BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Escherichia coli O157:H7 merupakan salah satu enterohaemorrhagic Escherichia coli atau disebut EHEC yang dapat menyebabkan kematian pada manusia (Andriani, 2005; Todar, 2008). Manusia bisa terinfeksi dan menyebabkan hemorrhagic colitis (HC) dengan gejala meliputi kejang perut yang diikuti dengan diare (seringkali bercampur darah), mual, muntah, kadang-kadang demam yang ringan. Komplikasi yang terjadi adalah hemolytic uremic syndrome (HUS), infeksi saluran kemih yang dapat menyebabkan gagal ginjal akut pada anak-anak (Suardana dan Swacita, 2009). Sapi merupakan reservoir utama dari Shiga toksin Escherichia coli (STEC) termasuk didalamnya yaitu serotipe E. coli O157:H7 (Caprioli et al., 2005). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hancock et al. (1994) di Washington menunjukkan bahwa bakteri ini ditemukan 0,3% dari 3.570 sapi perah, 0,7% dari 1.412 sapi potong dan 0,3% dari 600 peternakan sapi potong. Andriani (2005) menegaskan bahwa meskipun di dalam saluran pencernaan sapi terdapat E. coli O157:H7 namun hewan tersebut tidak menunjukkan sakit. Hewan yang dalam saluran pencernaannya terdapat bakteri E. coli O157:H7 maka hewan tersebut dapat menyebarkan bakteri ini baik ke hewan lain maupun ke manusia. Adanya infeksi E. coli O157:H7 pada manusia dan hewan menunjukkan bahwa agen tersebut benar-benar zoonosis (menular dari hewan ke manusia atau 1
2
sebaliknya). E. coli O157:H7 sebagai agen zoonosis pada manusia ditentukan oleh kemampuannya untuk menghasilkan toksin (Selan, 2008). Kondisi lingkungan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup mikroorganisme. Kehadiran mikroorganisme patogen termasuk E. coli O157:H7 sangat tergantung pada faktor lingkungan seperti kelembaban, suhu dan curah hujan (Rahayu, 2010). Menurut data yang diperoleh dari aplikasi komputer Google Earth Pro 4.1.7087.5048, Kecamatan Mengwi terletak pada ketinggian 0-348 m dari permukaan laut. Berdasarkan data dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG Wilayah III Denpasar), suhu rata-rata Kecamatan Mengwi berkisar 27,59oC, kelembaban rata-rata 78,41% dan curah hujan rata-rata 293,71 mm. Pada tahun 2013 Kecamatan Mengwi tercatat memiliki jumlah total ternak sapi sebanyak 7.417 ekor yang tersebar di 20 desa/kelurahan (BPS Kab. Badung, 2013b). Sistem pemeliharaan sapi yang dilakukan oleh para peternak di Kecamatan Mengwi secara umum menggunakan kandang. Di sisi lain Kecamatan Kuta Selatan terletak pada ketinggian 0-200 m dari permukaan laut. Suhu rata-rata Kecamatan Kuta Selatan berkisar 27,35oC, kelembaban sekitar 80,37% dan curah hujan rata-rata berkisar 208,51 mm. Menurut informasi Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung (2013a), di Kecamatan Kuta Selatan terdapat 10.958 ekor sapi yang tersebar di 6 desa/kelurahan. Sapi yang dipelihara di Kecamatan Kuta Selatan umumnya diumbarkan atau dilepas bebas dan dibiarkan mencari makanan sendiri.
3
Berdasarkan uraian di atas serta melihat kondisi geografis dan sistem pemeliharaan sapi yang berbeda antara Kecamatan Mengwi dan Kecamatan Kuta Selatan maka penelitian dengan judul prevalensi infeksi Escherichia coli O157:H7 pada sapi di Kecamatan Mengwi dan Kuta Selatan menarik untuk dilakukan.
1.2 Rumusan Masalah Apakah terdapat perbedaan prevalensi infeksi Escherichia coli O157:H7 pada sapi di Kecamatan Mengwi dan Kuta Selatan.
1.3 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui prevalensi infeksi Escherichia coli O157:H7 pada sapi di Kecamatan Mengwi dan Kuta Selatan.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi tentang prevalensi infeksi Escherichia coli O157:H7 pada sapi di Kecamatan Mengwi dan Kuta Selatan.
