar.
33
Pengaruh Aplikasi Kombinasi 3 reaktor UV dan Frekuensi HPEF yang Berbeda terhadap Karakteristik Kimia Susu Kambing Segar Hasil dari pengaruh aplikasi kombinasi 3 reaktor UV dan Frekuensi HPEF yang berbeda terhadap karakteristik kimia susu kambing dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Pengaruh Aplikasi Kombinasi 3 Reaktor UV dan Frekuensi HPEF yang Berbeda terhadap Karakteristik Kimia Susu Kambing Segar Parameter
Kontrol
3 UV + HPEF 10 Hz
3 UV + HPEF 15 Hz
3 UV + HPEF 20 Hz
16,44a ± 0,99
16,11a ± 0,66
16,28a ± 0,79
16,32a ± 0,72
Lemak (%)
6,57a ± 1,13
6,40a ± 0,86
6,44a ± 1,08
6,46a ± 0,93
Protein (%)
5,40a ± 0,17
5,30a ± 0,27
5,37a ± 0,18
5,38a ± 0,20
Laktosa (%)
3,55a ± 0,21
3,49a ± 0,30
3,55a ± 0,25
3,56a ± 0,24
BKTL (%)
9,88a ± 0,40
9,71a ± 0,61
9,84a ± 0,46
9,87a ± 0,46
Berat Kering (%)
Keterangan: Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (p>0,05)
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa aplikasi sistem pasteurisasi menggunakan kombinasi sinar UV dan HPEF tidak berpengaruh terhadap karakteristik kimia susu (P>0,05). Hal ini sesuai dengan hasil pengujian sebelumnya bahwa pemanfaatan sinar UV secara tunggal tidak berpengaruh terhadap karakteristik kimia susu, serta Qin et al. (1995) dan Ho dan Mittal (2000) menyebutkan bahwa aplikasi HPEF adalah metode pengawetan nontermal pada bahan pangan cair untuk menginaktivasi mikroorganisme pembusuk dan patogen dengan hanya sedikit mengalami perubahan nutrisi dan rasa susu. Pengaruh Aplikasi Kombinasi 3 Reaktor UV dan Frekuensi HPEF yang Berbeda terhadap Reduksi Lempeng Total Bakteri (TPC) pada Susu Kambing Segar Hasil dari pengaruh aplikasi kombinasi 3 reaktor UV dan Frekuensi HPEF yang berbeda terhadap reduksi jumlah lempeng total bakteri dapat dilihat pada Gambar 16.
34
Populasi (Log cfu/ml)
6 5
5,42 ± 1,22 4,75 ± 0,47
4,74 ± 0,67
Kontrol
10 hz
4,26 ± 0,64
4 3 2 1 0 15 Hz
20 Hz
Frekuensi HPEF
Gambar 16. Kurva Aplikasi Kombinasi 3 Reaktor UV dan Frekuensi HPEF yang Berbeda terhadap Reduksi Lempeng Total Bakteri (TPC) Aplikasi frekuensi HPEF 10 Hz dan 15 Hz secara berturut-turut mereduksi mikroba sebesar 0,01 dan 0,49 log cfu/ml, tetapi terjadi peningkatan jumlah bakteri pada pengaplikasian frekuensi 20 Hz sebesar 0,67 log cfu/ml. Kurva pengaruh frekuensi HPEF terhadap jumlah lempeng total bakteri menunjukkan bahwa frekuensi 15 Hz memberikan hasil terbaik dalam mereduksi mikroba dengan jumlah total bakteri 4,26 log cfu/ml daripada susu yang tidak mendapat perlakuan apapun (kontrol) yang mencapai 4,75 log cfu/ml. Tidak terjadi penurunan jumlah bakteri yang signifikan pada penggunaan HPEF dengan frekuensi 10 Hz yaitu 4,74 log cfu/ml, dan pada pengaplikasian frekuensi 20 Hz terjadi peningkatan jumlah total bakteri yang cukup besar hingga berjumlah 5,42 log cfu/ml. Hal ini sesuai dengan penelitian Rostini (2010) dengan spesifikasi alat yang sama, menyatakan bahwa frekuensi 15 Hz lebih optimum digunakan untuk menginaktivasi bakteri daripada frekuensi 20 Hz. Raso et al. (2000) menyatakan bahwa peningkatan frekuensi akan meningkatkan suhu dan menyebabkan perubahan nilai konduktivitas media sampel yang dapat mengakibatkan menurunnya inaktivasi bakteri. Barbosa-Cánovas et. al. (1999) mengungkapkan bahwa pangan dengan nilai konduktivitas tinggi akan sulit untuk diaplikasikan HPEF karena menghasilkan puncak medan listrik yang lebih kecil melintasi treatment chamber (ruang proses). Peningkatan konduktivitas ini
