LAPORAN KEMAJUAN PENELITIAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PEMANFAATAN-TIK Kasus Komunitas Masyarakat Nelayan Marginal di Kawasan Pesisir Pantai Selatan Pulau Jawa
Tim Peneliti
Dr.Udi Rusadi,Ms Peneliti Utama S. Arifianto,SE, MA, Anggota Drs.Parwoko, Anggota Drs.Ikbar Samekto,MSi, Anggota Drs.Djoko Waluyo, Anggota
Jenis Insentif : PPKP
PUSLITBANG APTIKA DAN IKP BADAN LITBANG SDM KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA RI TAHUN : 2012
1
Kata Pengantar
Sampai dengan termin pertama ini pelaksanaan penelitian Studi Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Melalui Pemanfaatan TIK di Wilayah Pantai Selatan Pulau Jawa baru sampai pada pengumpulan dan klasifikasi data kualitatif. Data penelitian tersebut baru bisa terkaper empat lokasi, dari lima lokasi yang direncanakan. Lokasi penelitian yang telah terkaper dalam tahapan termin pertama ini diantaranya, : (a). Masyarakat Nelayan tradisional di kawasan Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. (b). Masyarakat Nelayan di Parangtritis Kabupaten Bantul Yogyakarta. (c). Masyarakat Nelayan tradisional di kawasan pantai Munjungan Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. (d). Masyarakat Nelayan tradisional di Muncar, Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur.
Sedangkan masyarakat Nelayan radisional di Pangandaran, Kabupaten Ciamis, masih menunggu pencairan dana pada termin kerdua nanti.
Data,
penelitian kualitatif tersebut sebagian besar telah diolah, dan diklasifikasikan sesuai dengan rencana analisis. Sementara pekerjaan pada tahapan selanjutnya adalah menganalisis dan menyimpulkan hasil penelitian, yang akan berlanjut sampai termin kedua, yang diperlkirakan sekitar Bulan Mei dan Juni 2012,ini. Perlu diketahui untuk termin kedua nanti ada satu lokasi penelitian yang belum terdata, yakni masyarakat nelayan tradisional di Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Semoga perkembangan pelaksanaan penelitian ini dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Jakarta, Mei 2012 Peneliti Utama
Dr. Udi Rusadi, MS 2
Daftar Isi
Kata Pengantar BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang ...................................................................01 2. Pokok Permasalahan ..........................................................03. 3. Metodologi Pelaksanaan .....................................................04 4. Tahapan Pelaksanaan Kegiatan .........................................17
BAB II PERKEMBANGAN PELAKSANAAN KEGIATAN 1. Pengelolaan Administrasi Manajerial...................................51 2. Metode-Proses Pencapaian Target Kinerja..........................51 3. Sinergi Koordinasi Kelembagaan-Program..........................52 4. Kerangka Pemanfaatan Hasil Litbangyasa..........................53
BAB III RENCANA TINDAK LANJUT 1. Rencana Pelaksanaan Pencapaian Target Kinerja............53 2. Rencana Koordinasi kelembagaan_Program .....................53 3. Rencana Pemanfaatan Hasil Litbangyasa...........................54. 4. Rencana Pengembangan Kedepan ....................................54
BAB IV PENUTUP.........................................................................55
Lampiran :
-Daftar Pustaka -Photo/dokumentas
3
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Fenomena tentang kemiskinan nelayan tradisional di Indonesia sudah berlangsung lintas generasi. Kemiskinan masyarakat nelayan tradisional itu seolah tidak pernah berhenti, seiring dengan perkembangan kemajuan tektologi, dan pembangunan. Para ahli melihat kemiskinan nelayan terbagi menjadi dua katagorisasi. Pertama,adalah budaya kemiskinan nelayan, yakni kemiskinan nelayan sebagai akibat dari kebiasaan masyarakat nelayan yang cenderung berperilaku boros dan malas. Kedua struktur kemiskinan nelayan, yakni kemiskinan masyarakat nelayan yang lebih disebabkan karena factor strutur, kekuasaan social-politik dan ekonomi yang tidak berpihak kepada mereka. Sementara itu “nelayan” dapat di definisikan sebagai kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan maupun budidaya ikan hasil laut. Kehidupan nelayan itu sendiri hingga kini masih jauh dari sejahtera. Nelayan miskin di Indonesia, tahun 2011 mencapai 7,87 juta orang, (25,14%) dari jumlah penduduk miskin Nasional yang mencapai 31,02 juta orang, dimana 25,14% itu berasal dari 10.600 desa nelayan miskin
yang
terdapat
di
kawasan
pesisir
pantai
di
Indonesia
(www.compasiana.com/24/22012). Sementara di kawasan Pulau Jawa sendiri preoritas pembangunan insfrastruktur ekonomi maupun teknologi informasi dan komunikasi (TIK) merata. Misalnya di pantai utara (pantura) dan di kawasan bagian tengah, pembangunan telah berkembang sedemikian pesat. Sedangkan di kawasan selatan Jawa potensinya masih jauh tertinggal. Dilihat dari kondisi geografis dan karakteristik masyarakatnya, pengembangan ekonomi masyarakat wilayah pesisir pantai selatan pulau Jawa lebih didominasi potensi nelayan tradisional. Mulai dari pantai selatan Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur masyarakatnya mayoritas berprofesi sebagai nelayan tradisional.
Masyarakat nelayan pesisir pantai selatan Jawa itu
cenderung termiskinkan, oleh kebijakan pembangunan baik dilihat dari aspek 4
teknologi, social, budaya, politik dan ekonomi, dibanding wilayah tengah dan utara. Secara realitas potensi nelayan di pantai selatan pulau jawa sendiri masih belum di kembangkan secara optimal. Dari sisi regulasi sendiri misalnya hadirnya Undang-undang No 22/1999 tentang Otonomi Daerah, terutama berkaitan dengan ketentuan di pasal 10, yang tidak sejalan dengan pengembangan sektor nelayan, bahkan lebih bersifat kontraproduktif1. Nelayan tradisional di pantai selatan pulau jawa umumnya bekerja sebagai pencari ikan di laut, dan menjualnya kepada para tengkulak, dan juragan yang memiliki modal financial. Mereka hidup termarginalkan diantara para elite di komunitasnya. Beberapa pakar ilmu sosial berpendapat bahwa, kemiskinan nelayan banyak disebabkan adanya kesenjangan asset yang esensial, seperti sumber daya produktif, dan capital, posisi sebagai tenaga kerja yang tidak aman, pendapatan yang didapat secara musiman, tinggal di tempat kumuh, pendapatan rendah, pendidikan dan pengetahuan rendah, dan miskin informasi2. Kehidupan nelayan marginal ini sangat tergantung dari kondisi alam, dan kekuasaan para tengkulak dan juragan ikan. Dalam konteks ini masyarakat nelayan berada pada posisi lemah. Berapapun harga ikan yang ditentukan tengkulak atau juragan mereka terpaksa harus ikuti. Mereka tidak mempunyai nilai tawar terhadap produk ikan hasil tangkapan hari itu. Pada kondisi yang demikian, diperlukan terobosan inovasi adovsi teknologi (TIK), yang disesuaikan dengan tingkat kebutuhan komunitas nelayan tradisional di kawasan pesisir pantai selatan pulau Jawa itu. Berangkat dari realitas tersebut, masyarakat nelayan perlu diberdayakan melalui pemanfaatan TIK untuk meningkatkan kualitas produksi hasil tangkapan ikan, distribusi, dan pemasarannya. Di banyak 1
Pasal 10 ayat 2 di UU No:32/1999/tentang Pemerintahan Daerah, mengatur wewenang daerah dalam eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan sumberdaya ikan hanya terbatas pada 12 mil laut untuk pemerintah provinsi dan 4 mil untuk pemerintah kabupaten. Penjelasannya menyebutkan, khusus untuk penangkapan ikan tradisional, tidak dibatasi wilayah laut. Masalahnya, karena batasan tradisional belum ditentukan dengan,pasti. Kondisi ini menggam barkan bahwa terjadi kontraproduktif terhadap pengembangan masyarakat nelayan. Akibatnya, pengembangan perikanan di dalam batas-batas laut tersebut yang menjadi wewenang daerah akan sulit dilaksanakan. Hal ini terjadi, karena mobilitas nelayan yang tinggi dalam menangkap ikan. Seharusnya UU No:22/1999/tentang Pemerintah Daerah mengatasi hal tersebut. 2
Imam Prakoso, Alternatif Pemenfaatan TIK Bagi Keberdayaan Masyarakat dan Pengentasan Kemiskinan, Jurnal Dialog Kebijakan Publik, Edisi 3/Nopember/Tahun II/2008, halaman 38
5
sektor TIK telah digunakan untuk membantu pemberdayaan produktivitas, dan pemasaran produk tertentu. Di komunitas masyarakat nelayan tradisional seharusnya TIK memiliki fungsi yang sama, dan dapat digunakan sebagai salah satu alat untuk pemberdayaan produk nelayan di pantai selatan Jawa.
Meski demikian pengenalan dan pemanfaatan TIK diperlukan proses, dan strategi untuk dilihat dari berbagai aspek, baik sosial, budaya, ekonomi, politik dan teknologinya sendiri. Permasalahannya bagaimana TIK bisa dipahami dan memberikan ruang sebagai alat untuk pemberdayaan masyarakat nelayan tradisional yang terlilit kemiskinan di kawasan pesisir pantai selatan pulau Jawa tersebut. Mereka masih berkeyakinan bahwa penangkapan ikan secara tradisional tidak harus menggunakan teknologi,dan metode canggih lainnya. Meski tidak bisa dipungkiri, bahwa kehadiran
teknologi informasi semakin
memdesak dan berpengaruh terhadap pola kehidupan masyarakat nelayan tradisional itu sendiri.
Pokok Permasalahan Pembahasan di latar belakang penelitian ini telah dipaparkan berbagai hal tentang keberadaan nelayan tradisional, yang tinggal di kawasan pesisir pantai selatan pulau Jawa dengan berbagai karakteristiknya. Gambaran tersebut memberikan batasan batasan tertentu pada obyek penelitian ini. Sebagai obyek penelitian ini adalah,komunitas masyarakat nelayan tradisional/marginal, yang berdomisili tetap di pesisir pantai selatan Pulau Jawa, khususnya desa nelayan yang telah ditetapkan sebagai studi kasus. Sedangkan permasalahan penelitian (question research) yang dimunculkan dalam penelitian ini adalah “bagaimana Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dapat digunakan untuk pemberdayaan masyarakat nelayan tradisonal/marginal guna meningkatkan produktivitas, dan kesejahteraan ekonomi” di komunitasnya. Kondisi permasalahan tersebut hampir merata di setiap komunitas masyarakat nelayan tradisional yang menjadi obyek penelitian ini. Masalah kemiskinan, nelayan tradisioanal tersebut diasumsikan
6
berelasi terhadap akses informasi dan pengetahuan tentang berbagai hal yang bertautan dengan teknologi kelautan dan perikanan.
Bagaimana mungkin mereka dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) jika tidak pernah mendapatkan informasi yang lengkap tentang TIK yang bersangkutan. Titik persoalannya mereka harus dipersiapkan baik secara fisik maupun pengetahuan. Kesiapan fisik memberikan harapan bahwa seorang nelayan memerlukan strategi untuk menganalisis kondisi-kondisi di laut, baik untuk keselamatan maupun menentukan posisi jarring ditempat yang banyak ikannya. Strategi itu memerlukan persiapan pengetahuan yang cukup tentang masalah kelautan dan perikanan.
Pada ruang tersebut peran teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sangat membantu prosesnya. Namun tidak semua TIK dapat di implementasikan pada komunitas nelayan yang dianggap masih rentan. Teknologi berkarakteritik seperti apa yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan komunitas masyarakat nelayan tradisional. Karakter teknologi itu perlu ada keselarasan dengan nilai social dan budaya yang berkembang di komunitas masyarakat nelayan local. Potensi itulah yang perlu digali, sehingga menjadi titik tolak pemberdayaan masyarakat nelayan tradisional melalui konsep pelatihan dan sosialisasi.
Metodologi Pelaksanaan Konsep pemberdayaan diawali dengan medudukan peranan komunikasi dalam konteks pembangunan yang dipetakan menjadi dua katagori
oleh Schramm
(1987), yaitu komumunikasi pembanguanan (Development Communication) dan Komunikasi untuk pembanguan (Development support Comunication-DSC). Pendekatan pertama lebih makro dan linier dengan sumber gagasan berasal dari luar system. Pedekatan kedua merupakan pendekatan mikro pada tingkat lokal dimana proses pembangunan dimulai dari komunitas masayarakat tertentu. Dalam kerangaka proses Develompment support communication tersebut mengintegrasikan potensi informasi dan komunikasi (TIK), dimana dalam konsep 7
ini bagaimana TIK diterima dan digunakan dalam praktek pembangunan. Model pembangunan DSC umumnya mengunakan model
partisipatif
sehingga
mencerminkan proses pemberdayaan secara kontinyu.
Pemberdayaan seperti banyak dikutip dari literatur mempunyai esensi, perluasan kemampuan dan pilihan masyarakat. Kemampuan masyarakat untuk menerapkan pilihan berdasarkan kondisi yang bebas dari kemiskinan, untuk ikut berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan pembangunan yang berpengaruh terhadap pola hidupan komunitasnya. Menurut, Parson (1994 ) sebagaimana
dikutip
Imam
Prakoso
(2008:42)
mendefinisikan
bahwa
pemberdayaan merujuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah untuk, (a). Memiliki akses terhadap sumber daya (produktif) yang memberikan peluang mereka untuk meningkatkan pendapatannya serta memperoleh barang dan jasa yang mereka perlukan. (b). berpartisipasi dalam proses pembangunan dan berbagai keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka3. Pada konteks seperti inilah masyarakat miskin termasuk nelayan dapat ditempatkan sebagai komunitas masyarakat yang berdaya guna. Menempatkan konteks pemberdayaan masyarakat melalui pemanfaatan media komunikasi (TIK) dapat dirujuk dari pandangan Phil Bartle (2007) bahwa elemen informasi dapat terwujut ketika rakyat memiliki kemampuan untuk mengakses, mengolah, dan menganalisis informasi yang berhubungan dengan kepentingan mereka. Secara realitas elemen informasi dan komunikasi tersebut dapat terwujud jika terdapat keterbukaan akses masyarakat terhadap jaringan komunikasi (televisi, radio, internet, Koran, majalah, bulletin, brosur, panflet, pengumuman dsb). Masyarakat saling berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan informasi dan komunikasi melalui berbagai media yang mereka butuhkan tersebut. Berbagai elemen media komunikasi tersebut satu sama lain saling berkorelasi dan berinteraksi dengan masyarakat komunitasnya. Semakin banyak akses terhadap 3
Imam Prakoso, Alternatif Pemenfaatan media komunikasi (TIK), Bagi Keberdayaan Masyarakat dan Pengentasan Kemiskinan, Jurnal Dialog Kebijakan Publik, Edisi 3/Nopember/Tahun II/2008, halaman 42
8
jenis media komunikasi dan dukungan TIK , maka akan semakin banyak dan beragam informasi dan pengetahuan yang dapat di akses masyarakat. Pada dasarnya masyarakat dalam level apapun telah mengenal dan menggunakan teknplogi. Jadi tidaklah tepat jika memperbandingkan kondisi masyarakat elite perkotaan dengan masyarakat nelayan marginal di kawasan pesisir pantai dalam menguasai teknologi. Sebenarnya kesenjangan informasi itu lebih disebabkan tidak meratanya pembangunan insfrastrutur komunikasi dan informasi, bukan pada pengetahuan masyarakat.
