Laporan Kunjungan Daerah Pencarian Data dan Informasi “Akuntabilitas Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan dalam Penyelenggaran Pilkada Serentak” Oleh: Drs. Helmizar, ME Kiki Zakiah, SE Sarjiyanto, SE.,MBA (Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara Badan Keahlian Dewan)
A. Pendahuluan Pelaksanaan hajatan besar bangsa Indonesia dalam melakukan reorganisasi pucuk pimpinan daerah melalui pilkada langsung secara serentak secara umum dapat dikatakan berhasil dengan sukses. Pilkada langsung secara serentak pertama kali telah terselenggara pada tanggal 9 Desember 2015 berhasil memilih kurang lebih 852 pasangan calon dari 265 deerah, sebanyak 8 propinsi, 170 kabupaten dan 26 Kota. Pelaksanaan Pilkada Serentak gelombang kedua direncanakan pada tanggal 15 Febuari 2017 ini, hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang No 8/2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang 1/2015 tentang Penetapan PERPU 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang, sebagaimana telah diubah terakhir degan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 mengamanatkan bahwa; untuk kepala daerah yg Akhir Masa Jabatan (AMJ) s/d Thn 2015 dan AMJ s/d bulan Juni 2016 harus melakukan pilkada serentak, dan sudah terlaksana pada tanggal 9 Desember 2015 kemarin. Selanjutnya untuk kepala daerah yg AMJ berakhir Juli s/d Des 2016 dan AMJ berakhir Thn 2017 pelaksanaan pilkadanya dijadwalkan pada tanggal 15 Februari 2017 ini untuk 101 Daerah. Selanjutnta untuk rencana pilkada secara serentak dijadwalkan pada Juni 2018 untuk Kepala Daerah yang AMJ berakhir pada Tahun 2018 dan 2019, 2020 untuk Kepala Daerah hasil Pilkada Serentak tahun 2015, 2022 untuk Kepala Daerah hasil Pilkada serentak tahun 2017, 2023 untuk Kepala Daerah hasil Pilkada serentak tahun 2018 dan direncanakan Pilkada serentak secara Nasional pada tahun 2017. Secara nasional kedepan di Indonesia hanya akan ada tiga pesta demokrasi; yakni Pemilihan Umum Legislatif (DPRD Kab/Kota, DPRD Propinsi, DPR RI dan DPD), Pemilihan Umum Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah secara serentak. Pilkada yang akan digelar secara serentak pada Rabu, 15 Februari 2017 mendasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri terdapat 102 Kepala Daerah yang terdaftar masa jabatanya akan berakhir pada tahun 2017 ini. Dari 102 Daerah, khusus untuk D.I. Yogyakarta tidak melaksanakan pemilihan Gubernur sehingga menjadi 101 Daerah. Sejumlah 101 Daerah tersebut terdiri dari 7 pemilihan Gubernur (NAD Aceh, Babel, Banten, DKI, Sulbar, Gorontalo dan Pabar) dan 17 pemilihan Walikota serta 77 pemilihan Bupati. Pilkada Serentak gelombang kedua pada tanggal 15 Februari 2017 di 101 daerah pemilihan akan diikuti kurang lebih 41,2 juta penduduk yang mempunyai hal pilih di tujuh provinsi tersebut. Keberhasilan pelaksaaan Pilkada langsung secara serentak di Indonesia merupakan salah satu indikator yang menghantarkan Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Demokratisasi dalam pelibatan masyarakat (society) dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan negara hendaknya benar-benar terjadi dalam alam demokrasi ini. Keberhasilan tersebut tentunya merupakan kerja keras seluruh elemen bangsa.