35
akan meningkatkan kekuatan ion media sampel dan berakibat pada meningkatnya perpindahan elektron melalui larutan dan menurunkan tingkat inaktivasi mikroba. Mekanisme utama kematian mikroorganisme dengan sistem HPEF ini adalah ketika membran sel mengalami tekanan, maka terjadi pembesaran pori sehingga permeabilitas membran meningkat, terjadi kebocoran isi sitoplasma dan lisis (Aronsson dan Ronner, 2001). Tingkat inaktivasi mikroorganisme dengan medan pulsa listrik (HPEF) dipengaruhi oleh (a) kondisi perlakuan, waktu perlakuan, kuat medan listrik, temperatur, bentuk, jumlah dan lebar pulsa, (b) jenis, konsentrasi, dan tingkat pertumbuhan mikroba, dan (c) media perlakuan (Barbosa-Cánovas et al., 1999). Castro et al. (1993) menyatakan inaktivasi mikroorganisme dengan medan pulsa listrik disebabkan ketidakstabilan membran sel atau elektroporasi yaitu peristiwa destabilisasi membran sel karena adanya pengaruh medan pulsa tegangan listrik sesaat. Destabilisasi membran sel diawali dari terjadinya peningkatan permeabilitas membran sel diikuti dengan penggelembungan dinding sel dan akhirnya kerapuhan sel (Vega-Mercado et al., 1996). Aplikasi Kombinasi 3 Reaktor UV dan HPEF Frekuensi 15 Hz terhadap Reduksi Staphylococcus aureus ATCC 25923 Hasil dari pengaruh aplikasi kombinasi 3 reaktor UV dan HPEF Frekuensi 15 Hz terhadap reduksi Staphylococcus aureus ATCC 25923 dapat dilihat pada Gambar 17. 5,60
5,57 ± 0,28
Populasi (Log cfu/ml)
5,55 5,50 5,45 5,40 5,36 ± 0,19
5,35 5,30 5,25 Kontrol
3 UV + HPEF 15 Hz
Gambar 17. Kurva Kombinsai 3 Reaktor UV dan HPEF Frekuensi 15 Hz terhadap Reduksi Staphylococcus aureus ATCC 25923 36
Aplikasi kombinasi 3 reaktor UV dan HPEF frekuensi 15 Hz terhadap susu yang direkontaminasi Staphylococcus aureus memberikan penurunan jumlah bakteri S. aureus sebesar 0,21 log cfu/ml, dengan jumlah bakteri S. aureus setelah perlakuan adalah 5,36 log cfu/ml dibandingkan jumlah bakteri S. aureus pada susu rekontaminasi yang tidak dikenai perlakuan apapun (kontrol) yang mencapai 5,57 log cfu/ml. Krishnamurthy et al. (2004) melakukan inaktivasi Staphylococcus aureus dalam susu, dimana sampel susu statis yang dikenakan UV dengan jarak 8 cm dari sumber UV, volume 30 ml dan waktu perlakuan selama 180 detik, diperoleh penurunan S. aureus sebesar 8,55 log10 cfu/g. Sobrino-López et al. (2006) melakukan percobaan terhadap susu utuh dan susu skim yang diinokulasi dengan Staphylococcus aureus. Maksimum inaktivasi sebesar 4,5 log siklus dicapai dengan menggunakan 150 pulsa, waktu 8 µs dan kuat medan listrik 35 kV/cm. Variabel jumlah pulsa, lebar pulsa, dan intensitas medan listrik secara signifikan mempengaruhi jumlah populasi bakteri S. aureus yang terinaktivasi, namun kandungan lemak dalam susu tidak terpengaruh. Aplikasi Kombinasi 3 Reaktor UV dan HPEF Frekuensi 15 Hz Terhadap Reduksi Escherichia coli ATCC 25922 Hasil dari pengaruh aplikasi kombinasi 3 reaktor UV dan HPEF Frekuensi 15 Hz terhadap reduksi Escherichia coli ATCC 25922 dapat dilihat pada Gambar 18.