Kesenjangan akibat geografis juga bisa diatasi jika ada kebijakan yang merata dan adil untuk masyarakat. Secara konstitusional semua masyarakat Indonesia memiliki hak yang sama dalam perlakuan Negara. Bahkan masyarakat miskin, termasuk nelayan tradisional yang dekat dengan kemiskinan itu harus menjadi tanggung jawab Negara (lihat pasal,33 UUD 1945). Tetapi karena pembangunan insfrastruktur jaringan informasi dan komunikasi lebih berorientasi pada propit oriented dan beridologi kapitalisme, maka terjadilah kesenjangan informasi di masyarakat yang beragam tersebut. Contohnya masyarakat nelayan yang tinggal di pantai selatan pulau jawa. Dibawah ini salah satu diantara gambaran kontribusi element media komunikasi (TIK) yang bisa memberikan kontribusi pada pengguna dalam hal ini komunitas masyarakat.
9
Bagan 1 Typology TIK (Usha Rani Vyasulu Reddi, 2011)
Dengan keberdayaan dalam media komunikasi dan TIK, masyarakat dapat mengolah dan menganalisis informasi menjadi pengetahuan yang dibutuhkan untuk di implementasikan untuk memenuhi kebutuhan di komunitasnya. Pada tataran konsep pemanfaatan
media komunikasi dan TIK diasumsikan dapat
membuka ruang komunikasi dan transformasi e-comerce, untuk memperkenal kan potensi sumber daya alam dan produk-produk lain yang dikelola komunitas masyarakat nelayan. Semua produk nelayan itu dapat di kerjasamakan dengan pemerintah, pengusaha, dan para pemilik modal melalui media komunikasi dan TIK untuk membantu pemberdayaan masyarakat nelayan yang hidup dibawah garis kemiskinan. Berdasarkan data riset banyak diantara jenis bantuan yang diberikan kepada masyarakat miskin, yang salah sasaran, atau tidak sesuai
10
dengan kebutuhan masyarakat.4 Akibatnya terjdi kesenjangan informasi dan komunikasi antara pihak pemberi, dan penerima bantuan. Melalui diseminasi/ pengenalan TIK diharapkan dapat membuka ruang komunikasi terhadap kesenjangan informasi dan komunikasi di komunitas masyarakat nelayan tradisional di kawasan pesisir pantai selatan pulau jawa. Realitas dalam pola perdagangan tradisional sering terjadi perlakuan ketidak adilan dan akses informasi sepihak, yang hanya menguntungkan pihak pengusaha (pemilik modal) tertentu. Sementara masyarakat nelayan yang miskin pengetahuan, dan akses informasi pasar semakin tidak berdaya menghadapi perlakuan tengkulak dan juragan ketika menjual hasil produksi tangkapan ikan di pasar bebas. Maka kehadiran media komunikasi dan TIK diharapkan dapat memberikan solusinya.
Pemberdayaan masyarakat nelayan diasumsikan akan berhasil jika ada komitmen dan kepedulian dari para pengusaha (pemilik modal), tertentu untuk memberikan
bantuan,
dan
regulasi
pemerintah
yang
berpihak
kepada
keberadaan masyarakat nelayan. Konsep yang di ajukan dalam penelitian ini tidak memberikan penilaian baik atau buruknya proses pemberdayaan masyarakat nelayan melalui pemanfaatan media komunikasi dan TIK, tetapi lebih ditekankan untuk memberikan berbagai pandangan alternative pendekatan, berdasarkan potensi dan kondisi setempat. Pemenuhan kebutuhan media komunikasi dan TIK tentu tidak cukup. Jika
yang
digunakan
untuk
menganalisis
kesenjangan
informasi
masyarakat nelayan hanya melalui pendekatan TIK , maka kemungkinan akan terjebak pada masalah teknis sangat besar. Maka diperlukan pendekatan lainnya sebagai
pendukungnya.
Pendekatan
yang
dianggap
signifikan
dengan
masyarakat nelayan,adalah konsep yang bertautan dengan strategi adaptasi, dan jaringan social yang telah terkonstruksi di komunitas masyarakat nelayan (Kusnadi,2000: 48). Hal tersebut didasarkan pada beberapa asumsi dasar bahwa, : (a).TIK tidak pernah menawarkan solusi, ia hanya menawarkan alat dan 4
Lihat hasil penelitian Puslitbang Aptika dan IKP, tahun 2011, tentang Pola Kebutuhan Informasi bagi Masyarakat Miskin di Wilayah Tertinggal, kasus di 7 kota Kabupaten Wilayah tertinggal di Indonesia,pada tahun , 2011 yang di tulis S. Arifianto, dkk.
11
aplikasi. Alat dan aplikasi itu yang dapat mendorong terjadinya perubahan dalam perkembangan, social, budaya, ekonomi di masyarakat. (b). Pemanfaatan TIK bagi masyarakat miskin dan marginal adalah pembangunan pranata social yang harus dilakukan persiapan terlebih dulu, agar akseptabilitas di komunitas masyarakat miskin sebagai penerima TIK menjadi terbangun. Akar kemiskinan nelayan memberikan peringatan kepada kita semua, khususnya pengambil kebijakan sebagai
(policy maker) akan pentingnya pendekatan social dan budaya basis
instrument
pemberdayaan
masyarakat
nelayan
melalui
pemanfaatan TIK tersebut. Secara social karakteristik masyarakat nelayan di pesisir pantai, berbeda dengan masyarakat miskin di pedesaan. Kesalahan pendekatan maka pemberdayaan masyarakat nelayan akan membuahkan kegagalan.
Kegagalan tersebut disebabkan karena program pemberdayaan yang tidak di kerangkai dengan struktur social, dan budaya local di komunitas nelayan. Program yang banyak diluncurkan menjadi asing bagi nelayan setempat. Berangkat dari konsep seperti yang telah dipaparkan dalam penelitian ini paling tidak yang bisa kita ukur dalam jangka pendek adalah tingkat akseptabilitas masyarakat nelayan terhadap pemanfaatan media komunikasi dan TIK, sebagi bagian dari delivery alat dan aplikasi. Akseppbilitas ini juga dipengeruhi kedekatan pemahaman, persepsi dan budaya masyarakat dengan karakter teknologi yang dapat digambarkan dalam tabel 1 berikut.
12
Tabel 1. Attributes and Limitattions of diffeen ICTs
Akseptabilitas pada komunitas masyarakat nelayan tersebut juga bisa terbangun jika pendekatan yang digunakan tidak hanya teknologi driven, tetapi juga melakukan pendekatan bagaimana media komunikasi dan TIK dapat merespon dan memberi ruang terhadap kebutuhan komunitas masyarakat nelayan, dalam konteks kebutuhan informasi, produktivitas dan pemasaran hasil-hasil tangkapan ikan para nelayan dikomunitasnya. Dengan kerangka konsep ini dirasa dapat digunakan sebagai pedoman untuk menganalisis permasalahan pemberdayaan
13
masyarakat nelayan, melalui pemanfaatan media komunikasi dan TIK di komunitas nelayan yang bermukim di kawasan pantai selatan pulau jawa.
Penelitian Terdahulu Penelitian,”Model Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Dalam Mendukung Ketahanan dan Keamanan Pangan, Nelayan” yang dilakukan Mudjairin Tohir,dkk (2010) dengan tujuan memformulasikan strategi pemberdayaan masyarakat pesisir pantai Jawa tengah (Kab.Jepara, dan Cilacap), menyimpulkan bahwa : tingkat keberdayaan masyarakat nelayan di pesisir
selatan Cilacap relative
cukup tinggi jika dibandingkan dengan masyarakat nelayan di pesisir utara Rembang5. Penelitian lainnya, dilakukan M.Iqbal Hanafi, tentang Hubungan Modal social dengan Kemiskinan Masyarakat Nelayan di Desa Panimbang Jaya,Pandeglang”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat nelayan di Desa Panimbang Jaya memiliki karakteristik modal social cukup baik. Masuk katagori tinggi, kecuali pariabel partisipasi social masyarakat dalam komunitas, dan variable partisipasi diluar kelompok berada pada posisi rendah dan sedang. Sementara karakteristik
pada variable kemiskinan menunjukkan kondisi
kesejahteraan masyarakat, pada katagori sedang. Hasil korelasi menjelaskan bahwa korelasi yang signifikan dari sekian variable modal social adalah variable partisipasi dan keanggotaan kelompok diluar komunitas terhadap variable kemiskinan (korelasi,0,434 termasuk sedang). Dari hasil penelitian ini diperlukan peningkatan partisipasi nelayan terhadap keikut sertaan dalam partisipasi organisasi, untuk pemberdayaan kesejahteraan mereka6. Penelitian,Wawan Ruswanto, tentang Jaringan Produksi dan Distribusi Pemasaran Pada Komunitas
5 Lihat hasil penelitian Mudjahirin Tohir,dkk dengan tajuk, Kajian Tindak Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Yang Mandiri Dalam Mendukung Ketahanan dan Keamanan Pangan di Pesisir Utara dan Selatan Jawa Tengah. Penelitian ini merupakan Program Penelitian Hibah Kompetitif dari DIKTI tahun 2010, sumber artikel :htt://www.ippm.undip.ac.id/abstrak/content/view/638/288/ diakses, 09 Nopember 2011 6 Sumber : Hasil Penelitian M.Iqbal Hanafi, tentang Hubungan Modal Sosial dengan Kemiskinan Masyarakat Nelayan di Desa Panimbanh Jaya Pandeglang (2010), lihat di http://repository.ipb.ac.id/betstream/handle/123456789/12720/co9mih/aabstract.pdf/sequence=1, diakses 9 Nopember 2011.
14
Nelayan di Desa Pangandaran Ciamis menunjukkan bahwa, “Peningkatan usaha nelayan sangat tergantung dari peningkatan sistem produksi dan distribusi pemasaran. Hubungan social yang terjadi bersifat diagonal dan herarki, dimana komunitas nelayan diposisikan sebagai subordinat yang selalu tergantung dari pihak lain untuk mengembangkan diri dan usahanya7. Jika melihat dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, terlihat bahwa untuk pemberdayaan masyarakat nelayan tersebut, masih beragam. Diantara pendekatan yang digunakan permasalahan pemanfaatan media komunikasi dan TIK belum banayak di lakukan
penelitian.
Bahkan
pemberdayaan
masyarakat
nelayan
melalui
pemanfaatan media komunikasi dan TIK, di pesisir pantai selatan pulau Jawa belum pernah ada. Melihat posisi yang demikian, maka penelitian pemberdayaan masyarakat nelayan di pantai selatan pulau jawa, melalui pemanfaatan media komunikasi dan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) masih dianggap relevan dan memiliki signifikansi, baik secara substansi maupun ilmu pengetahuan.
Tujuan Penelitian Penelitian ini untuk menghasilkan sebuah perumusan rekomendasi yang berisi tingkatan katagorisasi pemberdayaan komunitas nelayan tradisional melalui diseminasi dan pemanfaatan TIK yang disesuaikan dengan kebutuhan nelayan. Kesesuaian antara karakter-karakter teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dengan kebutuhan nelayan yang memiliki tradisi social dan budaya local tersebut diasumsikan memiliki relasi yang signifikan, dalam konteks pemberdayaan komunitas nelayan tradisional. Artinya jika nilai tradisi nelayan itu dapat dikolaborasikan dengan teknologi yang telah disesuaikan tentu semakin cepat untuk mencapai titik sasaran yang menjadi target kebutuhan nelayan tentang teknologi. Dimana target pemberdayaan komunitas nelayan di wilayah pesisir pantai selatan Pulau Jawa ini adalah untuk menumbuhkan sikap kemandirian dalam konteks meningkatkan kesejahteraan para nelayan tradisional baik secara
7
Lihat Penelitian Wawan Ruswanto :Jaringan Produksi dan Distribusi Pemasaran pada Komunitas Nelayan di Desa Pangandaran Kecamatan Ciamis Kab Tasikmalaya Jawa Barat.
15
social,budaya, ekonomi dan teknologi, khususnya dibidang kelautan dan perikanan. Hasil pemetaan pola pemberdayaan nelayan tradisional melalui diseminasi dan pemanfaatan TIK ini dapat digunakan sebagai alternative pilihan untuk penentuan model literasi TIK melalui pelatihan dan lokakarya bagi komunitas nelayan tradisional, dalam konteks peningkatan produktivitas hasil tangkapan ikan untuk peningkatan perekonomian dan kesejahteraan mereka.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode “studi kasus”,dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini dipilih karena peneliti tidak mengukur hubungan antar variable yang di analisis secara statistic. Tetapi lebih melakukan pendalaman secara holistic dari setiap permasalahan
penelitian secara kasuistik. Studi kasus
merupakan kajian penelitian kualitatif yang dianggap paling rinci dari suatu latar belakang peristiwa tertentu (K.Yin,2006:46). Penelitian kualitatif disamping lebih memposisikan diri sebagai strategi penelitian, juga dapat digunakan untuk meneliti individu, organisasi dan kelompok komunitas tertentu (Bogdan,1990, Robson,1993, Ary,1982, dalam Idrus,2009:57). Studi kasus yang digunakan dalam penelitian ini bersifat tunggal yang menekankan pada pemahaman secara mendalam terhadap kasus yang sedang diteliti. Penelitian studi kasus juga untuk memahami
konstruk
fenomena
umum
dari
kasus
yang
bersangkutan
(Idrus,2009:58).
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi terfokus, dan wawancara mendalam dengan informan kunci yang terpilih di setiap lokasi penelitian. Teknik observasi dilakukan, karena peneliti ingin memahami konteks data dalam keseluruhan situasi social budaya dan ekonomi untuk memperoleh paradigma yang bersifat holistic. Peneliti dalam konteks ini mengobservasi semua obyek yang terkait dengan permasalahan penelitian. Semua pencatatan dibuat secermat mungkin, untuk di kombinasikan dengan data lain yang mempunyai korelasi baik secara langsung, maupun tidak langsung. Sedangkan 16
wawancara mendalam dengan informan terpilih, adalah untuk mendalami dan memahami semua permasalahan penelitian (hasil kombinasi observasi dengan realitas), yang sebenarnya.Wawancara mendalam juga digunakan sebagai verifikasi data kualitatif dari berbagai sumber untuk difokuskan pada klasifikasi tertentu. Pada sisi lain peneliti ingin memperoleh pengalaman langsung sehingga dapat digunakan pendekatan induktif untuk menganalisisnya, dimana tidak terpengaruh oleh pandangan sebelumnya. Unit analisis dalam penelitian ini adalah komunitas masyarakat nelayan tradisional.
Model Analisis Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah interaktif, yakni melakukan reduksi data kualitatif yang didapatkan dari dua model (observasi dan wawancara mendalam), penyajian data dan kemudian melakukan klarifikasi dan menarik kesimpulan (Milles M.B & AM.Haberman (1992). Model ini sudah banyak digunakan para peneliti kualitatif. Pengklasifikasian data penelitian diperlukan kecermatan, dan ketelitian agar mencerminkan realitas sebagaimana temuan original di masing masing lokasi penelitian.