Penyelenggaran pemilu tidak lepas dari peran utama KPU (Komisi Pemilihan Umum), KPU adalah lembaga yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Hal ini tercantum dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945 dan UU tentang Pemilu. Kedudukan KPU sebagai penyelenggara pemilihan umum saat ini harus dilaksanakan oleh sebuah Komisioner yang independen dan nonpartisan. Hal ini merupakan perubahan yang mendasar dalam rangka meningkatkan akuntabilitas dan kualitas dari penyelenggaran pemilihan umum di Indonesia. Dasar legaslitasnya adalah setelah satu tahun setelah penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) tahun 1999, pemerintah bersama DPR mengeluarkan UU No. 4 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu. Pokok isi dari UU No. 4/2000 adalah adanya perubahan penting, yaitu bahwa penyelenggaraan pemilihan umum tahun mulai 2004 dilaksanakan oleh sebuah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang independen dan nonpartisan. Independen dan nonpartisan inilah label baru yang disandang oleh KPU saat ini. KPU sebuah komisioner terdiri atas para anggota yang dipilih dari orang-orang yang independen dan nonpartisan serta didukung oleh sekretarial beserta staf pendukung dalam menjalankan fungsinya sebagai penyelenggara pemilihan umum. KPU terdiri dari KPU pusat dan KPU Daerah, yang secara sistem organisasinya merupakan sebuah satu kesatuan fungsi kordinasi. Dalam dukungan operasionalnya KPU berdasarkan Undang-Undang menggunakan anggaran negara (APBN dan dukungan dana dari APBD). Pasal 166 ayat (1) Undang-Undang No. 10 tahun 2016 diatur bahwa Pendanaan kegiatan Pemilihan Kepala Daerah dibebankan pada APBD dan dapat didukung melalui APBN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan latar belakang telah terselenggaranya Pilkada Serentak tahap pertama tanggal 9 Desember 2015 dan perencanaan pelaksanaan Pilkada Serentak tahap kedua tanggal 15 Februari 2017, serta mendasarkan LHP BPK Semester I Tahun 2015 khususnya pada Komisi Pemilihan Umum, maka kajian ini akan membahas bagaimanakah proses dan mekanisme pendanaan Pilkada oleh KPU serta bagaimanakah akuntabilitas keuangannya dapat tercapai. Kajian ini juga menggali data dan informasi dari daerah guna mendapatkan masukan khususnya dalam meningkatkan akuntabilitas keuangan negara yang digunakan dalam penyelenggaran Pilkada oleh KPU.
B.
Keuntungan dan Kelemahan Pilkada Serentak Pilkada Serentak mempunyai beberapa keuntungan diantaranya adalah dengan adanya Pilkada Serentak maka akan terjadi perencanaan pembangunan yang lebih sinergi antara pusat dan daerah, selain itu rakyat juga tidak perlu berulang kali ke bilik suara untuk memberikan suaranya. Keuntungan lainnya adalah jika terjadi sengketa, maka dibatasi waktu jika sengketa melalui pengadilan, sehingga tahapan Pilkada lain tidak terganggu. Apabila KPU hanya sekali atau dua kali melaksanakan Pilpres da Pilkada, maka pelantikan dapat dilakukan serentak oleh Presiden dan atau Menteri Dalam Negeri (Gubernur), sehingga akan menghemat biaya dan waktu, serta tidak banyak melibatkan tim sukses. Sedangkan kelemahan Pilkada Serentak antara lain dengan adanya Pilkada Serentak membuat kepemimpinan pejabat sementara hanya dua tahun sehingga kurang efektif, Pilkada Serentak dapat memenuhi kriteria efektif dan efisien apabila Pemilihan Gubernur dilakukan secara langsung oleh rakyat dengan satu pemilihan dua kertas suara, jika terjadi ekses Pilkada (kerusuhan) yang bersamaan maka akan mengancam stabilitas nasional dan penanganannya membutuhkan sumber daya yang besar termasuk dana dan gelar pasukan yang belum merata diseluruh daerah, selain itu konstrain penyelesaian sengketa Pilkada,
dimana waktunya terbatas sementara jumlah sengketa banyak, dan pengawasan Pilkada yang relatif sulit. C.
Peraturan Pelaksana Pilkada Serentak 2015, 2017, dan 2018 Peraturan Pelaksana Pilkada Serentak 2015, 2017, 2018 antara lain adalah sebagai berikut: a) PKPU No.10/2015 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara Pilkada b) PKPU No. 9/2015 tentang Pencalonan Pilkada c) PKPU No. 8/2015 tentang Dana Kampanye Pilkada d) PKPU Nomor 7/2015 tentang Kampanye Pilkada e) PKPU Nomor 6/2015 tentang Norma, Standar, Prosedur, Kebutuhan Pengadaan dan Pendistribusian Perlengkapan Pilkada f) PKPU Nomor 5/2015 tentang Sosialisasi dan Partisipasi Masyarakat dalam Pilkada g) PKPU No.4/2015 tentang Pemuktahiran Data dan Daftar Pemilih Pilkada h) PKPU No.3/2015 tentang Tata Kerja KPU, PPK, PPS, dan KPPS Pilkada i) PKPU No.2/2015 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Pilkada j) PKPU No.1/2015 tentang Pelayanan dan Pengelolaan Informasi Publik di KPU.