1.5 Kerangka Konsep Pertumbuhan bakteri di alam tergantung pada suhu dan kelembaban dari lingkungan itu sendiri. Secara umum bakteri di alam memerlukan kelembaban optimum yang cukup tinggi yaitu 85% termasuk bakteri E. coli O157:H7. Suhu merupakan faktor ekstrinsik yang penting dalam pertumbuhan bakteri. Pada suhu rendah, pertumbuhannya akan terhenti, sedangkan pada suhu tinggi bakteri akan mati (Selan, 2008).
4
Daya tahan terhadap temperatur tidak sama bagi setiap spesies bakteri. Ada spesies yang mati setelah mengalami pemanasan beberapa menit di dalam medium cair, sebaliknya ada juga spesies yang tahan hidup setelah dipanasi dengan uap 100°C bahkan lebih (bakteri yang membentuk spora). E. coli tumbuh baik pada temperatur antara 8°C - 46°C dan temperatur optimum 37°C. Bakteri yang dipelihara di bawah temperatur minimum atau sedikit di atas temperatur maksimum, tidak akan segera mati melainkan berada di dalam keadaan tidur atau dorman (Melliawati, 2009). Menurut hasil penelitian Wang et al. (1996) di dalam feses sapi pada suhu 37oC dengan kelembaban relatif 10%, bakteri E. coli O157:H7 dapat hidup selama 42 - 49 hari. E. coli O157:H7 termasuk bakteri yang tidak tahan panas dan dapat dimatikan dengan pemanasan 60oC selama 15-30 menit (Usajewicz dan Nalepa, 2006). Kecamatan Mengwi yang dijadikan sebagai tempat pengambilan sampel memiliki suhu harian berkisar 27,59oC dan kelembaban rata-rata berkisar 78,41%. Kecamatan Kuta Selatan memiliki suhu harian berkisar 27,35oC dengan kelembaban rata-rata berkisar 80,37%. Jika dilihat dari suhu dan kelembaban kedua wilayah tersebut, maka dimungkinkan adanya E. coli O157:H7 di Kecamatan Mengwi dan Kuta Selatan. Prevalensi infeksi E. coli O157:H7 cenderung meningkat pada musim hujan, hal ini dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Tokhi et al. (1993), dari 171 sampel ditemukan 91 sampel positif E. coli O157:H7 atau sekitar 53%. Berbeda halnya dengan musim kemarau, Faith et al. (1996) menemukan 10 sampel positif dari 560 total sampel atau sekitar 1,8%. Hal ini membuktikan
5
bahwa hujan sangat berpengaruh terhadap prevalensi E. coli O157:H7. Kecamatan Mengwi memiliki curah hujan rata-rata 293,71 mm pertahun sedangkan curah hujan di Kecamatan Kuta Selatan berkisar 208,51 mm pertahun. Jika diamati sistem pemeliharaan sapi di Kecamatan Mengwi dan Kecamatan Kuta Selatan, maka akan ditemukan perbedaan sistem pemeliharaan yang sangat mencolok. Di Kecamatan Mengwi umumnya sapi dipelihara di dalam kandang sedangkan di Kecamatan Kuta Selatan umumnya sapi diumbarkan atau dilepas untuk mencari makan sendiri. Sistem pemeliharaan yang dilakukan di dalam kandang memiliki pengaruh terhadap kemungkinan infeksi berbagai penyakit termasuk di dalamnya infeksi E. coli O157:H7. Sapi yang dipelihara di dalam kandang akan sangat mudah menularkan penyakit terhadap sapi lain dalam satu kandang, karena kotoran yang dikeluarkan dari sapi yang terinfeksi jatuh ke lantai kandang dan memungkinkan adanya kontaminasi terhadap pakan maupun air minum bila kotoran tersebut tidak dibersihkan oleh peternak (BBalitvet, 2010). Informasi tentang pengaruh lingkungan khususnya curah hujan serta pengaruh sistem pemeliharaan terhadap infeksi E. coli O157:H7 pada sapi masih sangat terbatas. Didasarkan atas adanya perbedaan kondisi lingkungan dan sistem pemeliharaan antara Kecamatan Mengwi dan Kuta Selatan tersebut, diharapkan dapat memberikan gambaran adanya perbedaan tingkat prevalensi infeksi E. coli O157:H7 di kedua kecamatan tersebut.
6
1.6 Hipotesis Berdasarkan kerangka konsep tersebut, maka hipotesis dari penelitian ini adalah tingkat prevalensi infeksi E. coli O157:H7 di Kecamatan Mengwi lebih tinggi bila dibandingkan dengan Kecamatan Kuta Selatan.