Lokus Kegiatan Lokus penelitian ditentukan secara purposive, dengan pertimbangan bahwa setiap lokasi penelitian yang dipilih mempunyai potensi, tertentu yang telah di sesuaikan dengan persyaratan prosedur penelitian yang telah disepakati. Lokasi yang dipilih diantaranya, : (1). Masyarakat Nelayan di Pantai Pelabuhan Ratu,Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat (2). Masyarakat Nelayan di Pantai Pangandaran,Kabupaten Ciamis, Jawa Barat (3). Masyarakat Nelayan di Pantai Parangtritis Kabupaten Bantul, Yogyakarta (4). Masyarakat Nelayan Pantai Munjungan, Kabupaten Trenggalek Jawa Timur dan (5). Masyarakat Nelayan di Pantai Muncar,Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur. Lokus penelitian ini dipilih berdasarkan asumsi sebagai berikut : (a). Masyarakat nelayan di Pelabuhan Ratu, umumnya termasuk yang sudah maju, karena disamping kepemilikan insfrastruktur yang terkait dengan 17
konsep penangkapan ikan, banyak dukungan modal dari investor. Tetapi dibalik itu juga masih terdapat nelayan tradisional (obyek penelitian), yang masuk katagori nelayan miskin. Dimana pola kehidupan mereka sangat tergantung pada para tengkulak dan nelayan modern tersebut. (b). Masyarakat nelayan di Pangandaran kondisinya hampir mirip dengan Pelabuhan Ratu, tetapi kesenjangan antara nelayan yang memiliki modal, dengan nelayan tradisional sangat menonjol. Mereka tidak memiliki posisi nilai tawar terhadap kebijakan pasar, sehingga kondisinya cenderung sangat rentan pada kemiskinan structural yang memang sengaja di-biarkan oleh para tengulak dan nelayan yang sudah maju tersebut. (c). Masyarakat nelayan di Parangtritis,meski dekat dengan lokasi wisata tetapi kehidupan mereka masih tradisional. Secara ideology memiliki banyak kepercayaan mistis yang mereka hubungkan dengan sistem pencarian ikan ketika melaut. Secara ekonomi produk ikan di TPI Parangtritis banyak yang didrop dari luar, sehingga berpengaruh terhadap harga ikan hasil tangkapan nelayan local di wilayah tersebut. (d). Masyarakat nelayan tradisional di Munjungan,pola kehidupannya masih terbatas pada budaya tradisi lama dari pendahulu mereka. Nelayan tradisional di Munjungan belum banyak tersentuh teknologi, atau bantuan pelatihan untuk pengembangan kehidupan para nelayan tradisional tersebut. Padahal masyarakat nelayan di wilayah Munjungan baik secara ekonomi dan social memiliki potensi yang sama seperti nelayan di pantai Prigi jika dikembangkan dan di berdayakan. (e). Masyarakat nelayan tradisional di muncar, secara umum sudah banyak perkembangannya. Mereka berada diantara nelayan yang sudah modern dan memiliki pengetahuan luas tentang sistem penangkapan ikan. Namun demikian pola kehidupan nelayan tradisional tersebut tetap saja termarginalkan.
Secara umum nelayan tradisional di pesisir pantai selatan jawa, memiliki cirikhas yang sama. Meski mereka hidup berbaur dengan para nelayan yang sudah maju, karena keterbatasan mereka tetap saja berada pada klaster yang 18
marginal. Mereka mencari ikan ke laut semata mata untuk tujuan jangka pendek, yakni untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga mereka. Mereka melaut hanya berdasarkan nasib yang tidak menentu, kadang berhasil kadang tidak berhasil untuk mendapatkan ikan tangkapan. Meski mereka mengalami nasib yang buruk seperti apapun keluarga mereka di rumah tetap mengharapkan bisa makan semua. Kondisi inilah yang mencerminkan pola kehidupan nelayan tradisional di pantai selatan jawa, meski mereka berbaur dengan nelayan yang memiliki modal dan peralatan lengkap untuk melaut. Pola kehidupan nelayan tradisional tersebut menjadi dasar mengapa penelitian ini mengambil studi kasus di 5 (lima) tempat yang berbeda secara ekonomi, social dan budayanya. Meski kasus nelayan di 5 lokasi tersebut tidak bisa di generalisasikan, paling tidak didapatkan gambaran secara makro, bahwa pola kehidupan nelayan tradisional di pantai selatan jawa memiliki karakteristik yang hampir sama. Pada titik mana kelemahan tersebut menjadi simpul yang dianggap penting untuk diberdayakan melalui pengenalan dan diseminasi pemanfaatan TIK di komunitas mereka secara simultan.
Fokus Kegiatan Kegiatan penelitian ini di fokuskan untuk melakukan “identivikasi terhadap karakter-karakter teknologi (TIK) yang persesuaikan dengan tingkat kebutuhan nelayan tradisional di lokasi di penelitian”. Persesuaian antara karakter-karakter teknologi (TIK), dengan kebutuhan masyarakat nelayan tradisional inilah yang kemudian dirumuskan menjadi sebuah rekomendasi hasil penelitian untuk dijadikan pijakan dasar dalam melakukan pemberdayaan nelayan tradisional melalui pelatihan dan diseminasi TIK dalam bentuk lokakarya terfokus, bagi para “agen perubahan” yang direkomendasikan oleh komunitas nelayan tradisional dari masing-masing lokasi penelitian.
19
Bentuk Kegiatan Bentuk kegiatan pada termin pertama penelitian ini adalah pelaksanaan kegiatan administrasi (pembayaran honor, pembelian ATK, literatur, biaya rapat-rapat dan biaya perjalanan) pengumpulan data kualitatif yang dilakukan di empat lokasi penelitian, dari lima lokasi penelitian yang direncanakan. Sedangkan sisanya satu lokasi akan dilakukan pada termin kedua nanti.
Tahapan Pelaksanaan Kegiatan Pada tahapan ini disajikan data hasil penelitian dari 4 (empat) lokasi obyek penelitian lapangan yang dijadikan studi kasus di masing masing daerah, dari lima lokasi yang direncanakan. Hasil pengumpulan data penelitian di lapangan tersebut terdapat kesamaan, tetapi juga sebaliknya. Perbedaan data penelitian lebih disebabkan pada karakteristik, dan pola kehidupan social dan budaya yang berkembang di masing masing lokasi penelitian. Jika dilihat dari aspek teknologi formal diantara lima lokasi penelitian yang dipilih terdapat masyarakat nelayan yang sudah menggunakan teknologi, baru menggunakan teknologi, tetapi juga ada mereka yang belum mengenal dan memahami teknologi informasi dan kelautan. Namun jika dilihat dari aspek budaya teknologi sebenarnya diantara mereka telah menggunakan teknologi informasi meski masih dalam bentuk yang sederhana. Bahkan diantara para nelayan telah menggunakan teknologi, tetapi mereka sendiri tidak menyadarinya. Misalnya banyak nelayan tradisi yang menggunakan tanda-tanda alam untuk mengetahui kondisi laut dan posisi ikan. Tetapi banyak juga diantara nelayan tradisional yang menggunakan alat komunikasi telephone seluler saat melaut mencari ikan. Dari 5 (lima) lokasi obyek penelitian profil dan karakteristik masyarakat nelayannya memang bervariatif. Ada lokasi obyek penelitian yang masyarakat nelayannya secara umum telah maju seperti di Kecamatan Pelabuhan Ratu Jawa Barat. Tetapi di wilayah tersebut nelayan tradisional yang miskin juga masih banyak. Kondisinya berbeda dengan nelayan di Kecamatan Munjungan Trenggalek Jawa Timur, di Parangtritis,Kecamatan Kretek, Bantul, Yogyakarta, dan Muncar Banyuwangi. Sedangkan yang hampir mirip dengan 20
Kecamatan Pelabuhan Ratu adalah Pangandaran Ciamis, Jawa Barat. Diantara keragaman karakteristik komunitas nelayan yang menjadi obyek penelitian ini, lebih di fokuskan pada nelayan tradisinal yang dikatagorikan marginal di komunitasnya. Dari klasifikasi tersebut yang menjadi titik perhatian penelitian adalah pemanfaatan TIK dari yang paling sederhana.
Kumpulan data dari
beberapa lokasi tersebut di sajikan secara diskriptif sebagai berikut.
Kasus Nelayan Tradisional di Pelabuhan Ratu Sukabumi-Jawa Barat Kecamatan Pelabuhan Ratu berada sekitar 56 Km disebelah tengara Kota Sukabumi, jika ditempuh dengan transfortasi darat (bus) sekitar 1,5-2 jam lamanya dari Sukabumi. Fostur jalan naik turun dan berliku-liku, meski telah diaspal tetapi banyak yang rusak dan berlubang-lubang. Sedangkan bus angkutan umum yang beroperasi masuk kapasitas bus ukuran kecil, dengan tariff Rp.25.000, dari Termimal Bus Barunang Siang Bogor ke-Pelabuhan Ratu. Secara umum Kecamatan Pelabuhan Ratu oleh masyarakat setempat disebut kota metropolitan kecil, karena Kantor Pemerintahan Kabupaten dan jajarannya banyak yang berdomisili di Kecamatan tersebut. Hanya sebagian kecil saja instansi pemerintah Kabupaten yang berkantor di kota lama, termasuk Kantor Dinas Perhubungan dan Komunikasi Kabupaten Sukabumi.
Kini Palabuhan
Ratu dijadikan kawasan minapolitan dalam ruang lingkup nasional. Atas dasar instruksi Bupati Sukabumi, Sukmawijaya proses terwujudnya minapolitan di Pelabuhan Ratu yang mengintegrasikan beberapa instansi dan berbagai pihak mulai terwujud. Sebagai kawasan yang berbatasan langsung dengan laut dan mayoritas penduduknya berprofesi sebagai nelayan, maka konsep yang diterapkan di kawasan tersebut, adalah menapolitan berbasis perikanan. Disamping itu yang menjadi pertimbangann dasar potensi yang dimiliki oleh kawasan ini, khususnya yang terkait dengan kapabilitas sumber daya laut serta aspek-aspek yang terkait. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Perikanan Kabupaten Sukabumi (27/3), terdapat beberapa potensi 21
perikanan tangkap yang mendukung pengembangan konsep minapolitan di kawasan Pelabuhan Ratu seperti panjang garis pantai di wilayah ini yang mencapai hingga 117 km dengan sembilan kecamatan yang terletak dikawasan pesisir dengan wilayah penangkapan ikan fishing ground seluas 702 km2. Selain itu, potensi sumber daya ikan di Palabuhan Ratu sendiri yang mencapai 14.592 ton per tahunnya. Kawasan Palabuhan Ratu juga memiliki beberapa komoditas unggulan seperti tuna, cakalang, layur, tongkol, dan lobster dengan produktivitas hasil tangkapan sekitar,14.592 ton ikan segar/tahun. Nelayan di kawasan ini mencapai 12.368 orang, yang sekaligus menjadi aset untuk mengembangkan kawasan minapolitan. Potensi sumber daya ikan dan ketersediaan sumber daya manusia (nelayan) tersebut juga didukung dengan tersedianya fasilitas pendukung seperti Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) sebanyak satu unit, PPI Pusat Pendaratan Ikan satu unit, dan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) sebanyak 5 (lima) unit.
Jika dilihat dari segi jenis armada penangkapan ikan, terdapat, perahu tanpa motor (congkreng) sebanyak 75 unit, perahu motor 845 unit, dan kapal motor sebanyak 280 unit. Hasil tangkapan ikan para nelayan tidak seluruhnya dijual dalam kondisi mentah, ada sebagian yang diproduksi menjadi bahan olahan. Walaupun industri pengolahan tidak ditekankan di kawasan Palabuhan Ratu karena kebanyakan tangkapan ikan mentah langsung di perjualbelikan di masing masing TPI. Berdasarkan data yang diperoleh, RTP rumah tangga perikanan, pengolah ikan tercatat sebanyak 1.457 orang. Selain itu, terdapat pula enam unit PT yang melakukan pengolahan terhadap hasil tangkapan ikan segar, termasuk koperasi. Koperasi ini oleh nelayan dianggap penting sebagai fasilitas pendukung potensi perikanan tangkap di kawasan Palabuhan Ratu. Hal ini ditunjukkan dengan keberadaan 38 KUB Koperasi Usaha Bersama pengolahan, 116 KUB perikanan tangkap, dan 31 KUB budidaya. Keseluruhan potensi perikanan tangkap di atas sebagai prasyarat kriteria untuk menjadikan kawasan Pelabuhan Ratu sebagai menapolitan, di Indonesia.
22
Konsep Menapolitan Minapolitan bukanlah sesuatu yang baru, hanya sebatas menjadikan sistem yang telah ada sebelumnya lebih terkoordinasi dan lebih tertata. Menurut (Tendy,27/3), di kawasan Palabuhan Ratu ini, Minapolitan dipandang sebagai pembentukan sistem yang lebih terkoordinasi dengan mengintegrasikan pihakpihak seperti dinas pekerjaan umum, dinas kesehatan, dinas perdagangan, dinas pendidikan, dan pihak yang terkait lainnya guna mendukung terwujudnya pengembangan sektor perikanan. Pengintegrasian yang dimaksud dimisalkan dengan adanya koordinasi dengan dinas pekerjaan umum untuk melakukan perbaikan maupun pembangunan jalan sebagai akses pendukung. Dalam hal kelancaran
pendistribusian
hasil
perikanan,
penyediaan
fasilitas
untuk
memudahkan perdagangan hasil tangkapan oleh departemen perdagangan, maupun fasilitas kesehatan untuk para nelayan dari dinas kesehatan setempat serta yang tak kalah pentingnya adalah fasilitas pendidikan bagi para keluarga nelayan di kawasan Minapolitan. “Sebenarnya untuk kegiatan tidak ada yang istimewa,. Perbedaan hanya terletak pada adanya koordinasi dan keterpaduan antara masing-masing bagian yang berkepentingan sehingga tumpang tindih yang dulu sering terjadi diharapkan tidak terjadi lagi dengan adanya Minapolitan ini,” Meski telah menjadi menapolitan nelayan tradisional, tetap saja tidak memiliki nilai tawar dalam bertransaksi hasil tangkapannya. Jika dilihat secara formal nelayan di Pelabuhan Ratu terdapat dua katagori. Pertama nelayan tradisional yang tidak berdaya, dan kedua nelayan klas menengah yang menggunakan teknologi dan berperilaku modern. Nelayan tradisional termasuk katagori nelayan miskin yang operasionalnya hanya menggunakan peralatan sekedarnya. Misalnya nelayan pengguna perahu “congkreng” bekal minim dan modal sangat terbatas.Kelompok mereka ini ketika melaut lebih mengandalkan, penggunaan tanda-tanda alam yang mereka dapatkan dari pewaris sebelum mereka. Keterbatasan pengetahuan dan pengalaman itu mengakibatkan kelompok mereka tidak memiliki nilai tawar terhadap para tengkulak, yang mengatur harga pasar ikan segar hasil tangkapan nelayan. 23
Nelayan dengan perahu congkreng ini, menurut pengakuan mereka berangkat subuh, sekitar pukul 04.00 wib, dan kembali kedarat sekitar pukul 16.00-18.00 wib. Persiapan yang mereka lakukan ketika berangkat melaut juga tidak berlebihan,yakni bekal makanan dan minuman sekedarnya, rokok, kopi, lampu minyak, bahan bakar untuk operasional, serta alat komunikasi berupa hp bagi punya, dan radio transitor kecil. Begitu sampai ke darat mereka langsung menuju tempat pelelangan ikan (TPI), disana sudah ada tengkulak yang menunggu dan langsung membelinya. TPI secara formal memang tempat pelelangan ikan dari hasil tangkapan nelayan. Tetapi dalam praktiknya TPI lebih banyak dikuasai oleh tengkulak, broker dan pemilik modal yang memiliki pabrik pengolahan ikan. Di tempat pelelangan ikan secara kasat mata ikan hasil tangkapan nelayan tradisinal memang ditimbang, tetapi tidak dilelang di TPI tersebut. Ikan hasil tangkapan nelayan tradisional itu setelah tiba di TPI ditimbang beratnya langsung di beli oleh tengkulak ditempat itu. Pada posisi tersebut mereka yang mengatur dan menentukan harga pasar ikan saat itu. Berapapun harga ikan asil tangkapan yang ditentukan oleh tengkulak, nelayan tidak bisa protes dan menawarkannya. Sistem seperti itu telah membudaya di komunitas masyarakat nelayan tradisional, disemua lokasi penelitian.