D.
UU No. 8 Tahun 2015 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi UndangUndang telah disahkan dan diundangkan tanggal 18 Maret 2015 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57. Dijelaskan dalam undang-undang ini bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Untuk mewujudkan amanah tersebut telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut telah ditetapkan menjadi undang-undang berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota Menjadi Undang-Undang. Ketentuan di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 dirasakan masih terdapat beberapa inkonsistensi dan menyisakan sejumlah kendala apabila dilaksanakan, sehingga perlu disempurnakan. Beberapa penyempurnaan tersebut, antara lain: 1. Penyelenggara Pemilihan. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XI/2013 menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Putusan ini mengindikasikan bahwa pemilihan kepala daerah bukan merupakan rezim pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD 1945. Sebagai konsekuensinya, maka komisi pemilihan umum yang diatur di dalam Pasal 22E tidak berwenang menyelenggarakan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Untuk mengatasi masalah konstitusionalitas penyelenggara tersebut dan dengan mengingat tidak mungkin menugaskan lembaga penyelenggara yang lain dalam waktu dekat ini, maka di dalam Undang-Undang ini ditegaskan komisi pemilihan umum, badan pengawas pemilihan umum beserta jajarannya, dan dewan kehormatan penyelenggara pemilihan umum masing-masing diberi tugas menyelenggarakan, mengawasi, dan menegakkan kode etik sebagai satu
kesatuan fungsi dalam penyelenggaraan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota secara berpasangan berdasarkan Undang-Undang ini. 2. Tahapan Penyelenggaraan Pemilihan. Adanya penambahan tahapan penyelenggaraan Pemilihan yang diatur di dalam Perpu, yaitu tahapan pendaftaran bakal calon dan tahapan uji publik, menjadikan adanya penambahan waktu selama 6 enam bulan dalam penyelenggaraan Pemilihan. Untuk itu Undang-Undang ini bermaksud menyederhanakan tahapan tersebut, sehingga terjadi efisiensi anggaran dan efisiensi waktu yang tidak terlalu panjang dalam penyelenggaraan tanpa harus mengorbankan asas pemilihan yang demokratis. 3. Pasangan Calon. Konsepsi di dalam Perpu adalah calon kepala daerah dipilih tanpa wakil. Di dalam Undang-Undang ini, konsepsi tersebut diubah kembali seperti mekanisme sebelumnya, yaitu pemilihan secara berpasangan atau paket. 4. Persyaratan calon perseorangan. Penambahan syarat dukungan bagi calon perseorangan dimaksudkan agar calon yang maju dari jalur perseorangan benar-benar menggambarkan dan merepresentasikan dukungan riil dari masyarakat sebagai bekal untuk maju ke ajang Pemilihan. 5. Penetapan calon terpilih. Salah satu aspek penting yang diperhatikan dalam penyelenggaraan Pemilihan adalah efisiensi waktu dan anggaran. Berdasarkan hal tersebut, perlu diciptakan sebuah sistem agar pemilihan hanya dilakukan dalam satu putaran, namun dengan tetap memperhatikan aspek legitimasi calon kepala daerah terpilih. Berdasarkan hal tersebut, Undang-Undang ini menetapkan bahwa pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih. 6. Persyaratan Calon. Penyempurnaan persyaratan calon di dalam Undang-Undang ini bertujuan agar lebih tercipta kualitas gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota yang memiliki kompetensi, integritas, dan kapabilitas serta memenuhi unsur akseptabilitas. 7. Pemungutan suara secara serentak. Konsepsi pemungutan suara serentak menuju pemungutan suara serentak secara nasional yang diatur di dalam Perpu perlu disempurnakan mengingat akan terjadi pemotongan periode masa jabatan yang sangat lama dan masa jabatan pejabat menjadi terlalu lama. Undang-Undang ini memformulasikan ulang tahapan menuju pemilu serentak nasional tersebut dengan mempertimbangkan pemotongan periode masa jabatan yang tidak terlalu lama dan masa jabatan pejabat yang tidak terlalu lama; kesiapan penyelenggara pemilihan; serta dengan memperhatikan pelaksanaan Pemilu Presiden dan Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD secara serentak pada tahun 2019 Selain hal-hal tersebut, Undang-Undang ini juga menyempurnakan beberapa ketentuan teknis lainnya yang terkait dengan penyelenggaraan Pemilihan. E.