5,15 5,14 ± 0,98
Populasi (Log cfu/ml)
5,14 5,13 5,12 5,11 ± 1,00
5,11 5,10 5,09 Kontrol
3 UV + HPEF 15 Hz
Gambar 18. Kurva Kombinasi 3 Reaktor UV dan HPEF Frekuensi 15 Hz terhadap Reduksi Escherichia coli ATCC 25922 37
Aplikasi kombinasi 3 reaktor UV dan HPEF frekuensi 15 Hz dapat mereduksi jumlah bakteri Escherichia coli dalam susu yang direkontaminasi E. coli sebesar 0,03 log cfu/ml, dimana jumlah bakteri setelah perlakuan adalah 5,11 log cfu/ml sedangkan jumlah bakteri pada susu rekontaminasi yang tidak dikenai perlakuan apapun (kontrol) mencapai 5,14 log cfu/ml. Ngadi et al. (2004) meneliti pengaruh kombinasi aplikasi HPEF dan UV dalam menginaktivasi E. coli air minum unggas dan diperoleh pengurangan E. coli O157:H7 sebesar 6 log10 cfu/ml. Hal ini sesuai dengan sifat dasar dari UV yang mempunyai nilai penetrasi yang sangat rendah, sehingga dapat memberikan inaktivasi yang lebih besar pada media air yang mempunyai nilai transparansi yang lebih tinggi daripada susu yang mengandung partikel-partikel solid. Gachovska et al. (2008) yang meneliti kombinasi perlakuan sinar UV dan HPEF untuk menginaktivasi E. coli dalam jus apel, melaporkan bahwa diperoleh reduksi E coli sebesar 5,33 log cfu/ml menggunakan perlakuan HPEF yang dilanjutkan dengan paparan sinar UV, dengan parameter HPEF yang digunakan yaitu kuat medan listrik 60 kV/cm, 11,3 pulsa, dan parameter UV yaitu jarak 30 cm antara bahan perlakuan dan sumber UV, laju alir 8 ml/menit dan 1,8 detik waktu perlakuan. Evrendilek et al. (2000) menyebutkan bahwa terjadi reduksi E. coli O157:H7 sebesar 4,5 log siklus ketika diberi perlakuan HPEF dengan kuat medan listrik 35 kV/cm dan 94 µs waktu perlakuan. Susu merupakan bahan makanan yang bergizi tinggi dan sangat rentan terhadap mikroorganisme. Hal ini dikarenakan susu tidak hanya memiliki komponenkomponen gizi yang sangat baik bagi pertumbuhan, juga karena pH susu yang netral (6,6-7) sehingga menjadi media yang optimum bagi pertumbuhan bakteri. Fardiaz (1992) menyebutkan bahwa pH optimum pertumbuhan E. coli adalah 7-7,5 °C, sehingga bakteri ini lebih resisten jika diberikan perlakuan fisik pada media susu. Hal ini sesuai dengan Jay (2000) menyatakan bahwa bakteri E. coli lebih sensitif jika diberi perlakuan inaktivasi dalam media pertumbuhan yang memiliki pH 4 daripada pH 7, sehingga ketika sinar UV dengan dosis 6500 µJ/ cm2 diaplikasikan pada sari buah apel dapat mereduksi bakteri E. coli hingga 5 log siklus (Aronsson dan Ronner, 2001). Lu et al. (2001) juga melaporkan bahwa terjadi reduksi E. coli O157:H7 sebesar 5,35 log cfu/ml dalam media jus apel ketika diberi perlakuan HPEF dengan kuat medan listrik 80 kV/cm dan 30 pulsa. 38
Kombinasi 3 Reaktor UV dan HPEF Frekuensi 15 Hz terhadap Rasio Reduksi Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Escherichia coli ATCC 25922 Kombinasi 3 reaktor UV dan HPEF frekuensi 15 Hz terhadap rasio reduksi Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Escherichia coli ATCC 25922 dapat dilihat pada Gambar 19. 40
36,583 ± 13,62
35 Reduksi (%)
30 25 20 15 10
7,411 ± 6,7
5 0