Adopsi TIK di Komunitas Nelayan Tradisional Bagi nelayan yang membawa hp bisa berkomunikasi langsung sewaktu waktu dengan keluarga, sepanjang masih berada pada 20 mil pantai. Selebihnya komunikasi dengan hp tidak bisa digunakan, karena frekuensinya lenyap. Ketika melaut nelayan tradisional tidak diperlengkapi peralatan keamanan seperti pelampung,tabung penyelam, kompas, GPS dan lainnya. Mereka tidak menggunakannya bukan karena menolak, tetapi peralatan tersebut mereka anggap mahal jika harus membelinya sendiri. Pada hal peralatan tersebut seharusnya wajib mereka miliki karena fungsinya sangat penting ketika terjadi bencana di tengah lautan. Mereka membutuhkan teknologi dan peralatan wajib untuk persyaratan miniman melaut. Mereka juga mengaku faham betul akan pentingnya peralatan teknologi itu. Tetapi di benak nelayan tradisional,kebutuhan 24
vital dari seorang nelayan yang senantiasa menghadapi bahaya (risk) sewaktu waktu di laut, masih belum mereka kalkulasikan dalam perhitungan biaya resiko yang sebenarnya. Bahkan diantara mereka masih mengganggapnya sebagai beban ekonomi. Antara karakter teknologi, dengan konstruksi social, budaya dan ekonomi yang telah tersesuaikan di komunitas nelayan tradisional di Pelabuhan Ratu terbagi menjadi dua katagori sbb : Tabel: 1 Pemanfaatan TIK Nelayan Tradisional Di Pelabuhan Ratu No 01
Katagorisasi Nelayan tradisional, komunitas “perahu congkreng” dan mesin tempel
Karakter TIK Hp, HT, Radio, Kompas, pelampung, GPS
02
Nelayan klas menegah ke-atas, pengguna perahu dg peralatan modern
Radio komunikasi, alat pendeteksi ikan dengan sistem pengindraan jarak jauh melalui satelit
Jenis Pelatihan Pemahaman tentang penggunaan alat navigasi dan komunikasi yang mendukung keselamatan nelayan tradisional di laut Pemahaman dan praktikum penggunaan peralatan pendeteksi ikan dg pengindraan jarak jauh melalui satelit
Sumber : Data TPI Pelabuhan Ratu 2011, diolah
Nelayan tradisional di Pelabuhan Ratu yang tergabung dalam komunitas “perahu congkreng” ini ketika melaut seperti gambling untuk mendapatkan tangkapan ikan. Jika nasibnya baik mereka mendapatkan ikan, tetapi jika nasibnya buruk mereka sering kembali kedarat tidak mendapat hasil tangkapan ikan. Jika sudah demikian mereka harus meminjam uang pada tengkulak untuk kebutuhan ekonomi keluarganya. Kondisi yang sama terjadi ketika musim barat dan gelombang pasang seperti saat di lakukan penelitian ini.
Pemberdayaan Nelayan Menurut Tendy (27/3) nelayan di Pelabuhan Ratu pernah mendapatkan pelatihan TIK dari Kementerian Kelautan, tetapi hanya bersifat parsial. Setelah pelatihan itu tidak ada evaluasi tindakan selanjutnya. Teknologi bagi nelayan 25
dapat dilihat dari dua aspek, yaitu sebagai alat tangkap/ sarana penangkapan ikan, dan penerapan teknologi terhadap kegiatan yang menunjang penangkapan ikan. Nelayan tradisional selama ini hanya membaca bintang dan fenomena alam ketika menangkap ikan. Kebiasaan tersebut sudah diwarisi secara turun temurun, oleh pendahulunya. Tetapi dari waktu ke waktu fenomena alam itu cenderung unpredictable sehingga sulit mengandalkan kebiasaan tersebut. Nelayan tradisional di Pelabuhan Ratu terbagi menjadi dua, yaitu: (a). Nelayan tradisional dengan perahu berbobot dibawah 5 Gross Ton (GP) atau biasa disebut dengan “perahu congkreng,” yang memiliki daya jangkau hanya di sekitar teluk Pelabuhan Ratu. (b). Nelayan dengan perahu berbobot antara 5 GP –30 GP yang memiliki daya jangkau di luar teluk Pelabuhan Ratu. Teknologi yang digunakan untuk kedua jenis nelayan tersebut agak berbeda. Teknologi apa yang cocok digunakan untuk nelayan dengan perahu berbobot antara 5 GP – 30 GP, diantaranya : (a). Alat navigasi, : masih banyak nelayan tradisional di Pelabuhan Ratu yang tidak bisa membaca kompas. Bahkan mereka juga sulit mengingat bahkan bingung dengan jarak 1 mill dan 1 km ketika mereka berada di laut mencari iakan dengan perahu congkreng itu. (b). Peta laut yang telah komputerisasi : peta laut yang dimiliki nelayan saat ini sudah tidak memadai (kompatibel), sehingga sulit diandalkan akurasinya. (b). Penggunaan radio telekomunikasi antara laut dan darat sangat penting, tetapi masih belum dibudayakan oleh nelayan tradisional pada umumnya. (c). Sounder atau fish finder (alat pendeteksi ikan) yang belum mereka miliki, dengan alat ini mereka bisa mendeteksi posisi ikan di laut bagian mana, yang akhirnya dapat di lakukan operasi penengkapan ikan di area tersebut, bukan gambling seperti sekarang ini. (d).Electro fish atau alat pemanggil ikan. (e). Sistem pengindraan jarak jauh. (f). Global Positioning System (GPS).
Sedangkan teknologi yang cocok digunakan untuk nelayan
dengan perahu berbobot dibawah 5 GP, diantaranya: (a). GPS, (b). Fish Finder, (b). Alat bantu penangkapan seperti rumpon, terumbu karang, atraktor.
26
Pembacaan bintang dan arah angin bagi nelayan tradisional sudah tidak bisa diandalkan lagi. Mereka (nelayan tradisional) hanya menghabiskan solar untuk mencari ikan bukan menangkap ikan. Teknologi dapat membantu mereka menangkap ikan dengan efektif dan cepat. Dengan menggunakan teknologi petugas didarat memberikan informasi kepada nelayan tentang titik koordinat posisi ikan di laut. Ikan itu ada di permukaan atas atau di permukaan dalam (contohnya ikan tuna). Informasi tersebut didapat dari hasil pengindraan satelit oleh LAPAN. Nelayan dengan GPS-nya langsung mengunci titik koordinat dimana ikan tuna berkumpul tersebut. Ketika sudah berada di lokasi, nelayan mengkomunikasikan hasil tangkapannya ke petugas darat dan petugas darat langsung dapat memeriksa stok ikan. Bila stok ikan tidak ada, maka harga ikan bisa mahal dan nelayan bisa segera kembali ke darat. Bila stok ikan masih banyak, maka petugas darat bisa memberitahukan nelayan untuk tidak segera kembali ke darat karena harga ikan tidak naik. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten selama ini memberikan bantuan bersifat parsial, seperti memberikan GPS atau fish finder, sebenarnya nelayan butuh yang lengkap. Kemkominfo bisa membantu para nelayan dengan cara menyediakan TV besar yang isinya bukan sinetron, tetapi menyiarkan update pengindraan satelit oleh LAPAN di TPI Pelabuhan Ratu.
Dengan
demikian menurut Tendy (27/3) para nelayan di Pelabuhan Ratu bisa mendapatkan informasi secara cepat tentang posisi ikan.
Di-Kabupaten Sukabumi terdapat 117 km garis pantai, dan 3000-an nelayan tradisional yang menggunakan perahu jenis congkreng, dimana hampir semuanya tidak memiliki GPS, dan alat keselamatan lainnya. Masyarakat nelayan masih belum menyadari arti keselamatan dilaut seperti penggunaan baju pelampung, tabung oksigen dan lainnya. Kesadaran nelayan memakai baju pelampung tampak masih rendah dan perlu sosialisasi. Jika memiliki pelampung itu artinya mereka harus mengeluarkan biaya sekitar 100.000-an/satuannya. Biaya keselamatan seperti itu masih mereka anggap sebagai beban bukan sebagai kuwajiban bagi seorang nelayan yang sewaktu-waktu menghadapi 27
bencana yang tidak terduga di laut. Menurut Tendy (27/3) bagaimana forum di berbagai masyarakat nelayan itu bisa mengubah paradigma para nelayan tradisional tersebut menjadi lebih modern dengan mengadopsi teknologi dan sistem manajerial usaha. Wawasan manajerial usaha bagi para nelayan pengguna perahu congkreng ini masih sangat rendah, padahal mereka bisa saja membeli berbagai peralatan keselamatan kerja di laut itu di Koperasi Nelayan dengan cara mengangsur setiap bulannya agar tidak memberatkan dirinya. Selama ini bantuan apapun dari pemerintah untuk masyarakat nelayan cenderung bersifat parsial, dan tidak berkelanjutan. Misalnya pelatihan hanya dilakukan sekali dalam setahun dengan materi yang berbeda-beda. Model ini menurut mereka menyebabkan pengetahuan nelayan menjadi setengahsetengah. Mau mereka pelatihan itu lebih komprehensif dan terfokus pada bidangnya masing-masing, sehingga efektif. Pelatihan yang sama juga dibutuhkan untuk pengelolaan hasil tangkapan ikan yang tidak habis dipasarkan. Ketika produksi ikan melimpah maka harga ikan di tingkat nelayan sangat rendah. Para nelayan banyak yang menjadi bingung mau diapakan hasil tangkapannya, mau dijual harga rendah, mau disimpan busuk karena tidak memiliki Cold Storage. Solusi secara cepat perlu
ada usaha mandiri dari
kelompok nelayan itu sendiri yang mengolah bahan baku ikan segar hasil tangkapan para nelayan setempat. Misalnya ikan segar hasil tangkapan nelayan itu bisa dibuat krupuk ikan, abon ikan,tepung ikan atau berbagai jenis kuliner yang bisa dikelola oleh kelompok nelayan setempat. Bukan di produksi secara masal oleh perusahaan besar yang memanfaatkan jasa masyarakat nelayan tradisional. Pada saat ini kelebihan ikan hasil tangkapan nelayan tradisional di Pelabuhan Ratu memang diserap oleh industri. Mereka dapat menekan harga pasar ikan segar dari nelayan sehingga menguntungkan pengusaha industry. Apalagi program Kementerian Perikanan dan Kelautan sekarang lebih mengarah
pada
industrialisasi. Memang jika dilihat secara makro Pemerintah Kabupaten Sukabumi dengan adanya investasi Industri pengolahan ikan segar tersebut meresa diuntungkan. Tetapi masyarakat nelayan tradisional tetap saja miskin 28
sepanjang waktu. Mereka tidak mempunyai nilai tawar untuk melakukan bargaining position untuk menentukan harga pasar, demi meningkatkan kesejahteraan komunitasnya. Mereka tetap saja hidup termarginalkan, di antara kelompok nelayan lain yang sudah modern. Teknologi bagi komunitas nelayan pengguna perahu congkreng ini tidak sampai ke-promosi hasil tangkapannya. Pihak HNSI saat ini juga belum memiliki website sendiri. Website Pemerintah Kabupaten Sukabumi di Pelabuhan Ratu juga tidak update informasinya. Pusat informasi yang ada di Pelabuhan Ratu hanya sebatas pemasaran pariwisata atau disebut juga dengan Tourist Information Center (TIC). Jadi belum ada pusat informasi soal nelayan yang bisa diakses public secara umum. Padahal tanggal 5-6 April, tahun 2012 ini diselenggarakan pesta nelayan yang bertajuk “Hari Nelayan ke-52 di Pelabuhan Ratu”. Ini merupakan event yang juga bisa menarik kunjungan wisatawan. Hari nelayan belum menasional, hanya ada di Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi saja. Mereka juga ingin ada hari Nelayan secara Nasional agar profesi nelayan ini tidak dipandang buangan dan termarginalisasi diantara profesi lainnya. Tidak seperti di jepang, orang bangga menjadi nelayan. Di negara tersebut profesi nelayan sangat dihormati. Bagi mereka nelayanlah yang menghasilkan makanan pokok seperti ikan (Tendy,27/3/2012).
Kondisi Nelayan Tradisional Nelayan tradisional di Pelabuhan Ratu terbagi menjadi dua, yaitu nelayan pekerja dan nelayan buruh. Nelayan pekerja adalah mereka yang memiliki kapal sendiri, nangkap ikan sendiri dan menjualnya sendiri. Sementara nelayan buruh adalah mereka yang bekerja di kapal milik orang lain. Nelayan buruh hanya menerima upah dari pemilik kapal, dimana besarnya upah yang diterima buruh tidak tetap. Upah nelayan buruh tergantung dari akumulasi hasil tangkapan ikan yang dijual pada hari itu. Nelayan buruh nasibnya lebih parah lagi jika dibandingkan dengan nelayan tradisional pemilik perahu. Secara realitas profesi nelayan di Pelabuhan Ratu bukan sesuatu yang mereka anggap baku. Disamping sebagai nelayan mereka rata rata juga memiliki profesi lain. Profesi 29
sampingan itu mereka lakukan ketika musim angin, atau ada hal lain yang menyebabkan ereka tidak bisa melaut. Pekerjaan sampingan itu misalnya sebagai,petani, buruh bangunan, tukang kayu, ngojek dan lainnya. Pekerjaan sampingan itu dikerjakan oleh nelayan pekerja maupun nelayan buruh. Mereka mengaku melakukan pekerjaan sampingan hanya untuk menutup kebutuhan ekonomi rumah tangga. Setiap hari mereka perlu uang untuk makan keluarga, meski tidak menangkap ikan kebutuhan sehari-hari mereka tidak bisa di hentikan. Di Kabupaten Sukabumi, khususnya Pelabuhan Ratu terdapat sekitar 14.000-an nelayan tradisional dari populasi penduduk sekitar 2.000.000-an8. Mereka berbaur dengan sesame lelayan lainnya, hanya saja yang membeda kannya jenis perahu yang mereka gunakan untuk menangkap ikan. Nelayan tradisional menggunakan perahu congkreng.
Simpulan Dilihat secara umum masyarakat nelayan di Pelebuhan Ratu, Sukabumi, sudah termasuk katagorisasi nelayan yang maju dan modern. Tetapi dari populasi tersebut masih banyak diantaranya yang masuk katagori nelayan tradisional miskin. Meski secara fisik mereka dapat hudup berbaur dalam satu dermaga/ pelabuhan secara ekonomi tidak bisa disatukan. Nelayan tradisional memiliki cirikhas kehidupan yang sangat terbatas dan secara ekonomi tertekan oleh hingar bingarnya persaingan ketat diantara nelayan yang sudah mapan di lokasi penelitian tersebut. Artinya baik secara ekonomi, social, dan teknologi nelayan tradisional pengguna perahu congkreng menempati predikat yang marginal. Sedangkan jika dilihat dari pengklasifikasian berdasarkan katagorisasi konsep penelitian, dengan model SCOT, terlihat bahwa antara jenis karakter teknologi dengan kebutuhan nelayan tradiaional yang terkonstruksi secara social, ekonomi dan budaya lebih terfokus pada jenis teknologi yang relative umum dan sederhana. Misalnya kebutuhan tentang pemanfaatan alat teknologi dan komunikasi seperti
Hp, HT, Radio, Kompas, pelampung, GPS. Dari
8
Hasil wawancara mendalam dengan Tendy Sudama, Ketua HNSI Kabupaten Sukabumi di TPI Pelabuhan Ratu pada tanggal, 27 Maret 2012.
30
konstrusi tersebut yang perlu disoaialisasikan adalah bagaimana semua peralatan
itu
bisa
dibudayakan
pemanfaatannya
secara
optimal
untuk
menunjang kegiatan operasional nelayan tradisional dalam bekerja sebagai pencari dan penangkap ikan di laut.