Permasalahan dan Isu-Isu Pilkada Serentak Dalam pelaksanaan Pilkada Serentak ini, masih seringkali terdapat permasalahan dan isu-isu yang sering terjadi, antara lain sebagai berikut: 1. Daftar Pemilih Tidak Akurat a) Sebagian besar DP4 (Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu) dari Kab/Kota tidak dapat diandalkan b) Calon pemilih banyak yang memiliki domisili lebih dari satu tempat c) Calon pemilih dan Parpol bersikap pasif dalam menyikapi DPS d) Pelibatan RT/RW dalam pemutakhiran data pemilih tidak maksimal e) Para pihak baru peduli atas kekurang-akuratan data pemilih ketika udah ditetapkan sebagai daftar pemilih tetap atau ketika sudah mendekati hari pemungutan suara f) Kontrol Panwaslu untuk akurasi data pemilih tidak maksimal.
2. Proses pencalonan yang bermasalah a) Munculnya dualisme pencalonan dalam tubuh partai politik. b) Perseteruan antar kubu calon yang berasal dari partai yang sama. c) KPU tidak netral dalam menetapkan pasangan calon. d) Tidak ada ruang untuk mengajukan keberatan dari pasangan calon/Parpol terhadap penetapan pasangan calon yang ditetapkan oleh KPU. e) Terhambatnya proses penetapan pasangan calon. f) Dalam hal terjadi konflik internal Parpol, KPU berpihak kepada salah satu pasangan calon/pengurus parpol tertentu sehingga parpol yang sebenarnya memenuhi syarat namun gagal mengajukan pasangan calon. Akibat lebih lanjut, partai politik maupun konstituen kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kepala daerah yang merupakan preferensi mereka. 3. Pemasalahan pada Masa kampanye : a) Pelanggaran ketentuan masa cuti b) Manuver politik incumbent untuk menjegal lawan politik c) Care taker yang memanfaatkan posisi untuk memenangkan PILKADA d) Money politics e) Pemanfaatan fasilitas negara dan pemobilisasian birokrasi f) Kampanye negative g) Pelanggaran etika dalam kampanye h) Curi start kampanye, kampanye terselubung, dan kampanye di luar waktu yang telah ditetapkan 4.
Manipulasi dalam penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan: a) Belum terwujudnya transparansi mengenai hasil penghitungan suara dan rekapitulasi penghitungan suara. b) Manipulasi penghitungan dan rekapitulasi penghitungan suara dilakukan oleh PPK, KPU Kab/kota, dan KPU Provinsi. c) Belum lengkapnya instrument untuk mengontrol akuntabilitas PPK, KPU Kabupaten/Kota, dan KPU Provinsi. d) Keterbatasan saksi-saksi yang dimiliki oleh para pasangan calon. e) Keterbatasan anggota Panwas mengontrol hasil penghitungan dan rekapitulasi hasil penghitungan suara.