Gambar 19. Kurva Kombinsai 3 Reaktor UV dan HPEF Frekuensi 15 Hz terhadap Reduksi Staphylococcus aureus ATCC 25923 ( ) dan Escherichia coli ATCC 25922 ( ) Grafik menunjukkan bahwa terjadi perbedaan nilai reduksi yang sangat besar antara Staphylococcus aureus dan Escherichia coli pada kombinasi sistem pasteurisasi nontermal yang dilakukan, dimana S. aureus mampu direduksi hingga 36,58% sedangkan E. coli hanya direduksi 7,41% dari total bakteri uji yang direkontaminasikan pada susu. Mikroorganisme mempunyai sensitivitas yang sangat beragam terhadap radiasi UV. Hal ini diantaranya terkait dengan perbedaan bentuk dan ukuran mikroorganisme, jamur lebih sensitif daripada kapang dan lebih sensitif daripada bakteri, sedangkan sel bakteri lebih sensitif daripada virus. Spesies dan galur bakteri juga sangat beragam sensitivitasnya terhadap radiasi UV, sel bakteri yang berbentuk batang lebih sensitif daripada bakteri berbentuk bulat, dan bakteri Gram negatif lebih sensitif daripada bakteri Gram positif. Tingkat reduksi juga dipengaruhi oleh jumlah bakteri awal, jumlah relatif sel yang resisten dalam populasi, jumlah spora yang terbentuk, umur, dan kondisi pertumbuhan dari galur mikroorganisme yang terdapat 39
dalam bahan pangan yang akan diaplikasikan radiasi UV. Toksin yang dibentuk oleh mikroorganisme tidak dapat dihancurkan dengan level dosis radiasi yang direkomendasikan dalam bahan makanan (Ray dan Bhunia, 2007). Staphylococcus aureus tergolong bakteri Gram positif dan Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif karena S. aureus menghasilkan sel berwarna biru sedangkan sel Escherichia coli berwarna merah ketika dilakukan pewarnaan Gram. Fardiaz (1992) mengemukakan bahwa bakteri Gram positif memiliki dinding sel yang sebagian besar terdiri dari lapisan peptidoglikan (90%) sedangkan lapisan tipis lainnya adalah asam teikoat yang mengandung unit-unit gliserol atau ribitol. Dinding sel bakteri Gram negatif hanya memiliki lapisan peptidoglikan 5-20%, sedangkan lapisan lainnya terdiri dari protein, lipopolisakarida dan lipoprotein. Lapisan peptidoglikan pada dinding sel ini sangat tegar yang terdiri dari unit-unit glikan tetrapeptida yang membentuk suatu polimer yang disebut juga mukokompleks. Lapisan peptidoglikan yang tebal ini akan memberikan pertahanan yang lebih bagi bakteri saat bakteri dikenakan perlakuan fisik. Hasil pengujian yang dilakukan mendapatkan bahwa dengan populasi bakteri awal yang sama besar (105 cfu/ml), kombinasi 3 reaktor UV dan HPEF frekuensi 15 Hz mempunyai kemampuan yang lebih besar dalam mereduksi Staphylococcus aureus daripada Escherichia coli. Hasil ini tidak sesuai dengan Pothakamury et al. (1995) yang menyatakan bahwa perlakuan HPEF dapat mereduksi S. aureus sebesar 3 log siklus sedangkan E. coli 4 log siklus. Hal ini tidak juga tidak sesuai dengan pernyataan Ray dan Bhunia (2007) dalam kaitan bentuk sel dan karakteristik dinding sel, tetapi hal ini dapat disebabkan oleh faktor lain dari populasi kultur bakteri seperti jumlah relatif sel yang resisten dalam populasi, umur, kondisi pertumbuhan, dan toksin yang dibentuk dari galur S. aureus dan E. coli. Karakteristik membran dan konstruksi dinding sel bukan merupakan satusatunya faktor yang mempengaruhi keresistenan dan sensitivitas bakteri terhadap perlakuan
HPEF.