Kasus Nelayan Tradisional di Munjungan Trenggalek- Jawa Timur Kecamatan Munjungan terletak di 46 Km selatan kota Trenggalek. Kota Kecamatan yang berada di pesisir pantai selatan itu jika ditempuh dengan perjalanan darat dari kota Trenggalek dengan kendaraan bermotor, atau mobil memakan waktu sekitar 1,5 sampai 2 jam dalam cuaca normal. Transportasi jalan darat sampai Kecamatan Kampak memang relative baik. Tetapi begitu masuk perbatasan dengan Kecamatan Munjungan atau Kecamatan Panggul sebagian besar jalannya naik turun dan berliku-liku, dengan kondisi rusak berat. Maka tidak semua kendaraan berani lewat menuju Kecamatan Munjungan, terlebih lagi jika cuaca hujan deras. Hanya orang Kampak dan munjungan yang (terbiasa) berani membawa mobil lewat jalan hantu tersebut. Sementara satu satunya angkutan umum adalah berupa mobil bak terbuka, untuk penumpang (orang) dan barang. Jika muatan tidak banyak penumpang bisa duduk di bak mobil terbuka itu. Tetapi jika penumpang banyak kita harus rela berdiri dari Munjungan sampai Kecamatan Kampak. Jika kondisi hujan tidak ada kendaraan yang berani lewat di jalur tersebut,karena disamping rawan longsor, tekstur jalan naik turun yang tinggal pondasi bebatuan tajam itu sangat membahayakan. Kondisi insfrastruktur, dan sarana transfortasi inilah yang menyebabkan Munjungan sebagai daerah nelayan, dan wisata terisolir dari Kota Trenggalek. Posisi Kecamatan Munjungan persis berada di kaki bukit Pegunungan Kidul. Wilayahnya merupakan dataran rendah menghadap ke pantai selatan. Masyarakat Munjungan,mempunyai mata pencaharian yang bervariatif. Sebagian diantara mereka menjadi petani sawah dan ladang kering dengan tanaman padi,palawija,kebun kelapa,cengkeh dan lainnya. Sedangkan 31
yang berdomisili di sekitar pesisir pantai mereka menjadi nelayan tradisional, yang sudah turun tumurun. Misalnya dari 11 desa di Kecamatan Munjungan, sebanyak 7 desa diantaranya merupakan desa pantai. Desa pantai tersebut memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi daesa wisata dan nelayan, tetapi belum digarap secara optimal oleh Pemerintah Kabupaten trenggalek. Akibatnya Munjungan menjadi salah satu Kecamatan di Kabupaten trenggalek yang terisolir. “Menurut Sulih (21/3) saya sudah sering meminta kepada Bupati Trenggalek agar jalan darat yang menghubungkan Kecamatan Kampak dengan Kecamatan Munjungan di perbaiki,sesuai dengan janjinya saat kampanye di Munjungan 2 th lalu. Tetapi permintaan warga masyarakat Munjungan itu tidak pernah terealisasikan. Maka ketika bupati Trenggalek Mulyadi (2011) berkunjung kerja ke Kecamatan Munjungan disandra oleh warga masyarakat. Warga masyarakat Munjungan menuntut agar jalan darat Kampak-Munjungan segera di perbaiki. Setelah Bupati menanda tangani kesanggupannya membangun jalan tersebut baru di lepas oleh warga. Tetapi apa yang telah menjadi kesanggupan Bupati dengan warga Munjungan itu tidak semuanya di realisasikan. Hingga penelitian ini dilaksanakan aspirasi masyarakat Munjungan terhadap kebijakan pemerintah Kabupaten Trenggalek terhadap pembangunan insfrastruktur jalan tersebut kurang respek”.9 Komunitas masyarakat nelayan tradisional keyakinan
di Munjungan memiliki
jika akses jalan satu-satunya dari Kecamatan Kampak menuju
Munjungan di lakukan perbaikan perekonomian masyarakat Munjungan akan lebih maju dan Munjungan tidak menjadi daerah terisolir seperti yang terjadi saat ini. Pada saat ini berbagai kelompok masyarakat sedang mencari solusi terbaik, bagaimana jalan utama yang rusak itu bisa segera diperbaiki, dan perekonomian masyarakat Munjungan bisa lebih baik lagi.
Pemberdayaan Nelayan Munjungan Menurut Suhartono (22/3) dalam beberapa tahun terakhir kebijakan untuk pengembangan nelayan di pantai Munjungan masih belum optimal. Kebijakan pembangunan insfrastruktur atas bantuan PNPM sejak tahun 2004 hanya 9
Sulih adalah seorang pekerja LSM yang tinggal di Desa Munjungan, ia mempunyai kepedulian terhadap lingkungan, khususnya masyarakat nelayan. Penampilannya nyentrik, tetapi pemikiran dan ide idenya kritis dan memiliki kepedulian yang cukup baik terhadap pemerintahan di desa kecamatannya.
32
difokuskan pada pembangunan jalan desa di Kecamatan Munjungan. Tetapi semua pembangunan insfrastruktur desa itu tidak ada yang bersentuhan dengan pengembangan fasilitas masyarakat nelayan. Umumnya masyarakat nelayan di Munjungan banyak yang berusaha secara mandiri, dan jarang mendapat bantuan dari Pemerintah Kabupaten, maupun Pemerintah Pusat. Banyak diantara bantuan jatuh ke nelayan Prigi, Kecamatan Watulimo yang sudah relative maju. Persoalan tersebut banyak dikeluhkan oleh sebagian besar masyarakat nelayan di Munjungan. Pada hal jika dilihat secara fisik pantai di pesisir Munjungan berpotensi untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata bahari dan komunitas masyarakat nelayan tradisional sebagai daya teriknya. Tetapi potensi itu belum tersentuh oleh para pengambil kebijakan di daerah. Selain sebagai pengembangan nelayan, pantai Munjungan juga berpotensi untuk pembudidayaan rumput laut, dan terumbu karang. Pemanfaatan lahan itu menurutnya dapat menopang kehidupan nelayan dimasa mendatang. Sebagai nelayan tradisional mereka bekerja hanya untuk memenuhi kehidupan keluarga mereka sehari hari. Artinya masih belum terpikirkan untuk mengembangkan hasil produksi ikan hasil tangkapan itu menjadi sebuah industry olahan tertentu. Menurut Sahwi (21/3), kelompok nelayan Munjungan pernah mendapatkan pelatihan TIK yang difokuskan pada pemahaman teknik dan pengetahuan. Tetapi karena tidak di tindak lanjuti dengan program lain yang strategis maka pelatihan TIK itu akhirnya tidak bermanfaat bagi kemajuan masyarakat nelayan tradisional di Munjungan. Pelatihan TIK bagi nelayan tradisional harus sesuai dengan yang dibutuhkan nelayan. Setelah nelayan mendapatkan pelatihan dan bersikap trampil, perlu diberikan subsidi bantuan apa yang dilatihkan.Masyarakat Nelayan itu berfikirnya sedarhana jadi jika sekiranya pelatihan tidak akan membawa manfaat secara dini lebih baik tidak usah dilatihkan.Praktisnya nelayan tidak perlu pengetahuan yang tinggi tinggi, tetapi yang mereka perlukan adalah alat penangkap ikan, dan alat pendetksi ikan.Katika nelayan pergi ke laut memiliki harapan yang pasti, tidak berjudi seperti sekarang. Begitu nelayan pergi melaut keluarga yang ditinggalkan dirumah menggantungkan apakah mendapatkan ikan yang cukup atau tidak 33
sama sekali. Jika terpaksa tidak mendapatkan ikan mereka tetap saja perlu makan keseharian dengan keluarga. Untuk mengatasi resiko seperti itu juga pernah dilakukan pelatihan ketrampilan pembuatan abon dari ikan terhadap KIM nelayan Munjungan. Tetapi karena keterbatasan modal usaha dan SDM akhirnya program tersebut terhambat perkembangannya. Ada sebagian kecil Ibu rumah tangga yang memproduksi abon ikan kecil-kecilan sebagai industry rumah tangga mereka, tetapi masalah pemasaran dan permodalan menjadi kendalanya. Jika dilihat dari sistem ke-organisasian nelayan tradisional di Munjungan telah membentuk kelompok-kelompok organisasi social yang solit. Kelompok itu mereka sebut “Rukun Nelayan”, yang tersebar di setiap desa nelayan di Kecamatan Munjungan. Fungsi kelompok ini adalah mengkoordinir para anggota nelayan tradisional di desanya, terhadap berbagai persoalan yang berkaitan dengan nelayan dan kemudian mendiskusikan berbagai permasalahan bersama kelompoknya.
Permasalahan kelompok nelayan di setiap Rukun Nelayan desa” di dibawa ke- tingkat Kecamatan pada setiap bulan, sambil dibarengi kegiatan arisan warga sebagai media untuk berkumpul bagi anggota nelayan. Secara realitas hal yang bersifat positif telah mereka jalankan, tetapi karena lokasinya terpencil, dan tidak ada agen perubahan yang menjadi tokoh kunci, serta berwawasan luas tentang masalah nelayan akhirnya kegiatan mereka hanya berkutat di Munjungan saja. Padahal dari hasil diskusi dengan peneliti organisasi dan kelompok nelayan sangat berharap hadirnya para tokoh yang dapat mendongkrak kemajuan mereka.
Proses dan Persiapan Melaut Hasil diskusi dengan para kelompok nelayan tradisional di Munjungan didapatkan informasi yang mereka butuhkan sejak dari persiapan melaut sampai kedarat kembali. Umumnya nelayan mencari informasi tentang cuaca sebelum melaut. Informasi itu bisa mereka dapatkan dari teman, perangkat Kecamatan yang mereka anggap memiliki pengetahuan tentang cuaca dan kondisi alam 34
disekitar Munjungan, atau menilphun humas BMKG. Disamping itu secara tradisional mereka juga membaca tanda tanda alam di sekitar mereka, seperti arah angin laut, rase bintang, besar kecilnya gelombang laut dan lainnya. Ketika informasi itu mereka anggap cukup, baru para kelompok nelayan tersebut berdiskusi untuk menganbil keputusan, berangkan melaut mencari ikan, atau tidak. Keputusan resokonya
diambil
mereka
berdasarkan
tanggung
bersama.
kesepakatan Setelah
kelompok,
keputusan
karena
kelompok,
menyatakan bahwa situasinya aman maka mereka melakukan persiapan untuk melaut. Persiapan awal dengan melihat kondisi perahu nelayan, mengecek kondisi mesin, di setiap perahu. Biasanya perahu ukuran besar diawaki 20 orang nelayan, sedangkan perahu ukuran kecil diawaki antara 5-10 orang nelayan. Selanjutnya menyapkan perbekalan makanan dan minuman (beras, air bersih, sayur mayur tahan lama, gula, kopi, teh, rokok dan alat memasak) untuk pelayaran lebih 2 semalam.
Persiapan makanan siap saji untuk pelayaran
semalam.
Disamping bekal bahan makanan, juga bahan bakar. Untuk mesin 10 Pk kurang lebih membutuhkan solar sekitar 10 liter/malam. Tetapi untuk ukuran mesin 16 cilinder membutuhkan solar sekitar 1 (asatu) drum/malam dengan harga sekitar Rp.1.000.000,-.Jika untuk melaut 3 malam tinggal mengalikan saja. Semua pengeluaran ditanggung bersama oleh semua kelompok, nanti hasil ikan tangkapan setelah terjual dan di kurangi biaya operasional dibagi semua kelompok. Model ini sebenarnya menurut Sahwi (21/3) tidak menguntungkan, karena di perahu ada yang rajin dan ada yang malas bekerja, sementara hasilnya dibagi sama. Tetapi yang mereka utamakan adalah unsur kekeluargaan dan kebersamaan atau kerukunan sesama nelayan. Komitmen itulah yang dikembangkan kelompok nelayan tradisional di Munjungan untuk menjaga solidaritas hubungan kekerabatan diantara nelayan.Begitu dapat ikan hasil tangkapan langsung mereka bawa ke TPI untuk di timbang dan langsung dijual pada pembeli. Proses jual beli ikan hasil tangkapan nelayan menurut Sahwi 35
(21/3) tidak melalui proses lelang sebagaimana mestinya. Tetapi begitu ikan ditimbang, diketahui jenis ikan dan harganya, langsung dibayar oleh tengkulak di TPI tersebut. Jadi TPI sudah berubah fungsi,yang semula diperuntukkan tempat pelelangan ikan hasil tangkapan nelayan, realitasnya sebagai tempat jual beli ikan antara nelayan dan tengkulak. Para tengkulak itu kemudian menjualnya di pasar-pasar tradisional, dengan harga yang lebih mahal.
Jika ada orang yang mau beli ikan langsung pada nelayan yang baru melaut, biasanya dihalang halangi oleh tengkulak. Jika nelayan menjual ikannya langsung kepada konsumen mendapat tekanan dari tengkulan, suatu saat ikannya tidak akan dibeli olehnya. Meski tidak terdokumentasikan secara formal, konvensi antara nelayan dan tengkulak tersebut sudah berjalan sejak lama. Tetapi jika di TPI Munjungan Perahu Nelayan tidak bisa berlabuh, karena ombak besar maka nelayan Munjungan terpaksa berlabuh di Pelabuhan Pantai Prigi, dan sekaligus menjual hasil tangkapan ikannya di TPI Prigi. Pelabuhan Prigi Kecamatan Watulimo memang fasilitas insfrastruktur pelabuhan lebih lengkap, dan modern disbanding Munjungan. Pelabuhan nelayan di Prigi cukup bagus dibangun tahun 2007-an.Di perlengkapi dengan pasar ikan,alat pendingin, serta pasilitas transfortasi yang cukup memadai. Daya tarik tersebut menyebabkan nelayan tradisional Munjungan banyak yang menjual hasil tangkapan ikannya di Prigi Watulimo. Kondisinya sangat berbeda jauh dengan Munjungan yang masih belum tersentuh kebijakan pembangunan secara optimal.
Adopsi TIK di Komunitas Nelayan Pada dasarnya nelayan di Munjungan telah menggunakan teknologi, meski masih sederhana. Ketika melaut mereka mengaku sering menggunakan alat komunikasi berupa telephone selular (hp). Mereka dapat berinteraksi langsung dengan keluarga, dan teman mereka di darat. Menurut Suyitno (21/3) hp bagi nelayan sangat penting, karena bisa mendapatkan informasi cuaca di laut, harga pasar ikan di TPI melalui sms. Penggunaan hp sudah mentradisi di kalangan nelayan tradisional di Munjungan. Meski daerah Munjungan terpencil di 36
kawasan pantai selatan yang dikitari pegunungan terjal akses internet sudah cukup baik, meski masih ada wilayah tertentu yang tidak bisa untuk mengaksesnya. Keluarga nelayan rata rata memiliki hap secara individu, alat komunikasi itu sudah menjadi kebutuhan mereka dalam kehidupan sehari hari. Mereka mengaku lebih baik ketinggalan dompet jika bepergian, dari pada hp.
Kesimpulan Wilayah Kecamatan Munjungan secara geografis dan ekonomis posisinya terisolir dari wilayah lain di Kabupaten Trenggalek. Kondisi yang menyebabkan lebih terfokus para sulitnya sarana trasnfortasi darat antara Kecamatan Kampak, masuk ke Munjungan. Kondisi tersebut baik secara langsung, maupun tidak langsung berpengaruh pada perekonomian masyarakat, termasuk komunitas masyarakat nelayan di wilayah tersebut. Implikasinya, secara ekonomi, social dan teknologi pola kehidupan masyarakat nelayan di Munjungan sangat rentan.Tetapi bagi mereka yang mempunyai pekerjaan sampingan seperti petani pemiliksawah, kebun, pedagang, pengusaha kondisinya lebih mapan dan baik. Pola kehidupan masyarakat tersebut berpengaruh pada pengembangan dan pemberdayaan
komunitas
masyarakat
nelayan
di
Munjungan
dalam
pemanfaatan teknologi. Dimana hp merupakan salah satunya teknologi yang banyak diadopsi oleh komunitas masyarakat nelayan.
Kasus Nelayan Tradisional di Parangtritis Bantul -Yogyakarta Kecamatan Kretek berada di ujung selatan Kabupaten Bantul memiliki luas wilayah 2.677 ha. Penduduknya sebagian besar sebagai petani dan nelayan. Di wilayah administrative kecamatan Kretek terdapat lima desa yaitu Donotirto, Parangteritis, Tirtomulyo, Tirtosari, Tirtohargo. Nama desa-desa tersebut diawali atau diahiri dengan kata tirto yang artinya air, yang menandakan wilayah pesisir. Untuk pembinaan masyarakat nelayan, Dinas Kelautan dan Perikanan Pemerintah Kabupeten Bantul menempatkan seorang 37
Petugas Teknis Kelautan dan Perikanan, yaitu sorang sarjana lulusan Univeritas Dipenogoro. Walaupun ia lulusan jurusan peternakan tapi ia mendalami masalah perikanan dan kelautan dan sudah delapan tahun berdinas di Kretek. Di wilayah desa Parangteritis terdapat dua tempat pelelangan ikan, yaitu di Depok, dan Mancingan. Di Depok selain terdapat TPI juga menjadi tempat wisata kuliner, dimana para wisatawan yang berkumjung ke sana bisa memilih ikan segar langsung, dimasak (dibakar) di area tersebut. Maka depok, dikenal masyarakat sebagai pantai kuliner. Tidak jarang wisata local, maupun wisata asing memenuhi lokasi kuliner tersebut pada hari minggu, atau setiap
hari liburan
panjang lainnya.