5. Penyelenggara Pilkada tidak adil dan netral a) Keberpihakan anggota KPUD dan jajarannya kepada salah satu pasangan calon. b) Kewenangan KPUD yang besar dalam menentukan pasangan calon.Tidak adanya ruang bagi para bakal calon untuk menguji kebenaran hasil penelitian administrasi persyaratan calon. c) Pengambilalihan penyelenggaraan sebagian tahapan Pilkada oleh KPU di atasnya. d) Keberpihakan anggota Panwaslu kepada salah satu pasangan calon e) Anggota Panwasal menjadi pembela/promotor bagi pasangan calon yang kalah. 6. Putusan MA dan MK yang menimbulkan kontroversi Sengketa Pilkada diatur dalam pasal-pasal 106 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang pada intinya menyatakan bahwa sengketa hasil penghitungan suara dapat diajukan oleh pasangan calon kepada pengadilan tinggi untuk pilkda bupati/walikota dan kepada MA untuk pilkada Gubernur. Putusan yang dikeluarkan pengadilan tinggi/Mahkamah Agung bersifat final. Setelah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 kewenangan penyelesaian sengketa Pilkada beralih dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi. Baik dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 maupun Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 kewenangan pengadilan untuk mengadili sengketa Pilkada hanya terbatas pada sengketa hasil yang mempengaruhi pemenang Pilkada, permasalahannya adalah bagaimana apabila terjadi sengketa di luar hasil penghitungan suara, selain itu beberapa putusan baik Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi menimbulkan kontroversi di masyarakat, akibatnya penyelesaian Pilkada berlarut-larut. Selama ini tidak hanya sengketa hasil penghitungan suara yang terjadi dalam Pilkada, seperti permasalahan DPT, permasalahan pencalonan, baik terjadinya permasalahan di internal partai politik maupun pemenuhan persyaratan Pilkada. Meskipun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 maupun Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 sudah membatasi kewenangan pengadilan hanya sebatas sengketa hasil penghitungan suara, namun pengadilan sering menabrak aturan tersebut. 7. Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 12 Tahun 2008. F.
Pendanaan dan Pengelolaan Dana Pilkada Serentak oleh KPU Pendanaan penyelenggaran Pilkada sesuai dengan ketentuan pasal 166 ayat (1) Undang-undang No. 8 tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, sebagai landasan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota secara langsung tahun 2015 menyatakan bahwa pendanaan kegiatan Pilkada dibebankan pada APBD dan dapat didukung oleh APBN sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Sedangkan pada Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, sebagai landasan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota secara langsung tahun 2015. Sedangkan pada Pasal 200 ayat (1) menyatakan bahwa pendanaan kegiatan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati, serta Pemilihan Walikota dan Wakilkota yang dilaksanakan pada tahun 2015 dibebankan pada APBD. Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut mengharuskan bahwa semua pendanaan Pilkada harus dipertanggungjawabkan pada APBN. Mekanisme yang umum digunakan dalam pengelolaan pendanaan Pilkada oleh KPU Daerah dari Pemerintah Daerah adalah dengan menggunakan akun belanja Hibah. Perbedaan yang mendasar dalam pengelolaan belanja hibah pendanaan Pilkada sebelum tahun 2015, mekanisme pengelolaan dana pilkada yang bersumber dari belanja hibah APBD dianggap bukan sebagai Pendapatan APBN, sedangkan pasca tahaun 2015 ini mekanisme pengelolaan dana Pilkada yang bersumber dari belanja hibah APBD dianggap sebagai Pendapatan APBN.
Pertanggungjawaban Dana Pilkada s.d Tahun 2014
APBD
APBN Transfer dana ke KPU /
Belanja Langsung (Belanja Barang untuk Pilkada)
Pendapatan Hibah
Belanja Bawaslu / TNI / POLRI tanpa register Hibah
Tidak Dicatat pada APBN
Rekening KPU / Bawaslu Provinsi / Kab / Kota / TNI / POLRI
Dimasukkan pada CALK dlmLKPP
Swakelola
Laporan Pertanggungjawaban kepada Pemda
Rekomendasi BPK Harmonisasi Peraturan
KPU / Bawaslu / TNI / POLRI
Naskah Perjanjian Hibah
PEMDA
Pertanggungjawaban Dana Pilkada 2015 NPHD
APBN
APBD Belanja Operasional
Pendapatan Hibah