Ukuran
sel
juga
sebagai
faktor
penting
yang
harus
dipertimbangkan. Teori potensial membran menyatakan bahwa induksi potensial transmembran berhubungan dengan ukuran sel (Liu et al., 1997). Zimmerman et al. (1986) menyebutkan bahwa dibutuhkan nilai potensial kehancuran kritis yang lebih rendah pada ukuran atau volume sel yang lebih besar. Hal ini juga tidak sesuai 40
dengan hasil penelitian yang dilakukan, dimana ukuran S. aureus umumnya lebih kecil daripada E. coli yaitu secara berturut-turut 0,5-1 µm dan 1-3 µm. Galur tententu menunjukkan keresistenan terhadap radiasi karena memiliki sistem metabolisme yang efektif dalam memperbaiki kerusakan sel, khususnya kerusakan untaian tunggal dan rangkap nukleotida dan kerusakan-kerusakan yang mendasar. Bakteri ini meliputi beberapa galur bakteri yang penting dan sudah umum terdapat dalam makanan yaitu Salmonella Typhimurium, Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Enterococcus faecalis. Nilai Bilangan Peroksida Standar pengujian ini dilakukan untuk penentuan adanya radikal bebas dan ketengikan pada susu sebagai pengaruh dari aplikasi radiasi sinar UV dan HPEF yang diaplikasikan pada susu. Radikal bebas merupakan suatu molekul yang sangat reaktif karena mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas dalam jumlah berlebih di dalam tubuh sangat berbahaya dan bersifat racun dalam tubuh karena menyebabkan kerusakan sel, asam nukleat, protein, dan jaringan lemak. Susu merupakan bahan pangan yang bergizi tinggi dan mengandung banyak lemak. Lemak dan senyawa-senyawa yang larut dalam lemak sangat rentan terhadap proses oksidasi. Hasil uji bilangan peroksida menggunakan metode Titrimetri yang mengacu pada SNI 01-3555-1998 menyatakan bahwa kombinasi perlakuan sinar UV dan frekuensi HPEF yang diaplikasikan pada susu kambing tidak menimbulkan radikal bebas dan ketengikan pada susu. Elektroforesis Metode elektroforesis mengacu pada Laemmli (1970). Hasil uji elektroforesis dapat dilihat pada Gambar 20.
41
Berat Molekul (kD)
116 66,2 45 35 25 18,4 14,4 a
b
c
d
Gambar 20. Hasil Elektroforesis terhadap Komponen Protein Susu. Dengan perlakuan: a (Kontrol); b (UV + HPEF 10 Hz); c (UV + HPEF 15 Hz); d (UV + HPEF 20 Hz) Protein terbagi atas dua komponen besar, yaitu 80% kasein dan sisanya adalah protein whey. Kasein mengandung empat macam komponen yaitu αs1-kasein, αs2-kasein, β-kasein dan γ-kasein, sedangkan protein whey terdiri atas dua komponen utama yaitu β-laktoglobulin (β-lg) dan α-laktalbumin (α-la). Berat molekul antar komponen kasein berturut-turut adalah αs1-kasein 25,2 kD, β-kasein 23,9 kD, αs1kasein 22,1 kD, dan γ-kasein 19,0 kD. Berat molekul protein whey yaitu β-Ig 18,2 kD dan α-La 14,2 kD. Protein whey sangat sensitif terhadap panas dan mengalami denaturasi pada suhu 60 °C (Chairunnisa, 1997). Hasil uji elektroforesis (Gambar 20) menunjukkan bahwa adanya garis pita protein yang sangat tipis pada rentang berat molekul antara 14,4-18,8 kD pada sampel b, c dan d, tetapi tidak terdapat pada sampel a (kontrol). Hasil pengujian elektroforesis ini tidak optimal karena komponen protein tidak dapat terlihat seluruhnya pada sampel kontrol, sehingga tidak dapat disimpulkan pengaruh radiasi sinar UV dan HPEF terhadap komponen protein susu. Hal ini dapat dikarenakan kondisi pengujian elektroforesis yang tidak optimal, seperti konsentrasi sampel yang digunakan belum cukup untuk memunculkan pita-pita protein secara jelas, komposisi sampel yang diuji, serta susu perlu diseparasi terlebih dahulu sebelum dilakukan pengujian elektroforesis. Berbagai perlakuan kimia dan fisik seperti aplikasi kadar asam yang tinggi dan pemanasan di atas 50 °C dalam bahan pangan yang mengandung protein dapat 42