Kecamatan kretek memiliki fasilitas pendidikan Sekolah Dasar Negeri 12 buah, dan satu sekolah swasta. Selain itu juga memiliki Sekolah Tingkat Pertama Negeri sebanyak 2 sekolah dan sekolah SMP Islam satu sekolah. Bagi yang akan melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) tersedia satu sekolah negeri dan terdapat sekolah Menengah kejuruan swasta islam sebanyak dua sekolah. Bagi anggota masyarakat yang mengalami kelainan fisik dan mental terdapat stu sekolah Luar Biasa (SLB). Disamping sekolah juga memiliki 64 mesjid dan 27 surau. Parangtritis dikenal sebagai wilayah pariwisata pantai, walau sebenarnya ada tiga pantai, yaitu Depok, Parangtritis dan Parang Kusumo. Pada hari sabtu dan minggu dan hari libur terutama lokasi tersebut dipenuhi wisatawan. Ketika Hari minggu peneliti wawancara dengan nelayan ternyata pantai Depok dan Parangtritis sudah dipenuhi oleh wisatawan sejak pagi hari dan semakin siang semakin bertambah pengunjungnya,hal ini berbeda dengan harihari biasa. Berdasarkan demografis Kecamatan Kretek dihuni oleh 32.714 orang penduduk, dan 9.567 Kepala Keluarga. Laki-laki, 14.718 orang dan 16.996 orang perempuan. Masyarakat yang beragama Islam sebanyak 32.714 orang, beragama katolik sebanyak 30.786 orang, beragama Kristen Protestan 1.102 orang, Hindu 778 orang. Sedangkan penduduk yang menganut aliran kepercayaan terdapat 14 orang. Jika dilihat dari usia penduduk didapatkan data 38
sebagai berikut. Penduduk berusia, (0-6 th) sebanyak 2.970 orang, (7-12 th) sebanyak 2.433 orang, (13-24 th) sebanyak, 4.395 orang, (25-55 th) sebanyak 15.446 orang, (56-74 th) sebanyak 5.425 orang dan 75 tahun keatas sebanyak 726 orang. Mata pencaharian mereka sebagaian besar adalah petani sebanyak 9.286 orang dan nelayan sebanayak 177 0rang. Disampaing kedua mata pencaharian tersebut terdapat juga yang bekerja sebagai pengusaha/pedagang, buruh, peternak dan PNS. Walau mereka menjalankan profesi sebagai nelayan, tetapi umumnya mereka memiliki pekerjaan sampingan yaitu sebagai petani, buruh bangunan, pedagang, dan lainnya.
Perspektif nelayan menurut “nelayan Parangtritis”. Kehidupan nelayan di Desa Parangtritis berbeda dengan gambaran umum nelayan yang sering digambarkan media, tinggal di rumah kumuh, terbelit hutang oleh rentenir. Ketika lagi musim barat atau angin kencang yang memaksa tidak melaut mereka kesulitan untuk menyambung hidup, anak-anak tidak bisa menikmati kesempatan sekolah dan lainnya. Gambaran tersebut tidak terlihat di Parangtritis. Mereka tidak bergantung satu-satunya pada matapencaharian sebagai nelayan. Bahkan ketika peneliti mengajukan pertanyaan mana yang utama diantara nelayan atau petani, mereka tidak bisa menyebutkan yang utama, sebab keduanya memberikan arti untuk kehidupan mereka. Di kecamatan Kretek terdapat dua Tempat Pelelengan Ikan (TPI) yaitu TPI Depok dan Mancingan, Produksi hasil tangkapan ikan diwilayah tersebut tergolong kecil. Rata-rata setiap bulan di TPI Depok hanya menghasilkan 5/6 ton ikan segar, yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan lokal di daerah wisata koliner tersebut. Di wilayah tersebut ada wisata kuliner, dimana pengunjung bisa membeli langsung ikan hasil tangkapan dan diolah untuk dimakan oleh para pentunjung. Untuk memenuhi kebutuhan wisata kuliner dengan 60 warung tersebut terpaksa harus mendatangkan ikan segar dari Semarang dan Cilacap sebanyak 30 ton per bulan. Hasil tangkapan ikan di Parangtritis jenisnya bervareasi, muai dari Bawal, Layur, udang, sampai ikan teri. Ikan teri di pantai ini besar-besar selebar tiga ibu jari, namun memiliki duri yang besar-besar. Ikan teri 39
ini tidak banyak peminatnya dan kemudian diolah menjadi ikan asin dan kripik ikan. Sedangkan Ikan-ikan yang dikonsumsi masyarakat setempat diantaranya ikan bwal yang beratnya di bawah 5 ons, sedangkan yang beratnya diatasnya 5 ons dijual ke Surabaya. Selain itu juga terdapat ikan layur di jual ke wilayah lain. Bahkan ikan bawal yang besar dan berkualitas baik dibeli broker untuk diekspor. Umumnya perusahaan eksportir berada di kota Jogyakarta dan Semarang. Harga ikan diatas 5 ons paling murah yakni sekitar Rp 100.000/kg. Satu bulan masyarakat nelayan di Parangtritis rata-rata hanya mendapat tangkapan iklan, 10-15 kwintal. Tetapi jika mereka bisa mendapat ikan bawal pendapatan nelayan bisanya bisa mencapai sekitar
Rp 10.000.000
rupiah/
bulan. Menurut ketua Koperasi Mina Pendapatan mereka ketika musim ikan yang berlansung dari bulan April sampai dengan Agustus bisa mencapai Rp 2.000.000 per hari. Mereka menjaring ikan ditengah laut dengan menggunakan Kapal Mesin Tempel (KMT) yang hanya diawaki oleh dua atau tiga orang. Waktu melaut hanya terbatas pada pagi sampai siang hari, biasanya mereka berangkat subah dan kembali pkl 11.00- 13.00 wib. Dalam satu bulan tidak semua hari digunakan untuk melaut mencari ikan. Pada hari jumat dan selasa kliwon mereka umumnya istirahat tidak melaut. Mereka memiliki pepercayaan jika melaut pada hari tersebut akan mengalami musibah di laut. Mithos itu sudah berlangsung secara turun temurun dari pendahulu mereka. Mithos itu telah bergeser menjadi budaya, yang diyakini dan ditakuti oleh para nelayan di Parangtritis.
Sebenarnya menurut Ketua Kelompok
Nelayan para nelayan bisa balik lagi ke laut dan dimungkinkan mendapat ikan, tapi mereka beranggapan sudah cukup, dan mereka bisa melanjutkan perkerjaan diladang. Mereka bisa menanam padidisawan atau menanam bawang di ladang. Para Istri nelayan umumnya juga berusaha membuka warung di rumah atu di pasar tradisional. Secara ekonomis, mereka tidak perlu lagi susah payah mencari ikan kembali. Kelompok nelayan Mina Tirto hargo, memiliki kapal Perahu Mesin tempel juga dikenal sebagai nelayan eret, dimana mereka menebar
jaring dengan berenang. Sedangkan menurut Petugas Teknis
Kelautan dan Perikanan, nelayan di Parangtritis pernah mendapat bantuan dari 40
program PUMP (pengembangan usaha mina perdesaan). Melalui Program tersebut kelompok Nelayan yang disebut KUB, Pemerintah pusat memfasilitasi uang untuk dibelikan barang. Pada tahun 2011 dibelikan alat tangkap, dan untuk 2012 rencana akan dibelikan alat perbengkelan. Bantuan sebesar Rp. 100.000 per kelompok, yang jumlahnya bisa berbeda beda-beda. Alat tangkap tersebut dipinjamkan ke nelayan dan nelayan memberikan setoran kepada kelompok, dengan prosentase tertentu. Kelompok kemudian mengeoloalnya untuk dibelikan peralatan lain yang dibutuhkan, misalnya mesin kapal. Pemerintah sebenarnya mengarahkan agar nelayan tidak sekedar menjadi nelayan PMT (perahu motor tempel) tetapi menjadi nelayan dengan kapal besar. Namun masalahnya dermaga di Kretek tidak bisa disandari oleh kapal besar, 10 samapi 20 gt (grous ton). Keterbatasan dermaga ini menjadi kendala untuk mewujudkannnya. Pemerintah memberikan bantuan kapal 30 gt sehingga kapal tersebut bersandar di Sadeng, TPI di Kabupaten Gunung Kidul. Kapal itu dikenal sebagai kapal Pursesaine, dengan ABK sebanyak 25 orang. Tetapi kelompok Nelayan Mina Bahari 45 tidak mau memanfaatkan kapal tersebut dengan berbagai alasan. Pertama mereka memandang bepergian lima hari ke tengah laut terlalu lama meninggalkan keluarga mereka.
Pengahasilan yang diperoleh belum tentu dan ada waktu yang terbuang untuk
mengerjakan
lahan
pertanian.
Namun
kelompok
nelayan
Mina
Tirtohargo,memiliki pandangan yang berbeda dengan nelayan di Mina Bahari, menurut mereka secara logika jika bernagkat ke laut dengan peralatan yang canggih dan modal cukup banyak maka hasilnya pun akan lebih baik lagi. Saat ini mereka sedang mempersiapkan untuk menjalankan kapal tersebut. Pihak pemerintah berharap agar nelayan di Parangtritis beralih dari penggunaan Perahu Mesin tempel dan jaring eret ke Kapal-kapal yang memiliki bobot tonase (10–20,GT) dan bahkan lebih dari itu. Namun demikian para nelayan tampakanya sebagian besar masih memandang menjadi nelayan adalah sampingan untuk mengisi kekosongan waktu ketika masa menunggu antara musim tanam dan penen di lahan pertanian mereka. Dari aspek eknomi 41
kehidupan mereka sudah cukup lumayan baik, rumah-rumah mereka rata-rata permanen.
Mereka
bisa
menyekolahkan
anak-anak
mereka
ke-jenjang
pendidikan tinggi. Hal itulah yang memerlemah upaya meingkatkan profesi nelayan dan harapan pemerintah tanpaknya masih menunggu perubahan pandangan mereka.Artinya nelayan belum mereka anggap sebagai sebuah profesi yang harus dikembangkan kualitasnya. Nelayan di Parangtritis masih bersikap ambivalensi, antara sebagai petani dan nelayan. Tetapi secara kasat mata mereka cenderung lebih memilih berprofesi sebagai petani.
Teknologi Yang di Gunakan Nelayan. Masyarakat Nelayan di Depok dan Pancingan masih mengandalkan feeling atau berdasarkan tanda-tanda alam, seperti arah angin dan arah palung (alirah air), jenis buih, arus gelombang dan lainnya. Seperti Ikan bawal menurut pengalaman mereka biasanya bergerak dari arah barat ketika angin bertiup dari timur, ikan bawal itu melawan arus untuk memakan makanan yang dibawa oleh arus dari timur. Untuk membaca arah ketika melaut mereka cukup menggunakan tanda-tanda alam. Mereka sudah biasa dengan teknologi tradisional dengan membaca tanda-tanda alam seperti itu. Nalayan jarang membawa GPS, walau kelompok nelayan memiliki alat tersebut. GPS, hanya mereka gunanya terbatas untuk mengetahui posisi dirinya ketika di lautan. Alat tersebut jarang mereka gunakan karena, ketika melaut tidak jauhjauh sebatas penglihatan garis pantai. Masalahnya, kalau terbawa terbawa GPS bisa tersesat di laut. Jika ada permasalahan di laut seperti itu biasanya diantara nelayan saling membantu. Hidup kebersamaan di laut antar nelayan merupakan tradisi yang telah membubaya dikalangan nelayan Parangtritis. Tradisi saling membantu sesame profesi nelayan itu mereka kembangkan terus sampai sekarang. Teknologi lain, yang banyak membantu ialah Hand phone (HP), hampir semua nelayan memilik
HP yang bisa digunakan untuk berkomunikasi
antar nelayan. Komunikasi melalui HP digunakan untuk memberitahu posisi tangkapan ikan yang bisa diberitahukan kepada nelayan lain. Namun hal ini, tidaklah dapat diaadalkan. Hal itu disebabkan bahwa, dintara mereka secara 42
tidak langsung ada persaingan. Sebagaimana yang dikemukakan Ketua Kelompok Nelayan Tirtohargo, bahwa mereka mengartikan makna tersebut dalam “bahasa jawa” yang mereka digunakan apakah “ngapusi” atau tidak. HP juga digunakan untuk memeberitahukan kepada nelayan yang ada di darat ketika mereka akan mendarat. Sebab bentuk pantai di Parangteritis dari permukaan air ke daratan relatif cukup jauh sehingga perlu bantuan untuk menariknya.
Di situlah tampak kehidupan gotong royong, saling membantu antar nelayan, dalam istilah jawa “hidup guyup rukun” saling asah, asih, dan asuh”. HP juga bermanfaat pada saat pelelangan ikan di TPI, mereka bisa melakukan perbandingan harga dengan di tempat lain utuk mendapatkan harga yang memadai. Dengan menggunakan HP pembeli maupun penjual ikan merasa puas terhadap ikan yang dibelinya. Teknologi dalam penangkapan ikan, sebenarnya sudah ada alat yang digunakan untuk menditeksi kedalaman laut dan keberadaan ikan semacam sonar. Namun teknolgi tersebut hanya cocok digunakan kapal besar seperti kapal dengan bobot 30 GT, Pursasisne. Perahu mesin tempel tidak cocok menggunkan alat tersebut sebab mereka malaut tidak jauh-jauh.
Dari tiga kelompok nelayan yang dihubungi dua diantaranya pernah mendengar kata Internet, dan tahu manfaatnya namun mereka tidak pernah menggunakannya dan fasilitas intrnet di sekitanya lokasi tidak ada. Ketua kelompok nelayan itu mengungkapkan ia pernah menggunakan internet yang dimiliki temannya. Tetapi nelaya tradisional di Parangtritis umumnya belum banyak yang paham dan mengenal internet. Sebenarnya di Parangtritis sudah ada lembaga swadaya yang menjadi wadah para nelayan, seperti koperasi dan sejenisnya. Tetapi lembaga semacam itu masih belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat nelayan. Kantor Koperasi Nelayan yang merupakan wadah para nelayan dalam mengembangkan usaha para nelayan, belum dikelola secara optimal. Komperasi hanya buka sekali dalam satu minggu yaitu hari 43
minggu dibuka mulai pk 13.00.wib. Koperasi nelayan di Depok selain, mendukung
mengembangkan usaha nelayan juga menjadi regulator yang
mengatur tata tertib di lingkungan nelayan pantai Depok dan Parangtritis. Menurut Topo (Ketua Koperasi Nelayan Depok), koperasi tersebut pernah mendapat rangking ke dua tingkat nasional sebagai penggerak pembangunan masayarakat pantai. Mereka mengatur agar di wilayah TPI Depok bersih dari penjualan miniman keras, dan juga melarang beroperasinya wanita tuna susila. Ia juga mengntrol restrubusi dari penjual warung kuliner dan perparkiran. Koperasi saat ini belum menggunakan komputer secara langsung sebagai kelengkapan adminstrasi. Bendahara Koperasi tersebut, menjelaskan
bahwa
data aktifitas nelayan di koperasi tersebut mereka kerjakan dirumah dengan menggunakan komputer pribadi. Sekarang Koperasi sedang berusaha berbenah dengan merekrut pegawai tetap yang bisa melayanai nelayan setiap hari yang dibantu dengan sisrtem komputer. Bendahara Koperasi yang seahar–harinya mengaku bekerja di Bank Perkreditan rakyat, itu sudah mengenal manfaat system komputer dan ia sudah mengikuti pelatihan system computer akutansi di Yogyakarta. Koperasi Nelayan Mina Bahari 45, dengan merekrut dua orang pegawai diharapkan bisa membuat data base nelayan dan aktifitas usaha bisnis koperasi itu sendiri. Menurutnya jika Koperasi sudah menggunakan internet, maka koperasinya bisa dijadikan sumber informasi dan promosi nelayan di Parangteritis. Selama ini yang mempromosikan parangteritis hanya biro-biro perjalanan dan lainnnya. Kebutuhan akan dukungan computer pada pengelolaan komperasi sangat urgen, karena bisnis yang dikelola koperasi cukup dinamis, sperti kuliner, tempat wisata, kegiatan kelompok nelayan, kelompok industry rumah pengolah ikan dan lainnya. Ia berharap kepada Kominfo jika memiliki aplikasi yang berkaitan dengan aktifitas koperasi mereka menunggunya. Selain penggunaan HP teknologi lain belum bersentuhan dengan mereka. Namun terhadap komputer dan internet kesadaran mereka sudah mulai ada pada ketua kelopoknya meski belum sampai pada tahapan upaya menggunaknnya. Siaran radio dan telvisi bisa mereka akes namun hanya terbatas pada fungsi hiburan 44
dan berita. Jika ada berta-berita tentang nelayan di berbagai daerah, selalu mendapat perhatian khusus karena berkaitan dengan kehidupan masyarakat nelayan sehari-hari.