Belanja Hibah Transfer Dana
Laporan Kepada Daerah
LKPP
Laporan Keuangan
KPU / Bawaslu Provinsi / Kab / Kota / TNI / POLRI (SATKER)
Ijin Pembukaan Rekening (KPPN)
Register (DJPPR)
SP2HL (KPPN)
Revisi DIPA (Kanwil DJPB/ DJA)
G. Akuntabilitas dan Pertanggungjawaban Dana Hibah pada KPU Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 44 Tahun 2015 tanggal 20 April 2015 tentang Pengelolaan Dana Kegiatan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati, dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota maka Laporan Penggunaan Belanja Hibah kegiatan Pemilihan memberikan laporan kepada Gubernur/Bupati/Walikota yang
dilakukan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya seluruh Tahapan Kegiatan Pemilihan. Kuasa PA/PPK dan Bendahara Pengelola Hibah wajib menatausahakan dan menyimpan bukti-bukti pertanggungjawaban penggunaan dana hibah langsung pemilihan secara rapi dan tertib sebagai pemeriksaan oleh aparat pemeriksa. Kuasa PA wajib menyusun Laporan Keuangan pengelolaan dana Hibah langsung pemilihan sesuai ketentuan dan peraturan yang berlaku. Pertanggungjawaban keuangan terhadap penggunaan dana hibah langsung pemilihan oleh Badan Penyelenggara Ad Hoc (PPK, PPS dan KPPS) dapat menyesuaikan dengan Keputusan KPU No. 405/Kpts/Tahun 2013. Penggunaan dana Hibah untuk pelaksanaan tahapan pemilihan Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota digunakan oleh KPU/KIP Kabupaten/Kota dan BPP Ad Hoc, dilakukan dengan cara Bendahara Pengeluaran/BPP melakukan pembayaran berdasarkan SPBy yang ditandatangani oleh PPK masing-masing penerima dana Hibah dengan dilampiri bukti pengeluaran. BPP Ad Hoc melakukan pembayaran berdasarkan bukti pengeluaran atas penggunaan dana sesuai dengan alokasi yang telah ditetapkan oleh Sekretaris selaku KPA KPU Provinsi/KIP Aceh. Mekanisme pertanggungjawaban dana Hibah untuk Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota dengan cara BPP Ad Hoc menyampaikan bukti-bukti pengeluaran dan SPTJ kepada BPP KPU/KIP Kabupaten/Kota, kemudian BPP KPU/KIP Kabupaten/Kota menyusun rekapitulasi penggunaan dana berdasarkan bukti-bukti pengeluaran KPU/KIP Kabupaten/Kota, bukti-bukti pengeluaran dan SPTJ dari BPP Ad Hoc. Apabila tidak ditunjuk BPP, Bendahara Pengeluaran pemegang RPDHL/RPL KPU/KIP Kabupaten/Kota menyusun Rekapitulasi penggunaan dana bukti-bukti pengeluaran KPU/KIP Kabupaten/Kota dan bukti-bukti pengeluaran dari SPTJ kepada PPK KPU/KIP Kabupaten/Kota. Kemudian BPP KPU/KIP Kabupaten/Kota menyampaikan rekapitulasi penggunaan dana beserta bukti-bukti pengeluaran dan SPTJ kepada PPK KPU/KIP Kabupaten/Kota. Dilanjutkan dengan Bendahara Pengeluaran melakukan penelitian atas keseuaian jumlah uang yang ditransfer kepada BPP KPU/KIP Kabupaten/Kota dengan buktibukti pengeluaran yang dipertanggungjawabkan, verifikasi terhadap rekapitulasi penggunaan dana, kemuadia menyampaikan rekapitulasi penggunaan dana beserta bukti-bukti pengeluaran SPTJ yang telah diverifikasi sebagai dasar untuk menerbitkan SP2HL yang akan disampaikan kepada KPPN. PPK KPU/KIP kabupaten/Kota bertanggungjawab penuh terhadap dana Hibah yang digunakan. Dalam rangka pelaksanaan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dan pertanggungjawaban dana Hibah penyelenggaraan Pemilihan yang sekaligus sebagai salah satu indikator kinerja KPU dalam upaya pencapaian reformasi birokrasi yang telah dilakukan serta sebagai pertanggungjawaban publik atas pengelolaan keuangan dana Hibah penyelenggaraan Pemilihan, maka telah diatur pertanggungjawaban penggunaan anggaran atas dana Hibah Pemilihan sebagai acuan untuk membantupara pengelola keuangan dana Hibah penyelenggaraan Pemilihan sebagai upaya dalam mempertanggungjawabkan penggunaan anggarannya. Sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 44 Tahun 2015 tentang tentang Pengelolaan Dana Kegiatan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati, dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 51 Tahun 2015 menyatakan bahwa KPU Provinsi/KIP Aceh dan KPU/KIP Kabupaten/Kota bertanggungjawab secara formil dan materiil terhadap penggunaan belanja Hibah kegiatan Pemilihan yang dikelola oleh KPU Provinsi/KIP Aceh dan KPU/KIP Kabupaten/Kota sesuai peraturan perundang-undangan.