mengganggu ikatan hidrogen dan faktor-faktor lain yang mempertahankan struktur protein yaitu struktur sekunder, tersier dan quartener yang disebut sebagai denaturasi. Prosedur sterilisasi dan desinfeksi sering menggunakan panas atau proses kimiawi dalam membunuh mikroorganisme dengan mendenaturasi struktur proteinnya (Black, 2004). Perlakuan radiasi sinar UV yang diaplikasikan pada susu berhubungan dengan perusakan struktur DNA sel bakteri. DNA ini juga merupakan komponen pembentuk asam amino yang selanjutnya akan menyusun struktur protein. Hal yang sama terjadi terhadap susu yang digunakan sebagai media sampel, akan tetapi denaturasi protein pada susu tidak merugikan karena membuat susu lebih mudah untuk dicerna. Sifat dasar dari pasteurisasi nontermal menggunakan radiasi sinar UV dan HPEF diharapkan mampu mempertahankan kesegaran bahan pangan. Urbain (1986) menjelaskan bahwa radiasi tergolong proses sterilisasi dingin karena suhu makanan cenderung tidak berubah selama proses, sehingga tidak menimbulkan pengaruh kerusakan pada kualitas makanan akibat pemanasan, akan tetapi radiasi dapat menimbulkan oksidasi lemak dan denaturasi protein pada makanan jika digunakan dosis yang terlalu tinggi. Ray dan Bhunia (2007) menyebutkan bahwa makanan yang diradiasi tidak menyebabkan toksik dan kerusakan genetik pada hewan dan manusia yang mengkonsumsi makanan tersebut. Komisi ahli WHO setelah melakukan peninjauan yang cukup luas dengan lebih dari 200 kasus di dunia, merekomendasikan penggunaan radiasi untuk penanganan makanan dengan level dosis 10 kGy. Pemanfaatan radiasi untuk menangani bahan makanan telah diaplikasikan di banyak negara, dan perdagangan produk radiasi ini telah secara rutin dilakukan. Produk pangan yang diradiasi tidak menimbulkan radioaktif dan radiolisis pada produk, metode ini hanya merupakan metode pengawetan makanan dan telah diteliti keamanannya selama lebih dari 40 tahun sebelum teknik pengawetan ini direkomendasikan. Dosis reaktor UV yang digunakan dalam penelitian ini adalah 2,27 kGy yang merupakan UV tipe C dengan spektrum panjang gelombang elektromagnetik 253,7 nm. Mikroorganisme rentan terhadap cahaya UV pada kisaran gelombang 200-280 nm. Dosis radiasi disimbolkan dengan rad, dimana 1 rad didefinisikan sebagai jumlah radiasi ion yang menghasilkan penyerapan 100 ergs per gram bahan yang 43
diaplikasikan UV. Sekarang ini, satuan radiasi lebih umum digolongkan ke dalam gray (Gy), dimana 1 Gy sama dengan 100 rad. Makanan sebanyak 1 kg yang menyerap energi 1 joule (1 joule = 107)
akan menerima dosis 1 Gy. Otoritas
keamanan dan kesehatan internasional menyebutkan bahwa makanan diradiasi hingga 10.000 Gy (10 kGy), dipertimbangkan sebagai batas aman dari penggunaan radiasi dalam penanganan makanan. Dosis medium yaitu 1-10 kGy dapat digunakan untuk membasmi mikroba pembusuk dan patogen dalam produk pangan guna meningkatkan keamanan dan stabilitas produk atau makanan yang didinginkan (disimpan di dalam lemari pendingin) (Ray dan Bhunia, 2007).
44