Inovasi Teknologi di Komunitas Nelayan Setiap
keputusan untuk menggunakan teknologi oleh masyarakat
menurut Teori Social Construction on
Technology (SCOT) merupakan hasil
konstruksi social, artinya hasil rembukan masyarakat, hasil kesepakatan individuindividu anggota
masyarakatnya. Termasuk keputusan tersebut ialah untuk
memilih teknologi apa atau yang mana yang paling cocok dan bisa memecahkan permasalahan
keseharian
hidup
kelompok
masyarakatnya.
Nelayan
di
Kecamatan Kretek khusunya di desa Parangteritis yang tergabung dalam Kelompok Nelayan Mina Bahari 45, Mina Tirtohargo di wilayah TPI Depok dan Ukir Samudra di TPI Mancingan, menggunakan HP untuk berkomunikasi antar anggota nelayan baik dalam proses penagkapan, pelelangan sudah digunakan, sebagai kelengapan komunikasi kepanjangan individu-individu nelayan, yang oleh Mc Luhan disebut extension the man. Tanpa ada rembukan lagi dan tanpa ada keputusan dalam rapat-rapat kelompok. Dalam konteks SCOT, kesepakatan penggunaan Hand Phone terjadi secara implisit. Teknologi lain yang terkait dengan proses kehidupan nelayan dan pernah dikenalkan diantara nelayaan ialah GBS atau Global Posisitioning system, fishfinder, internet. GPS merupakan alat pendiktekasi posisi nelayan dan ikan di laut, sehingga bisa diberitahukan kepada nelayan lainnya. Tetapi nelayan tidak mau menggunakannya karena cukup penggunakan felling dan gejala alam. Disamping itu juga daerah jangkauannya tidak jauh. Penolakan teknologi ini tampaknya
lebih
dominan
karena
alasan
pragmatis
dan
berdasarkan
pengalaman dengan menggunakan teknologi yang ada, bisa memenuhi kebutuhan mereka secara prakmatis. Fishfinder, umumnya tidak mereka kenal dan hanya seorang ketua Kelompok yang kebetulan menjadi kelompok pengguna kapal berbobot besar (Gt-30), ia berpandapat alat semacam itu hanya berguna bagi kapal besar, sedangkan perahu mesin tempel, tidak perlu 45
menggunakannya. Mereka cukup dengan feeling dan membaca tanda-tanda alam. Mereka berpendapat karena belum pernah mencoba alat tersebut dan masih beranggapan mahal harganya. Namun, Ketua Koperasi Nelayan, berpandapat apabila ada alat tersebut akan sangat membentu aktifitas nelayan dalam rangka meningkatkan produksinya secara efesien. Artinya poses konstruksi terhadap teknologi untuk bisa mengadopsi alat fishfinder masih memungkinkan. Jaringann internet
sudah menjangkau daerah Kretek, mengingat di
daerah tersebut ada lokasi pariwisata Parangteritis. Mereka belum menggunakan internet, namun mereka tahu manfaat internet baik untuk mengakses informasi maupun untuk mempromoasikan produk atau jasa wisata. Penggunaan interenet memang belum diperlukan oleh setiap individu nelayan, tetapi kemungkinan bisa dikelola oleh Koperasi Nelayan, sebagai Pusat Informasi yang difungsikan untuk akses infomasi pasar, pengatahuan dan perkembangan di bidang perikanan dan kelautan, mepromosikan produk dan jasa. Teknologi lainnya yang mendukung operasioal koperasi yang mungkin dikembangkan ialah mendukung proses manajemen dan pelayanan berbaisis TIK. Hal ini akan mudah diterimanya karena sudah ada keinginan kearah itu baik dari pengurus Komperasi mapun ketua koperasinya.
Kendala dalam inovasi. Pandangan hidup masyarakat desa Parangteritis masih sederhana sebagaimana pandangan hidup masyarakat pertanian tradisional umunya, selama kehidupan sehari-hari tercukupi dan bisa menyekolahkan anaknya, upaya bertani dan nelayan yang dialakukan sudah mereka anggap memuaskan. Mereka tidak berfikir investasi dan lebih dari kebutuhan keluarganya. Artinya hasrat untuk membangun achievement masih belum terbangun. Hal itulah yang menyebabkan mereka, kalau pergi melaut cukup satu trip dan ada yang tidak mau untuk menggunakan kapal besar. Pandangan Nelayan sebagai usaha sampingan juga menurunkan hasrat untuk berinovasi. Mungkin iklim ini belum terbentuk karena usaha nelayan baru dimulai di wilayah itu tahun 2002, yaitu 46
dengan menggunakan perahu mesin tempel. Jadi masih tergolong baru jika dibandingkan dengan nelayan yang telah berkembang bertahun tahun di pantai selatan Jawa Lainnya. Sebelum itu memang nelayan telah memanfaatkan laut untuk kehidupan namun hanya menggunakan jaring ukuran kecil dan pancing tradisional saja. Disamping itu kekeluargaan mereka juga menjadi fakor, sebagaima diungkapkan oleh salah satu ketua kelompok nelayan yang merasa riskan untuk meninggalkan keluarga selama satu minggu, karena juga meninggalkan sawah ladang mereka. Selain itu pada hari-hari tertentu yaitu selasa kliwon dan Jumat kliwon tidak melaut karena mithos, jika melaut akan terkena musibah. Artinya ada faktor sosal budaya yang tidak menunjang atau bisa menghambat terjadinya inovasi tersebut. Mithos tersebut telah bergeser menjadi budaya masyarakat Parangtritis Bantul Yogyakarta. Mithos itu mereka yakini
memiliki
potensi
relasi
dengan
pola
kehidupan
nelayan
yang
mengandalkan kebesaran laut selatan.
Kesimpulan dan rekomendasi. Nelayan di Desa Parangteritis, Kecamatan Kretek, dari aspek ekonomi termasuk kategori cukup, dari usahanya dibidang pertanian dan nelayan bisa memenuhi kehidupan keluarganya bahkan untuk menyekolahkan anaknya. Jadi tdak ada kesan sebagai kelompok nelayan marginal.
Sementara teknologi
komunikasi yang sudah menjadi kelengakapan individu nelayan adalah Hand phone,
disampaing
digunakan
dalam
konteks
komunikasi
pribadi
juga
dimanfaankan dalam proses aktivitas nelayan, mulai dari persiapan, informasi komunikasi di tengah laut, ketika akan mendarat, samapai proses pelelangan untuk memperoleh informasi harga yang kompetetitif. Karena nelayan dianggap sebagai mata pencaharian sampingan dan faktor sosial budaya mereka yang berorentasi pada nilai lokal tradisional maka hasrat untuk berinovasi menjadi lemah. Keadaan ini boleh jadi merupakan kesadaran palsu, yang kontradiksi dengan pandangan pejabat kelautan dan perikanan dan bahkan dengan tokoh nelayan itu sendiri. Inovasi teknologi, bisa saja ditolak pada tingkat individu, tetapi bisa diorganisasi oleh kelompok. 47
Suatu teknologi kemungkianan tidak
menjadi elemen yang dibutuhkan karena mereka tidak tahu. Beradasarkan hasil wawancara dan pengamatan, para nelayan paling tidak membutuhkan teknologi untuk, tiga golongan sebagai berikut : (1). Bagi Individu nelayan berupa teknologi untuk mengetahui ramalan cuaca, posisi dilaut, penentuan keberadaan ikan di laut, (2). Ketua Kelompok Nelayan, teknologi untuk keberadaan nelayan dan kondidinya di tengah laut, mengetahui akses ke sumber infomasi baik tentang
harga pasar. (3), Koperasi
Nelayan, perlu management koperasi dan yayanan koperasi berbasis TIK, dan memerankan Koperasi sebaggia pusat layanan infomasi yang dilengkapai dengan layanan internet. Untuk medifusikan inovasi terebut secara bertahap dialakuakan melalui ketua-ketua kelompok dan tokohnelayan, dan dialkukan proses fasilitasi untuk mengkonstrsi teknologi yang dianggap cocok.
Kasus Nelayan Tradisional di Muncar, Banyuwangi - Jawa Timur Kecamatan Muncar merupakan daerah yang berlokasi di ujung pantai timur Provinsi Jawa Timur,dan bersebelahan dengan selat Bali. Muncar terkenal kekayaan laut berupa produksi ikan hasil tangkapan nelayan. Muncar memiliki karakteristik yang amat spesifik sebagai pelabuhan nelayan bukan pelabuhan samudra. Posisi pantai Muncar sangat strategis berbatasan dengan pulau Bali dipisahkan oleh selat Bali yang sangat kaya potensi hasil lautnya, terutama berbagai jenis ikan. Di kecamatan Muncar terdapat 10 Pemerintahan Desa, tetapi tidak semua pemerintah desa di kecamatan Muncar tersebut berbatasan langsung dengan garis pantai. Muncar
juga tergolong katagori pelabuhan
nelayan tradisional, yang melingkupi 6 (enam) desa pantai, yaitu desa Sumber beras, Wringin putih, Tambakrejo, Kedungrejo, Sumber sewu dan Kemundung. Sedangkan 4 desa lainnya typologi geografisnya lebih dominan tanah hamparan, yang terdiri dari kawasan pertanian, perkebunan tanaman pangan, dan kawasan pertambakan udang windu kapasitas industry exsport. Muncar sebagai kawasan pelabuhan nelayan,terdapat 3 tempat pendaratan ikan tangkap, yaitu di Brak Kalimoro, Sampangan dan Pelabuhan Muncar sendiri. Jumlah nelayan di 48
Muncar,menurut Cholidi (20/3) ,Ketua Paguyuban Pedagang Ikan Segar dan ikan kering Mina Segara, Kecamatan Muncar, terdapat sekitar 13.000 nelayan tradisional.
Sedangkan
jumlah
Kepala
Keluarga mencapai
12.636
KK.
Sementara jumlah armada kapal atau perahu baik perahu kecil, sedang dan kategori besar terdapat 1.634 unit. Dengan jumlah perahu yang banyak,maka pemandanganm di pantai maupun zona penangkapan ikan sangat ramai dan sibuk hilir mudik perahu nelayan. Para nelayan yang berdomisili di pelabuhan Muncar umumnya di dominasi olah nelayan dari suku Madura. Tetapi juga penduduk asli Banyuwangi yang berprofesi nelayan keturunan nenek moyang nelayan terdahulu. Bahasa harian yang digunakan di kawasan tersebut sebagian besar bahasa Jawa campuran Madura, yang memiliki cirikhas Banyuwangian.
Pemanfaatan TIK di Kalangan Nelayan Para nelayan tradisional di pelabuhan Muncar sudah lama menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (TIK),terutama hand-phone dan radio single band (radio panggil) dengan gelombang frekuensi 4331 dan 4329. Pemanfaatan radio panggil ini di bina oleh ORARI (Organisasi Radio Antarpenduduk RI) Kabupaten Banyuwangi. Pada setiap perahu nelayan terdapat sebuah radio panggil yang siap dioperasikan manakala nelayan melaut menangkap ikan. Radio panggil diberi kekuatan listrik dari aki. Nelayan menggunakan atau memanfaatkan radio panggil ini sebagai alat komunikasi bila sedang berada di laut dengan pihak daratan yaitu anggota pengurus paguyuban yang diserahi tugas memantau keberadaan nelayan di laut. Biasanya informasi yang dikirim mengenai berita posisi perahu, daerah laut yang ada ikannya, maupun untuk keadaan darurat dengan ketika gelombang laut tinggi,dan membahayakan nelayan yang sedang mencari ikan dilaut. Menurut
informan, bila terjadi gelombang laut yang tinggi, nelayan dengan
perahunya dianjurkan bertahan di laut hingga keadaan air laut tenang kembali. Lama peristiwa naiknya gelombang air laut menurut penjelasan informan tidak menentu, tetapi biasanya antara 30 menit hingga 1 jam. Biasanya para nelayan yang terjebak gelombang laut seperti itu disarankan untuk bertahan di perahu, 49
masing masing sepanjang tidak berbahaya. Pada kondisi seperti itu peran alat komunikasi, seperti hp, dan radio panggil menjadi sangat vital. Paling tidak posisi nelayan dapat terpantau dari darat ketika mereka berkomunikasi dengan petugas atau sesame teman nelayan yang ada di darat. Alat komunikasi itu juga dapat digunakan untuk mencari informasi pasar, di TPI dan pembeli ikan yang biasa memborong hasil tangkapan ikan nelayan tradisional.
Persoalan penting lainnya adalah regulasi, atau kebijakan pemerintah Kabupaten yang menyangkut profesi nelayan. Kebijakan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Banyuwangi terhadap bidang perikanan, lebih banyak difokuskan untuk menunjang peningkatan kehidupan masyarakat nelayan. Meski secara realitas kurang berorientasi pada peningkatan pemanfaatan TIK bagi nelayan tradisional. Kebijakan yang kini tengah dirancang pembentukan Muncar sebagai kota Minapolitan di-Banyuwangi yaitu pemberdayaan usaha nelayan dalam arti yang lebih komprehensip. Menapolitan, berupaya mengintegrasikan administratur TPI Pelabuhan, dengan komponen komponen yang bergerak dibidang perikanan di-Muncar.
Implementasinya berupa renovasi tempat
penjualan ikan segar berbentuk bangunan permanen dengan lima blok, sarana air bersih, istrik dan fasilitas penunjang lainnya. Disamping itu juga masalah bantuan penyediaan rumpon, program penanggulangan cuaca buruk berupa bantuan beras kepada keluarga nelayan dan
renovasi
perumahan
nelayan.