1. Penyelenggaraan Pilkada di Kabupaten Banyuwangi. Pemilihan umum di Kabupaten Banyuwangi, untuk memilih Bupati dan Wakil Bupati Banyuwangi periode 2016-2021, dilaksanakan pada 9 Desember 2015. KPUD dan Pemerintah Daerah Kab. Banyuwangi saling mendukung dan bekerjasama dalam mempersiapkan sebaik mungkin setiap tahapan Pilkada di Kabupaten Banyuwangi. KPUD Kabupaten Banyuwangi melaksanakan Pengelolaan Dana Hibah Pilkada berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah dan berpedoman pada Juknis dari KPU RI. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, menyiapkan anggaran untuk pemilihan kepala daerah atau pemilukada yang digelar akhir 2015 sebesar Rp 56.838.901.443,- dengan realisasi sebesar Rp 49.797.256.472,- (Sesuai IHPS Pemkab Banyuwangi Tahun Anggaran 2015). Pendanaan Pilkada Serentak tahun 2015 bersumber dari Dana Hibah Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuwangi. KPU mengajukan permohonan Dana Hibah dengan dilengkapi Rincian Anggaran Belanja (RAB) yang disepakati dan dituangkan dalam NPHD (Naskah Perjanjian Hibah Daerah). Kemudian, setelah diregister dimasukkan ke dalam APBN melalui revisi dan pengesahan DIPA KPU Kabupaten Banyuwangi melalui Kementerian Keuangan Dirjen Perbendaharaan Keuangan Negara. Anggaran diserahkan ke KPU sebagai dana hibah untuk membiayai semua keperluan hajatan pemilihan pemimpin di daerah itu. KPUD Banyuwangi telah menetapkan dua pasang kandidat peserta Pilbup Banyuwangi 2015, yaitu pasangan H. Abdullah Azwar Anas, Msi dan Yusuf Widyatmoko, S.Sos serta pasangan Ir. Sumantri Soedomo, MP dan Sigit Wahyu Widodo, SH. Dan hasil pemilu tersebut memenangkan pasangan H. Abdullah Azwar Anas, Msi dan Yusuf Widyatmoko, S.Sos dengan 88,96 suara, atau dapat dikatakan menang mutlak. Kendala yang dihadapi antara lain karena adanya pemisahan tanggungjawab antara penerima Hibah dan penanggungjawab Hibah. Penerima Hibah menjadi tanggungjawab Ketua KPU Kabupaten sementara pihak yang bertanggungjawab atas Hibah adalah Sekretaris KPU Kabupaten. Hal ini menimbulkan ketidaksepahaman dalam penandatanganan NPHD oleh Ketua KPU Kabupaten bukan sebagai Pengguna Anggaran. Kendala lain adalah permintaan laporan pertanggungjawaban oleh Pemerintah Daerah kepada KPU Kabupaten/Kota. KPUD Banyuwangi juga menanggap bahwa Sosialisasi dari KPU Pusat terkait aturan penyelenggaraan Pilkada sedikit terlambat dan seharusnya sudah diberikan dari jauh hari. KPUD mengusulkan agar dana Hibah penyelenggaraan pemilu di anggarkan dalam APBN saja karena penatausahaannya memang dilakukan oleh KPU Pusat. H. Saran dan Rekomendasi Pilkada langsung secara serentak yang merupakan implementasi pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah pada dasarnya memiliki tujuan utama mendekatkan peran negara (state) dengan rakyatnya (society). I. Daftar Rujukan Pilkada langsung secara serentak yang merupakan implementasi pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah pada dasarnya memiliki tujuan utama mendekatkan peran negara (state) dengan rakyatnya (society).
J. Lampiran Kajian Pilkada langsung secara serentak yang merupakan implementasi pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah pada dasarnya memiliki tujuan utama mendekatkan peran negara (state) dengan rakyatnya (society).