Kebijakan
minapolitan
ini
untuk
memberdayakan potensi ikan tangkap yang dilakukan nelayan. Mengingat garis pantai di-Kabupaten Banyuwangi mencapai 175 km, maka diperlukan optima lisasi poptensinya, khususnya produk ikan hasil tangkapan nelayan. Kebijakan monapolitan Muncar adalah konsep pembangunan ekonomi kelautan dan perikanan berbasis wilayah dengan pendekatan dan sistem manajemen kawasan berdasarkan prinsip-prinsip : (1) integrasi, (2) efisiensi, (3) kualitas dan (4) akselerasi tinggi. Sementara itu konstruksi
konsep kawasan minapolitan
Muncar mencakup 5 pokok kegiatan, yaitu : (1) Kawasan Minapolitan adalah kawasan ekonomi berbasis
kelautan dan perikanan yang terdiri dari sentra50
sentra produksi dan perdagangan, jasa, perumahan, dan kegiatan lainnya yang saling terkait; (2) Penggerak utama ekonomi di kawasan minapolitan dapat berupa kegiatan produksi dan perdagangan perikanan tangkap ,perikanan budidaya,pengolahan ikan,atau pun kombinasi; (3) Kegiatan produksi dan perdagangan perikanan tangkap berpusat di pelabuhan perikanan ( TPI) dan di lingkungan sekitarnya; (4) Kegiatan produksi dan perdagangan perikanan budidaya berupa hamparan lahan budidaya produktif komoditas tertentu dalam suatu desa atau kecamatan beserta kegiatan lainnya yang terkait; (5) Kegiatan produksi pengolahan ikan utamanya kluster pengolahan ikan di pelabuhan perikanan atau lokasi lainnya. Konsep Minapolitan Muncar merupakan kegiatan untuk meningkatkan potensi hasil tangkapan ikan. Selama ini,produksi hasil tangkapan ikan di Muncar rata-rata mencapai 40 ton/hari dari berbagai jenis ikan. Maka Kementerian Perikanan dan Kelautan menetapkan daerah Muncar sebagai kawasan yang dapat ditingkatkan potensi hasil produksi ikannya. Konsep kebijakan Minapolitan Muncar ini ,menurut informan Abidin (21/3), tidak hanya dijalankan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Banyuwangi saja, tetapi juga didukug oleh Dinas Lingkungan Hidup, Dinas PU dan dinas lainya yang terkait. Konsep yang sama juga diterapkan di Kecamatan Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Kondisi Sosial Ekonomi Nelayan Muncar Konstruksi sosial dan budaya yang mendasari kegiatan nelayan di Muncar telah berlangsung lama sejak masa jayanya kerajaan Blambangan dan Majapahit. Bahkan masih ada petilasan yang menandakan berdirinya masyarakat bahari dimasa kerajaan Blambangan di Banyuwangi. Keunggulan Muncar karena bertautan dengan Selat Bali yang merupakan lokasi tangkapan ikan berbagai jenis. Misalnya Ikan lemuru merupakan jenis ikan yang dominan. Kemudian jenis ikan layang, tongkol, layur, cucut, dan ikan nus/cumi-cumi.
Di kecamatan
Muncar ikan nus sangat digemari masyarakat nelayan dan non nelayan. Hampir disetiap kedai atau warung makan jenis masakannya sebagian besar 51
menggunakan ikan nus tersebut. Hanya saja jenis masakannya yang berbedabeda. Hal ini menandakan bahwa ikan nus sangat populis di kalangan masyarakat local di pesisir pantai Muncar tersebut. Sementara pola kehidupan masyarakat nelayan di Muncar bercampur baur dengan masyarakat pedagang ikan di berbagai pasar tradisional. Maka tepat jika dikatakan yang dominan menopang sector perekonomian di Muncar adalah produksi perikanan. Ciklus kehidupan masyarakat nelayan di Muncar tidak hanya terfokus pada bagaimana menangkap ikan sebayak banyaknya. Tetapi sudah mengarah pada bagaimana kelebihan ikan hasil tangkapan nelayan itu bisa diproduksi untuk memberikan nilai tambah pada keluarga nelayan, dan masyarakat local di Muncar.
Banyaknya sentra-sentra pasar ikan asin berbagai jenis menandakan bahwa perekonomian berbasis perikanan telah berjalan. Di momunitas tersebut profesi nelayan merupakan pilihan hudup bagi sebagian besar masyarakat di sekitar pantai Muncar. Mata pencaharian penduduk pesisir pantai Muncar itu awalnya merupakan cara mempertahankan diri dari kemiskinan. Tradisi pola kehidupan masyarakat pesisir sebagai nelayan itu merupakan warisan dari nenek moyang mereka sejak dulu. Suku bangsa yang bermukim di kawasan Muncar,
bersifat heterogi
tetapi
yang dianggap paling dominan Jawa
Banyuwangian, Madura, kemudian suku lainnya. Menurut informan, kegiatan dan kehidupan di kawasan Muncar sampai saat ini masyarakat nelayan hidup rukun dan saling membantu.Tujuan mereka hanya satu yaitu bersama-sama menangkap ikan di laut. Hampir tidak terdengar kepentingan politik atau kepentingan kesukuan yang dikedepankan. Kegiatan nelayan di Muncar hari melaut. Mengenai cara pandang mereka terhadap kegiatan menangkap ikan di laut (sebagai nelayan)
itu gampang. Ikut saja bersama nelayan yang sudah
lama melaut,melihat cara mereka bekerja dan nelayan kemudian langsung
baru dapat mencoba
menangkap ikan/membantu nelayan,maka dalam waktu
singkat akan dapat menjalankan kegiatan menangkap ikan dengan baik .Kegiatan melaut dilakukan setiap hari, dimulai persiapan melalut sekitar jam 52
15.00 sore, hingga besok pagi jam 04.00 atau jam 05.00 wib kembali ke pantai/kedarat dengan membawa hasil tangkapan ikan, bagi nelayan yang beruntung. Tetapi sering juga nelayan kembali kedarat denan waktu yang sama hanya mendapatkan yang jumlahnya sedikit. Ikan hasil tangkapan nelayan itu mereka timbangkan di TPI untuk dijual kepada pembeli. Pada saat nelayan kembali kedarat para tengkulak sudah menunggu di berbagai TPI. Di lokasi penjualan ikan hasil tangkapan nelayan pembelilah yang mengatur semuanya. Termasuk menentukan harga umum pasarn ikan berbagai jenis di TPI tersebut. Ikan segar hasil tangkapan nelayan itu bukannya di lelang kepada pembeli dan bersifat terbuka dan umum. Namun sudah di dominasi oleh para tengkulak. Jika ada orang pembeli dari luar tidak diperbolehkan berhubungan langsung dengan nelayan. Tetapi ia harus berhubungan dengan tengkulak atau broker ikan di TPI, dimana harganya sudah terpaut mahal dibanding ketika mereka membelinya dari nelayan. Kemudian nelayan beristirahat di rumah hingga jam 14.00,untuk kembali lagi ke laut, begitu seterusnya. Bagi mereka menjadi nelayan tidak memerlukan pendidikan khusus, teknik menangkap ikan pun hingga kini masih banyak yang dilakukan secara tradisionil. Tidak banyak berubah cara menangkap ikan di laut dari generasi ke generasi ,dengan demikian konsep melaut dari nelayan Muncar masih menggunakan cara tradisional.
Kesimpulan Pola kehidupan masyarakat nelayan di Muncar Banyuwangi tidak jauh berbeda dengan nelayan lain di pesisir Pantai Pulau Jawa. Bahkan di Muncar sector perekonomian masyarakat lebih banyak di topang sector perikanan, yang dihasilkan para nelayan tradisional. Sementara para nelayan tradisional di Muncar sebagian besar telah mengenal teknologi informasi, meski yang masih sederhana. Teknologi yng umumnya digunakan nelayan tradisional sebagai sarana komunikasi ketika pergi melaut mencari ikan diantaranya, han-phone, radio single band (radio panggil). Radio panggil ini di kordinasi oleh ORARI Banyuwangi. Di muncar umumnya setiap perahu nelayan telah dilengkapi 53
dengan radio panggil sebagai sarana komunikasi. Radio panggil tersebut menggunakan aki motor untuk tenaga listriknya. Penggunaan sarana komunikasi hp, dan radio panggil ini mereka gunakan untuk komunikasi dengan rekan, dan keluarga di rumah. Misalnya jika ada keadaan darurat seperti terjadi gelombang besar, angin rebut, yang sekiranya membayakan nelayan dengan sarana komunikasi inilah mereka berhubungan dengan tim sar yang ada didarat.
BAB II PERKEMBANGAN PELAKSANAAN KEGIATAN
Pengelolaan Administrasi Manajerial
1. Pembayaran honor pengelola,peneliti dan asisten peneliti 2. Biaya perjlalanan/lungsum pengumpulan data kualitatif di 4 lokasi penelitian (Pelabuhan Ratu,Parangtritis, Munjungan dan Muncar) 3. Pembelian ATK, Literatur , dan rapat2
Metode-Proses Pencapaian Target Kinerja
Proses Pencapaian Target Kinerja : Melakukan penajaman focus penelitian dengan mengidentivikasi berbagai karakter teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang disesuaikan dengan kebutuhan individu masyarakat nelayan tradisional di kawasan pesisir pantai selatan Pulau Jawa, untuk meningkatkan produktivitas hasil tangkapan ikan, dan peningkatan kesejahteraan social dan ekonomi nelayan.
Indikator Keberhasilan Pencapaian Target Kinerja : Teridentivikasinya karakter
teknologi
informasi
dan
komunikasi
(TIK)
yang
telah
dipersesuaikan dengan kebutuhan nelayan tradisional untuk dijadikan
54
sebuah rekomendasi pelaksanaan pemberdayaan “nelayan tradisional” untuk dijadikan pedoman pembelajaran.
Perkembangan Pencapaian Target Kinerja : Pada termin pertama ini telah dilakukan pengumpulan data penelitian kualitatif melallui observasi lapangan, dan wawancara mendalam di empat lokasi penelitian (Pelabuhan Ratu, Parangtritis, Munjungan dan Muncar) dari lima yang direncanakan dengan informan kunci.
Perkembangan
Pencapaian
Target
Kinerja
:
Sesuai
dengan
perencanaan penelitian pada termin pertama ini sedang dilakukan pengolahan data kualitatif dari 4 lokasi penelitian. Sedangkan jadwal selanjutnya
melakukan
analisis
data
untuk
dirumuskan
sebagai
rekomendasi hasil penelitian.
Sinergi Koordinasi Kelembagaan Program Kerangka Sinergi Koordinasi Kelembagaan-Program : Di tingkat daerah telah melakukan koordinasi dengan Dinas Perhubungan dan Kominfo, Dinas Kelautan dan Perikanan, LSM, Organisasi Sosial Kemasyarakatan,
Camat/Desa
setempat
yang
terkait
dengan
pemberdayaan nelayan tradisional melalui pemanfaatan TIK.
Indikator Keberhasilan Sinergi Koordinasi Kelembagaan Program : Terdapatnya
respon
positif
dari
Lembaga/organisasi
yang
diajak
kerjasama. Perkembangan Sinergi Koordinasi Kelembagaan-Program : Saat ini sedang dicoba melakukan negosiasi kerjasama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan, untuk menindak lanjuti hasil penelitian.
55
Kerangka Pemanfaatan Hasil Litbangyasa Kerangka Pemanfaatan Hasil Litbangyasa : Ter-implementasinya sebuah rumusan rekomendasi hasil penelitian ini sebagai kerangka dasar pemberdayaan nelayan tradisional melalui pemanfaatan TIK yang telah dipersesuaikan dengan kebutuhan nelayan tradisional di wilayah pesisir pantai selatan pulau jawa.
Strategi Pemanfaatan Hasil Litbangyasa : Melakukan diseminasi dan publikasi hasil penelitian melalui penerbitan jurnal penelitian, buku, dan media massa. Indikator Keberhasilan Pemanfaatan Hasil Litbangyasa : terpublikasi kannya rekomendasi hasil penelitian di jurnal ilmiah, buku, dan media massa.
Perkembangan Pemanfaatan Hasil Litbangyasa : Masih dalam tahapan pengerjaan (pengolahan data dan analisis).
BAB III RENCANA TINDAK LANJUT
Rencana Pelaksanaan Pencapaian Target Kerja •
Dalam pelaksanaan pencapaian target kerja, pada termin kedua tim peneliti akan melakukan diskusi untuk mempertajam konstruksi analisis dan rumusan rekomendasi penelitian, yang mendasarkan pada temuan di lapangan dan masukan berbagai pihak terhadap penelitian ini.
Rencana Koordinasi Kelembagaan-Program •
Hasil penajaman rumusan rekomendasi hasil diskusi tim peneliti tahap 2 ini dilakukan diskusi terfokus yakni Focous Group Discussion (FGD) dengan mengundang 2 (dua) nara sumber dari Kementerian Kelautan dan 56
Perikanan yang membidangi substansi, dan dari BPPT, atau Lembaga Penelitian lainnya yang membidangi social contruction of technology (SCOT) untuk membahas perumusan rekomendasi hasil penelitian tersebut.
Rencana Pemanfaatan Hasil Litbangyasa •
Rencana pemanfaatan hasil penelitian/litbangyasa pada tahun 2012 ini berupa publikasi/ diseminasi melalui penerbitan buku jurnal penelitian, dan pers release melalui media massa.
Rencana Pengembangan Kedepan Penelitian ini dirancang untuk berkelanjutan (longitudinal),pada tahapan tahun berikutnya. Maka hasil penelitian ini akan sia-sia jika terputus, dan tidak bisa dilanjutkan pada tahapan berikutnya. Oleh sebab itu tim peneliti telah merencanakan dan membuat progress/perencanaan pengembangan kedepan sebagai berikut : 1. Rekomendasi hasil penelitian ini digunakan sebagai kerangka dasar untuk membuat modul, atau materi pelatihan, yang akan di aplikasikan dalam bentuk lokakarya dengan mengundang para “agent perubahan” (penggiat nelayan tradisional), yang direkomendasikan oleh organisasi/kelompok nelayan dari masing-masing lokasi penelitian. Kegiatan tersebut akan dilakukan pada semester pertama tahun 2013, pilihan alternative tempat bisa dilakukan di masing masing daerah, atau mereka diundang dalam satu tempat tertentu. Selanjutnya pada semester kedua tahun 2013, bisa dilakukan kegiatan aplikasi di masing masing lokasi (nelayan tradisional) dengan pendampingan oleh para peneliti. Dalam konteks tersebut peneliti melakukan kajian lanjutan, yang bersifat “evaluative sumatif” untuk mengetahui respon, dan partisipasi nelayan tradisional dalam program pemberdayaan tersebut. 2. Donasi pembiayaan bisa dari program PKPP 2013, atau kerjasama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (proposal menyusul). 57
BAB IV PENUTUP Sebagaimana telah dilaporkan pada bagian terdahulu, pada termin pertama kegiatan penelitian ini, telah dilaksanakan kegiatan administrasi, dan pengumpulan data penelitian di 4 lokasi, dari 5 lokasi yang direncanakan. Data kualitatif dari 4 lokasi penelitian tersebut, masih dalam tahapan pengolahan berupa kegiatan klasifikasi dan reduksi data sesuai dengan rencana analisis yang telah ditentukan.
Sumber Bacaan
Kusnadi,2000,Nelayan: Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosisal, Bandung Humaniora, Penerbit Utama Press Bandung K.Yin Robert, 2006, Studi Kasus Desain & Metode,Penerbit, PT Raja Grasindo Persada Jakarta Idrus.M, 2009, Metode Penelitian Ilmu Sosial, Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif Edisi Kedua, Penerbit,Erlangga, Jakarta Imam Prakoso,2008,Alternatif Pemenfaatan TIK Bagi Keberdayaan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan,dalam Jurnal Dialog Kebijakan Publik, edisi 3/Nopember/tahun II/2008,Penerbit Kominfo Jaarta Sugiyono, 2005, Memahami Penelitian Kualitatif,Penerbit, CV Alpa Beta Bandung
Internet : Mudjahirin Tohir,dkk dengan tajuk, Kajian Tindak Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Yang Mandiri Dalam Mendukung Ketahanan dan Keamanan Pangan di Pesisir Utara dan Selatan Jawa Tengah. Penelitian ini merupakan Program Penelitian Hibah Kompetitif dari DIKTI tahun 2010, sumber artikel :htt://www.ippm.undip.ac.id/abstrak/content/view/638/288/ diakses, 09 Nopember 2011 M.Iqbal Hanafi, tentang Hubungan Modal Sosial dengan Kemiskinan Masyarakat Nelayan di Desa Panimbanh Jaya Pandeglang (2010), lihat di http://repository.ipb.ac.id/betstream/ handle/ 123456789/12720/co9mih/aabstract.pdf/sequence=1, diakses 9 Nopember 2011.
58